Terapi Modalitas Medis Kardiovaskuler
-
Upload
agis-taufik -
Category
Documents
-
view
121 -
download
1
Transcript of Terapi Modalitas Medis Kardiovaskuler
TERAPI MODALITAS MEDIS PADA PASIEN GANGGUAN KARDIOVASKULER
TERAPI ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME INHIBITOR (ACE INHIBITOR)
Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Lanjut I
Disusun Oleh
Tori RihiantoroNPM. 7305000492
PROGRAM PASCA SARJANAFAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran telah
berkembang demikian pesatnya. Terapi dan pengobatan telah menjadi bahan
penelitian yang menantang dan sekaligus menjanjikan. Para ahli dibidang ilmu
kedokteran dan farmakologi baik di dalam negeri maupun di luar negeri telah
membuktikan pengembangan ilmu terapi dan pengobatan dalam bidang
kedokteran. Hal ini menuntut kita sebagai perawat (ners) untuk dapat senantiasa
meningkatkan keilmuan kita dalam rangka kolaborasi dengan tim kesehatan
terutama dokter.
Ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru dalam bidang terapi modalitas medis
telah tersaji dan dapat kita lihat melalui situs-situs internet maupun jurnal-jurnal
kedokteran terbaru. Ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru dalam bidang
kedokteran dan keperawatan merupakan hal penting yang harus diikuti dan
dipelajari yang pada akhirnya dapat diterapkan dalam area pelayanan
keperawatan. Terapi modalitas medis yang tersaji dalam situs dan jurnal terdiri
dari bermacam bidang kajian dan keilmuan. Bidang kardiovaskuler misalnya,
merupakan bidang yang pada dekade terakhir ini menjadi bidang yang
berkembang sangat pesat, terutama dalam terapi dan pengobatan.
1
Terapi medis pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler terus berkembang,
terutama dalam bidang pengobatan. Dahulu seorang dokter hanya mengenal terapi
digitalis dan diuretik untuk pengobatan gagal jantung. Sekarang, sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penderita gagal jantung kronik
juga dapat diterapi dengan “Angiotensin I Converting Enzyme Inhibitor” yang
lebih dikenal dengan ACE Inhibitor atau {enghambat ACE.
ACE Inhibitor merupakan golongan obat-obat yang digunakan pada pasien-pasien
dengan serangan gagal jantung kronik, hipertensi dan MCI. Cara kerja dari obat
jenis ini adalah secara langsung menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II merupakan peptide vasokonstriktor yang kuat. (Pfeffer MA, 1993).
Aspek-aspek lain dari terapi ACE Inhibitor akan dijelaskan lebih lanjut dalam
makalah ini.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah:
1. Memberikan gambaran tentang penggunaan terapi medis ACE Inhibitor
pada pasien gangguan system kardiovaskuler.
2. Menggambarkan peran dan tugas seorang perawat (ners) dalam tindakan
kolaboratif pada terapi medis ACE inhibitor.
3. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis dalam terapi medis ACE
Inhibitor.
2
BAB II
MATERI ISI “TERAPI ACE INHIBITOR”
Perkembangan terapi pada pasien dengan gangguan kardiovakuler, terus
berkembang dengan pesat. Peningkatan kasus-kasus pasien dengan gangguan
jantung dan pembuluh darah turut mendukung berkembangnya terapi pada pasien
jantung dan pembuluh darah. Dari beberapa hasil studi yang telah dilakukan oleh
para ilmuwan baik dalam negeri maupun luar negeri terhadap terapi pada pasien
gangguan jantung dan pembuluh darah telah membuka mata kita, betapa ilmu
pengetahuan dan teknologi terus berkembang seiring perkembangan jaman.
Kasus-kasus penyakit jantung dan pembuluh darah yang mendapat perhatian
serius diantaranya adalah gagal jantung, miokardiak infark dan hipertensi. Terapi
terhadap penyakit-penyakit tersebut terus dikembangkan melalui berbagai studi
ilmiah. Salah satu studi dalam terapi penyakit-penyakit tersebut adalah studi
tentang terapi Angiotensin I Converting Enzyme Inhibitor (ACE Inhibitor). Hasil
studi tentang ACE Inhibitor dapat kita lihat pada situs-situs dan jurnal-jurnal
tentang terapi medis yang ada. Berikut ini adalah gambaran hasil studi ACE
Inhibitor dari situs internet.
