Tifoid Fever Dr. Irwin, Sp. Pd
-
Upload
muhammad-ferdy-agustian -
Category
Documents
-
view
226 -
download
4
description
Transcript of Tifoid Fever Dr. Irwin, Sp. Pd
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
A. Identitas Pasien
No. Rekam Medik : 57.14.03
Nama pasien : Ny. Tarsiah
Usia : 29 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Lahir : Jawa Barat, 16 November 1985
Agama : Islam
Status : Sudah Menikah
Alamat : Rengs Sepuluh Rt. 02 Rw. 06 , Labansari, CikarangTimur, Jawa Barat
Tanggal masuk RS : 07/01/2015, Pukul 15.10
DPJP : dr. Supris, MSc, Sp. Pd
II. RIWAYAT PENYAKIT
ANAMNESIS
Anamnesis secara auto dan alloanamnesis pada pasien dan suami pasien.
Anamnesis dilakukan pada hari Kamis, 8 Januari 2015 jam 14.00 (hari pertama
perawatan).
KELUHAN UTAMA:
Pasien merasakan demam sejak 5 hari SMRS.
KELUHAN TAMBAHAN:
Nyeri kepala, nyeri perut, mual tidak muntah, lemas.
1
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
Pasien datang diantar oleh suaminya ke RSUD Karawang dengan keluhan demam
sejak 5 hari yang lalu, lebih sering timbul dan dirasakan paling tinggi pada malam hari.
Demam timbul mendadak dan pasien rasakan cukup tinggi, namun pasien mengaku tidak
tahu suhu tepatnya karena tidak diukur. Demam naik turun, namun tidak pernah mencapai
suhu normal. Demam dirasakan paling tinggi pada hari ke-3. Pasien mengaku menggigil
saat demam.
Selain itu, pasien juga mengalami sakit kepala disertai mual, namun tidak sampai
muntah. Sakit kepala dirasakan di kepala bagian depan dan lebih sering dirasakan pada
saat demam muncul. Sakit kepala tidak berputar dan tidak dipengaruhi oleh perubahan
pada posisi. Pasien menyangkal adanya rasa pegal ataupun nyeri pada tulang dan tidak
didapati keluhan batuk.
Pasien mengalami sakit perut dan tidak bisa buang air besar selama 2 hari terakhir.
Pasien mengaku bahwa dia memang jarang makan buah dan sayur. Sebelum mengalami
keluhan ini pasien juga bercerita bahwa dia sempat makan di pinggir jalan, tapi biasanya
tidak apa-apa.
Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan merasa lemah. Pasien
mengaku terdapat sedikit penurunan pada berat badannya. Buang air kecil tidak
mengalami gangguan. Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti
pasien. Pasien tidak berpergian ke daerah-daerah tertentu sebelumnya. Pasien sempat
berobat ke dokter dan diberikan beberapa obat namun pasien tidak ingat namanya dan
obatnya sudah habis dimakan namun keluhan tetap ada.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat asma, diabetes mellitus, hipertensi, dan alergi disangkal oleh pasien. Pasien
belum pernah mengalami sakit berat apalagi hingga dirawat di rumah sakit sebelumnya.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti pasien. Sepengetahuan
pasien, di keluarganya tidak ada riwayat asma, diabetes mellitus, hipertensi, ataupun
alergi.
2
RIWAYAT SOSIAL DAN EKONOMI
Pasien tidak merokok tetapi suami pasien merokok setengah bungkus rokok sehari
sejak remaja. Pasien tidak memiliki kebiasaan minum-minuman beralkohol serta
menggunakan narkoba.
RIWAYAT SANITASI LINGKUNGAN DAN KEBIASAAN
Pasien tinggal bersama suami di rumah dengan ukuran sedang. Bukan daerah yang
padat penduduk, lingkungan bersih, dan nyaman. Tidak berada dekat pabrik atau tempat
pembuangan sampah akhir. Pembuangan sampah rutin dan air minum berasal dari PAM.
Ventilasi baik sehingga cahaya matahari cukup masuk ke dalam rumah. Pasien mengaku
terkadang membeli bakso dipinggir jalan.
III.PEMERIKSAAN FISIK
Saat di IGD (07/01/2015)
• Keadaan umum : Kontak inadekuat
• Kesadaran : Somnolent
• Tanda-tanda vital
o Nadi : 100 x/menit
o Pernapasan : 16 x/menit
o Suhu : 36,7 0C
o TD : 100/80 mmHg
Saat di Bangsal (08/01/2015)
• Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
• Kesadaran : Compos Mentis
• Tanda-tanda vital
o Nadi : 121 x/menit
o Pernapasan : 26 x/menit
o Suhu : 36,8 0C
o TD : 120/90
3
Status Generalis
Kepala Normosefali, tidak ada tanda trauma atau benjolan. Rambut hitam, tidak
mudah dicabut.
