TERORISME NEGARA - Syamina.orgsyamina.org/uploads/Lapsus_edisi 6_2017_state terror.pdf ·...
Transcript of TERORISME NEGARA - Syamina.orgsyamina.org/uploads/Lapsus_edisi 6_2017_state terror.pdf ·...
TERORISME NEGARA
K. Mustarom
Laporan KhususEdisi 6 | Mei 2017
ABOUT USLaporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan
sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk
mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan
dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini
merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk
bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang
ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap
hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode
analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan
ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
——————
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di www.syamina.org
Daftar Isi
Executive Summary _____________________________________________________ 1
Pendahuluan __________________________________________________________ 3
Sejarah Terorisme ______________________________________________________ 8
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat ________________________________________ 12
Diskursus Terorisme Negara _____________________________________________ 21
Moralitas Terorisme Negara _____________________________________________ 28
Manajer Teror ________________________________________________________ 31
Kesimpulan __________________________________________________________ 38
01 Executive Summary
Executive Summary
Kata ‘terorisme’ pertama kali disebut setelah revolusi Prancis. Setelah jatuhnya
dinasti Bourbon pada tahun 1793, pemerintah Republik Prancis jatuh ke tangan
orang-orang yang radikal dan ekstrim, yang rata-rata memiliki basis politik yang
dangkal. Dikepalai oleh Robespierre, mereka membentuk divisi khusus untuk
mengeksekusi lawan politiknya tanpa pengadilan. Mereka menyebut diri mereka
sebagai ‘Terror’ dan kebijakan mereka disebut ‘Terorisme’. Kata ini pada awalnya
berawalan huruf T kapital, yang didefinisikan sebagai kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintahan yang terorganisir, bukan kelompok pemberontak. Definisi ini
bahkan pernah diakomodir dalam Kamus Oxford, yang mendeskripsikan terorisme
sebagai “pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan dilaksanakan oleh partai
yang memiliki kekuatan”. Jika definisi ini tetap bertahan, kebanyakan pemerintahan
yang ada di dunia saat ini tentu dapat didefinisikan sebagai teroris.
Sepanjang sejarah, kekerasan negara biasa digunakan untuk memaksa
penduduk agar mendukung agenda politik dan ekonomi kelompok elit. Mereka
menggunakan kekerasan untuk menanamkan ketakutan pada masyarakat.
Kekerasan negara semacam ini ditujukan untuk mencapai tujuan politik tertentu
dan membungkam keluhan politik masyarakat. Ini adalah bentuk terorisme negara.
Namun sayangnya, literatur akademis tentang terorisme jarang sekali memberi
perhatian kepada terorisme yang dilakukan oleh negara, meskipun terorisme
negara terbukti telah membunuh jiwa yang jauh lebih banyak dibanding terorisme
non-negara. Pada abad ke-20, sekitar 170 juta hingga 200 juta nyawa telah menjadi
korban keganasan terorisme negara, baik melalui pembunuhan massal, pemaksaan
kelaparan, dan genosida di abad ke 20. Pada dua dekade terakhir abad ke-20
sendiri, sekitar 300.000 orang "dihilangkan" oleh agen negara di seluruh dunia.
Gagasan bahwa “terorisme adalah senjata bagi yang lemah” telah menjadi
sebuah kebenaran yang seolah tidak bisa disangkal lagi. Kita sering diberitahu
bahwa para aktor non-negara yang sudah putus asa, dengan kekuatan dan sumber
02 Executive Summary
daya yang terbatas, lah yang nekad melakukan kekerasan yang ngawur dan
mengerikan. Sedangkan negara digambarkan hanya sekadar melakukan
pembelaan diri untuk melindungi orang-orang tak berdosa.
Memang, terorisme bisa jadi taktik bagi pihak yang lemah. Tapi, ia bukanlah
bentuk yang dominan, apalagi sampai masuk dalam definisi spesifik.
Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber
penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka
melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk
membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk,
mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah.
Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan
menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.
Selain itu, pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia
terbunuh oleh serangan bom atom dan ‘kampanye pengeboman’ yang ditujukan
untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara
acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi
teroris.
Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera
oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding
ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai,
disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara dan proxy mereka di
sejumlah wilayah seperti Chechnya, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe,
Kongo, Somalia, Uzbekistan, Irak, Suriah, dan sejumlah tempat lainnya.
Begitu juga dengan kampanye kontraterorisme akhir-akhir ini. Pemerintah
seringkali justru melakukan bentuk terorisme negara dengan membunuh rakyat
sipil dan mengintimidasi mereka, atas nama perang melawan teror.
Anehnya, meski terorisme negara jauh lebih mematikan dan merusak
dibanding terorisme non-negara, perhatian atasnya akhir-akhir ini justru semakin
melemah dan cenderung menghilang.
03 Pendahuluan
Pendahuluan
Topik mengenai terorisme meningkat secara tajam sejak serangan 11
September 2001. Sejak saat itu, George W. Bush mendeklarasikan “perang melawan
teror” untuk memburu “musuh peradaban” yang berpartisipasi dalam terorisme.
Banyak yang lupa bahwa “perang melawan teror” juga sudah dideklarasikan oleh
Ronald Reagen pada tahun 1980-an untuk memerangi kelompok yang ia tuduh
teroris di Timur Tengah dan Amerika Latin.
Retorika dan narasi tunggal yang luar biasa tentang “perang melawan teror”
membuat kita kadang-kadang lupa akan beberapa pertanyaan kunci. Tidak banyak
yang berani bertanya, apa itu definisi terorisme? Apa yang membedakannya
dengan perjuangan perlawanan yang sah? Siapa yang sebenarnya melakukan aksi
teror, negara ataukah non-negara? Apakah Amerika Serikat, yang menjadi dirigen
utama “perang melawan teror” dan mengklaim sebagai wakil dari masyarakat
beradab, pernah melakukan atau mensponsori terorisme? Ataukah terorisme
memang mutlak hanya dilakukan oleh kelompok Islam radikal?
Para politisi dan penguasa di banyak negara sering menggunakan segala cara
untuk mempengaruhi rakyatnya bahwa terorisme adalah perkara kriminal dalam
bentuk yang unik dan spesial.
Mereka memposisikan teroris dalam kategori kejahatan psikopat, dengan
menonjolkan sisi kekerasan tidak beradabnya. Mereka memposisikan teroris
melakukan hal di luar batas masyarakat beradab, dan karenanya tidak bias
dilakukan negosiasi dan perdamaian terhadap mereka. Mereka mengatakan bahwa
terorisme adalah masalah yang paling berbahaya di zaman ini.
Konsep mengenai terorisme ini banyak dibicarakan, namun tidak banyak yang
memahami. Ide mengenai terorisme terus menerus berubah, dibentuk, dan
didistorsi untuk mendukung agenda politik tertentu.
Hasilnya, konsep mengenai terorisme menjadi hal yang berantakan. Tidak ada
definisi pasti yang bisa diterima. Beberapa rezim otoriter menggunakan istilah itu
04 Pendahuluan
untuk menghancurkan citra lawan politiknya. Arab Saudi, Mesir dan kebanyakan
negara-negara teluk menyebut partai politik yang menganjurkan perubahan
demokratis yang damai sebagai ‘teroris’.1
Pada saat yang sama, di Inggris, konsep terorisme telah diubah sedemikian
rupa sehingga ia tidak hanya berlaku untuk aksi kekerasan, namun juga berlaku
terhadap aktifitas lain yang tidak memenuhi kriteria untuk disebut ‘kekerasan’.2
Teroris didefinisikan tidak hanya untuk orang yang melakukan kekerasan, namun
juga orang-orang yang pandangannya dapat menjadi ancaman bagi negara Inggris
atau nilai-nilai dan cara hidup mayoritas masyarakat Inggris. Di sini, konsep
terorisme telah berubah menjadi bagian dari alat penindasan oleh negara.
Studi mengenai teror negara seringkali diabaikan di kalangan para akademisi.
Mereka cenderung hanya menyematkan istilah tersebut pada ‘pemerintah teror’
pada masa Revolusi Prancis, atau pemerintahan Stalin di Rusia. Seiring dengan
waktu, istilah tersebut hilang ditelan masa dan dana, terutama pasca peristiwa 11
September.
Gagasan bahwa “terorisme adalah senjata bagi yang lemah” seolah telah
menjadi sebuah kebenaran yang mutlak, tidak bisa disangkal lagi. Kita sering
diberitahu bahwa para aktor non-negara yang sudah putus asa, dengan kekuatan
dan sumber daya yang terbatas, lah yang nekad melakukan kekerasan yang
ngawur dan mengerikan. Sedangkan negara digambarkan hanya sekadar
melakukan pembelaan diri untuk melindungi orang-orang tak berdosa.
Jadi, jika Anda memiliki legitimasi politik, mampu mengkomando pasukan
militer dengan persenjataan yang kuat dan canggih, serta mampu mempengaruhi
dunia internasional, maka Anda tidak bisa disebut sebagai teroris. Terorisme bukan
lagi soal metodologi, tapi kini bergeser ke ideologi. Bukan lagi apa yang dilakukan,
tapi siapa yang melakukan. Tak peduli berapa banyak korban yang sudah
1 https://www.pri.org/stories/2010-12-22/political-activists-charged-terror-saudi-arabia2 http://roar.uel.ac.uk/4824/1/Characterising%20the%20UK%20Terrorist%20Threat.pdf
05 Pendahuluan
dijatuhkan, jika yang melakukan adalah “others”, pihak lain, maka itu adalah
terorisme, jika yang melakukan “us”, kita, bukanlah terorisme. Narasi tunggal
tentang terorisme begitu dominan, hingga kita kehilangan pandangan akan adanya
alternatif. Konsep mengenai terorisme pun menjadi hanya “satu dimensi”, tidak ada
lagi konten selain kata-kata yang sudah dipublikasikan dan distandarisasi
penggunaannya.3
Memang, terorisme bisa jadi taktik bagi pihak yang lemah. Tapi, ia bukanlah
bentuk yang dominan, apalagi sampai masuk dalam definisi spesifik.
