Suku Batak Karo
-
Upload
dewimarlina -
Category
Documents
-
view
10.265 -
download
14
Transcript of Suku Batak Karo
TUGAS MATA KULIAH
Cultrural Anthropology ( Dewi Marlina / MC11-1B /2007110369 )
Suku Batak Karo
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
The London School of Public Relations
1
Jakarta
Daftar Isi
Halaman judul ................................................................................. i
Daftar isi ................................................................................ ii
Kata Pengantar ................................................................................. 1
BAB I Pendahuluan .......................................................................... 2
BAB II Demografi ......................................................................... 3
BAB III Unsur Budaya ....................................................................... 7
A. Sistem Bahasa ..................................................................... 7
B. Sistem Pengetahuan ........................................................... 9
C. Sistem Teknologi ................................................................ 12
D. Organisasi Sosial ................................................................ 14
E. Mata Pencaharian ............................................................. 16
F. Sistem Religi ...................................................................... 16
G. Kesenian ............................................................................ 18
BAB IV Daftar Pustaka .................................................................... 26
BAB V Biografi Penulis ...................................................................... 27
2
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, dalam era mobilitas individu yang sangat tinggi di mana tidak selaras
dengan pendeskripsian seluruh suku bangsa, yang semakin jarang ditemukan. Hal ini tidak
lain disebabkan oleh keberadaan suku – suku bangsa dengan populasi berjumlah sekitar
ratusan atau ribuan orang sudah sangat langka. Untuk memperjelas seberapa jauh
kemajemukan suatu masyarakat atau bangsa, khususnya di Indonesia bukan merupakan
tujuan dari penulisan etnografi ini. Melainkan untuk menambah rasa saling pengertian antar
sesama suku bangsa dan juga membantu tugas perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan serta berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang masyarakat
dan kebudayaan suatu bangsa.
Menurut Data Sensus Penduduk tahun 1930, jumlah anggota suku bangsa Batak
lebih kurang 1.000.000 jiwa yang berarti bahwa suku bangsa Batak merupakan salah satu
dari delapan suku bangsa di Indonesia yang anggotanya berjumlah 1.000.000 jiwa atau
lebih, di samping suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Minangkabau, Melayu, dan Bugis.
Rumpun bangsa Batak tidak hanya terdiri dari satu suku saja, melainkan terdiri atas
enam etnis atau suku yaitu Toba, Mandailing, Angkola, Pakpak/ Dairi, Simelungun dan Karo.
Dalam kesempatan ini, saya akan membahas lebih dalam mengenai subsuku bangsa Karo.
Ketertarikan saya untuk membahas masyarakat Karo lebih jauh adalah menemukan suatu
hal yang merupakan pegangan hidup Karo yang diturunkan oleh nenek moyang, yaitu surat
ukat2 yang berisi NDI-NTA, artinya memberi lebih dahulu daripada meminta. Sehingga hal
demikian akan mencerminkan masyarakat Karo yang mendahulukan aspek sosial terlebih
dahulu daripada aspek ekonomi.
3
BAB IIDEMOGRAFI
Suku bangsa Batak mempunyai wilayah asal yang terletak di Pulau Sumatra bagian
Utara, yaitu wilayah administratif Propinsi Sumatra Utara. Sumatra Utara terdiri dari daerah
pantai sepanjang pesisir timur dan barat dan bersambung dengan dataran rendah, terutama
di bagian timurnya. Keseluruhan wilayah ini terdiri atas beberapa kabupaten, yaitu
kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Asahan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli
Selatan. Di mana daerah asal kediaman orang Batak ini dikenal dengan Daratan Tinggi Karo,
Kangkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah.
Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan yang membujur di tengah–tengah
dari utara ke selatan yang merupakan pegunungan dan dikenal sebagai tulang punggung di
propinsi ini, dengan celah – celah berupa lembah – lembah di sekitar Silindung dan Padang
Sidempuan. Adapun danau yang mengelilingi Pulau Samosir berada di bagian tengah dengan
panjang 100 km, lebar 31 km dan dalamnya 500 meter, luas wilayah sekitar 5.000 kilometer
persegi yang secara astronomis terletak sekitar antara 3′ dan 3′30″ lintang utara serta 98′
dan 98′30″ bujur timur., yaitu Danau Toba, yang kini dikenal sebagai daerah wisata alam
yang indah dan terkenal serta banyak dikunjungi wisatawan. Rumpun bangsa Batak terdiri
atas enam etnis atau suku yaitu Toba, Mandailing, Angkola, Pakpak/ Dairi, Simelungun dan
Karo.
Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba sila-silahi (silalahi) lua’
Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan. Raja yang bersangkutan adalah Raja
4
Kesaktian yang bernama Alang Pardoksi (Pardosi). Masa kejayaan kerajaan Batak dipimpin
oleh raja yang bernama. Sultan Maharaja Bongsu pada tahun 1054 Hijriyah berhasil
memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya.
Karo
Lokasi dan batas geografis
Merupakan subsuku bangsa Batak yang mendiami daerah antara Gunung Sinabung
dan Gunung Sibayak di propinsi Sumatra Utara, terutama di dataran tinggi Karo, Langkat
Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian Dairi. Orang
Karo bertetangga dengan empat suku bangsa lain, yaitu
Melayu Sumatra Timur di sebelah utara, Alas di sebelah
barat, Simalungun di sebelah timur dan Pakpak di
sebelah selatan. Masyarakat Batak Karo sendiri
bermukim di kabupaten Karo yang beribukota
Kabanjahe, di mana kabupaten ini memiliki luas wilayah
2.127,25 km2 atau 212.725 Ha atau 2,97 persen dari luas
Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak
diantara 2050’-3019’ Lintang Utara dan 97055’-98038’
Bujur Timur. Kabupaten Karo berbatasan dengan :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten
Simalungun
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Propinsi NAD)
Wilayah Tanah Karo tersusun atas dua wilayah utama sebagai berikut:
Dataran tinggi Tanah Karo, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaen Karo dan
pusat administratifnya di kota Kabanjahe. Wilayah dataran tinggi Tanah Karo ini
menjorok ke selatan hingga masuk ke wilayah Kabupaten Dairi (khususnya
5
Kecamatan Taneh Pinem dan Tiga Lingga), serta ke arah timur masuk ke bagian
wilayah Kecamatan Si Lima Kuta yang terletak di Kabupaten Simalungun.
Masyarakat Karo menyebut wilayah pemukiman dataran tinggi ini dengan nama
Karo Gugung.
Dataran rendah Tanah Karo yang mencakup wilayah-wilayah kecamatan dari
Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang yang terletak pada bagian ujung
selatan secara geografis ( namun tertinggi secara topografis). Wilayah ini dimulai
dari plato Tanah Karo yang membentang ke bawah hingga mencapai sekitar
kampung-kampung Bahorok, Namo Ukur, Pancur Batu, dan Namo Rambe yang
ada di sebelah utara, serta Bangun Purba, Tiga Juhar, dan Gunung Meriah di sisi
timur. Masyarakat Karo menyebut daerah ini dengan nama Karo Jahe (Karo
Hilir).
Letak pusat daerah kebudayaan
Wilayah dataran tinggi Tanah Karo dianggap sebagai pusat kebudayaan dan tanah asli
nenek moyang masyarakat Batak Karo.
Jumlah penduduk
Menurut sensus penduduk tahun 1930 diperkirakan orang Karo berjumlah
154.350 jiwa; pada tahun 1962 mencapai 400.000 jiwa; pada tahun 1972 berjumlah
600.000 jiwa dengan mengalami
pertambahan sebesar 2 persen dan pada
tahun 1985 menjadi kurang lebih 800.000
jiwa.
Sejarah keberadaan masyarakat
Menurut mitos yang masih hidup sampai sekarang, terutama di kalangan
orang Batak Toba, leluhur pertama dari seluruh orang Batak bernama Si Raja Batak.
Leluhur ini tinggal di kaki gunung Pusuk Buhit, yang terletak di sebelah barat Danau
Toba. Keturunan Si Raja Batak ini mendiami pulau Samosir yang terletak di tengah
6
danau itu. Sebagian di antaranya menyebrang ke daratan dan tinggal terpencar di
wilayah sekitar danau. Pada mulanya suku bangsa ini terbagi atas dua cabang, yakni
cabang Toba dan cabang Pakpak-Dairi. Cabang Toba terbagi lagi atas beberapa
ranting, yaitu ranting Toba, Angkola, Mandailing dan Simalungun. Cabang Pakpak-
Dairi terbagi atas ranting Dairi dan Karo. Ada sebagian dari suku ini tidak mau
digolongkan sebagai etnis Batak disamping karena mereka mempunyai sebutan
sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba, umumnya untuk Batak Tapanuli. Jadi
mereka akan mengatakan sebagai ‘Orang Karo’ saja.
Gunung Sibayak- Gunung Raja menurut pengertian nenek moyang
Sumber Daya Alam
Sungai-sungai yang berhulu di pegunungan sekitar Danau Toba juga
merupakan sumber daya alam yang cukup berpotensi untuk dieksploitasi menjadi
sumber daya pembangkit listrik tenaga air. PLTA Asahan yang merupakan PLTA
terbesar di Sumatra terdapat di Kabupaten Toba Samosir.
