TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334255-T32584-Rini+Mulyanti.pdf ·...
Transcript of TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334255-T32584-Rini+Mulyanti.pdf ·...
i
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
(STUDI KASUS PEMBANGUNAN JALAN TOL JORR WEST 2)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan
RINI MULYANTI
1006738531
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
SALEMBA
JANUARI 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yangdikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Rini Mulyanti
NPM : 1006738531
!'
~Tanda tangan
Tanggal : 18 Januari 2013
ii
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :Nama : Rini MulyantiNPM : 1006738531Program Studi : Magister KenotariatanJudul Tesis : ANALISIS PENGADAAAN TANAH UNTUK
KEPENTINGAN UMUM CSTUDI KASUSPEMBANGUNAN JALAN TOL JOOR WEST 2)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji sebagai persyaratan yangdiperlukan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program StudiMagister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
-
Pembimbing : Bapak Dr.F.X Arsin Lukman, S.H
Penguji
Penguji
: Ibu Wenny Setiawati,S.H.,M.LI
: Ibu Eny Koeswami, S.H., M.Kn
c· ......·....· ....... ..~ .......)
Ditetapkari di : DepokTanggal: 18 Januari 2013
iii
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR/ UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT,karena atas berkat dan rahmat Nya,
saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan Program
Studi Notariat pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini.Olah
karena itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr.Drs Widodo Suryandono, S.H.,M.H., selaku Ketua Program Magister
Kenotariatan Universitas Indonesia.
2. Bapak Dr.F.X Arsin Lukman,S.H.,M.H.,selaku dosen pembimbing yang berkenan
meluangkan waktu guna memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
3. Ibu Enny Koeswarni,S.H.,M.Kn., selaku penguji dan yang telah membantu
kelulusan saya.
4. Ibu Wenny Setiawati,S.H.,M.LI., selaku penguji dan yang membantu kelulusan
saya.
5. Bapak/Ibu Dosen Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada penulis.
6. Segenap Staff Sekretariat Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Salemba dan Depok yang telah memberikan bantuan kepada penulis
selama menuntut ilmu di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia.
7. Keluarga saya yang sangat saya sayangi, suamiku Yogi Prayogi, dan anak-anakku
Andika Girindra dan Sarah Dwi Wulandari yang selalu memberikan doa dan
dukungan kepada penulis guna menyelesaikan pendidikan ini.
8. Teman terbaikku Lucyana Dela Rosa, dan teman-teman mahasiswa Program
Magister Kenotariatan Universitas Indonesia angkatan tahun 2010.
iv
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
v
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu, Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu.
Salemba, 18 Januari 2013
Penulis
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASITUGAS AKlllR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangandibawah ini:
Nam aNPMProgram StudiDepartemenFakultas
~
Jenis Karya
: Rini Mulyanti: 1006738531: Magister Kenotariatan
: Hukum: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non- exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Analisis Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (studi kasuspembangunan jalan tol JORR West 2).
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas RoyaltiNoneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/Formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat danmemublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetapmencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Dibuat diPada tanggal
: Depok: 18 Januari 2013
Yang menyatakan
( Rini Mulyanti ,S.H)
vi
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
ABSTRAK
Nama :Rini Mulyanti
Program Studi :Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Judul :Analisis Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
(Studi Kasus Pembangunan Jalan Tol JORR WEST 2)
Dalam praktek pelaksanaan pembebasan tanah, baik yang menyangkut pengadaan
tanah bagi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum, maupun
pembebasan tanah untuk kepentingan swasta selalu menimbulkan keributan dan
masalah, khususnya dalam hal ganti rugi, sehingga banyak yang mempersoalkan
apakah ini terjadi karena kurangnya peraturan yang mengatur, atau karena
ketidaksiapan aparat atau bahkan karena tindakan aparat yang melampaui
kewenangannya.
Tesis ini membahas mengenai sengketa pengadaan tanah untuk pembangunan
jalan tol Jakarta Outer Ring Road West 2 (JORR W 2) antara Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dengan perusahaan pengembang perumahan di wilayah Jakarta Barat,
dengan menganalisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah
memenangkan perusahaan pengembang perumahan sampai dengan tingkat kasasi.
Penelitian yang berjudul “Analisis Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Studi Kasus Pembangunan Jalan Tol JORR W 2” ini bertujuan untuk mengetahui
alasan diterbitkannya Surat Gubernur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor
2349/1.711.52 tanggal 2 November 2008 yang merevisi Surat Gubernur tanggal 1
Oktober 1997, dan akibat hukumnya bagi perusahaan pengembang perumahan
terkait dengan peraturan perundang-undangan.
Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan
mengkaji peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum yang berhubungan
dengan permasalahan diatas. Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu
data yang diperoleh dari bahan pustaka atau literatur. Hasil penelitian diperoleh
gambaran bahwa dasar dikeluarkannya Surat Gubernur Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta tidak memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga kasus tersebut
dimenangkan oleh perusahaan pengembang perumahan. Secara teoritis pelepasan
hak dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam kasus perusahaan
pengembang perumahan adalah untuk kepentingan pemerintah, sedangkan
kenyataannya proyek ini adalah proyek swasta namun pengadaan tanahnya
mengatasnamakan kepentingan umum.
Kata kunci : sengketa, kepentingan umum, ganti rugi.
vii
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
viii
ABSTRACT
Name : Rini Mulyanti
Major : Public Notary, Faculty of Law, University of Indonesia
Title : Analysis to Land Acquisition for Public Interest, (a Case Study to
JORR West 2 Tollroad)
Conflicts and disputes have became the very common situations in society
especially when they were pierced into remedy arrangements. The circumstances
produce dominating question whether based on the existence of insufficient
regulations, or the existence of unqualified authorised personnels, or the
existence of the abuse of power for worse. The objective of this study is to
describe the land acquisition dispute for tollroad project namely Jakarta Outer
Ring Road West 2 (JORR W 2) between DKI Jakarta Province Government and
the Real Estate Company in West Jakarta, by analysing the verdict made by
Court of Administrative Justice which put the Real Estate Company in favor
until the definitive and final Court of Justice stage. By titling this study with
“Analysis to Land Acquisition for Public Interest, a Case Study to JORR W 2
Tollroad“, we shall recover the very basic consideration to the enactment of
Jakarta Province Governor Decree Letter Number 2349/1.711.52 dated on 2
November 2008 that revised the Jakarta Province Governor Decree Letter dated
on 1 Oktober 1997, including the legal consequences for the Real Estate
Companies that are bound to the such Decree. The writing to this study is based
on the legal normative approach which examines the laws and legal theories
related to the aforementioned discourse. Secondary data is the main literature as
fact that is collected from the library. As the result, the description shall contain
several evidences that the enactment of the Jakarta Governor Decree Letter has
not stood on the proper law. Hence, the case is in Real Estate Company favor.
Theoritically, the land acquisition for public interest as referred to the Real
Estate Company case is for the Government interest, in fact the project is
commercial project in the mask of public interest.
Keywords: dispute, public interest, remedy.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
1. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan ................................................................................. 9
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 10
1.3 Metode Penelitian.................................................................................... 11
1.3.1 Bentuk Penelitian .......................................................................... 11
1.3.2 Tipologi Penelitian ........................................................................ 11
1.3.3 Jenis Data ...................................................................................... 12
1.3.4 Alat Pengumpulan Data ................................................................ 12
1.3.5 Analisis Data ................................................................................. 13
1.4 Sistematika Penulisan ............................................................................. 13
2. ANALISIS PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN
UMUM (STUDI KASUS PEMBANGUNAN JALAN TOL
JORR W 2)................................................................................................ 14
2.1 Hak Penguasaan atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional ..............14
2.2 Tinjauan Pelepasan Hak atas Tanah Dalam Pembangunan.................... 24
2.2.1 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan..................... 24
2.2.2 Pengertian Pengadaan Tanah........................................................ 25
2.2.3 Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum............................... 26
2.2.4 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Swasta............................. 27
2.3 Dasar Hukum Pengadaan Tanah........................................................... 28
2.4 Tata CaraPengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum...................... 31
2.4.1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang
Ketentuan Mengenai Tata Cara Pengadaan Tanah...................... 31
2.4.2 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum .......................................................................................... 32
2.4.3 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum........................................................................................ 33
2.4.4 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan
Umum ........................................................................................... 34
2.4.5 Undangundang Nomor 2 Tahun 2012 .......................................... 34
2.5 Pemberian Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah.................................. 36
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
x
2.5.1 Pengertian dan Bentuk Ganti Rugi ........................................... 36
2.5.2 Dasar/cara Perhitungan Ganti Rugi................................................................ 39
2.5.3 Pihak Yang Menerima Ganti Rugi.............................................. 40
2.6 Pelaksanaan Pelepasan Hak Atas Tanah .............................................. 42
2.7 Perolehan Tanah ................................................................................... 45
2.8 Izin Lokasi ............................................................................................ 50
2.9 Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum..................... 56
2.9.1 Pengertian Ganti Rugi................................................................. 56
2.9.2 Bentuk dan Dasar Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum ................................................................................................. 59
2.10 Tinjauan Umum Konsinyasi ...................................................... 61
2.11 Analisis Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus
Pembangunan Jalan Tol JORR W2) .................................................... 67
2.11.1 KasusPosisi ..................................................................................................................... 67
2.11.2 Analisa Permasalahan ............................................................................................... 72
3. PENUTUP................................................................................................... 79
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 79
3.2 Saran....................................................................................................... 79
DAFTAR REFERENSI ................................................................................ 80
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Putusan Mahkamah Agung Nomor
67/G/2011/PTUN-JKT
Lampiran 2 Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT)
Nomor 2701/A/K/BKD/1972, tanggal 16 Desember
1997
Lampiran 3 Surat Izin Pununjukan Penggunaan Tanah (SIPPT)
Nomor 2477/-1.711.5, tanggal 1 Oktober 1997
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengadaan tanah bagi pemenuhan kebutuhan untuk pembangunan di
Indonesia semakin meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun
sebagai tempat untuk kegiatan usaha. Sehubungan dengan hal tersebut akan
meningkat pula kebutuhan akan dukungan berupa jaminan kepastian hukum
di bidang pertanahan. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap
dan jelas, yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah bagi
rakyat Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria yang kita kenal dengan
UUPA. UUPA merupakan Hukum Agraria atau tanah Nasional Indonesia.
Tujuannya adalah akan mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang
penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia harus
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Intensitas pembangunan yang semakin meningkat dan keterbatasan
persediaan tanah membawa dampak semakin sulitnya memperoleh tanah
untuk berbagai keperluan, melonjaknya harga tanah secara tidak terkendali
dan kecenderungan perkembangan penggunaan tanah secara tidak teratur,
terutama di daerah-daerah strategis. Melonjaknya harga tanah membuat
pemerintah semakin sulit melakukan pembangunan untuk penyediaan
prasarana dan kepentingan umum.
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan untuk memperlancar
jalannya pembangunan untuk kepentingan umum, di satu pihak pemerintah
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
2
Universitas Indonesia
memerlukan areal tanah yang cukup luas. Pada pihak lain pemegang hak atas
tanah yang akan digunakan tanahnya oleh pemerintah untuk kepentingan
pembangunan tidak boleh dirugikan. Untuk mengatur hal tersebut diperlukan
adanya suatu peraturan hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.
Tujuan utama kebijakan pertanahan adalah penyediaan tanah yang
dibutuhkan untuk pembangunan dalam lokasi yang tepat, pada saat yang tepat
dan dengan harga yang wajar. Untuk mengendalikan harga tanah yang
merupakan salah satu tugas dalam rangka pelaksanaan kebijakan pertanahan,
pemerintah dapat melakukan interventasi melalui berbagai cara dan teknik,
salah satunya dengan pengadaan tanah.
Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk
memperoleh tanah untuk berbagai kepentingan pembangunan, khususnya
bagi kepentingan umum. Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan
cara musyawarah antar pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas
tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan.1
Dalam perkembangannya, landasan hukum pengadaan tanah diatur
dalam:
(i) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975
(selanjutnya disebut “Permendagri Nomor 15 Tahun 1975”),
tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan
Tanah;
(ii) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 (selanjutnya disebut
“Keppres Nomor 55 Tahun 1993”), tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; diganti
dengan
(iii) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 (selanjutnya disebut
“Perpres Nomor 36 Tahun 2005”) sebagaimana diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 (selanjutnya disebut
Perpres Nomor 65 Tahun 2006), dan
1 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta:
Kompas, 2008), hal 280.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
3
Universitas Indonesia
(iv) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum (selanjutnya disebut “Perpres Nomor 71
Tahun 2012”) yang disahkan pada tanggal 14 Agustus 2012,
sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, yang disahkan pada tanggal 14 Januari 2012.
Perubahan peraturan satu terhadap peraturan yang lain timbul
dilatar belakangi adanya upaya untuk melakukan perbaikan di bidang
pengaturan hukum pengadaan tanah. Dengan diberlakukannya Perpres Nomor
65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 36 Tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, pemerintah berupaya untuk lebih meningkatkan prinsip
penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum
dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum . Namun berdasarkan pertimbangan bahwa Perpres tersebut dirasakan
sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan masyarakat saat ini dan untuk lebih
menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, maka
diperlukan peraturan atau regulasi yang mengatur mengenai tanah yang
pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan,
demokratis dan adil.2
Salah satu upaya pembangunan dalam kerangka pembangunan
nasional yang diselenggarakan Pemerintah adalah pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Pembangunan untuk Kepentingan Umum tersebut
memerlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan
prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 dan hukum tanah nasional, antara lain prinsip kemanusiaan,
keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, penjelasan umum.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
4
Universitas Indonesia
kesejahteraan, berkelanjutan, dan keselarasan sesuai dengan nilai-nilai
berbangsa dan bernegara.3
Hukum tanah nasional mengakui dan menghormati hak masyarakat
atas tanah dan benda yang berkaitan dengan tanah serta memberikan
wewenang yang bersifat publik kepada negara berupa kewenangan untuk
mengadakan pengaturan, membuat kebijakan, mengadakan pengelolaan, serta
menyelenggarakan dan mengadakan pengawasan yang tertuang dalam pokok-
pokok Pengadaan Tanah sebagai berikut:
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya tanah
untuk Kepentingan Umum dan pendanaannya.
2. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan
sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah,
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah,
c. Rencana Strategis, dan
d. Rencana kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.
3. Pengadaan tanah diselenggarakan melalui perencanaan dengan
melibatkan semua pemangku dan pengampu kepentingan.
4. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
5. Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dngen
pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.4
Di tahun 2012 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum yang diharapkan akan menjamin hak masing-masing
pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Undang-Undang ini dinilai lebih
demokratis karena lebih terukur, adanya perencanaan, pelaksanaan dan
penyerahan hasil. Disamping itu jangka waktunya juga disiapkan karena
masing-masing tahapan mempunyai durasi. Undang-Undang ini baru berlaku
3 Ibid. 4 Ibid.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
5
Universitas Indonesia
efektif awal tahun 2013 dikarenakan masih menunggu 3 (tiga) petunjuk
pelaksanaan (selanjutnya disebut juklak) teknis, yang salah satunya tertuang
dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 , sedangkan 2 (dua)
peraturan lainnya yaitu Tata Kelola Keuangan akan dibuat oleh Kementerian
Keuangan jika menggunakan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara
(APBN), namun jika dananya menggunakan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) maka peraturannya dibuat oleh Kementerian Dalam
Negeri.5
Undang-Undang baru ini memperbolehkan pemerintah untuk
mengambil alih tanah untuk memfasilitasi pembangunan proyek-proyek
infrastruktur yang baru. Hal ini menunjang investasi di Indonesia karena
selama ini para investor cukup meragukan kemajuan proyek-proyek
infrastruktur yang telah dijalankan. Dengan demikian Undang-Undang ini
bertujuan untuk menghapus hambatan terbesar dalam pembangunan
infrastruktur di Indonesia.6
Menurut laporan dari Edge Malaysia pemerintah Indonesia pada
tahun 2005 telah menawarkan 100 proyek infrastruktur untuk pengembangan
sektor swasta kepada berbagai perusahaan konstruksi di kawasan ASEAN.
