TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL …
Transcript of TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL …
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK
JUAL BELI KETELA DENGAN SISTEM TEBASAN DI DESA
SUKOWIDI KECAMATAN PANEKAN KABUPATEN MAGETAN
SKRIPSI
Oleh:
IMA MATUS SHOLIKAH
NIM 210216067
Pembimbing:
KHAIRIL UMAMI, M.S.I.
NIDN 2009049101
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO
2020
ii
ABSTRAK
Sholikah, Ima Matus, 2020. Tinjauan Sosiologi Hukum Islam Terhadap Praktik
Jual Beli Ketela dengan Sistem Tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan. Skripsi. Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo.
Pembimbing Khairil Umami, M.S.I.
Kata kunci/keyword: Sosiologi, Hukum Islam, Jual Beli, Tebasan
Sosiologi hukum Islam yaitu ilmu yang membahas korelasi antara hukum
Islam dengan fenomena sosial. Korelasi antara hukum Islam dengan fenomena
sosial dapat dilihat pada orientasi masyarakat dalam menerapkan hukum Islam.
Begitu juga sebaliknya pengaruh hukum Islam terhadap perubahan masyarakat. Di
Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan terdapat praktik jual beli
ketela dengan sistem tebasan dimana praktik tersebut merugikan salah satu pihak
dikarenakan perubahan harga yang berbeda dari kesepakatan awal. Sehingga
penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Tinjauan Sosiologi Hukum
Islam Terhadap Praktik Jual Beli Ketela dengan Sistem Tebasan di Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan”.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana tinjauan
sosiologi hukum Islam terhadap tindakan petani pada praktik jual beli ketela dengan
sistem tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan? (2)
Bagaimana tinjauan sosiologi hukum Islam terhadap tindakan pemborong pada
praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan?
Adapun jenis penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian
lapangan (field research) yang menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik
pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan wawancara dan observasi.
Analisis yang digunakan menggunakan metode Miles dan Huberman yang meliputi
pengumpulan data, reduksi data, paparan data dan konklusi atau verifikasi.
Dari penelitian ini dapat disimpukan bahwa tindakan petani dan pemborong
pada praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan memiliki beberapa faktor yang sama yaitu: Pertama
faktor ekonomi, dimana petani dan pemborong sama-sama ingin mendapatkan
keuntungan dari jual beli ketela tersebut. Kedua, faktor emosional (perasaan)
dimana pemborong merasa telah membantu petani dalam memanen ketela dan
petani ingin menjaga kerukunan dengan pemborong. Ketiga, faktor kebiasaan
dimana praktik jual beli ini tetap dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan
masyarakat setempat meskipun merugikan dan tidak sesuai dengan hukum Islam.
Tindakan petani juga memiliki faktor nilai agama dimana petani menganggap
keuntungan pemborong sebagai amal. Kebiasaan masyarakat Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan pada praktik jual beli ketela dengan
sistem tebasan jika ditinjau dari ‘urf termasuk ‘urf fa>sid dikarenakan jual beli yang
dilakukan merugikan salah satu pihak dan termasuk dalam jual beli muh}a>d}arah.
ii
iii
iv
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam merupakan seperangkat aturan hukum yang
bersumber dari Alquran, Sunnah, ijma’ ulama, dan beberapa sumber
hukum lain yang sudah disepakati para ulama. Hukum Islam berfungsi
untuk mengatur perilaku manusia agar manusia mendapatkan
kemaslahatan di dalamnya.1
Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum
yang mengalir dan berakar pada budaya masyarakat. Posisi hukum
Islam di Indonesia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan sehari- hari masyarakat muslim.2
Ketika studi hukum Islam bersentuhan dengan realitas sosial,
maka bertambah pula ilmu-ilmu pendukung yang membantunya.
Sosiologi penting untuk dihadirkan dengan tujuan supaya dapat
membaca perubahan sosial masyarakat.3
M Atho’ Mudzhar menggunakan sosiologi sebagai sebuah
pendekatan dalam kajian hukum Islam. Sasaran utama dalam kajian
sosiologi hukum Islam ialah perilaku masyarakat atau interaksi sesama
manusia, baik sesama muslim, maupun antara muslim dan non muslim,
1 Fahmi Assulthoni, Perceraian Bawah Tangan dalam Perspektif Masyarakat Pamekasan,
Disertasi (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2017), 83. 2 Ibid., 86. 3 Ibid.
2
di sekitar masalah-masalah hukum Islam. Menurutnya, pendekatan
sosiologi dalam hukum Islam dapat mengambil beberapa tema:4
1. Pengaruh hukum Islam terhadap masyarakat dan perubahan
masyarakat.
2. Pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman
ajaran agama.
3. Tingkat pengamalan hukum agama masyarakat. Seperti bagaimana
perilaku masyarakat Islam mengacu pada hukum Islam.
4. Pola sosial masyarakat muslim.
5. Gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat
melemahkan atau menunjang kehidupan beragama.
Hubungan timbal balik antara hukum Islam dan
masyarakatnya dapat dilihat pada orientasi masyarakat muslim dalam
menerapkan hukum Islam. Selain itu bisa ditilik dari perubahan hukum
Islam karena perubahan masyarakatnya, serta perubahan masyarakat
muslim yang disebabkan oleh berlakunya ketentuan baru dalam hukum
Islam.5
Fenomena atau gejala sosial dalam masyarakat sangat
beragam. Untuk menganalisis hal tersebut diperlukan adanya teori.
Salah satu teori yang digunakan untuk mengkaji gejala sosial di
masyarakat yaitu teori tindakan sosial Max Weber. Teori ini berorientasi
4 M. Rasyid Ridla, “Sosiologi Hukum Islam (Analisis Terhadap Pemikiran M. Atho’
Mudzar),”Jurnal Ahkam, 2 (12, 2012), 297-298.
5 Fahmi, Perceraian Bawah Tangan, 100.
3
tujuan dan motivasi pelaku. Dengan menggunakan teori ini kita dapat
memahami perilaku setiap individu maupun kelompok bahwa masing-
masing memiliki motif dan tujuan yang berbeda terhadap sebuah
tindakan yang dilakukan. Teori ini bisa digunakan untuk memahami
tipe-tipe perilaku tindakan setiap individu maupun kelompok. Dengan
memahami perilaku individu atau kelompok, sama halnya kita telah
menghargai dan memahami alasan-alasan mereka.6 Seperti gejala sosial
yang terjadi pada praktik jual beli ijon atau muh}a>d}arah yang dilakukan
oleh masyarakat Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan. Jual beli ini dilakukan antara pembeli (pemborong) dengan
pemilik sawah (petani). Jual beli ini dilakukan dengan cara petani
menawarkan ketelanya yang masih di dalam tanah dan belum siap panen
kepada pemborong.
Jual beli muh}a>d}arah merupakan salah satu bentuk jual beli
yang dilarang dalam Islam. Hal ini dikarenakan barang tersebut masih
samar dan bisa saja rusak (busuk) sebelum diambil oleh pembelinya.7
Hal tersebut sesuai Hadits Nabi SAW:
ى عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم ن ه م م يل: وما زهوها؟ قال تحمار حتى ت زهى ق ب يع الث مار عن ق وتفار ت
ظ ل لبخاري عليه, والل“Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-
buahan sampai layak (dimakan). Seorang sahabat bertanya : Apa
6 Pip Jones, et. al. Pengantar Teori-Teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Hingga
Postmodernisme, terj. Achmad Fedyani Saifudin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2016), 117. 7 Agus Ruswandi, Al Islam III (Bandung: UNINUS, 2015), 7.
4
tanda-tanda kelayakan?”. Beliau bersabda ; memerah dan
menguning.” (Muttafaq ‘alaih, lafadznya oleh al Bukhari).8 Dalam sistem jual beli ketela tersebut, pemborong menawar
harga ketela dengan cara taksiran atau perkiraan. Kemudian terjadilah
tawar menawar antara petani dengan pemborong. Sebagai contoh
mereka sepakat dengan harga Rp. 3.500.000. Penyerahannya dilakukan
dikemudian hari. Tidak ada kesepakatan mengenai waktu pemanenan
ketela. Hal ini membuat petani tidak bisa menanam tanaman baru karena
masih menunggu pemborong memanen ketela tersebut. Jika
memanennya terlalu lama juga mengakibatkan ketela banyak yang
busuk.9
Setelah pemanenan dilakukan, pemborong menjual lagi
ketela tersebut ke pasar. Kemungkinan besar harga penjualan ketela di
pasar berbeda dengan harga saat kesepakatan antara pemborong dengan
petani. Hal tersebut dikarenakan penghitungan awal dilakukan dengan
sistem perkiraan. Penjualan di pasar bisa tinggi juga bisa rendah,
tergantung bobot dan harga pasar.
Ketika penjualan di pasar melebihi dari kesepakatan awal
maka itu menjadi keuntungan pemborong. Sebagai contoh penjualan di
pasar senilai Rp.5.000.000 maka yang diberikan kepada petani
Rp.3.500.000 sesuai kesepakatan awal. Akan tetapi, jika penjualan di
pasar kurang dari kesepakatan awal maka yang diberikan kepada petani
8 Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, terj. Abdul
Rosyad Siddiq (Jakarta:Akbar Media, 2012), 223. 9 Surati, Hasil Wawancara, Magetan, 4 April 2020.
5
adalah sesuai penjualan di pasar. Sebagai contoh penjualan di pasar
senilai Rp.2.000.000 maka pemborong memberikan Rp.2.000.000
tersebut kepada petani. Padahal kesepakatan awal yang terjadi antara
petani dan pemborong yaitu Rp.3.500.000.10
Dari jual beli tersebut tampak pihak pemborong tidak ingin
mengalami kerugian. Sementara pihak petani yang mengalami kerugian
dikarenakan perubahan harga yang berbeda dari kesepakatan awal.
Walaupun terdapat unsur merugikan salah satu pihak, tetapi jual beli
tersebut tetap dilakukan oleh masyarakat Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan.11
Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi petani dan
pemborong dalam melakukan praktik jual beli ketela dengan sistem
Tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan,
penulis akan melakukan kajian dan analisa mengenai praktik jual beli
tersebut dari sudut pandang sosiologi hukum Islam dengan judul
penelitian “Tinjauan Sosiologi Hukum Islam Terhadap Praktik Jual
Beli Ketela dengan Sistem Tebasan Di Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan”
10 Ibid. 11 Ibid.
6
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan sosiologi hukum Islam terhadap tindakan petani
pada praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa
Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan?
2. Bagaimana tinjauan sosiologi hukum Islam terhadap tindakan
pemborong pada praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di
Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan tinjauan sosiologi hukum Islam terhadap
tindakan petani pada praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan
di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan.
2. Untuk menjelaskan tinjauan sosiologi hukum Islam terhadap
tindakan pemborong pada praktik jual beli ketela dengan sistem
tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan di bidang sosiologi hukum Islam
terkait praktik jual beli di masyarakat.
b. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi kalangan akademisi
maupun praktisi
7
2. Manfaat Praktis
a. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah
kesadaran akan hukum Islam bagi masyarakat Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan dalam transaksi jual
beli ketela sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari.
b. Sebagai bahan pertimbangan masyarakat Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan dalam transaksi jual
beli ketela.
E. Telaah Pustaka
Telaah pustaka yaitu telaah kajian terhadap penelitian
terdahulu yang relevan dengan topik dan masalah penelitian. Maka
peneliti temukan beberapa kajian di antaranya:
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Siti Nurjanah, IAIN Salatiga
tahun 2015 yang berjudul “Analisis Sosiologi Hukum Islam terhadap
Jual Beli Tebasan di Desa Surojoyo Kecamatan Candimulyo Kabupaten
Magelang”, masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu padangan
sosiologi hukum Islam dan tokoh agama terkait jual beli Tebasan di
Desa Surojoyo Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang. Faktor
yang mempengaruhi masyarakat melakukan jual beli tebasan yaitu
karena faktor ekonomi dan faktor kebiasaan. Para pemuka agama di
Desa Surojoyo memperbolehkan jual beli tebasan asalkan dalam jual
beli tebasan tidak mengandung gharar, akan tetapi dalam prakteknya
8
jual tebasan di Desa Surojoyo terdapat unsur gharar. Jual beli gharar
dalam Islam itu dilarang. Mereka sudah mengetahui hukumnya jual beli
tebasan yang mereka lakukan tidak diperbolehkan, namun mereka
masih melakukannya.12
Kedua, skripsi Kartika Rafiqa Utami, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2018 yang berjudul “Tinjauan Sosiologi Hukum
Islam terhadap Jual Beli Pakaian Bekas Impor di Daerah Istimewa
Yogyakarta”, masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu praktik
jual beli pakaian bekas impor di Daerah Istimewa Yogyakarta ditinjau
dari sosiologi hukum Islam dan peran pemerintah Yogyakarta dalam
menangani maraknya praktik jual beli pakaian bekas impor di
Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa faktor
penyebab maraknya jual beli pakaian bekas impor di Yogyakarta karena
pengetahuan hukum masyarakat mengenai Undang-Undang No 7 tahun
2011 tentang perdagangan dan No 51/M-Dag/Per/7/2015 tentang
Larangan Impor Pakaian bekas sangat rendah, pelaku usaha yang tidak
mematuhi dan menaati peraturan yang dibuat pemerintah, dan lemahnya
pengawasan pemerintah Yogyakarta. Di sisi lain, pemerintah telah
melakukan kampanye dan sosialisasi sebagai upaya untuk mengurangi
minat masyarakat terhadap pakaian bekas impor. Dilihat dari hukum
Islam, praktik jual beli pakaian bekas impor terdapat hal-hal yag
12 Siti Nurjanah, “Analisis Sosiologi Hukum Islam Terhadap Jual Beli Tebasan di Desa
Surojoyo Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang,” Skripsi (Salatiga: IAIN Salatiga, 2015),
x.