Departemen Luar Negeri AS mengestimasi bahwa kematian yang disebabkan
oleh terorisme transnasional secara global antara tahun 1975 hingga tahun 2003
mencapai 13.971 jiwa. Sedangkan US National Consortium for the Study of
Terrorism Database menyatakan bahwa korban tewas akibat insiden terorisme di
AS sejak tahun 1970 hingga tahun 2007 mencapai 3.292, dan sebagian besar
diantaranya akibat serangan 11 September 2001.4 Di sisi lain, sebagai contoh, sejak
tahun 1975 hingga tahun 1999, pemerintah Indonesia yang diback-up oleh
Amerika melakukan represi di Timor Timur yang menyebabkan terbunuhnya 200
ribu jiwa atau seperempat dari total populasi waktu itu.5 Kesimpulannya, bahwa si
kuat bisa melakukan teror yang jauh lebih mengerikan dibanding si lemah—teroris
non-negara—adalah fakta yang sulit dibantah. Namun, akhir-akhir ini kita
dihadapkan pada satu ketidakseimbangan pembahasan mengenai berbagai bentuk
terorisme.
Dalam sebagian besar diskursus, pikiran bahwa negara bisa melakukan
terorisme cenderung dikesampingkan. Misalnya, pemerintah AS mendefinisikan
terorisme sebagai ‘kekerasan yang dimotivasi secara politik yang dilakukan
3 Herbert Marcuse, “One-Dimensional Man,” Boston: Beacon Press, 1964, hal.87.4 Mark G. Stewart, John Mueller, “Acceptability of Terrorism Risks and PrioritisingProtective Measures for Key Infrastructure,” 2010.5 Jonathan Barker, “The No-Nonsense Guide to Global Terrorism,” Oxford: NewInternationalist, 2008, hal.72.
06 Pendahuluan
terhadap target non kombatan oleh kelompok non-negara atau agen rahasia.’6
Departemen Luar Negeri AS dan CIA mengambil definisi ini. Mereka membatasi
bahwa terorisme hanya dilakukan oleh kelompok non-negara, dan
mengesampingkan pelaku dari pihak negara.
Dalam pandangan hukum AS, dan juga sebagian besar negara di dunia, negara
dan agen-agennya yang melakukan kekerasan yang sama atau bahkan lebih kejam
dibandingkan kekerasan yang dilakukan kelompok non-negara tidak
diklasifikasikan sebagai teroris.7
Lain lagi dengan FBI. Mereka mendefinisikan terorisme sebagai ‘penggunaan
kekuatan dan kekerasan yang tidak sah secara hukum terhadap orang atau harta
benda untuk mengintimidasi atau memaksa sebuah pemerintahan, masyarakat
sipil, atau segmen masyarakat lainnya, untuk mencapai tujuan politik atau sosial.8
Definisi ini seolah-olah tidak mengesampingkan kemungkinan dilakukannya
terorisme oleh negara, namun penggunaan kata “tidak sah secara hukum”
membawa sejumlah implikasi. Hal ini dikarenakan:
(a) pasukan keamanan negara dianggap tidak melakukan terorisme atas dalih
menjalankan tugas yang sah secara hukum;
(b) jika otoritas negara mengeluarkan legislasi “sementara” atau “darurat” atas
nama alasan keamanan, atau bahkan membentuk aparat teror di bawah
sistem hukum yang sah, maka tindakan-tindakan mereka akan mendapat
dukungan hukum.
The US Army Field Manuals juga mengikuti jalur yang sama, dengan
menyatakan bahwa “terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang tidak sah secara hukum untuk menancapkan ketakutan... yang
6 US Code, Title 22, Section 2656f7 Robert E. Goodin, “What’s Wrong with Terrorism?”, Cambridge: Polity Press,2006, hal.558 Code of Federal Regulations, Title 28, Section 0.85
07 Pendahuluan
diniatkan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat.”
Mereka juga mengklaim bahwa “musuh yang tidak bisa bersaing dengan tentara
konvensional lah yang seringkali menggunakan taktik teror.” Kemungkinan bahwa
pihak negara, atau pihak non-negara yang bukan musuh, melakukan tindakan teror
tidak pernah dipertimbangkan.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah kenapa fokusnya pada terorisme?
Kenapa bukan genosida atau kejahatan perang? Satu alasan yang jelas adalah kata
‘terorisme’ mempunyai signifikansi retorika yang luar biasa, terutama di Amerika
Serikat sebagai pemilik hegemoni dunia saat ini. Sejak Presiden Ronald Reagen
mendeklarasikan perang melawan terorisme internasional pada awal tahun 1980-
an, terorisme menjadi pusat bagi pencitraan Amerika. Terorisme menjadi alat yang
dipakai untuk mendefinisikan musuh. Dalam proses pencitraan tersebut, “mereka”,
musuh Amerika lah, yang teroris, bukan Amerika. Pola ini kemudian dipakai oleh
rezim tiran lain sekutu Amerika untuk menggunakan hal yang sama.
Istilah terorisme juga memegang peran signifikan karena ia adalah sebuah aksi
yang didefinisikan oleh tujuan politiknya. Dengan kata lain, terorisme bukan hanya
membunuh atau menciderai, tapi bagaimana tindakan tersebut berkaitan dengan
strategi yang lebih luas.
Secara umum ada beberapa parameter yang menjadi pusat dari konsep
terorisme: (a) kesengajaan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan; (b)
diarahkan terhadap warga sipil; (c) dengan tujuan untuk menancapkan ketakutan di
kalangan masyarakat di luar korban langsung; (d) untuk meraih tujuan politik.9
Dengan parameter tersebut paling tidak kita bisa menentukan mana tindakan
negara yang bisa dipandang sebagai bentuk terorisme.
9 Cihan Aksan, Jon Bailes, "Weapon of the Strong: Conversations on US State Terrorism,"London: PlutoPress, hal. 4.
08 Sejarah Terorisme
Sejarah Terorisme
Kata ‘terorisme’ pertama kali disebut setelah revolusi Prancis. Setelah jatuhnya
dinasti Bourbon pada tahun 1793, pemerintah Republik Prancis jatuh ke tangan
orang-orang yang radikal dan ekstrim, yang rata-rata memiliki basis politik yang
dangkal. Dikepalai oleh Robespierre, mereka membentuk divisi khusus untuk
mengeksekusi lawan politiknya tanpa pengadilan. Mereka menyebut diri mereka
sebagai ‘Terror’ dan kebijakan mereka disebut ‘Terorisme’.
Kata ini pada awalnya berawalan huruf T kapital, yang didefinisikan sebagai
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan yang terorganisir, bukan kelompok
pemberontak.
Definisi ini bahkan pernah diakomodir dalam Kamus Oxford, yang
mendeskripsikan terorisme sebagai “pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan
dilaksanakan oleh partai yang memiliki kekuatan”. Jika definisi ini tetap bertahan,
kebanyakan pemerintahan yang ada di dunia saat ini tentu dapat didefinisikan
sebagai teroris.
Istilah tersebut muncul kembali pada pertengahan abad 19. Kali ini, istilah
tersebut dilabelkan kepada cara yang digunakan oleh kelompok anarkis untuk
melawan Rezim Tsar di Rusia. Istilah terorisme tanpa awalan huruf kapital tersebar
50 tahun sebelum Perang Dunia I, sebagai efek dari serangan tingkat tinggi
terhadap para pemimpin di Eropa dan terhadap Presiden Amerika, James A
Garfield10 dan William McKinley.11
Novel Joseph Conrad, The Secret Agent, menyebut kelompok teroris tersebut
sebagaimana definisi di atas. Istilah tersebut meliputi banyak variasi pelaku
10 https://www.whitehouse.gov/1600/presidents/jamesgarfield11 https://www.whitehouse.gov/1600/presidents/williammckinley
“Terorismeadalahpemerintahanintimidatif yangdiarahkan dandilaksanakanoleh partaiyang memilikikekuatan”
--Oxford Dictionary
09 Sejarah Terorisme
kekerasan, mulai dari pembunuhan rahasia atas inisiatif pribadi, maupun gerakan
teroganisir yang memiliki tujuan politik, seperti Irish Fenians.
Patut dicatat bahwa banyak gerakan teroris pada saat itu—terutama di Rusia—
diinfiltrasi dan bahkan disponsori oleh pemerintah.
Kata teroris dan terorisme kembali hilang setelah pecahnya Perang Dunia I.
Hilangnya istilah tersebut memiliki arti yang besar. Perang dunia dan
totalitarianisme mengubah perspektif. Pertumpahan darah dan kebrutalan yang
terjadi pada tahun 1914 sampai tahun 1945 sangat mengerikan, yang membuat
pembunuhan dan kekerasan lain yang dilakukan oleh kelompok anarkis dan
nasionalis di Barat sebelum 1914—atau bahkan teroris yang dituduhkan terhadap
kelompok Islam setelah tahun 2001—seolah tidak ada apa-apanya.
Ada hal menarik yang patut diperhatikan. Makna awal terorisme yang berarti—
penggunaan kekerasan oleh pemerintah demi tujuan politik untuk melawan
musuh-musuh internalnya—menerangkan dengan jelas apa yang terjadi setelah
1914 secara akurat. Penyerangan terhadap warga Rusia oleh Stalin,12 kekejaman
partai komunis Mao,13 serangan tentara Hitler terhadap rakyat sipil Eropa
semuanya cocok dengan definisi asli terorisme dalam kamus Oxford, yaitu teror
yang dilakukan oleh negara.14
Namun pemerintah-pemerintah tersebut jarang sekali disebut sebagai teroris.
George Orwell, novelis, wartawan, dan penulis politik Inggris, pernah
berkunjung ke Spanyol pada akhir 1930an dan mendeskripsikan kekejaman yang
dilakukan oleh pasukan Franco dan partai komunis oposisinya pada Perang Sipil di
Spanyol.15 Di situ, ia sama sekali tidak menggunakan istilah ‘terorisme’.
