TESIS MENOLAK W AISAK NASIONAL W ALUBI: Perayaan …
Transcript of TESIS MENOLAK W AISAK NASIONAL W ALUBI: Perayaan …
TESIS
MENOLAK WAISAK NASIONAL WALUBI: Perayaan
Waisak di Yogyakarta Sebagai Counter Hegemony Waisak
Nasional di Candi Borobudur
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora(M.Hum)
pada Strata II Ilmu Religi dan Budaya
Oleh: Nama :
Totok
NIM : 126322008
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2017
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tesis Menolak Waisak Nasional WALUBI: Perayaan Waisak Di Yogyakarta Sebagai
Counter Hegemony Waisak Nasional Di Candi Borobudur saya persembahkan
kepada:
1. Ayah dan Ibu yang telah berada di alam kedewaan
2. Isteri Geby Tri Utami dan peri kecil Ayunda
3. Untuk mahaguru-ku Bhante Pannyavaro dan Bhante Joti
4. Untuk guru-guruku Pak Supri (SD), Pak Mardi (SMP), Mas Bram
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
KATA PENGANTAR
Terima kasih dan syukur atas segala proses yang telah terlewati, Tesis dengan
judul “Menolak Waisak Nasional WALUBI: Perayaan Waisak di Yogyakarta Sebagai
Counter Hegemony Waisak Nasional di Candi Borobudur” dapat diselesaikan
meskipun menghabiskan waktu yang lama. Penyusunan tesis ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Program Pasca
Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma yang begitu sulit saya
dapatkan.
Tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan beberapa pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan sujud bakti dan terima kasih yang mendalam kepada:
1. Universitas Sanata Dharma Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Religi dan
Budaya
2. Para dosen, pendidik yang sangat baik di Program Pasca Sarjana Magister
Ilmu Religi dan Budaya Romo Banar, Pak Nardi, Bu Katrin, Romo Beni,
Romo Bas, Romo Bagus, Pak Pratik, Pak Tri juga kepada para staff Mbak
Desy, Mas Mul
3. Para achariya yang telah memberikan dorongan semangat dan bantuan moral
spiritual sehingga selalu dapat membantu mengatasi setiap kesulitan hidup
saya
4. Isteriku Tri Utami dan Anakku tercinta Ayunda Visakha Vimalasanti juga
kepada mertua dan adik dan kakak tercinta beserta keluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
5. Teman-teman seperjuangan IRB angkatan 2012
Secara pribadi saya mohon maaf kepada keluarga dan yang telah mendukung
studi saya karena banyak waktu telah saya habiskan untuk ini semua. Banyak waktu
yang penulis habiskan karena menunda-nunda penulisan tesis ini dengan berbagai
alasan. Perubahan status dari lajang menjadi berkeluarga juga merupakan tantangan
tersendiri sehingga membutuhkan kecernatan membagi waktu untuk penyelesaian
tesis ini.
Penulis menyadari dalam penulisan tesis masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga Tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Semoga semua mahkluk berbahagia.
Yogyakarta, Juli 2017
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
ABSTRAK
Waisak adalah salah satu hari raya besar Agama Buddha. Hari raya Waisak ini adalahmomentum untuk memperingati tiga peristiwa penting yang dialami oleh SidhartaGautama yaitu saat kelahirannya, saat pencapaian kesempurnaannya dan saat wafatatau parinirvananya yang semuanya terjadi pada bulan Vesakha di India kuno.Sebagai hari yang disucikan oleh umat Buddha, hari raya Waisak dirayakan olehumat Buddha seluruh dunia dengan melakukan puja, perenungan serta upacara ritualuntuk memahami makna Waisak itu sendiri. Di Indonesia, umat Buddha merayakanWaisak sejak tahun 1930 di area Candi Borobudur. Sejak saat, itu perayaan Waisakberkembang seiring dengan munculnya berbagai organisasi Buddhis danperkembangan umat Buddha. Masa Orde Baru, ketika pemerintah menerapkankebijakan stabililtas nasional dengan mencoba menyatukan organisasi-organisasidalam wadah yang dapat dikontrol pemerintah, hal ini juga berpengaruh padaorganisasi umat Buddha dengan munculnya wadah tunggal WALUBI. Konflikinternal dalam kepengurusan WALUBI memunculkan dua organisasi besar dalamumat Buddha di Indonesia yaitu WALUBI (baru) dan KASI. Dua organisasi besardalam umat Buddha di Indonesia berpengaruh terhadap perayaan Waisak di CandiBorobudur terutama di kalangan umat Buddha di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Penelitian ini hendak menunjukkan bagaimana sejarah awal berkembangnya WaisakNasional di Borobudur yang terpusat hingga munculnya perayaan-perayaan Waisakdi sekitaran Borobudur terutama di Yogyakarta. Dengan menggunakan konseppenelitian resistensi, penelitian ini akan menunjukkan bahwa terdapat penolakan-penolakan dari masyarakat Buddhis khususnya warga Buddhis di bawah KASI baikdalam bentuk ucapan-ucapan peyoratif, maupun aksi-aksi simbolik dalam perayaanwaisak.
Berpedoman pada teori Counter Hegemony Gramsci, perayaan Waisak di Yogyakartaterutama yang dilakukan di Candi Sewu oleh Keluarga Buddhayana Indonesia adalahusaha melakukan dominasi balik dengan mempergunakan simbol candi, nasional, danliturgi yang mirip dengan apa yang dilakukan dalam perayaan Waisak di CandiBorobudur. Dengan menangkap kegelisahan umat Buddha tentang kekhusyukanritual Waisak di Candi Borobudur, perayaan Waisak di Candi Sewu lebihmenekankan pada aspek kualitas kekhusyukan ritual. Banyak peserta merasamenemukan kembali kekhusyukan Waisak yang lama hilang dari Waisak yangdiselenggarakan di Candi Borobudur.
Kata kunci :
Waisak Nasional, WALUBI, Buddhis Yogyakarta, Counter Hegemony
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1010
ABSTRACT
Vesak is one of the major feast days in Buddhism. Vesak is amomentum to commemorate three important events experienced bySiddhartha Gautama, namely at the time of his birth, the moment of reachingperfection and the time of death or Buddha’s parinirvana that everythinghappens in Vesakha month in ancient India. As the day that consecrated bythe Buddhists, Vesak is celebrated by Buddhists all over the world withperform puja (tribute), meditation and ritual to understand the significance ofVesak itself. In Indonesia, Buddhists celebrate Vesak has been since 1930 inthe area of Borobudur. Since then the celebration of Vesak is growing in linewith the emergence of the Buddhist organization and development of theBuddhists. In the new order (orde baru) when the government implemented apolicy of national stabililty by trying to unite the organizations in containersthat can be controlled by the government, it also affects the Buddhistorganization with a single organization WALUBI. When arise internalconflicts in WALUBI, there are two major Buddhist organizations rise inIndonesia. That are WALUBI and KASI. The emergence of two majorBuddhist organizations in Indonesia has effect on the celebration of Vesak atBorobudur, especially among Buddhists in Central Java and Yogyakarta.
This research seeks how the early history of the Vesak is celebrated atBorobudur and become National Vesak Comemoration. And now vesakcelebration not only in Borobudur but also in Yogyakarta. Using a resistanceconcept, this study will show that there are resistances from Buddhistsespecially Buddhist under KASI Organization. There are pejorative utterancesand symbolic action in vesak celebration that show the resistance.
Guided by the Gramsci’s theory, Counter Hegemony, Vesakcelebrations in Yogyakarta mainly conducted by Indonesian BuddhayanaFamily in Candi Sewu is an effort to make the counter domination using thesymbols like temple, national, and a liturgy that are similar to what is done inVesak celebration at Borobudur. By capturing the Buddhists anxiety abaoutsolemnity on Vesak ritual at Candi Borobudur temple, the celebration ofVesak at Candi Sewu more emphasis on the quality of solemnity in ritual.Many of the participants felt rediscover the solemnity of Vesak ritual that lostat Borobudur.
Key Words:
National Vesak, WALUBI, Buddhist Yogyakarta, Counter Hegemony
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1111
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................. ............ ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................ iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................... ix
ABSTRACT ......................................................................................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................... xi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1B. Tema Penelitian ....................................................................... 9C. Rumusan Masalah ................................................................... 9D. Tujuan Penelitian .................................................................... 10E. Pentingnya Penelitian .............................................................. 10F. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 11G. Kerangka Teoritis .................................................................... 14H. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 23I. Sistematika Penulisan ………………………………………… 24
BAB II: PUJA WAISAK: MAKNA, RITUAL DAN PERAYAANNYA
A. Puja: Antara Ritual dan Pelaksanaan Ajaran Buddha ............ 26B. Tempat Pelaksanaan Ritual Waisak....................................... .. 28C. Waisak sebagai pemujaan terhadap Buddha Gautama atas tiga
peristiwa suci............................................................................ 29D. Ritual Perayaan Waisak .......................................................... 31E. Perayaan Waisak di Indonesia Pada Mulanya ........................ 32F. Waisak di Candi Borobudur: ‘Ngontrak’ Di Rumah Sendiri... 37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
BAB III: KOMPLEKSITAS MASALAH PENYELENGGARAANPERAYAAN WAISAK DI CANDI BOROBUDUR
A. Memahami Komunitas Agama Buddha di Dunia dan Indonesia 42A.1. Theravada ........................................................................ 44A.2. Mahayana ........................................................................ 46A.3. Tantrayana atau Vajrayana .............................................. 47
B. WALUBI: Wadah Pemersatu KomunitasUmat Buddha Indonesia........................................................... 51
C. Kemelut WALUBI: Munculnya KASI dan WALUBI “Baru” 55D. Siti Hartati Murdaya, actor Intelektual WALUBI Baru … ...... 62E. Perayaan Waisak Era WALUBI dan
Pasca Pecahnya WALUBI ....................................................... 64E.1 Perayaan Waisak Era Wadah Tunggal WALUBI ............ 65E.2 Perayaan Waisak Pasca bubarnya WALUBI .................... 68
F. Tersingkirnya umat Buddha KASI :Waisak Nasional dikuasai WALUBI (baru) ............................ 75
BAB IV: PENOLAKAN MASYARAKAT BUDDHIS KASI TERHADAPPERAYAAN WAISAK NASIONAL CANDI BOROBUDUR
A. Waisak Nasional WALUBI di Mata Masyarakat KASI ......... 79A.1. WALUBI: Wanita Luar Biasa ......................................... 80A.2. WaKubi dan Rekor MURI ............................................... 83A.3. Bhikkhu Tidak Makan Amplop........................................ 84A.4. Bhikkhu Bayaran ............................................................. 84A.5. Sulit Khusyuk................................................................... 85
B. Waisak di Yogyakarta sebuah War of Position........................ 88
BAB V: KESIMPULAN.............................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu event keagamaan rutin terbesar umat Buddha di Indonesia
adalah Waisak Nasional di candi Borobudur. Even ini biasanya diselenggarakan
oleh organisasi masyarakat umat Buddha Indonesia yang tergabung dalam
WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia). Setiap tahun ribuan orang dari
berbagai wilayah dalam dan luar negeri berbondong-bondong datang ke candi
Borobudur untuk mengikuti, melihat dan menikmati wisata religi Umat Buddha
ini. Ribuan orang tersebut datang dengan berbagai motivasi, mengingat yang
hadir dalam event tersebut bukan hanya mereka yang menganut agama Buddha
saja. Ada yang datang dengan niat tulus beribadah pada hari Waisak, ada pula
yang sekadar melihat dan berwisata sebagian lagi ada yang datang karena
bertugas dalam penyelenggaraan Waisak walaupun sedikit terpaksa karena
perintah organisasi.
Memasuki bulan Mei atau Juni awal, bertepatan dengan bulan Vesakha di
India kuno, kawasan Mendut Magelang Jawa Tengah telah terlihat persiapan-
persiapan perayaan Waisak. Hotel-hotel mulai dipenuhi dengan bookingan
wisatawan, tak kalah juga penginapan-penginapan kecil di rumah-rumah
penduduk seputaran Candi Mendut mulai dipenuhi jadwal menginap para tamu.
Seperti sering telah diketahui setiap tahunnya aktivitas kegiatan Waisak
sudah mulai terlihat beberapa hari sebelum hari Waisak tiba. Tujuh hari
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
menjelang detik-detik Waisak, panitia telah sibuk melaksanakan berbagai agenda
kegiatan. Di antaranya kegiatan pengobatan gratis di sekitar candi Borobudur,
tabur bunga di taman makam pahlawan di berbagai daerah, pengambilan api
Waisak di Mrapen Jawa Tengah dan pengambilan air suci Waisak di Jumprit
Temanggung. Air dan api Waisak sesemuanya kemudian ditempatkan di candi
Mendut yang juga merupakan tempat berlangsungnya kegiatan Waisak.
Sebelum acara puncak, umat Buddha dari berbagai daerah berkumpul di
Candi Mendut melakukan puja dan berjalan kaku menuju Candi Borobudur.
Perjalanan dari candi Mendut ke Candi Borobudur dikenal dengan istilah prosesi
Waisak yaitu perjalanan dengan rasa bakti dan penghormatan (devotional walk).
Ribuan orang berjalan kaki dengan membawa barang persembahan seperti bunga
sedap malam dan sebatang hio yang dinyalakan. Di barisan depan petugas-
petugas membawa bermacam-macam benda-benda seperti relik, lilin, air dan
bendera-bendera baik merah putih maupun bendera Umat Buddha, tidak
ketinggalan identitas kenegaraan seperti burung Garuda juga ikut diarak. Arak-
arakan mobil, gajah hingga pejalan kaki membelah jalanan menuju Borobudur.
Ribuan pasang mata menanti dipinggir jalan membawa alat dokumentasi baik HP,
camera digital hingga ‘DSLR’ mahal jeprat-jepret menyambut arak-arakan.
Sesampai di candi Borobudur para bhikkhu/bhiksu berjalan naik mengitari
stupa utama Borobudur searah jarum jam yang dikenal dengan pradaksina.
Kegiatan itu tak luput dari sorotan dan jepretan kamera-kamera wisatawan yang
ikut naik ke stupa utama. Dalam sebuah foto di instagram yang termuat dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
kompasiana1, seorang bhikkhu bersembahyang di dekat stupa utama sedangkan di
depannya para wisatawan sibuk menjepret adegan bhiksu tersebut. Wisatawan
dengan bercelana pendek yang ketat seakan-akan sedang dipuja oleh seorang
bhiksu. Ribuan orang di pelataran utama Candi Borobudur duduk berpanas-
panasan sambil membacakan mantra untuk memuja Sang Buddha.
Puncak hari Waisak ditandai dengan puja bakti2 detik-detik Waisak di
Candi Borobudur. Sebelumnya umat Buddha melakukan prosesi berjalan kaki
dengan rasa bakti (devotional walk) dari candi Mendut menuju Candi Borobudur
dengan membawa bunga atau dupa. Tepat pada saat detik-detik Waisak umat
Buddha melakukan meditasi merenungkan tiga peristiwa yang dialami Sidharta
Gautama. Yakni saat lahirnya, saat mencapai pencerahan dan saat wafat atau
parinirvana yang ke semuanya terjadi pada bulan Waisak atau vesakha.
Sebelumnya umat Buddha membaca mantra, sutra atau paritta sebagai pengantar
sebelum meditasi Waisak. Sesaat setelah melewati detik purnama Waisak maka
umat Buddha melanjutkan lagi membaca mantra dan paritta hingga upacara puja
bakti Waisak berakhir.
Selain ritual keagamaan terdapat pula acara seremonial formal dengan
mengundang berbagai tamu baik dari pejabat negara, tokoh masyarakat, tokoh
agama Buddha dan agama lain. Acara seremonial ini disebut “Dharmasanti
Waisak”. Acara Dharmasanti biasanya diisi dengan berbagai sambutan mulai dari
laporan panitia penyelenggara, sambutan pejabat kementerian agama atau bahkan
1 http://www.kompasiana.com/kompasiana/melihat-cerita-perayaan-waisak-dari-tahun-ke- tahun_5742b174907e6135078f3f49 diakses pada 21 April 20142 Sembahyang bagi umat Buddha secara umum disebut puja bakti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Presiden Republik Indonesia. Acara ini dirangkai dengan hiburan-hiburan serta
ceramah (pesan Waisak) oleh Bhiksu Sangha.
Dalam beberapa waktu belakangan acara Waisak ditutup dengan
pelepasan ribuan lampion. Pelepasan lampion ini merupakan acara yang baru
karena sebelum tahun 2008 belum terdapat acara pelepasan lampion. Acara ini
banyak diminati para wisatawan dan pemburu foto. Dalam berbagai media,
pemberitaan Waisak sering digiasi dengan lampion yang berterbangan di atas
Candi Borobudur. Demikianlah gambaran umum perayaan Waisak nasional di
Indonesia yang berpusat di candi Borobudur. Istilah Waisak Nasional sendiri
merujuk pada siapa penyelenggara even ini yaitu organisasi umat Buddha yang
kedudukannya di pusat.
Sementara itu tak jauh dari candi Borobudur tepatnya di Yogyakarta
aktifitas perayaan Waisak juga terlihat meskipun tidak sebesar dan megah seperti
di Candi Borobudur. Vihara-vihara di Yogyakarta seperti Vihara Karangdjati
Sleman Yogyakarta, Vihara Giriloka, Giridharma, Girisurya Kulon Progo
Yogyakarta mengadakan perayaan Waisak secara sederhana di masing-masing
vihara. Ada pula perayaan Waisak yang cukup besar di kawasan Yogyakarta yaitu
perayaan Waisak di candi Sewu. Mereka mengadakan perayaan Waisak mirip
seperti di candi Borobudur namun dengan skala yang lebih kecil dan dengan lebih
menonjolkan sisi kesakralan upacara ritual.
Berdasarkan pengamatan penulis pada Waisak 2557 Tahun Umat Buddha
atau tahun 2013 terdapat beberapa kegiatan umat Buddha di Yogyakarta. Umat
Buddha dari Gunung Kidul dan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
notabene menganut agama Buddha tradisi Buddhayana melakukan perayaan
Waisak di candi Sewu bersama umat Buddha dari Jawa Tengah yaitu Kabupaten
Klaten, Boyolali, Semarang dan Temanggung. Umat Buddha Kabupaten Kulon
Progo Yogyakarta yang terdiri dari 5 vihara dan 1 cetiya3 merayakan Waisak di
vihara masing-masing, umat Buddha Kabupaten Sleman Yogyakarta yang terdiri
dari 2 vihara (Vihara Dharmavijaya Berbah dan Vihara Karangdjati yang
semuanya menganut tradisi Theravada) mengadakan perayaan Waisak di vihara
masing-masing, sedangkan di kota Yogya yang terdiri dari 5 Vihara dan 1 cetiya
terbagi-bagi. Umat vihara Vimalakirti dan Vihara Bodhicitta Yogyakarta
seringkali terlibat sebagai panitia Waisak nasional di Candi Borobudur. Umat
Buddha dari Vihara Buddhaprabha di Kota Yogyakarta merayakan Waisak di
candi Sewu Jawa Tengah dan umat Vihara Vidyaloka pergi ke Vihara Mendut
Jawa Tengah melakukan ritual Waisak bersama para bhikkhu-bhikkhu dan umat
Buddha dari Muntilan Jawa Tengah. Acara ritual Waisak di vihara Mendut
dilangsungkan bersama dengan acara di Candi Mendut dengan penyelenggara
yang berbeda. Sekilas bagi yang awam (kurang memahami) dengan situasi
internal umat Buddha akan bertanya apa bedanya melakukan ritual Waisak di
Candi Mendut dengan yang ada di vihara Mendut? Ritual di Candi Mendut
dilakukan dengan tradisi yang sama dengan ritual di Vihara Mendut yaitu ritual
Umat Buddha Theravada namun keduanya berjalan sendiri-sendiri, dari sisi
3 Cetiya adalah tempat ibadah agama Buddha yang lebih kecil dari vihara, padanan dalam agama lainmushola (Islam), Kapel (Katolik), Sanggar (Hindu)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
pengikut yang melakukan ritual umat di vihara Mendut sangat sedikit jika
disbanding dengan yang mengkuti ritual di candi Mendut.
Aktifitas perayaan-perayaan Waisak alternatif semacam ini di Yogyakarta
maupun apa yang terjadi di Vihara Mendut belumlah lama. Sebelumnya Waisak
di Candi Borobudur menjadi pusat perayaan Waisak. Sejak tahun 2005 umat
Buddha di Yogyakarta cenderung melakukan kegiatan ritual Waisak dengan
mengadakan puja bakti di Vihara sendiri dan tidak pergi merayakan Waisak ke
Candi Borobudur. Hiruk pikuk dan gema Waisak di Candi Borobudur sudah
bukan menjadi prioritas umat Buddha di Yogyakarta.
Menilik sejarah awal perayaan Waisak di Indonesia khususnya di Candi
Borobudur bahwa pada awalnya Waisak di Candi Borobudur dirayakan sejak
sekitar tahun 1937 oleh umat Buddha dari sekitar daerah Mendut dan
Yogyakarta4. Pada waktu itu masih menggunakan bahasa Jawa yaitu tirakatan
wungon purnomosiden. Waisak pertama kali dirayakan secara nasional di Candi
Borobudur pada tahun 1953, diselenggarakan oleh umat Buddha dipelopori oleh
Tee Boan An, seorang umat awam yang kemudian menjadi bhikkhu dengan nama
Ashin Jinarakhita yang dihadiri dari berbagai wilayah termasuk duta-duta besar
Negara Asia Tenggara dan Sri Lanka. Semenjak peristiwa itu, Waisak selalu
diperingati tiap tahunnya dengan skala nasional di Candi Borobudur.
Beberapa tahun silam umat Buddha dari berbagai daerah baik dari Jawa
Tengah, Yogyakarta maupun dari daerah-daerah lain seperti Jakarta, Bogor,
Tangerang, Bekasi dan luar pulau Jawa datang ke Candi Borobudur mengikuti
4 www.bhagavant.com diakses pada 19 April 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
prosesi Waisak nasional. Umat Buddha dari Jawa Tengah dan Yogyakarta yang
berada di pelosok-pelosok difasilitasi transport dengan disewakan bus atau
setidaknya diberikan subsidi uang untuk sewa bus. Masih teringat oleh penulis
dahulu di tahun-tahun 1990-an (antara tahun 1994-1997) umat Buddha di
Yogyakarta (utamanya di Kulon Progo Kecamatan Girimulyo tempat tinggal
penulis) sangat antusias merayakan Waisak di Borobudur. Ditambah dengan
adanya subsidi-subsidi transport dan kadang disewakan bus gratis semakin
membuat umat Buddha semarak mengikuti prosesi Waisak Nasional. Umat
Buddha pergi dari pagi hari sampai pulang malam hari demi untuk mengikuti
prosesi Waisak. Vihara-vihara di daerah menjadi kosong dan sepi dari orang
beribadah Waisak karena hampir semua pergi ke Borobudur. Mereka telah
bersembahyang Waisak pada malam sebelum hari Waisak tiba.
Kondisi ini begitu berbeda kini. Gema Waisak nasional di candi
Borobudur yang selalu dimunculkan di televisi maupun media lain tidak begitu
mencuri perhatian masyarakat Umat Buddha di Yogyakarta. Mereka lebih
memilih perayaan Waisak yang sederhana jauh dari kesan glamor dan mewah.
Merayakan Waisak tanpa harus menghadirkan presiden, menteri agama, menteri
pariwisata, gubernur dan lain-lain. Sepi dan tenang, bebas dari jepretan kamera
dan ribuan pasang mata yang menonton ritual Waisak. Masyarakat umat Buddha
Kulon Progo misalnya di Vihara Giriloka begitu sakral mengikuti rangkaian
upacara ritual patidana (nyekar di makam leluhur), mengambil air Waisak di
sumber-sumber air terdekat, kenduri selamatan Waisak hingga pada puncak acara
detik-detik Waisak dan dharmasanti Waisak. Demikian juga dengan umat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Buddha di Gunung Kidul Yogyakarta begitu larut dalam kesakralan Waisak di
candi Sewu yang hampir-hampir mirip dengan rangkaian Waisak di candi
Borobudur.
Umat Buddha Yogyakarta yang dahulunya merupakan basis massa utama
perayaan Waisak Nasional kini telah mempunyai event sendiri dalam merayakan
Waisak. Memang dalam masyarakat umat Buddha di Indonesia pasca reformasi
1998 muncul dua organisasi besar yaitu KASI dan WALUBI sebagai organisasi
keagamaan yang mempunyai kuasa atas masyarakat Umat Buddha di Indonesia.
Sejauh mana relasi kedua organisasi itu dalam perayaan Waisak di Indonesia?
Apakah ada ketimpangan relasi (terjadi dominasi dan subordinasi) diantara
keduanya sehingga muncul berbagai perayaan Waisak baru khususnya di
Yogyakarta dan sekitarnya. Apakah aktifitas perayaan Waisak masyarakat Umat
Buddha Yogyakarta adalah merupakan kritik atas manajemen Waisak di candi
Borobudur mengingat Waisak telah ‘dijual’ untuk kepentingan pariwisata oleh PT
Taman Wisata Borobudur?
Bertitik tolak dari realitas masyarakat Umat Buddha demikian, penulis
ingin mengangkatnya dalam sebuah penelitian tesis. Penelitian ini nantinya
hendak menggali pandangan-pandangan masyarakat Umat Buddha Yogyakarta
khususnya warga masyarakat Umat Buddha di bawah organisasi KASI tentang
perayaan Waisak nasional di candi Borobudur. Pandangan-pandangan tersebut
menjadi dasar untuk menghubungkan apakah perayaan-perayaan yang dilakukan
pada hari Waisak di Yogyakarta dan sekitarnya adalah bentuk penolakan atau
resistensi terhadap Waisak di Candi Borobudur. Apakah perayaan-perayaan di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
luar candi Borobudur tersebut merupakan mekanisme perlawanan sebagai cara
melakukan counter hegemony terhadap hegemoni dalam relasi yang terbangun.
