termination of a land lease agreement without a lease period

143
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Manusia beraktifitas, bermasyarakat, dan dalam melangsungkan kehidupannya memerlukan tanah, yang hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada baik di permukaan, di dalam tubuh bumi, maupun di atas permukaan bumi. Demikian besar keberadaan tanah bagi kehidupan, sehingga tanah menjadi bagian dasar dari kebutuhan manusia. Tanah juga merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis dan nilai sosial yang tinggi. Tanah tidak dapat diproduksi ataupun diperbaharui seperti sumber daya alam yang lain yang dapat tergantikan. Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di satu sisi dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan kebutuhannya akan tanah disisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan perkataan lain, akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang yang antara lain disebabkan karena perbedaan dalam akses modal. 1 Undang-Undang no 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) menyebutkan “Semua hak atas tanah 1 Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, cet. I, Margaretha Pustaka, hal.245.

Transcript of termination of a land lease agreement without a lease period

   

1  

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Manusia beraktifitas,

bermasyarakat, dan dalam melangsungkan kehidupannya memerlukan tanah, yang

hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada baik di permukaan, di

dalam tubuh bumi, maupun di atas permukaan bumi. Demikian besar keberadaan

tanah bagi kehidupan, sehingga tanah menjadi bagian dasar dari kebutuhan manusia.

Tanah juga merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai

ekonomis dan nilai sosial yang tinggi. Tanah tidak dapat diproduksi ataupun

diperbaharui seperti sumber daya alam yang lain yang dapat tergantikan.

Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di

satu sisi dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan

kebutuhannya akan tanah disisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan

perkataan lain, akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi

kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang yang antara lain

disebabkan karena perbedaan dalam akses modal.1

Undang-Undang no 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (selanjutnya disebut UUPA) menyebutkan “Semua hak atas tanah

                                                            1Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, cet. I, Margaretha

Pustaka, hal.245.

   

2  

mempunyai fungsi sosial”2. Pasal ini menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang

ada pada seseorang, tidak boleh semata-mata dipergunakan untuk pribadinya,

pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang menyebabkan kerugian bagi

masyarakat. Dengan demikian, tidak dibenarkan bahwa seorang pemilik tanah

membiarkan tanahnya terlantar sedangkan orang lain menderita kelaparan karena

tidak memiliki tanah untuk menghasilkan bahan makanan. Penggunaan tanah harus

disesuaikan dengan keadaanya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat bagi

baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi

masyarakat dan negara.3

Mengingat kenyataan bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang tidak

dapat diperbaharui dan pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka pengaturan

penguasaan tanah dipandang sangat penting, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD

NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa tanah dikuasai oleh negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Hubungan hukum antara negara dengan tanah, yang dalam UUD NRI Tahun 1945

dirumuskan dengan istilah “dikuasai” itu, ditegaskan sifatnya sebagai hubungan

hukum publik oleh UUPA yang tercantum dalam Pasal 2.

                                                            2Lihat Penjelasan Pasal 6 UUPA 1960. 3Boedi Harsono, 2010, Hukum Agraria Indonesia , cet. X, Djambatan, Jakarta,

hal. 577.

   

3  

Pasal 2 UUPA menyebutkan rincian kewenangan hak menguasai dari negara

berupa kegiatan4:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Berdasarkan hak menguasai dari negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2

UUPA, maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA bahwa kepada perseorangan

atau badan hukum diberikan beberapa macam hak atas tanah. Konsekuensi

pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang dimiliki orang-orang atau badan

hukum, maka negara berkewajiban memberikan jaminan kepastian hukum terhadap

hak atas tanah tersebut, sehingga setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak

tersebut dapat mempertahankan haknya.

Hak-hak atas tanah yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA,

adalah: hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak

membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak tersebut

dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta

hak-hak yang sifatnya sementara yang akan ditetapkan sementara, dimaksudkan                                                             

4Ibid., hal. 232.

   

4  

untuk memberikan hak atas tanah berdasarkan peruntukannya dan subjek yang

memohon hak atas tanah tersebut.

Berkaitan dengan hak sewa yang diuraikan secara khusus dalam Pasal 44 ayat

(1) UUPA dinyatakan bahwa “Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak

sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk

keperluan pembangunan, dengan membayar sejumlah uang sebagai sewanya.” Dalam

penjelasan Pasal 44 UUPA disebutkan bahwa oleh karena hak sewa merupakan hak

pakai yang mempunyai sifat khusus maka disebut tersendiri. Hak pakai yang intinya

adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah milik orang lain

selama jangka waktu tertentu.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata)

pada buku II mengatur tentang kebendaan (kecuali mengenai tanah). Benda

diantaranya dibedakan ke dalam benda bergerak dan benda tidak bergerak. Setiap

benda dapat diberikan hak status keperdataan (hak kebendaan). Hak kebendaan

adalah hak yang melekat pada kebendaan tersebut ke mana pun kebendaan tersebut

beralih, pemegang hak memiliki hak atas kebendaan tersebut.5 Ada beberapa jenis

hak keperdataan yang dapat dibebankan atas benda yaitu hak milik, hak sewa, hak

pakai, hak gadai, hak tanggungan dan lain sebagainya.

                                                            5Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingakat Herlien Budiono I), hal. 229.

   

5  

Dalam kegiatan ekonomi, bentuk hak-hak atas tanah dituangkan dalam bentuk

praktek ekonomi atau kegiatan bisnis, dalam arti kata tanah dapat diperoleh dengan

mengadakan perjanjian.6 KUHPerdata mengenal berbagai perjanjian,7 beberapa

contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara lain

seperti: jual-beli, sewa- menyewa, tukar menukar, pinjam-meminjam, dan lain-lain.  

Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih.” Perjanjian tersebut mengikat para pihak secara hukum, untuk

pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian

memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk

memperjelas hubungan hukum.8 

Salah satu cara mendapatkan hak atas tanah adalah dengan melakukan

perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam buku III

KUHPerdata tentang Perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menentukan, “Tiap-tiap

perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang”.

                                                            6 Dalam tulisan ini, penulis mempersamakan istilah perjanjian dan kontrak. 7Ada 14 jenis perjanjian antara lain : a. Perjanjian timbal balik; b. Perjanjian

cuma-cuma; c. Perjanjian atas beban; d. Perjanjian bernama; f. Perjanjian obligatoir; g. Perjanjian kebendaan; h. Perjanjian konsensual; i. Perjanjian riil; j. Perjanjian liberatori; k. Perjanjian pembuktian; m. Perjanjian untung-untungan; n. Perjanjian publik; o. Perjanjian campuran. Mariam Darus Badrulzaman, dkk,2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66.

8I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar, hal. 27.

   

6  

Perikatan bersumber perjanjian dapat dibagi atas perjanjian pada umumnya dan

perjanjian-perjanjian khusus.9 Perjanjian khusus, diantaranya adalah perjanjian sewa-

menyewa.

Berdasarkan Pasal 1548 KUHPerdata, “Sewa-menyewa adalah suatu

persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan

kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan

pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat

menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.” Dari

uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian

sewa-menyewa adalah :

1. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,

2. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.

3. Adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang baik barang bergerak maupun

tidak bergerak

4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut

5. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu.

Sebagai suatu perjanjian, sewa-menyewa harus mengikuti kaidah-kaidah

hukum perjanjian. Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yang harus

dipenuhi, yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

                                                            9Djaja S. Meliala, 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa

Aulia, Bandung, hal.1.

   

7  

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. cakap untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.

Syarat sahnya suatu perjanjian yang kesatu (sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya) dan syarat kedua (cakap untuk membuat suatu perjanjian)

disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjek hukum yaitu orang-orang atau

pihak-pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga (objek atau suatu hal

tertentu) dan syarat keempat (sebab atau causa yang halal) disebut sebagai objektif,

karena menyangkut objek hukum yang diperjanjikan oleh orang-orang atau subjek

hukum yang membuat perjanjian tersebut.10

Dalam perjanjian terdapat tiga unsur penting, yaitu11 :

a. Unsur esensialia

Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsur pokok

tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian dianggap tidak

pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum. Pada perjanjian sewa-

menyewa unsur esensialianya adalah barang yang disewakan, harga sewa dan

waktu sewa.

                                                            

10Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal.110.

11I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit., hal. 35.

   

8  

b. Unsur naturalia

Unsur naturalia adalah unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan

berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya.

Misalnya dalam perjanjian tersebut tidak diatur menyangkut cacat

tersembunyi, maka berlakulah ketentuan mengenai cacat tersembunyi

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1504 KUHPerdata.

c. Unsur aksidentalia

Unsur aksidentalia adalah suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu

perjanjian yang nanti ada atau tidak ada peristiwa mana menjadi unsur

aksidentalia mengikat para pihak.

Para pihak yang telah mengikatkan diri pada apa yang dinyatakan dalam

perjanjian, juga mengikatkan diri terhadap segala ketentuan perundang - undangan,

kepatutan, dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang

berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Sehingga

faktor yang menentukan isi perjanjian adalah kehendak para pihak sebagai faktor

primer serta faktor-faktor lain meliputi: kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.

   

9  

Perjanjian sewa-menyewa ini merupakan persetujuan konsensual yang bebas

bentuknya. Boleh diperbuat dengan persetujuan lisan atau tertulis.12 Jika sewa-

menyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum apabila waktu

yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu pemberitahuan

pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa-menyewa itu dibuat hanya secara lisan,

pihak yang menyewakan berhak untuk menghentikan sewa itu setiap saat, sepanjang

ia (pihak yang menyewakan) mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang

diperlukan memberitahukan pengakhiran sewa-menyewa menurut kebiasaan

setempat. Berakhirnya sewa-menyewa, menurut ketentuan Pasal 1570 KUHPerdata,

yang ditentukakan secara tertulis berakhir dengan sendirinya sesuai dengan batas

waktu yang telah ditentukan para pihak. Sehingga apabila lama sewa-menyewa

sudah ditentukan dalam persetujuan secara tertulis, perjanjian sewa berakhir tepat

pada saat yang telah ditetapkan. Berbeda dengan ketentuan Pasal 1571 KUHPerdata

yang ditentukan tanpa tertulis, perjanjian seperti ini tidak berakhir tepat pada waktu

yang diperjanjikan. Perjanjian tersebut berakhir setelah adanya “pemberitahuan” dari

salah satu pihak tentang kehendak mengakhiri sewa-menyewa, dengan

memperhatikan jangka waktu yang layak menurut kebiasaan setempat.13

Suatu perjanjian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUHPerdata harus

memiliki batas waktu tertentu. Batas waktu merupakan unsur yang esensial dalam                                                             

12M.Yahya Harahap, 1986, Segi -Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 222.

13Ibid., hal.228.

   

10  

suatu perjanjian sewa-menyewa. Terpenuhinya unsur esensial dalam suatu perjanjian

menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Penelitian ini

ditujukan untuk mengkaji ketentuan hukum positif tertulis (perundang-undangan) dan

ketentuan perjanjian yang diberlakukan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto).

Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada

peristiwa hukum tertentu (in concreto) itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan

undang-undang atau ketentuan perjanjian.14

Peristiwa kongkret dalam penelitian ini adalah perjanjian sewa-menyewa

tanah yang tidak menetapkan batas waktu dan putusan pengadilan atas penyelesaian

perkara perjanjian tersebut. Dalam hal ini akan dilakukan pengujian apakah

perundang-undangan dan ketentuan perjanjian telah diterapkan dengan baik dalam

perjanjian sewa-menyewa tanah dan dalam putusan pengadilan. Apakah perjanjian

sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu dan putusan pengadilan atas perkara tersebut

sesuai atau tidak sesuai dengan perundang-undangan dan ketentuan perjanjian.

Sengketa kasus sewa-menyewa berawal dari suatu perjanjian yang dibuat di

bawah tangan. Perjanjian tersebut mengenai urusan penggunaan tanah selama-

lamanya atau dalam waktu tidak terbatas, dibuat di Desa Kedewatan, Kecamatan

Ubud, Kabupaten Gianyar pada tahun 1971 (seribu sembilan ratus tujuh puluh satu).

Disebutkan dalam perjanjian tanah seluas 30 (tiga puluh) are dengan harga sewa Rp.

                                                            14Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I), hal.53.

   

11  

27.000 (dua puluh tujuh ribu rupiah) untuk jangka waktu selama-lamanya atau tidak

terbatas. Sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu tersebut membuat salah satu pihak

merasa dirugikan dan ingin mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tersebut.

Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran pada hasil-hasil penelitian, sepanjang

yang diketahui dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian

yang menyangkut masalah validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas

waktu dan cara pengakhiran perjanjian sewa menyewa tanah tanpa batas waktu

tersebut. Adapun penelitian yang berkaitan dengan perjanjian sewa-menyewa yang

pernah dilakukan adalah :

Tesis dari Sri Hartati, NIM 06211038, alumni dari Magister Ilmu Hukum

Universitas Andalas, dengan judul tesis “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa

Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri

Pariaman”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis

tersebut adalah hukum apa yang telah digunakan oleh hakim dalam penyelesaian

sengketa tentang sewa-menyewa tanpa batas waktu di Pengadilan Negeri Pariaman,

dan apa pertimbangan hakim dalam menentukan hukum yang berlaku terhadap

sengketa tentang perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu tersebut.15

                                                            15Sri Hartati, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Menyewa Tanah

Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman” Tesis Fakultas Hukum Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, http:// repository. unand.ac.id/id/eprint/556.

   

12  

Tesis dari Rika Fitri, NIM 087011101, alumni dari Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Analisis Yuridis Terhadap Akta

Sewa-menyewa Rumah Yang Dibuat Di Hadapan Notaris (Studi Kantor Notaris Kota

Medan)”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis tersebut

adalah bagaimanakah pengaturan klausul akta sewa-menyewa yang dibuat di hadapan

notaris, bagaimana pengaturan mengenai pengosongan dalam akta sewa-menyewa

rumah, dan perlindungan apakah yang diberikan dalam perjanjian sewa-menyewa

terhadap penyewa dan yang menyewakan.16

Tesis dari Kelvina Sefialora, NIM 087011062, alumni dari Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Aspek Yuridis Dari

Perjanjian Sewa-menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank”. Adapun

yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis tersebut adalah apakah

sewa-menyewa rumah dapat dilakukan jika objek sewa dijaminkan ke bank,

bagaimana akibat hukum yang akan timbul terhadap penyewa rumah dalam masa

sewa jika debitur wanprestasi terhadap kreditur (bank), dan bagaimana upaya

penyelesaian dari akibat wanprestasi debitur terhadap kreditur (bank).17

                                                            16Rika Fitri, 2010, “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa-menyewa Rumah

Yang Dibuat Di Hadapan Notaris (Studi Kantor Notaris Kota Medan)” Tesis Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /25953 /4/ chapter %20I.pdf.

17Kelvina Sefialora, 2010, “Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa-menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank” Tesis Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/22266/6/chapter%20I.pdf.

   

13  

Meskipun ada peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai

masalah perjanjian sewa menyewa tanpa batas waktu, namun secara substansi pokok

permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Dengan demikian

penelitian ini adalah asli dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan.

1.2 Rumusan Masalah :

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis membuat judul

Pengakhiran Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu, dengan

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah validitas perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak

mencantumkan batas waktu sewa-menyewa ?

2. Bagaimana cara mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak

menetapkan batas waktu ?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan rumusan permasalahan dalam penelitian ini maka

dapat dikemukakan tujuan penelitian yang dikualifikasikan menjadi tujuan umum dan

tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum

khususnya di bidang hukum perjanjian yaitu untuk memecahkan permasalahan terkait

dengan pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak menetapkan batas

waktu.

   

14  

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk

menjawab rumusan masalah yakni:

a. Untuk mengetahui validitas perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak

mencantumkan batas waktu.

b. Untuk mengetahui cara mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tanah yang

tidak menetapkan batas waktu.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga

bermanfaat secara teoritis dan praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum perjanjian

khususnya mengenai perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu.

Penulis akan mengunggah hasil penelitian ini di internet sehingga dapat

memberikan manfaat kepada khalayak umum yang berkepentingan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi para pihak

yaitu para peneliti, praktisi hukum dan masyarakat umum:

   

15  

a. Memberikan masukan atau informasi bagi para pihak yang mengadakan

perjanjian sewa-menyewa tanah dan mensosialisasikan hasil penelitian ini ke

masyarakat umum.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para peneliti khususnya yang sedang

memperdalam tentang perjanjian sewa-menyewa.

c. Dapat bermanfaat bagi praktisi hukum dalam menangani perjanjian sewa-

menyewa tanah tanpa batas waktu yang terjadi dalam praktek.

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Konseptual

1.5.1 Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori hukum/teori

khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan

lain-lain yang dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian.

Dalam setiap penelitian selalu harus disertai pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena

ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan

pengolahan data, analisa serta konstruksi data.18

1.5.1.1 Teori Hukum

Teori hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori validitas hukum

dan teori sama nilai.

                                                            18Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan, 2011,

Universitas Udayana, Denpasar, hal.52.

   

16  

1. Teori Validitas Hukum

Teori validitas oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa “validitas adalah

eksistensi norma secara spesifik”. Suatu norma adalah valid merupakan suatu

pernyataan yang mengansumsikan eksistensi norma tersebut dan mengansumsikan

bahwa norma itu memiliki kekuatan mengikat (binding force) terhadap orang yang

perilakunya diatur.19

Menurut Hans Kelsen, suatu aturan harus dalam keadaan valid terlebih dahulu

baru diketahui apakah aturan tersebut dapat menjadi efektif. Setelah valid, dan

diterapkan ternyata peraturan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat secara

meluas dan/atau secara terus menerus, maka ketentuan hukum tersebut menjadi

hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid menjadi

aturan yang tidak valid.20 Memenuhi suatu kriteria tertentu adalah salah satu

karakteristik dari validitas, dimana dalam konsep validitas tercakup juga pengertian

kekuatan memaksa.

Teori ini relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini. Teori Validitas

dipakai untuk menganalisis permasalahan pertama yaitu bagaimana validitas

perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu. Suatu perjanjian sewa-menyewa

                                                            19Asshiddqie Jimly dan Ali Safa’at,M., 2006, Teori Hans Kelsen Tentang

Hukum, cet.I,Konstitusi Pers, Jakarta, hal.36. 20 Munir Fuady, 2013, Teori-teori Besar dalam Hukum(Grand Theory),

Cet.1, Prenada Media Group, Jakarta, hal.117.

   

17  

dikatakan valid, apabila telah memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian sewa-

menyewa.

2. Teori Sama Nilai

Teori Perjanjian oleh Rescoe pound, menyatakan 4 teori mengenai

mengikatnya suatu perjanjian yaitu : teori hasrat, teori tawar menawar, teori sama

nilai, dan teori kepercayaan merugi. Dalam buku An Introduction to the Philoshopy of

law, Rescoue Pound menulis:

Putting them in the order of their currency, we may call them (1) the will theory, (2) the bargain theory, (3) the equivalent theory, (4) the injurious-reliance theory. That is, promises are enforced as a giving effect to the will of those who agree, or to the extent that they are bargains or parts of bargains, or where an equivalent for them has been rendered, or where they have been relied on by the promisee to his injury, according to the theory chosen21

Ikatan dari suatu perjanjian dikuatkan oleh hukum karena perjanjian memberi akibat kepada hasrat mereka yang menyetujui, perjanjian itu diakui sampai kepada batas tawar menawar atau bagian dari tawar menawar, atau dimana satu equivalent bagi janji telah diberikan, atau apabila perjanjian dipercayai oleh pihak yang menerima janji atas kerugiannya sendiri, menurut teori yang dipilih.22

Dari ke empat teori diatas yang paling relevan dengan permasalahan adalah teori

sama nilai. Teori ini mengajarkan bahwa suatu perjanjian baru mengikat jika para

pihak dalam perjanjian tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama

nilai (equivalent). Berdasarkan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320

KUHPerdata, bila dilihat pada teori ini, bahwa suatu perjanjian baru mengikat jika                                                             

21Roscoe Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press, hal. 57.

22Roscoe Pound, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Mohamad Radjab, Bhratara, Jakarta,(selanjutnya disebut Roscoe Pound II), hal.163.

