Templat tugas akhir S1 - IPB Repository
Transcript of Templat tugas akhir S1 - IPB Repository
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perairan laut di Indonesia menjadi habitat bagi berbagai jenis ikan. Jumlah
jenis ikan yang ada di perairan laut dan payau Indonesia mencapai 3.720 spesies
(Rueckert et al. 2008). Sumberdaya ikan di Indonesia cukup melimpah, termasuk
di Perairan Banten. Perairan tersebut menjadi tempat kegiatan perikanan tangkap
dan memiliki beberapa tempat pendaratan ikan. Ikan tongkol menjadi salah satu
ikan target yang ditangkap di Selat Sunda, dan termasuk dalam 10 besar komoditi
unggulan yang ditangkap di Teluk Banten (Ernaningsih et al. 2012).
Ikan tongkol termasuk dalam keluarga Scombridae dengan ciri utama berupa
garis serong berwarna hitam pada bagian punggung dan bintik hitam di antara sirip
dada dan perut (Hidayat et al. 2018). Ikan ini menghabiskan sebagian besar
waktunya di perairan pesisir (Masuswo dan Widodo 2016) dan sering dimanfaatkan
sehari-hari sebagai ikan konsumsi. Pratama et al. (2011) menjelaskan bahwa ikan
tongkol mengandung nutrisi yang cukup baik, salah satunya asam lemak tak jenuh.
Hidayati et al. (2016) menjelaskan ikan tongkol adalah ikan pelagis dan merupakan
salah satu komoditi perikanan yang sering diekspor oleh Indonesia. Negara target
utama ekspor ikan tongkol dari Indonesia salah satunya adalah Jepang (Chodrijah
et al. 2013). Salah satu masalah yang dapat merugikan berbagai aspek dari
pengelolaan perikanan tongkol adalah adanya infeksi oleh parasit.
Parasit adalah organisme yang hidup di atas atau di dalam organisme lain
(inang), sebagian besar adalah cacing, dan telah beradaptasi untuk hidup sebagai
parasit (memiliki alat penghisap, kait, atau menghasilkan banyak telur). Parasit
mampu merubah sifat kimia dirinya agar sesuai dengan tubuh inangnya (Levine
1990). Biasanya dalam satu inang terdapat lebih dari satu parasit, dan hidup saling
mempengaruhi. Keanekaragaman jenis parasit ikan cukup tinggi di perairan laut
Indonesia.
Kelimpahan parasit dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik, dan sangat
bergantung pada ikan yang menjadi inangnya (Rueckert et al. 2008). Ekologi,
migrasi, rekrutmen, dan kondisi lingkungan dari inang berkaitan dengan
keberadaan parasit. Parasit yang ada di perairan menginfeksi ikan di berbagai
tingkatan trofik. Rohde (2005) menjelaskan suhu dan kesuburan perairan adalah
dua parameter lingkungan penting yang dapat mempengaruhi keberadaan cacing
parasitik.
Infeksi cacing parasitik pada ikan tongkol memiliki dampak terhadap aspek
ekologis, ekonomis, maupun biologis. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan
bahwa terdapat infeksi cacing seperti Didymozoon diverticulatum di Teluk
Benggala (Madhavi dan Sai Ram 2000), Anisakis spp. di daerah Pekalongan
(Linayati dan Madusari 2019), dan Anisakis simplex di daerah Aceh Besar (Hidayati
et al. 2016). Beberapa jenis parasit pada penelitian yang sudah dilakukan tergolong
dalam parasit zoonotik.
Meski parasit lebih dikenal memberikan dampak negatif, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa parasit memiliki dampak positif. Kleinertz et al. (2012)
menjelaskan parasit ikan dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator lingkungan.
Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Rueckert et al. (2008) di Segara
2
Anakan (Cilacap), menunjukkan parasit dapat digunakan dalam memantau biomasa
bakteri, logam berat, atau tekanan lingkungan lain. Parasit juga memiliki potensi
sebagai penanda suatu populasi ikan, seperti dalam penelitian Mattiucci et al.
(2014) yang membandingkan populasi ikan setuhuk di Laut Mediterania dan
Atlantik.
Jenis parasit yang sangat beranekaragam di perairan menjadi menarik untuk
diteliti, terutama di Perairan Banten. Informasi dari penelitian ini dapat dijadikan
salah satu acuan dalam pengelolaan perairan, dengan mengendalikan kemungkinan
ikan sebagai vektor penyakit baik bagi ekosistem maupun manusia yang
memanfaatkan sumber daya tersebut.
Rumusan Masalah
Parasit pada ikan laut tropis memiliki keragaman dan kelimpahan yang tinggi.
Jenis parasit dalam bidang pengelolaan sumber daya perairan masih belum banyak
diketahui. Parasit yang menginfeksi ikan di alam dapat menjadikan ikan tersebut
sebagai vektor penyakit bagi berbagai biota lain melalui interaksi ekologis yang
kompleks. Beberapa jenis cacing parasitik bersifat zoonotik, yang dapat berdampak
besar terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan.
Keberadaan parasit dapat digambarkan dengan berbagai parameter.
Parameter parasitologi yang meliputi prevalensi, intensitas, intensitas rataan, dan
kelimpahan rataan dapat digunakan untuk menggambarkan keberadaan parasit. Hal
tersebut disertai faktor kondisi ikan sebagai inang dari parasit, serta parameter
lingkungan yang meliputi suhu permukaan laut dan kesuburan.
Parameter parasitologi memberikan informasi terkait dampak yang dimiliki
oleh parasit yang ditemukan baik terhadap inang maupun lingkungannya. Faktor
kondisi dapat menjadi acuan dalam menilai kesehatan ikan sebagai inang. Suhu
permukaan laut dan kesuburan memberikan informasi tekait makrohabitat parasit.
Penelitian ini cukup penting untuk dilakukan agar diketahui keterkaitan antara
cacing parasitik dengan lingkungan dan inangnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis keragaman jenis cacing parasitik pada
ikan tongkol (Euthynnus affinis) dari Perairan Banten serta menduga korelasi
jumlah cacing parasitik terhadap kondisi biologis ikan sebagai inang dan
lingkungannya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cacing
parasitik yang menginfeksi ikan tongkol di Perairan Banten serta sebagai informasi
dalam melakukan pemantauan sebaran penyakit dan kondisi ekosistem perairan
tersebut.
