tempe daya simpan
-
Upload
hadi-yusuf-faturochman -
Category
Documents
-
view
112 -
download
0
description
Transcript of tempe daya simpan
EVALUASI SENYAWA FENOLIK ( Asam Ferulat dan
Asam p-Kumarat ) PADA BIJI, KECAMBAH DAN TEMPE
KACANG TUNGGAK (Vigna unguiculata)
Oleh
WIDIA NINGSIH
F34103044
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
P EVALUASI SENYAWA FENOLIK ( Asam Ferulat dan Asam
p-Kumarat ) PADA BIJI, KECAMBAH DAN TEMPE
KACANG TUNGGAK (Vigna unguiculata)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
WIDIA NINGSIH
F34103044
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
38
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR EVALUASI SENYAWA FENOLIK ( Asam Ferulat dan Asam p-
Kumarat ) PADA BIJI, KECAMBAH DAN TEMPE KACANG TUNGGAK (Vigna unguiculata)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
WIDIA NINGSIH
F34103044
Dilahirkan pada tanggal 12 September 1985 Di Bogor
Tanggal lulus: 27 September 2007
Menyetujui, Bogor, September 2007
Ir. Muslich, MSi Ir. Endang Yuli Purwani, Msi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
39
Widia Ningsih. F34103044. Evaluasi Senyawa Fenolik (Asam Ferulat dan Asam P-Kumarat) Pada Biji, Kecambah dan Tempe Kacang Tunggak (Vigna unguiculata). Di bawah bimbingan : Muslich dan Endang Yuli Purwani. 2007.
RINGKASAN
Kacang tunggak (Vigna unguiculata) dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku tempe. Kacang ini mengandung senyawa fenolik diantaranya tanin, asam ferulat dan asam p-kumarat. Senyawa fenolik berperan sebagai zat antioksidan, namun adapula yang memiliki sifat antinutrisi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data perubahan komposisi kimia dan senyawa fenolik selama proses perkecambahan dan fermentasi, serta menganalisa kelayakan finansial dari pembuatan tempe kacang tunggak.
Dalam menentukan jumlah senyawa fenolik pada kacang tunggak dilakukan analisa total fenol (Becker dan Siddhuraju, 2006). Senyawa fenolik seperti tanin dianalisa menurut metode AOAC (1984), sedangkan senyawa fenolik lainnya seperti asam ferulat dan asam p-kumarat dianalisa menggunakan metode yang dilakukan Duenas et al. (2005). Analisa aktifitas antioksidan pada bahan digunakan metode yang dilakukan Blois (1958).
Komposisi kimia, terutama protein meningkat sebesar 26.56 persen pada kecambah dan 66.70 persen pada hasil fermentasi (tempe). Kandungan senyawa fenol pada kacang tunggak berkurang sebesar 21.47 persen selama proses perkecambahan dan 18.62 persen pada tempe. Sementara itu, kandungan senyawa tanin menurun 22.45 persen pada kecambah dan 32.89 persen pada tempe. Senyawa fenolik lainnya yang diidentifikasi ialah asam p-kumarat dan asam ferulat. Asam p-kumarat ditemukan pada kacang tunggak dan kecambahnya, sedangkan pada tempe ditemukan kandungan senyawa asam p-kumarat dan asam ferulat..
Aktifitas antioksidan pada tempe jauh lebih besar (nilai IC50 = 28.05) dibandingkan dengan kecambah (nilai IC50 = 42.64) atau kacang tunggak (nilai IC50 = 46.51). Aktifitas antioksidan pada kacang tunggak meningkat sebesar 8.32 persen pada proses perkecambahan dan 39.69 persen pada proses fermentasi.
Bila dibandingkan dengan kacang kedelai, kacang tunggak mengandung lemak yang rendah, tetapi kaya akan karbohidrat. Pada tempe kacang tunggak ditemukan kandungan protein yang lebih rendah dibandingkan dengan tempe kedelai.
40
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 12 September 1985
dengan nama lengkap Widia Ningsih. Penulis adalah anak
kedua dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Suharmon
dan Ibu Yusmalidar. Penulis mengawali jenjang
pendidikannya di SDN Malabar I Bogor pada tahun 1991-
1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTPN 3
Bogor pada tahun 1997-2000 serta SMUN 1 Bogor pada tahun 2000-2003. Penulis lulus seleksi masuk IPB pada tahun 2003 melalui Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian – Institut Pertanian Bogor (Fateta – IPB)
dengan nomor induk F34103044. Di bangku perkuliahan, selain kegiatan
akademis, penulis juga turut aktif mengikuti berbagai kegiatan non akademi,
diantaranya aktif dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri
(HIMALOGIN) periode 2005-2006. Dalam periode kepengurusan tersebut,
penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan serta menjabat sebagai Kepala
Departemen Kesekretariatan. Penulis melakukan Praktek Lapang di PT Ades
Waters Indonesia, Tbk dengan topik Mempelajari Aspek Pengendalian Mutu dan
Teknologi Pengolahan Air di PT Ades Waters Indonesia, Tbk. Sebagai tugas
akhir, penulis melakukan penelitian dengan tema “Evaluasi Senyawa Fenolik (
Asam Ferulat dan Asam P-Kumarat ) Pada Biji, Kecambah dan Tempe Kacang
Tunggak (Vigna unguiculata)” di bawah bimbingan Ir. Muslich, MSi dan Ir.
Endang Yuli Purwani, MSi.
41
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun
berdasarkan hasil penelitian di Laboratorium Penelitian Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pasca Panen Pertanian berlokasi di Bogor, Jawa Barat. Selain itu,
penulis pun mengumpulkan data-data dari berbagai publikasi ilmiah.
Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini penulis tidak akan berhasil
tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir. Muslich, MSi., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
arahan dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Ir. Endang Yuli Purwani, MSi., selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Dr. Ir. M. Yani, M. Eng, selaku dosen penguji dalam ujian skripsi penulis
yang telah banyak memberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
4. Iceu Agustinisari, STP., yang telah banyak memberikan saran dan arahan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Orang Tua serta keluarga yang selalu memberikan dukungan dan perhatian
kepada penulis.
6. Seluruh mahasiswa TIN dan civitas Himalogin, khususnya mahasiswa TIN 40
atas persahabatan indah yang terjalin selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik
dan saran dari seluruh pihak sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat
memberikan informasi yang bermanfaat.
Bogor, September 2007
Penulis
42
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ..................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. viii
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
A. KACANG TUNGGAK ..................................................................... 3
B. PERKECAMBAHAN ....................................................................... 4
C. PERAGIAN ....................................................................................... 6
D. ANTIOKSIDAN ................................................................................ 6
E. SENYAWA FENOLIK ...................................................................... 13
F. TANIN ................................................................................................ 15
G. DPPH (1,1-DIFENIL-2-PIKRILHIDRAZIL) .................................... 17
III. METODOLOGI ......................................................................................... 18
A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................ 18
B. METODE ........................................................................................... 18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 21
A. KACANG TUNGGAK UTUH, KECAMBAH DAN TEMPE KACANG TUNGGAK ....................................................... 21
1. Penampilan ................................................................................. 21
2. Komposisi Kimia ........................................................................ 22
43
3. Total Fenol ................................................................................... 25
4. Tanin ........................................................................................... 26
5. Senyawa Fenolik Lainnya............................................................. 27
6. Aktifitas Antioksidan …………………………………………... 28 B. PERBANDINGAN KOMPOSISI KIMIA KACANG TUNGGAK
DAN KACANG KEDELAI ............................................................ 30
C. ANALISIS FINANSIAL INDUSTRI TEMPE KACANG TUNGGAK .................................................................. 30
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 32
A. KESIMPULAN ................................................................................ 32
B. SARAN ............................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 34
LAMPIRAN ............................................................................................. 38
44
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kacang tunggak ................................................................... 3
Gambar 2. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida ........................................................ 10 Gambar 3. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi ....................................................... 10 Gambar 4. Contoh senyawa fenilpropanoid ........................................ 15
Gambar 5. Struktur molekul DPPH ..................................................... 17
Gambar 6. Kacang tunggak yang digunakan pada penelitian ............. 20
Gambar 7. Kecambah dan tempe kacang tunggak .............................. 20
Gambar 8. Konsentrasi asam p-kumarat dan asam ferulat pada kacang tunggak utuh, kecambah dan tempe kacang tunggak ....................................................... 28
45
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia kacang tunggak ( per 100 g ) ............................ 4
Tabel 2. Contoh antioksidan untuk produk pangan di beberapa negara ..... 12
Tabel 3. Kelas terpenting senyawa fenolik pada tanaman .......................... 14
Tabel 4. Komposisi kimia kacang tunggak, kecambah dan tempe kacang tunggak ( basis kering ) .................................. 22 Tabel 5. Total fenol kacang tunggak, kecambah dan tempe ...................... 25 Tabel 6. Kadar tanin kacang tunggak, kecambah dan tempe ..................... 26
Tabel 7. Nilai IC50 pada kacang tunggak, kecambah dan tempe .............. 29
Tabel 8. Perbandingan komposisi kacang tunggak, kacang kedelai, tempe kacang tunggak dan tempe kedelai .................................... 30
46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Diagram alir pembuatan kecambah kacang tunggak ............. 38
Lampiran 2. Diagram alir pembuatan tempe kacang tunggak .................. 39
Lampiran 3. Prosedur analisis kacang tunggak, kecambah dan tempe kacang tunggak .......................................................... 42 Lampiran 4. Komposisi kimia kacang tunggak, kecambah dan tempe kacang tunggak ......................................................... 48 Lampiran 5. Hasil uji t kadar abu, lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat ................................................ 49 Lampiran 6. Total fenol pada kacang tunggak selama proses perkecambahan dan fermentasi .......................................... 52 Lampiran 7. Hasil uji t total fenol ........................................................... 53 Lampiran 8. Kadar tanin pada kacang tunggak selama proses perkecambahan dan fermentasi .......................................... 54 Lampiran 9. Hasil uji t kadar tanin .......................................................... 55 Lampiran 10. Kromatogram HPLC pada kacang tunggak ........................ 56
Lampiran 11. Kromatogram HPLC pada kecambah kacang tunggak ....... 57
Lampiran 12. Kromatogram HPLC pada tempe kacang tunggak ............. 58
Lampiran 13. Aktifitas antioksidan pada kacang tunggak selama proses perkecambahan dan fermentasi .................... 59 Lampiran 14. Hasil uji t aktifitas antioksidan .......................................... 60
Lampiran 15. Analisis kelayakan finansial tempe kacang tunggak ......... 61
47
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, salah satunya adalah
jenis kacang-kacangan, seperti kacang kedelai, kacang tunggak, kacang hijau,
kacang tanah dan kacang gude. Kacang kedelai sudah banyak dimanfaatkan
masyarakat sebagai bahan baku pembuatan tempe. Saat ini pasokan kacang
kedelai masih dibantu oleh kacang kedelai impor. Pada tahun 2002, kebutuhan
kedelai dalam negeri mencapai 1.8 juta ton. Dalam hal ini produktifitas dalam
negeri hanya mampu memenuhi 40 persen kebutuhan tersebut yaitu sekitar
0.67 juta ton, dan 60 persen kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi dengan
mengimpor kedelai sebesar 1.13 juta ton (BPS, 2002). Oleh karena itu,
dibutuhkan sumber kacang-kacangan lain yang dapat dijadikan substitusi
kedelai sebagai bahan baku tempe.
Diantara kacang-kacangan yang telah disebutkan, kacang tunggak
memiliki peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku
tempe. Kacang tunggak mampu tumbuh di lahan marjinal seperti tanah
masam, tahan terhadap kekeringan dan serangan hama penyakit
(Kasno et al. 1991). Selain itu, plasma nutfah kacang tunggak pun tersedia
dalam jumlah cukup banyak, yaitu 112 aksesi di bank gen Indonesia dan
17 diantaranya telah dievaluasi karakteristiknya (Kurniawan, 2004).
Kacang tunggak mengandung senyawa fenolik diantaranya tanin, asam
ferulat dan asam p-kumarat. Sebagian senyawa fenolik berperan sebagai zat
antioksidan, namun adapula yang memiliki sifat antinutrisi. Kandungan
senyawa fenolik dipengaruhi oleh jenis bahan maupun proses pengolahan.
Saat ini, informasi tentang kandungan senyawa fenolik di dalam kacang
tunggak dan perubahannya akibat proses pengolahan masih terbatas.
