Teori Perubahan perilaku
-
Upload
frishamdaa -
Category
Documents
-
view
125 -
download
27
description
Transcript of Teori Perubahan perilaku
LAPORAN TUGAS
Teori Perubahan Perilaku
Dosen Pembimbing :
M.Ridwan.MPH
Oleh :
Frisha Hamda Azwar
G1A112013
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
2015/2016
TEORI PRECEDE-PROCEED MODEL
Lawrence W. Green
A. Pendahuluan
Gagasan intervensi dan dukungan adalah penting untuk meninjau definisi
pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan. Kegiatan intervensi pendidikan
kesehatan yang terorganisasi dalam proses pengembangan dan perubahan untuk
memelihara, meningkatkan, atau menyela suatu pola perilaku atau kondisi
kehidupan yang berkaitan dengan peningkatan resiko penyakit, cidera, cacat, atau
kematian. Minat berperilaku adalah biasanya dari orang yang kesehatannya
dipertanyakan baik sekarang atau di masa mendatang. Sama dengan pentingnya
dalam proses perencanaan dan pengembangan kebijakan dan program adalah
perilaku mereka yang mengendalikan sumber daya atau memberi penghargaan
seperti para pemimpin masyarakat, orang tua, pemberi kerja, panutan, para guru,
dan para professional kesehatan.
Dukungan mengacu pada kondisi lingkungan yang promosi kesehatan
mencari untuk meninggalkan tempat menindaklanjuti intervensi tersebut
sedemikian sehingga individu, kelompok, atau masyarakat dapat melanjutkan
untuk berlatih kendali mereka sendiri atas faktor penentu kesehatan mereka.
Kebijakan baru, ketentuan pengatur, dan pengaturan organisatoris menghadirkan
dukungan lingkungan. Pejabat terkait, pembuat undang-undang yang
berkomitmen, para guru terkait, orang tua terampil, dan pemberi kerja yang
memahami semua dapat menyediakan suatu lingkungan social yang mendukung,
dan masing-masing dapat dipengaruhi oleh intervensi pendidikan dan politis.
Suatu peningkatan dalam proporsi populasi yang menjaga suatu sikap baik ke
arah perilaku yang beberapa individu ingin mengadopsi menyediakan suatu
lingkungan yang mendukung dalam wujud dukungan norma pemungkin dan
penguat. Sebagai contoh, mass media dapat digunakan untuk menaikkan tingkat
kesadaran public akan kebutuhan untuk mengurangi lemak pada makanan, yang
pada gilirannya dapat menghasilkan permintaan konsumen untuk produk rendah
lemak di pasar, yang kemudian dapat menyebabkan rumah makan dan penjual
menempatkan produk yang lebih sehat di atas rak dan menu mereka, yang
kemudian dapat membuat pilihan rendah lemak itu adalah suatu pilihan lebih
mudah bagi mereka yang ingin mengubah perilaku mereka.
Adapun program promosi kesehatan bekerja pada yang primer (kesehatan
dan peningkatan kesehatan), sekunder (deteksi dini), atau tersier (mengobati)
langkah pencegahan, ini mungkin dengan cermat terlihat sebagai suatu intervensi
yang bertujuan memperpendek lingkaran penyakit atau meningkatkan mutu hidup
melalui perubahan atau pengembangan perilaku yang terkait kesehatan dan
kondisi kehidupan. Teori L.Green merupakan salah satu teori modifikasi perubahan
perilaku yang dapat digunakan dalam mendiagnosis masalah kesehatan ataupun sebagai
alat untuk merencanakan suatu kegiatan perencanaan kesehatan, atau mengembangkan
suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan kesehatan
yang dikenal dengan kerangka kerja PRECEDE and PROCEED. Kerangka PRECEDE
mempertimbangkan berbagai faktor yang membentuk status kesehatan dan
membantu perencana tiba di suatu subset yang sangat dipusatkan sebagai target
untuk intervensi. PRECEDE juga menghasilkan sasaran khusus dan ukuran untuk
intervensi. Kerangka PROCEED menyediakan langkah tambahan untuk
mengembangkan kebijakan dan memulai proses implementasi dan evaluasi.
PRECEDE dan PROCEED bekerjasama secara erat, menyediakan suatu
rangkaian langkah yang berlanjut atau menggunakan secara bertahap
perencanaan, implementasi, dan proses evaluasi. Identifikasi prioritas dan
penetapan sasaran dalam tahap PRECEDE menyediakan object dan kriteria untuk
kebijakan, implementasi, dan evaluasi dalam tahap PROCEED.
Green (1980) telah mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat
digunakan untuk membuat perencanaan dan evaluasi kesehatan yang dikenal sebagai
kerangka PRECEDE. PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling Causes in
Educational Diagnosis and Evaluation). PRECEDE memberikan serial langkah yang
menolong perencana untuk mengenal masalah mulai dari kebutuhan pendidikan sampai
pengembangan program untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun demikian pada
tahun 1991 Green menyempurnakan kerangka tersebut menjadi PRECEDE-PROCEED
(Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and Enviromental
Development). PRECEDE-PROCEED harus dilakukan secara bersama-sama dalam
proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi. PRECEDE digunakan pada fase
diagnosis masalah, penetapan prioritas masalah dan tujuan program, sedangkan
PROCEED digunakan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan, serta
implementasi dan evaluasi.
Berikut gambaran dari kerangka PRECEDE – PROCEED.
B. Pengertian Model PRECEDE-PROCEED
Green (1980) telah mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat
digunakan untuk membuat perencanaan dan evaluasi kesehatan yang dikenal
PRECEDE. PRECEDE adalah singkatan Predisposing (predisposisi), Reinforcing
(Memperkuat), Enabling (Mengaktifkan), Causes (Penyebab), Educational
Diagnosis (Pendidikan Diagnosa) dan Evaluation (Evaluasi). PRECEDE
memberikan serial langkah yang menolong perencana untuk mengenal masalah
mulai dari kebutuhan pendidikan sampai pengembangan program untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Namun demikian pada tahun 1991 Green
menyempurnakan kerangka tersebut menjadi PRECEDE-PROCEED. PROCEED
(Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and Environmental
Development). PRECEDE-PROCEED harus dilakukan secara bersama.
