TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN ......permohonan pembatalan nikah sirri yang diajukan...
Transcript of TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN ......permohonan pembatalan nikah sirri yang diajukan...
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM PERKARA PERMOHONAN PEMBATALAN
NIKAH OLEH ISTRI PERTAMA
(Studi Kasus di Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh Nomor 0207/Pdt.G/
2014/MS-Bna dan Nomor 130/Pdt.G/ 2013/MS-Bna)
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
DITHA SUCI
Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prodi Hukum Keluarga
NIM : 111209229
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2016 M/1437 H
iv
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM PERKARA PERMOHONAN PEMBATALAN
NIKAH OLEH ISTRI PERTAMA
(Studi Kasus di Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh Nomor 0207/Pdt.G/
2014/MS-Bna dan Nomor 130/Pdt.G/ 2013/MS-Bna)
Nama/Nim : Ditha Suci / 111209229
Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum /Hukum Keluarga
Tebal Skripsi : 82 Halaman
Pembimbing I : Dr. Ali Abubakar, M.Ag.
Pembimbing II : Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA.
Kata Kunci : Hukum Islam, Pertimbangan Hakim, Permohonan, Pembatalan Nikah dan
Istri Pertama
ABSTRAK
Permasalahan yang terjadi dalam pembahasan skripsi ini ada dua kasus,
pertama kasus pembatalan perkawinan di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tentang
suami-istri yang mengajukan pembatalan nikah karena termohon I telah menikah
secara diam-diam tanpa seizin pemohon karena kurang bahagia dengan pasangannya.
Sedangkan kasus kedua adalah kasus pembatalan perkawinan di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh tentang suami-istri yang mengajukan pembatalan nikah karena termohon I
telah menikah sirri dengan termohon II, karena kurang harmonis dan pihak ketiga
sering mengganggu ketenteraman kehidupan pemohon dan anaknya. Rumusan
penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana pertimbangan hakim untuk menolak
permohonan pembatalan nikah sirri yang diajukan oleh istri pertama pada Nomor
0207/Pdt.G/2014/MS-Bna, bagaimana pertimbangan hakim untuk menerima
permohonan pembatalan nikah sirri yang diajukan oleh istri pertama pada Nomor
130/Pdt.G/2013/MS-Bna dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pertimbangan
hakim pada No. 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna dan 130/pdt.G/ 2013/MS-Bna? Metode
penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang
memecahkan masalah dengan memaparkan data melalui penguraian, penafsiran dan
analisis lapangan. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa pertimbangan hakim untuk
menolak permohonan pembatalan nikah sirri yang diajukan oleh istri pertama pada
Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna adalah karena termohon I masih terikat perkawinan
dengan termohon II dalam perkawinan yang sah dan bukti-bukti yang diajukan oleh
pemohon dalam perkara ini tidak ada relevensinya dengan kasus ini, karena bukti-
buktinya tidak akurat. Pertimbangan hakim untuk menerima permohonan pembatalan
nikah sirri yang diajukan istri pertama pada Nomor 130/Pdt.G/2013/MS-Bna adalah
karena perkawinan antara termohon I dan termohon II yang dilakukan secara sirri
dibatalkan karena tanpa izin pemohon, tanpa izin pengadilan dan pejabat. Tinjauan
hukum Islam terhadap pertimbangan hakim pada Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna
dan 130/pdt.G/ 2013/MS-Bna adalah telah sesuai hukum Islam yang berlaku apabila seorang hakim dapat menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pemohon secara adil
dan syar’i, tanpa merugikan pihak mana pun. Pemohon yang mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan oleh istri pertama terhadap termohon I selaku suami sahnya,
berhak mendapatkan kembali hak dan tanggung jawab suaminya.
v
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulillah beserta syukur kepada Allah SWT
karena berkat Rahmat, Taufiq, Syafa’at, Inayah dan Hidayah-Nyalah penulis telah
dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini sebagaimana mestinya. Shalawat dan
salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat
manusia dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penulisan karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam
Banda Aceh, untuk itu penulis memilih judul, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Pertimbangan Hakim dalam Perkara Permohonan Pembatalan Nikah oleh Istri
Pertama (Studi Kasus di Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh Nomor
0207/Pdt.G/2014/MS-Bna dan Nomor 130/Pdt.G/2013/MS-Bna)”, yang
merupakan salah syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya dan yang paling
utama kepada Ayahanda Drs. Syahrial dan Ibunda Aisyah S, tercinta yang telah
mendidik dan membimbing penulis bahkan berkorban segala-galanya dengan tulus
dan ikhlas demi tercapainya cita-cita penulis. Ucapan yang sama juga tertuju kepada
saudara-saudaraku tersayang, terima kasih atas segala motivasi dan dukungannya.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada
Bapak Dr. Ali Abubakar, M.Ag., selaku Pembimbing I dan Bapak Muhammad
Yusran Hadi, Lc., MA., selaku Pembimbing II yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan pada waktu yang
vi
dijadwalkan. Tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Nasaiy Aziz
MA., selaku Penguji I dan Bapak Irwansyah S.Ag., M.Ag., selaku Penguji II dan
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta stafnya, Ketua Jurusan Hukum
Keluarga dan Sekretaris Jurusan Hukum Keluarga serta Penasehat Akademik dan
semua dosen dan asisten yang telah membekali ilmu kepada penulis sejak semester
pertama hingga akhir.
Kepada Bapak/Ibu Kepala Pustaka, Karyawan/Karyawati beserta Stafnya
Perpustakaan UIN Ar-Raniry dan Perpustakaan Nasional Provinsi Aceh serta
perpustakaan lainnya yang telah berpartisipasi dalam memberikan fasilitas dan
pelayanan dengan sebaik mungkin dalam meminjamkan kitab-kitab, buku-buku
maupun literatur-literatur kepada penulis.
Terakhir kepada sahabat-sahabat tercinta serta rekan-rekan seperjuangan
Jurusan Hukum Keluarga angkatan 2012 dan semua pihak yang telah banyak
membantu, terutama Irfan, Mur dan teman-teman lainnya, yang tidak mungkin
disebutkan namanya satu persatu di sini, terima kasih atas segala dukungan dan
semangat, sehingga karya sederhana ini selesai.
Meskipun banyak bantuan dari berbagai pihak, namun skripsi ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif
sangat dihargai demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya hanya ucapan terima kasih
yang dapat penulis ucapkan, semoga Allah SWT membalas jasa baik yang telah
disumbangkan oleh semua pihak. Amin Yaa Rabbal ’Alamin!
Banda Aceh, 27 Juni 2016
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL
PENGESAHAN BIMBINGAN
PENGESAHAN SIDANG
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
TRANSILETERASI ........................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
BAB SATU: PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah ................................................................ 5
1.3.Tujuan Penulisan .................................................................. 6
1.4.Penjelasan Istilah.................................................................. 6
1.5.Kajian Pustaka...................................................................... 8
1.6.Metodologi Penelitian .......................................................... 12
1.7.Sistematika Pembahsan ........................................................ 15
BAB DUA : TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN
PERKAWINAN
2.1.Hak Istri dalam Pembatalan Perkawinan ............................. 16
2.2.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan ........................................................................... 22
2.3.Kompilasi Hukum Islam tentang Pembatalan Perkawinan .. 39
2.4.Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama .................................................................................. 49
BAB TIGA : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA
PERMOHONAN PEMBATALAN NIKAH OLEH ISTRI
PERTAMA
3.1.Profil Perkara ....................................................................... 54
3.2.Pertimbangan Hakim dalam Perkara Pembatalan Nikah ..... 58
3.3.Tinjauan Hukum Islam terhadap Pertimbangan Hakim
Pada Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-BNA dan Nomor
130/pdt.G/ 2013/MS-BNA ................................................... 70
BAB EMPAT: PENUTUP
4.1.Kesimpulan .......................................................................... 78
4.2.Saran .................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA. ......................................................................................... 80
1
BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembatalan perkawinan disebut juga usaha untuk tidak dilanjutkannya
hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus
permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan
ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka
pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.1 Dalam Pasal 22 UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa pernikahan dapat dibatalkan
apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 22, 24, 26 dan 27 dan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 71 ayat (1) yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan dan
Pasal 72 ayat (2) yaitu seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan nikah apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan
atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Istilah lain yang dekat dengan pembatalan adalah pencegahan. Pencegahan
perkawinan dapat diartikan dengan perbuatan menghalangi, merintangi, menahan,
tidak menurutkan sehingga perkawinan tidak berlangsung. Pencegahan perkawinan
dilakukan semata-mata karena tidak dipenuhinya syarat-syarat perkawinan tersebut.2
1Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991), hlm 83. 2Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Pranada Media Group, 2004), hlm, 100.
2
Perbedaan pencegahan perkawinan dengan pembatalan perkawinan adalah
pencegahan lebih tepat digunakan sebelum perkawinan berlangsung, sedangkan
pembatalan mengesankan perkawinan telah berlangsung dan ditemukan adanya
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan baik syarat ataupun rukun serta
perundang-undangan, baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat sahnya
sebuah perkawinan.3
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 27 Ayat (2) disebutkan
bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka
mengenai diri suami atau istri. Apabila ditinjau dari hukum Islam, perceraian adalah
perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW berikut:
: ع اع ع ع باع اع ع ل اع ع ع ب ع ع ع ل ع : ع ع ع اع ع نب ع ع ع اع ع ع اب ع ع ع ع قع اع إعلع اع لطللع (ا د د ا م ج ل ك أ ه)أعانبغعضع لبعلع
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalaq (H. R. Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hal ini, penulis telah melakukan observasi atau penelitian ke
Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh melalui wakil ketua paniteranya. Ia
menyatakan bahwa benar dan sudah terdaftar di kepanitraan Mahkamah tersebut
adanya kasus tentang pembatalan perkawinan. Dari observasi yang penulis lakukan,
3Ibid., hlm. 99.
4 Muḥammad bin Ismail Āsh Shān’any, Subūlūs Salām, Juz III, (Mesir: Syirkāh Maktabāh wa
Mathbi’āh Musthafā Al-Bībil Halabīy wa Aulāduhū, t.t.), hlm. 168.
3
penulis mendapatkan dua data fisik berupa putusan pengadilan tentang pembatalan
nikah yang dilakukan oleh istri terhadap suami dikarenakan suami menikah untuk
yang ke dua kalinya tanpa seizin istri.
Sengketa pertama, kasus pembatalan perkawinan di Mahkamah Syar’iyah
Kota Banda Aceh dengan nomor putusan 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna yang berisi
tentang sepasang suami-istri yang ingin mengajukan pembatalan nikah. Pasangan
suami-istri ini telah menikah pada tanggal 4 Mei 2000 di KUA Kutalimbaru Medan.
Istri berstatus sebagai pemohon dan suami sebagai termohon I dan istri kedua
berstatus termohon II. Pemohon mengajukan permohonannya kepada Mahkamah
Syar’iyah Kota Banda Aceh untuk membatalkan pernikahan antara termohon I
dengan termohon II. Permohonan pembatalan nikah ini dilakukan disebabkan
termohon I telah menikah dengan termohon II secara diam diam-diam tanpa seizin
pemohon. Namun dalam pernikahan tersebut termohon I dan termohon II dibekali
dengan satu akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan SN Hilir Kabupaten
Dairi, Provinsi Sumatera Utara, pada tanggal 23 Agustus 2008. Majelis Hakim
memutuskan untuk tidak menerima permohonan pembatalan nikah disebabkan oleh
posita (dalil gugatan) permohonan dengan fakta dalam persidangan berbanding
terbalik (Putusan Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh dengan Nomor Putusan
0207/Pdt.G/2014/MS-Bna).
Permasalahan yang terjadi dalam kasus pembatalan perkawinan tersebut
adalah bermula dari pernikahan antara pemohon dengan termohon I yang dilakukan
karena keterpaksaan disebabkan pemohon terlalu ambisi ingin menikah dengan
termohon I. Pernikahan tersebut tidak direstui kedua belah pihak keluarga, karena
pemohon adalah penganut Kristiani dan ia rela meninggalkan agamanya demi
4
menikah dengan termohon I dan ia berharap setelah menikah akan dibimbing oleh
termohon I selaku suaminya, sehingga ia mau masuk Islam beberapa saat sebelum
ijab qabul dan Pemohon telah berstatus muallaf (muslimah). Setelah menikah dengan
termohon I pada tanggal 4 Mei 2000 di KUA Kutalimbaru Medan, pemohon tinggal
bersama dengan orang tua termohon I di Banda Aceh, namun terkadang pulang ke
rumahnya pemohon di kawasan Banda Aceh juga. Dalam pernikahan tersebut
mereka belum dikaruniai anak, karena mereka sepakat untuk menunda adanya anak,
agar termohon I tidak diketahui oleh atasan kantornya. Seiring berjalannya waktu,
diam-diam termohon I melakukan pernikahan dengan termohon II (wanita lain) tanpa
seizin dan sepengetahuan pemohon, hingga akhirnya pemohon melaporkan perkara
ini ke Majelis Hakim untuk membatalkan pernikahan tersebut.
Sengketa kedua, kasus pembatalan perkawinan di Mahkamah Syar’iyah Kota
Banda Aceh dengan nomor putusan 130/pdt.G/2013/MS-Bna yang berisi tentang
suami-istri menikah pada 7 Oktober 1990 dan diakui oleh KUA Kecamatan Peudada
Kabupaten Bireuen. Istri sebagai pemohon mengajukan permohonan pembatalan
nikah dengan suaminya yang berstatus termohon I bahwa tahun 2008 termohon I
secara diam-diam menikah dengan termohon II secara sirri. Dari hasil pertimbangan
majelis hakim atas segala permohonan yang diajukan oleh pemohon, majelis hakim
memutuskan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, membatalkan
perkawinan termohon I dengan termohon II dan menyatakan bahwa akta nikah
termohon I dan termohon II tidak berlaku dan tidak berkekuatan hukum.
Permasalahan yang terjadi dalam kasus kedua ini adalah setelah pemohon
menikah dengan termohon I layaknya suami istri, mereka tinggal di rumah orang tua
5
pemohon sampai akhirnya orang tua pemohon meninggal dunia, lalu pindah ke
rumah kontrakan. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak dan
hidup dengan rukun dan damai. Namun awal tahun 2007, sikap termohon I sudah
mulai kurang harmonis dan kurang perhatian terhadap pemohon dan anak-anaknya,
hingga pada suatu saat, tepatnya di tahun 2008, pemohon mengetahui bahwa
termohon I telah menikah sirri dengan termohon II di Gampong Lhok Igeuh, Pidie.
Hal ini juga diperkuat dengan adanya bukti bahwa termohon II datang ke rumah
pemohon dengan sikap kasar dan marah-marah dengan pemohon sambil mengatakan
bahwa ia telah dinikahi oleh termohon I. Selain itu, termohon I juga mengakui fakta
bahwa ia telah menikahi termohon II tanpa alasan yang jelas kepada pemohon,
dengan menunjukkan buku nikahnya. Berdasarkan perlakuan kasar yang dilakukan
termohon II dan pengakuan termohon I, membuat kesabaran pemohon tidak
terbendung lagi dan segera melaporkannya ke majelis hakim untuk disidangkan.
Berdasarkan latar belakang sengketa di atas, maka penulis ingin meneliti
lebih signifikan dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul, “Tinjauan Hukum Islam
terhadap Pertimbangan Hakim dalam Perkara Permohonan Pembatalan Nikah
oleh Istri Pertama (Studi Kasus di Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh
Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna dan Nomor 130/Pdt.G/ 2013/MS-Bna)”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu:
1. Bagaimana pertimbangan hakim untuk menolak permohonan pembatalan
nikah sirri yang diajukan istri pertama pada Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-
Bna?
6
2. Bagaimana pertimbangan hakim untuk menerima permohonan pembatalan
nikah sirri yang diajukan istri pertama pada Nomor 130/Pdt.G/2013/MS-Bna?
3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pertimbangan hakim pada Nomor
0207/Pdt.G/2014/MS-Bna dan 130/pdt.G/ 2013/MS-Bna?
1.3. Tujuan Penelitian
Setiap karya ilmiah yang dihasilkan dari sebuah penelitian memiliki tujuan
yang ingin dicapai. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim untuk menolak permohonan
pembatalan nikah sirri yang diajukan oleh istri pertama pada Nomor
0207/Pdt.G/2014/MS-Bna.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim untuk menerima permohonan
pembatalan nikah sirri yang diajukan istri pertama pada Nomor
130/Pdt.G/2013/MS-Bna.
3. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pertimbangan hakim pada
Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna dan 130/pdt.G/ 2013/MS-Bna.
1.4. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menafsirkan istilah-istilah yang
terdapat dalam judul skripsi ini, maka penulis menjelaskan istilah-istilah berikut ini:
1. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan adalah suatu hal yang memerlukan acuan atau tolak ukur untuk
memutuskan suatu hal, perkara, kasus maupun tindakan.5 Sedangkan hakim adalah
5 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010),
hlm. 1121.
7
penguasa atau orang yang ditunjuk oleh penguasa (pemerintah) untuk menangani
hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan atau perceraian.6 Dengan demikian,
pengertian pertimbangan hakim dalam pembahasan skripsi ini adalah hasil putusan
atau pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh
hakim dalam sidang terbuka. Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan perkara yang
diajukan sebagai suatu produk pengadilan agama dan sebagai hasil dari suatu
pemeriksaan perkara gugatan perceraian berdasarkan adanya suatu sengketa yang
diajukan oleh Pemohon atau Termohon dalam persidangan.
2. Pembatalan Nikah
Menurut Pasal 22 UU Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa “Pembatalan
nikah/perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkan
akad nikah dan suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-
syarat. Hal ini berarti bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-
syarat tertentu yang dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana,
maka perkawinan itu dapat dibatalkan apabila dikehendaki.
Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto menjelaskan bahwa
“Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang terjadi dengan tanpa memenuhi
syarat-syarat sesuai undang-undang. Pembatalan perkawinan adalah tindakan
putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak
sah, akibatnya adalah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada”.7
Dengan demikian, pembatalan nikah yang dimaksud adalah tindakan putusan
pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu
6 Maḥmud Yunus, Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 50.
7Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum Islam II, (Surakarta: Buana Cipta,
2006), hlm. 2.
8
tidak sah, akibatnya adalah perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan, sehingga pencegahan perkawinan dilakukan sebelum
perkawinan itu dilangsungkan.
1.5. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah sebuah kajian yang mengkaji tentang pokok-pokok
bahasan yang berkaitan dengan masalah yang berkaitan dengan judul skripsi. Kajian
pustaka ini dibuat untuk menguatkan bahwa pembahasan yang penulis teliti dan
belum pernah ditulis atau diteliti oleh orang lain. Melalui judul penelitian yang
diajukan penulis, maka tinjauan kepustakaan (literature review) yang dikaji ada dua
variabel, yaitu kajian tentang pertimbangan hakim dan perkara permohonan
pembatalan nikah oleh istri pertama. Menurut penelusuran yang telah penulis
lakukan, belum ada kajian yang membahas secara mendetail dan mengarah kepada
pertimbangan hakim dalam perkara permohonan pembatalan nikah oleh istri
pertama. Namun ada beberapa tulisan yang berkaitan dengan judul ini.
Di antara tulisan yang secara tidak langsung berkaitan dengan pertimbangan
hakim dalam perkara permohonan pembatalan nikah oleh istri pertama yaitu skripsi
yang ditulis oleh Saifullah,8 Perkawinan tanpa Izin Wali sebagai Alasan Pembatalan
Perkawinan Menurut Perspektif Hukum Islam (Analisis terhadap Putusan Mahkamah
Syar’iyah Aceh No. 56/Pdt.G/2011/MS.Aceh), tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Tahun 2015. Tulisan
8Saifullah, “Perkawinan tanpa Izin Wali sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan Menurut
Perspektif Hukum Islam “, (Tidak Dipublikasikan), (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2015), hlm. 68.
9
ini secara umum membahas tentang pernikahan yang dilakukan antara tergugat II dan
tergugat III adalah pernikahan yang tidak sah dan tidak menurut prosedur yang benar
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, karena pernikahannya dilakukan
oleh wali yang tidak berhak. Pernikahan ini tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat
(2) PERMA No.2 Tahun 1987 Jo. Pasal 23 ayat (1) dan (2) KHI yaitu jika wali nasab
enggan menikahkan harus dibuktikan dengan keputusan pengadilan agama. Selain itu
dalam Pasal 71 ayat (e) KHI menetapkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
Selanjutnya, karya ilmiah yang ditulis oleh Ahmed Ershad Bafadal,9 Dasar
Pertimbangan Hakim tentang Pembatalan Nikah Karena Status Wali Nikah (Studi
Pengadilan Agama Mataram), tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas
Mataram, Tahun 2013. Tulisan ini secara umum membahas tentang ketentuan
mengenai wali nikah tersebut juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yaitu Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa ”Yang bertindak sebagai wali nikah
ialah seorang laki laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, Aqil dan
Baligh”. Selain itu dalam Pasal 20 ayat (2) KHI juga menyebutkan bahwa wali nikah
tersebut terdiri dari yaitu wali nasab dan wali hakim.
Selain itu, karya ilmiah yang ditulis oleh Yuni Zulfiani Riski Ahmad,10
Tinjauan Yuridis terhadap Pembatalan Perkawinan karena Tidak Adanya Izin dari
Orang Tua, tidak diterbitkan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar,
9Aḥmed Ershad Bafadal, “Dasar Pertimbangan Hakim tentang Pembatalan Nikah karena
Status Wali Nikah “, (Tidak Dipublikasikan), (Mataram: Universitas Mataram, 2013), hlm. 1. 10
Yuni Zulfiani Riski Aḥmad, Tinjauan Yuridis terhadap Pembatalan Perkawinan karena
Tidak Adanya Izin dari Orang Tua“, (Tidak Dipublikasikan), (Makassar: Universitas Hasanuddin,
2013), hlm. 3.
10
Tahun 2013. Tulisan ini membahas tentang perkawinan yang berlangsung harus
memenuhi syarat maupun rukun di dalam perkawinan. Syarat dan rukun perkawinan
yang sudah ditentukan terkadang diabaikan, hingga akhirnya tidak tertutup
kemungkinan perkawinannya dibatalkan. Pertimbangan hukum terhadap pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Makassar adalah perkawinan tersebut tidak
memenuhi syarat-syarat dan rukun untuk melakukan perkawinan. Izin orang tua
terhadap anak yang akan melangsungkan pernikahan sifatnya wajib. Untuk anak
perempuan tidak ada batasan umur untuk meminta izin orang tua, karena orang tua
yang akan bertindak sebagai wali dalam pernikahan. Untuk menikahkan anak
dibawah umur 21 tahun wali para calon pengantin harus mengajukan izin dispensasi
nikah kepada pengadilan agama. Pertimbangan hukum dari hakim yang dijadikan
dasar putusan Pengadilan Agama Makassar No.397/Pdt.G/2009/PA.Mks adalah
bahwa perkawinan tergugat I dan tergugat II yang bertindak sebagai wali bukanlah
orang tua kandungnya padahal orang tua kandung tergugat I (mempelai wanita) tetap
berada di Makassar bukan di Surabaya, lalu yang bertindak sebagai wali nikah adalah
orang yang kapasitasnya bukan sebagai wali nashab dan juga tidak memenuhi syarat
untuk menjadi wali hakim.
Kemudian, skripsi yang dihasilkan oleh Wardatul Firdaus,11
Alasan Hakim
dalam Memutuskan Menolak Perkara Pembatalan Perkawinan (Studi Perkara
Nomor:0848/Pdt.G/2006/PA Kabupaten Malang), tidak diterbitkan, Fakultas
Syari’ah, Universitas Islam Negeri Malang, Tahun 2012. Tulisan ini membahas
tentang pembatalan perkawinan adalah suatu perkawinan yang harus dibatalkan demi
11
Wardatul Firdaus, “Alasan Hakim dalam Memutuskan Menolak Perkara Pembatalan
Perkawinan (Studi Perkara Nomor:0848/Pdt G/2006/PA Kabupaten Malang)“, (Tidak
Dipublikasikan), (Malang: Universitas Islam Negeri, 2012), hlm. 2.
11
hukum karena perkawinan tersebut rusak dan harus diperbarui dengan melakukan
akad nikah ulang. Perkawinan tersebut batal karena terdapat banyaknya sebab
misalnya kurangnya syarat atau rukun dalam perkawinan, adanya poligami tanpa
izin, adanya pemalsuan identitas atau yang lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan tentang
kriteria perkawinan yang dianggap sah menurut Negara. Namun dalam hal ini
banyak yang tidak begitu memperhatikan syarat dan rukun perkawinan sehingga
dalam kasus ini terdapat salah seorang yang melakukan permohonan pembatalan
perkawinan pada Pengadilan Agama Kabupaten Malang dengan alas an bahwa yang
menjadi wali dalam perkawinannya bukan wali yang sah karena dianggap bukan adik
kandung dari istri yang dinikahinya tersebut. Dalam perkara ini, majlis hakim
menolak perkara pembatalan perkawinan dikarenakan dalam proses persidangannya
pemohon tidak dapat membuktikan bahwa termohon II (wali) bukan saudara
kandung dari istri yang dinikahinya tersebut, maka majlis hakim dalam amar
putusannya menolak perkara pembatalan perkawinan tersebut.
Mengingat tulisan maupun penelitian tentang pertimbangan hakim dalam
perkara permohonan pembatalan nikah oleh istri pertama masih terlalu minim, yang
ada hanya Perkawinan tanpa Izin Wali sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan
Menurut Perspektif Hukum Islam, Dasar Pertimbangan Hakim tentang Pembatalan
Nikah Karena Status Wali Nikah, Tinjauan Yuridis terhadap Pembatalan
Perkawinan karena Tidak Adanya Izin dari Orang Tua dan Alasan Hakim dalam
Memutuskan Menolak Perkara Pembatalan Perkawinan. Sedangkan tulisan tentang
12
pertimbangan hakim dalam perkara permohonan pembatalan nikah oleh istri pertama
belum ada, maka peluang untuk melakukan penelitian masih terbuka lebar.
1.6. Metode Penelitian
Pada prinsipnya dalam setiap penulisan karya ilmiah selalu diperlukan data-
data yang lengkap, objektif, mempunyai metode dan cara tertentu sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Langkah-langkah yang hendak ditempuh adalah:
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode
deskriptif analisis, yaitu suatu metode untuk menganalisa dan memecahkan masalah
yang terjadi pada masa sekarang berdasarkan gambaran yang dilihat dan didengar
dari hasil penelitian baik di lapangan atau teori berupa data-data dan buku-buku yang
berkaitan dengan topik pembahasan.12
Selain itu, penulis juga menggunakan metode
penelitian kualitatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Penulis memilih metode deskriptif analisis karena pertimbangan hakim dalam
perkara permohonan pembatalan nikah oleh istri pertama merupakan salah satu
persoalan yang masih selalu eksis dan aktual dibicarakan. Dalam pembahasan ini
ditujukan pada pertimbangan hakim dalam perkara permohonan pembatalan nikah
oleh istri pertama pada Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh. Melalui metode
deskriptif analisis, masalah pertimbangan hakim dalam perkara permohonan
pembatalan nikah oleh istri pertama akan dibahas dan dianalisa berdasarkan data
yang diperoleh dari lapangan dan studi kepustakaan.
12
Muḥammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 63.
13
1.6.2. Sumber Data
Dalam mengumpulkan data yang berhubungan dengan objek kajian, yang
berupa data primer dan sekunder, maka penulis menggunakan sumber data field
research (penelitian lapangan) dan library research (penelitian kepustakaan), yaitu:
a. Field research (penelitian lapangan) adalah data primer dan merupakan suatu
penelitian lapangan yang dilakukan terhadap objek pembahasan serta
menitikberatkan pada kegiatan lapangan, yaitu mengumpulkan data-data
tertulis dari Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, yang mengungkapkan
perkara nomor putusan 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna dan 130/pdt.G/ 2013/MS-
Bna, kasus pembatalan nikah dan kemudian menganalisa pertimbangan-
pertimbangan hakim terhadap kasus tersebut. Selain itu, penulis juga
mengadakan penelitian tentang pertimbangan hakim dalam perkara
permohonan pembatalan nikah oleh istri pertama pada Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh yang diharapkan akan memperoleh data yang valid dan akurat.
b. Library research (penelitian kepustakaan), yaitu pengumpulan data sekunder
dan merupakan penelitian dengan menggunakan buku bacaan sebagai
landasan untuk mengambil data yang ada dengan kaitannya dengan penulisan
skripsi ini, di mana penulis dapatkan dengan cara membaca dan mengkaji
buku-buku, kitab, artikel, majalah dan situs website yang berkaitan dengan
pertimbangan hakim dalam perkara permohonan pembatalan nikah oleh istri
pertama pada Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh. Kemudian
dikategorisasikan sesuai data yang terpakai untuk menuntaskan karya ilmiah
ini sehingga mendapatkan hasil yang valid, terutama UU Nomor 1 Tahun
14
1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, teknik yang digunakan adalah:
a. Observasi, yaitu mengadakan peninjauan langsung ke objek yang diteliti,
yaitu mengamati perkara atau kasus permohonan pembatalan nikah oleh istri
pertama pada Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh yang sedang terjadi,
untuk mengetahui lebih mendetil tentang pertimbangan hakim dalam perkara
permohonan pembatalan nikah oleh istri pertama pada Mahkamah Syar’iyah
Kota Banda Aceh.
b. Wawancara terstruktur (guidance interview), yaitu wawancara dengan
membuat pertanyaan pokok sebagai panduan bertanya, wawancara dilakukan
dengan hakim pada Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, untuk
mengetahui lebih mendetil tentang pertimbangan hakim dalam perkara
permohonan pembatalan nikah oleh istri pertama pada Mahkamah Syar’iyah
Kota Banda Aceh, sehingga mendapatkan data yang akurat dan objektif yang
berhubungan dengan pembahasan skripsi.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku
Panduan Penulisan Skripsi dan Laporan Akhir Studi Mahasiswa yang diterbitkan
oleh Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2014.
Sedangkan untuk terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dalam skripsi ini berpedoman
kepada Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara
Penterjemahan Al-Qur’an Departemen Agama RI Tahun 2010.
15
1.7. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan para pembaca dalam mengikuti pembahasan skripsi ini,
maka dipergunakan sistematika pembahasannya dalam empat bab, sebagaimana
tersebut di bawah ini.
Bab satu merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab dua membahas tinjauan umum tentang pembatalan perkawinan, yang
terdiri dari Hak Istri dalam Pembatalan Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Bab tiga menguraikan tentang pertimbangan hakim dalam perkara
permohonan pembatalan nikah oleh istri pertama, meliputi uraian tentang profil
perkara, pertimbangan hakim untuk menolak permohonan pembatalan nikah sirri
yang diajukan oleh istri pertama pada Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna,
pertimbangan hakim untuk menerima permohonan pembatalan nikah sirri yang
diajukan istri pertama pada Nomor 130/Pdt.G/2013/MS-Bna dan tinjauan hukum
Islam terhadap pertimbangan hakim pada Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna dan
Nomor 130/pdt.G/ 2013/MS-Bna.
Bab empat merupakan bab penutup dari keseluruhan pembahasan skripsi ini
yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis yang dianggap perlu.
16
BAB DUA
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN
2.1. Hak Istri dalam Pembatalan Perkawinan
2.1.1. Makna Keadilan Suami
Secara terminologis adil berarti “ mempersamakan sesuatu dengan yang lain.
Baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu tidak berat sebelah
dan tidak berbeda satu sama lain”. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada
kebenaran”.1 Dalam perkawinan berlaku adil lebih dititikberatkan bagi suami yang
berpoligami dan dalam Al-Quran diberlakukan persyaratan ketat, yaitu kemampuan
untuk berlaku adil terhadap istri-istri yaitu pada surat An-Nisa’ ayat 3 berikut:
(٣ :النساء)
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S. An-Nisa: 3).
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa sekiranya seseorang bermaksud untuk
berpoligami dan takut kalau tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka
cukuplah satu istri saja karena itulah yang terbaik baginya. Bahkan Allah SWT
berfirman bahwa tidak akan mungkin seseorang dapat berbuat adil terhadap istri-
istrinya, kendati orang itu sangat ingin berbuat demikian, sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 129 berikut:
1 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Intermasa, 2010), hlm. 25.
17
(١٢٩ :النساء)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisa’ : 129).