Perlawanan ini hanya mungkin terjadi ketika ada afirmasi kekuasaan yang
melahirkan dominasi dan subordinasi. Sehingga dalam penelitian ini nantinya
juga akan mengungkap bagaimana relasi yang terbangun antara stakeholder yaitu
WALUBI, KASI dan Masyarakat Umat Buddha di Yogyakarta dalam kaitannya
dengan perayaan Waisak.
B. TEMA
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka
tema besar dari penelitian ini adalah perlawanan masyarakat umat Buddha
Yogyakarta terhadap perayaan Waisak nasional di Candi Borobudur.
C. RUMUSAN MASALAH
Secara spesifik penelitian ini akan dipandu dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana pemahaman Waisak dan ritus perayaannya di kalangan
masyarakat Umat Buddha?
b. Bagaimana relasi kuasa bermain dalam perayaan Waisak di Indonesia
khususnya di Candi Borobudur?
c. Bagaimana sikap dan cara perlawanan masyarakat Umat Buddha di sekitar
Yogyakarta terhadap perayaan Waisak di Candi Borobudur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1010
D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:
a. Memetakan pemahaman terhadap ritus Waisak dan perayaannya di
kalangan umat Buddha.
b. Menunjukkan relasi kuasa dalam pelaksanaan Waisak di candi Borobudur
c. Menunjukkan sikap dan cara masyarakat Umat Buddha sekitar
Yogyakarta terhadap Waisak Nasional di candi Borobudur sebagai sebuah
perlawanan.
E. PENTINGNYA PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mempunyai signifikansi:
a. Di bidang keilmuan kajian budaya dan agama dapat menunjukkan bahwa
dalam setiap hubungan selalu ada relasi kekuasaan yang timpang bahkan
dalam perayaan agama yang kelihatan suci. Afirmasi dominasi akan selalu
menimbulkan resistensi. Resistensi masyarakat justru merupakan sumber
kreativitas yang perlu dihargai dan bukan dipandang sebagai sesuatu yang
negatif.
b. Bagi pengambil kebijakan (stake holder) perayaan Waisak antara lain
WALUBI, KASI, Taman Wisata Candi Borobudur dan Kementerian
Agama sebagai pengelola event Waisak dan wadah komunikasi umat
Buddha hendaknya saling mendukung tercapainya tujuan perayaan
Waisak yang sakral dan memberikan manfaat bagi yang mengikuti
perayaan Waisak dan bukan sebagai ajang saling unjuk kekuasaan dan
mencari keuntungan semata.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1111
c. Bagi masyarakat luas diharapkan memberikan informasi bahwa Waisak di
Indonesia tidak hanya berpusat di Candi Borobudur tetapi juga di
seputaran Yogyakarta terdapat variasi kegiatan dalam perayaan Waisak.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Waisak adalah salah satu hari yang sangat disucikan oleh umat Buddha di
seluruh dunia sebagai peringatan terhadap tiga peristiwa penting dalam kehidupan
Buddha Gautama yaitu kelahiran Sidharta Gautama, pencapaian pencerahan, dan
meninggalnya Sidharta Buddha Gautama. Ketiga peristiwa tersebut terjadi dalam
waktu yang sama yaitu pada saat bulan purnama pada bulan Mei. Dalam
memperingatinya, para umat Buddha di seluruh dunia melakukan banyak
perbuatan baik untuk mengekspresikan rasa bakti pada ajaran Buddha terutama
kebijaksanaan, kesucian dan welas asih Buddha Gautama.
Di Indonesia, perayaan Waisak yang paling mencolok adalah perayaan
Waisak Nasional di Candi Borobudur. Penelitian tentang Waisak Nasional di
candi Borobudur umumnya sebatas membuat deskripsi tentang rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh umat Buddha. Sejarah berlangsungnya Waisak di
Borobudur pada awal-awalnya dapat ditulis oleh Herman S. Endro, SH dalam
bukunya “Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Umat Buddha 1996-2026”
diterbitkan oleh Yayasan Dhammadipa Arama tahun 1997. Buku ini memberikan
gambaran hari-hari besar umat Buddha sekaligus membahas Waisak dan sejarah
berlangsungnya Waisak Nasional di Indonesia. Sumbangan buku ini dalam
penelitian saya adalah mencakup sejarah apa dan bagaimana Waisak di Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1212
dilangsungkan dari awalnya. Namun demikian buku ini belum memuat
kompleksitas penyelenggaraan Waisak terutama pasca bubarnya WALUBI tahun
1998. Melalui buku ini kita juga dapat mengetahui tentang bagaimana
menetapkan jatuhnya hari Waisak lengkap dengan detik-detik sempurnanya bulan
purnama. Perayaan Waisak dihitung dari wafatnya Buddha Gautama pada tahun
543 Sebelum Masehi (SM), inilah yang sering disebut sebagai Tahun Buddhis
(TB) atau Buddhis Era (BE). Karena secara internasional sekarang menggunakan
kalender Gregorian maka kita akan menemui penulisan tahun Waisak dengan
skema perayaan Waisak ke sekian per tahun Gregorian. Contoh pada tahun 1996
umat Buddha memperingati Waisak yang ke 2540 maka ditulis Waisak
2540/1996.
Penelitian yang lebih spesifik tentang Waisak di Candi Borbobudur
ditulis oleh Hermin Tri Astuti tahun 1998 dalam Skripsi “Waisak Nasional
2540/1996”. Penelitian ini memuat tentang tata rangkaian upacara Waisak dan
maknanya bagi umat Buddha. Hermin mengungkap tentang Waisak secara
umum, prosesi upacara Waisak Nasional 2540 tahun 1996 termasuk tata upacara
dan simbol-simbol yang digunakan serta makna Waisak di Candi Borobudur bagi
masyarakat Umat Buddha baik makna secara spiritual maupun secara sosiologis.
Dari penelitian ini, saya menangkap beberapa informasi terkait tata upacara yang
dilakukan oleh umat Buddha pada waktu belum pecahnya WALUBI. Selain itu
sumbangan lain dari penelitian ini adalah makna sosiologis yang diungkap oleh
Hermin Tri Astuti adalah makna sosiologis Waisak bagi umat Buddha yaitu
sebagai ajang membangun persatuan dan rasa kekeluargaan diantara penganut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1313
sekte-sekte dalam agama Buddha di Indonesia. Namun lagi-lagi penelitian ini
adalah penelitian sebelum pecahnya WALUBI tahun 1998.
Penelitian lain terkait Waisak di Borobudur dilakukan oleh Bernadetta
Budi Lestari yakni “Persepsi masyarakat sekitar Candi Mendut, Pawon dan
Borobudur terhadap upacara ritual Waisak”. Penelitian ini adalah tesis pada
Program studi Geografi tahun 1996. Penelitian ini menitikberatkan pada
perbedaan persepsi masyarakat berdasarkan lokasi, jenis kelamin, kelompok
umur dan tingkat pendidikan; perbedaan persepsi masyarakat berdasarkan
Pengetahuan Waisak, Konsepsi Kehidupan umat Buddha, Konsepsi Kehidupan
bikkhu, Waisak sebagai obyek wisata, dan Toleransi beragama terhadap lokasi;
besarnya tingkat pendapatan tambahan yang diperoleh bagi masyarakat dan
perhotelan; proses kemunculan kembali agama Budha di Indonesia pada
umumnya dan di Kaloran khususnya. Penelitian lainnya seputar Waisak adalah
laporan kerja mahasiswa Universitas Sanata Dharma (CB. Ismulyadi dkk)
tentang ziarah Waisak di Borobudur tahun 2012 berjudul “Fenomena Ziarah
Pada Hari Raya Waisak Tahun 2556” laporan ini menggali pengalaman-
pengalaman, harapan dan makna Waisak bagi umat Buddha yang hadir di
Borobudur pada Waisak 2556 tahun 2012. Laporan ini memuat Waisak yang
sudah dikelola oleh WALUBI baru dimana perayaan Waisak sudah tidak lagi
dilakukan oleh umat Buddha dalam wadah WALUBI saja namun juga dilakukan
oleh umat Buddha yang tergabung dalam KASI. Laporan lain tentang Waisak
yang terbaru (2557 tahun umat Buddha atau tahun 2013) dimuat dalam
http://www.jurnalterkini.com/2013/05/ribuan-umat-budha-rayakan-Waisak-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1414
di.html laporan ini mengeksplorasi pengalaman baik bhiksu maupun umat yang
datang ke Candi Borobudur. Banyak pengalaman-pengalaman para peserta
Waisak yang justru tidak dapat memperoleh makna Waisak karena karut marut
penyelenggaraan Waisak di Candi Borobudur oleh WALUBI Baru.
Penelitian-penelitian tentang Waisak yang berpusat di candi Borobudur
umumnya adalah penelitian yang dilakukan sebelum terjadinya perpecahan
WALUBI tahun 1998. Pada saat itu Waisak biasanya dinarasikan tunggal di
Candi Borobudur. Penelitian yang akan saya lakukan pada tesis ini lebih
menitikberatkan pada Waisak pasca pecahnya WALUBI yang menjadikan
perayaan Waisak tidak lagi hanya terpusat pada Candi Borobudur semata.
Terlebih lagi penelitian politik perayaan Waisak di Candi Borobudur belum
tersedia. Oleh karenanya, penelitian dengan perspektif kajian budaya yang akan
dilakukan ini tergolong baru karena perspektif penelitiannya yaitu memandang
Waisak bukan sebagai ritual keagamaan belaka namun sebagai ruang tarik
menarik kekuasaan.
G. KERANGKA TEORITIS
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan resistensi yaitu
sebuah pendekatan klasik untuk mempelajari pengalaman langsung dalam kajian
budaya. Resistensi dalam kajian budaya adalah dalam rangka untuk
memperlihatkan bahwa orang-orang mempunyai kemampuan kritis dan kreatif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1515
dalam melawan sebuah dominasi5. Studi resistensi merupakan usaha menangkap
fenomena pengalaman langsung sebagai perlawanan oleh peneliti, jadi dalam hal
ini peneliti mempunyai otoritas tinggi untuk menentukan fenomena sebagai
perlawanan. Menurut Paula Saukko6 ada dua macam pendekatan studi resistensi
yaitu ‘critical contextualist’ yaitu pendekatan studi resistensi yang berfokus pada
tindakan nyata yang tidak berpretensi mengubah struktur sosial. Kedua, yaitu
‘optimistic textualist’ sebagai pendekatan studi resistensi yang berfokus pada
resistensi simbolik yang dengan maksud untuk mengadakan perubahan sosial.
Pendekatan resistensi seringkali dipandang sebagai bagian dari relasi
konflik sedangkan resistensi sesungguhnya adalah perlawanan yang lebih
menekankan pada ketidaksetujuan terhadap sesuatu. Resistensi muncul karena ada
dominasi (menindas) dari satu pihak ke pihak lainnya. Resistensi dapat dilakukan
oleh individu maupun kelompok (kelas). James Scott (2000: 41) menyatakan
bahwa resistensi kelas itu memuat tidakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh
kaum yang kalah, yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim yang
dibuat kelas atas berhadap dengan kaum yang kalah. Resistensi berfokus pada
basis materi hubungan antara kelas dan pertarungan antar kelas; berlaku baik
sebagai tindakan resistensi perorangan maupun resistensi kolektif, juga bentuk-
bentuk resistensi ideologi yang menantang definisi situasi yang dominan dan
menuntut berbagai standar keadilan dan kewajaran. Jadi resistensi berfokus pada
5 Saukko, Paula. 2003. Hlm 396 Saukko, Paula. 2003. Hlm 39-40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1616
tujuannya ketimbang pada konsekuensi, sehingga diakui bahwa banyak aksi
resistensi mungkin gagal mencapai hasil yang dimaksud.
Menurut James Scott7 ada sepasang bentuk resistensi, yaitu: pertama,
resistensi setiap hari, yaitu perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus
menerus antara kaum tani dan orang yang berupaya untuk menarik tenaga kerja,
makanan, pajak, dan keuntungan dari mereka. Umumnya bentuk resistensi ini
tidak sampai pada tarap pembangkangan terang-terangan secara kolektif. kedua,
pembangkangan langsung atau terbuka yaitu dengan perlawanan yang secara fisik
(perang) atau penolakan dengan aksi langsung.
Studi resistensi biasanya digunakan untuk mengungkap siapa yang
melawan, apa yang dilawan, ancaman seperti apa yang dirasakan oleh pihak yang
terdominasi, dan bagaimana cara-cara perlawanannya apakah dengan cara-cara
apatis, pasif, atau agresif. Dalam penelitian ini akan ditunjukkan bahwa
masyarakat Umat Buddha di bawah KASI sebagai organisasi Umat Buddha di
Indonesia selain WALUBI adalah kelompok masyarakat Umat Buddha yang
terdominasi oleh WALUBI (baru). Dominasi WALUBI terlihat dalam aktifitas
perayaan Waisak Nasional tahunan di Candi Borobudur pasca tahun 1998 dan
membuat kelompok masyarakat Umat Buddha di bawah KASI tidak mempunyai
akses untuk merayakan Waisak di Candi Borobudur. Melihat kondisi demikian
masyarakat Umat Buddha KASI bergerak melakukan perlawanan dengan cara
7 Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah Bentu ResistensiSehari-hari Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta hlm.40-43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1717
membuat perayaan Waisak tandingan di berbagai daerah dalam skala yang relatif
kecil, namun ada juga dengan skala yang cukup besar. Yogyakarta sebagai salah
satu kawasan yang dekat dengan Candi Borobudur dirasa sebagai tempat yang pas
untuk memotret fenomena perlawanan ini.
Praktik-praktik ritual keagamaan seperti perayaan Waisak baik yang
dilakukan di Candi Borobudur maupun yang dilakukan di kawasan Yogyakarta
adalah praktik-praktik dari ideologi tertentu yang menciptakan kesenjangan
diantara keduanya. Menciptakan jurang antara yang dominan dan subordinan
dalam hal ini Waisak nasional di candi Borobudur oleh WALUBI sebagai yang
dominan dan Waisak yang diselenggarakan masyarakat Umat Buddha anggota
KASI di Yogyakarta adalah sebagai subordinan.
Perlawanan masyarakat Umat Buddha di Yogyakarta bukanlah
perlawanan agresif dengan ‘menyerang’ kelompok penguasa, dalam hal ini
WALUBI (baru) namun mempergunakan perlawanan secara simbolik.
Perlawanan masyarakat Umat Buddha Yogyakarta juga bukan karena faktor
ekonomi seperti studi perlawanan dalam Marxisme yang biasanya determinan
ekonomi. Perlawanan muncul karena relasi kekuasaan yang timpang. Oleh
karenanya dalam penelitian ini dirasa cocok memakai teori perlawanan post
Marxisme yakni Hegemoni Tandingan dari Antonio Gramsci. Namun obyek
penelitian ini adalah ritual keagamaan yang tentu saja tidak secara mudah kita
dapat menariknya ke wilayah politik agama semata. Untuk itulah kita perlu
menempatkan perayaan Waisak ini juga dalam kajian religi khususnya soal ritual,
sehingga kita memahami apa makna dan bagaimana Waisak tersebut dirayakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1818
Untuk itulah diperlukan sejumlah alat atau pisau bedah yakni teori ritual dan teori
hegemoni tandingan (counter hegemony) Gramsci.
1. Konsep Ritual
Dalam pandangan teori kontemporer (Hinnells, 2010: 388-393)
terdapat berbagai macam pandangan tentang ritual. Ritual dapat dipandang
sebagai bentuk ekspresi dari sebuah keyakinan. Ritual terkadang juga
dipandang sebagai cara untuk menghilangkan ketakutan dan rasa berdosa.
Ritual sebagai rekonsiliasi dari kontradiksi. Bagi beberapa kelompok, ritual
juga merupakan cara menanamkan keyakinan-keyakinan tertentu.
Menurut Koentjaraningrat (1985:56) Ritual merupakan tata cara dalam
upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat
beragama, yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan
komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat upacara dilakukan, alat-alat
dalam upacara, serta orang orang yang menjalankan upacara. Jadi yang
dimaksud ritual disini ada beberapa komponen yaitu upacara (perbuatan
keramat), tata acara, kelompok atau komunitas, waktu, tempat, alat-alat
upacara.
Waisak bagi umat Buddha adalah waktu yang sakral yang perlu
diperingati sebagai bagian dari aktualisasi keberagamaan selain dengan ritual
juga dirayakan dengan berbagai dramaturgi sehingga Waisak mempunyai
siginifikansi bagi kehidupannya. Waisak dipandang sebagai momentum untuk
memuja tiga peristiwa agung yang dialami Sidharta Gautama supaya
memperoleh berkah dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sidharta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1919
(Buddha) Gautama. Pemilihan tempat upacara perayaan Waisak di Candi
Borobudur pada saat bulan purnama dipandang sebagai tempat suci dan
mengandung nilai-nilai kesakralan. Demikian pula tata upacara ritual,
perkataan-perkataan (dalam wujud mantra atau paritta) dengan berbagai
barang persembahan yang ditata di altar seperti patung Buddha, lilin lima
warna, bunga, buah, dupa, air merupakan sarana merayakan Waisak yang
dapat menumbuhkan keyakinan dan keberkahan bagi umat Buddha
khususnya.
2. Hegemoni Tandingan Gramsci
Antonio Gramsci adalah seorang post Marxis asal Italia yang menaruh
perhatian pada soal bagaimana kekuasaan dipertahankan dalam negara
modern. Dalam bukunya Prison Notebooks Gramsci merefleksikan mengapa
dan bagaimana negara modern bisa mendapatkan konsensus atas
kekuasaannya terhadap mayoritas masyarakat, dan mengapa serta bagaimana
seorang sosialis bisa memastikan bahwa konsensus ini dapat diubah menjadi
konsensus baru yang mendukung nilai-nilai sosialisme (Beilharz.2003:201).
Salah satu sumbangan Gramsci dalam kajian budaya adalah teori
tentang Hegemoni dan Counter Hegemony. Hegemoni adalah konsep politik
yang dikembangkan oleh Gramsci semasa mendekam di penjara rezim Fascis.
Konsep ini pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan mengapa revolusi tidak
terjadi di negara Barat yang notebene demokratis dan maju padahal di sana
terjadi tekanan dam eksploitasi akibat dari kapitalisme (Storey, 2003: 172-
173). Menurut Gramsci hal itu terjadi karena kelas dominan (para pemilik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2020
modal) tidak hanya mengatur mayarakat namun juga mengarahkan
masyarakat melalui ‘pemaksaan’ kepemimpinan moral dan intelektual.
Pemaksaan dalam hal ini saya beri tanda khusus karena sesungguhnya
masyarakat subordinan merasa tidak dipaksa tetapi menyetujui bahkan
mendukung dan menerima nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat
dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada. Cara mengontrol
masyarakat tanpa melalui paksaan tetapi melalui kepemimpinan, intelektual
dan moral. Hegemoni diproduksi dan terus dipelihara melalui penciptaan
makna-makna yang merepresentasikan praktik yang dominan dijalankan oleh
kelas berkuasa.
Gramsci memberi solusi bagi subordinan untuk dapat untuk melawan
dominasi dengan cara melakukan hegemoni tandingan (counter hegemony).
Kaum yang berkuasa menciptakan dan memperkenalkan hegemoni melalui
pengaruh mereka di lembaga-lembaga baik itu seperti negara, tempat ibadah,
dan sistem pembelajaran di sekolah. Mereka yang memiliki strata tertinggi
dalam masyarakat menghasilkan sebuah identitas dan suatu bentuk budaya
popular dengan cara memvalidasi tatanan sosial yang dominan. Bagi Gramsci,
istilah “intelektual” tidak mengacu pada seseorang dari strata tertinggi yang
memiliki latar belakang pendidikan dan jabatan yang tinggi, melainkan untuk
individu yang menciptakan dimensi dimensi moral-politik yang berkuasa
dalam hegemoni kelas (Hoare dan Smith, 1971: 199)
Gramsci menciptakan gagasan perlawanan hegemoni tandingan
(counter hegemony) sebagai sebuah tindakan revolusioner, di mana ideologi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2121
kebudayaan psikologis diciptakan dari kaum intelektual dari kelas yang
tereksploitasi untuk membubarkan tatanan kapitalis yang telah berdiri dan
menggantikannya dengan sosialisme demokratis. Gramsci berargumen bahwa
ideologi ini harus menciptakan visi perlawanan hegemoni (counter hegemony)
melalui lembaga-lembaga anti penindasan kelas oleh yang berkuasa dan
memimpin massa dalam pementasan sebuah revolusi universal melalui
subversi budaya yang bertentangan dengan tindak kekerasan (Boggs 1968:
164).
Untuk bisa melawan kelompok dominan tentu saja diperlukan cara-
cara penyadaran oleh kelompok subordinan melalui kepemimpinan,
intelektual dan moral yang lebih kuat sehingga lama-kelamaan bisa
mendominasi balik atas kelompok lain. Di sinilah pentingnya intelektual
organik menurut Gramsci. Melalui kepemimpinan moral dan intelektual
kelompok yang tersubordinasi melakukan perang posisi (war of position) dan
membentuk blok historis yang baru.
Ketika akan melakukan counter hegemony suatu kelompok masyarakat
yang dikuasai (subordinan) haruslah berangkat dari kenyataan yang ada di
masyarakat pada umumnya. Mereka haruslah yang berpartisipasi aktif dalam
kehidupan masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang menyingkap
kebobrokan sistem lama dan dapat mengorganisir masyarakat, dengan begitu
ide pemberontakan serta merta dapat diterima oleh masyarakat hingga
tercapainya revolusi. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan
melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2222
dan mereka harus bekerja sama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak
mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemony.
Konsep counter hegemony Gramsci dalam penelitian ini dirasa dapat
digunakan untuk menerangi fenomena relasi kuasa antara WALUBI dan
KASI di mana dalam hal ini WALUBI yang juga merupakan representasi dari
negara karena WALUBI adalah lembaga masyarakat yang dibentuk
pemerintah pada awalnya, selalu berusaha mendominasi perayaan Waisak di
Candi Borobudur. Cara mendominasi Waisak di Indonesia khususnya di
Candi Borobudur hadir melalui berbagai macam cara, seperti melalui PT
Taman Wisata Borobudur sebagai lembaga ekonomi maupun lewat kehadiran
pemerintah dalam hal ini adalah melalui pejabat-pejabat negara yang hadir
dalam Waisak Nasional di Candi Borobudur. WALUBI yang pada mulanya
merupakan kesatuan hegemonik masyarakat Umat Buddha semenjak tahun
1998 telah terpecah dan memunculkan dua organisasi yaitu KASI dan
WALUBI. Demi melanjutkan hegemoni WALUBI, organisasi pecahan dari
WALUBI membentuk nama baru juga dengan nama WALUBI. Ini adalah
strategi dari WALUBI baru untuk mempertahankan hegemoni WALUBI
sebelumnya sehingga tetap mempunyai akses terhadap candi Borobudur
khususnya dalam perayaan Waisak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2323
H. METODE PENGUMPULAN DATA
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan perlawanan. Untuk memperoleh hasil penelitian yang dimaksud akan
dilakukan pengumpulan data dengan memperhatikan panduan berikut ini:
1. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat umat Buddha di sekitar
Yogyakarta yang tersebar di wilayah Kabupaten Kulon Progo, Sleman, Kota
Yogyakarta, Bantul dan Gunung Kidul. Selain itu juga para tokoh-tokoh vihara,
bhikkhu dan majelis-majelis di Yogyakarta yang biasanya mengelola perayaan
Waisak. Sumber data sekunder diambil dari dokumen-dokumen kegiatan, website
maupun laporan beserta buku-buku yang memuat perayaan-perayaan Waisak di
seputaran Jogjakarta dan Jawa Tengah.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Yogyakarta (Kota Yogya, Kulon Progo dan Gunung
Kidul), vihara-vihara di Yogyakarta, candi Sewu Jawa Tengah serta vihara di
Mendut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Observasi terlibat (participant observation) ke vihara-vihara atau
tempat yang biasanya dijadikan tempat perayaan Waisak oleh umat Buddha
baik di candi Borobudur yang diselenggarakan WALUBI maupun di
Yogyakarta seperti di Candi Sewu, di vihara-vihara Sleman dan Kulon Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2424
b) Wawancara kepada umat-umat Buddha di Yogyakarta, para tokoh
majelis, bhiksu serta ketua-ketua vihara tentang kegiatan perayaan Waisak dan
pandangan mereka terhadap praktik perayaan Waisak di candi Borobudur.
4. Studi dokumen/arsip
Berupa teks-teks tertulis baik buku maupun laporan-laporan kegiatan Waisak
yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam penulisan tesis ini. Teks-teks
tersebut meliputi teks pelaksanaan Waisak di candi Borobudur dari tahun ke
tahun, teks-teks perayaan Waisak di Yogyakarta seperti di candi Sewu maupun
buku-buku yang membahas tentang keadaan masyarakat umat Buddha
Yogyakarta seperti dari Bimas Buddha Kementerian Agama DIY.
5. Teknik Pengolahan Data
Data yang terkumpul akan diolah dengan cara menjabarkan data,
mengklasifikasikan, memetakan mengaitkan, kemudian dianalisis
menggunakan pendekatan perlawanan (resistensi) dengan teori Counter
Hegemony. Selanjutnya data dipergunakan sejelas mungkin untuk menjawab
rumusan masalah. Hasil analisa kemudian disimpulkan sebagai hasil
penelitian.