Namun perkembangannya selama ini cukup terhambat karena berbagai
sengketa pengambilalihan tanah, yang seringkali penyelesaiannya memakan
waktu sampai 5(lima) tahun. Dengan Undang-Undang yang baru ini proses
pengambilalihan tanah diharapkan dapat dipercepat dan dapat diselesaikan
dalam waktu kurang dari 9 (sembilan) bulan.7
Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 kedepannya
pengambilalihan tanah tidak akan memakan proses yang panjang, karena
Undang-Undang ini mengatur jangka waktu untuk mengambil-alih tanah
untuk kepentingan umum, yaitu lebih lebih kurang 178 (seratus tujuh puluh
delapan) hari kerja, bila proses pengambilalihan tanah berjalan lancar, dan
5 The Globe Journal, “Undang-undang Pengadaan Tanah Baru efektif 2013”, 27 September 2012,
diunduh pada tanggal 4 Desember 2012, pukul 22:10 WIB. 6 Roosdiono & Partners, “Undang-Undang Pertanahan yang Baru”, diunduh pada tanggal 4
Desember 2012., pukul 19:35 WIB 7 Ibid.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
6
Universitas Indonesia
lebih kurang 1.213 (seribu dua ratus tiga belas) hari kerja, bila ada keberatan
dari pihak yang memiliki tanah yang dibeli.
Walaupun dilatarbelakangi adanya upaya untuk melakukan
perbaikan terhadap peraturan-peraturan pengadaan tanah sebelumnya, Perpres
yang saat ini masih berlaku tidak memberi pembatasan sama sekali. Perpres
ini memperluas pembatasan kepentingan umum dengan memuat kata "atau
akan" dimiliki oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah, serta menghapus
kata "tidak digunakan untuk mencari keuntungan". Mudah ditebak,
diberlakukannya Perpres tersebut dimaksudkan untuk menjadi landasan
hukum kemitraan antara pemerintah dan swasta, khususnya dalam proyek-
proyek pembangunan infrastruktur yang pendanaannya sulit dipenuhi
pemerintah sendiri. Keikutsertaan swasta dapat berupa dana pengadaan tanah
maupun pengusahaannya yang pemilikannya baru dapat dinikmati pemerintah
setelah berakhirnya perjanjian kerja sama yang telah ditetapkan, umumnya
setelah 30 (tiga puluh) tahun.
Potensi masalah lain yang cukup mengkhawatirkan adalah
ketentuan Pasal 10 ayat 3 Perpres mengenai lembaga penitipan uang ganti
rugi ke Pengadilan Negeri setempat (konsinyasi) bila proses musyawarah
mengenai harga tanah tidak selesai, mengingat disatu sisi Pasal 18 Perpres
mengatur pihak yang dirugikan dapat mengajukan upaya hukum banding agar
penetapan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya, yang
pelaksanaannya dianggap tidak sesuai dengan amanat Pasal 18 UUPA.
Pencabutan hak baru dapat ditempuh jika semua upaya musyawarah gagal
dan merupakan upaya yang dimungkinkan oleh hukum.
Kebutuhan akan adanya perlindungan hukum dan jaminan
kepastian hukum dalam bidang pertanahan berarti bahwa setiap warga negara
Indonesia dapat menguasai tanah secara aman dan mantap.8 Penguasaan yang
mantap berarti ditinjau dari aspek waktu dan atau lamanya seseorang dapat
mempunyai dan/atau menguasai tanah sesuai dengan isi kewenangan dari hak
8 Arie S. Hutagalung, Analisa Yuridis Keppres 55 Tahun 1993, (Diklat DDN: Jakarta, 2001), hal 1.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
7
Universitas Indonesia
atas tanah tersebut, sedangkan penguasaan secara aman berarti si pemegang
hak atas tanah dilindungi dari gangguan baik dari sesama warga negara dalam
bentuk misalnya penguasaan illegal ataupun dari penguasa.
Hak atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegangnya
untuk memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka memenuhi
kebutuhan tertentu. Sedangkan tujuan pemakaian tanah pada hakekatnya
adalah, pertama untuk diusahakan, misalnya untuk pertanian, perkebunan,
perikanan, peternakan dan kedua, tanah dipakai sebagai tempat membangun,
misalnya bangunan gedung, lapangan, jalan, dan lain-lain.9 Hak atas tanah
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak
atas tanah dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan demikian pula bumi dan air serta ruang angkasa yang ada
diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan untuk memperlancar
jalannya pembangunan untuk kepentingan umum, di satu pihak pemerintah
memerlukan areal tanah yang cukup luas. Pada pihak lain pemegang hak atas
tanah yang akan digunakan tanahnya oleh pemerintah untuk kepentingan
pembangunan tidak boleh dirugikan. Untuk mengatur hal tersebut diperlukan
adanya suatu peraturan hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.
Namun demikian, dalam upaya pemerintah untuk pengadaan tanah
tidak jarang terjadi sengketa antara pemerintah dengan masyarakat atau
dengan pihak swasta.
Terhadap banyaknya kasus pertanahan yang terjadi di masyarakat,
maka sangatlah perlu dicari cara penyelesaian yang sangat menguntungkan
bagi kedua belah pihak. Untuk itu penyelesaian sengketa perdata yang
berkenaan dengan tanah diluar lembaga peradilan menjadi ideal bagi
9 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria,Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal 288.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
8
Universitas Indonesia
penyelesaian sengketa tanah. Karena bila di tempuh melalui jalur hukum atau
lembaga peradilan, acapkali tidak cuma menyangkut aspek hukum, hak-hak
penguasaan, kalkulasi ekonomi, tetapi tidak sedikit yang menyentuh sisi
sosio-kultural. Penyelesaian melalui lembaga pengadilan yang lebih berpola
menang kalah seringkali justru memicu konflik-konflik non-hukum yang
berkepanjangan. Apalagi jika masalah-masalah hukum yang diangkat hanya
berfokus pada satu sebab saja. Munculnya ketidakpuasan terhadap putusan
pengadilan yang berakumulasi dengan berbagai aspek masalah pertanahan
yang tidak terselesaikan melalui pengadilan, ternyata dapat berkembang
sampai ke kekerasan fisik.
Masalah tanah di lihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang
tidak sederhana pemecahannya. Kesamaan terhadap konsep sangat diperlukan
agar terdapat kesamaan persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang
solid dan adil bagi pihak-pihak yang meminta keadilan.
Terungkapnya kasus-kasus berkenaan dengan gugatan terhadap
terhadap pemerintah telah memunculkan rasa tidak aman bagi para pemegang
hak perorangan atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan
terhadap hak atas tanah.
Berangkat dari uraian di atas Penulis akan mengungkap sengketa
lahan pembangunan Jakarta Outer Ring Road West 2 (selanjutnya disebut
“JORR W2”) dalam perkara Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta dengan nomor perkara NOMOR: 67/G/2011/PTUN-JKT.
Obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut
adalah Surat Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
2349/- 1.711.52 tanggal 5 November 2008 yang ditujukan kepada Direktur
Utama PT. CI selaku perusahaan pengembang atau Developer.
Surat tersebut memuat ketentuan atau revisi atas Surat Ijin
Peruntukan dan Penggunaan Tanah (selanjutnya disebut “SIPPT”) yang telah
dikeluarkan oleh Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada
tahun 1997, dengan Nomor 2477/-1.711.5 tertanggal 1 Oktober 1997, yang
isinya meminta agar PT. CI menyerahkan lahan yang telah ditentukan di
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
9
Universitas Indonesia
dalam SIPPT untuk diserahkan kepada PT. Bina Marga (Departemen
Pekerjaan Umum) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), agar diserahkan
kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, selanjutnya disebut
“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta”.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan akan menggunakan
tanah-tanah tersebut untuk pembangunan jalan tol JORR W2, dilain pihak
dengan diterbitkannya surat tersebut berakibat hukum terhadap PT. CI.
Atas dasar hal tersebut, PT. CI mengajukan gugatan kepada
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta yang amar putusannya mengabulkan gugatan PT. CI.
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam putusannya menyatakan batal
Surat Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2349/-
1.711.52 tanggal 5 November 2008.
Pihak PT. CI dalam gugatan menilai bahwa pihak Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
mengeluarkan surat yang seharusnya tidak dikeluarkan, dan tuntutan ganti
rugi jika surat gubernur tersebut dianggap dibenarkan.
Berdasarkan uraian di atas, mendorong penulis untuk mengkaji
masalah tersebut dan mengambil judul tesis: “ANALISIS PENGADAAN
TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM (STUDI KASUS
PEMBANGUNAN JALAN TOL JORR West 2)”.
1.2 Pokok Permasalahan
Permasalahan adalah pernyataan yang menunjukkan adanya jarak
antara harapan dengan kenyataan, antara rencana dengan pelaksanaan, antara
das sollen dengan das sein. Jarak antara das sollen dengan das sein tersebut
kerapkali berwujud ketimpangan, ketidakseimbangan ataupun kesenjangan
yang terjadi.10
10 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), hal 38.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
10
Universitas Indonesia
Era reformasi yang ditandai dengan semangat demokratisasi dan
transparansi di segala bidang kehidupan, membangkitkan keberanian
masyarakat untuk menuntut penyelesaian atas apa yang dirasakannya sebagai
suatu ketidakadilan, dan hal itu juga menyangkut masalah
tanah.11
Perkembangan sifat dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak
lagi hanya persoalan administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui
hukum administrasi, tetapi sudah merambah kepada ranah politik, sosial dan
budaya terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak azasi manusia, juga
masalah pidana.
Menurut Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia (BPN RI) Nomor 3 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, konflik adalah perbedaan
nilai, kepentingan, pendapat atau persepsi antara warga masyarakat dengan
badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai
status penguasaan dan atau kepemilikan atau status penggunaan atau
pemanfaatan bidang tanah tertentu, atau status keputusan Tata Usaha Negara
menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas
bidang tanah tertentu.12
Berangkat dari uraian dan permasalahan tersebut diatas maka
masalah yang akan penulis ungkap adalah adalah sebagai berikut:
a. Apa dasar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Surat Gubernur
Nomor 2349/1.711.52 tanggal 2 November 2011 tentang Perubahan atau
revisi atas poin 5 b Surat Gubernur tanggal 1 Oktober 1997?
b. Apa akibat hukum dengan diterbitkannya Surat Gubernur tersebut
terhadap PT. CI?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
11 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, cet 1, (Jakarta: MP Pustaka Margaretha, 2012), hal 47
12 Ibid, hal 59
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
11
Universitas Indonesia
1. Untuk mengetahui bagaimana dasar diterbitkannya Surat Gubernur
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2349/1.711.52.
2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dengan diterbitkannya
Surat Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2349/-
1.711.521.
1.4 Metode Penelitian
1.4.1 Bentuk Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam membahas masalah tersebut diatas
menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian
kepustakaan berdasarkan data pustaka dan norma-norma hukum tertulis
dengan mengkaji penerapan atas kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif.13
Penelitian yang dilakukan dalam hal ini mengacu pada
penerapan kaedah hukum, yang meliputi peraturan perundang-undangan yang
berlaku di masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Norma
hukum yang berlaku tersebut berupa norma hukum positif yang dibentuk
oleh lembaga yang berwenang, baik dalam bentuk Undang-undang Dasar,
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan
Presiden dan lain sebagainya, serta norma yang dibentuk oleh lembaga
peradilan, dan lembaga pemerintahan seperti Surat Keputusan Gubernur.
1.4.2 Tipologi Penelitian
Tipe penelitian yang akan digunakan berdasarkan sifatnya adalah
deskriptif. Suatu penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan data
atau gambaran yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lainnya.14
Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran secara tepat
atas pokok permasalahan sebagaimana diuraikan diatas,termasuk prinsip-
prinsip hukum, aturan hukum positif yang dapat diterapkan pada
13
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukjm Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2008), hal. 295. 14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2006), hal. 10.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
12
Universitas Indonesia
permasalahan diatas , dan pada akhirnya untuk mendapatkan kesimpulan dan
saran dari masalah yang diteliti.
1.4.3 Jenis Data
Sehubungan dengan metode penelitian yuridis normatif atau
kepustakaan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka jenis data yang
akan dipergunakan adalah data sekunder (secondary data), yaitu data yang
diperoleh dari kepustakaan , yang digolongkan kedalam :
(i) Sumber Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. 15
Terdiri dari
norma dasar yaitu Pancasila, peraturan dasar yaitu Undang-undang Dasar
1945, peratuan perundang-undangan, peraturan adat, putusan Pengadilan,
yang dalam penelitian masalah tersebut diatas adalah Putusan Mahkamah
Agung.
(ii) Sumber sekunder, yang merupakan bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta
memahami bahan-bahan hukum primer,16
terdiri dari buku-buku, artikel
dari media massa dan internet,tesis, Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara .
(iii) Sumber tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-
bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan-penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
Black’s Law Dictionary, Ensiklopedia, dan lain sebagainya.
1.4.4 Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian yang
dilakukan adalah dengan studi dokumen atau penelusuran literatur dan
kepustakaan (library research), dengan mempelajari dan membaca bahan-
bahan hukum yang terkait dengan penelitian ini.
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persasa, 1994), hal. 13. 16
Roni Hanitya Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1996), hal. 12.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
13
Universitas Indonesia
1.4.5 Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat
kualitatif, yaitu dengan mempelajari seluruh data yang diperoleh dari studi
kepustakaan, kemudian dilakukan analisis sehingga memperoleh hasil
penelitian yang bersifat deskriptif,. Metode penelitian ini tepat untuk
menganalisa kasus sengketa tanah antara Pemprov DKI Jakarta dan
perusahaan pengembang perumahan (PT. CI),dalam Putusan Mahkamah
Agung yang akan diteliti.
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Bab 1: PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang Latar Belakang, Pokok
Permasalahan, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan tesis.
Bab 2: ANALISA MASALAH
Dalam bab ini terdiri dari sebelas (11) sub bab, yaitu mengenai
Penguasaan atas Tanah Menurut Hukum Nasional, Tinjauan
Pelepasan Hak atas Tanah dalam Pembangunan, Dasar Hukum
Pengadaan Tanah,Tata Cara Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum, Pemberian Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah ,
Pelaksanaan Pelepasan Hak atas Tanah, Perolehan Tanah,Izin
Lokasi, Ganti Rugi Hak atas Tanah untuk Kepentingan Umum,
Tinjauan umum Konsinyasi dan Analisis Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum (Studi Kasus Pembangunan jalan tol JORR
W2)
Bab 3: PENUTUP
Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan atas hasil
penelitian dan disertai dengan saran penulis.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
14 Universitas Indonesia
BAB 2
ANALISIS PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
(STUDI KASUS PEMBANGUNAN JALAN TOL JORR WEST 2)
2.1 HAK PENGUASAAN ATAS TANAH MENURUT HUKUM TANAH
NASIONAL
Hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisikan wewenang
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu
mengenai hak yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang
untuk diperbuat merupakan isi hak penguasaan yang bersangkutan dan
yang menjadi kriteria untuk membedakan sesuatu hak penguasaan atas
tanah dengan hak penguasaan yang lain.17
Pengertian “penguasaan” dan
“menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik dan yuridis yang beraspek
perdata dan beraspek publik.
Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum
dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan
yuridis yang meskipun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah
yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya
dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, kalau tanah yang dimiliki disewakan
kepada pihak lain dan penyewa menguasainya secara fisik, atau tanah
tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. 18
Dalam hal ini,
pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak untuk
menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah digariskan
prinsip-prinsip dasar tentang bagaimana seharusnya penguasaan dan
pemanfaatan terhadap tanah yang ada di Indonesia, yaitu:
17 Sunaryo Basuki, Hukum Tanah Nasional Landasan Hukum Penguasaan Dan Penggunaan
Tanah, (Dktat Mata Kuliah Hukum Agraria, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 2002/2003), hal 10. 18 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia ,Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, cet 10, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal 23
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
15
Universitas Indonesia
1. Pasal 1 ayat 2 UUPA berbunyi:
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dalam Wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional.”
Ketentuan ini mengandung makna bahwa sumber daya alam
merupakan kekayaan nasional yang pengelolaannya harus
memperhatikan kepentingan bangsa Indonesia secara
keseluruhan, artinya sumber daya alam harus dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat.
2. Pasal 2 ayat 1 UUPA menyebutkan bahwa bumi,air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara, sedangkan Pasal 3 UUPA menyebutkan
bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari
negara digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu tanah di wilayah Indonesia merupakan kepunyaan
bersama seluruh bangsa Indonesia, hanya saja kewenangan untuk
mengaturnya diserahkan kepada Negara. Tegasnya, sebagaimana
disebutkan didalam Pasal 2 UUPA, negara mengatur peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa.
3. Pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa dengan mengingat ketentuan
dalam Pasal 1 dan 2 UUPA, pelaksanaan terhadap Hak Ulayat dan
hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat tetap diakui,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, serta sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
16
Universitas Indonesia
persatuan bangsa, dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang
dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
4. Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat 2 UUPA dinyatakan bahwa tiap-
tiap Warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita,
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Bila dikaitkan dengan
Pasal 9 ayat 1 UUPA, hanya Warga Negara Indonesia yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah, bahkan dalam Penjelasan UUPA
II angka (6):
“Dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan
warganegara yang lemah terhadap sesama warganegara yang kuat
kedudukan ekonominya. Maka didalam Pasal 26 ayat 1 UUPA
ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah.”