3
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Oktober 2020. Pengambilan
sampel ikan tongkol dari Teluk Banten dilakukan di Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Karangantu pada bulan Maret 2020 dan dari Selat Sunda di
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke pada bulan Juli 2020. Identifikasi,
pengukuran morfometrik, pembedahan ikan tongkol, dan identifikasi cacing
parasitik dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Divisi Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Prosedur Pengambilan Data
Pengambilan sampel ikan
Sampel ikan tongkol (Gambar 1) diambil secara acak dengan ukuran relatif
seragam untuk dianalisis parasitnya. Pengambilan sampel ikan tongkol segar
dilakukan dengan membeli dari nelayan atau pedagang lokal yang ada di PPN
Karangantu sebanyak 30 ekor dan PPI Muara Angke sebanyak 15 ekor. Ikan yang
telah didapatkan kemudian didinginkan dalam cool box dan dibawa ke laboratorium.
Ikan disimpan dalam keadaan beku hingga pengamatan dilakukan.
Gambar 1 Ikan tongkol (Euthynnus affinis Cantor, 1849).
Pengamatan cacing parasitik
Pengamatan cacing parasitik mengacu pada Kleinertz et al. (2012). Panjang
total ikan tongkol diukur menggunakan mistar dengan ketelitian 0,05 cm dan bobot
total ikan tongkol diukur menggunakan neraca digital dengan ketelitian 0,01 gram.
Kulit, sirip, mata, nostril, rongga mulut, insang, dan operkulum diperiksa untuk
menemukan ektoparasit, sedangkan organ dalam diperiksa untuk menemukan
endoparasit. Ikan tongkol diletakkan pada alas berwarna hitam dan dibedah dengan
menggunting bagian bawah perut dari anus. Rongga tubuh diperiksa untuk
memastikan keberadaan cacing.
Usus dan lambung ikan tongkol masing-masing dibuka menggunakan
gunting bedah dan diletakkan di dalam botol bening terpisah. Larutan fisiologis
dituangkan ke dalam botol, dan botol ditutup. Botol dikocok hingga isi lambung
4
dan usus keluar dari organ. Botol didiamkan hingga isi lambung dan usus
mengendap. Air dalam botol dibuang sedikit demi sedikit hingga tersisa sedikit air
dan endapan. Endapan dan air tersebut dituang ke dalam cawan Petri dan diamati
menggunakan mikroskop stereo.
Gonad, hati, dan empedu diletakkan pada cawan petri yang terpisah dan diberi
sedikit larutan fisiologis agar tidak kering. Organ tersebut kemudian ditekan
menggunakan cawan Petri lain hingga hancur dan diamati keberadaan cacingnya.
Organ insang digunting dan dipisahkan tiap lembarnya, kemudian diletakkan di
cawan Petri berisi larutan fisiologis dan diamati dengan mikroskop stereo.
Pengamatan organ menggunakan mikroskop dibantu dengan jarum bedah untuk
menggerakkan organ dalam cawan.
Proses pengawetan dan pewarnaan diacu dari Indaryanto et al. (2014). Cacing
yang didapatkan kemudian diambil menggunakan pipet tetes atau jarum bedah dan
diletakkan dalam cawan berisi larutan fisiologis sebelum diawetkan dengan etanol
70%. Pembuatan preparat dengan metode pewarnaan perlu dilakukan sebelum
proses identifikasi. KOH 10% dan minyak cengkeh digunakan sebagai pewarna
cacing Nematoda dan Acanthocephala. Spesimen yang didapatkan direndam dalam
KOH 10% selama 1–3 menit, kemudian dimasukkan ke cawan berisi minyak
cengkeh selama 1–3 menit. Kemudian direndam dalam beberapa cawan berisi
etanol bertingkat (70%, 85%, 90%, dan absolut) masing-masing 5 menit. Spesimen
yang sudah selesai direndam kemudian difiksasi dengan entellan.
Semichon’s acetocarmin digunakan sebagai pewarna cacing Trematoda dan
Cestoda. Cacing yang ditemukan direndam dalam pewarna selama 15–20 menit,
kemudian dibilas dengan asam alkohol selama 5–7 menit. Spesimen kemudian
direndam dalam etanol bertingkat masing-masing 5 menit. Spesimen kemudian
direndam dalam xylol sampai spesimen terlihat transparan. Spesimen yang sudah
selesai direndam xylol kemudian difiksasi. Identifikasi cacing parasitik yang
didapatkan mengacu pada Hendrix (1994), Rohde (1978), Arai dan Smith (2016),
Liang-Sheng (1960), Gibson, (1996), Amin (1987), serta Amin dan Nahhas (1994).
Pengambilan data sekunder
Data sekunder yang digunakan berupa suhu permukaan laut dan klorofil-a.
Data parameter di kedua lokasi diambil dari situs oceancolor.gsfc.nasa.gov sesuai
dengan waktu pengambilan ikan tongkol di PPN Karangantu dan PPI Muara Angke.
Data dalam format SMI diunduh dan diolah menggunakan aplikasi SeaDAS,
kemudian diolah dengan aplikasi Microsoft Excel.
Analisis Data
Faktor kondisi
Faktor kondisi menggambarkan kondisi tubuh ikan melalui hubungan
panjang-bobot. Hal tersebut berkaitan dengan kegemukan dan kesehatan (Mulfizar
et al. 2014). Rumus yang digunakan untuk menghitung faktor kondisi ikan adalah
berikut.
K = W
L3 ×100
5
Keterangan:
K : faktor kondisi
W : bobot total individu ikan (gram)
L : panjang total ikan (cm)
Prevalensi (P)
Prevalensi adalah jumlah individu inang yang terinfeksi parasit dibagi jumlah
individu inang yang diamati. Hasil prevalensi dinyatakan dalam %. Nilai prevalensi
mendeskripsikan keberadaan parasit pada inang, tanpa memperhatikan proses
infeksi pada inang terjadi. Rumus prevalensi menurut Bush et al. (1997) dapat
dinyatakan sebagai berikut.
Prevalensi (%) = n
N × 100
Keterangan:
n : jumlah ikan yang terinfeksi parasit jenis tertentu
N : jumlah ikan yang diamati
Kategori prevalensi menurut Williams dan Williams (1996) sebagai berikut:
Selalu : 100–99%
Hampir selalu : 98–90%
Biasa : 89–70%
Sering kali : 69–50%
Umum : 49–30%
Sering : 29–10%
Terkadang : 9–1%
Jarang : <1–0,1%
Sangat jarang : <0,1–0,01%
Hampir tidak pernah : <0,01%
Intensitas (I)
Bush et al. (1997) menjelaskan bahwa intensitas merupakan parameter yang
menggambarkan jumlah individu suatu spesies parasit pada satu individu inang.
