Teori Bermain
-
Upload
aditya-r-himawan -
Category
Documents
-
view
49 -
download
2
description
Transcript of Teori Bermain
Teori-Teori Bermain Klasik Dan Modern
Menurut Soeparno (1987:60) menyatakan bahwa “permainan merupakan suatu aktivitas
untuk memperoleh suatu keterampilan tertentu dengan cara yang menggembirakan.”
Sedangkan menurut Rofi’uddin et al. (1999:248) menyatakan bahwa “permainan adalah
bentuk paling matang dari bentuk bermain, yaitu bentuk bermain sensori motor, bermain
fisik, bermain simbolik.”
Berdasar dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa permainan merupakan
aktivitas yang lebih kompleks dari bermain. Bermain memiliki cakupan yang lebih sederhana
dari permainan.
Mengenai bermain, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang bermain. Menurut
Tedjasaputra (2001:1) menyatakan bahwa “teori yang mempelajari tentang bermain dibagi
dua, yaitu teori klasik dan teori modern.” Sedangkan menurut Resmini dan Hartati
(2007:170) menyatakan bahwa:
teori permainan terdiri dari teori klasik dan teori dinamik. Teori klasik meliputi teori
surplus energi, relaksasi, pralatihan, dan rekapitulasi. Sedangakan teori dinamik meliputi teori
konstruktivisme, dan teori psikodinamik.
Berdasarkan dari hal tersebut dapat dijelaskan tentang teori dalam bermain sebagai
berikut.
a) Teori Klasik
(1) Teori Plato, Aristoteles, dan Frõbel
Menurut Tedjasaputra (2001:1) “Plato dianggap sebagai orang pertama yang
menyadari pentingnya nilai praktis dari bermain.” Aristoteles dan Frõbel sama-sama
berpendapat bahwa bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya bermain
digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada
anak.
(2) Teori Suplus Energi
Penggagas teori suplus energi adalah Herbert Spencer. Menurut Spencer (2001:2)
menyatakan bahwa :
kegiatan bermain seperti melompat, bergulingan yang menjadi ciri khas kegiatan anak
kecil maupun anak binatang perlu dijelaskan secara berbeda. Spencer berpendapat bahwa
bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya berlaku pada manusia serta
binatang dengan tingkat evaluasi tinggi.
(3) Teori Relaksasi
Teori relaksasi merupakan lawan dari teori suplus energi. Teori ini mengajukan dalil
bahwa bermain adalah untuk memulihkan energi yang sudah terkuras saat bekerja. Penggagas
teori relakasasi adalah Morrizt Lazarus. Menurut Lazarus (2001:3) menyatakan bahwa
“bermain merupakan lawan dari bekerja dan merupakan cara yang ideal untuk memulihkan
tenaga.”
(4) Teori Rekapitulasi
Penggagas teori rekapitulasi adalah G. Stanley Hall. Dasar teori ini merupakan teori
evoulusi dari Charles Darwin. Teori ini berpendapat bahwa anak merupakan mata rantai
evolusi dari binatang sampai menjadi manusia.
Menurut Tedjasaputra (2001:4) menyatakan bahwa
teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan
bermain yang mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup. sebagai contoh,
kesenangan anak untuk bermain. air dapat dikaitkan dengan kegiatan nenek moyangnya,
spesies ikan yang mendapat kesenangan di dalam ait
(5) Teori Praktis/Pralatihan
Penggagas teori ini adalah Karl Groos. Dasar teori ini adalah prinsip seleksi alamiah
yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Menurut Groos (Tedjasaputra,2001:5), menyatakan
bahwa :
Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai keterampilan yang
diperoleh melalui bermain. Bayi baru lahir dan bintatang mewarisi sejumlah instingtif yang
tidak sempurna dan insting ini penting guna mempertahankan hidup. Contoh bahwa bermain
dapat meningkatkan keterampilan dan merupakan kegiatan insting, dapat damati pada anak
kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai latihan menangkap mangsanya. bayi
menggerak-gerakan jari, tangan, kaki tiada lain sebagai latihan untuk mengkontrol tubuh.
Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang dibutuhkan untuk bicara.
b) Teori Modern
(1) Teori Psikoanalisis
Penggagas dari teori psikoanalisis adalah Sigmund Freud. Menurut Freud
(Tedjasaputra, 2001:7) menyatakan bahwa :
bermain sama seperti fantasi atau lamunan. Melalui bermain seseorang dapat
memproteksikan harapan-harapan maupun konflik pribadi. Bermain memegang peran penting
dalam perkembangan emosi anak. Anak dapat mengeluarkan semua perasaan negatif, seperti
pengalaman yang tidak menyenangkan/traumatik, dan harapan-harapan yang tidak terwujud
dalam realita melalui bermain. Sebagai contoh, setelah mendapat hukuman fisik dari guru,
anak dapat menyalurkan perasaan marahnya dengan bermain pura-pura memukul boneka.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa teori ini berdasar pada
anggapan bahwa bermain dapat mencapai tahap psikologi bagi sesorang dalam memunculkan
imajinasi atau fantasinya.
(2) Teori Kognitif
Para tokoh yang tergabung dalam teori kognitif antara lain Jean Piaget, Vygotsky,
Bruner, Sutton Smith serta Singer, masing-masing memberikan pandangannya mengenai
bermain.
Menurut Piaget (Tedjasaputra, 2001:8) tentang bermain yang didasarkan pada teori
perkembangan intelektual anak, menyatakan bahwa :
Bermain sejalan dengan tahap perkembangan kognisinya, kegiatan ini mengalami
perbuahan dari tahap sensori-motor, bermain khayal sampai kepada bermain sosial yang
disertai aturan permainan. Bermain bukan saja mencerminkan tahap perkembangan kognisi
anak, tetapi juga memberikan sumbangan terhadap perkembangan kognisi itu sendiri. Dalam
proses belajar perlu adaptasi dan adaptasi membutuhkan keseimbangan antara dua proses
yang saling menunjang asimlasi dan akomodasi. Bermain merupakan keadaan dimana
asimilasi lebih dominan dari pada akomoadasi. Sebagai contoh, pada episode bermain peran
yang dilakukan seorang anak bersama teman-temannya, Terjadi beberapa transformasi
simbolik seperti pura-pura menggunakan balok sebagai telur. Dari permainan itu anak tidak
belajar keterampilan baru, namun dia belajar mempraktekan keterampilan apa yang telah
dipelajari sebelumnya.
Sedangkan menurut Vigotsky (Tedjasaputra, 2001:10) menyatakan bahwa:
bermain didasarkan pada ketidakmampuan anak kecil berpikir abstrak. Bermain adalah
self helf tool. Misalnya, seorang anak yang rewel dan menangis kalau disuruh tidur, dalam
situasi bermain pura-pura, dia akan naik ke temapt tidur tanpa menangis. Dalam bermain,
anak mampu mengendalikan dirinya karena kerangkan bermain berada dibawah kontrol anak
atau yang dilakukan dalam situasi imajiner. Bermain identik dengan kaca pembesar yang
dapat menelaah kemampuan baru dari anak yang bersifat potensial sebelum diaktualisasikan
dalam situasi lain, khususnya dalam kondisi formal.
Selain itu bermain menurut teori Bruner (Tedjasaputra, 2001:10), menyatakan bahwa
“bermain sebagai sarana mengembangkan kreativitas dan fleksibilitas. Dalam bermain, yang
lebih penting bagi anak adalah makna bermain dan bukan hasil akhirnya.” Selanjutnya
menurut Sutton Smith (Tedjasaputra, 2001:12) menyatakan bahwa “bermain merupakan
adaptive variability. Variabilitas bermain memegang faktor kunci dalam perkembangan
manusia.”
(3) Teori Singer
Menurut Jerome Singer (Tedjasaputra, 2001:12) menyatakan bahwa ‘bermain
memberikan suatu cara bagi anak untuk memajukan kecepatan masuknya stimulus, baik dari
dunia luar maupun dari dalam yaitu aktivitas otak yang secara konstan memainkan kembali
dan merekam pengalaman.’
