TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT HUKUM...
Transcript of TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT HUKUM...
TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT HUKUM
PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
BEBEN MISHBAH NIM: 103045128137
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Asmawi, M.Ag Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum.,
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah (Pidana Islam).
Jakarta, 27 Maret 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN 1. Ketua : Asmawi, M.Ag. (………...……)
NIP. 150 282 394
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (…………..….) NIP. 150 282 403
3. Pembimbing I : Asmawi, M.Ag. (…………..….)
NIP. 150 282 394
4. Pembimbing II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum. (………..…….) NIP. 150 264 001
5. Penguji I : Prof.DRH. Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM(..…..………...)
NIP. 150 210 422
6. Penguji II : H. Zubir Laini, SH (……………...) NIP.
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الـرحمن الـرحيم وهدانا, وجعلنا من أحسن المخلوقات, الحمد هللا رب العـالمين خالق السماوات واألرض وما بينهما
, شيرة وأستاذ اإلنسانية صلى اهللا عليه وسلموالصالة والسالم على سيد الب. بهدايته وعلومه الواسعة)أما بعد. (وعلى آله وأصحابه هداة األنام
Tiada untaian kata yang paling indah selain puja serta puji syukur kehadirat Allah
Swt, atas taufiq, hidayah dan inayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan kepada keluarganya, sahabat serta para pengikutnya sampai akhir zaman. Amien.
Sebagai manusia yang tak luput dari kekhilafan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang dialami oleh penulis. Dan berkat kesungguhan hati, dengan penuh harapan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hal ini berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Asmawi, M.Ag., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris
Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Asmawi, M.Ag., dan Bapak Dedy Nursyamsi, M.Hum., selaku dosen
pembimbing Skripsi, yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis serta telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
4. Pimpinan dan Staf Perpustakaan PemDa Jakarta Selatan, dan Perpustakaan Nasional
Salemba, Jakarta. Pimpinan dan Staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Jakarta yang telah membantu penulis mengadakan riset, serta Pimpinan dan Staf Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa yang telah memberikan bantuan dana demi terselesaikannya Skripsi ini.
5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam memperoleh referensi selama menyusun Skripsi ini.
6. Yang Mulia Bapak KH. Jaemi Sukma Wijaya Kusuma, selaku pengasuh Pon-Pes
Minhajut Tholibin, ) عسي اهللا يطول عمورآم و يصحه أجسدآم و يدخلكم من بين مخلصين)الـصالحين
7. Yang tercinta dan tersayang kedua orang tua penulis, Bapak H. Uci Sanusi dan
Ibunda Sartunah (Almh), yang dengan penuh curahan kasih sayang dan doa sehingga
Skripsi ini dapat penulis selesaikan. Kakak dan adikku Kusnadi, Yayah, Faruqi, Tuti, Alan, Nurbaiti, Hafidz, dan si kecil Sandi.
8. Kawan-kawan seperjuangan di Pidana Islam, Iwan, Jabier, Asep, Ma’ruf, Wildan,
Uboey, Onel, Adien, Ramboel, Suwardy, dan Ajon yang sudah sama-sama mengalami pahitnya kehidupan (semangat trus ‘Jon!). Para akhwat PI, Anita, Didi, Lexa, Manse, i2k, Lina, Iyam, Iroh, Dewi, Elga dan untuk saudaraku Anna yang sudah banyak membantu penulis, serta teman-teman Pidana Islam angkatan 2003 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu “Kalian adalah mata rantai yang takan pernah terputus”.
9. Seseorang yang berhati lembut dan penuh kasih sayang “Nopianti Herlis“ dengan
ketulusan hati memberi motivasi dan mengisi hari-hari penulis menjadi indah. (Hatur nuhun nya’ Neng..!).
10. Orang-orang yang secara tidak langsung membatu penulis, Mas Nano, teman-teman
Cibodas Bikers Club (CBC), Rivald, Agoes Rahman, Jay, Alumni Pon-Pes Mathla’ul Huda (Pandeglang, Banten), Ade, Fitri, Luthfi dan lainnya, Ummi, Umah, Wulan, Tiwi, Yarnah, lia, Dhila, dan Lenny.
Dengan untaian do’a, semoga semua kebaikan dan bantuan mereka yang telah banyak
memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis, mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Dan semoga Skripsi ini, dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amien...!
Jakarta, 27 Maret 2008 M 19 Rabi’ul Awwal 1429 H
Penulis
TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN MENURUT HUKUM
PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Beben Mishbah
NIM : 103045128137
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………………………………... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………… 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………….. 7
D. Tinjauan Pustaka …………………………………………. 8
E. Metode Penelitian ………………………………………... 10
F. Sistematika Penulisan ……………………………………. 11
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM
PIDANA ISLAM TENTANG TINDAK PIDANA
A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia ………… 13
1. Pengertian Tindak Pidana ……………………………….. 13
2. Unsur-unsur Tindak Pidana …………….……………….. 15
3. Klasifikasi Tindak Pidana ………………………………. 18
B. Tindak Menurut Hukum Pidana Islam …………. ………… 23
1. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah) ……………………. 23
2. Unsur-unsur Tindak Pidana ……………………………... 25
3. Klasifikasi Tindak Pidana ……………………………….. 27
BAB III PROFESI KEDOKTERAN DALAM PANDANGAN HUKUM
INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian, Sejarah dan Jenis Profesi Kedokteran …………… 32
1. Pengertian Profesi Kedokteran …………………………….. 32
2. Praktek Kedokteran Dalam Lintas Sejarah ………………… 36
3. Jenis-jenis Profesi Kedokteran …………………………….. 49
B. Hak dan Kewajiban Profesi Kedokteran …………………….. 51
C. Tanggung Jawab Profesi Kedokteran ………………………… 56
1. Tanggung Jawab Etik Profesi ……………………………… 57
2. Tanggung Jawab Hukum …………………………………... 64
BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM
PIDANA ISLAM TENTANG TINDAK PIDANA PROFESI
KEDOKTERAN
A. Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan
Hukum Pidana Indonesia ……………………………………. 67
1. Ancaman Pidana Penyelenggaraan Praktik Kedokteran
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)…. 71
2. Ancaman Pidana Dalam Undang-undang
No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran ……… 81
B. Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan
Hukum Pidana Islam…………………………………………. 92
C. Analisa Perbandingan Hukum Pidana Indonesia
dan Hukum Pidana Islam ……………………………………. 117
D. Contoh Kasus Seputar Tindak Pidana
Profesi Kedokteran …………………………………………. 133
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………… 140
B. Saran-saran ………………………………………………… 150
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 152
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan manusia terhadap pertolongan pengobatan untuk menyelamatkan
nyawanya merupakan hal yang mendasar yang diperlukan oleh setiap makhluk hidup
insani. Oleh karena itu, diperlukan pihak yang mempunyai keahlian untuk memberikan
pertolongan kepadanya agar terbebas dari penyakit yang dideritanya tersebut. Dokter
merupakan ilmuan yang telah dididik secara profesional untuk memberikan pertolongan
kepada seseorang yang membutuhkan pelayanan medisnya.1
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan
pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan utama
bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan medik terhadap orang lain adalah ilmu
pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimilikinya yang diperoleh melalui
pendidikan dan pelatihan.2
Dalam era globalisasi seperti yang terjadi saat ini profesi kesehatan merupakan salah
satu profesi yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdiannya
1 Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku II, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006), h. v
2 Hendorojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalm Transaksi Terapeutik, (Surabaya,
Srikandi, Cet I, 2006), h. 4
kepada masyarakat yang sangat komplek. Etika profesi yang semula mampu menjaga
citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya kelihatannya makin
memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
meningkat bagi para tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan pasien dan keluarganya
sebagai pengguna pelayanan kesehatan.
Meningkatnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan disebabkan oleh
berbagai perubahan antara lain adanya kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kesehatan,
perubahan karakteristik masyarakat tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa, dan juga
perubahan masyarakat pengguna jasa kesehatan yang lebih sadar akan hak-haknya.
Sorotan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan merupakan suatu kritik yang baik
terhadap profesi kesehatan, agar para tenaga kesehatan dapat meningkatkan pelayanan
profesi kesehatannya terhadap masyarakat.
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan merupakan suatu pertanda
bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan kesehatan dan
pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien
pada khususnya. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya
tuntutan yang diajukan masyarakat dewasa ini sering kali diidentikan dengan kegagalan
upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya, apabila tindakan yang
dilakukan dapat berhasil dianggap berlebihan, padahal dokter dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dimilikinya hanya untuk
penyembuhan, dan kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan
kegagalan dalam tindakan.3
3 Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, h. 5
Namun hasrat memberikan pertolongan kepada sesama tersebut tidaklah semulus
yang dicita-citakan oleh para pengemban profesi kesehatan ini. Ancaman pidana
menghantui harapan mulianya tersebut, sehingga beberapa di antaranya lebih memilih
untuk tidak melanjutkan pengabdiannya sebagai seorang dokter.4 Deretan ancaman
pidana yang dapat dikenakan bagi profesi ini makin hari makin bertambah yang tersebut
dalam beberapa undang-undang, yaitu kitab undang-undang hukum pidana (KUHP),
Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang No. 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran. Di dalam undang-undang tersebut ada beberapa pasal
yang berisi tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan
yang dapat dipidana yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
Munculnya kasus-kasus dalam tindakan medik merupakan indikasi bahwa kesadaran
hukum masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum,
semakin mengetahui mereka akan hak dan kewajibannya dan semakin luas pula suara-
suara yang menuntut agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan.5 Pada
dasarnya kesalahan dan kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis, merupakan
suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan atau
kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan
kerugian pada pasien. Untuk itu dalam memahami ada atau tidak adanya kesalahan atau
kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian pelaksanaan profesi harus
4 Anny Isfandyarie dan Fachrizal A, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. v 5 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Pertanggung Jawaban Dokter, (Jakarta, PT Rineka
Cipta, 2005), Cet I, hlm 4
diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi, di samping itu pula diperhatikan aspek
hukum yang mendasarinya.6
Pada hakekatnya pembangunan dalam bidang kesehatan ditunjukan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat hidup sehat bagi setiap
orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur
kesejahteraan. Hal ini sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia 1945.
Begitu pula dalam ajaran Islam, Islam sangat menghargai jiwa lebih-lebih terhadap
jiwa manusia. Cukup banyak ayat al-Qur’an maupun Hadits yang mengharuskan kita
untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifdz al-nafs). Jiwa, meskipun
merupakan hak asasi manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT.7 Oleh
karenanya, seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkan tanpa
kehendak dan aturan Allah sendiri. Di antara firman Allah yang menyinggung soal jiwa
atau nafs adalah:
Surat al-Hijr ayat 2 ﴾٢: ﴿الحجر ونو إنا لنحن نحي ونميت ونحن الـوارث
Artinya: “Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan mematikan,
dan kami (pulalah) yang mewarisi” (QS. al-Hijr: 2).
Surat al-Najm ayat 44 ﴾٤٤: ﴿النجم و إنه هو أمات و أحيا
Artinya: “Dan bahwasanya dialah yang mematikan dan menghidupkan” (QS. al-Najm:
44).
6 Ibid., h. 5 7 Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer IV,
(Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2002), cet ke III, h. 69
Agar supaya manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka Allah
memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak atau
menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan
melawan hukum Allah. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga
peradilan (Pemerintah Islam) sesuai dengan aturan pidana Islam. Ini pun dilakukan dalam
rangka memelihara dan melindungi jiwa manusia secara keseluruhann. Sebagaimana
tergambar dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 179:
﴾١٧٩: ﴿البقرة أللبب لعلكم تتقوانولكم في القصاص حيوة يآؤلي ا Artinya: “Dan dalam Qishash itu terdapat (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 179)
Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang
merusak atau menghilangkan jiwa manusia diancam dengan hukuman yang setimpal
(Qishas atau Diyat).
Dari latar belakang di atas penelitian ini diberi judul : ”Tindak Pidana Profesi
Kedokteran Menurut Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Mengingat permasalahan di bidang kedokteran amat luas untuk dibahas maka dalam
skripsi ini dibatasi pada aspek pidana yang berkaitan dalam dunia kedokteran, khususnya
mengenai sanksi pidananya. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana Indonesia
adalah hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu, ketentuan-ketentuan pidana dalam
Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), dan Undang-undang Nomor. 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran.
Agar penelitian ini lebih terpokus dan terarah maka penulis membatasi tulisan ini
hanya pada ketentuan sanksi pidana profesi kedokteran menurut hukum pidana Indonesia
dan Hukum Pidana Islam.
Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan profesi kedokteran dalam hukum Indonesia dan hukum
Islam?
2. Bagaimana hak dan kewajiban profesi kedokteran dalam pandangan hukum
Indonesia dan hukum Islam ?
3. Bagaimana pandangan hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam mengenai
tindak pidana profesi kedokteran, dan bagaimana ketentuan sanksi pidananya ?
4. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Indonesia dan hukum
pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui hak dan kewajiban profesi kedokteran dalam hukum
Indonesia dan hukum Islam.
b. Untuk mengetahui dan mengidentipikasi tindakan-tindakan profesi kedokteran
yang terkena ancaman pidana.
c. Untuk mengetahui gambaran pandangan hukum pidana Indonesia dan hukum
pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran.
d. Untuk mengetahui persaman dan perbedaan antara hukum pidana Indonesia
dan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran.
2. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat luas pada umunya
dan dokter atau pelayan kesehatan pada khususnya dalam rangka memahami ketentuan
sanksi pidana dalam bidang medik, sehingga para pemberi pelayanan kesehatan berhati-
hati dalam menjalankan profesinya yang amat mulia itu. Juga hasil penelitian ini dapat
memberikan khazanah pengetahuan di bidang hukum Islam khususnya hukum pidana
Islam di bidang medik (kesehatan).
D. Tinjauan Pustaka
Dari beberapa hasil penelitian yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta belum terdapat penelitian yang secara
spesifik membahas tentang tindak pidana tenaga medik, sejauh yang penulis temui hanya
terdapat penelitian yang mambicarakan tentang Euthanasia atau yang sering disebut
dengan Mercy Killing (mati dengan tenang).8
Namun terdapat suatu penelitian yang kiranya senada dengan judul tindak pidana
profesi kedokteran, yaitu hasil penelitian yang disusun oleh dr. Anny Isfandriyari, Sp.
An., SH dari fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan judul “Resiko Medik dan
Malpraktek Dalam Kajian Hukum Pidana”. Akan tetapi hasil dari penelitiannya hanya
murni dalam kajian hukum pidana Indonesia, sedangkan dalam penelitian tindak pidana
profesi kedokteran tidak hanya dalam perspektif hukum pidana Indonesia semata
melainkan termasuk juga hukum pidana Islam.
8 Ibid., h. 64
Juga terdapat Tesis yang sekiranya serupa membahas permasalah dalam dunia Medik,
yaitu Tesis yang disusun oleh Khairurrahman,9 dengan judul “Masalah-Masalah
Kedokteran Dalam Fatwa-Fatwa Yusuf Al-Qaradhawi”, yang membahas seputar
masalah-masalah kedokteran yang terdapat dalam fatwa-fatwa Al-Qaradhawi meliputi
persoalan yang berkenaan dengan masalah Euthanasia, transplansi organ tubuh, aborsi,
bank susu, kloning pada manusia, dan inseminasi buatan. Dan membicarakan tentang
Istinbath hukum yang berkenaan dengan masalah-masalah kedokteran dengan
menggunakan metode (maslahah mursalah).
Di antara bahan-bahan pustaka yang menjadi rujukan dalam penelitian ini ialah
Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Kitab Undang-undang
hukum pidana (KUHP). Buku yang berjudul “Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi
Dokter buku I dan II” yang membicarakan segala ancaman pidana yang terdapat dalam
KUHP, UU No. 23 tahun 1992, dan UU No. 29 tahun 2004. Dan buku yang berjudul
“Perlindungan Hak-Hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik”, pembahasannya meliputi
hak-hak pasien dan seputar tindak pidana, perdata dalam dunia medik. Serta buku
“Hukum Kesehatan (Pertanggung jawaban Dokter)”, membahs tentang pertanggung
jawaban dokter yang menyangkut dengan segi hukum dan etika kedokteran dalam
menjalankan profesinya10. Di samping itu dalam kajian Islam terdapat pula buku-buku
yang menjadi rujukan dalam penelitian ini diantaranya kitab “At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-
Islamiy” karangan Abdul Qadir Audah yang secara spesifik membicarakan segala macam
9 Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Konsentarsi Syari’ah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Pertanggung jawaban Dokter, h. vi
tindak pidana (Jarimah), klasifikasi, dan sanksinya dalam pandangan hukum Islam. Dan
bahan-bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah).
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan
dan menjelaskan suatu variable penelitian. Sedangkan dari segi tipe penelitian ini
merupakan penelitian hukum-doktrinal (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian
hukum berupa norma-norma dan doktrin yang dalam penelitian ini ialah Undang-undang
nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, KUHP, dan aturan dalam hukum
pidana Islam.
Teknik pengumpulan data berupa studi dokumentasi (kepustakaan) yaitu
mengumpulkan data-data dan dokumen-dokumen atau bahan tertulis yang terdapat dalam
UU No. 29 tahun 2004, KUHP, dan hukum Islam berupa segala ketentuan-ketentuan
pidananya, buku-buku, media cetak dan elektonik yang berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan dokumen.
Adanya bahan hukum primer yaitu Undang-undang tentang Praktik Kedokteran, KUHP,
dan Yurisprudensi. Sedangkan data skunder ialah bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengeanai bahan hukum primer yaitu buku-buku hukum, majalah, koran,
maupun internet (website) yang ada korelasinya dengan materi yang menjadi pokok
masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Sedangkan teknik analisis data adalah analisis isi secara kualitatif (Qualitative
Content Analysis), juga diterapkan metode perbandingan hukum. Kemudian menganalisis
ketentuan pidana dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, KUHP dan
diperbandingkan antara pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia.
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 2007” dengan beberapa pengecualian, yaitu terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits ditulis tanpa memandang sedikit baris dan banyaknya baris, penulisan ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadits tidak dicantumkan catatan kaki karena ditulis dari ayat pada akhir
ayat tersebut.
F. Sistematika Penelitian
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang perinciannya sebagai berikut:
Bab Pertama, yaitu Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, serta metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, yaitu Tinjauan umum hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam
tentang tindak pidana, meliputi Pengertiaan tindak pidana, klasifikasi, dan sanksi pidana
dalam hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam.
Bab Ketiga, yaitu Profesi kedokteran dalam pandangan hukum Indonesia dan hukum
Islam, yaitu meliputi Pengertian, sejarah dan macam-macam profesi kedokteran. Hak dan
kewajiban profesi kedokteran dalam hukum Indonesia dan hukum Islam, dan Tanggung
jawab profesi kedokteran.
Bab Keempat, yaitu Tinjauan hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam
mengenai tindak pidana profesi kedokteran, analisis tentang perbandingan (komparasi)
hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam tentang tindak pidana profesi
kedokteran, dan contoh kasus seputar tindak pidana profesi kedokteran.
Bab Kelima, Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Di
akhir penulisan ini dilampirkan daftar pustaka yang menjadi acuan dalam menyusun
skripsi.
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA
ISLAM TENTANG TINDAK PIDANA
A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia.
1. Pengertian Tindak Pidana.
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “strafbaar feit11 Secara etimologis (bahasa) pengertian tindak pidana
adalah suatu tindakan kejahatan, jika dilihat dari segi hukum mengenai perbuatan-
perbuatan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap penguasa.12 Perkataan “feit” itu sendiri
dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau (Een Gedelte Van De
Werkelijkheid), sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan
sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sudah barang tentu tidak
tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya
adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau pun tindakan.13
Sedangkan menurut pengetian terminologis (istilah), kata tindak pidana memiliki
banyak pengertian sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum sebagai
berikut :
11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori
Pemidanaan dan Batas-batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke I, h. 67
12 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1999), h. 750 13 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
1997), cet ke III, h. 181
a. Menurut Prof. Moeljatno, SH, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
perbuatan (tindak) pidana atau delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar
laranga-larangan tersebut).14
b. Profesor Simons, merumuskan bahwa “Een strafbaar feit” adalah handeling
(tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.15 Kemudian beliau membaginya
dalam dua golongan unsur yaitu unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang
dilarang atau diharuskan, akibat keadaan atau masalah tertentu, dan unsur
subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab
(teorekenings vatbar) dari petindak.
c. Sedangkan menurut R. Tresna, merumuskan atau memberikan definisi perihal
peristiwa (tindak) pidana menyatakan bahwa, “Peristiwa (tindak) pidana itu
adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap
perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.16
Dari pengertian di atas selanjutnya Tresna menyatakan bahwa dalam peristiwa
(tindak) pidana itu mempunyai beberapa syarat, yaitu:
a. Harus ada suatu perbuatan manusia
14 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2002), cet ke VII, h. 2 15 E.Y. Kanter, dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,
(Jakarta, Storia Grafika, 2002), cet ke III, 2002 16 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h. 72
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum
c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus
dapat dipertanggungjawabkan
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum
e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-
undang.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.
Di dalam perbuatan yang dapat dipidana dikenal adanya dua unsur yang melekat,
yaitu Criminal Act (unsur yang melekat pada perbuatannya) dan Criminal Responsibility
atau Criminal Liability (unsur yang melekat pada orang yang melakukan tindak pidana)
yang dalam istilah hukum disebut sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana.17
Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan setidak-
tidaknya dari dua sudut pandang, yakni18:
a. Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis
b. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang
1). Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis
Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis adalah unsur-unsur apa yang ada
dalam tindak pidana melihat bagaimana bunyi rumusan-rumusan berdasarkan para ahli
hukum. Beberapa contoh menurut pendapat atau teori para ahli hukum ialah:
Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah:
17 Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku
ke II, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006), Cet I, h. 26 18 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h. 78
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Menurut Jonkers, unsur-unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
d. Dipertanggungjawabkan.
2). Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang
Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang adalah unsur-unsur lain baik
sekitar atau mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan
tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Dari rumusan-rumusan tindak
pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak
pidana, yaitu:
a. Unsur tingkah laku
b. Unsur melawan hukum
c. Unsur kesalahan
d. Unsur akibat konstitutif
e. Unsur akibat keadaan yang menyertainya
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.
Menurut Lamintang bahwa setiap tindak pidana yang terdapat dalam kitab undang-
undang hukum pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan dan dibagi menjadi dua
macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.19
Unsur-unsur subjektif, adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung dalam hatinya.
Sedangkan unsur-unsur objektif, itu ialah unsur-unsur yang berhubungan dengan
keadaan-keadaan, yaitu di mana keadaan tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan.
3. Klasifikasi Tindak Pidana.
Perbuatan (tindak) pidana berdasarkan sifatnya secara kualitatif, Moeljatno
menyebutkan di dalam KUHP dikenal adanya dua jenis perbuatan pidana, yang terdiri
dari:
a. Kejahatan (misdrijven), misalnya pencurian (pasal 362 KUHP), penggelapan
(pasal 378 KUHP), penganiayaan (pasal 351 KUHP), pembunuhan (pasal 338
KUHP), dan sebagainya.
b. Pelanggaran (overtredingen), misalnya: kenakalan (pasal 486 KUHP), mengemis
di tempat umum (pasal 504 KUHP), mengadakan pesta atau keramaian umum
tanpa izin pejabat yang berwenang (pasal 510 KUHP), dan sebagainya.20
Menurut M.v.T, menjelaskan pembagian atas kedua bagian di atas didasarkan pada
perbedaan prinsipil. Dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten” yaitu perbuatan-
19 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, h. 193 20 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 2
perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan
pidana, telah dirasakan sebagai onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata
hukum.21
Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat
melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.
Perbuatan-perbuatan pidana ini oleh Moeljatno dikatakan sebagai perbuatan yang
menurut wujud dan atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang
dikehendaki oleh hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan
masyarakat.
Selain membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, menurut Moeljatno biasanya
dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam22 :
1. Delik dolus dan Delik culpa (tindak pidana sengaja dan kealpaan)
Delik dolus merupakan delik (perbuatan pidana) yaitu dilakukan dengan sengaja,
sebagai contoh pasal 338 KUHP yang merumuskan:
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, …”.23
Sedangkan delik culpa merupakan perbuatan pidana yang tidak disengaja atau
merupakan kealpaan dan kelalaian, sebagaimana disebutkan dalam pasal 359 KUHP:
“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati…”.
2. Delik commissionis dan Delikta commissionis
21 Ibid., h. 71 22 Ibid, h. 75 23 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta, PT Renika Cipta, 2005), cet ke 12, h. 134
Delik commissionis merupakan perbuatan pidana yang terjadi karena seseorang
berbuat sesuatu (melakukan sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana,
misalnya mencuri (pasal 362 KUHP), menggelapkan (pasal 372 KUHP), atau menipu
(pasal 378 KUHP), dan sebagainya. Yang termasuk di dalam delik commissionis bagi
praktik kedokteran misalnnya: melakukan praktik kedokteran tanpa mimiliki SIP (pasal
76 Undang-undang Praktik Kedokteran), melakukan praktik kedokteran tanpa membuat
rekam medis (pasal 79 huruf b Undang-undang Praktik Kedokteran).24
Sedang delikta commissionis adalah perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak
pidana karena seseorang tidak berbuat atau melakukan sesuatau yang seharusnya ia
lakukan. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, memberikan istilah lain dari delikta ommissionis
yaitu delik omisi atau tindakan pasif (passive handeling) yang diharuskan, yang jika tidak
melakukannya diancam dengan pidana.25 Misalnya, (pasal 224 KUHP) keharusan
menjadi saksi, (pasal 164 KUHP) mewajibkan untuk melaporkan kepada pejabat yang
berwenang atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan, tatkala ia mengetahui
adanya permufakatan jahat, maka orang yang tidak melaporkan permufakatan kejahatan
yang oleh undang-undang diwajibkan lapor tersebut dianggap telah melakukan delikta
commissionois. Dokter atau dokter gigi dapat juga terkena bentuk delikta commissionis
ini berdasarkan (pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran), misalnya tidak memberikan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusian, padahal ia mengetahui tidak ada orang
24 Anny Isfandyari dan Fachrizal Afandi, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke
II, h. 33 25 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, h.