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), diameter
pupil (3mm/3mm), strabismus (-/-).
Telinga Bentuk aurikula normal, tidak ada sekret, cairan, luka maupun perdarahan.
Fungsi pendengaran masih baik.
Hidung Bentuk normal, septum nasi di tengah, tidak ada deviasi, mukosa tidak
hiperemis, tidak ada edema konka. Tidak terdapat sekret pada kedua lubang
hidung, epistaksis (-).
Tenggorok Hiperemis (-), T2/T2, trakea di tengah.
Gigi dan Mulut Bibir tampak normal, tidak ada sianosis dan tidak ada deviasi. Lidah kotor
dengan tepi hiperemis / coated tongue (+). Gigi geligi normal dan tidak ada
karies.
Leher Tidak tampak adanya luka maupun benjolan. Tidak teraba adanya
pembesaran kelenjar getah bening.
Toraks Inspeksi: Dada terlihat simetris kanan dan kiri, pergerakan dinding dada
terlihat simetris kanan dan kiri, tidak ada yang tertinggal, tidak terdapat
retraksi atau penggunaan otot pernapasan tambahan. Pulsasi iktus kordis tidak
terlihat.
Palpasi: Fremitus raba sama kuat kanan dan kiri. Iktus kordis tidak teraba.
Perkusi: Pada lapangan paru didapatkan bunyi sonor. Batas paru – hati
didapatkan pada ICS 7 sebelah kanan.
Batas Jantung
Batas kanan : ICS 6 linea parasternal kanan
Batas kiri : ICS 6 linea midclavikula kiri
Auskultasi: Bunyi paru vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Bunyi jantung S1, S2 reguler. Murmur (-). Gallop (-).
Abdomen Inspeksi : Supel, turgor baik, dinding abdomen simetris, tidak terlihat
penonjolan massa ataupun adanya luka. Tidak tampak rose-spots.
Palpasi : Teraba pembesaran hepar 1 jari dibawah arcus costae, permukaan
rata, tepi tajam. Lien tidak teraba. Terdapat nyeri tekan di epigastrium dan
4
hipokondrium kanan. Nyeri perut menjalar ke punggung (-),
distensi abdomen (-), defense muscular (-), nyeri tekan mac burney (-),
rovsing sign (-), psoas sign (-), obturator sign (-).
Perkusi : ascites (-).
Auskultasi : BU (+) normal pada 4 kuadran.
Punggung Tampak normal. Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang. Tidak
ditemukan rash berupa rose-colored spots.
Ekstremitas atas
dan bawah
Akral hangat, tidak ada edema pada keempat ekstremitas. Tidak tampak rose-
spots.
Kuku Sianosis (-). CRT < 3 detik.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (07/01/2015)
5
V. RESUME
Pasien mengalami demam sejak 5 hari yang lalu, lebih sering timbul dan dirasakan
paling tinggi pada malam hari. Demam timbul mendadak dan pasien rasakan cukup tinggi,
namun pasien mengaku tidak tahu suhu tepatnya karena tidak diukur. Demam naik turun,
6
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normalHEMATOLOGIHemoglobinHematokritLeukositEritrositTrombositHITUNG JENISBasofilEosinofilNeutrofilLimfositMonosit
11,631,54,415,0758
1134466
g/dL%
ribu/uljuta/ulribu/ul
%%%%%
12,0-16,035,0-47,03,80-10,604,40-5,90150-440
0-11-3
40-7020-402-8
FUNGSI GINJALUreumKreatininUric acidGlukosa darah sewaktu
29,90,643,989
mg/dLmg/dLmg/dLmg/dL
15,0 – 50,00,50 – 0,903,50-7,20
<140ELEKTROLIT DARAHNatriumKaliumKlorida
1274,35100
mmol/lmmol/lmmol/l
135 – 1453,5 – 5,698 – 108
FUNGSI HATISGOTSGPT
5685
u/lu/l
5-340-55
IMUNOLOGIS. typhi OS. paratyphi AS. paratyphi BS. paratyphi CS. typhi HS. paratyphi AS. paratyphi BS. paratyphi C
(+) 1/320(+) 1/80(+) 1/80Negatif
(+) 1/320NegatifNegatifNegatif
--------
namun tidak pernah mencapai suhu normal. Demam dirasakan paling tinggi pada hari ke-3.
