Studi Tentang Provisional Agreement on the Land Boundary Between the Republic of Indonesia and the...
description
Transcript of Studi Tentang Provisional Agreement on the Land Boundary Between the Republic of Indonesia and the...
1
STUDI TENTANG PROVISIONAL AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARY
BETWEEN THE REPUBLIK OF INDONESIA AND THE DEMOCRATIC
REPUBLIC OF TIMOR-LESTE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONVENSI
WINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL.
SKRIPSI
Untuk memenuhi Sebagian Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan
Dalam Ilmu Hukum
Oleh :
ANDIKA OKTAMA SANTRIA
NIM. 0310103013
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2007
2
LEMBAR PERSETUJUAN
STUDI TENTANG PROVISIONAL AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARY
BETWEEN THE REPUBLIK OF INDONESIA AND THE DEMOCRATIC
REPUBLIC OF TIMOR-LESTE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONVENSI
WINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL.
Oleh :ANDIKA OKTAMA SANTRIA
NIM. 0310103013
Disetujui pada tanggal:
Pembimbing Utama,
SUCIPTO, SH, MHNIP. 130 890 048
Pembimbing Pendamping,
NURDIN, SH, MHNIP. 131 573 926
Mengetahui
Ketua Bagian
Hukum Internasional
SETYO WIDAGDO, SH, MHNIP. 131 573 949
3
LEMBAR PENGESAHAN
STUDI TENTANG PROVISIONAL AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARY
BETWEEN THE REPUBLIK OF INDONESIA AND THE DEMOCRATIC
REPUBLIC OF TIMOR-LESTE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONVENSI
WINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL.
Oleh:ANDIKA OKTAMA SANTRIA
NIM. 0310103013
Disetujui pada tanggal:
Pembimbing Utama,
SUCIPTO, SH, MHNIP. 130 890 048
Pembimbing Pendamping,
NURDIN, SH, MHNIP. 131 573 926
Ketua Majelis Penguji,
Dr. Sihabudin, S.H.,M.H.NIP. 131 472 753
Ketua Bagian Hukum Internasional
Setyo Widagdo, SH, MHNIP. 131 573 949
Mengetahui
Dekan,
Herman Suryokumoro, SH., MSNIP. 131 472 741
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur tiada henti senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan karunia hingga Peneliti sampai pada tahap ini, khususnya
dengan selesainya skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan studi di jenjang S-1 bagi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang, yang disusun berdasarkan data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan. Peneliti menyadari bahwa kesemuanya ini tidak akan dapat terwujud dan
terlaksana dengan baik tanpa bantuan serta kerjasama dari berbagai pihak. Untuk itu,
dalam kesemuanya ini Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang
tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada:
1. Bapak Herman Suryokumoro, S.H.,M.S selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang;
2. Bapak Setyo Widagdo, SH, MH. selaku Ketua Bagian Hukum Internasional;
3. Bapak Sucipto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama atas segala
petunjuk dan arahan yang telah diberikan kepada penulis;
4. Bapak Nurdin, S.H.,M.S, selaku Dosen Pembimbing Pendamping, atas segala
petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan
baik dan serta waktu yang telah diluangkan kepada penulis demi sempurnanya
tulisan;
5. Seluruh Dosen FH-UB atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama ini dan
juga seluruh staff karyawan FH-UB;
6. Ibuku tercinta Dra. Andang Widianingsih dan Bapakku Drs. Untung Suropati,
BcKn, MM, yang selalu memberikan doa, kesabaran, semangat, serta kasih
5
sayang tiada henti-hentinya, sehingga peneliti berhasil menyelesaikan skripsi
ini.
7. Adikku Ananda Aditya Dwi Novarianto tercinta atas doa dan dukungan yang
telah diberikan kepada penulis.
8. Prita Kania Putri yang menemani, memberikan doa, kesabaran, serta
memberikan pengertian sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini.
9. Teman suka duka ku Bambang, Alfan, Fadhil, Ardiyan, Febri, Soka, Rendra,
Edgard, Erick, Aris Aji, Chusnul, Ananda, Monique, Vivi, Jaka, Herodian,
Indra, sebagai sahabat serta teman-teman fakultas hukum terutama angkatan
2003 lainnya yang selalu memberi saran, pendapat, dan dukungan dalam
penyusunan skripsi ini.
10. Pihak-pihak dari Departemen Luar Negeri yang telah memberikan informasi
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
11. Dan seluruh pihak yang turut membantu selesainya skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusun skripsi ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran akan sebisa mungkin diterima sebagai
masukan positif bagi penulis. Semoga pada akhirnya skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkannya. Amin.
Malang, Januari 2008
Penulis
6
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan…………………………………………………………… i
Lembar Pengesahan…………………………………………………………… ii
Kata Pengantar………………………………………………………………… iii
Daftar Isi…………………………………………………………………...…… v
Daftar Tabel……………………………………………………………….…… viii
Daftar Bagan………………………………………………………….………… ix
Daftar Lampiran…………………………………………………..……………. x
Abstraksi………………………………………………………………..……… xi
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang…………………………………………………………… 1
2. Rumusan Masalah…………………………………………..…………… 10
3. Tujuan Penelitian…………………………..…………………………….. 10
4. Manfaat Penelitian……………………………………………………….. 11
5. Sistematika Penulisan…………………………………………………….. 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Umum Provisional Agreement on the Land Boundary between
the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste 14
1. Latar Belakang Perjanjian……………………………………………... 14
2. Arti Perjanjian………………………………………..………………... 14
3. Jenis Perjanjian……………………………….………………………... 15
4. Isi Perjanjian…………………………………………………………… 15
5. Tujuan Perjanjian………………………………………………………. 16
6. Azas Perjanjian………………………………………………………… 17
B. Kajian Umum Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian, tahun 1969
(Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969)................................. 17
1. Latar Belakang Konvensi Wina 1969………………………………….. 17
2. Isi Konvensi Wna 1969………………………………………………... 17
3. Konsiderans Konvensi Wina 1969…………………………………….. 18
4. Substansi Konvensi Wina 1969 20
5. Annex dan Deklarasi yang terkait dengan Konvensi Wina 1969……… 23
C. Kajian Umum Undang-Undang No. 24 tahun 2000................................. 24
1. Latar Belakang Undang-Undang………………………………………. 24
7
2. Substansi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000……………………….. 25
D. Penegakan Hukum Internasional……………………………………….. 28
1. Kewajiban negara untuk menyelesaikan pertikaian internasional secara
damai……………………………………………………………………
28
2. Kewajiban negara untuk tidak menggunakan ancaman atau kekerasan
terhadap negara lain……………………………………………………..
29
3. Kewajiban Negara untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri
negara lain………………………………………………………………...
30
4. Suksesi Negara………………………………………………………… 31
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian…………………………………………………… 34
B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum.……………………………………….
1. Jenis Bahan Hukum.……………..……………………………………. 34
2. Teknik Penelusuran Bahan Hukum…………………………………….. 36
3. Teknik Analisis Bahan Hukum…………....…………………………… 36
4. Definisi konseptual……..............…………………………………….... 37
1. Provisional Agreement on the Land Boundary between the
Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-
Leste……………………………………………………………. 37
2 Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian, tahun 1969
(Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969)..................... 37
3 Undang-Undang No. 24 tahun 2000…………………………… 38
4 Penegakan Hukum Internasional……………………………….. 39
BAB IV PEMBAHASAN
A. Masalah-Masalah Hukum yang Timbul dari Provisional Agreement
on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the
Democratic Republic of Timor-Leste………. 40
1. Belum pulihnya pengamanan wilayah perbatasan yang harus
dilakukan dengan garis batas yang sangat panjang…………….. 42
2. Belum pulih sepenuhnya stabilitas politik dan keamanan di
kawasan perbatasan RI – Timor Leste………………………….. 43
3. Belum ada pengaturan teknis tentang DAS Malibaka sebagai
DAS lintas batas antarnegara………………………………….... 44
8
4. Sarana CIQS dan prasarana wilayah masih kurang memadai…. 45
5. Aksesibiltas menuju kawasan perbatasan relatif masih kurang
memadai………………………………………………………... 45
6. Terdapat tanah hak ulayat penduduk Timor Leste di wilayah
RI, dan sebaliknya……………………………………………… 46
7. Maraknya penyelundupan barang dan orang (pelintas batas
ilegal) dan pencurian kayu (illegal logging)……………………. 46
8. Belum terbentuknya penataan ruang wilayah (RTRW)
khususnya perbatasan RI – Timor Leste……………………….. 47
9.Rendahnya kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) masyarakat
di perbatasan…………………………………………………….
47
10. Belum tuntasnya permasalahan penanganan eks pengungsi
Timor-timur…………………………………………………….. 48
11.Masih lemahnya penegakkan supremasi hukum dan
profesionalisme aparatur pemerintah di perbatasan……………. 48
B. Status Provisional Agreement on the Land Boundary between the
Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste
dikaji dari perspektif Konvensi Wina 1969…………………………….. 51
1. Penggunaan azas good faith dan Azas Pacta Sunt Servanda
dalam Konvensi Wina 1969 kaitannya dengan Provisional
Agreement on the Land Boundary between the Republic of
Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste………. 54
2. Provisional Agreement on the Land Boundary between the
Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-
Leste dilihat dari Undang-undang no. 24 tahun 2000………….. 56
C. Upaya hukum yang dapat ditempuh agar Provisional Agreement on
the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the
Democratic Republic of Timor-Leste bisa berjalan sesuai dengan
tujuan yang ditetapkan…………………………………………………. 59
1. Jangka Pendek
a. Peningkatan sistem pertahanan, keamanan, dan ketertiban
wilayah perbatasan dan koordinasi terpadu………………… 59
b. Pemulihan keamanan dan ketertiban melalui upaya
9
penanggulangan gerakan separatis bersenjata……………… 60
c. Penegasan kembali batas-batas wilayah negara dengan
Timor Leste yang menyangkut DAS lintas Negara………… 61
d. Pemenuhan kebutuhan prasarana CIQS dan infrastruktur
kebutuhan dasar masyarakat………………………………... 62
e. Peningkatan sarana transportasi dan prasarana wilayah di
kawasan perbatasan………………………………………… 63
f. Pengakuan, perlindungan, dan pengaturan hak ulayat/adat
masyarakat.............................................................................. 64
g. Peningkatan pengawasan keamanan di perbatasan dan
penertiban pelaku illegal logging........................................... 65
h. Penentuan format penyusunan rencana tata ruang wilayah
perbatasan dengan instansi terkait.......................................... 66
i. Pengembangan sarana pendidikan dan pelatihan untuk
masyarakat perbatasan............................................................ 66
j. Penyelesaian masalah pengungsi yang masih bertahan di
perbatasan secara tuntas......................................................... 67
k. Penegakkan supremasi hukum dan peningkatan profesional
aparatur pemerintah. 68
2. Jangka Panjang 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………… 72
B. Saran…………………………………………………………………….. 73
DAFTAR PUSTAKA 75
LAMPIRAN 78
10
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Data Wilayah Kecamatan Perbatasan Darat RI – Timor Leste di
Provinsi NTT Tahun 2003................................................................................... 4
Tabel 2 Data Wilayah Kecamatan Perbatasan Laut RI – Timor Leste di
Provinsi NTT Tahun 2003................................................................................... 5
Tabel 3 Peta Wilayah Perbatasan Indonesia Dan Timor-Leste............................. 8
11
ABSTRAKI. ANDIKA OKTAMA SANTRIA, HUKUM INTERNASIONAL, FAKULTASHUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG, JANUARI 2008, STUDITENTANG PROVISIONAL AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARYBETWEEN THE REPUBLIK OF INDONESIA AND THE DEMOCRATICREPUBLIC OF TIMOR-LESTE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONVENSIWINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL,SUCIPTO, SH, MH, NURDIN, SH, MH.
Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic ofIndonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste ini artinya adalah perjanjiansementara tentang perbatasan darat antara Republik Indonesia dan RepublikDemokratis Timor-Leste tentang perbatasan darat. Perjanjian itu memuat hal-hal yangtelah disepakati dalam perundingan batas darat kedua negara yaitu suatu garis batasyang terdiri atas 907 titik-titik koordinat yang menjadi titik-titik koordinat dari garisbatas darat kedua negara. Sifat sementara atau provisional dari persetujuan sementaradimaksud adalah karena masih banyak hal yang perlu dibenahi lagi dan jugaperjanjian ini bersifat sebagai suatu perjanjian yang bersifat in-guardable, masihbanyak ketidak tetapan dalam perjanjian ini.
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian yuridisnormatif untuk mengkaji permasalahan yang ada.
Dalam Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasionalyang mengantisipasi dari Konferensi Vienna tahun 1968 yang menghasilkanKonvensi Vienna mengenai hukum perjanjian, tahun 1969 ( Vienna Convention on theLaw of Treaties, 1969), yang mulai berlaku (entry into force) 27 januari 1980, tidakdisebutkan tentang perjanjian internasional yang bersifat sementara. Menurut peneliti,pengakuan akan Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republicof Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste ini tentulah menjadi satuhal yang harus dibuktikan menurut hukum nasional Indonesia itu sendiri, menurutundang-undang yang berlaku serta menurut hukum internasional yang mengaturmasalah perjanjian yaitu, Konvensi Vienna mengenai hukum perjanjian, tahun 1969.
Banyak sekali permasalahan yang muncul dari Provisional Agreement on theLand Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic ofTimor-Leste yang masih bersifat sementara dan belum sepenuhnya rampung ini.Terutama masalah yang sering timbul di kawasan perbatasan berkaitan dengankondisi keamanan dan ketertiban akibat belum pulihnya kondisi keamanan danketertiban wilayah, lemahnya penegakkan hukum, serta kualitas peraturan perundang-undangan dan profesionalisme aparat penegak hukum yang masih rendah.
Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic ofIndonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste ini adalah suatu perjanjianinternasional yang belum matang namun sah dan memuat unsur-unsur azas perjanjianinternasional yang memang harus disertakan dalam setiap perjanjian internasionalyang akan atau sedang dibuat.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan
pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita
yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari
persengkataan wilayah oleh Palestina dan Israel yang belum juga menemukan
titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah
Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-
pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan
dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini.