Terdapat beberapa jenis proses pengolahan yang dapat mengubah
komposisi senyawa kimia pada kacang. Sebagai contoh, proses fermentasi
yang mampu memperbaiki nilai nutrisi dari kacang-kacangan karena dapat
menurunkan konsentrasi senyawa antinutrisi dan meningkatkan konsentrasi
senyawa aktif seperti fenolik.
48
Senyawa fenolik merupakan senyawa antioksidan alami yang terdapat
dalam bentuk senyawa aktif dalam makanan. Senyawa fenolik dapat
mencegah berbagai jenis penyakit, seperti kanker dan jantung koroner.
Senyawa ini pun berperan sebagai faktor pelindung terhadap bahaya oksidasi
pada tubuh manusia.
Kacang-kacangan mengandung senyawa fenolik dalam beberapa bentuk.
Senyawa fenolik yang terdapat dalam kacang-kacangan antara lain asam
hidroksibenzoat, asam hidroksisinamat baik dalam bentuk bebas maupun
terikat, flavonoids terutama flavan-3-ols, flavonols dan flavones yang terdapat
dalam bentuk glikosida (Becker dan Siddhuraju, 2006).
Tempe kacang tunggak mengandung beberapa jenis senyawa fenolik,
seperti ferrulic acid dan p-coumaric acid atau yang biasa disebut dengan asam
ferulat dan asam p-kumarat. Adapun senyawa fenolik yang disebutkan
merupakan senyawa yang terkandung lebih banyak dalam kacang tunggak
(Cai et al., 2003). Menurut Duenas (2005), senyawa fenolik seperti asam
ferulat dan asam p-kumarat merupakan senyawa antioksidan alami yang
terdapat di dalam tanaman dan dapat berperan sebagai komponen aktif dalam
mencegah dan menghambat pertumbuhan kanker. Komponen tersebut
dinyatakan meningkat selama proses fermentasi oleh Lactobacillus sp.
Proses pengolahan seperti perkecambahan dan fermentasi dapat mengubah
komposisi senyawa fenolik. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian untuk
mengetahui perubahan senyawa fenolik pada kacang tunggak selama proses
perkecambahan dan fermentasi.
B. TUJUAN
1. mendapatkan komposisi kimia kacang tunggak dan perubahannya selama
proses perkecambahan dan fermentasi
2. mendapatkan data perubahan senyawa fenolik ( asam ferulat dan asam
p-kumarat ) pada kacang tunggak selama proses perkecambahan dan
fermentasi
3. mendapatkan perbandingan nilai gizi tempe kacang tunggak serta tempe
kacang kedelai
49
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KACANG TUNGGAK
Kacang tunggak merupakan tanaman setahun yang tumbuh merambat,
panjangnya sampai 2.5 m, buahnya berbentuk polong dengan panjang
rata-rata antara 7.5-45 cm. Biji kacang tunggak berbentuk bulat panjang,
berwarna merah tua, hitam atau putih dan mempunyai kelekukan di tengahnya
( Andarwulan dan Hariyadi, 2005 ). Penampakan kacang tunggak dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kacang tunggak
Kacang tunggak berasal dari Afrika, walaupun belum dapat dipastikan di
mana tanaman ini dibudidayakan. Umumnya kacang ini tersebar luas di
seluruh wilayah tropik (30oLU – 30oLS), terutama di Afrika. Selain di Afrika,
kacang tunggak juga ada di Asia terutama India, Bangladesh dan Asia
Tenggara, serta Oceania. Kacang tunggak telah menjadi bahan pangan sejak
zaman purba. Di Afrika, kacang ini merupakan polong-polongan pangan yang
disenangi dan dikonsumsi dalam tiga bentuk dasar, yaitu dikukus,
dimasak dalam bentuk sayur, dikupas dan ditumbuk dalam bentuk tepung
( Singh et al. 1997 ). Komposisi kimia kacang tunggak dapat dilihat pada
Tabel 1.
50
Tabel 1. Komposisi kimia kacang tunggak ( per 100 g ) Komponen Satuan Jumlah Air g 11.00 Protein g 22.9 Lemak g 1.40 Karbohidrat g 61.6 Kalsium mg 77.00 Fosfor mg 449.00 Besi mg 6.50 Vitamin A RE 4.00 Vitamin C mg 2.00 Vitamin B1 mg 0.92
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1990)
B. PERKECAMBAHAN
Kecambah atau taoge adalah jenis sayuran hasil olahan dari kacang kedelai,
kacang hijau atau kacang tunggak. Kacang-kacang tersebut sengaja dibuat
bertunas dengan cara direndam selama semalam lalu ditiriskan selama
beberapa hari dalam satu wadah berlubang kemudian ditutup rapat
(Novary, 1999).
Proses perkecambahan disebut pula proses germinasi pada biji. Menurut
Bewley dan Black (1983), germinasi biji merupakan satu fase dalam proses
pertumbuhan dari pembuahan sel telur menjadi tanaman tua. Germinasi
dimulai dengan penyerapan air oleh biji (imbibisi) dan berakhir dengan
dimulainya elongasi oleh sumbu embrio, biasanya menjadi bulu akar.
Kecambah muncul karena hipokotil (bagian kecambah di bawah buku
kotiledon) yang memanjang sehingga mendorong kotiledon ke permukaan dan
titik tumbuh mulai tumbuh. Tingkat awal dari perkecambahan biji, melibatkan
pemecahan cadangan makanan pada biji dan digunakan untuk pertumbuhan
akar dan batang (Taylorson, 1984).
Germinasi meningkatkan daya cerna nutrisi karena perkecambahan
merupakan proses katabolis yang menyediakan zat gizi yang penting untuk
pertumbuhan tanaman melalui reaksi hidrolisa dari zat gizi cadangan yang
terdapat dalam biji. Secara umum, selama germinasi terjadi peningkatan zat-
zat nutrisi terutama setelah munculnya buluh akar yaitu setelah 24-48 jam
perkecambahan (Andarwulan dan Hariyadi, 2005).
51
Menurut Rubenstein et al. (1987), pada saat germinasi 12 jam pertama,
aktifitas biji lebih ke arah pertumbuhan, sedangkan pada germinasi 12 jam
sampai 48 jam, aktifitas biji lebih ke arah produksi fenolik. Hal ini dapat
terjadi karena biosintesis senyawa fenolik berada pada jalur yang sama dengan
biosintesis hormon pengatur tumbuhan yaitu auksin. Auksin merupakan
hormon yang terlibat dalam mengontrol pertumbuhan batang, akar, absisi
daun dan buah, dan aktifitas fisiologis lainnya bagi tanaman.
Proses perkecambahan dimulai dengan pengambilan air dengan cepat yang
mengakibatkan jaringan biji mengembang dan merentangnya kulit biji.
Pengambilan air diikuti dengan keluarnya panas yang mencirikan hilangnya
energi kinetik akibat diambilnya molekul air. Bila hidrasi dari sel-sel itu
berlangsung, kekuatan-kekuatan osmosis mulai bekerja dalam proses
masuknya air. Hidrasi jaringan ada hubungannya dengan mulai meningkatnya
aktivitas metabolisme yang pertama terjadi dalam akar embrio
(Taylorson, 1984).
Aktifnya proses metabolisme dari respirasi pada awal perkecambahan tidak
hanya menyangkut substrat respirasi glukosa di dalam embrio tetapi juga
aktifitas dari enzim yang merupakan katalisator biologi yang sangat penting.
Enzim-enzim itu adalah protein dan aktifitasnya distimulir oleh adanya air
yang membasahi embrio (Rubenstein, 1979).
Karbohidrat sebagai bahan persediaan makanan dirombak oleh enzim
alfa-amilase dan beta-amilase yang bekerja saling mengisi. Alfa-amilase
memecah pati menjadi dekstrin, sedangkan beta-amilase memecah dekstrin
menjadi maltosa. Pada akhirnya, maltosa akan diubah menjadi glukosa dan
fruktosa ( Andarwulan dan Hariyadi, 2005 ).
Selama proses berkecambah, kandungan glukosa dan fruktosa meningkat
sepuluh kali lipat. Kadar sukrosa meningkat dua kali lipat, tapi galaktosa
menghilang. Adanya gkukosa dan fruktosa menyebabkan tauge terasa enak
dan manis ( Andarwulan dan Hariyadi, 2005 ).
Biji cerealia terdiri dari embrio dan endosperm. Di dalam endosperm
terdapat massa pati (starch) yang dikelilingi oleh suatu lapisan "aleuron",
sedangkan embrio itu sendiri merupakan suatu bagian hidup yang suatu saat
52
akan menjadi dewasa. Pertumbuhan embrio selama perkecambahan
bergantung pada persiapan bahan makanan yang berada di dalam endosperm.
Untuk keperluan kelangsungan hidup embrio maka terjadilah penguraian
secara enzimatik yaitu terjadi perubahan pati menjadi gula yang selanjutnya
ditranslokasikan ke embrio sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa gibberelline berperan penting dalam
proses aktivitas amilase. Hal ini telah dibuktikan dengan menggunakan
Giberelin A yang mengakibatkan aktivitas amilase meningkat
(Taylorson, 1984).
Kecambah banyak mengandung protein, kalsium, fosfor serta sedikit Fe
namun miskin vitamin A dan vitamin C. Untuk setiap 100 g bahan, kecambah
kedelai mengandung energi sebesar 67 kal, kecambah kacang hijau sebesar 23
kal dan kacang tunggak sebesar 35 kal (Novary, 1999).
C. PERAGIAN
Fermentasi atau proses peragian pada tempe merupakan proses terpenting
dalam pembuatan tempe. Kapang Rhizopus sp. berperan penting dalam
fermentasi tersebut, walaupun mungkin terdapat mikroba lain tetapi tidak
menunjukkan aktifitas nyata ( Whitaker, 1978 ).
Lebih lanjut DeMan (1989) menerangkan sifat-sifat beberapa kapang yang
digunakan untuk membuat tempe :
1. Rhizopus oligosporus
Rhizopus oligosporus adalah jenis kapang yang banyak digunakan
untuk membuat tempe, baik di Indonesia maupun di Amerika Utara.
Kapang ini memiliki aktifitas protease dan lipase yang kuat (sangat ideal
untuk memecah protein dan lemak kedelai) dibandingkan dengan kapang
tempe lainnya. Namun, kapang ini memiliki aktifitas amilase yang lemah
(sangat cocok untuk memproduksi tempe dari biji-bijian atau campuran
biji dengan kedelai).
53
2. Rhizopus oryzae
Spesies ini memiliki aktifitas amilase yang kuat sehingga kurang baik
untuk membuat tempe karena enzim ini memecah pati dai biji-bijian
menjadi gula sederhana yang kemudian akan mengalami fermentasi
menjadi asam organik yang menghasilkan aroma yang tidak diinginkan
dan warna yang gelap. Tetapi karena memiliki sifat aktifitas protease yang
kedua tertinggi, kapang ini dapat digunakan untuk membuat tempe kedelai
yang baik bila dikombinasikan dengan Rhizopus oligosporus.
3. Rhizopus arrhizus
Rhizopus arrhizus memiliki sifat amilase yang kedua tertinggi setelah
Rhizopus oryzae. Kapang ini banyak digunakan untuk membuat tempe
kedelai di Jawa Timur dan secara luas digunakan untuk membuat tempe
Malang, bersifat lambat matang dan warna putihnya tetap terjaga dalam
waktu lama setelah tempe dipanen.
4. Rhizopus stolonifer
Kapang ini menghasilkan sangat sedikit amilase, bahkan tidak
menghasilkan amilase setelah 138 jam fermentasi. Sifat ini membuat
kapang ini cocok untuk membuat tempe kedelai atau biji-bijian. Tetapi
kapang ini juga memiliki sifat protease yang lemah sehingga membatasi
kemampuannya untuk memecah protein.
Berdasarkan penelitian Hermana et al. (1996), penggunaan kultur murni
pada pembuatan tempe memberikan hasil yang kurang memuaskan, yaitu
pertumbuhan kapang lambat dan tempe yang dihasilkan berbau tidak enak.
Pada penggunaan kultur murni dengan cara inokulasi langsung, kapang akan
beradaptasi terlebih dahulu sehingga pertumbuhan kapang menjadi lambat,
serta dapat menyebabkan rendahnya penghambatan bakteri gram positif dan
menimbulkan bau yang tidak enak.
