TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP...
Transcript of TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP...
TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PASAL 10 UUPA No. 5 TAHUN 1960 TENTANG KEPEMILIKAN
TANAH GUNTAI
Skripsi diajukan untuk memnuhi persyaratan menempuh gelar sarjana Hukum Islam
(SHI)
Oleh :
BADRUZ ZAMAN
204044103021
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430H /2009M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PASAL
10 UUPA NO.5 TAHUN 1960 TENTANG PEMILIKAN TANAH GUNTAI telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 3 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal
Syakshiyyah
(Peradilan Agama)
Jakarta, 13 November 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 195505051982031012
PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, SH. MA
(.........................
.....) NIP: 195510151979031002
2. Sekertaris : Drs. Ahmad Yani, M.Ag
(.........................
.....) NIP: 196404121994031004
3. Pembimbing I : H. M. Yasir, SH, MH
(.........................
.....) NIP: 150 075 010
4. Pembimbing II : Euis Nurlaelawati, MA, Ph.D
(.........................
.....) NIP: 197007041996032002
5. Penguji I : DR. H.Ahmad Mukri Aji, M. A.
(.........................
.....) NIP. 195703121985031003
6. Penguji II : Drs. Ahmad Yani, M.Ag
(.........................
.....) NIP: 196404121994031004
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PASAL 10 UUPA NO.5
TAHUN 1960 TENTANG PEMILIKAN TANAH GUNTAI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
BADRUZ ZAMAN
NIM: 204044103021
di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
H. M. Yasir, SH, MH Euis Nurlaelawati, MA, Ph.D NIP: 150 075 010 NIP: 197007041996032002
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430H/2OO9M
KATA PENGANTAR
ƅƅƅƅƒš ŧƃƃƃƃŒ ƇƆƇƆƇƆƇƆš ŧƃƃƃƃŒ ĸŒ ƅƅƅƅŪŕ
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Segala puji hanya bermuara kepada-Nya
sang khaliq penggenggam setiap jiwa, yang menjadikan diri ini tetap tegar dalam
setiap ikhtiar untuk melanjutkan penulisan skripsi ini hingga selesai. Dengan segenap
keridhoannya, penulis senantiasa mendapat kemudahan baik dari segi teknis, meteri,
tenaga, waktu, maupun pikiran.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda besar
Nabi Muhammad SAW, yang merentas jalan cahaya dibalik kelamnya masa
kejahiliyahan yang senantiasa gigih berjuang dan tidak pernah letih menegakan syi’ar
agama Allah SWT, kepada keluarganya yang suci, kepada para sahabatnya yang turut
menggoreskan tinta emas sejarah kejayaan Islam terutama para Khalifah ar-Rasyidin,
dan kepada umat beliau hingga akhir jaman.
Selama penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
dialami penulis. Penulis menyadari dan yakin bahwa skripsi yang tersusun ini
bukanlah suatu ukuran atau kesempurnaan karya ilmiah, tetapi masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membantu selalu penulis
harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut.
Selanjutnya, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas
usaha penulis pribadi namun juga karena bimbingan, bantuan dan motivasi dari
i
berbagai pihak. Oleh karana itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH. MA. M.M., Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs H. A Basiq Djalil SH. MA dan Kamarusdiana S.Ag, MH masing-masing
sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Djawahir Hejazziey, SH. MA dan Drs H. Ahmad Yani M.Ag sebagai
Ketua dan Sekretaris Kordinator Teknis Program Non Reguler Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. H. M. Yasir, SH, MH dan Euis Nurlaelawati, MA, Ph.D sebagai pembimbing
dalam penyusunan skripsi ini. Kedua pembimbing ini dengan sabar telah
membantu dan meluangkan waktunya untuk penulis. Semoga mereka selalu
ada dalam naungan-Nya.
5. Segenap karyawan akademik dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Segenap keluarga besar dosen, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum,
Konsentrasi Peradilan Agama Non Regular. Kepada mereka, saya ucapkan
Terima kasih atas bimbingannya selama bartahun-tahun menyelesaikan
belajar.
7. Yang sangat teristimewa dan sangat penulis cintai orangtuaku yang setia dan
sabar memberikan motivasi dan doa yang tak henti-hentinya, karena kalianlah
ii
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima Kasih atas cinta dan
kasih sayangnya dan segala bimbingan baik moril maupun materil.
8. Sahabat-sahabatku, mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum,
khusunya mahasiswa dan mahasiswi Konsentrasi Peradilan Agama Non
Regular angkatan 2004-2005.
Hanya kepada Allah SWT penulis serahkan balasan terhadap ketulusan dan
kebaikan mereka semua. Terakhir penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini
berguna bagi penulis dan bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya.
Wassalamu¶alaikum Wr.Wb
Jakarta: 13 November 2009 M
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah………………………………………
1
B. Perumusan masalah…………………………………………..
10
C. Tujuan penelitian……………………………………………..
11
D. Metode penelitian…………………………………………….
11
E. Review Studi Terdahulu……………………………………...
12
F. Sistematika penulisan……………………………………..
13
BAB II
TINJAUAN UMUM PASAL 10 UUPA NO.5 TAHUN 1960
A. Pengertian dan pengaturannya……………………………….
15
B. Deskripsi pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960…………………
20
C. Tujuan Pokok UUPA……………………………………......
26
D. Sumber hukum tanah Nasional……………………………….
28
BAB III TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMILIKAN TANAH
GUNTAI
A. Pemilikan tanah dalam hukum Islam……………………….. 30
B. Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap pemilikan tanah guntai… 37
iv
C. Prinsip-prinsip hukum Islam dalam kaitannya dengan pemilikan
tanah guntai………………………………………………… 42
BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMILIKAN TANAH GUNTAI
A. Dalam UUPA………………………………………………. 49
B. Praktek pada masa Rasul…………………………………… 50
C. Persamaan dan perbedaan dari segi hukum Islam dengan hukum
Agraria……………………………………………………… 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………… 57
B. Saran-saran ………………………………………………… 58
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Adalah fitrah manusia, jika dia terdorong untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhanya, sehingga seseorang berusaha dengan segala kemampuannya untuk
dapat memperoleh kekayaan guna memenuhi kebutuhannya dengan cara bekerja
keras agar bisa memperoleh kekayaan tersebut. Keharusan manusia untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu kemestian, yang tidak mungkin
dipisahkan dari dirinya.
Dengan demikian usaha manusia dalam memperoleh kekayaan di
samping merupakan masalah yang fitri, juga merupakan suatu keharusan.
Berdasarkan hal tersebut maka setiap usaha yang mencegah atau melarang
manusia untuk memperoleh kakayaan, tentu bertentangan dengan fitrah. Hal
tersebut wajar, bila kemudian manusia tidak boleh dihalang-halangi untuk
berusaha memperoleh serta mengumpulkan kekayaan tersebut dengan cara yang
dibenarkan.
Hanya masalahnya, dalam memperoleh kekayaan tersebut tidak boleh
diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara
sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya dan
memanfaatkanya dengan sesuka hatinya.
2
Perilaku semacam itu bisa menyebabkan kerusakan dan kekacauan, serta
menyebabkan kehancuran. Karena setiap individu memang berbeda tingkat
kemampuan dan kebutuhannya akan pemuasan tersebut. Apabila mereka
dibiarkan begitu saja, tentu kekayaan tersebut akan dimonopoli oleh orang-orang
kuat, sementara yang lemah susah mendapatkannya, sehingga orang-orang yang
sakit dan orang-orang yang lemah akan tertekan. Sementara orang-orang yang
membiarkan kemauannya tanpa terkendali akan memperoleh harta sebanyak-
banyaknya.
Dengan demikian masalahnya adalah bagaimana agar manusia bisa
memperoleh serta berusaha untuk mendapatkan akan kekayaan tersebut, dengan
cara yang bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer semua orang,
serta bisa menjamin mereka sehingga memungkinkan mereka untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
Dalam hukum, seseorang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda
kepadanya diizinkan untuk menikmati hasil dari benda miliknya itu. Benda
tersebut dapat dijual, digadaikan atau diperbuat apa saja asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada.1
Dalam sistem ekonomi Islam, masalah yang sangat penting adalah
hubungan manusia dengan benda dan kekuasaan manusia atas segala sesuatu yang
1 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1980), h. 120.
3
berada disekitarnya. Mengenai hal tersebut terdapat beberapa ketentuan-ketentuan
pokok dalam Al-Qur’an, di antaranya:
1) Seluruh alam semesta dan semua benda yang terdapat didalamnya adalah
pemberian tuhan kepada manusia yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan
umat manusia dan mahluk lainnya. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an
dalam surat Luqman ayat 20:
ÊǢą�ºLJă ơăȁ ÊǑą�Ɗȏƒơ ȄǧÊ ăǷăȁ ÊƩăȂăǸºċLjdzơ ȄǧÊ ċǷ ąǶƌ�ºƊdză�ċƼăLJ ƅơ ÈōǹơƊơąȁă�ăƫ ąǶƊdzƊơ
ÇǶƒǴÊǟ Ê�ąȈăǤºÊƥ Êƅơ ȄÊǧ ƌDZÊƽăƴČȇ ąǺăǷ �Ê ºǼċdzơ
ăǺÊǷăȁƆƨăǼºǗÊ ăƥăȁ ƆƧă�ÊǿƊǛ ĄǾºăǸăǠÊǻ ąǶƌ�ąȈƊǴăǟ
(��: ��/ǹǸǬdz ) Ç�ąȈºÊǼĄǷ ÇƤăƬÊǯƊȏăȁ ȃĆ�ĄǿƊȏăȁ
Artinya : ³Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-nya lahir dan batin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.´(QS Luqman 31: 20)2
2) Alam semesta dan segala isinya merupakan milik mutlak allah.
:�/Ƨ��ŭ
Artinya :
) ć�ąȇÊ�Ɗǫ ǃ�ăNj ŏDzƌ! ƊDzăǟăȂǿĄ ăȁ ċǺÊȀȈąºǧÊăǷăȁ ăǑą�Ɗȏơƒȁă ÊƩăȂǸă Ljċ dzơ ĄǮƒǴĄǷ ÊƅÊ
(���
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya,
dan dia maha kuasa atas segala sesuatu.´( QS Al-Maidah 5: 120)3
2 Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h. 329.
