TINJAUAN PUSTAKAdigilib.unila.ac.id/20894/13/BAB II.pdf · 2.1.1 Pengertian Lansia ... tidak...
Transcript of TINJAUAN PUSTAKAdigilib.unila.ac.id/20894/13/BAB II.pdf · 2.1.1 Pengertian Lansia ... tidak...
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Lansia adalah manusia yang berusia lebih dari atau sama dengan 65
tahun di negara maju, tetapi untuk negara yang sedang berkembang
disepakati bahwa kelompok manusia usia lanjut adalah usia sesudah
melewati atau sama dengan 60 tahun (Oenzil, 2012). Menurut WHO,
pengelompokkan lansia berdasarkan usianya dibagi menjadi empat
kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun; lansia
(elderly) 60-74 tahun; lansia tua (old) 75-90 tahun; usia sangat tua
(very old) usia diatas 90 tahun (Fatmah 2010).
2.1.2 Teori Proses Penuaan
Teori proses penuaan pada lansia antara lain:
1. Teori Radikal Bebas
Teori radikal bebas menyebutkan bahwa produk hasil
metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat
7
bereaksi dengan berbagai komponem penting selular, termasuk
protein, DNA, dan lipid, dan menjadi molekul-molekul yang
tidak berfungsi tetapi bertahan lama dan mengganggu fungsi sel
lainnya. Radikal bebas dapat merusak fungsi sel dengan merusak
membran sel atau kromosom sel. Kemudian, teori radikal bebas
menyatakan bahwa terdapat akumulasi radikal bebas secara
bertahap di dalam sel sejalan dengan waktu, dan bila kadarnya
melebihi konsentrasi ambang maka mereka akan berkontribusi
pada perubahan-perubahan yang seringkali dikaitkan dengan
penuaan (Setiati et al., 2009).
2. Teori Glikosilasi
Pada teori ini dinyatakan bahwa proses glikosilasi nonenzimatik
yang menghasilkan pertautan glukosa-protein yang disebut
sebagai advanced glycation end product (AGEs) dapat
menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain yang
termodifikasi sehingga menyebabkan disfungsi pada hewan atau
manusa yang menua (Setiati et al., 2009)
3. Teori DNA Repair
Teori DNA repair dikemukakan oleh Hart and Setlow. Mereka
menujukkan bahwa adanya perbedaan pola laju repair kerusakan
DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada berbagai
fibroblas yang dikultur (Setiati et al., 2009).
8
2.1.3 Fisiologi Proses Penuaan
Secara alami, fungsi fisiologi dalam tubuh lansia menurun seiring
pertambahan usianya. Penurunan fungsi ini tentunya menurunkan
kemampuan lansia tersebut untuk menanggapi rangsangan baik dari
luar tubuh maupun dari dalam tubuh lansia itu sendiri. Perubahan
fungsi fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi penurunan
kemampuan sistem saraf, yaitu pada indera penglihatan,
pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Selanjutnya perubahan
ini juga melibatkan penurunan sistem pencernaan, sistem saraf,
sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem kardiovaskular, hingga
penurunan kemampuan muskuloskeletal (Fatmah, 2010).
Sejumlah sistem tubuh pada lansia mengalami penurunan yang
diuraikan sebagai berikut (Fatmah, 2010):
1. Sistem Imun
Bagian tubuh yang bertanggung jawab dalam hal penanganan
infeksi adalah sistem pertahanan tubuh. Contoh sistem
pertahanan dalam tubuh adalah batuk, bersin, permukaan
mukosa, kulit, sel silia, air mata, dan pH cairan lambung. Pada
lansia, mekanisme ini menurun kemampuannya. Penurunan
kemampuan ini menyebabkan penurunan kemampuan tubuh
dalam menghilangkan bakteri dan virus yang masuk ke dalam
tubuh.
9
2. Sistem Saraf
Pada lansia, risiko sindrom Parkinson dan demensia tipe
Alzheimer disebabkan adanya generasi pigmen substansia nigra,
kekusutan neurofiblriler, dan juga pembentukan badan-badan
hinaro. Selain itu, pada lansia resiko demensia vaskular
meningkat.
3. Sistem Pencernaan
Pada pencernaan lansia terjadi perubahan pada kemampuan
digesti dan absorpsi. Secara gradual, pada lansia, terjadi
penurunan sekresi asam dan enzim. Dinding usus (intestinal)
menjadi kurang permeabel terhadap nutrisi. Sebagai akibatnya,
pencernaan makanan dan absorpsi molecular menjadi berkurang.
4. Sistem Pernapasan
Jummlah kantung udara (alveoli) pada lansia akan berkurang
dibandingkan saat usia dewasa. Masalah gangguan pernapasan
yang timbul pada lansia adalah radang paru-paru (pneumonia),
tuberkulosis, bronkitis, emfisema dan turunnya daya tahan paru-
paru karena merokok dan polusi udara, yang menjadikan lansia
rentan terhadap berbagai gangguan paru-paru dan pernapasan.
5. Sistem Muskuloskeletal
Kelenturan, kekuatan otot, dan daya tahan sistem muskuloskeletal
10
pada lansia umumnya berkurang, namun pengurangan ini tidak
ditemukan pada lansia yang masih sering menggerakkan
tubuhnya. Hanya saja, lansia umumnya mengurangi aktivitas fisik
seiring dengan pertambahan usianya.
