TINJAUAN PUSTAKA · dan lemak hewan (Agarwal 2006 ... terhadap terjadinya ledakan, cukup besar. ......
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA · dan lemak hewan (Agarwal 2006 ... terhadap terjadinya ledakan, cukup besar. ......
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Bakar Biodiesel
Biodiesel adalah istilah untuk bahan bakar berbasis mono-alkil ester yang
terbuat dari sumber terbarukan seperti minyak sayur yang baru/telah digunakan
dan lemak hewan (Agarwal 2006). Pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar
alternatif disebabkan oleh karakteristiknya mirip dengan diesel konvensional dan
berasal dari sumber yang terbarukan (Kim et al. 2007). Dengan demikian,
penggunaannya tidak memerlukan modifikasi maupun penggantian komponen-
komponen mesin.
Bahan bakar ini ramah lingkungan dan berkontribusi dalam mengurangi
pemanasan global dan polusi udara karena bahan yang digunakan merupakan
karbon netral dan rendah kandungan sulfur, serta mengurangi emisi yang
mengandung hidrokarbon (seperti karbonmonoksida) (Yadav et al. 2010),
bilangan asap (smoke number) yang rendah, memiliki cetane number yang lebih
tinggi sehingga pembakaran lebih sempurna (clear burning), memiliki sifat
pelumasan terhadap piston mesin, dan dapat terurai (biodegradabe) sehingga tidak
menghasilkan racun (non toxic).
Selain itu, Gerpen (2005) mengungkapkan bahwa terdapat sekurangnya lima
alasan pengembangan biodiesel, antara lain:
1 Menyediakan pasar untuk kelebihan produksi minyak dan lemak hewan
2 Mengurangi, meskipun tidak menghilangkan, ketergantungan negara dalam
mengimpor petroleum.
3 Biodiesel merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui dan mengurangi
dampak pemanasan global karena siklus karbonnya yang tertutup. Analisis
siklus hidup biodiesel menunjukkan bahwa keseluruhan emisi CO2 berkurang
sebesar 78% dibandingkan dengan bahan bakar diesel berbahan petroleum.
4 Emisi buang karbon monoksida, hidrokarbon yang tidak terbakar, dan emisi
partikel padat dari biodiesel lebih rendah dibandingkan bahan bakar diesel.
6
5 Ketika ditambahkan ke dalam bahan bakar diesel yang reguler dalam jumlah
1 – 2%, dapat mengubah kelemahan sifat bahan bakar, misalnya bahan bakar
diesel yang rendah kadar sulfur dan menjadi bahan bakar yang dapat diterima.
Biodiesel membutuhkan bahan baku minyak nabati yang dapat dihasilkan
dari tanaman yang mengandung asam lemak seperti kelapa sawit (crude palm
oil/CPO), jarak pagar (crude jatropha oil/CJO), kelapa (crude coconut oil/CCO),
sirsak, srikaya, kapuk, dll. Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Kelapa sawit merupakan salah
satu sumber bahan baku minyak nabati yang prospektif dikembangkan sebagai
bahan baku biodiesel di Indonesia, mengingat produksi CPO Indonesia cukup
besar dan meningkat tiap tahunnya (Triwahyuningsih dan Adiprasetya 2009).
Indonesia dan Malaysia adalah 2 produsen minyak sawit mentah terbesar di
dunia. Bersama-sama, kedua negara ini menghasilkan 90% dari minyak sawit
mentah (crude palm oil, CPO) dunia. CPO dewasa ini merupakan bahan mentah
utama produksi biodiesel di seluruh dunia. Minyak sawit adalah satu-satunya
bahan mentah biodiesel yang banyak tersedia, karena dewasa ini Indonesia
memproduksi 19.5 juta ton/tahun CPO; 4.5 juta ton/tahun dikonsumsi oleh
industri pangan dalam negeri (terutama untuk minyak goreng), 2.5 juta ton/tahun
digunakan oleh produsen-produsen biodiesel dan sisanya diekspor (USAID 2009).
