tinjauan pustaka epiglotitis
-
Upload
liberti-dwi-putri -
Category
Documents
-
view
25 -
download
9
description
Transcript of tinjauan pustaka epiglotitis
BAB I
PENDAHULUAN
Epiglotitis akut adalah suatu infeksi akut Haemophillus influenzae di
orofaring, hipofaring, dan laring supraglotik. Pada epiglotitis, atau yang kadang
disebut supraglotitis terjadi selulitis yang melibatkan banyak area supraglotis.
Epiglotitis akut secara khas terdapat pada anak-anak dengan usia diantara 2
sampai 6 tahun, walaupun pada usia yang lain termasuk dewasa dapat terjadi.
Pada banyak kasus, patogen yang berperan adalah Haemophillus influenzae tipe B
(HIB). Dengan diperkenalkannya imunisasi vaksin HIB, maka insidensi epiglotitis
telah berkurang lebih dari 90%.
Gejala dari epiglotitis akut berkembang sangat cepat dalam hitungan jam,
berkisar selama 2-6 jam dengan onset demam, nyeri tenggorokan, dan stridor
inspirasi. Diagnosis epiglotitis akut harus dipertimbangkan bila rasa sulit menelan
dan rasa sakit di tenggorokan tidak sesuai dengan gejala-gejala faringitis yang
terlihat. Dalam menunjang diagnosis epiglotitis dapat dilakukan foto polos leher
lateral, dimana dapat terlihat obstruksi supraglotis karena pembengkakan
epiglotis.
Walaupun epiglotitis merupakan infeksi yang jarang, namun kesadaran
akan penyakit ini sangat penting karena angka mortalitasnya yang tinggi jika tidak
didiagnosis dan diterapi segera.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Laring
Laring terletak di depan hipofaring dan di seberang vertebra
servikalis ketiga sampai keenam. Laring bergerak secara vertikal dan ke
arah anteroposterior selama menelan dan fonasi. Laring juga dapat secara
pasif bergerak dari sisi ke sisi menghasilkan karakteristik sensasi memarut
yang disebut krepitus laring. Pada orang dewasa, laring berakhir pada
batas bawah vertebra C6. Laring memiliki 3 tulang rawan berpasangan,
yaitu Arytenoid, Corniculate, Cuneiform, dan 3 tidak berpasangan, yaitu
Thyroid, Cricoids, Epiglottis. (Gambar 2.1) 4,5
Di sebelah superior terdapat os hioideum. Meluas dari masing-
masing sisi bagian tengah os hioideum adalah suatu prosesus panjang dan
pendek yang mengarah ke superior. Tendon dan otot-otot lidah mandibula
dan kranium, melekat pada permukaan superior korpus dan kedua
prosessus. Saat menelan, kontraksi otot-otot ini akan mengangkat laring.
Di bawah os hioideum dan menggantung pada ligamentum tiroideum
adalah dua alae atau sayap kartilago tiroidea. Kedua alae menyatu di garis
tengah pada sudut yang lebih dulu dibentuk pada pria, lalu membentuk
“Adam apple”. Pada tepi posterior masing-masing alae, terdapat kornu
superior dan inferior. Artikulatio kornu inferus dengan kartilago krikoidea,
memungkinkan sedikit pergeseran atau gerakan antara kartilago tiroidea
dengan kartilago krikoidea.4,5
Pada permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago
aritenoidea, masing-masing berbentuk seperti piramid bersisi tiga. Tiap
kartilago aritenoidea mempunyai dua prosesus, prosesus vokalis anterior
dengan prosesus muskularis lateralis. Ligamentum vokalis meluas ke
anterior dari masing-masing prosesus dan berinsersi ke dalam kartilago
tiroidea di garis tengah. Prosesus vokalis membentuk dua per lima bagian
belakang dari korda vokalis, sementara ligamentum vokalis membentuk
2
bagian membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung
bebas dan permukaan superior korda vokalis suara mebentuk glottis.
