TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA (Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum...
Transcript of TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA (Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum...
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA
TERHADAP ANAKNYA
(Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I
Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh
ZAHRUL MAULIDI
NIM :2103194
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
Drs. Musahadi, M.Ag
Jl. Permata Ngaliyan II/62
Ngaliyan Semarang
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Zahrul Maulidi
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi Saudara:
Nama : Zahrul Maulidi
NIM : 2103194
Judul : TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG
DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TERHADAP
ANAKNYA (Studi Komparasi antara Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia)
Dengan ini saya mohon kiranya naskah skripsi tersebut dapat segera
diujikan.
Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.
Semarang, 09 Juni 2010.
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARIÁH Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus III Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291. 7624691 Semarang 50185
PENGESAHAN
Skripsi Saudara :
Nama : Zahrul Maulidi
NIM : 2103194
Jurusan : Jinayah Siayasah
Judul Skripsi : TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN
ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA (Studi Komparasi
antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariáh IAIN Walisongo
Semarang, dan dinyatakan lulus pada tanggal:
29 Juni 2010
Dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir program sarjana (S.I) tahun
akademik 2009/2010 memperoleh Sarjana Strata I dalam ilmu syariáh.
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARIÁH Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus III Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291. 7624691 Semarang 50185
MOTTO
Artinya: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain[411], atau bukan karena membuat kerusakan
dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya.
dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka
seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan
Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi”. (qs. Al Maidah: 32)
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air
mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir
dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan kepada mereka yang tetap setia
berada di ruang dan waktu kehidupanku khsusnya buat:
Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan segalanya bagi
pengembangan kepribadianku.
Saudara-saudaraku serta seluruh keluarga tercinta.
Teman-teman angkatan 2003 Fakultas Syariáh Jurusan Jinayah Siyasah
Rekan-rekanku seperjuangan di Pondok Pesantren Al Mubarok Mranggen
Demak, semoga kemurnian hati selalu menyertai, setapak demi setapak
menjelajahi samudra pengabdian tanpa henti
Teman-teman PENA BANGSA
Penulis.
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini
tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 11 Juni 2010
Deklarator
Zahrul Maulidi
NIM. 2103194
ABSTRAK
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak telah menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. yang menjadi
rumusan masalah adalah bagaimana ketentuan pidana terhadap tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut hukum
positif? bagaimana pandangan hukum Islam tentang ketentuan pidana terhadap tindak
pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut hukum
positif? apa perbedaan dan persamaan antara hukum positif dengan hukum Islam
tentang ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh
orang tua terhadap anaknya?
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian pustaka (library
research). Sebagai sumber data primer dari segi hukum Islam yaitu Haliman, Hukum
Pidana Syari‟at Islam Menurut Ahlus Sunnah, , Asas-Asas Hukum Pidana Islam,
Abdurrrahmân Jazirî, Kitab al-Fiqh „alâ al-Mazâhib al-Arba‟ah, Juz V,. Sedangkan
sumber data primer dari segi hukum positif yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun metode analisa data yang penyusun
gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu teori-
teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru, Kemudian
menggunakan analisa komparatif dengan cara membandingkan ketentuan yang ada
dalam dua sistem hukum yang berbeda mengenai permasalahan yang sama, dengan
tujuan menemukan dan mencermati perbedaan dan persamaan antar elemen dalam
kedua sistem hukum tersebut, sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai
penyelesaian dari sebagian persoalan yang terdapat dalam pokok permasalahan.
Hasil dari pembahasan menunujukkan bahwa Dalam aturan hukum positif
tindak pidana pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, maka orang
tua dapat dipidana atau dikenai sanksi hukum. Hukum positif sama sekali tidak
membuka peluang dibebaskannya orang tua membunuh anaknya sepanjang unsur-
unsur delik yang termuat dalam Pasal-Pasal yang bersangkutan terpenuhi. Adanya
sanksi hukum terhadap orang tua yang membunuh anaknya menunjukkan bahwa
hukum positif tidak mempertimbangkan unsur hubungan darah. Dalam hukum pidana
Islam, dalam hal orang tua yang membunuh anaknya, maka orang tua tidak bisa
dikenai hukum qisâs. Hukuman qisâs dapat gugur apabila wali korban menjadi
pewaris hak qisâs.
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang yang
senantiasa menganugerahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
meyelesaikan karya skripsi degan judul “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
YANG DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA: Studi
Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia".
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai gelar
Sarjana Hukum Islam (S.H.I) bidang jurusan Siyasah Jinayah di Fakultas Syari‟ah
Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.
Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti jejak
perjuanganya.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha dengan segala daya dan
upaya guna menyelesaikannya, namun tanpa bantuan dari berbagai pihak penyusunan
ini tidak mungkin dapat terwujud. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima
kasih kepada yang terhormat :
1. Prof. DR. Abdul Jamil, MA, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang, yang
telah memimpin lembaga tersebut dengan baik.
2. Drs. H. Muhyiddin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo
Semarang.
3. Drs. Arif Junaedi, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Siyasah Jinayah dan Rupi‟i,
M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas Syari‟ah
4. Drs. H. Musahadi, M.Ag. selaku pembimbing skripsi.
5. Ibu Soimah, S.Ag selaku Kasubag Akademik dan segenap para pegawai dan para
dosen IAIN Walisongo Semarang.
6. Pimipinan Perpustakaan fakultas Syari‟ah dan Institut IAIN Walisongo
Semarang.
7. Bapak, Ibu, Adik, dan segenap keluarga terkasih.
8. Segenap Keluarga Besar Pondok Pesantren Al MubarokMranggen Demak.
Semoga amal kebaikan dan budi baik yang diberikan mendapatkan balasan
yang sepadan dari Allah swt. Pada akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan
konstribusi yang bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih memerlukan penyempurnaan. Oleh
karena itu koreksi serta kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah ini selanjutnya.
Wassalamu‟alaikum Wr Wb.
Semarang, 11 Juni 2010
Penulis,
Zahrul Maulidi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... v
HALAMAN DEKLARASI .............................................................................. vi
HALAMAN ABSTRAKSI ............................................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................ viii
HALAMAN DAFTAR ISI .............................................................................. x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 8
C. Tujuan Penulisan Skripsi ............................................................ 9
D. Telaah Pustaka ........................................................................... 9
E. Metode Penelitian Skripsi ........................................................... 13
F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................... 17
BAB II : KONSEP TINDAK PIDANA DALAM HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
A. Jinayah dan Jarimah dalam Hukum Islam ................................. 18
1. Pengertian Jinayah dan Jarimah dalam Hukum Islam ....... 18
2. Macam-macam Jarimah dari segi berat ringannya
hukuman .............................................................................. 21
3. Hukuman dalam Hukum Islam ........................................... 28
B. Tindak Pidana dalam Hukum Positif ......................................... 37
1. Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Positif ................ 37
2. Jenis-jenis Tindak Pidana dalam Hukum Positif ................. 38
3. Hukuman dalam Hukum Positif ........................................... 44
BAB III : TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
A. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam ..................... 49
1. Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Islam ................... 49
2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan
dalam Hukum Islam ............................................................. 50
3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan
dalam Hukum Islam ............................................................. 55
B. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Positif .................. 64
1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
dalam Hukum Positif ............................................................ 64
2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan
dalam Hukum Positif ............................................................ 66
3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan
dalam Hukum Positif ............................................................ 77
BAB IV : PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG
DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA
ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA
A. Analisis Ketentuan Pidana terhadap Tindak Pidana
Pembunuhan yang dilakukan Orang Tua terhadap Anaknya
Menurut Hukum Positif .............................................................. 81
B. Analisis Hukum Islam tentang Ketentuan Pidana terhadap
Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan Orang Tua terhadap
Anaknya ..................................................................................... 91
C. Perbedaan dan Persamaan antara Hukum Positif dengan Hukum
Islam tentang Ketentuan Pidana terhadap Tindak Pidana
Pembunuhan yang dilakukan Orang Tua terhadap Anaknya ..... 98
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 100
B. Saran-saran ................................................................................ 101
C. Penutup ...................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perspektif Islam, manusia merupakan makhluk Allah yang paling
sempurna dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya. Kesempurnaan itu dapat
dilihat dari bentuk, potensi yang dimiliki, akal dan hawa nafsu. Dengan
kesempurnaan itulah manusia oleh Allah kemudian dijadikan sebagai khlaifat fi al
ardli.1
Kedua potensi inilah yang kemudian menjadikan manusia mempunyai
beragam kepribadian dan karakter yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Nampaknya fitrah telah menentukan bahwa individu tidak akan mampu
berkembang dengan sendirinya. Ia adalah makhluk sosial yang membutuhkan
pertolongan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, dalam menyempurnakan
sebab-sebab hidupnya yang tidak dapat dilakukan oleh tangan dan
pengetahuannya, serta bahan yang tidak dapat dibawa oleh kekuatannya. Dengan
ini, kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok, dalam setiap individu dari
kelompok itu saling membutuhkan dalam membangun masyarakat, dan saling
mengatur semua kesulitan agar menjadi kehidupan yang damai.2 Manusia adalah
1A. Djazuli., Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syari‟ah., cet. Ke-3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. hlm. 59. 2Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1 Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2003, hlm. 8.
makhluk bermasyarakat, yang oleh Aristoteles disebut dengan zoon politicon. Hal
inilah yang membedakan antara manusia dengan mahluk Tuhan lainnya.
Setiap manusia mempunyai cita-cita, keinginan, kebutuhan, alam pikiran
serta usaha-usaha. Manusia mempunyai seuntai rangkaian kepentingan kebutuhan
hidup. Kepentingan-kepentingan seseorang dapat berkaitan sangat erat dengan
kepentingan orang lainnya. Adakalanya kepentingan itu bersifat saling
menjatuhkan, tetapi dapat pula sama antara manusia pemikul berbagai
kepentingan itu. Setiap anggota masyarakat mempertahankan kepentingan-
kepentingan sendiri, sehingga dapatlah timbul pertentangan sesama mereka. Hal
yang demikian sangat membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan
masyarakat itu sendiri. Jika tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini
lupus”.3
Dalam kehidupannya manusia tidak bisa hidup semaunya sendiri layaknya
binatang, kehidupan ini disertai dengan berbagai aturan yang mengikat, terutama
yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya, baik terhadap dirinya sendiri,
dengan Tuhannya maupun dengan orang lain. Bahkan dengan mahluk Tuhan yang
lainnya, termasuk alam semesta.
Di antara keistimewaan agama Islam adalah bahwa agama ini selalu
selaras dengan semua dimensi kehidupan manusia, di segala zaman dan segala
tempat. Salah satu dimensi sosial yang tak luput dari pandangan Islam adalah
3Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek
Hukum Pidana, cet. ke-1. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985, hlm. 25.
masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun isu tentang HAM baru
dimunculkan dunia Barat sekitar 60 (enam puluh) tahun yang lalu dan Deklarasi
HAM baru ditandatangani tahun 1948, namun sesungguhnya Islam sejak ribuan
tahun lalu telah mengajarkan prinsip-prinsip HAM kepada umat manusia.4
Keberadaan peraturan ini dimaksudkan agar terjadi stabilitas dalam
kehidupan manusia. Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam
masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat
mengatur (relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa
(dwingen recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap
hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang
berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan
hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang
dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah
sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar
peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh
anggota masyarakat.5
Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius
ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan
4http://www.annaba-center.com/main/kajian/detail.php?detail =20090312204051./
27/04/2010. 5Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2. Jakarta: Rineka Cipta, 1995, hlm. 48.
hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam
seluruh lapisan masyarakat.6
Di negara Indonesia, hukum terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya,
hukum terdiri atas hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum
privat diserahkan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan
antara individu adalah horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik
diserahkan kepada negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta
perangkatnya.7
Sementara itu, dalam hukum Islam juga terdapat bermacam-macam
hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Aturan
hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal asy-Syakhsiyyah atau
hukum keluarga, al-Ahwal al-Madaniyyah atau hukum privat, al-Ahwal al-
Jinayah atau hukum pidana dan sebagainya.
Hukum Pidana Islam (jinayah) didasarkan pada perlindungan HAM
(human right) yang bersifat primer (daruriyyah) yang meliputi perlindungan
terhadap hidup (hifdz an-nafsi), perlindungan hak untuk beragama (hifdz ad-din),
perlindungan terhadap harta benda (hifdz al-mal), perlindungan terhadap
keturunannya (hifdz an-nasli) dan perlindungan memperoleh kehormatan yang
sama (hifz al-aql). Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh asy-Syatibi
6Ibid., hlm. 49.
7Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, op.cit., hlm. 26.
dinamakan maqasid asy-syari‟ah.8 Hakikat dari pemberlakuan syari‟at (hukum)
oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu
dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok tersebut dapat diwujudkan dan
dipelihara.9 Tidak terkecuali perlindungan hukum terhadap anak-anak.
Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan
memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang
ada. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, dan
seimbang.10
Dalam perspektif Islam, anak merupakan amanah sekaligus karunia,
bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan
dengan kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan
harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat,
martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam undang-undang dasar 1945 dan konferensi perserikatan bangsa-bangsa
tentang hak-hak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak
adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa, generasi penerus cita-cita
8A. Djazuli., op.cit., hlm. 257. lihat juga Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-
Syari‟ah., Maktabah Tijariyah, tt., hlm. 71-77. 9Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996, hlm. 71-72. 10
Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 2.
bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan
dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga
dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh
hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara
dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi
anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara
optimal dan terarah.11
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.12
Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah
menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut
harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan
anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus
11
Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 383. 12
Pasal 15 UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak.
bangsa yang potensial, tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh
akhlak mulia dan nilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa.
Islam, seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup,
merdeka, dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri dan pembunuhan
serta penganiayaan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa
alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya,
barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka ia diibaratkan
memelihara manusia seluruhnya.13
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya : “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia
seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya”. (QS. Al-Maidah : 32)
Ketentuan-ketentuan hukum yang ada, baik hukum pidana Islam maupun
pidana positif yang telah disebutkan di atas menjadi menarik untuk dibahas ketika
keduanya dihadapkan pada suatu kasus yang menuntut adanya penyelesaian,
dalam hal ini adalah kasus pidana pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap
anaknya.
13
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari‟at dalam Wacana dan
Agenda, cet. ke-1. Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 71-72.
Dalam kaitannya dengan kasus tersebut hukum Islam memberikan
ketentuan hukum bahwa orang tua yang membunuh anaknya tidak dijatuhi
hukuman qisas karena hukuman tersebut menjadi gugur apabila yang dibunuh
adalah bagian (juz) dari orang yang membunuh.14
Sedangkan hukum positif di
Indonesia dalam menangani kasus tersebut memberikan ketentuan yang berbeda
bahkan berseberangan yaitu memberikan hukuman 1/3 (sepertiga) lebih berat
dibandingkan dengan yang membunuh adalah bukan orang tuanya.15
Berpijak dari persoalan di atas, peneliti tertarik untuk mendialogkan
kembali diskursus hukum pembunuhan orang tua terhadap anak dalam perspektif
hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Penelitian ini dikemas dalam
judul “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANG
TUA TERHADAP ANAKNYA: Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia”.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penyusun uraikan di atas, setidaknya ada
tiga rumusan masalah yang menjadi kajian dalam penyusunan skripsi ini, antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang
dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut hukum positif?
14
Abdul Qadir al-Audah., At-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami., Beirut., Muasasah al-Risalah., tt.,
hlm. 213. 15
Lihat pasal 80 UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak.
2. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang ketentuan pidana terhadap tindak
pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut
hukum positif?