Pemanfaatan minyak nabati secara langsung sebagai bahan bakar mesin
diesel (biodiesel), ternyata masih dijumpai suatu masalah. Masalah yang dihadapi
tersebut terutama disebabkan oleh viskositas minyak nabati yang terlalu tinggi
(Krisnangkura et al. 2010) jika dibandingkan dengan diesel petroleum. Masalah-
masalah akan muncul setelah mesin beroperasi dengan menggunakan minyak
nabati dalam waktu yang lama, khususnya dengan sistem injeksi langsung.
Permasalahan tersebut meliputi:
1 pembentukan kerak dan bentuk yang menyerupai trompet pada injektor
sedemikian rupa sehingga proses atomisasi bahan bakar tidak berlangsung
dengan baik atau terhalang karena orifice yang tersumbat,
2 penumpukan karbon,
3 minyak ring tersendat dan
7
4 penebalan serta gelling pada minyak pelumas sebagai akibat dari kontaminasi
minyak nabati (Ma dan Hanna, 1999).
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan proses konversi minyak
nabati kedalam bentuk ester (metil ester) dari asam lemak minyak nabati melalui
proses transesterifikasi (Hamid dan Yusuf 2002).
Proses Produksi Biodiesel
Biodiesel dihasilkan melalui suatu proses yang dikenal sebagai
transesterifikasi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Trigliserida Metanol FAME Gliserol
Gambar 1 Persamaan stoikiometri reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi
biodiesel
Dimana R1, R2, dan R3 merupakan rantai panjang hidrokarbon, sering
disebut sebagai rantai asam lemak (Gerpen 2005). Reaksi tersebut dibagi ke dalam
3 tahapan, yaitu pembentukan produk antara digliserida (DG) dan monogliserida
(MG) (Utami et al. 2007) dan produk yang diinginkan yaitu FAME (fatty acid
methyl esters), dengan hasil samping dari produksi tersebut yaitu gliserin.
Tahapan tersebut berlangsung seperti pada Gambar 2 (Marchetti et al. 2007).
Gambar 2 Tahapan reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi biodiesel
(R’COOR)
Keseimbangan reaksi terjadi pada kondisi, 3 mol metanol direaksikan dengan 1
mol minyak. Menurut Hong et al. (2009), selama terjadinya reaksi, agar
keseimbangan selalu bergerak ke kanan, maka metanol yang direaksikan
sebaiknya dalam jumlah yang berlebih dengan kata lain lebih dari rasio
O || CH2 - O - C – R1 | | O | || CH - O - C - R2 + 3 CH3OH | | O | || CH2 - O - C - R3
O || CH3 - O - C – R1 O CH2 - OH || | CH3 - O - C - R2 + CH - OH | O CH2 - OH || CH3 - O - C - R3
(katalis)
8
stoikiometri reaksi transesterifikasi. Reyes et al. (2010) menyarankan
perbandingan antara alkohol dengan trigliserida adalah 6:1.
Metode produksi biodiesel dapat dibedakan ke dalam dua cara, yaitu secara
katalitik dan non-katalitik (Petchmala et al. 2008). Pengolahan secara katalitik
menggunakan NaOH (Tomoki 2008) atau KOH sebagai katalis basa, H2SO4
sebagai katalis asam, dan lipase sebagai katalis yang berasal dari enzim (Marchetti
et al. 2007, dan Yoo et al. 2011). Sedangkan, pengolahan secara non-katalitik
dilakukan pada kondisi superkritis dari alkohol (tekanan dan temperatur tinggi
yaitu sekitar 350 oC, 30 MPa (Kusdiana dan Saka 2001), 570 – 600 K dan 10 – 15
MPa (Valle et al.) atau menggunakan uap metanol lewat jenuh (superheated
methanol vapor) (Joelianingsih 2008).
Proses produksi biodiesel secara non-katalitik dapat dilakukan dengan
menggunakan kondisi superkritis metanol tanpa menggunakan katalis (Kusdiana
dan Saka 2001, Hong et al. 2009 dan Kim et al. 2007). Cara ini akan memberikan
waktu yang lebih singkat dan cara pemurnian yang lebih mudah serta lebih ramah
lingkungan jika dibandingkan dengan proses katalis (Petchmala et al. 2008).