C. Tujuan Model Model PRECEDE-PROCEED
Bagian paling penting dari perencanaan program adalah analisis komunitas
atau yang biasa dikenal sebagai analisis kebutuhan (need assessment).
Keberhasilan program promosi kesehatan tergantung dari data yang didapat
tentang individu, kelompok atau sistem yang akan menjadi fokus dari program.
Berdasarkan data tersebut perencana program dapat memahami masalah
PREDISPOSING FACTORS
ENABLINGFACTORS
REINFORCINGFACTORS
BEHAVIOR & LIFE STYLE
ENVIRONMENT
HEALTH QUALITY OF LIFE
HEALTH EDUCATION
POLICY REGULATION
ORGANIZATION
HEALTH PROMOTION
Phase 5Administrative
and policy diagnosis
Phase 4educational and organizational
diagnosis
Phase 3Behavioral and environmental
diagnosis
Phase 2Epidemiological
diagnosis
Phase 1Social
diagnosis
Phase 6Implementation
Phase 7Process evaluation
Phase 8Impact evaluation
Phase 9Outcome evaluation
PRECEDE (Predisposing, Reinforcing, and Enabling Constracts in Educational/Environmental Diagnosis and Evaluation)
PROCEDE (Policy, Regulatory, and Organizatinal Constructs in Educational/Environmental Development)
kesehatan yang perlu diatasi dan sumberdaya yang tersedia. Model Procede dan
Proceed juga berperan penting dalam perencanaan pendidikan dan promosi
kesehatan karena menyediakan bentuk untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
berkaitan dengan masalah kesehatan, perilaku dan pelaksanaan program.
Model PRECEDE adalah kerangka untuk proses perkembangan sistematis
dan program-program edukasi kesehatan, dikembangkan antara tahun 1968 -
1974. Tujuan PRECEDE pada fase diagnosis masalah, menetapkan prioritas
masalah dan diagnosis program. PRECED untuk diagnosa dan perencanaan
memimpin edukator kesehatan untuk berpikir secara deduktif, untuk memulai
dengan konsekuensi final dan bekerja kembali ke penyebab asli. PROCEED
ditambahkan pada model ini pada akhir 1980-an berdasarkan pada percobaan
Lawrence W. Green bersama dengan Marshall Krueter pada berbagai macam
posisi dengan pemerintahan federal dan Kaiser Family Foundation. Tujuan
PROCEED digunakan untuk menetapkan untuk menetapkan sasaran dan kriteria
kebijakan, serta implementasi dan evaluasi. Kerangka PRECEDE didirikan pada
persyaratan dari empat disiplin:
a) Epidemiologi
b) Ilmu pengetahuan sosial dan tindakan (behaviour),
c) Administrasi
d) Edukasi
Dalam penerapan PRECEDE, dua proporsi dasar ditekan: Pertama,
kesehatan dan tindakan kesehatan disebabkan oleh faktor-faktor ganda, dan
kedua, karena kesehatan dan tindakan kesehatan ditentukan oleh faktor-faktor
ganda, upaya-upaya edukasi kesehatan untuk mempengaruhi tindakan harus
multidimensional.
D. Fase – fase dalam Kerangka Teori PRECEDE - PROCEDE
Adapun penjelasan dari tiap fase dalam kerangka PRECEDE - PROCEDE
theory adalah sebagai berikut :
Fase 1 , 2, dan 3
1. Fase 1 <Diagnosa Sosial>
Merupakan Penentuan persepsi masyarakat terhadap kualitas hidupnya melalui
partisipasi dan penerapan berbagai informasi yang di desain sebelumnya. Bisa juga
diartikan sebagai penilaian baik objektif maupun subjektif tentang masalah dengan
prioritas tinggi yang untuk suatu populasi dilihat dari sudut ekonomi, pekerjaan,
pengangguran, pelanggaran hukum, kebahagiaan, gangguan terhadap warga
( kenyamanan ) dan sebagainya dilihat dari sudut kualitas hidup. Hubungan sehat
dengan kualitas hidup merupakan hubungan sebab akibat. Input (pendidikan
kesehatan, kebijakan, regulasi dan organisasi) menyebabkan perubahan outcome
(kualitas hidup). Fase ini, membantu komuniti menilai kualitas hidupnya tidak hanya
pada kesehatan. Adapun untuk melakukan diagnosa sosial dilaksanakan dengan
mengidentifikasi masalah kesehatan melalui : Review literature ( hasil penelitian ),
maupun dari data (misal BPS, Mass Media).
2. Fase 2 <Diagnosa Epidemiologi>
Masalah kesehatan merupakan hal sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup
seseorang, baik langsung maupun tidak langsung, melalui penelusuran masalah
kesehatan yang dapat menjadi penyebab dari diagnosa sosial yang telah
diprioritaskan. Adapun untuk melakukan diagnose epidemiologi dilaksanakan
dengan mengidentifikasi data kesehatan yang ada di masyarakat berdasarkan
indikator kesehatan yang bersifat negatif (misal : angka kematian, kesakitan, dsb)
dan yang bersifat positif (misal : angka harapan hidup, cakupan air bersih, cakupan
rumah sehat).
Untuk menentukan prioritas masalah kesehatan, dilakukan dengan beberapa
tahapan, diantaranya :
a. Masalah yang mempunyai dampak terbesar pada kematian, kesakitan, lama hari
kehilangan kerja, biaya rehabilitasi, dll.
b. Adakah kelompok ibu dan anak yang mempunyai resiko.
c. Masalah kesehatan yang paling rentan untuk diintervensi.
d. Masalah yang merupakan daya ungkit tinggi dalam meningkatkan status
kesehatan, economic savings.
e. Masalah yang belum pernah disentuh/diintervensi.
f. Apakah merupakan prioritas daerah/nasional.