6. Sistem Ekskresi Urogenital
Dengan bertambahnya usia, ginjal akan kurang efisiensi dalam
memindahkan kotordan dari saluran darah. Kondisi kronik seperti
diabetes atau tekanan darah tinggi dan beberapa pengobatan
dapat merusak ginjal. Pada lansia akan mengalami kelemahan
dalam mengontrol kandung kemih (urinary incontinence).
7. Sistem Kardiovaskular
Seiring pertambahan usia akan terjadi penurunan elastisitas dari
dinding aorta. Hal ini juga disertai dengan berkembangnya
kaliber aorta. Organ jantung pada lansia tidak mengalami
penurunan ukuran seperti organ-organ lain, bahkan jantung pada
lansia umumnya membesar. Perubahan secara fisiologis ini dapat
terjadi pada katup-katup jantung fibrosa stroma jantung,
penumpukan lipid, degenerasi kolagen, dan juga kalsifikasi
jaringan fibrosa jaringan katup tersebut. Ukuran katup un
beratambah dengan penambahan usia.
11
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang berada
di atas normal yaitu 120 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk
diastolik. Penyakit ini masuk dalam katergori the silent disease
karena penderita tidak mengetahui dirinya mengidap penyakit
hipertensi memeriksa tekanan darahnya. Diagnosis hipertensi
ditetapkan setelah melakukan minimal tiga kali pengukuran pada
lebih dari dua waktu yang berbeda (Rakhmawati, 2013).
2.2.2 Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, penyakit hipertensi dapat dibagi menjadi
2 golongan yaitu :
a. Hipertensi essensial atau primer
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi essensial sampai saat ini masih idiopatik atau belum dapat
diketahui penyebabnya. Kurang lebih 90% penderita hipertensi
tergolong hipertensi essensial sedangkan sisanya tergolong hipertensi
sekunder. Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang
penyebabnya dapat diketahui seperti kelainan pembuluh darah ginjal,
gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal
(hiperaldosteronisme) dan lain-lain (Depkes RI, 2006).
12
Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, detection, evaluation and treatment of high blood
pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa
terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I
dan derajat 2 (U.S. Department of Health and Human Services,
2004).
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah (Depkes RI, 2006)Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)Normal ≤120 ≤80Prehipertensi 120-139 80-90Hipertensi derajat 1 140-150 90-99Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100
2.2.3 Hipertensi Pada Usia Lanjut
Tekanan darah arterial diatur oleh dua variabel, yaitu curah jantung
(cardiac output) dan resistensi perifer total. Curah jantung ditentukan
oleh sejumlah faktor, demikian pula seperti resistensi perifer total
(Guyton & Hall, 2007). Ketika terjadi peningkatan curah jantung,
penambahan resistensi perifer atau karena keduanya maka akan
terjadi peningkatan tekanan darah. Perubahan struktural pada
pembuluh darah arteri pada lansia yang diakibatkan oleh penebalan
tunika intima terjadi karna adanya proses arterosklerosis dan tunika
intima menjadi kaku dan fibrotik. Akibatnya, tekanan darah sistolik
(TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD) akan meningkat. Dua per
tiga pasien hipertensi yang berusia sekitar 60 tahun mempunyai
hipertensi sistolik terioslasi (HST), sedangkan diatas 75 tahun tiga
13
perempat dari seluruh pasien mempunyai hipertensi sistolik. HST
merupakan keadaan dengan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≤90 mmHg. HST terjadi akibat hilangnya
elastisitas arteri akibat proses penuaan yang terjadi pada lansia.
Kekakuan pada dinding aorta akan meningkatkan tekanan darah
diastolik dan pengurangan volume aorta, yang pada akhirnya akan
menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik (Suhardjono, 2009).
2.3 Status Gizi
2.3.1 Definisi
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang
yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan
zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih. Penilaian status
gizi adalah sebuah cara untuk mendefinisikan semua informasi yang
diperoleh melalui penilaian antropometri, konsumsi makanan,
biokimia dan klinik (Sunita et al., 2011).
2.3.2 Penilaian Status Gizi
Penilianan status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan
dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi
populasi atau individu yang beresiko atau dengan status gizi buruk
14
(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2009). Penilaian status
gizi terdiri dari dua jenis, yaitu (Sunita et al., 2011):
a. Penilaian langsung
1. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia.
Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antopometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi.
2. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan yang
terjadi yang dihubungkan dengan ketidak cukupan zat gizi.
Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial
epithelial tissue) seperti kulit, mata, rambutan dan mukosa
oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan
tubuh.
3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan
15
antara lain: darah, urine, tinja, dan juga beberapa jarinagn
tubuh seperti hati dan otot.
4. Biofisik
Pemeriksaan status gizi secara biofisik adalah metode
penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi
(khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari
jaringan.
b. Penilaian tidak langsung
1. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status
gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis
zat gizi yang dikonsumsi.
2. Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data statistik kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian
akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang
berhubungan dengan gizi.
16
2.3.3 Penilaian antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos
artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah
ukuran dari tubuh (Supariasa et al., 2012). Menurut Lee dan Nieman
(2007): “Antropometri adalah pengukuran besar tubuh, berat badan,
dan proporsi”. Ukuran antropometri dapat digunakan untuk
mengevaluasi status gizi. Data ini penting dalam memonitoring
pengaruh intervensi gizi dalam upaya penyembuhan penyakit,
trauma, pembedahan, atau gizi salah (Almatsier et al., 2011).