Hasil studi PREAMI(Perindopril Remodelling in Elderly With Acute Myocardial
Infarction) yang disampaikan pada pertemuan European Society of Cardiology
(ESC) menghasilkan kesimpulan bahwa zat penghambat ACE, Coversyl
3
(Perindopril) secara signifikan dapat menurunkan angka resiko kematian dan
hospitalisasi (rawat inap) pada pasien gagal jantung serta menghambat remodeling
jantung pada pasien usia lanjut pasca serangan miokardiak infark dengan fungsi
ventrikel kiri utuh.
Prof. R Ferrari dari Rumah Sakit S. Anna. University of Ferrara Italia mengatakan
bahwa PREAMI menunjukan, bahkan pada pasien yang mampu bertahan hidup
dari serangan jantung (MCI) dan mempunyai fungsi ventrikel kiri jantung normal,
lebih dari sepuluh hari setelah tahap akut proses remodeling jantung secara
perlahan muncul. Perindopril dapat mencegah secara signifikan penurunan system
jantung ini dan dapat bermanfaat bagi jutaan pasien lanjut usia pasca serangan
MCI.
Pada kasus gagal jantung kronik biasanya dokter menggunakan terapi digitalis dan
diuretic, seiring dengan berkembangnya terapi pengobatan pada pasien dengan
gagal jantung terutama pada gagal jantung kronik, dewasa ini penggunaan
kombinasi ACE Inhibitor dan Beta Blocker banyak dilakukan guna mengurangi
progresivitas penyakit.
Gagal jantung kronik tidak lagi dipandang sebagai kegagalan kontraktilitas
mekanikal otot jantung semata. Pada kasus gagal jantung kronik juga terjadi
remodeling otot jantung yang mencakup kematian sel terprogram (opoptosis),
terputusnya ikatan kolagen yang menyatukan miosit, hipertropi miosit dan
4
peningkatan matriks interstisial. Hipertropi miosit dan opoptosis pada proses
remodeling otot jantung antara lain sebagai akibat adanya peningkatan aktivitas
sitokin serta neurohormon endogen yang berasal dari system renin-angiotensi-
aldosteron (RAAS) dan simpatoadrenergik. Neurohormon dan sitokin tersebut
muncul setelah terjadinya suatu index event, seperti infark anterior yang luas,
inflamasi miokardium akibat miokarditis akut, hipertensi lama serta pressure
overload.
Rangsangan simpatis yang berlebihan dan aktivasi RAAS tidak hanya
berpengaruh terhadap miosit, akan tetapi juga berdampat terhadap terjadinya
vasokonstriksi arterial eferen glomerulus ginjal yang kemudian akan
menyebabkan peningkatan reasorbsi natrium pada tubulus proksimalis ginjal.
Selain itu juga terjadi proses pelepasan zat vasopresin sehingga bersihan air
menjadi berkurang, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya retensi air dan
garam yang dapat memperberat penyakit gagal jantung kronik.
Berdasarkan uraian patofisiologi penyakit gagal jantung kronik diatas, maka
terjadi proses pengembangan dalam terapi pengobatan pada pasien gagal jantung
kronik. Dr. R. Miftah Suryadipradja, Sp.PD (K) pada Simposisum Pendekatan
Holistik Penyakit Kardiovakuler III mengatakan bahwa ACE Inhibitor dan Beta
Blocker merupakan pilihan terapi yang rasional pada paien gagal jantung kronik.
Selain kedua obat tersebut, angiotensin II receptor blocker juga dapat digunakan
sebagai terapi alternatif untuk menghambat ACE pada penderita yang intoleran.
5
Obat-obat jenis tersebut telah terbukti dapat memperbaiki penampilan ventrikel
kiri dan meningkatkan harapan hidup pada penderita gagal jantung kronik. Obat-
obat tersebut juga mempengaruhi proses remodeling otot jantung sehingga
memperbaiki ejection fraction. Sebaliknya terapi dengan menggunakan obat-obat
inotropik positif kecuali digitalis pada kasus gagal jantung cenderung akan
memperburuk gagal jantung kronik bila diberikan dalam jangka waktu yang lama.
Obat-obat inotropik dan vasodilator lebih efektif bila digunakan pada kasus-kasus
gagal jantung akut atau masih dalam stadium dekompensasi.