9
dilarang seperti adanya unsur gharar pada jumlah pakaian bekas yag
terdapat dalam balpres, unsur cacat yang dapat ditemui pada pakaian
yang rusak, yang menyebabkan kemadharatan dimana peredaran
pakaian bekas impor dapat merusak industry garmen nasional dan
berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. Maka dari itu, jual beli
pakaian bekas impor sebaiknya dihindari oleh umat Islam.13
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Futuhatul Magfirah, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2017 yang berjudul “Tinjauan
Sosiologi Hukum Islam terhadap Sistem Pengupahan pada Mato Kopi
Yogyakarta”, masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu cara
pembayaran gaji di Mato Kopi Yogyakarta ditinjau dari sosiologi
hukum Islam. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sistem
pengupahan di Mato Kopi Yogyakarta bersifat kekeluargaan dan
bersifat lentur yakni dengan adanya kebebasan perihal pengambilan gaji
karyawan. Motif terbentukya sistem kekeluargaan adalah pemahaman
pemodal terhadap nilai-nilai agama yang mewujud pada tiga elemen:
persangkaan hamba pada Tuhannya, prinsip tolong menolong dan
prinsip silaturrahmi. Sehingga, pengaturan terkait pengupahan yang
dibuat oleh pemodal kiranya bukanlah suatu peraturan yang
bertentangan dengan hukum atau perundang-undangan dalam Islam itu
13 Kartika Rafiqa Utami, “Tinjauan Sosiologi Hukum Islam Terhadap Jual Beli Pakaian
Bekas Impor di Daerah Istimewa Yogyakarta,” Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2018), i.
10
sendiri. Tindakan pemodal juga berdampak pada individu sekelilingnya,
terlebih pada karyawan itu sendiri.14
Keempat, skripsi yang ditulis oleh Diky Faqih Maulana, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2019 yang berjudul “Tinjauan
Sosiologi Hukum Islam terhadap Jual Beli Buku Bajakan (Studi Di Kios
Buku Terban)”, masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu
praktik jual beli buku bajakan ditinjau dari sosiologi hukum Islam. Hasil
penelitian tersebut menyatakan bahwa faktor yang melatarbelakangi
praktik jual beli buku bajakan masih berlangsung karena masyarakat dan
aparat penegak hukum mengesampingkan unsur keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Kesadaran hukum yang sangat lemah dari masyarakat
akan mempersulit penegakan hukum, karena efektifitas hukum
tergantung pada kemauan dan kesadaran hukum masyarakat. Sedangkan
penegakan hukum hanya melihat secara tekstual terhadap peraturan
tanpa mempertimbangkan prinsip keadilan dan kemanusiaan secara
progresif, dimana praktek tersebut hanya akan di proses hukum setelah
mendapat aduan.15
Dari beberapa telaah yang telah penulis paparkan, meskipun
sama-sama menganalisa dari sudut pandang sosiologi hukum Islam,
tetapi objek dan lokasi berbeda dengan yang penulis teliti. Penelitian ini
akan meneliti tentang praktik jual beli ketela yang berlokasi di Desa
14 Futuhatul Magfirah, “Tinjauan Sosiologi Hukum Islam Terhadap Sistem Pengupahan
pada Mato Kopi Yogyakarta,” Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017), ii. 15 Diky Faqih Maulana, “Tinjauan Sosiologi Hukum Islam Terhadap Jual Beli Buku
Bajakan (Studi di Kios Buku Terban),” Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2019), ii.
11
Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan dengan meninjau
dari sosiologi hukum Islam. Sehingga nantinya dapat diketahui
pandangan sosiologi Hukum Islam terhadap tindakan petani dan
pemborong dalam praktik jual beli tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dilihat dari jenis data, maka penelitian ini tergolong
penelitian kualitatif. Menurut Moleong penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.16
Penelitian kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi
suatu situasi tertentu, serta lebih banyak meneliti hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.17
Pendekatan yang dipakai pada penelitian ini adalah
pendekatan empirik. Pendekatan empirik bertitik tolak dari data
primer/dasar yakni data yang diperoleh langsung dari masyarakat
sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan yang
dilakukan, baik melalui pengamatan (observasi), wawancara
16 Ismail Nurdin dan Sri Hartati, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya: Media Sahabat
Cendekia, 2019), 75. 17 Rukin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Takalar: Yayasan Ahmar Cendekia Indonesia,
2019), 6.
12
ataupun penyebaran kuesioner.18 Penelitian ini bertitik tolak dari
data praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan yang diperoleh
dari masyarakat Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan.
2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti di lapangan dalam sebuah penelitian
sangatlah penting. Peneliti dalam penelitian kualitatif sangat
berperan dalam proses pengumpulan data atau dalam kata lain
yang menjadi instrumen adalah peneliti itu sendiri.19 Dalam
penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengamat penuh, artinya
peneliti mengamati tingkah laku informan di lapangan tanpa
terlibat dalam objek penelitian. Penelitian ini dilakukan secara
terbuka antara peneliti dengan masyarakat Desa Sukowidi.
3. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, lokasi atau daerah yang dijadikan objek
penelitian yaitu Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan. Letak Desa Sukowidi berbatasan langsung dengan
Gunung Lawu sehingga mayoritas penduduknya berprofesi
sebagai petani. Dalam jual beli hasil pertanian terdapat masalah
yang perlu untuk diteliti yaitu tindakan petani dan pemborong
18 Jonaedi Efendi dan Johny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris
(Depok: Prenandamedia Group, 2016), 149. 19 Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: CV
Jejak, 2018), 75.
13
dalam praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di daerah
tersebut .
4. Data dan Sumber Data
a. Data
Data menurut Sutanta adalah sebagai bahan keterangan
tentang kejadian nyata atau fakta-fakta yang dirumuskan dalam
sekelompok lambang tertentu yang tidak acak, yang
menunjukkan jumlah, tindakan,atau hal.20Adapun data yang
diperlukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data yang
berkaitan dengan penelitian yaitu data mengenai tindakan petani
dan pemborong dalam praktik jual beli ketela dengan sistem
tebasan yang ada di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan
Kabupaten Magetan.
b. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini ada dua
kelompok, yaitu sebagai berikut:
1) Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu data yang diperoleh oleh
peneliti secara langsung dari sumbernya.21 Adapun sumber
data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari
petani (penjual) dan pemborong (pembeli).
20 Ibid., 212. 21 Bagja Waluya, Sosiologi Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat (Bandung: Setia
Purna Inves, 2007), 79.
14
2) Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu keterangan yang
diperoleh dari pihak kedua, baik berupa orang maupun
catatan, seperti buku, laporan, bulletin dan majalah yang
sifatnya dokumentasi.22 Sumber data sekunder dalam
penelitian ini yaitu buku-buku, jurnal yang berkaitan dengan
sosiologi hukum Islam.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi:
a. Wawancara
Wawancara merupakan proses komunikasi antara
peneliti dengan sumber data dalam rangka menggali data yang
bersifat word view untuk mengungkapkan makna yang
terkandung dari masalah-masalah yang diteliti.23 Dalam
penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan sumber
data yaitu para pelaku jual beli ketela yakni petani (penjual) dan
pemborong (pembeli).
22 Ibid., 79. 23 Ajat Rukajat, Pendekatan Penelitian Kualitatif (Sleman: Deepublish, 2018), 24.
15
b. Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan aktivitas
yang sistematis terhadap gejala-gejala baik bersifat fisikal
maupun mental.24 Observasi digunakan untuk mengamati secara
langsung tentang perilaku personal.25 Dalam penelitian ini,
peneliti melakukan mengamati secara langsung praktik jual beli
ketela di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan.
6. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak
awal penelitian (on going).26 Menurut Spardley analisis adalah cara
berpikir. Hal ini berkaitan dengan pengujian secara sistematis
mengenai sesuatu untuk menentukan bagian, hubungan antar bagian,
dan hubungan antar keseluruhan. Pada prinsipnya analisis data
adalah mencari pola tentang sesuatu yang diteliti.27 Tujuan analisis
data adalah mengendalikan data agar sistematis dan sesuai dengan
perumusan masalah.28
24 Ibid., 22.
25 Ibid., 23. 26 Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan (Jakarta:
Kencana, 2014), 400. 27 Ibid., 401. 28 Wahyu Wibowo, Cara Cerdas Menulis Artikel Ilmiah (Jakarta: Buku Kompas, 2011),
47.
16
Menurut Miles dan Huberman, aktifitas yang dilakukan
dalam analisis data kualitatif adalah sebagai berikut:29
a. Pengumpulan data (data collection)
Pada kegiatan ini, penulis mengumpulkan data yang
dibutuhkan melalui observasi dan wawancara.
b. Reduksi data (data reduction)
Pada kegiatan ini, penulis melakukan reduksi data
dari sejumlah data yang masih umum dan komplek untuk
dipilih mana yang pokok/relevan, difokuskan pada hal-hal
yang penting, dicari tema atau polanya yang layak untuk
dipaparkan.
c. Paparan data (data display)
Paparan data yaitu merangkai atau menyusun,
mengorganisasi data menjadi informasi baru yang dapat
diambil gambaran keseluruhannya, sebagai bahan konklusi
ataupun tindakan selanjutnya.
d. Konklusi atau verifikasi (conclution / verification)
Pada kegiatan ini, penulis berusaha mencari makna
dari data yang telah diperoleh dan dikumpulkannya. Dan dari
data yang diperolehnya peneliti mencoba mengambil
kesimpulan.
29 Hernimawati, Model Implementasi Kebijakan Penataan Reklame (Surabaya: Jakad
Publishing, 2018), 116-117.
17
7. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam pengecekan keabsahan data diperlukan teknik
pemeriksaan. Pelaksanaan pemeriksaan didasarkan atas kriteria
tertentu. Peneliti menggunakan kredibilitas. Kriteria kredibilitas
data digunakan untuk menjamin bahwa data yang dikumpulkan
peneliti mengandung nilai kebenaran.30 Untuk menjamin kesahihan
data, ada beberapa teknik pencapaian kredibilitas data. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan ketekunan pengamatan atau
observasi secara tekun. Hal tersebut berarti penulis secara mendalam
serta tekun dalam mengamati data-data yang terkait dengan praktik
jual beli ketela di Desa Sukowidi kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan. Cara ini dilakukan oleh dengan maksud menemukan
semua data-data yang sesuai dengan persoalan. Penulis melakukan
pengamatan terlebih dahulu secara tekun dalam upaya mengali data
atau informasi dari berbagai sumber.
8. Tahapan-Tahapan Penelitian
Tahapan-tahapan penelitian kualitaif adalah sebagai berikut:
a. Tahap pra lapangan
Pada tahap pra lapangan penulis menyusun rancangan
penelitian dan menyiapkan instrumen yang diperlukan dalam
penelitian.
30 Mustajab, Masa Depan Pesantren: Telaah atas Model Kepemimpinan dan Manajeman
Pesantren Salaf (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2015), 29.
18
b. Tahap pekerjaan lapangan
Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data-data yang
diperlukan berkaitan dengan fokus penelitian. Mengadakan
observasi, melakukan wawancara dengan pihak terkait dan
mencari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian.
c. Tahap analisis data
Pada tahap ini penulis menganalisis data-data yang telah
diperoleh dan menyusunnya secara sistematis agar sesuai dengan
rumusan masalah.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini akan
disusun dalam beberapa bab dan masing-masing bab dibagi menjadi
sub-sub bab sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini mengemukakan tentang pola dasar yang
memberikan gambaran umum dari penelitian ini yang
meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : KONSEP JUAL BELI DAN SOSIOLOGI HUKUM
ISLAM.
Bab ini merupakan landasan teori. Penulis akan
membahas mengenai konsep jual beli yang meliputi
19
pengertian jual beli, dasar hukum jual beli, rukun dan
syarat jual beli, macam-macam jual beli, prinsip-
prinsip jual beli, pengertian jual beli muh}a>d}arah, dasar
hukum muh}a>d}arah, pendapat para ulama tentang
muh}a>d}arah serta sosiologi hukum Islam yang meliputi
pengertian sosiologi hukum Islam, teori tindakan sosial
Max Weber yang digunakan untuk menganalisis
penelitian ini.
BAB III : PRAKTIK JUAL BELI KETELA DENGAN
SISITEM TEBASAN DI DESA SUKOWIDI
KECAMATAN PANEKAN KABUPATEN
MAGETAN
Bab ini merupakan data hasil penelitian dari penggalian
dan pengumpulan data lapangan yang meliputi:
gambaran umum, tindakan petani pada praktik jual beli
ketela dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan, dan tindakan
pemborong pada praktik jual beli ketela dengan sistem
tebasan di desa tersebut.
BAB IV : ANALISIS SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI KETELA
DENGAN SISTEM TEBASAN DI DESA
20
SUKOWIDI KECAMATAN PANEKAN
KABUPATEN MAGETAN
Bab ini berisi tentang analisa dari data lapangan
menggunakan teori sosiologi hukum Islam yang
terdapat pada bab II. Analisa tersebut adalah tinjauan
sosiologi hukum Islam terhadap tindakan petani pada
praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa
Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan dan
tinjauan sosiologi hukum Islam terhadap tindakan
pemborong pada praktik jual beli ketela dengan sistem
tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan
Kabupaten Magetan.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban
umum dari permasalahan yang ditarik dari hasil
penelitian dan saran-saran yang ditujukan bagi pihak-
pihak terkait dengan permasalahan penelitian.
