SURAKARTA 2010 - digilib.uns.ac.id/Hubungan... · Lampiran 3a Kisi-kisi Angket Kebiasaan Membaca...
Transcript of SURAKARTA 2010 - digilib.uns.ac.id/Hubungan... · Lampiran 3a Kisi-kisi Angket Kebiasaan Membaca...
1
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENALARAN DAN
KEBIASAAN MEMBACA KARYA SASTRA DENGAN
KEMAMPUAN MENGAPRESIASI CERITA PENDEK
(Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh : Suwarti
S840209125
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
PROGRAM PASCASARJANA
SURAKARTA
2010
2
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENALARAN DAN
KEBIASAAN MEMBACA KARYA SASTRA DENGAN
KEMAMPUAN MENGAPRESIASI CERITA PENDEK
(Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang)
Disusun oleh:
Suwarti
S840209125
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. Dr. Retno Winarni, M. Pd.
NIP 194403151197804 1 001 NIP 19560121198303 2 003
Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
NIP194403151197804 1 001
3
PENGESAHAN
Tesis ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Tesis Program
Pascasarjana Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Negeri Sebelas Maret
dan diterima mendapatkan gelar Magister Pendidikan.
Pada hari : Kamis
Tanggal : 27 Mei 2010
Tim Penguji Tesis :
Jabatan Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Prof. Dr. St.Y. Slamet, M. Pd
NIP 19461208198203 1 001
Sekretaris : Dr. Andayani, M. Pd
NIP 19601030198620 1 001
Anggota I : Prof. Herman J. Waluyo, M. Pd
NIP 194403151197804 1 001
Anggota II Dr. Retno Winarni, M. Pd
NIP 19560121198303 2 003
Ketua Program Studi
Direktur PPs UNS Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Drs. Suranto, M. Sc., Ph.D. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd
NIP130472192 NIP 194403151197804 1 001
4
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya
Nam : Suwarti
NIM : S840209125
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Hubungan
antara Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra dengan
Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek ( Survai pada Siswa SMA Se-Kota
Magelang) benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang
lain, baik sebagian atau seluruhnya. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis ini
diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari, ternyata pernyataan saya tidak benar, saya
bersedia, menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Mei 2009
Yang membuat Pernyataan,
Suwarti
NIM S840209125
5
MOTTO
Seorang intelektual adalah orang yang pikirannya menjaga pikirannya sendiri
(Albert Camus)
Akhir terbesar dari kehidupan bukanlah pengetahuan, tetapi tindakan.
( Thomas Henry Huxley)
,
6
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan tesis ini sebagai ungkapan cinta, kasih, sayang, dan
terima kasih kepada :
1. Ayah dan Ibuku Dalidja Sudihardjo yang selalu memberikan doa untukku.
2. Suamiku Drs. F.X. Samingin M. Hum. yang telah memberikan semangat,
dukungan, dengan penuh kesabaran dan kesetiaan dalam setiap langkah
hidupku.
3. Anak-anakku tercinta Domitianus Anggara Pramudita, S.T., Yohanes Yogi
Widita S.E., dan Rosa Riris Suciningtyas yang dengan setia membantu Ibu
dalam penyelesaian tesis ini, dan memberikan semangat dalam hidupku.
7
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas
segala rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat waktu. Tesis ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar magister Program
Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Berkat bantuan, dan dorongan, serta bimbingan berbagai pihak makalah ini
dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. H.Much. Syamsulhadi, Sp. K.J.(K), selaku Rektor Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin untuk
melakukan penelitian.
3. Prof. Dr. Herman J. Walujo Ketua Program Pendidikan Bahasa Indonesia
sekaligus sebagai pembimbing, yang telah memberikan pengarahan,
dorongan semangat, petunjuk, serta bimbingan dengan penuh kesabaran.
4. Dr. Retno Winarni sebagai pembimbing yang telah memberikan
pengarahan, petunjuk,semangat, dan bimbingan dengan penuh ketelatenan.
5. Para dosen Program Studi Bahasa Indonesia yang telah membekali materi
sehingga dapat membantu dalam penyusunan tesis ini.
8
6. Kepala Dinas Pendidikan Kota Magelang yang telah memberikan izin
belajar.
7. Kepala SMA El Shadai Magelang yang telah memberikan izin untuk
melanjutkan studi.
8. Kepala SMA Negeri 1, 3, dan 4 Magelang yang telah memberi kesempatan
untuk mengadakan penelitian.
9. Suami dan anak-anaku yang sangat perhatian dan pengertian, memberikan
semangat, dorongan dan bantuan dalam penyusunan tesis ini..
10. Rekan-rekan seperjuangan di Pascasarjana Program Bahasa Indonesia
yang telah memberikan masukan, dan semangat.
11. Rekan-rekan sekerja yang memberikan semangat, masukan, dan sebagai
teman diskusi dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mohon kritik dan saran.
Akhirnya, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri, maupun bagi pembaca.
Surakarta, Mei 2010
Penulis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PENGESAHAN PEMBIMBING ii
PENGESAHAN TESIS iii
PERNYATAAN iv
MOTTO v
PERSEMBAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
ABSTRAK xx
ABSTRACT xxi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 7
C. Tujuan Penelitian 7
D. Manfaat Penelitian 8
1. Manfaat Teoretis 8
2. Manfaat Praktis 9
10
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG
RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR,
DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 10
A. Kajian Teori 10
1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek 10
a. Pengertian Kemampuan 10
b. Pengertian Apresiasi 11
c. Pengertian Cerita Pendek 13
d. Unsur Pembangun Cerita pendek 16
e. Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek 27
f. Pengukuran Kemampuan Mengapresiasi
Cerita Pendek 27
2. Hakikat Kemampuan Penalaran 29
a. Pengertian Kemampuan 29
b. Pengertian Penalaran 29
c. Kemampuan Penalaran 36
d. Pengukuran Kemampuan Penalaran 36
3. Hakikat Kebiasaan Membaca Karya Sastra 37
a. Pengertian Kebiasaan 37
b. Pengertian Membaca 38
c. Pengertian Karya Sastra 42
11
d. Pengertian Kebiasaan Membaca Karya Sastra 44
e. Pengukuran Kebiasaan Membaca Karya Sastra 45
B. Penelitian yang Relevan 46
C. Kerangka Berpikir 48
1. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dengan
Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek 48
2. Hubungan antara Kebiasaan Membaca dengan
Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek 48
3. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan
Kebiasaan Membaca Karya Sastra Secara Bersama-sama
dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek 49
D. Pengajuan Hipotesis 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 51
A. Tempat dan Waktu Penelitian 51
B. Metode Penelitian 52
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 53
D. Teknik Pengumpulan Data 54
E. Instrumen Penelitian 55
F. Validitas dan Reliabilitas 59
G. Hasil Uji Coba Instrumen 63
H. Hipotesis Statistik 65
I. Uji Persyaratan Analisis 65
J. Teknik Analisis Data 70
12
BAB IV HASIL PENELITIAN 73
A. Deskripsi Data 73
1. Data Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek 73
2. Data Kemampuan Penalaran 74
3. Data Kebiasaan Membaca Karya Sastra 76
B. Pengujian Persyaratan Analisis 77
1. Uji Normalitas Data 77
2. Uji Linearitas dan Signifikansi Regresi 78
C. Pengujian Hipotesis 80
1. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan
Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek 80
2. Hubungan antara Kebiasaan Membaca Karya Sastra
dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek 80
3. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan
Kebiasaan Membaca Karya Sastra Secara Bersama-sama
dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek 81
D. Pembahasan Hasil Penelitian 82
E. Keterbatasan Penelitian 84
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan 86
B. Implikasi 87
13
C. Saran 89
DAFTAR PUSTAKA 91
LAMPIRAN 95
14
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jadwal Kegiatan Penelitian 51
Tabel 2 Tabel ANAVA 69
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Apresiasi Cerpen 73
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran 75
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Membaca Karya Sastra 76
15
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Berpikir 49
Gambar 2 Desain Penelitian 52
16
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1a Kisi-kisi dan Instrumen Kemampuan Mengapresiasi
Cerpen (Tes Uji Coba) 95
Lampiran 1b Kisi-kisi dan Instrumen Kemampuan Mengapresiasi
Cerpen (Pengambilan Data) 112
Lampiran 2a Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Penalaran
(Tes Uji Coba) 128
Lampiran 2b Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Penalaran
(Pengambilan Data) 145
Lampiran 3a Kisi-kisi Angket Kebiasaan Membaca Karya Sastra
(Uji Coba) 161
Lampiran 3b Kisi-kisi Angket Kebiasaan Membaca Karya Sastra
(Angket Penelitian) 172
Lampiran 4 Uji Validitas Tes Kemampuan Mengapresiasi Cerpen
Tahap I 175
Lampiran 5 Uji Validitas Tes Kemampuan Mengapresiasi Cerpen
Tahap II 179
Lampiran 6 Hasil Uji Validitas Butir Soal tes Penalaran
(dengan Teknik Statistik Point Biserial) Tahap I 183
Lampiran 7 Hasil Uji Validitas Butir Soal tes Penalaran
(dengan Teknik Statistik Point Biserial) Tahap II 187
17
Lampiran 8 Hasil Uji Validitas Butir Soal Tes Angket Kebiasaan
Membaca Karya Sastra (Teknik Statistik Product Moment)
Tahap I 191
Lampiran 9 Hasil Uji Validitas Butir Soal Tes Angket Kebiasaan
Membaca Karya Sastra (Teknik Statistik Product Moment)
Tahap II 195
Lampiran 10 Hasil Uji Reliabilitas Butir Soal Tes Kemampuan
Mengapresiasi Cerpen 199
Lampiran 11 Hasil Uji Reliabilitas Butir Soal Tes Kemampuan
Penalaran 203
Lampiran 12 Hasil Uji Reliabilitas Butir Soal Angket Kebiasaan Membaca
Karya Sastra 207
Lampiran 13 Data Induk Penelitian 218
Lampiran 14 Uji Normalitas Data Kemampuan Mengapresiasi Cerpen 226
Lampiran 15 Uji Normalitas Data Kemampuan Penalaran 234
Lampiran 16 Uji Normalitas Data Kebiasaan Membaca Karya Sastra 240
Lampiran 17 Tabel Kerja Untuk Melakukan Analisis Data dengan
Teknik Statistik Regresi dan Korelasi
( Sederhana maupun Ganda) 246
Lampiran 18 Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran 253
Lampiran 19 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Membaca Karya Sastra 254
18
Lampiran 20 Distriibusi Frekuensi Kemampuan Mengapresiasi Cerpen 255
Lampiran 21 Analisis Regresi Linear Sederhana Y atas X1 256
Lampiran 22 Analisis Regresi sederhana Y atas X2 257
Lampiran 23 Uji Signifikansi dan Linearitas Regresi
Sederhana Y atas X1 258
Lampiran 24 Tabel Kerja untuk Melakukan Analisis Data Deskriptif
maupun Inferensial dengan Teknik Statistik Regresi
dan Korelasi (sederhana maupun ganda) 260
Lampiran 25 Tabel Anava untuk regresi Ŷ = 17.0033 + 0.2686X1 266
Lampiran 26 Uji signifikansi dan Linearitas Regresi
Sederhana Y atas X2 268
Lampiran 27 Tabel Kerja untuk Melakukan Analisi Data Deskriptif
maupun Inferensial dengan Teknik Statistik Regresi
dan Korelasi (sederhana maupun ganda) 269
Lampiran 28 Tabel Anava untuk regresi Ŷ= 16.55 + 0.061X2 275
Lampiran 29 Analisis Regresi Linear Ganda Y atas X1X2 277
Lampiran 30 UJi Signifikansi Koefisien Korelasi dalam
regresi linear ganda Ŷ = 20.724 + 0.258X1 + 0.058X2 279
Lampiran 31 Uji signifikansi Regresi Linear Ganda 281
19
Lampiran 32 Analisis Korelasi Sederhana X1 dengan Y 284
Lampiran 33 Analisis Korelasi Sederhana X2 dengan Y 285
Lampiran 34 Analisis Kontribusi Tunggal dan Bersama X1, X2 danY 286
Lampiran 35 Histogram Frekuensi 287
Lampiran 36 Gambar Grafik Persamam Regresi Sederhana 288
20
ABSTRAK
Suwarti. S840209125. 2010. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara (1) kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek, (2) kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek, dan (3) kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersam-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
Objek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri se- Kota Magelang. Sampel yang digunakan untuk penelitian siswa kelas XI SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 4 Magelang yang berjumlah 120 . Cara pengambilan sampel dengan simple random sampling. Sedangkan instrumen untuk mengumpulkan data dengan menggunakan tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek, tes kemampuan penalaran, dan angket kebiasaan membaca karya sastra. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah regresi dan korelasi ( sederhana, dan ganda).
Hasil analisis menujukkan bahwa (1) ada hubungan positif yang signifikan antara kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek
(����= 0.260 dengan p<α 0.05 , t0 = 2.9319033dan tt = 1.98); (2) ada hubungan
positif yang signifikan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan
kemampuan mengapresiasi cerita pendek (����= 0.25476 dengan p < α 0.05, to=
2.8619 dan tt= 1.98); (3) ada hubungan positif yang signifikan antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek (����
� = 0.12767 dengan p > α 0.05, F0
= 8.5621 > Ft = 3.08).
Berdasarkan hasil peneltian di atas, maka guru bahasa Indonesia dalam pembalajaran sastra khususnya pembelajaran cerpen perlu memperhatikan kemampuan penalaran siswa, dengan memberikan pelatihan-pelatihan agar kemampuan penalaran meningkat, dan perlu memotivasi siswa agar mempunyai kebiasaan membaca terutama membaca karya sastra, supaya siswa dapat meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
.
21
ABSTRACT
Suwarti. S840209125. 2010. The Correlation between Logical Ability and Literature Reading Habit with Ability to Appreciate Short Story (Survey in Magelang Senior High School Student). Thesis. Surakarta: The Study Program of Indonesian Education of Postgraduate Program, Sebelas Maret University.
The aim of this research are to know the correlation between (1) logical ability with ability to appreciate short story, (2) the literature reading habit with ability to appreciate short story, and (3) logical ability and the literature reading habit along with ability to appreciate short story.
The research object is the XI-grade of Senior High School student in Magelang. Samples that are used to the research are the XI-grade of SMA 1 Magelang and SMA 4 Magelang of 120 participants. The method of collecting samples is by simply random sampling. Meanwhile the instrument to collect data is by using ability test of appreciating short story, logical ability test, and questionnaire of literature reading habit. Techniques to analyze data are regression and correlation.
The result of the analysis shows that (1) there are significant positive
correlation between the logical ability with ability to appreciate short story (����=
0.260 with p<α 0.05, to=2.9319033 and tt=1.98); (2) there are significant positive correlation between literature reading habit with ability to appreciate short story
(����=0.25476 with p<α 0.05, to=2.8619 and tt=1.98); (3) there are significant
positive correlation between logical ability and literature reading habit along with ability to appreciate short story (����
� = 0.12767 with p>α 0.05, Fo=8.5621 >
Ft=3.08).
Based on the research’s result above, so the Indonesian teacher in literature learning especially on short story needs to pay more attention on student’s logical ability, by giving exercises in order to increase the logical ability, and needs to motivate the students to have a reading habit especially on literature, so that the students may increase the ability to appreciate short story.
22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran sastra di sekolah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam mengapresisiasi karya sastra. Di dalamnya terkandung maksud agar
siswa dapat menghargai dan membanggakan kesusastraan bangsa sendiri serta
dapat menikmati dan memanfaatkan secara langsung yaitu nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, memperluas budi pekerti, serta meningkatkan
pengetahuan. Oleh karena itu, pembelajaran sastra harus diikuti dengan
mewajibkan siswa untuk melakukan apresiasi sendiri karya-karya sastra terpilih
(Depdiknas, 2006: 261).
Boen S. Oemarjati (1996: 196) mengemukakan bahwa pengajaran sastra
bertujuan menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap
masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormat terhadap tata nilai baik
dalam konteks individual, maupun sosial. Tujuan ini perlu diwujudkan agar siswa
memiliki sifat-sifat luhur tersebut.
Tujuan pengajran sastra seperti di atas, belum tercapai seperti yang
diharapkan. Menurut Andayani (2008: 83) ada keprihatinan dalam pembelajaran
apresiasi sastra karena adanya sejumlah keterbatasan yang berkaitan dengan
pembelajaran sastra. Hal ini tentu merupakan penghambat tercapaimya tujuan
pengajaran sastra.
22
23
Ada beberapa faktor penyebab tujuan pengajaran sastra belum memenuhi
harapan.. Faktor-faktor tersebut ialah guru, murid, dan lingkungan. Faktor dari
guru sebagai penyebab rendahnya kemampuan mengapresiasi sastra dapat
dimungkinkan kurangnya pemahaman guru terhadap sastra, kurang optimalnya
proses belajar mengajar, kurangnya penugasan siswa untuk membaca karya sastra.
Menurut J. Prapta Diharja, S.J. (2004: 145) pengajaran sastra masih
berorientasi pada penugasan materi hafalan. Pengajaran selama ini masih
merupakan transfer pengetahuan, bukan merupakan proses pengembangan potensi
bawaan anak didik. Hal ini tentu juga merupakan faktor penyebab belum
tercapainya tujuan pengajaran sstra.
Faktor siswa merupakan faktor terpenting dalam proses pembelajaran
sastra. Siswa merupakan subjek pada proses pembelajaran sastra. Faktor yang
diduga sebagai penyebab rendahnya apresiasi sastra adalah rendahnya minat baca
siswa terhadap karya sastra.
Untuk dapat mengapresiasi sastra siswa harus terlibat secara langsung
untuk mengakrabi, menggauli dan menikmati karya sastra. Guru harus melibatkan
siswa untuk mau mengakrabi karya sastra. Salah satu cara agar siswa mau
mengakrabi karya sastra adalah siswa membaca karya satra. Dalam beberapa hal,
membaca suatu bahan bacaan akan lebih melibatkan rasa dan pikiran sehingga
memungkiinkan si pembaca menafsirkan sendiri informasi yang didapatkannya
lewat bacaan itu. Oleh karena itu, kebiasaan membaca jangan sampai dibiarkan
surut, dan kebiasaan itu wajib dikembangkan di sekolah maupun di universitas (B.