Pasien mengaku menggigil saat demam.
Pasien juga mengalami sakit kepala disertai mual, namun tidak sampai muntah. Sakit
kepala dirasakan di kepala bagian depan dan lebih sering dirasakan pada saat demam muncul.
Sakit kepala tidak berputar dan tidak dipengaruhi oleh perubahan pada posisi. Pasien
menyangkal adanya rasa pegal ataupun nyeri pada tulang dan tidak didapati keluhan batuk.
Pasien mengalami sakit perut dan tidak bisa buang air besar selama 2 hari terakhir.
Pasien mengaku bahwa dia memang jarang makan buah dan sayur. Sebelum mengalami
keluhan ini pasien juga bercerita bahwa dia sempat makan di pinggir jalan, tapi biasanya
tidak apa-apa.
Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan merasa lemah. Pasien
mengaku terdapat sedikit penurunan pada berat badannya. Buang air kecil tidak mengalami
gangguan. Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti pasien. Pasien
tidak berpergian ke daerah-daerah tertentu sebelumnya. Pasien sempat berobat ke dokter dan
diberikan beberapa obat namun pasien tidak ingat namanya dan obatnya sudah habis dimakan
namun keluhan tetap ada.
Pasien tinggal bersama suami di rumah dengan ukuran sedang. Bukan daerah yang
padat penduduk, lingkungan bersih, dan nyaman. Tidak berada dekat pabrik atau tempat
pembuangan sampah akhir. Pembuangan sampah rutin dan air minum berasal dari PAM.
Ventilasi baik sehingga cahaya matahari cukup masuk ke dalam rumah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan lidah kotor dengan tepi hiperemis (coated tongue),
hepatomegali serta nyeri tekan pada kuadran epigastrium dan hipokondrium kanan.
VI. DIAGNOSA KERJA
Demam Tifoid
VII. DIAGNOSA BANDING:
Demam Dengue
7
VIII.PENATALAKSANAAN
1. IVFD RL 50 tpm
2. Paracetamol 3x 500mg p.o
3. Omeprazole 1x 40mg i.v
4. Rawat inap
5. Monitor Keadaan Umum
6. Cek H2TL
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
EVALUASI HARIAN PASIEN
Follow Up: 09/01/2015
S: Nyeri perut (+), Demam (+)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
TD : 120/60 HR : 80x/ menit RR : 24x/ menit S : 39,40C
Mata : KA (-/-), SI (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop(-)
Paru : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, bentuk datar, BU(+) normal, defans muskular (-), NT(+) epigastrium
dan hipokondrium kanan
8
Ekstremitas : Akral teraba hangat, oedem (-/-), sianosis (-/-), CRT < 3 detik
A: - Demam tifoid
- DD/ Susp. Demam dengue
P: IVFD RL 40 tpm
Ranitidin 2x1 amp
Sanmol 3x 500mg p.o
Ceftriaxone 2x 1gr i.v
Cek H2TL
Follow Up: 12/01/2015
S: Nyeri perut (+) berkurang, Demam (+)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
TD : 120/80 HR : 80x/ menit RR : 20x/ menit S : 38,50C
Mata : KA (-/-), SI (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Jantung : BJ I-II ireguler, murmur (-), gallop(-)
Paru : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen :Supel, bentuk datar, BU(+) normal, defans muskular (-), NT (-)
Ekstremitas : Akral teraba hangat, oedem (-/-), sianosis (-/-), CRT < 3 detik
A: Demam tifoid
P: IVFD Futrolit 16 tpm
Ranitidin 2x1 amp
Sanmol 3x 500mg p.o
Thiamphenicol 4x 50mg i.v
Follow Up: 13/01/2015
S: Nyeri perut (-), Demam (+)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
9
TD : 130/90 HR : 116x/ menit RR : 22x/ menit S : 380C
Mata : KA (-/-), SI (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Jantung : BJ I-II ireguler, murmur (-), gallop(-)
Paru : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen :Supel, bentuk datar, BU(+) normal, defans muskular (-), NT(-)
Ekstremitas : Akral teraba hangat, oedem (-/-), sianosis (-/-), CRT < 3 detik
A: Demam tifoid
P: IVFD Futrolit 16 tpm
Ranitidin 2x1 amp
Sanmol 3x 500mg p.o
Thiamphenicol 4x 50mg i.v
EVALUASI HASIL LABORATORIUM HARIAN
Laboratorium (08/01/2015)
Laboratorium (09/01/2015)
Laboratorium (10/01/2015)
10
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normalHEMATOLOGIHemoglobinHematokritLeukositTrombosit
8,931,52,7276
g/dL%
ribu/ulribu/ul
12,0-16,035,0-47,03,80-10,60150-440
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normalHEMATOLOGIHemoglobinHematokritLeukositTrombosit
8,925
2,67100
g/dL%
ribu/ulribu/ul
12,0-16,035,0-47,03,80-10,60150-440
AnalisaKasus
Pada pasien didapatkan manifestasi klinis berupa demam sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit yang lebih sering timbul dan dirasakan paling tinggi pada malam hari. Demam
timbul mendadak dan pasien rasakan cukup tinggi, namun pasien mengaku tidak tahu suhu
tepatnya karena tidak diukur. Demam naik turun, namun tidak pernah mencapai suhu normal.