21
BAB II
KONSEP JUAL BELI DAN SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
A. Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fikih disebut dengan bay’. Menurut bahasa,
bay’ adalah tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun
menurut shara’, bay’ adalah menyerahkan hak kepemilikan suatu barang
yang berharga dengan cara pertukaran yang telah mendapatkan
persetujuan shara’ atau menyerahkan hak kepemilikan suatu manfaat
yang mubah secara permanen diganti dengan suatu harga yang
berharga.1
Bay’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawannya, yaitu shira>’ (beli). Kata bay’ yang berarti jual, tetapi
sekaligus juga berarti beli, sehingga dalam adat sehari-hari, istilah bay’
diartikan jual beli.2
Segi istilah, ulama Hanafiyah, mendefinisikan bahwa jual beli
adalah saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu atau
tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui
cara tertentu yang bermanfaat. Menurut Jumhur Ulama jual beli adalah
1 Ibnu Qasim Al Ghozzi, Fathul Qarib, terj. Bahrudin Fuad (Kediri: Mobile Santri, t.th.),
20. 2 Harun, Fiqh Muamalah (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), 66.
22
saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan
kepemilikan.3
Berdasarkan tiga definisi jual beli tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dinamakan jual beli adalah saling tukar
menukar harta dengan cara ijab qabul yang berakibat terjadinya
pemindahan kepemilikan.4
2. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia
mempunya landasan yang kuat baik Alquran maupun hadits. Terdapat
beberapa ayat Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW yang berbicara
tentang jual beli, antara lain:
a. Surat al Baqarah ayat 275:
ه الب يع وحرم الر باوأحل الل “Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba”5
b. Surat al Baqarah ayat 198:
ت غوا فضلا م ن رب كم ليس عليكم جناح أن ت ب
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu”6
3 Ibid. 4 Ibid.
5 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Bandung:
Sygma Creative Media, 2014), 47.
6 Ibid.
23
c. Surat an-Nisa’ ayat 29:
نكم بٱلبطل إل أن ت لكم ب ي را عن يأي ها ٱلذين ءامنوا ل تأكلوا أمو كون ت ت راض م نكم
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”7
d. Hadits yang diriwayatkah oleh Rifa’ah ibn Rafi’:
ليه و عن رفاعة بن رافع أن النبي صلى الله ع سلم سل : أي الكرور أطي ؟ قال : عمل الرجل بيده وكل ب يع مب
“Rifa’ah bin Rafi’i berkata bahwa Nabi SAW ditanya, “Apa mata
pencaharian yang paling baik? “Nabi menjawab, “Usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati. “(Diriwayatkan
oleh Bazzar dan dinilai sahih oleh Hakim).8
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun jual beli ada empat, yaitu:9
a. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
b. Shighah (ija>b dan qabu>l)
c. Ada barang yang dibeli
d. Ada nilai tukar pengganti barang.
Adapun syarat-syarat jual beli menurut jumhur ulama yaitu:
a. Syarat-syarat orang yang berakad.
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad
jual beli harus memenuhi syarat:
7 Ibid.
8 Al-Asqalani, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, 203.
9 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, et. al. (Jakarta: Kencana, 2010), 71.
24
1) Berakal dan baligh
Yang dimaksud dengan berakal adalah warasnya akal
seseorang, dalam arti penjual dan pembeli bukanlah orang
yang gila. Bila salah satu dari keduanya termasuk orang yang
tidak sehat akalnya, maka jual beli yang terjadi dianggap
tidak sah.10
Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum
berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun anak
kecil yang telah mumayyiz, menurut ulama Hanafiyah,
apabila akad yang dilakukannya, membawa keuntungan bagi
dirinya, seperti menerima hibah, wasiat, dan sedekah maka
akadnya sah. Sebaliknya, apabila akad itu membawa
kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan hartanya
kepada orag lain, mewakafkan, atau menghibahkannya,
maka tindakan hukumnya ini tidak boleh dilaksanakan.
Apabila transaksi yang dilakukan anak kecil yang telah
mumayyiz mengadung manfaat dan bahaya sekaligus,
seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan perserikatan dagang,
maka transaksi ini hukumnya sah jika walinya mengizinkan.
Dalam kaitan ini, wali anak kecil yang telah mumayyiz ini
benar-benar mempertimbangkan kemaslahatan anak kecil
itu.
10 Ahmad Sarwat, Fiqih Jual Beli (Jakarta:Rumah Fiqih Publishing, 2018), 12.
25
Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang
melakukan akad jual beli harus baligh dan berakal. Apabila
orang yang berakad itu masih mumayyiz, maka jual belinya
tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.11 Tetapi jika
barang yang diperjualbelikan itu barang yang ringan-ringan
atau kecil-kecilan, tidak diperlukan izin dari wali.12
2) Orang yang melakukan akad adalah orang yang berbeda.
Hal tersebut berarti seseorang tidak dapat bertindak
dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus
sebagai pembeli. Jika terdapat seseorang yang menjual
sekaligus membeli barangnya sendiri, maka jual belinya
tidak sah.13
b. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ija>b qabu>l
Para ulama’ fiqh mengemukakan bahwa bahwa syarat ija>b
dan qabu>l adalah sebagai berikut:14
1) Menurut jumhur ulama’ orang yang mengucapkannya telah
baligh dan berakal, atau telah berakal menurut ulama
Hanafiyah, sesuai dengan perbedaan mereka dalam syarat-
syarat orang yang melakukan akad.
11 Ghazaly, Fiqh Muamalat, 71-72.
12 Harun, Fiqh Muamalah, 68.
13 Ghazaly, Fiqh Muamalat, 72.
14 Ibid.
26
2) Qabu>l sesuai dengan ija>b. Misalnya, penjual mengatakan:
“Saya jual buku ini dengan seharga Rp.20.000”, lalu pembeli
menjawab: “Saya beli buku ini dengan harga Rp.20.000”.
3) Ija>b dan qabu>l dilakukan dalam satu majelis. Artinya kedua
belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan
membicarakan topik yang sama. Apabila penjual
mengucapkan ija>b, lalu pembeli berdiri sebelum
mengucapkan qabu>l, atau pembeli mengerjakan aktivitas
lain yang tidak terkait dengan jual beli, kemudian ia
mengucapkan ija>b qabu>l, maka menurut kesepakatan ulama’
fiqh, jual beli ini tidak sah sekalipun mereka berpendirian
bahwa ija>b tidak harus dijawab langsung dengan qabu>l.
Dalam kaitan ini, ulama’ Hanafiyah dan malikiyah
mengatakan bahwa antara ija>b dan qabu>l, boleh saja
diantarai oleh waktu, yang diperkirakan bahwa pihak
pembeli sempat untuk berpikir. Namun, ulama’ Syafi’iyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa jarak ija>b dan qabu>l tidak
terlalu lama yang dapat menimbulkan dugaan bahwa objek
pembicaraan telah berubah.
c. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang
diperjualbelikan sebagai berikut:15
15 Ibid.
27
1) Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
Misalnya, di satu toko karena tidak mungkin memajang
barang semuannya maka sebagian diletakkan pedagang di
gudang atau masi di pabrik, tetapi secara meyakinkan barang
itu boleh dihadirkan sesuai dengan persetujuan pembeli
dengan penjual. Contoh lain , dalam jual beli salam, yaitu
jual beli barang pesanan, pembayaran di muka secara tunai,
sedang barang diserahkan di kemudian hari sesuai
kesepakatan. Jual beli salam ini, barang belum ada ketika
akad, tetapi penjual menjelaskan spesifikasi barang tersebut
dan akan diserahkan kepada pembeli pada waktu yang telah
disepakati.16
2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh
sebab itu, bangai, khamr, dan darah tidak sah menjadi objek
jual beli, karena dalam pandangan shara’ benda-benda
seperti ini tidak bermanfaat bagi muslim.
3) Milik seseorang. Barang yang sifatnya dimiliki seseorang
tidak boleh diperjualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan
di laut atau emas dalam tanah, karena ikan dan emas ini
belum dimiliki penjual.
16 Harun, Fiqh Muamalah, 68.
28
4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu
yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
d. Syarat-syarat nilai tukar.
Syarat-syarat nilai tukar menurut ulama’ fiqh yaitu sebagai
berikut:17
1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas
jumlahnya.
2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum
seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila
harga bayar itu dibayar kemudian maka waktu pembayaran
harus jelas.
3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling
mempertukarkan barang, maka barang yang dijadikan nilai
tukar bukan barang yang diharamkan oleh shara’, seperti
babi dan khamr, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai
menurut shara’.
4. Macam-Macam Jual Beli
Ulama hanafiyah membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya
menjadi tiga bentuk, yaitu:
a. Jual beli yang s}ah{i>h{
Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang s}ah{i>h{ apabila
jual beli itu memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan. Jual beli
17 Ghazaly, Fiqh Muamalat, 76-77.
29
seperti ini dikatakan sebagai jual beli yang s}ah{i>h{. Misalnya,
seseorang membeli suatu barang, seluruh rukun dan syarat jual
belinya telah terpenuhi. Barang itu juga sudah diperiksa oleh
pembeli dan tidak ada cacat, tidak ada yang rusak tidak terjadi
manipulasi harga. Jual beli seperti ini hukumnya shahih dan
mengikat kedua belah pihak.18
b. Jual beli yang ba>til
Apabila pada jual beli itu salah satu atau seluruh rukunnya
tidak terpenuhi, atau jual beli iu pada dasarnya dan sifatnya tidak
disyari’atkan, maka jual beli itu batil. Jual beli yang ba>til dan
terlarang yaitu sebagai berikut:
1) Jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal), yaitu jual
beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Bentuk jual beli
yang termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:
a) Jual beli yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh
diperjualbelikan, seperti babi, berhala, bangkai. Khamr
(minuman yang memabukkan).
b) Jual beli yang belum jelas
Sesuatu yang bersifat spekulasi atau samar-samar
haram untuk diperjualbelikan, karena dapat merugikan salah
satu pihak, baik penjual maupun pembeli. Yang dimaksud
samar-samar adalah tidak jelas, baik barangnya, harganya,
18 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 121).
30
kadarnya, pembayarannya, maupun ketidakjelasan yang
lainnya.19
c) Jual beli bersyarat
Jual beli yang ijab qabulnya dikaitkan dengan syarat-
syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli atau
ada unsur merugikan dilarang oleh agama. Contoh jual beli
bersyarat yang dilarang, misalnya ketika terjadi ijab qabul si
pembeli berkata: “baik, mobilmu akan kuberi sekian dengan
syarat anak gadismu harus menjadi milikku. Atau sebaliknya
si penjual berkata: “Ya, saya jual mobil ini kepadamu sekian
asal anak gadismu menjadi istriku.
d) Jual beli yang menimbulkan kemadharatan
Segala sesuatu yang menimbulkan kemadharatan,
kemaksiatan, bahkan kemusyrikan dilarang untuk
diperjualbelikan, seperti jual beli patung, salib, buku bacaan
porno,dan lain-lain. Memperjualbelikan barang-barang ini
dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat.
e) Jual beli yang dilarang karena dianiaya
Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan
penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak
binatang yang masih membutuhkan induknya. Menjual
19 Ghazaly, Fiqh Muamalat, 80-82.
31
binatang seperti ini, selain memisahkan diri dari induknya
juga melakukan penganiayaan terhadap binatang ini.
f) Jual beli muh}a>qalah, yaitu menjual tanaman-tanaman yang
masih di sawah atau di ladang. Hal ini dilarang oleh agama
karena jual beli ini masih samar-samar dan mengandung
tipuan.
g) Jual beli muh}a>d}arah, yaitu menjual buah-buahan yang masih
hijau (belum pantas dipanen). Seperti menjual rambutan
yang masih hijau, mangga yang masih kecil. Hal ini dilarang
agama karena barang ini masih samar, dalam artian mungkin
saja buah ini jatuh tertiup angina kencang atau layu sebelum
diambil oleh pembelinya.
h) Jual beli mula>masah, yaitu jual beli secara sentuh
menyentuh. Misalnya, seseorang menyentuh sehelai kain
dengan tangannya, maka orang yang menyentuh berarti telah
membeli kain tersebut. Hal ini dilarang agama karena
mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan
kerugian dari salah satu pihak.
i) Jual beli muna>badhah, yaitu jual beli secara lempar-
melempar. Seperti seseorang berkata: “Lemparkan kepadaku
apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa
yang ada padaku”. Setelah terjadi lempar-melempar
32
terjadilah jual beli. Hal ini dilarang agama karena
mengandung tipuan dan tidak ada ijab qabul.
j) Jual beli muza>banah, yaitu menjual buah yang basah dengan
buah yang kering. Seperti menjual padi kering dengan
bayaran padi basah sedang ukurannya dengan ditimbang
sehingga akan merugikan pemilik padi kering.20
2) Jual beli yang sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang telah
memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi ada beberapa faktor yang
menghalangi kebolehan jual beli tersebut. Bentuk jual beli yang
termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:
a) Jual beli dari orang yang masih dalam tawar menawar
Apabila ada dua orang masih tawar menawar atas
sesuatu barang, maka terlarang bagi orang lain membeli
barang itu, sebelum penawar pertama diputuskan.
b) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar,
maksudnya adalah menguasai barang sebelum sampai ke
pasar agar dapat membelinya dengan harga murah, sehingga
ia kemudian menjual di pasar dengan harga yang lebih
murah. Tindakan ini dapat merugikan pedagang lain,
terutama yang belum mengetahui harga pasar. Jual beli
seperti ini dilarang karena dapat mengganggu kegiatan pasar,
meskipun akadnya sah.
