Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan...

33
1 TINJAUAN TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIKAN PADA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) KABUPATEN SUBANG DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) JO. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen keempat Pasal 18 dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan kemudian di perbaharui dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 20014 Pemerintahan Daerah, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerahlah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantu. Ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan. Dalam percepatan

description

hukum

Transcript of Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan...

Page 1: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

1

TINJAUAN TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIKAN PADA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) KABUPATEN SUBANG

DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) JO. PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sesuai dengan

amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen

keempat Pasal 18 dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, dan kemudian di perbaharui dengan Undang-undang

Nomor 23 Tahun 20014 Pemerintahan Daerah, karena tidak sesuai lagi dengan

perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraaan Otonomi

Daerah, Pemerintah Daerahlah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantu. Ini diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

pelayanan, dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan.

Dalam percepatan pembangunan yang sedang berlangsung saat ini sangat dituntut

adanya peningkatan pelayanan kepada masyarakat di segala aspek kehidupan.

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan dukungan sumberdaya

manusia yang profesional dan proposional. Sumberdaya manusia yang profesional

apabila dapat bekerja berdasarkan standar baku, bekerja dengan penuh rasa

tanggung jawab serta dengan etos dan moralitas tinggi.

Akan tetapi belakangan ini gerak langkah Satuan Polisi Pamong Praja

(Satpol PP) tidak pernah luput dari perhatian publik, mengingat segala

Page 2: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

2

aktifitasnya dengan mudah diketahui, melalui pemberitaan mass media, baik cetak

maupun elektronik. Sayangnya image yang terbentuk masyarakat atas sepak

terjang Aparat Satuan Polisi Pamong Praja sangat jauh dari sosok ideal, yang

sejatinya menggambarkan aparatur pemerintah daerah yang dalam melaksanakan

tugasnya menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, Hak Asasi Manusia dan

norma-norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Akan tetapi munculnya gambaran terhadap sosok aparat Polisi Pamong

Praja (Pol PP) tidak lain tidak bukan, karena seringnya masyarakat disuguhi aksi-

aksi represif, namun terkesan arogan dari aparat daerah tersebut saat menjalankan

perannya dalam memelihara dan manyelenggarakan keamanan dan ketertiban

umum.

Bentrok Satpol PP dengan warga masyarakat menjadi pemberitaan hangat

peristiwa bentrok tersebut biasanya merupakan imbas dari langkah Satpol PP

melakukan penertiban pedagang kaki lima, pembongkaran bangunan liar, eksekusi

penggusuran tanah, atau penertiban masyarakat penyandang masalah sosial seperti

gelandangan, pengemis, pengamen jalanan, pekerja seks komersial. Tidak jarang,

penggusuran terhadap warga yang diduga telah melakukan pelanggaran Peraturan

Daerah dilakukan melalui cara-cara kekerasan dengan melibatkan aparat Tentara

Negara Indonesia atau Polisi Republik Indonesia

Berkaitan dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja dalam

penegakkan hukum (represif), sebagai perangkat pemerintah daerah, kontribusi

satuan Polisi Pamong Praja sangat diperlukan guna mendukung suksesnya

Page 3: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

3

pelaksanaan Otonomi Daerah dalam penegakan peraturan daerah menciptakan

pemerintahan yang baik. Dengan demikian aparat Polisi Pamong Praja merupakan

garis depan dalam hal motivator dalam menjamin kepastian pelaksanaan peraturan

daerah dan upaya menegakkannya ditengah-tengah masyarakat, sekaligus

membantu dalam menindak segala bentuk penyelewengan dan penegakan hukum.