   

18  

para pihak memiliki hasrat atas janji tersebut, dan memberikan prestasinya yang

seimbang atau sama nilai. Teori sama nilai dipakai untuk menganalisis permasalahan

kedua yaitu bagaimana cara mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas

waktu, karena teori ini dapat menjelaskan mengenai kekuatan mengikat perjanjian,

yaitu suatu perjanjian baru mengikat bila para pihak dapat memberikan prestasi yang

seimbang atau sama nilai.

5.1.1.2 Asas Asas Perjanjian

Beberapa asas sebagai pendukung dari teori yang telah dipaparkan diatas

adalah asas konsesualisme, asas kebebasan berperjanjian, asas pacta sunt servanda,

asas itikad baik, asas proporsionalitas, dan asas kepatutan.

1. Asas konsesualisme

Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari

pihak-pihak. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas yang sangat esensial

dari hukum perjanjian, yaitu asas konsesualisme yang menentukan adanya perjanjian.

Asas konsensualisme menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua atau

lebih orang telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau

lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai

kesepakatan atau konsensus.23

                                                            23Gunawan Widjaja,2007, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum

Perdata, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.263.

   

19  

Dalam membuat perjanjian disyaratkan adanya konsensus, yaitu para pihak

sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan.24 Setiap perjanjian

mengikat para pihak yang membuatnya jika sudah tercapai sepakat mengenai prestasi

atau hal pokok dari perjanjian tersebut. Asas konsensualisme sebagaimana terdapat

pada Pasal 1320 ayat (1), menekankan adanya persesuaian kehendak (meeting of

mind) sebagai inti dari hukum perjanjian.

Asas konsensualisme merupakan roh dari suatu perjanjian, yang tersimpul dari

kesepakata para pihak, namun pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak

mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya yang disebabkan adanya cacat

kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi perjanjian. Cacat kehendak dalam

KUHPerdata meliputi:

a. Kesesatan atau dwaling.

b. Penipuan atau bedrog.

c. Paksaan atau dwang.

Bila kata sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka yang

sebenarnya, maka hal ini akan mengancam eksistensi perjanjian itu sendiri. Sehingga

pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku pada kata sepakat saja, tetapi

syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 KUHPerdata dianggap telah terpenuhi sehingga

perjanjian tersebut menjadi sah.

                                                            24Muhammad Syaifudin, op.cit., hal.77.

   

20  

Asas konsensualisme juga terkandung dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata

memuat ketentuan yaitu perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat ditarik kembali

(diputuskan) secara sepihak, selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau

karena alasan-alasan yang ditentukan undang-undang. Ini berarti bahwa jika satu

pihak ingin memutuskan perjanjian, maka harus memperoleh persetujuan dari pihak

lainnya. Jadi harus diperjanjikan lagi, baru perjanjian dapat diputus oleh salah satu

pihak jika ada persetujuan dari pihak lainnya sebagai wujud dari adanya kesepakatan

para pihak dalam pemutusan perjanjian tersebut.

Bila para pihak tidak mencapai kesepakatan, sehingga diantara para pihak itu

timbul sengketa, dalam arti berbeda pendapat tentang hukum dan faktanya yang

berkaitan dengan pemutusan perjanjian, maka sengketa tersebut diselesaikan oleh

pengadilan negeri melalui prosedur hukum gugatan oleh salah satu diantara dua pihak

yang bersengketa tersebut. Dengan demikian, asas konsensualisme ternyata tidak

hanya harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, namun harus pula ada pada saat

pemutusan perjanjian.

2. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di

dalam hukum perjanjian, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum

namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan perjanjiantual para

pihak. Asas ini merupakan asas yang universal sifatnya, artinya artinya dianut oleh

hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.

   

21  

Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak

bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat

liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu.25 Menurut paham individualism

setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam

hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.

Perjanjian, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi

kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. George Jessel,

menyatakan “Perjanjian merupakan wujud kebebasan (freedom of contract) dan

kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice).26 Perjanjian dibuat atas pilihan

dan kemauan mereka sendiri, penyelesaian isi perjanjian dilakukan dengan

kesepakatan bersama (mutual agreement).27 Hubungan bebas dan sukarela itu sah

apabila terdapat kesepakatan yang wajar antara para pihak. Apabila kesepakatan

dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan.

Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka, yang artinya hukum

memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan

hukumnya.28 Apa yang diatur dalam Buku III KUHPerdata hanya sekedar mengatur

dan melengkapi. Berbeda dengan pengaturan Buku II KUHPerdata yang menganut

                                                            25Agus Yudha Hernoko, 2011,Hukum Perjanjian; Asas Proporsionalitas

Dalam Perjanjian Komersial, Kencana Prenada Media Group, hal.109. 26Ida Bagus Wyasa Putra, 1997, Aspek-aspek Hukum Perdata ; Dalam

Transaksi Bisnis Internasional, PT. Refika Aditama,Bandung, hal.62. 27Ibid. 28Agus Yudha, loc. cit.

   

22  

sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), di mana para pihak dilarang

menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku II KUHPerdata tersebut.

Sistem terbuka pada Buku III KUHPerdata tercermin dalam Pasal 1338 ayat

(1). Menurut Sutan Remi Sjahdeini29 asas kebebasan berkontrak melingkupi ruang

lingkup sebagai berikut :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan

dibuatnya.

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang

yang bersifat opsional ( aanvullend, optional)

Asas kebebasan membuat perjanjian terkandung dalam Pasal 1338

KUHPerdata, yang memuat ketentuan-ketentuan normatif, sebagai berikut:

1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.

                                                            29Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Kebebasan Berperjanjian dan Perlindungan

Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, PT.Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal.54.

   

23  

2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah

pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu.

3. Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak

sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tidaklah

berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh dan

padu dengan ketentuan lain terkait. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi

bahwa para pihak dalam perjanjian memiliki posisi tawar (bargaining position) yang

seimbang, tetapi dalam kenyataanya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar

yang seimbang.30

Selain dibatasi oleh ketentuan normatif dalam Pasal 1338 KUHPerdata,

kebabasan membuat perjanjian juga dibatasi oleh ketentuan limitatif dalam Pasal

1337 KUHPerdata, karena Pasal ini melarang perjanjian yang substansinya

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jadi setiap

perjanjian yang disepakati tetap sah apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan

peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan

asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 ayat (1)

                                                            30Agus Yudha, op.cit., hal.111.

   

24  

KUHPerdata harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau

ketentuan yang lain, yaitu:

1). Pasal 1320 KUHPerdata, ketentuan yang mengatur mengenai syarat syahnya

perjanjian.

2.) Pasal 1335 KUHPerdata, ketentuan yang melarang dibuatnya perjanjian tanpa

causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang,

dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan.

3.) Pasal 1337 KUHPerdata, menentukan bahwa suatu sebab adalah terlarang,

apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan

kesusilaan baik atau ketertiban umum.

4.) Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang mengharuskan bahwa suatu perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik.

5.) Pasal 1339 KUHPerdata, yang mengikat perjanjian dengan sifat, kepatutan,

kebiasaan dan undang-undang.

6.) Pasal 1347 KUHPerdata, yang mengatur mengenai hal-hal yang menurut

kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan ke dalam

perjanjian.

3. Asas kekuatan mengikat perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt servanda, yang terkandung dalam

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu “Semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku

   

25  

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukkan bahwa

undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam

perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang.31 Menurut Herlien Budiono32,

asas pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di

dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan

penataannya.  jika dipandang perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana

penegakan hukum.

Perjanjian dianggap sebagai sumber hukum perikatan selain undang-undang ,

karena setiap perikatan lahir dari perjanjian atau undang-undang. Ini berarti bahwa

setiap subjek hukum dapat membentuk hukum, dalam hal ini hukum perjanjian

sebagaimana halnya pembentuk undang-undang. Para pihak yang membuat perjanjian

secara mandiri mengatur pola hubungan-hubungan hukum di antara mereka.

Kekuatan perjanjian tersebut mempunyai daya berlaku seperti halnya undang-undang

yang dibuat legislator dan karenanya harus ditaati oleh para pihak, bahkan jika

dipandang perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana penegakan hukum.

Terdapat analogi tertentu antara perjanjian dengan undang-undang. Hingga

batas tertentu para pihak yang berkontrak bertindak sebagai pembentukan undang-

                                                            31Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.127. 32Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan

Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono II), hal.31. 

   

26  

undang. Adapun perbedaannya terkait dengan daya berlakunya, yaitu undang-undang

dengan segala proses dan prosedurnya berlaku dan mengikat untuk semua orang dan

bersifat abstrak. Sementara itu, perjanjian mempunyai daya berlaku terbatas pada para

kontraktan (para pihak) yang bermaksud untuk melakukan perbuatan konkrit.33

Kekuatan mengikat perjanjian, terkait isi perjanjian atau prestasi, tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yag dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk

segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan

atau undang-undang. Hal ini terkandung dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Dalam

pelaksanaanya diberikan penegasan untuk dipenuhinya syarat itikad baik,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.

4. Asas itikad baik

Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata yang berbunyi: ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Dalam praktek pelaksanaan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang

berhubungan dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu

perjanjian. Menurut teori klasik hukum perjanjian, asas itikad baik dapat diterapkan

dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini

tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra perjanjian atau

                                                            33Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal.93.

   

27  

tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat

tertentu.34

Penerapan asas itikad baik dalam perjanjian bisnis, haruslah sangat

diperhatikan terutama pada saat melakukan pra kontrak atau negoisasi, karena itikad

baik baru diakui pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau

setelah negoisasi dilakukan. Suharnoko35 menyebutkan bahwa secara implisit

Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah

harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra perjanjian dapat

diminta pertanggung jawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.

Asas itikad baik menjadi salah satu instrumen hukum untuk membatasi

kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum perjanjian

itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua perjanjian harus

ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu

hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi

membatasi dan meniadakan.

5. Asas Proporsionalitas

Asas proporsionalitas merupakan asas yang melandasi atau mendasari

pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagian dalam seluruh                                                             

34Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, PT. Prenada Media, Jakarta, hal.5.

35 Ibid., hal.9.

   

28  

proses kontraktual.36 Asas proporsionalitas sangat berorientasi pada konteks

hubungan dan kepentingan para pihak seperti menjaga kelangsungan hubungan agar

berlangsung kondusif dan fair.

6. Asas Kepatutan

Asas ini berkaitan dengan ketentuan dari isi perjanjian. Kepatutan melengkapi

keberlakuan keadilan. Duynstee memberikan definisi kepatutan sebagai kebajikan

yang mendorong manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk

berbuat secara rasional (menurut akal sehatnya).37 G.W. Paton menegaskan bahwa

kepatutan dalam pelaksanaannya tidak berlawanan dengan hukum, bahkan

pengaruhnya semakin kuat dalam penyelesaian sengketa ketika aspek hukum tidak

mengaturnya.38 Kepatutan sangat membertimbangkan aspek-aspek yang penting yang

melingkupi suatu kasus, yaitu : itikad baik, maksud para pihak, situasi atau keadaan-

keadaan, dan lain-lain.39 Dalam hal ini hakim dituntut memperhitungkan situasi dan

keadaan yang melingkupi mereka yang melakukan pelanggaran, dan pertimbangan

kepatutan dapat mengarahkan hakim pada putusan yang seadil-adilnya berdasarkan

kepatutan.

                                                            36Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.87. 37Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.66. 38Agus Yudha Hernoko, loc.cit. 39Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.67. 

   

29  

5.1.2 Kerangka Konseptual

Dalam penelitian hukum, adanya landasan teoritis dan kerangka konseptual

menjadi syarat yang sangat penting. Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka

yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang akan diteliti.40

Dalam kerangka konseptual diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang

akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.

Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah konsep perjanjian, konsep

perikatan, konsep berakhirnya perjanjian, dan konsep pengakhiran perjanjian.

Konsep-konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Perjanjian merupakan perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan

dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.

b. Perikatan yaitu suatu hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan di antara dua

orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi sedangkan pihak

yang lain wajib melakukan suatu prestasi.

c. Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah perjanjian yang

dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang suatu hal. Pihak

kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan

debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Sesuatu hal

                                                            40Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal.25.

   

30  

disini bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, bisa

jual beli, utang piutang, sewa-menyewa, dan lain-lain.41

e. Pengakhiran perjanjian yaitu penghentian perjanjian dikarenakan perjanjian

tersebut tidak menetapkan batas waktu.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris42. Penelitian ini mengkaji

pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan

perjanjian secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam

masyarakat guna mencapai tujuan yang ditentukan43. Pengkajian tersebut bertujuan

untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum in concreto itu

sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau ketentuan perjanjian.

Penelitian ini mengkaji implementasi ketentuan perundang-undangan dan

perjanjian sewa-menyewa pada peristiwa hukum in concreto yaitu perjanjian sewa-

menyewa yang dibuat tanpa batas waktu dan putusan pengadilan atas perkara

perjanjian tersebut. Tahap pertama penelitian untuk mengetahui bagaimana validitas

perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu dengan menguji perjanjian

sewa-menyewa tanpa batas waktu tersebut dengan ketentuan dalam KUHPerdata                                                             

41Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 163.

42Bambang Sunggono,2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 42.

43Abdulkadir Muhammad I, op.cit., hal. 53.

   

31  

khususnya mengenai syarat sahnya perjanjian sewa-menyewa. Tahap kedua untuk

mengetahui bagaimana perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu dapat diakhiri,

apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sewa-menyewa tanpa batas

waktu telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan ketentuan perjanjian.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual

(conceptual approach).

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.44 Dalam penelitian ini undang-

undang dan regulasi yang ditelaah antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang no 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok

Agraria

3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan melakukan telaah terhadap

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang berkaitan yang telah

menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

                                                            44 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, hal.93.

   

32  

Hal yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi

atau reasoning yaitu pertimbangan hakim untuk sampai kepada suatu putusan.45

Pendekatan ini digunakan untuk menelaah putusan pengadilan

no.07/Pdt.G./2001/PN.GIR, putusan no: 205/Pdt/2001/PT.DPS serta putusan

Mahkamah Agung Nomor: 2312 K/Pdt/2002 untuk mengetahui pertimbangan

hakim untuk sampai pada putusannya.

c. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan

mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,

peneliti akan menemukan ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum

yang relevan dengan isu yang dihadapi.46

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum yang digunakan antara lain:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat

secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi

pihak-pihak yang berkepentingan (perjanjian, konpensi, dokumen hukum, dan

putusan hakim).47 Bahan hukum yang diteliti dalam penelitian ini antara lain :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945                                                             

45 Ibid., hal.119. 46 Ibid., hal. 95. 47Abdulkadir Muhammad I , op.cit., hal. 93.

   

33  

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria

3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

4) Surat perjanjian bersama-kontrak

5) Putusan Pengadilan no.07/Pdt.G./2001/PN.GIR

6) Putusan Pengadilan no. 205/Pdt/2001/PT.DPS

7) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2312 K/Pdt/2002

b. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi,

tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum.48 Bahan hukum sekunder yang

penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain buku-buku ilmu hukum yang

berkaitan dengan hukum agraria, hukum perdata, hukum perikatan, hukum

perjanjian, termasuk jurnal dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan perjanjian

sewa-menyewa.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder49. Dalam penelitian ini

digunakan kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia dalam rangka

mencari definisi operasional.

                                                            48 Peter Mahmud Marzuki, op.cit.,hal.155. 49Abdulkadir Muhammad I, op.cit., hal. 93.

   

34  

1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi pustaka yang

meliputi perundang-undangan, yurisprudensi, dan buku-buku literatur. Disamping

studi pustaka juga studi dokumen hukum yang tidak dipublikasikan melalui

perpustakaan umum seperti dokumen perjanjian dan putusan pengadilan. Dalam

penelitian ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier

akan dikumpulkan berdasarkan metode sistematis.

1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan hukum

1.6.5.1Teknik Pengolahan

Teknik pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teknik

deskripsi, teknik sistematisasi, dan teknik argumentasi.

a. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap sesuatu kondisi atau

posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Dalam penelitian ini

permasalahan akan dideskripsikan serinci mungkin sehingga tergambarkan

kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum yang terkait dengan

permasalahan ini.

b. Teknik sistematis adalah berupaya mencari kaitan rumusan suatu konsep atau

proposisi hukum yang berkaitan dengan permasalahan.

c. Teknik argumentasi adalah pemberian alasan-alasan yang bersifat penalaran

hukum.

   

35  

1.6.5.2 Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang dikumpulkan disusun secara sistematis untuk

diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhannya. Selanjutnya bahan hukum yang telah

disusun tersebut dianalisis secara kualitatif sesuai dengan permasalahan yang diteliti

dengan menggunakan teknik deskripsi, teknik sistematisasi, dan teknik argumentasi

kemudian disajikan dalam bentuk tesis. Penelitian ini merupakan penelitian yang

bersifat deskriptif analitis.

1.7 Sistematika Penulisan

Agar dapat diketahui dengan jelas kerangka dari penulisan tesis ini, maka

perlu dibuat sistematika penulisannya, dimana sistematika dari tesis ini terbagai atas

lima (5) bagian yang disebut dengan bab, yang dimulai dari bab satu sampai dengan

bab lima, masing-masing antara bab yang satu dengan bab yang lainnya saling

berhubungan erat, dan sebagai gambaran mengenai sistematika penulisannya, adalah

sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, pada bab ini berisi tentang uraian latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan

teoritis dan kerangka konseptual, metode penelitian, serta sistematika

penulisan dari penelitian yang dilakukan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA, pada bab ini pustaka yang diperoleh dari buku-

buku ilmu hukum serta peraturan perundang-undangan khususnya tinjauan

   

36  

umum tentang perikatan, tinjauan umum tentang perjanjian, serta tinjauan

umum tentang perjanjian sewa-menyewa.

BAB III : VALIDITAS PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANAH TANPA

BATAS WAKTU, pada bab ini dibahas mengenai validitas suatu

perjanjian, validitas suatu perjanjian sewa-menyewa, serta hasil penelitian

terhadap validitas suatu perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas

waktu.

BAB IV : PENGAKHIRAN PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANAH TANPA

BATAS WAKTU, pada bab ini dibahas mengenai cara berakhirnya suatu

perjanjian, cara berakhirnya suatu perjanjian sewa-menyewa, serta hasil

penelitian mengenai cara pengakhiran perjanjian sewa-menyewa tanah

tanpa batas waktu dalam Putusan Pengadilan Negeri

no.07/Pdt.G./2001/PN.GIR, Putusan Pengadilan Tinggi

no.205/Pdt/2001/PT.DPS serta Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2312

K/Pdt/2002

BAB V : SIMPULAN DAN SARAN, sebagai penutup dari penelitian dengan judul

“Pengakhiran Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu”,

maka pada bab ini akan dikemukakan mengenai simpulan dan saran-saran

dari penelitian yang dilakukan yaitu pengujian validitas perjanjian sewa-

menyewa tanah tanpa batas waktu dan cara mengakhiri perjanjian sewa-

menyewa tanah tanpa batas waktu dalam putusan pengadilan.

   

37  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Perikatan

2.1.1 Pengertian perikatan dan hubungannya dengan perjanjian

Kata perikatan terdapat dalam Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan

bahwa perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang.

Namun Pasal tersebut tidak memberikan definisi mengenai perikatan, karena

KUHPerdata sendiri memang tidak memberikan definisi tentang perikatan.

Berikut pendapat beberapa sarjana mengenai pengertian dari perikatan pada

Pasal 1233 KUHPerdata: Perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya

hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan yang berada di luar

lingkungan hukum bukan merupakan perikatan.50 Pengertian perikatan menurut

Subekti51 adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,

berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain,

dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Perhubungan

yang dimaksud bahwa hak si berpiutang tersebut dijamin oleh hukum atau undang-

undang. Apabila tuntutan tidak dipenuhi oleh debitur atau si berutang secara sukarela,

maka si berpiutang dapat menuntut haknya di depan hakim.