20 Ibid.
33
c) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun,
kemudian kan dijual ketika harga naik karena kelangkaan
barang tersebut. Jual beli seperti ini dilarang karena
menyiksa pihak pembeli disebabkan mereka tidak
memperoleh barang keperluannya saat harga masih standar.
d) Jual beli barang rampasan atau curian. Jika si pembeli telah
tau bahwa barang itu barang curian/rampasan, maka
keduanya telah bekerja sama dalam perbuatan dosa.21
c. Jual beli yang fa>sid
Ulama hanafiyah yang membedakan jual beli yang fa>sid
dengan jual beli yang batal. Apabila kerusakan dalam jual beli itu
terkait dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal,
seperti memperjualbelikan benda haram (khamr, babi, dan darah).
Apabila kerusakan pada jual beli menyangkut harga barang dan
boleh diperbaiki, akad jual beli itu dinamakan fa>sid. Akan tetapi,
jumhur ulama tidak membedakan antara jual beli yang fa>sid dan
ba>til. Menurut mereka jual beli terbagi menjadi dua, yaitu jual beli
yang s}ah{i>h{ dan jual beli yang ba>til. Apabila rukun dan syarat jual
beli tepenuhi, maka jual beli itu sah.22
21 Ibid.
22 Haroen, Fiqh Muamalah, 125-126.
34
5. Prinsip-Prinsip Jual Beli
Berbagai penjelasan tentang jual beli dimaksudkan agar aktivitas
jual beli dalam Islam. Secara garis besar, prinsip-prinsip jual beli yaitu:
a. Prinsip suka sama suka
Prinsip ini menunjukkan bahwa segala bentuk aktivitas jual
beli tidak boleh dilakukan dengan paksaan, penipuan, kecurangan,
intimidasi dan praktik-praktik lain yang dapat menghilangkan
kebebasan, kebenaran, dan kejujuran dalam transaksi ekonomi.
Menurut Wahbah Al Zuhayli, prinsip dasar yang telah ditetapkan
Islam mengenai jual beli adalah ‘an tara>d}in (suka sama suka).23
Sebagaimana firman Allah surah al- Nisa>’ ayat 29:
نكم بٱلبطل إل أن ت لكم ب ي را عن يأي ها ٱلذين ءامنوا ل تأكلوا أمو كون تكم اإن ٱلله كان بكم ر ت راض م نكم ول ت قت لوا أن محيما
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.24
Suka sama suka (‘an tara>d}in) merupakan prinsip dasar dalam
melaksanakan transaksi jual beli, baik penjual, pembeli, barang,
23 Idri, Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi (Jakarta: Kencana, 2015),
179.
24 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Terjemah Perkata Asbabun Nuzul
dan Tafsir Bil Hadits (Bandung: Semesta Al Qur’an, 2013), 83.
35
maupun harga. Dalam arti, penjual dan pembeli sepakat terhadap
barang dan harga yang ditransaksikan. Penjual dan pembeli harus
sehat akal dan baligh. Adapun barang yang diperjualbelikan tidak
mengandung unsur gharar, timbangannya tepat, dan wujudnya
jelas.25
b. Takaran dan timbangan yang benar.
Dalam jual beli nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan
standar benar-benar harus diutamakan. Padahal Islam telah
meletakkan penekanan penting dari faedah memberikan timbangan
dan ukuran yang benar.26 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT
dalam surah al-Mutaffifi>>n (83) ayat 1-7:
ين ويل ت وفون مل لمط وإذا كالوهم أو مٱلذين إذا ٱكتالوا على ٱلناس يرون عوثون موزنوهم يخ ي وم ي قوم معظيم لي وم مأل يظن أولك أن هم مب
ينم كت ان كل الن اس لرب العالمينم ى س ار ل ال
Artinya: Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari
yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam. Sekali-kali jangan
curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka
tersimpan dalam sijjin.27
25 Idri, Hadis Ekonomi, 179.
26 Ibid, 179-180.
27 Kementerian Agama, Al Qur’an Terjemah Perkata, 587-588.
36
c. Itikad baik
Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan
dan ukuran yang penuh, tetapi juga menunjukkan itikad baik dalam
transaksi bisnis karena hal ini dianggap sebagai hakikat bisnis.
Mengenai masalah ini terdapat perintah dalam Alqur’an untuk
membina hubungan baik dalam usaha, semua perjanjian harus
dinyatakan secara tertulis karena yang demikian itu dapat
menguatkan persaksian serta mencegah timbulnya keragu-raguan.28
Hal ini dapat dilihat pada surah al-Baqarah ayat 282:
مى فٱكت يأي ها بوه وليكت ٱلذين ءامن وا إذا تداينتم بدين إلى أجل م نكم له ف ليكت كات بٱلعدل ول يأب كات أن يكت كما علمه ٱل ب ي
مس منه شي ااحق ولي تق ٱلله ربهۥ ول ي بخ وليملل ٱلذى عليه ٱل Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya.29
28 Idri, Hadis Ekonomi, 180.
29 Kementerian Agama, Al Qur’an Terjemah Perkata, 48.
37
B. Jual Beli Muh}a>d}arah
1. Pengertian Muh}a>d}arah
Jual beli muh}a>d}arah yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas
untuk dipanen atau menjual buah yang belum jelas matangnya, seperti
menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil dan
yang lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar,
dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin kencang
atau yang lainnya, sebelum diambil oleh pembeli.30
Dalam jual beli ini, pembeli membayar lunas harga buah-buahan di
pohon yang masih belum saatnya dipanen karena belum matang (masih
hijau). Ketika panen tiba, berapapun jumlah buah yang ada di pohon
adalah milik pembeli. Mungkin pembeli mendapatkan keuntungan besar
ketika buah yang dipanen lebih banyak dari yang diperkiraan. Mungkin
pula ia menderita kerugian karena yang dipanen lebih sedikit dari yang
diperkirakan. Jadi disini terdapat unsur ketidakjelasan (gharar) dalam
hal jumlah barang yang diperjuabelikan. Demikian pula tidak ada
kejelasan waktu mengenai penyerahan.31
30 Ruswandi, Al Islam, 7.
31 Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Usman ( Islamic Economics dan Finance: Ekonomi
dan Keuangan Islam Bukan Alternatif Tetapi Solusi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012),
402.
38
2. Dasar Hukum Muh}a>d}arah
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم ن هى, ه ي ل ع ق ت م م وتفار ر ام قال تح زهوها؟وما يل:حتى ت زهى ق ر ام الث ب يع عن
ظ للبخاري والل
Artinya:“Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli
buah-buahan sampai layak (dimakan). Seorang sahabat
bertanya ; Apa tanda-tanda kelayakan? Beliau bersabda ;
memerah dan menguning.” (Muttafaq ‘alaih, lafadznya oleh al
Bukhari).32
ن هى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن المحاق لة وعن انس قال: والمزاب نة )رواه البخاري( ة والمنابذ والمحاضر والملم
Artinya:“Dari Anas r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli
dengan cara muh}aqalah, muh}a>darah (menjual biji-bijian atau
buah-buahan sebelum tampak kelayakannya), mula>masah
(menjual suatu barang dengan barang lain tanpa melihatnya
terlebih dahulu melainkan langsung digunakan), muna>badhah
(menjual barang dengan saling melempar) dan
muza>banah”(H.R Bukhari).33 3. Pendapat Para Ulama tentang Muh}a>d}arah
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil
pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk
muh}a>d}arah yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Para ulama tidak mengartikan larangan jual beli muh}a>d}arah tersebut
kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya.
32 Al-Asqalani, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram , 223.
33 Ibid.
39
Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah
menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.34
Jumhur (Ma>likiyyah, Sha>fi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah
tersebut belum layak dipetik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik.
Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya
adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekawatiran seperti ini tidak
terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau)
secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.35
Menjual buah yang belum tampak bagusnya (matang). Dalam hal ini
ada tiga kondisi sebagaimana berikut:
a. Membeli buah yang masih berada dipohon dengan syarat
dibiarkan sampai waktu panen. Jual beli demikian tidak sah
karena Rasulullah Saw melarangnya.
b. Seseorang menjual buah-buahan yang masih berada dipohon
dengan syarat langsung dipetik seketika. Jual beli ini sah
menurut ijma’ (kesepakatan) ulama karena larangan itu
dikhawatirkan terjadi kerusakan pada buah dan terkena penyakit
sebelum dipanen. Adapun jika langsung dipanen maka akan
aman dari bencana tersebut sehingga hukumnya sah.
c. Seseorang menjual buah-buahan yang masih berada dipohon
tanpa syarat memetik seketika atau dibiarkan sampai waktu
34 Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV. As-Sifa, 1990), 52.
35 Ibid.
40
panen. Jual beli demikian ini tidak sah menurut Ima>m Ma<lik,
Ima>m Sha>fi’i> dan Ima>m Ahmad. Sementara itu Abu< Hani>fah
memperbolehkannya karena memutlakkan transaksi tanpa
syarat. Ini berarti mengharuskan memetik seketika sebagaimana
jika mensyaratkan demikian itu dan pembeli harus
memetiknya.36
C. Sosiologi Hukum
1. Pengertian Sosiologi Hukum
Secara etimologi sosiologi berasal dari dua kata yakni socius (Latin)
dan logos (Yunani). Socius memiliki arti kawan, berkawan, ataupun
bermasyarakat, sedangkan logos memiliki arti ilmu atau bisa juga berarti
berbicara tentang sesuatu. Sedangkan menurut terminologi, sosiologi
diartikan sebuah ilmu yang membahas masyarakat sebagai objek kajian.
Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia yang
hidup bersama atau ilmu tentang tata cara manusia berinteraksi dengan
sesamanya sehingga tercipta hubungan timbal balik dan pembagian tugas
serta fungsinya masing-masing.37
Menurut Soerjono Soekanto sosiologi adalah ilmu tentang
masyarakat. Masyarakat sebagai objek sosiologi bersifat empiris,
realistik, dan tidak bersandae pada kebenaran spekulatif. Dalam
sosiologi, setiap kajian yang diperoleh dalam masyarakat secara
36 Henri Prasetiawan, “Jual Beli Pete Muda di Desa Selur Kecamatan Ngrayun Kabupaten
Ponorogo,” Skripsi (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2020), 26-27.
37 Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),9.
41
observatif akan menghasilkan teori yang dapat dijadikan dalil atau
pijakan bagi peneliti berikutnya.38
Anthony Giddens mengatakan bahwa sosiologi merupakan disiplin
ilmu yang telah mapan dan kuat yang bersifat normatif karena sosiologi
tidak menggali apa yang seharusnya terjadi, melainkan apa yang sedang
terjadi yang dapat disaksikan oleh semua orang sebagai ilmu
pengetahuan murni (pure science) dan bukan merupakan ilmu
pengetahuan terapan (applied science).39
Gejala sosial yang terjadi merupakan objek penting sosiologi.
Manusia sebagai pelaku sosial tidak dinilai oleh sosiologi secara
normatif, melainkan dipotret dan dibaca secara sistematis-objektif
sehingga hubungan dalam berbagai gejala sosial yang muncul akan
dengan mudah ditemukan indikator-indikatornya, yang secara
fenomenologis salah satu pihak menentukan, mempengaruhi, atau
memberi dampak pada pihak lain. Hal ini karena secara realistis, gejala
sosial dapat dikatakan sebagai penyebab munculnya realitas itu sendiri,
sedangkan dalam perspektif sosiologis, tidak ada gejala sosial tanpa
kehadiran realitasnya. Pentingnya sosiologi adalah karena realitasnya
yang sangat penting. Tanpa menggalinya secara mendalam, kehidupan
sosial dengan berbagai nuansatidak akan menjadi kenyataan ilmiah
dalam kehidupan manusia, baik individu maupun sosial.40
38 Ibid.
39 Ibid., 10.
40 Ibid., 10-11.
42
Hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan idup
suatu masyarakat yang bersifat mengendalikan, mencegah, mengikat dan
memaksa. Hukum diartikan pula sebagai ketentuan suatu perbuatan yang
terlarang berikut berbagai akibat (sanksi) hukum di dalamnya.41
Sosiologi hukum didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala
sosial lainnya. Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum (sociology
of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat
dalam konteks sosialnya. Adapun menurut R. Otje Salman sosiologi
hukum adalah suatu cabang kajian sosiologi yang memusatkan
perhatiannya pada ihwal hukum sebagaimana terwujud sebagai bagian
dari pengalaman kehidupan masyarakat sehari-hari.42
Secara umum, sosiologi hukum berusaha memandang sistem hukum
dari sudut pandang ilmu sosial. Sosiologi hukum menilai bahwa hukum
hanya salah satu dari banyak sistem sosial yang memberi arti dan
pengaruh terhadap hukum. Meskipun di sisi lain justru sistem-sistem
sosial lain yang ada di dalam masyarakat turut memberi arti terhadap
hukum.43
Sosiologi hukum mempelajari hubungan timbal balik antara hukum
dan gejala sosial. Hukum dapat mempengaruhi tingkah laku sosial dan
41 Ibid., 12.
42 Amran Suadi, Sosiologi Hukum (Jakarta: Kencana, 2018), 3.
43 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap
Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2012), 10.