Rahmanto. 1988: 67).
24
Mengapresiasi sastra berarti memahami menafsirkan atau menanggapi
karya sastra dengan baik. Untuk itu diperlukan kemampuan penalaran dan
kebiasaan membaca karya sastra yang baik. Artinya untuk dapat mengapresiasi
karya sastra dengan baik maka siswa harus memiliki kemampuan penalaran dan
kebiasaan membaca karya dengan baik pula. Oleh karena itu, penelitian ini
mengkaji kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra.
Kemampuan penalaran merupakan salah satu komponen yang ikut andil
dalam menentukan kualitas kemampuan mengapresiasi karya sastra. Hal ini dapat
dipahami karena penalaran siswa merupakan salah satu kemampuan dalam proses
berpikir yang dibutuhkan untuk memutuskan sesuatu dengan memanfaatkan
bukti-bukti yang ada. Dengan penalaran yang baik, pembaca karya sastra akan
menghubung-hubungkan secara logis unsur-unsur yang membangun karya sastra
baik secara intrinsik maupun ekstrinsik sehingga pemahaman, penafsiran,
penerimaan, dan penanggapan terhadap karya sastra yang dibaca akan lebih tepat
sesuai dengan yang dikehendaki penulisnya.
Aspek lain yang ikut mendukung dalam kegiatan mengapresiasi karya
sastra adalah kebiasaan membaca karya sastra. Dengan membaca, siswa dapat
memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru melalui materi yang ada dalam
buku yang dibacanya. Semakin banyak membaca akan semakin banyak
pengetahuan dan pengalaman yang dipreroleh. Pengetahuan yang diperoleh siswa
akan menjadi skemata yang dapat membantu sisiwa dalam menganalisis karya
saatra. Brown dan Yule dalam bukunya Discource Analysis (terjemahan I
Soetikno 1996:247) mengatakan bahwa skemata merupakan pengetahuan latar
25
belakang yang rapi dan menyebabkan kita menduga dan meramalkan segi-segi
dalam penafsiran wacana. Oleh karena itu, siswa perlu memiliki kebiasaan untuk
membaca. Khususnya dalam hal ini adalah membaca karya sastra, karena
berkaitan dengan apresiasi karya sastra.
Rene Wellek dan Austin Warren (1988: 276) mengatakan bahwa karya
sastra adalah suatu seleksi kehidupan yang direncanakan dengan tujuan tertentu.
Kita harus mempunyai pengetahuan di luar sastra untuk mengetahui hubungan
antara suatu karya satra tertentu dengan kehidupan. Dengan membaca akan dapat
diperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, kebiasaan membaca harus ditingkatkan.
Menurut Kui Yan (2006: 99) dalam apresiasi cerita pendek, siswa harus
didorong untuk membaca cerita setidaknya dua kali. Di samping itu, kegiatan
apresiasi cerpen membutuhkan pengetahuan tentang sastra maupun pengetahuan
lain.
Kegiatan pembalajaran dirancang dari indikator untuk memberikan
pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi
antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, peserta didik dengan lingkungan,
dan peserta didik dengan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian
kompetensi dasar. Pengalaman yang dimaksud melalui penggunaan pendekatan
pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman
belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik (Depdiknas,
2007: 16).
Untuk memiliki kecakapan hidup dibutuhkan kemampuan bernalar.
Kemampuan bernalar akan mempengaruhi siswa dalam mengambil keputusan.
26
Mengambil keputusan adalah salah satu kecakapan hidup yang akan dialami
siswa. Oleh karena itu, kemampuan penalaran harus mendapat perhatian dalam
proses pembelajaran.
Membaca dapat melatih siswa buntuk mengembangkan penalaran, karena
dengan membaca siswa akan banyak mendapat pengetahuan baru. Pengetahuan
dan pengalaman ini akan sangat berguna dan berpengaruh pada pengambilan
keputusan. Dengan demikian, maka kebiasaan membaca perlu ditingkatkan agar
dapar menunjang kemampuan penalaran.
Pengembangan materi pembelajaran berdasarkan indikator pencapaian
kompetensi dasar dengan memperhatikan potensi peserta didik; kebermanfaatan
bagi peserta didik; aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
relevansi dengan kebutuhan peserta didik, sesuai dengan tuntutan lingkungan dan
alokasi waktu (Depdiknas, 2007 :17).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka pembelajaran sastra akan
lebih baik kalau siswa sudah banyak bergaul dengan karya sastra. Maka akan
lebih menguntungkan kalau siswa senang membaca satra. Oleh karena itu, dalam
merancang pembelajaran sastra, harus diperhitungkan yang dapat mendorong
minat siswa untuk membaca karya sastra.
Melalui membaca, orang dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman
baru. Pengetahuan baru atau pengalaman baru yang ditemukan atau yang dialami
oleh orang lain akan dapat diketahuinya. Kegiatan membaca merupakan jendela
dunia. Dengan banyak membaca berarti seseorang dapat memperoleh berbagai
informasi yang berkembang, baik yang sifatnya lokal, nasional maupun yang
27
global. Melalui kegiatan membaca, seseorang dapat belajar mengenai berbagai hal
mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang kompleks. Tetapi yang
menjadi keprihatinan adalah kegiatan membaca masih belum menjadi kebiasaan
atau kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. ( Sudirman Siahaan dan Rr.
Murtiningsih. 2008: 1). Hal ini akan memengaruhi cara menganalisis sesuatu,
termasuk menganalisis karya sastra yang dibacanya.
Kebiasaan membaca dapat ditingkatkan dan dikembangkan.Tampubolon
dalam bukunya Kemampuan Membaca (1990: 229) menjelaskan bahwa fundasi
kuat untuk membentuk kebiasaan membaca pada anak adalah menumbuhkan
minat membaca. Minat membaca dapat ditumbuhkan melalui proses belajar
mengajar di sekolah. Demikian juga minat membaca karya sastra dapat
ditumbuhkan, agar menjadi kebiasaan. Apabila siswa memiliki kebiasaan
membaca karya sastra diduga dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra.
Jenis sastra ada prosa, puisi, dan drama. Prosa ada yang berbentuk cerpen,
novel, dan roman. Hal ini sesuai dengan pendapat Rene Wellek dan Austin
Warren yang mengatakan bahwa teori sastra modern membagi satra rekaan
menjadi fiksi (novel, cerpen, epik), drama, dan puisi. Dalam penelitian ini yang
dijadikan objek kajian adalah kemampuan penalaran, kebiasaan membaca karya
sastra, dan kemampuan mengapresiasi cerpen.
28
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, masalah penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah terdapat hubungan antara kemampuan penalaran dengan kemampuan
mengapresiasi cerita pendek?
2. Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan
kemampuan mengapresiasi cerita pendek?
3. Apakah terdapat hubungan secara bersama-sama antara kemampuan penalaran
dan kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi ceita
pendek?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan , yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Adapun kedua tujuan tersebut secara rinci diuraikan sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang kemampuan
penalaran,kebiasaan membaca karya sastra, dan kemampuan mengapresiasi
cerita pendek siswa SMA Negeri Kota Magelang.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya:
a. hubungan kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita
pendek.
29
b. hubungan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan
mengapresiasi cerita pendek.
c. hubungan antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya
sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita
pendek.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat,baik secara teoritis maupun
secara praktis. Kedua jenis manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis ,hasil penelitian ini dapat memberi kelengkapan
khasanah teori yang berkaitan dengan kemampuan penalaran, kebiasaan
membaca karya satra, dan kemampuan pemahaman karya sastra. Dengan
mengatahui pengaruh kedua variabel tersebut dapat diketahui pentingnya
variabel-variabel itu terhadap kemampuan pemahaman karya sastra.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak,
antara lain sebagai berikut.
a. Bagi siswa
Bagi siswa penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran tentang
kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerpen
30
dan kemampuan penalaran mereka terhadap kemampuan mengapresiasi
cerpen.
b. Bagi guru
Bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA (SMA negeri kota
Magelang) manfaat yang dapat dipetik melalui penelitian ini adalah dapat
digunakan membina, mempertahankan, dan mengembangkan sikap positif
terhadap mengapresiasi ceita pendek siswa.
c. Bagi Kepala Sekolah
Bagi Kepala Sekolah penelitian ini dapat digunakan untuk membina para
guru dalam meningkatkan pembelajaran mengapresiasi cerita pendek.
31
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,
KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A.Kajian Teori
1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
a. Pengertian Kemampuan
Istilah kemampuan apresiasi cerpen mencakup tiga kata yakni kemampuan,
apresiasi dan cerita pendek. Kemampuan adalah kesanggupan; kecakapan;
kekuasaan; keterampilan (Abdul Ghofur, 2004:83). Kesanggupan menunjukkan
kecakapan seseorang, kecakapan artinya kepandaian atau kemahiran untuk
melaksanakan tugas, kekuasaan maksudnya kemampuan orang untuk menguasai
sesuatu, sedangkan keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas.
Gagne melalui Ratna Wilis Dahar (1989: 134), mengemukakan bahwa
kemampuan adalah penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil
belajar. Ada lima macam yaitu (1) kemampuan yang berhubungan dengan
keterampilan intelektual, (2) kemampuan yang berhubungan dengan penggunaan
strategi kognitif, (3) kemampuan yang berhubungan dengan sikap, (4)
kemampuan yang berhubungan dengan informasi verbal, dan (5) kemamapuan
yang berhubungan dengan keterampilan motorik.
Menurut Woodworth dan Marquis melalui Sumadi Suryabrata (1987: 169)
kemampuan (ability) mempunyai tiga arti, yaitu: (1) achievement yang merupakan
31
32
actual ability, yang dapat diukur langsung dengan alat atau tes tertentu, (2)
capacity yang merupakan potensi ability, yang dapat diukur secara tidak langsung
dengan melalui pengukuran terhadap kecakapan individu, kecakapan ini
berkembang dengan perpaduan antara dasar dengan training yang intensif dan
pengalaman, (3) aptitude, yaitu kualitas yang hanya dapat diungkap/ diukur
dengan tes khusus yang sengaja dibuat untuk itu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah
kesanggupan individu untuk melakukan suatu kegiatan secara maksimum agar
mencapai hasil yang paling tinggi dan kemampuan merupakan hasil belajar.
Namun, harus diakui bahwa kemampuan seseorang ini belum tentu ditampilkan
secara maksimum pada setiap melakukan kegiatan. Banyak faktor yang
mempengaruhi kemampuan tersebut, di antaranya bagaimana orang tersebut
menyikapi objek kegiatan.
b. Pengertian Apresiasi
Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986: 17) menyatakan bahwa kata
apresiasi dipinjam dari bahasa Inggris appreciation yang artinya penghargaan.
Apresiasi sastra berarti penghargaan terhadap karya sastra.
Apresiasi adalah mengenal, mamahami, menghayati, dan menghargai
karya sastra (Henry Guntur Tarigan, 1998: 36). Untuk dapat mengenal,
memahami, menghayati, dan mengahargai karya sastra diperlukan upaya untuk
menggauli karya sastra.Salah satu cara adalah dengan membaca karya sastra
secara sungguh-sungguh.
33
Menurut S. Effendi (1974:18), apresiasi sastra adalah kegiatan menggali
cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan,
kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.
Menggali cipta satra berarti memahami cipta sastra. Untuk itu diperlukan usaha
untuk menyenangi karya sastra. Perasaan senang terhadap karya sastra akan
menumbuhkan keinginan untuk lebih mengerti, menghargai, dan akhirnya
memiliki kepekaan pikiran dan perasaan terhadap karya sastra.
Senada dengan pendapat S. Effendi, yaitu Jakob Sumardjo dan Saini
K.M.(1986: 173) mengatakan bahwa apresiasi mengandung pengertian
memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai. Apresiasi sastra yaitu
memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai karya sastra.
Yus Rusyana (1984: 322) menyatakan bahwa apresiasi sebagai pengenalan
nilai-nilai yang lebih tinggi. Sedangkan apresiasi sastra adalah pengenalan dan
pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra, dan kegairahan kepadanya, serta
kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu. Dalam mengapresiasi sastra
seseorang merasakan pengalaman yang telah disusun oleh pengaranganya.
Apresiasi tingkat pertama, apabila seseorang mengalami pengalaman yang ada
dalam sebuah karya. Apresiasi tingkat kedua, apabila daya intelektual pembaca
bekerja lebih giat, misalnya pembaca mulai bertanya kepada dirinya tentang
makna pengalaman yang diperolehnya, tentang pesan yang disampaikan
pengarang, tentang hal tersembunyi di belakang alur, dan lain-lain.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa apresiasi satra yaitu upaya untuk mengenali, memahami, menikmati,
34
menghargai, dan menilai karya sastra sehingga tumbuh rasa senang terhadap karya
satra, dan akhirnya dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam karya
satra yang dibacanya.
c. Pengertian Cerita Pendek
Menurut Dedi Pramono (2008: 1) cerita pendek yaitu cerita fiksi bentuk
prosa yang singkat padat, yang unsur ceritanya terpusat pada satu peristiwa pokok,
sehingga jumlah dan pengembangan pelaku terbatas, dan keseluruhan cerita
memberikan kesan tunggal. Dengan demikian, cerita pendek itu cerita yang
ringkas. Unsur-unsur intrisik seperti setting, penokohan, peristiwa dalam cerita
diungkapkan secara singkat.
Ahli lain mengemukakan, ceita pendek ialah karya sastra berbentuk prosa
yang isinya merupakan kisahan pendek yang mengandung kesan tunggal (Zaidan
Hendy,1989: 184). Kisahan pendek maksudnya cerita diungkapkan secara ringkas.
Secara ringkas maksudnya peristiwa-peristiwa diuraikan secara terbatas atau
secara tidak mendalam.
Jakob Sumardjo dan Saini K.M.(1986: 36) menjelaskan bahwa menurut
bentuk fisiknya, cerita pendek adalah cerita yang pendek. Tetapi dengan hanya
melihat fisiknya yang pendek saja, orang belum dapat menetapkan sebuah cerita
yang pendek, adalah sebuah cerpen. Ciri dasar lain adalah sebuah rekaan (fiction).
Cerita pendek bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan
kenyataan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh
pengarangnya. Meskipun cerpen hanya rekaan, namun ditulis berdasarkan
35
kenyataan kehidupan. Apa yang diceritakan dalam cerpen memang tidak pernah
terjadi, namun dapat terjadi semacam itu.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), menyatakan bahwa cerita pendek (Inggris:
short story) cerita yang pendek, namun panjang pendek cerita bervariasi. Cerpen
dibangun oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Karena bentuknya yang
pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai detail-
detail khusus yang “kurang penting”yang lebih bersifat memperpanjang cerita.
W.H. Hudson dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W. (2009: 5)
mengemukakan “ a short story is a prose narrative” requiring from half to one or
two hours in its perusal”. Putting the same idea in to different phraseology, we
may say that a short story is a story that can be easily read at a single sitting.”
(Cerpen adalah sebuah prosa naratif, membutuhkan waktu satu setengah sampai
dua jam untuk membacanya. Menggunakan frasa yang sama, kita dapat
mengatakan bahwa cerpen mudah dibaca dalam sekali duduk).
Menurut Willam Kenney (1966: 103) cerpen terdiri dari seribu sampai
15000 kata ( “More specifically, the term “ short story” is normally applied to
works of fiction ranging in length from one thousand to fifteen thousand words).
Beliau juga memberi penjelasan tentang cerpen dalam perbandingannya dengan
novel yaitu
The short story, for instance, is not merely a truncated novel. Nor is it part of an unwritten novel. It’s true that work originally published as short stories later turn up as chapters in novel, but you’ll usually find that considerable revision has occourred in the process. The length of a good short story, is an essential part of the experience of the story.
36
Sebuah ceita pendek bukan semata-mata novel yang dipendekkan, bukan
juga bagian novel yang tidak dituliskan.Memang benar sebuah cerita pendek
kadang-kadang menjadi bab dalam sebuah novel, namun Anda akan menemukan
revisi yang cukup berarti dalam proses itu. Panjang sebuah cerita pendek yang
baik merupakan bagian penting dari cerita itu.
Edgar Allan Poe dalam Kenney (1966:103) juga menjelaskan tentang
cerpen yaitu “settied the matter of a short story’s proper length when he said it
should be short enough to be read at one sitting. The story should be long enough
to produce the desired effect on the reader. Cerita pendek dapat dibaca dalam
sekali duduk. Dan cerita itu akan memberikan pengaruh sesuai yang diinginkan
pembaca.
Panjang sebuah cerpen bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short
story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada yang panjangnya
cukupan (middle short strory), dan ada yang panjang (long short story), yang
terdiri dari puluhan ribu kata (Burhan Nurgiantoro, 2005: 10). Ian Reid
menyebutkan antara 1.600 kata sampai dengan 20.000 kata. S. Tasrif mengatakan
antara 500 sampai 32.000 kata, Nugroho Noto Susanto menyebutkan 5000 kata
atau 17 halaman kertas kuarto spasi rangkap (Herman J. Waluyo, dan Nugraheni
E.W.,2009: 6).
Ciri-ciri cerita pendek antara lain adalah (1) singkat, padu, dan ringkas; (2)
memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerakan; (3) bahasanya tajam,
sugestif, dan menarik perhatian; (4) mengandung impresi pengarang tentang
konsepsi kehidupan;(5) memberi efek tunggal dalam pikiran pembaca;(6)
37
mengandung detail dan inseden yang betul-betul terpilih;(7) ada pelaku utama
yang benar-benar menonjol dalam cerita: dan (8) menyajikan kebulatan efek dan
kesatuan emosi Guntur Tarigan. 1998: 177).
Cerpen termasuk jenis cerita fiksi atau rekaan. Kata fiksi berasal dari
bahasa Latin fictio berarti membentuk, membuat, atau mengadakan. Dalam bahasa
Indonesia kata “fiksi”dapat diartikan sebagai yang dikhayalkan atau
diimajinasikan (Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W., 2009: 1). Menurut
Burhan Nurgiantoro (2005: 9), karya fiksi karya yang berbentuk prosa, prosa
naratif, atau teks naratif. Karya fiksi, seperti halnya dalam kesastraan Inggis dan
Amerika, menunjuk pada karya berwujud novel dan cerita pendek.
d. Unsur Pembangun Cerita Pendek
Unsur pembangun cerita fiksi menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni
E.W.(2009: 10) adalah: tema cerita, plot, atau kerangka cerita, penokohan dan
perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut
pandang pengarang atau point of view, latar belakang atau back-ground, dialog
atau percakapan, gaya bahasa/gaya cerita, waktu cerita dan waktu penceritaan,
serta amamnat.