Kepala Daerah mempunyai kewajiban menegakan peraturan perundangundangan

dan memelihara ketertiban dan kententraman masyarakat. Ketertiban adalah

suasana yang mengarah kepada peraturan dalam masyarakat menurut norma yang

berlaku sehingga menimbulkan motivasi bekerja dalam rangka mencapai tujuan

yang diinginkan1. Tugas kewajiban Kepala Daerah selain berasal dari tugas yang

timbul karena inisiatif sendiri dari alat perlengkapan daerah (Otonomi Daerah)

dapat juga diperintahkan oleh penguasa yang lebih atas atau yang disebut tugas

pembantuan.2

Dalam melaksanakan kewenangan guna menegakkan Peraturan Daerah

dan keputusan kepala daerah, sebagai salah satu tugas utama dari Polisi Pamong

Praja, tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan, terlebih dalam

melaksanakan kewenangan ini Polisi Pamong Praja dibatasi oleh kewenangan represif

yang sifatnya non yustisial. Aparat Polisi Pamong Praja seringkali harus menghadapi

berbagai kendala ketika harus berhadapan dengan masyarakat yang memiliki

kepentingan tertentu dalam memperjuangkan kehidupannya, yang akhirnya bermuara

pada munculnya konflik (bentrokan).

1 Dirjen Pemerintahan Umum, Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2005, hal.9.2 Irawan Soejito, Sejarah Daerah Indonesia,:Pradanya Paramita, Jakarta 1984, hal.100.

Page 4: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

4

Dalam menghadapi situasi seperti ini Polisi Pamong Praja harus dapat

mengambil sikap yang tepat dan bijaksana, sesuai dengan paradigma baru Polisi

Pamong Praja yaitu menjadi aparat yang ramah, bersahabat, dapat menciptakan

suasana batin dan nuansa kesejukan bagi masyarakat, namun tetap tegas dalam

bertindak demi tegaknya peraturan yang berlaku.

Pasal 255 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa Polisi Pamong Praja ditetapkan sebagai

perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan peraturan daerah,

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, sebagai pelaksana

tugas desentralisasi. Desentralisasi sendiri adalah suatu cara pemerintahan dimana

sebagian dari kekuasaan mengatur dan mengurus dari Pemerintah Pusat diserahkan

kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan3. Pada dasarnya setiap daerah mempunyai 2

macam kekuasaan, yaitu otonomi dan medebewind (memberi kuasa untuk

dijalankan)4. Otonomi ialah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga

daerahnya, sedangkan medebewind adalah hak menjalankan peraturanperaturan dari

Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu5.

Sesuai dengan Undang- Undang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa

Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah

dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan

Peraturan Daerah sehingga semua permasalahan ketentraman dan ketertiban

3 Hazairin, Otonomi dan Ketatanegaraan (dalam Ceramah Kongres III Serikat Sekerja Kementrian dalam Negeri,Bogor, 3-5 Desember 1953, di muat dalam buku 7 Tahun Serikat Sekerja Kementerian Dalam Negeri (SSKDN), 1954, hal. 160.4 Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia. PT Ichtiar baru van hoeve, Jakarta, 2003, hal. 80 dan 397.5 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia, Liberty, Yogyakarta , 1993, hal, 99.

Page 5: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

5

umum yang terkait langsung dengan penegakan Peraturan Daerah yang

diindikasikan belum bereskalasi luas menjadi tanggung jawab SatPol PP. Namun

dalam pelaksanaannya, tugas SatPol PP sering berbenturan dengan penegak

hukum yang lain, terutama polisi.

Belakangan ini, gerak langkah SatPol PP tidak pernah luput dari perhatian

publik, mengingat segala aktivitasnya dengan mudahdiketahui melalui

pemberitaan di mass media, baik cetak maupun elektronik.Sayangnya, image yang

terbentuk di benak masyarakat atas sepak terjang aparat SatPol PP sangat jauh

dari sosok ideal, yang sejatinya menggambarkan aparaturpemerintah daerah yang

dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi normahukum, norma agama,

Hak Asasi Manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang

di masyarakat.

Munculnya gambaran miring terhadap sosok aparat SatPol PP tidak lain

dan tidak bukan karena seringnya masyarakat disuguhi aksi-aksirepresif, namun

terkesan arogan dari aparat daerah tersebut saat menjalankanperannya dalam

memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum.Diberikannya

kewenangan pada SatPol PP untuk memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat bukanlah tanpa alasan. Namun, didukung oleh dasar pijakan yuridis

yang jelas, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa untuk membantu kepala daerah dalam

menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja6.

