TEORI-DRAMATURGI

33
TEORI DRAMATURGI DALAM PEMBERITAAN KASUS KAKEK WINNIE THE POOH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Komunikasi Disusun Oleh : ERWIN 44314110107 FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JURUSAN PERIKLANAN & KOMUNIKASI PERIKLANAN 1

description

Makalah yang membahasa teori dramaturgi

Transcript of TEORI-DRAMATURGI

TEORI DRAMATURGI

DALAM PEMBERITAAN KASUS KAKEK WINNIE THE POOH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Komunikasi

Disusun Oleh :

ERWIN

44314110107

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

JURUSAN PERIKLANAN & KOMUNIKASI PERIKLANAN

UNIVERSITAS MERCUBUANA

2015

1

DAFTAR ISI

BAB I

Teori Dramaturgi ........................................................................................................................ 3

BAB II

KASUS Dramaturgi, Kakek 'Winnie the Pooh' di Sidoarjo........................................................ 16

BAB III

Bedah Kasus Sesuai Teori Dramatugri ...................................................................................... 18

BAB IV

KESIMPULAN ......................................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 22

2

BAB I

TEORI DRAMATURGI

Teori dramaturgi bila disimpulkan secara singkat, memandang bahwa kehidupan manusia

itu sebagai sebuah panggung sandiwara, dimana manusia memainkan peran yang ia dapat sebaik

mungkin agar audience mampu mengapresiasi dengan baik pementasan tersebut. Teori

dramaturgi Erving Goffman ini tidak lepas dari pengaruh George Herbert Mead dengan konsep

The Self. Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksi

simbolik. Menurut Mead dalam (Ritzer, 2012:636) menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya

terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian

dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam

seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung.

Oleh karena teori dramaturgi ini banyak di ilhami oleh perspektif interaksi simbolik,

maka sebelum menguraikan teori dramaturgi ini perlu diulas terlebih dahulu tentang inti dari

interaksi simbolik itu sendiri. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan

ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Pada dasarnya

interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol,

merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya.

Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif dramaturgis, maka hal

tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgis Erving Goffman. Pandangan

Goffman agaknya harus dipandang sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai

teori. Ia memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi simbolik,

fenomenologis Schutzian, formalisme Simmelian, analisis semiotic, dan bahkan fungsionalisme

Durkhemian.

Tokoh

Ketika kita bicara teori dramaturgi, maka kita tentu tidak akan lepas dari nama Erving

Goffman. Beliau adalah orang yang membidani lahirnya teori dramaturgi. Untuk mengenal lebih

jelas mengenai dramaturgi, maka mengenal tokohnya adalah sebuah hal yang penting agar kita

bias memahami secara menyeluruh tentang teori ini.

3

Erving Goffman, lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922 (Ritzer, 2010:296). Goffman

mendapat gelar Bachelor of Arts (B.A) dari Universitas Toronto pada tahun 1945, gelar Master

of Arts tahun 1949 menerima gelar doctor dari Universitas Chicago pada tahun 1953. Goffman

pernah menjadi professor dijurusan sosiologi Universitas California Barkeley serta ketua liga Ivy

Universitas Pennsylvania. Pada tahun 1970 diangkat menjadi anggota Committee for Study of

Incarceration dan tepat di tahun 1977 ia memperoleh penghargaan Guggenheim. Goffman

meninggal pada tahun 1982 pada usia 60 tahun, setelah sempat menjabat sebagai Presiden dari

American Sociological Association meskipun belum sempat memberikan pidato

pengangkatannya karena sakit (Ritzer, 2010:296).

Jika Aristoteles mengungkapkan dramaturgi dalam artian seni. Maka Goffman

mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Goffman menggali segala macam perilaku interaksi

yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita

sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang actor menampilkan karakter orang lain dalam

sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti

ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan

yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari

presentasi “Diri” dari Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang

actor berhasil, maka penonton akan melihat actor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan

oleh actor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai

tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena

komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional

manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk

mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam

dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran

sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis

mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk

mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar

manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan

akhir dari maksud interaksi social tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat

mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.

4

Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin

menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai

“pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan actor untuk

memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

Percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri

merupakan konsepsi orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu

mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah

“dirinya” yang berasal dari “aku.”

Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-ajaran

Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur social merupakan countless minor synthesis (sintesis-

sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia –ini menurut Simmel- merupakan atom-atom

atau partikel-partikel yang sangat kecil dari sebuah masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep

Dramaturgi Goffman itu sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal-hal yang berada di luar

perhitungan kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan semua

sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and back region) dalam

rangka menarik perhatian orang-orang yang disekeliling kita

Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh gagasan

Cooley tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen.

1. Kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain;

2. Kita membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilan kita;

3. Mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat

membayangkan penilaian orang lain tersebut.

Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang

penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan sebagainya, dan

dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya.

Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke, dengan demikian

pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme simbolik yang sering

menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis interaksisosial, yang dipinjam dari

khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan

seseorang suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana

5

sang actor berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Fokus

dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang actor dari situasi kesituasi lainnya atau

keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang

berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah “suatu hasil

kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa

interaksi sosial.

Namun tak bisa disangkal, bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan

pengembangan konsep-konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi interaksionis

simbolik. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa Goffman mempunyai pengaruh besar

terhadap interaksionisme simbolik, meskipun ia mempunyai perspektif sendiri dalam

mengembangkan teorinya. Selain interaksionisme simbolik, Goffman juga mempengaruhi tokoh-

tokoh di luar interaksionisme simbolik, karena Goffman juga punya andil besar terbentuknya

etnometodologi. Sebenarnya tokoh penting dari etnometodologi (Sackes, Schegloff) semula

sama-sama belajar dari Goffman di Barkeley.

Konsep dan Asumsi Dasar Teori Dramaturgi

1. Konsep Teori Dramaturgi

a. Dramaturgi bukan memandang pada apa yang orang lakukan, bukan apa yang

ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka

melakukannya. Bila melihat terhadap pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang

layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan

dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep

dasar dalam dramatisme. Burke memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan

gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan

adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Masih menurut Burke

bahwa seseorang dapat melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang

ucapan-ucapan atau menulis tentang kat-kata, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan

untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-

aksi mereka, bahasapun membentuk perilaku.

6

b. Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif dan impresif aktivitas manusia,

bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam

interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat

ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik.

c. Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia

berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada

orang lain terhadapnya. yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-

kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk itu, setiap

orang melakukan pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia

sebagai aktor-aktor di atas panggung yang sedang memainkan peran-peran mereka.

Menurut Goffman dalam (Ritzer, 2012:638) menyatakan bahwa kehidupan sosial itu

dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu panggung depan (front stage) dan panggung

belakang (back stage).

1. Panggung Depan (Front Stage).

Panggung depan adalah bagian dari sandiwara yang secara umum berfungsi

dengan cara-cara formal yang agak baku untuk mendefinisikan situasi bagi orang-orang

yang mengamati sandiwara itu. Di dalam panggung depan, Goffman membedakan lebih

lanjut bagian depan latar (setting front) dan bagian depan pribadi (personal). Latar

mengacu kepada tempat atau situasi (scene) fisik yang biasanya harus ada jika para aktor

hendak bersandiwara. Tanpa itu, biasanya aktor tidak dapat melakukan sandiwara.

Contohnya, seorang dokter ahli bedah pada umumnya memerlukan suatu ruang operasi,

seorang supir taksi memerlukan taksi, dan guru membutuhkan sekolah. Sedangkan,

bagian depan pribadi (personal) terdiri dari item-item perlengkapan ekspresif yang

7

diidentifikasi oleh audience dengan para pemain sandiwara dan mengharapkan mereka

membawa hal-hal itu ke dalam latar. Contohnya, seorang ahli bedah diharapkan

mengenakan jubah medis atau membawa stetoskop untuk mencirikan bahwa ia adalah

seorang dokter atau peralatan lainnya. Goffman kemudian memecah bagian depan pribadi

menjadi penampilan dan sikap. Penampilan, meliputi item-item yang menceritakan pada

kita status sosial pemain sandiwara itu (misalnya, jubah medis sang ahli bedah). Sikap,

menceritakan kepada audience jenis peran yang diharapkan dimainkan pemain sandiwara

di dalam situasi itu (contohnya, penggunaan kebiasaan fisik atau kelakuan. Suatu gaya

yang kasar dan gaya yang lembut menunjukkan jenis-jenis pemain sandiwara yang sangat

berbeda. Pada umumnya, kita mengharapkan penampilan dan sikap agar konsisten.