Namun, metode ini memiliki kelemahan yaitu kondisi superkritis (kondisi
temperatur tinggi yang disertai dengan tekanan tinggi) memberikan resiko
terhadap terjadinya ledakan, cukup besar. Oleh karena itu, dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai cara untuk mengatasi permasalahan tersebut, hingga
ditemukannya cara produksi biodiesel pada tekanan atmosfer. Namun, proses
terbentuknya FAME masih membutuhkan waktu yang cukup lama (menurut
Joelianingsih (2008) dengan alat bubble column reactor sekitar 270 sampai 300
menit waktu reaksi) atau dengan kata lain, laju reaksi pada proses superheataed
methanol vapor masih sangat rendah. Sehingga, proses produksi secara non-
katalitik masih dirasakan sulit untuk dikembangkan pada skala besar dan
membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.
Produksi Biodiesel secara Katalitik
Katalis berfungsi untuk menurunkan energi aktivasi yang diperlukan untuk
berlangsungnya suatu reaksi. Sehingga, jumlah partikel yang mampu bereaksi
bertambah banyak, seperti yang terlihat pada Gambar 3.
9
Gambar 3 Pengaruh katalis terhadap energi aktivasi (Clark 2004).
Menambahkan katalis memberikan perubahaan yang berarti pada energi
aktivasi. Katalis menyediakan satu rute alternatif bagi reaksi. Rute alternatif ini
memiliki energi aktivasi yang rendah. Katalis hanya mempengaruhi laju
pencapaian kesetimbangan, bukan posisi keseimbangan (misalnya: membalikkan
reaksi). Katalis tidak mengganggu gugat hasil kesetimbangan suatu reaksi dimana
konsentrasi atau massanya setelah reaksi selesai sama dengan konsentrasi atau
massa reaksi sebelum reaksi dilangsungkan (Clark 2004).
Proses produksi dengan menggunakan katalis asam akan memberikan nilai
yield yang sangat besar namun reaksinya sangat lambat (dapat mencapai lebih satu
hari). Selain itu, jumlah alkohol yang digunakan sangat banyak (biasanya dengan
mol rasio 30:1 mol alkohol/mol minyak). Pemakaian katalis enzim memberikan
harapan terhadap proses produksi biodiesel yang lebih aman terhadap lingkungan.
Namun, sama halnya dengan katalis asam, katalis enzim membutuhkan waktu
yang sangat lama agar reaksi dapat berlangsung. Selain itu, proses produksi
dengan katalis enzim juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena
itu, katalis yang biasa digunakan dalam produksi biodiesel secara katalitik adalah
katalis basa (yang biasa digunakan adalah KOH dan NaOH). NaOH dan KOH
adalah jenis basa kuat yang dapat terlarut dalam metanol dan etanol (Marchetti et
al. 2005).
Sebelumnya hanya sejumlah partikel yang berada
pada area di bawah kurva pada bagian ini yang
memiliki energi yang cukup untuk bereaksi
Sebelumnya hanya sejumlah partikel yang berada
pada area di bawah kurva pada bagian ini yang
memiliki energi yang cukup untuk bereaksi
Energi
Energi aktivasi
sebelumnya
Partikel-partikel
yang tidak
memiliki energi
yang cukup untuk
bereaksi
Energi aktivasi yang baru
Sebelumnya hanya sejumlah
partikel yang berada pada area
di bawah kurva pada bagian
ini yang memiliki energi yang
cukup untuk bereaksi
Sekarang semua partikel ini juga
memiliki energi yang cukup untuk
bereaksi
Jumlah
partikel
10
Alasan lain yang menyebabkan pemakaian katalis basa lebih dipilih dalam
proses produksi untuk skala industri adalah karena proses secara alkali (basa)
akan lebih efisien dan rendah korosif daripada proses secara asam, alkohol yang
digunakan lebih sedikit (biasanya 6:1 mol/mol), dan dengan temperatur proses
yang lebih rendah.
Tabel 1 Pemakaian katalis basa pada produksi biodiesel
Autor Katalis Jumlah (%)
Arquiza et al. (2000)* NaOH 0.5
Felizardo et al. (2006)* NaOH 0.6
Chhetri et al. (2008)* NaOH 0.08
Tomasevic dan Marinkovic (2003)* KOH 1
Reefat et al. (2008)* KOH 1
Phan dan Phan (2008)* KOH 0.75
Allawzi dan Kandah (2008)* KOH 1.2
Tang et al. (2007)** NaOH 0.8
Tapanes et al. (2008)** NaOH 0.8
Chitra et al. (2005)** NaOH 1
Berchmans et al. (2010)** KOH 1
Sumber: *Math et al. (2010); **Juan et al. (2011)
Tabel 1 menunjukkan bahwa pemakaian katalis NaOH dapat diturunkan
hingga 0.08% w/w, sedangkan untuk KOH rata-rata masih sebanyak 1% w/w.
