Techniques for Studying Activity

download Techniques for Studying Activity

of 6

description

teknik

Transcript of Techniques for Studying Activity

A. Techniques for Studying Brain ActivityPara ahli anatomi zaman dahulu menemukan struktur dan fungsi organ-organ manusia dan binatang dengan membedah tubuh manusia atau binatang yang sudah mati. Melalui pembedahan, para ahli tersebut dapat dengan luluasa mengamati organ-organ yang bentuknya bermacam-macam dan mereka menerka fungsi suatu organ berdasarkan bentuknya. Sebagai contoh, organ yang berbentuk seperti kantong (misalnya lambung atau kandung kemih) diasumsikan sebagai tempat penyimpanan (Suharnan, 2005). Penelitian awal ini menghasilkan beragam informasi berharga mengenai struktur dan fungsi tubuh. Meski begitu, para peneliti yang mayoritas pria tersebut menemukan tantangan lain ketika mempelajari otak. Mereka tidak mendapati adanya struktur yang keras di otak dan hanya sedikit bagian yang dapat diidentifikasi. Meski demikian, studi yang mendalam akhirnya menemukan berbagai struktur yang berbeda-beda. Pada dewasa ini, pembedahan otak seseorang yang telah meninggal lebih sering digunakan untuk memepelajari hubungan otak dan perilaku. Para peneliti mempelajari dengan hati-hati perilaku manusia yang menunjukkan tanda-tanda kerusakan kerusakan otak ketika mereka masih hidup (Wilson, 2003). Pertama-tama mereka mendokumentasikan perilaku pasien sedetail mungkin di dalam studi-studi kasus sebelum pasien meninggal. Setelah pasien meninggal, peneliti mencari lokasi terjadinya lesi (area-area jaringan tubuh yang mengalami kerusakan seperti karena luka benturan atau penyakit) pada otak (Stanberg, 2012). Dari situ, peneliti berkesimpulan bahwa lokasi-lokasi terjadinya lesi memang mempengaruhi perilaku mereka. Dengan cara itu, peneliti bisa mencari kaitan antara perilaku yang diamati dengan ketidaknormalan-ketidaknormalan yang terjadi di lokasi tertentu di otak. Tahun 1861, neurolog perancis, Paul Broca menemukan orang yang mampu memahami bahasa namun tidak dapat berbicara. Orang ini hanya dapat menghasilkan suara tan sehingga ia pun dinamai Tan. Kemudian ditemukan lesi di otak pada lobus frontal kirinya yang sekarang ini disebut daerah Broca (area Broca). Lalu, pada tahun 1875, Carl Wernicke, seorang neurolog Jerman, menemukan pasien yang dapat bicara dengan baik namun tidak dapat mengerti. Pasien ini adalah korban dari stroke, dan tidak dapat memahami bahasa lisan maupun tulisan. Pasien ini memiliki lesi di daerah pertemuan lobus temporal dan parietal kiri, yang sekarang disebut daerah Wernicke. Kasus-kasus ini mendukung dengan kuat pandangan para peneliti sebelumnya karena sebuah lesi menyebabkan perubahan perilaku khusus pada kedua pasien ini. Teknik-teknik melacak terjadinya lesi ini telah meletakkan fondasi untuk memahami hubungan otak dengan perilaku. Akan tetapi, walaupun begitu, para peneliti tidak bisa melakukannya pada otak yang masih hidup sehingga mereka tidak memberikan pengertian apapun tentang proses-proses fisiologis yang lebih spesifik dari otak (Stanberg, 2012). Para peneliti yang penasaran untuk meneliti otak yang masih hidup kemudian harus menggunakan riset in vivo. Pada awalnya, teknik in vivo hanya dilakukan pada hewan. Dalam penelitiannya, elektroda mikro dimasukkan ke dalam otak hewan yang biasanya kera atau kucing. Dari situ, peneliti mendapatkan rekaman sel tunggal tentang aktivitas sebuah neuron di otak. Ilmuwan dapat mengukur efek dari jenis-jenis stimuli tertentu seperti garis-garis yang disajikan secara visual mengenai aktivitas neuron-neuron. Ada juga penelitian lain yang dilakukan dengan melakukan pelesian selektif untuk mengamati cacat fungsional yang terjadi. Jadi, peneliti bisa mengetahui dengan jelas efek dari suatu bagian di otak dengan mengaitkan bagian yang dikenakan pelesian dan efeknya. Namun, teknik-teknik ini masih belum bisa dicobakan kepada manusia.Pengembangan teknologi yang makin hari makin canggih kemudian mulai memuaskan dahaga para peneliti yang penasaran untuk menelitik otak manusia yang masih hidup. Teknik-teknik studi otak manusia yang masih hidup yakni studi dari rekaman-rekaman listrik, teknik-teknik pencitraan statis dan pencitraan metabolis. Para peneliti dan praktisi sering kali merekam aktivitas listrik di dalam otak. Salah satu alat yang digunakan adalah Electroencephalography(EEG). EEG ini merekam frekuensi dan intensitas listrik otak yang masih hidup dan biasanya direkam di sebuah periode yang relatif lama. EEG memungkinkan peneliti untuk mempelajari aktivitas gelombang otak yang mengindikasikan perubahan-perubahan kondisi mental seperti tidur lelap atau bermimpi. EEG dilakukan dengan menempatkan elektroda di beberapa titik tertentu di kulit kepala dan yang direkam adalah aktivitas listrik dari area-area otak yang mendasar. EEG ini sangat sensitif dengan terhadap perubahan perubahan diperiode waktu tertentu. Untuk menghubungkan aktvitas listrik dengan sebuah kejadian atau tugas tertentu , gelombang-gelombang EEG dapat dirata-ratakan dari sejumlah besar percobaan (misalnya 100 kali percobaan) untuk mengetahui potensi-potensi yang berhubungan dengan kejadian (ERPs~ event-related potentials) (Stanberg, 2012). ERP ini memberitahukan informasi yang sangat baik tentang arah-waktu dari aktivitas otak yang berkaitan dengan tugas dengan merata-ratakan aktivitas yang tidak berkaitan dengan tugas. Namun, seperti dengan teknik-teknik lainnya, EEG dan ERP hanya menyediakan kilasan aktivitas otak. Mereka lebih bagus digunakan kalau dipadukan dengan teknik-teknik lain yang sejenis. Para psikolog juga menggunakan teknik pencitraan statis supaya mendapatkan imaji-imaji yang tetap untuk menyingkapkan struktur-struktur otak (Buckner, 2000; Posner & Raichle, 1994). Teknik-teknik ini memncakup angiogram, CAT (computerized axial tomography) dan pemindaian dengan pencitraan resonansi magnetis (MRI, magnetic resonance imaging). Angiogram dan CAT yang berbasis sinar X memungkinkan pengamatan yang lebih mendetail tentang abnormalitas otak skala besar. Tetapi angiogram dan CAT tidak bisa memperlihatkan banyak informasi mengenai lesi-lesi dan penyimpangan yang lebih kecil karena resolusinya yang terbatas. MRI kemudian menjadi teknik pencitraan statis yang memberikan lebih banyak informasi bagi para peneliti khususnya para psikolog kognitif. MRI memberikan gambar-gambar beresolusi tinggi tentang struktur otak hidup yang dilakukan dengan menggunakan daya magnet yang kuat mengelilingi kepala. Selai resolusinya yang lebih tinggi, kalau dibandingkan dengan angiogram dan CAT, MRI juga tidak memberikan rasa sakit karena tidak menggunakan sinar X. Hanya saja, teknik MRI ini relatif mahal. MRI juga tidak menyediakan banyak informasi mengenai proses-proses fisiologis. Selain studi-studi terhadap hewan, rekaman-rekaman listrik dan teknis pencitraan statis, para psikolog juga menggunakan teknik lain yakni teknik pencitraan metabolis. Teknik pencitraan metabolis mengandalkan perubahan-perubahan yang berlangsung di dalam otak sebagai hasil dari peningkatan konsumsi glukosa dan oksigen di area-area aktif otak (Stanberg, 2012). Asumsinya adalah area-area otak yang aktif menggunakan glukosa dan oksigen yang lebih banyak dari pada area-area yang tidak aktif ketika diberikan tugas tertentu. Para ilmuwan kemudian berupaya untuk menentukan area-area spesifik bagi suatu tugas dengan menggunakan metode substraksi. Aktivitas otak yang dihasilkan kemudian dianalisis secara statistik dan analisisnya menunjukkan area otak mana saja yang bekerja ketika diberikan tugas tertentu. Namun, dengan teknik subraksi itu, peneliti masih sulit menentukan Kemudian, ada teknik PET (positron emission tomography) Scan dan fMRI (functional magnetic resonance imaging) atau pencitraan melalui resonansi magnetis secara fungsional. Kegunaan utama fMRI adalah menelusuri keadaan anatomi otak dan PET melihat aktivitas metabolisme dalam otak.Dengan kombinasi PET dan fMRI, peneliti bisa melacak secara tepat area-area yang aktif di otak ketika diberikan tugas tertentu pada partisipan.

http://psychology.wikia.com/wiki/Positron_emission_tomographyL.Solso, Robert, dkk.Psikologi Kognitif (8th,ed).Neurosains kognitifadalah sebuah bidang akademis yang mempelajari secara ilmiah substrat biologis dibalik kognisi (Gazzaniga et al, 2002), dengan fokus khusus pada substrat syaraf dari proses mental. Ia membahas pertanyaan bagaimana fungsi psikologis/kognitif dihasilkan oleh otak. Neurosains kognitif adalah cabang psikologi maupun neurosains, bertindihan dengan disiplin seperti psikologi fisiologis, psikologi kognitif dan neuropsikologi (Gazzaniga et al, 2002 : xv).Pemetaan OtakTahun 1870, dua orang ahli fisiologi Jerman, Eduard Hitzig dan Gustav Fritsch menerbitkan penemuan mereka tentang perilaku hewan. Hitzig dan Fritsch mengirim arus listrik lewat korteks serebral seekor anjing, dan menyebabkan anjing tersebut membuat gerakan karakteristik berdasarkan lokasi dimana arus tersebut diberikan. Karena berbagai daerah berbeda di otak menghasilkan gerakan yang berbeda, mereka menyimpulkan kalau perilaku tersebut berakar pada level seluler. Neuroanatomis jerman Korbinian Brodmann menggunakan teknik penandaan jaringan yang dikembangkan oleh Franz Nissl untuk melihat berbagai tipe sel di otak. Lewat studi ini, Brodmann menyimpulkan tahun 1909 kalau otak manusia terdiri dari 52 daerah berbeda, sekarang disebut daerah Brodmann. Banyak perbedaan yang ditemukan Brodmann ternyata sangat akurat, seperti membedakan daerah Brodmann 17 dan daerah Brodmann 18.Doktrin Neuron

Pada awal abad 20, Santiago Ramon y Cajal dan Camillo Golgi mulai mempelajari struktur neuron. Golgi mengembangkan metode penandaan perak yang dapat sepenuhnya menandai beberapa sel di daerah tertentu, membawanya padakeyakinankalau neuron terkait langsung satu sama lain dalam satu sitoplasma. Cajal menantang pandangan ini karena daerah yang ditandai di otak memiliki myelin yang lebih sedikit dan menemukan kalau neuron adalah sel yang diskrit. Cajal juga menemukan kalau sel ini mengirim sinyal listrik ke neuron hanya pada satu arah saja. Baik Golgi maupun Cajal dianugerahi Hadiah Nobel untuk Fisiologi atau Kedokteran tahun 1906 atas penelitian pada doktrin neuron ini. Doktrin neuron kemudian memberikan teori dasar dalam memahami neurofisiologi.Kelahiran Sains KognitifTanggal 11 september 1956, sebuah pertemuan ahli kognitif yang besar terjadi di MIT. George A Miller menyajikan papernya yang berjudul The Magical Number Seven, Plus or Minus Two sementara Noam Chomsky dan Newell dan Simon menyajikan temuan mereka dalam sains komputer. Ulrich Neisser memberi komentar pada banyak penemuan dalam pertemuan ini dalam bukunya tauhn 1967 berjudulCognitive Psychology. Istilah psikologi telah memudar tahun 1950an dan 1960an, dan membuat bidang ini lebih dikenal sebagai sains kognitif. Behavioris seperti Miller mulai berfokus pada representasi bahasa bukan lagi pada perilaku umum. Proposal David Marr mengenai representasi hirarkis ingatan menyebabkan banyak psikologis memeluk gagasan kalau keterampilan mental memerlukan pemprosesan signifikan di otak, termasuk algoritma.Neurosains KognitifSebelum tahun 1980an, interaksi antara neurosains dan sains kognitif adalah langka. Istilah neurosains kognitif dibuat oleh George Miller dan Michael Gazzaniga di kursi belakang taksi New York City(Gazzaniga et al, 2002 : 1) pada akhir tahun 1970an. Neurosains kognitif mulai berintegrasi dengan landasan teoritis baru sains kognitif, yang muncul antara tahun 1950an dan 1960an, dengan pendekatan psikologi eksperimental, neuropsikologi dan neurosains. (Neurosains tidak dijadikan disiplin khusus hingga tahun 1971. Pada akhir abad ke-20 teknologi baru berkembang yang sekarang menjadi metodologi utama dalam neurosains kognitif, termasuk TMS (1985) dan fMRI (1991). Metode sebelumnya yang dipakai dalam neurosains kognitif adalah EEG (EEG manusia 1920) dan MEG (1968). Neurosaintis kognitif sering juga memakai metode pencitraan otak lainnya seperti PET dan SPECT. Pada beberapa hewan, perekaman unit tunggal dapat dipakai. Metode lain termasuk mikroneurografi, EMG wajah, dan pelacak mata. Neurosains integratif berusaha mengkonsolidasikan data dalam database, dan membentuk model deskriptif terpadu dari beragam bidang dan skala: biologi, psikologi, anatomi dan praktek klinis.