(4) Teori Arrousal Modulation Theory
Teori Arrousal Modulation Theory dikembangkan oleh Berlyne (1960) dan
dimodifikasi oleh Ellis (1973). Menurut Tedjasaputra (2001:13) menyatakan bahwa “teori ini
menekankan pada anak yang bermain sendirian atau anak yang suka menjelajah objek di
lingkungannya.” Sedangkan menurut Ellis (Tedjasaputra, 2001:13) menyatakan bahwa :
bermain sebagai aktivitas mencari rangsang yang dapat meningkatkan arrousal secara
optimal. Bermain menambah stimulasi dengan menggunakan objek dan tindakan baru serta
tidak biasa. Contoh kalau anak bosan main perosotan dari atas ke bawah, dia dapat
meningkatkan stmiulas dengan berjalan menaiki papan perosotan dari bawah ke atas.
(5) Teori Bateson
Menurut Bateson (Tedjasaputra, 2001:14) tentang bermain menyatakan bahwa
‘bermain bersifat paradoksial karena tindakan yang dilakukan anak saat bermain tidak sama
artinya dengan apa yang mereka maksudkan dalam kehidupan nyata.’
Bermain dan permainan memiliki keterkaitan satu sama lain. Hanya saja yang
membedakan antara keduanya adalah aturan. Sebagaimana menurut Rofi’uddin dan Zuhdi
(1999:256) menyatakan bahwa “ciri utama permainan yang membedakan dengan bermain
adalah adanya peraturan.”
KAJIAN PUSTAKA
Rofi’uddin, A., dan Zuhdi, D. (1999). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soeparno, (1988). Media Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: PT Intan Pariwara.
Tedjasaputra, M.S. (2001). Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta : Grasindo
BAB I
PENDAHULUAN
Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas
bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain
dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran di
pendidikan anak usia dini adalah bermain dan belajar.
Pada usia anaka – anak fungsi bermain berpengaruh besar sekali bagi perkembangan
anak. Jika pada orang dewasa sebagian besar perbuatannya diarahkan pada pencapaian tujuan
dan prestasi dalam bentuk kegiatan kerja, maka kegiatan anaka sebagian besar dalam bentuk
bermain.
Permainan adlah kesibukan ynag dipilih sendiri oleh tujuan umpamanya saja, jika
anak bayi berusaha menyentak-nyentakkan tangan dan kakinya dengan tidak henti-hentinya
meremas-remas jari-jari, dan teruis menerus menggoyang-goyangkan badannya.
Gerakan-gerakan tersebut dilakukan demi gerkan itu sendiri, dalam iklim psikis
bermain-main yang mengasyikkan dan menyenangkan hati. Kegiatan bermain bayi-bayi dan
anak-anak kecil itu lebih tepat jika disebutkan sebagai usaha mencoba-coba dan melatih diri.
Sekalipun kita menyangka anak itu Cuma bermain-main dengan rasa acuh tak acuh
saja, namun, pada hakikatnya kegiatan tadi disertai intensitas kesadaran, minat penuh, dan
usaha yang keras. Gerak-gerak bermain anaka itu disebabkan oleh :
Kelebihan tenaga yang teradapat pada dirinya dan dikemudian hari digerakkan
Dorongan belajar guna melatih semua fungsi jasmani dan rohani.
Dengan jalan bermain anak melakukan eksperimen-eksperimen tertentu dan
bereksplorasi, sambil mengetes kesanggupannya. Melalui permainan anak mendapatkan
macam-macam pengalaman yang menyenangkan, sambil menggiatkan usaha belajar dan
melaksanakan tugas-tugas perkembangan. Semua pengalamannya via kegiatan bermain-main
akan memberi dasar yang kokoh kuat bagi pencapaian macam-macam keterampilan. Yang
sangat diperlukan bagi pemecahan kesulitan hidup dikemudian hari.
Dalam makalah ini akan dibahas teori bermain bagi akan menurut beberapa teori.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI BERMAIN MENURUT AHLI
Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa,
karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya
perhatian mereka pada perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk
meletakkan dasar tentang bermain adalah Plato, seorang filsuf Yunani. Plato dianggap
sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain.
Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mepelajari aritmatika dengan cara membagikan
apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniature balok-balok kepada
anak usia tiga tahun pada akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi seorang ahli
bangunan.
Ada beberapa teori yang menjelaskan arti serta nilai permainan, yaitu sebagai
berikut[1] :
1. Teori Rekreasi yang dikembangkan oleh Schaller dan Nazaruz 2 orang sarjana Jerman
diantara tahun 1841 dan 1884. Mereka menyatakan permainan itu sebagai kesibukan
rekreatif, sebagai lawan dari kerja dan keseriusan hidup. Orang dewasa mencari kegiatan
bermain-main apabila ia merasa capai sesudah berkerja atau sesudah melakukan tugas-tugas
tertentu. Dengan begitu permainan tadi bisa “ me-rekriir ” kembali kesegaran tubuh yang
tengah lelah.
2. Teori Pemunggahan ( Ontlading Stheorie ) menurut sarjana Inggris Herbert Spencer,
permainan disebabkan oleh mengalir keluarnya enegi, yaitu tenaga yang belum dipakai dan
menumpuk apad diri anak itu menuntut dimanfaatkan atau dipekerjakan. Sehubungan dengan
itu energi tersebut “mencair” dan “menunggah” dalam bentuk permainan.
Teori ini disebut juga sebagai teori “kelebihan tenaga” ( krachtoverschot-theorie ). Maka
permainan merupakan katup-pengaman bagi energi vital yang berlebih-lebihan.
3. Teori atavistis sarjana Amerika Stanley Hall dengan pandangannya yang biogenetis
menyatakan bahwa selama perkembangannya, anak akan mengalami semua fase
kemanusiaan. Permainan itu merupakan penampilan dari semua factor hereditas ( waris, sifat
keturunan ): yaitu segala pengalaman jenis manusia sepanjang sejarah akan diwariskan
kepada anak keturunannya, mulai dari pengalaman hidup dalam gua-gua, berburu,
menangkap ikan, berperang, bertani, berhuma, membangun rumah sampai dengan
menciptakan kebudayaan dan seterusnya. Semua bentuk ini dihayati oleh anak dalam bentuk
permainan-permainannya.
4. teori biologis, Karl Groos, sarjana Jerman ( dikemudian hari Maria Montesori juga
bergabung pada paham ini ) : menyatakan bahwa permainan itu mempunyai tugas biologis,
yaitu melatih macam-macam fungsi jasmani dan rohani. Waktu-waktu bermain merupakan
kesempatan baik bagi anak untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkunagn hidup itu
sendiri.
Sarjana William Stren menyatakan permainan bagi anak itu sama pentingnya dengan taktik
dan manouvre- manouvre dalam peperangan , bagi orang dewasa. Maka anak manusia itu
memiliki masa remaja yang dimanfaatkan dengan bermain-main untuk melatih diri dan
memperoleh kegembiraan.
5. Teori Psikologis Dalam, menurut teori ini, permainan merupakan penampilan dorongan-
dorongan yang tidak disadari pada anaka – anak dan orang dewasa. Ada dua dorongan yang
paling penting menurut Alder ialah : dorongan berkuasa, dan menurut Freud ialah dorongan
seksual atau libidi sexualis. Alder berpendapat bahwa, permaina memberikan pemuasann atau
kompensasi terhadap perasaan- perasaan diri yang fiktif. Dalam permainan juga bisa
disalurkan perasaan-perasaan yang lemah dan perasaan- perasaan rendah hati.
6. Teori fenomenologis, professor Kohnstamm, seorang sarjana Belanda yang mengembangkan
teori fenomenologis dalam pedagogic teoritis,nya menyatakan, bahawa permaina merupakan
satu, fenomena/gejala yang nyata. Yang mengandung unsure suasana permainan. Dorongan
bermain merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain itu, yakni tidak khusus
bertujuan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, akan tetapi anak bermain untuk
permainan itu sendiri. Jadi, tujuan permainan adalah permaianan itu sendiri.