I. SISTEMATIKA PENULISAN
Pembahasan dari hasil penelitian ini akan dituangkan secara sistematis dalam
bab per bab. Bab pertama sebagai pendahuluan penelitian ini memuat latar
belakang masalah, tema, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka,
kerangka teoritis, metode penelitian, hingga sistematika penulisan. Bab kedua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2525
akan menjelaskan tentang seputar Waisak, apa makna bagi umat Buddha,
bagaimana pelaksanaan ritual dan perayaanya juga sejarah perayaan Waisak di
Indonesia pada mulanya di candi Borobudur. Bab tiga menjelaskan
kompleksitas masalah penyelenggaraan perayaan Waisak Nasional di candi
Borobudur. Penyelenggaraan perayaan Waisak Nasional tidak bisa dipisahkan
dari penyelenggara dalam hal ini umat Buddha yang tersegmentasi baik
menurut aliran agama, organisasi masyarakat umat Buddha, maupun
organisasi besar umat Buddha di Indonesia yaitu KASI dan WALUBI. Bab
empat menyajikan analisis data berdasarkan teori hegemoni untuk memetakan
peran intelektual dalam melakukan counter hegemony. Bab kelima merupakan
penutup dari penulisan ini yang berupa kesimpulan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2626
BAB II
WAISAK: MAKNA, RITUAL DAN PERAYAANNYA
Sebagai salah satu agama besar di dunia, agama Buddha mempunyai hari-hari
spesial yang kemudian dirayakan sebagai hari raya. Setidaknya ada empat hari raya
yang dikenal dalam umat Buddha di seluruh dunia yaitu: Waisak, Asadha, Kathina
dan Maghapuja. Waisak menempati posisi yang penting terutama di Indonesia karena
disejajarkan dengan hari-hari raya agama lain seperti Idul Fitri, Natal, Nyepi dan
Imlek. Apalagi Waisak di Indonesia mengambil tempat perayaannya di Candi
Borobudur, sebuah Candi Buddha terbesar yang ditetapkan sebagai world heritage
dan menjadi obyek wisata dunia.
Bab ini akan membahas tentang hari raya Waisak secara umum. Apa makna
pada awalnya, bagaimana ritualnya dan bagaimana cara merayakannya serta
bagaimana hubungan ritual perayaan Waisak dengan pelaksanaan ajaran Buddha.
Hubungan ritual dengan pelaksanaan ajaran Buddha akan dibahas pertama sebagai
landasan memahami mengapa dan dalam rangka apa perayaan suatu moment hari raya
dilangsungkan. Selain itu juga akan membantu memahami mengapa perayaan Waisak
dapat mempunyai berbagai varian dalam pelaksanaannya.
A. Puja: Antara Ritual dan Pelaksanaan Ajaran Buddha
Seperti telah dijelaskan dalam landasan teori bahwa ritual merupakan cara
mengekspresikan sebuah keyakinan. Dalam pelaksanaanya ritual akan berkaitan
dengan waktu, tempat, alat-alat perlengkapan dan tata acaranya serta orang-orang
yang melaksanakannya. Dalam agama Buddha, ritual dikenal dengan istilah Puja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2727
(bahasa Pali) yang berarti penghormatan. Secara tekstual konsep tersebut terdapat
dalam kitab Tipitaka (Sutta Pitaka) bagian Manggala Sutta. Sebuah kalimat dalam
Manggala Sutta (Sangha Theravada Indonesia, 2015: 29) tersebut mengatakan “Puja
ca Pujaniyanam” yang berarti menghormat yang pantas dihormati adalah berkah
utama. Jadi dalam hal ini puja atau penghormatan adalah sarana untuk memperoleh
berkah, hampir mirip dengan apa yang dikatakan oleh Turner. Dikatakan hampir mirip
karena puja dalam agama Buddha bukan hanya sekadar melakukan ritual untuk
‘menyogok’ kekuatan di luar manusia supaya memberi berkah. Namun lebih kepada
memberi semangat diri untuk melakukan penyesuaian dengan hukum alam semesta
dengan tingkah lakunya.
Puja dalam agama Buddha dikenal dua macam yaitu Amisa Puja dan Patipati
Puja. Amisa Puja adalah cara memberikan penghormatan kepada suatu tempat,
peristiwa ataupun sosok tertentu dengan cara mempersembahkan materi-materi.
Sedangkan Patipati Puja adalah memberikan penghormatan kepada suatu tempat,
peristiwa ataupun sosok tertentu dengan cara menunjukkan atau melakukan
perbuatan-perbuatan yang pantas dan baik. Dapat dikatakan bahwa ritual dalam
agama Buddha mengandung makna pemujaan terhadap sesuatu, sedangkan cara untuk
memuja dapat melalui dua cara yaitu memuja melalui persembahan benda-benda
dengan suatu upacara tertentu. Cara yang kedua (biasa dikatakan sebagai yang paling
tinggi) adalah dengan mengerti makna benda-benda dalam suatu upacara, mengerti
makna apa yang dilakukan dalam upacara tersebut dan mengerti apa yang harus
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai praktik dari ajaran Buddha.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2828
Dalam setiap ritual umat Buddha termasuk perayaan Waisak kita dapat
melihat dua macam puja ini. Amisa Puja dapat kita lihat bagaimana umat Buddha
mengatur sedemikian rupa suatu upacara ritual dengan menempatkan berbagai macam
barang-barang persembahan di altar Waisak seperti patung Buddha, bunga, dupa, air,
lilin, buah-buahan dan segala pernak pernik yang ditempatkan pada sebuah meja
khusus yang disebut altar. Sementara dalam menunjukkan Patipati Puja umat Buddha
melakukan berbagai tindakan yang mencerminkan ajaran Buddha seperti bermeditasi,
melatih moralitas dan memberikan dana kepada para Bhikkhu, mengadakan bakti
sosial. Pada intinya melakukan kegiatan-kegiatan sebagai aplikasi ajaran Buddha.
B. Tempat Pelaksanaan Ritual Waisak
Kebiasaan umat Buddha melakukan puja untuk menghormati atau
memperingati suatu peristiwa dilakukan di tempat-tempat yang dapat menumbuhkan
semangat relijius. Dalam keyakinan umat Buddha terdapat tempat-tempat yang
disakralkan. Disakralkan dengan alasan tempat-tempat tersebut menjadi bagian
penting dalam kehidupan Buddha Gautama yaitu Taman Lumbini tempat lahirnya
Sidharta Gautama, Bodhgaya tempat Sidharta Gautama memperoleh pencerahan,
Taman Rusa Isipatana Benares tempat Buddha Gautama membabarkan ajaran Dharma
pertama kali dan Kusinara tempat wafatnya Buddha Gautama. Menurut kitab
Mahaparinibbana Sutta, tempat-tempat yang dapat menimbulkan semangat relijius
jika dikunjungi (ziarah) akan dapat membawa orang lahir di Surga.
Selain empat tempat ziarah yang penting bagi umat Buddha dalam melakukan
puja, ada empat hal yang juga pantas diberikan puja. Empat hal itu adalah Dhatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2929
Cetiya, Paribhoga Cetiya, Dhammacetiya dan Udhesika Cetiya. Dhatu cetiya adalah
tempat-tempat menyimpan relik8 Buddha Gautama seperti relik gigi, tulang, rambut,
kulit dan lainnya. Relik ini ditempatkan di stupa atau candi atau vihara yang dapat
dipuja oleh umat Buddha. Dalam hal ini Candi Borobudur oleh umat Buddha diyakini
menyimpan salah satu relik rambut Buddha Gautama. Paribhoga Cetiya adalah
benda-benda yang pernah digunakan oleh Buddha Gautama semasa kehidupannya.
Benda-benda ini dapat berupa jubah, mangkok, pohon Bodhi tempat bertapa Buddha
Gautama. Dhamma Cetiya adalah koleksi-koleksi ajaran Buddha (Tri Pitaka) yang
dapat berupa tulisan daun lontar, buku, maupun prasasti. Udhesika Cetiya yaitu
benda-benda yang ditujukan untuk menghormati sifat-sifat Buddha seperti patung
Buddha, lukisan Buddha dan gambar-gambar Buddha. Dengan demikian jelaslah
mengapa dalam perayaan upacara agama Buddha seringkali dilaksanakan di candi-
candi, vihara bersejarah, ataupun tempat-tempat yang menimbulkan suasana relijius
dengan berbagai macam benda-benda relijius (Dharmakosajarn, 2011: 3-4).
C. Waisak sebagai pemujaan terhadap Buddha Gautama Sakyamuni atas tiga
peristiwa suci
Waisak sesunggunya diambil dari nama bulan kedua dalam kalender India
Kuno. Terdapat banyak penyebutan dalam berbagai bahasa misalnya dalam bahasa
Sinhala disebut Vesak, dalam bahasa Pali Vesākha. Dalam tradisi India, Nepal dan
Bangladesh terkenal dengan sebutan Buddha Pūrnima atau Buddha Jayanti. Di
8 Relik adalah sisa-sisa jasad dari seorang yang suci. Ketika jasad orang yang mencapai kesucianseperti Buddha Gautama dikremasi atau dikubur dalam waktu yang lama akan terdapat sisa-sisa yangberbentuk butiran berwarna-warni yang sulit dihancurkan baik dengan cara dibakar atau ditumbuk.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3030
Jepang dikenal dengan Hanamatsuri, di Korea dikenal dengan Seokka Tanshin-Il, di
China disebut Fòdàn, beberapa komunitas orang China Cantonese menyebut
Fātdàahn, di Vietnam disebut Phât Ðan, di Tibet disebut Saga Dewa, di Kamboja
dikenal Visaka Bochea, di Thailand disebut Visākha Puja, di Srilanka dan Malaysia
disebut Vesak, di Laos disebut Vixakha Bouxa, di Myanmar dikenal dengan sebutan
Ka-sone-la-Pyae dan di Indonesia disebut Waisak. (Dhammahaso and Vuddhikaro,
2011:2).
Menurut penelitian Dhammahaso and Vuddhikaro dalam buku The Vesak Day
History, significance and Celebrations (2011:2-3), istilah Waisak sendiri muncul
dalam kitab Umat Buddha Mahavamsa, sebuah kitab kuno dari Sri Lanka yang
menyebutkan bahwa Raja Sri Lanka Duttagamani telah menggelar perayaan festival
Waisak sekitar 2100 tahun yang lalu. Dalam kitab tersebut ditulis
"Mahāvesākhapūjāca catuvīsati kārayī", yang berarti bahwa Raja mengadakan dua
puluh empat festival besar Waisak. Sri Lanka adalah negara pertama yang merayakan
Hari Waisak.
Hari raya Waisak adalah penghormatan komunitas pemeluk agama Buddha
terhadap tiga peristiwa penting dalam masa kehidupan Buddha Gautama. Yaitu
kelahiran Sidharta Gautama di Taman Lumbini, pencapaian tingkat spiritualitas
“Buddha” oleh Sidharta Gautama di Bodhgaya, dan Wafatnya “Buddha” Sidharta
Gautama di Benares India. Ketiga peristiwa itu terjadi pada waktu bulan purnama di
bulan Waisak pada tahun-tahun yang berbeda. Oleh karenanya, ketiga peristiwa yang
spesial ini disucikan dan dirayakan oleh umat Buddha di seluruh dunia setiap
tahunnya. Khusus di Indonesia perayaan puncak Waisak sering disebut ‘detik-detik’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3131
Waisak. Hal ini mengacu pada penentuan bulatnya bulan purnama paling sempurna
(full moon) yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika di Indonesia
(Wawancara, Bhikkhu Jayamedho, 22 Februari 2017).
D. Ritual Perayaan Waisak
Di negara-negara dengan pemeluk agama Buddha yang besar seperti Srilanka,
Thailand, China, Tibet, Laos, Kamboja dan Myanmar Waisak menjadi festival agama
dan budaya yang menjadi agenda tahunan. Di Sri Lanka misalnya, hari Waisak
dirayakan dalam durasi satu minggu. Selama waktu seminggu ini, penjualan alkohol
dan daging biasanya dilarang, serta tempat pemotongan hewan juga ditutup.
Perayaan meliputi berbagai kegiatan agama dan pemberian sedekah makanan
untuk para Bhikkhu. Lampu-lampu hiasan seperti lampion yang didirikan di berbagai
lokasi di kota Colombo dinyalakan. Setiap lampu hiasan menggambarkan cerita dari
kehidupan lampau Sidharta Gautama dalam kitab Jataka. Selain itu, lentera berwarna-
warni yang disebut Vesak Koodu digantung di sepanjang jalan-jalan dan di depan
rumah. Hal ini menandakan terang Buddha, Dharma dan Sangha. Warung-warung
makan milik umat Buddha (dansälas) memberikan makanan dan minuman gratis
untuk orang yang lewat. Kelompok orang dari berbagai masyarakat, organisasi,
pebisnis, dan departemen pemerintah melantunkan pujian-pujian bakti atau lagu-lagu
pujian kepada Buddha.
Thailand sebagai salah satu negara dengan pemeluk agama Buddha membuat
perayaan Waisak dengan dimobilisasi oleh pemerintah kerajaan. Waisak di Thailand
pertama kali dirayakan pada periode Sukhothai (1249-1438 M) yang awalnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3232
diperkenalkan oleh biksu Sri Lanka yang datang untuk menyebarkan agama Buddha
dan membawa tradisi perayaan Hari Waisak.
Menurut sebuah buku tentang Loi Krathong Festival, Nangnopphamat,
perayaan Hari Waisak di Thailand dilakukan oleh raja, para pegawai kerajaan dan
penduduk baik dari dalam istana maupun luar istana membersihkan dan menghiasi
kota Sukhothai dengan bunga dan dupa, menerangi kota dengan cahaya obor
sehingga seluruh kota itu cerah dan indah. Mereka menyembah Tiga Permata (Tri
Ratna: Buddha, Dhamma, Sangha) secara terus menerus untuk dalam waktu tiga hari
tiga malam. Raja beserta keluarga kerajaan melatih sila (aturan moral bagi umat
Buddha) dan melakukan banyak kebajikan. Di malam hari, Raja dan keluarga
kerajaan beserta dengan pejabat kerajaan, pergi ke Vihara kerajaan untuk
mengelilingi dan memberikan penghormatan kepada simbol Buddha.
Penduduk Sukhothai saling melatih sila (moralitas), mendengarkan khotbah
Dharma, memberikan persembahan kepada individu biarawan dan kepada Sangha.
Para pemeluk Buddha memberikan dana kepada orang miskin, anak yatim, orang tak
berdaya, orang tua dan orang cacat. Selain itu mereka juga mengumpulkan uang
untuk membeli hewan berkaki empat dan berkaki dua, kura-kura serta ikan untuk
dilepas dan dibebaskan supaya lestari dengan keyakinan bahwa tindakan seperti akan
memperpanjang usia mereka sendiri.
E. Perayaan Waisak di Indonesia pada mulanya
Perayaan Waisak di awal-awal tumbuh kembangnya kembali agama Buddha
di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran para teosof. Para penggiat Teosofi
yang tergabung dalam Perhimpunan Teosofi dipelopori oleh E.E Power, Josias Van
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3333
Deist, Kwee tek Hoay, dan Mengelaar Meerteens adalah orang-orang yang menggali
kembali ajaran Buddha. Mereka mendirikan “Java Umat Buddhat Association”
sebagai cabang dari International Umat Buddhat Mission yang berpusat di
Myanmar9. Perkumpulan teosofi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal organisasi
Umat Buddha di Indonesia.
Penemuan candi Borobudur oleh Stamford Rafles dan candi-candi Umat
Buddha yang lain semakin memberi motivasi para teosof untuk lebih menggali ajaran
Buddha. Situs-situs candi bukan saja dikagumi oleh para penggiat teosofi namun juga
dipergunakan sebagai tempat untuk menyepi dan bermeditasi melaksanakan ajaran
Buddha. Pada hari-hari penting dalam agama Buddha seperti Waisak, para teosof dan
umat Buddha di sekitar Magelang dan Yogyakarta mengadakan kegiatan ‘tirakatan
wungon purnomosiden’ (bhs. Jawa) secara leksikal diartikan sebagai berjaga di
malam bulan purnama. Hal ini dikarenakan perkembangan agama Buddha saat itu
belum begitu menonjol. Iem Brown (dalam Martin Ramsted, 2005:47) mengatakan:
“...And when Waisak was observed at the great temple of Borobudur for thefirst time in the modern era on 20 May 1932, the ceremonies were conductedby the Theosophical Society. It was not until 1934 that the ceremony was firstperformed by Buddhists“.
Jadi pada awalnya bukanlah komunitas Umat Buddha yang menginisiasi
Waisak di Borobudur namun para teosof. Event tirakatan wungon purnomosiden
inilah yang kemudian menjadi agenda rutin tahunan, dan ketika telah dikenal di
masyarakat kegiatan ini dijadikan sebagai perayaan Waisak (Astuti, 1998:38).
9 Jayamedho. 2011. Menapak Pasti Kisah Spiritual Anak Madura. Cenas: Jakarta hlm 81-82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3434
Perubahan perayaan Waisak dari yang bersifat meditatif menjadi seremonial
berlangsung pada tahun 1953. Perayaan Waisak yang besar ini adalah kali pertama,
dan sering disebut sebagai penanda eksistensi dan kebangkitan kembali umat Buddha
di Nusantara. Perayaan dipelopori oleh Tee Boan An, seorang penggiat Umat
Buddhame dari Indonesia yang banyak belajar di Belanda. Ia juga merupakan ketua
organisasi Sam Kauw Hwee Indonesia (tiga ajaran: Umat Buddhame, Konfusianisme,
Taoisme). Ia kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk menjadi samanera (calon
bhikkhu) dalam tradisi Mahayana pada tahun 1953. Samanera Tee Boan An setahun
kemudian menjadi bhikkhu dengan tradisi Theravada pertama dari Indonesia pasca
bangkitnya kembali agama Buddha di Nusantara.
Setelah perayaan Waisak yang besar pada tahun 1953, tahun 1956 kembali
digelar Perayaan Waisak. Waisak kali ini cukup monumental karena bertepatan
dengan usia agama Buddha ke 2500 (Buddhajayanti10) dan peringatan perayaan
Waisak dunia ke 2500. Event Waisak pada tahun 1956 ini diselenggarakan oleh
Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI). Organisasi ini mempunyai
jaringan yang cukup kuat di Indonesia dan dengan agama Buddha Internasional. Hal
ini terbukti dengan diterbitkannya buku “2500 Buddha Jayanti” oleh PUUI dengan
kontributor artikel adalah orang-orang ternama seperti PM India Jawaharlal Nehru,
Prof Dr. G.P. Malalasekera Presiden World Fellowship of Umat Buddhats, Dr. Luang
Suriyabongs dari Bangkok dan Mademoiselle G. Constant Lounsbery, B.Sc. ketua
‘Les Amis Du Bouddhisme’ Paris Perancis.
10 Buddhajayanti adalah event untuk mengenang kemunculan Buddha yang dhitung dari tahun 544S.M., tahun dimana Buddha wafat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3535
Setelah Waisak tahun 1953 dan 1956, Waisak yang cukup monumental juga
pernah terjadi pada tahun 1959 pada waktu itu pada peringatan Waisak tahun 1959
dilakukan pentahbisan bhikkhu dan samanera11 dari Indonesia untuk pertama kali
dalam sejarah sejak kebangkitan kembali agama Buddha di Nusantara. Acara
perayaan Waisak dimulai dari persembahyangan yang diadakan di candi Mendut
kemudian melakukan prosesi berjalan kaki dengan membawa barang-barang
persembahan seperti bunga, lilin, dupa, bunga menuju ke candi Borobudur. Sesampai
di candi Borobudur melakukan puja pradaksina (mengelilingi stupa utama
Borobudur sebanyak tiga kali searah jarum jam) dan bermeditasi hingga melewati
detik-detik Waisak12.
Selain upacara ritual perayaan Waisak, ada berbagai kesenian masyarakat yang
digelar di seputaran candi Borobudur. Hal ini dikatakan oleh seorang non Umat
Buddha Mualim M Sukethi di laman blognya yang menceritakan Waisak pada tahun
1960-1970an.
“Ketika kecil, tahun 1960-70-an, saya termasuk anak yang selalu menanti-nanti perayaan Waisak. Saat itu pemahaman tentang perbedaan agama belummerasuk benak anak-anak. Sehingga saya bisa menerima perayaan Waisakseperti halnya menghadapi perayaan Lebaran Iedul Fitri. Dalam benak sayasaat itu, Waisak identik dengan perayaan alias pesta desa. Ada ribuan manusiaberkumpul, ada prosesi ribuan obor, ada upacara meriah, tontonan bermacam-macam kesenian, hingga berbagai jajanan di sekitar candi Mendut danBorobudur”. (http://borobudurlinks.blogspot.co.id/2012/06/rindu-Waisak-kultural.html diakses pada 13 Juni 2014)
Syamsudin Abdullah (1973: 36-37) mencatat bagaimana perayaan Waisak
2517 tahun 1973 dirayakan oleh umat Buddha di candi Mendut dan Pawon. Pada saat
11 Bhikkhu adalah pemuka agama Buddha atau dalam bahasa yang lebih umum disebut biksu danpanggilannya Bhante, sedangkan samanera adalah status sebelum menjadi bhikku atau calon bhikkhu.12 Jayamedho. 2011. Menapak Pasti Kisah Spiritual Anak Madura. Cenas: Jakarta hlm 90-92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3636
itu Waisak tidak dirayakan di candi Borobudur. Perayaannya terdiri dari pengambilan
air Waisak (air kramat) dari sumber “Umbul Tingal” yang tidak jauh dari candi
Mendut, kemudian dibacakan do’a Paritta oleh Bhikkhu dan disemayamkan untuk
dikeramatkan di candi Mendut. Pada hari Waisak ini para bhikkhu membaca paritta13
di dalam candi Mendut kemudian bersama-sama melakukan meditasi dan dilanjutkan
persembahyangan dengan pembacaan Paritta kembali. Selesai upacara di candi
Mendut para bhikkhu dan beberapa umat awam menuju candi pawon dan melakukan
upacara persembahyangan di candi Pawon. Sekitar 150 orang berbaris dari candi
Pawon dengan membawa bendera dan alat-alat musik tetabuhan berjalan melakukan
prosesi berjalan dengan kaki telanjang menuju candi Mendut14.
Barisan prosesi kemudian melakukan pradaksina mengelilingi candi Mendut
sebanyak tiga kali, lalu salah seorang Bhikkhu menyalakan lilin dan dupa sebagai
tanda dimulainya upacara kebaktian, sedangkan beberapa bhikkhu menuju bilik di
candi Mendut. Upacara dilanjutkan dengan pembacaan paritta-paritta sampai
datangnya detik-detik Waisak. Pada detik-detik Waisak umat dan bhikkhu melakukan
meditasi saat bulan purnama sempurna. Selesai bermeditasi, seorang bhikkhu yang
telah ditugaskan kemudian memberikan wejangan Dharma. Upacara dilanjutkan
dengan pemberkahan air keramat kepada para umat oleh para bhikkhu kemudian
upacara ditutup dengan menyembah patung Buddha dan para bhikkhu kembali ke
vihara Mendut.
13 Paritta adalah kalimat-kalimat perlindungan dalam bahasa Pali yang biasa dibaca pada saat umatBuddha khususnya aliran Theravada.14 Abdullah, Syamsudin. 1973. Perayaan Waisak 2517 di Candi Mendut. Perpustakaan Digital UINSunan Kalijaga: Jogjakarta Hlm. 37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3737
F. Waisak di Candi Borobudur: ‘ngontrak’ di rumah sendiri
Membicarakan Waisak Nasional di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
konteks ekonomi dan politik. Sebagai warga negara Indonesia, umat Buddha yang
jumlahnya tidak banyak juga ingin diakui eksistensinya oleh pemerintah. Demikian
juga masyarakat umat Buddha ingin memberikan sumbangsih dalam berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Jumlah penganut agama Buddha yang tidak banyak dan
tersebar di berbagai wilayah tentu menjadi kesulitan tersendiri dalam upaya
menunjukkan eksistensi di ranah nasional bagi umat Buddha.
Hari raya Waisak merupakan momentum penting bagi umat Buddha di
Indonesia baik secara spiritual maupun sosial kemasyarakatan Umat Buddha. Secara
spiritual Waisak menjadi momen suci untuk mengenang tiga peristiwa penting dalam
sejarah Sidharta Gautama untuk membangkitkan kesadaran diri umat Buddha. Secara
sosial Waisak merupakan momentum umat Buddha untuk berkumpul dan
menunjukkan eksistensi di Indonesia.
Di Indonesia sendiri Waisak diakui sebagai satu-satunya hari suci dalam
agama Buddha dan dijadikan sebagai hari libur nasional sejak tahun 1983
berdasarkan Keppres No. 3/1983. Hal ini adalah hasil lobi para pemuka umat Buddha
kepada pemerintah hingga sehingga menjadikan hari Waisak sebagai hari libur
nasional. Hari raya Waisak menjadi sejajar dengan hari raya agama lain. Edij
Juanghari (2016: 278) menyatakan “Keputusan ini tidak hanya meningkatkan
kemantapan peribadatan umat Buddha, tetapi juga menghapuskan hambatan
psikologis hidup keagamaan”. Hal ini menunjukkan betapa berharganya pengakuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3838
pemerintah atas eksistensi umat Buddha dengan dijadikannya hari raya Waisak
sebagai hari libur.
Keberadaan Borobudur yang penuh dengan filosofi ajaran Buddha menjadi
tempat yang tepat bagi umat Buddha untuk merayakan Waisak. Bagi sebagian umat
Buddha merayakan Waisak jika belum dirayakan di candi Borobudur belum terasa
merayakan Waisak. Setidaknya itulah yang diungkapkan Jeffry Cin (25 tahun) umat
Buddha asal Tegal yang bersedia diwawancarai dia mengatakan:
“tidak peduli soal KASI atau WALUBI15 pokoknya kalau belum Waisakan diBorobudur belum afdol”.
Demikian juga dituturkan oleh Pak Kamto umat Buddha dari Kalimanggis Kaloran
Temanggung yang setiap tahunnya selalu hadir di candi Borobudur untuk merayakan
Waisak:
“pokoknya kalau belum Waisakan di Borobudur rasanya belum manteb,sampai kapanpun harus tetap diadakan Waisakan di Borobudur”
Demikianlah candi Borobudur bagi masyarakat Umat Buddha begitu penting
artinya dalam perayaan Waisak. Hal ini tentu saja tidak lepas dari kebiasaan yang
telah dibangun dalam kurun waktu yang lama oleh para penganut agama Buddha
sejak dahulu. Iem Brown (dalam Ramsted, 2005:53) mengatakan:
“For all Umat Buddhats, Borobudur functions as a central icon, a Kiblatperhaps, to borrow a religious term from the Muslim community: a placetowards which one’s spiritual energies are directed”.