Demam dirasakan paling tinggi pada hari ke-3. Pasien mengaku menggigil saat demam.
Pasien juga mengalami sakit kepala, mual tanpa disertai muntah, nyeri perut, serta konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali serta nyeri tekan pada kuadran epigastrium
dan hipokondrium kanan.
Dari gejala-gejala tersebut yang dapat dipikirkan adalah demam tifoid dan demam
dengue karena sama-sama memiliki gejala prodromal seperti demam, sakit kepala frontal,
muntah, serta nyeri perut dan pada pemeriksaan dapat ditemukan hepatomegali.
Demam dengue adalah penyakit menular akibat virus dengue yang diperantarai oleh
nyamuk aedes aegypti yang hidup di negara-negara tropis dan menimbulkan gejala demam
akut disertai gejala penyerta lain seperti sakit kepala seperti melayang, pegal dan rasa nyeri di
otot, gangguan pada pencernaan berupa nyeri epigastrium, mual bahkan muntah, nyeri perut,
susah buang air besar, serta diare pun bisa ditemukan pada 5-6 % kasus demam dengue.
Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada
anak-anak. Pada demam dengue awalnya dapat asimtomatik (50%-90%), namun dapat juga
berupa penyakit demam non-spesifik atau timbul gejala-gejala klasik demam dengue.
Demam dengue muncul mendadak dengan kisaran suhu antara 39.5-41.4°C. Demam
umumnya muncul pada hari ketiga dan berlangsung selama 5-7 hari. Demam dapat disertai
oleh rasa menggigil, mengakibatakan kulit eritematosa, dan flushing pada wajah. Demam
bersifat bifasik karena demam akan menurun selama 1-2 hari kemudian meningkat kembali
sehingga membentuk grafik pelana kuda. Pada masa penurunan suhu inilah masa kritis
dimulai dimana penyakit pasien berisiko berkembang menjadi demam berdarah dengue atau
bahkan dengue shock syndrome. Setelah demam biasanya muncul mialgia yang dapat
berlangsung hingga beberapa minggu, namun gejala mialgia tidak ditemukan pada pasien ini.
11
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normalHEMATOLOGIHemoglobinHematokritLeukositTrombosit
8,824,72,8107
g/dL%
ribu/ulribu/ul
12,0-16,035,0-47,03,80-10,60150-440
Sakit kepala pada demam dengue dapat timbul di area frontal dan retro-orbita. Pada pasien
didapati nyeri kepala frontal.
Malaria juga dijadikan diagnosis banding demam tifoid karena pada malaria
ditemukan demam, sakit kepala, malaise, nyeri sendi dan tulang, anoreksia, nyeri perut, diare,
dan hepatomegali. Malaria juga merupakan penyakit endemik di beberapa daerah di
Indonesia. Dari anamnesis diketahui pasien tidak melakukan perjalanan ke tempat-tempat
selain Karawang dan sekitarnya. Selain itu malaria juga memiliki pola demam yang khas
yaitu demam intermiten, sedangkan demam yang dialami pasien adalah demam remiten
dimana suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal.
Perbedaan suhu dapat mencapai 2°.
Diagnosis banding yang lain adalah influenza. Influenza merupakan penyakit infeksi
akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam menggigil, mialgia, sakit kepala, dan
sering disertai gejala pilek, sakit tenggorok, dan batuk non produktif. Lama sakitnya berkisar
antara 2-7 hari dan biasanya sembuh sendiri karena disebabkan oleh virus influenza tipe A, B,
dan C. Pada pasien tidak ditemukan gejala-gejala infeksi saluran napas sehingga diagnosis
banding ini dapat disingkirkan.