Ayat di atas menjelaskan bahwa batas keadilan yang diperintahkan dalam
Islam adalah keadilan yang masih dalam batas kemampuan. Karena Allah SWT tidak
pernah mewajibkan keadilan yang tidak masuk dalam kemampuan seseorang, maka
dalam hal ini dituntut untuk berbuat adil dalam memberikan tempat tinggal, waktu
giliran dan perhiasan untuk mereka. Akan tetapi, Allah SWT tidak membebankan
kepadamu untuk berlaku adil dalam memberikan rasa cinta, kasih sayang dan
kecenderungan hati karena hal tersebut tidak dapat dimiliki oleh manusia. Akan
tetapi, yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami harus melakukan pembagian
materi secara merata, sehingga antara seorang isteri dengan isteri yang lain tidak
merasa iri dan cemburu.2
Menurut Yusuf Qardhawi, syarat yang ditetapkan Islam bagi seorang muslim
untuk berpoligami adalah adanya kepercayaan terhadap dirinya bahwa mampu
berbuat adil di antara istri-istrinya dalam masalah makan, minum, pakaian, tempat
tinggal, bermalam (giliran) dan nafkah. Kalau tidak yakin akan kemampuan dirinya
2 Syāikh Mutawalli As-Sya’rāwi, Fikih Perempuan Muslimah, (Jakarta: Amzah, 2003), hlm.
23.
18
untuk menunaikan hak-hak ini secara adil dan seimbang, maka haram baginya
menikah lebih dari seorang istri.3
Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia
dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan di antara istri-istri dalam urusan
sandang pangan, rumah tempat tinggal dan perlakuan yang layak terhadap mereka
masing-masing. Karena keadilan adalah kebajikan manusia yang paling luhur.
Menetapkan keadilan sebagai syarat berarti menuntut manusia untuk mencapai
kekuatan moral yang paling tinggi.
Apabila diperhatikan, pada umumnya emosi dan kesenangan seorang suami
terhadap isterinya tidaklah sama, maka dapat dimengerti bahwa perlakuan yang
sama secara seragam terhadap setiap istri, melaksanakan keadilan dan berpantang
dari diskriminasi adalah tugas yang paling sulit bagi seorang suami.4 Mengenai adil
terhadap istri-istri dalam masalah cinta dan kasih sayang, Abu Bakar bin Arabi
mengatakan bahwa hal ini berada di luar kesanggupan manusia, sebab cinta adalah
dalam genggaman Allah SWT yang mampu membolak-balikannya hati seseorang
menurut kehendaknya. Begitu pula dengan hubungan seksual, terkadang suami
bergairah dengan istri yang satu, tetapi tidak bergairah dengan istri lainnya. Dalam
hal ini, apabila tidak disengaja, ia tidak terkena hukum dosa karena berada di luar
kemampuannya sebagai seorang manusia.5
Dengan demikian, makna keadilan suami terhadap isteri adalah suami harus
mampu berlaku adil dalam segala hal yang bersifat lahir dan bathin. Namun sebagai
manusia biasa yang masih memiliki banyak kekurangan, tidak semua hal yang
3 Yusuf Qārdhāwi, Halal dan Haram dalam Islam, ( Jakarta: Robbani Press, 2000), hlm. 214.
4 Abu Fikri, Poligami yang Tak Melukai Hati, ((Bandung: Pustaka Mizan, 2007),hlm. 48.
5Abdur Raḥman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 133.
19
menyangkut masalah kasih sayang, cinta dan kecenderungan hati terhadap isteri-
isterinya dapat disamaratakan, karena hal ini bersifat abstrak dan tidak dapat
dikiaskan dengan perbuatan.
2.1.2. Hak-Hak Isteri dalam Pernikahan Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, dari kata poli atau polus yang
artinya banyak dan gamein atau gamos yang artinya kawin atau perkawinan. Jadi,
poligami berarti banyak perkawinan. Secara istilah, poligami memiliki arti perbuatan
seorang laki-laki yang mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat
orang isteri, dan tidak boleh lebih dari itu. Namun dalam bahasa Arab, poligami
disebut ta’dīd al-zawjāt, yang artinya berbilangnya pasangan.6
Istilah poligami juga dapat dipasangkan dengan monogami sebagai antonim.
Monogami merupakan suatu perkawinan dengan isteri tunggal, artinya seorang laki-
laki hanya menikah dengan seorang perempuan. Sedangkan poligami adalah
perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.
Dengan demikian, makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian, yaitu seorang
laki-laki menikah dengan banyak perempuan (polygini) atau seorang perempuan
menikah dengan banyak laki-laki (polyandry). Namun, yang berkembang saat ini
pengertian itu mengalami pergeseran sehingga kata poligami dipakai untuk makna
laki-laki yang beristeri banyak, sedangkan polygini sendiri tidak lazim digunakan
lagi dewasa ini.7
6 Achmad Kazari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.
159. 7 Acḥmad Kazari, Nikah Sebagai Perikatan …, hlm. 159.
20
Menurut Abdur Rahman Ghazali, “Poligami adalah seorang laki-laki beristeri
lebih dari seorang, akan tetapi dibatasi hanya empat orang, apabila melebihi empat
orang maka mengingkari kebaikan yang disyari’atkan oleh Allah SWT, yaitu untuk
kemaslahatan hidup bagi semua isteri”.8 Dalam hal ini, poligami adalah ketentuan
hukum yang diberikan oleh Allah SWT kepada seorang laki-laki untuk menikahi
wanita lebih dari seorang dan tidak boleh melebihi empat orang. Syari’at poligami ini
bukan sebuah kewajiban, akan tetapi izin dan pembolehan.
Poligami dalam Islam bukan merupakan sesuatu yang wajib dan juga bukan
merupakan sesuatu yang sunnah, akan tetapi agama Islam hanya memperbolehkan.
Artinya, Islam tidak mengharuskan kepada seorang laki-laki untuk menikah dan
memiliki isteri lebih dari satu, tetapi seandainya laki-laki ingin melakukannya, ia
diperbolehkan. Namun biasanya, sistem poligami tidak akan digunakan kecuali
dalam kondisi yang mendesak.9
Allah SWT membolehkan laki-laki berpoligami sampai dengan empat orang
isteri dengan syarat dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Jika suami khawatir
berbuat dhalim (tidak bisa adil), maka tidak diperbolehkan berpoligami. Dasar
hukum dibolehkannya poligami yaitu dalam surat An-Nisā’ ayat 3 yang telah
disebutkan sebelumnya.
Meskipun dalam Islam poligami dibolehkan bagi seorang suami, namun
terdapat hak-hak isteri yang harus dipenuhi oleh seorang suami, di antaranya yaitu:10
8 Abdul Raḥman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Insani Press, 2007), hlm. 131.
9 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 2002), hlm. 12.
10Nora Sari Dewi Nasution, Perlindungan Terhadap Hak-Hak Isteri Pada Perkawinan
Poligami melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
(Tesis, Tidak Dipublikasikan), (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2011), hlm. 38 - 50.
21
1. Memiliki rumah sendiri
Setiap isteri berhak memiliki rumah sendiri, sebagaimana isteri Nabi
Muhammad SAW yang mempunyai rumah masing-masing. Karena hal ini dapat
menyebabkan timbulnya permusuhan atau kecemburuan sosial di antara sesama
isteri, terlebih lagi apabila si isteri mendengar desahan suami yang sedang menggauli
isteri yang lain, bahkan sampai melihatnya. Namun apabila para isteri ridha untuk
tinggal serumah dengan isteri yang lain, maka hal ini tidak dilarang dalam Islam.
2. Menyamakan hak para isteri dalam masalah giliran
Setiap isteri harus mendapatkan jatah giliran yang sama dalam setiap hari
atau berselang hari berikutnya, sebagaimana perbuatan Nabi Muhammad SAW
terhadap semua isterinya untuk menggilir isteri-isterinya menurut gilirannya.
Seorang suami diperbolehkan untuk mengunjungi ke rumah isterinya yang lain,
namun tidak boleh menggauli isteri yang bukan waktu gilirannya, karena akan
menimbulkan kecemburuan terhadap isteri-isteri lainnya.
3. Tidak boleh keluar dari rumah isteri yang mendapat giliran menuju rumah
yang lain
Seorang suami tidak boleh keluar menuju rumah isteri yang lainnya yang
bukan gilirannya pada malam hari kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini disebabkan
akan menimbulkan persangkaan buruk di antara para isteri.
4. Memberi batasan malam pertama setelah pernikahan
Batasan malam pertama bagi suami yang ingin menikah lagi dengan isteri
lainya adalah tujuh hari bagi seorang gadis dan tiga hari bagi seorang janda, setelah
itu barulah ia menggilir isteri- isterinya yang lain menurut waktu yang telah
ditentukan.
22
5. Wajib menyamakan nafkah
Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri, begitu pula
dengan nafkah, seperti pakaian, makanan, kesehatan, pendidikan anak-anaknya dan
lain sebagainya menurut kemampuan yang dimiliki suami. Namun apabila para isteri
rela untuk berkumpul bersama dalam satu rumah, maka hal ini lebih baik bagi
mereka, sehingga lebih memudahkan bagi suami untuk menafkahinya.
6. Undian ketika bepergian
Ketika suami hendak bepergian ke luar daerah, maka ia harus melakukan
undian kepada para isterinya untuk ikut menyertainya, karena dikhawatirkan akan
terjadi perkelahian dan kecemburuan sosial di antara para isteri apabila suami tidak
melakukan hal ini.
7. Tidak wajib menyamakan cinta dan jama’ di antara para isteri
Seorang suami tidak dibebankan kewajiban untuk menyamakan cinta dan
jima’ di antara para isterinya, yang wajib baginya hanyalah memberikan giliran
kepada setiap isterinya secara adil. Karena cinta dan kasih saying adalah anugerah
yang telah diberikan Allah SWT kepada manusia dan hal ini bersifat abstrak dan
tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dengan demikian, perbuatan jima’ antara
satu isteri dengan isteri yang lain tidak mungkin dapat disamakan.
2.2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.2.1. Definisi Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah
dilangsungkan akad nikah. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak
memenuhi syarat-syarat (Pasal 22-28 UU Nomor 1 Tahun 1974). Hal ini berarti
23
bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat tertentu yang
dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana, maka perkawinan itu
dapat dibatalkan apabila dikehendaki.
Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya
ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Menurut Muchlis Marwan
dan Thoyib Mangkupranoto, “Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang
terjadi tanpa memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang. Pembatalan perkawinan
adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu
tidak sah, akibatnya adalah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada”.11
Pembatalan perkawinan adalah tindakan pengadilan yang berupa keputusan
majelis hakim yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah
dan sesuatu yang dinyatakan tidak sah, maka keadaan itu dianggap tidak pernah ada.
Dari pengertian pembatalan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan dianggap
tidak sah, dengan sendirinya diangggap tidak pernah ada dan si laki-laki dan si
perempuan yang dibatalkan perkawinannya dianggap tidak pernah menikah sebagai
suami-isteri.12
Berdasarkan hal ini, maka perlu dipahami perbedaan antara pembatalan dan
pencegahan perkawinan. Pencegahan perkawinan dilakukan sebelum berlangsungnya
pelaksanaan perkawinan disebabkan karena adanya syarat-syarat perkawinan belum
terpenuhi. Pencegahan atau menghalang-halangi perkawinan merupakan usaha untuk
11
Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum Islam II, (Surakarta: Buana Cipta,
2006), hlm. 2. 12
Yaḥya Haraḥap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 2005), hlm. 71.
24
menghindari adanya suatu perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan undang-
undang yang berlaku. Sedangkan, pembatalan perkawinan dilakukan setelah
perkawinan itu berlangsung. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, sehingga pencegahan
perkawinan dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan pembatalan
perkawinan hanya dilakukan apabila perkawinan telah dilangsungkan.13
Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam pembatalan perkawinan
lebih lanjut dimuat dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1975 berbunyi bahwa “Apabila pernikahan telah berlangsung
kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak berkepentingan”.
Dengan demikian suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh
Pengadilan.
Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor l Tahun 1974
pengaturannya termuat dalam Bab VI, pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 yang
diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 dalam Bab VI Pasal 37 dan 38. Adapun Pengadilan yang berkuasa untuk
membatalkan perkawinan yaitu Pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi
tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami
atau isteri. Bagi mereka yang beragama Islam dilakukan di Pengadilan Agama
sedangkan bagi mereka yang beragama non Islam di Pengadilan Negeri. Saat mulai
13
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 33.
25
berlakunya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 1 UU Nomor l Tahun
1974 berbunyi, “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”.
Keputusan ini tidak ada upaya hukum lagi untuk naik banding atau kasasi. Akibatnya
kembali ke posisi semula sebelum terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap
tidak pernah ada.
Menurut Abdurrahman dan Riduan Shahrani, sehubungan dengan
pelaksanaan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan dalam Islam mungkin
“putus demi hukum”. Artinya “Apabila ada atau terjadi suatu kejadian yang menurut
hukum Islam mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan, misalnya si suami
atau isteri murtad dari agama Islam dan kemudian memeluk agama atau
kepercayaannya bukan kitabiyah, maka perkawinannya putus demi hukum Islam”.14
Perkawinan yang putus demi hukum maksudnya karena perkawinan tersebut putus
dengan sendirinya tetapi bukan dengan sendirinya seperti karena kematian yang
sifatnya alamiah.
Dalam Pasal 22 UU Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan tegas bahwa
“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan”. Di dalam penjelasannya, kata “dapat” dalam
pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan
hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
14
Abdurraḥman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 2008), hlm. 42.
26
Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan karena adanya pelanggaran
terhadap aturan-aturan tertentu. Pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak
berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang
perkawinan yang terlanjur terlaksana meskipun ditemukan pelanggaran terhadap
undang-undang perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini terjadi maka Pengadilan
Agama dapat membatalkan perkawinan atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan.
2.2.2. Konsepsi Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dibentuk dalam rangka mewujudkan
unifikasi hukum perkawinan nasional yang berlaku untuk semua warga negara, serta
kepastian hukum dimana undang-undang ini bertujuan menjamin terwujudnya
kesejahteraan yang lebih mendalam, sebab perkawinannya didasarkan kepada
keyakinan dan perkawinan tersebut juga harus dicatat sehingga menjamin kepastian
hukum untuk mendapatkan hak.15
Selain itu UU Nomor 1 Tahun 1974 juga
mengandung ide pembaharuan dan menampung aspirasi emansipasi, di mana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menempatkan kedudukan suami dan isteri
dalam perkawinan sama derajatnya baik terhadap harta perkawinan maupun terhadap
anak begitu juga persamaan hak dan kedudukan di dalam kehidupan berumah tangga
maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengertian perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
berbeda dengan KUHPerdata yang hanya memandang dari sudut hukum perdata saja.
15
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan ..., hlm. 43.
27
Definisi perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 didasarkan pada unsur
agama (religious), hal itu sebagai yang diatur dalam Pasal 1 yang berbunyi, “Ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sayuti Thalib16
berpandangan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1974 melihat
perkawinan dari tiga segi pandangan, yaitu:
a. Perkawinan dilihat dari segi hukum. Perkawinan yang merupakan suatu
perjanjian, juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan
perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya cara
mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad
nikah dengan rukun dan syarat tertentu dan adanya cara menguraikan atau
memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya.
b. Perkawinan dilihat dari segi sosial. Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui
suatu penilaian yang umum, adalah orang yang berkeluarga atau pernah
berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang
tidak kawin.
c. Perkawinan dilihat dari segi agama. Pandangan suatu perkawinan dari segi
agama adalah suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, upacara
perkawinan dianggap suatu hal yang suci, yang kedua pihak dihubungkan
menjadi pasangan suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya
dengan mempergunakan nama Allah SWT.
16
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2006), hlm. 47.
28
Melalui unsur-unsur yang diuraikan dari pengertian perkawinan menurut UU
Nomor 1 Tahun 1974 dan juga pandangan Sayuti Thalib tadi dapat disimpulkan
bahwa konsep perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 berbeda dengan
konsep perkawinan menurut KUHPerdata. Undang-undang perkawinan memandang
perkawinan bukan hanya sekedar hubungan keperdataan melainkan juga ikatan suci
yang didasarkan oleh agama. hal ini sesuai dengan falsafah Pancasila yang
menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya.17
UU Nomor 1 Tahun 1974 menempatkan agama sebagai unsur yang sangat
penting dalam perkawinan. Sebuah perkawinan adalah sah apabila syarat-syarat
ataupun ketentuan-ketentuan dalam hukum agama dan kepercayaannya masing-
masing terpenuhi. Hal tersebut terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
1974 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan itu”.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam undang-undang ini.18
Dari rumusan Pasal 2 ayat (1) UU
perkawinan dapat disimpulkan bahwa apabila suatu perkawinan dilakukan tidak
menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing atau ada salah satu larangan
perkawinan yang dilanggar maka perkawinan tersebut adalah tidak sah.