Sedangkan untuk mengembangkan tujuan kesehatan dengan memperhatikan :
Who, siapa yang akan menerima program;
What, apa manfaat kesehatan yang akan mereka terima;
How much, berapa banyak manfaat akan diterima;
By when, kapan diterima, atau berapa lama program akan berjalan.
3. Fase 3 <Diagnosa Perilaku dan Lingkungan>
Pada fase ini terdiri dari 5 tahapan antara lain:
a. Memisahkan penyebab perilaku dan non perilaku dari masalah kesehatan
Misal ; pada kasus penyakit kardiovaskuler dipisahkan faktor perilaku dan non
perilaku yang merupakan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler.
Faktor Perilaku : merokok, konsumsi alkohol tinggi, konsumsi lemak tinggi
Faktor Non Perilaku : kegemukan tekanan darah tinggi, kurang gerak
b. Pengembangan Daftar Perilaku
Setelah disusun faktor perilaku dan non perilaku, daftar faktor perilaku harus
disaring, dengan dua macam prosedur:
1) Preventive behaviours (primary, secondary, tertiary)/Perilaku Pencegahan
Misal : berhenti merokok, berhenti minum alkohol, memulai olahraga
2) Treatment behaviours/Perilaku Pengobatan
Misal : usaha mencapai berat badan yang diinginkan, mengambil obat yang
dianjurkan
c. Penyusunan Peringkat Perilaku Menurut Tingkat Pentingnya
1) Frekuensi terjadinya perilaku
2) Terlihat hubungan yang nyata dengan masalah kesehatan
Perilaku juga dapat dianggap penting jika suatu kasus teoritis yang kuat dapat
dibuat hubungan kausalnya dengan masalah kesehatan.
d. Melihat changeability / Daya Berubah Perilaku
Perilaku mempunyai daya berubah yang tinggi bila :
1) Masih didalam tahap perkembangan
2) Hanya terikat secara dangkal terhadap gaya hidup
3) Berhasil dirubah dalam program lain
Perilaku mempunyai daya berubah yang rendah bila :
1) Telah ada sejak lama
2) Berakar kuat pada pola budaya atau gaya hidup
3) Belum berubah pada usaha terdahulu
e. Memilih target perilaku
Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi status
kesehatan digunakan indicator perilaku seperti :
Pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilisasi),
Upaya pencegahan (preventive action),
Pola konsumsi makanan (consumtion pattern),
Kepatuhan (Compliance),
Upaya pemeliharaan diri (self care)
Untuk mendiagnosa lingkungan diperlukan lima tahap yaitu :
Membedakan penyebab perilaku dan non perilaku,
Menghilangkan penyebab non perilaku yang tidak bisa diubah,
Melihat importance faktor lingkungan,
Melihat Changeability faktor lingkungan,
Memilih target lingkungan.
Fase 4 , 5 , dan 6
4. Fase 4 <Diagnosa Pendidikan dan Organisasi>
Mengidentifikasi kondisi perilaku dan lingkungan yang berstatus
kesehatan/kualitas hidup dengan memperhatikan faktor penyebab. Mengidentifikasi
faktor yang harus dirubah untuk kelangsungan perubahan perilaku dan lingkungan.
Merupakan target antara atau tujuan dari program.
Ada 3 kelompok masalah yang berpengaruh terhadap perilaku yaitu :
a. Faktor predisposisi (Predisposing factors) :
pengetahuan,
pendidikan,
pekerjaan,
sikap,
kepercayaan,
keyakinan,
nilai dll
b. Faktor pemungkin (Enabling factors) :
lingkungan fisik,
tersedianya fasilitas kesehatan dll
c. Faktor penguat (Reinforcing factors) :
dukungan keluarga,
Perilaku petugas kesehatan atau petugas lain dll
5. Fase 5 <Diagnosa Administrasi dan Kebijakan>
Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan, sumber daya dan kejadian dalam
organisasi yang mendukung atau menghambat perkembangan promosi kesehatan.
Administrative Diagnosis dilakukan untuk :
Memperkirakan atau menilai resources/sumber daya yang dibutuhkan program,
Menilai resources yang ada di dalam organisasi atau masyarakat,
Mengidentifikasi faktor penghambat dalam mengimplementasi program.
Ada beberapa tahapan dalam administrative diagnose sbb:
a. Menilai Kebutuhan Sumber Daya ( Time, Personnel, Budget)
b. Menilai Ketersediaan Sumber Daya ( Personnel, Budgetary Contraints
(keterbatasan budget))
c. Menilai Penghambat Implementasi
1) Staff Commitement & Attitude
2) Goal Conflict
3) Rate of Change
4) Familiarity
5) Complexity
6) Space
7) Community barriers
Policy Diagnosis :
a. Menilai dukungan politik
b. Dukungan regulasi/peraturan
c. Dukungan system di dalam organisasi
d. Hambatan yang ada dalam pelaksanaan program
e. Dukungan yang memudahkan pelaksanaan program
Untuk tahapan evaluasi adalah kegiatan membandingkan antara hasil yang dicapai
dengan hasil yang diharapkan, yakni dengan memperhatikan :
Mengukur quality of life
Indikator status kesehatan
Faktor perilaku dan lingkungan
Faktor predisposing, enabling & reinforcing
Aktivitas intervensi
Perubahan kebijakan, regulasi atau organisasi
Tingkat keahlian staff
Kualitas penampilan dan pendidikan
Adapun tingkat evaluasi meliputi 3 hal yaitu :
1) Evaluasi Proses
Evaluasi dari program promosi kesehatan yang dilaksanakan
2) Evaluasi Impact
Menilai efek langsung dari program pada target perilaku
(predisposing,enabling dan reinforcing factors) dan lingkungan
3) Evaluasi Outcome
Evaluasi terhadap masalah pokok yang pada proses awal perencanaan yang
akan diperbaiki : status kesehatan & quality of life
6. Fase 6 (Implementasi)
Pada tahap ini, merencanakan suatu intervensi (secara besar pada fase-
fase sebelumnya), berdasarkan analisis. Sekarang, yang harus kita lakukan
adalah menjalankannya. Fase ini hanya berupa pengaturan dan
pengimplementasian intervensi yang telah direncanakan sebelumnya. Pada
fase ini, intervensi yang telah disusun pada fase kelima diterapkan secara
langsung pada masyarakat.