237
lain yang bertugas dan mampu melakukannya sebagiamana dimaksud dalam (pasal 51
huruf a, b, c, d, dan e UU Praktik Kedokteran)26.
3. Delik biasa dan Delik yang dikualifisir (dikhususkan)
Pengertian delik biasa adalah perbuatan pidana yang sederhana, misalnya pencurian
biasa (pasal 362 KUHP), pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (pasal 338 KUHP).
Sedangkan delik yang dikualifisir adalah delik biasa yang ditambah dengan unsur-unsur
lain yang memperberat ancaman pidananya yang oleh Moeljatno tambahan unsur-unsur
tersebutkan antara lain:
a. Unsur yang khas dalam melakukan delik biasa, misalnya pencurian dengan jalan
membongkar rumah atau dilakukan dengan beberapa orang (pasal 363 KUHP)
b. Bersamaan dengan peristiwa lain, misalnya pencurian pada waktu terjadi
kecelakaan, atau kebakaran.
c. Dilakukan pada waktu tertentu, misalnya pencurian di malam hari.
4. Delik menerus dan Tidak menerus
Dalam delik menerus, ialah perbuatan yang dilarang minimbulkan keadaan yang
berlangsung terus, misalnya (Pasal 221 KUHP) tentang orang yang sengaja
menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatan. Walaupun orang yang
menyembunyikan sudah ditangkap, tetapi perbuatan yang dilarang masih dapat
berlangsung terus, selama waktu persembunyiannya tersebut.
26 Undang-undang No. 29 tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, (Surabaya, Kesindo Utama,
2007), h. 32 .
Delik tidak menerus artinya perbuatan yang dilarang telah selesai atau habis pada saat
pelaku sudah tidak melakukan perbuatan lagi, misalnya pencurian. Pencurian akan
berhenti bila si pencuri sudah ditangkap dan tidak melakukan perbuatan lagi.
Agak sedikit berbeda dengan Moeljatno, Rubai membedakan dan memberikan
tambahan lain mengenai jenis-jenis tindak pidana adalah sebagi berikut27:
1. Tndak pidana formil dan Tindak pidana materil
Tindak pidan formil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih dititik beratkan
kepada larangan terhadap perbuatannya. Contohnya (pasal 263 KUHP) tentang perbuatan
memalsukan surat, (pasal 267 KUHP) tentang dokter yang dengan sengaja memberikan
surat keterangan palsu.
Sedangkan tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih
dititik beratkan kepada akibat yang dilarang. Misalnya (pasal 359 KUHP) yang menitik
beratkan kepada terjadinya kematian sebagai akibat kekhilafan atau kelalaian dan
kealpaan yang pasal ini sering dikaitkan keapada tuntutan malpraktik terhadap dokter
atau dokter gigi.
2. Tindak pidana aduan dan Tindak pidana bukan aduan
Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang tidak dapat dituntut apabila tidak ada
pengaduan dari korban, atau dengan perkataan lain, dasar penuntutan dari tindak pidana
adalah pengaduan korban. Tindak pidana aduan terbagi menjadi dua yaitu:
27 Anny Isfandyari dan Fachrizal Afandi, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke
II, h. 37
Tindak pidana aduan bersifat absolut, adalah pengaduan korban merupakan syarat
mutlak yang harus dipenuhi agar tindak pidana ini dapat dilakukan penuntutan, misalnya
perzinahan (pasal 284 KUHP).
Tindak pidana aduan yang bersifat relatif, yang artinya tindak pidana yang
sebenarnya termasuk di dalam tindak pidana bukan aduan, karena adanya hubungan
khusus antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian di kalangan keluarga (pasal 367
KUHP).
Sedangkan tindak pidana bukan aduan adalah semua tindak pidana yang
penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan dari korban yang dirugikan seperti dalam
tindak pidana pembunuhan.
B. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam.
1. Pengertian Tindak Pidana (Jarimah).
Asal kata )جريمة( jarimah berakar dari kata )جرم( yang maknanya ialah )آسب وقطع(
mendapatkan atau mengerjakan dan memutuskan sesuatu. Menurut Imam Muhammad
Abu Zahra, kata jarimah dahulu dikhususkan untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang dibenci (keji) selain perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu kata (جرم ,
jarama) mempunyai makna pekerjaan yang memikul dosa.28 Sebagaimana dalam Firman
Allah:
د أو قوم صالح وما قوم لوط ويا قوم ال يجرمنكم شقاقي أن يصيبكم مثل ما أصاب قوم نوح أو قوم هو﴾٨٩: ببعد ﴿الهودمنكم
Artinya: “Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku dengan kamu
menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang
28 Imam Abu Zahra, Al-Jarimah Wal ‘Uqubah Fil Fiqh Islamiy, (Kairo, Daar Al-Fikr Al-‘Araby,
1997), h. 19
menimpa kaum Nuh atau kaum Huud atau kaum Shaleh, sedang kamu Luth tidak pula jauh tempatnya dari kamu”. (Q.S: Al-Huud: 89).
Kata jarimah )جريمة( dapat juga diartikan sebagai larangan-larangan syara’ yang
diancamkan oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.29
Sedangkan menurut Imam Al-Mawardi memberikan definisi tentang jarimah ialah
sebagai berikut.
30جرائم محظورات زجر اهللا تعالى عنها بحد أو تعزير الArtinya: Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Para fuqaha sering memakai kata-kata jinayah جناية ( , jinayah) untuk jarimah. Semula
jinayah pada awalnya bermakna hasil perbuatan seseorang, yakni perbuatan-perbuatan
yang dilarang.
Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir ‘Audah
pengertian jinayah sebagai berikut :
31 كال ذري غو أال مو أسفى نل علعلف اعق واءوس, اعر شمرح ملعف لمس إةاينجا لف Artinya: Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’
baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.
Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang
atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata-kata syara’ pada
pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap
,lihat Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam ,محظورات شرعية زجراهللا عنها بحد أو تعزير 29
(Jakarta, Bulan Bintang, 2005), cet VI, h. 3 30 Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Mesir, Musthafa Al-Baby Al-Halaby,
1975), cet ke III, h. 219 31 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut, Muassasah Risalah, 1992 M/
1412 H), cet ke II, h. 67
jarimah apabila dilarang oleh syara’, juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap
sebagai jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman kepadanya.
Sebagaimana disebutkan di atas, pengertian jarimah ialah larangan-larangan syara’
yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut adakalanya
berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh. Juga bahwa dengan
penyebutan kata-kata syara’ dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari
ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap
sebagai jarimah apabila diancamkan hukuman terhadapnya.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.
Setiap perintah dan larangan yang datang dari syara’ itu hanya ditunjukan kepada
orang yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan تكليف( , taklif), sebab
pembebanan itu merupakan panggilan خطاب( , khitab), dan orang yang tidak dapat
memahami seperti hewan dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi objek panggilan
tersebut.
Dari pembicaraan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus
mempunnyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi, yaitu32:
a) Secara yuridis normatif, di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang
menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman.33
Nash yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman tersebut dapat
disebut juga dengan “unsur formal” ( رعى شرآن , rukun syari’).
32 Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 6 33 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2007), cet ke I, h. 22
b) Secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu sikap yang dapat dinilai
sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atau
adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan
nyata atau pun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut “unsur materil”
)مادى .(rukun maddi ,رآن
c) Pembuat adalah orang mukalaf, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima
sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan,
dan unsur ini bias disebut “unsur moral” رآن أدبي( , rukun adabi).
Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada sesuatu perbuatan untuk digolongkan
kepada suatu “jarimah”. Di samping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat
unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman, seperti unsur “pengambilan dengan
diam-diam” bagi jarimah pencurian. Perbedaan antara unsur-unsur umum dengan unsur-
unsur khusus ialah kalau untuk unsur-unsur umum satu macamnya pada semua jarimah,
maka unsur-unsur khusus dapat berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut
perbedaan jarimah.
3. Klasifikasi Tindak Pidana.
Dalam hukum pidana Islam tindak pidana (jarimah) dapat berbeda penggolongannya,
sesuai dengan sudut tinjauannya34:
a. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dibadi menjadi tiga yaitu:
jarimah hudud جريمة حدود( ), jarimah qishas diyat دية أوجريمة قصاص ( ), dan jarimah
ta’zir جريمة تعزير( ).
34 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 7
b. Dilihat dari segi niat si pembuat, jarimah dibagi dua yaitu: jarimah sengaja dan
jarimah tidak sengaja.
c. Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif dan
jarimah negatif.
d. Dilihat dari segi orang yang menjadi korban (yang terkena) akibat perbuatan,
jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.
e. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa
dan jarimah politik.
Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Audah, tindak pidana dapat diklasifikasikan dalam
beberapa macam kriteria tertentu:
Tindak pidana (jarimah) jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman terbagi
menjadi35:
1. Kejahatan hudud, )جرائم الحدود(
Kejahatan hudud meliputi tujuh macam jarimah, ialah jarimah perzinahan,
menuduh zina (Qadzaf), menkonsumsi khamar, pencurian, perampokan, murtad,
dan pemberontakan.
2. Kejahatan qishas dan diyat )جرائم القصاص والدية(
Kejahatan qishas diyat meliputi lima macam jarimah, ialah pembunuhan sengaja,
pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan serupa
sengaja, pelukaan karena kesalahan.
3. Kejahatan Ta’zir, )زيرجرائم التع(
35 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 79
Sedangkan dalam kejahatan ta’zir ialah tindak pidana yang tidak tergolong ke dalam
dua jenis kejahatan di atas. Jarimah ta’zir terbagi menjadi tiga bagian36:
a) Jarimah hudud atau qishas diyat yang terdapat unsur syubhat atau tidak memenuhi
syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pembunuhan,
percobaan pencurian di kalangan keluarga.
b) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadits, namun tidak
ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, dan menghina agama.
c) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Ulil Amri untuk kemaslahatan umum,
dalam hal ini ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan
umum.
Dilihat dari sisi maksud atau tujuan pelaku tindak pidana (jarimah) dibagi ke dalam:
1. Tindak pidana sengaja/ delik dolus, )جرائم عمدية(
Ialah tindakan atau perbuatan seseorang dengan sengaja untuk melakukan
perbuatan yang dilarang, seperti pembunuhan yang direncanakan sebelumnya.
2. Tindak pidana tidak sengaja atau karena kesalahan (delik culpa), )جرائم غيرعمدية(
Jika si pelaku dengan sengaja atau tidak sengaja berbuat sesuatau dengan tidak
menghendaki akibat-akibat perbuatannya atau karena kurang hati-hati, contohnya
penganiayaan yang membawa kematian.
Ditinjau dari sisi mengerjakannya, suatu tindak pidana (jarimah) tergolong ke dalam:
1. Kejahatan positif atau Delict commissionis, )جريمة اإليجابية(
Yaitu kejahatan dengan melanggar larangan yang berupa perbuatan aktif,
contohnya seperti mencuri, merampok, membunuh, dan lainnya.
36 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta,
Rajawali Pers, 2000), h. 13
2. Kejahatan negative atau Delict ommissionis, )جريمة السلبية(
Adalah kejahatan yang melanggar perintah, seperti tidak melaksanakan amanah,
tidak membayar zakat bagi orang-orang yang telah wajib membayarnya dan
lainnya.
3. Omisi tidak murni, )جريمة اإليجابية تقع بطريقا(
Contoh dari kejahatan omisi tidak murni ialah seperti seorang ibu yang tidak
memberikan air susu pada anaknya dengan maksud untuk membunuhnya.
Dan tindak pidana (jarimah) jika dilihat dari aspek kerugian (korban) akibat jarimah
tersebut, terbagi menjadi:
1. Jarimah masyarakat, )جريمة ضد الجمعة (
Adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan untuk menjaga kepentingan
masyarakat dan keamanannya, menurut para fuqaha penjatuhan hukuman atas
perbuatan tersebut menjadi hak Allah.
2. Jarimah perseorangan, )جريمة ضد األفراد(
Suatu jarimah yang mana penjatuhan hukumannya untuk melindungi kepentingan
individu, contohnya pada jarimah diyat seperti hutang dan gadai. Pemaafan dari
korban dapat memringankan hukuman bahkan menghapus hukuman-hukuman
pokok akan tetapi tidak berarti ia bebas dan tetap dikenakan ta’zir37.
Akan tetapi Ibn Rusyd memberikan penjelasan lain mengenai pembagian tindak
pidana (jarimah). Menurutnya ada lima kejahatan yang dikenai hukuman tertentu dari
syara’, yaitu38:
37 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 9
a) Kejahatan atas badan, jiwa, adan anggota-anggota badan, yaitu yang disebut
pembunuhan (al-qatl) dan pelukaan (al-jarh).
b) Kejahatan kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran (sifah).
c) Kejahatan atas harta, seperti perampokan (hirabah), pencurian (sariqah),
perampasan (ghashb), dan lainya.
d) Kejahatan atas kehormatan, seperti contohnya tuduhan melakukan zina (qadzaf).
e) Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan dan minuman yang
diharamkan oleh syara’. Hanya saja dalam syariat Islam yang dikenal dari
kejahatan tersebut hanya minuman keras saja, yang hukumannya telah disepakati
sepeninggalnya pembawa syari’at, Muhammad Saw.
38 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut, Dar Al-Jiil 1989), cet ke I, h. 503
BAB III
PROFESI KEDOKTERAN DALAM PANDANGAN HUKUM INDONESIA DAN
HUKUM ISLAM
A. Pengertian, Sejarah dan Jenis Profesi Kedokteran.
1. Pengertian Profesi Kedokteran.
Di dalam peraturan perundang-undangan tentang kesehatan di Indonesia tidak
terdapat dengan jelas perumusan mengenai profesi dokter. Secara bahasa (etimologis)
pengertian dokter dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “Lulusan
pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya”39 Akan tetapi
jika dilihat dari kedudukan dokter sebagai tenaga kesehatan yang merupakan salah satu
sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan untuk mendukung terselenggaranya upaya
kesehatan, maka di dalam Bab I (Ketentuan Umum) pasal 1 butir 11 Undang-undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), memberikan
rumusan tentang profesi kedokteran, yaitu:
“Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat”.40
Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan
39 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka,
2005), cet ke III, h 272 40 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, (Surabaya, Kesindo
Utama, 2007), h 3
melalui pendidikan di bidang kedokteran yang memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
Dari rumusan yang tercantum di dalam Undang-undang Praktik Kedokteran tersebut,
jelaslah bahwa dokter merupakan pengemban profesi kedokteran yang tentunya juga
memiliki ciri-ciri profesi sebagaimana pengemban profesi pada umumnya.
Menurut Komalawati memberikan kesimpulan bahwa hakikat profesi adalah
panggilan hidup untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan yang didasarkan pada
pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan niat dan tanggung jawab
penuh. Beberapa ciri profesi antara lain:41
a) Merupakan suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli yang
terampil dalam menerapkan pengetahuan secara sistematis;
b) Mempunyai kompetensi secara eksklusif terhadap pengetahuan dan keterampilan
tertentu;
c) Didasarkan pada pendidikan yang intensif dan disiplin tertentu;
d) Mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan, serta mempertahankan kehormatan;
e) Mempunyai etika tersendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaan;
f) Cenderung mengabaikan pengendalian dari masyarakat dan individu; dan
g) Pelaksanaannya dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu,
organisasi profesional lainnya, terutama dari segi pengakuan terhadap
kemandiriannya.
41 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, (Jakarta, Prestasi
Pustaka, 2006), cet pertama, h 23
Pendapat lain mengenai ciri-ciri profesi yang dikemukakn oleh Sidharta, ialah dimana
dikatakan ada beberapa ciri khusus profesi yaitu42:
a) Tidak mengacu pada pamrih;
b) Rasionalitas, yaitu melakukan usaha mencari yang terbaik dengan bertumpu pada
pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah;
c) Spesivitas fungsional, maksudnya bahwa di dalamnya para profesional itu
menjalankan atau memiliki kewibawaan atau otoritas dan otoritas profesional ini
memiliki sosiologikal yang khas;
d) Universalitas, yaitu dalam pengambilan keputusan didasarkan pada “apa yang
menjadi masalahnya, dan tidak ada siapanya, atau pada keuntungan pribadi yang
diperolehnya”.
Melihat kedua pendapat mengenai ciri-ciri profesi yang dikemukakan di atas, pada
prinsipnya bahwa profesi menunjukan pada sifat-sifat tidak adanya pamrih untuk
kepentingan pribadi, rasional, berdasarkan kepada suatu keahlian tertentu yang diperoleh
melalui pendidikan yang lama, sehingga setiap profesi memiliki hak monopoli atas
keahliannya, dan selalu dapat mengatur serta mengontrol diri sendiri melalui nilai etik
dan moral.
Dalam berbagai literatur Islam tentang pengertian dari perofesi kedokteran, dijelaskan
bahwa kata dokter )الطبيب( , berasal dari akar kata )ا وطبيب- طبا- يطب-طب( merupakan bentuk
transitif yang maknanya mengobati. Yang bentuk jamaknya adalah )أطبة و أطباء( , dan
bentuk muannasnya adalah )طبيبة( . Kemudian asal kata )الطبيب( oleh Ibn al-Manzur
diartikan sebagai :
42 Hedrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik, (Surabaya,
Srikandi, 2006), cet pertama, h 18
43.ي الطبيب الذى يعالج المرضىوبه سم, العارف بها, ألحادق باألمورالطبيب فى األصل هو Artinya: “Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap atau ahli dalam segala
permasalahan, dan mengethaui tentang segala sesuatu, dan dikatakan dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang saki.”
Menurut Luwis Ma’luf, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dokter )الطبيب(
adalah:
44. بعمله ماهر حادق صاحب علم الطبيب أو آل Artinya: “Dokter adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam bidang
pengobatan (medis), dapat juga diartikan sebagai orang yang mahir dan cakap dalam pekerjaannya.”
Yusuf Syaikh Muhammad Al-Baqaiy, memberikan depinisi dari dokter )الطبيب( adalah
sebagai berikut45 :
. ألماهر الحادق بعملهألطبيب هو Artinya: “Dokter adalah orang yang mahir (ahli) dan cakap dalam pekerjaannya.”
2. Praktik Kedokteran Dalam Lintas Sejarah.
Metode penyembuhan dalam praktik kedokteran telah dikenal jauh pada zaman
sebelum masehi, yaitu sejak abad ke-40 SM dalam masyarakat Yunani kuno.
Hippocrates atau Hipokratus (460-377 SM), yang dalam lafal Arab dikenal dengan nama
Hibukuratun atau Hifukuratun, adalah dokter yang pertama kali meletakan dasar-dasar
etika kedokteran yang merupakan landasan bagi perumusan etika kedokteran di masa
43 Ibn al-Manzur, Lisanul ‘Arabi, (Kairo, Dar al-Hadits, 1423 H- 2003 M), juz IV, h 556
44 Luwais Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-‘A’lam, (Beirut, Dar el-Masyriq, 1975), h 459 45 Yusuf Syaikh Muhammad al-Baqaiy, Al-Qamush Al-Muhith, (Beirut, Dar al-Fikr, 1415 H-
1995 M), h 101
modern.46 Di antara bahan tulisannya adalah Afurimah (Aphorisma), berisi tentang
metode kedokteran dan berbagai arakan peramuan herbal dan mineral.
Hippocrates meletakan landasan tersebut dalam bentuk sumpah, isi sumpahnya antara
lain:
1) Mengajarkan ilmu kedokteran hanya kepada yang berhak dan mempraktekannya
untuk memberi manfaat bagi kemanusiaan;
2) Tidak melakukan sesuatu yang membahayakan pasien;
3) Tidak melakukan kejahatan seperti mengugurkan kandungan;
4) Tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan yang mungkin
timbul dalam praktik kedokteran;
5) Memelihara kesucian diri lahir dan batin dan memelihara rahasia jabatan.
Dari isi sumpahnya Hippocrates ini, terdapat tiga hal yang pokok yang terkandung
dalam etika kedokteran, yaitu: keharusan menjaga kehormatan diri dan profesi, berusaha
semaksimal mungkin untuk menolong orang lain dan tidak memperlakukan orang lain
sebagaimana ia tidak ingin diperlakukan.
Untuk lingkungan masyarakat Indonesia, yang keanggotaannya dalam Word Medical
Assosiation (WMA = Ikatan Dokter se-Dunia) diwakili oleh Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) pada tahun 1953, rumusan etika kedokteran dihasilkan oleh Musyawarah Nasional
Etika Kedokteran ke-2 pada Desember 1989.47 Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) ini terdiri dari 4 Bab dan 18 Pasal. Dari seluruh pasal dalam KODEKI
46 Abdul Azis Dahlan (edt), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
cet ke I, h 880 47 Ibid., h. 881
terdapat empat prinsip etik yang harus diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh setiap
deokter.
Pertama, setiap dokter harus menjalankan profesinya dengan niat yang benar sesuai
dengan hakikat profesi dokter sebagai pengabdi kemanusiaan. Di samping itu, setiap
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi (pasal 3), harus
konsisten pada kewajibannya melindungi hidup makhluk insani (pasal 10), dan
memberikan kesempatan pada pasiennya untuk berhubungan dengan keluarganya dan
beribadah sesuai dengan agamanya (pasal 12).
Kedua, profesi kedokteran harus dilaksanakan dengan cara yang benar. KODEKI
mengatur bahwa dokter harus melakukan profesinya secara maksimal (pasal 2), memberi
obat atau nasihat yang mungkin dapat melemahkan daya tahan pasien hanya untuk
kepentingan pasien sendiri (pasal 5), mengutamakan kepentingan masyarakat dan
menjadi pengabdi kemanusian serta memelihara saling pengertian dan kerja sama dengan
pihak-pihak yang terkait dengan profesinya (pasal 8 dan 9), dan secara ikhlas
mempergunakan ilmu dan keahliaannya untuk kepentingan penderita. Kalau ia tidak
mampu menangani suatu penyakit pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter lain
yang lebih ahli dalam pengobatan tersebu (pasal 11).
Ketiga, dokter harus selalu menjaga citra profesinya. Dalam hal ini seorang dokter
dilarang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan etika seperti memuji diri
sendiri, menyelewengkan profesi kedokteran, baik secara pribadi maupun bersama-sama,
untuk kepentingan sendiri, tidak menerima imbalan jasa yang tidak layak (pasal 4).
Seorang dokter juga harus memberi keterangan yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya (pasal 7), merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang penderita (pasal
13), dan memberi pertolongan darurat (pasal 14).
Prinsip etik keempat, adalah hal yang berhubungan dengan pelestarian profesi
kedokteran. Dalam hal ini setiap dokter harus berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan penemuannya yang belum teruji kebenarannya (pasal 6), memperlakukan
teman sejawat seperti ia sendiri ingin diperlakukan, tidak mengambil alih penderita dari
temannya, memelihara kesehatannya dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khusus tentang masalah kedokteran yang digelutinya (pasal 15-18).
Dalam sejarah keilmuan Islam, terdapat banyak para Ulama atau tokoh Cendekiawan-
cendikiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran diantaranya adalah:
Abu Ali Al-Hussain bin Abdullah bin Sina, atau lebih dikenal denan sebutan Ibn
Sina. Lahir di Afshana dekat kota Bukhara, Uzbeskistan pada tahun 981 M. di usia ke 10
Ibn Sina sudah menguasai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya.48
Kontribusi terbesar Ibn Sina dalam bidang kedokteran terutama dilihat dari bukunya
yang terkenal adalah “Al-Qanun Fi Ath-Thibb”, kitab itu dibarat lebih dikenal sebagai
“The Canon of Medicine”. Tidak ada satu rujukan pun dalam ilmu kedokteran yang
tidak mengambil rujukan Ibn Sina. Di masa mudanya dia telah memperlihatkan bakat
yang luar biasa dalam bidang kedokteran, dan ketika itu dia cukup kondang di
kampungnya sebagai tabib muda.
Ibn Zuhr (1091-1162) atau Abumeron, dikenal pula dengan nama Avenzoar yang lahir
di Seville, adalah seorang ahli fisika dan kedokteran. Beliau menulis buku “The Method
of Preparing Medicines and Diet” yang diterjemahkan kedalam bahasa Yahudi (1280)
48 Heri Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam, (Jakarta, PT Mizan Publika, 2003), cet I, h 13
dan bahasa Latin (1490) yang merupakan sebuah karya yang mampu mempengaruhi
Eropa dalam bidang kedokteran setelah karya-karya Ibn Sina “Qanun Fit Thibb atau
Canon of Medicine” yang terdiri dari delapan belas jilid.49
Ibn Rusyd (1126-1198), lahir di Cordova lidah barat menyebutnya Averroes. Ibn
Rusyd adalah seorang ahli hukum, ilmu hisab (arithmetic), kedokteran, dan ahli filsafat
terbesar, dalam sejarah Islam dimana ia sempat berguru kepada Ibn Zuhr, Ibn Thufail,
Abu Ja’far Harun dari Trixillo. Karena kepiawaiannya dalam bidang kedokteran Ibn
Rusyd diangkat menjadi dokter istana pada tahun 1182.50
Itulah keunikan para ulama atau Cendikiawan-cendikiawan tempo dulu yang bukan
saja mengusai satu satu bidang ilmu pengetahua namun mereka menguasai berbagai ilmu
pengetahuan yang disegani dan tanpa pamrih, hingga nama mereka dikenang oleh setiap
insan.
Namun ditinjau dari segi historisnya bahwa praktik kedokteran sudah dikenal
manusia di berbagai belahan dunia yang terbagi kedalam dua fase perkembangannya,
yaitu fase perkembang praktik kedokteran pada masa sebulum nabi Muhammad Saw dan
fase pada masa Islam.
