TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya...
Transcript of TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya...
-Tafsir IshariPendekatan Hermeneutika Sufistik
Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>
Aik Iksan Anshori
-Tafsir IshariPendekatan Hermeneutika Sufistik
Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>
Aik Iksan Anshori
-Tafsir IshariPendekatan Hermeneutika Sufistik
Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>
Aik Iksan Anshori
Aik Iksan Anshori
Penulis: Aik Iksan Anshori Cetakan: I, September 2012
Ukuran: 16,5 X 24 Cm----195+xii Halaman
ISBN: 978-979-1488-13-6
Diterbitkan oleh:Referensi
Ciputat Mega Mall Blok B/22 & 25 - C/15Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat
Telp./Faks.: 021-74707560Email: [email protected]
Hak Cipta Dilindungi Undang-undangAll Right Reserved
-Tafsir IshariPendekatan Hermeneutika Sufistik
Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>
Aik Iksan Anshori
v
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi yang digunakan pada penelitian ini adalah ALA-LC yang diuraikan
sebagai berikut:
HURUF
ARAB NAMA
HURUF
LATIN NAMA
alif اtidak
dilambangkan
tidak
dilambangkan
ba b be ب
ta t te ت
tha th te dan ha ث
jim j je ج
dal d de د
{h}a h حh}a (dengan titik
dibawah)
kha kh ka dan ha خ
dhal dh da dan ha ذ
ra r er ر
za z zet ز
sin s es س
shin sh es dan ha ش
{s}ad s صes (dengan titik
dibawah)
{d}ad d ضde (dengan titik
dibawah)
{t}a t طte (dengan titik
dibawah)
z{a z} ظzet (dengan titik
dibawah)
vi
ayn a عkoma terbalik
diatas
ghayn gh ge dan ha غ
fa f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
waw w we و
ha h ha هـ
lam alif la el dan a ال
hamzah o| apostrop ء
ya y ye ي
vii
KATA PENGANTAR
Sufisme adalah jalan untuk membantu manusia mewujudkan
tujuan yang diciptakan-Nya, yakni menjadi manusia pencari Tuhan yang
mengabdi penuh dalam menemukan kebenaran hingga menjadi manusia
yang sejati dan sempurna sebagai insan ka>mil. Dalam hal ini pengalaman
sufistik yang dicapai melalui intuitif merupakan transisi terbaik dan
biasanya setelah itu didesak oleh dorongan untuk mencapai kebenaran
transendensial yang dicapai oleh kaum sufi.
Penulis sufisme sepakat menyatakan bahwa sufisme merupakan
ekspresi murni tentang ajaran ruhani dalam Islam dan merupakan
perwujudan paripurna dari nilai-nilai ruhaniah ajaran agama Islam yang
“agamis”. Kaum sufi ortodoks mempunyai keyakinan sebagaimana yang
dianut oleh teolog sunni. Mereka juga mengikuti sepenuhnya aturan-
aturan yang telah dirumuskan oleh kaum mufassir-fuqaha’. Karena itu
kaum sufi ortodoks mempunyai legitimasi sumber-sumber Islam otoritatif
yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kaum sufi ortodoks mempunyai kepedulian untuk meluruskan
penafsiran atau ucapan kaum sufi yang dianggap kurang taat asas dan
inkonsisten terhadap syariah seperti pelurusan atau bahkan kecaman
terhadap kaum sufi heteredoks, yaitu kaum sufi-falsafi. Karena itu
penafsiran sufi ortodoks atau suni-’amali cenderung toleran dan moderat
sehingga identik dengan model tafsir isha>ri: sebuah tafsir intermedia
antara mufassir zahir yang acuh terhadap aspek spritual dan mufassir sufi
falsafi-batin yang acuh aspek literal.
Pembakuan hermeneutika sufistik ini bukanlah tujuan utama,
tetapi hanya sebagai alat kepentingan dan perangkat untuk menarik
ajaran moral al-Qur’an sebagai makna yang objektif dan menemukan
validitas penafsiran isha>ri. Karena itu wajar jika penafsiran isha>ri relatif
aman dari kritik, dianggap ta’wil yang terpuji dan masuk mainstream,
terutama ketika standar ortodoksi lebih memihak kelompok sufi sunni
‘amali –jika menggunakan pembacaan objectif interpretation-nya Hirsch.
Konsekuensinya, makna yang dipahami kelompok heterodoks, dalam hal
ini penafsiran sufi-falsafi, dianggap subjektif dan menyimpang.
viii
Memposisikan al-Ji>la>ni> sebagai seorang mufasir dan
menempatkannya dalam lingkaran akademis merupakan suatu diskursus
baru. Sebab selama ini al-Ji>la>ni> dalam stigma alam pikiran masyarakat
Indonesia lebih dikenal seorang waliyullah melalui tradisi manaqiban
yang sudah berkembang dan turun tumurun sampai sekarang.
Judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Hermeneutika
Sufistik Tafsir Isha>ri ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>”. Pemilihan prase
“hermeneutika” tidak lain untuk menjelaskan fungsi hermeneutika
sebagai kaidah terapan metodologi tafsir isha>ri bercorak sufistik,
sekaligus penafsiran hermeneutika sufisme dari kaidah-kaidah tersebut.
Di samping itu, penulis mempunyai pertimbangan akademis bahwa
hermeneutika dalam diskursus tafsir sufistik sudah menjadi habitus yang
berkembang di Barat, seperti salah satunya yang ditunjukkan oleh
Gerhard Bowering.
Kekuatan tesis ini adalah menempatkan al-Ji>la>ni> melalui tafsirnya
berjudul al-Fawa>tih} al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-
Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyah wa al-H{ikam al-Furqa>niyyah,
selanjutnya populer disebut Tafsi>r al-Ji>la>ni>, menjadi seorang mufasir
sufistik yang disegani dalam tradisi akademik.
Tesis ini diangggap penting karena memberikan sumbangsih
mutakhir dalam memformat dan mengkodifikasikan hermeneutika
sufistik Isha>ri yakni ilmu-ilmu al-Qur’a>n bergenre sufistik-Isha>ri. Sebab
selama ini tafsir sufistik Ishari masih menjadi diskursus yang kabur dan
belum ada kajian secara komprehensif membahas tuntas.
Selama melakukan penelitian, penulis menemukan kendala-
kendala seperti keterbatasan kepustakaan yang memang susah dalam
diskursus tafsir sufistik sehingga harus bersusah payah mencari akses atau
ujian dan pekerjaan yang dirasa berat ditengah-tengah menyelesaikan
proyeksi penulisan tesis ini. Semua ini menjadikan tantangan tersendiri
untuk menaklukan keadaan ditengah-tengah harap, asa, dan cita.
Alhamdulillah, berkat Tuhan Yang Maha Kuasa, tesis ini bisa
diselesaikan sesuai target. Banyak pihak yang telah membantu dan ikut
terlibat andil di dalamnya baik mitra diskusi, motivator serta beberapa
pihak yang tidak bisa disebut satu persatu secara tidak langsung.
ix
Pertama, penulis mengucapkan rasa terimakasih sedalam-
dalamnya kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, MA., kepada Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., kepada jajaran
pimpinan dan seluruh dosen yang mentransfer pengetahuannya kepada
penulis sehingga menjadi mahasiswa yang banyak tahu dan tahu banyak
secara metodologis dan epistemologis. Lebih khusus kepada Dr. Yusuf
Rahman, MA., Prof. Dr. Amany Lubis, Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA,
Dr. Muchlis Hanafi, MA, yang dengan kesabarannya melayani kami.
Kedua, dengan penuh rasa hormat, penulis sampaikan terimakasih
dan penghargaan tinggi kepada Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku
pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan berharga,
pengenalan pengetahuan yang tidak didapati ketika belajar di al-Azhar-
Mesir serta akses, informasi literatur dan tokoh-tokoh kunci yang
memuluskan penulisan ini. Dengan kesabaran dan pengertiannya penulis
merasa nyaman tanpa ada beban dan paksaan cepat-cepat menyelesaikan
tesis ini.
Ketiga, penulis berkewajiban menghaturkan terimakasih kepada
teman-teman yang masuk dalam lingkungan pergaulan intelektual
penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam
Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang selalu antusias dalam diskusi-
diskusi hangat sewaktu di LSAF. Kepada Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin,
MA., yang telah meluangkan waktu mendiskusikan tesis saya di Rumah
Kitab Bekasi. Kepada Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. yang telah
memberikan pencerahan al-Qur’a>n dan Sufisme ketika mengikuti
program pendidikan Kader Mufasir (PKM) di Pusat Studi al-Qur’a>n
(PSQ) di bawah asuhan Prof. Dr. Quraish Shihab, MA. Kepada Dr. Anwar
Syarifuddin, MA., Dosen Fakultas Usuludin UIN Syarif Hidayatullah,
yang begitu serius mengenalkan dan mendemonstrasikan keahlian
sufisme al-Qur’an, terutama sosok Abdurrahman al-Sulami dan lainnya
sehingga penulis bisa ngalap berkah ilmu darinya. Terutama sumbangan
teori hermeneutik E.D. Hirsch, Jr. yang menginspirasi penulis sebagai
pendekatan dalam menganalisa tafsir mistis simbolis (Tafsir Isha>ri).
Semoga Tuhan memberikan balasan berlipat kepada mereka atas
kebaikan-kebaikan yang diberikan kepada penulis.
x
Terakhir, terima kasih setulus-tulusnya kepada Ibunda tercinta
yang dengan kasih sayangnya menyemangati, memotivasi, dan
mendoakan anak-anaknya tanpa pernah lelah agar menjadi manusia mulia
dan berharga. Kepada seluruh keluarga besar penulis serta orang-orang
yang mendukung penulis, diucapkan terimakasih. Jaza>kallah ah}sanal jaza>.
Semoga tesis ini menjadi pahala kebaikan bagi mereka semua.
Akhirnya penulis memohon maaf jika tesis ini masih jauh dari
sempurna namun penulis berharap karya awal nan sederhana ini
memberikan kontribusi akademik dan bermanfaat bagi pembaca. Paling
tidak sebagai awal yang baik menuju agenda masa depan, sebagaimana
sebuah pepatah “Adalah lebih baik kau nyalakan sebuah lilin betapapun
kecilnya, daripada engkau berlarut-larut dalam kegelapan”.
xi
DAFTAR ISI
Pedoman Transliterasi v
Kata Pengantar vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 9
C. Penelitian Terdahulu ....................................................... 10
D. Tujuan Penelitian ............................................................ 21
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ...................................... 22
F. Metode Penelitian ............................................................ 22
G. Sistematika Penulisan .................................................... 26
BAB II KONTROVERSI HERMENEUTIKA SUFISTIK TAFSIR
ISHA<RI
A. Tafsir Isha>ri .................................................................... 30
B. Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir Sufi ............................ 34
1. Mazhab Ortodoks ..................................................... 35
2. Mazhab Heterodoks.................................................. 36
3. Corak Tafsir Sufistik ................................................ 37
C. Otoritas Tafsir Isha>ri ....................................................... 46
1. Nalar ‘Irfa>n ............................................................... 47
2. Takwil Isha>ri ............................................................ 48
3. Dialektika Zahir dan Batin ....................................... 55
D. Validitas Tafsir Isha>ri dan Hermeneutika Hircsh ............. 64
E. Tradisi Penafsiran Mistis Agama-Agama ........................ 70
BAB III ‘ABD AL-QA<DIR AL-JI<LA<NI< DAN KARYA TAFSIRNYA
A. Biografi
1. Riwayat hidup, Jaringan Intelektual dan Kontribusi 80
2. Setting Sosio-kultural Pada Masanya ..................... 86
3. Corak Sufisme dan Karya-karyanya ....................... 88
B. Tafsi>r al-Ji>la>ni>
1. OrisinalitasTafsi>r al-Ji>la>ni> ..................................... 91
2. Tinjauan Umum Karakteristik Tafsi>r al-Ji>la>ni> ....... 92
xii
3. Penyajian Tafsi>r al-Ji>la>ni> ........................................ 93
BAB IV KODE ETIK TAFSIR ISHA<RI AL-JI<LA<NI<
1. Keimanan Yang Lurus/Ima>n al-S{a>diq .................. 99
2. Keikhlasan Niat/Ikhla>s al-Niyat .......................... 102
3. Mencintai al-Qur’a>n/H{ubb al-Qur’a>n .................. 105
4. Membaca al-Qur’a>n Sembari Berlindung kepada
Tuhan /Tila>wah al-Qur’a>n wa istia>dhah billah ..... 108
5. Sentralitas Global dan Organisir Visi Makna/al-Tarki>z
al-Kulli wa Jam‘ al-Ham ..................................... 115
BAB V KONSTRUKSI METODOLOGI TAFSIR ISHA<RI AL-JI<LA<NI<
A. PERANGKAT EKSOTERIK
1. Bahasa .................................................................. 126
2. Syariah ................................................................. 137
3. Adab Sastra-Sufistik ............................................. 142
4. Balaghah ............................................................... 150
B. PERANGKAT ESOTERIK
1. Simbol .................................................................. 153
2. Intuisi ................................................................... 162
3. Hakikat ................................................................. 167
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................... 173
B. Saran-Saran ................................................................ 175
Daftar Pustaka
Indeks
Glosarium
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kaum sufistik menilai bahwa al-Qur’a>n dipahami sebagai kitabyang tidak selalu membahas firman-firman Allah yang bernuansakanzahir berorientasi eksoterisme-formalistik. Al-Qur’a>n menyimpan pesanbatin berorientasi esoteris-sufistik yang tersembul dalam setiap ayat-ayatnya, melampaui pembacaan yang tidak terbaca (qira>’ah ma> la>yuqra’), makna yang tidak tersurat (al-masku>t ‘anhu) dalam teks-teksqur’anik sebagai anugerah Tuhan yang disebut dengan ilmu Simbol-Tanda (‘Ilm Isha>rah).1 Karena itu, kaum sufi senang bermain-maindengan aspek-aspek alegoris, perasaan hak istemewa akan kebebasandiri (claiming privileged), pendalaman makna esoterik bahkan acapkalimelabrak makna literal-ekstoterik.2
Secara praktis, kaum sufistik berhadapan dengan kaumformalistik fuqaha’, muhaddi>th dan mufassir ma’thu>r, yang terlalu sibukberkutat dan berputar-putar dalam kubangan makna lahiriah.Al-Zarkashi> (w. 794 H) menyatakan bahwa ucapan kaum sufistik dalammenafsirkan al-Qur’a>n bukanlah produk tafsir melainkan makna-maknadan penemuan inspiratif yang muncul ketika membaca al-Qur’a>n(tila>wah).3 Karena itu, jika dianggap produk penafsiran, sesungguhnyatelah merambah jalan batiniah sehingga lebih tepat disebut sebagai al-nazi>r, yakni analogi dan persenyawaan makna terhadap normativitasmakna al-Qur’a>n.4 Senada dengannya, al-Suyu>t}i (w. 911 H) jugamenganggap bahwa tafsir yang diproduksi oleh kaum sufistik tidak
1Al-Sarra>j al-T}usi, al-Luma‘ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi>, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), cet. ke-1, 100.
2Alexander D. Knysh, “Sufism and al-Qur’a>n” dalam J.D. McAuliffe (ed.),The Encyclopaedia of the Qur’a>n (Leiden-Boston: E.J. Brill, 2006) vol. 5, 137.
3Al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Cairo: Dar al-Turath, tt) 171.4Al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 171.
2
layak dikategorikan sebagai produk tafsir. Al-Wa>hidi (w. 468 H)menganggap kafir orang yang meyakini tulisan al-Sulami (w. 963 H)dalam kitabnya, Haqa>’iq al-Tafsi>r, sebagai tafsir. Shams al-Di>n al-Dhahabi (w. 748 H) menilai Haqa>’iq al-Tafsi>r adalah kitab yang rawanmendatangkan musibah sebab penuh dengan penafsiran kaumba>t}iniyyah. Ibn al-Jawzi (w. 597 H) menganggap Haqa>’iq al-Tafsi>rsebagai tafsir sufi yang penuh dengan makna yang tidak wajar, tanpalandasan satupun dari ilmu pokok (us}u>l). Ibn S{ala>h (w. 643 H)menyatakan bahwa tafsir Sufi sebagai pelambang zikir (dhikr) dibandingkitab tafsir. 5
Padahal faktanya, jika kita mencoba menengok ke belakanggeneologi tafsir sufi, sejatinya akan didapati sumber dari al-Qur’a>n danH{adi>th. Al-Qur’a>n beberapa kali mengutip bahwa Allah mempunyainama lain, sebagaimana yang tertera dalam Asma al-Husna. Di sampingitu, jelas termaktub dalam al-Qur’a>n ajaran-ajaran mengenai sulukruhiyah (t}ari>q al-ru>h) dan suluk jasadiyah (t}ari>q al-jasad) seperti lakuasketis dalam perkara haram sebagaimana laku asketik dalam perkara-perkara halal.6 Sebab al-Qur’a>n merupakan manifesto kebebasan upaya(al-huriyyah al-muktasibah) yang bisa dicapai dan dilalui dengan duacara asketis di atas, sesuai dengan kapasitas keimanan individual dalammemahami dan mengaplikasikan dalam kehidupannya.7
Dalam pandangan kaum sufi, Nabi Muhammad merupakan potrettauladan kaum sufi yang sudah mencapai derajat tertinggi sekaligus sangjuru mutaqa>llib, yang mengontrol hati kaum sufistik. Tak ayal, banyakriwayat H{adi>th mawd}u‘ sufistik yang disandarkan kepada Nabi. Inimerupakan posisi dilematis yang menjebak sebab berdampak eksesnyabanyak kaum sufistik yang menganggap dirinya hakikat NabiMuhammad. Mereka berbicara dengan mengatas namakan diri Nabi
5Ibrahim Basyuni, dalam muqaddimah yang sangat panjang tentang posisikaum sufistik di hadapan kaum formalistik fuqaha’. Lihat, Al-Qushayri, Lat}’āif al-Ishārāt (Cairo: al-Hay’ah al-Mis}riyah, 2007), cet. ke-4, vol. I, 4. Alexander D. Knysh,“Sufism and al-Qur’a>n ” J.D. McAuliffe (ed.), The Encyclopaedia of the Qur’a>n, 143.
6‘Ali Sha>mi Nashar, Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam (Cairo: Da>r al-Ma‘a>ri>f, tt), cet. ke-9, vol. III, 85.
7‘Ali Sha>mi Nashar, Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 85.
3
serta kerap menganggap ucapan yang keluar dari mulut kaum sufi ituadalah H{adi>th qudsiyyah8. H{adi>th lain yang menguatkan keberadaanGeneologi tasawuf adalah H{adi>th yang diriwayatkan Ibn Abbas:
تنقضى عجائبه و ال تبلغ غايته فمن أوغل القرأن ذو شجون و فنون و ظهور و بطون ال9)احلديث(فيه برفق جنا ومن أخرب فيه بعنف هوى
Dengan demikian, jelas bahwa tafsir mistik mempunyaikenyataan akar geneologi dalam sumber al-Qur’a>n dan H{adi>th. Artinyatafsir sufistik cenderung mempunyai legitimasi shariah sebagai dasarlegal-formal yang sepatutnya mendapatkan pengakuan. Dengan katalain, asumsi ini membantah ulama fuqaha’ dan mufassir yangmenyatakan bahwa tafsir Isha>ri bukan termasuk kategori tafsir ataubentuk heretis yang khurafat.
Jika ditelusuri adanya watak perbedaan ini, hal ini erat kaitannyadan sangat berkelindan dengan kepentingan epistemologi sumberpengetahuan masing-masing bidang keilmuan. Seperti dilihat dalam akarpengetahuan di bawah ini:
Roots of Knowledge
1. The Senses/H{issiyah : Hearing, Sight, Smell, Taste andTouch
2. Report/al-Ma’thu>ra>t : Mutta>watir, Near to Mutta>watir,(Ahad, no root).
3. Reason/’Aql : Self-Consciousnesss, Logic,Deduction, Experience and Routine, Legal knowledge,Inspiration.10
8‘Ali Sha>mi Nashar, Nash’ah al-Fikr al-Isla>mi, 85.9Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, Dira>sah al-Maja>l al-
Ma‘rifi al-Us}u>li al-Awwal li> tafsi>r al-S}ufi (Yordania: ‘A<lam al-Kutub al-Hadi>th, 2008),cet.ke-1, 93.
10A. J. Wensinck, The Muslim Creed (New Delhi: Oriental Print, 1979), cet.ke-2, 260.
4
Kategorisasi di atas, menunjukkan bahwa kaum fuqaha’ dankaum sufistik mempunyai perbedaan sumber pengetahuan. Sekalipunkeduanya masih bersumbu kepada landasan akar pengetahuan akal,kaum fuqaha’ tidak mengakui bahwa inspirasi atau ilham adalahperangkat yang patut dijadikan sumber pengetahuan.11 Pendapat iniditolak kaum sufistik, yang mengklaim sebagai golongan paling dekatdengan Tuhan. Inspirasi sebagai sumbu yang mengakar kepada akalnyatanya tidak menjadi kesepakatan mutlak bahkan menjadi wilayahyang mandiri dan tidak bisa dilogikakan. Tegasnya, mempunyai “logika”yang tidak bisa dinalar oleh logika akal. Inspirasi atau ilham adalahbisikan sanubari yang masuk ke dalam relung hati dan tidakberlandaskan kepada istidla>l atau naz}ar.12 Ra>jih ‘Abdul H{a>mid al-Kurdimenyebut bahwa akar pengetahuan ada empat: [1] Pengetahuaninderawi/al-ma‘rifah al-hissiyah. [2] Pengetahuan akal/al-ma‘rifah al-‘aqliyah. [3] Pengetahuan laduni/al-ma‘rifah al-ladunniyah [4]Pengetahuan kenabian melalui pewahyuan/al-ma‘rifah al-nabawiyah ‘ant}ari>q al-wahyu.13
Ilham merupakan pengetahun yang mandiri dan independen,sebab asal pengetahuan menurut kaum Sufi adalah mawhibah atauanugerah pengetahuan yakni api, sedangkan iman adalah cahaya;pengetahuan adalah penemuan, sedangkan iman adalah pemberian.Perbedaan antara mu’min dan ‘a<rif adalah sang mu’min melihat denganperantara cahaya Allah, sementara sang ‘a<rif melihat Allah denganperantara Allah langsung.14 Dengan demikian, sumber pengetahuan –yang dalam bahasa lain diungkapkan dengan was{a>il, us{u>l, mana>bi‘
11 Yang menarik, polemik ini merambat pula dalam pandangan kaum teolog.Al-Baghda>di (w. 429 H), teolog besar al-Ash’ariyah, misalnya menolak inspirasisebagai sumber pengetahuan, namun Abu> al-Baraka>t al-Nasa>fi (w. 710 H), seorangpembela teolog Maturidiyah, mengakuinya. Lihat: A. J. Wensinck, The Muslim Creed,246.
12Abdurrahman bin Zaid al-Junaydi, Mas}a>dir al-Ma‘rifah fi al-Fikr al-Di>niywa al-Falsafi (Riyad}: Maktabah al-Muayyad, 1992), cet. ke-1, 229.
13Ra>jih ‘Abd al-Ha>mid al-Kurdi, Naz}riyyah al-Ma‘rifah bayn al-Qur’a>n waFalsafah (Riyad}: Maktabah al-Muayyad, 1992), cet. ke-1, 513.
14Ra>jih ‘Abd al-Ha>mid al-Kurdi, Naz}riyyah al-Ma‘rifah bayn al-Qur’a>n waFalsafah, 673.
5
sebagai perbandingan istilah mas}a>dir yang lebih populer15– adalahkonsekuensi logis pengetahun dari ragam perbedaan mazhab penafsiranatau madrasah keilmuan. Secara alami, fenomena perbedaan padadasarnya akan kembali kepada sumber pengetahuan tertentu yangdimaksud (mas}dar al-ma‘rifah al-mu‘ayyan) sesuai bidang keilmuan.16
Dengan melihat penjelasan evolusi sinkronik dan sumberpengetahuan di atas, akan menjadi jelas bahwa landasan penakwilan sufi(mas‘a> al-ta’wi>l) adalah sumber pengetahuan intuitif sebagai jalanmencapai pengetahuan hakiki demi menemukan tajalli ilahi dan kashfilahi.17 Ta’wil bagi kalangan sufi sunni ‘amali merupakan metodologiyang menggabungkan antara z}a>hir dan ba>t}in. Kalangan sufi tidakmengingkari adanya makna lahir sebagai sesuatu yang dikendaki. Justru“tahap awal pemaknaan” harus ditampilkan ke dalam dimensi lahiriahKemudian menuju kepada tahap kedua, yakni upaya menyingkapsimbol-simbol dan isyarat-isyarat tersembunyi dibalik fenomena ayat-ayat tersebut.18 Yang perlu dijadikan sebagai entry point adalah adanyakarakter penggabungan sekaligus penjagaan sisi lahiriah dan batiniahinterpretasi teks ini, yang tetap bersumbu kepada kekuatan pondasiintuitif, bukan kepada akal.19
Geneologi epistemik tafsir Sufi Isha>ri adalah tafsir yangmempunyai riwayat panjang. Dalam diakronik sejarah kebudayaan Arab,mulanya terdapat tiga epistem besar yang saling berbenturan satu samalain. Yakni epistem baya>ni, ‘irfa>ni dan burha>ni. Benturan-benturanepistem tersebut merupakan perdebatan antagonistik: fuqaha’ vis a viskaum sufi (baya>ni vis a vis ‘irfa>ni), fuqaha’ vis a vis filosof (baya>ni vis avis burha>ni), dan filosof vis a vis kaum sufi (burha>ni vis a vis ‘irfa>ni).
15Abdurrahman bin Zaid al-Junaydi, Mas}a>dir al-Ma‘rifah fi al-Fikr al-Di>niywa al-Falsafi, 95.
16Abdurrahman bin Zaid al-Junaydi, Mas}a>dir al-Ma‘rifah fi al-Fikr al-Di>ni> waal-Falsafi, 94.
17‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah (Damaskus: Da>r al-Awa>iel, 2005), cet. ke 1, 184.
18Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘na fi> al-Nas}s} al-Qur’a>ni (Damaskus: Da>r al-S}afh}a>t, 2008), cet. ke-1, 232.
19‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 184.
6
Benturan-benturan itu dianggap sebagai ekspresi krisis basisepistemologis pada abad ke-5 H. Untuk meredam benturan epistemtersebut dan menjembatani krisis basis epistemologis ini, kaum sufistiksunni ‘amali atau kaum filosof berupaya melakukan solusi harmonisasieklektik. 20
20‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 2004), cet. ke-8, 485. Dalam nalar Arab-Islam, menurutpemikir Maroko, ‘A<bid al-Ja>biri, bahwa geneologi pengetahuan pada dasarnya akankembali kepada dua kategori besar: al-‘aql al-mukawwin dan al-‘aql al-mukawwan.Yang pertama adalah adalah bakat intelektual yang dimiliki setiap manusia dalamberpikir, di mana akal ini menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip dasar, yang taklain adalah potensi (malakah) yang dimiliki manusia dan erat kaitannya dengan segalasesuatu, serta dasar-dasar prinsip secara global dan pasti. Sedangkan yang kedua adalahakumulasi prinsip-prinsip dasar kaidah bentukan (al-‘aql al-mukawwan) yang berfungsisebagai basis epistemik atau kaidah-kaidah sistematis yang ditetapkan, diterima dandinilai sebagai nilai mutlak dalam suatu babak sejarah tertentu. Karakakter akalmukawwan ini memiliki relativitas dan dicirikan dengan sifat berubah-ubah secaradinamis. Dan hal inilah yang menjadikan ragam perbedaan antara satu disiplinkeilmuan dengan lainnya. Akal mukawwin adalah akal besar sebagai alat sistempengetahuan (niz}a>m al-ma‘rifiy). ‘A<bid al-Ja>biri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut:Markaz Dira>sah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 2002), cet.ke-7, 15. Dalam sejarahkebudayaan Arab-Islam, akal ini telah menciptakan formulasi nalar pengetahun, yangtermanifestasikan dalam tiga epistem besar: Baya>ni, ‘irfa>ni dan burha>ni. (1) Baya>niadalah sistem epistemologi struktural yang terdapat dalam bidang filologi,yurisprudensi Islam, ushul fiqh, teologi dan balaghah. Secara prosedural sistem inimuncul untuk menafsirkan teks-teks primer keagamaan dengan karakter metodeanalogi, sebab lebih menyandarkan kepada kekuatan tekstual. Kebiasaan ulamamempunyai istilah mandiri sesuai bidangnya namun punya esensi sama. Ahli hukumdan ahli nahwu menyebutnya istilah Qiya>s. Ahli balaghah dengan istilah al-Tashbi>h.Ahli teolog menyebutnya al-Istidla>l bi al-Sha>hid (far’) ‘ala al-Gha>ib (as}l). (2) ‘Irfa>niadalah sistem epistemologi gnostik yang yang melekat dalam sufisme, syi’ah,isma'iliyyah. Nalar ini merupakan interpretasi esoterik terhadap teks-teks keagamaan,dan filsafat iluminasi, yang didasarkan pada metode penyingkapan intuitif mistik (al-Kashf) atau ilham yang terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme. (3) Burha>ni adalahsistem epistemologi demonstratif yang didasarkan pada metode observasi empiris daninferensi rasional (al-Istinta>j al-‘Aqliy) dan biasa digunakan oleh para filosof. Lihatlebih jauh, ‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 13/251/383. Klasifikasi ketigaepistemik ini sebetulnya jauh-jauh hari pernah digagas oleh para kaum Sufi seperti Dhu>Nun al-Mas}ri, al-Qushayri, Abi> ‘Ali al-Diqa>q dan lain-lain. Para sufi ini telahmenyadari adanya tiga sistem kognitif yang berkembang di tengah-tengah kebudayaanArab-Islam, yakni, ahl naql (baya>niyyu>n), ahl al-wisha>l (‘irfa>niyyun/gnostiques), danAhl al-‘Aql (Burha>niyyu>n). Yahya Muh}ammad, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi fi> al-Mi>za>n,(Beirut: al-Intisha>r al-Arabi, 1997), cet. ke-1, 81.
7
Al-H{a>rith al-Muh}a>sibi,> (w. 857 M) misalnya, berusahamengharmonisasikan secara eklektik antara nalar baya>ni dengan ‘irfa>niyang kemudian disebut tasawuf sunni.21 Tujuan mendamaikan dua nalarbesar ini tidak lain karena terdapat perbedaan secara ekstrim antaratafsir sufi naz}ari/batiniah dengan tafsir Sufi \Isha>ri atau rumu>zi.22
Dengan demikian, al-Muh}a>sibi> adalah sufi sunni pertama yangmemadukan dua epistem ini sekaligus sufi yang pertama kali membuatkaidah penafsiran sufistik secara global.23 Pasca al-Muh}a>sibi> adalah al-Qushayri (w. 1072 M). Dalam Risa>lah al-Qushayriyyah, ia berpendapatbahwa setiap syariat tanpa didukung oleh hakikat maka tertolak dansetiap hakikat tidak dilandasi syariat maka gagal: syariat adalah ibadahdan hakikat adalah saksi.24 Estafet ini terus berjalan kepada generasi sufisunni setelahnya, seperti yang dilakukan oleh Hujjatul Islam al-Gha>zali(w. 1111 M). Ia jauh melampaui al-Muh}a>sibi dan berhasilmenggabungkan ketiga nalar epistem sekaligus. Bahkan ia menelurkanistilah baku yang kemudian terpakai dalam dunia Sufistik tentangdikotomi antara tafsir dan ta’wil. Tafsir sebagai interpretasi harfiahz}a>hir teks al-Qur’a>n dan ta’wil adalah interpretasi ba>t}in kaum sufistik.25
21‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 486. Al-Kindi jugamengharmonisasikan baya>ni dan burha>ni. Ikhwa>n al-S{afa dan filosof-filosofIsmailiyyah mengharmonisasikan burha>ni dengan ‘irfa>ni. Harmonisasi eklektik antaratiga epistem sekaligus (baya>ni, burha>ni, dan ‘irfa>ni) untuk pertama kalinya terjadi ditangan al-Ghaza>li. Lihat: ‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-’Aql al-’Arabi, 485-487.
22Sedikit disinggung, bahwa mazhab Tasawuf ada dua aliran, yakni ortodoksdan heteredoks. Praktis dalam pola penafsiran mereka juga mempunyai corak orientasi.Pertama, tafsir orientasi teoritis (ittija>h al-naz}ari) yang didasarkan pada hasilpembahasan atau pendalaman yang bersifat teori ajaran-ajaran dan pandangan filosofis-sufistik. Kedua, tafsir orientasi praksis (ittij}a>h ‘amali) yang didasarkan riya>d}ah ataulaku asketisme. (lihat pembahasan lebih detail pada bab II).
23Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>m, 343.24Ibrahim Basyuni dalam muqaddimah-nya. Lihat: Al-Qushayri, Lat}’āif al-
Ishārāt, 6.25Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 337. Dikotomi ini
sebelumnya tidak pernah terjadi. Al-Muh}a>sibi, misalnya, menyamakan antara ta’wildan tafsir. Fakta ini sesuai dengan Ima>m al-T}abari (w. 925 H), di mana menggunakanfrase ta’wil dalam judul kitabnya, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta‘wi>l ayy al-Qur’a>n atau seringmenggunakan kalimat “fa ta’wi>luhu” -padahal jelas merupakan kategori tafsir bi al-ma’thu>r. Sering kali antara ta’wil, tafsi>r dan ma>’ani dianggap sinonim, karena metode
8
Karena itu, golongan ini dianggap sebagai kaum sufi moderat (sharia-oriented).26
Tidak ketinggalan, seorang Wali Qut}b besar yang namanya tidakasing, Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> (w. 1166 M), sebagai objekpenelitian tesis ini, dalam tafsirnya berjudul al-Fawa>tih} al-Ilahiyyah waal-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyahwa al-H{ikam al-Furqa>niyyah, yang berarti “Penyingkapan-penyingkapanIlahi dan Kunci-kunci Gaib yang Menjelaskan Kalam-kalam Al-Qur’a>ndan Hikmah-hikmah Kitab Pembeda antara Benar dan Salah”.(selanjutnya populer dengan sebutan Tafsi>r al-Ji>la>ni>)>. Ia berpendapatbahwa segala bentuk hakikat tanpa disaksikan oleh syariat akantermasuk perbuatan heretis/zindiq.27 Dengan demikian, jelaslah bahwatafsir milik Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> ini lebih tepat dipandangsebagai Tafsir Isha>ri.28 Penting dicatat, sebutan Tafsi>r al-Ji>la>ni> adalahinsiatif murni dari penyunting, Muh}ammad Fa>d}il al-Ji>la>ni> al-Hasani al-Taylani al-Jamazraqi. Pengarangnya, al-Ji>la>ni>, tidak mendaku bahwakitabnya merupakan kategori kitab tafsir murni, melainkan berisikandungan ilham-ilham dan isyarat-isyarat ilahiyah sesuai dengan judulkitab yang dinamainya. Karakter demikian adalah ciri khas tafsirbergenre Mistis Ishar>i.29
Persoalannya, sejauh amatan peneliti, kajian metodologi sufistiksebagai Perangkat Tafsir Isha>ri, khususnya Tafsir al-Ji>la>ni>, masih jarangyang menggarap secara maksimal dan memadai –terutama dalam jubahmanhaj al-mufassiri>n (atau ‘ulum al-Qur’a>n) versi sufistik. Nyatanya,kebanyakan metodologi yang ada cenderung berorientasikan tafsir
yang digunakan sama. Lihat: Nasaruddin Umar, “Konstruksi Ta’wil dalam Tafsir Sufidan Syi’ah” Jurnal Studi al-Qur’a>n . (Vol. II, No. 1, 2007), 38.
26Alexander D. Knysh, “Sufism and al-Qur’a>n ”, dalam J.D. McAuliffe (ed.),The Encyclopedia of the Qur’a>n, 143/146.
27‘Abd al-Mun’im al-Hafani, Al-Mawsu>‘ah al-S{u>fiyah (Cairo: Da>r al-Rasha>d,1992), cet. ke-1, 114.
28Lihat lebih jauh: ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Istanbul: Markazal-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1, vol. 1, 34.
29Muh}ammad Fa>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, MuqaddimahTafsi>r al-Ji>la>ni>, 30.
9
mazhab konvensional yang cenderung eksoterik-formalistik, baik modelTafsi>r bi al-Ma’thu>r maupun Tafsi>r bi al-Ra’y. Inilah yang menjadikegelisahan akademis sekaligus pendorong penelitian, sehingga hendakmembukukan dan membakukan konsep metodologi HermeneutikaSufisme Isha>ri.
B. Permasalahan1. Identifikasi Masalah
a. Tidak adanya rumusan metodologi hermeneutika dalamTafsir Isha>ri secara teoritis.
b. Perbedaan ragam tafsir didasari oleh konsekuensi logisdari sumber pengetahuan.
c. Setiap penafsir sufi Isha>ri mempunyai substansi dan levelmakna tafsir yang berbeda antara satu dengan lainnya,sekalipun dalam metodologi yang digunakan relatifsejenis.
d. Tafsir Sufi Isha>ri mempunyai geneologi yang bersumberlangsung dari al-Qur’a>n dan H{adi>th secara legal-formal.
e. Perbedaan corak Tafsir Isha>ri dalam corak sufi, filosofi,ba>t}ini, dan tafsir z{a>hiri –sebagai representasi tafsirkonvensional.
f. Bagaimana otoritas penafsiran Isha>ri ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>.
g. Melalui kajian interteks dari karya-karyanya danpendekatan tekstual-filologis, bisa terlacak bahwa Tafsi>ral-Ji>la>ni> tersebut merupakan karya original ‘Abd al-Qa>diral-Ji>la>ni>.
2. Pembatasan MasalahDalam membatasi permasalahan, peneliti membagi menjadi
dua objek kategori. 1. Tafsir. Dalam hal ini, objek yang ditelitiadalah tafsir Isha>ri milik ‘Abd Qa>dir al-Ji>la>ni> berjudul al-Fawa>tih}al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyah wa al-H{ikam al-Furqa>niyyah (selanjutnya
10
disebut Tafsi>r al-Ji>la>ni>). 2. Surat al-Qur’a>n. Peneliti akan berupayamenelusuri dan membuktikan bentuk metodologi dan epistemologipenafsiran mistik al-Ji>la>ni> dengan mengambil secara acak ayat-ayatal-Qur’a>n yang dianggap representatif untuk mewakili penafsiransufistiknya.
Judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah“Hermeneutika Sufistik Tafsir Isha>ri ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>”.Pemilihan frase hermeneutika tidak lain untuk menjelaskan fungsihermeneutika sebagai kaidah terapan metodologi tafsir Isha>ribercorak sufistik, sekaligus penafsiran hermeneutika sufisme darikaidah-kaidah tersebut.30
Ada beberapa variabel nama terkait al-Ji>la>ni>. Sebagaimanaumumnya nama Arab, nama identik dengan penisbatan kepadadaerah kelahiran penulisnya. Nama Jayla>n merupakan daerah yangterletak di Persia, Iran Selatan. Sejarawan berselisih pendapatapakah daerah itu disebut Ji>la>n atau Ji>li> sebagaimana perselisihanterjadi pada huruf Jim. Sebagian menyebut Jim dengan lahjahKayla>ni> sebagian dengan lahjah Mesir dengan al-Geyla>ni> dan semuaini dianggap benar.31 Peneliti cenderung memilih kata al-Ji>la>ni>dengan menggunakan pendekatan geografis dan amalan tarikat sertadidukung oleh rujukan akademis32, sekalipun penyuntingnya,
30Jika dikaitkan dengan budaya penafsiran di Barat, proses interpretasiterhadap teks pada dasarnya ada dua pendekatan: (1) Exegesis, (2) Hermeneutis. Yangpertama hanya menjelaskan makna dalam dirinya sendiri (the text in itself), sementarayang kedua bisa dimaknai lebih luas, dan sangat terbuka untuk berbagai penafsirandengan berbagai pendekatan pembacaan yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural.Dengan demikian, hermeneutik bisa berfungsi sebagai suatu metodologi terapansekaligus penafsiran yang tidak terbatas pada dirinya sendiri atau lahiriah teks semata.Di sinilah kiranya kenapa peneliti mengambil kata hermeneutika yang sejalan denganpengertian yang diinginkan oleh Hirsch Daniel Patte, What Is Structural Exegesis(Philladhephia: Fortress Press, 1976), 3. Richard Palmer, Hermeneutics (North WesternUniversity Press, 1972), cet. ke-2, 3.
31‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n (Istanbul:Markaz al-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2010), cet. ke-1, -15-16/18.
32Dalam buku besar ensiklopedia Islam disebut dengan ejaan Abd al-K{a>dir al-Dji>la>ni>. Ia lahir di Persia dari kampung Nayf (Nif) di daerah Dji>lan, yang berada diwilayah Selatan Laut Caspia. Lihat: E.J. Brill (ed.), The Encyclopedia of Islam(Leiden: EJB, 1986), cet. ke-1, Vol. I, 69.
11
Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni> menamai tafsir dengan sebutan Tafsi>r al-Jayla>ni>.
3. Rumusan MasalahBerdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah
untuk penelitian ini adalah: “Bagaimana Konstruksi HermeneutikaSufistik dalam Tafsir Isha>ri al-Ji>la>ni> Secara Teoritis-Metodologis?”.
C. Penelitian TerdahuluMenurut pembacaan peneliti, relatif susah mencari model
perangkat tafsir sufi secara teoritik pada literatur terdahulu. Hal inibukan berarti tidak ada sama sekali. Terdapat beberapa penelitianterdahulu yang bisa membantu tugas menunjukan ke arah kesimpulantesis yang dikehendaki peneliti untuk menggarap proyek kodifikasihermeneutika sufisme ini. Alasan yang mendorong penelitimenggunakan terma hermeneutika dalam penelitian ini tidak lainkarena diskursus ini sangat terbuka menggunakan pendekatan ilmu ini,seperti pendapat Muh}ammad bin Ah}mad Jahlan yang menganggap tafsirIsha>ri adalah diskursus yang paling baik dan sangat berpeluang untukpenerapan aplikasi hermeneutika, sebab memiliki karakter yang bebas,yang sesuai konteks literaly critism dan kesusasteraan kontemporer.33
Di samping itu, penafsiran sufistik memiliki elanvital bagikelangsungan pemikiran pengetahuan tasawuf itu sendiri, sebabmemainkan istilah-istilah terminologi, metodologi keilmuan secarateknis maupun ontologis sebagai kepanjangan bagi “kunci-kunci”entitas tasawuf.34
Perlu ditegaskan, sekali lagi, ketiadaan kaidah-kaidahhermeneutika sufisme bukan berarti mengarah pada satu konklusi bahwapenafsiran sufistik tidak mempunyai standar-standar baku dalam lautanmakna bebas tanpa batas. Justru yang dimaksud “bebas” dalam
33Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘nafi al-Nas}s} al-Qur’a>ni, 237.
34Michael A. Sells, Early Islamic Mysticism (New York: Paulist Press, 1996),75.
12
perspektif tasawuf sunni-‘amali bahwa tafsir Isha>ri adalah tafsir yang“bebas terkendali”. Dengan kata lain mempunyai perangkat dan standarkaidah interpretasi (Qanu>n al-Ta’wi>l).35 Inilah yang dikehendaki dalampenelitian ini. Berikut ini dijelaskan beberapa literatur penelitianterdahulu yang relevan dengan tema besar proyek penelitian ini.
Muhammad Anis Masduqi (tahun 2010), membuat laporanpenelitian mengenai metode tafsir al-Ji>la>ni>. Buku yang berjudul“Metode Tafsir Sufistik Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani” itu relatifmendapat respon masyarakat akademisi mengingat tren baru dan masihbelum ada buku yang membahas secara tuntas mengupas metodologitafsir al-Ji>la>ni>. Ia bisa dikatakan pembuka untuk kajian tafsir sufi al-Ji>la>ni> di Indonesia sehingga bisa membantu penulis meringankan tugaspenelitian ini, setidaknya dalam mengenal al-Ji>la>ni> dalam perspektif“the other”. Sayangnya buku ini pun tidak luput dari kritikan. Pertama,penulis membuat proyek penelitian ini dalam waktu yang relatif singkat,praktis akan mengurangi daya bobot ilmiah sebab tidak cukup waktumenelusuri karakteristik metodologi tafsir tersebut secara komprehensifdan intensif. Kedua, penelitian ini yang kurang menekankan padaeksplorasi konsep metodologi dan kaidah hermeneutika sufi –sepertiyang ditunjukkan pada judul. Pada bab IV, sebagai inti bab ini, penuliskurang mengulas metode tafsir sufistik secara kategoris dan detail sesuaidengan judul buku, kecuali membahas: A. Profil tafsir, B. Latarbelakang penulisan dengan sub kritik tafsir eksoteris dan kritik tafsir al-S}ufi al-Naz}ari. C. Tafsir sufistik al-Ji>la>ni> dan terakhir, D. Urgensi tafsiral-Ji>la>ni>.36
Singkatnya, proyek penelitian ini belum tuntas. Lebih bersifatpenelitian deskriptif dan belum menanjak kepada penelitian bersifateksplanatoris sebagai bentuk penelitian yang lebih kepada orientasipengembangan dan pendalaman kaidah hermeneutika sufistik. Dengan
35Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi: Dira>sah al-Maja>l al-Ma‘rifi al-Us}uli al-Awwal li al-Tafsi>r al-S{ufi, 327.
36Lihat detail: Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Syaikh ‘Abd al-Qadiral-Ji>la>ni>, (Yogyakarta: STIQ al-Nur, 2010), cet. ke-1, 93-126.
13
kata lain, penelitian ini masih standar sehingga perlu penelitian lebihlanjut.
Mukhta>r Al-Fajjari (tahun 2008) berpendapat bahwa undang-undang pena’wilan sufistik pada dasarnya sudah terbentuk hingga abadke-5 H. Artinya, kaidah ini tidak terbentuk langsung dalam satu babakperodik sekaligus, melainkan hasil akumulasi teori yang pernah adadalam lintasan sejarah penafsiran sufistik dari abad ke-1 hingga abad ke-5 H.37 Indikasi ini dibuktikan oleh sufi generasi sunni pertama, al-Muh}a>sibi> (w. 857 M) dalam kitabnya al-‘Aql wa Fahm al-Qur’a>n . Iakerap mengutip kalimat “al-fahm min Allah” atau “al-‘aql min Allah”sebagai indikasi bahwa interpretasi sufistiknya merupakan emanasiTuhan, sembari juga menandaskan bahwa syarat mendapatkan“pemahaman” itu sangat berat. Di antara yang paling menonjol adalahkejujuran dalam ibadah dan keikhlasan niat. Hal ini pertama-tama danyang paling utama bisa terjadi dengan mengagungkan Sang Pencipta.Sebab menurutnya, “kedangkalan pemahaman manusia terhadapal-Qur’a>n disinyalir akibat dangkalnya pengagungan kepada SangPewicara al-Qur’a>n”.38
Al-Muh}a>sibi> menawarkan beberapa konsep metodologiinterpretasi sufistik yang harus dimiliki seorang mufassir sufi: 1.Keimanan yang Benar-Benar Tulus (Ima>n al-S{a>diq). 2. Keikhlasan Niat(Ikhla>s al-Niyat). 3. Mencintai al-Qur’a>n (H{ubb al-Qur’a>n ). 4. BanyakMembaca (Tila>wah al-Qur’a>n). 5. Sentralitas Umum dan Organisir VisiMakna (al-Tarki>z al-Kulli wa Jam‘ al-Hamm).39 Diakui bahwakarakteristik al-Muh}a>sibi> ini tampaknya lebih kepada psikologi danmoral etik seorang praktisi tasawuf untuk menjadi mufassir, sehinggatidak menuju kepada perangkat metodologi sufistik secara langsung.Yakni pra-syarat seorang sufi untuk memahami penafsiran al-Qur’a>nmelalui tahapan-tahapan di atas, agar mampu mendapatkan pemahamanyang benar. Bisa dikatakan bahwa perangkat metodologi tawaran al-Muh}a>sibi> ini disebut software/piranti lunak mufassir. Jadi secara
37Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 337.38Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 339.39Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 339-342.
14
hardware/piranti kasar belum terkonseptualisasikan. Padahal, menurutpeneliti, yang terakhir ini sangat urgen untuk menjadi standar bakuhermeneutika sufistik.
Martin Wittingham, mengulas teori sekaligus aplikasihermeneutika pada seluruh karya-karya al-Ghaza>li, khususnya Jawa>hiral-Qur’a>n. Ia berhasil menemukan bahwa kunci teori al-Ghaza>li adalahharmonisasi makna eksoteris dan esoteris. Dikatakan harmonis, sebabkeduanya saling melengkapi satu sama lain. Al-Ghaza>li melihat tidakada kontradiksi dalam hal tujuan esensial. Lebih jauh, Wittinghammenguraikan dua makna ini. Dimensi z}a>hir sebagai visible yang ber-orientasi kepada physical realm; dan ba>t}in sebagai invisible yangberorientasi kepada spiritual realm.40 Visible word dalam interpretasi al-Ghaza>li sebagai ‘ala>m al-mulk (the world of power), ala>m al-mulk waal-shaha>dah (the world of power and witness) dan ‘ala>m al-h}issi watakhyi>l (the world of senses and imagination). Sementara invisiblesebagai dunia spiritual direpresentasikan sebagai ‘ala>m al-malaku>t (theworld of dominion), ‘ala>m al-ghayb (the world of what is hidden), atau‘ala>m al-amr (the world of command).41 Di antara dua dimensi initerdapat posisi ketiga, yakni intermedia yang disebut terma jabaru>t.Hanya saja, al-Ghaza>li lebih mengandalkan dwi-fungsi antara visible daninvisible dalam interpretasi hermeneutikanya.42
Al-Ghaza>li dalam Jawa>hir al-Qur’a>n bermaksud mengungkapkanmutiara-mutiara al-Qur’a>n yang tersembunyi, di samping melakukanelaborasi dikotomik antara disiplin keilmuan dan interpretasi al-Qur’a>nsebagai suatu perbandingan komparatif.43 Menurut Wittingham,perangkat metodologi kunci dalam Jawa>hir al-Qur’a>n adalah logosentrisBahasa. Bahasa Arab merupakan kostum mutiara al-Qur’a>n yangmampu menyingkap mutiara pada dasar lautan makna al-Qur’a>n. Daribahasa ini bercabang menjadi lima ilmu metodologi, dengan sebutanmetafora ilmu kulit, kerangka dan pakaian sekaligus. (1) Suara atau
40Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n (London and New York:Routledge, 2007), cet. ke-1, 38
41Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 38.42Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 38.43Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 42-43.
15
Wicara Makhraj Huru>f. Ketika berbunyi adalah huruf-huruf yang keluardari tempatnya, namun ketika dikumpulkan menjadi bentuk logoskalimat. (2) Ilmu Bahasa/Lexicology. Sebagai pembuka tirai misteri-misteri kalimat al-Qur’a>n. (3) Ilmu Nahwu/Grammar. Sebagai aturantata-bahasa. (4) Ilmu Qira’a>t/Recitations. Sebagai varian bacaan al-Qur’a>n. Al-Ghaza>li menegaskan bahwa ilmu Nahwu dan bahasamerupakan faktor signifikan perangkat interpretasi. (5) IlmuZ{a>hir/Visible. Dengan adanya akumulasi dan kerjasama perangkatmetodologi ini hasilnya akan kembali juga kepada kepentinganinterpretasi makna lahiriah yang asasi. Sebab inilah tujuan interpretasiyang dikehendaki tentang ta’bi>r ilmu kulit, kerangka dan pakaian al-Qur’a>n.44
Pendapat Wittingham, hampir sependapat dengan Alexander D.Knysh (tahun 2006). Bedanya, ia melakukan ekstraksi dari metodologial-Ghaza>li secara lebih modern dan praktis. Secara prinsipil, Knyshmengakui paduan komparasi antara makna lahir dan batin (denganmemakai terma outward-inward). Namun, lanjutnya, untuk bisamenemukan makna sufistik, seorang mufassir sufi harus bisa menempuhdengan apa yang disyaratkan al-Ghaza>li. (1) Ilmu qira>’ah al-Qur’a>n (theScience of its Recitations) bagi pembaca atau penghapal. (2)Pengetahuan bahasa dan grammar (the Knowledge of it’s Language andGrammar) bagi filolog dan grammarian. (3) Ilmu tafsir tekstual(Outward Exegesis) bagi praktisi tafsir dengan memfokuskan danmenitik beratkan kepada kerangka eksternal tafsir (al-s}adaf).45
Nicholas Heer, menyatakan bahwa kombinasi harmonis antaradimensi esoterik-sufistik dengan eksoterik-formalistik yang disejajarkandengan perpaduan antara syariat dan hakikat adalah metodologi tafsir al-Ghaza>li secara global. Namun ia luput merinci detail mekanisme
44Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 45. Bandingkan: al-Gha>zali,Jawa>hir al-Qur’a>n (Rashid Rida, ed.) (Beirut: Da>r Ihya al-Ulum, 1990), cet. ke-36.
45Alexander D. Knysh, “Sufism and al-Qur’a>n ”, dalam J.D. McAuliffe (ed.),The Encyclopaedia of the Qur’a>n, 149.
16
penafsiran yang ditawarkan al-Ghaza>li.46 Pendapatnya sangat bertolakbelakang dengan apa yang terangkum oleh Wittingham yang relatifberhasil menemukan perangkat hermeneutika dalam tafsir Jawa>hir al-Qur’a>n. Sekedar informasi, kitab al-Ghaza>li ini pun pernahditerjemahkan oleh Muh}ammad Abu>l Qaseem (tahun 1977) untukdisertasi doktoralnya dibawah bimbingan supervisior orientalis kawakanMontgomery Watt di Edinburgh. Alih-alih ditujukan untuk menandingiterjemahan al-Qur’a>n terbitan A. J. Arberry (The Holy Qoran: AnIntroduction With Selections, London, 1953) sekaligus ditujukan untukpembaca Barat dalam mendalami esensi al-Qur’a>n secara mendalam.Sayangnya, ia luput untuk membedah metodologi tafsir tersebut.Padahal dalam tradisi modern, apalagi di bawah bimbingan orientalissekelas Montgomery Watt, sudah seharusnya mengurai metodologisebelum menyunting atau menerjemahkan suatu karya, agarmemudahkan pembaca dan demi kepentingan masyarakat akademis.47
Kristin Zahra Sands, secara cerdas dan bernas mampumendokumentasikan arsip-arsip kunci hermeneutika kaum sufistik.Termasuk bentuk-bentuk interpretasi ambiguitas dan multi-tafsir teksqur’anik di tangan mistikus Isha>ri. Hematnya, peran intelektual danspiritual menjadi elan vital bagi pencarian pengetahuan intuitif sufisme.Penemuan terpenting Kristin adalah keberhasilannya menyingkapmetode ta’wil metodologi hermeneutika sufisme. Ia menokohkan Abu>>Nas}r al-Sarra>j al-T{u>si (w. 1066 M), dalam kitabnya yang terkenal, al-Luma‘. Al-T{u>si menjelaskannya dalam sub-bab “karakteristik istinba>t}interpretasi yang benar dalam isha>rah dan pemahaman al-Qur’a>n”,bahwa setiap penafsir bisa menemukan kebenaran penafsiran melaluidua metodologi. (1) Metode Pemahaman. (2) Metodologi isyaratsimbolik. Untuk mencapai kepada tahap ini, ada tiga hal yang tidakboleh dilanggar: (1) Melakukan perubahan kalam. (2) Melupakan tugas
46Nicholas Heer, “Abu> Ha>mid al-Ghaza>li’s Esoteric Exegesis of the Koran”,Leonard Lewisohn (ed.), The Heritage of Sufism (Oxford: OnewordPublications,1999), vol. 1, 235.
47M Abul Qaseem, The Jewels of The Quran: al-Ghazali’s Theory (Malaysia:University of Malaya Press, 1977), 13-14.
17
ibadah sebagai hamba Allah. (3) Melakukan distorsi makna.48 Tujuanmentaati kriteria ini agar penafsir diharapkan akan bisa mengetahuidikotomi antara penafsiran yang benar dan penafsiran yang keliru.Untuk aplikasi teori, al-T{u>si mencoba memberikan sampel penafsirandari keduanya sebagai parameter dan standarisasi penafsiran modelIsha>ri –persis seperti apa yang dikehendakinya. Bagi al-T{u>si, penalarananalogikal cukup dengan contoh kecil untuk menuju proses metodepenafsiran global: Istidla>l bi al-sha>hid ‘ala al-gha>ib.49
Persoalannya, sebagaimana diakui Kristin, bahwa metode yangditawarkan al-T{u>si masih terlalu dini, sehingga rawan disalah-pahamiatau disalah-artikan, sebab berada di luar jangkauan teks literal.Sementara al-T{u>si sendiri sekedar memberikan simulasi konsepesiTa’wil dari sampel-sampel ayat. Jadi bukan tawaran konsep Ta’wil yangmatang secara metodologis.50 Paling tidak, terdapat beberapa poinpenting konsep penafsiran sufi yang berhasil dilacak Kristin. Sepertiterma tafsi>r, ta’wil, isha>ra, fahm, d}arb al-mitha>l. Tidak kalah hebatnya,ia merekam beberapa penafsir(an) sufistik dengan sedikit ulasanbiografi, catatan ringan dan menyinggung metodologi taksonomis satudengan lainnya. Mulai dari al-Tustari (w. 896 M), al-Sulami (w. 1021M), al-Qushayri (w. 1074 M), al-Ghaza>li (w .1111 M), Rashi>d al-Di>n al-Maybudi (w. 1135 M), Ru>zbiha>n al-Baqli (w. 1209 M), al-Ka>sha>ni (w.1329 M) hingga al-Nisa>bu>ri (w 1327 M).51 Tentu arsip-arsip data iniakan menjadi informasi berharga untuk melakukan proyek rekonstruksimetodologi hermeneutika sufistik secara integral dan berharga bagikepentingan penelitian ini.
Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, membuat terobosan barudengan membangun elemen metodologi sufi secara partikular-afirmatifsecara cemerlang. Yakni memformat kaidah-kaidah hermeneutika dalam
48Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic ClassicalIslam (London and New York: Routledge, 2006), cet. ke-1, 35.
49Al-Sarra>j al-T{u>si, al-Luma‘ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi, 82.50Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical
Islam 37.51Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical
Islam , 67-78.
18
bentuk teoritis-sufistik, seperti yang ditunjukkan dalam tafsir agungmilik imam al-Qushayri, Lat}a>’if al-Isha>ra>t. Menurutnya, kitab tersebutmelandaskan kepada penggalian makna-makna halus yang tersembunyiatas lafal-lafal berbentuk singular (mufra>d) maupun jamak (mushtarak),sehingga tidak hanya berhenti kepada normativitas teks-teks z}a>hiri ataukepada pemakanaan sesuai standar kamus kosakata (mu‘jam) literalistik.Namun mampu juga menangkap arti lafal-lafal qur’anik tersebut sebagaiartikulasi isyarat dan simbol-simbol tersembul yang memiliki esensimendalam di luar pemahaman adat kebiasaan. Tirai ini hanya bisadisingkap oleh mereka yang telah dianugerahi ilmu intuitif oleh Tuhan.52
Untuk merumuskan metodologi ta’wil versi al-Qushayri, Ra>niaMuh}ammad mencoba menginventarisir perangkat-perangkat tafsir yangada dalam kitab Lat}a>’if al-Isha>ra>t. (1) Huruf Muqat}t}a’ah. Sebagaisesuatu yang sudah menjadi identitas kaum sufistik. Sebab penggalanhuruf dalam setiap surat mempunyai rahasia-rahasia yang hanya bisadisibak oleh kaum sufistik: dengan analisa kejiwaan (al-nafs) danpengalaman intituif seorang sufi.53 (2) Bahasa. Sebagai kunci untukmenemukan fenomen-fenomen rumus-rumus sufistik (dila>lah al-rumu>ziyah) serta isyarat. Yakni dengan penguasaan pemahamangramatika Nah}wu-S}araf (sintaksis-morfologis).54 Maka, akan tampaklahperbedaan ahli iba>rah, sebagai representasi kaum Z}ahiriyyah; dan ahliisha>rat sebagi representasi kaum sufistik.55 (3) Adab Sastra. Di manaartikulasi ayat-ayat al-Qur’a>n kebanyakan menggunakan isyarat-isyaratberorientasi kesusastraan. Baik penafsiran dengan gubahan syair,ungkapan kalimat bersastra tinggi, maupun kalam nashr.56 Adab, dalamkonteks sufisme, tidak bisa dipisahkan dari kaum sufi, sebab adab erat
52Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri (Alexandria: Mansya‘ah al-Ma‘a>rif, 2001), iv.
53Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 28.
54Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 42.
55Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 42.
56Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 65.