Pertengahan sampai akhir abad 19 teori evolusi sedang berkembang sehingga
pembahasan teori bermain banyak dipengaruhi oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi
untuk memulihkan tenaga sesorang setelah bekerja dan merasa jenuh. Pendapat ini
dipertanyakan karena pada anak kecil yang tidak bekerja tetap melakukan kegiatan bermain.
Jadi penjelasan mengenai kenapa terjadi kegiatan bermain pada makhluk hidup belum dapat
dijawab secara memuaskan.
Sebelum terjadi Perang Dunia ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat dikategorikan
dalam teori klasik. Mereka berusaha menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain serta
apa tujuan dari bermain. Ellis (dalam Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair
theories karena teori itu dibangun berdasarkan refleksi filosofis dan bukan melalui riset
eksperimental. Teori klasik mengenai bermain dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu
(1) surplus energi dan teori rekreasi, serta (2) teori rekapitulasi dan praktis. Friedrich Schiller
seorang penyair berkebangsaan Jerman (abad 18) dan Herbert Spencer seorang filsuf Inggris
(abad 19) mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan mengapa ada perilaku bermain.
Herbert Spencer di dalam bukunya Principles of Psychology, pertengahan abad 19 (dalam
Millar, 1972) mengemukakan bahwa kegiatan bermain seperti berlari, melompat, bergulingan
yang menjadi ciri khas kegiatan anak kecil maupun anak binatang perlu dijelaskan secara
berbeda.
Spencer berpendapat bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya
berlaku pada manusia serta binatang dengan tingkat evolusi tinggi. Pada binatang yang
mempunyai tingkat evolusi lebih rendah, misalnya serangga, katak energi tubuh lebih
dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup. Ketrampilan kelompok binatang dengan tingkat
evolusi rendah sangat terbatas sehingga harus banyak menguras tenaga untuk
mempertahankan hidup. Energi lebih ini dapat diumpamakan sebagai sistem kerja air atau gas
yang akan menekan ke semua arah untuk mencari penyaluran. Tekanan akan lebih kuat dan
butuh penyaluran yang lebih banyak bila volume air atau gas sudah melebihi daya
tampungnya.
Pada masa tersebut teori surplus energi mempunyai pengaruh besar terhadap
psikologi, namun teorinya dirasakan kurang tepat dan mendapat tantangan. Sebagai contoh,
anak akan cepat-cepat akan menyelesaikan tugas kalau dijanjikan boleh bermain setelah
tugasnya selesai. Bayi yang sudah mengantuk seringkali tetap ingin bermain dengan
mainannya. Dari kedua contoh tersebut, jelas tergambar bahwa bermain merupakan suatu
insentif, dan bukan muncul akibat kelebihan energi.
Abad 19, teori evolusi mempunyai pengaruh besar terhadap studi tentang anak. Apa
yang dikemukakan Herbert Spencer dirasakan terlalu spekulatif tetapi pendapat Charles
Darwin di dalam bukunya Origin of Species (dalam Millar, 1972) tidak dapat diabaikan
begitu saja. Bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari makhluk yang lebih rendah
akhirnya merangsang dan mendorong minat para ilmuwan untuk mempelajari perkembangan
manusia sejak bayi sampai menjadi dewasa. Kalau sebelumnya pendekatan yang dilakukan
untuk mempelajari perilaku manusia bersifat spekulatif, maka sejak saat itu dilakukan lebih
ilmiah, melalui metode observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat pencatatan atas
perkembangan anak-anak mereka.
G. Stanley Hall, seorang profesor Psikologi dan paedagogi berminat terhadap teori
evolusi dan bidang pendidikan, dia juga mempelajari perkembangan anak. G. Stanley Hall
meninjau bermain dari teori rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: ”anak
merupakan mata rantai evolusi dari binatang sampai menjadi manusia”. Artinya anak
menjalankan semua tahapan evolusi, mulai dari protozoa (hewan bersel satu) sampai menjadi
janin. Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur dengan sperma sampai anak lahir, melampaui
beberapa tahap perkembangan yang serupa dengan urutan perkembangan dari species ikan
sampai menjadi species manusia. Dengan demikian, perkembangan sesorang akan
mengulangi perkembangan ras tertentu sehingga pengalaman-pengalaman ’nenek
moyangnya’ akan tertampil didalam kegiatan bermain pada anak (dalam Millar, 1972 dan
johnson et al, 1999). Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai
tahapan kegiatan bermain yang mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup.