Wawasan Goffman yang paling menarik terletak pada ranah interaksi. Dia

berargumen bahwa karena orang pada umumnya berusaha menyajikan suatu gambaran

diri yang di idealkan di dalam sandiwara mereka dipanggung bagian depan, mau tidak

mau mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan berbagai hal didalam

sandiwara mereka. Pertama, para aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-

kesenangan rahasia (misalnya, meminum alkohol), turut serta sebelum sandiwara

dilakukan atau dikehidupan masa silam (misalnya, sebagai pecandu alkohol). Kedua, para

aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan-kesalahan yang telah mereka buat

didalam persiapan sandiwara dan juga langkah-langkah yang telah diambil untuk

mengoreksi kesalahan-kesalahan itu. Contohnya seorang pengemudi taksi mungkin

menyembunyikan fakta bawa ia menyetir dengan arah yang keliru. Ketiga, para aktor

mungkin merasa perlu menunjukkan produk-produk akhir saja, dan menyembunyikan

proses yang dilalui dalam menghasilkannya. Contohnya, para profesor mungkin

menghabiskan waktu beberapa jam mempersiapkan suatu kuliah, tetapi mereka ingin

bersikap seakan-akan mereka selalu menguasai bahan. Keempat, mungkin perlu bagi para

aktor menyembunyikan dari audience bahwa “pekerjaan kotor” telah dilakukan untuk

membuat produk-produk akhir. Pekerjaan kotor mungkin termasuk tugas-tugas yang

“secara fisik tidak bersih, semi legal, kejam, dan merendahkan martabat dan cara-cara

lain”. Kelima, dalam memberikan sandiwara tertentu, para aktor mungin terpaksa

membiarkan standar-standar lain melenceng, Akhirnya, para aktor mungkin merasa perlu

menyembunyikan setiap penghinaan, perendahan, atau perjanjian-perjanjian yang dibuat

8

agar sandiwara dapat terus berlangsung. Pada umumnya, para aktor mempunyai

kepentingan dalam menyembunyikan fakta-fakta itu dari para audiensnya.

Aspek-aspek lain dramaturgi dipanggung depan ialah bahwa para aktor sering

berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka lebih dekat dengan sudiens dari pada yang

sebenarnya. Contohnya, para aktor mungkin berusaha menumbuhkan kesan bahwa

sandiwara yang melibatkan mereka pada saat itu adalah satu-satunya sandiwara mereka

atau setidaknya sandiwara merekalah yang paling penting. Untuk melakukan hal itu, para

aktor harus yakin bahwa audiens mereka terpisah sehingga kepalsuan sandiwara itu tidak

dapat diungkap.

Teknik lain yang juga digunakan oleh aktor dalam memainkan sandiwaranya

adalah mistifikasi. Para aktor sering memistifikasi sandiwara mereka dengan membatasi

kontak antara pemain aktor tersebut dengan para audiens. Dengan menghasilkan jarak

sosial antara pemain sandiwara dengan para audiens, mereka mencoba menciptakan suatu

rasa kagum pada audiens. Hal itu, sebaliknya tidak lagi mempertanyakan audiens tentang

sandiwara itu. Sehingga kesan yang didapat oleh audiens adalah kesan yang memang

murni peran dalam sandiwara.

Menurut Goffman, “seorang pemain sandiwara dan audiens adalah sejenis tim”.

Tetapi, Goffman juga berbicara tentang sekelompok pemain sandiwara sebagai tim dan

audiens sebagai tim lainnya. Selain tu, Goffman juga berargumen bahwa suatu tim juga

dapat berupa individu tunggal.

2. Panggung Belakang (Back Stage)

Dalam asumsi dasar dari dramaturgi ini, Goffman memandang bahwa panggung

belakang atau back stage merupakan tempat dimana fakta-fakta ditindas di panggung

depan. Panggung belakang merupakan panggung yang berdekatan dengan panggung

depan. Suatu sandiwara akan sulit dilakukan apabila ada audiens yang memasuki

panggung belakang tersebut, disinilah aktor harus mampu mencegah audiens memasuki

panggung belakang itu.

9

Karakteristik Teori Dramaturgi

1. Tidak bersifat makro dan mikro

Dramaturgi hanya menekankan pada bagaimana actor melakukan perannya. Tidak

menekankan pada faktor-faktor lain diluar selain hal tersebut.

2. Tidak menekankan sebab – akibat

Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa

yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana

mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang

layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan

dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep

dasar dalam dramatisme.

3. Cenderung pada Positivisme

Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini

menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan

adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat

dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut

4. Dramaturgi hanya dapat berlaku di Institusi lokal

Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan

oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan

institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat

tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total

antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas.

Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin

tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi

(termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya.

Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut

pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam

institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang

10

akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa

ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.

Kritik Terhadap Teori Dramaturgi

Dramaturgis dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini

menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah

pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis

merupakan hal yang tidak patut. Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif

karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada

awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif

(kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku

objektif, berlaku natural, mengikuti alur.

1. Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total

Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh

sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan

institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat

tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total

antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas.

Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin

tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi

(termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya.

Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut

pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam

institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang

akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa

ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.

2. Menihilkan “kemasyarakatan”

Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi

ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”.

11

Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran

kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.