Di sisi lain candi Borobudur sebagai candi Buddha terbesar dan merupakan
tempat sakral bagi umat Buddha bukanlah milik umat Buddha. Candi Borobudur
telah dikelola oleh negara dan korporasi. Komodifikasi candi Borobudur jelas
15 Persoalan tentang siapa KASI dan WALUBI akan secara detail di bahas dalam bab selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3939
merupakan hal yang tak terhindarkan. Keberadaan even Waisak tiap tahunnya hanya
dijadikan pasar pariwisata yang diharapkan menarik wisatawan. Tidak ada privelege
atau perlakuan khusus bagi ‘tuan rumah’ candi Borobudur ini.
Umat Buddha tidak pernah secara gratis menggunakan candi Borobudur. Umat
Buddha tetap harus membayar layaknya wisatawan biasa. Dalam beberapa
kesempatan memang mungkin ada potongan-potongan harga namun tetap saja,
peserta dihitung per kepala untuk setiap tiket. Setidaknya demikianlah pengalaman
penulis sewaktu terlibat menjadi panitia kegiatan-kegiatan keagamaan Buddha yang
memanfaatkan candi-candi Umat Buddha. Dalih ‘biaya perawatan’ candi Borobudur
yang mahal dan pertanyaan ‘apa sumbangsih umat Buddha pada candi Borobudur”
seringkali menjadi senjata yang menghegemoni umat Buddha yang akhirnya harus
legawa membayar biaya ‘ngontrak’ candi Borobudur.
Kalau dilihat sekilas signifikansi pendapatan dari sektor pariwisata candi
Borobudur pada hari Waisak cukup tinggi. Bayangkan saja jika di hari-hari biasa,
pengunjung candi Borobudur berkisar antara 1.000 - 2.000 pengunjung dan
meningkat di hari-hari libur, tetapi di hari Waisak bisa mencapai 20.000-an
pengunjung yang terdiri dari umat Buddha yang akan beribadah Waisak dan
pengunjung lain yang ingin menyaksikan kemeriahan perayaan Waisak. Dampak
lainnya adalah aktifitas perhotelan yang meningkat tajam, hotel-hotel sekitar Candi
Mendut dan Borobudur telah dipesan oleh wisatawan ludes dalam beberapa hari
menjelang Waisak. Bukan hanya hotel saja tetapi juga homestay dan rumah-rumah
penginapan penduduk yang seringkali dipesan oleh panitia Waisak untuk menginap
para relawan perayaan Waisak Nasional. Juga tentu saja adalah penduduk sekitar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4040
memanfaatkan momentum ini untuk menjadi agen perjalanan, makanan, souvenir,
dan barang komoditi lainnya. Bahkan tarif parkir dari Rp. 2000,00 yang tertulis di
karcis resmi terpaksa dicoret dan dinaikkan Rp. 5.000,00 oleh tukang parkir dadakan.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sekitar memandang perayaan Waisak
sebagai ‘rejeki’ tahunan yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan ekonomi
masyarakat.
Sebagai tempat wisata yang mendunia candi Borobudur merupakan magnet
uang bagi negara Indonesia, apalagi didukung dengan event-event religi seperti
perayaan Waisak jelas merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik domestik
maupun mancanegara. Kebijakan pengelola Taman Wisata Candi Borobudur yang
tidak menutup Candi Borobudur untuk memberikan kesempatan kepada umat Buddha
melakukan ibadah Waisak tersendiri menjadikan ibadah Waisak di candi Borobudur
campur aduk dengan wisata. Hal ini membuat suasana Waisak jauh dari sakral. Sudah
merupakan hal yang jamak umat Buddha mengeluhkan ketidaksakralan Waisak di
candi Borobudur. Ibadah di candi Borobudur bukan lagi sebagai aktivitas relijius
yang bermanfaat besar bagi perkembangan spiritualitas umat Buddha namun justru
menjadi tontonan wisatawan candi Borobudur.
Dari segi politik nasional, Waisak Nasional di candi Borobudur adalah ajang
pertemuan petinggi-petinggi negara baik Presiden, Wakil Presiden, Menteri Agama,
Gubernur dan pejabat-pejabat lainnya dengan tokoh-tokoh agama Buddha Indonesia
baik para rohaniwan bhikkhu dan pandita16, maupun para pengusaha-pengusaha Umat
16 Para pemuka agama Indonesia, Bhikkhu merupakan kelompok pemuka dari komunitas pertapa danpandita merupakan pemuka dari komunitas umat Buddha awam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4141
Buddha kerena penyelenggaraan Waisak tidak bisa dilepaskan dari biaya yang
dikeluarkan oleh para donator terutama para pengusaha. Acara Dharmasanti Waisak
menjadi bagian perayaan Waisak untuk mengakomodasi pertemuan ini. Dalam acara
Dharmasanti inilah pemerintah dapat mengetahui bagaimana kondisi masyarakat
Umat Buddha.
Sebagai kelompok kecil kehadiran negara melalui pejabat-pejabat penting
merupakan sebuah penghargaan negara atas eksistensi umat Buddha. Waisak adalah
even nasional umat Buddha sebagai ajang strategis untuk memperkenalkan
keberadaan umat Buddha. Oleh karenanya, meskipun candi Borobudur sudah
dikomodifikasi sedemikian rupa bagi komunitas umat Buddha tetaplah merupakan
simbol penting bagi penyelenggaraan Waisak Nasional.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4242
BAB III
KOMPLEKSITAS MASALAH PENYELENGGARAAN PERAYAAN
WAISAK NASIONAL CANDI BOROBUDUR
Sebelum kita membicarakan lebih jauh tentang masalah perayaan Waisak di
Candi Borobudur, ada baiknya kita perlu memahami seperti apa komunitas umat
Buddha di dunia dan di Indonesia. Hal ini penting untuk memetakan permasalahan
Waisak di Indonesia, karena ritual Waisak erat kaitannya dengan komunitas mana
yang melakukan ritual Waisak. Di Indonesia khususnya, komunitas-komunitas umat
Buddha sejak tahun 1979 tergabung dalam satu wadah yaitu WALUBI. Sebagai
wadah pemersatu umat Buddha Indonesia yang saat ini mempunyai kewenangan
besar menyelenggarakan Waisak di Borobudur, WALUBI mengakomodir ritual-ritual
Waisak dalam berbagai komunitas tersebut.
Untuk itu dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal yakni komunitas umat
Buddha dunia yang dibagi dengan mengacu pada konsep-konsep keagamaannya,
komunitas-komunitas umat Buddha yang tumbuh dan ada di Indonesia serta
bagaimana umat Buddha Indonesia memaknai dan merayakan Waisak di Candi
Borobudur dari zaman ke zaman.
A. Memahami Komunitas Agama Buddha Dunia dan Indonesia
Agama Buddha tumbuh dan berkembang di India pada abad ke 6 Sebelum
Masehi. Kemunculannya ditandai dengan lahirnya Sidharta Gautama. Sidharta
Gautama hidup dalam tradisi Veda dan Brahmanisme yang kental di India dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4343
kemudian menemukan pencerahan dengan sebutan Buddha. Pencerahan Sidharta
Gautama kemudian diajarkan kepada pengikut-pengikutnya dan kemudian
terlembaga menjadi agama Buddha yang kita kenal saat ini.
Pengikut ajaran Buddha terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan cara
hidupnya yaitu kelompok awam disebut Gharavassa dan kelompok pertapa yang
disebut Pabbajjita. Yang membedakan secara mencolok kedua kelompok itu adalah
cara penghidupannya. Kelompok Gharavassa adalah para perumah tangga yang
menjalani hidup sebagai umat awam baik berkeluarga maupun tidak berkeluarga dan
berpedoman pada ajaran-ajaran Buddha. Sedangkan Pabbajjita adalah para pertapa
yang hidup secara selibat, memisahkan diri dengan kehidupan duniawi,
memfokuskan diri pada pelatihan spirituanl dan kebutuhan kehidupannya disokong
oleh umat awam. Para pabbajjita ini diikat dengan peraturan-peraturan dan hidup
dalam komunitas yang disebut Sangha. Bagi umat Buddha, para pabbajjita inilah
yang menjadi guru (pemuka agama) yang akan diikuti nasihat dan disokong
kehidupannya sebagai bentuk penghormatan.
Dalam perkembangannya selama lebih dari 2600 tahun, ajaran Buddha telah
mengalami berbagai perkembangan ajaran terutama dalam hal pendekatan
pemahaman terhadap ajaran Buddha. Pada saat Buddha Gautama masih hidup,
pengajaran Dharma langsung dari Buddha Gautama sehingga tidak banyak terdapat
perbedaan pemahaman. Namun sejak wafatnya Buddha Gautama mulai terdapat
perbedaan-perbedaan pemahaman. Pengikut ajaran Buddha kemudian terbagi dalam
18 aliran skolastik dengan Sthaviravada dan Mahasanghika sebagai aliran skolastik
yang paling besar dan bertahan. Sthaviravada dan Mahasanghika ini yang menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4444
cikal bakal terbentuknya dua aliran besar dalam agama Buddha yaitu Theravada dan
Mahayana. Mahayana sendiri setelah berkembang beberapa lama juga terbagi
menjadi beberapa aliran salah satu yang terbesar adalah Tantrayana17.
Sekarang secara sederhana agama Buddha dapat digolongkan menjadi tiga
aliran besar. Kata ‘aliran’ dalam wacana agama Buddha dipahami sinonim dengan
kata ‘sekte’, ‘tradisi’ dan ‘mahzab’. Terdapat tiga aliran agama Buddha di dunia ini
yaitu Mahayana, Theravada dan Tantrayana atau Vajrayana. Di Indonesia ketiga
aliran tersebut hidup dan mewarnai perkembangan agama Buddha utamanya setelah
terdapat bhikkhu-bhikkhu ditahbiskan dan berafiliasi dengan komunitas bhikkhu
baik Srilanka, Thailand, Birma maupun di China.
A.1 Theravada
Theravada berasal dari dua kata Thera yang berarti tua atau sesepuh, dan
ovada yang berarti ajaran, jadi Theravada adalah ajaran para sesepuh. Ciri ajaran dari
aliran ini sangat konservatif dan mendasarkan pada kitab Tipitaka berbahasa Pali.
Sebuah bahasa dialek yang diyakini digunakan pada masa Buddha Gautama. Bagi
penganutnya Theravada sering dianggap sebagai aliran yang paling mendekati dengan
yang diajarkan oleh Buddha Gautama. Aliran Theravada berkembang dari India ke
Sri Lanka, Thailand, Myanmar (Birma), Laos dan Kamboja. Theravada menekankan
pencapaian tujuan akhir umat Buddha ‘Nirvana’ melalui praktik Sila (moralitas),
Samadhi (meditasi), dan Pannya (kebijaksanaan).
17 Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis agama BuddhaMahayana Indonesia hlm 81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4545
Liturgi upacara ritual baik dalam ritual rutin maupun hari raya dalam aliran
Theravada menggunakan Paritta berbahasa Pali. Paritta merupakan kalimat-kalimat
pemujaan yang diucapkan umat Buddha aliran Theravada sebagai sarana untuk
memperoleh perlindungan dan ketenangan. Ritual pemujaan ditujukan kepada
Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha). Dalam ritual-ritual Waisak di Candi
Borobudur ritual dari aliran Theravada ini paling sering dipakai.
Di Indonesia aliran ini berkembang ketika para Theosof pada tahun 1932
mengundang Bhikkhu Narada Mahathera dari Sri Lanka untuk mengajarkan ajaran
Buddha. Bhikkhu Narada yang merupakan bhikkhu aliran Theravada menginspirasi
penganut ajaran Buddha untuk menjadi Bhikkhu dan mempelajari agama Buddha
aliran Theravada baik dari negara Thailand maupun Birma. The Boan An adalah
orang umat Buddha Indonesia pertama yang menjadi Bhikkhu Theravada. The Boan
An kemudian menginspirasi penganut Umat Buddha Indonesia dan mendirikan
beberapa organisasi Umat Buddha termasuk Sangha beraliran Theravada.
Aliran Theravada di Indonesia saat ini diikuti oleh beberapa organisasi baik
organisasi kebhikkhuan (Sangha) maupun organisasi umat awam. Organisasi
kebhikkhuan (sangha) aliran Theravada di Indonesia yaitu: Sangha Theravada
Indonesia (STI). Sedangkan organisasi umat awam yang mengikuti aliran Theravada
antara lain Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI), Majelis
Umat Buddha Theravada Indonesia (MAJUBUTHI), Majelis Mahanikaya Indonesia
(Dhammakhaya).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4646
A.2 Mahayana
Mahayana berasal dari kata Maha (besar) dan Yana (jalan, seringkali juga
diterjemahkan sebagai kendaraan), jadi Mahayana dipahami sebagai jalan/kendaraan
besar. Aliran ini berciri progresif dalam menafsirkan ajaran Buddha sehingga banyak
muncul perbedaan antara kelompok satu dengan yang lainnya dalam hal-hal yang
bukan esensi pokok dasar agama Buddha. Mahayana mendasarkan ajarannya pada
Tripitaka berbahasa Sanskerta, namun karena perkembangannya ke wilayah Asia
timur seperti China, Taiwan, Jepang, dan Hongkong maka sekarang bahasa yang
sering dipakai dan lebih populer adalah bahasa Mandarin. Mahayana mendasarkan
ajaran pada pencapaian tujuan akhir umat Buddha ‘Nirvana’ melalui jalan
Bodhisattva dengan mengembangkan prajna (kebijaksanaan) dan karuna (kasih
sayang). Liturgi ritual ritual harian maupun pada saat hari raya dengan mendaraskan
sutra, mantra, dharani sebagai pemujaan terhadap berbagai Buddha, Bodhisattva18
sebagai sarana untuk memperoleh berkah dan keselamatan.
Di Indonesia aliran Mahayana dibawa oleh orang-orang keturunan Tionghoa.
Para ahli sejarah menyatakan Umat Buddhame Nusantara dahulu kala adalah
bercirikan aliran Mahayana. Namun Mahayana yang sekarang berkembang di
Indonesia lebih banyak bercirikan Asia timur yang sangat dekat dengan kebudayaan
China dan menggunakan tata ritual bahasa Mandarin. Aliran mahayana dapat
ditemukan dalam organisasi-organisasi Umat Buddha Indonesia seperti organisasi
bhikkhu Sangha Mahayana Indonesia (SMI), organisasi umat awam seperti Majelis
18 Makhluk-makhluk yang beraspirasi menjadi Buddha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4747
Umat Buddha Mahayana Indonesia (MAJABUMI), Majelis Mahayana Buddha
Indonesia (MAHABUDHI), Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia Tanah Suci
(MAJABUMI TANAH SUCI), Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia
(MAJUBUMI), Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (TRIDHARMA).
A.3 Tantrayana atau Vajrayana
Tantrayana berasal dari kata Tantra yang berarti rahasia (esoteric), dan Yana
berarti jalan. Jadi Tantrayana adalah salah satu aliran dalam agama Buddha yang
pengajarannya bersifat rahasia (esoteric). Tantrayana di Tibet dikenal dengan sebutan
Vajrayana. Tantrayana sebenarnya merupakan perkembangan dari Mahayana karena
mendasarkan ajaran pada pencapaian tujuan akhir melalui jalan Bodhisattva namun
berbeda secara metode karena menekankan ketaatan pada guru spiritual dan
pengajaran yang bersifat rahasia. Disebut rahasia karena masing-masing pengikut
aliran ini harus diinisiasi oleh guru spiritual / guru akar (root guru) dan menerima
pengajaran dengan metode sesuai dengan panduan guru spiritual. Dalam praktik
ritualnya aliran Tantrayana menekankan pada pelafalan sutra dan mantra sehingga
seringkali juga disebut aliran mantrayana.
Aliran tantrayana di Indonesia diikuti oleh organisasi-organisasi Umat
Buddha seperti Majelis Kasogatan, Majelis Umat Buddha Tantra Indonesia
(MAJUBUDTI), Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia
(MADANTANTRI), Majelis Agama Buddha Tantrayana Zen Fo Zhong Indonesia
(KASOGATAN ZEN FO ZHONG). Untuk organisasi Bhikkhu (sangha) Tantrayana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4848
di Indonesia belum terbentuk meskipun sudah banyak bhikkhu-bhikkhu dari aliran
Tantrayana di Indonesia.
Pada dasarnya ketiga aliran besar dalam agama Buddha tersebut berbeda
dalam penekanan ajaran dan metode pencapaian tujuan akhir (Nibbana/Nirvana19).
Ketiga aliran dipersatukan dengan pokok-pokok pengajaran yang telah disepakati
oleh Persatuan umat Buddha Dunia, World Fellowship of Umat Buddhat (WFB) tahun
1950. Pokok-pokok ajaran yang dimaksud adalah:
1. Tujuan agama Buddha adalah menghapuskan ketidaktahuan (avidya) dan
mencapai akhir penderitaan (Nirvana)
2. Buddha Sakyamuni sebagai Guru Agung dari para Dewa dan Manusia yang
telah menunjukkan jalan untuk membebaskan diri dari derita (dukkha)
3. Alam semesta dikuasai oleh hukum Trilaksana (Tilakkhana)
4. Hukum Paticca Samuppada (Pratitya Samutpada)
5. Catur Ariya Satyani (Ariya Sacca 4)
6. Hukum Karma (Kamma) dan kelahiran kembali (Punarbhava).
Terdapat usaha dan pemikiran untuk mempersatukan ketiga aliran agama
Buddha sejak tahun 1885, misalnya dengan diciptakannya lambang-lambang yang
dapat mempersatukan aliran Buddha seperti Bendera Umat Buddha Internasional oleh
H.S. Olcott dan Y.A. Sumanggala dari Sri Lanka. Selain lambang-lambang Umat
Buddha juga terdapat majalah Internasional “The Middle Way” sebagai media
19 Nibbana (bahasa Pali), Nirvana (bahasa Sanskerta)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4949
pemikiran bersama baik oleh Theravada, Mahayana dan Tantrayana (Tim Penyusun,
2003: 72).
Di Indonesia gerakan mempersatukan ini terlembaga dalam gerakan
Buddhayana (jalan Buddha), sebagai gerakan non sekte yang diprakarsai oleh
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita bhikkhu pertama dari Indonesia. Pemikiran Buddhayana
melembaga dalam organisasi Bhikkhu yaitu Sangha Agung Indonesia (SAGIN)
dimana para anggotanya berasal dari tiga aliran Buddha, sedangkan organisasi umat
awam yaitu Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), Wanita Buddhayana Indonesia
(WBI), Persatuan Pemuda Vihara Buddhayana Indonesia (PMVBI). Ketiganya
bersatu dalam wadah Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI).
Selain aliran Theravada, Mahayana dan Tantrayana, di Indonesia juga
berkembang aliran Maitreya dan aliran Nichiren. Kedua aliran ini termasuk aliran
kontroversial dalam agama Buddha. Sebenaranya keduanya adalah bagian dari Umat
Buddhame Mahayana namun terdapat perbedaan mendasar dari ajaran Buddha
terutama terkait dengan pemujaan terhadap Buddha. Dalam keputusan WFB, salah
satu kriteria aliran Buddha adalah pemujaan terhadap Buddha Sakyamuni sebagai
guru agung. Namun kedua aliran ini tidak memuja Buddha Sakyamuni namun
mempunyai sosok Buddha tersendiri sehingga aliran ini sering disebut aliran yang
kontroversial.
Aliran Maitreya sebenarnya adalah aliran Buddha yang berkembang pada
abad ke 2 Masehi di India namun berkembang pesat di Taiwan. Aliran ini berciri
pemujaan terhadap Buddha Maitreya (Mi Le Fo), sedangkan bagi tiga aliran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5050
mainstream Umat Buddha, Buddha Maitreya bukanlah Buddha namun baru
merupakan Calon Buddha di masa mendatang (Bodhisattva). Buddha Maitreya
disimbolkan dengan patung bertubuh gemuk dengan wajah tertawa lepas. Buddha
Maitreya oleh penganut aliran Maitreya dipercaya pernah lahir sebagai seorang
Bhiksu pada masa dinasti Tang akhirnya (907-1060) bernama Qici. Postur tubuhnya
yang tinggi, gendut dan ia memikul sebuah kantong kain besar dengan tongkat kayu
sambil berkelana . jika ada yang mendermakan barang untuknya ia memasukkannya
ke dalam kantong sembari tertawa lebar. Dan orang memanggilnya Bhiksu Badai.
Bagi penganut aliran Maitreya mereka meyakini jika melakukan praktik Dharma
disertai dengan pelafalan mantra rahasia dari Pandita Maitreya akan dapat
memperoleh tujuan akhir.
Sama halnya dengan aliran Maitreya, aliran Nichiren juga dianggap
kontroversial karena pemujaan utama adalah kepada Nichiren Daisonin. Aliran ini
berasal dari Jepang, dan sering dianggap sebagai bagian dari aliran Mahayana karena
dasar ajaran aliran ini adalah kitab Buddha Mahayana Saddharma Pundarika Sutra.
Daisonin dianggap sejajar dengan Buddha Sakyamuni Di Indonesia aliran Maitreya
tergabung dalam organisasi Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
(MAPANBUMI), sedangkan aliran Nichiren tergabung dalam tiga organisasi yaitu
Sokka Gakai Indonesia, Majelis Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia
(MNSBDI) dan Parisadha Buddha Dharma Nichiren Sosyu Indonesia (PBDNSI).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5151
B. WALUBI, Wadah Pemersatu Komunitas Umat Buddha Indonesia
Telah diuraikan sebelumnya bahwa Agama Buddha di dunia jika
dikelompokkan menurut tradisi atau alirannya terdapat tiga aliran yaitu Theravada,
Mahayana dan Tantrayana. Di Indonesia ketiga aliran dapat kita jumpai baik
komunitas bhikkhu maupun umat awam. Pada awal perkembangan agama Buddha di
Indonesia memang belum mengarah pada aliran, namun kehadiran bhikkhu Narada
dari Srilanka yang beraliran Theravada menjadi tonggak dikenalkannya aliran-aliran
dalam Buddhisme di Indonesia. Setelah kehadiran bhikkhu Narada dan menahbiskan
upasaka-upasika serta bhikkhu maka banyak yang juga turut belajar aliran Mahayana
dan Vajrayana ke luar negeri.
Di masa Orde Baru, pemerintah mencanangkan kebijakan Trilogi
pembangunan, yaitu tiga upaya pemerintah dalam rangka menciptakan keteraturan
pasca tumbangnya orde lama. Trilogi Pembangunan tersebut yakni stabilitas nasional
yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya. Kebijakan ini berdampak juga terhadap persoalan keagamaan20.
Stabilitas nasional juga dimaknai dengan penyederhanaan organisasi
kemasyarakatan baik yang berbasis politik, agama maupun ekonomi. Terkait agama,
hal ini berdampak pada upaya penyederhanaan kelompok-kelompok agama menjadi
satu wadah yang bisa dikontrol oleh pemerintah. Ini dimaksudkan terutama terkait
20 Tumbangnya Orde Lama dengan ditandai lengsernya presiden Soekarno dan naiknya Soehartomenjadi presiden menjadi tonggak sejarah baru Indonesia dan dikenal dengan Orde Baru. Lengsernyakepemipinan presiden Soekarno dibarengi dengan kondisi politik yang tidak stabil terutama denganmunculnya isu pemberontakan oleh PKI pada tahun 1965. Upaya pembersihan ideologi komunisdilakukan dengan berbagai cara. Dugaan saya organisasi-organisasi yang tumbuh pada umat Buddhasaat itu juga discreening dalam rangka mencegah tumbuhnya ideologi komunis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5252
aliran-aliran keagamaan yang banyak berkembang di Indonesia. Aliran-aliran ini
harus dikontrol supaya tidak disusupi oleh ideologi-ideologi yang tidak sejalan
dengan kemauan pemerintah.
Agama Buddha yang terbagi dalam aliran-aliran dan kelompok organisasi
pada waktu itu diminta untuk dapat memberikan kriteria yang jelas sehingga tidak
bisa disusupi oleh aliran-aliran keagamaan yang semakin banyak. Untuk itulah para
tokoh umat Buddha mengadakan konggres untuk menentukan kriteria tersebut. Hal
ini diungkapkan dalam Biografi Bhikkhu Jayamedho “Menapak Pasti, Kisah
Spiritual Anak Madura” yang diterbitkan Cennas tahun 2011. Dalam buku itu
Bhikkhu Jayamedho yang dahulu adalah umat awam bernama Herman E Endro
menuturkan:
“Pada suatu hari di tahun 1976 dipanggilah beberapa tokoh umat UmatBuddha non-Bhikkhu dari berbagai mahzab ke rumah Wakil Kepala BadanIntelejen Negara (Wakabakin) Mayor Jendral Roedjito di kawasan PermataHijau, Jakarta. Dalam pertemuan itu Roedjito bertanya tentang bagaimanasebaiknya melindungi agama Buddha dari unsur-unsur luar yang bisamenganggu stabilitas nasional. Pemerintah kurang paham tentang agamaBuddha di belahan dunia sehingga memerlukan banyak informasi, katanya.Suatu hari akan datang berbagai sekte baik dari dalam maupun luar negeriyang menggunakan label Buddha. Untuk menentukan mana yang ajaranBuddha dan mana yang bukan agama Buddha perlulah dipikirkan. Roedjitoterangnya meminta: tolong umat Buddha itu memformulasi mana yang agamaBuddha dan mana yang bukan agama Buddha!Rombongan beradu pandang dalam situasi kebingungan mendengarpermintaan tersebut, saya kemudian membuka suara mengawali jawaban yangdiminta Wakabakin: Pak, di ranah internasional sudah ada kesepakatan, yangdisebut agama Buddha itu kalau memiliki ciri-ciri tertentu. Kalau ciri-ciritertentu itu tidak ada, boleh dikatakan bukan sebagai agama Buddha”(Jayamedho, 2011:154)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5353
Pada tahun 1978 tepatnya tanggal 7-8 Mei 1978 tokoh-tokoh umat Buddha
Indonesia menyelenggarakan sebuah kongres di Yogyakarta yang dihadiri oleh
perwakilan-perwakilan organisasi baik organisasi bhikkhu (Sangha) maupun
organisasi umat awam (majelis). Pada saat itu terbentuk wadah pemersatu organisasi
umat Buddha yaitu WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia).