7. Fase 7 (Evaluasi proses)
Fase ini bukanlah mengenai hasil, tetapi mengenai prosedur. Evaluasi
disini berarti apakah kita sedang melakukan apa yang telah kita rencanakan
sebelumnya. Jika, sebagai contoh, kita menawarkan melakukan pelayanan
kesehatan diare tiga hari dalam sepekan pada daerah pedesaan, apakah dalam
kenyataannya kita benar-benar melakukan pelayanan kesehatan tersebut. Kita
juga menetapkan untuk memberikan penyuluhan setiap hari senin dan khamis
untuk melakukan penyuluhan tentang diare dan penanganannya di puskesmas
berdekatan, setiap selasa dan rabu melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah
apakah kita benar- benar melaksanakan sesuai yang direncanakan.
8. Fase 8 (Evaluasi dampak)
Pada fase ini, kita mulai melakukan evaluasi terhadap sukses awal dari
upaya kita. Apakah intervensi tersebut menghasilkan efek yang kita inginkan
pada faktor perilaku atau lingkungan yang kita harapkan untuk berubah.
Mengukur efektifitas program dari sudut dampak menengah dan perubahan-
perubahan pada faktor predisposing, enabling, dan reinforcing. Mengevaluasi
dampak dari intervensi pada faktor-faktor pendukung perilaku dan pada
perilaku itu sendiri.
Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factor)
Faktor-faktor ini mencakup, pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk berperilaku
kesehatan, misalnya: pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan
pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat pemeriksaan
hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. Disamping itu,
kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga
dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa hamil. Misalnya,
orang hamil tidak boleh disuntik (pemeriksa hamil termasuk
memperoleh suntikan anti tetanus), karena suntikan bisa menyebabkan
anak cacat. Faktor-faktor ini terutama yang positif akan mempermudah
terwujudnya perilaku baru maka sering disebut faktor yang
memudahkan.
Faktor-faktor pemungkin (Enabling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersedian sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat
pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, tersedianya makanan
yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan
kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu,
polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek suasta (BPS), dan
sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana
dan prasarana pendukung, misalnya: perilaku pemeriksaan kehamilan.
Ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena ia tahu dan sadar
manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus
dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil, misalnya:
puskesmas, polindes, bidan praktik, ataupun rumah sakit. Fasilitas ini
pada hakikatnya mendukung untuk atau memungkinkan terwujudnya
perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung
atau faktor pemungkin.
Faktor-faktor penguat (Reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh
masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk
petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-
peraturan baik dari pusat maupun pemerintahan daerah yang terkait
dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang
bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta dukungan
fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para
tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, lebih-lebih para petugas
kesehatan. Disamping itu undang-undang juga diperlukan untuk
memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Oleh sebab itu intervensi
pendidikan hendaknya dimulai mendiagnosis 3 faktor penyebab
(determinan) tersebut kemudian intervensinya juga diarahkan terhadap
tiga faktor tersebut.
9. Fase 9 (Evaluasi hasil)
“Apakah intervensi kita sungguh bekerja dalam menghasilkan outcome
yang teridentifikasi pada komunitas pada fase 1 sebelumnya?”. Intervensi ini
mungkin dapat secara sukses dilakukan, prosesnya sesuai dengan yang
direncanakan, dan terjadi perubahan yang memang diharapkan. Namun,
hasilnya secara keseluruhan tidak memiliki dampak pada masalah yang lebih
luas. Dalam hal ini, kita harus memulai kembali prosesnya sekali lagi, untuk
melihat mengapa faktor yang kita fokuskan bukanlah faktor yang tepat, dan
untuk mengidentifikasi faktor lain yang mungkin berhasil. Mengukur
perubahan dari keseluruhan objek dan perubahan dalam kesehatan dan
keuntungan sosial atau kualitas kehidupan (outcome) yang menentukan efek
terbesar pada intervensi terhadap kesehatan dan kualitas kehidupan suatu
populasi. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk mendapatkan hasil, dan
mungkin beberapa tahun untuk benar-benar melihat perubahan kualitas hidup
pada populasi atau masyarakat.
Beberapa outcome mungkin tidak terlihat nyata dalam beberapa tahun
atau dekade. Bila outcome tidak terlihat dalam jangka waktu yang lama, maka
kita harus bersabar dan tetap mengawasi proses dan dampak dari intervensi
kita, dengan keyakinan bahwa outcome tersebut akan terlihat dengan nyata
nantinya.
Langkah-langkah untuk menetapkan prioritas masalah kesehatan meliputi
hal-hal berikut.
a) Menentukan status kesehatan masyarakat.
b) Menentukan pola pelayanan kesehatan msyarakat yang ada.
c) Menentukan hubungan antara status kesehatan dan pelayanan
kesehatan di masyarakat
d) Menentukan determinan masalah kesehatan masyarakat (meliputi
tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, ras, letak geografis,
kebiasaan atau perilaku dan kepercayaan yang dianut).
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan
prioritas masalah antara lain beratnya masalah dan akibat yang
ditimbulkan, pertimbangan politis, dan sumber daya yang ada di
masyarakat.
TEORI BEHAVIOR CHANGE
Herbert C.Kelman
Merupakan teori yang mengatakan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu
dimulaidengan 3 tahap, yaitu tahap kepatuhan dimana individu mematuhi anjuran petugas
tanpakerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin
menghindarihukuman/sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang
dijanjikan. Tahapkedua yaitu identifikasi tahapan dimana munculnya kepatuhan karena
merasa tertarik atauhanya sekedar mengagumi tokoh tersebut sehingga menirukan
tindakannya tanpa memahamisepenuhnya arti dan manfaat dari tindakan tersebut maka
apabila ia ditinggalkan oleh tokohidolanya maka ia tak perlu lagi merasa perlu lagi untuk
melanjutkan perilaku tersebut. Dantahap terakhir yaitu internalisasi merupakan tahap dimana
seseorang dapat manerima anjuranperilaku yang baru karena tokohnya dapat dipercaya
sehingga seseorang menganggap haltersebut bernilai positif bagi diri individu dan
diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.