Bagian laring di atasnya disebut supraglotis dan di bawahnya subglottis.
Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal yang
terbentuk seperti bat pingpong. Pegangan melekat melalui suatu
ligamentum pendek pada kartilago tiroidea tepat di atas korda vokalis,
sementara bagian raket meluas ke atas di belakang korpus hioideum ke
dalam lumen faring, memisahkan pangkal lidah dan laring. 4,5
Epiglotis adalah kartilago yang berbentuk daun dan menonjol ke
atas di belakang dasar lidah. Epiglotis dewasa umumnya sedikit cekung
pada bagian posterior. Namun pada anak dan sebagian orang dewasa,
epiglotis jelas melengkung dan disebut epiglotis omega atau juvenils.
Fungsi epiglotis untuk mendorong makanan yang ditelan ke samping jalan
nafas laring. Selain itu, laring juga disokong oleh jaringan elastik. Plika
ariepiglotika, berjalan ke belakang dari bagian samping epiglotis menuju
kartilago aritenoidea, membentuk batas jalan masuk laring. Kartilago
krikoidea adalah kartilago yang berbentuk cincin signet dengan bagian
yang besar di belakang. Terletak di bawah kartilago tiiroidea, berhubungan
melalui membran krikotiroidea. Kornu inferior kartilago tiroidea
berartikulasi dengan kartilago tiroidea pada setiap sisi. (Gambar 2.2)4,5,6
2.2. Fisiologi Laring
Selain organ penghasil suara, laring mempunyai tiga fungsi utama,
yaitu proteksi jalan nafas, respirasi, dan fonasi. Kenyataannya secara
filogenik, laring mula-mula berkembang sebagai suatu sfingter yang
melindungi pernafasan, sementara perkembangan suara merupakan
peristiwa yang terjadi belakangan.4,5
Perlindungan jalan nafas selama menelan terjadi melalui berbagai
mekanisme yang berbeda. Aditus laring sendiri tertutup oleh kerja sfingter
dari otot tiroaritenoideus dalam plika ariepiglotika dan plika vokalis
ventrikularis, disamping aduksi plika vokalis dan aritenoid yang
3
ditimbulkan oleh otot intrinsik lainnya. Elevasi laring di bawah pangkal
lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika
ariepiglotika ke bawah menutupi aditus. Struktur ini mengalihkan
makanan ke lateral , menjauhi aditus laring dan masuk ke sinus piriformis,
selanjutnya ke intraoitus esofagi. Relaksasi krikofaringeus yang terjadi
bersamaan mempemudah jalan makanan ke dalam esofagus sehingga tidak
masuk ke laring. Disamping itu, respirasi juga dihambat selama proses
menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa
daerah supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva. 4,5
Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai
derajat penutupan plika vokalis. Perubahan tekanan ini membantu sistem
jantung seperti halnya dalam mempengaruhi pengisian dan pengosongan
jantung dan paru. Selain itu, bentuk plika vokalis ventrikularis dan sejati
memungkinkan laring berfungsi sebagai katup tekanan bila menutup,
memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk
tindakan mengejan misalnya mengangkat berat atau defekasi. Pelepasan
tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk
mempertahankan ekspansi alveoli terminal paru dan membersihkan sekret
atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus laring, selain semua
mekanisme proteksi lain yang disebutkan di atas. 4,5
Namun pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang
paling kompleks dan paling baik diteliti. Penemuan sistem pengamatan
serat optik dan stroboskop yang dapat dikoordinasikan dengan frekuensi
suara sangat membantu dalam memahami fenomena ini. Plika vokalis
yang teraduksi, kini di duga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang
bergetar akibat udara yang dipaksa antara plika vokalis sebagai akibat
kontraksi otot-otot ekspirasi. Otot intrinsik laring dan krikotiroideus
berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk
dan massa ujung-ujung bebas korda vokalis sejati dan teggangan korda itu
sendiri. Otot ekstra laring juga dapat ikut berperan. Demikian pula karena