Iklim : sejuk
Curah hujan : 1.000 - 4.000 mm/tahun
Suhu udara : 16°C - 17°C
Kelembaban udara : 82%
7
BAB IIIUNSUR BUDAYA
A. Sistem bahasa
Bahasa Karo adalah bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Karo di mana
merupakan bentuk bahasa Austronesia Barat yang digunakan di daerah Pulau Sumatera
sebelah utara pada wilayah Kepulauan Indonesia. Ruang lingkup penggunaan bahasa itu
sendiri tidak mengenal ruang dan waktu. Dimanapun dan pada saat kapanpun jika ada
sesama Karo bertemu ataupun bukan orang Karo tapi mengerti bahasa Karo berhak
untuk berdialog dengan bahasa Karo.
Penyebaran bahasa - Austronesia
Salah satu rumpun bahasa utama di dunia; meski hubungan dengan rumpun-rumpun
lain sudah diajukan, namun belum ada yang diterima secara luas.
Distribusi geografis: Asia Tenggara, Oseania, Madagaskar, Taiwan, Suriname
Peta penyebaran bahasa Austronesia di dunia
Tingkatan bahasa
Ada 3 dialek utama dalam pengucapan dan tulisan menurut letak geografisnya :
a. Dialek Gunung – gunung “cakap Karo gunung-gunung”, yaitu di daerah
Kecamatan Munte, Juhar, Tigabinanga, Kutabuluh dan Mardinding.
b. Dialek Kabanjahe “ Cakap orang julu “ di daerah Kecamatan Kabanjahe,
Tigapanah, Barusjahe, Simpang Empat dan Payung.
c. Dialek Jahe-jahe “ Cakapa kalah Karo Jahe “ dipakai oleh penduduk di
Kecamatan- kecamatan Pancurbatu, Biru-biru, Sibolangit, Lmabekeri dan
8
Namo rante ( semua termasuk kabupaten Deli Ladang ) dan di daerah
Kabupaten Langkat Hulu seperti Salapian, Kuwala, Bohorok dan sebagainya.
Tata cara penggunaan bahasa
a. “Tabas” atau matra adalah untuk para “guru si baso” (dukun) dan masyarakat
awa, jarang mengetahuinya. Umumnya tabas ini digunakan untuk mengobati
orang sakit, upacara pemanggilan roh dan sebagainya.
b. Pantun dikenal dengan 2 jenis berupa pantun biasa dan pantun berkias. Biasanya
digunakan untuk golongan muda-mudi yang sedang pacaran, orang tua yang
ingin menyampaikan petuah dan nasehat atau bisa juga dinyanyikan oleh para
biduan di dalam acara pertunjukan kesenian tradisional.
c. Perumpamaan atau tamsil, menurut Singarimbun, perumpamaan Karo ada yang
memakai keterangan dan ada pula yang tidak; keterangan itu dapat disebut lebih
dahulu dan di belakang. Seperti juga halnya perumpamaan Melayu yang di
dalamnya terdapat kata-kata :seperti, sebagai, ibarat, bak.
d. Turi-turin atau cerita adalah berbentuk prosa mengenai berbagai hal seperti
kesedihan, kesaktian, asal usul kampung, hewan, legenda, dll.
e. Cakep lumat merupakan dialog diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan,
pantun dan gurindam yang digunakan untuk sepasang kekasih untuk saling
menggoda. Misalnya dahulu seorang pemuda bercintaan dengan seorang gadis
di ture (teras rumah adat) maka untuk menarik perhatian gadis tersebut dia
menggunakan cakep lumat.
f. Bilang – bilang adalah kata-kata yang dilagukan atau didendangkan berupa
ratapan peleh orang (biasanya kaum wanita) yang sedang mengalami
kemalangan.
g. Ndung-ndugen adalah sejenis puisi tradisional yang hampir sama dengan pantun
dalam sastra Melayu, terdiri dari empat baris, di mana dua baris pertama adalah
sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.
9
h. Ermangmang adalah bila seorang “guru si baso “ atau orang lain mengucapkan
pidato tanpa teks di hadapan kaum kerabat yang menghadiri suatu upacara
misalnya memanggil arwah leluhur, dll.