Sebagai contoh, kesenangan anak untuk bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan ’nenek
moyangnya’, species ikan yang mendapat kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan
untuk memanjat pohon dan berayun dari satu dahan ke dahan lain sebagai cerminan
kebiasaan monyet dan perilaku bermain jenis ini muncul sebelum anak terlibat dalam
kegiatan bermain kelompok. Anak usia 8 – 12 tahun, anak senang berkemah, berperahu,
memancing, berburu bersama sekelompok teman dan ini merupakan cermin kebiasaan
masyarakat primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja mempunyai kelemahan,
tetapi setidaknya dapat di anggap mempunyai peran besar karena berhasil mendorong minat
ilmuwan lain untuk mempelajari perilaku anak dalam berbagai tahap usia.
Teori praktis yang diajukan oleh Karl Groos, seorang filsuf yang meyakini bahwa
bermain berfungsi untuk memperkuat instink yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di
masa mendatang. Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh
Charles Darwin. Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai
ketrampilan yang diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru lahir dan juga binatang
mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini penting guna
mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat bagi yang masih muda dalam melatih dan
menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan
mengelaborasi ketrampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.
Contoh bahwa bermain berfungsi sebagai sarana melatih ketrampilan untuk bertahan
hidup dapat kita amati pada anak-anak kucing yang lari mengejar dan menangkap bola
sebagai latihan menangkap mangsanya. Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada lain
sebagai latihan untuk mengkontrol tubuh. Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang
dibutuhkan untuk bicara.
Teori yang dikemukakan Gross mengandung kelemahan, tetapi sekaligus memberi
sumbangan karena kegiatan bermain yang dulunya dianggap tidak berguna, pada
kenyataannya mempunyai manfaat secara biologis, paling tidak untuk mempertahankan
hidup. Selain itu pendapat bahwa bermain merupakan sarana melatih ketrampilan tertentu
masih bisa diterima.
Tabel: Teori-teori Klasik
No Teori Penggagas Tujuan Bermain
1 Surplus
Energi
Schiller/Spencer Mengeluarkan energi
berlebihan
2 Rekreasi Lazarus Memulihkan tenaga
3 Rekapitulasi Hall Memunculkan instink
nenek moyang
4 Praktis Groos Menyempurnakan
instink
Pentingnya Bermain Untuk Anak Usia Dini
Bermain merupakan kegiatan yang tidak pernah lepas dari anak. Keadaan ini menarik
minat peneliti sejak abad ke 17 untuk melakukan penelitian tentang anak dan bermain.
Peneliti ingin menunjukkan sejauhmana bermain berpengaruh terhadap anak, apakah hanya
sekedar untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan sosial atau sekedar untuk mengisi
waktu luang.
Pendapat pertama tentang bermain oleh Plato mencatat bahwa anak akan lebih mudah
memahami aritmatika ketika diajarkan melalui bermain. Pada waktu itu Plato mengajarkan
pengurangan dan penambahan dengan membagikan buah apel pada masing-masing anak.
Kegiatan menghitung lebih dapat dipahami oleh anak ketika dilakukan sambil bermain
dengan buah apel. Eksperimen dan penelitian ini menunjukkan bahwa anak lebih mampu
menerapkan aritmatika dengan bermain dibandingkan dengan tanpa bermain.
Pendapat selanjutnya oleh Aristoteles, ia mengatakan bahwa ada hubungan yang
sangat erat antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang akan dilakukan anak dimasa
yang akan datang. Menurut Aristoteles, anak perlu dimotivasi untuk bermain dengan
permainan yang akan ditekuni di masa yang akan datang. Sebagai contoh anak yang bermain
balok-balokan, dimasa dewasanya akan menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar maka
akan menjadi pelukis, dan lain sebagainya.