Jika dilihat pola demam pasien yang cenderung meningkat pada malam hari dan naik
turun, namun tidak pernah mencapai suhu normal, ditambah dengan adanya sakit kepala
frontal, dan konstipasi maka diagnosis sementara adalah suspek demam tifoid. Namun hal ini
masih perlu dibuktikan dengan beberapa pemeriksaan. Untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid harus terbukti ditemukannya kuman Salmonella typhi pada kultur dengan spesimen
darah pada akhir minggu pertama, spesimen urin pada minggu ketiga, atau spesimen feses
pada minggu kedua dan ketiga.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
Istilah demam tifoid sebaiknya tidak dikacaukan dengan tifus yang sering disebutkan
oleh masyarakat awam karena istilah tifus mengarah kepada suatu kelompok penyakit
infeksius yang disebabkan oleh organisme Rickettsial yang dapat mengakibatkan penyakit
demam akut. Penyakit tifus ditransmisikan oleh vektor artropoda seperti Pediculosis corporis
yang mengandung Rickettsia prowazekii yaitu agen etiologi tifus ke manusia. Gejala-gejala
demam tifoid memang mirip dengan tifus maka dinamakan tifoid (menyerupai tifus).
Salmonellosis dibagi menjadi 2 yaitu demam tifoid/enterik yang disebabkan oleh
S.typhi dan S.paratyphi serta salmonellosis nontifoidal yang disebabkan oleh S.typhimurium
12
dan S.enteritidis. Transmisi salmonellosis nontifoidal berasal dari makanan yang
terkontaminasi misalnya daging yang kurang matang, makanan laut, produk susu sapi yang
tidak terpasteurisasi, dan makanan mentah lainnya. Transmisi S.enteritidis terutama berasal
dari telur. Infeksi juga dapat terjadi apabila seseorang terpapar dengan hewan terutama reptil.
Pada salmonellosis nontifoidal manifestasi klinis yang timbul adalah demam hingga
menggigil, mual, muntah, nyeri abdominal, diare dengan konsistensi cair tanpa darah, nyeri
kepala, tenesmus, dan mialgia yang timbul 6-48 jam setelah terpapar organisme penyebab.
Demam biasanya membaik dalam 48 jam. Pada beberapa kasus yang jarang dapat ditemukan
diare bervolume banyak seperti pada kolera namun dapat sembuh secara spontan dalam 3-7
hari.
Jika organisme Salmonella masuk ke dalam tubuh manusia sebanyak 103-106 maka
individu tersebut akan terinfeksi. Infeksi Salmonella dapat mengakibatkan 3 sindroma yang
berbeda, yaitu enterokolitis nontifoidal, penyakit fokal nontifoidal, atau demam tifoid/demam
enterik. Infeksi ekstraintestinal yang dapat terjadi pada salmonellosis nontifoidal adalah
bakteriemia (5% kasus) yang dapat berkembang menjadi infeksi lokal seperti aneurisma
aortik, abses, meningitis, pneumonia, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Penyakit fokal
nontifoidal diakibatkan oleh bakteriemia yang sementara ataupun permanen. Hampir semua
organ dapat terkena, namun lokasi-lokasi yang rentan terkena biasanya merupakan organ
yang memang memiliki abnormalitas atau kelainan struktural.
Demam yang timbul sebagai gejala demam tifoid merupakan akibat dari
terangsangnya makrofag oleh kuman Salmonella typhi sehingga makrofag melepas sitokin,
interleukin, dan mediator-mediator inflamasi lainnya yang dapat mengganggu termoregulasi
tubuh sehingga timbullah demam. Demam biasanya berkisar antara suhu 39° - 40° C.
Konstipasi pada demam tifoid terjadi akibat Peyer’s patches mengalami inflamasi
sehingga membengkak dan motilitas usus mengalami penurunan. Namun demam tifoid juga
dapat memiliki gejala diare khususnya diare sekretorik akibat endotoksin Salmonella typhi.
Bahkan pada beberapa kasus juga ditemukan demam tifoid dengan gejala diare terlebih
dahulu disusul oleh konstipasi beberapa hari kemudian.
Hepatomegali yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik dapat timbul akibat makrofag
yang melawan kuman Salmonella typhi dan mati dibawa ke organ-organ RES
(Reticuloendothelial System) seperti hepar dan limpa.
Pada pasien telah diperiksa uji Widal namun sekarang sudah kurang dipakai karena
Indonesia merupakan negara yang endemik demam tifoid. Apalagi pada pasien baru diperiksa
Widal satu kali. Seharusnya satu minggu kemudian diperiksa lagi apakah ada kenaikan titer
13
4x lipat. Pada prinsipnya pemeriksaan Widal menggunakan reaksi aglutinasi yang terjadi bila
serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhi. Pemeriksaan disebut
positif apabila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan mengencerkan serum, maka kadar zat anti
dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi.