12 http://www.ibtimes.com/how-many-people-did-joseph-stalin-kill-111178913 http://www.nytimes.com/2004/01/09/opinion/a-bleak-anniversary-mao-the-mass-murderer.html?_r=014 https://www.nytimes.com/2016/11/22/books/review/a-new-look-at-civilian-life-in-europe-under-hitler.html15 http://www.salon.com/2014/01/11/the_war_that_made_orwell/
10 Sejarah Terorisme
Padahal banyak hal dalam laporannya yang hari ini bisa dianggap sebagai
terorisme. Memang, Orwell sendiri bisa diklasifikasikan sebagai teroris menurut
hukum Inggris sebagai konsekuensi keikutsertaannya bersama milisi anarkis dalam
Perang Sipil Spanyol.
Segera setelah Perang Dunia II, Inggris menghadapi perlawanan bersenjata di
Kenya, Aden, Malaysia, Palestina dan beberapa tempat lainnya.16 Perlawanan
tersebut hari ini pasti akan disebut sebagai pergerakan teroris.
Namun, Inggris jarang menggunakan istilah ini—hal ini dikarenakan
perlawanan-perlawanan tersebut terjadi di koloni jauh yang memang akan
ditinggalkan. Bahkan, dunia internasional mulai simpati terhadap gerakan anti
kolonialisme melawan Inggris.
Kekuatan imperial lain, seperti Prancis di Aljazair, lebih teguh untuk tetap
memegang apa yang dimilikinya dan menganggap koloni itu sebagai bagian dari
negaranya. Mereka mencitrakan lawannya sebagai teroris dan seringkali
menggunakan metode teroris (dalam arti sebenarnya) terhadap mereka. Terhadap
Aljazair, Prancis menjalankan terorisme dalam definisi originalnya, yaitu terorisme
yang dilakukan oleh negara.17
Konsep dan persepsi mengenai terorisme berubah secara drastis sejak
peristiwa 11 September.
Sejak serangan 11 September pada tahun 2001, dunia menggeser persepsinya
bahwa aktor non-negara pelaku kekerasan, yang biasa dilabeli terorisme global,
adalah ancaman utama bagi kebebasan dan keamanan. Dengan demikian, aksi
kekerasan yang dilakukan oleh selain aktor non-negara dan tidak dilabeli sebagai
aksi terorisme jarang diberitakan dan jarang mendapat perhatian.
16 https://www.theguardian.com/uk/gallery/2012/apr/18/colonial-archives-kenya-malaya-aden17 http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/229/html
11 Sejarah Terorisme
Jika ditelaah, asumsi ini berakar dari definisi negara yang disampaikan oleh
Max Webber. Menurutnya, negara adalah komunitas manusia dalam wilayah
tertentu yang mengklaim monopoli penggunaan kekuatan fisik secara sah.
Monopoli ini dianggap absolut. Karenanya, penggunaan kekerasan oleh aktor non-
negara dianggap tidak sah.
Dalam praktik maupun dalam teori politik, pandangan ini bukannya tanpa
perdebatan dan perlawanan. Di masa masa lalu, abad pertengahan, perlawanan
tersebut dilakukan dalam bentuk pembunuhan raja yang tiran, atau dalam bentuk
pemberontakan. Di era modern, perlawanan tersebut dilakukan dalam bentuk
perjuangan melawan kolonialisme, otoritarian, maupun rezim yang represif.
12 Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber
penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka
melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk
membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk,
mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah.
Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan
menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.
Pada abad kedua puluh, negara modern kembali melanjutkan terornya.
Mereka bertanggungjawab atas terbunuhnya 170 juta hingga 200 juta manusia.18
Sebagian besar dari mereka dibunuh melalui kampanye terorisme negara seperti
yang dilakukan oleh Stalin di Rusia, Pol Pot di Kamboja, hingga rezim diktator di
Chili, Argentina, Afrika Selatan, Uganda, dan puluhan negara lainnya.
Selain itu, pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia
terbunuh oleh serangan bom atom dan ‘kampanye pengeboman’ yang ditujukan
untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara
acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi
teroris.19
Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera
oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding
ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai,
disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara dan proxy mereka di
sejumlah wilayah seperti Chechnya, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe,
Kongo, Somalia, Uzbekistan, dan sejumlah tempat lainnya.
18 Rummel, R.J. (1994) Death by Government, New Brunswick, NJ: Transaction Books.19 Grosscup, B. (2006) Strategic Terror: The Politics and Ethics of Aerial Bombardment.London: Zed Books.
"Negarasekecil apapunlebihmempunyaikekuatan untukmelakukanteror dibandingorganisasiteroris non-negara palingmajusekalipun.
13 Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Begitu juga dengan kampanye kontraterorisme akhir-akhir ini. Pemerintah
seringkali justru melakukan bentuk terorisme negara dengan membunuh rakyat
sipil dan mengintimidasi mereka, atas nama perang melawan teror.20
Anehnya, meski terorisme negara jauh lebih mematikan dan merusak
dibanding terorisme non-negara, perhatian atasnya akhir-akhir ini justru semakin
melemah dan cenderung menghilang.
Dalam ilmu politik, ada semacam konvensi yang membedakan antara
kekerasan yang dilakukan oleh negara dan kekerasan yang dilakukan oleh aktor
non-negara. Kekerasan pertama disebut sebagai teror, yang terakhir disebut
terorisme. Namun, akhir-akhir ini seiring dengan masifnya literatur tentang
terorisme non-negara, teror negara banyak dikesampingkan oleh para akademisi,
media, dan pemerintah. Alasan akan hal ini bukanlah pada fakta empirik, tapi lebih
kepada alasan politik dan ideologi.
Satu-satunya alasan yang dipaksa untuk membedakan antara teror negara dan
teror non-negara adalah karena teror negara dilakukan untuk mempertahankan
status quo, sedangkan teror non-negara dilakukan dalam rangka mencapai
perubahan politik. Selain itu, skala teror negara pun jauh lebih besar dibanding
teror non-negara. Penjelasan tentang ini diungkapkan dengan sangat baik oleh
Noam Chomsky dan Edward Herman, yang membedakan teror negara sebagai
“teror grosir”, sedangkan teror non-negara sebagai “teror retail”.
Jika terorisme diartikan sebagai intimidasi politik dengan menggunakan
kekerasan atau ancaman, dan jika kita mengijinkan definisi tersebut meliputi
kekerasan oleh negara atau pejabat negara, maka kita akan menemukan bahwa
bentuk terorisme terbesar di dunia hari ini justru dilakukan oleh negara, para
agennya, atau aliansinya. Dan terorisme non-negara, jika dihitung secara kuantitas,
jumlahnya jauh lebih kecil dibanding teror negara. Bahkan, negara sekecil apapun
lebih mempunyai kekuatan untuk melakukan teror dibanding organisasi teroris
20 Goodin, R. (2006) What’s Wrong with Terrorism? Cambridge: Polity Press.
14 Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
non-negara paling maju sekalipun. Contoh, hanya negara teroris yang memiliki
senjata pemusnah massal atau memiliki kemampuan untuk mencabut kebutuhan
dasar manusia, melakukan boikot pangan yang berujung pada kelaparan,
malnutrisi, tingkat kematian bayi yang tinggi, dan penyakit kronik lainnya, sebagai
alat untuk mengintimidasi dan melakukan kontrol.
Definisi kamus tentang terorisme—yang menghindarkan diri dari dalih
ideologis yang mengesampingkan teror negara—menyebutkan bahwa terorisme
adalah “kebijakan yang menggunakan tindakan untuk menanamkan rasa takut
yang dahsyat sebagai metode untuk mengatur atau melakukan oposisi politik.”21
Tapi jika kita ingin definisi teror negara yang lebih spesifik yang membedakannya
dengan terorisme non-negara, definisinya adalah penggunaan atau ancaman
kekerasan oleh negara atau oleh agen atau pendukungnya, yang terutama
diarahkan terhadap warga sipil, sebagai sarana untuk intimidasi dan kontrol politik
(atau sarana untuk melakukan represi).
Teror negara adalah masalah dunia yang utama dan terus bertumbuh. Jika
penyiksaan dan pembunuhan yang dimotivasi oleh politik didefinisikan sebagai
terorisme, maka banyak negara otoriter yang melakukannya, dan bahkan pada
dekade ini eskalasinya meningkat sangat besar. Ini adalah kekerasan yang
dilakukan oleh pemerintah yang diarahkan terhadap rakyatnya sendiri. Sudah
banyak diakui, sebagaimana yang disampaikan oleh Herman, bahwa “Pertumbuhan
terorisme yang sangat masif dan signifikan sejak Perang Dunia II dilakukan oleh
negara.”
Nagengast juga mengamati bahwa “Sejak tahun 1945, kekerasan yang
disponsori oleh negara terhadap etnis tertentu atau kelompok politik tertentu telah
menyebabkan kematian, cedera, dan penderitaan manusia yang lebih besar
21 Carole Nagengast, "Violence, Terror, and the Crisis of the State." Annual Review ofAnthropology, vol 23, 1994, hal. 114
15 Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
dibanding semua konflik mematikan lainnya, bahkan termasuk perang
internasional, perang kolonial, maupun perang sipil sekalipun.”22
Terorisme negara tidak jauh berbeda dengan terorisme non-negara dalam tiga
fitur pokok terorisme.
Pertama, mengancam atau melakukan kekerasan yang diarahkan terhadap
"korban yang dilindungi".
Kedua, pelaku menggunakan kekerasan untuk menancapkan teror terhadap
para saksi yang secara umum berbeda dengan korban.
Ketiga, pelaku kekerasan berniat atau berharap agar saksi yang terteror
mengubah perilakunya dalam beberapa cara.