                                                            50H.Mashudi dan Moch.Chidir Ali, 2000, Pengertian Pengertian Elementer

Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, hal.24. 51Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Cet.XXIII, PT. Intermasa, Jakarta

(selanjutnya disebut Subekti II), hal.1.

   

38  

J. Satrio52 memberikan definisi yang sama mengenai perikatan yaitu hubungan

hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, disatu pihak ada hak dan

di lain pihak ada kewajiban. Adapun dalam hal tidak terpenuhinya suatu prestasi

perikatan dapat dilakukan dengan ganti rugi dalam sejumlah uang tertentu yang

pemenuhannya dapat dituntut di depan hakim. Mariam Darus Badrulzaman53

menegaskan adanya 4 unsur penting dalam suatu perikatan yaitu: hubungan hukum,

kekayaan, pihak-pihak dan prestasi, sehingga memberikan definisi perikatan sebagai

hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta

kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib

memenuhi prestasi itu.

Sehingga dapat disimpulkan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara

dua orang atau dua pihak yang mengadakan perjanjian dimana akan melahirkan hak

dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi kedua belah pihak yang

mengadakan perjanjian tersebut. Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

ini menegaskan tentang kewajiban perdata, yaitu bahwa kewajiban perdata dapat

terjadi karena dikehendaki oleh para pihak, dimana para pihak disini adalah mereka

yang terkait dalam perikatan, baik perikatan yang sengaja dibuat oleh mereka,

ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pihak-

                                                            52J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, PT.

Citra Aditya Bakti, hal.5. 53Mariam Darus Badrulzaman,dkk, op.cit., hal.1.

   

39  

pihak dalam perikatan minimal terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban

(debitur) dan pihak yang berhak atas pemenuhan prestasi (kreditur).

Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa

dengan perjanjian maka akan timbul perikatan. Perjanjian merupakan sumber

terpenting yang melahirkan perikatan, dimana sumber lain adalah undang-undang.

Perjanjian demikian menurut doktrin dikenal sebagai perjanjian obligatoir atau

perjanjian yang menimbulkan perikatan.

2.1.2 Pembagian perikatan

Perikatan dapat dibagi menurut sumber lahirnya perikatan, dan menurut

isi/prestasi perikatan.

1. Pembagian perikatan menurut sumber lahirnya perikatan, dibagi menjadi dua,

yaitu54 :

a. Perikatan yang bersumber dari perjanjian. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233

ayat (1) KUHPerdata, dimana dengan membuat perjanjian, salah satu atau

lebih pihak dalam perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi

kewajiban sebagaimana yang telah dijanjikan;

b. Perikatan yang bersumber dari undang-undang. Sumber perikatan, selain

perjanjian adalah dari undang-undang. KUHPerdata membagi perikatan yang

lahir dari undang-undang ini menjadi perikatan yang lahir karena undang-

                                                            54Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 46.

   

40  

undang saja, dan perikatan yang lahir karena undang-undang yang disertai

dengan perbuatan manusia. Untuk perikatan yang lahir dari undang-undang

disertai dengan perbuatan manusia, terbagi atas perbuatan yang bertentangan

dengan undang-undang dan perbuatan yang diperbolehkan oleh undang-

undang;

2. Pembagian menurut isi/prestasi perikatan:

Pasal 1234 KUHPerdata membagi perikatan menurut isinya/prestasi

perikatannya ke dalam55 :

a. Perikatan yang ditujukan untuk memberikan sesuatu;

KUHPerdata tidak memberikan definisi dari perikatan untuk memberikan

sesuatu, tetapi dari rumusan yang ditemukan dari Pasal 1235 KUHPerdata

dapat kita ketahui bahwa yang dimaksudkan dengan perikatan untuk memberi

sesuatu adalah perikatan yang mewajibkan debitur untuk menyerahkan suatu

kebendaan. Pengertian kebendaan adalah sebagaimana yang dirumuskan

dalam Pasal 499 KUHPerdata, yaitu setiap barang dan tiap hak yang dapat

menjadi objek dari hak milik. Kebendaan ini selanjutnya dibedakan lagi ke

dalam kebendaan bertubuh, tidak bertubuh, bergerak atau tidak bergerak.

                                                            

55Ibid., hal.50-53.

   

41  

b. Perikatan untuk melakukan sesuatu;

Perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu merupakan perikatan yang

berhubungan dengan kewajiban debitur untuk melaksanakan pekerjaan atau

jasa tertentu untuk kepentingan kreditur.

c. Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu

Dalam perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, kewajiban prestasinya

bersifat pasif, yaitu tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu

berlangsung.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

2.2.1 Pengertian dan pengaturan perjanjian

Hukum Perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata terdiri dari dua bagian,

yaitu bagian umum yang memuat peraturan yang berlaku bagi perikatan pada

umumnya, dan bagian khusus yang memuat peraturan mengenai perjanjian yang

banyak dipakai dalam masyarakat dan telah memiliki nama-nama tertentu. Pengaturan

secara khusus mengenai perjanjian diatur pada Buku III KUHPerdata, mulai Pasal

1313 sampai dengan Pasal 1351.

Dalam sehari-hari istilah perjanjian disepadankan dengan istilah kontrak.

Dalam penulisan ini istilah perjanjian disamakan dengan perjanjian berlandaskan

pada KUHPerdata buku III titel kedua tentang “perikatan-perikatan yang lahir dari

perjanjian atau kontrak”. Contract adalah: an agreement between two or more

   

42  

persons which creates an obligation to do or no to do a particular thing.56 Unsur-

unsur esensial kontrak yaitu: component parties, subject matter, a legal

consideration, and mutuality of obligation.57

Di dalam Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan definisi mengenai perjanjian

yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan yang diberikan

tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah:58

1. suatu perbuatan;

2. antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);

3. perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji

tersebut.

Kata “perbuatan” dalam rumusan di atas menjelaskan bahwa suatu perjanjian hanya

mungkin tercapai bila ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun

tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Selanjutnya

pengertian “antara sekurangnya dua orang” menunjukkan bahwa suatu perjanjian

tidak mungkin dibuat sendiri. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-

pihak yang berjanji tersebut. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan

dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau                                                             

56Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing.Co., ST. Paul Minnesota, USA, hal.293.

57Ibid. 58Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari

Perjanjian, cet.V, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.7.

   

43  

prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak)

lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus

dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut.59

Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa

dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana salah satu pihak merupakan

pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak berhak

atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu

atau lebih orang. Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat

juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.60

Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata, beberapa sarjana juga

memberikan perumusan mengenai perjanjian:

1. Menurut Subekti

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain

atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.61

2. Menurut Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua

pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

                                                            59Gunawan Widjaja, op.cit., hal.285. 60Gunawan Widjaja, op.cit., hal.286. 61Subekti II, loc.cit.

   

44  

melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak

lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.62

3. Menurut KRMT Tirtodiningrat

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara

dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat

dipaksakan oleh undang-undang.63

4. Menurut Herlien Budiono

Perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya,

hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara

demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para

pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, orang-orang yang

melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.64

Berdasarkan uraian pengertian perjanjian menurut beberapa para sarjana, maka dapat

dipahami bahwa: pertama, perjanjian adalah perbuatan hukum dalam lapangan hukum

harta kekayaan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan mengikatkan

dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang; kedua,

perjanjian menimbulkan akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang

konkrit dalam hubungan tersebut.

                                                            62Wirjono Prodjodikoro, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. IX, CV.

Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I), hal.4. 63Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.16. 64Herlien Budiono II, op.cit., hal.3.

   

45  

Pasal 1338 KUHPerdata mengatur mengenai akibat suatu perjanjian bagi para

pihak, yaitu:

a. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya,

b. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua

belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan

cukup untuk itu,

c. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Agar kepentingan pihak lain terlindungi karena pada saat dibuat berdasarkan kepada

kesepakatan antara kedua belah pihak, maka pada saat pembatalannnya pun harus atas

kesepakatan kedua belah pihak. Pasal 1339 KUHPerdata menentukan bahwa dalam

suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas

disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutuan, kebiasaan dan

undang-undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah:

a. isi perjanjian;

b. kepatutan;

c. kebiasaan; dan

d. undang-undang.65

                                                            65Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna

Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, hal.79.

   

46  

2.2.2 Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian

Buku III KUHPerdata mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian,

yaitu:

1. syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata:

- sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

- suatu hal tertentu;

- suatu sebab yang halal.

2. Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur diluar Pasal 1320

KUHPerdata, yaitu Pasal 1335,Pasal 1339, dan Pasal 1347.66

2.2.3 Unsur-unsur dalam perjanjian

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam

Perjanjian. Unsur-unsur tersebut diuraikan oleh Ahmadi Miru67 sebagai berikut :

1. Unsur esensialia, adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, karena

jika tidak ada unsur ini maka perjanjian tidak ada;

2. Unsur naturalia, adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang,

sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, maka undang-

undang yang mengaturnya;                                                             

66Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal.110. 67Ahmadi Miru, 2007, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal.31-32.

   

47  

3. Unsur aksidentalia, adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika

para pihak memperjanjikannya. Demikian pula klausul-kalusul lainnya yang

sering ditentukan dalam perjanjian, yang bukan merupakan unsur esensial

dalam perjanjian.

Sedangkan Herlien Budiono68 menggunakan istilah “bagian” dari perjanjian dan

bukan unsur-unsur perjanjian. Pendapatnya terhadap bagian dari perjanjian tersebut

adalah :

1. Bagian esensialia, adalah bagian dari perjanjian yang harus ada. Apabila

bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian (bernama) yang

dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain. Kata sepakat

merupakan bagian esensialia yang harus ada. Dalam perjanjian sewa-

menyewa bagian esensialianya adalah:

- sepakat dari para pihak;

- objek sewa;

- jangka waktu sewa; dan

- uang sewa.

2. Bagian naturalia, adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap

ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak, yang galibnya

bersifat mengatur termuat di dalam ketentuan perundang-undangan untuk

masing-masing perjanjian bernama. Ini berarti bahwa para pihak bebas untuk                                                             

68Herlien Budiono II, op.cit., hal.67-72.

   

48  

mengaturnya sendiri, bahkan karena ketentuan tersebut tidak bersifat

memaksa, bebas untuk menyimpanginya. Sebaliknya, jika para pihak tidak

mengatur sendiri di dalam perjanjian, ketentuan perundang-undangan tentang

perjanjian tersebut akan berlaku. Bagian naturalia dari perjanjian sewa-

menyewa adalah ketentuan-ketentuan, baik Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1992 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 maupun KUHPerdata

yang sifatnya tidak memaksa. Contoh dari ketentuan yang bersifat mengatur

yang merupakan bagian naturalia dari perjanjian sewa-menyewa adalah:

perjanjian sewa-menyewa tidak putus dengan dijualnya objek sewa, kecuali

telah diperjanjikan sebelumnya. Jika ada perjanjian demikian, penyewa tidak

berhak menuntut ganti rugi apabila tidak diperjanjikan dengan tegas (Pasal 13

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 jo. Pasal 1576 KUHPerdata).

3. Bagian aksidentalia, adalah bagian dari perjanjian berupa ketentuan yang

diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya termin (jangka waktu)

pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum, dan cara penyerahan barang.

Contoh dari ketentuan aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah:

- pilihan hukum dan pilihan domisili.

- cara pembayaran uang sewa.

- denda atas keterlambatan penyerahan kembali setelah sewa berakhir.

- Pengaturan pembayaran rekening listrik, air, telepon, pajak bumi dan

bangunan, iuran RT, dan asuransi.

   

49  

Singkatnya bagian aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah bagian

yang tidak termasuk, baik ke dalam bagian essentialia maupun naturalia dari

perjanjian sewa-menyewa.

2.2.4 Jenis-jenis perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah

sebagai berikut:69

1. Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok

bagi kedua belah pihak. Misalkan perjanjian jual-beli.

2. Perjanjian cuma-cuma

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan

keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.

3. Perjanjian atas beban

Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak

yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua

prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

4. Perjanjian bernama

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama

oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi                                                             

69Mariam Darus Badrulzaman,,dkk, op.cit., hal.66-69.

   

50  

sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam bab V sampai dengan bab XVIII

KUHPerdata.

5. Perjanjian tidak bernama

Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu

perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat

di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang

disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti

perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. Lahirnya

perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak,

dalam mengadakan perjanjian.

6. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.

Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi mengakibatkan

beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli.

7. Perjanjian kebendaan

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan

haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban

(oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain

(levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian

kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian jual

   

51  

belinya disebutkan juga perjanjian jual beli sementara (voorlopig

koocontract). Untuk perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka

perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan.

8. Perjanjian konsensual

Perjanjian konsensual adalah perjanjian di mana di antara kedua belah pihak

telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut

KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338

KUHPerdata).

9. Perjanjian riil

Di dalam KUHPerdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku

sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang

(Pasal 1694 KUHPerdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian

yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil. Perbedaan antara perjanjian

konsensual dan riil ini adalah sisa dari hukum romawi yang untuk perjanjian-

perjanjian tertentu diambil alih oleh hukum Perdata kita.

10. Perjanjian liberatoir

Perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada,

misalnya pembebasan utang (kwijtschelding) yang diatur dalam Pasal 1438

KUHPerdata.

   

52  

11. Perjanjian pembuktian

Perjanjian di mana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku

di antara mereka.

12. Perjanjian untung-untungan

Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi

yang diatur dalam Pasal 1774 KUHPerdata.

13. Perjanjian publik

Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh

hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan

pihak lainnya swasta. Di antara keduanya terdapat hubungan atasan dengan

bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama, misalnya perjanjian

ikatan dinas.

14. Perjanjian campuran

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur

perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa)

tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.

2.2.5 Asas-asas hukum perjanjian

Asas-asas hukum perjanjian menurut fungsinya terdiri dari70: asas-asas

hukum perjanjian yang membangun konstruksi hukum perjanjian, yaitu membangun

fondasi bagi kontruksi hukum perjanjian yang kokoh, dan menempatkan kedudukan                                                             

70Muhammad Syafuddin, op.cit., hal.76.

   

53  

para pihak dalam hubungan-hubungan hukum kontraktual yang setara. Fungsi yang

kedua, asas yang mengarahkan substansi hukum perjanjian, yang fungsinya

mengarahkan para pihak untuk menentukan sendiri substansi perjanjian, yang

mencakup hak dan kewajiban mereka dalam hubungan-hubungan hukum

perjanjiantual yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan

kesusilaan.

Selanjutnya, asas-asas hukum perjanjian tersebut adalah:

1. Asas-asas hukum perjanjian yang membangun konstruksi hukum perjanjian

a. Asas konsensualisme

b. Asas kebebasan berperjanjian

c. Asas pacta sunt servanda

d. Asas itikad baik

e. Asas proporsionalitas

f. Asas kepercayaan

2. Asas-asas hukum perjanjian yang mengarahkan substansi hukum perjanjian:

a. Asas kepatutan

b. Asas moral

c. Asas kebiasaan

d. Asas ganti kerugian

e. Asas ketepatan waktu

f. Asas keadaan memaksa

   

54  

g. Asas pilihan hukum

h. Asas penyelesaian sengketa

2.2.6 Sifat terbuka hukum perjanjian

Hukum perjanjian menganut asas terbuka, dengan pengertian bahwa setiap

orang bebas untuk membuat perjanjian atau bersepakat tentang segala hal, dalam

bentuk apa pun juga, dengan siapa saja mengenai suatu benda tertentu; selama dan

sepanjang:

1. perjanjian atau kesepakatan tersebut berada dalam lapangan bidang hukum di

mana mereka dimungkinkan untuk berjanji atau bersepakat; dan

2. tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum,

yang berlaku dalam masyarakat di mana kesepakatan atau perjanjian tersebut

dibuat dan dilaksanakan.71

Dengan dibuatnya perjanjian oleh para pihak tersebut yang hanya akan

berlaku secara sah jika dipenuhi keempat unsur yang diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata, maka berlakulah pula asas-asas umum hukum perjanjian yang berlaku

bagi mereka tersebut. Yang menjadi catatan bahwa suatu perjanjian akan berlaku

menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dimana memuat perikatan

atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.

Sifat keterbukaan hukum perjanjian sangat terbatas hanya pada saat para pihak

menyatakan kehendak mereka, yang berada dalam harta kekayaan. Pada saat itu para                                                             

71Gunawan Widjaja, op.cit., hal.301.

   

55  

pihak bebas untuk menentukan kehendak mereka. Setelah tercapai kesepakatan,

mereka tidak lagi dalam lapangan hukum perjanjian, melainkan telah masuk dalam

hukum perikatan yang menentukan mengenai kewajiban, prestasi yang harus

dipenuhi. Jadi hukum perjanjian hanya bersifat terbuka sebatas pada saat

pembentukan perjanjian berdasarkan kesepakatan bebas, mengenai suatu hal tertentu

yang berada dalam lapangan harta kekayaan, tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Setelah perjanjian terbentuk, para pihak

tidak lagi bebas untuk menentukan kehendaknya. Bahkan untuk membatalkannya,

para pihak memerlukan bantuan hakim pengadilan.

2.2.7 Berakhirnya perjanjian

Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah perjanjian

yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang sesuatu hal.

Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan

debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.72

Dalam buku III KUHPerdata telah diatur tentang berakhimva perikatan.

Berakhirnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Berakhirnya perikatan

karena perjanjian dibagi menjadi tujuh macam, yaitu73 :

(1) pembayaran;

(2) novasi (pembaruan utang);

                                                            72 Salim H.S., op.cit., hal.163. 73 Salim H.S., op.cit., hal.165.

   

56  

(3) kompensasi;

(4) konfusio (percampuran utang);

(5) pembebasan utang;

(6) kebatalan; dan

(7) berlaku syarat batal.

Di samping ketujuh cara tersebut, dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya

perjanjian, yaitu:

1. jangka waktunya berakhir;

2. dilaksanakan objek perjanjian;

3. kesepakatan kedua belah pihak;

4. pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak; dan

5. adanya putusan pengadilan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berakhirnya perjanjian dapat digolongkan

menjadi dua belas macam, yaitu:

1. pembayaran;

2. novasi (pembaruan utang);

3. kompensasi;

4. konfusio (percampuran utang);

5. pembebasan utang;

6. kebatalan;

7. berlaku syarat batal;

   

57  

8. jangka waktu perjanjian telah berakhir;

9. dilaksanakan objek perjanjian;

10. kesepakatan kedua belah pihak;

11. pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak; dan

12. adanya putusan pengadilan.74

Menurut R Setiawan, hapusnya suatu perjanjian harus dibedakan dari

hapusnya suatu perikatan, karena dengan hapusnya perikatan belum tentu menghapus

adanya suatu perjanjian. Adanya kemungkinan perikatan telah hapus sedangkan

perjanjian yang menjadi sumbernya masih tetap ada.75 Pada umumnya perjanjian

akan hapus bila tujuan perjanjian telah tercapai, dan masing-masing pihak telah saling

menunaikan kewajibannya atau prestasinya sebagaimana yang dikehendaki mereka

bersama. Perjanjian dapat hapus karena:

a. tujuan dari perjanjian telah tercapai dan masing-masing pihak telah memenuhi

kewajibannya atau prestasinya.

b. perjanjian hapus karena adanya putusan oleh hakim.

c. salah satu pihak mengakhirinya dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan

setempat terutama dalam hal jangka waktu pengakhiran.

d. para pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjian yang sedang berlangsung,

misalnya dalam peristiwa tertentu perjanjian akan hapus seperti yang                                                             

74Salim H.S., loc.cit. 75R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung,

hal.69.

   

58  

disebutkan dalam Pasal 1603 ayat j KUHPerdata yang menyebutkan dengan

meninggalnya salah satu pihak perjanjian akan hapus.

e. perjanjian akan hapus apabila telah lewat waktu yang telah ditentukan

bersama.

f. perjanjian akan berakhir menurut batas waktu yang ditentukan undang-

undang.76

2.3 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Sewa-menyewa

2.3.1 Pengertian dan pengaturan perjanjian sewa-menyewa

Salah satu bentuk perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata adalah perjanjian

sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa termasuk dalam perjanjian bernama.

Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual yang bebas bentuknya. Boleh dibuat

dengan persetujuan lisan atau tertulis. Objek persetujuan sewa-menyewa meliputi

segala jenis benda, baik atas benda berwujud, tak berwujud, maupun benda bergerak

dan tidak bergerak.

Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600

KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata yang dimaksud dengan

sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang

selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut

belakangan itu disanggupi pembayarannya.                                                             

76Ibid., hal. 70.

   

59  

Definisi yang lain dari perjanjian sewa-menyewa diungkapkan oleh Subekti77

yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu

benda untuk dipakai selama jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya

menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada

waktu-waktu yang ditentukan. Menurut M.Yahya Harahap78, perjanjian sewa-

menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa.

Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa

kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Perjanjian sewa-menyewa adalah

“penikmatan” atas suatu barang dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka

waktu tertentu. Penikmatan itu tidak terbatas sifatnya. Seluruh kenikmatan yang dapat

dikecap dari barang yang disewa, harus diperuntukkan bagi si penyewa.

Pada dasarnya sewa-meyewa dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan

sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak berakhir

dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu juga karena

barang yang disewakan dipindahtangankan. Disini berlaku asas bahwa jual beli tidak

memutuskan sewa-menyewa.79

Dari uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam

perjanjian sewa-menyewa adalah:

a. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian                                                             

77Subekti II, op.cit., hal 90. 78M.Yahya Harahap,op.cit., hal.220. 79 Salim H.S.,op.cit., hal.58-59.

   

60  

b. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan)

c. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat (pihak

yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat ( pihak penyewa)

d. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut

e. Adanya jangka waktu.

Di dalam KUHPerdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewa-

menyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu, perjanjian sewa-menyewa

dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan.Dalam perjanjian sewa-menyewa tanah,

khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian tersebut telah

dirumuskan oleh para pihak, dan atau notaris.

2.3.2 Subjek dan objek perjanjian sewa-menyewa

Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:

a. Pihak yang menyewakan

b. Pihak penyewa

Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang

atau benda kepada pihak lainya untuk dinikmati kegunaan benda tersebut kepada

penyewa. Pihak yang menyewakan barang atau benda tidak harus pemilik benda

sendiri tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan untuk memindahkan

pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut dikarenakan di dalam sewa-

menyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu

barang melainkan hanya pemakaian atau pemungutan atas hasil dari barang yang

   

61  

disewakan. Pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang

atau benda dari pihak yang menyewakan. Objek barang yang dapat disewakan adalah

barang bertubuh saja, namun ada pendapat lain yang berpendapat bahwa tidak hanya

barang-barang yang bertubuh saja yang dapat menjadi objek sewa melainkan hak-hak

juga dapat disewa.80

Tujuan dari diadakanya perjanjian sewa-menyewa adalah untuk memberikan

hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang bukan bersetatus hak

milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai hak atas benda tersebut. Jadi

benda yang dapat disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat berupa hak milik,

hak guna usaha, hak pakai, hak mengunakan hasil, hak pakai, hak sewa (hak sewa

kedua) dan hak guna bangunan.

Subekti berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tidaklah

menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun jasa.81

Jadi objek dari perjanjian sewa-menyewa adalah segala jenis benda, baik benda

bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda tidak

berwujud.

                                                            

80Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, hal. 190.

81Subekti, op.cit., hal. 40.

   

62  

2.3.3 Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan dan penyewa

a. Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan

Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah

ditentukan. Pasal 1550 KUHPerdata menentukan tiga macam kewajiban pihak yang

menyewakan. Ketiga macam kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang harus

dibebankan pada pihak yang menyewakan, sekalipun hal itu tidak ditentukan dalam

perjanjian82:

1. Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada pihak penyewa;

2. Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara barang yang disewa

selama waktu yang diperjanjikan, sehingga barang yang disewa tadi tetap

dapat dipergunakan, dan dinikmati sesuai dengan hajat yang dimaksud

penyewa;

3. Pihak yang menyewakan wajib memberi ketentraman kepada si penyewa

menikmati barang yang disewa, selama perjanjian sewa berlangsung.

Mengenai kewajiban pertama, yakni menyerahkan barang yang disewa kepada

pihak penyewa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1551 KUHPerdata, yang menyewakan

harus menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan sebaik-baiknya. Tentang

kewajiban kedua, pihak yang menyewakan wajib memelihara dan melakukan

perbaikan atau reparasi, selama perjanjian sewa-menyewa masih berjalan, terkecuali

pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi kewajiban si penyewa.                                                             

82M. Yahya Harahap, op.cit., hal 223.

   

63  

Kewajiban ketiga yakni memberi penikmatan yang tentram bagi pihak si

penyewa, selama jangka waktu perjanjian sewa-menyewa berjalan, meliputi:

menanggung segala kekurangan yang merupakan cacat pada barang yang disewakan,

pihak yang menyewakan tidak boleh merubah bangunan dan susunan barang yang

disewa selama perjanjian sewa-menyewa masih berlangsung, dan pihak yang

menyewakan bertanggung jawab atas cacat barang yang disewa, apabila cacat tadi

menghalangi pemakaian barang.

b. Hak dan kewajiban pihak penyewa

Hak dari pihak penyewa adalah menerima barang yang disewakan dalam

keadaan baik. Kewajiban pihak penyewa diatur dalam Pasal 1560, 1561, 1564 dan

1566 KUHPerdata. Secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Membayar atau melunasi uang sewa sesuai dengan jumlah dan waktu yang

telah ditentukan;

2. Memakai barang yang disewa secara patut sesuai dengan tujuan yang

ditentukan dalam perjanjian;

3. Wajib menanggung segala kerusakan yang terjadi selama masa sewa-

menyewa. Kecuali jika dapat membuktikan, bahwa kerusakan tersebut bukan

karena kesalahannya, tetapi terjadi diluar kekuasaannya.

4. Harus mengembalikan barang yang disewa kepada yang menyewakan pada

saat berakhirnya perjanjian sewa.

   

64  

Menggunakan atau menikmati objek sewa berlaku selama masa sewa

merupakan hak dari penyewa. Selama itu hak penyewa dimaksud tidak hilang

sekalipun objek dialihkan (dijual) kepada pihak ketiga, kecuali terjadinya pelepasan

atau pembatalan perjanjian karena suatu sebab. Dalam hukum perdata dikenal suatu

kaedah yang diatur dalam Pasal 1576 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

berbunyi ”jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa”. Pasal ini memberikan

kedudukan yang kuat bagi penyewa dalam memanfaatkan objek sewa.

2.3.4 Risiko dalam perjanjian sewa-menyewa

Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu

peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang

menjadi objek dari suatu perjanjian.83 Risiko merupakan suatu akibat dari suatu

keadaan yang memaksa (overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari

wanprestasi.

Pembebanan risiko terhadap objek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa

diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang/objek sewa.

Musnahnya barang yang menjadi objek perjajian sewa-menyewa dapat dibagi

menjadi dua macam yaitu :

a. Musnah secara total (seluruhnya)

Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang

diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian                                                             

83Subekti, op.cit., hal.92.

   

65  

tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti barang yang

menjadi objek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan sebagai

mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian kecil dari barang

tersebut masih ada.

Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang

menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa

berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh

suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu

pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal.

b. Musnah sebagian

Barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah

sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan dinikmati

kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika

objek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa

mempunyai pilihan, yaitu :

a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan

harga sewa.

b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.

   

66  

2.3.5 Mengulangsewakan dan melepaskan sewa kepada pihak ketiga

Pihak penyewa dilarang untuk mengulang sewakan objek sewa kepada pihak

ketiga tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik objek sewa. Mengenai hal

ini diatur di dalam Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperzinkan, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang, yang disewanya, maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan pengantian biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa.

Dari ketentuan yang berlaku dari Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata tersebut dapat

diketahui bahwa:

a. Mengulang-sewakan kepada pihak ketiga hanya dapat dilakukan oleh seorang

penyewa apabila diperbolehkan di dalam perjanjian sewa-menyewa atau

disetujui oleh para pihak.

b. Jika pihak penyewa mengulang-sewakan objek sewa dalam masa sewa maka

pihak yang menyewakan objek sewa dapat melakukan pembatalan perjanjian

sewa-menyewa dan menuntut ganti rugi. Akibat pembatalan perjanjian sewa-

menyewa tersebut maka perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan oleh pihak

penyewa dengan pihak ketiga juga batal demi hukum.

Dari ketentuan Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata tersebut dapat diketahui

tentang istilah mengulang-sewakan dan melepas sewa. Pada prinsipnya kedua

perbuatan tersebut dilarang dilakukan bagi pihak penyewa. Meskipun demikian

perbutan-perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh penyewa jika sebelumnya telah

   

67  

diperjanjiakan sebelumnya. Berikut ini adalah perbedaan kedua perbuatan tersebut:

mengulang sewakan yaitu penyewa bertindak sendiri sebagai pihak yang

menyewakan objek sewa dalam suatu perjanjian sewa-menyewa yang diadakan

olehnya dengan pihak ketiga, dan melepaskan sewa adalah pihak penyewa

mengundurkan diri sebagai pihak yang menyewa dan menyuruh pihak ketiga untuk

mengantikan kedudukanya sebagai penyewa sehingga pihak ketiga tersebut

berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan objek sewa.

   

68  

BAB III

VALIDITAS PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH

TANPA BATAS WAKTU

3.1 Validitas Perjanjian

Validitas berasal dari bahasa Inggris dari kata validity yang berarti keabsahan

atau kesahihan.84 Dalam kamus hukum arti valid adalah saat sahnya, dan arti kata

validitas adalah syarat mulai berlakunya suatu tindak administratif secara yuridis

formal, yakni saat ditandatanganinya tindak administratif tersebut oleh pejabat yang

berwenang.85 Validitas hukum berarti bahwa norma hukum itu mengikat, bahwa

orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma hukum, bahwa orang

harus mematuhi dan menerapkan norma hukum. Norma hukum satuan tetap valid

selama norma tersebut merupakan bagian dari suatu tata hukum yang valid.86

Untuk memastikan bahwa suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, maka hal

yang harus ditempuh adalah memeriksa validitas dari perjanjian tersebut. A valid

contract is one that meets all of the legal requirements for a binding contract.87Suatu

perjanjian dapat mengikat para pihak, tergantung kepada sah atau tidak sahnya

perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut. Sah atau tidak sahnya suatu                                                             

84Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Jakarta, hal.792.

85Setiawan Widagdo, 2012, Kamus Hukum, PT. Prestasi Pustaka, Jakarta, hal.575.

86http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-validitas hukum.html. 87Jane P.Mallor,et.al, 2007, Business Law: The Ethical, Global, And E-

Commerce Environment, McGraw Hill Companies, Inc., New York, hal.279.

   

69  

perjanjian dapat dipastikan dengan menggunakan instrumen hukum yang menguji

standar keabsahan perjanjian yang mereka buat. Hal tersebut diatur dalam Buku III

KUHPerdata yaitu:

1. Syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan

2. Syarat sahnya perjanjian yang diatur di luar Pasal 1320 KUHPerdata (Pasal

1335, Pasal 1337, Pasal 1339 dan Pasal 1347)88

Pasal 1320 KUHPerdata merupakan instrumen pokok untuk menguji

keabsahan perjanjian yang dibuat oleh para pihak.89 Dalam Pasal 1320 KUHPerdata

terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal;

Sehubungan dengan keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata diatas,

maka terdapat konsekuensi apabila tidak dipenuhinya masing-masing syarat yang

dimaksud. Dua syarat yang pertama, yaitu syarat kesepakatan dan kecakapan

dinamakan syarat-syarat subyektif karena berkenaan dengan orang-orangnya atau

subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat yang kedua yaitu syarat

                                                            88Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.157. 89Agus Yudha Hernoko, loc.cit.

   

70  

suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat-syarat objektif karena

mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut diatas

menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan

kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap

unsur subyektif) maupun batal demi hukum ( dalam hal tidak terpenuhinya unsur

objektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak

dapat dipaksakan pelaksanaannya.90 In common law, contracts are affected by

illegality where the contract was contrary to (1) positive law, (2) morals or good

manners, and (3) public policy.91 Jadi demikian pula di sistem common law, bahwa

suatu perjanjian menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan hukum positif yang

berlaku, bertentangan dengan moral atau kepatutan dan ketertiban umum.

Penjelasan masing-masing syarat syahnya suatu perjanjian lebih mendalam

adalah sebagai berikut :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirirnya

Pasal 1320 KUHPerdata syarat pertama mensyaratkan adanya kesepakatan

sebagai salah satu syarat validitas suatu perjanjian. For a contract to be valid, the

                                                            90Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal.94. 91G.H.Treitel, 1995, The Law Of Contract, International Student Edition,

Sweet & Maxwell, London, hal.389.

   

71  

parties must consent to the basic matters contained in the agreement.92 Kesepakatan

mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-

masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan para pihak saling

bersesuaian.

Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh

dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran diartikan sebagai

pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Usul ini

mencakup esensialia perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan merupakan

pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.93 Sepakat ditandai oleh penawaran

dan penerimaan dengan cara : tertulis, lisan, diam-diam, dan simbol-simbol tertentu.94

Sepakat menurut Herlien Budiono, mencakup pengertian tidak saja “sepakat”

untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan prestasi. Dalam

perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi

juga berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Suatu perjanjian sepihak yang

memuat hak atau kewajiban satu pihak untuk mendapatkan/memberikan prestasi,

tetapi mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak.95

Perjanjian yang lahir dari kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan

penerimaan), pada kondisi normal adalah bersesuaian antara kehendak dan                                                             

92Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.74.

93Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.162. 94I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit., hal.51. 95Herlien budiono II, op.cit., hal.73-74.  

   

72  

pernyataan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan

dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak. Ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata

menyebutkan hal-hal sepakat tidak terbentuk, yaitu jika sepakat diberikan karena

kesesatan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Selain itu juga terdapat

unsur penyalahgunaan keadaan yang belum diatur secara normatif dalam

KUHPerdata, tetapi berkembang dalam doktrin hukum dan yurisprudensi.

Jadi terdapat empat hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian

berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu :

- Kesesatan atau dwaling

Kesesatan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata. Kesesatan

terjadi jika salah satu pihak dalam membuat perjanjian khilaf dalam

mengemukakan pernyataan, atau khilaf mengenai objek perjanjian namun

pihak lain yang mengetahui atau secara normal semestinya dapat

memperkirakan pihak tersebut dalam keadaan khilaf, tetap membiarkan.

- Paksaan atau dwang

Paksaan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327

KUHPerdata. Paksaan adalah suatu perbuatan ancaman yang dilakukan oleh

orang, karena kedudukannya, usia, jenis kelamin sedemikian rupa sehingga

dapat menakutkan orang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan

ancaman itu menjadi kenyataan akan dapat memberikan kerugian pada dirinya

   

73  

secara nyata. Perbuatan ancaman tersebut tidaklah ditujukan kepada fisik,

tetapi merupakan ancaman psikologis yang sifatnya melanggar hukum.

- Penipuan atau bedrog

Penipuan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata. Penipuan

merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, dimana perjanjian

dibuat karena adanya daya upaya dari salah satu pihak, baik dengan kata-kata

ataupun perbuatan untuk mengelabui pihak lain, sehingga pihak lain setuju

membuat perjanjian

- Penyalahgunaan keadaan

Penyalahgunaan keadaan dikatagorikan sebagai kehendak yang cacat, karena

lebih sesuai dengan dengan isi dan hakekat penyalahgunaan keadaan tersebut,

yang mempengaruhi syarat-syarat subjektifnya.96 Terdapat dua unsur

penyalahgunaan keadaan yaitu: adanya kerugian yang diderita satu pihak dan

adanya penyalahgunaan kesempatan oleh para pihak pada saat terjadinya

perjanjian. Penyalahgunaan keadaan dibedakan menjadi dua yaitu

penyalahgunaan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan keunggulan

kejiwaan.

                                                            96H.P. Panggabean, 2010, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Untuk

Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogya, hal.51.

   

74  

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Setiap subjek hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan

hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum. Siapa yang dapat dan boleh

bertindak dan mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak dan mampu

utnuk melakukan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Ketentuan

Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk

membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak

cakap. Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh undang-undang

dilarang melakukan tindakan hukum.

Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan kriteria orang-orang yang tidak cakap

untuk membuat suatu perjanjian. Pasal ini menerangkan tentang orang yang dianggap

tidak cakap, yakni97 :

1. orang-orang yang belum dewasa, yakni orang yang belum berusia 21 tahun

dan belum menikah karena walaupun belum berusia 21 tahun kalau sudah

menikah, maka sudah dianggap cakap, bahkan walaupun dia bercerai sebelum

berusia 21 tahun;

2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, yakni orang yang gila, kalap

mata, bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros;

3. orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang,

yakni perempuan yang sudah menikah dan tidak didampingi oleh suaminya.                                                             

97 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, op.cit., hal.74.

   

75  

Walaupun demikian, ketentuan ini sudah tidak diberlakukan sekarang

sehingga perempuan yang bersuami pun dianggap telah cakap menurut hukum

untuk membuat perjanjian.

4. pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang

membuat perjanjian-perjanjian tertentu, khusus bagian keempat ini sebenarnya

bukan tergolong orang yang tidak cakap, melainkan orang yang tidak

berwenang untuk melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan dalam hal subjek hukumnya adalah berupa badan hukum standar

kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tidak menghadapi polemik seperti

pada perorangan, karena cukup dilihat pada kewenangannya. Artinya kecakapan

untuk melakukan perbuatan hukum didasarkan pada kewenangan yang melekat pada

pihak yang mewakilinya. Dengan demikian, untuk mengetahui syarat kecakapan pada

badan hukum harus diukur dari aspek kewenangannya.98

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitur dan apa

yang menjadi hak dari kreditur. Suatu hal tertentu sebagai objek perjanjian adalah

pokok perikatan ataupun sebagai pokok prestasi. Prestasi terdiri atas :

1. memberikan sesuatu;

2. berbuat sesuatu;

3. tidak berbuat sesuatu.                                                             

98Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 191. 

   

76  

Asser-Rutten menyebutkan bahwa menurut tradisi hukum perjanjian, untuk

sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian haruslah :

(1) dapat ditentukan;

(2) dapat diperdagangkan (diperbolehkan);

(3) mungkin dilakukan;

(4) dapat dinilai dengan uang.99

Pasal 1333 KUHPerdata menentukan barang yang menjadi objek perjanjian harus

merupakan pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Barang

paling sedikit dapat ditentukan jenisnya misalnya jenis barang yang tampak oleh

mata dapat ditentukan dengan cara menghitung, menimbang, mengukur, menakar,

menentukan batas, menentukan kualitas.

Doktrin hukum mengakui bahwa tidak hanya terhadap benda/barang yang

berwujud, tetapi juga terhadap benda/barang yang tidak berwujud yang akan nada

di kemudian hari, dapat menjadi objek atau pokok persoalan dalam perjanjian,

asalkan benda/barang itu dapat ditentukan kemudian dan dengan syarat-syarat

tertentu. (syarat menangguhkan).100 Jika syarat objektif berupa objek atau pokok

persoalan tertentu atau dapat ditentukan sebagaimana diharuskan oleh Pasal 1332

sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata tidak terpenuhi, maka perjanjian yang

dibuat oleh pihak batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut sejak semula

                                                            99Herlien Budiono II,op.cit., hal.107. 100Herlien Budiono II, op.cit.,hal.109.

   

77  

dianggap tidak pernah ada. Jadi para pihak tidak terikat dengan perjanjian itu,

sehingga masing-masing pihak tidak dapat menuntut pelaksanaan perjanjian, karena

perjanjian sebagai dasar hukum tidak ada sejak semula.

c. Suatu sebab yang halal

Pengertian sebab atau causa yang halal tidak dijelaskan dalam Pasal 1320

KUHPerdata. Vullmar memberikan pengertian sebab atau causa yang tidak dilarang

sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian.101 Subekti102 menjelaskan bahwa sebab

atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.