Hasil penelitian oleh Cardiac Insufficiency Bisoprolol Study III (CIBIS III) juga
merekomendasikan penggunaan terapi ACE Inhibotor dan Beta Blocker
(Bisoprolol) pada pasien-pasien gagal jantung. Prof. Ronnie Willenheimer,
Direktur Unit Riset Departemen Kardiologi Rumah Sakit Universitas Malmo
Swedia mengatakan bahwa CIBIS III telah menunjukan bahwa pengobatan pada
pasien gagal jantuing dapat dimulai dengan ACE inhibitor sebelum penggunaan
Beta Blocker.
Perkembangan studi tentang terapi pada pasien dengan gangguan jantung telah
menempatkan ACE Inhibitor sebagai obat pilihan terapi yang dapat diandalkan.
Pilihan penggunaan ACE inhibitor dapat digunakan pada pasien dengan gagal
jantung kronik, dimana ACE Inhibitor dapat dikombinasi dengan Beta Blocker.
Pada kasusu ini kedua obat tersebut etrbukti memapu memperbaiki penampilan
ventrikel kiri dan meningkatkan proses remodeling sehingga meningkatkan
6
harapan hidup bagi penderita gagal jantung kronik. Penggunaan obat-obat ini
bukan semata untuk mengurangi gejala yang dirasakan paisen, akan tetapi lebih
dari itu diharapkan kualitas hidup dan harapan hidup penderita gagal jantung
kronik dapat meningkat.
ACE Inhibitor juga menjadi terapi pilihan pada kasus-kasus pasca serangan MCI.
Hasil studi menunjukan penggunaan ACE Inhibitor MCI dapat menurunkan
resiko kematian, hospitaslisasi dan remodeling jantung pada pasien lanjut usia
pasca serangan MCI dengan fungsi ventrikel kiri normal.
Proses penghambatan terhadap aktivitas ACE secara klinis mengakibatkan
penurunan tekanan darah. Dimana ACE Inhibitor menhambat aktivitas ACE,
suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah. Secara
fisiologis mekanisme terjadinya hipertensi adalah akibat terbentuknya angiotensin
II dari angiotensin I oleh ACE. Darah manusia mengandung angiotensinogen
yang diproduksi di hati, oleh hormone rnein yang dihasilkan di ginjal diubah
menjadi angiotensi I. Aniotensi I oleh ACE yang terdapat di paru diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin dua berperan dalam meningkatkan tekanan darah
melalui dua aksi utama. Aksi pertama dengan cara meningkatkan sekresi hormone
antidiuretik (ADH) sehingga terjadi retensi urin den meningkatkan reabsorbsi
cairan, sehingga volume cairan intravaskuler meningkat ekaligus meningkatkan
tekaan darah. Aksi kedua dengan menstimulasi hormon aldosteron dari korteks
adrenal yang berfungsi mengatur volume cairan ekstraseluler dengan cara
7
mengurangi ekskresi natrium (NaCl) dan mereabsorbsi di tubulus ginjal.
Peningkatan kadar NaCl membutuhkan pengenceran dengan cara meningkatkan
volume vairan ekstraseluler (intravakuler) sehingga meningkatkan tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah pada uraian di atas menunjukan betapa besar peranan
angiotensin II. Untuk itu proses penghambatan produksi angiotensin II dalam
menurunkan tekanan darah sangat diperlukan. Salah satu cara yang dapat
direkomendasikan dalam rangka menurunkan produksi angiotensi II adalah
dengan cara menghambat ACE sebagi mediator pembentukan angiotensin II.
Dengan demikian ACE inhibitor juga memiliki peran yang besar dalam terapi dan
pencegahan penyakit hipertensi.
Dengan demikian, ACE Inhibitor dapat direkomendasikan untuk terapi pada
pasien gagal jantung kronik, pasca serangan MCI dan hipertensi.
Obat-obat golongan ACE Inhibitor telah banyak diproduksi dan dilisensi di
seluruh dunia. Salah satu obat golongan ini adalah Perindopril yang telah
dipasarkan ke 118 negara di bawah merek dagang Coversyl ®, Coverex ®, Acertil
®, Prestarium ®, Prexanil ®, Prexum ®, Coverene ®, Coversum ®, Procaptan ®,
dan dipasarkan oleh Solvay Pharmaceutical dan CV Therapeutics di bawah merek
dagang Aceon ® di Amerika Serikat. Dosis yang dianjurkan adalah 4 – 8 mg per
hari.
8
ACE Inhibitor, selain diproduksi dan dipasarkan dalam bentuk sediaan obat
dengan berbagai merek dagang, beberapa ahli juga berupaya melakukan studi
terhadap berbagai makanan yang dikonsumsi oleh manusia yang dapat berperan
sebagai ACE Inhibitor. Berikut ini beberapa studi penelitian dari beberapa ahli
terhadap zat-zat alamiah dalam makanan.