3 Ibid., h. 101.
4
3) Manusia sebagai khalifah-nya di bumi, berhak mengurus dan memanfaatkan
milik Allah itu dengan cara-cara yang benar dan halal serta memperoleh dari
hasil usahanya.4
Sebagaimana ketentuannya dalam surat An-nisa ayat 32 dan
surat An-Nisa ayat 32:
ơąȂĄ�ăLjăƬǯƒ ơċǸďǷ Ƥć ąȈÊǐăǻ ÊDZăƳÊď�ǴÊdz ÇǒąǠăƥ ƊDzăǟ
ąǶƌ�ăǔąǠăƥ
ÊǾÊƥ Éƅơ ƊDzċǔƊǧăǷơ
ąȂċǼăǸăƬăƫƊȏăȁ
ǃ�ăNj ŏDzƌ�ƥ ƊǹƊ! Èƅơ ōǹơ ÊǾÊǴºąǔǧƊ ąǺÊǷ ăǾ˺Ǵdzơ ơąȂǴƌƊƠLJą ăȁ ăǺą�Ljă ăƬǯƒ ơÈċǸďǷ ćƤąȈÊǐăǻÊ #ăLjďǼǴdzȁ
Artinya :
( ��:�/#LjǼdzơ ) ǸȈąǴÊăǟ
³Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan allah kepada
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) orang laki-laki
ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagipara wanita (pun)ada
bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunianya, sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.´
(QS An-Nisa 4: 32)5
( ��:��/
Artinya :
ǶȈǿơ�ƥơ ) ƣÊ ăLjÊūƒơ ǞĄ ąȇ�Ê ăLJ ƅÈ ơ ǹō ơÊ &ą �ăLjă Ɗǯ ăǷ Ç'Ǩƒ ăǻ ōDzºƌǯ ƅơ ȃă (Ê ƴą Ȉădz
³Agar Allah memberi pembalasan kepada tiap-tiap orang terhadap apa yang ia
usahakan. Sesungguhnya allah maha cepat hisabnya.´(QS Ibrahim 14: 51)6
Berdasarkan dari firman Allah SWT diatas, maka hak milik individu
adalah hak syara¶ untuk seseorang, sehingga orang tersebut boleh memiliki
kekayaan (benda) yang bergerak maupun kekayaan (benda) yang tak bergerak.
h. 21.
4 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1998),
5 Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h. 66. 6 Ibid., h. 208.
5
Hak milik individu, disamping masalah kegunaannya yang tentu memiliki nilai
finansial sebagaimana yang telah ditentukan oleh syara¶, juga merupakan otoritas
yang diberikan kepada seseorang untuk mengelola kekayaan yang menjadi hak
miliknya. Oleh karena itu, wajar kalau pembatasan hak milik tersebut mengikuti
ketentuan perintah dan larangan Allah SWT.
Adapun mengenai kepemilikan individu seseorang terhadap suatu benda,
adalah hukum syara¶ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan (utility) tertentu,
yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk menggunakan atau
memanfaatkan barang tersebut. Ia juga memperoleh kompensasi baik karena
barangnya diambil kegunaan (manfaatnya) oleh orang lain, misalnya seperti
disewakan, ditanami ataupun karena untuk dihabiskan zatnya.
Kepemilikan yang disyariatkan itu memiliki beberapa syarat, sebagaimana
mengelola suatu kepemilikan juga disertai ketenuan-ketentuan, dimana pemilikan
tersebut tidak bisa lepas begitu saja dari kepentingan suatu kelompok.
Dengan demikian, untuk memanfaatkan zat tertentu yang menjadi hak
milik, hanya bisa dilakukan dengan adanya kekuasaan yang diberikan oleh
syar¶i, karena pada dasarnya pemilikan tersebut adalah milik Allah.
Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 120 yang
berbunyi:
6
:�/Ƨ��ŭơ
Artinya :
) ć�ąȇÊ�Ɗǫ ǃ�ăNj ŏDzƌ! ƊDzăǟăȂǿĄ ăȁ ċǺÊȀȈąºÊǧǷă ăȁ ăǑą�Ɗȏơƒȁă ÊƩăȂǸă Ljċ dzơ ĄǮƒǴĄǷ
(���
“kepunyaan Alla-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya,
dan dia maha kuasa atas segala sesuatu.´(QS Al-Maidah 5 : 120)7
Dalam hal ini Allah memberikan pemilikan tersebut pada seseorang, yang
merupakan konsekuensi dari sebab-sebab yang mengikuti aturan syara¶. Oleh
karena itu, pemilikan tersebut hakikatnya merupakan penyerahan hak milik atas
barang tertentu dari as-syar¶i yang diberikan kepada seseorang dalam suatu
kelompok (community) dimana kepemilikan tersebut tidak akan pernah ada, kalau
bukan karena adanya penyerahan kepemilikan dari Allah (as-syar¶i) tersebut
Hanya saja, pemilikan atas barang itu adalah pemilikan atas zatnya
sekaligus kegunaan zatnya, bukan sekedar pemilikan atas kegunaanya saja. Hal
itu karena tujuan yang esensi dari adanya kepemilikan tersebut adalah
pemanfaatan atas suatu zat dengan cara pemanfaatan tertentu yang telah
dijelaskan oleh syara¶.
Mengenai pemilikan tanah, UUPA telah menentukan dalam pasal 6 yang
menyatakan: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Orang mempunyai
benda, tanah, supaya dapat memenuhi fungsi sosial dalam masyarakatnya. Dalam
pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang mana pasal ini menjadi landasan bagi undang-
7 Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h.329.
7
undang agraria. menyatakan: “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan diperuntukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Walaupun UUD 45 pasal 33 ayat 3 tidak mencantumkan dengan tegas
kata-kata fungsi sosial tetapi harus kita tafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak
milik tersebut dapat diartikan bahwa hak milik itu tidak boleh dibiarkan
merugikan rakyat.
Pasal 6 UUPA merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Dalam penjelasan UUPA dikatakan, bahwa seseorang tidak boleh
semata-mata mempergunakan untuk pribadinya pemakaian atau tidak dipakainya
tanah yang mengakibatkan merugikan masyarakat. Demikian pula seseorang
pemilik tanah tidak dapat dibenarkan, bilamana ia tidak mengerjakan tanahnya
apalagi dalam masa serba kekurangan bahan makanan, maka fungsi tanah penting
sekali untuk dapat menghasilkan bahan makanan.
Berdasarkan apa yang telah dibahas pada wacana diatas mengenai
kepemilikan tanah, yang mana hal tersebut memiliki beberapa akibat yang sangat
penting dalam hukum. Oleh karenanya, dalam penulisan ini penulis mencoba
membahas tentang kepemilikan tanah secara guntai yang diatur dalam pasal 10
UUPA, dengan tinjauan menurut hukum Islam.
8
Sedangkan pengertian tanah guntai (absentee) itu sendiri adalah pemilikan
tanah yang pemiliknya bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letaknya
berada.8
Undang-undang Pokok Agraria telah menetapkan aturannya tentang tanah
guntai dalam pasal 10 dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian
pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara
aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundang-undangan
3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan.9
Mengingat bahwa tujuan ketentuan pasal 10 UUPA ini adalah
menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan dalam pasal 10
ini termasuk ketentuan hukum yang memaksa (dwingend recht) dengan kata lain,
ketentuan-ketentuan dalam pasal 10 ini, termasuk didalamnya peraturan-peraturan
pelaksanaannya tidak boleh dikesampingkan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian yang mereka buat.
8 Saleh Adiwinata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, (Bandung: CV. Remadja
Karya, 1984), h. 17.
9 R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 1995), h.518.
9
Menurut Al-Qur’an, tanah harus menjadi milik bersama demi
pemanfaatan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, karena itu pemilikan dan
penguasaan tanah yang membatasi keuntungan segelintir orang dan yang
mengesampingkan sebagian besar rakyat adalah bertentangan dengan Al-Qur’an.
Dalam Islam tidak seorangpun yang dapat menuntut pemilikan tanah secara
mutlak, karena tanah adalah milik Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
`B ä$±t „o `Bt $gy O‘qƒ ! Úu ‘{# c) ( #rŽ9¹#ur !$/ #qY‹èGt ™# mBqs)9 Ó›y qB tA$%s
(���: �/ǥ ơ�ǟȏơ) úü)FJ=9 p7t )»èy 9#ur ( ¾nŠ$t6ã
Artinya: Musa berkata kepada kaumnya: ³Mohonlah pertolongan kepada Allah dan
bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakannya kepada siapa yang dikehendaki-nya dari hamba-hamba-nya. Dan kesudahan yang baik
adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al- A¶raf 7: 128) 10
Oleh karena itu masalah pertanahan seperti yang telah kami paparkan
diatas sangatlah penting untuk dikaji karena tanah pada sekarang ini khususnya,
sesuatu yang amat penting dan langka. Hal itu karena dalam tanah terdapat
unsur/fungsi sosial, terlebih pada saat ini tanah merupakan sesuatu yang berharga,
yang apabila hal tersebut tersebut dikuasai oleh segelintir tuan tanah akan
10 Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h. 131.
10
beresiko menelantarkan tanah, yang mana hal tersebut dilarang baik dalam hukum
konvensional (UUPA) terlebih lagi hukum Islam.
Islam maupun UUPA melarang adanya sistem tuan tanah (zamindari) atau
feodalisme. Hal itu karena:
1. sistem penguasaan tanah seperti ini bertentangan dengan prinsip
distribusi kekayaan yang adil.
2. sistem ini akan merintangi pemanfaatan tanah yang tepat, karena tanah
yang tidak terpakai merupakan hal yang mubazir, yang mana
merugikan pemilik dan masyarakat secara keseluruhannya.
Selain itu, masih ada hal lain yang perlu dibahas dalam hal ini, seperti
halnya kerja sama dalam pemanfaatan tanah guntai, terlebih ditinjau dari segi
hukum Islam.
Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diungkapkan di
atas, penulis merasa tertarik untuk menguraikan mengenai masalah tanah guntai
ini, dalam sebuah skripsi dengan judul ³Tinjauan Hukum Islam dan hukum
positif Terhadap Pasal 10 UUPA No.5 Tahun 1960 Tentang Pemilikan Tanah
Guntai´.
B. Perumusan Masalah
Dari pokok uraian yang tersebutkan di atas, maka permasalahan yang akan
timbul dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
11
1. Bagaimana peraturan perundang-undangan tentang larangan pemilikan tanah
guntai seperti yang tercantum dalam undang-undang pokok agraria,
khususnya pasal 10 dalam kenyataannya?
2. Apakah hukum Islam membahas tentang tanah guntai seperti yang tercantum
dalam undang-undang pokok agraria yang sedang berlaku di Indonesia?
3. Apakah ada hubungannya antara siyasah maliyah dengan undang-undang
pokok agraria yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya dengan pemilikan
tanah guntai?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui larangan pemilikan tanah secara guntai yang ada dalam
UUPA dan kaitannya dengan hukum Islam.
2. Untuk bahan Perbandingan antara hukum Islam dengan hukum positif dalam
masalah pemilikan tanah secara guntai.
3. Untuk mengetahui hubungan antara siyasah maliyah dengan undang-undang
pokok agraria mengenai pemilikan tanah secara guntai.
D. Metode penelitian
Adapun langkah-langkah penulisan yang dilakukan dalam penelitian
adalah dengan menggunakan “library research”, dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
12
1. Menginventarisasi konsep hukum Islam dan hukum positif yang telah ada,
tentang pemilikan tanah guntai.
2. Menganalisa ketentuan-ketentuan hukum Islam dan hukum positif tentang
pemilikan tanah guntai.
3. Mengkomparasikan (membandingkan) ketentuan-ketentuan yang terkandung
dalam kerangka konsep hukum Islam dan hukum positif tentang pemilikan
tanah guntai.