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia. Maka, tidak
heran bila kemudian ada istilah jamrud khatulistiwa. Kita selalu bangga
dengan istilah jamrud khatulistiwa itu. Namun kebanggaan tersebut bisa
menjadi ironisme yang memperihatinkan ketika satu dua pulau terluar menjadi
incaran dan dicaplok Negara tetangga. Masih segar dalam ingatan kita, dua
pulau –yaitu pulau Sipadan dan pulau Ligitan- resmi menjadi milik Malaysia
sesuai dengan keputusan Mahkamah Internasional PBB.
Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu
pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan
Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah Republik
Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung barat,
sabang ke ujung timur, merauke.
2
Pembicaraan mengenai Timor-Leste akhir-akhir ini menjadi semakin
ramai dan mengundang banyak perhatian dunia apalagi setelah Pemerintah
Indonesia menawarkan usulan untuk melepaskan Timor-Leste dari wilayah RI
sebagai opsi kedua apabila opsi pertama yaitu memberikan status khusus
dengan otonomi luas ditolak. Berdasarkan hasil jajak pendapat rakyat Timor
Timor yang dilakukan 30 Agustus 1999 dan diumumkan 4 September 1999,
79% (tujuhpuluh sembilan persen) rakyat Timor-Leste memilih opsi kedua
yaitu menghendaki adanya pemisahan dari Indonesia atau berkeinginan untuk
merdeka, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa Timor-Leste akan
terpisah dengan Indonesia dan berdiri sebagai negara baru yang merdeka.
Kemudian Timor-Leste merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Menurut hukum
internasional, munculnya negara baru ini akan membawa banyak konsekuensi
internasional, seperti hutang-hutang negara lama, arsip-arsip, pengakuan dan
keterikatannya pada perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh negara
lama. Hal itu tidak terkecuali Timor-Leste yang menjadi negara baru yang
merdeka terlepas dari Indonesia. Kondisi di atas akan dihadapi baik oleh
Timor-Leste sendiri sebagai negara yang baru merdeka maupun Indonesia
yang telah kehilangan kedaulatannya di wilayah Timor-Leste.
Hal tersebut adalah wajar, karena Timor-Leste sebagai negara baru
telah memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, berhak menentukan
kebijakan politik dalam dan luar negerinya. Sehingga berkaitan dengan itu
pula Timor-Leste berhak menentukan tetap akan terikat atau tidak pada
perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral yang telah
dilakukan oleh Indonesia. Bagi Indonesia sendiri merdekanya Timor-Leste
tersebut berakibat tidak memilikinya kedaulatan atas wilayah tersebut.
3
Konsekuensi selanjutnya adalah bahwa setiap kebijakan internasional yang
telah dibuat Indonesia yang berkaitan dengan Timor-Leste termasuk
perjanjian-perjanjian internasional harus ditinjau kembali atau menjadi tidak
berlaku menurut hukum internasional.
Ada 3 (tiga) aspek pokok yang mendasari karakteristik kawasan
perbatasan RI – Timor-Leste, yaitu sosial ekonomi, pertahanan keamanan, dan
politis. Aspek sosial ekonomi ditunjukan oleh karakteristik daerah
berkembang yang antara lain disebabkan :
1. Lokasinya terpencil/terisolasi dengan tingkat aksesibilitas rendah, sehingga
tingkat mobilitas dan gerak langkah masyarakatnya pun menjadi rendah,
terutama antar desa perbatasan dengan pusat kegiatan ekonomi dan
pemerintahan;
2. Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan akibat keterbatasan fasilitas,
serta kurang memadainya jumlah tenaga pendidik dan tenaga medis sebagai
akibat posisi wilayah yang relatif jauh dari pusat-pusat pelayanan pendidikan
dan kesehatan;
3. Tingkat kesejahteraan rendah yang ditandai dengan banyaknya jumlah
penduduk miskin dan desa tertinggal akibat terbatasnya pelayanan dan
kesempatan kerja sebagai akibat daya saing produksi rendah;
4. Informasi tentang pemerintah dan pembangunan sangat langka, karena
keterpencilan lokasi, sehingga sulit dijangkau siaran media informasi nasional,
sebaliknya malah lebih mudah menjangkau siaran dari negara tetangga;
Aspek Hankam ditunjukkan oleh karakteristik luas wilayah dan pola sebaran
penduduk yang tidak merata. Akibatnya, rentang kendali pemerintahan, pembinaan,
dan pengawasan teritorial sulit dilaksanakan secara mantap dan efisien, sedangkan
4
Aspek politis ditunjukkan oleh karakter kehidupan sosial ekonomi yang cenderung
lebih berorientasi kenegara tetangga. Kondisi ini rawan, sebab pada gilirannya
orientasi sosial ekonomi itu dapat saja bergeser ke politik.1
Tabel I
Data Wilayah Kecamatan Perbatasan Darat RI – Timor Leste di
Provinsi NTT Tahun 2003 :
No Kabupaten Ibukota KecamatanJml.
Keluarga
1
2
3
Kupang
TTU
Belu
Kupang
Kefamenanu
Atambua
Amfoang Utara
Miomaffo Barat
Miomaffo Timur
Insana
Malaka Timur
Tasifeto Barat
Tasifeto Timur
Lamaknen
Kobalima
1
14
2
2
3
2
10
9
4
Sumber: BPKD Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2003
Tabel II
Data Wilayah Kecamatan Perbatasan Laut RI – Timor Leste di Provinsi NTT Tahun
2003 :
No Kabupaten Ibukota Kecamatan
1
2
Kupang
TTU
Kupang
Kefamenanu
Amfoang Utara
Insana Utara
1 Badan Perencanaan Nasional, 2007 (www.bappenas.go.id) (Diakses pada tanggal 13 agustus 2007)
5
No Kabupaten Ibukota Kecamatan
3
4
Belu
Alor
Atambua
Kalabahi
Tasifeto Barat
Kobalima
Alor Barat Daya
Sumber: BPKD Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2003
Wilayah perbatasan RI – Timor Leste merupakan bagaian integral dari
wilayah Propinsi NTT yang merupakan kawasan penyangga dengan kemungkinan
gangguan dan kerjasama dengan wilayah negara tetangga. Untuk itu, kawasan
perbatasan perlu diberikan perhatian yang lebih besar untuk dibangun secara layak
sebagaimana daerah-daerah lainnya.
Sehubungan dengan Timor Barat adalah kawasan yang berbatasan langsung
dengan suatu negara lain, maka dalam kerangka pembangunan termasuk dalam
katagori kawasan khusus karena perbatasan dengan wilayah negara tetangga, sehingga
penanganan pembangunannya memerlukan kekhususan. Kondisi kawasan perbatasan
dengan jumlah penduduk dan pengungsi yang terus meningkat, harus diimbangi
dengan tuntutan kebutuhan dalam berbagai sektor antara lain: terpenuhinya kebutuhan
dasar masyarakat atau penduduk dan infrastruktur wilayah. Kebutuhan akan kedua
sektor itu merupakan suatu kebutuhan yang harus terpenuhi. Kawasan perbatasan
perlu dipercepat pembangunannya mengingat ; (i) sebagian besar lokasinya masih
dalam katagori terpencil/terisolir dengan tingkat aksesibilitas rendah, sehingga tingkat
mobilitas kehidupan dan gerak langkah masyarakatnya pun relatif rendah; (ii) tingkat
kesejahteraan masyarakat perbatasan masih sangat rendah.
Permasalahan yang sering timbul di kawasan perbatasan berkaitan dengan
kondisi keamanan dan ketertiban adalah karena belum pulihnya kondisi keamanan
dan ketertiban wilayah, lemahnya penegakkan hukum, serta kualitas peraturan
6
perundang-undangan dan profesionalisme aparat penegak hukum yang masih rendah.
Kemudian, karena NKRI adalah suatu Negara kepulauan, maka daerah-daerah
provinsi, daerah-daerah kabupaten dan kota tidak hanya berada pada suatu pulau
(daratan) saja melainkan berada pada beberapa pulau(daratan) dan Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) berada di Pulau Timor2.
Dalam tiga tahun terakhir, kedua Pemerintah telah berunding untuk
menetapkan perbatasan kedua negara didasarkan atas perjanjian perbatasan yang
dibuat oleh kekuasaan kolonial Belanda dan Portugis pada tahun 1904. Kemajuan
besar telah dapat dicapai dimana kedua Pemerintah telah dapat menyetujui 96 % garis
perbatasan daratnya. Hal tersebut tidak mudah mengingat kenyataan di lapangan tidak
selalu sama dengan deskripsi yang tercantum dalam perjanjian perbatasan jaman
kolonial.3
Pada tanggal 8 April 2005 di Dili, Timor-Leste, Menlu Indonesia dan Timor-
Leste, atas nama Pemerintah masing-masing, telah menandatangani Provisional
Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the
Democratic Republic of Timor-Leste. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh
Perdana Menteri Mari Alkatiri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang
melakukan Kunjungan Kenegaraan ke Timor-Leste.
Sifat provisional dari perjanjian perbatasan darat antara Indonesia dengan
Timor-Leste disebabkan karena adanya fakta-fakta bahwa (a) masih perlu
dilakukannya survey, delineasi dan densifikasi titik-titik koordinat perbatasan; (b)
terdapat tiga segmen, yaitu Dilumil/Memo, Bijael Sunan Oben and Noel Besi/Citrana
yang masih dalam proses perundingan.
2 Marnixon R.C willa, Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah PerbatasanAntar Negara, . PT Alumni, bandung, 2006, Hal 23 http://www.kbridili.org/bilateral.htm (22 agustus 2007)
7
Walaupun demikian, perjanjian tersebut bersifat final dalam hal tidak akan ada
lagi modifikasi terhadap 907 koordinat perbatasan yang telah disetujui. Setelah
perbatasan darat disepakati seluruhnya, Indonesia dan Timor-Leste akan segera
memulai perundingan mengenai batas maritim
Provinsi Timtim berada di pulau Timor sebelah timur sedang disebelah
Baratnya adalah provinsi NTT. Ketika Povinsi Timtim –sebelumnya disebut Timor
Portugis- yang berintegrasi ke dalam wilayah NKRI pada tahun 1976 yang
dikukuhkan melalui Undang-undang No.7 Tahun 1976 dan Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1978 lepas (pisah) dari ikatan NKRI menjadi satu Negara merdeka lewat
jajak pendapat rakyat Timtim tahun 1999 dan merdeka pada tanggal 20 mei 2002,
ketika itu pula timbul berbagai persoalan berkenaan dengan adanya wilayah
Kabupaten Ambeno ( sekarang Distrik Oekusi ) sebagai wilayah enclave ( daerah
kantong )4 Negara Timor Leste Yang berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Timur.5
Jika melihat keadaan yang sekarang, banyak sekali masalah yang timbul
dikarenakan belum jelasnya batas wilayah antara Negara Timor Leste dengan
perbatasan Indonesia. Sehingga sering timbul kerancuan antar pasukan pengawal
perbatasan wilayah kedua Negara. Apalagi tidak terjaminnya kondisi keamanan di
perbatasan kedua Negara. Indikasinya, terjadi kasus penembakan seorang anggota
TNI –tidak berpakaian dinas dan memanggul senjata laras panjang- oleh pasukan
Penjaga Perdamaian PBB (UN-PKF) di tapal batas, dimana pemerintah Indonesia
mengklaim bahwa ketika penembakan terjadi, korban berada dalam wilayah NKRI.
Sementara pasukan perdamain PBB mengklaim bahwa korban telah berada dalam
4 Enklave adalah Negara atau bagian Negara yang dikelilingi oleh wilayah suatu Negara lain.5 Ibid, hal 3.
8
wilayah Negara Timor Lorosae. Peristiwa ini terjadi karena batas wilayah antara
kedua Negara belum jelas.6
Tabel III
Peta Wilayah Perbatasan Indonesia Dan Timor-Leste
sumber: http://www.bakosurtanal.go.id (20september2007)
Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menurut lembaran Negara RI tahun 1959 no.
75 tanggal 5 juli 1959 menjelaskan bahwa “ oleh karena Negara Indonesia itu
suatu ” eenheidsstaat” maka Indonesia tak akan mempunyai daerah didalam
lingkungannya yang bersifat “ staat “ juga.” Bila bunyi Penjelasan Pasal 18
UUD 1945 ini disandingkan dengan kenyataan bahwa dalam wilayah NKRI
terdapat bagian wilayah Negara Timor Leste (Distrik Oekusi sebagai wilayah
enclave), maka disini timbul masalah mendasar bagaimana Pemerintah
Indonesia menyikapi kenyataan ini.7
6 Ibid, hal 47 ibid, hal 5
9
Dengan keadaan agreement (perjanjian) tersebut yang bersifat
provisional (sementara) timbul asumsi bahwa perjanjian atau agreement
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka perlulah untuk
merujuk pada konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional.
Atas dasar berbagai permasalahan tersebut, maka penulis menganggap
perlu mengangkat masalah ini untuk diteliti lebih lanjut. Oleh karena itu
diperlukan adanya kajian terhadap permasalahan mengenai Provisional
Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the
Democratic Republic of Timor-Leste dikaji dari perspektif Konvensi Wina
1969.
B. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang timbul antara lain :
1. Apa saja masalah-masalah hukum yang bisa timbul dari Provisional
Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the
Democratic Republic of Timor-Leste menurut Konvensi Wina 1969?
2. Bagaimana status Provisional Agreement on the Land Boundary between the
Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste dikaji dari
perspektif Konvensi Wina 1969?
3. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh agar Provisional Agreement on the
Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste bisa berjalan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah:
10
1. Untuk mengkaji eksistensi Provisional Agreement on the Land
Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste ini, sehingga banyak sekali pelanggaran yang
terjadi di daerah perbatasan.
2. Untuk memaparkan hal apa saja yang menghambat Provisional
Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia
and the Democratic Republic of Timor-Leste ini tidak dapat berjalan
dengan baik.
3. Untuk merumuskan upaya agar Provisional Agreement on the Land
Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste ini dapat berjalan sesuai dengan keinginan
para pihak.
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian hukum ini antara lain :
1. Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan Hukum Perjanjian Internasional.
b. Bagi Peneliti lainnya, diharapkan agar nantinya hasil dari
penelitian hukum ini berguna sebagai masukan dan bahan
untuk melakukan penelitian selanjutnya.