Oleh karena itu, perlu dibuat suatu sistem yang dapat menurunkan pemakaian
KOH. Untuk menurunkan pemakaian KOH dapat dilakukan dengan
meningkatkan intensitas tumbukan partikel-partikel yang bereaksi. Tumbukan
tumbukan akan menghasilkan reaksi jika partikel-partikel bertumbukan dengan
energi yang cukup untuk memulai suatu reaksi atau yang sering disebut sebagai
energi aktivasi. Peningkatan frekuensi tumbukan dapat dilakukan dengan
meningkatkan temperatur proses, konsentrasi dari pereaksi dan meningkatkan
pengadukan.
Untuk mempercepat reaksi, perlu meningkatkan jumlah dari partikel-
partikel energik (partikel-partikel yang memiliki energi yang sama atau lebih
besar dari energi aktivasi). Hampir sebagian besar reaksi yang terjadi baik di
laboratorium maupun industri akan berlangsung lebih cepat apabila dipanaskan.
Peningkatan temperatur dapat meningkatkan laju reaksi karena bertambahnya
jumlah energi tumbukan aktif (Clark 2004). Sebagian reaksi berlangsung pada
temperatur ruang, laju reaksi akan meningkat dengan meningkatnya temperatur.
11
Peningkatan konsentrasi salah satu reaktan dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya tumbukan. Namun, apabila menggunakan katalis padat
dalam jumlah yang sedikit dalam reaksi, dan direaksikan dengan reaktan yang
memiliki konsentrasi yang cukup tinggi, maka permukaan katalis akan seluruhnya
diliputi oleh partikel yang bereaksi sehingga mengurangi fungsi katalis. Selain itu,
peningkatan konsentrasi larutan terkadang tidak memberikan efek apa-apa karena
katalis telah bekerja pada kapasitas maksimumnya (Clark 2004). Cara lain untuk
meningkatkan frekuensi tumbukan adalah dengan proses pengadukan.
Mekanisme Pengadukan Konvensional Blade Agitator
Sebagian besar proses bergantung pada keberhasilannya dalam mengaduk
dan mencampur fluida. Pengadukan cairan biasanya dilakukan di dalam tangki
atau bejana, biasanya berbentuk silinder dengan sumbu vertikal. Pengaduk yang
digunakan dapat berupa impeler yang dipasang menggantung pada poros yang
digerakkan oleh motor. Impeler menciptakan pola aliran dalam sistem,
menyebabkan cairan beredar pada bejana dan akhirnya kembali ke impeler.
Pola aliran pada sistem pengadukan dengan menggunakan agitator
bergantung pada tipe impeler yang digunakan, karakteristik fluida, dan ukuran
serta bentuk tangki, baffle, dan agitator. Pada aliran berputar, cairan mengalir
dengan arah pergerakan mengikuti sudu impeler, kecepatan relatif antara blade
dan liquid berkurang, dan tenaga yang dapat diserap oleh liquid terbatas.
Prinsip dalam aliran adalah radial dan tangensial. Kompenen tangensial
akan menyebabkan terbentuknya vortex (pusaran) dan putaran, yang harus
dicegah dengan memasang buffle atau cincin diffuser. Dalam bejana yang tidak
memiliki buffle putaran aliran dipengaruhi oleh semua tipe impeler, baik aliran
aksial maupun radial. Apabila putarannya kuat, pola aliran di dalam tangki
sebenarnya sama untuk semua bentuk impeler. Pada impeler yang berkecepatan
tinggi, vortex akan terbentuk hingga mencapai impeler (hal ini tidak diinginkan)
(McCabe et al. 1993), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
12
Gambar 4 Pola aliran di dalam bejana tanpa buffle pada sistem pengadukan
dengan blade agitator (McCabe et al. 1993)
Static Mixer
Selama ini pada produksi biodiesel, peningkatan frekuensi tumbukan
dilakukan dengan menggunakan blade agitator yang memanfaatkan kerja dari
moving part. Pemakaian moving part tersebut perlu dihindari untuk mengurangi
pemakaian energi dan perawatan tambahan. Penambahan komponen mixer yang
bekerja statis dapat dilakukan untuk menghindari hal tersebut.