Yang pertama, fase perkembangan praktik kedokteran pada masa sebelum nabi
Muhammad Saw. Istilah praktik kedokteran sudah berkembang di beberapa Negara dan
dinasti, diantaranya yang terjadi di negeri Sumeria dan Akadia, bangsa babilonia, di
negeri Mesir, Hindustan, kerajaan Romawi dan Yunani, dan negeri China, ialah sebagai
berikut :
49 Diakses pada 4 Oktober 2007 dari http:// Media. Isnet. Org/ Islam/ Etc/ Andalusia. 50 Ibid.,
Negeri Sumeria termasuk wilayah tanah Irak, yaitu negeri yang diairi sungai Furat
(Eufrat) dan sungai Dajlah (Tigris). Menurut data-data yang terungkap, sekitar 4000
tahun sebelum masehi, tabib-tabib bangsa Sumeria telah mengenal cara mengobati patah
tulang dengan cara lasah yang diberi balutan berbidai, selain itu mereka juga telah
mengenal cara mengobati gigitan serigala gila dengan di-Kayy (bakar) searah dengan
gigitannya, lalu si penderita diberi minum ramuan sambil dikubur sampai pinggang
dalam lubang berlumpur selama sehari semalam.51 Di negeri Sumeria terdapat dua cara
pengobatan. Pertama, pengobatan alami menurut cara pengobatan dukun. Biasannya si
penderita diberi berbagai macam ramuan, dipijit, lalu dijampi dengan meminta bantuan
jin. Kedua, pengobatan yang boleh disebut alamiah pada saat itu, yaitu pengobatan yang
dilakukan oleh tabib-tabib kota menggunakan ramuan-ramuan herba, madu, ramuan
serbuk tanduk, al-kayy (bakar), dan lain-lainnya.
Sedangkan di negeri Akadia, yaitu yang terletak di wilayah utara Irak bagian tengah,
tepatnya di tempat pertemuan sungai Dajlah dan Furat, sekitar 2300 tahun sebelum
masehi, diceritakan ada seorang yang bernama Sargon. Ia adalah bekas khadam (pelayan)
raja Zababa dari negeri Ur, pusat kebudayaan Arab purba, kemudian hari Sargon menjadi
raja Akadia dan Sumeria yang memilih kota Aqad menjadi ibu kota negeri itu.
Pada masa Sargon itulah terjadi kebangkitan ilmu kedokteran Samiah. Bahkan di kota
Aqad telah berdiri semacam lembaga pengkajian kedokteran yang berkembang sampai
awal pemerintahan raja Namruz dari Babilonia. Kemudian raja Namruz memindahkan
lembaga itu ke Namiruz, kota yang didirikannya. Tersebut di dalam cerita rakyat Akadia
51 Ja’far Khadem Yamani, Mukhtasar Tarikh Tharikat Ath-Thibb (Ilmu Kedokteran Islam, Sejarah
dan Perkembangannya). Penerjemah A.D. el-Marzdedeq, Dlm, Av, (Bandung, PT Syaamil Cipta Media, 2005), cer pertama, h 9
bahwa Anhiduana, putri raja Sargon selain menjadi pendeta juga merangkap sebagai
pengakaji berbagi jenis pengobatan.
Bangsa Babiluniyah (Babilon) serumpun dengan bangsa Akadia, keduannya termasuk
bangsa Arab purba yang telah berkebudayaan tinggi. Pada masa pemerintahan Hamurrabi
telah ditemukan undang-undang kenegaraan yang boleh dikatakan cukup lengkap.
Undang-undang itu dipahatkan pada altar batu, berisikan 300 pasal dan 4000 baris.52 Di
dalam batu surat (prasasti) Hamurrabi itu terdapat pasal yang berhubungan dengan bab
kesehatan penduduk.
Bidang kedokteran yang terkenal pada masa itu antara lain ilmu lasah (fisioterapi),
ilmu bedah dan beberapa cabangnnya, ilmu terapi air (hidroterapi), dan beberapa
cabangnya, al-kayy (bakar), ilmu ashaf, ilmu peramuan obat (farmakologi), bahkan
konon telah ada obat-obatan Babilonia yang telah berbentuk pil.
Pada masa itu orang-orang Babilonia telah mengenal perbedaan antara tabib dengan
dukun (kahin). Ada dua hal yang membedakan keduanya. Pertama, tabib adalah seorang
ahli pengobatan yang jauh dari ketahayulan sedangkan kahin menganggap bahwa
penyakit itu ditimbulkan oleh ganguan atau rasukan makhluk halus jahat, karena hari sial,
karena salah memberi nama, dan semacam Takahyul atau Khurafat lainnya. Kedua, tabib
mengobati dengan menggunakan alat-alat kedokteran semacam pisau bedah, alat
pecucuk, alat-alat al-Kayy (bakar) dan lainnya, sedangkan Kahin melakukan pengobatan
dengan jampi-jampi, azimat-azimat penangkal, dan sesuatu yang tidak masuk akal.
Sedangkan Mesir pada masa kekuasaan Fir’aun telah memiliki kebudayaan yang
tinggi. Bidang ilmu kedokteran telah mengungguli ilmu kedokteran di negeri lain. Pada
52 Ibid., h 11
masa kekuasaan Fir’aun Ramses II, lebih kurang 1200 tahun sebelum masehi, di ibu kota
negaranya di Ramses lalu di kota Thebe dan Memphis telah ditemukan lembaga-lembaga
pusat pengkajian ilmu kedokteran.
Di Mesir telah ditemukan dua macam pengobatan; Pertama, pengobatan kekahinan,
yaitu dengan mengalap (meminta) bantuan jin berupa sihir-sihir. Kedua, pengobatan
ilimiah. Pengobatan ini berpusat di lembaga-lembaga kedokteran yang di biayai negara.
Perkembangan ilmu kedokteran di Mesir pada saat itu memang sangat menakjubkan.
Secara garis besarnya ada beberapa macam metode kedokteran yang dilakukan di
Mesir, yaitu Al-kayy (bakar), fisioterapi, bedah, peramuan, terapi air (hidroterapi), terapi
dengan pernafasan yang di namakan Dudl, dan terapi berpantang salah satu makanan dan
minuman tertentu yang dinamakan Dawit (diet).53 Pada masa nabi Yusuf a.s, di Mesir
terdapat orang-orang Israil. Di antara mereka terkenal pula ahli-ahli kedokterannya.
Mereka mengembangkan kedokteran Mesir hingga mereka menemukan metode
kedokteran yang lebih maju. Pada masa Fir’aun dinasti Ramses, tabib-tabib Bani Israil ini
sangat terkenal, tetapi hanya orang-orang tertentu yang berobat kepadanya karena bertarif
tinggi.
Di Hindustan menurut tarikh ketabiban mengenai ilmu kedokteran yang berkembang
di negeri itu banyak dimonopoli kaum Brahmana atau beberapa orang kasta Kesatria. Di
Hindustan banyak terdapat lembaga pengkajian kedokteran, diataranya terdapat di
Mathura, Pataliputra dan Indraprahasta. Ilmu kedokteran Hindustan berpangkal pada ilmu
kedokteran Aria, Sumeria, Yunani dan Persia.
53 Ibid., h 15
Disebutkan bahwa di Hindustan berkembang beberapa macam metode kedokteran,
anta lain; Pertama, metode berdasarkan agama, di antara ilmunya berpangkal pada
Atharwaweda atau Ayuwerda. Kedua, metode yang tidak berdasarkan agama melainkan
berdasarkan ilmu kedokteran murni. Ketiga, metode campuran yaitu metode kedokteran
yang dicampurkan dengan sihir.54
Juga di Hindustan sendiri dikenal adanya beberapa metode pengobatan atau
penyembuhan, antara lain: pengobatan melalui pernapasan yang disebut Yoga,
penyembuhan melalui terapi Upawasa dan tapa, penyenbuhan melalui terapi-terapi
Dahtayana hingga ditemukan penyembuhan dengan perabaan renggang dan perabaan
jarak jauh. Tetapi pada umunya adalah dengan pijatan dan tepukan, yaitu pijatan seluruh
tubuh dan pijatan khas kaki. Terdapat juga pengobatan melalui terapi air, pengobatan atau
penyembuhan melalui senam dan lasah, serta pengobatan atau penyembuhan melalui
cucukan dan bedah.
Dikisahkan bahwa di Romawi dan Yunani pada 500 tahun sebelum masehi telah ada
beberapa orang tabib yang terkenal. Namun tabib-tabib di Romawi dan Yunani biasanya
merangkap sebagai seorang Kahin (dukun) atau sebaliknya. Di samping itu ada juga
kahin-kahin yang dianggap orang sebagai perantara bagi dewa-dewa Olympus.55
Pada umumnya kedokteran Yunani dan Romawi purba terikat dengan penyembahan
pada dewa-dewa, terutama pada dewa-dewa Olympus. Pada zaman kemajuan, serta
zaman modern seperti sekarang ini, di mana pengkajian dan penelitian serba ilmiah, ahli-
ahli kedokteran masih tetap mempertahankan istilah-istilah dan lambang-lambang yang
54 Ja’far Khadem Yamani, Mukhtashar Tarikh Tharikat Ath-Thibb, h 25 55 Ibid., h 29
diambil dari nama-nama dan lambang-lambang keagamaan Yunani dan Romawi purba.
Seperti misalnya pengambilan kata-kata Genius (dewa-dewi pilindung dari roh jahat),
Hipnose (dewa tidur nyenyak), Hygeia (dewi kesehatan) dan lainnya. Adapun lambang
piala dan ular juga tongkat dan ular adalah lambang Aesculapus, yang digunakan sebagai
lambang apotek. Tanda “R”, Recipe-recipere, asalnya dari lambang Altar Jupiter atau
Zeus Pater.56
Dalam hal ini nabi Muhammad saw sangat membenci istilah-istilah jahiliyah dan
mengkhawatirkan umat Islam akan kembali menghidupkan sunnah (tata cara) Jahiliyah,
sabda nabi saw:
سالم فى اإلومبتغ, حد فى الحراممل: أبغض الناس إلى اهللا ثالثةعن ابن عباس أن النبى صلعم قال 57)ىررواه البخا( ليهريق دمه بغير حقامرئم ومطلب د, الجاهليةسنة
Artinya: Dari Ibn Abbas r.a., bahwa nabi Saw bersabda: “Orang yang sangat
dibenci Allah ada tiga golongan: 1.Orang yang berterus terang mengerjakan yang haram, 2.Orang yang memasukan ke dalam Islam kebiasaan (adat) jahiliyah, 3.Orang yang menuntut menumpahkan darah orang lain, tidak menurut kebenaran (hukum).” (HR. Bukhari).
Diantara cabang-cabang ilmu kedokteran yang berkembang di Yunani dan Romawai,
antara lain58:
a) Pengobatan Herba, yaitu ilmu ramuan tumbuh-tumbuhan basah, kering dan
tumbuh-tumbuhan laut;
b) Pengobatan Xaphon, yaitu ilmu ramuan serbuk tulang, abir, batu-batuan,
serangga, madu, darah, dan semacamnya;
56 Ibid., 57 Zainudin Hamidy dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Jakarta, Wijaya, 1992), cet ketiga belas, h
105 58 Ja’far Khadem Yamani, Mukhtashar Tarikh Tharikat Ath-Thibb, h 33
c) Pengobatan Fisioterapi, yaitu ilmu lasah patah tulang, ilmu senam pengobatan,
ilmu lasah otot dan saraf;
d) Pengobatan Umum, yaitu ilmu pengobatan untuk penyakit kulit, ilmu kebidanan,
dan ilmu penyakit kepala (mulut, mata, hidung, tilunga serta otak); dan
e) Ilmu Bedah, orang yang akan dibedah biasanya diasapi dengan asap dan candu
kering yang dibakar.
Adapun perkemgangan praktik kedokteran di negeri China, sesungguhnya ilmu
pengibatan China boleh dikatakan maju sejak 2500 tahun sebelum masehi, sebelum
berkuasa kaisar Yao. Kitab pengobatan China yang tertua berasal dari zaman dinasti
Hsia. Sedangkan kitab pengobatan China yang lengkap ditulis pada zaman Ts’in Shih
Huang Tie (221-210 SM).
Pengobatan China terbagi atas dua bagian. Pertama, pengobatan anak negeri dan
kedua, pengobatan Sinse (dokter).59 Pengobatan anak negeri dilakukan oleh orang yang
belajar sendiri atau berguru kepada orang yang terbilang pandai atau berpedoman kepada
kitab-kitab pusaka. Di antara jenis pengobatan anak negeri yaitu:
a) Pijatan dengan tangan, tongkat, biji-bijian dan sebagainya;
b) Jamu, jenis jamu anak negeri berbeda dengan jamu sinse;
c) Sihir, pengobatan China pun mengenal sihir pengobatan, pengobatan jarak jauh
dan jarak dekat dengan meminta bantuan roh-roh;
d) Pengobatan dengan arak, darah ular, empedu, cacing, sarang burung layang-
layang laut, dan lainnya.
59 Ibid., h 37
Mengenai ramuan Sinse, ilmu ramuan China terbagi dua bagian yaitu ramuan basah
dan ramuan kering. Ramuan basah berupa minuman, akar-akaran, umbi-umbian
seumpama kolesom, kinshan (gingseng) dan sejenisnya. Sedangkan ramuan kering
berupa berbagai macam rumput-rumputan, kulit pohon, akar-akaran, benalu, bunga
kering, buah-buahan kering, serbuk tanduk rusa, serangga kering, dan lain sebagainya.
Kedua, fase perkembangan praktik kedokteran pada masa Islam. Sesungguhnya nabi
Muhammad Saw tidak diutus ke muka bumi ini untuk menjadi seorang tabib, melainkan
untuk menjadi seorang rasul (utusan) Allah. Beliau adalah seorang nabi dan rasul yang
terakhir, tiada nabi dan rasul sesudahnya. Tetapi dalam syari’ah Islam yang dibawanya
terkandung nilai-hilai Ath-Thibb (kedokteran) yang murni dan tinggi.
Beberapa ajaran dan tuntutan Rasulallah Saw yang mengandung kajian dan nilai-nilai
Ath-Thibb (kedokteran), antara lain60:
a) Cara bersuci yang diajarkan Rasulallah Saw;
b) Sunnah untuk berkhitan, yaitu memotong kulup bagi laki-laki dan memotong
sebagian (Labia Minora) yang memanjangkan bagi perempuan;
c) Perintah memotong kuku, membersihkan bulu ketiak, dan kemaluan;
d) Keharusan memcuci tangan sebelum dan sesudah makan;
e) Diharamkan bangkai, darah, babi, sembelihan berhala, dam khamr, baik basah
maupun kering;
f) Larangan memasuki atau keluar dari sebuah negeri ketika berjangkit penyakit
menular;
g) Larangan menyatukan hewan sakit dan hewan sehat;
60 Ibid., h 41
h) Larangan berobat dengan barang haram;
i) Anjuran memberi harapan pada seorang penderita;
j) Disebutkannya madu sebagai obat dalam Al-Qur’an dan hadits;
k) Disebutkannya kurma yang tumbuh di tanah berbatu hitam sebagai obat dalam
hadits nabi saw.
Semua tuntunan mengenai kesehatan pasti sejalan dan bersumber dari hadits-hadits
nabi Saw. Imam Bukhari adalah seorang ‘alim ahli hadits yang pertama yang menyusun
kitab Ath-Thibb-unn-Nabiy. Dalam kitab shahihnya terdapat lebih kurang 80 (delapan
puluh) hadits yang berkaitan dengan ilmu kedokteran. Sedangkan hadits-hadits mengenai
kedokteran lainnya tersebar luas dalam kitab-kitab shahih Muslim, sunan Abu Dawud, at-
Tirmidzi, al-Baihaqiy, Ahmad, dan lainnya.
3. Jenis-jenis Profesi Kedokteran.
Menurut Sri Praptianingsih, bahwa berdasarkan undang-undang Nomor. 32 tahun
1992 tentang Kesehatan mengenai jenis-jenis tenaga kesehatan atau kedokteran tergolong
ke dalam:
a. Tenaga medis;
b. Tenaga keperawatan;
c. Tenaga kefarmasian;
d. Tenaga kesehatan masyarakat;
e. Tenaga gizi;
f. Tenaga keterapian fisik; dan
g. Tenaga keteknisian medis. 61
Selanjutnya Sri, menjelaskan bahwa dokter merupakan tokoh sentaral di antara tujuh
kategori tenaga kdokteran. Konsekuensinya, dalam upaya kesehatan dokter mempunyai
hubungan langsung dengan pasien. Hubungan antara dokter dengan pasien ini berawal
dari pola hubungan vertical paternalistic seperti bapak dengan anak yang bertolak dari
prinsip (Father Know Best) yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik.62
Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat, yaitu
kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya.
Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan
nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.
Sedangkan perawat, dan juga tenaga kedokteran lainnya menjalankan tugasnya sesuai
dengan perannya, karena perawat dan juga tenaga kedoktean lain adalah bagian dari
pegawai rumah sakit. Hubungan hukum antara dokter dengan tenaga keperawatan dan
tenaga kedokteran lainnya dapat terjadi karena rujukan atau pendelegasian yang diberikan
oleh dokter kepada para tenaga kedokteran. Dalam hubungan rujukan, tenaga kesehatan
(selain dokter) dapat melakukan tindakan sesuai dengan keputusannya sendiri.63
B. Hak Dan Kewajiban Profesi Kedokteran.
Dengan memperhatikan ciri-ciri khusus dari profesi seperti yang telah dikemukan
diatas, maka konsekuensinya menimbulkan hak dan kewajiban yang diembannya. Hak,
61 Sri Praptianingsih, Kedudukan Hukum Perawat Dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006), h 15
62 Legality, Jurnal Ilmiah Hukum, (Malang, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang,
2005), vol 13, h 142 63 Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, (Malang, Banyu Media, 2007), cet
pertama, h 84
artinya di sini masyarakat memberikan kekuasaan, kebebasan, dan status. Sedangkan
kewajiban, maksudnya adalah dokter wajib memberikan pelayanan kepada masyarakat
dengan tidak menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya dan menjaga citra dan mutu
yang dimilikinya terhadap sesama anggotanya.
Dengan berlakunya undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, mengenai hak dan kewajiban profesi kedokteran semakin diperjelas di dalam
pasal 50 dan 51 yang berbunyi:
Pasal 50 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasianal;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan d. Menerima imbalan jasa.
Sedangkan menurut Triana Ohoiwutun, bahwa hak-hak dokter yang timbul karena
adanya perjanjian terapeutik64 adalah sebagai berikut:
a) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
b) Hak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan
perundangan, profesi, dan etika.
c) Hak atas informasi yang lengkap dan jujur dari pasien tentang keluhan yang
dideritanya.
d) Hak atas imbalan jasa dari pelayanan kesehatan yang telah diberikan.
64 Perjanjian Terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum
yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Lihat bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Pertanggung jawaban Dokter, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005), cet pertama, h 11
e) Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien, jika tidak mau menuruti nasihat
yang diberikannya atau berkembangnya hubungan yang tidak baik dengan pasien.
f) Hak atas itikad baik dari pasien dalam pelaksanaan perjajian terapeutik.
g) Hak untuk diperlakukan adil dan jujur.
h) Hak atas privacy dokter.
Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusian, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Disamping kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam Undang-undang Praktik
Kedokteran tersebut, jika diperhatikan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertuang
dalam surat keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 34 tahun 1983. Di dalam surat
keputusan MenKes tersebut terkandung beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh dokter Indonesia. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi65:
a) Kewajiban umum;
b) Kewajiban terhadap penderita;
c) Kewajiban terhadap teman sejawatnya; dan
d) Kewajiban terhadap diri sendiri.
65 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Pertanggung Jawaban Dokter, h 35
Berpedoman pada isi rumusan kode etik tersebut, secara pokok kewajiban profesi
kedokteran dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki secara
akurat
b) Tenaga kedokteran wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi
dan bukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali apabila
pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakilinya (karena dokter
dalam lafal sumpahnya juga wajib menjaga kesehatannya sendiri).
c) Dokter wajib memberikan informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu
yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya.
Menurut ajaran Islam, seorang dokter dan para tenaga kedokteran muslim harus
mempunyai tujuan hidup yaitu ketentaraman di dunia dan kebahagian di akhirat
)نة فى اآلخرةحسنة فى الدنيا وحس( . Ia semata-mata mengabdi kepada Allah dengan cara
menjauhi semua larangan. Sebagaimana firman Allah:
﴿أل ...,تنهون عن المنكر وتؤمنون باهللاف واس تأمرون بالمعروآنتم خير امة اخرجت للن ﴾١١٠:عمران
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah ...,” (Q.S. Ali ‘Imran: 110)
Dan mematuhi semua perintah Allah, Rasulnya dan Ulil Amri, selain itu ia juga harus
mampu mengobati penyakit jasmani, penyakit rohani, penyakit sosial serta gangguan
pada Iman dan Islam paseinnya.
Para tenaga kedokteran muslim juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang
ilmu kedokteran, sekaligus juga tentang ajaran Islam agar dapat menerapkan ajaran Islam
tersebut dalam tugasnya sehari-hari.
Menurut ajaran Islam secara garis besar kewajiban-kewajiban tenaga kedokteran
muslim adalah:
1) Kewajiban dokter muslim yang terberat adalah beribadah dan beramal sebanyak-
banyaknya, sesuai dengan firman Allah tentang tujuan hidup dan tantangan
hidup:
﴾٥٦:ت الجن واإلنس إال ليعبدون ﴿الذارياتوما خلق Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyaat: 56).
Dengan jalan merawat dan mengobati segala macam ganguan dan penyakit
pasienya, agar si muslim dapat kembali berada dalam keadaan sehat walafiat
untuk melakukan tugas hidupnya, beribadah dan beramal66.
2) Senantiasa mempelajari dan menerapkan pengetahuan kedokteran serta
pengetahuan agama secara berimbang dalam kehidupanya sehari-hari. Islam tidak
membenarkan seseorang yang tidak mengkaji ilmu kedokteran turun mengobati
pasien, sehingga jika terjadi bahaya ia harus bertanggungjawab sepenuhnya.67
Sebagaimana hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi bersabda
“Jika suatu perkara diserahkan bukan pada ahalinya, tunggulah
kehancurannya”.
3) Pendekatan kepada pasiennya selalu bersifat holistik, yang memandang
pasiennya sebagai bagian dari diri pasien itu sendiri, bagian dari manusia lain,
dari lingkungan hidupnya serta sebagai hamba Allah Swt.
66 Ali Akbar, Etika Kedokteran Dalam Islam, (Jakarta, Pustaka Antara, 1988), cet I, h 62 67 Ja’far Khadem Yamani, Mukhtashar Tarikh Tharikat Ath-Thibb, h 45
4) Menghormati dan memulyakan orang sakit, sebagaiman Allah menghormati dan
memulyakan manusia.
﴾٧٠:﴿اإلسراء... ولقد آرمنا بنى آدم Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami mulyakan anak cucu Adam ...” (Q.S. Al-
Isra: 70).
5) Senantiasa menunjukan kasih sayang kepada orang sakit, seperti perintah nabi
Muhammad Saw:
)رواه الترمذى(رض يرحمكم من فى السماء إرحموا من فى األ Artinya: “Kasihanilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan dikasihani
oleh yang di langit.” (H.R. Tirmidzi).
6) Senantiasa menggembirakan dan memberikan harapan hidup, guna
menumbuhkan kekuatan dan harapan dalam hati penderita, karena setiap orang
yang sakit, pasti jiwanya akan gelisah karena adanya perasaan takut mati. Seperti
sabda nabi Muhammad Saw:
رواه . (و يطيب نفسهإذا دخلتم على مريض فنفسوا له فى أجله فإن ذالك اليرد شيأ وه) الترمذى
Artinya: “Bila kamu mengunjungi orang sakit, hilangkanlah kecemasan
hatinya tentang ajalnya. Sesungguhnya yang demikian itu tidak akan merobah sesuatu tetapi akan dapat menenangkan jiwanya.” (H.R. Tirmidzi).
)رواه الترمذى. (طهور إن شأ اهللا: ا دخل على من يعوده قال إذ
Artinya: “Adalah nabi Muhammad Saw, di kala mengunjungi orang sakit
berkata, “Tidak apa-apa, Suci, Insya Allah”. (H.R. Tirmidzi).
C. Tanggung Jawab Profesi Kedokteran.
Dalam pengertian hukum, tanggung jawab berarti “keterkaitan”. Setiap manusia dari
saat ia dilahirkan sampai saat ia meninggal dunia mempunyai hak dan kewajiban dan
disebut sebagai subjek hukum. Demikian juga dokter dalam melakukan suatu tindakan
harus bertanggung jawab sebagai subjek hukum pengemban hak dan kewajiban.
Dalam pertanggung jawaban tindakan dan perbuatan profesi kedokteran sebagai
subjek hukum dalam praktiknya dapat ditinjau dari dua aspek, ialah sebagai berikut:
1. Tanggung jawab Etik Profesi.
Kode etik kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan oleh para
pengenban profesi kedokteran, yaitu68:
a. Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah yang
berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya,
masyarakat, dan pemerintah.
b. Etik asuhan kedokteran (ethics of medical care), merupakan etik kedokteran
untuk pedoman kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai sikap tindakan seorang
dokter terhadap penderita yang menjadi tanggung jawabnya.
Mengenai tanggung jawab etik profesi kedokteran diatur di dalam KODEKI yang
dirumuskan dalam pasal-pasal adalah sebagai berikut69:
Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya harus dapat
dipertanggung jawabkan baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan yang maha
esa yang telah memberikan kemampuan kepada dirinya untuk memberikan pertolongan
68 Y.T. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, h 57 69 Anny Isfandyarie, Tanggung jawab Hukum dan Sanksi bgi Dokter Buku I, h 31
kepada pasien. Upaya penyembuhan yang dilakukan dokter hendaklah merupakan upaya
yang sesuai standar dan dilakukan dengan bersunguh-sungguh oleh dokter.
Dalam hal ini Nabi Saw mewajibkan kepada setiap ahli untuk bertanggung jawab
terhadap tugasnya, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah
bin Umar r.a. :
عن رعيته يقول آلكم راع و آلكم مسئول. م.أن عبدا اهللا بن عمر يقول سمعت رسول اهللا صرى﴾﴿رواه البخا...