E. Review Studi Terdahulu
Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan penelitian ini, terlebih
dahulu penulis angkat beberapa studi terdahulu yang hampir sama dengan
penelitian yang dituliskan penulis. Namun tentunya terdapat sudut perbedaan baik
dalam hal pembahasan, obyek kajian maupun dalam hal inti pembahasan
permasalahan yang di analisa. Adapun penelitian tersebut diantaranya adalah :
1) Penelitian yang dilakukan oleh Rahmani Ani dengan judul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Bagi Hasil Tanah Pertanian Studi kasus Kelurahan Situ
Gede Bogor Barat´. Dalam kajiannya Ani Rahmani lebih menitik beratkan
pada kajian tehadap bagi hasil tanah pertanian. Sedangkan pembahasan dalam
13
skripsi yang penulis angkat adalah mengenai tinjauan hukum Islam terhadap
kepemilikan tanah guntai.11
2) ³Pengalihan Fungsi Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam Dan UU No.5
Tahun 1960´ yang di tulis oleh Lutfi Jauhari. Obyek kajian skripsi ini adalah
mengenai UU No.5 Tahun 1960. Namun, skripsi tersebut membahas
mengenai tanah wakaf.12
Dari kedua judul skripsi di atas, ada beberapa pembahasan mengenai
hukum agraria. Skripsi ini pembahasannya hampir sama, tetapi terdapat
perbedaan baik dari obyek kajian, pembahasan penelitian serta pokok
permasalahan yang di kaji pada penelitian ini, karena dalam skripsi ini penulis
lebih memfokuskan pembahasan pada aturan-aturan dalam UUPA No. 5 tahun
1960 tentang kepemilikan tanah guntai ditinjau dari segi hukum Islam.
F. Sistematika penulisan
Agar penulisan menjadi lebih sistematis, maka dalam penulisan skripsi
ini dibagi menjadi lima bab dengan susunan sebagai berikut :
11 Rahmani Ani, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Tanah Pertanian (Studi Kasus
Kelurahan Situ Gede Bogor Barat),´ (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2003)
12 Luthfi Jauhari, “Pengalihan Fungsi Tanah Wakaf Menurut Hukum islam dan UU No.5
tahun 1960, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003)
14
BAB I merupakan pendahuluan, yang membahas tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian serta metode penelitian
dan sistematika penulisan.
BAB II menguraikan tentang tinjauan umum pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960,
pengertian dan pengaturannya, deskripsi pasal 10 UUPA No.5 tahun
1960, yang terdiri dari: tinjauan pokok UUPA dan sumber hukum
tanah nasional.
BAB III membahas tentang tinjauan hukum Islam mengenai pemilikan tanah
guntai, pemilikan tanah dalam hukum Islam, tinjauan siyasah Maliyah
terhadap pemilikan tanah guntai dan prinsip-prinsip hukum Islam
dalam kaitannya dengan pemilikan tanah guntai.
BAB IV membahas mengenai analisis terhadap pemilikan tanah guntai, serta
perbedaan dan persamaannya baik itu dari segi hukum Islam maupun
dari hukum nasional (UUPA)
BAB V berisikan kesimpulan dan saran.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM PASAL 10 UUPA NO.5 TAHUN 1960
A. Pengertian dan Pengaturannya
Pengertian tanah guntai pada waktu sebelum diundangkannya UUPA
adalah pemilikan tanah yang pemiliknya tidak hadir atau tidak tinggal ditempat
tanah itu terletak. Pemilikan tanah guntai tersebut tidak dibatasi luas tanahnya,
juga tidak dibatasi pemilikan tanah guntai yang dimiliki, apakah untuk
pembangunan perumahan, perusahaan atau untuk pertanian. juga pemiliknya
dapat siapa saja.
Sesudah berlakunya UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya,
maka tanah guntai mempunyai pengertian yang lebih sempit dari pengertian di
atas, baik tujuan pemilikannya, peruntukkannya, maupun siapa saja yang dapat
memiliki tanah guntai itu. Adapun tujuan daripada larangan atau penghapusan
tersebut adalah untuk melenyapkan sistem pemerasan dan penumpukan tanah
ditangan segelintir tuan-tuan tanah. Tujuan tersebut sesuai dengan landreform
yang sudah dilaksanakan di berbagai negara untuk menghapuskan sistem absentee
absenty landlords yang merugikan kepentingan umum selama berabad-abad.1
1 Saleh Adiwinata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah I, (Bandung: CV. Remadja
Karya, 1984), h. 17.
16
Adapun pengertian tanah guntai (absentee) secara etimologi adalah
pemilikan tanah yang pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan letaknya
berada.2
“Absentee” dalam bahasa sunda disebut ”guntai”, yang dalam bahasa
inggris absent artinya tidak hadir atau dalam hal ini bisa diartikan tidak ada di
tempat.3
Dalam pembahasan pasal 10 UUPA telah dikemukakan, bahwa sebagai
langkah pertama kearah pelaksanaan asas, bahwa yang empunya tanah pertanian
wajib mengerjakan atau mengusahakanya sendiri secara aktif, diadakanlah
ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang
disebut “guntai“, yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat
tinggal pemiliknya. “absent” artinya tidak hadir atau tidak ada di tempat.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 peraturan pemerintah no 41
tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) sedang dasar hukumnya adalah pasal 10
ayat 2 UUPA4
Pasal 3 PP No. 224/1961 menyatakan pemilikan tanah yang bertempat
tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya berada, dalam jangka waktu 6
2 Saleh Adiwanata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, (Bandung: CV. Remadja
Karya, 1984), h. 17.
3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 1997), h. 349.
4 Ibid, h. 350.
17
bulan harus dialihkan haknya kepada orang lain di kecamatan di mana tanah
tersebut terdapat. Ketentuan ini tidak berlaku jika ia berada di daerah perbatasan
kecamatan, asal jarak tempat tinggalnya itu masih memungkinkan dengan secara
efisien untuk dia mengerjakan tanahnya.5
Demikian pula jika dia pindah ke lain kecamatan maka dalam waktu 2
tahun dia harus sudah memindahkan hak atas tanahnya kepada seseorang yang
bertempat tinggal dikecamatan tersebut, yaitu orang yang memenuhi syarat
seperti yang telah diatur oleh Undang-undang (Bab III Pasal 8 PP No.224/1961)
Ayat 5 pasal 3 PP No.224/1961 ini menyatakan jika tidak dipenuhi
ketentuan memindahkan hak tanah kepada orang yang bertempat tinggal di
kecamatan tersebut, maka tanah yang bersangkutan diambil oleh pemerintah
untuk kemudian dibagi-bagikan menurut ketentuan peraturan tersebut dan kepada
bekas pemilik tanahnnya diberikan ganti rugi menurut ketentuan peraturan ini.6
Adapun besarnya ganti rugi yang telah disebutkan pada bab II Pasal 6 PP
No.224/1961 tersebut adalah:
a. Untuk 5 hektar yang pertama : setiap hektarnya 10 kali hasil bersih setahun
b. Untuk 5 hektar kedua, ketiga dan keempat : setiap hektarnya 9 kali hasil
bersih setahun.
c. Untuk yang selebihnya tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun,
5 Ibid, h. 351.
6 A.P. Parlindungan, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah: Menurut Sistem UUPA, (Bandung:
Mandar Maju, 1990), h. 31.
18
Dengan ketentuan jika harga tanah menurut perhitungan tersebut di atas
itu lebih tinggi daripada harga umum, maka harga umumlah yang dipakai untuk
penetapan ganti kerugian tanah tersebut. Yang di maksud “hasil bersih” adalah
seperdua hasil kotor bagi tanaman padi atau sepertiga hasil kotor bagi tanaman
palawija.7
Kemudian dengan peraturan pemerintah No.41 tahun 1964 tentang
perubahan dan tambahan peraturan pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang
pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti rugi dinyatakan bahwa:
1. Pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat atau meninggalkan tempat
kediamannya keluar dari kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun
berturut-turut, sedangkan ia melaporkan kepada pejabat setempat yang
berwenang, maka dalam waktu 1 tahun terhitung sejak berakhirnya jangka
waktu 2 tahun tersebut diwajibkan memindahkan hak miliknya kepada orang
lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah itu berada, dan bagi yang
tidak melapor kepindahannya itu maka dalam waktu 2 tahun harus
memindahkan hak miliknya kepada orang lain yang bertempat tinggal di
kecamatan tersebut.
2. Pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata serta orang lain yang di
persamakan, maka jika telah berhenti dari menjalankan tugas Negara dan
mempunyai hak milik atas tanah pertanian diluar kecamatan tempat
7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
(Jakarta: Djambatan, 1996), h. 807.
19
tinggalnya dalam waktu 1 tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya
diwajibkan pindah kekacamatan tempat letak tanah tersebut atau
memindahkan tanah hak milik tersebut kepada orang lain yang bertempat
tinggal dikecamatan tanah tersebut.
Demikian juga jika seseorang mendapatkan warisan yang berupa tanah
yang berada diluar kecamatan tempat dia tinggal maka dalam waktu 1 tahun
harus sudah pindah kekecamatan tersebut atau memindahkannya kepada
orang lain yang tinggal di kecamatan tempat letak tanah tersebut. Kesemuanya
dengan ancaman tanah itu menjadi tanah yang dikuasai kembali oleh Negara
dengan ganti kerugian.
Peraturan pemerintah No 4 tahun 1977, merubah kembali ketentuan
pasal 3e peraturan pemerintah No.41 tahun 1964, dan memperbolehkan
memiliki tanah guntai bagi pegawai negeri ataupun janda asal mereka tidak
kawin lagi dan tanah absentee pegawai negeri yang sudah dikuasai pemerintah
di kembalikan, kecuali tanah yang sudah dibagi-bagikan kepada rakyat maka
ganti ruginya akan diberikan kepada pegawai negeri/ pensiunan tersebut.
Apabila tanah tersebut sudah dikerjakan orang lain maka diatur
kemudian dengan bagi hasil sesuai dengan UU No.2 tahun 1960 sampai panen
terakhir.
20
Para pegawai negeri yang akan pensiun dalam waktu dua tahun dapat
membeli tanah pertanian secara guntai 2/5 dari batas maksimum penguasaan
tanah untuk daerah tingkat II yang bersangkutan.8
Mereka yang memiliki tanah pertanian secara absentee pada umumnya
bertempat tinggal di kota, sedangkan tanah-tanah pertanian mereka letaknya
didesa, Jadi tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah
agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat
dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang yang
bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal didaerah
penghasil.
B. Deskripsi Pasal 10 UUPA No. 5 tahun 1960
Berkaitan dengan pengertian tanah guntai (absentee), Undang-Undang Pokok
Agraria juga menjelaskan kewajiban bagi pemilik tanah guntai, Pasal 10 yang
menyebutkan bahwa :
1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2) Pelaksanaan daripada ketentuan ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundangan.
8 Parlindungan, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah: Menurut Sistem UUPA, h.33.
21
3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan.9
Menurut penjelasan umum pasal 10 itu memuat suatu “asas” yang dewasa
ini (yang dimaksud tentunya sekitar tahun 1960) sedang menjadi dasar daripada
perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu
negara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan “landreform” atau “ Agraria
Reform”. Kewajiban itu tidak terbatas pada para pemilik tanah saja. Kata-kata
“mempunyai sesuatu hak” dalam pasal 10 menunjuk juga kepada hak-hak lainnya,
yaitu hak guna usaha dan hak guna pakai atas tanah Negara, bukan hak pakai, hak
sewa, hak gadai atau hak usaha bagi-hasil atas tanah milik orang lain, karena
justru hak-hak itulah yang dilarang oleh pasal 10 yang hanya mengenai tanah-
tanah pertanian.
Apakah yang dimaksud dengan pengertian “mengerjakan/mengusahakan
sendiri secara aktif seperti yang tercantum dalam ayat 1 pasal 10 UUPA ?”.
Mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif berarti bahwa yang
mempunyai hak (pemilik) secara langsung turut serta dalam proses produksi. Ini
tidak berarti bahwa segala pekerjaan harus dilakukan sendiri. Mempekerjakan
(mempergunakan) tenaga buruh masih di perbolehkan, tetapi jika demikian harus
dicegah dipraktekannya cara-cara pemerasan. Pemberian upah yang terlampau
rendah kepada buruh tani yang membantu mengerjakan dan mengusahakan tanah
9 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undan-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradya
Paramita, 1995), h. 518.
22
yang bersangkutan, hal itu merupakan “Exploitation del’homme parl’homme”,
merupakan cara pemerasan yang bertentangan dengan cita-cita keadilan10
Mengenai pasal 10 ayat 2 tentang pelaksanaan asas yang tercantum dalam
ayat 1 itu memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
dalam hubungan ini penjelasan umum mengemukakan, bahwa untuk mewujudkan
asas tersebut perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus
dimiliki oleh orang tani, diperlukan adanya ketentuan mengenai batas maksimum
luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik, yang pada akhirnya ketentuan
itu perlu dibarengi dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya
dengan syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja
dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang
lain.
Dalam hal ini mengingat akan susunan masyarakat pertanian di Indonesia
sekarang ini, kiranya sementara waktu yang akan datang masih perlu dibuka
kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan
pemiliknya, misalnya: secara sewa, bagi hasil, gadai dan sebagainya. Tetapi
segala sesuatu harus diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan undang-
undang dan peraturan-peraturan lainnya, yaitu mencegah hubungan-hubungan
hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat.
10 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah pembentukan UUPA Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta:djambatan,1997) hlm. 276.
23
Begitu pula misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi
hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan begitu saja pada
persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar “free fight”, akan
tetapi penguasa akan memberikan ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-
syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan mencegah cara-cara
“pemerasan”.
Memaksakan pelaksanaan asas pasal 10 tanpa menyediakan penampungan
atau solusi bagi petani-petani yang biasa menggarap tanah orang lain akan
menyebabkan banyak petani kehilangan tanah garapan, dengan segala
konsekuensinya. Banyak petani “merdeka” akan menjadi buruh tani dengan
segala akibat psikologinya, karena hal itu berarti penurunan derajat sosial
menurut anggapan masyarakat pedesaan.11
Pokok-pokok ketentuan mengenai batas luas maksimum dan minimum
tersebut diatur dalam pasal 7 dan 17 UUPA No.5 tahun 1960 sebagai berikut:
Pasal 7: “ untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak di perkenannkan”
Pasal 17:
1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai
tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 diatur luas maksimum
11 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 1997) h. 278.
24
dan /atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak
tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
2) Penetapan batas maksimum yang dimaksud dalm ayat 1 pasal ini
dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang
singkat.
3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum
yang dimaksud dalam ayat2 pasal ini diambil oleh pemerintah
dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan
pemerintah.
4) Tercapainya batas maksimum yang dimaksud dalam ayat 1 pasal
ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan,
dilaksanakan secara berangsur-angsur.12
Apa yang dilarang dalam ketentuan pasal 7 ini, dan jika dikaitkan kepada
pasal 17 tersebut di atas maka di dalam literature terkenal dengan larangan
“latifundia” atau di Philipina juga dikatakan “hacienda”. Hal itu merupakan
larangan penguasaan tanah yang luas sekali sehingga ada batasan maksimum
seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian yang dalam literature
disebutkan adanya ceiling (batas maksimum) atas kepemilikan tanah.
12 Arieeff s, UUPA : Beberapa Hukum Agraria dan Hukum Tanah serta Penjelasannya, (PT. Pustaka
tinta Mas)
25
Kalau menyimak ketentuan dari UU 56 Prp 1960, maka di situ kita dapat
menemukan bahasan tentang ketentuan ceiling. Dan jika menyimak pula
persamaan PP No 224 tahun 1961 maka ceiling itu terbagi atas 4 golongan:
a) Dibedakan antara daerah yang padat dan tidak padat
b) Dibedakan antara tanah sawah (arable land) dengan tanah kering (non arable
land)
c) Dibedakan antara besarnya keluarga yang terdiri atas 7 orang atau lebih dari 7
orang
d) Dibedakan antara ABRI atau pegawai negeri yang sedang bertugas diluar
daerah hanya berhak 2/5 dari yang dimugkinkan untuk penduduk biasa
Demikian pula pada UU 56 Prp Tahun 1960 disebutkan batas minimum
2ha, walaupun kadangkala masih disebutkan 1ha. Sedangkan di luar negeri
disebutkan batas minimal itu 5 ha, juga disebutkannya untuk menetapkan atas
nama satu orang saja tanah pertanian itu jika terjadi pewarisan yang terdiri atas
beberapa orang. Di luar negeri hal ini sangant ketat sekali seperti halnya di
Jepang, sehingga tujuan agar tidak terjadi fragmentasi (pemecahan lahan dibawah
minimum yang tidak lagi ekonomis) atas tanah pertanian, padahal lahan pertanian
sebagai sumber daya perekonomian harus tetap utuh.13
Prinsip yang di tentukan dalam pasal 10 UUPA dan prinsip landreform,
juga tidak akan membawa hasil yang diharapkan bilamana tidak diikuti dengan
13 A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar
Maju, 1998), h. 75.
26
ketentuan-ketentuan dalam ayat ini tentang batas-batas maksimum atau minimum
tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang. Penentuan batas-batas maksimum dan
minimum tanah pertanian telah diatur garis-garis besarnya dalam UU No.56 prp
tahun1960 yang disusul dengan perincian luas maksimum tanah pertanian bagi
daerah-daerah tertentu dengan keputusan-keputusan Menteri Agraria No.
SK/978/KA/1960.
C. Tujuan Pokok UUPA
Dalam penjelasan umum I dinyatakan, bahwa 3 tujuan pokok UUPA
ialah:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil
dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.14
Dalam meletakkan dasar-dasar bagi ketiga bidang tersebut, dengan
sendirinya harus terwujud penjelmaan dari sila-sila pancasila. Dalam seminar
14 Arieeff s, UUPA : Beberapa Hukum Agrarian dan Hukum Tanah serta Penjelasannya, (PT. Pustaka
tinta Mas)
27
hukum pertanian disebutkan, bahwa dalam garis besarnya ditegaskan beberapa
Pokok Agraria adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang pokok Agraria (UUPA) sebagai sumber hukum pertanahan
nasional perlu dilaksanakan secara konsekuen, adil dan merata diseluruh
wilayah kawasan tanah air di Indonesia.
2. Untuk melaksanakan UUPA secara konsekuen, adil dan merata diseluruh
kawasan tanah air Indonesia sesuai dengan ketentuan pembangunan nasional,
maka peraturan perundangan yang merupakan ketentuan-ketentuan
pelaksanaan UUPA itu serta landasan kebijaksanaan bagi aparat pelaksana
dan masyarakat, maupun kebijaksanaan para pelaksana, yang kadang-kadang
bertentangan dengan peraturan perundangan itu perlu ditinjau kembali.15
Jadi kesimpulannya ada empat masalah pokok yang perlu mendapat
perhatian semua pihak yang terlibat dan dilibatkan serta yang bertanggung
jawab dalam pelaksanakan UUPA sesuai dengan jiwanya dan tuntunan
Negara hukum Indonesia dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan
nasional, masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Keempat pokok permasalahan itu adalah “kepastian hukum dan
sertifikat tanah, Hak ulayat, pencabutan hak atas tanah” dan pembebasan
tanah, serta landreform. Dalam rangka pembangunan pertanian di pedesaan.
15 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta:Djambatan,1997), h.205.
28
D. Sumber Hukum Tanah Nasional
Sumber-sumber formal hukum tanah nasional, berupa norma-norma
hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, dalam jenjang tata susunan atau
hierarkhi, sebagai berikut:
1. Sumber-sumber hukum yang tertulis:
a) Undang-undang dasar 1945, khususnya pasal 33 ayat 3.
b)
Undang-undang pokok Agraria (UU no.5 tahun 1960)
c)
Peraturan-peraturan pelaksana UUPA
d)
Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA, yang
dikeluarkan
sesudah tanggal 24 september 1960 karena sesuatu masalah perlu diatur
(misalnya: undang-undang 51/Prp/1960 tentang larangan pemakaian tanah
tanpa izin yang berhak atau kuasanya)
e) Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku
berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan.
2. Sumber-sumber hukum yang tidak tertulis:
a) Norma-norma hukum adat
b) Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan peraktik
administrasi16
Jadi hukum tanah terdiri atas ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis dan
yang tidak tertulis, di mana kesemua itu mempunyai objek pengaturan yang sama,
16
Ibid., h. 235.
29
yaitu hak-hak atas penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum
sebagai hubungan-hubungan hukum yang kongkret, beraspek publik dan perdata,
yang dapat disusun dan dapat dipelajari secara sistematis, sehingga
keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.
Oleh karena itu hukum tanah merupakan suatu bidang hukum yang
mandiri dan sebagai cabang hukum yang mandiri mempunyai tempat tersendiri
dalam tata hukum Nasional.
PBAB III
TINJAUAN HUKUM ISLAM
MENGENAI PEMILIKAN TANAH GUNTAI
A. Pemilikan Tanah Dalam Hukum Islam
Tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir
kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka
dan melenyapkan bahaya bagi mereka. Hal ini disebabkan karena kemaslahatan
manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharuriyah
(kebutuhan pokok) hajiyah (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyah (kebutuhan
pelengkap).1
Kekhasan konsep Islam mengenai hak milik pribadi terletak pada
kenyataan bahwa dalam Islam legitimasi hak milik tergantung pada moral yang
dikaitkan padanya, seperti juga suatu jumlah matematik tergantung pada tanda
aljabar yang dikaitkan padanya. Dalam hal ini, M. Hasbie Ash-Shidieqy
mengungkapkan dalam bukunya, bahwa milik menurut bahasa ialah:
ǾÊʺƥÊƽơă�ą�ÊƬąLJÊȏƒơ ȄºƊǴăǟƌƧă�ą�ƌǬdzƒơăȁÊ#ąȄċnjdzơÉ#ơăȂƬąƷơË
“memiliki sesuatu dan sanggup secara bebas terhadapnya”
1 Abdul Wahhab khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 1996), h. 331.
31
Sedangkan milik menurut istilah:
ÇǞǻÊăǸºÊdzōȏÊơ Ąǥă�ăǐºƬċdzơ ĄǾĄ�ºƷÊ ăǏ ƌǡąȂĄLjăȇĆǟą�Njć(�ÊăƷ ćǍºăǐÊƬą,ơÊ
“Suatu ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syara’ yang
membenarkan si pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya
sekehendaknya, kecuali ada penghalang.”