Untuk membuat tempe yang bermutu baik dan agak tahan lama, harus
diperhatikan sanitasi dan kemurnian inokulumnya. Di samping itu, suhu
fermentasi juga perlu diperhatikan. Apabila fermentasi dilakukan pada suhu
37oC, R. oligosporus akan tumbuh sangat cepat. Kapang ini sangat bersifat
proteolitik sehingga pH tempe akan naik dengan cepat dari pH 4.5 menjadi
54
pH 7. Akibatnya akan timbul bau amonia setelah fermentasi berlangsung
selama 30 jam (Whitaker, 1978).
Proses fermentasi mengurangi beberapa senyawa antinutrisi. Asam fitat
turun lebih dari 50 persen pada proses pembuatan tempe kedelai maupun non
kedelai (Sutardi et al. 1983 dan Damardjati et al. 1996 ). Asam fitat banyak
ditemukan pada serealia dan kacang-kacangan. Di dalam bahan makanan
asam fitat membentuk kompleks dengan mineral-mineral penting dan atau
dengan protein. Banyak dari kompleks tersebut tidak larut dan tidak tersedia
secara biologis bagi tubuh pada kondisi fisiologis tertentu. Umumnya
penelitian pada makhluk hidup memperlihatkan bahwa asam fitat
menghambat bioavailabilitas zat besi makanan karena terbentuknya kompleks.
Semakin tinggi kandungan fitat dalam bahan makanan, semakin sedikit
jumlah zat besi yang dapat diserap tubuh (Sutardi, 1993)
Kandungan zat antinutrisi lain pada kacang tunggak seperti tanin juga
berkurang bahkan hilang selama proses pembuatan tempe. Proses
penghilangan kulit, perendaman, pemasakan dan fermentasi dapat
menurunkan tanin dari 2.23 mg katekin ekuivalen/g menjadi 0 persen. Pada
tripsin inhibitor terjadi penurunan 86.09 persen. Pada fermentasi dengan R.
Oligosporus dapat menghilangkan kandungan tripsin inhibitor menjadi
0 persen (Egounlety dan Worth, 2003).
Menurut Karta (1990), tempe dapat digunakan sebagai bahan penyusun
makanan (food ingredient) dalam bentuk tepung tempe, untuk memperkaya
nilai gizi makanan, seperti protein dan serat. Penelitian yang dilakukan
Mardiah (1994) menunjukkan bahwa tepung tempe kedelai memiliki kadar
protein kasar sebesar 48 persen, kadar lemak kasar 24.7 persen, serat kasar
2.58 persen, kadar air 8.7 persen, kadar abu 2.3 persen dan karbohidrat 13.5
persen. Dalam proses fermentasi, asam palmitat dan asam linoleat sedikit
mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan
linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak jenuh
mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum, sehingga
dapat menetralkan efek negatif sterol di dalam tubuh.
55
D. ANTIOKSIDAN
Antioksidan adalah komponen yang mampu menghambat proses oksidasi,
yaitu proses yang dapat menyebabkan kerusakan dan ketengikan
(Brown, 2000). Aktivitas penghambatan antioksidan dalam reaksi oksidasi
berdasarkan keseimbangan reaksi oksidasi reduksi (R*) dan membentuk
molekul yang tidak reaktif (RH) dan dengan demikian reaksi berantai
pembentukan radikal bebas dapat dihentikan (Belitz, 1984).
Radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species,
ROS) didefinisikan sebagai suatu atom atau molekul atau senyawa yang
mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Contohnya
superoksida (O2*), hidroksil (OH-*), thiil (RS*), dan nitrit oksida (NO*). Tanda
( * ) menunjukkan adanya satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan,
sehingga mempunyai kecenderungan menarik elektron dari molekul lain,
akibatnya radikal bebas menjadi sangat reaktif dan dapat menyebabkan
kerusakan atau kematian sel (Zakaria, 1996).
Belitz (1984) menambahkan antioksidan sangat beragam jenisnya.
Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu
antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi
kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami).
Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan untuk
makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar
diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen
(BHT), propil galat, Tert-Butil Hidroksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol.
Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi
secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck, 1991).
Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi
atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut
sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan
atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya
ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut
memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua
56
merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju
autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai
autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil
(Gordon,1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan
minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap
inisiasi maupun propagasi (Gambar 2). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang
terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup
energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal
lipida baru (Gordon, 1990). Menurut Hamilton (1983), radikal-radikal
antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non radikal.
Inisiasi : R* + AH RH + A*
Radikal lipida
Propagasi : ROO* + AH ROOH + A*
Gambar 2. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon 1990).
Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada
laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik
sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 3).
Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur
antioksidan, kondisi dan sample yang akan diuji.
AH + O2 A* + HOO*
AH + ROOH RO* + H2O + A*
Gambar 3. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon 1990).
57
Hamilton (1983) menyatakan bahwa penghambatan oksidasi lipida oleh
antioksidan melalui lebih dari satu mekanisme tergantung pada kondisi reaksi
dan sistem makanan. Ada empat kemungkinan mekanisme penghambatan
tersebut yaitu (a) pemberian hidrogen, (b) pemberian elektron,
(c) penambahan lipida pada cincin aromatik antioksidan, (d) pembentukan
kompleks antara lipida dan cincin aromatik antioksidan. Studi lebih lanjut
mengamati bahwa ketika atom hidrogen labil pada suatu antioksidan tertentu
diganti dengan deuterium, antioksidan tersebut menjadi tidak efektif. Hal ini
menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan dengan pemberian hidrogen
lebih baik dibanding pemberian elektron. Beberapa peneliti percaya bahwa
pemberian hidrogen atau elektron merupakan mekanisme utama, sementara
pembentukan kompleks antara antioksidan dengan rantai lipida adalah reaksi
sekunder (Gordon, 1990).
Antioksidan sekunder, seperti asam sitrat, asam askorbat, dan esternya,
sering ditambahkan pada lemak dan minyak sebagai kombinasi dengan
antioksidan primer. Kombinasi tersebut dapat memberi efek sinergis
sehingga menambah keefektifan kerja antioksidan primer. Antioksidan
sekunder ini bekerja dengan satu atau lebih mekanisme berikut (a)
memberikan suasana asam pada medium (sistem makanan), (b) meregenerasi
antioksidan utama, (c) mengkelat atau mendeaktifkan kontaminan logam
prooksidan, (d) menangkap oksigen. (e) mengikat singlet oksigen dan
mengubahnya ke bentuk triplet oksigen (Gordon, 1990).
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan,
(b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses
pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan
ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt,1992).
Kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah
berasal dari tumbuhan. Kingdom tumbuhan, Angiospermae memiliki kira-kira
250.000 sampai 300.000 spesies dan dari jumlah ini kurang lebih 400 spesies
yang telah dikenal dapat menjadi bahan pangan manusia. Isolasi antioksidan
alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu
58
dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami tersebar di beberapa
bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji,
dan serbuk sari (Pratt,1992).
Tabel 2. Contoh antioksidan untuk produk pangan di beberapa negara
Amerika Serikat Kanada EEC**
Senyawa fenolik Butil Hidroksi Anisol (BHA) BHA BHA Butil Hidroksi Toluen (BHT) BHT BHT Tert Butil Hidroksi Quinon (TBHQ) Propil galat Propil galat Trihidroksibutiropenon Tokoferol Dodesil galat Propil galat Oktil galat Tokoferol Tokoferol 4-hidroksimetil-2,6-ditertier butilfenol Asam dan ester Diauril tiopropionat Asam askorbat Asam askorbat Asam tiodipropionat Askorbil palmitat Askorbil palmitat Askorbil stearat Kasium askorbat Asam sitrat Sodium askorbat Lesitin sitrat Monogliserida sitrat Monoisopropil sitrat Asam tartarat
*Buck (1991) **European Economic Community
Menurut Pratt dan Hudson (1990) serta Shahidi dan Naczk (1950),
senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau
polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat,
kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Ditambahkan oleh
Pratt (1992), golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi
flavon,flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon. Sementara turunan
asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-
lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan
dapat beraksi sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas,
(c) pengkelat logam, (d) peredam terbentuknya singlet oksigen.
Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami,
seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kokoa, biji-bijian, serealia, buah-
buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan/alga laut. Bahan pangan ini
59
mengandung jenis senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-
asam amino, asam askorbat, golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tanin,
peptida, melanoidin, produk-produk reduksi, dan asam-asam organik lain
(Pratt,1992).
Secara umum, menurut Coppen (1983), antioksidan diharapkan memiliki
ciri-ciri sebagai berikut (a) aman dalam penggunaan, (b) tidak memberi
aroma, bau, dan warna pada produk, (c) efektif pada konsentrasi rendah,
(d) tahan terhadap proses pengolahan produk (berkemampuan antioksidan
yang baik), (e) tersedia dengan harga yang murah. Ciri keempat merupakan
hal yang sangat penting karena sebagian proses pengolahan menggunakan
suhu tinggi. Suhu tinggi akan merusak lipida dan stabilitas antioksidan yang
ditambahkan sebagai bahan tambahan pangan. Kemampuan bertahan
antioksidan terhadap proses pengolahan sangat diperlukan untuk dapat
melindungi produk akhir.
Sebagaimana suatu benda pada umumnya, antioksidan juga memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan tersebut meliputi (a) antioksidan tidak
dapat memperbaiki flavor lipida yang berkualitas rendah, (b) antioksidan tidak
dapat memperbaiki lipida yang sudah tengik, (c) antioksidan tidak dapat
mencegah kerusakan hidrolisis, maupun kerusakan mikroba (Coppen, 1983).
E. SENYAWA FENOLIK
Senyawa fenolik terdiri atas molekul-molekul besar dengan beragam
struktur, karakteristik utamanya adalah adanya cincin aromatik yang memiliki
gugus hidroksil. Kebanyakan senyawa fenolik termasuk ke dalam kelompok
flavonoid ( Pratt dan Hudson, 1990).
Produk yang mula-mula terbentuk pada biosintesis senyawa fenolik adalah
shikimat. Fenol bersifat asam, karena sifat gugus –OH yang mudah
melepaskan diri. Karakteristik lainnya adalah kemampuan membentuk
senyawa kelat dengan logam, mudah teroksidasi dan membentuk polimer
yang menimbulkan warna gelap. Timbulnya warna gelap pada bagian
tumbuhan yang terpotong atau mati disebabkan oleh reaksi ini, hal ini
sekaligus menghambat pertumbuhan tanaman. Di antara turunan fenilpropanol
yang berbobot molekul rendah, terdapat golongan coumarin, asam sinamat,
60
asam sinapinat, alkohol coniveril dan sebagainya. Zat-zat tersebut beserta
turunannya juga merupakan senyawa perantara dalam biosintesis lignin
( Pratt dan Hudson, 1990).
Fenilpropanoid adalah senyawa fenol alam yang mempunyai cincin
aromatik dengan rantai samping terdiri atas tiga atom karbon. Secara
biosintesis senyawa ini turunan asam amino protein aromatik, yaitu
fenilalanina dan fenolpropanoid, dapat mengandung satu C6 – C3 atau lebih.
Yang paling tersebar luas ialah asam hidroksisinamat (Harborne, 1980).
Tabel 3. Kelas terpenting senyawa fenolik pada tanaman Kelas Terpenting Senyawa Fenolik Pada Tanaman
Jumlah atom C Kerangka Dasar Kelas 6 C6 simple phenols, benzoquinones 7 C6 - C1 phenolic acids 8 C6 - C2 acetophenone, phenylacetic acid 9 C6 - C3 hydroxycinnamic acid, polypropene,
coumarin, isocoumarin 10 C6 - C4 naphtoquinone 13 C6 - C1 - C6 xanthone 14 C6 - C2 - C6 stilbene, anthrachinone 15 C6 - C3 - C6 flavonoids, isoflavonoids 18 (C6 - C3)2 lignans, neolignans 30 (C6 - C3 - C6)2 biflavonoids n (C6 - C3)n
(C6)n (C6 - C3 - C6)n
lignins catecholmelanine (condensed tannins)
(Harborne, 1980)
Empat macam asam hidroksisinamat terdapat umum dalam tumbuhan,
yaitu asam ferulat, sinapat, kafeat, dan p-kumarat. Asam hidroksisinamat
biasanya terdapat dalam tumbuhan sebagai ester dan dapat diperoleh dengan
hasil baik dengan cara hidrolisis basa lemah, karena dengan hidrolisis asam
panas, bahan akan hilang akibat dekarboksilasi menjadi hidroksistirena yang
bersesuaian. Berikut ini beberapa contoh senyawa fenilpropanoid
(Harborne, 1980) :
61
R=H, Asam Ferulat
Asam p-kumarat
Gambar 4. Contoh senyawa fenilpropanoid (Harborne, 1980)
Menurut Duenas et al. (2004), senyawa fenolik yang teridentifikasi pada
biji kacang tunggak, yaitu gallic acid, trans-p-coumaroylaldaric acid,
protocatechuic acid, trans-feruloyaldaric acid, p-hydroxybenzoic acid,
vanillic acid,, trans-p-coumaric acid, trans-feruloyl-methilaldaric acid, cis-p-
coumaric acid, quercetin diglycoside, trans-ferulic acid, myricetin 3-O-
glucoside, cis-ferulic acid, quercetin 3-O-galactoside, quercetin 3-O-
Glucoside dan quercetin feruloyl-diglycosides.