Pemakaian static mixer dalam produksi biodiesel telah dilakukan
sebelumnya oleh Alamsyah (2010). Dalam hal ini static mixer berfungsi untuk
mempermudah kerja katalis dalam mempercepat terjadinya reaksi antara
trigliserida dan metanol melalui proses pengadukan yang dilakukan oleh elemen
statis. Katalis yang digunakan oleh Alamsyah (2010) sebanyak 1% w/w, dan
menghasilkan metil ester sebesar 98.7% dalam waktu 20 menit. Dari kondisi
tersebut terlihat bahwa pemakaian katalis masih dapat diturunkan di bawah 1%
dengan bantuan pengadukan dari static mixer yang menciptakan pemecahan,
pembagian dan pembalikan aliran dengan tujuan mengurangi variasi bahan dan
menghasilkan campuran yang lebih homogen (Kenics 2007).
Energi kinetik yang tebentuk dari aliran (Nevers 1991) yang disebabkan
oleh geometri static mixer, akan menyebabkan partikel-partikel fluida yang
terbentuk menjadi lebih kecil, luas permukaan menjadi besar, sehingga frekuensi
tumbukan yang terjadi dalam reaktor akan semakin besar pula (Clark 2004) dan
Permukaan
cairan
Vortexn
cairan
Samping Bawah
13
pada kondisi temperatur yang sesuai akan mempercepat terjadinya reaksi antar
partikel campuran fluida (trigliserida dan metanol).
Static mixer merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencampur dua
bahan fluida, umumnya fluida yang cair. Namun, juga digunakan untuk
mencampur gas, mencampur gas dengan cairan atau cairan dengan cairan yang
tidak terlarut. Perangkat ini terdiri dari elemen-elemen (umumnya berbentuk
heliks) yang berada di dalam tabung silinder. Elemen tersebut terbuat dari logam
atau sejenis plastik. Demikian pula, selubung mixer dapat dibuat dari logam atau
plastik. Jenis bahan konstruksi untuk komponen static mixer antara lain stainless
steel, polypropylene, teflon, kynar dan polyacetal.
Fluida yang mengalir terus-menerus melewati elemen static mixer akan
mengalami pencampuran dan pengadukan seolah-olah telah mengalami
pengadukan secara batch konvensional dalam tangki (Admix 2010a).
Keberhasilan proses pencampuran tergantung pada beberapa variabel antara lain
sifat fluida, diameter dalam tabung, jumlah elemen, dan desain. Desain geometrik
alat yang tepat dapat menghasilkan pola pembagian aliran dan pencampuran radial
sekaligus.
Gambar 5 Pembagian aliran dan pencampuran radial cairan di dalam static mixer
(Bor dan Thomas 1971).
Pembagian aliran
Pencampuran radial
14
Gambar 6 Pembagian aliran di mixer adalah fungsi dari jumlah elemen dalam
static mixer (Bor dan Thomas 1971).
Proses pembagian aliran bahan (fluida) pada elemen mixer terjadi di bagian
tepi setiap elemen. Aliran yang terbagi tersebut akan mengikuti saluran yang
diciptakan oleh bentuk elemen mixer (heliks), kemudian mengalami pembagian
lagi pada bagian tepi elemen berikutnya sehingga mengakibatkan peningkatan
eksponensial dalam stratifikasi (jumlah bagian yang dihasilkan adalah 2n dimana
'n' adalah jumlah elemen dalam mixer). Selain itu, geometri static mixer juga
menyebabkan terbentuknya aliran turbulen mikro, pencampuran radial (sirkulasi
dan rotasi bahan di sekitar pusat hidrolik) dan transfer momentum di setiap
saluran mixer.
Gambar 7 Aliran fluida dalam static mixing reactor (Admix 2010b).