17
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 7. 18
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 63.
29
2.2.3. Syarat-Syarat Perkawinan
Sahnya suatu perkawinan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang
diatur dalam Pasal 6 dan 7 UU Nomor 1 Tahun 1974. Syarat-syarat perkawinan
tersebut dapat dibedakan menjadi syarat materil dan syarat formil. Syarat materil
adalah syarat yang mengenai atau berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang akan
melangsungkan perkawinan yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan
perkawinan, sedangkan syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara
pelangsungan perkawinan baik syarat yang mendahului maupun syarat yang
menyertai pelangsungan perkawinan, dengan demikian syarat formil ini berupa
syarat yang mendahului dan menyertai pelangsungan perkawinan.19
Syarat materil dapat dibedakan menjadi syarat materil umum (materil
absolut) dan syarat materil khusus (syarat relatif). Syarat materil umum yaitu syarat
yang mengenai diri pribadi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan yang
harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan, jika syarat
materil ini tidak dipenuhi maka calon suami isteri tersebut tidak dapat
melangsungkan perkawinan. Syarat materil umum tersebut bersifat mutlak artinya
harus dipenuhi oleh calon suami-isteri untuk dapat melangsungkan perkawinan,
syarat tersebut berlaku untuk setiap perkawinan. Artinya, setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat tersebut dan oleh karenanya
syarat tersebut bersifat absolut.20
Syarat materil khusus adalah syarat yang mengenai diri pribadi seseorang
untuk dapat melangsungkan perkawinan dan berlaku untuk perkawinan tertentu.
19
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas, 2004), hlm. 21. 20
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan ..., hlm. 21.
30
Syarat materil khusus ini berupa kewajiban untuk meminta izin kepada orang-orang
tertentu yang harus dimintai izin dalam perkawinan dan larangan-larangan untuk
melangsungkan perkawinan. Syarat materil umum suatu perkawinan yang sifatnya
tidak dapat dikesampingkan oleh calon suami-isteri yang bersangkutan adalah:21
a. Harus ada persetujuan kedua belah pihak calon mempelai (Pasal 6 ayat (1).
Persetujuan artinya tidak seorang pun dapat memaksa calon mempelai pria
maupun calon mempelai wanita tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka.
Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974,
persetujuan itu dimaksudkan agar suami isteri yang akan kawin itu kelak akan
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Selain itu sesuai dengan hak asasi
manusia maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang
melangsungkan perkawinan tersebut tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Kata “atas persetujuan calon mempelai” di dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor
1 Tahun 1974 berbeda dari kata “adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon
suami isteri” yang disebut dalam Pasal 28 KUHPerdata.22
Kata persetujuan yang
dimaksud adalah orang tua/wali atau keluarga/kerabat yang tidak boleh memaksa
anak/kemenakan mereka untuk melakukan perkawinan jika mereka tidak setuju
terhadap pasangannya atau belum bersedia untuk kawin, hal ini berarti calon suami
isteri tersebut masih berada di bawah pengaruh kekuasaan orang tua/kerabatnya.
b. Syarat Usia/Umur
Batas umur untuk melakukan perkawinan untuk calon suami harus sudah
mencapai 19 tahun dan untuk calon isteri sudah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat(1)).
21
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan ..., hlm. 22. 22
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan ..., hlm. 45.
31
Jika umur kedua calon mempelai di bawah ketentuan batas umur, maka untuk
melangsungkan perkawinan harus meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat
yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)).
c. Tidak dalam Status Perkawinan
Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa seorang yang masih
terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali pihak-pihak
yang bersangkutan menghendakinya. Seorang suami yang akan beristeri lebih dari
satu wajib mengajukan permohonan ke pengadilan dan pengadilan akan memberikan
izin kepada seorang suami apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri, cacat badan atau ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
d. Berlakunya Waktu Tunggu
Jangka waktu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya diatur dalam
Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, di mana dalam pasal tersebut
disebutkan jika perkawinan putus karena kematian maka jangka waktu tunggu adalah
130 hari sejak tanggal kematian suaminya. Jika perkawinan putus karena perceraian
maka jangka waktu tunggu dimulai sejak keputusan Pengadilan berkekuatan hukum
tetap yaitu waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan waktu tunggu yang sudah datang bulan
ditetapkan 90 hari. Jika wanita tersebut sedang hamil, maka waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan.
32
Sedangkan syarat materil khusus adalah syarat mengenai diri seseorang yang
harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materi khusus
tersebut terdiri dari:
a. Izin untuk melangsungkan perkawinan
Izin kawin diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yang menentukan bahwa:
1) Seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin
dari kedua orang tua.
2) Jika salah seorang dari orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu atau
jika dalam hal salah seorang dari orangtua tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud cukup dari orangtua yang masih hidup
atau dari orangtua yang mampu menyatakan kehendak.
3) Dalam hal orangtua telah meninggal dunia atau tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendak.
4) Jika terdapat perbedaan antara mereka yang disebut dalam ayat (2), (3),
(4), maka izin dapat diberikan Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal calon suami-isteri.
b. Larangan-larangan tertentu untuk melangsungkan perkawinan syarat materil
khusus lainnya disebutkan dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 yaitu:
1) Yang mempunyai hubungan darah terlalu dekat antara calon suami isteri;
(a) Yang hubungan darah dalam garis lurus ke atas/ke bawah
33
(b) Hubungan darah menyamping yaitu antara saudara-saudara orang tua.
2) Yang mempunyai hubungan keluarga semenda, yaitu antara mertua dan
menantu, anak tiri dengan bapak tiri/ibu tiri, yang berhubungan darah
dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang.
3) Yang mempunyai hubungan sesusuan, yaitu antara seseorang dengan ibu
susuan, anak susuan, saudara susuan, bibi susuan, dan paman susuan.
4) Berdasarkan larangan agama atau peraturan lain yang berlaku.
5) Berdasarkan keadaan tertentu dari calon suami-isteri. Dalam hal ini
larangan perkawinan bagi mereka yang bercerai kedua kalinya atau untuk
perkawinan mereka ketiga kalinya antara sesama mereka.
Sedangkan syarat formil perkawinan adalah syarat yang berkaitan dengan tata
cara pelangsungan perkawinan. Syarat formil suatau perkawinan dapat merupakan
atau meliputi syarat yang mendahului pelangsungan perkawinan. Tata cara
pelangsungan perkawinan yang diatur di dalam Pasal 12 UU Nomor 1 Tahun 1974,
yang diatur lebih lanjut pengaturannya di dalam Pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan Pasal 9 PP
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Secara garis besar syarat formil adalah:23
a. Pemberitahuan tentang akan dilangsungkannya perkawinan:
1) Pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan kepada Pegawai
Pencatat Perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan (Pasal 3
ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975).
23
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan ..., hlm. 45.
34
2) Pemberitahuan itu harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 10 hari
sebelum perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 9
Tahun 1975). Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2)
disebabkan alasan yang penting diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah (Pasal 3 ayat (3) PP Nomor 9 Tahun 1975).
3) Pemberitahuan harus dilakukan oleh calon mempelai, orangtua atau wali
secara lisan atau tertulis (Pasal 4 PP Nomor 9 Tahun 1975).
4) Dalam pemberitahuan itu harus disebutkan sekurang-kurangnya nama,
umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dan apabila salah
seorang atau keduanya pernah menikah harus disebutkan nama isteri atau
suami terdahulu (Pasal 5 PP No. 9 Tahun 1975).
5) Jika ada alasan penting dapat dilakukan penyimpangan mengenai jangka
waktu pemberitahuan pelangsungan perkawinan, kecuali diberikan oleh
Camat atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3 ayat (3) PP Nomor 9
Tahun 1975). Misalnya dalam hal calon suami-isteri harus segera pergi
keluar negeri untuk menjalankan tugas negara dan lainnya.
b. Penelitian
Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan meneliti apakah syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan telah
dipenuhi atau belum dan apakah terdapat halangan perkawinan bagi calon suami-
isteri untuk melangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) PP
Nomor 9 Tahun 1975, termasuk pemeriksaan akta kelahiran atau surat kenal lahir
dari para calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Jika akta kelahiran
35
atau surat kenal lahir tidak ada, maka dipergunakan surat keterangan kepala desa atau
setingkat dengannya yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai.
c. Pencatatan
Setelah penelitian selesai dilakukan oleh Pegawai Pencatat, maka hasil dari
penelitian itu dituliskan dalam daftar yang diperuntukkan untuk itu. Apabila ada
syarat yang ditentukan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak
dipenuhi, maka hal itu diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang
tuanya atau wali calon mempelai (Pasal 7 ayat (1) dan (2) PP Nomor 9 Tahun 1975.
d. Pengumuman
Apabila syarat-syarat dan tata cara untuk melangsungkan perkawinan telah
dipenuhi, maka Pegawai Pencatat akan mengumumkan pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan. Tujuan diselenggarakannya pengumuman adalah untuk
memberikan berita bagi orang-orang tertentu untuk melangsungkan perkawinan dan
diberitakan 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan.
e. Pelangsungan Perkawinan
Perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah 10 hari diumumkannya niat
untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pelangsungan perkawinan dilakukan sesuai
dengan ketentuan agamanya yang dianut oleh calon mempelai.
f. Penandatanganan akta perkawinan
Penandatanganan akta perkawinan dilakukan segera setelah perkawinan
dilangsungkan. Adanya syarat-syarat ini tidak mengurangi pentingnya unsur
keagamaan yang terkandung dalam undang-undang perkawinan. Hal tersebut dapat
36
dilihat dari ketentuan Pasal 6 ayat (6) bahwa “Ketentuan tersebut ayat (1) sampai
ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”.24
2.2.4. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang daerah
kekuasannya meliputi tempat dilangsungkannya suatu perkawinan atau di tempat
tinggal kedua mempelai, atau di tempat tinggal suami atau isteri. Pengajuan
permohonan pembatalan ini dilakukan oleh yang berhak mengajukannya dan juga
ditentukan mengenai tata cara pengajuan permohonan, pemanggilan, pemeriksaan,
dan putusan dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang tersebut dalam Pasal 20
sampai dengan Pasal 36. Dengan demikian, dapat lebih jelas cara untuk melakukan
pembatalan perkawinan atau sama halnya cara gugatan perceraian yang secara
terperinci yang diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36, sepanjang hal ini
dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan perkawinan.
Asser-Scholten dan Vollmar memberikan contoh dalam hal suatu perkawinan
dengan sendirinya dianggap batal, antara lain apabila:
a. Suatu perkawinan dilaksanakan bukan di hadapan Pegawai Pencatat Jiwa
(misalnya seperti di depan notaris).
b. Suatu perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Jiwa, kemudian
diketahui bahwa kedua mempelai tersebut kelaminnya sejenis baik keduanya
laki-laki maupun keduanya perempuan. 25
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak-pihak yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami
24
Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974. Tambahan Lembaran Negara. Nomor 3019. 25
Asser Scholten dan Vollmar, Hukum Perdata Bagian I, (Jakarta: Prenada Kencana, 2004),
hlm. 89.
37
dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan
tersebut. Sampai di sini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa
dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan
perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran
terhadap materi perkawinan. Contoh pertama, misalnya tidak terpenuhinya syarat-
syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Sedangkan
yang kedua contohnya adalah perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi
salah sangka mengenai calon suami atau istri.
Untuk lebih lanjut mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan (vernitigen) diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24 UU No.1 Tahun 1974.
Pasal 23 menentukkan pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan yaitu:26
a. Para keluarga dalam garis keturunan terus ke atas dari suami atau isteri.
Ketentuan ini korkondan dengan oknum-oknum yang dapat memberi izin
atau menjadi wali terhadap calon mempelai.
b. Suami atau isteri. Hal ini berarti si suami atau isteri sesudah perkawinan
dapat mengajukan pembatalan disebabkan oleh keadaan-keadaan yang
disebutkan dalam Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan.
c. Pejabat yang berwenang. Mengenai pejabat yang berwenang hanya dapat
meminta pembatalan selama perkawinan belum diputuskan. Jika telah ada
putusan pengadilan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang yang
disebutkan pada sub a dan sub b, maka pejabat yang berwenang tidak boleh
lagi mengajukan pembatalan. Jadi pejabat yang berwenang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan selama belum ada putusan pengadilan.
26
Yaḥya Haraḥap, Hukum Perkawinan ..., hlm. 73.
38
d. Salah seorang dari salah satu pihak yang masih terikat dalam perkawinan
dapat mengajukan pembatalan atas suatu perkawinan yang baru. Ketentuan
pasal ini hampir bersamaan dengan Pasal 15 Undang-Undang Perkawinan,
yaitu hal yang berhubungan dengan pencegahan perkawinan. Akan tetapi oleh
karena Pasal 24 Undang-Undang Perkawinan ini berhubungan dengan
penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Perkawinan, maka pembatalan ini hanya
berlaku mutlak bagi laki-laki saja sebagaimana bagi seorang isteri mutlak
tidak boleh kawin dengan laki-laki lain selama dia masih mempunyai seorang
suami yang sah.
e. Pembatalan dapat juga dimintakan oleh pihak kejaksaan sesuai yang diatur
dalam Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, apabila perkawinan dilakukan oleh pejabat pencatat yang tidak
berwenang atau apabila wali yang bertindak adalah wali yang tidak sah atau
apabila perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri dua orang saksi.
2.2.5. Prosedur Pembatalan Perkawinan
Setiap orang yang hendak mengajukan pembatalan perkawinan mengajukan
permohonan itu kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan itu
dilangsungkan, atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Tata cara
pengajuan permohonan pembatalan perkawinan adalah permohonan pembatalan
perkawinan harus diajukan kepada pengadilan yang berwenang.
Selanjutnya mengenai tata cara memajukan permohonan dan panggilan untuk
pemeriksaan pembatalan perkawinan diatur dalam Bab VI Pasal 38 PP Nomor 9
Tahun 1975 yang menentukkan bahwa:
39
a. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang
berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-
isteri, suami atau isteri.
b. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai
dengan tatacara pengajuan perceraian (ayat 2).
c. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan
perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesuai dengan tata cara
tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.27
Oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 di atas, segala sesuatu yang
berhubungan dengan pembatalan perkawinan sama prosedurnya dengan tatacara
perceraian.
2.3. Kompilasi Hukum Islam tentang Pembatalan Perkawinan
2.3.1. Definisi Pembatalan Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sebuah kitab hukum yang dijadikan
pegangan hakim di Pengadilan Agama, juga mengcover permasalahan pembatalan
perkawinan. Namun dalam KHI ini tidak dijelaskan secara mendetail tentang definisi
pembatalan perkawinan secara khusus, yang dijelaskan hanya mengenai sebab
terjadinya pembatalan perkawinan. Hal ini terlihat dalam penjelasan Bab XI tentang
batalnya perkawinan pada Pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terinci.
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan. Batalnya
27
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan ..., hlm. 67.
40
suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Berdasarkan
Pasal 70 KHI, maka definisi pembatalan perkawinan di antaranya apabila:
1) Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat
isterinya itu dalam iddah talak raj’i;
2) Seorang suami yang menikahi isterinya yang dili’annya;
3) Seorang suami yang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhinya
dengan talak tiga kali, kecuali apabila bekas isteri terebut pernah menikah
dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi setelah dicampuri pria tersebut
dan telah habis masa iddahnya; 4) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus kebawah dan ke atas; 5) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
6) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri;
7) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan sesusuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan;
8) Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari isteri, atau sebagai bibi, atau kemenakan dari isteri.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 71 KHI, perkawinan dapat dibatalkan oleh
Pengadilan Agama apabila:
1) Seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan Agama;
2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri
pria lain secara sah;
3) Perempuan yang dikawini masih dalam keadaan masa tunggu (iddah);
4) Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umurp perkawinan,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974;
5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak;
6) Perkawinan dilaksanakan karena paksaan;
7) Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum;
8) Perkawinan dilakukan dengan penipuan, penipuan yang dimaksud adalah
seorang pria yang mengaku sebagai jejaka pada waktu nikah kemudian
ternyata diketahui beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin pengadilan,
demikian juga terhadap penipuan mengenai identitas diri.