2. Praktis
a. Bagi Masyarakat, diharapkan dapat memperoleh wawasan dan
penjelasan mengenai perbatasan wilayah secara jelas.
11
b. Bagi Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia diharapkan
mampu memulihkan stabilitas politik dan keamanan diwilayah
perbatasan, khususnya di perbatasan RI-Timor Leste.
c. Sebagai masukkan nantinya bagi Pembuat Undang-Undang
agar nantinya Rancangan Undang-Undang mengenai
pengaturan dan pengelolaan wilayah perbatasan antar Negara
yang akan datang dapat disusun secara efektif.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Dalam Bab ini berisi tentang latar belakang penulisan skripsi,
perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika
penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang pustaka yang digunakan oleh
peneliti, yaitu Kajian Umum Mengenai Hak dan Kewajiban Negara,
Pengertian Hak dan Kewajiban Negara, Pengertian Negara, Pengertian
Kedaulatan Negara, Kajian Umum mengenai Provisional Agreement on the
Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste, Kepatuhan Hukum, Patuh Terhadap Hukum yang
Berlaku, Tidak Patuh Terhadap Hukum yang Berlaku, Penegakan Hukum dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Alternative Upaya Hukum
12
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam Bab ini berisi tentang metode penelitian, meliputi metode
pendekatan penelitian, jenis dan sumber bahan hukum, sumber data, dan
teknik analisa bahan hukum.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam Bab ini akan menguraikan mengenai perbatasan negara dalam
pespektif kajian dan analisa mengenai bentuk ancaman atau gangguan yang
terjadi guna mempertahankan kedaulatan negara kesatuan republik Indonesia
di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste.
BAB V PENUTUP
Dalam Bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan dari hasil pembahasan
pada Bab sebelumnya sekaligus saran yang berisi beberapa masukkan yang
diharapkan menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait, khususnya
dari pihak pemerintah sebagai perumus kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi keseluruhan literatur dan referensi serta pengarang yang telah
dijadikan acuan oleh penulis dalam menulis proposal skripsi.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Umum Provisional Agreement on the Land Boundary between the
Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste
1. Latar Belakang Perjanjian
Sebagai Negara yang baru merdeka, perlulah Timor Leste dan
Indonesia mengadakan perjanjian tentang tapal batas antara kedua
Negara agar tidak terjadi kesalahpahaman di wilayah perbatasan antara
kedua pemerinah, seiring banyaknya kasus yang terjadi di wilayah
perbatasan kedua Negara karena kurang jelasnya batas antara
Indonesia dan Timor Leste.
Kedua Pemerintah telah berunding untuk menetapkan
perbatasan kedua negara didasarkan atas perjanjian perbatasan yang
dibuat oleh kekuasaan kolonial Belanda dan Portugis pada tahun 1904.
Kemajuan besar telah dapat dicapai dimana kedua Pemerintah telah
dapat menyetujui 96 % garis perbatasan daratnya. Hal tersebut tidak
mudah mengingat kenyataan di lapangan tidak selalu sama dengan
deskripsi yang tercantum dalam perjanjian perbatasan jaman kolonial.
2. Arti Perjanjian
Perjanjian ini adalah perjanjian yang bernama Provisional
Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia
and the Democratic Republic of Timor-Leste yang artinya adalah
perjanjian sementara tentang perbatasan darat antara Republik
Indonesia dan Republik Demokratis Timor-Leste.
14
3. Jenis Perjanjian
Provisional Agreement on the Land Boundary between the
Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste ini
bersifat Provisional atau sementara, maksudnya dalam perjanjian ini,
pasal 25 ayat 1 dan 2 Konvensi Wina dengan judul Provisional
application of a treaty menegaskan8, suatu perjanjian internasional
(secara keseluruhannya) atau sebagian dari perjanjian itu dapat
diterapkan sementara waktu, sambil menunggu saat mulai berlakunya.
Suatu perjanjian dapat diterapkan sementara waktu bila perjanjian itu
menetapkan demikian, atau negara yang melakukan perundingan (the
negotiating satates) dengan cara lain menyetujui penerapan sementara
tersebut.
4. Isi Perjanjian
Perjanjian itu memuat hal-hal yang telah disepakati dalam
perundingan batas darat kedua negara yaitu suatu garis batas yang
terdiri atas 907 titik-titik koordinat yang menjadi titik-titik koordinat
dari garis batas darat kedua negara. Sifat sementara atau provisional
dari persetujuan sementara dimaksud adalah karena (a) masih
diperlukan perapatan atau densifikasi titik-titik koordinat (b) dan masih
terdapatnya tiga unresolved segments yaitu Dilumil/Memo, Bijael
Sunan-Oben dan Noel Besi/Citrana. Namun demikian perjanjian
tersebut bersifat final, dalam arti bahwa 907 titik-titik koordinat yang
telah disepakati tidak akan diubah lagi.9
8 I wayan partiana, Hukum Perjanjian Internasional, bagian 2, CV. Mandar Maju Bandung, 2005, hal.2949 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0504/09/nas12.html , 21 september 2007.
15
5. Tujuan Perjanjian
Perjanjian ini bertujuan untuk, mempererat dan
mengembangkan hubungan bertetangga baik yang memandang kearah
masa depan dan saling menguntungkan diantara kedua Negara,
menetapkan perbatasan darat antara republic Indonesia dan Republic
Demokratik Timor-Leste untuk lebih memperkuat stabilitas dan
keamanan perbatasan di sepanjang wilayah perbatasan, dan juga kedua
pemerintah menyadari pentingnya menetapkan secara tepat batas-batas
darat di Pulau Timor seperti dijelaskan dalam Konvensi Perbatasan
antara Portugis dan Kerajaan Belanda di Pulau Timor yang
ditandatangani di Den Haag pada 1 oktober 1904, Arbitral Award
Rendered in Execution of the Compromis yang ditandatangani di Den
Haag, 3 april 1913, antara Belanda dan Portugal mengenai masalah
Perbatasan yang Menjadi Bagian Kepemilikan Kedua Negara terhadap
Pulau Timor yang ditandatangani di Paris pada 25 juni 1914 dan
dokumen-dokumen lain yang relevan.
6. Azas Perjanjian
Azas hukum yang mendasari perjanjian tersebut adalah Azas
Itikad Baik (Good Faith) dan Azas Pacta Sunt Servanda (kewajiban
para pihak untuk menaati dan melaksanakan ketentuan perjanjian).
Kedua azas ini berkaitan erat, yakni kewajiban para pihak
untuk menaati dan melaksanakan ketentuan perjanjian (Azas Pacta
Sunt Servanda) haruslah dijiwai oleh azas itikad baik (good faith).
16
B. Kajian Umum Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian, tahun 1969
(Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969)
1. Latar Belakang Konvensi Wina 1969
Pada tahun 1968 diadakan konferensi intenasional mengenai
hukum perjanjian internasional yang diadakan di Vienna. Konferensi
Vienna tahun 1968 ini menghasilkan Konvensi Vienna mengenai
hukum perjanjian, tahun 1969 ( Vienna Convention on the Law of
Treaties, 1969), dan mulai berlaku (entry into force) 27 januari 1980.
2. Isi Konvensi Wna 1969
Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian yaitu bagian
ansiderans dan bagian isi. Disamping itu terdapat annex dan dua
deklarasi yaitu Deklarasi mengenai Larangan Menggunakan Paksaan
Militer, Politik, Ekonomi, dalam Membuat Suatu perjanjian, dan
Deklarasi mengenai Partisipasi Universal dalam Konvensi Wina 1969
tentang Hukum Perjanjian. Preambule dan substansi Konvensi adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan yang
lainnya. Sedangkan annex dan deklarasi masing-masing berdiri sendiri
dan terlepas dari konvensi, meskipun memang tetap ada hubungannya
dengan konvensi.10
3. Konsiderans Konvensi Wina 1969
Konsiderans ini menggambarkan dasar-dasar pertimbangan dari
lahirnya konvensi, baik berupa fakta-fakta yang sudah ada dan berlaku
sebelumnya, maupun azas-azas hukum yang melandasi substansi atau
pasal-pasal konvensi, serta tujuan yang hendak dicapai oleh Konvensi.
10 I wayan partiana, op cit, bagian 1, hal. 51
17
Konsiderans pertama menyatakan, bahwa negara-negara yang
menjadi peserta atau menjadi pihak dalam konvensi mengakui peranan
yang sangat fundamental dari perjanjian internasional dalam sejarah
hubungan internasional (recognizing the fundamental role of treaties in
the history of internasional relations).
Konsiderans kedua menggambarkan mengenai fakta peranan
dan arti pentingnya perjanjian internasional. Bahwa perbedaan sistem
sosial budaya, ketatanegaraan, maupun perbedaan-perbedaan lainnya,
bukanlah faktor penghalang bagi negara-negara untuk mengadakan
perjanjian-perjanjian internasional.
Konsiderans ketiga ditegaskan tentang beberapa prinsip hukum
umum yang melandasi hukum perjanjian internasional sebagaimana
terdapat dalam konvensi.11
Konsiderans keempat ini mengandung suatu harapan supaya
negara-negara berusaha menyelesaikan perselisihannya yang timbul
dari suatu perjanjian internasional secara damai. Upaya penyelesaian
sengketa secara damai adalah melalui lembaga peradilan atau lembaga
penyelesaian sengketa yang lain berdasarkan hukum, seperti melalui
arbitrase, melalui Mahkamah internasional maupn Mahkamah regional,
atau melalui lembaga atau organisasi internasional dimana pihak-pihak
yang bersengketa menjadi anggotanya.12
Konsiderans kelima ditujukan kepada rakyat dari perserikatan
bangsa-bangsa, bukan ditujukan kepada negara-negara, untuk
menciptakan kondisi dimana keadilan dan penghormatan tehadap
11 ibid12 Ibid , hal 52
18
kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian internasional dapat
dipelihara. Karena pada akhirnya keadilan, keamanan, ketertiban
maupun hak-hak dan kewajiban yang timbuldan beasal dari perjanjian
internasional terpulang kepada rakyat masing-masing negara diseluruh
dunia.
Konsiderans keenam menyinggung prinsip-prinsip hukum
internasional sebagaimana terdapat dalam Piagam PBB, seperti
kesamaan hak dan hak penentuan nasib sendiri dari rakyat, kesamaan
kedaulatan dan kemerdekaan dari semua negara .
Selanjutnya Konsiderans ketujuh menunjukkan suatu keyakinan
dari negara-negara peseta konvensi, bahwa pengembangan progresif
dan pengkodifikasian hukum perjanjian internasional sebagaimana
ditegaskan dalam piagamnya, misalnya pemeliharaan perdamaian dan
keamanan, pengembangan hubungan bersahabat dan tercapainya
kerjasama antar bangsa-bangsa, dengan suatu keyakinan, bahwa
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional itu
akan mendorong tercapainya tujuan PBB sebagaimana ditegaskan
dalam Piagamnya.
Akhirnya, konsiderans kedelapan yang juga merupakan suatu
pengakuan, bahwa hukum kebiasaan internasional, khususnya hukum
perjanjian internasional, khususnya hukum perjanjian internasional
yang masih berbentuk hukum kebiasaan internasional, yaitu hukum
kebiasaan internasional yang berada di luar Konvensi, masih tetap
terus mengatur persoalan yang tidak diatur atau tidak diketemukan
19
dalam Konvensi. Jadi, kaidah hukum kebiasaan internasional itu
melengkapi kekosongan hukum dari konvensi ini.
4. Substansi Konvensi Wina 1969
Substansi Konvensi Wina 1969 meliputi bagian-bagian (parts)
dan masing-masing Bagian terdiri dari Pasal-Pasal (Articles) dan tiap
Pasal dibagi menjadi Ayat-Ayat (Paragraph), tetapi tidak semuanya.
Dan tiap Ayat (paragraph) dibagi menjadi Sub-Ayat (Sub-Paragraph).
Tegasnya Konvensi terdiri dari 8 (delapan) Bagian, dan kedelapan
Bagian itu terdiri dari 85 pasal.
Bagian pertama (Part I) merupakan bagian pengantar
(Introduction) terdiri dari lima pasal yaitu pasal 1 (Satu) sampai pasal 5
(lima). Yaitu tentang kaidah hukum perjanjian internasional yang
terdapat didalam konvensi ini hanya mencakup perjanjian-perjanjian
antar negara.
Bagian kedua (Part II) mengatur tentang pembuatan atau
perumusan dan mulai berlakunya suatu perjanjian internasional
(Conclusion and Entry Force of Treaties) yang terbagi lagi dalam tiga
seksi (Section) dan semuanya meliputi 19 pasal, dari pasal 9 sampai
dengan 25.
Bagian tiga (Part III) berkenaan dengan penghormatan,
penetapan, dan penafsiran suatu perjanjian internasional (observance,
application, and interpretation of treaties), terdiri dari 4 seksi dan 12
pasal yaitu pasal 26 sampai dengan pasal 38.
Bagian empat (Part IV) berkenaan dengan amandemen dan
modifikasi atas suatu perjanjian internasional (Amandement and
20
Modification of treaties), terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 39, 40, dan
pasal 41.
Bagian lima (Part V) mengatur tentang ketidaksahan,
pengakhiran dan penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional
(Invalidity termination, and suspension of the Operation of Treaties)
terdiri dari lima seksi dan 30 (tiga puluh) Pasal, yaitu dari pasal 42
sampai dengan pasal 72. Bagian V ini merupakan bagian yang
terpanjang jika dibandingkan dengan bagian yang lainnya.
Bagian VI (Part VI) berupa ketentuan-ketentuan lain
(Miscelleneous provisions), terdiri dari tiga pasal yaitu pasal 73, 74,
dan pasal 75. dalam bagian ini diatur tentang hal-hal yang berdasarkan
sistematikanya tidak dapat dimasukkan kedalam salah satu bagian
tersebut di atas dan oleh karena itu dihimpun di dalam bagian VI ini.
Bagian VII (Part VII) mengatur tentang penyimpanan,
pemberitahuan, perbaikan, dan pendaftaran suatu perjanjian
internasional. Bagian tujuh ini terdiri dari 5 (lima) pasal, yaitu pasal
76, 77, 78, 79, dan pasal 80.