Artinya: Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan, bahwa Rasulallah Saw bersabda:
“setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)
Pasal 3.Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pengertian pasal 3 ini mengandung makna bahwa kedokteran harus selalu dijaga
seluhurnya dengan perilaku dokter yang senantiasa berorientasi kapada pengabdian,
mengutamakan kepada kebebasan dan kemandirian profesi, tidak berorientasi kepada jasa
semata. Beberapa contoh perbuatan yang tidak terpuji dari profesi kedokteran antara lain:
a) Tarif dokter yang tidak wajar dan tidak melihat kemampuan pasien;
b) Memberikan resep kepada pasein berdasarkan sponsor dari pabrik obat, dan
sebagainya
Nabi membolehkan bagi para tenaga kedokteran muslim menerima imbalan dari
pasiennya atas jasa atau perbuatannya, selagi tidak melampaui batas. Sebagaimana hadits
dari Ibn ‘Abbas r.a.:
وأعطى الحجام أجره ولو علم آراهية لم . م.إحتجم النبي ص: عن ابن عباس رضي اهللا عنهما قال﴿رواه البخارى﴾. يعطه
Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah ibn Abbas, bahwa ia berkata: “Nabi Saw pernah berbekam dan membayar upah bekam itu kepada pembekam, dan kalau kiranya Nabi menganggapnya (pembayaran itu) makruh tahrim, tentu tidak akan dilakukan beliau”. (HR. Bukhari).
Pasal 4. Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Seorang dokter yang mempromosikan dirinya sebagai dokter yang lebih kompeten
dari teman sejawatnya yang lain, merupakan salah satu bentuk perbuatan yang besifat
memuji diri yang tidak patut dilakukan. Dokter hendaknya sadar bahwa pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya adalah sebagai karunia dari Tuhan yang Maha esa.
Allah Swt tidak menyukai perbuatan menyombongkan diri yang dilakukan oleh
seseorang, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:
﴾١٨:إن اهللا اليحب آل مختل فخور ﴿لقمان. مرحاتمش فى األرضوال تصعر خذك للناس وال Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karean sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman: 18).
﴾٢٣: كيال تأسوا على مافاتكم والتفرحوا بما أتكم واهللا اليحب آل مختال فخور ﴿الـحديدل Artinya: “… dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepada mu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman: 23).
Pasal 5. Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik, hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Dalam memberikan nasihat kepada pasien, dokter harus melakukan pendekatan
secara holistik. Dokter harus mampu memberikan keyakinan kepada pasien bahwa
dirinya akan sembuh, dengan mengalihkan kecemasan pasein kearah optimisme,
walaupun penyakit pasien menurut pengetahuan kedokteran tidak ada harapan untuk bisa
disembuhkan. Dokter juga harus selalu ingat bahwa yang menyembuhkan adalah Tuhan
yang maha penyembuh, bukan dokter.
Pasal 6.Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Dalam memberikan pengobatan kepada pasien, dokter harus berhati-hati bila akan
menggunakan obat-obatan yang baru ditemukan. Karena apabila salah dalam pemberian
suatu obat, maka akan berakibat patal terhadap pasein.
Pasal 7. Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Sebagai ahli di bidang kesehatan, kadang-kadang keterangan dokter juga diperlukan
di dalam proses peradilan sebagai alat bukti keterangan ahli. Bila ini dialami oleh dokter-
dokter yang bersangkutan harus benar-benar objektif dalam memberikan keterangan
keahlian terutama pada saat memberi keterangan keahlian yang berkaitan dengan tuduhan
tindak pidana malpraktik.
Pasal 7a. Seorang dokter harus, dalam praktik mediknya memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknik dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabatnya.
Memberikan pelayanan medis merupakan amanah yang harus dilakukan oleh seorang
dokter yang harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan yang mengaruniai ilmu kepada
dirinya. Allah Swt yang telah mengaruniai ilmu kepada manusia menjanjikan balasan
yang kekal kepada manusia. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
﴾٣٢: والذين هم ألمنتهم وعهدهم راعون ﴿الـمعارج
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Q.S. Al-Ma’arij: 32).
Pasal 7b.Seorang dokter bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani medis.
Pasal 7c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Ketentuan dalam pasal 7c ini, juga perlu dicermati oleh seorang dokter, terutama, hak
pasien dalam menentukan dirinya sendiri, dalam bentuk melakukan persetujuan tindakan
medik. Tindakan dokter yang dilakukan terhadap diri pasien, haruslah sepengetahuan dan
mendapatkan persetujuan dari pasien yang paling berhak atas tubuhnya.
Pasal 7d. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Kewajiban melindungi hidup makhluk insani tercantum di dalam lafal sumpah dokter,
bahkan perlindungan terhadap hidup makhluk insani harus dilakukan oleh dokter sejak
saat pembuahan. Oleh karena itu, pengakhiran kehamilan pada usia kehamilan kapan pun
tanpa indikasi medis yang jelas, merupakan pelanggaran KODEKI dan lafal sumpah
dokter. Walaupun perbuatan dokter selamat dari sanksi pidana, tetapi seorang dokter
yang mempunyai hati nurani dan setia kepada profesi luhur kedokteran, tentu tidak akan
berani melakukan aborsi dan sejenisnya yang akan mengakibatkan berakhirnya hidup
seorang calon manusia.
Secara tegas Allah Swt melarang manusia untuk melakukan aborsi. Sebagaimana
tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 31:
﴾٣١:اإلسراءدآم خشية إمالق نحن نرزقهم وإياآم إن قتلهم آان خطئا آبيرا ﴿وال تقتلوآ أوال Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar,” (Q.S. Al-Isra’: 31).
Pasal 8. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan/
mendahulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotof, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
Pembangunan kesehatan ditunjukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi semua orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam
pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Sebagai tenaga profesional di bedang kesehatan, dokter diharapkan mampu untuk
mengerahkan potensi yang ada bagi terwujudnya tujuan pembangunan kesehatan tersebut
melalui semua aspek pelayanan kesehatan dalam upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat.
Pasal 9. Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Pemecahan masalah di bidang kesehatan, tidak mungkin bias berhasil bila hanya
ditangani oleh satu displin ilmu saja. Oleh karena itu dalam menyehatkan masyarakat,
dokter harus bisa menididik masyarakat dengan menjalin kerjasama dengan tokoh-tokoh
masyarakat maupun pejabat yang dapat memberikan bantuan dalam mengubah
paradigma yang terkait dengan faktor-faktor non medis tersebut. Sepertinya suksesnya
program Keluarga Berencana, menurunya angka kematian Ibu, banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor non medis, terutama faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
Kalau pasal-pasal di dalam KODEKI tersebut kita cermati akan kita lihat bahwa
pasal-pasal tersebut sesuai dengan perintah Allah Swt yang tercantum dalam Al-Qur’an:
لـوالدين إحسانا وبذى القربى والـيتامى والمساآين والـجارذى الـقربى واعبد اهللا والتشرآوابه شيئا وبا مختاال اهللا اليحب من آانإن , والـجارالـجنب والصاحب بالـجنب وابن السبيل وما ملكت أيمنكم
﴾٣٦: ﴿الـنساء. فجورا Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S. An-Nisa: 36).
2. Tanggung Jawab Hukum
Tanggungjawab hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap ketentuan-
ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya.70 “Keterikatan” dokter terhadap
ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya merupakan tanggung jawab
hukum yang harus dipenuhi dokter yang pada dasarnya meliputi 2 bentuk pertanggung
jawaban71, yaitu:
1. Bidang hukum administarsi dimuat dalam Undang-undang Nomor. 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran.
2. Bidang hukum pidana, terdiri dari:
a. Undang-undang Hukum Pidana (UU Nomor, 01 tahun 1946), antara lain:
pasal 48-51, 224, 267, 268, 322, 344-361, 531 KUHP;
b. Ketentuan pidana dalam Undang-undang Nomor. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan;
c. Ketentuan pidana dalam Undang-undang Nomor. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.
70 Legality, Jurnal Ilmiah Hukum, h 150 71 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, h 5
Dalam persfektip Islam mengenai masalah tanggung jawab terdapat beberapa hadits
Nabi Saw yang berkenaan dengan tangung jawab profersi terutama profesi kedokteran,
diantaranya adalah:
مام عن رعيته اإلول لكم راع وآلكم مسئيقول آ. م.أن عبداهللا بن عمر يقول سمعت رسول اهللا صول عن رعيته والمرأة راعية فى بيته راع فى أهله وهو مسئول عن رعيته والـرجل راع ومسئ
ول عن رعيته قال وحسبت أن قد قال سئع فى مال سيده ومولة عن رعيتها والخادم رازوجها ومسئ 72﴾ىاررواه البخ﴿ رعيته وآلكم راع و مسئول عن رعيتةول عناع فى مال أبيه ومسئوالرجل ر
Artinya: Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan, bahwa Rasullah Saw bersabda:
“Setiap kamu adalah pimimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangga, dan bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Khadam itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kata Abdullah, agaknya nabi Saw jua bersabda: “Laki-laki itu pemimpin bagi harta-harta ayahnya dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kamu seluruhnya adalah pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya”. (H.R. Bukhari)
Dalam sunan Ibn Majjah, dikatakan bahwa orang yang tidak memiliki ilmu
kedokteran atau tidak berpengalaman atau dokter yang dangkal ilmunya, maka ia
bertanggung jawab terhadap kesalahannya, sebab ia dianggap tubuh seseorang dengan
kebodohannya.
طبب و ال من ت: قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال ة﴾ ﴿رواه إبن ماجك فهو ضامن قبل ذاليعلم منه طبيب
Artinya: Dari ‘Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya ia berkata, Rasulallah
Saw bersada: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, mak ia harus bertanggung jawab.” (H.R. Ibn Majjah)
Menurut Al-Khattabi, berkenaan masalah tanggung jawab profesi kedokteran yang
mengatakan:
72 Zainuddin Hamidy dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, jilid I, h 264
تعاطى على علما والم,تعدى فتلف المريض آان ضامناالاعلم خالفا فى ان المعالج اذا : ل الخطابىقا دون بد بذالكتالدية وسقط عنه القود ألنه اليس فإذا تولد من فعله التلف ضمن ,مال اليعرفه متعدوع 73هل العلم على عاقتلهيض وجناية الـطبيب على قول عامة أذن المرإ
Artinya: “Aku tidak melihat adanya perselisihan pendapat tentang dikenainya
tanggung jawab bagi seorang yang melakukan pengobatan kemudian menimbulkan korban. Bagi orang yang menguasai teori maupun praktek namun begitu berpengalamn (ia melakukan terapi dan jatuhlah korban) maka ia dikenai tanggung jawab berupa membayar diyat dan ia terlepas dari hukum qishash, lantaran praktek pengobatannya itu bukan atas inisiatif sendiri, melainkan atas dasar persetujuan dari si pasien. Menurut kebanyakan ahli ilmu, tanggung jawab dokter (berupa diyat) dibebankan kepada keluarganya.”
73 Ibn Hajar Al-Kanany Al-Astqalany, Subul As-Salam, (Bandung, Dakhlan t,th), juz III, h 250
BAB IV
TINJAUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
TENTANG TINDAK PIDANA PROFESI KEDOKTERAN
A. Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan Hukum Pidana
Indonesia.
Istilah tindak pidana dalam profesi kedokteran sebenarnya merupakan istilah yang
asing dalam berbagai disiplin ilmu hukum. Tindak pidana profesi kedokteran merupakan
gabungan dua istilah yaitu tindak pidana yang berarti perbuatan atau tindakan dan
praktik. Sedangkan profesi kedokteran yang dalam Undang-undang No. 29 tahun 2004
(UU Praktik Kedokteran) diartikan sebagai suatu pekerjaan kedokteran yang
dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan dan kompetensi. Dapat disimpulkan bahwa
tindak pidana profesi kedokteran tidak lain adalah tindakan (medik) yang salah atau
kekeliruan yang dilakukan oleh profesi kedokteran yang buruk dan berakibat hukum atas
perbuatan tersebut.
Akan tetapi kebanyakan para pakar menggunakan beberapa istilah lain dalam tindak
pidana profesi kedokteran yaitu “Medical Malpractice” yang dalam bahasa Indonesia
disebut dengan “Kelalaian Medik”.74 Sedangkan Gonzales, dalam bukunya “Legal
Medicine Pathology and Toxilogy” menggunakan istilah Criminal Malpractice dan Civil
Malpractice.
74Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik, (Jakarta, Srikandi, 2006), h. 86
Menurut Hermein Hadiati Koeswadji, memberikan dipinisi malpraktik adalah suatu
bentuk kesalahan professional yang dapat menimbulkan luka-luka pada pasien sebagai
akibat langsung dari suatu perbuatan atau kelalaian dokter.75
Sedangkan Berkhouwer dan Vorstman mengemukakan istilah malpraktik adalah
setiap kesalahan professional yang diperbuat oleh dokter karena pada waktu melakukan
pekerjaan professionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau
meninggalkan hal-hal yang akan diperiksa, dinilai dan diperbuat di dalam situasi dan
kondisi yang sama.76
Dengan mengesampingkan perbedaan istilah-istilah di kalangan para ahli tersebut
dapat dikatakan bahwa tindak pidana tersebut dilakukan oleh para pengemban profesi
kedokteran baik berupa kelalaian atau kesalahan yang berakibat kerugian pada pasien dan
diancamkan hukuman atasnya.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara tindak pidana biasa yang fokusnya adalah
akibat dari tindak pidana tersebut. Tindak pidana dalam profesi kedokteran fokusnya
adalah kausa atau sebab dan bukan akibat. Tindakan dapat dikatakan sebagai tindak
pidana, apabila secara teorotis memenuhi setidaknya tiga unsur yaitu:
a) Melanggar norma hukum yang tertulis;
b) Bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum;
c) Berdasarkan suatu kelalaian atau kesalahan besar.
Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik, oleh karena itu yang merupakan
tekanan utama di sini adalah kepentingan umum atau masyarakat. Para ahli hukum
75 Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, (Malang, Banyu Media, 2007), h.
48 76 Hendrojono, Perlindungan hak-hak Pasien, h. 85
pidana mengemukakan untuk adanya suatu pertanggung jawaban harus dipenuhi tiga
unsur persyaratan yaitu77 :
a) Harus ada perbuatan yang dapat dipidana, termasuk dalam rumusan delik undang-
undang;
b) Perbuatan yang dapat dipidana itu harus bertentangan dengan hukum
(wederrechteliijk); dan
c) Harus ada kesalahan pada pelaku.
Sedang unsur-unsur kesalahan (schuld) dalam pengertian pidana itu adalah suatu
perbuatan itu:
a) Bersifat bertentangan dengan hukum;
b) Akibatnya dapat dibayangkan atau ada penduga-duga;
c) Akibat itu sebenarnya dapat dihindarkan atau ada unsur penghati-hatian; dan;
d) Dapat dipertangung jawabkan atau dipersalahkan kepadanya.
Ukuran kesalahan atau kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian atau kesalah
besar (culpa lata) bukan kelalaian ringan (culpa levis atau levissima). Mengenai kealpaan
dikenal dua bentuk, yaitu kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Jika
kesengajaan dan kealpaan kedua-duanya disebut kesalahan, maka kita akan melihat lebih
jauh bentuk-bentuk kesalahan yang dimulai dari kesengajaan sebagai maksud sampai
kealpaan yang tidak disadari. Seperti suatu tindakan yang diangkat dari KUHP dan tidak
selalu harus dapat dihukum, misalnya larangan untuk melukai seseorang dengan pisau.
Padahal dalam klinik bedah hal tersebut terjadi sehari-hari (secara materil tidak
bertentangan dengan hukum).
77 Ibid., h. 81
Menurut Leenen dalam (bunga Rampai Medical Malpractice), suatu tindakan dalam
profesi kedokteran (medik) tidak bertentangan dengan hukum apabila dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut78 :
a) Tindakan itu mempunyai indikasi atau petunjuk medik yang berdasarkan pada
tujuan tindakan medik atau perawatan yang konkrit;
b) Tindakan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan terapi pengobatan (seni
pengobatan); dan
c) Tindakan itu dilakukan dengan persetujuan atau izin yang bersangkutan (pasien).
Beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan sanksi
pidananya dalam profesi kedokteran tertuang dalam beberapa ketentuan perundang-
undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan ialah beberapa ketentuan
yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 (UU Praktik
Kedokteran), maka penulis hanya merujuk kepada kedua undang-undang tersebut, ialah
sebagai berikut:
1. Ancaman pidana penyelenggaraan praktik kedokteran dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Ada beberapa pasal di dalam KUHP yang dapat dikenakan kepada dokter atau dokter
gigi yang memenuhi unsur-unsur rumusan tindak pidana dalam KUHP, antara lain yang
berkaitan dengan masalah pelanggaran kewajiban dokter atau dokter gigi, kejahatan
terhadap nama baik seseorang, kejahatan terhadap kesusilaan, kejahatan terhadap
pemalsuan, kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kesengajaan, dan kejahatan
terhadap tubuh dan nyawa karena kelalaian.
78 Ibid., h. 82
a. Pelanggaran kewajiban dokter atau dokter gigi
Beberapa pasal yang dapat dikenakan terhadap dokter atau dokter gigi yang
melakukan pelanggaran kewajiban yang diatur dalam KUHP antara lain:
1) Pelanggaran terhadap kewajiban menyimpan rahasia yang berkaitan dengan jabatan
atau pekerjaan dokter atau dokter gigi yang diatur dalam pasal 322 KUHP. Di dalam
melakukan pekerjaannya, dokter diwajibkan untuk menyimpan segala sesuatu yang
diketahui tentang pasiennya, sebagaimana yang diatur dalam pasal 322 KUHP:
Pasal 322 1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu79.
2) Pelanggaran terhadap kewajiban memberikan pertolongan kepada orang yang perlu
ditolong yang tercantum di dalam pasal 304 KUHP dan 531 KUHP. Menurut
hukum, dokter diwajibkan memberikan pertolongan kepada seseorang yang terancam
bahaya maut karena menderita sakit. Bila kewajiban ini tidak dilakukan, maka dokter
dapat terkena sanksi berdasarkan pasal 304 KUHP atau pasal 531 KUHP sebagai
berikut :
Pasal 304 Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
79 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005), Cet ke 12, h. 128
Walaupun dokter atau dokter gigi tidak disebutkan di dalam penjelasan pasal 304
KUHP ini, tetapi pasal 304 mungkin juga bisa dikenakan kepada dokter atau dokter gigi
dengan alasan80:
a) KUHP tidak menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan
membiarkan orang dalam kesengsaraan, sehingga mungkin saja seseorang yang
mengalami sakit mendadak atau mengalami kecelakaan lalu lintas termasuk di
dalam orang yang mengalami kesengsaraan.
b) Dokter termasuk di dalam kategori orang yang wajib memberikan kehidupan dan
perawatan karena hukum yang berlaku atau karena perjanjian, sehingga bila
dokter melihat seseorang menderita sakit sedangkan hukum mewajibkannya untuk
memberi kehidupan dan perawatan.
Seandainya dokter yang tidak menolong orang tersebut bisa terhindar dari pasal 304
KUHP, masih mungkin dokter akan terkena pasal 531 KUHP yang berbunyi:
Pasal 531 Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberikan pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
b. Kejahatan terhadap nama baik seseorang.
Seorang dokter yang memberitahukan kepada rumah sakit melalui surat untuk
melarang teman sejawatnya bekerja di rumah sakit yang bersangkutan, dapat diancam
dengan pidana penjara karena penghinaan atau karena telah memfitnah. Ancaman pidana
bagi perbuatan penghinaan tersebut tercantum di dalam pasal 310 KUHP yang berbunyi:
80 Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku
ke II, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006), Cet I, h. 117
Pasal 310 1) Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang dengan
menuduh sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepetingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri.
Sedangkan mengenai perbuatan memfitnah tercantum di dalam pasal 311 KUHP yang
berbunyi:
Pasal 311 1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal
dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2) Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan.
c. Kejahatan terhadap kesusilaan.
Pasal-pasal tentang pelanggaran kesusilaan yang dapat dituduhkan oleh pasien atau
keluarganya terhadap seseorang antara lain:
Pasal 289 Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Sebagai ilustrasi terjadinya kemungkinan tuduhan berdasar pasal 289 KUHP ini,
misalnya seorang dokter pria memeriksa pasien wanita tanpa didampingi oleh perawat,
sehingga di kamar periksa hanya ada dokter pria dan pasien wanita tersebut. Tanpa
diduga dokter, pasien mendadak menjerit, dan ada seorang pria yang masuk mengaku
suami dari pasien wanita termaksud. Pasien mengatakan kepada suaminya kalau dokter
memaksa untuk mencium atau memeluk si pasien dan pasien akan menuntut dokter
karena perlakuan yang tidak sebagaimana mestinya yang dialami oleh pasien81. Untuk
menghindari kejadian semacam ini, maka sebaiknya dokter pria tidak memeriksa pasien
wanita sendiri di kamar periksa tanpa didampingi oleh orang ketiga, baik suami dari
pasein maupun perawat.
Atau dapat juga dokter mengalami tuduhan berdasar pasal 290 ayat (1) KUHP dalam
latar belakang kasus yang hampir sama dengan di atas, yang berbunyi:
Pasal 290 Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui, bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya.
Bisa saja hal itu terjadi, pasien dianggap sebagai seorang yang tidak berdaya sehingga
tuntutan dapat diajukan dengan pasal 290 ayat (1) KUHP ini. Sugandhi menjelaskan
perbedaan antara “pingsan” dengan “tidak berdaya” sebagai berikut82:
a) Pingsan artinya hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya, sehingga ia tidak
mengetahui lagi apa yang terjadi pada dirinya, misalnya orang yang mengalami
trauma pada kepala, dan sebagainya.
b) Tidak berdaya berarti tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali,
sehingga tidak mampu melakukan perlawanan sedikit pun. Misalnya, pasien yang
sudah sakit kronis (menahun) yang memeriksakan diri kepada dokter dengan kursi
roda karena tidak mampu berjalan sendiri termasuk di dalam golongan tidak
berdaya ini.
81 Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum, h. 121 82 Ibid., h. 122
Dokter dalam mengajukan program Keluarga Berencana, hendaknya berhati-hati di
dalam memberikan penyuluhan maupun penjelasan kepada pasien, karena ada
kemungkinan dokter bisa dituntut berdasarkan pasal 299 KUHP yang berbunyi:
Pasal 299 1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya
diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2) Jika yang tersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, atau dia seorang dokter, bidan, atau juru obat, pidanya ditambah sepertiga.
3) Jika yang tersalah, melakukan kejahatan tersebut. Dalam menjalankan pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pekerjaan itu.
Sugandhi menjelasakan bahwa pembuktian untuk pasal ini cukup dengan wanita
termaksud benar-benar hamil, sedangakan pelaku yang dituduh telah melakukan
pengobatan atau melakukan perbuatan terhadap wanita tersebut dengan keterangan atau
cara yang dapat menimbulkan harapan bahwa perbuatan yang dilakukan pelaku dapat
mengakibatkan gugurnya kandungan wanita tersebut.
d. Kejahatan terhadap pemalsuan.
Di dalam praktik sehari-hari, terkadang dokter diminta tolong oleh temannya untuk
memberikan surat keterangan sakit kepada anaknya yang tidak dapat masuk kerja. Bila
ternyata surat keterangan sakit tersebut tidak terbukti yang artinya orang yang diberi surat
keterangan sakit tersebut ternyata tidak sakit, maka dokter dapat terkena ancaman pidana
yang tercantum di dalam pasal 267 KUHP, sebagai berikut:
Pasal 267 1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada
atau tidaknya penyakit, kelemahan, atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau menahan di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun 6 (enam) bulan.
3) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa yang dengan sengaja memakai surat palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Terdapat tiga pengertian yang terkandung di dalam seorang dokter memberikan surat
keterangan, yang terdiri dari83 :
a) Keterangan tersebut diberikan secara tertulis (berbentuk surat);
b) Yang membuat surat dan bertanggung jawab terhadap surat itu adalah seorang
dokter (tidak berlaku bila yang menandatangani bukan dokter);
c) Surat tersebut diperuntukan dan diserahkan kepada seseorang yang telah
memintanya.
Agar rumusan dalam pasal 267 KUHP ini bisa dikenakan kepada dokter, unsur
sengaja harus terpenuhi, karena bisa saja terjadi dokter salah dalam menentukan
diagnosa, sehingga terjadi kesalahan pula dalam menerbitkan surat keterangan yang
dibuatnya.
e. Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa.
Terhadap tindakan dokter yang selalu berkaitan dengan tubuh seseorang,
kemungkinan tuduhan atau penuntutan yang dilakukan penegak hukum kepada dokter
pada umumnya berupa tuduhan penyerangan terhadap kepentingan hukum atas tubuh dan
nyawa manusia yang di dalam KUHP tercantum di dalam:
83 Ibid., h. 126
1. Bab XX KUHP tentang kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja,
dan Bab XXI KUHP (khususnya pasal 360 KUHP) merupakan bentuk kejahatan
terhadap tubuh yang terjadi karena kelalaian (tanpa kesengajaan).
Pasal 360 1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
2) Barangsiapa karena kesalahan (kealpannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedimikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana kurungan paling empat ribu lima ratus rupiah.
2. Bab XIX KUHP untuk kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja,
dan Bab XXI KUHP (khususnya pasal 359) yang dilakukan tanpa sengaja (karena
kelalaian).
Pasal 359 Barangsiapa kerena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. f. Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kesengajaan.
Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa yang dapat diancamkan kepada dokter dengan
kualifikasi kesengajaan antara lain:
Pasal 335 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah84 : 1. Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan,
tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
84 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h, 133
Di dalam penjelasan terhadap pasal 335 KUHP ini R. Sugandhi menjelaskan untuk
penerapan pasal ini ada dua hal yang harus dibuktikan, yaitu:
a) Bahwa ada seseorang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu,
tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu;
b) Bahwa paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain atau
suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, atau ancaman kekerasan, ancaman
perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap
orang itu, maupun terhadap orang lain.85
Perbuatan yang dilakukan dokter sebagai kesengajaan diantaranya termasuk juga
mengenai masalah Euthansia, adalah merupakan tindakan yang dapat dikenakan ancaman
pidana berdasarkan pasal 344 dan 345 KUHP yang berbunyi:
Pasal 344 Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 345 Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Adapun yang dimaksud dengan permintaan dalam pasal 344 KUHP, dijelaskan oleh
Adami Chazawi sebagai peryataan kehendak yang ditunjukan pada orang lain, agar orang
lain itu melakukan perbuatan tertentu bagi kepentingan orang yang meminta. Orang yang
diminta, dalam keadaan bebas untuk bisa memutuskan kehendaknya untuk mengabulkan
atau menolak permintaan orang yang meminta.