Proses pencampuran dan pengadukan yang terjadi di saluran static mixer
akan mengurangi atau menghilangkan gradien pada temperatur, kecepatan dan
komposisi bahan (Bor dan Thomas 1971; Admix 2010b).
Jumlah elemen
1 2 3 4 5
2 4 8 16 32
Jumlah pembagian
Aliran laminar
Pembagian
Pencampuran radial dan
transfer momentum
Aliran turbulen
Pembalikan inersia
Layer = 2e
dimana e = jumlah
elemen
Membentuk aliran
turbulen mikro
Memaksa material berotasi pada
pusat hidroliknya
15
Aliran Fluida dalam Pipa
Ada dua jenis aliran mantap dari fluida yang disebut aliran laminer dan
aliran turbulen. Dalam aliran laminer partikel-partikel fluidanya bergerak di
sepanjang lintasan-lintasan lurus, sejajar dalam lapisan-lapisan atau laminae.
Sedangkan pada aliran turbulen partikel-partikel bergerak secara serampangan ke
semua arah (Giles 1996).
Fluida yang mengalir dalam aliran yang turbulen memiliki energi kinetik
per satuan massa yang lebih besar jika dibandingkan dengan fluida yang mengalir
dengan kecepatan yang sama pada aliran yang tidak turbulen. Dengan demikian,
semakin meningkat intensitas turbulensi, maka “energi kinetik turbulen” akan
semakin besar. Energi kinetik turbulen membentuk aliran dari konversi viskositas
menjadi energi dalam (Nevers 1991).
Kinetika Reaksi Transesterifikasi
Laju Reaksi dan Orde Reaksi Transesterifikasi
Laju reaksi biasanya diukur dengan melihat berapa cepat konsentrasi suatu
reaktan berkurang pada waktu tertentu. Dengan melakukan percobaan yang
melibatkan reaksi antara A dan B, akan diperoleh bahwa laju reaksi berhubungan
dengan konsentrasi A dan B, seperti pada persamaan (1).
r = k[A]a[B]
b ........................................................................................ (1)
dimana:
r = laju reaksi (mol s-1
)
k = konstanta laju reaksi
A, B = konsentrasi reaktan yang bereaksi (mol)
a, b = orde reaksi terhadap A, B
Persamaan laju menunjukkan pengaruh dari perubahaan konsentrasi reaktan
terhadap laju reaksi. Faktor-faktor lainnya seperti temperatur, katalis (Clark 2004)
serta konstanta laju reaksi juga mempengaruhi laju reaksi. Dari persamaan (1)
terlihat bahwa laju reaksi dipengaruhi oleh pangkat dari konsentrasi A dan B yang
merupakan orde reaksi terhadap A dan B.
Penyelidikan sebuah reaksi bertujuan untuk menentukan model laju dan
konstanta laju reaksi, pada beberapa temperatur. Idealnya, langkah pertama adalah
16
mengidentifikasi semua produk dan menyelidiki apakah terdapat reaksi
intermediate dan reaksi samping yang terlibat. Penentuan laju reaksi
disederhanakan dengan metode isolasi pada konsentrasi seluruh reaktan yang
berlebih. Apabila salah satu reaktan memiliki kelebihan konsentrasi, maka
konsentrasi reaktan tersebut dapat dianggap konstan selama reaksi berlangsung
(Atkins 1990).
Apabila laju reaksi tersebut mengikuti model reaksi orde pertama, maka
menjadi persamaan (2)
= - k[A]1 ...................................................................................... (2)
Kemudian persamaan (2) tersebut diintegrasikan diantara limit waktu = 0 dan
waktu t dengan konsentrasi yang beragam dari konsentrasi awal [A]o pada waktu
nol ke [A] pada waktu setelahnya sehingga menghasilkan persamaan (3)
........................................................................... (3)
Dari hasil integrasi tersebut diperoleh persamaan (4)
atau ............................................................ (4)
(House 2007).
Kinetika reaksi pada sistem produksi biodiesel dalam reaktor dibuat
berdasarkan reaksi transesterifikasi overall, dengan asumsi bahwa reaksi
berlangsung irreversible karena reaktan (alkohol) yang digunakan sangat berlebih
sehingga konsentrasi dari alkohol selama reaksi dapat dianggap tetap. Pada
kondisi ini perubahan jumlah alkohol pada reaksi tidak akan mempengaruhi laju
reaksi (Utami et al. 2007).