3. Dianggap condong kepada Positivisme

Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini

menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan

adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat

dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.

Pengelolaan kesan yang dibentuk oleh pengemis saat berada di wilayah panggung depan

( front stage) atau saat berinteraksi dengan orang lain (calon dermawan), sengaja

dilakukan karena apa yang ditampilkan oleh pengemis bertujuan untuk mendapatkan

pemberian atau sedekah dari orang lain (calon dermawan). Sedangkan pengelolaan kesan

yang dibentuk oleh pengemis saat berada di wilayah panggung belakang (back stage)

atau saat berada di lingkungan tempat tinggalnya, terjadi dengan tidak adanya tuntutan

untuk memperoleh pemberian atau sedekah dari orang lain (calon dermawan). Pengemis

tidak melakukan hal-hal seperti yang mereka lakukan pada saat berada di wilayah

panggung depan ( front stage) atau saat berinteraksi dengan calon dermawan. Pengemis

menjadi orang yang biasa dalam sebuah lingkungan sosial.

Interaksi Simbolik

Ketika kita membahas Dramaturgi maka kita juga harus membahas Intraksi Simbolik. Karena

dua teori ini sangatlah berkaitan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Untuk itulah mari

kita bahas tentang Interaksi Simbolik.

Tindakan. Mind, Self, Society; From The Stand Point of The Social Behaviorist (1972, dalam

Ritzer & Goodman, 2007:273). Berakar pada Psikologi Sosial, teori ini memperoleh landasan

konsep. Pengelompokkan manusia menghasilkan perkembangan keadaan mental kesadaran

diri, ada kumpulan individu yang mengorganisir perilaku baru kemudian memunculkan

kesadaran diri atau proses mental. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan behavioris yang

meletakkan perhatian pada rangsangan (stimulus) dan tanggapan (response). Dalam interaksi

sosial, stimulus diberlakukan sebagai rangsangan yang melalui proses mental diolah untuk

dihasilkan perilaku yang dipikirkan terlebih dahulu. Tindakan didahului dengan stimulus

12

menghasilkan respon sebagai tanggapan, dengan demikian terdapat empat tahapan tindakan

yang membingkai kesatuan organis perilaku manusia, yaitu :

(1). Impuls (impulse)

Atau dorongan hati yang mencakup stimulasi sebagai akibat kerja panca indera dan

kebutuhan aktor memenuhi rangsangan. Perbedaan impuls hewani dengan manusia

dalam menanggapi rasa lapar akan berbeda. Manusia berupaya memikirkan fakta

lingkungan sebagai penyedia sumber makanan kemudian memikirkan bagaimana

memenuhi dorongan untuk makan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber.

(2). Persepsi (perception)

Kapasitas merasa dan memahami stimuli melalui inderawi adalah bagian dari persepsi.

Manusia berlaku tidak tunduk pada rangsangan tetapi memikirkan melalui bayangan

mental. Ada banyak rangsangan dan ada alternatif respon, tindakan manusia selalu

terikat dengan objek rangsangan, tindakan dan objek satu kesatuan dialektis.

(3). Manipulasi (manipulation)

Setelah impuls mengenali objek langkah berikut adalah memanipulasi objek (mengambil

tindakan berkenaan dengan objek). Perbedaan hewan dengan manusia berada pada

kemampuan memanipulasi panca indera untuk memenuhi harapan terhadap objek.

Manusia menggunakan inderawinya untuk mengobservasi melalui tangannya, mencium

dengan hidungnya, dan meneliti lebih lanjut sebelum memakan sesuatu yang

dipersepsinya sebagai makanan beracun, adapun hewan tidak memiliki kapasitas ini.

Pengalaman masa lalu merupakan pengalaman mental yang digunakan manusia

mengenali berbagai stimulus.

(4). Konsumsi (consummation)

Tindakan akan dilakukan ketika aktor menilai bahwa makanan tersebut tidak beracun dan

dapat dimakan. Pilihan mengkonsumsi merupakan tahap keempat tindakan yang

memuaskan dorongan hati yang sebenarnya atau impuls.

Tindakan Sosial. Konsep impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumsi sebagai konsep tindakan

yang melibatkan satu aktor. Adapun tindakan sosial mengikutsertakan lebih dari satu orang.