Maksud haiz yang terdapat dalam definisi di atas menurut Hasbi Ash Shiddieqy
ialah:
ÊǮÊÊdzºƊŭƒơ
ÊǹƒƿÊơ
ƊǹąȁĄ�ºÊǧĄ�ăǐƬċdzơăȁ
Ê.ƊǨºÊƬąǻÊȏƒơ
ÊǺăǟ
ÊǮÊÊÊÊdzăǷ
Ą�ąȈƊǣĄ(ĄƴŹăǷ
“sesuatu yang mencegah orang yang bukan pemilik barang (sesuatu) memanfaatkan dan bertindak tanpa izin si pemilik”
Sedangkan yang dimaksud man’i dalam definisi di atas ialah:
ÊǥČ�ºăǐƬċdzơ ÊǺăǟ ĄǾºăLjƒǨăǻ ÊǮdzÊƊŭƒơ ĄǞăǼăŻăǷ
“sesuatu yang mencegah si pemilik sendiri bertindak terhadap harta
pemiliknya”2
Sedangkan milik menurut Nasrun Harun secara etimologi berasal dari
bahasa Arab “al-milk”, yang berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga
berarti sesuatu yang dimiliki (hak).
h. 8.
2 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989),
.
32
Dari beberapa konsep pengertian milik di atas penulis memaknai milik
adalah suatu hak atas zat tertentu (dalam hal ini bisa berbentuk benda bergerak
atau benda mati) yang dapat dilakukan atau dimanfaatkan sesuai dengan
kehendak pemiliknya atau dalam arti yang berhak terhadap zat tersebut. Sehingga
apabila pemilik akan melakukan suatu kehendak terhadap zat tersebut pemilik
tidak memerlukan persetujuan dari orang lain, karena pemilik berhak atas zat
tersebut.
Taqyuddin An-Nabhani dalam bukunya menegaskan, bahwa kepemilikan
individu adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau kegunaannya (utility)
tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk
memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena
barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain, seperti disewa ataupun
dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut.
Atas dasar inilah, maka kepemilikan itu merupakan izin As-syar’i untuk
memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan
ditetapkan selain dengan ketetapan As-syar’i terhadap zat tersebut, serta sebab-
sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu
bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dari karakter dasarnya, semisal
karena bermanfaat ataupun tidak. Akan tetapi, ia berasal dari adanya izin yang
33
diberikan oleh As-syar’i, serta berasal dari sebab yang diperbolehkan oleh as-
syar’i untuk memiliki zat tersebut sah secara syar’i.3
Pemilikan atas harta tersebut memiliki sebab-sebab syar’i yang telah
ditetapkan oleh Allah s.w.t dengan suatu sebab tertentu yang tidak boleh
melampaui batasan sebab-sebab tersebut, sehingga, sebab pemilikan harta itu
telah dibatasi pada apa yang yang telah dijelaskan oleh syara’.
Sedangkan definisi kepemilikan, terkait erat dengan hukum syara’ yang
berlaku bagi zat ataupun manfaat tertentu, mengharuskan adanya izin dari Allah
SWT sampai kepemilikan tersebut bisa terwujud. Dengan demikian, ia
mengharuskan adanya sebab-sebab yang diizinkan oleh Allah SWT sampai
kepemilikan tersebut benar-benar sah. Sehingga, apabila sebab syar’i tersebut
ada, maka pemilikan atas harta tersebut sah. Sebaliknya, apabila sebab-sebab
Syar’i tersebut tidak ada, maka pemilikan atas harta tersebut tidak sah, meskipun
harta tersebut secara kenyataannya (de facto) telah diperoleh. Akan tetapi
kepemilikan itu merupakan cara memperoleh harta dengan salah satu sebab syar’i
yang telah diizinkan oleh Allah SWT.4
Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan
seseorang atas harta tersebut, maka nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan
menurut Taqiyudin An-Nabhani terbatas pada lima sebab sebagai berikut:
3 Taqyudin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternative : Perspektif Islam, terj.
Moh.Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 67.
4 Ibid., h. 72.
34
1. Bekerja (hasil yang didapatkan akan menjadi miliknya)
2. Warisan
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
4. Harta pemberian Negara yang diberikan kepada rakyat
5. Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta
atau tenaga apapun.5
Masalah pemilikan tanah sangat penting karena keberhasilan dan
kemakmuran dalam pertanian tergantung pada penyelesaian secara adil dan
bijaksana. Jika petani bekerja pada suatu lahan semata hanya sebagai penyewa,
maka dia tidak mungkin bekerja dengan sungguh-sungguh meningkatkan lahan
tersebut. Akan tetapi jika petani tersebut diberi hak memiliki tanah tersebut, maka
dia akan bekerja siang dan malam serta mengubah padang ilalang menjadi kebun-
kebun yang akan mendatangkan manfaat bagi kehidupannya.
Menurut Al-Qur’an, tanah, langit, bumi dan segala isinya menjadi milik
Allah SWT. Dengan kata lain tanah merupakan karunia Allah SWT. yang tidak
terikat dan bersifat universal, sama halnya dengan air, udara, sinar matahari dan
lain-lain, yang kesemuannya itu diperuntukkan untuk dimanfaatkan oleh umum
serta berguna bagi seluruh ummat, sebagaimana firmannya dalam surat Al-A’raf
ayat 128:
5 Ibid., h. 73.
35
(���: � /ǥ ơ�ǟȏơ )….
Artinya:
( ¾nŠ$6t ã `B ä$±t „o `Bt …. $gy O‘qƒ ! Úu ‘{# c) (
…Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa
yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya... (QS. Al-A’raf : 128)6
Dan firmannya dalam surat Al-Waqi’ah ayat 63-64:
(��-��:��/ƨǠǫơȂdzơ ) t bq㑺“9# `tUw Pr& ¼mRt qãu‘“s? OFRr&äu ÇÏÌÈ cqO•tBr $B Lêƒäu •t sù&r
Artinya: Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. kamukah yang
menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya? (QS. Al-Waqi’ah: 63-
64)7
Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut nampak menunjukan bahwa tanah itu
merupakan pemberian cuma-cuma dari Allah SWT dan jauh dari kekuasaan
manusia untuk menumbuhkan apapun didalamnya. Karena tanah adalah faktor
terpenting dalam hal produksi, sehingga masalah kepemilikannya harus
ditentukan berdasarkan cara yang berbeda sama sekali dari faktor-faktor produksi
lainnya. Tanah bukanlah hasil kerja dari manusia akan tetapi merupakan karunia
Allah swt, dan diciptakan untuk kemaslahatan ummat manusia.
Bentuk pemilikan yang menghalangi penggunaan produktifitas dan
kelayakannya untuk dimanfaatkan masyarakat itu akan bertentangan dengan
perintah Al-Qur’an, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Iqbal
“bahwa tanah itu bukan hasil kerja dari sekelompok individu atau ummat tapi
6 Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 131.
7
Ibid., h. 428.
36
merupakan karunia Allah SWT yang setiap anggota masyarakat dari suatu negara
mempunyai hak yang sama dalam kepemilikan dan penggunaannya”8
Berdasarkan ketentuan di atas, Islam tidak menyetujui sistem tuan tanah
(zamindari) atau feodalisme, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip
distribusi kekayaan yang adil, yang mana sistem seperti itu merintangi
pemanfaatan tanah yang tepat, karena tanah yang tidak terpakai merupakan hal
yang mubazir.
Nabi tidak pernah bermaksud untuk mendorong adanya sistem tuan tanah
dalam bentuk apapun yang merugikan masyarakat secara keseluruhan, karena
beliau berusaha mencamkan arti penting penggarapan tanah oleh para pemiliknya
sendiri.
Nabi bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari:
ćǑą�Ɗơ ĄǾƊdz ą&ǻăƊ! ąǺăǷ ǵ.Ǎ ƅơ ƌDZąȂºĄLJă� ƊDZƊǫ �ƊDZƊǫ
ĄǾąǼăǟ ƅơ ăȆÊǓă�ƊƧă�ąȇă�Ąǿ ȄÊƥƊơ ąǺăǟ
.(ȃǁƢƼƦdzơ ǽȁ�).ÉǾºăǓą�Ɗ0 ąǮºÊLjąǸĄȈƒǴǧƊ ȄăƥƊ0 ƒǹÊƊ1 Ąǽă,Ɗ0ăȀą2ăǼąǸȺȈÊdząȁƊ0ăȀąǟă�ą(ăȈƒǴƊ1
Artinya: “Diceritakan dari Abu Hurairah ra. dia berkata, Rasulullah saw berkata:
“barang siapa yang memiliki sebidang tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan kepada saudaranya. Jika ia tidak mau, maka hendaknya dijaga atau
dipelihara tanahnya” (Riwayatkan oleh bukhari)9
8 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam: Jilid II, Terj. Soeroyo dan Nastangin, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 312.
9 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahihul al-Bukhari, h. 141.
37
Dari hadits Rasulullah SAW di atas, nampaknya wajar dan logis bila kita
simpulkan, bahwa tidak seharusnya orang-orang menguasai lahan yang luas dan
tidak diolahnya sendiri atau tidak membiarkan orang-orang yang butuh untuk
memanfaatkannya dan orang-orang harus dicegah untuk memiliki tanah secara
berlebih-lebihan karena hal itu dapat merugikan masyarakat atau dengan kata lain
tidak memanfaatkan tanah tersebut.10
B. Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap Pemilikan Tanah Guntai
Siyasah menurut bahasa berasal dari kata: ƆƨăLJ ăȈÊLJ -Ą�ĄȂºĄLjăȇ
– �ă ăLJ
yang berarti: ”mengatur, mengendalikan atau membuat keputusan”
Sedangkan menurut istilah, siyasah adalah:
Ê.ą�ċnjdzơ ÊǪƒǧÊȁ ȄƊǴăǟ Êƽ�ăǠÊdzƒơ Ê3dzÊăǐăǷĄ�ąȈÊƥą�ăƫ
“Pengurusan kemaslahatan ummat manusia sesuai dengan syara’11
Siyasah maliyah adalah siyasah yang mengatur hak-hak orang-orang
miskin, mengatur sumber-sumber mata air (irigasi) dan perbankan. Dengan kata
lain yaitu hukum dan peraturan yang mengatur hubungan diantara orang-orang
kaya dan miskin, antara negara dan perorangan, sumber-sumber keuangan
37.
10 Rahman, Doktrin Ekonomi Islam: Jilid II, hlm. 284. 11 Atjep Djazuli, Pengantar fiqh Siyasah, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1989), hlm,
38
Negara, baitul mal dan sebagainya yang berkaitan dengan harta dan kekayaan
negara.12
Kemudian L. Amin Widodo menyatakan: “fiqh maly atau siyasah maliyah
as-syar’iyah orientasi pembicaraannya ialah sekitar baitul mal, sumber-sumber
perbendaharaan Negara, persoalan perpajakan (daribah) dan sebagainya.13
Dalam Islam pencapaian kebahagian hidup di dunia dan akhirat tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, karena segala usaha didunia didasarkan pada
keridhoan Allah (mardhatillah). Bahkan usaha-usaha di dunia harus terarah
menuju kebahagiaan akhirat yang kekal dan abadi, kehidupan di dunia ini adalah
persiapan untuk menuju ke akhirat. Dalam memenuhi kebutuhan manusia di
dunia ini Allah telah menyediakan bumi, langit dan segala yang ada didalamnya
untuk manusia seluruhnya.14
Seperti Firman Allah SWT dalam surat Luqman ayat
20:
¼mJy èy R N3‹n=æt ÷x 7t ™r&ru Ú‘{# ’û $Bt ru Nºuq»yJ¡9# ’û $B N3s9 •t ‚™y !# b&r #r•t s? O9s &r =»Gt . wru “‰d wru O=æ Ž•ót / !# †û A‰»pg† `Bt ¨$Z9# z̀ Bru 3 pZu Û$/t ru o•t g»ßs
(��: ��/ǹǸǬdz) Ž•ZB
12 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 40.