Satu-satunya perbedaan antara terorisme negara dan non-negara adalah
pelaku yang melakukan aksi tersebut. Karenanya, untuk bisa disebut sebagai
terorisme negara, harus ada elemen keempat: aksi tersebut dilakukan oleh agen
atas nama atau bersama dengan negara, termasuk oleh paramiliter dan agen
keamanan swasta, yang diarahkan terhadap pihak-pihak yang seharusnya
dilindungi oleh negara.
Sepanjang sejarah, kekerasan negara biasa digunakan untuk memaksa
penduduk agar mendukung agenda politik dan ekonomi kelompok elit. Mereka
menggunakan kekerasan untuk menanamkan ketakutan pada masyarakat.
Kekerasan negara semacam ini ditujukan untuk mencapai tujuan politik tertentu
dan membungkam keluhan politik masyarakat. Ini adalah terorisme negara.
Namun sayangnya, literatur akademis tentang terorisme jarang sekali memberi
perhatian kepada terorisme yang dilakukan oleh negara, meskipun terorisme
negara terbukti telah membunuh jiwa yang jauh lebih banyak dibanding terorisme
non-negara. Pada abad ke-20, sekitar 170 juta hingga 200 juta nyawa telah menjadi
korban keganasan terorisme negara, baik melalui pembunuhan massal, pemaksaan
22 Ibid, hal. 126
16 Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
kelaparan, dan genosida di abad ke 20.23 Pada dua dekade terakhir abad ke-20
sendiri sekitar 300.000 orang "dihilangkan" oleh agen negara di seluruh dunia.24
Kalaupun terorisme negara didiskusikan, fokusnya seringkali pada rezim
totalitarian. Terorisme negara yang dilakukan oleh negara demokrasi liberal jarang
sekali diungkapkan. Memang, rezim seperti Stalin, Hitler, dan Pol Pot
bertanggungjawab atas kekerasan negara dalam skala yang besar. Mereka
melakukan genosida dan meneror penduduk agar tunduk pada rezim. Namun yang
seringkali luput dari perhatian adalah kekuatan kolonial Barat juga menggunakan
terorisme secara masif untuk membangun dan memelihara imperium mereka, serta
menumpas pejuang kemerdekaan di negara koloni mereka. Inggris, Prancis,
Jerman, Portugal, dan Amerika Serikat, serta kekuatan kolonial lainnya banyak
menggunakan teror dalam rangka melakukan kontrol sosial di berbagai wilayah
jajahannya.
Pada Perang Dunia II, pasukan sekutu mengebom masyarakat sipil di Jerman
agar mereka mau melawan Hitler. Pada waktu Perang Dingin, dengan dukungan
penuh dari Amerika, aparat keamanan negara di kawasan Amerika Latin juga
menggunakan kekerasan, termasuk penculikan dan penyiksaan, untuk
membungkam gerakan politik yang mengancam kepentingan Amerika dan rezim
lokal bonekanya.
Negara liberal demokrasi terus menggunakan dan mensponsori terorisme
pada dua dekade terakhir abad ke-20 dan pada awal abad ke-21 sebagai sebuah
proses untuk menjaga akses ke sumber daya dan pasar global. Terorisme yang
disponsori oleh Amerika dan sekutunya digunakan terhadap banyak sekali
tersangka atas nama "perang melawan teror".
23 R. Rummel,”Death by Government,” New Brunswick, NJ: TransactionPublishers, 2011.24 J. Sluka, “Introduction: State Terror and Anthropology”, dalam J. Sluka, ed., “DeathSquad: The Anthropology of State Terror,” Philadelphia: University of Pennsylvania Press,hal. 1–45.
17 Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Terorisme menjadi sentra dari proses neoliberalisasi. Proses neoliberalisasi di
seluruh dunia seringkali diiringi dengan sejumlah kekerasan dan terorisme yang
dilakukan oleh negara dan paramiliter yang disponsori negara. Inti dari proyek
imperialis negara-negara kapitalis tersebut adalah keinginan untuk mengamankan
akses ke sumber daya alam strategis, seperti minyak. Stokes dan Raphael
mendokumentasikan bagaimana penggunaan negara teror yang disponsori oleh
AS di wilayah-wilayah yang kaya minyak untuk melindungi proses globalisasi neo-
liberal, melindungi elit lokal dari keluhan masyarakat, dan menstabilisasi produksi
minyak yang mengukuhkan hegemoni AS. Bahkan, Raphael juga berhasil
mengeksplorasi peran para ahli terorisme, termasuk para akademisi, untuk
mengalihkan perhatian dunia dari terorisme AS dan sekutunya.
Fokus utama para ‘ahli terorisme’ pada terorisme nonnegara saja, akan
memperkuat perspektif negara, cara pandang state-centric yang memandang
terorisme sebagai masalah sosial atau individu yang perlu dipecahkan oleh negara,
bukan sebagai praktik kekuasaan negara. Dari perspektif ini, ia berfungsi untuk
mempertahankan legitimasi penggunaan kekerasan oleh negara dan
mendelegitimasi semua bentuk kekerasan nonnegara, yang pada akhirnya akan
memiliki dampak ideologis.25
Dari sudut pandang etis-normatif, pemahaman terorisme yang terbatas pada
terorisme nonnegara juga berfungsi untuk mengaburkan dan membungkam suara
dan perspektif orang-orang yang kesehariannya hidup dalam kondisi teror dari
kesewenang-wenangan pemerintah mereka, yang beberapa di antaranya didukung
oleh Barat. Ia juga bisa berfungsi untuk membungkam suara orang-orang yang
mengalami teror atas kebijakan Barat—baik secara langsung, seperti mereka yang
disiksa atas perang melawan teror, maupun secara tidak langsung, seperti mereka
yang menderita di bawah rezim pendukung Barat. Artinya, ia mengalihkan
25 Anthony Burke, “The End of Terrorism Studies,” Critical Studies on Terrorism,vol.1, no. 1, 2008, hal. 37‐49;
18 Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
perhatian publik dari terorisme negara yang jauh lebih besar dan jauh lebih
menghancurkan terhadap kehidupan puluhan juta orang di seluruh dunia saat ini.
Terkait dengan efek normatif dan ideologis yang lebih luas ini, perlakuan
terhadap terorisme negara—dan diamnya mereka atasnya—dan konstruksi sempit
mereka terhadap 'terorisme yang disponsori negara', juga berfungsi untuk
memposisikan terorisme negara sebagai hal yang kurang begitu penting dibanding
terorisme nonnegara. Selain itu, ia juga bisa berfungsi untuk memberikan legitimasi
terhadap kebijakan Barat seperti sanksi, diplomasi koersif, dan perang pre-emptive
terhadap "negara sponsor terorisme" yang ditentukan secara politis yang mungkin
menjadi bentuk teror sendiri, serta mengabaikan keterlibatan negara sponsor
terorisme dari pihak Barat sendiri.
Dari sudut pandang normatif politik, diamnya para akademisi dan pakar
terorisme atas terorisme negara, dan argumen banyak pakar terorisme yang
menyatakan bahwa tindakan negara tidak dapat didefinisikan sebagai 'terorisme',
sebenarnya berfungsi untuk memberikan pembenaran retoris kepada negara untuk
melakukan teror kepada lawan dan rakyatnya tanpa takut akan celaan dan
hukuman. Kelonggaran inilah yang banyak dieksploitasi oleh banyak negara seperti
Israel, Rusia, China, Uzbekistan, Zimbabwe, dan banyak negara untuk melakukan
kekerasan dalam rangka mengintimidasi lawan politik atau rakyatnya.
Selain itu, heningnya konsep terorisme negara dari wacana publik juga
berfungsi untuk melemahkan perjuangan politik aktivis hak asasi manusia untuk
melawan penggunaan teror oleh negara, dengan melarang pendelegitimasian
kekuasaan dan sumber daya yang berasal dari penggambaran tindakan negara
sebagai 'terorisme'. Penting untuk dicatat, bahwa banyak negara terkemuka yang
terus-menerus menolak setiap upaya untuk secara legal mendefinisikan dan
melarang sebuah kategori tindakan yang akan disebut 'terorisme negara', dengan
19 Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
alasan bahwa tindakan tersebut telah dicakup oleh undang-undang lain seperti
hukum perang.26
Heningnya wacana terorisme negara memiliki efek politik lain, yaitu bagaimana
ia berfungsi dan dan terus berfungsi, untuk mengalihkan perhatian dan menolak
sejarah panjang keterlibatan Barat dalam terorisme. Kondisi ini memberi
keuntungan kepada Barat untuk terus menggambarkan diri bahwa kebijakan luar
negeri mereka pada dasarnya ramah, bukan bertujuan untuk memperkuat struktur
kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki dalam sistem internasional. Artinya,
dengan mencegah kritik terhadap kebijakan Barat, ia berupaya mempertahankan
mitos yang berbahaya tentang eksepsionalisme Barat. Rasa eksepsionalisme dan
dukungan dari studi terorisme ini memungkinkan negara-negara Barat dan sekutu-
sekutu mereka untuk terus mengejar serangkaian proyek politik dan kepentingan
partisan yang bertujuan untuk mempertahankan dominasi mereka dalam sistem
internasional. Misalnya, dengan memperkuat pandangan bahwa terorisme
nonnegara adalah ancaman dan masalah yang jauh lebih besar daripada terorisme
negara, dan dengan mengaburkan cara-cara di mana kontraterorisme bisa berubah
menjadi terorisme negara. Diskursus ini berfungsi untuk melegitimasi perang
melawan teror dan kebijakan lain yang terkait, seperti intervensi militer,
pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan sejenisnya. Lebih khusus lagi,
diskursus tersebut juga dapat memberikan legitimasi terhadap program
kontraterorisme yang lebih luas, dimana tujuan sebenarnya terletak pada
pemeliharaan tatanan ekonomi-politik tertentu seperti yang terjadi di Kolombia
saat ini.27
26 Tal Becker, “Terrorism and the State: Rethinking the Rules of StateResponsibility,” Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2006
27 Di Kolombia, AS sudah lama menggunakan perang kontrainsurgensi untuk melindungiformasi sosial yang kondusif bagi kepentingan politik dan ekonomi AS.Lihat Doug Stokes, “Iron Fists in Iron Gloves: The Political Economy of USTerrorocracy Promotion in Colombia,” The British Journal of Politics & InternationalRelations Vol.8, No.3, 2006, hal 368‐387.