Kleinertz et al. (2012) menjelaskan bahwa intensitas dituliskan dalam bentuk
rentang.
Kategori intensitas menurut Williams dan Williams (1996) sebagai berikut:
Sangat ringan : <1
Ringan : 1–5
Sedang : 6–50
Berat : 51–100
Sangat berat : 100+
Superinfeksi : 1.000+
Intensitas rataan (mI)
Intensitas rataan menurut Bush et al. (1997) merupakan jumlah parasit jenis
tertentu yang ditemukan pada keseluruhan individu inang yang terinfeksi jenis
parasit tersebut. Intensitas rataan adalah bentuk lain dari densitas yang dihitung
dengan satuan individu inang.
6
Intensitas rataan (Ind/inang) = p
n
Keterangan:
p : jumlah parasit jenis tertentu
n : jumlah ikan yang terinfeksi parasit jenis tertentu
Kelimpahan rataan (mA)
Bush et al. (1997) menjelaskan kelimpahan rataan sebagai suatu bentuk
densitas, di mana kelimpahan suatu jenis parasit dihitung dalam keseluruhan
populasi ikan yang diamati. Berbeda dengan intensitas, kelimpahan dapat bernilai
0 sebab ikan yang tidak memiliki parasit pun masuk dalam perhitungan, sedangkan
intensitas hanya memperhitungkan ikan yang terinfeksi atau terinfestasi.
Kelimpahan rataan = p
N
Keterangan:
p : jumlah parasit jenis tertentu
N : jumlah ikan yang diamati
Korelasi peringkat spearman (rs)
Koefisien korelasi peringkat menurut Walpole (2015) merupakan salah satu
ukuran nonparametrik untuk mengetahui korelasi antar peubah menggunakan
peringkat. Koefisien tersebut didapatkan menggunakan rumus berikut.
rs = 6 ∑ di
2
n(n2-1)
Keterangan:
di : selisih antara peringkat bagi xi dan yi
n : jumlah pasangan data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Deskripsi cacing parasitik
Cacing parasitik dari kelas Monogenea, Digenea, Acanthocephala, dan
Nematoda didapatkan menginfeksi ikan tongkol pada penelitian ini. Ikan tongkol
dari Teluk Banten diinfeksi oleh Monogenea dan Nematoda, sedangkan ikan
tongkol dari Selat Sunda diinfeksi oleh Digenea, Acanthocephala, dan Nematoda.
Cacing Hexostoma euthynni (Gambar 2) merupakan ektoparasit dan termasuk
dalam kelas Monogenea, dicirikan dengan adanya sebuah organ penghisap di
bagian posterior, bertubuh pipih, dan bersifat hermafrodit (Hendrix 1994). H.
euthynni termasuk ordo Polyopisthocotylida yang memiliki beberapa pasang alat
penghisap kompleks pada opisthaptornya, serta berkembang biak dengan cara
bertelur. Cacing ini termasuk dalam famili Hexostomatidae yang memiliki 8 alat
hisap berjajar secara paralel yang ukurannya tidak seragam.
7
Gambar 2 Hexostoma euthynni dengan tubuh bagian posterior (a), anterior (b), dan
batil hisap (c).
Alat hisap cacing ini memiliki rangka yang disebut sclerite. Sclerite
berbentuk X pada bagian tengah dan dua sclerite berbentuk B di bagian kanan dan
kiri terdapat pada setiap alat hisap (Lampiran 1). Rohde (1978) menjelaskan hal ini
sebagai ciri utama yang membedakan H. euthynni dari spesies lainnya. Panjang
tubuh cacing yang ditemukan pada penelitian ini adalah 4,388–5,720 mm, dengan
lebar tubuh 1,374–1,478 mm. Hal ini sesuai dengan Millemann (1956) yang
mendeskripsikan cacing ini memiliki rentang panjang tubuh 3,57–5,85 mm dan
lebar tubuh 0,74–0,95 mm.
Ascaridoidea (Gambar 3) merupakan superfamili endoparasit yang tergolong
dalam kelas Nematoda, dicirikan dengan tubuh silindris tanpa ruas, simetri bilateral,
dan dilapisi oleh kutikula (Arai dan Smith 2016). Superfamili Ascaridoidea
memiliki bagian anterior yang terbagi menjadi 3 bagian bibir. Bentuk esofagusnya
silindris, sederhana, dan tanpa katup. Panjang tubuh larva cacing yang ditemukan
pada penelitian ini adalah 6,597–16,904 mm (Teluk Banten) dan 11,776–17,363
mm (Selat Sunda).
Sebagian parasit yang menginfeksi ikan tongkol dari Selat Sunda tergolong
dalam famili Anisakidae, genus Anisakis (Gambar 4). Spesimen yang ditemukan
memiliki larva tooth (Lampiran 2) pada bagian anterior dan mucron (Lampiran 3)
pada bagian posterior. Panjang tubuh larva Anisakis sp. yang ditemukan adalah
15,663–17,080 mm dengan lebar tubuh 0,523–0,757 mm. Hal ini sesuai dengan
deskripsi oleh Abdelsalam et al. (2020), yang menjelaskan cacing ini memiliki
panjang tubuh 16,4–23,6 mm dengan lebar tubuh 0,54–0,8 mm.
8
Gambar 3 Ascaridoidea dengan tubuh bagian anterior (a) dan posterior (b).
Gambar 4 Anisakis sp. dengan tubuh bagian anterior (a) dan posterior (b).
Jenis cacing Nematoda lain yang ditemukan adalah Camallanus sp. dari
perairan Teluk Banten. Camallanus sp. (Gambar 5) merupakan jenis endoparasit
yang biasa ditemui pada saluran pencernaan ikan. Cacing ini termasuk dalam filum
Nemathelminthes. Camallanus sp. termasuk dalam kelas Chromadorea dan ordo
Rhabditida. Famili Camallanidae dicirikan dengan rongga mulut mengeras dan
tidak ditemukannya bibir. Cacing ini digolongkan dalam Camallanus sebab
memiliki bukaan mulut yang seperti celah dan katup mulut yang menyambung.
Liang-Sheng (1960) menjelaskan cacing Camallanus sp. dapat dikenali
dengan bentuk mulut melingkar atau memanjang. Ukuran panjang tubuh dari cacing
Camallanus sp. pada penelitian ini adalah 4,78 mm dan lebar 0,201 mm. Cacing ini
mampu melubangi dinding usus dan mengambil makanannya. Tubuh cacing ini
dilapisi oleh kutikula yang kuat untuk mencegah tubuhnya hancur di dalam tubuh
inangnya.