F. TANIN
Tanin merupakan senyawa polifenol yang kompleks yang dapat meracuni
patogen (Staples dan Toenniessen, 1981). Tanin adalah senyawa polifenol
yang dapat larut dalam air, gliserol, metanol, hidroalkoholik dan propilena
glikol, tetapi tidak larut dalam benzena, kloroform, eter, petroleum eter dan
karbon disulfida (Butler dan Rogler, 1982).
Pada umumnya tanin terdapat pada setiap tanaman yang letak dan
jumlahnya berbeda tergantung pada jenis tanaman, umur dan organ-organ dari
tanaman itu sendiri. Perbedaan bagian sel juga menentukan, misalnya pada
buah lebih banyak mengandung tanin daripada bagian tanaman lainnya
Tanin terdapat pada tanaman berpembuluh. Dalam angiospermae terdapat
khusus dalam jaringan kayu (Staples dan Toenniessen, 1981).
Tanin umumnya berasal dari senyawa-senyawa fenol alam yang memiliki
kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk kopolimer
62
mantap yang larut dalam air dan dapat mengubah kulit hewan mentah menjadi
siap pakai karena kemampuannya menyambung ikatan silang protein. Sifat
fisik dan kimia tanin lainnya adalah mempunyai rasa sepat sehingga ternak
selalu menghindar dari tanaman yang mengandung tanin. Tanin juga bersifat
sebagai antibakteri dan astringent atau mampu menciutkan dinding usus yang
rusak karena asam atau bakteri. (Staples dan Toenniessen, 1981).
Polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu, mengikat besi
heme membentuk kompleks besi-tanat yang tidak larut sehingga zat besi tidak
dapat diserap dengan baik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terjadi
penurunan drastis dalam hal penyerapan zat besi (sekitar 60 persen) ketika
makanan dikonsumsi bersama secangkir teh (200-250 ml)
(Hilyatuzzahroh, 2006).
Menurut teori warna, struktur tanin dengan ikatan rangkap dua yang
terkonjugasi pada polifenol sebagai kromofor (pengemban warna) dan adanya
gugus (OH) sebagai auksokrom (pengikat warna) dapat menyebabkan warna
coklat. Senyawa tanin dapat dipakai sebagai antimikroba (bakteri dan virus)
karena memiliki gugus pirogalol dan gugus galoil, sedangkan sifat
penghambatan terhadap racun ditentukan oleh struktur tersier persenyawaan
gugus katekol atau pirogalol dengan gugus galoil-nya
(Staples dan Toenniessen, 1981).
Kristal tanin berwarna putih-kuning sampai coklat muda dan bila terkena
sinar matahari akan teroksidasi menjadi coklat tua. Asam tanin bila
dipanaskan sampai 212oC akan terurai menjadi pirogalol dan CO2
(Hilyatuzzahroh, 2006). Tanin membentuk endapan dengan garam logam
seperti besi, kromat, alumunium dan timah. Peristiwa ini digunakan dalam
industri pembuatan tinta, cat dan pewarna kain. Selain itu, tanin juga
merupakan senyawa growth inhibitor, sehingga banyak mikroorganisme
dihambat pertumbuhannya (Butler dan Rogler, 1982).
63
G. DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)
Penentuan aktifitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH
(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). Senyawa DPPH adalah radikal bebas yang stabil
dalam larutan dalam metanol serta memiliki serapan yang kuat pada panjang
gelombang 517 nm dalam bentuk teroksidasi. Senyawa ini mampu menerima
elektron atau radikal hidrogen dari senyawa lain sehingga membentuk
molekul diamagnetik yang stabil. Berikut ini struktur molekul DPPH
(Blois 1958) :
NO2
NO2
NO2N N
Gambar 5. Struktur molekul DPPH (www.springerlink.com)
Metode DPPH dipilih karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya
sederhana, mudah, cepat dan peka serta hanya memerlukan sedikit contoh.
Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui mekanisme
penyumbangan atom hidrogen yang menyebabkan terjadinya peluruhan warna
DPPH dari ungu menjadi kuning yang diukur pada panjang gelombang
517 nm (Blois 1958).
64
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini ialah kacang tunggak
lokal dan ragi tempe. Untuk analisa kimia, bahan-bahan yang digunakan
terdiri dari pereaksi Folin-Denis / Folin-Ciocalteau, larutan Na2CO3 jenuh,
larutan Na2CO3 20 persen, asam tanat, aseton, metanol, HCl, H2SO4 pekat,
selenium, NaOH 30 persen, NaOH 3.25 persen, H2SO4 1.25 persen, heksana,
indikator metil merah dan bromocresol green, dan asam borat 2 persen. Pada
penelitian ini pun digunakan kertas saring Whatman.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu freeze dryer, rotary
evaporator, soxlet, shaker incubator, pendingin tegak, inkubator, alat
destilasi, labu kjeldahl, labu lemak dan alat penggiling. Selain itu digunakan
pula spektrofotometer UV-Vis Shimidzu 2000 dan High Performance Liquid
Chromatography (HPLC)-Waters.
B. METODE
1. Pembuatan Kecambah Kacang Tunggak
Proses pembuatan kecambah kacang tunggak terdiri dari
perendaman, penyebaran dan penyemprotan. Setelah terbentuk kecambah,
dilakukan proses pengupasan kulit. Untuk mengawetkan sampel dilakukan
proses pengeringan dan penggilingan.
Kacang tunggak sebanyak 100 g dipisahkan dari kotorannya,
kemudian direndam dalam air selama empat hingga lima jam. Kacang
tunggak yang telah direndam dikecambahkan selama ± 24 jam. Proses
perkecambahan dilakukan dengan menyebarkan kacang tunggak di atas
kain belacu basah dan ditutup pula dengan kain yang sama. Selama proses
perkecambahan, sesekali dilakukan penyemprotan air agar kondisi tetap
lembab. Setelah itu, kecambah dipisahkan kulitnya lalu dikeringkan
menggunakan freeze dryer. Proses pembuatan kecambah dapat dilihat
pada Lampiran 1.
65
2. Pembuatan Tempe Kacang Tunggak
Proses pembuatan tempe kacang tunggak terdiri dari pengupasan
kulit, perendaman, perebusan, pengukusan dan peragian. Untuk
mengawetkan sampel dilakukan proses pengeringan dan penggilingan.
Kacang tunggak sebanyak 100 g dipisahkan kulitnya. Metode
pemisahan kulit dapat dilakukan melalui metode manual maupun metode
menggunakan mesin. Pada penelitian ini digunakan metode manual.
Sebelum dipisahkan kulitnya, kacang tunggak direndam selama tujuh
hingga delapan jam. Kacang tunggak yang sudah direndam dapat langsung
dipisahkan kulitnya dengan tangan. Jika pemisahan kulit dilakukan
dengan mesin maka kacang tunggak harus dikeringkan dulu dibawah sinar
matahari selama ± dua hari.
Kacang tunggak yang telah dikupas direndam kembali selama
empat hingga lima jam, lalu direbus hingga mendidih selama 10 menit,
kemudian direndam semalam. Setelah itu, kacang tunggak dikukus selama
30 menit, lalu diberi ragi komersial sebanyak 1 persen dari bobot kacang.
Kacang dimasukkan ke dalam plastik jenis PE (Poly Etilene) yang telah
dilubangi, kemudian kacang diratakan dengan ketebalan ± 1 cm.
Selanjutnya dilakukan proses fermentasi pada suhu ruang selama 24 jam.
Tempe yang dihasilkan dipotong kecil-kecil berbentuk dadu, lalu diblansir
dengan uap panas selama dua hingga tiga menit. Tempe didinginkan, lalu
dikeringkan dengan freeze dryer. Diagram alir pembuatan tempe kacang
tunggak dapat dilihat pada Lampiran 2.
3. Analisis Kimia
Kacang tunggak utuh, kecambah dan tempe kacang tunggak yang
sudah kering dihaluskan dengan mesin penggiling, kemudian contoh
dianalisa untuk menetapkan kadar abu, lemak, protein, serat kasar dan
karbohidrat. Metode analisa diuraikan pada Lampiran 3.
Total senyawa fenol dianalisis menurut metode yang dilakukan
Becker dan Siddhuraju (2006). Kandungan senyawa tanin dianalisis
menurut metode AOAC (1984), sedangkan kandungan senyawa fenol
66
lainnya dianalisis menurut Duenas et al. (2005). Sifat fungsional yang
dianalisa ialah aktifitas antioksidan yang dilakukan berdasarkan metode
yang diuji oleh Blois (1958).
4. Pengolahan Data
Data yang diperoleh (proksimat, total fenol, kadar tanin, aktifitas
antioksidan) dihitung rata-rata dan simpangan bakunya. Uji t dilakukan
untuk menentukan signifikansi perbedaan rata-rata.
67
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KACANG TUNGGAK UTUH, KECAMBAH DAN TEMPE KACANG TUNGGAK
1. Penampilan
Kacang tunggak yang diteliti memiliki warna kulit coklat kemerahan
dan berukuran kecil. Bentuk dan ukuran kacang tunggak dapat dilihat
pada Gambar 6.
Gambar 6. Kacang tunggak yang digunakan pada penelitian
Kacang tunggak yang telah melalui proses perkecambahan dan
fermentasi memiliki memiliki tekstur yang berbeda dengan kacang
tunggak utuh. Produk hasil olahan kacang tunggak tersebut memiliki
tekstur lebih lunak dibandingkan dengan kacang tunggak utuh.
Penampilan kecambah dan tempe kacang tunggak dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7. Kecambah dan tempe kacang tunggak
68
Tempe kacang tunggak berwarna putih. Warna ini disebabkan oleh
adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji. Selain itu, tempe
memiliki tekstur yang lebih lunak dan lebih kompak dibandingkan dengan
kacang tunggak, karena kapang tempe mencerna matriks di antara sel-sel
biji kacang tunggak dan menghasilkan miselia-miselia jamur yang
menghubungkan antara biji-biji kacang tersebut.
2. Komposisi Kimia
Pada penelitian ini, proses pengeringan yang digunakan untuk
mengawetkan sampel yaitu metode pengeringan beku (freeze drying).
Pengeringan beku digunakan dengan tujuan meminimalkan resiko
kerusakan komponen kimia dan senyawa fenolik pada bahan yang akan
dianalisa.
Berdasarkan kandungan gizinya, kecambah dan tempe kacang
tunggak mengandung zat gizi yang lebih baik dibandingkan dengan
kacang tunggak utuh. Komposisi kimia kacang tunggak utuh, kecambah
dan tempe kacang tunggak dicantumkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi kimia kacang tunggak, kecambah dan tempe kacang tunggak ( basis kering )
Komponen Satuan Kacang Tunggak
Kecambah Kacang Tunggak
Tempe Kacang Tunggak
Abu % 3.53 4.82 1.03 Lemak % 1.43 1.72 2.49 Protein % 19.02 26.64 33.02 Serat Kasar % 6.86 1.69 3.78 Karbohidrat % 60.64 52.88 53.2
Kadar abu pada kacang tunggak utuh dan kecambah memiliki nilai
yang beda nyata (p<0.05). Proses perkecambahan pada kacang tunggak
meningkatkan kadar abu sebesar 36.54 persen.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Andarwulan dan Hariyadi
(2005), tepung kecambah dengan kulit mengandung kadar abu yang lebih
besar dibandingkan tepung kecambah tanpa kulit. Tepung kecambah
69
dengan kulit memiliki kadar abu sebesar 3.6 persen, sedangkan tepung
kecambah tanpa kulit mengandung abu sebesar 3.75 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan mineral banyak tersimpan dalam lembaga
biji.