Bagian delapan (Part VIII) yangmerupakan bagian akhir dari
konvensi, berkenaan dengan ketentuan-ketentuan akhir, yaitu berupa
ketentuan yang dari segi sistematikanya memang layak ditempatkan
pada bagian paling akhir dari suatu naskah perjanjian atau konvensi.
Yaitu pasal 81 berupa penandatanganan (signature), pasal 82 tentang
ratifikasi (ratification), pasal 83 tentang aksesi (accesion), pasal 84
tentang mulai berlakunya (entry into force), dan pasal 85 tentang
21
naskah konvensi yang otentik (authentic text) Bagian delapan ini terdiri
dati 5 pasal seperti telah disebutkan diatas.
5. Annex dan Deklarasi yang terkait dengan Konvensi Wina 1969
Diluar dari konvensi ini, terdapat sebuah Annnex atau
tambahan mengenai pembentukan komisi konsiliasi dalam
hubungannya dengan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi
sebagaimana diatur dalam pasal 66 konvensi, yaitu penyelesaian
sengketa antara para pihak melalui konsiliasi.
Selain daripada Annex, Konvensi Wina 1969 ini disertai pula
dengan dua buah deklarasi. Berbeda dengan Annex tersebut diatas
yang tidak ditegaskan status hukumnya dalam hubungannya dengan
konvensi, kedua deklarasi ini adalah sebagai akte akhir (final act) dari
konferensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian.
Kedua deklarasi tersebut adalah :
1. Declaration of the Prohibition of Military,Political or
Economic Coercion in the Conclusion of Treaties
(Deklarasi mengenai Larangan Menggunakan Paksaan
Militer, Politik, Ekonomi, dalam Membuat Suatu
perjanjian); dan
2. Declaration on the Universal Participation in the
Vienna Convention of the Law of Treaties (Deklarasi
mengenai Partisipasi Universal dalam Konvensi Wina
1969 tentang Hukum Perjanjian).
22
C. Kajian Umum Undang-Undang No. 24 tahun 2000
1 Latar Belakang Undang-Undang
Latar belakang UU No. 24 Tahun 2000 ini adalah untuk
mengantisipasi Konferensi Vienna tahun 1968 yang menghasilkan
Konvensi Vienna mengenai hukum perjanjian, tahun 1969 ( Vienna
Convention on the Law of Treaties, 1969), dan mulai berlaku (entry
into force) 27 januari 1980, maka pemerintah Indonesia telah
mengundangkan Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional 23 oktober 2000.13
Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian internasional di
Indonesia selama ini dijabarkan dalam Surat Presiden No.
2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960, kepada Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi pedoman dalam proses
pengesahan perjanjian internasional, yaitu pengesahan melalui undang-
undang atau keputusan presiden, bergantung kepada materi yang
diaturnya. Namun demikian, dalam praktik selama ini telah terjadi
berbagai penyimpangan dalam melaksanakan surat presiden tersebut,
sehingga perlu diganti dengan Undang-undang tentang Perjanjian
Internasional.
Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang
ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum
internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi
internasional, atau subjek hukum internasional lain. Bentuk dan nama
perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain :
13 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, buku 1, bagian umum, pautra abardinbandung, hlm 118.
23
treaty, convention, agreement, memorandum of understanding,
protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of
notes, agreed minutes, summary records, process verbal, modus
vivendi, dan letter of intent.
2. Substansi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
Substansi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 meliputi bagian-
bagian dan masing-masing Bagian terdiri dari Pasal-Pasal dan tiap
Pasal dibagi menjadi Ayat-Ayat. Dan tiap Ayat dibagi menjadi Sub-
Ayat, tetapi tidak semuanya. Tegasnya Konvensi terdiri dari 8
(delapan) Bagian, dan kedelapan Bagian itu terdiri dari 22 pasal.
Bagian pertama yaitu ketentuan umum yang terdiri dari 3 pasal,
yaitu pasal 1, 2, dan pasal 3. bagian ini berisi tentang tugas dan fungsi
menteri, yaitu memberikan pendapat dan pertimbangan politis dalam
membuat dan mengesahkan perjanjian internasional berdasarkan
kepentingan nasional. Sebagai pelaksana hubungan luar negeri dan
politik luar negeri, Menteri juga terlibat dalam setiap proses pembuatan
dan pengesahan perjanjian internasional, khususnya dalam
mengkoordinasikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk
melaksanakan prosedur pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional.
Bagian kedua Undang-Undang terdiri dari 5 pasal yaitu pasal 4
(empat) sampai dengan pasal 8 (delapan). Bagian ini berisi tentang
pembuatan perjanjian internasional, subyek hukum internasionalnya,
dan subyek hukum internasional itu sendiri.
24
Bagian ketiga berisi tentang pengesahan suatu perjanjian
internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh
para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan
akan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Bagian ini terdiri dari 6
pasal yaitu pasal 9 (sembilan) sampai dengan pasal 14 (empat belas).
Selanjutnya Bagian keempat, bagian ini menegaskan tentang
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan adanya pengesahan
dalam pemberlakuan perjanjian tersebut dan memuat materi yang
bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian
induk, dapat langsung berlaku setelah penandatanganan, pertukaran
dokumen perjanjian/nota diplomatik atau setelah melalui cara-cara lain
sebagaimana disepakati para pihak pada perjanjian internasional.
Perjanjian yang termasuk dalam kategori tersebut di antaranya adalah
perjanjian yang secara teknis mengatur kerja sama di bidang
pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan, kesehatan,
keluarga berencana, pertanian, kehutanan, serta kerja sama
antarpropinsi dan antarkota. Terdiri dari dua pasal yaitu pasal 15 dan
16.
Bagian lima undang-undang ini, yaitu pasal 17, berisi tentang
penyimpanan naskah otentik dari suatu perjanjian internasional yang
dilakukan oleh menteri negara yangmenjalankan tugas dan fungsinya.
Bagian keenam undang-undang ini terdii dari 3 (tiga) pasal
yaitu pasal 18, 19, dan pasal 20. bagian keenam ini berisi tentang
pengakhiran perjanjian apabila salah satu butir dalam salah satu pasal
25
dalam undang-undang ini sudah terjadi. Hak dan kewajiban para pihak
dalam perjanjian internasional akan berakhir pada saat perjanjian
internasional tersebut berakhir. "Hilangnya objek perjanjian"
sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 undang-undang ini dapat terjadi
apabila objek dari perjanjian tersebut sudah tidak ada lagi.
"Kepentingan nasional" sebagaimana dimaksud pada pasal 18 undang-
undang ini harus diartikan sebagai kepentingan umum (public interest),
perlindungan subjek hukum Republik Indonesia, dan yurisdiksi
kedaulatan Republik Indonesia.
Selanjutnya bagian ketujuh undang-undang yaitu pasal 21,
berisi tentang pengesahan suatu perjanjian internasional yang masih
atau akan berlangsung, diselesaikan menuut ketentuan undang-undang
no.24 tahun 2000 ini.
Akhirnya bagian kedelapan undang-undang pasal 22 berisi
tentang mulai berlakunya (entry into force) undang-undang ini sejak
tanggal diundangkannya.
D. PENEGAKAN HUKUM INTERNASIONAL.
A. Kewajiban negara untuk menyelesaikan pertikaian internasional
secara damai:
Pasal 2 (3) Piagam PBB menyatakan bahwa dalam menghadapi
pertikaian internasional (pertikaian antar negara), maka negara-negara
anggota PBB wajib menyelesaikannya dengan cara-cara damai
sedemikian rupa agar tidak mengancam perdamaian dan keamanan
internasional serta keadilan. Piagam PBB mengusahakan pemeliharaan
26
perdamaian dan keamanan internasional melalui penyelesaian damai
sebagai salah satu tujuan utama PBB, yaitu dengan mengenakan
"tanggung jawab" kepada anggotanya untuk menyelesaikan pertikaian
internasional secara damai. Dengan demikian para pihak diminta untuk
menyelesaikan pertikaian mereka yang diperkirakan dapat mengancam
perdamaian dan keamanan internasional, dengan utamanya mencari
penyelesaian dengan cara damai menurut pilihan mereka sendiri.14
Dalam rangka mencari penyelesaian pertikaian secara damai itu ncgara
yang terlibat pertikaian itu tidak diperkenankan untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dapat memperkeruh situasi sehingga dapat
mengancam perdamaian dan keamanan internasional .Sebaliknya
negara tersebut harus melakukanya sesuai dengan prinsip-prinsip dan
tujuan PBB.15 Kewajiban negara untuk menyelesaikan pertikaiannya
secara damai tersebut tidak termasuk kewajiban untuk menyelesaikan
macam pertikaian tertentu dengan cara-cara tertentu atau untuk
mengikuti urutan prioritas tertentu apapun dalam memilih cara-cara
yang dikehendaki. Satu-satunya pengecualian pernyataan yang bersifat
umum tersebut adalah bahwa menurut Pasal 52 (2) negara anggota
PBB diminta untuk mengupayakan setiap usaha agar bisa dicapai
penyelesaian.
B. Kewajiban negara untuk tidak menggunakan ancaman atau
kekerasan terhadap negara lain.
14 Lihat komentar dari pasal 33 Piagam PBB.15 Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625(XXV) tanggal 24 Oktober 1970.
27
PasaI 2 (4) memberikan kewajiban kepada semua negara
anggota PBB untuk tidak menggunakan baik ancaman maupun
kekerasan (threats or use of force) di dalam hubungan internasional
terhadap keutuhan wilayah dan kemerdekaan politik dari sesuatu
negara atau dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan
PBB. Yang dimaksud dengan "penggunaan kekerasan" (use of force) di
sini menyangkut kekerasan militer yang dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung.16 Kekerasan senjata terhadap sesuatu
negara hanya dapat dilakukan atas otorisasi Dewan Keamanan PBB
jika negara itu melakukan tindakan yang dapat mengancam
perdamaian, melanggar perdamaian dan melakukan tindakan agresi
terhadap negara lain.17 Di samping itu tindakan kekerasan itu juga
dapat dilakukan oleh sesuatu negara terhadap negara lainnya dalam
rangka hak bela diri (the right of self defense).18
Dalam hal ini Majelis Umum PBB yang mempunyai tanggung
jawab residual dibidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional19 juga dapat memberikan rekomendasi untuk
menggunakan langkah-langkah militer bahwa negara dalam situasi
tertentu dapat menggunakan haknya untuk membela diri sesuai dengan
Pasal 51 Piagam.20 Setiap negara mempunyai kewajiban untuk tidak
melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap negara lain,
karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional
16 Leland M. Goodricg, hal. 50.17 Bab VII Piagarn PBB khususnya Pasal 42.18 Pasal 51 Piagam PBB.19 Lihat Resolusi 377 A (V) mengenai Uniting for Peace Resolution.20 Pernyataan Delegasi Inggris dan Delegasi Colombia di MU-PBB, GAOR/ 5 th Session, 1 stCommittee/300 th Meeting/October 12, 1950/paragaphs 4,71-73.
28
dan Piagam PBB.21 Pada waktu Indonesia mengirimkan tentaranya ke
Timor Timur dan sesudah itu mengintegrasinya menjadi provinsinya
yang ke-27 dalam tahun 197622 telah menimbulkan reaksi keras di
PBB dan DK-PBB menyatakan "menyesal terhadap Pemerintah
Indonesia atas intervensi pasukan militernya diwilayah Timor Timur"
serta "menyerukan agar Pemerintah Indonesia segera menarik
pasukannya dari wilayah tersebut."23
C. Kewajiban Negara untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri
negara lain.
Pasal 2 (7) Piagam juga memberikan kewajiban kepada anggota
PBB untuk tidak melakukan campur tangan urusan dalam negeri
negara lain. Baik negara maupun kelompok negara tidak mempunyai
hak dengan alasan apapun juga untuk mencampuri urnsan dalam negeri
negara lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
itu intervensi senjata dan segala bentuk intervensi lainnya atau
ancaman yang dilakukan terhadap personalitas negara atau terhadap
unsur-unsur budaya, ekonomi dan politik adalah pelanggaran terhadap
hukum internasional.24 Namun demikian tidak mengurangi adanya
kemungkinan bahwa campur tangan itu dapat dilakukan dalam hal
penerapan Bab VII Piagam yaitu mengenai pelaksanaan dari langkah-
Iangkah untuk mengenalkan sanksi. Pemerintah Swedia juga bisa
21 Declaration of Principles of International Law Concerning Friendly Relations and CooperationAmongStates in Accordance with the Charter of the United Nations, 24 Oktober 1970,22 Lihat UU No.7 Tahun 1976 dan TAP MPR VI/MPR/1978.23 Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB 384 (1975) tanggal 22 Desember 1975.24 Resolusi MU-PPB 2625 (XXV), tanggal 24 Oktober 1970.
29
dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (masalah
Aceh) dengan membiarkan warga negaranya (Hassan Tiro)
mengadakan konspirasi untuk memimpin, membantu dan menghasut
GAM melakukan perlawanan terhadap Pemerintah yang sah dan
memisahkan diri dari NKRI.
D. Suksesi Negara
Pasal 2 angka 1b Konvensi Wina 1978 menentukan bahwa
"succestion of states means the replacement of one state by another in
the responsibility for the international relations of territory."
Selanjutnya menurut Pasal 2 angka 1f, Pasal 15, Pasal 30 angka 1 dan
Pasal 34 Konvensi Wina 1978, suksesi negara dapat terjadi karena
berbagai sebab, yaitu:
1. Apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam
hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara
tersebut kemudian berubah menjadi wilayah negara baru.
2. Apabila negara pengganti sebagai negara baru yang beberapa
waktu sebelum saat terjadinya suksesi merupakan wilayah yang
tidak bebas yang dalam hubungan internasional di bawah
tanggung jawab negera (negara-negara) yang digantikan.
3. Negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua
wilayah atau lebih menjadi suatu negara merdeka.
4. Terjadi sebagai akibat dipecah-pecahnya suatu negara menjadi
beberapa negara baru.
Kemudian suksesi menurut Starke adalah:
30
“… principally concerned with the transmission of right and
obligations from state which have altered or lost their identity to other
states or entities, such alteration or loss identity occurring primarily
when complete or partial changes of souveregnty take place over
portions of territory."25
Pada hakikatnya bahwa di dalam suksesi negara akan terjadi
persoalan kepindahan hak dan kewajiban dari negara pendahulu
kepada negara pengganti. Walaupun begitu tidak selamanya perpin-
dahan hak dan kewajiban dalam negara itu selalu didahului dengan
adanya suksesi.