85 Anny Isfandyari dan Fachrizal A, Tanggung Jawab Hukum, h, 130
Kejahatan yang tercantum di dalam pasal 349 KUHP merupakan kejahatan yang
subjek hukumnya sudah ditentukan sebagai kualitas pribadi yang melekat yaitu dokter,
bidan, dan juru obat.
Pasal 349 Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 347 dan 348 KUHP berisi tentang pengguguran kandungan dengan atau tanpa
persetujuan wanita yang digugurkan kandungannya yang berbunyi :
Pasal 347 1) Barangsiapa dengan sengaja mengugurkan atau mematiakn kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun,
Pasal 348
1) Barangsiapa dengan sengaja mengugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
g. Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kelalaian.
Walaupun tindakan dokter telah mendapatkan persetujuan dari pasien, namun bila
tindakan tersebut mengakibatkan kematian, maka terhadap dokter masih tetap dapat
dituntut dengan pasal 359 KUHP.
Pasal 359 Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Demikian juga bila tindakan dokter mengakibatkan luka berat atau cacat pada
pasiennya, maka terhadap dokter juga dapat dituntut dengan pasal 360 jo. pasal 361
KUHP.
Pasal 361 Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
Di dalam penjelasan dari pasal 361 KUHP ini, R. Sugandhi menjelaskan bahwa yang
dikenakan pasal ini misalnya: dokter, bidan serta ahli obat yang dianggap harus berhati-
hati dalam melakukan pekerjannya. Apabila mereka melakukan kelalaian dalam
menjalankan pekerjaannya sehingga mengakibatkan orang lain mati atau cacat, maka
hukumannya dapat diperberat dengan ditambah sepertiganya dari pasal 359 atau pasal
360 KUHP86. Selain itu terhadap petindak dapat ditambah dengan dicabut haknya
melakukan pekerjaan tersebut serta hakim dapat mengumumkan keputusannya.
2. Ancaman pidana dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
Untuk terciptanya penyelenggaraan paraktik kedokteran yang bermutu tinggi, maka
undang-undang praktik kedokteran (UU Paradok) yang mulai berlaku pada tanggal 6
oktober 2005 tersebut mencantumkan beberapa ketentuan pidana yang khusus berlaku
bagi dokter dan dokter gigi yang terdapat pada pasal 75 sampai 80 Undang-undang
Praktik Kedokteran.
86 Ibid., h. 154
Ancaman pidana tersebut dapat dikenakan bagi dokter atau dokter gigi yang
melakukan praktik kedokteran, yang melanggar beberapa kewajiban atau melanggar hal-
hal yang dilarang oleh Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
antara lain: Pelanggaran terhadap kewajiban Administrasi, Pelanggaran yang
berhubungan dengan kewajiban terhadap pasien, Pelanggaran yang berhubungan dengan
perkembangan ilmu kedokteran, Pelanggaran yang dilakukan orang lain, dan Pelanggaran
yang dilakukan oleh pimpinan sarana kesehatan atau badan hukum (korporasi).
a. Pelanggaran terhadap kewajiban Administrasi.
1. Setiap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 29 ayat 1 (UU Praktik Kedokteran), menerangkan bahwa
“setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat tanda registrasi dan surat tanda registrasi dokter gigi”.
Sedangkan bagi dokter warga Negara asing yang melakukan praktik kegiatan
dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pelayanan di bidang
kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia dapat
diberikan surat tanda registrasi sementara, ketentuan ini berdasarkan bunyi pasal
31 ayat 2 (UU Praktik Kedokteran). Adapun surat tanda registrasi bersyarat
diberikan kepada peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi
spesialis warga Negara asing (pasal 32 ayat 1 UU Praktik Kedokteran).
Maka apabila dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melanggar segala
ketentuan yang terdapat dalam pasal 29 ayat 1, pasal 31 ayat 1, dan pasal 32 ayat
1 di atas, dikenakan ancaman pidana yang terdapat dalam 75 ayat (1), (2), dan (3)
UU Praktik Kedokteran, yang berbunyi :
Pasal 75 1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
2) Setiap dokter atau dokter gigi warga Negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
3) Setiap dokter atau dokter gigi warga Negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda tanda registrasi bersyarat sebagimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).87
2. Kewajiban yang lain bagi setiap dokter atau dokter gigi dalam melakukan praktik
kedokterannya harus memiliki Surat Izin Praktik (SIP), hal ini berdasarkan atas
ketentuan pasal 36 (UU Praktik Kedokteran). Sehingga apabila dokter atau dokter
gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin
praktik, dapat dipidana sebagaimana tercantum dalam pasal 76 (UU Praktik
Kedokteran), sebagai berikut:
Pasal 76 Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
3. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam pasal
41 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berbunyi :
Pasal 41
87 Undang-undang Nomor. 29 tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, (Surabaya, Kesindo
Utama, 2007), h. 31
1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
Dan apabila melanggar ketentuan yang ada dalam pasal 41 ayat (1) tersebut
diancam pidana dalam pasal 79 poin a, ialah:
Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang: a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
pasal 41 ayat (1); b. Pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban terhadap pasien.
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan paseinnya, hal ini sebagaimana disebutkan oleh
(pasal 51 hurup a UU Praktik Kedokteran). Akan tetapi apabila dokter atau dokter gigi
dengan sengaja menyelenggarakan praktik kedokterannya tanpa memperhatikan
ketentuan yang terdapat dalam pasal 51 hurup a, dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana ketentuan yang ada dalam pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran yang
berbunyi:
Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang: c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 51
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e.
Setiap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran dengan sengaja
tidak membuat rekam medis.88 Sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1) yang
berbunyi:
Pasal 46 1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
Jika dokter atau dokter gigi tidak mengindahkan ketentuan yang tersebut dalam pasal
46 ayat (1) di atas dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda
paling banyak lima puluh juta rupiah, hal ini sebagaimana di sebutkan dalam pasal 79
huruf b :
Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang: a. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 41
ayat (1).
Kewajiban menyimpan rahasia atas segala sesuatu yang diketahui tentang pasien,
bahkan setelah pasien itu meninggal dunia, merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh
dokter dan dokter gigi. Kewajiban dokter dalam menyimpan rahasia kedokteran
tercantum dua kali dalam UU Praktik Kedokteran, yaitu pasal 48 ayat (1) samapai ayat
(3) dan pasal 51 huruf c UU Praktik Kedokteran.
Kewajiban ini boleh disimpangi berdasarkan pasal 48 ayat (2) UU Praktik
Kedokteran yang mengizinkan rahasia kedokteran di buka untuk hal-hal sebagai berikut89
:
88 Rekam Medis menurut penjelasan resmi atas pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, Rekam
Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Lihat Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, h. 21
89 Anny Isfandyarie dan Fachrizal A, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. 183
a) Untuk kepentingan kesehatan pasien, misalnya pasien menderita kanker stadium
lanjut yang kemungkinan harapan sembuh sangat tipis. Bila hal ini diketahui oleh
pasien, akan membuat cemas, sehingga akan menggangu kestabilan jiwanya.
Biasanya dokter dalam hal ini mengatakan kepada keluarganya, tidak mengatakan
kepada pasien sendiri. Hal ini dizinkan berdasarkan pasal 48 ayat (2) UU Praktik
Kedokteran, sehingga perbuatan dokter dalam hal ini tidak dapat dipidana.
b) Untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, misalnya dokter terkena tuntutan pasal 360 KHUP, kemudian disidik oleh
polisi. Maka penjelasan dokter kepada polisi tentang penyakit pasien yang kemudian
menimbulkan cacat atau luka tersebut dibenarkan oleh pasal 48 ayat (2).
c) Berdasarkan kebutuhan perundang-undangan, misalnya adanya penyakit yang bisa
membahayakan kepentingan orang banyak, yang harus dilindungi dari penyebaran
penyakit tersebut. Dalam hal terjadi demikian, maka undang-undang memerintahkan
dokter untuk membuka rahasia jabatannya agar masyarakat dapat terlindunngi atau
mengadakan pencegahan terhadap penyakit yang berbahaya tersebut, seperti: demam
berdarah, flu burung, dan sebagainya.
Perbuatan dokter yang membuka rahasia jabatannya di luar alasan-alasan tersebut,
dapat dikenakan ancaman pidana 1 (satu) tahun kurungan atau denda paling banyak Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) berdasarkan pasal 79 huruf UU praktik kedokteran.
Dalam melaksanakan praktik kedokterannya setiap dokter atau dokter gigi
mempunyai kewajiban merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian yang lebih baik apabila dokter yang bersangkutan tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan (pasal 51 huruf b UU Praktik Kedokteran). Apabila dokter yang
bersangkutan dengan sengaja tidak merujuk pasiennya kepada dokter atau dokter gigi
yang lain yang memiliki keahlian atau kemampuan yang lebih baik, maka dapat terkena
ancaman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) yang tercantum dalam pasal 79 huruf c UU Praktik
kedokteran.
Demikian juga dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal ia mengetahui kalau tidak ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya (pasal 51 huruf d UU Praktik
Kedokteran) dipidana berdasarkan pada pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000
(lima puluh juta rupiah).
c. Pelanggaran kewajiban yang berhubungan dengan perkembangan ilmu kedokteran.
Kewajiban dokter atau dokter gigi diantaranya adalah untuk selalu menambah ilmu
pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Sebagaimana tertuang dalam pasal 51 huruf e, yang menerangkan “dokter atau dokter
gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban menambah ilmu
pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi”. Dan
ketentuan yang terdapat dalam (pasal 28 ayat 1 UU Praktik Kedokteran), sebagai berikut:
Pasal 28 1) Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi yang berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kedokteran gigi.
Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan oleh dokter atau dokter gigi, maka dapat
terkena ancaman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana tertuang dalam pasal 79 huruf e UU
Praktik Kedokteran.
d. Pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. .
Terdapat dua larangan yang tercantum dalam pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) UU
Praktik Kedokteran, yaitu:
1. Larangan menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter. Hal ini tertuang dalam pasal 73 ayat (1) yang berbunyi :
Pasal 73 1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan atau surat izin praktik.
Kalau larangan ini dilakukan oleh orang yang bersangkutan, maka berlaku
ketentuan yang terdapat di dalam pasal 77 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi:
Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).
Menurut Anny Isfandyarie, menjelaskan bahwa berlakunya pasal 77 UU Praktik
Kedokteran ini ada dua kemungkinan ialah sebagai berikut90 :
a) Pasal 77 ini tidak berlaku bagi dokter atau dokter gigi, tetapi berlaku bagi
orang yang dengan sengaja menggunakan gelar atau bentuk lain seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR
dan SIP.
b) Pasal 77 ini juga berlaku bagi dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki
STR dan SIP yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran. Karena
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR dan SIP merupakan satu
kalimat yang tidak dapat dipisahkan. Juga pengecualian yang tercantum di
dalam pasal 73 ayat (3) UU Praktik Kedokteran :
Pasal 73 1) Ketentuan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undang.
2. Larangan menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, tertuang pada pasal 73 ayat (2), sebagai berikut:
Pasal 73 2) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan atau surat izin praktik.
Maka apabila melanggar larangan ini dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal
78 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi:
Pasal 78
90 Ibid., h. 186
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).
e. Pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan sarana kesehatan atau badan hukum
(korporasi).
Sanksi bagi sarana pelayanan kesehatan hanya yang berakitan dengan larangan yang
tercantum di dalam pasal 42 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi:
Pasal 42 Pimpinan sarana kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.
Adapun ketentuan sanksi terhadap pelanggaran larangan di dalam pasal 42 UU
Praktik Kedokteran ini tercantum di dalam pasal 80 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:
Pasal 80 1) Setiap orang yang dengan sengaja memperkerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak91.
Dari bunyi pasal 80 ayat (1) dan (2) UU Praktik Kedokteran tersebut dapat diartikan
bahwa sanksi pidana yang tercantum di dalam pasal 80 UU Praktik Kedokteran dapat
dikenakan kepada:
1. Perorangan yang memiliki sarana pelayanan kesehatan yang memperkerjakan
dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki SIP.
91 Undang-undang No. 24 tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, h. 32
2. Korporasi yang memiliki sarana pelanan kesehatan yang memperkerjakan dokter
atau dokter gigi yang tidak memiliki SIP, dipidana dengan 2 (dua) bentuk pidana
yaitu :
a. Denda Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah) atau
b. Denda Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah), ditambah dengan
pencabutan izin92.
Ketentuan-ketentuan pidana pada Undang-undang Praktik Kedokteran ini pada
umumnya menganut sistem alternatif yang memberikan kebebasan kepada hakim untuk
memilih salah satu jenis pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang
bersangkutan.
B. Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan hukum Pidana Islam.
Dalam pandangan hukum pidana Islam bahwa pembahasan mengenai tindak pidana
profesi kedokteran tergolong ke dalam dua kategori tindak pidana. Apabila dalam tindak
pidana profesi kedokteran didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran
atau obyek dari tindak pidana tersebut, maka dapat dikategorikan kepada tindak pidana
atas selain jiwa )جناية على ما دون النفس ( . Sedangkan apabila tindak pidana profesi
kedokteran didasarkan kepada niat pelakunya dan mengakibatkan matinya korban,
dikategorikan ke dalam pembunuhan karena kesalahan )قتل الخطأ( .
Tindak pidana profesi kedokteran yang didasarkan atas berat ringannya akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatan tergolong ke dalam tindak pidana atas selain jiwa.
92 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. 188
Sedangakan yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa seperti yang
dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Audah adalah:
93 عن آل أذى يقع على جسم اإلنسان من غيره فال يؤدى بحياتهجناية على ما دون النفس Artinya: “Setiap perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi
tidak sampai menghilangkan nyawanya”. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili,
bahwa tindak pidana selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan
manusia, maupun pemukulan, sedangakan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap
tidak tergangu.94
Inti dari unsur tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dikemukakan dalam
definisi di atas adalah perbuatan menyakiti. Dengan demikian yang termasuk dalam
pengertian perbuatan menyakiti, setiap pelanggaran yang bersifat menyakiti atau merusak
anggota badan manusia, seperti pelukaan, pemukulan, pencekikan, pemotongan, dan
penempelengan. Oleh karenanya yang menjadi sasaran tindak pidana ini adalah badan
atau jasmani manusia, maka perbuatan yang menyakiti perasaan orang tidak termasuk
dalam definisi di atas, karena perasaan bukan jasmani dan sifatnya abstrak, tidak konkret.
Dalam menentukan pembagian tindak pidana selain jiwa ada dua klasifikasi, yaitu:
1) Ditinjau dari segi niatnya
ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi kepada dua
bagian.
a. Tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja.
93 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirit, Muassasah Risalah, 1984), Cet ke
V, Juz II, h. 204
94 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus, Dar Al-Fikr, 1989), Juz ke VI, h. 331
b. Tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja.
Pengertian tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, seperti dikemukakan oleh
Abdul Qadir ‘Audah adalah:
فالعمد هو ماتعمد فيه الجانى الفعل بقصد العدوان Artinya: “Perbuatan sengaja adalah setiap perbuatan di mana pelaku sengaja
melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum”. Dari definisi tersebut dapat diambil suatu asumsi bahwa dalam tindak pidana atas
selain jiwa dengan sengaja, pelaku sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dengan
maksud supaya perbuatannya itu mengenai dan menyakiti orang lain sebagai contoh,
seseorang yang dengan sengaja melempar orang lain dengan batu, dengan maksud supaya
batu itu mengenai badan atau kepalanya.
Sedangkan pengertian tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau karena
kesalahan adalah:
والخطأ هو ماتعمد فيه الجانى الفعل دون قصد العدوان Artinya: “Perbuatan karena kesalahan adalah suatu perbuatan di mana pelaku
sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk melawan hukum”. Pembagian sengaja dan tidak sengaja (al-khata’) dalam tindak pidana atas selain jiwa,
masih diperselisihkan oleh para ulama. Seperti dalam tindak pidana atas jiwa, Syafi’iyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam tindak pidana atas selain jiwa juga ada
pembagian yang ketiga, yaitu syibhul‘amdi atau menyerupai sengaja. Contohnya, seperti
seseorang yang menempeleng muka orang lain dengan tempelengan yang ringan, tetapi
kemudian terjadi pelukaan dan pendarahan. Contoh kasus semacam ini menurut mereka
tidak termasuk sengaja, melainkan menyerupai sengaja, karena alat yang digunakan yaitu
tempelengan ringan, pada galibnya tidak akan menimbulkan pelukaan atau pendarahan.
Namun dari segi hukumnya mereka menyamakan dengan tidak sengaja.95
2) Ditinjau dari segi objek (sasarannya).
Ditinjau dari objek atau sasarannya, tindak pidana atas selain jiwa baik sengaja
maupun tidak sengaja dapat dibagi ke dalam lima bagian, yaitu:
a. Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya.
Yang dimaksud dengan penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya adalah
tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan
anggota badan, baik berupa pemotongan maupun pelukaan. Dalam kelompok ini
termasuk pemotongan tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar (kemaluan), biji pelir,
telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokan gigi, pemotongan rambut, alis, bulu mata,
jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan, dan lidah.
b. Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih tetap utuh.
Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang merusak manfaat dari anggota
badan, sedangkan jenis anggota badannya masih utuh. Dengan demikian apabila anggota
badannya hilang atau rusak, sehingga manfaatnya juga ikut hilang maka perbuatannya
termasuk kelompok pertama, yaitu perusakan anggota badan. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah menghilangkan daya pendengaran, penglihatan, penciuman,
perasaan lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh, dan lain-lain.
c. Asy-Syajjaj
Yang dimaksud dengan Asy-Syajjaj adalah pelukaan khusus pada bagian muka dan
kepala, tetapi khusus bagian-bagian tulang saja, seperti dahi. Sedangkan pipi yang banyak
95 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasri Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 332
dagingnya tidak termasuk syajjaj, tetapi ulama lain berpendapat bahwa syajjaj adalah
pelukaan pada bagian muka dan kepala secara mutlak.96 Adapun organ-organ tubuh yang
termasuk kelompok anggota badan meskipun ada pada bagian muka seperti mata, telinga,
dan lain-lain tidak termasuk syajjaj.
d. Al-Jirah.
Al-Jirah adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, kepala, dan athraf.
Anggota badan yang pelukaannya termasuk jirah ini meliputi leher, dada, perut, sampai
batas pinggul. al-jirah terdapat dua macam, yaitu :
1) Al-Jaifah, yaitu pelukaan sampai ke bagian dalam dari dada dan perut, baik
pelukaannya dari depan, belakang, maupun samping.
2) Ghairu Jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari dada
atau perut, melainkan hanya pada bagian luarnya saja.
e. Tindakan selain yang telah disebutkan di atas.
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok tindakan selain yang telah disebutkan di
atas adalah setiap tindakan pelanggaran atau menyakiti yang tidak sampai merusak athraf
atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan syajjaj atau jirah. Sebagai
contoh dapat dikemukakan, seperti pemukulan pada bagian muka, tangan, kaki, atau
badan, tetapi tidak sampai menimbulkan atau mengakibatkan luka, melainkan hanya
memar, muka merah, atau terasa sakit.
Hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi ke dalam tiga bagian,
yaitu hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, menyerupai sengaja
96 Ibid., h. 206
dan karena kesalahan. Pengelompokan hukuman untuk sengaja, menyerupai sengaja dan
kesalahan dalam tindak pidana atas selain jiwa, sebenarnya tidak begitu dipermasalahkan.
Karena dalam tindak pidana atas selain jiwa realisasinya dan penerapan hukuman
didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau objek tindak pidana,
bukan kepada niat pelaku. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ditinjau dari segi
objek atau sasarannya, tindak pidana atas selain jiwa dibagi kepada lima bagian, yaitu
perusakan anggota badan atau sejenisnya, menghilangkan manfaatnya, syajjaj, jirah, dan
tindakan yang tidak termasuk keempat jenis tersebut. Hukuman untuk tindak pidana atas
selain jiwa tergantung kepada akibat yang timbul atas beberapa jenis tindak pidana
tersebut, baik perbuatannya dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.
Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi kepada dua bagian dari tindak pidana
atas selain jiwa, yaitu perusakan anggota badan atau semacamnya dan menghilangkan
manfaatnya. Karena sangat terkait hubungannya dalam pembahasan tindak pidana profesi
kedokteran, juga pada umumnya kedua bagian tersebut merupakan tindakan yang sering
terjadi dalam dunia kedokteran. Di bawah ini penulis akan menguraikan secara rinci
hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa, yang dikaitkan dengan sasaran atau
objeknya atas kedua bagian tersebut, adalah:
1. Hukuman untuk Ibanah (perusakan) Athraf dan semacamnya.
Athraf menurut para fuqaha adalah tangan dan kaki.97 Pengertian tersebut kemudian
diperluas kepada anggota badan yang lain sejenis athraf, yaitu jari, kuku, bulu mata, gigi,
97 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, h. 333
rambut jenggot, alis, kumis, hidung, zakar (kemalun), biji pelir, telinga, bibir, mata, dan
bibir kemaluan perempuan.
Hukuman pokok untuk perusakan athraf dengan sengaja adalah qishash, sedangkan
hukuman penggantinya adala Diyat dan Ta’zir. Adapun hukuman pokok untuk perusakan
athraf yang menyerupai sengaja dan kesalahan adalah diyat, sedangkan hukuman
penggantinya adalah ta’zir.
a. Hukuman Qishash.
Hukuman qishash merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana atas selain jiwa
dengan sengaja, sedangkan diat dan ta’zir merupakan hukuman pengganti yang
menempati tempat qishash. Sehubungan dengan hal tersebut, pada prinsipnya hukuman
pokok (qishash) dan hukuman pengganti (diyat dan ta’zir) tidak dapat dijatuhkan
bersama-sama dalam satu jenis tindak pidana, karena penggabungan hukuman dapat
menafikan karakter penggantian. Konsekuensinya lebih lanjut dari karakter penggantian
ini adalah bahwa hukuman pengganti tidak dapat dilaksanakan kecuali apabila hukuman
pokok tidak bisa dilaksanakan.
Menurut pendapat Imam Malik, Abu Hanifah dan sebagian fuqaha Hanabilah,
hukuman pokok (qishash) tidak mungkin dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman
penganti (diyat) dalam satu jenis pelukaan. Dengan demikian apabila si pelaku sudah di-
qishash untuk sebagian pelukaan, tidak ada hukuman diyat untuk sisanya (sebagian
pelukaan lainnya). Oleh karena itu dalam kasus semacam ini, korban diwajibkan untuk
memilih antara qishash tanpa diyat atau langsung mengambil diyat.98
98 Abdul Qadir ‘Audah, At-tasyri’ Al-jinaiy Al-Islamiy, h. 212
Hukuman pokok yaitu qishash tidak dapat dilaksanakan atau gugur karena ada
beberapa sebab. Sebab-sebab ini ada yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat
khusus yang berkaitan dengan tindak pidana atas selain jiwa, antara lain:
1) Sebab-sebab terhalangnya Qishsah yang bersifat umum.
a. Korban merupakan bagian dari pelaku.
Apabila korban (orang yang dilukai) merupakan bagian dari pelaku (yang melukai)
maka hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan. Yang dimaksud dengan bagian di sini
adalah bahwa orang yang menjadi korban tindak pidana itu adalah anaknya atau cucunya.
Dengan demikian, apabila seorang ayah atau ibu melukai anaknya, ia tidak dikenakan
hukuman qishash. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Turmudzi, Ibn Majjah, dan Baihaqi dari Umar ibn Khattab, bahwa ia
mendengar Rasullah Saw bersabda:
ال يقد : سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يقول: وعن عمر بن الخطاب رضى اهللا عنه قال99 ).رواه أحمد والترمذى وابن ماجه وصححه ابن الجارود والبيهقى(الوالد بالولد
Artinya: “Dari Umar ibn Khattab r.a. berkata, saya mendengar Rasulullah Saw
bersabda: Tidaklah diqishash orang tua karena membunuh anaknya” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibn Majah, dan disahihkan oleh Ibn Jarud dan Baihaqi).
b. Tidak ada keseimbangan antara korban dan pelaku.
Apabila korban tidak seimbang dengan pelaku, pelaku tidak dikenakan hukuman
qishash. Ukuran keseimbangan ini dilihat dari sisi korban bukan pelaku. Dasar
keseimbangan menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad adalah merdeka dan Islam,
sedangkan menurut Abu Hanifah adalah merdeka dan jenis kelamin.100
99 Muhammad ibn Ismail Al-Kahlani, Subulussalam, (Mesir, Syarikah Musthafa Al-Baby Al-
Halaby, 1960), Juz III, h. 233 100 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri.Al-Jinaiy, h. 214
c. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang menyerupai sengaja
(Syibhul ‘Amdi).
Seperti telah dikemukakan di atas, menurut Imam Syafi’I dan Ahmad tindak pidana
atas selain jiwa dapat terjadi dengan sengaja dan dapat pula menyerupai sengaja. Apabila
perbuatan terjadi dengan sengaja maka berlaku hukuman qishash. Akan tetapi perbuatan
menyerupai sengaja hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan. Sedangakan menurut
Imam Malik dan Abu Hanifah, tidak ada perbuatan menyerupai sengaja dalam tindak
pidana atas selain jiwa yang ada hanya sengaja dan kesalahan. Dengan demikian dalam
tindak pidana atas selain jiwa dalam keadaan bagaimana pun tetap berlaku qishash,
selama perbuatannya dilakukan dengan sengaja dan kondisinya memungkinkan.
d. Tindak pidana terjadi di Dar Al-Harb.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila tindak pidana atas selain jiwa terjadi
di Dar Al-Harb (Negara non-Islam), pelaku tidak dapat dikenakan hukuman qishash dan
tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat di mana pun terjadinya
tindak pidana tersebut, pelaku tetap harus dikenakan hukuman qishash.
e. Qishash tidak mungkin dilaksanakan.