WALUBI sebagai wadah pemersatu umat Buddha yang didalamnya terdapat
berbagai macam aliran dan organisasi tentu merupakan persoalan yang tidak mudah
dalam mempersatukan. Apalagi terdapat pandangan-pandangan bahwa aliran tertentu
dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai aliran Buddha semakin menambah
persoalan. Masing-masing aliran mempunyai penekanan doktrin dan liturgi yang
berbeda sehingga dalam mempersatukan terutama dalam konteks ritual Waisak akan
sangat menyulitkan.
Menurut Jayamedho pendirian WALUBI memang banyak diwarnai dengan
berbagai perdebatan, terutama terkait kriteria-kriteria mana aliran agama Buddha dan
mana yang bukan aliran agama Buddha. Kriteria-kriteria yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan organisasi Umat Buddha internasional World Umat Buddhat Sangha
Council (WBSC) mengancam eksistensi kelompok-kelompok Umat Buddhat yang
dianggap tidak sesuai dengan kriteria seperti aliran “Maitreya” dan “Nichiren Sosyu”.
“Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) didirikan juga sebetulnyadalam situasi ketegangan antar sekte yang tengah memanas ...Pergolakan internal WALUBI seakan tidak pernah putus karena adanya faktoreksistensi dan kemajemukan agama Buddha. Pihak penguasa lebih condongpemikiran masyarakat Islam yang kurang adanya sinkretisme ataupunpenyimpangan ajaran dari sumber aslinya. Seperti halnya Muhammadiyahmencantumkan dalam anggaran dasarnya: Kembali pada kemurnian Islam”.(Jayamedho, 2011: 163)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5454
Dalam pernyataan Jayamedho di atas nampak bahwa upaya penyeragaman
pemerintah dalam hal ini melalui WALUBI yang juga terkait dengan puritanisme
menjadi titik masalah antar kelompok dalam internal WALUBI yang saling
mempunyai kepentingan untuk eksis. Penerapan kriteria mana yang aliran Buddha
mana yang bukan dapat mengancam eksistensi aliran tertentu seperti Maitreya dan
NSI.
Namun dalam perkembangannya WALUBI bukan lagi bersifat sebagai
lembaga yang dapat menentukan mana yang masuk Buddha mana yang bukan.
WALUBI lebih berfungsi sebagai lembaga pemersatu, wadah komunikasi untuk
mengakomodasi semua aliran Buddha yang ada sehingga menjadi rukun dan dapat
melakukan kegiatan bersama. Hal ini tercermin dari organisasi-organisasi yang
tergabung dalam WALUBI yakni:
1. Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDDHI) yang
kemudian berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia
(MAGABUDHI).
2. Majelis Buddha Mahayana Indonesia (MAJABUMI)
3. Majelis Dharma Duta Kasogatan (KASOGATAN).
4. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
5. Majelis Rokhaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA).
6. Majelis Umat Buddha Indonesia (MUABI) yang kemudian berubah nama
menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI)
7. Majelis Nichiren Shoshu Indonesia (MNSI)
8. Sangha Theravada Indonesia (STI).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5555
9. Sangha Mahayana Indonesia (SMI).
10. Sangha Agung Indonesia (SAGIN).
Kepengurusan WALUBI dibentuk setiap 4 tahun sekali dan diputuskan dalam
kongres untuk menentukan kepengurusan ketua umum, wakil ketua umum, sekretaris
jendral, dewan pembina, ketua harian, vidyeka sabha. Dalam kongres itu para ketua-
ketua organisasi yang tergabung dalam WALUBI memilih wakil-wakil yang akan
duduk dalam kepengurusan WALUBI. Sangha-Sangha yang ada ditempatkan sebagai
dewan fatwa yang menjadi rujukan pengajaran agama Buddha.
WALUBI sebagai organisasi pemersatu umat Buddha Indonesia dipimpin
oleh tokoh umat Buddha yang dipilih dalam suatu konggres. Pada awal-awal
perkembangan agama Buddha terutama pada saat belum banyaknya tokoh-tokoh
Bhikkhu di Indonesia, organisasi WALUBI dipimpin oleh umat awam. Namun
setelah muncul tokoh bhikkhu maka yang terpilih menjadi ketua umum adalah
bhikkhu. Hal ini tidak lepas dari pandangan masyarakat Umat Buddha bahwa
bhikkhu dipandang sebagai pribadi yang mempunyai kualitas lebih berkenaan dengan
agama Buddha. Bhikkhu Girirakhito dari Sangha Theravada Indonesia sempat
memimpin organisasi WALUBI ini dalam tiga periode yakni sejak 1986-1998
sebelum akhirnya WALUBI bubar. Sebelumnya WALUBI dipimpin oleh umat awam
yakni Suparto HS satu periode (1978-1982), dan Brigjend Soemantri satu periode
(1982-1986). Bhikkhu Girirakhito (tahun 1986-1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5656
C. Kemelut WALUBI: munculnya KASI dan WALUBI “baru”
Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) melakukan beberapa kali
kongres untuk memilih ketua umum baru serta melakukan perubahan AD/ART.
Dalam kurun waktu 20 tahun WALUBI melakukan pergantian ketua umum sebanyak
tiga kali yaitu Suparto Hs (1978-1982), Drs. Soemantri (1982-1986), Bhikkhu
Girirakhito (tahun 1986-1998). Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa
pembentukan WALUBI tidak lepas dari masalah terutama karena perbedaan pendapat
organisasi-organisasi yang ada di dalamnya. Masalah-masalah seperti penetapan
kriteria agama Buddha yang mengancam eksistensi majelis tertentu dan masalah kode
etik antar majelis menjadi dinamika organisasi WALUBI.
Kemelut dalam tubuh WALUBI mulai menguat ketika terjadi dualisme
rancangan AD/ART. Akibat adanya dualisme AD/ART ini sempat terjadi pelaporan
kepada kepolisian terhadap beberapa orang dari Buddhayana dan Tri Dharma bahkan
. beberapa dari mereka juga sempat mengalami siksaan fisik. Dari peristiwa itu,
beberapa kelompok juga dikeluarkan dari keanggotaan WALUBI yaitu SAGIN dan
MBI (Edij Juanghari, 2016: 281). Pada Konggres WALUBI ke III SAGIN dan MBI
diminta untuk bergabung kembali ke WALUBI namun tidak bersedia bahkan
beberapa organisasi lain menyatakan keluar dari WALUBI seperti Sangha Theravada
Indonesia (STI), Sangha Mahayana Indonesia (SMI) dan MAGABUDHI dan
MATRISIA. Pada tanggal 6 November 1998 pada Munas III WALUBI
membubarkan diri.
Sebelum bubarnya WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) telah
muncul “WALUBI baru” yang merupakan singkatan dari Perwakilan Umat Buddha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5757
Indonesia. Menurut AD/ART WALUBI baru ini mereka berdiri pada tanggal 20
Agustus 1998 berdasarkan atas Konsensus Nasional Umat Buddha Indonesia dengan
ketua umum Siti Hartati Murdaya. Jadi tampaknya memang ada usaha dari segelintir
kelompok dalam WALUBI lama yang sudah merencanakan membuat organisasi
pengganti sehingga ketika organisasi WALUBI lama dibubarkan mereka sudah
mempunyai WALUBI baru. Anggota WALUBI baru sebagian berasal dari anggota-
anggota WALUBI lama.
Organisasi-organisasi yang tidak tergabung dengan WALUBI baru kemudian
mendirikan organisasi nasional KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) yang
terdiri dari Sangha Theravada Indonesia (STI), Sangha Mahayana Indonesia (SMI),
Sangha Agung Indonesia (SAGIN) pada tanggal 14 November 1998. Tidak lain
mereka sesungguhnya juga adalah para pendiri WALUBI lama namun menjadi
tersingkir dari pusaran kekuasaan WALUBI setelah makin kuatnya pengaruh Hartati
Murdaya. Organisasi lain yakni MAGABUDHI, MAJABUMI, MBI dan MATRISIA
kemudian juga ikut bergabung dalam KASI.
KASI secara keanggotaan sangat kuat dibandingkan WALUBI lama karena
Sangha dan Majelis tergabung dalam wadah ini. Selain itu organisasi yang tergabung
dalam KASI ini mempunyai basis pengikut di Indonesia yang cukup besar. Secara
kultural organisasi-organisasi ini juga mempunyai pengetahuan dan pengalaman
keagamaan yang kuat sehingga cukup dapat menjadi representasi Umat Buddhame.
Sedangkan WALUBI baru didukung oleh organisasi awam seperti
MAPANBUMI, MNSI, dan KASOGATAN. Seperti telah diuraikan sebelumnya
bahwa MAPANBUMI dan MNSI adalah beraliran Maitreya dan Nichiren Sosyu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5858
sering dianggap ‘kurang umat Buddhistik’ karena tidak memenuhi kriteria agama
Buddha seperti yang telah ditetapkan oleh World Buddhist Sangha Council (WBSC).
Bahkan Nichiren Sosyu pernah dikeluarkan dari WALUBI pada masa dominasi
kelompok aliran mainstream Umat Buddha terutama dari Theravada memegang
peranan di WALUBI. Sehingga secara kultural organiasasi-organisasi ini kurang
dapat mewakili Umat Buddha. Untuk itu WALUBI baru juga membentuk organisasi
aliran Theravada, Mahayana dan Tantrayana organisasi bentukan baru tersebut
adalah: MAJUBUTHI (Theravada), MAHABUDHI (Mahayana), MAJABUMI
TANAH SUCI (Mahayana), PSBDI (Nichiren), MADHATANTRI (Tantrayana),
KASOGATAN ZEN FO ZHONG (Tantrayana). Sedangkan komunitas Bhikkhu tidak
ada namun WALUBI mendirikan Dewan Sangha WALUBI yang berisi bhikkhu-
bhikkhu baik dari Theravada, Mahayana maupun Tantrayana yang bukan anggota
dari Sangha di KASI.
Guna memudahkan pemahaman tentang komunitas umat Buddha di dunia dan
Indonesia saat ini kita dapat melihat tabel berikut ini.
Tabel. 1 Komunitas umat Buddha Indonesia
Aliran/Tradisi Organisasi Umat Buddha Di Indonesia Wadah organisasidi Indonesia
(WALUBI/KASI)
TheravadaSangha Theravada Indonesia (STI) KASIMajelis Agama Buddha Theravada Indonesia(MAGABUDHI)Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia(MAJUBUTHI)
WALUBI
Majelis Mahanikaya Indonesia(Dhammakhaya)Sangha Mahayana Indonesia (SMI) KASIMajelis Umat Buddha Mahayana Indonesia(MAJABUMI)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5959
Mahayana
Majelis Agama Buddha Tri DharmaIndonesia (MAJELIS TRIDHARMA)Majelis Mahayana Buddha Indonesia(MAHABUDHI)
WALUBI
Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia(MAPANBUMI)Majelis Agama Buddha Mahayana TanahSuci Indonesia (MAJABUMI TANAHSUCI)Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia(PSBDI)Pandita Buddha Dharma Nichiren SosyuIndonesia (PBDNSI)Majelis Rohaniawan Tridharma seluruhIndonesia (MATRISIA)
Tantrayana Majelis Agama Buddha KasogatanTantrayana Indonesia (KASOGATAN)
WALUBI
Majelis Umat Buddha Tantra Indonesia(MADHATANTRI)Majelis Zen Fo Zhong Indonesia(KASOGATAN ZEN FO ZHONG)
Buddhayana(mencakupTheravada,Mahayana,Tantrayana)
Sangha Agung Indonesia (SAGIN) KASI
Majelis Buddhayana Indonesia (MBI)
Sumber: Buku Pola Pembinaan Lembaga Keagamaan Buddha, Departemen AgamaRI, Dirjend Bimas Buddha RI
Selain memaparkan gambaran umat Buddha dan organisasinya, rasanya saya
perlu memaparkan pula kondisi masyarakat Umat Buddha Yogyakarta yang nantinya
akan dipakai sebagai ‘laboratorium’ kecil tempat melihat proses-proses pembelotan
masyarakat Umat Buddha terhadap perayaan Waisak oleh WALUBI di Candi
Borobudur. Masyarakat Umat Buddha Yogyakarta secara jumlah sesungguhnya tidak
terlalu banyak menurut data Bimas Buddha jumlahnya sekitar 12.000 jiwa.
Persebaran umat ada di beberapa daerah, umat Buddha dengan konsentrasi massa
yang besar ada di kabupaten Kulon Progo di daerah Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo
dan di daerah Gunung Kidul yaitu di daerah Panggang, Semin dan Wonosari. Selain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6060
di daerah Kulon Progo dan Gunung Kidul persebaran umat Buddha ada di Kabupaten
Sleman dan juga di Kota Yogyakarta sedangkan untuk di kabupaten Bantul
jumlahnya relatif paling sedikit21.
Jumlah Vihara di D.I.Yogyakarta menurut data dari Bimas Buddha tahun 2012
ada 22 Vihara dan Cetiya22. Vihara terbanyak ada di daerah Gunung Kidul dengan
jumlah vihara 9, Kota Yogyakarta dengan 5 Vihara dan 1 cetiya, Kabupaten Sleman
terdapat 2 vihara, Kabupaten Kulon Progo terdapat 5 vihara 1 cetiya. Sedangkan
untuk kabupaten Bantul tidak terdapat vihara maupun cetiya.
Meskipun umat Buddha Yogyakarta tidak terlalu besar jumlahnya tetapi cukup
representatif menggambarkan keadaan keagamaan Buddha di Indonesia. Peranan-
peranan strategis dalam event-event perayaan Waisak Nasional juga sering dilakukan
oleh umat Buddha Yogyakarta sejak dahulu kala. Hal ini tidak lepas dari keadaan
geografis Yogyakarta yang dekat dengan candi-candi Buddha yang terkenal seperti
Borobudur, Mendut, Sewu dan Kalasan.
Keterbelahan organisasi umat buddha antara WALUBI dan KASI juga dengan
mudah dapat ditemukan contohnya di Yogyakarta. Jika dibedakan dengan
menggunakan instrumen dua organisasi besar (WALUBI-KASI) dalam masyarakat
Buddha Indonesia, maka saat ini umat Buddha Yogyakarta dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
1. Jaringan Organisasi WALUBI di Yogyakarta
21Menurut data kependudukan DIY tahun 2014 (kependudukan.jogjaprov.go.id) hanya 218 jiwa22 Cetiya adalah bangunan tempat ibadah agama buddha yang kecil setara dengan istilah mushalla ataukapel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6161
Di Yogyakarta organisasi yang tergabung dalam WALUBI baru terdapat
dua organisasi yaitu Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (PSBDI) dari
aliran Nichiren Sosyu dan Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
(MAPANBUMI) dari aliran Maitreya. PSBDI mempunyai basis umat dan
sekretariat di Vihara Vimalakirti Jl. Soka Baciro sedangkan MAPANBUMI
mempunyai basis umat dan sekretariat di Vihara Bodhicitta Jl. Kemetiran. Dua
organisasi ini selalu terlibat dalam kepanitiaan perayaan-perayaan Waisak
nasional di Candi Borobudur yang diselenggarakan oleh WALUBI setiap
tahunnya. Mereka membantu perayaan Waisak Nasional dari H-3 sampai dengan
upacara Waisak selesai23.
2. Jaringan organisasi KASI di Yogyakarta
Di Yogyakarta organisasi yang tergabung dalam KASI adalah Sangha
Agung Indonesia (SAGIN), Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) yang
mempunyai basis umat di vihara Buddha Praba Gondomanan, dan 9 Vihara di
Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu juga anggota KASI yang lain adalah STI dan
MAGABUDHI dengan basis umat di vihara Dharma Vijaya Berbah, Vihara
Karangdjati Sleman, Vihara Vidyaloka Umbulharjo, dan Vihara-vihara serta
cetiya di Kulon Progo yang berjumlah 6 lokasi.
SAGIN dan MBI adalah Umat Buddha aliran Buddhayana. Mereka
bersama Pemuda Buddhayana (Sekber PMVBI) dan Wanita Buddhayana
Indonesia tergabung dalam Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI). Pada tulisan
23 Wawancara dengan Misdiantoro pengurus YPSBDI Yogyakarta tanggal 2 Juni 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6262
sebelumnya telah diuraikan bahwa aliran Buddhayana ini merupakan salah satu
organisasi yang kuat dan mempunyai basis massa terbesar di Indonesia termasuk
di Yogyakarta. Demikian juga dengan aliran Theravada, yang dimotori oleh
Keluarga Umat Buddha Theravada Indonesia (KBTI) terdiri dari STI,
MAGABUDHI, PATRIA dan WANDANI merupakan aliran Buddha dengan
penganut yang terbesar di Indonesia. Kedua aliran ini menjadi unsur penting
dalam perlawanan terhadap WALUBI baru.
D. Siti Hartati Murdaya, aktor Intelektual WALUBI (baru)
Membicarakan Walubi baru pasca bubarnya Walubi lama tidak bisa
dilepaskan dari seorang tokoh wanita Umat Buddha Siti Hartati Murdaya (SHM).
Inilah nama yang paling populer di kalangan umat Buddha ketika membicarakan
Waisak Nasional di Candi Borobudur semenjak bubarnya Walubi lama. Setiap kali
menyebut Walubi tidak bisa dilepaskan dari sosok Siti Hartati Murdaya. Dalam
terminologi Gramsci, Siti Hartati Murdaya bisa disebut sebagai intelektual yakni
mereka yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan
masyarakat, dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan
kebudayaan.
Siti Hartati Murdaya adalah seorang Umat Buddha yang taat dan pernah
bercita-cita menjadi Bhikkhuni namun tidak diijinkan oleh orang tuanya. Ia kemudian
meneruskan orang tuanya sebagai pengusaha yang mempunyai berbagai korporasi
besar di Indonesia. Hartati Murdaya bersama suaminya Murdaya Poo adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6363
pengusaha yang masuk dalam deretan 20 orang terkaya di Indonesia. Hartati menurut
majalah Forbes pada tahun 2008 berada di urutan ke 13 dan tahun 2012 sebagai
orang terkaya no 11 di Indonesia dengan kekayaan mencapai 1,5 Milyar Dollar US24.
Dalam situs tersebut juga diungkapkan aktifitas politik Siti Hartati Murdaya
yakni selain pengusaha beliau juga dekat dengan kekuasaan dan politik. Siti Hartati
Murdaya pernah menjadi kader GOLKAR dan menjadi Utusan Golongan di MPR
pada masa orde baru. Setelah orde reformasi, Siti Hartati Murdaya (SHM) juga
dikenal dekat dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sering terlihat
dalam pertemuan-pertemuan Partai Demokrat sebelum terjerat kasus skandal suap
dengan Bupati Buol tahun 2012.
Hartati Murdaya sering dianggap sebagai sosok paling bertanggungjawab atas
bubarnya Walubi lama. Hingga sekarang ia seringkali dituduh menggunakan
kekuasaannya dalam Walubi sebagai salah satu modalitas politiknya. Tidak heran jika
pada Waisak di era Walubi baru pejabat-pejabat papan atas Indonesia seperti Presiden
dan Wakil Presiden, menteri-menteri dan pejabat daerah dapat dihadirkan dalam
perayaan Waisak di Borobudur. Memang yang paling menonjol dari perayaan Waisak
oleh Walubi baru ini adalah bagian Dharmasanti Waisak sebagai ajang untuk
mempertemukan petinggi-petinggi negeri dengan tokoh-tokoh umat Buddha
Indonesia. Kemampuan Siti Hartati Murdaya dalam kepemimpinan WALUBI baru
merupakan modal hegemoni Walubi baru atas penyelenggaraan Waisak di
Borobudur. Dia berhasil mengatasi krisis hegemoni pasca bubarnya Walubi lama
24 http://www.orangterkayaindonesia.com/profil-siti-hartati-murdaya/ (diakses pada 1Desember 2015)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6464
dengan sangat cepat sehingga ketika Walubi baru hadir banyak orang tetap
memandang Walubi ini adalah yang paling pantas memperoleh akses terhadap Candi
Borobudur.
E. Perayaan Waisak Nasional Era WALUBI dan Pecahnya WALUBI
Seperti telah dijelaskan sedikit di bab sebelumnya bahwa perayaan Waisak di
Indonesia telah berlangsung sejak lama. Terutama pada zaman sebelum kemerdekaan
telah ada komunitas teosofi yang mempelajari agama Buddha. Mereka kemudian
melakukan praktik-praktik ritual dan spiritual di kawasan candi. Hal ini tidak lepas
dari sejarah Indonesia masa lampau bahwa agama Buddha pernah tumbuh dan
berkembang cukup luas dengan peninggalan-peninggalan artefak maupun situs candi
Buddha yang cukup banyak. Situs-situs arkeologi tersebut disakralkan bagi umat
Buddha dan tentu cocok dipergunakan sebagai locus ritual umat Buddha.
Pada awalnya para teosof mempergunakan candi yang masih berupa
reruntuhan sebagai tempat peringatan hari hari suci agama Buddha secara sederhana,
hingga lama kelamaan berkembang menjadi seperti event karnaval tahunan seperti
saat sekarang ini. Pada sub bab ini akan dibicarakan perayaan Waisak yang telah
berubah menjadi karnaval terutama sejak Waisak diurus oleh organisasi WALUBI
dan setelah WALUBI mengalami perpecahan.
Jika dilihat dari sejarah perayaan Waisak di Indonesia kita dapat memetakan
perayaan Waisak di Indonesia dalam tiga masa seturut dengan sejarah perkembangan
agama Buddha di Indonesia ini yaitu pada masa awal kebangkitan kembali agama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6565
Buddha di Nusantara pada masa kolonial yang telah dibicarakan pada bab
sebelumnya, era wadah tunggal WALUBI dan pasca pecahnya organisasi tunggal
umat Buddha menjadi WALUBI (perwakilan) dan KASI.
E.1. Perayaan Waisak Era Wadah Tunggal WALUBI
Telah diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa WALUBI merupakan wadah
tunggal organisasi-organisasi komunitas Umat Buddha di Indonesia. Berdasarkan
konsteks sejarahnya, fungsi awal WALUBI adalah untuk melakukan filtrasi terhadap
ideologi-ideologi yang tidak sejalan dengan Pancasila. Demi menjaga stabilitas
politik nasional, semua organisasi-organisasi disederhanakan pada era orde baru.
Selain sebagai media filtrasi WALUBI juga menjadi wadah kerukunan umat Buddha
Indonesia. Waisak adalah salah satu program WALUBI sebagai titik temu kerukunan
antar organisasi-organisasi umat Buddha. Waisak menjadi media saling
mempertemukan baik antar organisasi maupun dengan pemerintah.
Kegiatan pada hari Waisak dipusatkan di Candi Mendut dan Borobudur.
Tidak ada perayaan Waisak lain di seputaran Yogya dan Jawa Tengah pada saat
detik-detik Waisak kecuali di Mendut dan Borobudur ini. Konsentrasi massa umat
Buddha diarahkan ke Candi Mendut dan Borobudur. Umat Buddha dimobilisasi dari
daerah-daerah seperti Gunung Kidul, Sleman, Kulon Progo, Kota Yogyakarta,
Temanggung, Kabupaten Semarang, Wonogiri dan daerah-daerah Pati-Jepara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6666
Mereka diberikan fasilitas bus-bus gratis25 yang akan mengantar umat Buddha ke
Candi Mendut dan membawa pulang kembali dari candi Borobudur usai perayaan
Waisak. Hal ini diungkapkan oleh Cipto Iyono salah seorang umat Buddha dari
Kulon Progo:
“kalau dulu Waisak sering ke Borobudur karena disewakan bus, umat tinggalberangkat bawa bekal ketupat. Banyak umat Buddha dari Gunung Kelir,Sanggrahan, Sonyo yang ikut. Berangkat pagi-pagi jam lima pulang malamjam sembilan” (Ciptoiyono, wawancara, 22 Mei 2014).
Semua pengikut dari ketiga aliran Buddha di Indonesia berpartisipasi dalam
acara Waisak Nasional ini. Meskipun demikian dominasi aliran Theravada tampak
pada Waisak di Borobudur. Hal ini tampak dari ritual dilakukan berdasarkan aliran
Theravada yakni dengan pembacaan Paritta. Hal ini tidak lepas dari peran para
tokoh-tokoh aliran Theravada yang cukup dominan dalam WALUBI daripada tokoh-
tokoh dari organisasi lain. Selain itu pengikut aliran Theravada memang jumlahnya
cukup besar di Indonesia.
Rangkaian upacara Waisak pada era wadah tunggal WALUBI tidak terlalu
banyak berbeda dengan upacara Waisak sebelum organisasi WALUBI ada. Saya
menduga alasan utama adalah karena tokoh-tokoh yang terlibat dalam acara Waisak
adalah orang-orang yang sama setiap tahunnya. Secara umum acara utama yaitu
pemujaan terhadap Buddha Gautama Sakyamuni dengan pembacaan paritta. Jika
terdapat modifikasi biasanya hanya supaya acara Waisak lebih menarik tanpa harus
keluar dari tradisi dan esensi ajaran Buddha. Acara ini disusun oleh panitia Waisak
25 Beberapa daerah ada yang disewakan bus secara gratis tetapi di beberapa daerah yang agak jauhhanya diberikan subsidi transport sehingga umat harus menyewa bus sendiri dan menambahi uangsewa bus jika masih kurang biayanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6767
yang terdiri dari para bhikkhu dan ketua-ketua majelis agama Buddha. Adapun acara
yang dilakukan adalah sebagai berikut (Astuti, Hermin Tri, 1998: 47-58):
a. Mengambil air Waisak di mata air Jumprit yang kemudian disemayamkan dan
disakralkan di candi Mendut dan nantinya di bawa ke Candi Borobudur
b. Mengambil api Waisak dari Mrapen Grobogan Jawa Tengah. Api ini berfungsi
sebagai simbol penerangan dan nantinya akan digunakan untuk menyalakan lilin-
lilin di Candi Mendut dan Borobudur.
c. Melakukan puja di candi Mendut dan berjalan kaki menuju ke Candi Borobudur.