13 L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 1994), h. 1.
14 Atjep Djazuli, Fiqh Siyasah Maliyah, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati. 1983), h. 1.
39
Arinya:
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan
tanpa kitab yang memberi penerangan. ( QS. Luqman : 20 )15
Kemudian Allah memberikan tugas kepada manusia untuk memakmurkan
dunia dalam kehidupannya, sesuai dengan firman nya dalam surat hud ayat 61:
qu d ( ¼nŽ•îx m»9s ) `B /3s9 $tB !# #r‰6ã# Qq)s »ƒt At $%s 4 $s=»¹| Nd%s{&r Šy qJOr ’<n )ru =ƒ•s% ’1‘u b) 4 m‹9s ) #q/q? OO nr•ÿóFt ™$ùs $kp Žù O.•t Jy èGt ™#ur Ú‘{# z̀ B N.'r ±t R&r
Artinya:
(��:��/ƽȂǿ Ƨ�ȂLJ) =‹gC
Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya).(QS. Hud : 61)"
Maksud dari ayat di atas adalah bahwa manusia diciptakan sebagai
khalifah dimuka bumi ini disuruh untuk menguasai serta memakmurkan bumi
yang memang disediakan oleh Allah SWT.16
Akibat dari ajaran Islam yang menyatakan bahwa alam dan harta ini milik
Allah adalah adanya beberapa prinsip yang harus dipegang oleh suatu individu
manusia. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
15 Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 182.
16 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Ui Press), h. 21.
40
a. Tidak boleh seseorangpun menjadi pemilik mutlak, tetapi dibatasi oleh hak-
hak Allah, entah itu berhubungan dengan penggunaan maupun hak orang,
seperti zakat, infak tetapi juga jangan terlalu boros.
b. Masyarakat melalui wakilnya bisa mengatur dengan cara-cara mengambil
manfaat harta yang mengarah kepada kemakmuran bersama.
c. Masyarakat bisa mengambil harta perseorangan apabila ada kemaslahatan
umum yang mengkehendaki dengan syarat mendapat penggantinya yang
wajar.
Selain itu, terdapat akibat kenyataan bahwa individu mempunyai hak
manfaat atau memanfaatkan hartanya. Hak-hak tersebut secara rinci mencakup
bahwa :
a. Masyarakat tidak boleh mengganggu atau melarang pemilik manfaat selama
tidak merugikan orang lain atau masyarakat itu sendiri.
b. Karena pemilikan manfaat berhubungan dengan hartanya, maka boleh bagi
pemilik memindahkan hak miliknya kepada orang lain, misalnya dengan
menjualnya, mewasiatkannya atau menghibahkannya dan lain sebagainnya.
c. Pada pokoknya kepemilikan itu kekal tidak tidak terikat oleh waktu.17
Jika memperhatikan nash-nash dan kaidahnya maka saya berkesimpulan
bahwa ulil amri dibenarkan membuat undang-undang yang mewajibkan rakyat
menyerahkan sejumlah uang atau harta yang ditentukan. Apabila penghasilan-
17 Atjep Djazuli. Fiqh Siyasah Maliyah, h. 4.
41
penghasilan tersebut di atas tidak dapat mencukupi untuk pembelanjaan jaminan
sosial dan apabila baitul mal tidak cukup persediaan untuk memenuhi keperluan
itu menurut semestinya.18
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Kaum fakir miskin adalah orang-orang pertama yang harus mendapat
perhatian didalam pengeluaran penggunaan harta sesuai dengan prinsip dalam
surat Al-Hasyr ayat 7:
( �:�̂/�njūơ Ƨ�ȂLJ) ....
Artinya:
…. N3ZB ä$uŠYî{# tûüt/ 's!rŠ tbq3tƒ w ’s1
...supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara
kamu…(QS. Al-Hasyr : 7)19
2. Pajak yang dibebankan sesuai dengan kemampuan siwajib pajak dan pajak
tidak dibedakan terhadap keperluan-keperluan yang sifatnya dharuri untuk
hidup.
3. Bagi setiap orang mendapatkan sesuai dengan keperluannya.
4. Tanggung jawab sosial secara umum bagi setiap orang yang tidak mampu dan
membutuhkan.
5. Prinsip:�ά�ϫ 4ϟ Ϧ�ϳ� Ϧϣ dari mana kamu dapatkan ini, atau dengan kata lain
prinsip kontrol sosial agar aparat pemerintahan berfikir sebelum
menyelewengkan harta milik umum, sudah barang tentu prinsip sosial kontrol
18 Ibid, h. 184.
19 Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 436.
42
harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan seseorang menjadi
enggan melaksanakannya.20
C. Prinsip Hukum Islam dalam Kaitannya dengan Pemilikan Tanah Guntai
Dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah guntai seperti telah di
jelaskan, Islam menetapkan beberapa prinsip, seperti yang tertulis dalam sumber-
sumber hukum Islam. Adapun prinsip-prinsip dalam hukum Islam yang berkaitan
dengan tanah guntai, dapat di temukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
1. Al-Qur’an
Firman Allah swt dalam surat Luqman ayat 20:
N3‹=n tæ ÷x 7t ™&r ur Ú‘{# ’û $Bt ur Nºuq»yJ¡9# ’û $B N39s t•‚™y !# b&r #r•t s? Os9&r “‰d wru O=æ Ž•ót / !# †û A‰»gp † `Bt ¨$Z9# z̀ Bru 3 pZu Û$/t ur o•t g»ßs ¼mJy èy R
(��: ��/ǹǸǬdz ) Ž•ZB =»tG. wur
Artinya: Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. ( QS.
Luqman : 20)21
20 Jazuli, Fiqh Siyasah Maliyah, h. 87.
21 Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 182.
43
Firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 128:
ä$±t o„ t̀B $ygO‘qƒ ! Úu ‘{# c) ( #rŽ9¹#ur !$/ #qY‹èGt ™# mBq)s 9 Ó›y qB At $%s
(���: �/ǥ ơ�ǟȏơ) úü)FJ=9 pt7)»yè9#ur ( ¾nŠ$6t ã `B
Artinya: Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakannya kepada siapa yang dikehendaki-nya dari hamba-hamba-nya. Dan kesudahan
yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al- A’raf : 128)22
Firman Allah dalam surat Al-Hadid ayat 17:
bt q=)ès? N3=èy s9 M»ƒt y# N39s $Y•/t ‰s% 4 $kp EqBt ‰y è/t uÚ‘{# Óv† !# b&r #qJ=n ã#
Artinya:
(�� :��/�ȇ�ūơ Ƨ�ȂLJ)
ketahuilah olehmu bahwa Sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah
matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda
kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.(QS. Al-Hadid :17)23
Makna yang tekandung dalam firman Allah diatas, bahwasannya Allah
menciptakan bumi dan alam ini untuk diperuntukan buat manusia sebagai
khalifah, agar manusia itu memakmurkannya untuk kemaslahatannya, karena
manusia lebih tahu akan perkara mereka sendiri supaya mereka berfikir.
22 Ibid., h. 131.
23 Ibid., h. 431.
44
2. As-Sunnah
Prinsip-prinsip lain dapat di temukan dalam beberapa sabda nabi, di
antaranya sabda nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan diceritakan
dari Abi Hurairah:
ąǺăǷ ǶǴLJȁ ǾȈǴǟ ƅơ DzǏ ƅơ ƌDZąȂĄLJă� ƊDZƊǫ
�ƊDZƊǫ
ĄǾąǼăǟ ƅơ ăȆÊǓă�ƊƧă�ąȇă�Ąǿ ąȄÊƥƊơ ąǺăǟ
ǽȁ�).ĄǾºăǓą�Ɗơ ąǮÊLjąǸĄȈƒǴƊ1 ȄăƥƊơ ƒǹÊƊǧ�Ąǽă,ơƊăȀą2ăǼąǸăȈÊdząȁơƊăȀăǟă�ą(ăȈƒǴƊ1 ćǑą�Ɗơ ĄǾƊdz ą&ăǻƊ!
(ȅ�Ƽ�dzơ
Artinya: “Diceritakan dari Abi Hurairah ra. Dia berkata, Rasulullah saw bersabda” barangsiapa yang memiliki sebidang tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka hendaknya
dijaga atau dipelihara tanahnya.( Riwayat Bukhari)24
Dalam pembahasan mengenai tanah guntai, pembicaraannya tidak
hanya berorientasi kepada masalah kepemilikannya saja, tetapi terdapat pula
pembahasan mengenai bagaimana cara atau pelaksanaanya, yaitu yang
berkaitan dengan penggarapan sawah, tanah dan kebun, karena hal tersebut
tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Berikut ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan penggarapan sawah,
tanah dan kebun. Pengertrian syara’ musaqah adalah penyerahan pohon
kepada orang yang menyiraminya dan menjanjikannya, bila sampai buah
24 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahihul Bukhari, h. 141.
45
masak dia maka diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu. Hal itu
merupakan persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon, di mana
pohon berada pada satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain.
Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak,
dengan bagian yang mereka sepakati. Misalnya: setengah, sepertiga dan
sebagainya.25
Nabi bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Nafi’:
ǾȈǴǟ ƅơ DzǏ ĄœÊċǼdzơ ōǹƊơ Ąǽă�ă�ą,ơƊăǸĄȀąǼăǟ ƅơ ăȆÊǓă� ƊDzăǸĄǟ
ÊǺąƥ Êƅơă�ą�ăǟ ōǹƊơ ÇǞǧÊăǻ ąǺăǟ
ĄǾăƳơăȁą5Ɗơ ąȆÊǘąǠĄȇ ǹƊ Ɗ�Ɗ1 Ç.ą�ă5ąȁƊơÇ�ăǸăNj ąǺÊǷă2ąǼÊǷ Ą6Ą�ąƼăȇăǷÊ�ƒǘănjÊƥ ă�ă�ąȈă, ƊDzăǷăǟ
ǶǴLJȁ
ă�ăǸĄǟ ăǶăLjƊǬƊǧÇ�ąȈÊǠăNj ăǪąLJăȁ ƊǹąȁĄ�ąnjÊǟăȁÇ�ąǸăƫ ăǪąLJăȁ ƊǹąȂǻĄÈƊſ
ÇǪąLJăȁƊƨƊ�ÊǷ
Ê#Ɗŭƒơ ăǺÊǷ ċǺĄȀƊdz ăǞÊǘƒǬČȇ ƒǹƊơ ǶǴLJȁ ǾȈǴǟ ƅơ DzǏ ďȆÊ�Ǽċdzơ ă6ơăȁą5Ɗơă�ċȈăƼƊǧă�ă�ºąȈă,
ăǪąLJăȂdzƒơă�ăƬ,ą ơ ÊǺăǷ ċǺĄȀǼąǷÊ ăȁ ăǑą�Ɗȏơƒă�ăƬ,ą ơ ÊǺăǷ ċǺĄȀąǼÊǸƊ1 ċǺĄȀƊdz ăȄÊǔÌĄŻ ąȁƊơ ăǑą�Ɗȏƒơăȁ
(ȅǁƢƼƦdzơ ǽȁ�) .ăǑą�Ɗȏƒơ ÊƩă�ăƬą,Êơƌƨºănj�Êăǟ ą&ǻăƊǯăȁ
Artinya: “diceritakan dari Nafi’, bahwasannya Abdullah bin Umar ra. Mengabarkan
bahwa Nabi mempekerjakan penduduk khaibrar dengan mengembalikannya
dengan separoh dari hasil yang keluar, berupa buah atau tanaman,
kemudian beliau memberikan kepada istri-istri beliau seratus wasq, yaitu
delapan puluh wasq kurma dan dua puluh wasq gandum. Kemudian umar
membagi-bagikan tanah khaibar, kemudian para istri nabi disuruh memilih
tanah atau hasil. Diantara mereka ada yang memilih tanah dan ada pula
yang memiliki wasq, aisyah memilih tanah”. (diriwayatkan oleh bukhari)26
25 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 13, (Bandung: PT.Al-Ma’arif. 1997), h. 165.