Burhan Nurgiantoro (2005: 23) mengemukakan bahwa unsur pembangun
fiksi dikelompokkan menjadi dua yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur
ekstrinsik yaitu unsur dari luar karya sastra yang secara tidak langsung
mempengaruhi bangun cerita namun bukan bagian di dalamnya, walau demikian
unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (tidak dikatakan :cukup menentukan).
Sedangkan unsur intrisik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra.
38
Unsur-unsur ini yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-
unsur yang secara faktual akan dijumpai kalau seseorang membaca karya
sastra.Unsur intrinsik adalah unsur yang secara langsung membangun cerita..
Unsur-unsur tersebut adalah: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut
pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M (1986: 37) unsur-unsur intrinsik
cerpen adalah peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), tema cerita,
suasana cerita (mood dan atmosfir cerita), latar cerita atau (setting) sudut
pandanagan pencerita (point of view), dan gaya (style) pengarangnya. Unsur-unsur
tersebut adalah unsur pembangun cerita.Sebagai unsur pembangun cerita maka
unsur-unsur tersebut harus hadir dalam cerita.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebutdi atas, maka dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur pembangun cerita rekaan termasuk cerita pendek adalah: (1)
tema; (2) plot atau alur cerita; (3) tokoh dan karakter; (4) point of view; (5) setting
atau latar; (6) gaya bercerita / gaya bahasa
Penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Tema
Tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang
menyangkut persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan. Tema disaring
dari motif-motif konkret yang menentukan urutan peristiwa atau situasi tertentu
(Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986:142).
39
Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.W. (2009: 10-11), tema
adalah gagasan pokok. Tema cerita mungkin dapat diketahui melalui judul atau
petunjuk setelah judul, atau dengan melalui proses pembacaan karya sastra
berkali-kali, karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca. Perbedaannya
dengan amanat cerita, dapat dinyatakan bahwa tema bersifat objektif, lugas, dan
khusus, sedangkan amanat cerita bersifat subjektif, kias, dan umum
William Kenney (1966: 91) menjelaskan tentang tema seperti berikut ini, “
If theme is not moral, not the subject, not a “hidden meaning” illustrated by the
story. Theme is the meaning the story releases; it may be the meaning the story
discovers. Tema bukan moral, bukan subjek, bukan makna yang disembunyikan
melalui ilustrasi cerita. Tema adalah makna yang dikemukakan cerita, dan dapat
ditemukan di balik cerita yang mendukungnya. Jadi, untuk menemukan tema
cerita harus dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data yang lain(
unsur-unsur intrinsik).
Sedangkan Burhan Nurgianotro (2005: 70), mengemukakan tema adalah
dasar cerita, gagasan dasar umum cerita. Dasar (utama) cerita sekaligus berarti
tujuan (utama) cerita. Jika dilihat dari sudut pengarang, dasar cerita dipakai
sebagai panutan pengembangan cerita, dilihat dari sudut pembaca ia akan bersifat
sebaliknya. Berdasarkan cerita yang dibeberkan itulah pembaca berusaha
menafsikan apa dasar utama cerita itu, dan hal itu akan dilakukan berdasarkan
detail-detail unsur yang terdapat dalam karya yang bersangkutan. Tema sebuah
karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan.
40
Menentukan tema sebuah cerita tidaklah mudah. Untuk dapat menentukan
tema, pembaca harus memahami cerita secara sungguh-sungguh, maka diperlukan
membaca tidak hanya sekali. Di samping itu unsur-unsur pembangun lain harus
juga dipahami dan dikaitkan atau diarahkan dengan tema. Jadi, menentukasn tema
juga harus dilihat atau didasarkan pada unsur-unsur pembangun yang lain.
Cara menafsirkan tema cerita sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo
dan Nugraheni E.W. (2009: 13) adalah sebagai berikut: (1) jangan sampai
bertentangan dengan setiap rincian cerita; (2) harus dapat dibuktikan secara
langsung dalam teks; (3) penafsiran tema tidak hanya berdasarkan pikiran; dan (4)
berkaitan dengan rincian cerita yang ditonjolkan ( mungkin disebutkan sebagai
bagian dari judul).
(2). Plot atau alur cerita
Plot atau sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang
disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan
memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang
(Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W., 2009.14). Plot atau alur merupakan
struktur naratif (Rene Wellek dan Austin Warren, 1988: 284). Plot adalah
serangkaian peristiwa drama atau cerita naratif dan peristiwa itu tersusun untuk
membawa pencapaian efek emosi dan seni secara khusus (Abrams, 1981: 127).
William Kenney (1966: 13-14) mengemukakan “plot reveals events to us,
not only in their temporal, but also in their causal relationships. Plot makes us
aware of events not merely as elements in a temporal series but also as an
41
intricate pattern of cause and effect”.Jadi, plot menunjukkan peristiwa- peristiwa
yang merupakan hubungan sebab akibat.
Hukum plot berdasarkan pendapat Kenney (1966: 19-22) berupa
plausibility, surprise, suspense, unity, subplot, dan ekspresi. Plausibility yaitu
kebolehjadian, maksudnya cerita mungkin dapat terjadi dalam kehidupan nyata.
Surprise atau kejutan maksudnya kelanjutan cerita tidak dapat ditebak oleh
pembaca. Pembaca dikejutkan oleh rangkaian cerita berikutnya, sehingga
pembaca mempunyai keinginan untuk mengikuti cerita selanjutnya. Suspense
yaitu tegangan yang membuat pembaca ingin segera mengetahui kisah selanjunya
dari cerita. Unity maksudnya urutan kejadian cerita harus padu. Subplot yaitu
bagian cerita sebagai penjelas yang selalu berhubungan dengan plot utamanya.
Ekspresi yaitu ungkapan cerita, maksudnya cerita mengekspresikan pengalaman
tokoh sehingga dapat menghidupkan cerita. Jakob
Sumardjo dan Saini K.M. (1986: 48-49) menjelaskan bahwa apa yang disebut plot
dalam cerita memang sulit dicari. Plot tersembunyi di balik jalannya cerita.
Namun jalan cerita bukanlah plot. Jalan cerita hanyalah manifestasi, bentuk
wadah, bentuk jasmaniah dari plot cerita. Jalan cerita memuat kejadian. Tetapi
suatu kejadian ada karena ada sebabnya, ada alasannya. Yang menggerakkan
kejadian cerita tersebut adalah plot, yaitu segi rohaniah dari kejadian. Intisari plot
adalah konflik. Elemen –elemen plot adalah (1) pengenalan; (2) timbulnya
konflik; (3) konflik memuncak; (4) klimaks; (5) pemecahan masalah.
Pendapat Burhan Nurgiantoro (2005: 94) sama dengan pendapat Jakob
Sumardjo yaitu plot berbeda dengan cerita. Keduanya memang sama-sama
42
mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa, namun tuntuntan plot bersifat lebih
kompleks daripada cerita. Cerita sekedar mempertanyakan apa dan atau
bagaimana kelanjutan peristiwa, sedang plot lebih menekankan permasalahannya
pada hubungan kausalitas, kelogisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan
dalam karya naratif yang bersangkutan.
Menurut William Kenney (1966: 14-19) tahap-tahap plot yaitu: (1)
beginning atau exposition (2) the midle- conflict, complication, climax; (3) the
end.
Sedangkan, Herman J. Waluyo mengemukakan bahwa plot terdiri dari
rangkaian kejadian sebagai berikut: (1) eksposisi; (2) inciting moment; (3) rising
action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; (7) denaument
(penyelesaian).Unsur-unsur itu dijelaskan sebagai berikut.
Ekposisi yaitu paparan awal,pengarang memperkenalkan tokoh-tokoh
cerita. Inciting moment artinya mulainya problem cerita. Rising action artinya
konflik dalam cerita meningkat. Complication menunjukkan konflik yang
semakin ruwet. Climax yaitu puncak cerita atau pucak penggawatan, merupakan
jawaban dari semua problem atau konflik yang tidak mungkin dapat atau dapat
lebih ruwet lagi.Sedangkan falling action dan denoument adalah bagian akhir
cerita yaitu peleraian dan penyelesaian cerita.
Simpulan yang dikemukakan William Kenny (1966: 23) tentang plot yaitu
plot merupakan faktor paling penting dalam sebuah pemahaman cerita fiksi (an
understanding of plot is the most important factor in the understanding of fiction).
43
(3). Tokoh dan karakter
Tokoh adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan tindakan (Abrams, 1981:
21).Tokoh- tokoh memiliki watak yang menyebabkan terjadinya konflik dan
konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita.
Tokoh dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang
mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan
tokoh protagonis adalah tokoh yang menentang arus atau yang menimbulkan
perasaan antipati atau benci pada diri pembaca. Kedua jenis tokoh ini
mendominasi cerita maka disebut juga tokoh sentral yang berarti tokoh yang
dipentingkan.dan menjadi pusat penceritaan. Yang menjadi kebalikan tokoh
sentral adalah tokoh bawahan atau tokoh sampingan. Tokoh laian adalah tokoh
wirawan yaitu tokoh penting termasuk sentral tetapi bukan tokoh protagonios dan
antagonis. Sedangkan tokoh bawahan yang dapat diandalkan disebut tokoh
andalan, dan tokoh tambahan adalah tokoh yang dijadikan latar belakang saja dan
tidak dipandang penting ( Herman J. Waluyo, dan Nugraheni E. W.,2009: 28-29).
Watak-watak dalam cerita oleh pengarang dideskripsikan melalui teknik-
teknik tertentu. Teknik atau cara penggambaran watak tersebut dinamakan
perwatakan atau penokohan. Penokohan ada yang menggunakan teknik langsung
yaitu pengarang langsung mendeskripsikan watak tokohnya, dan teknik tak
langsung, pengarang menggunakan berbagai cara. Jakob Sumardjo dan Saini
44
K.M.(1986: 65) mengemukakan cara penggambaran tokoh yaitu dengan: (1)
melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama bagaimana ia
bersikap dalam situasi kritis; (2) melalui ucapan-ucapannya; (3) melalui
penggambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran-pikirannya; (5) melalui penerangan
langsung.
Sedangkan menurut Herman J.Waluyo dan Nugraheni E.W.(2009:32),
penggambaran watak tokoh dengan: (1) secara langsung; (2) secara tidak langsung
dengan melalui a) pernyataan oleh tokohnya sendiri; b) dramatisasi; c) pelukisan
keadaan sekitar tokoh; d) analisis psikis pelaku; dan e) dialog pelaku-pelakunya
atau cerita orang lain.
(4). Point of View
Point of view menujukkan kedudukan atau tempat berpijak juru cerita
terhadap ceritanya ( Dick Hartoko dan B.Rahmanto, 1986: 108). Point of view
dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan
pengarang untuk berperan dalam cerita. Ada dua macam yaitu sebagai orang
pertama disebut akuan dan sebagai orang ketiga disebut diaan (Herman J. Waluyo,
dan Nugraheni E.W., 2009: 37).
Abrams (1981: 133) mengatakan bahwa point of view adalah “ signifies
the way a story gets rold”. Pengarang menggunakan berbagai cara untuk
menyajikan suatu cerita. Cara itu antara lain menggunakan orang pertama dan
oring ketiga. Sudut pandang orang pertama narrator bercerita sebagai saya dalam
karakter sebuah cerita. Sudut pangang orang ketiga narrator berada di luar cerita,
dan menunjukkan semua watak atau tokoh rerita tersebut dengan kata: ia, dia,
45
mereka. Dalam hal ini Kenney (1966: 48), membedakan dua cara yaitu omniscient
narrator dan limited narrator.
Sementara itu Burhan Nurgiantoro (2005: 256-266) mengemukakan
bahwa sudut pandang ada tiga macam yaitu sudut pandang persona ketiga, gaya
“dia’. Sudut pandang ini ada dua macam yaitu sudut pandang “dia” mahatahu, dan
“dia” terbatas atau “dia” sebagai pengamat. Sudut pandang “dia” mahatahu dalam
literatur bahasa Inggris dikenal dengan istilah-istilah the omniscient point of view,
third- person omniscient, the omniscient narrator. Dalam sudut pandang ini,
cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang dapat menceritakan apa saja
hal-hal yang menyangkut tokoh “dia”. Narator mengetahui segalanya. Sudut
pandang “dia” terbatas pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami,
dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh
saja.
Sedangkan sudut pandang persona pertama disebut juga first-person point
of view , “aku” ada dua macam yaitu “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh
tambahan. “Aku” tokoh utama, aku menjadi tokoh utama cerita praktis menjadi
tokoh protagonis. ‘Aku” sebagai tokoh tambahan aku muncul bukan sebagai
tokoh utama melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peripheral. Tokoh
aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh yang
dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai
pengalamannya.
Sudut pandang campuran yaitu pengarang berganti-ganti dalam teknik
penceritaan dari teknik satu ke teknik yang lain. Penggunaan sudut pandang yang
46
bersifat campuran ini, campuran antara sudut pandang orang pertama dan orang
ketiga.
(5). Setting atau lattar
Setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita berkaitan
dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun setting juga
dikaitkan dengan tempat dan waktu ( Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W.,
2009: 34). Setting dalam fiksi tidak hanya sekedar background, artinya bukan
hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya. Setting dapat berarti
banyak yaitu tempat tertentu, daerah tertentu , orang-orang tertentu dengan watak-
watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu, cara
berpikir tertentu ( Jakob Sumardjo dan Saini K.M., 1986: 76).
Rene Wellek dan Austin Werren (1988: 290) menyebut setting dengan
istilah latar. Latar adalah lingkungan, dan lingkungan—terutama interior
rumah—dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari
tokohnya. Latar dapat menunjukkan ekspresi kehendak manusia. Latar juga dapat
berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik
dan sosial.
(6). Gaya Bercerita dan Gaya Bahasa
Dalam cerita narasi ada gaya bercerita dan gaya bahasa. Keduanya tentu
ada hubungannya. Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W., ( 2009: 39),
gaya bercerita seorang pengarang akan dapat dilihat dari gaya bahasa yang
digunakan. Setiap pengarang mempunyai gaya bercereita yang khas. Pengarang
berusaha menciptakan bahasa yang khas, yang lebih hidup, ekspresif, dan estetis.
47
Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana
seseorang pengarang memilih dan menyusun kata-kata, tema, persoalan, meninjau
persoalan dan menceritakannya. Gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri. Gaya
pengarang adalah kaca bening jiwanya ( Jakob Sumardjo dan Saini K.M., 1986:
92)
Kenney (1966: 60-67) menjelaskan bahwa gaya ada tiga unsur yaitu:
diction, imagery, dan syntax. Diction atau diksi yaitu pilihan kata, imagery yaitu
citraan, sintax atau sintaks berarti efek yang ditimbulkan oleh penggambaran
cerita.
Jadi, gaya pengarang adalah cara pengarang memilih kata, kalimat, dan
majas. Pendek kata pemakaian aspek bahasa yang digunakan pengarang untuk
menghidupkan cerita. Dalam hal ini tentu menyangkut penggunaan gaya bahasa
misalnya personifikasi, hiperbola, paradoks, dan sebagainya.
Berpijak pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah
cerita rekaan yang melukiskan kehidupan manusia secara ringkas dan padat, yang
diceritakan hanya satu peristiwa pokok, sehingga cerita pendek dibaca hanya
dalam sekali duduk dan unsur-unsur pembangun cerpen yaitu tema, plot, tokoh/
karakter, point of view, setting atau latar, dan gaya bercerita atau gaya bahasa.
e. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
Berpijak pada berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ke-
mampuan mengapresiasi cerpen adalah kesanggupan individu untuk melakukan
kegiatan mengenali, memahami, menghargai, dan menilai atau menguasai secara
48
sungguh-sungguh cerita rekaan yang melukiskan kehidupan manusia, secara
ringkas dan padat, dan yang diceritakan hanya satu peristiwa pokok.
f. Pengukuran Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
Untuk mengukur kemampuan mengapresiasi cerpen menurut Moody
(Burhan Nurgiantoro, 2009: 340) ada empat kategori yaitu information
(informasi), concepts (konsep), prespectives ( perspektif), dan appreciation
(apresiasi). Tingkat informasi berkaitan dengan hafalan, tingkat konsep berkaitan
dengan persepsi siswa, tingkat perspektif berkaitan dengan pandangan siswa, dan
tingkat apresiasi berhubungan dengan kemampuan menganalisis, menilai karya
sastra.
Tes kesastraan tingkat informasi dimaksudkan untuk mengungkap
kemampuan siswa yang berkaitan dengan hal-hal pokok yang berkenaan dengan
sastra, baik yang menyangkut data-data tentang suatu karya maupun data-data lain
yang dapat dipergunakan untuk membantu menafsirkannya. Pertanyaan-
pertanyaan untuk tingkat informasi ini antara lain: apa yang terjadi, di mana,
kapan, berapa, nama-nama pelaku dan sebagainya.
Tes kesastraan tingkat konsep berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana
data-data atau unsur-unsur karya sastra itu diorganisasikan. Pertanyaan-
pertanyaan untuk tes ini: apa sajakah unsur-unsur yang terdapat dalam fiksi,
mengapa pengarang justru memilih unsur yang seperti itu, apa efek pemilihan
unsur itu, apa hubungan sebab-akibat unsur atau peristiwa-peristiwa itu, apa
konflik pokok yang dipermasalahkan, konflik apa sajakah yang timbul, faktor-
49
faktor apa saja yang terlibat dalam atau mempengaruhi terjadinya konflik, dan
sebagainya.
Tes kesastraan tingkat perspektif berkaitan dengan pandangan siswa, atau
pembaca pada umumnya, sehubungan dengan karya sastra yang dibacanya.