Penelitian Sato, dkk yang telah dipublikasikan dalam Jurnal of Agricultural and
Food Chemistry (2002) berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi 7 peptida yang
terdapat pada Wakame (Undaria Pinnatifida) sejenis rumput laut yang menjadi
makan tradisional di Jepang. Hasil penelitian pada tikus percobaan yang secara
genetik menderita hiupertensi, membuktikan pemebrian peptide-peptida tersebut
dapat menghambat aktivitas ACE sehingga dapat menurunkan tekanan darah.
Ketujuh peptida yeng berasal dari wakame tersebut dalah valin-tirosi, isoleusin-
tirosin, alanin-tritofan, phenilalanin-tirosisn,, valin triptofan dan leusin-triptofan.
Ketujuh peptida tersebut mempunyai nilai IC50 (35,2; 6,1’ 18,8; 42,3; 3,3; 1,5 dan
23,6 mikromolar). Nila IC50 dalah nilai yang menunjukan kemampuan peptida
menghambat 50 persen aktivitas ACE.
Penelitian lain yang dilakukan Gsianturi, dkk terhadap kecambah (tauge) kedelai
menunjukan bahwa kecambah kedelai mempunyai khasiat menurunkan tekanan
darah tinggi (hipertensi). Kemampuan tersebut terkait dengan adanya beberapa
peptide di dalam kecambah kedelai yang memiliki ssifat sebagai ACE Inhibitor.
9
Dari kedua hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa ACE Inhibitor bukan
hanya diperoleh melalui sedian obat dengan berbagai merek dagang, melainkan
juga dapat diperoleh dengan mudah, murah dan alamiah melalui konsumsi
makanan tradisional seperti kecambah kedelai dan wakame (rumput laut).
10
BAB III
PEMBAHASAN
Beberapa penyakit ganguan sistem kardiovaskuler seperti gagal jantung kronik,
pasca serangan MCI dan hipertensi merupakan penyakit yang dapat diterapi dan
dicegah dengan agen/obar golongan ACE Inhibitor. Hal ini telah dibahas secara
umum pada BAB sebelumnya. Pada BAB berikut akan dibahas lebih jelas tentang
keterlibatan perawat (ners) dalam tindakan kolaboratif terapi ACE Inhibitor pada
berbagai kasus gangguan kardiovaskuler.
Pemberian terapi ACE Inhibitor pada pasien hipertensi, merupakan tindakan
kolaborasi, dimana perawat menjalankan sebagian wewenang yang telah diberikan
oleh tim medis (dokter). Pelaksanaan tindakan kolaborasi oleh perawat memang
merupakan bagian dari intervensi/rencana yang dibuat oleh perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan. Secara garis besar intervensi/rencana
keperawatan terdiri dari tindakan-tindakan monitoring, mandiri, kolaborasi dan
pendidikan keperawatan/kesehatan. Tindakan kolaborasi perawat dengan dokter di
Indonesia pada umumnya tidak menggambarkan kerjasama antar profesi dengan
baik. Tindakan kolaborasi lebih sebagai pelimpahan sebagian wewenang dari
dokter kepada perawat untuk melaksanakan tindakan.
ACE Inhibitor pada pasien hipertensi berfungsi menghambat aktivitas ACE,
sehingga akan menghambat pembentukan angiotensin II. Dengan demikian, maka
11
peningkatan tekanan darah dapat dicegah atau bahkan dapat menurunkan tekanan
darah. Terapi ACE inhibitor dapat dikombinasikan dengan terapi pengobatan
antihipertensi yang lainnya untuk mendapatkan efak yang lebih baik. Pemberian
ACE Inhibitor merupakan bagian dari tindakan pengobatan (kuratif) sekaligus
tindakan pencegahan (preventif) pada pasien hipertensi.
Pemberian obat ACE inhibitor merupakan tindakan kolaboratif yang relative sama
dengan tindakan kolaboratif pemberian jenis obat lainnya. Untuk itu kita sebagai
perawat harus memperhatikan hal-hal penting dalam pelaksanaan tindakan
kolaborasi pemberian obat. Hal-hal penting tersebut antara lain:
1. Mengetahui dan memeriksa kembali nama lengkap pasien yang akan
diberikan obat.
2. Mengetahui dan memeriksa kembali nama obat yang akan diberikan
sesesuai dengan order yang diberikan.