19
kaitannya dengan keindahan dan kenikmatan yang diperoleh ketikamencapai ekstase klimaks dan pengalaman ruhani bercumbu denganSang Khalik. (4) Basmalah. Setiap basmalah dalam setiap suratmemiliki penafsiran rahasia yang berbeda satu dengan lainnya. Hal ini,disesuaikan dengan kandungan isi surat tersebut. (5) Shariah. Yakniharmonisasi antara shariah dan hakikat. Sehingga tidak mengabaikandan menafikan syariat untuk menuju hakikat, sebab shariah adalah“muqadimah” hukum-hukum ‘ubu>diyah dalam lingkaran dunia fikih,untuk menuju jenjang yang lebih tinggi, yakni lingkaran duniaTasawuf.57 (6) Balaghah. Yakni landasan menuju interpretasi dalammenangkap ide-ide ilham atau inspirasi sufistik yang terbingkai dalamlafal-lafal balaghah58 (7) Intuitif. Perangkat dhawq bagi kaum sufibertugas mem-ba>t}in-kan yang z}a>hir, man-ta’wil-kan yang tanzi>l. Bagial-Qushayri, terma “naz}am” dalam al-Qur’a>n tidak hanya berfungsisebagai seni akumulasi keindahan al-Qur’a>n –sebagaimana yangdipahami dalam ilmu balaghah–, namun berfungsi lafal-lafal yangmengandung eksistensi penggerak menuju kebahagian hakiki dariemanasi ketuhanan yang menembus hati kaum sufistik atas penglihatan(bas}irah) batinnya.59 Dengan demikian, jelaslah, dalam kitab tersebutRa>nia Muh}ammad berhasil memformat perangkat-perangkat tafsirsufistik secara partikular afirmatif. Penelitiannya bisa dikatakanmerupakan langkah awal dalam konteks metodologi hermeneutikasufistik.
Chaiwat Satha-Anand, menandaskan bahwa corak Tafsi>r al-Ji>la>ni>merupakan tafsir yang memadukan genre esoteris dan eksoteris –dimana pada masa al-Ji>la>ni> dua kutub ini berseberangan secara ekstrem,yakni kutub esoteris yang terlampau ekstrim menafikan syariat dankutub eksoteris yang terlalu kaku dalam membaca al-Qur’a>n secara
57Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 116.
58Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 144.
59Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 158.
20
literalis.60 Corak tafsir ini ditemukan dalam kitab al-Ji>la>ni>: Futu>h al-Ghayb (the Revelation of the Unseen) yang begitu mendalam membahasaspek ajaran mistis tasawuf terutama tentang eksistensi ketuhanan dankemanusian sehingga mampu menyedot pengikut non-Muslim. Karenaitu, figur al-Ji>la>ni> patut masuk dalam diskursus dialog inter-religion.61 \Kekurangan Chaiwat Satha-Anand adalah luput mengupas aspekmetodologi yang ditawarkan al-Ji>la>ni> dalam kitab Futu>h al-Ghayb itusecara konseptual.
Gerhard Bowering, berpendapat bahwa hermeneutika sufi padadasarnya tidak memiliki metodologi tafsir secara teoritis-sufistik.Hermenetika sufisme, menurutnya, cukup mengandalkan inspirasimistisisme (mystical ideas), yakni penyandaran kepada asosiasikesatuan: moral, literal, spiritual dan simbol maknawi.62 Boweringmenangkapnya kepada tokoh Sahl al-Tustari (w. 896 M) yang diam-diam mengikuti model tafsir yang dikonsepsikan oleh Imam Syiah,Ja’far al-S{a>diq (w. 765 M). Yakni konsepsi: 1. ‘Iba>rah 2. Isha>rah 3.Lat}a>’if. 4. Haqa>iq. Dua makna pertama yakni dimensi ungkapan danisyarat diperuntukkan segmen kaum awam sementara dua makanterakhir, dimensi kelembutan untuk Awliya’ dan hakikat untukAnbiya’.63 Sahl al-Tustari dalam hal ini menggunakan dua metode,yakni (1) Exegesis, sebagai makna z{a>hir literalis; dan (2) Eisegesis,sebagai makna ba>t}in spiritualis. Hanya saja, menurut hemat Bowering,al-Tustari lebih menekankan aspek yang kedua, yakni tafsir eisegesissebagai nama lain esoteritas makna. Secara prinsipil metodologi antaraJa’far al-S{a>diq dan al-Tustari adalah sejenis. Sekalipun berbeda dalamcontent atau level kandungan tafsir keduanya –di mana Ja’far ber-
60Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of AbdulQadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), ContemporaryRelevance of Sufisme (Newdelhi: Indian Council for Cultural Relations, 1993) cet. ke-1, 324.
61Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of AbdulQadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), ContemporaryRelevance of Sufisme, 321-326.
62Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam(Berlin & New York: De Gruyter, 1980), 136-139.
63Gerhard Bowering The Mystical Vision of Existence in Classical Islam, 141.
21
ideologi syiah, sementara al-Tustari ber-ideologi sunni.64 Demikianlahpembacaan Bowering dalam menemukan konsepsi metodologi al-Tustaridalam tafsirnya al-Qur’a>n al-Az}}i>m.
Sekedar melengkapi, ada beberapa koreksi dari peneliti dalampembacaan Bowering terhadap mekanisme konsep metodologihermeneutika al-Tustari di atas: (1) al-Tustari adalah seorang tokoh sufisunni-‘amali. Praktis karakter tafsirnya adalah tafsir berbau Isha>ri, yangmenggabungkan makna eksoteris dan esoteris.65 Dengan kata lain, akantetap menggunakan penafsiran eksoteris sebelum berangkat kepadapenafsiran esoteris. Bahkan jika penafsiran literalis atau harfiah dinilaisudah cukup mendapatkan “pesan moralitas”, maka tidak perlu beranjakkepada makna batin.66 Inilah prinsip hermeneutika al-Tustari yang luputdibidik Bowering. (2) Bowering nampak mengabaikan sisi semantik dankebahasaan dalam konsep tafsir al-Tustari. Ia lebih sibuk menekankanmediasi tila>wah untuk menangkap inspirasi mistisisme (mystical ideas)atas makna-makna esoteritas an sich. (3) Bowering tidak mampumenginventarisir dan menemukan metodologi sufistik al-Tustari secarateoritis, sebagai perangkat-perangkat kasar yang diperbantukan dalamhermeneutika sufistik.
Terakhir, Bowering melakukan kesalahan besar ketika tidakmemasukkan Lat}a>’if al-Isha>ra>t-nya al-Qushayri sebagai kategori tafsirsufi, sebab ngotot dengan pakem mystically inspired uttrences sebagaiungkapan resmi sufistik. Dengan demikian, ia hanya mengakui tafsir
64Gerhard Bowering The Mystical Vision of Existence in Classical Islam, 142.65Sebagai perbandingan, penting disebut kategorisasi kitab-kitab tafsir mistik
yang mengandung dimensi Isha>ri dan tidak. 1. Tafsir Z{a>hir murni dan sama sekalitidak menyinggung Isha>ri. Seperti kitab Tafsir al-Bayd}awi atau Zamakhshari. 2. TafsirZ{a>hir mayoritas dan Isha>ri ala kadarnya. Seperti Tafsi>r Nis>abu>ri atau al-Alu>si.3. Tafsir Isha>ri mayoritas dan Z{a>hir alakadarnya. Seperti Tafsi>r Sahl al-Tustari. 4.Tafsir Ishari murni dan sama sekali tidak menyinggung Z{a>hir. Seperti Tafsi>r‘Abdurrahman al-Sulami. 5. Tafsir Isha>ri dan Naz}ari sekaligus tanpa menyinggungtafsir Z{a>hir. Seperti Tafsi>r Ibn ‘Arabi. Lihat, Husein al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), vol. III, 28.
66Anwar Syarifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”, JurnalStudi al-Qur’a>n (Vol. II, No. 1, 2007), 149.
22
sufistik dengan kandungan esoteritas murni tanpa dibubuhi kandunganeksoteris.67
D. Tujuan PenelitianSebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya,
maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:a. Membuktikan bahwa tafsir mistis-simbolik atau yang lazim dikenal
Tafsi>r Isha>ri, pada dasarnya memiliki kaidah-kaidah hermeneutikasecara teoritis-sufistik yang dibangun di atas ortodoksi tafsir.
b. Membukukan dan membakukan epistemologi ‘ulu>m al-Qur’ansufistik bercorak Isha>ri dalam jubah manhaj al-mufassiri>n atau ‘ulumal-Qur’a>n versi sufistik.
c. Memberikan sumbangsih dan kontribusi metode penafsiran yangditawarkan al-Ji>la>ni> terhadap perkembangan penafsiran al-Qur’a>n,khususnya dalam penafsiran mistis simbolik.
E. Manfaat/Signifikansi PenelitianRiset ini menurut peneliti amat menarik dan penting untuk
mengisi ruang akademis dalam bidang tafsir sufistik. Adapun manfaatatau signifikansi yang terealisasi dari penelitian ini dapatdikelompokkan ke dalam dua dataran, yaitu secara teoritis dan praktis:1. Teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbanganterhadap prinsip-prinsip dan metodologi hermeneutika sufistikpenafsiran al-Ji>la>ni> sebagai representasi metodologi tafsir sufistikbercorak Isha>ri. 2. Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan memberikansumbangan informasi dan kontribusi pemahaman yang lebih mendalam,dalam mengungkap satu sisi pemikiran al-Ji>la>ni> dalam bidang tafsir,khususnya, yang jarang dikaji, dan secara umum diharapkan dapatbermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, serta terhadap konsep-konsep aktual terutama mengenai masalah-masalah yang menyangkutsistem penafsiran al-Qur’a>n. Penelitian ini semata-mata untuk mengkaji
67Annabel Keeler, “Sufi Tafsir As Mirror al-Qushayri the Murshid in hisLata>’if al-Isha>rat”, terj. Eva F. Amrullah & Faried Saenong, Jurnal Studi al-Qur’a>n(Vol. II, No. 1, 2007), 178.
23
metodologi hermeneutika sufisme dalam rangka memahami makna danpesan-pesan al-Qur’a>n dalam pandangan tasawuf, yang diharapkan dapatmenambah wawasan dalam tataran metodologi penafsiran yangberkembang sampai saat ini khususnya penafsiran bercorak sufistik.
F. Metodologi PenelitianSebagai suatu analisis yang difokuskan pada metodologi
penafsiran Isha>ri al-Ji>la>ni>, studi ini tidak cukup hanya terpaku secaranormatif tehadap gagasan-gagasan penafsirannya saja, akan tetapimengkaji juga bagaimana gagasan itu muncul, apa yang melatar-belakangi dan untuk kepentingan apa dimunculkan serta bagaimanaaplikasi gagasan tersebut dalam sebuah karya tafsirnya. Oleh karena itu,studi ini akan mengikuti prosedur dan alur penelitian sebagai berikut:
1. Jenis PenelitianPenelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library
research). Karena penelitian ini termasuk kedalam kajian tokoh, makaada dua metode yang fundamental untuk memperoleh pengetahuantentang tokoh tersebut. Kedua-duanya digunakan secara bersamaan. 1.Biografis. Yakni penelitian tentang kehidupan, lingkungan dan sosio-kultur yang melatarbelakangi. 1. Taksonomis. Penelitian tentanggagasan dan pemikiran karya-karya Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>,khususnya Tafsi>r al-Ji>la>ni>.68
Data yang ingin digali dalam penelitian ini adalah hal-hal yangterkait dengan prinsip-prinsip dan metode al-Ji>la>ni> dalam upayapenafsiran al-Qur’a>n dan analisis terhadap prinsip dan metode tersebutserta aplikasinya dalam penafsiran.
68Ada dua metode fundamental untuk memperoleh pengetahuan tentangseseorang dan keduanya harus dgunakan secara bersamaan. 1. Taksonomis. Yaknipenelitian tentang pikiran dan keyakinan. 2. Biografis. Yakni penelitian mengenaikehidupan. Lihat tulisan A. Mukti Ali, “Metodologi ilmu Agama” dalam MetodologiPenelitian Agama: Suatu Pengantar (Tiara Wacana, 2004), cet.-ke 2, 59.
24
2. Sifat PenelitianDitinjau dari sifatnya, maka penelitian ini bersifat eksplanatoris-
kategoris, yaitu suatu penelitian yang berupaya memberikan gambaransecara deskriptif-analisis sekaligus mengeksplorasi secara mendalam danmendetail terhadap penjelasan-penjelasan aspek yang berhubungandengan permasalahan seputar metode dan prinsip-prinsip Tafsir Isha>riyang ditawarkan al-Ji>la>ni> untuk kemudian dianalisis agar memberikanpemahaman yang jelas tentang eksistensi dan pandangan al-Ji>la>ni>terhadap prinsip-prinsip dan metode tersebut serta aplikasinya dalampenafsiran sufistik al-Qur’a>n.
Di samping itu, untuk menemukan teori hermeneutika sufistikyang dibangun, peneliti sengaja melakukan kategorisasi teori denganmemanfaatkan ilmu hermeneutika era modern seperti teori hermeneutikaEric Donald Hirsch, Jr yang cocok dengan kepentingan penelitian, jugamelakukan studi geneologis terhadap kajian-kajian akademis yang intensmembahas “arsip-arsip kuno” kajian hermeneutika dalam penafsiranesoteris teks suci agama-agama.
3. Sumber DataSumber data atau bahan primer dalam penelitian ini adalah karya
tafsir al-Ji>la>ni> yang berjudul Tafsi>r al-Ji>la>ni>: al-Fawa>tih} al-Ilahiyyah waal-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyahwa al-H{ikam al-Furqa>niyyah. Termasuk karya-karya al-Ji>la>ni> lainnya,seperti al-Gunyah, al-Fath} al-Rabbani wa al-Fayd} al-Rah}ma>ni, Sirr al-Asra>r fi ma> Yah}ta>j ilayh al-Abra>r, dan buku-buku primer lainnya yangberkaitan dengan diskursus Tafsir Isha>ri serta kaidah-kaidahhermeneutika atau yang membantu ke arah sana. Selain itu, datasekunder yang berkaitan dengan literatur Tasawuf, ‘Ulu>m al-Qur’a>nmaupun Tafsir Isha>ri sejenis untuk melengkapi kesempurnaan kajiandalam penelitian ini.
25
4. Teknik Pengumpulan DataDalam hal pengumpulan data, peneliti menempuh teknik survei
kepustakaan dan studi literatur. Survey kepustakaan yaitu menghimpundata yang berupa sejumlah literatur yang diperoleh di perpustakaan ataupada tempat lain ke dalam sebuah daftar bahan-bahan pustaka.Sedangkan studi literatur adalah mempelajari, menelaah dan mengkajibahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang menjadi objekpenelitian.
5. PendekatanDalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan interpretasi (interpretative approach),yakni menyelami pemikiran seorang tokoh yang tertuang dalam karya-karyanya, khususnya Tafsi>r al-Ji>la>ni>, untuk menangkap nuansa maknadan pengertian yang dimaksud secara khas hingga tercapai satupemahaman yang benar.69 Dengan menggunakan metode kualitatifsebagai metode analisis data. Metode kualitatif yaitu prosedur penelitianyang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisandari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.70 Sementara, untukmenangkap teori-teori hermeneutika sufisme dalam tafsir al-Ji>la>ni>, makapeneliti menggunakan hermeneutika Eric Donald Hirsch, Jr. tentangteori meaning and significant sebagai artikulasi penafsiran normatifdan simbolik.
Hirsch menyatakan bahwa interpretasi bisa dilandakan pada duasisi: (1) Level makna pertama, yang terbentuk oleh sosio-kultural,sejarah.71 Inilah yang dikehendaki dengan penafsiran (meaning) yangorisinil dan normatif sesuai kehendak Sang Author. Dalam tradisi tafsiral-Qur’a>n masuk sebagai konteks eksotersis. (2) Level makna kedua,
69Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 63. Lihat juga: Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996), 42.
70Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. RemajaRosda Kaya, 2004), 4.
71Hirsch, E.D. Jr. Validity in Interpretation (New Haven: Yale UniversityPress, 1967), 216.
26
yang bisa ditafsirkan lepas dari makna pertama sesuai kondisi zaman,proses mentalitas pribadi atau lainnya.72 Inilah yang dikehendaki dengansignificant, yang dalam tradisi tafsir mistik sebagai makna petandasimbolik. Namun masih dalam koridor level makna pertama bahkantidak lepas sama sekali dari “pesan makna pertama” secara prinsipil.Artinya, keberadaan dila>lah sebagai fungsi significant harus sepadan-semakna/muma>tsalah dengan kehendak Sang Autor.73 Inilah yangdimaksud hermeneutika Hircsh dengan kategori “ObjectiveInterpretation”, yakni dengan tidak coba-coba melakukan subyektivitasmakna sebebas-bebasnya dalam interpretasi. Karena itu, modelinterpretasi lurus dan benar adalah kesesuaian kaidah validitasinterpretasi.74
Di samping itu, peneliti juga mencoba menelusuri arkeologitafsir Isha>ri yang berada pada agama Judio-Kristiani. Hal ini dilakukansebagai studi banding penafsiran teks suci agama-agama, di sampingmembantu menemukan secara metodologis tentang teori hermeneutikasufistik yang dibangun peneliti.
G. Sistematika PenelitianSistematika pembahasan merupakan pengaturan langkah-langkah
penelitian agar sistematis, ada keterkaitan yang harmonis antarapembahasan pertama dengan pembahasan berikutnya, juga antara babsatu dengan bab-bab selanjutnya.
Untuk mempermudah dalam memberikan pemahaman dangambaran yang utuh dan jelas tentang isi penelitian ini, makapembahasan dalam tesis ini akan disusun dalam sebuah sistematikapembahasan yang teratur, di mana tesis ini secara keseluruhan terdiridari 5 (lima) bab:
72Hirsch, E.D. Jr. Validity in Interpretation, 216.73‘Abd al-Ghani Bara>h, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah (Al-Jazair: al-Da>r al-
Arabiyah li al-‘Ulu>m Nas}irun, 2008), cet.ke-1, 336.74E.D. Hirsch, Jr. Validity in Interpretation, 212. Lihat juga: ‘Abd al-Ghani
Barah, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 335.
27
Bab Pertama. Bab ini merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan tentang latar-belakang munculnya permasalahanpenelitian ini. Setelah itu, permasalahan yang muncul akan dibatasi, lalukemudian, permasalahan yang menjadi masalah utama, berikut artipenting dan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini bagi studiIslam akan ditetapkan.
Bab Kedua. Bab ini membahas kontroversi Tafsir Isha>ri. Untukmengetahui di mana posisi tafsir Isha>ri, akan dibuat pemetaan mazhabortodoksi dan heteredoksi tafsir sufi, yang mencakup mazhab ortodoksdan mazhab heteredoks. Berikut kupasan orientasi corak tafsir sufistik.Setelah itu, dikupas juga otoritas Tafsir Isha>ri, yang menyangkut: (1)nalar ‘irfan. (2) Ta’wil Ishari. (3, Dialektika Z}a>hir dan Batin.Selanjutnya, bab ini membahas wacana validitas Tafsir Isha>ri danhermeneutika Hirsch, yang menyangkut bentuk argumentasi secaralegal-formal dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th serta bentuk hermeneutikaHircsh yang tepat diaplikasikan sebagai metodologi dalam dikursustafsir Isha>ri. Dan terakhir, mengupas tradisi penafsiran mistis agama-agama. Sub pembahasan ini dimaksudkan untuk mengingatkan bahwapenafsiran mistis terjadi pada agama-agama semit sebelum Islam.
Bab Ketiga. Bab ini mengulas ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> dan karyatafsirnya. Ini mencakup dua sub bab: [A] Biografi, yang terdiri dari subkecil: 1. Riwayat Hidup, Jaringan Intelektual dan Kontribusi. 2. SettingSosio-Kultural pada Masanya. 3. Tasawuf dan Karya-karya. [B] Tafsi>ral-Ji>la>ni>, yang mencakup: 1. Orisinalitas Tafsi>r al-Ji>la>ni>. 2. TinjauanUmum Karakteristik Tafsi>r al-Ji>la>ni>. 3. Penyajian Tafsi>r al-Ji>la>ni>.
Bab Keempat. Bab ini mengulas prasyarat kode etik penafsiranbagi mufassir sufi Isha>ri. Kode etik ini mencakup (1) KejujuranIbadah/Ima>n al-S{a>diq. (2) Keikhlasan Niat/Ikhla>s al-Niyat. (3)Mencintai al-Qur’a>n/H{ubb al-Qur’a>n. (4) Membaca al-Qur’a>n SembariBerlindung kepada Tuhan /Tila>wah al-Qur’a>n wa istia>dhah billah. (5)Sentralitas Visi dan Organisir Makna/al-Tarki>z al-Kulli wa Jam‘ al-Ham.
Bab Kelima. Bab ini mengulas tentang konstruksi metodologitafsir Isha>ri; A. Perangkat Eksoterik yang lebih dikenal sebagai
28
perangkat nalar baya>n-z}a>hir mencakup: (1) Bahasa. (2) Shariah. (3)Adab Sastra-Sufistik. (4) Balaghah. Sementara untuk perangkat esoterikyang lebih dikenal sebagai perangkat nalar ‘irfa>n-ba>t}in mencakup (1)Simbol (2) Intuisi (3) Hakikat. Di bab ini akan diulas kontekstualisasidan analisis tafsi>r al-Ji>la>ni> sebagai bentuk aplikasi epistemologi tafsirini, yang mencakup huruf-huruf penggalan/al-h}uru>f al-muqatt{}a‘ah, al-basmalah, serta beberapa ayat yang menjadi pretensi dan argumentasidari konstruksi metodologi tafsir Isha>ri melalui pembuktian danartikulasi ayat-ayat sesuai runutan di atas.
Bab Keenam adalah rumusan kesimpulan berdasarkan hasiltemuan penelitian. Sekaligus sebagai bab penutup dan saran-saran.
29
BAB II
KONTROVERSI HERMENEUTIKA SUFISTIK TAFSIR ISHA<RI
Pada bab II ini, akan dijelaskan mengenai diskursus Tafsir Isha>ri
sebagai representasi dari mufassir ortodoks atau sunni ‘amali. Penjelasan
ini mencakup beberapa varian yang dianggap kontroversial dan samar-
samar oleh sebagian kalangan ulama. Pertama: Definisi tafsir Isha>ri.
Untuk menuju ke sana, dijelaskan pemandangan umum tafsir sufi yang
mempunyai dua kategori. 1. Definisi secara teologis, yakni definisi yang
dikonstruksi oleh golongan sunni dari ulama klasik maupun kontemporer
yang masih ketat membatasi pada lingkaran sunni. 2. Definisi secara
taksonomis, yakni dengan melihat substansi pemikiran dalam lintasan
sejarah. Otoritas tafsi>r Isha>ri penting ditampilkan sebagai bentuk
otorisasi dan kuasa Tafsir Isha>ri atas tafsir lainnya. Karena itu
ditampilkan elemen-elemen seperti nalar ‘irfa>n, ta’wil Isha>ri dan
dialektika z}a>hir dan ba>t}in sebagai manifesto kekuasaan tafsir Isha>ri.
Pemetaan mazhab tafsir akan dikupas agar bisa mengetahui lalu lintas
dari tafsir sufistik secara holistik agar mengetahui posisi dari tafsir
Isha>ri berada. Dalam hal ini mazhab tafsir sufistik terbagi atas dua
kategori. Pertama, ortodoksi sebagai istilah mazhab yang mampu
mensinergikan antara syariat dan hakikat agama secara proporsional dan
murni –sehingga penafsirannya identik sebagai tafsir ishar>i. Kedua,
heterodoksi, sebagai istilah mazhab tafsir yang dianggap terlalu
melampaui koridor syariat serta mengapresasi dan mengakomodasi
30
unsur inklinasi dan sinkretik ajaran-budaya lokal atau non Islam –
sehingga penafsirannya identik sebagai tafsir batini-falsafi.
Validitas Tafsi>r Isha>ri penting dikupas disini agar bisa
mengaktualisasikan dan menjustifikasi tafsir-tafsir Isha>ri secara valid
dan absah dalam bangunan argumentatif. Dengan demikian beberapa
varian yang hendak dijelaskan mampu mengurai entitas tafsir Isha>ri
dihadapan para akademisi atau ulama yang concern dengan tafsir sufi
secara umum dan tafsir Isha>ri secara khusus. Disamping itu, bagi
pembaca luar, membaca literatur sufistik tanpa penerimaan secara luruh
adanya realitas pengalaman mistik yang mereka alami, yang darinya
menghasilkan ragam penafsiran dalam bentuk simbolis –representasi
penafsiran kaum ortodoks– atau alegoris –representasi penafsiran kaum
heterodoks –, adalah bentuk distorsi dan reduksi terhadap karya tulisan
mereka.1 Karena itu, penting untuk menghargai dan mengapresiasi karya
mereka sebagai 1. kreativitas benturan kultur (creative clash of cultures)
yang menjadi konsekuensi perbedaan metodologis. 2. merupakan bentuk
kekayaan berharga aspek sentral tradisi Islam itu sendiri (central aspect
of classical islamic culture).2
1Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic ClassicalIslam (London and New York: Routledge, 2006), cet. ke-1, 2.
2Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic ClassicalIslam, 3.
31
A. Tafsir Isha>ri
Terdapat banyak definisi dari pelbagai penafsir sufistik
tergantung dari keyakinan teologi dan prespektif esensinya.3 Paling
tidak dari pelbagai definisi itu ada titik konvergensi yang
mempertemukan satu dan lainnya secara esensial. Hal ini karena
menimbang bahwa suatu konsepsi terminologi harus meniscayakan
kontruksi (binyah). Dalam arkeologi sejarah sufisme, tafsir sufi pada
abad 6 H. dan sesudahnya telah terjadi perubahan konsep pengertian
tafsir sufi yang lebih spesifik kepada unsur-unsur karakteristik
kategoris.4 \ Dengan kata lain, tafsir sufi mempunyai dua kategori. 1.
Definisi secara mazhab teologis. Yakni definisi yang dikonstruksi oleh
ahlu sunnah wal jama‘ah atau sunni dari sarjana klasik maupun
kontemporer yang masih ketat membatasi kepada lingkaran sunni. 2.
Definisi secara tematik taksonomis. Yakni dengan melihat substansi
pemikiran dalam lintasan sejarah. Dalam hal ini akan mencakup seluruh
tafsir esoterik baik itu tafsir sufi falsafi atau ba>t}in ismaili.5 Tafsir sufi
3Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi Dira>sah al-Maja>l al-Ma‘rifi al-Us}u>li al-Awwal li> tafsi>r al-S}ufi (Yordania: ‘A<lam al-Kutub al-Hadi>th, 2008),cet.ke-1, 241.
4Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 24.5Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 24. Tafsir batiniyah
adalah tafsir aliran batiniah yang menentang terhadap eksoterik atau lahiriah al-Qur’a>ndan hanya mengandalkan terhadap makna batiniah. Sebab makna batin-lah yangsesungguhnya dikehendaki al-Qur’a>n. Legalitas penafsiran kelompok ini berdasarkanQS 57: 13. Di antara yang masuk pada aliran ini adalah Qaramit}ah (penisbatanterhadap Hamdan Qarmat}i), Ismailiyah (penisbatan kepada Ismail, anakterbesar/termasyhur dari imam Ja’far al-S{a>diq), Sab’iyyah (penisbatan kepada 7bilangan anggota), al-H{urmiyyah (penisbatan kepada kaum yang menghalalkanperkara-perkara haram), al-muhmirah (penisbatan kepada kaum menggunakan kostumserba merah). Diantara penafsiran batiniah ini adalah QS 27:16, yang menyatakanbahwa Ali RA mendapatkan warisan keilmuan dari Nabi. Atau ka’bah adalah
32
secara teologis inilah yang kemudian dimonopoli sebagai sebutan
isha>ri.6
Isha>ri menurut al-Zarqa>ni> adalah menakwilkan al-Qur’a>n tanpa
melihat lahiriah tekstual melainkan isyarat-isyarat yang tersembunyi
yang tampak di hadapan para ahli suluk dan praktisi tasawuf.7
Sayangnya, para ulama tafsir klasik maupun kontemporer tidak
menyatakan Isha>ri ini sebagai tafsir resmi yang dibakukan. Sebab para
praktisi sufi sendiri tidak mematenkan diri atau agak acuh terhadap
istinbat atau eksplorasi penafsiran al-Qur’a>n yang digalinya sebagai
diskursus tafsir. Hanya saja, para pengikut atau orang-orang setelahnya
mengklaim penafsiran kaum sufistik itu sebagai karya tafsir.8
Kaum sufi sunni ‘amali acapkali menyatakan bahwa ijtihad
penafsirannya bukan dianggap sebagai tafsir atau syarah al-Qur’a>n.
Melainkan sejumlah makna, isyarat, atau kehalusan istilah (ma‘a>ni,
Muhammad, pintunya adalah Ali, s}afa adalah Nabi dan marwah adalah Ali, sertabeberapa penafsiran lain yang dianggap khurafat oleh kalangan sunni. Karena itulahpenafsiran golongan heterodoks dianggap menyeleweng keluar dari koridor kesuniansehingga dianggap telah melabrak bangunan syariat, mengindahkan struktur logikabahasa. Mereka, dalam pandangan kaum ortodoks, cenderung mengikuti hawa nafsudalam menafsirkan al-Qur’a<n. Karena itulah harus diterapkan syarat-syarat kaidahpenafsiran di mana premis awal yang tidak boleh dilanggar dan harus ditaati adalah (1)menaati undang-undang syariat, agar tidak melakukan kerancuan terhadap nas}-nas}syariat dan kontradiksi ajaran-ajaran Islam. (2) mentaati kaidah bahasa Arab, sebab al-Qur’a>n telah diturunkan bahasa Arab sesuai QS 12:2. Dengan demikian al-Qur’a>nharus dipahami dengan menggunakan kaidah bahasa Arab karena kearaban dari al-Qur’a>n itu sendiri. Jika tidak, niscaya tidak akan bisa diharapkan penalaran atasnyadan kandungan di dalamnya. Muhammad ‘Abdullah ‘Az}i>m al-Zarqa>ni, Man>ahil al-‘Irfa>n (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, 1995), cet. ke-1, vol. II, 64
6Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’ (Tanpa Penerbit,1977), 30.
7Muhammad ‘Abdullah ‘Az}i>m al-Zarqa>ni, Man>ahil al-‘Irfa>n, 67.8Tafsir ini kemudian dikenal sebagai tafsir Isha>ri untuk membedakannya
dengan tafsir Batiniah. Lihat: Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi,241-242.
33
isha>ra>t, lat}a>’if).9 Karena itulah lazim disebut sebagai tafsir Sufi Isha>ri.
Dalam hal ini Ibn S{alah berpendapat bahwa:
“kalam para praktisi tasawuf dalam al-Qur’a>n seperti halnya al-
Junaydi dan yang lainnya (….), mereka sejatinya tidak memaksudkan
ucapan-ucapan mereka sebagai tafsir al-Qur’a>n melainkan makna-
makna yang ditemukan ketika membaca (…) di mana Allah tiba-tiba
menurunkan ucapan-ucapan syarat manfaat kepada mereka”.10
Jika ditilik lebih jauh, selama ini nalar kategori tafsir terlalu
dibatasi oleh definisi tafsir yang berorientasi kepada argumentasi tafsir
Naqliyah (tafsir bi al-ma’tsu>r) atau tafsir Aqliyah (tafsir bi al-‘aql) yang
sangat tergantung kepada tektualitas kebahasaan. Di sinilah letak pokok
problematika definisi tafsir tesebut sehingga membentuk pakem
tersendiri terhadap wajah tafsir dan hanya terkesan menerima terhadap
tafsir bi al-ma’tsu>r dan tafsir bi ma‘qu>l. Akibatnya, tafsir sufistik
mengalami perkembangan agak terbelakang dan ketinggalan dari para
pendahulunya sehingga tidak bisa mengkodifikasikan tafsir Sufi secara
sempurna dan komprehensif sebelum akhirnya disusun terlebih dahulu
oleh generasi setelah itu. Menurut T}a>hir bin ‘A<shur, hal ini dikarenakan
oleh realitas bahwa kaum sufistik sendiri tidak mengakui perkataannya
sebagai bentuk tafsir melainkan kalam perumpamaan atau tamsil atas
9Al-Suyu>ti, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Cairo: Mat}ba’ah al-Azhariyah,1925), cet. ke-2, 488.
10Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.
34
ayat-ayat yang kira-kira sesuai dengan kehendak pembicara
(mutakallim).11
Pakem atau pola pikir inilah yang terbentuk dalam pikiran para
sufi, sehingga tidak berani menyebut penafsirannya sebagai karya
tafsir.12 Pengakuan serupa juga terjadi pada sosok ‘Abd al-Qa>dir al-
Ji>la>ni>, sehingga ia tidak menamakannya sebagai karya tafsir, melainkan
ilham-ilham atau isyarat ilahi yang berumber dari hati hamba yang
langsung mendapatkan emanasi dari Tuhannya.13 Ironisnya, sejak awal
munculnya golongan sufistik, mereka sudah akrab menggunakan al-
Qur’a>n sebagai arena penafsiran atas praktek ajaran mereka,
sebagaimana yang terjadi pada kaum syiah yang sudah menerapkan
penafsiran sufsitik lewat tradisi yang mengakar kuat.14
Atas alasan ini, para pengkaji tasawuf kemudian menemukan
istilah dengan sebutan “tafsir Isha>ri”, di mana tujuan dasar dari
konseptualisasi terma ini adalah untuk melakukan upaya distingtif dari
tafsir esoterik ba>t}ini. Dengan demikian, sejatinya ada titik temu dan
titik beda antara keduanya, di mana disebut bahwa titik temu sebab
antara Isha>ri dan tafsir ba>t}ini sama-sama berinduk pada tafsir sufi yang
berorientasi pada makna-makna esoterik. Disebut pula bahwa titik beda
sebab antar keduanya berbeda secara metodologi dan ideologi.
Maksudnya, isha>ri masih menghargai otoritas makna lahiriah serta
11Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.12Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.13Muhammad Fa<>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, Muqaddimah
Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1,vol.. I, 30.
14Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an (London & New York: Routledge,2006), cet.-ke 1, 86.
35
menjadikan Sunni sebagai ideologi pijakannya dalam menerapkan
penafsiran esoteris. Sementara tafsir ba>t}ini hanya mengandalkan
penghargaan makna ba>t}in, dan itulah yang terkehendaki dalam al-Qur’a>n
menurut mereka. Tak ayal, tafsir golongan ini masuk kategori tafsir
ilh}a>diyah atau heretis –bentuk anti tesis kesebalikan Isha>ri yang masih
ketat menerapkan ideologi Sunni sebagai frame penafsiran sufistik
model Isha>ri.15
Sebagai perbandingan atas Isha>ri, tak segan-segan seorang
sarjana kontemporer dalam bukunya “al-Ittija>ha>t al-Sunniyah wa al-
Mu‘tazilah fi> Ta’wil al-Qur’a>n” menyatakan bahwa model pena’wilan
ba>t}in Isha>ri tidak ubahnya seperti konsep pena’wilan yang tidak
memiliki kaidah-kaidah dan standarisasi penafsiran. Namun demikian,
tidak ada ulama yang berani mengkafirkan para kaum sufistik itu atau
dianggap keluar dari agamanya. Sebab kaum sufistik yang menafsirkan
secara Isha>ri pada dasarnya tetap mengindahkan fenomena atau petanda-
petanda z}a>hir ayat atau normativitas teks bahkan mengakuinya sepenuh
hati sebagai titik tolak atau tiang pokok yang darinya kemudian
tersandar makna-makan lain yang berorientasi esoterik sehingga
mendapatkan petunjuk darinya.16
Karenanya tak heran jika terma “Isha>ri” tidak secara frontal
disebut sebagai penafsiran sufistik murni. Hal ini mengingat masih
mengakomodasi makna tekstual sehingga kerap juga dinamai dengan
tafsir sunni-‘amali sebagai representasi keberadaanya yang menempati
inter media atau al-manzilah bayn manzilatayn –jika meminjam terma
15Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 24216Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.
36
Mu’tazilah– dengan pertimbangan inklinasi esoterisme (ba>t}iniyyah) di
satu sisi dan inklinasi eksoterisme (sunni) di sisi lain.17
B. Ortodoksi dan Heterodoks i Tafsir Sufi
Menjelaskan sejarah tasawuf sebagai titik pijakan geneologi
kemunculan tafsir sufi akan memudahkan memberikan pra-pemahaman
terhadap dua tipologi tafsir, yakni tafsir sufi ortodoks sebagai bentukan
tafsir Isha>ri dan tafsir sufi heterodoks sebagai bentukan tafsir Ba>t}ini-
Falsafi.
Sejarah tasawuf diakronik pada era awal kenabian bisa dikatakan
sebagai prototipe paling ideal dari tasawuf ortodoks, sebab cara-cara
yang dilakukan pada zaman tersebut relatif murni dan belum
terkontaminasi oleh budaya-budaya lokal. Pada perkembangannya,
wujud tasawuf mengalami fase-fase transformasi seiring dengan makin
berkembangnya Islam di daerah-daerah non-Arab melalui berbagai
penaklukan. Ibn Khaldun mencatat dengan apik fase-fase dimensi
kehidupan spritual ruhiyah menjadi tiga periode; 1. Fase asketisme
(marh}alah zuhu>d) 2. Fase sufisme praksis (marh}alah tas}awuf ‘amali) 3.
dan Fase sufisme filosofis (marh}alah tas}awuf falsafi).18
Penting disebut bahwa “konstruksi sejarah luar” (takawwun al-
kha>rij) tasawuf merupakan entry point yang akan membawa para
pengkaji tasawuf pada kesimpulan jawaban terkait sejauh mana
keterpengaruhan unsur lokal serta tradisi yang menyemai sebelum Islam
datang. Segala diskursus keilmuan dan kesejarahan di muka bumi tidak
17Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.18‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam (Cairo: Dar al-
Ma‘a>rif), cet.ke-9, vol. III, 30.
37
akan lepas dari ruang dan waktu. Tasawuf tentu mengalami dialektika
antara konstruksi internal orisinal (takawun al-kha>lis}) sebagai elemen
tasawuf ortodoks dan konstruksi internal serapan (takawwun al-kha>rij)
sebagai elemen tasawuf heterodoks. Pada akhirnya konstruksi internal
sebagai sejarah luar diposisikan sebagai ‘ide media dan pembeda’ yang
turut meramaikan tumbuh-kembang tasawuf menjadi kian besar,
melebar dan beragam sesuai dengan kecenderungan nalar dan corak
tasawuf.
Abu> al-‘Ala Afifi, murid terkasih R. Nicholson, menguraikan
bahwa jantung tasawuf dicitrakan sebagai konseptualisasi ganda; elemen
internal dan eksternal. Elemen internal adalah yang bersumberkan pada;
1. al-Qur’a>n dan Hadith 2. Ilmu Kalam. Dan elemen eksternal adalah 1.
Neo-platonisme 2. Budaya India (Hindu dan Budha) 3. Kristen.19
Jika ditelisik, dua elemen ini pada saat yang sama akan
menciptakan dua arus besar yang relatif berseberangan, 1. Mazhab
Ortodoks 2. Mazhab Heterodoks .20
19Abu> al-‘Ala al-‘Afi>fi>, al-Tas}awuf; Thawrah al-Ru>hiyah fi> aI-Islam (Cairo:Dar al-Ma‘a>rif, 1963), cet.ke-1, 77.
20 Dikotomi terma ini sudah menjadi habitus dalam diskrsus tasawuf. Tasawufortodoks yang bersematan tasawuf berdoktrin ajaran sunni dan tasawuf heterodokssebagai yang bersematan tasawuf berajaran teori falsafi. Dua istilah ini lahirbelakangan setelah gelombang penentangan muncul dari ulama fikih dan mutakalimin.Mohamad Guntur Romli, Syahadat Cinta Ra>bi’ah al’Adawiyah, (Jakarta, RehalPustaka, 2012), cet. 1, 55. Begitu juga Aprinus Salam menggunakan dua terma inisebagai kecenderungan orientasi mazhab sufistik internal. Lihat: Aprinus Salam,Oposisi Sastra Sufi (Yogyakarta: LKIS, 2004), cet.ke-1, 8. Ortodoks adalah istilahmazhab yang berorientasi sufisme Suni dan Heterodoks adalah mazhab yangberorientasi sufisme filosofis. Schimel sendiri membedakan kedua tradisi besar dalamdua tipe, yaitu Mistik Kepribadian (Mysticsme of Personality) dan MistikKeterhinggaan (Mystisism of Infinity). Al-Taftazani membagi dua kecenderungantersebut ke dalam sufisme religius dan sufisme filosofis. Aprinus Salam, Oposisi SastraSufi, 29.
38
(1) Mazhab Ortodoks
Unsur tasawuf ini murni bersumberkan; 1. al-Qur’a>n dan Hadith,
2. Ilmu kalam. Kelompok yang murni menggunakan elemen internal ini
terdapat dua mazhab. Pertama, tasawuf Sunni yang direpresentasikan
dua tokoh sufi populer, Ima>m al-Ghazali (w. 1111 M) atau Abu> al-
Qa>sim al-Junayd (w. 910 M). Corak tasawuf sunni dikenal mampu
mensinergikan antara syariat dan hakikat agama secara proporsional.21
Kedua, tasawuf neo-salaf, yang direpresentasikan oleh Ibn Taymiyah
(728 H/1328 M) dan Ibn Qayyim al-Jawziyah (w. 751/1350 H). Corak
tasawuf ini dikenal lurus dan hanya memahami dan menerima teks
secara normatif tekstualis.22 Praktis, dengan begitu, akan menyerang
habis terhadap aliran tasawuf yang tidak sejalur, bahkan tak segan-segan
mengkafirkan sejumlah sufi besar yang menelurkan gagasan pantheisme,
reinkernasi, dan lainnya seperti Ibn ‘Arabi (w. 1240 M), al-Hallaj (w.
922 M), Ibn Fa>rid} (w. 1235 M) serta sejumlah sufi besar lainnya.
Dalam persepsi neo-salaf, mereka terlalu jauh menakwilkan teks-
teks z}a>hir agama sehingga (dianggap) telah menyeleweng dari ajaran
ortodoksi. Ibn Taymiyah (w. 728 H) menekankan kehati-hatian
seseorang masuk dalam tiga horizon teks; antara syariat yang taken for
granted (al-shar‘i al-munazzal), syariat yang dita’wi>li (al-shar‘i al-
mu’awwal) dan syariat yang menyeleweng (al-shar‘i al-mubaddal). Di
21‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, vol. III, 19.22‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, vol. III, 19.
39
sinilah urgensi untuk memahami tiga hal tersebut agar tidak terjebak
pada yang terakhir.23
Dua mazhab Sufi Ortodoks ini bisa dikatakan setia bertahan
dalam lingkungan Islam asli tanpa terpengaruh oleh budaya-budaya
setempat di mana mereka hidup. Yang unik, karena tasawuf bukan
merupakan suatu identitas firqah/ideologi, praktis keanggotaan mereka
melumer tanpa ada sekat batas/beda terhadap mazhab teologi atau ilmu
kalam tertentu.24 Ilmu kalam adalah aspek dasar Islam yang bisa dicapai
tujuannya dari titik mana pun. Karena itu ia acuh terhadap perbedaan
teologis atau mazhab fikih tertentu. Gejala ini terjadi pula pada kaum
Sufi heterodoks sebelum jauh mengembangkan dirinya kepada model
tasawuf tertentu, sebab unsur internal ini, bagaimanapun, merupakan
basis tasawuf dan identitas Islam sendiri.
(2) Mazhab Heterodoks
Tasawuf yang “keluar” dari jalur resmi (ortodoks) dan
mengalami derivasi serta metamorfosa dengan budaya lokal (dakhi>lah).
Gejala ini dikenal sebagai aspek keterpengaruhan natural (ta’thi>r wa
ta’aththur), atau dalam teori Barat dikenal sebagai bentuk “pinjaman
dan pengaruh” (borrowing and influence), yakni bentuk proses
pengawinan dua budaya: Islam dan lokal-pribumi. Artinya, model
tasawuf ini jika sudah melebur maka secara praksis akan berwajah
23 Ibn Taimiyah, al-Furqa>n bayn Awliya>’ al-Rah}man wa Awliya>’ al-Shayt}a>n(Cairo: Maktabah Muhamad Ali Shabih, 1958), cet.ke-2, ditahkik Mahmu>d AbdulWahab Fayid, 13.
24R. Nicholson, al-S}u>fiyah fi> al-Islam (Cairo: Maktabah Khanji, 2003), cet.ke-2, 37.
40
islami, namun secara teoritis-geneologis bukan berasal dari ajaran murni
(ortodoks).25
Elemen-elemen eksternal ini sejatinya tidak hanya sebatas yang
disampaikan oleh al-‘Afi>fi dengan mencukupkan terhadap tiga elemen
eksternal di atas, yakni: 1. Neo-platonisme. 2. Budaya India (Hindu dan
Budha). 3. Kristen.26 Atas nama ‘konseptualisasi’, setidak-tidaknya
membutuhkan spektrum budaya lokal di mana Islam berkembang dan
menjadi agama pemeluk lokal. Bahkan ajaran Hellenestik, Hermetic,
Aristotelian merupakan faktor pendorong tumbuh-kembangnya aliran
gnostisisme, yang diadopsi oleh Syiah Ba>t}iniyyah dan metafisik, yang
diadopsi oleh teologi Sunni.27
C. Corak Tafsir Sufistik
Dalam pada itu, karena mazhab tasawuf mempunyai dua aliran,
yakni ortodoks dan heterodoks, praktis pola penafsiran mereka
mempunyai corak orientasi yang khas serta mempunyai pendekatan
metodologi sendiri. Pertama, tafsir orientasi praksis (ittija>h ‘amaliy)
yang didasarkan atas penyiksaan diri/riya>d}ah laku asketisme. Kedua,
tafsir orientasi teoritis, (ittija>h al-naz}ari) yang didasarkan pada hasil
pembahasan atau pendalaman yang bersifat teori ajaran-ajaran dan
pandangan filosofis-sufistik.28
25‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, vol. III, 19.26Abu> al-‘Ala al-‘Afi>fi>, al-Tasawuf; Thawrah al-Ru>hiyah fî aI-Islam, 77.27Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language of Islamic
Mysticism (Indiana: University of Notre Dame Press, 1997), 37.28 Istilah tasawuf ortodoks sebagai model praksis yang dimaksud adalah lebih
menonjolkan sisi amaliyah, sementara tasawuf heterodoks sebagai tasawuf teoritislebih menonjolkan ajaran teori, sekalipun tidak menutup kemungkinan satu dengan
41
(1) Tafsir Tasawuf Praksis.
Tafsir aliran ini populer dengan sebutan Tafsir Isha>ri, yakni
pena’wilan ayat-ayat al-Qur’a>n yang “menyimpang” dari makna zahir
namun tetap memperhatikan norma-norma penafsiran legal-formal
sehingga ada korelasi kecocokan antara zahir dan isyarat batin.29 Tafsir
ini lebih menekankan gabungan harmonisasi antara syariat dan hakikat.
Syariat dalam pengertian melakukan perbuatan-perbuatan yang
diperintahkan oleh syara’ juga menghiasi diri dengan cara hidup yang
yang didasarkan pada asketisme. Kelompok ini dianggap sufi sunni
resmi, atau diakui penafsirannya sebagai Tafsir Isha>ri yang resmi sebab
ada persamaan dengan ahli tafsir resmi yang populer di kalangan muslim
sunni, dalam hal keduanya mempunyai dimensi zahir, bahasa, serta
terpenting, pengamalan praksis serta tidak bermain dalam wilayah
teoritis.30 Kebanyakan tokoh-tokoh tasawuf dalam golongan ini, seperti
Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Alu>si>, atau Imam al-Qushayri
sependapat bahwa apa-apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufi
heterodoks aliran naz}ari-falsafi/ba>t}iniyyah mengenai penafsiran mereka
tantang ayat-ayat al-Qur’a>n umumnya menafikan syariat. Mereka
dianggap golongan pinggiran yang tersesat dari jalan kebenaran, sebab
kebanyakan kaum sufi tidak sampai mengabaikan syariat.
Bagaimanapun syariat adalah harga mati jalan menuju hakikat yang tak
bisa ditawar-tawar. Bagaimana mungkin fase ini dilewati begitu saja
dengan langsung kepada hakikat.
lainnya saling mengisi. Untuk terma ‘amali dan naz}ari dalam dunia tasawuf modernlihat: ‘Ali Sha>mi Nashar, Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 19.
29Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 30.30Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 237.
42
Al-Ji>la>ni> membagi dua golongan ortodoks dan heterodoks ini
sebagai kubu yang berseberangan. Pertama, kaum Sunni, di mana ucapan
dan perbuatannya sesuai dengan syariat dan hakikat secara total. Kedua,
kaum bid’ah, di mana ucapan dan tindakannya terkadang sudah jauh
melampaui batas syariat bahkan dianggap gugur dari takli>f syariat.31
Dalam Risa>lah al-Qushayriyyah, al-Qushayri berpendapat bahwa
setiap syariat tanpa didukung oleh hakikat maka tidak diterima dan
setiap hakikat tidak dilandasi Syariat maka tidak akan berhasil: syariat
adalah ibadah dan hakikat adalah saksi.32 Sehingga, jika tidak ada
petunjuk jalan syariat niscaya resiko tersesat dalam mencari hakikat
tersebut. Dan inilah yang menimpa pada aliran tasawuf heterodoks
dalam pandangan mazhab ini. Padahal seyogyanya harus tetap dipelihara
penafsiran dan pengertian tekstual tanpa mengabaikan aspek
kontekstual-ba>t}in. Mengenai perbedaan corak tafsir dan metodologi ini,
Ibnu Taymiyyah sendiri mengakuinya. Ia menulis bahwa tafsir sufi
terdapat dua kategori besar; 1. Tafsir heterodoks, di mana isyarat
tafsirnya sudah keluar dari jalur analogi fuqa>ha’ (qiya>s al-fuqaha’)
sehingga masuk kategori tafsir ba>t}iniyyah. Sebab pemahamannya yang
melangit dan cenderung ekslusif. Kelompok ini adalah isma>iliyyah,
31Al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r (Cairo: Mat}ba‘ah al-Bahiyyah al-Misr, tt), 93.al-Ji>la>ni> merinci kategori golongan yang masuk pada golongan bid’ah. Di antaranya,kaum Awliya’iyyah yaitu kaum yang mendaku sudah mencapai derajat kewalian.Golongan ini merasa lebih utama dibanding Nabi dan mereka beralasan bahwa nabimencapai derajat kenabian melalui perantara malaikat Jibril sementara wali langsungdari Tuhan tanpa perantara. Kaum Hubbiyah, yaitu kaum yang sudah mencapai tingkatmahabah Tuhan. Kedua golongan ini menganggap telah gugur menjalani syariatdengan capaian derajat yang diperolehnya. Lihat lebih lengkap: Al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r,93-95.
32 Ibrahim Basyuni dalam muqaddimah-nya. Lihat: Al-Qushayri, Lat}’āif al-Ishārāt, 6.
43
qaramatiyyah, filosof dan kaum sufi yang terlalu jauh melencengkan
makna z}a>hirnya, baik sengaja atau tidak.33 2. Tafsir ortodoks, di mana
isyarat tafsirnya masuk dalam kategori analogi fuqaha’ serta relatif
bersahabat dengana masyarakat awam sebab menggunakan pemahaman
membumi yang bertitik tolak dari kontemplasi quranik (i’tiba>r al-
Qur’a>ni>) serta analogi fuqaha’. Hanya saja para kaum sufi sunni
menyebutnya lebih populer dengan isyarat.34 Di sinilah kemudian yang
menjadi titik beda sehingga dikenal populer sebagai undang-undang
perbedaan dan kesepakatan (qanu>n al-ikhtila>f wa i’tila>f).35
Namun pada dasarnya, kaum sufi baik aliran ortodoks atau
heterodoks, keduanya bersepakat bahwa metodologi yang digunakan
adalah metodologi isyarat (baca: isha>ri) terhadap pengertian-pengertian
yang rumit yang hanya bisa diungkapkan oleh orang-orang yang sudah
menempuh dan menguasai cara bagaimana jalan menuju Tuhan.36 Dan
cara itu didapati dari saripati pengertian-pengertian tekstual yang
dikehendaki dan diselami masing-masing kaum sufi: tergantung
kedalaman pengalaman olah ba>t}in dan rasa (dhauq wa ‘ishq ilahi). Tentu
dengan syarat mutlak kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati.
Manusia yang kemampuannya masih terbatas dan keimanannya belum
sempurna kerap terjebak dan bahkan mengingkari bahwa al-Qur’a>n
mempunyai bagian-bagian ba>t}in yang dilimpahkan oleh Allah kepada
batin hamba yang dikehendaki.
33Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 21234Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 213.35Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 213.36R. Nicholson, al-S{u>fiyah fi> al-Islam (Cairo: Maktabah Khanji, 2003), cet. ke-
2, 37.
44
Al-Alu>si dalam Ru>h al-Ma‘a>ni umpamanya, memberikan isyarat
yang diberikan oleh firman Allah dalam surat al-Baqarah (QS. 2: 45)
“jadilah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusu”. Ayat Ini
menjelaskan bahwa shalat adalah sarana untuk mengonsentrasikan hati
demi menangkap penampakan diri (tajalli ilahi) Allah, dan hal ini sangat
berat kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk
menerima cahaya-cahaya dari tajalli ilahi yang amat Maha Halus dan
menangkap kekuasannya yang Maha Perkasa. Merekalah orang-orang
yang yakin bahwa mereka benar-benar di hadapan Allah dan hanya
kepada-Nyalah tempat mereka kembali: dengan menghancurkan sifat-
sifat kemanusiaan mereka (kasr al-shahwah) dan meleburkannya ke
dalam sifat-sifat Allah sehingga mereka tidak menemukan selain
eksistensi Allah sebagai raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa.37
Masuk dalam kategori ini adalah kitab-kitab karangan kaum sufi
ortodoks seperti tafsir al-Qur’a>n al-Ad}im karangan al-Tustari. Haqa>iq
Tafsir karya al-Sullami, ‘Ara>is al-Baya>n fi>al-Haqa>iq, Lat}a>’if al-Isha>ra>t
karya Imam al-Qushayri dan tak terkecuali Tafsi>r al-Jaila>ni> karya Wali
Qut}b Shaykh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>.
Dengan mengamati diskursus di atas, maka perkembangan proses
heterodoktifikasi tak begitu selalu linear, sebab di dalamnya
meniscayakan penggelembungan dan penyusutan konsep yang
bergantung pada masing-masing pengguna diskursus tasawuf serta
diskurus lain yang berkait-singgung dengannya. Tentunya, perumusan
37Al-Alu>si> al-Baghdadi, Ru>h al-Ma‘a>ni > (Beirut: Da>r Ihya al-Turats al-‘Arabi,tt), vol. I, 248.
45
konsep yang berjalan mulai dari konsep praksis menuju teoritis akan
sangat tampak dalam tasawuf bercorak heterodoks ini, sebab
heterodoksifikasi sebagai sebuah perumusan metodis tentunya secara
aspek bawah sadar akan mengalami konsep banding serta perenungan-
perenungan mendalam hasil pengalaman atau gesekan budaya lokal yang
mengitarinya. Capaian ijtihad yang dihasilkan tokoh sufi golongan
heterodoks ini, sebagaimana uraian di atas, jauh berbeda dengan
spekulasi-spekulasi yang dibayangkan tasawuf ortodoks atau ulama-
ulama formal syariat, yang secara tidak disangka-sangka dan tak
disadari keluar dari koridor syariat dan tidak lagi dianggap murni ajaran
tasawuf. Ekses inilah yang kemudian dalam lanskap sejarah tasawuf,
yang memicu perseteruan-perseteruan abadi antara ulama
formal/tasawuf ortodoks dan tasawuf heterodoks. Para sufi pun tidak
kalah sengit, tidak segan-segan untuk mencemooh para fuqa>ha’ dengan
sebutan ulama>’ rusu>m (mencakup ulama tafsir, ulama fikih, ulama
Hadith), karena memahami secara dangkal, sebatas kulit luar tanpa
melihat aspek kedalaman syariat.38
Sementara ulama’ rusu>m tak kalah sengitnya mengatakan ahli
sufi sebagai golongan ahli bid’ah dan tak kepalang di cap kafir. Tidak
hanya sebatas kritikan dan hujatan, malah beberapa di antaranya
menghasut penguasa untuk menarik para pelaku tasawuf ini ke tiang
gantungan, dibakar atau disalib seperti yang diterjadi pada kasus al-
Suhrawardi al-Maqtu>l, al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Sejumlah
kitab dari kalangan fuqaha’, yang dalam level ini hampir disamakan
38Muhammad ibn T{ayyi>b, Islam al-Mutas}awwifah (Damaskus: Da>r al-T}ali>‘ah), cet.ke 1, 2007, 39.
46
dengan tasawuf neo salafi secara lieterasi teks, telah ikut mengkafirkan
sufi-sufi besar. Ibn Taymiyyah secara mengerikan membunuh karakter
tasawuf heterodoks khususnya Ibn ‘Arabi dalam Sharah Fus}ul al-H{ikam;
dan Ibn Fa>rid} dalam Ta>’iyah al-Kubra, karena kandungan ajaran-
ajarannya yang dianggap telah menghantam bangunan syariat dan
meninggalkan cara berpikir logika hukum.39 Imam al-Suyu>t}i
menganggapnya sebagai tafsir bid’ah yang tidak terpuji, sementara
al-Dhaha>bi menganggapnya telah keluar dari pakem adat tafsir, bahkan
al-Wa>hidi, sebagaimana yang diriwayatkan Ibn S}ala>h, tak segan-segan
mengkafirkan orang yang ber-i’tikad bahwa Haqa>iq al-Tafsi>r karya
al-Sulla>mi sebagai kitab tafsir.40
Pada akhirnya, lepas dari perdebatan melelahkan di atas,
bagaimanapun ada benang merah keduanya, bahwa “aspek tak sadar”
sebagai bentukan eksternal/al-dahki>lah merupakan tangan kanan
konseptualisasi tasawuf heterodoks. Sementara aspek sadar mereka bisa
dinikmati bersama-sama dengan tasawuf ortodoks sebagai tugas dan
fungsi elanvital tasawuf dalam mengejawantahkan laku kesadaran dan
kesalehan budi guna dipahami dan kemudian diajar-wariskan kepada
sesama. Semua itu merupakan bentukan ejawantah pengalaman internal
sekaligus intropeksi moralitas laku kaum sufistik. Namun demikian,
yang perlu garis bawahi dari diskursus dua mazhab ini, setidaknya
memberikan kesimpulan bahwa adanya interaksi pendekatan dalam
mendekati pembacaan al-Qur’a>n yang masing-masing mempunyai
impuls, corak dan konteks bahasa tersendiri merupakan fakta atas
39Lihat secara khusus bab muna>badah al-s}ufiyah li al-naql wa shar’a dalamBurhanudin al-Biqa>i, Mis}ra’ al-Tasawuf (Cairo: Mat}ba’ah al-Muhamadiyah, tt), 212.
40Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 204.
47
demonstrasi kaum sufistik sebagai pengakuan aspek sentral tradisi
sufistik Islam.41
(2) Tafsir Tasawuf Teoritis
Tafsir teoritis-filosofis lahir dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf
yang mencurahkan hidupnya untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan
mendalami al-Qur’a>n dalam sudut pandang yang sesuai dengan teori
tasawuf ajaran mereka. Umumnya mereka man-ta’wi>l-kan al-Qur’a>n
dengan tidak lagi mengikuti kaidah-kaidah atau syarat-syarat yang
tercantum dalam pandangan penafsiran fuqaha’ atau mutakalimin.42
Justru mereka terkadang menjelaskan dengan penjelasan yang
menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan biasa
didukung oleh dalil syariat dan nas}s}, akal yang lazim dipakai oleh ulama
ahli sunni.43 Mereka menjelaskan melalui penafsiran alegoris dengan
media perantara ayat-ayat al-Qur’a>n itu.
Karakter penafsiran mereka sangat beragam dan cenderung
mencari tendensi untuk membenarkan semua ajaran-ajaran dan teori
yang ditemukannya melalui justifikasi al-Qur’a>n. Tak pelak, penafsiran
mereka kerap keluar dari makna z}a>hir yang diikat oleh shariah dan
bahasa. Karena itu, tafsir ini dalam pandangan kaum sufi ortodoks
cenderung ditolak.44
41Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic ClassicalIslam, 3.
42Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 443. ‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 20.
43Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 21344Karakter lainnya yang membedakan dengan kaum ortodoks, kaum
heterodoks tidak menafsirkan secara runut dari ayat ke ayat sebagaimana tafsir Isha>riyang cenderung tah}li>li. Gejala ini bisa dilihat dari Ibn Arabi dalam kitabnya Futuha>t al-Makiyyah. Lihat: Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 29-30.
48
Masuk dalam kategori heterodoks ini adalah aliran tasawuf
falsafi, di mana mereka berbicara dengan menggunakan intuisi (al-
adhwa>q), wuju>diyah, serta bisikan-bisikan kalbu yang dirasuki oleh
ilmu-ilmu Yunani atau ilmu hikmah kuno serta beberapa serapan ajaran
warisan agama-agama lokal.45 Di samping itu, terdapat aliran yang lebih
dikenal dengan ba>t}iniah, yakni aliran yang mempelajari ajaran-ajaran
secara spesifik dari Ima>m Ma’s}u>m.46 Ahli tafsir menuduh mereka telah
menyimpangkan penafsiran yang semestinya. Tafsir model ini pada
umumnya telah menyimpang dari maksud dan tujuan al-Qur’a>n yang
sebenarnya. Kadang terdapat kesan kesenjangan dan kontradiksi di
antara kedua tujuan tersebut. Mereka tidak lain hendak membelokkan
maksud al-Qur’a>n lebih jauh kepada maksud dan tujuan yang hendak
mereka capai dalam penemuan ajaran sebenarnya. Yakni dengan terang-
terangan melawan makna z{a>hir serta enggan untuk melakukan
sinkretitas makna z}a>hir dan ba>t}in.47 Al-Qur’a>n, tak ayal, dijadikan alat
untuk membangun dan memperkuat ajaran temuan teori dan pandangan
mereka sesuai prinsip dan kandungan kitab suci. Al-Qur’a>n tidak
dijadikan sebagai sumber i’tiba>r atau legitimasi, melainkan tergali dari
i’tiba>r al-wuju>di, yakni legitimasi yang bersumber dari ontologi.48 Oleh
karena itu praktek-praktek ritual yang biasa dilakukan oleh kaum sufi
ortodoks seperti dhikr dan tila>wah lebih dianggap sebagai ekspektasi
45‘Ali Sa>mi al-Nasha>r, Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 20.46‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 241.47Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 210.48Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 211. Perlu diketahui
bahwa i’tiba>r qur’a>ni yang datang kepada para arba>b al-qulu>b terdapat dua sumber.Pertama, sumber inspirasi spiritual (as}l al-infija>r) dari al-Qur’a>n seperti kaum sufiSunni Amali. kedua, sumber inspirasi spiritual-intelektual (as}l infija>r) dari mawjuda>t.Lihat: Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 211.
49
dari bentuk mekanik dan teknis. Hal yang paling absolut dan esensial
bagi kaum heterodoks adalah pengalaman shat}h} sebagai sumber
pengetahuan makrifat tertinggi yang dialami melalui ekstase sufistik
(wajd) atau kehilangan kontrol kesadaran dan emosional.49
Singkatnya, terdapat standarisasi atau semacam teori untuk
mengidentifikasi mazhab ini, yakni jika terdapat suatu tafsiran
al-Qur’a>n yang menjelaskan tidak ada dikotomi pembeda antara i‘tiba>r
al-qur’a>ni dan i‘tib>ar al-wuju>di oleh ahli sufistik, maka jelas masuk
kategori tafsir sufi heterodoks sebab tidak mengindahkan qari>nah atau
illat dalam ta’wil ayat-ayat z}a>hir disamping sudah jauh dari pemaknaan
z{a>hir atau pengakuan z{ahir menurut ahli Sunni.50 Karena itu mistisme
yang dihasilkan oleh kaum heterodoks ini bisa tetap berlangsung tanpa
terpengaruh perkembangan periode gramatikal bahkan onomatopoeia,
yakni bentukan kata yang meniru suara-suara, bagi kaum sufistik
dianggap cukup, seperti suara isak tangis yang bisa dipahami
mengisyaratkan ilustrasi dari sanubari hati.51
D. Otoritas Tafsir Isha>ri
Sudah menjadi kesepakatan para waliyullah dan sarjana muslim
bahwa Abd Al-Qa>dir al-Ji>la>ni> mempunyai otoritas yang mumpuni dalam
bidang tasawuf hingga mencapai Wali Qut}b, di mana karakter
tasawufnya mengutamakan asketisme dan perbuatan antara ilmu dan
49Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language of IslamicMysticism , 74.
50Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi, al-Al-Muwa>faqa>t (Cairo: Maktabah al-Waqfiyyah, tt),vol.. III, 343, Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 212.
51Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language of IslamicMysticism , 48.
50
amal, yang merupakan petanda terang-benderang sebagai ciri khas sufi
sejati. Dalam karakter tafsirnya, sebagai representasi mufassir Isha>ri, al-
Ji>la>ni> berhasil memadukan kekuatan argumentasi nalar ‘irfa>ni melalui
kongruensi padu-padan antara z}a>hir dan ba>t}in; antara sisi ba>t}in quranik
dan sisi lahir qur’anik sebagai identitas tasawuf sufi sunni ‘amali –nama
lain mufassir Ishar>i. di sinilah otoritas Isha>ri yang dibangun al-Ji>la>ni>
dalam tafsirnya. Berikut ini diuraikan variabel-variabel yang menjadi
otorisasi dalam penafsiran Ishar>i.
1. Nalar ‘Irfa>n
Nalar ‘irfa>n adalah sumber pengetahuan asal bagi kaum sufistik
sebagaimana nalar burha>ni bagi filosof atau nalar baya>ni bagi para ahli
hukum. Epsitemologi ‘irfa>ni merupakan landasan pacu bagi kaum Sufi
untuk memetakan penafsirannya menjadi pengetahuan yang
membimbing menuju jalan Tuhan. Bagi kaum Sufi pengetahuan adalah
kasbiyah atau usaha memperoleh kebenaran pada awalnya dan menjadi
mawhibah atau anugerah pada akhirnya. Menurut al-Qushayri ada tiga
tingkatan penegetahuan. (1) Aqliyah, di mana sinarannya adalah burha>n
atau ilmu al-yaqi>n. (2) Qalbiyah, di mana sinarannya adalah baya>n atau
‘ayn al-yaqi>n, (3) Kashfiyah, di mana sinarannya adalah ‘irfa>n atau haq
al-yaqin. Singkatnya cahaya permulaan adalah cahaya akal, cahaya
pertengahan adalah cahaya ilmu, dan cahaya puncak adalah cahaya
‘irfa>ni.52 Dalam keadaan terakhir inilah para sufi menangkap rahasia di
52Ibrahim Basyuni>, al-Ima>m al-Qushayri: H{aya>tuhu wa Tas}awufuhu waThaqa>fatuhu (Cairo: Maktabah al-Ada>b, 1992 ), cet. ke-1, 96.
51
balik rahasia (sir al-asra>r) yang sangat jauh berbeda dari dimensi akal
atau nafsu.53
Dalam pandangan al-Ja>biri, nalar ‘irfa>n pun terbagi dua kategori.
Pertama, ‘irfa>n sebagai mawqi>f atau identitas, yang ditujukan kepada
para mutasawif yakni praktisi sufi secara umum atau para sufi sang
ash}ab al-ah}wa>l yakni pelaku sufi sejati secara khusus. Kedua, ‘irfa>n
sebagai naz}riyah atau esensi teori pemikiran, yaitu ‘irfa>n kaum syi’ah
secara umum atau syi’ah ismailiyyah dan para filosof ba>t}iniyyah secara
khusus.54
Uniknya dalam pandangan al-Ja>biri, bahwa penakwilan al-Qur’a>n
bersifat‘irfa>ni, alih-alih mencoba melepasnya dari pengaruh syiah
ismailiyah atau kaum sufistik, niscaya sumber ‘irfa>n itu bukan
merupakan hasil eksplorasi istinba>t}, atau ilham, atau penyingkapan
(kashf) melainkan muatan-muatan (tad}mi>na>t) lafal al-Qur’a>n berupa
pemikiran-pemikiran hasil sumber warisan ‘irfa>n zaman pra-Islam.
Sebab, apapun bentuk pemikiran itu, tidak ada yang baru dan orisinil di
bawah matahari ini. Hanya saja secara langsung atau tidak langsung
kemudian terjadi infiltrasi ‘irfa>ni yang islami sebagaimana yang didaku
kaum sufistik melalui suatu proses usaha yang dinamakan “kashf” –baik
mendapatkannya melalui muja>hadah/asketik atau membaca al-Qur’a>n.55
Terlebih lagi jika diproblematisasikan bahwa terma ‘irfa>ni itu sendiri
bukan hasil murni dari rahim Islam atau dari budaya Arab melainkan
53Ibrahim Basyuni>, Al-Ima>m al-Qushayri:H{aya>tuhu wa Tas}awufuhu waThaqa>fatuhu, 96.
54‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 371.55‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 372.
52
terma yang ditransfer ke dunia Islam atau Arab,56 yang asal muasalnya
dari pemikiran Fitagoras.57 Terpenting, tambahnya, bahwa nalar ‘irfa>n
inilah yang memberikan akses kepada dua diskursus Islam terbesar
dalam dunia sufistik. Yaitu: (1) Dimensi esoterik dan eksoterik di satu
sisi. (2) Dimensi nubuwwah dan wilayah di sisi lainnnya.58 Karenanya
ta’wi>l mutlak diperlukan agar bisa dalam menjembatani antara makna
z}a>hir dan ba>t}in demi upaya menemukan nalar ‘irfa>ni yang menjadi
identitas pengetahuan kaum sufistik.
Nalar ‘irfa>n merupakan representasi yang istimewa dari metodologi
pena’wilan yang berbeda dengan lainnya. Dikatakan istimewa sebab
berseberangan dengan penakwilan baya>ni, burha>ni, prediksi, istidla>l,
wahyu dan naz}ar, karena itu ia dianggap nalar eksotik yang mandiri
sebab tidak membunuh akal (istiqa>lah al-‘aql). Sejatinya tidak lain
adalah kontemplasi-kontemplasi pemikiran dan terbukanya pencerahan
akal (ta‘a>mula>t al-fikr wa futu>h}a>t al-‘aql).59
2. Ta’wi>l Isha>ri
Ta’wi>l dalam pandangan normatif, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Ibn Taimiyah, adalah hakikat yang berada di luar.
Menurutnya, paling tidak ada tiga penjelasan definisi terkait ta’wi>l yang
menghubungkan antara akal dan teks. 1. Memalingkan lafal dari makna
yang unggul (ra>jih }) atas makna yang diungguli (marju>h }) karena terdapat
dalil yang menyertainya. Definisi ini hampir terlaku dalam tradisi
56‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 373.57‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 375.58‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 371.59‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 481.
53
muta’akhiri>n ahli hukum, ahli teologi, ahli Ha{di>th dan para praktisi
sufistik. 2. Menafsirkan kalam dan menjelaskan maknanya baik itu
sesuai dengan z}a>hir teks maupun bertolak belakang dengan z}a>hir teks.
Karenanya, pada level ini antara terma ta’wi>l dan tafsir hampir
berdekatan bahkan sepadan sebagai bentuk sinonimitas. Sebagaimana
yang ditunjukkan oleh mufasir periode awal seperti al-T{abari atau
Mujahid, murid T{abari>. 3. Selaras dengan apa yang dikehendaki oleh
kalam. Jika kalam itu berintonasi tuntutan (al-t}alab), maka ta’wi>lnya
adalah pekerjaan yang menuntut dilakukan, begitu juga jika kalam itu
berintonasi kabar berita, maka penakwilannya adalah kabar berita itu
sendiri.60 Lain lagi dalam pandangan al-Alu>si> sebagai representasi tokoh
sufistik. Ta’wi>l adalah isyarat sakralitas (isha>rah qudsiyyah) serta
pengetahuan suci (subh}aniyyah), di mana ahli suluk mampu membuka
ta’bir tirai-tirai ungkapan dalam al-Qur’a>n yang mengalir dari alam
transenden kepada mereka.61 Antara pengetahuan dan sakralitas
merupakan unsur yang tidak dipisahkan dalam ta’wil sufi sebagai suatu
produk penafsiran. Sakralitas sendiri bukan sekedar diskursus moralitas
etika, melainkan perasaan takut di hadapan Sang Maha Agung, yang
kemudian mendorong untuk menggali sumber keagungan Tuhan dengan
bahasa sufistik sehingga menghasilkan entitas kemakrifatan Tuhan.
Bahkan di kalangan praktisi sufistik elit (heterodoks), kondisi masuknya
mereka ke alam gaib dan penyaksian atas cahaya Tuhan, akan membawa
60Muhammad Fa>kir al-Mibadiy, Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-Sunnah (Teheran: al-Majma‘ al-‘A<lami li al-Taqrib bayn al-Madha>hib al-Isla>miyyah,2007), cet. ke-1, 26.
61Muhammad Fa>kir al-Mibadiy, Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-Sunnah, 26.
54
fantasi “penampakan Tuhan” secara samar-samar atau shat}aha>t, yang
kemudian dita’wi>lkan melalui lisan.62
Visi dan misi tafsir sufi lebih kepada diskursus manusia menuju
jalan kepada Tuhannya dan tidak terlalu peduli menyibukkan diri
mengenal dan menggali zat Tuhan secara internal. Sebab bagi sufi,
teologi Tuhan tidak perlu diperdebatkan sebagaimana kaum teolog.
Alam adalah sesuatu di luar Tuhan dan mempertanyakan Tuhan dengan
pertanyaan-pertanyaan berelemen alam merupakan cacat iman bagi
kaum sufistik. Esensi Tuhan bagi kaum sufi sudah terang benderang.
Karena itu, orientasi tafsir sufi lebih kepada cita kemanusian. Prespektif
insan dalam tafsir sufi adalah mengawal manusia menuju jalan Tuhan
sekaligus mengenal sesama manusia. Makrifatullah tidak lain membahas
zat dari zat itu sendiri. Menjadi pameo umum dalam kalangan sufi
bahwa manusia adalah “mikro kosmos dan dan makro kosmos adalah
manusia”63 sehingga al-Ghaza>li pernah berujar:
“Ketahuilah bahwa kunci makrifatullah adalah mengenal diri sendiri
sebagaimana firman Allah … Nabi bersabda barang siapa mengenal
dirinya niscaya mengenal Tuhannya dan tidak ada sesuatu lebih dekat
kepadamu dibanding dirimu sendiri. Jika tidak mengenal dirimu maka
bagaimana bisa mengenal Tuhanmu.”64
62Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 436.63 كبيرإنسانوالكونصغيركوناإلنسان64Muhammad Fa>kir al-Mibadiy, Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-
Sunnah, 26.64Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 437.
55
Dengan demikian, ta’wi>l merupakan ruang pengertian yang
mempunyai tempatnya sendiri-sendiri, sehingga kadang disandarkan
kepada naql kemudian disebut ta’wi>l baya>ni, kadang disandarkan kepada
akal kemudian disebut ta’wi>l burha>ni, kadang juga disandarkan kepada
dhawq atau hati kemudian popular disebut ta’wi>l ‘irfa>ni. Dengan
demikian Ta’wi>l mempunyai karakteristik dan bangunannya sendiri
tergantung di mana ia berdiri. Dalam kasus ta’wi>l sufistik, ta’wi>l ini
lebih berkonsentarsi kepada emanasi kashf (al-fayd} al-kashfi) sesuai
cakrawala sifat keindahan Tuhan yang terafirmasi dari keyakinannya.
Dalam hal ini kaum sufistik menggunakan perangkat hati dan intuisi
demi memproyeksikan kepada capaian makrifat dan kasyf kepada
Tuhan. Inilah yang kemudian membedakan atau bisa dikatakan
berseberangan dengan diskursus nalar akal dan ta’wi>l burha>ni sekaligus
sebagai identitas tafsir bi al-ma’qul.65 Lebih-lebih ta’wi>l sufsitik ini
tidak didapat dengan cara biasa melalui olah ijtihad atau istidla>l
melainkan hasil ilham atau bisikan dalam ruh dan menjadikannya
sebagai makrifat yang liyan, lain daripada lainnya baik dalam objek
maupun metodologi.66
Yang perlu dipertegas disini, bahwa maksud ta’wil sufistik
bukan juga memasukan kategori ta’wil ba>t}iniyyah –yang hanya
menyandarkan kepada penafsiran ba>t}in tanpa mengindahkan makna
z}a>hir. Sebab kaum sufistik yang dimaksud adalah golongan sufistik
Isha>ri yang masih ketat mengakui literal tekstualitas sebagaimana yang
65‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 183.
66‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 183.
56
digunakan ahli syariat dalam menafsirkan z}a>hir teks serta
memperhatikan asba>b al-nuzu>l ayat. Yang membedakan dari golongan
ini adalah kenyataan bahwa golongan sufsitik ini menambahkan level
makna secara lebih mendalam dengan sentuhan intuisi dan nalar ‘irfa>ni
yang tidak akan dilampaui oleh golongan ahli z}a>hir sebab sudah
mencapai tingkat makna transenden dan sakral.67 Namun demikian,
golongan sufistik ini masih tetap mengakui bahwa makna z}a>hir adalah
makna asal dan pokok yang tanpa berangkat dari makna ini mustahil
mencapai dan menempatkan makna ba>t}in –lain halnya dengan
pandangan ba>t}iniyyah yang menjadikan makna ba>t}in adalah makna asal
dan tunggal.
Landasan penakwilan sufi (mas‘a> al-ta’wi>l) adalah sumber
pengetahuan ‘irfa>ni sebagai jalan mencapai pengetahuan hakiki demi
menemukan tajalli ilahi dan kashf ilahi.68 Di sinilah pentingnya Ta’wil
bagi kalangan sufi, khususnya s}ufi Isha>ri atau Fayd}i, di mana ta’wil
merupakan metodologi yang menggabungkan antara z}a>hir dan ba>t}in.
Kalangan sufi tidak mengingkari adanya makna lahir sebagai sesuatu
yang dikendaki. Justru “tahap awal pemaknaan” harus ditampilkan ke
dalam dimensi lahiriah. Kemudian menuju kepada tahap kedua, yakni
upaya menyingkap simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersembunyi di
balik fenomena ayat-ayat tersebut.69
67Muhammad Ha>di Ma‘rifat, al-Ta’wi>l fi Mukhtalaf al-Madha>hib wa al-‘Ara>‘(Teheran: al-Majma’ al-‘a>lami li al-Taqrib bayn al-madhahib al-Islamiyah, 2006), cet.ke-1, 55-56.
68‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 184.
69Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘na fi> al-Nas}s} al-Qur’a>ni (Damaskus: Da>r al-S}afh}a>t, 2008), cet. ke-1, 232.
57
Terpenting adalah karakter penggabungan sekaligus penjagaan
sisi lahiriah dan ba>t}iniyyah interpretasi teks ini tetap bersumbu kepada
kekuatan pondasi intuitif, bukan kepada akal.70 Karena banyaknya
pemahaman tentang ta’wil dengan segenap obyek bahasan dan
metodologinya, tak salah jika ada yang menyebutkan bahwa ta’wil
merupakan ilmu yang sudah terpisah dan menjadi ilmu mandiri71 –
sebagaimana al-Maqa>s}id al-Shari>’ah dari Us}u>l Fikih. Yang menarik,
Muhammad Fa>kir mampu mengkomparasikan dan menemukan titik
konvergensi dari tiga aliran ta’wil yang ada dengan terma tafsir: 1.
Ta’wil merupakan pemahaman dan penemuan terhadap ayat-ayat, hanya
saja lebih mendetail dan mendalam dibanding terma tafsir. 2. Tafsir
adalah penjelasan makna z}a>hir. Sementara ta’wil adalah penjelasan
makna ba>t}in, yang diekstrasikan melalui makna z}a>hir sebagai tahap
pertama kemudian makna-makna ba>t}in sebagai tahap kedua. Penting
disebutkan di sini, bahwa ta’wil sendiri bukan sesuatu yang terasing
atau hal lain dari lafal melainkan masuk kategori dila>lah lazim yang
tidak jelas (dila>lah al-iltiza>miyyah ghair al-bayyinah). 3. Sekalipun
ta’wil tidak ada kekhususan membidangi diskrusus ayat-ayat
mutashabiha>t, namun mempunyai keistimewaan dalam membidangi
secara khusus dan berkutat dalam menafsirkan simbolisasi ayat dan
isyarat-isyaratnya.72 Pertimbangannya karena eksistensi ta’wil sangat
terkait dengan pemahaman al-Qur’a>n dan bertujuan mencari apa yang
dikehendaki oleh Tuhan, Sang Pengarang al-Qur’a>n. Ia hampir-hampir
70‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 184.
71Mahmu>d Muhammad Rabi’, Asra>r al-Ta’wi>l, 10.72Muhammad Fa>kir al-Mibadiy, Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-
Sunnah, 39.
58
serupa seperti tafsir sekalipun bukan tafsir itu sendiri sebab makna tafsir
terlalu dangkal.
Terdapat temuan menarik terkait penafsiran H{adi>th popular yang
disematkan kepada Ibnu al-‘Abbas berisi doa Rasulullah agar ia bisa
dipahamkan dalam masalah agama dan diberi ilmu penakwilan. Doa ini
begitu populer dikalangan fuqaha’ –sejak sahabat Umar mengalihkan
penafsiran ini kepada para tabi‘i>n kepada sosok Ibn ‘Abba>s- sebab
al-fahm yang semula sebagai pemahaman literal bertransformasi
menjadi pemahaman ilmu syariat yang kemudian di kenal sebagai
fikih.73 Namun dalam presfektif kaum sufi, H{adi>th ini menjadi lain
riwayat dan lain pemahaman. Secara riwayat, H{adi>th ini merupakan doa
Rasul kepada Abu Bakar.74 Secara makna terdapat pengertian berbeda
dengan yang dikenal selama ini. Dengan kata lain, merupakan doa
supaya Abu Bakar mampu memahami makna yang gelap dalam al-
Qur’a>n sesuai makna ta’wi>l yang benar sebagimana Yusuf dan Khidir.
Sebab kegelapan makna dalam al-Qur’a>n tidak tersimpan dalam bahasa
dahiriyah teks al-Qur’a>n melainkan dalam makna ba>t}iniah al-Qur’a>n itu.
Dalam H{adi>th ini sudah memberikan isyarat keberadaan al-Qur’a>n yang
mempunyai kandungan z}a>hir dan ba>t}in dengan kiasan yang indah. 1.
73Bahkan sebagian lagi menyebut doa ini untuk Sayyidina Ali, lihat: Mukhta>rAl-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 49.
74Asba>b al-wuru>d H{adith ini ketika turun surat al-Nasr (QS. 110). Ketikasemua sahabat bersuka cita dengan berita gembira akan datangnya pertolongan Allahdan kemenangan kaum muslimin justru Abu Bakar nampak sedih dan menangis.Sahabat memahami secara tafsir zahir sementara Abu Bakar memahami dengan tafsirisha>ri khususnya kata perintah “sabbih” dan “istaghfir” dalam surat itu mengisyaratkanajal Rasullullah telah dekat sebab Nabi hampir menyelesaikan misi dakwahnya.Jawaban inilah yang kemudian Rasulullah langsung terharu dan mendoakan H{adi>th اللھم
)الحدیث(التأویلعلمھوالدینفىفقھھ . lihat: Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 48.
59
Makna faqih-hu fi al-di>n sebagai representasi (pencarian) pemahaman
lahiriah al-Qur’a>n. 2. ‘Alimhu al-ta’wil sebagai representasi pencarian
ilmu laduni dan ilmu ba>t}ini.75 Dengan demikian, dua makna ini masih
satu kesatuan diskursus dan tidak berseberangan atau berbeda
sebagaimana yang dipahami prespektif fikih antara ilmu fikih dan ilmu
Ta’wi>l.76
Di sinilah pendekatan hermeneutika Eric Donald Hirsch, Jr.
diperlukan, karena mampu menangkap teori-teori hermeneutika sufisme
untuk menjelaskan H{adi>th di atas mengenai pesan eksoteris dan esoterik
dalam al-Qur’a>n. Ada titik kesamaan dengan formula teori meaning and
significant sebagai artikulasi penafsiran normatif: fikih-z}a>hir dan
simbolik: ta’wil-ba>t}in. Tujuan Hermeneutika Hircsh adalah memetakan
kategori “Objective Interpretation”. Dengan tujuan ini penafsir tidak
akan melakukan subyektivitas makna sebebas-bebasnya dalam
interpretasi sehingga terhindar dari bentuk otorianisme. Karena itu,
model interpretasi lurus dan benar adalah kesesuaian kaidah validitas
interpretasi.77
Hirsch menyatakan bahwa interpretasi bisa dilandakan pada dua
sisi; 1. Level makna pertama, yang terbentuk oleh sosio-kultural dan
sejarah.78 Inilah yang dikehendaki dengan penafsiran (meaning) yang
orisinil dan normatif sesuai kehendak Sang Author. Dalam tradisi tafsir
al-Qur’a>n masuk sebagai konteks eksoteris. 2. Level makna kedua, yang
bisa ditafsirkan lepas dari makna pertama sesuai kondisi zaman, proses
75Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 49.76Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 49.77E.D.Hirsch, Jr.Validity in Interpretation (New Haven: Yale University Press,
1967), 212. Lihat juga: ‘Abd al-Ghani>Barah, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 335.78E.D.Hirsch, Jr. Validity in Interpretation, 216.
60
mentalitas pribadi atau lainnya.79 Inilah yang dikehendaki dengan
significant, yang dalam tradisi tafsir mistik sebagai makna petanda
simbolik. Namun masih dalam koridor level makna pertama, bahkan
tidak lepas sama sekali dari “pesan makna pertama” secara prinsipil.
Artinya keberadaan dila>lah sebagai fungsi significant harus sepadan
semakna/muma>tsalah dengan kehendak Sang Author.80 Inilah yang
dimaksud hermeneutika Hircsh dengan kategori “Objective
Interpretation”, yakni dengan tidak coba-coba melakukan subyektivitas
makna sebebas-bebasnya dalam interpretasi. Karena itu, model
interpretasi lurus dan benar adalah kesesuaian kaidah validitas
interpretasi.81
3. Dialektika Z}a>hir dan Ba>t}in
Tak bisa disangkal bahwa hampir semua sarjana klasik baik
ulama us}uliyi>n, mutakallim atau filosof bersepakat mengakui
keberadaan entitas al-Qur’a>n yang mempunyai dimensi lahir dan ba>t}in –
kecuali mereka pendukung z}a>hiriyah yang hanya mengakui keberadaan
tekstualitas makna atau pendukung ba>t}iniyyah yang hanya mengakui
eksistensi makna ba>t}in. Makrifat yang memegang teguh syariat tidak
akan mampu berdiri dengan elemen z}a>hir jika tanpa ba>t}in sebagaimana
ayat-ayat muh{kam tanpa mutasha>bih. Inilah kunci menuju kemanusiaan
yang sempurna.82 Sebab insan kamil atau manusia super (al-kamal al-
insa>ni >) dianggap berhasil menggabungkan unsur z}a>hir dan ba>t}in secara
79E.D.Hirsch, Jr. Validity in Interpretation, 216.80‘Abd ‘Abd al-Ghani> Bara>h, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 336.81E.D.Hirsch, Jr.Validity in Interpretation, 212. Lihat juga: ‘Abd al-
Ghani>Barah, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 335.82Nas}r H{a>mid Abu Zaed, Falsafah al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Tanwir, 1983),
cet. ke-1, 197
61
bersamaan. Dengan kata lain, kesempurnaan manusia tidak akan
terealisasikan tanpa makrifat yang bersandar kepada syariat secara z}a>hir
dan ba>t}in –sebagaimana halnya wujud mempunyai elemen z}a>hir dan
ba>t}in, manusia mempunyai dimensi z}a>hir dan ba>t}in, begitu juga syariat
mempunyai dimensi z}a>hir dan ba>t}in.83 Karena itu hadirnya “wujud
insan” dalam penalaran Abu> Zaid dan Nas}r H{a>mid semata-mata karena
telah mencapai kulminasi z}a>hir dan ba>t}in itu, hingga bisa mencapai
puncak kematangan makrifat: ba>t}in manusia adalah hakikat ilahiyah dan
z}a>hir manusia adalah hakikat kosmologi (kawniyah).84 Syariat, dengan
demikian, selalu berada dalam puncak struktur ungkapan kebahasaan
yang mempunyai dimensi sejarah temporal yang selalu berubah dan
bertransformasi menemukan bentuknya sebagai fenomena z}a>hir, namun
demikian, syariat sendiri akan selalu abadi dan ajeg dari dimensi ba>t}in.
Karena itu sangat naif dan irrasional jika Tuhan memberikan khita>b
kepada manusia sebatas z}a>hir tanpa melibatkan khitab kepada ba>t}in. Di
sinilah kemudian para kaum sufistik mampu menemukan jati diri dan
dunianya, sebab mengklaim lebih dekat dibanding kaum di luar mereka.
Mereka jelas lebih memahami makrifat hakikat ke dalam ba>t}in dan z}a>hir
sekaligus. Mereka tidak memenangkan dimensi z}a>hir untuk
mengalahkan dimensi ba>t}in sebagaimana yang terjadi pada kaum awam
atau z}a>hiriyah, dan tidak juga mengalahkan z}a>hir dengan memenangkan
ba>t}in sebagaimana kaum ba>t}iniyyah: sebab mereka membahas hukum-
hukum syariat secara dimensi ba>t}in tidak lain bertujuan menggabungkan
dua dimensi sekaligus, yakni z}a>hir dan ba>t}in.85
83‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 47884 Nas}r H{a>mid Abu Zaed, Falsafah al-Ta’wi>l, 195.85‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 479.
62
Bagi kaum sufistik, dikotomi antara z}a>hir dan ba>t}in adalah
serupa al-‘iba>rat dan al-isha>rat, yang terbangun darinya bahasa manusia
sebagai logos z}a>hir-imanen dan bahasa Tuhan sebagai logos ba>t}in-
transenden.86 Makna awal adalah makna yang dipahami untuk kalangan
awam sebagai representasi makna ibarat yang dila>lah-nya merupakan
dila>lah bahasa normatif-positif (dila>lah ‘urfiyah tawa>d}u‘iyyah) serta
tidak permanen sebab bersifat manusiawi. Makna kedua adalah makna
yang tidak diketahui kecuali orang khusus dan merupakan bahasa Tuhan
yang mempunyai dila>lah esensial (dila>lah dha>tiyyah) sebagai
representasi makna isharat atau makna simbolik, yang tak lain adalah
makna ba>t}in yang tersimpan di bawah untaian kalam z}a>hir yang tidak
bisa diperoleh kecuali oleh ahlinya.87
Al-T{u>si menilai bahwa ilmu pun terbagi menjadi dua, yakni ilmu
z}a>hir dan ilmu ba>t}in dan itulah ilmu syariat yang menunjukan sekaligus
mengajak kepada perbuatan-perbuatan z}a>hir dan ba>t}in. Amal z}a>hir
adalah amal anggota tubuh yang tampak, seperti ibadah atau
menjalankan hukum-hukum perintah dan larangan Tuhan, sementara
amal ba>t}in adalah amal hati, yang terkait dengan dunia tingkatan-
tingkatan sufistik (maqa>ma>t) dan keadaan (ahwa>l), karena itu z}a>hir tidak
bisa lepas dari ba>t}in, begitu juga ba>t}in tidak bisa lepas dari z}a>hir.88
Keduanya selalu berkait kelindan dan kesatuan yang dinamis-harmonis-
dualitas yang sinergis.
86‘Abba>s Ami>r, al-Ma>‘na al-Qur’a>ni bayn al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l (Libanon: Al-Intisar al-‘Arabi, 2008), cet. ke-1, 291.
87‘Abba>s Ami>r, al-Ma>‘na al-Qur’a>ni bayn al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l, 292.88 Al-Sarra>j Al-T}u>si, Al-Luma‘ fi> Ta>rikh al-Tas}awwuf al-Isla>mi, 25-26.
63
Serupa dengan al-T{usi, <al-Ji>la>ni> membagi amal yang benar
adalah pengamalan yang dilandaskan pada dua kesaksian. Yaitu saksi
z}a>hir dan ba>t}in. Saksi z}a>hir adalah menjalankan formalitas hukum
(istih}ka>m) sesuai syariat dalam perintah dan larangan Tuhan yang sudah
terang benderang. Sementara saksi ba>t}in adalah suluk syariat harus
dengan pengawalan dan kesaksian mata hati (bas{irah) sehingga akan
tampak di jalannya junjungan yang harus dianut umat yakni Muhammad
sebagai hamzah wasal atau mediator ruhani antara Allah, Nabi dan
hamba-Nya. Mediator spiritual Nabi inilah elan vital bagi
bersemayamnya tasawuf amaliyah, sebab ruhani dan jasmani Nabi tidak
bisa ditiru oleh syetan dan karena itu pantas dijadikan pegangan bagi
kaum sufi agar tidak terjebak “suluk buta”.89 Di sinilah kesatuan antara
z}a>hir dan ba>t}in menurut al-Ji>la>ni> yang tidak bisa dipisahkan dalam
tasawuf sunni ‘amali.
Bahkan al-Ji>la>ni> membagi z}a>hir dan ba>t}in menjadi kategori ilmu
yang masing-masing keduanya mempunyai 12 cabang displin ilmu
sesuai karakter kekhususan dan keumuman ilmu tersebut. Ilmu-ilmu itu
diringkas menjadi empat bab. Pertama, z}a>hir syariat, yang berupa
perintah dan larangan syariat serta hukum-hukum lainnya. Kedua, ba>t}in
syariat, yang dikenal sebagai “ilmu ba>t}in”. Ketiga, ba>t}in, yang dikenal
sebagai ilmu makrifat. Keempat, ba>t}in di atas ba>t}in, yakni ilmu
hakikat.90 Para kaum sufi harus bisa memperoleh dan mencapai
tingkatan ilmu ini sebagaimana sabda Nabi :
)احلديث(
89‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 95-96.90‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24.
64
“Syariat adalah pohon, tarikat adalah ranting-rantingnya dan
makrifat adalah daun-daunnya, sementara hakikat adalah buah
syariat”.91
Al-Qur’a>n telah mengakomodasi dan menampung tanpa
terkecuali hal ihwal dimensi di atas ini dengan menggunakan petunjuk
(dila>lah), simbol (isharah) baik berbentuk tafsir maupun ta’wil: Tafsir
bagi kalangan umum sementara takwil bagi kalangan khusus yang tak
lain dikenal sebagai al-ra>sikhu>n. Yakni para ulama yang sudah ajeg,
tetap dan kokoh dalam keilmuan.92
Dalam Al-Muwa>faqa>t, al-Sha>t}ibi menjelaskan diakletika makna
z}a>hir dan ba>t}in dalam diskursus Isha>ri. Dimensi z}a>hir adalah setiap
makna (Arab) yang tidak sepatutnya mendapatkan pemahaman
al-Qur’a>n terkecuali dengan keberadaan bunyi teks itu sendiri. Ia masuk
dalam kawasan fenomena makna z}a>hir semata. Sementara dimensi ba>t}in
adalah setiap makna yang menuntut konsekuensi mukha>tab atau
mukallaf dengan sifat kehambaan dan pengakuannya kepada Tuhan
dengan ketuhanannya. Inilah makna ba>t}in terdalam yang terkehendaki
dari turunnya al-Qur’a>n ke bumi.93 Karena itu, dalam pandangan
al-Sha>t}ibi, dimensi z}a>hir tidak ada perbedaan signifikan-substansial.
Sebab keduanya merupakan manifesto pemahaman tradisi Arab yang
tidak ada kesangsian lagi, karena hal yang sama dan hal yang berbeda
pada hakikatnya bersepakat bahwa semua bermuara dari faktor
diturunkannya al-Qur’a>n dalam bahasa Arab.
91‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24.92‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24.93‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 455.
65
Kaum sufistik menyebut ta’wi>l sebagai ilmu isyarat. Yakni ilmu
yang terkandung dalam al-Qur’a>n berupa rahasia-rahasia dari tujuan
amaliyah ibadah hamba, karenanya kerap disebut juga ahlu safwah,
sebagai sebutan bagi komunitas kaum suci yang melakukan istinba>t}
yang benar dalam memahami al-Qur’a>n.94 Istinba>t} dalam pandangan
sufistik seperti al-T{usi adalah makna-makna yang digali oleh ahli
pemahaman pencari hakikat (al-mutahaqiqi>n) demi mencari
penyelarasan dengan kitab Allah secara z}a>hir dan ba>t}in, serta mengikuti
terhadap Rasulullah secara z}a>hir dan ba>t}in sekaligus mengamalkannya
secara z}a>hir dan ba>t}in. Maka, ketika para ahli itu mengamalkan terhadap
apa yang diketahuinya, niscaya Tuhan akan mewariskan ilmu yang tidak
diketahui mereka yaitu ilmu isyarah sebagai ilmu warisan amaliyah yang
disingkapkan Tuhan bagi hati-hati kekasih pilihan-Nya dari makna-
makna yang tersimpan, kehalusan makna, rahasia-rahasia harta makna
terpendam, ilmu-ilmu yang asing, dimensi-dimensi hukum, yang
keseluruhannya tercakup dalam makna al-Qur’a>n dan riwayat Hadith
Nabi yang bersumber dari keadaan (ah{wa>l), waktu dan kejernihan zikir-
zikir Nabi.95
Disinilah elan vital tema al-ra>sikhu>n yang terkandung pada surat
Ali Imran (QS. 3:7). Di mana kaum sufi mendakwa bahwa mereka
adalah kaum yang sudah menancap ilmunya. Bagi mereka ra>sikhun fi>
‘ilm adalah orang-orang yang sudah menancap ruh-ruh mereka dalam
transendensinya alam transenden (ghaibah al-ghuyub) dan dalam
rahasianya rahasia-rahasia (sir al-asra>r). Mereka akan mendefinisikan
94Mahmu>d Muhammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wi>l (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyahal-‘A<mah li al-Kita>b, 1993), 231.
95Mahmu>d Muhammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wi>l, 231.
66
apa yang dirasakan, didapatkan dan sengaja mendatangkan kehendak
ayat (muqtad}a al-ayat) pada makna yang tidak pernah didatangkan oleh
golongan di luar mereka sebab mereka tenggelam dalam lautan keilmuan
demi mencari makna-makna “hikmah mutiara” bagi kaum sufistik
khususnya, sehingga akan terbukalah tabir-tabir rahasia yang belum
terungkap dari pendaman harta karun makna. Harta karun itu tersimpan
dalam setiap huruf serta ayat yang diserap melalui proses pemahaman
sufsitik dan keajaiban pada teks itu sendiri. Praktis, dengan demikian,
akan muncul kemudian permata dan mutiara sehingga mereka mampu
berbicara dengan kalam hikmah penuh aura spritual sufistik.96
Sebagaian kalangan sufistik menyatakan bahwa kalam dalam
al-Qur’a>n terdapat dua kategori. Pertama, menggunakan riwayat, dan
karenanya tidak dapat dianggap kecuali sebagai bentuk kategori
transmisional (naql). Kedua, menggunakan pemahaman atau akal, dan
karenanya tidak dapat terjadi terkecuali melalui lisan yang hak dan
benar dengan tujuan menampakkan hikmah berupa rahasia dan makna-
makna yang samar pada lisan hamba-hamba pilihan. Singkatnya, makna
z}a>hir adalah tilawah atau pemahaman Arabisme sementara ba>t}in adalah
apa sesungguhnya yang dikehendaki Tuhan dibalik z}a>hir itu dalam
kalam dan khita>b-Nya.97
Al-Sha>t}ibi mempunyai standar dan syarat penafsiran ketika
unsur ba>t}in berdialektika dengan unsur z}a>hir sebagai syarat pembakuan
diskursus penafsiran sufistik Isha>ri. Pertama, sesuai dengan muqthad{a
z}a>hir atau ketetapan logika z}a>hir teks, mengikuti logika bahasa Arab
96Mahmu>d Muhammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wi>l, 230.97Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t (Cairo: Maktabah al-Waqfiyyah, tt),
vol.. III, 326.
67
serta berjalan sesuai arus tujuan-tujuan dari Arabisme (maqa>s}id
‘arabiyah). Kedua, harus diperkuat oleh kesaksian nas}s} atau petanda
z}a>hir di tempat lain yang mengakui keabsahannya tanpa penentangan.98
Dengan demikian, bisa diuraikan bahwa maksud yang pertama tampak
terang benderang dari kaidah tersebut bahwa dengan keberadaan
al-Qur’a>n yang menggunakan media bahasa Arab, sehingga ketika ada
pemahaman yang tidak sesuai kalam Arab niscaya tidak bisa diklaim
sebagai bahasa Arab sama sekali. Sebab keberadaan Arab(isme) sangat
kuat dalam karakter al-Qur’a>n. Sementara yang kedua dari syarat di atas
adalah ketika tidak diketemukan kesaksian nass}} di tempat lain atau
terjadi kontradiksi, maka praktis ditolak oleh para ulama ‘‘Ulu>m al-
Qur’a>n” sebab masuk kategori klaim pendakuan yang bohong dan
menyesatkan.99
Dengan demikian, al-Sha>t}ibi sesungguhnya, dengan pemenuhan
dua syarat penafsiran sufistik Isha>ri ini, pada syarat pertama hendak
menyerang para penafsir aliran murni ba>t}iniyyah seperti ismailiyyah,
sebab dianggap ilmu ba>t}in yang tidak absah. Baginya, penafsiran yang
hanya berkonsentrasi pada dimensi ba>t}in dan tampak asing dalam tradisi
Arab dan tujuan-tujuan agungnya, maka praksis telah keluar dari
lingkaran ba>t}in sahih.100 Sementara pada syarat kedua hendak
menyerang para penafsir aliran z}a>hiriyah murni (seperti Dawud al-Z}a>hiri
dan Ibn Hazm) sebab dianggap ilmu z}a>hir yang tidak absah.101
98Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t, vol. III, 334-445.99Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t, 326. Lihat juga: ‘Abd al-Ghani> Barrah,
Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 455100‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 456.101‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 455.
68
Al-Sha>t}ibi hendak merealisasikan pena’wilan yang yang moderat
dan seimbang dalam dua dimensi z}a>hir dan ba>t}in sekaligus, karena itu
tak salah jika ia dinobatkan sebagai pendiri al-Maqa>s}id al-‘Arabiyah
sebagai nama lain al-Maqa>s}id al-Shari>’ah.102 Sebab inilah sejatinya yang
telah direalisasikan oleh para generasi sahabat Salafus al-S}a>lih, mereka
adalah suri tauladan untuk penafsiran sufistik karena dianggap manusia
paling paham (afqah al-na>s) dan yang paling mengerti maksud-maksud
al-Qur’a>n berikut pemahaman ba>t}innya. Ia berkali-kali menegaskan
bahwa pemahaman terbaik al-Qur’a>n adalah melalui pengapaian visi-
misi dan cita-cita agung al-Qur’a>n itu sendiri yang ia sebut sebagai “al-
Qas}du” sebagai representasi dari dila>lah al-nas}s} atau Maqa>s}id al-
Arabiyyah, di mana teks mempunyai fase dan masing-masing strata; 1.
Teks yang terdiri dari diskursus sekelompok besar dari beberapa jumlah
kalimat. 2. Teks yang terdiri dari diskursus satu jumlah kalimat. 3. teks
yang terdiri dari diskursus lafal yang singular (lafz}ah mufradah), namun
terkadang memiliki kandungan teks yang multi-tafsir,103 sehingga sama
sekali tidak memberikan kesempatan kepada mutakalim atau penafsir
untuk bebas menafsirkan sesuai kehendak dan kepentingan pribadinya
sebab penafsir hanya menjelaskan kandungan al-Qur’a>n tanpa ada
intervensi. Di sinilah penafsir harus bisa membedakan antara sikap
otoritatif yang objektif sesuai kehendak kitab suci atau otorianisme
subjektif sesuai kehandak pengarang.104
102‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 455-457.103‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 458.104Kriteria dari otoritatif penafsir di sini salah satunya harus ketat
menggunakan kaidah bahasa Arab dan aturannya sebagai bentuk dila>lah nas}s} sertapenguasaan asba>b al-nuzu>l sebagai dila>lah tarikhiyyah agar bisa membantu pemahaman
69
Nas}s } al-Qur’a>n bagi al-Sha>t}ibi adalah tunggal dalam tujuan dan
makna namun mengandung banyak dila>lah serta tranformasi makna
penakwilan. Karena itu kesatuan nas yang integral (nas}s}} ja>mi‘) inilah
yang disebut dila>lah al-tawh}i>d, yang akan selalu melahirkan turunan
penafsiran sepanjang zaman sesuai situasi dan kondisi serta mampu
dialektika sesuai dengan pembacaan terhadapnya.105 Sehingga disebut
nas} tanzi>l dan ta’wi>l dalam waktu bersamaan.106
Ta’wi>l dengan kata lain merupakan reproduksi pembacaan baru
terhadap nas}s }. Karena itu, demi menemukan formasi pena’wilan yang
sesuai serta transformasi pena’wilan yang berkelanjutan, maka ta’wi>l
terkadang menyepelekan sejarah atau tidak menggunakan asba>b al-nuzu>l
demi mencapai bentuk teks yang relevansional. Maksudnya bukan
berarti mengugurkan asba>b al-nuzu>l secara frontal melainkan hanya
meninggalkan momentum peristiwa dan kejadian waktunya serta
menemukan nilai-nilainya yang “tersimpan” yang “meresap” dalam
unsur-unsur kebahasaan, sehingga sampai di sini, makna tidak berhenti
pada asba>b al-nuzu>l semata namun mampu melahirkan progresivitas
makna yang baru dari eksplorasi teks tersebut.107 Karena itu, kedudukan
nas}s} tetap menjadi asal atau pokok dan bukan lagi sebagai obyek dan
cabang karena merupakan teks sejarah yang taken for granted atau
produk budaya yang terikat masa lalu. Ia bahkan menjadi subyek yang
hidup yang memproduksi sejarah dan budaya tapi pada saat bersamaan
dan mengaktualisasikan. Lihat: ‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 458-459.
105‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 460.106‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 461.107‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 463.
70
teks itu kosong dari ruang sejarah untuk menemukan dan membentuk
sejarah secara berkelanjutan yang bersifat kekal abadi.108
Lebih jauh dalam hal ini, pengertian ta’wi>l z}a>hir, jika
diimplemantasikan kepada pengertian ba>t}in maka makna yang diseruput
dari z}a>hir adalah dengan cara penerapan aplikasi as}bah wa naz}a>ir (teori
keserupaan dan kesamaan) dari makna-makna yang terkandung di dalam
nas}s}} tersebut sesuai dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama
‘Ulu>m al-Tafsir dalam diskursus penafsiran sufistik.109 Dengan
demikian, makna z}a>hir adalah makna asal dan pokok sebab eksplorasi
makna ba>t}in hanya sebatas menganalogikan dari makan z}a>hir. Karena
itu tak salah jika Isha>ri oleh kalangan fuqaha’ seperti Ibn Taymiyyah
disebut tafsir al-qiya>si atau tafsir analogis. Pasca fase z}a>hir inilah para
penafsir sufi mendapatkan kesempatan melakukan istinb}a>t dan
pemahaman intuitif sesuai apa yang diperolehnya secara bebas
terkendali. Sebab jika tidak melewati fase awal –sebagai fase
penghukuman atas makna z}a>hir dan langsung kepada fase kedua yakni
memahami rahasia-rahasia ba>t}in al-Qur’a>n–, maka berarti telah
mendaku keliru dan dianggap sesat. Untuk hal ini, al-Suyu>ti
mengibaratkannya serupa orang yang ada di dalam rumah tanpa
melewati masuk pintu terlebih dahulu.110
Kesimpulan dualitas z}a>hir dan ba>t}in atau dialektika z}a>hir dan
ba>t}in (thana>‘iyyah wa jadaliyyah al-z}a>hir wa al-ba>t}in), merupakan
108‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 463. Apa yangdikehendaki ucapan Mundhir Iya>shi dalam kitabnya, al-Lisa>niya>t wa al-Dila>lah yangdinukil oleh Barrah tidak lain ingin menegas ulangkan kaidah al-‘ibrah bi al-umu>mlafal la> bi al-khusu>s al-sabab yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab ulu>m al-Qur’a>n.
109‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 465.110‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 466.
71
kaidah yang terlaku sekaligus sebagai standarisasi pengetahuan makrifat
dan rukun-rukunnya, metodologinya atau keadaannya (ah}wa>l) bagi para
ahli ma’rifat. Dualitas inilah yang sesungguhnya melahirkan reproduksi
dualitas cabang seperti komposisi hakikat dan syariat, komposisi akal
dan hati serta beberapa komposisi kombinasi lainnya dalam hal z}a>hir
sebagai sesuatu yang inderawi dan ba>t}in sebagai sesuatu yang ruhani.111
Dalam pandangan Abdurahman al-Sulami, misalnya, ia pun
memberikan ilustrasi dalam kitabnya, Risa>lah al-Farq bayn ‘Ilm Syariat
wa ‘Ilm al-Haqiqah, bahwa dualitas (thana’iyya>h) juga terjadi dalam
ilmu riwa>yat dan ilmu dira>yat seperti dalam ilmu Hadith, atau ilmu
khidmah dan ilmu musha>hadah, begitu juga ilmu syariat dan ilmu
hakikat. Sebab, lanjutnya bahwa ilmu Syariat adalah ilmu riwayat, maka
barang siapa berijtihad dalam penerapan ilmu sesuai jalan Nabi maka
Tuhan akan mewarisi ilmu Dira>yah, yaitu ilmu hakikat sebab Nabi
bersabda “bahwa barangsiapa mengamalkan pada apa yang
diketahuinya, maka Tuhan akan mewariskan kepadanya ilmu yang tidak
diketahuinya”. Ilmu syariat adalah ilmu khidmah dan ilmu hakikat
adalah ilmu musha>hadah.112 Karena itu proses kedua dimensi ini
diartikan sebagai suatu relasi dinamis, dialektis, dualitas bertingkat-
tingkat dan bukan penamaan proses bersaing dan berhadapan (‘alaqah
taqa>bul) atau bahkan dualisme sebab dimensi z}a>hir adalah titik tolak
perjalanan dan dimensi ba>t}in adalah puncak dari perjalanan tersebut.
Dengan penyusuran dari satu fase atau keadaan menuju keadaan
selanjutnya.113
111Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 445.112Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 446.113Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 448-449.
72
E. Validitas Tafsir Isha>ri dan Hermeneutika Hircsh
Validitas tafsir Isha>ri sangat erat dengan korelasi syariat dan
hakikat secara legal-formal dari al-Qur’a>n dan H{adith.114 Hal terpenting
dalam tradisi tafsir Ishari adalah argumentasi-argumentasi yang
dibangun di atas tradisi tersebut, baik secara naqliyyah dari al-Qur’a>n
dan H{adi>th maupun secara aqliyyah. Tafsir Isha>ri ternyata sudah tidak
asing dikenal sejak masa Nabi di mana al-Qur’a>n memberikan
argumentasinya dan kemudian ditetapkan oleh Nabi serta menjadi
bagian tradisi yang diikuti oleh para sahabat. Karena itu, tafsir Isha>ri
sejatinya sama-sama tuanya setua tafsi>r bi al-ma’thu>r sendiri.115
Al-Qur’a>n adalah obyek kawasan “pasar raya” tafsir, yang
mampu memposisikan diri sebagai asas tunggal bagi metodologi tafsir.
Setiap penggali tafsir akan mampu menemukan arkeologi diskursus
114Validitas penafsiran, sebagaimana yang dimaksud Hirsch, Jr. adalah sebuahargumen eksplisit maupun implisit dalam usahanya meyakinkan pembaca. Untukmenunjang ke sana diperlukan sumber-sumber legal formal yang bisa dipertanggung-jawabkan validitasnya sebagai antisipasi dari model penafsiran otoriter, menghinakandan tidak sitematis, disamping bisa menolak atau memodifikasi teori penafsiran yangtidak memiliki “standar validitas”. Lihat: E.D.Hirsch, Jr. Validity in Interpretation,168.
115Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 30. Sepertidalam surat al-Nasr (QS 110). Ketika semua sahabat bersuka cita dengan beritagembira akan datangnya pertolongan Allah dan kemenangan kaum muslimin justruAbu Bakar nampak sedih dan menangis. Sahabat memahami secara tafsir z}a>hirsementara Abu Bakar memahaminya dengan pendekatan tafsir Isha>ri, khususnya kataperintah “sabbih” dan “istaghfir” dalam surat itu mengisyaratkan ajal Rasullullah telahdekat sebab Nabi hampir menyelesaikan misi dakwahnya. Jawaban inilah yangkemudian Rasulullah langsung terharu. Lihat: Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 48.
73
keilmuan apapun dalam kalam Tuhan itu.116 Ia merupakan kitab suci
yang bisa didekati berbagai pembacaan dan penafsiran. Abu>> Nuaim dan
Ibn ‘Abba>s dalam sebuah H{adi>th meriwayatkan bahwa al-Qur’a>n
mempunyai ragam wajah tafsir (dhu> wuju>h).117 Al-Suyu>t}i mensinyalir
bahwa H{adi>th ini muncul karena dua kemungkinan: pertama, ayat atau
kata-kata dalam al-Qura>n memungkinkan untuk dita’wilkan. Dengan
demikian, bisa memungkinkan disiplin ilmu hermeneutika masuk ke
dalamnya, baik sebagai kerangka teori maupun praktek. Kedua, al-
Qur’a>n mengandung wilayah perintah, larangan, sugesti, halal dan
haram.118
Ketidak-hinggaan makna dalam al-Qur’a>n menjadikannya
sebagai kalam Tuhan yang sangat eksotis, tidak lekang oleh zaman,
tidak rapuh oleh waktu, akan selalu memperbarui dan mengadaptasikan
diri kepada siapa pun, dan dalam disiplin ilmu apa pun. Sebagian ulama
(ba‘dl al-‘ulama>’) menyatakan makna al-Qur’a>n sampai 80.0000, di
mana setiap kata mengandung banyak ragam sumber pengetahuan,
sehingga bilangan itu masih memungkinkan berjumlah empat kali lipat
ketika al-Qur’a>n disandarkan pada empat aspeknya: lahir, batin, awal,
akhir.119 Salah satu hal yang menjadi dasar penafsiran Sufi adalah
116Pluralitas penafsiran dengan berbagai macam pendekatan metode ini,berlaku juga dalam Injil yang multi-interpretasi itu, seperti pendapat Peter Werenfelsseorang teolog-interpreter kristiani dalam pembukaan buku Ignaz Goldziher. Lihat:Ignaz Goldziher, Madhahi>b al-Tafsi>r al-Isla>mi>, terj. Dr. Abd al-H{ali>m al-Naja>r (Cairo:Da>r Iqra), cet. ke-3, 1.
117Redaksi Hadi>thnya: وجوههأحسنعلىفاحملوهوجوهذوذلولالقرآن . Lihat: al-Zarkashi,al-Burha>n fi ‘Ulu>mal-Qur’a>n, 180.
118Jalaluddi>n al-Suyu>t}i, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr), Vol.2, 180.
119Muh}ammad ‘Abd al-’Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n(Beirut: Da>r al-Fikr), vol. 1, 23.
74
kenyataan bahwa kalamullah adalah dimensi yang tidak memiliki batas
(QS 18:109; 31:27). Sungguh tidak bijaksana jika membatasi al-Qur’a>n
hanya dengan satu penafsiran tertentu atau mazhab tafsir tertentu,
terlebih dianggap sebagai satu-satunya otoritas penafsiran tunggal
kehendak Allah.
Abd Allah Darra>z dalam al-Naba>’ al-Az}i>m bertutur:
“Apabila anda membaca al-Qur’a>n, maknanya akan jelas di hadapan
Anda. Tetapi jika membacanya sekali lagi, maka Anda akan
menemukan makna-makna yang lain yang berbeda dari makna
sebelumya. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda dapat
menemukan kata atau kalimat yang mempunyai arti bermacam-
macam, yang semuanya benar atau mungkin benar. Ayat-ayat al-
Qur’a>n bagaikan intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya. Tidak
mustahil, jika Anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka
ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat”.120
Dalam hal ini, tafsir Isha>ri akan menjadi penafsiran yang dipuji
dan diterima ketika memenuhi persyaratan, yaitu: 1. Tidak menafikan
normativitas z}a>hir ayat al-Qur’a>n. 2. Saksi syariat yang menguatkan dan
mendukung. 3. Tidak kontradiktif dengan dalil syara’ dan akal. 4. tidak
mendaku bahwa penafsirannya adalah penafsiran tunggal yang
120‘Abd Allah Darra>z, al-Naba’ al-‘Az}i>m (Cairo: Da>r al-‘Urubah, 1960), 111.
75
dikehendaki dengan menepikan makna z}a>hir, justru pertama-pertama
harus mendahulukan makna z}a>hir, kemudian beranjak makna isha>ri>.121
Umumnya kaum sufistik ini mempunyai argumentasi sendiri
sesuai temuan dan pengalaman dalam mengartikulasikan teks. Namun
ada satu titik kesamaan secara garis besar dan prinsipil tentang makna
esoteris al-Qur’a>n. Di antara dalil yang diajukan sebagai berikut:
1. Dalam al-Qur’a>n terdapat ayat yang menjelaskan bahwa al-Qur’a>n
mempunyai dimensi awal, akhir, dan z}a>hir ba>t}in.
هو األول واآلخر والظاهر والباطن وهو بكل شيء عليم
Artinya: Dialah Yang Pertama dan Terakhir, Yang Z}a>hir dan
Yang Ba>t}in, Dialah yang mengetahui segala sesuatu. (QS. al- H{adi>d
57:3)
Bahkan pada ayat lain, terdapat sindiran celaaan bagi mereka
yang ilmunya tidak melampaui batasan z}a>hir seperti dalam al-Ru>m QS
30: 7 dan Luqma>n QS 31: 20.122 Begitu juga dalam (QS. al-‘Ankabu>t 29:
64)
ار اآلخرة نـيا إال هلو ولعب وإن الد هلي احليـوان لو كانوا يـعلمون وما هذه احلياة الد
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya
kehidupan, kalau mereka mengetahui”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa kehidupan yang hakiki adalah
akhirat sementara kehidupan dunia hanyalah ilusi, senda gurau, dan
121Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 31.122‘Abba>s Ami>r, al-Ma‘na al-Qur’a>ni bayn al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l (Libanon: al-
Intis}ar al-‘Arabi, 2008), cet. ke-1, 296.
76
permainan belaka. Ayat ini senada juga dengan firman Allah (QS. al-
Ru>m 30:7)
نـيا وهم عن اآلخرة هم غافلون يـعلمون ظاهرا من احلياة الد
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan
dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kehidupan dunia memiliki
dimensi lain yang berbeda dengan dimensi lahir namun dilupakan
kebanyakan orang, yakni kehidupan akhirat sebagai dimensi batin
kehidupan dunia.
2. Beberapa H{adi>th menyebut bahwa al-Qur’ān tidak hanya
memiliki penafsiran yang monolitik, tetapi setiap ayat al-Qur’ān
memiliki empat dimensi penafsiran: z}āhir, bāt}in, h}add, dan mat}la’.
Seperti H{adi>th yang diriwayatkan dari Abu> Ya‘la> yang sangat popular di
kalangan para sufi123:
)احلد يث(ولكل حد مطلعو بطن و لكل حرف حدلكل اية ظهر:ل اهللارسو قال
“setiap ayat mempunyai dimensi z}a>hir dan ba>t}in dan setiap huruf
terdapat had dan mat}la’”
Makna dari keempat istilah ini, seperti dijelaskan oleh Sahl al-
Tustari, terkait isi kandungan ayat-ayat al-Qur’ān secara keseluruhan
yang bisa dibedakan ke dalam 5 kategori: muh}kam, mutashābih, h}ala>l,
h}ara>m, dan amthāl.124 H{adi>th lain yang menjelaskan tentang makna
123Al-Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni, vol. 1, 7. H{adi>th mempunyai derajat Hasan danbisa didapati dalam kitab Musnad, S{ah}i>h{ Ibn H{ibban, al-T{abra>ni dalam al-Kabi>r dankitab al-Awsat }. Lihat lebih detail: al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n, 68.
124Sahl bin ‘Abd Allah al-Tustari, Tafsir al-Qur’ān al-Ad{īm (Cairo: Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubra, 1911), 3-5.
77
z}a>hir dan ba>t}in yang merupakan dua sifat atau karakter dari al-Qura>n
sendiri.
)احلد يث(ه ظهر و بطن فظاهره حكمة وباطنه عميق ل
“Al-Qur’a>n mempunyai dimensi lahir dan ba>t}in, dimensi lahirnya
adalah hikmah dan dimensi ba>t}in-nya adalah makna terdalam”.
Ada juga riwayat yang senada:
) احلد يث(هرو بطن إن القرأن انزل على سبعة احرف ما منها حرف اال وله ظ
“Al-Qur’a>n sesungguhnya diturunkan atas tujuh huruf, tidak ada
bagian huruf di dalamnya kecuali mempunyai dimensi z}a>hir dan ba>t}in”.
)احلد يث(ال تفىن عجائبه و ال تنقضى غرائبه , وان القرأن ظاهره عانيق و باطنه عميق
“Al-Qur’a>n sesungguhnya pada sisi z}a>hirnya adalah dangkal
sementara sisi ba>t}innya adalah dalam, tidak akan pernah lekang
keajaiban-keajaibannya dan tidak akan pernah tuntas keasingan-
keasingannya”
Hadits-h{adi>th di atas sering kita jumpai kitab-kitab tafsir
esoterik baik sunni maupun syiah. Tidak terkecuali dalam kitab rujukan
utama ilmu-ilmu tafsir seperti al-Burha>n fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n dan al-‘Itqa>n
fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n.125
Dalam hal ini, validitas tafsir memiliki lima zona kawasan, yaitu:
1. al-Fikh, 2. al-Baya>n, 3. al-Fahm, 4. al-Hakikat, 5. al-Had. Dari sinilah
yang kemudian mengilhami Imam Ja’far al-S{a>diq yang membaginya
menjadi empat arus kategori besar, yaitu: 1. al-Iba>rat sebagai ungkapan,
125Abba>s Ami>r, al-Ma‘na al-Qur’a>ni bayn al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l, 290.
78
2. al-Ishar>ah sebagai simbol, 3. al-Lat}a>’if sebagai kelembutan, 4. al-
Haqa>iq sebagai hakikat terdalam. Kemudian empat kategori ini
diekstraksi menjadi kaidah empat serangkai (al-Qa>idah al-Ruba>i’) yakni
z}a>hir, ba>t}in, had dan mat}la’.126
Dengan demikian al-Qur’ān tidak hanya memiliki satu arah
penafsiran yang monolitik, namun setiap ayat al-Qur’ān memiliki empat
wajah penafsiran (wuju>h atau ta’wi>l) sebagaimana disebut di atas.
Makna dari keempat istilah ini, meminjam konsep Sahl al-Tustarī,
berkait erat dengan isi kandungan ayat-ayat al-Qur’ān secara
keseluruhan bisa dibedakan ke dalam 5 kategori: Muh}kam, mutashābih,
h}ala>l, h}aram, dan amthāl127. Sebagaimana terlihat pada bagan di bawah
ini: Jika ditarik lebih jauh, kategorisasi-kategorisasi inilah yang
dimaksud Ibn ‘Abba>s (w. 430 H),128 sehingga akan didapatkan 4 dimensi
pemahaman terhadap teks al-Qur’ān yang secara kategoris dapat
dirangkum dalam bagan berikut ini129:
126Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 449.127John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation (New York: Prometheus Books, 2004), cet.ke-8, 243-244. Lihat juga:Sahl b. Abd Allāh al-Tustarī, Tafsir al-Qur’ān al-Az}īm (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Abiyya al-Kubrā, 1911), 3-5.
128Empat level Ibn ‘Abba>s ini, dalam versi Gerhard Bowering menjadi: literal,alegorical, moral, anagogical. Di mana menjadi konsepsi ta’wil bagi sufi Sahl al-Tustari. Lihat, Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam,139. Namun demikian, empat dimensi ini tidak sama dalam dengan penafsiran yangada dalam biblical seperti yang ditunjukan oleh praktisi penafsir Origen (w. 282), yangmenetapkan tiga tingkatan makna bagi penafsiran kitab suci. Yaitu, makna historis,moral, dan mistikal. Origen menolak makna harfiah, sementara al-Tustarimengakomodirnya. Lihat: Anwar Syarifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”, Jurnal Studi al-Qur’a>n (Vol. II, No. 1, 2007), 153.
129M. Anwar Syarifuddin, “Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan al-Qur’an dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (Vol. 1, no. 2, Desember 2004), 14.Praktikal adalah makna yang difahami kalangan awam, sementara legal adalah makna
79
Al-
Qur’ān
Z}āhirTilāwah
(Bacaan)Muh}kam
Mā arafahu
al-ArabPraktikal
H{addH{alāl wa
H{arām
H{alāl Al-h}alāl wa
al-h}arāmLegal
H{arām
Bāt}inFahm
(Ta’wīl)Amthāl
Ma arafahu
al-ulamā’Metaforikal
Mat}la‘
Ishrāf al-
qalb ‘alā
al-murād
bihā
Mutashābih
Ma la
ya‘lamu
ta’wīlahu illa
Allah
Testimonial
Tentu, tidak semua orang dengan kapasitas intelektual yang
dimilikinya mampu menelaah seluruh makna dari empat kategori tadi.
Dua aspek pemahaman yang berlaku umum dan sepatutnya diketahui
sebagai panduan hidup manusia adalah aspek praktikal dan legal dari
ayat-ayat al-Qur’ān yang dibangun sebagai landasan aturan-aturan
hukum. Hanya beberapa kalangan tertentu saja, seperti kalangan ulama
dan para sufi (urba>b al-sulu>k wa ulu>l al-‘aql wa al-ra>sikhu>n fi> al-‘ilm),
yang mampu menyelami aspek metaforikal dan testimonial ayat-ayat al-
Qur’ān dimensi ba>t}in.130 Konsepsi empat kategori makna di atas
yang terkait dengan aspek hukum, metaforikal adalah makna alegoris, sedangtestimonial adalah dimensi hakikat. Jika dibaca dari sebelah kiri, maka urutannyaadalah 4 level makna yang ada dalam al-Qur’an menurut H{adi>th (kolom 2), maknanyamenurut Sahl al-Tustari (kolom 3), 5 divisi al-Qur’a>n menurut Sahl Tustari (kolom 4),lalu 4 tingkatan tafsir menurut Ibn ‘Abba>s (kolom 5), dan terakhir analisis pribadi(kolom 6).
130Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘nafi> al-Nas} al-Qur’a>ni, 232.
80
merupakan dasar interpretasi kaum sufistik yang disebut sebagai dasar-
dasar empat siklus jejaring tafsir sufistik (qanu>n al-tarbi>‘ li al-ta’wi>l al-
sufi>) mencakup z}a>hir, bat}in, h}ad dan mat}la’.131
Di sinilah tampaknya hermeneutika model Hircsh sangat tepat
diaplikasikan. Karena kaum sufistik melakukan proses ini tidak lain
untuk mendapatkan validitas interpretasi penafsiran objektif. Senada
dengan Hircsh, kaum sufistik menyatakan bahwa intensi pengarang
harus mencerminkan keterukuran validitas interpretasi baik itu secara
makna verbal tulisan (baca: z}a>hir) maupun signifikan (baca: b}a>tin).
Artinya, intensi pengarang menjadi entitas yang menentukan di mana
fakta-fakta obyektif dapat dikumpulkan. Pengumpulan ini ditujukan
tidak lain untuk merengkuh makna pertama, yakni makna verbal,
tahapan selanjutnya makna tersebut dapat dibuat dan dikembangkan
serta tetap akan diakui sebagai makna universal yang valid.132 Di sinilah
pentingnya membedakan makna verbal (meaning) sebagai analisis
filologi intensif suatu verbal dan makna signifikansi (significance)
sebagai makna yang sama (meaningfulness) namun berada pada
persoalan yang berbeda.133 Meminjam bahasa Betty, ‘makna
(Bedeutung) harus dipisahkan dari signifikansi (Bedeutsamkeit)”.
Integritas filologi dan kemungkinan objektivitas penafsiran yang
mendekati validitas dimungkinkan jika sudah mencapai pada arah
131Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 338.132Richard E Palmer, Hermeneutics, Interpretation Theory ini Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: North Western University Press, 1972),cet. ke-2, 60.
133Hircsh,Validity In Interpretation, 246.
81
distingsi ini.134 Dalam diskursus tertentu, tujuan hermeneutika harus
memandang terhadap kejelasan makna verbal itu, jadi bukan sekedar
untuk mendapatkan makna signifikansi semata. Keduanya dengan
demikian berkelindan dan tidak bisa dipisahkan. Hircsh mengatakan:
Oleh karena itu, ketika saya mengatakan makna verbal itu tetap saya
bermaksud bahwa ia merupakan entitas yang identik dengan
sendirinya. Selanjutnya, saya juga bermaksud bahwa ia merupakan
entitas yang selalu tetap sama dari satu momen ke momen selanjutnya
yaitu ketidak berubahan. Tentu saja kriteria ini diimplikasikan dalam
suatu kebutuhan bahwa makna verbal merupakan peniruan kembali,
yaitu selalu sama dalam perbedaan bentuk penafsiran, dengan
demikian, makna verbal adalah substansinya sendiri dan bukan sesuatu
yang lain, dan ia selalu sama. Itulah apa yang saya maksudkan dengan
determinasi”.135
Tugas hermeunetika, lanjut Hircsh, adalah mendeskrpsikan
secara jernih pertautan perangkat justifikasi teoritik bagi determinasi
obyek interpretasi. Kemudian membentuk norma-norma di mana
ketetapan, ketidakberubahan makna identik diri dapat dipahami.
Singkatnya, menegaskan landasan makna apa yang bisa dipilih
dibanding makna lainnya yang kita sebut sebagai diskurus “validitas”
penafsiran. Ini yang semestinya diterapkan dalam displin hermeneutika.
Lebih tegas Hirsch menandaskan kecewaan pada hermeneutika
yang ada, bahwa sesungguhnya hermeneutika yang tidak berurusan
134Richard E Palmer, Richard E Palmer, Hermeneutics, Interpretation Theoryini Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, 60-61.
135Hircsh,Validity In Interpretation, 46.
82
dengan validitas bukanlah heremeneutika. Ia tidak segan mengkritik
arus hermeneutika yang diterapkan Heideggerian yang dianggap sudah
mapan itu sembari menyelanya karena telah mengesampingkan isu
validitas. Begitu juga ia menyela arus hermeneutika Schleiermacher dan
Delthy yang fokus kepada perhatian proses subyektif pemahaman. Hal
penting yang harus menjadi perhatian adalah persoalan mediasi antara
makna yang dipahami agar dapat menilai dengan adil, dengan persoalan
interpretasi yang paling memungkinkan menuju interpretasi yang benar.
Tentunya Hirsch juga menyadari bahwa hermeneutika awalnya
diskursus sederhana dalam pakem lama sebagai usaha filologis untuk
mengetahui apa yang dimaksud pengarang.136 Namun paradigmanya
akan menjadi berubah di tangan Hirsch dengan pendekatan logika
validitas, sehingga hermeneutika meniadakan “pemahaman” pada satu
sisi dan kritisme pada sisi yang lain. Hermeneutika menjadikannya
perangkat-perangkat prinsip bagi pengetahuan yang absah terkait
pengertian verbal teks penafsiran. Karena itu, konsepsi makna verbal ini
berdasarkan prasangka filosofis tertentu yang mengafirmasi bahwa
obyek intensional yang sama dapat difokuskan kepada beberapa
tindakan intensional yang berbeda. Inilah dasar filosofis Hirsch.137
Obyek hermeneutika merupakan momentum kata –seperti
disebut Ebeling. Pada perkembangannya, diperluas lagi dalam persoalan
realitas dan hakikat partisipasi pengarang dan penafsir dalam bahasa.
Hircsh telah berhasil mengkonstruksi sistem tunggal untuk sampai pada
yang dapat dibuktikan secara obyektif. Capaian prestasi terbesar yang
136Hircsh, Validity In Interpretation 57.137Richard E Palmer, Richard E Palmer, Hermeneutics, Interpretation Theory
ini Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer , 63.
83
dibuat Hircsh adalah pertama, makna tetap, yakni norma dan standarnya
harus sesuai intensi pengarang. Kedua, makna obyektif, yakni reproduksi
makna verbal sebagai sebuah makna yang selalu sama serta dapat
dipisahkan dari makna itu sendiri sesuai klaim pengetahuan obyektif.138
Dengan demikian, jika dikontekstualisasikan dalam kajian ini
bahwa penggunaan aspek ta’wil sufistik sangat menonjol, cara kerja
interpretasi ta’wil sufistik ini tidak hanya menghasilkan meaning berupa
makna z}a>hir, tetapi juga untuk menarik “isyarat” untuk mendapatkan
significance dalam bentuk ajaran moral yang menjadi tujuan sufisme.
Sehingga akan tercapailah validitas makna objektif sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Hircsh. Dalam kasus ini, contoh-contoh penafsiran sufi
al-Ji>lani yang akan dikupas pada bab inti sangat jelas mengungkapkan
dua dimensi ini, yaitu makna z}a>hir dan isyarat (meaning dan
significance), sehingga teori Hirsch bisa diterapkan.
F. Tradisi Penafsiran Mistis Agama-agama
Tujuan penulisan sub ini adalah untuk melakukan studi banding
dan pembelajaran terhadap diskursus penafsiran mistik yang memang
sudah ada sebelum penafsiran sufsitik bahkan sebelum Islam datang.
Namun demikian, bukan dalam artian penggiringan kepada satu hipotesa
bahwa penafsiran sufistik secara epsitemologis bersumber dari non
Islam. Kecuali jika kita sepakat bahwa beberapa laku asketis merupakan
produk impor dari luar Islam sehingga berpengaruh terhadap bentuk
penafsiran. Namun adanya persamaan epsitemologi dalam penafsiran
mistisme merupakan satu fakta ilmiah yang tidak terbantahkan. Hal ini
138Richard E Palmer, Richard E Palmer, Hermeneutics, Interpretation Theoryini Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, 71.
84
dengan menimbang dan melihat bahwa agama Yudio-Kristiani ataupun
Islam sama-sama memiliki Kitab Suci sebagai pedoman bagi
penganutnya. Praktis tidak akan jauh berbeda dalam menggumuli dan
menghadapinya dalam tradisi penafsiran mistik. Karena itu dengan
meneliti geneologi historitas tradisi ini, hermeneutika sufsitik
mempunyai jaringan tradisi yang hampir mirip dalam prinsip-prinsip
penafsiran bibel (principles of biblical exegesis).139 Di samping, dengan
mempelajari tradisi penafsiran mistis yang ada dalam Yudio-Kriastiani,
setidaknya akan terlihat kelemahan dari varian atau mazhab penafsiran
tertentu, seperti penafsiran sufistik-falsafi, sehingga memungkinkan
untuk menjadi amunisi kritik yang ada di dalamnya.
Sebelum melangkah, kita akan mendapatkan premis-premis
terkait adanya pretensi sumber keaslian tasawuf Islam seperti yang
dicatat oleh Louis Massignon melalui pendekatan filologis. Ia berhasil
merangkum geneologi mistisme Islam secara cantik dan impresif.
1. Sumber al-Qur’a>n, karena dalam al-Qur’a>n sendiri bertebaran lafal
dan ayat-ayat yang menyimpan gudang kekayaan termonologi yang
mendukung spritual mistisme seperti dhikr, sirr, qalb, tajalli>, istima>‘,
istiwa>, nafs mutma’inna (QS: 89:17), nur: Allah (QS: 24:35), haqq (QS:
22:6) dan masih banyak lagi. Disamping itu, al-Qur’a>n juga menyimpan
oposisi-oposisi terminologi yang berpasangan seperti z}a>hir-ba>t}in (QS:
57:3), t}ul-‘ard} (QS: 40:3), qabd-bast} (QS: 2:246), fana>-baqa>’ (QS:
26:27). 2. Periode awal gramatika. Gramarian atau ahli nahwu pra-
139Gerhard Bowering, “The Scriptural “Senses” in Medieval S{ufi Qur’a>nExegesis” dalam Jane Dammen McAulife(ed.), With Reverence for the Word:Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam (New York: OxfordUniversity Press, 2003), 352.
85
Sibaweih kerap kali melengkapi dan memberikan makna mistik terhadap
terminologi dan istilah yang digunakan dalam disipilin ilmu nahwu
sebagaimana mereka terinspirasi dari terma-terma al-Qur’a>n. Seperti
d}ami>r, huwa, s}ifa/wasf, haqiqa-maja<z, sha>hid, jam‘, ma‘rifat-nakirah,
‘illa, ha>l, kha>fi, tajalli, iqtira>n, mulhaq, ishar>a. 3. Peridoe awal ilmu
kalam, yakni sekte-sekte awal yang muncul dalam ilmu kalam Islam
seperti khawa>rij, murji‘a, qadariyyah dan jabariyyah. Dari sekte-sekte
ini mistisme mengadopsi terminologi yang biasa dipakai dalam
pembendaharaan ilmu teologi seperti ‘aql, ‘adl, tawhid, ‘arad-dha>t, s}ifa-
na‘at, sura>-ma‘na, qadi>m-muhdath (QS: 21: 2), tanzih, ‘azama, thubu>t,
wuju>d-‘adam. 4. Ajaran Hellenistik. Konstruksi mistisme dalam Islam
secara tidak langsung telah terpengaruh oleh kebudayaan filsafat
helllenistik, neo-platonik, hermetic sehingga menghasilkan sinkretik
filsafat tasawuf mistisme dalam Islam yang kemudian dikenal sebagai
nalar gnostik-’irfa>ni.140 \
Sejatinya, tafsir mistis (Isha>ri) telah berlangsung lama sejak
tradisi Yudio-Kristen. Yakni ketika kitab Bibel melakukan kontak
budaya dengan pengetahaun gnostik dan hermes. Istilah gnostik
merupakan kecenderungan usaha menyingkap rahasia-rahasia ketuhanan
dengan perantara pengetahuan yang paling tinggi. Dalam literatur Islam,
kaum sufi menamakannya dengan istilah kashf.141 Dalam terminologi
Yudio-Kristiani, seperti yang dijelaskan Jean Grondin dalam L’
universality de l'hermeneutique, bahwa kitab-kitab suci mempunyai dua
140Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language ofIslamic Mysticism, 34-37.
141Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘nafi> al-Nas} al-Qur’a>ni, 235.
86
makna, yakni makna literalis/z}a>hir dan makna majazi/isha>ri. Di mana
makna yang kedua adalah makna yang asasi dalam penafsiran kitab suci,
sebab akan selalu memperbarui diri sesuai kebutuhan dan, karenanya,
akan selalu aktif. Jika makna yang pertama, yakni makna z}a>hir,
membunuh makna teks, maka makna kedua akan menghidupkannya. Hal
inilah yang terjadi ketika Phillo Alexandria melakukan pemaknaan ulang
terhadap kitab Perjanjian lama. Bahkan Phillo-lah orang pertama yang
melakukan terobosan dalam metode mistis ketika menemukan
kebuntuan pemahaman pada eksoteritas kitab suci.142 Penting dicatat,
penafsiran mistis dalam tradisi Yudio-Kristiani adalah suatu penafsiran
yang didasarkan kepada pengalaman spiritual. Sehingga, dari hasil
pengalaman itu, menemukan rahasia atau esensi-esensi tersembunyi. Hal
ini bukan hanya pengalaman yang terjadi kepada Phillo Alexandria,
namun merambat kepada Clement, Origen sampai Pseudo-Dyonisus.143
Karena itu, kita tidak harus sungkan-sungkan mengambil
pelajaran dari tradisi Kristiani dalam mempelajari diskursus simbolik,
misalnya. Analogi dan simbolik merupakan dua bentuk simbolik yang
populer digunakan pada abad pertengahan oleh para agamawan Kristen.
Analogi merupakan perangkat yang digunakan untuk menafsirkan alam
kodrati dan eksistensi manusia. Tuhan menciptakan keduanya agar
manusia mampu menunjuk kepada pikiran dan maksud Tuhan.
Sementara alegori adalah perangkat yang digunakan untuk membaca
teks-teks kitab suci dengan melihat teks-teks tersebut. Teks tersebut
142‘Abd al-Ghani>Barah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 162143Lihat, Anthony, J. Steinbock, Phenomenology and Mysticism (USA:
Indiana University Press, 2007), 23.
87
menyembunyikan noktah kebenaran pesan Tuhan dan tugas manusia
untuk membuka selubung tersebut.144
Analogi dapat memperluas pengetahuan ilmu alam dan pada
puncaknya memperluas ilmu tentang Tuhan. Metode ini, dalam
pandangan penginjil merupakan cara terbaik manusia agar jangan cepat
berpuas diri dengan penggunaan harfiah yang terbatas atau justru
melampaui di luar batas yang ada. Tokoh yang getol menggunakan
metode analogi ini adalah Thomas Aquinas, di mana tidak ada yang
lebih hebat melalui Summa-nya yang massif yang telah menunjukkan
secara tegas dan jelas keberadaan wujud ilahi, sekalipun tidak mencakup
akan Tuhan secara keseluruhan.145 Karena itu, selalu ada resiko atau
bahaya di mana analogi dipusatkan perhatiannya kepada satu analogi
yang disimpulkan secara harfiah. Karena itu ia bukan satu-satunya cara
dan perangkat penafsiran Tuhan. Dalam tradisi Islam golongan ini lebih
populer dengan sebutan mazhab z}a>hiriyyah (ahli
rusu>m/mutkallim/mufassir ahka>m), karena mereka berlandaskan pada
nalar baya>ni dengan menggunakan perangkat qiya>s atau analogi.
Karena itu, untuk menuju kepada sesuatu yang transendental dan
mengurai makna maka metode alegori menjadi suatu alternatif. Namun
ini tidak mudah karena menyisakan perdebatan mengenai kontestasi
simbol bersaing melawan alegori. Sifat alegori memisahkan,
menyejajarkan, mengatakan hal yang satu namun memaksudkan hal
yang lain dari apa yang dikatakan. Ia merupakan suatu penerjemahan
pengertian-pengertian abstrak ke dalam suatu bahasa atau gambar di
144F.W. Dillistone, The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), cet.ke-5, 82.
145F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 83.
88
mana bahasa-gambar ini tidak lain hanyalah suatu abstraksi dari objek-
objek panca indra. Dengan kata lain, ia mewakili sesuatu yang abstrak
dengan susunan kata atau gambar yang tepat dan memikat. Dalam
tradisi Kristen, yang menggunakan metode ini pertama-tama adalah
Bapa Gereja Purba dan diteruskan oleh Teolog abad pertengahan karena
dua alasan. Pertama, mampu menjadi daya tarik perhatian orang dalam
pengalaman puitis dan peristiwa berulang-ulang, di mana para pujangga
mendapatkan ilham atau wahyu untuk mengucapkan atau menuliskan
kata-kata yang maknanya melampaui makna menurut kesadaran mereka
sendiri atau zaman mereka sendiri. Para penulis perjanjian lama jika
mendapatkan ilham mereka menafsirkan sesuai dengan kesaksian akan
misteri Kristus. Dalam tradisi sufistik Islam, disebut dengan istilah
panteisme (shat}ah}a>t) ilahiyah. Kedua, berpijak pada tradisi dan fakta
bahwa penafsir dewasa ini tidak akan melepaskan diri dari tradisi dan
pakem perjanjian lama gereja Kristen.146 Metode alegori merupakan
metode yang mengurai misteri teks-teks kitab suci dengan melampaui
makna yang jelas dalam wacana sehari-hari menuju kebenaran moral dan
mistis serta ruhani yang tertanam dalam kata-kata harfiah. St. Agustinus
memberikan ilsutrasi dengan menerangkan ayat perjanjian lama dan
baru, yakni dengan menunjukan istilah yang digunakan dalam perjanjian
itu, sesungguhnya menunjukkan realitas ruhani yang dapat
dipertanggung jawabkan. Para pendengar dan pembaca merasa turut
terlibat memecahkan misteri dan menguraikan teka-teki. Dengan begitu,
146F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 87.
89
tafsir terhindar dari pemahaman yang beku dan suram sebagai penafsiran
yang otoritatif dalam tradisi Kristen.147
Sementara dalam situasi yang berseberangan, para tokoh
reformasi Kristen cenderung menolak metode alegoris. Menurut mereka,
menghargai tradisi dalam tugas penafsiran tidak perlu harus menerima
bagaimana “cara tradisi asli” yang dilakukan oleh pemimpin gereja
kuno. Mereka memandang bahwa metode alegori hanya mendorong
untuk berkhayal dan tampak asing dalam menafsirkan kata yang
terlampau jauh. Dalam keadaan yang paling baik, cenderung untuk
meningkatkan kesesuaian satu-lawan-satu antara hal yang berlainan dan
bertolak-belakang. Dan hal ini dianggap asing bahkan bertentangan
dengan seluruh konsep simbolisme kreatif.148 Hakikat simbol adalah
mempersatukan dua entitas sementara hakikat alegori adalah
memisahkan dua entitas. Simbol selalu mengambil bagian realitas yang
dibuatnya dengan penuh pengertian dan karenanya dapat dimengerti
dalam komunitas simbolik.149 Ia menyatakan keseluruhan dan di lain
pihak simbol sendiri tetap merupakan suatu bagian yang hidup dari
kesatuan yang direpresntasikannya. Dalam hal ini terdapat dialektika
dan kesenyawaan antara harfiah dan simbolik; antara z}a>hir dan ba>t}in.
karakter simbol adalah menunjuk pada cakrawala yang luas tanpa
meninggalkan hubungan yang sudah menjadi tradisi. Ia memperluas
nama asli sedemikian rupa melalui adjektif, adverbial atau lainnya,
tetapi tetap mempertahankan susunan asli dengan menunjuk lebih jauh
lagi sesuai keakuan, imajinasi dan pengalaman sosial atau pribadi.
147F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 86.148 F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 88.149F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 88.
90
Dari paparan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa diskursus
perdebatan dan polemik di atas menjadi suatu keadaan yang menarik
untuk disimak lebih jauh. Adanya distingsi antara alegori dan simbol
sebab dalam dunia sufistik sendiri memang persis membedakan
keduanya: alegori lebih dominan dihasilan oleh sensor dan emosi yang
berasal dari cahaya iluminasi, sementara simbol merupakan hasil kreasi
dari bahasa, metafora, puisi, permainan kata-kata, kisah serta mitos
yang menjadikannya unik dan eksentrik dalam alam interpretasi
penafsiran sufistik.150 Dalam kacamata Bowering estimasi dalam tradisi
Yudio-Kristiani mungkin untuk ditemukan dalam tradisi sufistik. Ia
berhasil menemukan kecocokan epistemologi antara agama Judaisme
yang lebih menekankan arus utama metode alegori dengan sekte syiah
batiniah, ketika ia menemukan epsitemologi yang ditempuh oleh
Kristiani reformis pada aliran sufistik moderat, yang menggunakan
penafsiran simbolik atau menggabungkan zahir dan batin seperti yang ia
temukan pada tokoh Sahl al-Tustari yang begitu diidolaknnya sebagai
salah satu ikon Tasawuf Sunni.151
Hal ini bukan semata-mata masalah bahasa, sebab seluruh
pandangan manusia terlibat. Apakah manusia dan dunia sungguh
terpisah dan manusia senantiasa bertanggung jawab atas hubungan
dengan dunianya? Bagaimana mempersatukan realitas adikodrati dan
transduniawi? Jawaban atas rentetan pertanyaan di atas hanya bisa
ditemukan dalam dunia simbol kreatif. Simbolisme berkaitan dengan
150Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical Islam,138.
151Gerhard Bowering, “The Scriptural “Senses” in Medieval S{ufi Qur’a>nExegesis” dalam Jane Dammen McAulife(ed.),With Reverence for the Word: MedievalScriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam, 353.
91
jawaban usaha mempersatukan hidup duniawi dengan ilahi dan
keikutsertaan dalam realitas transenden yang memang melampaui
bentuk-bentuk duniawi, namun juga dimanifestasikan dalam bentuk-
bentuk yang tidak lepas dari sifat keduniawian. Sementara alegori
berkaitan dengan bentuk-bentuk kehidupan agama yang bersifat
sektarian dengan memisahkan diri dari dunia secara ekstrim, di mana
kita dituntut meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki “syahwat
ilahi” dalam realitas tertinggi yang adikodrati.152
Yang menarik bahwa level empat siklus jejaring tafsir sufistik ini
(qanu>n al-Tarbi’/fourfold system) ternyata mempunyai titik korelasi dan
kemiripan dengan kitab Bibel abad pertengahan, sebagaimana yang
dikemukakan oleh beberapa sarjana Barat yang mendukung postulat ini:
Z{ahi>r: historia, Ba>t}in: alegoria, H{ad: tropologia, Mat}la’: anagoge.
Namun demikian, penting ditekankan bahwa relasi ini tidak bisa
dibenarkan sepenuhnya, seperti halnya alegorisme dalam tangan Phillon
dalam menerapkan Bibel, kendatipun secara prinsipil hampir sama,
namun sebagai agama yang berbeda mempunyai tradisi dan istilah yang
berbeda pula dalam pemaknaan sebagaimana yang telah kita maklumi.153
Tingkatan makna ini jika melihat tradisi penafsiran dalam Kristiani
adalah littera gesta docet, quid credas alegoria, moralis quid agas, quo
tendas anagogia. Sementara dalam tradisi penafsiran Judaisme adalah
peshat (literal meaning), remez (methaphorical interpretation), derash
(homiletical interpretation), sod (esoteric interpretation). Formulasi
istilah ini sekalipun berbeda istilah sesuai tradisi agamanya namun
152F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 89.153 John Wansbrough, Qur’anic Studies, 243.
92
secara prinsipil menghasilkan terminologi yang sama: literal, alegorical,
moral/tropological, anagogical.154 Jejaring makna ini merupakan jejaring
yang bertingkat (fourfold system) di mana hal ini merupakan formula
yang pertama kali diterapkan dan para Mufassir Sufi selalu menekankan
pertama kali kepada makna z}a>hir sebelum melangkah pada makna-
makna selanjutnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai korelasi
pencocokan makna yang senyawa antara z}a>hir sebagai aplikasi literal
(tat}bi>q) dan ba>t}in sebagai isyarat samar (isyara>t kha>fiyah/paralelisme
simbolis (symbolic parallelism).155
154Gerhard Bowering, The Scriptural “Senses” in Medieval S{ufi Qur’a>nExegesis, (Jane Dammen McAulife, ed.) With Reverence for the Word: MedievalScriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam, 352-353.
155John Wansbrough, Qur’anic Studies, 243.
80
BAB III
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> dan Karya Tafsirnya
Penulisan suatu biografi merupakan tugas penting dalammemahami pemikiran kesarjanaan seseorang. Dalam hal ini, penulissekedar menjelaskan kehidupan ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni dan terbatas padahal-hal yang berkaitan dengan karya tafsirnya. Hemat penulis,kehidupan al-Ji>la>ni> sudah semestinya diulas di sini sebagai pengantaretnografi dan sosio kultural keberadaan kitab tersebut agar bisa lebihmengenal karakter dan latar belakang pembuatan tafsir tersebut, sertadalam kondisi seperti apa dan periode kapan tafsir tersebut dikarangoleh al-Ji>la>ni>. Tentu sejarah terkait sesuatu tidak akan terlepas dariruang dan waktu. Artinya, selalu ada sejarah yang membentuk disekitarnya, dan di sinilah pentingnya mengulas sosok al-Ji>la>ni> denganmengurai riwayat hidup, jaringan intelektual berikut geneologi matarantai pendidikannya, atmosfir sosio-kultural pada masanya, coraksufisme agar mudah menemukan “identitas tasawuf”, serta juga karya-karyanya agar bisa mengenal genre tafsirnya. Di samping itu,pendeteksian atas orisinalitas karya tafsirnya bisa sangat terbantudengan mengkaji karya-karyanya yang lain dengan pendekatan studiintertekstualitas.
Sub A diurai untuk menjawab pertanyaan mendasar. Dalam halini, ada pertanyaan menarik yang pantas dimunculkan: Bagaimana al-Ji>la>ni> mampu mempertemukan kecenderungan epistemik mazhab al-Hanbali yang literal-skriptual dengan sufisme yang cenderung illiteral?
Selanjutnya, setelah mengupas lingkungan ma> h}awlahu/eksternalal-Ji>la>ni> sebagai pengantar antroposentrisme, kemudian diulas ontologidan internalitas karya tafsir secara lebih dekat guna mengenalorisinalitas, tinjauan umum, penyajian, berikut karakter tafsir tersebut.Dengan demikian, setidaknya kita bisa mengetahui bahwa keberadaantafsir ini tidak lain memiliki tujuan untuk meredam berbagai genre tafsireksoteris yang selama ini dipenuhi dengan berbagai perbedaan pendapat
81
dan kontradiksi.1 Karena bagi al-Ji>la>ni, penafsiran hasil dari pengalamanspiritual merupakan wadah universal akhlak dan spritualitas, disampingitu memberikan kepuasan dimensi makna yang lebih mendalam sebagaicapaian keinginan dari setiap peminat kajian al-Qur’an.
Di sisi lain, kondisi sosio-kultural yang mengitari al-Ji>la>ni padamasa itu yang memprihatinkam dalam degradasi moral, menjadi pemicudalam membangun misi dan visi dakwah yang lebih bermoral. Dalamkerangka setting sosiol-kultural seperti ini, al-Ji>la>ni melahirkan karyatafsir sufistik yang diproyeksikan tidak hanya membangun tatananmasyarakat madani dan beradab serta menonjolkan etos sufistik. Takayal, background sosio-kultural munculnya Tafsir al-Ji>la>ni> dikarangkurang lebih untuk rekonsialisi peradaban masyarakat dan bentuk kritiksocial pada masanya.
A. Biografi
1. Riwayat Hidup, Jaringan Intelektual, dan Kontribusi
Ulama klasik dan modern telah banyak yang mengupas biografial-Ji>la>ni> dari berbagai sudut pandang. Pada era ini muncul MuhammadFad}i>l al-Ji>la>ni>, ulama keturunan langsung al-Ji>la>ni>, yang concernmenyunting dan mempublikasikan silsilah kitab-kitab al-Ji>la>ni>.
Al-Ji>la>ni> mempunyai nama asli dengan riwayat nasab panjanghingga bertemu Rasul, Muhyiddin ‘Abd al-Qa>dir ibn Fatimah bintiAbdillah ibn Mahmud ibn Abi al-Atha ibn Kamaluddin ibn Abi AbdillahAladudin ibn Ali Ridha ibn Musa al-Kazim ibn Ja’far al-S}a>diq ibnMuhammad al-Ba>qir Ibn Zain al-Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Ali Ibn
1Sebagaimana yang ia lakukan dalam kitabnya Futu>h} al-Ghaib, ia mencobamendamaikan dua kubu ekstrim antara kalangan zahiriyyah (ahlu rusu>m) dan kalanganbatiniyyah dengan mengambil jalan tengah antara keduanya. Ia bahkan memulaidiskursus yang memisahkan antara Tuhan dan kemanusian. Lihat: Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of Abdul Qadir Gilani’s Discourse”dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), Contemporary Relevance of Sufisme (NewDelhi: Indian Council for Cultural Relations, 1993) cet. ke-1, 324.
82
Ali Abi Talib.2 Mengenai penisbatannya yang bersambung kepadaHasan ibn Ali RA, menurut minoritas ulama atau kepada Husainmenurut mayoritas ulama, hal ini merupakan perselisihan seputar nasabal-Ji>la>ni>, sebagaimana perselisihan juga terjadi pada rangkaian hirarkileluhur al-Ji>la>ni>. Namun terdapat nasab yang disepakati oleh parapenulis biografi bahwa al-Ji>la>ni> adalah keturunan Ali ibn Abi> T{a>lib danFa>timah al-Zahra.3 Sebagaimana kesepakatan itu dirangkum baru-baruini oleh cucu al-Ji>la>ni>, Muhammad Fa>d}il, sekaligus penyunting Tafsir al-Ji>la>ni> .4
Al-Ji>la>ni> mempunyai tiga gelar sesuai kapasitasnya. Dalampenasaban, al-Ji>la>ni> bergelar Majal ibn Hasan ibn al-Masna ibn al-Hasanibn Ali> ibn Abi> T{a>lib. Dalam keulamaan ada beberapa sematan gelar, IbnKathi>r menjuluki Shaikh ‘Abd al-Qa>dir ibn Abi> Sa>lih Muhammad al-Ji>li,Ibn Athi>r menjuluki Abu Muhammad al-Ji>li>, sementara ulama modernseperti al-Dh{ahabi menyebutnya ‘Abd al-Qa>dir ibn Abi> Abdillah ibnJanki Dausat al-Ji>li>. Adapun gelar akademik, al-Dhahabi menyebutnyaShaikh al-Isla>m dan al-Sam’ani menjuluki sebagai Imam al-Hana>bilahsebagaimana dinukil Ibn Rajab. Sementara dalam persepsi sufistik al-Ji>la>ni> merupakan sosok yang begitu diagungkan dan menjadi ikon rajapara wali sultan al-‘Awliya’, al-Qut}b al-Rabbani, al-Ghauth, al-Ba>z al-As}hab, dan lain-lain.5
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> lahir di salah satu kota kecil, Niff, dikawasan Ji>la>n atau Kaylan, Iran pada 490 H. Sementara para sejarawanmodern bersepakat bahwa al-Ji>la>ni> lahir pada 470 H/1077 M, dan wafatpada tanggal 10 Rabi’ al-Thani tahun 561 H di daerah Bab al-Azaj,Baghdad.6 Al-Ji>la>ni> hidup selama 90 tahun –versi lain menyebutkan 92
2‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Sirrul Asra>r (Cairo: al-Bahriyyah al-Mishriyyah, tt),3.
3Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Imam al-Za>hidal-Qudwah (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1994), cet. ke-1, 88.
4Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qa>diriyah (Istanbul: Markaz Al-Ji>la>ni> li al-Buhu>tsal-‘Ilmiyyah, 2009), cet. ke-1, 67-61.
5Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qadiriyyah (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni>lil al-Buhu>ts al-‘iImiyyah 2010), cet. ke-2, 73.
6Termasuk yang setuju dengan pendapat kelahiran al-Ji>la>ni> pada 1077 M.adalah Chaiwat Satha-Anand. lihat Chaiwat Satha-Anand “Self as a Problem in Islam:
83
tahun.7 Keterangan yang disebut oleh Ibn al-Jauzi dalam al-Muntaz}im—di mana Ibn Jawzi termasuk sosok yang semasa dengan al-Ji>la>ni>, yaitulahir pada 471 H, dan wafat pada malam Sabtu 8 Rabi al-Tsani tahun561 H dalam usianya yang mencapai 90 tahun. Pendapat terakhir inirelatif dapat dipertanggung-jawabkan tentang kelahiran dan wafatnyaal-Ji>la>ni>.8
Pada masa itu, seorang ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni> kecil ketikaberada di negeri Ji>lan sangat haus mendapatkan ilmu-ilmu agamaagama. Terlebih Baghdad saat itu merupakan ibu kota peradaban Islamsehingga membuat al-Ji>la>ni> kecil terobsesi menuntut ilmu ke Baghdad.Baghdad merupakan tempat tinggal Ahmad bin Hanbal, seorang sosokyang sangat dicintai dan dikagumi oleh penduduk Ji>la>n, sehinggamenjadi wajar jika penduduk kota Ji>la>n menganut mazhab Hanbali.Keberadaan Ahmad bin Hanbal inilah yang semakin menambahkerinduan sosok al-Ji>la>ni> kecil kepada kota Baghdad.9
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni >>datang ke Baghdad pada 488 H,bertepatan dengan wafatnya Abu Fa>d}il Abdul Wahid al-Tamimi danmerupakan tahun di mana al-Ghazali meninggalkan pengajaran dimadrasah al-Nizamiyah di Baghdad, lalu kemudian mengasingkan diridan bersembunyi di Syam dan Baghdad.10 Saat itu al-Ji>la>ni> berusia 18tahun dan Baghdad sedang dalam masa kejayaan dan keemasannya.Baghdad menjadi pusat keilmuan dan kebudayaan dunia. Selama diBaghdad, al-Ji>la>ni> sempat mengalami lima masa kekhalifahan; al-Mustaz}hir, al-Murtashid, al-Rashi>d, al-Muqtafi, dan al-Mustanjid.11
A Reading of Abdul Qadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.),Contemporary Relevance of Sufisme, 323.
7Abd al-Razzaq al-Kaelani, Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: Guru PencariTuhan (Bandung: Mizania, 2009), cet. ke-1, 86.
8Abd al-Razzaq al-Kaelani, Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: Guru PencariTuhan, 88.
9‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hidal-Qudwah (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), cet. ke-1, 93-94.
10‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 99.
11 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 101.
84
Karir intelektual Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> selama di Baghdaddiklasifikasikan menjadi dua masa. Pertama, periode masuk Baghdadsebagai babak memulai ekspedisi intelektual dengan menimba berbagaidisplin ilmu. Inilah fase pembelajaran yang didapat dari satu madrasahke madrasah lain dan dari satu guru ke guru lain di Baghdad. Periode initerhitung mulai 488 H hingga 521 H. Kedua, masa sejak al-Ji>la>ni> belajardan memberikan pengajaran di madrasah di Baghdad pada 521 H sampaiia wafat tahun 561 H.12
Pada periode pertama, al-Ji>la>ni> menimba berbagai disiplin ilmu.Di bidang fikih, ia berguru pada Abu> al-Wafa’ Ali> ibn ‘Aqil al-Hanbali>dan Abu> al-Khithab Mahfudh ibn Ahmad al-Kalwadzani al-Hanbali>. Dibidang ilmu sastra, ia berguru kepada Abu> Zakariya Yahya al-Tibrizi>. Dibidang ilmu hadits, al-Ji>la>ni> berguru kepada ulama H{adi>th terkemuka, diantaranya Abu> Gha>in al-Ba>qilani>, Ibn Khunais, Abu> H{ana>im al-Ra>si,Abu> Bakr al-Tammara, dan Abu> Muhamad al-Sirra>j. Sementara dalamdisiplin tafsir dan ilmu al-Quran, ia menimba ilmu dari Abu> Wafa>’ Ali>bin ‘Aqi>l, Abu> al-Khithab Mahfu>z} al-Kalwadzani, Abu> al-Ghanaim, Abdal-Rahman bin Ahmad bin Yusuf, Abu al-Barakat Hibatullah al-Muba>rak, dan lain-lain.13
Al-D}hahabi mencatat al-Ji>la>ni> mempelajari sufisme kepadaH{ammad Ibn Muslim al-Dibas, sebagaimana juga diafirmasi oleh Ibn al-Ima>d. Terkait ketekunan yang luar biasa ini, Ibn Taymiyyah menyatakanbahwa al-Ji>la>ni> dan H{ammad adalah ahli istiqamah.14 Dalam beberapaketerangan sejarah, fikih mazhab Hanbaliyyah dan Shafi’iyyahmerupkan ilmu yang paling ditekuni oleh al-Ji>la>ni. Setelah menguasaifikih, al-Ji>la>ni> kemudian melengkapinya dengan tasawuf.15
12‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 102.
13‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 109.
14Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>(Yogyakarta: STIQ an-Nur, 2010), cet. ke-1, 67.
15 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 109.
85
Sementara periode kedua adalah periode dakwah sebagai mastersufi. Periode ini dimulai sejak al-Ji>la>ni> berperan menggantikan gurunya,al-Mukharrami>, yang wafat pada tahun 521 H. Al-Ji>la>ni> adalah muridterbaik yang dipercaya oleh al-Mukharrami> sebagai penerusnya dimadrasah yang ia miliki.16 Sehingga sejak saat itu al-Ji>la>ni> disibukkanoleh kegiatan mengajar dan menulis beberapa karya. Pada masa inilahal-Ji>la>ni> mencapai puncak intelektual dan menjadi maha guru sufisetelah mendapatkan ilmu tasawuf dari Hammad bin Muslim al-Dabbasidan guru fikihnya, al-Mukharrami.17 Bisa jadi pada periode inilah Tafsiral-Ji>la>ni> ditulis, sekitar tahun 521 H hingga 561 H.
Namun demikian, sekalipun al-Ji>la>ni> adalah master sufi, disiplinilmu pertama yang justru dipelajarinya adalah disiplin keilmuan fikih, dimana tingkat penguasaannya telah sampai pada taraf pemegang otoritasimam bagi mazhab Hana>bilah. Karena kapasitas keilmuan fikih yangmumpuni ini, ia bahkan masuk ke dalam salah satu deretan ulama fikihHanbali yang disegani semenjak Ahmad bin Hanbal pertama kalimeletakan pondasi pemikiran mazhabnya. Kontribusinya yang signifikandalam teologi kepada mazhab Hanbali adalah mengembalikan reputasimazhab tersebut ketika terkena fitnah bahwa Tuhan mempunyai sifatantroposentrisme seperti halnya sifat-sifat manusia karena karangansalah satu ulama hanabilah, Abu> Ya’la (457 H.) mengarang buku tentangsifat Tuhan yang mempunyai antroposentrisme. Al-Ji>la>ni> tampilmenyelamatkan kekisruhan ini dan melakukan upaya tabayun konsepsiakidah.18 Kehadiran sosok al-Ji>la>ni>, sebagai seorang hanbalian yangtetap konsisten terhadap pakem literalis mazhab namun tetapmerupakan sufi besar sepanjang sejarah (Sultan al-’Awliya>’), telahmematahkan hipotesa yang menyebutkan bahwa inklinasi sufistik dalamruang mazhab Hanbali adalah kelemahan dalam bermazhab, mengingatbahwa karakter mazhab Hanbali cenderung literal-skriptual dan lebih
16‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 126.
17‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 125.
18 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 102.
86
mengandalkan normatif teks. Sufisme merupakan fase terakhir epistemmazhab fikih yang dikenal berasaskan “hitam putih” dengan hanyamelihat fenomena obyek hukum. Namun di sini, al-Ji>la>ni >mampumelampaui batasan norma-norma fikih tanpa menerjangnya (hadmshariah) dengan semata mengasah penglihatan batin (bas{irah) hinggamemperlihatkan cahaya kebenaran. Dengan demikian, mazhab Hanbaliyang dianggap skriptual ternyata bisa sinergis dengan sufisme dalammenerima cahaya kebenaran, yang berasal dari keyakinan kebenaranmakna literalistik.19
Sebagian ulama salaf seperti Imam al-Sha’rani menilai bahwaal-Ji>la>ni> mengkompromikan mazhab Hanbali dan al-Shafi’i dalam fikih.Setelah waktu sembahyang z{uhur, al-Ji>la>ni> membaca ilmu qira’a>t dankemudian memberikan fatwa dengan kedua mazhab. Fatwa-fatwanyasering membuat orang yang mendengarnya takjub.20 Sebagian ulamaberpendapat bahwa keteguhan al-Ji>la>ni> dalam mazhab Hanbali adalahuntuk mempertahankan mazhab ini dari kepunahan. Hal ini dibuktikanoleh salah satu muridnya, Ibn Quddamah, yang pada akhirnyamempunyai peranan besar dalam pengembangan dan pelestarian mazhabHanbali.
Al-Ji>la>ni> menghabiskan 32 tahun mempelajari berbagai cabangkeilmuan. Ia membangun kepakaran dalam 13 cabang ilmu. Ia kemudianmendedikasikan diri mengajar dan didaulat menjadi rujukan fatwa sejaktahun 520 H. Disamping kesibukannya itu, ia memegang madrasah danribath. Madrasah ini didirikan sejak al-Ji>la>ni> berada di Bagdad sejaktahun 521 H sampai wafatnya tahun 561 H. Karir mengajarnya dimulaipada 1118 M, dan selama hidupnya ia dikenal memiliki ribuan pengikutyang tidak hanya dari kalangan muslim, tetapi juga dari kalangan non-muslim untuk menyimak pencerahan spiritual yang ditujukan terhadapsemua lapisan masyarakat dan pemeluk agama lain.21 Bahkan banyakpemeluk agama Yahudi dan Kristen yang memeluk agama Islam melalui
19Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, 66.20Al-Sha’rani, T{abaqa>t al-Kubra> (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), 109.
21Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of AbdulQadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), ContemporaryRelevance of Sufisme, 322.
87
tangannya.22 Hal ini mengingat bahwa ajaran taswufnya bersifatuniversal dan toleran dalam interaksi hubungan antara Tuhan danmanusia, sehingga menjadi pedoman pemahaman inter-religi antaraIslam dan Buddhisme.23
Setelah ia wafat, madrasah itu diteruskan estafetkepemimpinannya oleh putranya, ‘Abdul Wahab (w. 593 H), laluditeruskan oleh ‘Abd Salam (w. 611 H), dan terakhir oleh Razzaq (w.603 H), putra kedua ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>. Madrasah Qa>diriyah inimasih berkembang sampai sekarang. Madrasah ini menyimpan banyakmanuskrip karya al-Ji>la>ni> dan salah satunya adalah Tafsir al-Ji>la>ni>.Al-Ji>la>ni> menelurkan banyak murid yang menjadi ulama terkenal sepertiIbn Qudamah, dengan magnum opusnya al-Mughni, sebuah kitab babonmazhab Hanbali. Murid lain tak kalah hebat, al-Hafidz Abd al-Ghanipenyusun kitab al-‘Umdah al-Ah}kam fi Kalam al-Khair al-Ana>m.24
Tarikat al-Qa>diriyah sendiri mulanya dari tempat di mana al-Jilani mengajar sampai akhir hayatnya di sebuah madrasah peninggalanal-Mukharrami, gurunya. Madrasah itu dibeli dari ahli waris al-Mukarrami oleh kaum dermawan hingga dibangunlah menjadi madrasahyang mapan untuk pengajian murid-murid al-Ji>la>ni>. Dari sinilahkemudian dikenal tarikat al-Qa>diriyah hingga sekarang.25 Tarikat inidikelola oleh para putra dan murid setianya untuk melanjutkan ajaran-ajaran spritualnya al-Qa>diriyyah dan merupakan tarekat pertama yangdiorganisasikan dalam rangka tujuan-tujuan sufistik. Tarekat inilah yangdikenal kemudian sebagai tarikat yang mempunyai salah satu pengikutterbesar Islam sedunia. Bahkan telah berjasa dan berkontribusi terkaitpelestarian dan kebangkitan spritualitas dunia Islam dan sumbanganperkembangan sufisme terutama melembagakan suatu tarekat yang pada
22Lihat: E.J. Brill (ed.), The Encyclopedia of Islam (Leiden: EJB, 1986), cet.ke-1, vol. I, 69.
23Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of AbdulQadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), ContemporaryRelevance of Sufisme, 323-326.
24 Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, 69.25‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-
Za>hid al-Qudwah, 127.
88
akhirnya turut menyuburkan spritualitas Islam dan ajaran Islam dikalangan umat sedunia.26
Kehidupan al-Ji>la>ni> yang penuh dinamika intelektual itumemberikan impul bahwa al-Ji>la>ni> memberikan karakter pada tafsirnyasebagai tafsir yang sangat memperhatikan aspek syariah. Hal ini daribeberapa pertimbangan. (1) al-Ji>la>ni> mengawali karir intelektual dariajaran fikih kemudian bertransformasi kepada tasawuf. (2) fikihdipelajarinya secara tekun dan mendalam tidak hanya sebataspermukaan sehingga dikenal dan diakui oleh guru fikihnya, Dabbassebagai ahli fikih sejati. Seperti kejadian dimana al-Ji>la>ni> terjatuh disungai, ia sekalian meniatkan sunah mandi sembahyang jum’at sebabtanpa niat tidak akan sah. Hal ini tidak akan terjadi kecuali seorang yangpaham fikih. (3) Guru fikihnya, al-Dabbas, sering menguji dan al-Ji>la>ni>sukses melewati ujian tersebut. (4) Ia dikarunia sifat kebijakan dan hatiyang ajeg. (5) Mempunyai obsesi dan cita-cita mulia yang ditancapkansehingga melalui hidupnya penuh kesusahan dan rintangan.27
2. Setting Sosio-Kultural Pada Masanya
Al-Ji>la>ni> menuju Baghdad pada tahun 488 H>. Saat itu wilayah inisedang mengalami puncak pemikiran dan peradaban, kendatipun di balikkeramaian intelektual dan megahnya peradaban, dalam saat yang samaBaghdad merupakan negeri yang dijangkiti oleh dekadensi moral danspiritual para penghuninya. Baghdad yang saat itu merupakan sebuahnegara adipower dengan jutaan penduduk dan merupakan ibu kota bagisebuah imperium terbesar sepanjang sejarah.28 Namun di dalamnyamenyisakan nuansa kehidupan sosio-politik yang penuh pertikaiankonflik kepentingan dan politik, disamping para penguasa dan kaumborjuisnya yang lekat dengan pola hidup materialism dan hedonisme.
26Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, 69.27 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-
Za>hid al-Qudwah, 117.28 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-
Za>hid al-Qudwah, 105.
89
Keadaan ini sungguh kontras dan ironi tidak sebanding lurus dengankeberadaan universitas bergengsi, al-Niz}a>miyyah –dimana al-Ghazalimenjadi kepala universitas–, sebagai pusat pendidikan yang seharusnyamenjadi sentral peradaban dan pengaturan manusia.29 Kemajuanpengetahuan kerap kali memang tidak berbanding lurus denganterbangunnya peradaban manusia yang lebih baik. Fenomena inimenjadikan al-Ji>la>ni> yang baru memulai kehidupan awal di Baghdaddilanda stress dan ujian yang berat. Ia kerap dilanda fitnah, kefakiran,kelaparan tenggelam dalam berbagai kegelisahan dan perenungankontemplatif, tidur di emperan dan puing-puing bangunan sampaidigelari ‘Abd al-Qa<dir al-Majnu>n, si gila.30
Saat itu, kerap terjadi pertikaian tajam antara para pengikutmazhab. Bahkan sesama mazhab sunni saling memfitnah danmenumpahkan darah. Pengikut Hanbali berseteru tegang denganpengikut Hanafi masalah perbedaan dalam penafsiran al-Qur’a>n ataukasus minuman nabi>dh. Begitu juga pengikut Hanbali dengan pengikutShafi’i bertikai masalah jahr atau hukum mengeraskan bacaan basmalahdalam shalat.31 Diakui bahwa mazhab pemikiran pada masa ini terkesanmengekspresikan kebingungan dan anarki ketimbang penguatan spiritualdan intelektual. Ditambah lagi para ulama mazhab pun ikutmempropaganda dengan mengarang kitab yang makin memperuncingkeadaan seperti yang dilakukan Abu> Ya’la> ketika mengarang kitab sifat-sifat Tuhan.32 Dalam keadaan itu Islam mempunyai masalah internal daneksternal yang serius. Pertama, Perpecahan Abbasiyyah akibatkekuasaan. Kedua, serangan pasukan Salib hingga melakukanpembantaian masal. Dua faktor ini seolah menjadi krisis yang kianmelengkapi keburukan situasi umat Islam yang tengah krisis dan
29 29‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 105.
30‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 104.
31‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 102.
32‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 102.
90
membutuhkan pembaharuan moral dan kebangkitan spiritual. UmatIslam menjadi terpecah-belah dan saling bermusuhan satu sama lain.33
Keprihatinan al-Ji>la>ni> melihat fenomena negeri di mana satu sisimerupakan mercusuar peradaban Islam waktu itu namun di sisi laindekadensi moral, kemiskinan dan penderitaan terjadi dalam saatbersamaan menjadikan al-Ji>la>ni> sudah tidak merasa nyaman tinggal dial-Niz}amiyyah, hingga baru beberapa saat di al-Niz}amiyyah, ia sudahmemutuskan untuk hengkang menuju Damaskus hingga tidak seorangpun tahu keberadaanya.34
Keberadaan situasional Baghdad yang demikian kontras,merupakan penegas cikal bakal benih-benih kehancuran Baghdad dariinternal. Persoalannya hanya tinggal menunggu waktu kehancurannyasaja. Moralitas sebagai sebuah pondasi bagi rakyat sudah tidakterbangun secara massif dan tidak ada kesadaran menuju reformasipembangunan mental spiritual. Karena itulah, seolah sudah disettingsedemikian rupa oleh tangan Tuhan, ketika Hulagu Khan datangmenyerang dan memporak porandakan negeri Baghdad, maka ibukotametropolitan itu langsung jatuh ke tangan musuh seolah menjadipenegas betapa kehancuran-kehancuran yang dialami Baghdad ternyatatelah berlangsung jauh sebelum yang diperkirakan orang. Hal inimengingatkan runtuhnya peradaban Baghdad hampir sama denganperistiwa hancurnya Imperium Romawi di Barat karena Romawi sedangberada dalam titik nadir kehancuran. Artinya, serangan fisik hanyasekedar penegas bahwa kelemahan dan kelengahan diam-diam telahmerasuki bahkan sebenarnya telah runtuh secara sistemik tanpamasyarakat menyadarinya.35
33 Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, 64.34Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid
al-Qudwah, 106.
35Ketika Khulagu Khan dan pasukan Tartar merengsek ke Bagdad padatahun 650 H. banyak keturunanal-Ji>la>ni> yang menjadi korban peperangan. Tartar jugamenghancurkan madrasah dan masjid yang dibangun al-Ji>la>ni>. Madrasah dan masjidyang hancur lebur ini dibangun kembali pada tahun 914 H. lihat: ‘Abd. Al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar, 66-67.
91
Ketika al-Jila>ni> hengkang, ia pernah berkeinginan untukmeninggalkan Baghdad. Ia hampir putus asa dan mengurungkan niatmenuntut ilmu di Pusat Peradaban Islam, Baghdad. Karena kehilangandimensi spirit religiusitas dalam ranah keagamaan. Agama lebih sekedarsimbol ritual belaka tanpa melihat nilai substansional. Tentu tantanganal-Ji>la>ni> hidup di tengah-tengah masyarakat yang demikian menjaditantangan berat sehingga banyak merenung dan bertafakur ketika dalampengembaraannya. Ia memperbaharui niat dengan tujuan awalnya “akuharus menyempurnakan jalan dan meraih cita-citaku di negeri ini”.36 Iabahkan menganggap kondisi sosio-kultural inilah yang justru menjadipelecut baginya untuk membangun misi dan visi dakwah yangberorientasi ke masa depan yang lebih bermoral. Dalam kerangka settingsosiol-kultural seperti ini, al-Ji>la>ni> ia menulis sebuah tafsir sufistik yangdiproyeksikan demi tujuan kritik sosial. Tentu dengan memahami secarautuh background sosio-kultural munculnya Tafsir al-Ji>la>ni>. Tujuannyajelas yakni merubah tatanan masyarakat menuju masyarakat bermoraldan berspiritual.
3. Corak Sufisme dan Karya-karyanya
Tasawuf yang benar dalam pandangan al-Jila>ni> adalah integrasikeilmuan yang berlandaskan al-Qur’a>n dan H{adi>th serta konsistensipengamalan ajaran Islam dengan menjernihkan jiwa dan pikiran melaluipembersihan hati. Yakni dengan cara mengaktualisasikan dirimenyembah kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh dan memilikiakhlak yang terpuji ketika interaksi dengan manusia. Tasawuf yangbenar tidak hanya memiliki dampak kepada individu namun juga kepadasosial.37 Sufime al-Ji>la>ni> berdiri di atas landasan syariat yangmenekankan ilmu ketajaman interpretasi teks, serta amal yang didorongoleh kejernihan batin, untuk menjustifikasi atas penemuan-penemuanpengalaman batin. Penyucian batin merupakan uji sintesa ketika hati
36Al-Kaelani, Shaikh Abdul Qadir al-Jailani, 106-107.37 Fad}i>l al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qa>diriyyah, (Istanbul: markaz al-jilani li al-buhuts
al-ilmiyyah, 2010), cet. ke-1, 185-189.
92
sesuai ucapan perbuatan dan tindakan sebagai bentuk keimanan yangpaling sempurna dengan mampu mengabungkan antara iman, Islam danihsan sebagai representasi dan patron atas dwi fungsi: hablun minallahwa hablun minannas, yakni relasi Tuhan dan relasi manusia.
Al-Ji>la>ni> membatasi diri dari pertikaian mazhab dan aliran. Iaberusaha sejauh mungkin menghindari dampak buruk terutama daribenturan pemikiran aliran-aliran filsafat. Menurutnya bahwa dalil-dalilal-Qur’a>n merupakan makanan yang bermanfaat bagi setiap manusiasementara dalil-dalil mutakalimin ibarat obat yang hanya dikonsumsioleh sekelompok orang namun lebih banyak bahayanya bagi kebanyakanorang.38 Banyak riwayat yang menjelaskan sikap al-Ji>la>ni> terhadapfilsafat dan juga sufisme filosofis yang merupakan basis dari salah satugenre tafsir sufistik. Meski tenggelam dalam dunia sufisme dengankesadaran epistemik yang berbeda akan tetapi al-Ji>la>ni> masih berusahamenjaga konsistensi dengan syariat.39
Sufisme adalah keteguhan hati dalam kehadiran Tuhan dankebaikan akhlak dengan makhluk.40 Ciri khas Sufisme al-Ji>la>ni> adalahmengatur dua dimensi relasional, hubungan manusia dengan Tuhansebagai bentuk hubungan horizontal (ikatan Tuhan dan hamba) denganbentuk keteguhan beribadah, dan hubungan vertikal (ikatan antarmanusia) sebagai bentuk manifestasi makhluk sosial yang semestinyamenerapkan norma-norma akhlak yang terpuji. Dengan demukian,paradigma sufistik al-Ji>la>ni> adalah integrasi ilmu dan amal. Pesansufistik yang diemban al-Ji>la>ni> adalah jelas: ia berhasrat menjadi porostengah antara ulama rusu>m yang terlalu berkutat bergelut dengan ilmu-ilmu teori kognitif keagamaan dengan para sufi yang biasamendahulukan tataran amaliyah/asketisme namun kurang memerhatikanaspek keilmuan yang dibangun. Umat yang moderat adalah umat yangselalu terikat dengan syariat dengan cara menyesuaikan antarapengalaman batin sufistik dikongruensikan dengan normativitas al-
38 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 106.
39Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> lial-Buhuth al-Ilmiyyah, 2010 ), cet. ke-1, 59.
40Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n, cet. ke-1, 59.
93
Qur’a>n dan Sunnah. Sebab hakikat yang tidak bisa dipersaksikan olehsyariat adalah batal.41 Al-Ji>la>ni>, tampaknya ingin menyatukan antarakejernihan dan ketajaman ruhani di dalam beragama dengan kedalamanfilsafat yang menderu-deru di satu sisi dan mempertahankan ritmekritisme intelektual di sisi lain.
Bisa dipastikan bahwa membaca kekhasan sufisme al-Ji>la>ni>adalah pengagungan akhlak kepada landasan syariat diatas segala-segalanya baik pada level lahir maupun batin. Arus vertikal danhorizontal merupakan bangunan sufisme al-Ji>la>ni sebagai keseimbanganantara manusia yang diciptakan untuk beribadah dalam level individual;serta manusia yang diciptakan untuk saling mengenal, tolong-menolongdan dalam level sosial. Betapa bahwa al-Ji>la>ni> memprioritaskanpentingnya gerak horizontal dalam praktek kemanusian dankemasyarakatan. Karena itu tidak heran jika sosok al-Ji>la>ni> luwesbergaul dengan semua level dan tingkat masyarakat seperti bergabung dimajlis-majlis para fakir miskin dan pemuda. Bahkan ia merupakan sosokyang gigih menentang penguasa yang berbuat lalim dan tidak mampuberbuat adil terhadap masyarakat dengan membiarkan kemiskinan dankemerosotan moralitas merajalela baik di tengah-tengah masyarakatmaupun level penguasa. Ia juga terkenal sebagai orang yang antikemapanan dan kritikus sosial sehingga dikenal dalam menegakkan amarma’ru>f nahyi munkar bahkan pasca meninggalnya sehingga banyakmendapatkan pujian termasuk Ibn Taymiyyah yang biasanya kerasdalam mengkritik kaum sufistik.
Menurut Annimeric Schimel, ada titik persamaan antara sufismeal-Ji>la>ni>> dan sufisme al-Ghazali. Sama-sama sebagai sufisme yangmoderat dan menekankan landasan syariah. Keduanya tidak melarangusaha-usaha pencapaian intelektual melalui artikulasi pemaknaan alamini sebagai manifestasi Tuhan yang mampu mengantarkaan kepadakedekatan dengan Tuhan. Secara historis, sufisme al-Ji>la>ni>> adalahkelanjutan dari sufisme al-Ghazali.42 Seperti halnya al-Ji>la>ni, al-Ghazali
41Al-Sha’rani, T{abaqa>t al-Kubra>, 112.42Annimeric Schimel,Reason and Mystical Expererience in Sufism (London:
IB Tauris, 2000), 143.
94
menyarankan agar mereka, para murid, yang terlibat harus tenggelamdalam pengalaman-pengalaman sufistik melalui proses muja>hadah danriyad{ah atau olah jiwa lainnya. Di sisi lain keduanya kerap melakukankritik terhadap teori-teori sufistik filosofis seperti hulu>l dan ittih}ad.
Al-Ji>la>ni> merupakan tokoh prolifik yang menguasai berbagaidisiplin ilmu. Corak sufisme yang dibawanya hampir mewarnai seluruhkarya yang dihasilkannya. Tercatat karya-karya al-Ji>la>ni> mengupasseputar akidah, fiqh, kesusastraan, keutamaan amal ibadah, wirid danlain sebagainya. Konon ia menguasai 13 cabang ilmu. Sebagian karya-karya itu masih dalam bentuk manuskrip sehingga perlu penelitianmasih lanjut.
Secara umum karya-karyanya diakui oleh para ulama sebagaikarya yang teguh memegang tradisi kitab dan sunnah, sehingga bisadipastikan bahwa tasawuf yang menjadi jalan hidupnya tidak akankeluar dari manhaj sumber Islam. Berkat integrasinya dan ketaatannyamemegang teguh tasawuf ortodoks sebagai tasawuf murni Islam ini, iadijuluki oleh para ulama dengan sebutan “al-Shaikh al-‘A<bid al-Za>hid.al-‘A<rif billah, al-Sayyid al-Shari>f, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>rad}iya Allah ‘anhu”.43 Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa karya al-Ji>la>ni> sebetulnya banyak, sayangnya tidak sampai di tangan kita. Hal inikarena musibah ketika terjadi serangan pasukan Tatar yang membumihanguskan kota Baghdad tahun 565 H. yakni setelah 1 abad pascameninggalnya al-Ji>la>ni.44 Saat itu hampir semua kitab yang adadiperpustakaan di Baghdad dilemparkan ke sungai Dajlah termasuk didalamnya karya-karya al-Ji>la>ni>. Praktis, salinan kitab yang tidak ada diluar Baghdad ikut musnah dan yang tersisa adalah kitab-kitab salinanyang ada di luar Baghdad. Kitab utuh yang sekarang beredar dan sampaike tangan kita berjumlah lima buah. 1. al-Ghunyah, 2. al-Fath} al-
43 Muhammad al-Fa>d}il dalam muqaddimah Tafsi>r al-Ji>la>ni >(Istanbul: Markazal-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1, 27.
44 Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 320.
95
Rabbani, 3. Futu>h} al-Ghayb, 4. al-Fuyud}a>t al-Rabbaniyah, 5. H{izb al-Basha>ir al-Khaira>t.45
Saat ini, Muhammad Fa>d}il, seorang turunan dan penyuntingkitab-kitab al-Ji>la>ni>, mendirikan pusat riset kajian ilmiah al-Ji>la>ni>(Markaz al-Ji>la>ni> lil al-Buh}u>ts al-‘Ilmiyyah) yang bermarkas di Istanbul,Turki. Tujuan lembaga antara lain 1. Menemukan kitab-kitab al-Ji>la>ni>di beberapa perpustakaan. Termasuk meneliti orisinalitas sebagian karyayang dinisbahkan kepada selain al-Ji>la>ni. 2. Melakukan kajian yangserius terhadap karya-karya Al-Ji>la>ni>. Karya-karya al-Ji>la>ni> yang sudahmelalui tahap penyuntingan, dan uji orisinalitas karya, diterbitkan dalambentuk silsilah karya al-Ji>la>ni> oleh Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni.46
Al-Ji>la>ni> mengarang karya-karya yang tersebar dalam bidangus}ul dan furu>’ serta dalam hal ah}wa>l dan hakikat, di mana sebagiansudah ada tercetak, ada yang berbentuk manuskrif atau bahkan dalambentuk foto digital.47 Karya paling mashur yang dicatat oleh MuhammadFad}i>l antara lain adalah:
1. Al-Fawatih} al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwadhihah li al-Kalim al-Ilahiyyah al-Qur’aniyyah wa al-H}ikamal-Furqaniyyah
2. Al-S{alawat wa al-Aurad3. Al-Rasa>il4. Yawa>qi>t al-H{ikam5. Al-Di>wan6. Sir al-Asra>r7. Asra>r al-Asra>r8. Jala>’ al-Kha>t}ir9. Al-Amr al-Muhakam10. Usu>l al-Saba’
45 Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 320.
46Muhammad al-Fa>d}il dalam muqaddimah Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 22.47 Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qadiriyyah, 180.
96
11. Usul al-Di>n12. Al-Mukhtas}ar fi ‘Ulu>m al-Di>n13. Hizb al-Raja’ wa al-Intiha>’14. Du‘a>’ al-Basmalah15. Al-Ghunyah li T}a>libi T}ari>q Al-Haq16. Al-Fath} al-Rabbani wa Fayd}u al-Rah}mani17. Futu>h} al-Ghaib18. Hizb Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>19. Al-Dala>’il al-Qa>diriyyah20. Wird al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>21. Al-T}uqus al-Lahutiyyah22. Basha>ir Al-Khairat48
B. Tafsir al-Ji>la>ni>1. OrisinalitasTafsi>r al-Ji>la>ni>
Muhammad Fa>d}il meneliti naskah-naskah Tafsi>r al-Ji>la>ni> dalambentuk manuskrip asli dan beberapa salinan yang tersisa yang seluruhnyaberjumlah enam sebagai berikut:
1. Naskah asli dengan tulisan al-Ji>la>ni>2. Naskah di India yang hilang salah satu dari bagiannya. Naskah
ini ditulis setelah 61 tahun al-Ji>la>ni>> meninggal dunia.3. Naskah “Alif” yang dijadikan pegangan Muhammad Fad}il.4. Naskah “Ba” yang dimanfaatkan sebagai pendukung.5. Naskah “Jim” yang dimanfaatkan sebagai pendukung.6. Naskah yang disalin dari naskah “Jim” yang berada di Syam dan
sampai sekarang hilang.49
Penemuan tafsir diawali dari kegigihan Muhammad al-Fad}i>lmemburu karya-karya al-Jila>ni> dimulai dari 1977-2002 M. di berbagaikota seperti penelusuran pertama di Madinah Munawwarah dan negara-negara Islam dan non Islam seperti kunjungan ke Vatikan, Roma Italia.
48 Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qadiriyyah, 180-181. Lihat juga:Muhammad al-Fa>d}il dalam muqaddimah Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 22
49Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qadiriyyah, 180-181.
97
Ia menghabiskan waktu untuk menelusuri dengan mengunjungi 50perpustakaan resmi dan puluhan perpustakaan pribadi bahkan ada yangia kunjungi sampai 20 kali. Sampai sekarang telah berhasilmengumpulkan 17 kitab dan 6 risalah di mana salah satunya adalahpenemuan Tafsi>r al-Ji>la>ni > yang tidak ada tandingan keindahannya didunia dalam versi penyunting.50
Seperti yang diriwayatkan beberapa orang yang terhormat,‘AbdAl-Muthalib Al-Kaylani mengabarkan dari Al-Haj Nouri, KepalaPerpustakaan Al-Qa>diriyah di Baghdad, begitu juga dari Umar Al-Rifa’idari Yusuf al-Kaylani, juga dari Musthafa al-Ji>la>ni> al-Halabi, yangmemiliki sebuah perpustakaan di Baghdad bahwa ada naskah dengantulisan al-Ji>la>ni> yang ada di Maktabah Qa>diriyah di Bagdad. Naskahdengan tulisan asli itu hilang sebelum beberapa abad dan ditemukansetelah itu di Syam. Muhammad Fa>d}il kemudian berupaya memburu keSyam untuk mendapatkan naskah ini, sayangnya naskah yang pernahbenar-benar ada itu hilang kembali.51
Disinyalir, salah satu hal yang menguatkan bukti adanya karyaal-Ji>la>ni> dalam bentuk tafsir al-Qur’a>n adalah persaksian NouriMuhammad S{abri, sekretaris perpustakaan al-Qa>diriyyah al-Ammah.Dalam bukunya yang berjudul, Maktabah al-Madrasah al-Qa>diriyyah al-‘A<mmah fi> Baghdad, ia menjelaskan bahwa salah satu buah karya al-Ji>la>ni> adalah tafsir al-Qur’a>n dengan tulisannya sendiri.52
2. Tinjauan Umum Karakteristik Tafsi>r al-Ji>la>ni>
Tafsir al-Ji>la>ni>> terdiri dari enam jilid tebal yang masing-masing jilidterdiri dari sekitar 500 halaman. Buku ini dicetak tahun 2009 dan sudahnaik cetak dua kali. Yang menarik di sampulnya tertulis Tafsir al-Ji>la>ni>dan bukan Al-Fawatih} al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwadhihah li al-Kalim al-Ilahiyyah al-Qur’aniyyah wa al-H}ikam al-
50 ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, Vol. I, 24.51 Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, Vol. I, 26.52‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, Vol. I, 26.
98
Furqaniyyah sebagaimana penyebutan al-Jilani sendiri di pendahuluan.53
Hal ini merupakan insiatif dari penyuntingnya, Muhammad Fadi>l demialasan praktis dan simpel barangkali. Masing-masing jilid, penerbitmembaginya sebagai berikut:
1. Jilid pertama dimulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Al-Ma>’idah.
2. Jilid kedua dimulai dari surat Al-An‘am sampai surat Ibrahim.3. Jilid ketiga dimulai dari surat Al-Hijr sampai surat Al-Nur.4. Jilid keempat dimulai dari surat Al-Furqa>n sampai surat Ya>sin.5. Jilid kelima dimulai dari surat Al-S}a>fat sampai surat Al-
Wa>qi’ah.6. Jilid keenam dimulai dari surat Al-H{adi>d sampai surat Al-Nas.
Fa>d}il Ji>la>ni> menyimpulkan bahwa unsur-unsur istidla>l dan ijtihadal-Ji>la>ni> dalam pemikirannya berdiri di atas prinsip-prinsip: 1.memaparkan nas}-nas }, kemudian melakukan istinba>t} dengan memaparkanjuga pendapat ahli fikih. 2. Memperbanyak menyebut dalil-dalil naqlimaupun aqli. 3. Memaparkan pendapat para ulama yang berbeda dalamsatu masalah kemudian memilih salah satu yang sesuai dengankecenderungannya. 4. Memberikan perhatian khusus kepada pendapatpemimpin mazhab Hanbali dan menukil dalil mereka. 5. Tidakmencukupkan diri dengan ayat al-Qur’a>n, akan tetapi menjelaskannyadengan Sunnah. 6. Mensenyawakan materi fikih dengan sentuhansufisme yang halus sehingga fikih mempunyai karakter tertentu. 7.Memperluas penjelasan dimensi etis dan memperbanyak menukilpendapat ulama dalam hal ini. 8. Tidak fanatik terhadap pendapattertentu atau mazhab tertentu.54
Jika mengikuti kategorisasi metodologis al-Farmawi, makaTafsir al-Ji>la>ni> termasuk ke dalam kategori al-tafsi>r al-tah}li>li>. Ia ditulisdengan sistematika yang tak berbeda dengan kitab-kitab tafsir klasikyang menggunakan tafsir ini. Penafsiran dengan cara tafsir al-tah}li>li>berlangsung dengan segenap aspek al-Qur’a>n yang terdiri dari huruf,
53 ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, Vol. I,34.54Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar fi Ulu>m al-Din, 61.
99
kata dan kalimat, yang ditafsirkan melalui penguraian segenap dimensiyang ada sesuai dengan sistematika yang ada. Tafsir al-tah}li>li (analitik)adalah penjelasan terhadap kandungan makna al-Qur’a>n yangbertendensi mengungkapkan keseluruhan dimensi yang ada di dalamnya,dengan sistematika urutan ayat dan surat. Tafsir ini memiliki tingkatankeluasan dan kedalaman sesuai dengan kompetensi dan tujuan penafsir.Tafsir analitik memanfaatkan sumber-sumber corak tafsir seperti tafsirsufi, tafsir bi al-ma’thu>r, tafsir bi al-ra’y, tafsir ah}ka>m, tafsir ‘ilmi, tafsirfalsafi, tafsir adabi al-ijtima>’.55 Tafsir sufi adalah bentuk tafsir yangdidasarkan bukan kepada makna eksoteris melainkan makna yangtersembunyi yang dimunculkan oleh tendensi-tendensi pengalamanspiritual sufistik.56
3. Penyajian Tafsi>r al-Ji>la>ni>
Salah satu sisi yang menonjol pada tafsir al-Ji>la>ni> adalah nuansakebahasaan. Tentu hal ini tidak lepas dari dunia sufistik yang melihatsegala sesuatu dari sudut pandang keindahan. Tak pelak jika hampirsemua sufi mempunyai dewan syair tak terkecuali al-Ji>la>ni>. Al-Ji>la>ni>sangat indah menggubah tulisan-tulisan dalam tafsirnya. Bahasa yangmemukau dan mampu mempengaruhi siapa saja pembacanya tidakhanya terjadi pada karya tafsir ini. Jika membuka dan membacalembaran-lembaran al-Ghunyah fi T{a>libi T{ari>q al-Haq, al-Fath} Rabbani,atau doa-doa dan wirid yang ditransmisikan langsung dari al-Ji>la>ni>,maka akan tampak aura kehebatan al-Ji>la>ni> dalam bermain keindahanbahasa Arab meski sebenarnya ia adalah seorang Persia.
Yang unik adalah kebiasaan al-Ji>la>ni> dalam setiap menafsirkansatu surat selalu diawali dengan prolog pengantar visi dan misi tujuansurat tersebut (Fa>tih}ah al-Su>rah) dan diakhiri dengan epilogkesimpulan. Merupakan tantangan tersendiri bagi peminat tafsir iniuntuk menemukan relasi pesan yang disuguhkan al-Ji>la>ni> dalam kedua
55Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’ (Tanpa Penerbit,1977), 23-24.56 Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 31.
100
bagian itu dengan kandungan surat al-Qur’a>n yang ditafsirkan. Disamping itu, ia juga memberikan penjelasan global dalam surat pertamabahwa setiap surat mengandung makna ayat-ayat muh}kama>t danmutashabiha>t: Artinya bahwa setiap surat menyimpan hukum-hukumsyariat, adab tarikat dan rahasia-rahasia hakikat. Ini adalah keniscayaanbagi mereka yang tenggelam dalam lautan samudera al-Qur’a>n untukmengeluarkan ilmu yakin dan ‘irfa>n.57
Jika dibandingkan dengan tafsir-tafsir bergenre esoteris yangada, terlihat sekali corak esoteris Tafsi>r al-Ji>la>ni> di segenap tafsiranayat. Kedalaman tafsir sufistik di dalamnya juga menunjukkan betapaal-Ji>la>ni> adalah seorang sufi yang memiliki ketajaman batin teramathalus, dan di sisi lain juga merupakan seorang akademisi dengan ilmuyang begitu luas. Tanpa memiliki kualifikasi ini, nyaris sulit untukdibayangkan al-Ji>la>ni> mampu melahirkan tafsir dengan pilihan diksiyang sangat estetik, berikut substansi yang amat stabil dankomprehensif.108 Dengan merasakan dominasi kehalusan dan kejernihanisyarat batin yang dihamparkan al-Ji>la>ni> dalam kitab ini, dibandingkandengan dominasi ilmu dan pemahaman akal yang mewarnailembarannya, di mana yang pertama memang memiliki aroma yang lebihkuat.58 Tidak heran apabila Muhammad Fad}il, editor sekaligus inisiatorpenerbitan kitab ini, menulis bahwa Tafsi>r al-Ji>la>ni> tidak bersandar padapemahaman rasional sebagaimana lazimnya tafsir, akan tetapi hasilrekaman isyarat batin yang membangkitkan jiwa dan menguatkanketaatan. Di samping itu, Tafsi>r al-Ji>la>ni juga sarat dengan hamparanisyarat batin yang mengaitkan seorang murid dengan Shaikh dengandaya pengaruh tertentu untuk menaiki tangga-tangga kesempurnaan.59
Sehingga, tidak diragukan lagi bahwa tafsir al-Ji>la>ni > telahmemperkaya khazanah tafsir di dunia Islam. Ia juga menempati peranstrategis dalam peta tafsir yang berkembang saat ini. Jika tafsir yangselama ini berkutat di wilayah eksoteris yang memfokuskan kepada pada
57Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, 42.58Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, 28.59Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, 24.
101
tafsir-tafsir hukum, (tafsir al-ah}ka>m/tafsir al-fiqhi>) dan bahasa (tafsir al-lughawi>), tafsir al-Ji>la>ni> justru menelisik kajian-kajian sufisme dalam al-Qur’an, yang biasanya ditulis dalam buku secara khusus membahasnya(metode tafsir mawd}ui), yang berbicara tentang sufisme denganmemaksimalkan al-tafsi>r al-tahli>li>.
Atas dasar itulah, penyajian umum Tafsi>r al-Ji>la>ni> secara acakadalah sebagai berikut:1. Mengunakan bahasa sastra.2. Pembukaan pada setiap awal dan diakhiri kesimpulan pada akhirsurat. Ciri ini merupakan karakter penyajian yang paling menonjoldibanding tafsir sejenis maupun tafsir lainnya.3. Tafsi>r al-Ji>la>ni> menjaga keseimbangan antara lahir dan batin, antarasyariat dan hakikat, dengan melandaskan diri pengalaman sufistik padamanhaj al-Qur’a>n dan Sunah.4. Tafsi>r al-Ji>la>ni> kerap melakukan kritik terhadap tafsir sufi al-naz}ariyang melegitimasi pemikiran filosofis-sufistik.5. Tafsir al-Ji>la>ni> syarat dengan pengetahuan, spritualitas dan moralitas.Visi tafsir ini lebih kepada orientasi sufistik yang mampu menjagaintegrasi antara ilmu dengan amal, serta relasi vertikal hubungan antaramanusia dan Tuhan dengan relasi horizontal hubungan antar manusia.
98
BAB IV
KODE ETIK TAFSIR ISHA<RI AL-JI<LA<NI<
Pada bab ini akan diulas karakteristik penafsiran al-Ji>la>ni> yang
lebih mengarah pada orientasi kerangka prasyarat model tafsir isha>ri.
Hal ini penting dibahas, mengingat penafsiran sufistik lebih
mengutamakan landasan psikologi dan moral etik praktisi tasawuf untuk
menjadi mufasir. Dengan kata lain, peneliti tidak akan membahas
“syarat langsung” penafsiran sebagai bentuk perangkat metodologi
sufistik yang menyatu dalam tafsir, melainkan lebih kepada pembahasan
tentang titik tolak persiapan dan mentalitas pribadi sebelum seorang
penafsir terjun ke dalam dunia penafsiran sufistik. Hal ini merupakan
prasyarat seorang sufi dalam memahami penafsiran al-Qur’a>n melalui
tahapan-tahapan dan fase-fase asketis. Tradisi kenabian, membaca al-
Qur’a>n, laku kesalehan, ketinggian budi pekerti, semua itu bisa diserap
dan diafirmasikan secara tidak langsung melalui kata-kata “adab”.1
Mengingat sufi itu sendiri dalam salah satu pengertiannya adalah adab.
Karena itu prasyarat yang akan dikupas secara satu persatu dalam bab
ini lebih menggiring pada induksi dan teorisasi yang biasa digunakan
oleh kaum sufistik dalam penafsirannya. Tujuannya agar mampu
mendapatkan pemahaman yang benar dan suci dalam versi sufistik.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tawaran perangkat
metodologi ini disebut sebagai software/piranti lunak untuk subyek
mufasir. Dan tampaknya lebih tepat sebagai psikologi dan moral etik
penafsir sufistik secara umum, sebelum benar-benar terjun ke dalam
metodologi sufistik secara langsung. Metodologi sufistik secara
langsung inilah yang dimaksudkan sebagai perangkat hardware/piranti
kasar yang merupakan obyek perangkat penafsiran, yang dibahas pada
bab selanjutnya ditujukan untuk keduanya. Menurut peneliti, merupakan
urgensi untuk menjadi standar baku hermeneutika sufistik.
1Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical
Islam (London and New York: Routledge, 2006), cet. ke-1, 29.
99
Kode Etik Sebagai Prasyarat Penafsiran Isha>ri
Prasyarat seorang praktisi mufasir sufi—yang dalam hal ini bisa
dinilai dari prinsip-prinsip kaidah hermeneutika sufisme yang
dikembangkan al-Ji>la>ni>, tampak menonjol dan mendominasi dalam
beberapa elemen: 1. Keimanan yang Jujur (Ima>n al-S{a>diq). 2. Keikhlasan
Niat (Ikhla>s al-Niyat). 3. Mencintai al-Qur’a>n (H{ubb al-Qur’a>n ). 4.
Banyak Membaca (Tila>wah al-Qur’a>n). 5. Sentralitas Global dan
Organisir Visi Makna (al-Tarki>z al-Kulli wa Jam‘ al-Hamm). Inilah
karakter yang dimiliki seorang sufi Isha>ri seperti yang ditunjukkan oleh
al-Ji>la>ni> dalam kajian inter-tekstual baik ditemukan dalam tafsirnya
maupun karya-karya lainnya.
Di samping memperkaya khazanah tafsir di belantika tafsir al-
Qur’a>n, Tafsir al-Ji>la>ni> secara khusus juga berpotensi melakukan
klarifikasi dan mendakwahkan sufisme yang murni dan sesuai dengan
ajaran-ajaran al-Qur’a>n dan H{a>dith. Al-Ji>la>ni> dalam praktik sufistiknya,
dan begitu juga dalam tafsirnya terhadap al-Qur’a>n dan H{a>dith, tidak
pernah keluar dari batas-batas keduanya. Hal itu tidak mengurangi
keluasan makna al-Qur’a>n, dan justru semakin menyuburkan dan
menjernihkan kandungan makna al-Qur’a>n sampai yang terdalam. Al-
Qur’a>n terdiri dari makna lahir dan makna batin yang terungkap.
Pengungkapan yang baik terhadap makna eksoteris dan makna esoterik
dengan tetap menjaga kongruesi keduanya, akan tetap memperkaya
dimensi makna al-Qur’a>n, tanpa harus mendistorsi ajaran-ajaran
prinsipilnya.
Yang menjadi rumus kaum sufi Sunni amali adalah larangan
pena’wilan pada arah tafsir Isha>ri simbolik kecuali mentaati prinsip
indikasi lafal dan penggunaan (dilala>h al-lafz}iyah wa isti‘ma>liyyah)
sesuai dengan konsekuensi lafal normatif dan ketentuan-ketentuan
umum dalam penafsiran eksoterisisme.2 Ayat yang dita’wil menurut
mereka masih dalam batas kewajaran dan sepantasnya: sejauh
representasi tujuan Pewicara atau Sang Pengarang yakni Allah. Dalam
2Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>d al-
Ma‘na fi> al-Nas}s} al-Qur’a>ni (Damaskus: Da>r al-S}afh}a>t, 2008), cet. ke-1, 232
100
hal ini ketika kaum sufistik melakukan proses oral meditasi membaca al-
Qur’a>n kemudian makna-makna ayat tersebut menyembul keluar, maka
kaum sufi menangkap ide-ide tersebut sebagai isyarat energi sufistik
atas ayat-ayat tersebut dan kemudian merekamnya dalam bentuk catatan
tafsir.3
Al-Ji>la>ni> menawarkan beberapa kode etik penafsiran Isha>ri yang
harus dimiliki seorang mufasir sufi sebagai prasyarat penafsiran agar
mendapatkan pemahaman objektif sesuai dengan standar penafsiran
Isha>ri:
1. Keimanan Yang Lurus (Ima>n S{a>diq).
Setiap praktisi sufi berkewajiban untuk menjaga keimanan yang
benar dan tulus dalam menjalankan ibadah. Syarat ini penting
didahulukan sebab yang utama dan pertama bagi muslim adalah
memiliki keimanan sebagai bukti keberislamannya. Untuk mencapai
keimanan yang sempurna maka harus dicapai dengan tetap
mengamalkan ibadah-ibadah yang diperintahkan Tuhan serta tidak lalai
atau bahkan meninggalkannya. Di sinilah ujian bagi kaum sufistik agar
bisa mengamalkan dan menjaga adab syariah agar bisa membaca dan
menafsirkan al-Qur’a>n sesuai dengan mata batinnya. Karena itu, al-
Ji>la>ni> menjelaskan ada beberapa tingkatan iman. Ia memberikan uraian
derajat iman terdapat beberapa tingkatan: (1) Keyakinan. (2)
Keikhlasan. (3) Menunaikan kewajiban (al-fara>id}). (3) Menyempurnakan
ibadah sunah. (4) Menjaga adab dan akhlak dalam segala aspek ibadah
dan muamalah. Aspek keempat ini penting disebutkan sebagai benteng
pertahanan dan norma-norma moralitas bagi kaum sufistik, sebab
kendatipun sekuat tenaga senantiasa menjaga adab ini, setan dengan
segala cara akan selalu berusaha menggoda dan menembus benteng
pertahanan adab ini. Tak pelak, jika lalai menjaganya, maka setan akan
langsung menggoda tahapan selanjutnya yakni ritual sunah hingga
mampu menembus dan melewati level–level tinggi dan vital yakni
3Gerhard Bowering,The Mystical Vision of Existence in Classical Islam
(Berlin & New York: De Gruyter, 1980), 135.
101
kewajiban, keikhlasan dan keyakinan, yang merupakan benteng
pertahanan terakhir dan bisa mengakibatkan kehilangan iman bahkan
Islam seseorang.4
Karena itu, merupakan kewajiban bagi kaum sufistik untuk bisa
menjaga adab-adab syariah ini agar bisa mencapai pengetahuan yang
layak diketahui dari Tuhan serta mendapatkan hakikat dari makrifat
akan keberadaan Tuhan Sang Pencipta Alam (al-S{a>ni‘). Hal ini hanya
bisa dilakukan melalui olah pekerjaan hati (‘a’ma>l al-Qulu>b), mengingat
tempat bersemayamnya iman adalah hati. Dengan pemantapan adab ini,
berarti akan menyinari keislaman secara lahir dan praktis juga sebagai
sinaran iman terdalam secara batin.5 Inilah yang kemudian menjadi
syarat mutlak kenapa keimanan yang benar menjadi prasyarat bagi para
mufasir secara umum bahkan tidak hanya kaum sufistik. Hanya saja,
letak distingsi dari keimanan mufasir zahir berbeda dengan keimanan
dalam persepsi mufasir sufistik yang cenderung lebih fokus pada
perangkat batin sebagai “kalbu al-Qur’a>n”.6 Al-Muh}a>sibi> berujar:
“… Dalam keadaan seperti ini, Allah membedakan antara orang
beriman yang jujur (al-S{a>diqi>n) dan para pendusta manakala mereka
membaca al-Qur’a>n atau orang-orang yang mengerti penafsiran al-
Qur’a>n namun tidak mencapai kepada pucak pemahaman dan orang-
orang yang jujur keimanannnya dan mencapai puncak pemahaman.
Sebab minimalitas sifat jujur seorang mu’min setelah pengakuan iman
kepada ayat al-Qur’a>n adalah pemahaman al-Qur’a>n langsung dari
Tuhannya kemudian mengamalkannya”7.
4‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah li> T{a>libi> T{ari>q al-H{aq (Beirut: Da>r al-
Ji>la>ni>, 1999), cet.ke-1, Vol. I, 149-150. 5‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 150. 6 Dalam hal ini, jika melihat kepada syarat penafsiran umum maka disebutkan
syarat keimanan yang benar (sihah al-‘aqi>dah). Hal ini memang perlu disebutkan untuk melandasi ragam penafsiran dari semua bentuk penafsiran secara umum. Bagi kaum sufistik, keimanan yang benar menjadi syarat mutlak adanya penafsiran di mana harus terbebas dari muatan subyektifitas atau muatan kepentingan ideologi yang kerap melanda genre tafsir non sufistik.
7Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n (Beirut: Dar> al-Fikr, 1971), cet.ke-1,
328.
102
Ini sebabnya iman menjadi hal vital prasyarat penafsiran, sebab
kebanyakan orang lalai dan ceroboh untuk memahami al-Qur’a>n karena
sedikit sekali mengapresiasi dan mengagungkan pemilik dan pengucap
firman al-Qur’a>n, Sang Kalamullah, sebaliknya, yang terjadi justru
disposisi al-Qur’a>n, sebatas bacaan dan pegangan umat Islam.
Kejujuran merupakan watak dari iman, sebab secara etimologi
iman adalah membenarkan dengan hati berikut segenap kandungan ilmu
sekaligus membenarkan keilmuan tersebut. Sementara secara
terminologi syariah, iman adalah pembenaran ajaran. Yakni mengetahui
Allah dan sifat-Nya, sekaligus mengetahui seluruh ketaatan dari yang
bersifat wajib dan mengetahui kesunahan, serta menjauhi dari
ketergelinciran dosa dan maksiat.8 Iman adalah agama syariat dan millah
karena agama (al-di>n) secara bahasa berarti isyarat kepada pemeluknya
untuk mendekat dengan ketaatan beribadah, serta menjauhi perkara yang
tercela dan haram. Inilah sesungguhnya karakter sejati dari iman.
Sementara Islam merupakan bagian jumlah kategori dari iman: setiap
iman pasti Islam tapi tidak setiap Islam adalah iman. Islam berarti
kepasrahan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta. Orang beriman pasti
berserah diri dan taat karena semata mendapatkan ridha Tuhannya. Iman
dengan demikian mencakup seluruh aspek keislaman yang berkaitan
dengan ucapan dan perbuatan akan ketaatan ajaran-ajaran di dalamnya.
Sementara Islam lebih ringan dibanding iman, bahkan secara praktis bisa
dikatakan sebagai aktualisasi ucapan dua syahadat beserta kedamaian
hati dan pelaksanaan atas kewajiban shalat lima waktu.9
Iman dalam pandangan al-Ji>la>ni> adalah ucapan dengan lisan,
mengetahui dengan hati, mengamalkan dengan anggota tubuh,
bertambah dengan ketaatan, berkurang dengan kemaksiatan, kuat dan
kokoh dengan keilmuan, lemah dengan kebodohan, serta mendapatkan
taufiq hidayah dari Tuhan.10
Hal ini diperkokoh dalam tafsirnya
sebagaimana dalam (QS. al-Anfal 8:2) bahwa orang yang beriman
dengan keimanan yang sempurna dan sudah bersungguh-sungguh
8‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I ,169. 9‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 169. 10‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 150.
103
mencapai derajat keyakinan dan kearifan adalah jika disebutkan nama
Tuhannya maka akan bergetar ketakutan dan seakan-akan ambruk
kehilangan kendali hati karena keagungan dan kekuasaan-Nya, dan jika
dibacakan ayat-ayat Tuhan maka makin bertambahlah keimanannya,
kejujurannya, kepasrahaannya, keyakinannya, serta penampakan dalam
hal lahiriah dan ‘irfa>niyah.11
Dalam (QS. al-Taubah 9: 124) disebutkan bahwa iman
merupakan sumber utama bagi kaum sufistik sunni Isha>ri. Al-Ji>la>ni>
menyatakan bahwa orang yang beriman ketika berinteraksi dengan al-
Qur’a>n sembari merenung dan berkontemplasi (tadabbur) ayat-ayat
simbolik (marmuza>tiha>) niscaya akan bertambah keimanan, keyakinan
dan kedamaian hatinya sehingga mereka bersuka cita dan bergembira
dengan turunnya al-Qur’a>n untuk kebaikan hamba-nya. Sementara itu,
mereka yang hatinya sakit (marad} al-qalb), adalah mereka yang buta hati
atau pura-pura buta dari ayat-ayat Tuhan serta tidak mengindahkan
konsekuensi penafsiran-penafsiran Isha>ri dan simbol-simbolnya, niscaya
akan bertambah kejelekannya, kekufurannya dan berpotensi syirik yang
menjijikkan.12
2. Keikhlasan Niat (Ikhla>s} al-Niyat).
Keikhlasan adalah kunci dalam membaca dan menafsirkan bagi
kalangan sufistik, sebab ikhlas merupakan aset dan perangkat batin
untuk menghasilkan penafsiran yang benar-benar keluar dari mata hati
dan berdasarkan nalar ‘irfa>ni. Kalimat ikhlas adalah sesuatu yang begitu
berharga dan bertenaga serta paling utama untuk menolak godaan dan
rayuan setan. Dengannya, seseorang akan mampu menguasai diri untuk
tidak mudah terjerumus pada kehidupan duniawi yang melenakan serta
membuat lupa diri. Setan adalah biang malapetaka segala azab yang
menimpa seorang hamba. Karena itu, ketika seorang hamba meniatkan
kalimat ikhlas ini dalam hati serta melakukan segala konsekuensi yang
datang ke dalam kalimat ikhlas, dengan mengenakan baju ikhlas berupa
11‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> li al-
Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1, vol. II, 190. 12‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. II, 306-307.
104
kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan syariat, sehingga ketika
setan melihatnya berkostum demikian, niscaya setan akan menjauhkan
diri dan tidak berani melangkah kepadanya sehingga hamba akan
selamat dari fitnah-fitnah godaan dan rayuannya sebagaimana seorang
tentara selamat dari sabetan pedang musuh-musuhnya dalam
peperangan.13
Niat yang ikhlas adalah terhindarnya pekerjaan dari sifat takabur
dan popularitas sebab manusia diperintahkan Tuhan di dunia tidak lain
kecuali menyembah Tuhan dalam keadaan yang seikhlas-ikhlasnya
sebagaimana disebut dalam (QS. al-Naba’ 78: 5).14
Hal ini diperkuat
oleh sebuah H{adi>th “ikhlas adalah rahasia dari rahasia-rahasia yang ada
padaku, aku titipkan kepada hati hamba yang aku cintai”. Karena itu,
keikhlasan merupakan kunci bagi kaum sufistik untuk mendapatkan
pencerahan batin dari Tuhan sebab Tuhan telah menjamin anugerah
keikhlasan bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya.15
Bagaimanapun, hal
penting yang harus didapatkan oleh manusia adalah keikhlasan niat,
sebab hal ini merupakan titik diferensial antara manusia yang berakal
dan binatang yang dalam tindak perbuatannya tidak menggunakan naluri
akal dan keihklasan niat.16
Ikhlas adalah tanpa pamrih serta tidak mengharap apapun dari
sesuatu apapun dan semata-mata karena Tuhan. Karena itu, kaum
sufistik harus bisa menjaga diri dari “sesuatu” selain anugerah karunia
Tuhan semata. Sesuatu itu berbentuk syahwat hiasan dunia, harta benda,
pujian dan sanjungan serta usaha keras untuk mengumpulkan kekayaan
dunia atau mendapatkan harapan hadiah-hadiah dari sesama karena telah
berbuat kebaikan. Harta dunia hakikatnya adalah harta setan dan
kekuasaanya yang digunakan sebagai alat hegemoni menguasai manusia,
sehingga jika hamba terjerat dengan tipu daya setan ini serta
menjauhkan diri dari al-Qur’a>n, maka akan menjadi teman bagi setan
13‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I ,249 14
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n (Istanbul: Markaz al-
Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2010) cet. ke-1, 258. 15‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n , 258. 16‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n , 258.
105
dalam hati, ucapan dan tindakan.17
Dalam (QS. al-Zukhruf 43: 36)
ditegaskan bahwa barang siapa yang hidup menghindar dan menjauhkan
diri dari sebutan al-Rah}man (dhikr al-Rah}ma>n), yaitu al-Qur’a>n dari
kehidupannya sebagai petunjuk jalan keimanan dan ‘irfa>n sufistik,
kemudian serta-merta dirinya membinasakan dan menyia-nyiakan
dengan memilih hidup bergelimangan harta serta kelezatan dunia dan
kehausan syahwat dunia yang merusak. Maka setan akan menguasai
dirinya dan menyesatkannya, selalu menggoda dan merayu dalam setiap
kehidupan ibadahnya. Sehingga hamba itu lalai dan menjadi hamba
setan selamanya dengan melakukan perbuatan maksiat dan dosa-dosa.18
Karena itu, agar terhindar dari fitnah setan dan godaannya, ikhlas
merupakan kunci agar hati bisa bersih serta mendekatkan diri kepada-
Nya melalui bacaan al-Qur’a>n. Dan proses inilah yang dibutuhkan oleh
kaum sufistik agar terbuka mata hatinya ketika menafsirkan al-Qur’a>n.
Bagaimana tidak, sebab ikhlas adalah kunci masuk surga sebagaimana
sebuah H{adi>th yang diriwayatkan Bukhari bahwa barang siapa
mengucapkan kalimat la> ilaha illa Allah dengan penuh keihklasan
niscaya akan masuk surga.19
Ikhlas menjadi elan vital dalam menuntut ilmu agar ilmu yang
dihasilkan benar-benar merupakan cahaya yang didapat dari Tuhan.
Karena itu, sifat ini menjadi adab bagi para penuntut ilmu agar terbebas
(takhallas})—sebagai bahasa lain dari “ikhlas”, dari jerat-jerat
kemunafikan hati. Dalam menuntut ilmu harus berpegang teguh bahwa
pencarian semata-mata karena mendapatkan ridha Ilahi, bukan karena
makhluk atau karena dunia. Tanda-tanda dari seseorang menuntut ilmu
yang mengharap ridha Tuhan-nya adalah sifat takut berdebar-debar dari
Sang Pencipta yang mengawasinya setiap saat ketika melaksanakan
perintah kewajiban dan menjauhi larangan agama. Dirinya merasa selalu
diawasai dan diintai oleh Tuhannya sehingga menjadikan hina diri di
hadapan Tuhan serta rendah hati di hadapan makhluk tanpa merasa
butuh bergantung kepada makhluk serta mengharap-harap dari tangan
17‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , , 250. 18‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, vol. V, 366. 19‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 249.
106
makhluk. Jika mempunyai kekayaan maka akan bersedekah karena
Tuhan, bukan niat pamer kekayaan serta gemar menyantuni fakir miskin
dan mendatangi orang yang sakit. Sebab sedekah dengan mengharapkan
pamrih makhluk akan menghanguskan pahala karena pemberian
demikian akan tertolak: menandakan ketidak-iklhasan dan ketidak-
bersyukuran kepada Tuhan.20
Nabi bersabda: “Iman terdiri dari dua pangkal bagian; separuh
adalah kesabaran dan separuh adalah rasa syukur”.21
Wajar saja jika
ikhlas merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan
sebab menjadi jalan menuju keimanan dan kebenaran. Karena itu,
keihlasan niat menjadi piranti dan syarat bagi kaum sufistik dalam
mendapatkan pemahaman dan menafsirkan al-Qur’a>n.
3. Mencintai al-Qur’a>n (H{ubb al-Qur’a>n ).
Tidak kenal maka tidak sayang. Adagium bahasa Indonesia ini
sangat tepat merefleksikan kewajiban kecintaan kepada al-Qur’a>n bagi
kaum muslimin dan kaum sufistik khususnya. Mencintai al-Qur’a>n
merupakan syarat mutlak bagi kaum muslimin. Sebab al-Qur’a>n
merupakan kitab suci pegangan sekaligus pedoman utama bagi kaum
muslimin. Barang siapa mencintai sesuatu maka akan banyak
menyebutnya, demikian H{adi>th Nabi populer yang mengisyaratkan
kecintaan kepada sesuatu maka akan banyak menyebutnya. Kaum
sufistik setiap saat selalu melantunkan bacaan al-Qur’a>n karena
kerinduan mereka kepada sang pemilik al-Qur’a>n itu. Mencintai al-
Qur’a>n sebanding lurus dengan mencintai pemilik sejati al-Qur’a>n itu,
Tuhan Sang Mutakallim.
Bagi Al-Ji>la>ni>, al-Qur’a>n merupakan kalamullah sebagai firman
kalam Tuhan, kitabullah sebagai kitab milik Tuhan, khit}a>bullah sebagai
beban kewajiban kepada makhluk, sekaligus wahyu Tuhan yang
diturunkan melalui perantara malaikat Jibril kepada Muhammad,22
20
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Fath} al-Rabbani> (Ahram Cairo: Dar al-Rayan li> al-
Tura>th, tt), 156. 21‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Fath} al-Rabbani, 156. 22‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 158.
107
sebagaimana disebut dalam (QS. al-Shu‘ara>’ 26: 193-195). Dan tugas
Nabi adalah menyampaikan kepada umatnya sebagai amanat risalah
perintah Tuhannya sebagaimana disebut (QS. al-Ma>’idah 5: 67). Dengan
demikian, al-Qur’a>n bukanlah makhluk dan selamanya berbentuk
kalamullah baik ketika dibaca, ditulis, dilantunkan bahkan
bagaimanapun cara dibaca, cara dihapal dan cara ditulisnya, al-Qur’a>n
tetaplah merupakan kalamullah yang merupakan salah satu sifat dari
zatnya sendiri tanpa pernah menemui sifat diperbaharui, diganti,
dirubah, dikurangi, ditambahi, bahkan karangan atau buatan
Muhammad. al-Qur’a>n sangat jelas merupakan kitab yang diturunkan
Tuhan dan kepada-Nya hukum-hukum agama dikembalikan.23
Begitu agungnya posisi al-Qur’a>n sebagai kalamullah sampai-
sampai sahabat Usman bin Affan mengilustrasikan “keutamaan al-
Qur’a>n dibanding ucapan-ucapan makhluk lainnya sama halnya dengan
keutamaan Tuhan dibanding makhluk-makhluknya”.24
Karena itu bagi
kaum sufistik, asas pondasi tunggal dalam membaca dan menafsirkan al-
Qur’a>n adalah pengagungan kepada al-Qur’a>n (ta‘z}i>m) sebagai hal yang
pertama dan yang paling utama. Dalam pandangan al-Muh}a>sibi,>
kelalaian dan kecerobohan manusia dalam mendapatkan pemahaman
yang benar, asal muasalnya adalah minimnya pengagungan kepada Sang
Pemilik Kalamullah.25
Aktualisasi pengagungan dan penghormatan ini
harus diterjemahkan dengan cara menyandarkan pada pembacaan dan
pemahaman penafsiran yang sempurna atas al-Qur’a>n. Yakni dengan
memenuhi dan melaksanakan syarat dan adabnya. Di antaranya adalah
23‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 159. Akidah al-Ji>la>ni> dalam
menilai al-Qur’a>n sebagai kalamullah baik suara maupun tulisannya cenderung
mengikuti imam mazhabnya, H{anbali. Dalam hal ini al-Ji>la>ni> berbeda dengan
Ash‘ariyah yang membagi al-Qur’a>n menjadi dua elemen. (1) Berdiri pada zatnya
(qa>’im bi nafsih) sebagai kalamullah yang qadi>m dan (2) berdiri pada lafal (qa>’im bi lafzihi) sebagai sesuatu yang baru (muh}dath), bahkan al-Ji>la>ni> secara terang-terangan
menganggap Ash’ariyyah melakukan bid’ah sesat dan menyesatkan dalam diskurus al-
Qur’a>n. Lihat: ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I, 164. 24‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 159. 25Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 328.
108
mencintai al-Qur’a>n, melantunkannya serta mengenal visi dan misi serta
cita-cita akbar yang didambakan al-Qur’a>n dalam pandangan Tuhan.26
Al-Muh}a>sibi> berujar :
“Ketika muncul dalam dadamu pengagungan dan penghormatan
kepada Sang Mutakallim, Sang Wicara al-Qur’a>n, niscaya tidak akan
ada dalam dirimu sesuatu yang lebih tinggi, lebih mulia, lebih
bermanfaat, lebih lezat, lebih manis, dibanding memperdengarkan
kalamullah ke dalam dirimu sembari memahami dan menghayati
firman-firmannya dengan penuh rasa agung, rasa cinta dan
penghormatan diri. Sebab manakala Tuhan yang maha tinggi itu
adalah Sang Wicara sejati, maka bisa dipastikan bahwa standar
kecintaan ucapan adalah tergantung pada siapa yang
mengucapkannya”.27
Yang perlu ditegaskan, perkataan Al-Muh}a>sibi> ini menjadi standar
umum bagi kaum sufistik As’ariyah sunni pasca al-Muh}a>sibi>.28
Konsepsi
ini menjadi landasan sunni yang dimulai ketika al-Mans}ur bin ‘Ama>r
menyatakan tidak ada perbedaan antara al-Qur’a>n dan Sang Wicara al-
Qur’a>n. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ji>la>ni> bahwa tila>wah atau
membaca lantunan al-Qur’a>n merupakan al-Qur’a>n itu sendiri. Dengan
kata lain, membaca berarti sama halnya dengan apa yang dibaca dan
yang dimaksud “apa yang dibaca (al-matluw)” tidak lain adalah al-
Qur’a>n itu sendiri. Al-Ji>la>ni> mendukung pendapat ini dengan
menyandarkan kepada hukum Fikih dalam dua hal. Pertama, orang yang
bersumpah untuk puasa bicara ketika membaca al-Qur’a>n maka
sumpahnya tidak dilanggar. Kedua, shalat mewajibkan membaca surat
al-Fatihah dan surat-surat sunah lainnya sementara melarang untuk
berbicara kepada manusia selama shalat, logikanya jika bacaan al-
26Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, Dira>sahal-Maja>l al-
Ma‘rifi al-Us}u>li> al-Awwal li> tafsi>r al-S}ufi>, (Yordania: ‘A<<lam al-Kutub al-Hadi>th,
2008), cet. ke-1, 339. 27Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 302. 28Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 339.
109
Qur’a>n merupakan bahasa manusia maka praktis akan membatalkan
shalat dan melakukan perbuatan dosa. Kedua postulat ini di hadapan al-
Ji>la>ni> sudah cukup menunjukkan bahwa “bacaan al-Qur’a>n” merupakan
bagian dari kalamullah sebanding lurus dengan al-Qur’a>n itu sendiri.29
Kecintaan kepada al-Qur’a>n dalam pandangan kaum sufistik
semata-mata karena bersumber pada kecintaan yang satu dan yang
pertama kali yakni kecintaan kepada Tuhan secara totalitas. Kecintaan
kepada Tuhan merupakan sumber utama untuk bisa mencintai seluruh
ciptaan-Nya termasuk al-Qur’a>n, makhluk dan seluruh isi alam
semesta.30
Al-Muh}a>sibi> mengajukan dalil aqli dalam konsepsi kecintaan
ini –di mana pada masanya hampir tidak ada kaum sufistik Sunni ‘Amali
yang berani kecuali menggunakan dalil naql– dan memberikan analogi
ketika manusia begitu menyayangi dan mencintai ucapan yang keluar
dari sanak saudara, para ulama, bahkan bahasa yang keluar dari mulut
kedua orang tua begitu manis menyejukkan dibanding ucapan orang lain.
Ini menjadi indikasi bahwa rasa mahabbah terhadap “apa yang
diucapkan” mereka berasal dari kecintaan mendalam dan kasih sayang
murni terhadap “siapa yang mengucapkannya”.31
Lebih jauh Al-Muh}a>sibi >memberikan standar dan parameter
seseorang tentang kecintaan kepada Tuhannya. Ia mengilustrasikan,
begitu mudah melihat dan mengetahui kecintaan seseorang kepada
Tuhan hanya dengan cara menilai pribadi orang tersebut sejauh mana
intensitas dan tinggi frekuensi dalam membaca al-Qur’a>n. Ia
menyandarkan kepada H{adi>th ‘Abdullah ibn ‘Umar “barang siapa ingin
mengetahui maka lihatlah apakah dia mencintai al-Qur’a>n”.32
29‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 162. 30
Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 339 31Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 303. 32Lebih jelas mengenai beberapa H{adi>th yang mendukung ini, lihat: Al-
Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 303-304.
110
4. Membaca al-Qur’a>n sembari berlindung kepada Tuhan dari godaan
Setan (Tila>wah al-Qur’a>n wa ‘isti’a>dhah billah).
Sebagaian kalangan sufistik menyatakan bahwa kalam dalam al-
Qur’a>n terdapat dua kategori. Pertama, menggunakan riwayat.
Karenanya tidak dapat dianggap kecuali sebagai bentuk kategori
transmisional (naql). Kedua, menggunakan pemahaman atau akal.
Karenanya tidak dapat terjadi terkecuali melalui lisan yang hak dan
benar demi tujuan menampakkan hikmah berupa rahasia dan makna-
makna yang samar pada lisan hamba-hamba pilihan. Singkatnya, makna
zahir adalah tila>wah atau pemahaman Arabisme sementara batin adalah
apa sesungguhnya yang dikehendaki Tuhan dibalik zahir itu dalam
kalam dan khita>bnya.33
Louis Massignon menilai bahwa praktek-praktek
adab sufistik seperti konstansi dan frekuensi tila>wah al-Qur’a>n,
meditasi, praktek ibadah, sama‘ dan dhikr merupakan sumber mistisme
Islam sekaligus pondasi sufistik dalam penafsiran, sehingga mereka
mampu mendeklamasikan al-Qur’a>n dengan bentuk-bentuk prosa atau
beberapa versi ayat al-Qur’a>n yang berkaitan dengan tema pokok
meditasi sufistik.34
Membaca lantunan al-Qur’a>n merupakan syarat bagi kaum
sufistik untuk bisa memahami dan menyelami setiap kandungan
penafsiran al-Qur’a>n dengan seksama. Hal ini merupakan rangkain
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari pra-syarat sebelumnya.
Kecintaan kepada al-Qur’a>n, bahkan menjadi tangga yang dilewati
setelahnya. Karena itulah manifestasi dan aktualisasi dari kecintaan
al-Qur’a>n harus dinyatakan dengan senyata-nyatanya melalui syarat
mutlak intensitas membaca al-Qur’a>n.35
Ritual ini merupakan tradisi
yang dijalankan oleh Nabi dan para sahabatnya serta kemudian menjadi
semacam ketergantungan ritual yang dilakukan oleh generasi
setelahnnya, khususnya kaum sufistik. Karena itulah, Al-Muh}a>sibi>
33Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t (Cairo: Maktabah al-Waqfiyyah, tt),
vol. III, 326.
34Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language of Islamic Mysticism (Indiana: University of Notre Dame Press, 1997), 73.
35Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 339.
111
sebagai ikon kaum sufistik Sunni-‘Amali memberikan pengalaman yang
indah bahwa membaca lantunan al-Qur’a>n dan memahami makna-
maknanya merupakan hal yang paling nikmat dibanding apapun, serta
sangat bermanfaat untuk siraman ruhani dan merupakan nutrisi spiritual
kaum sufistik yang tidak akan pernah membosankan untuk selalu dibaca.
Ia tak akan merasakan kepuasan batin jika belum mendapatkan energi
makna dan pancaran ruhani yang mengalir ketika melakukan bacaan
al-Qur’a>n sebagai mediasi bercakap-cakap dan berdialog dengan
Tuhan.36
Dalam konteks ini, Sahl al-Tustari adalah tokoh yang harus
dimunculkan. al-Tustari adalah seorang tokoh sufi Sunni‘amali yang
praktis karakter tafsirnya merupakan tafsir berbau Isha>ri, yang
menggabungkan makna eksoteris dan esoteris hermeneutika sufisme.37
Dalam pembacaan Gerhard Bowering, mekanisme konsep metodologi
hermeneutik Sahl al-Tustari adalah dengan menggabungkan makna
eksoteris dan esoteris hermeneutika sufisme.38
Tapi di sisi lain,
Bowering nampak mengabaikan sisi semantik dan kebahasaan dalam
konsep tafsir al-Tustari. Ia cenderung lebih sibuk menekankan mediasi
tila>wah untuk menangkap inspirasi mistisisme (mystical ideas) atas
makna-makna esoteritas an sich. Bowering tidak mampu
menginventarisir dan menemukan metodologi sufistik al-Tustari secara
teoritis, sebagai perangkat-perangkat kasar yang diperbantukan dalam
hermeneutik sufistik. Atas dasar inilah, kemudian penulis memasukkan
metodologi al-Tustari berupa mediasi tila>wah, yang berhasil diperas oleh
Bowering, sebagai remahan metodologi partikular yang masih mentah.
Karena itu perlu dimasukan ke sini sebagai bagian kelengkapan
prasyarat penafsiran sufistik Isha>ri.39
Ibn S{ala>h sendiri mengakui bahwa pembacaan atas al-Qur’a>n
yang dilakukan oleh kaum sufi adalah saham terbesar dalam
36
Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 304. 37Gerhard Bowering,The Mystical Vision of Existence in Classical Islam,139. 38Gerhard Bowering,The Mystical Vision of Existence in Classical Islam,139. 39Gerhard Bowering,The Mystical Vision of Existence in Classical Islam,137.
112
mendapatkan pemahaman Isha>ri.40 Karena itulah, kaum sufi Sunni
‘Amali acapkali menyatakan bahwa ijtihad penafsirannya bukan
dianggap sebagai tafsir atau syarah al-Qur’a>n. Melainkan makna-makna,
isyarat, atau kehalusan istilah (ma‘a>ni, isha>ra>t, lat}a>’if),41 dan lebih lazim
disebut sebagai Tafsir Sufi Isha>ri, yang dalam perkembangannya lebih
poluler sebagai Tafsir Sunni.42
Esensi dari membaca al-Qur’a>n adalah
mendapatkan pemahaman, namun demikian hal ini tidak harus ditempuh
dengan cara-cara umum seperti waktu belajar yang panjang bertahun-
tahun atau luasnya cakrwala referensi buku tafsir yang dibaca. Syarat
pemahaman menurut kaum sufistik sangat simpel namun tidak semua
orang mengalaminya, yakni niat yang penuh keikhlasan dan tujuan
membaca dengan hati yang benar-benar suci.43
Inilah kunci mendapatkan pemahaman sufistik ketika
bermeditasi melalui bacaan al-Qur’a>n sebab berapa banyak para penafsir
yang unggul dalam disiplin keilmuan dan mumpuni dalam pembacaan
ternyata tidak mendapatkan pemahaman sufistik yang utuh dan kalah
oleh sekian pembaca yang ummi atau bodoh namun mendapatkan
hidayah pemahaman dengan bermodalkan keikhlasan dan hati yang suci
dari noda-noda kesombongan, takabur dan lain-lain. Karena itu, perlu
dijelaskan di sini bahwa maksud dari mencintai al-Qur’a>n bukan berarti
mencintai lafal-lafal dan kata-kata al-Qur’a>n dan dengan serta merta
akan bisa memahami dan mengetahui bahasa Arab.44
Yang menjadi entry point adalah pemahaman akan didapat bukan
semata-mata karena bacaan al-Qur’a>n merupakan kalamullah atau
bahkan sama dengan al-Qur’a>n itu sendiri.45
Dan karena itu
mengagungkan bacaan sama seperti mengagungkan Sang Pemilik
bacaan tersebut. Tapi justru karena proses penghormatan dan
40Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 242. 41Al-Suyu>ti, al-Itqa>n fi ‘ulu>m al-Qur’a>n (Cairo: Mat}ba’ah al-Azhariyah,
1925), cet. ke-2, 488. 42Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 242. 43
Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 340. 44Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 340. 45‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 162. Lihat juga Mukhta>r Al-
Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 340.
113
pengagungan dalam hati inilah yang menjadi sebab munculnya makna
dan pemahaman yang langsung dianugerahkan kepada kaum sufistik
disela-sela membaca al-Qur’a>n secara tiba-tiba. Dan bukan ketika
memahami lafal itu sendiri dengan pemaksaan.46
Sebab itulah, siapapun
akan mendapatkan jaminan pemahaman karena adanya satu keyakinan
bahwa bacaan al-Qur’a>n bukan merupakan bacaan manusia melainkan
bacaan Tuhan yang diperdengarkan melalui suara manusia, sekalipun
orang tersebut “ummi” dan tidak memahami lafal-lafal al-Qur’a>n atau
barangkali tidak mengerti bahasa Arab.47
Menarik dicermati, Al-Muh}a>sibi> dalam hal ini membangun
kembali argumentasi akal untuk melawan kaum Mu’tazilah yang
mengagung-agungkan nalar. Bahwa sudah menjadi sunatullah dan fitrah
manusia setiap ucapan yang dibukukan, yang datang dari para Nabi, para
filosof, para dai panutan atau para pujangga, maka hati manusia akan
condong dan tertarik untuk membaca dan mengulang-ulang karyanya
karena kecintaan secara alami yang datang dari sanubari. Terlebih
terhadap al-Qur’a>n yang datang dari Tuhan, maka tingkat keinginan
untuk mencintai dan membacanya terus-menerus sekalipun andaikata
bukan dengan menggunakan bahasa lisan manusia yang tidak mampu
dipahami maknanya.48
Hal ini diibaratkan ketika kita mendengarkan
gubahan lagu asing yang bisa menghayati dan menikmati tanpa paham
apa yang dimaksudkan.
Singkatnya, disinilah titik kesamaan antara al-Ji>la>ni> dan
al-Muh}a>sibi> dalam memahami sudut pandang tilawah al-Qur’a>n yang
tidak hanya bermuatan teologis melainkan juga menjadi modal agar bisa
memahami model penafsiran sufistik.
***
Adab lain yang harus diperhatikan sebagai syarat yang dipegang
kaum sufistik adalah berlindung kepada Tuhan saat akan membaca al-
Qur’a>n dengan menyebut nama-Nya. Al-Ji>la>ni> menyandarkan syarat ini
46Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 340. 47Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 308. 48Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 307.
114
kepada firman Tuhan (QS. al-Nahl 16: 98). Artinya, “jika kamu
membaca al-Qur’a>n maka berlindunglah kepada Tuhan dari godaan setan
yang terkutuk”. Menurut penafsiran Ibn ‘Abbas, sebagaimana dinukil
dalam kitabnya, al-Ghunyah, jika kamu hendak membaca al-Qur’a>n,
maka katakanlah “aku berlindung kepada Tuhan dari godaan setan yang
terkutuk”, yang bermaksud: Aku meminta penjagaan dari setan yang
terkutuk. Konon dengan bacaan isti‘a>dhah ini, tidak ada yang lebih
dimurkai setan kecuali seseorang yang membacakannya saat mengawali
bacan al-Qur’a>n.49
Setan adalah makhluk yang jauh dari Tuhan, jauh dari kebaikan,
jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Karena itu, Tuhan dan Nabi
memerintahkan kepada umatnya agar selalu berjaga-jaga dari setan yang
terkutuk dan dijauhkan dari rahmat serta terhindari dari api neraka.
Dengan bacaan ini, seolah-olah Tuhan berkata “wahai hambaku, setan
itu jauh dariku sementara engkau hambaku dekat denganku, maka
perbaguslah etika adabmu dalam menjaga sikapmu sehingga tidak ada
jalan bagi setan untuk menggodamu dari berbagai jalan”. Menjaga sikap
dalam hal ini adalah dengan memperbaiki dan melakukan perintah-
perintah Tuhan dan menyudahi larangan-Nya serta ridha dengan segala
yang ditakdirkan Tuhan. Baik dalam jiwa, harta benda, keluarga serta
segala hal yang berkaitan dengan kemakhlukan. Dengan menjaga
konsistensi sikap ini, niscaya akan terjaga dari fitnah dan godaan
setan.50
Begitu juga dianjurkan untuk banyak membaca basmalah sebab
setan akan menjadi kerdil oleh bacaan sakti ini.51
Basmalah ini,
sebagaimana dikutip kembali oleh al-Ji>la>ni>, tidak hanya berlaku dalam
membaca al-Qur’a>n, namun dalam segala hal-ihwal yang mengandung
perbuatan baik agar nanti mendapatkan keberkahan dalam setiap
pekerjaan amal shaleh itu. Komparasi kedua bacaan ini adalah sebuah
keindahan bagi kalangan kaum sufistik. Nabi bersabda “tutuplah
49Al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I, 244. 50 Al-Ji>la>ni, al-Ghunyah, vol. I, 246. 51 Al-Ji>la>ni, al-Ghunyah, vol. I, 249.
115
gerbang maksiat dengan bacaan istia>dhah dan bukalah gerbang ketaatan
dengan bacaan basmalah”.52
Secara lebih khusus, al-Ji>la>ni> menyoroti dalam tafsirnya
mengenai istia>dhah ini yang disebutkan secara jelas dalam al-Qur’a>n
pada (QS. al-Nahl 16: 98). Salah satu bagian dari amal shaleh yang
membuahkan kehidupan baik, yang mencerahkan dan memberikan nilai
makna adalah membaca al-Qur’a>n. Tentu jika disesuaikan dengan
konteks pembacaan ini, maka bacaan yang dimaksud adalah bacaan yang
produktif, yakni bacaan yang melahap pengetahuan makrifat dan
hakikat, yang mampu menyingkap tira-tirai ilahi (mukasha>fah), bahkan
menyaksikan keharibaan Tuhan (musha>hadah), sehingga mencapai
martabat ‘irfa>n dan tauhid.53
Karena itu, untuk mencapai ke arah sana,
al-Ji>la>ni> menganjurkan agar seorang Mufasir yang hendak mencari dan
membuka tirai-tirai yang tersembunyi rapi di balik ayat-ayat simbolik
yang terpendam atau isyarat-isyarat Tuhan yang susah ditembus, maka
kunci pertama kali adalah ucapan isti‘a>dhah sebagai benteng penjagaan
sembari memohon perlindungan dan beranjak diri kepada Tuhan menuju
keberadaan sifat-Nya Yang Maha Agung, Yang Maha Menjaga hamba-
hambanya dari segala perbuatan maksiat dan dosa. Sehingga, dengan
demikian, akan terbebas dari segala bisik rayuan dan godaan setan yang
terlaknat yang terlempar dari rahmat Tuhan dengan keburukan dan
kejelekan, sang penguasa kejahatan yang menguasai alam hawa nafsu
dan alam syahwat manusia.54
Setan begitu takut dengan sorotan cahaya
makrifat yang keluar dari hati kaum makrifat, karena itu jika belum
mencapai derajat ini, maka wajib bagi kita untuk membaca isti‘a>dhah ini
sebagai benteng pertahanan diri orang-orang bertakwa (al-muttaqi>n)
hingga bisa mencapai pada puncak derajat orang-orang yang makrifat
(a>rifi>n).55
Sinaran hati yang sudah terjaga akan meruntuhkan kekuatan
dan tipu daya setan sehingga kita bisa menembus kedalaman makna
penafsiran al-Qur’a>n yang Tuhan hidangkan melalui ayat-ayat simbolik.
52
Al-Ji>la>ni, al-Ghunyah, vol. I, 248. 53‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, vol. III, 82. 54‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, vol. III, 83. 55 Al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I, 248.
116
Dalam pandangan Al-Ji>la>ni>, ucapan istia>dhah mempunyai fungsi
dan nilai vital dalam agama. Pertama, menetapkan dan melanggengkan
keagamaan. Kedua, selamat dari kejelekan yang sia-sia dan tak
bermakna. Ketiga, masuk dalam benteng pertahanan yang kokoh dan
menuju kepangkatan derajat yang dipuji Tuhan. Keempat, sampai pada
kedudukan bersama para Nabi, siddiqi>n, shuhada>’a dan s}a>lih}i>n. Kelima,
memperoleh pertolongan Tuhan.56
Al-Ji>la>ni> menjelaskan maksud yang
kelima bahwa ketika dibacakan istia>dhah maka bagian kanan akan
dianugerahi hidayah; bagian kiri akan diberikan kesungguhan; bagian
belakang berupa penjagaan (‘is}mah}); bagian depan diberi pertolongan
Tuhan dari Setan sehingga dalam posisi ini tidak akan takut oleh bahaya
bisikan rayu dan godaan setan.
5. Sentralitas Global dan Organisir Visi Makna (al-Tarki>z al-Kulli wa
Jam‘ al-Hamm).
Syarat khusus ini berangkat dari pemahaman (QS. Qaf 50:37),
yang artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.57
Ayat ini
mengandung pengertian mendalam dan menjadi landasan kaum Sufi
dalam menjadikan al-Qur’a>n sebagai titik tolak sebuah bacaan yang
mempunyai visi dan misi yang terpusatkan kepada idealisme makna
universal al-Qur’a>n. Sentralitas ini akan tercapai dengan menghilangkan
segala kesadaran diri yang berada di luar bentuk kesadaran apapun yang
bersemayam dalam akal, kemudian mentransformasikan akal ini menuju
akal yang dipersiapkan untuk menerima keharibaan Tuhan.58
Dengan menghilangkan kesadaran menuju alam sadar tertinggi
berarti telah mengosongkan seluruh aktivitas anggota tubuh di alam
material (al‘a>lam al-kha>rij) menuju alam transendental dan alam
maknawi (al-a>lam al-lahui wal ma‘a>ni). Akal dalam keadaan seperti ini
sudah menutup akses dari benak pikiran dan khayalan dan serta-merta
56 Al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I, 247. 57
إن فى ذلك(اآلية)لذكرى لمن كان له قلب او القى السمع وهو شهيد 58Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 342.
117
terkumpulah seluruh kesadaran akal dan kehadiran hati sehingga hati
menjadi suci dan kuat serta sangat siap mencari dan mendapatkan
pemahaman yang yakin dan objektif. Pengaruhnya akan menjadikan suci
hati dan kuat pikiran ketika berzikir membaca al-Qur’a>n.59
Dalam hal
ini, kaum sufistik mempunyai tujuan yang sama secara prinsipil
sekalipun dalam ungkapan cenderung berbeda. Karena itu, tidak ada
perbedaan esensial melainkan perbedaan istilah permukaan. Bahkan
saling melengkapi satu dengan yang lain.
Sekali lagi, kunci pada syarat terakhir ini berdasarkan landasan
(QS. Qaf 50:37). Ayat ini secara eksplisit menjelaskan akan kunci
keterbukaan al-Qur’a>n sebagai gerbang zikir bagi mereka yang
mempunyai sanubari atau berusaha membaca dan mendengar alam
dalam keadaan terjaga. Dalam hal ini ada beberapa penafsiran kaum
sufistik mengenai ayat ini. Al-Ji>la>ni>, memberikan penafsiran bahwa
al-Qur’a>n sebagai kitab yang diturunkan kepada Muhammad adalah
sebagai zikir. Ia memberikan perluasan makna sebagai ajaran (‘iz}ah),
pengingat (tadhki>r), tauladan (‘ibrah) dan pengingat (tanbi>h) ketika
seseorang berada dalam dua kondisi. Pertama, kondisi di mana seseorang
memiliki hati yang cerdas, terbebas dari segala pakewuh hati dan
suasana suram yang selalu menyelimutinya, menuju derajat Yang Hak
yang mendapatkan nu>r tajalli yang sempurna dan agung. Kedua, kondisi
di mana seseorang mempunyai visi tujuan yang jujur penuh keikhlasan
dalam memperdengarkan atau membaca al-Qur’a>n sehingga jauh dari
sifat tercela seperti sombong dan membanggakan diri. Telinganya benar-
benar digunakan untuk mendengarkan kalimat yang hak yang datang
dari al-Qur’a>n dan hatinya benar-benar menjadi saksi akan keterjagaan
dan kehadiran sanubari, pengerahan segenap cita-cita (fa>rig al-Himmah),
cerdas-berakal serta lurus dan murni dalam visi dan misi ataupun
tujuan.60
59
Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 342. Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 319.
60‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, vol. VI, 405-406.
118
Dan penjelasan ini didukung oleh (QS. al-A‘raf 7: 203-204).
Dalam hal ini al-Ji>la>ni> memaparkan dengan indah:
“Inilah al-Qur’a>n berserta segenap isinya, yang di dalamnya terdiri dari
simbol-simbol dan isyarat-isyarat, yang merupakan petunjuk
penglihatan batin (bas}a>ir) bagi ahli mata batin yang sudah tersingkap
hatinya dengan segala amanat titipan suci yang yang diberikan Tuhan
kepada hamba yang bersanubari. Manakala disingkapkan amanat
(makna-makna) titipan itu, niscaya kamu sekalian akan mangetahui
bahwa itu semua merupakan anugerah dari Tuhanmu sekaligus
petunjuk yang mengantarkan kamu pada karakter kuat karena-Nya,
yaitu tauhid dan ‘irfa>ni serta rahmat yang diturunkan Tuhanmu yang
akan membangunkanmu dari tidur kealfaan dan kelupaan. Semua itu
untuk kaum yang beriman, yakni kaum yang benar-benar mencapai
martabat yakin ilmi sampai kepada yakin aini dan yakin hak. […]
Setelah kalian mengetahui karakteristik al-Qur’a>n yang kalian semua
dengar dan ketika al-Qur’a>n itu dibacakan di sampingmu atau kamu
sekalian membacanya, maka hendaklah kamu benar-benar
mendengarkannya (fastami’u> lahu) dari lubuk hati terdalam: resapilah
makna-makanya dengan segala kekuatan yang kamu miliki serta
berdiamlah dan menjauhlah dari segala kekuatan yang mendorong
kamu ke sana dengan tidak berpaling darinya sama sekali agar kalian
semua menjadi hamba-hamba yang dikasihani, yang tersingkap mata
hatinya dan benar-benar mendapatkan secara nyata apa-apa yang
Tuhan titipkan ke dalam hatimu dengan sebab-sebab yang telah ada”.61
Inilah rahasia al-Qur’a>n yang hendak diutarakan oleh al-Ji>la>ni>
kepada umat Islam agar al-Qur’a>n benar-benar menjadi petunjuk, dengan
tidak hanya sebagai bacaan melainkan juga harus dipahami sebagai
sebuah hidayah menuju tahap-tahap keyakinan, mulai dari keyakinan
pengetahuan, keyakinan riil dan keyakinan kebenaran sebagai keyakinan
tertinggi. Di samping itu, yang paling utama adalah aksi pengalaman
setelah mendapatkan pengatahuan itu agar benar-benar menjadi orang
yang bahagia. Sebagaimana ia singgung dalam (QS. al-Zumar 39:18).
61‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. II, 184-185.
119
Bahwa mereka yang mendengarkan ayat-ayat Tuhan serta tidak merasa
ragu sama sekali atasnya, bahkan kemudian diikuti oleh kebajikan
dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya
sesuai yang mereka dengar dan mereka dapatkan dari kalimat hak itu,
yakni al-Qur’a>n, adalah mereka yang berhak mendapatkan hidayah serta
termasuk dalam golongan ulul al-ba>b; para kaum sufi yang cendikia.62
Senada dengan al-Muh}a>sibi>, ia menyaratkan agar bisa
mendapatkan penafsiran al-Qur’a>n yang obyektif, yang dalam al-Qur’a>n
termasuk barisan dari ulu>l al-ba>b yang mendapatkan pancaran hidayah-
Nya, adalah mereka yang menghadirkan akalnya dengan segenap visi
idealisme makna (jam‘al-Hammi) dengan disertai niat yang baik serta
renungan dan harapan untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai
dengan maksud Tuhan.63
Inilah adab untuk mendapatkan pemahaman
yang objektif dalam pandangan al-Muh}a>sibi>. Dalam memahami (QS. al-
Qaf 50: 37), al-Muh}a>sibi> memahami frase “Qalbun” sebagai akal dan
“alqa> al-Sam‘a”, seperti yang ia nukil dari al-Muja>hid, berarti tidak ada
bisikan di hatinya selain al-Qur’a>n yang diperdengarkan. Sementara
frase “Shahi>d”> diartikan sebagai kehadiran akan hati. Dengan kata lain,
al-Muh}a>sibi> memberikan dua kategori: Pertama, mereka yang berakal
dengan segenap konsentrasi pemahaman yang tinggi demi mendapatkan
visi idealisme makna yang terorganisir (jam‘al-Hammi). Kedua, mereka
yang menghadirkan hatinya dengan segenap kesaksian yang sadar tanpa
terbersit pikiran luar kecuali hanya mendengar apa yang dibacakan,
al-Qur’a>n.64
Al-Qushayri mempunyai penafsiran yang menyatukan perbedaan
antara al-Ji>la>ni> dan al-Muh}a>sibi>. Ia menafsirkan (QS. Qaf 50: 37),
“liman ka>na lahu al-Qalb” adalah orang-orang yang berakal pikiran dan
(atau) yang hatinya dihadirkan. Sementara kalimat “alqa> al-Sam‘a”
mempunyai zahir dan batin. Arti zahir adalah usaha mendengarkan
terhadap ajakan ayat ini secara zahir dari makhluk. Arti batin adalah
usaha untuk menerawang dan menggali terhadap rahasia-rahasia Tuhan
62‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. VI, 110. 63Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 322. 64Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 318.
120
yang ada dalam lantunan setiap ayat al-Qur’a>n.65
Yang menarik, bagi
al-Qushayri, hati merupakan bejana bagi manusia, sebagaimana ia
mengutip sebuah H{adi>th66
, hati orang kafir seolah terbalik sehingga
tidak suatu apapun masuk dalam bejana itu, hati orang munafik tampak
seperti bejana yang retak-retak. Sesuatu yang masuk ke dalamnya akan
selalu bocor mengalir. Sementara ilustrasi hati seorang mukmin ibarat
bejana yang utuh dan tidak terbalik sehingga akan menampung iman
tanpa kebocoran. Hanya saja hati mukmin ini berbeda-beda sesuai kadar
si empunya: hati kadang ternoda dengan segala ekses dan pengaruh yang
masuk ke dalamnya sehingga hati menjadi kotor terkontaminasi.
Perumpamaan ini sama seperti halnya air yang masuk ke dalam bejana
yang dicampur dengan sesuatu, maka akan menjadi berwarna dan tidak
murni.67
Karena itu, menurut al-Qushayri, setiap hati yang lurus, yang
mampu tercegah dari karakter yang buruk serta dihiasai dengan
pembawaan sifat yang terpuji, itulah yang dimasud dalam (QS. Qaf
50;37).68
Betapa pentingnya ayat ini sebagai panduan bagi penafsiran
sufistik, karena itu, untuk memudahkan apa yang dimaksud dalam
konsepsi ini, alangah baiknya menyimak penggalan dialog antara al-
Junaydi dan al-Muh}a>sibi>:
Al-Muh}a>sibi: “Bagaimanakah aku dapat membantu menolong
pemahaman atas makna-makna ayat yang aku baca atau dibacakan
kepadaku?”
Al-Junaydi: “(Yakni) dengan menghadirkan akal pikiranmu. Dengan
begitu kamu akan dapat memahami dan mengingatnya. Bukankah
kamu pernah mendengar Tuhan Yang Maha Kuasa berfirman dalam
surat Qaf: (QS. 50:37). Artinya ‘sesungguhnya dalam al-Qur’a>n itu
sungguh menjadi pengingat bagi orang yang mempunyai hati atau
diperdengarkan kepadanya sementara hatinya terjaga’. Muja>hid
65Al-Qushayri, Lata>’if al-Ishara>t (Cairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-<A<mah lil-
Kita>b, 2008), cet. ke-4, Vol.III, 465. 66
-Lihat: Al-Qushayri, Lata>’if al إن هلل أوانى أال وهى القلوب و أقربها من هللا ما رق وصفاIshara>t, 456
67Al-Qushayri, Lata>’if al-Ishara>t vol. III, 456- 457. 68Al-Qushayri, Lata>’if al-Ishara>t vol. III, 456.
121
berkata: ‘alqa> al-sam‘a’ artinya tidak ada bisikan dalam hatinya
kecuali apa yang di dengar. ‘Wahuwa shahi>d”, artinya kesaksian hati”.
Al-Muh}a>sibi: “Bagaimana aku bisa menghadirkan akalku sehingga
menjadi saksi yang tidak akan kehilangan pemahaman kalam Tuhanku
Yang Maha Luhur dan Maha Agung itu?”
Al-Junaydi: “Dengan mengumpulkan segenap pemahamanmu sehingga
tidak terjadi pemahaman yang tercerai-berai karena mencari sesuatu
yang bukan pemahaman sejati dari ucapan Tuhanmu”.
Al-Muh}a>sibi: “Bagaimana aku mengumpulkan segenap visi misiku
(jam‘ al-Hammi) sehingga tidak mungkin terpecah-belah kecuali hanya
konsentrasi pada hal itu?”
Al-Junaydi: “Halangilah akalmu dari memikirkan sesuatu selain hanya
mencari pemahaman Kitab Tuhanmu yang Agung nan Mulya itu!”
Al-Muh}a>sibi: “Dan bagaimana cara mengumpulkan akalku?”
Al-Junaydi: “Dengan tidak menyibukan anggota-angota tubuhmu
dengan sesuatu yang akal tidak disibukkan olehnya, dengan
menggunakan setiap panca indera untuk membantu mendapatkan
pemahaman sebagaimana matamu melihat mushaf serta telinga
mendengarkan bacaanmu atau bacaan orang lain, juga dengan
mencegah akalmu dari setiap pikiran dan ingatan, niscaya akan kuatlah
perolehan pemahaman langsung dari Tuhanmu. Sesungguhnya (kunci
pemahaman itu) adalah jika anggota tubuhmu tidak disibukkan oleh
sesuatu apapun selain itu, serta usaha mencegah akalmu dari
penglihatan dan pemikiran selain itu, niscaya akan terkumpullah
sentralitas visi idealisme makna dan hadir di dalamnya. Ketika akalmu
hadir maka bersihlah hatimu, dan ketika bersih hati maka kuatlah
perolehan pemahaman dan pendapatan kejelasan yang meyakinkan dan
akan menjadikan bersih ingatan, kuat pikiran”.69
Sebagaimana al-Ji>la>ni> dan al-Muh}a>sibi>, al-Qushayri memandang
bahwa syarat untuk bisa mendengarkan atau membaca al-Qur’a>n
sehingga mendapatkan pemahaman ‘irfa>ni, adalah keharusan mufasir
untuk mendengarkan dengan “telinga iman dan kebenaran” (sam‘i al-
ima>n wa tas}di>q), menuntut peningkapan makna-makna, serta menyimak
dengan sungguh-sungguh sehingga terjaga dari pertentangan luar. Ayat
69Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 318-319.
122
ini menjadi jelas ketika jin atau manusia berada di hadapan Rasul untuk
mendengarkannya, yang menimbulkan wibawa ketakutan (haybah) bagi
pendengar, maka secara logika jika hati sudah dihadirkan di hadapan
Tuhan Sang Penguasa, justru lebih utama dan lebih berhak menimbulkan
wibawa ketakutan luar biasa sehingga adab menjaga al-Qur’a>n benar-
benar diperhatikan akibat mendengarkan lantunan suara Tuhan yang
dibisiki begitu pelan dan perlahan itu.70
Inilah seluruh pengertian yang diberikan oleh kaum sufistik
Sunni ‘Amali dalam memberikan syarat agar penafsiran itu benar-benar
obyektif, yakni melalui kriteria-kriteria yang telah digariskan di atas.
Dengan memenuhi semua pra-syarat itu, dalam pandangan kaum
sufistik, khususnya al-Ji>la>ni>, akan dapat mengenai sasaran validitas
penafsiran yang dikehendaki oleh sang pengarang dan pembuat al-
Qur’a>n itu. Sebab pemahaman yang objektif dan terbaik adalah
pamahaman yang tidak datang dengan pencarian dari diri manusia
semata atau ritual zikir yang menguatkan hati, melainkan sesuatu yang
tiba-tiba Tuhan berikan dengan mendapatkan bimbingan kepada mereka
yang punya niat tulus dan keimanan serta kode etik yang dipaparkan
panjang lebar di atas.71
70Al-Qushayri, Lata>’if al-Isha>ra>t, vol. III, 600. Dalam hal ini Al-Qushayri
mengilustrasikan suara yang diperdengarkan adalah suara bisik-bisik kepada Tuhan,
sebagaimana ia membantu penafsiran ini melalui surat T{aha QS. 20:108:
71Lihat untuk lebih jelas, pesan ringkas al-Muh}a>sibi> dalam diskursus ini: Al-
Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 318.
123
BAB V
KONSTRUKSI METODOLOGI TAFSIR ISHA<RI AL-JI<LA<NI<
Bab V ini mengulas bagian-bagian dari konstruksi metodologi
Tafsir Isha>ri yang diproyeksikan al-Ji>la>ni> dalam tafsirnya. Adanya
perincian perangkat hermeneutika sufisme Isha>ri tidak berarti bahwa
masing-masing bagian terpisah dan berdiri sendiri, melainkan ini
merupakan sistem kesatuan. Artinya, satu dan lainnya saling
menunjukkan bagiannya sekalipun tidak secara keseluruhan. Adanya
unsur hakikat umpamanya, tidak terlepas dari unsur syariah sebagai
kendali hakikat, begitu juga harus tetap memperhatikan unsur bahasa
agar terhindar dari pena’wilan yang terlalu jauh, yang menjadi distingsi
antara sufi-‘amali dan sufi-falsafi. Namun demikian, semuanya bisa
dipisahkan secara epistemologis sebagai perangkat eksoterik yang
mewakili z}a>hir/literal dan perangkat esoterik yang mewakili ba>t}in
/spiritual. Karena itu, karakteristik tafsir Isha>ri adalah kongruensi z}a>hir
dan ba>t}in sebagai kesatuan asosiasi dan harmonisasi–sekaligus sebagai
representasi ahli sufi sunni-‘amali yang mengkomparasikan dimensi
lahir dan batin.
Selanjutnya, epistemologi sufistik Isha>ri dibagi menjadi dua
kategori besar yakni metodologi eksoterik dan metodologi esoterik.
Mendahulukan perangkat eksoterik menjadi fokus bahasan pertama
merupakan pertimbangan prioritas. Mengapa demikian? Karena para sufi
ini berangkat dari tahap pertama atas pemahaman eksoterik dengan
segenap perangkatnya yang kita sebut perangkat tekstualis-eksoterik
(al-asa>lib al-baya>niyah) sebagai perangkat khas nalar baya>n (shart} al-
baya>n). Tahap kedua menuju kepada pemahaman esoteris dengan
segenap perangkatnya yang kita sebut perangkat gnostik-esoterik (al-
asa>lib al-‘irfa>niyyah) sebagai perangkat khas nalar ‘irfa>n (shart} al-
‘irfa>n }).1 Singkatnya, dialektika z}a>hir dan ba>t}in disini begitu mesra dan
1 A<bid Al-Ja>biri,Binyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wahdah
al-‘Arabiyyah, 2004), cet.ke-7, 291.
124
saling silang dan inter-konektif, karena sistem pengetahuan ‘irfa>ni yang
hendak dibangun dalam tafsir sufistik menggunakan paradigma dari
z}a>hir menuju ba>t}in atau dari teks menuju makna (min al-lafz}i ila> al-
ma‘na).2 Dalam bahasa Bowering, dua isu pokok yang tidak boleh
ditinggalkan dalam penafsiran sufstik sebagai proses pewahyuan
al-Quran dan konten penafsiran adalah: (1) Melakukan sharing dengan
non-sufi, yakni penafsiran literal sebagaimana yang diyakini penafsir
zahiriyyah. (2) Manifestasi metode penafsiran yang spesifik dalam
sufistik.3 Adanya korelasi kerjasama ini merupakan kecocokan makna
yang senyawa antara z}a>hir sebagai aplikasi literal (tat}bi>q) dan ba>t}in
sebagai isyarat samar (isyara>t kha>fiyah/paralelisme simbolis (symbolic
parallelism).4
Karena itu, secara epistemologis, sebagaimana golongan penafsir
zahiriah mempunyai perangkat istinba>t} dalam penafsiran bentukan
struktur baya>ni (al-asa>lib al-baya>ni), begitu juga kaum sufistik memiliki
perangkat istinba>t} melalui caranya sendiri yang khas, unik dan orisinil,
sehingga menghasilkan penafsiran simbolik sebagai pengetahuan intuitif
(al-ma‘a>rif al-qalbiyyah).5 Di samping itu, aksiologi istinba>t} dari ahli
z}a>hir mengafirmasikan hukum-hukum fikih sementara ahli ba>t}in tidak
demikian, melainkan lebih kepada pendapatan nilai-nilai keutamaan,
kebaikan, etika akhlak dan perbuatan, pase maqa>mat dan derajat-derajat
di hadapan Tuhan.6 Mereka tidak bisa diklaim sebagai ahli progresif
2‘A<bid Al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 291. 3Gerhard Bowering, “The Scriptural “Senses” in Medieval S{ufi Qur’a>n
Exegesis” dalam Jane Dammen McAulife (ed.), With Reverence for the Word: Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam (New York: Oxford
University Press, 2003), 349. 4 John Wansbrough,Qur’anic Studies, Sources and Methods of Scriptural
Interpretation (New York: Prometheus Books, 2004), cet.ke-8, 243. 5 Al-Ja>biri sendiri menyatakan kesutujuan akan perangkat sufistik ini, seperti
al-tila>wah, al-dhikr, al-ta’ammul, sehingga ia menyatakan bahwa secara umum
penafsiran simbolik baik bentuknya normal atau ekstase adalah murni produk
“istinba>t}” sebagaimana kaum fuqaha biasa melakukan istinba>t}. Lihat: ‘A<bid Al-
Ja>biri,Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 293.
6Untuk melihat lebih jauh diskursus penetapan istinbat ahli sufi dan ahli fikih
serta perbedaan dan korelasi keduanya sampai-sampai al-T{u>si membuat bab khusus
125
(mubtadi‘i>n) dalam pandangan kaum zahiriah sebab sudah masuk
kawasan bagian “ilmu liyan” (the other self) yang mandiri dan sudah
dipastikan setiap ilmu mempunyai istilah dan terma khas dalam masing-
masing bidang displin ilmu pengetahuan.7
Dalam hal ini, al-Ji>la>ni> dalam memahami istinba>t} bisa ditempuh
melalui proses pemahaman sebagaimana yang ditangkap dalam frase’u>lil
amri (al-Nisa>’ QS 4:15). Pengertian’u>lil amri tersebut dibagi menjadi
dua golongan: (1) As}h}a>b al-Ra’y yang identik dengan ahli baya>ni
sebagai penemuan istinba>t} struktural-eksegesis. (2) As}h}a>b al-Tadbi>r
yang identik dengan ahli ‘irfa>ni sebagai penemuan istinba>t} spiritual-
eisegesis.8 Mereka sama-sama melakukan proses istinba>t}: Ahli baya>n
cenderung kepada konsekuensi terang-terangan secara hukum (ifsha>’),
sementara ahli ‘irfa>n cenderung kepada konsekuensi samar-samar secara
makna (asra>r). Al-Ji>la>ni> secara terang-terangan memberikan peringatan
kepada ahli baya>n agar tidak terjebak oleh akal atau berlaku sewenang-
wenang menggunakan akal yang mengarah kepada sikap otorianisme
penafsiran.9
Yang terpenting, proses istinba>t} spiritual ini tetap bersumbu
kepada kekuatan pondasi intuitif, bukan kepada akal.10
Sebagaimana
telah disinggung pada bab II, al-Sha>t}ibi mempunyai standar dan syarat
penafsiran ketika unsur batin berdialektika dengan unsur z}a>hir sebagai
syarat pembakuan diskursus penafsiran sufistik Isha>ri: Pertama, sesuai
dengan muqthad{a z}a>hir atau ketetapan logika z}a>hir teks, mengikuti
logika bahasa Arab serta berjalan sesuai arus tujuan-tujuan dari
Arabisme (maqa>s}id ‘Arabiyah). Kedua, harus diperkuat oleh kesaksian
bertajuk “kita>b al-mustanbit}a>t”, lihat lebih lengkap: Al-Sarra>j Al-T}u>si,Al-Luma’ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi>, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), cet.ke-1, 102.
7 Pendapat ini lebih cenderung merujuk kepada pendapat al-Qushari, namun
dalam pandangan al-T}usi, secara prinsip keduanya bisa didamaikankan menjadi satu
entitas kesatuan metodologi baya>n-‘irfa>n. Inilah pertimbangan al-T{u>si, kenapa ngotot
menjadikan nalar ’irfa>n sebagai manhaj melalui legitimasi istinba>t} tasawuf itu. Lihat:
‘A<bid Al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 296. 8‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> li al-
Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1, vol. 1, 419. 9Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>,Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 419. 10 ‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-
Isla>miyah,Syria: Da>r al-Awa>iel, 2005), cet. ke 1, 184.
126
nas} atau petanda z}a>hir di tempat lain yang mengakui keabsahannya
tanpa ada penentangan.11
Dalam wilayah pemahaman al-Qur’a>n, kalangan sufistik
melandaskan dirinya kepada dua syarat prinsipil dan mendasar: Pertama,
Iman dan kedua Ilmu.12
Iman merupakan piranti atau spirit bagi
perangkat-perangkat batin dan ilmu sebagai piranti atau spirit bagi
perangkat-perangkat z}a>hir. Ilmu yang dimaksud adalah pemaknaan yang
z}a>hir -sunniyah dan bukan ilmu laduni atau ma’rifat yang diakui oleh
kalangan sufistik, karena itu sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis
bahwa kalangan Sufistik Sunni mensyaratkan adanya pembacaan
penafsiran terhadap al-Qur’a>n untuk menguasai apa yang dikenal
sebagai syarat penafsiran resmi ‘ulu>m al-Qur’a>n al-‘Aqliyah.13
Di bawah ini, dijelaskan syarat-syarat representatif yang
merupakan perangkat mainstream yang digunakan oleh kalangan sufistik
khususnya al-Ji>la>ni>. Penjelasan ini diteliti secara deskriptif-elaboratif
melalui pemetaan distingsi z}a>hir sebagai perangkat eksoterik (meaning)
dan ba>t}in sebagai perangkat esoterik (significance). Tujuan teorisasi ini
tidak lain untuk mendapatkan objektif interpretation, sehingga akan
11 Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t (Cairo: Maktabah al-Waqfiyyah, tt),
vol. III, 334/445. 12Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, Dira>sahal-Maja>l al-
Ma‘rifi al-Us}u>li al-Awwal li> tafsi>r al-S}ufi, (Yordania: ‘A<lam al-Kutub al-Hadi>th,
2008), cet.ke-1, 343. 13 Perlu dijelaskan bahwa tidak komprehensifnya penyebutan syarat-syarat
yang biasa dalam ‘ulu>m al-Qur’an bukan berarti menafikan atau mengecualikan,
melainkan karena pertimbangan intensitas dan frekuensinya yang minim digunakan
oleh praktisi mufasir sufistik –kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang mengharuskan
sharing pengetahuan dari mufasir zahiriyyah. Kepentingan mempelajari ‘ulu>m al-Qur’a>n al-‘Aqliyah bagi kaum sufistik tidak lain agar tidak tersesat dalam
pengembaraan makna. Dalam hal ini, ketika imam Junaid yang dianggap salah satu
ikon sufi sunni bersama al-Ghaza>li, pernah ditanya tentang syarat untuk mendapatkan
pemahaman al-Qur’a>n agar tidak tersesat dan kemudian meyakini apa yang tidak
diridhai Tuhan. Lantas ia menjawab bahwa sudah menjadi keharusan bagi kaum
Sufistik untuk mempelajari apa yang dibuat oleh ulama-ulama ‘Ulu>m al-Qur’a>n seperti
Na>sikh Mansu>kh, Muh}kam, Mutasha>bih dan lain-lain yang termaktub dalam Ulu>mul Qur’an al-‘Aqliyah. Lihat: Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n (Beirut: Dar> al-Fikr,
1971), cet.ke-1, 326-325/Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 342.
127
tercapailah validitas makna objektif –jika meminjam teori Hircsh–
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh kaum sufistik ortodoks.
A. Ilmu-Ilmu Z{a>hir (Perangkat Eksoterik Tafsir Sufistik Isha>ri)
1. Bahasa
Segala yang mewujud di dunia ini, dari manusia, alam raya,
binatang dan tumbuhan merupakan suatu hal yang disebut entitas.
Entitas ini terangkum dalam logos bahasa agar semua hal yang berkaitan
dengan mawju>d bisa diaspirasikan dan dibahasakan sehingga bisa
diterima oleh manusia. Namun secara esensial, di dalam ribuan bahasa
yang menyerukan entitas itu, pada dasarnya terdapat tiga dimensi
bahasa yang dikenal sebagai “keluhuran budi bahasa/shafrah lughawi al-
‘uluwi” yang mewakili semua unsur kebahasaan.14Pertama, Bahasa
Ontologis Eksperimental. Bahasa ini bersumber dari pengalaman
manusia. Karena itu, berorientasi kepada pemahaman inderawi dan
ilmiah terhadap segala entitas yang ada di alam raya ini dalam ruang dan
waktu. Yang membedakan adalah bahwa pemahaman ini berdasarkan
hasil perasaan dha>tiyah dan pemahaman laku batin. Akibatnya,
menghasilkan tempo pemahaman relatif berbeda satu dengan lainnya
tergantung tarik-menarik serta sejauh mana dorongan pengalaman yang
dihasilkan. Tak pelak, karena arus batin, kerap menghasilkan
pengalaman metafisika dan pengalaman transendental ketika
menghadirkan hati ke haribaan Tuhan sehingga mampu terbuka tirai-
tirai yang tertutup dan melampaui bahasa apapun dan di manapun di
dunia. Ia sekaligus mempunyai karakter sejarah yang khas dan tunggal.15
Kedua, Bahasa Manusia. Bahasa ini paling tidak mencakup tiga kategori
kebahasaan: (1) Mitologi. (2) Wahyu. (3) Seni. Tiga fenomenologi ini
dianggap representasi logosentris manusia yang paling abadi. Ketiga,
Bahasa Nalar. Bahasa ini merupkan esensi bahasa dari semua bahasa.
14 ‘Ati>f Jawdah Nasr, al-Rumu>z al-Shi’r ‘Inda al-S{u>fiyah, , (Cairo: al-Makta
al-Misri, 1997), 65. 15 Ati>f Jawdah Nasr, al-Rumu>z al-Shi’r ‘Inda al-S{u>fiyah, , 65.
128
Sebab memungkinkan untuk meresap kepada setiap manusia dengan
berbagai tipologi dan karakteristik satu dengan lainnya.16
Bahasa dalam prespektif al-Qur’a>n merupakan mediator tunggal
untuk mendialogkan narasi bahasa Tuhan kepada bahasa manusia. Yang
utama dan pertama, bahasa ini merupakan diskurus al-Qur’a>n, sekaligus
penjelas dan penyingkap makna-makna al-Qur’a>n di dalamnya. Inilah
elan vital bahasa di hadapan al-Qur’a>n. Karena itu adalah kewajaran jika
tafsir pertama yang muncul dalam sejarah adalah tafsir linguistik yang
berbasis pada kebahasaan.17
Ibn ‘Abba>s menyatakan bahwa bahasa merupakan hal yang
paling vital dalam penafsiran. Karena itu ia membagi menjadi empat
golongan. Pertama, dimensi tafsir yang bisa diketahui orang Arab
melalui bahasa komunikasi sehari-hari. Kedua, dimensi tafsir yang tidak
ada ampunan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya. Ketiga,
penafsiran yang hanya diketahui oleh para ulama tafsir. Keempat,
penafsiran yang hanya diketahui oleh Tuhan.18
Golongan pertama adalah
golongan yang mendasarkan pemahaman al-Qur’a>n dengan merujuk
pada lisan orang Arab yakni bahasa dan gramatika. Karena itu, bagi
setiap penafsir adalah sebuah keniscayaan untuk mengetahui seluk beluk
makna bahasa dan istilah-istilah yang terkandung di dalamnya.
Sementara gramatika dipergunakan untuk mengetahui kejelasan makna
yang terkandung pada proposisi-proposisi bahasa yang ada dalam al-
Qur’a>n agar tidak keliru mengartikulasikan penafsiran serta agar
tercapai pengetahuan secara utuh menyeluruh mengenai al-Qur’a>n baik
dari segi hukum dan lainnya.19
Karena itu tidaklah cukup hanya mengetahui artifisial lafal atau
kecenderungan makna sebab akan dianggap kategori penafsiran nalar
(tafsi>r bi al-ra’y) yang membahayakan. Tuntutan seorang mufasir tidak
hanya sebagai seorang pembaca melainkan harus mengetahui lisan Arab,
kompleksitas dan komprehensivitas pengetahuan yang berkaitan dengan
16 Ati>f Jawdah Nasr, al-Rumu>z al-Shi’r ‘Inda al-S{u>fiyah, , 65. 17
Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r (Beirut: Da>r al-Ha>di>, 2007), cet.
ke-1, 118. 18Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 118. 19Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 119.
129
kebahasaan dan kearaban (al-lughah wa al-‘Arabiyah). Al-Sha>t}ibi
menegaskan bahwa barang siapa hendak memahami al-Qur’a>n, maka
dari segi bahasa Arab harus memahami betul serta tidak ada jalan untuk
mencari pemahaman kecuali melalui jalan satu ini sebagai syarat
mutlak. Sebab al-Qur’a>n diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab
dan karena itu menjadi Arab sentries (‘Arabiyah). Ini sudah sangat
terang benderang ketika al-Qur’a>n diturunkan sesuai popularitas orang
Arab dalam hal komunikasi yang khas dan uslu>b-uslu>b makna yang luar
biasa, ketika membicarakan yang global (al-‘a>m), misalnya, maka yang
dikehendaki adalah khusus (al-kha>s}s}) dan seterusnya.20
Tuntutan bahasa merupakan keniscayaan bagi para mufasir. Hal
yang menjadikannya berbeda dengan zaman pertama masa sahabat dan
tabi’in adalah ketika mereka begitu memahami hakikat-hakikat makna
bahasa al-Qur’a>n karena mendapatkan emanasi langsung pemahaman
dari Nabi dan para sahabat. Generasi pasca tabi’in dituntut untuk lebih
menguasai ilmu-ilmu bahasa dan pendalaman ata perkembangan filsafat
bahasa yang jauh lebih canggih dibanding masa lalu. Di sinilah
kemudian bahasa akan mengadaptisakan diri dengan zaman yang
berkembang. Satu hal yang menjadi titik sama adalah tujuan yang
dicapai oleh para mufasir baik klasik maupun modern adalah meretas
pengetahuan mengenai objek pemahaman al-Qur’a>n beserta
penafsirannya.21
Bahasa diakui merupakan syarat pertama bagi para mufasir
sebelum penguasaan syarat-syarat lainnya yang berjumlah lima belas
keilmuan. Sekedar menyebut, bahwa keilmuan bahasa yang khas
kearaban berjumlah delapan: (1) Bahasa. (2) Nah}wu. (3) Tas}ri>f . (4)
Ishtiqa>q. (5) Ilmu Ma‘a>ni. (6). Baya>n. (7) Badi>’. (8) Qira>’a>t.22 Ilmu-ilmu
ini memainkan peranan yang sangat vital dan memberikan pengaruh
signifikan dalam penafsiran: Pertama, Bahasa. Untuk bisa mengetahui
penjelasan lafal-lafal, kalimat serta tanda fenomen (madlu>l dan dila>lah)
secara logika dan prosedural kebahasaan, terutama untuk mengetahui
20Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 119. 21Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 120. 22Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 121.
130
makna-makna yang kadang memerlukan penguasaan bahasa seperti sub
al-kha>s, al-‘a>m, al-mushtarak yang rawan keterjebakan makna sehingga
memerlukan penguasan bahasa.23Kedua, nahwu/gramatika. Untuk bisa
mengetahui perubahan makna yang digantungkan kepada perubahan
i‘ra>b sebagai motor nahwu.24
Ketiga, tasri>f. Untuk bisa mengetahui
bangunan dan status kalimat (al-abniyah wa s}iyag). Keempat, ishtiqa>q.
Untuk mengetahui derivasi dan asal-muasal sebuah kalimat agar jelas
dalam menuai makna. Kelima, Ilmu balaghah. Ilmu ini mencakup: (1)
Ma‘a>ni sebagai aspek ilmu yang mengupas kekhasan posisi kalimat dari
dimensi makna. (2) Baya>n sebagai aspek ilmu yang mengupas perbedaan
makna dipandang dari sudut kejelasan dan kesamaran fenomen (dilala>h)
bahasa. (3) Badi>’ sebagai aspek ilmu yang mengupas sisi-sisi keindahan
bahasa. Ketiga ilmu ini merupakan rukun atau organ terbesar dalam
penafsiran karena bertujuan mengetahui kekuatan (al-‘iza>j) al-Qur’a>n
serta keajaibannya yang hanya bisa diketahui oleh ilmu balaghah sebagai
kaidah fasih berbahasa, sebagaimana pernyataan al-Zamakhsari>, sang
peletak penafsiran balaghah, dalam tafsirnya yang terkenal,
al-Kasha>f.25 Keenam, ilmu qira’a>t. Ilmu ini difungsikan untuk bisa
mengetahui teori pengucapan dialek al-Qur’a>n di mana satu dengan
lainnya bisa diunggulkan tergantung dari varian bacaan yang dijadikan
acuan para mufasir.26
Dalam hal ini, jika menilik kepada tafsir al-Ji>la>ni>, sebagaimana
penuturan Muh}ammad Fa>dil dalam pengantar tafsir itu, maka karakter
al-Ji>la>ni> dalam varian bacaan tidak fanatik kepada satu varian bacaan
tertentu seperti bacaan Imam Hafs misalnya, bahkan al-Ji>la>ni> kerap
menafsirkan lebih dari satu varian bacaan untuk kepentingan penafsiran
tanpa merujuk pada pemilik varian bacaan tersebut.27
Begitu juga
kecenderungan ini bisa dibuktikan dalam tafsir sufistik kebanyakan
seperti Lat}a'>’if al-Isha>ra>t di mana al-Qushayri tidak bersibuk diri
23Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 121. 24Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 122. 25
Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 122 26Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 122. 27 Muhammad Fa>d}il al-Jaylan>i>, dalam kata pengantar: ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>,
Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 31.
131
bermain varian bacaan tertentu sebab baginya yang menjadi parameter
dalam tafsir sufi adalah cita rasa sufisme (al-dhawq al-s}ufiyah)
sebagaimana nanti dibahas pada sub-bab selanjutnya.
Perlu ditegaskan di sini, bahasa adalah identitas suatu kaum.
Setiap bahasa mempunyai karakteristik yang unik serta norma dan
gramatika yang melingkupinya, sehingga menjadi acuan tata bahasa,
sebagaimana aturan baku tata bahasa Indonesia. Namun secara prinsip,
ada beberapa titik konvergensial dari sudut ungkapan atau metode
tujuan berbahasa yang nanti masuk dalam lingkaran filsafat bahasa
sebagai tahap pertama. Tahap kedua adalah titik diferensial dalam sisi
teori undang-undang dan gramatika yang khas antara satu dan lainnya.
Karena itu, al-Qur’a>n sebagai kitab suci bahasa Arab harus tunduk
terhadap aturan berbahasa Arab demi menunjukkan bukti keabsahan dan
keotentikan ucapan bahasa Arab dengan memperhatikan bahasa, i’ra>b,
tasri>f, dan ish}tiqa>q.28
Dalam hal ini, para imam mufasir membuat
undang-undang penafsiran linguistik (qaidah tafsiriyah lughawiyah),
sebagaimana yang diungkapkan oleh al-T{abari>, “sesungguhnya asas
yang melegalkan orientasi pemaknaan tafsir dalam kitabullah yang
diturunkan kepada Muhammad, yang berupa kalam itu adalah sesuai
fakta transformasi kalam bahasa Arab dan bukan bahasa yang
lainnya”.29
Di sinilah pentingnya teori Wittgenstein bahwa kata-kata
mempunyai fungsi, relasi dan makna tersendiri sesuai dengan
pemakainnya sebagai konstruksi language game.30
Singkatnya, bagaimanapun canggihnya perkembangan filasafat
bahasa, yang harus diistimewakan dan diunggulkan adalah konsekuensi
media bahasa yang digunakan al-Qur’a>n, yakni bahasa Arab, sebab
tanpanya, tidak akan bisa fokus, rawan kesalah-pahaman, kesesatan
serta berdampak pada ketidak-arifan budi bahasa Arab sebagai bahasa
ibu al-Qur’a>n.31
Jelas al-Qur’a>n tidak memproduksi bahasa baru atau
menekankan manusia untuk membuat acuan logika bahasa baru.
28Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 126. 29
Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 129. 30Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa,
Makna, dan Tanda (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet.ke-1, 77. 31Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 129.
132
Al-Qur’a>n sebatas meminjam media bahasa melalui lisan suatu kaum
dan jalan budaya yang digunakan sebagaimana Injil meminjam bahasa
Suryani dan Taurat (Torah) meminjam bahasa Ibrani (Hebrew).
Dalam hal ini, ada beberapa pemandangan umum terkait prinsip-
prinsip teori penafsiran kebahasaan dalam al-Qur’a>n yang menjadi
pegangan para mufasir: Pertama, akomadasi al-Qur’a>n untuk menerima
pemahaman dan penjelasan. Sebab prinsip al-Qur’a>n tidak lain untuk
memudahkan pemahaman dengan cara dan tujuan tadabbur, tafahum,
dan tadhakkur seperti halnya (qa>biliyah al-Qur’a>n lil-fahmi wal baya>n)
sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Qamar (QS 58:17). Al-Ji>la>ni>
menjelaskan bahwa kemudahan berzikir ini diaktualisasikan dengan
ragam pepeling akhirat (tadhkira>t), wejangan (mawa>’iz }), suri tauladan
(‘ibar) dan perumpamaan (amtha>l).32 Tujuan ini adalah inti utama
al-Qur’a>n bagi umat Islam sehingga secara global setiap membaca
al-Qur’a>n, makna itu akan meresap dalam hati sebagai bentuk kebesaran
dan keagungan Tuhan yang bisa memalingkan diri dari kejelekan serta
menarik diri menuju kebaikan.33Kedua, terdapat kesesuaian makna
al-Qur’a>n dengan logika makna-makna dan struktur formalitas bahasa
Arab (muwa>faqatu ma‘a>ni> al-Qur’a>n lima‘a>ni al-‘arabiyah), sebab tidak
disangsikan lagi bahwa al-Qur’a>n diturunkan dengan bahasa Arab.
Ketiga, konektivitas dengan zaman turunnya wahyu serta istilah-istilah
yang digunakan pada masanya (mula>haz}ah zama>n al-nuzu>l wa
mus}t}alaha>t al-lughat fi> hi>niha>). Pengamatan ini penting dilakukan agar
bisa mengetahui secara rinci alam pikiran masa lalu di mana al-Qur’a>n
diturunkan agar bisa menangkap kandungan makna dan pesan al-Qur’a>n
secara objektif dengan penguasaan asba>b al-Nuzu>l dan terminologi
istilah bahasa yang lazim digunakan saat itu. Karena itu wajar jika
antropologi terbaik al-Qur’a>n adalah ilmu asba>b al-Nuzu>l.
Bagaimanapun, teks, apa pun bentuk teks itu, pasti diturunkan
untuk zamannya sehingga harus mengadaptasikan diri agar bisa relevan
32
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, cet. ke-1, vol. 5, 463. 33 Muh}ammad Abd al-‘Az}i>m Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(Cairo: Da>r al-Hadith, 2001), vol. 2, 46.
133
dan diterima oleh zamannya. Karena itu harus dibantu dengan perangkat
bahasa atau teks-teks yang ada pada masa zamannya seperti bantuan
karya sastra Jahiliyah sebagai diwa>n Arab atau kamus lisan Arab serta
bahasa asli badui pedalaman.34
Senada dengan al-Zarqa>ni>, bahwa salah
satu metode penafsiran paling otorotatif adalah mampu memahami
hakikat setiap kosa kata yang tersimpan dalam al-Qur’a>n. Dengan cara
menggunakan pendekatan linguistik dan tidak cukup dengan cara
metode konvensional yang mengandalkan kitab-kitab tafsir yang ada.
Pendekatan linguistik ini memungkinkan penggunaan bahasa al-Qur’a>n
tepat pada saat asba>b al-nuzul sehingga bisa mengetahui persis apa yang
terjadi pada saat turunnnya wahyu serta maksud dari ucapan wahyu
itu.35
Dan yang terbaik, menurutnya, adalah memahami al-Qur’a>n
menurut ontologi dan presfektif al-Qur’a>n itu sendiri–sebagaimana
konsep language game Wittgenstein. Sebab al-Qur’a>n menggunakan
satu diskursus dalam redaksi yang berbeda dan di tempat yang berbeda
namun secara esensial kandungan makna adalah sama. Di sinilah
pentingnya pendekatan intertekstual dan komparasi makna dilakukan
agar bisa mencapai keutuhan dan kesempurnaan makna secara
universal.36Keempat, penguasaan terminologi dan istilah khusus alam
al-Qur’a>n (mula>haz}ah al-mus}t}alahat} al-kha>ssah bi al-Qur’a>n). Al-Qur’a>n
yang sejatinya menggunakan bahasa Arab tidak menafikan unsur
pembendaharaan istilah baru. Al-Qur’a>n adalah pengemban agama baru
bagi bangsa Arab yakni Islam. Karena itu meniscayakan istilah baru
dalam al-Qur’a>n sebagai tujuan islamisasi bahasa dan budaya Arab saat
itu. Karena itu lazim kita temui dalam suatu istilah ada beberapa
penggunaan seperti istilah secara bahasa dan istilah secara agama,
sebagaimana makna shalat yang diartikan dalam dwi-bahasa; etimologi
bahasa dan terminologi syariah.37Kelima, orientasi bahasa kepada makna
asal sepanjang tidak ada dalil yang mengarah pada makna lain (al-haml
34 Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 132-133. 35 Muh}ammad Abd al-’Az}i>m Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n,
48. 36 Muh}ammad Abd al-’Az}i>m Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n.
48. 37Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 134.
134
‘ala> al-as}l ma> lam yarid ‘ala> ghayrih al-dali>l). Bahasa Arab adalah
bahasa yang luar biasa kaya dengan pembendaharaan kosa kata dan
makna yang terkandung di dalamnya seperti diskursus al-‘a>m yang
ternyata dikehendaki adalah al-kha>s}s}, atau kesebalikannya. Al-Zarkashi
mencatat sampai empat puluh versi makna dalam bahasa Arab al-
Qur’a>n.38
Hak asasi al-Qur’a>n adalah mengarahkan makna kepada makna
yang otentik dan asal yakni makna z}a>hir yang spontan selagi tidak ada
halangan atau indikasi yang mengarah pada tuntutan makna yang lain
atau makna kedua yang dimaksud.39
Karena itu, bagaimanapun yang
menjadi pegangan al-Qur’a>n adalah kendali makna dan bukan kendali
bahasa. Hakikat suatu bahasa tidak hanya mengatur struktur fisis dan
logis sebagaimana yang dipahami filsafat bahasa biasa (ordinary
language phylosophy), melainkan kepada suatu penekanan keteraturan
bahasa makna yang dimaksud. Makna merupakan metafisika dalam
bahasa.40
Dan di sinilah wilayah mufasir untuk bisa memainkan
peranannya. Catatan di sini adalah peranan transformasi bahasa dari
bahasa pertama sebagai bahasa asal menuju bahasa kedua sebagai bahasa
metafor, majaz, khas}s}, atau bahkan batin harus tetap memperhatikan sisi
kebutuhan makna itu sendiri. Dengan kata lain, jika dengan
mengandalkan makna z}a>hir sudah mampu menampung makna yang
sempurna dan terpenuhi maka tidak perlu beranjak kepada makna lain –
kecuali jika tidak mumpuni dalam makna pertama ini. Sehingga ada
prinsip aporisma “setiap kalam yang diucapkan bisa memberikan
pemahaman terhadap makna yang dikehendaki maka cukup sudah tidak
perlu pindah kepada makna lainnya”, demikian kata al-T{abari>.41
Hal ini bisa dilihat ketika al-Ji>la>ni> mencoba menjelaskan dalam
Surat al-Baqarah (QS 2:106) disebutkan :
38Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 139. 39
Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 139. 40Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta:
Paradigma, 1998), cet.ke-1, 120. 41Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 140.
135
“(Tidak kami salin) kami rubah dan kami ganti (dari suatu ayat) yang
turun yang menghukumi dalam waktu dan zaman yang turunnya sesuai
pada nama tertentu (atau melupakannya) dari hati seolah-olah tidak
turun sebelumnya (maka aku datangkan yang lebih baik darinya)
artinya sewaktu-waktu kami menyalinnya atau melupakannya maka
kami ganti dengan yang lebih baik darinya sesuai kondisi zaman kedua
dan nama tertentu baginya sebab perjalanan wujudiyah selamanya
dilandaskan kepada puncak kesempurnaan (atau sesamanya) sebab
pembaruan secara fisik hanya terjadi oleh sesuatu yang sepadan dan
tempat berakhir sama dengan tempat memulai”.42
Dalam hal ini, di sinilah elan vital kepentingan tafsir Sufistik
bisa memainkan peran. Terkadang makna z}a>hir yang tampak sejatinya
hanya sebagai kalam tamsil, metafora atau sindiran yang termaktub
dalam ilmu Balaghah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Sha>t}ibi
dalam al-Muwafaqa>t :
“Adakalnya kalam (al-Qur’a>n) memiliki makna z}a>hir dan makna batin
sesuai kecenderungan arah pemahaman (…), bahkan makna batin ini
terkadang menjadi makna yang dikehendaki dan makna yang dituju
oleh kalam, karena itu praktis harus memindahkan dari makna z}a>hir
menuju makna batin agar bisa mencapai visi dan misi yang dibangun
oleh al-Qur’a>n”.43
Dengan demikian, tujuan akbar dari al-Qur’a>n ada dua: Pertama,
menangkap makna tersurat sebagai manifesto makna z}a>hir tekstual.
Kedua, menangkap makna tersirat sebagai manifesto makna batin
kontekstual. Pesan ini sangat jelas terbaca dalam surat Ali Imran (QS.
3:7). Muh}kama>t diartikulasikan sebagai perkara yang berhubungan
tentang umumnya keadaan para hamba menurut perbedaan tingkat
kehidupan dan akhiratnya dari dimensi eksoterik seperti hukum-hukum
(ah}ka>m), interaksi sosial (mu’ama>lat), keyakinan yang dianut
(mu’taqida>t). Sementara mutashabiha>t diartikulasikan sebagai perkara
42‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 111.
43Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 139.
136
yang berhubungan dengan pengetahuan (al-ma‘a>rif), hakikat esoterik
(h}aqa>’iq) yang memunculkan hikmah-hikmah dan kemaslahatan-
kemaslahatan yang teremban dalam kewajiban taklif, ketaatan dan
ibadah bagi pemilik azimat yang sah yang hendak mencapai samudera
tauhid.44
Lebih lanjut, al-Jila>ni> mengkritik kaum sufi heteredoks yang
dianggap tidak mengindahkan dua dimensi zahir dan batin sebagai logos
bahasa tafsir Isha>ri. Ia meneruskan penafsirannya :
“(Adapun orang-orang yang dalam hatinya tersesat), yang condong dan
beralih dari jalan kebenaran yang menggabungkan zahir dan batin
maka mereka mengikuti ayat-ayat mutashabiha>t dan meninggalkan
perintah terhadap ayat-ayat muh}kama>t secara bodoh dan menantang.
Mereka tidak mengetahui bahwa capaian menuju ma’rifat dan hakikat
hanya mampu diperoleh dengan tetap menjaga dimensi zahir yakni
dengan menjalankan ayat-ayat muh}kama>t”.45
Dari sini akan terlihat bagaimana al-Ji>lani> sebagai representasi kaum
sufi ortodoks berpandangan bahwa pengamalan ayat-ayat muh}kama>t
harus berangkat dari penerapan bahasa sesuai kaidah bahasa umum.
Sementara kaum sufi heterodoks cenderung mengindahkan kaidah-
kaidah bahasa konvensional dengan hanya mengandalkan terhadap ayat-
ayat mutashabiha>t sebagai ejawantah dari dimensi batin-esoterik.
2. Syariah
Ciri khas tasawuf sunni jika dibandingkan dengan tasawuf falsafi
adalah penerimaan kaum sufistik sunni kepada syariah secara patuh dan
totalitas. Syariah merupakan kode hukum yan mengatur kehidupan
lahiriah. Dengan kata lain, merupakan bentuk hitam putih dari agama,
sehingga tidak melihat sisi spiritual dan moral etik dari suatu kode
hukum atau ketetapan hukum diberlakukannya. Karena itu, syariah erat
berkaitan dengan struktur lahiriah kehidupan agamis sementara pada
saat yang lain hakikat melihat sebaliknya: realitas agamis batiniah.
Kenyataan iman dan kehidupan spiritual agamis berada di luar
44 Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 250. 45 Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 250.
137
jangkauan syariah dan ini hanya diketahui melalui jalan Sufi. Al-T{u>si
menilai bahwa ilmu pun terbagi menjadi dua, yakni ilmu z}a>hir dan ilmu
batin. Dan itulah ilmu syariat yang menunjukan sekaligus mengajak
kepada perbuatan-perbuatan z}a>hir dan batin. Amal z}a>hir adalah amal
anggota tubuh yang tampak, seperti ibadah atau menjalankan hukum-
hukum perintah dan larangan Tuhan, sementara amal batin adalah amal
hati, yang terkait dengan dunia tingkatan-tingkatan sufistik (maqa>ma>t)
dan keadaan ekstase atau panteisme (ahwa>l), karena itu z}a>hir tidak bisa
melepas batin, begitu juga batin tidak bisa melepas dari batin.46
Keduanya selalu berkait kelindan dan kesatuan yang dinamis, harmonis
dan dualitas yang sinergis.
Serupa dengan al-T{usi,> al-Ji>la>ni> membagi amal yang benar
sebagai pengamalan yang dilandaskan pada dua kesaksian; saksi z}a>hir
dan batin. Saksi z}a>hir adalah menjalankan formalitas hukum (istih}ka>m)
sesuai dengan syariat dalam perintah dan larangan Tuhan yang sudah
terang benderang. Sementara saksi ba>t}in adalah suluk syariah yang harus
disertai dengan pengawalan dan kesaksian mata hati (bas{irah) sehingga
akan tampak di jalannya junjungan yang harus dianut umat yakni
Muhammad sebagai hamzah was}al atau mediator ruhani antara Allah,
Nabi dan hamba-Nya. Mediator spiritual Nabi inilah elan vital bagi
bersemayamnya Tasawuf Amaliyah sebab ruhani dan jasmani Nabi
yang tidak bisa ditiru oleh setan dan karena itu pantas dijadikan
pegangan bagi kaum Sufi agar tidak terjebak “suluk buta” .47
Di sinilah
kesatuan antara z}a>hir dan ba>t}in menurut al-Ji>la>ni> yang tidak bisa
dipisahkan dalam tasawuf Sunni ‘Amali.
Al-Ji>la>ni> membagi z}a>hir dan ba>t}in menjadi kategori ilmu yang
masing-masing keduanya mempunyai 12 cabang disiplin ilmu sesuai
karakter kekhususan dan keumuman ilmu tersebut. Namun ilmu-ilmu itu
diringkasi menjadi empat bab: Pertama, z}a>hir syariat, berupa perintah
dan larangan syariat serta hukum-hukum lainnya. Kedua, ba>t}in syariat
yang dikenal dengan “ilmu ba>t}in”. Ketiga, ba>t}in sebagai ilmu makrifat.
46 al-Sarra>j Al-T}u>si, Al-Luma’ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi, 25/26 47 ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r (Cairo: Mat}ba‘ah al-Bahiyyah al-Misr,
tt), 95-96.
138
Keempat, ba>t}in di atas ba>t}in, yakni ilmu hakikat.48
Para kaum Sufi harus
bisa memperoleh dan mencapai tingkatan ilmu ini sebagaimana sabda
Nabi:
(الحديث)قة ثمرها يالشريعة شجرة و الطريقة أغصانها و المعرفة اوراقها والحق
“Syariat adalah pohon, tarikat adalah ranting-rantingnya dan
makrifat adalah daun-daunnya sementara hakikat adalah buah syariat”.49
Al-Qur’a>n telah mengakomodasi dan menampung seluruh hal
ihwal dimensi spritualitas dengan menggunakan petunjuk (dila>lah),
simbol (isha>rah) baik berbentuk tafsir maupun ta’wil: tafsir bagi
kalangan umum sementara ta’wil bagi kalangan khusus yang lebih
dikenal sebagai al-ra>sikhu>n. Yakni para ulama yang sudah ajeg, tetap
dan kokoh dalam keilmuan.50
Dalam melihat syariah, kita akan mendapati informasi bahwa
al-Ji>la>ni> membagi dua golongan ortodoks dan heterodoks ini sebagai
kubu yang berseberangan: Pertama, kaum sunni, di mana ucapan dan
perbuatannya sesuai dengan syariat dan hakikat secara total. Kedua,
kaum bid’ah, di mana ucapan dan tindakannya terkadang sudah jauh
melampaui batas syariah bahkan dianggap gugur dari takli>f syariah.51
Sinergitas syariat dengan hakikat merupakan persekutuan lain dari
kongruensi antara zahir dan batin. Elemen pertama disebut ayat
muh}kama>t dan elemen kedua disebut ayat mutashabha>t. Kesimpulan
dualitas z}a>hir dan ba>t}in atau dialektika z}a>hir dan ba>t}in (thana>’iyyah wa
jadaliyyah al-z}a>hir wa al-ba>t}in), merupakan kaidah yang terlaku
sekaligus sebagai standarisasi pengetahuan makrifat dan rukun-
48 ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24. 49 ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24. 50 ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24. 51 Al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asa>r, 93. Al-Ji>la>ni> merinci kategori golongan yang masuk
pada golongan bid’ah. Di antaranya, kaum Awliya>’iyyah yaitu kaum yang mendaku
sudah mencapai derajat kewalian. Golongan ini merasa lebih utama dibanding Nabi.