9
Gambar 5 Camallanus sp. (A) Tubuh cacing yang terdiri dari bagian anterior (a)
dan posterior (b). (B) Bagian anterior cacing dengan mulut yang
mengeras (c).
Lecithocladium sp. (Gambar 6) merupakan cacing Digenea yang memiliki
dua alat hisap. Alat hisap oral berfungsi untuk memindahkan makanan ke dalam
sistem pencernaan dan alat hisap ventral berfungsi untuk menempelkan tubuh pada
organ inangnya (Rohde 2005). Menurut Gibson (1996), cacing ini bersifat
hermafrodit, tubuhnya memiliki ecsoma yang terkadang tereduksi. Spesimen yang
ditemukan pada penelitian ini memiliki panjang total tubuh dan ecsoma 10,040–
11,594 mm dengan lebar 0,351–0,438 mm dan panjang ecsoma 5,82–7,325 mm.
Ukuran alat hisap oral lebih besar dibandingkan alat hisap ventral.
Gambar 6 Lecithocladium sp. dengan bagian tubuh anterior (a) posterior (b), oral
sucker (c), dan ventral sucker (d).
Endoparasit lain yang ditemukan pada penelitian ini adalah Rhadinorhynchus
sp. (Gambar 7) dan Neorhadinorhynchus sp. (Gambar 8) yang tergolong dalam
filum Acanthocephala. Jenis ini dicirikan dengan adanya probosis yang dilapisi oleh
sejumlah duri. Neorhadinorhynchus sp. memiliki beberapa ciri pembeda dari jenis
lainnya, antara lain kelenjar semen berjumlah 4 dengan bentuk tubular (Lampiran
4), tubuh tidak berduri, serta terdapat 25 buah dalam 1 baris duri pada probosis
(Amin dan Nahhas 1994). Ukuran tubuh Neorhadinorhynchus sp. pada penelitian
ini antara 5,142–8,072 mm dengan probosis 0,773–0,944 mm.
10
Gambar 7 Rhadinorhynchus sp. dengan bagian anterior (a) dan posterior (b).
Gambar 8 Neorhadinorhynchus sp. dengan probosis pada bagian anterior (a), ujung
posterior (b), leminsci (c), testes (d), dan kelenjar semen (e).
Rhadinorhynchus sp. dicirikan dengan probosis dan tubuhnya yang relatif
panjang, serta permukaan tubuh dilengkapi duri (Lampiran 5). Panjang tubuh
Rhadinorhynchus sp. pada penelitian ini sebesar 8,006–11,368 mm dengan probosis
1,039–1,291 mm. Perhitungan parameter parasitologi dilakukan untuk tiap jenis
parasit yang ditemukan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 1 untuk ikan
tongkol dari Teluk Banten dan Tabel 2 untuk ikan tongkol dari Selat Sunda. Data
morfometrik ikan tongkol dan keberadaan parasit pada tiap ikan tercantum pada
Lampiran 6 dan Lampiran 7.
Tabel 1 Prevalensi (P), intensitas (I), intensitas rataan (mI), dan kelimpahan
rataan (mA) dari ikan tongkol Teluk Banten Jenis/taksa Mikrohabitat P (%) I (ind) mI mA
Monogenea
Hexostoma euthynni Insang 16,67 1–2 1,60 0,27
Nematoda
Ascaridoidea Usus dan rongga
tubuh 16,67 1–2 1,20 0,20
Camallanus sp. Usus 3,33 1 1 0,03
Parasit ikan tongkol dari Teluk Banten dengan nilai prevalensi tertinggi ialah
H. euthynni dan Ascaridoidea yaitu 16,67%, sedangkan nilai prevalensi terendah
ada pada jenis Camallanus sp. sebesar 3,33%. Cacing H. euthynni dan Ascaridoidea
yang menginfeksi ikan tongkol memiliki intensitas 1–2 individu pada satu ekor ikan,
11
sedangkan cacing Camallanus sp. memiliki intensitas hanya 1 individu pada satu
ekor ikan. Nilai mI dan mA tertinggi terdapat pada cacing H. euthynni sebesar 1,60
dan 0,27, sedangkan cacing Camallanus sp. memiliki nilai yang terendah sebesar 1
dan 0,03.
Tabel 2 Prevalensi (P), intensitas (I), intensitas rataan (mI), dan kelimpahan
rataan (mA) dari ikan tongkol Selat Sunda Jenis/taksa Mikrohabitat P (%) I (ind) mI mA
Digenea
Lecithocladium sp. Lambung 13,33 2–18 10 1,33
Acanthocephala
Neorhadinorhynchus sp. Usus dan pilorus 53,33 1–154 40,13 21,40
Rhadinorhynchus sp. Usus dan lambung 13,33 1 1 0,13
Nematoda
Ascaridoidea Gonad, usus, dan
lambung 46,67 1–5 2,14 1
Anisakis sp. Hati 46,67 2–17 8,14 5,18
Jenis parasit yang menginfeksi ikan tongkol dari Selat Sunda dengan nilai
prevalensi tertinggi adalah Neorhadinorhynchus sp. sebesar 53,33% dengan
intensitas 1–154 individu pada satu ekor ikan. Parasit dengan nilai prevalensi
terendah adalah Rhadinorhynchus sp. sebesar 13,33% dengan intensitas 1 individu
dalam satu ekor ikan. Jenis Neorhadinorhynchus sp. juga memiliki nilai mI dan mA
tertinggi dibanding jenis lain yang ditemukan.
Faktor kondisi ikan tongkol
Panjang total dan bobot total yang telah diukur kemudian digunakan untuk
menghitung faktor kondisi. Nilai rataan faktor kondisi ikan tongkol dari Teluk
Banten dan Selat Sunda berbeda. Hasil perhitungan faktor kondisi dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai faktor kondisi ikan tongkol di kedua lokasi
Parameter Nilai Rataan
Teluk Banten Selat Sunda
Faktor Kondisi 1,4433 ± 0,091 1,5504 ± 0,286
Hasil perhitungan faktor kondisi ikan tongkol dari Teluk Banten
menunjukkan nilai rataan 1,4433, dengan nilai tertinggi sebesar 1,6231 dan nilai
terendah sebesar 1,2544. Berbeda dengan hasil dari ikan tongkol dari Selat Sunda
yang memiliki nilai rataan 1,5504, dengan nilai tertinggi sebesar 1,8514 dan nilai
terendah 1,0120.