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter, antara lain (Supariasa et al., 2012):
1. Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi.
Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi
status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan
berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak
disertai dengan penentuan umur yang tepat.
2. Berat badan
Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air dan
mineral pada tulang. Berat badan merupakan pilihan utama
17
karna mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karna
perubahan konsumsi makan dan kesehatan.
3. Tinggi badan
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan
yang telah lalu dan keadaan sekarang jika umur tidak diketahui
dengan tepat. Disamping itu, tinggi badan merupakan ukuran
kedua yang penting, karena dengan menghubungkan berat
badan terhadap tinggi badan, faktor umur dapat
dikesampingkan.
4. Lingkar lengan atas
Lingkar lengan atas (LLA) merupakan salah satu pilihan untuk
penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak
memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang
lebih murah.
5. Lingkar kepala
Lingkar kepala adalah standar prosedur dalam ilmu kedokteran
anak secara praktis, yang biasanya untuk memeriksa keadaan
patologi dari besarnya kepala atau peningkatan ukuran kepala.
18
Tabel 2. Klasifikasi indeks massa tubuh untuk orang Asia(Harahap et al., 2005)
IMT Status Gizi< 18,4 kg/m2 Gizi Kurang
18,5 – 23 kg/m2 Gizi Normal> 23 kg/m2 Gizi Lebih
Penilaian status gizi lansia dapat diukur dengan antropometri atau
ukuran tubuh, yaitu tinggi badan (TB) dan berat badan (BB). Akan
tetapi, pengukuran tinggi badan lansia sangat sulit dilakukan
mengingat adanya masalah postur tubuh seperti terjadinya kifosis
atau pembengkokan tulang punggung, sehingga lansia tidak dapat
berdiri tegak. Oleh karena itu, pengukuran tinggi lutut, panjang
depa, dan tinggi duduk dapat digunakan untuk memperkirakan
tinggi badan (Fatmah, 2010).
Data tinggi badan dan berat badan kemudian dimasukkan dalam
rumus IMT yaitu :
1. Pengukuran panjang depa
Panjang depa merupakan salah satu prediktor tinggi badan
lansia dan dianggap sebagai pengganti ukuran tinggi badan
lansia, karena usia berkaitan dengan penurunan tinggi badan.
Panjang depa relatif kurang dipengaruhi oleh pertambahan
usia. Akan tetapi, nilai panjang depa pada kelompok lansia
( )( )
19
cenderung lebih rendah daripada kelompok dewasa muda.
Pada kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai
panjang depa yang lebih lambat dibandingkan dengan
penurunan tinggi badan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
panjang depa cenderung tidak banyak berubah seiring dengan
bertambahnya usia. Panjang depa direkomendasikan sebagai
parameter prediksi tinggi badan, tetapi tidak seluruh populasi
memiliki hubungan 1:1 antara panjang depa dengan tinggi
badan. Pengukuran panjang depa tidaklah mahal dana
prosedurnya sederhana, sehingga mudah dilakukan di
lapangan. Lansia akan mengalami penurunan tinggi badan
akibat terjadi pemendekan columna vertebralis, berkurangnya
massa tulang (12% pada pria dan 25% pada wanita),
osteoporosis dan kifosis. Rata – rata penurunan tinggi badan
lansia sekitar 1-2cm per 10 tahun. Proses penuaan tidak
mempengaruhi panjang tulang ditangan (panjang depa), kaki
(tinggi lutut, dan tinggi tulang vertebra. Tinggi lutut
direkomendasikan karena mudah dilakukan oleh tenaga
profesional lapangan dan tidak dipengaruhi oleh peningkatan
usia. Panjang depa pada lansia cenderung tidak banyak
berubah seiring pertambahan usia, sehingga juga
direkomendasikan ssebagai parameter prediksi tinggi badan.
Tinggi duduk juga dapat memprediksi tinggi badan lansia,
20
tetapi cenderung menurun seiring pertambahan usia (Fatmah
2010).
Gambar 1. Pengukuran panjang depa pada lansia (Fatmah,
2010)
Pengukuran panjang depa pada lansia diukur dengan alat
mistar panjang 2 meter. Panjang depa biasanya
menggambarkan hasil pengukuran yang sama dengan tinggi
badan normal dan dapat digunakan untuk menggantikan
pengukuran TB. Subjek yang diukur harus memiliki kedua
tangan yang dapat direntangkan sepanjang mungkin dalam
posisi lurus lateral dan tidak dikepal. Jika salah satu kedua
tangan tidak dapat diluruskan karena sakit atau sebab lainnya,
maka pengukuran ini tidak dapat dilakukan. Subjek berdiri
dengan kaki dan bahu menempel pada tembok sepanjang pita
pengukuran yang ditempel di tembok. Pembacaannya
dilakukan dengan skala 0,1 cm mulai dari bagian ujung jari
21
tengah tangan kanan hingga ujung jari tengah tangan kiri
(Fatmah, 2010).
2. Pengukuran berat badan
Berat badan adalah variabel antropometri yang sering
digunakan dan hasilnya cukup akurat. Berat badan juga
merupakan komposit pengukuran ukuran total tubuh. Alat
yang digunakan untuk mengukur berat badan adalah
timbangan injak jarum. Subjek diukur dalamposisi berdiri
dengan ketentuan subjek memakai pakaian seminimal
mungkin, tanpa isi kantong dan sandal. Pembacaan skala
dilakukan pada alat dengan ketelitian 0,1 kg (Fatmah, 2010).