3. Memastikan dosis obat yang akan diberikan sesuai dengan order.
4. Memastikan cara pemberian obat sesuai dengan petunjuk pemberian obat
yang benar
5. Memastikan order pemberian obat telah ditandatangani oleh dokter yang
memberikan order. (Kozier, 1995)
Tindakan kolaborasi pemberian obat ACE Inhibitor pada pasien hipertensi serta
tindakan keperawatan yang lain senantiasa mengacu kepada penegakkan diagnosis
keperawatan pada pasien hipertensi dimaksud. ACE Inhibitor merupakan obat
12
penghambat peningkatan tekanan darah, untuk itu tindakan kolaborasi tersebut
mengacu pada diagnosis keperawatan yang mempunyai salah satu kriteria evaluasi
penurunan tekanan darah. Diagnosis keperawatan yang memungkinkan adanya
tindakan kolaboratif pemberian ACE Inhibitor pada pasien hipertensi antara lain:
1. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan
afterload dan vasokontriksi (Doenges, 1999)
2. Resiko perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan
sirkulasi (Tucker, dkk, 1998)
Berdasarkan diagnosis keperawatan seperti di atas, maka intervensi tindakan
kolaboratif pemberian ACE Inhibitor pada pasien hipertensi dapat diberikan.
Beberapa tindakan kolaborasi pemebrian obat, selain memiliki efek farmakologis
yang menguntungkan, terkadang pemberian terapi obat dapat menimbulkan efek
samping mulai dari yang ringan sampai berat. Efek samping obat apabila tidak
mendapat perhatian kemungkinan akan menimbulkan masalah baru dan
membahayakan pasien. Untuk itu selain memperhatikan hal-hal dalam pemberian
obat, penting pula untuk memantau dan mengevaluasi efek dari pemberian obat
baik efek yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
ACE Inhibitor sebagai salah satu obat hipertensi memiliki efek yang diharapkan,
yaitu menurunkan tekanan darah. Selain itu ada beberapa efek yang tidak
diharapkan akibat pemberian obat ini yang perlu diwaspadai. Beberapa efek
samping obat yang perlu di waspadai antara lain: hipotensi ortostatik pada dosis
13
pertama sering terjadi, batuk, skin rash, angioedema dan disgeusea. (Ballard,
1990). Dengan melihat beberapa efek samping di atas, maka perawat harus
mewaspadai adanya resiko timbulnya masalah perawatan baru seperti: intoleransi
aktivitas, gangguan nutrisi (resiko kurang dari kebutuhan), gangguan citra diri
akibat adanya rash pada kulit. Pemantauan terhadap tanda-tanda vital terutama
nadi dan tekanan darah merupakan kegiatan intervensi yang harus dilakukan, guna
memantau kemajuan terapi pengobatan dan dampak lain dari terapi. Monitoring
terhadap intake dan output cairan juga merupakan hal penting yang perlu
dilakukan.
Selain beberapa efek samping obat, ada berapa hal lain yang harus menjadi
kewaspadaan bagi perawat diantaranya: dapat menyebabkan gagal ginjal akut
(reversible) dengan stenosis arteri pada kedua ginjal, neutropenia pada pasien
ganggau outimmune-collagen dan proteinuria. (Bellard, 1990)
Selain pada pasien hipertensi tindakan kolaborasi pemberian ACE Inhibitor juga
digunakan pada terapi pasien dengan gagal jantung terutama yang kronis. Pada
penyakit gagal jantung kronik pemberian ACE Inhibitor mempunyai efek:
1. Mengurangi circulating angiotensin II.
2. Menurunkan tonus arteriol dan venul.
3. Menurunkan tekanan pengisian ventrikel.
4. Mengurangi circulating catecholamine terutama pada exercise.
14
5. Menormalkan kembali reseptor beta adrenergik yang sempat didown-
regulated.
6. Menghambat beratnya hipertropi serta menguranginya.
7. Pada gagal jantung menahun, mengembalikan toleransi terhadap diuretic.
(Suryadipradja, 1999)
Berikut ini adalah rangkuman skematik efek ACE Inhibitor pada pasien gagal
jantung. (Suryadiprdja, 1999)
Vaodilatator Rx in Hearth Failure
Peripheral Resistance Venous Tone
Stroke Volume Peripheral Perfusion
Blood Pressure End Diastolic Volume MR
Wall Tension LVEDP Pulm. Congestion
Disatolic PerfusionGraadient for CBS
MVO2 Collect. CBF
Pada pasien dengan gagal jantung, tindakan intervensi kolaboratif pemberian ACE
Inhibitor berkaitan dengan diagnosis keperawatan: Curah jantung menurun
berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung. (Doenges, 1999).