Herlien Budiono103 menjelaskan bahwa kata “causa” dalam ilmu hukum

mengandung pengertian sebagai dasar yang melandasi hubungan hukum jika

memenuhi dua syarat: pertama, tujuan perjanjian mempunyai dasar yang pantas/patut;

kedua, harus mengandung sifat yang sah. Perjanjian yang tidak memenuhi dua syarat

tersebut akan menimbulkan akibat hukum mengikat para pihak, karena perjanjian

tersebut menurut undang-undang tidak mempunyai causa.

Menurut Annalisa Yahanan, Muhammad Syaifuddin, dan Yunial Laili104,

kriteria atau ukuran sebab atau causa yang halal adalah:

                                                            101Mummad Syaifuddin,op.cit., hal.131. 102Subekti II, op.cit., hal.20. 103Herlien Budiono II, op.cit., hal.114. 104Annalisa Yahanan, Muhammad Syaifuddin, dan Yunial Laili Mutiari, 2009,

Perjanjian Jual Beli Berklausula Perlindungan Hukum Paten, Tunggal Mandiri Publlishing, Malang, hal.24.

   

78  

1. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Misalnya perjanjian untuk melakukan pembunuhan dengan imbalan tertentu

mempunyai sebab atau causa yang bertentangan atau dilarang oleh Pasal 338

KUHPidana, sehingga perjanjiannya batal demi hukum, dalam arti sejak

semula perjanjian dianggap tidak pernah ada dan para pihak tidak terikat

untuk melaksanakan isi perjanjian;

2. Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan kesusilaan, yang relatif

tidak sama wujudnya di seluruh dunia, sehingga di Indonesia suatu perbuatan

tertentu dapat dianggap bertentangan dengan kesusilaan. Jadi tergantung pada

anggapan yang didasarkan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat terhadap

perbuatan itu. Misalnya, perjanjian dengan seorang artis film yang berpakaian

sangat minim atau mempertontonkan auratnya;

3. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, yang

merupakan lawan atau kebalikan dan kepentingan individu. Contohnya,

perjanjian pengangkutan barang yang melebihi daya muat alat pengangkut

dapat membahayakan ketertiban umum.

Perjanjian yang sebab atau causanya yang halal berkaitan dengan tiga aspek dari

perbuatan hukum kontraktual, yaitu:

(1) dilakukannya perbuatan hukum kontraktual;

(2) substansi dari perbuatan hukum kontraktual;

(3) maksud dan tujuan dari perbuatan hukum kontraktual.

   

79  

Jadi, sebab atau causa yang halal ditujukan terhadap pembuatan perjanjian dan

prestasi dalam perjanjian yang harus dilaksanakan oleh para pihak.

Suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena sebab yang palsu

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata, adalah termasuk ke dalam

sebab yang tidak halal. Berkaitan dengan sebab yang tidak halal dapat dijumpai

dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang,

ketertiban umum, kesusilaan ( Pasal 1254, 1335, 1337 KUHPerdata) dan kebiasaan

dan kepatutan ( Pasal 1339 KUHPerdata).

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang

dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang

mengikat para pihak, oleh KUHPerdata diberikan asas umum, yang merupakan

pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan

membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan

yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya atau

pemenuhannya.

3.2 Validitas Perjanjian Sewa Menyewa

Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya, dalam Pasal 1548

KUHPerdata dirumuskan bahwa “sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang

lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan

   

80  

pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi

pembayarannya.”

Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak

yang mengikatkan diri untuk suatu prestasi, yaitu pihak yang menyewakan yang

memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak penyewa selama waktu

tertentu dan pihak penyewa yang memberikan prestasi berupa pembayaran suatu

harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Validitas perjanjian sewa-menyewa adalah keabsahan daripada perjanjian

sewa-menyewa tersebut yang harus mengikuti kaidah-kaidah hukum perjanjian.

Selain harus memenuhi persyaratan umum yang tercantum dalam Pasal 1280

KUHPerdata, sewa-menyewa harus memenuhi persyaratan khusus yang diatur dalam

Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Berdasarkan rumusan pengertian

sewa-menyewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata, maka dapat disimpulkan beberapa hal

pokok dalam sewa-menyewa:

a. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian sewa-menyewa harus

memenuhi syarat syahnya perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata

yaitu:

- Adanya kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan diri;

- Pihak-pihak yang melakukannya dianggap cakap untuk membuat suatu

perjanjian;

   

81  

- Adanya hal tertentu yang diperjanjikan, dan

- Perjanjian itu harus mengandung suatu sebab yang halal.

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”,

maka klausul-klausul dalam perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para

pihak dengan sendirinya berlaku sebagai undang-undang (pacta sunt servanda) bagi

pihak-pihak tersebut.

Menurut Subekti dengan menekankan pada perkataan “semua”, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang atau dengan perkataan lain dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-Pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.”105

Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-

perjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal,

itu berarti mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undang-undang.

Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara

terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu. Pada umumnya

                                                            105Subekti II, op.cit., hal. 14.

   

82  

mereka hanya menyetujui hal-hal pokok saja, dengan tidak memikirkan soal-soal

lainnya.106 Dalam hal perjanjian sewa-menyewa, perjanjian sudah dianggap cukup

jika sudah memuat klausul-klausul apabila setuju tentang barang dan harga sewanya.

Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang harus memikul biaya

pengantaran barang, tentang bagaimana barang itu musnah dalam perjalanan, soal-

soal itu lazimnya tidak terpikirkan dan tidak diperjanjikan.107 Apabila dikemudian

hari terdapat masalah maka yang bersangkutan akan tunduk saja pada hukum dan

undang-undang. ”Namun apabila pembuat perjanjian itu tidak atau kurang memahami

hukum maka akan berlandaskan pada kebiasaan setempat yang mungkin saja

kebiasaan itu sesungguhnya lahir atau sejalan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.”108

Perjanjian menganut sistem terbuka yang mengandung pengertian bahwa

perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan

perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata

dibentuk. KUHPerdata hanya mengatur perjanjian khusus atau perjanjian bernama

yang sudah memang dikenal masyarakat. “Sistem terbuka dalam hukum perjanjian

telah memberi peluang yang sangat luas bagi munculnya jenis-jenis perjanjian baru

                                                            106Subekti II, op.cit., hal. 13. 107Subekti II, loc.cit. 108Than Thong Kie, 2000, Study Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris

Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.76.

   

83  

yang lazimnya merupakan gabungan dari perjanjian-perjanjian bernama tersebut.”109

Perjanjian sewa-menyewa telah berkembang sedemikian rupa sesuai dengan

perkembangan kebutuhan masyarakat seperti: perjanjian sewa beli, sewa usaha

dengan hak opsi (leasing), perjanjian bangun-pakai-serah (build-operate-transfer)

dan sebagainya.110

Para pihak yang membuat perjanjian, dianggap sudah mengetahui bahwa

mereka tidak hanya mengikatkan diri terhadap apa yang dinyatakan dalam perjanjian

yang dibuatnya tetapi juga telah mengikatkan diri terhadap segala ketentuan

perundang-undangan, kepatutan dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339

KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal

yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang

menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Dengan demikian, yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah: (i) isi

perjanjian; (ii) kepatutan, (iii) kebiasaan, dan (iv) undang-undang.

b. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan)

Perjanjian sewa-menyewa tidak mungkin terjadi tanpa adanya suatu yang

dapat memberikan manfaat dan kegunaan atau menurut istilah KUHPerdata suatu

“kenikmatan” kepada si pemakainya. Maksud persetujuan sewa-menyewa ialah

“penikmatan” atas suatu benda dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka                                                             

109G.H.S Lumban Tobing, 2003, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Erlangga, Jakarta, hal. 89.

110Suharnoko, op.cit., hal.44.

   

84  

waktu tertentu. Benda yang menjadi objek sewa-menyewa bukan untuk dimiliki tetapi

hanya untuk dinikmati.

Penikmatan atas seluruh benda yang disewa tidak akan menimbulkan

persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bahagian benda. Masalah penikmatan

bisa menimbulkan persoalan, apabila si penyewa hanya menyewa atas sebahagian

barang saja.111 Seperti halnya penyewaan atas sebagian bawah suatu rumah bertingkat

atau satu kamar dari suatu rumah tentunya penyewa hanya berhak menikmati bagian

yang disewa saja. Atas dasar penikmatan inilah memungkinkan terjadinya perjanjian

sewa-menyewa hanya untuk sebagian saja dari suatu benda. Karena penyewaan atas

suatu kamar jelas dapat dipakai dan dinikmati si penyewa.

Dengan demikian pada sewa-menyewa “sebagian dari suatu benda” dapat

diartikan “benda”. Berbeda pada perjanjian jual beli, pengertian benda adalah

“sesuatu yang utuh” yang dapat diletakkan atasnya hak untuk memiliki.

c. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat (yang

menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat (penyewa)

Unsur ini merupakan subjek perjanjian atau para pihak yang membuat

perjanjian. Subjek perjanjian dapat merupakan orang per orang (naturlijk person) atau

badan hukum (recht person). Sehubungan dengan subjek perjanjian, perjanjian

menganut azas personalia. Azas ini dapat ditemukan dalam dalam ketentuan Pasal

1315 KUHPerdata, yang berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat                                                             

111M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 222.

   

85  

mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada

untuk dirinya sendiri.”

Pasal 1315 KUHPerdata diatas menunjuk pada kewenangan bertindak dari

seseorang yang membuat perjanjian. Secara khusus ketentuan Pasal ini menunjuk

pada kewenangan bertindak untuk individu pribadi sebagai subjek hukum pribadi

yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya

sendiri.112 Dalam kapasitas kewenangan tersebut, sebagai orang yang cakap bertindak

dalam hukum, maka setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan, sebagai

subjek hukum akan mengikat diri pribadi tersebut, dan lapangan perikatan, mengikat

seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadinya sesuai ketentuan

Pasal 1131 KUHPerdata, yang berbunyi : “Segala kebendaan si berutang, baik yang

bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan

ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

Dalam hal, orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum dalam

kapasitasnya yang berada yaitu tidak untuk kepentingan dirinya sendiri, maka

kewenangannya harus disertai dengan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa memang

orang-orang perorangan tersebut tidak membuat atau menyetujui dilakukannya

perjanjian untuk dirinya sendiri. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja113

                                                            112Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya, op.cit., hal.15. 113Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya ,op.cit, hal.17.

   

86  

masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke

dalam:

1. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal ini

ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku baginya secara pribadi;

2. Sebagai wakil dari pihak tertentu. Mengenai perwakilan ini, dapat dibedakan

kedalam :

a. Badan hukum dimana orang perorangan tersebut bertindak dalam

kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan

hukum tersebut dengan pihak ketiga. Dalam hal ini berlakulah ketentuan

mengenai perwakilan yang diatur dalam anggaran dasar dari badan hukum

tersebut, yang akan menentukan sampai seberapa jauh kewenangan yang

dimilikinya untuk mengikat badan hukum tersebut serta batasan-batasannya.

b. Perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan

orang tua, kekuasaan wali dari anak dibawah umur, kewenangan curator untuk

mengurus harta pailit. Dalam hal ini berlakulah ketentuan umum yang diatur

dalam buku I KUHPerdata dan undang-undang kepailitan sebagaimana

diumumkan dalam Staatsblaad Tahun 1905 No.217 dan Tahun 1906 No. 348

yang telah diubah dengan pemerintah pengganti undang-undangan No.1

Tahun 1998 jo Undang-undang No.4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan jo

Undang – Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Hutang.

   

87  

c. Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa. Dalam hal ini

berlakulah ketentuan yang diatur dalam Bab XVI Buku III KUHPerdata,

mulai dari Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUHPerdata.

d. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut

Imbalan terhadap pembayaran benda dan manfaatnya merupakan hal penting

untuk menjadikan suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai perjanjian sewa-

menyewa. Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban

membayar sesuatu apapun, maka yang terjadi adalah perjanjian pinjam-pakai.

Harga sewa merupakan unsur yang esensial dalam perjanjian sewa-menyewa,

sehingga dapat dipastikan selalu tercantum dalam klausul perjanjian tertulis. Namun

masih banyak dalam masyarakat dilakukan perjanjian sewa-menyewa dengan

perjanjian lisan yaitu dengan mengikuti kebiasaan setempat bahkan tidak jarang

terjadi pembayaran dilakukan tanpa kwitansi dan hanya mengandalkan ingatan kedua

belah pihak. Pasal 1569 KUHPerdata, mengantisipasi pengaturan hukumnya sebagai

berikut : “Jika terjadi perselisihan tentang harga suatu penyewaan yang dibuat dengan

lisan, yang sudah dijalankan dan tidak terdapat suatu pembayaran maka pihak yang

menyewakan harus dipercaya atas sumpahnya, kecuali apabila si penyewa memilih

untuk menyuruh menaksir harga sewanya oleh orang-orang ahli.”

e. Adanya jangka waktu

Jangka waktu merupakan bagian yang esensial dalam perjanjian sewa-

menyewa, sehingga tidak terjadi suatu perjanjian sewa-menyewa tanpa adanya batas

   

88  

waktu. KUHPerdata mengatur perjanjian sewa-menyewa dengan batas waktu baik

yang dibuat dengan tertulis maupun dengan lisan. Pada sewa-menyewa yang dibuat

tanpa batas waktu, batas waktu penghentian yang selayaknya ini berpedoman pada

kepatutan dan kebiasaan setempat. Untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak

diingikan dikemudian hari maka pencantuman “batas waktu yang jelas” sangat

diperlukan.

3.3 Validitas Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu

Telah dijelaskan pada bab sebelumnya dalam buku III KUHPerdata memuat

peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya dan bagian khusus yaitu

perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah memiliki

nama-nama tertentu. Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian bernama, yaitu

perjanjian khusus yang mempunyai nama sendiri. Bentuk perjanjian sewa-menyewa

ada yang dibuat secara tertulis, dan perjanjian dibuat secara lisan. Dalam prakteknya,

terdapat perjanjian sewa-menyewa tertulis dan lisan dengan batas waktu tertentu,

adapula perjanjian sewa-menyewa yang tidak ditentukan batas akhir waktunya.

Validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu, dapat diuji

dengan menggunakan isntrumen hukum untuk menentukan keabsahan perjanjian

tersebut. Berdasarkan teori validitas dari Hans Kelsen, bahwa norma hukum itu

mengikat, dan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian harus menaati dan

menerapkan norma hukum tersebut. Dalam halnya perjanjian sewa-menyewa, norma

hukum yang harus ditaati dan diterapkan adalah peraturan-peraturan yang termuat

   

89  

dalam Buku III KUHPerdata. Validitas suatu perjanjian sewa-menyewa harus

memenuhi persyaratan umum syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur

dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan persyaratan khusus yang diatur dalam Pasal 1548

KUHPerdata tentang sewa-menyewa.

Beberapa contoh putusan mengenai perjanjian sewa-menyewa tanpa batas

waktu adalah sebagai berikut :

1. Putusan Mahkamah Agung no.3280 K/Pdt/1995,114 sewa-menyewa rumah

yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah

ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun ( Pasal 12 (6)

UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992).

2. Putusan Pengadilan Negeri Pariaman No. 33/ PDT.G/ 2003/PN.PRM,115

menghukum tergugat mengosongkan tanah perumahan sewa terperkara

dengan jalan membongkar rumah milik Tergugat, penggugat sebagai pemilik

tanah objek perkara bagai manapun sudah sepatutnya diberi kesempatan untuk

dapat menikmati tanah objek perkara tersebut.

3. Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002,116 menyatakan sah bahwa

ahli waris penyewa berhak menerima dan mewarisi tanah sengketa,

                                                            114Habib Adjie, 2011, “Hukum Perjanjian”, habibadjie.dosen.narotama.

ac.id/files /2011/04/Hukum-Perjanjian-2-Keabsahan-Perjanjian.pdf, hal.32. 115Sri Hartati, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah

Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”, Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas, hal.15.

116Lihat lampiran.

   

90  

menyatakan sewa- menyewa tanpa batas waktu adalah sah menurut hukum

berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu setiap persetujuan yang dibuat

oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang

membuatnya.

Selanjutnya akan dilakukan pengujian keabsahan terhadap perjanjian sewa –

menyewa tanah tanpa batas waktu yang melatar belakangi putusan MA No. 2313

K/Pdt/2002 tersebut. Sewa-menyewa tanah terjadi sejak tahun 1971 di Banjar

Lungsiaka Desa, Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali dibuktikan

dengan surat perjanjian tertanggal 22 September 1971 dengan isi perjanjian sebagai

berikut :

1. Terjadi hubungan sewa-menyewa antara Anak Agung Rai Pande sebagai

pihak pemilik tanah mengadakan perjanjian di bawah tangan dengan Sjamsuari Sjam

selaku penyewa, perjanjian tersebut dibuat diatas kertas segel dengan nama “Surat

Perjajian Bersama-Perjanjian”,

2. Kesepakatan yang diperjanjikan diantara pihak pemilik tanah dan penyewa

tanah yaitu mengenai urusan/penggunaan tanah untuk tanah seluas 30 are (3000m2)

dengan batas-batas nya :

- Sebelah utara berbatas dengan : Anak Agung Anom Nesa

- Sebelah timur berbatas dengan : sungai

- Sebelah selatan berbatas dengan : Tjok. Dugil

   

91  

- Sebelah barat berbatas dengan : Anak Agung Raka Pande (jalan

masuk lebar 4 meter dan sisa tanah)

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku tanggal 22 September1971 dan dibayar

seharga Rp. 27.000 (dua puluh tujuh ribu) oleh Sjamsuari Sjam untuk jangka waktu

selama-lamanya/tidak terbatas.

4. Terdapat 2 (dua) pokok isi perjanjian terkait dengan pihak Anak Agung

Rai Pande sebagai masyarakat setempat pemilik tanah dengan pihak Sjamsuari Sjam

yang saat itu sebagai pengusaha yang beralamat di Jakarta yaitu bahwa:

- Pihak penyewa berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat

sekolah untuk bekerja pada usaha milik penyewa di atas tanah tersebut

- Pihak penyewa memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama

minimal 4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha

pembangunan.

Dalam Pasal 1548 KUHPerdata tentang sewa-menyewa menyatakan bahwa

yang disebut sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana satu pihak

mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu benda kepada pihak lain

selama jangka waktu tertentu dengan pembayaran tertentu. Bahwa unsur-unsur yang

harus dipenuhi dalam sewa-menyewa adalah:

- Adanya kesepakatan antara kedua orang atau kedua belah pihak yang

mengadakan perjanjian

   

92  

- Pihak yang satu menyerahkan / memberikan kenikmatan manfaat suatu benda

( dalam hal ini pemilik barang/benda)

- Pihak lainnya menerima untuk selama waktu tertentu dengan pembayaran (

dinyatakan dengan sejumlah uang) .

Perjanjian sewa tanpa batas waktu tidak memenuhi unsur-unsur yang harus dipenuhi

dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu selama waktu tertentu. Perjanjian ini tidak

valid karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa.

Bagian esensialia dari suatu perjanjian adalah bagian perjanjian yang harus

ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian bernama yang

dimaksudkan para pihak.117 Dalam perjanjian sewa-menyewa yang merupakan bagian

esensialia adalah sepakat dari pada para pihak, objek sewa, jangka waktu sewa, dan

uang sewa. Bagian esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari

suatu perjanjian, jika hal itu tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap pemenuhan

perjanjian tidak dapat diterima.118 Hal ini merupakan perbuatan hukum yang

nonexistent, yaitu suatu perbuatan yang tidak memenuhi salah satu atau semua unsur

suatu perbuatan hukum (tertentu).119 Maka perjanjian ini dianggap tidak pernah ada

dan tidak mempunyai akibat hukum.