posisi nasalis dapat dimanfaatkan untuk perubahan nada yang dihasilkan
4
laring. Semuanya ini dipantau melalui suatu mekanisme umpan balik yang
terdiri dari telinga manusia dan suatu sistem dalam laring sendiri yang
kurang dimengerti. Sebaliknya, kekerasan suara pada hakikatnya
proporsional dengan tekanan aliran udara subglotis yang menimbulkan
gerakan korda vokalis sejati. Di lain pihak, berbisik diduga terjadi akibat
lolosnya udara melalui komisura posterior di antara aritenoid yang
terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati.4,5
2.3. Epiglotitis Akut
2.3.1. Definisi
Epiglotitis akut merupakan kondisi inflamasi akut pada struktur
supraglotis, seperti epiglotis, valleculla, aryepiglottic folds dan arytenoids,
serta ditandai adanya edema pada struktur tersebut yang dapat menyumbat
jalan nafas. 3,7
Definisi lain, epiglotitis akut merupakan inflamasi bakterial,
dengan agen penyebab utama adalah Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus β hemolitikus.8
2.3.2. Epidemiologi
Dengan adanya imunisasi terhadap Haemophilus influenzae tipe B
(HIB), prevalensi penyakit ini menurun secara signifikan, dan data
epidemiologi menyatakan bahwa pada anak yang menderita epiglotitis
yang sudah divaksinasi lebih sering disebabkan oleh Haemophilus
influenza yang bukan tipe B. Organisme lain yang menyebabkan
epiglotitis meliputi Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae,
dan Staphylococcus aureus. Infeksi ini merupakan kegawatdaruratan yang
sebenarnya anak sering terkena umumnya berusia 2-4 tahun, dan kasus ini
lebih sering muncul pada musim dingin.2,9
Epiglotitis akut jarang pada orang dewasa, dan prevalensi nya
mungkin sama seperti epiglotitis pada anak-anak. Usia yang sering terkena
umumnya sekitar usia 50 tahun.3 Insidensi epiglottitis akut pada orang
5
dewasa berkisar antara 0,97-3,1 per 100.000 dengan angka mortalitas
berkisar 7,1 %. 10
2.3.3. Etiologi
Penyebab utama epiglotitis akut adalah Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus β hemolitikus.8 Penyebab
lain yang jarang adalah Pneumococcus sp, Mycobacterium sp, atau
Bacteroides melanogenicus.3
Pada epiglotitis dewasa, penyebab non infeksius dapat berupa
trauma oleh benda asing, luka bakar inhalasi, dan luka bakar kimia. Selain
itu, penyebab non infeksius lainnya dapat berhubungan dengan penyakit
sistemik atau reaksi terhadap kemoterapi. Pada anak-anak sering
dihubungkan dengan asma dan alergi.10
2.3.4. Patogenesis
Haemophilus influenzae tidak menghasilkan eksotoksin dan
peranan antigen somatik toksiknya pada penyakit alamiah belum
dimengerti dengan jelas. Organisme yang tidak bersimpai adalah anggota
tetap flora normal saluran pernafasan manusia. Simpai bersifat
antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus. Bentuk
Haemophilus influenzae yang mempunyai simpai, khususnya tipe B,
menyebabkan infeksi pernafasan supuratif (sinusitis, laringotrakheitis,
epiglotitis, otitis) dan pada anak kecil, yaitu meningitis. 2,3,7
Pada epiglotitis akut, infeksi biasanya bermula di saluran
pernafasan atas sebagai peradangan hidung dan tenggorokan. Kemudian
infeksi bergerak ke bawah, ke epiglottis. Infeksi seringkali disertai dengan
bakterimia (infeksi darah). Epiglotitis bisa segera berakibat fatal karena
pembengkakan jaringan yang terinfeksi bisa menyumbat saluran udara dan
menghentikan pernafasan. Infeksi biasanya dimulai secara tiba-tiba dan
berkembang dengan cepat.2,3,7
Epiglotitis akut dapat menyerang ke lidah bagian posterior dan
laring. Keadaan ini menyebabkan terjadinya stridor (obstruksi jalan nafas)
6
dan septikemia. Pada faring, terjadi inflamasi dan epiglotis menjadi
hiperemis(seperti merah buah cherry) sering disebabkan oleh Haemophilus
influenzae tipe B. Antigen ini memiliki kapsul PRP (Polyribose-ribitol-
phosphate) dan menyebabkan inflamasi akut non-spesifik yang berat.
Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap antigen ini. Hal ini
kemungkinan ditemukan pada anak-anak yang Haemophilus influenzae
tipe B. Adapun Haemophilus influenzae tipe B yang tidak memiliki kapsul
biasanya ditemukan pada 50% anak-anak yang sehat. 2,3,7
2.3.5. Gejala klinis
Gejala dari epiglotitis akut berkembang sangat cepat dalam
hitungan jam, berkisar selama 2-6 jam dengan onset demam, nyeri
tenggorokan, dan stridor inspirasi. Suara cenderung serak, dan tidak
terdapat batuk yang menyalak seperti pada Croup. Ketika struktur
epiglotis mejadi lebih bengkak, maka dapat terjadi sumbatan jalan nafas.
(Gambar 2.3)
Anak biasanya tampak sakit, duduk tegak dengan mulut terbuka
dan dagu mengarah ke depan, terdapat stridor, dan keluar liur dari
mulutnya (drooling) akibat nyeri pada saat menelan. 1,2,3
Pada orang dewasa, gejala klinis epiglotitis akut berupa demam,
nyeri tenggorokan, suara serak, sulit menelan dan nyeri menelan. Onset
gejala sebelum manifestasi biasanya lebih lama daripada pada anak-anak,
biasanya lebih dari 24 jam. Gambaran klinis epiglotitis pada dewasa
sedikit berbeda, dimana etiologi infeksius lebih sering Streptococcus grup
A daripada Haemophilus. Perjalanan klinisnya lebih ringan dengan sedikit
variasi musiman dan penekanan jalan nafas. 2,11
2.3.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan secara murni berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan klinis. Pemeriksaan epiglotis mungkin dapat mencetuskan
sumbatan jalan nafas sehingga tidak di anjurkan. Pada radiografi jaringan
lunak proyeksi lateral dapat menunjukkan tanda klasik “Thumb sign” dari
7
epiglotis yang edematous dengan hipofaring yang dilatasi. Walaupun
kadang-kadang epiglotis ini sendiri tidak membesar, tetapi region
supraglotis masih kelihatan tidak jelas dikarenakan adanya pembengkakan
struktur supraglotis lainnya. Pada kasus yang berat, terapi tidak boleh
ditunda sampai mendapatkan gambaran radiologi. Anak dengan suspek
epiglotitis harus dibawa ke ruang operasi segera untuk menegakkan
diagnosis dan menyelamatkan jalan nafas. Pemeriksaan laringoskopi direk
biasanya akan menunjukkan epiglotis bengkak dan kemerahan (Gambar
2.4), seperti halnya pada aryepiglottic folds dan pita suara semu. Pita suara
nyata dan subglotis umumnya kelihatan normal ataupun terlibat hanya
minimal. 2,3,9,10,11
2.3.7. Diagnosis Banding
Penyebab utama dari stridor inflamasi pada anak adalah
laringotrakeobronkitis, epiglotitis, dan yang jarang berupa trakeitis
bakterial. Perbedaan utama tanda dari laringotrakeobronkitis dan
epiglotitis dijelaskan pada tabel berikut ini : 1,7
Tabel 2.1. Perbandingan utama tanda dari Epiglotitis dan Laringotrakeobronkitis
Epiglotitis Laringotrakeobronkitis
Microbiology Haemophilus influenzae
tipe B.