41
Selanjutnya mengenai pengaturan mengenai batalnya perkawinan diatur
dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 KHI. Dalam ketentuan ini mengatur
mengenai syarat-syarat, alasan-alasan pembatalan perkawinan dan tata cara
pembatalan perkawinan. Secara tegas dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa
batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Permohonan
pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana
perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.
Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama
Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya.
Dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah diketahui
bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum
atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam
syari’at Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI. Pembatalan
perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari
alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapat disamakan dengan perceraian
karena alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan
pembatalan perkawinan. Begitu pula para pihak yang berhak menggunakan atau
mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.
2.3.2. Rukun dan Syarat-Syarat Perkawinan
Dalam Bab IV diatur tentang rukun dan syarat-syarat perkawinan, dalam
Pasal 14 KHI menyebutkan apa yang biasa dalam kitab fiqh disebut dengan rukun
nikah, bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon Isteri
42
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan qabul.28
Syarat dan ketentuan mengenai calon suami dan isteri hampir sama dengan
apa yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu batas usia
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 Tahun dan calon isteri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun, dan bagi calon mempelai yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2),
(3), (4) dan (5) UU Nomor 1 Tahun 1974. Selain itu berdasarkan Pasal 16 ayat (1)
dan (2) KHI perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai, bentuk
persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan
tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada
penolakan yang tegas. Selain itu, syarat bagi kedua mempelai berdasarkan pada Pasal
18 KHI adalah tidak terdapat halangan perkawinan sebagaiman diatur dalam Bab VI.
Wali nikah diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 KHI. Berdasarkan
Pasal 20 KHI, yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, akil dan baligh. Wali terdiri dari:
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki calon mempelai perempuan
yang memiliki hubungan darah patrilineal dengan calon mempelai perempuan seperti
bapak, datuk, saudara laki-laki bapak, saudara laki-lakinya sendiri.29
Wali nasab
terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita. Keempat kelompok tersebut berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KHI yaitu:
28
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), Pasal 14. 29
Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005), hlm. 64.
43
1) Kelompok pertama, meliputi kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah,
kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
2) Kelompok kedua, meliputi kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara
laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka
3) Kelompok ketiga, meliputi kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung
ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
4) Kelompok keempat, meliputi saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-
laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-
sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang
lebih dekat derajat kekerabatnya dengan calon mempelai wanita (Pasal 21 ayat (2)
KHI) dan apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang
paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya
seayah (Pasal 21 ayat (3) KHI). Adapun susunan urutan wali adalah sebagai berikut:
1) Bapaknya
2) Kakeknya (Bapak dari bapak mempelai perempuan)
3) Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
4) Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
6) Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
7) Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya 8) Hakim.
30
b. Wali Hakim
Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam
bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama.31
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada lagi
30
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001), hlm. 383. 31
Ibid., hlm. 64.
44
atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya (Pasal
23 ayat (1) KHI).
Wali hakim adalah penguasa atau orang yang ditunjuk oleh penguasa
(pemerintah) untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, bersikap
adil, bertanggungjawab mengurusi kemaslahatan umat manusia dan bukan para
sultan atau penguasa yang curang, karena mereka tidak termasuk orang yang berhak
mengurusi hal itu. Di Indonesia, kepala negara adalah presiden yang telah memberi
kuasa kepada pembantunya yaitu Menteri Agama yang juga telah memberi kuasa
kepada para Pegawai Pencatat Nikah untuk bertindak sebagai wali hakim. Wali
hakim adalah hakim pengadilan (Pengadilan Agama), yang dimungkinkan dapat
bertindak sebagai wali hakim, apabila memang mendapat kuasa dari kepala negara
atau menteri agama.
Rukun nikah yang terakhir menurut KHI yaitu Ijab dan Kabul. Ijab yaitu
penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh
pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami. Sedangkan Kabul yaitu
penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang dilakukan pihak
laki-laki.32
Dalam Pasal 29 ayat (2) KHI pengucapan kabul nikah dapat diwakilkan
kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah mempelai pria.
2.3.3. Tujuan Pembatalan Perkawinan
Fasid nikah (pembatalan perkawinan) terjadi disebabkan karena melanggar
ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam perkawinan, misalnya larangan kawin
32
Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan ..., hlm. 63.
45
sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 23 di atas. Dari
penjelasan ini dapat dipahami bahwa nikah yang difasidkan maupun nikah yang
dibatalkan keduanya adalah nikah yang tidak diakui kebenarannya dan kesalahannya
oleh syara’. Jika hal ini terjadi, maka pernikahan tersebut harus digugurkan demi
menegakkan ajaran Islam di tengah-tengah para pengikutnya.
Hukum agama Islam dalam masalah perkawinan hanya mengenal adanya
perkawinan yang sah dan perkawinan yang tidak sah. Perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilaksanakan dengan memenuhi segala rukun dan syaratnya, jika
perkawinan dilaksanakan, tetapi ada sebagian dari syarat atau rukun yang tidak
terpenuhi maka perkawinan yang demikian dianggap tidak sah.33
Banyak syarat dan rukun perkawinan yang menyebabkan suatu perkawinan
terpaksa harus dibatalkan, apabila pelanggaran itu dibawa ke Pengadilan Agama
dinyatakan fasid dan terhadap pernikahan dianggap sejak semula tidak pernah terjadi,
maka akibatnya segala sesuatu yang dihasilkan dari pernikahan menjadi batal dan
dianggap tidak pernah terjadi. Kemudian karena fasid nikah atau pembatalan
pernikahan ini dapat mengakibatkan pasangan suami isteri itu terpisah untuk selama-
lamanya, tetapi dapat juga menjadi pasangan suami isteri lagi, artinya berpisahnya
hanya untuk sementara, hal ini tergantung melihat penyebab terjadinya fasid nikah.34
Meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya juga sampai
menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 75 dan 76 KHI, dengan rumusan yang berbeda.
Adapun bunyi Pasal 75 dan 76 adalah sebagai berikut:
33
Aḥmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 72. 34
Gatot Suparmono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Djambatan, 2008),
hlm. 37.
46
Pasal 75: “Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
1) Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad
2) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
3) Pihak ketiga, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beri’tikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan berkekuatan tetap.
Pasal 76: “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan
hukum antara anak dengan orang tuanya.
Maksud dan tujuan dari Pasal 76 KHI di atas adalah untuk melindungi
kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan anak yang perkawinan ibu
bapaknya dibatalkan. Anak-anak tersebut tidak dapat dibebani kesalahan akibat
kekeliruan yang dilakukan kedua orang tuanya. Meskipun secara psikologis jika
pembatalan perkawinan tersebut benar-benar terjadi, akan tetap membawa dampak
yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi karena demi
hukum, maka kebenaran harus ditegakkan meski kadang membawa kepahitan.35
2.3.4. Pihak yang Berhak Membatalkan Perkawinan
Pada Pasal 74 ayat 1 KHI menentukan bahwa pembatalan perkawinan hanya
dapat diputuskan oleh Pengadilan Agama dan permohonan pembatalan perkawinan
itu diajukan oleh para pihak yang mengajukan pada Pengadilan Daerah yang
hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua
suami isteri. Permohonan pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk permohonan
yang bersifat kontensius (sengketa), sehingga dapat lebih jelas dalam melangsungkan
pembatalan perkawinan yaitu sama halnya dengan cara gugatan perceraian yang
35
Aḥmad Rofiq, Hukum Islam ..., hlm. 152.
47
diatur cara terperinci dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya
dengan pembatalan perkawinan itu.36
Adapun pihak yang memiliki hak untuk
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami
atau istri
b. Suami atau istri
c. Pejabat berwenang yang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
undang-undang
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui cacat dalam rukun
dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67 (Pasal 73 KHI).
Tuntutan pemutusan perkawinan disebabkan salah satu pihak memenuhi cela
pada pihak lain yang belum diketahui sebelum berlangsung perkawinan, maka
perkawinan yang sudah berlangsung dianggap sah dengan segala akibat hukumnya
bubarnya hubungan perkawinan. Dasar hukum pembatalan perkawinan berdasarkan
Surat An-Nisa’ ayat 35 dan Surat Al-Baqarah ayat 231 berikut ini:
( ٣٥ :النساء)
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.
36
Aḥrum Khoirudin, Pengadilan Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 14.
48
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. An-
Nisa: 35).
Selanjutnya dalam surat al-Baqarah ayat 231 berbunyi:
( ٢٣١: البقرة)
Artinya: Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya,
maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat
dhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum
Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu dan apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu (Q.S. Al-Baqarah: 231).
Berdasarkan bunyi kedua teks ayat di atas, dapat diketahui bahwa apabila
seorang isteri yang diceraikan oleh Pengadilan Agama tidak dapat dirujuk lagi oleh
suaminya dan jika keduanya ingin kembali hidup bersuami isteri seperti sedia kala,
maka mereka harus harus melakukan perkawinan baru yaitu dengan cara
melaksanakan akad nikah baru lagi. Dengan demikian, pihak-pihak yang berhak
mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri, suami atau istri, pejabat berwenang
dan para pihak yang berkepentingan dalam urusan perkawinan.
49
2.4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Setiap manusia di atas permukaan bumi ini pada umumnya selalu
menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya.
Sesuatu kebahagiaan tidak akan tercapai dengan mudah tanpa mematuhi segala
peraturan yang telah digariskan oleh agama. Salah satu jalan untuk mencapai suatu
kebahagiaan adalah dengan cara perkawinan, hal ini tergambar dalam tujuan
perkawinan yaitu menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal antara suami dan
isteri, baik di dunia maupun di akhirat.37
Suatu perkawinan adalah sah baik menurut agama maupun hukum negara
bilamana dilakukan dengan memenuhi segala rukun dan syaratnya serta tidak
melanggar larangan perkawinan. Apabila terjadi suatu perkawinan yang dilakukan
melanggar larangan perkawinan atau tidak memenuhi syarat dan rukunnya, maka
perkawinan tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan.38
Di antara pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan seperti
yang disebutkan di atas, salah satunya Jaksa (pejabat berwenang yang mengawasi
pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang). Lazimnya Jaksa lebih banyak
berperan dalam hukum pidana (hukum publik), karena Jaksa berwenang menjaga
berlakunya semua ketentuan perundang-undangan dan semua keputusan penguasa
negara, yang didorong dan dipimpin oleh kepentingan umum semata.
Aturan yang menyebutkan bahwa Jaksa termasuk salah satu pihak yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan adalah dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan (UUP). Penyebutanya pun diantara para pihak dalam garis keturunan
37
Aḥmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 56. 38
Abdurraḥman al Jaziry, Kitab al-Fiqh ..., hlm. 118.
50
lurus kedua pihak tersebut merupakan bentuk pengulangan dari bunyi Pasal 23 UUP.
Bunyi Pasal 26 ayat Pasal 26 ayat (1) UUP yang merupakan dasar hukum hak dan
kekuasaan Jaksa untuk mengajukan pembatalan perkawinan, selengkapnya adalah
“(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, Jaksa dan suami
atau isteri.
Wewenang Jaksa dalam masalah perkawinan mewakili kepentingan undang-
undang, yang berarti berfungsi sebagai kontrol atas berlalunya peraturan guna
menghindari terjadinya suatu pelanggaran diantara wewenang Jaksa dalam bidang
perkawinan adalah:
1. Meminta ke pengadilan untuk meniadakan niat melangsungkan perkawinan.
2. Meminta kepada pengadilan untuk dibatalkanya perkawinan.
3. Meminta pada pengadilan untuk diberlakukan kuratil terhadap seseorang.39
Dari ketiga wewenang Jaksa tersebut yang jelas-jelas disebutkan secara
harfiah dan dicantumkannya Jaksa sebagai pihak yang berhak mengajukan
permohonan tersebut serta mempunyai dasar hukum yang kuat hanyalah masalah
pembatalan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UUP.
Apabila masalah wewenang Jaksa dalam mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan dihadapkan dengan keberadaan pengadilan agama di
Indonesia, dimana pengadilan agama adalah pengadilan perdata bagi umat Islam
Indonesia yang harus mengindahkan peraturan perundang-undangan negara dan
syariat Islam sekaligus, maka akan timbul suatu pertanyaan mengenai kemungkinan
39
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata, (Jakarta:
Bina Aksara, 2008), hlm. 30.
51
adanya Jaksa yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada
pengadilan agama. Karena selam ini masyarakat juga beranggapan bahwa tugas dan
wewenang Jaksa hanya di lingkungan peradilan umum saja.
Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
negara maupun yang bersumber kepada syariat Islam yang mengatur bagaimana cara
orang bertindak ke muka pengadilan agama dan yang mengatur bagaimana cara
pengadilan agama tersebut menyelesaikan perkaranya yang bertujuan untuk
mewujudkan hukum materiil Islam yang menjadi kekuasaan pengadilan agama,
menjadi sumber hukum acara di pengadilan agama.40
Dalam Pasal 54 UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berbunyi bahwa, “Hukum acara yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata
yang berlaku dalam Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang membahas perihal pembatalan perkawinan,
secara garis besarnya diatur dalam Bagian Kedua, Pasal 65 sampai dengan Pasal 88.
Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan terdapat dalam
pasal-pasal berikut ini:
Pasal 65
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
40
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm.
10.
52
Pasal 66
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak (ayat 1).
Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin
lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan
menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1), istri dapat
mengajukan banding.
(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan
menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan
istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam
suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar
talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak
datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami
atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau
wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang
penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka
gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan
lagi berdasarkan alasan yang sama.
Pasal 71
(1) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang
penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka
gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan
lagi berdasarkan alasan yang sama.
53
Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat
cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk
memeriksakan diri kepada dokter.
Pasal 76
(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan
antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-
masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
Berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas, menunjukkan bahwa tidak ada satu
pun pasal yang secara tegas menjelaskan tentang pembatalan perkawinan, yang ada
hanya menguraikan seputar persoalan perceraian dan pelaksanaan serta akibat hukum
yang ditimbulkan. Dengan demikian, dalam undang-undang kehakiman ini hanya
mengulas secara umum tentang persoalan perceraian dan hal-hal yang berhubungan
dengannya.
54
BAB TIGA
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA PERMOHONAN
PEMBATALAN NIKAH OLEH ISTRI PERTAMA
3.1 Profil Perkara
Berdasarkan kasus-kasus yang pernah terjadi mengenai permohonan perkara
pembatalan perkawinan oleh istri pertama, penulis hanya memperoleh dua (2) sampel
di Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh dalam pembahasan skripsi ini, yaitu
kasus-kasus yang terjadi di Kecamatan Syiah Kuala dan Kecamatan Darul Imarah.
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menerima, memeriksa dan memutuskan perkara
yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara.
1. Perkara Perdata Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-BNA
Kasus pertama yaitu perkara pembatalan perkawinan yang diajukan oleh istri,
umur 50 tahun, beragama Islam, pekerjaan Pegawai PLN, yang untuk selanjutnya
disebut pemohon. Berlawanan dengan suami, umur 48 tahun, beragama Islam,
pekerjaan Pegawai PLN, yang untuk selanjutnya disebut sebagai termohon I.
Selanjutnya berlawanan juga dengan istri kedua, umur 26 tahun, beragama Islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, yang untuk selanjutnya disebut sebagai termohon II.
Duduk perkaranya yaitu pemohon dengan surat permohonannya tanggal 01
September 2014, telah mengajukan permohonan pembatalan perkawinan terhadap
termohon I dan II yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh sebagai perkara dengan Nomor Register : 0207/Pdt.G/2014/MS-BNA,
pada tanggal 01 September 2014. Pemohon dengan termohon I adalah suami isteri
sah yang menikah pada tanggal 4 Mei 2000 di KUA Kutalimbaru Medan Sumatera
Utara, dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: KK.00.07.17/PW.01/34/2011.
55
Dalam perkawinan antara pemohon dengan termohon I, mereka belum
dikarunia anak, karena mereka sepakat menunda memiliki anak agar pernikahan
termohon I tidak diketahui oleh atasan di kantor PLN. Selama masa perkawinan
antara pemohon dengan termohon I, mereka tinggal bersama orang tua termohon I
dan terkadang pulang ke rumah orangtua pemohon.