20 Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat
Keheningan yang terjadi pada terorisme negara juga berfungsi untuk
mendelegitimasi semua bentuk perjuangan kontrahegemonik atau perjuangan
revolusioner, dengan mempertahankan anggapan bahwa kekerasan negara secara
otomatis sah dan semua kekerasan nonnegara secara otomatis tidak sah, yang
artinya tatanan internasional internasional liberal saat ini masih bisa terjaga.28
Terakhir, diskursus tersebut juga dapat digunakan secara selektif
membenarkan proyek-proyek tertentu mengenai perubahan rezim, sanksi
ekonomi, perluasan basis militer, pendudukan militer, bantuan militer untuk mitra
strategis, dan pengisolasian gerakan politik yang tidak disetujui Barat seperti
Hamas. Pada akhirnya, wacana tersebut berfungsi untuk memungkinkan perluasan
hegemoni negara baik, secara internasional maupun domestik, dan yang lebih
penting lagi, kepercayaan bahwa kekerasan adalah alat politik yang efektif.
Terlepas dari niat para pakar terorisme, yang mungkin merasa bahwa mereka
terlibat dalam analisis akademis obyektif mengenai fenomena yang jelas, diskursus
tersebut sebenarnya menyajikan sejumlah tujuan politik yang jelas dan memiliki
beberapa konsekuensi ideologis bagi masyarakat.
28 Mark Duffled menulis bahwa sekuritisasi pembangunan dan intervensi kemanusiaanberfungsi untuk mendelegitimasi segala bentuk aktivitas kekerasan revolusioner danperjuangan kontrahegemonik,dalam rangka menjaga tatanan liberal yang dominan danpada akhirnya tidak adil. Lihat Mark Duffield, “Global Governance and the New Wars:The Merging of Development and Security,” Zed Books, 2001.
21 Diskursus Terorisme Negara
Diskursus Terorisme Negara
Terorisme negara banyak didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan atau
ancaman kekerasan secara sengaja oleh agen negara atau proxy mereka terhadap
individu atau kelompok yang menjadi korban dengan tujuan untuk mengintimidasi
atau menakut-nakuti audien yang lebih luas. Efek yang diinginkan dari kekerasan
tersebut adalah tercapainya tujuan politik atau politik-ekonomi tertentu.
Dalam konteks politik dan intelektual hari ini, banyak peneliti terorisme dan
pejabat pemerintah yang menolak ide bahwa negara melakukan terorisme. Ada
beberapa hal yang perlu dijelaskan terkait hal ini.
Pertama, sejumlah akademisi berpendapat bahwa salah satu inti dari fitur
terorisme adalah kekerasan politik yang dilakukan oleh aktor non-negara, dan
negara tidak mungkin melakukan terorisme. Alasannya, negara dianggap mereka
mempunyai hak yang sah untuk menggunakan kekerasan, berkebalikan dengan
aktor non-negara yang tidak memiliki hak tersebut.
Pendapat ini bisa dibantah dengan beberapa argumen. Memang, terorisme
adalah strategi kekerasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik. Ia adalah
strategi yang sering digunakan oleh kelompok pemberontak dan gerilyawan.
Namun, pendapat bahwa saat agen negara melakukan strategi yang sama
sebagaimana teroris non-negara—seperti meledakkan pesawat sipil (pengeboman
Lockerbile yang dilakukan atas perintah Moammar Qaddafi), pengeboman yang
dilakukan oleh intelijen Prancis terhadap kapal Greenpeace yang melakukan
perjalanan untuk memprotes uji coba nuklir Perancis, rangkaian pengeboman di
tempat publik (Lavon Affair)29—maka mereka tetap tidak bisa disebut sebagai
teroris, adalah pendapat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah.
29 The 'Lavon Affair' mengacu kepada operasi rahasia Israel yang gagal, dengan kode'Operation Susannah', yang dilakukan di Mesir pada musim panas tahun 1954. Sebagaibagian dari operasi false flag, sebuah kelompok Yahudi Mesir direkrut oleh intelijen militerIsrael untuk memasang bom di Mesir, Amerika Serikat, dan Inggris dengan target gedung-
22 Diskursus Terorisme Negara
Sebagai sebuah fenomena, terorisme hanya bisa diidentifikasi menurut
karakter kekerasan yang didefinisikan secara konseptual, bukan dari keistimewaan
politik aktor yang melakukannya. Jika sebuah kekerasan memiliki semua
karakteristik terorisme, maka ia harus dimasukkan dalam kategori terorisme,
siapapun pelakunya.
Jika yang dimaksudkan dengan terorisme adalah kekerasan atau ancaman
kekerasan yang diarahkan terhadap warga sipil untuk menancapkan teror atau
mengintimidasi sebuah populasi dengan alasan politik—sebuah definisi yang
disepakati secara umum dalam literatur akademis—maka negara pun bisa menjadi
teroris. Sebagai contoh, saat negara berusaha menciptakan rasa takut dan
intimidasi pada sebagian penduduknya dalam rangka menekan dukungan
terhadap gerakan oposisi, melalui kampanye kekerasan yang meliputi
pembunuhan, penculikan, dan penyiksaan, maka ini termasuk bentuk terorisme.
Dan jika masyarakat yang berusaha diintimadasi adalah penduduk negara lain,
maka ini juga termasuk bentuk terorisme.30
Dengan memahami terorisme—sebagai penggunaan atau ancaman
penggunaan kekerasan terhadap sekelompok orang dalam rangka menakut-nakuti
atau mengintimidasi sekelompok orang yang lain sebagai cara untuk mencegah
atau mengubah perilaku politik—maka jelas bahwa sejumlah tindakan negara bisa
masuk dalam kategori terorisme. Contoh, saat penyiksaan banyak digunakan oleh
negara tidak sekadar sebagai alat untuk mengumpulkan data intelijen tentang
ancaman yang bersifat segera, tapi juga sebagai sarana untuk menurunkan moral
para pemimpin dan para pendukung kelompok oposisi dengan menyebarkan
ketakutan, maka penyiksaan jelas menjadi alat terorisme negara.
gedung bioskop, perpustakaan, dan pusat-pusat pendidikan Amerika Serikat. Serangan-serangan tersebut dilakukan dengan tujuan agar yang disalahkan adalah kelompokIslamis. Israel berharap dengan adanya pengeboman ini Amerika dan Inggris akanmenyerang Mesir.30 Richard Jackson, “The Ghost of State Terror: Knowledge, Politics, and TerrorismStudies,” Paper yang dipresentasikan di ISA Annual Conference, 26-29 Maret 2008, SanFrancisco, USA.
23 Diskursus Terorisme Negara
Penting juga untuk dicatat bahwa meskipun negara berusaha
menyembunyikan keterlibatannya dalam kekerasan yang diarahkan terhadap warga
sipil, seperti penyiksaan, dari audien eksternal, mereka masih tetap mengirimkan
pesan yang sangat kuat pada masyarakat lokal atau kelompok masyarakat yang
ingin mereka intimidasi.
Selain itu, negara juga bisa dianggap melakukan teror dengan pola
penghilangan orang. Penghilangan orang sebagai sebuah strategi terorisme
berfungsi untuk mengirimkan pesan simbolis bahwa negara bersifat omnipotent,
omnipresent, dan tidak berbelaskasihan terhadap siapapun yang melawannya.
Praktik lain dari negara yang bisa masuk dalam kategori terorisme adalah
“bom teror’ yang diarahkan terhadap masyarakat sipil di saat perang dalam rangka
mengintimidasi masyarakat agar mereka tunduk atau menakut-nakuti mereka
untuk memberi tekanan pada para pemimpin mereka, terutama jika kota yang
disasar dipilih secara acak. Dengan pemahaman ini, beberapa pengeboman
strategis yang dilakukan oleh AS, sebagaimana strategi ‘shock and awe’, yang
banyak menyerang masyarakat sipil Irak, dan praktik pengeboman yang dilakukan
oleh Rusia dan Bashar Assad di Suriah, serta pengeboman yang dilakukan NATO
pada masyarakat sipil Kosovo, masuk dalam kategori terorisme. Dalam semua
kasus di atas, mereka menakut-nakuti sekelompok orang dalam rangka
menghasilkan perubahan politik di pihak lain. Ini adalah esensi dari taktik
terorisme. Kontraterorisme dan kontrainsurgensi juga bisa menjadi bentuk
terorisme jika ia gagal membedakan antara mereka yang bersalah dan mereka
yang tidak bersalah, dilakukan secara sangat tidak proporsional, dan bertujuan
untuk menakut-nakuti populasi yang lebih luas atau sekelompok masyarakat agar
mereka tunduk.31
Berikutnya, pendapat bahwa negara memiliki hak yang sah untuk
menggunakan kekerasan sedangkan aktor non-negara tidak memilikinya adalah
pendapat yang tidak tepat. Alasannya, meskipun negara memiliki hak yang
31 Robert E. Goodin, “What’s Wrong with Terrorism?”, hal. 69-73
24 Diskursus Terorisme Negara
legitimate untuk menggunakan kekerasan, hak tersebut sangat dibatasi dan tidak
termasuk hak untuk menggunakan kekerasan terhadap target sipil yang dipilih
secara acak. Mereka juga tidak boleh melakukan genosida, pembersihan etnis,
kejahatan perang, dan aksi sejenis lainnya.
Alasan berikutnya, ada sebuah prinsip moral yang sudah lama dipegang
bahwa aktor non-negara boleh menggunakan kekerasan melawan rezim yang
sangat represif jika metode lainnya gagal atau negara lain gagal melakukan
intervensi. Kenyataannya, negara Barat memiliki sejarah panjang mengakui dan
bahkan mendukung kelompok kekerasan non-negara yang beberapa diantaranya
melakukan terorisme, seperti ANC di Afrika Selatan, SWAPO di Afrika Barat Daya,
kelompok Contra di Nikaragua, kelompok anti-Castro, UNITA di Angola, dan
kelompok lain yang mendapat dukungan militer dan politik dari Barat.