2.4 Keseimbangan postural
2.4.1 Definisi Keseimbangan
Keseimbangan merupakan proses kompleks yang melibatkan
penerimaan dan integrasi input sensorik serta perencanaan dan
pelaksanaan gerakan untuk mencapai tujuan yang membutuhkan
postur tegak. Keseimbangan juga dapat didefinisikan sebagai suatu
kemampuan untuk mengontrol pusat gravitasi agar tetap berada di
atas landasan penopang (Setiati & Laksmi, 2009).
22
Keseimbangan merupakan integrasi yang kompleks dari sistem
somatosensorik (visual, vestibular, proprioceptif) dan motorik
(muskuloskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan
kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal dan
eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basal ganglia,
cerebellum, area assosiasi (Batson, 2009).
Keseimbangan terbagi menjadi 2 yaitu statis dan dinamis
(Abrahamová & Hlavacka, 2008). Keseimbangan statis adalah
kemampuan untuk mempertahankan posisi dalam periode tertentu
dan keseimbangan dinamis untuk memelihara keseimbangan pada
saat melakukan gerakan (Setiati & Laksmi, 2009).
2.4.2 Fisiologi Keseimbangan
Untuk mempertahankan posisi tegak, tubuh memerlukan integrasi
sistem visual, vestibular, proprioseptif yang memberi informasi ke
sistem saraf pusat sebagai pemroses, kemudian sistem
neuromuskuloskeletal sebagai efektor yang mengadaptasi secara
cepat perubahan posisi dan postur (Setiahardja, 2005). Fungsi
keseimbangan atau kontrol postural yang normal bergantung pada
empat sistem yang berbeda dan antara satu sistem dengan sistem
yang lainnya tidak saling tergantung. Sistem ini dibentuk oleh input
vestibular, input proprioseptif atau somatosensorik, input visual, dan
23
yang diintegrasikan oleh pusat sensorik (Guyton & Hall 2007).
Hubungan antar faktor yag mempengaruhi kontrol keseimbangan
dapat dilihat pada gambar berikut (Noohu et al. 2014).
Gambar 2. Interaksi berbagai komponem yang berperan dalam
kontrol keseimbangan (Noohu et al., 2014)
Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika
reseptor visual memberikan masukan tentang orientasi mata dan
posisi kepala dalam hubungan dengan tubuh dan lingkungan sekitar.
Organ vestibuler memberikan informasi ke sistem saraf pusat
tentang posisi dan gerakan dari kepala serta padangan mata melalui
reseptor macula dan krista ampularis yang ada di telinga dalam.
Reseptor di sendi, otot, tendon, ligamentum dan kulit menerima
rangsang proprioseptif tentang posisi badan terhadap kondisi tubuh
di sekitarnya dan posisi antara segmen-segmen tubuh (Setiahardja,
2005).
24
Seluruh rangsangan atau input sensoris yang diterima disalurkan ke
nuklus vestibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi
pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi
disalurkan kembali ke nuklus vestibularis. Terjadilah output atau
keluaran ke neuron motorik otot ekstremitas dan badan berupa
pemeliharaan keseimbangan dan postur yang diinginkan, keluaran ke
neuron motorik otot mata eksternal berupa kontrol gerakan mata, dan
keluaran ke sistem saraf pusat berupa persepsi gerakan dan orientasi.
Mekanisme tersebut jika berlangsung dengan optimal akan
menghasilkan keseimbangan statis yang normal (Guyton & Hall,
2007).
Proprioception dihasilkan melalui respon secara simultan, visual,
vestibular, dan sistem sensorimotor, yang masing-masing
memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas postural. Paling
diperhatikan dalam meningkatkan proprioception adalah fungsi dari
sistem sensorimotor. Meliputi integrasi sensorik, motorik, dan
komponen pengolahan yang terlibat dalam mempertahankan
homeostasis bersama selama tubuh bergerak, sistem sensorimotor
mencakup informasi yang diterima melalui reseptor saraf yang
terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang rawan, dan geometri tulang
yang terlibat 11 dalam struktur setiap sendi. (Riemann & Lephart
2002b). Mereka yang bertanggung jawab untuk proprioception
umumnya terletak di sendi, tendon, ligamen, dan kapsul sendi
25
sementara tekanan reseptor sensitif terletak di fasia dan kulit
(Riemann & Lephart, 2002a).
a. Sistem Vestibular
Sistem vestibular berperan penting dalam keseimbangan,
gerakan kepala dan gerak bola mata. Sistem vestibular meliputi
organ-organ di dalam telinga bagian dalam. Sistem Vestibular
berhubungan dengan sistem visual untuk merasakan arah dan
kecepatan gerakan kepala. Pada telinga bagian dalam terdapat
cairan yang disebut endolymph. Cairan tersebut mengalir
melalui tiga kanal telinga bagian dalam sebagai reseptor saat
kepala bergerak miring dan bergeser. Melalui refleks
vestibulooccular, mereka mengontrol gerak mata, terutama
ketika melihat obyek yang bergerak. kemudian pesan diteruskan
melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi
di batang otak (brain stem) (Watson & Black, 2008).
Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor
labyrinth, formasi (gabungan retikular), dan serebelum. Hasil
dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula
spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot
proksimal, otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-otot
postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga
26
membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan
mengontrol otot-otot postural (Watson & Black, 2008).
b. Sistem Visual
Sistem visual (penglihatan) yaitu mata mempunyai tugas
penting bagi kehidupan manusia yaitu memberi informasi
kepada otak tentang posisi tubuh terhadap lingkungan
berdasarkan sudut dan jarak dengan obyek sekitarnya. Dengan
input visual, maka tubuh dapat beradaptasi terhadap perubahan
yang terjadi di lingkungan sehingga sistem visual langsung
memberikan informasi ke otak, kemudian otak memerikan
informasi agar sistem muskuloskeletal (otot & tulang) agar
dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan
keseimbangan tubuh. Pada gambar dibawah ini kita dapat
melihat sistem visualisasi pada tubuh manusia (Prasad &
Galetta, 2011).
Gambar 3. Sistem visual (Prasad & Galetta, 2011)
27
c. Sistem Somatosensori (Tactile & Proprioceptive).
Sistem Somatosensori mempunyai beberapa neuron yang
panjang dan saling berhubungan satu sama lainnya. Sistem
somatosensori adalah sistem sensorik yang beragam yang terdiri
dari reseptor dan pusat pengolahan untuk menghasilkan
modalitas sensorik seperti sentuhan, temperatur, proprioseptif
(posisi tubuh), dan nosiseptif (nyeri). Reseptor sensorik
menutupi kulit dan epitel, otot rangka, tulang dan sendi, organ,
dan sistem kardiovaskular. Informasi propriosepsi disalurkan ke
otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar
masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula
yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan
thalamus (Willis, 2007).
Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang
sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra
dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung
saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan ligamentum.
Impuls dari alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan
lain, serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan
posisi tubuh dalam ruang (Willis, 2007).
28
2.4.3 Keseimbangan postural
Pada saat berdiri, otot pada leher, trunkus, panggul, ekstensor lutut,
dan plantar fleksor menjaga agar tubuh tetap tegak. Bersamaan
dengan hal tersebut terjadi ayunan postural sebagai usaha dari otot
di atas untuk mempertahankan stabilitas postural. Otot-otot tersebut
disebut otot postural yang secara terus-menerus menjaga agar pusat
massa tubuh berada di dalam landasan penunjang. Pusat massa
tubuh didefinisikan sebagai titik jumlah gaya yang bekerja padanya
sama dengan nol sehingga tubuh berada dalam keseimbangan. Bila
seseorang dalam keadaan berdiri, secara berkesinambungan terjadi
kontrol keseimbangan postural, yaitu usaha untuk mempertahankan
postur tegak pada saat keseimbangan terganggu (Setiahardja, 2005).
Dibawah ini adalah faktor yang mempengaruhi keseimbangan pada
tubuh manusia yaitu:
a. Pusat gravitasi (Center of Gravity)
Center of gravity merupakan titik gravitasi yang terdapat pada
semua benda baik benda hidup maupun mati, titik pusat
gravitasi terdapat pada titik tengah benda tersebut, fungsi dari
Center of gravity adalah untuk mendistribusikan massa benda
secara merata, pada manusia beban tubuh selalu ditopang oleh
titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi jika
terjadi perubahan postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun
berubah, maka akan menyebabkan gangguan keseimbangan
29
berpindah secara otomatis sesuai dengan arah atau perubahan
berat, jika center of gravity terletak di dalam dan tepat di tengah
maka tubuh akan seimbang, jika berada diluar tubuh maka akan
terjadi keadaan unstable. Pada manusia pusat gravitasi saat
berdiri tegak terdapat pada 1 inchi di depan vertebrae sakrum 2
(Masu et al., 2014).
b. Garis gravitasi (Line of Gravity)
Garis gravitasi vertikal melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas
tubuh ditentukan oleh hubungan antara garis gravitasi, pusat
gravitasi dengan base of support (bidang tumpu).
c. Bidang tumpu (Base of Support)
Base of Support dengan permukaan tumpuan. Ketika garis
gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan
seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area
bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi
stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil
dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang
tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin
tinggi (Chang et al., 2009).
30
d. Kekuatan otot (Muscle Strength)
Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau group otot
menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik
secara dinamis maupun secaca statis. Kekuatan otot dihasilkan
oleh kontraksi otot yang maksimal. Otot yang kuat merupakan
otot yang dapat berkontraksi dan rileksasi dengan baik, jika otot
kuat maka keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan
dengan baik seperti berjalan, lari, bekerja ke kantor, dan lain
sebagainya (Sherwood, 2012).
2.4.4 Gangguan keseimbangan pada lansia
Gangguan keseimbangan merupakan suatu kondisi saat seseorang
merasa tidak stabil. Proses menua mengakibatkan perubahan pada
komponem keseimbangan sehingga berperan untuk menyebabkan
gangguan keseimbangan (Noohu et al., 2014).
Usia lanjut berkaitan dengan penurunan kemampuan input
proprioseptif, proses degeneratif pada sistem vestibula, reflek yang
melambat, dan melemahnya kekuatan otot. Kombinasi berbagai
gangguan ini mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk memulai
langkah kaki setelah mengalami gangguan keseimbangan lebih lama
dibandingkan normal yang berarti meningkatkan risiko untuk
terjadinya jatuh (Guyton & Hall, 2007).