Contoh :Adanya peraturan di RT A bahwa Ibu-Ibu yang memiliki anak yang berumur
0-5 tahun wajibdiberikan pil vitamin A dengan mendatangi posyandu di daerahnya, jika ada
warga yang tidakmembawa anaknya ke posyandu maka RT setempat akan memberikan
hukuman kepada wargatersebut dengan membayar denda (Tahap Kepatuhan) karena adanya
kader yang menarikperhatian para Ibu-Ibu di daerah tersebut maka para Ibu-Ibu rela
membawa anak-anaknyauntuk diberikan pil vitamin A (Tahap Identifikasi). Selain menarik,
kader tersebut dinilai bahwa iamemiliki kredibilitas tinggi dan dapat dipercaya maka secara
tidak langsung Ibu-Ibu setempatmenyadari bahwa pentingnya pemberian pil vitamin A dan
apabila kader tersebut digantidengan kader lain Ibu-Ibu tersebut akan tetap membawa
anaknya ke posyandu setempat karenamenyadari pentingnya pemberian vitamin A.
Teori pengaruh Sosial Kelman mensyaratkan bahwa pelekatan psikologis (untuk
prilaku tertentu) adalah konstruk dari kepentingan. Oleh karena itu, komitmen pemakai
digunakan sebagai pelekatan psikologis untuk penggunaan sistem. Elemen-elemen
perwujudannya berupa internalisasi (internalization), identifikasi (identifikation), dan
kepatuhan (compliance) yang merujuk ke komitmen berbeda
Bahwa teori kelman tentang perubahan perilaku dapat terjadi akibat pengaruh Sosial.
Elemen-elemen perwujudannya melalui internalisasi (internalization), identifikasi
(identifikation), dan kepatuhan (complience) yang merujuk ke komitmen berbeda. Perubahan
dimulai setelah ada anjuran/instruksi
TEORI-TEORI PERUBAHAN PERILAKU KESEHATAN
Teori perubahan perilaku kesehatan ini penting dalam promosi kesehatan yang
bertujuan “behaviorchange”. Perubahan perilaku ini diarahkan untuk :
1. mengubah perilaku negatif ( tidak sehat ) menjadi perilaku positif ( sesuai dengan
nilai-nilai kesehatan )
2. pembentukan atau pengembangan perilaku sehat
3. memelihara perilaku yang sudah positif
Teori-teori yang akan kita bahas adalah : Teori SOR, Festinger, Fungsi, Kurt Lewin
TEORI PERUBAHAN PERILAKU KESEHATAN
Menurut teori ini, penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas
rangsang( stimulus ) yang berkomunikasi dengan organisme. Perilaku dapat berubah hanya
apabila stimulus yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula (mampu
meyakinkan). Karena itu kualitas dari sumber komunikasi sangat menentukan keberhasilan
perubahan perilaku, misalnya gaya bicara, kredibilitas pemimpin kelompok, dsb
DISSONANCE THEORY(FESTINGER :1957)
Ada suatu keadaan cognitive dissonance yang merupakan ketidakseimbangan
psikologis, yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan
kembali.Dissonance tejadi karena dalam diri individu terdapat elemen kognisi yang
bertentangan, pengetahuan, pendapat atau keyakinan. Apabila terjadi penyesuaian secara
kognitif, akan ada perubahan sikap yang berujung perubahan perlaku.
Contoh :
Orang yang merokok merasa resah, dia tahu bahaya merokok tapi merasa bukan laki-laki
kalau tidak merokok (dissonance). Akhirnya dia memutuskan kalau kejantanan seseorang
bukan hanya dari merokok, tapi dari banyak hal.Akhirnya dia memutuskan berhenti merokok
(consonance).
TEORI FUNGSI ( Katz : 1960 )
Meurut teori ini perilaku mempunyai fungsi :
1. instrumental
2. defence mechanism
3. penerima objek dan pemberi arti
4. nilai ekspresif
Perubahan perilaku individu tergantung kebutuhan. Stimulus yang dapat memberikan
perubahan perilaku individu adalah stimulus yang dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan
orang tersebut.
TEORI KURT LEWIN (1970)
Menurut Kurt Lewin, perilaku manusia adalah suatu keadaan seimbang antara driving
forces (kekuatan-kekuatan pendorong) dan restrining forces (kekuatan-kekuatan penahan).
Perilaku dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut.
Ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku :
1. Kekuatan pendorong, kekuatan penahan tetap perilaku baru
Contoh : seseorang yang punya saudara dengan penyakit kusta sebelumnya tidak
mau memeriksakan saudaranya karena malu dikira penyakit keturunan, dapat berubah
perilakunya untuk memeriksakan saudaranya ke puskesmas karena adanya penyuluhan
dari petugas kesehatan terdekat tentang pentingnya deteksi dini kusta.
2. Kekuatan penahan, pendorong tetap perilaku baru
Misalnya pada contoh di atas , dengan memberi pengertian bahwa kusta bukan
penyakit keturunan, maka kekuatan penahan akan melemah dan terjad perubahan perilaku
3 .Kekuatan penahan, pendorong, perubahan perilaku.
Misalnya pada contoh di atas dua-duanya dilakukan.