3. Apa perbedaan dan persamaan antara hukum positif dengan hukum Islam
tentang ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan
oleh orang tua terhadap anaknya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan
yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut hukum positif.
b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang ketentuan pidana
terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua
terhadap anaknya menurut hukum positif
c. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara hukum positif dengan
hukum Islam tentang ketentuan pidana terhadap tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya
2. Manfaat
Manfaat dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memberikan
kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam
bidang hukum dengan mencoba membandingkan antara hukum pidana Islam
dengan hukum pidana positif mengenai tindak pidana pembunuhan yang
dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.
D. Telaah Pustaka
Karya-karya pemikiran yang membahas masalah hukum, baik hukum
Islam maupun hukum positif sangat banyak macam dan coraknya. Disamping itu
banyak pula sudut pandang serta metode yang digunakan masing-masing penulis,
tetapi karya pemikiran yang menggunakan teknik perbandingan antara kedua
sistem hukum tersebut masih belum begitu banyak.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai “Tindak Pidana Pembunuhan
yang Dilakukan oleh Orang Tua terhadap Anaknya (Studi Komparasi Antara
Hukum Islam dan Hukum Positif) “, penulis akan menelaah beberapa buku, kitab
dan literatur lain yang berkaitan untuk dijadikan sebagai referensi, sumber, acuan,
dan perbandingan dalam penulisan skripsi ini. Sehingga akan terlihat letak
perbedaan antara skripsi ini dengan penelitian atau karya ilmiah yang ada. Buku
yang ditulis oleh Topo Santoso, dengan judul Membumikan Hukum Pidana Islam,
secara khusus membahas berbagai permasalahan dalam hukum pidana Islam,
mulai dari paradigma negatif terhadap hukum Islam dengan menggambarkan
hukum pidana Islam secara utuh. Juga dibahas masalah jarimah pembunuhan.16
Selain buku-buku tersebut di atas, beberapa hasil penelitian maupun
karya ilmiah yang berkaitan juga menjadi bagian penting dalam penelitian ini.
Diantaranya adalah skripsi karya Lukman Hakim (2198078) yang berjudul Studi
16
Topo Santoso, op. cit., hlm. 37-38.
Komparatif Had Penghapusan Hukum Tindak Pidana dalam Hukum Islam dan
Hukum Positif, Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang 2003. Skripsi ini
banyak mengurai tentang penghapusan hukuman tindak pidana dalam hukum
pidana Islam dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam skripsi ini
penulis juga menjabarkan mengenai macam-macam tindak pidana hudud, qisos-
diyat, dan ta‟zir. Selain itu juga menjelaskan beberapa pasal dalam KUHP yang
terkait dengan materi tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan,
pemerkosaan, pencurian, dan sebagainya. Dalam analisisnya, penulis menjelaskan
perbedaan dan persamaan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.
Karya ilmiah yang lain adalah skripsi karya Muhammad Ihram (2101065)
yang berjudul Perbandingan Hukum Pidana Islam dan KUHP Terhadap Delik
Pembunuhan, Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang 2005. Skripsi
tersebut membahas masalah ruang lingkup pembunuhan dilihat dari pengertian
dasar, klasifikasi dan sanksinya menurut ketentuan hukum pidana Islam dan
hukum pidana positif.
Skripsi Agus Manaf (2100102): Studi Analisis Pendapat Imam Syafi‟i
Tentang Penerapan Hukuman Jarimah Gabungan Dalam Konteks Indonesia,
Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang 2004. Dalam skripsi ini
menjelaskan mengenai penerapan hukuman jarimah gabungan menurut Imam
Syafi‟i dikaitkan dengan konteks Negara Indonesia. Dalam skripsi ini juga
menjelaskan macam-macam jarimah secara umum, dan menyinggung tentang
perbandingan antara pendapat imam Syafi‟i dan hukum positif di Indonesia.
Skripsi ini berkonsentrasi pada pembahasan jarimah gabungan secara umum,
kemudian diaktualisasikan di Indonesia yang dikenal dengan pasal berlapis.
Pada intinya dinyatakan bahwa dalam hukum pidana Islam, teori tentang
bergandanya hukuman sudah dikenal oleh para fuqaha, tetapi teori tersebut
dibatasi dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling memasuki (Tadakhul) dan
penyerapan Al-Jabb). Menurut teori tadakhul, ketika terjadi gabungan perbuatan
maka hukuman-hukumannya saling melengkapi (memasuki), sehingga oleh
karenanya semua perbuatan tersebut hanya dijatuhi satu hukuman, seperti kalau
seseorang melakukan satu jarimah. Pengertian penyerapan menurut syariat Islam
adalah cukup untuk menjatuhkan satu hukuman saja, sehingga hukuman-
hukuman yang lain tidak perlu dijatuhkan. Hukuman dalam konteks ini tidak lain
adalah hukuman mati, di mana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap
hukuman-hukuman yang lain.
Imam Syafi'i tidak menggunakan teori penyerapan Al-Jabb). Imam Syafi'i
yang tidak menggunakan teori penyerapan, berpendapat bahwa semua hukuman
harus dilaksanakan selama hukuman tersebut tidak saling memasuki
(melengkapi). Caranya adalah dengan mendahulukan hukuman-hukuman yang
merupakan hak manusia yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman yang
merupakan hak Allah yang bukan hukuman mati, dan terakhir barulah hukuman
mati. Apabila orang yang terhukum mati dalam menjalani hukuman-hukuman
tersebut sebelum dilaksanakannya hukuman mati maka hapuslah hukuman-
hukuman yang lain yang belum dilaksanakan.
Dari beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian terdahulu
berbeda dengan saat ini karena penelitian terdahulu belum mengungkapkan
ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang
tua terhadap anaknya menurut hukum Islam dan hukum positif. Penelitian
terdahulu baru menyentuh persoalan had penghapusan hukum tindak pidana,
pendapat Imam Syafi‟i tentang penerapan hukuman jarimah gabungan dalam
konteks Indonesia, perbandingan hukum pidana Islam dan KUHP terhadap delik
pembunuhan. Pembunuhan dimaksud dalam konteks yang masih umum dan
belum mengungkapkan pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap
anaknya.
E. Metode Penelitian
Setiap penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling
akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan penelitian
tersebut diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah cara
atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang
diperlukan.17
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (library research),
yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku, kitab atau
17
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Tehnik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 9
majalah.18
Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji berbagai sumber
pustaka yang berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, yang lebih
jelasnya adalah membandingkan dan memahami ketetapan dari dua sistem
hukum yang berbeda mengenai tindak pidana pembunuhan yang dilakukan
oleh orang tua terhadap anaknya melalui kajian pustaka.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, analitik serta
komparatif. Teknik analisis deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau
fakta untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang gejala atau fakta
tersebut,19
sedang analitik adalah sebuah usaha untuk mencari dan menata
secara sistematis data penelitian untuk kemudian dilakukan penelaahan guna
mencari makna,20
kemudian komparatif dengan membandingkan hasil yang
didapat, dalam hal ini perbandingan antara sistem hukum pidana Islam dan
hukum pidana positif, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran masalah dan
landasan penyelesaian.
3. Sumber Data
Adapun buku-buku ataupun kitab-kitab yang dijadikan sumber data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
18
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7
Bandung: Transito,1994, hlm. 25. 19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 Jakarta: UI-Press, 1986, hlm.
10. 20
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4., Yogyakarta: Rake Sarasin,
1998, hlm. 43.
Sebagai sumber data primer dari segi hukum Islam yaitu Haliman,
Hukum Pidana Syari‟at Islam Menurut Ahlus Sunnah, cet.1 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1972; Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1990; Jazirî, Abdurrrahmân, Kitab al-Fiqh „alâ al-
Mazâhib al-Arba‟ah, Juz V, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972. Sedangkan sumber
data primer dari segi hukum positif yaitu Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Data Sekunder
Al-Fiqh wa Adillatuh karya Wahbah az-Zuhaili, Fiqh as-Sunnah
karya as-Sayyid Sabiq, Minhaj al-Muslim karya Abu Bakar Jabir al-
Jazairi, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib karya Mustafa
Raib al-Bagha, dan lainnya. Sedangkan dari segi hukum pidana positif,
KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh Moeljatno, Tindak
Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh karya Leden Marpaung, Responsi
Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana oleh Chidir
Ali, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP oleh M. Sudradjat
Bassar dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Jenis penelitian merupakan penelitian kepustakaan (library research),
maka teknik pengumpulan data yang ditempuh adalah dengan meneliti dan
mengumpulkan pendapat dari para pakar dan ulama melalui buku-buku, kitab-
kitab serta karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan.
Selanjutnya dari sumber-sumber yang ada, baik primer maupun sekunder akan
diuji kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat.
5. Teknik Analisis Data
Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian
ini adalah deskriptif analitis, dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya
adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu teori-teori
lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.21
Dengan metode ini
penyusun mencoba menganalisa data untuk mengungkapkan ketentuan-
ketentuan hukum tentang pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap
anaknya dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian
menggunakan analisa komparatif dengan cara membandingkan ketentuan
yang ada dalam dua sistem hukum yang berbeda mengenai permasalahan
yang sama, dengan tujuan menemukan dan mencermati perbedaan dan
persamaan antar elemen dalam kedua sistem hukum tersebut, sehingga
diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai penyelesaian dari sebagian
persoalan yang terdapat dalam pokok permasalahan.
Penelitian ini juga menggunakan metode historis yaitu sebuah proses
yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, peristiwa ataupun gagasan
yang timbul di masa lampau, untuk menemukan generalisai yang berguna
21
Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 10.
dalam usaha untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah.22
Penelitian
historis, bertujuan untuk mendiskipsikan apa-apa yang telah terjadi pada masa
lampau. Proses-prosesnya terdiri dari penyelidikan, pencatatan, analisis dan
menginterpretasikan peristiwa-peristiwa masa lalu guna menemukan
generalisasi-generalisasi. Generalisasi tersebut dapat berguna untuk
memahami masa lampau, juga keadaan masa kini bahkan secara terbatas bisa
digunakan untuk mengantisipasi hal-hal mendatang.23
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan skripsi ini, dan dapat memberikan gambaran yang
jelas mengenai apa yang hendak penulis sampaikan, maka perlu kiranya penulis
memaparkan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka dan sistematika
penulisan.
Bab kedua berisi konsep tindak pidana dalam hukum Islam dan hukum
positif yang meliputi jinayah dan jarimah dalam hukum Islam dan tindak pidana
dalam hukum positif.
22
Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, Terj. Muin Umar, et. al, Departemen Agama,
1986, hlm. 16. 23
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hlm.
25.
Bab ketiga berisi tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam dan
hukum positif yang meliputi tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam
tindak pidana pembunuhan dalam hukum positif.
Bab keempat berisi analisis, yang meliputi analisis ketentuan pidana
terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap
anaknya menurut hukum positif, analisis hukum Islam tentang ketentuan pidana
terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap
anaknya, perbedaan dan persamaan antara hukum positif dengan hukum islam
tentang ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan
oleh orang tua terhadap anaknya
Bab kelima berisi penutup, yang meliputi kesimpulan, saran dna penutup
BAB II
KONSEP TINDAK PIDANA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Jinayah dan Jarimah dalam Hukum Islam
1. Pengertian Jinayah dan Jarimah dalam Hukum Islam
Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau
jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana.
Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah
diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah.24
Seperti dalam kalimat
jana'ala qaumihi jinayatan artinya ia telah melakukan kesalahan terhadap
kaumnya. Kata Jana juga berarti "memetik", seperti dalam kalimat jana as-
samarat, artinya "memetik buah dari pohonnya". Orang yang berbuat jahat
disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan disebut mujna alaih.25
Demikian pula menurut Imam al-San'any bahwa al-jinayah itu jamak dari
kata "jinayah" masdar dari "jana" (dia mengerjakan kejahatan/kriminal).26
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian,
seperti yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah
perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta
24
Luwis Ma'luf, al-Munjid, Beirut: Dar al-Fikr, 1954, hlm. 88 25
Ibid., hlm. 67. 26
Al-San'âny, Subul al-Salâm, Juz 3, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-
Babi al-Halabi, 1950, hlm. 231.
benda, atau lainnya.27
Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq
bahwa kata jinayah menurut tradisi syariat Islam ialah segala tindakan yang
dilarang oleh hukum syariat melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah
setiap perbuatan yang dilarang oleh syariat dan harus dihindari, karena
perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama, jiwa, akal
(intelegensi), harga diri, dan harta benda.28
Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan
dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, menggugurkan
kandungan dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama
dengan hukum pidana.29
Haliman dalam desertasinya menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-
ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan
hukuman berupa penderitaan badan atau harta.30
27
Abd al-Qadir Awdah, at-Tasyri' al-Jinai al-lslami, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub, 1963, hlm. 67.
28Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. III, Kairo: Maktabah Dâr al-Turast,
1970, hlm. 5. 29
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: Teras,
2009, hlm. 2. 30
Penderitaan badan dan benda di sini mengecualikan jarimah diyat (denda),
karena pada suatu saat denda karena diyat tidaklah dibebankan kepada pelanggarnya,
tetapi bisa kepada kaum kerabatnya yang bertanggungjawab kepadanya yang
dinamakan aqilah atau bisa juga denda itu dibebankan kepada perbendaharaan negara
(bait al-mal) pada kondisi pelaku jarimah tidak mampu. Sebagai contoh pembunuhan
yang dilakukan karena kesalahan (khata'). Haliman, Hukum Pidana Syiari'at Islam
Menurut Ajaran Ahli Sunah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971, hlm. 64. Bandingkan
Dalam Undang-undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP
RPA) terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana yang didasarkan pada
berat-ringannya hukuman, yaitu jinayah, janhah dan mukhalafah. Jinayah di
sini adalah jinayah yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan
yang paling berbahaya. Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam
dengan hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras, atau penjara
seumur hidup (Pasal 10 KUHP RPA). Sedangkan janhah adalah perbuatan
yang diancam dengan hukuman lebih dari satu minggu tetapi tidak sampai
kepada penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup (Pasal 11
KUHP RPA). Adapun mukhalafah adalah jenis pelanggaran ringan yang
ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu (Pasal 12 KUHP RPA).31
Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah
peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Para fuqaha sering pula
menggunakan istilah jinayah dan jarimah. Istilah jarimah mempunyai
kandungan arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa
maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa jarimah merupakan kata jadian
(masdar) dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga
dengan Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, Juz II, Beirut:
Dar al-Fikr, t.th, hlm. 405. Para ulama sepakat terhadap persoalan ganti rugi bagi
pembunuhan (tindak pidana) karena kesalahan bisa dibebankan kepada orang lain
karena ketidakmampuan pelaku tindak pidana (jarimah). 31
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 2.
jarimah mempunyai arti perbuatan salah.32
Dari segi istilah, al-Mawardi
mendefinisikan jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara,
yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta'zir.33
Sejalan
dengan menurut TM Hasbi ash Shiddieqy, jarimah adalah perbuatan-
perbuatan yang dilarang syara diancam allah dengan hukuman had atau
hukuman ta'zir.34
Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil dari kedua istilah tersebut
adalah bahwa kedua istilah tersebut memiliki kesamaan dan perbedaannya.
Secara etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal, mempunyai arti
yang sama serta ditujukan bagi perbuatan yang berkonotasi negatif, salah atau
dosa. Adapun perbedaannya terletak pada pemakaian, arah pembicaraan, serta
dalam rangka apa kedua kata itu digunakan.
2. Macam-Macam Jarimah dari Segi Berat Ringannya Hukuman
Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi,
secara garis besar dapat dibagi dengan meninjaunya dari beberapa segi.
Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga
bagian antara lain: jarimah qisâs/diyat, jarimah hudud, dan jarimah ta'zir.
a. Jarimah qisâs dan diyat
32
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hlm. 3.
33Imam Al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah,
Beirut al-Maktab al-Islami, 1996, hlm. 219. 34
TM Hasbi ash Shiddieqy, Pidana Mati dalam Syari'at Islam, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1998, hlm. 6.
Jarimah qisâs dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qisâs atau diyat. Baik qisâs maupun diyat keduanya adalah
hukuman yang sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman
had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan
qisâs dan diyat adalah hak manusia (individu).35
Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana
dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah yang ada hubungannya dengan
kepentingan pribadi seseorang dan dinamakan begitu karena kepentingannya
khusus untuk mereka.36
Dalam hubungannya dengan hukuman qisâs dan diyat maka
pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa
dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Dengan demikian
maka ciri khas dari jarimah qisâs dan diyat itu adalah
1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan
oleh syara' dan tidak ada batas minimal atau maksimal;
2) hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti
bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan
terhadap pelaku. Jarimah qisâs dan diyat ini hanya ada dua macam,
yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka
ada lima macam, yaitu
35
Ibid., hlm. 7 36
Syeikh Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari'ah Islam, jilid 2, Alihbahasa,
Fachruddin HS, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 34.
1) pembunuhan sengaja ( ),
2) pembunuhan menyerupai sengaja ( ),
3) pembunuhan karena kesalahan ( ),
4) penganiayaan sengaja ( ), dan
5) penganiayaan tidak sengaja ( ).37
Pada dasarnya, jarimah qisâs termasuk jarimah hudud, sebab baik
bentuk maupun hukumannya telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Akan tetapi ada pula perbedaannya, yaitu:
1) Pada jarimah qisâs, hakim boleh memutuskan hukuman berdasarkan
pengetahuannya, sedangkan pada jarimah hudud tidak boleh.
2) Pada jarimah qisâs, hak menuntut qishash bisa diwariskan, sedangkan
pada jarimah hudud tidak.
3) Pada jarimah qisâs, korban atau wali korban dapat memaafkan sehingga
hukuman dapat gugur secara mutlak atau berpindah kepada hukum
penggantinya, sedangkan pada jarimah hudud tidak ada pemaafan.
4) Pada jarimah qisâs, tidak ada kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan
pada jarimah hudud ada kadaluarsa dalam kesaksian kecuali pada
jarimah qadzaf.
5) Pada jarimah qisâs, pembuktian dengan isyarat dan tulisan dapat
diterima, sedangkan pada jarimah hudud tidak.
37
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka
Setia, 2000, hlm. 29
6) Pada jarimah qisâs dibolehkan ada pembelaan (al-syafa'at), sedangkan
pada jarimah hudud tidak ada.
7) Pada jarimah qishash, harus ada tuntutan, sedangkan pada jarimah
hudud tidak perlu kecuali pada jarimah qadzaf.38
b. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had,
Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara'
dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).39
Dengan demikian ciri khas
jarimah hudud itu sebagai berikut.
1) Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah
ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada
hak manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih
menonjol. Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh
Mahmud Syaltut sebagai berikut: hak Allah adalah sekitar yang
bersangkut dengan kepentingan umum dan kemaslahatan bersama, tidak
tertentu mengenai orang seorang. Demikian hak Allah, sedangkan Allah
tidak mengharapkan apa-apa melainkan semata-mata untuk membesar
38
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas
Hukum Pidana Islam), Jakarta: Anggota IKAPI, 2004, hlm. 164. 39
Ibid
hak itu di mata manusia dan menyatakan kepentingannya terhadap
masyarakat. 40
Dengan kata lain, hak Allah adalah suatu hak yang
manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi
seseorang.
Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak
Allah di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh
perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh
masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud ini ada tujuh macam
antara lain sebagai berikut.
1) Jarimah zina
2) Jarimah qazaf (menuduh zina)
3) Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras)
4) Jarimah pencurian (sariqah)
5) Jarimah hirabah (perampokan)
6) Jarimah riddah (keluar dari Islam)
7) Jarimah Al Bagyu (pemberontakan).41
Dalam jarimah zina, syurbul khamar, hirabah, riddah, dan
pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan
dalam jarimah pencurian dan qazaf (penuduhan zina) yang disinggung di
40
Syeikh Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syariah, Alihbahasa,
Fachruddin HS, Akidah dan Syariah Islam, 2, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 14. 41
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung,
2004, hlm. 12
samping hak Allah juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak
Allah lebih menonjol.
c. Jarimah Ta'zir
Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir.
Pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran. Ta'zir
juga diartikan ar rad wa al man'u, artinya menolak dan mencegah. Akan
tetapi menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al
Mawardi
42
Artinya: "Ta'zir itu adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan
kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had.
Hukuman ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kasus dan
pelakunya. Dari satu segi, ta'zir ini sejalan dengan hukum had;
yakni ia adalah tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki
perilaku manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak
melakukan tindakan yang sama seperti itu".
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta'zir itu adalah
hukuman yang belum ditetapkan oleh syara', melainkan diserahkan kepada
ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan
hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja.
Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-
42
Imam Al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah,
Beirut al-Maktab al-Islami, 1996, hlm. 236
masing jarimah ta'zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman,
dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta'zir itu adalah sebagai
berikut.
1) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman
tersebut belum ditentukan oleh syara' dan ada batas minimal dan ada
batas maksimal.
2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.
Berbeda dengan jarimah hudud dan qisâs maka jarimah ta'zir tidak
ditentukan banyaknya. Hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta'zir ini
adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan
qisâs, yang jumlahnya sangat banyak. Tentang jenis-jenis jarimah ta'zir ini
Ibn Taimiyah mengemukakan bahwa perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti mencium anak-anak
(dengan syahwat), mencium wanita lain yang bukan istri, tidur satu ranjang
tanpa persetubuhan, atau memakan barang yang tidak halal seperti darah dan
bangkai... maka semuanya itu dikenakan hukuman ta'zir sebagai pembalasan
dan pengajaran, dengan kadar hukuman yang ditetapkan oleh penguasa.43
Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta'zir dan
hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur
43
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar'iyah, Etika Politik Islam, Terj. Rofi
Munawwar, Surabaya: Risalah Gusti, 2005, hlm. 157.
masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa
menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.
Jarimah ta'zir di samping ada yang diserahkan penentuannya
sepenuhnya kepada ulil amri, juga ada yang memang sudah ditetapkan oleh
syara', seperti riba dan suap. Di samping itu juga termasuk ke dalam
kelompok ini jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan
hukumannya oleh syara' (hudud) akan tetapi syarat-syarat untuk
dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian
yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri kurang dari nishab
pencurian, yaitu seperempat dinar.
3. Hukuman dalam Hukum Islam
Hukuman dalam bahasa Arab disebut 'uqubah. Lafaz 'uqubah menurut
bahasa berasal dari kata: ( ) yang sinonimnya: ( ), artinya:
mengiringnya dan datang di belakangnya.44
Dalam pengertian yang agak
mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil
dari lafaz: ( ) yang sinonimnya: ( ), artinya:
membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.45
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut
hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan
44
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih
Jinayat, Jakarta: sinar Grafika, 2004, hlm. 136. 45
Ibid.,
itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa
sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan
menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut hukum pidana Islam, hukuman adalah seperti didefinisikan
oleh Abdul Qadir Audah sebagaimana disitir Ahmad Wardi Muslich:
"Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara' yang
ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran
atas ketentuan-ketentuan syara'."46
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah
satu tindakan yang diberikan oleh syara' sebagai pembalasan atas perbuatan
yang melanggar ketentuan syara', dengan tujuan untuk memelihara ketertiban
dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan
individu.
Tujuan pemberi hukuman dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan
umum disyariatkannya hukum, yaitu untuk merealisasi kemaslahatan umat
dan sekaligus menegakkan keadilan.47
Atas dasar itu, tujuan utama dari
46
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam,
op.cit, hlm. 137. 47
Abd al-Wahhâb Khalâf, „Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978,
hlm. 198. Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1958,
hlm. 351.
penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat Islam adalah sebagai
berikut.
a. Pencegahan ( )
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia
tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus
melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga
mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan
melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang
dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga
melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian, kegunaan pencegahan
adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak
mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat
seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.48
Oleh karena perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman adakalanya
pelanggaran terhadap larangan (Jarimah positif) atau meninggalkan
kewajiban maka arti pencegahan pada keduanya tentu berbeda. Pada keadaan
yang pertama (jarimah positif) pencegahan berarti upaya untuk menghentikan
perbuatan yang dilarang, sedang pada keadaan yang kedua (jarimah negatif)
pencegahan berarti menghentikan sikap tidak melaksanakan kewajiban
tersebut sehingga dengan dijatuhkannya hukuman diharapkan ia mau
48
Ahmad Wardi Muslich, op.cit., hlm. 137.
menjalankan kewajibannya. Contohnya seperti penerapan hukuman terhadap
orang yang meninggalkan salat atau tidak mau mengeluarkan zakat.49
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman
harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh
kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, Dengan demikian terdapat
prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Apabila kondisinya demikian
maka hukuman terutama hukuman ta'zir, dapat berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan pelakunya, sebab di antara pelaku ada yang cukup hanya diberi
peringatan, ada pula yang cukup dengan beberapa cambukan saja, dan ada
pula yang perlu dijilid dengan beberapa cambukan yang banyak. Bahkan ada
di antaranya yang perlu dimasukkan ke dalam penjara dengan masa yang
tidak terbatas jumlahnya atau bahkan lebih berat dari itu seperti hukuman
mati.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa tujuan yang pertama itu, efeknya
adalah untuk kepentingan masyarakat, sebab dengan tercegahnya pelaku dari
perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang, aman, tenteram, dan damai.
Meskipun demikian, tujuan yang pertama ini ada juga efeknya terhadap
pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya jarimah maka pelaku akan selamat
dan ia terhindar dari penderitaan akibat dan hukuman itu.
b. Perbaikan dan Pendidikan
49
A.Hanafi, op.cit, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 255-256.
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah
agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat,
bagaimana perhatian syariat Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya
hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran
bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan
karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan
harapan mendapat rida dari Allah SWT. Kesadaran yang demikian tentu saja
merupakan alat yang sangat ampuh untuk memberantas jarimah, karena
seseorang sebelum melakukan suatu jarimah, ia akan berpikir bahwa Tuhan
pasti mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik
perbuatannya itu diketahui oleh orang lain atau tidak. Demikian juga jika ia
dapat ditangkap oleh penguasa negara kemudian dijatuhi hukuman di dunia,
atau ia dapat meloloskan diri dari kekuasaan dunia, namun pada akhirnya ia
tidak akan dapat menghindarkan diri dari hukuman akhirat.50
Di samping kebaikan pribadi pelaku, syariat Islam dalam menjatuhkan
hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh
rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan
mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya, suatu
jarimah adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan
50
Wardi Muslich, op.cit, hlm. 138.
serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya, di
samping menimbulkan rasa iba dan kasih sayang terhadap korbannya.
Hukuman atas diri pelaku merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan
balasan dari masyarakat terhadap perbuatan pelaku yang telah melanggar
kehormatannya sekaligus juga merupakan upaya menenangkan hati korban.
Dengan demikian, hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita
yang harus dialami oleh pelaku sebagai imbangan atas perbuatannya dan
sebagai sarana untuk menyucikan dirinya. Dengan demikian akan terwujudlah
rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.51
Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada beberapa bagian,
dengan meninjaunya dari beberapa segi. Dalam hal ini ada lima
penggolongan.
(1) Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang
lainnya, hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu sebagai
berikut.
a. Hukuman pokok ('uqubah asliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan
untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti
hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, hukuman dera seratus
kali untuk jarimah zina, atau hukuman potong tangan untuk jarimah
pencurian.
51
Ibid., hlm. 257.
b. Hukuman pengganti ('uqubah badaliyah), yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat
dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diat (denda)
sebagai pengganti hukuman qisas, atau hukuman ta'zir sebagai
pengganti hukuman had atau hukuman qisas yang tidak bisa
dilaksanakan. Sebenarnya hukuman diyat itu sendiri adalah hukuman
pokok, yaitu untuk pembunuhan menyerupai sengaja atau kekeliruan,
akan tetapi juga menjadi hukuman pengganti untuk hukuman qisas
dalam pembunuhan sengaja. Demikian pula hukuman ta'zir juga
merupakan hukuman pokok untuk jarimah-jarimah ta'zir, tetapi
sekaligus juga menjadi hukuman pengganti untuk jarimah hudud atau
qisas dan diat yang tidak bisa dilaksanakan karena ada alasan-alasan
tertentu.52
c. Hukuman tambahan ('uqubah taba'iyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara
tersendiri, seperti larangan menerima warisan bagi orang yang
membunuh orang yang akan diwarisnya, sebagai tambahan untuk
hukuman qisas atau diyat, atau hukuman pencabutan hak untuk
menjadi saksi bagi orang yang melakukan jarimah qadzaf (menuduh
orang lain berbuat zina), di samping hukuman pokoknya yaitu jilid
(dera) delapan puluh kali.
52
Ahmad Wardi Muslich, op.cit, hlm. 142 – 143.
d. Hukuman pelengkap ('uqubah takmiliyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan syarat harus ada keputusan
tersendiri dari hakim dan syarat inilah yang membedakannya dengan
hukuman tambahan. Contohnya seperti mengalungkan tangan pencuri
yang telah dipotong dilehernya.
(2) Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya
hukuman maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian.
a. Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi
atau batas terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai hukuman
had (delapan puluh kali atau seratus kali). Dalam hukuman jenis ini,
hakim tidak berwenang untuk menambah atau mengurangi hukuman
tersebut, karena hukuman itu hanya satu macam saja.
b. Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas
terendah. Dalam hal ini hakim diberi kewenangan dan kebebasan
untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut,
seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta'zir.53
(3) Ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan dengan hukuman
tersebut, hukuman dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Hukuman yang sudah ditentukan ('uqubah muqaddarah), yaitu
hukuman-hukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan oleh
syara' dan hakim berkewajiban untuk memutuskannya tanpa
53
Ibid, hlm. 67 – 68.
mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman yang
lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan ('uqubah lazimah).
Dinamakan demikian, karena ulil amri tidak berhak untuk
menggugurkannya atau memaafkannya.
b. Hukuman yang belum ditentukan ('uqubah ghair muqaddarah), yaitu
hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilih jenisnya dari
sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara' dan
menentukan jumlahnya untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku
dan perbuatannya. Hukuman ini disebut juga Hukuman Pilihan
('uqubah mukhayyarah), karena hakim dibolehkan untuk memilih di
antara hukuman-hukuman tersebut.54
(4) Ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman maka hukuman dapat
dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Hukuman badan ('uqubah badaniyah), yaitu hukuman yang dikenakan
atas badan manusia, seperti hukuman mati, jilid (dera), dan penjara.
b. Hukuman jiwa ('uqubah nafsiyah), yaitu hukuman yang dikenakan
atas jiwa manusia, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan, atau
teguran.
c. Hukuman harta ('uqubah maliyah), yaitu hukuman yang dikenakan
terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan harta.
54
Ibid, hlm. 68.