Untuk mendukung diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti tehadap antigen O.
titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif diperlukan
untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan
penyembuhan penderita dan bertahan hingga 4-6 bulan. Titer terhadap antigen H tidak
diperlukan untuk diagnosis karena tetap bertahan hingga 9-12 bulan setelah mendapat
imunisasi atau penderita telah lama sembuh. Pemeriksaan widal tidak selalu positif walaupun
penderita sungguh-sungguh menderita demam tifoid.
Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti
didapatkan Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat infeksi kuman E.
coli patogen dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut diperoleh dari ibunya
melalui plasenta, terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix), serta akibat imunisasi
secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.
Pada kasus ini pasien sempat pergi ke dokter dan diberi obat namun pasien tidak
mengetahui namanya dan obat sudah habis dimakan dan keluhan tetap ada, hal tersebut
dimungkinkan karena obat yang diberikan tidak cocok untuk pengobatan mikroorganisme
penyebab penyakit atau kemungkinan yang kedua adalah pasien mengalami resistensi obat.
Saran pemeriksaan tambahan untuk kasus ini adalah pemeriksaan IgG anti-
Salmonella, kultur mikroorganisme dari spesimen darah, uji resitensi dan sensitivitas obat
untuk menentukan pemilihan obat yang cocok bagi pasien, namun karena menunggu hasilnya
lama maka pengobatan tetap dimulai sesuai protokol yang ada.
Pada pasien ini dapat diberikan obat pilihan utama saat ini yaitu golongan
Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau
Levofloksasin 10 mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu atau Ofloxacin 20 mg/kgbb/hari selama 7
hari. Namun, jika resistensi terjadi terhadap golongan Fluoroquinolone, maka pasien dapat
diberikan golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena
atau intramuskular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2 gram
intravena atau intramuskular.
14
BAB II
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1
Pada tahun 2000, terdapat sekitar 21,6 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dan
diantaranya menyebabkan 216.500 kematian. Insidensi demam tifoid di Asia Tengah,
Selatan, dan Tenggara serta Afrika Selatan mencapai lebih dari 100 kasus per 100.000
populasi setiap tahunnya.2,3
Di Indonesia sendiri demam tifoid merupakan penyakit endemik dan tergolong
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
Menurut data dari Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia
pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4
per 10.000 penduduk.1
15
Manifestasi klinis yang timbul pada penderita demam tifoid adalah demam yang
berkepanjangan dimana awalnya tidak terlalu tinggi namun lama kelamaan terus meningkat,
dapat disertai rasa menggigil, sakit kepala, berkeringat, batuk, malaise, dan atralgia. Gejala-
gejala saluran pencernaan bervariasi mulai dari diare, konstipasi, mual, muntah, sampai
anoreksia.4
Karena demam tifoid merupakan endemik di negara ini dan insidensinya yang masih
tinggi, pencegahan dan tatalaksana penting diketahui sehingga tidak menimbulkan
komplikasi seperti perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, dan komplikasi ekstra-
intestinal seperti meningitis, miokarditis, pleuritis, pneumonia, hepatitis, kolesistitis,
glomerulonefritis, pielonefritis, osteomielitis, spondilitis, artritis, dan lain-lain.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1
Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada
tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai
dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596
16
menjadi 26.606 kasus. Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar
1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. 1,2,3
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S. typhi, S. paratyphi A,
S. paratyphi B, dan S. paratyphi C. Demam yang disebabkan oleh S. Typhi cenderung untuk
menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain. Salmonella merupakan
bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul.
Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan
gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob
dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen
fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60
º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang
rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam
sampah, bahan makannan kering, agen farmakeutika, dan bahan tinja. Salmonella memiliki
antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida
dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas.
Antigen Vi adalah simpai atau kapsul kuman. Masa inkubasi S. typhi adalah 3-21 hari.
Patogenesis
Salmonella typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus.
Jika IgA kurang baik pertahanannya, maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel
M dan menuju ke lamina propia. Di lamina propia kuman akan berkembangbiak. Sebagian
kuman akan ditangkap dan digagosit oleh sel mononuklear, namun masih dapat hidup di
dalam makrofag tersebut, dibawa ke Payer’s patch ileum distal, menuju kelenjar getah
bening mesenterika, melalui duktus toraksikus ke sirkulasi darah, terjadilah bakteriemi I
namun masih asimtomatik. Setelah berkembangbiak di RES dan tersebar ke organ-organ RES
seperti hati dan limpa, kuman akan keluar dari makrofag, berkembangbiak di luar sel atau
ruang sinusoid dan masuk lagi ke dalam sirkulasi darah, maka terjadilah bakteriemi II yang
dapat menimbulkan gejala-gejala sistemik.