26 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahihul Bukhari, h. 137.
46
Prinsip muzara’ah dan mukharabah juga termasuk didalamnya yaitu
membahas masalah penggarapan tanah, sawah dan kebun. Menurut Syekh
Ibrahim AL-Bajuri Mukhabarah ialah:
ÊDzÊǷăǠdzƒơ
ăǺÊǷĄ�ƒ7º�ădzƒơăȁăȀąǼÊǷ Ą6Ą�ąƼăȇăǷ ÊǒºąǠă�Êƥ ÊǮÊdzƊŭƒơ ÊǑą�Ɗơ ąȆÊǧ ƌDzÊǷăǠdzƒơ
ƊDzăǸăǟ
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”
Dan muzara’ah adalah:
ÊǮÊdz ºƊŭơ ăǺÊǷĄ�ƒ7º�ădzƒơăȁºăȀąǼÊǷ
Ą6Ą�ąƼȇăăǷ
ÊǒąǠă�Êƥ
ÊǑą�Ɗȏƒơ
ȄÊǧ
ƌDzÊǷºăǠdzƒơ
ƊDzăǸăǟ
“Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah”
27
Setelah diketahui definisi-definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa
mukharabah dan muzara’ah ada suatu kesamaan dan perbedaan.
Persamaannya ialah antara mukharabah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa
yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain
untuk dikelola, adapun perbedaannya ialah pada modalnya, bila modal dari
pengelola (pekerja) maka disebut mukharabah dan bila modal dari pemilik
tanah, maka disebut muzara’ah.
Adapun dasar hukum dari penetapan tersebut:
27 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1992), h. 157.
47
ąǺăǸąƷċ�dzơă�ą�ǟă ăƥÈƊ0 ăȇ :ĄǾºƊdz Ą&ƒǴƌǬƊ1 : ć�ąǸăǟ ƊDZƊǫ �Ą�ƥÊăƼĄȇ ǹƊ Ɗ! ĄǾºċǻÊơ : Ç�ĄȁƊǗ Ǻǟ
ȆăȀăǻ ǶǴLJȁ ǾȈǴǟ ƅơ DzǏ ĄȆÊ�Ǽċdzơ ōǹƊơ :ƊǹąȂĄǸĄǟą(ăȇ ąǶĄȀċǻÊƊǧƊƧă�ăƥºăƼƌŭƒơ ÊǽÊ7ăǿ ă&ƒǯă�ăƫąȂƊdz
ĄǺƥąơ ąȆÊǼąǠăȇ) ăǮÊdzƊ7Êƥ ąǶĄȀĄǸƊǴąǟƊơ ąȆÊǻă�ă�ą,ơƊ�ȁ�ąǸăǟ ąȅƊơ :DZƊ ºƊǬƊ1
ÊƧă�ƥăºăƼĄǷ ÊǺăǟ
ą3ăǼąǸăȇ) DzƊǫ
ƊōŶÊơ .ăȀąǼăǟ ăǾºąǼăȇ ąǶƊǴǸǴLJȁ ǾȈǴǟ ƅơ DzǏ ȆĄ�ÊċǼdzơ ōǹƊơ :(�ą ċ�ăǟ
(ǶǴLjŭ ǽȁ�) .(ĆǷąȂƌǴąǠăǷĆƳą�ă,ăȀąȈƊǴăǟƊ7Ą,Ì Ƙăȇ ƒǹƊơ ąǺÊǷ ĄǾƊdzć�ąȈă, Ąǽă,Ɗơ ąǶƌǯĄ�ăƷƊơ
Artinya: ” dari Thaus, sesungguhnya Thaus pernah bermukharabah , Umar berkata
dan aku berkata kepadanya: “ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan
mekharabah ini, nanti mereka bahwa nabi melarangnya, kemudian thaus
berkata: telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh
mengetahui hal itu, yaitu Ibn Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang
mukharabah hanya beliau berkata: “bila seseorang memberi manfaat kepada
saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari saudaranya
dengan sesuatu yang telah ditentukan”. (diriwayatkan oleh Muslim)28
Dan Haditsh Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari:
ăǪºƌǧą�ăȇ ƒǹƊơă�ºăǷƊơ ąǺÊ�ƊdzăȁƊƨăǟă�ơă(ºƌŭƒơ Êǵď�ă2Ąȇ ąǶƊdz
ǶǴLJȁ ǾȈǴǟ ƅơ DzǏ ăȆÊ�ºǼċdzơ ōǹƊơ
ƒǹÊƊ1 Ąǽă,Ɗơ ăȀą2ăǼąǸăȈÊdząȁơƊăȀăǟ ă�ą(ºăȈƒǴƊ1 ćǑą�Ɗơ ĄǾƊdz ą&ăǻƊǯ ąǺăǷ :ÊǾÊdząȂƊǬÊƥ ÇǒąǠă�Êƥ ąǶĄȀĄǔąǠăƥ
(ȅǁƢƼƦdzơ ǽȁ�) .ĄǾºăǓą�Ɗơ ąǮÊLjąǸĄȈƒǴƊ1 ȄăƥƊơ
Artinya: “sesungguhnya Nabi saw tidaklah mengharamkan bermuzara’ah, bahwa
beliau menyuruhnya, supaya sebagiannya menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya: “barang siapa yang mempunyai tanah, maka hendaklah
ditanaminya atau diberikan kepada saudaranya, jika ia tiak mau,maka boleh
saja tanah itu ditahan” (diriwayatkan oleh Bukhari)29
28 Abi Al-Husain Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairy An-Naisabury, Sahihul Muslim, h. 184.
29 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahihul Bukhari, h. 141.
48
Dalam hadits di atas dikatakan bahwa Nabi tidak mengharamkan
bermuzara’ah. Beliau bahkan menganjurkan supaya sebagian menyayangi
sebagian yang lain. Jadi pada dasarnya mukharabah itu dibolehkan apabila
seseorang memberikan manfaat kepada saudaranya.
Hal ini juga berkaitan dengan tanah guntai, karena dengan adanya
jarak antara tanah dengan si pemilik, yang mana si pemilik tanah harus dapat
secara efisien untuk menggarap tanah tersebut, hal itu sesuai dengan apa yang
tercantum dalam pasal 10 UUPA No. 5 tahun 1960 ayat 1, bahwa setiap orang
atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif
dengan mencegah cara-cara pemerasan. Dalam penjelasannya yang dimaksud
mengerjakan atau mengusahakan secara aktif berarti bahwa si pemilik harus
secara langsung turut serta dalam proses produksi. Namun hal ini tidak berarti
bahwa segala pekerjaan harus dilakukannya sendiri, mempergunakan tenaga
buruh dalam hal ini diperbolehkan.
49
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMILIKAN TANAH GUNTAI
A. Dalam UUPA
Guna tercapainya tujuan landreform, maka dalam hal ini pemerintah lebih
jauh mengatur mengenai agraria, diantaranya menyangkut tentang aturan
kepemilikan tanah guntai, yang mana masalah kepemilikan ini sangatlah
berpengaruh guna mencapai tujuan dari landreform itu sendiri.
Dalam pasal 10 UUPA dinyatakan bahwa:
1. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah
pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakannya atau
mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara
pemerasan.
2. Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini akan diatur
lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
3. Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam
peraturan-peraturan perundangan.
Ketentuan pasal 10 UUPA tersebut diatas, secara umum dikenal dengan
“Landreform”, yakni tanah untuk pertanian pada pokoknya harus dikerjakan
sendiri secara aktif.
50
Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bagi seseorang untuk
mempekerjakan orang lain untuk mengelola tanahnya tersebut, karena tanah
guntai itu sendiri adalah pemilikan tanah diluar kecamatan. Apapun ketentuan
tersebut tidak berlaku bagi orang yang memiliki tanah pada perbatasan
kecamatan.
Orang yang memiliki tanah guntai, menurut ketentuan peraturan
perundangan harus pindah ke kecamatan tempat letak tanah itu berada atau
mengalihkan haknya kepada orang yang bertempat tinggal dekat tanah
tersebut. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan maka pemerintah dalam hal ini
berhak mengambil hak tanah tersebut dengan diberikan ganti rugi dan
tanahnya dibagikan kepada rakyat untuk dikerjakannya.
Adanya larangan dalam pasal 10 tersebut adalah adanya pembelaan
terhadap golongan yang berekonomi lemah untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
B. Praktek pada masa Rasulullah saw
Islam memandang mengenai hukum pertanahan sangat bijaksana sekali.
Bila kita rujuk surat Al-A’raf ayat 128 yang mengatakan bahwasannya ”bumi
ini kepunyaan Allah” kita dapat memahami bahwa seluruh isi bumi ini
termasuk di dalamnya adalah tanah. Maka tidak ada yang mempunyai hak
mutlak melainkan Allah s.w.t, sehingga walaupun manusia mempunyai hak
51
pula terhadap bumi ini namun manusia perlu diingatkan kedudukannya yakni
sebagai khalifah (mahluk yang ditugasi untuk mengelolanya).
Demikian halnya sejalan dengan konsep pemilikan tanah dalam Islam,
UUPA pasal 10 menegaskan pula bahwasannya setiap orang dan badan
hukumpun mempunyai hak atas tanah dan satu hal alasan yang sudah pasti
sama yakni pemanfaatan terhadap tanah tersebut yang dalam hal ini bisa
dalam bentuk pengelolaannya
Konsep Islam mengenai legitimasi hak milik pribadi tergantung pada
moral yang dikaitkan padanya, sebagaimana jumlah metematik tergantung
pada aljabar yang dikaitkan padanya. Ini berarti tanda aljabar tersebut adalah
hukum syara’ yang berlaku bagi zat tersebut, baik cara memperolehya,
pemilikannya maupun kegunaannya.
Masalah penggarapan tanah, sawah dan kebun dalam hukum Islam tidak
jadi soal bagi pemiliknya maupun mempekerjakan orang lain. Hal ini dapat
kita simpulkan dari sebuah hadits yang berbunyi “apabila kamu tidak
menanaminya sendiri maka berikanlah manfaatnya kepada saudaramu, tapi
jika kamu tidak mau, maka hendaknya dijaga dan dirawat.” Ini menunjukan
bahwa dari pada mubadzir lebih baik ditanami dan diambil manfaatnya,
meskipun oleh orang lain.
Dari kutipan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa jika pemerintah,
khususnya membolehkan untuk mempunyai tanah guntai maka dikhawatirkan
52
akan ada tanah-tanah yang terbengkalai yang tidak produktif, yang seharusnya
dapat dimanfaatkan buat kepentingan masyarakat.