B. Sistem Pengetahuan
Masyarakat Karo mengenal penanggalan hari dan bulan serta pembagian waktu
siang dan malam hari. Satu bulan dibagi dalam 30 hari dan satu tahun dibagi dalam 12
bulan dan masing-masing ada namanya. Adapun nama-nama hari dalam satu bulan
adalah sebagai berikut :
1. Aditia
2. Suma Pultak
3. Nggara
4. Budaha
5. Beraspati pultak
6. Cukera enem berugi
7. Belah naik
8. Aditia baik
9. Sumana siwah
10. Nggara sepuluh
11. Budaha ngadep
12. Beras pati tangkep
13. Cukera dudu
14. Belah Purnama
15. Tula
16. Suma cepik
17. Nggara enggo tula
18. Budaha Gok
19. Beras pati sepuluh siwah
20. Cukera dua puluh
21. Belah turun
22. Aditia turun
23. Suma
24. Nggara simbelin
25. Budaha medem
26. Beras pati medem
27. Cukera mate
28. Mate bulan
29. Dalan bulan
30. Samis
10
Adapun jumlah bulan untuk satu tahun dihitung dengan dua belas. Nama-nama
bulan dan hewan atau benda apa yang bersmaan dengan bulan itu adalah sebagai
berikut :
1. Sipaka sada ( kambing )
2. Sipaka dua ( lampu )
3. Sipaka telu ( gaya = cacing )
4. Sipaka empat ( kodok )
5. Sipaka lima ( arimo = harimau )
6. Sipaka enem ( kuliki = elang )
7. Sipaka pitu ( kayu )
8. Sipaka waluh ( tambak = kolam)
9. Sipaka siwah ( gayo = kepiting )
10. Sipaka sepuluh ( baluat )
11. Sipaka sepuluh sada ( batu )
12. Sipaka sepuluh dua (nurung = ikan)
Pembagian waktu dalam sehari atau waktu siang hari dibagi menjadi 5 waktu :
1. Erpagi – pagi ( 06.00 – 09.00 )
2. Pengului (09.00 – 11.00 )
3. Ciger (11.00 - 13.00 )
4. Linge (13.00 - 15.00 )
5. Karaben ( 15.00 – 18.00 )
Untuk malam hari dikenal istilah :
1. Erkata pepet ( 18.00 – 19.00 )
2. Elahman ( 19.00 - 24.00 )
3. Tengah berngi ( 24.00 - 01.00 )
4. Tekuak manok sekali ( 03.00 – 04.00 )
11
5. Tekuak manok pedua kaliken ( 04.00 – 06.00 )
Masyarakat Karo juga mengenal mata angin atau disebut “ Penjuru bumi “ dan dibagi
delapan, sama dengan mata angin yang kita kenal selama ini, yaitu :
1. Pustima – Barat
2. Purba – Timur
3. Utara – Utara
4. Daksina – Selatan
5. Mangabia – Barat Laut
6. Aguni – Tenggara
7. Iresen – Timur Laut
8. Nariti – Barat Daya
Aksara Karo
Huruf (aksara) kari terdiri atas 21 huruf induk utama ditambah sisipan “ Ketelengan “
dan lain-lain. Aksara Karo ini digunakan untuk menuliskan bahan ramuan obat,
mantra ilmu-ilmu gaib , ilmu tenun dan cerita-cerita. Umumnya tulisan itu dibuat
pada kulit kayu, bambu dan tulang hewan.
Jadi induk huruf terdiri dari dua huruf pada tulisan dan bunyi latin. Huruf –huruf Karo
semuanya berbunyi akhir dengan “a”, kecuali pada induk “i” dan “u”
C. Sistem Teknologi
Hasil tenunan
12
Segolongan kecil dari masyarakat Karo, terutama dari kaum wanita, pekerjaannya
ialah menenun kain di mana dapat dihasilkan berbagai jenis, mulai dari halus sampai
kasar. Adapun nama-nama dari jenis kain yang ditenun adalah :
Ulos
Kain yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dalam adat Batak.
Kain gatip
Digunakan untuk selimut dan sarung pada upacara adat bersama dengan “julu”
dan “ kelam-kelam” yang dilipat, dapat pula dijadikan tudung.
Julu
Uisgara
Dipakai untuk selimut bagi kaum pria dan wanita, juga sebagai tudung harian
wanita.
Uis nipes
Dipergunakan untuk upacara adat bagi kaum wanita maupun pria. Kaum pria
umumnya melilitkannya di kepala atau membentuk segitiga digantungkan di
tengkuk dengan kedua ujungnya di kiri kanan leher. Sedangkan perempuan
memasangkannya sebagai bagian dari variasi pakaian adat pada upacara
tertentu.
Uisteba
Digunakan dalam upacara adat dan kepercayaan.
Uis arinteneng
Digunakan dalam upacara adat. Misalnya sebagai alas piring pada penyerahan
uang mahar atau hantaran bagi mereka yang diselamati.
Kelam-kelam
Dipakai untuk sarung anak-anak dan alat lapis tudung wanita.
Abit atau kampoh.
13
Digunakan untuk sarung sehari-hari dan selimut.
Hasil anyaman
Kaum wanita ( gadis sampai yang berusia lanjut ) banyak yang bekerja menganyam
dengan menggunakan sejenis pohon “bengkuang”, “ketang” dan “cike”, sedang pria
menganyam dengan belahan-belahan bambu dan rotan.