Kedua, pendapat lain yang beredar seputar terorisme negara adalah pendapat
yang menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan negara dianggap berbeda
dengan terorisme non-negara karena korbannya tidak dipilih secara acak (yaitu
semua pihak yang menjadi musuh negara), dan mereka tahu apa yang bisa
dilakukan agar terhindar dari kekerasan negara, tidak sebagaimana kasus terorisme
non-negara. Padahal, fakta empiris yang terjadi justru agen negara seringkali
melakukan aksi kekerasan secara acak (mengebom pesawat sipil misalnya), dan
secara reguler memberikan bantuan material kepada aktor proxy non-negara untuk
melakukan hal yang sama. Sedangkan aktor non-negara seringkali memilih target
secara spesifik, bukan acak. ETA dan IRA contohnya, mereka banyak menargetkan
tentara dan polisi, serta pejabat pemerintah.
Poinnya adalah bahwa terorisme tidak didefinisikan oleh pilihan target, tapi
oleh instrumentalisasi korban (baik mereka dipilih secara acak maupun secara
sengaja) dalam rangka mengkomunikasikan sebuah pesan kepada audien. Selain
itu, negara tidak akan pernah bisa mengeliminasi semua musuhnya, karenanya
mereka menyerang musuh mereka secara acak untuk mengintimidasi baik
kelompok oposisi yang lebih luas maupun pendukung negara itu sendiri. Negara
mungkin punya dua pesan dalam kekerasan terorisme yang dilakukannya: untuk
menghabisi musuh dan memberi pesan kepada calon musuh. Kenyataannya, di
dalam negara teror seperti Jerman di era Nazi, Uni Soviet di era Stalin, Kamboja di
25 Diskursus Terorisme Negara
era Pol Pot, misalnya, seluruh rakyat hidup dalam suasana penuh dengan
ketakutan, tidak seorangpun merasa aman.
Beberapa juga berpendapat bahwa kalaupun negara melakukan serangan,
mereka tidaklah secara sengaja menyasar masyarakat sipil. Korban sipil yang terjadi
lebih karena ketidakkesengajaan. Faktanya adalah bahwa betapapun presisi sebuah
serangan, jika target yang akan diserang berkerumun dengan masyarakat sipil, atau
berpotensi menyebabkan korban sipil, maka pelaku serangan memang berniat
melakukan teror. Sebagaimana argumen ahli terorisme, Ruth Blakeley, “saat
[intimidasi] tidak menjadi niat utama, tapi menjadi efek sekunder yang dianggap
wajar dari sebuah tindakan jahat, maka ini tetap merupakan bentuk terorisme
negara.”32
Pendapat ketiga, kekerasan negara bukanlah terorisme karena agen negara
tidak mencari publisitas. Bahkan mereka cenderung menyembunyikan keterlibatan,
tidak sebagaimana aktor non-negara yang justru ingin memaksimalkan publisitas.
Argumen ini tidak bisa membedakan antara publisitas dan komunikasi. Salah
satu elemen kunci dari terorisme adalah komunikasi, bukan publisitas. Bagi aktor
non-negara yang kurang begitu bisa melakukan penetrasi di tengah masyarakat,
publisitas adalah cara terbaik untuk berkomunikasi. Hal yang sama tidak diperlukan
oleh negara. Kekerasan mereka tidak harus membutuhkan publisitas agar sampai
kepada audien. Pada kenyataannya, saat seseorang dalam sebuah negara teror
tiba-tiba diculik dan kemudian hilang, mereka kembali dalam keadaan penuh
siksaan atau jenazah mereka dibiarkan terpotong-potong di tempat umum.
Masyarakat tahu secara pasti siapa target audien yang diinginkan, pesan apa yang
ingin disampaikan, dan siapa yang mengirim pesan tersebut. Tubuh yang penuh
dengan bekas siksaan menjadi pengingat langsung akan kekuasaan negara dan
perlunya ketundukan total.
32 Ruth Blakeley, “State Terrorism and Neoliberalism: The North in the South,” Abingdon:Routledge, 2009, hal.36.
26 Diskursus Terorisme Negara
Kurangnya publisitas dan penyangkalan oleh negara biasanya dilakukan
terhadap audien eksternal agar mereka tetap mendapatkan bantuan internasional
atau terhadap konstituen domestik yang negara mengharap dukungannya—seperti
komunitas kulit putih di Afrika Selatan yang tidak begitu peduli dengan kekerasan
yang menimpa penduduk non-kulit putih.
Pendapat keempat adalah bahwa apa yang kita sebut sebagai 'terorisme
negara' sudah tercakup dalam istilah seperti 'represi' dan 'pelanggaran hak asasi
manusia', dan tindakan terorisme negara telah dibatasi dalam hukum internasional
dan tidak memerlukan konsep hukum atau analisis baru. Ini adalah argumen politik
atau pragmatis yang mengabaikan prinsip dasar ilmiah untuk memasukkan semua
kasus yang sesuai dengan kriteria dalam rangka mempertahankan konsistensi
analitis. Selain itu, argumen tersebut juga mengabaikan fakta bahwa situasi yang
sama berlaku untuk terorisme non-negara: semua tindakan dan aktivitas yang
dilakukan oleh teroris non-negara juga telah dibatasi dalam undang-undang dan
ada berbagai istilah lain yang bisa menggambarkan tindakan mereka.
Bisa juga dikatakan bahwa tindakan negara (dan non-negara) tidak pernah
murni 'terorisme', pelanggaran hak asasi manusia ', atau represi'. Mereka bisa
merupakan bentuk tindakan 'terorisme' dan 'pelanggaran hak asasi manusia' pada
saat yang bersamaan. Tidak ada kontradiksi untuk menggunakan kedua istilah
tersebut. Pada akhirnya, sebagaimana pendapat Robert Goodin dan Ruth Blakeley,
terorisme, baik yang dilakukan oleh aktor negara atau aktor non-negara,
melibatkan sejumlah kesalahan moral tertentu, mulai dari pembunuhan di luar
hukum, instrumentalisasi penderitaan manusia, niat untuk menimbulkan ketakutan
yang meluas, dan pengkhianatan terhadap tugas untuk melindungi dan menjaga
sesama warga negara.33
Pendapat kelima adalah bahwa walaupun negara-negara dapat terlibat dalam
terorisme yang jauh lebih merusak daripada terorisme non-negara, secara kualitatif
mereka berbeda dalam tujuan, mode, dan hasil. Terorisme negara merupakan
33 Goodin, R. (2006) What’s Wrong with Terrorism? Cambridge: Polity Press. 102
27 Diskursus Terorisme Negara
bentuk paling murni dan asli dari fenomena terorisme. Terorisme negara paling
dekat kemampuannya untuk menghasilkan 'teror' yang nyata dalam sebuah
populasi, dan inilah yang sering juga ingin dicapai oleh kelompok non-negara
dalam tindakan mereka. Dalam praktiknya, aktor negara dan non-negara banyak
menggunakan strategi yang sama (menculik, membunuh di luar hukum, melakukan
pemboman, penyiksaan dan sejenisnya), dan memiliki tujuan yang sama (intimidasi
terhadap audien untuk mencapai tujuan politik). Intinya, terorisme negara dan non-
negara menggunakan kekerasan secara instrumental dengan cara yang sama dan
seringkali karena alasan yang serupa.
28 Moralitas Terorisme Negara
Moralitas Terorisme Negara
Saat pertama kali masuk dalam diskursus politik, kata ‘terorisme’ dimaksudkan
terhadap pemerintah teror rezim Jacobin Prancis. Namun, seiring dengan
perkembangan waktu, teror negara nampak lebih sulit ditemukan. Bukannya tidak
terjadi, tapi istilah tersebut mulai jarang sekali terdengar di publik. Diskusi
mengenai terorisme di kalangan akademisi cenderung hanya fokus pada terorisme
non-negara. Di media juga demikian, terorisme diasumsikan sebagai aktivitas
aktor-aktor non-negara saja. Jika pasukan keamanan melakukan suatu tindakan
yang jika dilakukan oleh kelompok non-negara selalu disebut sebagai teroris,
jawabannya selalu: ‘tapi aksi tersebut dilakukan atas nama negara, demi
tercapainya tujuan negara yang sah. Pasukan keamanan atau aparat keamanan
menangkal ancaman demi keamanan kita bersama.’ Dengan kata lain,
Melempar bom itu buruk
Menjatuhkan bom itu baik
Teror, tak perlu ditambahkan lagi,
Tergantung pada siapa yang memakai kerudung.
Semua bentuk terorisme secara moral bisa dikatakan salah. Tapi tidak semua
hal yang secara moral salah, salah dengan derajat yang sama. Terorisme negara
bisa dikatakan secara moral lebih buruk dibanding terorisme non-negara.
Ada tiga alasan yang mendukung argumen tersebut:
Pertama, Laquer mencatat bahwa aksi teror yang dilakukan oleh aparat
keamanan dan pemerintah tiran, secara umum, telah memakan korban yang
jumlahnya ribuan kali lebih banyak, dan menimpakan kepedihan yang lebih
mengerikan dibanding seluruh teror yang pernah dilakukan oleh terorisme
individual. Ketidakseimbangan ini bukan sekadar fakta statistik; ia merupakan buah
dari sifat negara dan jumlah serta variasi sumber daya yang dimiliki oleh negara,
meski negara kecil sekalipun. Tak peduli berapa banyak kelompok teroris non-
29 Moralitas Terorisme Negara
negara berusaha untuk memperkaya peralatannya dan meningkatkan organisasi,
perencanaan, dan metode aksinya, mereka tidak akan banyak mengubah skor
secara signifikan. Tidak ada pemberontak, betapa pun mereka didanai, terorganisir,
diiringi dengan tekad yang kuat, dan berpengalaman dalam metode terorisme, bisa
berharap untuk mendekati pembunuhan dan kerusakan yang pernah ditimbulkan
oleh angkatan udara Inggris dan AS di kota-kota di Jerman dan Jepang pada
Perang Dunia II, atau bisa mendekati kerusakan psikologis jutaan penghuni kamp
Soviet dan Nazi.