43
sebaliknya tingkah laku sosial mempengaruhi pembentukan hukum.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa dalam kajian sosiologi hukum
ada unsur perubah antara masyarakat dan hukum itu sendiri.44
2. Teori Tindakan Sosial Max Weber
Max Weber dilahirkan pada 21 April 1864 di Erfurt, Thuringia,
Jerman dan meninggal di Munchen pada 14 Juni 1920. Ia merupakan
anak tertua dari delapan orang bersaudara. Max Weber menempuh
berbagai pendidikan, antara lain ekonomi, sejarah, hukum, filosofi, dan
teologi. Ia diangkat menjadi guru besar ekonomi di Freiburg pada tahun
1894 dan tahun 1896 di Heidelburg. Pokok persoalan dari sosiologi Max
Weber adalah tindakan sosial.45
Menurut Weber, tindakan sosial (social action) merupakan suatu
tindakan individu yang memiliki arti atau makna subjektif bagi dirinya
dan dikaitkan dengan orang lain. Sebaliknya, sebuah tindakan individu
yang diarahkan ke benda mati dan tanpa ada kaitannya dengan orang lain,
bukan merupakan tindakan sosial. Misalnya, tindakan orang memukul
pintu, bukan merupakan tindakan sosial. Akan tetapi, tindakan tersebut
dapat menjadi tindakan sosial apabila ternyata dibelakang pintu tersebut
berdiri seseorang, dan orang tersebut bereaksi marah karena kesakitan
terkena pintu yang terdorong akibat pukulan.46 Bagi Max Weber,
manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk
44 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: Bhratara Karya, 1997), 17.
45 Damsar, Pengantar Teori Sosiologi (Jakarta: Kencana, 2015), 115-116.
46 Janu Murdyatmoko, Sosiologi: Memahami dan Mengkaji Masyarakat (Bandung:
Grafindo Media Pratama, 2007), 64.
44
melakukan sesuatu itu untuk mencapai apa yang mereka kehendaki.
Setelah memilih sasaran, mereka memperhitungkan keadaan, kemudian
memilih tindakan.47
Ada 5 ciri pokok tindakan sosial menurut Max Weber:48
a. Jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna
subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata.
b. Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya.
c. Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu
situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk
persetujuan secara diam-diam dari pihak manapun.
d. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa
individu.
e. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada
orang lain itu.
Teori tindakan sosial berorientasi tujuan dan motivasi pelaku,
tidaklah berarti tertarik pada kelompok kecil, dalam hal interaksi spesifik
antar individu belaka, tetapi juga memperhatikan lintasan besar sejarah
dan perubahan sosial dan yakin bahwa cara terbaik untuk memahami
berbagai masyarakat adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal tindakan
yang menjadi ciri khasnya.49
47 Jones, Pengantar Teori- Teori,, 117.
48 LB Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Kencana, t.th.), 83.
49 Jones, Pengantar Teori-Teori, 118.
45
Weber menyatakan bahwa tindakan sosial tidak selalu memiliki
dimensi rasional tetapi terdapat berbagai tindakan nonrasional yang
dilakukan oleh orang termasuk kaitannya dengan berbagai aspek dari
kehidupan, seperti politik, sosial dan ekonomi. Ia secara khusus
mengklasifikasikan tindakan sosial yang memiliki arti-arti subjektif
tersebut ke dalam empat tipe untuk menjelaskan makna tindakan yang
dibedakan dalam konteks motif para pelakunya:50
1) Tindakan rasional instrumental (zwekrationalitat/instrumentaly
rational action), yaitu suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan
pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam kaitannya dengan tujuan
suatu tindakan dan alat yang dipakai untuk meraih tujuan yang ada.
Manusia dianggap memiliki berbagai tujuan yang mungkin
diinginkannya, dan atas dasar suatu kriteria ia akan menentukan satu
pilihan. Ia lalu menilai dan memilih alat yang mungkin dapat
digunakannya untuk mencapai tujuan tersebut dengan
mempertimbangkan alternatif alat dan yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang mungkin dicapai dengan alat
tersebut.51 Misalnya, seseorang mempunyai suatu pekerjaan. Ia
memilih pekerjaan tersebut atas dasar pendidikan, kesempatan,
keterampilan, latar belakang, dan kondisi keluarga.
50 Damsar, Pengantar Sosiologi Perdesaan (Jakarta: Kencana, 2016), 12-14.
51 Murdyatmoko, Sosiologi, 65.
46
2) Tindakan rasional nilai (wertrationalitat/ value rational action),
yaitu tindakan dimana tujuan telah ada dalam hubungannya dengan
nilai absolut dan nilai akhir bagi individu, yang dipertimbangkan
secara sadar adalah alat mencapai tujuan. Misalnya, seseorang
membutuhkan pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan ingin
diakukan sebab ia memiliki nilai dan norma yang menjadi patokan.
Oleh karena itu ia hanya memilih pekerjaan yang tidak melanggar
agama, undang-undang, dan norma masyarakat setempat.
3) Tindakan afektif (affectual action), yaitu tindakan yang didominasi
perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang
sadar. Tindakan ini seringkali dilakukan tanpa perencanaan matang
dan tanpa kesadaran penuh.52 Misalnya tindakan yang dilakukan
atas dasar marah, takut, gembira, benci. Tindakan ini merupakan tipe
rasional yang sangat bermuara dalam hubungan emosi atau perasaan
yang sangat mendalam, sehingga ada hubungan khusus yang tidak
dapat diterangkan di luar lingkaran tersebut. Kondisi ini ditentukan
oleh kondisi emosi aktor.
4) Tindakan tradisional (traditional action), yaitu kebiasaan-kebiasaan
yang mendarah daging (mengakar secara turun temurun). Tindakan
tipe ini merupakan tindakan yang berdasarkan kebiasaan-kebiasaan
pada masa lalu. Seseorang melakukan tindakan hanya karena
kebiasaan tanpa menyadari alasannya atau tanpa membuat
52 Ibid.
47
perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan
digunakan. Jika orang tersebut ditanya mengapa ia melakukan
tindakan demikian, jawabannya mungkin “ini sudah kebiasaan
kami”.53
Pip Jones dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Teori-Teori
Sosial dari Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme”, telah
menguraikan keempat tipe tindakan tersebut menjadi bentuk yang lebih
operasional ketika digunakan untuk memahami para pelakunya, yaitu:
a) Tindakan rasionalitas instrumental, “Tindakan ini paling efisien
untuk mencapai tujuan ini, dan inilah cara terbaik untuk
mencapainya”.
b) Tindakan rasionalitas nilai, “Yang saya tahu hanya melakukan ini”.
c) Tindakan afektif, “Apa boleh buat saya lakukan”.
d) Tindakan tradisional, “Saya melakukan ini karena saya selalu
melakukannya”.54
Jadi dalam satu tindakan yang dilakukan oleh setiap individu
maupun kelompok terdapat orientasi atau motif dan tujuan yang berbeda-
beda. Oleh karena itu, dengan melakukan pemetaan teori tindakan sosial
menjadi empat tipe tindakan ini, kita bisa memahami motif dan tujuan
dari masing-masing pelaku yang melakukan tradisi tersebut.55
53 Ibid.
54 Khusniati Rofiah dan Moh. Munir, “Jihad Harta dan Kesejahteraan Ekonomi pada
Keluarga Jamaah Tabligh: Perspektif Teori Tindakan Sosial Max Weber,” Justitia Islamica, 1 (6,
2019), 199.
55 Ibid.
48
D. Sosiologi Hukum Islam
1. Pengertian Sosiologi Hukum Islam
Sosiologi hukum bukanlah sesuatu hal yang baru dalam sejarah
perkembangan dan pembentukan hukum Islam, karena pada dasarnya
hukum Islam terbentuk oleh faktor-faktor tertentu yang ada dalam
masyarakatnya. Akan tetapi istilah sosiologi merupakan nomenklatur
baru dalam hukum Islam, sehingga tidaklah aneh jika hukum Islam
ditinjau dari sosiologisnya.56
Sosiologi hukum Islam (sociology of Islamic law) adalah cabang
ilmu yang mempelajari hukum Islam dalam konteks sosial, cabang ilmu
yang secara analitis dan empiris mempelajari pengaruh timbal balik
antara hukum Islam dan gejala-gejala sosial lainnya.57
Sudirman Tebba menyatakan bahwa sosiologi hukum Islam adalah
metodologi yang secara teoretis analitis dan empiris menyoroti pengaruh
gejala sosial terhadap hukum Islam. Tinjauan hukum Islam dalam
perspektif sosiologis dapat dilihat dari pengaruh hukum Islam terhadap
perubahan masyarakat muslim. Demikian juga sebaliknya pengaruh
masyarakat muslim terhadap perkembangan hukum Islam. Ia
menerapkan konsep sosiologi hukum ke dalam kajian hukum Islam.
Dengan demikian pembicaraan mengenai sosiologi hukum Islam
56 Ibid.
57 Taufan, Sosiologi Hukum Islam (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 11.
49
merupakan suatu metode melihat aspek hukum Islam dari sisi perilaku
masyarakatnya.58
2. ‘Urf
a. Pengertian ‘Urf
‘Urf secara etimologi berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu. Sering
diartikan dengan al ma’ru >f dengan arti sesuatu yang dikenal. Kata
‘urf juga terdapat dalam Alquran dengan arti “ma’ru >f” yang artinya
kebajikan (berbuat baik).59
Ulama us}u>l fiqih membedakan antara adat istiadat dengan
‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk
menetapkan hukum shara’.‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal
oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Adat adalah segala apa yang
telah dikenal manusia, sehingga hal itu menjadi suatu kebiasaan
yang berlaku di kehidupan mereka baik berupa perkataan atau
perbuatan.60
Sebagian ulama us}u>l fiqih, ‘urf disebut dengan adat (adat
kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian is}tila>hi tidak ada perbedaan
antara ‘urf dengan adat. Contohnya adalah dalam jual beli salam
(pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual
58 Fahmi, Perceraian Bawah Tangan, 99.
59 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Usul Fikih, (Jakarta: Amzah,
2009) 333.
60 Ibid., 334.
50
beli adalah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah
menerima uang penjualan barangnya. Sedangkan pada jual beli
salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat
akad jual beli. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam
masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam
itu diperbolehkan.61
Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata adat
dan ‘urf tersebut, kedua kata tersebut mutaradif (sinonim).
Seandainya kedua kata ini dirangkai dalam suatu kalimat, seperti
“hukum itu didasarkan kepada adat dan ‘urf” tidaklah berarti kata
adat dan ‘urf berbeda maksudnya meskipun digunakan kata
sambung “dan” yang bisa dipakai sebagai kata yang membedakan
antara dua kata. Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama,
maka dalam contoh tersebut, kata ‘urf adalah sebagai penguat
terhadap kata adat.62
Perbedaan antara ‘urf dan adat dapat dilihat dari segi
kandungan artinya, yaitu adat hanya memandang dari segi berulang
kalinya suatu perbuatan dilakukan dan tidak meliputi penilaian
mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut. Jadi kata adat
berkonotasi netral, sehingga ada adat yang baik dan ada adat yang
buruk. Sementara itu kata ‘urf digunakan dengan memandang pada
61 Ibid., 334-335.
62 Zulbaidah, Ushul Fiqh 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2016), 147.
51
kualitas perbuatan yang dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan
diterima oleh orang banyak.63
b. Macam-Macam ‘Urf
Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu dapat dilihat
dari beberapa segi berikut:
1) Dari segi materi,‘urf dibagi menjadi dua, yaitu:
a) ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku
dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.
Misalnya kata walad secara etomologi artinya
“anak” yang digunakan utuk laki-laki atau
perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk
perempuan karena tidak ditemukannya kata
ini khusus untuk perempuan (mu’annath).
b) ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam
perbuatan. Misalnya kebiasaan jual beli
barang yang enteng (murah dan kurang begitu
bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli
cukup hanya menunjukkan barang serta serah
terima barang dan uang tanpa ucapan (akad).
63 Zulbaidah, Ushul Fiqh, 147-148.
52
2) Dari segi ruang lingkup penggunaanya,‘urf dibagi
menjadi dua yaitu:
a) ‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah
berlaku dimana-mana, hampir di seluruh
pejuru dunia, tanpa memandang negara,
bangsa dan agama. Misalnya,
menganggukkan kepala sebagai tanda
menyetujui dan menggelengkan kepala tanda
penolakan.
b) ‘Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan
sekelompok orang di tempat tertentu atau
pada waktu tertentu, tidak berlaku di
sembarang tempat dan di sembarang waktu.
Misalnya, bagi masyarakat tertentu
penggunaan kata “budak” dianggap
menghina, karena kata itu hanya terpakai
untuk hamba sahaya. Tetapi bagi masyarakat
lainnya kata “budak” bisa digunakan untuk
anak-anak.
3) Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘urf dibagi
menjadi dua yaitu:
a) ‘Urf s}ah}i>h} yaitu adat yang berulang-ulang
dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak
53
bertentangan dengan agama, sopan santun,
dan budaya yang luhur. Misalnya,
mengadakan hala>l bihala>l saat hari raya.
Telah disepakati bahwa ‘urf s}ah}i>h
harus dipelihara dalam pembentukan hukum
dan pengadilan. Maka seorang mujtahid
diharuskan untuk memeliharanya ketika ia
menetapkan hukum. Begitu juga seorang
hakim harus memeliharanya ketika sedang
mengadili. Sesuatu yang telah saling dikenal
manusia meskipun tidak menjadi adat
kebiasaan, tetapi telah disepakati dan
dianggap mendatangkan kemaslahatan bagi
manusia serta selama hal itu tidak
bertentangan dengan shara’ harus
dipelihara.64
b) ‘Urf fa>sid yaitu adat yang berlaku di suatu
tempat meskipun merata pelaksanaannya,
namun bertetangan dengan agama, undang-
undang Negara dan sopan santun. Misalnya,
64 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 129.
54
membunuh anak perempuan yang baru
lahir.65
Adapun ‘urf fa>sid tidak diharuskan
untuk memeliharanya, karena memeliharanya
itu berarti menentang dalil shara’ atau
membatalkan dalil shara’. Apabila manusia
saling mengerti akad-akad yang rusak, seperti
akad riba atau akad gharar, maka bagi ‘urf ini
tidak mempunyai pengaruh dalam
memperbolehkannya.66
c. Syarat-Syarat ‘Urf
Mayoritas ulama’ membedakan ‘urf dan adat. Akan tetapi
mereka tetap bersepakat untuk menyatakan bahwa adat atau ‘urf bisa
diterima sebagai salah satu patokan hukum jika memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
1) Tidak bertentangan dengan shara’.