Mereka beralasan bahwa Nabi mencapai derajat kenabian melalui perantara malaikat
Jibril, sementara wali langsung dari Tuhan tanpa perantara. Kaum Hubbiyah, yaitu
kaum yang sudah mencapai tingkat mahabah Tuhan. Kedua golongan ini menganggap
telah gugur menjalani syariat dengan capaian derajat yang diperolehnya. Lihat lebih
lengkap: Al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asa>r, 93-95.
139
rukunnya, metodologinya atau keadaanya (ah}wa>l) bagi para ahli
ma’rifat.
Dualitas inilah yang sesungguhnya melahirkan reproduksi
dualitas cabang seperti komposisi hakikat dan syariat, komposisi akal
dan hati serta beberapa komposisi kombinasi lainnya dalam hal z}a>hir
sebagai sesuatu yang inderawi dan ba>t}in sebagai sesuatu yang ruhani.52
Dalam pandangan Abdurahman al-Sulami, misalnya, ia pun
memberikaan ilustrasi dalam kitabnya, Risa>lah al-Farq bayn ‘Ilm
Shariah wa ‘Ilm al-Haqiqah, bahwa dualitas (thana>’iyya>h) juga terjadi
dalam ilmu riwa>yat dan ilmu dira>yat seperti dalam ilmu H{adi>th, atau
ilmu khidmah dan ilmu musha>hadah, begitu juga ilmu syariah dan ilmu
hakikat. Sebab, lanjutnya bahwa ilmu syariat adalah ilmu riwayat, maka
barang siapa berijtihad dalam penerapan ilmu sesuai jalan Nabi maka
Tuhan akan mewarisi ilmu dira>yah, yaitu ilmu hakikat sebab Nabi
bersabda “bahwa barangsiapa mengamalkan pada apa yang diketahuinya
maka Tuhan akan mewariskan kepadanya ilmu yang tidak
diketahuinya”. Ilmu syariah adalah ilmu khidmah dan ilmu hakikat
adalah ilmu musha>hadah.53
Karena itu proses kedua dimensi ini
diartikan sebagai suatu relasi yang dinamis, dialektis, dualitas
bertingkat-tingkat dan bukan penamaan proses bersaing dan berhadapan
(‘ala>qah taqa>bul) atau bahkan dualisme, sebab dimensi z}a>hir adalah titik
tolak perjalanan dan dimensi ba>t}in adalah puncak dari perjalanan
tersebut. Dengan penyusuran dari satu fase atau keadaan menuju
keadaan selanjutnya.54
Karena itu, dalam pandangan al-Ji>la>ni,> syariah merupakan
harmonisasi antara syariah dan hakikat. Sehingga tidak mengabaikan
dan menafikan syariat untuk menuju hakikat, sebab syariah adalah
“muqadimah” hukum-hukum ubu>diyah dalam lingkaran dunia Fikih,
untuk menuju jenjang yang lebih tinggi, yakni lingkaran dunia
52Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 445. 53Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 446. 54Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 448-449.
140
Tasawuf.55
Al-Ji>la>ni> secara khusus bahkan mengarang suatu kitab
berjudul, al-Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n, di mana isinya fokus membahas
dua bidang keilmuan yaitu ilmu Syariah dan ilmu T}ari>qah. Buku ini
ditujukan kepada para hamba yang sedang suluk kepada jalan Tuhan
agar mendapatkan hidayah dan jalan yang lurus dengan mengutamakan
amal ibadah yang mengutamakan dua ilmu ini secara seimbang dan
proporsional.56
Ilmu syariat baginya, merupakan sejumlah norma-norma
ibadah yang wajib dilakukan seorang kaum sufistik. Dalam hal ini,
al-Ji>la>ni> mengutip kaum sufistik yang dianggap representatif dan
mewakili ikon kaum Sufistik ‘Amali, Abu> Said al-Kharaz, guru Sufinya,
yang menyatakan bahwa “segala tindakan dan perbuatan ba>t}in yang
mengingkari z}a>hir syariah adalah batil”.57
Karena itu tidak diragukan
bahwa al-Ji>la>ni> begitu kokoh dalam memegang syariah.
Yang menarik, pembagian dua bidang ilmu ini, tampaknya
dipengaruhi oleh pemikiran sufistik al-Junaydi. Al-Junaydi secara
ringkas membagi ilmu menjadi dua bagian: Pertama, ilmu ‘Ubu>diyah.
Kedua, ilmu Tarbawiyah. Al-Ji>la>ni> menjelaskan bahwa maksud ilmu
yang pertama adalah ilmu Syariah dan maksud yang kedua adalah ilmu
Tarikat. Masing-masing mempunyai tujuh sub-bab sebagaimana
perincian di bawah ini.58
Ilmu syariah yang paling vital dalam
55Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-
Qushayri (Alexandria: Mansya‘ah al-Ma‘a>rif, 2001), 116. 56‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar Fi> ‘Ulu>m al-Di>n, (Istanbul:
Markaz al-Jaylani li al-Buhu>th al-Ilmiyyah, 2010), cet.ke-1, 83 57‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar Fi> ‘Ulu>m al-Di>n, 246.
58‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar Fi> ‘Ulu>m al-Di>n, 247. Secara
khusus, al-Ji>la>ni> membuat kitab yang lebih lengkap tentang fikih sufistik berjudul
al-Gunyah li T{a>libi-‘l- Haq atas permintaan para sahabat dan pengikutnya. Buku ini
sengaja dibuat dengan bahasa yang ringkas dan tidak bertele-tele serta ditujukan bagi
mereka yang mau mengenal Islam, mengajarkan adab-adab Islam dan adab kaum
Sufistik, pengetahuan sekte-sekte yang sesat, hingga mengenal Sang Pencipta dalam
pandangan sufistik. Lihat kata pengantar: ‘Is}a>m Faris al-Kharastani dalam ‘Abd
al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah li al-T{a>lib T{a>riq al-Haqq fi Ma‘rifat al-‘Adab al-Shari>ah,
(Beirut, Da>r al-Ji>l, 1999), cet.ke-1, vol. 1, 2.
141
pandangan al-Ji>la>ni> adalah: 1. Iman dan Islam. 2. Wara’ dan Takwa. 3.
Shalat. 4. Zakat. 5. Puasa. 6. Haji. 7. Kurban.59
Dalam penutupan surat al-Fatihah (kha>timah al-Surah), al-Ji>la>ni>
menyatakan bahwa surat al-Fatihah merupakan inti dari keseluruhan
al-Qur’a>n dengan penjelasan yang bernas dan tingkat balaghah yang
tinggi: Barang siapa melakukan kontemplasi secara benar dalam surat
itu niscaya akan mendapatkan sari-pati al-Qur’a>n. Karena itu membaca
al-Fatihah difardukan ketika hati kita condong dan menghadap Zat Yang
Ahad melalui lisan syara’, yakni melakukan ritualitas shalat. Shalat
merupakan mi’ra>j klimaks bagi ahli ibadah sebagaimana ia mengutip
H{adi>th “shalat adalah mi’r>aj seoarang mu’min” dan “tidak-lah shalat
seseorang tanp memulainya dengan fa>tihah al-kita>b”.60
Al-Ji>la>ni>
menekankan hukum syariah ketika seseorang hendak melaksanakan
shalat dengan pertama-tama berwudhu serta mensucikan diri hal yang
bersifat zahir seperti kotoran atau najis. Kemudian tahap kedua
penyucian bersifat batin yakni mengenyahkan kelezatan syahwat. Semua
itu dilakukan karena hendak menghadap kiblat asli dalam pengertian
syariah dan “ka’bah hakikat” dalam pengertian pemilik ka’bah yaitu
Tuhan.61
Dalam surat al-Baqarah (QS 2:3), ia menyatakan shalat adalah
kecondongan tindakan yang dilakukan oleh seluruh anggota badan dan
anggota panca indera secara rendah diri dan hina diri kepada Tuhan.62
Karena itu, penekanan al-Ji>la>ni> terhadap syariah merupakan bentuk
konsekuensi pemutihan dan penyucian laku lahiriah seseorang dalam
mengikuti syariah yang tergali dari al-Qur’a>n dan syariah yang tergali
dari akhlak Nabi. Terpenting bahwa al-Qur’a>n dan H{adi>th merupakan
artikulasi dari akhlak Nabi secara zahir dan batin. Kenapa demikian,
sebab al-Qur’a>n adalah akhlak Tuhan yang diturunkan kepada Nabi.
Praktis jika Nabi berakhlak dengan akhlak Tuhan maka ia berakhlak
al-Qur’a>n sebagaimana ujaran H{adi>th “berakhlak-lah dengan akhlak
59 Lebih jauh tentang pembahasan ini lihat: ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Kita>b
al-Mukhtas}ar Fi> ‘Ulu>m al-Di>n, 83. 60‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 40. 61‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 40. 62‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 45.
142
Tuhan”. Maksudnya berakhlak sebagaimana yang termaktub dalam al-
Qur’a>n.63
3. Adab Sastra Sufistik
Adab sastra merupakan tahapan di mana seorang sufi melewati
fase adab sufistik. Keduanya berkelindan. Adab sufi mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan adab-adab lainnya. Dalam kacamata
sufistik, adab sufi merupakan adab paling eksotis dan paling halus di
antara adab-adab lainnya. Kenapa demikian? Karena adab ini membawa
seorang sufi menuju jalan Tuhan serta mempunyai pembawaan yang
khas dalam menggubah shi‘ir atau nashr tentang kerinduan, kecintaan,
atau kegelisahan. Signifikansi adab sufi dengan adab lainnya adalah
keberadaan adab sufi yang anti kemapanan, anti hegemoni, berani
melawan arus, cenderung sibuk dengan dunianya sendiri. Terkadang, hal
yang dianggap remeh oleh kebanyakan orang akan menjadi begitu
bernilai agung dalam pandangan sufistik, dan begitu juga sebaliknya.
Hal ini karena dorongan dan motivasi yang melatar-belaknginya. Adab
sufistik didorong oleh produktivitas hati nurani dan emanasi ilahi,
sementara adab lain cenderung didorong oleh faktor popularitas dan
materialitas duniawi .64
Di samping itu, adab ini mengharuskan etika secara z}a>hir dan
ba>t}in. Adab ba>t}in mengharuskan seorang sufi untuk menjaga laku
syariah dalam ibadah dan muamalah, sementara adab ba>t}in adalah etika
hati (ada>b al-qalb) menurut pandangan ahli suluk. Ketika sudah
mencapai dua tahapan ini, maka praktis sufi menjadi seorang ’Adi>b
karena telah menyempurnakan norma-norma dan etika sufistik (maka>rim
al-akhlaq), yang membedakannya dengan kaum sastrawan lainnya.
Manusia menjadi makhluk sempurna dengan anugerah fisik yang
dikarunia Tuhan karena itu harus dibarengi dengan keindahan etika agar
menjadi gambaran utuh yang sempurna antara sisi lahir dan sisi ba>t}in.65
63
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 38-39. 64Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi (Beirut: Dar
al-Ha>di, 2008), cet.ke-1, 283. 65Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 274.
143
Jatidiri tasawuf adalah totalitas adab bahkan secara umum merupakan
citra dari adab Islam sendiri, namun bukan dalam pengertian teologi,
mazhab atau aliran melainkan dalam pengertian eksistensi kebenaran
hakiki (‘ayn al-haqi>qah).66
Bahkan Abu> ‘Abd al-Rah}man al-Sulami (w.
1021) menyatakan bahwa tasawuf adalah adab itu sendiri.67
Tradisi
kenabian, membaca al-Qur’a>n, laku kesalehan, tinggi budi pekerti,
semua itu bisa diserap dan diafrimasikan secara tidak langsung melalui
frase “adab”.68
Karena itu, tanda-tanda dari seorang sufi yang beradab
adalah tidak lepas dari nilai-nilai akhlak Islam secara umum seperti
sabar, khusnul khuluq, kasih sayang kepada sesama atau merasakan
sensasi kelezatan ruhani ketika melakukan berzikir dan beribadah.
Untuk menjadi seorang sufi-’adi>b sejati, seseorang bahkan dituntut
untuk membunuh super ego-diri (al-ana>niyah) demi menyucikan hati
untuk kemudian berinteraksi dengan manusia dengan etika sopan-santun
dan menyembah Tuhan secara ikhlas sempurna. Adanya tuntutan-
tuntutan seperti ini kelak menjadikan seorang sufi dengan adabnya
sebagai sufi yang mencapai tingkan adi>b dan ari>f.69
Dalam literatur labirin sejarah, sumber sastra sufistik didasarkan
pada empat kategori. Pertama, syair keagamaan, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh H{asan bin Tha>bit pada generasi awal Islam. Kedua,
syair perempuan, sebagaimana yang ditunjukan oleh banyak kaum
sufistik seperti Jalaluddin al-Ru>mi. Ketiga, syair mabuk-mabukan,
sebagiamana yang ditunjukkan oleh Abu Nawas yang melegenda itu.
Keempat, simbolik.70
Sumber yang terakhir inilah kategori yang masuk
dalam inti pembahasan. Simbolik, rumus dan hiperbola (al-isha>rah, al-
rumz wa al-kina>yah) mempunyai peranan besar dalam adab sastra
sufistik karena menjadi asas dan konstruksi di mana sastra sufi berdiri di
atasnya. Di samping itu, isha>rat atau rumz merupakan artikulasi dari
66Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 274. 67 Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical Islam
(London and New York: Routledge, 2006), cet. ke-1,30. 68
Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical Islam,
29. 69Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 278. 70Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 280.
144
penyelaman makna ba>t}in dalam wajah balaghah. Dan arti kode-kode
simbolik ini tidak akan diketahui kecuali oleh ahli suluk dan mereka
yang peduli dunia sufistik akan ikut menimba di dalamnya.71
Dalam pembacaan sastra modern, kekhasan bahasa sastra
merupakan suatu eksploitasi, rekayasa atau bahasa biasa yang
menghasilkan makna sastra di mana ia membangun maknanya dengan
bertumpu pada sistem tanda bahasa biasa. Oleh karena itu, bahasa sastra
kerap disebut sistem bahasa tingkat kedua (sekunder), sedangkan bahasa
biasa disebut sebagai tanda bahasa pertama.72
Kekhasan bahasa sastra
dalam adalah kadang muncul dalam mempermainkan bahasa bahkan
berusaha menentang dan menghancurkan cara bahasa biasa jika
memungkinkan ke arah sana. Cara tidak lazim ini terjadi karena untuk
melakukan kemungkinan proses inferensi atas pasangan-pasangan
oposisi-oposisi biner, praksis, dengan sekaligus melakukan inferensi
terhadap bahasa sendiri. Lompatan inferensi ini merupakan proses tidak
sadar dari bahasa biasa menuju bahasa sastra. Inilah syarat seorang
penafsir untuk bisa mencapai penafsiran pada level adab sastra
(sufistik).73
Karena itu, pengalaman kaum sufistik merupakan pengalaman
yang tidak hanya dibaca oleh panca indera, melainkan pengalaman
seluruh jiwa ketika bergumul dengan Tuhannya. Ekspresi pengalaman
itu dimanifestasikan tidak dalam alam pikiran semata, tapi juga
dituangkan dalam bentuk bahasa tulis. Karena inilah, pengalaman atau
eksperimen bisa menjadi legitimasi, yakni sebagai salah satu metode di
samping metode apriori, tentunya. Dalam sejarahnya, Bahasa dan
71 Farah Na>j Rif’at Ju, al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘inda Jalaluddin al-Ru>mi, 280. 72 Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra: Sebuah Metode Kritik Sastra
Struktural (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), cet.ke-1, 61. 73 Cara mendapatkan penafsiran sastra adalah mengajukan metode penafsiran
yang terimplikasi dalam sebuah teori yang mengilustrasikan hubungan antara sistem
tanda bahasa biasa dengan dengan sistem tanda sastra. Karena itu tidak cukup dengan
mengajukan metode struktural yang mengambil inspirasi dari Saussure semata. Agar
tidak terjebak pada repetisi inferensi makna diperlukan langkah integralisasi dan
efektifitas yakni perpaduan kerjasama dengan bahasa sastra Roland Bartes yang berupa
pandangan teori mitos, di mana ia juga berbicara tentang dua tingkatan sistem tanda.
Lihat, Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra, 62.
145
sufisme merupakan dua elemen yang saling berkait-kelindan satu sama
lainnya. Bahkan bahasa sufisme mempunyai bahasa dengan corak dan
karakter sendiri yang amat khas dan menjadikannya berbeda dengan
model bahasa lainnya.74
Penulisan gaya sufisme bukan sekedar penulisan dengan
mempertontonkan metode atau bentuk aturan penulisan konvensional
atau sejenisnya, melainkan penulisan yang syarat dengan pengalaman
ba>t}in dan jiwa yang mengalir dengan sendirinya tanpa disengaja atau
dipaksa dalam sebentuk karya prosa atau sastra. Bahasa sufi adalah
bahasa isyarat yang lebih mengindahkan esensi dibanding materi.
Karena itu menulis merupakan unsur ontologi yang melekat secara
alamiah dalam kehidupan kaum sufistik secara totalitas dan tidak hanya
melulu sebagai dimensi suluk yang dijalani.75
Dalam hal ini, kaum sufistik mempunyai ekspresi yang berbeda-
beda satu dengan lainnya dalam mengungkapkan bahasa hati, tergantung
pada subyek pengalaman. Ruang hati ini kemudian dituangkan dengan
ragam obyek tulisan. Kecenderungan gaya penulisan sendiri ada
beberapa macam dan secara acak dapat dikelompokkan menjadi tiga
macam: Pertama, penulisan sastra dengan menggunakan aturan rumus
wazan, qa>fiyah sebagaimana lazimnya syair-syair kebanyakan. Kedua,
penulisan prosa (nashar). Ketiga, penulisan bahasa sastra bebas dengan
menyandarkan kepada kekuatan bahasa analitik, nalar dan penjelasan.76
Ketiganya ini, secara prinsip bisa dikategorikan sebagai tulisan sastra
sufisme (shi’riyyah al-mutas}awwifah) karena kental dengan keindahan
sastra. Dan karena itulah, bahasa sufi lebih tepat dan dekat dengan suatu
seni: seni sastra sufistik.77
Secara analitik, memang ada titik persamaan
antara sastra konvensional dengan sastra sufistik. Dalam hal ini,
keduanya mempunyai visi terhadap obyek diskursus, seperti visi tentang
cinta, ketakutan, kerinduan, serta bermain-main dalam alam khayalan.
Alam khayal merupakan elemen terpenting dalam sastra sufistik sebab
74 Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi fi> al-Futu>ha>t al-Makiyyah li Muhyiddn
Ibn ‘Arabi (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘A<mah li-‘l- Kita>b, 2005), 56. 75Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 57. 76Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 54. 77Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 56.
146
logika dari sufisme adalah menerjemahkan sesuatu yang transendental
dan metafisik akan keberadaan sang pencipta dan perjumpaan dengan
Sang Kekasih.78
Karena itu, wajar jika sastra sufisme merupakan bagian dari
pengetahuan dan tidak hanya sekedar karya sastra. Syair dan sufisme
merupakan sebuah pararel yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya
mempunyai korelasi yang kuat dan mengikat. Kecenderungan syair
adalah tidak patuh dalam aturan baku norma-norma permanen dan
aturan konvensional bahasa melainkan bersifat ritme perubahan dinamis
yang abadi, tidak ajeg, memberontak, bebas, jujur dan menusuk terhadap
jantung makna. Karekter ini dengan sendirinya sudah ditemukan dalam
konsepsi tasawuf. Yang membedakan keduanya adalah visi. Visi tasawuf
adalah, dengan gaya sastranya, mencoba mencari makna terdalam suatu
hakikat kebenaran serta menyingkapnya melewati batas dan sekat-sekat
keadaan dari alam imanen menuju alam transenden. Karena itu, bahasan
kaum sufistik lebih kepada identitas bahasa isyarat dan rumus-rumus
simbol (lughah al-isha>rah) sebagai pengantar utama, sebab bahasa biasa
(lughah al-‘iba>rah), identik dengan perangkat materi fisis-logis dan alam
material, serta tidak mencakup eksistensi keberadaan ruang hati yang
menampung dua dimensi makna: z}a>hir dan ba>t}in.79
Bahasa praktis atau bahasa biasa digunakan sebagai bahasa
komunikasi, sedangkan bahasa sastra tidak mempunyai fungsi praktis
yang sama. Karena itu, kesusastraan harus diperlakukan sebagai suatu
pemakaian bahasa yang khas dan mencapai perwujudannya lewat
derivasi dan distorsi dari bahasa praktis. Dalam kacamata formalisme
modern, yakni para tokoh lingiusitik strukturalisme Saussurian yang
mengembangkan analisis sastra, kesusteraan adalah tugas mempelajari
struktur bahasa atau kata-kata dan bukan mempelajari amanat, sumber,
sejarah sastra, subjek puitis ataupun novel. Bahasalah yang
menyebabkan seni sastra itu. Seni dalam pandangan tokoh formalisme
adalah alat. Karena bahasa sastra sangat ditentukan oleh seni maka
pembangunan seni dibentuk dengan menyusun dan mengubah bahannya
78Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 58-59. 79Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 57/62/78.
147
yang bersifat netral.80
Kualitas inilah yang kemudian yang membedakan
kesusteraan dari bahasa praktis. Pengolahan atau penyulapan kata
merupakan bahan netral secara estetik untuk digubah menjadi karya
sastra. Cara pengolahan ini dalam sastra puitik adalah ritme, macam-
macam bentuk perarelisme atau pertentangan, gaya bahasa atau kiasan
metafor.81
Lepas dari perbedaan dan persamaan habitus, cara pandang,
konsep, cara dan variabel-variabel antara kaum sufi dan kaum
formalisme, ternyata teori ini sudah jauh-jauh hari dipraktekan oleh
kalangan sufistik. Bahkan kalangan sufistik mampu menembus batas
untuk menjadikan sastra sebagai suatu pengetahuan, sumber inspirasi
dan transendensi yang tidak dilakukan oleh kaum formalis yang hanya
menyandarkan pada batas permainan struktur kebahasaan. Kajian ini,
jika menggunakan pendekatan sastra modern ternyata menemukan
relevansinya sebagaimana pandangan formalisme di atas. Hal ini diakui
juga oleh beberapa pemikir Arab yang concern terhadap kajian sastra
sufistik seperti yang diperlihatkan oleh Sahar Sami. Baginya sastra
susfistik adalah cita rasa kelezatan sebagaimana yang dipahami oleh
Roland Bartes dalam pandangan sastra.82
Di samping itu, sastra harus
diposisikan sebagai sesuatu yang megah, di mana teks sastra mampu
melewati batas makna z}a>hir menuju makna lain yang kemudian disebut
metafor, metafisik, majaz atau ba>t}in. Bahkan, dalam mengkaji teks
susfistik, pembaca masuk ke dalam suatu mental agar mampu menjadi
pembaca sungguhan yang berpetualangan dengan sensasi keindahan,
kehadiran, kejutan-kejutan, ide-ide bernas, menggelitik, dan merasakan
ritme dinamis-progresif yang ada dalam balutan setiap tulisan sastra
sufisme.83
Di sinilah pentingnya mempelajari dila>lah sebagai bentuk
penanda (da>l) dan petanda (madlu>l). Penanda adalah kehadiran yang
tampak dalam teks, sementara petanda adalah sesuatu yang tidak
80
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, 124. 81Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, 124. 82Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 60. 83Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi, 60.
148
tampak dan tersembunyi dari teks. Dualisme makna ini begitu menyatu
dalam hampir setiap tulisan-tulisan sufistik Isha>ri, seperti yang
ditunjukkan dalam lembaran-lembaran Tafsi>r al-Ji>la>ni> yang begitu
eksotik dan melampaui bahasa sastra kaum sufistik sekalipun dengan
tetap tidak meninggalkan dualisme makna ini. Sebab teks, bagi kaum
sufistik, mempunyai pesan ganda secara esensial yang tidak bisa
dilepaskan dari makna yang dikenal sebagai dualisme z}a>hir dan ba>t}in di
mana tidak ada pertentangan atau dipertentangkan sebagai bentuk
dualisme, kontradiksi, kontraproduksi dan kontraposisi.84
Dalam kacamata lingusitik modern, teori ini bisa ditemukan
dalam pemikiran Ferdinand de Saussure. Teori strukturalisme yang
dibangunnya berhasil mengantarkan kepada diskursus tentang isi dan
ekspresi. Baginya, peleburan konsep linguistik suatu petanda (signified)
dan penanda (signifier) tersusun dari sifat-sifat khusus yang dipisahkan
oleh bahasa dari peristiwa keadaan yang sesungguhnya. Kenyataan
bahwa suatu isyarat atau tanda tidak akan dikacaukan oleh tanda lain
merupakan satu hal yang relevan dari keduanya. Keistimewaan sistem
tanda inilah dibanding sistem tanda lainnya yang tidak memiliki atribut
makna. Perbedaan-perbedaan inilah yang merupakan objek materi
pembahasan, sebab bahasa hampir seluruhnya terbentuk dari perbedaan-
perbedaan itu –sebagai konstruksi language games jika meminjam
Wittgenstein. Nilai apapun yang dimiliki oleh suatu tanda terletak pada
perbedaan terhadap tanda-tanda yang lain. Inilah nilai yang tidak bisa
disanggah dalam sistem bahasa.85
Jika berkaca terhadap al-Qushayri melalui Lat}a>’if al-Isha>ra>t, ia
melihat adab Sastra Sufistik sebagai artikulasi ayat-ayat al-Qur’a>n
berorientasi pada isyarat-isyarat dengan menggunakan pendekatan
kesusastraan. Baik penafsiran dengan gubahan syair, ungkapan kalimat
84Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi, 60. Sebagaimana dualisme ini sebetulnya
sudah menjadi hukum alam dan sunah Tuhan. Adanya dalil alam menunjukan
keberadaan madlu>l sang pencipta. Inilah yang kemudian disebut isyarat di balik
fenomena. 85 Kaelan, Filsafat Bahasa, 271.
149
bersastra tinggi maupun kalam nashr.86 Adab, dalam konteks sufisme,
tidak bisa dipisahkan dari kaum Sufi, sebab adab erat kaitannya dengan
keindahan dan kenikmatan yang diperoleh ketika mencapai ekstase
puncak dan pengalaman ruhani bercumbu dengan Sang Kha>lik. Karena
itu, kitab Lat}a>’if al-Isha>ra>t sangat kental dengan pendekatan sastra
berbentuk syair.
Perbedaan dengan al-Qushayri, corak al-Ji>la>ni> dalam tafsirnya
cenderung mendominasi sastra melalui pendekatan kalam nashr. Dalam
pendekatan syair ia lebih dominan dalam karya-karya di>wa>n syair yang
menjadikannya kokoh seorang sufi yang ’adi>b dan ‘a>rif.87 Namun
demikian, sebagai bukti ciri khas sufistik, ternyata pada pembukaan
tafsir ia sengaja menyelipkan syair-syair sebagai puja-puji kepada
Tuhannya88
:
و عن وصف التفرق و الوصال# تعالى الحق عن علم الرجال
يجل عن اإلحاطة و المثال # إذا ما جل شيء عن خيال
Di lain tempat, ditemukan juga al-Ji>la>ni >menerapkan pendekatan
sastra syair ketika menutup tafsirnya sebagai epilog dari karya
tafsirnya89
:
بالفرجوعجل بالنصر# بألهم يا رب بهم و
Wahai Tuhanku, kepada Nabi dan para sahabat serta keluarganya..
Segerakanlah pertolongan dan kelapangan hati..
86Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-
Qushayri, 65. 87 Untuk melihat lebih lengkap bentuk syairnya, bersyukur sang muhaqiq,
Muhammad Fad}i>l, membuat kompilasi karya-karya syairnya menjadi satu paket dalam
Tafsi>r al-Ji>la>ni> yang dituliskannya pada volume akhir. Lihat: Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>,
Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 6, 463-475.
88Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 33. 89Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 6, 461.
150
4. Ilmu Balaghah
Ilmu balaghah bagi kaum sufistik merupakan landasan menuju
interpretasi dalam menangkap ide-ide ilham atau inspirasi sufistik yang
terbingkai dalam lafal-lafal balaghah.90
Sebagaimana telah maklum,
balaghah merupakan ilmu yang membahas secara khusus seni keindahan
berbahasa karena menggunakan bahasa-bahasa yang mengandung nilai
sastra yang tinggi. Dalam pandangan ilmu linguistik, ilmu balagah
disetarakan sebagai ilmu semantik. Karena itu, ilmu ini dikatakan
sebagai ilmu yang mengungkapkan metode melalui keindahan rangkain
bahasa yang indah dan nilai estetika yang tinggi, sehingga memberikan
makna terhadap “muqtad}a h}a>l”, yakni kesesuaian dengan situasi dan
kondisi hingga memberikan kesan mendalam bagi pendengar dan
pembacanya. Balaghah merupakan makna-makna yang terpancar dari
suatu kalimat melalui berbagai macam cara: Sebagian dengan isyarat
simbol, retorika, diskusi, tulisan atau hal-hal lain yang berkenaan dengan
tidak menghilangkan unsur penekanan kepada keindahan kalimat yang
ringkas, tepat dan lugas. Signifikansi ilmu balaghah secara hukum tidak
dimaksudkan untuk menampilkan i’ja>z dan keagungan al-Qur’a>n
melainkan lebih kepada titik penjelasan makna-makna serta
mengakrabkan bentuk-bentuk dan norma penjelasan itu kepada
pembacanya, sehingga pembaca merasakan getaran makna serta
meresapi makna-makna terkandung di dalamnya. Karena itu,
al-Zamakhshari dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’a>n tetap berpegang
teguh pada perangkat-perangkat kebahasaan dan elemen-elemen
balaghah.91
Balaghah dalam kacamata sufistik tetap tidak menghilangkan
dasar-dasar ilmu balaghah seperti sifat kalam yang bali>g dengan
melibatkan tana>suq al-as}wat (kesesuaian bunyi), tarki>b lughawi yang
sesuai, dan kandungan unsur-unsur imajinatif yang berkesan. Hal yang
tak dilupakan adalah fas}ahah, yang berarti implementasi makna melalui
90Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-
Qushayri, 144. 91Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 214.
151
lafaz-lafaz yang jelas meliputi: 1) Kemudahan pelafalan. 2) Kejelasan
makna. 3) Ketepatan sharaf. 4) Ketepatan nahwu. Karena itu, setiap
kalimat yang bali>gh pastilah fasih, namun tidak sebaliknya. Sementara
jenis-jenis ilmu balaghah mencakup: (1) Ilmu ma’a>ni, yaitu ilmu yang
mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, atau ilmu
yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtad}a
al-h}a>l. (2) Ilmu baya>n, yakni ilmu yang mempelajari cara-cara
penggambaran imajinatif. Secara umum bentuk penggambaran
imajinatif itu ada dua. Pertama, penggambaran imajinatif dengan
menghubungkan dua hal. Kedua, penggambaran imajinatif dengan cara
membuat metafora yang bisa diindera. (3) Ilmu badi>’, yakni ilmu yang
mempelajari karakter lafaz dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian
makna. Kesesuaian tersebut bisa berbentuk keselarasan ataupun
kontradiksi. Di samping itu, yang tidak boleh dilupakan adalah unsur
shakl yakni lafaz dan mad}mu>n, yakni makna di mana keduanya ibarat
jasad dan ruh. Dan inilah yang diutamakan dalam keilmuan sufistik.92
Sufisme balaghah adalah tahapan makna secara gradualistik.
Dimulai dari makna biasa, menuju makna balaghah kemudian meningkat
lagi menuju makna simbolik. Karena itu, bisa dikatakan bahwa tafsir
Isha>ri bertolak dari ilmu balaghah. Pokok-pokok ilmu balaghah yang
telah dipaparkan di atas sejatinya yang dikehendaki bukan makna literal
atau makna balaghah, melainkan untuk sebuah alat kepentingan, yakni
agar kaum sufistik tenggelam dalam makna simbolik-esoterik.93
Bahkan
diam-diam, salah satu jenis ilmu balaghah, yakni ilmu ma’a>ni
merupakan ilmu yang diandalkan sebagai variabel penyingkapan sufistik
(lawn min alwa>n al-khashf al-s>ufi>).94 Bagi al-Qushayri, terma “naz}am”
dalam al-Qur’a>n tidak hanya berfungsi sebagai seni untaian keindahan
al-Qur’a>n –sebagaimana yang dipahami dalam ilmu balaghah–, namun
berfungsi sebagai lafal-lafal yang mengandung eksistensi penggerak
92Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 160. 93
Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 146.
94Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 145.
152
menuju kebahagian hakiki dari emanasi ketuhanan yang menembus hati
kaum sufistik atas penglihatan (bas}irah) ba>t}innya.95
Penemuan sufisme balaghah dalam tafsir al-Ji>la>ni> hampir
didapati pada setiap ayat yang memang syarat keindahan bahasa dan
ketinggian seni fasih bahasa. Bahkan menurut versi sang penyunting,
Muh}ammad Fa>d}il, tafsir ini tidak ada duanya di dunia ini.96
Contoh yang
menarik untuk ditampilkan adalah basmalah. Uniknya, hampir
dipastikan dalam setiap surat, al-Ji>la>ni> memberikan pernyataan
penafsiran Basmalah yang berbeda-beda satu dengan lainnya tergantung
pada isi tema surat tersebut. Dalam surat Ali Imran misalnya, ia
menafsirkan basmalah dengan menyinggung dan menghubungkan
dengan tema yang ada dalam isi surat itu mengenai muh}kama>t dan
mutasha>biha>t, sebagaimana penafsirannya:
“Bismillah, dengan menyebut nama Tuhan yang telah menurunkan kitab
dan mengutus para utusan sebagai petunjuk bagi hamba awam menuju
pemberhentian alam akhir. Al-Rah}ma>n, Zat Yang Pemurah kepada
mereka dengan menurunkan ayat-ayat muh}kama>t, yakni ayat-ayat yang
pasti dan jelas, yang diperuntukkan demi mendapatkan emanasi
keyakinan dan ke-‘irfa>n-an. Al-Rahi>m, Zat Yang Pengasih kepada
mereka dengan menurunkan ayat-ayat mutasha>biha>t, yakni ayat-ayat
yang tampak samar dan ambigu namun mengandung sebab musabab
untuk mencapai ketauhidan bagi ahli hakikat dan ahli keyakinaan”.97
95Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-
Qushayri, 158. 96Muh}ammad Fa<>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, Muqaddimah
Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 26. 97Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 248.
153
B. Ilmu-Ilmu Ba>t}in (Perangkat Esoterik Tafsir Sufistik Isha>ri)
1. Simbol
Setiap agama mempunyai simbol tertentu untuk mendefinisikan
suatu norma atau risalah tertentu di dalam ajaran dan tradisi suatu
kaum, baik sebagai simbol mitos legenda maupun simbol agama. Simbol
merupakan ciri kekuatan makna yang tersembul pada entitas simbol
tersebut. Dalam alam Yunani, Aristoteles sudah membuat rumusan
simbol dalam peradaban manusia menjadi tiga kategori besar. Pertama,
simbol nalar (al-rumz al-naz}ari/theoritical symbol). Yakni simbol yang
merupakan korelasi simbol dengan ilmu pengetahuan Kedua, simbol
praksis (al-rumzal-‘amali/practical symbol). Yakni simbol yang
berorientasi kepada ranah praktikal dan tindakan. Ketiga, simbol
sastrawi atau simbol keindahan (al-rumz al-shi’ri wa al-jama>li/poetical
or aesthetic symbol). Yakni simbol yang berorientasi pada entitas ba>t}in
atau esoterik yang terjadi dari proses mentalitas pribadi pengalaman
jiwa, perasaan simpati, atau wujud eksistensi diri.98
Ketiga kategori
simbol ini secara praktis bisa digolongkan ke dalam tiga unsur, yaitu
logika sebagai jalan pengetahuan, etika sebagai jalan suluk, dan seni
sebagai jalan watak esensialis dan keberadaan.99
Singkatnya, rumus atau
simbol sendiri merupakan bagian yang terpisah satu sama lainnya secara
kategorial, namun secara prinsipil memungkinkan adanya gabungan atau
dialektika seperti halnya tindakan etika dengan nalar pikiran atau
psikologi dan psikis –dengan catatan keduanya tidak terjadi kontradiksi.
Dalam tradisi sufi, akan tampak teorisasi ini ketika ajaran cinta
kepada Tuhan sebagai dialektika cinta antara fisik dan jiwa dicitrakan
98At}if Jawdah Nas}r, Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah (Cairo: al-Maktab al-
Mis}ri, 1998),cet. ke-1, 19.
99 C.G. Jung, seorang psikoanalisis spritiual yang mengkritik teori-teori Frued,
membedakan antara alamat/gejala dengan rumus/simbol. Yang pertama lebih kepada
isyarat panca indera pada suatu peristiwa atau objektivitas bersifat material, sementara
rumus merupakan representasi isharat atau kode-kode yang mengarah terhadap makna
universal yang hanya bisa diketahui oleh firasat atau insting. Lihat: At}if Jawdah Nas}r, Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah,20.
154
dengan simbol perempuan seperti Ibn Arabi dan banyak sufi lainnya;
gambaran keindahan perempuan seperti seekor kijang yang lincah
menggemaskan; minuman arak sebagai bentuk representasi seorang
hamba yang sedang mabuk panteisme dengan Tuhannya.100
Simbol
merupakan hasil kreasi dari bahasa, metafora, puisi, permainan kata-
kata, kisah dan mitos yang menjadikannya unik dan eksentrik dalam
interpretasi penafsiran sufistik. Hal ini menjadi kontras ketika
disandingkan dengan terma alegoris, yang menjadi tradisi penafsiran
tasawuf falsafi, sebagai penafsiran berorientasi sensorik dan emosional
yang mengandalkan cahaya iluminatif101
Penting ditandaskan, bahwa simbol merupakan identitas penting
dalam suatu ritus keagamaan atau ritual ajaran yang memainkan peranan
sejauh mana penyucian, penghambaan atau bahkan pengorbanan kafa>ra>t
yang bermacam-macam, sebagaimana simbol itu sendiri sebagai bentuk
ekspresi dari ketersingkapan norma-norma khas dan nilai-nilai yang
tersembunyi dari suatu ibadah murni beserta segenap sakralitas yang
menyertainya. Karena itu, simbol di sini penting ditanamkan sebab
merupakan tanda keagamaan yang agung dan mendalam yang
memungkinkan manusia mampu mencapai tingkatan hakikat yang
transenden, serta akal budi manusia sempurna melalui usaha yang
dicapai berupa pengalaman ba>t}in dan pembentukan simbol-simbol
keagamaan. Inilah tugas utama dari simbol-simbol keagamaan tersebut
sebagaimana ungkapan Paul Tilich dalam bukunya, Theology and
Symbolism.102
Simbol merupakan sesuatu yang berbeda dengan bahasa, di mana
bahasa adalah perangkat ujaran yang berasal dari pikiran-pikiran,
makna-makna dan entitas-entitas yang, dengannya, bisa sempurna
menemukan kesepahaman di antara sesama manusia melalui akumulasi
bentukan huruf, kata-kata dan rangkain kalimat. Sementara rumus lebih
luas dari itu. Ia bisa digambarkan melalui isyarat atau gerakan. Ada
100At}if Jawdah Nas}r, Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah, 136/138. 101 Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical Islam,
138. 102At}if Jawdah Nas}r, Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah, 33.
155
bahasa tangan, bahasa kepala, bahasa tubuh, bahasa mata, bahasa
matematika, bahasa huruf dan kalimat sebagaimana rumus-rumus
simbolitas al-Qur’a>n. Dalam hal ini, seorang manusia yang ingin
mengetahui simbol pada suatu ayat tertentu (disebut sebagai al-marmu>z
ilayh) harus mengerti dari sang pemilik simbol itu, yakni Tuhan (disebut
sebagai ra>miz atau s}a>h}ib al-rumz).103
Dengan demikian, rumus atau simbol tidak berlaku pada kalimat
yang sudah umum melainkan hanya bermain kepada diskursus makna
yang telah diisyaratkan (al-musha>r ilayh) dan telah disepakati
kemaknaannya (al-muttafaq ‘alayh). Kesepakatan ini terlepas dari dua
personal atau lebih, atau bahkan antara satu komunitas dengan
komunitas lain. Letak distingstif yang mencolok dari bahasa; bahasa
merupakan untaian makna yang sudah dibatasi dan dikelilingi oleh
sejumlah proposisi fisis dan logis dari struktur bahasa atau kamus.
Sementara rumus tidak terikat dengan aturan struktur bahasa atau
kamus bahasa dengan kerumitan atau keasingannya, bahkan tidak
membutuhkan penafsiran, komentar dan penjelasan. Rumus adalah
makna yang dibangun secara independen, mana-suka, bebas dan bahkan
mematikan dan membutakakan sekaligus menghancurkan makna asal
(al-ta‘miyyah wa al-tamwiyyah).104
Ia menyimpan suatu rahasia di balik
rahasia dan rahasia ini hanya dibangun secara eksklusif untuk mereka
yang mengalaminya dan mengetahuinya. Sebaliknya, mitos akan sangat
acuh dan tidak peduli kepada mereka yang tidak mengetahuinya.
Mengapa demikian? Sebab dalam konteks makna seperti ini, telah
terjadi transformasi level makna primer atau makna biasa menuju makna
sekunder atau makna simbolik. Proses ini berlangsung ketika terjadi
peralihan makna yang terbatas menuju tidak terbatas dengan
penggabungan asosiasi-asosiasi tertentu oleh penafsirnya sehingga
menjadi “sesuatu yang lain”, sesuai yang diinginkannya dalam sistem
tanda bahasa tersebut (al-marmu>z lah).105
103
Mahmud Muh}ammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wil (Mesir: al-Hay’ah al-Misriyah
al-‘Amah, 1993), cet.ke-1, 238. 104Mahmud Muh}ammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wil, 241. 105Mahmud Muh}ammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wil, 241.
156
Untuk membaca paparan di atas secara komprehensif, ada
pendekatan teori mitologi Barthes guna membantu menguraikannya
sistem semiologi dalam mitos. Mitos dalam teori mitologi Roland
Barthes adalah bentuk tuturan yang menggunakan sistem tanda tingkat
kedua. Karena itu, karya sastra maupun simbol masuk ke dalam kategori
pengertian ini. Dengan kata lain, mitos sudah sedemikian rupa
membangun maknanya dengan cara mengeksploitasi, merekayasa dan
mempermainkan sistem tanda bahasa primer sebagai tanda tingkat
pertama menuju sistem tanda sekunder sebagai tanda tingkat kedua.
Mitos tidak lagi sekedar memiliki makna di tingkat pertama, yakni
makna primer kebahasaan secara harfiah atau denotatif, tetapi mampu
menyembunyikan makna lain yakni makna mistis, simbolik atau
kiasannya.106
Untuk mencapai pemahaman ini diperlukan model yang
menggambarkan “penindasan” sistem tanda mitos (sebagai penanda)
pada sistem tanda bahasa (sebagai petanda). Adanya petanda (signifier)
mengekspresikan penanda (signified).107
Menafsirkan mitos atau simbol
tidak lain merupakan upaya untuk menemukan makna yang tersembunyi
melalui sebuah analisis terhadap sistem tanda primer atau makna
denotatif z}a>hir yang dipergunakannya. Tafsir mitos merupakan
pekerjaan cukup rumit karena menyangkut perihal bagaimana ragam
asosiasi semantik dapat terbentuk dari tuturan mitis. Tidak hanya
mengandalkan logika, tetapi juga kekuatan dan kelincahan imajinasi
atau intuisi dalam menilisik dan menemukan hubungan asosiatif serta
implikasi logis yang secara potensial terkandung dalam tuturan mitis
simbolik. Di samping itu, pembendaharaan pengetahuan simbolik
mufasir sufistik akan sangat berperan terhadap kedalaman makna dan
menentukan keberhasilan makna sebuah tafsir mitos.108
106 Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra: Sebuah Metode Kritik Sastra
Struktural (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), cet.ke-1, 63. 107 Roland Barthes, Mythologies (NewYork: The Nonnday Press, 1991), 111. 108 Tiga Dimensi Bahasa Mitos
Penanda (bahasa sekunder/konotatif/signifier) Petanda (bahasa
primer/denotatif/signified)
157
Dalam penafsiran mitos-simbolik terdapat proses analisis mitos
yang tidak bisa diabaikan. Pertama, meninjau paparan sintagmatik mitos
dan menemukan prosedural pemitosan. Maksud sintagmatik mitos
adalah apa dan bagaimana ragam mitos itu ditampilkan berupa narasi
atau semacamnya dengan cara rekayasa bahasa atau kiasan, melalui
eksploitasi terhadap sistem tanda dan makna primer-denotatif.
Sementara dalam prosedural pemitosan terhadap kategori-kategori
sebagai berikut: (a) Penumpang-tindihan tanda-tanda dalam sistem
tanda primer. Yakni dengan memanfaatkan tanda yang mempunyai
homologi kemiripan, kesejajaran atau pesan moralitas makna dan
bentuk. Dalam narasi penafsiran, prosedural ini akan menampakkan diri
melalui paparan sintagmatik yang seolah mempunyai makna denotatif
atau z}a>hir tetapi sesungguhnya narasi ini memiliki makna-makna kiasan
atau simbolik yang kaya dan mendalam bagi orang-orang yang sudah
mampu menangkap makna ba>t}in atau konotatifnya. (b) Pembelokan dan
pembalikan sistem tanda primer. Aturan-aturan paparan sintagmasis dan
juga makna dalam sistem tanda primer akan dikesampingkan dan
dibolak-balik. Tujuannya bukan semata-mata bermain-main atas
pembelokan pakem demi tingkah pembelokan itu sendiri, melainkan ada
makna atau efek tertentu yang dicapai dengan pilihan genre yang
muncul ketika mitos melakukan pembalikan seperti parodi, sinisme,
Tanda dan Penanda Mitos (sign and signifier) Petanda mitos (signified)
Tanda Mitos (sign) Tanda Mitos (sign)
Pada bagan di atas, tampak bahwa tanda bahasa tingkat pertama berupa
kesatuan penanda dan petanda yang berubah menjadi penanda mitos tingkat kedua, dan
petanda sebagai aspek konseptual dalam tanda bahasa setelah melewati proses ini kini
“tidak berlaku” lagi dalam mitos. Mitos sebagai sebuah tanda atau simbol dengan cara
rekayasa tertentu, seperti pengalaman spiritual atau mendapatkan ilham, kemudian
mengisi aspek konseptual yang kosong dalam bahasa itu dengan aspek konseptual
petanda mitos. Roland Barthes, Mythologies, 113.
Sebagai perumpamaan, puisi Chairil Anwar mewakili makna yang dimaksud.
“Aku Binatang Jalang”, memberikan pemaknaan denotatif tidak berlaku lagi karena
mustahil “ada seekor binatang yang mengaku jalang”. Kalimat tersebut merupakan
tuturan mitos yang sudah berubah dari makna aslinya, agar bisa menemukan aspek
konseptual atau petanda yang relevan. Petanda-petanda mistis inilah yang harus
ditemukan dalam tafsir mitos. Lihat: Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra, 63-64.
158
ironi, kritisme atau sindiran dari kaum sufisme kepada ahli dunia,
ba>t}iniah atau ahli fikih-zahir.109
Kedua, meninjau implikasi kemaknaan. Dalam hal ini harus
mempermasalahkan asosiasi-asosiasi makna yang muncul dari paparan
stigmatik tertentu, asosiasi-asosiasi makna yang muncul dari dibalik
pengandaian-pengandaian, alegori-alegori tertentu, efek yang mucul
darinya, makna yang tersisa serta gambaran yang menyarankan kepada
asosiasi hal-hal tertentu. Tujuan dari peninjauan ini adalah untuk
mengeksplorasi segenap kemungkinan efek kemaknaan sehingga secara
perlahan-lahan akan dapat melakukan inferensi suatu makna sebagai
petanda mitis-simbolik yang objektif. Ketiga, menarik inferensi. Tahap
penemuan petanda mitos ini adalah tahap di mana seorang mufasir diuji
sejauh mana pendalaman dan kekayaan pengetahuan sufistiknya.
Penjelajahan ruang logika, imajinasi dan spritual sekaligus merupakan
modal dalam menampilkan makna simbolik. Dalam hal ini,
pembendaharaan sistem pengetahuan dan sistem kemaknaan merupakan
elan vital dalam menentukan pemaknaan. Darinya akan menghasilkan
turunan asosiasi-asosiasi tanda atau simbol mistis bebas yang pada
akhirnya akan menghasilkan suatu makna yang terstruktur. Langkah
inferensi ini lebih banyak berhubungan dengan struktur paradigmatik
berupa paparan sintagmatik-tekstualis dengan hubungan asosiatif-
paradigmatis di antara serpihan makna dengan berbagai sistem
kemaknaan yang tidak muncul secara eksplisit namun secara potensial
merupakan sumber rujukan makna.110
Dalam istilah kaidah penafsiran
adalah penyebutan makna z}a>hir namun yang dimaksud makna ba>t}in.
Korelasi antara penanda (al-rumz) dan petanda (al-marmu>z ilayh)
ini dalam bahasa sufistik, jika meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zaid,
dikatakan sebagai bentuk hubungan hati dan transformatif (al-qalb wa
al-tah}wi>l). Artinya, bukan merupakan hubungan dasar yang saling
mematikan atau berseberangan serupa parasit, melainkan lebih
merupakan hubungan simbiosis esensial yang terbangun atas dasar
harmonisasi inklusivitas makna serta tanda-tanda yang senyawa (al-
109 Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra, 66. 110 Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra, 63.
159
dila>lah al-mushtarakah) antara penanda dan petanda seperti
perumpamaan kibri>t al-ah}mar, di mana adanya perubahan transformasi
makna itu sejatinya tetap dimainkan oleh dan untuk hati.111
Untuk menguji simbol, harus mengajukan pertanyaan menarik,
apakah teks simbolis dapat ditafsirkan secara harfiah? Mengutip
pendapat C.L. Stevenson dalam bukunya, Ethics and Language, ia
membedakan antara bahasa metaforis sebagai bahasa simbol yang
bersifat emotif dan bahasa interpretatif sebagai bahasa harfiah yang
bersifat deskriptif. Sekalipun pembedaan ini tidak mutlak, namun ia
menandaskan bahwa selalu ada interaksi dan saling mempengaruhi.
Untuk menjelaskan diskusrsus ini, ia memulai dengan pengertian dasar
penafsiran. Baginya, penafsiran adalah suatu kegiatan penafsiran dengan
pemahaman secara harfiah dan deskriptif dalam mengartikan apa yang
disugestikan oleh kalimat metaforis. Fungsi tafsir sendiri adalah
reduplikasi daya sugestif metafora dalam istilah-istilah lain. Istilah-
istilah yang baru ini mempunyai efek yang sama bukan sebagai bagian
dari daya sugestinya melainkan sebagai bagian dari arti deskriptifnya,
yang diwujudkan secara simbolik. Namun yang menjadi titik point,
menurutnya, bahwa kegiatan penafsiran ini tidak ada kalimat yang
pernah secara deskriptif mengartikan secara “tepat” apa yang
disugestikan atau dikehendaki oleh kalimat yang lain.112
Dalam hal ini, kegiatan penafsiran bersifat suatu kebenaran yang
relatif dan tidak ada istilah kebenaran absolut. Karena penafsiran
hanyalah penafsiran, bukan pembenaran dogmatis. Penafsiran selalu
bersifat prediksi dan kira-kira. Karena itu efek dari penafsiran tidak ada
penafsiran yang bersifat tunggal. Penafsiran suatu ayat selalu
meniscayakan ragam penafsiran yang berbeda, yang banyak
bertentangan namun masing-masing memberikan, dengan presisi yang
111 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhu>m al-Nas}s}, Dira>sah fi>> U<lu>m al-Qur’a>n
(Bairut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 2005), cet.ke-vi, 278. Lentera Merah (Kibrit
Ahmar) merupakan simbol dari kemakrifatan zat, sifat dan tindakan Tuhan. 112F.W. Dillistone, The Power of Symbols, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), cet.
ke-5, 36.
160
terlalu besar, suatu bagian kecil dari apa yang disugestikan oleh
metafora itu dengan sosoknya yang samar namun kaya makna.113
Makna simbolik ini, sebagai langkah aplikasi teori-teori di atas,
bisa ditangkap salah satunya dalam penafsiran al-Qur’a>n surat al-
Ma>idah (QS 5:96), yang artinya “Dihalalkan bagimu binatang buruan
laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat
bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan
atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ih}ram.
Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan”. Setelah selesai menjelaskan makna zahir ini, al-Ji>la>ni>
mengalihkan makna ih}ram kepada makna Isha>ri
“Dan wajib bagi kamu sekalian berhati-hati dan takut menjurumuskan
diri dari makhluk ciptaan-ciptaanya dengan cara paksa-aniaya dan
menguasainya dalam semua tindak-tandukmu, lebih-lebih ketika
menggunakan kain ih}ram yang sejatinya merupakan pakaian kafan
fana >’ secara maknawi dan mati secara hakiki dalam pandangan ’u>li>l al-
ba>b, yang melihat sesuatu langsung kepada jantung hukum dan intisari
hukum-hukum tersebut”.114
Masih dalam tema yang sama, dijelaskan dalam surat al-Baqarah
(QS 2:197) bahwa haji tidak hanya tersurat secara hukum dalam ayat
tersebut. Al-Ji>la>ni> menangkap bahwa haji adalah metafora dari mati suri
yang bersumber dari kehidupan hakiki. Maka barang siapa yang hendak
melaksanakan haji hakiki dan hidup hakiki, sebaiknya membunuh
dirinya terlebih dahulu dari karakter-karakter tabiat kehidupan yang
melenakan agar mendapatkan kehidupan hakiki yang abadi dan langgeng
selamanya. Hal ini tentu tidak mudah bagi manusia kecuali bagi al-sa>lik
al-na>sik, yaitu ahli suluk yang berhaji dan memotivasi untuk keluar dari
konsekuensi akal pikiran yang sempit yang banyak dihinggapi oleh syak
wasangka dan khayalan tinggi sehingga cara pandang nalarnya berubah
lebih baik dan bijak setelah mendapatkan kehidupan hakiki melalui
113F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 36. 114Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 537.
161
ritual haji ini.115
Di antara kehidupan hakiki ini, diejawantahkan agar
seorang yang telah “berhaji sufi” ini selalu mengerjakan kebaikan-
kebaikan, mengorbankan hartanya untuk jalan kebaikan serta memberi
santunan-santunan agar hatinya tetap terjaga dari budi pekerti mulia.
Sebab harta inilah sebagai pangkal segala fitnah, yang menjadikan
penghalang dari kecondongan hati kepada Sang Kekasih Hakiki.116
Huru>f muqat}t}’ah atau penggalan huruf adalah penafsiran yang
paling menarik bagi kalangan sufistik. Sebab di sinilah mereka bisa
bermain bebas sesuka hati dengan dunianya sesuai pengalaman yang
mereka dapatkan dalam pencarian ruang hati ketika bermunajat dengan
Tuhannya. Mereka tidak lagi terikat oleh kebahasaan atau aturan-aturan
formal yang digariskan oleh standar ilmu zahir yang terikat kuat dengan
bahasa. Karena itu, hampir setiap sufi pasti mempunyai penafsiran
penggalan huruf ini sebagai makna simbolik terdalam. Satu dan lainnya
mempunyai varian penafsiran sendiri.117
Ulama rusu>m dalam merespon
huru>f muqat}t}’ah tidak berani sampai menafsirkan kecuali hanya jawaban
Allah Maha Tahu. Bahkan sebagian dari mereka sampai punya
pandangan lemah bahwa huruf itu tidak lebih hanya sebatas tanda dari
usainya suatu pembahasan dan memulai masuk pada pembahasan lain.118
Dalam teori al-Ji>la>ni, >huru>f muqat}t}’ah mempunyai tempat yang
amat istimewa. Setiap huruf hija>iyyah memberikan rahasia pemahaman
asma-asmaTuhan.119
Penelitian huru>f muqat}t}’ah dalam tafsir al-Ji>la>ni>
mempunyai kecenderungan yang unik. Baginya huruf itu adalah kata
kunci (keyword) untuk memecahkan kode isi dari simbol huruf itu.
Dalam surat Qaf (QS 50:1), ia menilai bahwa awalan huruf qaf adalah
singkatan kata yang tersembunyi pada huruf tersebut.
115Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 171. 116Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 172. 117Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-
Qushayri, 31. 118Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-
Qushayri, 30. 119 Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, Vol. 1, 162.
162
Ia menafsirkan:
القيم ,أيها اإلنسان الكامل القابل لخلعة الخالفة و النيابة اإللهية( ق)
القائد ,القائم لتبليغ الوحى و اإللهام المنزل عليك من عنده سبحانه على عموم األنام
لهم الى توحيد الملك العالم القدوس السالم ذى القدرة و القوة الكاملة الشاملة على أنواع اإلنعام
120.و اإلنتقام
2. Intuisi
Perangkat intuitif atau dikenal dhawq bagi kaum sufi bertugas
mem-ba>t}in-kan yang z}a>hir, man-ta’wil-kan yang tanzi>l. Sebagaimana
telah dijelaskan pada bab-bab pertama, bahwa nalar epsitemologi
menjadi tiga kategori elektral: baya>ni, burhani dan ‘irfa>ni. Berangkat
dari taksonomisasi sini, Al-Ghaza>li dalam kitabnya, al-Munqid min al-
D{ala>l, membagi epistem pengetahuan secara biografis sesuai subjek
pelaku dan golongan: (1) Mutakalimin, yang mendaku ahli nalar akal
dan pikiran. (2) Ba>t}iniah, yang mendaku pemilik ajaran yang spesifik
diturunkan dari Imam maksum. (3) Fala>sifah, yang mendaku ahli
Mantiq dan akal demonstratif. (4) S}u>fiyah, yang mendaku ahli gnostik
dalam spesifikasi maujud keberhadiran, eksistensialis dan
ketersingkapan (ahli had}rah, al-musha>hadah, al-muka>shafah).121
Senada dengan al-Ghaza>li, al-Ji>la>ni> juga mengingkari tiga yang
pertama itu. Kaum sufistik termasuk golongan yang cenderung paling
akhir dalam mengusung nalar epsitemologi dibanding yang lainnya.
Mereka mencoba memformulasi dan mengusung nalar epsitemologi
baru, yakni nalar ‘irfa>n. Secara geneologi, seperti yang disebutkan ‘Ali >
Sha>mi Nashshr, bahwa geneologi nalar ‘irfa>ni berasal dari rutinitas
membaca al-Qur’a>n sebagaimana media mendekatkan diri dan
berkomiunikasi dengan Sang Pencipta. Intensitas dan frekuensi mereka
yang begitu tinggi mencurahkan tila>wah, tafakur, tafahum dan tadabur,
yang kemudian menjadikan mereka tenggelam ke dasar samudera al-
Qur’a>n sehingga mereka menemukan mutiara-mutiara tersembunyi
120‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 5, 394. 121‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘IndaMufakkiri>al-Islam (Cairo:Da>r
al-Sala>m, 2008), cet.ke-1, 241.
163
dalam al-Qur’a>n. Mereka mendapatkan noktah-noktah maknawi ilahi
yang mereka alami dan mereka ekspresikan dalam ibadah, senang ber-
khalwat, mencapai tingkatan maqa>m dan ah}wa>l sehingga mereka benar-
benar memikirkan dan terjun ke dalam transendensi ilahi. Tak pelak,
mereka mencecapi, merasakan dan meraba-menduga cita rasa bernama
intuisi jiwa. Sesuatu yang kemudian disebut sebagai pangkal dari
manhaj al-dhawqi>/metodologi intuitif.122
Dalam teori Barat, apa yang ditempuh oleh kaum sufistik
mendapatkan legitimasi melalui metodologi yang ditemukan dan
dikembangkan oleh Henry Bergson. Ia berangkat dari penelitian insting
binatang di mana bisa hidup dengan mengandalkan instingnya kemudian
melihat bahwa dalam diri manusia terhadap insting itu yang kemudian
dikenal dengan intuisi yang lebih tinggi kedudukannya dari instingtif
kebinatangan –yang sebenarnya insting ini ada juga pada diri manusia
sebagai kategori hewan yang berakal. Metode intuitif ini adalah usaha
introspeksi intuitif dengan pendekatan simbol-simbol atau ayat-ayat
Isha>ri dalam mengungkapkan hakikat kebahasaan secara kashaf.123
Bagi kaum sufistik, jalan untuk menempuh kebenaran
pengetahuan satu-satunya hanya bisa ditempuh melalui perangkat
intuitif. Dalam pada itu, perangkat intuitif sendiri digunakan oleh dua
aliran. Pertama, Iluminasi (Ishraq-Falsafi). Kedua, Tasawuf (Sunni-
‘Amali). Untuk menghasilkan pengetahuan, yang pertama lebih
cenderung pada kekuatan akal dan intuisi (naz}ar), sementara yang kedua
lebih kepada penyucian jiwa (tas}fiyah) namun titik persamaan dalam hal
proposisi-proposisi metode keduanya sepakat menggunakan: (1) Metode
deduktif (istidla>l), derajat ini disandang oleh ulama al-ra>sikhu>n, ulama
intelektual. (2) Metode penglihatan vision (musha>hadah), derajat ini
disandang ulama al-s}iddiqi>n, ulama terpercaya. Pada prakteknya, satu
dan lainnya bisa mencapai hubungan timbal balik sehingga disebut
majma’ al-bahrayn, yakni kumpulan dua lautan keilmuan deduktif dan
vision sekaligus, ilmu dan ‘irfa>n, shaha>dah dan ghaib. Karena itu,
adanya dua model ini merupakan bentuk kecenderungan Ahli Suluk yang
122‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri>al-Islam, 241. 123 Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, 17.