Selanjutnya pemantau terhadap efek baik yang diharapkan maupun yang tidak
15
diharapkan relative sama dengan pemantaun terhadap efek pemberian ACE
Inhibitor pada pasien hipertensi.
Selain tindakan kuratif untuk mengatasi peningkatan tekanan darah dan gagal
jantung, tindakan supprtif dan preventif juga dapat dilakukan pada pasien
hipertensi dan gagal jantung. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan
seperti tertulis pada BAB sebelumnya, maka hasil studi tentang wakame dan tauge
sebagai salah satu sumber makanan yang mengandung ACE Inhibitor, hendaknya
dapat menginspirasi perawat untuk meningkatkan pengetahuan pasien dalam
rangka mencegah timbul kasus berulang pasien hipertensi dan gagal jantung.
Anjuran dan penjelasan tentang manfaat beberapa makanan alternatif alamiah
yang dapat dikonsumsi untuk mencegah hipertensi dan gagal jantung, seperti
konsumsi wakame (rumput laut) atau tauge (kecambah kedelai).
BAB IV
16
KESIMPULAN
Terapi modalitas medis pemberian “Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACE Inhibitor)” merupakan salah satu tindakan/intervensi kolaboratif pada
pasien-pasien dengan ganguan sitem kardiovaskuler, terutama pasien-pasien yang
mengalami gagal jantung kronis, pasca serangan MCI dan hipertensi. Seperti pada
umumnya tindakan pemberian obat, maka tugas perawat adalah melaksanakan
sebagian wewenang yang telah dilimpahkan tim medis (dokter) sesuai dengan
order yang ada.
Palaksanaan tindakan kolaborasi pemberian agent/obat senantiasa memperhatikan
beberapa hal, terutama aspek administrasi pemberian obat dan pemantauan
terhadap efek farmakologis obat selama dan setelah pemberian obat dilakukan.
Intervensi keperawatan lain yang erat hugungannya dengan pemberian obat ACE
inhibitor ini adalah monitoring terhadap tanda-tanda vital (nadi dan tekanan
darah) serta monitoring intake dan output cairan.
Selain itu dalam rangka berperan aktif dalam tindakan preventif terhadap kasusu-
kasus hipertensi dan gagal jantung, maka penting bagi perawat untuk memberikan
health education (penyuluhan) tentang alternative makanan tradisional yang
alamiah yang dapat dikonsumsi sehari-hari guna mencegah timbulnya kasus
berulang pada kasus-kasus hipertensi dan gagal jantung.
17
Adapun dasar dari intervensi/tindakan kolaboratif pemberian ACE Inhibitor
adalah diagnosis keperawatan pada pasien-pasien hipertensi dan gagal jantung,
yang antara lain:
1. Resiko / penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan
afterload dan vasokontriksi.
2. Resiko perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan
sirkulasi
Akhirnya, diharapkan perawat mampu melaksanakan intervensi kolaboratif
pemberian obat ACE Inhibitor dengan mempertimbangkan segala aspek ilmiah
dan praktis yang berhubungan dengan pemberian obat dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
18
Adrianne Dill Linton, dkk. 2000. Introductory Nursing Care of Adults. 2nd edition. Texas. W.B. Saunders Company.
Angela Bellaard. 1990. Principles and Practice of Adulth Health Nursing. St. Louis. The C.V. Mosby Company.
Berita Iptek. 2005. Wakame Dapat Menurunkan Tekanan Darah. Jakarta. Internet.
European Society of Cardiology. 2005. Benefits of Starting CHF Treatment With Beta-Blocker. Euro. Internet.
European Society of Cardiology. 2005. PREAMI: Peridopril and Remodelling in Elderly With Acute Myocardial Infarction. Euro. Internet.
Gsianturi, dkk. 2003. Mari Rame-Rame Makan Tauge. WWW.Kompas.Com.
Marilynn E Doenges, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta. EGC.
Pfeffer MA. 1993. Angiostensin-Converting Enzyme Inhibition in Congestive Hearth Failure: Benefit and Perspective. Am Hearth J.
R. Miftah Suryadipadja, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi III. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
Susan Martin Tucker, dkk. 1998. Standar Perawatan Pasien. Jakarta. EGC.
19
20
21