Alat-alat keperluan dapur
Umumnya terbuat dari kayu, bambu, rotan , tanah dan tembaga antara lain :
Kudin taneh ( periuk memasak sayuran )
Belanga ( kuali )
Renceng ( periuk nasi )
Gelang-gelang (periuk nasi )
Capah ( piring kayu),dll
Alat penangkap hewan dan ikan
Orang Karo membuat alat penangkap hewan dan ikan terbuat dari bambu, kayu, lidi,
ijuk, dan besi. Antara lain :
Ragum ( penangkap tikus dari bahan kawat dan besi )
Kawil ( kail dari kawat )
Tuktak dan siding ( penangkap tikus, burung dan ular yang terbuat dari kayu dan
bambu),dll.
Alat senjata keperluan sehari-hari
Sekin ( parang )
Rawit ( pisau )
Sabi-sabi ( arit)
Ketam ( alat pemotong padi )
Cuan (cangkul )
Bekong ( beliung )
Tarah-tarah ( sejenis parang )
Kapak ( kampak )
14
piso surit (sejenis belati
piso gajah dompak (sebilah keris
yang panjang)
hujur (sejenis tombak)
podang (sejenis pedang panjang).,dll
15
D. Organisasi Sosial
a. Perkawinan
Perkawinan pada masyarakat Karo bersifat eksogami dan
memiliki struktur hubungan asymmetrical connubium,
artinya pertukaran wanita tidak terjadi secara timbal-balik
antara dua kelompok kerabat, melainkan bergerak ke satu
arah, misalnya kelompok A memberikan wanita kepada
kelompok B, kelompok B kepada kelompok C, kelompok C
kepada kelompok D, kelompok D kepada kelompok A.
Dalam sistem ini, seorang anak laki-laki idealnya menikah dengan anak
perempuan saudara laki-laki ibu atau cross-cousin matrilinealnya. Di samping itu, ada
larangan menikah dengan anak perempuan saudara perempuan ayah ( turang
impang ), karena anak perempuan saudara perempuan ayah ini dianggap seperti
saudara kandung sendiri sehingga tidak boleh dikawini. Dalam suatu perkawinan,
inisiatif melamar dilakukan oleh pihak laki-laki dengan mengirimkan delegasi ke rumah
si gadis. Kunjungan ini disebut nungkuni, dan apabila lamaran diterima selanjutnya
diadakan perundingan ( ngembah manuk )antara kedua belah pihak untuk
membicarakan jumlah mas kawin ( tukur ) yang harus diberikan. Hal lain yang
dibicarakan adalah jumlah harta yang akan diterima saudara laki-laki ibu si gadis (
bere-bere ), saudara laki-laki ibu dari ibu si gadis ( perkempun ), saudara-saudara
perempuan ibu si gadis (perbibin), anak beru ayah si gadis ( perkembaren ), dan
saudara laki-laki ibu si pemuda ( ulu emas). Kemudian dibicarakan pada waktu
pelaksanaan perkawinan (peturken).
.
b. Kekerabatan
Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo, baik berdasarkan
pertalian darah maupun pertalian karena hubungan perkawinan, dapat direduksi
menjadi tiga jenis kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak, dan anak
beru, yang biasanya disimpulkan dalam banyak istilah, tetapi maksudnya sama yaitu:
daliken si telu sama dengan sangkep si telu, iket si telu, rakut si telu. Pada suku-suku
Batak yang lain seperti Toba, Mandailing, dan Angkola, maksud yang sama dikenal
dengan istilah dalihan na tolu. Daliken si telu (daliken adalah tungku batu tempat
memasak di dapur, sedangkan si telu adalah tiga). Hubungan antara ketiganya tidak
dapat dipisahkan di dalam hal adat, menyusupi aspek-aspek kehidupan secara
mendalam, menentukan hak-hak dan kewajiban di dalam masyarakat, di dalam
upacara-upacara, hukum, dan di zaman yang lampau mempunyai arti yang penting di
dalam kehidupan ekonomi dan politik. Pada masa sebelum penjajahan Belanda, juga
termasuk ritual, dan segala aktifitas sosial. Di dalam sangkep si telu inilah terletak azas
gotong-royong, dan musyawarah dalam arti kata yang sedalam-dalamnya
E. Mata Pencaharian .
Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang.
Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah
tadi tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki
perseorangan. Peternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain
perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan
dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. .
Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu,
temmbikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.
F. Religi .
Menurut catatan data pada tahun 1983 bahwa prosentase pemeluk agama di
kabupaten Karo adalah sebagai berikut : Kristen Protestan 46,31 %, Katolik 12,95 %,
Islam 19,03 %, Hindu Budha dan lainnya 21,70 %.