6 Pasal 255 undang-undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Page 6: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

6

Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah ini, pemerintah diamanatkan membentuk Satuan Polisi Pamong

Prajauntuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah

danpenyelenggaraan ketertiban umum serta ketentraman masyarakat.Dengan

melihat pada kewenangan yang diberikan kepada SatPol PP, tidakdapat dipungkiri

bahwa keberadaan SatPol PP sangat penting dan strategis dalampenyelenggaraan

pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya, termasuk didalamnya

penyelenggaraan perlindungan masyarakat (Linmas).

Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat seringkali

dibenturkan pada perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi itu antara lain mengenai

tindakan atau perilaku yang dianggap melanggar ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat. Tindakan kriminal sebagai salah satu perbedaan persepsi

yang terjadi diantara polisi dan Satpol PP yang didasarkan atas wewenangnya

masing-masing. Secara sosiologis, perbedaan-perbedaan tersebut dapat mengarah

pada kategori sosial. Dan dari ketegori sosial inilah dimulai lahirnya perbedaan

persepsi sosial antara polisi dan warga masyarakat lain dalam memandang

berbagai persoalan7. Termasuk perbedaan persepsi mengenai persoalan mengenai

tindakan kriminal yang menimbulkan benturan kewenangan antara polisi dan

SatPol PP untuk mengatasinya yang mengarah pada penyelenggaraan ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat.

Keberadaan SatPol PP di Kabupaten Subang merupakan bagian dari

proses penegakan hukum sebagai perangkat pemerintah daerah yang diperlukan

7 Achmad Ali. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris. Kencana. Makassar. Hal. 169.

Page 7: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

7

guna mendukung suksesnya pelaksanaan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan

tugasnya, kewenangan Satpol PP sering tumpang tindih dan berbenturan dengan

penegak hukum yang lain terutama polisi. Tindakan pidana pelanggaran Peraturan

Daerah yang terjadi di Kota Subang sering ditangani oleh SatPol PP dengan

berdasarkan adanya kewenangan yang diberikan oleh peraturan pemerintah dan

peraturan daerah dalam hal menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat.

Kondisi ini menghasilkan friksi antara kewenangan Polisi sebagai aparat

sentralistik dengan Satpol PP yang merupakan aparat Pemda yang otonom

meskipun kehadiran SatPol PP sendiri dapat memberikan kontribusi dalam

membantu kepolisian untuk bertugas di lapangan.

Satpol PP juga bisa menjalankan fungsi yudisial yaitu anggota Satuan

Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Dengan adanya ketentuan ini,

maka sebagian anggota SatPol PP adalah bagian dari Sistem Peradilan Pidana

(Criminal Justice System) karena mempunyai kewenangan penyidikan.Yang

menjadi masalah, sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 Satpol PP adalah

bagian dari Pemerintah Daerah, sehingga dalam menjalankan tugasnya anggota

SatPol PP bertanggung jawab langsung dengan Kepala Daerah dalam hal ini

Bupati, Walikota atau Gubernur. Dengan kondisi ini, maka tidak ada hubungan

hierarki maupun struktur antara SatPol PP Provinsi dengan Satpol PP Kabupaten

ataupun Kota.

Permasalahan yang lain muncul ketika dalam melaksanakan

kewenangannya guna menegakkan peraturan daerah serta keputusan kepala

Page 8: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

8

daerah, sebagai salah satu tugas utama dari SatPol PP, SatPol PP dibatasi oleh

kewenangan represif yang sifatnya nonyustisial. Karenanya, aparat SatPol PP

seringkali harus menghadapi berbagai kendala ketika harus berhadapan dengan

masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu dalam memperjuangkan

kehidupannya, yang akhirnya bermuara pada munculnya konflik (bentrokan).

Dari uraian dalam latar belakang masalah diatas penulis tertarik untuk

melakukan penelitian skripsi dengan judul : “Tinjauan Terhadap Kewenangan

Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang

Dihubungkan Dengan Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan

Polisi Pamong Praja”

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, dapat di uraikan identifikasi masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan Penyidikan Satuan Polisi Pamong Praja

dihubungkan dengan Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2010

Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.