Berdasarkan pengakuan dari pihak termohon I, pernikahan antara pemohon
dengan termohon I dilakukan karena keterpaksaan disebabkan pemohon terlalu
ambisi ingin menikah dengan termohon I. Pernikahan tersebut tidak direstui kedua
belah pihak keluarga, karena pemohon adalah penganut Kristiani dan ia rela
meninggalkan agamanya demi menikah dengan termohon I dan ia berharap setelah
menikah akan dibimbing oleh termohon I selaku suaminya, sehingga ia mau masuk
Islam beberapa saat sebelum ijab qabul dan pemohon telah berstatus muallaf
(muslimah). Namun semenjak tahun 2008, rumah tangga antara pemohon dan
termohon I sering terjadi pertengkaran dan keributan, yang tidak ada harapan lagi
untuk membina rumah tangga yang damai, karena termohon I secara diam-diam
telah melakukan nikah sirri dengan termohon II di KUA Kecamatan Siempet
Nempu Hilir Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara, tanggal 23 Agustus 2008
tanpa sepengetahuan pemohon.
Namun pada tahun 2013 rumah tangga pemohon dan termohon I mulai
terjadi percecokan yang disebabkan oleh pemohon mengetahui termohon I telah
menikah sirri dengan termohon II di KUA Kecamatan Siempet Nempu Hilir
Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Dalam pernikahan termohon I dengan
termohon II dilakukan secara sangat massif dan bersahaja untuk menyembunyikan
pada pemohon selaku isteri sahnya sampai dengan sekarang maupun kepada instansi
56
PT. PLN Wilayah Aceh tempat termohon I bekerja. Pemohon sangat keberatan atas
sikap termohon I yang melakukan pernikahan dengan termohon II, karena hubungan
perkawinan pemohon dengan termohon I tidak pernah mengalami keributan sama
sekali. Meskipun termohon I hanya memberikan nafkah lahir dari tahun 2000 sampai
dengan 2009 sebesar Rp. 500.000.- sebulan kepada pemohon, karena pemohon
memiliki penghasilan sendiri. Sejak termohon I menikah dengan termohon II,
pemohon tidak pernah lagi menerima nafkah lahir dan bathin, bahkan berbicara pun
tidak pernah lagi, sehingga membuat pemohon tidak sabar lagi dan melaporkannya
ke majelis hakim untuk disidangkan. Setelah menimbang dari semua isi posita
termasuk di dalamnya replik duplik majelis hakim mengadili menyatakan
permohonan pemohon tidak dapat diterima.
2. Perkara Perdata Nomor 130/Pdt.G/2013/MS-BNA
Kasus kedua yaitu perkara pembatalan perkawinan yang diajukan oleh istri,
umur 48 tahun, beragama Islam, pendidikan S-2, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil,
yang untuk selanjutnya disebut pemohon. Berlawanan dengan suami, umur 49 tahun,
beragama Islam, pendidikan S-2, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, yang untuk
selanjutnya disebut sebagai termohon I. Selanjutnya berlawanan juga dengan istri
kedua, umur 35 tahun, beragama Islam, pendidikan ex pelajar, pekerjaan ibu rumah
tangga, yang untuk selanjutnya disebut sebagai termohon II.
Duduk perkaranya yaitu pemohon dengan surat permohonannya tanggal 28
Mei 2013, telah mengajukan permohonan pembatalan perkawinan terhadap
termohon I dan II yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh sebagai perkara dengan Nomor Register : 130/Pdt.G/2013/MS-BNA,
57
pada tanggal 28 Mei 2013. Pemohon dengan termohon I adalah suami isteri sah
yang menikah pada tanggal 7 Oktober 1990 oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama di Desa Meunasah Cut, Kecamatan Peudada Kabupaten Bireuen.
Dalam perkawinan antara pemohon dengan termohon I, mereka telah
dikarunia empat orang anak, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Selama
masa perkawinan antara pemohon dengan termohon I, mereka tinggal bersama
orangtua pemohon sampai dengan meninggalnya ayah pemohon serta berada
dalam kondisi rukun dan damai. Sejak meninggalnya ayah pemohon tahun 2006,
pemohon dan termohon I pindah ke rumah kos di Peunayong. Namun semenjak
tahun 2008, antara pemohon dan termohon I sering terjadi pertengkaran dan
keributan, yang tidak ada harapan lagi untuk membina rumah tangga, karena
termohon I secara diam-diam telah melakukan nikah sirri dengan termohon II di
Gampong Lhok Igeuh Kecamatan Tiro Truseb Kabupaten Pidie tanpa izin dan
sepengetahuan pemohon. Pada tahun 2008 sikap termohon I sudah mulai kurang
baik dan kurang perhatian terhadap pemohon dan anak-anaknya.
Pemohon mengetahui termohon I telah menikah sirri dengan termohon II di
Gampong Lhok Igeuh, Pidie dengan Kutipan Akta Nikah Nomor:
KK.01.03.3/235/04/XI/2009 pada tanggal 04 November 2009 oleh Pegawai
Pencatat Nikah KUA Kecamatan Badar Kabupaten Aceh Tenggara. Setelah
menikah antara termohon I dan termohon II tinggal di Toko Molton Sport Jln. Sri
Ratu Safiatuddin No. 8 Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh tanpa
seizin pemohon. Adanya bukti bahwa termohon II datang ke rumah pemohon dengan
sikap kasar dan marah-marah dengan pemohon sambil mengatakan bahwa ia telah
58
dinikahi oleh termohon I serta menunjukkan buku nikahnya. Termohon I sama sekali
tidak memperhatikan pemohon dan anak-anaknya, termohon I lebih mementingkan
termohon II daripada kepentingan rumah tangga serta biaya hidup anak-anaknya.
Termohon II melakukan perlakuan kasar kepada pemohon dan mendesak termohon I
agar menceraikan pemohon. Adanya pengakuan termohon I bahwa ia telah menikahi
termohon II, sehingga membuat kesabaran pemohon tidak terbendung lagi dan segera
melaporkannya ke majelis hakim untuk disidangkan. Setelah menimbang dari semua
isi posita termasuk di dalamnya replik duplik majelis hakim mengadili menyatakan
mengabulkan permohonan pemohon serta membatalkan perkawinan termohon I
dengan termohon II.
3.2 Pertimbangan Hakim dalam Perkara Pembatalan Nikah
3.2.1 Pertimbangan Hakim Pada Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna
Seorang hakim dalam menetapkan perkara atau menyelesaikan suatu perkara
seperti perkara permohonan pembatalan perkawinan oleh istri pertama tidak dapat
langsung mengambil keputusan, tetapi harus melalui pemeriksaan dan pembuktian
terlebih dahulu. Karena meskipun pihak isteri maupun suami telah mengajukan
permohonan perkara pembatalan perkawinan, namun di persidangan ternyata ada
juga pihak istri atau suami yang melakukan kesalahan, maka dapat saja perkara
diselesaikannya melalui perdamaian dari kedua belah pihak. Jika yang terbukti
bersalah adalah dari pihak si suami, maka perkara dapat diselesaikan menurut Pasal
134 KHI dan melalui proses permohonan perkara pembatalan perkawinan.
Pada umumnya dalam menyelesaikan suatu perkara, Majelis Hakim harus
memutuskan suatu perkara berdasarkan pada dalil-dalil dan undang-undang yang
59
berlaku serta harus memberikan alasan yang jelas baik bagi para pihak yang
bersangkutan. Pernyataan ini didasarkan pada Pasal 184 HIR, Pasal 23 ayat 1
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang intinya menyatakan bahwa:
1. Segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan yang jelas.
2. Menurut pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan bersangkutan atau
sumber hukum tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
3. Setiap putusan atau penetapan ditandatangani oleh Hakim Ketua, Hakim
anggota yang memutus dan perangkat yang ikut serta di dalam persidangan.
4. Berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua
dan Panitera yang ikut serta di dalam persidangan.
Berkaitan dengan pertimbangan hukum, menggambarkan tentang bagaimana
hakim menganalisa fakta atau kejadian, kaitanya hakim menilai tentang fakta-fakta
yang telah diajukan. Hakim akan mempertimbangkan secara keseluruhan dan detail
setiap isi, baik dari Pemohon ataupun Termohon I serta memuat dasar hukum yang
dipergunakan oleh hakim dalam menilai, menyimpulkan dan memutuskan perkara,
baik tertulis maupun tidak tertulis. Pertimbangan hakim dan putusan yang dihasilkan
tidak dapat dipisahkan.
Pertimbangan hakim terhadap perkara permohonan pembatalan perkawinan
pada nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna yaitu setelah menerima perkara permohonan,
mendengarkan alasan pemohon, memanggil kedua belah pihak (suami dan isteri),
memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini demi tegaknya hukum. Dalam
hal ini majelis hakim menimbang bahwa mediasi terhadap perkara ini tidak dapat
60
dilaksanakan dan permohonan pemohon tetap dipertahankan oleh pemohon.
Kemudian terhadap permohonan pemohon tersebut, termohon telah menyampaikan
beberapa pernyataan tertulis terkait permasalahannya dengan pemohon yang
menyatakan kebenaran bahwa antara termohon I dan pemohon telah menikah
layaknya suami isteri serta permasalahan lainnya. Setelah memeriksa kasus tersebut,
majelis hakim mempertimbangkan dengan hati-hati dan teliti.
Menurut Drs. H. M. Yacoeb Abdullah, selaku Hakim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh menyatakan bahwa termohon I memang benar telah melangsungkan
pernikahan dengan pemohon pada tanggal 4 Mei 2000. Pada saat pernikahan
berlangsung, pemohon telah memeluk agama Islam atas permintaan termohon I,
karena menurut hukum di negara Indonesia, untuk melangsungkan pernikahan kedua
mempelai harus memeluk satu agama atau tidak dibenarkan beda agama. Dalam hal
ini, termohon I tidak pernah memaksa pemohon untuk pindah agama dan atas
kerelaan pemohon ia pindah agama, dari Kristen menjadi Islam. Setelah menikah,
antara termohon I dan pemohon tidak pernah atau jarang serumah layaknya suami
isteri, hingga hal inilah yang membuat termohon I secara diam-diam melangsungkan
pernikahan lagi dengan termohon II. Selain itu, pernikahan antara pemohon dan
termohon I selalu dirahasiakan, baik di tempat kerja (PT. PLN) maupun di
lingkungan tempat mereka tinggal, sehingga masyarakat tidak mengetahui kalau
mereka telah menikah.1
Berdasarkan uraian wawancara di atas menggambarkan bahwa pernikahan
antara pemohon dan termohon I tidak harmonis, karena tidak ada keharmonisan dan
_____________
1 Hasil wawancara dengan Drs. H. M. Yacoeb Abdullah, Hakim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh, pada tanggal 20 April 2016.
61
kerukunan dalam rumah tangga, yang sering terjadi adalah perselingkuhan, saling
curiga dan tidak ada kecocokan. Selain itu, termohon I merasa dirinya telah bahagia
hidup dengan termohon II, karena pernikahannya resmi diketahui oleh kedua orang
tua, memiliki Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), tinggal berdua
dalam satu rumah layaknya suami isteri pada sebuah desa, saling mencintai dan telah
dikaruniai seorang anak serta dalam waktu dekat akan melahirkan anak kedua.
Berbeda halnya ketika hidup dengan pemohon, yang berbeda tempat tinggal,
menunda untuk memiliki anak, hidup secara sembunyi-sembunyi, tidak memiliki
KTP dan KK serta jarang berkomunikasi, sehingga kehidupan rumah tangganya
menjadi kurang harmonis.
Berdasarkan keterangan di atas, maka menurut pemaparan salah satu hakim
terkait keabsahan suatu putusan dalam pengadilan menyatakan bahwa putusan akan
dianggap cacat apabila tidak memuat pertimbangan-pertimbangan yang cukup dan
matang. Pertimbangan hakim terdiri dari alasan memutus yang diawali dengan kata
“menimbang” dan dasar memutus diawali dengan kata “mengingat”. Pada alasan
memutus maka apa yang dipaparkan dalam bagian duduk perkaranya terdahulu,
yaitu keterangan para pihak beserta dalil-dalilnya, alat bukti yang diajukannya harus
ditimbang secara menyeluruh tidak boleh ada yang kurang, diterima atau ditolak.
Pertimbangan terakhir adalah pihak mana yang akan dinyatakan sebagai pihak yang
akan dibebankan untuk memikul biaya perkara karena kalah.2
Hasil wawancara di atas dapat dinyatakan bahwa yang telah terbukti di
persidangan, maka majelis hakim berpendapat bahwa alasan pemohon telah
_____________
2Hasil wawancara dengan Drs. H. Hasanuddin Jumadil, Hakim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh, pada tanggal 16 April 2016.
62
memenuhi ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 71 ayat (1) yaitu seorang
suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan dan Pasal 72 ayat (2) yaitu seorang
suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan nikah apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami
atau istri. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 27 Ayat (2)
disebutkan bahwa seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau isteri. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI Pasal 71 ayat (1) dan
Pasal 72 ayat (2), maka permohonan Pemohon layak dikabulkan oleh Majelis Hakim.
Berdasarkan penjelasan hakim, “Dalam gugatan pembatalan perkawinan”
biasanya terdapat unsur penipuan dari pihak suami, seperti tidak adanya izin dari
isteri pertama dan hal ini dapat dibuktikan dengan cara meminta pengakuan dari
pihak isteri pertama dan suami, adanya surat bukti pernikahan yang tidak sah dari
suami dan adanya pihak ketiga (isteri kedua) yang telah dinikahi oleh suaminya”.3
Namun dalam hal ini biasanya, pihak suami akan mencari alasan-alasan
lainnya yang dapat menguatkan posisinya sebagai suami yang berhak menikah lagi,
seperti istri tidak sanggup lagi melayani suami dengan alasan sakit, isteri tidak dapat
memberikan keturunan/anak, istri tidak memberikan hak-hak suami dan alasan
lainnya, sehingga pihak suami dapat melakukan pernikahan dengan wanita
pilihannya. Akan tetapi, semua alasan ini akan dibatalkan atau ditolak oleh majelis
hakim, apabila tidak terdapat bukti sah dan otentik dari pihak suami, sehingga secara
_____________
3Hasil wawancara dengan Drs. H. M. Yacoeb Abdullah, Hakim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh, pada tanggal 20 April 2016.
63
tidak langsung, suami tidak dapat mempertahankan keinginannya untuk memiliki
istri kedua. Memang dalam setiap kasus yang masuk ke pengadilan tetap ada satu
pihak yang melakukan kebohongan atau penipuan. Hal ini dilakukan untuk menutupi
kesalahannya serta untuk mewujudkan keinginannya seperti berkeinginan untuk
menikahi wanita lain.
Setelah mempelajari, menyelidiki, memeriksa dan memutuskan perkara
permohonan pembatalan perkawinan nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna di atas, maka
dalam hal ini, penyelesaian perkara permohonan pembatalan perkawinan diakhiri
dengan dibacakannya putusan majelis hakim di muka persidangan dengan menolak
permohonan pembatalan perkawinan pada nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna. Hal ini
dikarenakan beberapa hal berkaitan dengan kehidupan rumah tangga antara pemohon
dan termohon I, di mana termohon I merasa lebih nyaman, bahagia dan rukun hidup
dengan termohon II dari pada pemohon, sehingga permintaan pemohon untuk
melakukan permohonan pembatalan perkawinan dengan termohon I menjadi batal.
Pertimbangan hakim terhadap perkara permohonan pembatalan perkawinan
No.0207/Pdt.G/2014/MS-Bna adalah berdasarkan perkara kontentius harus dilakukan
mediasi sesuai kehendak PERMA Nomor 01 Tahun 2008. Namun perkara a-quo
yaitu perkara kontentius berupa legalitas hukum berkenaan dengan pembatalan
perkawinan, maka dengan merujuk pada point 5 halaman 83 Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang diberlakukan dengan keputusan
Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006, maka dalam
proses penyelesaian perkara ini tidak wajib dilakukan mediasi.