(5) Ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman,
hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-
jarimah hudud.
b. Hukuman qisas dan diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas
jarimah-jarimah qishash dan diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian
jarimah qisas dan diat dan beberapa jarimah ta'zir.
d. Hukuman ta'zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-
jarimah ta'zir.55
B. Tindak Pidana dalam Hukum Positif
1. Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Positif
Dalam hukum positif, kata "tindak pidana" merupakan terjemahan dari istilah
bahasa Belanda "straafbaarfeit", namun pembentuk undang-undang di
Indonesia tidak menjelaskan secara rinci mengenai "straafbaarfeit".56
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari
55
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2004, hlm. 44 - 45. 56
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 5.
suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang
“strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan
“strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh
karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya
adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun
tindakan.57
Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk undang-undang tidak
memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang ia maksud
dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai
pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit”
tersebut., misalnya perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan-perbuatan
yang dapat dihukum, hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman serta tindak pidana.58
Dalam hubungan ini, Satochid Kartanegara lebih condong menggunakan
istilah “delict” yang telah lazim dipakai.59
Sudarto menggunakan istilah
57
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar
Baru, 1984, hlm. 172. 58
K. Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2007, hlm. 15. 59
Satochid Kartanegara, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk,
Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 74.
"tindak pidana",60
demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah
"tindak pidana" yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana.61
Akan tetapi Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan
pidana” yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.62
Sedangkan R. Tresna yang
menggunakan kata "peristiwa pidana" untuk istilah "tindak pidana"
mengartikannya sebagai sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia
yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangan
lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.63
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana dalam Hukum Positif
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan dengan pembagian sebagai berikut:
1. Delik atau tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (misdrijven en
overtredingen).64
Penggolongan jenis-jenis delik di dalam KUHP, terdiri atas kejahatan
(misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolongan untuk kejahatan
60
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990, hlm.
38. 61
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT
Eresco, 1986, hlm. 55. 62
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 54. 63
R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa
Perbuatan Pidana Yang Penting, Jakarta: PT Tiara, tth, hlm. 27 64
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994,
hlm. 96.
disusun di dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun di dalam Buku III
KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan
pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas. Risalah penjelasan
undang-undang (Mvt) yang terdapat di negeri Belanda membuat ukuran
kejahatan dan pelanggaran itu atas dasar teoritis bahwa kejahatan adalah
"rechtdelicten", sedangkan pelanggaran adalah "wetsdelicten." Ilmu
pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa rechtsdelicten merupakan
perbuatan dalam keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan
tidak adil dan di samping itu juga sebagai perbuatan tidak adil menurut
undang-undang, sedangkan wetsdelicten merupakan perbuatan yang menurut
keinsyafan batin manusia tidak dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi
baru dirasakan sebagai perbuatan terlarang karena undang-undang
mengancam dengan pidana.65
Andaikata belum dilarang oleh Undang-undang, akan tetapi oleh masyarakat
telah dirasakan sebagai suatu perbuatan yang "onrecht" maka di situ terdapat
rechtdelicten sebagai kejahatan, misalnya pembunuhan, pencurian, dan lain
sebagainya. Sebaliknya bagi perbuatan yang oleh karena dilarang dan
diancam dengan pidana menurut ketentuan undang-undang itu, barulah
perbuatan itu bertentangan dengan "wet", karena masyarakat sebelumnya
tidak menganggap demikian, misalnya larangan dengan rambu-rambu lalu
65
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia
Indonesia, 1983, hlm. 95
lintas, peraturan lalu lintas untuk memakai jalan di jalur sebelah kiri bagi
pengendara dan lain sebagainya.66
2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten);
3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja
(doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose
delicten);
4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta
commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana
omisi (delicta omissionis);
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam
waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus;
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus;
7. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana
communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan
66
Ibid., hlm. 96.
tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki
kualitas pribadi tertentu);
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana
aduan (klacht delicten);
9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten),
tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak
pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten);
10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang
dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap
harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik,
terhadap kesusilaan dan lain sebagainya;
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan
antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana
berangkai (samengestelde delicten);67
Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada
perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya
67
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, op.cit., hlm. 121
perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (Pasal
160 KUHP), dimuka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan
atau penghinaan terhadap kepada satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia
(Pasal 156 KUHP); penyuapan (Pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (Pasal
242 KUHP); pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP); pencurian (Pasal 362
KUHP). Delik materiil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan
kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai
apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka
paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (Pasal 187 KUHP),
penipuan (Pasal 378 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Batas antara
delik formil dan delik materiil tidak tajam misalnya Pasal 362.
Delik omissionis dan delik comnussionis peromissionem commissa. Delik
commissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat
sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan. penipuan. Delik omissionis:
delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan
sesuatu yang diperintahkan yang diharuskan, misal: tidak menghadap sebagai
saksi di muka pengadilan (Pasal 22 KUHP), tidak menolong orang yang
memerlukan pertolongan (Pasal 531).
Delik commissionis per omissionen commissa: delik yang berupa pelanggaran
larangan (dus delik commissionis, akan tetapi dapat dilakukan dengan cara
tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak
memberi air susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang
menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan
wissel (Pasal 194 KUHP).
Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten). Delik dolus; delik
yang memuat unsur kesengajaan. misal: Pasal-Pasal 187, 197, 245,
263,310,338 KUHP. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah
satu unsur misal : Pasal-Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan Pasal 359,
360 KUHP. Delik tunggal dan delik berganda (enkelvoudige en
samengestelde delicten). Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan
perbuatan satu kali. Delik berganda : delik yang bani merupakan delik,
apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : Pasal 481 (penadahan
sebagai kebiasaan).68
Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus
(voordurende en niet voortdurende/aflopende delicten). Delik yang
berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung terus, misal; merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333
KUHP). Delik aduan dan, bukan delik aduan : (klachtdelicten en niet klacht
delicten). Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila
ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij). Misal
penghinaan (Pasal 310 dst. yo. 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP),
68
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 57
chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2
KUHP yo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya sebagai: delik
aduan yang absolut, ialah mis: Pasal 284, 310, 332. Delik.-delik ini menurut
sifatnya hanya dapat dituntut berdasar kan pengaduan. Delik aduan yang
relatif ialah mis. : Pasal 367. Disebut relatif, karena dalam delik-delik ini ada
hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Perlu dibedakan antara aduan dan gugatan dan laporan. Gugatan dipakai
dalam acara perdata, misal. : A menggugat B di muka Pengadilan, karena B
tidak membayar hutangnya kepada A Laporan hanya pemberitahuan belaka
tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada polisi atau Jaksa.
Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya (eenvoudige dan
gequalificeerde delicten). Delik yang ada pemberatannya, misal. :
penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351
ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (Pasal 363). Ada
delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan
tertentu, misal. : pembunuhan kanak-kanak (Pasal 341 KUHP) Delik ini
disebut "geprivilegeerd delict". Delik sederhana; misal. : penganiayaan (Pasal
351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP).69
3. Hukuman dalam Hukum Positif
69
Ibid., hlm. 58.
Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan
(justification) penjatuhan hukuman (sanksi). Di antaranya adalah teori absolut
dan teori relatif.
1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie)
Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan
terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang
mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat.
2. Teori Relatif (Doeltheorie)
Teori ini dilandasi oleh tujuan (doel) sebagai berikut.
a. Menjerakan
Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau terpidana
menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya {speciale
preventie) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan
perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami
hukuman yang serupa (generale preventie).70
b. Memperbaiki pribadi terpidana
Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama
menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan
70
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, hlm. 4
mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai
orang yang baik dan berguna,
c. Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya.
Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan
membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan
hukuman seumur hidup.
Akhir-akhir ini, banyak yang tidak setuju dengan adanya hukuman mati.
Mereka mengajukan pendapat bahwa hanya Allah yang berhak mencabut
nyawa orang dan agar hukuman mati dihapuskan. Pendapat tersebut bukan
tanpa resiko. Misalnya di Sulawesi Selatan (Bugis); jika seseorang
keluarganya dibunuh, semua keluarga besar berkewajiban untuk
membalaskannya. Pembalasan yang dimaksud adalah dengan membunuh si
pembunuh. Demikianlah, tindak pidana pembunuhan akan sangat sulit
dihindarkan jika orang yang mau melakukan pembunuhan mengetahui bahwa
ia tidak akan dihukum mati. Kecermatan dengan akal jernih diperlukan untuk
mempertimbangkan penghapusan hukuman mati.
Tujuan penjatuhan hukuman dalam hukum pidana adalah untuk melindungi
dan memelihara ketertiban hukum guna mempertahankan keamanan dan
ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan (for the public as a whole).
Hukum pidana tidak hanya melihat penderitaan korban atau penderitaan
terpidana (not only for the person injured), tetapi melihat ketenteraman
masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh.71
Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa
hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri
dari :
a. Hukuman Pokok (hoofdstraffen).
1). Hukuman mati.
2). Hukuman penjara.
3). Hukuman kurungan.
4). Hukuman denda.
5). Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun 1946
Berita Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1 dan 15 November
1946)
b. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
1). Pencabutan beberapa hak tertentu.
2). Perampasan barang-barang tertentu.
3). Pengumuman putusan Hakim.72
71
Ibid., hlm. 4.
Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai "siksa dan sebagainya",
atau "keputusan yang dijatuhkan oleh hakim".73
Pengertian yang
dikemukakan oleh Anton M. Moeliono dan kawan-kawan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tersebut sudah mendekati pengertian
menurut istilah, bahkan mungkin itu sudah merupakan pengertian menurut
istilah yang nanti akan dijelaskan selanjutnya dalam skripsi ini.
Dalam hukum positif di Indonesia, istilah hukuman hampir sama dengan
pidana. Walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono
Projodikoro, kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata
pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti
misalnya ganti kerugian ...,74
Sedangkan menurut Mulyatno, sebagaimana
dikutip oleh Mustafa Abdullah, istilah pidana lebih tepat daripada hukuman
sebagai terjemahan kata straf. Karena, kalau straf diterjemahkan dengan
hukuman maka straf recht harus diterjemahkan hukum hukuman.75
Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben
Ahmad, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
72
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1993, hlm. 34.
73 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1976, hlm. 364. 74
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT.
Eresco, 1981, hlm. 1. 75
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm.
1 – 12.
tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga dikutip oleh Mustafa
Abdullah, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.76
Wirjono
Prodjodikoro mengemukakan bahwa pidana berarti hal yang dipidanakan,
yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum
sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari
dilimpahkan.77
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari
bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
76
Ibid., hlm. 48. 77
Wirjono Projodikoro, loc.,cit.
BAB III
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
A. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam
1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam
Pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar , dari
fi‟il madhi yang artinya membunuh.78
Adapun secara terminologi,
sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, pembunuhan
didefinisikan sebagai suatu perbuatan mematikan; atau perbuatan seseorang
yang dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan.79
Sedangkan menurut
Abdul Qadir „Audah, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu tindakan
seseorang untuk menghilangkan nyawa; menghilangkan ruh atau jiwa orang
lain.80
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jarimah
qisas (tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas), yaitu tindakan
78
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1992), hlm. 172. 79
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3 ( Damaskus:
Dar al-Fikr, 1989 ), VI: 217. 80
Abdul Qadir „Audah, at-Tasyri‟i al-Jina‟i al-Islami ( Beirut: Dar al-Kitab
al-„Arabi, t.t.), II : 6.
kejahatan yang membuat jiwa atau bukan jiwa menderita musibah dalam
bentuk hilangnya nyawa, atau terpotong organ tubuhnya.81
2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam
Pada dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua golongan,
yaitu:
a. Pembunuhan yang diharamkan; setiap pembunuhan karena ada unsur
permusuhan dan penganiayaan
b. Pembunuhan yang dibenarkan; setiap pembunuhan yang tidak
dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang dilakukan
oleh algojo dalam melaksanakan hukuman qisas.82
Adapun secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa tindak
pidana pembunuhan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja (qatl al-„amd)
Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena adanya permusuhan
terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya
mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung atau
tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti menggunakan
besi, pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang vital maupun
tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena jarum menjadi bengkak dan
81
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2 ( Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas,
1990 ), II : 263. 82
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh,VI : 220.
sakit terus menerus sampai mati, atau dengan memotong jari-jari
seseorang sehingga menjadi luka dan membawa pada kematian
2. Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-„amd)
Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap orang lain,
dengan alat yang pada umumnya tidak mematikan, seperti memukul
dengan batu kecil, tangan, cemeti, atau tongkat yang ringan, dan antara
pukulan yang satu dengan yang lainnya tidak saling membantu,
pukulannya bukan pada tempat yang vital (mematikan), yang dipukul
bukan anak kecil atau orang yang lemah, cuacanya tidak terlalu
panas/dingin yang dapat mempercepat kematian, sakitnya tidak berat dan
menahun sehingga membawa pada kematian, jika tidak terjadi kematian,
maka tidak dinamakan qatl al-„amd, karena umumnya keadaan seperti itu
dapat mematikan
3. Pembunuhan Karena Kesalahan (qatl al-khata‟)
Yaitu pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud
penganiayaan, baik dilihat dari perbuatan maupun orangnya. Misalnya
seseorang melempari pohon atau binatang tetapi mengenai manusia (orang
lain), kemudian mati.83
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan
sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf
kepada orang lain yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang
pada umumnya dapat menyebabkan mati.84
Menurut Abdul Qadir „Audah,
pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain
yang disertai dengan niat membunuh, artinya bahwa seseorang dapat
dikatakan sebagai pembunuh jika orang itu mempunyai kesempurnaan
untuk melakukan pembunuhan. Jika seseorang tidak bermaksud
membunuh, semata-mata hanya menyengaja menyiksa, maka tidak
dinamakan dengan pembunuhan sengaja, walaupun pada akhirnya orang
itu mati. Hal ini sama dengan pukulan yang menyebabkan mati (masuk
dalam katagori syibh „amd).85
Mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai
tindak pidana pembunuhan yaitu86
:
a. Pembunuhan dengan muhaddad, yaitu seperti alat yang tajam, melukai,
dan menusuk badan yang dapat mencabik-cabik anggota badan.
83
Ibn Qudamah, al-Mugni, cet. ke-1 (Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah,
t.t.) VIII : 636-640, lihat juga Haliman, Hukum Pidana Syari‟at Islam Menurut Ahlus
Sunnah, cet.1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1972 ), hlm. 152-153. 84
Sayyid Sabiq, Fiqh., II : 435. 85
Abdul Qadir „Audah, at-Tasyri‟i., II : 10. 86
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, cet. ke-2 ( Beirut:
Dar al-Fikr, 1981 ) II : 232.
b. Pembunuhan dengan musaqqal, yaitu alat yang tidak tajam, seperti
tongkat dan batu. Mengenai alat ini fuqaha berbeda pendapat apakah
termasuk pembunuhan sengaja yang mewajibkan qisas atau syibh „amd
yang sengaja mewajibkan diyat.
c. Pembunuhan secara langsung, yaitu pelaku melakukan suatu perbuatan
yang menyebabkan matinya orang lain secara langsung (tanpa
perantaraan), seperti menyembelih dengan pisau, menembak dengan
pistol, dan lain-lain.
d. Pembunuhan secara tidak langsung (dengan melakukan sebab-sebab yang
dapat mematikan). Artinya dengan melakukan suatu perbuatan yang pada
hakikatnya (zatnya) tidak mematikan tetapi dapat menjadikan perantara
atau sebab kematian.
Adapun sebab-sebab yang mematikan itu ada tiga macam,87
yaitu :
1) Sebab Hissiy (perasaan/psikis) seperti paksaan untuk membunuh.
2) Sebab Syar‟iy, seperti persaksian palsu yang membuat terdakwa
terbunuh, keputusan hakim untuk membuat seseorang yang diadilinya
dengan kebohongan atau kelicikan (bukan karena keadilan) untuk
menganiaya secara sengaja.
87
Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj ( Mesir:
Mustafa al-Bab al-Halabi wa Aulad, 1958), IV : 6.