Bagaimana pandangan dan reaksi siswa terhadap sebuah karya akan ditentukan
oleh kemampuannya memahami karya sastra yang bersangkutan. Pertanyaan-
pertanyaan untuk tes ini : apakah karya sastra ini berarti atau ada manfaatnya,
apakah sesuai dengan realitas kehidupan, apakah cerita ( juga: kejadian, tokoh,
situasi, konflik) bersifat tipikal, bersifat tipikal dalam realitas yang mana, apakah
ada kemungkinan cerita semacam itu terjadi di tempat lain, simpulan apakah yang
dapat diambil dari karya atau cerita itu, apa manfaat karya atau cerita itu, dan
sebagainya.
Tes kesastraan tingkat apresiasi terutama berkisar pada permasalahan dan
atau kaitan antara bahasa sastra dengan linguistik. Seperti apa bahasa sastra, atau
apa ciri khas bahasa satra. Pertanyaan untuk tes ini: mengapa pengarang justru
memilih bentuk, kata, atau ungkapan yang seperti itu, apakah pemilihan itu
memang lebih dibanding bentuk-bentuk linguistik yang lain, apa efek pemilihan
bentuk, kata, ungkapan, kalimat, dan gaya bagi karya itu secara keseluruhan, jenis
atau ragam bahasa apa yang dipergunakan dalam karya itu dan sebagainya.
Dalam tes tingkat ini siswa dituntut untuk mampu mengenali, menganalisis,
membandingkan, menggeneralisasikan, menggeneralisir, dan menilai bentuk-
bentuk kebahasaan yang dipergunakan dalam sebuah karya yang dibahas.
50
Instrumen yang akan digunakan untuk mengetes kemampuan apresiasi,
diuji validitas dan reliabelitasnya, agar dapat digunakan untuk mengukur secara
benar. Uji validitas menggunakan rumus Point Beserial, uji reliabelitas
menggunakan rumus KR—20.
Melalui jawaban-jawaban yang diberikan oleh responden dan dianalisis
menggunakan rumus yang telah ditentukan dapat diketahui apakah seseorang
mempunyai kemampuan mengapresiasi cerpen tinggi atau rendah.
2. Hakikat Kemampuan Penalaran
a. Pengertian Kemampuan
Seperti yang telah diuraiakan pada paragraf sebelumnya, kemampuan
adalah kesanggupan individu untuk melakukan suatu kegiatan secara maksimum
agar mencapai hasil yang paling tinggi, dan kemampuan merupakan hasil belajar.
b. Pengertian Penalaran
Penalaran adalah proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan.
Berpikir merupakan suatu aktivitas untuk menemukan pengetahuan yang benar
atau kebenaran (Burhanudin Salam, 1988: 4). Penalaran sebagai aktivitas berpikir
mempunyai dua ciri yaitu (1) adanya pola berpikir yang disebut logika atau proses
berpikir logis, (2) adanya sifat analitik. Jadi, dengan berpikir orang menggunakan
akal untuk mengolah pengetahuan yang telah diterima melalui panca indra, dan
ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran.
Hurley (1982: 1) mengemukakan bahwa logika adalah pengetahuan yang
mengevaluasi argumen. Tujuan dari logika, sebagai ilmu yang mengevaluasi
argumen, untuk mengembangkan metode dan teknik yang memungkinkan
51
membedakan argumen yang baik dari yang buruk (argumen, dan argumen itu
adalah argumen yang benar. Logic may be defined as the science that evaluates
arguments. The purpose of logic, as the science that evaluates arguments, is thus
to develop methods and techniques that allow us to distinguish good arguments
from bad). Dengan demikian, di dalam berpikir orang menggunakan argumen, dan
argumen itu adalah argumen yang benar.
Menurut Jan Hendrik Rapar (1996: 16) penalaran adalah kegiatan
berpikir. Kegiatan berpikir ini tidak lepas dari bahasa. Dalam berpikir orang selalu
menggunakan bahasa, baik bahasa yang digunakan dalam pikiran, diucapkan
dengan mulut, maupun bahasa tertulis. Jadi, bahasa yang digunakan seseorang
dapat menunjukkan penalaran seseorang.
Jujun S. Suryasumantri (1984:42), menjelaskan bahwa penalaran
merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Manusia pada hakikatnya makhluk yang berpikir, merasa, bersikap
dan bertindak. Sikap dari tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang
didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan
pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan.
Meskipun demikian, patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir
menyandarkan diri pada penalaran. Jadi, penalaran merupakan kegiatan berpikir
yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran
Penalaran mempunyai cirri-ciri tertentu. Ciri yang pertama, adanya pola
berpikir yang secara luas dapat disebut logika, maksudnya penalaran merupakan
suatu proses berpikir logis. Ciri yang kedua, adalah analitik, artinya sebagai
52
kegiatan berpikir dengan alur atau langkah-langkah tertentu yang merupakan
konsekuensi dari adanya pola berpikir tersebut.
Pendapat Gorys Keraf (2001: 5) tentang penalaran (reasoning, jalan
pikiran) adalah proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta
atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan.
Lionel Ruby melalui Setya Yuwana Sudikan (1984: 21) mengemukakan
bahwa berpikir ilmiah adalah berpikir secara metodis, dan teratur. Cara berpikir
yang berguna bila kita menghadapi persoalan yang sulit untuk dipecahkan, dalam
hal ini ada dua cara yaitu cara deduktif dan cara induktif.
Menurut Alex Lanur (1991: 7) yang dimaksudkan dengan berpikir adalah
kegiatan pikiran, akal budi manusia, mengolah, mengerjakan pengetahuan yang
telah diperolehnya Pengolahan, pengerjaan ini terjadi dengan mempertimbangkan,
meng- uraikan, membandingkan serta menghubungkan pengertian satu dengan
pengertian lainnya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik simpulan bahwa terdapat ciri
penting dalam penalaran. Ciri-ciri itu adalah adanya fakta, alur berpikir (analitik),
ada tujuan yaitu simpulan berupa pengetahuan,dan kelogisan.
Sebagai suatu proses penarikan kesimpulan, secara umum penalaran
dibedakan atas (1) penalaran induksi dan (2) penalaran deduksi. Penalaran induksi
penalaran yang bertolak dari hal yang khusus menuju pada suatu simpulan umum.
Sebaliknya penalaran deduksi yaitu penalaran yang dimulai dari peristiwa umum
menuju pada peristiwa khusus,
53
Menurut Gorys Keraf (2001: 37) untuk menurunkan suatu simpulan
induksi diperlukan bahan-bahan atau fakta-fakta terlebih dahulu. Semakin
banyak fakta yang dikumpulkan semakin baik ciri simpulan yang
diturunkan.Yang termasuk penalaran induksi yaitu generalisasi, analogi, dan
hubungan kausal.
Menurut Gorys Keraf (2001: 43-52), generalisasi adalah penalaran yang
bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi
yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena tadi. Prinsip-prinsip dalam
menarik simpulan generalisasi yaitu: (1) peristiwa –peristiwa sebagai dasar
generalisasi harus cukup banyak, (2) peristiwa itu merupakan sampel yang baik,
(3) harus mem- memperhatikan kekecualian- kekecualian, (4) perumusan
generalisasi itu harus absah.
Analogi yaitu suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa
khusus yang mirip satu sama lain,sehingga apa yang berlaku untuk satu hal akan
berlaku pula untuk hal yang lain. Sebagai ilustrasi perhatikan contoh berikut.
Rina tamatan Fakultas Ekonimi Gajah Mada. Ia telah memberikan prestasi yang
luar biasa pada perusahaan Elindo tempat dia bekerja. Ketika penerimaan pegawai
baru, Direktur Perusahaan menerima Dinta alumnus Fakultas Ekonomi Gajah
Mada sebagai pegawai baru. Menurut logika direktur, Dinta memiliki kualitas
yang sama atau hampir sama dengan Rina.
Hubungan kausal dapat berlangsung dalam tiga pola: sebab- akibat, akibat-
sebab, dan akibat ke akibat. Semua peristiwa mempunyai sebab yang mungkin
dapat diketahui bila manusia berusaha menyelidikinya. Seorang filsuf Yunani
54
bernama Leucippus, mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun terjadi tanpa
sebab, tiap hal mempunyai sebab (Gorys Keraf. 2001: 50).
Hubungan sebab- akibat bertolak dari peristiwa yang dianggap sebagai
sebab, kemudian menuju kepada suatu kesimpulan sebagai efek atau akibat. Efek
yang ditimbulkan oleh sebab dapat tunggal, atau dapat pula berupa sejumlah efek
bersama-sama.Misalnya menghidupkan lampu di sebuah ruangan gelap
menyebabkan ruangan menjadi terang. Hujan sebagai suatu sebab dapat
menimbulkan akibat bersama-sama jaitu tanah basah, tanah becek, sungai banjir,
petani dapat menanam tanaman, dan sebagainya.
Hubungan akibat - sebab merupakan proses berpikir yang bertolak dari
suatu peristiwa yang merupakan akibat, kemudian bergerak menuju sebab-sebab
yang mungkin telah menimbulkan akibat. Hubungan akibat-sebab ini dapat diuji
kebenarannya dengan pertanyaan : Apakah cukup terdapat sebab untuk
menghasilkan sebuah akibat?, Apakah tidak mungkin ada sebab lain yang
menimbulkan akibat itu? Contoh penalaran akibat–sebab yang benar misalnya,
“Para petani mulai menanam padi sebab musim penghujan telah tiba”.Penalaran
akibat-sebab yang salah misalnya, “Hari menjadi siang sebab ayam berkokok”.
Hubungan akibat- akibat adalah proses penalaran yang bertolak dari suatu
akibat menuju suatu akibat yang lain, tanpa menyebut sebab umum yang
menimbulkan kedua akibat tadi. Dalam penalaran ini, yang perlu diperhatikan
adalah apakah data yang merupakan sebab benar-benar dapat dipercaya. Data
yang merupakan sebab harus betul-betul data yang bersifat umum dan cukup kuat
untuk menghasilkan kedua akibat.( Gorys Keraf. 2001: 52). Contoh penalaran ini :
55
Harga bahan bakar minyak naik. Akibatnya transportasi naik, harga barang-
barang kebutuhan pokok naik. Hal iu dirasakan berat oleh rakyat. Oleh karena itu,
pendapatan rakyat harus ditingkatkan.
Penalaran deduksi yaitu penalaran yang bertolak dari suatu proposisi yang
sudah ada, yang bersifat umum, menuju pada suatu proposisi yang bersifat
mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang bertalian dengan proposisi umum
tadi. Untuk menarik simpulan yang bersifat deduksi, fakta-fakta tidak perlu
dikumpulkan terlebih dahulu, tetapi yang diperlukan suatu proporsi yang bersifat
umum, dan suatu proporsi yang mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang
bertalian dengan proporsi umum tadi. Dengan demikian, apabila identifikasi yang
dilakukan benar, dan proporsi juga benar, maka dapat diharapkan suatu simpulan
yang benar. Penalaran deduksi ada beberapa corak yaitu: silogisme kategorial,
silogisme hipotetis, silogisme alternatif, entimem, rantai deduksi (Gorys Keraf,
2001: 58).
Burhanuddin Salam dalam bukunya yang berjudul Logika Formal (1988:
75) mengmukakan bahwa penalaran deduksi merupakan cara berpikir yang
bertolak dari pernyataan-pernyatan yang bersifat umum, untuk menarik simpulan
yang bersifat khusus. Penarikan simpulan secara deduktif biasanya menggunakan
pola berpikir silogisme.
Penalaran silogisme yaitu penalaran yang menghubungkan dua proposisi
(pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan. Kedua kalimat
yang pertama disebut premis, sedangkan yang ketiga disebut kesimpulan. Premis
56
pertama disebut premis mayor, sedang premis kedua disebut premis minor.. .
Misalnya:
Premis mayor: Semua pengendara kendaraan bermotor harus memiliki SIM
Premis minor: Rudi pengendara kendaraan bermotor.
Simpulan : Rudi harus memiliki SIM.
Menurut Setya Yuwono Sudikan (1984: 23), silogisme kategoris berisi
suatu penggolongan silogisme ke dalam kelas-kelas seperti: Kambing binatang
menyusui. Kerbau binatang menyusui. Jadi, kambing dan kerbau binatang
menyusui.
Silogisme hipotesis disebut juga silogisme bersyarat yang belum tentu
terbukti, seperti: Kalau sedang lapar Murni menangis . Sekarang Murni sedang
lapar. Jadi, Murni sekarang sedang menangis.
Silogisme alternatif berarti memilih satu di antara premis yang ada seperti:
Kita pergi atau di rumah saja. Kita di rumah saja. Jadi, kita tidak jadi pergi.
Silogisme sebagai suatu cara untuk menyatakan pikiran tampaknya bersifat
artificial. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme itu muncul hanya
dengan dua proposisi, salah satunya dihilangkan. Walaupun dihilangkan,
proposisi itu tetap dianggap ada dalam pikiran dan dianggap diketahui pula oleh
orang lain. Bentuk semacam ini disebut entimem (Gorys Keraf, 2001: 72). Contoh
: Habibi pandai karena habibi seorang professor.
c. Kemampuan Penalaran
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disintesiskan bahwa pada
hakikatnya yang dimaksudkan dengan kemampuan penalaran dalam tesis ini
57
adalah kesanggupan siswa untuk melakukan kegiatan berpikir secara maksimal
menurut suatu pola tertentu, atau sesuai dengan logika induktif, maupun deduktif
guna menghubung-hubungkan fakta atau bukti-bukti yang ada dengan langkah-
langkah yang teratur, sistematis (bersifat analitik), dan bertujuan untuk
menghasilkan simpulan.
d. Pengukuran Penalaran
Untuk mengetahui seberapa baik kemampuan penalaran siswa diperlukan
tes kemampuan penalaran. Tes ini dikembangkan dengan mengacu pada konsep
dan teori yang telah dipaparkan oleh Gorys Keraf. Adapun aspek-aspek
kemampuan penalaran yang diukur meliputi: (a) penalaran induktif dan (b)
penalaran deduktif. Masing-masing aspek di atas dijabarkan ke dalam indikator,
yaitu (a) untuk aspek penalaran induktif, di dalamnya mencakup: (1) generalisasi,
(2) analogi, dan (3) hubungan kausal; (b) untuk aspek penalaran deduktif, di
dalamnya meliputi: (1) silogisme kategorial, (2) silogisme hipotesis, (3) silogisme
alternatif, dan (4) entimem.
3. Hakikat Kebiasaan Membaca Karya Sastra
a. Pengertian Kebiasaan
Kata kebiasaan dalam bahasa Inggris “habit” merupakan salah satu dari
istilah-istilah teknis dalam psikologi. Menurut J.P. Chaplin (2000: 219) arti habit
atau kebiasaan sebagai berikut: (1) suatu reaksi yang diperoleh atau dipelajari; (2)
suatu kegiatan yang menjadi relatif otomatis setelah melewati praktik yang
panjang; (3) pola pikiran atau sikap yang relatif tetap terus menerus: (4) suatu
58
bentuk karakteristik dari tingkah laku, ciri, sifat; (5) suatu dorongan yang
diperoleh atau dipelajari, seperti kecanduan obat bius.
Makna kebiasaan berasal dari kata biasa, yang mengandung arti
pengulangan atau sering melakukan.. Sesuai dengan pernyataan tersebut, maka
jika suatu perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan seseorang secara berulang-
ulang dalam hal yang sama, akan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan biasanya
terjadi tanpa kesadaran pada pihak yang memiliki kebiasaan itu.
Kebiasaan adalah perilaku tetap individu yang akan tampil setiap kali ia
berada dalam situasi tertentu. Pengaruh lingkungan terhadap pembentukan
kebiasaan sangat besar. Adanya keuntungan atau imbalan yang menyenangkan
atas suatu perilaku atau cara bereaksi bisa membuat perilaku cara bereaksi
meneguh menjadi kebiasaan. Lingkungan kultural akan berusaha menumbuhkan
kebiasaan-kebiasaan baik pada individu (S.C. Utami, 1990: 28 ).
Tampubolon (1990: 227-228) menjelaskan bahwa kebiasaan adalah
kegiatan atau sikap, baik fisik maupun mental, yang telah membudaya dalam
suatu masyarakat. Kebiasaan itu merupakan bagian dari kebudayaan suatu
masyarakat. Dia juga mengatakan kebiasaan berkaitan dengan minat, dan
merupakan perpaduan antara keinginan dan kemauan yang dapat berkembang jika
ada motivasi.
Dengan kebiasaan dimaksudkan cara berbuat yang seragam, seperti halnya
sikap adalah cara merasa atau berfikir yang seragam atau tetap. Umumnya
kebiasaan itu berlangsung agak otomatis dan dengan hanya sedikit atau tanpa
kesadaran (Yus Rusyana,1984: 192).
59
Berpijak pada beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kebiasaan merupakan suatu cara bertindak yang telah dikuasai, yang berlangsung
secara otomatis, mekanis, yang terjadi secara berulang-ulang, dan merupakan
tindakan yang diperoleh melalui belajar.
b. Pengertian Membaca
Berdasarkan pendapat Tampubolon (1990: 228) membaca adalah kegiatan
fisik dan mental yang dapat berkembang menjadi suatu kebiasaan. Membaca
merupakan kemampuan motoris berupa gerakan-gerakan mata, dan berupa proses
kognitif yang melibatkan kegiatan pikiran atau penalaran termasuk ingatan.
Dengan kegiatan penalaran dimaksudkan pembaca berusaha menemukan dan
memahami informasi yang dikomunikasikan oleh pengarang. Dalam membaca
lanjut, pembaca dapat memperoleh dua jenis pengetahuan,yaitu,informasi-
informasi baru dari bacaan, cara-cara pikiran dalam karangan. Jadi, membaca
dapat meningkatkan daya nalar.
Seni membaca merupakan proses pikiran tanpa bantuan apa pun kecuali
kata-kata dalam bahan bacaan itu, dapat meningkatkan pemahaman. Pikiran
bergerak dari kurang paham ke lebih paham. Semua tindakan yang menyebabkan
hal ini merupakan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi pembaca yang
berhasil (Mortimer J. Adler dan Charles Van Doren, 1987: 7).