Suhu permukaan laut dan kesuburan
Suhu dan eutrofikasi menjadi dua faktor lingkungan yang berpengaruh
terhadap keberadaan parasit (Rohde 2005). Klorofil-a digunakan untuk menentukan
tingkat kesuburan perairan. Rentang dan rataan suhu permukaan laut serta klorofil-
a telah tercantum dalam Tabel 4.
12
Tabel 4 Nilai suhu dan klorofil-a di kedua lokasi
Parameter Perairan Nilai Rataan
Teluk Banten Selat Sunda
Suhu (oC) 29,9–32,6 (30,2 ± 0,213) 29,8–30,8 (29,9 ± 0,102)
Klorofil-a (mg m-3) 0,60–2,96 (1,31 ± 0,799) 0,48–4,70 (1,06 ± 0,763)
Rata-rata suhu permukaan laut di Teluk Banten sebesar 30,2oC, sedangkan di
Selat Sunda sebesar 29,9 oC. Nilai tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu
yang mengacu pada KepMen LH No. 51 tahun 2004 sudah sesuai untuk kehidupan
biota laut. Nilai klorofil-a pada Teluk Banten sebesar 0,60–2,96 mg m-3 dengan
rata-rata 1,31 mg m-3, sedangkan pada Selat Sunda sebesar 0,48–4,70 mg m-3
dengan rata-rata 1,06 mg m-3. Nilai klorofil-a dapat menentukan tingkat kesuburan
perairan tersebut. Irawati (2014) menjelaskan perairan dengan kadar klorofil-a <1
mg m-3 tergolong oligotrofik, ≥1–3 mg m-3 tergolong mesotrofik, ≥3–5 mg m-3
tergolong eutrofik, dan >5 mg m-3 tergolong hipereutrofik. Perairan Teluk Banten
dan Selat Sunda berdasarkan kategori tersebut tergolong dalam perairan mesotrofik.
Pembahasan
Cacing parasitik yang menginfeksi ikan tongkol dapat memberikan beragam
dampak. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mencatat H. euthynni ditemukan
menginfeksi ikan dari genus Euthynnus, seperti pada Euthynnus alletteratus dari
pesisir Rio de Janeiro, Brazil (Justo dan Kohn 2015), Euthynnus lineatus dari
perairan Baja California (Millemann 1956), dan Euthynnus alletteratus affinis di
Kepulauan Heron, Australia (Rohde 1978). Catatan H. euthynni pada ikan tongkol
di Teluk Banten belum ditemukan selain dari penelitian ini.
Nilai prevalensi yang didapatkan pada penelitian ini sebesar 16,67% yang
artinya cacing ini sering menginfeksi ikan tongkol. Hasil tersebut tidak berbeda
jauh dari hasil penelitian Justo & Kohn (2015) dengan ikan satu genus sebesar
16,1%. Dampak yang diberikan oleh H. euthynni pada ikan tongkol adalah
terganggunya proses pertukaran gas pada insang. Suwignyo et al. (2005)
menjelaskan bahwa parasit dari kelompok Monogenea memakan lendir dan sel
pada permukaan tubuh ikan, sehingga kemampuan insang dalam proses respirasi
menurun.
Prevalensi Camallanus sp. pada penelitian ini adalah 3,33% yang artinya
cacing ini terkadang menginfeksi ikan tongkol dari Teluk Banten. Hidayati et al.
(2016) menjelaskan Camallanus sp. memang menjadi salah satu jenis parasit yang
umum ditemukan pada ikan tongkol yang hidup di perairan bebas, namun belum
ditemukan catatan Camallanus sp. menginfeksi ikan tongkol dari Teluk Banten
selain di penelitian ini. Jenis Camallanus sp. dapat mengganggu pertumbuhan ikan
tongkol sebab nutrisi yang didapat dari makanan diambil oleh cacing ini. Hakim et
al. (2019) juga menjelaskan bahwa cacing ini dapat menyebabkan kerusakan pada
saluran pencernaan ikan.
Superfamili Ascaridoidea yang didapatkan pada penelitian ini juga ditemukan
pada ikan tongkol dari TPI Lhoknga Aceh Besar Hidayati et al. (2016) dan TPI
Pekalongan (Linayati dan Madusari 2019). Nilai prevalensi Ascaridoidea dalam
penelitian ini sebesar 16,67% (Teluk Banten) dan 46,67% (Selat Sunda) yang
13
artinya cacing ini sering menginfeksi ikan tongkol dari Teluk Banten dan umum di
Selat Sunda. Jenis Anisakis sp. dari Selat Sunda memiliki nilai prevalensi sebesar
46,67%. Nilai yang didapatkan berbeda dengan ikan tongkol dari TPI Lhoknga
Aceh Besar yang mencapai 86,66% dan TPI Pekalongan yang mencapai 85%.
Siklus hidup cacing Ascaridoidea terdiri atas empat tahap (Klimpel dan Palm
2011). Sebagai parasit heteroksenosa, cacing Ascaridoidea dan Nematoda lainnya
harus hidup dalam lingkungan yang dapat mendukung kehidupan seluruh inangnya
(perantara dan definitif). Ketika cacing Ascaridoidea sudah menemukan inangnya,
mereka akan menginfeksi saluran pencernaan, di mana mereka memiliki
kemampuan untuk merusak dinding usus untuk mengambil makanan. Tubuhnya
dilapisi oleh lapisan kutikula yang tebal dan fleksibel, sehingga mampu bertahan
dalam tubuh inangnya (Suwignyo et al. 2005).
Selain dampak terhadap inangnya, beberapa jenis Ascaridoidea juga dapat
memberi dampak terhadap manusia sebab sifatnya yang zoonotik. Linayati dan
Madusari (2019) menjelaskan salah satu spesies dari superfamili ini yaitu Anisakis
simplex dapat menyebabkan penyakit anisakiasis bagi manusia jika terkonsumsi,
dengan gejala di antaranya diare, muntah, dan reaksi alergik lainnya. Metode
preventif yang dapat dilakukan adalah dengan proses pendinginan daging ikan pada
suhu -20oC selama satu hingga beberapa hari, atau pemanasan pada suhu >60oC
selama 10 menit (Rohde 2005).
Neorhadinorhynchus sp. adalah cacing yang paling banyak ditemukan pada
penelitian ini, dengan prevalensi 53,33% yang mengartikan cacing ini sering kali
menginfeksi ikan tongkol dari Selat Sunda. Prevalensi Rhadinorhynchus sp. lebih
rendah yaitu 6,67% yang mengartikan cacing ini terkadang menginfeksi ikan
tongkol dari Selat Sunda. Dampak Acanthocephala yang menempel pada organ
menurut Rohde (2005) dapat merusak jaringan organ dalam, hal ini bergantung dari
ukuran Acanthocephala yang menginfeksi. Jenis dengan ukuran lebih besar seperti
Rhadinorhynchus sp. dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih parah
dibanding Neorhadinorhynchus sp..