2) Tidak menyebabkan kemafsadahan dan menghilangkan
kemaslahahan.
3) Tidak berlaku umum di kalangan kaum muslim.
4) Tidak berlaku dalam ibadah mahdah.
65 Zulbaidah, Ushul Fiqh, 149-151.
66 Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, 130.
55
5) ‘Urf tersebut sudah memasyarakat saat akan ditetapkan sebagai
salah satu patokan hukumnya.
6) Tidak bertentangan dengan sesuatu perkara yang telah
diungkapkan dengan jelas.67
d. Keh}ujjahan ‘Urf
Menanggapi masalah keh}ujjahan ‘urf para ahli hukum
berbeda pendapat, yaitu:
1) Kelompok H}anafiyyah dan Ma>likiyyah berpendapat bahwa teori
‘urf dapat dijadikan sebagai h}ujjah untuk menetapkan hukum.
2) Kelompok Sha>fi’iyyah dan H}anabillah berpendapat bahwa ‘urf
tidak bisa dijadikan sebagai h}ujjah untuk menetapkan hukum.
Adapun untuk mengetahui kedudukan ‘urf sebagai salah satu
patokan hukum, para ahli beragam dalam memeganginya
sebagai dalil hukum, yaitu:
a) Ima>m H>>>>>}ani>fah: Alquran, sunnah, ijma>’, qiya>s, istih}san, dan
‘urf.
b) Ima>m Ma>lik: Alquran, sunnah, ijma>’, qiya>s, istih}san,
istis}h}>ab, mas}lah}ah} mursalah, sad al dhari >’ah, dan ‘urf.
c) Ma>likiyyah, membagi adat atau ‘urf mejadi tiga, yaitu:
1) Yang dapat ditetapkan sebagai hukum Islam lantaran
nas}s} menunjukkan hal tersebut.
67 Muhammad Ma’sum Zein, Ushul Fiqh, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 129.
56
2) Yang mengamalkannya berarti mengamalkan yang
dilarang atau mengabaikan shara’.
3) Yang tidak dilarang dan tidak diterima lantaran tidak ada
larangan.
4) Ima>m Sha>fi’i > tidak menggunakan ‘urf sebagai dalil,
karena beliau berpegang teguh pada Alquran, sunnah,
ijma>’ dan ijtiha>d yang hanya dibatasi dengan qiyas saja.
Karena itu keputusan yang telah diambil oleh Ima>m
Shafi’i dalam wujud qaul jadi>d, merupakan suatu
penyeimbang terhadap penetapan hukumnya di Baghdad
dalam wujud qaul qadi>m.68
68 Ibid., 130-131.
57
BAB III
PRAKTIK JUAL BELI KETELA DENGAN SISTEM TEBASAN DI DESA
SUKOWIDI KECAMATAN PANEKAN KABUPATEN MAGETAN
A. Gambaran Umum Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan
1. Keadaan Geografis
Desa Sukowidi dibabat oleh sepasang suami-istri yang bernama
Kyai Ageng Sukowati dan Nyi Mas Widiretno sekitar tahun 1819 Masehi.
Mereka merupakan pendatang baru dari Kerajaan Mataram Ngayogyakarta,
Jawa Tengah. Nama “Sukowidi” merupakan gabungan dua nama yaitu Kyai
Ageng Sukowati dan Nyi Mas Widiretno. Kata “Sukowidi” mengandung
arti tersendiri yang berarti “SUKO” artinya senang dan “WIDI” artinya
Pangeran atau Tuhan Yang Maha Esa, yang mengandung arti bahwa rakyat
daerah tersebut selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.1
Desa Sukowidi terletak di Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan
memiliki luas administrasi 506,67 Ha, terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun
Sukowidi, Dusun Sempu dan Dusun Nerang yang memiliki 3 RW (Rukun
Warga) dan 19 RT (Rukun Tetangga). Desa ini merupakan salah satu desa
yang memiliki potensi disektor pertanian yang cukup baik, ini dilihat dari
kondisi tanah yang subur ditambah dengan adanya sumber mata air yang
1 Dokumen Profil Desa Sukowidi, tahun 2020.
58
sangat besar. Desa Sukowidi merupakan salah satu pemasok kebutuhan
sayur mayur di Kabupaten Magetan.
Ditinjau secara klimatologis Desa Sukowidi merupakan daerah
dengan iklim tropis yang memiliki tingkat curah hujan yang tinggi. Untuk
lebih memahami kondisi Desa Sukowidi berikut adalah data mengenai
kondisi fisik Desa Sukowidi:2
a. Batas Wilayah
1) Sebelah Utara : Desa Bedagung
2) Sebelah Selatan : Desa Tapak
3) Sebelah Timur : Desa Manjung
4) Sebelah Barat : Lereng Lawu
b. Luas Desa, terdiri dari :
1) Tegal/Ladang : 68,620 Ha
2) Pemukiman : 45,380 Ha
3) Sawah irigasi : 25,400 Ha
4) Perkebunan Rakyat : 170 Ha
5) Hutan Rakyat : 125 Ha
6) Makam : 0,4000 Ha
7) Tanah Bengkok : 5,685 Ha
c. Penggunaan Tanah Untuk Fasilitas Umum:
1) Lapangan : 0,200 Ha
2) Perkantoran : 0,1000 Ha
d. Topografi
1) Dataran : 87,380 Ha
2) Perbukitan/Pegunungan : 98,890 Ha
e. Orbitasi
1) Jarak ke kecamatan: 4 KM
2 Ibid.
59
2) Jarak ke kabupaten: 12 KM
2. Keadaan Penduduk
Untuk melihat keadaan penduduk Desa Sukowidi dapat kita lihat
tabel sebagai berikut :3
Tabel 3.I
Jumlah Penduduk Berdasar Jenis Kelamin
No Uraian Keterangan
1 Laki-laki 1.167 Orang
2 Perempuan 1.248 Orang
3 KK 536 KK
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Berdasar Usia
No Uraian Orang
1 0-12 Bulan 74
2 1 Tahun 64
3 2 Tahun 60
4 3 Tahun 42
5 4 Tahun 39
6 5 Tahun 35
7 6 Tahun 45
8 7 Tahun 41
9 8 Tahun 42
10 9 Tahun 37
11 10 Tahun 44
3 Ibid.
60
12 11 Tahun 36
13 12 Tahun 32
14 13 Tahun 39
15 14 Tahun 37
16 15 Tahun 42
17 16 Tahun 34
18 17 Tahun 40
19 18 Tahun 42
20 19 Tahun 40
21 20 Tahun 37
22 21 Tahun 38
23 22 Tahun 40
24 23 Tahun 47
25 24 Tahun 41
26 25 Tahun ke atas 1.239
Jumlah 2.415 Orang
Tabel 3.3
Jumlah Penduduk Berdasar Mata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah Orang
1 Petani 605
2 Buruh Tani 234
3 Buruh Swasta 76
4 Pegawai Negeri 10
5 Pengrajin 95
6 Pedagang 78
61
7 Peternak 168
8 Montir 4
9 Penjahit 20
10 Tukang 104
3. Keadaan Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Sukowidi menurut data
terakhir tahun 2020 adalah sebagai berikut:4
Tabel 3.4
Tingkat Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Orang
1 Tidak Tamat SD 416
2 TK 23
3 SD / Sederajat 1.157
4 SLTP / Sederajat 547
5 SLTA / Sederajat 126
6 D-1 -
7 D-2 5
8 D-3 6
9 S-1 15
4 Ibid.
62
4. Keadaan Keagamaan
Berdasarkan data Agama, penduduk Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan seluruhnya memeluk agama Islam. Hal
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:5
Tabel 3.5
Jumlah Penduduk Berdasar Agama
No Uraian Keterangan
1 Islam 2.415 Orang
2 Kristen 0 Orang
Adapun jumlah sarana peribadatan di Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan yaitu:
a. Masjid : 4
b. Musholla : 26
5. Keadaan Sosial Ekonomi
Penduduk Desa Sukowidi memiliki beberapa organisasi sosial dan
ekonomi diantaranya:
a. Organisasi gotong royong 19 lembaga.
b. Organisasi pemuda 1 Lembaga.
c. Organisasi HIPPA (Himpunan Petani Pemakai Air) dan Kelompok
Tani sebanyak 6 Lembaga.
d. UPK (Unit Pengelola Keuangan) 1 unit dengan 254 anggota.
5 Ibid.
63
e. Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) 1 unit dengan 145 anggota.
f. Kelompok Simpan Pinjam / Gotong Royong sebanyak 59 kelompok.
Dari segi ekonomi, penduduk Desa Sukowidi memiliki beberapa
mata pencaharian diantaranya petani, peternak, tukang, pedagang dan lain-
lain. Namun potensi yang paling besar adalah di sektor pertanian. Hal
tersebut dilihat dari kondisi tanah yang subur dan potensi sumber mata air
yang besar. Desa Sukowidi merupakan salah satu pemasok kebutuhan sayur
mayur di Kabupaten Magetan. Hasil dari lahan pertanian diantaranya padi,
jagung, ketela, sayur-sayuran dan lain-lain. Sarana yang digunakan petani di
Desa Sukowidi masih menggunakan peralatan tradisional. Petani sebagian
besar belum memiliki pengetahuan tentang sistem pertanian modern untuk
mendapatkan hasil yang efektif dan efisien. Mengenai keadaan ekonomi,
untuk lebih jelasnya berikut paparan data penduduk berdasarkan mata
pencaharian:6
Tabel 3.6
Jumlah Penduduk Berdasar Mata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah Orang
1 Petani 605
2 Buruh Tani 234
3 Buruh Swasta 76
4 Pegawai Negeri 10
5 Pengrajin 95
6 Ibid.
64
6 Pedagang 78
7 Peternak 168
8 Montir 4
9 Penjahit 20
10 Tukang 104
B. Tindakan Petani pada Praktik Jual Beli Ketela dengan Sistem Tebasan
di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan
Praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan dilakukan dengan cara petani
menawarkan ketela yang masih di dalam tanah dan belum siap panen kepada
pemborong. Pemborong menawar harga ketela dengan cara taksiran sampai
adanya kesepakatan dengan petani. Tidak ada kesepakatan mengenai waktu
pemanena ketela. Penyerahan hasil panen tersebut dilakukan setelah ketela
di jual ke pasar oleh pemborong.
Ketika penjualan di pasar melebihi dari kesepakatan awal maka itu
menjadi keuntungan pemborong. Sebaliknya, jika penjualan di pasar kurang
dari kesepakatan awal maka yang diberikan kepada petani adalah sesuai
penjualan di pasar. Dari praktik jual beli tersebut tampak pihak pemborong
siap untung tetapi tidak siap rugi sementara pihak petani siap rugi tetapi
untung belum pasti. Hal tersebut dikarenakan perubahan harga yang
berbeda saat terjadi kesepakatan dengan pemborong. Akan tetapi pihak
petani merasa sudah mempercayakan sepenuhnya ketela tersebut kepada
65
pemborong karena petani tidak perlu repot dalam memanen ketela meskipun
terpaksa dan merugikan.
Seperti pengalaman Bapak Sugito saat menebas ketela kepada
pemborong:
Saya melakukan kesepakatan harga kepada pemborong yang
menawarkan harga tertinggi. Setelah sepakat kemudian saya
mempercayakan waktu pemanenan dan penjualan di pasar kepada
pemborong tersebut, karena saya menganggap bahwa pemborong
adalah orang yang berpengalaman. Waktu itu saya pernah
mengalami kerugian, saya ditawari dengan harga Rp. 3.500.000
saya menyepakatinya dan ternyata harga di pasar jauh lebih murah,
yaitu Rp 2.800.000 jadi saya mau tidak mau menerimanya.
Sejujurnya saya terpaksa tapi mau gimana lagi karena hal tersebut
sudah menjadi kebiasaan dan menjadi kebutuhan pemborong untuk
membiayai buruh yang bekerja memanen ketela. Dengan
melakukan sistem tebasan pun saya rasa lebih simpel karena saya
bisa menerima hasil tanpa repot walaupun saya dirugikan.7
Menurut Ibu Nurul jual beli dengan model tersebut adalah sesuatu
yang maklum dan merasa empati jika pemborong mengalami kerugian.
Jika harga di pasar berbeda dari kesepakatan maka saya dapat
memakluminya karena harga di pasar bisa naik juga bisa turun.
Apabila harga tersebut naik saya menggapa bahwa itu keuntungan
untuk pemborong. Kalau harganya turun maka itu sudah biasa saya
juga tidak menyesalinya. Saya juga merasa kasihan kalau
pemborong mengalami kerugian ketika membeli ketela saya. Saya
juga merasa tidak direpotkan oleh pemborong.8
Perubahan harga dalam menjual ketela memang tak bisa
dihindarkan. Pihak petani lebih memilih untuk berlapang dada. Salah satu
alasannya yaitu petani ingin menjaga kerukunan dengan pemborong. Seperti
yang dikatakan oleh Bapak Supardi:
7 Sugito, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.
8 Nurul, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.
66
Saya hanya mengira-ngira harga ketela saya di sawah. Jadi ketika
ada pemborong yang ingin membeli ketela saya, saya sudah
memperkirakan hasil panenannya ketika di jual kembali ke pasar.