Menurut Ahmad S. Harjasujana (1988: 3) membaca merupakan interaksi
antara pembaca dan penulis. Interaksi tersebut tidak langsung, namun bersifat
komunikatif. Komunikasi antara pembaca dan penulis akan semakin baik jika
pembaca mempunyai kemampuan yang lebih baik.
60
Henry Guntur Tarigan (1989: 192) mengatakan bahwa membaca
mengandung pengertian sebagai suatu proses penafsiran dan pemberian makna
terhadap lambang- lambang oleh pembaca dalam usaha untuk memperoleh pesan
yang disampaikan penulis melalui kata-kata yang berupa tulisan. Membaca yang
dimaksudkan di sini adalah membaca pemahaman, maksudnya memahami arti
suatu bacaan, menguasai isi bacaan. Menurut Goodman (1980:15) membaca
pemahaman merupakan suatu proses merekonstruksikan pesan yang terdapat
dalam teks bacaan. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa proses rekonstruksi pesan
itu berlapis, interaktif, dan di dalamnya terjadi proses pembentukan dan pengujian
hipotesis. Hasil pengujian hipotesis akan dipakai oleh pembaca sebagai dasar
kesimpulan mengenai pesan atau informasi yang disampaikan oleh penulis.
Jadi, pengertian kebiasaan membaca yaitu kegiatan yang dilakukan
seseorang secara otomatis , mekanis dan teratur / berulang-ulang dalam rangka
memahami, menafsirkan, dan memaknai teks. Kebiasaan membaca ini dapat
dilatih sehingga dapat menjadi sesuatu yang membudaya dalam diri seseorang.
Dengan demikian, membaca akan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap orang..
Jika kebiasaan membaca telah membudaya dalam suatu masyarakat, yang
perlu dicapai ialah kebiasaan membaca yang efisien, yaitu kebiasaan membaca
yang disertai minat yang baik dan keterampilan membaca yang efisien telah sama-
sama berkembang dengan maksimal ( Tampubolon, 1990: 228).
Dalam usaha pembentukan kebiasaan membaca, Tampubolon mengatakan
ada dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu minat ( perpaduan antara keinginan,
kemauan, dan motivasi) dan keterampilan membaca. Yang dimaksudkan
61
keterampilan membaca ialah keterampilan mata dan penguasaan teknik-teknik
membaca. Kalau minat tidak berkembang, maka kebiasaan membaca sudah tentu
tidak akan berkembang. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk
meningkatkan minat dan kebiasaan membaca.
Kegemaran membaca, seperti kegemaran lain tidak timbul secara tiba-tiba.
Kegemaran membaca merupakan buah kebiasaan. Kebiasaan ini sebaiknya
diawali sejak kanak-kanak. Cara lain yang dilakukan untuk menumbuhkan
kegemaran membaca dengan menyediakan buku-buku yang sesuai atau yang
menarik bagi anak-anak ( Arman Duval, 2009: 1 dalam http: // group.
Yahoo.com/ group/ pasar buku/ message/ 18472.)
Menurut Yus Rusyana (1984: 201), kegiatan membaca itu bertambah
apabila ada dorongan kepada anak-anak untuk membaca. Dorongan itu akan
menambah kemauan anak-anak untuk membaca.
Kegiatan membaca dapat ditingkatkan dengan menggunakan perangkat
visual dalam mengajar. Kehadiran unsur-unsur visual dalam belajar mengajar
dapat meningkatkan integrasi sebagai gambar dan presentasi visual dengan teks
(Suzanne Stokes, Tanpa Tahun: 1).
Kegiatan membaca merupakan jendela dunia. Dengan banyak membaca
berarti seseorang dapat memperoleh berbagai informasi yang berkembang, baik
yang sifatnya lokal, nasional maupun yang global. Melalui kegiatan membaca,
seseorang dapat belajar mengenai berbagai hal mulai dari yang paling sederhana
sampai dengan yang kompleks. Tetapi yang menjadi keprihatinan adalah kegiatan
membaca masih belum menjadi kebiasaan atau kebutuhan hidup masyarakat
62
Indonesia (Sudirman Siahaan dan Rr. Murtiningsih, 2008: 1).
Paulo Freire (1983: 5) dalam penelitiannya tentang membaca,
mengemukakan bahwa tindakan sebenarnya dari membaca teks dapat dilihat
sebagai bagian dari proses yang lebih luas dari pengembangan manusia dan
pertumbuhan yang berdasarkan pemahaman baik dari pengalaman sendiri dan
dunia sosial. Belajar membaca harus dilihat dari sebuah aspek tindakan untuk
memahami dan sebuah tindakan kreatif.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa membaca adalah proses pemahaman, penafsiran, dan pemaknaan yang
melibatkan interaksi antara pembaca dan teks.
c. Pengertian Karya Sastra
Batasan sastra sangat relatif, karena pengertian sastra sangat tergantung
pada bagaimana karya itu dipandang (Nani Tuloli, 2000: 5). Definisi-definisi
sastra yang ada yang selama ini sering dijadikan patokan tentang pengertian
sastra, umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan
gambaran pengertian sastra secara utuh (Zainudin Fananie, 200: 5). Mustahillah
memberikan suatu definisi mengenai sastra yang berlaku untuk semua lingkungan
kebudayaan dan semua zaman. Sifat-sifat yang pada zaman tertentu dianggap ciri
khas bagi sastra ( misalnya rekaan, kiasan), pada zaman lain dianggap tidak
relevan. Sastra berkaitan erat dengan perkembangan suatu bangsa ( Dick Hartoko
63
dan Rahmanto, 1986: 124). Selanjutnya, berikut ini dikemukakan berbagai
definisi sastra dari pakar-pakar sastra..
Sastra menurut Retno Winarni (2009: 7) adalah hasil kreativitas
pengarang yang bersumber dari kehidupan manusia secara langsung atau melalui
rekaannya dengan bahasa sebagai medianya. Pendapat Zainudin Fananie (2000:
6) sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi
yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan
aspek kebahasaan maupun aspek makna. Sedangkan Rene Wellek dan Austin
Warren (1988: 3) mengatakan sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya
seni. Sementara itu, B. Rahmanto (1989: 10) mengemukakan bahwa sastra
mengandung kumpulan dan sejumlah bentuk bahasa yang khusus, yang digunakan
dalam berbagai pola yang sistemis untuk menyampaikan segala perasaan, dan
pikiran.
Yus Rusyana (1984: 311) menguraikan bahwa sastra sebagai seni adalah
kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Sastra berada
dalam dunia fiksi, yaitu hasil kegiatan kreatif manusia, hasil proses pengamatan,
tanggapan, fantasi, perasaan, fikiran, dan kehendak yang bersatu padu, yang
diwujudkan dengan menggunakan bahasa. Jakob Sumardjo dan Saini K.M.(1986:
3). juga mengemukakan pendapatnya tentang sastra yaitu, “satra adalah ungkapan
pribadi manusia yang berupa pengalaman , pemikiran, perasaan, ide, semangat,
keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona
dengan alat bahasa.
64
Kesusastraan mempunyai tujuan dan kewajiban yang disebut tema dan
tugas. Sastra bukanlah sastra semata, tetapi sastra alat untuk mencapai tujuan ,
yaitu mempertajam pandangan manusia terhadap hidupnya, mempertinggi
kesadaran, dan memperkaya jiwa, mempertinggi tingkat peradaban manusia
(Azhar Ibrahim Alwee, 2008: 11).
Sastra pada dasarnya untuk dinikmati. Dari sastra diharapkan dapat
diperoleh kenikmatan ( Yus Rosyana, 1984: 312).
Sedangkan manfaat membaca karya sastra menurut Rene Wellek dan
Austin Warren (1988:27) yaitu untuk mendapatkan kesenangan. Kesenangan yang
dimaksudkan adalah kesenangan yang kontemplasi yang bersifat didaktis.
Maman S. Mahayana (2008:1) dalam penelitiannya tentang apresiasi satra
di sekolah menyebutkan bahwa siswa harus didorong untuk menghargai karya
sastra bukan untuk memahami konsep-konsep. Melalui karya sastra, siswa dapat
mengembangkan saling menghormati satu sama lain tentang pendapat masing-
masing berkenaan dengan karya sastra Jadi, apresiasi sastra di kalangan siswa
perlu ditingkatkan melalui berbagai cara.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah hasil
karya kegiatan kreatif manusia yang mengungkapkan penghayatan dan aspek
estetika dengan menggunakan bahasa.
d. Kebiasaan Membaca Karya Sastra
Menurut A.Teew (1983: 12-15), membaca karya sastra adalah proses
pemberian makna pada sebuah teks sastra tertentu, yang dipilih atau yang
dimintakan kepada pembaca untuk dibaca. Dalam membaca karya sastra
65
diperlukan pengetahuan sistem kode, yakni kode bahasa, kode sastra, dan kode
budaya. .
B. Rahmanto ( 1988: 40-41) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran
sastra perlu disertai pembinaan minat serta kesenangan terhadap karya sastra itu
semaksimal mungkin.Untuk membina kesenangan membaca ini perlu pendekatan
membaca ekstensif dan membaca intensif. Kedua jenis membaca ini satu sama
lain saling melengkapi dan tentu saja, masing-masing memiliki keunggulan dan
kelemahannya sendiri.
Gerald C. Cupchik, dkk. (2003: 1) dalam penelitiannya tentang efek
membaca cerita pendek, menyimpulkan bahwa membaca cerita pendek dapat
memberikan efek positif kepada pembaca. Oleh karena itu kebiasaan membaca
cerita pendek ( sastra ) perlu ditingkatkan.
Berdasarkan kajian teoretis dan konsep di atas, dapat disentesiskan bahwa
kebiasaan membaca karya sastra adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang
secara otomatis, mekanis dengan sengaja/ terencana dan teratur/ berulang-ulang
dalam rangka memahami, menafsirkan, memaknai karya sastra.
e. Pengukuran Kebiasaan Membaca Karya Sastra
Dalam mengungkap kebiasaan membaca, Utami Munandar (1982: 59-
67) mengungkapkan konsep kebiasaan membaca menjadi dua belas aspek. Kedua
belas aspek itu dapat dipergunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan
kebiasaan membaca, yaitu (1) kesenangan membaca, (2) keseringan membaca, (3)
jumlah buku yang dibaca dalam waktu tertentu (4) asal buku bacaan yang
66
diperoleh, (5) keseringan mengunjungi perpustakaan, (6) macam buku yang
disenangi, (7) keseringan membaca, (8) hal berlangganan majalah, (9) bagian
surat kabar yang disenangi untuk dibaca, (10) hal berlangganan majalah, (11) jenis
majalah yang dilangganani, (12) majalah yang paling disenangi dibaca.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Sumadiyono ( 2002) tentang Hubungan
antara Kebiasaan Membaca dan Pemahaman terhadap Sastra dengan Kemampuan
Mengapresiasi Cerita Pendek Siswa Kelas III SLTP Negeri I Klaten dan SLTP
Negri I Karangdowo, menyimpulkan bahwa kebiasaan membaca dan pemahaman
terhadap sastra berhubungan positif dengan kemampuan mengapresiaasi cerita
pendek.
Penelitian lain yaitu yang dilakukan oleh Tukiman (2005) tentang
Kemampuan Meresepsi Teks Drama Ditinjau dari Kemampuan Penalaran dan
Kebiasaan Membaca Karya Sastra Siswa SMA Negeri Se- Kabupaten Sukoharjo,
hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara penalaran dan
kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan apresiasi teks drama.
Hubungan penelitian Sumadiyono (2002) dengan penelitian ini adalah
sama-sama bertujuan untuk mengetahui kemampuan mengapresiasi cerita pendek
yang dipengaruhi oleh kebiasaan membaca karya sastra. Sedangkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Tukiman (2005) hubungannya yaitu sama-sama
menggunakan variabel kebiasaan membaca karya sastra, dan kemampuan
67
penalaran sebagai variabel bebas yang mempengaruhi apresiasi karya sastra (
karya drama).
Perbedaan penelitian Sumadiyono (2002) dengan penelitian ini,terletak
pada salah satu variabel bebas yaitu penelitian Sumadiyono menggunakan
variabel pemahaman terhadap sastra, sedangkan dalam penelitian ini
menggunakan variabel kemampuan penalaran.
Penelitian ini dengan penelitian Tukiman (2005) perbedaannya terletak
pada variabel terikat (Y). Walaupun berbeda tetapi masih ada hubungan karena
sama-sama hasil sastra hanya beda bentuk saja. Sementara penelitian ini
menggunakan variabel terikat (Y) kemampuan mengapresiasi cerpen, sedangkan
penelitian Tukiman menggunakan variabel terikat (Y) kemampuan mengapresiasi
teks drama.
Penelitian yang dilakukan oleh Nor Shahriza Abdul Karim (2006: 1)
tentang sikap dan kebiasaan membaca mahasiswa Sarjana Seni dari Internasional
Islamic Universitas Malaysia, ditemukan ada perbedaan yang signifikan antara
dua kelompok mahasiswa dalam hal jenis bahan bacaan dan sumber daya yang
digunakan. Perbedaan sikap dan kebiasaan membaca juga diamati untuk peserta
laki-laki dan perempuan. Hasil studi dapat digunakan untuk membimbing
professional di perpustakaan dan peneliti lain yang berkaitan dengan bidang
membaca. Hubungannya dengan penelitian ini, yaitu berkaitan dengan kebiasaan
membaca. Kebiasaan membaca setiap orang itu berbeda-beda. Demikian juga,
dalam hal kebiasaan membaca sastra.
68
Jadi, kalau dibandingkan dengan penelitian yang sudah dilakukan
terdahulu, penelitian ini memang bukan penelitian yang sama sekali baru, tetapi
dapat dikatakan sebagai penelitian kelanjutan. Pebedaan dengan penelitian
sebelumnya, terletak pada variabel bebas dan objek yang diteliti.
C. Kerangka Berpikir
1. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kemampuan Mengapresiasi
Cerita Pendek
Berdasarkan kajian teori dapat dirumuskan kemampuan mengaapresiasi
cerpen adalah kesanggupan individu untuk melakukan kegiatan untuk mengenali,
memahami, menghayati, dan menghargai karya sastra cerpen. Untuk kegiatan ini
dibutuhkan kemampuan penalaran yang baik agar dapat mengapresiasi karya
sastra dengan baik.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa siswa yang memiliki
kemampuan penalaran baik mampu mengapresiasi karya sastra (cerita pendek)
dengan baik. Maka dari itu, diduga ada hubungan positif antara kemampuan
penalaran dan kemampuan mengaapresiasi cerpen.
2. Hubungan antara Kebiasaan Membaca Karya Sastra dan Kemampuan
Mengapresiasi Cerpen
Hakikat apresiasi cerpen adalah kesanggupan individu melakukan kegiatan
untuk mengenali, memahami, menghayati, dan menghargai cerita pendek.
69
Kemampuan tersebut ada hubungannya dengan kebiasaan membaca karya sastra.
Kebiasaan membaca karya sastra dapat membantu siswa mengapresiasi cerpen.
Berdasarkan penjelasan tersebu, dapat dikatakan bahwa siswa yang
memilki kebiasaan membaca karya sastra akan memiliki kemampuan
mengapresiasi cerpen dengan baik. Berdasarkan konsep-konsep teori yang telah
dijabarkan dan dijelaskan tersebut maka diduga ada hubungan positif antara
kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan apresiasi cerpen.
3. Hubungan antara Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra secara
Bersama-sama dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerpen
Berdasarkan uraian di atas diketahui dengan jelas bahwa kemampuan
penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra merupakan faktor penting
terhadap tingkat kemampuan apresiasi cerpen siswa. Siswa yang mempunyai
kebiasaan membaca karya sastra baik dan memilki kemampuan penalaran tinggi
diduga memilki kemampuan mengaapresiasi cerpen yang tinggi pula. Dengan
demikian, dapat diduga ada hubungan yang positif antara kemampuan penalaran
dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan
mengaapresiasi cerpen. Gambaran kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
70
3a
1a 2a
1b 2b
3b
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Keterangan
1.a Kemampuan penalaran yang tinggi berkecenderungan kemampuan
mengapresiasi cerpen siswa tinggi.
1.b Kemampuan penalaran yang rendah berkecenderungan kemampuan
mengapresiasi cerpen rendah.
2.a Kebiasaan membaca karya sastra yang tinggi berkecenderungan kemampuan
mengapresiasi cerpen siswa tinggi.
2.b Kebiasaan membaca karya sastra yang rendah berkecenderungan kemampuan
mengapresiasi cerpen siswa rendah.
3.a Kemampuan penalaran yang tinggi dan kebiasaan membaca karya sastra yang
tinggi berkecenderungan kemampuan mengapresiasi sastra siswa tinggi.
3.b Kemampuan penalaran yang rendah dan kebiasaan membaca karya sastra yang
rendah berkecenderungan kemampuan mengapresiasi sastra siswa rendah.
D. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kajian teoretis dan kerangka tersebut di atas, maka diajukan
tiga hipotesis penelitian sebagai berikut.
Kemampuan
Penalaran
Tinggi
Rendah
Kemampuan
apresiasi cerpen
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Kebiasaan
membaca karya
sastra
71
1.Terdapat hubungan positif antara kemampuan penalaran dan kemampuan
mengapresiasi cerpen.
2.Terdapat hubungan positif antara kebiasaan membaca karya satra dan
kemampuan mengapresiasi cerpen.
3.Terdapat hubungan positif antara kemampuan penalaran dan kebiasaan
membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi
cerpen.
72
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri se–Kota Magelang, yang terdiri
dari lima sekolah yaitu SMA Negeri 1, SMA Negri 2, SMA Negeri 3, SMA
Negeri 4, dan SMA Negeri 5. Semuanya berada di wilayah kota Magelang.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yaitu mulai bulan
Oktober 2009 sampai Juni 2010. Secara garis besar rencana kegiatan penelitian
yang ditempuh dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Kegiatan Penelitian
No Jenis Kegiatan Waktu
1. Penyusunan proposal Oktober 2009
2. Seminar dan revisi proposal Desember 2009
3. Permohonan izin penelitian Januari 2010
4. Penyusunan instrument penelitian Januari 2010
5. Uji coba instrumen dan menganalisis Februari 2010
6. Pengumpulan data Februari 2010 Minggu ke-4
7 Pengolahan dan analisis data Maret dan April 2010
72
73
8. Penayangan abstrak Mei 2010 Minggu 1, 2
9. Ujian dan revisi Mei 2010 minggu ke-4
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai dengan
pendekatan studi korelasional. Pemilihan metode tersebut dengan pertimbangan
bahwa tujuan penelitian ini dirancang untuk memperoleh informasi yang berkaitan
dengan gejala pada saat penelitian berlangsung. Pertimbangan lainnya mengapa
dipilihnya metode survai, karena melalui metode tersebut khususnya studi
korelasional dapat dipakai untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada
suatu faktor berkaitan dengan variasi –variasi pada satu atau lebih faktor lain
berdasarkan pada koefisien korelasi ( Sumadi Suryabrata, 1983: 26).