Menimbang bahwa permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan
pemohon terhadap termohon I dan termohon II dibatalkan, dengan alasan termohon I
64
masih terikat perkawinan dengan termohon II dalam perkawinan yang sah dan bukti-
bukti yang diajukan oleh pemohon dalam perkara ini tidak ada relevensinya dengan
kasus ini, karena bukti-bukti tersebut tidak akurat dan harus dikesampingkan. Selain
itu, posita permohonan pemohon berkaitan dengan pengaduan untuk menceraikan
termohon II sebagai istri kedua adalah keliru, karena termohon I telah menikah
dengan Sri Murni sebagai isteri pertama, pemohon sebagai isteri kedua dan termohon
II sebagai isteri ketiga. Dengan demikian, posita permohonan pemohon berbeda
dengan fakta yang ditemui di lapangan, sehingga pernyataan dari pemohon dianggap
kabur (obsuur libel) dan permohonan pemohon tidak dapat diterima atau ditolak (niet
onvankelijke verklaard).
Dengan demikian, dalam memutuskan perkara ini majelis hakim berpedoman
pada aturan yang mempunyai dasar hukum yang kuat dalam memutuskan suatu
perkara sehingga secara yuridis tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang
berlaku. Putusan majelis hakim diharapkan dapat memberikan rasa keadilan dan
kepuasan kepada pihak pemohon dan termohon. Sebelum putusan perkara
permohonan pembatalan perkawinan tersebut dijatuhkan, majelis hakim selalu
bersikap hati-hati dan penuh tanggung jawab serta teliti dan berupaya sedemikian
rupa ke arah keadilan. Di samping itu juga diperhatikan seberapa mutlak atau
mendasarnya alasan perkara permohonan pembatalan perkawinan diputuskan
sehingga menyebabkan rumah tangga dapat kembali utuh dan dipertahankan lagi.
3.2.2 Pertimbangan Hakim Pada Nomor 130/pdt.G/ 2013/MS-BNA
Mengenai hukum acara persidangan yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
65
pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum. Dalam menyelesaikan perkara
permohonan pembatalan perkawinan oleh istri pertama, majelis hakim terlebih
dahulu harus menentukan kualitas permasalahan yang terjadi antara suami isteri yang
didalilkan oleh pihak yang mengajukan perkara dan alasan-alasan yang diajukan oleh
pihak pemohon dan termohon dengan penilaian dan pertimbangan tertentu.
Alasan-alasan yang diajukan oleh pihak pemohon dan termohon untuk tahap
selanjutnya akan dipertimbangkan oleh majelis hakim dengan memberikan penilaian
atas peristiwa itu serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Apabila
peristiwanya telah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan
hukumnya akan mudah. Namun apabila tidak menemukan hukum yang jelas dan
tegas, maka majelis hakim dapat berijtihad dalam arti menciptakan hukum sendiri
dengan cara menafsirkan hukum, undang-undang atau dalil-dalil yang tepat melalui
cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan.
Dengan kewenangannya seorang majelis hakim berhak memutuskan apakah
perkara permohonan pembatalan perkawinan oleh istri pertama ditolak atau diterima.
Dalam pertimbangan hukumnya pasal-pasal yang dijadikan pertimbangan Majelis
Hakim adalah yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dalil-dalil hukum syara’.
Dalil-dalil yang dipakai bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta pendapat para
ulama yang termuat dalam kitab-kitab fiqh. Dalam pertimbangan hukum juga dimuat
pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadai dasar dari putusan itu.
Berkaitan dengan pertimbangan hakim terhadap perkara permohonan
pembatalan perkawinan Nomor 130/pdt.G/ 2013/MS-Bna yaitu setelah menerima
berkas permohonan, mendengarkan ulasan pemohon, memeriksa, mengadili dan
66
memutuskan perkara ini demi hukum. Kemudian majelis hakim menerima dan
mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya. Pada hari persidangan yang telah
ditetapkan untuk memeriksa perkara ini, pemohon hadir beserta kuasanya, termohon
I juga hadir sendiri di persidangan, sedangkan termohon II tidak hadir dan tidak pula
menghadirkan penguasanya. Hakim berupaya untuk mengadakan perdamaian dengan
menasihati pemohon agar bersedia mengurungkan niatnya mengajukan permohonan
pembatalan pernikahan dengan termohon I. Namun hal ini tidak berhasil, pemohon
tetap pada pendiriannya semula.
Menurut hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Drs. H. Hasanuddin
Jumadil, pernikahan antara termohon I dan termohon II dilakukan secara sirri dengan
kadhi liar di sebuah rumah warga di kawasan Tiro Truseb Pidie dan tidak sah
menurut hukum yang berlaku. Kutipan Akta Nikah yang bernomor 235/04/XI/2009
tanggal 04 November 2009 yang diterbitkan oleh KUA Kecamatan Badar Aceh
Tenggara tidak sah dan tidak berkekuatan hukum serta meminta pegawai pencatat
nikah di KUA untuk membatalkan kutipan akta nikah tersebut. Akan memproses
perkara ini dengan seadil-adilnya menurut hukum yang berlaku dan menghukum
termohon I dan termohon II serta membayar seluruh biaya yang timbul akibat
perkara ini secara tanggung menanggung.4
Selain itu, Drs. H. M. Yacoeb Abdullah juga menyatakan bahwa termohon I
mengakui perbuatannya yang telah menikah dengan termohon II secara sirri dan
setelah menikah tinggal bersama dengan di Toko Molten Sport. Termohon I juga
mengakui bahwa isteri keduanya datang ke rumah isteri pertama dan membuat
_____________
4Hasil wawancara dengan Drs. H. Hasanuddin Jumadil, Hakim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh, pada tanggal 16 April 2016.
67
keributan dengan melakukan tindakan kasar menyepak-nyepak rantang nasi yang ada
di teras rumah. Seketika itu pula termohon I mengakui bahwa ia telah menikah sirri
dengan termohon II secara diam-diam tanpa sepengetahuan pemohon. Setelah
kejadian tersebut, termohon II melarang termohon I untuk pulang ke rumah pemohon
karena takut diberi guna-guna pada makanan yang disajikan untuk termohon I. Atas
kejadian tersebut, pemohon merasa dirinya dipermainkan oleh termohon I dan
termohon II, karena ia berhak atas kedudukan termohon I selaku suami sahnya dan
harus bertanggungjawab terhadap nafkah keempat anaknya. 5
Drs. H. M. Yacoeb Abdullah juga menambahkan bahwa perkawinan antara
termohon I dan termohon II layak untuk dibatalkan, karena dari hasil persidangan di
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menyangkut Putusan Pengadilan terhadap
Nomor:130/Pdt.G/2013/MS-BNA, terbukti bahwa termohon I dan termohon II
melangsungkan proses perkawinan sirri tanpa seizin pemohon, tanpa seizin
pengadilan agama dan termohon I masih terikat perkawinan yang sah dengan
pemohon. Selain itu juga karena surat-surat yang digunakan oleh termohon I dan
termohon II sebagai syarat melangsungkan pernikahan tidak berkekuatan hukum dan
bertentangan dengan hukum yang berlaku.6
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dinyatakan bahwa pernikahan
antara termohon I dan termohon II tidak sah, karena tidak sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku dan tidak adanya izin dari isteri pertama selaku pemohon dalam
perkara permohonan pembatalan perkawinan. Dalam hal ini, termohon I juga
_____________
5 Hasil wawancara dengan Drs. H. M. Yacoeb Abdullah, Hakim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh, pada tanggal 20 April 2016. 6Hasil wawancara dengan Drs. H. M. Yacoeb Abdullah, Hakim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh, pada tanggal 20 April 2016.
68
mengakui perbuatannya yang telah melangsungkan pernikahan dengan termohon II
dan anak-anak pemohon merasa tidak nyaman atau terganggu dengan tingkah laku
termohon II yang sering mengganggu kehidupan rumah tangga pemohon dan
termohon I. Pernikahan antara termohon I dan termohon II memang tidak sah, karena
terbukti bahwa pemohon dengan termohon I adalah pasangan suami istri yang sah
melalui surat Kutipan Akta Nikah yang tertera di KUA. Dengan demikian,
permohonan pembatalan perkawinan dari pihak pemohon terhadap antara
termohon I dan termohon II dinyatakan diterima oleh majelis hakim di persidangan.
Lain halnya dengan perkara a-quo di mana pemohon mengajukan perkara
permohonan pembatalan perkawinan bukan karena adanya ancaman atau salah
sangka mengenai diri suami atau istri yang menikah, melainkan karena termohon
I telah menikah lagi dengan termohon II tanpa seizin pemohon selaku istri
pertama, tanpa seizin pengadilan dan tanpa izin dari instansi terkait, maka
menurut majelis hakim yang sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tersebut tidak dapat diterapkan dalam perkara ini. Dengan demikian,
alasan keberatan jawaban termohon II adalah tidak relevan dan pemohon sebagai istri
pertama termohon I tetap berhak dan berkualitas mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan meskipun sampai diajukan permohonan perkara ini
waktunya telah lebih dari enam bulan dari pernikahan termohon I dan termohon II.
Penyelesaian perkara permohonan pembatalan perkawinan diakhiri dengan
dibacakannya putusan majelis hakim di muka persidangan. Dalam memutuskan
perkara ini majelis hakim berpedoman pada aturan yang mempunyai dasar hukum
yang kuat dalam memutuskan suatu perkara sehingga secara yuridis tidak
69
menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku. Putusan majelis hakim diharapkan
dapat memberikan rasa keadilan dan kepuasan kepada pihak pemohon dan termohon.
Pertimbangan hakim terhadap perkara permohonan pembatalan perkawinan
Nomor:130/Pdt.G/2013/MS-BNA adalah berdasarkan perkara kontentius harus
dilakukan mediasi sesuai kehendak PERMA Nomor 01 Tahun 2008. Namun perkara
a-quo yaitu perkara kontentius berupa legalitas hukum berkenaan dengan pembatalan
perkawinan, maka dengan merujuk pada point 5 halaman 83 Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang diberlakukan dengan keputusan
Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006, maka dalam
proses penyelesaian perkara ini tidak wajib dilakukan mediasi.
Menimbang bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah
pemohon selaku isteri pertama termohon I, memohon kepada hakim agar perkawinan
antara termohon I dengan termohon II yang dilakukan secara sirri dibatalkan karena
tanpa izin pemohon, tanpa izin pengadilan dan pejabat tempat termohon I berdinas
sebagai PNS (dosen). Selain itu, atas sikap dan tindakan ksar yang dilakukan
termohon I dan termohon II yang menganggu kehidupan rumah tangga pemohon dan
anak-anaknya, sehingga mereka merasa tidak nyaman dan terganggu. Menimbang
bahwa termohon I mengakui dan membenarkan semua dalil-dalil permohonan
permohon yang diajukan kepada majelis hakim dan mengakui telah menikah sirri
dengan termohon II, sesuai dengan Pasal 311 R.Bg, pengakuan adalah bukti lengkap
dan sempurna, sehingga bukti-bukti tersebut dapat diterima dan dijadikan dasar
pertimbangan dalam perkara ini.
Berdasarkan pengakuan termohon I dalam perkara ini yang menyatakan benar
telah melangsungkan perkawinan dengan termohon II tanpa izin dari pejabat atasan
70
sebagai seorang PNS (dosen), sesuai dengan PP Nomor 10 Tahun 1983 dan PP
Nomor 45 Tahun 1990. Menimbang berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum
Islam, maka jika ketiga pasal tersebut dipahami secara utuh, dapat disimpulkan
bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari satu (berpoligami), maka ia
wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memperoleh izin dari pihak
pengadilan. Dengan demikian, pertimbangan hakim terhadap permohonan ini adalah
dengan mempertimbangkan petitum nomor tujuh permohonan, maka perkawinan
antara termohon I dengan termohon II dibatalkan dan menerima permohonan dari
pemohon sebagai isteri pertama termohon I.
3.3 Tinjauan Hukum Islam terhadap Pertimbangan Hakim Pada Nomor
0207/Pdt.G/2014/MS-BNA dan Nomor 130/pdt.G/ 2013/MS-BNA
3.3.1 Tinjauan Hukum Islam terhadap Pertimbangan Hakim Pada Nomor
0207/Pdt.G/2014/MS-BNA
Secara umum fungsi kewenangan seorang hakim dalam mengadili suatu
perkara di lingkungan Peradilan Agama telah ditentukan dalam Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan diadakan perubahan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama bahwa salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara-perkara yang dimaksud disebutkan dalam Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-
71
orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.
Dalam mengungkapkan perkara permohonan pembatalan perkawinan oleh
istri pertama di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dimulai dari proses penerimaan
berkas perkara hingga ke tahap putusan persidangan. Dalam proses penyelesaiannya,
pihak pengadilan tetap berpegang pada kaidah dan pedoman beracara yang berlaku,
sesuai dengan prosedur beracara dan ketatalaksanaan di seluruh pengadilan agama di
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kasus perceraian dikenal adanya permohonan dan gugatan. Perkara
gugatan biasanya melibatkan para pihak yang saling berlawanan (sengketa) dan
bersifat contentiosa. Sedangkan perkara permohonan bersifat volunter yaitu dalam
permohonan tidak ada sengketa. Dengan demikian proses penyelesaian perkara
permohonan pembatalan perkawinan berbeda dengan proses penyelesaian perkara
gugatan perceraian, meskipun secara umum prosesnya adalah sama. Persamaannya
adalah dalam hal harus menyertakan surat-surat keterangan, menghadirkan saksi-
saksi atau kesaksian, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Jadi letak persamaannya
adalah pada alat bukti dalam suatu kasus.
Alat bukti yang harus ditunjukkan kepada hakim adalah seperti surat-surat,
baik itu surat kutipan Akta Nikah, tanda pengenal dan sebagainya. Selanjutnya yaitu
pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa tersebut serta bukti-
bukti lain yang dianggap perlu ditunjukkan kepada hakim. Dalam perkara
permohonan pembatalan perkawinan oleh istri pertama, bukti kesaksian merupakan
suatu alat atau sarana yang banyak digunakan oleh hakim untuk memberikan suatu
72
keputusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya. Bahkan bukan hanya bagi
hakim saja alat bukti itu penting, tetapi juga para pihak yang berperkara untuk
menguatkan dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil bantahan masing-masing.
Dalam memutuskan suatu perkara permohonan pembatalan perkawinan oleh
istri pertama, maka seorang hakim yang bertugas pada Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh akan mengambil keputusan yang didasarkan kepada alasan-alasan suami/isteri
yang mengajukan permohonan. Dalam hal ini, para hakim akan melihat terlebih
dahulu alasan yang diajukan, apakah sesuai dengan hukum Islam sebagai landasan
dasar, hukum positif yang tercantum dalam undang-undang yang berlaku dan adanya
bukti-bukti yang kuat terhadap kasus yang diajukan atau tidak.
Berdasarkan uraian yang telah dibahas di atas, maka tinjauan hukum Islam
terhadap pertimbangan hakim pada Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-BNA telah sesuai
dengan hukum Islam, karena hakim telah memutuskan perkara yang diajukan oleh
pemohon secara adil. Dalam perkara ini, hakim telah mempertimbangkan secara adil
dan kensekuen terhadap semua bukti-bukti dan dalil-dalil otentik yang diajukan,
terutama berkaitan dengan kehidupan rumah tangga yang ditempuh oleh pemohon,
termohon I dan termohon II. Permohonan dan pengakuan yang diajukan oleh
pemohon terhadap termohon I dihadapan majelis hakim berbeda dengan fakta yang
terjadi di lapangan atau bukti nyata. Pemohon menyatakan bahwa ia adalah isteri
pertama dari termohon I, padahal ia adalah isteri kedua setelah termohon I menikah
dengan isteri pertama dan menuntut untuk menceraikan isteri ketiga. Sedangkan
kehidupan rumah tangga antara termohon I dengan pemohon tidak harmonis dan
kurang bahagia serta menunda untuk memiliki anak, padahal termohon I sangat
mengharapkan keturunan dari pemohon. Dalam hal ini, termohon I secara diam-diam
73
melangsungkan perkawinan dengan termohon II selaku isteri ketiga, dan dapat hidup
bahagia serta telah memiliki keturunan dari pernikahan yang sah dan diketahui oleh
masyarakat. Dalam hal ini, majelis hakim telah mempertimbangkan seluk beluk
perkara ini dan akhirnya menolak permohonan pemohon, karena tidak sesuai dengan
kenyataan di lapangan dan ia tidak berhak mendapatkan kembali suaminya.