Ketentuan inilah yang merupakan alat untuk mencegah terjadinya
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang
melampaui batas-batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal
mana bertentangan dengan azas keadilan sosial yang
berperikemanusiaan.19
Dalam UUPA hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah
nasional diatur berdasarkan hierarki yaitu terdiri dari:
a. Hak Bangsa Indonesia
19 Basuki, op.cit, hal 49
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
17
Universitas Indonesia
Latar belakang konsepsi hukum tanah kita bersumber
pada Hukum Adat, oleh karenanya UUPA menganut konsepsi
Hukum Adat yang bersifat Komunalistik Religius. 20
Sifat
komunalistik terlihat dari pernyataan yang tercantum dalam Pasal
1 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari dari
seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa
Indonesia.”
Sedangkan sifat religius tergambar dari pernyataan
bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya merupakan Karunia Tuhan Yang
maha Esa.
Konsepsi tersebut menimbulkan hak penguasaan yang
tertinggi atas tanah, yang disebut dengan Hak Bangsa. Hak ini
merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam
hukum tanah nasional dimana hak-hak penguasaan atas tanah
yang lain, secara langsung maupun tidak langsung bersumber
padanya. 21
Hak Bangsa Indonesia tersebut selain mengandung unsur
perdata yaitu Tanah dalam wilayah Republik Indonesia
kepunyaan Bangsa Indonesia juga mengandung unsur publik,
dimana unsur tugas kewenangan tersebut dilaksanakan oleh
Negara Republik Indonesia. 22
b. Hak Menguasai dari Negara
Negara adalah “Organisasi kekuasaan seluruh rakyat
Indonesia” demikian dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 1 UUPA. Ini
berarti bahwa Bangsa Indonesia membentuk Negara Republik
Indonesia untuk melindungi segenap tanah air Indonesia dan
20 Indonesia, Undang-undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Nomor 5 Tahun
1960, LN No. 104,TLN No. 2043. 21 Hak Bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, diatur dalam pasal 1 ayat 1 sampai
3 UUPA. 22 Basuki, loc.cit, lampiran hal 2b
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
18
Universitas Indonesia
melaksanakan tujuan bangsa Indonesia antara lain meningkatkan
kesejahteraan umum (Alinea ke-4 Pembukaan UUD 45 bagi
seluruh rakyat Indonesia).
Untuk melaksanakan tujuan tersebut Negara Republik
Indonesia mempunyai hubungan hukum dengan tanah di seluruh
wilayah Indonesia agar dapat memimpin dan mengatur tanah-
tanah diseluruh wilayah Indonesia atas nama bangsa Indonesia,
melalui peraturan perundang-undangan. Sedangkan hubungan
hukum itu disebut sebagai Hak Menguasai Negara, hak ini
memberi kewenangan untuk menguasai secara fisik dan
menggunakannya seperti hak atas tanah, karena sifatnya semata-
mata hanya kewenangan publik, sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 2 UUPA yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1,
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 Pasal
ini memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemelihaarn bumi, air
dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa;
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari
Negara tersebut pada ayat 2 Pasal ini digunakan untuk
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
19
Universitas Indonesia
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur;
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Prinsipnya, Hak
Menguasai dari Negara tidak memberi wewenang untuk
menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanah yang
bersangkutan seperti pada hak atas tanah. Kewenangan
Negara semata-mata bersifat publik, yaitu untuk mengatur
semua tanah diwilayah Republik Indonesia seperti yang
dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA.
Dasar hukumnya adalah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
(“Dikuasai Negara”) dimana atas dasar Pasal tersebut
Negara Republik Indonesia diberikan kewenangan untuk
mengatur persediaan, perencanaan, penguasaan dan
penggunaan tanah serta pemeliharaan tanah, atas seluruh
tanah diindonesia untuk kemakmuran rakyat. Kewenangan
Negara seperti yang dimaksudkan di atas salah satunya
adalah mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah bersama
yang diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang Penataan
Ruang.23
c. Hak-Hak perorangan atas tanah
Prinsipnya hak-hak perorangan atas tanah baik secara
langsung maupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa
Indonesia atas tanah. Semua tanah dalam Wilayah Republik
23
Ibid., hal. 12.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
20
Universitas Indonesia
Indonesia, baik yang berupa tanah hak maupun Tanah
Negarakeseluruhannya diliputi oleh Bangsa Indonesia maupun
hak menguasai dari Negara. Untuk itu Negara, berdasarkan hak
menguasai dari Negara diberi mandat untuk mengatur
peruntukkan dan penggunaan “Tanah Negara” dan dapat pula
memberikan tanah-tanah tersebut kepada pihak lain dengan
sesuatu hak atas tanah.24
Dalam rangka penggunaan tanahnya setiap pemegang
hak tidak hanya mengindahkan kepentingan pribadinya akan
tetapi juga wajib memperhatikan kepentingan bersama atau fungsi
sosial dari tanah yang bersangkutan.25
Adapun hak-hak perorangan atas tanah tersebut terdiri
dari:
1). Hak atas Tanah
Hak atas tanah mengandung pengertian hak yang
memberi wewenang untuk memakai tanah yang diberikan
kepada orang dan badan hukum. Hak atas tanah apa pun
semuanya memberi wewenang untuk memakai suatu bidang
tanah tertentu dalam rangka memenuhi suatu kebutuhan
tertentu. Pada dasarnya tujuan memakai tanah (secara
universal) adalah untuk memenuhi 2 (dua) jenis kebutuhan,
yaitu:
1. untuk diusahakan, misalnya usaha pertanian,
perkebunan, perikanan (tambak) atau peternakan;
2. untuk tempat membangun sesuatu (wadah),
misalnya untuk mendirikan bangunan, perumahan,
rumah susun (gedung bangunan bertingkat), hotel,
24
Ibid., hal.25 25
Ibid., hal. 26.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
21
Universitas Indonesia
proyek pariwisata, pabrik, pelabuhan dan lain-
lainnya.26
Sampai saat ini terdapat 4 (empat) jenis hak atas
tanah yang ditetapkan oleh UUPA untuk dapat
dipergunakan baik untuk keperluan pribadi maupun untuk
kegiatan usaha. Untuk keperluan pribadi perorangan Warga
Negara Indonesia adalah Hak Milik dan untuk keperluan
usaha diberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
hak Pakai. Hak atas tanah tersebut merupakan hak atas
tanah yang primer, yaitu hak yang diberikan oleh Negara
(Pasal 16 UUPA).
Disamping hak atas tanah yang primer, terdapat
pula hak atas tanah yang sekunder, yakni Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah
di atas tanah Hak Milik, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil,
Hak Menumpang, Hak Sewa (Pasal 37, 41 dan 53 UUPA),
yang keseluruhannya bersumber pada hak-hak pihak lain.
2). Hak atas Tanah Wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya, guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.27
Hak atas tanah wakaf adalah hak penguasaan atas
satu bidang tanah tertentu (semula Hak Milik telah diubah
statusnya menjadi tanah wakaf), yang oleh pemiliknya telah
dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagakannya
selama-lamnya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya (pesantren atau sekolah
26
Harsono, loc. cit., hal. 288. 27 Indonesia, Undang-Undang Tentang Wakaf, UU Nomor 41Tahun 2004. LN Nomor 159 Tahun
2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor.4459.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
22
Universitas Indonesia
berdasarkan agama) sesuai dengan ajaran hukum agama
islam.
3). Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS)
Hak Milik atas Satuan rumah Susun (HM-SRS)
adalah hak untuk memiliki satuan rumah susun secara
terpisah dan berdiri sendiri berikut hak atas bagian bersama,
benda bersama dan tanah bersama yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang
bersangkutan.28
d. Hak Atas Tanah Menurut Hukum tanah Nasional
Dalam hukum tanah nasional, jenis-jenis hak atas tanah
diatur dalam UUPA yaitu:
1). Hak Milik (HM)
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah
dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak Milik
bukan hanya sekedar berisikan kewenangan untuk
memakai suatu bidang tanah tertentu, yang dihaki, tetapi
juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara
pemegang hak dengan tanah yang bersangkutan. Hak
Milik pada dasarnya diperuntukkan khusus bagi Warga
Negara Indonesia saja yang berkewarganegaraan
tunggal.29
2 ) Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha adalah hak yang memberikan
wewenang untuk menggunakan tanahnya langsung
dikuasai Negara untuk usaha pertanian, yakni
perkebunan, perikanan dan peternakan selama jangka
waktu tertentu yaitu 25 tahun dan 35 tahun dapat
28 34Harsono, op. cit., hal. 289 29 Basuki, loc.cit., hal. 28d.1
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
23
Universitas Indonesia
diperpanjang jangka waktunya 25 tahun dan jika
tanahnya masih diperlukan dapat diperbaharui haknya
yaitu dengan diberikan kembali selama 35 tahun.
Sedangkan untuk perusahaan dalam rangka penanaman
modal dapat diberikan sekaligus 95 tahun (Pasal 11
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996), HGU
dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia dan
Badan Hukum Indonesia.
3) Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan adalah hak yang
memberikan wewenang untuk mendirikan bangunan
diatas tanah kepunyaan pihak lain (tanah Negara atau
Hak Milik) selama jangka waktu 30 tahun dan dapat
diperpanjang jangka waktunya 20 tahun dan jika masih
diperlukan dapat diperbaharui hak tersebut. Untuk
perusahaan dalam rangka penanaman modal dapat
diberikan sekaligus 80 tahun (Pasal 28 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996) HGB hanya dapat
diberikan kepada Warga Negara Indonesia dan badan
hukum Indonesia.
4). Hak Pakai (HP)
Hak Pakai adalah hak yang memberikan
wewenang untuk menggunakan tanah kepunyaan pihak
lain (tanah Negara atau Hak Milik) selama jangka waktu
tertentu yaitu 25 tahun dan dapat diperpanjang jangka
waktunya 20 tahun dan jika masih diperlukan dapat
diperbaharui hak tersebut. Untuk perusahaan dalam
rangka penanaman modal dapat diberikan sekaligus 70
tahun (Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun
1996).
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
24
Universitas Indonesia
2.2 TINJAUAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH DALAM
PEMBANGUNAN
Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan
hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya
dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah30
. Pelepasan tanah
ini hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan kesepakatan dari
pihak pemegang hak baik mengenai tehnik pelaksanaannya maupun
mengenai besar dan bentuk ganti rugi yang akan diberikan terhadap
tanahnya.
Kegiatan pelepasan hak ini bukan hanya dilakukan untuk
kepentingan umum semata akan tetapi juga dapat dilakukan untuk
kepentingan swasta. Mengenai tanah-tanah yang dilepaskan haknya dan
mendapat ganti rugi adalah tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dan tanah-
tanah masyarakat hukum adat. Adapun ganti rugi yang diberikan kepada
pihak yang telah melepaskan haknya tersebut adalah dapat berupa uang,
tanah pengganti atau pemukiman kembali Pelepasan hak merupakan
bentuk kegiatan pengadaan tanah yang menerapkan prinsip penghormatan
terhadap hak atas tanah.
2.2.1 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Kebutuhan akan tanah untuk pembangunan memberikan peluang
untuk melakukan pengadaan tanah guna berbagai proyek baik untuk
kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta atau bisnis, baik
dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Karena tanah negara yang
tersedia sudah tidak memadai lagi jumlahnya, maka untuk mendukung
berbagai kepentingan tersebut yang menjadi obyek adalah tanah-tanah hak
30 Indonesia, Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan,
Perpres No. 36 Tahun 2005.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
25
Universitas Indonesia
baik yang dipunyai oleh orang perseorangan, badan hukum maupun
masyarakat hukum adat.
Pengadaan tanah untuk berbagai kepentingan seringkali
menimbulkan konflik atau permasalahan dalam pelaksanaannya, hal ini
disebabkan oleh kesenjangan antara das Sollen sebagaimana tertuang
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan das Sein
berupa kenyataan yang terjadi dilapangan.31
Dalam perkembangannya, landasan hukum pengadaan tanah
diatur dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, yang kemudian diganti
dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993, yang kemudian digantikan dengan
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dan dirubah dengan Perpres Nomor 65
Tahun 2006. Aturan-aturan inilah yang menjadi acuan bagi pihak-pihak
yang akan melakukan pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum
maupun untuk kepentingan swasta atau bisnis sebelum diberlakukannya
Perpres Nomor 71 Tahun 2012, yang disahkan tanggal 7 Agustus 2012.
2.2.2 Pengertian Pengadaan Tanah
Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah,
pertama pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah yang terdiri dari
kepentingan umum, sedangkan yang kedua pengadaan tanah untuk
kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial dan bukan
komersial atau bukan sosial.
Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres 55 tahun1993 yang dimaksud
dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah
tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan
dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah
tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian.
31
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, (Jakarta:
Kompas, 2008), hlm.100
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
26
Universitas Indonesia
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres Nomor 65 Tahun
2006 yang merupakan pembaharuan dari Perpres Nomor 36 Tahun 2005
pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah baik
menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 maupun Perpres Nomor 65
Tahun 2006 dapat dilakukan selain memberikan ganti kerugian juga
dimungkinkan dilakukan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Hal itu
berarti adanya unsur pemaksaan kehendak untuk dilakukannya
pencabutan hak atas tanah untuk tanah yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum.
2.2.3 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Istilah Pengadaan tanah berarti mengadakan atau menyediakan
tanah. Sebelum Keppres Nomor 55 Tahun 1993 ditetapkan, belum ada
definisi yang jelas tentang pengadaan tanah untauk kepentingan umum
yang baku. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum
dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang
banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu
umum dan tidak ada batasnya.32
Menurut John Selindeho, kepentingan umum adalah termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat,
dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan
32
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Yogyakarta:
Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), hal. 6.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
27
Universitas Indonesia
hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan
mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.33
Kepentingan dalam arti luas diartikan sebagai “public benefit”
sedangkan dalam arti sempit public use diartikan sebagai public access,
atau apabila public access tidak dimungkinkan, maka cukup “if the entire
public could use the product of the facility”.34
Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang
dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan
masyarakat, selanjutnya dalam Pasal 5 Keppres Nomor 55 Tahun 1993
dinyatakan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi untuk
kegiatan pembangunan harus dilakukan oleh pemerintah dan selanjutnya
harus dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari
keuntungan.
Dengan demikian dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993 jelaslah
bahwa kepentingan umum tidak memperhatikan hanya sekedar
kemanfaatan, akan tetapi juga membatasi dengan tegas pelaksanaannya
dalam pembangunan kepentingan umum tersebut.
Didalam UUPA dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
dilakukan dalam arti peruntukannya yaitu untuk kepentingan bangsa dan
Negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan.
Oleh sebab itu, maka dapat disimpulkan yang dimaksud kepentingan
umum adalah kepentingan tersebut harus memenuhi peruntukannya dan
harus dirasakan manfaatnya dalam arti dapat dirasakan secara keseluruhan
oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau secara langsung.
2.2.4 Pengadaan Tanah untuk Keperluan Swasta
Tanah dan Pembangunan adalah dua unsur yang satu dengan
lainnya berkaitan, dengan perkataan lain, tidak ada pembangunan tanpa
33
John Selindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,
1988), hal. 40. 34
Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hal. 200.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
28
Universitas Indonesia
tanah.35
Semula ada 2 (dua) cara pembebasan tanah untuk keperluan
swasta yaitu secara langsung dan melalui Panitia Pembebasan Tanah
seperti yang dimaksud Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, tapi sejak
berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993, hanya ada satu cara yang
dapat dilakukan oleh swasta, yaitu dilakukan secara langsung atas dasar
musyawarah dalam hal memberikan ganti kerugian, dimana bantuan dari
Pemerintah hanya berupa pengawasan dan pengendalian, sebagaimana
telah diberikan petunjuknya dalam Surat Edaran Kepala Badan
Pertanahan Nasional tanggal 6 Desember 1990 Nomor 580.2D.III36
2.3 DASAR HUKUM PENGADAAN TANAH
Sebelum berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun1993, tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, maka landasan yuridis yang
digunakan dalam pengadaan tanah adalah Permendagri Nomor 15 Tahun
1975 Tentang ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan
Tanah .
Pelaksanaan pengadaan tanah menurut Permendagri Nomor 15
Tahun 1975 dalam pengadaan tanah dikenal istilah pembebasan tanah,
yang berarti melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara
pemegang atau penguasa atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi.
Sedangkan di dalam Pasal 1 butir 2 Keppres Nomor 55 Tahun 1993
menyatakan bahwa: “Pelepasan atau penyerahan hak adalah kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan
tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar
musyawarah”.
35
Sihombing., op. cit., hal. 45 36
Arie S Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, (Jakarta:Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003). hal. 31.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
29
Universitas Indonesia
Kemudian untuk musyawarah itu diatur dalam butir ke 5 (lima)
yang menyatakan bahwa: “Musyawarah adalah proses atau kegiatan
saling mendengar, dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan
yang didasarkan atas sikap kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas
tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.”