Kadar abu pada tempe kacang tunggak memiliki nilai yang beda
nyata dengan kadar abu kacang tunggak utuh (p<0.05). Menurunnya kadar
abu pada tempe kacang tunggak diduga disebabkan oleh mikroorganisme
yang mengkonsumsi mineral dalam kacang tunggak. Pada tempe, kadar
abu berkurang sebesar 70.82 persen. Kapang tempe dapat menghasilkan
enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat (yang mengikat beberapa
mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam fitat,
mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium, dan zink)
menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh.
Kecambah dan tempe kacang tunggak masing-masing mengandung
lemak sebesar 1.72 persen dan 2.49 persen. Kandungan lemak pada
kecambah tidak berbeda nyata dengan kandungan lemak pada kacang
tunggak utuh (p>0.05). Sementara itu, kandungan lemak pada tempe
memiliki nilai yang berbeda nyata dengan kandungan lemak pada kacang
tunggak utuh (p<0.05). Pada tempe, kandungan lemak meningkat sebesar
74.13 persen.
Berdasarkan kandungan protein, dapat dilihat bahwa tempe memiliki
kandungan gizi yang lebih tinggi. Kandungan protein pada kecambah dan
tempe kacang tunggak memiliki nilai yang beda nyata dengan kandungan
protein pada kacang tunggak utuh (p<0.05). Peningkatan kandungan
protein pada tempe mencapai 73.61 persen dan 40.06 persen pada
kecambah kacang tunggak.
Proses perkecambahan dan fermentasi mampu menurunkan
kandungan serat kasar pada kacang tunggak. Menurunnya kandungan
serat kasar ini, salah satunya disebabkan oleh proses pengupasan kulit.
Menurut Andarwulan dan Hariyadi (2005), komponen yang dominan pada
kulit kacang tunggak adalah senyawa polisakarida (serat makanan).
70
Kandungan serat kasar pada kacang tunggak utuh memiliki nilai
yang berbeda nyata dengan kandungan serat kasar pada kecambah
maupun tempe kacang tunggak (p<0.05). Adapun penurunan kandungan
serat kasar pada kecambah sebesar 75.36 persen, sedangkan proses
fermentasi mampu menurunkan serat kasar sebesar 44.98 persen.
Kandungan serat pada tempe diduga dapat berasal pula dari massa kapang
yang membentuk miselium.
Kandungan karbohidrat pada kacng tunggak utuh memiliki nilai
yang beda nyata dengan kandungan karbohidrat pada kecambah dan
tempe kacang tunggak (p<0.05). Kandungan karbohidrat yang tinggi pada
kacang tunggak (60.64 persen) menurun selama proses perkecambahan
dan fermentasi. Penurunan yang terjadi rata-rata sebesar
12 persen. Kecambah kacang tunggak mengandung karbohidrat sebesar
52.88 persen, sedangkan tempe mengandung karbohidrat sebesar 53.20
persen. Kedua nilai ini tidak berbeda nyata (p>0.05). Walaupun terjadi
penurunan, namun jumlah karbohidrat pada kecambah dan tempe kacang
tunggak masih dapat dikatakan tinggi.
Perkecambahan atau germinasi meningkatkan daya cerna karena
selama proses perkecambahan terjadi proses katabolis yang menyediakan
zat gizi penting untuk pertumbuhan tanaman melalui reaksi hidrolisis dari
zat gizi cadangan yang terdapat di dalam biji. Melalui germinasi, nilai
daya cerna kacang-kacangan akan meningkat, sehingga waktu pemasakan
atau pengolahan pun menjadi lebih singkat.
Proses fermentasi meningkatkan nilai nutrisi pada kacang tunggak.
Hal ini disebabkan oleh kerja mikroorganisme yang mensintesis protein
dan lemak menjadi senyawa-senyawa sederhana yang mudah dicerna.
Mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi ini ialah
Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Kedua kapang ini
menghasilkan enzim lipase, protease dan amilase.
71
3. Total Fenol
Kacang tunggak mengandung senyawa fenolik yang berfungsi
sebagai antioksidan. Senyawa fenolik dapat mengalami perubahan selama
proses pengolahan, antara lain proses perkecambahan dan fermentasi.
Hasil analisa total fenol pada kacang tunggak, kecambah dan
tempe ditampilkan pada Tabel 5. Data selengkapnya tersaji dalam
Lampiran 6. Total fenol ini menunjukkan kandungan senyawa fenolik
secara keseluruhan pada kacang tunggak dan berhubungan dengan
aktifitas antioksidan pada bahan.
Tabel 5. Total fenol kacang tunggak, kecambah dan tempe Jenis Sampel Total Fenol (%)
Kacang Tunggak 10.85 Kecambah Kacang Tunggak 8.52 Tempe Kacang Tunggak 8.83
Total fenol pada kacang tunggak utuh sebesar 10.85 persen. Hasil
ini masih lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
Duenas et al. (2005). Penelitian tersebut menghasilkan total fenol sebesar
13.27 persen untuk kacang tunggak yang memiliki warna cokelat gelap.
Total fenol mengalami perubahan seiring dengan proses
pengolahan pada kacang tunggak. Kandungan senyawa fenol pada kacang
tunggak memiliki nilai yang berbeda nyata dengan kandungan senyawa
fenol pada kecambah dan tempe kacang tunggak (p<0.05).
Berkurangnya senyawa fenol pada kecambah dan tempe kacang
tunggak diduga karena sebagian senyawa fenol hilang akibat dari proses
perendaman, pencucian dan pengupasan kulit. Hal ini disebabkan senyawa
fenol merupakan senyawa yang larut dalam air (Harborne, 1985). Selain
itu, menurunnya total fenol pada kecambah pun dapat disebabkan fenol
yang terbentuk mulai diubah menjadi lignin. Lignin bersama-sama dengan
selulosa dan polisakarida lainnya merupakan bahan penguat pada dinding
sel tertentu dari tumbuhan tinggi. Senyawa fenolik sendiri adalah
prekursor untuk sintesis lignin.
72
Total fenol pada tempe tidak berbeda nyata dengan kecambah
(p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa proses perkecambahan maupun
fermentasi menghasilkan perubahan senyawa fenolik yang hampir sama
pada kacang tunggak.
Senyawa fenolik diproduksi oleh sel-sel pada kacang tunggak
disebabkan oleh gangguan dari lingkungan. Sel-sel tersebut menghasilkan
senyawa fenolik sebagai bentuk pertahanan, sehingga semakin besar
gangguan maka semakin banyak pula senyawa fenolik yang dihasilkan.
Peristiwa ini disebut juga sebagai proses elisitasi
(Salisbury dan Ross, 1995).
4. Tanin
Salah satu senyawa fenolik yang terkandung dalam kacang
tunggak ialah tanin. Tanin merupakan senyawa polifenol yang
keberadaannya dapat mengganggu penyerapan nutrisi lain, sehingga
disebut pula sebagai senyawa antinutrisi.
Hasil analisa kadar tanin pada kacang tunggak, kecambah dan
tempe ditampilkan pada Tabel 6. Data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 8. Kadar tanin pada kacang tunggak utuh memiliki nilai yang
beda nyata dengan kadar tanin pada kecambah dan tempe kacang tunggak.
Tabel 6. Kadar tanin kacang tunggak, kecambah dan tempe Jenis Sampel Kadar Tanin (%)
Kacang Tunggak 0.383 Kecambah Kacang Tunggak 0.297 Tempe Kacang Tunggak 0.257
Kacang tunggak mengandung tanin sebesar 0.383 persen. Hasil ini
tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan Duenas et al. (2005).
Duenas et al. (2005) melaporkan kadar tanin pada kacang tunggak yang
berwarna cokelat gelap yaitu sebesar 0.4 persen.
73
Kadar tanin pada kacang tunggak utuh memiliki nilai yang
berbeda nyata dengan kadar tanin pada kecambah maupun tempe kacang
tunggak (p<0.05). Sementara itu, kadar tanin pada kecambah ternyata
tidak memiliki nilai yang beda nyata dengan kadar tanin pada tempe
kacang tunggak (p>0.05).
Proses perkecambahan menurunkan kadar tanin sebesar
22.45 persen, sedangkan kadar tanin pada proses fermentasi berkurang
sebesar 32.89 persen. Hilangnya sebagian tanin pada kecambah dan tempe
dapat disebabkan oleh proses perendaman, pencucian dan pengupasan
kulit.
Penurunan kadar tanin ini sangat baik, karena tanin dapat
mempengaruhi rasa dan aroma pada produk. Bahan yang mengandung
banyak tanin akan memiliki rasa sepat. Selain itu, keberadaan tanin pun
harus dikurangi karena dapat membentuk senyawa kompleks dengan besi
sehingga menghambat penyerapan zat besi pada tubuh
(Staples dan Toenniessen, 1981).
5. Senyawa Fenolik Lainnya
Senyawa fenolik yang diuji pada penelitian ini ialah asam ferulat
dan asam p-kumarat. Kedua senyawa tersebut merupakan golongan
fenilpropanoid. Setelah dilakukan analisa menggunakan HPLC, diperoleh
keberadaan asam p-kumarat pada kacang tunggak, kecambah dan tempe,
sedangkan asam ferulat hanya ditemukan pada tempe saja.
Tidak terdeteksinya asam ferulat pada kacang tunggak dan
kecambah kacang tunggak dapat disebabkan oleh konsentrasinya yang
kecil. Konsentrasi asam p-kumarat pada kacang tunggak dan kecambah
serta konsentrasi asam p-kumarat dan asam ferulat pada tempe dapat
dilihat pada Gambar 8.
74
129.8
163.3
52.17
10.13
020406080
100120140160180
KacangTunggak Utuh
Kecambah Tempe
Sampel
Kon
sent
rasi
(ppm
)Asam p-kumaratAsam ferulat
Gambar 8. Konsentrasi asam p-kumarat dan asam ferulat pada kacang tunggak utuh, kecambah dan tempe kacang tunggak
Kacang tunggak mengandung asam p-kumarat sebesar 129.8 ppm.
Kecambah kacang tunggak mengandung asam p-kumarat sebesar 163.3
ppm, sedangkan tempe kacang tunggak mengandung asam p-kumarat
sebesar 52.17 ppm. Asam ferulat hanya terdeteksi pada tempe kacang
tunggak dengan konsentrasi 10.13 ppm.
Asam ferulat yang terkandung dalam tempe mampu menurunkan
tekanan darah dan kandungan glukosa darah (Ardiansyah, 2004). Senyawa
fenilpropanoid lainnya yaitu asam p-kumarat mampu melemahkan zat
nitrosamine yang menjadi salah satu zat penyebab kanker yang mungkin
terdapat dalam makanan (www.mediasehat.com)
6. Aktifitas Antioksidan
Aktifitas antioksidan dinyatakan dengan nilai IC50. Nilai ini
menunjukkan konsentrasi contoh yang diperlukan untuk menghambat
50 persen aktifitas radikal bebas. Semakin tinggi nilai IC50 maka semakin
rendah aktifitas antioksidannya.
Berdasarkan hasil analisa diperoleh nilai IC50 pada kacang tunggak,
kecambah dan tempe yang terdapat dalam Tabel 7. Data selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 13.
75
Tabel 7. Nilai IC50 pada kacang tunggak, kecambah dan tempe Jenis Sampel IC50 ( μg/ml)
Kacang Tunggak Utuh 46.51 Kecambah Kacang Tunggak 42.64 Tempe Kacang Tunggak 28.05
Apabila dibandingkan dengan aktifitas antioksidan BHT
(Butylated Hydroxy Toluena), aktifitas antioksidan kacang tunggak masih
lebih rendah. Menurut Hanani et al. (2005), aktifitas antioksidan pada
BHT dengan metode DPPH menghasilkan nilai IC50 sebesar 3.81 μg/ml.
Aktifitas antioksidan pada kacang tunggak utuh memiliki nilai
yang beda nyata dengan aktifitas antioksidan pada kecambah dan tempe
kacang tunggak (p<0.05). Berdasarkan tabel dapat diperoleh bahwa telah
terjadi peningkatan aktifitas antioksidan pada biji kacang tunggak selama
proses perkecambahan dan fermentasi. Hal ini dapat dilihat dari semakin
rendahnya nilai IC50 pada kecambah dan tempe. Ketiga jenis bahan
memiliki aktifitas antioksidan yang tergolong kuat, karena memiliki nilai
IC50 kurang dari 200 (Blois, 1958).