Sebagai ilustrasi dalam masalah ini misalnya, korban sendi ibu jarinya yang sebelah
atas sudah tidak ada, kemudian datang pelaku memotong sendi kedua (sebelah bawah)
dari ibu jari tersebut. Dalam hal ini qishash tidak mungkin dilaksanakan, apabila ibu jari
pelaku tersebut sempurna (tidak cacat). Karena apabila qishash dilaksanakan berarti ada
dua sendi yang dipotong, padahal pelaku hanya memotong satu sendi, karena sendi
pertama memang sudah tidak ada.
2) Sebab-sebab terhalangnya Qishash yang khusus.
a. Qishash tidak dapat dilaksanakan tanpa kelebihan.
Salah satu syarat untuk dapat dilaksanakannya hukuman qishash adalah bahwa
hukuman qishash harus dilaksanakan secara tepat tanpa ada kelebihan. Dalam masalah
athraf (anggota badan) misalnya, hukuman qishash mungkin dilaksanakan dengan tepat
tanpa kelebihan, apabila pemotongannya pada persendian atau pada anggota badan yang
ada batas tertentu (ujungnya) seperti daun telinga. Apabila pemotongannya bukan pada
persendian, seperti pemotongan tangan antara pergelengan dan siku para fuqaha berbeda
pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian fuqaha Hanabilah tidak berlaku
hukuman qishash, karena sulit untuk melaksanakan qishash dengan tepat tanpa ada
kelebihan. Sedangkan menurut Imam Syafi’I dan sebagian fuqaha Hanabilah dapat
dilaksanakan qishash dari persendian pertama yang termasuk objek tindak pidana, yaitu
pergelangan tangan dan sisanya dibayar dengan hukumah (ganti rugi). Menurut Imam
Malik apabila memungkinkan dapat dilaksanakan hukuman qishash, akan tetapi apabila
tidak memungkinkan maka hukuman qishash tidak dilaksanakan dan hukumannya
diganti dengan diyat.
b. Tidak ada kesepadanan (mumatsalah) dalam objek Qishash.
Salah satu syarat yang lain untuk dapat diterapkan hukuman qishash adalah adanya
kesepadanan atau persamaan di dalam objek qishash. Tangan misalnya, hanya dapat di-
qishash dengan tangan, dan kaki hanya dapat di-qishash dengan kaki. Demikian pula
anggota badan yang lainnya. Apabila tidak ada kesepadanan atau persamaan antara
anggota badan yang akan di-qishash dengan anggota badan yang dirusak oleh tindak
pidana, hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan, misalnya tangan tidak dapat di-
qishash untuk menggantikan kaki yang dipotong.
c. Tidak sama dalam kesehatan (kualitas) dan kesempurnaan.
Syarat yang lain untuk dapat dilaksanakannya hukuman qishash adalah kedua
anggota badan yang akan di-qishash dan yang menjadi korban tindak pidana harus sama
(seimbang) baik dalam kesehatan atau kesempurnaannya. Apabila kedua anggota badan
tersebut tidak sama kesehatan atau kesempurnaannya, maka hukuman qishash tidak dapat
dilaksanakan. Sebagai contoh, tangan yang sehat tidak dapat di-qishash untuk mengganti
tangan yang lumpuh, demikian pula kaki yang sehat tidak dapat di-qishash untuk
menggantikan kaki yang lumpuh.
3) Gugurnya hukuman Qishash.
Di samping terhalang oleh beberapa sebab yang telah dikemukakan di atas, hukuman
qishash juga dapat gugur karena beberapa sebab. Sebab-sebab tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Tidak adanya tempat (objek) qishash.
b) Pengampunan.
c) Perdamaian (shulh)
b. Hukuman Diyat.
Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk qishash apabila hukuman
qishash terhalang karena suatu sebab, atau gugur karena sebab-sebab yang telah
dibicarakan di atas. Diyat sebagai hukuman pengganti dalam tindak pidana atas selain
jiwa dengan sengaja. Di samping itu diyat juga merupakan hukuman pokok apabila
jinayahnya menyerupai sengaja atau kesalahan.
Diyat baik sebagai hukuman pokok maupun sebagai hukuman pengganti, digunakan
untuk pengertian diyat penuh (kamilah) yaitu seratus ekor unta. Adapun untuk hukuman
yang kurang dari diyat yang penuh (kamilah) maka digunakan untuk hukuman dari diyat
yang penuh (kamilah) maka digunakan istilah irsy )إرش ( . terdapat dua macam diyat
dalam tindak pidana atas selain jiwa, yaitu diyat kamilah dan diyat ghair kamilah. Diyat
kamilah atau diyat sempurna berlaku apabila manfaat jenis anggota badan dan
keindahannya hilang sama sekali. Hal ini terjadi dengan perusakan seluruh anggota badan
yang sejenis atau dengan menghilangkan manfaatnya tanpa merusak atau menghilangkan
bentuk atau jenis anggota badan. Adapun anggota badan yang berlaku diyat sempurna
adalah:
1) Anggota badan tanpa pasangan yaitu, hidung, lidah, kemaluan, tulang belakang
(ash-shulb), lubang kencing dan dubur, kulit, rambut, dan jenggot.
2) Anggota badan yang berpasangan yaitu, tangan, kaki, mata, telinga, alis, bibir,
payudara, telur kemaluan laki-laki, bibir kemaluan perempuan, pinggul, dan
tulang rahang.
3) Anggota badan yang terdiri dari dua pasang yaitu, kelopak mata dan bulu mata.
4) Anggota badan yang terdiri lima pasang atau lebih, yaitu jari tangan, jari kaki, dan
gigi.
Sedangkan untuk diyat ghair kamilah berlaku dalam ibanah al-athraf apabila jenis
anggota badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh.
Diyat ghair kamilah atau irsy ini berlaku untuk semua jenis anggota badan, baik tunggal
(tanpa pasangan) mapun yang berpasangan. Seperti misalnya, pada pemotongan satu jari
berlaku irsy muqaddar yaitu sepuluh ekor unta, dua jari dua puluh ekor unta dan
seterusnya.101
2. Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan.
Menghilangkan manfaat anggota badan tidak berarti menghilangkan jenis anggota
badan itu sendiri, yaitu yang hilang hanya manfaatnya saja, sedangkan jenis anggota
badannya masih tetap ada. Dengan demikian apabila di samping manfaatnya, anggota
badannya juga turut hilang atau rusak maka perbuatan tersebut termasuk anggota badan
(ibanah al-athraf), karena manfatnya mengikuti anggota badan.
Hukuman untuk tindak pidana menghilangkan manfaat anggota badan ini adalah
sebagai berikut:
a. Hukuman Qishash.
Meskipun faktor kesulitan untuk melaksanakan qishash dalam tindak pidana
menghilangkan manfaat ini sangat besar, namun menurut jumhur fuqaha selama hal itu
memungkinkan, tetap diupayakan untuk melaksanakannya. Apabila qishash betul-betul
tidak memungkinkan untuk dilaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diyat.
b. Hukuman Diyat.
Dalam hal manfaat yang menyatu dengan angota badannya maka apabila anggota
badannya hilang atau rusak, dan dengan sendirinya mengakibatkan lenyapnya manfaat,
hukuman yang dijatuhkan hanya satu diyat, yaitu diyat anggota badan. Apabila
manfaatnya lenyap, sedangkan anggota badanya masih tetap utuh barulah berlaku diyat
manfaat. Adapun dalam hal manfaat yang terpisah dari anggota badannya, apabila
101 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), Cet II, h. 198
anggota badan hilang atau rusak karena satu tindak pidana dan manfaatnya juga turut
lenyap maka dalam kasus ini pelaku dikenakan dua diyat, yaitu diyat anggota badan dan
diyat manfaat.102 Contohnya apabila seseorang memukul bagian telinga orang lain,
sehingga mengakibatkan hilangnya daun telinga dan daya pendengarannya maka ia
dikenakan dua diyat, yaitu diyat telinga dan diyat pendengaran.
Berikut ini diyat atau ganti rugi untuk sebagian manfaat anggota badan yang dianggap
sangat penting, antara lain:
1) Diyat akal.
Apabila seseorang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya akal, ia
dapat dikenakan hukuman diyat. Karena pada hakekatnya akal menyebabkan manusia
berbeda dengan binatang, sehingga manusia dibebani taklif. Oleh karena itu wajarlah
apabila seseorang melakukan tindak pidana yang menyebabkan hilangnya akal dikenakan
hukuman diyat, yaitu seratus ekor unta. Ketentuan ini didasarkan kepada hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Amr ibn Hazm yang di dalamnya disebutkan:
103)رواه البيهقى(وفى العقل مائة من اإلبل ... Artinya: “…dalam perusakan akal berlaku hukuman diyat yaitu seratur ekor unta”
(HR. Baihaqi) 2) Diyat pendengaran.
Apabila terjadi suatu tindak pidana yang mengkibatkan rusak atau lenyapnya daya
pendengaran, maka pelakunya dapat dikenakan hukuman diyat.
Sebagaimana hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Mu’adz bahwa Nabi Saw
bersabda:
102 Ibid., h. 209 103 Muhammad ibn Ismail Al-Kahlani, Subulussalam, Juz III, h. 247
) رواه البيهقى... (وفى السمع الدية... Artinya: “…Dalam melenyapkan daya pendengaran berlaku hukuman diyat…” (HR.
Baihaqi) Di samping hadits tersebut juga ada atsar sahabat yang diriwayatkan dari Abi
Qabilah, bahwa seseorang melempar orang lain dengan batu pada kepalanya sehingga
hilanglah pendengarannya, akalnya, pembicaraannya, dan kejantanannya, sedang
orangnya masih hidup. Maka Sayyidina Umar memutuskan dengan memberikan
hukuman empat macam diyat atau empat ratus ekor unta.
3) Diyat daya penglihatan.
Dalam menghilangkan daya penglihatan berlaku hukuman diyat, karena penglihatan
merupakan manfaat kedua mata. Apabila hilangnnya anggota badan mewajibkan
hukuman diyat, maka demikian pula menghilangkan manafaatnya. Apabila manfaat yang
hilang itu sebelah maka diyatnya adalah separuh, yaitu lima puluh ekor unta.104 Akan
tetapi apabila manfaat itu hilang bersama-sama dengan hilangnya kedua mata maka
hukumannya hanya satu diyat, yaitu diyat mata.
4) Diyat penciuman.
Menghilangkan daya penciuman dapat dikenakan hukuman diyat. Ketentuan ini
berdasarkan kepada hadits Nabi Saw dalam suratnya kepada Amr ibn Hazm, yang di
dalamnya disebutkan:
فى المشام الدية Artinya: “…Pada perusakan atau pelenyapan daya penciuman berlaku hukuman
diyat…”
104 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 275
Apabila seseorang memotong hidung orang lain yang mengakibatkan hilangnnya
daya penciuman hukumannya adalah dua diyat, karena penciuman terpisah dari hidung.
Apabila daya penciuman hilang sebelah lubang maka berlaku separuh diyat, yaitu lima
puluh ekor unta.
5) Diyat perasaan (Dzauq).
Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, dalam melenyapkan perasaan lidah (Dzauq)
berlaku hukuman diyat. Alasannya adalah mengkiaskan perasaan lidah kepada panca
indra yang lain, seperti penciuman. Di kalangan mazhab Hambali berkembang dua
pendapat. Pendapat pertama berlaku hukuman diyat, sedangkan menurut pendapat yang
ke dua tidak berlaku hukuman diyat.105
Hukuman diyat penuh ini berlaku apabila perasaan lidah hilang secara total. Akan
tetapi apabila rasa yang hilang itu hanya sebagian saja maka berlaku hukumah. Menurut
Imam Nawawi, indra perasa ini dapat mengetahui rasa manis, asam, pahit, asin, dan
sedap yang hukuman diyatnya dibagi-bagi sesuai dengan hilangnya rasa tersebut.106
6) Diyat kemampuan berbicara.
Apabila seseorang memotong lidah orang lain sehingga mengakibatkan hilangnya
kemampuan berbicara dan perasaan lidahnya maka untuk semua akibat tersebut pelaku
hanya dikenakan satu diyat, karena diyat kalam (berbicara) dan diyat rasa (dzauq) sudah
termasuk ke dalam diyat lidah. Akan tetapi apabila seseorang melakukan tindak pidana
sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara dan perasaan lidahnya
105 Ibid., 106 Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), Cet IV, h. 361
sedangkan lidahnya masih utuh, pelaku dikenakan dua diyat. Sedangkan menurut
sebagian fuqaha Hanabilah dalam kasus terakhir ini hanya berlaku satu diyat.107
Namun apabila dalam tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas niat pelaku
dan menyebabkan matinya korban, dalam hukum pidana Islam ia termasuk ke dalam
jarimah pembunuhan karena kesalahan )قتل الخطأ ( . Sebagaiamana firman Allah di
dalam Al-Qur’an :
﴾٩٢:﴿الـنساء... وماآان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إال خطأ Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (Q.S. An-Nisa: 92)
Menurut Haliman, dalam pengertian etimologi istilah al-khata’ berarti kesalahan,
keliru, tidak sengaja, salah, tersalah, dan dosa.108 Sedangkan Abdul Qadir ‘Audah
memberikan depinisi lain dari al-khata’ ialah sebagai berikut:
109.ولكنه أخطأ فى ظنه, هو ما قصد فيه الجانى الفعل دون الشخص: الخطأ Artinya :“Al-Khata’ ialah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak
mempunyai maksud untuk berbuat maksiat, tetapi terjadi karena kesalahannya baik kesalahan dalam perbuatan maupun kesalahan dalam persangkaan”.
Dari depinisi di atas dapat disimpulkan bahwa jarimah al-khata’ adalah suatu
perbuatan (tindak pidana) di mana pelaku tidak bermaksud melakukan tindak kejahatan
tersebut atau tidak sadar atas akibat yang terjadi karena tindakannya itu.
Terdapat tiga unsur dalam jarimah al-khata’ (pembunuhan tersalah), ialah110 :
107 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 276 108 Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam, h. 152 109 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, h 104 110 Ahmad Dzajuli, Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta,
Rajawali Pers, 2000) h. 134
1) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian;
2) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan;
3) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian
korban.
Dalam hukum pidana Islam mengenai sanksi pidana bagi pembunuhan karena
kesalahan dikenal adanya hukuman pokok (asli) yaitu Diyat dan Kafarat, dan hukuman
pengganti yaitu berpuasa )الصوم ( , juga adanya hukuman tambahan (mengikuti) ialah
pencabutan hak waris dan pencabutan hak wasiat. Berikut ini penjelasan secara singkat
dari ketiga hukuman tersebut:
1. Hukuman pokok )العقوبة األصلية(
a. Denda atau Diyat )الدية(
Diyat merupakan hukuman pokok dan bukan hukuman pengganti dari hukuman-
hukuman yang lain, karena terhadap perbuatan yang melawan hukum dalam pembunuha
karena kesalahan telah ditentukan hukumannya, dan cukup atasnya dikenakan diyat.
Adapun kadar diyatnya adalah tersendiri dari pembunuhan dengan sengaja (‘amdi) dan
pembunuhan semi sengaja (syibhul ‘amdi) yaitu seratus unta.111
Diwajibkannya diyat atas pembunuhan karena kesalahan (al-khata’) dapat terbagi
kedalam lima bagian (seperlima), yaitu 20 ekor unta yang sedang bunting (di dalamnya
ada anak betina), 20 ekor unta yang bunting (di dalamnya ada anak jantan), 20 ekor anak
unta betina yang berumur tiga tahun, 20 ekor unta yang layak, dan 20 ekor unta yang
masih muda. Pendapat ini disepakati oleh jumhur ulama (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I,
dan Hambali) yang menjadi dalil mereka adalah berdasarkan riwayat Abdullah Ibn
111 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 201
Mas’ud yang mengatakan, bahwa Rasulallah Saw bersabda: “Diyat bagi jarimah
pembunuhan karena kesalahan (al-khata’) ialah 20 ekor unta yang layak, 20 ekor unta
yang muda, 20 ekor unta yang bunting (di dalamnya ada anak betina), 20 ekor unta betina
berumur tiga tahun, dan 20 ekor unta yang bunting (di dalamnya ada anak jantan).
Mengenai tindakan seorang dokter yang mengakibatkan kematian, menurut pendapat
Abu Hanifah, As-Syatibi, dan An-Nakhai’ tidak adanya qishash, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Nu’man Basyir yang disambung riwayatnya hingga
Rasulallah Saw, (beliau bersabda): “Setiap cara pembunuhan itu dianggap tanpa sengaja,
kecuali pembunuhan dengan pedang (senjata tajam), dan setiap pembunhan tanpa sengaja
itu hanya wajib denda.112 Dalam susunan matan lain Rasullah saw bersabda:
)أخرجه البيهاقى (آل شئ خطأ إال السيف ولكل خطاء أرش Artinya: “Setiap suatu pembunuhan selain dengan senjata tajam dianggap tanpa
sengaja dan setiap pembunuhan tanpa sengaja itu hanya wajib denda”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Karena tindakan dokter yang mengakibatkan kematian itu tidak termasuk
menggunakan alat berat seperti yang diungkapkan hadits di atas, maka termasuk ke
dalam tanpa sengaja dan tidak wajib qishash melainkan denda. Akan tetapi menurut Al-
Hadawiyah dan Imam Malik, apabila pembunuhan dengan alat semacam itu biasanya
seperti tongkat, cambuk, serta tamparan maka wajib qishash. Sedangkan menurut Imam
Syafi’I, Abu Hanifah dan mayoritas ulama sahabat dan tabi’in, tidak wajib qishash dalam
pembunuhan semacam itu, karena itu menyerupai sengaja, pada pembunuhan yang
menyerupai sengaja itu wajib denda seratus ekor unta. Sebagai pemberatan denda, maka
di anatara seratus ekor unta tersebut harus ada 40 ekor unta yang sedang bunting. Hal ini
112 As-Shan’ani, Subulussalam, (Surabaya, Al-Ikhlash, 1995), Juz III, cet 1, h. 851
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan ulama pemilik kitab sunan selain
At-Tirmidzi dari Abdullah bin Amru:
إال وإن فى قتل الخطأ وشبح العمد ماآان باالسوط والعصا مائة من اإلبل فيها أربعون فى بطونها ) أخرجه أحمد وأهل السنن إال الترمذى (أوالدها
Artinya: “Ketahuilah sesungguhnya pada pembunuhan tanpa sengaja dan
menyerupai sengaja seperti pembunuhan dengan cambuk dan tongkat, seratus ekor unta dendanya, dalam seratus ekor unta ada empat puluh ekor unta yang dalam perutnya ada anaknya (yang sedang bunting)”.(diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlu sunan selain At-Tirmidzi).
b. Kafarat )الكفارة (
Landasan ditetapkannya hukuman kafarat ialah berdasarkan firman Allah dalam Al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 92:
آان من قوم ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله إال أن يصدقوا فإن... عدو لكم وهو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة وإن آان من قوم بينكم وبينهم ميثاق فدية مسلمة إلى أهله
﴾٩٢:﴿ النساء... تابعين توبة من اهللا وتحرير رقبة مؤمنة فمن لم يجد فصيام شهرين مت Artinya: “…Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaklah ia
memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin maka hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin, dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu maka hendaklah (si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara bertaubat kepada Allah…” (Q.S. An-Nisa: 92)
Kafarat merupakan hukuamn pokok (asli), yaitu memerdekakan hamba sahaya
(budak) yang mukmin, dan jika tidak mendapatkannya maka hendaklah berpuasa dua
bulan berturut-turut, sedangkan berpuasa merupakan hukuman pengganti, maka tidak
dapat dikenakan apabila sudah dikenakan hukuman pokok (asli).
Secara literal Nash Al-Qur’an di atas menerangkan bahwa kafarat telah disyari’atkan
terhadap pembunuhan karena kesalahan. Jumhur ulama telah sepakat bahwa kafarat wajib
atas pembunuhan karena kesalahan, dan begitu juga atas pembunuhan semi sengaja
(syibhul ‘amdi), karena menyerupai jarimah tersalah. Akan tetapi terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama tentang wajib tidaknya dikenakan kafarat pada setiap
pembunuhan. Menurut Imam Syafi’I kafarat itu wajib dikenakan atas pembunuhan
sengaja, karena apabila diwajibkan atas pembunuhan tersalah dengan tanpa
penyempurnaan dari jarimah tersebut, maka diwajibkan atas pembunuhan sengaja dan
semi sengaja, dan dikuatkan atas kejahatan yang pertama113. Pendapat ini berdasarkan
riwayat Ibn Asqa’I yang berkata: “Kami datang menemui Rasullah Saw untuk menemani
kami, dan telah mewajibkan pada setiap pembunuhan, Rasulallah Saw bersabda:
“Merdekakanlah hamba sahaya (budak) niscaya Allah merdekakan setiap anggota tubuh
atas anggota tubuh pada setiap pembunuhan dari api neraka”.
Sedangkan Imam Ahmad sependapat dengan Syafi’I, akan tetapi yang terkenal di
kalangan mazhabnya bahwa tidak ada kafarat atas pembunuhan sengaja. Mereka
berpendapat bahwa tidak ada kafarat pada pembunuhan sengaja, karena Nash Al-Qur’an
tersebut khusus diperuntukan bagi setiap pembunuhan dan tidak ditentukan kafarat, dan
sesungguhnya Allah memberikan balasan (hukuman) bagi pembunuhan sengaja itu ialah
qishash dari si pembunuh, berdasarkan kepada bahwa Suwaid Ibn Shamit membunuh
seorang laki-laki pada masa Nabi Saw, dan mewajibkan atasnya ukuran yang setimpal
dan tidak mewajibkan kafarat.
2. Hukuman pengganti )العقوبة البدلية (
113 Abdul Qadir ‘Audah, At-tasyri’ Al-Jinay Al-Islamiy, h. 172
Hukuman pengganti dalam pembunuhan karena kesalahan, yaitu berpuasa. Berpuasa
merupakan hukuman pengganti untuk hukuman kafarat yaitu memerdekakan hamba
sahaya (budak), tidak diwajibkan berpuasa apabila sudah memerdekakan hamba sahaya,
dan apabila tidak memperoleh hamba sahaya maka diwajibkan kepadanya berpuasa.
Adapun lamanya berpuasa ialah dua bulan, dan disyaratkan berpuasa berturut-turut.
Apabila dalam berpuasa itu terbagi-bagi pelaksanaanya, maka dihitung waktu yang layak
(patut). Apabila berpuasa dari awal bulan meskipun salah satu dari bulan tersebut
berkurang harinya, dan jika berpuasa pada pertengahan bulan maka dihitung jumlah
harinya, dengan perumpamaan jumlah bulan 30 (tiga puluh) hari.114
3. Hukuman tambahan atau mengikuti )العقوبة التبعية (
a. Pencabutan hak waris ) الحرمان من الميراث(
Dasar hukum yang menjadi pijakan bagi hukuman pencabutan hak waris dalam
pembunuhan karena kesalahan adalah hadist dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya yang
disambung sanadnya hingga Rasulullah Saw:
رواه مالك فى الموطأ (سمعت النبى صلى اهللا عليه وسلم يقول ليس للقاتل ميراث : عن عمر قال ) وأحمد وابن ماجه
Artinya: Dari umar berkata aku pernah mendengar Rasulallah Saw bersabda
“pembunuh tidak ada hak waris” (HR. Malik dalam Muwath-tha, Ahmad dan Ibn Majah).
b. Pencabutan hak wasiat ) الحرمان من الوصية(
Sedangkan dalil yang menjadi sandaran mengenai sanksi (hukuman) pencabutan hak
wasiat ialah seperti hadits Nabi Saw:
114 Ibid., 184
رواه (رث القاتل شيأ الي: عن عمر بن شعيب عن أبيه عن جده عن النبى صلى اهللا عليه وسلم قال ) أبوداود
Artinya: Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Saw, ia
bersada “seorang pembunh tidak dapat hak waris sama sekali” (HR. Abu Daud). Kata sesuatu )شئ( dalam hadits tersebut diartikan sebagai warisan dan termasuk juga
di dalamnya wasiat. Nash hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat
bahwa secara mutlak pembunuh tidak mendapat hak waris, baik pembunuhanya dengan
sengaja atau pun karena keliru, diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam
Syafi’I, Abu Hanifah dan kebanyakan ahli ilmu. Mereka juga mengatakan bahwa
pembunuh tidak mendapatkan hak waris, baik dari harta orang yang terbunuh itu sendiri
maupun harta yang berasal dari diyat.115
C. Analisa Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam.
Secara garis besar penulis mencoba menganalisa dengan cara menarik perbandingan
antara hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam mengenai permasalahan tindak
pidana profesi kedokteran yang menjadi objek kajian penulis dalam skripsi ini, dan telah
di uraikan secara ringkas pada bagian-bagian terdahulu dalam beberapa bab.
1. Persamaan
a. Ditinjau dari niat pelaku kejahatan.
Dari uraian sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana profesi
kedokteran adalah tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang dilakukan oleh
profesi kedokteran yang buruk dan berakibat hukum atas perbuatan tersebut.
115 Mu’ammal Hamidy dkk, Terjemah Nailul Authar, (Surabaya, PT Bina Ilmu, 2001), h. 2089
Begitu pula dalam perspektif hukum pidana Islam, ditinjau dari segi niat pelaku
tindak pidan atas selain jiwa dapat digolongkan kepada tindak pidana atas selain jiwa
dengan tidak sengaja atau karena kesalahan. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak
pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau karena kesalahan adalah:
والخطأ هو ماتعمد فيه الجانى الفعل دون قصد العدوان Artinya: “Perbuatan karena kesalahan adalah suatu perbuatan di mana pelaku
sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk melawan hukum”. Jelaslah bahwa dalam hukum pidan Indonesia dan hukum Pidana Islam adanya
persamaan, yaitu kejahatan (tindakan) itu dilakukan karena kesalahan (tidak sengaja) dan
tidak didasari oleh faktor-faktor kesengajaan dari diri si pembuat.
b. Ditinjau dari unsur-unsur tindak pidana profesi kedokteran
Dalam hukum pidana Indonesia, suatu tindakan dapat dikatakan sebagai tindak
pidana apabila secara teoritis memenuhi unsur-unsur yaitu:
1) melanggar hukum yang tertulis
2) bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum
3) berdasarkan kelalaian atau kesalahan yang besar.