Dapat dikatakan bahwa suksesi ini merupakan masalah hukum
internasional karena hal ini menyang-kut hak-hak dan kewajiban-
kewajiban negara sebagai subyek hukum internasional serta
menyangkut persya-ratan dasar dari suatu negara menurut hukum
internasional. Implikasi dari suksesi negara yang sering muncul dalam
masyarakat internasional adalah dalam hal:
1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pengganti.
2. Keterikatan negara pengganti pada perjanjian internasional
maupun kontrak yang dibuat oleh negara pendahulu dan
eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu
dengan Negara ketiga;
3. Nasionalitas;
4. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hak milik, termasuk dana
negara dan arsip negara;
25 STARKE J.G., Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989, Hal. 321
31
5. Tanggung jawab negara pengganti atas hutang negara
pendahulu.
Dapat dikatakan bahwa berdirinya Timor Timur sebagai negara
baru yang merdeka termasuk dalam salah satu bentuk suksesi negara
menurut hukum inernasional karena memenuhi salah satu cara adanya
suksesi, yaitu apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang
dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab Negara
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, untuk
mengkaji penegakkan supremasi hukum menurut Provisional Agreement on
the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste.
Dengan penggunaan metode ini, permasalahan diatas akan dikaji
melalui sejumlah peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut.
B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum.
1. Jenis Bahan Hukum.
Jenis Bahan Hukum dalam Penelitian ini bertumpu atau terfokus pada
Bahan Hukum sekunder yang terdiri dari berbagai bahan hukum, antara lain:
a. Bahan hukum primer, adalah suatu bahan pustaka yang berisikan
pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru
tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide)
yang digunakan untuk mengetahui norma-norma hukum yang ada dan
berlaku sebagai hukum yang berkaitan dengan masalah perbatasan
serta stabilitas politik dan keamanan di wilayah perbatasan Indonesia –
Timor Leste, yaitu meliputi:
1) Provisional Agreement on the Land Boundary between the
Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-
Leste
33
2) UU 20/1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara
3) UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri
4) UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional.
5) Vienna Convention of the Law of Treaty 1969
6). Convention of the Law of the Sea yang diratifikasi dengan UU
17/1985 tentang Hukum Laut.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan
informasi menegnai bahan primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan peneliti didapat dari buku-buku, dokumen, pendapat pakar,
artikel, jurnal serta Peraturan Perundang-undangan lain yang
digunakan untuk memperjelas konsep-konsep dan teori hukum yang
terdapat pada bahan hukum primer secara mendalam mengenai
Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic of
Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste.
c. Bahan Hukum Tersier, adalah suatu bahan yang memberikan petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
nantinya akan digunakan oleh peneliti , misalnya : kamus,
ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum dan sejenisnya untuk
memperjelas bahan hukum sebelumnya.
2. Teknik Penelusuran Bahan Hukum
Teknik memperoleh bahan hukum dalam penelitian ini, penulis
mempergunakan beberapa cara dalam memperoleh bahan hukum.
Diantaranya adalah dengan melakukan rujukan/penelusuran dokumen
34
dan penelusuran pustaka dari berbagai sumber, surat kabar, serta
browsing melalui internet mengenai masalah perbatasan serta
Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic of
Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste.
3. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan teknik analisis isi, dengan cara
Deskriptif Kualitatif, yaitu memaparkan dan menganalisis secara
kualitatif bahan Provisional Agreement on the Land Boundary between
the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-
Leste, UU 20/1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, UU
37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU 24/2000 tentang
Perjanjian Internasional, Vienna Convention of the Law of Treaty
1969, Convention of the Law of the Sea yang diratifikasi dengan UU
17/1985 tentang Hukum Laut.
4. Definisi konseptual
1. Provisional Agreement on the Land Boundary between the
Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-
Leste
Provisional Agreement on the Land Boundary
between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste adalah perjanjian sementara tentang
perbatasan darat antara Republik Indonesia dan Republik
Demokratik Timor-Leste. Perjanjian ini adalah perjanjian
bilateral yang dilaksanakan oleh dua Negara. Didalam
perjanjian ini terdapat koordinat- koordinat batas darat antar
35
kedua Negara. Sifat provisional dari perjanjian perbatasan darat
antara Indonesia dengan Timor-Leste disebabkan karena
adanya fakta-fakta bahwa (a) masih perlu dilakukannya survey,
delineasi dan densifikasi titik-titik koordinat perbatasan; (b)
terdapat tiga segmen, yaitu Dilumil/Memo, Bijael Sunan Oben
and Noel Besi/Citrana yang masih dalam proses perundingan
2 Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian, tahun 1969
(Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969)
Konvensi adalah suatu perjanjian internasional
multirateral yang mengatur tentang masalah yang besar dan
penting, dalam hal ini tentang hukum perjanjian internasional,
dan dimaksudkan untuk berlaku secara luas baik dalam ruang
lingkup regional maupun umum. Konvensi Wina mengenai
hukum perjanjian, tahun 1969 (Vienna Convention on the Law
of Treaties, 1969) sendiri adalah perjanjian internasional yang
diadakan di Vienna. Konferensi Vienna tahun 1968 ini
menghasilkan Konvensi Vienna mengenai hukum perjanjian,
tahun 1969 ( Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969),
dan mulai berlaku (entry into force) 27 januari 1980.
3 Undang-Undang No. 24 tahun 2000
Undang-Undang ini adalah Undang-Undang yang
mengatur tentang perjanjian internasional antara Republik
Indonesia dan subjek hukum internasional lain. Maksud dari
subjek hukum internasional lain dalam undang-undang ini
adalah suatu entitas hukum yang diakui oleh hukum
36
internasional dan mempunyai kapasitas membuat perjanjian
internasional dengan negara lain.
Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional 23 oktober 2000 ini adalah antisipasi dari
Konferensi Vienna tahun 1968 yang menghasilkan Konvensi
Vienna mengenai hukum perjanjian, tahun 1969 ( Vienna
Convention on the Law of Treaties, 1969), yang mulai berlaku
(entry into force) 27 januari 1980.
Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian
internasional di Indonesia selama ini dijabarkan dalam Surat
Presiden No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960,
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi
pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional,
yaitu pengesahan melalui undang-undang atau keputusan
presiden, bergantung kepada materi yang diaturnya. Namun
demikian, dalam praktik selama ini telah terjadi berbagai
penyimpangan dalam melaksanakan surat presiden tersebut,
sehingga perlu diganti dengan Undang-undang tentang
Perjanjian Internasional.
4 Penegakan Hukum Internasional
Menurut Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum
Internasional FH-UI,26 Hukum internasional tidaklah sama
dengan hukum nasional. Penegakan hukum internasional sangat
lemah. Tidak heran bila hukum internasional dianggap sebagai
26 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/07/opini/1011572.htm, 21 desember 2007
37
hukum yang primitif. Sama seperti hukum primitif, hukum
internasional akan sangat bergantung kepada siapa yang akan
melakukan penegakan. Bila yang melakukan penegakan adalah
negara adidaya, akan efektif. Namun, bila yang menegakkan
adalah negara biasa-biasa saja, tidak akan efektif. Meski hukum
internasional berfungsi, ia hanya berfungsi sebagai pembenar
(justification).
38
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Masalah-Masalah Hukum yang Timbul dari Provisional Agreement on the
Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste
Sifat provisional dari perjanjian perbatasan darat antara Indonesia
dengan Timor-Leste disebabkan karena adanya fakta-fakta bahwa masih perlu
dilakukannya survey, delineasi dan densifikasi beberapa titik-titik koordinat
perbatasan yang masih dalam proses perundingan.27 Sampai dengan Masalah
perbatasan itu masih tersisa sekitar dua persen menyangkut memasang patok
disejumlah lokasi. Pemasangan patok yang belum dapat terlaksana itu karena
masih perlu disosialisasikan terhadap warga masyarakat setempat, baik bagi
warga negara Indonesia yang tinggal di Nusa Tenggara Timur maupun warga
Timor Leste. Keberatan warga kedua negara itu cukup beralasan, karena lokasi
daerah yang tadinya masuk wilayah Indonesia menjadi masuk wilayah Timor
Leste dan sebaliknya.28
Daerah perbatasan yang belum disepakati cara penyelesaiannya adalah
di Manusasi sepanjang tiga kilometer dan Noei Besi sepanjang empat
kilometer. Selain itu, ada juga daerah yang belum disurvei, yaitu daerah
Subina sepanjang 20 kilometer. Beberapa waktu lalu terjadi insiden di sisa
wilayah yang belum terselesaikan ini. Insiden yang terjadi merupakan salah
27 http://www.kbridili.org/bilateral.htm, 26 oktober 200728 http://www.kapanlagi.com/h/0000136793.html, 1 november 2007
39
persepsi dari warga yang merasa bingung mengenai batas wilayah Indonesia
dan Timor Leste darat.29
Wilayah perbatasan RI – Timor Leste merupakan bagaian integral dari
wilayah Propinsi NTT yang merupakan kawasan penyangga dengan
kemungkinan gangguan dan kerjasama dengan wilayah negara tetangga.
Untuk itu, kawasan perbatasan perlu diberikan perhatian yang lebih besar
untuk dibangun secara layak sebagaimana daerah-daerah lainnya.
Sehubungan dengan Timor Barat adalah kawasan yang berbatasan
langsung dengan suatu negara lain, maka dalam kerangka pembangunan
termasuk dalam katagori kawasan khusus karena perbatasan dengan wilayah
negara tetangga, dalam hal ini Negara yang berbatasan adalah Negara Timor-
Leste, sehingga penanganan pembangunannya memerlukan kekhususan.
Kondisi kawasan perbatasan dengan jumlah penduduk dan pengungsi yang
terus meningkat, harus diimbangi dengan tuntutan kebutuhan dalam berbagai
sektor antara lain: terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat atau penduduk
dan infrastruktur wilayah. Kebutuhan akan kedua sektor itu merupakan suatu
kebutuhan yang harus terpenuhi. Kawasan perbatasan perlu dipercepat
pembangunannya mengingat ; (i) sebagian besar lokasinya masih dalam
katagori terpencil/terisolir dengan tingkat aksesibilitas rendah, sehingga
tingkat mobilitas kehidupan dan gerak langkah masyarakatnya pun relatif
rendah; (ii) tingkat kesejahteraan masyarakat perbatasan masih sangat rendah;
Permasalahan yang sering timbul di kawasan perbatasan berkaitan
dengan kondisi keamanan dan ketertiban adalah karena belum pulihnya
kondisi keamanan dan ketertiban wilayah, lemahnya penegakkan hukum, serta
29 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/10/21/brk,20051021-68349,id.html, 22 oktober2007
40
kualitas peraturan perundang-undangan dan profesionalisme aparat penegak
hukum yang masih rendah. Masalah yang muncul dari Provisional Agreement
on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste yang masih bersifat sementara dan belum sepenuhnya
rampung ini adalah:
1. Belum pulihnya pengamanan wilayah perbatasan yang harus
dilakukan dengan garis batas yang sangat panjang.
Pemulihan keamanan dan ketertiban baik terhadap gangguan
internal maupun eksternal belum tuntas. Meskipun dalam Provisional
Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia
and the Democratic Republic of Timor-Leste ini telah diatur tentang
patok garis batas yang definitive, namun berbeda dengan yang terjadi
di lapangan, karena perjanjian ini bersifat sementara (provisional)
maka praktek yang terjadi dilapangan menyampingkan butir-butir yang
diatur di perjanjian ini. Seperti disebutkan dalam pasal 2
(dua)perjanjian :
“Para pihak akan menyelesaikan delineasi batas lebih lanjut untuk
menetapkan garis batas yang definitive dan akan berupaya untuk
menyelesaikan segmen-segmen yang belum terselesaikan seperti
disebutkan dalam Lampiran C.”
Hal ini dapat dilihat dari masih seringnya terjadi gangguan
kamtib, akibat dari minimnya kontrol aparat keamanan POLRI dan
TNI di sepanjang perbatasan negara yang membujur dari arah utara ke
selatan. Untuk itu, sangat penting menjaga stabilitas hankam, demi
41
menciptakan kondisi wilayah yang kondusif dalam rangka
pembangunan di kawasan perbatasan secara berkelanjutan.
2. Belum pulih sepenuhnya stabilitas politik dan keamanan di
kawasan perbatasan RI – Timor Leste.
Terjadi berbagai tragedi dan kerusuhan yang berakibat kepada
instabilitas politik dan keamanan seperti konflik sosial yang makin
meruncing dan meluas di masyarakat dan hilangnya kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya keamanan dan ketertiban terutama di
kawasan perbatasan. Indikasinya terjadi insiden bentrokan yang
melibatkan warga Distrik Oekusi Timor Leste dan warga Desa
Sumsea, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Kedua wilayah ini
memang hanya dibatasi sungai, di mana wilayah selatan masuk bagian
Timor Leste dan wilayah Utara masuk kawasan RI. Sampai saat ini
memang belum ada kesepakatan mengenai penetapan garis batas kedua
negara. Sehingga tidak ada garis batas lain yang memisahkan Distrik
Oekusi dan Desa Sumsea selain alur sungai tersebut, tidak ada kawat
berduri atau pagar pembatas lainnya. Warga di kedua wilayah ini bisa
berinteraksi bebas seperti layaknya tetangga desa. Sementara posko
pengamanan jaraknya cukup jauh dari lokasi.30
3. Belum ada pengaturan teknis tentang DAS Malibaka sebagai DAS
lintas batas antarnegara.
Salah satu permasalahan batas darat antara RI dengan Negara
Timor Leste adalah menyangkut keberadaan sungai-sungai yang
melintas kedua negara antara lain Sungai Malibaka. Permasalahan
30
Http://detikinet.com/index.php /detik.read/tahun/2005/bulan/04/tgl/29/time/154141/idnews/351208/idkanal/10, 16 oktober 2007
42
selalu terjadi dikarenakan tipikal sungai-sungai yang ada di wilayah
NTT ini termasuk jenis sungai musiman. Sungai akan kering di musim
kemarau, dan penuh di musim penghujan. Persoalan yang selalu timbul
adalah diakibatkan tipikal air yang mengalir di musim hujan selalu
berpindah dari waktu ke waktu, bahkan cenderung terus menggerus
wilayah RI karena posisi wilayah RI berada di bagian bawah wilayah
Timor Leste. Dengan demikian, maka akan berubah pula batas wilayah
kedua negara. Meskipun dalam Pasal 5 (Lima) perjanjian disebutkan
:
“Para Pihak akan membuat pesetujuan terpisah mengenai
pengelolaan sungai.”