Pada sewa-menyewa, hak menikmati barang yang diserahkan kepada si

penyewa: hanya terbatas pada “suatu jangka waktu tertentu” saja, sesuai dengan                                                             

117Herlien Budiono II, op.cit., hal.67. 118Herlien Budiono, op.cit., hal.366. 119I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit.,hal.35

   

93  

lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian.120 Perjanjian sewa tanah

hanya bersifat menikmati manfaat tanah untuk digunakan oleh penyewa dalam waktu

tertentu dengan pembayaran harga sewa dan tidak mengalihkan hak milik atas

tanah.Hak kebendaan seorang pemilik tanah tidak beralih kepada penyewa

Perjanjian sewa-menyewa yang mencantumkan jangka waktu untuk selama-

lamanya/tidak terbatas tersebut merupakan pengingkaran terhadap lembaga hukum

jual-beli terutama jual-beli atas tanah, karena apabila ada pihak yang memang tidak

beritikad baik dalam perjanjian yang dibuatnya dan mencantumkan jangka waktu

selama-lamanya maka dengan demikian objek menjadi dapat dikuasai untuk selama-

lamanya tanpa perlu melakukan jual-beli secara sah. Hal ini jelas bertentangan

dengan asas kepastian hukum yang dijamin oleh keberadaan lembaga hukum jual-

beli. Pada perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya atau tidak

terbatas secara substansi akan sama dengan artinya dengan menjual, ini artinya

melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya

sendiri, sedangkan disisi lain pemilik tanah yang mempunyai sertifikat hak milik (hak

atas tanah turun-temurun, terkuat dan terpenuh) atas tanah tersebut. Sehingga pada

hakikatnya telah terjadinya kekaburan substansi hukum, rasa ketidakadilan dan

ketidak patutan karenanya persewaan bentuk apapun mestinya mengenal batas waktu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas

waktu adalah tidak valid. Tidak valid karena persyaratan khusus yang merupakan                                                             

120M.Yahya Harahap, op.cit., hal.221.

   

94  

bagian yang sangat esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi yaitu

jangka waktu tertentu. Apabila jangka waktunya tidak ditentukan atau tanpa batas

waktu, maka perjanjian tersebut dianggap tidak valid, void dan tidak mempunyai

akibat hukum. Sejalan dengan itu, Catherine Elliot dan Frances Quinn menyatakan

void contracts are agreements that create no legal obligations and for which no

remedy will be given.121

Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu ini pun tidak memenuhi Pasal

1339 KUHPerdata, dimana para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara

tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, namun juga terikat oleh kepatutan,

kebiasaan dan undang-undang. Jangka waktu penggunaan tanah yang selama-

lamanya/tidak terbatas tersebut telah bertentangan dengan asas kepatutan dalam

masyarakat.

                                                            121Catherine Elliot, Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate,

England, hal. 562.

   

95  

BAB IV

PENGAKHIRAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH

TANPA BATAS WAKTU

4.1 Cara Berakhirnya Perjanjian

Normalnya, suatu perjanjian akan hapus setelah perjanjian tersebut berakhir.

Artinya, ketika seluruh bentuk-bentuk perikatan yang telah disepakati dalam

perjanjian telah dilaksanakan, maka perjanjian berakhir dan hapus dengan sendirinya.

Akan tetapi, selain dari ketentuan-ketentuan berakhirnya perjanjian melalui cara

pemenuhan seluruh ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian (atau

yang dalam pengertian umumnya juga dikenal dengan cara pelunasan atau

pembayaran) KUHPerdata berdasarkan Pasal 1381 mengatur tentang cara berakhirnya

perikatan berdasarkan perjanjian, yaitu :

1. Berakhirnya perjanjian karena pembayaran

Pemenuhan kewajiban adalah pelaksanaan isi perjanjian. Dengan telah

dipenuhinya apa yang dijanjikan, maka tujuan perikatan telah tercapai. Dikatakan

perikatan berakhir. Undang-undang menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk

pada pelaksanaan kewajiban, seperti “pemenuhan”, “pembayaran”, dan

“pelaksanaan”.122

Berakhirnya perjanjian karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam

Pasal 1382 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1403 KUHPerdata. Ada dua pengertian                                                             

122Herlien Budino II, op.cit. hal.168.

   

96  

pembayaran, yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis.123 Pengertian

pembayaran dalam arti sempit, adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur.

Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Namun, pengertian

pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang atau barang, tetapi

juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter bedah, tukang cukur atau guru privat.

Syarat utama pemenuhan kewajiban adalah karena adanya perikatan.

Pembayaran yang dilakukan kepada orang yang tidak berwenang untuk menerima

pembayaran menyebabkan pembayaran tersebut dapat dituntut kembali, demikian

ketentuan Pasal 1359 ayat (1) KUHPerdata. Ketentuan Pasal 1382 KUHPerdata

mengatur siapa yang dapat melakukan pembayaran, yaitu:

a. debitur yang berkepentingan langsung;

b. pihak ketiga yang berkepentingan, yakni pihak yang juga turut berkewajiban

untuk membayar, yakni penanggung utang (borg) atau orang yang turut

berutang;

c. pihak ketiga lainnya yang tidak berkepentingan asalkan bertindak atas namanya

sendiri dengan maksud untuk melunasi utang debitur atau atas namanya sendiri

asalkan tidak menggantikan hak-hak kreditur.

Sedangkan pihak yang berhak untuk menerima pembayaran diatur dalam Pasal 1385

KUHPerdata yaitu:

a. kreditur; atau                                                             

123Salim H.S., op.cit.,hal.165.

   

97  

b. orang yang menerima kuasa dari kreditur; atau

c. orang yang telah ditunjuk oleh hakim; atau

d. orang-orang yang berhak menurut undang-undang.

Ketentuan-ketentuan yang diatur sebagai dasar dari berakhirnya perjanjian

melalui pembayaran tersebut di atas, sangat menekankan pada bentuk-bentuk

penyelesaian yang disepakati oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu

sendiri.Misalnya, tentang pembayaran kepada pihak yang berhak dengan jumlah dan

tata cara yang disepakati oleh keduanya. Dengan kalimat lain, tidak ada alasan untuk

melakukan pembayaran jika memang tidak ada kewajiban untuk itu. Begitu pula

sebaliknya, tidak ada alasan untuk menerima pembayaran bila tidak ada hak untuk itu.

2. Pembaruan utang (Novasi)

Novasi diatur dalam Pasal 1413 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1421

KUHPerdata. Novasi adalah sebuah persetujuan, di mana suatu perikatan telah

dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di

tempat yang asli.124 Novasi diartikan pula sebagai perjanjian yang menggantikan

perikatan yang lama dengan perikatan yang baru. Penggantian tersebut dapat terjadi

berkenaan dengan salah satu pihak, yakni kreditur atau atau debitur, ataupun terjadi

pada objek perjanjiannya.

Ketentuan Pasal 1413 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembaruan utang

dilaksanakan dengan tiga jalan, yaitu:                                                             

124Salim H.S.,op.cit., hal.168.

   

98  

a. apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna

orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang

lama, yang dihapuskan karenanya. Terjadi dan dikenal sebagai novasi

objektif;

b. apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang

berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

Terjadi dan dikenal sebagai novasi subjektif pasif;

c. apabila sebagai akibat suatu persetujan baru, seorang berpiutang baru

ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si

berutang dibebaskan dari perikatannya. Terjadi dan dikenal sebagai novasi

subjektif aktif.

Sementara itu, yang merupakan unsur-unsur novasi adalah sebagai berikut:

a. adanya perjanjian baru;

b. adanya subjek yang baru;

c. adanya hak dan kewajiban; dan

d. adanya prestasi.

3. Kompensasi

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 KUHPerdata

sampai dengan Pasal 1435 KUHPerdata. Kompensasi adalah perjumpaan utang antara

debitur dan kreditur yang sama-sama mempunyai piutang ataupun tagihan diantara

kedua belah pihak. Contohnya A mempunyai tagihan Rp. 1 juta kepada B, dimana

   

99  

pada saat yang bersamaan B juga mempunyai tagihan kepada A. Dengan keadaan ini

A dan B dapat mengadakan perjumpaan utang yang akhirnya akan membebaskan

kedua belah pihak dari perjanjian-perjanjian yang telah diperjumpakan tadi.

4. Percampuran utang

Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUHPerdata sampai dengan

Pasal 1437 KUHPerdata. Percampuran utang adalah percampuran kedudukan sebagai

orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (Pasal 1436

KUHPerdata). Percampuran utang terjadi apabila kedudukan sebagai orang

berpiutang dan orang yang berutang berada pada satu orang, akan mengakibatkan

secara hukum terjadinya percampuran utang yang mengakibatkan hapusnya piutang

yang ada. Ada dua cara terjadinya percampuran utang, yaitu:

a. dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum, misalnya si kreditur

meninggal dunia dan meninggalkan satu-satunya ahli waris, yaitu debitur.

Ini berarti bahwa dengan meninggalnya kreditur maka kedudukan debitur

menjadi kreditur;

b. dengan jalan penerusan hak di bawah alas hak khusus, misalnya pada jual

beli atau legaat.

Pada umumnya percampuran utang terjadi pada bentuk-bentuk debitur menjadi ahli

waris dari debitur.

   

100  

5. Pembebasan utang

Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUHPerdata sampai dengan Pasal

1443 KUHPerdata. Pembebasan utang merupakan suatu kesepakatan yang secara

sukarela dilakukan oleh seorang kreditur terhadap debiturnya, dan ataupun pihak-

pihak yang terikat untuk menyelesaikan kewajiban tersebut untuk membebaskan

debitur dari seluruh kewajiban-kewajiban utangnya. Ada dua cara terjadiya,

pembebasan utang, yaitu: (1) cuma-cuma; dan (2) prestasi dari pihak debitur.

Pembebasan ini didasarkan pada perjanjian.

6. Kebatalan

Kebatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1446 KUHPerdata sampai dengan

Pasal 1456 KUHPerdata. Ada empat penyebab timbulnya pembatalan perjanjian,

yaitu:

a. adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan di

bawah pengampuan;

b. tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam undang-

undang;

c. adanya cacat kehendak;

d. tidak terpenuhinya salah satu atau semua unsur dari suatu perjanjian

(nonexsistent).

Akibat dari kebatalan apakah karena batal demi hukum atau setelah adanya tuntutan

akan kebatalannya mempunyai akibat yang sama, yaitu tidak mempunyai akibat

   

101  

hukum (yang diinginkan). Demikian pula dengan perbuatan hukum yang nonexistent.

Ketiga peristiwa hukum tersebut berakibat sama.125

Kebatalan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kebatalan mutlak dan

kebatalan relatif. Kebatalah absolut adalah perbuatan hukum yang batal demi hukum,

yaitu atas perbuatan hukum tersebut sejak terjadinya perbuatan hukum tidak

mempunyai akibat hukum. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kebatalan relatif

adalah perbuatan hukum yang dapat dibatalkan dimana keadaan di mana keadaan

dapat dibatalkannya atau disahkannya perbuatan hukum digantungkan pada keinginan

satu pihak.

Perbedaan antara batal dapat dibatalkan di satu pihak dan nonexistent di lain

pihak secara juridis praktis memang tidak ada perbedaannya karena kedua kelompok

tersebut sama-sama tidak mempunyai akibat hukum, hanya penyebabnya yang

berbeda.126 Perbedaan secara juridis dogmatis antara penyebab kebatalan mempunyai

nilai di dalam menentukan permohonan pembatalan melalui pengadilan negeri. Jelas

pada perbuatan hukum yang nonexistent tidak perlu dimohonkan pembatalannya

karena secara juridis dogmatis perbuatan tersebut “tidak ada”, sedangkan pada

perbuatan hukum yang cacat lainnya dapat dimohonkan dengan putusan atau dengan

penetapan pengadilan negeri. Apabila cacat pada perbuatan hukum berakibat batal

                                                            125Herlien Budiono, op.cit., hal.381. 126Herlien Budiono, op.cit., hal.384.

   

102  

demi hukum, penetapannya bersifat deklaratoir, sedangkan untuk perbuatan hukum

yang dapat dibatalkan, sifat keputusannya adalah constitutief.127

7. Berlakunya syarat batal

Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan

perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak ada

suatu perjanjian (Pasal 1265 KUHPerdata). Biasanya syarat batal berlaku pada

perjanjian timbal balik. Seperti pada perjanjian jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain.

Ketentuan Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan syarat batal dianggap selalu

dicantumkan dalam perjanjian timbal balik. Manakala salah satu pihak tidak

memenuhi kewajibannya, dianggap syarat batal yang diperjanjikan dipenuhi. Dalam

hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, demikian ketentuan Pasal 1266 ayat

(2) KUHPerdata, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Disamping ketujuh cara tersebut diatas, dalam praktik dikenal pula cara

berakhirnya perjanjian yaitu:

8. Jangka waktu perjanjian telah berakhir

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baik perjanjian yang dibuat

melalui akta di bawah tangan maupun yang dibuat oleh atau di muka pejabat yang

berwenang telah ditentukan secara tegas jangka waktu dan tanggal berakhirnya

perjanjian. Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian dimaksudkan

bahwa salah satu pihak tidak perlu memberitahukan tentang berakhirnya perjanjian                                                             

127Herlien Budiono, loc.cit.

   

103  

tersebut, namun para pihak telah mengetahuinya masing-masing. Penentuan jangka

waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian adalah didasarkan pada kemauan dan

kesepakatan para pihak. Ada perjanjian yang jangka waktu dan tanggal berakhirnya

perjanjian singkat dan ada juga jangka waktu dan tanggal berakhirnya lama.

9. Dilaksanakan objek perjanjian

Pada dasarnya objek perjanjian adalah sama dengan prestasi. Prestasi itu

terdiri dari melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Di dalam

perjanjian timbal balik, seperti jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar dan lain-lain

telah ditentukan objek perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian jual beli tanah, yang

menjadi objek perjanjian adalah barang dan harga.

Pihak penjual tanah berkewajiban untuk menyerahkan tanah secara riil dan

menyerahkan surat-surat tanah tersebut, begitu juga pembeli tanah berkewajiban

untuk menyerahkan uang harga tanah tersebut. Sedangkan hak dan penjual tanah

adalah menerima uang harga tanah dan hak dari pihak pembeli menerima tanah

beserta surat-surat yang menyertainya.

Dengan telah dilaksanakan objek perjanjian maka perjanjian antara penjual

dan pembeli telah berakhir, baik secara diam-diam maupun secara tegas. Contoh

lainnya, dalam perjanjian jasa dokter, di mana dokter memeriksa pasien dan

menyerahkan resep kepada pasien, dan pasien membayar jasa dokter. Sejak terjadi

pembayaran jasa dokter oleh pasien, pada saat itulah perjanjian itu telah berakhir.

   

104  

10. Kesepakatan kedua belah pihak

Kesepakatan kedua belah pihak merupakan salah satu cara berakhirnya

perjanjian, di mana kedua belah pihak telah sepakat untuk menghentikan perjanjian

yang telah ditutup antara keduanya. Motivasi mereka untuk menyepakati berakhirnya

perjanjian tersebut adalah berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Ada yang

menyepakatinya didasarkan pada nila-inilai kemanusiaan dan ada juga yang

menyepakati karena bisnis. Pertimbangan karena bisnis adalah didasarkan pada

untung rugi. Apabila salah satu pihak merasa rugi untuk melaksanakan substansi

perjanjian tersebut, salah satu meminta kepada pihak lainnya untuk mengakhiri

perjanjian tersebut dan pihak lainnya akan menyetujuinya.

11. Pemutusan perjanjian secara sepihak

Pada dasarnya suatu perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak

berdasarkan itikad baik, namun dalam kenyataannya sering kali salah satu pihak tidak

melaksanakan substansi perjanjian, walaupun mereka telah diberikan somasi

sebanyak tiga kali berturut-turut. Karena salah satu pihak lalai melaksanakan

prestasinya maka pihak yang lainnya dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian

itu secara sepihak.

Pemutusan perjanjian secara sepihak merupakan salah satu cara untuk

mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Artinya pihak kreditur

menghentikan berlakunya perjanjian yang dibuat dengan debitur, walaupun jangka

   

105  

waktunya belum berakhir. Ini disebabkan debitur tidak melaksanakan prestasi

sebagaimana mestinya.

12. Putusan pengadilan

Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian dapat ditempuh melalui dua pola,

yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar

pengadilan lazim disebut dengan alternative dispute resolution (ADR). Cara ini dapat

dilakukan dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.

Apabila kelima cara itu telah dilakukan oleh para pihak namun masih juga menemui

jalan buntu maka salah satu pihak, terutama pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan

perjanjian dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat perjanjian atau

objek berada. Biasanya dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, telah

ditentukan tempat penyelesaian sengketa.

4.2 Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian berakhir secara umum diatur di dalam undang-undang. Penentuan

berakhirnya perjanjian sewa-menyewa terkait dengan bentuk perjanjian. Ketentuan

hukum perjanjian sewa-menyewa di dalam KUHPerdata membedakan antara

perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan tertulis. Berikut ini cara-cara

berakhirnya perjanjian sewa-menyewa:

   

106  

4.2.1 Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan

a. Perjanjian sewa-menyewa tertulis

Diatur di dalam Pasal 1570 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa dibuat

dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila waktu yang

ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu”.

Dalam perjanjian sewa-menyewa yang masa berakhirnya telah ditentukan

secara tertulis, sewa-menyewa dengan sendirinya berakhir sesuai dengan batas

waktu yang telah ditentukan dalam persetujuan secara tetulis, perjanjian sewa

berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan.128

b. Perjanjian sewa-menyewa lisan

Diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat

dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang

ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak

menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang

diharuskan menurut kebiasaan setempat.”

Dalam hal ini, berakhirnya sewa-menyewa tidak disudahi sesaat setelah

lewatnya batas waktu yang telah ditentukan. Melainkan setelah adanya

pemberitahuan dari salah satu pihak, yang menyatakan kehendak akan

mengakhiri sewa-menyewa. Pemberitahuan pengakhiran sewa tersebut, harus

memeperhatikan jangkauan waktu yang layak menurut kebiasaan setempat.                                                             

128 M. Yahya Harahap, op.cit., hal.238.

   

107  

4.2.2 Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.

Berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-menyewa seperti ini

didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-menyewa pada saat yang

dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya

perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, yang diatur dalam undang-

undang hanya berakhirnya sewa-menyewa tertulis dan lisan yang mempunyai

batas waktu tertentu. Oleh karena itu pengakhiran perjanjian sewa-menyewa

tanpa batas waktu tertentu sebaiknya diserahkan kepada penghentian yang

selayaknya bagi kedua belah pihak atau batas waktu penghentian yang

selayaknya ini berpedoman kepada kepatutan dan kebiasaan setempat.129

4.2.3 Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus

a. Permohonan/pernyataan dari salah satu pihak

Penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas

persetujuan kedua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak

penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa

putusan dari pengadilan. Dalam Pasal 1579 KUHPerdata diatur bahwa pemilik

barang tidak dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan

menggunakan sendiri barangnya, kecuali apabila pada saat membentuk

perjanjian sewa-menyewa ini diperbolehkan, dimana hal tersebut telah

ditentukan lebih dulu dalam perjanjian. Namun jika ketentuan tersebut tidak                                                             

129 M.Yahya Harahap , op.cit., hal.240.

   

108  

disebutkan dalam perjanjian, maka pihak yang menyewakan tidak dapat

mempergunakan alasan dimaksud.

b. Putusan Pengadilan

Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah satu pihak

saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan seperti yang diatur di

dalam Pasal 10 ayat (3) PP No. 49 Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981.

Perjanjian berakhir atau hapus, karena terdapat putusan hakim yang memutus

berakhirnya perjanjian tersebut, berdasarkan gugatan pembatalan yang

diajukan oleh salah satu pihak.

Berikut beberapa putusan Mahkamah Agung tentang sewa-menyewa:130

1. -Dalam hal tergugat secara melawan hukum telah menyewakan rumah

milik penggugat kepada pihak ketiga, maka penggugat berhak atas

ganti kerugian dari tergugat, yang besarnya sama dengan uang sewa

yang oleh tergugat telah diterima dari pihak ketiga tersebut.

-Dalam hal uang sewa ditentukan dalam mata uang asing, maka ganti

rugi itu dihitung dalam mata uang republik Indonesia (rupiah), sesuai

dengan nilai lawan (kurs) mata uang asing tersebut dalam rupiah pada

waktu putusan pengadilan dijatuhkan (MA tanggal 17-91973 No. 625

K/Sip/1972).

                                                            130Habib Adjie, loc.cit, hal.31-35.