3) Sebab „Urfiy, seperti menyuguhkan makanan beracun terhadap orang
lain yang sedang makan atau menggali sumur dan menutupinya
sehingga ada orang terperosok dan mati.
e. Pembunuhan dengan cara menjatuhkan ke tempat yang membinasakan,
seperti dengan melemparkan atau memasukkan ke kandang srigala,
harimau, ular dan lain sebagainya.
f. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan dan membakar.
g. Pembunuhan dengan cara mencekik.
h. Pembunuhan dengan cara meninggalkan atau menahannya tanpa
memberinya makanan dan minuman.
i. Pembunuhan dengan cara menakut-nakuti atau mengintimidasi.
Pembunuhan tidak hanya terjadi dengan suatu perbuatan fisik, karena
terjadi juga melalui perbuatan ma‟nawi yang berpengaruh pada psikis
seseorang, seperti menakut-nakti, mengintimidasi dan lain sebagainya.
Dalam syari‟at Islam, pembunuhan diatur di dalam al-Qur‟an maupun
dalam al-Hadis. Firman Allah Swt. dalam al-Qur‟an:
Artinya: "Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min,
kecuali karena tersalah, dan barangsiapa membunuh seorang mu'min
karena tersalah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika
mereka bersedekah. Jika ia dari kaum yang ada perjanjian antara
mereka dengan kamu, maka membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia berpuasa
dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS. an-Nisa
ayat 92).
Juga firman Allah SWT;
Artinya: "Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja
maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang
besar baginya" (QS. an-Nisa ayat 93)
Kemudian pada hadis Rasul yang berbunyi,
88
Artinya; "Telah mengabarkan kepada kami dari Abu Bakr bin Abu Ayaibah
dari Hafs bin Giyas dan Abu Muawiyah dan Waki' dari al-A'masy
dari Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah berkata: telah
bersabda Rasulullah saw.: Tidak halal darah seorang muslim yang
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya
saya Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: (1)
duda yang berzina (zina muhshan), (2) membunuh jiwa, dan (3)
orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari
jama'ah". (HR. Muslim).
3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam
Sebagaimana telah diutarakan bahwa pembunuhan dibagi kepada tiga
bagian, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, dan
pembunuhan karena kesalahan :
a. Hukuman Untuk Pembunuhan Sengaja
Pembunuhan sengaja dalam syariat Islam diancam dengan beberapa
macam hukuman, sebagian merupakan hukuman pokok dan pengganti, dan
sebagian lagi merupakan hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk
pembunuhan sengaja adalah qisâs dan kifarat, sedangkan penggantinya adalah
diat dan ta'zir. Adapun hukuman tambahannya adalah penghapusan hak waris
dan hak wasiat.
88
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh
Muslim, Juz. III, Mesir: Tijariah Kubra, tth. hlm. 106.
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisâs
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, baginya
siksa yang sangat pedih". (QS. Al-Baqarah: 178).89
(1) Hukuman Qisâs
Dalam al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur'ân al-Karîm, kata qisâs
disebutkan dalam dua surat sebanyak empat ayat yaitu al-Baqarah ayat 178,
179, 194; dan dalam surat al-Ma'idah ayat 45.90
Secara harfiah, kata qisâs
dalam Kamus Al-Munawwir diartikan pidana qisâs.91
Pengertian tersebut
digunakan untuk arti hukuman, karena orang yang berhak atas qisâs
mengikuti dan menelusuri jejak tindak pidana dari pelaku. Qisâs juga
89
Ibid., hlm. 70. 90
Muhammad Fuâd Abdul Bâqy, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur'ân
al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981, hlm. 546. 91
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1126.
diartikan: , yaitu keseimbangan dan kesepadanan.92
Dari pengertian
inilah kemudian diambil pengertian menurut istilah.
Secara terminologis sangat banyak pengertian kata qisâs di antaranya
sebagai berikut:
1. Menurut Abdur Rahman I.Doi,
"Qisâs merupakan hukum balas dengan hukuman yang setimpal bagi
pembunuhan yang dilakukan. Hukuman pada si pembunuh sama dengan
tindakan yang dilakukan itu, yaitu nyawanya sendiri harus direnggut
persis seperti dia mencabut nyawa korbannya. Kendatipun demikian,
tidak harus berarti bahwa dia juga harus dibunuh dengan senjata yang
sama".93
2. Menurut Abdul Malik, qisâs berarti memberlakukan seseorang
sebagaimana orang itu memperlakukan orang lain.94
3. Menurut HMK. Bakri, qisâs adalah hukum bunuh terhadap barang siapa
yang membunuh dengan sengaja yang mempunyai rencana lebih dahulu.
Dengan perkataan yang lebih umum, dinyatakan pembalasan yang serupa
dengan pelanggaran.95
92
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VI, Damaskus: Dar al-
Fikr, 1989, hlm. 261. 93
A.Rahman I Doi, Hudud dan Kewarisan, Terj. Zaimuddin dan Rusydi
Sulaiman, Jakarta: Srigunting, 1996, hlm. 27. 94
Abdul Malik dalam Muhammad Amin Suma, et. al, Pidana Islam di
Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 90 95
HMK. Bakri, Hukum Pidana dalam Islam, Solo: Romadhani, t.th, hlm. 12
4. Menurut Haliman, hukum qisâs ialah akibat yang sama yang dikenakan
kepada orang yang menghilangkan jiwa atau melukai atau menghilangkan
anggota badan orang lain seperti apa yang telah diperbuatnya.96
5. Menurut Ahmad Hanafi, pengertian qisâs ialah agar pembuat jarimah
dijatuhi hukuman (dibalas) setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh
kalau ia membunuh, atau dianiaya kalau ia menganiaya.97
Berdasarkan beberapa rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
qisâs adalah memberikan perlakuan yang sama kepada terpidana sesuai
dengan tindak pidana yang dilakukannya.
Al-Qur'an telah banyak menjelaskan tentang hukum-hukum pidana
berkenaan dengan masalah-masalah kejahatan. Secara umum hukum pidana
atas kejahatan yang menimpa seseorang adalah dalam bentuk qisâs yang
didasarkan atas persamaan antara kejahatan dan hukuman. Di antara jenis-
jenis hukum qisâs yang disebutkan dalam al-Qur'an ialah; qisâs pembunuh,
qisâs anggota badan dan qisâs dari luka. Semua kejahatan yang menimpa
seseorang, hukumannya dianalogikan dengan qisâs yakni didasarkan atas
persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena hal itu adalah tujuan
pokok dari pelaksanaan hukum qisâs.
Qisâs terbagi menjadi 2 macam yaitu;
96
Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah,
Jakarta: Bulan Bintang, 1971, hlm. 275. 97
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1990, hlm. 279.
1. Qisâs shurah, di mana hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang itu sejenis
dengan kejahatan yang dilakukan.
2. Qisâs ma'na, di mana hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang itu cukup
dengan membayar diyat.98
Apa yang telah dijelaskan di atas, adalah hukuman kejahatan yang
menimpa seseorang. Adapun kejahatan yang menimpa sekelompok manusia, atau
kesalahan yang menyangkut hak Allah, maka al-Qur'an telah menetapkan
hukuman yang paling berat, sehingga para hakim tidak diperbolehkan
menganalogikan kejahatan ini dengan hukuman yang lebih ringan. Inilah
pemikiran perundang-undangan yang paling tinggi, di mana Allah menetapkan
hukuman yang berat dan melarang untuk dipraktekkan dengan lebih ringan.
Hukuman yang telah ditetapkan al-Qur'an tersebut disebut dengan al-hudûd
(jamak dari hadd) yang jenisnya banyak sekali, di antaranya ialah; had zina, had
pencurian, had penyamun, had menuduh seseorang berbuat zina dan sebagainya.99
Dalam menetapkan hukum-hukum pidana, al-Qur'an senantiasa
memperhatikan empat hal di bawah ini;
1. Melindungi jiwa, akal, agama, harta benda dan keturunan.
Oleh karena itu, Allah menjelaskan bahwa qisâs itu dapat menjamin
kehidupan yang sempurna, yang tidak dapat direalisasikan kecuali dengan
98
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Terj. Saefullah Ma'shum, et al,
Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 135. 99
Ibid.
melindungi jiwa, akal, agama, harta benda dan keturunan. Meskipun demikian,
dalam menjatuhkan hukuman perlu mentataati kaidah:
Artinya: "Hindarkanlah hukuman-hukuman karena adanya syubhat".100
Pada dasarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa
kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya bila seseorang
memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi yang tidak sesuai
kondisi asal.101
Kaidah hukum menegaskan:
Artinya: "Bukti wajib diberikan oleh orang yang menuduh/menggugat dan
sumpah wajib diberikan oleh orang yang mengingkari".102
Konstruksi kaidah ini berasal dari hadis Nabi Saw., yang berbunyi:
100
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh ( al-Qowaidul Fiqhiyyah), cet 4, Jakarta:
Kalam Mulia, 2001, hlm. 63. 101
Abdul Haq, et al, Formulasi Nalar Fiqh, Buku Satu, Surabaya: Khalista, 2006,
hlm. 161. 102
Asjmuni A. Rahman, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 2002, hlm. 57.
103
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Sahl bin
'Askar al-'Abdadi dari Muhammad bin Yusuf dari Nafi' bin
Umar al-Jumahi dari Abdillah Ibnu Abi mulaikah dari Ibnu
Abbas: Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: mendatangkan
bukti wajib atas orang yang mendakwa, sedangkan sumpah
wajib atas orang yang didakwa". (HR. Tirmidzi).
2. Meredam kemarahan orang yang terluka, lantaran ia dilukai. Oleh karena itu,
ia harus disembuhkan dari lukanya, sehingga ahli waris orang yang dibunuh
mempunyai hak untuk mengqisâs orang yang membunuh. Sebagaimana
firman Allah SWT.:
Artinya: "Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami
telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah
ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya
adalah orang yang mendapat pertolongan". (QS. al-lsra : 33).104
Hal tersebut merupakan obat bagi masyarakat yang menjadi perhatian
hukum pidana modern, setelah beberapa lama tidak diperhatikan. Jika
kemarahan orang yang terluka tidak diperhatikan, maka kejahatan akan
menjadi berantai. Karena orang yang terluka atau ahli waris orang yang
103
Abu Isa Muhammad ibn Isa bin Surah at-Tirmizi, hadis No. 1263 dalam CD
program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software
Company) 104
Ibid., hlm. 228.
terbunuh akan melampiaskan kemarahannya pada kejahatan yang lain,
lantaran kurangnya hukuman balas bagi orang yang melakukan kejahatan.105
3. Memberikan ganti rugi kepada orang yang terluka atau keluarganya, bila tidak
dilakukan qisâs dengan sempurna, lantaran ada suatu sebab.
4. Menyesuaikan hukuman dengan pelaku kejahatan. Yakni jika pelaku
kejahatan tersebut orang yang terhormat, maka hukumannya menjadi berat,
dan jika pelaku kejahatan tersebut orang rendahan, maka hukumannya
menjadi ringan. Karena nilai kejahatan akan menjadi besar bila dilakukan
oleh orang yang status sosialnya rendah. Oleh karena itu, al-Qur'an
menjatuhkan hukuman kepada budak separo dari hukuman orang yang
merdeka.106
Sebagaimana firman Allah SWT. :
Artinya: "Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka
separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami". (QS. an-Nisa" : 25).107
(2) Hukuman Kifarat
Di atas telah dikemukakan bahwa hukuman kifarat, sebagai hukuman
pokok untuk tindak pidana pembunuhan sengaja, merupakan hukuman yang
105
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 135 106
Ibid., hlm. 136. 107
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, op.cit., hlm. 118.
diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut jumhur fuqaha yang terdiri dari
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah dalam salah satu riwayatnya, hukuman
kifarat tidak wajib dilaksanakan dalam pembunuhan sengaja. Hal ini karena
kifarat merupakan hukuman yang telah ditetapkan oleh syara' untuk
pembunuhan karena kesalahan sehingga tidak dapat disamakan dengan
pembunuhan sengaja. Di samping itu, pembunuhan sengaja balasannya nanti
di akhirat adalah neraka Jahanam, karena ia merupakan dosa besar. Namun
demikian, di dalam Al-Qur'an tidak disebut-sebut adanya hukuman kifarat
untuk pembunuhan sengaja. Hal ini menunjukkan bahwa memang tidak ada
hukuman kifarat untuk pembunuhan sengaja. Andaikata kifarat itu wajib
dilaksanakan untuk pembunuhan sengaja maka Al-Qur'an pasti akan
menyebutkannya.108
(3) Hukuman Diat
Hukuman qisâs dan kifarat untuk pembunuhan sengaja merupakan
hukuman pokok. Apabila kedua hukuman tersebut tidak bisa dilaksanakan,
karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh syara' maka hukuman penggantinya
adalah hukuman diat untuk qisâs dan puasa untuk kifarat.
(4) Hukuman Ta'zir
Hukuman pengganti yang kedua untuk pembunuhan sengaja adalah
ta'zir, Hanya saja apakah hukuman ta'zir ini wajib dilaksanakan atau tidak,
108
Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh „alâ al-Mazâhib al-Arba‟ah, Juz V, Beirut: Dâr al-
Fikr, 1972, hlm. 254-255.
masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Malikiyah, apabila pelaku
tidak diqishash, ia wajib dikenakan hukum ta'zir, yaitu didera seratus kali dan
diasingkan selama satu tahun. Alasannya adalah atsar yang dhaif dari Umar.
Sedangkan menurut jumhur ulama, hukuman ta'zir tidak wajib dilaksanakan,
melainkan diserahkan kepada hakim untuk memutuskannya. Dalam hal ini
hakim diberi kebebasan untuk memilih mana yang lebih maslahat, setelah
mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku.
(5) Hukuman Tambahan
Di samping hukuman pokok atau pengganti, terdapat pula hukuman
tambahan untuk pembunuhan sengaja, yaitu penghapusan hak waris dan
wasiat.
b. Hukuman Untuk Pembunuhan Menyerupai Sengaja
Pembunuhan menyerupai sengaja dalam hukum Islam diancam dengan
beberapa hukuman, sebagian hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian
lagi hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan
menyerupai sengaja ada dua macam, yaitu diat dan kifarat. Sedangkan
hukuman pengganti yaitu ta'zir. Hukuman tambahan yaitu-pencabutan hak
waris dan wasiat.
c. Hukuman Untuk Pembunuhan karena Kesalahan
Pembunuhan karena kesalahan, sebagaimana telah dijelaskan adalah
suatu pembunuhan di mana pelaku sama sekali tidak berniat melakukan
pemukulan apalagi pembunuhan, tetapi pembunuhan tersebut terjadi karena
kelalaian atau kurang hati-hatinya pelaku. Hukuman untuk pembunuhan
karena kesalahan ini sama dengan hukuman untuk pembunuhan menyerupai
sengaja, yaitu
1. Hukuman pokok: diat dan kifarat;
2. Hukuman tambahan: penghapusan hak waris dan wasiat.
B. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Positif
1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Positif
Pembunuhan dalam bahasa Belanda disebut doodslag, Inggris,
menslaughter, Jerman, totcshlag.109
Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan pembunuhan yaitu adalah proses, cara, perbuatan membunuh.110
Sedangkan dalam istilah KUHP, pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain. Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu
seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang
berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet (unsur
kesengajaan) dari pelakunya itu harus ditujukan pada "akibat" berupa
meninggalnya orang lain tersebut.111
109
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP,
Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. Xii. 110
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002,
hlm.179. 111
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus: Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh
dan Kesehatan Serta Kejahatan yang Membahayakan Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan,
Bandung: Bina Cipta, 1986, hlm. 1.