Dalam tindakan sosial, maka konsep rujukannya berupa gerak atau sikap isyarat (gesture) yang

diartikan sebagai gerakan organisme pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang

13

menimbulkan tanggapan secara sosial yang tepat pada organisme kedua. Hewan dapat

membuat gesture, manusia pun demikian. Namun manusia mempunyai keterampilan lebih

dibanding binatang dalam mengelola isyarat. Terdapat dua pola isyarat, isyarat fisik dan isyarat

suara. Manusia berkecendrungan tidak memiliki kontrol memadai dalam soal gesture fisik

dibanding suara. Tarikan wajah penanda ketidaksukaan akan sulit disadari pemilik wajah

dibandingkan ketika yang bersangkutan berbicara dengan isyarat suara yang semula datar

menjadi ketus. Kita dapat merubah nada suara kembali ke isyarat datar tanpa memerlukan

waktu lama dibandingkan menyadari bahwa wajah kita mencerminkan nada marah sebab raut

wajah yang ketus. Sekali lagi perlu diingat, jika perilaku tersembunyi atau non-verbal menjadi

rujukan observasi utama dalam interaksi simbolik. Isyarat fisik dan suara menjadi mekanisme

manusia mengembangkan organisasi sosial, dan tindakan sosial menjelaskan kompleks

pengaturan yang dibuat manusia untuk membedakan dirinya dengan tindakan hewani.

Simbol Signifikan. Berjenis-jenis gerak isyarat dapat diciptakan manusia. isyarat menjadi

simbol signifikan ketika seseorang mengkomunikasikan pada pihak lain lantas memperoleh

tanggapan dari pihak lain selaku sasaran isyarat. Isyarat suara menjadi simbol signifikan

acuannya pada bahasa. Isyarat suara yang mendapat tanggapan dapat kita sebut bahasa

ketika komunikan menginterpretasi makna simbolik isyarat yang kita sampaikan. Fungsi dari

simbol signifikan ini adalah bagian dari proses mental, dengan kata lain berpikir adalah sama

artinya dengan berbicara pada orang lain. Analoginya, percakapan meliputi perilaku (berbicara)

dan perilaku mencakup aktifitas berpikir dan bertindak. Simbol signifikan memungkinkan bagi

terjadinya interaksi simbolik, manusia dapat saling terhubung melalui isyarat dan juga simbol

signifikan.

Pikiran (mind). Pikiran diartikan sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri,

dan kemampuan ini bagian dari fenomena sosial. sebab, kegiatan komunikasi intrapersonal

muncul dan berkembang melalui proses sosial.

Diri (self). Diri adalah kemampuan menerima diri sendiri sebagai objek. Diri merupakan

kemampuan khusus menjadi subjek maupun objek. Diri adalah prasyarat proses sosial.

manusia yang baru lahir jelasnya belum memiliki diri, konsep diri muncul dan berkembang

melalui interaksi sosial. asal-usul diri diciptakan, dibentuk oleh agen sosialiasi. Melalui tahapan

pembentukkan konsep diri sejak lahir hingga meninggal, yaitu :

(a). Tahap Bermain.

14

Dapat kita sebut play stage, suatu aktifitas sosialisasi ketika anak mengumpulkan

informasi menyangkut peranan orang lain. Kemampuan ini diajarkan agen sosialisasi

utama yaitu keluarga inti. Orang tua dan saudara kandung berkapasitas menciptakan

individu muda menjadi manusia yang dapat diterima lingkungannya.

(b). Tahap Permainan.

Pada tahap game stage anak menggunakan pengetahuan status dan peran orang lain

dalam dunia permainan. Bermain menjadi anggota pemadam kebakaran, polisi, dokter,

berperan sebagai orang tua, pengamen, dan sebagainya.

(c). Tahap Menggeneralisir Orang Lain.

The generalized other sebagai tahapan akhir ketika anak merealisasikan dalam dunia

sosial status dan perannya. Keterlibatannya dalam aktifitas sosial kooperatif dan

terorganisir mengharuskan anak mengembangkan diri secara utuh. Tahapan ini akan

terus berlanjut hingga seseorang meninggal dunia.

Interaksi sosial serupa medan magnit di mana manusia merencanakan dan mengaktualisasikan

pikirannya ke dalam tindakan sosial. Hanya tindakan sosial yang melibatkan proses mental

dapat diterima dalam kegiatan komunikasi. Karena aktifitas berpikir ini yang membedakan

manusia dengan mahluk bukan manusia. Adapun sosialisasi menyediakan ragam alternatif

yang dapat digunakan manusia untuk merespon objek fisik, sosial, dan abstrak yang disediakan

lingkungannya.

15

BAB II

Kakek 'Winnie the Pooh' di Sidoarjo Punya 7 istri dan Rumah Mewah

Merdeka.com - Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur membawa seorang kakek

berpakaian badut Winnie the Pooh dari depan Lippo Mall di Kota Udang itu. Pria di balik

kostum badut beruang kuning ini bernama Suaedi, hidup sebatang kara di daerah Driyorejo,

Gresik.