   

109  

2. Segala sesuatu mengenai penghentian sewa-menyewa dan

pengosongan rumah merupakan wewenang Kantor Urusan Perumahan

(MA tanggal 22-3-1972 No. 937 K/Sip/1970).

3. -Apabila pembeli kolam mengetahui bahwa kolam yang bersangkutan

ada pada (sedang disewa oleh) orang lain, maka ia juga mengambil

risiko atas beban yang mungkin akan mengakibatkan kerugian

baginya, sehingga tidak ada alasan yang cukup untuk mengabulkan

gugatan atas ganti kerugian yang dideritanya.

-Sekalipun pemilik baru berhak menghentikan hubungan sewa-

menyewa tanah yang diadakan oleh pemilik lama dengan memberikan

waktu yang layak kepada penyewanya, ia wajib membayar ganti

kerugian kepada penyewa tersebut.

-Bila sebidang tanah yang disewa oleh orang lain dijual, maka

hubungan sewa-menyewa dengan pemilik lama harus dihormati oleh

pemilik baru, dengan pengertian bahwa apabila pemilik baru hendak

menghentikan hubungan sewa-menyewa itu, ia harus memberi waktu

yang layak kepada penyewa untuk mengosongkan tanah tersebut dan

menyerahkannya kepadanya. (MA tanggal 12-9-1970 No. 130

K/Sip/1970).

   

110  

4. MA No. 213 K/Sip/1979, sebagai penyewa, penggugat tidak

mempunyai kedudukan untuk menggugat tentang beralihnya

kepemilikan.

5. MA No. 313 K/Sip/1960, penjualan sebidang tanah tidak

mengakibatkan putusnya perjanjian sewa-menyewa yang telah ada

antara pemilik tanah yang lama.

6. MA No. 287 K/Sip/1963, Pasal 1553 BW menentukan kalau barang

yang disewa adalah musnah dari sebab suatu keadaan yang tidak dapat

dipertanggung jawabkan pada salah satu pihak, maka perjanjian sewa-

menyewa dengan sendirinya batal. Perkataan “musnah” ini harus

ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa barang itu tidak usah sama sekali

musnah melainkan sudah cukup, apabila barang itu rusak sedemikian

rupa, sehingga tidak dapat lagi dipergunakan.

7. MA No. 219 K/Sip/1955, hak penyewa untuk membongkar dan

mengambil barang-barangnya yang ada pada benda yang disewanya

sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 1567 BW hanya dapat

dilaksanakan pada waktu ia meninggalkan benda yang disewanya itu

dan tidak lagi sesudah itu.

8. MA No. 3280 K/Pdt/1995, sewa-menyewa rumah yang perjanjiannya

tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah ditentukan

   

111  

bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun ( Pasal 12 (6) UU

No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992).

9. MA No. 199 K/sip/1962, hukum adat yang kini dianggap berlaku tidak

mengenal ketentuan seperti Pasal 1579 BW yang tidak membolehkan

perjanjian sewa-menyewa rumah dihentikan oleh yang menyewakan

dengan alasan akan memakai sendiri rumah itu.

10. MA No. 32 K/Sip/1954, menurut Pasal 1579 BW hubungan sewa-

menyewa suatu perkarangan tidak dapat dihentikan dengan alasan

pekarangannya akan dipakai sendiri oleh pihak yang menyewakan,

kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa-menyewa ini

dijanjikan diperbolehkan. Adanya janji ini tidak didalilkan oleh

penggugat maka gugatannya tidak dapat diterima.

11. MA No. 7 K/Sip/1959, dalam hal ini, oleh karena menurut Pasal 1567

BW pada waktu terhentinya sewa si penyewa dapat mengambil segala

sesuatu yang dipasang olehnya pada perkarangan yang disewa, maka si

pemilik pekarangan tidak berhak membongkar begitu saja bangunan

tersebut tanpa izin si penyewa.

12. MA No. 313 K/Sip/1960, perjanjian sewa-menyewa sebidang tanah

bertahan terus, meskipun pemilik tanah menjualnya kepada orang lain.

13. MA No. 1400 K/Sip/1974, membongkar, mengubah dan mendirikan

bangunan adalah hak pemilik, bukan hak penyewa, pengadilan tidak

   

112  

dapat member izin untuk membangun, membongkar mengubah

bangunan kepada penyewa.

14. MA No. 227 K/Sip/1973, karena sewa-menyewa diadakan tanpa

ketentuan mengenai batas waktu serta alasan-alasan berakhirnya

sewa,hubungan sewa-menyewa tidak dengan sendirinya berakhir

karena oleh penyewa sewa di operkan kepada anaknya tanpa izin

pemilik, tetapi pengoperan tanpa izin itu dapat merupakan alasan

untuk meminta pemutusan hubungan sewa-menyewa.

15. MA No. 4413 K/Pdt/1986, penghentian sewa-menyewa dapat

dilakukan berdasarkan kepentingan pemilik atas dasar kepatutan dan

keadilan sosial pada waktu tersebut.

16. MA No. 1976 K/Pdt/1994, merujuk kepada Keputusan Menteri Sosial

No. 11 Tahun 1977 dalam hal SIP yang dimiliki oleh para penyewa

sudah habis dan tidak atau belum diperpanjang, maka beralasan untuk

menghukum para penyewa untuk mengosongkan tanah dan rumah

terperkara, namun dikaitkan dengan kedudukan ekonomi antara pihak

yang menyewakan dengan para penyewa ternyata lebih lemah, maka

pihak yang menyewakan berkewajiban untuk membayar pesangon

kepada para penyewa guna mencari tempat tinggal pengganti yang

layak sebesar 25% dari harga pasaran tanah dan rumah sengketa.

c. Benda objek sewa-menyewa musnah

   

113  

Pasal 1553 KUHPerdata mengatur apabila benda sewaan musnah sama sekali

bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa

gugur demi hukum. Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena

kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht).

4.3 Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu

Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian dapat ditempuh melalui dua pola,

yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Apabila penyelesaian sengketa di

luar pengadilan masih juga menemui jalan buntu maka salah satu pihak, terutama

pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan perjanjian dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Negeri di tempat perjanjian atau objek berada. Biasanya dalam perjanjian

yang dibuat oleh para pihak, telah ditentukan tempat penyelesaian sengketa.

Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu, dapat berlangsung

sepanjang disepakati oleh kedua belah pihak. Bila perjanjian tersebut tidak disepakai

lagi dan timbul sengketa, masing-masing pihak merasa tidak puas sehingga merasa

perlu untuk mendapat kepastian hukum dengan memasukkan gugatan ke pengadilan.

Permohonan penghentian hubungan sewa-menyewa tanpa batas waktu oleh salah satu

pihak tersebut akan diputus oleh hakim berdasarkan gugatan yang diajukan, dan

menentukan hapus atau berakhirnya perjanjian tersebut.

Beberapa contoh putusan pengakhiran perjanjian sewa-menyewa tanpa batas

waktu adalah sebagai berikut:

   

114  

1. Putusan Mahkamah Agung no. 3280 K/Pdt/1995.131

Sewa-menyewa rumah yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa

batas waktu yang telah ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun

( Pasal 12 (6) UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992).

Pertimbangan hakim mengacu kepada Pasal 12 ayat 6 Undang-undang No. 4 Tahun

1992 tentang perumahan dan pemukiman bahwa sewa-menyewa rumah dengan

perjanjian tidak tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya

undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu tiga tahun setelah

berlakunya undang-undang ini.

2. Putusan Pengadilan Negeri Pariaman no. 33/ PDT.G/ 2003/PN.PRM.132

Perjanjian sewa-menyewa secara terus-menerus atau tanpa batas waktu

diakhiri dengan menghukum tergugat/penyewa untuk mengosongkan tanah

perumahan sewa terperkara dengan jalan membongkar rumah milik

tergugat/penyewa. Pertimbangan hakim dalam hal ini adalah untuk memenuhi rasa

keadilan, maka hakim mengabulkan gugatan penggugat sebagai pemilik tanah objek

perkara yang sudah sepatutnya diberi kesempatan untuk dapat menikmati tanah objek

perkara tersebut.

                                                            131Habib Adjie, op.cit.,hal.32. 132Sri Hartati, loc.cit.

   

115  

3. Putusan Mahkamah Agung no. 2313 K/Pdt/2002.133

Putusan ini diawali dengan perkara perdata nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR

dengan banding yang diakhiri dengan putusan nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS tapi

perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah

Agung dengan Penetapan Nomor: 2313 K/Pdt/2002.

Selanjutnya putusan pengadilan ini akan dibahas lebih detail dan dilakukan

pengujian terhadap putusan hakim melalui pertimbangan-pertimbangan yang dipakai

hakim dalam menyelesaikan perkara perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas

waktu ini, apakah penerapannya sesuai dengan ketentuan perjanjian. Sebelumnya

pada bab III, telah diuraikan isi perjanjian sewa-menyewa yang melatar belakangi

perkara ini.

3.1 Putusan Pengadilan Negeri Denpasar nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR.134

Para Pihak :

1. Dra. Dalifah Syamsuddin, bertempat tinggal di komplek Bumi Jati Waringin

F. 14. RT. 03 /16, Kelurahan Jati Waringin, Kecamatan Pondok Gede, KOdya

Tingkat II Bekasi.

2. Amir Rabik, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan,

Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kedua-duanya

                                                            133Lihat lampiran. 134Lihat lampiran.

   

116  

adalah pemilik tanah sengketa dan disebut juga sebagai penggugat I dan

penggugat II.

Melawan :

1. Anak Agung Rai Pande, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lunsiakan, Desa

Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar,

selanjutnya disebut juga sebagai tergugat.

A. Kasus Posisi

1. Bahwa penggugat I adalah kakak kandung dari Alm. Sjamsuarni Sjam yang

telah meninggal dunia , yang juga telah menetapkan penggugat I sebagai ahli

waris tunggal berdasarkan Akta Permohonan Pertolongan pembagian harta

peninggal No. 011/P3IIP/2000/P.A.BKS, tertanggal 04 Desember 2000 dan

Surat Keterangan kelurahan Jatiwaringin No. 587/PD.01/XII/2000, tertanggal

19 Juli 2000;

2. Bahwa adik kandung penggugat I Alm. Sjamsuarni Sjam telah mengontrak

sebidang tanah dari tergugat sesuai dengan Surat Perjanjian Bersama

Perjanjian tertanggal 22 September 1971 seluas + 3000 m2 (30 Are) dari pipil

No. 34, persil 13 a, Kls. II.

3. Bahwa sesungguhnya tanah tersebut diatas sudah dibeli oleh adik kandung

penggugat I dari tergugat, karena tergugat malu didengar oleh warga menjual

tanah, maka terhadap tanah yang sudah dibeli oleh adik kandung penggugat

   

117  

selanjutnya dibuatkanlah Surat Perjanjian Bersama Perjanjian pada tanggal 22

September 1971 dengan jangka waktu selama-lamanya/tidak terbatas;

4. Bahwa diatas tanah sengketa tersebut adik kandung penggugat sudah

mendirikan bangunan, selama + 12 tahun bangunan tersebut ditempati oleh

adik kandung penggugat I dan selanjutnya tanah dan bangunan tersebut

diserahkan (dikuasakan) penguasaan dan pengelolaannya pada bulan februari

1982 dan dikuatkan dengan surat tugas tertanggal 1 Juni 1988 kepada

penggugat II dan dipertegas lagi dengan surat perjanjian penggunaan tanah

tertanggal 11 April 1994 dari penggugat I kepada penggugat II;

5. Bahwa tanpa sepengetahuan penggugat I dan penggugat II tiba-tiba pada

tanggal 24 Februari 2000, tempat usaha dan Kantor Konsulat Spanyol

penggugat II didatangi oleh + 20 orang pemuda dengan membawa tongkat,

pentungan dan senjata tajam yang kemudian tergugat menutup (menembok)

jalan masuk ke tanah sengketa;

6. Bahwa atas perbuatan tergugat yang tidak memenuhi isi dari Surat Perjanjian

Bersama tertanggal 22 September 1971 dan tergugat juga sudah menutup

(menembok) asset menuju jalan keluar masuk ketanah sengketa adalah

perbuatan melawan hukum.

B. Gugatan

Berdasarkan uraian diatas, penggugat I dan penggugat II mengajukan gugatan

di Pengadilan Negeri Gianyar karena merasa dirugikan oleh tindakan tergugat yang

   

118  

menutupi/menembok akses jalan keluar masuk menuju tempat tanah sengketa (Kantor

Konsulat Spanyol). Atas hal tersebut penggugat I dan penggugat dalam gugatannya

juga mengajukan petitum sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk seluruhnya;

2. Menyatakan sah hukum “surat perjanjian bersama perjanjian” tertanggal 22

September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat tentang

jangka waktu perjanjian selama-lamanya/tidak terbatas atas sebidang tanah

pipil No. 34, persil No. 13, klas II, luas + 3000 m2 (30 are) dari luas asal 5250

m2, atas nama Dw.Rk. Mangku terletak di dusun/banjar Lungsiakan, Desa

Kedewatan, Kecamatan Ubud;

3. Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum

menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal,

tempat usaha dan kantor Konsulat Spanyol penggugat II;

4. Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan masuk

selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha dan kantor konsulat

spanyol penggugat II;

5. Menyatakan hukum penggugat II telah menderita kerugian setiap bulan

sebesar Rp. 50.000.000,- sejak tanggal 24 Pebruari 2000 dan kerugian

inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,-;

   

119  

6. Menghukum tergugat untuk membayar kerugian materiil setiap bulan sebesar

Rp. 50.000.000,- sejak tanggal 24 Pebruari 2000 dan kerugian inmateriil

sebesar Rp. 500.000.000,- kepada penggugat II;

7. Meletakan sita jaminan (conservatoir beslag) atas barang-barang milik

tergugat baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak;

8. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu

walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan kembali;

9. Menghukum tergugat untuk membayar segela biaya yang timbul dalam

perkara ini.

C. Eksepsi dan rekonpensi tergugat

1. Jawaban dalam eksepsi dan dalam pokok perkara

Bahwa tergugat konpensi menolak secara tegas semua dalil-dalil gugatan

penggugat konpensi terkecuali apa yang secara tegas telah diakui olehnya;

2. Bahwa dalam hal ini para tergugat rekonpensi ingin tetap menguasai tanah

sengketa hanya berdasarkan perjanjian perjanjian yang pernah dibuat oleh

penggugat rekonpensi dengan Syamsuarni almarhum yaitu adik kandung

tergugat rekonpensi I. Padahal para tergugat rekonpensi tidak mempunyai hak

lagi untuk menguasai dan menempati tanah sengketa sebab salah satu pihak

yang membuat perjanjian perjanjian itu yaitu syamsuarni syamsuddin sudah

meninggal dunia;

   

120  

3. Bahwa terhadap terhadap perjanjian perjanjian tersebut diatas yang dibuat

dibawah tangan pada tanggal 22 september 1971 ternyata isinya juga banyak

terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku salah satu

diantaranya dalam perjanjian itu tidak ada batas waktu berlakunya perjanjian

tersebut. Dan setelah perjanjian berjalan adik kandung tergugat rekonpensi I

(syamsuarni syamsuddin) sama sekali sejak perjanjian itu dibuat hingga

sekarang tidak pernah melakukan/melaksanakan/memenuhi isi perjanjian

tersebut.

Maka berdasarkan atas alasan-alasan yang telah kami kemukakan tersebut diatas,

penggugat rekonpensi mohon agar pengadilan negeri gianyar berkenan memutus:

Dalam konpensi :

- Menolak gugatan para penggugat konpensi seluruhnya atau setidak-

tidaknya menyatakan gugatan para penggugat konpensi tidak dapat

diterima.

Dalam rekonpensi:

1. Mengabulkan gugatan penggugat rekonpensi untuk seluruhnya;

2. Menyatakan hukum tanah sengketa adalah syah hak milik penggugat

rekonpensi;

3. Menyatakan hukum perjanjian perjanjian tanah sengketa antara penggugat

rekonpensi dengan syamsuarni syamsuddin/adik kandung tergugat

rekonpensi I, yaitu perjanjian dibawah tangan yang dibuat pada tanggal 22

   

121  

september 1972 dan perjanjian yang dibuat tanggal 11 Januari 1974 adalah

batal demi demi hukum;

4. Menyatakan hukum perjanjian sewa-menyewa yang dibuat antara anak

kandung penggugat rekonpensi dengan tergugat rekonpensi II pada

tanggal 29 oktober 1986 batal demi hukum karena masa perjanjiannya

sudah habis;

5. Menyatakan hukum para tergugat rekonpensi telah melakukan perbuatan

melawan hukum menguasai dan menempati tanah sengketa tanpa alasan

hak yang sah;

6. Menyatakan hukum semua bangunan yang ada diatas tanah sengketa

menjadi hak milik penggugat rekonpensi;

7. Menghukum para tergugat rekonpensi menyerahkan tanah sengketa

dengan lasia kepada penggugat rekonpensi dan bila perlu dengan bantuan

yang berwajib;

8. Menyatakan hukum putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu

walaupun para tergugat rekonpensi banding dan kasasi;

9. Menghukum para tergugat rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul

dalam perkara ini.

D. Pertimbangan hukum dan putusan

Berdasarkan hal-hal diatas, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gianyar

dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:

   

122  

1. Menimbang, bahwa untuk mendalilkan gugatannya para penggugat telah

mengajukan bukti surat yang diberi tanda P-1 s/d P-13 serta telah

mengajukan 4 orang saksi masing-masing yaitu : 1. I Made Lembeng, 2 I

Ketut Robin, 3. Ketut Munut, 4. Ni Wayan Taman. Sedangkan tergugat

untuk menguatkan dalil sangkalannya telah pula mengajukan bukti surat

yang diberi tanda T-1 s/d T-9 serta telah pula mengajukan 3 orang saksi

yaitu : 1. Anak Agung Rai Santun , 2. I Wayan Tambun, 3. I Made Koyo;

2. Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P-3, P-4, P-4a dan P-5, P-9

serta keterangan saksi Ketut Robin, Ketut Munut serta Ni Wayan Taman

masing-masing berhubungan dan bersesuaian satu sama lainnya;

3. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti

secara hukum bahwa A.A. Rai Pande (tergugat) telah terikat perjanjian

perjanjian dengan syamsuarni syam atas sebidang tanah yang terletak di

Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud dengan

jangka waktu selama-lamanya;

4. Menimbang, bahwa oleh karena syamsuarni syamsuddin telah meninggal

dunia dan Dra. Dalifah Syamsuddin adalah satu-satunya ditetapkan

sebagai ahli waris. Mka terhadap tanah sengketa tersebut yang paling

berhak mewaris adalah Dra. Dalifah Syamsuddin sebagai penggugat I;

5. Menimbang, bahwa berdasarkan pengamatan majelis hakim pada saat

melakukan pemeriksaan setempat atas tanah sengketa pada tanggal 6 April

   

123  

2001 memang benar jalan yang menuju tanah sengketa yang telah berisi

bangunan telah ditutup dengan tembok sehingga penggugat II maupun

karyawan konsulat spanyol yang menyewa rumah diatas tanah sengketa

tidak bisa keluar maupun masuk;

6. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, bahwa

tergugat telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena telah

menembok jalan yang menuju tanah sengketa;

Dalam rekonpensi:

7. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dalam konpensi

tersebut diatas, majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian perjanjian

bersama antara A.A. Rai Pande (tergugat) dengan syamsuarni syam atas

sebidang tanah seluas +30 are yang terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan

dengan jangka waktu yang selama-lamanya adalah sah menurut hukum

sebagaimana tertuang dalam bukti P-3. Oleh karena Pasal 1338 KUHPerdata

bahwa setiap persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat

sebagai undang-undang bagi yang membuatnya;

8. Menimbang, bahwa menurut majelis bahwa bukti yang diajukan oleh tergugat

konpensi / penggugat rekonpensi yang bertanda T-2 s/d T-8 serta keterangan

saksi-saksi yaitu A.A. Rai Pande, I Wayan Tambun dan I Made Koyo tidak

ada yang dapat melumpuhkan alat bukti penggugat konpensi/tergugat

   

124  

rekonpensi. Oleh karena itu penggugat rekonpensi tidak dapat membuktikan

dalil-dalil gugatanya;

9. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas penggugat

rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil gugatannya maka penggugat

rekonpensi berada pihak yang kalah;

10. Menimbang, bahwa oleh karena penggugat rekonpensi/tergugat konpensi

berada pada pihak yang kalah, maka biaya perkara ini termasuk biaya

rekonpensi dibebankan kepada tergugat konpensi/penggugat rekonpensi.