Aktifitas antioksidan pada kacang tunggak selama proses
perkecambahan meningkat sebesar 8.32 persen, sedangkan proses
fermentasi mampu meningkatkan aktifitas antioksidan sebesar 39.69
persen. Tingginya aktifitas antioksidan pada produk fermentasi didukung
pula oleh tingginya total fenol.
Proses perkecambahan dan fermentasi merupakan suatu proses
elisitasi, yaitu proses pembentukan fitoaleksin sebagai sistem pertahanan
pada tanaman karena adanya gangguan berupa air dan mikroorganisme.
Fitoaleksin tersebut merupakan salah satu turunan fenol. Sistem
pertahanan dari tumbuhan ini dapat dilihat dari meningkatnya produksi
komponen fenolik melalui lintasan fenilpropanoid. Komponen fenolik ini
merupakan kerangka dasar senyawa yang memiliki aktifitas antioksidan
(Salisbury dan Ross, 1995).
76
B. PERBANDINGAN KOMPOSISI KIMIA KACANG TUNGGAK DAN KACANG KEDELAI
1. Komposisi kimia
Bila dibandingkan dengan kacang kedelai sebagai bahan baku tempe,
kacang tunggak memiliki kandungan karbohidrat lebih tinggi. Pada
kacang kedelai diperoleh kandungan lemak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kacang tunggak.
Tempe kacang tunggak memiliki nilai nutrisi yang tidak kalah dengan
tempe kedelai. Salah satu keunggulan tempe kacang tunggak ini adalah
kandungan lemaknya yang rendah dan kandungan karbohidrat yang tinggi
bila dibandingkan dengan tempe kedelai. Berikut ini perbandingan nilai
nutrisi antara tempe kacang tunggak dengan tempe kedelai :
Tabel 8. Perbandingan komposisi kacang tunggak, kacang kedelai, tempe kacang tunggak dan tempe kedelai (per 100 g bahan)
Komponen Satuan Kacang Tunggak Kedelai Tempe Kacang Tunggak*)
Tempe Kedelai*)
Abu % 3.53 6.1 1.03 3.6 Protein % 19.02 46.2 33.02 46.5 Lemak % 1.43 19.1 2.49 19.7
Serat Kasar % 6.86 3.7 3.78 7.2 Karbohidrat % 60.64 28.2 53.2 30.2
*) Sumber : Hermana, et al. (1996)
C. ANALISIS FINANSIAL INDUSTRI TEMPE KACANG TUNGGAK
Secara umum, proses pembuatan tempe kacang tunggak dapat dilanjutkan
hingga ke industri kecil menengah. Hal ini didasarkan pada keberadaan bahan
baku yang banyak terdapat di dalam negeri dan proses pembuatannya pun
hampir sama dengan proses pembuatan tempe kedelai.
Perajin tempe kedelai tidak akan menemukan kesulitan dalam membuat
tempe kacang tunggak. Namun, harga bahan baku yang lebih tinggi masih
menjadi bahan pertimbangan. Hal ini tentu saja akan menyebabkan tingginya
harga jual tempe kacang tunggak.
77
Biaya bahan baku yang tinggi masih dapat diimbangi dengan rendahnya
biaya operasional. Pada industri tempe kacang tunggak, perajin tidak
membutuhkan alat pengupas kulit, karena sudah tersedia kacang tunggak tanpa
kulit dari petani.
Harga kacang tunggak lebih tinggi sekitar 40 persen dibandingkan dengan
kacang kedelai. Namun, produk tempe kacang tunggak dapat menurunkan
perbedaannya tersebut. Harga jual tempe kacang tunggak lebih tinggi sekitar 17
persen dibandingkan dengan harga jual tempe kedelai.
Berdasarkan analisa finansial, diperoleh perbandingan B/C (Benefit/Cost)
pada pembuatan tempe kacang tunggak yaitu 0.2 (Purwani, et al. 2007).
Analisis kelayakan kelayakan secara sederhana tersaji dalam Lampiran 15.
Hal di atas menunjukkan bahwa industri tempe kacang tunggak tersebut
masih belum layak, namun tidak menutup kemungkinan untuk tetap dilanjutkan.
Industri tempe kacang tunggak dapat dikembangkan di Indonesia, tetapi
diperlukan komitmen pemerintah untuk melakukan upaya peningkatan
produktifitas kacang tunggak. Dengan demikian, harga kacang tunggak pun
dapat bersaing dengan kacang kedelai.
78
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kacang tunggak banyak mengandung karbohidrat dan protein. Kandungan
karbohidrat dan protein pada kacang tunggak masing-masing mencapai 60.64
persen dan 19.02 persen. Pada proses perkecambahan, zat nutrisi protein
meningkat sebanyak 40.06 persen, sedangkan produk fermentasi kacang
tunggak (tempe) mampu meningkatkan zat nutrisi protein sebanyak 73.61
persen.
Kandungan senyawa fenolik pada kacang tunggak menurun sebesar 21.47
pada proses perkecambahan dan 18.62 persen pada proses fermentasi.
Kandungan senyawa tanin mengalami penurunan selama proses
perkecambahan dan fermentasi. Pada proses perkecambahan, kadar tanin
berkurang sebesar 22.45 persen, sedangkan proses fermentasi menurunkan
kadar tanin sebesar 32.89 persen. Senyawa fenolik lainnya, yaitu asam p-
kumarat ditemukan pada kacang tunggak dan kecambahnya, sedangkan pada
tempe ditemukan asam p-kumarat dan asam ferulat. Sementara itu, aktifitas
antioksidan pada kacang tunggak meningkat sebesar 8.32 persen pada proses
perkecambahan dan 39.69 persen pada proses fermentasi.
Bila dibandingkan dengan kacang kedelai, kacang tunggak mengandung
lemak yang rendah, tetapi kaya akan karbohidrat. Kandungan protein tempe
kedelai lebih tinggi dibandingkan dengan tempe kacang tunggak.
B. SARAN
Senyawa antioksidan yang terkandung dalam kacang tunggak masih
sangat beragam jenisnya. Dengan demikian, masih dibutuhkan penelitian lebih
lanjut dalam menelaah keseluruhan senyawa antioksidan baik pada kacang
tunggak, kecambah maupun hasil fermentasinya.
79
Berdasarkan kandungan senyawa fenoliknya, kacang tunggak memiliki
potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku tempe, namun pemanfaatan
kacang tunggak sebagai bahan baku tempe masih belum dikenal oleh
masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan komitmen pemerintah untuk
melakukan upaya divesifikasi pangan.
80
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1984. Official Methodes of Analysis. Association of Official. Analytical Chemist Inc., Virginia
Andarwulan, N dan P. Hariyadi. 2005. Optimasi Produksi Antioksidan pada
Proses Perkecambahan Biji-Bijian dan Divesifikasi Produk Pangan Fungsional dari Kecambah yang Dihasilkan. Laporan Penelitian. IPB, Bogor.
Ardiansyah. 2004. Sehat Dengan Mengkonsumsi Bekatul Artikel Iptek - Bidang
Biologi, Pangan, dan Kesehatan. www. beritaiptek.com (13-08-2007/14.30)
Becker, K dan P. Siddhuraju. 2006. The Antioxidant and Free Radical Scavenging
Activities of Processed Cowpea (Vigna unguiculata (L) Walp.) Seed Extracts. Food Chemistry 101 (2007):10-19.
Belitz, H.D. 1984. Food Chemistry. Springer Verlag, New York. Bewley ,J.D dan M. Balack. 1983. Physiology and Biochemistry of Seeds.
Springer-Verlag. New York Blois, M.S. 1958. Antioxidant Determination by The Use of A Stable Free
Radical. Nature 181:1199-1200. Brown, A. 2000. Understanding Food : Principles and Preparation. Wadsworth
Thomson Learning, USA. BPS. 2002. Badan Pusat Statistik. Jakarta Buck , D.F. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive User’s
Handbook. Blackie Academic & Profesional. Glasgow-UK. Butler L.G dan T.C Rogler. 1982. Biochemical Mechanism of The Natinutrional
Effect of Tannins. Di dalam : Harborne J.B The Flavonoids Advanced in Research. Chapman and Hall. London.
Cai, R., L.R Hacler dan K.H Jalaluddin. 2003. High Performance Liquid
Chromatography Determination of Phenolic Constituens in 17 Varieties of Cowpeas. J. Agric. Food Chem. 51 :1623-1627
Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton,
editor. Rancidity in Foods. Applied Science Publishers, London. Damardjati, D. dan S. Widowati. 1995. Prospek Pengembangan Kacang Gude di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian IV(3) :53-59
81
DeMAn, J.M. 1989. Kimia Makanan. Penerbit ITB. Bandung. Duenas, Montserrat, D. Fernandez, T. Hernandez, I. Estrella dan R. Munoz. 2005.
Bioactive Phenolic Compounds of Cowpeas ( Vigna sinensis L). Modification by Fermentation with Natural Microflora and With Lactobacillus plantarum ATCC 14917. J Sci Food Agric 85:297-304.
Direktorat Gizi. 1990. Daftar Komposisi Makanan. Departemen Kesehatan RI,
Jakarta. Egounlety, M. Dan O.C. Aworth. 2003. Effect of Soaking, Dehulling, Cooking
and Fermentation With Rhizopus oligosporus on The Oligosaccharides, Trypsin Inhibitor, Phytic Acid and Tannins of Soybean (Glycine max Merr.), Cowpea (Vigna unguiculata L.Walp) and Grounbbean (Macrotyloma geocarpa Harms). J Food Engineering. 56 : 249-254
Gordon, M.H 1990. The Mechanism of Antioxidants Action In Vitro. Di dalam:
B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsivier Applied Science, London.
Hamilton, R.J. 1983. The Chemistry Of Rancidity In Foods. Di dalam: J.C. Allen
dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. Applied science Publishers, London.
Hanani, E, A. Mun’im dan R. Sekarini. 2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan
dalam Spons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. 2(3):127-133.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. ITB. Bandung. Hermana, M. K dan D. Karyadi. 1996. Health Significance of Tempeh for Human
Nutrition. Proceedings of the 2nd International Soybean Processing and Utilization Conference. January 8-13. Funny Publishing Limited Partnership, Bangkok Thailand.
Hilyatuzzahroh. 2006. Korelasi Kadar Tanin Pada Produk Teh Komersial dengan
Aktivitasnya Sebagai Senyawa Antibakteri EPEC K1-1. Skripsi. FMIPA-IPB. Bogor.
Karta, S.K. 1990 The Market Prospective for Tempeh in The Year 2000. ASA
Technical Buletin vol 13. Kasno, A., Trustinah dan T. Adisarwanto. 1991. Kacang Tunggak : Tanaman yang
Mudah Dibudidayakan, Toleran terhadap kekeringan dan Mempunyai Prospek Sebagai Alternatif Pemenuh Kebutuhan Akan Kacang-kacangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIII (1) : 6-7.
82
Kurniawan. 2004. Katalog Data Paspor Plasma Nutfah Tanaman Pangan. Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian. Bogor.
Mardiah. 1992. Mempelajari Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe serta
Pengembangan Produk Olahannya Sebagai Makanan Tambahan Bagi Anak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian-IPB. Bogor.
Novary, E. 1999. Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar. Penebar Swadaya.
Jakarta. Pratt, D.E dan B.J.F Hudson. 1990. Natural Antioxidant Not Exploited
Commercially. Di dalam Food antioxidant. Hudson, B.J.F (ed) Elsevier Applied science, London.
Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T.
Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health H. American Society, Washington DC.
Purwani, E.Y., W. Haliza, I. Agustinisari, Triyantini, H. Setianto dan E. Savitri.
2007. Pemanfaatan Kacang-kacangan untuk Produk Tempe. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta
Rubenstein, I., R.L Philips, C. E dan B.G Gengenbech (edt). 1979. The Plant
Seed Development, Preservation and Germination. Academic Press. New York.
Salisbury, F., dan Cleon W. Ross. 1995. Fisiologis Tumbuhan Jilid 2. Penerbit
ITB, Bandung. Singh, B.B., D.R Mohan Raj, K.E. Dashiell, dan L.E.N. Jackai. 1997. Advances
in Cowpea Research. Copublication of International Institute of Tropical Agriculture (IITA) and Japan International Research Center of Agricultural Sciences (JIRCAS). Nigeria.