BENTUK PERUBAHAN PERILAKU
Menurut WHO, perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga :
1. Natural change, Sebagian perubahan perilaku manusia karena kejadian alamiah
2. Planned change, Perubahan perilaku karena memang direncanakan sendiri
3. Readiness to Change, Kesediaan untuk berubah terhadap hal-hal baru.
STRATEGI PERUBAHAN PERILAKU (WHO)
1. Menggunakan kekuatan (Enforcement)
2. Menggunakan kekuatan peraturan atau hukum (Regulation)
Pendidikan (Education)2
TEORI HEALTH BELIEF MODEL
Rosenstock
Merupakan teori pengembangan dari green yang dinamakan dengan health belief
model (1982) ini berarti bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaannya
dan tidakmemperdulikan apakah motif tersebut sesuai atau tidak dengan realitas dan
pandangan orang.Model ini menjelaskan bagaimana suatu persepsi kemungkinan terjadi
penyakit munculkemudian persepsi ini di dorong oleh beberapa faktor yaitu variable
demografis dan sosio-psiko,besarnya ancaman penyakit yang ditentukan oleh factor pencetus
tindakan sehingga individu melakukan tindakan yang dianjurkan.Contoh : Pria X mengalami
batuk-batuk hingga lebih dari 2 minggu, diwilayah tersebut sedang marakpenyakit TBC
kemudian seorang dokter menduga kemungkinan itu memang penyakitTBC, setelah cek up
oleh dokter ternyata benar itu penyakit TBC maka dokter tersebut akanmemberikan segala
resiko yang akan muncul akibat penyakit TBC terlebih jika tidak diobati, maka dengan begitu
pria X akan mengikuti anjuran dokter.
Model perilaku ini dikembangkan pada tahun 1950’an dan didasarkan atas partisipasi
masyarakat pada program deteksi dini tuberculosis. Analisis terhadap berbagai factor yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat pada program tersebut kemudian dikembangkan
sebagai model perilaku. Health Belief Model didasarkan atas 3 faktor esensial:
1. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit
atau memperkecil risiko kesehatan
2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku
3. Perilaku itu sendiri.
Ketiga factor di atas dipengaruhi oleh factor-faktor lain yang berhubungan dengan
kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan dengan sarana &
petugas kesehatan.
HBM, mengandung konsep utama yaitu memprediksikan mengapa seseorang
melakukan tintadakan tertentu untuk menjaga, melindungi dan mengendalikan kondisi sakit,
dengan melihat beberapa sudut pandang antara lain :
1. Kerentanan (Perceived Susceptibility) yaitu seseorang merasakan keyakinan/percaya akan
kemungkinan sakit yang terjadi pada dirinya. Misalnya seseorang wanita yang beresiko
mempunyai pasangan yang tidak setia, akan merasakan dirinya rentan terkena suatu penyakit
menular seksual.
2. Keseriusan (Perceived Severity/seriousility) yaitu seseorang memprediksikan tingkat
keparahan apabila menderita penyakit tersebut.
3. Hambatan (Perceived Barrier) yaitu hambatan yang ada dalam seseorang berperilaku
sehat, misalnya pada kasus perempuan yang beresiko terkena penyakit IMS, dia akan mencari
pencegahan dengan pendeteksian dini melalui pemeriksaan Papsmear, namun dari pihak
suami tidak mendukung, hal ini merupakan hambatan.
4. Keuntungan (Benefitt) yaitu seseorang menimbang keuntungan yang diperoleh antara
biaya yang dikeluarkan dengan tingkat sakitnya, misalnya apakah efektif biaya yang
dikeluarkan pada pemeriksaan Papsmear yang mahal bila dibandingkan dengan tingkat
keseriusan atau resiko penyakitnya.
Kesiapan individu dipengaruhi oleh factor-faktor seperti persepsi tentang kerentanan
terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan, dan adanya
kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Factor yang
mempengaruhi perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh
karakterisitik individu, penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan, interaksi
dengan petugas kesehatan yang merekomendasikan perubahan perilaku, dan pengalaman
mencoba merubah perilaku yang serupa.
The Health Belief Model
Individual Perceptions Modifying Factors Likelihood of Action
Perceived Benefits
Vs Barriers toBehavioral
Change
Age, Sex, Ethnicity
PersonalitySocioeconomics
Knowledge
Perceived Threat
of Disease
Likelihood ofBehavioral
Change
Perceived Susceptibility/Seriousness of
Disease
Cues to Action Education Symptoms Media
Information
HBM tidak mempertimbangkan dampak komunikasi terhadap proses perubahan
perilaku. Karena itulah dikembangkan matriks komunikasi/persuasi, yang berfokus pada
evaluasi dampak berbagai tipe komunikasi terhadap proses perubahan perilaku tersebut.
HAM dikembangkan dalam upaya membentuk kerangka komprehensif yang
menyatukan variabel-variabel utama yang mempengaruhi perilaku kesehatan. Interaksi dua
arah yang terjadi antara system kepercayaan dan informasi dikuasai oleh ‘prosesor’. Di satu
sisi, input informasi dapat menciptakan kepercayaan baru dan merubah kepercayaan yang ada
sekarang. Di sisi lain, kepercayaan yang ada saat ini dapat menghambat atau menyebabkan
informasi baru tidak dapat masuk, misalnya sebagai bagian dari fenomena penolakan.
HBM
Health Belief Model adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosiopsikologis. Munculnya
model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problema kesehatan ditandai kegagalan individu/
masyarakat menerima usaha pencegahan dan penyembuhan (Arvianti, 2009)
Teori Health Beliefe Model
Health Belief Model adalah perubahan perilaku kesehatan dan psikologis yang dikembangkan
oleh Irwin M. Rosenstock pada tahun 1966 untuk mempelajari dan mempromosikan
pelayanan kesehatan. Model ini dikembagkan lebih lanjut oleh Becker di tahun 1970-an dan
1980-an. Setelah amandemen model dibuat hingga akhir 1988, telah dikembangkan penelitian
tentang peran pengetahuan dan persepsi dalam komunitas kesehatan. Awalnya, model hanya
dirancang untuk memprediksi respons perilaku terhadap pengobatan yang diterima pada
pasien dengan penyakit akut dan kronis, namun dalam beberapa tahun terakhir model ini
telah digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan yang lebih umum. Dalam hal ini,
model keyakinan kesehatan adalah nilai harapan dari segi teori yang diasumsikan bahwa
seseorang memiliki keinginan untuk menghindari penyakitnatau untuk mendapatkan
kebaikan didasarkan pada keyakinannya bahwa tindakan kesehatan tertentu akan dapat
mencegah masalah kesehatan (Conner, 1996).