Sedangkan unsur-unsur kesalahan (schuld) dalam pengertian pidana dalam suatu
perbuatan itu adalah:
1) bersifat betentangan dengan hukum
2) akibatnya dapat dibayangkan atau ada penduga-dugaan
3) akibatnya itu sebenarnya dapat dihindarkan atau ada unsur penghati-hatian
4) dapat dipertanggung jawabkan atau dipersalahkan kepadanya.
Dalam hukum pidana Islam, unsur-unsur dalam Jarimah Al-Khata’ (pembunuhan
tersalah) ialah:
1) adanya perbuatan yang menyebabkan kematian bagi korban
2) perbuatan itu terjadi karena kesalahan si pembuat
3) adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian
korban.
Akan tetapi ada sedikit perbedaan di antara keduanya, dalam hukum pidana Indonesia
mengenai tindak pidana profesi kedokteran yaitu fokusnya kausa atau sebab bukan
akibat. Namun secara garis besar adanya persamaan antara hukum pidana Indonesia dan
hukum Islam, yaitu dilihat dari unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kesalah atau
kelalaian yang dilakukan oleh para tenaga kedokteran.
2. Perbedaan dari segi sanksi pidananya
Mengenai bentuk sanksi bagi profesi kedokteran yang melakukan tindak pidana
dalam hukum pidana Indonesia terdapat di beberapa pasal dari KUHP dan UU No. 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
1. Sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP, antara lain:
a. Sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban menyimpan rahasia, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus
rupiah. (pasal 322 ayat (1) KUHP).
b. Sanksi pelanggaran kewajiban memberikan pertolongan, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah. (pasal 304 KUHP).
c. Sanksi bagi kejahatan nama baik seseorang, misalnya seorang dokter
memberitahukan kepada rumah sakit melalui surat untuk melarang temannya
bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Maka ancaman pidana atas perbuatan
penghinaan tersebut tercantum dalam (pasal 310 KUHP), dengan ancaman pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
d. Sanksi untuk kejahatan terhadap kesusilaan, seperti ilustrasi kasus seorang dokter
yang memeriksa seorang wanita tanpa didampingi oleh seorang perawat pun, tiba-
tiba si wanita tesebut menjerit, kemudian datanglah seorang laki-laki yang
mengaku sebagai suami dari wanita itu, pasien mengatakan kepada suaminya
kalau dokter memaksa untuk mencium atau memeluk si pasien, dan pasien akan
menuntut dokter karena perlakukan yang tidak sebagaimana mestinya yang
dialami oleh pasien. Maka seorang dokter diancam karena melakukan perbuatan
yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun (pasal 289 KUHP).
e. Hukuman atas kejahatan terhadap pemalsuan, yaitu seorang dokter yang
memberikan surat keterangan sakit palsu, dapat terkena ancaman pidana dengan
pidana penjara paling lama empat tahun (pasal 267 ayat (1) KUHP). Dan apabila
surat keterangan yang diberikan dengan maksud untuk memasukan seseorang ke
dalam rumah sakit jiwa atau menahannya di situ, maka dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun enam bulan (pasal 267 ayat (2) KUHP).
f. Sanksi bagi kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kesengajaan, seorang
dokter dincam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika secara melawan hukum memaksa orang
lain, supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan
memakai kekerasan (pasal 355 ayat (1) poin 1 KUHP). Perbuatan seorang dokter
sebagai kesengajaan di antaranya termasuk juga mengenai masalah Euthanasia,
dan merupakan tindakan yang dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling
lama dua belas tahun (pasal 344 KUHP), dan diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri (pasal 345 KUHP). juga
para tenaga kedokteran yang menggugurkan kandungan dengan atau tanpa
persetujuan seorang wanita yang bersangkutan, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun (pasal 347 ayat (1) KUHP), dan jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita tersebut, maka dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun (KUHP pasal 347 ayat 2). Serta para tenaga kedokteran
yang mengugurkan kandungan atas persetujuan seorang wanita, dapat diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan, dan apabila perbuatan
itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dincam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun (pasal 348 ayat 1 dan 2 KUHP).
g. Sanksi bagi kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kelalain (kealpaan),
walaupun tindakan dokter telah mendapat persetujuan dari pasien, namun bila
tindakan tersebut mengakibatkan kematian, maka terhadap dokter diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun (pasal 359 KUHP).
2. Sanksi pidana dalam Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
antara lain:
a. Sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban administrasi, yaitu dokter atau dokter
gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat
tanda registrasi (STR), dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tiga
tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) terdapat
dalam (pasal 75 ayat 1. UU Praktik Kedokteran). Dan seorang dokter atau dokter
gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi sementara, dapat terkena ancaman pidana penjara
paling lama tiga tahun atau denda paling banyak seratus juta rupiah (pasal 75 ayat
2 UU Praktik Kedokteran). juga dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP), maka dapat
terkena ancaman pidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda
paling banyak seratus juta rupiah (pasal 76 UU Praktik Kedokteran). Seorang
dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
melaksanakan praktik kedokteran wajib memasang papan nama praktik
kedokteran, apabila hal ini diindahkan dapat terkena ancaman pidana kurungan
paling lama satu tahun atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah (pasal 79
poin a UU Praktik Kedokteran).
b. Sanksi bagi pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban terhadap pasien,
seperti misalnya dokter atau dokter gigi dengan sengaja menyelenggarakan
praktik kedokteran tidak mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran
gigi, dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda
paling banyak lima puluh juta rupiah (pasal 79 poin c UU Praktik Kedokteran).
Dan dalam hal dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran dengan
sengaja tidak membuat rekam medis, maka apabila mengindahkan ketentuan
tersebut dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau
denda paling banyak lima puluh juta rupiah (pasal 79 poin b UU Praktik
Kedokteran). Serta dokter atau dokter gigi yang tidak dapat menyimpan rahasia
kedokteran, dapat terkena ancaman pidana dengan pidana kurungan paling lama
satu tahun atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah, ketentuan tersebut
terdapat dalam (pasal 79 poin c UU Praktik Kedokteran).
c. Sanksi bagi pelanggaran kewajiban yang berhubungan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan. Kewajiban seorang dokter atau dokter gigi adalah untuk selalu
menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran,
apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan oleh dokter atau dokter gigi, maka akan
terkena ancaman pidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau
denda paling banyak lima puluh juta rupiah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam
(pasal 79 poin c UU Praktik Kedokteran).
d. Sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Yang pertama yaitu
setiap orang yang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter, maka orang yang bersangkutan dapat terkena ancaman pidana dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak seratus lima
puluh juta rupiah (pasal 77 UU Praktik Kedokteran). Dan setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang memiliki surat tanda
registrasi atau surat izin praktik, maka dapat dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak seratus lima puluh juta rupiah,
berdasarkan (pasal 78 UU Praktik Kedokteran).
e. Sanksi pelanggaran yang ditunjukan bagi pimpinan atau sarana kesehatan
(korporasi), apabila mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki
surat izin praktik kedokteran untuk melakukan praktik kedokteran di sarana
pelayanan kesehatannya, maka orang atau badan hukum (korporasi) yang
memberikan izin tersebut terkena ancaman pidana dengan pidana penjara paling
lama sepuluh tahun atau denda paling banyak tiga ratus juta rupiah. Akan tetapi
apabila dilakukan oleh badan hukum (korporasi), maka pidana yang dijatuhkan
adalah denda dengan ditambah sepertiga atau dujatuhkan hukuman tambahan
berupa pencabutan hak, ketentuan di atas berdasarkan (pasal 80 ayat 1 dan 2 UU
Praktik Kedokteran).
Sedangkan dalam Islam, apabila dalam tindak pidana profesi kedokteran didasarkan
atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau obyek dari tindak pidana tersebut,
dapat dikategorikan kepada tindak pidana atas selain jiwa, yang hukumannya dikaitkan
kepada akibat yang timbul dari tindak pidana atas selain jiwa. Ditinjau dari segi objek
atau sasarannya, tindak pidana atas selain jiwa dibagi kepada lima bagian, yaitu
perusakan anggota badan atau sejenisnya, menghilangkan manfaatnya, syajjaj, jirah, dan
tindakan yang tidak termasuk keempat jenis tersebut. Hukuman untuk tindak pidana atas
selain jiwa tergantung kepada akibat yang timbul atas beberapa jenis tindak pidana
tersebut, baik perbuatannya dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.
Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi kepada dua bagian dari tindak pidana
atas selain jiwa, yaitu perusakan anggota badan atau sejenisnya dan menghilangkan
manfaatnya.
1) Hukuman untuk Ibanah (perusakan) Athraf dan semacamnya.
Hukuman pokok untuk perusakan athraf dengan sengaja adalah qishash, sedangkan
hukuman penggantinya adalah Diyat dan Ta’zir. Adapun hukuman pokok untuk
perusakan athraf yang menyerupai sengaja dan kesalahan adalah diat, sedangkan
hukuman penggantinya adalah ta’zir.
c. Hukuman Qishash.
Hukuman qishash merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana atas selain jiwa
dengan sengaja, sedangkan diat dan ta’zir merupakan hukuman pengganti yang
menempati tempat qishash. Menurut pendapat Imam Malik, Abu Hanifah dan sebagian
fuqaha Hanabilah, hukuman pokok (qishash) tidak mungkin dijatuhkan bersama-sama
dengan hukuman pengganti (diyat) dalam satu jenis pelukaan. Dengan demikian apabila
si pelaku sudah di-qishash untuk sebagian pelukaan, tidak ada hukuman diyat untuk
sisanya (sebagian pelukaan lainnya). Oleh karena itu dalam kasus semacam ini, korban
diwajibkan untuk memilih antara qishash tanpa diyat atau langsung mengambil diyat.
d. Hukuman Diyat.
Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk qishash apabila hukuman
qishash terhalang karena suatu sebab atau gugur karena sebab-sebab yang tidak dapat
dikenakan qishash.
Diyat baik sebagai hukuman pokok maupun sebagai hukuman pengganti, digunakan
untuk pengertian diyat penuh (kamilah) yaitu seratus ekor unta. Adapun untuk hukuman
yang kurang dari diyat yang penuh (kamilah), maka digunakan untuk hukuman dari diyat
yang penuh (kamilah) dengan istilah irsy )إرش ( . Terdapat dua macam diyat dalam
tindak pidana atas selain jiwa, yaitu diyat kamilah dan diyat ghair kamilah. Diyat
kamilah atau diyat sempurna berlaku apabila manfaat jenis anggota badan dan
keindahannya hilang sama sekali. Hal ini terjadi dengan perusakan seluruh anggota badan
yang sejenis atau dengan menghilangkan manfaatnya tanpa merusak atau menghilangkan
bentuk atau jenis anggota badan. Adapun anggota badan yang berlaku diyat sempurna
adalah:
1) Anggota badan tanpa pasangan yaitu, hidung, lidah, kemaluan, tulang belakang
(ash-shulb), lubang kencing dan dubur, kulit, rambut, dan jenggot.
2) Anggota badan yang berpasangan yaitu, tangan, kaki, mata, telinga, alis, bibir,
payudara, telur kemaluan laki-laki, bibir kemaluan perempuan, pinggul, dan
tulang rahang.
3) Anggota badan yang terdiri dari dua pasang yaitu, kelopak mata dan bulu mata.
4) Anggota badan yang terdiri lima pasang atau lebih yaitu, jari tangan, jari kaki, dan
gigi.
Sedangkan untuk diyat ghair kamilah berlaku dalam ibanah al-athraf apabila jenis
anggota badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh.
Diyat ghair kamilah atau irsy ini berlaku untuk semua jenis anggota badan, baik tunggal
(tanpa pasangn) mapun yang berpasangan. Seperti misalnya, pada pemotongan satu jari
berlaku irsy muqaddar yaitu sepuluh ekor unta, dua jari dua puluh ekor unta dan
seterusnya.
2) Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan.
Hukuman untuk tindak pidana menghilangkan manfaat anggota badan ini adalah
sebagai berikut:
a. Hukuman Qishash.
Meskipun faktor kesulitan untuk melaksanakan qishash dalam tindak pidana
menghilangkan manfaat ini sangat besar, namun menurut jumhur fuqaha selama hal itu
memungkinkan, tetap diupayakan untuk melaksanakannya. Apabila qishash betul-betul
tidak memungkinkan untuk dilaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diyat.
b. Hukuman Diyat.
Hukuman diyat dikenakan apabila manfaat dari anggota badan hilang atau rusak
karena suatu tindak pidana, baik manfaat itu menyatu maupun terpisah dari anggota
badan. Berikut ini diyat atau ganti rugi untuk sebagian manfaat anggota badan yang
dianggap sangat penting, antara lain:
1. Diyat akal.
Apabila seseorang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya akal, ia
dapat dikenakan hukuman diyat, yaitu seratus ekor unta. Ketentuan ini didasarkan kepada
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Amr ibn Hazm yang di dalamnya disebutkan:
)رواه البيهقى(وفى العقل مائة من اإلبل ... Artinya: “…dalam perusakan akal berlaku hukuman diyat yaitu seratur ekor unta”
(HR. Baihaqi) 2. Diyat pendengaran.
Apabila terjadi suatu tindak pidana yang mengkibatkan rusak atau lenyapnya daya
pendengaran, maka pelakunya dapat dikenakan hukuman diyat. Dalam hal diyat bagi
pendengaran Sayyidina Umar memutuskan dengan memberikan hukuman empat macam
diyat atau empat ratus ekor unta. Sebagaimana hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh
Mu’adz bahwa Nabi Saw bersabda:
) رواه البيهقى... (وفى السمع الدية... Artinya: “…Dalam melenyapkan daya pendengaran berlaku hukuman diyat…” (HR.
Baihaqi) 3. Diyat daya penglihatan.
Hukuman bagi tindak pidana yang menghilangkan daya penglihatan adalah separuh
diyat, yaitu lima puluh ekor unta. Karena penglihatan merupakan manfaat kedua mata.
Apabila hilangnnya anggota badan mewajibkan hukuman diyat, maka demikian pula
menghilangkan manafaatnya. Akan tetapi apabila manfaat itu hilang bersama-sama
dengan hilangnya kedua mata maka hukumannya hanya satu diyat, yaitu diyat mata.
4. Diyat penciuman.
Tindakan yang dapat menghilangkan daya penciuman bagi pelakunya dapat
dikenakan hukuman diyat. Apabila seseorang memotong hidung orang lain yang
mengakibatkan hilangnnya daya penciuman hukumannya adalah dua diyat, karena
penciuman terpisah dari hidung. Apabila daya penciuman hilang sebelah lubang maka
berlaku separuh diyat, yaitu lima puluh ekor unta.
5. Diyat perasaan (Dzauq).
Para ulama fuqaha berbeda pendapat tentang berlakunya hukuman diyat bagi tindakan
yang menghilangkan daya perasaan. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, dalam
melenyapkan perasaan lidah (dzauq) berlaku hukuman diyat. Alasannya adalah
mengkiaskan perasaan lidah kepada panca indra yang lain, seperti penciuman. Di
kalangan mazhab Hambali berkembang dua pendapat. Pendapat pertama berlaku
hukuman diyat, sedangkan menurut pendapat yang kedua tidak berlaku hukuman diyat
6. Diyat kemampuan berbicara.
Apabila seseorang memotong lidah orang lain, sehingga mengakibatkan hilangnya
kemampuan berbicara dan perasaan lidahnya maka untuk semua akibat tersebut pelaku
hanya dikenakan satu diyat, karena diyat kalam (berbicara) dan diyat rasa (dzauq) sudah
termasuk ke dalam diyat lidah. Akan tetapi apabila seseorang melakukan tindak pidana
sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara dan perasaan lidahnya
sedangkan lidahnya masih utuh, pelaku dikenakan dua diyat.
Sedangkan apabila dalam tindak pidana kedokteran didasarkan atas niat pelaku dan
mengakibatkan meninggalnya korban, dalam hukum pidan Islam termasuk kepada
jarimah pembunuhan karena kesalahan yang sanksi pidananya meliputi , )قتل الخطأ(
hukuman pokok (asli). Pertama yaitu denda atau diyat. Adapun kadar diyatnya adalah
seratus ekor unta, yang dalam seratus unta tersebut harus ada 40 ekor unta yang bunting,
20 ekor unta betina berumur tiga tahun, 20 ekor unta yang layak, dan 20 ekor unta yang
masih muda. Kedua dari hukuman asli bagi jarimah pembunuhan karena kesalahan (al-
hata’) adalah Kafarat, yang berupa memerdekakan hamba sahaya (budak) yang Muslim.
Akan tetapi apabila tidak menemukan atau mempunyai maka hendaklah berpuasa.
Selain hukuman asli bagi jarimah pembunuhan karena kesalahan (al-khata’) dalam
hukum pidana Islam dikenal juga adanya hukuman pengganti yaitu berpuasa. Dalam
menjalankan hukuman berpuasa disyaratkan berpuasa dua bulan berturut-turut.
Sedangkan berpuasa adalah hukuman pengganti dari hukuman kafarat yaitu
memerdekakan hamba sahaya, maka tidak diwajibkan berpuasa apabila sudah
memerdekakan hamba sahaya, dan apabila tidak menemukan maka hendaklah berpuasa.
Dan yang terakhir yaitu hukuman tambahan (mengikuti) bagi jarimah pembunuhan
karena kesalahan (al-khata’), yaitu berupa pencabutan hak waris dan pencabutan hak
wasiat. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam hadits Nabi Muhammad Saw :
رواه (عن عمر بن شعيب عن أبيه عن جده عن النبى صلى اهللا عليه وسلم قال ال يرث القاتل شيأ ) أبوداود
Artinya: Dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Saw, ia
bersabda “seorang pembunuh tidak bisa mendapat hak waris sama sekali” (HR. Abu Daud).
Ada sedikit persamaan antara sanksi pidana atau hukuman dalam hukum pidana
Indonesia dan hukum pidana Islam, yaitu dalam hukum pidana Indonesia dikenal adanya
hukuman denda seperti yang tertera pada beberapa pasal dalam KUHP dan Undang-
undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di atas, sedangkan istilah denda
merupakan prinsif dasar (konsep) dari hukuman-hukuman yang terdapat dalam hukum
pidana Islam yang dikenal dengan istilah Diyat. Akan tetapi yang membedakan antara
keduanya hanyalah dari segi kadar besaran dendanya yang dibebankan kepada pelaku
tindak pidana.
Jika ditinjau dari segi teori pemidanaan atas penjatuhan suatu hukuman. Hukuman-
hukuman yang terdapat dalam syari’at Islam sangatlah komprehensif. Karena di
dalamnya mengakomodasi beberapa aspek, diantaranya aspek yang bersinggungan
dengan hubungan sesama manusia yaitu berupa pemberlakuan sanksi qishash yang
sepenuhnya diserahakan kepada korban dan merupakan hak baginya. Dan adanya
pemberlakukan Diyat dan Kafarat yang merupakan suatu keharusan untuk ditunaikan
oleh pembuat suatu jarimah. Serta adanya aspek Rububiyah yaitu hubungannya langsung
dengan Allah Swt, seperti ditetapkannya hukuman berpuasa. Sementara sanksi dalam
hukum yang berlaku di Indonesia lebih bersifat pertalian antara pelaku kejahatan dengan
korban dari suatu tindak pidana. Hal ini dikarenakan sanksi pidana dalam syari’at Islam
tidak sama dengan hukum buatan manusia yang aturan-aturannya ada setelah terjadinya
suatu kejadian yang dikiranya perlu dibuat suatu aturan dan sanksi, jika perbuatan
tersebut termasuk ke dalam tindak pidana ataupun kriminal.
Di samping itu syari’at Islam dalam menjatuhkan hukuman mempunyai tujuan untuk
membentuk masyarakat yang baik dan yang kuasai oleh rasa saling menghormati dan
mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan
kewajibannya. Karena suatu jarimah pada hakekatnya adalah perbuatan yang tidak
disenangi dan menginjak-injak keadilan serta mengakibatkan kemarahan masyarakat
terhadap pembuatnya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap korbannya,
maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain merupakan salah satu cara
menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap perbuatan atau pembuat yang
telah melanggar kehormatannya dan merupakan usaha penenangan terhadap diri korban.
Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh
pembuat dan semata-mata memohon pengampunan dari sang Khaliq Allah Swt. Dengan
demikian maka terwujudlah rasa keadilan dan ketentraman dalam kehidupan manusia.
D. Contoh Kasus Seputar Tindak Pidana Profesi Kedokteran.
Istilah tindak pidana profesi kedokteran merupakan istilah yang asing dan merupakan
istilah yang baru dalam disiplin ilmu hukum. Kebanyakan para fakar menggunakan
istlah “Medical Malpractice” atau dikenal dengan istilah “kelalaian medik” bagi tindak
pidana profesi kedokteran. Maka dalam sus bab ini kasus-kasus yang penulis angkat ke
permukaan ialah seputar masalah malpraktik medik.
Menurut dr. Kartono Muhammad yang merupakan mantan ketua umum IDI,
mengatakan bahwa “malpraktik merupakan kasus yang amat jarang terjadi, dan jika jatuh
vonis pun biasanya terkena pasal perdata, yang paling banter cuma mengganti kerugian
yang diderita pasien atau pihaknya”.116 Sedangkan Ikatan Dokter Indonesia tidak bisa
berbuat apa-apa sebelum adanya kepastian hukum dari pengadilan. Sanksi pencabutan
izin praktik misalnya, baru bisa dilakukan setelah adanya kejelasan hukum tersangaka
oleh pengadilan. Oleh karena itu dalam hal ini penulis hanya menggambarakan kasus-
kasus yang terindikasi sebagai tindakan malpraktik yang dilakukan oleh para pengemban
profesi kedokteran.
Kehilangan orang yang kita cintai akibat kematian selalu menorehkan luka hati yang
cukup dalam. Namun, jika kematian itu terjadi karena kesalahan yang sebetulnya dapat
dihindari tentunya akan membuat penyesalan dan kesedihan yang jauh lebih
menyakitkan.
Gambaran itulah yang umumnya dialami oleh keluarga korban kesalahan praktik
kedokteran atau malpraktik. Kepergian anak, orang tua, kerabat dan sahabat akibat
kesalahan diagnosa, terapi atau obat terkadang membuat kegeraman dan rasa kehilangan
yang sangat mendalam. Terlebih lagi, jika kematian itu sebenarnya dapat dihindari
senadainya dokter atau tenaga medis bersikap hati-hati dan waspada.
Hal tersebut sebagaimana yang dialami oleh sepasang suami-isteri, Lilin Tri
Murwani, 34 tahun dan Hasanudin Harahap, 30 tahun. Kasus ini berawal ketika Tri
116 Luthfi Assyaukanie, Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1998), cet pertama, h. 187
melahirkan bayinya, Aldi Nusafitra di RS Islam Jakarta, 7 September 2006 lau.117 Proses
persalinan dilakukan oleh dr. Susilowati melalui operasi sesar. Perawatan bayi yang
diduga mengidap penyakit kuning di bawah pengawasan dr. Omi, sepesialis anak.
Setelah persalinan, Tri dan bayinya dirawat selama 4 hari di rumah sakit itu. Karena
penyakitnya, Aldi disarankan untuk dirawat dua hari lagi. Menurut Tri “Tapi baru dua
hari, anak saya diperbolehkan pulang”.
Sesampainya di rumah, Aldi mengalami kejang-kejang. Karenanya Tri membawa
bayinya ke RS tempat Aldi dilahirkan. Di sana, Aldi hanya dimasukan ke instalasi gawat
darurat. “Anak saya hanya dikasih oksigen dan tidak ada dokter yang menjaga, padahal
ia kejang-kejang”. Kata Tri, warga Cempaka Baru IV, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Dengan alasan ruang Intensif Care Unit (ICU) penuh, seorang suster menyarankan
untuk mencari runah sakit lain agar bisa dirawat dalam ICU. Lalu Aldi dirujuk ke RSAB
Harapan Kita. Untuk bisa masuk ke RS Harapan Kita, keluarga pasien harus membayar
lebih dahulu uang muka Rp. 7,5 juta. Dari hasil pemeriksaan, dokter menyatakan Aldi
mengalami pendarahan di otak. Menurut Hasanudin ayahnya Aldi “Padahal di RS Islam,
Aldi dinyatakan kena penyakit kuning”.
Selama 24 hari dirawat di RSAB, kondisi Aldi makin memprihatinkan. Bayi malang
itu akhirnya meninggal 7 Oktober 2006 lalu. “Akibat kesalah diagnosa, anak saya
meninggal. Saya merasa dipermainkan”. Kata Hasanudin.
Hal senada juga dialami oleh (almh) Sita Darwati Darmoko, kasus ini bermula saat
almarhumah Sita Dewi melakukan operasi tumor di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI)
117 Muchamad Nafi, “Dokter RS Islam Jakarta dilaporkan Malparaktek”, artikel diakses pada 4
Oktober 2007 dari http:// www. tempointeraktif. com/hg
pada 12 Febuari 2005 lalu.118 Tim dokter yang melakukan operasi itu di pimpin Prof DR.
Ichramsyah A. Rachman, dimana saat itu berdasarkan hasil uji Pathology Anatomi (PA)
bahwa tumor yang menjangkit di tubuh Sita dinyatakan tidak ganas. Setelah tumor itu
diangkat, sampelnya dikirim untuk dites lagi. Hasilnya, pada 16 Februari 2005, PA justru
menunjukkan fakta yang sebaliknya. Tumor yang ada di ovarium Sita ternyata ganas.
Namun PA ini tidak pernah dikabarkan ke Sita maupun keluarganya.