Puja dilakukan oleh aliran-aliran yang ada di Indonesia. Pada prosesi ini diarak
relik suci Buddha dan barang persembahan diiringi dengan bendera merah putih
serta bendera Umat Buddha. Para peserta Waisak mengikuti prosesi jalan kaki
dari Candi Mendut menuju Borobudur.
d. Puja dan meditasi detik-detik Waisak di Candi Borobudur dilanjutkan dengan
ceramah pesan Waisak oleh Bhikkhu senior. Puja dilakukan dengan tatacara
Theravada sedangkan umat dari aliran lain mengikuti.
Antusiasme umat sangat tinggi meskipun hambatan transportasi kadang menjadi
kendala. Seorang umat Buddha asal Kulon Progo Ngatiri mengenang kehadirannya
pada Waisak di Borobudur Tahun 1980-an dengan berjalan kaki dari Girimulyo
Kulon Progo menuju ke Candi Borobudur,
“Dulu kami ke Mbudur jalan kaki lewat Samigaluh bawah Suroloyo bawa bekaltermos dan jalan sampai 8 jam, tapi rasanya ya senang saja karena memang belumada kendaraan ke sini” (Ngatiri, wawancara, 21 Mei 2014).
Hal serupa juga disampaikan Sumartini, ia merasa bangga menjadi bagian
perayaan Waisak. Dahulu ia sering diminta untuk menjadi petugas pembawa amisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6868
puja26 dengan memakai pakaian Jawa bersama teman-teman sebayanya pada acara
Waisak di Borobudur:
“Pada waktu itu saya masih SMP dan sering diminta oleh panitia Waisak untukmenjadi pembawa amisa puja, rasanya bangga bisa terlibat dalam acara itu. Sayabertugas dalam Waisak zaman dulu berkali-kali tiap tahun”. (Sumartini,wawancara, 22 Mei 2014)
Ini menunjukkan antusiasme warga umat Buddha dalam merayakan Waisak
Nasional. Semangat keagamaan yang tinggi walaupun dalam keadaan yang belum
maju seperti sekarang. Kebanggaaan turut serta dalam perayaan Waisak muncul
ketika menjadi partisipan acara.
E.2. Waisak Pada Era WALUBI baru
Semarak Waisak di Candi Borobudur pasca bubarnya WALUBI tahun 1998
tidak surut meskipun tidak diikuti oleh organisasi-organisasi Umat Buddha dan
pengikutnya yang telah menyatakan diri keluar dari WALUBI lama dan membentuk
KASI. Banyak inovasi-inovasi acara dalam perayaan Waisak dilakukan oleh
WALUBI baru. Inti perayaan Waisak adalah puja bakti dan meditasi pada detik-detik
Waisak, namun sebelum maupun sesudahnya dapat dilakukan berbagai acara dalam
rangka mengekspresikan ajaran-ajaran Buddha.
Sebelum acara puncak perayaan Waisak di Borobudur biasanya telah
diadakan kegiatan-kegiatan menjelang Waisak diantaranya adalah tabur bunga di
makam taman pahlawan di berbagai provinsi seperti di DKI, Jogjakarta, Jawa
26 Benda-benda persembahan untuk altar. Dalam prosesi Waisak amisa puja selalu dibawa dari CandiMendut menuju Borobudur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6969
Tengah; pengobatan gratis; pengambilan air Waisak; pengambilan api Waisak;
pensakralan amisa puja; prosesi; dharmasanti dan pelepasan lampion.
Umat dari berbagai daerah utamanya kantong-kantong umat Buddha di bawah
binaan WALUBI diberikan fasilitas transportasi sehingga dapat termobilisasi di
Candi Mendut dan Borobudur. Pawai prosesi dari candi Mendut ke Borobudur dibuat
menjadi karnaval. Ornamen-ornamen Waisak menjadi sangat beragam dan seringkali
dirasa kurang bernuansa Umat Buddha. Hal ini disampaikan seorang tokoh umat
Buddha Theravada, BJ “Prosesi sekarang malah seperti tujuh belasan, terlalu ramai
malah tidak sakral”. Jadi Waisak dipandang sudah tidak lagi berorientasi pada
kesakralannya tetapi lebih pada kemeriahannya.
Adapun gambaran lengkap acara perayaan Waisak yang diselenggarakan oleh
WALUBI baru sebagai berikut:
1. Tabur bunga di Taman Makam Pahlawan
Acara ini dilaksanakan oleh pengurus-pengurus WALUBI, baik di Taman
Makam Pahlawan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Yogyakarta.
Kegiatan ini dalam agama Buddha dikenal istilah patidana yaitu melakukan
kebaikan atas nama para leluhur dengan tujuan supaya para leluhur lahir di alam
bahagia, demikian pula dengan para pahlawan harapan dari pengurus WALUBI
agar mereka yang telah berjasa dapat lahir di alam bahagia.
2. Bakti sosial pengobatan gratis di area Candi Borobudur
Acara pengobatan gratis diadakan oleh WALUBI sebagai manifestasi ajaran
welas asih terhadap sesama. Dengan bekerja sama dengan dokter-dokter, TNI dan
para relawan memberikan pelayanan pengobatan gratis bagi masyarakat sekitar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7070
Borobudur hingga dua hari berturut-turut. Di area Taman Lumbini Borobudur
didirikan tenda-tenda untuk pasien yang jumlahnya bisa mencapai ribuan pasien.
3. Pengambilan air Waisak di Jumprit Temanggung
Sebagai kelengkapan sarana persembahan, air dalam agama Buddha
mempunyai makna kesucian. Air sebagai unsur yang tak terpisahkan bagi
kehidupan begitu dipuja oleh umat Buddha, oleh karenanya dalam upacara-
upacara keagamaan Buddha air diambil dari mata air yang jernih. Dalam upacara
Waisak di Candi Borobudur air yang dipergunakan berasal dari sumber mata air
Jumprit di Temanggung. Mata air Jumprit inilah yang mengalirkan air hingga
melewati sungai Elo di Magelang sehingga wajar jika pengambilan air diambil
dari Jumprit. Dengan membawa kendi-kendi para Bhikkhu dan rombongan
pengambil air membawa air Waisak menuju ke Candi Mendut dengan iring-
iringan mobil.
4. Pengambilan Api Dharma di Mrapen Grobogan
Selain air, dalam agama Buddha juga terdapat simbol cahaya sebagai
manifestasi dari penerangan. Dalam upacara Waisak di Borobudur cahaya
biasanya diambil dari api alam di Mrapen Grobogan dengan cara membawa
semacam obor lalu diarak dibawa memakai mobil khusus pembawa api menuju ke
Candi Mendut. Sesampainya di Candi Mendut obor diterima oleh ketua DPP
WALUBI dan diserahkan kepada Dewan Sangha WALUBI untuk selanjutnya
digunakan menyalakan lilin-lilin di Candi Mendut.
5. Pembacaan mantra di Candi Mendut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7171
Seluruh barang-barang persembahan seperti air dari Jumprit dan Api dari
grobogan, relik Buddha, buah-buahan, bunga dan dupa ditata dan disemayamkan
di altar candi Mendut. Setelah segala persembahan tertata dengan baik, diadakan
upacara sembahyang untuk menghaturkan persembahan. Karena WALUBI terdiri
dari berbagai macam aliran baik Theravada, Mahayana, Tantrayana, Maitreya,
Nichiren, Tri Dharma dengan berbagai organisasi maka pensakralan tidak hanya
dengan tradisi Theravada namun berbagai tradisi. Dulu dilakukan secara
bergantian namun sekarang (Waisak tahun 2016) dilakukan secara bersamaan di
tenda-tenda organisasi sendiri, sehingga kita bisa melihat begitu ramainya acara di
Candi Mendut.
6. Pindapata Bhikkhu-bhikkhu di Jl. Pemuda Magelang
Pindapata adalah salah satu tradisi Umat Buddha kuno bagi para bhikkhu.
Para bhikkhu berjalan membawa mangkok dan umat-umat awam mendanakan
makanan dan menaruhnya ke dalam mangkok. Dalam rangkaian Waisak di
Borobudur hal ini dilakukan biasanya sehari menjelang upacara puncak Waisak
diadakan di Jl. Pemuda di Magelang dekat Kelenteng Magelang. Selain sebagai
rangkaian acara Waisak, hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan umat-
umat awam melakukan kebaikan dengan berdana.
7. Prosesi arak-arakan dari candi Mendut menuju Borobudur
Selesai mengadakan acara di Candi Mendut, upacara Waisak akan dilanjutkan
di Candi Borobudur. Barang-barang persembahan yang ada di altar candi Mendut
sebagian akan dibawa ke candi Borobudur seperti relik Buddha, air, lilin (api),
dengan diiringi oleh ribuan umat Buddha yang masing-masing membawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7272
sebatang bunga sedap malam. Berjalan iring-iringan menuju ke Candi agung
Borobudur.
Barisan depan ditata berdasarkan urutan mulai dari mobil foraider polisi,
barisan mobil lambang negara Garuda Pancasila, barisan pembawa bendera umat
Buddha (panji umat Buddha) sekitar 18 orang, pembawa bendera WALUBI
sekitar 21 orang, pembawa bendera merah putih sekitar 30 orang, barisan
Bhinekkha, barisan pembawa sesaji buah (amisa puja), pembawa bendera
WALUBI, pembawa bendera Umat Buddha, pembawa bendera 10 majelis dalam
WALUBI, barisan bhikkhu yang dipayungi, barisan Silacarini/Brahmacariya27
dan barisan umat, barisan seni reog dan ambulans.
Namun demikian mengatur ribuan orang bukanlah hal yang mudah, tidak
semua yang berjalan menuju Candi Borobudur berjalan dengan hening dan penuh
penghormatan yang sering terjadi muncul adalah keramaian, saling mengobrol,
dan bercanda ria.
Belum lagi banyaknya penonton di sepanjang jalan dari Candi Mendut
menuju Borobudur begitu banyak, para penjual-penjual dadakan berjubel dan
kendaraan-kendaraan motor terparkir di pinggir-pinggir jalan semakin menambah
ketidaksakralan upacara prosesi dari Candi Mendut melewati candi Pawon dan
berakhir di Candi Borobudur.
8. Puja bakti detik-detik Waisak di Borobudur
27Orang yang menjalani kehidupan selibat dengan melaksanakan aturan-aturan moral dan berpakaianputih-putih. Secara hierarkis kedudukannya di bawah bhikkhu dan samanera
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7373
Setelah ribuan orang sampai di pelataran Candi Borobudur, para bhikkhu
melanjutkan dengan naik ke stupa utama Candi Borobudur dan mengelilingi
stupa tiga kali atau disebut pradaksina sambil membawa lilin dupa dan bunga
yang dirangkai. Setelah itu mereka turun menuju altar utama di pelataran Candi
Borobudur dan memulai upacara puja bakti detik-detik Waisak. Dengan
membaca paritta-paritta suci menganggungkan Buddha Gautama, bermeditasi
pada saat detik-detik sempurnanya bulan (detik-detik Waisak) dan
mendengarkan khotbah pesan Waisak dari bhikkhu sangha. Selesai memberikan
khotbah, para bhikkhu-bhikkhu yang lain kemudian mengambil air Waisak dan
memercikkannya kepada para umat Buddha yang hadir diiringi bacaan paritta.
Air ini menjadi simbol berkah Waisak bagi mereka yang turut hadir dalam acara
Waisak. Upacara Waisak diakhiri dengan kalimat penghormatan untuk Triratna
(Namakhara patha).
9. Pelepasan Lampion Waisak
Acara pelepasan lampion belum begitu lama baru pada tahun 2012 dimulai.
Filosofi dasar dari pelepasan lampion diambil dari tradisi-tradisi China dimana
orang biasa menyampaikan harapan kepada Tuhan dengan doa. Menulis doa dan
menerbangkannya dengan lampion. Acara inilah yang akhir-akhir ini begitu
menarik minat orang untuk datang dalam acara Waisak.
Hasil beberapa observasi dan wawancara penulis kepada beberapa orang yang
bukan beragama Buddha mengatakan motivasi datang ke acara Waisak adalah
untuk ikut acara melepas lampion. Mereka rela mengikuti acara dari pagi di
Mendut, membayar biaya pengganti lampion sebesar Rp. 100.000,00 per lampion
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7474
dan menunggu hingga malam pelepasan lampion. Bagi mereka suasana terang
rembulan berpadu cahaya yang menyorot keindahan Candi Borobudur dan dihias
ribuan lampion begitu indah dan romantis.
10. Dharmasanti Waisak
Dharmasanti Waisak adalah kegiatan seremonial sebagai ajang untuk
membangun komunikasi dan silaturahmi di kalangan umat Buddha dengan
lembaga pemerintah. Acara seremonial menjadi penting bagi kalangan umat
Buddha karena inilah momentum untuk umat Buddha bisa disentuh, diperhatikan
oleh pemeritah. Acara utama adalah sambutan dari wakil pemerintah.
Wakil pemerintah yang dimaksud adalah presiden, wakil presiden, menteri
agama dan jajaran pemerintah daerah Jawa Tengah atau Jakarta. Adalah
kebanggaan jika mampu menghadirkan seorang Presiden dalam acara
Dharmasanti ini. Adapun susunan acara dalam Dharmasanti biasanya adalah
pembukaan, sambutan ketua panitia penyelenggara, sambutan gubernur, sambutan
Presiden atau wakil presiden atau menteri agama, pesan Waisak oleh bhikkhu
sangha. Acara ini dirangkai dengan berbagai jenis hiburan kesenian.
Dharmasanti dilaksanakan sebelum acara puja bakti detik-detik Waisak tetapi
sering juga dilaksanakana setelah acara puja bakti detik-detik Waisak di
Lapangan Taman Lumbini di area Candi Borobudur. Selain diadakan di Candi
Borobudur juga terkadang dilaksanakan di Arena PRJ, di JI Expo Jakarta ataupun
di Jakarta Convention Center.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7575
F. Tersingkirnya umat Buddha KASI: Waisak Nasional Dikuasai WALUBI
Baru
Pasca bubarnya WALUBI lama dan terbentuknya dua organisasi umat
Buddha yaitu WALUBI baru dan KASI, perayaan Waisak di Candi Borobudur
menjadi arena perebutan bagi kedua organisasi ini. Adu modalitas menjadi hal
yang tidak terhindarkan. Masing-masing organisasi mempunyai capital untuk
saling mendominasi. WALUBI baru dapat dikatakan mempunyai kekuatan
modalitas ekonomi dan sosial, dimana kekuatan modal ekonomi yang dimiliki
ketua umum Siti Hartati Murdaya dan posisinya yang dekat dengan penguasa
menjadi kekuatan utama. Sedangkan di sisi lain kelompok organisasi KASI
memiliki dua kekuatan kapital yakni kapital simbolik dan kapital budaya. Waisak
adalah hal yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan yang sarat dengan nilai
spiritual dan oleh karenanya kehadiran simbol-simbol spiritual umat Buddha
seperti bhikkhu yang dipandang sebagai kaum ahli dalam ritual sangatlah penting.
Bhikkhu yang merupakan penggerak KASI selalu mendapatkan posisi yang tinggi
dalam masyarakat Umat Buddha dan akan diikuti serta didukung oleh umat
Buddha.
Seperti kita tahu bahwa Candi Borobudur semenjak ditetapkannya sebagai
world heritage telah bergeser fungsinya bukan lagi sebagai tempat sakral namun
sebagai komoditas pariwisata Indonesia. Munculnya PT Taman Wisata Candi
Borobudur jelas merupakan bentuk kapitalisasi tempat suci umat Buddha ini.
Penerapan tiket masuk bagi siapapun dan dalam kepentingan apapun pengunjung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7676
Candi Borobudur juga menjadi bukti kuat komodifikasi tempat suci ini. Umat
Buddha yang sering dikatakan sebagai “pemilik” Candi Borobudur pun tak lepas
dari kebijakan keharusan membayar tiket. Persoalan ini jelas tidak
menguntungkan bagi KASI sebagai organisasi yang tidak mempunyai pendanaan
sekuat WALUBI baru. Sedangkan bagi WALUBI baru soal ‘bayar - membayar’
bukan persoalan serius sehingga dengan mudah WALUBI baru dapat mengakses
Candi Borobudur sebagai simbol eksistensi umat Buddha pada waktu Waisak.
Sejak munculnya dua organisasi besar umat Buddha, WALUBI baru
selalu tampil menjadi ‘pemilik Borobudur sehari’. Para pendiri KASI dan umat
pengikutnya terutama di wilayah Jogja dan Jawa Tengah terpaksa merayakan
Waisak di masing-masing Viharanya. Beberapa umat Buddha pengikut KASI
pada awal-awal pecahnya WALUBI masih mencoba merayakan Waisak di Candi
Borobudur namun mereka menyadari sudah tidak ada lagi kenyamanan di sana.
Di sisi lain organisasi seperti STI dan MAGABUDHI mengeluarkan kebijakan
agar umat Buddha lebih menggiatkan kegiatan perayaan Waisak di vihara
masing-masing. Hal ini diungkapkan salah satu pengurus Vihara Karangdjati
Yogyakarta, Supriyanto: “Waisak kita lebih fokus ke vihara masing-masing saja
bagaimana supaya vihara tidak sepi, masa’ pas hari raya Vihara malah sepi
tidak ada kegiatan. Yang di Borobudur sudah ada yang ngurusi”. (wawancara,
Supriyanto, 15 Mei 2015)
Pada masa pemerintahan Gus Dur, KASI sedikit memperoleh dukungan
dari pemerintah dan mulai kelihatan eksistensinya. Berlanjut pada tahun 2004
diadakan negosiasi antara KASI, WALUBI dan Kementerian Agama dalam hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7777
pengelolaan kepanitiaan Waisak di Candi Borobudur, hasilnya ada konvensi tidak
tertulis tentang pembagian pengelola Waisak nasional di Candi Borobudur28.
Pengelolaan Waisak nasional diadakan secara bergantian tiap tahunnya.
Tahun 2005 dilaksanakan oleh WALUBI, tahun 2006 untuk pertama kalinya
dikelola oleh KASI demikian seterusnya. Tetapi kesepakatan itu tidak sepenuhnya
berjalan sesuai seperti awalnya, karena WALUBI tetap saja menyelenggarakan
Waisak di Candi Borobudur meskipun jatahnya KASI. Hal ini terjadi ketika tahun
Waisak tahun 2010 dimana pada saat KASI menyelenggarakan Waisak di Zona 1
Candi Borobudur sedangkan WALUBI yang mestinya tidak menggelar Waisak di
Borobudur tetap menyelenggarakan di area Taman Lumbini.
“yang lucu ketika tahun 2010, saat itu jatahnya KASI tetapi WALUBI tetapsaja menyelenggarakan Waisak bahkan kita yang sudah buat altar di CandiBorobudur dilarang oleh orang PT Taman Wisata untuk tidak menyalakanlilin dan dupa yang besar, katanya bisa merusak Candi padahal kan sudahbiasa acara Waisak menyalakan lilin dupa besar. Itu ya pasti suruhannya ‘ibu’supaya Waisak KASI tidak meriah. Sejak saat itu KASI mulaimenyelengarakan Waisak tidak lagi berminat melaksanakan Waisak di candiBorobudur” (Wawancara, Parsiyono, Mei 2015).
Ketimpangan akses antara WALUBI baru dan KASI terhadap Candi
Borobudur terutama pada hari Waisak menjadi titik pembeda. Superioritas
ekonomi WALUBI baru tidak dapat ditandingi oleh KASI sehingga dengan
mudahnya KASI menjadi tersubordinan dalam aksestabilitas terhadap Candi
Borobudur. Lemahnya keputusan terkait pembagian penyelenggara Waisak
nasional dengan mudah dapat dikangkangi oleh WALUBI baru. Sementara sesuai
pengalaman penulis dalam kepanitiaan Waisak Nasional di Candi Borobudur oleh
28 wawancara dengan bhikkhu Dr. Jotidhammo Mahathera (ketua Sangha Theravada Indonesia) padasabtu 27 April 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7878
KASI tidak solid. Hal ini karena masing-masing aliran dalam KASI sudah
membuat agenda-agenda perayaan Waisak di luar Candi Borobudur sebagai
bentuk eksistensi kelompok masing-masing. Dalam bab selanjutnya akan dibahas
bagaimana kelompok-kelompok aliran dalam agama Buddha Indonesia terutama
dua kelompok besar dalam KASI yakni Theravada dan Buddhayana melakukan
berbagai kegiatan dalam rangka ‘melawan’ WALUBI baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7979
BAB IV
PENOLAKAN MASYARAKAT UMAT BUDDHA KASI TERHADAP
PERAYAAN WAISAK NASIONAL CANDI BOROBUDUR DAN
USAHA MELAKUKAN HEGEMONI TANDINGAN
Bab ini merupakan bagian analisis dalam tesis ini. Bab ini membahas
bagaimana komunitas yang tergabung dalam organisasi KASI terutama aliran
Theravada (STI dan Magabudhi) dan Buddhayana (SAGIN dan MBI) sebagai
organisasi dengan jumlah pengikut terbesar diantara organisasi yang lain melakukan
perayaan Waisak. Perayaan Waisak di sini bukan lagi sebatas perayaan Waisak pada
umumnya namun secara ideologis adalah sebagai bentuk perlawanan atas dominasi
WALUBI baru pada Waisak Nasional di Candi Borobudur.
Bab ini akan diawali dengan berbagai pandangan negatif umat di bawah KASI
didukung oleh pengalaman-pengalaman masyarakat Umat Buddha lainnya yang
mengikuti perayaan Waisak Nasional oleh WALUBI baru. Selanjutnya akan
dijelaskan tentang kegiatan perayaan Waisak oleh umat Buddha di sekitar Yogyakarta
dan Jawa Tengah sebagai bentuk usaha melakukan ‘koreksi’ atas perayaan Waisak di
Candi Borobudur yang sudah dirasa jauh dari spirit awal mula perayaan Waisak.
A. Waisak Nasional WALUBI di Mata Masyarakat KASI
WALUBI baru sebagai panitia penyelenggara Waisak Nasional di Candi
Borobudur telah melakukan berbagai terobosan baru dalam penyelenggaraan
Waisak. Seperti telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya bagitu banyak
agenda perayaan Waisak Nasional yang sudah menjadi kegiatan paten tahunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8080
Waisak sebagai ritual, sesuai dengan praktik puja dalam agama Buddha,
bukan saja sebatas ritual penghormatan teradap sesuatu demi memperoleh tujuan-
tujuan tertentu tetapi juga merupakan praktik pelaksanaan ajaran Buddha.
Kegiatan yang telah disusun oleh panitia Waisak tidak lain juga merupakan
bentuk patipati puja. Namun demikian tidak semua masyarakat Umat Buddha
terutama dari masyarakat pengikut KASI memandang kegiatan yang
dilaksanakan sesaui dengan ajaran Buddha. Banyak komentar-komentar miring
atas pelaksanaan rangkaian kegiatan perayaan Waisak.
A.1. WALUBI: Wanita Luar Biasa
Beberapa tahun silam sering dalam pergunjingan soal WALUBI dan
KASI muncul istilah “Wanita Luar Biasa”. Istilah ini acap kali kita dengar dalam
pembicaraan masyarakat Buddhis terutama di kalangan tokoh-tokoh KASI.
Namun celotehan tersebut akrab saya temui beberapa tahun yang lalu (sekitar
2009-an) ketika KASI mendapatkan jatah merayakan Waisak Nasional di candi
Borobudur namun tiba-tiba WALUBI baru juga melakukan hal yang sama di satu
sisi candi Borobudur.
Nama WALUBI sendiri sering dipelesetkan sebagian masyarakat Umat
Buddha menjadi “Wanita Luar Biasa”. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sosok
pemimpin WALUBI baru Siti Hartati Muradaya (SHM). Sosok Hartati Murdaya
dalam kepengurusan WALUBI memang sangat melekat mengingat sejak tahun
1998 hingga sekarang 2017 masih menjabat Ketua WALUBI. Siti Hartati
Murdaya memang memegang peranan penting dalam WALUBI sejak 1992 yakni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8181
sebagai dewan penyantun WALUBI. Sebagai organisasi, WALUBI tentu tidak
lepas dari kebutuhan dana sehingga membutuhkan donatur besar seperti Siti
Hartati Murdaya. Pasca bubarnya WALUBI lama, Hartati Murdaya menjabat
ketua umum WALUBI baru yang tidak pernah tergantikan sebelum tersandung
kasus suap tahun 2012.
Pemelesetan nama organisasi WALUBI menjadi gelar bagi seseorang
merupakan salah satu bentuk penurunan makna (peyoratif). WALUBI sejak dari
Perwalian Umat Buddha Indonesia menjadi Perwakilan Umat Buddha Indonesia
merupakan organisasi besar yang legalitasnya diakui pemerintah dan sangat
akrab di telinga masyarakat Indonesia. Di dalamnya terdapat orang-orang penting
dan representasi masyarakat Umat Buddha Indonesia mulai dari Bhikkhu,
Pandita, Pengurus Majelis dan Upasaka-Upasika29. Namun organisasi ini
kemudian ‘diturunkan’ statusnya dari organisasi yang sifatnya komunal menjadi
personal “wanita luar biasa”.
Siti Hartati Murdaya memang adalah seorang wanita karir yang
cemerlang dengan berbagai usahanya. Berbagai prestasi dan kesuksesan telah
diraih dalam usaha yang dirintisnya. Namun demikian makna “wanita luar biasa”
di sini tidak untuk menunjuk pada prestasi karier usahanya namun mengarah
pada dominasinya atas WALUBI terutama semenjak menjadi WALUBI
Perwakilan. Posisinya sebagai ketua umum tiada pernah tergantikan.
A. 2. WaKubi dan rekor MURI
29 Sebutan bagi umat awam yang telah memeluk agama Buddha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8282
Tidak berhenti dengan celotehan Walubi sebagai “Wanita Luar Biasa”
Walubi baru menurut seorang bhikhu mestinya disebut WaKubi bukan Walubi.