Teori Health Belief Model menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup
kehidupan sosial atau masyarakat. Teori ini merupakan analisis terhadap berbagai factor yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Menurut
Rosenstock model kepercayaan kesehatan ini merupakan suatu system kepercayaan yang
mempengaruhi untuk mengambil tindakan yang dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 1. Komponen-komponen Model Hubungan Kesehatan dengan Kepercayaan
(HBM)
Perilaku adalah hasil dari:
Persepsi Kerentanan
Persepsi Ancaman
Persepsi Manfaat
Tingkat risiko yang dirasakan seseorang terhadap masalah kesehatan.Tingkat kepercayaan
seseorang bahwa konsekuensi masalah kesehatan yang akan menjadi semakin parah. Hasil
positif yang dipercaya sebagai hasil dari tindakan. Petunjuk untuk bertindak Peristiwa
eksternal yang memotivasi seseorang untuk bertindak.
Sumber: Mark Edberg , 2009.
Persepsi adalah proses yang memungkinkan seseorang menerima dan menganalisis
informasi. Menurut Sereno persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh
kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita. Menurut Devito persepsi adalah proses
dengan mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita.
Menurut Kotler (2000), persepsi adalah proses yang dipakai seseorang untuk memilih
mengorganisasikan serta menginterpretasikan informasi guna menciptakan gambaran yang
memiliki arti dan persepsi tidak tergantung pada rangsangan fisik tetapi juga tergantung pada
lingkungan sekitar dan keadaan individu tersebut. Persepsi adalah bagaimana seorang
individu tersebut termotivasi untuk bertindak. Bagaimana orang tersebut bertindak akan
dipengaruhi oleh persepsinya terhadap situasi tertentu. Orang dapat memiliki persepsi yang
berbeda atas obyek yang sama. Tiga proses persepsi:
a. Perhatian selektif; seorang tidak mungkin dapat menanggapi semua rangsangan karena itu
rangsangan yang masuk akan disaring.
b. Distorsi selektif; kecenderungan seseorang untuk mengubah informasi menjadi bermakna
secara pribadi dan menginterpretasikan informasi itu dengan cara yang akan mendukung
mereka.
c. Ingatan/retensi selektif: orang cenderung untuk mengingat hal-hal yang baik tentang
produk yang disukai (Kotler,2000).
Persepsi terbagi atas persepsi terhadap lingkungan fisik, persepsi sosial, dan persepsi
budaya. Persepsi sosial terdiri atas persepsi berdasarkan pengalaman, persepsi bersifat
selektif, persepsi bersifat dugaan, persepsi evaluatif, dan persepsi tentang konteks. Persepsi
yang dimaksud dalam penerimaan pengguna (user acceptance) adalah persepsi terhadap
pengalaman, yaitu persepsi manusia terhadap seseorang, objek, atau kejadian dan reaksi
mereka terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman (dan pembelajaran) masa lalu mereka
berkaitan dengan objek, orang, atau kejadian serupa (Mulyana, 2004).
Persepsi juga merupakan proses yang digunakan individu untuk mengorganisasi dan
menafsirkan kesan inderawi mereka untuk memberi makna kepada lingkungannya. Meski
demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif. Berbagai
faktor yang berperan dalam dalam membentuk persepsi baik yang berada dalam pihak pelaku
persepsi, objek atau target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu
dibuat. Faktor pada pemersepsi antara lain sikap, motif, kepentingan, pengalaman,
pengharapan. Faktor dalam situasi adalah waktu, kesadaran, tempat kerja, kesadaran sosial.
Faktor pada target adalah hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang, dan kedekatan.
Ketika individu memandang ke objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya,
penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi itu
(Robin, 2006).
1. Persepsi Risiko (Percieved susceptibility). Agar seseorang bertindak untuk mngobati atau
mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit
tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul
bila sesorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan terhadap panyakit tersebut.
2. Persepsi Ancaman (Percieved serieusness). Tindakan individu untuk mencari pengobatan
dan pencegahan penyakit akan didorong pula oleh keseriusan panyakit tersebut atau ancaman
yang dilihat mengenai gejala dan penyakit terhadap individu atau masyarakat.
3. Persepsi Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Percieved benafid and bariers).
Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap gawat
(serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini akan tergantung pada
manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan
tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan
yang mungkin ditemukan didalam melakukan tindakan tersebut.
4. Isyarat atau petunjuk aksi (Cuest), yaitu kesiapan untuk mengambil tindakan. Isyarat-
isyarat tersebut berupa faktor-faktor eksternal, misalnya pesan-pesan pada media massa,
peringatan dari petugas kesehatan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
Teori Health Belief Model yang diuraikan di atas didasarkan atas 3 faktor esensial
yaitu:
1. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau
memperkecil risiko kesehatan.
2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku.
3. Perilaku itu sendiri.
Ketiga faktor tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
kepribadian dan lingkungan individu serta pengalaman yang berhubungan dengan sarana dan
petugas kesehatan. Kesiapan Individu dipengaruhi oleh persepsi tentang kerentanan terhadap
penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap penyakit dan
adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Seseorang
merasa perlu melakukan tindakan pengobatan ketika dirinya telah menerima kerentanan suatu
penyakit dan menganggap hal itu serius. Keyakinan terhadap sesuatu yang dianggap
menguntungkan akan merangsang seseorang melakukan tindakan untuk memperoleh
keuntungan tersebut (Notoatmodjo, 2007).
Hasil penelitian menggambarkan bahwa seseorang akan mentaati segala sesuatu yang
dianjurkan petugas karena merasa ada manfaatnya. Kepercayaan seseorang terhadap sesuatu
yang dianggap bahaya akan memunculkan respon positif untuk melakukan aktifitas
pencegahan. Sebaliknya penjelasan yang tidak menguatkan kepercayaan seseorang tidak akan
menggerakkan niatnya untuk mengerjakan sesuatu yang seharusnya dilakukan (Carlson,
2009).
Faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang
dipengaruhi oleh karakteristik individu, interaksi yang berkaitan dengan informasi kesehatan,
dan pengalaman yang merubah perilaku. Perilaku seseorang tergantung pada informasi yang
diterimanya selama melakukan interaksi sosial secara terus menerus. Jika informasi yang
diterima benar, seseorang akan menjalaninya dengan benar demikian juga sebaliknya. Jadi
dorongan dari lingkungan sosial juga mempunyai peranan yang cukup tinggi dalam
perubahan perilaku (Notoatmodjo, 2007).
Berikut kerangka teori perilaku health belief model dalam Soekidjo Notoatmodjo
(2007) dilukiskan pada gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Teori Health Beliefe Model Dalam Sokidjo Notoatmojo Tentang
Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengambilan Keputusan
Dari gambar 1 yang menguraikan tentang kerangka teori ini dapat dilihat factor-faktor
yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam mengambil tindakan yang tepat untuk
kesehatannya. Dibangun berdasarkan teori health belief model dalam soekidjo Notoatmodjo
ini, variabel-variabel yang mempengaruhi perilaku ibu dalam memilih tenaga penolong
persalinan adalah:
Individual Perceptions
Individual perceptions speak directly to the knowledge and beliefs that a person has about his
behaviors and the outcomes they could have. This section of the paper includes two main
sections; Perceived Susceptibility and Perceived Severity.
A. Perceived Susceptibility
Within the health field susceptibility refers to the risk a person has to a particular disease or
health outcome. Within the context of the HBM, perceived susceptibility examines the
individual’s opinions about how likely the behaviors they partake in are going to lead to a
negative health outcome. For example, look at an individual who smokes. Smoking is known
to have many complications such as lung cancer, bladder cancer, etc. If a smoker does not
feel that he is at risk of developing any of these diseases, he has no reason in his mind to
make a behavior change. One of the Goals of the HBM is to change perceptions of
susceptibility in order to move towards behavior change.
B. Perceived Severity
Most people are familiar with the word severity as how serious a situation or action can be. In
the HBM perceived severity addresses how serious the diseases that a person is susceptible to
can be. In the case of a smoker, lung cancer is one of the leading causes of death among the
American population. A smoker may not understand how difficult lung cancer can be to
detect and how difficult it can be to treat. They also may not know how painful and long
lasting a disease it can be later in life. The HBM seeks to increase awareness of how serious
the outcomes of behaviors can be in order increase the quality of one’s life.
Now that there is an understanding of Individual Perceptions it is important to understand
how Modifying Factors can affect some ones decision to change.
Modifying Factors
While Individual Perceptions were internalized, In the Health Belief Model Modifying
Factors step outside the body to examine and use outside influences to affect the how
threatened a person feels by the outcomes of continuing the same behaviors that put him at
risk. As seen by the arrows in the diagram, perceived susceptibility and severity do have their
own impact on threat as well.
A. Perceived Threat
Susceptibility as stated before displayed how someone acknowledged that their behavior
could lead to a specific disease. Threat takes the idea one step further by examining just how
likely it is that the disease could be developed. To use lung cancer again, someone who has
been smoking for a year may not feel threatened by potential disease because they have not
been doing it very long and if they quit their body can recover. On the other hand, a smoker
who has been doing so for 25 years may feel very threatened by lung cancer if he has
developed a strong cough. The cough could be a symptom that increases his level of threat
and triggers his decision to quit.
B. Environmental Factors
Environmental factors can add to the threat of disease. Demographic background can cause
one to be more at risk such as race, ethnicity, and socioeconomic status. Someone living in
poverty Evan Burke The Health Belief Model,
would be more threatened by a disease if they could not afford health care. Also Peers and
other influential people can have an influence. If an entire group of friends smoke together, it
is going to be more difficult for one person to quit.
C. Cues to Action
Lastly cues to action are reasons why an individual realizes he could be threatened by serious
disease. These could be media or concerned loved ones. Cues to action are anything that
triggers a decision to change behavior.
The previous two categories have built on each other and lead to Likelihood of Action.
Likelihood of Action
After becoming aware of the potential for developing a disease if behavior does not change, it
is important to weigh out the benefits and the barriers to taking action and determine if it is
worth it.
A. Perceived Benefits
What are the benefits to change? In the HBM the goal is greater quality of life for an
individual both mentally and physically. Clearly a benefit to change would be increased
health but there could be other factors that exist on an individual level.
B. Perceived Barriers
What are the reasons that I cannot change my behavior? Barriers could be anything from
losing friends to not having enough money or even self-efficacy problems such as not
believing in one’s self. For change to take place the benefits must be stronger than the
barriers.
(Evan Burke)
Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Models)
Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosiopsikologis seperti
pengertian kerentanan terhadap penyakit, pengertian keseluruhandari penyakit, keuntungan
yang diharapakan dari pengambilan tindakan dalam menghadapi penyakit, kesiapan tindakan
individu (Notoatmodjo, 2007).
Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan
ditandai dengan kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan
dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini akhirnya
memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health
behaviour), yang oleh Becker (1974) dikembangkan dari teori lapangan (Fieldtheory, Lewin,
1954) menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief models).
Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada empat
variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut, yakni :
1. Kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility)
Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan
bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan
pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul apabila seseorang telah merasakan bahwa ia
atau keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut.
2. Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness)
Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong pula
oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. Penyakit polio
misalnya, akan dirasakan lebih serius bila dibandingkan dengan flu. Oleh karena itu, tindakan
pencegahan polio akan lebih banyak dilakukan apabila dibandingkan dengan pencegahan
(pengobatan) flu.
3. Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (perceived benafis and barriers).
Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap gawat
(serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini akan tergantung pada
manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan
tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan
yang mungkin ditemukan didalam manentukan tindakan tersebut.
4. Isyarat atau tanda-tanda
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan
keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa factor-faktor eksternal.
Faktor-faktor tersebut misalnya pesan-pesan pada media massa,nasihat atau anjuran kawan-
kawan atau anggota keluarga lain dari si sakit, dan sebagainya.