31
2.4.5 Pemeriksaan Keseimbangan
Ada beberapa pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi mobilitas
sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis yang menyebabkan
seseorang mengalami ketidakseimbangan postural dan beresiko
untuk jatuh. Tidak ada gold standar untuk mengukur keseimbangan
dan mobilitas fungsional, namun telah dikembangkan berbagai alat
ukur untuk mengukur kemampuan keseimbangan dan mobilitas. Uji
fungsional tersebut antara lain: the timed up and go test (TUG), uji
mengggapain fungsional (functional reach test), dan uji
keseimbangan berg (the Berg Balance sub-scale of the mobility
index) (Setiati & Laksmi, 2009).
a. Tes keseimbangan Romberg
Tes Romberg dapat mempresentasikan tanda hilangnya kontrol
postural akibat tidak adanya input visual dari defisit proprioseptif
di tungkai bawah (Findlay et al., 2009). Tes romberg digunakan
pada pemeriksaan fungsi keseimbangan statis dan
ketidakmampuan untuk menjaga postur berdiri tegak dengan
mata yang terbuka atau tertutup ketika kedua kaki dirapatkan
(Fauci et al., 2012). Tes Romberg yang dipertajam (Sharpened
Romberg Test/SRT) digunakan untuk memeriksa fungsi
keseimbangan dan digunakan sebagai pengganti tes Romberg
karena lebih sensitif. Tes ini dilakukan dengan posisi kaki head
to toe dengan mata terbuka dan tertutup (Johnson et al., 2005).
32
Fungsi keseimbangan diperiksa dengan tes Romberg dan tes
Romberg yang dipertajam. Subjek berdiri tegak pada permukaan
lantai yang datar tanpa menggunakan alas kaki. Tes Romberg
dilakukan dengan berdiri dengan kedua kaki yang dirapatkan
sambil kedua tangan dilipat pada depan dada. Kemudian
responden diminta untuk menutup matanya. Tes Romberg yang
dipertajam dilakukan dengan responden berdiri dalam posisi
tandem yaitu meletakkan tumit kaki yang tidak dominan di depan
kaki yang lain dengan posisi lengan yang sama dengan tes
Romberg. Setelah merasa nyaman dengan posisinya, subjek
diminta untuk menutup matanya. Posisi ini dipertahankan selama
30 detik.pemeriksa berada di sisi subjek. Tes Romberg negatif
bila responden dapat mempertahakan keseimbangannya. Tes
Romberg positif bila responden tidak mampu mempertahankan
posisi seimbang saat mata tertutup yang ditandai dengan adanya
peningkatan goyangan, gerakan tangan atau kaki yang berpindah
atau subjek membbuka matanya pada salah satu baik pada
pemeriksaan dengan tes Romberg atau tes Romberg yang
dipertajam (Johnson et al., 2005; Steffen et al., 2002).
b. Time Up and Go Test (TUG)
Uji Time Up and Go Test (TUG) merupakan modifikasi dari uji
get up and go (GUG) untuk menghilangkan unsur subyektivitas
dalam penilaian uji GUG. Pada uji GUG subyek diminta untuk
33
bangkit dari kursi, dan duduk kembali. Oleh pemeriksa dinilai
cara berjalan dan ada tidaknya gangguan gaya berjalan subyek,
kemudian diberikan nilai berskala 1-5. Nilai 1 berarti normal,
sedangkan nilai 5 menunjukkan abnormalitas berat. TUG juga
digunakan untuk menilai kemampuan seseorang dalam
mempertahakan keseimbangan dalam kondisi dinamis serta
mengetahui resiko jatuh. TUG merupakan pemeriksaan yang
kompleks yang juga melibatkan kemampuan kognitif (Herman et
al., 2011).
TUG Test dianjurkan sebagai tes skrininfg rutin untuk pasien
dengan riwayat jatuh. Pemeriksaan TUG Test dilakukan dengan
cara menghitung waktu seseorang untuk berdiri dari kursi
standar, berjalan 3 meter, berbalik, berjalan kembali ke kursi, dan
duduk lagi. Pada saat dilakukan pemeriksaan, pasien diminta
untuk memakai sepatu biasa, menggunakan perangkat alat bantu
jika ada, dan berjalan pada kecepatan yang nyaman dan aman.
Pemeriksaan dilakukan sebanyak tiga kali dan hasil pemeriksaan
waktunya dirata-ratakan. Jumlah waktu yang didapat kemudian
dibandingkan dengan nilai-nilai normatif untuk usia, jenis
kelamin, dan pedoman berbasis penelitian yang mengukur
peningkatan risiko jatuh dan penurunan fungsional. Pengamatan
fase transisi (naik dari kursi, memulai berjalan, berputar, dan
duduk di kursi) juga dicatat (Jacobs & Fox, 2008). Interpretasi
34
didapatkan bahwa fungsional yang baik bila jumlah waktu ≤13,5
detik dan bila didapatkan jumlah waktu TUG ≥13,5 detik
mengidentifikasikan bahwa responden tersebut mengalami
peningkatan risiko jatuh (Barry et al., 2014).
c. Uji Keseimbangan Berg (Berg Balance Scale/BBS)
Berg Balance Scale digunakan sebagai pengukuran yang
berorientasi pada keseimbangan lansia. BBS menilai
keseimbangan dari dua dimensi, yaitu kemampuan untuk
mempertahankan postur tegak dan penyesuaian yang tepat pada
gerakan yang dikehendaki (gerakan volunter). Uji ini merupakan
uji aktivitas dan keseimbangan fungsional yang menilai
penampilan mengerjakan 14 tugas, diberikan angka 0 (tidak
mampu melakukan) sampai 4 (mampu mengerjakan dengan
normal sesuai dengan waktu dan jarak yang ditentukan) dengan
skor maksimum 56 (Setiati & Laksmi, 2009). Skor dimulai dari 0
sampai 20 mewakili gangguan keseimbangan, 21-40 mewakili
keseimbangan diterima, dan 41-56 mewakili keseimbangan yang
baik. BBS mengukur aspek keseimbangan statis dan dinamis.