Setelah berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 istilah tersebut
berubah menjadi pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah. Oleh
karena itu, segi-segi hukum materiilnya pelaksanaan pelepasan hak atau
pelepasan hak atas tanah pada dasarnya sama dengan pembebasan tanah,
yaitu Hukum Perdata.
Dengan perkataan lain bahwa keabsahan atau ketidak absahan
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai cara pengadaan tanah
ditentukan ada tidaknya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang
berarti sah tidaknya perbuatan hukum yang bersangkutan, berlaku antara
lain syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata.37
Perbedaannya hanya terdapat pada segi-segi intern-
administrasinya yaitu pembebasan tanah pada umumnya berdasarkan
pada Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, sedangkan pelepasan atau
penyerahan hak-hak atas tanah berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun
1993.38
Secara hukum kedudukan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sama
dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, yaitu sebagai peraturan
dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
yang didalamnya mengatur mengenai ketentuan-ketentuan mengenai tata
37 Boedi Harsono, Aspek-Aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka Pembangunan
Nasional (Makalah: 1990), hal.. 4. 38 Oloan Sitoros dan Dayat Limbong,. op. cit, hal. 19.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
30
Universitas Indonesia
cara untuk memperoleh tanah dan pejabat yang berwenang dalam hal
tersebut.
Menurut Boedi Harsono, oleh karena Keppres Nomor 55 Tahun
1993 merupakan suatu peraturan intern-administrasi, maka tidak
mengikat pihak yang mempunyai tanah meskirpun ada rumusan yang
memberi kesan demikian, dan karena bukan undang-undang, maka tidak
dapat dipaksakan berlakunya pada pihak yang mempunyai tanah.
Oleh karena tidak dapat dipaksakan, maka sebagai konsekuensi
dari keputusan administrasi negara yang dimaksud untuk menyelesaikan
ketidak sediaan pemegang hak atas tanah terhadap besarnya ganti
kerugian bukan merupakan merupakan keputusan yang bersifat akhir
atau final.
Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 21 Keppres Nomor 55 Tahun
1993 yang menyatakan bahwa “apabila upaya penyelesaian yang
ditempuh Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 tidak diterima oleh
pemegang hak atas tanah, dan lokasi pembangunan yang bersangkutan
tidak dapat dipindahkan ke tempat lain, maka Gubernur Kepala Daerah
Tingkat 1 mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak atas Tanah dn Benda-benda diatasnya”.39
Selain itu Keppres Nomor 55 Tahun 1993 merupakan
penyempurnaan dari peraturan sebelumnya yaitu Permendagri Nomor 15
Tahun 1975 yang memiliki kekurangan atau kelemahan khususnya hal-
hal yang mengenai pihak-pihak yang boleh melakukan pembebasan
tanah, dasar perhitungan ganti rugi yang didasarkan pada harga dasar,
tidak adanya penyelesaian akhir apabila terjadi sengketa dalam
39 Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum,Nomor 55 Tahun 1993, Pasal 21 ayat 1.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
31
Universitas Indonesia
pembebasan tanah, khususnya mengenai tidak tercapainya kesepakatan
tentang pemberian ganti rugi.
Oleh sebab itu kedudukan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sama
dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 sebagai dasar hukum formal
dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang pada waktu
berlakunya Permendagri Nomor 15 tahun 1975 disebut pembebasan
tanah. Namun, seiring berjalannya waktu Keppres Nomor 55 tahun 1993
kemudian digantikan dengan Peraturan baru dengan tujuan mencari jalan
untuk meminimalisir potensi konflik yang mungkin timbul dalam
implementasi pengadaan tanah menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan umum juncto
Perpres Nomor 65 tahun 2006.
2.4 TATA CARA PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN
UMUM.
2.4.1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pengadaaan Tanah
Dalam Permendagri Nomor 15 tahun 1975 tidak dikenal adanya
istilah pengadaan tanah melainkan pembebasan tanah. Menurut Pasal 1
ayat (1) yang dimaksud pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan
hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas
tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Permendagri tersebut juga
mengatur pelaksanaan atau tata cara pembebasan tanah untuk
kepentingan pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan
swasta.
Untuk pembebasan tanah bagi kepentingan pemerintah dibentuk
Panitia Pembebasan Tanah (selanjutnya disebut PPT) sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, sedang untuk
kepentingan swasta tidak dibentuk panitia khusus, pemerintah hanya
mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah tersebut antara para pihak
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
32
Universitas Indonesia
yaitu pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang mempunyai
tanah.
2.4.2 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) Keppres Nomor 55 tahun 1993
menyatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu
pertama pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual beli,
tukar menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang
bersangkutan.
Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara
sukarela. Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan
umum sebagaimana yang diatur dalam Keppres Nomor 55 tahun 1993,
sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah yang
dilaksanakan selain untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 6 ayat (1)
Keppres Nomor 55 tahun 1993, menyatakan bahwa: “Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan PPT yang dibentuk
oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sedangkan ayat (2) menyatakan
bahwa “Panitia Pengadaan Tanah” dibentuk disetiap Kabupaten atau
Kotamadya Tingkat II”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Keppres Nomor 55 Tahun1993
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum dilaksanakan dengan musyawarah yang bertujuan untuk mencapai
kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya
imbalan.
Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan
para pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
33
Universitas Indonesia
yang disepakati oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 15
Keppres Nomor 55 tahun 1993.
2.4.3 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ada sedikit
perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menyatakan
bahwa:
“pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan
cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak
atas tanah”.
Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa:
“pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan
dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi
kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun
pemerintah daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah
selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah
ataupun pemerintah daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta
maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar-menukar atau dengan cara lain
yang disepakati secara sukarela dengan pihak-pihak yang bersangkutan.
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya yang tidak
membedakan secara tegas mengenai tata cara pengadaan tanah baik
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
34
Universitas Indonesia
untuk kepentingan umum, maupun bukan kepentingan umum yang
dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta sehingga dalam
ketentuan ini mempeerjelas aturan pelaksaan dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum maupun swasta.
Setelah kurang lebih 1(satu) tahun berlakunya Perpres Nomor 36
Tahun 2005, Perpres tersebut digantikan dengan Perpres Nomor 65 Tahun
2006, yang berupaya untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan
terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perpres Nomor 65 Tahun 2006
dinyatakan bahwa “pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip
penghormatan terhadap hak atas tanah.
Prinsip penghormatan hak atas tanah diartikan bahwa pemilik hak
atas tanah yang diambil tanahnya, tingkat kehidupan ekonominya harus
lebih baik dibandingkan sebelum ia melepaskan hak atas tanahnya.Karena
pemilik hak atas tanah tersebut telah merelakan tanahnya untuk keperluan
pembangunan, sehingga harus diberikan suatu penghormatan atas jasa
pemilik hak atas tanah tersebut.
2.4.4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012
Saat ini telah disahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
yang merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan
perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan
bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-undang ini diharapakan
pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya
direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan. Bagi pemerintah yang
memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan sebelumnya dipandang
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
35
Universitas Indonesia
masih menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan
pembangunan sesuai rencana.
Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 undang-undang ini:
“Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”.
Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi “Ganti Kerugian adalah penggantian
layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”.
Asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur Pasal 2
yang menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan,
kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan,
keberlanjutan, dan keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas
keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada
Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 undang-undang ini. Kalimat:
“Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan
tanah sebelumnya.
Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya
pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah
pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Kata wajib ditegaskan pada undang-
undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum yaitu bahwa wajib
setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak oleh pihak yang
berhak.
Sebagai lanjutan dari amanat Pasal 53 dan Pasal 59 UU No. 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum maka pemerintah mengeluarkan Perpres No. 71 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Pada Perpres ini setiap instansi yang memerlukan
lahan untuk kepentingan umum diberi waktu untuk menyelesaikannya
maksimal 583 hari.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
36
Universitas Indonesia
2.5 PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM PENGADAAN TANAH
2.5.1 Pengertian dan Bentuk Ganti Rugi
Landasan hukum penetapan ganti kerugian menurut Permendagri
Nomor 15 tahun 1975, Keppres Nomor 55 tahun 1993 dan Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 yaitu sama-sama atas dasar musyawarah. Adapun
pengertian ganti rugi menurut Perpres Nomor 36 tahun 2005 dalam Pasal
1 ayat (11) yaitu:
“Ganti Kerugian adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat
fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang
mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah, yang dapat memberikan kalangsungan
hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi
sebelum terkena pengadaan tanah.
Istilah ganti rugi tersebut dimaksud adalah pemberian ganti atas
kerugian yang diderita oleh pemegang hak atas tanah atas beralihnya
haknya tersebut. Masalah ganti kerugian menjadi komponen yang paling
sensitif dalam proses pengadaan tanah. Pembebasan mengenai bentuk
dan besarnya ganti kerugian sering kali menjadi proses yang panjang, dan
berlarut-larut (time consuming) akibat tidak adanya titik temu yang
disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya
ganti kerugian fisik yang hilang, tetapi juga harus menghitung ganti
kerugian non fisik seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang dipindahkan kelokasi yang baru. Sepatutnya pemberian ganti
kerugian tersebut harus tidak membawa dampak kerugian kepada
pemegang hak atas tanah yang kehilangan haknya tersebut melainkan
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
37
Universitas Indonesia
membawa dampak pada tingkat kehidupan yang lebih baik atau minimal
sama pada waktu sebelum terjadinya kegiatan pembangunan.40
Adapun dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Pasal 12 mengatur
masalah ganti rugi diberikan untuk: hak atas tanah, bangunan, tanaman,
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 13 ayat (1)
menerangkan tentang pemberian bentuk ganti rugi tersebut dapat berupa
uang, tanah pengganti dan pemukiman kembali. Sedangkan dalam ayat
(2) mengenai penggantian kerugian apabila pemegang hak atas tanah
tidak menghendaki bentuk ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam
ayat (1) maka bentuk kerugiannya diberikan dalam bentuk kompensasi
berupa penyertaan modal (saham).
Untuk penggantian terhadap tanah ulayat yang dikuasai dengan hak
ulayat dan terkena pembangunan maka dalam Pasal 14 Perpres Nomor 36
Tahun 2005, ganti kerugiannya diberikan dalam bentuk fasilitas umum
atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Dapat disimpulkan bahwa ganti rugi yang diberikan oleh instansi
Pemerintah hanya diberikan kepada faktor fisik semata (vide Pasal 12
Perpres 36 tahun 2005). Namun demikian, seharusnya, patut pula
dipertimbangkan tentang adanya ganti rugi faktor-faktor non-fisik
(immaterial).
Dalam pengadaan tanah, kompensasi didefinisikan sebagai
penggantian atas faktor fisik (materiil) dan non-fisik (immaterial).
Bentuk dan besarnya kompensasi haruslah sedemikian rupa hingga
masyarakat yang terkena dampak kegiatan pembangunan tidak
mengalami kemunduran dalam bidang sosial maupun pada tingkat
ekonominya.
40
Maria. S.W. Sumardjono, op.cit, hal. 200.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
38
Universitas Indonesia
Kompensasi dalam rangka pengadaan tanah dibedakan atas:
Kompensasi atas faktor fisik (materiil) meliputi penggantian atas tanah
hak baik yang bersertipikat dan yang belum bersertipikat, tanah ulayat,
tanah wakaf, tanah yang dikuasai tanpa alas hak yang dengan atau tanpa
ijin pemilik tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada
kaitannya dengan tanah. Kompensasi atas faktor non-fisik (immateriil)
yaitu penggantian atas kehilangan, keuntungan, kenikmatan,
manfaat/kepentingan yang sebelumnya diperoleh oleh masyarakat yang
terkena pembangunan sebagai akibat kegiatan pembangunan tersebut.
Dalam hal ini ganti kerugian hanya diberikan kepada orang-orang
yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan. Pada
kenyataannya, masyarakat disekitar proyek tersebut juga terkena dampak,
baik yang positif maupun negatif, seperti kehilangan akses hutan, sungai
dan sumber mata pencaharian lainnya. Bentuk ganti kerugian komunal
harus diperhatikan berdasarkan hukum adat komunitas setempat.
Inventarisasi aset saja tidak mencukupi dan diusulkan untuk terlebih
dahulu melakukan survei sosial ekonomi yang menyeluruh sebelum
pembebasan tanah dilakukan. Perlu juga dikembangkan bentuk ganti
kerugian dalam pola kemitraan jangka panjang yang saling
menguntungkan antara pemilik modal (swasta) atau pemerintah dengan
masyarakat pemilik hak atas tanah.
Pada peraturan sekarang hanya ditentukan penggantian kerugian
terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun penggarap tanah,
termasuk ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa memberikan perlindungan
terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau
orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan menempati serta
untuk kepentingan umum, masyarakat kontribusi dari pembangunan itu,
serta rekognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan
hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk pembangunan.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
39
Universitas Indonesia
Pada Perpres Nomor 65 Tahun 2006 diatur mengenai pemberian
ganti kerugian. Dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti,
permukiman kembali, kepemilikan saham. Atau bentuk lain yang
disetujui kedua belah pihak, baik berdiri sendiri maupun gabungan dari
beberapa bentuk ganti kerugian tersebut. Dalam musyawarah, pelaksana
pengadaan tanah mengutamakan pemberian ganti kerugian dalam bentuk
uang.
Perpres ini juga menguraikan ganti kerugian dalam keadaan
khusus.,meliputi pengaturan dimana sejak ditetapkannya lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum, pihak yang berhak hanya dapat
mengalihkan hak atas tanahnya kepada pelaksana pengadaan tanah.
Ditambah pelaksana pengadaan tanah dapat mendahulukan pemberian
ganti rugi dalam keadaan mendesak. Maksimal diatur 25 persen dari
perkiraan ganti kerugian berdasarkan NJOP tahun sebelumnya.
Perpres juga memuat syarat dan ketentuan penitipan ganti kerugian di
pengadilan negeri. Hal ini dilakukan dengan kriteria apabila ada
penolakan dari pihak yang berhak. Lalu, hasil musyawarah telah
dilaksanakan dan tidak ada keberatan. Juga, apabila pihak yang berhak
tidak diketahui keberadaannya. Kemudian obyek pengadaan tanah
menjadi obyek perkara di pengadilan. Lalu masih disengketakan
kepemilikannya. Serta diletakkan sita, atau menjadi jaminan bank.
2.5.2 Dasar/Cara Perhitungan Ganti Rugi
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menentukan dasar dan cara
perhitungan ganti kerugian/harga tanah yang didasarkan kepada nilai
nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak
(selanjutnya disebut NJOP). Namun Perpres ini tidak memperhitungkan
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
40
Universitas Indonesia
pemberian kompensasi untuk faktor non-fisik. Adapun perhitungan
kompensasi faktor fisik sebagai berikut:41
1. Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas harga
tanah yang didasarkan atas NJOP atau nilai nyata atau
sebenarnya dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak tahun
berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga tanah
yang ditunjuk oleh panitia dan dapat berpedoman pada variabel-
variabel seperti lokasi dan letak tanah, Status tanah, Peruntukan
tanah, Kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang
telah ada, Sarana dan prasarana yang tersedia. Faktor lain yang
mempengaruhi harga tanah, nilai jual bangunan yang ditaksir
oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
bangunan, nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat
daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian.
2. Dasar perhitungan ganti rugi, lembaga/tim penilai harga tanah
ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur.
Kesulitan yang dihadapi dalam perhitungan ganti rugi oleh
lembaga/tim penilai dan tim panitia pengadaan tanah pemerintah
kota dan kabupaten adalah adanya perbedaan harga pasar dan
harga yang telah ditetapkan dalam NJOP. Dalam berbagai kasus,
sering terjadi harga tanah merupakan hasil musyawarah antara
tim panitia pengadaan tanah yang meminta harga lebih tinggi
dari NJOP.
2.5.3 Pihak Yang Berhak Menerima Ganti Rugi
41 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: LPHI 2005),
hal. 166.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
41
Universitas Indonesia
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 membatasi pihak yang menerima
ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah atau yang berhak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan nadzir, bagi tanah wakaf.
Dalam hal kompensasi ini diberikan semata-mata hanya untuk
pihak yang terkena rencana pembangunan dalam pengadaan tanah yang
diberikan atas faktor fisik semata, padahal ada faktor non fisik juga,
maka seharusnya yang berhak menerima kompensasi tidak terbatas pada
2 (dua) subyek tersebut di atas. Karena pada prinsipnya kompensasi
diberikan langsung kepada masyarakat yang karena pelaksanaan
pembangunan mengalami atau akan mengalami dampak pada hak dan
kepentingan atas tanah, dan/atau bangunan, dan/atau tanaman, dan atau
benda-benda lain yang ada diatasnya.
Berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005, jika tanah, bangunan,
atau benda yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh
beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak
dapat ditemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang
tidak diketemukan tersebut, dititipkan di Pengadilan Negeri yang wilayah
hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan (Pasal 16 ayat 2).42
Istilah penitipan atau konsinyasi mengenai ganti rugi dalam Perpres
adalah tidak tepat karena lembaga “aanbod an gerede betaling” yang
diikuti dengan “consignatie” adalah cara penyelesaian utang piutang
antara debitur dan kreditor43
. Sedangkan dalam Perpres ini tidak ada
hubungan hukum antara pihak yang memerlukan tanah dengan masyrakat
yang terkena pembangunan.
Menurut Arie S. Hutagalung dalam bukunya Analisa Yuridis
Keppres Nomor 55 Tahun 1993, menyatakan bahwa:
42
Ibid., hal. 200. 43
Ibid.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
42
Universitas Indonesia
“untuk memberi wadah lembaga konsinyasi tersebut, maka seharusnya
dikonstruksikan jika tanah, bangunan, tanaman atau benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh beberapa
orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat
ditemukan setelah ada panggilan 3 (tiga) kali selanjutnya diakhiri
dengan pengumuman diKantor Kecamatan dan Kantor Kelurahan/Desa
setempat, maka kompensasi yang menjadi hak orang yang tidak
diketemukan tersebut diberikan dalam bentuk uang oleh pihak yang
memerlukan tanah dan disimpan dalam satu rekening yang dikelola
oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat setempat44.
Dari uraian tersebut, maka penerapan konsinyasi jelas secara
hukum tidak selaras dan bertentangan, atau menyalahi ketentuan
sehingga tidak dibenarkan penerapannya.
2.6 PELAKSANAAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH
Penguasaan Atas Tanah Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Yang Berlaku.
Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk
keperluan apapun harus didasarkan pada suatu landasan yuridis (landasan
hak). Dengan adanya landasan yuridis tersebut, terciptalah suatu
hubungan hukum yang konkrit antara pemegang hak atas tanah (pemilik
tanah) dengan tanah yang dikuasainya. Penguasaan yuridis menimbulkan
kewenangan pada subyek pemegang hak atas tanah (pemilik tanah) untuk
menguasai secara fisik (menggunakan tanah tersebut) sesuai dengan
peruntukan dan penggunaannya.
Hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang untuk
memakai tanah yang diberikan kepada orang atau badan hukum. Pada
dasarnya, tujuan memakai tanah adalah untuk memenuhi dua jenis
kebutuhan, yaitu untuk diusahakan dan tempat membangun sesuatu.45
44 Ibid. 45 Arie. S. Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 20
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Dalam hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4
ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas tanah permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas
tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik Warga Negara Indonesia
maupun Warga Negara Asing, sekelompok orang secara bersama-sama,
dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh
pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 yaitu.46
1. Wewenang umum.
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya,
termasuk juga tubuh bumi, air dan ruang angkasa yang ada
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum
lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
2. Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya
sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang
pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan
pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada
46 Rusmandi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Alumni, 1991), hal.
82.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
44
Universitas Indonesia
tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah
yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna
Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan
perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau
perkebunan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 juncto Pasal
53 UUPA, yang dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA
masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang
yang baru. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak
Memungut Hasil Hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Hak atas tanah ini
macamnya belum ada.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara.
Yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu
yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung
sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan
bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam-macam hak atas
tanah ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi
Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak
Sewa Tanah Pertanian.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
45
Universitas Indonesia
Pada hak atas tanah yang bersifat tetap di atas, sebenarnya Hak
Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan bukanlah hak atas
tanah dikarenakan keduanya tidak memberikan wewenang kepada
pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat
dari tanah yang dihakinya. Namun, sekedar menyesuaikan dengan
sistematika hukum adat, maka kedua hak tersebut dicantumkan juga
kedalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya kedu hak
tersebut merupakan “pengejawentahan” dari hak ulayat masyarakat
hukum adat.
Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 juncto Pasal 53
UUPA tidak bersifat limitatif, artinya disamping hak-hak atas tanah yang
disebutkan dalam UUPA, kelak dimungkinkan lahirnya hak atas tanah
baru yang dianut secara khusus dengan undang-undang.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2
kelompok, diantaranya: Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak
atas tanah yang berasal dari tanah Negara. Hak-hak atas tanah primer
(orginair) yaitu hak atas tanah yang langsung diberikan oleh Negara
kepada subyek hak yang terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai.47
Dan hak atas tanah yang bersifat sekunder
adalah hak untuk menggunakan tanah milik pihak lain, atau dengan kata
lain penggunaan suatu jenis hak-hak atas tanah yang bersumber dari hak
milik, terdiri dari: Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi hasil, Hak Menumpang.48
2.7 PEROLEHAN TANAH
Sebenarnya dalam kegiatan perolehan tanah untuk berbagai
keperluan, termasuk pembangunan, dalam Hukum Tanah Nasional terdapat
47 Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri
Hukum Pertanahan I, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), hal. 2. 48 Ibid.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
46
Universitas Indonesia
asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan perlindungan
hukum bagi pemegang hak atas tanah. Adapun asas-asas tersebut adalah:
1). Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan
untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang
disediakan oleh Hukum Tanah Nasional.
2). Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan
haknya (ilegal) tidak dibenarkan, bahkan dikenakan sanksi
pidana.
3) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan
hak yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi
oleh hukum terhadap gangguan-gangguan dari pihak manapun
oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada
landasan hukumnya.
4) Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk
menanggulangi gangguan yang ada, yaitu:
1. Gangguan oleh sesama anggota masyarakat: gugatan
perdata melalui pengadilan negeri atau meminta
perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya menurut
UU Nomor 51 Prp Tahun 1960;
2. Gangguan oleh penguasa: gugatan melalui Pengadilan
Umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
3. Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun
dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek
kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki
seseorang harus melalui musyawarah untuk mencapai
kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya
kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai
imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan untuk menerimanya.
4. Bahwa sesungguhnya dengan apa yang tersebut di atas,
dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
47
Universitas Indonesia
diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam
bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada
pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah
kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak
disetujuinya, termasuk juga penggunaan lembaga
“penawaran pembayaran yang diikuti dengan
konsinyasi pada Pengadilan Negeri” seperti yang diatur
dalam Pasal 1404 KUH Perdata. 49
5. Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang
bersangkutan diperlukan untuk penyelenggaraan
kepentingan umum, dan tidak mungkin menggunakan
tanah yang lain, sedang musyawarah yang diadakan
tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat
dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak
memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan
menggunakan acara “Pencabutan Hak” yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.
6. Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik
atas dasar kesepakatan bersama maupun melalui
pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh
imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya
meliputi tanahnya, bangunan, dan tanaman pemegang
hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang
dideritanya sebagai akibat penyerahan tanah yang
bersangkutan.
7. Bahwa bentuk dan jumlah imbalan ganti kerugian
tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk
kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak,
haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang
49 Ibid.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
48
Universitas Indonesia
haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam
bidang sosial maupun tingkat ekonominya.
Apabila asas-asas perolehan tanah itu ditaati, maka seharusnya
kegiatan perolehan tanah untuk berbagai kegiatan termasuk pembangunan
dapat berjalan dengan baik.50
Selain asas-asas tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam perolehan tanah yakni:
a. Proyek
Yaitu apa yang dikembangkan atau dibangun di atas tanah yang
diperoleh. Tanah yang tersedia itu akan digunakan untuk keperluan
pribadi, usaha atau keperluan khusus lainnya.
b. Lokasi
Yaitu letak proyek yang bersangkutan. Untuk itu perlu diketahui
terlebih dahulu Rencana Tata Ruang Wilayah di DKI Jakarta
(mengenai Rencana Bagian Wilayah Kotanya). Apabila untuk
keperluan bisnis/proyek tertentu perlu dimohon Izin Prinsip dan
Izin Lokasi Peraturan menteri Negara Agraria/ kepala BPN Nomor
2 Tahun 1999 Tentang Ijzn Lokasi).
c. Status Tanah Yang tersedia
Mengenai tanah yang tersedia dikaitkan dengan segi fisik dan segi
yuridisnya yakni sebagai berikut:
1). Segi Fisik Tanah
Letaknya, batas-batasnya dan luasnya. Apabila telah
bersertipikat, data fisik dapat dibaca pada surat ukur yang
memuat keterangan tentang data fisiknya.
2). Segi Yuridis
Berkaitan dengan jenis haknya, pemegang haknya dan
hak-hak pihak ketiga yang membebaninya, serta
pewarisan menurut hukum (dikuasai oleh para ahli waris
pemegang haknya dan perbuatan hukum yang terjadi
50 Sihombing., op.cit., hal. 46-47
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
49
Universitas Indonesia
(misalnya diperoleh melalui jual beli, hibah, tukar
menukar atau bentuk pemindahan hak lainnya.51
d. Tata cara memperoleh tanah
Yang dimaksud dengan tata cara memperoleh tanah ialah prosedur
sesuai ketentuan hukum yang harus ditempuh dengan tujuan untuk
menimbulkan suatu hubungan hukum antara subyek tertentu
dengan tanah tertentu. Menurut hukum tanah nasional ada 5 macam
cara yang dapat ditempuh oleh perorangan, badan hukum ataupun
instansi pemerintah untuk dapat menguasai tanah yang diperlukan
untuk melepas tanahnya, cara tersebut tergantung dari 3 (tiga)
faktor pokok, yaitu:
1) Status tanah yang tersedia
2) Status hukum pihak yang menguasai tanah tersebut
3) Keinginan pemegang hak atas tanah yang diperlukan
untuk melepas tanahnya.
Adapun kelima cara itu adalah:
1) Permohonan hak khusus untuk tanah Negara dan
pendaftarannya.
2) Perjanjian dengan pemilik tanahnya misalnya sewa
menyewa atau Build Operate Transfer (BOT).
3) Pemindahan hak yang dapat berupa jual beli, tukar
menukar maupun hibah yang diikuti dengan
pendaftarannya.
4) Pembebanan/pelepasan hak yang harus diikuti dengan
permohonan hak dan pendaftarannya.
5) Pencabutan hak apabila tanah digunakan untuk
kepentingan umum yang juga harus diikuti dengan
permohonan hak dan pendaftarannya.52
51
Ibid., hal. 49-50. 52
Ibid., hal. 191.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
50
Universitas Indonesia
2.8 IZIN LOKASI
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa perolehan tanah
diperlukan untuk memenuhi beberapa keperluan, yaitu keperluan pribadi
(membangun rumah tinggal), dan keperluan/ kegiatan usaha. Dengan
mengetahui status tanah yang tersedia dan status hukum calon subyek
penerimanya, dapat diketahui bagaimana cara memperoleh tanah tersebut.
Apabila tanah yang diperoleh dimaksudkan untuk memenuhi
keperluan pribadi (membangun rumah tinggal), tidak diperlukan persyaratan
tertentu sebelum tata cara perolehan tanah dilalui. Lain halnya dengan
apabila tanah yang diperoleh itu untuk kegiatan usaha (biasanya bentuk
usahanya Perseroan terbatas, yang sahamnya dimiliki swasta, baik
perusahaan dalam rangka penanaman modal asing maupun penanaman
modal dalam negeri), maka sebelum melakukan kegiatan perolehan tanah
itu, diperlukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Persyaratan
tertentu itu adalah pemilikan ijin prinsip dan ijin lokasi. Tanpa ijin-ijin
tersebut perusahaan yang bersangkutan dilarang melakukan kegiatan
memperoleh tanah bagi keperluan usahanya.53
Adapun yang dimaksud dengan ijin lokasi adalah ijin yang
diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan
dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai ijin pemindahan
hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha
penanaman modalnya.54
Ijin lokasi merupakan persyaratan yang perlu
dipenuhi dalam hal suatu perusahaan akan memperoleh tanah dalam rangka
penanaman modal. Maksud dari pernyataan ini adalah untuk mengarahkan
dan mengendalikan perusahaan-perusahaan dalam memperoleh tanah
mengingat penguasaan tanah harus memperhatikan kepentingan masyarakat
banyak dan penggunaan tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang
berlaku dan dengan kemampuan fisik tanah tersebut.55
53
Ibid., hal. 67 54
Pasal 1 angka 1 PMNA/KBPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. 55
Hutagalung., op. cit., hal. 54.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
51
Universitas Indonesia
Dalam PMNA/KBPN Nomor 2 Tahun 1999 disebutkan bahwa ijin
lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikotamadya atau untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta ditandatangani oleh Gubernur Kepala daerah
Khusus Ibukota Jakarta, setelah diadakan rapat koordinasi antar instansi
terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikotamadya atau untuk DKI Jakarta
oleh Gubernur DKI Jakarta, atau oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap
olehnya. Ketentuan mengenai tata cara permohonan ijin lokasi berdasarkan
Pasal 7 ayat 2 PMNA/KBPN 2 Tahun 1999 masih menggunakan tata cara
PMNA/KBPN Nomor 2 Tahun 1993 yaitu permohonan ijin lokasi diajukan
oleh perusahaan yang bersangkutan kepada pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dengan melampirkan Surat Persetujuan Penanaman Modal
(apabila PMDN) atau Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden (apabila
PMA), dalam surat permohonan tersebut disebutkan:
a. Nama dan identitas yang mewakili perusahaan;
b. Tujuan permohonan ijin lokasi;
c. Keterangan mengenai perusahaannya, seperti nama perusahaan
yang bersangkutan/bentuk badan usahanya, alamat perusahaan,
fotokopi akta pendirian perusahaan, fotokopi NPWP;
d. Keterangan tentang tanah yang akan dimohonkan ijin lokasi,
yaitu luas areal tanahnya letak tanahnya, sketsa gambar kasar,
status tanahnya, penggunaan tanah itu sekarang. Dalam surat
permohonan itu juga dimuat:
1). Pernyataan kesanggupan akan memberikan imbalan,
dan/atau menyediakan tempat penampungan bagi
(bekas) pemilik atau yang berhak atas tanah.
2) Uraian rencana proyek yang akan dibanguan
sebagaimana tercantum dalam proyek proposal yang
diajukan pada saat pemohon mengajukan ijin
prinsip.
Adapun hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemberian ijin lokasi
adalah sebagai berikut:
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
52
Universitas Indonesia
1) Kesesuaian tujuan penggunaan tanah yang dimohon dengan
rencana tata ruang wilayah atau rencana lainnya yang dipakai
sebagai acuan;
2) Kemungkinan adanya tumpang tindih dalam peruntukan dengan
kegiatan lainnya;
3) Kepastian lokasi dan luas tanah yang dapat diberikan;
4) Status tanah yang dimohon;
5) Kemungkinan dan kepentingan pihak ke 3 yang ada di lokasi yang
dimohon;
6) Persyaratan yang masih diperlukan
Berdasarkan Pasal 8 ayat 2 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang
ijin lokasi, ditegaskan bahwa sebelum tanah dibebaskan oleh pemegang ijin
lokasi, para pemegang hak atas tanah masih tetap mempunyai semua
kewenangan yang diberikan oleh hak atas tanahnya.
Peraturan tersebut diatas dapat digunakan sebagai pengendali bagi
para pemegang ijin lokasi yang tidak segera melaksanakan kewajibannya,
yaitu dengan memberikan batasan waktu ijin lokasi. Ijin lokasi diberikan
untuk jangka waktu sebagai berikut:
a. Ijin lokasi seluas sampai dengan 25 Ha: 1 (satu) tahun;
b. Ijin lokasi seluas lebih dari 25 Ha s/d 50 Ha: 2 (dua) tahun;
c. Ijin lokasi seluas lebih dari 50 Ha: 3 (tiga) Tahun.
Dalam jangka waktu tersebut, pemegang ijin lokasi harus
menyelesaikan perolehan tanah. Apabila dalam jangka waktu tersebut belum
selesai, maka ijin lokasi dapat diperpanjang selama 1 (satu) tahun dan
apabila tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50 % (persen) dari
luas tanah yang ditunjuk dalam ijin lokasi (Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3)56
.
Kemudian apabila perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalam
jangka waktu ijin lokasi, termasuk perpanjangannya maka perolehan tanah
56
Tim Pengajar Land Reform Dan Tata Guna Tanah, op.cit., hal. 109.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
53
Universitas Indonesia
tidak dapat dilakukan lagi. Terhadap bidang-bidang tanah yang sudah
diperoleh dilakukan tindakan sebagai berikut:
- Dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal
dengan penyesuaian mengenai luas pembangunan, dengan
ketentuan bahwa apabila diperlukan masih dapat dilaksanakan
perolehan bidang tanah yang merupakan satu kesatuan bidang
tanah;
- Dilepaskan kepada perusahaan atau pihak lain yang memenuhi
syarat.
Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi (SP3L) dan Surat Izin
Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT)
Pemerintah DKI Jakarta menetapkan tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan atas bidang
tanah untuk pembangunan fisik kota DKI Jakarta (SP3L) dengan beberapa
tujuan yaitu:
a. Terselenggaranya upaya pengendalian dan pengawasan
pembebasan dan pemanfaatan tanah yanag luasnya lebih dari
5000m2.
b. Berlangsungnya percepatan kegiatan peremajaan kota;
c. Optimalnya penggunaan tanah pada kawasan strategis;
d. Terpenuhinya prinsip subsidi silang, bahwa yang kuat harus
membantu yang lemah;
e. Pengarahan rencana kota dapat terselenggara;
f. Tercegahnya kegiatan para spekulan tanah.
Adapun syarat-syarat perolehan SP3L adalah sebagai berikut:
1. Pemohon harus berbentuk badan Perseroan Terbatas, Perseroan
Komanditer, BUMN/BUMD. dengan nama dan bentuk apapun,
firma, kongsi, perkumpulan, koperasi, yayasan atau lembaga dan
bentuk usaha tetap.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
54
Universitas Indonesia
2. Permohonan diajukan secara tertulis dengan mengisi formulir yang
disediakan oleh Dinas Tata Kota Cq. Sekretariat Badan.57
Sejarah disyaratkannya izin dalam bentuk Ijin Penggunaan Tanah
(IPPT) dilatarbelakangi karena tidak adanya pengendalian mengenai
penggunaan dan peruntukan tanah yang pada saati itu (Tahun 1972) Pend
dari DKI Jakarta belum mempunyai RUTR yang baru disahkan pada tahun
1984 oleh DPRD DKI Jakaarta. Secara yuridis, mekanisme pengendalian
tersebut baru mulai dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Kepala DKI Jakarta Nomor 16/10/I/8/67 tentang Pembentukan Badan
Pertimbangan Gubernur Kepala daerah mengenai Masalah Tanah dan
Hubungannya dengan Pembangunan Fisik DKI Jakarta (BUPT) dan
kemudian dikeluarkan surat keputusan Nomor Da.11/3/11/1972 Gubernur
DKI tentang Prosedur Permohonan Ijin Membebaskan dan Penunjukkan dan
Penggunaan Tanah serta Prosedur Pembebasan Tanah dan Benda-Benda
yang ada diatasnya untuk kepentingan Dinas dan Swasta di Wilayah DKI
Jakarta.
Pertimbangan Urusan Tanah (BPUT) dan permohonan tersebut
harus dilengkapi dengan:
a. pra-proposal proyek/prarancang bangun yang terdiri dari:
1) Aspek rencana kota/tata ruang.
2) Tata cara pembebasan tanah.
3) Aspek pembiayaan proyek.
4) Aspek tata laksana proyek.
5) Aspek sosial ekonomi proyek.
6) Aspek lingkungan hidup.
7) Jangka waktu penyelesaian pembebasan tanah untuk
pembangunan fisik
b. Rekomendasi Bank Pemerintah atau Bank Devisa untuk membiayai
pembebasan tanah dan pembangunan fisik proyek;
57
Hutagalung., op.cit., hal 110
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
55
Universitas Indonesia
c. Pernyataan kesanggupan untuk mematuhi semua persyaratan yang
telah ditetapkan;
d. Peta situasi 1:5000;
e. Fotokopi Akta Pendirian Badan Usaha;
f. Surat pernyataan kesanggupan untuk membiayai dan membangun
rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20% dari luas areal
manfaat secara komersial dan atau ketentuan lainnya yang ditetapkan
oleh Gubernur DKI Jakarta.
Selain hal tersebut adapula persyaratan lain yang harus dipenuhi
oleh pemohon yaitu:
a Pelaksanaan pembebasan tanah untuk kepentingan proyek
pembangunan harus dilaksanakan secara utuh dalam satu
kesatuan lokasi/tanah.
b. Apabila realisasi pembebasan tersebut tidak terlaksana secara
utuh, maka terhadap tanah yang telah dibebaskan tersebut dapat
dialihkan secara sepihak oleh Gubernur DKI Jakarta kepada
pihak lain dengan penggantian sebesar harga pembebasan
ditambah 20% biaya administrasi dari harga pembebasan tanah.
c. Terhadap lokasi yang dimohon dengan kondisi lapangan
dan/atau menurut rencana kota peruntukannya adalah
perumahan yang luasnya 5000 m2 (Meter persegi) atau lebih,
kepada pemohon diwajibkan membiayai dan membangun rumah
susun murah beserta fasilitasnya sebesar 20 % dari areal manfaat
secara komersial dan atau ketentuan lainnya yang ditetapkan
Gubernur DKI Jakarta. Pembangunan rumah susun murah yang
dimaksud tersebut lokasi dan persyaratan penjualannya
ditetapkan kemudian oleh Gubernur DKI.
3. Pemohon berkewajiban mengganti prasarana dan sarana kota
yang ada dalam lokasi/tanah yang dimohon.
4. Terhadap tanah yang telah dibebaskan sesuai dengan SP3L
dimaksud, harus dilengkapi dengan rekomendasi keabsahan
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
56
Universitas Indonesia
pemilikannya dari Kantor Pertanahan setempat dean paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkan rekomendasi
tersebut harus mengajukan Permohonan Surat Ijin Penunjukkan
Penggunaan Tanah (SIPPT) kepada Gubernur DKI Jakarta.
SP3L berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
diterbitkannya dan batal dengan sendirinya jika jangka waktu tersebut dan
segala resikonya menjadi beban tanggungan Pemohon kecuali ada
persetujuan perpanjangan secara tertulis dari Gubernur DKI jakarta.
Sedangkan untuk persyaratan pengajuan permohonan SIPPT meliputi:
1). Fotocopy akte badan hukum/tanda kenal diri.
2) Peta situasi terukur/Keterangan Rencana Kota dari SDTK
wilayah yang bersangkutan.
3). Rekomendasi Kanwil Badan Pertanahan Nasional DKI
Jakarta.
4). Rancang bangun (Project Proposal) tentang rencana
Pembangunannya.
5). Bukti pelunasan PBB tahun terakhir.
6). Rekomendasi dari instansi terkait.58
2.9 GANTI RUGI HAK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN
UMUM.
2.9.1. Pengertian Ganti Rugi.
Istilah ganti rugi atau penggantian kerugian biasanya dipakai dalam
bidang keperdataan, baik itu mengenai ingkar janji (wanprestasi),
pelanggaran hukum maupun bidang penggantian pertanggungan kerugian.
Sehubungan dengan istilah tersebut diatas, maka R Setiawan, S.H.
pernah mengatakan bahwa ganti rugi dapat berupa penggantian dari pada
prestasi, tetapi dapat berdiri sendiri disamping prestasi.59
58 Hutagalung, op.cit., hal. 111-113 59 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1987), hal. 18.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
57
Universitas Indonesia
Sedangkan Prof. R. Subekti, S.H. mengatakan; Bahwa seorang
debitur telah diperingatkan dengan tegas dan ditagih janjinya, apabila tetap
tidak melaksanakan prestasinya maka dinyatakan lalai atau alpa dan
kepadanya diberikan sanksi-sanksi yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian
dan peralihan resiko. Demikian juga beliau menyatakan bahwa Undang-
undang pertanggungan merupakan suatu perjanjian, dimana penanggung
menerima premi dengan kesanggupan mengganti kerugian keuntungan yang
ditangung atau yang mungkin diderita sebagai akibat tertentu.60
Jadi kalau dilihat dari pendapat sebagaimana tersebut bahwa
tuntutan ganti rugi hanya dapat dinyatakan dengan uang. Dan selanjutnya
timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan pengertian ganti rugi
tersebut? istilah ganti rugi biasanya terjadi akibat adanya ingkar janji dan
perbuatan melanggar hukum. Dalam pemenuhan prestasi kewajiban terletak
pada debitur, sehingga apabila debitur tidak melaksanakan kewajiban
tersebut bukan karena keadaan memaksa, maka si debitur dinyatakan lalai.
Adapun bentuk dari pada ingkar janji ada tiga macam yaitu;
1. Tidak memenuhi prestasi.
2. Terlambat memenuhi prestasi.
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik.61
Sehubungan dengan dibedakan ingkar janji seperti diatas timbul
persoalan apakah debitur yang tidak memenuhi prestasi tepat pada waktunya
harus dianggap terlambat atau tidak memenuhi prestasi sama sekali ? Dalam
hal debitur tidak lagi mampu memenuhi prestasinya, maka debitur tidak
memenuhi prestasinya sama sekali. Sedangkan jika prestasi debitur masih
dapat diharapkan pemenuhannya, maka digolongkan kedalam terlambat
memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasi secara tidak baik , ia
dianggap terlambat memenuhi prestasi jika prestasinya masih dapat
diperbaiki dan jika tidak, maka dianggap tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
60 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 163. 61 R. Setiawan, loc cit, hal.18
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
58
Universitas Indonesia
Seorang debitur yang dinyatakan lalai dapat membawa akibat
kerugian pada dirinya, karena sejak itu si debitur berkewajiban mengganti
kerugian dikarenakan perbuatannya , sehingga si Kreditur dapat menuntut
kepada debitur berupa;
1) Pemenuhan perikatan.
2) Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi.
3) Ganti rugi.
4) Pembatalan persetujuan timbal balik.
5) Pembatalan dengan ganti rugi.62
Di dalam tuntutan ganti rugi karena wanprestasi ketentuan yang
dipakai adalah Pasal 1365 KUH Perdata, pada dasarnya untuk tuntutan
karena wanprestasi harus dapat dibuktikan dahulu bahwa kreditur telah
menderita kerugian dan beberapa jumlah kerugian itu.
Dalam Pasal 1246 KUH Perdata disebutkan bahwa faktor-faktor
yang dapat menentukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi, yaitu;
1. Kerugian yang nyata diderita.
2. Keuntungan yang harus diperoleh.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, apabila ganti rugi
ditafsirkan secara luas yaitu suatu perjanjian atau perikatan yang diadakan
antara debitur dan kreditur yang mengikat secara hukum dimana salah satu
pihak (debitur) melakukan kelalaian atau alpa karena sesuatu hal tertentu
yang karena keadaan memaksa yang menyebabkan pihak lain (kreditur)
mengalami kerugian dan dengan kejadian itu pihak yang merasa dirugikan
dapat menuntut pemenuhan prestasinya.
Pengertian ganti rugi. berdasarkan Pasal 1 ayat (11) Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005, ganti rugi adalah
penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan atau non-fisik sebagai
akibat dari pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan,
tanaman, dan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang dapat
62 Ibid., hal. 18.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
59
Universitas Indonesia
memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan
ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Jadi istilah ganti rugi dimaksud dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum berbeda dengan pengertian ganti rugi sebagai akibat dari
ingkar janji dan atau akibat suatu perbuatan melanggar hukum.
2.9.2 Bentuk Dan Dasar Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, Pasal 13, bentuk ganti rugi dapat berupa:
a). Uang; dan atau
b). Tanah pengganti; dan atau
c). Pemukiman kembali; dan atau
d). Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c;
e). Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dengan dasar perhitungan sebagaimana diatur dalam Pasal 15
yaitu;
1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:
a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau Nilai nyata/sebenarnya
dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tahun
berjalan berdasarkan Penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga
Tanah yang ditunjuk oleh Panitia;
b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang pembangunan;
c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab dibidang pertanian.
2) Dalam rangka penetapan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim
Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur
bagi Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
60
Universitas Indonesia
Sedangkan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Yang
Luasnya Kurang Dari Satu Hektar menurut Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 Pasal 59 ayat 1:
(1) Bentuk dan/atau besarnya ganti rugi pengadaan tanah
secara langsung ditetapkan berdasarkan musyawarah
antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan
pemilik.
(2) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berpedoman pada NJOP atau nilai nyata/sebenarnya
dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan di sekitar
lokasi.
Dalam Pasal 15 ayat (1a) sebagaimana mana tersebut maka
penuliskan menguraikan pendapat John Salindeho mengenai pengertian
harga dasar dan harga umum setempat atas tanah yang terkena pembebasan
hak atas tanah.63
Karena dikatakan Harga dasar atau NJOP maka harus
menjadi dasar untuk menentukan harga tanah/uang ganti rugi untuk tanah.
Sedangkan harga umum setempat diartikan suatu harga tanah yang terdapat
secara umum dalam rangka transaksi tanah di suatu tempat.64
Boleh dikata harga umum yaitu setempat atau harga pasaran adalah
hasil rata-rata harga penjualan pada suatu waktu tertentu, sedangkan tempat
berarti suatu wilayah/lokasi didalam suatu kabupaten/kota dapat saja
bervariasi menurut keadaan tanah, harga dasar yang tumbuh dari dan
berakar pada harga umum setempat, ditinjau harga umum tahun berjalan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu kiranya dikemukakan
pendapat Boedi Harsono yaitu bahwa hak milik atas tanah yang diperlukan
itu dilepaskan oleh pemiliknya setelah ia menerima uang ganti kerugian dari
pihak yang mengadakan pembebasan, ganti rugi tersebut sudah barang tentu
63 John Salindeho, op cit. hal 61 64 Ter Haar, dikutip dari John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan Jakarta, Sinar
Grafika 1987), hal. 62.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
61
Universitas Indonesia
sama dengan harga tanah sebenarnya.65
Sehingga jelas bahwa pengertian
uang ganti kerugian itu sama dengan harga tanah.
Dari uraian tersebut yang menjadi subtansi ganti rugi harus
didasarkan diantaranya;
1. didasarkan pada produk hukum putusan yang bersifat mengatur.
2. ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah diperoleh hasil
keputusan final musyawarah.
3. mencakup bidang tanah, bangunan serta tanaman yang dihitung
berdasarkan tolok-ukur yang telah disepakati.
4. wujud ganti rugi: uang dan/atau tanah pengganti dan/atau
pemukiman kembali, gabungan atau bentuk lain yang disepakati
para pihak.
2.10 TINJAUAN UMUM KONSINYASI
Secara garis besar Konsinyasi adalah penawaran pembayaran tunai
diikuti dengan penyimpanan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1404-1412
KUH Perdata. Beberapa ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut: 66
1. Pasal 1404 KUH Perdata menyatakan:
“Jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangkan, dan
jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya
kepada pengadilan.
Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan
si berhutang dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran
itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang sedangkan
apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang.”
2. Pasal 1405 KUH Perdata menyatakan:
“Agar supaya penawaran yang sedemikian itu sah adalah perlu:
1. bahwa ia dilakukan kepada seorang berpiutang atau
kepada seorang berkuasa menerimanya untuk dia;
65 Boedi Harsono, dikutip dari John salindeho, op.cit., hal 66. 66 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Yogyakarta:
Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), hal. 57-58.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
62
Universitas Indonesia
2. bahwa ia dilakukan oleh seorang yang berkuasa
membayar;
3. bahwa ia mengenai semua uang pokok dan bunga yang
dapat ditagih, beserta biaya yang telah ditetapkan dan
mengenai sejumlah uang untuk biaya yang belum
ditetapkan, dengan tidak mengurangi penetapan
terkemudian;
4. bahwa ketetapan waktu telah tiba, jika itu dibuat untuk
kepentingan si berpiutang;
5. bahwa syarat dengan mana utang yang telah dibuat, telah
dipenuhi;
6. bahwa pembayaran dilakukan di tempat, dimana menurut
persetujuan pembayaran harus dilakukan, dan jika tiada
suatu persetujuan khusus mengenai itu, kepada si
berpiutang atau ditempat tinggal yang telah dipilihnya;
7. bahwa penawaran itu dilakukan oleh seorang Notaris atau
juru sita, kedua-duanya disertai dua saksi.
3. Pasal 1407 KUH Perdata menyatakan:
“Biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran
pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berpiutang,
jika perbuatan-perbuatan telah dilakukan menurut undang-undang.”
4. Pasal 1408 KUH Perdata menyatakan:
“Selama apa yang dititipkan tidak diambil oleh si berpiutang, si
berhutang dapat mengambilnya kembali dalam hal itu orang-orang
yang turut berhutang dan para penanggung utang tidak dibebaskan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa
hal, antara lain sebagai berikut:
a. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan
(Konsinyasi) terjadi apabila dalam suatu perjanjian, kreditur
tidak bersedia menerima prestasi yang dilakukan oleh debitur.