Hal ini dilakukan untuk untuk membedakan dengan WALUBI (perwalian) dan
WALUBI (perwakilan) supaya masyarakat dapat mengetahui dengan jelas
perbedaan WALUBI baru dan lama. Dalam perbincangan saya melalui Blacberry
Messenger (BBM) menyoal tentang sejarah bubarnya Walubi beliau mengatakan:
“Kami tidak pernah keluar dari Walubi. Di bulan Agst 1998 jelasMagabudhi membacakan pernyataan di depan rapat Pleno DPP Walubitdk setuju Walubi dibubarkan. Tapi tdk digubris. Sangha2 juga tdkmenyatakan masuk menjadi anggota Wakubi. Dan... Ketum WaKUBIsudah 28 thn lebih belum juga berganti. Mungkin ingin menyamai PakHarto 32 tahun, atau lebih, supaya bisa dicatat di MURI” (wawancara, 8Februari 2017).
Selain soal WaKUBI pernyataan tersebut di atas adalah bentuk peyoratif
bagi seroang Siti Hartati Murdaya. SHM akan disandingkan dengan sosok
‘dkitator’ sekelas Presiden kedua RI Soeharto yang menjabat selama 32 tahun
tanpa ada yang berani mengganti. Durasi waktu mempimpin salah satu
organisasi dalam jangka waktu yang sangat lama disepadankan dengan
kediktatoran suatu rezim. Selain itu pernyataan tentang rekor MURI juga
merupakan bentuk ‘kegelian’ atas rentang waktu kepemipinan SHM. Rekor
MURI biasanya mencatat rekor-rekor yang spektakuler dan untuk prestasi-
prestasi besar namun di sini diturunkan untuk menunjuk posisi yang tiada
tergantikan dan merupakan ketidakwajaran dalam suatu organisasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8383
A.3. Bhikkhu Tidak Makan Amplop
Pindapata adalah tradisi Umat Buddha bagi para bhikkhu dalam
menerima dana makanan yang lumrah dilakukan. Pindapata juga merupakan
salah satu kegiatan yang selalu ada dalam rangkaian kegiatan Waisak di candi
Borobudur. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya pindapata digelar di
Magelang dekat sekretariat Walubi baru di Magelang.
Salah seorang tokoh umat Buddha sekaligus tokoh Theravada di
Yogyakarta Bing Soetrisno, memberikan komentar tentang pelaksanaan
Pindapata di Jl. Pemuda Magelang. Menurut beliau tradisi Pindapata yang
digelar oleh WALUBI menjelang perayaan puncak Waisak di Borobudur jauh
dari tradisi Umat Buddha yang selama ini diketahuinya:
“pindapata itu kan artinya berjalan membawa mangkok untuk menerimamakanan, namun yang kita lihat di acara Waisak-nya WALUBI adalahbhikkhu menerima amplop merah, malah seperti orang mengamen saja.Kalau amplop dan isinya kan tidak bisa dimakan” (Wawancara, BingSoetrisno,22 Mei 2015)
Foto liputan Waisak seringkali menangkap gambar para bhikkhu
menerima amplop merah yang dimasukkan ke mangkok para bhikkhu yang
berbaris. Dalam tradisi Umat Buddha di berbagai negara, pindapata adalah
kegiatan bagi para bhikkhu berjalan membawa mangkok dan menerima sedekah
makanan dari umat awam. Hal ini dilakukan bukan untuk mengemis namun
untuk memudahkan umat awam dalam memberi persembahan makanan kepada
Bhikkhu karena tidak perlu datang ke Vihara tempat bhikkhu tinggal. Yang
dipersembahkan oleh umat adalah kebutuhan makanan bagi para bhikkhu
sehingga tidak lazim jika mempersembahkan uang dan menaruhnya ke dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8484
mangkok (pinda: berjalan, pata: mangkok merupakan bahasa Pali). Hal ini yang
membuat Bing Soetrisno salah seorang tokoh Theravada di Yogya memberikan
komentar bahwa hal itu tidak tepat dan tidak sesuai dengan tradisi Pindapata dan
meledeknya dengan seperti “mengamen “ dan “amplop tidak bisa dimakan”.
Berikut salah satu gambar yang saya temukan dari berita online Suara Merdeka.
Foto1. Pindapata acara Waisak Nasional di Jl. Pemuda Magelang diambildarihttp://berita.suaramerdeka.com/puluhan-bhiksu-turun-ke-jalan-terima-sedekah-umat/ diakses pada Jum’at, 10 Maret 2016.
A.4. Bhikkhu Bayaran
Banyaknya bhikkhu-bhikkhu yang hadir di acara Waisak Nasional bagi
kalangan warga KASI banyak mengundang pertanyaan. Dari sangha mana para
bhikkhu itu? Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa WALUBI baru tidak
mempunyai komunitas bhikkhu (Sangha) kecuali pribadi-pribadi Sangha yang
terbentuk dalam Dewan Sangha WALUBI, sehingga menurut beberapa umat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8585
Buddha bhikkhu yang hadir disana diragukan kebhikkhuannya. Hasil wawancara
dengan seorang yang tidak ingin disebut namanya mengatakan bahwa para
bhikkhu-bhikkhu itu adalah orang-orang bayaran.
“banyak bhikkhu yang hadir di Waisak WALUBI itu sekadar dipolesseperti bhikkhu, beberapa dari mereka adalah orang bayaran. Saya tahumereka bayaran karena ada tetangga saya yang juga sering jadi langgananikut jadi bhikkhu bayaran pada saat Waisak” (wawancara, nn, 17 Mei2015)
Bhikkhu bukanlah profesi. Seperti telah saya uraikan pada bab
sebelumnya bahwa Bhikkhu merupakan cara hidup bertapa (Pabbajjita) yang
menjalani praktik kehidupan spiritual, jauh dari nikmat keduniawian, harta dan
kekayaan. Posisinya dalam sosial kemasyarakatan umat Buddha begitu tinggi
karena dinilai yang paling serius menjalani praktik ajaran Buddha. Ujaran
‘sekadar dipoles’, ‘seperti bhikkhu’, ‘bhikkhu bayaran’, merupakan bentuk
sindiran keras bahwa oleh WALUBI apapun bisa dibuat melalui uang. Kualitas
kebhikkhuan jadi sangat direndahkan hanya demi berlangsungnya sebuah acara
ritual.
A.5. Sulit Khusyuk
Komentar negatif yang paling sering muncul pada penyelenggaraan
Waisak Nasional di Candi Borobudur adalah tentang ritual upacara Waisak yang
selalu jauh dari kekhusyukan. Ritual puja pada saat di Candi Mendut misalnya,
dimana semua majelis dan aliran Buddha di bawah WALUBI baru berkumpul di
masing-masing tenda. Ritual yang dilakukan secara bersamaan tidak ubahnya
seperti pameran ritual Umat Buddha. Hal ini dikatakan Misdiantoro, salah
seorang anggota Nichiren dari Yogyakarta yang notabene merupakan anggota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8686
WALUBI sendiri. Misdiantoro mengatakan: “disini kita sembahyang secara
bersamaan, masing-masing majelis punya ritual tersendiri dengan sound system
sendiri, sebenarnya sulit khusyuk dan malah seperti pameran ritual”.
(wawancara, Misdiantoro, 1 Juni 2015)
Puja membutuhkan suasana sakral, hening dan tenang, sedangkan yang
terjadi pada ritual puja di Candi Mendut adalah keramaian karena banyaknya
orang lalu lalang baik penonton maupun para peserta. Suara ritual puja antar
tenda dari antar aliran dan majelis serta suara bising kendaraan di jalan raya
Mendut-Borobudur membuat suasana jauh dari kesakralan. Setidaknya ini adalah
pengalaman langsung penulis pada perayaan Waisak tahun 2015. Misdiantoro
mengatakan ritual ini seperti ‘pameran ritual’ yang jelas sangat menurunkan
makna puja sesungguhnya. Puja bukanlah ajang eksebisi antar aliran atau
majelis, namun ungkapan ‘pameran ritual’ merupakan bentuk protes atas suasana
yang terjadi.
Kesan jauh dari sakral juga diungkapkan oleh Susanto, salah seorang
umat Buddha asal Temanggung yang sekadar ‘coba-coba’ ikut Waisak di candi
Borobudur. Saya mengatakan ‘coba-coba’ karena Susanto adalah warga umat
Buddha Theravada di Kaloran Temanggung yang sebelumnya tidak pernah
mengikuti perayaan Waisak di Borobudur namun pada Waisak tahun 2015 dia
datang dan merasakan pengalaman Waisak pertamanya di Candi Borobduru. Dia
mengatakan: “sangat berbeda dengan Waisak yang diselenggarakan KASI dulu,
ini malah tidak ada bau-bau dupanya, tidak sakral sama sekali” (Susanto,
Wawancara tanggal 2 Juni 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8787
Dalam ritual puja umat Buddha aroma dupa dan juga biasanya bunga
seperti sedap malam adalah sesuatu yang khas dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dalam upacara ritual umat Buddha. Dupa dan bunga termasuk air,
lilin dan persembahan lainnya adalah bagian dari amisa puja yang mengandung
makna-makna ajaran Buddha seperti keharuman kebajikan (dupa), kesucian
pikiran (air), perubahan (bunga), penerangan dhamma (lilin), akibat perbuatan
(buah-buahan) dan keagungan Buddha (patung). Ungkapan ‘tidak ada bau-bau
dupa’ dan ditegaskan dengan ‘tidak sakral sama sekali’ dari Susanto dapat dibaca
sebagai ungkapan ada gap antara ideal puja Waisak dengan realitas yang
ditemui.
Salah seorang umat buddha dari Vihara Dharma Vijaya Berbah bapak
Putu Polos yang pernah mengikuti kegiatan Waisak di Candi Borobudur
mengatakan “acara di vihara sendiri-sendiri lebih khidmad dan memperoleh
makna Waisak, kalau di Borobudur hanya seperti hura-hura saja, sulit untuk
memperoleh ketenangan” (Wawancara, Putu Polos, 21 Mei 2015). Pak Putu
mengungkapkan bahwa sembahyang Waisak di vihara sendiri-sendiri terutama di
Vihara Karangdjati sebagai salah satu cara untuk menyelami Waisak yang lebih
terasa dari pada Waisak di Borobudur
Persoalan ketidaksakralan upacara Puja dalam perayaan Waisak di candi
Borobudur tidak bisa dilepaskan dari kebijakan PT Taman Wisata Borobudur,
pemerintah dan pihak umat Buddha (WALUBI) sendiri. Ibadah hari raya yang
menjadi tontonan adalah salah satu faktornya. Hal ini terjadi karena negara dan
korporasi (PT Taman Wisata Candi Borobudur) seperti sengaja menjadikan puja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8888
Waisak sebagai komoditas yang dapat menghasilkan pendapatan besar melalui
Candi Borobudur dan eventnya. Kebijakan tetap memberlakukan tiket masuk
dan membuka akses bagi semua pengunjung terutama pada hari Waisak adalah
tanda-tanda telah dikomodifikasikannya puja Waisak. Banyak orang di luar
Umat Buddha mungkin tidak menduga bahwa umat Buddha dalam
mempergunakan Candi Borobudur tetap diharuskan membayar tiket masuk.
Pada posisi ini umat Buddha tidak mempunyai daya tawar yang kuat dan
dengan terpaksa harus ‘berdamai’ menerima hegemoni kebijakan negara dan
korporasi soal penyelenggaraan Waisak. Sebagian umat Buddha menerima
kebijakan itu karena merasa bahwa sudah sepantasnya umat Buddha yang sering
mengklaim Candi Borobudur adalah milik umat Buddha mempunyai kontribusi
terhadap pemeliharaan candi. Ditambah lagi persoalan internal umat Buddha
yang sulit bersatu tidak mampu menjadi kekuatan untuk mendesak negara dan
korporasi membuat kebijakan baru yang lebih menghargai ibadah rakyat
kecilnya.
B. Waisak di Yogyakarta sebuah War of Position
Penolakan masyarakat Umat Buddha di bawah organisasi KASI bukan
hanya sebatas perlawanan pasif seperti dengan mengeluarkan celotehan,
ketidakhadiran atau memandang rendah Waisak di Candi Borobudur yang
diselenggrakan oleh WALUBI baru. Penolakan juga berupa aksi perayaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8989
Waisak dengan skala kecil-kecil namun lebih dirasakan sakral dan memberi
manfaat dalam kehidupannya.
Di awal-awal pecahnya WALUBI dan KASI, masyarakat Yogyakarta
terutama masyarakat Umat Buddha Theravada dan Buddhayana mengadakan
perayaan-perayaan Waisak tandingan untuk memperlihatkan eksistensi mereka.
Umat Buddha dari kelompok Buddhayana dan Theravada di Yogyakarta menjadi
motor penggerak perayaan Waisak selain di vihara-vihara di Yogyakarta dan
Candi Sewu
Adapun aktifitas perayaan Waisak di Yogyakarta sebagai bentuk
perlawanan mereka terhadap perayaan Waisak di Borobudur adalah sebagai
berikut:
1. Umat Buddha di bawah organisasi KASI di wilayah Sleman yaitu umat
Vihara Dharmavijaya Berbah, umat dari Cetiya Buddhakirti dan Umat
Vihara Karangdjati mengadakan persembahyangan detik-detik Waisak di
Vihara Karangdjati. Perayaan Waisak dengan acara yang sederhana yaitu
puja bhakti, meditasi detik-detik Waisak, pembacaan pesan Waisak dari
KASI oleh ketua Vihara, potong tumpeng dan acara keakraban seperti
pemberian hadiah-hadiah untuk umat yang telah mengikuti kegiatan-
kegaiatan yang diadakan Vihara Karangdjati menjelang perayaan Waisak.
Tri Widiyanto, salah satu pengurus Vihara Karangdjati mengatakan
bahwa vihara tidak boleh kosong pada saat hari perayaan Waisak, beliau
mengatakan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9090
“banyak juga orang Jogja seperti para mahasiswa yang tidak pergi keBorobudur atau ke candi Sewu dan lebih suka puja bakti di Vihara inijadi ini semakin memantapkan pengurus vihara untuk tetapmengadakan perayaan di vihara sendiri. Para umat juga merasa lebihnyaman merayakan Waisak sederhana di Vihara Karangdjati ini”(Wawancara, Tri Widiyanto, 2 Juni 2015).
Kehadiran para mahasiswa sebagai simbol hadirnya komunitas
intelektual yang mampu berfikir lebih daripada umat Buddha biasa merupakan
point penting dalam simbol perlawanan terhadap apa yang WALUBI lakukan
dalam perayaan Waisak di Candi Borobudur. Kesederhanaan dan kesakralan
puja Waisak adalah bagian penting dalam perayaan Waisak. Namun hal ini jauh
dari apa yang dibayangkan umat Buddha di Candi Borobudur. Komunitas
intelektual muda melihat hal tersebut dan mendukung apa yang dilakukan
masyarakat Umat Buddha di Vihara Karangdjati.
1. Umat Buddha dari Vihara Vidyaloka yang merupakan binaan dari Sangha
Theravada Indonesia (STI) melakukan perayaan Waisak dengan menggelar
Puja Bakti detik-detik Waisak di Vihara Mendut Magelang. Ketika di Candi
Mendut dipakai untuk perayaan Waisak oleh WALUBI dengan hiruk
pikuknya, para umat dari Vihara Vidyaloka Yogyakarta bersama umat
Buddha di Magelang, Muntilan dan beberapa umat dari Parakan melakukan
ritual sederhana di Vihara Mendut yang berada persis di belakang Candi
Mendut. Menurut salah satu bhikkhu di Vihara Mendut Bhikkhu Jotidhammo
banyak umat Buddha yang ikut Puja Bhakti detik-detik Waisak di Vihara
Mendut antara lain umat dari Yogya, Semarang, Kudus, dan Muntilan
bahkan banyak pula peserta Waisak Nasional dari WALUBI yang juga ikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9191
puja bakti. Metta salah satu umat Vihara Vidyaloka mengakui selain karena
lebih sakral dan khidmad karena dipimpin bhikkhu senior, umat juga lebih
suka ikut puja bhakti di Vihara Mendut karena sekalian menonton perayaan
Waisak di Candi Mendut:
“...karena Bhante Joti pembina kita maka kita ikut puja bakti Waisak diVihara Mendut, biasanya bhante yang mimpin detik-detik Waisak.Sebelum puja bakti detik-detik kami juga sekalian bisa nonton hirukpikuknya orang merayakan Waisak di Candi Mendut. Kalau lagisembahyang bersama ramai sekali dari berbagai sekte ada jadi kami bisanonton cara sembahyangnya sekte lain” (Metta, wawancara, 7 Juni2015)
Bhante30 Joti (Jotidhammo Mahathera) adalah seorang bhikkhu senior
dalam Sangha Theravada Indonesia. Beliau sempat menjadi ketua umum
(Sanghanayaka) Sangha Theravada Indonesia pada periode 2009-2016.
Beliau juga sangat mengerti tentang perjalanan WALUBI dan proses-proses
penyelenggaraan Waisak di candi Borobudur. Selain sebagai bhikkhu beliau
adalah pengajar (dosen) di Lembaga Pabbajja Samanera (LPS)31 Mendut,
dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Semarang, dosen tamu
pada Center For Religius and Cross Cultural Studies (CRCS) Universitas
Gadjah Mada (CRCS UGM). Bhikkhu Jotidhammo berdomisili di Vihara
Mendut Magelang tetapi membina secara khusus organisasi pemuda
Vidyasena di Vihara Vidyaloka.
30 Panggilan untuk seorang Bhikkhu31 Sekolah untuk para samanera (calon bhikkhu) pada Sangha Theravada Indonesia (STI)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9292
Metta sebagai salah satu informan merupakan mahasiswa di salah
satu perguruan tinggi di Yogya dan merupakan anggota Vidyasena. Bhikkhu
Jotidhammo dan Vihara Mendut memang tidak pernah mengundang umat
binaannya untuk hadir pada puja bakti detik-detik Waisak, mereka hadir
dengan sendirinya. Ini menunjukkan bahwa Vihara Mendut dan Bhikkhu
Jotidhammo serta bhikkhu-bhikkhu yang tinggal di Vihara Mendut
mempunyai kepemimpinan moral dan intelektual sehingga dengan
kesadarannya masyarakat Umat Buddha di bawahnya hadir bersama-sama
melakukan puja di Vihara Mendut yang jelas posisinya dekat dengan
perayaan Waisak Nasional. Mereka yang hadir di Vihara Mendut mengambil
jarak dengan Waisak Nasional dan memperlakukan Waisak Nasional tak
lebih sebagai tontonan belaka.
2. Umat Buddha di wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan binaan STI dan
MAGABUDHI di bawah organisasi KASI. Mereka terdiri dari 5 vihara 1
cetiya, kurang lebih 1000 umat Buddha berada di wilayah Kabupaten Kulon
Progo ini. Dalam perayaan Waisak mereka mengadakan acara Waisak di
vihara masing-masing. Mereka menyambut Waisak dengan berbagai macam
kegiatan misalnya nyekar di makam keluarga, bakti sosial bersih lingkungan,
pengambilan air di sumber-sumber mata air dekat vihara, puja bakti
selamatan dan kenduri Waisak, serta puja bakti detik detik Waisak.
Tahun 2016 misalnya Waisak di Kulon Progo dirayakan secara besar
bahkan telah dilakukan sebulan sebelum hari Waisak tiba. Umat Buddha
Kulon Progo adalah umat Buddha dari suku Jawa sehingga dalam merayakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9393
Waisak unsur budaya Jawa sangat kental. Upacara ritual seperti kirab amisa
puja, tirta amerta, kenduri Waisak dan puja mangala Waisak dilakukan
dengan tradisi Jawa baik pakaian ritual, bahasa maupun sesajiannya.
Vihara Giriloka misalnya, sebagai pusat kegiatan pada Waisak 2560
tahun 2016 mengangkat tema “memayu hayuning bawana lumantar laku
welas asih”. Menurut Sumartini sebagai salah satu pencetus tema
mengatakan bahwa Waisak mestinya bukan hanya sebagai ajang unjuk
eksitensi umat Buddha saja namun harus mampu menjadi momentum umat
Buddha untuk sadar diri menjadi bagian alam semesta yang harus senantiasa
memberi manfaat bagi alam semesta.
Salah satu acara besar yang diselenggarakan dalam rangka menyambut
hari Waisak di Kulon Progo pada tahun 2016 adalah “Tri Buana Manggala
Bhakti” yaitu wujud bakti pada alam dengan penanaman pohon di
pegunungan Menoreh, pelepasan satwa ikan dan burung di Taman Sungai
Mudal Jatimulyo. Menurut Surahman salah satu penggagas acara ini
mengatakan:
“Tri Buana Manggala Bakti mengandung makna bahwa sebagai umatBuddha perlu berkontribusi pada pelestarian alam semesta sepertipelestarian mata air dengan penanaman pohon, pelepasan berbagaijenis burung dan ikan. Jika di Borobudur mereka menerbangkanlampion dalam jumlah banyak yang justru mengotori udara, kita disiniberusaha untuk menjaga kualitas udara dengan menanampohon”.(Surahman, wawancara,16 Mei 2016)
Gagasan baru yang diusung oleh masyarakat Umat Buddha di Jatimulyo
Kulon Progo dalam perayaan Waisak merupakan bentuk ekspresi perayaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9494
Waisak yang lebih substansial dibandingkan dengan perayaan-perayaan yang
bersifat seremonial. Sepertri telah diuraikan bahwa puja (khususnya patipati
puja) yang paling tinggi adalah praktik Dharma yang diajarkan oleh Buddha.
Nilai-nilai harmoni terhadap alam, cinta kasih dan kepedulian terhadap
penderitaan telah diusung dalam kegiatan Wiasak oleh masyarakat Umat Buddha
di Jatimulyo. Dengan tegas dikatakan oleh Surahman dalam wawancara tersebut
bahwa pesta lampion yang begitu indah dan memukau wisatawan di Candi
Borobudur justru bukanlah cerminan ajaran Buddha. Penanaman pohon,
pelepasan satwa dan pelestarian sumber mata air menjadi sebuah counter apa
yang dilakukan oleh WALUBI yaitu event lepas lampion.
Secara umum jika kita tarik benang merah umat Buddha aliran Theravada
di bawah binaan MAGABUDHI dan STI lebih menekankan perayaan Waisak
pasca pecahnya WALUBI-KASI dengan melakukan ritual Waisak di Vihara
masing-masing. Hal ini juga tidak lepas dari himbauan yang pernah dilakukan
oleh Pengurus Pusat MAGABUDHI melalui surat edaran kepada umat Buddha
di bawah binaan Theravada Indonesia untuk lebih memberdayakan kegiatan di
Vihara masing-masing dalam merayakan Waisak.
Perayaan Waisak yang justru dikelola oleh umat Buddha sendiri di Kulon
Progo ini justru lebih membuat umat Buddha lebih merasakan makna Waisak.
Hal ini diungkapkan oleh Ibu Satimah salah satu umat Buddha di Vihara
Giriloka:
“kalau dulu Waisak kita sering disuruh ke Borobudur, harus berangkatpagi-pagi pulang sore sampai malam ya memang senang karena bisaberkumpul dengan umat Buddha dari berbagai daerah, tapi kalau masalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9595
makna Waisaknya kita lebih sakral di sini (di vihara) kita bisa benar-benar bermeditasi Waisak dan bisa saling mengucapkan Waisak bersamaumat disini rasanya lebih indah”. (Satimah, wawancara, 22 Mei 2016)
Pernyataan Satimah seorang warga umat Buddha di Jatimulyo dalam
wawancara ini semakin mempertegas pentingnya suasana sakral dalam puja
Waisak. Ketika sebuah institusi (panitia) tidak mampu menciptakan kesakralan
dalam suatu ritual upacara maka biasanya para umat akan mencari dan memilih
perayaan mana yang bisa memberikan makna mendalam dalam suatu uapacara
ritual Waisak.
3. Perayaan hari raya Asadha di Candi Borobudur oleh KBTI
Kerinduan masyarakat Umat Buddha di bawah kelompok Theravada
Indonesia terhadap ritual Waisak di Candi Borobudur akibat dominasi WALUBI
nampaknya ditangkap oleh para petinggi Keluarga Umat Buddha Theravada
Indonesia (KBTI). KBTI membuat acara ritual keagamaan hari raya agama
Buddha yang lain di Candi Borobudur. Selain Waisak dalam agama Buddha
terdapat juga hari raya Asadha, Kathina dan Maghapuja. KBTI memilih hari raya
Asadha untuk dirayakan di Candi Borobudur. Asadha merupakan hari raya untuk
memperingati pertama kali Buddha Gautama memberikan ajaran Dharma
kepada lima orang murid pertama. Asadha dirayakan dua bulan setelah Waisak.
Mulai tahun 2015 Sangha Theravada Indonesia dengan didukung oleh
organisasi Theravada lainnya menyelenggarakan perayaan Asadha di Candi
Borobudur. Acara juga dirangkai dengan pembacaan Tipitaka kitab agama
Buddha selama tiga hari dan pada puncaknya melaksanakan Puja bakti Asadha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9696
dengan diawali prosesi layaknya Waisak dari candi Mendut menuju ke candi
Borobudur.
Perayaan Asadha ini selain sebagai bentuk perlawanan terhadap
WALUBI juga bisa kita pandang sebagai bentuk negosiasi terhadap komunitas
umat Buddha Theravada supaya dapat kembali merasakan kesakralan Candi
Borobudur. Dengan basis massa yang cukup besar acara perayaan Asadha. Ini
merupakan war of position KBTI terhadap WALUBI. Jika para intelektual KBTI
mampu menjaga hegemoni maka bukan tidak mungkin bahwa medan eksistensi
akan bergeser ke KBTI.
4. Waisak Nasional Candi Sewu Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI)
Perayaan Waisak yang cukup besar di sekitaran Yogyakarta adalah
Waisak yang digelar oleh Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI). Umat Buddha
dari Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta yang terdiri dari 9 vihara dengan
jumlah umat yang cukup banyak bersama ribuan umat Buddha dari berbagai
wilayah di Indonesia khususnya Jawa Tengah dan DIY,turut serta dalam
perayaan Waisak di Candi Sewu ini.