SNI. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standardisasi Nasional.
Jakarta. Staples, R.C dan G.H Toenniessen. 1981. Plant Disease Control. John Wiley. New
York. Shahidi, F. dan M. Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic pub. Co. Inc.
Lancester-Basel. Sutardi, Tranggono dan Hartuti. 1993. Aktifitas Fitase Pada Tahap-tahap
Pembuatan Tempe Kara Benguk, Kara Putih dan Gude Menggunakan Inokulum Rhizopus oligosporus NRRL 2710. Agritech 13(3) :1-5.
83
Taylorson, B.R (edt). 1984. Recent Advance in The Developmnet and Germination of Seeds. Plenum Press. New York.
Whitaker, J.R. 1978. Biochemical Changes Occuring During The Fermentation of
High Protein Foods. Food Technology 175. Zakaria, F.R. 1996.Sintesis Senyawa Radikal dan Elektrofil dalam dan Oleh
Komponen Pangan. Di dalam : Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan. Kerjasama PSPG IPB dan Kedutaan Besar Perancis, Jakarta.
www.mediasehat.com. 14-08-2007. (14:30) (www.springerlink.com). 14-08-2007. (15.00)
84
85
Lampiran 1. Diagram alir pembuatan kecambah kacang tunggak
Kecambah bebas kulit
Kecambah kacang tunggak
Kecambah kering beku
Ditiriskan dan dikecambahkan selama 24 jam
Pengeringan menggunakan freeze dryer
Penggilingan menggunakan mesin
Pemisahan kulit biji dari kecambah
Direndam selama 4-5 jam
Kacang tunggak yang sudah dipisahkan dari kotorannya
Tepung kecambah kering beku
Kulit kacang tunggak
Analisa
86
Lampiran 2. Diagram alir pembuatan tempe kacang tunggak
Kacang tunggak yang sudah dipisahkan dari kotorannya
Direndam selama 7-8 jam
Kacang tunggak tanpa kulit
Dikupas kulit dengan mesin
Dikeringkan sinar matahari selama 2 hari
Kulit kacang tunggak
Direndam selama 4-5 jam
Direbus sampai mendidih (± 10 menit)
Direndam semalam
Dicuci bersih
A
87
A
Dikukus selama 30 menit
Ditiriskan dan didinginkan
Ditimbang sebanyak 100 gram
Diberi ragi tempe 1% dari berat kacang
Diaduk rata lalu dibungkus dengan
plastik berlubang
Tempe dipotong
Tempe
Dibiarkan dalam suhu ruang selama ± 24 jam
A
88
Dikeringkan dengan freeze dryer
Diblansir dengan uap
Digiling dengan mesin
Tepung tempe
A
Analisa
89
Lampiran 3. Prosedur analisis kacang tunggak, kecambah dan tempe kacang tunggak
1. Kadar Air ( SNI 01-2891-1992)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven biasa.
Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang
telah diketahui bobotnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu
105oC – 110oC hingga berat konstan.
% 100 X W1
W2- W1 (%)Air Kadar =
W1 = berat sampel sebelum dikeringkan (gram)
W2 = berat sampel setelah dikeringkan (gram)
2. Kadar Abu ( SNI 01-2891-1992)
Pengukuran kadar abu dilakukan dengan tanur. Sebanyak 5 gram
sampel yang sudah dihancurkan dimasukkan ke dalam cawan porselen.
Sampel didestruksi terlebih dahulu hingga terbentuk arang. Setelah itu,
sampel dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 550oC – 600oC sampai
terbentuk abu dan tercapai berat konstan.
% 100 X C
B -A (%)Abu Kadar =
A = berat cawan + abu (gram)
B = berat cawan (gram)
C = berat sampel (gram)
90
3. Kadar Lemak ( SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dengan kertas saring
berbentuk tabung yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, lalu
diekstraksi dengan pelarut heksana dalam peralatan soxhlet selama 6 jam.
Sampel yang masih dalam tabung kertas saring hasil ekstraksi diuapkan
dengan cara diangin-anginkan. Setelah itu dikeringkan dalam oven selama
1 jam, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang.
% 100 X C
B -A (%)Lemak Kadar =
A = Bobot kertas saring + sampel sebelum diuji kadar lemak (gram)
B = Bobot kertas saring + sampel setelah diuji kadar lemak (gram)
C = Bobot sampel awal (gram)
4. Kadar Protein ( SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 0,1 gram sampel ditimbang, kemudian ditambahkan
katalis Selenium dan 2.5 ml H2SO4 pekat. Setelah itu, didestruksi sampai
bening (hijau). Selanjutnya didinginkan dan ditera dengan akuades hingga
100 ml, kemudian didestilasi dan dilakukan penambahan NaOH 30 persen
sebanyak 5 ml. Hasil destilasi (destilat) ditampung dengan asam borat
2 persen yang ditambahkan indikator metil red dan bromocresol green.
Hasil destilasi tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N.
1000contoh x gram14,007 x HCl N x fp x ))contoh - blanko ( titrasiml ( N TotalPersen =
fp = faktor pengenceran
Kadar Protein (%) = Persen total N x faktor konversi
91
5. Serat Kasar ( SNI 01-2891-1992) 5. Serat Kasar ( SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 2-4 g contoh ditimbang. Contoh dihilangkan lemaknya
dengan cara soxlet atau dengan cara mengaduk di dalam pelarut organik
sebanyak tiga kali. Contoh dikeringkan dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 500 ml. Sebanyak 50 ml larutan H2SO4 1.25 persen
ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Lalu dididihkan selama 30 menit
dengan menggunakan pendingin tegak.
Sebanyak 2-4 g contoh ditimbang. Contoh dihilangkan lemaknya
dengan cara soxlet atau dengan cara mengaduk di dalam pelarut organik
sebanyak tiga kali. Contoh dikeringkan dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 500 ml. Sebanyak 50 ml larutan H2SO4 1.25 persen
ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Lalu dididihkan selama 30 menit
dengan menggunakan pendingin tegak.
Setelah itu, sebanyak 50 ml larutan NaOH 3.25 persen
ditambahkan, lalu dididihkan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan
panas, contoh disaring dengan penyaring vakum yang berisi kertas saring
tak berabu Whatman yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya.
Endapan yang terdapat dalam kertas saring dicuci berturut-turut dengan
H2SO4 1.25 persen panas, air panas dan etanol 95 persen. Setelah itu,
kertas saring diangkat dan dimasukkan ke dalam kotak timbang yang telah
diketahui bobotnya. Kertas saring dikeringkan pada suhu 105oC, lalu
didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Bila ternyata serat kasar
lebih besar dari satu, maka kertas saring diabukan beserta isinya kemudian
ditimbang sampai bobot tetap.
Setelah itu, sebanyak 50 ml larutan NaOH 3.25 persen
ditambahkan, lalu dididihkan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan
panas, contoh disaring dengan penyaring vakum yang berisi kertas saring
tak berabu Whatman yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya.
Endapan yang terdapat dalam kertas saring dicuci berturut-turut dengan
H2SO4 1.25 persen panas, air panas dan etanol 95 persen. Setelah itu,
kertas saring diangkat dan dimasukkan ke dalam kotak timbang yang telah
diketahui bobotnya. Kertas saring dikeringkan pada suhu 105oC, lalu
didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Bila ternyata serat kasar
lebih besar dari satu, maka kertas saring diabukan beserta isinya kemudian
ditimbang sampai bobot tetap.
% 100 X A
B (%)kasar Serat = % 100 X A
B (%)kasar Serat =
Jika serat kasar > 1 % : Jika serat kasar > 1 % :
% 100 X B-A
C (%)kasar Serat =
A = bobot contoh (gram) A = bobot contoh (gram)
B = bobot endapan dalam kertas saring (gram) B = bobot endapan dalam kertas saring (gram)
C = bobot abu (gram) C = bobot abu (gram)
92 92
6. Kadar Karbohidrat (Carbohydrate by Difference)
% karbohidrat = 100 % - (% protein + % lemak + % kadar air +
% kadar abu)
7. Kadar Tanin (AOAC,1984)
Persiapan kurva standar
Larutan standar dibuat dengan melarutkan 100 mg asam tanat ke
dalam 100 ml air suling, kocok dan diencerkan sampai satu liter ( 1 ml =
0.1 mg asam tanat ), dibuat larutan segar setiap analisis. Ditambahkan 2
ml pereaksi Folin-Denis ke dalam labu takar 100 ml yang telah diisi 50-70
ml air suling, kemudian dipipet 0.3, 0.6, 0.9, 1.2 dan 1.5 ml larutan standar
asam tanat lalu ditambahkan 5 ml larutan Na2CO3 jenuh ke dalam masing-
masing labu dan tepatkan hingga 100 ml dengan air suling. Setelah itu
dikocok dan dibiarkan selama 40 menit, kemudian diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 725 nm dengan dibuat kurva standar.
Pengukuran contoh
Contoh yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 2 g dan
dimasukkan ke dalam labu didih 500 ml, lalu ditambahkan 350 ml air
suling dan direfluks selama tiga jam kemudian didinginkan. Setelah itu
dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 500 ml dan ditepatkan
dengan air suling. Lalu disaring kemudian dipipet 2 ml filtrat ke dalam
labu takar 100 ml dan ditambahkan 2 ml pereaksi Folin-Denis serta 5 ml
Na2CO3 jenuh. Setelah ditepatkan lalu dibiarkan selama 40 menit,
kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm.
93
8. Total Fenol (Becker dan Siddhuraju, 2006)
Ektraksi Pelarut
Sebanyak 10 g contoh diaduk dengan 100 ml aseton 70 persen
pada suhu 25oC selama 24 jam dan disaring menggunakan kertas saring
Whatman. Residu yang diperolah diekstrak kembali dengan 50 ml aseton
70 persen selama tiga jam. Larutan yang dihasilkan disatukan dan
dievaporasi vakum pada suhu 40oC, kemudian sisa air dihilangkan dengan
metode pengeringan beku.
Pengukuran contoh
Ekstrak contoh dimasukkan ke dalam tabung skala dan ditepatkan
volumenya hingga 1 ml dengan air suling. Setelah itu ditambahkan 0.5 ml
pereaksi Folin-Ciocalteau : air (1 : 1 v/v) dan 2.5 ml larutan Na2CO3
20 persen ke masing-masing tabung. Setelah divorteks, tabung disimpan
pada ruang gelap selama 40 menit dan diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 725 nm. Kurva standar dibuat menggunakan asam tanat.
5. Aktivitas Antiosidan
Pembuatan Ekstrak (Hanani et al., 2005)
Bahan sejumlah 10 g dimaserasi selama enam jam dalam 100 ml
aseton, sambil sekali-kali dikocok. Lapisan aseton dipisahkan, kemudian
maserasi diulang dengan cara yang sama sampai filtrat aseton tidak
berwarna. Residu dimaserasi lebih lanjut menggunakan metanol 100 ml
dengan cara yang sama, ulangi sampai lapisan metanol tidak berwarna.
Filtrat yang diperoleh disatukan, diuapkan menggunakan rotary
evaporator sampai diperoleh ekstrak kental.
94
95
Uji aktivitas antioksidan metode DPPH (Blois,1958)
Ekstrak dilarutkan dalam metanol dan dibuat dalam berbagai
konsentrasi ( 10, 30, 50 dan 70 ppm). Masing-masing dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Ke dalam tiap tabung reaksi ditambahkan 500µl
larutan DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) 1mM dalam metanol. Volume
dicukupkan sampai 5 ml, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 30
menit, selanjutnya serapannya diukur pada panjang gelombang 515 nm.
Sebagai kontrol positif, dan untuk pembanding digunakan vitamin C
(konsentrasi 2, 3, 4 dan 5 ppm) dan BHT (konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm).
Nilai IC50 dihitung masing-masing dengan menggunakan rumus
persamaan regresi.