17
Dari hepar, kuman masuk ke kantong empedu, berkembangbiak, dan diekskresi secara
intermiten ke lumen usus bersama-sama dengan cairan empedu. Sebagian akan keluar lewat
feses, dan sisanya akan menembus usus masuk ke darah. Interaksi Salmonella typhi dengan
makrofag memunculkan mediator-mediator lokal sehingga peyer’s patches mengalami
hiperplasi jaringan, nekrosis dan ulkus (hipersensitivitas tipe IV/lambat). Secara imunulogi,
di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya Salmonella typhi
pada mukosa usus. Imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis Salmonella typhi oleh makrofag. Imunitas seluler berfungsi untuk membunuh
Salmonalla intraseluler.
Pada gejala sistemik timbul demam, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah,
depresi sumsum tulang, bahkan nekrosis organ bila pembuluh darah di sekitar peyer’s
patches mengalami erosi dan perdarahan.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi Salmonella Typhi berlangsung selama 3-21 hari. Transmisi atau
penularannya dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi S. typhi.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang
biasa ditemukan, yaitu:
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung tiga minggu. Bersifat febris remiten dan
suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biaasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga
suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
18
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah. Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, dapat disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada saat perabaan. Dapat ditemukan gejala konstipasi, diare,
dan kombinasi keduanya. Selain itu dapat disertai gejala mual dan muntah.
3. Gangguan kesadaran (gejala susunan saraf pusat)
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Pada punggung dan anggota gerak dapat
ditemukan rose spots, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit.
Rose spots biasanya ditemukan dalam akhir minggu pertama demam pada 25% kasus.
Kadang-kadang ditemukan bradikardia dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
Rose spots pada abdomen seorang pasien dengan demam tifoid akibat Salmonella typhi.
Diagnosa
Diagnosa demam tifoid dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta ditunjang oleh pemeriksaan laboratorik seperti ditemukannya leukopenia, anesonofilia,
dan limfositosis relatif pada permulaan timbulnya gejala. Mungkin terdapat anemia dan
trombositopenia ringan.
19
Pada pemeriksaan sumsung tulang dapat ditemukan gambaran sumsum tulang berupa
hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis,
dan trombopoesis berkurang.
Pada biakan empedu dapat ditemukan kuman Salmonella typhi dalam darah penderita
biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan
feces dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pemeriksaan
yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan
pemeriksaan negatif dari contoh urin dan fases 2 kali berturt-turut digunakan untuk
menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan bukan karier.
Pemeriksaan Widal dapat dipakai untuk mendukung adanya diagnosis demam tifoid,
namun sekarang pemeriksaan Widal sudah mulai ditinggalkan. Prinsip pemeriksaannya ialah
reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen
Salmonella typhi. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk menegakkan diagnosis yamg perlu diperlukan
ialah titer zat anti tehadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang progresif diperlukan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut
mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen H
tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau
penderita telah lama sembuh. Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita
sungguh-sungguh menderita demam tifoid sebagaimana terbukti pada autopsi setelah
penderita meninggal dunia.
Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti didapatkan
Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat infeksi kuman E. coli
patogen dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui
plasenta, terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix), serta akibat imunisasi secara
alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.
Diagnosis Banding
20
Bila tedapat demam yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang dapat
menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, penyakit-penyakit yang perlu dipikirkan
selain demam tifoid adalah demam dengue, influenza, tuberkulosis, malaria, dan lain-lain.
Tatalaksana
Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.
a. Tatalaksana medikamentosa
Obat pilihan utama adalah golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti
Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau Levofloksasin 10 mg/kgbb/hari selama 1-
2 minggu. Namun golongan Fluoroquinolone tidak boleh diberikan pada anak-anak karena
akan mengganggu pertumbuhan tulang karena mempercepat penutupan epifisis. Maka dapat
diganti dengan obat golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti Ceftriaxone dan
Cefotaxime. Pada orang dewasa yang resisten terhadap golongan Fluoroquinolone juga dapat
diberikan golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena
atau intramuskular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2 gram
intravena atau intramuskular.
Dulu obat pilihan utama adalah kloramfenikol, kecuali bila penderita mengalami
resistensi dapat diberikan obat lain misalnya ampisilin, kotrimoksasol, dan lain-lain.