Apabila model orde reaksi yang berlaku untuk keseluruhan reaksi adalah
orde kedua, maka persamaan laju reaksi setelah melalui teknik isolasi dengan
konsentrasi B yang berlebih akan memberikan hasil seperti persamaan (5)
= k [A]2 ......................................................................................... (5)
Model tersebut merupakan model pseudo orde kedua (Atkins 1990).
Model laju reaksi tidak selalu mengikuti persamaan kesetimbangan pada
suatu reaksi. Jika persamaan (5) diintegrasikan antara limit konsentrasi [A]o pada t
= 0 dan [A] pada waktu t, maka akan menghasilkan laju reaksi dengan persamaan
17
..................................................................................... (6)
Sama halnya pada suatu reaksi yang mengikuti model reaksi dengan orde
ketiga dan salah satu reaktannya dalam jumlah yang berlebih, maka setelah
melalui teknik isolasi akan memiliki persamaan seperti persamaan (7):
= - k[A]3 ....................................................................................... (7)
Jika persamaan diintegrasikan antara limit konsentrasi [A]o pada t = 0 dan [A]
pada waktu t, maka diperoleh hasil integrasi laju reaksi pada persamaan (8)
................................................................................. (8)
(House 2007).
Dari perhitungan laju reaksi tersebut, maka nilai konstanta laju reaksi
(tetapan laju) dapat ditentukan dengan cara memplotkan ke dalam grafik
hubungan antara perubahan konsentrasi (sesuai dengan model orde reaksi yang
sesuai) terhadap waktu.
Persamaan Arrhenius
Konstanta laju reaksi (tetapan laju) sebenarnya tidak benar-benar konstan.
Konstanta ini berubah, jika temperatur reaksi ataupun katalis yang digunakan
dalam reaksi diubah. Nilai konstanta laju reaksi dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan Arrhenius.
......................................................................................... (9)
Dimana:
- T : temperatur (Kelvin).
- R : konstanta atau tetapan gas (J K-1
mol-1
)
- EA : energi aktivasi (kJ mol-1
)
- A : Faktor frekuensi (mol-1
)
A, merupakan faktor pre-eksponensial atau faktor sterik. A merupakan
istilah yang meliputi faktor seperti frekuensi tumbukan dan orientasinya. A sangat
bervariasi bergantung pada temperatur walau hanya sedikit. A sering dianggap
sebagai konstanta pada jarak perbedaan temperatur yang kecil.
Persamaan Arrhenius dapat dinyatakan dalam bentuk logaritmik seperti
pada persamaan (10)
................................................................................... (10)
18
Persamaan Arrhenius dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh dari
perubahaan temperatur pada tetapan reaksi dan laju reaksi. Jika misalkan tetapan
laju berlipatganda, maka laju reaksi juga akan berlipatganda. Utami et al. (2007)
dan Dasari (2003) telah membuktikan bahwa kenaikan temperatur berpengaruh
terhadap kenaikan konstanta laju reaksi atau dengan kata lain mempercepat
terjadinya reaksi. Faktor frekuensi (A) dalam persamaan ini kurang lebih konstan
untuk perubahaan temperatur yang kecil. Katalis akan menyediakan rute agar
reaksi berlangsung dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis adalah suatu
zat yang mempercepat suatu laju reaksi, namun ia sendiri, secara kimiawi, tidak
berubah pada akhir reaksi. Ketika reaksi selesai, akan diperoleh massa katalis
yang sama seperti pada awal ditambahkan (Clark 2004)
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinetika reaksi pada proses ini adalah
pencampuran dan intensitas pengadukan. Sudah jelas bahwa kinetika yang
melibatkan reaksi dengan alkohol sangat dipengaruhi oleh intensitas pengadukan
reaktan di dalam campuran, karena proses ini terjadi pada sistem yang heterogen
dari dua fase yang tidak terlarut. Oleh karena itu diperlukan kondisi pengadukan
yang mampu meningkatkan yield biodiesel atau untuk mempersingkat waktu
proses, misalnya high shear mixer, reaktor dengan aliran yang berputar, dan
ultrasound reactor (Reyes et al. 2010).