Diduga Suaedi rela melakoni pekerjaan dengan berkostum badut hanya modus, agar banyak

orang kasihan dan dirinya mendapat untung lebih banyak dari sekadar mengemis.

Kakek berumur 75 tahun itu juga mengaku menderita sakit stroke. Dengan dalih itu, meski sakit,

dia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya menjadi badut, berharap belas kasih orang. Dengan

berkostum beruang kuning itu, Suedi bisa kantongi Rp 500 ribu setiap harinya, hasil belas kasih

orang.

Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Sidoarjo Husni Tamrin akhirnya

perintahkan petugas membawa Suaedi agar dirawat di Liponsos Sidoarjo, Jalan Sidokare.

16

Hasil investigasi Liponsos, ternyata Suaedi adalah warga Mojokerto bukan Gresik dan memiliki

rumah mewah dengan tujuh istri serta lima anak. Si kakek beruang kuning itu, juga tidak

menderita stroke seperti dikabarkan banyak pihak.

"Setelah kita cek kesehatannya, dia enggak sakit. Senin kemarin, sekitar pukul 10.00 WIB, dia

kita pulangkan. Sesuai KTP-nya, dia warga Mojokerto. Dia kita serahkan ke Dinsos Mojokerto.

Dia juga dijemput satu dari lima anaknya," kata petugas yang ikut mendampingi Suaedi, Dayat

pada merdeka.com di Kantor Liponsos, Sidoarjo, Selasa (16/6).

Dayat mengungkapkan, Suaedi sebenarnya hanya mengaku sedang menderita stroke dan hidup

sebatang kara, untuk menarik belas kasih orang. "Hasil dari menjadi badut, dia bisa mendapat Rp

500 ribu per hari, ini dari pengakuannya sendiri. Dia bilang kalau sehari tidak dapat (Rp 500

ribu) itu, dia tidak akan pulang," tutur Dayat.

Disahuti petugas lain sambil tersenyum geli. "Dari hasil itu, dalam satu tahun dia bisa membeli

rumah di Mojokerto, beli motor Yamaha Vixion dan motor matik. Istrinya saja ada tujuh.

Katanya istri saya cuma tujuh saja. Cuma tujuh. Loh ini bener dari pengakuannya sendiri,"

katanya tersenyum geli menirukan keterangan Suaedi.

"Memang kemarin dia mengaku istrinya ada tujuh. Waktu kita bawa kemarin, kan bukan hanya

Suaedi, tapi istri ketujuhnya juga kita bawa. Entah istri-istrinya yang lain meninggal atau cerai,

kita tidak tahu. Yang jelas, dia bilang istrinya tujuh," kata Dayat lagi.

Jadi, masih menurut keterangan Dayat, saat Suaedi dibawa petugas Liponsos Sidoarjo pada

Minggu kemarin, tiba-tiba seorang perempuan mengaku anak Suaedi berlari menghampiri

petugas, dan mengatakan masalah itu.

"Pertama dia mengaku anaknya, tapi setelah kita desak ternyata mengaku istri ketujuh Suadi.

Namanya Karsih. Jadi, Karsih ini memang mengawasi Suaedi dari jauh setiap hari. Dia tidak ikut

berpakaian badut. Tapi dalam tasnya ada dua pakaian badut," tandasnya.

17

BAB III

BEDAH KASUS SESUAI TEORI DRAMTURGI

Dalam teori ini saya mengambil kasus Kakek 'Winnie the Pooh' di Sidoarjo. Bermula dari

reportase Radio “Suara Surabaya” di fans page Face Book-nya berdasarkan laporan beberapa

pendengar SS, pada Minggu, 14 Juni 2015, seorang kakek yang mengaku bernama Suaedi, dalam

tempo hanya dua hari mendadak mendapat perhatian dan simpatik dari ratusan ribu netizen, yang

terharu dengan kondisinya yang mengenaskan.

Betapa tidak usianya di atas 70 tahun, posturnya kecil sedikit bungkuk, kulitnya berkeriput,

berdasarkan pengakuannya: hidupnya sebatang kara, tanpa sanak-saudara, sudah dua tahun

terkena penyakit stroke, namun demikian setiap pagi dari rumahnya di daerah Driyorejo, Gresik,

sendirian dengan menggunakan angkutan kota, ia datang di kawasan bundaran tol Waru, depan

Mall City of Tomorrow, Sidoarjo untuk mencari nafkah di jalanan Sidoarjo. Dengan langkahnya

yang tertatih-tatih kakek Suaedi setiap hari berusaha menjalani profesinya sebagai pebadut dan

penghibur anak-anak dengan kostum Winny the Pooh-nya.