Akhir abad 19, Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak
memiliki energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang
mengatakan bahwa anak bermain (melompat, memanjat, berlari dan lain sebagainya)
merupakan manifestasi dari energi yang ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer
bertujuan untuk mengisi kembali energi seseorang anak yang telah melemah.
Sigmund Freud berdasarkan Teori Psychoanalytic mengatakan bahwa bermain
berfungsi untuk mengekspresikan dorongan implusif sebagai cara untuk mengurangi
kecemasan yang berlebihan pada anak. Bentuk kegiatan bermain yang ditunjukan berupa
bermain fantasi dan imajinasi dalam sosiodrama atau pada saat bermain sendiri. Menurut
Freud, melalui bermain dan berfantasi anak dapat mengemukakan harapan-harapan dan
konflik serta pengalaman yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, contoh, anak
main perang-perangan untuk mengekspresikan dirinya, anak yang meninju boneka dan pura-
pura bertarung untuk menunjukkan kekesalannya.
Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga mengungkapkan bahwa
bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan
kiri secara seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf
pemahaman yang berguna untuk masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif
adalah kondisi yang sangat baik untuk menerima pelajaran.
Berdasarkan kajian tersebut maka bermain sangat penting bagi anak usia dini karena
melalui bermain mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak. Aspek tersebut ialah
aspek fisik, sosial emosional dan kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik
yaitu melalui permainan motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh,
belajar keseimbangan, kelincahan, koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya. Adapun
dampak jika anak tumbuh dan berkembang dengan fisik/motorik yang baik maka anak akan
lebih percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki konsep diri yang positif .
Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu pembentuk aspek sosial emosional
anak.
Bermain mengembangkan aspek sosial emosional anak yaitu melalui bermain anak
mempunyai rasa memiliki, merasa menjadi bagian/diterima dalam kelompok, belajar untuk
hidup dan bekerja sama dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada. Dengan
bermain dalam kelompok anak juga akan belajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya
dengan anak yang lain, belajar untuk menguasai diri dan egonya, belajar menahan diri,
mampu mengatur emosi, dan belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari sisi emosi, keinginan
yang tak terucapkan juga semakin terbentuk ketika anak bermain imajinasi dan sosiodrama.
Aspek kognitif berkembang pada saat anak bermain yaitu anak mampu meningkatkan
perhatian dan konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas, mampu berfikir divergen,
melatih ingatan, mengembangkan prespektif, dan mengembangkan kemampuan berbahasa.
Konsep abstrak yang membutuhkan kemampuan kognitif juga terbentuk melalui bermain,
dan menyerap dalam hidup anak sehingga anak mampu memahami dunia disekitarnya
dengan baik.
Bermain memberi kontribusi alamiah untuk belajar dan berkembang, dan tidak ada satu
program pun yang dapat menggantikan pengamatan, aktivitas, dan pengetahuan langsung
anak pada saat bermain.
Salah satu cara anak mendapatkan informasi adalah melalui bermain. Bermain
memberikan motivasi instrinsik pada anak yang dimunculkan melalui emosi positif. Emosi
positif yang terlihat dari rasa ingin tahu anak meningkatkan motivasi instrinsik anak untuk
belajar. Hal ini ditunjukkan dengan perhatian anak terhadap tugas. Emosi negative seperti
rasa takut, intimidasi dan stress, secara umum merusak motivasi anak untuk belajar. Rasa
ingin tahu yang besar, mampu berpikir fleksibel dan kreatif merupakan indikasi umum anak
sudah memiliki keinginan untuk belajar. Secara tidak langsung bermain sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan anak untuk belajar dan mencapai sukses. Hal ini sesuai dengan teori
bermain yang dikemukakan oleh James Sully, bahwa bermain berkait erat dengan rasa senang
pada saat melakukan kegiatan (Mayke S Tedjasaputra; 2001)
Aktifitas bermain yang belajar memberikan jalan majemuk pada anak untuk melatih
dan belajar berbagai macam keahlian dan konsep yang berbeda. Anak merasa mampu dan
sukses jika anak aktif dan mampu melakukan suatu kegiatan yang menantang dan kompleks
yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Oleh karena itu pendidik seharusnya
memberikan materi yang sesaui, lingkungan belajar yang kondusif, tantangan, dan
memberikan masukan pada anak untuk menuntun anak dalam menerapkan teori dan
melakukan teori tersebut dalam kegiatan praktek.