Parainfluenza virus
Age group 2-6 years < 3 years
Onset Rapid (hours) Slow (usually days)
Cough Absent Barking cough
Dysphagia Severe None
Stridor Inspiratory Biphasic
Temperature Elevated Elevated
Posture Sitting forward Lying back
8
Drooling marked None
Voice Muffled Hoarse
X-ray Thumbprint sign
(Gambar 2.5)
Steeple sign
(Dikutip dari : Lalwani Ak. Stridor in Children. Current Diagnosis & Treatment
Otolaryngology Head and Neck Surgeon 2nd edition. New York: McGraw-
Hill.2007)
2.3.8. Penatalaksanaan
Terapi ditujukan pada pemeliharaan jalan nafas dan dilanjutkan
pemberian antibiotik dan terapi suportif. Pengambilan sampel darah,
pemasangan jalur intravena, pengecekan temperatur rektal, dan sebagainya
harus ditunda sampai jalan nafas aman. Setelah anak dianastesi dan
diagnosis ditegakkan, anak harus diintubasi untuk mengamankan jalan
nafas. Pemasangan pipa endotrakeal oral dapat diganti kemudian dengan
pipa nasotrakeal, dengan visualisasi langsung glottis. Peralatan yang
diperlukan untuk bronkoskopi rigid dan trakeostomi harus tersedia dan
siap dilakukan pada ruang operasi pada kasus kehilangan jalan nafas
sebelum intubasi. Pada orang dewasa, terdapat 2 prediktor klinis yang
relatif berguna dalam menentukan kebutuhan penanganan jalan nafas,
yaitu pasien dengan presentasi keluar saliva dari mulutnya (drooling) dan
pasien yang tiba di IGD kurang dari 8 jam setelah onset nyeri
tenggorokan. 2,6
Setelah jalan nafas aman, dilakukan kultur terhadap epiglottis dan
darah. Secara empiris, terapi antimikroba dimulai dengan antimikroba
terhadap H.influenzae dan Streptococcus grup A , dan secara klasik berupa
sefalosporin generasi ketiga (cefuroxime, cefotaxime, atau ceftriaxone).
Ampisilin atau sulbactam dan trimethoprim/sulfamethoxazole merupakan
alternative lainnya. Kloramfenikol sangat efektif diberikan akan tetapi
tidak direkomendasikan karena keterbatasan agen antimikroba lainnya
yang kurang toksik. 2,6
9
Ekstubasi biasanya memungkinkan dilakukan setelah 48-72 jam,
dimana pada waktu ini edema telah cukup berkurang sehingga udara dapat
masuk melewati sekitar pipa endotrakeal. Laringoskopi serat optik
transnasal merupakan teknik yang sering digunakan dan terpercaya dalam
memastikan resolusi edema sebelum ekstubasi. 2,6 Ekstubasi juga dapat
dilakukan setelah melakukan “cuff leak test with a deflated cuff”, dengan
hasil >24% dari volume tidal maka dilakukan ekstubasi. 10
2.3.9. Prognosis
Kebanyakan pasien dapat mengalami terapi ekstubasi dalam
beberapa hari dan dalam jangka waktu lama. Prognosis baik jika
penatalaksanaan dilakukan secara tepat serta jalan nafasnya dapat
dibebaskan dengan segera. Angka mortalitas kurang dari 1%. 2,6
BAB III
KESIMPULAN
Laring terletak di depan hipofaring dan diseberang vertebra servikalis ketiga
sampai keenam. Laring memiliki 3 tulang rawan berpasangan, yaitu Arytenoid,
Corniculate, Cuneiform, dan 3 tidak berpasangan, yaitu Thyroid, Cricoids,
Epiglottis. Epiglotis adalah kartilago yang berbentuk daun dan menonjol ke atas di
belakang dasar lidah. Epiglotis dewasa umumnya sedikit cekung pada bagian
posterior. Namun pada anak dan sebagian orang dewasa, epiglotis jelas
melengkung dan disebut epiglotis omega atau juvenils. Fungsi epiglotis untuk
mendorong makanan yang ditelan ke samping jalan nafas laring.