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan .
Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi batak utara.
Walaupun demikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih
mempertahankan konsep asli “animisme” ( kepercayaan akan adanya jiwa dan roh di
dalam anthropologi kebudayaan ) yang biasanya menjadi religi – Berikut adalah
kepercayaan orang Karo, pertama, “Dibata” ( Tuhan ) / Debeta Mula Jadi Na Balon
sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia; Siloan Na Balom:
berkedudukan sebagai penguasa dunia mahluk halus. Mereka juga percaya akan adanya
“tenaga gaib” yaitu semangat yang berkedudukan di batu-batu besar, kayu besar,
sungai, gunung dan hal ini biasa dikenal sebagai “dinamisme”
Kedua, roh manusia yang masih hidup disebut “tendi”. Sedang roh manusia
kemudian mati yang lazim disebut arwah atau “begu” menurut orang Karo. “Tendi”
atau jiwa atau roh manusia yang masih hidup dan sewaktu-waktu bisa meninggalkan
badan manusia, maka diperlukan pengadaan upacara yang dipimpin oleh “guru si baso”
(datu atau dukun) agar “tendi” tadi segera kembali ke badan manusia tersebut; Sahala
yang berarti jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Orang batak juga percaya
akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.
Beberapa pemujaan atau penyembahan yang dilakukan orang Karo :
“ Buah huta-uta” yang biasanya merupakan batang buah pohon besar di dekat desa,
yang dipercayai ditunggui oleh tenaga gaib yang dikeramatkan. Pada waktu-waktu
tertentu diadakan upacara persembahan yang disertai gendang sarune( gong,
serunai, pengjual) di mana “si guru baso” berperan penting di situ.
“Galoh“ adalah satu tempat tertentu berupa persembahan yang ditanami
kalinjuhang, sangka sampilet, galoh si tabar, tabar-tabar, besi-besi, kapal-kapal dan
ambatuah, dilingkari pagar bambu berdiameter lebih kurang 4 meter.
“Silanen” adalah batu besar yang letaknya tidak begitu jauh dari desa. Biasa orang
menaruh sesuatu sebagai sesajen di atas batu ini sambil menyampaikan
keinginannya.
Adapun upacara-upacara ritual yang dilakukan orang Karo :
“ Perumah Begu” yaitu upacara pemanggilan arwah seseorang yang sudah meninggal
melalui guru sibaso ( dukun )
“Ndilo tendi” upacara ini dilakukan apabila ada seseorang yang terkejut akan suatu
kejadian, baik karena penglihatan, pendengaran atau jatuh, hanyut,dll. Di mana
tendi tersebut akan meninggalkan tubuhnya karena terkejut.
“Nengget” adalah upacara yang ditujukan kepada pasangan suami istri yang setelah
sekian tahun berumahtangga namum
belum memiliki anak.
“Ngarkari” ialah upacara menghindari
suatu kemalangan yang dialami oleh
suatu keluarga di mana guru sibaso
berperan penting.
“Perselihi” ialah upacara pengobatan suatu penyakit atas diri seseorang, di mana
untuk menghindari penyakit menjadi lebih berbahaya.
“Ngulakken” ialah suatu upacara agar penyakit yang menyerang seseorang karena
dibuat sengaja oleh orang lain hilang. Dan kalau bisa penyakit tadi dipantulkan
kembali ke si pembuatnya.
“Erpangir kulau” adalah untuk membersihkan diri seseorang atau keluarga secara
keseluruhan, menghilangkan kesulitan, malapetaka dan lainnya.
“Ndilo wari udan” memanggil turunnya hujan kepada Tuhan agar musim kemarau
diganti musim hujan.
“Ngeluncang” ialah upcara ritual untuk mengusir segala pengganggu seperti roh
halus agar desa tersebut terhindar dari penyakit atau malapetaka.
“Njujungi beras piker” adalah satu upacara yang isinya berupa ucapan selamatan dan
doa agar orang tersebut dapat diberikan keteguhan iman dan lain-lain.
G. Kesenian
Seni Bangunan
Rumah Adat
Rumah adat orang Karo ini biasanya didiami oleh 8 kepala keluarga(ada juga 16 kepala
keluarga, seperti Rumah “ empat ture” (empat sisi pintu muka)di kampung Batukarang,
Tanah Tinggi Karo. Tinggi rumah adat ini sekitar 30 meter, beratapkan ijuk dan pada tiap
muka dari atapnya dipasang tanduk kerbau.