Tetapi pengaturan batas wilayah secara topografi yang didasarkan pada
satuan wilayah pengelolaan sungai atau DAS, belum diatur secara
teknis baik sistem pengelolaannya maupun lembaga/badan pengelola
baik antara pemerintah RI dengan Timor Timur maupun tingkat level
dibawahnya. Tegasnya, pasal ini belum ada realisasi atau bukti
pelaksanaannya.
4. Sarana CIQS dan prasarana wilayah masih kurang memadai.
Kurang memadainya sarana dan prasarana serta fasilitas CIQS
(bea cukai, imigrasi, karantina, dan keamanan) di kawasan perbatasan
dan Pos Lintas Batas telah menyebabkan terjadinya
penyusupan/penyelundupan pelintas batas illegal dan berbagai kegiatan
illegal lainnya. Apalagi dalam perjanjian dalam Pasal 3 (tiga) dan Pasal
4 (Empat)hanya diatur mengenai penempatan dan pemeliharaan tugu
43
batas. Itupun tidak jelas karena penempatan tugu batas akan dilakukan
jika diperlukan. Selanjutnya disebutkan :
Pasal 3 (tiga) “Proses demarkasi, dengan menempatkan tugu batas
jika diperlukan dan disetujui oleh kedua Pihak, akan dimulai secara
bersama setelah Persetujuan Sementara ini berlaku.”
Pasal 4 (Empat)“Setelah demarkasi selesai dan jika dianggap
memungkinkan, Para Pihak akan melakukan pemeliharaan terhadap
tugu batas.”
5. Aksesibiltas menuju kawasan perbatasan relatif masih kurang
memadai.
Peningkatan produksi (barang dan jasa) dan peluang pasar
untuk meningkatkan pendapatan dari sektor industri jasa dan
perdagangan akan sangat terbuka luas, apabila ada akses sarana
pendukung yang memadai ke kawasan perbatasan. Sarana pendukung
utama dalam meningkatkan peluang tersebut adalah adanya sarana
transportasi, komunikasi, listrik, pelayanan air bersih, dan pelayanan
perbankan di perbatasan, sayangnya, hal itu relatif masih kurang
memadai.
6. Terdapat tanah hak ulayat penduduk Timor Leste di wilayah RI,
dan sebaliknya.
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya status
pemilikan sertifikat tanah, dan masih adanya kepemilikan tanah
masyarakat Timor Leste di wilayah RI sering menyebabkan berbagai
sengketa baik antara masyarakat kedua negara ataupun dengan
pemerintah RI. Pelepasan tanah hak ulayat yang telah dikuasai
44
pemerintah untuk kegiatan/kepentingan pemerintah seperti fasilitas
CIQS, dan irigasi, belum dilakukan secara resmi, sehingga di
khawatirkan akan menimbulkan persengketaan yang menyangkut hak
ulayat.
7. Maraknya penyelundupan barang dan orang (pelintas batas ilegal)
dan pencurian kayu (illegal logging).
Maraknya kegiatan perdagangan ilegal ini, umumnya dilakukan
oleh para pelintas batas tradisional kedua negara. Mereka melintasi
perbatasan untuk melakukan kegiatan dan aktifitas perdagangan lintas
negara. Warga Negara dari kedua Negara melintasi batas wilayah
NKRI dan Negara Timor-Leste, termasuk wilayah Didtrik Oekusi
(wilayah enclave Negara Timor Leste di dalam wilayah Provinsi NTT)
tanpa dokumen resmi (ilegal) seperti paspor atau visa.31
Hal ini terjadi, disebabkan oleh kondisi sosial dan budaya
masyarakat sekitar perbatasan serta masih terbatasnya prasarana
penunjang bagi sektor perdagangan atau kegiatan usaha lainnya.
8. Belum terbentuknya penataan ruang wilayah (RTRW) khususnya
perbatasan RI – Timor Leste.
Pembangunan di wilayah perbatasan harus memperhatikan
kaidah keruangan sesuai manfaat dan fungsi, serta harus memiliki
rencana tata ruang wilayah pengembangan wilayah perbatasan secara
lengkap. Rencana tata ruang wilayah ini dapat pula dijadikan sebagai
Master Plan bagi perencanaan pembangunan wilayah khusus
perbatasan. Oleh karena itu, menjadi hal yang penting dalam
31 ibid.
45
pembuatan dokumen penataan ruang wilayah bagi kawasan perbatasan
RI – Timor Leste.
9. Rendahnya kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) masyarakat di
perbatasan.
Peningkatan infrastruktur dasar masyarakat yang tinggal di
kawasan perbatasan terkait erat dengan upaya pemberdayaan tenaga
kerja yang produktif, peningkatan mutu SDM serta ekonomi
masyarakat secara terpadu di berbagai aspek baik pendidikan,
kesehatan, maupun ekonomi. Apabila infrastruktur tidak tersedia
dengan baik, maka pembangunan dasar atas ilmu pengetahuan
(knowledge based development) tidak akan berhasil dengan optimal.
10. Belum tuntasnya permasalahan penanganan eks pengungsi Timor-
timur.
Permasalahan yang berkembang berkaitan dengan upaya
penyelesaian ribuan pengungsi asal Timor Timur (Timtim) yang
tersebar di sejumlah camp penampungan di Betun atau dibagian selatan
Kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Timtim (distrik
Ainaro dan Suai) serta kantong-kantong pengungsi lainnya yang
tersebar di beberapa daerah lainnya. Permasalahan ini secara tidak
langsung turut menghambat pertumbuhan kondisi sosial ekonomi
masyarakat kita yang ada di sekitar perbatasan akibat resiko sosial
yang mereka tanggung untuk memenuhi kebutuhan dan penghidupan
para pengungsi.
46
11. Masih lemahnya penegakkan supremasi hukum dan
profesionalisme aparatur pemerintah di perbatasan.
Masih adanya keberpihakkan penegakkan dan penerapan
supremasi hukum kepada sebagian golongan, telah mengakibatkan
sikap ketidakpercayaan lagi masyarakat kepada hukum dan keadilan
yang seharusnya dapat menjadi momentum bagi pemulihan keamanan
dan ketertiban masyarakat serta menciptakan iklim politik yang
harmonis dengan terciptanya good goverment dan good governance.
Lembaga pengelolaan dan pengembangan perbatasan dalam bentuk
Joint Border Commitee (JBC) antara Pemerintah RI dengan UNMISET
perlu disempurnakan melalui penetapan kedudukan, tugas, dan fungsi
serta kewenangan tiap lembaga secara jelas. Hal ini tentunya
merupakan kebutuhan dan permasalahan strategis pemerintah yang
harus diprioritaskan. Meskipun demikian, kapasitas kelembagaan dan
kemampuan (profesionalisme) sumberdaya manusia yang kita miliki
masih jauh dari memadai, sehingga lembaga yang ada belum mampu
melakukan tugas sebagai lembaga pengelola perbatasan yang
melaksanakan fungsi kontrol dan pengawasan baik terhadap kebijakan
maupun kesepakatan pemerintah dengan negara tetangga.
Perkembangan sosial budaya di kawasan perbatasan, khususnya dengan negara
yang relatif lebih rendah ekonominya tetapi memiliki potensi untuk berkembang
secara pesat terutama pasca referendum di Timor Timur memperlihatkan perbedaan
tingkat kemajuan yang signifikan. Kemajuan ini membawa dampak tersendiri bagi
penduduk yang tinggal disepanjang kawasan perbatasan, dengan munculnya
fenomena migrasi penduduk lokal (masyarakat adat) sepanjang perbatasan dan
47
persoalan pengungsi yang belum terselesaikan. Hal ini karena aksesibilitas baik
politik, sosial-ekonomi maupun sosial-budaya terutama yang ada di wilayah negara
kita relatif lebih baik dan memberikan harapan bagi ekonomi mereka, dibandingkan
dengan kondisi wilayah sendiri. Kondisi ini menciptakan kerawanan yang berdampak
pada stabilitas keamanan terutama dari para pelintas batas illegal yang sering
melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi illegal (illegal business), dan pada akhirnya
akan menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial dan budaya terhadap masyarakat
yang tinggal di kawasan perbatasan. Dibandingkan dengan kawasan perbatasan
lainnya yang relatif lebih baik, kawasan perbatasan RI-Timor Timur masih memiliki
keterbatasan baik fasilitas sosial dan fasilitas umum maupun infrastruktur lainnya.
Situasi perpolitikan dan keamanan di kawasan perbatasan RI–Timor Timur
juga tergolong labil. Hingga saat ini masih sering muncul gangguan keamanan
terutama pasca referendum. Pergolakan politik dan keamanan di kedua kawasan ini
telah cukup lama berlangsung. Timor Timur, sudah lama menjadi daerah operasi
militer TNI. Lebih dari 3 dekade pergolakan politik yang disertai dengan
pemberontakan separatis bersenjata yang berakhir dengan lepasnya Timor Timur
melalui referendum pada tahun 1999 dari kedaulatan NKRI, yang kemudian berubah
nama menjadi Negara berdaulat Timor Timur. Pergolakan tersebut, hingga saat ini
masih menyisakan berbagai permasalahan terutama masalah sosial, politik dan
keamanan. Berbagai gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat silih berganti
terjadi yang menyebabkan kondisi kehidupan masyarakat menjadi terpuruk. Jumlah
pengungsi meningkat dan terjadi rawan pangan yang parah terutama di desa-desa
perbatasan terpencil.
48
B. Status Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic
of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste dikaji dari
perspektif Konvensi Wina 1969.
Seperti halnya penundaan dan ketidakabsahan suatu perjanjian
internasional, menurut pasal 2 Konvensi Wina, jika suatu perjanjian
menetapkan bahwa perjanjian itu tunduk pada atau hal itu dipandang tidak
bertentangan atau sesuai dengan perjanjian, maka ketentuan dari perjanjian
yang lain itulah yang harus diutamakan. Dalam hal ini Provisional Agreement
on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste adalah perjanjian yang pertama dibuat tentang batas
wilayah indonesia dan timor leste.
Sifat Provisional atau penetapan sementara dalam perjanjian ini, pasal
25 ayat 1 dan 2 Konvensi Wina dengan judul Provisional application of a
treaty menegaskan sebagai berikut32 :
1. A treaty or a part of a treaty is applied provisionally pending its
entry into force if:
(a) the treaty itself so provides; or
(b) the negotiating States have in some other manner so
agreed.
2. Unless the treaty otherwise provides or the negotiating States have
otherwise agreed, the provisional application of a treaty or a part of a
treaty with respect to a State shall be terminated if that State notifies
the other States between which the treaty is being applied provisionally
of its intention not to become a party to the treaty.
32 I wayan parthiana, ibid, bagian 2, hal. 294
49
Menurut pasal 25 ayat 1 konvensi ini, suatu perjanjian internasional
(secara keseluruhannya) atau sebagian dari perjanjian itu dapat diterapkan
sementara waktu, sambil menunggu saat mulai berlakunya. Suatu perjanjian
dapat diterapkan sementara waktu bila perjanjian itu menetapkan demikian,
atau negara yang melakukan perundingan (the negotiating satates) dengan cara
lain menyetujui penerapan sementara tersebut.33
Dalam hal ini, perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa yang dapat
ditetapkan untuk sementara waktu tersebut adalah;
Pertama, perjanjian itu sendiri, baik secara keseluruhan atau hanya atas
sebagian dari isi perjanjian itu;
Kedua, penerapan sementara tersebut dapat merupakan kesepakatan
dari seluruh subjek hukum atau negara-negara yang ikut serta dalam negoisasi
yang menghasilkan perjanjian itu, ataupun kesepakatan dari beberapa atau
sebagian saja dari semua negara yang melakukan negoisasi;
Ketiga, penerapan sementara itu dilakukan sebelum perjanjian itu
sendiri mulai berlaku atau dengan kata lain, sambil menunggu saat mulai
berlakunya perjanjian tersebut.
Keempat, walaupun tidak secara explicit dinyatakan dalam pasal 25
konvensi ini, pemberlakuan sementara tersebut tidak boleh menghambat atau
menghalangi usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri.34
Jika dipahami maksud dan tujuan dari penerapan sementara atas suatu
perjanjian internasional itu, tampaknya alternatif yang kedua, yaitu, penerapan
sementara tersebut dapat merupakan kesepakatan dari seluruh subjek hukum
atau negara-negara yang ikut serta dalam negoisasi yang menghasilkan
33 ibid, hal. 29534 ibid, hal 296
50
perjanjian itu, ataupun kesepakatan dari beberapa atau sebagian saja dari
semua negara yang melakukan negoisasi, pada Provisional Agreement on the
Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste, adalah lebih mendekati. Penerapan sementara atas
suatu perjanjian dapat saja dilakukan oleh kedua kelompok negara-negara
tersebut, yaitu antara Republik Indonesia dan Timor Leste, tergantung pada
macam dari perjanjian itu sendiri.
Maksud dan tujuan penerapan sementara dari Provisional Agreement
on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste ini tampaknya dimaksudkan sebagai suatu usaha uji
coba (try out) atas perbatasan darat itu sendiri, apakah sudah sesuai dengan
kepentingan Indonesia dan Timor-Leste yang kedua negara bersepakat
menerapkannya untuk sementara waktu. Atau, untuk mengetahui apakah
perbatasan yang telah ditentukan tersebut masih ada kekurangannya untuk
kemudian dilakukan penyempurnaan di akhir perjanjian yang akan dibuat,
menjelang akan mulai berlakunya (sepanjang hal itu masih mungkin
dilakukan) ataupun nanti setelah mulai berlakunya perjanjian itu akan
dilakukan amandemen atau modifikasi atas ketentuan-ketentuannya. Selain
daripada itu, penerapan sementara Provisional Agreement on the Land
Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of
Timor-Leste ini merupakan semacam pemberian kesempatan kepada Indonesia
dan Timor-Leste, dan setelah terlewati penetapan sementara perjanjian ini,
selanjutnya kedua pemerintah dapat menentukan sikapnya apakah akan
bermaksud untuk meratifikasi atau menyatakan persetujuannya untuk terikat
51
pada Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic of
Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste itu ataukah tidak.