Dengan demikian, yang tidak dikehendaki oleh undang-undang itu
sebenarnya ialah kesengajaan menimbulkan akibat meninggaklnya orang lain.
akibat yang dlarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang seperti
itu di dalam doktrin juga disebut sebagai constitutief gevold atau sebagai
akibat konstitutif. Oleh sebab itu, tindakan pidana pembunuhan merupakan
suatu "delik material" atau suatu materiel delict atau pun yang oleh van
Hamel disebut sebagai suatu delict met materiele omschrijving, yang artinya
delik yang dirumuskan secara material, yakni delik yang baru dianggap
sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang
dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang sebagaimana
dimaksud di atas. Dengan demikian orang belum dapat berbicara tentang
terjadinya suatu tindak pidana pembunuhan, jika akibat berupa meninggalnya
orang lain itu sendiri belum timbul.112
Pembunuhan yang oleh Pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai "dengan
sengaja menghilangkan nyawa orang", yang diancam dengan maksimum
hukuman lima belas tahun penjara. Menurut Wirjono Prodjodikoro, hal ini
adalah suatu perumusan secara "materiel" yaitu secara "mengakibatkan
sesuatu tertentu" tanpa menyebutkan wujud perbuatan dari tindak pidana.113
2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Positif
112
Ibid., hlm. 1. 113
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,
Bandung: PT Refika Aditama, 2002, hlm. 66.
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang
ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang
terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350.114
Kejahatan terhadap
nyawa orang lain terbagi atas beberapa jenis, yaitu :
a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak
pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara
lengkap dengan semua unsur-unsurnya.115
Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah :
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.116
Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.117
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam
pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja
b. Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
114
Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1989, hlm. 88. 115
P.A.F. Lamintang, op.cit., hlm. 24. 116
Moeljatno, KUHP, hlm. 147. 117
Ibid.
“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan
kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus)
yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah
terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud
sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk
menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan
terlebih dahulu.118
Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :
“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku
harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan
tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk
menghilangkan nyawa orang lain.119
Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa
orang lain dari si pembunuhan. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan
tidak menjadi soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu
sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana Indinesia tidak
mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai
sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang
118
P.A.F. Lamintang, op.cit., hlm. 30-31. 119
Ibid., hlm. 31.
mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan
pelaku.120
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa
sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang
bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat
dipertanggung jawabkan.121
b. Pembunuhan Dengan Pemberatan
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan
yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika
tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya
daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan
melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan
hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-
lamanya dua puluh tahun.122
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti,
disertai, atau didahului oleh kejahatan”. Kata “diikuti” dimaksudkan diikuti
kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan
dilakukannya kejahatan lain. Misalnya:A hendak membunuh B; tetapi karena
B dikawal oleh P maka A lebih dahulu menembak P, baru kemudian
membunuh B.
120
Ibid., hlm. 35. 121
M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet.
ke-2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), hlm. 122. 122
Moeljatno, KUHP., hlm.147.
Kata “disertai” dimaksudkan, disertai kejahatan lain; pembunuhan itu
dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu. Misalnya
: C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya,
maka C lebih dahulu membunuh penjaganya.
Kata “didahului” dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau
menjamin agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang
diperoleh dari kejahatan. Misalnya : D melarikan barang yang dirampok.
Untuk menyelamatkan barang yang dirampok tersebut, maka D menembak
polisi yang mengejarnya.123
Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang
memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif : 1) dengan sengaja
2) dengan maksud
b. Unsur obyektif : 1) menghilangkan nyawa orang lain
2) diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana
lain
3) untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak
pidana yang akan, sedang atau telah dilakukan
4) untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri
atau lainnya (peserta) dalam tindak pidana yang
bersangkutan
5) untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda
yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam
ia/mereka kepergok pada waktu melaksanakan tindak
pidana.124
123
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 30. 124
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 37.
Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai
maksud pribadi dari pelaku; yakni maksud untuk mencapai salah satu tujuan
itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku, seperti
dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah
terwujud/selesai, tetapi unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum dan
harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Sedang unsur obyektif yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan
Pasal 339 KUHP, maka termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis
tindak pidana yang (oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaran-
pelanggaran dan bukan semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang
diklasifikasikan dalam kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan
“lain-lain peserta” adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56
KUHP, yakni mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan
(doenpleger), yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan tindak
pidana yang bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta
melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).125
Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan
pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak
pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari pembunuhan
biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh
125
Ibid., hlm. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan
dan Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), hlm.9.
tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan, maka dapat
memperingan atau bahkan menghilangkan hukuman.
c. Pembunuhan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.126
Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut M.v.T.
pembentukan Pasal 340 diutarakan, antara lain :
“dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan
tenang dan berfikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si
pelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan
melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya.127
M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu” antara
lain sebagai : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya
untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”128
Sedangkan
Chidir Ali, menyebutkan: Yang dimaksud dengan direncanakan lebih dahulu,
adalah suatu saat untuk menimbang-nimbang dengan tenang, untuk
memikirkan dengan tenang. Selanjutnya juga bersalah melakukan
perbuatannya dengan hati tenang.129
126
Moeljatno, KUHP., hlm. 147. 127
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.31. 128
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955 129
Chidir Ali, Responsi., hlm. 74.
Dari rumusan tersebut, maka unsur-unsur pembunuhan berencana
adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan
terlebih dahulu
b. Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.130
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan
sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya,
maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
d. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya (kinder-doodslag)
Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada
ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena
takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena
pembunuhan anak dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh
tahun.131
Unsur pokok dalam Pasal 341 KUHP tersebut adalah bahwa seorang
ibu "dengan sengaja" merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia
melahirkan anaknya atau tidak berapa lama setelah anak dilahirkan.
Sedangkan unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa
perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu
didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran anaknya.132
130
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 44. 131
Moeljatno, KUHP., hlm.147. 132
Chidir Ali, Respons., hlm. 76.
Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu adalah
anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga pembunuhan
tersebut haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum lama setelah
dilahirkan. Apabila anak yang dibunuh itu telah lama dilahirkan, maka
pembunuhan tersebut tidak termasuk dalam kinderdoodslag melainkan
pembunuhan biasa menurut Pasal 338 KUHP.
e. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang
diambil sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan
melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan
atau tidak lama kemudian daripada itu dihukum karena membunuh
bayi secara berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan tahun.133
Pasal 342 KUHP dengan Pasal 341 KUHP bedanya adalah bahwa
Pasal 342 KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum
melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara
melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi
pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus
sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341 KUHP
khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan hanya si ibu
tersebut yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika si ibu tersebut
telah mempersiapkan alat-alatnya.
133
Moeljatno, KUHP., hlm.147-148.
f. Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain
itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.134
Pasal 344 KUHP ini membicarakan mengenai pembunuhan atas
permintaan dari yang bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan yang
tegas dan sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu
permintaanya tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan saja,
maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344, karena belum
memenuhi perumusan dari Pasal 344, akan tetapi memenuhi perumusan Pasal
338 (pembunuhan biasa).
Contoh dari pelaksanaan Pasal 344 KUHP adalah jika dalam sebuah
pendakian (ekspedisi), dimana kalau salah seorang anggotanya menderita sakit
parah sehingga ia tidak ada harapan untuk meneruskan pendakian mencapai
puncak gunung, sedangkan ia tidak suka membebani kawan-kawannya dalam
mencapai tujuan; di dalam hal ini mungkin ia minta dibunuh saja.
g. Penganjuran Agar Bunuh Diri
Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri,
atau menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar
134
Ibid.
kepadanya untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun, kalau jadi orangnya bunuh diri.135
Yang dilarang dalam Pasal tersebut, adalah dengan sengaja
menganjurkan atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk bunuh diri
dan kalau bunuh diri itu benar terjadi. Jadi seseorang dapat terlibat dalam
persoalan itu dan kemudian dihukum karena kesalahannya, apabila orang lain
menggerakkan atau membantu atau memberi daya upaya untuk bunuh diri;
dan baru dapat dipidana kalau nyatanya orang yang digerakkan dan lain
sebagainya itu membunuh diri dan mati karenanya.
Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende voor-
waarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus dipenuhi agar
perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.136
h. Pengguguran Kandungan
Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus
provocatus” yang dalam Kamus Kedokteran diterjemahkan dengan :
“membuat keguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP oleh
Pasal-Pasal 346, 347, 348, dan 349. Jika diamati Pasal-Pasal tersebut maka
akan dapat diketahui bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus
pengguguran kandungan, yaitu ;
a. janin
135
Ibid. 136
Chidir Ali, Responsi., hlm. 76.
b. ibu yang mengandung
c. orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut.137
Tujuan Pasal-Pasal tersebut adalah untuk melindungi janin.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti “janin” sebagai (1)
bakal bayi (masih di kandungan (2) embrio setelah melebihi umur dua bulan.
Perkataan “gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”.
Kemungkinan, janin dalam kandungan dapat dibunuh, tanpa gugur. Namun
pembuat undang-undang dalam rumusan KUHP, belum membedakan kedua
hal tersebut.138
Pengaturan KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah
sebagai berikut:
1) Pengguguran Kandungan Oleh si Ibu
Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.139
2) Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin Perempuan
yang Mengandung
Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
137
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.46. 138
Ibid., hlm.47. 139
Molejatno, KUHP., hlm. 148.
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.140
3) Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang
Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Positif
Sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX
buku II adalah sebagai berikut :
a. Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya
lima belas tahun
b. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
c. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
d. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya tujuh tahun
e. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun
140
Ibid.
f. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
g. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh diri
pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya
empat tahun
h. Pengguguran kandungan
1. Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun
2. Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang
mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
- dua belas tahun
- lima belas tahun, jika perempuan itu mati
3. Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang
mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
- lima tahun enam bulan
- tujuh tahun, jika perempuan itu mati
Apabila ketentuan di atas juga dibuat sebuah daftar, maka hasilnya adalah sebagai
berikut :
No Jenis Pembunuhan Pas
al
Akibat Sanksi
1 Pembunuhan biasa 338 kematian - 15 tahun
2 Pembunuhan dengan
pemberatan
339 kematian -seumur hidup
atau 20 tahun
3 Pembunuhan berencana 340 kematian - hukuman mati
atau seumur
hidup atau 20
tahun
4 Pembunuhan bayi oleh
Ibunya
341 kematian - 7 tahun
5 Pembunuhan bayi oleh
Ibunya secara
berencana
342 kematian - 9 tahun
6 Pembunuhan atas
Permintaan sendiri
344 kematian - 12 tahun
7 Penganjuran agar bunuh
Diri
345 kematian - 4 tahun
8 Pengguguran
kandungan :
- oleh si Ibu
- oleh orang lain tanpa
izin
perempuan yang
mengandung
- oleh orang lain dengan
izin perempuan yang
mengandung
346
347
348
-Kematian bayi
-Kematian bayi
-Kematian ibu
-Kematian bayi
-Kematian ibu
- 4 tahun
- 12 tahun
- 15 tahun
- 5 tahun 6
bulan
- 7 tahun
Adapun alasan-alasan yang menghilangkan sifat tindak pidana dibedakan
dalam dua kategori, yaitu :
a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana, adalah :
1) Keperluan membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP)
2) Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
3) Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa
yang berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP)
Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu
tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan.
b. Alasan yang memaafkan pelaku, hal ini termuat dalam :
1) Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapat
dipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam
tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit
(ziekelijke storing)
2) Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana
3) Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa
yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
4) Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan terhapusnya pidana karena perintah
jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira
bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk
dalam lingkungan pekerjaanya.
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi
pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap
nyawa.
BAB IV
PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN
ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA ANTARA HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSOTIF DI INDONESIA
A. Analisis Ketentuan Pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang
dilakukan oleh Orang Tua terhadap Anaknya Menurut Hukum Positif
Dalam aturan hukum positif tindak pidana pembunuhan yang dilakukan
orang tua terhadap anaknya, maka orang tua dapat dipidana atau dikenai sanksi
hukum. Hukum positif sama sekali tidak membuka peluang dibebaskannya orang
tua membunuh anaknya sepanjang unsur-unsur delik yang termuat dalam Pasal-
Pasal yang bersangkutan terpenuhi.
Adanya sanksi hukum terhadap orang tua yang membunuh anaknya
menunjukkan bahwa hukum positif tidak mempertimbangkan karena orang tua
lalu dibebaskan dari hukuman. Setiap kejahatan dikenai sanksi jika ada aturan
undang-undang mengaturnya.
Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati
norma-norma yang berlaku.141
Adanya sanksi dimaksudkan untuk mewujudkan
141
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, hlm. 29.
keteraturan dan ketertiban hidup manusia sehingga terpelihara dari kerusakan dan
berbuat kerusakan; selamat dari berbuat kebodohan dan kesesatan; tertahan dari
berbuat maksiat dan mengabaikan ketaatan. Oleh karena itu, sanksi hanya
diberikan kepada orang-orang yang melanggar yang disertai maksud jahat, agar
mereka tidak mau mengulanginya kembali. Selain itu sanksi tersebut menjadi
pencegah bagi orang lain agar tidak berbuat hal yang sama.142
Menurut R. Soesilo, tujuan pemberian sanksi itu bermacam-macam
tergantung dari sudut mana soal itu ditinjaunya, misalnya:143
pujangga Anselm
von Feurbach berpendapat, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang
supaya jangan berbuat jahat. Teori ini biasa disebut teori mempertakutkan"
(afchriklungstheorie).
Sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreiging)
dan mempunyai tugas agar norma yang sudah ditetapkan itu supaya ditaati.144
Dalam Kamus Hukum karya Fockema Andreae, sanksi artinya semacam pidana
atau hukuman.145
142
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, Jakarta:
Anggota IKAPI, 2004, hlm. 18. 143
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996, hlm. 35-36.
144
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia
Indonesuia, 1983, hlm. 36. 145
Fockema Andreae, Fockema Andrea's Rechtsgeleard Handwoordenboek,
Terj. Saleh Adwinata, et al, "Kamus Istilah Hukum", Bandung: Binacipta, 1983, hlm.
496.
Dalam konteksnya dengan sanksi pembunuhan yang diberikan kepada
orang tua yang membunuhnya anaknya, maka membahas tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya dalam perspektif hukum
positif, paling tidak ada tiga bentuk pembunuhan yang patut dicermati:
1. Pembunuhan terhadap Anak yang Baru Lahir (kinderdoodslag)
2. Tindak Pembunuhan Anak dengan Direncanakan Lebih Dahulu (kinder-
moord)
3. Pengguguran Kandungan/Pembunuhan terhadap Anak yang Masih dalam
Kandungan (doodslag op een ongeborn vrucht).
Pertama, Pembunuhan terhadap anak yang baru lahir (kinderdoodslag).
Pasal 341 KUHP {kinderdoodslag). Seorang ibu yang karena tertekan oleh rasa
takut diketahui orang bahwasanya ia telah melahirkan seorang anak, dengan
sengaja merampas jiwa anaknya pada saat ia melahirkannya atau di antara masa
setelah ia melahirkannya. Karena perbuatannya itu salah menurut hukum, ia dapat
dipidana dengan penjara paling tinggi tujuh tahun.
Jenis delik ini ternyata terdiri atas beberapa unsur. Unsur-unsur ini adalah:
1. Unsur yang pokok: "Seorang ibu" (de moeder) dengan sengaja merampas
jiwa anaknya sendiri pada saat ia melahirkan atau antara masa setelah ia
melahirkan anaknya.
2. Unsur yang penting: Perbuatan merampas jiwa anaknya itu harus
dilakukan berdasarkan suatu alasan (Motiej). Yaitu si ibu didorong oleh
perasaan takut akan diketahui, bahwasanya ia melahirkan seorang anak.