2. Apa kendala yang dihadapi oleh Satuan Polisi Pamong Praja

Kabupaten Subang dalam menjalankan Kewenangannya sesuai dengan

Page 9: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

9

Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jo.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi

Pamong Praja.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kewenangan Penyidikan Satuan Polisi Pamong

Praja Kabupaten Subang sesuai dengan amanat perundang-undangan

yang berlaku.

2. Untuk mengetahui kendala apa saja yang di hadapi Satuan Polisi

Pamong Praja dalam menjalankan kewenangannya sesuai aturan

perundang-undangan yang berlaku.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan,

baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan

pemikiran pada pengembangan pembangunan ilmu hukum pada

umumnya, khususnya pengkajian dan pendalaman materi hukum yang

berkaitan dengan penegakan hukum pidana di daerah yang terkait

dengan Peraturan Daerah dan kewenangan Sat Pol PP dalam

penegakannya.

2. Kegunaan Praktis

Page 10: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

10

a. Bagi Pemerintah Daerah diharapkan dapat memberikan masukan

untuk Sat Pol PP terkait kewenangan penyidikan yang dimiliki

sebagai upaya penegakan Peraturan Daerah di Kabupaten Subang.

b. Bagi masyarakat umum diharapkan menimbulkan kesadaran

hukum untuk mentaati hukum yang ada di wilayah Kabupaten

Subang.

E. Kerangka Pemikiran

Indonesia adalah negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat (3) Undang-

undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Pengklaiman sebagai negara hukum apabila di maknai secara lebih dalam

memiliki arti bahwa Indonesia menganut paham negara kesejahteraan atau negara

kemakmuran8 yang menjamin keadilan kepada warganya yang tercipta karena atas

berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan di dorong oleh keinginan

luhur bangsa untuk berkehidupan, kebangsaan yang bebas, merdeka berdasarkan

suatu ketertiban menuju kesejahteraan9.

Hukum sejatinya merupakan alat untuk menciptakan keselarasan hidup,

menciptakan tatanan hidup yang tertib, dan bertujuan menciptakan keadilan.

Kesemuanya itu di peruntukkan bagi keberlangsungan hidup umat manusia.

Seperti halnya yang di uangkapkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa hukum di buat

untuk manusia, bukan untuk hukum itu sendiri. Pemahaman Satjipto Rahardjo

8`? Krisna Harahap, Konstitusi indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2007, hlm. 19.9 Moh. Busyro Muqaddas, Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 43.

Page 11: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

11

kemudian dikenal dengan istilah Hukum Progresif oleh kalangan akademisi dan

praktisi hukum.

Progresif adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal

katanya adalah progress yang artinya maju10. Hukum Progresif berarti hukum

yang bersifat maju.

Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi

asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa

prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa

Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu

sendiri.

Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat,

melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta

melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip

bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak

ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk

harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia11.

Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti

hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah

sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar

hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin

kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.

10 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 2001, hlm. 95.

11 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhammadiyah Press University, Surakarta, 2004, hlm. 5.

Page 12: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

12

Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan

pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga

mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya

mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau

keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan

untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat12.

Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi

ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika,

tetapi pada dasarnya tejadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang di

rumuskannya dengan kalimat dari yang sederhana menjadi rumit dan dari yang

terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan

holistik dalam ilmu (hukum).

Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran visioner bahwa

sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan

bagian lainnya atau dengan keseluruhannya.

Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap kemanusiaan

sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif antara

lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan.

Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri,

melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum

progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek.13

12 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 10.

13 Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992, hlm. 35.

Page 13: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

13

Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum dan membicarakan

serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan

peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Hukum progresif bersifat

responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan selalu dikaitkan pada

tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri .

Kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum progresif

juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound. Hukum

progresif juga mengundang kritik terhadap sistem hukum yang liberal, karena

hukum Indonesia pun turut mewarisi sistem tersebut. Satu moment perubahan

yang monumental terjadi pada saat hukum pra modern menjadi modern. Disebut

demikian karena hukum modern bergeser dari tempatnya sebagai institusi pencari

keadilan menjadi institusi publik yang birokratis. Hukum yang mengikuti

kehadiran hukum modern harus menjalani suatu perombakan total untuk disusun

kembali menjadi institusi yang rasional dan birokratis. Akibatnya hanya peraturan

yang dibuat oleh legislatiflah yang sah yang disebut sebagai hukum.

Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat

untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat

kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah

pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum

selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum

adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.

Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah:

1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

Page 14: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

14

2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.

3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi

yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan

juga teori.

4. Bersifat kritis dan fungsional.

Sementara itu menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu

keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang

pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan.

Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum

menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Namun, setelah

melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan

Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa

Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek

kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya

tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas

tujuan hukum yang lain14 Sebagaimana diketahui bahwa didalam kenyataannya

sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau

antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan

kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim

menginginkan keputusan yang adil (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh

hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, 14 Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam,

diakses dari http://www.badilag.net tanggal 15 September 2015, 15.55 wib.

Page 15: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

15

maka akibanya sering akan merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan adil bagi

orang tertentu terpaksa harus dikorbankan. 

Hukum merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa hukum itu

merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-

bagian yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata lain sistem hukum

adalah suatu satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai

interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan

tersebut15. Sebagai suatu sistem, Lawrence M Friedman, membagi sistem hukum

atas sub-sub sistem yang terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi

hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture)16.

Struktur hukum merupakan institusi pelaksana (penegak) hukum atau

bagian-bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang

ada dan disiapkan dalam sistem. Substansi hukum adalah norma-norma hukum

yang berlaku, yang mengatur bagaimana seharusnya masyarakat berperilaku, atau

hasil aktual yang diterbitkan oleh suatu sistem, sedangkan Budaya hukum adalah

nilai-nilai individualisme atau masyarakat yang mendorong bekerjanya sistem

hukum. Ketiga elemen tersebut merupakan unsur sistem hukum, maka semua itu

mau tidak mau menjadi areal garapan serentak wilayah pengembangan teori

15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010. hlm 161

16 Teori Hukum Lawrence M Friedman tentang Pembagian Sistem Hukum, http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2288470-pengertian-sistem-hukum/, tanggal 2 Januari 2015, jam 17.00 wib.

Page 16: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

16

tentang hukum. Jelasnya teori hukum dapat dikembangkan baik pada wilayah

substansi hukum maupun pada wilayah struktur dan budaya hukum itu sendiri17.

Sementara itu terkait kepastian hukum,  Kepastian hukum merupakan

pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian

hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan

secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak

menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu

sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan

konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat

berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum

menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan

konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan

yang sifatnya subjektif18.

Bahwa dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan

dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata

lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan

sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian

hukum dapat diwujudkan. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang

terdapat pada pasal 28D ayat 1 Undang–Undang Dasar 1945 perubahan ketiga

17 Bernard L. Tanya, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia, Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing Yogyakarta. 2010. hlm 11.18 Apa itu kepastian hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, tanggal 20 Januari 2015, jam 11.00 wib.

Page 17: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

17

bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Tentang kepastian hukum menurut Bismar Siregar didalam KUHAP

ternyata lebih menitikberatkan kepada kepastian hukum dan perlindungan hak

terdakwa dari penegak keadilan itu sendiri. Selanjutnya bahwa hakim harus terjun

ke tengah-tengah masyarakat, yakni tiada lain agar hakim lebih peka terhadap

perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat. Singkatnya

bahwa hakim tidak boleh terasing dari masyarakat. Seandainya terjadi dan akan

terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat

dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum

dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan19.

Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh

aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang

berdaulat. Kepastian hukum harus selalu di junjung apapun akibatnya dan tidak

ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut, karena dalam paradigmanya

hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum

positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian

hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan dan

dilaksanakan dengan pasti oleh Negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap

orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.

19Bismar Siregar Sang “Pengadil” Yang Progresif, http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-yang.html?m=1, tanggal 20 Oktober 2014, jam 11.30 wib.