164
merambah jalan kebenaran: (1) Ortodoks-sufistik. Mereka yang memulai
dari ilmu menuju ‘irfa>n, dari alam imanen menuju transenden. (2)
Heterodoks-falsafi, mereka yang memulai dari ekstase ilahi, dimulai dari
alam transenden menuju alam imanen, yakni dimulai dari metode
intuitif menuju teo-falsafi (himmah al-‘aqliyyah).124
Perlu dicatat, pertimbangan bagi kaum sufistik untuk
meneguhkan pengetahuan ditempuh dengan jalur ini karena mereka
meragukan kebenaran yang dihasilkan oleh logika. Sebab terlalu rawan
disalah-persepsikan atau disalah-sangkakan dan mengandung kelemahan
serta probabilitas yang sewaktu-waktu gampang dipatahkan oleh
kemunculan pengetahuan atau teori baru. Kendalanya karena tidak
mendasarkan diri kepada nalar khaya>li, yakni nalar imajinatif.
Sebaliknya, kaum yang mengandalkan akal sebagai pijakan
pengetahuan, melihatnya bahwa ahli sufistik terlalu naif. Mereka
menyangsikannya, karena mendapatkan satu tujuan penyingkapan
makna pengetahuan (inkisha>f al-ma‘a>rif) dengan nalar imajinatif dan
intuitif itu terlalu susah bahkan hampir dikatakan absurd dan mengada-
ada, sebab tidak menggunakan akses konvensional berupa akal dan
perangkat penghubung lainnya (al-‘ala>iq). Dan terpenting, tidak ada
kaidah umum dan aturan universal yang telah disepakati secara ilmiah
untuk menguji paradigma pengetahuan itu.125
Hal demikian, bukan halangan bagi kaum sufistik, sebab mereka
mempunyai kepercayaan untuk mendapatkan akses langsung tanpa
perantara sekalipun. Akses itu berupa kunci penyucian jiwa dan emanasi
(tas}fiyah ru>h}iyah wa fayd}iyyah) yang didapatkan dari ilmu hakikat
sehingga menjadi jalan tunggal mendapatkan pengetahuan tentang
ketuhanan, transendensi ulu>m ilahiyyah dan pengetahuan rabbaniyyah.
Kesusahan untuk menempuh akses langsung (s}u‘bu al-wus}u>l) yang
menjadi problem ahli akali bisa ditepis dengan keabsahan keilmuan dan
validitas keyakinan yang mereka miliki.126
124‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri>al-Islam, 242-243. 125‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri>al-Islam, 243. 126‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri>al-Islam, 244.
165
Kaum sufistik tidak identik disebut sebagai ‘a>rif, sebab mencapai
tingkat ini harus melalui fase-fase sulit. Ada distingsi antara Tasawuf
dan ‘irfa>n. Tasawuf adalah jalan suluk yang berbelok-belok dan labil
yang dimulai dari asketik, meninggalkan kehidupan dunia, asyik dalam
kefanaan serta mengambil jalan, corak, bentuk dan makna yang berbeda-
beda. Sementara ‘irfa>n adalah labirin pemikiran, perenial, jauh menusuk
untuk mengetahui kebenaran, hakikat-hakikat, diskursus-diskursus,
entitas-entitas, simbol-simbol rumus dan noktah-noktah pengetahuan.
Semua ini ditempuh bukan dengan jalur filosof atau para ahli hikmah
justru melalui jalur emanasi (ishra>q), penyingkapan (al-kashf) dan
penyaksian (al-shuhu>d).127
Secara umum, sekalipun secara prinsipil
makna Tasawuf, ‘irfa>n dan ishraq merupakan satu entitas dan realitas,
namun sebagian sarjana muslim mempunyai definisi mendalam terhadap
masing-masing terma itu bahkan ada perbedaan signifikan di dalamnya.
Tasawuf identik dengan olah jiwa dan kostum sufi, ‘irfa>n identik kepada
tingkatan shuhu>d, ishraq identik dengan emanasi Tuhan di alam raya.
Singkatnya, posisi seorang ‘a>rif lebih tinggi kedudukannya dibanding
sufi. Setiap ‘ari>f adalah sufi tapi tidak sebaliknya.128
Dalam konteks bacaan, kaum sufi tidak tenggelam dalam
perdebatan dan pergumulan qira>’a>t karena mereka lebih menekankan
content makna sebab dhawq sufistiklah yang digunakan sebagai
metodologi sehingga kaitannya dengan mutaghayira>t/fleksibelitas
makna bukan thawa>bit/baku. Kecenderungan intuitif bisa dibuktikan
dalam tafsir Lat}a>if al-Isha>ra>t dimana al-Qushayri tidak bersibuk diri
bermain dengan varian bacaan tertentu sebab baginya yang menjadi
parameter dalam tafsir sufi adalah cita rasa sufisme (al-dhawq al-
S}ufi>).129 Al-Jaylani pun dalam varian bacaan tidak setia terhadap satu
bacaan tertentu seperti imam Hafas yang biasa dipakai oleh kebanyakan,
malah kerap menafsirkan lebih dari satu bacaan tanpa menyebut pemilik
127
Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 196. 128Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 196. 129Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-
Qushayri,62.
166
bacaan.130
Penafsirannya tidak berpegang teguh kepada ilmu dan
pemahaman sebagaimana model tafsir kebanyakan, melainkan kepada
ilham intuitif yang menghidupkan ruh, mengokohkan ketakwaan di satu
sisi dan disisi lain mengikat para ahli suluk, al-t}a>lib, kepada sang guru,
al-muri>d, agar bisa menuntun hingga derajat paling tinggi.131
Dalam pengantarnya, al-Ji>la>ni> menjelaskan metodologi
penafsirannya secara jelas:
“Wahai saudaraku, semoga Allah melanggengkanmu, jangan kau
mencelaku atas apa yang aku lakukan dan jangan terkecoh dengan
perkara yang aku capai kepadanya. Sebab sebagian dari sunah Allah
yang Maha Suci adalah menampilkan yang tersembunyi dalam ilmu-
Nya. Dan menampakan apa yang tersembunyi dalam kegaiban (…)
Janganlah engkau sekalian melihat tafsir ini terkecuali; dengan mata
kontemplatif, bukan dengan nalar pikiran; dengan intuitif dan
perasaan, bukan dengan dalil-dalil dan nalar burhan; dengan
penyingkapan dan penghadiran, bukan dengan praduga taksiran dan
hitungan spekulatif”.132
3. Hakikat
Terma hakikat dalam pembendaharaan kaum sufitik merupakan
suatu realitas sufistik berupa pengatahuan mistik-spiritual. Sementara
syariah adalah pengetahuan fisik material. Dalam kasus Al-Ghaza>li,
antara dua dunia ini tampak tidak ada kontradiksi secara tujuan esensial.
Dimensi z}a>hir sebagai visible yang ber-orientasi kepada physical realm;
dan ba>t}in sebagai invisible yang berorientasi kepada spiritual realm.133
Karena itu, ia menemukan bahwa kunci teori al-Ghaza>li adalah
harmonisasi makna eksoteris dan esoteris. Visible word dalam
130Muh}ammad Fa<>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, Muqaddimah
Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 30. 131Muh}ammad Fa<>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, Muqaddimah
Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 28. 132Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 33-34. 133Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n (London and New York:
Routledge, 2007), cet. ke-1, 38
167
interpretasi al-Ghaza>li adalah‘ala>m al-mulk (the world of power), ala>m
al-mulk wa al-shaha>dah (the world of power and witness) dan ‘ala>m
al-hissi wa takhyi>l (the world of senses and imagination). Sementara
invisible sebagai dunia spiritual direpresentasikan sebagai ‘ala>m
al-malaku>t (the world of dominion), ‘ala>m al-ghayb (the world of what
is hidden), atau ‘ala>m al-amr (the world of command).134
Timbul pertanyaan: Bagaimana kaum sufi menangkap realitas
hakikat? Apakah hakikat merupakan dimensi lain guna memahami
realitas yang ada, ataukah sesuatu yang bergantung kepada syariah pada
satu sisi dan sisi lainnya merupakan pandangan sendiri? Apa hubungan
sesungguhnya syariah dan hakikat seperti dua sisi mata uang? Tentunya
hakika amat berbeda dengan pengalaman rasional atas kenyataan
sebagaimana dipahami para filosof, atau keimanan sebagaimana yang
dipahami oleh kaum awam. Dalam hal ini diskursus hakikat lebih sering
dilekatkan kepada konsep makrifat serta doktrin tentang realitas akan
pengalaman kaum sufistik. Dengan demikian, bisa dikatakan hakikat
merupakan makna esensi sesungguhnya dari agama itu sendiri.135
Seperti
halnya realitas keimanan, ketulusan, tauhid, esensi dari ibadah, shalat,
zakat atau bahkan realitas cinta, takut serta hal lain yang berkaitan
dengan ritus dan pakem keagamaan.136
Tujuan kaum sufi adalah
mendamba kehidupan religius yang lebih agamis dan sufistik
sebagaimana yang diatur oleh norma syariah. Dengan kata lain, hakikat
yang dianut kaum sufi ini bukan hendak merumus dan mendaur ulang
konsepsi-konsepsi dalam syariah yang sudah baku seperti tauhid, cinta
dan lain sebagainya. Tujuan hakikat adalah memperjelas apa yang
diajarkan oleh syariah dan tidak mengemukakan hal-hal baru atau suatu
teori ajaran baru yang bertentangan dengan syariah sebagaimana yang
dianut oleh kaum sufistik falsafi. Tegas bahwa tidak ada realitas di luar
syariah dan tarikat sufi atau hakikat sufi sekedar alat bantu metodologi
134
Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 38. 135Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Jakarta:
Rajawali Press 1993), cet. ke-2, 109 136Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 109.
168
untuk mencapai kenyataan tersebut melalui penafsiran-penafsiran
sufistik.137
Inilah letak distingstif diantara sufi sunni ‘amali dan sufi
falsafi.138
Iman dan kehidupan spiritual agamis berada di luar jangkauan
syariah dan hal ini hanya dilalui secara personal melalui jalan sufi.
Syariah diibaratkan sosok tanpa kenyataan; tulang tanpa rusuk.
Tentunya sudah jelas, bahwa realitas pengalaman mistik berikut ide dan
gagasan sufi akan mampu mengubah pandangan tentang kenyataan iman
dan hakikat keagamaan. Persoalannya adalah sejauh mana intervensi
faktor-faktor tersebut mempengaruhi alur pemikiran sufistik sehingga
muncul mazhab sufi ortodoks dan heterodoks. Gejala lain yang
mendorong para sufi secara tidak sadar meletakkan hakikat di luar
syariah adalah sikap pribadinya. Karakter kaum sufi yang sudah menjadi
bagian kehidupan mereka adalah bersenang-bersenang dalam kehidupan
asketis dengan uzlah, dhkir, tafakur atau membaca al-Qur’>an, dibanding
dengan kehidupan yang melibatkan diri mereka bergaul dengan manusia
lain sambil menggabungkan zikir dan ibadah yang menghilangkan
konsentrasi mereka berduaan atau berasyik-masyuk dengan Tuhan, Sang
Kekasih. Karena itu, kaum sufi-falsafi secara personal dan psikologis
akan cenderung egois terhadap realitas syariah dan hanya mementingkan
137Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 110. 138 Relasi syariah dan hakikat merupakan hubungan yang mesra dalam
pandangan kaum sufi, namun ternyata menjadi penghambat menurut kaum Sufi Falsafi.
Dalam hal ini keduanya setuju hakikat berada di luar jangkaun syariah. Perbedaan yang
paling kontras adalah manakala sufi ortodoks mencapai penemuan tahap kebersatuan
dan identitas diri tidak mengembangkan lebih jauh. Sufi heterodoks berangkat dari
pembangunan dengan keyakinan kemudian pengembangan ajaran akan kebersatuan dan
identitas atas dasar filosofis. Dari sinilah mereka memproyeksikan entitas “wujud
pengalaman”. Mereka menilai, ketika tahap kebersatuan dan pencapaian identitas
terhambat oleh ruang yang bernama syariat, maka serta merta menaikannya kepada
tahap lebih tinggi dengan mulai membangun ajaran konsepsi di luar syariah.
Kebersatuan zat (wah}dah al-wuju>d) adalah kebenaran tertinggi dalam pandangan
mereka dan kemudian melihat seluruh kenyataan agamis dari ajaran ini. Tentu dalam
persepsi syariah, hal demikian merupakan dekonstruksi terhadap ajaran tauhid.
Syariah tidak sampai mengajarkan tauhid yang sesungguhnya. Sampai-sampai, seorang
penyair sufistik, Sulayman bin Ali al-Timisani (w.690) yang menganut wah}datul wuju>d
menyatakan “seluruh syariah adalah syirik dan tauhid sejati hanyalah pada doktrin
kita”. Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 112.
169
realitas ektase, fana>’, iluminasi dan hal lain yang berkenaan dengan
dunia sufistik.139
Inilah yang menjadikan kontras dengan sufi ‘amali yang
menekankan sisi amaliyah dan melakukan kebaikan-kebaikan kepada
sesama serta memberi santutan-santunan sebagaimana yang ditempuh
oleh al-Ji>la>ni>, yang menggabungkan hubungan vertikal dan horizintal. Ia
berpendapat bahwa segala bentuk hakikat tanpa disaksikan oleh syariat
maka termasuk perbuatan heretis/zindiq.140
Hakikat dalam pengertian sufistik bukan bentuk hakikat
universal namun hakikat yang mempunyai karakter dan ciri ontologis
yang mengandung dimensi relativisme. Karena itu, suatu ayat terkadang
mempunyai pluralitas hakikat tergantung dari inklinasi mazhab dan
teologi.141
Hakikat versi tasawuf sunni misalnya, tidak akan sama
dengan hakikat non susfistik-sunni, sebab hakikat merupakan suatu
inspirasi atau bisikan refleksi yang hadir dalam hati hasil asosiasi dari
kalimat, teks atau kondisi dari keadaan ekstase, wujudi-maknawi
(wijdaniyyah-ma’nawiyyah). Dan asosiasi ini bukan merupakan korelasi
yang sistematis dan pasti melainkan asosiasi yang tidak beraturan antara
z}a>hir dan ba>t}in, antara syariah dan hakikat, antara lafal dan makna.142
Dalam hal ini, kasahf diletakkan bukan pada posisi tentang
keabsahan tindakan atau tingkat ketaatan dan nilai-nilai dalam
bangunan syariah. Tidak juga mempengaruhi dasar-dasar pondasi
syariah.143
Namun pengalaman sufistik dengan kashaf-nya yang
menjadikan landasan kenyataan agamis dan motor bagi penafsiran sufi
adalah sepenuhnya dikembangkan oleh dasar mistikal yang begitu
berperan dalam menentukan reduksi penafsiran. Kashf bagi kaum
fuqaha’ bukan prioritas namun bagi kaum sufi adalah prioritas dan
menjadi perangkat sufistik dan inilah yang menjadikan titik diferensial
antara perangkat tafsir aliran Zahiri dan Sufistik. Penting ditekankan,
139Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 113. 140 ‘Abd al-Mun’im al-Hafani, Al-Mawsu>‘ah al-S{u>fiyah (Cairo: Da>r al-
Rasha>d, 1992), cet. ke-1, 114. 141 ‘A<bid Al-Ja>biri,Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 290. 142 ‘A<bid Al-Ja>biri,Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 290. 143Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, 184.
170
bahwa kashf tidak ada kaitannya dalam menentukan keabsahan
tindakan, penetapan kebenaran dan kesalahan yang bersifat tuntutan
kewajiban, larangan dan sebagainya dalam aspek hukum syariah bahkan
menentukan derajat kewalian dan prioritas di atas al-Qur’a>n dan H{adi>th.
Starting point dari inspirasi ilham yang didapat kaum sufistik tidaklah
membebaskannya dari keharusan mengikuti pendapat para ahli hukum
fikih sebagai bukti kesetiaan dan ketaatan mereka kepada syariah.
Ada beberapa hal yang menjadikan kaum sufistik berbeda dengan
sufistik falsafi. Bagi al-Ji>la>ni>, pengalaman mistik bukanlah otoritas
tertinggi atau lebih baik dibanding penalaran para teolog yang telah
dirumuskan. Tugas para mufasir adalah menafsirkan wahyu dan
menjelaskannya namun yang pasti tidak ada seorang pun yang punya
kompetensi untuk memberikan pengetahuan tentang realitas yang
terbebas dari wahyu. Pengalaman mistik dalam proporsi ini lebih jauh
dan lebih dalam dari pengalaman teologis. Kekuatan kaum sufistik
adalah mengambil peran dan merambah jalan yang tidak bisa dilalui oleh
kaum teolog dan ahli hukum. Hal ini tidak bisa dirambah kecuali oleh
kamu sufistik, hanya saja mereka tidak bisa dan tidak boleh meniadakan
rumusan kebenaran yag telah dikembangkan oleh para teolog sunni yang
sudah susah payah menyarikannya dari wahyu. Ilham mistik maupun
dhawq yang menghasilkan kashaf dan sumber pengetahuan ‘irfa>n harus
dipatok dan dibatasi dengan apa yang dirumuskan kaum teolog sunni.
Tegasnya, pengalaman mistik tidak memiliki wewenang untuk merubah
paradigma dan doktrin yang telah digariskan oleh kaum teolog. Dan
pada faktanya hampir semua mistikus sufi adalah para teolog yang taat.
Karena itu mereka disebut kaum sufistik sunni-‘amali atau kaum sufi
moderat atau garis tengah. Di luar batas teologi ini maka yang terjadi
adalah perdebatan dan pertangkaran dalam merumuskan pengetahuan
sufistik dan tauhid, yang kemudian lebih dikenal sebagai diskursus teo-
sufi. Inilah sumber pertengkaran abadi yang terjadi antara kaum sufistik
suni ‘amali didukung fuqaha’ dengan kaum sufistik falsafi.144
Rangkaian al-Qur’a>n, bagi al-Ji>la>ni>, tidak ada hubungan dengan
strukur logos bahasa dan gramatika. Al-Qur’a>n tidak lain adalah
144Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 179.
171
petunjuk dan cahaya yang diliputi oleh aura-aura mistisme sufistik.
Fungsi lafal tidak lain merupakan eksistensi penggerak yang mencapai
pada derajat hakikat demi mendapatkan emanasi ilahi. Lafal merupakan
media inspirator ruh yang dilihat dengan kacamata ba>t}in dan dirasakan
keberadaannya serta menyingkap pintu-pintu inderawi menuju hati
sehingga bisa menembus mata hati. Kalimat sufi atau rumus sufi adalah
isyarat yang tidak bersumberkan dari nalar akal melainkan dari
dzauq/intuitif dan ekstase. Yakni dalam bentuk latihan ruhani/asketisme
yang dilewati pada jenjang muka>shafah untuk menuju jalan wus}u>l
melihat Tuhan. Pada akhirnya, sufistik al-Ji>la>ni >tidak bisa lepas total
dari bahasa gramatika dan syariah sebab merupakan perangkat cabang
wilayah tafsir eksoteris-syariat. Sekaligus sebagai hubungan timbal
balik antara lahir dan ba>t}in yang darinya akan tengelam dalam lautan
makna mistik.
Namun demikian, pengalaman mistik bukanlah sumber
independen untuk mengetahui kenyataan dan kebenaran. Bagaimana pun
harus dikonfrontasikan dan dikomunikasikan dengan al-Qur’a>n.
Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana kebenaran yang diperoleh.
Kriteria kebenaran dan ketetapan gagasan mistik hanyalah sepanjang
sesuai dengan kebenaran syariah sehingga tidak boleh menyimpang dari
rel ini. Al-Ji>la>ni> begitu kokoh memegang ini karena baginya kebenaran
yang didapat dari hakikat tanpa disaksikan syariat adalah bohong
belaka. Ukuran kebenaran sufsitik adalah apa yang ditetapkan oleh
ulama sunni. Praktis, sesuatu di luar syariah dan di luar konteks ahlu
sunnah wal jama’ah adalah bentuk kemunkaran dan tidak lain
merupakan buah dari keadaan ekstase dan mabuk. Kesesuaian
pengetahuan yang yang sempurna dengan syariah hanya mungkin
dicapai pada tingkat kehambaan dan pada fase inilah rawan disisipi oleh
ektase dan mabuk ilahi yang kelewatan.145
Karena itu, permulaan makrifat adalah pengetahuan akal melalui
capaian hukum-hukum, kemudian melintasi syariat dengan tuntutan
tarikat adab-adab tarikat dan puncak pengetahuan adalah amaliyah
dhawqiyah yang bersumber dari rahasia-rahasia hakikat. Dan itu semua
145Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 209.
172
termaktub dalam al-Qur’a>n sebagaimana penyataannya yang amat elok
dan jelas:
“Jalan paling lurus, terbaik yaitu jalan paling jelas dan terang benderang
yang Tuhan pilih-kan kepada Nabi dan kepada ahli warisnya, para
awliya>’ –semoga Tuhan memberikan futu>h} kepada mereka– adalah
Kitab Suci yang dipisahkan oleh batas-batas surat, yang dirinci-kan
melalui ayat-ayat, yang dibagi melalui kategori muh}kama>t dan
mutsha>biha>t, di mana setiap surat memuat hukum-hukum syariat, adab
tarikat ahli suluk dan rahasia-rahasia hakikat. Karena itu, bagi mereka
yang terjun di dalam samudera lautan al-Qur’a>n, yang menyelam ke
dalamnya untuk mengeluarkan permata-permata keyakinan dan
ke-‘irfan-an agar bisa merenungi setiap surat di dalamnya melalui
metode kashaf sehingga tersingkap apa-apa di dalamnya dari rahasia-
rahasia sesuaI kapasitas dan kapabilitasnya…”146
146Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 43.
173
BAB VIPENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penafsiran Isha>riyang legal-formal adalah bisa diterima selama tidak ada resistensi danmematuhi aturan perundang-undangan kaidah tafsir sufistik. Pada saatyang sama tidak diwajibkan pula untuk mengambilnya sebagaipedoman. Dikatakan boleh sebab di dalamnya tidak berlawanan dengansyariah yang legal. Demikian pula tidak wajib dijadikan pedoman sebabIsha>ri berorientasi kepada wijdaniya>t, yang sama sekali tidak berdiri atasnama dalil baya>ni atau nalar burha>ni, melainkan disandarkan kepadanalar irfa>ni dan suatu keadaan yang dialami, ditemui kaum sufistikberupa rahasia antara dirinya dan Tuhannya saja yang bersifat eksklusif.Karena itu, kaum muslim tidak dibebankan untuk menjadikannyasebagai pegangan atau amalan, kecuali bagi para sufi atau mereka yangmempunyai kepedulian dan ketertarikan di dalamnya untuk mengkajiserta menjadi obat bagi hati bagi masyarakat pembaca yangmembutuhkan energi spiritual dan moralitas sufistik yang mencerahkankehidupan menuju kehidupan masyarakat qur’ani.
Adanya pembakuan hermeneutika sufisme semata-mataberangkat dari kesadaran bahwa tasawuf dalam pengertian lainmerupakan paradigma adab-etik secara keseluruhan. Setiap saat adalahtindakan, setiap tindakan adalah adab dalam fase/maqa>m adab tertentu.Karena itu, barang siapa memegang teguh adab setiap saat, niscaya akanmencapai derajat manusia sejati, dan barang siapa yang menyia-nyiakanadab niscaya akan jauh dari prediksi kedekatan dan akan tertolak dariprediksi penerimaan di hadapan Tuhan.
Adab dalam hal ini diartikulasikan dalam bentuk-bentuk yanglebih real dan sistematis. Bertujuan agar mampu mendapatkanpemahaman yang relatif objektif dan suci dalam pandangan mereka.Adanya kode etik penafsiran yang dikupas merupakan software/piranti
174
lunak untuk subyek mufassir. Penekanannya kepada psikologi dan moraletik sufistik. Selanjutnya adalah konstruksi metodologi hardware/pirantikasar berupa perangkat eksoterik-struktural dan esoterik-spiritual.Keduanya masuk dalam obyek perangkat penafsiran. Inilah urgensiuntuk menjadi standar baku hermeneutika sufistik.
Sejatinya, pembentukan teorisasi tafsir Isha>ri yang dalamhermenutika Hircsh diwakili oleh meaning sebagai makna zahir dansignificance sebagai isyarat batin bukanlah tujuan utama, tetapi hanyasebagai alat kepentingan dan perangkat untuk menarik ajaran moral al-Qur’an sebagai makna yang objektif, maka validitas penafsiran Isha>rirelatif terbebas dari kritik, dianggap ta’wil yang terpuji dan dianggapmainstream, terutama ketika standar ortodoksi lebih memihak kelompokSufi-Sunni ‘Amali –jika menggunakan pembacaan objectiveinterpretation-nya Hirsch. Di sini, makna yang dipahami mainstreammayoritas dianggap objektif dan makna yang dipahami kelompokheterodoks, dalam hal ini penafsiran sufi-falsafi dianggap subjektif danmenyimpang.
Al-Ji>la>ni> hendak merealisasikan penakwilan yang moderat danseimbang dalam dua dimensi zahir dan batin sekaligus, sebagaimanayang ia yakini dalam konsep muh}kama>t dan mutasha>biha>t yangmengambil perumpamaan kisah Nabi Musa dan Khidir sebagai simbolsyariat dan hakikat. Tujuan mengikuti jalan sufi adalah untukmemperkuat keyakinan terhadap tuntutan syariah dan merupakan intikeimanan. Di samping itu, untuk mendorong agar pelaksanaan lebihterasa mudah. Tidak ada tujuan lain dari sufisme kecuali jalan ini dalampandangan kaum sufi ‘amali. Karena itu, al-Ji>la>ni> merupakanrepresentasi dari sekian sufi yang tidak mengikuti dan bahkan menolakdoktrin teo-sufi atau teori-teori tasawuf falsafi. Nilai pengalamanmistik, baik penyatuan maupun pemisahan bukanlah sekedar kognitifmelainkan praktis untuk memurnikan kehendak dan bukannyamenyingkap dan mengumbar realitas sufistik yang terlalu jauhsebagaimana yang ditempuh mazhab sufi heterodoks.
Di sinilah pentingnya latihan menahan diri bahwa apa yangdirasakannya belum tentu benar dan dalam kesadarannya ketika
175
berasyik-masyuk dengan Tuhan adalah ketidak-sadaran itu sendiri. Dandi sinilah, sekali lagi, pentingnya heremenutika sufistik sebagai rambu-rambu dalam penafsiran sufisme. Sebab persoalannya, sebagaimana yangdiamini Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an inIslamic Classical Islam, bahwa tidak ada metodologi yang lengkapmenuntut ke arah sana. Apa yang ditawarkan al-T{u>si misalnya, masihterlalu dini, sehingga rawan disalah pahami atau disalah-artikan, sebabberada di luar jangkauan teks literal.
Secara holistik, interpretasi al-Qur’an yang dihasilkan kaumsufistik memang diakui sangat rawan menimbulkan salah persepsi dansalah prasangka. Hal ini karena berangkat dari satu muara bahwaproblem interpretasi ini bersumber dari pengalaman spiritual dan emosi(wajd) setiap praktisi sufistik, sementara pengalaman adalah suatukondisi di mana semua orang tidak mengalaminya dan kecilkemungkinan merasakan peristiwa sama. Namun yang menjadikeistimewaan penafsiran kaum sufi ortodoks dibanding kaum sufiheterodoks adalah sekali pun setiap content dan produktivitas penafsiranmasing-masing memiliki nilai penafsiran berbeda sehingganya darinyamenjadi suatu ciri khas penafsiran yang penuh ilustrasi dan berkembangdinamis, namun diam-diam terdapat kesepakatan (‘ijma’ suku>ti>) dalamrumusan perangkat penafsiran sebagai bentuk ideal hermenutika sufistikIsha>ri.
B. Saran-saran
Penelitian ini merupakan terobosan baru yang dilakukan olehpenulis dalam epsitemologi ‘ulu>m al-Qur’a>n genre sufistik. Karenasifatnya epsitemologis, maka penelitian ini menyisakan beberapapekerjaan sebagai tindak lanjut dari apa yang dilakukan penulis. Dalamhal ini penulis tidak begitu banyak menekankan kepada aksiologi praksispenafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh al-Ji>la>ni> dalam tema-tematertentu secara lebih mendalam seperti Fikih Tasawuf, Tauhid, ajaran-ajaran tarikat yang terkandung dalam tarikat Qadiriyyah dansebagainya. Karena itu ke depan diperlukan lagi kajian inter-tekstual
176
untuk menghubungkan beberapa diskursus di atas serta melakukan studibanding dengan karya-karya lain al-Ji>la>ni>.
Di samping itu, karena sifatnya yang baru, penelitian inimemerlukan studi lebih jauh dalam bentuk saran, kritik konstruktif, danmasukan-masukan inovatif sebagai bentuk penghargaan akademissehingga ke depan mendapatkan apresiasi dan diakui menjadikonstribusi bermanfaat dalam bidang ‘ulu>m al-Qur’a>n sufistik.
177
Daftar Pustaka
Abu> Zaid, Nas}r H{a>mid. Mafhu>m al-Nas}s}, Dira>sah fi>> U<lu>m al-Qur’a>n.
B\eirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 2005.
______, Falsafah al-Ta’wi>l . Beirut: Dar al-Tanwir, 1983.
Al-Alu>si, Ru>h} al-Ma’a>ni. Beirut: Da>r al-Ihya al-Tura>ts al-Arabi.
Ali, A. Mukti. Metodologi Penelitian Agama: Suatu Pengantar. Tiara
Wacana, 2004.
Ansari, Muhammad Abd. Haq. Antara Sufisme dan Syariah. Jakarta:
Rajawali Press, 1993.
Al-Ami>n, Ih}sa>n. Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r. Beirut: Da>r al-Ha>di>, 2007.
Ami>r, ‘Abba>s. al-Ma’na al-Qur’ani bayn al-Tafsir wa al-Ta’wil.
Libanon: al-Intis}ar al-‘Arabi, 2008.
Brill, E.J. (ed.), The Encyclopedia of Islam. Leiden: EJB, 1986.
Bowering, Gerhard. The Mystical Vision of Existence in Classical
Islam: The Qur’anic Hermeneutics of the Sufi Sahl at-Tustary. Berlin
& New York: De Gruyter, 1980.
Barthes, Roland. Mythologies. NewYork: The Nonnday Press, 1991.
Barah, Abd al-Ghani. al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah. Al-Jaza’ir: al-Da>r
al-Arabiyah li al-‘Ulu>m Nas}irun, 2008\.
Caradivo, Baron. al-Ghaza>li, terj. Adil Zu’aytir. Da>r Ihya al-Kutub al-
Arabiyah, 1909.
Dhahabi, Husain. Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Cairo: Maktabah Wahbah,
2000.
Da>rraz, ‘Abdullah . Al-Naba>’ al-‘Az}i>m. Cairo: Da>r al-‘Urubah, 1960.
Dillistone, F.W. The Power of Symbols. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Al-Fajjari, Mukhta>r. H{afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi: Dira>sah al-Maja>l
al-Ma‘rifi al-Us}uli al-Awwal li al-Tafsi>r al-S{u>fi. Yordania: ‘A<lam al-
Kutub al-Hadi>ts, 2008.
Al-Farmawi, Abd al-H{ayy. al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’ . Tanpa
Penerbit, 1977.
Faydu>h, ‘Abd al-Qa>dir Naz}riyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-Arabiyah al-
Isla>miyah. Syria: Da>r al-Awa>iel, 2005.
Goldziher, Ignaz. Madha>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>. terj. Cairo: Da>r Iqra.
Al-Ghazali, Abu> H{a>mid. Jawa>hir al-Qur’a>n (Rashid Rida ed.). Beirut:
178
Da>r Ihya al-‘Ulum, 1990.
Heer, Nicholas. “Abu>> H{a>mid al-Ghaza>li’s Esoteric Exegesis of the
Koran”, dalam Leonard Lewisohn (ed.), The Heritage of Sufism.
Oxford: Oneword Publications,1999.
Hirsch, E.D. Jr. Validity in Interpretation. New Haven: Yale University
Press, 1967.
Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa,
Makna, dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Hamyah, Khanjar ‘Ali. Al-irfa>n al-Shi’I. Libanon: Da>r al-Hadi, 2004.
Al-Hafani, Abd al-Mun‘im. Al-Mawsu>’ah al-S{u>fiyah. Cairo: Da>r al-
Rasha>d, 1992.
Al-Ji>la>ni>, ‘Abd al-Qa>dir, Al-Fawa>tih al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih
al-Ghaybiyyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyah wa al-
H{ikam al-Furqa>niyyah. Turki: Markaz al-Ji>la>ni> li al-Buhu>ts al-
‘Ilmiyyah, 2009.
______, Al-Ghunyah li al-T{a>lib T{a>riq al-Haqq fi
Ma‘rifat al-‘Adab al-Shari>ah. Beirut, Da>r al-Ji>l, 1999.
______, Al-Fath al-Rabbani wa al-Fayd{ al-Rah}ma>ni.
Mesir: Da>r al-Rayyan li al-Tura>th.
______, Sirr al-Asra>r. Mesir: Matb}a’ah al-Bahiyah al-
Mis}riyah.
______, Kita>b al-Mukhtasar Fi Ulu>m al-Din. Istanbul:
Markaz al-Jaylani li al-Buhu>th al-Ilmiyyah, 2010.
al-Ji>la>ni>, Muhammad Fa>d}il. Nahr al-Qa>diriyah. Istanbul: Markaz Al-
Jayla>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009.
Al-Ja>biri, ‘A<bid. Binyah al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz Dira>sah al-
Wahdah al-‘Arabiyyah, 2004.
_______, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz Dira>sah al-
Wahdah al-‘Arabiyyah, 2002.
Jahla>n, Muh}ammad bin Ahmad. Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah
Tah}di>d al-Ma‘na fi> al-Nas}s{ al-Qur’a>ni. Syria: Da>r al-S}afh}a>t,
2008.
Rif’at Ju>, Farah} Na>j. Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi. Beirut:
Da>r al-Ha>di, 2008.
Al-Junaydi, ‘Abadurrahman bin Zaid. Mas}a>dir al-Ma’rifah fi al-Fikr al-
179
Di>niy wa al-Falsafi. Riyad}: Maktabah al-Muayyad, 1992.
Jurnal Studi al-Qur’a>n. Vol. II, No. 1, 2007.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat. vol. I, No. 2, Desember 2004.
Al-Kaylani, Abd al-Raziq. Al-Shaikh Abd Qadir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-
Za>hid al-Qudwah. Damaskus: Da>r al-Qalam, 1994.
Al-Kailani, Abd al-Razzaq. Syaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> : Guru
Pencari Tuhan. Bandung: Mizania, 2009.
Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta:
Paradigma, 1998.
Knysh, Alexander D. “Sufism and al-Qur’a>n ” J.D. McAuliffe (ed.), The
Encyclopaedia of the Qur’a>n. Leiden-Boston: E. J. Brill, 2006.
Al-Kurdi, Ra>jih Abd al-Ha>mid. Naz{riyah al-Ma’rifah bayn al-Qur’a>n wa
Falsafah. Riyad}: Maktabah al-Muayyad, 1992.
Al-Kaylani, Abd al-Raziq. al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Imam al-
Zahid al-Qudwah. Damaskus: Dar al-Qalam, 1994.
Al-Mibadiy, Muhammad Fa>kir. Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-
Sunnah. Teheran: al-Majma‘ al-‘A<lami li al-Taqrib bayn
al-Madha>hib al-Isla>miyyah, 2007.
Muhammad Ha>di Ma‘rifat, al-Ta’wi>l fi Mukhtalaf al-Madha>hib wa al-
‘Ara>. Teheran: al-Majma’ al-‘A<lami li al-Taqri>b bayn al-
Madha>hib al-Islamiyah, 2006.
McAulife, Jane Dammen. etc. With Reverence for the Word: Medieval
Scriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam. New York:
Oxford University Press, 2003.
Al-Muha>sibi, al-H{a>rith. al-‘Aql Fahm al-Qur’an. Beirut: Da>r al-Fikr,
1971.
Muh}ammad, Yahya. Naqd al-‘Aql al-‘Arabi fi> al-Mi>za>n. Beirut: al-
Intisha>r al-Arabi, 1997.
Massignon, Louis. Essay on the Origins of the Technical Language of
Islamic Mysticism. Indiana: University of Notre Dame Press, 1997
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosda Kaya, 2004.
Masduki, Anis. Metode Tafsir Sufistik Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jaylani,
Yogyakarta: STIQ al-Nur, 2010.
Al-Nasha>r, ‘Ali Shami. Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Isla>m, Cairo: Da>r
180
al-Salam, 2008.
_______, Mana>hij al-Bahth Iinda Mufakkri> al-Islam.
Cairo:Da>r al-Salam, 2008.
Nas}r, At}if Jawdah. Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah. Cairo: al-Maktab
al-Mis}ri, 1998.
Naz}mi, Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z. Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m
al-Qushayri. Alexandria: Mansya‘ah al-Ma‘a>rif, 2001.
Nicholson, Reynold A. The Mistic Of Islam. London: Rouledge and
Kegal Paul, 1966.
Patte, Daniel. What Is Structural Exegesis. Philladhephia: Fortress
Press, 1976.
Palmer, Richard E. Hermeneutics, Interpretation Theory ini
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston:
North Western University Press, 1972.
Al-Qushayri. Lat}āif al-Ishārāt. Mesir: al-Hay’ah al-Mis}riyah, 2007.
Qaseem, M. Abu>l. The Jewels of The Quran: al-Ghazali’s Theory.
Malaysia: University of Malaya Press, 1977.
Rabi>’, Mahmud Muh}ammad. Asra>r al-Ta’wil. Mesir: al-Hay’ah al-
Misriyah al-‘Amah, 1993.
Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an. London & New York:
Routledge, 2006.
Salam, Aprinus. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKIS, 2004.
Sami>>, Sahar. Shi’riyah Nas} al-S{u>fi fi> al-Futu>ha>t al-Makiyyah li
Muhyiddn Ibn ‘Arabi. Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘A<mah
li-‘l- Kita>b, 2005.
Steinbock, Anthony J. Phenomenology and Mysticism. USA: Indiana
University Press, 2007.
Al-Sha’rani, T{abaqa>t al-Kubra. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt.
Sells, Michael A. (ed.). Early Islamic Mysticism. Paulist Prees New
Jersey, 1996.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimenstion in Islam. USA: University
of North Caroline Press, 1975.
Sands, Kristin Zahra. Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic
Classical Islam. London and New York: Routledge, 2006.
Satha-Anand, Chaiwat. “Self as a Problem in Islam: A Reading of Abdul
181
Qadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.),
Contemporary Relevance of Sufisme. Newdelhi: Indian Council
for Cultural Relations, 1993.
Schimel, Annimeric Reason and Mystical Expererience in Sufism.
London: IB Tauris, 2000.
Al-Suyu>t}i, Jala>luddin. Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Grafindo Persada,
1996.
T{ayyi>b, Muhammad ibn. Islam al-Mutas}awifah. Syria: Da>r al-T}ali>‘ah,
2007.\
Al-T}u>si, al-Sarra>j. Al-Luma‘ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi. Beirut: Da>r
al-Kutub al-Ilmiyah, 2001.
Al-Tustari, Sahl bin ‘Abdullah , Tafsi>r al-Qur’an al-Az{>im. Cairo: Da>r al-
Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubra, 1911.
Wensinck, A. J. The Muslim Creed. New Delhi: Oriental Print, 1979.
Wittingham, Martin. Al-Ghaza>li and the Qur’a>n. London and New
York: Routledge, 2007.
Wansbrough, John. Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation. New York: Prometheus Books, 2004.
Widodo, Rh. Saussure Untuk Sastra: Sebuah Metode Kritik Sastra
Struktural. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Al-Zarkashi. Al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Ma’rifah,
1998.
Al-Zarqani, Muh}ammad Abd al-Az}i>m. Mana>hil al-Irfa>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n. Cairo: Da>r al-Hadith, 2001.
Zaidan, Yusuf Muh}ammad T{aha. ‘Abd al-Ji>la>ni>: Ba>zzullah al-Ashhab.
Beirut: Da>r al-Jayl, 1999.
Zubair, Anton Bakker & Achmad Charris. Metodologi Penelitian
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
182
183
GLOSARI
Ahlu kashaf wa shuhu>d : orang-orang yang memperoleh pengingkapan dan
penyaksian
A<lam al-amr : alam spiritual atau alam perintah. Alam yang di dalamnya
tidak ada waktu dan materi.
A<lam al-amsha>l : alam analogi dan imajinasi. Inilah sekat barzakh tempat
misteri kekaburan kosmis bisa diungkapan.
‘A<lam al-kha>rij : alam material.
A<lam al-mulk : alam materi, alam lahiriah, alam peristiwa alam
makrokosmos.
‘Ayn al-bas}irah : mata hati, mata batin, pandangan mata spiritual.
Terbukanya mata batin merupakan rahasia dan keajaiban yang hanya
bisa ditimbulkan melalui Rahmat Tuhan.
‘Ayn al-Haqq : entitas kebenaran: wujud dan esensi Tuhan sendiri.
‘Ayn al-yaqin : penyaksian yang meyakinkan. Dalam tiga serangkai
‘ilm al-yaqin (ilmu yang meyakinkan), ‘ayn al-yaqin: penyaksian
yang meyakinkan. Haqq al-yaqin: hakikat yang meyakinkan.
Asba>b al-nuzu>l : konsep yang berkaitan dengan sesuatu yan menjadi sebab
turunnya ayat-ayat al-Qur’a>n.
Akal mukawwan : berfungsi sebagai basis epistemik atau kaidah-kaidah
sistematis yang ditetapkan, diterima dan dinilai sebagai nilai
mutlak dalam suatu babak sejarah tertentu. Karakakter dari Akal
mukawwan ini memiliki relativitas dan dicirikan dengan sifat
berubah-ubah secara dinamis. Hal ini yang menjadikan ragam
perbedaan antara satu disiplin keilmuan dengan lainnya.
Akal mukawwi : akal besar sebagai alat sistem pengetahuan.
al-Asa>lib al-baya>niyah : perangkat tekstualis-eksoterik sebagai perangkat
khas Nalar Baya>n (shart} al-baya>n).
al-Asa>lib al-‘irfa>niyyah : perangkat gnostik-esoterik sebagai perangkat khas
Nalar ‘Irfa>n (shart} a-‘irfa>n }).
Ah}wa>l : keadaan spritual; yang menguasai hati.
Baya>ni : nalar epistemologi aplikasi yang terdapat dalam bidang filologi,
yurisprudensi Islam, ushul fiqh, teologi dan balaghah. Sistem ini
muncul sebagai kombinasi dari akumulasi prosedur untuk
184
menafsirkan teks-teks primer keagamaan. Secara holistik karakter ini
menggunakan metode analogi sebab lebih menyandarkan kepada
kekuatan tekstual. Setiap ulama mempunyai istilah mandiri namun
esensinya sama. Ahli hukum dan ahli nahwu menyebutnya istilah
Qiya>s. Ahli balaghah dengan istilah al-tasybi>h. Ahli teolog
menyebutnya al-istidla>l bi al-sya>hid (far’) ‘ala al-gha>ib (ashl).
Burha>ni : nalar epistemologi demonstratif yang didasarkan pada metode
observasi empiris dan inferensi rasional (al-istinta>j al-‘aqliy).
Dila>lah nas}s} : tanda fenomen atau petunjuk teks.
Dhikr : bacaan asma Tuhan yang menjadi rutinitas kaum sufistik.
Da>l : penanda/ signfier/ al-musha>r
Fayd}I : emanasi Tuhan yang diberikan kepada kaum sufistik.
Fana>’ : penafian diri atau penidaan diri. Saat bersatu dengan Tuhan.
Saat bersama dengan Tuhan manusia mengalami fana>’. Inilah
hilangnya batas individual dalam keadaan kesatuan.
Al-Fayd} al-Muqaddas : pancaran suci. Inilah manifestasi Tuhan dalam
bentuk penciptaan.
Huru>f muqat}t}’ah : penggalan huruf dalam awal surat yang biasa terdiri dari
satu sampai empat huruf. Huruf ini merupakan penafsiran yang
paling menarik bagi kalangan sufistik sebab mengandung banyak
simbol penafsiran.
Hakikat : menunjukkan hakikat esensial segala sesuatu atau kebenaran
hakiki.
H{ija>b : tirai yakni segala sesuatu dari diri manusia yang menyembunyikan
dan menutupi Tuhan.
H{isiyyah : indera eksternal.
Idra>k : persepsi atau pemahaman.
Ittihad : penyatuan atau berpadunya dua hal. Ittihad dipandang sebagai
ajaran doktrinal karena memadukan eksistensi dua wujud yang
terpisah. Hal ini bertentangan dengan konsep wah{dah al-wujud
(kesatuan wujud) atau h}ulu>l (inkarnasi).
Ilmu laduni : pengetahuan yang diberikan langsung oleh Tuhan kepada
Hamba.
Istiqa>lah al-‘aql : membunuh akal.
I‘tiba>r al-qur’a>ni : pertimbang al-Qur’an sebagai legitimasi landasan dan
185
acuan pemikiran kaum sufi suni ‘amali.
I‘tib>ar al-wuju>di : pertimbangan ontologi pemikiran sebagai legitimasi
landasan dan acuan pemikiran kaum sufi falsafi-batini. Mereka
menjadikan al-Qur’a>n sebagai pretensi argumentasi.
‘Irfa>ni : epistem gnostik yang mengakomodir sufisme sunni ‘amali dan sufi
falsafi, Syi’ah, Isma'iliyyah, interpretasi esoterik terhadap teks-teks
keagamaan, dan filsafat iluminasi. Epistem ini didasarkan pada
metode penyingkapan intuitif mistik (al-kashf) atau ilham yang
terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme.
Isha>ri : isyarat simbolik atau pesan moral yang diseruput oleh kaum
sufistik dari suatu ayat (a silent signal).
Al-kull : segala sesuatu, kesuluruhan,sesuatu yang bersifat universal.
Kashf : proses mendapatkan ilmu tanpa hijab/penyingkapan.
Maqa>m : kedudukan spiritual yang diperoleh dan dicapai melalui usaha dan
ketulusan sang penempuh spiritual.
Maujud : sesuatu yang mempunyai eksistensi.
Maqa>s}id al-‘arabiyyah : maksud tujuan dari kontekstualisasi bahasa Arab
Mas‘a> al-ta’wi>l : landasan penakwilan sufi berupa sumber pengetahuan
‘irfa>ni sebagai jalan mencapai pengetahuan hakiki demi menemukan
tajalli ilahi dan kashf ilahi.
al-Mutahaqiqi>n : pengetahuan yang digali oleh ahli pemahaman pencari
hakikat
Madlu>l : petanda/signified/ al-musha>r ilayh
Muhkama>t : ayat-ayat yang ditafsirkan secara zahiri dan tidak menimbulkan
ambiguitas.
Mutasha>biha>t : ayat-ayat yang ditafsirkan secara batini dan mengandung
ambiguitas sehingga menjadi rawan dimulti-tafsirkan dengan
berbagai model pembacaan.
Muka>shafah : terbukanya jalan wus}u>l menuju dan melihat Tuhan.
Qanu>n al-ikhtila>f wa i’tila>f : undang-undang perbedaan dan kesepakatan
ajaran yang terjadi silang antara sufi ortodoks dan heteredoks.
al-Qa>idah al-ruba>i’ : kaidah empat serangkai terdiri z}a>hir sebagai praktikal,
ba>t}in sebagai metaforikal, al-had sebagai legal dan mat}la’ sebagai
estimonial atau hakikat.
al-Ra>sikhu>n fi> al-‘ilm : orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam
186
dan bijak ilahi yang mempunyai pengetahuan yang benar tentang diri
mereka sendiri dan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang sudah
menancap ruh-ruh mereka dalam transenden di atas alam transenden
(ghaibah al-ghuyu>b) dan dalam rahasianya rahasia (sir al-asra>r).
Riyad}ah : disiplin asketis atau latihan zuhud.
Sufi ‘amali : sufi ortodoks yang memegang teguh ajaran murni Islam dan
sumber tasawufnya otoritatif berlandaskan al-Qur’a>n dan H{a>dith.
Sufi naz}ari : sufi heteredoks atau yang lebih dikenal sufi falsafi-batini yang
ajarannya sudah tidak lagi murni Islam dan mengalami akuluturasi
dan hibridasi dengan ajaran lokal.
Shat}h} : ekstase dan lupa diri ketika seorang sufi mengalami perjumpaan
dengan Tuhan.
Tila>wah : bacaan al-Qur’an yang dilantunkan.
Ta‘a>mula>t al-fikr wa futu>h}a>t al-‘aql : kontemplasi-kontemplasi pemikiran
dan terbukanya pencerahan akal.
Thana>‘iyyah wa jadaliyyah al-z}a>hir wa al-ba>t}in : dualitas z}a>hir dan ba>t}in
atau dialektika z}a>hir
Ta’wi>l sufistik : isyarat sakralitas (isha>rah qudsiyyah) serta pengetahuan
suci (subh}aniyyah) di mana ahli suluk mampu membuka ta’bir dari
tirai-tirai ungkapan dalam al-Qur’a>n yang mengalir dari alam
transenden kepada mereka.
Tafsir z}ahiriyyah : tafsir yang digunakan oleh para mufassir ahli ra’yu dan
ma’tshu>r di mana mereka konsisten memegang ilmu-ilmu al-Qur’an
mainstream yang dibakukan oleh peletak ulum al-Qur’an seperti al-
Suyu>t}i> dan al-Zarkashi>. Terma ini untuk mempermudah distingsi
antara mufasir yang memegang nalar baya>ni dan mufasir yang
memegang nalar baya>ni dan ‘irfa>ni seperti yang ditunjukkan oleh
kaum sufi ortodoks atau hanya memegang nalar ‘irfa>ni seperti yang
ditunjukkan oleh kaum sufi heteredoks.
Tafsir sufi : tafsir yang didasarkan bukan kepada makna eksoteris
melainkan makna yang tersembunyi yang dimunculkan tendensi-
tendensi pengalaman spiritual sufistik
Tafsir ijma>li : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara global
Tafsir al-muqa>rin : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara komparatif
Tafsir al-mawd}u’i : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara tematik
187
Tafsir al-fiqhi : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara hukum
Tafsir al-lughawi : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara simantik
Tafsir bi al-ra’y : tafsir yang menjelaskan ayat-ayat dengan mendasarkan
kepada nalar serta memenuhi persyaratan penafsiran legal-formal.
Tafsir bi al-ma’thu>r : tafsir yang menjelaskan ayat-ayat melalui transmisi
periwayatan
Urba>b al-qulu>b : istilah untuk kaum sufistik yang sudah mencapai derajat
tinggi
Ulama>’ rusu>m : ulama yang mencakup ulama tafsir, ulama fikih, ulama
Hadith. Sebutan kaum sufistik kepada mereka yang hanya setia
terhadap norma-norma tektualis yang resmi.
Wajd : ekstase sufistik atau emosi yang muncul dari kaum sufistik ketika
mencapai ah}wa>l dan maqa>mat.
Wijdaniyyah-ma’nawiyyah : asosiasi dan korelasi yang tidak beraturan
antara z}a>hir dan ba>t}in, antara syariah dan hakikat, antara lafaz dan
makna maujud.
188
INDEKS
A
‘A<rif, 1
Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni, 8, 9, 10, 23, 27, 40, 79, 82, 83, 91, 92 125, 126, 132,
138, 139, 140, 141, 142, 149, 150, 159, 160, 161, 162,165, 158, 169
Abu> al-Baraka>t al-Nasa>fi, 4
Abu Bakar, 51,
Abdul Wahab, 85
Abd Salam, 85
Abdullah bin ‘Umar, 108
Abraham, 78
Abbasiyyah, 87
Adab, 97, 99, 100, 104, 106, 109, 112, 113, 117, 120, 173
ahli hukum, 6, 45, 47
ahli nahwu, 6
ahli teologi, 6, 47,
ahli H{adi>th 47,
Ali Ibn Abi> T{a>lib, 81
B
Al-Baghda>di, 4
Bagdad, 83, 86, 87, 88, 92
al-Ba>z al-As}hab, 82
Baya>ni, 5, 6, 7, 45, 46, 49, 124, 125, 161, 173
Ba>t}iniyyah, 1, 39, 50, 53, 54, 58, 162, 157, 162
ba>t}in, 5, 7, 29, 30, 33, 39, 40, 44, 45, 46, 49, 50, 52, 69, 72, 73, 78, 124, 137,
138, 139, 140, 142, 143,
145, 146, 147, 148, 151, 152, 158, 161, 166, 169
Burha>ni, 6, 7, 45, 46, 49,
189
Betty, 69,
Buddhisme, 86
C
Clement, 74
C.L. Stevenson, 158
D
al-Dhahabi, 1, 81
E
Esau, 73
Esoterik, 96, 98, 123, 126, 151, 152, 153, 166,
Eksoterik, 96, 98, 110, 123, 126, 127,
eksoterik-struktural, 174
esoterik spiritual, 174
F
Fatimah al-Zahra, 81
Fitagoras, 46,
Filosofi, 9, 18, 164, 166,
Filosof, 5, 6, 39, 45, 46, 53, 110
Fuqaha’, 1, 4, 5, 39, 41, 43, 51,
G
al-Ghaza>li, 14, 15, 16, 17, 48, 82, 90, 161, 162, 166,
al-Geylani, 10,
Gerhard Bowering, 110
al-Ghauth, 82
H
al-Hafidz Abd al-Ghani, 86
h}ad, 69,
Hammad Ibn Muslim al-Dibas, 83
al-Hanbali, 85
190
al-Hallaj, 41,
Hasan Ibn Ali RA, 81,
Hermeneutika, 9, 10, 11, 12, 16, 22, 24, 27, 69, 70, 71, 72, 97, 98, 123, 173
Helllenistik, 73,
Hermetic, 73,
Hirsch, 10, 24, 27, 52, 70, 71, 125, 174
Husain, 81
Hulagu Khan, 87, 88
hulu>l, 90
I
Ibn al-Jawzi, 1,
Ibn S}ala>h, 2, 42, 110
Ibn ‘Abba>s, 3, 51, 67, 68, 129,
Ibn ‘Arabi, 35, 41, 43,
Ibn Taymiyyah, 41, 83
Ibn Fa>rid}, 41, 42,
Ibn Kathi>r, 81
‘ijma’ suku>ti>, 174
Imam al-Hanabilah, 81
Ibn Quddamah, 85, 86
Imperium Romawi, 87
Intuitif, 5, 6, 16, 124, 125, 161, 162, 163, 164, 165, 166,
Irfa>ni, 6, 93, 102, 112, 120, 123, 125, 161, 162
istinba>t}, 16, 124, 125,
istidla>l, 4, 6, 17, 46,
ilham, 6, 75,
inter-religi, 85
inter-tekstual, 98
ittih}ad, 90
J
Jabariyyah, 73
Ji>la>n, 10, 82
Ji>li, 10,
191
Ja’far al-S{a>diq, 67,
Al-Junaydi, 119, 120,
K
kalbu al-Qur’a>n, 100
Kaylan, 82
Khawa>rij, 73
al-Ka>sha>ni, 17,
Khidir, 51, 174
Kristen, 85
L
Louis Massignon, 72, 109
Logosentrisme, 128,
M
mat}la’, 69,
al-Mans}ur bin ‘Ama>r, 107
al-Muh}a>sibi, 13, 14, 100, 107, 108, 109, 112, 118, 119, 120
muhadi>th, 1,
muh}kama>t, 94, 174
mutashabiha>t, 94, 174
Murji‘a, 73,
Muhammad (Nabi), 2, 31,
Mu’min, 4,
Mutakallim, 43, 53
Mesir, 78
Musa, 78, 174
al-Muja>hid, 118
al-Mustaz}hir, 82
al-Murtashid, 82
al-Muqtafi, 82
al-Mustanjid, 82
al-Mukharrami, 84
192
N
Neo-Platonik, 73
al-Nisa>bu>ri, 17
Niff, 82
al-Niz}a>miyyah, 86, 87
O
Ontologi, 128, 134, 145, 168, Origen, 74
P
Paradigma, 123, 164, 170, pasukan Salib, 86
Persia, 94
pengetahuan inderawi, 4
pengetahuan laduni, 4
pengetahuan akal, 4, 171,
Philon Alexandria, 73, 74, 78 Pseudo-Dyonisus, 74
Q
Qadariyyah, 73, 86, 92
al-Qushayri, 7, 17, 22, 118, 119, 120, 132, 148, 149, 151, 165,
al-Qut}b al-Rabbani, 82
QS 2:45.. 40
QS 2:246… 72
QS 2:197… 160
QS 2:3… 141
QS 3: basmalah … 152
QS. 3:7… 57
QS 4:15… 125
QS 5: 67… 105
QS 5:96… 159
QS 7: 203-204… 116
QS 9: 124… 102
QS 12:2… 31
QS 16: 98… 112, 113
QS 18:109… 63
193
QS 20:108… 120
QS 21: 2… 72
QS 22: 6… 72
QS 24:35… 72
QS 26:27… 72
QS 26: 193-195… 105
QS:27:16… 31
QS 29:64… 65
QS 30: 7… 65
QS 31:28… 63
QS 31: 20… 65
QS 39:18… 117
QS 40:3… 72
QS 43: 36… 103
QS 50:37… 115, 116, 118, 119
QS 50:1… 161
QS 57:3… 64, 72
QS 57: 13… 31
QS 89:17… 72
QS 78: 5… 103
R
al-Rajaq, 85
Rashi>d al-Di>n al-Maybudi, 17,
al-Rashi>d, 83
Ru>zbiha>n al-Baqli, 17,
S
al-Sha>t}ibi, 125, 130, 136,
al-Sha’rani, 85
al-Shafi’i, 85
Sibaweih, 73
St. Agustinus, 75,
Syams, 92
al-Suyu>t}i, 1,
194
al-Sulami, 1, 17, 139, 143,
sufi moderat, 7, 170,
sultan al-‘Awliya’, 82, 84
al-Suhrawardi al-Maqtu>l, 41
T
Thomas Aquinas, 74
al-T{u>si, 16, 17, 137, 174
al-Tustari, 17, 20, 21, 67, 68, 149, 110
U
Ummi, 111
Ur, 78
ulu>l al-ba>b, 117
W
wahyu, 4, 46, 75,
Al-Wa>hidi, 1, 42,
Wittgenstein, 132, 134, 148,
wijdaniya>t, 173
Y
Yusuf, 51,
Yakub, 78
Yahudi, 85
Z
z}a>hir, 2, 5, 7, 14, 18, 19, 27, 28, 46, 52, 69, 71, 72, 76, 78, 123, 124, 157,
161,
Z{a>hiri, 9,
z}a>hiriyyah, 75,
195
BIODATA PENULIS
Aik Iksan Anshori atau lebih dikenal dengan panggilan Faiq Ihsan Anshori.
Lahir di Kuningan, 7 September 1980. Mengenyam pendidikan formal SD Al-
Husain, Magelang, Jateng, (1994), MTS Negeri Sindangsari, Kuningan, Jabar,
(1997), MA Darul Huda, Blitar. Jatim, (2003), Pon-tren Hidayatul Mubtadi’en
Lirboyo Kediri (2005) Al-Azhar University, Cairo-Mesir. Fakultas Ushuluddin
(Theology) Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu al-Qur’an (2009).
Kerap menjadi narasumber di berbagai forum dan aktif menulis artikel
ilmiah dan kolom di sejumlah media massa, jurnal di Cairo-Mesir dan Indonesia.
Menulis beberapa karya ilmiah. Diantara yang sudah dipublikasikan: Liberasi Abad
Kegelapan, (Cairo, 2009), kontributor buku: Rekonstruksi Displin Keilmuan Islam,
(Cairo, 2009), kontributor buku: Geliat Islam Pinggiran, Potret Pergolakan
Pemikiran Islam Terpasung (Cairo, 2007), kontributor buku: Aufklarung Islam,
Dialektika Agama, Politik dan Kolonialisme (Cairo, 2007), kontributor buku:
Kontekstualisasi Turats, Telaah Regresif-Progresif (Kediri, 2005).
Pernah menjabat Direktur Pelaksana LEMBAGA STUDI AGAMA DAN
FILSAFAT (LSAF) dan Redaktur Pelaksana Jurnal Ulumul Qur’an (2012).
Kesibukannya saat ini adalah menjadi tenaga pengajar di beberapa perguruan
tinggi.