Secara lebih mendalam, kinderdoodslag adalah kejahatan yang tidak dapat
dilakukan oleh setiap orang. Artinya, kejahatan itu harus dilakukan oleh seorang
ibu terhadap anaknya sendiri yang sedang dilahirkannya atau tidak lama setelah
dilahirkan. Apabila kejahatan itu dilakukan oleh seorang ibu atas anaknya orang
lain, ini bukan kejahatan yang dimaksud Pasal 341 KUHP, tetapi memenuhi
kejahatan yang dirumuskan Pasal 338 atau Pasal. 340 KUHP.
Yang perlu dipahami tentang Pasal 341 KUHP ini adalah: Saatnya, yang
merupakan unsur penting, sebab apabila kejahatan itu dilakukan lama setelah
anak dilahirkan, kejahatan tersebut juga bukan kinderdoodslag.
Unsur yang penting dalam perumusan delik itu adalah: Yang merupakan
"alasan" atau "motief" yang menggerakkan dilakukannya kejahatan tersebut.
Yaitu: si Ibu melakukannya karena terdorong oleh rasa takut akan diketahui
bahwasanya dia melahirkan seorang anak: Faktor inilah yang menyebabkan
ancaman hukuman lebih ringan (yaitu 7 tahun) dibandingkan kejahatan
pembunuhan biasa, yaitu 15 tahun.
Kini sepintas lalu sangat mungkin timbul perasaan bahwa kejahatan yang
dilakukan oleh si Ibu adalah hal yang janggal sekali. Masak seorang ibu,
dikarenakan rasa takut saja, akan membunuh anak yang dilahirkannya sendiri.
Bukankah si Ibu seharusnya bangga atas kelahiran anaknya? Akan tetapi untuk
menjawab persoalan ini, baiklah kita tinjau Pasal 341 dari sudut riwayatnya.
Yang dimaksudkan dengan "seorang ibu" (de moeder) di dalam pasal
tersebut adalah "seorang ibu yang tidak kawin secara sah". Ketika rancangan
Pasal 341 ini diajukan oleh pemerintah (Belanda) kepada Tweede Kamer, salah
seorang anggota Tweede Kamer mengusulkan agar di dalam Pasal 341 itu
dinyatakan secara tegas '"seorang ibu yang tidak secara kawin sah". Akan tetapi
usul ini ditolak oleh Menteri Kehakiman dengan penjelasan bahwa bagi seorang
ibu yang kawin dengan sah tidak ada alasan untuk merasa takut.
Kedua, tindak pembunuhan anak dengan direncanakan lebih dahulu
(kinder-moord Pasal 342 KUHP). Seorang ibu yang merampas jiwa seorang anak
ketika dilahirkan, atau tidak lama setelah anak itu dilahirkan, perbuatan ini
merupakan pelaksanaan kehendak si ibu ketika ia (ibu) masih mengandung.
Kehendak itu timbul terdorong oleh rasa takut melahirkan seorang anak yang
dapat dipidana dengan penjara paling tinggi sembilan tahun. Sebenarnya delik
kindermoord ini memiliki unsur-unsur yang sama dengan delik kinderdoodslag.
Yaitu kejahatan yang dilakukan seorang ibu terhadap anaknya sendiri yang
sedang atau tidak lama setelah melahirkannya. Akan tetapi jika kedua delik itu
dibandingkan, ternyata masih terdapat perbedaannya dan perbedaannya ini
terletak pada unsur "subjektifnya", yaitu:
1. Kinderdoodslag. "opzet-nya" baru timbul pada si ibu pada waktu ia
sedang atau tidak lama setelah melahirkan anaknya (Bij of kort na de
geboorte),
2. Kindermoord: " opzet-nya" timbul pada si Ibu sebelumnya ia melahirkan
anaknya atau ketika ia mengandung (hareaanstande bevalling genomen
besluit).
Unsur penting dalam kindermoord adalah pembunuhan oleh si ibu harus
berdasarkan suatu motif. Dalam hal ini kehendak yang dimiliki oleh si ibu untuk
melaksanakannya sebelum ia melahirkan anaknya itu (ketika ia mengandung).
Kehendak tersebut diliputi oleh perasaan takut si Ibu itu kalau-kalau peristiwa
melahirkan anaknya diketahui orang.
Dengan unsur-unsur itu, sekarang timbul pertanyaan: Apakah ini berarti
perencanaan untuk membunuh itu dalam keadaan tenang ataukah bukan?
Ternyata perencanaannya dalam keadaan tidak tenang, walaupun kehendak si ibu
direncanakan terlebih dahulu, namun dalam caranya membentuk kehendak ada
perbedaan, artinya met voorbedachte rade (direncanakan lebih dahulu) itu harus
terbentuk dalam keadaan tenang. Sedang dalam delik kindermoord kehendak
membunuh anak yang dilahirkannya itu terjadi dalam keadaan tidak tenang.
Bahkan kehendak tadi terjadi justru terdorong oleh rasa takut akan kelahiran
anaknya.
Tentang kejahatan menurut Pasal 343 KUHP, yang dirumuskan dalam
Pasal 341 dan 342 KUHP apakah dianggap sebagai kejahatan pembunuhan biasa
atau kejahatan pembunuhan yang direncanakan oleh peserta (pembantu)
pelaksanaan pembunuhan. Apakah itu berarti Pasal 343 KUHP dapat dikenakan
terhadap setiap peserta atau pembantu dalam delik kinderdoodslag (Pasal 341)
atau kindermoord (Pasal 342) harus dihukum menurut delik doodslag (Pasal 338)
atau moord (Pasal 340)?
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa pembunuhan anak itu dilakukan si
ibu anaknya itu (menurut Pasal 341 KUHP) bersama-sama dengan orang-orang
lain (menurut Pasal 341 KUHP) sehingga si Ibu dapat dijatuhi hukuman tujuh
tahun penjara. Jumlah hukuman ini lebih ringan dari pelaku peserta atau
pembantunya, yang harus dihukum dengan Pasal 338 KUHP yang ancaman
pidananya 15 tahun. Apabila pembunuhan dikenakan Pasal 342 KUHP dilakukan
oleh si ibu bersama-sama orang lain maka bagi si ibu berlaku Pasal 342 KUHP
dengan hukuman sembilan tahun. Sedang pelaku pesertanya mendapat hukuman
berdasarkan Pasal 340 KUHP.
Apakah maksud pasal 343 KUHP dengan menegaskan siapa yang
melakukan delik Pasal 341 atau Pasal 342 KUHP mendapat hukuman yang lebih
ringan daripada hukuman atas pembantu atau pelaku peserta? Maksudnya, justru
orang lain tercegah membantu atau melakukan pembunuhan atas diri si anak
bersama-sama dengan si ibu tidak menikmati keringanan hukuman.
Ketiga, pengguguran kandungan/pembunuhan terhadap anak yang masih
dalam kandungan (doodslag op een ongeborn vrucht). Jenis kejahatan ini terdapat
dalam pasal 346 KUHP: Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan
anak dalam kandungannya, atau dengan sengaja mengakibatkan matinya si anak
yang masih dalam kandungannya, atau menyuruh orang lain untuk
mengakibatkan gugurnya si anak yang dikandungnya, atau matinya anak yang
dikandung, dipidana dengan penjara paling tinggi empat tahun.
Perbuatan apakah yang dilarang dalam jenis delik ini? Adapun perbuatan
yang dilarang dalam delik ini dirumuskan dalam tiga jenis perbuatan. Yaitu:
1. Menggugurkan dengan sengaja bayi yang masih dalam kandungan si ibu.
2. Mengakibatkan dengan sengaja matinya anak yang masih ada di dalam
kandungan si ibu.
3. Menyuruh orang lain menggugurkan atau mengakibatkan matinya anak
yang ada dalam kandungan si ibu.
Sekarang, apakah yang dimaksud dengan kalimat "menggugurkan anak
yang berada di dalam kandungan", atau yang dalam bahasa Belanda disebut
afdreiving? Akan tetapi yang mengenai persoalan ini dalam ilmu pengetahuan
lazim dipergunakan dengan istilah Romawi: abortus atau lengkapnya abortus
provocatus.
Pengertian dari abortus atau afdriiving adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja agar anak yang masih dalam kandungan si ibu dilahirkan sebelum
tiba waktunya menurut alam. Demikian pula dengan abortus, yaitu
menggugurkan seorang bayi dari kandungan ibunya (dalam ilmu kedokteran,
digunakan istilah orok sebagai terjemahan istilah ongeboren vrucht).
Seperti telah diterangkan berkenaan dengan pasal 346, ada tiga jenis
perbuatan yang dilarang, yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan. Yaitu:
1. Perbuatan yang dilakukan oleh ibu bayi sendiri.
2. Perbuatan yang dilakukan orang lain atas anjuran si ibu (lihat ad.3).
Telah dijelaskan oleh penulis dalam bab tiga skripsi ini, abortus atau
afdriiving adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja agar anak yang masih
ada dalam kandungan ibunya, terlahir sebelum tiba waktunya menurut alam.
Menurut ilmu kedokteran, kehamilan seorang wanita terjadi karena kekuatan atau
kodrat alam dalam waktu sembilan bulan. Setelah kehamilan berjalan sembilan
bulan, si wanita hamil akan dengan sendirinya melahirkan bayinya. Dengan
abortus, si bayi dilahirkan sebelum masa sembilan bulan, yang berarti sebelum
tiba waktunya menurut alam.
Masih tentang pengertian abortus, timbul pertanyaan bila seorang
perempuan menggugurkan bayi yang masih dalam kandungannya apakah perlu
menjadi pertimbangan bahwa ketika itu si bayi harus masih hidup. Atau,
sebaliknya, syarat yang demikian tidak perlu dipenuhi? Atau apakah juga terkena
delik afdriiving, apabila anak yang masih berada dalam kandungan itu sudah
meninggal, atau anak itu sudah meninggal sewaktu digugurkan?
Tentang persoalan ini, ada beberapa sarjana seperti JM. Van Bemmellen,
Simons dan Hazewinkel Suringa yang berpendapat bahwa dalam Pasal 346 tidak
ditegaskan bahwa bayi yang digugurkan itu harus masih hidup atau sudah
meninggal.
Mereka mengutarakan: Oleh karena UU sendiri tidak merumuskannya
dengan tegas, maka tidak soal apakah anak yang digugurkan itu masih hidup atau
sudah mati, tindakan si ibu termasuk dalam perbuatan abortus.
Akan tetapi, sebagaimana lazimnya, apakah kasus seperti itu terjadi, tentu
ada timbul pertentangan paham di antara para pakar. Selain pendapat beberapa
pakar tersebut di atas, sebagian besar ahli berpendapat begini: Bahwa untuk kasus
abortus harus dibuktikan bahwa si bayi, sebelum digugurkan atau dibunuh, harus
masih hidup. Ini berarti, kalau sudah meninggal, tindakan itu tidak termasuk
dalam pengertian abortus. Mereka memakai alasan: Abortus dikaitkan dengan
perbuatan yang kedua; dengan sengaja mengakibatkan matinya anak yang masih
berada dalam kandungan ibunya. Artinya, si anak harus masih hidup.
Kalau memang pendapat tersebut yang dianut, bahwa untuk kejahatan
abortus harus ada pembuktian bahwa si bayi sebelum digugurkan atau dibunuh
harus masih hidup, akan timbul masalah. Karena dalam prakteknya akan timbul
kesukaran.
Contoh: Di kota-kota besar, yang terdapat banyak dokter, lazim seorang
perempuan hamil diperiksa oleh dokter berikut keadaan bayi dalam
kandungannya. Juga diperiksa apakah si anak masih hidup atau sudah mati, dan
bagaimana pertumbuhan si anak secara alamiah. Oleh karena itu, andaikata
dilakukan pengguguran, hasil pemeriksaan dokter dengan gampang dapat
membuktikannya.
Namun di pelosok-pelosok desa yang kurang dokter akan berbeda
keadaannya. Di sana masih memakai jasa para dukun untuk memeriksakan
kehamilan. Dan andaikata ada pengguguran kandungan pada seorang perempuan
yang hamil akan sukar untuk dapat dibuktikan.
Justru karena dalam prakteknya sukar dibuktikan adanya perbuatan
abortus terhadap seseorang perempuan hamil, maka diupayakan cara
menghindari kesukaran pembuktian itu. Di samping Pasal 346, dalam KUHP ada
pasal tersendiri yang merumuskan satu jenis kejahatan dan yang diadakan untuk
menghindari kesulitan dalam hal pembuktian, jenis kejahatan itu yaitu Pasal 339
KUHP.
Dengan mencermati uraian di atas, maka dalam perspektif hukum positif
bahwa pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya dikenai sanksi
hukum yang cukup berat. Terlepas dari pelakunya sebagai orang tua, hukum
positif melihat bahwa pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya
merupakan kejahatan yang tidak bisa ditolerir.
B. Analisis Hukum Islam tentang Ketentuan Pidana terhadap Tindak Pidana
Pembunuhan yang Dilakukan oleh Orang Tua terhadap Anaknya
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jarimah
qisâs (tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisâs). Hukuman qisâs
disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an, sunah, dan ijma'. Dasar hukum dari Al-
Qur'an terdapat dalam beberapa ayat, antara lain sebagai berikut.
1) Surah Al-Baqarah ayat 178
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisâs
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, baginya
siksa yang sangat pedih". (QS. Al-Baqarah: 178).146
a. Surah Al-Baqarah ayat 178 ditinjau dari asbab al-nuzul bahwa
diriwayatkan dari Qatadah, orang-orang Jahiliyah biasa melakukan
kezaliman dan memperturutkan kehendak syetan, yaitu apabila suatu
kabilah yang memiliki kekuatan kemudian hamba mereka membunuh
hamba dari kabilah lain, maka mereka berkata: Kami tidak akan
146
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, Departemen Agama 1986, hlm 70.
membalas melainkan mesti membunuh orang merdeka, karena rasa
keagungan dan keutamaan mereka atas yang lain. Apabila ada seorang
perempuan di antara mereka membunuh seorang perempuan dari kabilah
lain, mereka pun berkata: Kami tidak akan membalas membunuh
melainkan seorang laki-laki, lalu turunlah ayat "orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.147
b. Diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, bahwa pernah ada dua kabilah Arab, di
masa Jahiliyah yang tidak jauh dari masa datangnya Islam, saling
membunuh, yang kemudian masing-masing dari mereka ada korban yang
meninggal dan yang luka-luka termasuk di antaranya wanita-wanita dan
hamba-hamba, kemudian belum sampai saling membalas kembali di
antara mereka sehingga mereka akhirnya masuk Islam. Kemudian salah
satu Kabilah yang bersengketa itu menyombongkan kekayaan dan
perbekalan mereka lalu bersumpah tidak rela kalau tidak membalas
pembunuhan yang dilakukan oleh Kabilah lawannya, bagi seorang hamba
kami yang terbunuh, maka kami harus dapat membunuh seorang merdeka
dari kalangan mereka, dan bagi seorang wanita, kami harus membunuh
seorang laki-laki sebagai balasannya. Kemudian turunlah ayat "Hai orang-
147
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam, Juz I, Beirut: Dâr al-
Kutub al-Ilmiah, 2004, hlm. 121.
orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisâs berkenaan dengan
orang-orang yang terbunuh.148
2) Al-Baqarah ayat 179
Artinya: "Dan dalam qisâs itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hari
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa". (QS. Al-
Baqarah: 179).149
3) Al-Ma'idah ayat 45
Artinya: "Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-
luka pun ada qisâsnya. Barang siapa yang melepaskan (hak
qisâs)nya maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang zalim". (QS. Al-
Ma'idah: 45).150
Di samping terdapat dalam Al-Qur'an, hukuman qisâs ini juga dijelaskan
dalam sunah Nabi saw, antara lain sebagai berikut.