Secara keseluruhan, prevalensi dan intensitas lebih tinggi pada ikan tongkol
dari Selat Sunda. Faktor inang dapat mempengaruhi hal tersebut, seperti variasi
makanan, masa hidup yang panjang, luas daerah migrasi, kebiasaan bergerombol,
dan ukuran tubuh (Rohde 1984). Kondisi lingkungan menurut Rueckert et al.
(2008) juga berpengaruh terhadap jumlah jenis parasit yang menginfeksi suatu ikan
Jumlah cacing parasitik ikan tongkol tidak berkorelasi dengan faktor kondisi
rataan, baik di Selat sunda (rs = 0,0143) maupun Teluk Banten (rs = 0,1000). Hal ini
dapat dijelaskan oleh nilai prevalensi tiap jenis parasit yang di bawah 90%. Tingkat
infeksi yang ditimbulkan parasit akan parah jika prevalensinya 90–100% (hampir
selalu dan selalu menginfeksi), sehingga dampak terhadap perubahan biologis
inangnya tidak signifikan jika prevalensinya rendah. Nilai faktor kondisi yang
didapatkan bernilai lebih dari 1, hal ini menunjukkan bahwa ikan tongkol dari Teluk
Banten dan Selat Sunda dalam kondisi yang gemuk (Arifah et al. 2015).
Ukuran ikan tongkol yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 20,6–25
cm dari Teluk Banten dan 36,1–38,7 cm dari Selat Sunda. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya peningkatan jumlah cacing parasitik pada ikan yang lebih
besar ukurannya. Hasil penelitian Madhavi dan Sai Ram (2000) mendapatkan
bahwa parasit yang menginfeksi ikan tongkol dalam kelompok ukuran <30 cm
memiliki nilai prevalensi dan intensitas rataan yang lebih rendah. Ikan dengan
14
ukuran yang lebih besar memiliki kebiasaan makan yang lebih kompleks, sehingga
kemungkinan interaksi dengan parasit lebih tinggi (Rohde 1984). Ikan yang lebih
besar juga berumur lebih tua, sehingga dapat mengakumulasi lebih banyak parasit
selama hidupnya (Santos-Bustos et al. 2020).
Analisis menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu jumlah parasit yang
ditemukan tidak berkorelasi terhadap panjang total ikan tongkol dari Teluk Banten
(rs = -0,0958) dan Selat Sunda (rs = 0,0275), serta dengan bobot total ikan tongkol
dari Teluk Banten (rs = 0,1333) dan Selat Sunda (rs = -0,1220). Meskipun jumlah
parasit dan ukuran tubuh ikan lebih umum berbanding lurus (Rohde 1984), namun
tidak menutup kemungkinan hal sebaliknya terjadi. Dapat diduga ada faktor lain
yang mungkin lebih mempengaruhi.
Ikan tongkol merupakan ikan karnivora yang oportunistik, dengan makanan
berupa ikan kecil, udang, dan cephalopoda (Collette dan Nauen 1983). Hal ini
sesuai dengan jenis parasit yang ditemukan, di mana inang perantaranya merupakan
makanan bagi ikan tongkol. Ascaridoidea memiliki siklus hidup tak langsung
dengan inang perantara berupa copepoda, ikan kecil, ikan predator, dan
cephalopoda (Klimpel dan Palm 2011). Lecithocladium sp. membutuhkan moluska
sebagai inang perantara dan Acanthocephala membutuhkan avertebrata kecil
seperti krustasea (Rohde 1993).
Ikan tongkol biasa bermigrasi dan membentuk kelompok multispesies dengan
Scombridae lainnya, seperti ikan tuna sirip kuning. Satu kelompok ikan tongkol
dapat terdiri dari 100 hingga 5.000 ekor (Ardelia et al. 2017). Sifat berkelompok
dan bermigrasi ini dapat meningkatkan kemungkinan untuk terinfeksi parasit.
Ketika ikan tongkol bermigrasi, ada kemungkinan kelompok tersebut melewati
perairan yang dihidupi inang perantara atau larva parasit. Kepadatan populasi dapat
mempermudah perpindahan parasit dari satu inang ke inang lainnya (Rohde 1993).
Nematoda, Acanthocephala, dan Digenea memiliki siklus hidup yang
kompleks (Rohde 2005). H. euthynni meskipun juga memiliki fase hidup bebas di
perairan. Hal ini mengharuskan cacing-cacing ini untuk berada di perairan yang
mendukung siklus hidup beserta seluruh inangnya (Sures 2008). Sebagai contoh,
oncomiracidium dari H.euthynni dan Monogenea lainnya bergantung pada arus,
cahaya, dan kimia perairan untuk menemukan inangnya. Teluk Banten dengan luas
10x15 km dan kedalaman <20 m (Febrianessa et al. 2020), lebih mungkin untuk
memiliki pergerakkan air lemah. Namun adanya polutan yang terakumulasi di
perairan akibat kegiatan industri telah mencemari Teluk Banten (Wisha et al. 2015).
Cacing H. euthynni tetap dapat bertahan hidup dalam kondisi tersebut sebab
kemampuan adaptasi ektoparasit yang lebih tinggi terhadap tekanan lingkungan
(Sures 2008).
Suhu permukaan laut dan klorofil-a tidak berkorelasi terhadap jumlah parasit
yang menginfeksi ikan tongkol di Teluk Banten dan Selat Sunda (rs = 0,5033). Hal
ini diduga perbedaan suhu permukaan laut dan klorofil-a di kedua lokasi tidak jauh
berbeda, sehingga terdapat kemungkinan adanya pengaruh dari parameter kualitas
air lain yang tidak diamati pada penelitian ini. Hasil ini juga sesuai dengan
Indaryanto et al. (2014) yang menjelaskan kondisi perairan di Indonesia cenderung
stabil sebab berada di iklim tropis.
Peningkatan suhu perairan dapat meningkatkan keberadaan cacing Nematoda
dan Digenea (Rohde 2005), serta Acanthocephala (Hassanine 2006). Hal ini
dijelaskan oleh Macnab dan Barber (2011), yaitu peningkatan suhu dapat membuat
15
pertumbuhan dan perkembangan cacing lebih cepat. Cacing parasitik yang lebih
cepat bertumbuh dan berkembang tentu dapat lebih cepat pula dalam bereproduksi.