3.3.2 Tinjauan Hukum Islam terhadap Pertimbangan Hakim Pada Nomor
130/pdt.G/ 2013/MS-BNA
Dalam undang-undang perkawinan di dunia Islam pada umumnya merujuk
kepada asas-asas (prinsip) perkawinan seperti dimuat dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan yang
dimaksud yaitu prinsip sukarela, prinsip partisipasi keluarga, prinsip perceraian
dipersulit, prinsip monogami (poligami dibatasi dan diperketat), prinsip kedewasaan
calon mempelai, prinsip memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum wanita dan
prinsip selektivitas.7
Di antara beberapa asas/prinsip perkawinan di atas adalah prinsip monogami
(poligami dibatasi dan diperketat). Asas penting yang dianut sistem undang-undang
Perkawinan Islam pada umumnya adalah asas monogami, yakni asas yang hanya
memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu orang istri pada jangka waktu
tertentu. Hukum Islam termasuk hukum dalam bentuk perundang-undangannya yang
memberikan kemungkinan atau membolehkan poligami bagi orang tertentu, dengan
alasan tertentu, dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat yang tertentu pula.
_____________
7 Muḥammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008), hlm. 157.
74
Di antara syarat-syarat yang dimaksudkan adalah bahwa poligami dilakukan harus
atas sepengetahuan istri atau istri-istri yang telah ada, berkemampuan secara
ekonomis, dapat berbuat adil dan memperoleh izin dari pengadilan berwenang.8
Pada dasarnya hukum perkawinan hanya dapat ditegakkan atas dasar
kenyataan obyektif dan dalam ruang lingkup yang seluas-luasnya, mengakui
keutamaan monogami dan tidak mutlak melarang poligami.9 Sebenarnya Islam
tidaklah memulai poligami, tidak memerintahkan dan juga tidak menganjurkan
poligami. Islam hanya mengizinkan poligami dalam suasana tertentu dengan
mengadakan syarat-syarat, terutama adil dan mampu.10
Untuk membuktikan bahwa
tujuan hukum perkawinan dalam Islam bukan sistem poligami, dibuktikan dengan
ayat Al-Qur‟an yang telah memberikan penekanan ketidakmampuan berlaku adil
bagi yang berpoligami yaitu dalam surat An-Nisa’ ayat 3 berikut:
(٣ :النساء) Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S. An-Nisa: 3).
_____________
8 Muḥammad Amin Suma, Hukum Keluarga ..., hlm. 162.
9Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Ashary, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 106. 10
Abbas Maḥmoud Al-Akkād, Wanita dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),
hlm. 126.
75
Berdasarkan ayat di atas, maka seorang suami apabila ingin berpoligami
harus mampu berlaku adil, mapan dalam hal ekonomi, sepengetahuan pengadilan dan
sepengetahuan istri pertama. Namun dalam kenyataannya, banyak pihak suami yang
tidak dapat berlaku adil kepada istri-istrinya, kuran mapan dalam bidang ekonomi,
tidak memberikan perhatian dan kasih sayang yang adil kepada istri-istrinya dan
anak-anaknya banyak yang terlantar. Dalam hal ini, Islam menganjurkan agar suami
memiliki istri satu saja, dari pada tidak dapat berlaku adil dalam semua hal.
Sebuah perkawinan apabila dari awalnya sudah ada unsur kebohongan atau
penipuan maka rumah tangga yang dijalani tidak selamanya dan sepenuhnya
mendapatkan kebahagiaan. Adanya unsur pemalsuan identitas yang dilakukan oleh
termohon I akhirnya akan mengacu pada sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh
termohon I, dalam hal ini termohon I telah malakukan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar
undang-undang.11
Selain itu, termohon I juga telah melanggar KHI Pasal 71 (a)
”Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.” Hal yang
memicu adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh termohon I selain yang
disebutkan di atas adalah minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh termohon I
mengenai prosedur atau cara poligami. Keinginan termohon I yang ingin menikah
lagi tanpa alasan yang jelas tidak sesuai dengan aturan yang telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan, yang pada akhirnya hakim memutuskan membatalkan
perkawinan antara termohon I dan termohon II.
_____________
11 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 75.
76
Syarat izin istri pertama bagi seorang suami yang akan menikah lagi dengan
istri kedua dan seterusnya memang tidak ditetapkan secara tersurat dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Namun demikian, karena pertimbangan kemaslahatan, terutama untuk
perempuan dan anak, maka izin tersebut dianggap sebagai bagian yang syar’i atau
menjadi tuntutan syara’. Islam sangat melarang seorang suami menyakiti hati
istrinya. Dengan demikian, keputusan hakim dalam memutuskan perkara
permohonan pembatalan perkawinan telah sesuai dengan hukum Islam.
Berdasarkan uraian yang telah dibahas di atas, maka tinjauan hukum Islam
terhadap pertimbangan hakim pada Nomor 130/pdt.G/ 2013/MS-BNA telah sesuai
dengan hukum Islam, karena hakim telah memutuskan perkara yang diajukan oleh
pemohon seadil-adilnya, baik secara hukum, perundang-undangan maupun hukum
Islam. Dalam hal ini, majelis hakim mempertimbangkan kondisi dari pemohon
selaku isteri pertama dari termohon I, yang telah memiliki empat anak, yang telah
lama tidak diberikan nafkah lahir maupun bathin. Termohon I juga tidak memiliki
kekuatan hukum dan bukti surat-surat nikah yang sah dari pihak KUA tempat di
mana ia melangsungkan perkawinan antara termohon I dengan termohon II. Karena
mereka melakukan perkawinan dengan seorang kadhi liar atau KUA illegal yang
tidak resmi, meskipun termohon I dapat memperoleh akta nikah dari pihak KUA
setempat, namun dianggap tidak sah dan tidak berkekuatan hukum.
Selain itu, majelis hakim juga telah mempertimbangkan dengan teliti dan
hati-hati terhadap perkara ini, di mana posisi pemohon selaku isteri yang sah dari
termohon I berhak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari seorang suami
dan ayah dari keempat anaknya. Sedangkan termohon II adalah isteri kedua yang
77
dinikahi oleh termohon I karena telah lama bekerja di tokonya dan karena termohon I
terpikat dengan daya tarik dari termohon II. Adanya perlakuan kasar dan kurang
nyaman dari termohon II terhadap pemohon dan anak-anaknya pun yang menjadikan
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini. Dengan demikian, dalam
hukum Islam terdapat aturan yang harus mempertimbangkan secara adil terhadap
manfaat atau mudharat suatu permasalahan, terutama dalam memutuskan perkara
pembatalan perkawinan yang diajukan.
78
BAB EMPAT
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dan analisa pada bab-bab terdahulu, maka dalam
bab empat ini akan diambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
4.1 Kesimpulan
1. Pertimbangan hakim untuk menolak permohonan pembatalan nikah sirri yang
diajukan oleh istri pertama pada Nomor 0207/Pdt.G/2014/MS-Bna adalah
karena termohon I masih terikat perkawinan dengan termohon II dalam
perkawinan yang sah dan bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon dalam
perkara ini tidak ada relevensinya dengan kasus ini, karena bukti-buktinya
tidak akurat. Posita permohonan pemohon berkaitan dengan pengaduan untuk
menceraikan termohon II sebagai istri kedua adalah keliru dan berbeda
dengan fakta di lapangan, sehingga pernyataan dari pemohon dianggap kabur
dan permohonan pemohon tidak dapat diterima atau ditolak.
2. Pertimbangan hakim untuk menerima permohonan pembatalan nikah sirri
yang diajukan istri pertama pada Nomor 130/Pdt.G/2013/MS-Bna adalah
karena perkawinan antara termohon I dan termohon II yang dilakukan secara
sirri dibatalkan karena tanpa izin pemohon, tanpa izin pengadilan dan pejabat
tempat termohon I berdinas. Selain itu, sikap dan tindakan kasar yang
dilakukan termohon II terhadap kehidupan rumah tangga pemohon dan anak-
anaknya, sehingga mereka merasa tidak nyaman dan terganggu. Termohon I
mengakui dan membenarkan semua dalil-dalil permohonan permohon yang
diajukan kepada hakim dan mengakui semua perbuatannya.
79
3. Tinjauan hukum Islam terhadap pertimbangan hakim pada Nomor
0207/Pdt.G/2014/MS-Bna dan 130/pdt.G/ 2013/MS-Bna adalah telah sesuai
hukum Islam yang berlaku apabila seorang hakim dapat menyelesaikan
perkara yang diajukan oleh pemohon secara adil dan syar’i, tanpa merugikan
pihak mana pun. Pemohon yang mengajukan perkara permohonan
pembatalan perkawinan oleh istri pertama terhadap termohon I selaku suami
sahnya, berhak mendapatkan kembali hak dan tanggung jawab suaminya.
4.2 Saran-saran
1. Diharapkan kepada hakim yang bertugas di Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh agar memberikan keputusan yang adil dan sebaik-baiknya kepada
suami/isteri yang mengajukan perkara permohonan pembatalan perkawinan
oleh istri pertama agar rumah tangganya dapat terbina kembali.
2. Diharapkan kepada calon suami/istri, agar sebelum melakukan perkawinan,
hendaknya diteliti terlebih dahulu rukun dan syarat perkawinan yang harus
dipenuhi. Hal ini dimaksudkan agar di kemudian hari tidak terjadi hal-hal
yang dapat merusak atau membatalkan perkawinan yang telah berlangsung.
3. Diharapkan kepada pegawai pencatat nikah agar lebih memperketat
pemeriksaan data-data calon pengantin sebelum dilakukan perkawinan yakni
mengenai status dan keabsahan data masing-masing pihak, seperti status dari
calon pasangan masing-masing, baik calon suami yang masih jejaka atau
duda dan calon istri masih perawan atau janda. Pemeriksaan ini dilakukan
agar tidak terjadi pelaggaran hukum dalam perkawinan.
80
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anul Karim dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemahan Al-Qur’an Departemen Agama RI, 2007. Abbas Māḥmoud Al-Akkād, Wanita dalam Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang,
2007.
Abdurraḥman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bandung: Alumni, 2008.
Abdul Raḥman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Insani Press, 2007.
Abu Fikri, Poligami yang Tak Melukai Hati, Bandung: Pustaka Mizan, 2007.
Achmad Kazari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Aḥmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Aḥmed Ershad Bafadal, “Dasar Pertimbangan Hakim tentang Pembatalan Nikah
karena Status Wali Nikah “, (Tidak Dipublikasikan), Mataram: Universitas
Mataram, 2013.
Aḥrum Khoirudin, Pengadilan Agama, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2004.
Asser Scholten dan Vollmar, Hukum Perdata Bagian I, Jakarta: Prenada Kencana,
2004.
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Ashary, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata,
Jakarta: Bina Aksara, 2008.
Gatot Suparmono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Djambatan,
2008.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2003.
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
81
Maḥmud Yunus, Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung, 2002.
Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum Islam II, Surakarta: Buana
Cipta, 2006.
Muḥammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008.
Muḥammad bin Ismail Āsh Shān’any, Subūlūs Salām, Juz III, Mesir: Syirkāh
Maktabāh wa Mathbi’āh Musthafā Al-Bībil Halabīy wa Aulāduhū, t.t.
Muḥammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005.
Nora Sari Dewi Nasution, Perlindungan Terhadap Hak-Hak Isteri Pada Perkawinan
Poligami melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, (Tesis, Tidak Dipublikasikan), Medan: Universitas
Sumatera Utara, 2011.
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974. Tambahan Lembaran
Negara. Nomor 3019.
Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra Adiya
Bakti, 2008.
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Saifullah, “Perkawinan tanpa Izin Wali sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan
Menurut Perspektif Hukum Islam “, (Tidak Dipublikasikan), Banda Aceh:
UIN Ar-Raniry, 2015.
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 2006.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001.
Syāikh Mutawalli As-Sya’rāwi, Fikih Perempuan Muslimah, Jakarta: Amzah, 2003.
82
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 14.tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2008.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Intermasa, 2010.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2010.
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas, 2004.
Wardatul Firdaus, “Alasan Hakim dalam Memutuskan Menolak Perkara Pembatalan
Perkawinan (Studi Perkara Nomor:0848/Pdt G/2006/PA Kabupaten
Malang)“, (Tidak Dipublikasikan), Malang: Universitas Islam Negeri, 2012.
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, Jakarta: Gitama Jaya, 2005.
Yaḥya Haraḥap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir Trading, 2005.
Yuni Zulfiani Riski Aḥmad, Tinjauan Yuridis terhadap Pembatalan Perkawinan
karena Tidak Adanya Izin dari Orang Tua“, (Tidak Dipublikasikan),
Makassar: Universitas Hasanuddin, 2013.
Yusuf Qārdhāwi, Halal dan Haram dalam Islam, Terjemahan Oleh H. Mu’ammal
Hamidy, Jakarta: Robbani Press, 2000.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Ditha Suci
2. Tempat/tanggal lahir : Medan / 03 Maret 1994
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan/NIM : Mahasiswi / 111209229
5. Agama : Islam
6. Kebangsaan / Suku : Indonesia / Aceh
7. Status Perkawinan : Belum Menikah
8. Alamat : Lr. Tuan I Ladang No. 66 A, Gampong Neusu Aceh,
Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
9. Orang tua
a. Ayah : Drs. Syahrial
b. Pekerjaan : Wiraswasta
c. Ibu : Aisyah S.
d. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
e. Alamat : Lr. Tuan I Ladang No. 66 A, Gampong Neusu Aceh,
Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
10. Pendidikan
a. SD : SDN 16 Banda Aceh, berijazah Tahun 2006
b. SMP : SMPN 3 Banda Aceh, berijazah Tahun 2009
c. SMU : SMAN 1 Banda Aceh, berijazah Tahun 2012
d. Perguruan Tinggi : Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Keluarga
UIN Ar-Raniry Masuk Tahun 2012 s/d 2016.
Demikianlah daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya, agar dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Banda Aceh, 27 Juni 2016
Penulis,
DITHA SUCI
vii
TRANSLITERASI
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No Arab Latin Ket No Arab Latin Ket
ا 1Tidak
dilambangkan ṭ t dengan titik ط 16
di bawah
b ب 2
ẓ z dengan titik ظ 17
di bawah
t ت 3
‘ ع 18
ś ث 4s dengan titik
di atas g غ 19
j ج 5
f ف 20
ḥ ح 6h dengan titik
di bawah q ق 21
kh خ 7
k ك 22
d د 8
l ل 23
ż ذ 9z dengan titik
di atas m م 24
r ر 10
n ن 25
z ز 11
w و 26
s س 12
h ه 27
sy ش 13
’ ء 28
ṣ ص 14s dengan titik
di bawah Y ي 29
ḍ ض 15d dengan titik
di bawah
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
viii
Tanda Nama Huruf latin
Fatḥah a
Kasrah I
ḍammah U
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda Dan
Huruf Nama
Gabungan
Huruf
يFatḥah dan
ya ai
وFatḥah dan
wau au
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat
Dan Huruf Nama
Huruf Dan
Tanda Baca
ي/ ا Fatḥah alif
atau ya ā
ي Kasrah dan
ya Ī
و Dammah dan
wau Ū
Contoh:
qāla : قال
ramā : رمى
qĪla : قيل
yaqūlu : يقول
ix
4. Tā’ marbŪtah (ة)
Transliterasi Tā’ marbŪtah (ة) ada dua:
a. Tā’ marbŪtah (ة) hidup
Tā’ marbŪtah (ة) yang hidup atau mendapat harkat Fatḥah, kasrah dan
dammah mendapat transliterasinya adalah t.
b. Tā’ marbŪtah (ة) mati
Tā’ marbŪtah (ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya Tā’ marbŪtah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al, serta kedua kata itu terpisah Tā’
marbŪtah ditransliterasinya adalah h.
Contoh:
rauḍah aṭfal / rauḍatul aṭfal : روضة الاطفل
al-MadĪnah al-Munawarah / al-Madinatul Munawarah : المدينة المنورة
ṭalḥah : طلحة
Catatan
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa
transliterasi, sepert M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lain ditulis
sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Hamad Ibn Sulaiman.
2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan bahasa Indonesia, seperti
Mesir, bukan Misr; Beirut bukan Bayrut, dan sebagainya.
3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus bahasa Indonesia
tidak ditransliterasikan. Contoh: Tasauf bukan Tasawuf.