Saya menyadari perdagangan merupakan suatu teka-teki jadi
walaupun saya sudah memiliki perkiraan harga sendiri hal tersebut
mungkin saja meleset. Saya sering mengalami perubahan harga
ketika menebas ketela, tapi saya tidak ingin memperkeruh masalah
karena saya ingin tetap rukun dengan siapapun termasuk
pemborong.9
Sama halnya dengan Bapak Supardi, Ibu Suparni juga menganggap
perubahan harga tersebut sebagai amal. Tugas seorang petani adalah
merawat tanaman dengan sebaik-baiknya. Masalah hasil sudah ada yang
menentukan.
Ketika saya menebaskan ketela ke pemborong, saya menyerahkan
semuanya ke pemborong baik hasil panen maupun harga saat di jual
lagi ke pasar. Hal yang saya tekankan sebagai petani adalah merawat
tanaman dengan sebaik mungkin masalah hasil sudah ada yang
mengatur. Termasuk dalam hal ini jika harga ketela turun dari
kesepakatan awal saya anggap itu sebagai amal saya kepada
pemborong. Saya menyadari saat pemborong menawar ketela saya,
ia juga mengharapkan hasil yang menguntungkan dan membiayai
pemanenan ketela.10
Sementara itu Ibu Surati menyadari bahwa jual beli ini
merugikannya dan tidak sesuai shari>ah Islam. Akan tetapi menurutnya disini
ada unsur saling membutuhkan dan sudah menjadi budaya masyarakat
sekitar:
Jual beli ketela dengan sistem tebasan saya rasa memang merugikan
petani khususnya saya karena harga yang berubah dari kesepakatan
awal. Tapi mau bagaimana lagi saya membutuhkan pemborong
untuk membeli ketela saya dan saya yakin pemborong juga
membutuhkan barang dagangan. Jadi disini kita sama-sama
membutuhkan. Saya kira mungkin jual beli ini tidak sah menurut
Islam namun hal ini sudah menjadi budaya masyarakat sekitar.11
9 Supardi, Hasil Wawancara, Magetan, 17 Juli 2020
10 Suparni, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.
11 Surati, Hasil Wawancara, Magetan, 17 Juli 2020.
67
Dari wawancara tersebut, pihak petani menyadari jual beli ketela
dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan merugikan pihak petani dan tidak sesuai menurut shari>ah Islam.
Akan tetapi jual beli dengan sistem tersebut sudah menjadi kebiasaan yang
dilakukan masyarakat sekitar. Petani merasa lebih simpel, mereka tinggal
menerima hasil penjualan tanpa perlu repot memanen ketela dan membawa
ke pasar. Mereka juga memaklumi harga di pasar bisa naik bisa juga turun.
Selain itu jika perubahan harga ini diperselisihkan, akan terjadi
ketidakrukunan antar sesama. Petani memilih menerima untuk menjaga
kerukunan dan menjadikan kelebihan harga sebagai amal.
C. Tindakan Pemborong pada Praktik Jual Beli Ketela dengan Sistem
Tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan
Praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan dilakukan dengan cara petani
menawarkan ketela yang masih di dalam tanah dan belum siap panen kepada
pemborong. Pemborong menawar harga ketela dengan cara mengambil
sampel ketela di beberapa titik untuk melihat kualitas ketela dikalikan harga
saat itu dan dikurangi biaya pemanenan. Oleh karena harga dan bobot yang
tak pasti, penjualan saat di pasar bisa naik juga bisa turun. Pemborong
mengharapkan penjualannya naik karena ia juga membiayai pekerja saat
pemanenan ketela. Oleh karena itu, jika harga saat di pasar melebihi dari
kesepakatan awal maka yang hasil yang diberikan kepada petani adalah
68
sesuai harga pasar dan jika harga di pasar kurang dari kesepakatan maka
hasil yang diberikan petani adalah sesuai dari kesepakatan awal.
Seperti pengalaman Bapak Ruri sebagai berikut:
Setelah terjadi kesepakatan harga dengan petani, saya akan mengira-ngira
waktu ketela tersebut untuk layak dipanen untuk kemudian saya jual lagi
kepasar. Pemborong itu bisa untung bisa rugi setelah ketela tersebut dijual
ke pasar. Hal tersebut karena bobot dan harga yang tak pasti. Jika harganya
naik maka itu menjadi keuntungan saya, karena dalam proses pemanenan
ketela saya juga mempekerjakan orang. Sebaliknya, jika harganya turun
maka yang saya kasihkan ke petani adalah harga pasar karena saya tidak
mau rugi.12
Ibu Waki juga mengatakan hal yang sama, Ibu Waki juga
mengatakan model jual beli tersebut sudah menjadi adat kebiasaan: “Harga
saat di pasar berbeda dengan kesepakatan menurut saya adalah hal yang
umum karena harga di pasar tidak bisa dipastikan. Saya pribadi sebenarnya
tidak ingin terlalu merugikan petani tetapi bagaimana lagi hal tersebut sudah
biasa”.13
Sementara itu menurut Bapak Mudzakir, ketika petani menyepakati
harga pemborong itu artinya ketela tersebut sudah dipasrahkan. Petani
tinggal menunggu hasil sementara pemborong memanen dan menjual ketela
tersebut ke pasar. Jadi ketika pemborong tidak ingin rugi itu juga wajar.
Menurutnya, pihak pemborong berhak mendapatkan keuntungan baik untuk
dirinya sendiri, pekerja dan keperluan dalam memanen ketela:
Ketika petani menyepakati harga saya anggap masalah penjualan
ketela sudah dipasrahkan ke saya. Dengan kata lain, ketela ini adalah
milik saya. Masalah harga di pasar naik atau turun dari kesepakatan,
itu sesuatu yang wajar, namanya juga perdangangan. Petani kan
hanya menerima hasil dari penjualan ketela di pasar tanpa ikut serta
12 Ruri, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.
13 Waki, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.
69
dalam pemanenannya. Kita disini tarik menarik, petani hanya ingin
mendapatkan hasil dan saya mendapatkan keuntungan. Jadi dalam
sistem jual beli ini, saya berhak mendapatkan keuntungan baik untuk
diri saya sendiri, pekerja dan konsumsi dalam memanen ketela.14
Dari hasil wawancara tersebut, pihak pemborong merasa sudah
diberi kepercayaan untuk memanen ketela petani. Petani dianggap tinggal
menerima hasilnya sementara pemborong yang bekerja dalam memanen
ketela sampai membawanya ke pasar. Jadi pihak pemborong merasa ingin
mendapatkan keuntungan. Mereka menyadari bahwa dalam sistem jual beli
ini petani bisa dirugikan tetapi hal ini sudah dianggap biasa oleh masyarakat
Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan.
14 Mudzakir, Hasil Wawancara, Magetan, 16 Juli 2020.
70
BAB IV
ANALISIS SOSIOLOGI HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL
BELI KETELA DENGAN SISTEM TEBASAN DI DESA SUKOWIDI
KECAMATAN PANEKAN KABUPATEN MAGETAN
A. Analisis Sosiologi Hukum Islam Terhadap Tindakan Petani pada Praktik
Jual Beli Ketela dengan Sistem Tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan
Sosiologi hukum Islam adalah cabang ilmu yang mempelajari
hukum Islam dalam konteks sosial, cabang ilmu yang secara analitis dan
empiris mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum Islam dan gejala-
gejala sosial lainnya.1
Hubungan timbal balik antara hukum Islam dan masyarakatnya
dapat dilihat pada orientasi masyarakat muslim dalam menerapkan hukum
Islam. Selain itu bisa ditilik dari perubahan hukum Islam karena perubahan
masyarakatnya, serta perubahan masyarakat muslim yang disebabkan oleh
berlakunya ketentuan baru dalam hukum Islam.2
Praktik jual beli ketela yang dilakukan masyarakat Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan merupakan jual beli ijon atau
muh}a>d}arah. Jual beli ijon atau muh}a>d}arah merupakan salah satu jual beli yang
dilarang dalam Islam. Jual beli ini menggunakan sistem tebasan. Artinya
1 Taufan, Sosiologi Hukum Islam, 11.
2 Fahmi, Perceraian Bawah Tangan, 100.
71
pemborong membeli seluruh ketela tersebut dengan pembayaran
ditangguhkan. Jual beli ini juga merugikan petani dikarenakan perubahan
harga yang berbeda dari kesepakatan awal. Meskipun merugikan dan tidak
sesuai menurut hukum Islam jual beli ini tetap dilakukan oleh masyarakat Desa
Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan.
Untuk mengetahui motif dan tujuan petani dalam praktik jual beli
ketela dengan sistem tebasan penulis menggunakan teori tindakan sosial Max
Weber. Diitinjau dari teori tindakan sosial Max Weber, tindakan petani pada
praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan dapat dijelaskan sebagai berikut:3
1. Tindakan rasional instrumental (zwekrationalitat/instrumentaly rational
action), yaitu suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan
dan pilihan yang sadar dalam kaitannya dengan tujuan suatu tindakan
dan alat yang dipakai untuk meraih tujuan yang ada. Manusia dianggap
memiliki berbagai tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar
suatu kriteria ia akan menentukan satu pilihan. Ia lalu menilai dan
memilih alat yang mungkin dapat digunakannya untuk mencapai tujuan
tersebut dengan mempertimbangkan alternatif alat dan yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan dan hasil yang mungkin dicapai
dengan alat tersebut.4
3 Damsar, Pengantar Sosiologi Perdesaan, 12-14.
4 Murdyatmoko, Sosiologi, 65.
72
Petani telah mempertimbangkan dalam melakukan praktik jual
beli ketela dengan sistem tebasan. Mereka menyadari bahwa sistem ini
memang merugikan. Akan tetapi petani memiliki tujuan yang
dinginkan. Tujuan tersebut adalah petani merasa lebih simpel dalam
memperoleh hasil dari penanaman ketela. Cara ini dianggap lebih
efisien daripada petani memanen ketela dan menjualnya sendiri. Petani
menyerahkan pemanenan dan penjualan ketela kepada pemborong.
Mereka tidak perlu repot dalam memanen ketela dan tinggal menunggu
hasil penjualan.
2. Tindakan rasional nilai (wertrationalitat/ value rational action), yaitu
tindakan dimana tujuan telah ada dalam hubungannya dengan nilai
absolut dan nilai akhir bagi individu, yang dipertimbangkan secara sadar
adalah alat mencapai tujuan.
Petani telah mempercayakan ketela kepada pemborong saat
terjadi kesepakatan. Mereka juga memaklumi jika harga di pasar bisa
naik juga bisa turun. Hal tersebut karena bobot dan harga ketela yag
tidak bisa dipastikan. Menurutnya, tugas petani adalah merawat
tanaman dengan sebaik-baiknya. Masalah hasil sudah ada yang
menentukan. Petani menganggap keuntungan pemborong adalah amal
baginya.
3. Tindakan afektif (affectual action), yaitu tindakan yang didominasi
perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang
sadar. Tindakan ini seringkali dilakukan tanpa perencanaan matang dan
73
tanpa kesadaran penuh.5 Tindakan ini merupakan tipe rasional yang
sangat bermuara dalam hubungan emosi atau perasaan yang sangat
mendalam, sehingga ada hubungan khusus yang tidak dapat diterangkan
di luar lingkaran tersebut. Kondisi ini ditentukan oleh kondisi emosi
aktor.
Dalam melakukan praktik jual beli ketela dengan sistem
tebasan, petani juga didominasi oleh emosi atau perasaan. Meskipun
merugikan, petani tetap berlapang dada. Petani hanya ingin menjaga
kerukunan dengan pemborong dan tidak mempermasalahkan sistem ini.
4. Tindakan tradisional (traditional action), yaitu kebiasaan-kebiasaan
yang mendarah daging (mengakar secara turun temurun). Tindakan tipe
ini merupakan tindakan yang berdasarkan kebiasaan-kebiasaan pada
masa lalu. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan tanpa
menyadari alasannya atau tanpa membuat perencanaan terlebih dahulu
mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan.6 Sesuatu yang sudah
berlaku dan menjadi tradisi di masyarakat cenderung dianggap benar.
Dalam proses wawancara hampir seluruh petani mengatakan
bahwa sistem jual beli ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Desa
Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan. Sistem jual beli ini
tidak dapat dihindarkan oleh masyarakat setempat. Hal ini karena
mereka sudah terbiasa melakukannya meskipun merugikan dan tidak
5 Ibid.
6 Ibid.
74
sesuai menurut hukum Islam. Untuk itu praktik jual beli ini termasuk
‘urf yang tidak baik dan tidak diterima karena bertentangan dengan
shara’.
Jika dilihat dari segi penilaian, tindakan petani pada praktik
jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan
Panekan Kabupaten Magetan termasuk ‘urf fa >sid. ‘Urf fa>sid yaitu adat
yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun
bertetangan dengan agama.7 Petani dalam hal ini menjual ketela saat
masih di dalam tanah dan belum siap panen. Jual beli tersebut termasuk
dalam jual beli muh}a>d}arah atau ijon yang merupakan salah satu bentuk
jual beli yang dilarang dalam Islam.
B. Analisis Sosiologi Hukum Islam Terhadap Tindakan Pemborong pada
Praktik Jual Beli Ketela dengan Sistem Tebasan di Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan
Tindakan sosial (social action) merupakan suatu tindakan individu
yang memiliki arti atau makna subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan
orang lain. Manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk
melakukan sesuatu itu untuk mencapai apa yang mereka kehendaki. Setelah
memilih sasaran, mereka memperhitungkan keadaan, kemudian memilih
tindakan.8
7 Zulbaidah, Ushul Fiqh, 151.
8 Jones, Pengantar Teori- Teori,, 117.
75
Praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan merupakan tindakan
sosial dimana tindakan petani yang berkaitan dengan pemborong ataupun
sebaliknya. Petani dan pemborong melakukan sistem jual beli yang telah
dipaparkan memiliki tujuan tersendiri. Termasuk juga pihak pemborong.