Serangan 11 September tahu 2001 adalah aksi yang dilakukan oleh aktor non-
negara. Jumlah korbannya dianggap belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini
dikarenakan media menyoroti serangan tersebut sebagai ‘kasus terorisme terburuk
yang pernah ada’. Jumlah korban yang terbunuh waktu itu, diyakini sekitar 3.000,
terdengar cukup mengejutkan. Mantra ‘kasus terorisme terburuk’ yang pernah ada
adalah contoh lain kecenderungan media untuk menyamakan terorisme sebagai
aksi eksklusif yang hanya mungkin dilakukan oleh aktor non-negara saja.
Jika kita membuang asumsi bahwa hanya pemberontak atau kelompok non-
negara saja yang bisa melakukan terorisme, gambar keseluruhan akan berubah
secara signifikan. Contoh, saat pasukan Sekutu melakukan teror bom terhadap
Jerman. Pada malam tanggal 27 Juli 1943, Angkatan Udara Inggris menyerang
Hamburg. Pada pagi harinya, saat serangan reda, 40.000 rakyat sipil tewas.
Kedua, terorisme negara cenderung diselubungi dengan kerahasiaan, tipu
daya, dan kemunafikan. Ketika mereka terlibat dalam terorisme—baik dilakukan
oleh agensi mereka sendiri maupun melalui proxy—negara akan melakukannya
secara sembunyi-sembunyi, menolak segala keterlibatan, dan mendeklarasikan
nilai-nilai mereka yang menolak adanya terorisme. Atau, jika mereka memandang
bahwa menyangkal keterlibatan justru akan kontraproduktif, mereka akan
menceritakannya dengan sudut pandang lain: bahwa mereka melakukannya
sebagai tindakan yang diambil dalam rangka melindungi keamanan negara.
Mereka akan dengan mudah melakukannya, tanpa banyak kesulitan, karena adanya
kecenderungan penggunaan alibi-alibi di atas.
30 Moralitas Terorisme Negara
Ketiga, sebetulnya segala tindakan yang merupakan bentuk terorisme dilarang
dalam berbagai deklarasi atau konvensi hak asasi manusia yang menjadi dasar
hukum perang. Hukum tersebut memberikan imunitas kepada warga sipil dalam
sebuah konflik bersenjata, dan karenanya melarang terorisme dari kedua belah
pihak. Terorisme pada waktu perang dilakukan oleh kelompok yang tidak dikenal
oleh kedua belah pihak yang bertikai, sedang terorisme pada masa damai
dilakukan oleh semua pihak. Semua bentuk terorisme sudah diatur dalam deklarasi
hak asasi manusia. Saat ini, mereka yang melakukan terorisme non-negara
bukanlah pihak yang menandatangani deklarasi dan konvensi tersebut, sedangkan
semua negara hari ini adalah pihak yang sepakat dan menandatangani sebagian
besar, atau bahkan semua, deklarasi dan konvensi tersebut. Karenanya, ketika
sebuah negara terlibat dalam terorisme, mereka melanggar komitmen mereka
sendiri. Tuduhan ini tidak bisa diberlakukan terhadap mereka yang mengambil
jalan terorisme non-negara.
31 Manajer Teror
Manajer Teror
Tiran modern adalah manajer terror, kata Timothy Snyder dalam bukunya, On
Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century. Para manajer terror mampu
mengubah keterkejutan masyarakat menjadi alat untuk membungkam kebebasan
mereka. Saat serangan teror terjadi, para tiran mengeksploitasi peristiwa tersebut
untuk mengkonsolidasikan kekuatan.
Api Reichstag adalah momen saat pemerintahan Hitler, yang terpilih melalui
jalur demokratis, akhirnya berubah menjadi rezim Nazi permanen. Inilah pola dasar
dari manajemen teror.
Pada tanggal 27 Februari 1933 pukul 9 malam, gedung parlemem Jerman,
Reichstag, mulai terbakar. Siapa yang membakar? Kita tidak tahu, dan tidak terlalu
penting. Yang lebih penting adalah aksi terror tersebut menginisiasi politik darurat.
Menatap kobaran api dengan penuh kegembiraan, Hitler mengatakan: “Api ini
hanyalah sebuah awalan.” Apakah pelaku pembakaran Nazi atau bukan, Hitler
melihat sebuah peluang politik: “Tidak akan ada belas kasih sekarang. Siapapun
yang menghalangi jalan kami akan dipotong.” Hari berikutnya, sebuah dekrit
mencabut hak asasi warga Jerman, yang membuat mereka bisa ditangkap oleh
polisi atas nama pencegahan.
Dengan modal klaim bahwa kebakaran tersebut adalah kerjaan dari musuh
Jerman, Partai Nazi mampu memenangkan pemilihan parlemen pada tanggal 5
Maret 1933. Polisi dan paramiliter Nazi mulai menangkapi anggota partai oposisi
dan menempatkannya di kamp konsentrasi. Pada tanggal 23 Maret parlemen baru
merilis sebuah aturan yang mengijinkan Hitler untuk memerintah dengan dekrit.
Sejak saat itu, Jerman diputuskan berada dalam kondisi darurat hingga 12 tahun ke
depan, sampai berakhirnya Perang Dunia II. Hitler menggunakan aksi terror, sebuah
peristiwa yang sudah diukur batas signifikansinya, untuk kemudian membangun
sebuah rezim terror yang pada akhirnya membunuh jutaan manusia dan
mengubah dunia.
32 Manajer Teror
Para otoritarian hari ini adalah para manajer terror, bahkan mereka lebih
kreatif. Vladimir Putin merengkuh kekuasaan melalui sebuah insiden yang mirip
dengan api Reichstag, ia menggunakan serangkaian serangan terror—baik yang riil
maupun yang palsu—untuk menyingkirkan segala hambatan menuju kekuasaan
total.
Putin ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Boris Yeltsin pada bulan Agustus
1999. Beberapa bulan berikutnya, sejumlah bangunan di Rusia dibom,
kemungkinan besar oleh polisi rahasia Rusia. Beberapa pejabat kepolisian
ditangkap oleh rekannya sendiri atas bukti kesalahan mereka. Bahkan dalam salah
satu kasus, Parlemen Rusia mengumumkan adanya ledakan beberapa hari sebelum
ledakan tersebut terjadi. Dengan dalih tersebut, Putin mendeklarasikan balas
dendam terhadap populasi Muslim di Chechnya dan berjanji untuk menggosok
mereka di tempat pembuangan kotoran.
Warga Rusia tergalang. Dukungan pada Putin meningkat tajam, yang
membawanya ke tampuk kursi kepresidenan. Pada tahun 2002, saat pasukan
keamanan Rusia membunuh sejumlah warga sipil saat mencoba menangani
serangan terror di sebuah teater Moscow, Putin mengeksploitasi peristiwa tersebut
untuk mengontrol televisi swasta. Saat sekolah di Beslan disandera oleh pejuang
Chechnya pada tahun 2004, Putin menghapus posisi gubernur regional terpilih.
Putin berhasil memperkuat kekuasaannya dan mengeliminasi dua institusi besar—
televisi swasta dan gubernur regional terpilih—dengan manajemen terror, baik
yang asli maupun yang palsu.
Setelah Putin kembali menjadi presiden pada tahun 2012, Rusia juga
menggunakan manajemen terror dalam kebijakan luar negerinya. Saat invasi ke
Ukraina tahun 2014, Rusia menjadikan tentara regular mereka sebagai pasukan
teroris, dengan menanggalkan seragam dan menyangkal segala tanggung jawab
atas kebiadaban yang dilakukan.
Pada bulan April 2015, hacker Rusia mengambil alih transmisi stasiun televisi
Prancis, berpura-pura sebagai pasukan ISIS, lalu menyiarkan materi yang didesain
untuk meneror rakyat Prancis. Rusia mempersonifikasikan diri sebagai
33 Manajer Teror
“cybercaliphate”, sehingga rakyat Prancis semakin ketakutan. Tujuannya adalah
untuk menggiring warga Prancis agar memilih partai sayap kanan yang disponsori
oleh Rusia. Setelah 130 orang tewas dan 368 cedera dalam serangan di Paris bulan
November 2015, pendiri sebuah lembaga think tank yang dekat dengan Kremlin
menyatakan kegembiraannya, bahwa terorisme akan membawa Eropa menuju
fasisme dan Rusia.
Pada awal tahun 2016, Rusia merekayasa terror palsu di Jerman. Saat mereka
terus mengebom rakyat Suriah, yang membuat para pengungsi Muslim melakukan
migrasi ke Eropa, Rusia mengeksploitasi sebuah drama keluarga untuk meyakinkan
rakyat Jerman bahwa Muslim adalah pemerkosa. Tujuannya sama, melakukan
destabilisasi dan mempromosikan partai ekstrim sayap kanan.
Beberapa bulan sebelumnya, pemerintah Jerman mengumumkan untuk
menampung setengah juta pengungsi Suriah. Rusia kemudian mulai melakukan
banyak pengeboman di Suriah yang menyasar rakyat sipil, yang membuat sebagian
mereka terpaksa mengungsi. Pada bulan Januari 2016, media massa Rusia mulai
menyebarkan cerita bahwa seorang gadis Rusia di Jerman diperkosa oleh imigran
Muslim. Tak lama setelahnya, dengan penuh kesigapan yang mencurigakan,
organisasi sayap kanan mulai mengorganisir protes melawan pemerintah. Saat
pemerintah Jerman mengumumkan bahwa tidak ada pemerkosaan seperti yang
dituduhkan, media Rusia menuduh bahwa mereka menutup-nutupi. Bahkan para
diplomat Rusia pun ikut dalam sandiwara tersebut.