Peningkatan suhu dapat pula mempengaruhi imunitas ikan dalam mengendalikan
keberadaan cacing parasitik pada tubuhnya.
Eutrofikasi dapat meningkatkan keberadaan sebagian besar jenis cacing
parasitik (Rohde 2005). Eutrofikasi dapat meningkatkan kelimpahan Nematoda,
Trematoda, dan Acanthocephala. Budria (2017) menjelaskan bahwa eutrofikasi
mempengaruhi keberadaan fitoplankton pada perairan, sehingga komposisi jaring
makanan yang ada di perairan dapat terpengaruhi. Kondisi tersebut dapat
meningkatkan kesempatan cacing untuk menemukan inang perantara dan
memenuhi siklus hidupnya.
Perairan dengan suhu yang lebih tinggi dan lebih subur dapat meningkatkan
keragaman cacing parasitik. Perbedaan jenis cacing yang ditemukan dapat
menandakan bahwa ikan tongkol yang digunakan dalam penelitian ini
kemungkinan berasal dari dua stok yang berbeda. Hal ini disebabkan ikan tongkol
dan cacing yang ditemukan memiliki area endemik yang sama. Ikan akan terinfeksi
jenis parasit tertentu jika keduanya berada dalam area endemik yang sama, di mana
area endemik adalah lingkungan dengan kualitas air dan keberadaan inang yang
mendukung siklus hidup parasit (Rohde 2005).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Jenis cacing parasitik yang ditemukan pada ikan tongkol dari Teluk Banten dan
Selat Sunda berbeda. Taksa yang ditemukan pada penelitian ini adalah Nematoda,
Monogenea, Acanthocephala, dan Digenea. Cacing parasitik dengan prevalensi,
intensitas, dan kelimpahan tertinggi adalah Hexostoma euthynni dari Teluk Banten,
dan Neorhadinorhynchus sp. dari Selat Sunda. Jumlah cacing parasitik di kedua
lokasi pada penelitian ini tidak berkorelasi terhadap faktor kondisi, panjang total,
dan bobot total ikan, maupun suhu permukaan laut dan klorofil-a.
Saran
Perlu dilakukan tindakan preventif terhadap aktivitas antropogenik yang
mungkin merubah kondisi alami perairan Teluk Banten dan Selat Sunda agar
keberadaan parasit tidak bertambah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan studi
kolaborasi multidisiplin keilmuan. Selain itu, harus selalu ditingkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya mengolah ikan dengan baik guna menghindari
zoonosis.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdelsalam M, Attia MM, Mahmoud MA. 2020. Comparative morphomolecular
identification and pathological changes associated with Anisakis simplex larvae
(Nematoda: Anisakidae) infecting native and imported chub mackerel
(Scomber japonicus) in Egypt. Regional Studies in Marine Science. 39: 1–9.
Amin OM. 1987. Key to the families and subfamilies of Acanthocephala, with the
erection of a new class (Polyacanthocephala) and a new order
(Polyacanthorhynchida). The Journal of Parasitology. 73(6): 1216–1219.
Amin OM, Nahhas FM. 1994. Acanthocephala of marine fishes off Fiji Islands,
with the descriptions of Filisoma longcementglandatus n. sp.,
Neorhadinorhynchus macrospinosus n. sp. (Cavisomidae), and gravid females
of Rhadinorhynchus johnstoni (Rhadinorhynchidae); and keys to species of the
genera Filisoma and Neorhadinorhynchus. The Journal of Parasitology. 80(5)
768–774.
Arai HP, Smith JW. 2016. Guide to the Parasites of Fishes of Canada Part V:
Nematoda. Auckland (NZL): Magnolia Press.
Ardelia V, Vitner Y, Boer M. 2016. Biologi reproduksi ikan tongkol Euthynnus
affinis di Perairan Selat Sunda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.
8(2): 689–700.
Arifah PN, Solichin A, Widyoroni N. 2015. Biologi ikan tongkol (Euthynnus
affinis) yang tertangkap payang di TPI Tawang, Kabupaten Kendal.
Diponegoro Journal of Maquares. 4(3): 58–64.
Budria AO, Lafferty KD. Lotz JM, Shostak AW. 1997. Parasitology meets ecology
on its own terms: Margolis et al. revisited. The Journal of Parasitology. 83(4):
575.
Bush AO, Lafferty KD, Lotz JM, Shostak AW. 1997. Parasitology meets ecology
on its own terms: Margolis et al. revisited. The Journal of Parasitology.
83(4):575–583.
Chodrijah U, Hidayat T, Noegroho T. 2013. Estimasi parameter populasi ikan
tongkol komo (Euthynnus affinis) di perairan Laut Jawa. BAWAL. 5(3): 167–
174.
Collette BB, Nauen CE. 1983. Scombrids of the world. An annotated and illustrated
catalogue of tunas, mackerels, bonitos, and related species known to date. FAO
Species Catalogue. 125(2): 32–34.
Ernaningsih D, Simbolon D, Wiyono ES, Purbayanto A. 2012. Komoditi unggulan
perikanan tangkap di Teluk Banten. Buletin PSP. 20(2): 181–192.
Febrianessa N, Sulistiono, Samosir AM, Yokota M. 2020. Heavy metal (Pb, Hg)
contained in blue swimming crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in
Cengkok Coastal Waters, Banten Bay, Indonesia. Indonesian Journal of
Marine Sciences. 25(4):157–164.
Gibson DI. 1996. Guide to the Parasites of Fishes of Canada Part IV Trematoda.
Ottawa (CA): NRC Research Press.
Hakim LN, Irawan H, Wulandari R. 2019. Identifikasi intensitas dan prevalensi
endoparasit pada ikan bawal bintang Trachinotus blochii di budidaya Kota
Tanjungpinang. Intek Akuakultur. 3(1) 45-55.
17
Hassanine RME. 2006. Acanthocephalans from Red Sea fishes. Family
Cavisomidae Meyer, 1932: the seasonal cycle of Diplosentis nudus (Harada,
1938) Pichelin et Cribb, 2001 in a definitive fish host, and a comment on
Scerocollum Schmidt et Paperna, 1978. Acta Parasitologica. 51 (2): 123–129.
Hendrix SS. 1994. Marine floral and fauna of the Eastern United States
Platyhelminthes: Monogenea. NOAA Technical Report NMFS 121.
Hidayat T, Noegroho T, Chodrijah U. 2018. Biologi ikan tongkol komo (Euthynnus
affinis) di Laut Jawa. Jurnal Pengelolaan Perikanan Tropis. 2(1): 30–36.