Tindakan pemborong yang melakukan perubahan harga juga memiliki motif
dan tujuan tertentu.
Ditinjau teori tindakan sosial Max Weber, tindakan pemborong
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tindakan rasional instrumental (zwekrationalitat/instrumentaly rational
action). Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan
seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang
berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang
dipergunakan untuk mencapainya.9
Tindakan pemborong yang melakukan perubahan harga telah
melalui pertimbangan. Pemborong dalam hal ini ingin mendapatkan
keuntungan. Harga ketela saat kesepakatan dan di pasar tidak bisa di
pastikan. Untuk mendapatkan keuntungan, pemborong memberikan
kepada petani harga ketela saat penjualan di pasar turun dan apabila
harga naik, harga yang diberikan kepada petani adalah harga saat
kesepakatan awal.
9 Tanpa nama, “Teori Tindakan Sosial Max Weber,” dalam
https://diglib.uinsby.ac.id///5932/5/Bab%202.pdf/, (diakses pada tanggal 10 Agustus 2020, jam
7.09).
76
2. Tindakan afektif (affectual action). Menurut teori ini, berlangsungnya
sebuah tindakan atau perilaku ditentukan oleh kondisi dan orientasi
emosional si pelaku. Disini kita akan melihat bagaimana sikap
emosional ini memiliki peran penting terhadap para pelaku.10
Berdasarkan wawancara dengan pemborong, ketika petani
menyepakati harga mereka menganggap masalah penjualan ketela sudah
dipasrahkan kepada pemborong. Dalam melakukan pemanenan ketela,
pemborong merasa sudah diberi kepercayaan untuk memanen ketela
petani. Petani dianggap tinggal menerima hasilnya sementara
pemborong yang bekerja dalam memanen ketela. Artinya, pemborong
telah membantu petani dalam memanen ketela.
3. Tindakan tradisional (traditional action), yaitu menurut teori ini semua
tindakan ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar
secara turun-temurun dan tetap dilestarikan dari satu generasi ke
generasi selanjutnya.11
Berdasarkan wawancara dengan pemborong, mereka juga
menyadari bahwa dalam sistem jual beli ini petani bisa dirugikan
dikarenakan perubahan harga yang berbeda pada saat kesepakatan awal.
Pemborong tetap melakukan sistem jual beli yang sudah dipaparkan
karena hal ini sudah dianggap biasa oleh masyarakat Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan.
10 Muhlis dan Norkholis, “Analisis Tindakan Sosial Max Weber dalam Tradisi
Pembacaan Kitab Mukhtashar Al-Bukhari (Studi Living Hadis),” Jurnal Living Hadis, 2 (10,
2016), 252.
11 Ibid.
77
Jika dilihat dari segi penilaian, tindakan pemborong pada
praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan termasuk ‘urf fa>sid. ‘Urf fa>sid
ialah kebiasaan yang tidak baik karena bertentangan dengan shara’.12
Pemborong dalam hal ini melakukan kebiasaan yang bertentangan
dengan shara’ yaitu melakukan jual beli muh}a>d}arah dikarenakan ketela
saat dibeli masih di dalam tanah dan belum siap panen. Selain itu
kebiasaan tidak ingin rugi dengan melakukan perubahan harga pada
transaksi jual beli ketela dengan sistem tebasan juga merupakan
kebiasaan yang tidak sesuai dengan shara’ dikarenakan merugikan salah
satu pihak yaitu petani.
12 Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017), 83.
78
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari analisis yang telah dipaparkan, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa:
1. Tindakan petani pada praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di
Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan memiliki
beberapa faktor yaitu Pertama, Faktor ekonomi. Petani merasa lebih
simpel dalam memperoleh hasil dari penanaman ketela. Mereka tidak
perlu repot memanen dan menjual ketela ke pasar. Petani menyerahkan
pemanenan dan penjualan ketela kepada pemborong dan tinggal
menunggu hasil penjualan. Kedua, Faktor nilai agama. Petani menyadari
penjualan di pasar bisa naik juga bisa turun. Jika pemborong mengambil
keuntungan dari penjualan ketela, petani menaggap keuntungan tersebut
sebagai amal. Ketiga, Faktor emosional (perasaan). Petani tetap
berlapang dada ketika menerima hasil yang tidak sesuai dengan
kesepakatan. Meskipun kecewa, petani tidak ingin memperuncing
masalah. Petani hanya ingin menjaga kerukunan dengan pemborong.
Keempat, Faktor kebiasaan. Petani menyadari praktik jual beli ketela
dengan sistem tebasan memang merugikan dan dilarang dalam Islam.
Praktik jual beli ini tetap dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan
masyarakat setempat. Tindakan petani pada praktik jual beli ketela
dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan
79
Kabupaten Magetan termasuk ‘urf fasid. Petani dalam hal ini menjual
ketela saat masih di dalam tanah dan belum siap panen. Jual beli tersebut
termasuk dalam jual beli muh}a>d}arah atau ijon yang merupakan salah
satu bentuk jual beli yang dilarang dalam Islam.
2. Tindakan pemborong pada praktik jual beli ketela dengan sistem
tebasan di Desa Sukowidi Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan
memiliki beberapa faktor yaitu Pertama, Faktor ekonomi. Pemborong
ingin mendapatkan keuntungan dalam penjualan ketela karena
pemborong yang memanen dan menjual ketela ke pasar. Kedua, Faktor
emosional (perasaan). Pemborong merasa telah membantu petani dalam
memanen ketela. Petani dianggap tinggal menerima hasilnya sementara
pemborong yang bekerja dalam memanen ketela. Ketiga, Faktor
kebiasaan. Pemborong juga menyadari bahwa dalam sistem jual beli ini
petani bisa dirugikan. Pemborong tetap melakukan sistem jual beli ini
karena sudah dianggap biasa oleh masyarakat Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan. Tindakan pemborong pada
praktik jual beli ketela dengan sistem tebasan di Desa Sukowidi
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan termasuk ‘urf fasid.
Pemborong dalam hal ini melakukan kebiasaan yang bertentangan
dengan shara’ yaitu melakukan jual beli muh}a>d}arah dikarenakan ketela
saat dibeli masih di dalam tanah dan belum siap panen. Selain itu
kebiasaan tidak ingin rugi dengan melakukan perubahan harga pada
transaksi jual beli ketela dengan sistem tebasan juga merupakan
80
kebiasaan yang tidak sesuai dengan shara’ dikarenakan merugikan salah
satu pihak yaitu petani.
B. SARAN
1. Bagi petani sebaiknya menjual tanaman hasil pertanian dalam keadaan
siap panen agar terhindar dari jual beli ijon atau muh}a>d}arah yang
dilarang dalam Islam.
2. Bagi pemborong sebaiknya menjelaskan keuntungan serta kebutuhan
dalam memanen kepada petani agar terciptanya keterbukaan antara
petani dan pemborong.
3. Bagi petani dan pemborong sebaiknya melakukan perjanjian terlebih
dahulu sebelum tanaman di bawa ke pasar. Perjanjian tersebut berisi
pembagian prosentase antara petani dan pemborong mengenai hasil
penjualan di pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku:
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. Sosiologi Hukum: Kajian Empiris
Terhadap Pengadilan. Jakarta: Kencana, 2012.
Anggito, Albi dan Johan Setiawan. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Sukabumi: CV Jejak, 2018.
Al-Asqalani, Al Hafizh Ibnu Hajar. Terjemahan Lengkap Bulughul
Maram, terj. Abdul Rosyad Siddiq. Jakarta:Akar Media, 2012.
Al Ghozzi, Ibnu Qasim. Fathul Qarib, terj. Bahrudin Fuad. Kediri: Mobile
Santri, t.th.
Damsar. Pengantar Teori Sosiologi. Jakarta: Kencana, 2015.
---------. Pengantar Sosiologi Perdesaan. Jakarta: Kencana, 2016.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al Qur’an dan Terjemahnya.
Bandung: Sygma Examedia, 2007.
Dokumen Profil Desa Sukowidi, tahun 2020.
Efendi, Jonaedi dan Johny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris. Depok: Prenandamedia Group, 2016.
Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Muamalat, et. al. Jakarta: Kencana, 2010.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Harun. Fiqh Muamalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2017.
Hernimawati. Model Implementasi Kebijakan Penataan Reklame.
Surabaya: Jakad Publishing, 2018.
Idri. Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi. Jakarta:
Kencana, 2015.
Jones, Pip, et. al. Pengantar Teori-Teori Sosial dari Teori Fungsionalisme
Hingga Postmodernisme, terj.Achmad Fedyani Saifudin.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2016.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Usul Fikih.
Jakarta: Amzah, 2009.
Kementerian Agama Republik Indonesia. Al Qur’an Terjemah Perkata
Asbabun Nuzul dan Tafsir Bil Hadits. Bandung: Semesta Al
Qur’an., 2013.
Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Terjemah dan
Tajwid. Bandung: Sygma Creative Media, 2014.
Murdyatmoko, Janu. Sosiologi:Memahami dan Mengkaji Masyarakat.
Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007.
Mustajab. Masa Depan Pesantren:Telaah atas Model Kepemimpinan dan
Manajeman Pesantren Salaf. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2015.
Nurdin, Ismail dan Sri Hartati. Metodologi Penelitian Sosial.
Surabaya: Media Sahabat Cendekia, 2019.
Rivai, Veithzal dan Antoni Nizar Usman. Islamic Economics dan Finance:
Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif Tetapi Solusi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Rukajat, Ajat. Pendekatan Penelitian Kualitatif. Sleman: Deepublish,
2018.
Rukin. Metodologi Penelitian Kualitatif. Takalar: Yayasan Ahmar
Cendekia Indonesia, 2019.
Ruswandi, Agus. Al Islam III. Bandung: UNINUS, 2015.
Rusyd, Ibnu. Terjemah Bidayatul Mujtahid. Semarang: CV. As-Sifa.
Saebani, Beni Ahmad. Sosiologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sanusi, Ahmad dan Sohari. Ushul Fiqh. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2017.
Sarwat, Ahmad. Fiqih Jual Beli. Jakarta:Rumah Fiqih Publishing, 2018.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Bhratara Karya,
1997.
Suadi, Amran. Sosiologi Hukum. Jakarta: Kencana, 2018.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih..Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Taufan. Sosiologi Hukum Islam. Yogyakarta:Deepublish. 2016.
Turner, Bryan S. Teori Sosial dari Klasik Sampai Post Modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Waluya, Bagja. Sosiologi Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.
Bandung: Setia Purna Inves, 2007.
Wibowo, Wahyu. Cara Cerdas Menulis Artikel Ilmiah, Jakarta: Buku
Kompas, 2011.
Wirawan, LB. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta:
Kencana, t.th.
Yusuf, Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan. Jakarta: Kencana, 2014.
Zein, Muhammad Ma’sum. Ushul Fiqh. Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Zulbaidah. Ushul Fiqh 1, Bogor: Ghalia Indonesia, 2016.
Referensi Jurnal dan Artikel Ilmiah:
Assulthoni, Fahmi. “Perceraian Bawah Tangan dalam Perspektif
Masyarakat Pamekasan”, Disertasi. Surabaya: UIN Sunan Ampel,
2017.
Magfirah, Futuhatul. “Tinjauan Sosiologi Hukum Islam Terhadap Sistem
Pengupahan pada Mato Kopi Yogyakarta.” Skripsi.Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2017.
Maulana, Diky Faqih. “Tinjauan Sosiologi Hukum Islam Terhadap Jual
Beli Buku Bajakan (Studi di Kios Buku Terban).”Skripsi.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2019.
Muhlis dan Norkholis. “Analisis Tindakan Sosial Max Weber dalam
Tradisi Pembacaan Kitab Mukhtashar Al-Bukhari (Studi Living
Hadis).” Jurnal Living Hadis. 2 (10, 2016).
Nurjanah, Siti. “Analisis Sosiologi Hukum Islam Terhadap Jual Beli
Tebasan di Desa Surojoyo Kecamatan Candimulyo Kabupaten
Magelang.” Skripsi. Salatiga: IAIN Salatiga, 2015.
Prasetiawan, Henri. “Jual Beli Pete Muda di Desa Selur Kecamatan
Ngrayun Kabupaten Ponorogo,” Skripsi. Ponorogo: IAIN Ponorogo.
Ridla, M.Rasyid. “Sosiologi Hukum Islam (Analisis Terhadap Pemikiran
M. Atho’ Mudzar).”Jurnal Ahkam. 2 (12, 2012).
Rofiah, Khusniati dan Moh. Munir. “Jihad Harta dan Kesejahteraan
Ekonomi pada Keluarga Jamaah Tabligh: Perspektif Teori
Tindakan Sosial Max Weber.” Justitia Islamica. 1 (6, 2019).
Utami, Kartika Rafiqa. “Tinjauan Sosiologi Hukum Islam Terhadap Jual
Beli Pakaian Bekas Impor di Daerah Istimewa
Yogyakarta.”Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2018.
Referensi Internet:
Tanpa nama, “Teori Tindakan Sosial Max Weber,” dalam
https://diglib.uinsby.ac.id///5932/5/Bab%202.pdf/, (diakses pada
tanggal 10 Agustus 2020, jam 7.09).
Hasil Wawancara:
Mudzakir, Hasil Wawancara, Magetan, 16 Juli 2020.
Nurul, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.
Ruri, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.
Sugito, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.
Supardi, Hasil Wawancara, Magetan, 17 Juli 2020.
Suparni, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.
Surati, Hasil Wawancara, Magetan, 17 Juli 2020.
Waki, Hasil Wawancara, Magetan, 15 Juli 2020.