Inilah kegiatan perayaan Waisak yang dapat dikatakan sebagai Waisak
Nasional tandingan dari Waisak Nasional Candi Borobudur. Hal ini dapat dilihat
dari bagaimana Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) mengambil tempat
pelaksanaan, ritual dan seremonial serta melihat jumlah massa pesertanya. Dari
tempat pelaksanaanya, perayaan ini dilaksanakan di kompleks Candi Sewu yang
merupakan salah satu Candi Buddha terbesar kedua setelah Borobudur. Dari
ritual dan seremonialnya sangat mirip dengan apa yang dilaksanakan di Candi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9797
Borobudur seperti ritual mengambil api, air, prosesi mengarak amisa puja, detik-
detik Waisak hingga Dharmasanti. Dari jumlah massa pesertanya, Waisak di
Candi Sewu juga melibatkan ribuan peserta yang bukan hanya dari umat Buddha
Yogjakarta dan Jawa Tengah saja namun juga dihadiri dari umat Buddhayana
dari berbagai daerah. Demikian pula pendukung acara ini tidak hanya dari
Yogyakarta saja namun juga didukung oleh Keluarga Buddhayana dari pusat
(Jakarta).
Perayaan Waisak di Candi Sewu dimotori oleh Bhikkhu dari Wonosari
Yogyakarta Sasana Bodhi Thera. Beliau adalah seorang bhikkhu pembina
Sangha Agung Indonesia (SAGIN) wilayah Yogyakarta yang juga merupakan
pembina di Vihara Jina Dharma Sradha Wonosari Gunung Kidul. Selain sebagai
bhikkhu pembina Buddhayana di Yogyakarta, Bhante Sasana Bodi juga
merupakan mantan ketua sekolah tinggi agama Buddha di Boyolali yaitu STIAB
Smaratungga Boyolali. Hal ini menjadi modal sosial bagi Bhikkhu Sasana Bodhi
untuk dapat menyelenggarakan Waisak Nasional di Candi Sewu. Dalam
kacamata Gramsci, Bhikkhu Sasana Bodhi adalah intelektual organik yang
mempunyai pengaruh besar berlangsungnya Waisak Nasional di Candi Sewu.
Waisak di Candi Sewu mulai berlangsung sejak tahun 2004 sebagai
respon keterbelahan organisasi KASI dan WALUBI yang berimbas pada praktik
perayaan Waisak Nasional di Candi Borobudur. Dominasi WALUBI pada
perayaan Waisak Nasional Candi Borobudur membuat KBI perlu membuat
perayaan Waisak seperti di Candi Borobudur. Meskipun tidak ada larangan
terhadap umat Buddha warga KASI untuk menghadiri Waisak Nasional di Candi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9898
Borobudur banyak warga Umat Buddha KASI tabu untuk datang ke Candi
Borobudur.
Hal ini pula yang membuat Keluarga Buddhayana Indonesia (SAGIN,
MBI, WBI dan SEKBER) wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk membuat
alternatif kegiatan Waisak. Atas prakarsa dari Bhikkhu Sasana Bodhi, dibuatlah
acara Waisak di Candi Sewu. Kekuatan jaringan umat Buddha di Yogyakarta,
Boyolali, dan Semarang serta STIAB Smaratungga Boyolali menjadi motor
acara Waisak di Candi Sewu secara besar.
“Latar belakang diselenggarakannya acara Waisak di Candi Sewu adalahtidak terakomodirnya umat Buddha dari Keluarga Buddhayana Indonesiadalam perayaan Waisak nasional di Candi Borobudur yang dimonopolioleh WALUBI, sehingga candi Sewu menjadi alternatif untuk kegiatanWaisak” (Sasana Bodhi, wawancara, 15 Desember 2015).
Dari pernyataan Bhante Bodhi di atas jelas bahwa perayaan Waisak di
Candi Sewu merupakan bentuk perlawanan subordinan atas dominasi WALUBI.
Perlawanaanya tidak lagi tersebunyi dan tersirat dalam ucapan-ucapan peyoratif.
Strategi perlawanan yang diambil menggunakan strategi perlawanan langsung
melalui ritual-ritual Waisak.
Dari tahun ke tahun acara Waisak di Candi Sewu ini terus dikenal oleh
masyarakat Umat Buddha di berbagai daerah. Tahun 2014 Waisak di candi Sewu
ini dihadiri kurang lebih 7.000 umat Buddha. Umat Buddha dari Yogyakarta,
Kaloran Temanggung, Jepara, Pati, Kabupaten Semarang hadir melaksanakan
puja bakti Waisak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9999
Tahun 2014 Waisak Candi Sewu menjadi semakin dikenal masyarakat
luas, ketika calon presiden Jokowi turut menghadiri acara Waisak tersebut
(http://buddhazine.com/boediono-hadiri-Waisak-di-candi-borobudur-jokowi-di-
candi-sewu/ diakses tgl 14 okt 2016). Pesona Gubernur Jakarta yang dicalonkan
menjadi Presiden dari PDIP yang hadir dalam Waisak di Candi Sewu seakan
memberi harapan baru bahwa pemerintah (nantinya) akan memperhatikan orang-
orang terpinggirkan seperti umat Buddha warga KASI. Salah seorang umat
Buddha yang hadir pada waktu itu cukup terkejut dan senang atas kehadiran
Jokowi:
“saat itu kami tidak menyangka pak Jokowi tiba-tiba hadir di Waisak,senang sekali karena bisa bersalaman dengan pak Jokowi orangnyamerakyat, saya juga berdo’a semoga beliau menang Pilpres dan ternyatamemang menang”(wawancara, Marsinem, 14 Oktober 2016)
Ungkapan Marsinem dan saya menduga juga merupakan sebagian besar
ungkapan umat Buddha di bawah KASI adalah bentuk kerinduan ‘disentuh’ oleh
penguasa. Jokowi meskipun saat itu belum menjabat sebagai presiden RI sudah
dibayangkan sebagai penguasa negeri yang akan memberi harapan baru
‘menyentuh’ masyarakat terpinggirkan. Sapaan Jokowi dalam Waisak di Candi
Sewu menjadi setitik embun harapan bagi umat Buddha.
Rangkaian acara Waisak di Candi Sewu tidak jauh berbeda dengan
Waisak nasional di Candi Borobudur, pada puncak ritual adalah puja bakti detik-
detik Waisak. Hanya saja rangkaian acara Waisak di Candi Sewu berubah setiap
tahunnya, terkadang dirayakan secara besar-besaran namun ada kalanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100100100
dirayakan secara sederhana. Hal ini juga dirasakan oleh Risky salah satu umat
dari Gunung Kidul yang sering juga terlibat dalam acara Waisak di Candi Sewu:
“kalau Waisak tahun ini (2016) di Candi Sewu hanya sederhana sekalitidak ramai-ramai, umat Gunung Kidul datang jam 10 malam lalumengikuti Dharmasanti sambil menunggu acara sembahyang jam 1 pagidan puja bakti detik-detik jam 4. Beda dengan 2 tahun kemarin banyakpentas-pentas seni, prosesinya juga panjang dan bagus ada marchingband-nya. Yang paling berkesan saat pak Jokowi datang acaranya ramaisekali, ada pertujukan wayang juga” (Risky, wawancara, 14 Oktober2016)
Adapun rangkaian acara Waisak yang saya dapatkan adalah perayaan
Waisak Nasional 2559 BE tahun 2015, acaranya sebagai berikut:
1. Pengambilan air Waisak serta pengambilan api alam di Mrapen
Seperti prosesi Waisak nasional WALUBI, dalam prosesi Waisak di
candi Sewu juga terdapat pengambilan air Waisak. Bahkan tidak hanya dari
satu sumber mata air namun dari 7 sumber mata air. Sebagai contoh pada
Waisak 2556 tahun 2015 hari Selasa tanggal 2 Juni 2015 dimulai pukul 06.00
pagi dilakukan dua acara yaitu pengambilan air dan api alam Mrapen.
Air suci diambil dari Umbul Jumprit, Pikatan, Senjoyo, Candi Umbul,
Jolotundo, Umbul Pengging, dan Sendang Pitutur. Tujuh sumber
mengandung makna tujuh faktor pencerahan. Pengambilan air dipimpin oleh
para bhikkhu yang dibagi dalam beberapa kelompok sesuai sumber air yang
diambil. Air ini kemudian di bawa ke candi Lumbung dekat Candi Sewu
untuk nantinya di arak ke altar Candi Sewu.
Selain pengambilan air, panitia dan Sangha juga melakukan
pengambilan api alam dari Mrapen. Api adalah lambang dari penerangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101101101
sehingga hal ini menjadi bagian penting dalam upacara Waisak. Pengambilan
dilakukan dengan memakai obor seperti api PON. Api alam ini nantinya akan
digunakan sebagai sarana untuk menyalakan pelita-pelita di altar. Air dari
tujuh sumber dan api dari Mrapen tiba di lokasi pada pukul 15.00 dan
disemayamkan di Candi Lumbung.
2. Prosesi membawa amisa puja ke altar candi Sewu
Upacara Waisak diawali dengan prosesi mengarak persembahan seperti relik,
air dari tujuh sumber, bunga, api, gunungan sayur dan buah dengan dipayungi
berwarna keemasan dari Candi Lumbung menuju altar Candi Sewu pada jam
15.00 - 17.30. Adapun urutan barisan prosesi pada Waisak 2556 tahun 2015
sebagai berikut:
1). Liong Samsi dari Vihara Metta Buddha dari Sumbing Wonosobo
2). Marching Band oleh mahasiswa STIAB Smaratungga Boyolali
3). Bendera merah putih dan panji-panji Umat Buddha sebanyak 16
petugas dari SMK Pembangunan Ampel Boyolali
4). Barisan Bhinekha Tunggal Ika
5). Sarana puja api obor diikuti lilin pancawarna, air suci, bunga dua
pasang dan buah dua pasang, manisan sepasang, dan dupa oleh
muda-mudi dari Gunung Kidul Yogyakarta
6). Gunungan Tumpeng dan Gunungan Palawija sebanyak 8 orang dari
Gunung Kidul
7). Drum band dari SMP Smaratungga Boyolali Jawa Tengah
8). Barisan kesenian tradisional seperti Topeng Ireng dan Jathilan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102102102
9). Bhikkhu pembawa relik yang dibawa bhikkhu dengan dipayungi
warna keemasan dan barisan Para Bhikkhu, bhikkhuni, samanera,
samaneri yang berbaris rapi dan khidmad berjalan diikuti umat
dengan membawa bunga sedap malam menuju altar utama.
Selanjutnya, Air Suci, Api Dharma, bunga dan relik dipersembahkan
di Altar Utama Candi Sewu oleh bhikkhu yang sudah ditunjuk,
kemudian dilanjutkan dengan prosesi penyalaan pelita oleh sangha
pada waktu menjelang senja dan barisan bhikkhu maupun umat
menempati karpet yang telah dipersiapkan oleh panitia.
3. Persembahyangan di Candi Sewu
Ketika Altar Waisak sudah lengkap acara dilanjutkan dengan
sembahyang baik dengan tradisi Tantrayana, Mahayana maupun Theravada
yakni membaca Sutra, Paritta dan Mantra yang diikuti oleh para peserta yang
telah hadir. Sembahyang ini dilakukan satu jam mulai dari jam 18.00 sampai
19.00 diawali dengan penyalaan lilin altar oleh Bhikkhu Sangha.
4. Dharmasanti Waisak
Momen puncak Waisak adalah pada saat detik-detik Waisak yang bisa
jatuh kapan saja baik pagi dini hari, siang maupun malam tergantung dari
titik sempurna bulan purnama menurut perhitungan astronomi. Biasanya
detik-detik telah dapat diketahui dalam kalender-kalender vihara. Jeda waktu
antara prosesi Waisak dan detik-detik Waisak selain digunakan untuk
sembahyang dengan tiga tradisi, biasanya juga digunakan untuk acara
seremonial Dharmasanti yang berisi sambutan dan hiburan pentas seni.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103103103
Sambutan oleh panitia, DPP Majelis Buddhayana Indonesia dan dari Bimas
Buddha Kementerian Agama RI. Adapun Dharmasanti pada Waisak 2559
tahun 2016 sebagai berikut:
a. Penyalaan lilin perdamaian oleh tokoh lintas agama dan penghayat
kepercayaan dalam hal ini dilakukan oleh anggota Forum
Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogya
b. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya
c. Pembacaan ayat kitab suci Dhammapada oleh mahasiswa STIAB
Smaratungga
d. Prakata ketua umum oleh ketua Waisak Candi Sewu
e. Penampilan paduan suara dari STIAB Smaratungga yakni Mars
Buddhayana, Mars Wanita Umat Buddha Jaya, Mars Sekber PMVBI.
f. Pesan Waisak oleh SAGIN biasanya hal ini mengacu pada tema yang
telah ditetapkan
g. Sambutan-sambutan: DPP MBI disambut dengan lagu Dharmagita
Semangat Buddhayana versi gamelan; sambutan Dirjend Bimas
Buddha disambut dengan lagu Dharmagita Berkah Waisaka Puja;
penyerahan piagam penghargaan kepada tokoh umat Buddha.
5. Puja Bhakti detik-detik Waisak
Setelah acara-acara seremonial dilanjutkan dengan acara ritual
Waisak sebagai puncak acara yaitu puja bakti detik-detik Waisak. Acaraa
diawali dengan pradaksina mengelilingi candi sewu sebanyak tiga kali searah
jarum jam dengan membawa bunga sedap malam dan dupa. Setelah semua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104104104
umat Buddha melakukan pradaksina kemudian menuju altar dan melakukan
puja bakti dengan tradisi Theravada membaca Paritta.
Pada pukul 23.18.43 seluruh umat Buddha hening melakukan meditasi
detik-detik Waisak kurang lebih selama lima menit. Upacara dilanjutkan
dengan pemercikan air berkah Waisak kepada seluruh umat yang hadir
sebagai simbol berkah telah tercurah. Puja bakti ditutup dengan melakukan
sujud penghormatan kepada Tiratana menghadap altar Buddha. Setelah itu
umat membubarkan diri pulang ke daerah masing-masing dan membawa air
Waisak yang telah dipersiapkan oleh panitia.
Waisak yang diselenggarakan di Candi Sewu oleh Keluarga
Buddhayana Indonesia memang cukup menarik dan bisa menjadi alternatif
umat Buddha. Hal ini disampaikan oleh Tri Utami asal Kaloran Temanggung
yang mengatakan bahwa tiap tahun umat Buddha di Kaloran sekarang sering
ikut Waisak di Candi Sewu.
“Kalau ke Borobudur kan dulu sudah sering dan malah orang seringhanya kecapekan dan tidak bisa sembahyang, mereka hanya suka bisa keCandi Borobudur. Namun sekarang malah banyak yang ikut ke CandiSewu, ada yang dari Glethuk, Delen, Wates dan banyak daerah-daerahKaloran ke sana. Orang Wonosobo juga sering kesana. Apalagi banyakanak-anak muda Temanggung kuliah di STIAB Smaratungga sehinggamereka menginfokan ke orang tua dan pengurus Vihara disana. Merekayang sudah pernah mengikuti di Candi Sewu juga bercerita di Sewu lebihkhusyuk dan indah, jadi tahun depan depannya banyak lagi yang ikutWaisak di Sewu” (Tri Utami , Wawancara, 15 Oktober 2016)
Dalam beberapa event Waisak yang telah digelar di Candi Sewu juga
sering diadakan acara kenduri Waisak dan potong tumpeng sebagai wujud
kebersamaan dan syukur. Hal ini cukup menarik masyarakat Umat Buddha di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105105105
berbagai wilayah untuk mengikuti perayaan Waisak di candi Sewu.
Kepemimpinan secara intelektual dan moral oleh Bhikkhu Sangha dari SAGIN
menjadi kekuatan bagaimana dapat menjadikan Waisak di Candi Sewu sebagai
cara menghegemoni balik masyarakat Umat Buddha. Masyarakat secara tanpa
paksaan dan tanpa mobilisasi umat dengan uang mau mengikuti perayaan
Waisak di Candi Sewu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106106106
BAB V
KESIMPULAN
Dari data dan analisa yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya
dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait relasi kuasa antara perayaan Waisak
di Borobudur dan Perayaan Waisak-Waisak lain di sekitar Candi Borobudur.
Perayaan Waisak sebagai aktualiasasi keyakinan religius masyarakat Buddha
sebagai cara penghormatan terhadap tiga peristiwa penting dalam kehidupan
Buddha Gautama bukanlah ruang netral yang selalu nampak suci dan bebas
dari afirmasi ideologi dominan kelompok tertentu. Terdapat proses-proses
peneguhan ideologi dominan terhadap kelompok sub ordinan melalui praktik-
praktik ritual dalam perayaan Waisak. Di mana ada afirmasi dominasi disitu
muncul resistensi.
Waisak bagi penganut ajaran Buddha mengandung makna sakral pada
tiga peristiwa besar yang dialami Sidharta Gautama. Pemujaan terhadap tiga
peristiwa penting tersebut merupakan ruang ekspresi identitas bagi umat
Buddha. Di Indonesia ketiga peristiwa (saat lahirnya Sidharta Gautama, saat
pencapaian kesempurnaan (Buddha) Sidharta Gautama dan saat wafatnya
Sidharta ‘Buddha’ Gautama) telah dirayakan sejak sebelum Indonesia
merdeka. Para Teosof yang belajar Umat Buddhame dari Sri Lanka melalui
tokoh Bhikkhu Narada melakukan ritual Waisak sebagai salah satu aktualisasi
ajaran Buddha di tempat keramat reruntuhan Candi Borobudur. Seiiring
dengan perkembangan agama Buddha di Indonesia, perayaan Waisak makin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107107107
dikenal dan diikuti oleh ribuan orang di candi Borobudur. Di masa Orde Baru
dibentuklah WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) sebagai wadah
tunggal umat Buddha yang kemudian juga meneruskan tradisi perayaan
Waisak di Candi Borobudur yang telah ada sebelumnya. Waisak Nasional
Candi Borobudur adalah penanda eksistensi umat Buddha (secara komunal)
paling menonjol di Indonesia.
Di akhir masa Orde Baru WALUBI terpecah dan bubar. Dengan
bubarnya WALUBI muncul dua organisasi besar yaitu Perwakilan Umat
Buddha Indonesia (WALUBI baru) dan Konferensi Agung Sangha Indonesia
(KASI). Munculnya dua organisasi tersebut menjadikan masyarakat Umat
Buddha Indonesia terdikotomi. Dua organisasi saling mengklaim berhak
mengakses Candi Borobudur sebagai sacred place dalam perayaan Waisak.
Di sisi lain Candi Borobudur dalam pandangan negara dan terutama korporasi
Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) adalah komoditas siap pakai bagi
siapapun yang mampu membayarnya.
Melalui kepemimpinan Siti Hartati Murdaya WALUBI baru mampu
melanggengkan tradisi WALUBI adalah penyelenggara tunggal Waisak
Nasional di candi Borobudur. WALUBI baru berhasil membentuk persepsi
bahwa Waisak Nasional di Candi Borobudur adalah WALUBI yang berhak
menyelenggarakannya. Di sisi lain, KASI dengan anggota-anggota bhikkhu
Sangha dan majelis umat Buddha dahulu juga merupakan bagian penting
dalam penyelenggaraan Waisak Nasional. Sehingga KASI juga merasa punya
hak sama untuk menjadi penerus tradisi Waisak Nasional di candi Borobudur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108108108
Dominasi WALUBI baru atas akses penggunaan Candi Borobudur
menjadi faktor munculnya berbagai penolakan baik secara secara individual
anggota masyarakat Umat Buddha di bawah KASI maupun secara kolektif
dengan perlawanan simbolik. Perlawanan oleh masyarakat Umat Buddha
KASI merupakan aktualisasi Waisak sebagai momentum umat Buddha
membersihkan diri dari kekotoran batin untuk mencapai kesempurnaan.
Mereka melihat bahwasanya dalam penyelenggaraan Waisak Nasional begitu
banyak kepentingan bermain yang justru mengotori kesakralan Waisak itu
sendiri. Merayakan Waisak dengan cara-cara sederhana tanpa campur tangan
WALUBI baru menjadi pilihan umat Buddha.
Namun demikian, KASI sebagai organisasi yang semestinya mampu
menjadi pengganti WALUBI lama justru tidak mampu memenuhi ekspektasi
masyarakat Umat Buddha. Soliditas KASI sebagai organisasi nasional umat
Buddha tidak terbentuk dengan baik ketika Waisak tiba, sehingga seringkali
kesulitan dalam penyelenggaraan perayaan Waisak secara bersama.
Perjuangannya lebih terkotak-kotak dalam organisasi berbasis aliran. Hal ini
terlihat dari bagaimana dua organisasi besar anggota KASI merespon
dominasi WALUBI dalam penyelenggaraan Waisak Nasional. Keluarga Umat
Buddha Theravada Indonesia (KBTI) dan Keluarga Buddhayana Indonesia
(KBI) masing-masing mempunyai agenda tahunan tersendiri dalam
merayakan Waisak.
Kepemimpinan intelektual dan moral para eks-pengurus WALUBI
lama terutama para bhikkhu-bhikkhu dari kelompok Theravada dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109109109
Buddhayana menjadi modal dasar pembentukan blok historis baru untuk
melakukan counter hegemony terhadap hegemoni WALUBI dalam perayaan
Waisak di Candi Borobudur. Para bhikkhu merupakan intelektual yang
mampu memberikan pengaruh yang kuat bagi umat Buddha di bawah
organisasi yang mereka pimpin. Para intelektual organik dari kelompok
Theravada memilih memberdayakan umatnya dalam merayakan Waisak
melalui Vihara-vihara binaan. Di sisi lain para intelektual organik kelompok
Buddhayana lebih memilih jalan perlawanan dengan mengadakan perayaan
Waisak tandingan di candi Sewu Jawa Tengah. Hanya saja usaha yang telah
dilakukan oleh dua kelompok eks-WALUBI ini belum dapat secara masif
mengubah persepsi masyarakat terutama terhadap pentingnya Candi
Borobudur dalam perayaan Waisak, namun demikian setidaknya dua
organisasi ini telah memberikan wacana alternatif dalam perayaan Waisak
Nasional di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110110110
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syamsudin. 1973. Perayaan Waisak di Candi Mendut. Perpusatakaan
Digital UIN Sunan Kalijaga: Jogjakarta
Astuti, Hermin Tri. 1998. Skripsi: Waisak Nasional 2540/1996. Tidak diterbitkan.
IAIN Yogyakarta
Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial Observasi Kritis terhadap Para Filosof
Terkemuka (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dhammahasso, Prama Hansa and Vuddhikaro, Pramaha Sombon (Ed). 2011. The
Vesak Day History, Significance dan Celebrations. Mahaculalongkorn
University: Ayutthaya
Dharmakosajarn, Phra. 2011. International Recognition Of the Day of Vesak. Tidak
diterbitkan. Mahachulalongkornrajavidyalaya University Bangkok, Thailand
Endro, Herman S. 1997. Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026.
Malang: Yayasan Dhammadipa Arama
Gramsci, Antonio. 1987. Selections From the PRISON NOTEBOOKS. New York:
International Publisher (Terjemahan oleh Teguh Wahyu Wibowo Tahun 2013
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta)
Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111111111
Ismulyadi, CB, Dkk. 2012. Fenomena Ziarah Pada Hari Raya Waisak 2556 (Laporan
kerja mahasiswa). Tidak diterbitkan
Jayamedho, Bhikkhu. 2011. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Cennas:
Jakarta
Juanghari, Edij. 2016. Menebar Benih Dharma di Nusantara. Karaniya: Jakarta
Lestari, Bernadetta Budi. 1996. Tesis: Persepsi Masyarakat Sekitar Candi Mendut
Pawon dan Borobudur Terhadap Upacara Ritual Waisak. Tidak Diterbitkan.
UGM Yogyakarta
Patria, Nezar, dkk. 2003, “Negara&Hegemoni”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar:Yogyakarta
Ramstedt, Martin (Ed). 2005. Hinduism In Modern Indonesia (sub bab The Revival
Of Umat Buddham In Indonesia). Routledge Curzon: London
Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to
Classical and New Methodological Approaches. London: Sage Publications.
Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah Bentu Resistensi Sehari
hari Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Simon, Roger. 2004. Gramsci’s Political Thought (Terjemahan oleh Kamdani dan
Imam Baehaqi diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta).
Smith, Hoare. 1971. Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. New
York: International Publishers
Storey, John. 2012. Cultural Theory and Popular Culture an introduction.
Sunderland: University of Sunderland
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112112112
Tim Penyusun. 2003. Kapita Selekta Agama Buddha. Jakarta: CV. Dewi Kayana
Abadi
Wijayamukti, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta; Yayasan
Dharma Pembangunan
Wuryanto, Joko (Ed). 2009. Pola Pembinaan Lembaga Keagamaan Buddha. Dirjend
Bimas Buddha: Jakarta
Sumber dari Website:
www.bhagavant.com
www.WALUBI.ac.id
www.buddhayana.id
https://www.scribd.com/doc/66269914/AD-ART-WALUBI-2006-2011 diakses padatanggal 30 Sept 2016 jam 15.00
http://segenggamdaun.com/2013/08/jaman-wadah-tunggal-WALUBI/ diakses pada30 Sept 2016
www.smaratungga.co.id
http://www.timlo.net/baca/68719670099/mengintip-persiapan-detik-detik-Waisak-di-candi-sewu/
http://corporate.borobudurpark.com/node/136
http://photo.sindonews.com/view/12889/perayaan-Waisak-di-candi-sewu
http://buddhazine.com/boediono-hadiri-Waisak-di-candi-borobudur-jokowi-di-candi-sewu/ tgl 14 okt 2016
http://berita.suaramerdeka.com/puluhan-bhiksu-turun-ke-jalan-terima-sedekah-umat/diakses pada Jum’at, 10 Maret 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI