Tasawuf Di Kalangan Intelktual Muhammadiyah Kota Semarang
-
Upload
danyismail -
Category
Documents
-
view
317 -
download
0
description
Transcript of Tasawuf Di Kalangan Intelktual Muhammadiyah Kota Semarang
-
TASAWUF DI KALANGAN INTELEKTUAL
MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG
T E S I S
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam
Oleh:
A. SYARONI TISNOWIJAYA
NIM : 5202069
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
SEMARANG 2008
-
2
DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. Gedung Dekanat Fakultas Ushuluddin Jl. Prof. Dr. HAMKA, Kampus II IAIN Walisongo Semarang 50189, Telp. 024-7625443 & 08122804394 ---------------------------------------------------------
NOTA PEMBIMBING
Dengan ini saya menerangkan bahwa Tesis Saudara: H. AHMAD SYARONI,
NIM: 5202069, Konsentrasi Etika Islam/Tasawuf, berjudul TASAWUF DI
KALANGAN INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG, telah
memenuhi syarat untuk diujikan sebagai tesis pada Program Pascasarjana IAIN
Walisongo Semarang, tahun akademik 2008/ 2009.
Semarang, 21 Juli 2008
Pembimbing
DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. NIP. 150245380
-
3
DEKLARASI
DENGAN PENUH KEJUJURAN DAN TANGGUNG JAWAB, PENULIS
MENYATAKAN BAHWA TESIS INI TIDAK BERISI MATERI YANG TELAH
DAN ATAU PERNAH DITULIS DAN DITERBITKAN ORANG LAIN KECUALI
INFORMASI YANG TERDAPAT DALAM REFERENSI YANG DIJADIKAN
BAHAN RUJUKAN.
Semarang, 20 Juli 2008
Penulis,
H. ACHMAD SYARONI NIM : 5202069
-
4
ABSTRAKS
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan
implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf. Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf, serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah kualitatip dengan mengunakan pendekatan naturalistik.
Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.
Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar al Quran san Sunnah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap dikalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akoodatif. Pertama, kelompok yang menolak secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Quran dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Quran dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan. Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan bahwa di Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah akal dan hati suci sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau irfan dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhammadiyah menurut kelompok ketiga ini adalah Spiritualitas yang Syariahistik.
-
5
KATA PENGANTAR
Selama ini para peminat kajian tasawuf cukup kesulitan memberikan batasan
definitif tentang makna tasawuf itu sendiri. Oleh karenanya, tidak heran bila dari
diskursus tasawuf lahirlah mazhab intepretasi yang beragam. Secara garis besar minimal
ada dua pendekatan yang dilakukan dalam membincangkan tasawuf. Pendekatan
pertama adalah pendekatan yang purifikatif sehingga melahirkan kecendrungan
ahistoris. Tasawuf dalam mazhab ini dianggap hanyalah sumber malapetaka yang bisa
menjerumuskan umat Islam ke dalam fase kegelapan. Pendekatan kedua adalah
pendekatan dengan menggunakan logika akomodatif. Tanpa usaha filterisasi yang
dalam, mazhab kedua ini cenderung menerima apa saja yang datang dari tasawuf. Oleh
sebab itu, yang pertama terkesan rigid dan kering spiritual, yang kedua ini cenderung
gampang tersusupi oleh faham-faham yang tidak jelas landasan teologisnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini selalu ada kesan negatif dalam ranah
tasawuf. Contohnya adalah ajaran mengenai kesalehan individual yang lebih
mementingkan dimensi ketuhanan ketimbang care pada aspek kemanusiaan dan
kemasyarakatan. Dengan karakter yang demikian, tasawuf kemudian menjadi
cenderung, meminjam bahasa Hasan Hanafi, teosentris. Seolah-olah hidup di dunia
hanya untuk kepentingan Tuhan saja. Akibatnya adalah dimensi hablu min al-ns
menjadi banyak terabaikan. Contoh lain dari kesan negatif pada tasawuf adalah ajaran
non-egaliter dan irasional. Sebagaimana banyak disebutkan dalam literatur-literatur
tasawuf bahwa seorang murid ketika berhadapan dengan syaikh bagaikan seorang mayit
-
6
yang terbujur kaku di depan orang yang memandikannya. Ini tentu bertentangan dengan
semangat tauhid Islam yang menekankan kesetaraan antar sesama.
Di sisi lain, diperlukan pengakuan jujur bahwa tasawuf telah melahirkan banyak
hal positif. Dari tasawuf inilah lahir konsep sistematis tentang zuhud, sabar, ikhlas,
qanah dan urusan akhlak lainnya. Disamping itu apabila tasawuf digunakan sesuai
dengan porsinya dan bisa diharmonisasikan secara tepat dengan tarekat, maka dari
tasawuf ini akan lahir kekuatan revolusi melawan despotisme, imperialisme dan
diktatorisme seperti yang dilakukan gerakan Sanusiyah di Libiya. Jadi intinya tasawuf
memang tidak hanya memilih sisi negatif saja. Ia, sama seperti entitas lain, juga
memiliki sisi positif.
Sebagai akhir, penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak
yang telah membantu dalam proses penelitian ini yang diantaranya adalah:
1. PROF. DR. H. ABDUL DJAMIL, MA, Rektor Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Walisongo Semarang,
2. PROF. DR. AHMAD GUNARYO. M.Soc.Sc, Direktur Program Pascasarjana
IAIN Walisongo Semarang, dan PROF. DR. SUPARMAN SYUKUR, MA, Selaku
Asdir I Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan PROF. DR.
ISMAWATI. M.Ag, selaku Asdir II Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang
3. DR. H. ABDUL MUHAYA, MA, sebagai pembimbing yang telah mencurahkan
waktu, pikiran, tenaga dan kesabaran selama membimbing dan mengarahkan penulis
dalam penulisan Tesis ini.
-
7
4. Seluruh Civitas Akademika Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang yang tidak
penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan layanan yang diperlukan
dalam proses penyelesaian tesis ini.
5. Seluruh Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara terkhusus
simbah KH. A. SAHAL MAHFUDZ, selaku Rektor.
6. Seluruh sahabat karibku yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga
Tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana diharapkan.
Akhirnya, penulis berharap semoga penulisan tesis ini bermanfaat kepada para
pembaca dan memberikan sedikit pencerahan.. Amin.
Semarang, 10 Juli 2008
Penulis,
H. ACHMAD SYARONI NIM: 5202069
-
8
TRANSLITERASI
Tesis ini ditulis dengan menggunakan pedoman transliterasi sebagai berikut:
= ` = z = q
= b = s = k
= t = sy = l
= ts = sh = m
= j = dl = n
= h = th = w
= kh = zh = h
= d = = y
= dz = gh = at/ah
= r = f
-
9
MOTTO:
"Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS. An-
Naml : 19)
-
10
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan kepada:
1. Istri (Hj. ANI ROHANI), Anak-anakku (SHOFAUSSAMAWATI,
S.Ag. M.SI dan keluarga, SUSI AMALIA, S.Ag dan keluarga serta
M. NASRUL HAQQI), cucu-cucuku (M. AZKA AZKIA, M.
AHDA MANIHTADA, NAJWA IMANIA dan M. AUVA
BIAHDIH), terima kasih atas semangat, doa dan motivasinya
sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
2. Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (INISNU) Jepara,
terima kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya selama ini.
3. Peminat kajian tasawuf semuanya, semoga penelitian ini dapat
memberikan setitik pencerahan.
-
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN DEKLARASI iv
HALAMAN ABSTRAKSI v
HALAMAN KATA PENGANTAR vi
HALAMAN TRANSLITERASI ix
HALAMAN MOTTO x
HALAMAN PERSEMBAHAN xi
DAFTAR ISI xii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 8
D. Kajian Pustaka 8
E. Metode Penelitian 15
F. Sistematika Penulisan 19
BAB II : DESKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN YANG
TERKAIT DENGAN TASAWUF, MAQOMAT DAN THAREKAT
A. Deskripsi Tentang Tasawuf 23
B. Deskripsi Tentang Kemunculan Tasawuf 34
C. Maqomat: Perjalanan Menuju Hakekat 37
-
12
D. Tharekat: Berbagai Jalan Menuju Tuhan 48
E. Rekonstruksi Terhadap Tasawuf 67
BAB III : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP MUHAMMADIYAH:
SEBUAH PENELUSURAN AWAL
A. Historisitas Muhammadiyah 74
B. Identitas Dasar Muhammadiyah 79
C. Misi Muhammadiyah 83
D. Penelusuran Landasan Dasar Muhammadiyah
1. Substansi Muqodimah Anggaran Dasar 87
2. Substansi Kepribadian Muhammadiyah 88
3. Substansi MKCHM 90
4. Substansi Hakekat Muhammadiyah 92
5. Substansi Khittah Perjuangan Muhammadiyah 95
6. Substansi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah 100
E. Deskripsi Tentang Zhawhir al-Afkr al-Muhammadiyyah 103
F. Melacak Tasawuf dalam Akar idiologi Muhammadiyah 113
G. Tasawuf Muhammadiyah: Sebuah Hasil penelusuran 120
BAB IV : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP INTELEKTUAL
MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG
A. Deskripsi Historis-geografis kota Semarang 127
B. Deskripsi Tentang Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual
Muhammadiyah Kota Semarang 132
1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf 134
2. Bersikap terbuka Terhadap Tasawuf 149
3. Akomodatif terhadap Tasawuf 160
C. Spiritualitas Syariahistic: Formulasi Tasawuf Muhammadiyah 188
1. Urban Sufisme 188
2. Neo Sufisme 191
3. Tasawuf Positif 194
-
13
4. Tasawuf Modern Hamka 197
D. Analisis terhadap Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual
Muhammadiyah Kota Semarang 199
1. Tasawuf itu Bidah? 200
2. Penggolongan Tasawuf dalam Kategori-Kategori 208
3. Muhammadiyah Menolak Tasawuf? 211
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan 216
B. Saran 219
C. Penutup 219
-
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Realitas kehidupan manusia akhir-akhir ini apabila dicermati telah
mengalami kejenuhan-kejenuhan yang pada tingkat tertentu mengakibatkan manusia
mengambil tindakan yang oleh rasionalitas dianggap sangat mustahil. Ini terefleksi
setidaknya dengan memperhatikan peristiwa bunuh diri massal atas nama agama1
serta fenomena kekerasan yang menjadi kecenderungan akhir-akhir ini2. Dari kedua
hal itu, bisa dipahami bahwa kehidupan kemanusiaan mengalami sebuah tantangan
besar untuk mempertahankan eksistensinya. Tantangan tersebut bukanlah merupakan
suatu ancaman, tetapi realitas yang harus disikapi dan dihadapi. Apabila
diformulasikan tantangan kemanusiaan tersebut mengarah pada dua hal yaitu krisis
modernitas dan krisis pemahaman agama.
Krisis modernitas oleh Nasir (1997: 3) dimaknai sebagai mewabahnya
anomi bagi kehidupan bermasyarakat. Anomi adalah suatu keadaaan di mana setiap
individu kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan
1 Fenomena Falun Gong merupakan salah satu contoh proses irrasionalitas ini. Falun Gong
adalah organisasi keagamaan yang lebih dimonopoli ajaran meditasi yang mengabungkan ajaran Budhis dan Taois, di Cina pada tahun 1996 dan dipimpin oleh Li Hongzhi. Menurut Azra (1999: 75-78), Falun Gong merupakan fenomena baru dalam beragama yang menitik beratkan pada aspek kultus. Organisasi semacam ini diantaranya adalah The Moorish Science Temple di Amerika Serikat, serta The International Society for Khrisna Consciousness, The Children of God, The Peoples Temple (Jim Jones), dan The Unification of Church (The Moonies) yang kesemuanya oleh beberapa kalangan disebut sebagai New Religions.
2 Kekerasan sebagai sebuah tren bisa dirujuk dalam peristiwa-peristiwa seperti rentetan kerusuhan dan kekerasan di Sampit, Ambon, Aceh, Maluku, serta banyak tempat lainnya di Indonesia maupun dunia diantaranya peruntuhan WTC dan pembantaian atas mana agama di Israel serta Bosnia yang kesemuanya menggunakan kekerasan sebagai piranti utama untuk aksi mereka.
-
15
manusia yang lain, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan
petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini. Proses ini dalam
perjalanannya akan mengarah pada rusaknya norma serta kaidah kamasyarakatan
yang menjadi acuan umum dalam kehidupan. Haidar Nasir memberikan deskripsi
menarik tentang hal ini dengan mengatakan:
Daniel Bell telah lama menyurakkan kegelisahan dan penyesalan atas modernisasi yang telah mencerabut dan melenyapkan nilai-nilai luhur kehidupan tradisional yang digantikan oleh nilai-nilai kemodernan masyarakat borjuis-perkotaan yang penuh keserakahan dan seribu nafsu untuk menguasai bagaimana sebagaimana watak masyarakat modern kapitalis. Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern itu dalam skala kehidupan masyarakat yaitu mengambarkan kemunduran sebagai lawan dari kemajuan, sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantah. Terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama-tama berlangsung pada level pribadi yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respon, termasuk didalamnya konflik status dan peran. Kedua, berkenaan dengan norma yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan prilaku yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuhan norma. Pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan, atau cultural lag. Bahwa nilai-nilai dan pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat jauh melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan. Tidak berlebihan, jika Ali Syariati secara tegas melukiskan fenomena penyakit manusia modern sebagai malapetaka modern yang menyebabkan kemerosotan dan kehancuran manusia (Nasir, 1997: 3).
Selain anomi, yang merupakan salah satu dari indikasi krisis modernitas, hal
lain yang sangat menonjol dalam realitas adalah munculnya berbagai penyakit
keterasingan, yang menurut Heradi Nurhadi (1997: 6) mewujud dalam beberapa
penyakit keterasingan yang terdiri dari keterasingan ekologis, etologis, masyarakat
dan kesadaran.
-
16
Keterasingan ekologis. Dalam keterasingan ini manusia secara mudah
merusak alam dan kekayaan yang terkandung di bumi ini dengan penuh kerakusan
tanpa peduli kelangsungan hidup di masa depan bagi semua orang. Keterasingan
etologis, dimaknai sebagai sebuah gejala dimana manusia mengingkari hakekat
dirinya hanya karena perebutan materi dan mobilitas kehidupan. Keterasingan
masyarakat, dalam posisi ini ditandai dengan munculnya keretakan dan kerusakan
dalam hubungan antar manusia dan antar kelompok, sehingga lahir disintegrasi
sosial. Keterasingan kesadaran, yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan
kemanusiaan, karena meletakkan akal pikiran sebagai satu satunya penentu
kehidupan yang menafikan rasa dan akal budi (Nurhadi, 1997: 6).
Dari berbagai sikap keterasingan inilah manusia modern seringkali
melakukan perbuatan-perbuatan yang sering dianggap irasional dan bahkan
bertentangan dengan norma dan kaidah yang berlaku umum di masyarakat yang oleh
Kuntjaraningrat (1997: 9) diasumsikan sebagai mentalitas menerabas3. Haidar Nasir
dalam telaahnya tentang kehidupan modern mengatakan bahwa :
Apa yang patut dibanggakan dalam kehidupan modern saat ini jika manusia saling memangsa sesama dengan penuh kesadaran, sehingga hidup nyaris tanpa pencerahan dan kehormatan. Kehormatan apa saja yang diraih dalam kehidupan yang disebut modern apabila manusia modern itu sendiri saling menjatuhkan diri pada budaya materi, rasio dan teknologi yang mematikan manusia. Humanisme apa lagi yang masih kokoh dijadikan sandaran manusia modern manakala pada saat yang sama krisis demi krisis kemanusiaan tumbuh dengan mekar dan menjadi panorama keseharian di setiap sudut kehidupan, sehingga manusia modern menjadi tidaj berharga
3 Menurut Koentjaraningrat (1997: 21) mentalitas menerabas adalah suatu mentalitas yang
bernafsu untuk mencapai tujuan dengan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara bertahap. Mentalitas ini merupakan jenis penyakit atau kerusakan mental sebagai kelanjutan atau akibat dari alam pikiran dan sikap mental yang meremehkan mutu dan kualitas dalam hidup. Mentalitas menerabas ini bukanlah perilaku kebetulan, tetapi merupakan cerminan dan manifestasi dari alam pikiran dan sikap mental yang memandang hal-hal yang dilakukannya secara jalan pintas itu sebagai sesuatu yang baik dan benar serta dianggap sebagai kelaziman umum. Pola ini bermuara pada sikap pragmatisme.
-
17
sama sekali karena kehilangan jati diri. Rasionalisme apalagi yang patut dijadikan acuan hidu ketika kemodernan itu manusia kehilangan makna hidup yang membuat manusia rentan terhadap penyakit kehidupan. Bahagiakah manusia modern dengan kemodernan yang diciptakannya sendiri dengan penuh keyakinan dan keangkuhan?. (Nasir, 1997: 9)
Perkataan Haidar Nasir ini merupakan refleksi modernitas yang menilai
secara jujur tentang hilangnya makna hidup dalam kehidupan. Pendapat senada
diungkapkan pula oleh Hanna Djumhana Bastaman (1995: 191) bahwa satu hal
pokok dari kehidpan modern adalah hilangnya makna hidup yang berakibat pada
hilangnya orientasi, hilangnya tujuan hidup, hilangnya moralitas dan kesemrawutan
pola kehidupan, yang akhirnya bermuara pada menjalarnya stres4 dalam dimensi
yang semakin komplek.
Kehidupan modern yang materialis-hedonistic dan hanya menekankan pada
aspek lahiriyah semata, berakibat pada kegersangan spiritual dan dekandensi moral
serta stress menjadi fenomena yang lumrah. Pada titik jenuhnya, manusia akan
kembali mencari kesegaran rohaniyah untuk memenuhi dahaga spiritualnya. Oleh
4Stres dapat mewujud dalam anxiety neurosis atau disebut juga neurosa kecemasan yaitu
bentuk neurosa dengan gejala paling mencolok adalah ketakutan yang terus menerus terhadap bahaya yang seolah-olah terus mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderita saja. Senada dengan definisi ini, Hanna Djumhana Bastaman (2001: 156) memberikan pengertian tentang kecemasan yaitu ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Perasaan cemas biasanya muncul bila kita berada dalam suatu keadaan yang kita duga akan merugikan dan kita rasakan akan mengancam diri kita dimana kita merasa tidak bberdaya menghadapinya. Sebenarnya apa yang kita cemaskan iru belum tentu terjadi. Dengan demikian, rasa cemas itu sebenarnya ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Hampir dalam segala hal, seorang pencemas selalu khawatir dan takut, Sedangkan Zakiyah Daradjat (2001: 20) memberikan pengertian tentang kecemasan bahwa kecemasan adalah : manifestasi dari berbagai proses yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari yaitu seperti rasa takut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam dan sebagainya. Oleh karena itu rasa cemas terdapat dalam semua gangguan dan penyakit jiwa. Dengan demikian anxiety neurosis ialah; symptom ketakutan dan kecemasan terhadap bahaya yang seakan-akan mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderitanya saja. Perasaan cemas ini berasal dari perasaan tidak sadar yang berada di dalam kepribadian sendiri, jadi tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan yang benar-benar ada
-
18
karena itu banyak diantara mereka yang kembali ke dunia mistisisme, Tao, Budhis
dan Tasawuf.
Selain krisis modernitas manusia modern juga dihadapkan pada sebuah
kenyataan, bahwa agama yang selama ini diharapkan mampu memberikan solusi
terbaik terhadap persoalan-persoalan modernitas juga mengalami persoalan internal
yang cukup rumit. Diantaranya adalah persoalan krisis indentitas yang sejak awal
sudah mempertanyakan mampukah agama secara realitas memberikan alternatif
pemecahan bagi krisis yang dialami oleh ideologi kapitalisme dan sosialisme
(Maksum, 1994: 1). Pertentangan dan perumusan tentang formulasi jawaban belum
menemukan titik temu yang maksimal sampai sekarang ini.
Persoalan lain dari permasalahan keagamaan yang akhir-akhir ini
menggejala adalah kekerasan atas nama agama5. Pertanyaannya kemudian adalah
mengapa bisa demian?. Mengapa tiba-tiba manusia yang beragama berubah menjadi
manusia yang brutal?. Mengapa tiba-tiba sesama saudara harus saling menerkam,
membunuh dan menghancurkan?. Mengapa perilaku manusia beragama yang semula
religius berubah dalam waktu yang singkat menjadi seperti binatang?. Mengapa
perayaan agama yang begitu meriah tidak mampu membawa perubahan perilaku?.
Pertanyaan lebih lanjut adalah adakah yang salah mengenai cara beragama yang
selama ini dilakukan?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, dikarenakan ada persoalan
mengenai cara beragama yang selama ini dilakukan. Permasalahan itu adalah adanya
5 Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan lebih-lebih di Indonesia akhir-akhir ini, sinyalemen ini disanggah melalui pernyataan apogetis (membela diri) yakni agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan tetapi manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi maupun golongannya sehingga menyulut kekerasan. Padahal agama baru menjadi konkrit sejauh dihayati oleh pemeluknya. Bisakah memisahkan begitu saja agama dari pemeluknya? (Haryatmoko, 2000: 4).
-
19
keterjebakan keberagamaan manusia dalam bahasa simbol yang masih kaku. Hal ini
dalam realitas nantinya akan mengarah pada keterjebakan formalisasi agama.
Apabila hal ini terjadi maka agama justru menjadi terasing dengan persoalan
kehidupan manusia, karena fungsi agama menjadi kabur. Agama yang seharusnya
menjadi pembebas akan terperosok dan terjebak pada aspek romantisme formal. Oleh
sebab itu sangat wajar, apabila ketika kesalehan dijadikan alat politik untuk mencari
popularitas, posisi, kedudukan, dan kekuasan konsekuensi logis yang akan
ditanggung oleh umat beragama adalah ketidak berdayaan eksistensi.
Dari deskripsi ini jelas, bahwa beragama tidak cukup hanya bersifat ritual
dan mementingkan diri sendiri, diperlukan sikap keberagamaan yang menyeluruh,
sehingga menyentuh aspek-aspek kehidupan. Menurut Romo Mangunwijaya (1999:
4), beriman bukan sekedar orang sembahyang. Bagi dia orang beriman berarti harus
berani menanggung resiko dengan cara ikut ambil bagian untuk memanusiakan
manusia. Orang beriman tidak terjebak persoalan hukum normatif tentang sah dan
tidah sah, layak atau tidak layak. Agama harus kembali kepada semangat awal yakni
berfungsi profetis. Agama harus kritis terhadap kekuasaan, harus mampu
membebaskan masyarakat dari kebodohan, ketakutan, kemiskinan, dan sistem yang
menindas. Dalam realitas banyak masyarakat yang menghayati agama secara
formalis. Mereka rajin beribadah, tetapi juga rajin menjelekkan orang lain. Mereka
rajin berdoa tetapi juga rajin menindas sesama. Mereka rajin berziarah, tetapi juga
rajin korupsi dan manipulasi.
Kenyataan seperti ini muncul karena penghayatan keagamaan mereka
menurut Romo Mangun (1999: 5) amat kekanak-kanakan. Tuhan hanya dimengerti
-
20
sebagai alat untuk mencari perlindungan dari segala perbuatan yang tercela. Tuhan
dimengerti hanya untuk mencuci dosa. Cara pandang beragama seperti inilah yang
perlu dikoreksi. Tugas umat beriman adalah menyucikan dunia dengan menegakkan
kemanusiaan manusia dan keadilan yang bermoral. Keberagamaanya bukan hanya
untuk kepentingan diri sendiri tetapi sebaliknya. Romo Mangunwijaya (1999: 5)
mengatakan, orang yang memiliki religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri justru
memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan buah
kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Intinya beragama secara benar
adalah bila kita mampu mengendalikan organ tubuh kita sendiri untuk tidak
memuaskan diri sendiri.
Adanya kenyataan bahwa, manusia modern mengalami krisis modernitas di
satu sisi dan sisi lain agama yang diharapkan memberikan pencerahan ternyata
terjebak pada aspek formalisasi ajaran dan fenomena kekerasan yang bercorak agama
maka diperlukan pemikiran ulang secara terus menerus untuk lebih mengarahkan
agama supaya efektif dalam memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia.
Pada posisi seperti inilah tasawuf menjadi hal yang patut untuk ditawarkan.
Hal ini dikarenakan tasawuf menurut Syeikh Hisyam Kabbani (2007: 16), lebih
mengutamakan kedamaian bagi umat manusia. Tasawuf menganjurkan agar antar
umat manusia saling bekerja sama. Tasawuf menjembatani semua kebudayaan
seperti tenda besar yang bisa memayungi para musafir yang datang dari berbagai
penjuru dunia dan berbagai latar belakang. Oleh karena itu, pengamal tasawuf bisa
berdampingan mesra dengan siapapun.
-
21
Persoalannya kemudian adalah timbul asumsi bahwa tasawuf merupakan
ajaran dan perilaku yang menyimpang dari Islam dikarenakan banyaknya muatan
bidah dan khurafat. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah sebagai organesasi
pembaharuan mengadakan gerakan pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk bidah
dan khurafat, tetapi dalam perkembangannya banyak tokoh Muhammadiyah yang
adaptip terhadap tasawuf sehingga hubungan tasawuf dan Muhammadiyah yang
awalnya berada pada posisi yang berhadapan menjadi posisi yang sejalan. Perubahan
inilah yang layak untuk diteliti lebih lanjut dalam tesis ini.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap
ajaran tasawuf?
2. Bagaimana implementasi intektual Muhamadiyah Kota Semarang terhadap
ajaran tasawuf tersebut.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan umum yang akan dicapai adalah
untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual
Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf, serta mengungkapkan
implementasi dari persepsi tersebut.
D. Kajian Pustaka
Untuk memperjelas posisi penulis dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu
dideskripsikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, beberapa diantaranya
adalah:
-
22
1. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study
Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2001 yang
berjudul : Muhammadiyah and Reconstruction of Islamic Spirituality: (The
Study of Tasawuf form and its Pactice in Muhammadiyah). Penelitian ini
mengkaji persoalan spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah, yang secara
umum lazim dikenal dengan istilah tasawuf. Persoalan ini kemudian dirumuskan
dalam bentuk pertanyaan yaitu, 1) Adakah tasawuf dalam Muhammadiyah, dan
2) kalau ada, bagaimana bentuk dan praktik tasawuf dalam Muhammadiyah6.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dalam gerakan Muhammadiyah
terdapat elemen-elemen tasawuf, yang bentuknya adalah seperti spiritualitas
Islam pada umumnya sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Bentuk dan
praktiknya, misalnya anjuran untuk ber-muhasabah, pengendalian hawa nafsu
dengan menjalankan ibadah ritual. Bentuk lainnya adalah memandang kematian
sebagai bahaya besar. Persepsi tentang kematian ini mendorong orang-orang
Muhammadiyah untuk melakukan amal dan kerja secara produktif dan bukan
melakukan ibadah atau menyepi untuk berhidmat dengan Tuhan. Itulah agaknya
yang dapat disebut sebagai tasawuf Muhammadiyah, atau ajaran spiritualitas
Islam sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Tasawuf Muhammadiyah adalah
6Prosedur pencarian data penelitian di atas dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan
tertulis baik dari hasil penelitian, tulisan lepas maupun dokumen kegiatan yang terkait dengan aspek spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah. Dari bahan yang ada, dilakukan seleksi mana yang layak, serta mana yang dipandang kurang layak. Pembacaan secara mendalam terhadap bahan yang terkumpul adalah tahap selanjutnya hingga penyusunan draf laporan. Penulisan adalah tahap yang membutuhkan waktu paling lama. Dimulai dengan membuat pohon penelitian, hingga memberikan ilustrasi yang sedapat mungkin menggambarkan ada tidaknya tasawuf dalam Muhammadiyah hingga bentuk dan prakteknya. Tahap ini sekaligus merupakan tahap analisis hasil penelitian, dengan mendeskripsikan secara induktif dan melakukan penarikan kesimpulan sementara, sehingga menggambarkan suatu uraian secara deskriptif-kualitatif.
-
23
tasawuf akhlaki-transformatif, atau tasawuf aktual. Berikut adalah kesimpulan
dari penelitian tersebut.
The research result asserts that the tasawuf elements exist in Muhammadiyah movement whose form such as islamic spiritual as it is commonly known in accordance with Qur'anic value and sunnah. Its form and practice such as advise to be introspective, to control the passion by conducting ritual worship. Another form is regarding a death as a great danger. The perception of death supports the members of Muhammadiyah to perform the program and work productively and not just to worship the God respectively and hide from everyone. Thus, what is probably able to be concsidered as tasawuf of Muhammadiyah of teaching of islamic spirituality in accordance with al-Qur'an and al-Sunnah. Muhammadiyah's tasawuf is moral transformation tasawuf or actual tasawuf (Khozin: 2001,1)
Penelitian di atas merupakan kerangka dasar yang memberi gambaran
awal bahwa Muhammadiyah ternyata juga mengamalkan tipologi tasawuf
meskipun dengan karakteristik yang berbeda dengan yang dipraktekkan secara
umum. Penelitian ini mencoba mempertegas penelitian terdahulu dengan
mencari bentuk dan praktik tasawuf dalam perspektip intelektual
Muhammadiyah Kota Semarang. Dengan lokalitas dan pembatasan wilayah
yang lebih spesifik diharapkan penelitian di atas dapat teruji secara proporsional
dan memadai untuk mempertegas kesimpulan mengenai tasawuf akhlaki-
transformatif, atau tasawuf aktual.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study
Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2002 dengan
judul: Rekonstruksi Spiritualitas Tokoh Muhammadiyah (Studi Tentang
Apresiasi Dan Refleksi Keagamaan KH. Ahmad Dahlan Dan KH. AR.
Fachruddin). Studi ini berawal adanya suatu fenomena sejarah tentang
-
24
keberagamaan tokoh-tokoh Muhammadiyah sebagai penganut Islam puritan
yang apresiasi keagamaannya menurut pencermatan peneliti agak tipikal.
Apresiasi keagamaan ini sebagaimana yang terefleksi dalam semangat
perjuangan, kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan dalam beramal. Dari
fenomena sejarah ini kemudian fokus penelitian ini dirumuskan: Pertama,
mengapa tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki apresiasi keagamaan yang
tipikal?. Kedua, bagaimana apresiasi keagamaan ini direfleksikan dalam
kehidupan sehari-hari ?7.
Penelitian ini menunjukkan bahwa menurut KH. Ahmad Dahlan,
beragama adalah menghadapkan jiwa hanya kepada Allah serta menghindarkan
diri dari ketertawanan terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan dengan bukti
penyerahan harta dan jiwa kepada Allah. Menurut KH. AR. Fachruddin
memandang agama sebagai peraturan hidup lahir dan batin yang harus
direfleksikan dalam hidup sehari-hari sebagai wujud dari kesadaran yang dalam
tentang adanya pembalasan di hari akhir. Refleksi dari pandangan keagamaan ini
semangat juang yang tinggi disertai kerelaan berkorban harta benda, pikiran
serta tenaganya sebagai wujud penyerahan diri yang total. Lebih dari itu adalah
hidup dalam kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan.
7Penelitian di atas dimaksudkan untuk mendeskripsikan apresiasi keagamaan, yaitu
pandangannya terhadap agama yang terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademik dengan memberikan sumbangan teoritik tentang wacana spritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini secara praktisnya dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang berwenang di persyarikatan untuk mendisain dan mengembil kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan spiritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini menggunakan metode sejarah beografis yaitu, penelitian yang berusaha menangkap fenomenna masa lalu yang bersifat individual. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk melakukan konstruksi masa lalu dari apresiasi keagamaan beberapa tokoh Muhammadiyah dan refleksinya dalam kehidupan sehari-hari. Subyek penelitian sengaja dipilih KH. Ahmad Dahlan dan KH. AR. Fachruddin keduanya adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Muhammadiyah
-
25
Penelitian di atas memberikan antitesa bahwa Muhammadiyah yang lahir
dari semangat puritan dan anti tasawuf ternyata dalam perspektip pendirinya
yaitu Ahmad Dahlan dan AR. Fahrudin memiliki pemahaman spiritualitas
ketasawufan yang kurang begitu banyak diekspose. Inilah yang menjadi titik
tekan penelitian ini untuk mencari dan merumuskan secara detail spiritualitas
Muhammadiyah pada generasi yang lebih baru terutama di Kota Semarang.
3. Artikel yang ditulis oleh Rizqon Khamami8 yang berjudul : Fenomena
Intelektual Muda NU dan Muhammadiyah yang dimuat di harian Duta
Masyarakat, 13 November 2003. Menurutnya pada satu dekade terakhir dapat
ditengarai sebuah kebangkitan intelektual di kalangan anak-anak muda Islam
yang berpayung pada organisasi beraliran tradisional, dan disusul oleh anak-
anak muda dari kalangan Islam modernis. Arah angin di kemudian hari kedua
organasasi Islam ini perlahan terciptanya tipis batasan antara istilah tradisional
dan modern. Pada tataran lain, anak-anak muda Muhammadiyah menunjukkan
gejala kebangkitan yang sama. Sebagai salah satu organisasi massa Islam yang
mendasarkan pada semangat pembaharuan Muhammad Abduh, dan semangat
puritanisme Ibnu Taymiyah,
Muhammadiyah telah mengalami "pergeseran" pergerakan. Meskipun
berhasil memajukan amal usaha yang berhubungan langsung dengan denyut
8Rizqon Khamami beralamat di Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Rangkang, raksaan,
Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia. Terlahir di kabupaten Batang, Jawa Tengah, kini sehari-hari mengelola pesantren Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-jailani, Rangkang, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Selain mengajar di Universitas Zainul Hasan, Genggong, ia adalah direktur Pokjar Syekh Abdul Qodir Al-Jailani menyelenggarakan PGSD, UPBJJ-UT Malang. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan di SMA Takhasus Al-Qur'an (TAQ) dan Ponpes Al-Asy'ariyyah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Ia adalah alumnus Saddam University for Islamic Studies, Baghdad, Iraq, untuk S1 pada tahun 1998. Sedangkan S2 diselesaikan dari Jamia Millia Islamia, New Delhi, India dalam bidang Islamic Studies.
-
26
kehidupan masyarakat, seperti rumah sakit, universitas, sekolah dan lain
sebagainya, namun terkesan melupakan sisi kajian keislaman. Pengembangan
wacana keislaman di tubuh organisasi modernis ini selama beberapa waktu
tampak mandeg. Keberhasilan Muhammadiyah dalam bidang amal usaha belum
membuat kalangan mudanya terpuaskan. Gesekan-gesekan kaum muda
Muhammadiyah dengan fakta sosial, tak terelakkan, adalah pemicu geliat
keintelektualan mereka, karena kaum tua Muhammadiyah lamban dalam
mengantisipasi. Wacana-wacana anyar yang dimunculkan oleh kalangan muda
Muhammadiyah merupakan bentuk kritik tak langsung dan sebagai ekspresi
pemberontakan kepada kalangan tua Muhammadiyah. Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM)9 berdiri.
Dalam Musyawarah Nasional XXIV Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang pada bulan Januari
2000 telah diputuskan agar manhaj tarjih dan pemikiran Islam dalam
Muhammadiyah tidak hanya didominasi oleh pengkajian masalah-masalah
akidah dan fikih yang dianalisa dengan pendekatan tekstual, tetapi harus
menembus ke berbagai wilayah pemikiran keislaman, baik teologi (kalam),
9Pada 18-20 November 2003, JIMM, menyelenggarakan Tadarus Pemikiran Islam-
Muhammadiyah (TPI-Muh) di Malang, yang memiliki tujuan memetakan pemikiran Islam kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan dialog Islam-Barat dan membangun kunci hermeneutik untuk turut andil memecahkan problem kekinian. Muncul nama-nama seperti Zuly Qodir, Happy Susanto, A Fuad Fanani, Piet A Khaidir, Zakiyuddin Baidhawy, Pradana Boy, Ai Fatimah Nur Fuad dan lain-lain. Bahkan disebut-sebut TPI-Muhammadiyah merupakan upaya awal membedah problem sosial, kemiskinan, keterbelakangan, krisis multidimensional yang memunculkan kegelisahan religius, keprihatinan sosial, dan moral. Intelektual muda Muhammadiyah terpacu untuk melakukan aksi penyadaran dan pencerahan kepada rakyat. Persentuhan anak-anak muda Muhammadiyah dengan fakta kekinian dengan mengangkat isu-isu kontemporer seperti demokratisasi, hubungan antaragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender, civil society, globalisasi, dan multikulturalisme adalah sebuah sikap kritis dalam memahami persoalan sosial yang memerlukan "penyelesaian agama". Semangat kembali kepada Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad Saw (al-ruju' ila al-Quran wa al-Sunnah al-Nabawiyah) dalam ranah agama, bagi kalangan muda Muhammadiyah belumlah cukup, tanpa melibatkan diri dalam ranah sosial dan moral.
-
27
falsafah, fikih, tasawuf, dan agenda-agenda sosial kemasyarakatan. Tak pelak,
pilihan ini harus dibarengi dengan peninjauan kembali metodologi. Semangat
tajdid al din (pembaharuan pemikiran keagamaan) yang digagas Abduh
mendapatkan tempat.
Menariknya, ketika angkatan muda NU dan Muhammadiyah secara
bersamaan mengangkat isu-isu tersebut di atas, maka batas antara tradisionalis
NU dan modernis Muhammadiyah semakin kabur, kecuali dari kenyataan bahwa
anak-anak muda NU mengembangkan wacana keislaman berangkat dari warisan
tradisi yang ditularkan secara turun temurun, dan angkatan muda
Muhammadiyah menggali kajian keislaman dari semangat tajdid al-din.
Akhirnya, warisan persengketaan intelektual masa lalu dua kelompok Islam ini
sebagai akibat desakan identitas dan kuatnya kepentingan lambat laun mulai
menghilang. Arus balik intelektual muda Muhammadiyah inilah yang menjadi
titik tekan penelitian tesis ini untuk mempertegas keberadaan bentuk dan praktik
tasawuf di Muhammadiyah Kota Semarang.
4. Artikel yang ditulis oleh Dalail Ahmad dan Muhammad Qorib yang berjudul
Tasawuf Di Tengah Nestapa Manusia Modern yang dimuat di majalah Suara
Muhammadiyah pada tanggal 15 April 2008. Menurutnya ada beberapa
indikator kuat dari kebutuhan manusia terhadap tasawuf, baik di dunia pada
umumnya maupun khususnya di dunia Islam. Di Indonesia kecenderungan
terhadap spiritualitas juga dapat dilihat dari maraknya berbagai pengajian
tasawuf. Beberapa pengajian yang bercorak tasawuf dapat menyedot jamaah
lebih banyak daripada pengajian lainnya, bahkan sebagian masyarakat sanggup
-
28
membayar mahal untuk mengikuti kursus-kursus tasawuf di berbagai tempat.
Spiritualitas di dalam Islam disebut tasawuf. Meskipun para ahli memberikan
definisi terhadap kosa kata itu secara beragam, namun intinya adalah sama yakni
kesadaran manusia akan dimensi spiritualnya. Di dalam tasawuf, manusia
diarahkan untuk memiliki visi dan misi hidup yang jelas. Visi dan misi itu,
mengharuskan manusia melakukan pendakian demi pendakian untuk meraih
kualitas dirinya agar semakin baik. Dengan mengutip pendapat Annemarie
Schimmel, kedua penulis tersebut berpendapat bahwa tasawuf akan
mengantarkan manusia sedekat mungkin dengan Tuhan. Tasawuf dapat
diejawantahkan melalui berbagai aktivitas umat manusia, yang mengindikasikan
bahwa tasawuf tidak menolak kehidupan dunia, malah kehidupan itu harus
diraih. Tasawuf hanya mengarahkan agar setiap orang tidak terpengaruh atasnya.
Tasawuf juga tidak mengajarkan agar seseorang melakukan ekskomunikasi dari
masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf bisa melahirkan orang yang tercerahkan dan
mencerahkan, terbimbing dan membimbing, terdidik dan mendidik.
Artikel ini menjadi menarik karena ditulis oleh tokoh Muhammadiyah
yang banyak dicitrakan anti tasawuf. Penulis pertama adalah Ketua PW.
Muhammadiyah Sumatera Utara periode 2005-2010, sedangkan penulis kedua
adalah Wakil Ketua MTDK. PWM Sumatra Utara, yang kini sedang
menyelesaikan program doktor di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Tulisan ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan paradigma
tentang tasawuf yang dalam perjalannnya kemudian diadopsi menjadi satu hal
yang menyatu dengan Muhammadiyah.
-
29
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Sesuai rumusan masalah yang ada dengan pertimbangan bahwa dalam
penelitian ini tidak mengejar yang terukur, menggunakan logika matematik dan
membuat generalisasi atas neraca maka jenis penelitian di sini adalah penelitian
kualitatif (Muhajir, 1996: 9). Dalam konteks penelitian ini, peneliti dalam
memperoleh data tidak diwujudkan dalam bentuk angka, namun data itu
diperoleh dalam bentuk penjelasan dan berbagai uraian yang berbentuk lisan
maupun tulisan. Penelitian kualitatif secara garis besar dikelompokkan menjadi
3 yaitu : penelitian kualitatif naturalistik, penelitian kualitatif teks dan penelitian
kualitatif historis (Yahya, 2003: 33-38). Dari ketiga model diatas penelitian ini
sesuai dengan judulnya masuk pada model pertama yaitu penelitian kualitatif
naturalistik.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
naturalistic yaitu pendekatan yang memandang kenyataan sebagai sesuatu yang
berdimensi jamak dan merupakan suatu kesatuan yang utuh, serta berubah (open
ended). Oleh sebab itu dalam melakukan, antara peneliti dan yang diteliti saling
berinteraksi sehingga dalam konteks ini peneliti sekaligus berfungsi sebagai alat
penelitian yang tentunya tidak dapat melepaskan diri secara multak dari unsur
subjektifitas. Pendekatan naturalistic sering juga disebut sebagai pendekatan
kualitatif, post-positivistic, etnografic, humanistic dan case study (Sudjana dan
Ibrahim, 2000: 6)
-
30
3. Populasi dan Sampel
Populasi atau universe adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang
ciri-cirinya akan diduga (Sofyan, 1983: 108), atau juga dapat dipahami sebagai
sesuatu yang terkait dengan elemen yakni tempat diperolehnya informasi yang
bisa berbentuk individu, keluarga, kelompok social ataupun organisasi. Dengan
kata lain populasi adalah kumpulan dari sejumlah elemen sedangkan sample
merupakan sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama
dengan populasi (Sudjana dan Ibrahim, 2006: 84).