Oleh karena itu, adalah tepat ketentuan dalam ayat 2 yang memberikan
kesempatan kepada Indonesia dan Timor-Leste menerapkan sifat sementara
atas perjanjian itu untuk menyatakan sikapnya, yakni apakah akan meratifikasi
atau tidak. Jika Indonesia atau Timor-Leste tidak bermaksud meratifikasinya,
salah satu negara yang tidak bermaksud meratifikasi itu, antara Indonesia dan
Timor-Leste, dapat menyampaikan pemberitahuan mengenai maksudnya itu
kepada negara yang sepakat menerapkan sementara atas perjanjian itu. Hal ini
diperkenankan, sepanjang perjanjian itu sendiri tidak menentukan lain atau
negara-negara yang melakukan perundingan tidak mempunyai maksud yang
sebaliknya.
Persoalan yang mungkin masih tersisa adalah, tentang segala
konsekuensi hukum yang terjadi atau timbul selama masa penerapan tersebut.
Penyelesaiannya tentu tergantung pada kedua negara yaitu Indonesia dan
Timor-Leste yang telah bersepakat dalam perjanjian. Yang idealnya harus
sudah diselesaikan secara tuntas sebelum mulai berlakunya perjanjian.
1. Penggunaan azas good faith dan Azas Pacta Sunt Servanda dalam
Konvensi Wina 1969 kaitannya dengan Provisional Agreement on
the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the
Democratic Republic of Timor-Leste.
Azas Pacta Sunt Servanda ini adalah azas yang menekankan
pada kewajiban para pihak untuk menaati isi perjanjian. Pasal 26
konvensi secara explicit menegaskan : “Every treaty in force is binding
upon the parties to it and must be performed by them in good faith”.
52
Azas ini berkaitan erat dengan azas good faith, yakni kewajiban para
pihak untuk menaati dan melaksanakan ketentuan perjanjian (Azas
Pacta Sunt Servanda) haruslah dijiwai oleh azas itikad baik (good
faith).
Disebutkan dalam perjanjian, bahwa azas-azas dalam suatu
perjanjian internasional telah dipenuhi, azas-azas tersebut adalah azas
good faith dan azas Pacta Sunt Servanda, seperti disebutkan dalam
butir 3 preambul konvensi yang azas tersebut telah diakui secara
internasional35 , menyebutkan :
”Noting that the principles of free consent and of good faith and the
pacta sunt servanda rule are universally recognized”
Lebih lanjut disebutkan dalam pasal 8 perjanjian :
“Para Pihak akan menyelesaikan secara damai setiap
perselisihan yang muncul menyangkut penafsiran, pelaksanaan atau
penerapan dari setiap ketentuan dalam Persetujuan Sementara melalui
konsultasi atau negoisasi.”
Secara lebih konkrit, azas good faith dan azas pacta sunt
servanda ini diwujudkan dalam praktek pelaksanaan perjanjian
tersebut, antara lain : para pihak harus melaksanakan ketentuan
perjanjian sesuai dengan jiwa, isi, maksud, dan tujuan perjanjian itu
sendiri; menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari masing-
masing pihak dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat
menghambat usaha-usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian
itusendiri, baik sebelum perjanjian itu mulai berlaku atau ketika para
35 ibid, bagian 2, hal. 261
53
pihak masih dalam poses penantian akan mulai berlakunya perjanjian
(sebelum perjanjian itu mulai berlaku sebagaimana ditentukan dalam
pasal 18 konvensi) maupun setelah berlakunya.36
Tegasnya, karena Provisional Agreement on the Land Boundary
between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-
Leste ini telah memenuhi azas suatu perjanjian internasional didalam
konvensi, yaitu azas itikad baik (good faith) dan azas pacta sunt servanda,
maka perjanjian ini adalah sah menurut Konvensi Wina 1969.
2. Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic of
Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste dilihat dari
Undang-undang no. 24 tahun 2000.
Pada intinya, dalam UU No.24 Tahun 2000 ini, tidak membahas
mengenai bentuk sementara (Provisional) dari suatu perjanjian, dengan kata
lain, pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya perjanjian yang bersifat
sementara. Karena jelas tidak diakui, karena menurut Undang-undang no. 24
tahun 2000, sifat provisional atau sementara ini tidak ada pengaturannya.
Tetapi dalam pasal 10 undang-undang disebutkan :
“pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-
undang apabila berkenaan dengan:
a. Masalah politik, perdamaian pertahanan, dan
keamanan Negara;
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
Negara Republik Indonesia;
36 ibid
54
c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara;
d. Hak azasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Sehingga jelas disebut diatas dalam butir b pasal 10 uu no. 24 tahun
2000 disebutkan :
Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara
Republik Indonesia;
Berarti dengan kata lain, Indonesia mengakui perjanjian tersebut sah
dan harus disahkan dengan Undang-undang karena berkaitan dengan
perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.
Jadi artinya, meskipun pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya
perjanjian yang bersifat sementara (provisional) tetapi perjanjian ini adalah
perjanjian yang sah menurut Undang-Undang.
Disamping itu, dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang disebutkan :
“Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional
dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek
hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak
berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad
baik.”
Menurut pasal ini, Pemerintah Indonesia mengakui azas Pacta Sunt
Servanda dalam perjanjian internasional yang dibuat dengan satu negara atau
lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain
berdasarkan kesepakatan
55
Selanjutnya dalam pasal 4 ayat 2 (dua) dapat disimpulkan bahwa,
pemerintah Indonesia mengakui azas yang kedua yaitu azas itikad baik (good
faith), tersirat dalam pernyataan :
“Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik
Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan
prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan
memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional
yang berlaku.”
Sementara itu, Provisional Agreement on the Land Boundary between
the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste yang
dibuat oleh Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste ini telah mengandung
kedua azas tersebut, yaitu Azas itikad baik (good faith) dan Azas Pacta Sunt
Servanda, sesuai dengan bahasan diatas. Artinya, menurut UU no. 24 tahun
2000 Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic of
Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste ini adalah sah dan
kewajiban para pihak untuk menaati dan melaksanakan semua isi perjanjian
yang sah.
C. Upaya hukum yang dapat ditempuh agar Provisional Agreement on the
Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic
Republic of Timor-Leste bisa berjalan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan.
Situasi perpolitikan dan keamanan di kawasan perbatasan RI–Timor
Timur tergolong labil. Hingga saat ini masih sering muncul gangguan
keamanan. Pergolakan politik dan keamanan di kedua kawasan ini telah cukup
56
lama berlangsung. Lepasnya Timor Timur melalui referendum pada tahun
1999 dari kedaulatan NKRI, yang kemudian berubah nama menjadi Negara
berdaulat Timor Timur hingga saat ini masih menyisakan berbagai
permasalahan terutama masalah sosial, politik dan keamanan. Berbagai
gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat silih berganti terjadi yang
menyebabkan kondisi kehidupan masyarakat menjadi terpuruk. Jumlah
pengungsi meningkat dan terjadi rawan pangan yang parah terutama di desa-
desa perbatasan terpencil.
Oleh karena itu dalam mengatasi isu dan permasalahan tersebut maka
dirumuskan upaya hukum dalam jangka pendek dan jangka panjang di wilayah
perbatasan darat RI–Timor Leste.
1. Jangka Pendek
a. Peningkatan sistem pertahanan, keamanan, dan ketertiban
wilayah perbatasan dan koordinasi terpadu.
Pentingnya keamanan merupakan salah satu model
pendekatan dalam rangka pembangunan dan pengembangan
wilayah perbatasan, disamping faktor ekonomi, sosial dan
politik yang kondusif. Salah satu kebijakan pemerintah adalah
peningkatan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat
(kamtibmas) wilayah perbatasan yang dilakukan secara terpadu
dan terkoordinir antar instansi terkait. Peningkatan sistem
kamtibmas ini dapat menunjang optimalisasi tugas dan fungsi
masing-masing lembaga dan instansi pengelola kawasan
perbatasan secara profesional dan proporsional.
57
Dengan mengoptimalkan tugas dan fungsi hankam serta
kamtib secara terpadu terutama di pos-pos lintas batas
tradisional dan pos pengawasan lintas batas yang sudah
permanen, maka pengawasan terhadap arean perbatasan yang
melintang dari utara ke selatan di Kabupaten Belu dapat
dilakukan dengan optimal.
b. Pemulihan keamanan dan ketertiban melalui upaya
penanggulangan gerakan separatis bersenjata.
Kebijakan pemerintah dalam menumpas dan
menanggulangi gerakan-gerakan separatis bersenjata atau
kelompok pengacau keamanan yang masih sering terjadi di
perbatasan. Hal ini dalam rangka pemulihan kondisi keamanan
dan ketertiban (security) agar tercipta keselarasan sesuai
dengan konsep pendekatan pembangunan kawasan perbatasan
antara lain security dan prosperity akan tercapai.
Stabilitas politik dan keamanan di wilayah perbatasan
muncul karena berbagai faktor antara lain masih eksisnya
gerakan-gerakan separatis bersenjata atau gerobolan pengancau
keamanan yang tidak terorganisir. Untuk pemulihannya adalah
dengan membangun dan menyusun pola-pola pendekatan
keagamaan dan adat, dalam rangka meningkatkan kesadaran
dan ketertiban demi tercapainya kesejahteraan.
58
c. Penegasan kembali batas-batas wilayah negara dengan
Timor Leste yang menyangkut DAS lintas Negara.
Penegasan kembali batas-batas wilayah RI dengan
negara Timor Leste merupakan salah satu kebijakan
pemerintah dalam menata dan menetapkan garis batas dan
patok-patok batasnya secara permanen, terutama yang
menyangkut DAS lintas negara.
Kebijakan pemerintah berkaitan dengan penegasan
kembali patok batas yang menyangkut DAS tersebut, sangat
penting untuk dilakukan, mengingat tipologi dan karakteristik
sungai yang terdapat di Nusa Tenggara Timur yang umumnya
memiliki bentuk topografi yang unik. DAS hanya dapat dialiri
air pada musim penghujan, sedangkan di musim kemarau
sungai bisa kering dan tidak berfungsi apapun. Karakter air
yang mengalir tidak tetap atau selalu berpindah-pindah jalur
setiap musim, sehingga apabila sungai sebagai patokan batas
wilayah negara, maka batas negara tersebut dapat berpindah-
pindah yang sampai saat ini batas tersebut telah bergeser jauh
ke wilayah RI.
Munculnya permasalahan batas wilayah yang berkaitan
dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) lintas negara antara RI
dengan Timor Leste, karena belum adanya ketegasan dan
kesepakatan antara kedua belah pihak menyangkut keberadaan
DAS lintas batas tersebut. Salah satu strategi yang mungkin
dilakukan adalah membuat kesepakatan bilateral dengan
59
Pemerintah Timor Leste tentang batas wilayah negara yang
menyangkut DAS lintas negara.
d. Pemenuhan kebutuhan prasarana CIQS dan infrastruktur
kebutuhan dasar masyarakat.
Pengembangan kawasan perbatasan dengan negara
tetangga yang relatif rendah kemampuan ekonominya, namun
memiliki potensi untuk berkembang secara pesat dilaksanakan
melalui pemenuhan kebutuhan sarana CIQS (bea cukai,
imigrasi, karantina, dan keamanan) di Pos Lintas Batas
perbatasan dan sarana infrastruktur kebutuhan dasar masyarakat
yang tinggal di wilayah perbatasan, antara lain perhubungan
darat, laut, dan udara. Ini dilakukan untuk meningkatkan
aksesibilitas wilayah sekitar sebagai daerah pendukung
(hinterlands) perbatasan dan meningkatkan sistem transportasi.
Optimalisasi kinerja aparat lembaga atau instansi
pengelola kawasan perbatasan dapat tercapai apabila ditunjang
oleh sarana CIQS dan prasaran wilayah yang memadai. Oleh
karena itu, ketersediaan sarana dan prasarana di kawasan
perbatasan tersebut sangat penting. Strategi untuk
meningkatkan kinerja aparat pemerintah di kawasan perbatasan
adalah dengan membangun infrastruktur bagi kebutuhan CIQS
dan sarana penunjang kebutuhan dasar masyarakat di
perbatasan.
60
e. Peningkatan sarana transportasi dan prasarana wilayah di
kawasan perbatasan.
Peningkatan sarana infrastruktur dan prasarana wilayah
di kawasan perbatasan adalah salah satu kebijakan pemerintah
untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah (jalan,
jembatan, bandar udara, pelabuhan, dan lain-lain) untuk
mendongkrak wilayah di sekitar perbatasan menjadi pusat-
pusat pertumbuhan sebagai daerah pendukung (hinterlands)
perbatasan.
Terhambatnya upaya peningkatan dan pengembangan
wilayah disekitar perbatasan, menyangkut kurang tersedianya
aksesibilitas menuju kawasan perbatasan secara memadai.
Untuk meningkatkan gerak roda pembangunan di kawasan
perbatasan, harus dilakukan upaya-upaya peningkatan sarana
dan prasarana serta aksesibilitas, dengan membangun berbagai
sarana infrastruktur dan aksesibilitas transportasi menuju
kawasan perbatasan itu.
f. Pengakuan, perlindungan, dan pengaturan hak ulayat/adat
masyarakat.
Perlu dilakukan pengaturan atau penertiban terhadap
lahan atau tanah yang menyangkut hak adat/ulayat baik dengan
warga RI ataupun warga Timor Leste yang secara adat masih
diakui sebagai pemilik walaupun berada di wilayah RI atau
sebaliknya. Untuk itu, perlu dilakukan pengaturan menurut adat
masyarakat setempat, sekaligus pengakuan dan perlindungan
61
hak kepemilikan apabila tanah adat/ulayat tersebut telah
menjadi milik negara atau yang digunakan untuk fasilitas
negara (kantor polsek, bea cukai, jalan, jaringan irigasi, dsb).