Kini, saat presiden AS, Donald Trump, menyatakan bahwa mereka akan
bersama dengan Rusia memerangi terorisme, apa yang sejatinya mereka
rencanakan adalah manajemen terror: eksploitasi atas serangan terror, baik yang
sungguhan maupun yang palsu, untuk membangun sebuah rezim totalitarian.
Dalam telepon pertamanya antara Donald Trump dan Vladimir Putin, mereka
menyatakan diri akan bersama-sama memerangi musuh nomor satu: ektremis dan
teroris internasional.
James Madison menyimpulkan bahwa para tiran muncul atas nama “kondisi
darurat.” Bagi para tiran, pelajaran dari api Reichstag adalah satu momen
34 Manajer Teror
keterkejutan bisa menjadi pintu menuju penundukan total. Bagi kita, pelajarannya
adalah rasa takut tidak boleh menghalangi kita untuk mengenali dan menolak
manajemen terror sejak awal, meski pada awalnya sulit untuk melakukannya.
Saat serangan di dunia Barat dan di tempat lain semakin meningkat, terorisme
tampaknya justru menjadi anugerah bagi kekuatan Barat dan Timur. Dari Putin dan
Assad hingga As-Sisi, terorisme menjadi sekutu strategis penting para diktator di
seluruh dunia, meskipun mereka mengklaim memeranginya.
Pada tingkat lebih rendah, hal yang sama berlaku untuk negara-negara
demokratis termasuk Perancis, di mana para pemimpin politik mengambil manfaat
dari keberadaan musuh di dalam dan luar negeri.
Di tengah iklim ketakutan, para penguasa tersebut—yang mengklaim sebagai
benteng melawan jihadis, meski dalam kenyataannya mereka adalah teroris—
mampu membuai kita untuk melupakan fakta bahwa kekerasan mereka jauh lebih
mematikan daripada pihak yang mereka sebut 'teroris'.
Teroris memberikan dalih yang nyaman bagi pemerintah untuk membangun
kembali legitimasi mereka, dan membenarkan kecenderungan otokratis mereka
sendiri.
Kondisi ini bukan berarti bahwa pemerintah bersukacita dalam serangan-
serangan mematikan, atau bahwa mereka berharap, secara rahasia, untuk
terjadinya tragedi tersebut. Hanya, mereka memiliki banyak keuntungan dari
terjadinya serangan ini dan mahir mengubahnya untuk keuntungan mereka.
Sebenarnya, bukan kepentingan mereka untuk memberantas terorisme. Justru
sebaliknya.
Pemerintah menuai banyak manfaat atas obsesi publik terhadap “ancaman
jihad”. Banyak sekali buku yang membahas tentang topik ini. Dari Machiavelli
sampai Hume, para pemikir politik besar telah lama memahami dan berteori akan
perlunya rasa takut dalam melembagakan pemerintahan dan dominasi.
Sebagaimana ungkapan ekonom Robert Higgs, “tanpa rasa takut rakyat, tidak
ada pemerintahan yang bisa bertahan lebih dari 24 jam”.
35 Manajer Teror
Dalam buku baru mereka The Exercise of Fear: Political Uses of an Emotion,
filsuf dan sejarawan Patrick Boucheron dan Corey Robins mengingatkan kita bahwa
pelaksanaan kekuasaan politik, baik pemerintah demokratis maupun despotik,
sering bersandar pada ketakutan—dan mekanisme membangkitkan,
memperburuk, serta menguatkannya.
“Kekuatan politik terus memanfaatkan ketakutan, baik dengan menunjuk
ancaman yang mungkin melemahkan kohesi nasional, atau dengan memfokuskan
perhatian penduduk pada kekuatan politik yang berpotensi mampu memecah
semangat kebangsaan dan cara hidup kita," tulis mereka.
"Ketakutan adalah proyek politik yang berkembang melalui pembangunan
tatanan, wacana ideologis dan tindakan kolektif.”
Hari ini, di Barat dan belahan dunia lainnya, rasa takut dan retorika “ancaman
teroris” telah melahirkan modus tertentu pemerintahan dan bahkan rezim politik.
Dan ketika ancaman itu tidak cukup kuat, pihak berwenang mendapatkan ide
kreatif, sebagaimana polisi Kanada dan AS, yang merekayasa “ancaman jihad” dan
serangan palsu.
Tindakan keras berdarah As-Sisi terhadap demonstran di Mesir, pembantaian
Assad dan Putin terhadap warga sipil Suriah, dan pemboman mematikan koalisi
pimpinan Saudi di Yaman, adalah diantara contoh-contohnya.
Pemerintah kriminal tersebut menggunakan IS, Boko Haram dan Al-Qaeda,
untuk mengalihkan perhatian kita dari kejahatan mereka sendiri terhadap
kemanusiaan, yang umumnya jauh lebih buruk.
Rasa takut terhadap “pria berjenggot” juga membenarkan pengambilalihan
negara dengan kekerasan, seperti kudeta berdarah As-Sisi di Mesir yang
mengakhiri eksperimen demokrasi di negara itu dan mencerabut tunas Arab
Spring.
Demikian juga, ketakutan ini digunakan untuk melestarikan tatanan warisan
pemerintah kolonial Sykes-Picot.
36 Manajer Teror
Meskipun “tatanan” ini tidak mampu menahan pertumbuhan jumlah populasi
di Timur Tengah, ia adalah anugerah untuk beberapa pemimpin mereka yang
berusaha untuk melestarikan perbatasan di mana kelangsungan hidup mereka
bergantung.
“Ketakutan ilusi terorisme juga berfungsi untuk memaksa seluruh rakyat untuk
memilih di antara dilema palsu seperti 'kebebasan atau keamanan', 'terorisme atau
negara polisi' dan bahkan, di beberapa negara seperti Arab Saudi dan Suriah,
kediktatoran negara berdarah, sebagaimana Assad, atau gerakan ekstremis, seperti
IS. Rakyat perlu untuk memilih," ujar Pangeran Hicham Alaoui dari Maroko.
“Pilihan ini, yang menjebak masyarakat untuk memilih antara batu dan tempat
keras, sama saja dengan pemerasan totaliter yang digunakan untuk mengamankan
kepatuhan dan ketaatan sipil. Dalam banyak kasus, mereka memberikan alasan
yang mudah untuk mempertahankan rezim otokratis (Mesir, negara-negara Teluk,
Suriah, Irak, dll).
Dilema palsu tersebut (pilih saya atau kekacauan) dan taktik pemerasan (Assad
atau IS) memungkinkan penguasa otoriter untuk membangun konsensus nasional
palsu tentang ancaman IS, yang memungkinkan mereka untuk secara efektif
mengejar tujuan-tujuan politik mereka sendiri: untuk tetap berkuasa, untuk
merebut kekuasaan melalui kekerasan, dan untuk secara brutal menindas
kelompok oposisi.
Di sisi lain di belahan Atlantik, “perang melawan teror” telah menyebabkan
langkah-langkah pertahanan seperti Homeland Security untuk menyenangkan
pengembangan militer dan semua orang yang berhubungan dengan itu, termasuk
berbagai think tank, akademisi dan peneliti. Ia juga membenarkan perluasan
kekuasaan eksekutif yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akibatnya, presiden dan bagian intelijennya dapat memutuskan pembunuhan
(bahkan secara diam-diam) terhadap setiap warga AS atau orang asing yang
dianggap sebagai “ancaman teroris”. Itu semua, tentu saja, dilakukan di luar sistem
pengadilan.
37 Manajer Teror
Ada beberapa alasan kenapa ilusi ketakutan terhadap terorisme perlu dijaga.
Rasa takut memungkinkan pemerintah untuk mengalihkan perhatian publik dan
perdebatan dari masalah sosial-ekonomi yang belum terselesaikan.
Tirani muncul dari kondisi darurat yang menyenangkan mereka, sebagaimana
yang ditulis James Madison. Bagi para tiran, pelajaran penting dari api Reichstag
adalah bahwa satu momen kejut bisa membawa pada ketundukan total dan abadi.
Yang dibutuhkan oleh para tiran untuk mendapatkan tumpuan adalah diamnya
orang-orang baik. Dunia adalah tempat yang berbahaya, bukan dikarenakan
mereka yang melakukan kejahatan, tapi karena mereka yang menyaksikan dan
tidak melakukan apa-apa. Pada akhirnya, yang kita ingat bukanlah apa yang
dikatakan musuh kita, tapi diamnya teman kita.
Sebagaimana tulisan teoris politik setelah peristiwa Reichstag, Hannah Arendt,
“Saya tidak lagi berpendapat bahwa kita hanya bisa jadi penonton.” Keberanian
bukan berarti tidak takut. Tapi keberanian berarti mengenali dan melawan
manajemen teror, sejak serangan teror terjadi, tepat disaat paling sulit untuk
melakukannya.
38 Kesimpulan
Kesimpulan
Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber
penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka
melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk
membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk,
mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah.
Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan
menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.
Pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia terbunuh oleh
serangan bom atom dan ‘kampanye pengeboman’ yang ditujukan untuk
meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara acak
untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi teroris.
Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera
oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding
ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai,
disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara dan proxy mereka di
sejumlah wilayah seperti Chechnya, Afghanistan, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia,
Zimbabwe, Kongo, Somalia, Uzbekistan, Irak, Suriah, dan sejumlah tempat lainnya.
Teror negara adalah masalah dunia yang utama dan terus bertumbuh.
Pertumbuhan terorisme yang sangat masif dan signifikan sejak Perang Dunia II
dilakukan oleh negara. Sejak tahun 1945, kekerasan yang disponsori oleh negara
terhadap etnis tertentu atau kelompok politik tertentu telah menyebabkan
kematian, cedera, dan penderitaan manusia yang lebih besar dibanding semua
konflik mematikan lainnya, bahkan termasuk perang internasional, perang kolonial,
maupun perang sipil sekalipun.