Hubungan antar variabel dalam penelitian ini digambarkan dalam desain
penelitian sebagai berikut.
Gambar 2. Desain Penelitian.
Keterangan:
X1 = Kemampuan Penalaran
X2 = Kebiasaan membaca karya sastra
Y = Kemampuan apresiasi cerpen
X1
X2
Y
74
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X1 SMA Negeri se- Kota
Magelang tahun pelajaran 2009/2010. Jumlah populasi ada 923 siswa.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah SMA Negeri 1 berjumlah 60 siswa, dan SMA
Negeri 4 berjumlah 60 siswa. Jadi, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 120
siswa. Dari populasi, sampel penelitian ini berjumlah 13%.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara acak
sederhana (simple random sampling). Yang dimaksud sampel acak sederhana
adalah sampel yang teknik pengambilannya secara acak. Tujuannya agar semua
populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Cara
pengambilan anggota sampel dengan undian yaitu dengan mengundi seluruh
satuan elementer dalam populasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Masri
Singarimbun dan Sofian Effendi (1984:111).
Dari kelima sekolah SMA Negeri yang berada di Kota Magelang,
kemudian diambil secara acak untuk dijadikan sampel. Dari cara undian ternyata
yang keluar SMA Negeri 1, dan SMA Negeri 4 sehingga yang digunakan sebagai
sampel penelitian adalah SMA Negari 1 Magelang dan SMA Negeri 4 Magelang.
Untuk kepentingan uji coba instrumen dipilih siswa SMA Negeri 3 Magelang.
75
Secara rinci langkah-langkah pengambilan sampel dilakukan sebagai
berikut.
1. Dari lima sekolah negeri yang ada di wilayah Kota Magelang, diambil secara
acak dua SMA. Melalui pengacakan ini terambil SMA Negeri 1 dan SMA Negeri
4 Magelang.
2. Pengacakan terhadap kelas yang dijadikan sampel dari dua SMA Negeri yang
telah terundi, melalui perandoman ini terambil kelas XI SMA.
3. Dari kelas XI yang ada di kedua SMA Negeri tersebut, kemudian diacak
terambil kelas XI IPS1 dan IPS2 dari SMA Negeri 1 Magelang, kelas XI IPA dan
XI IPS2 dari SMA Negeri 4 Magelang.
D. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan variabel penelitian ini terdapat tiga jenis data yang
dikumpulkan. Data kemampuan mengapresiasi cerpen dikumpulkan dengan
teknik tes. Data kemampuan penalaran diambil dengan teknik tes. Data kebiasaan
membaca karya sastra dikumpulkan dengan angket.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini ada dua macam yaitu tes dan nontes. Instrumen tes
berbentuk skor kemampuan mengapresiasi cerpen, dan skor kemampuan
penalaran. Sedangkan instrumen nontes berupa skor kebiasaan membaca karya
sastra.
Skor kemampuan mengapresiasi cerpen dan skor kemampuan penalaran
dijaring dengan instrumen yang berupa tes objektif, sedangkan skor kebiasaan
membaca karya sastra dijaring dengan kuesioner atau angket.
76
1. Instrumen Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
a. Definisi Konseptual
Kemampuan mengapresiasi cerita pendek adalah kesanggupan individu
untuk melakukan kegiatan mengenali, memahami, menghargai, dan menilai atau
menguasai secara sungguh-sungguh cerita rekaan yang melukiskan kehidupan
manusia, secara ringkas dan padat , serta yang diceritakan hanya satu peristiwa
pokok.
b. Definisi Operasional
Secara operasional kemampuan mengapresiasi cerita pendek adalah nilai
yang diperoleh siswa setelah mengerjakan tes kemampuan mengapresiasi cerpen
yang berupa tes objektif.
Komponen-komponen pokok yang terdapat dalam kemampuan
mengapresiasi cerita pendek adalah (1) tema, (2) amanat (3) alur atau plot, (4)
perwatakan atau penokohan, (5) latar atau setting, (6) sudut pandang atau point of
view, (7 ) bahasa atau gaya bahasa.
c. Indikator
Indikator dalam kemampuan mengapresiasi cerita pendek adalah siswa
mampu menjawab soal yang berkaitan dengan aspek-aspek berikut: (1) amanat,
(2) alur atau plot, (3) perwatakan atau penokohan, (4) latar atau setting, (5) sudut
pandang atau point of view, dan (6) bahasa atau gaya bahasa.
Soal dibuat dalam bentuk tes objektif dengan skor nilai satu untuk jawaban
yang benar dan skor nilai nol untuk jawaban yang salah.
77
2. Instrumen Kemampuan Penalaran
a. Definisi Konseptual
Kemampuan penalaran adalah kesanggupan siswa untuk melakukan
kegiatan berfikir secara maksimal menurut suatu pola tertentu, atau sesuai dengan
logika induktif, maupun deduktif guna menghubung-hubungkan fakta atau bukti-
bukti yang ada dengan langkah-langkah yang teratur, sistematis (bersifat analitik),
dan bertujuan untuk menghasilkan simpulan.
b. Definisi Operasional
Secara operasional kemampuan penalaran adalah skor yang diperoleh
siswa setelah mengerjakan tes kemampuan penalaran.
Komponen- komponen pokok yang terdapat dalam kemampuan penalaran
adalah: (1) penalaran induksi yang terdiri atas: a) generalisasi, b) analogi dan c)
sebab akibat atau hubungan kausal. (2) Penalaran deduksi yang terdiri atas: a)
silogisme, b) entimem. Silogisme ada bermacam-macam antara lain: silogisme
kategorial, silogisme hipotesis, dan silogisme alternatif.
c. Indikator
Indikator kemampuan penalaran adalah siswa mampu menjawab soal-soal
tes kemampuan penalaran yang meliputi: (1) penalaran induksi, aspek yang dinilai
adalah a) menarik kesimpulan dengan cara generalisasi, b) menghindari salah
nalar karena generalisasi sepintas, c) menarik kesimpulan analogi, d) menghindari
salah nalar karena analogi yang pincang, e) menarik kesimpulan dengan cara
hubungan kausal atau sebab- akibat, f) menghindari salah nalar karena salah
hubungan kausal.(2)Pe-nalaran deduksi, aspek yang dinilai a) menarik kesimpulan
78
silogisme kategorial, b) menarik kesimpulan silogisme hipotesis, c) menarik
kesimpulan silogisme alternatif, d) menarik kesimpulan entimem, dan e)
menghindari salah nalar karena tidak mengerti persoalan.
3. Instrumen Kebiasaan Membaca Karya Sastra
a. Definisi Konseptual
Kebiasaan membaca karya sastra adalah suatu kegiatan yang dilakukan
seseorang secara otomatis, mekanis dengan sengaja/ terencana dan teratur/
berulang-ulang dalam rangka memahami, menafsirkan, memaknai karya sastra.
b. Definisi Operasional
Secara operasional kebiasaan membaca karya sastra adalah skor yang
diperoleh siswa setelah menjawab angket kebiasaan membaca karya sastra.
Komponen-komponen pokok yang terdapat dalam kebiasaan membaca
karya sastra yaitu, (1) kesenangan membaca, (2) keseringan membaca, (3) jumlah
buku yang dibaca dalam waktu tertentu (4) asal buku bacaan yang diperoleh, (5)
keseringan mengunjungi perpustakaan, (6) macam buku yang disenangi, (7)
keseringan membaca, (8) hal berlangganan majalah, (9) bagian surat kabar yang
disenangi untuk dibaca, (10) hal berlangganan majalah, (11) jenis majalah yang
dilangganani, (12) majalah yang paling disenangi dibaca.
c. Indikator
Indikator kebiasaan membaca karya sastra dalam penelitian ini yaitu siswa
dapat menjawab angket sesuai dengan keadaan siswa yang sesungguhnya. Aspek-
aspek yang digali melalui angket ini adalah: (1) kesenangan membaca, (2)
keseringan membaca, (3) jumlah buku yang dibaca dalam waktu tertentu (4) asal
79
buku bacaan yang diperoleh, (5) keseringan mengunjungi perpustakaan, (6)
macam buku yang disenangi, (7) keseringan membaca, (8) hal berlangganan
majalah, (9) bagian surat kabar yang disenangi untuk dibaca, (10) hal
berlangganan majalah, (11) jenis majalah yang dilangganani, (12) majalah yang
paling disenangi dibaca.
Pengukuran kebiasaan membaca karya sastra menggunakan skala Likert,
dilaksanakan dengan menyediakan lima pernyataan yang disediakan. Skala
jawaban terdiri dari lima pernyataan yang disusun berturut-turut dari yang paling
positif ke negatif atau dari yang paling negatif ke yang paling positif. Jawaban
yang paling positif diberi skor 5, seterusnya 4, 3, 2, dan paling negatif skor 1.
F. Validitas dan Reliabilitas
Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat ketepatan dan
kecermatan suatu alat ukur yang mampu mengukur apa yang akan diukur.
Menurut Djaali,dan Pudji Muljono (2008: 49) validitas suatu instrumen adalah
seberapa jauh suatu tes mampu mengungkapkan dengan tepat ciri atau keadaan
yang sesungguhnya dari objek ukur, akan tergantung dari tingkat tes yang
bersangkutan.
Reliabilitas maksudnya adalah seberapa jauh hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya. Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama, diperoleh hasil
pengukuran yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek
memang belum berubah ( Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 55 ).
80
Sebelum digunakan untuk penelitian, instrumen penelitian yang berupa tes
objektif yaitu kemampuan mengapresiasi cerita pendek, dan kemampuan
penalaran, serta angket tentang kebiasaan membaca karya sastra diujicobakan
terlebih dahulu untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas butir soal. Hal
ini dilakukan agar butir-butir soal yang tidak memenuhi syarat tidak digunakan
dalam penelitian. Uji coba instrumen dilakukan di SMA Negeri 3 Magelang
dengan jumlah siswa 40.
1. Validitas dan Reliabilitas Tes Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
a. Validitas
Menurut Djaali dan Pudji Muljono (2008:53) instrumen penelitian yang
berbentuk tes yang memiliki skor dikotomis (1 atau 0) perhitungan validitas butir
digunakan rumus Korelasi Point Biserial ( Point Biserial). Berdasarkan pendapat
tersebut maka validitas butir tes kemampuan mengapresiasi cerpen menggunakan
rumus Korelasi Point Beserial.
Rumus Korelasi Point Biserial sebagai berikut :
����(�) =�� − ��
�����
��
Keterangan:
���� (i) : koefisien korelasi beserial antara skor butir soal nomor satu
dengan skor total.
xi : rerata skor untuk yang menjawab benar
xt : rerata skor untuk seluruhnya
81
St : standar deviasi skor total semua responden
Pi : proporsi jawaban benar
qi : proporsi jawaban yang salah
(Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 53 )
b. Reliabilitas
Reliabilitas tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek menggunakan
rumus KR-20. Adapun rumusnya sebagai berikut:
��� =�
����1 −
∑ ����
∑ ��� �
Keterangan:
��� : koofisien reliabilitas tes
k : cacah butir
���� : varian skor butir
�� : proporsi jawaban yang benar untuk butir nomor i
�� : proporsi jawaban yang salah untuk butir nomor i
��� : varian skor total
(Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 93 )
2. Validitas dan Reliabilitas Kemampuan Penalaran
a. Validitas
Instrumen yang digunakan untuk kemampuan penalaran adalah tes yang
memiliki skor dikotomi 1 dan 0. Oleh karena itu, rumus yang digunakan sama
82
dengan rumus yang dipakai dalam kemampuan mengapresiasi cerita pendek yaitu
rumus Korelasi Point Biserial.
b. Reliabilitas
Untuk reliabilitas tes kemampuan penalaran digunakan rumus KR-20
seperti pada tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
3. Validitas dan Reliabilitas Kebiasaan Membaca Karya Sastra
a. Validitas
Instrumen yang mempunyai skor kontinum ( berkisar antara 1-5)
digunakan rumus korelasi product moment, yaitu dengan mengorelasikan skor
item dengan skor total. Dengan demikian, validitas angket kebiasaan membaca
karya sastra menggunakan rumus korelasi product moment.
����� =� ∑ ���� − (∑ ��)(∑ ��)
�{� ∑ ��� − (∑ ��
��)�}{� ∑ ��� − (�∑ ���)
�}
Keterangan:
����� : koefisien korelasi antara skor butir pernyataan dan skor total yang dicari.
� : jumlah responden uji coba
xi : skor hasil butir pernyataan untuk butir ke –i
xt : skor hasil total
(Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 53)
83
b. Reliabilitas
Untuk uji reliabilitas angket kebiasaan membaca karya sastra dilakukan
dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach.
��� =�
� − 1�1 −
∑ ���
∑ ���
Keterangan:
��� : koefisien reliabilitas tes
k : jumlah butir pernyataan yang valid
��� : varian skor butir
��� : varian skor total
(Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 89)
G. Hasil Uji Coba Instrumen
1. Hasil Analisis Validitas
Sebelum digunakan untuk penelitian insrumen ini diujicobakan di SMA
Negeri 3 Magelang, kelas X1. SMA Negeri 3 Magelang yang dipilih sebagai
subjek karena memiliki karakteristik yang setara dengan subjek yang menjadi
sampel dalam penelitian ini. Jumlah siswa yang dijadikan subjek uji coba 40
siswa.
Berdasarkan hasil uji coba validitas butir soal tes kemampuan
mengapresiasi cerita pendek yang dihitung dengan rumus korelasi point beserial,
ternyata dari 45 butir soal yang diujicobakan ada 40 butir soal yang dinyatakan
valid, sedangkan yang tidak valid ada 5 butir, yakni butir soal nomor 11, 13,18,
84
30,38 karena koefisien validitas butir-butir tersebut hasilnya lebih kecil dari r-
kritis yakni 0,312 ( pada n = 40 taraf nyata 0,05) (lihat lampiran 4 hal 175).
Hasil analisis uji coba validitas butir soal tes kemampuan penalaran yang
dihitung dengan rumus korelasi point beserial, ternyata dari 45 butir soal yang
diujicobakan ada lima butir soal yang didrop, yakni butir soal nomor 6, 15, 21, 40,
41 karena koefisien validitas untuk kelima butir soal tersebut hasilnya lebih kecil
dari r- kritis, yakni 0,312 (pada n = 40 taraf nyata 0,05) ( lihat lampiran 6 hal 183
.)
Hasil analisis uji coba validitas butir angket kebiasaan membaca karya
sastra yang dihitung dengan rumus product moment ternyata dari 42 butir
pernyataan, yang dinyatakan valid ada 40 butir, yang drop ada satu butir yaitu
butir nomor 35, 36 karena koefisien validitas untuk butir nomor tersebut hasilnya
lebih kecil dar r- kritis, yakni 0,312 ( pada n = 40 taraf nyata 0,05) ( lihat lampiran
8 hal 191 ).
2. Hasil analisis Reliabilitas
Menurut Burhan Nurgiantoro ( 2009: 108) berdasarkan koefisien korelasi
tingkat keterpercayaan berkisar antara 0 sampai 1,0. Koefisien 0,800 sampai 1,00
= sangat tinggi. Koefisien antara 0, 600 sampai 0,799 = tinggi. Koefisien 0,400
sampai 0,599 = cukup. Koefisien 0,200 sampai 0,399 = rendah, dan koefisien 0,
00 sampai 0, 199 = sangat rendah.
Hasil uji reliabilitas tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek
dinyatakan memiliki koefisien reliabilitas yang tinggi, sebab setelah dianalisis
dengan teknik KR- 20 diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,949.
85
Hasil uji reliabilitas tes kemampuan penalaran dinyatakan memiliki
koefisien reliabilitas yang tinggi, karena setelah dianalisis dengan teknik KR- 20
diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,899.
Untuk uji reliabilitas angket kebiasaan membaca karya sastra yang
dihitung dengan rumus Alpha Cronbach dihasilkan nilai koefisien sebesar 0,928
(lihat lampiran). Hal ini menunjukkan bahwa instrumen angket kebiasaan
membaca karya sastra juga reliabel.
H. Hipotesis Statistik
Hipotesis Statistik Penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut.
1. Hipotesis Pertama
Ho : ��� = 0
H� : ��� < 0
2. Hipotesis Kedua
�� : ��� = 0
�� : ��� > 0
3. Hipotesis Ketiga
�� : ���� = 0
�� : ���� > 0
I. Uji Persyaratan Analisis
Sebelum menguji hipotesis perlu dilakukan uji persyaratan analisis, yang
meliputi: 1) Uji normalitas, 2) Uji keberartian dan liniaritas regresi. Uji
86
normalitas digunakan teknik Liliefors, sedangkan uji keberartian linearitas regresi
digunakan teknik Anava dalam regresi ganda.
1. Uji normalitas
Pengujian normalitas (kenormalan) ditempuh melalui prosedur atau
langkah-langkah sebagai berikut.
a. Pengamatan ��, �� …, �� dijadikan bilangan baku ��,�� … , �� dengan
menggunakan rumus �� =��� ��
�( x dan s masing-masing merupakan rata-
rata dan simpangan baku sampel)
b. Untuk tiap bilangan menggunakan daftar distribusi normal baku,
kemudian dihitung �(��)=�(� ≤ � �)
c. Selanjutnya dihitung proporsi ��, ��, … . �� , yang lebih kecil atau sama
dengan ��, jika proporsi ini dinyatakan oleh �(��), maka �(��) =
∑ ��,��…� �,��
�
d. Hitung selisih �(��)- �(��)kemudian tentukan harga mutlaknya.
e. Ambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih
tersebut. Harga Lo terbesar disebutkan untuk menolak atau menerima
hipotesis nol, bandingkan Lo dengan nilai kritis L yang diambil dari daftar
nilai kritis L untuk uji Liliefors untuk taraf nyata � yang dipilih.