11. Setelah memperhatikan undang-undang yang bersangkutan :

Mengadili :

Dalam konpensi :

1. Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk sebagian;

2. Menyatakan sah menurut hukum “surat perjanjian bersama perjanjian”

tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan

tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya / tidak terbatas

atas sebidang tanah, pipil No. 34, persil No. 139, Klas II, Luas + 3. 000

m2 (30 are) dari luas asal 5250 m2 atas nama Dewa Raka Mangku, yang

terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud;

3. Menyatakan sah menurut hukum penggugat I adalah ahli waris tunggal

dari syamsuarni syam disebut juga syamsuarni syamsuddin yang berhak

menerima dan mewaris tanah sengketa;

   

125  

4. Menyatakan sah menurut hukum penggugat II tinggal dan menempati

tanah sengketa atas kuasa dan seijin syamsuarni syam disebut juga

syamsuarni syamsuddin dan penggugat I;

5. Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum

menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat

tinggal, tempat usaha kantor konsulat spanyol dan tempat tinggal

penggugat II;

6. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu

sepanjang mengenai jalan masuk selebar 4 meter yang menuju tempat

tinggal, tempat usaha, kantor konsulat spanyol dan tempat penggugat II

walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan

kembali;

7. Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan

masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha Kantor

Konsulat Spanyol dan tempat tinggal Penggugat II.

Dalam rekonpensi :

- Menolak gugatan penggugat rekonpensi seluruhnya.

Dalam konpensi Dan rekonpensi :

   

126  

- Menghukum tergugat dalam konpensi atau penggugat dalam rekonpensi

untuk membayar biaya perkara ini yang hingga kini dianggar sebesar Rp.

174.000.

Atas Putusan Pengadilan Negeri Gianyar tersebut, tergugat tidak puas dan

mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar. Dasar hukum mengajukan

banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar pada intinya adalah karena apa yang

diputuskan oleh Pengadilan Negeri Gianyar tidak sesuai dengan jawaban gugatan

dan proses persidangan, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan bagi tergugat selaku

pemilik tanah sengketa.

Setelah permohonan pemeriksaan dalam tingkat banding yang diajukan oleh

kuasa hukum pembanding dan telah diajukan memori banding yang oleh para

terbanding telah juga diajukan kontra memori banding dengan Putusan Perkara No.

07/Pdt.G/2001/PN.GIR, tanggal 16 Juli 2001

3.2 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar no. 205/Pdt/2001/PT.Dps.135

A. Pokok Pertimbangan Hukum.

1. Menimbang, bahwa permohonan banding dari tergugat dalam

konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut telah diajukan

dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta memenuhi persyaratan

yang ditentukan oleh undang-undang maka permohonan banding tersebut

secara formal dapat diterima;                                                             

135Lihat lampiran.

   

127  

2. Menimbang, bahwa pengadilan tinggi setelah memeriksa dan meneliti

dengan seksama berkas perkara beserta turunan resmi putusan pengadilan

negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 No. 7/Pdt.G/2001/PN.Gir. dan telah

pula membaca dan memperhatikan memori banding yang diajukan oleh

tergugat dalam konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding serta

kontra memori banding yang diajukan oleh para penggugat dalam

konpensi/para tergugat dalam rekonpensi/para termbanding, yang ternyata

tidak ada hal-hal baru yang perlu dipertimbangkan maka pengadilan tinggi

dapat menyetujui dan membenarkan putusan hakim tingkat pertama oleh

karena dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah memuat dan

menguraikan dengan tepat dan benar semua serta alasan-alasan yang

menjadi dasar dalam putusan dan dianggap telah tercantum pula dalam

putusan ditingkat banding;

3. Menimbang, bahwa dengan demikian maka pertimbangan-pertimbangan

hukum hakim tingkat pertama tersebut diambil alih dan dijadikan dasar di

dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi sendiri, sehingga putusan

Pengadilan Negeri Gianyar tanggal 16 Juli 2001 Nomor.

7/Pdt.G/2001/PN.GIR. dapat dikuatkan;

4. Menimbang bahwa oleh karena tergugat dalam konpensi/penggugat dalam

rekonpensi/pembanding tetap berada dipihak yang dikalahkan, maka

   

128  

kepadanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat

peradilan;

5. Mengingat peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku khususnya

undang No. 14 tahun 1970, undang-undang No. 2 tahun 1986 serta Rbg.

Mengadili :

- Menerima permohonan banding dari tergugat dalam konpensi/ penggugat

dalam rekonpensi/pembanding tersebut.

- Menguatkan putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001

Nomor.: 7/Pdt.G/2001/PN.Gir, yang dimohonkan banding.

- Menghukum tergugat dalam konpensi/penggugat dalam

rekonpensi/pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua

tingkat peradilan, yang untuk ditingkat banding saja ditetapkan sebesar

Rp.100.000,- ( seratus ribu rupiah)

3.3 Putusan Mahkamah Agung no. 2313 K/Pdt/2002.136

1. Bahwa putusan pengadilan tinggi denpasar tanggal 26 Nopember 2001

No. 205/Pdt/2001/PT.Dps. pemohon kasasi telah menyatakan kasasi

tanggal 11 Maret 2002, sehingga dengan demikian pemasukan memori

kasasi ini masih dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan oleh

undang-undang;

                                                            136 Lihat lampiran.

   

129  

2. Bahwa dalam putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 No.

7/Pdt.G/2001/PN.Gir, sudah tepat dan benar tanpa memberikan

pertimbangan lebih jauh mengenai memori pembanding adalah merupakan

pertimbangan hukum yang salah dan menyimpang dari hukum acara

perdata yang berlaku;

3. Bahwa judex factie pengadilan tinggi denpasar yang menganggap benar

dan menyetujui Putusan Pengadilan Negeri Gianyar dalam perkara

tersebut, yang menyatakan sah surat perjanjian bersama perjanjian

tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan

tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya atau tidak

terbatas adalah keliru besar, sebab perjanjian yang dibuat tersebut

bertentangan dengan Pasal 1320 BW tentang syarat-syarat syahnya suatu

perjanjian antara lain:

1. Sepakat mereka yang mengikat diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

4. Bahwa jangka waktu yang ditulis dalam perjanjian tersebut untuk selama-

lamanya/tidak terbatas bertentangan dengan ketentuan undang-undang

yang diatur dalam Pasal 1548, karena dalam Pasal tersebut dsyaratkan

   

130  

jangka waktu tertentu artinya waktunya terbatas dan tidak untuk selama-

lamanya;

5. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas lagi pula

dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex factie dalam perkara ini

tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang, maka

permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi Anak Agung Rai

Pande tersebut harus ditolak;

6. Menimbang, oleh karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi telah

dinyatakan ditolak, maka kepadanya harus dibebani untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;

7. Memperhatikan Pasal-Pasal dari undang-undang No. 4 tahun 2004,

undang-undang No. 14 tahun 1985 jo. Undang-undang No. 5 tahun 2004

yang bersangkutan.

Mengadili :

- Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Anak Agung Rai Pande

tersebut.

- Menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua

tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.

200.000,- (dua ratus ribu rupiah).

   

131  

3.4 Analisis hukum

Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu merupakan perjanjian yang tidak

seimbang atau mengandung klausul yang berat sebelah karena pemohon kasasi tidak

dapat memanfaatkan tanah sengketa selama-lamanya padahal pemohon kasasi adalah

pemilik tanah, sedangkan termohon yang menguasai tanah sengketa dapat

menggunakan dan menikmati hasil dari tanah sengketa tersebut untuk selama-

lamanya.

Perjanjian yang demikian melanggar asas keadilan, yang mana dalam ajaran asas keadilan menyatakan bahwa perjanjian adalah adil apabila prestasi-prestasi yang diperjanjikan adalah sama nilainya atau yang dimaksudkan sebaliknya bahwa prestasi-prestasi yang diperjanjikan itu adil berdasarkan suatu perjanjian yang seimbang, yaitu perjanjian dilakukan oleh pihak-pihak yang sama haknya.137

Rescoue Pound dalam teorinya yaitu teori sama nilai menyatakan bahwa

suatu perjanjian baru mengikat jika para pihak dalam perjanjian tersebut memberikan

prestasinya yang seimbang atau sama nilai.138 Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas

waktu tentunya tidak memberikan prestasi yang seimbang dan merugikan pemilik

tanah karena tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri selama-

lamanya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata yang menyatakan: ”si

penyewa jika kepadanya tidak telah diperijinkan, tidak diperbolehkan mengulang

sewa barang, yang disewanya maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas

                                                            137Herlien Budiono, op.cit., hal.20. 138Roscoe Pound II, loc.cit.

   

132  

ancaman pembatalan perjanjian sewa…….”. Peralihan hak sewa dari termohon I

(Dalifah Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik tanah

yaitu Anak Agung Rai Pande adalah tidak beralaskan hukum sehingga tidak dapat

dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata.

Bahwa Sjamsuarni Sjam tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan isi

perjanjian sewa-menyewa yang dibuat yaitu:

- pihak kedua berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat

sekolah untuk bekerja pada usaha pihak kedua diatas tanah tersebut

- pihak kedua memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama minimal

4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha pembangunan”.

Menurut Pasal 1266 KUHPerdata syarat batal dianggap selalu dicantumkan

dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak

memenuhi kewajibannya. Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas watu ini tidak

menyebutkan syarat batal maka sesuai Pasal 1266 KUHPerdata manakala salah satu

pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimohonkan pembatalan dimuka hakim.

Bahwa wanprestasi dalam perjanjian timbal balik dapat dimajukan sebagai alasan

minta pecahnya perjanjian dan hakim diberi kuasa mengatur akibatnya selaras dengan

keadaan dan kepatutan.139

Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi

bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548                                                             

139Wirjono Prodjodikoro I, op.cit., hal.88.

   

133  

KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam

suatu perjanjian tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan tuntutan

terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian tersebut tidak

mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum, maka perjanjian ini harus diakhiri.

Perjanjian sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tidak sekedar

mengingkari lembaga jual beli tetapi mengingkari lembaga hak milik yang bersifat

hak asasi, dan juga jika sewa dinyatakan tidak terbatas maka artinya melanggar hak

asasi pemiliknya untuk dapat memanfaatkan tanah miliknya sendiri.  Perjanjian ini

mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan

jangka waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa-

menyewa tanah tanpa batas waktu dalam Putusan Mahkamah Agung no. 2313

K/Pdt/2002 ini dapat diakhiri dengan cara pemilik tanah mengajukan gugatan ke

Pengadilan Negeri untuk diakhirinya perjanjian dengan dasar-dasar gugatan sebagai

berikut:

1. karena perjanjian ini melanggar asas keadilan dan asas kepatutan, yaitu

prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak seimbang/sama nilainya, dimana

pemilik tanah tidak dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah

tersebut selama-lamanya, karenanya perjanjian sewa-menyewa bentuk apapun

semestinya mengenal batas waktu.

   

134  

2. karena pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), sehingga

dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian sesuai dengan Pasal 1266

KUHPerdata.

3. karena perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya secara

substansi akan sama artinya dengan menjual, ini artinya melanggar hak asasi

dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya sendiri selama-

lamanya.  Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,

sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tersebut patut

untuk segera diakhiri.

4. karena telah terjadi peralihan hak sewa dari termohon I (Dalifah Sjamsuddin)

kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik tanah yaitu Anak

Agung Rai Pande, bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata

dan perjanjian ini dapat diakhiri.

Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah

tanpa batas waktu ini adalah sah menurut hukum, berdasarkan Pasal 1338

KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh kedua belah

pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Sedangkan

dalam ketentuan perjanjian, suatu perjanjian sewa-menyewa dapat mengikat, apabila

syarat_syarat suatu perjanjian sewa-menyewa telah terpenuhi. Dalam hal ini jangka

waktu yang merupakan unsur yang sangat esensial dan merupakan syarat khusus

sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi dan melanggar asas kepatutan

   

135  

dan kebiasaan, Hakim dalam hal ini lebih menekankan pada aspek daya mengikatnya

perjanjian serta mengenyampingkan aspek kepatutan dan kebiasaan. Dalam

KUHPerdata pun telah dengan tegas dirumuskan pemaknaan kepatutan yaitu dalam

Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUHPerdata.

Bahwa faktor kepatutan merupakan faktor yang teramat penting di dalam penemuan hukum. Rasa kepatutan ini mengharapkan para hakim untuk memberikan pertimbangan terhadap masalah yang dihadapinya. Faktor kepatutan perlu mendapat perhatian dalam setiap pertimbangan yang hendak diambil oleh hakim untuk menjatuhkan keputusannya.140

Putusan pengadilan ini tidak menerapkan ketentuan perjanjian. Meskipun

putusan ini telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat saja diajukan kembali karena

hakim yang memutus perkara tersebut telah khilaf, kurang cermat dalam meneliti

bentuk isi perjanjian yang dibuat para pihak yang mengakibatkan merugikan ahli

warisnya sehingga tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri

untuk selama-lamanya.

                                                            140Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”,

dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV, hal.359.

   

136  

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Dari hasil pembahasan permasalahan pada bab III dan bab IV, maka diperoleh

simpulan sebagai berikut:

1. Perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu tidak valid karena tidak

terpenuhinya persyaratan khusus yang merupakan bagian yang esensial dari

suatu perjanjian sewa-menyewa yaitu jangka waktu tertentu. Apabila jangka

waktunya tidak ditentukan atau tanpa batas waktu, maka perjanjian tersebut

dianggap tidak valid, tidak ada, dan tidak mempunyai akibat hukum.

2. Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian dapat ditempuh melalui dua pola,

yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Dalam penelitian ini para

pihak memilih penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Perjanjian

sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu dalam putusan Mahkamah Agung no: 

2313 K/Pdt/2002 dapat diakhiri dengan cara pihak pemilik tanah mengajukan

gugatan ke Pengadilan Negeri untuk diakhirinya perjanjian dengan dasar-

dasar gugatan sebagai berikut:

a. karena perjanjian ini melanggar asas keadilan dan asas kepatutan, yaitu

prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak seimbang/sama nilainya, dimana

pemilik tanah tidak dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah

   

137  

tersebut selama-lamanya, karenanya persewaan bentuk apapun semestinya

mengenal batas waktu.

b. karena pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi),

sehingga dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian sesuai

dengan Pasal 1266 KUHPerdata.

c. karena perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya atau

tidak terbatas secara substansi akan sama artinya dengan menjual, ini

artinya melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat

tanah miliknya sendiri selama-lamanya.Perjanjian ini mencederai rasa

keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan jangka

waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.

d. karena telah terjadi peralihan hak sewa tanpa ijin dari pemilik tanah yang

bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata dan perjanjian ini

dapat diakhiri.

5.2 Saran

Mendasarkan pada uraian pembahasan dan kesimpulan yang disampaikan,

maka saran yang dapat diajukan untuk mendapatkan kajian lebih lanjut adalah:

Hendaknya para pihak yang akan mengadakan perjanjian sewa-menyewa

berhati-hati dalam membuat perjanjian, jangan sampai membuat perjanjian tanpa

menetapkan batas waktu untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan

dan merugikan nantinya. Para hakim juga hendaknya berhati-hati dalam memberikan

   

138  

pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara, khususnya disini

perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu. Faktor kepatutan dan kebiasaan adalah

hal yang harus diperhatikan sebagai pertimbangan dalam putusannya. Meskipun

putusan diatas telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat saja diajukan kembali

karena hakim yang memutus perkara tersebut telah khilaf, kurang cermat dalam

meneliti bentuk isi perjanjian yang dibuat para pihak yang mengakibatkan merugikan

ahli warisnya yaitu tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri

untuk selama-lamanya.

   

139  

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Artadi, I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar.

Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing.Co., ST. Paul

Minnesota, USA Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Elliot, Catherine & Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate, England. Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Cet.1,

Prenada Media Group, Jakarta. Gautama, Sudargo, 1995, Indonesian Business Law, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.

Salim H.S., 2011, Hukum Perjanjian Teori dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika ,Jakarta.

Harahap, M.Yahya, 1986, Segi segi Perjanjian, Alumni, Bandung.

Harsono, Boedi, 2010, Hukum Agraria Indonesia, cet. X, Djambatan, Jakarta

Hernoko, Agus Yudha, 2011, Hukum Perjanjian; Azas Proporsionalitas Dalam

Perjanjian Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Asshiddqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, cet.I, Konstitusi Pers, Jakarta.

   

140  

Limbong, Bernhard, 2012, Hukum Agraria Nasional, cet. I, PT. Margaretha Pustaka, Jakarta.

Mallor, Jane P., et.al, 2007, Business Law: The Ethical, Global, And E-Commerce

Environment, McGraw Hill Companies,Inc., New York. Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta. Mashudi, H. dan Moch.Chidir Ali, 2001, Pengertian Pengertian Elementer Hukum

Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung. Meliala, Djaja S., 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia,

Bandung. Miru, Ahmad dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan; Penjelasan Makna Pasal

1233 Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta. Miru, Ahmad, 2007, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Rajawali

Pers, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

_______, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta. _______, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta. Panggabean, H.P., 2010, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Untuk

Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogya. Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan , 2011, Universitas

Udayana, Denpasar. Pena, Tim Prima, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Jakarta.

Pound, Roscoe, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press.

   

141  

_______, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Mohamad Radjab, Bharatara,

Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta. _______, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, CV.Mandar Maju, Bandung. Satrio, J., 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung. Setiawan, R., 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung..

Simanjuntak, Ricardo, 2011, Hukum Perjanjian; Teknik Perancangan Perjanjian Bisnis, PT. Gramedia, Jakarta.

Sjahdeini, Sutan Remy, 2009, Kebebasan Berperjanjian Dan Perlindungan Yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Subekti, 1984, Pokok Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.

_______, 2010, Hukum Perjanjian, Cet.XXIII,PT. Intermasa,Jakarta.

Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada,

Jakarta. Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung.

Tan, Thong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris I, Ictiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Treitel, G. H., 1995, The Law Of Contract, International Student Edition, Sweet &

Maxwell, London. Widagdo, Setiawan, 2012, Kamus Hukum, PT. Prestasi Pustaka, Jakarta.

   

142  

Widjaja, Gunawan, 2007, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Wyasa Putra, Ida Bagus, 1997, Aspek-aspek Hukum Perdata; Dalam Transaksi Bisnis

Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung. Yahanan, Annalisa, Muhammad Syaifuddin, dan Yanial Laili, 2009, Perjanjian Jual

Beli Berklausula Perlindungan Hukum Paten, Tunggal Mandiri Publishing, Malang.

Yudha Hernoko Agus, 2011 , Hukum Perjanjian; Azas Proporsionalitas Dalam

Perjanjian Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. B. Peraturan Perundang – Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria. (lembaran negara). C. Majalah

Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”,dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasioonal, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV.

D. Elektronik

Adjie, Habib, 2011, ”HukumPerjanjian”, habibadjie. dosen. narotama. ac.id /files /2011/04 /Hukum -Perjanjian-2-Keabsahan-Perjanjian.pdf.

Fitri, Rika, 2010, “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa-menyewa Rumah Yang

Dibuat Di Hadapan Notaris (Studi Kantor Notaris Kota Medan)” Tesis Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /25953 /4/ chapter %20I.pdf.

   

143  

Hartati, Sri, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman” Tesis Fakultas Hukum Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, http:// repository.unand.ac.id/id/eprint/556.

_______, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Di Pengadilan Negeri Pariaman” Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas. http://repository.unand.ac.id/ 556/1/Sri_Hartati_06211038.rtf.

http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-validitas-hukum.html. Sefialora, Kelvina, 2010, “Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa-menyewa Rumah

Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank” Tesis Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http :// repository .usu. ac.id/bitstream/123456789/22266/6/chapter%20I.pdf.