6. Penentuan Senyawa Fenolik Metode High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) ( Duenas et.al., 2005)
Sebanyak 10 g contoh dimaserasi dengan 3 x 80 ml larutan
metanol-HCl (1o/oo) : air (80:20 v/v), kemudian diekstraksi kembali
dengan dietil eter dan etil asetat masing-masing sebanyak 3 kali. Larutan
yang diperoleh disatukan dan dikeringkan menggunakan Na2SO4 dan
dievaporasi dengan kondisi vakum. Lalu residu dilarutkan pada sedikit
metanol : air (1 : 1 v/v). Sampel disaring menggunakan kertas saring
selulosa asetat 0.45 μm, kemudian dianalisa menggunakan High
Performance Liquid Chromatography (HPLC)-Waters. Adapun
spesifikasi HPLC yang digunakan, yaitu :
- Detektor UV Visible
- No. Seri 2487 dual λ absorbance
- Kolom C18
- Panjang gelombang 254 nm
- Laju alir 0.5 ml/menit
- Pompa 515
96
Replikasi SimpanganJenis Sampel Komponen kimia (%) 1 2 3 Rata-rata Baku
KoefisienVarian
Abu 3.45 3.49 3.65 3.53 0.11 0.03 Lemak 1.4 1.38 1.5 1.43 0.06 0.04 Protein 18.96 18.76 19.35 19.02 0.30 0.02 Serat Kasar 7.13 7.01 6.44 6.86 0.37 0.05
Kacang Tunggak
Karbohidrat 60.53 60.89 60.5 60.64 0.22 0.00 Abu 4.8 4.69 4.98 4.82 0.15 0.03 Lemak 1.67 1.81 1.68 1.72 0.08 0.05 Protein 26.95 25.79 27.19 26.64 0.75 0.03 Serat Kasar 1.52 1.83 1.73 1.69 0.16 0.09
Kecambah Kacang Tunggak
Karbohidrat 52.63 53.97 52.04 52.88 0.99 0.02 Abu 0.99 1.03 1.08 1.03 0.05 0.04 Lemak 2.33 2.69 2.47 2.49 0.18 0.07 Protein 32.62 32.92 33.52 33.02 0.46 0.01 Serat Kasar 4.27 3.51 3.55 3.78 0.43 0.11
Tempe Kacang Tunggak
Karbohidrat 53.12 53.43 53.06 53.2 0.20 0.00
Lampiran 4. Komposisi kimia kacang tunggak, kecambah dan tempe kacang tunggak
Lampiran 5. Hasil uji t kadar abu, lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat
a. Kadar Abu Kacang Tunggak Utuh, Kecambah, Tempe Kacang Tunggak
Paired T for C1 - C2 N Mean StDev SE Mean C1 3 3.5300 0.1058 0.0611 C2 3 4.8233 0.1464 0.0845 Difference 3 -1.2933 0.0814 0.0470 95% CI for mean difference: (-1.4957, -1.0910) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -27.50 P-Value = 0.001 Paired T for C1 - C3 N Mean StDev SE Mean C1 3 3.5300 0.1058 0.0611 C3 3 1.0333 0.0451 0.0260 Difference 3 2.4967 0.0635 0.0367 95% CI for mean difference: (2.3389, 2.6544) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 68.09 P-Value = 0.000
b. Kadar Lemak Kacang Tunggak Utuh, Kecambah, Tempe Kacang Tunggak
Paired T for C1 - C2 N Mean StDev SE Mean C1 3 1.4267 0.0643 0.0371 C2 3 1.7200 0.0781 0.0451 Difference 3 -0.2933 0.1266 0.0731 95% CI for mean difference: (-0.6079, 0.0212) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -4.01 P-Value = 0.057 Paired T for C1 - C3 N Mean StDev SE Mean C1 3 1.427 0.064 0.037 C3 3 2.497 0.181 0.105 Difference 3 -1.070 0.209 0.121 95% CI for mean difference: (-1.589, -0.551) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -8.88 P-Value = 0.012
97
c. Kadar Protein Kacang Tunggak Utuh, Kecambah, Tempe Kacang Tunggak
Paired T for C1 - C2 N Mean StDev SE Mean C1 3 19.023 0.300 0.173 C2 3 26.643 0.749 0.432 Difference 3 -7.620 0.516 0.298 95% CI for mean difference: (-8.903, -6.337) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -25.56 P-Value = 0.002 Paired T for C1 - C3 N Mean StDev SE Mean C1 3 19.023 0.300 0.173 C3 3 33.020 0.458 0.265 Difference 3 -13.997 0.292 0.168 95% CI for mean difference: (-14.721, -13.272) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -83.14 P-Value = 0.000
d. Kadar Serat Kasar Kacang Tunggak Utuh, Kecambah, Tempe Kacang Tunggak
Paired T for C1 - C2 N Mean StDev SE Mean C1 3 6.860 0.369 0.213 C2 3 1.693 0.158 0.091 Difference 3 5.167 0.450 0.260 95% CI for mean difference: (4.048, 6.285) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 19.88 P-Value = 0.003 Paired T for C1 - C3 N Mean StDev SE Mean C1 3 6.860 0.369 0.213 C3 3 3.777 0.428 0.247 Difference 3 3.083 0.361 0.209 95% CI for mean difference: (2.186, 3.980) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 14.79 P-Value = 0.005
98
99
e. Kadar Karbohidrat Kacang Tunggak Utuh, Kecambah, Tempe Kacang Tunggak
Paired T for C1 - C2 N Mean StDev SE Mean C1 3 60.640 0.217 0.125 C2 3 52.880 0.989 0.571 Difference 3 7.760 0.779 0.450 95% CI for mean difference: (5.824, 9.696) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 17.24 P-Value = 0.003
Paired T for C1 - C3 N Mean StDev SE Mean C1 3 60.640 0.217 0.125 C3 3 53.203 0.199 0.115 Difference 3 7.4367 0.0252 0.0145 95% CI for mean difference: (7.3742, 7.4992) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 511.83 P-Value = 0.000
Paired T for C2 - C3 N Mean StDev SE Mean C2 3 52.880 0.989 0.571 C3 3 53.203 0.199 0.115 Difference 3 -0.323 0.793 0.458 95% CI for mean difference: (-2.294, 1.647) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.71 P-Value = 0.55
Total Fenol (%) Replikasi Jenis Sampel
1 2 3 Rata-rata Simpangan
Baku Koefisien Varian
Kacang Tunggak 10.48 10.26 11.8 10.85 0.83 0.08 Kecambah Kacang Tunggak 8.44 8.64 8.49 8.52 0.10 0.01 Tempe Kacang Tunggak 8.54 8.62 9.34 8.83 0.44 0.05
100
Lampiran 6. Total fenol pada kacang tunggak selama proses perkecambahan dan fermentasi
101
Lampiran 7. Hasil uji t total fenol Paired T for C1 - C2 N Mean StDev SE Mean C1 3 10.847 0.833 0.481 C2 3 8.523 0.104 0.060 Difference 3 2.323 0.880 0.508 95% CI for mean difference: (0.138, 4.509) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 4.57 P-Value = 0.045 Paired T for C1 - C3 N Mean StDev SE Mean C1 3 10.847 0.833 0.481 C3 3 8.833 0.441 0.254 Difference 3 2.013 0.415 0.240 95% CI for mean difference: (0.983, 3.044) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 8.41 P-Value = 0.014 Paired T for C2 - C3 N Mean StDev SE Mean C2 3 8.523 0.104 0.060 C3 3 8.833 0.441 0.254 Difference 3 -0.310 0.471 0.272 95% CI for mean difference: (-1.481, 0.861) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -1.14 P-Value = 0.373
Kadar Tanin (%) Replikasi Jenis Sampel
1 2 3 Rata-rata Simpangan
Baku Koefisien Varian
Kacang Tunggak 0.39 0.38 0.38 0.383 0.01 0.02 Kecambah Kacang Tunggak 0.3 0.3 0.29 0.297 0.01 0.02 Tempe Kacang Tunggak 0.24 0.27 0.26 0.257 0.02 0.06
102
Lampiran 8. Kadar tanin pada kacang tunggak selama proses perkecambahan dan fermentasi
Lampiran 9. Hasil uji t kadar tanin Paired T for C1 - C2 N Mean StDev SE Mean C1 3 0.38333 0.00577 0.00333 C2 3 0.29667 0.00577 0.00333 Difference 3 0.08667 0.00577 0.00333 95% CI for mean difference: (0.07232, 0.10101) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 26.00 P-Value = 0.001
Paired T for C1 - C3 N Mean StDev SE Mean C1 3 0.38333 0.00577 0.00333 C3 3 0.25667 0.01528 0.00882 Difference 3 0.1267 0.0208 0.0120 95% CI for mean difference: (0.0750, 0.1784) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 10.54 P-Value = 0.009
Paired T for C2 - C3 N Mean StDev SE Mean C2 3 0.29667 0.00577 0.00333 C3 3 0.25667 0.01528 0.00882 Difference 3 0.0400 0.0173 0.0100 95% CI for mean difference: (-0.0030, 0.0830) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 4.00 P-Value = 0.057
103
Lampiran 10. Kromatogram High Performance Liquid Chromatography (HPLC) pada kacang tunggak
Asam p-kumarat
104
Lampiran 11. Kromatogram High Performance Liquid Chromatography (HPLC) pada kecambah kacang tunggak
Asam p-kumarat
105
106
Lampiran 12. Kromatogram High Performance Liquid Chromatography (HPLC) pada tempe kacang tunggak
a. Asam p-kumarat
b. Asam ferulat
Replikasi 1 2 3
Konsentrasi Aktivitas IC50 Konsentrasi Aktivitas IC50 Konsentrasi Aktivitas IC50Jenis Sampel
(μg/ml) Peredaman
(%) ( μg/ml) ( μg/ml) Peredaman
(%) ( μg/ml) ( μg/ml) Peredaman
(%) ( μg/ml)
Rata- rata
Simpangan Baku
Koefisien Varian
10 15.4 46.99 10 16.2 46.3 10 15.7 46.23 46.51 0.42 0.01 30 28.5 30 28.3 30 29.3 50 53.8 50 54.9 50 54.8
Kacang Tunggak
70 83.6 70 87.6 70 85.8 10 11.8 42.18 10 21.3 43.67 10 20.3 42.08 42.64 0.89 0.02 30 35.8 30 37.4 30 37.2 50 59.1 50 55.8 50 58.4
Kecambah Kacang Tunggak
70 89.1 70 90.1 70 89.2 10 25.4 27.85 10 26.4 27.8 10 25.8 28.5 28.05 0.39 0.01 30 52.8 30 52.9 30 51.9 50 74.1 50 76.2 50 75.6
Tempe Kacang Tunggak
70 91.3 70 98.1 70 96.5
59
Lampiran 13. Aktifitas antioksidan pada kacang tunggak selama proses perkecambahan dan fermentasi
Lampiran 14. Hasil uji t aktifitas antioksidan Paired T-Test and CI: C1, C2 Paired T for C1 - C2 N Mean StDev SE Mean C1 3 46.507 0.420 0.243 C2 3 42.643 0.891 0.514 Difference 3 3.863 1.118 0.645 95% CI for mean difference: (1.086, 6.640) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 5.99 P-Value = 0.027
Paired T-Test and CI: C1, C3 Paired T for C1 - C3 N Mean StDev SE Mean C1 3 46.507 0.420 0.243 C3 3 28.050 0.391 0.225 Difference 3 18.457 0.706 0.408 95% CI for mean difference: (16.703, 20.210) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 45.28 P-Value = 0.000 Paired T-Test and CI: C2, C3 Paired T for C2 - C3 N Mean StDev SE Mean C2 3 42.643 0.891 0.514 C3 3 28.050 0.391 0.225 Difference 3 14.593 1.167 0.674 95% CI for mean difference: (11.693, 17.494) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 21.65 P-Value = 0.002
60
Lampiran 15. Analisis finansial tempe kacang tunggak (Purwani, et al. 2007).
Tempe Kacang Tunggak Harga (Rp) Komponen
Satuan Volume Satuan Total
Biaya Investasi Bangunan lengkap dengan rak m2 20 1 000 000 20 000 000 perendam dan tungku Pompa dan rak-rak fermentasi paket 1 1 000 000 1 000 000 Mesin pengupas unit Total Investasi 21 000 000 Biaya Operasional Biaya Tetap Penyusutan mesin 20% / tahun paket 1 4 200 000 4 200 000 Upah HOK 350 15 000 5 250 000 Transportasi pemasaran hari 350 30 000 10 500 000 Biaya tidak tetap Kacang tunggak kg 17500 6 200 108 500 000 Utilitas hari 350 1 000 350 000 kemasan pak 3150 2 000 6 300 000 Ragi pak 0.5 7 000 3 500 Kayu bakar hari 350 2 500 875 000 Total Biaya Operasional 135 978 500 Penerimaan Penjualan tempe bungkus 175000 932 163 100 000 Keuntungan 27 121 500 Perbandingan B/C 0.2 Perbandingan R/C 1.2
61