1) Hadis Abdullah
148
Ibid., hlm. 121. 149
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, op.cit., hlm. 71. 150
Ibid., hlm. 165.
151
Artinya; "Telah mengabarkan kepada kami dari Abu Bakr bin Abu Ayaibah
dari Hafs bin Giyas dan Abu Muawiyah dan Waki' dari al-A'masy
dari Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah berkata: telah
bersabda Rasulullah saw.: Tidak halal darah seorang muslim yang
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya
saya Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: (1)
duda yang berzina (zina muhshan), (2) membunuh jiwa, dan (3)
orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari
jama'ah". (HR. Muslim).
Lafaz (jiwa dengan jiwa) yang tercantum dalam hadis di atas
menunjukkan arti qisâs.
2) Hadis Ibn Abbas
152
151
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi,
Sahîh Muslim, Juz. III, Mesir: Tijariah Kubra, tth. hlm. 106. 152
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini,
hadis No. 2613 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II,
Global Islamic Software Company).
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Ma'mar dari
Muhammad bin Kasir dari Sulaiman bin Kasir dari 'Amr bin Dinar
dari Thawus dari Ibnu Abbas ra. la berkata: Telah bersabda
Rasulullah saw.: "dan barang siapa dibunuh dengan sengaja maka ia
berhak untuk menuntut qisâs" (HR. Ibnu Majah).
Di samping Al-Qur'an dan sunah juga para ulama telah sepakat (ijma')
tentang wajibnya qisâs untuk tindak pidana pembunuhan sengaja. Meskipun
demikian, dalam hal orang tua yang membunuh anaknya, maka orang tua tidak
bisa dikenai hukum qisâs. Hal ini seperti terlihat dalam bukunya H.M.K. Bakri
yang menyatakan:
Tidak dilakukan hukum qisâs terhadap bapa yang membunuh anaknya
dan juga ibu yang membunuh anaknya, sesuai dengan hadis Nabi yang
diterangkan oleh Umar bin Khatab, katanya : "Tidak dibunuh bapa sebab
membunuh anaknya." Kalau begitu tidak dibunuh pula ibu sebab
membunuh anaknya dan seterusnya kepada perhubungan ibu bapa. Jika
dua orang laki-laki sama-sama mencampuri seorang perempuan,
kemudian perempuan itu melahirkan anak, dan kemungkinan anak itu dari
salah seorang keduanya. Kemudian keduanya membunuh anak itu
sebelum nyata siapa bapanya, maka dalam perkara semacam ini tiada
berlaku hukum qisâs pada yang membunuh, karena anak itu menaruh
syubbat atau keraguan siapa mestinya yang berhak memilikinya.153
Hukuman qisâs dapat gugur apabila wali korban menjadi pewaris hak
qisâs. Contohnya, seperti seseorang yang divonis qisâs, kemudian pemilik qisâs
meninggal, dan pembunuh mewarisi hak qisâs tersebut, baik seluruhnya maupun
sebagiannya, atau qisâs tersebut diwarisi oleh orang yang tidak mempunyai hak
qisâs dari pembunuh, yaitu anaknya.
153
H.M.K. Bakri, Hukum Pidana Dalam Islam, Semarang: Ramadani, 1987,
hlm. 26
Sebagai penjabaran dari contoh tersebut dapat dikemukakan penjelasan
sebagai berikut.
1) Contoh pembunuh sebagai ahli waris qisâs. Seorang anak membunuh
ayahnya, dan ia (anak) tersebut mempunyai saudara. Kemudian saudara
tersebut yang memiliki hak qisâs - meninggal, dan ia tidak mempunyai ahli
waris selain saudaranya yang membunuh tadi. Dalam kondisi ini, pembunuh
tersebut menjadi ahli waris atas hak qisâs dari saudaranya. Dengan demikian
maka hukuman qisâs menjadi gugur, karena tidak mungkin seseorang
melaksanakan qisâs terhadap dirinya sendiri.
2) Contoh yang mewarisi qisâs orang yang tidak bisa mengqisâs pembunuh:
Salah seorang dari kedua orang tua, misalnya ayah, membunuh orang tua
yang lainnya, misalnya ibu, dan mereka mempunyai anak, baik laki-laki
maupun perempuan. Dalam hal ini, qisâs menjadi gugur karena anak, sebagai
pemilik hak qisâs tidak bisa mengqisâs pembunuh (ayahnya), dengan asumsi,
andaikata orang tua (ayah) membunuh anaknya, ia tidak dapat diqisâs, sesuai
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi, Ibn Majah,
dan Baihaqi dari Umar ibn Khatthab, bahwa ia mendengar Rasulullah saw.
bersabda:
154
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari hasan dari Ibnu Lahi'ah
dari Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari Abdillah bin Amr ra.
Berkata: telah berkata Umar Ibn al-Khattab ra. telah mendengar
Rasulullah Saw bersabda: bahwa tidaklah diqisâs orang tua
karena membunuh anaknya (HR. Ahmad).
Jumhur berpendapat: orang tua yang membunuh anaknya tidak
dibunuh karena ada hadis Nabi Saw:
154
Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi,
hadis No. 1140 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic
Software Company).
155
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Abu Al-Mundzir Ismail
bin Umar Urah dari Hajjaj dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya
dari neneknya dari Umar bin al-Khattab ra. telah mendengar
bahwa Rasulullah Saw tidak membunuh orang tua karena
membunuh anaknya (HR. Ahmad).
Menurut Jashash, hadis ini tersebar luas dan masyhur. Bahkan Umar
melaksanakannya di depan para sahabat, tak ada satu orang pun yang
membantahnya. Jadi hadis tersebut setaraf dengan mutawatir.156
155
Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi,
hadis No. 1141 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic
Software Company). 156
Muhammad Amin Suma Dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan
Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 102, 143-144 dan 102.
Imam Malik berpendapat: Apabila orang tua sengaja membunuh
anaknya, orang tua itu dihukum bunuh. Muhammad Ali Ash-Shabuni
menguatkan pendapat Jumhur, karena tidak masuk akal orang tua akan
sengaja membunuh anaknya. Karena rasa sayangnya kepada anak akan
mencegah dia dengan sengaja membunuh anaknya. Sebaliknya, apabila anak
membunuh orang tua tidak ada yang membantah bahwa anak dibunuh.157
C. Perbedaan dan Persamaan antara Hukum Positif dengan Hukum Islam
tentang Ketentuan Pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang
Dilakukan oleh Orang Tua terhadap Anaknya
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa perbedaan mendasar
antara hukum pidana Islam dengan hukum positif dalam menyikapi pembunuhan
sebagai berikut:
1. Hukum pidana Islam memberi sanksi dua macam: di dunia dan akhirat.
Sedangkan hukum positif mengenal sanksi dunia saja yaitu mati, penjara atau
denda
2. Jenis pembunuhan dengan sengaja dalam hukum pidana Islam diancam
dengan pidana qisâs. Sedangkan dalam hukum positif maksimum penjara 15
Tahun. Diancam pidana mati jika pembunuhan itu dilakukan dengan
dipikirkan lebih dahulu (premeditated murder)
157
Ibid
3. Dalam hukum pidana Islam, bahwa pembunuhan yang dilakukan orang tua
terhadap anaknya tidak bisa diqisâs. Sedangkan dalam hukum positif di
ancam dengan hukuman yang cukup berat.
Adapun persamaan hukum pidana Islam dengan hukum positif dalam
menyikapi pembunuhan bahwa pada prinsipnya semua jenis pembunuhan sengaja
dan apalagi direncanakan diancam dengan pidana. Hanya saja dalam hukum
pidana Islam ada suatu pengecualian yaitu pembunuhan yang dilakukan orang tua
terhadap anaknya tidak dapat dihukum.
Apabila menyikapi dan mencermati ketentuan al-Qur'an dan hadis bahwa
ada beberapa tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku namun tidak
dikenakan hukum qisas. Hal ini misalnya pertama, disebabkan masalah tersebut
sudah dimaafkan oleh pihak yang berhak meng-qisas; kedua, pihak keluarga
korban hanya menuntut diyat; ketiga apabila pembunuhan dilakukan orang tua
terhadap anaknya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dalam aturan hukum positif tindak pidana pembunuhan yang dilakukan orang
tua terhadap anaknya, maka orang tua dapat dipidana atau dikenai sanksi
hukum. Hukum positif sama sekali tidak membuka peluang dibebaskannya
orang tua membunuh anaknya sepanjang unsur-unsur delik yang termuat
dalam Pasal-Pasal yang bersangkutan terpenuhi. Adanya sanksi hukum
terhadap orang tua yang membunuh anaknya menunjukkan bahwa hukum
positif tidak mempertimbangkan unsur hubungan darah.
2. Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jarimah qisâs
(tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisâs). Hukuman qisâs
disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an, sunah, dan ijma'. Di samping Al-Qur'an
dan sunah juga para ulama telah sepakat (ijma') tentang wajibnya qisâs untuk
tindak pidana pembunuhan sengaja. Meskipun demikian, dalam hal orang tua
yang membunuh anaknya, maka orang tua tidak bisa dikenai hukum qisâs.
Hukuman qisâs dapat gugur apabila wali korban menjadi pewaris hak qisâs.
Contohnya, seperti seseorang yang divonis qisâs, kemudian pemilik qisâs
meninggal, dan pembunuh mewarisi hak qisâs tersebut, baik seluruhnya
maupun sebagiannya, atau qisâs tersebut diwarisi oleh orang yang tidak
mempunyai hak qisâs dari pembunuh, yaitu anaknya.
3. Persamaan hukum Islam dan hukum positif bahwa kedua sistem hukum itu
menjatuhkan hukuman yang berat terhadap tindak pidana pembunuhan secara
sengaja dan berencana. Perbedaannya, dalam hal orang tua yang membunuh
anaknya, maka orang tua tidak bisa dikenai hukum qisâs. Sedangkan dalam
perspektif hukum positif bahwa pembunuhan yang dilakukan orang tua
terhadap anaknya dikenai sanksi hukum yang cukup berat. Terlepas dari
pelakunya sebagai orang tua, hukum positif melihat bahwa pembunuhan yang
dilakukan orang tua terhadap orang tuanya merupakan kejahatan yang tidak
bisa ditolerir.
B. Saran-Saran
Meskipun dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan orang tua
terhadap anaknya mengacu pada KUHP yang merupakan warisan kolonial
Belanda. Namun, jika pembentuk undang-undang hendak merevisi KUHP, maka
ketentuan hukum pidana Islam dapat dijadikan studi banding dalam rangka
pembentukan hukum nasional yang sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
C. Penutup
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat
dan ridha-Nya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Penulis
menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam
paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada
gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca menjadi
harapan penulis. Semoga Allah SWT meridhai.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
(Bandung: Armico, 1985.
Andreae, Fockema, Fockema Andrea's Rechtsgeleard Handwoordenboek, Terj. Saleh
Adwinata, et al, "Kamus Istilah Hukum", Bandung: Binacipta, 1983.
Anwar, Moch, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1989.
Ash Shiddieqy, TM Hasbi, Pidana Mati dalam Syari'at Islam, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1998.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayat Ahkam, Juz I, Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiah, 2004.
Awdah, Abd al-Qadir, at-Tasyri' al-Jinai al-lslami, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub, 1963.
Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Bakri, H.M.K., Hukum Pidana Dalam Islam, Semarang: Ramadani, 1987.
Bâqy, Muhammad Fuâd Abdul, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur'ân al-Karîm,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.
Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Djazuli., A., Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syari‟ah., cet. Ke-3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia,
2000.
Haliman, Hukum Pidana Syari‟at Islam Menurut Ahlus Sunnah, cet.1 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972 .
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
--------, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
---------, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
http://www.annaba-center.com/main/kajian/detail.php?detail =20090312204051.
I Doi, A.Rahman, Hudud dan Kewarisan, Terj. Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman,
Jakarta: Srigunting, 1996.
Jazirî, Abdurrrahmân, Kitab al-Fiqh „alâ al-Mazâhib al-Arba‟ah, Juz V, Beirut: Dâr
al-Fikr, 1972.
Kamil, Ahmad, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.
Kartanegara, Satochid, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai
Lektur Mahasiswa.
Khalâf, Abd al-Wahhâb, „Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978, hlm. 198.
Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1958.
Lamintang, P. A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,
1984.
--------., Delik-delik Khusus: Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan Serta
Kejahatan yang Membahayakan Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Bandung:
Bina Cipta, 1986.
Ma'luf, Luwis, al-Munjid, Beirut: Dar al-Fikr, 1954.
Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Marwazi, Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani,
hadis No. 1140 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997,
VCR II, Global Islamic Software Company).
Mawardiy, Imam, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Beirut al-
Maktab al-Islami, 1996.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.
Mubarok, Jaih dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum
Pidana Islam), Jakarta: Anggota IKAPI, 2004.
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4., Yogyakarta: Rake
Sarasin, 1998.
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka,
2004.
Munajat, Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2009.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat,
Jakarta: sinar Grafika, 2004.
Naisaburi, Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahîh Muslim,
Juz. III, Mesir: Tijariah Kubra, tth.
Ngani, Nico dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan
Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985.
Pasal 15 UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak.
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesuia,
1983.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka,
1976.
Prinst, Darwan, Hukum Anak di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco,
1986.
---------, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama,
2002.
Qazwini, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah, hadis No. 2613
dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global
Islamic Software Company).
Qudamah, Ibn, al-Mugni, cet. ke-1 (Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah, t.t.) VIII
Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar al-
Fikr, t.th.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz. III, Kairo: Maktabah Dâr al-Turast, 1970.
Saleh, K. Wancik, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007.
San'âny, Subul al-Salâm, Juz 3, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi,
1950.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari‟at dalam
Wacana dan Agenda, cet. ke-1. Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Sayis, Muhammad Ali, Sejarah Fikih Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003.
Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial: Suatu Tehnik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 Jakarta: UI-Press, 1986.
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990.
Suma, Muhammad Amin Dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan
Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Suma, Muhammad Amin, et. al, Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan
Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7
Bandung: Transito,1994.
Syaltut, Syeikh Mahmud, Akidah dan Syari'ah Islam, jilid 2, Alihbahasa, Fachruddin
HS, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Syarbaini, Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib, Mugni al-Muhtaj ( Mesir: Mustafa al-
Bab al-Halabi wa Aulad, 1958.
Syatibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah., Maktabah Tijariyah, tt.,
Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syar'iyah, Etika Politik Islam, Terj. Rofi Munawwar,
Surabaya: Risalah Gusti, 2005.
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955.
Tresna, R., Azas-Azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan
Pidana Yang Penting, Jakarta: PT Tiara, tth.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, Departemen Agama 1986.
Zahrah, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, Terj. Saefullah Ma'shum, et al, Ushul Fiqih,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3 ( Damaskus: Dar al-Fikr,
1989.
BIODATA
Nama : Zahrul Maulidi
Tempat, Tanggal Lahir : Kendal, 19 Desember 1982
Alamat : Desa Pandes RT/RW 008/001
Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal 51352
Nama Orang Tua:
Ayah : Dimyati
Ibu : Musayanah
Alamat Orang Tua : Desa Pandes RT/RW 008/001
Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal 51352
Pendidikan:
1. SD Negeri Pandes II tahun 1989 lulus tahun 1995
2. MTs NU 01 Cepiring tahun 1995 lulus tahun 1998
3. MA Futuhiyyah 2 Mranggen Demak tahun 1999/2000
4. MA Futuhiyyah 1 Mranggen Demak tahun 2000 lulus tahun 2002
5. IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2003
6. Pondok Pesantren Al Mubarok Mranggen Demak 1999 s.d 2009