Kemudahan yang BBS dapat diberikan membuat ukuran yang
menarik untuk dokter; melibatkan peralatan minimal (kursi,
stopwatch, penggaris, langkah) dan ruang dan tidak memerlukan
pelatihan khusus. Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa BBS
hanya harus dikelola oleh profesional perawatan kesehatan
35
dengan pengetahuan tentang cara aman memobilisasi pasien
dengan stroke (Blum & Korner-Bitensky, 2008). BBS memiliki
tingkat kepercayaan 95% dalam mendeteksi perubahan signifikan
secara klinis pada keseimbangan, walaupun pada beberapa orang
yang mengalami perubahan keseimbangan tingkat sedang tidak
dapat terdeteksi dengan pemeriksaan ini (Downs et al., 2013).
Namun BBS juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, BBS
mungkin memakan waktu sekitar 20 menit untuk menyelesaikan
prosedur pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan BBS cukup
memakan waktu untuk penggunaan klinis sehari-hari. Kedua,
BBS terdiri dari 14 item lima tingkat dengan kriteria penilaian
yang bervariasi dari item ke item. Seperti inkonsistensi dalam
kriteria penilaian dapat menyebabkan kesulitan bagi penilai
ketika membuat penilaian tentang pasien mereka kondisi,
terutama untuk penilai yang kurang terlatih (Chou et al., 2006)
d. Uji Menggapai Fungsional (Functional Reach Test)
Functional Reach Test (FRT) merupakan pemeriksaan yang
menilai kontrol postural dinamis dengan mengukur jarak terjauh
seseorang yang berdiri mampu menggapai atau mencondongkan
badannya ke depan tanpa melangkah. Pada individu yang berusia
70 tahun atau lebih, nilai 6 inci kurang berhubungan dengan
kecepatan berjalan dan resiko jatuh. Uji ini mudah dilakukan,
36
namun hanya mengukur satu komponem keseimbangan dinamik
(Setiati & Laksmi, 2009).
Prosedur pemeriksaan FRT yaitu pasien diminta duduk dengan
kaki jarak nyaman terpisah, di belakang garis tegak lurus dan
berdekatan dengan dinding. Anjurkan pasien untuk mengangkat
tangan yang paling dekat dengan dinding setinggi bahu;
kemudian mengukur posisi buku jari jari tengah itu. Berikutnya,
meminta pasien (dengan kaki rata di lantai) untuk bersandar ke
depan sejauh mungkin tanpa kehilangan keseimbangan, jatuh ke
depan, atau mengambil langkah. Merekam posisi buku jari jari
tengah itu pada titik terjauh dari jangkauan; kemudian
menentukan perbedaan antara pengukuran. Memiliki pasien
melakukan tes tiga kali, dan menentukan rata-rata (Ponce, 2012).
2.4.6 Hubungan Hipertensi dan Status Gizi dengan KeseimbanganPostural
Lansia dengan hipertensi mengalami penurunan kontrol
keseimbangan dan disertai dengan gejala pusing. Hal tersebut
merupakan efek sistemik dari hipertensi yang berasal dari kerusakan
arteri pada pusat postural keseimbangan sistem saraf pusat (SSP)
yaitu otak kecil. Kontrol tekanan darah, semakin menurun seiring
dengan meningkatnya usia seseorang. Penurunan tersebut
diakibatkan oleh menurunnya sensitivitas barorefleks, aliran darah
37
otak, dan konservasi natrium ginjal yang mengancam regulasi
tekanan darah normal dan perfusi serebral (Acar et al., 2015).
Hipertensi yang dialami lansia akan mempengaruhi struktur sistem
saraf khususnya pada substansia alba. Substansia alba merupakan
regio otak yang berperan dalam transmisi potensial aksi dari sistem
saraf pusat menuju perifer. Pengaruh hipertensi terhadap substansia
alba yaitu terbentuknya lesi yang diperkirakan akibat hipoperfusi
kronis pada bagian dalam dari hemisfer serebri (Shen et al., 2015).
Hipoperfusi kronis diakibatkan oleh insufisiensi vaskular yang
dikaitkan dengan perubahan struktural dari pembuluh darah. Hal
tersebut menyebabkan iskemia pada area bagian dalam substansia
alba yang ditandai dengan myelin yang pucat dan hilangnya
kepadatan atau densitas dari parenkim substansia alba. Gambaran
tersebut diidentifikasikan sebagai hiperinsensitas pada MRI (Modir
et al., 2012).