Ciri Utama Bermain
Pentingnya arti bermain bagi anak mendorong seorang tokoh psikologi dan filsafat
terkenal Johan Huizinga untuk ikut merumuskan teori bermain. Ia mengemukakan bahwa
bermain adalah hal dasar yang membedakan manusia dengan hewan. Melalui kegiatan
bermain tersebut terpancar kebudayaan suatu bangsa. Namun beberapa orang tidak dapat
membedakan kegiatan bermain dengan kegiatan tidak bermain. Pendidikan prasekolah yang
menerapkan prinsip pendidikan anak dengan belajar yang bermain, mengalami kerancuan
dalam makna. Untuk itu perlu diklasifikasikan antara kegiatan bermain dengan kegiatan yang
bukan bermain.
Menurut Rubin, Fein, & Vandenverg dalam Hughes ada 5 ciri utama bermain yang
dapat mengidentifikasikan kegiatan bermain dan yang bukan bermain[2] :
1. Bermain didorong oleh motivasi dari dalam diri anak. Anak akan melakukannya
apabila hal itu memang betul-betul memuaskan dirinya. Bukan untuk mendapatkan
hadiah atau karena diperintahkan oleh orang lain.
2. Bermain dipilih secara bebas oleh anak. Jika seorang anak dipaksa untuk bermain,
sekalipun mungkin dilakukan dengan cara yang halus, maka aktivitas itu bukan lagi
merupakan kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang ditugaskan oleh guru TK
kepada murid-muridnya, cenderung akan dilakukan oleh anak sebagai suatu
pekerjaan, bukan sebagai bermain. Kegiatan tersebut dapat disebut bermain jika anak
diberi kebebasan sendiri untuk memilih aktivitasnya.
3. Bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Anak merasa gembira dan
bahagia dalam melakukan aktivitas bermain tersebut, tidak menjadi tegang atau stress.
Biasanya ditandai dengan tertawa dan komunikasi yang hidup.
4. Bermain tidak selalu harus menggambarkan hal yang sebenarnya. Khususnya pada
anak usia prasekolah sering dikaitkan dengan fantasi atau imajinasi mereka. Anak
mampu membangun suatu dunia yang terbuka bagi berbagai kemungkinan yang ada,
sesuai dengan mimpi-mimpi indah serta kreativitas mereka yang kaya.
5. Bermain senantiasa melibatkan peran aktif anak, baik secara fisik, psikologis, maupun
keduanya sekaligus.
BAB III
KESIMPULAN
Anak dan bermain tidak dapat dipisahkan. Dorongan alamiah anak adalah bermain.
Beberapa manfaat diperoleh dari kegiatan bermain yaitu dapat mengembangkan aspek
perkembangan anak. Tahapan perkembangan anak juga dapat menjadi ciri dalam kegiatan
bermain anak, sehingga kegiatan bermain dapat diprediksi dan dijadikan acuan dalam
perkembangan anak. Ketika pentingnya bermain dapat dipahami oleh pendidik maka
pendidik dapat mengupayakan kegiatan bermain menjadi lebih utama dalam kegiatan belajar
untuk anak. Upaya lain yang dapat dilakukan pendidik adalah dengan merancang lingkungan
yang kondusif untuk anak bermain, dan menjadi fasilitator serta motivator untuk anak ketika
anak sedang bermain.
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth H, Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga, 1978
http://marthachristianti.wordpress.com/2008/03/11/anak-bermain/
http://sugiparyanto-sugiparyanto.blogspot.com/2009/01/sejarah-perkembangan-teori-
bermain.html
Kartono, Kartini,Psikologi Anak, Bandung : Bandar Maju : 1995
Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Mayke Sugianto, Bermain, Mainan dan Permainan, Jakarta : Dirjen Pendidikan Tinggi, 1995