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari intelektual
Muhammadiyah kota semarang. Intelektual dalam hal ini dipahami sebagai
kelompok terpelajar (Purwodarminto, 1976: 384), atau menurut Ali Syariati
(1985: 15) didefinisikan sebagai orang yang selalu memanfaatkan potensi akal
yang merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya,
mengungkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami
oleh setiap anggota masyarakat. Secara praktis intelektual Muhammadiyah kota
Semarang adalah seluruh warga Muhammadiyah yang memiliki latar belakang
akademik yang memadai.
Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memformulasikan pemikiran
Intelektual Muhammadiyah kota Semarang secara keseluruhan tetapi mencoba
memotretnya dengan sample unsur dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah
(PDM) Kota Semarang dan dan unsur dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
(PWM) Jawa Tengah. Pemilihan sample ini mempertimbangkan pengelompokan
-
31
intelektual Muhammadiyah Kota Semarang dalam kategori menolak tasawuf
secara total, bersikap terbuta dan akomodatip.
4. Metode Pengumpulan Data
Ada tiga metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini,
keduanya yaitu :
a. Metode Wawancara.
Metode wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data dengan
jalan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seseorang yang
berwenang tentang suatu masalah (Arikunto, 1993: 104). Wawancara dalam
hal ini dilakukan kepada sample penelitian yang terkait dengan pandangan
mereka terhadap tasawuf dan hal-hal lain yang terkait dengan fokus
penelitian.
b. Metode Dokumentasi
Dalam penelitian ini, pengumpulan data-data yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan dokumentasi
yaitu mengumpulkan data yang bersifat primer maupun sekunder dalam
bentuk buku, majalah, artikel dan lainnya (Hadi, 1983: 9)
c. Metode Observasi
Metode ini digunakan untuk mencari data dengan datang langsung
ke-obyek penelitian dengan memperhatikan dan mencatat segala hal penting
-
32
untuk mendapatkan gambaran dan persepsi yang maksimal dari obyek
tersebut.
5. Metode Analisis Data
Setelah proses memperoleh data-data dari hasil observasi, wawancara
dan domumentasi, langkah selanjutnya adalah mengklasifikasi sesuai dengan
permasalahan yang diteliti, kemudian data-data tersebut disusun dan dianalisa
dengan metode analisis data. Metode analisis data adalah jalan yang ditempuh
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian
terhadap objek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah
tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan
pengertian yang lain guna memperoleh kejelasan mengenai halnya (Sudarto,
2000: 59). Setelah itu, perlu dilakukan telaah lebih lanjut guna mengkaji secara
sistematis dan objektif.
Metode deskriptif adalah sebuah metode yang mendeskripsikan dan
menafsirkan data yang ada, misalnya tentang sesuatu yang diteliti, satu
hubungan kegiatan, pandangan, sikap yang nampak atau proses yang sedang
berlangsung (Surahmat, 1970: 131). Setelah data terdeskripsikan, langkah
selanjutnya adalah menganalisisnya dengan mencari faktor-faktor penyebab
terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu (Nasir, 1998: 68) yang
dalam hal ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan intelektual
Muhammadiyah terhadap ajaran tasawuf.
F. Sistematika Penulisan
-
33
Dalam penelitian ini penulis membagi pokok bahasan menjadi lima bab
dan setiap bab terdiri beberapa sub bab. Adapun rincian dari kelima bab tersebut
adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, penegasan
judul, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan
Bab II : Diskripsi tentang Tasawuf, Maqomat dan Thariqah. Bab ini akan
membahas tentang pengetian tasawuf, deskripsi tentang kemunculan tasawuf,
maqomat, tarekat dan rekonstruksi terhadap tasawuf. Bab ini dimaksudkan sebagai
landasan teori untuk pembahasan yang lebih tajam dan akurat agar sesuai dengan
pokok permasalahan yang menjadi focus penelitian agar tidak keluar dari landasan
teori yang telah dibangun.
Bab III : Diskripsi tentang penelusuran paham tasawuf dalam landasan
dasar perserikatan Muhammadiyah, yang terdiri dari pembahasan tentang pencitraan
tasawuf secara umum, historisitas Muhammadiyah, penolakan Muhammadiyah
terhadap takhayul, bidah dan churofat, deskripsi tentang misi Muhammadiyah,
yang dilakukan dengan penelusuran paham tasawuf dalam landasan dasar
muhamadiyah yang meliputi penelusuran dalam muqodimah anggaran dasar,
kepribadian Muhammadiyah, Matan keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah, hakkat Muhammadiyah, khittah perjuangan Muhammadiyah dan
pedoman hidup islami warga Muhammadiyah. Bab ini juga menelusuri paham
tasawuf dalam zhawahir al afkar al muhammadiyah dan pelacakan dalam idiologi
Muhammad Dahlan. Uraian bab ini dimaksudkan untuk memaparkan hasil
-
34
pengumpulan data lapangan, yang kemudian dijadikan bahan analisis setelah
dipadukan dengan landasan teori yang ada.
Bab IV : Deskripsi tentang tasawuf dalam perspekrif intelektual
Muhammadiyah kota Semarang yang terdiri dari deskripsi histories-geografis Kota
Semarang, formulasi tasawuf menurut intelektual Muhammadiyah kota Semarang
yang mengarah pada konsep Urban sufisme, Neo-sufisme dan Tasawuf Positif serta
pembahasan tentang faktor penyebab deviasi pemahaman intelektual
Muhammadiyah kota Semarang terhadap tasawuf. Dalam bab ini dimaksudkan
untuk menganalisis data yang ada kemudian membandingkan dengan landasan teori
yang ada.
Bab V : Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
DISKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN TENTANG TASAWUF,
MAQOMAT DAN TAREKAT
-
35
Tasawuf10 merupakan praktik spiritual dalam tradisi Islam. Tasawuf memandang
ruh sebagai puncak dari segala realitas, sementara jasad tidak lebih sebagai kendaraan
saja (Aceh, 1984: 28). Oleh sebab itu, jalan spiritualitas lebih banyak menekankan pada
aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat
personal. Berbeda dengan agama yang bersifat umum (dalam Islam di kenal dengan
istilah syariah/syariat), jalan tasawuf kemudian dikenal dengan istilah tarekat (dekat
dengan istilah tirakat). Dalam perspektip tarekat setiap pendaki akan melewati level dan
kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual (dalam Islam dikenal
dengan istilah Mursyid) (Arberry, 1979: 84). Di antara satu guru dengan guru yang lain
sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda.
Murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb). Ada yang
menyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan)
atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih membersihkan diri melalui tarekat tadi
dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke
kondisi yang lebih yang lain, hingga murid mampu mencapai tingkatan fana
(kosong/hampa) tidak ada lagi ego dalam diri murid sehingga murid sampai pada
sebuah kondisi tersingkap, menghadirkan, atau berhadap-hadapan (Nicholson,
1979: 30).
Disinilah antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan. Tasawuf
moral, setelah melewati fase tadi, mengajak kembali sang murid untuk hidup dalam
dunia nyata dan kembali masuk dalam aturan syariat, namun syariat yang telah diisi
10Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama
Islam pada masanya. Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial.
-
36
dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan, sehingga syariat yang dijalankan akan
lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang
murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikannya
dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang
paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup
toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama
yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara
sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana
ia berasal dan kemana ia akan kembali (Zuhri, 1979: 30).
Berbeda dengan tasawuf falsafi. Setelah sampai pada fase tersebut, sang murid
atau bahkan sang guru, tidak mau pulang, tetapi mau tetap menikmati ekstase
keindahan dan kenikmatan bersatu dengan Tuhan (Nicholson, 1979: 30). Terucaplah
perkataan yang tidak terkontrol tadi (syathohat) dalam kondisi ekstase. Dari sinilah
akhirnya terucap pengakuan sebagai Sang Kebenaran atau memuji dirinya sendiri
sebagai Tuhan, atau menuangkan pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan (Bazsur
Ilahi, 1986: 99). Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul
khawas) mungkin tidak menjadi persoalan, tetapi bagaimana di kalangan awam yang
memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf?
Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga
kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan yang
sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini diklaim sesat dan berakhir dengan
hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu
Mansyur Al-Hallaj dan Ainul Qudhat Hamadani adalah sufi falsafi yang hidupnya
-
37
berakhir dengan hukuman mati. Bahkan Syuhrawardi dan Ainul Qudhat dihukum mati
dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan Syekh Siti Djenar (jika kisah ini
juga memang benar dan bukan sebagai mitos serta terlepas dari persoalan politik) adalah
termasuk dalam kategori ini. Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim
kaum sufi yang juga diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih, bahkan bagi
sebagian kalangan Islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bidah (Fauzan,
1998: 39).
Apa yang dicontohkan Al-Ghazali dan Jalaludin Rumi yaitu untuk segera pulang
setelah bertemu Tuhan, bisa menjadi teladan yang baik bagi para praktisi tasawuf
dewasa ini. Al-Ghazali menghiasi syariat yang kaku dengan nilai-nilai hakikat, atau
Rumi yang mengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan
melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang terlukiskan dalam karya sastra.
Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena memang tasawuf
tidak menggunakan alat ukur rasionalitas. Tasawuf menggunakan alat ukur yang
berbeda yang bernama ainul qolb (mata batin) yang diyakini juga ada dalam diri
setiap manusia yang kadang sepintas ia muncul dan kita tidak mengenalinya lalu
tertutup lagi oleh potensi lain dalam diri kita (Aceh, 1984: 28).
A. Deskripsi Tentang Tasawuf
Sebagai pengantar kajian tentang tasawuf alangkah baiknya kita simak
pendapat Wahid B. Rabbani yang menyatakan:
Sufisme and science are striving for the same destination. Science wants to know: how did the universe come into being and what is its nature? Is there any creator? What is He like? Where is He? How is He related to the universe? How is He related to the man? Is it possible for man to approach
-
38
Him? Sufi has found the answers and invite the scientist to come and have that knowledge (Rabbani:1995, 1)
Kutipan diatas adalah sebuah ilustrasi yang memberitahu kepada kita bahwa
tasawuf (dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah sufisme, tasawuf dan
mistisisme secara bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu hal yang sangat
penting. Bukan hanya dalam konteks sebagai entitas dari ajaran Islam karena ia
adalah innerdimension of the Islamic relevation (Nasr, 1980: 31), namun lebih dari
itu sufisme menjadi hal yang sangat utama dalam rangka pencarian terhadap makna
hidup yang bersifat universal dan perennial (Lings, 1993: 22-23).
Tasawuf dalam hal ini dapat disandingkan dengan ilmu pengetahuan (sains)
dalam upaya mencari cara pandang terhadap kehidupan. Oleh sebab itu tidak heran
apabila, dalam tradisi Islam, tasawuf menjadi fenomena yang sangat complicated
dan penuh dengan dinamika.
Historisitas Islam sangatlah dipengaruhi akan keberadaan mistisisme baik
sejak awal berdirinya agama ini sampai saat sekarang. Tasawuf dalam sejarah Islam
mengalami perkembangan dan modifikasi yang sangat variatif, maka tidak heran
apabila dalam setiap periode sejarah umat Islam, selalu muncul para tokoh sufi dan
kelompok-kelompok sufi (sufi orde) pada hampir seluruh wilayah umat Islam.
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus
batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek
esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual
lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam
yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia
-
39
(Aceh, 1984: 28) yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi
sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs
(penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-
tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap
berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang
diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan),
atau fana (peniadaan diri).
Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya
akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya
karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi
setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada
dua hal: penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan pendekatan diri (muraqabah) kepada
Allah (Umari, 1961: 123).
Sesungguhnya tasawuf secara formal belum dikenal pada zaman Nabi
Muhammad. Istilah ini secara tehnis baru berkembang setelah abad kedua hijriah
(Basyuni, 1960: 111). Pendapat ini diamini dari Saleh Fauzan (1998: 1).
Menurutnya kata tasawuf dan sufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada)
setelah itu atau masuk kedalam Islam dari umat-umat yang hidup di belakang hari.
Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa-nya dituliskan: Adapun kata sufi
tidak dikenal di 3 masa yang utama ( shahabat, tabiin, tabiit tabiin) dan hanya
dikenal setelah masa itu (dalam Fauzan, 1998: 1). Hal ini banyak dinukil oleh para
imam, seperti Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Sulaiman Ad-Darani. Lebih lanjut
Saleh Fauzan menjelaskan.
-
40
Dan Sufi itu tidak ada dalam Islam. Ada yang mengatakan bahwa asalnya adalah dari kata Shuuf (bulu domba) dan inilah yang terkenal di kalangan banyak orang. Dan sufi yang pertama muncul adalah dinegeri Basrah. Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini adalah sebagian dari sahabat Abdul Wahid bin Zaid, ia adalah seorang sahabat Al Hasan Al Basri. Ia (Abdul Wahid) populer di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan dalam zuhud, ibadah, rasa takut dll. Tidak ada penduduk kota itu yang seperti dia. Abu Syaikh telah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin Sirin bahwa telah sampai berita kepadanya tentang sebagian kaum yang lebih mengutamakan pakaian dari bulu domba. Ia berkata: sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan memakai pakaian bulu domba. Mereka mengatakan ingin meniru pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cintai. Nabi juga memakai pakaian dari katun dan lain-lain, atau komentar yang senada dengan itu (Fauzan: 1998, 1).
Para peneliti pemikiran keislaman berbeda pendapat mengenai asal mula
kata al tasawuf. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ia berasal dari kata shaf
yang berarti baju dari bulu domba kasar yang biasa dipakai oleh orang saleh yang
tidak lagi menghiraukan kehidupan dunia. Sebagian yang lain berpendapat berasal
dari shafa yang berarti bersih dan suci karena orang sufi senantiasa membuat lahir
batinnya dalam keadaan suci. Sebagian yang lain ada yang menyandarkannya
kepada al-shuffat yaitu serambi masjid tempat Rosulullah mengajar dan tempat
ibadah sahabat yang terkenal keshalihannya seperti Abu Zar al-Ghifari, sedangkan
ada yang lain namun minoritas yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata
Yunani shopos (Hidayat, 2003: 542).
Secara etimologis, tasawuf setidaknya dapat dirujuk dari tujuh kata asal
yaitu: shafa (suci), saff (barisan shalat), saufanah (buah-buahan kecil berbulu yang
banyak dijumpai dipadang pasir), safwah (yang terbaik), suf (bulu domba kasar),
theosophy (hikmat ketuhanan) dan shuffah,. Menurut Al-Kalabazi (1969: 1), kata
shuffah, dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu pelana kuda yang dipergunakan
-
41
oleh para sahabat nabi untuk bantal tidur disamping masjid nabawi atau juga dapat
dipahami sebagai suatu kamar di serambi Masjid Nabawi yang ditempati oleh
beberapa sahabat Anshar. Pendapat Al-Kalabazi ini dipertanyakan oleh Mir
Valiuddin (1987: 2) menurutnya jika memang asal kata tasawuf berasal dari shuffah
maka panggilan bagi pelaku tasawuf bukannya sufi melainkan shuffi. Pendapat Al-
Kalabazi mendapat penegasan dari Al-suhrawardi (1985: 445) yang mengatakan
mekipun secara ilmu bahasa tasawuf berasal dari kata shuffah, namun secara
maknawi dapat dibenarkan.
Dari berbagai istilah itu ada kecenderungan bahwa tasawuf berasal dari kata
shuff. Kelompok yang mendukung pendapat ini adalah Al Suhrawardi (1985: 326),
dengan beberapa alasan: pertama, didasarkan pada hadis dari Anas yang
menyatakan Rasulullah mendatangi undangan hamba sahaya naik Himar dan
memakai pakaian bulu domba. Serta didasarkan pada pernyataan hasan Basri yang
pada intinya dia telah bertemu tujuh puluh pasukan badar yang mengenakan pakaian
bulu domba. Pendapat ini juga disetujuai oleh HAR. Gibb (1964: 110), menurutnya
sebutan mutashawwif diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian dari bulu
domba dan perilakunya disebut tasawuf. Lebih lanjut menurutnya, secara histories
asal mula pakaian bulu domba ini sebagai lambang penebusan dosa seseorang yang
diidentikkan dengan pakaian Isa (Gibb: 1964, 110). Dukungan juga diberikan oleh
Ibnu Khaldun (tt: 370-371) dan Noldeke, sebagaimana dikutip oleh Nicholson
(1975: 3-4) dia menjelaskan bahwa sebutan shuff awalnya dinisbatkan kepada
orang-orang Islam yang hidup asketis, meniru kehidupan para biarawan Nasrani
-
42
yang biasanya mengenakan pakaian dari anyaman bulu domba yang kasar sebagai
tanda tobat dan niat yang kuat untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa inti dari perbedaan pendapat
mengenai asal kata tasawuf bermula dari perbedaan sudut pandang. Ada kelompok
yang menitikberatkan pada aspek lahiriah yaitu pakaian yang dipakai oleh pelaku
tasawuf (shuf) sedangkan kelompok yang lain menekankan pada aspek batiniah
yaitu kondisi jiwa yang bersih dari sifat-sifat tercela (shafa), sedangkan yang lain
menitikberatkan pada aspek perilaku yaitu adanya kesamaan amaliah antara ahli
tasawuf dengan ahli shuffah dan juga kebanyakan ahli tasawuf selalu berpuasa dan
bangun malam melaksanakan sholat malam sehingga badannya kurus seperti pohon
shufanah.
Secara terminologis, istilah tasawuf diungkapkan secara beragam, Junaid al
Baghdady berpendapat bahwa tasawuf adalah penyerahan kehendak dan tujuan
hanya kepada Allah bukan kepada yang lain (dalam Zachner, 1969: 46). Untuk
mencapai sebuah penyerahan kehendak dan tujuan secara total kepada Allah
mensyaratkan adanya proses pembersihan terhadap hati, karena hati adalah bagian
dari Tuhan. Oleh sebab itu esensi dari tasawuf sesungguhnya adalah penyucian hati
dari segala kotoran dan entitas-entitas keduniawian. Penyucian jiwa ini akan
berdampak pada kedamaian dan kesejukan karena kehadiran Tuhan senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Dari sini dapat dipahami bahwa pada
dasarnya tasawuf memuat dua entitas penting yaitu, pertama: kesucian jiwa untuk
menghadap Tuhan sebagai zat yang maha suci dan kedua: upaya pendekatan diri
secara individual kepada-Nya (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2004: 307).
-
43
Secara terminology, definisi tentang tasawuf juga dapat dirujuk dari banyak
tokoh. Menurut Abu Qosim Abdul Karim al-Qusyairi (tt: 56-57), tasawuf adalah
menjabarkan ajaran al-Quran dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjahui
perbuatan Bidah, mengendalikan syahwat dan menghindari sikap meringankan
ibadah. Menurut Maruf ak-Karkhi sebagaimana dikutip oleh Al-Syuhrawardi
(1985: 326) tasawuf adalah mengambil hakekat dan tidak tamak dari apa yang
dimiliki oleh makhluk. Menurut al-Nuri sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Basuni
(1969: 18), tasawuf adalah akhlak mulia. Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani (1974:
3-12) mendefinisikan tasawuf sebagai sikap menempuh kehidupan zuhud,
menghindarkan diri dari kehidupan duniawi, melakukan berbagai macam ibadah,
melemahkan dimesndi jasmani dan memperkuat dimensi ruhani.
Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan
perilaku yang dilandasi oleh akhlak mulia, mampu mengisi waktu yang ada untuk
beribadah kepada Allah dan menghindarkan diri dari semua perbuatan tercela.
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa
sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-
Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun (1966: 231)
pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang
menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk)
atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak
sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba dan iqtida (kesetiaan meneladani)
perilaku hidup Nabi.
-
44
Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qanaah, keutamaan
akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup
kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-
agama lainnya (An-Nadwi, 1987: 61). Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa
pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya
masih dalam kerangka zuhud (dalam An-Nadwi, 1987: 68). Menurut Ahmad
Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan
untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi
dibanding tingkat abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi
di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf
adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba dan bukannya
mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural (dalam An-Nadwi: 1987,
68).
Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu
aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat
dikatakan positif (ijabi), tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman
maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi
mempunyai dua corak: tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil
naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual, dan tasawuf
sunni11, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam
11Dalam bidang tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak
dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi'i yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma'rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
-
45
konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf
salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil12. Salafi menolak adanya takwil,
sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka
syariah, sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf
yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat
(Nasution, 1990: 56).
Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf
Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia
dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu
dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme
dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan
menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan
ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi
(Al-Afifi, 1989: 40). Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan
untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan
kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar
Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh
manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Apabila kita membahas tasawuf logikanya memang tidak lagi terkotak-kotak kepada Susy (Suni
Syiah), alasannya tasawuf adalah dimensi spiritual Islam yang membahas perjalanan salik menuju Allah. Artinya dimensi ini bersifat spirit (rohani) lain dengan corak keagamaan yang terdogma dalam aturan-aturan dunia (syariat). Walaupun dominasi ajaran mereka memiliki corak khusus, bahkan Ibnu Arabi seorang Sufi yang Suni, pendapatnya yang berbau filosofis kurang diterima dikalangan suni tetapi sebaliknya di Syii diterima dengan penghormatan khusus, bahkan mendapatkan sebutan Syaihul Akbar. Ilmu hakikatnya satu demikian juga kebenaran karena berangkat dari sumber yang satu, jadi ini hanya masalah sudut pandang saja. Bisa saja sejarah tasawuf dipandang dari sudut pencampuran kebudayaan, bisa saja tasawuf dipandang dari sudut faktor sosial dan ekonomi, masing-masing punya sudut bahasan yang unik bahkan memperkaya khasanah pengetahuan kita. Tak perlu berapriori bahwa sejarah tasawuf harus sama dan seragam.
-
46
Secara histories lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi
atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan
teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual,
(3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis
didominasi oleh nalar kekerasan (Al-Afifi, 1989: 30). Oleh karena itu sebagian
ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan
agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah.
Menurut Hamka (1978: 75), kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama
dengan lahirnya Islam itu sendiri, sebab ia tumbuh dan berkembang dari pribadi
Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan
para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama
belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan
dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari
tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di
tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari
pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah. Padahal dapat diketahui
bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek
kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual
umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar
menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam ((Hamka: 1978, 76).
Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang
sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat
berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam
-
47
pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A.
Nicholson (1979: 23), bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk
mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan
mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja.
Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-
langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3
(tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminative
(Russel, 1927: 28). Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah
sharia, tariqa, dan haqiqa (Valiuddin, 1981: 56). Praktik kesufian sebagaimana
dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau
amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian
jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-
orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya.
Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi
kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik
pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering
terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: taubat, zuhud, sabar, tawakkal,
ridha, mahabbah, marifah, fana, ittihad, hulul. Selain maqam, tradisi sufi
mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state) yakni situasi
kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau
disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi
hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan
-
48
jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang
disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi
rumusannya sebagai berikut: muraqabah, khauf, dan raja, Syauq, Uns, tumaninah,
musyahadah, dan yakin (Nasution, 1974: 79).
Dalam wacana kesufian, takhalli an al-radzail atau membersihkan diri dari
perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang,
sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah
tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli.
Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal pada syariat (dari kata syari=jalan utama) (Triminghan, 1971: 51).
B. Deskripsi tentang Kemunculan Tasawuf
Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2
Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan
istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga
Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul
di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang
masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah)
kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena
faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya
adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu
asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam (Al-Taftazani, 1979: 72).
Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-
Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
-
49
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam
pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-
Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan
yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad
ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para
fuqaha. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang
dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha sebagai kafir, zindiq dan
menyelisihi aturan-aturan syariat. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya,
terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan
tokoh-tokohnya seperti Ibn al-Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam
dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis).
Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan
bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Quran dan al-Hadith secara ketat
dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.
Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi13 cenderung
menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat
dengan ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai
pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w.
13Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (marifat) dengan
pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (marifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis ( ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis ( ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
-
50
298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab
al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang
sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami
(261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul
(587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn Arabi14.
Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi
terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi
secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur
pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap
kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang
mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3)
masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-
dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf:
(1) pembinaan aspek moral; (2) marifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3)
bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan
makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya
14Namun dalam sejarah, seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik,
khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at. Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri. Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam. Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan Wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni. Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri. Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa. Adalah benar, kata Alwi, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan (Shihab, 2001: 121)
-
51
dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam
iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1)
sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat
muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-
bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam
tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga
berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang
dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan
fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu
Dzar al-Ghifari, Said bin Zubair, Abd Allah bin Umar sebagai bentuk protes
dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman
doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi
kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka
(Effendi