Namun, dari Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo itulah terungkap jati diri sebenarnya dari kakek

Suaedi. Ternyata, ia tidak sebagaimana pengakuannya tersebut. Diduga ia rela melakoni

pekerjaan dengan berkostum badut hanya modus, mengaku hidup sebatang kara, dan menderita

stroke, agar banyak orang kasihan dan dirinya mendapat lebih banyak uang daripada jika hanya

sekadar mengemis.

Menurut Merdeka.com, dari hasil investigasi Dinsosnaker Sidoarjo itu diketahui Suaedi ternyata

tidak menderita stroke, ia bukan tinggal di Gresik, tetapi Mojokerto. Suaedi juga bukan seorang

kakek yang hidupnya sebatang kara, sebaliknya ia punya lima orang anak, dan tujuh orang istri!

Dengan cara menampilkan diri sebagaimana digambarkan di atas, kakek Suaedi mengaku bisa

memperoleh penghasilan sampai Rp. 500.000 setiap hari. Ia bahkan tak akan pulang sebelum

mencapai penghasilan harian sebesar itu. Jadi, rata-rata sang kakek bisa berpenghasilan Rp.

15.000.000 per bulan!

"Dari hasil itu, dalam satu tahun dia bisa membeli rumah di Mojokerto, beli motor Yamaha

Vixion dan motor matik. Istrinya saja ada tujuh. Katanya, ‘Istri saya cuma tujuh saja.’ Cuma

18

tujuh. Lho, ini bener dari pengakuannya sendiri," kata seorang petugas Dinas Sosial Sidoarjo

sambil tersenyum geli menirukan keterangan Suaedi.

Dari bahasan di atas kita bisa lihat bahwa kakek ini sebenarnya tidaklah sesuai dengan pikiran

kita yang perlu dikasihani tapi ternyata Pak Suaedi ini menjadi pengemis hanyalah untuk modus

mendapatkan uang demi melangsungkan hidupnya.

Pengelolaan Kesan

Panggung Depan (Front Stage)

Pengelolaan kesan melalui bahasa verbal adalah pengelolaan kesan dengan meggunakan kata-kata atau bahasa. Peristiwa pengelolaan kesan oleh pengemis saat berinteraksi dengan calon dermawan merupakan peristiwa yang terjadi di wilayah panggung depan (front stage).

Perisitwa pengeloaan kesan oleh kaka ini adalah saat berinteraksi dengan calon dermawan. Disini dapat dibagi ke dalam dua tahap. Tahap pertama adalah ketika si kakek mecoba mendatangkan belas kasihan dari calon dermawan tentunya dengan menggunakan kata-kata. Kata-kata yang biasa mereka gunakan untuk mendapatkan sedekah dari calon dermawan adalah dengan mengucapkan kata salam seperti Assalamualaikum. Sedangkan tahap kedua adalah saat pengemis mendapatkan sedekah dari dermawan. Kata-kata yang mereka ucapkan setelah mendapatkan sedekah dari dermawan adalah kata terima kasih.

Pengelolaan kesan melalui bahasa nonverbal merupakan bagaimana kesan yang dibentuk seseorang dengan menggunakan bahasa tubuh atau isyarat seperti nada suara, gerakan tubuh, pakaian (appereance) dan ekspresi wajah. Pengelolaan kesan melalui bahasa nonverbal yang dilakukan oleh pengemis dinilai lebih dominan dari pada pengelolaan kesan melalui bahasa verbal. Terdapat beberapa aspek bahasa nonverbal yang dikelola oleh pengemis dalam memupuk kesan-kesan pada dirinya untuk ditunjukkan kepada orang lain (calon dermawan), diantaranya nada suara (manner), gerakan tubuh (manner), penampilan (appereance), ekspresi wajah (manner), alat (personal front) serta mistifikasi(mistification).

Nada suara merupakan bagian dari front pribadi (personal front). Nada suara umunya dipakai oleh si kakek disertai dengan bahasa verbal (kata-kata) sehingga peristiwa pengelolaan kesan melalui nada suara (bahasa nonverbal) oleh Pak Suaedi saat berinteraksi dengan calon dermawan dibagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama adalah nada suara ketika pengemis mengucapkan kata-kata salam seperti Assalamualaikum kepada orang lain (calon dermawan). Nada suara yang mereka gunakan adalah dengan lemah lembut, memelas, serta sedikit panjang. Pada bagian ini menurut saya sang kakek mengunakan kata yang sangat lembut dan memlas dan nada suara memelas dan lemah lembut merupakan jurus utama yang digunakan oleh si kakek untuk mendatangkan belas kasihan dari calon dermawan.