Page 18: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

18

Berkaitan dengan dua teori diatas, apabila dihubungkan dengan

kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai penegak hukum di daerah, maka

proses penegakan hukum di daerah harus selaras dengan asas kepastian hukum

dimana proses penegakan hukum harus sesuai dengan norma dan kaidah hukum

positif yang berlaku, akan tetapi disamping itu, penegakan hukum di daerah juga

harus memperhatikan kaidah hukum yang hidup di daerah, sesuai perkembangan

masayarakat di daerah.

Dalam menjalankan kewenangannya Satuan Polisi Pamong Praja

berpedoman pada KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010.

Sebagai acuan untuk menegakan Peraturan Daerah di Kabupaten Subang. Hal

tersebut menjadi payung hukum Sat Pol PP untuk menjalankan fungsinya di

daerah, akan tetapi pada pelaksanaannya Satpol PP uga harus mengedepankan

aspek sosiologis yang hidup di masyarakat.

F. Metode Penelitian

Di dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian

dengan menggunakan metode dan data sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analtis, yaitu

menggambarkan obyek penelitian yang berkaitan dengan

kewenangan penyidikan SatPol PP menurut KUHAP

dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun

2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja selanjutnya

Page 19: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

19

dilakukan analisis untuk memperoleh kejelasan sehubungan

dengan masalah yang diteliti.

2. Metode Pendekatan

Pada penelitian ini penulis melakukan pendekatan yuridis

normatif, artinya menguji dan mengkaji data sekunder, yaitu

menggunakan data kepustakaan berupa hukum positif yang

berhubungan dengan kewenangan penyidikan Sat Pol PP

menurut KUHAP dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.

3. Tahap Penelitian

Sehubungan dengan metode pendekatan yuridis normatif

yang di gunakan, maka penelitian ini menggunakan data

sekunder. Data primer berfungsi sebagai penunjang, untuk itu

penelitian ini dilakukan melalui tahap penelitian kepustakaan

(library research), yaitu dengan meneliti data sekunder dengan

bahan hukum primer berupa Kitab Undang-undang Hukum

Pidana dan Peraturan Pemerintah Nomo 6 Tahun 2010 Tentang

Satuan Polisi Pamong Praja, di samping itu meneliti data

sekunder bahan hukum sekunder berupa karya ilmiah dari para

sarjana.

4. Teknik pengumpulan data

Data penelitian yang ada dikumpulkan oleh penulis dengan

teknik studi kepustakaan, yaitu melakukan penelitian dan

Page 20: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

20

analisis terhadap kewenangan penyidikan Satpol PP

dihubungkan dengan KUHAP dan Peraturan Pemerintah

Nomor 6 tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.

5. Metode Analisis data

Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah

terkumpul kemudian dianalisis dengan metode analisis

normatif kalitatif.20 Normatif karena penelitian ini bertitik tolak

dari peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum positif.

Kualitatif karena merupakan analisa data yang berasal dari

informasi-informasi. Dengan demikian akan merupakan

analisa data tanpa mempergunakan rumus matematis dan

angka-angka.

G. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian skripsi ini bertempat di kantor Satuan Polisi Pamong

Praja Kabupaten Subang Jalan Dewi Sartika Nomor 5 Kabupaten Subang.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari V (lima) bab dengan uraian

sebagai berikut :

Bab satu, Pendahuluan yang menguraikan latar belakang, identifikasi

masalah, tujuan peneltian, kegunaan penelitian, kerangka penelitian dan

sistematika penulisan.

20 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 53.

Page 21: Tinjauan Terhadap Kewenangan Penyidikan Pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang Dihubungkan Dengan Undang

21

Bab dua, tinjauan pustaka yang menguraikan tentang ruang lingkup tindak

pidana, pengertian tindak pidana, tujuan hukum pidana, sanksi dalam hukum

pidana, dan kebijakan hukum pidana.

Bab tiga, tinjauan terhadap kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja di

Kabupaten Subang sebagai aparat penegakan hukum di daerah.

Bab empat, tinjauan terhadap kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja

dihubungkan dengan KUHAP jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010.

Bab lima berisi penutup yaitu kesimpulan dan saran bagi materi yang

terkandung dari skripsi ini.