Setelah setahun berlalu. Tepatnya pada 16 Februari 2006, Sita mengeluhkan adanya
benjolan di sekitar perutnya. Saat berkonsultasi dengan dokter dari RSPI, baru pada saat
itulah Sita diberitahu hasil PA-nya yang menyatakan bahwa tumor ganaslah yang
menggerogoti tubuhnya. Disitulah emosi Sita membuncah. Ia menilai tidak adanya
koordinasi dan pertanggung jawaban antara dokter dan manajemen rumah sakit untuk
menyampaikan hasil PA yang sebenarnya. Karenanya, Sita merasa telah kehilangan
waktu selama satu tahun untuk menyembuhkan tumor yang ternyata ganas itu. Dan benar
saja. Ketika baru menjalani beberapa kali terapi, nyawa Sita tidak tertolong lagi. Dan
akhinya ia pun menghembuskan napas yang terakhir.
Merasa adanya faktor keteledoran dokter dan RSPI, Pitra Azmirla dan Damitra
Almira, anak (almh) Sita Dewi kemudian menuntut pertanggung jawaban. Pihak RSPI
juga bukannya tidak mau bertanggung jawab. Kepada Pitra dan Damitra, RSPI
menawarkan uang sejumlah Rp. 400 juta. Belakangan, RSPI menaikkannya hingga Rp1
miliar. Namun Pitra dan Damitra tidak mau menerimanya. Karena buntu, keduanya
kemudian mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Selatan.
118 Diakses pada 4 Oktober 2007 dari http: //hukumonline. com/detail.asp?id=17505&cl=Berita
Kejadian serupa juga dialmi oleh Mesdiwanda Sitepu, seorang ibu rumah tangga,
yang bertempat tinggal di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Peristiwa itu bermula ketika Mesdiwanda melahirkan bayinya yang bernama Andreas
Paska Vinindo di rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta Timur.119 Saat Mesdiwanda
dinyatakan positif hamil, proses kehamilannya ditangani dan diperiksa kesehatanya oleh
bidan Herawati di RS Pasar Rebo, dan sewaktu umur kandungannya berusia 7-8 bulan,
kondisi janin dinyatakan sehat sesuai dengan hasil USG. Demikian juga dengan
pertumbuhan janinnya dan diperkirakan lahir pada tanggal 19 April 2001.
Pada tanggal 21 April 2001, sekitar pukul 00:45 Wib, Mesdiwanda melalui proses
Vacum hingga 3 (tiga) kali melahirkan bayi laki-laki, Andreas Paska Vinindo, dengan
berat badan 300 gram dan panjang badan 51 cm. Dan saat proses kelahiran tersebut
Andreas tidak menangis dan langsung dibawa ke ruang perawatan anak.
Kemudian dokter anak yang merawat Andreas menyatakan kepada ibunya, bahwa di
kepala Andreas banyak cairan dan terjadi pendarahan pada otak yang diakibatkan luka
sewaktu dilakukan Vacum. Dan pada tanggal 23 April 2001 dokter yang merawat
Andreas mengatakan kepada Mesdiwanda dan suaminya bahwa Andreas dalam keadaan
“kritis”.
Dengan alasan di RS Pasar Rebo tidak mempunyai spesialis syaraf, seorang dokter
spesialis anak menganjurkan agar Andreas dirujuk ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo,
akan tetapi sesampainya di RS Cipto Mangunkusumo, suami Mesdiwanda tidak
menemukan dokter syaraf, karena sedang mengikuti pendidikan ke luar Negeri.
Kemudian pihak RS Cipto Mangunkusumo merujuk kembali Andreas ke rumah sakit
119 Riset kasus Malpraktik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan, Jl. Manggarai Utara IV
No. D-8, Jakarta Selatan, pada tanggal 26 September 2007
Gatot Sobroto untuk menjalankan operasi, agar dapat melakukan operasi keluarga pasien
harus lebih dahulu membayar uang muka sebesar Rp. 10.000.000
Karena ketidak mampuan biaya, maka Mesdiwanda dan suaminya membawa kembali
Andreas ke RS Pasar Rebo. Kemudian pihak RS Pasar Rebo merujuk kembali Andreas ke
rumah sakit Harapan Bunda untuk melakukan CT Scan. Berdasarkan hasil CT Scan dari
RS Harapan Bunda, bahwa terjadi pendarahan di luar tengkorak syaraf otak Andreas.
Setelah itu dokter di RS Pasar Rebo menyarankan Andreas untuk dilakukan penyedotan
pada bagian kepala, dan kepada Mesdiwanda disuruh untuk membeli alat sedot dan resep
untuk menyedot cairan di kepala anaknya, namun dokter tersebut tidak mempergunakan
alat yang telah dibeli oleh Mesdiwanda. Dan pada tanggal 10 Mei 2001, Mesdiwanda
membawa anaknya pulang ke rumah dengan tetap mengalami pendarahan di luar
tengkorak syaraf otak yang menyebabkan Andreas cacat seumur hidup.
Merasa adanya kejanggalan dalam pelayanan medis terhadap anaknya, maka
Mesdiwanda melalui kuasa hukumnya, Danco Tohanes, SH, A. Nazara, SH, dkk dari
(LBH Kesehatan) memperkarakan kasus ini ke pengadilan Negeri Jakarta Timur. Dengan
melakukan gugatan perdata kepada bidan Herawati, pihak rumah sakit Pasar Rebo, dan
Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Kesehatan Republik Indonesia, yang telah
melakukan perbuatan melawan hukum pada saat dan pasca melakukan tindakan medik
dan pengobatan terhadap Andreas yang merupakan anak dari Mesdiwanda, di mana
akibat tindakan medik yang dilakukan tersebut mengakibatkan Andreas mengalami
pendarahan di luar tengkorak syaraf otak yang menyebabkan cacat seumur hidup.
Setelah melihat contoh-contoh kasus dugaan malpraktik medik diatas, kita
sepenuhnya menyadari bahwa begitu besar dampak yang ditimbulkan akibat kasus
malpraktik medik, terlebih lagi sulit membuktikan di pengadilan bahwa kasus yang
diduga malpraktik medik menjadi kategori kasus malpraktik medik.
Terlepas dari faktor ajal yang menjadi hak preogratif Tuhan, namun kasus malpraktik
telah banyak menelan korban. Kematian dan kecacatan adalah harga yang harus dibayar
pasien karena keteledoran tenaga-tenaga kedokteran. pasien di Indonesia pada umumnya
pasrah terhadap kesalahan atau kelalaian dokter. Biasanya para pasien itu tidak menuntut
dokter yang telah merugikan mereka.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas pada bab-bab sebelumnya terhadap permasalahan yang
diangkat dalam skripsi ini, penulis mengambil beberapa kesimpulan:
1. Yang dimaksud dengan profesi kedokteran dalam hukum Indonesia adalah, Secara
bahasa (etimologis) pengertian dokter dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan
sebagai “Lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan
pengobatannya”. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Bab I (Ketentuan
Umum) pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai
pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran
yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Sedangkan dalam literatur Islam, pengertian dari perofesi kedokteran dijelaskan
bahwa kata dokter )الطبيب( , berasal dari akar kata )وطبيبا- طبا- يطب-طب ( merupakan
bentuk transitif yang maknanya mengobati. Yang bentuk jamaknya adalah ) أطبة و
)أطباء , dan bentuk muannasnya adalah )طبيبة( . Kemudian asal kata )الطبيب( oleh Ibn al-
Manzur diartikan sebagai :
وبه سمي الطبيب الذى يعالج المرضى, العارف بها, الطبيب فى األصل هو ألحادق باألمور
Artinya: “Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap atau ahli dalam segala permasalahan, dan mengethaui tentang segala sesuatu, dan dikatakan dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang saki.”
2. Mengenai hak profesi kedokteran dalam pandangan hukum Indonesia tertuang dalam
pasal 50 Undang-undang Nomor. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
menjelaskan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, memberikan
pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasianal,
memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya, dan
menerima imbalan jasa.
Sedangkan kewajiban profesi kedokteran terdapat dalam pasal 51 undang-undang
praktik kedokteran, yang menerangkan bahwa dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban memberikan pelayanan
medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan
medis pasien, merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan pertolongan
darurat atas dasar perikemanusian, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas
dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Dalam ajaran Islam, secara garis besar kewajiban-kewajiban tenaga kedokteran
muslim adalah:
7) Kewajiban dokter muslim yang terberat adalah beribadah dan beramal sebanyak-
banyaknya.
8) Senantiasa mempelajari dan menerapkan pengetahuan kedokteran serta
pengetahuan agama secara berimbang dalam kehidupanya sehari-hari.
9) Pendekatan kepada pasiennya selalu bersifat holistik.
10) Menghormati dan memulyakan orang sakit.
11) Senantiasa menunjukan kasih sayang kepada orang sakit.
12) Senantiasa menggembirakan dan memberikan harapan hidup, guna menumbuhkan
kekuatan dan harapan dalam hati penderita.
3. Dalam pandangan hukum pidana Indonesia bahwa yang dimaksud dengan tindak
pidana profesi kedokteran adalah tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang
dilakukan oleh profesi kedokteran yang buruk dan berakibat hukum atas perbuatan
tersebut.
Suatu perbuatan atau tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, apabila secara
teorotis memenuhi setidaknya tiga unsur yaitu, melanggar norma hukum yang tertulis,
bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum dan berdasarkan suatu kelalaian
atau kesalahan besar.
Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang dikenakan kepada dokter atau dokter gigi
yang memenuhi unsur-unsur rumusan tindak pidana dalam KUHP, antara lain yang
berkaitan dengan masalah pelanggaran kewajiban dokter atau dokter gigi, kejahatan
terhadap nama baik seseorang, kejahatan terhadap kesusilaan, kejahatan terhadap
pemalsuan, kejahatan terhadap tubuh dan nyawa karena kesengajaan, dan kejahatan
terhadap tubuh dan nyawa karena kelalaian.
Adapun bentuk hukuman yang terberat dalam KUHP adalah pidana penjara paling
lama lima belas tahun (KUHP pasal 347 ayat 2), atas kejahatan terhadap tubuh dan
nyawa karena kesengajaan, yaitu dalam hal tindakan dokter yang menggugurkan
kandungan tanpa persetujuan dari wanita dan mengakibatkan matinya wanita tersebut.
Dan hukuman yang terendah adalah pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah (pasal 310 KUHP), yaitu dalam hal dokter yang
melakukan kejahatan nama baik seseorang berupa perbuatan penghinaan.
Sedangakan ketentuan di luar KUHP diatur dalam Undang-undang Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, diantanya yang mengatur tentang Pelanggaran
terhadap kewajiban Administrasi, Pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban
terhadap pasien, Pelanggaran yang berhubungan dengan perkembangan ilmu
kedokteran, Pelanggaran yang dilakukan orang lain, dan Pelanggaran yang dilakukan
oleh pimpinan sarana kesehatan atau badan hukum (korporasi).
Sanksi pidana yang terberat dalam Undang-undang No. 29 tahun 2004 (UU Praktik
Kedokteran) adalah pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling
banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah), dalam pelanggaran yang dilakukan
oleh pimpinan saran kesehatan atau badan hukum (korporasi), yaitu pimpinan saran
kesehatan yang mengizinkan dokter yang tidak mempunyai surat izin praktik untuk
melakukan praktik kedokteran di sarana kesehatannya, apabila hal itu dilakukan oleh
badan hukum (korporasi) maka pidana yang dijatuhkan adalah denda dengan
ditambah sepertiga atau ditambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak (pasal
80 ayat 1 dan 2 UU Praktik Kedokteran). Adapun hukuman yang rendah dalam
Undang-undang Praktik kedokteran yaitu mengenai pelanggaran yang berhubungan
dengan kewajiban terhadap pasien, yang sanksi pidananya berupa pidana kurungan
paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) apabila dokter dalam melakukan praktik kedokterannya tidak membuat rekam
medis (pasal 79 pon b UU Praktik Kedokteran).
Dalam pandangan hukum pidana Islam, apabila tindak pidana profesi kedokteran
didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau obyek dari tindak
pidana tersebut, dapat dikategorikan kepada tindak pidana atas selain jiwa ) جناية على
)ما دون النفس .
Ditinjau dari objek atau sasaranya, tindak pidana atas selain jiwa baik sengaja
maupun tidak sengaja dapat dibagi ke dalam lima bagian, yaitu penganiayaan atas
anggota badan dan semacamnya, menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan
jenisnya masih tetap utuh, asy-syajjaj atau pelukaan khusus pada bagian muka dan
kepala, al-jirah atau pelukaan pada anggota badan selain wajah, dan kepala, dan
tindakan selain dari keempat bagian tersebut.
Adapun hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa tergantung kepada akibat yang
timbul atas beberapa jenis tindak pidana tersebut, baik perbuatannya dilakukan
dengan sengaja maupun tidak sengaja. Dalam hal ini penulis hanya membatasi kepada
dua bagian dari tindak pidana atas selain jiwa, yaitu perusakan anggota badan atau
semacamnya dan menghilangkan manfaatnya.
3) Hukuman untuk Ibanah (perusakan) Athraf dan semacamnya.
Hukuman qishash merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana atas selain jiwa
dengan sengaja, sedangkan diat dan ta’zir merupakan hukuman pengganti yang
menempati tempat qishash, apabila hukuman qishash terhalang karena suatu sebab
atau gugur karena sebab-sebab yang tidak dapat dikenakan qishash. Anggota-anggota
badan yang berlaku diyat sempurna adalah:
5) Anggota badan tanpa pasangan yaitu, hidung, lidah, kemaluan, tulang
belakang (ash-shulb), lubang kencing dan dubur, kulit, rambut, dan jenggot.
6) Anggota badan yang berpasangan yaitu, tangan, kaki, mata, telinga, alis, bibir,
payudara, telur kemaluan laki-laki, bibir kemaluan perempuan, pinggul, dan
tulang rahang.
7) Anggota badan yang terdiri dari dua pasang yaitu, kelopak mata dan bulu
mata.
8) Anggota badan yang terdiri lima pasang atau lebih yaitu, jari tangan, jari kaki,
dan gigi.
4) Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan.
Hukuman untuk tindak pidana menghilangkan manfaat anggota badan ini adalah
hukuman Qishash. Apabila qishash betul-betul tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diyat.
Hukuman diyat dikenakan apabila manfaat dari anggota badan hilang atau rusak
karena suatu tindak pidana, baik manfaat itu menyatu maupun terpisah dari anggota
badan. Diyat atau ganti rugi untuk sebagian manfaat anggota badan yang dianggap
sangat penting, antara lain: (1). Diyat menghilangkan akal yaitu seratus ekor unta, (2).
Diyat pendengaran, dalam hal diyat bagi pendengaran Sayyidina Umar memutuskan
dengan memberikan hukuman empat macam diyat atau empat ratus ekor unta, (3).
Diyat daya penglihatan. Hukumannya adalah separuh diyat, yaitu lima puluh ekor
unta, (4). Diyat penciuman, apabila daya penciuman hilang sebelah lubang maka
berlaku separuh diyat, yaitu lima puluh ekor unta, (5). Diyat perasaan (Dzauq).
Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, dalam melenyapkan perasaan lidah (dzauq)
berlaku hukuman diyat. Alasannya adalah mengkiaskan perasaan lidah kepada panca
indra yang lain, seperti penciuman, (6). Diyat kemampuan berbicara, apabila
seseorang melakukan tindak pidana sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan
berbicara dan perasaan lidahnya sedangkan lidahnya masih utuh, pelaku dikenakan
dua diyat.
Sedangkan apabila dalam tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas niat
pelaku dan mengakibatkan meninggalnya korban, dalam hukum pidana Islam
termasuk kepada jarimah pembunuhan karena kesalahan yang sanksi , )قتل الخطأ(
pidananya meliputi hukuman pokok (asli), pertama yaitu denda atau diyat. Adapun
kadar diyatnya adalah seratus ekor unta, kedua yaitu kafarat, yang berupa
memerdekakan hamba sahaya (budak) yang Muslim.
Selain hukuman asli bagi jarimah pembunuhan karena kesalahan (al-khata’) dalam
hukum pidana Islam dikenal juga adanya hukuman pengganti yaitu berpuasa. Dalam
menjalankan hukuman berpuasa disyaratkan berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan
yang terakhir hukuman tambahan (mengikuti) bagi jarimah pembunuhan karena
kesalahan (al-khata’), yaitu berupa pencabutan hak waris dan pencabutan hak wasiat.
4. Persamaan pandangan antara hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam
mengenai tindak pidana profesi kedokteran terdiri dari dua aspek tinjauan, yaitu
ditinjau dari niat pelakunya dan ditinjau dari unsur-unsur tindak pidana profesi
kedokteran.
a. Ditinjau dari niat pelaku kejahatan.
Ditinjau dari niat pelaku kejahatan dalam hukum pidana Indonesia dan hukum Pidana
Islam adanya persamaan, ialah kejahatan (tindakan) itu dilakukan karena kesalahan
atau tidak sengaja dan tidak didasari oleh faktor-faktor kesengajaan dari diri si
pembuat.
b. Ditinjau dari unsur-unsur tindak pidana profesi kedokteran.
Secara garis besar antara hukum pidana Indonesia dan hukum Islam adanya
persamaan, yaitu dilihat dari unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kesalahan
atau kelalaian yang dilakukan oleh para tenaga kedokteran. Akan tetapi ada sedikit
perbedaan di antara keduanya, dalam hukum pidana Indonesia mengenai tindak
pidana profesi kedokteran yaitu fokusnya kausa atau sebab bukan akibat.
Adapun perbedaan pandangan antara hukum pidana Indonesia dan hukum pidana
Islam mengenai tindak pidana profesi kedokteran adalah hanya ditinjau dari segi
hukumannya.
Bentuk hukuman yang terberat dalam KUHP diantaranya adalah pidana penjara
paling lama lima belas tahun (KUHP pasal 347 ayat 2), atas kejahatan terhadap tubuh
dan nyawa karena kesengajaan, yaitu dalam hal tindakan dokter yang menggugurkan
kandungan tanpa persetujuan dari wanita dan mengakibatkan matinya wanita tersebut.
Sedangakan ketentuan di luar KUHP diatur dalam Undang-undang Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, yang diantara sanksi pidanya adalah pidana penjara
paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juta
rupiah), dalam pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan saran kesehatan atau badan
hukum (korporasi), yaitu pimpinan saran kesehatan yang mengizinkan dokter yang
tidak mempunyai surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana
kesehatannya, apabila hal itu dilakukan oleh badan hukum (korporasi) maka pidana
yang dijatuhkan adalah denda dengan ditambah sepertiga atau ditambah hukuman
tambahan berupa pencabutan hak (pasal 80 ayat 1 dan 2 UU Praktik Kedokteran).
Dalam hukum pidana Islam, apabila tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas
berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau obyek dari tindak pidana tersebut,
dikategorikan kepada tindak pidana atas selain jiwa )جناية على ما دون النفس( Adapun
hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa tergantung kepada akibat yang timbul
atas beberapa jenis tindak pidana tersebut. Dalam penilitian ini hanya membatasi
kepada dua bagian dari tindak pidana atas selain jiwa, yaitu perusakan anggota badan
atau semacamnya dan menghilangkan manfaatnya.
1. Hukuman untuk Ibanah (perusakan) Athraf dan semacamnya.
Hukuman qishash merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana atas selain jiwa
dengan sengaja, sedangkan diat dan ta’zir merupakan hukuman pengganti yang
menempati tempat qishash.
2. Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan.
Hukuman untuk tindak pidana menghilangkan manfaat anggota badan ini adalah
hukuman Qishash. Apabila qishash betul-betul tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diyat.
Hukuman diyat dikenakan apabila manfaat dari anggota badan hilang atau rusak
karena suatu tindak pidana, baik manfaat itu menyatu maupun terpisah dari anggota
badan. Diyat atau ganti rugi untuk sebagian manfaat anggota badan yang dianggap
sangat penting, antara lain diyat menghilangkan akal, diyat pendengaran, diyat daya
penglihatan, diyat penciuman, diyat perasaan (Dzauq). Dan diyat menghilangkan
kemampuan berbicara.
Sedangkan apabila dalam tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas niat
pelaku dan mengakibatkan meninggalnya korban, dalam hukum pidana Islam
termasuk kepada jarimah pembunuhan karena kesalahan yang sanksi , )قتل الخطأ(
pidananya meliputi hukuman pokok (asli), pertama yaitu denda atau diyat. Adapun
kadar diyatnya adalah seratus ekor unta, kedua yaitu kafarat, yang berupa
memerdekakan hamba sahaya (budak) yang Muslim. Dan hukuman pengganti yaitu
berpuasa. Dalam menjalankan hukuman berpuasa disyaratkan berpuasa dua bulan
berturut-turut. Juga adanya hukuman tambahan (mengikuti) yaitu berupa pencabutan
hak waris dan pencabutan hak wasiat.
Ada sedikit persamaan antara sanksi pidana atau hukuman dalam hukum pidana
Indonesia dan hukum pidana Islam, yaitu dalam hukum pidana Indonesia dikenal
adanya hukuman denda seperti yang tertera pada beberapa pasal dalam KUHP dan
Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di atas, sedangkan
istilah denda merupakan prinsif dasar (konsep) dari hukuman-hukuman yang terdapat
dalam hukum pidana Islam yang dikenal dengan istilah Diyat. Akan tetapi yang
membedakan antara keduanya hanyalah dari segi kadar besarannya. Bagi diyat
kompensasinya deserahkan kepada korban sedangakan denda diberikan kepada
Negara.
B. Saran-saran.
1. Hendaknya para tenaga kedokteran meningkatkan ilmunya sesuai dengan kemajuan
di bidang teknologi kedokteran dan lebih berhati-hati lagi, serta berusaha semaksimal
mungkin sesuai dengan tingkat keahlian dan kemampuan yang dimilikinya.
2. Adanya pengetatan seseorang untuk menjadi seorang dokter atau tenaga kedokteran
yang berkualitas, sehingga tidak timbul lagi kasus-kasus malpraktek medik di
masyarakat luas.
3. Perlu dibuatnya peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi hak-hak atau
kepentingan bagi pasien, oleh Dewan Perawakilan Rakyat yang melibatkan pihak-
pihak seperti unsur dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan, atau unsur lain
yang sekiranya kompeten. Karena pada kenyataannya setiap kejahatan atau tindak
pidana tidak terlepas dari adanya unsur pelaku, perbuatan dan korban dari tindak
pidana tersebut.
4. Hendaknya wacana-wacana seperti tindak pidana profesi kedokteran, tindak pidana di
bidang pendidikan dan lainnya dijadikan sub bahasan dalam wacana hukum pidana
Islam. Misalnya, pada mata kuliah kapita selekta hukum pidana Islam ) مسائل الفقهية
) فى الجناية . Dengan demikian hukum Islam dapat menjawab dan memecahkan segala
permasalahan yang berkembang dalam masyarakat, sehingga hukum Islam lebih
bersifat fleksibel dan dinamis sesuai dengan perkembangan zaman )مطابق لكل زمان ( .
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-karim. Abu Zahrah, Imam. Al-Jarimah wal ‘Uqubah Fil Fiqh Islamy. Kairo: Daar Al-Fikr Al-
‘Araby, 1997. Ali Akbar, Etika Kedokteran Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Antara, 1988, Cet. ke 1. Abu Hasan Al-Mawardi. Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Mesir: Musthofa Al-Baby Al-
Halaby, 1975, Cet ke-III. Abdul Qadir ‘Audah. At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy. Beirut: Muassasah Risalah, 1983,
Juz II. Abu Luwis Ma’luf. Al-Munjid Fi Al-Lughahah Wa Al-‘A’lam. Beirut: Dar El-Masyriq,
1975. Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-teori Pemidaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet ke-I.
Ahmad Dzajuli. Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Jakarta:
Rajawali Pers, 2000. Ahmad Hanafi. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet ke-
VI. Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet ke-II. Abdul Azis Dahlan (edt). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996, Cet. ke-I. Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter
Buku ke II- II. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006, Cet ke-I. Andi Hamzah. KUHP dan KUHAP. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, Cet ke- XII. Bahder Johan Nasution. Hukum Kesehatan, Pertanggung Jawaban Dokter. Jakarta: PT
Renika Cipta, 2005, Cet ke-I.
Chuzaimah Tahido Yanggo. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT
Pustaka Firdaus, Buku ke IV, 2002, Cet ke-III. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, Cet. ke-III. Hamidy, Mu’ammal dkk. Terjemah Nailul Authar. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001. Haliman. Hukum Pidana Syari’at Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970. Hendojono Soewono. Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik.
Jakarta: Srikandi, 2006. http: //hukumonline. com/detail.asp?id=17505&cl=Berita. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut: Dar Al-Jiil, 1989, Cet
ke-I. Ibn Hajar Al-Kanany Al-Atsqalany. Subul As-Salam. Bandung: Dahlan, t.th, Juz III. Ibn Manzur. Lisanul ‘Arabi. Cairo: Darul Hadits, 1423 H- 2003 M, Juz III. Kanter, E.Y. dan Sianturi S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Jakarta: Storia Grafika, 2002, Cet ke-III. Luthfi Assyaukanie. Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, Cet ke-I. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan. Jakarta: Riset Kasus Malpraktik. pada
tanggal 26 September 2007. Legality, Jurnal Ilmiah Hukum, Malang: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Malang, 2005, Vol ke-13. Lamintang, P.AF. Dasas-dasar Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditiya
Bakti, 1997, Cet ke-III. Meoljatno, Prof. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Renika Cipta, 2002, Cet ke-VII. Mu’ammal Hamidy dkk. Terjemah Nailul Authar. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001. Muchamad Nafi. “Artikel Dokter RS Islam Jakarta dilaporkan Malparaktek”. Diakses
pada 4 Oktober 2007 dari http:// www. tempointeraktif.com/hg Poerwardamita, W.JS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Sri Praptiningsih. Kedudukan Hukum Perawat Dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di
Rumah Sakit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Triana Ohoiwutun Y.A. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang: Banyu Media,
2007, Cet. ke-I. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, Surabaya:
Kesindo Utama, 2007. Yusuf Syaikh Muhammad Al-Baqaiy. Al-Qomush Al-Muhith. Beirut: Dar Al-Fikr, 1415
H-1995 M. Zainudin Ali. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet ke-I. Zainuddin Hamidy dkk. Tarjamah Hadits Shahih Bukhari, Jakarta: Wijaya, 1992, Cet.
ke-XIII.