Wanprestasi pihak kreditur ini disebut “mora kreditoris”.67
b. Penawaran sah bilamana telah memenuhi syarat bahwa utang
telah dibuat. Ini berarti bahwa penawaran hanya dikenal bila
67 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum
Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 171.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
63
Universitas Indonesia
sudah ada hubungan hutang-piutang. Jelaslah bahwa lembaga
konsinyasi bersifat limitatif.68
Selanjutnya di dalam Pasal 17 ayat (2) Keppres No.55 Tahun 1993
dinyatakan bahwa dalam hal tanah, bangunan, tanaman atau benda yang
berkaitan dengan tanah yang dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang,
sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat dipertemukan,
maka ganti rugi yang menjadi hak orang yang tidak dapat dipertemukan
tersebut dikonsinyasikan di pengadilan negeri setempat oleh instansi
pemerintah yang memerlukan tanah.
Konsinyasi yang dikenal di dalam Keppres No.55 Tahun 1993
hanyalah untuk keperluan penyampaian ganti rugi yang telah disepakati,
akan tetapi orang yang bersangkutan tidak diketemukan.69
Berdasarkan ruang lingkup Keppres No.55 Tahun 1993 jelas
diketahui bahwa peraturan pengadaan tanah ini hanya berlaku bagi
pengadaan tanah yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah untuk
kepentingan umum. Oleh karena itu konsinyasi hanya bisa diterapkan untuk
pembayaran ganti rugi untuk pengadaan tanah dilakukan oleh Instansi
Pemerintah untuk kepentingan umum, dengan catatan memang telah ada
kesepakatan diantara kedua belah pihak: yang membutuhkan tanah dan
pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan atau benda-
benda yang ada di atas tanah tersebut.70
Mahkamah Agung Republik Indonesia juga menegaskan melalui
putusannya Reg. No. 3757 PK/Pdt/1991 tanggal 6 Agustus 1991 yang
menyatakan bahwa konsinyasi tidak dapat diterapkan dalam pengadaan
tanah yang dilakukan oleh pemerintah. Konsinyasi hanya dikenal atau diatur
dalam KUH Perdata dan Keppres No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang
68 Oloan Sitorus, SKH Sinar Indonesia Baru, 6 Juli 1994, dalam Oloan Sitorus dan Dayat
Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,
2004), hal. 80. 69 Abdulrrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, (Bandung: Citra Aitya Bakti, 1994), hal. 66. 70 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, op.cit., hal. 59.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
64
Universitas Indonesia
sekarang telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,sebagaimana telah diubah dengan
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pada tanggal 21 Mei 2007 terbit Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah diubah dengan Perpres
No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres No. 36 Tahun 2005.
Secara garis besar butir-butir penting dalam Peraturan Kepala BPN
No. 3 Tahun 2007 itu berkaitan dengan konsinyasi adalah penilaian harga
tanah oleh Tim Penilai Harga Tanah didasarkan pada NJOP atau nilai nyata
dengan memerhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada 6
(enam) variabel yakni lokasi, letak tanah, status tanah, peruntukan tanah,
kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW), sarana dan prasarana, dan faktor-faktor lain.
Penilaian harga bangunan dan atau tanaman dan/atau benda-benda
lain dilakukan oleh instansi terkait. Hasil penilaian diserahkan kepada P2T
untuk digunakan sebagai dasar musyawarah.
Ketentuan musyawarah diatur dalam Pasal 31-38, kesepakatan
dianggap telah tercapai bila 75 persen luas tanah telah diperoleh atau 75
persen pemilik telah menyetujui bentuk dan besarnya ganti rugi. Jika
musyawarah tidak mencapai 75 persen, maka dapat terjadi 2 (dua)
kemungkinan, yakni:
1. Jika lokasi dapat dipindahkan, Panitia Pembebasan Tanah (PPT)
mengusulkan kepada instansi pemenntah yang memerlukan
tanah untuk memindahkan lokasi;
2. Jika lokasi tersebut tidak dapat dipindahkan (sesuai kriteria
dalam Pasal 39), maka kegiatan pengadaan tanah tetap
dilanjutkan. Jika 25 persen dah pemilik belum sepakat tentang
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
65
Universitas Indonesia
bentuk dan besarnya ganti rugi atau 25 persen lugs tanah belum
diperoleh, P2T melakukan musyawarah kembali dalam jangka
waktu 120 hari kalender.
Jika jangka waktu 120 hari lewat, maka:
“Bagi yang telah sepakat mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, ganti
rugi diserahkan dengan Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi atau Berita
Acara Penawaran Ganti Rugi. Bagi yang tetap menolak, ganti rugi dititipkan
oleh instansi pemerintah di Pengadilan Negeri (PN) setempat berdasarkan
Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi.”
PPT Kabupaten/Kota membuat Berita Acara Hasil Pelaksanaan
Musyawarah dan Penetapan Bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang
ditandatangani oleh seluruh anggota PPT, instansi pemerintah yang
memerlukan tanah dan para pemilik.
Putusan PPT tentang bentuk dan/atau besarnya ganti rugi diatur
dalam Pasal 40-42. Pemilik yang berkeberatan terhadap putusan PPT dapat
mengajukan keberatan disertai alasannya kepada Bupati/Walikota
/Gubernur/Mendagri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
Putusan penyelesaian atas keberatan diberikan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari. Bila pernilik tetap berkeberatan dan lokasi pembangunan
tidak dapat dipindahkan, Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri mengajukan
usul pencabutan hak atas tanah menurut Undang-undangNomor 20 tahun
1961.
Berkaitan dengan pembayaran ganti rugi, ketentuan Pasal 43-47
mengatur yang berhak menerima ganti rugi adalah:
1. Pemegang hak atas tanah;
2. Nazir untuk tanah wakaf;
3. Ganti rugi tanah untuk HGB/HP yang diberikan di atas tanah
HGB/HPL, diberikan kepada pemegang HGB/HPL
4. Ganti rugi bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda
yang ada di atas tanah HGB/HP yang diberikan di atas tanah
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
66
Universitas Indonesia
HGB/HPL, diberikan kepada pemilik bangunan dan/atau
tanaman dan/atau benda-benda tersebut.
Ganti rugi dalam bentuk uang diberikan dalam waktu paling lambat
60 (enam puluh) hari sejak tanggal keputusan. Untuk ganti rugi yang tidak
berupa uang, penyerahannya dilakukan dalam jangka waktu yang disepakati
para pihak.
Ganti rugi diberikan dalam bentuk:
1. Uang;
2. Tanah dan/atau bangunan pengganti atau permukiman kembali;
3. Tanah dan/atau bangunan dan/atau fasilitas lainnya dengan nilai
paling kurang sama dengan harta benda wakaf yang dilepaskan;
4. Recognise berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain
yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat (untuk
tanah ulayat), atau sesuai keputusan pejabat yang berwenang
untuk tanah instansi pemerintah atau pemerintah daerah.
Penitipan ganti rugi karena sebab-sebab tertentu (Pasal 48),
yakni:
1) Yang berhak atas ganti rugi tidak diketahui
keberadaannya;
2) Tanah, bangunan, tanaman dan atau benda lain
terkait dengan tanah sedang menjadi obyek perkara
di pengadilan;
3) Sengketa pemilikan yang masih berlangsung dan
belum ada penyelesaiannya;
4) Tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain
yang terkait dengan tanah sedang diletakkan seta
oleh pihak yang berwenang. Penitipan ganti rugi
dilakukan dengan permohonan penitipan kepada
Ketua Pengadilan Negeri.
Perpres maupun Peraturan Kepala BPN No. 3/2007 menyebutkan
tentang bentuk ganti kerugian berupa permukiman kembali, namun tidak
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
67
Universitas Indonesia
merincinya lebih lanjut. Sebagaimana diketahui, permukiman kembali itu
meupakan proses tersendiri yang memerlukan perhatian mengenai berbagai
hal, antara lain:
(a) bahwa pemilihan lokasi permukiman kembali harus merupakan
hasil musyawarah dengan pihak yang akan dipindahkan dengan
mengikutsertakan masyarakat penerima;
(b) lokasi pemindahan harus dilengkapi sarana dan prasarana serta
fasilitas umum. Prasarana dan sarana tersebut harus dapat juga
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Demikian juga perpres
tidak menyinggung tentang ganti kerugian terhadap faktor
nonfisik berupa upaya pemulihan pendapatan (income
restoration).
2.11 ANALISIS PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN
UMUM (STUDI KASUS PEMBANGUNAN JALAN TOL JORR
West 2)
2.11.1 Kasus Posisi
Berdasarkan uraian mengenai prinsip-prinsip hak penguasaan atas
tanah, pembebasan tanah dalam rangka pembangunan yang tidak
diimbangi dengan kompensasi atau pembayaran ganti rugi yang layak
dengan alasan untuk “kepentingan umum”, sebagaimana banyak kasus
terjadi di Pemprov DKI Jakarta yang salah satunya adalah pembangunan
jalan layang (fly over) dan jalan tol, mendorong penulis untuk meneliti
sengketa tanah antara Pemprov DKI Jakarta dan PT. CI selaku
perusahaan pengembang perumahan yang perkaranya telah diajukan ke
PTUN dan telah dimenangkan sampai dengan tingkat kasasi,
sebagaimana Keputusan Mahkamah Agung Nomor 67/G/2011/PTUN-
JKT tanggal 15 Agustus 2011.
PT CI selaku perusahaan pengembang perumahan telah
mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
(selanjutnya disebut “Pemprov DKI Jakarta”) melalui Pengadilan Tata
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
68
Universitas Indonesia
Usaha Negara (selanjutnya disebut “PTUN”) pada tanggal 22 Maret
2011, atas Surat yang diterbitkan oleh Gubernur Pemprov DKI Jakarta
tanggal 5 November 2008 Nomor 2349/-1.711. 5. (selanjutnya disebut
“Obyek Sengketa”).
Menurut PT. CI selaku Penggugat, Obyek Sengketa tersebut
telah tepat dan benar dijadikan dasar atau alasan untuk mengajukan
gugatan. Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan :
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu Penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau Badan Hukum Perdata.
Konkret karena berupa penetapan yang mengandung isi atau
substansi dan maksud yang jelas serta berbentuk tertulis yaitu Surat
Gubernur Nomor 2349/-1.711.52 tanggal 5 November 2008 yang
ditujukan kepada PT. CI, sedangkan individual karena tidak ditujukan
untuk umum , tetapi langsung kepada PT. CI, sebagai Badan Hukum
Perdata. Final karena sudah memenuhi sifat definitif, dikeluarkan oleh
pihak yang berwenang dan tidak memerlukan persetujuan Instansi lain
diatasnya.
Obyek Sengketa tersebut berisi perbaikan butir kewajiban yang
tercantum dalam Surat Gubernur tanggal 1 Oktober 1997 Nomor 2477/-
1.711.5, yang merupakan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah
(selanjutnya disebut “SIPPT”), yang isinya memuat revisi atas poin 5 b
SIPPT tahun 1997, sehingga isinya menjadi:
a. Penyempurnaan lahan untuk Tegangan Tinggi seluas
±65.070 m2 (enam puluh lima ribu tujuh puluh meter
persegi) dan penyempurnaan Hijau Umum seluas 9.312
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
69
Universitas Indonesia
m2 (Sembilan ribu tiga ratus dua belas meter persegi) agar
diserahkan kepada Perusahan Listrik Negara (selanjutnya
disebut PLN) diubah menjadi kepada Pemprov DKI
Jakarta.
b. Untuk tanah Jalan Tol seluas ±116.809 m2 (seratus enam
belas ribu delapan ratus sembilan meter persegi) agar
diserahkan kepada Bina Marga (Departemen Pekerjaan
Umum) diubah menjadi diserahkan kepada Pemprov DKI
Jakarta.
Disamping surat tersebut PT. CI juga telah menerima
beberapa kali surat teguran sebagai tindak lanjut tidak ditanggapinya
Surat Gubernur tersebut diatas. Adapun surat-surat tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Surat Gubernur PemProv DKI Jakarta Nomor 1705/-
076.98 tertanggal 7 September 2009, perihal Pemenuhan
Kewajiban Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum (selanjutnya
disebut “Fasos/Fasum”).
b. Surat Gubernur PemProv DKI Jakarta No. 277/076.98
tertanggal 22 Februari 2010, perihal Teguran I Penyelesaian
Kewajiban Fasos/Fasum.
c. Surat Gubernur PemProv DKI Jakarta No. 784/-076.98
tertanggal28 April 2010, Perihal Teguran II Penyelesaian
Kewajiban Fasos/Fasum.
d. Surat Gubernur PemProv DKI Jakarta No. 2431/-076.98 ter
tanggal 18 Oktober 2010, perihal Teguran III Penyelesaian
Kewajiban Fasos/Fasum.
Dengan demikian dari surat-surat yang telah diterbitkan tersebut
di atas Pemprov DKI Jakarta pada prinsipnya meminta kepada PT. CI
untuk segera memenuhi kewajiban menjadikan tanah jalan tol seluas
116.806 m2 (seratus enam belas ribu delapan ratus sembilan meter
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
70
Universitas Indonesia
persegi) dan hijau pengaman tol seluas ±29.820 m2 (dua puluh sembilan
ribu delapan ratus dua puluh meter persegi) sebagai Fasos/Fasum dan
menyerahkannya kepada Pemprov DKI Jakarta dengan jumlah total
146.626 m2 (seratus empat puluh enam ribu enam ratus dua puluh enam
meter persegi).
Disamping itu PT. CI juga telah menerima surat dari Badan
dan atau Pejabat yang mendapat delegasi wewenang dari Pemprov DKI
Jakarta, sebagai tindak lanjut dari diterbitkanya Surat Gubernur tersebut
di atas, yaitu:
a) Surat yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Pengawasan dan
Penertiban Bangunan (selanjutnya disebut “P2B”) Pemprov
DKI Jakarta berupa Surat Kepala Dinas P2B Pemprov DKI
Jakarta Nomor 2012 /1.785.3 tanggal 28 Juni 2010, perihal
Pemberitahuan Permohonan Konsultasi Permohonan Izin
Penggunaan Bangunan (selanjutnya disebut “IPB”) Nomor 17/K
IPB/B/KMB/1/201, yang pada pokoknya menangguhkan proses
penyelesaian penerbitan IPB PT. CI .
b) Surat yang diterbitkan oleh Walikota Jakarta Barat, berupa Surat
Nomor 4674/-076.96 tanggal 1 Oktober 2010, yang ditujukan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Administratif Jakarta
Barat, Kepala Sudin Tata Ruang Kota Administratif Jakarta
Barat dan Kepala Sudin Perizinan Bangunan Kota Administratif
Jakarta Barat, perihal Penundaan Pelayanan Perizinan, yang
pada pokoknya menunda pelayanan perizinan kepada PT. CI
sebagai pemegang SIPPT Nomor 2477/-1.711.5 tanggal 1
Oktober 1997. Penundaan pelayanan perizinan tersebut bersifat
sementara dengan batas waktu sampai kewajiban penyerahan
lahan kepada Pemprov DKI Jakarta sehubungan dengan trase
rencana pembangunan JORR ruas W2 telah dilaksanakan.
Berdasarkan hal tersebut di atas PT. CI sangat berkeberatan
dengan diterbitkannya Obyek Sengketa tersebut, mengingat SIPPT yang
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
71
Universitas Indonesia
telah diterbitkan dengan Nomor 2477/- 1.711.5 tanggal 1 Oktober 1997
yang merupakan penyempurnaan dari SIPPT Nomor 270/A/K/BKD/1972
tertanggal 16 Desember 1972 memuat ketentuan sebagai berikut:
1. Angka 3: luas lahan yang ditunjuk untuk penyempurnaan SIPPT
seluas ± 1.352.085 m2, terdiri dari:
Wisma kecil (Wkc) 664 unit seluas ± 128.651 m2;-
Wisma sedang (Wsd) 653 unit seluas ± 207.774m2;
Wisma besar (Wbs) 309 unit seluas ±174.085 m2;
Wisma susun (Wsn) 1.092 unit seluas ± 32.105m2;
Wisma kantor /dagang (Wkt/Wdg) 227 uni tseluas ± 40.503m2;
Karya perkantoran/perdagangan seluas ±122.983m2;
Fasilitas umum seluas ± 69.677 m2;
Penyempurnaan Hijau Taman (PHT) seluas± 32.286 m2;
Penyempurnaan Tegangan Tinggi (PTT) seluas± 65.070 m2;
Penyempurnaan Hijau Umum (PHU) seluas ±9.312m2;
Jalan dan Saluran seluas ± 323.010 m2
Jalan Tol seluas ± 116.809 m2;
Hijau pengaman Tol seluas ± 29.820 m2;
2. Angka 4: Wajib menyediakan dan membangun Fasos/Fasum, di
dalam bangunan apartemen dan di luar bangunan
apartemen/halaman;
3. Angka 5 a: Terhadap bidang tanah yang terkena rencana
jalan/saluran lingkungan +/-323.010 m2 dan penyempurnaan hijau
umum (PHU) seluas +/-9.312 m2 agar pemilikannya diserahkan
kepada Pemerintah DKI Jakarta, dipergunakan bagi kepentingan
umum, sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku
4. Angka 5b: Untuk lahan dengan penggunaan penyempurnaan
tegangan tinggi (PTT) seluas +/- 65.070 m2 dan penyempurnaan
hijau umum (PHU) seluas 9.312 m2 agar diserahkan kepada PLN.