19

Pada sesi kedua adalah saat pengemis mendapatkan sedekah dari dermawan. Kata yang diucapkan pengemis adalah terima kasih atau Alhamdulillah. Nada suara yang mereka ucapkan umumnya masih sama dengan sesi pertama, yaitu dengan menggunakan nada suara memelas dan lemah lembut. Namun, jika mereka tidak diberi sedekah, mereka hanya diam, tidak mengucapkan apa-apa dan kemudian langsung pergi.

Gerakan tubuh merupakan bahasa isyarat yang menggunakan lambang-lambang isyarat seperti anggukan kepala sebagai tanda setuju atau pernyataan iya, menggelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju, mengacungkan jempol keatas yang menandakan sesuatu hal yang bagus dan lain sebagainya. Gerakan tubuh yang digunakan oleh si kakek adalah dengan berjalan kaki sampi bergoyang sambil memakai kostum badut winnie the pooh.

Gerakan mata adalah salah satu bentuk dari bahasa isyarat. Mata merupakan alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat tanpa kata. Dari hasil pengamatan, si kakek lebih sering memperlihatkan gerakan mata seperti memperhatikan. Saat beraktivitas, pengemis sering memperhatikan lingkungan sekitar mereka serta memperhatikan orang lain (calon dermawan) yang hendak melewati mereka dan memberi sedekah.

Penampilan adalah simbol-simbol aspek yang lebih mendalam tentang identitas seseorang, sehingga orang lain akan mendefinisikan serta memahami melalui penampilan tersebut (Littlejohn, 2009: 131).

Ekspresi wajah yang ditampilkan oleh sang kakek saat berinteraksi dengan orang lain (calon dermawan) dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama adalah ekspresi wajah si kakek saat mencoba mendatangkan belas kasihan dari orang lain (calon dermawan). Pada sesi pertama ini, Pak Suaedi tampak lebih sering menggunakan ekspresi wajah memelas dan kadang dengan ekspresi wajah datar. Sedangkan sesi kedua adalah ekspresi wajah Pak Suaedi saat memperoleh pemberian atau sedekah dari orang lain (calon dermawan). Pada sesi kedua, pengemis lebih sering tampak sedikit tersenyum sambil mengucapkan terima kasih atau Alhamdulillah.

Panggung Belakang (Back Stage)

Peristiwa pengelolaan kesan oleh pengemis saat berada di lingkungan tempat tinggal merujuk kepada wilayah panggung belakang (back stage).

Dari hasil pengamatan, pengemis hanya menggunakan bahasa daerah Minang, baik saat berada di wilayah panggung depan (front stage) maupun saat berada di wilayah panggung belakang (back stage). Bahasa daerah Minang menjadi bahasa yang selalu mereka gunakan untuk berkomunikasi baik dengan calon dermawan maupun dengan orang-orang di lingkungan tempat tinggal mereka. Gerakan tubuh si kakek yang tampak adalah memakai kostum winnie the pooh dan berjalan sepeti orang terkena penyakit stroke. Ini dilakukan untuk menarik perhatian para calon dermawan agar mendapatkan sedekah.

20

BAB IV

KESIMPULAN

Pada dasarnya, Teori Dramaturgi merupakan teori yang mempelajari proses dari perilaku dan

bukan hasil dari perilaku. Dimana teori ini menggambarkan sebuah sandiwara saat seseorang

ataupun sekelompok orang tersebut berperan bukan berdasarkan kepribadiannya melainkan

berdasarkan kondisi yang ada dan memanfaatkan peranan yang ia miliki. Yang didukung oleh

front dan back region yang ada. Front-nya mencakup setting, personal front (penampilan diri),

expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan back-nya mencakup

semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri

yang ada pada front.

Pengelolaan kesan yang dibentuk oleh si kakek ini saat berada di wilayah panggung depan (front stage) atau saat berinteraksi dengan orang lain (calon dermawan), sengaja dilakukan karena apa yang ditampilkan oleh pengemis bertujuan untuk mendapatkan pemberian atau sedekah dari orang lain (calon dermawan).

Sedangkan pengelolaan kesan yang dibentuk oleh pengemis saat berada di wilayah panggung belakang (back stage) atau saat berada di lingkungan tempat tinggalnya, terjadi dengan tidak adanya tuntutan untuk memperoleh pemberian atau sedekah dari orang lain (calon dermawan). Kakek ini tidak melakukan hal-hal seperti yang mereka lakukan pada saat berada di wilayah panggung depan (front stage) atau saat berinteraksi dengan calon dermawan. Kakek ini menjadi orang yang biasa dalam sebuah lingkungan sosial.

21

Daftar Pustaka

Sunarto, Kamanto

1993 Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.

West, Richard, dan Lynn H. Turner.

2008 Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Jakarta: Penerbit

Salemba Humanika.

22