Rumah adat Karo
Rumah dengan panjang kurang lebih 16 meter dan lebar 10 meter di mana
dipasang belahan kayu besar dengan tiang-tiang kayu yang berukuran diameter 60 cm,
dinding bagian bawah agak miring kurang lebih 30 derajat, disertai ukiran-ukiran di
sepanjang bagian dinding dan lain sebagainya yang agak rumit diertai pula
pemasangan tali-tali ijuk di sepanjang dinding itu yang menggambarkan sejenis
binatang melata seperti cicak. Pembuatan dari rumah adat ini sendiri pun memakan
waktu lama, sekitar satu sampai empat tahun. Pembuatannya dirancang oleh
arsitektur kepala yang disebut ”pande tukang”
Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa
keluarga, yang penempatan jabu-nya didalam rumah tersebut diatur menurut
ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang
disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat
suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat
megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur
oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.
Si waluh jabu
Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Rumah sianjung-anjung
Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga
terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi bertanduk.
b. Rumah Mecu.
Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai
sepasang tanduk.
Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
a. Rumah Sangka Manuk.
Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-
menindih.
b. Rumah Sendi.
Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain
dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh.
Dalam nyanyian rumah ini sering juga disebut Rumah Sendi Gading Kurungen
Manik.
Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu)
sesuai aliran air pada suatu kampung.
Jabu dalam Rumah Adat
Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan
keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan
ketentuan adat Karo. Rumah adat secara garis besar dapat dibagi atas jabu jahe
(hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar
benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan
jabu rumah sendipar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai jabu
adat. Rumah-rumah adat empat ruang ini dahulunya terdapat di Kuta Buluh, Buah
Raja, Lau Buluh, Limang, Perbesi, Peceren, Lingga, dan lain-lain.
Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh
delapan keluarga. Malahan kampung Munte ada rumah adat yang dihuni oleh enam
belas keluarga. Dalam hal rumah adat dihuni oleh delapan keluarga, sementara
dapuar dalam rumah adat hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua,
sehingga terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu,
sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
Adapun susunan jabu dan yang menempatinya adalah sebagai berikut:
1. Jabu Benana Kayu .
Terletak di jabu jahe. Kalau kita kerumah dari ture jahe, letaknya sebelah kiri. Jabu
ini dihuni oleh para keturunen simantek kuta (golongan pendiri kampung) atau
sembuyak-nya.
Fungsinya adalah sebagai pemimpin rumah adat.
2. Jabu ujung Kayu (anak beru) .
Jabu ini arahnya di arah kenjulu rumah adat. Kalau kita masuk kerumah adat dari
pintu kenjulu, letaknya disebelah kiri atau diagonal dengan letak jabu benana kayu.
Jabu ini ditempati oleh anak beru kuta atau anak beru dari jabu benana Kayu.
Fungsinya adalah sebagai juru bicara jabu bena kayu.
3. Jabu Lepar Benana Kayu .
Jabu ini di arah kenjahe (hilir). Kalau kita kerumah dari pintu kenjahe letaknya
disebelah kanan, Penghuni jabu ini adalah sembuyak dari jabu benana kayu.
Fungsinya untuk mendengarkan berita-berita yang terjadi diluar rumah dan
menyampaikan hal itu kepada jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut
jabu sungkun berita (sumber informasi).
4. Jabu lepar ujung kayu (mangan-minem) .
Letaknya dibagian kenjulu (hulu) rumah adat. Kalau kita masuk dari pintu kenjulu ke
rumah adat, letaknya di sebelah kanan. Jabu ini ditempati oleh kalimbubu jabu
benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu si mangan-minem.
Keempat jabu inilah yang disebut dengan jabu adat, karena penempatannya harus
sesuai dengan adat, demikian juga yang menempatinya ditentukan menurut adat.
Akan tetapi, adakalanya juga rumah adat itu terdiri dari delpan atau enam belas
jabu.
5. Jabu sedapuren benana kayu (peninggel-ninggel).
Jabu ini ditempati oleh anak beru menteri dari rumah si mantek kuta (jabu benana
kayu), dan sering pula disebut jabu peninggel-ninggel. Dia ini adalah anak beru dari
ujung kayu.
6. Jabu sidapuren ujung kayu (rintenteng) .
Ditempati oleh sembuyak dari ujung kayu, yang sering juga disebut jabu arinteneng.
Tugasnya adalah untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur (persentabin)
kepada tamu jabu benana kayu tersebut. Oleh karena itu, jabu ini disebut juga jabu
arinteneng.
7. Jabu sedapuren lepar ujung kayu (bicara guru).
Dihuni oleh guru (dukun) atau tabib yang mengetahui berbagai pengobatan.
Tugasnya mengobati anggota rumah yang sakit.
8. Jabu sedapuren lepar benana kayu
Dihuni oleh puang kalimbubu dari jabu benana kayu disebut juga jabu pendungi
ranan. Karena biasanya dalam runggun adat Karo persetujuan terakhir diberikan
oleh puang kalimbubu.