Kriterianya adalah : tolak hipotesis nol bahwa populasi berdistribusi
normal jika Lo yang diperoleh dari data pengamatan melebihi dari daftar.
Dalam hal ini hipotesis nol diterima (Sudjana, 1992 : 466)
87
2. Uji linearitas dan keberartian regresi
Uji linearitas atau kelinearan dan keberartian regresi menggunakan
langkah-langkah yang dijelaskan oleh Sudjana (1992 : 15). Langkah-langkah
tersebut :
a. Menyususun tabel pasangan data (Xi Yi) dengan pengulangan pengamatan
terhadap X.
b. Menghitung jumlah kuadrat, disingkat JK untuk berbagai sumber variasi.
Sumber-sumber variasi yang JK nya perlu dihitung adalah sumber variasi
untuk total, koefisien (a, regresi(b/a), sisa, tuna cocok dan galat). Untuk
sumber-sumber variasi JK nya berturut-turut diberi symbol JK(T), JK(a),
JK(b/a), JK(S), JK(TC), JK(G) .
Rumus-rumus untuk menghitung sumber-sumber variasi tersebut adalah sebagai
berikut
JK(T) = ∑ ��
JK(a) = (∑ � )�
�
JK(b/a)= � �∑ �� −(∑ �)�
��
JK(S) = JK(T)-JK(a)-JK(b/a)
JK(G) = ∑ �� �∑ �� −(∑ �)�
���
JK(TC) = JK(S)-JK(G)
88
c. Menentukan derajat kebebasan (dk) untuk setiap sumber variasi, yang besarnya
sebagai berikut :
1) dk total = n
2) dk koefisien(a) = 1
3) dk regresi (b/a) = 1
4) dk sisa = n-2
5) dk tuna cocok = k-2
6) dk galat = n-k
d. Menentukan kuadrat tengah disingkat KT yang diperoleh dengan jalan
membagi JK dengan dk nya, sehingga masing-masing sumber variasi KT hanya
diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
1) kuadrat tengah total, rumusnya KT(T) = ��(�)
�
2) kuadrat tengah galat, rumusnya KT(a) = ��(�)
�
3) kuadrat tengah regresi, rumusnya KT(b/a) = ��(�/�)
�
4) Kuadrat tenga sisa, rumusnya KT(S) = ��(�)
���
5) Kuadrat tengah tuna cocok, rumusnya KT(TC) = ��(��)
���
6) Kuadrat tengah galat, rumusnya KT(G) = ��(�)
���
Perlu diketahui untuk KT (b/a) dilambangkan pula dengan ����� ; KT(S)
dilambangkan pila dengan ����� ; KT(TC) dilambangkan pula dengan ���
� dan
KT(G) dengan dilambangkan pula ���.
89
e. Menyusun besaran-besaran yang telah diperoleh pada butir d ke dalam tabel
varians (ANAVA) sebagai berikut .
Tabel 2. ANAVA
Sumber
Varians
dk JK KT F
Total N ∑ �� ∑ �� -
Koiefisien (a)
Koefisien (b/a)
Sisa
L
L
n-2
JK(a)
JK(b/a)
JK(S)
JK(a)
�� = ��(�)
�� = ��(�)
� − 2
�����
�����
Tuna cocok
Galat
k-2
n-k
JK(TC)
JK(G)
���� =
��(��)� − 2
��� =
��(�)
� − �
����
���
f. Untuk menguji hipotesis nol (i) dipakai statistik � =�����
����� dan selanjutnya
menggunakan distribusi F beserta tabelnya dengan dk pembilang satu dan dk
penyebut (n-2), sedangkan untuk menguji hipotesis nol (ii) dipakai statistik
90
� =����
��� yang selanjutnya juga digunakan distribusi F beserta tabelnya dengan dk
pembilang (k-2) dan dk penyebut (n-k) ( Sudjana: 15-19).
J. Teknik Analisis Data
Analisis data dimaksudkan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.
Dalam analisis data penelitian ini, mencakupi analisis data secara deskriptif dan
analisis data secara inferensial. Analisis deskriptif, meliputi pendeskripsian
tedensis sentral dan tedensi penyebaran, penyusunan distribusi frekuensi nilai dan
histogramnya. Sementara itu, analisis data secara inferensial digunakan untuk
keperluan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis, meliputi pengujian hipotesis I
dan II digunakan teknik korelasi sederhana. Adapun rumus korelasi sederhana
sebagai berikut:
��,�=� ∑ �� − (∑ �)(∑ �)
�{� ∑ �� − (∑ �)�}{� ∑ �� − (∑ �)�}
Keterangan :
��,� = koefisien korelasi antara skor X dan skor Y yang dicari
n = jumlah responden uji coba
Y = skor kemampuan apresiasi cerita pendek
X = skor kemampuan membaca pemahaman dan sikap bahasa (Sudjana,
1992:47)
Sementara itu, rumus ganda adalah sbb:
ℛ��� = ���(���)
∑ ��
91
Keterangan :
���� = koefisien korelasi ganda (bersama-sama)
JK(reg) = jumlah kuadrat regresi (Sudjana, 1992:107)
Selain digunakannya analisis data statistik dengan korelasi product moment
untuk mengetahui kadar atau derajat kekuatan hubungan antar variabel bebas
dengan terikat sebagaimana tersebut di atas, dalam analisis data ini pun perlu
diketahui model persamaan garis regresi yang hendak ditentukan. Adapun model
persamaan garis regresi tersebut adalah sebagai berikut:
Terdapat dua model hubungan yang dicerminkan melalui persamaan garis
regresi linear sederhana dalam penelitian ini yakni :
1. Model Persamaan Garis Regresi Linear Sederhana Y atas �� yang
digambarkan sebagai �� = � + ���
2. Model Persamaan Garis Regresi Linear Sederhana Y atas �� yang
digambarkan sebagai �� = � + ���
Harga besaran a dan b dicari dengan rumus sebagai berikut :
� = (∑ �)(∑ ��
�) − (∑ ��)(∑ ���)
� ∑ ��� − (∑ ��)
�
� = �∑ ��� − (∑ ��)(∑ �)
� ∑ ���− (∑ ��)
�
(Sudjana, 1992:8)
92
Keterangan :
a = bilangan konstanta
b = koefisien arah regresi
Disamping dua model persamaan garis regresi linear sederhana seperti
tersebut di atas, dalam analisis data ini pun juga ditentukan model persamaan garis
regresi ganda.
Adapun model hubungan dalam persamaan garis regresi linear ganda
tersebut dapat digambarkan modelnya sebagai berikut :
� � = �� + ��. �� + ��. ��
(Sudjana, 1992:70)
Koefisien ��: ��:dan �� dicari dengan rumus sebagai berikut :
�� = � � − ������� + ����
���
�� = (∑ ��
�)(∑ ���) − (∑ �� . ��)(∑ ���)
(∑ ���)(∑ ���) − (∑ �� . ��)�
�� = (∑ ��
�)(∑ ���) − (∑ �� . ��)(∑ ���)
(∑ ���)(∑ ���) − (∑ �� . ��)�
(Sudjana, 1992:76)
93
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab IV ini akan diuraikan: A. deskripsi data setiap variabel yaitu
kemampuan penalaran, kebiasaan membaca karya sastra, dan kemampuan
mengapresiasi cerita pendek, B. pengujian persyaratan analisis, C. pengujian
hipotesis, D. pembahasan hasil penelitian, dan E. keterbatasan penelitian.
A. DESKRIPSI DATA
1. Data Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek (Y)
Data kemampuan mengapresiasi cerita pendek diperoleh melalui tes
kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Data ini memiliki skor tetinggi 30 dan
skor terendah 14; mean sebesar 46.89 ; median sebesar 24; modus sebesar 26 .
Varians data ini adalah 10.19 , dengan simpangan baku sebesar 3.19 ( harga-harga
statistik ini, pengerjaanya dilakukan dengan program Microsoft Excel yang
hasilnya dapat dilihat pada lampiran. Distribusi frekuensi data ini dapat dilihat
pada tabel dan histogram frekuensi dan poligonnya dapat dilihat pada gambar
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Apresiasi Cerpen
Interval F (absolut) F(relatif)
14-17 4 3.33
18-21 26 21.67
22-25 50 41.67
26-30 40 33.33
120 100
Histogram Frekuensi Apresiasi cerpen
93
94
13,5 17,5 21,5 25,5 30,5
�� = 23.642, �� = 3.19 �� = 25 �o = 26
2. Data Kemampuan Penalaran (��)
Data kemampuan penalaran diperoleh melalui tes kemampuan penalaran.
Data ini menunjukkan skor tertinggi 31 dan skor terendah 14; mean sebesar
49.024 ; modus 23, dan median 25. ;varian 9.59 ; simpangan baku sebesar 3.09.
Harga-harga statistik deskriptif ini dihitung dengan Program Microsoft Excel,
yang hasilnya dapat dilihat pada lampiran. Distribusi frekuensi data ini dapat
dilihat pada tabel , dan histogram dan poligon frekuensinya dapat dilihat pada
gambar .
4
26
50
40
95
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran
Interval F(absolut) F (relatif)
14-16 1 0.833
17-19 5 4.166
20-22 23 19.166
23-25 41 34.16
26-28 38 31.66
29-31 12 10
Jumlah 120 100
Histogram frekuensi Kemampuan Penalaran
13,5 16,5 19,5 22,5 25,5 28,5 31,5
�� = 24.716, �� = 3.09 �� = 25 �o = 23
3. Data Kebiasaan Membaca Karya Satra ( ��)
Data kebiasaan membaca karya sastra diperoleh melalui angket kebiasaan
membaca karya sastra. Data ini menunjukkan skor yang diperoleh melalui angket
kebiasaan membaca karya saatra dengan skor tertinggi 147 dan skor terendah 87 ;
modus sebesar 123 ;varians 177.07 dan simpangan baku sebesar 13.31. Harga-
5
23
41
38
12
96
harga statistik tersebut diperoleh dengan program Microsoft Exel yang hasilnya
dapat dilihat pada lampiran. Data distribusi frekuensi dapat dilihat pada tabel , dan
histogram serta polygon frekuensi dapat dilihat pada gambar.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Membaca
Interval F (absolut) F(relatif)
87-90 5 4.17
91-94 4 3.33
95-99 7 5.83
100-103 5 4.17
104-107 13 10.83
108-111 11 9.17
112-115 11 9.17
116-119 10 8.33
120-123 20 16.67
124-127 11 9.17
128-131 9 7.50
132-135 9 7.50
136-139 2 1.67
140-143 0 0.00
144-147 3 2.50
120 100 Histogram Frekuensi Kebiasaan Membaca
86,5 90,5 94,5 99,5 103,5 107,5 111,5 115,5 119,5 123,5 127,5 131,5 135,5 139,5 143,5 147,5
5 4
13
3
9 8
2
11 10
20
11
7
5
11
97
�� = 115.89 �� = 13.31 �� = 116 �o = 123
B. Pengujian Persyratan Analisis
Sebelum analisis data secara inferensial, diadakan 1) uji normalitas, 2) uji
signifikansi dan linearitas regresi sederhana.
1. Uji Normalitas Data
Untuk menguji normalitas data menggunakan teknik Liliefors ( Sudjana, 1992:
446). Hasil pengujian normalitas data untuk kemampuan mengapresiasi cerita
pendek (Y) yaitu Lo maksimum sebesar 0.0546 ( lihat lampiran 14 hal 233).
Daftar nilai kritis L untuk Uji Liliefors dengan n = 120 dan taraf nyata � = 0,05
diperoleh Lt = 0.0808 dan Lo = 0.0546. Dari data tersebut terlihat bahwa Lt lebih
besar daripada Lo sehingga dapat disimpulkan bahwa data kemampuan
mengapresiasi cerpen (Y) berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Uji normalitas data untuk kemampuan penalaran( X1) menghasilkan Lo
maksimum sebesar 0.0755, ( lihat lampiran 15 hal 239). Nilai kritis L untuk uji
Liliefors dengan n = 120 dan taraf nyata � = 0,05 diperoleh Lt = 0.0808. Dari data
tersebut terlihat bahwa Lo lebih kecil dari Lt sehingga dapat disimpulkan bahwa
data kemampuan penalaran (X1) berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Uji normalitas data terhadap kebiasaan membaca karya sastra (X2
menunjukkan bahwa Lo maksimum sebesar 0.00410, ( lihat lampiran 16 hal 245) .
Dari daftar nilai kritis L untuk uji Liliefors dengan n = 120 dan taraf nyata � =
0,05 diperoleh data Lt = 0.0808. Dari data tersebut terlihat bahwa Lo lebih kecil
dari Lt. Jadi, dapat disimpulkan bahwa data kebiasaan membaca karya sastra (X2)
berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
98
2. Uji Linearitas dan Signifikansi Regresi
Pada sub bab ini akan diuji apakah persamaan regresi sederhana Y atas X1
dan Y atas X2 linier atau signifikan. Hasil analisis regresi sederhana Y atas X1
diperoleh persamaan �� = 17.0033 + 0.2686X1 (lampiran 21 hal 249). Tabel Anava
untuk uji linearitas dan signifikansi regresi Y masing-masing menghasilkan Fo
sebesar 8.596071 dan 0.760371 (lampiran 25 hal 266). Dari daftar distribusi F
pada taraf nyata � = 0,05 dengan dk pembilang 2 dan dk penyebut 118 untuk
hipotesis (1) bahwa regresi signifikan, diperoleh Ft : 3.07 , (2) bahwa regresi
bersifat linear diperoleh Ft sebesar 1.79. Jadi, hipotesis nol ditolak karena Fo lebih
besar daripada Ft. Sebaliknya, hipotesis nol (2) diterima karena Fo lebih kecil
darpada Ft. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa regresi Y atas X1
linier dapat diterima.
Analisis regresi sederhana Y atas X2 menghasilkan persamaan regresi
�� = 16.55 + 0.061X2 (lihat lampiran 22 hal 257) masing-masing menghasilkan Fo
sebesar 8.1906 dan 0.944 (lihat tabel Anava pada lampiran 28 hal 275). Dari
daftar distribusi F pada taraf nyata � = 0,05 dengan dk pembilang 2 dan dk
penyebut 118 untuk hipotesis (1) bahwa regresi tidak signifikan atau tidak berarti
diperoleh Ft = 3.07 dan dengan dk pembilang 45 dan dk penyebut 73 untuk
hipotesis (2) bahwa regresi bersifat linier diperoleh Ft sebesar 1.53. Terlihat
bahwa hipotesis nol (1) ditolak karena Fo lebih besar dari Ft. Dengan demikian,
koefisien arah regresi nyata sifatnya. Ternyata regresi Y atas X2 berbentuk linier
dapat diterima. Sedangkan persamaan regresi ganda Y atas �� �� menghasilkan
�� = 10.4482 + 0.258X1 + 0.058X2 masing-masing menghasilkan ��= 2.9015 dan
99
�� = 2.831. Pada taraf nyata � = 0,05 diperoleh �� �..1.29. Ini berarti �� > �� dan
�� > �� sehingga signifikan.
C. Pengujian Hipotesis
1. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kemampuan
Mengapresiasi Cerita Pendek (��dengan Y )
Analisis korelasi sederhana antara X1 dengan Y menghasilkan koefisien
korelasi sebesar ��� = 0.260 (lihat lampiran 32 hal 284) Pengujian signifikansi
(keberartian) koefisien korelasi dengan menggunakan uji-t menghasilkan
� ������ = 2.9319 (lihat lampiran 32 hal 284). Dari hasil analisis, ������� lebih
besar daripada nilai t yang terdapat pada tabel (� �) sebesar 1.98. Jadi, � ������
signifikan, maka koefisien korelasi sebesar 0.260 pun signifikan. Dengan
demikian, hipotesis nol ditolak; dan hipotesis alternatif (H1) diterima. Dari analisis
tersebut dapat disimpulkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara
kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerpen. Kontribusi X1
terhadap Y sebesar 6.79%. Hasil tersebut diperoleh dengan ruperhitungan rumus
����� − �����
�.
2. Hubungan antara Kebiasaan Membaca Karya Sastra dengan Kemampuan
Mengapresiasi Cerpen (�� dengan Y )
Analisis korelasi sederhana antara X2 dengan Y menghasilkan koefisien
korelasi sebesar ��� = 0.254 ( lhat lampiran 33 hal 285). Uji keberartian koefisien
korelasi ( uji t) menghasilkan ������� sebesar 2.8619 ( lihat lampiran 33 hal
285). Dari hasil analisis t untuk dk =118 dan taraf nyata � = 0,05 diperoleh ��
100
sebesar 1.98. Terlihat bahwa nilai ������� lebih besar daripada �� . hal ini
menunjukkan bahwa ������� signifikan; dan koefisien korelasi sebesar 0.254 juga
signifikan. Dengan demikian, hipotesis nol ditolak; hipotesisi alternatif
�� diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang
signifikan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan
mengapresiasi sastra. Kontribusi X2 terhadap Y yaitu sebesar 5.97%. Hasil
tersebut diperoleh dengan perhitungan rumus ����� − �����
�.
3. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca
Karya Sastra secara Bersama-sama dengan Kemampuan Mengapresiasi
Cerpen
(��dan ��dengan Y)
Analisis korelasi ganda antara ��dan �� secara bersama-sama dengan Y
menunjukkan koefisien korelasi ( ��.�� ) sebesar 0.3573 ( lihat lampiran 30 hal
279). Uji keberartian koefisien korelasi ganda menghahsilkan ������� sebesar
8.562 ( lihat lampiran 30 hal 279). Dari hasil analisis F dengan dk pembilang 2
dan dk penyebut 118 pada taraf nyata � = 0,05 diperoleh �� sebesar 3.08. Terlihat
bahwa nilai � ℎ����� jauh lebih besar daripada ��. Jelaslah, bahwa �������
signifikan, dan koefisien korelasi ganda sebesar 0.3573 juga signifikan. Dengan
demikian, maka hipotesisi nol yang dinyatakan dalam penelitian ini gagal
diterima.. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan
antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara
bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerpen. Kontribusi X1 dan X2
101
terhadap Y yaitu sebesar 0.51%. Hasil tersebut diperoleh dengan perhitungan
rumus ������
+ ������
- ����� .