Hidayati N, Bakri M, Rusli, Fahrimal Y, Hambal M, Daud R. 2016. Identifikasi
parasit pada ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Tempat Pelelangan Ikan
Lhoknga Aceh Besar. Jurnal Medika Veterinaria. 10(1): 5–8.
Indaryanto FR, Wardiatno Y, Tiuria R. 2014. Struktur komunitas cacing parasitik
pada ikan kembung (Rastrelliger spp.) di Perairan Teluk Banten dan Pelabuhan
Ratu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 19(1): 1–8.
Justo MCN, Kohn A. 2015. Diversity of Monogenoidea parasitizing scombrid
fishes from Rio de Janeiro coast, Brazil. The Journal of Biodiversity Data.
11(3): 1–7.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta (ID):
Kementerian Lingkungan Hidup.
Kleinertz S, Damriyasa IM, Hagen W, Theisen S, Palm HW. 2012. An
environmental assessment of the parasite fauna of the reef-associated grouper
Epinephelus areolatus from Indonesian water. Journal of Helminthology.
88(2014): 50–63.
Klimpel S, Palm HW. 2011. Anisakid nematode (Ascaridoidea) life cylces and
distribution: increasing zoonotic potential in the time of climate change?.
Progress in Parasitology. 201–222. DOI: 10.1007/978-3-642-21396-0.
Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Liang-Sheng Y. 1960. On a reconstruction of the genus Camallanus Railliet and
Henry, 1915. Journal of Helminthology. 34: 117–124.
Linayati L, Madusari BD. 2019. Prevalence and distribution of Anisakis sp worms
in internal organs of Tuna (Euthynnus affinis) at fish auction in Pekalongan
City. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 399: 1–6.
Macnab V, Barber I. 2011. Some (worms) like it hot: fish parasites grow faster in
warmer water, and alter host thermal preferences. Global Change Biology.
18(5): 1540–1548.
Madhavi R, Sai Ram BK. 2000. Community structure of helminth parasites of the
tuna, Euthynnus affinis, from the Visakhapatnam coast, Bay of Bengal. Journal
of Helminthology. 74: 337–342.
Masuswo R, Widodo AA. 2016. Karakteristik biologi ikan tongkol komo
(Euthynnus affinis) yang tertangkap jaring insang hanyut di Laut Jawa. BAWAL.
8(1): 57–63.
Mattiucci S, Garcia A, Cipriani P, Santos MN, Nascetti G, Cimmaruta R. 2014.
Metazoan parasite infection in the swordfish, Xiphias gladius, from the
Mediterranian Sea and comparison with Atlantic populations: implications for
its stock characterization. Parasite. 21(35): 1–12.
18
Millemann RE. 1956. Notes on the genus Hexostoma (Monogenea:
Hexostomatidae) with a rediscription of H. euthynni Meserve, 1938. The
Journal of Parasitology. 42(3): 316–319.
Mulfizar, Muchlisin ZA, Dewiyanti I. 2012. Hubungan panjang berat dan faktor
kondisi tiga jenis ikan yang tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar,
Provinsi Aceh. Depik. 1(1): 1–9.
Pratama RI, Awaluddin MY, Ishmayana S. 2011. Komposisi asam lemak ikan
tongkol, layur, dan tenggiri dari Pameungpeuk, Garut. Jurnal Akuatika. 2(2):
108–115.
Rohde K. 1978. Monogenea of Australian marine fishes. The genera Dionchus,
Sibtrema, and Hexostoma. Publications of the Seto Marine Biological
Laboratory. 24(4-6) 349–367.
Rohde K. 1984. Ecology of marine parasites. Helgoländer Meeresunters. 37: 5–33.
Rohde K. 1993. Ecology of Marine Parasites an Introduction to Marine
Parasitology. Wallingford (UK): CAB INTERNATIONAL.
Rohde K. 2005. Marine Parasitology. Collingwood (AU): CSIRO Publishing.
Rueckert S, Hagen W, Yuniar AT, Palm HW. 2008. Metazoan fish parasites of
Segara Anakan Lagoon, Indonesia, and their potential use as biological
indicators. Regional Environmental Change. DOI: 10.1007/s10113-008-0076-
2.
Santos-Bustos NG, Violante-González S, Monks S, Rojas-Herrera AA, Flores-
Rodríguez P, Rosas-Acevedo JL, Villalba-Vasquez PJ. 2020. Parasite
communities of striped bonito Sarda orientalis (Pisces: Scombridae) on the
Pacific Coast of Mexico. New Zealand Journal of Zoology. DOI:
10.1080/03014223.2020.1792515.
Sures B. 2008. Interactions between parasites and pollutants in the aquatic
environment. Environmental Parasitology. 15(3): 434–438.
Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 1.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Walpole RE. 2015. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta (ID): PT Gramedia
Pustaka Utama.
Williams EH, Williams LB. 1996. Parasites of Offshore Big Game Fishes of Puerto
Rico and the Western Atlantic. Puerto Rico (US): Department of Natural and
Environmental Resources.
Wisha UJ, Husrin S, Prihantono J. 2015. Hidrodinamika perairan Teluk Banten
pada musim peralihan (Agustus-September). Jurnal Ilmu Kelautan. 20(2)101–
112.
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus
1998 sebagai anak pertama dari pasangan bapak Eras Wahyu
Pambudi dan ibu Susilowati. Pendidikan sekolah menengah atas
(SMA) ditempuh di sekolah SMA Lazuardi Global Islamic
School, dan lulus pada tahun 2016. Pada tahun 2016, penulis
diterima sebagai mahasiswa program sarjana di Departemen
Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta
Masuk IPB (UTMI). Selama mengikuti program sarjana, penulis
pernah menjadi panitia divisi medis pada Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa
Baru angkatan 54 (2017), Panitia C-DAY (2018) serta Pekan Olahraga Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan (2018). Penulis juga aktif menjadi pengurus
Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumber Daya Perairan dalam divisi informasi
dan komunikasi (2017–2018 dan 2018–2019) Penulis juga pernah menjadi asisten
praktikum mata kuliah Avertebrata Air (2018), Ekologi Perairan (2018–2019),
Fisiologi Hewan Air (2019), Konservasi Sumber Daya Hayati Perairan (2020), serta
koordinator asisten praktikum Iktiologi Fungsional (2020). Penulis melakukan
penelitian berjudul “Keragaman Cacing Parasitik pada Ikan Tongkol (Euthynnus
affinis Cantor, 1849) dari Perairan Banten, Indonesia” untuk menyelesaikan studi
sarjana.