Jatuh merupakan kegagalan manusia mempertahankan keseimbangan
badan untuk berdiri. Keseimbangan ini dapat dicapai karena adanya
kerjasama dari otot-otot anti gravitasi, alat sensoris pada kulit, otot
dan sendi. Seiring bertambahnya usia, kekuatan otot akan mengalami
penurunan secara bertahap. Perubahan struktur pada otot
menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan
kekuatan otot, elastisitas otot dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu
38
reaksi dan rileksasi, dan kinerja fungsional. Penurunan fungsi dan
kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu penurunan kemampuan
mempertahankan keseimbangan tubuh, hambatan gerak duduk ke
berdiri, peningkatan resiko jatuh, dan perubahan postur (Utomo,
2010).
Penurunan massa otot (lean body mass, LBM) dan meningkatnya
lemak tubuh adalah perubahan normal pada komposisi tubuh yang
disebabkan oleh penuaan (Fatmah, 2010). Penurunan massa otot
merupakan penyebab langsung menurunnya kekuatan otot.
Perubahan massa otot terjadi karena gangguan pada sintesis dan
degradasi protein, yang pada usia lanjut proses ini diperngaruhi oleh
wasting yaitu proses pemecahan protein sel (hiperkatabolisme) untuk
memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis protein dan
metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat
dan kondisi sakit, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan
kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat
(Setiati & Laksmi, 2009).
Lingkup gerak dan sendi menurun dengan bertambahnya usia.
Penurunan lingkup gerak dan sendi tersebut akan mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk melaksanakan aktivitas. Melemahkan
kekuatan otot akibat inaktivitas, tidak digunakannya otot, dan
deconditioning dapat berperan pada terjadinya gangguan cara
39
berjalan serta kemampuan memperbaiki posisi setelah kehilangan
keseimbangan (Fatmah, 2010).
2.5 Kerangka Teori
Hipertensi yang dialami lansia akan mempengaruhi struktur khususnya pada
substansia alba. Substansia alba merupakan regio otak sistem saraf yang
berperan dalam transmisi potensial aksi dari sistem saraf pusat menuju
perifer. Kerusakan pada substansia alba disebabkan oleh peningkatan
tahanan perifer aliran darah ke regio substansia alba akibat vasokontriksi
menetap di pembuluh darah penyebabnya terjadi penurunan aliran darah.
Kerusakan tersebut menyebabkan iskemia pada area bagian dalam
substansia alba dan terbentuknya lesi, akibatnya transmisi atau pengiriman
impuls dari sistem saraf pusat ke perifer terganggu (Shen et al., 2015).
Status gizi berpengaruh pada komponem muskuloskeletal. Pada lansia
mempengaruhi komponem muskuloskeletal tubuh. Pada lansia terjadi
penurunan massa otot yang kemudian akan menurunkan kekuatan otot.
Perubahan otot dapat terjadi karena gangguan pada sintesis dan degradasi
protein. Pada usia lanjut proses ini dipengaruhi oleh wasting yaitu proses
pemecahan protein sel (hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam
amino bagi sitensis protein dan metabolism energi pada kondisi asupan
kalori yang tidak adekuat dan kondisi sakit, serta sarkopenia yaitu
40
penurunan massa otot dan kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia
lanjut yang sehat (Setiati & Laksmi, 2009).
Hipertensi dan status gizi akan mempengaruhi kontrol postural pada tubuh
lansia. Kontrol postural merupakan faktor yang berperan penting dalam
keseimbangan lansia. perubahan kontrol postural akan berakibat pada empat
aspek yaitu menurunnya proprioseptif, melambatnya reflek, menurunnya
tonus otot, dan meningkatnya ayunan postural. Berbagai aspek tersebut pada
akhirnya akan berperan untuk terjadinya gangguan keseimbangan postural
pada lansia yang dapat diperiksa dengan Berg Balance Scale (BBS) (Setiati
& Laksmi, 2009).
Melihat uraian di atas, berdasarkan pengaruh hipertensi dan status gizi
terhadap keseimbangan diharapkan ditemukan hubungan yang berarti antara
ketiga variabel ini. Penjelasan mengenai hubungan ketiga variabel tersebut
tersaji dalam kerangka teori pada halaman selanjutnya.
41
Gambar 4. Kerangka teori(Shen et al., 2015; Modir et al., 2012; Setiati & Laksmi, 2009; Utomo, 2010)
JatuhMorbiditasMortalitas
Melambatnya reflek Meningkatnyaayunan postural
Input proprioseptifberkurang
Menurunnya tonusotot
GangguanKeseimbangan Postural
Latensi stimulusmioelektrik
Waktu beraksiterhadap stimulus
meningkat
Penurunan orientasidan posisi segmen
tubuh
Perubahan kontrolpostural
Hipertensi Lansia
Kerusakan arteri &mikrovaskular
Iskemik jaringan
Kerusakan fungsi
Muskuloskeletal
Status Gizi Lansia(Kurang, Lebih, Normal)
42
2.6 Kerangka Konsep
Peneliti akan mengkaji hubungan variabel bebas yaitu derajat hipertensi dan
status gizi dengan variabel terikat yaitu ketidak seimbangan postural.
kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada gambar berikut.
Variabel bebas Variabel terikat
Gambar 5. Kerangka Konsep
2.7 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas maka hipotesis
penelitian ini adalah terdapat hubungan antara hipertensi dan status gizi
dengan keseimbangan postural pada lansia.
Hipertensi
Status Gizi
Keseimbangan Postural