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Ketiga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu: terdapat
hubungan positif antara kemampuan penalaran dengan kemampuan
mengapresiasi cerita pendek, terdapat hubungan positif antara kebiasaan membaca
karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek, dan terdapat
hubungan positif antara kemampuan penalaran serta kebiasaan membaca karya
sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek,
ternyata terterima.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kemampuan penalaran dan kebiasaan
membaca karya sastra baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
mempengaruhi kemampuan mengapresiasi cerita pendek pada siswa kelas XI
SMA Negeri se- Kota Magelang. Hasil analisis tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, hasil analisis yang berkaitan dengan hubungan antara
kemampuan penalaran dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Terdapat
hubungan positif antara kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi
cerpen. Hal ini mengandung makna bahwa semakin baik kemampuan penalaran
siswa semakin baik pula kemampuan mengapresisi cerpen. Kadar kekuatan
hubungan sebesar 0.260 dan sumbangan efektif sebesar 6,79%, dapat dikatakan
bahwa kemampuan penalaran memberikan kontribusi sebesar 6,79% terhadap
kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa SMA Negeri Kota Magelang.
102
Kedua, hasil analisis yang berkaitan dengan hubungan antara kebiasaan
membaca karya satra dengan kemampuan mengapresiasi cerpen. Terdapat
hubungan positif antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan
mengapresiasi cerita pendek. Maksudnya siswa yang memiliki kebiasaan
membaca karya sastra, akan memiliki kemampuan mengapresiasi cerita pendek
lebih baik.Kadar kekuatan hubungan sebesar 0,254 dan sumbangan efektif sebesar
5, 97%, dapat dikatakan bahwa kebiasaan membaca karya sastra memberikan
kontribusi sebesar 5, 97% terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek
siswa SMA Negeri kota Magelang.
Ketiga, hasil analisis yang berkaitan dengan hubungan antara kemampuan
penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan
kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Kedua variabel bebas tersebut secara
bersama-sama mempengaruhi siswa dalam kemampuan mengapresiasi cerita
pendek. Maksudnya, semakin baik kemampuan penalaran siswa dan semakin
siswa mempunyai kebiasaan membaca karya sastra, maka siswa akan memiliki
kemampuan mengapresiasi cerita pendek semakin baik. Sumbangan efektif yang
diberikan kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara
bersama-sama terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek sebesar 0,51%.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya
sastra secara bersama-sama memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap
kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa SMA Negeri Kota Magelang yaitu
sebesar 0, 51%. Berarti ada variabel lain yang mempengaruhi kemampuan
mengapresiasi cerita pendek siswa SMA Negeri Kota Magelang.
103
Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien korelasi ganda sebesar
0.3573 Hal ini berarti bahwa kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca
karya satra secara bersama-sama memberi sumbangan siswa dalam kemampuan
mengapresiasi cerpen. Kedua variabel yaitu kemampuan penalaran dan kebiasaan
membaca karya sastra memberikan sumbangan yang hampir sama yaitu 6,75%
dan 5,97%. Kemampuan penalaran memberikan kontribusi terhadap kemampuan
mengapresiasi karya sastra lebih besar 0,78% dibandingkan kebiasaan membaca
karya sastra.
Hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Sumadiyono di SLTP Negeri Klaten, dan SLTP Negeri
Karangdowo., dan yang dilakuakan oleh Tukiman di SMA Negeri Se- Kabupaten
Sukoharjo. Masing- masing menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara
penalaran dengan kemampuan mengapresiasi sastra (cerpen, drama) dan antara
kebiasaan membaca karya satra dengan kemampuan mengapresiasi sastra (
cerpen, drama).
E. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini sudah diupayakan sesuai dengan prosedur, dan dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh dan hati-hati, namun tetap saja ada kekurangan.
Kekurangan ini desebabkan oleh keterbatasan dalam penelitian. Keterbatasan ini
menyangkut hal-hal berikut.
1. Hasil penelitian ini mengungkapkan kemampuan mengapresaiasi cerita
pendek siswa berkaitan dengan variabel penelitian kelas X1 SMA Negeri se-
Kota Magelang dengan sampel yang diambil secara acak, sehingga simpulan
104
yang terdapat dalam penelitian ini hanya terbatas pada lingkup siswa SMA
Negeri Kota Magelang saja.
2. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini bukan instrumen baku,
melainkan instrumen yang dibuat oleh peneliti. Oleh karena itu, penelitian ini
masih banyak kekurangan. Di samping itu, uji coba instrumen hanya dilakukan
sekali, sehingga validitas dan reliabilitasnya masih mengandung kelemahan
jika dibandingkan dengan instrumen yang baku.
3. Instrumen kemampuan mengapresiasi cerita pendek dalam penelitian ini
menggunakan penggalan-penggalan cerita pendek. Mungkin ini merupakan
suatu kelemahan. Oleh karena itu, instrumen kemampuan mengapresiasi cerita
pendek munkin perlu menggunakan cerita pendek yang lengkap.
4. Suasana kelas kurang kesungguhan. Siswa dalam mengerjakan tes kurang
sungguh-sungguh, mengangagap bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan
nilai mata pelajran.Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada simpulan
penelitian.
5. Salah satu variabel dalam penelitian ini adalah angket. Siswa dalam mengisi
angket sering kali tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga
kurang dapat mencerminkan keadaan yang sesungguhnya tentang diri siswa.
Hal ini sedikit banyak tentu berpengaruh pada simpulan akhir.
105
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Sesuai dengan hasil analisis dan pengujian hipotesis yang telah diuraikan,
maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, terdapat hubungan positif dan signifikan antara kemampuan penalaran
dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa Kelas XI SMA Negeri se-
Kota Magelang. Kemampuan penalaran memberikan sumbangan positif kepada
kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Keduanya terdapat hubungan seiring,
maksudnya semakin tinggi kemampuan penalaran semakin tinggi pula
kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
Kedua, terdapat hubungan positif dan signifikan antara kebiasaan membaca karya
sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa XI SMA Negeri se-
Kota Magelang. Kebiasaan membaca karya sastra memberikan sumbangan positif
kepada kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Kedua variabel tersebut ada
hubungan seiring, artinya semakin tinggi frekuensi membaca karya sastra
semakin tinggi kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
Ketiga, terdapat hubungan positif dan signifikan antara kemampuan penalaran dan
kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan
mengapresiasi cerita pendek siswa kelas XI SMA se- Kota Magelang. Semakin
tinggi kemampuan penalaran dan semakin tinggi frekuensi membaca karya sastra,
maka hasil kemampuan mengapresiasi cerita pendek semakin tinggi.
105
106
B. Implikasi
Sesuai dengan penemuan dalam penelitian ini, maka ada beberapa
implikasi yang dapat dikemukakan , yaitu sebagai berikut.
Pertama, model konseptual teoretik yang dicerminkan melalui hubungan hipotetik
antarvariabel penelitian telah diuji kebenarannya secara empirik. Implikasinya
adalah kemampuan mengapresiasi cerita pendek dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra.
Kedua, implikasi teoretik tersebut selanjutnya terkait dengan kebijakan pokok
bahwa peningkatan kemampuan mengapresiasi cerita pendek dapat ditingkatkan
melalui peningkatan kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra.
Beberapa implikasi kebijakan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran untuk Meningkatkan
Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran
merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan hasil mengapresiasi cerita
pendek. Oleh karena itu, penting diupayakan agar kemampuan penalaran siswa
meningkat. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
penalaran adalah banyak membaca dan berlatih. Dengan banyak membaca maka
siswa akan memiliki banyak pengetahuan sehingga daya nalar akan meningkat.
Bernalar berarti menghubung-hubungkan data. Dengan memahami secara
lengkap sebuah data maka siswa dapat berpikir lebih jelas. Oleh karena itu, siswa
perlu dilatih menemukan data dan menggali secara lengkap data yang diperoleh.
Salah satu cara yaitu dengan membaca. Siswa diberi motivasi untuk banyak
107
membaca, melalui tugas-tugas yang berkaitan dengan pembelajaran khususnya
pembelajaran sastra.
Guna berlatih bernalar secara benar siswa diperkenalkan dengan berbagai
cara membuat simpulan secara benar dan ditunjukkan berbagai jenis salah nalar.
Juga siswa perlu dilatih menganalisis dan menemukan kesalahan dalam bernalar,
sehingga siswa dapat mengetahui letak kesalahannya.
2. Upaya Meningkatkan Kebiasaan Membaca Karya Sastra untuk Meningkatkan
Kemampuan Mengapresiasi Ceita Pendek
Sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa kebiasaan membaca sebagai salah
satu faktor yang mempengaruhi kemampuan mengapresisi cerita pendek, maka
perlu diupayakan agar siswa mempunyai kebiasaan membaca karya sastra. Upaya
yang dapat dilakukan adalah memberikan motivasi kepada siswa untuk membaca
karya sastra. Motivasi ini dapat dilakukan dengan memberikan tugas-tugas yang
menuntut keterlibatan siswa untuk membaca karya sastra.
Untuk mewujudkan harapan tersebut perlu didukung oleh banyak pihak
antara lain keterlibatan pustakawan sekolah. Pustakawan hendaknya bekerja sama
dengan guru bahasa Indonesia untuk menyediakan buku-buku yang diperlukan
siswa, yang dapat menunjang kegiatan apresiasi sastra. Guru bahasa Indonesia
perlu memberikan informasi kepada pustakawan sekolah mengenai buku-buku
yang harus disediakan untuk menunjang kegiatan apresiasi sastra, sehingga ketika
siswa diberi tugas oleh guru , siswa mudah menemukan buku, karena tersedia di
perpustakaan. Buku-buku yang disediakan hendaknya yang disenangi siswa. Guru
108
perlu juga memberikan informasi kepada siswa mengenai buku-buku sastra yang
ada diperpustakaan, supaya siswa terpancing untuk membaca.
C. Saran
Saran-saran yang diusulkan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah:
1. Untuk Siswa
a) Siswa perlu memiliki kesadaran akan pentingnya membaca. Khususnya
untuk meningkatkan apresiasi cerita pendek ,siswa harus banyak membaca
karya sastra.
b) Untuk meningkatkan kemampuan bernalar siswa perlu berlatih menganalisis
kesalahan bernalar, dan membandingkan dengan penalaran yang benar.
2. Untuk Guru
a) Guru harus dapat memotivasi siswa agar siswa memiliki kebiasaan membaca
khususnya membaca karya sastra. Misalnya dengan memberikan tugas yang
menuntut anak untuk membaca karya sastra.
b) Guru dalam mengajar sastra khususnya cerpen, membiasakan siswa untuk
membaca cerita lengkap bukan ringkasan.
c) Berikan tugas kepada siswa untuk mendorong siswa mengunjungi
perpustakaan. Dalam hal ini guru perlu menjalin kerja sama dengan petugas
perpustakaan, agar petugas perpustakaan menyediakan buku-buku yang
sesuai dengan tugas-tugas siswa.
d) Pilih metode yang menarik dalam pembelajaran sastra khususnya
pembelajaran cerita pendek, karena dengan metode yang menarik siswa
akan senang belajar. Perasaan senang akan mendorong siswa mau menggali
109
lebih dalam karya sastra, sehingga akan meningkatkan daya apresiasi siswa
terhadap karya sastra.
e) Berikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan menganalisis karya
sastra sehingga siswa terlibat langsung dalam pembelajaran sastra.
f) Sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa penalaran dan kebiasaan membaca
karya sastra berpengaruh terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek,
maka guru harus memperhatikan kedua faktor tersebut dalam pembelajaran
agar kemampuan siswa mengapresiasi cerita pendek hasilnya meningkat.
3. Untuk Lembaga Sekolah
a) Sekolah perlu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai yang dapat
memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran khususnya yang berkaitan
dengan buku-buku dan ruang baca.
b) Menyelenggarakan lomba membaca, menulis, menganalisis, mementaskan
karya sastra dalam waktu - waktu tertentu.
4. Untuk Peneliti Lain
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian
selanjutnya. Dengan memperhatikan keterbatasan yang ada dalam penelitian ini
maka peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian lebih baik.
110
Daftar Pustaka
Abdul Ghofur, dkk. 2004. Pola Induk Pengembangan Sistem Penilaian. Jakarta: Depdiknas.
Abrams, M.H. 1981. A Glosary In Literary Term. New York: Holt, Rinehart and
Winston. Ahmad S.Harjasujana, dkk. 1988. Membaca. Jakarta: UT.
Arman Duval. 2009. Kegemaran Membaca (Sastra) Versus Televisi. http://groups. Yahoo.com/ pasar buku/ message/18472. Diunduh 20 November 2009.
Andayani. 2008. “ Penerapan Model Sosial dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra
di Sekolah Dasar”. Dalam Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya UNS. Vol.6, No. 1 April 2008. hal. 83.
Alex Lanur. 1991. Logika. Yogjakarta: Kanisius.
A. Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Boen S. Oemarjati.1996.“ Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan” dalam Muljanto Sumardi. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. B. Rahmanto.1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Discource Analysis. Terjemahan I. Soetikno. Cambridge: Cambridge University Press.
Burhanuddin Salam. 1988. Logika Formal. Jakarta: Bina Aksara. Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. -----------------2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:
BPEE-Yogyakarta. Chaplin. J. P. 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan Kartini Kartono.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cupchik, Gerald C.,dkk. 2003. Emotional Effects of Reading Excerpts from Short
Stories by James Joyce. Journal of Education. Canada: University of Toronto. pp. 1. Diunduh 5 Maret 2010.
110
111
Djaali dan Pudji Muljono. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Dedi Pramono. 2008. Menghayati Karya Sastra dan Menggali Nilai-Nilai yang
Bermanfaat bagi Kehidupan. Yogjakarta: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Negeri Yogjakarta..
Depdiknas. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta : BSNP. Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BNSP.
Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986: Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius. Goodman, Yetta M. 1980. Strategies Focus on Chomprehension. Singapore: B& J
Enterpries PTE. Ltd. Reading. Gorys Keraf. 2001. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: SUN.
Henry Guntur Tarigan.1984. Membaca Ekspresif. Bandung: Angkasa.
----------------1989. Membaca dalam Kehidupan. Bandung: Ankasa.
----------------1998. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung. Angkasa.
Freire, Paulo. 1983. The Importance of The Act Reading. Journal of Education. Brazil: Catholic University. pp.5. Diunduh 5Maret 2010.
Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.W. 2009. Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret. Ibrahim, Azhar Alwee. 2008. Perancangan ke Arah Pemberdayaan dalam
Pembelajaran Satra. Konferensi Internasional Kesusastraan XIX/Hiski. http: www.pusat bahasa. diknas. Go.id/ Diunduh 2 Februari 2010).
Hurley, Patrick J. 1982. A Concise Introduction to Logic. California: Wadsworth. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:
Gramedia. Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar Logika. Yogyakarta: Kanisius.
84
112
J. Prapta Diharja, S.J. 2004. “Pembelajaran Sastra yang Kreatif”. Dalam Gatra Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra, No. 27 Th. XIX. Januari 2004. hal.145.
Jujun S. Suriasumantri. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Sinar Harapan. Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1984. Metode Penelitian Survai. Jakarta:
Pt. Pertja. Maman S. Mahayana. 2008. Appreciating Indonesian Literature in Schools.
Journal of Education. Jakarta: University Indonesia.pp. 1. Diunduh 5 Maret 2010.
Mohammad Asrori. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Mortiner J. Adler, dan Charles van Doren. 1987.Cara Membaca Buku dan Memahaminya ( diterjemahan Budi Prayitno). Jakarta: Panca Simpati.
Nani Tutoli. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo: Nurul Jannah.
Noehi Nasution. 1994. Psikologi Pendidikan. Jakarta. Depdiknas.
Ratna Wilis Dahar. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Retno Winarni. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari.
Rositer, Marsha.2003. Narative and Stories in Adult Teaching and Learning. Eric Digest. ( Dalam http://www. Ericdigests. Org/2003-4/ adult teaching.htm.) Diunduh 1 Februari 2010.
S.C. Utami Munandar dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia.1990. Jakarta: Cipta
Adi pustaka. S. Effendi.1974 .Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende-Flores. : Nusa Indah.
Setya Yuwana Sudikan. 1984. Penuntun Penyusunan Karya Ilmiah. Semarang: Aneka Ilmu.
Shahriza, Nor Abdul Karim. 2006. Reading Habits and Attitude in Malaysia: Anlisis of Gender and Academic Programme Differences. Kekal Abadi, 25 (1/2). pp. 1. Diunduh 2Maret 2010.
Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
113
---------. 1992. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung: Tarsito.
Sudirman Siahaan dan Rr, Murtiningsih.2009. Mengapa Kebiasaan Membaca Masih Belum Berkembang? Dalam www. Depdiknas. go id. Pdf. Diunduh 2 Februari 2010.
Sumadi Suryabrata. 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Stokes, Suzanne. Tanpa Tahun. Visual Literacy in Teaching and Learning: A
Literature Perspective. Electronic Journal for the Integration of Technology in Education. Troy State University. Vol.1. No. 1.Diunduh 15 April 2010.hal.1.
Syamsudin A.R. dan Vismaia S. Damaianti. 2006. Metode Penelitian Bahasa.
Bandung: Remaja Rosdakarya. Tampubolon.1990. Kemampuan Membaca Teknik Membaca Efektif dan Efisien.
Bandung: Angkasa. .Utami Munandar. 1982. Pemanduan Anak Berbakat: Suatu Studi Penjajagan.
Jakarta: Rajawali . Wellek, Rene dan Austin Warren.1988. Teori Kesusastraan (edisi terjemahan oleh
Melani Budianta) Jakarta: Gramedia. Yan, Kui. 2006. An Approach To Teaching Short Stories. International Journal of
Business and Management. Guangdong : Qinghai University. Dalam www. Ccsenet. Org.pdf.Diunduh 20 November 2009.
Yus Rusyana. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:
C.V. Diponegoro. Zaidan Hendy. 1989. Pelajaran Sastra Program Budaya. Jakarta: Gramedia.
Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Mohammadiyah University Press.