Dianjurkan pemberian kloramfenikol dengan dosis yang tinggi, yaitu 100 mg/kgbb/hari,
diberikan 4 kali sehari peroral atau intramuskular atau intravena bila diperlukan. Pemberian
kloramfenikol dosis tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu waktu perawatan dipersingkat
dan relaps tidak terjadi. Akan tetapi mungkin pembentukan zat anti kurang, oleh karena basil
terlalu cepat dimusnahkan. Penderita yang pulang perlu diberikan suntikan vaksin Tipa.
Pada wanita hamil tidak boleh diberikan Kloramfenikol karena dapat menimbulkan
partus prematurus pada trimester ketiga dan kematian janin intrauterine. Tiamfenikol juga
tidak aman diberikan karena bersifat teratogenik pada trimester pertama. Maka pada wanita
hamil dapat diberian Ampicilin 50-150 mg/kgbb untuk 2 minggu, Amoxicilin 50-150
mg/kgbb untuk 2 minggu, dan Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuscular selama 5
hari atau 3 gram dalam 3 hari.
21
Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya pemberian
cairan intravena untuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis. Bila terdapat
bronkopneumonia harus ditambahkan Penicilin dan lain-lain.
b. Tatalaksana non-medikamentosa
1. Isolasi penderita dan disinfeksi pakaian dan ekskreta untuk mencegah penularan kuman ke
orang-orang sekitar pasien.
2. Bedrest.
Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali yaitu istirahat mutlak,
berbaring terus di tempat tidur. Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya boleh
duduk dan berjalan.
3. Perawatan yang baik dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengingat sakit yang lama,
lemah, anoreksia dan lain-lain.
4. Pengaturan diet.
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan tidak
boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Susu
2 kali satu gelas sehari perlu diberikan. Jenis makanan untuk penderita dengan kesadaran
menurun ialah makanan cair yang dapat diberikan melalui NGT. Bila pasien sadar dan nafsu
makan baik, maka dapat diberikan makanan lunak.
5. Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien mengalami diare dan demam.
Komplikasi
1. Komplikasi intestinal umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal. Pada usus halus
dapat terjadi :
a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan darah samar
pada tinja dengan menggunakan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila
berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
22
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara
hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang
(defense muscular) dan nyeri pada tekanan.
2. Komplikasi ekstra-intestinal yang terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis
(bakteremia) yaitu meningitis, kolesistis, ensefalopati dan lain-lain. Selain itu, komplikasi
ekstra-intestinal dapat terjadi karena infeksi sekunder misalnya pada bronkopneumonia.
Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan perspirasi
akibat suhu tubuh yang tinggi.
Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat berobat.
Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi buruk bila terdapat
gejala klinis yang berat seperti:
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu.
2. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma atau delirium.
3.Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi atau asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia dan lain-lain.
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).
Kesimpulan
Demam berdarah dengue dan tifoid masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang utama, karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian. Penyebab utama demam
23
berdarah dengue adalah infeksi virus dengue yang bersifat self limiting sehingga tidak
memerlukan pengobatan dengan antibiotika. Sedangkan pemakaian antibiotika pada kasus ini
ditujukan untuk infeksi oleh Bakteri Salmonella typhii yang diberikan setelah mendapat
konfirmasi hasil Tes Tubex TF yang positif.
Masalah utama demam berdarah dengue pada anak berkaitan dengan risiko terjadinya
dehidrasi hingga syok. Upaya rehidrasi menggunakan cairan rehidrasi oral merupakan satu-
satunya pendekatan terapi yang paling dianjurkan. Penggantian cairan dan elektrolit
merupakan elemen yang penting. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemberian
makanan atau nutrisi yang cukup selama perawatan dan mengobati penyakit penyerta.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p1752-1757
2. Centers for Disease Control and Prevention. Typhoid fever. October 5, 2010. [cited 2011
Jan 8]. [Internet] Available at:
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/
3. Klotchko A, Mark RW. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 11]. [Internet]
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-overview
4. Fauci AS, et al. Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill; 2009. p
456-457
5. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid and parattyphoid fever. Lancet. Aug
2005;366:749-62.
24
6. Brusch J. Typhoid fever. April 8, 2010. [cited 2011 Jan 11]. [Internet] Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview
7. Klotchko A. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 8]. [Internet] Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/228174-media
8. Kim AY, Goldberg MB, Rubin RH. Salmonella infections. In: Gorbach SL, Bartlett JG,
Blacklow NR, eds. Infectious Diseases. 3rd ed. Lippincott Williams and Wilkins; 2004:68.
25