Epiglotitis akut merupakan kondisi inflamasi akut pada struktur supraglotis,
seperti epiglotis, valleculla, aryepiglottic folds dan arytenoids, serta ditandai
adanya edema pada struktur tersebut yang dapat menyumbat jalan nafas.
Penyebab utama epiglotitis akut adalah Haemophilus influenzae, Streptococcus
pneumoniae, dan Streptococcus β hemolitikus.
10
Diagnosis ditegakkan secara murni berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
klinis. Gejala dari epiglotitis akut berkembang sangat cepat dalam hitungan jam,
berkisar selama 2-6 jam dengan onset demam, nyeri tenggorokan, dan stridor
inspirasi. Suara cenderung serak, dan tidak terdapat batuk yang menyalak seperti
pada Croup. Ketika struktur epiglotis mejadi lebih bengkak, maka dapat terjadi
sumbatan jalan nafas. Anak biasanya tampak sakit, duduk tegak dengan mulut
terbuka dan dagu mengarah ke depan, terdapat stridor, dan keluar liur dari
mulutnya (drooling) akibat nyeri pada saat menelan. Pada radiografi jaringan
lunak proyeksi lateral dapat menunjukkan tanda klasik “Thumb sign” dari
epiglotis yang edematous dengan hipofaring yang dilatasi.
Terapi ditujukan pada pemeliharaan jalan nafas dan dilanjutkan pemberian
antibiotik dan terapi suportif. Setelah jalan nafas aman, dilakukan kultur terhadap
epiglotis dan darah. Secara empiris, terapi antimikroba dimulai dengan
antimikroba terhadap H.influenzae dan Streptococcus grup A , dan secara klasik
berupa sefalosporin generasi ketiga (cefuroxime, cefotaxime, atau ceftriaxone).
DAFTAR PUSTAKA
1. Lalwani Ak. Stridor in Children. Current Diagnosis & Treatment
Otolaryngology Head and Neck Surgeon. 2nd edition. New York: McGraw-
Hill.2007
2. Ballenger JJ, Snow Jr Jb. Infectious and Inflammatory Disease of The
Larynx. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th
edition. Spain : BC Decker Inc. 2003 : 1185-1217.
3. Chung CH. Acute Epiglottitis Presenting as The Sensation of A Foreign
Body in The Throat. HKMJ. 2000 :6:322-324
4. Dhingra PL. Anatomy and Physiology of Larynx. Disease of ear, Nose,
and Throat. 4th edition. New Delhi : Elseiver. 2007:259-263.
5. Seely, Stephens, Tate. Respiratory System. Anatomy and Phisiology. 6th
edition. Mc-Graw-Hill.2004:813-858.
11
6. Bailey Bj. Stridor, Aspiration, and Cough. Head & Neck Surgery
Otolaryngology. 4th edition volume 1. Texas : Lippincott
Williams&Wilkins. 2006.
7. Dhingra PL. Acute and Chronis Inflamamations of Larynx. Disease of Ear,
Nose, and Throat. 4th edition. New Delhi : Elseiver. 2007:266-271.
8. Probst R, Grevers G.Iro H. Larynx and Trachea. Basic
Otorhinolaryngology. Thieme. 2006:337-384.
9. Groover C. “Thumb Sign “ of Epiglottitis. NEJM. 2011:365(5) :447.
10. Mathoera RB, Wever PC, Van Dorsten FRC, Balter SGT. Epiglottitis in
The adult Patient. Netherlands The Journal of Medicine .2008:66(9):373-
377.
11. Tan CK, Chan KS, Cheng KC. Adult Epiglottitis. Canadian Medical
Assosiation Journal. 2007:176(5):264.
12