Untuk jalan tol seluas +/- 116.809 m2 serta pengaman tol seluas +/-
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
72
Universitas Indonesia
29.820 m2 agar diserahkan kepada Bina Marga (Departemen
PekerjaanUmum);
Sedangkan kewajiban Fasos/Fasum bagi PT. CI selaku
pengembang real estate telah diatur tersendiri di dalam SIPPT, dan PT.
CI telah mempersiapkan lahan untuk merealisasikan kewajiban sesuai
ketertuan didalam SIPPT.
Disamping itu, PT. CI juga telah melakukan serah terima sarana
jalan, saluran, taman dan bangunan Sport Club dengan luas keseluruhan
75.614 m² berdasarkan Berita Acara Serah Terima Nomor 615/BA/IV/97
tanggal 11 April 1997 senilai Rp.19.434.754.000,yang secara bersama-
sama dengan 18 (delapan belas) pengembang lain, membangun Rumah
Susun Murah atau Sederhana di Pulogebang yang dikuasakan kepada
REI (Real Estate Indonesia) dengan menanggung biaya sebesar 20 %
(dua puluh persen) dari seluruh biaya pembangunan 350 unit Rumah
Susun, dengan nilai Rp.8.261.381.700,- (yang menjadi bagian PT. CI),
sesuai Join Operation Pembangunan Rumah Susun Murah Sederhana 18
(delapan belas) Pengembang Anggota REI DKI Jakarta, tanggal 16 Maret
2009.
2.11.2 Analisa Permasalahan
Pemerintah DKI Jakarta telah memberikan izin (SIPPT) yang
merupakan keputusan yang bersifat administrasi dengan maksud untuk
mengendalikan pembangunan fisik kota Jakarta khususnya daerah-daerah
tertentu karena dengan pesatnya pembangunan kota Jakarta banyak
dilakukan pembebasan, pembelian tanah oleh para pengembang,
karenanya perlu dilakukan pengaturan yang ketentuannya diatur dalam
SIPPT.
Dalam kasus sengketa tanah antara PT. CI dan Pemprov DKI
Jakarta, Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan Obyek Sengketa dengan
dasar atau alasan sebagai berikut :
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
73
Universitas Indonesia
(i) Secara materiil Obyek Sengketa tersebut diterbitkan karena memang
terdapat kekeliruan yang nyata dari materi SIPPT, yaitu klausul poin
5 b, sehingga kekeliruan tersebut harus direvisi.
(ii) Sesuai ketentuan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor
Da.11/3/11/1972 tanggal 2 Februari 1972 tentang Penyempurnaan
Prosedur Permohonan Izin Membebaskan dan Penunjukan/
Penggunaan Tanah serta Prosedur Pembebasan Tanah Dan Benda-
benda yang ada diatasnya Untuk Kepentingan Dinas/Swasta di
wilayah DKI Jakarta,Pemprov DKI mempunyai kewenangan untuk
menerbitkan Obyek Sengketa tanggal 5 November 2008, perihal
perbaikan butir kewajiban yang tercantum dalam poin 5 b SIPPT
Tahun 1997.
(iii) Penerbitan Obyek Sengketa tersebut sudah melalui prosedur yang
telah ditentukan dan telah dibahas dalam Rapat Pimpinan yang
dipimpin oleh Gubernur DKI Jakarta tanggal 29 Juli 2008,atas
masukan dari Asisten Keuangan Sekdaprov DKI Jakarta yang
membidangi masalah aset tanggal 1 Juli Nomor 874/-076.98.
(iv) Tanah yang akan diserahkan adalah calon aset Pemprov DKI Jakarta
yang tunduk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan merupakan potensi kekayaan DKI
Jakarta,sehingga akan berakibat bagi PT. CI yaitu pemeriksaan
secara pidana karena adanya dugaan untuk menghilangkan potensi
kekayaan daerah.
(v)Tanah yang akan diserahkan adalah calon aset Pemprov DKI Jakarta
yang tunduk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan merupakan potensi kekayaan DKI
Jakarta,sehingga akan berakibat bagi PT. CI yaitu pemeriksaan
secara pidana karena adanya dugaan untuk menghilangkan potensi
kekayaan daerah.
(vi) Penggunaan tanah tersebut bukan untuk kepentingan pribadi,
melainkan untuk kepentingan umum, yaitu jalan tol, karenanya bagi
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
74
Universitas Indonesia
pemegang SIPPT wajib memenuhi kewajiban yang tercantum dalam
SIPPT .
Berdasarkan alasan diterbitkannya Obyek Sengketa tersebut dan
dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum , maka tindakan Pemprov DKI Jakarta terhadap PT. CI selaku
perusahaan pengembang yang sejak tahun 1972 yang telah memperoleh
SIPPT dari Gubernur Pemprov DKI Jakarta Nomor 2701/A/K/BKD/1972
tanggal 16 Desember 1972 ,dan telah memperoleh penyempurnaan
dengan diterbitkannya SIPPT Nomor 2477/-1.711.5 tanggal 1 Oktober
1997, adalah bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Surat yang diterbitkan oleh Pemprov DKI Jakarta selaku Tata Usaha
Negara “bukan merupakan keputusan yang bersifat final”, karena
diterbitkan oleh Tata Usaha Negara dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta
tanpa dasar hukum yaitu Perpres Nomor 65 Tahun 2006 sebagai
peraturan dasar pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Perpres itu
sendiri tidak mempunyai kekuatan hukum memaksa karena bukan
undang-undang.
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana dirubah dengan
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum dalam Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa :
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti rugi, kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda- benda yang berkaitan dengan tanah.”
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Pasal 53 ayat 2 menyatakan :
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
75
Universitas Indonesia
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
azas - azas umum pemerintahan yang baik.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka isi dari Obyek Sengketa
yang meminta kepada PT. CI untuk menyerahkan tanah untuk Jalan Tol
seluas ±116.809 m2 dan tanah untuk Hijau Pengaman Tol seluas
±29.820 m2 yang seharusnya diserahkan kepada Bina Marga
(Departemen Pekerjaan Umum) diubah menjadi Fasum/Fasos dan
selanjutnya diserahkan kepada Pemprov DKI Jakarta, berakibat PT.CI
tidak mendapatkan ganti rugi. Dengan demikian Obyek Sengketa telah
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
azas-azas umum pemerintahan yang baik, sehingga sangatlah beralasan
apabila putusan Hakim dalam kasus tersebut memenangkan PT CI, dan
Obyek Sengketa dinyatakan batal atau tidak sah karena memenuhi unsur-
unsur Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut di
atas.
Disamping itu akibat hukum lainnya adalah dengan
diterbitkannya obyek sengketa tersebut pihak Pemprov DKI Jakarta
tanpa menunggu putusan Pengadilan yang bersifat tetap telah melakukan
langkah-langkah yang menghambat jalannya operasional perusahaan
pengembang, sehingga menimbulkan akibat hukum bagi PT. CI, dan
karenanya PT. CI merasa dirugikan, antara lain tidak terlaksananya jual
beli kavling kepada konsumen dan proyek pembangunan perumahan
menjadi terhambat karena diterbitkannya surat penangguhan dan
penundaan pelayanan perizinan oleh Kepala Dinas Pengawasan dan
Penertiban Bangunan (P2B) dan Walikota Jakarta Barat sehingga
mengakibatkan kerugian baik materiil maupun immateriil yaitu
hilangnya keuntungan yang diharapkan.
Apabila dikaji dari isi ketentuan dalam SIPPT yang ditebitkan
tahun 1997, jelas dapat diketahui adanya upaya untuk menguasai tanah
dengan proses yang tidak benar yaitu tanpa memberikan ganti rugi
kepada PT. CI, mengindikasikan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
76
Universitas Indonesia
melanggar prinsip penghormatan tehadap hak atas tanah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 3 Perpres Nomor 65 Tahun 2006.
Selain itu, seharusnya Pemprov DKI Jakarta memberikan dasar
pertimbangan yang dapat mendukung maksud diadakannya perubahan
atau perbaikan Obyek Sengketa, yang jelas harus menjamin kepastian
hukum sehingga tidak merugikan pihak yang dikenai keputusan. Adapun
alasan kesalahan atau kekeliruan yang dijadikan dasar adalah tidak
cermat, karena kesalahan tersebut baru diketahui kemudian dan
dilaksanakan perbaikannya setelah SIPPT yang diterbitkan tanggal 1
Oktober 1997 berjalan kurang lebih 11 (sebelas) tahun, sehingga apabila
dilakukan tanpa menunggu waktu yang lama tentunya tidak akan
menimbulkan kerugian bagi PT. CI.
Dilihat dari peraturan perundangan yang berlaku tujuan
diterbitkannya Obyek Sengketa tersebut adalah untuk mengambil hak
orang atau hak Warga Negara Indonesia yang dilindungi oleh Undang-
undang, itu berarti adanya itikad tidak baik pihak Pemprov DKI Jakarta
yang bermaksud menyerahkan tanah untuk Jalan Tol seluas ±116.809 m2
(meter persegi) dan tanah untuk Hijau Pengaman Tol seluas ±29.820 m2
(meter persegi) tersebut, kepada Bina Marga (Departemen Pekerjaan
Umum), sehingga memberikan akibat hukum bagi PT.CI untuk tidak
mendapatkan ganti rugi, yang mana seharusnya ganti rugi tersebut adalah
milik PT. CI, karena kewajiban penyerahan Fasos/Fasum sendiri sudah
ditentukan didalam SIPPT, dan pemenuhan kewajiban Fasos/Fasum PT.
CI selaku pengembang telah tercemin dari telah dipersiapkannya lahan
sejumlah 41,5% (empat puluh satu koma lima persen) atau sama dengan
561.164 m2 (meter persegi), dengan perincian sebagai berikut :
Fasilitas Umum ±69.677 m² (5,15 %);
Penyempurnaan Hijau Taman (PHT) ± 32.286 m² (2,39 %);
Penyempurnaan Tegangan Tinggi (PTT) ±65.070 m² (4,81 %)
Penyempurnaan Hijau Umum ±9.312 m² (0,69 %);
Jalan dan Saluran ±323.010 m² (23,89%);
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
77
Universitas Indonesia
Jalan Penunjang Tol ±61.809 m² (4,57 %)
Tindakan Pemprov DKI Jakarta telah menimbulkan ketidak
pastian hukum, dan menunjukkan adanya sikap dan tindakan yang saling
bertentangan pada pihak Pemerintah daerah dalam hal ini Pemprov DKI
Jakarta, sikap yang demikian tersebut adalah bertentangan dengan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Sehubungan dengan pembangunan trase jalan tol tersebut oleh
Pemprov DKI Jakarta maka akibatnya seharusnya pemilik sah lahan yang
semestinya mendapatkan ganti rugi yang layak. Selain itu hal inipun telah
akan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengadaan
tanahnya yaitu melanggar Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
tentang tindak pidana korupsi.
Namun yang dibahas dalam analisis ini lebih memfokuskan pada
masalah keperdataannya yaitu proses pengadaan tanah dengan mengatas
namakan kepentingan umum yang berakibat timbulnya sengketa dalam
hal pembayaran ganti ruginya.
Dalam kasus sengketa tanah antara PT. CI dan Pemprov DKI
Jakarta, pihak CI memperoleh ganti rugi dari Departemen Pekerjaan
Umum sebagai pihak yang sesuai SIPPT berhak menerima bidang tanah
yang terkena rencana jalan tol/saluran lingkungan dan lahan pengaman
tol melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat, atau disebut konsinyasi.
Mahkamah Agung Republik Indonesia menegaskan melalui putusannya
Reg. No. 3757 PK/Pdt/1991 tanggal 6 Agustus 1991 yang menyatakan
bahwa konsinyasi tidak dapat diterapkan dalam pengadaan tanah yang
dilakukan oleh pemerintah. Konsinyasi hanya dikenal atau diatur dalam
KUH Perdata dan Keppres No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang
sekarang telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Perpres No.36
Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, namun dalam Perpres No. 65 Tahun 2006
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
78
Universitas Indonesia
Pasal 10 konsinyasi atau penitipan pembayaran ganti rugi dapat
dititipkan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam hal musyawarah
tidak tercapai.
Secara teoritis pelepasan hak dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, dalam kasus PT. CI adalah untuk kepentingan
pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya proyek ini merupakan proyek
swasta karena kepentingan swasta adalah sejajar dengan kepentingan
swasta lainnya dan bukan kepentingan umum (pemerintah). Oleh karena
itulah secara teoritis transaksinya bersifat keperdataan murni yaitu
dimana seorang dihadapkan pada pelanggaran-pelanggaran perseorangan
dalam arti pelanggaran hak orang lain dan bukan berubah mewakili
kepentingan umum.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
79
Universitas Indonesia
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas, dapat ditarik
kesimpulan mengenai jawaban dari permasalahan yang penulis kaji sebagai
berikut:
(i) Dasar diterbitkannya Obyek Sengketa oleh Tata Usaha Negara
(Gubernur DKI Jakarta) adalah “kekeliruan” dimasa lampau,
dimana baru diketahui setelah 11 (sebelas) tahun sejak tahun
1997, sehingga SIPPT yang telah diterbitkan pada Tahun 1997
perlu direvisi.
(ii) Dengan diterbitkannya Obyek Sengketa menimbulkan akibat
hukum bagi PT. CI yaitu pelaksanaan jual beli kavling kepada
pihak Konsumen tidak dapat terlaksana, dan proyek perumahan
terhambat pengurusan izinnya akibat diterbitkannya penangguhan
dan penundaan perizinan kepada PT. CI oleh Kepala Dinas
Pengawasan dan Penertiban (P2B).
(iii) PT. CI telah menerima pembayaran ganti rugi melalui Pengadilan
Negeri (konsinyasi) sebelum putusan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
3.2. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut ini dikemukakan saran yang
ingin penulis sampaikan terkait dengan permasalahan yang penulis kaji.
Adapun saran yang dapat penulis kemukakan adalah :
Sebaiknya PT CI menghormati upaya hukum yang dilakukan oleh
pihak lawan (Pemprov DKI Jakarta) sehingga tidak menerima pembayaran
ganti rugi sebelum adanya keputusan yang bersifat tetap.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
80
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdulrrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, Bandung: Citra Aitya Bakti, 1994.
Basuki, Sunaryo, Hukum Tanah Nasional Landasan Hukum Penguasaan Dan
Penggunaan Tanah, Diktat Mata Kuliah Hukum Agraria, Magister
Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2002/2003.
Hutagalung, Arie. S,Analisa Yuridis Keppres 55 Tahun 1993.Diklat DDN: Jakarta,
2001.
Hutagalung, Arie. S,Condominium dan Permasalahannya. Jakarta:Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Hutagalung, Arie.S, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta:
LPHI 2005.
Hutagalung,Arie.S, dan Gunawan, Markus,Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Harsono,Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2003.
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukjm Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.
Limbong, Bernhard, Konflik Pertanahan. Jakarta:Pustaka Margaretha,2012.
Murad, Rusmandi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah.Bandung: Alumni,
1991.
Soemitro,Ronny Hantijo, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988.
Sumardjono, Maria SW, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya. Jakarta: Kompas, 2008.
Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2006.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri,Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994.
Soemitro,Roni Hanitya, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1996
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
81
Sitorus,Oloan dan Limbong, Dayat,Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004.
Salindheo, John, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua. Jakarta:
Sinar Grafika, 1988.
Sutedi,Adrian, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan.Jakarta:Sinar Grafika, 2007.
INTERNET
The Globe Journal, “Undang-undang Pengadaan Tanah Baru efektif 2013”, 27
September 2012, diunduh pada tanggal 4 Desember 2012.
MAKALAH
Boedi Harsono ,Aspek-Aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka
Pembangunan Nasional , Makalah: 1990.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3)
Indonesia, Undang-undang Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, UU No. 2 Tahun 2012,LN...,TLN...
Indonesia, Undang-undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
UU No. 5 Tahun 1960, LN No.104 Tahun 1960, TLN No. 2043.
Indonesia, Undang-undang Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, UU No. 2 Tahun 2012.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Wakaf, UU Nomor 41Tahun 2004. LN
Nomor 159 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor.4459.
Indonesia, Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan, Perpres No. 36 Tahun 2005.
Indonesia, Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan, Perpres No. 65 Tahun 2006.
Indonesia, Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan, Perpres No71 Tahun 2012.
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013
Analisis pengadaan..., Rini Mulyanti, FH UI, 2013