Seni Tarian
Tari Tor-tor (bersifat magis);
Tari Tor-tor adalah tarian yang gerakannya se-irama dengan iringan musik
(magondangi) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang,
suling, terompet batak, dan lain-lain. Menurut sejarahnya tari tor-tor digunakan
dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh, dimana roh tersebut dipanggil
dan “masuk” ke patung-patung batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu patung
tersebut tersebut bergerak seperti menari akan tetapi gerakannya kaku. Gerakan
tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.
Tari serampang dua belas (bersifat hiburan).
Merupakan salah satu dari sekian banyak tarian yang berkembang di bawah
Kesultanan Serdang di Kabupaten Serdang Bedagai (dahulu Kabupaten Deli
Serdang). Tari ini merupakan jenis tari
tradisional yang dimainkan sebagai tari
pergaulan yang mengandung pesan
tentang perjalanan kisah anak muda
dalam mencari jodoh, mulai dari
perkenalan sampai memasuki tahap
pernikahan. Inilah salah satu cara masyarkat Melayu Deli dalam mengajarkan tata
cara pencarian jodoh kepada generasi muda. Sehingga Tari Serampang Dua Belas
menjadi kegemaran bagi generasi muda untuk mempelajari proses yang akan
dilalui nantinya jika ingin membangun mahligai rumah tangga.
Seni suara
Para penyaji lagu di masyarakat
Karo dikenal sebagai “permangge-
mangga” atau “perkolong-kolong“ baik
laki-laki maupun wanita. Pencipta lagu
yang terkenal antara lain ialah Jaga
Depari, Nuhit Bukit, dll.
Seni Ukir dan pahat
a. Ukir cekili kambing ialah hiasan pada bangunan rumah, tangkai pisau, dan
gantang beru-beru.
b. Ukir ipen-ipen ialah dibuatkan pada bamabu atau kayu yang dijadikan tempat
sayuran daging.
c. Ukir Embun sikawiten ialah berbentuk awan yang berarak dan ini diukir pada
petak, tangkai pisau dan gantang beru-beru
d. Ciken adalah tongkat dari kayu dan
tulang di mana ada pegangan tangan
e. Gung ialah gong yang terbuat dari
tembaga, biasanya dipergunakan pada
upacara-upacara adat.
f. Penganak, bentuknya sama tapi jauh
lebih kecil dari gong
g. Sarune adalah serunai terbuat dari kayu, digunakan untuk upacara adat dan
pesta muda-mudi.
h. Belobat ialah beluat terbuat dari bambu yang merupakan alat tiup.
i. Keteng-keteng terbuat dari seruas pohon bambu yang berfungsi sebagai
pengatur suara dalam suatu upacara.
j. Kecapi, alat petik menyerupai gitar dengan dua tali
Hasil kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos.
Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan
rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut
tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai
dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang .
Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai berikut:
1. Ulos Ragidup
Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan demikian
karena warna, lukisan serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar
hidup. Ulos jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya.
Ulos ini terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah
yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap
rumah tangga suku batak di daerah-daerah yang masih kental adat bataknya. Karena
dalam upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin
perempuan kepada ibu pengantin lelaki
2. Ulos Ragihotang
Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara
pembuatannya tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai
untuk mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara
penguburan kedua kalinya .
3. Ulos Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mabolang-
bolangi (menghormati) orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah
pengantin laki-laki pada upacara pernikahan adat batak. Dalam upacara ini biasanya
orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos Bela yang berarti ulos menantu
kepada pengantin laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
1997. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta : PT. Delta Pamungkas .Bangun, Drs. Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta : INTI IDAYU PRESS.http://van-odin.net/blog/2009/03/15/bahasa-batak-karohttp://tanobatak.blogspot.com/http://www.bonapasogit.eu/pagina%27s/Indonesia/Suku_Batak.htmhttp://pariwisatakaro.blogspot.com/2008_06_16_archive.htmlhttp://www.karoweb.or.id/2009/04/rumah-adat-karo/
BIOGRAFI PENULIS
Dewi Marlina, lahir di Jambi, 02 November 1988. Penulis
merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Penulis telah
menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Xaverius I Jambi. Saat ini
penulis sedang melaksanakan studinya di STIKOM The London School of
Public Relations Jakarta dengan mengambil jurusan Mass
Communication semester 4. Penulis memiliki hobi antara lain
bersosialisasi, mendengar lagu dan travelling. Cita – cita dari penulis
adalah ingin mendirikan perusahaan yang bergerak dalam bidang event organizer. Penulis
merupakan sosok yang baik hati, bersahabat, dan berani mencoba hal-hal yang baru.