Dengan adanya masalah seperti ini, Islam telah memberi solusi tentang
penggarapan tanah, sawah dan kebun. Dalam hal ini Islam menyodorkan
konsep musaqah, mukharabah dan muzara’ah, yang mana konsep seperti ini
juga dapat mencegah lahan-lahan yang tidak produktif karena diterlantarkan
oleh pemiliknya menjadi produktif, khususnya dalam kaitannya dengan tanah
guntai.
Dalam konsep musaqah, ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa
Rasulullah SAW memberikan kebunnya kepada penduduk khaibar agar
dipelihara oleh mereka, dengan perjanjian mereka diberi sebagian hasilnya,
baik buah-buahan ataupun palawija. Dari hadits tersebut disebutkan bahwa
Nabi memberikan tanah tersebut kepada penduduk khaibar. Ini menunjukan
tanah tersebut barada di luar madinah dan Nabi-pun tidak memungkinkan
untuk menggarapnya sendiri, maka penggarapannya diserahkan kepada
penduduk khaibar karena dekat dengan tanah tersebut dan Nabi membuat
suatu perjanjian yang sangat mengikat dengan penduduk khaibar bahwa
penghasilan yang digarapnya dibagi dua.
Konsep mukharabah dan muzara’ah Nabi tidak mengharamkan
bermukharabah. Ini berarti bahwa perbuatan tersebut halal, sebagaimana
ketentuan kaidah berikut:
53
ǶÊ ȇą�Ê ą2Ƭċdzơ ȄǴƊăǟ ƌDzȈądzÊ �ċ dzơ ăǵąȂǬƌ ăȇ ȄƬċăƷƌƨăƷăƥÊȏơƒ #Ê ăȈNją Ɗȏơƒ ȄÊǧ ƌDząǏ ÈȃȏƊơ
Artinya:
“Hukum asal sesuatu adalah kebolehan, sehingga terdapat dalil yang
mengharamkannya”1
Jadi pada dasarnya mukharabah itu dibolehkan apabila seseorang
memberikan manfaat kepada saudaranya. Dalam hadits lain dikatakan bahwa
Nabi tidak mengharamkan bermuzara’ah. Beliau bahkan menganjurkan
supaya sebagian menyayangi sebagian yang lain.
Dari beberapa hadits diatas dapat kita simpulkan bahwasanya muzara’ah
dihalalkan, bahkan Nabi menganjurkannya. Jika demikian, maka dapat
dikaitkan dengan kaidah yang berbunyi:
ÊƣąȂƳĄ ĄȂǴƒ ÊdzÊ�ąǷƊȏơƒ ȄÊǧ ƌDząǏ ƒȏÈ ơƊ
“Pada asalnya kata perintah itu adalah wajib”2
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwasannya Islam sebagai agama
rahmatan lilalamin mempunyai hukum yang tidak ortodoks, melainkan
dinamis dengan konsep syariatnya, sehingga Islam mempunyai produk hukum
yang sifatnya tidak memberatkan kaumnya demikian pula berbicara mengenai
tanah dalam Islam, dari beberapa contoh riwayat Nabi diatas mengenai tanah
guntai, bukanlah suatu halangan untuk memaksimalkan eksistensi manusia
1 Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, edisi pertama cet II (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 10. 2 Ibid, hlm. 13.
54
sebagai khalifah dimuka bumi ini, sehingga dimanapun tanah tersebut terletak
secara grafisnya, Islam lebih mengutamakan pemanfaatannya, dengan
pengelolaan yang maksimal, maka dalam hal ini bukti kekhalifahan manusia
untuk menjaga dan mengelola bumi ini nyata.
Pada dasarnya UUPA memandang pemanfaatan tanah sama seperti halnya
Islam memandang hal tersebut. Namun, peraturan perundang-undangan
mengenai tanah ini diundangkan oleh negara dengan tujuan untuk membatasi
keserakahan manusia, sehingga dengan diundangkannya UUPA pasal 10 ini
pemerintah berharap agar terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia seperti halnya yang tercantum dalam pancasila sila kelima
sebagaimana bentuk cita-cita bangsa.
Hukum Islam dan hukum positif keduanya mempunyai tujuan yang baik
untuk manusia yaitu menciptakan keharmonisan dalam tata kehidupan sosial.
Mengenai hukum mana yang lebih didahulukan sudah semestinya undang-
undang selama tidak bertentangan dengan syara’, demikian halnya Islam yang
menegaskan bahwa sahnya kita harus tunduk kepada ulil amri yang dalam
kaitannya adalah pemimpin kita yakni pemerintahan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ketentuan amar atau perintah
diatas tersebut tidak jauh daripada wajib melainkan hukumnya sunnah.
Dengan kata lain bahwa aqad mukharabah dan muzara’ah adalah
55
hukumannya sunnah, apabila tujuan yang dicapainya adalah saling memberi
manfaat.
C. Persamaan Dan Perbedaan Dari Segi Hukum Islam dengan Hukum
Agraria
Setelah pada bab sebelumnya penulis telah memaparkan tentang masalah
tanah guntai, maka dapat penulis simpulkan beberapa persamaan dan
perbedaanya dari segi hukumnya, baik itu dari segi hukum Islam dan hukum
konvensional (agraria).
Adapun persamaan dari kedua segi hukum baik itu dari segi hukum Islam
maupun hukum Nasional ialah.
a) Dalam UUPA larangan penggarapan tanah oleh orang lain adalah
upaya untuk mencegah cara-cara pemerasan. Sedangkan dalam
hukum Islam pun apabila menggarap tanah orang lain yang tidak
membawa manfaat, maka tidak di perkenankan. Karena azas yang
dipakai dalam Islam adalah saling memberi manfaat.
b) Bagi seseorang yang memiliki tanah dari luas maksimal, maka
tanah kelebihannya tersebut akan diambil o leh pemerintah dan
dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Sedangkan
dalam Islampun sama, yakni jika seseorang mempunyai tanah
yang luas sedang dia tidak mampu menggarapnya dengan
sendirinya dan membiarkannya selama tiga tahun maka tanah
56
tersebut diambil oleh pemerintah dan dibagikan kepada rakat yang
membutuhkannya.
Selain persamaan dari kedua segi hukum tersebut, ada pula perbedaan
diantara keduanya. Adapun perbedaannya adalah:
a) Undang-undang pokok agraria khusunya pasal 10 dalam hal ini
yaitu bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia terutama pembelaan terhadap golongan ekonomi
lemah. Sedangkan Islam bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan ummat secara universal dan tidak lepas dari tujuan
dan norma syari’ah.
b) Dalam hukum Islam penggarapan tanah orang lain hukumnya
sunnah. Sedangkan dalam hukum positif masalahnya tidak
berhubungan dengan penghidupan akhirat.
c) Dari segi sumber bahwa undang-undang pokok agraria bersumber
dari UUD 45, kitab undang-undang hukum perdata dan hukum
adat. Sedangkan hukum Islam bersumber pada Al-qur’an dan
sunnah.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Peraturan tentang larangan pemilik tanah di luar kecamatan
(guntai/absentee) yang diatur dalam pasal 10 UUPA dan
pelaksanaanya yang diatur dalam pasal 3 PP No.224/1961 dan pasal 1
PP No. 41/1964 menegaskan bahwa seseorang yang memiliki tanah di
luar kecamatan dalam jangka waktu 6 bulan harus mengalihkan hak
tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal dekat tanah
tersebut berada. Jika seseorang tidak mengalihkan hak tanahnya, maka
pemerintah akan mengambil tanah tersebut dan dibagikan kepada
rakyat. Namun tanah yang diambil tersebut akan diganti rugi oleh
pemerintah.
2. Hukum Islam t idak membahas secara khusus tentang pemilikan tanah
guntai, tetapi ada beberapa hal yang menyatakan tentang kepemilikan
tanah, sebagaimana diatur dalam hadits nabi yang menegaskan bahwa
nabi pernah menganjurkan kepada para sahabatnya “bahwa barang
siapa yang mempunyai tanah maka hendaknya tanah tersebut
58
diberikan kepada saudaranya atau orang lain, jika ia tidak mau, maka
hendaknya tanah itu dijaga atau dipelihara.”
3. Konsep siyasah maliyah dengan kepemilikan tanah guntai yang diatur
dalam UUPA, mempunyai hubungan erat, karena pada dasarnya untuk
memenuhi kebutuhan manusia di dunia ini, Allah SWT telah
memberikan bumi, langit dan segala yang ada di dalamnya yang
diperuntukan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini yang
ditugaskan untuk memakmurkannya, sebagai mana ketentuan Allah
dalam surat Hud ayat 61. Namun, pengaturannya lebih rinci ditentukan
oleh pemerintah lewat kebijakan politiknya, dengan mengedepankan
kepada konsep kemaslahatan.
B. Saran-saran
1. Untuk merealisir keentingan umum yang berdasarkan pancasila, aparat
pemerintah dalam hal ini khususnya BPN RI agar dapat merealisir
ketentuan peraturan perundang-undangan seefisien mungkin untuk
dapat memberdayakan tanah sesuai dengan kepentingan nasional. Hal
itu agar teciptanya pemerataan kesejahteranan bagi rakyat petani
khususnya yang memang mengandalkan kehidupannya dari bertani,
serta dapat terlaksananya pembangunan ekonomi sebagaimana yang
dicita-citakan bersama.
59
2. Jajaran BPN yang terkait, agar dapat melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan dengan konsekuensinya agar seiring
sejalan dengan UUPA No.5/1961 yang merupakan amanat nasional,
guna meningkatkan pembangunan ekonomi khususnya dalam bidang
pertanahan demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al- Karim
Ali, Muhammad Daud, System Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
1988.
Abdurahman, Tentang dan Sekitar UUPA, Bandung : Alumni, 1984.
Adiwinata, Saleh, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, Bandung : CV
Remadja Karya, 1984.
Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Sahihul Bukhari, Juz. III
Djazuli, Atjep, Fiqih Siyasah, Bandung : IAIN Sunan Gunung Djati, 1983.
Harsono, Boedi, Hukum Agrarian Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 1997.
Khallaf, Abdul Wahab, Alih Bahasa Moh. Tolehah Mansoer, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam (Ilmu Ushul Fiqih) Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta Balai
Pustaka,1989.
Mannan, M.Abdul, Alih Bahasa M. Nastangin, Teori dan Praktek , Ekonomi Islam,
Yogyakarta : PT. Bhakti Prima Jasa, 1997.
Pulungan, J. Suyuti, Fiqh siyasah : ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1997.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam : Jilid II, Yogyakarta: PT, Dhana Bhakti
Wakaf, 1995.
S, Arieeff, UUPA : Beberapa Hukum Agrarian dan Hukum Tanah serta
Penjelasannya, (PT. Pustaka tinta Mas)
Sabiq, Sayyid, Alih Bahasa Kamaluddin dan Marzuki, Fikih Sunnah : 13, Bandung :
PT,. Al-Ma’arif, 1997.
Shiddieqy, M. Hasbi, Pengantar Fiqih Muamalah, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1989.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1985.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta :
PT. Pradnya Paramita,1995.
Suhendi , Hendi, Fiqh Muamalah, Bandung : IAIN Sunan Gunung Jati, 1992.