Permasalahan yang menyangkut hak-hak ulayat
masyarakat masih sering terjadi. Hal ini disebabkan belum
adanya pengakuan dan pengaturan resmi oleh instansi
berwenang. Masalah ini tentunya dapat menganggu kinerja
aparat pemerintah/swasta dalam rangka pengembangan
kawasan perbatasan ke arah yang lebih baik. Salah satu strategi
untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menetapkan
dan menegaskan pengakuan dan pengaturan atas hak-hak ulayat
masyarakat adat ke dalam sebuah dokumen negara/pemerintah.
g. Peningkatan pengawasan keamanan di perbatasan dan
penertiban pelaku illegal logging.
Maraknya kegiatan penebangan liar (illegal logging)
atau pencurian kayu di perbatasan telah merugikan negara
miliaran rupiah. Ada berbagai factor yang dapat memicu
kegiatan illegal ini, salah satunya adalah minimnya pengawasan
baik dari aparat keamanan maupun dari lembaga/instansi yang
terkait dengan pengelolaan kehutanan. Upaya pemerintah
dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah menertibkan
dan mengamankan pelaku pencurian kayu (illegal logging)
melalui peningkatan pengawasan keamanan di perbatasan.
Lemahnya pengawasan dan political will pemerintah
pada pemanfaatan sumberdaya alam (SDA), serta rendahnya
62
kesadaran masyarakat mengenai konservasi dan pelestarian
alam, menjadi penyebab utama potensi hilangnya
keanekaragaman hayati yang menjadi sumber penghidupan
utama masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan. Untuk
itu, upaya perbaikan dan rehabilitasi terus dilakukan. Sebagai
langkah strategisnya adalah dengan mengembangkan pola
pemanfaatan SDA secara tepat dan pola rehabilitasi lahan yang
berkelanjutan (sustainable).
h. Penentuan format penyusunan rencana tata ruang wilayah
perbatasan dengan instansi terkait.
Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan sebuah
konsep perencanaan yang harus dimiliki oleh suatu wilayah
dalam rangka upaya pengembangan dan pembangunan yang
dilakukan secara berkelanjutan. Rencana tata ruang wilayah
dapat pula dijadikan sebagai Master Plan model pengembangan
wilayah dilihat dari kebutuhan dan pemanfaatan keruangan
suatu wilayah. Maka, kebijakan yang diambil berkaitan dengan
itu adalah penentuan format penyusunan rencana tata ruang
wilayah perbatasan dengan instansi terkait.
i. Pengembangan sarana pendidikan dan pelatihan untuk
masyarakat perbatasan.
Rendahnya mutu SDM di kawasan perbatasan telah
menjadi perhatian pemerintah. Upaya peningkatan SDM
tersebut dilakukan melalui suatu kebijakan pemerintah, antara
lain melalui pengembangan sarana pendidikan (sekolah, buku
63
pelajaran, kurikulum, dan guru yang memadai) termasuk
konsep pendidikan yang lebih baik lagi, sehingga mampu
menghasilkan mutu SDM yang lebih baik dan memiliki daya
saing yang tinggi dengan negara Timor Leste.
Tingginya kualitas kesehatan dan gizi masyarakat yang
baik adalah salah satu upaya untuk meningkatkan mutu
sumberdaya manusia, disamping pendidikan. Untuk
meningkatkan mutu kesehatan dan gizi masyarakat tersebut,
dapat dilakukan dengan membangun sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu gizi masyarakat
yang tinggal di perbatasan.
j. Penyelesaian masalah pengungsi yang masih bertahan di
perbatasan secara tuntas.
Pengelolaan perbatasan negara khususnya di kawasan
perbatasan RI– Timor Leste, lebih memprioritaskan kepada
penanganan pengungsi eks Timor-timur dan pemulihan kondisi
sosial-budaya dan sosial-ekonomi melalui perbaikan sarana dan
prasarana yang ada di tempat-tempat penampungan. Salah satu
bentuk kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah upaya
pemulangan kembali atau ressetlement para pengungsi ke
wilayah Timor-Leste. Ini penting untuk dijadikan solusi tepat
dalam pengentasan masalah pengungsi, karena keberadaan
mereka dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat
lokal yang memang seharusnya memdapatkan perhatian lebih
dari pemerintah.
64
Pulihnya stabilitas politik dan ekonomi di kawasan
perbatasan RI-Timor Leste terkait dengan persoalan
penanganan eks pengungsi Timor-Leste yang masih tinggal di
kamp-kamp penampungan yang tersebar di beberapa wilayah
RI (Kabupaten Belu). Untuk mengatasi permasalahan ini, maka
dilakukan upaya pemulangan/ressetlement pengungsi Timor-
Leste secara bertahap dan membangun sarana fasilitas sosial
dan fasilitas umum untuk pengungsi eks Timor-Leste yang
masih ada di penampungan atau belum di ressetlement.
k. Penegakkan supremasi hukum dan peningkatan
profesional aparatur pemerintah.
Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di
kawasan perbatasan akan sulit dicapai, apabila tidak
memperhatikan upaya-upaya pemulihan di bidang penegakkan
supremasi hukum dan peningkatan professional aparat
pemerintah. Salah satu kebijakannya, adalah penegakkan dan
penerapan supremasi hukum secara jujur dan adil serta
peningkatan kualitas kapasitas aparatur pemerintahan yang
harus dilakukan secara benar sesuai peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku.
Belum kondusifnya kondisi sosial dan politik wilayah
perbatasan, perlu disikapi dengan cermat dan hati-hati. Akar
permasalahannya dapat dilihat karena lemahnya penegakkan
supremasi hukum dan rendahnya kapasitas aparatur
pemerintahan sebagai pelaku pengelola kawasan perbatasan.
65
Untuk itu, maka perlu dilakukan upaya-upaya penyelesaiannya,
antara lain menegakkan dan menerapkan supremasi hukum
dengan jujur dan adil, serta meningkatkan mutu profesionalitas
aparat pemerintah di perbatasan.
2. Jangka Panjang
Perbatasan sebuah negara, atau state’s border, dikenal
bersamaan dengan lahirnya negara. Negara dalam pengertian modern
sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di Eropa. Perbatasan negara
merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula merupakan
wilayah perebutan kekuasaan antarnegara, yang terutama ditandai oleh
adanya pertarungan untuk memperluas batas-batas antarnegara.
Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat daerah
perbatasan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan
berakhirnya berbagai negara. Dalam kaitan ini menarik untuk
mencermati kelahiran negara-bangsa (nation-state) sebagai bentuk
negara modern yang berkembang sejalan dengan merebaknya ethnic
nationalism dan national identity. Anthony D. Smith dalam bukunya
Ethnic Origin of Nations (1986)37 menggambarkan identitas nasional
sebagai a collective cultural phenomenon yang mengandung berbagai
elemen dasar, seperti adanya kekhasan bahasa, sentimen-sentimen, dan
simbolisme yang merekatkan sebuah komuniti yang mendiami suatu
teritori tertentu.
37 Anthony D. Smith, Ethnic Origin of Nations, 1986, Hal. 187
66
Bahwa koordinat batas kedua Negara, yaitu Indonesia dan
Timor-Leste adalah garis batas kira-kira, itupun belum semuanya
karena masih menyisakan beberapa daerah yang masih belum
ditentukan daerah batasannya.
Seperti yang dijelaskan dalam pasal 6 (enam) perjanjian, “Para
Pihak sedapat mungkin akan menyelesaikan segmen-segmen yang
belum terselesaikan pada tingkat teknis pada kesempatan pertama, dan
akan merujuk kepada pertimbangan otoritas yang lebih tinggi jika
pada tingkat teknis tidak dapat dicapai kesepakatan.”
Segmen-segmen yang dimaksud disini adalah daerah yang
masih belum jelas koordinat wilayahnya, sehingga masih menyisakan
masalah di wilayah perbatasan karena masih belum jelasnya gais batas
yang ada serta pelintas batas yang tidak mengetahui hal tersebut
ataupun klaim-klaim dari kedua belah pihak.
Masalah lain di perbatasan kedua negara adalah sejumlah
masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan masih menggunakan
mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial dan
budaya dengan masyarakat Indonesia.
Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar warga desa
yang terdapat di kedua sisi perbatasan. Hal ini dapat menyebabkan
klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi
masalah yang lebih kompleks. Di samping itu, keberadaan pengungsi
Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah
67
yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di
kemudian hari.38
Masalah perbatasan menunjukkan betapa urgensinya tentang
penetapan batas wilayah suatu negara secara defenitif, terlebih lagi
bagi Indonesia. Perbatasan bukan hanya semata-mata garis imajiner
yang memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya, tetapi juga
sebuah garis dalam daerah perbatasan terletak batas kedaulatan dengan
hak-hak kita sebagai negara yang harus dilakukan dengan undang-
undang sebagai landasan hukum tentang batas wilayah NKRI yang
diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Oleh karena itu pengaturan mengenai batas wilayah ini perlu
mendapat perhatian untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan
Indonesia. Jelasnya batas wilayah NKRI sangat diperlukan untuk
penegakan hukum dan sebagai wujud penegakan kedaulatan.
Sebab itu dibuatnya perjanjian yang baru sangat penting.
Perjanjian Baru antara Indonesia dan Timor-Leste tentang perbatasan
darat ini harus memuat apa konsep kedua Negara terlebih bagi NKRI,
batas kedaulatan internasional, apa yang merupakan yurisdiksi nasional
kedua Negara, dan apa pula yang menjadi kewajiban-kewajiban
internasional yang harus dipatuhi, harus memuat definisi yang jelas
tentang batas, perbatasan, wilayah perbatasan dan tapal tapal batas
wilayah, siapa yang dikenakan kewajiban menjadi leading sector
dalam implementasi perjanjian ini.
38 http://www.suarapembaruan.com/News/2004/08/13/Editor/edi01.htm diakses pada 22 oktober 2007
68
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dari rumusan masalah yang
dibahas dapat disimpulkan :
1. Bahwa terdapat berbagai persoalan yang dipicu oleh masih banyaknya
pengungsi Timor Leste yang bertahan di kamp-kamp pengungsi dan
berbagai kasus tindak kekerasan dan gangguan gerakan separatis
bersenjata yang terjadi, serta masih banyak pelanggaran terhadap
kedaulatan hukum negara RI (penyelundup), perlu diselesaikan secara
arif, adil, dan tranparan. Penegakkan keadilan terhadap kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan langkah penting
bagi penyelesaian kasus-kasus pasca disintegrasi Timor Leste dan
dalam upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional
terhadap penegakkan hukum dan keadilan oleh pemerintah.
2. Bahwa dalam Provisional Agreement on the Land Boundary between
the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste
ini telah memenuhi azas suatu perjanjian internasional didalam
konvensi, yaitu azas itikad baik (good faith) dan azas pacta sunt
servanda, maka perjanjian ini adalah sah menurut Konvensi Wina
1969.
3. Bahwa untuk menjaga kawasan perbatasan perlu adanya suatu peran
serta bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Kab./Kota)
dan masyarakat tidak hanya merupakan kinerja pemerintah daerah
Provinsi NTT saja. Perlu adanya pelaksanaan terhadap upaya yang
69
berjangka pendek dan berjangka panjang yang telah dirumuskan demi
tercapainya stabilitas politik dan keamanan yang aman dan terkendali
utamanya di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor-Leste.
B. SARAN
Adapun saran-saran yang dapat diberikan adalah :
1. Bahwa masalah penentuan garis batas yang belum rampung harus
segera diselesaikan demi menghindari masalah yang mungkin akan
terjadi antar kedua Indonesia dan Timor-Leste. Penegasan kembali
batas-batas wilayah RI dengan negara Timor Leste merupakan salah
satu kebijakan pemerintah yang penting dalam menata dan menetapkan
garis batas dan patok-patok batasnya secara permanen
2. Bahwa situasi perpolitikan dan keamanan di kawasan perbatasan RI–
Timor Timur yang tergolong labil harus segera ditangani. Hingga saat
ini masih sering muncul gangguan keamanan. Pergolakan politik dan
keamanan di kedua kawasan ini telah cukup lama berlangsung.
Lepasnya Timor Timur melalui referendum pada tahun 1999 dari
kedaulatan NKRI, yang kemudian berubah nama menjadi Negara
berdaulat Timor Timur hingga saat ini masih menyisakan berbagai
permasalahan terutama masalah sosial, politik dan keamanan. Berbagai
gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat silih berganti terjadi
yang menyebabkan kondisi kehidupan masyarakat menjadi terpuruk.
Jumlah pengungsi meningkat dan terjadi rawan pangan yang parah
terutama di desa-desa perbatasan terpencil. Republik Indonesia masih
menyisakan banyak masalah di bidang kawasan penjagaan perbatasan.
70
Dari sekian banyak masalah yang muncul haruslah segera dilakukan
penanggulangan mengingat kawasan perbatasan, utamanya perbatasan
Indonesia-Timor Leste, maka perlu dilakukan upaya-upaya
penyelesaiannya, antara lain menegakkan dan menerapkan supremasi
hukum dengan jujur dan adil, serta meningkatkan mutu profesionalitas
aparat pemerintah di perbatasan.
71
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Bagian Pertama,
Mandar Maju, Bandung, 2005
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Bagian Kedua, Mandar
Maju, Bandung, 2002
J.G. Starke, Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Buku Dua,
PT Sinar Grafika, Jakarta, 2004
Haryomataram, Kushartoyo, Pengantar Hukum Humaniter, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2005
Marnixon R.C Wila, Konsepsi Hukum Dalam Pengaturan Dan Pengelolaan
Wilayah Perbatasan Antar Negara, PT Alumni, Bandung 2006
Martinho G. Da Silva Gusmao, Timor Lorosae-Perjalanan Menuju
Dekolonisasi Hati diri, Dioma, Malang, 2003
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
PT alumni, Bandung, 2003
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, buku satu,
bagian umum, Putra Abardin, Bandung, 1999
Sunardi, Nietzche, PT LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2006
Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1979
Anthony D. Smith, Ethnic Origin of Nations, 1986
72
B. Undang Undang
Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625(XXV) tanggal 24 Oktober 1970
Uniting for Peace Resolution
Pernyataan Delegasi Inggris dan Delegasi Colombia di MU-PBB, GAOR/ 5 th
Session, 1 st Committee/300 th Meeting/October 12, 1950.
Declaration of Principles of International Law Concerning Friendly Relations
and Cooperation Among States in Accordance with the Charter of the
United Nations, 24 Oktober 1970
Undang Undang No.7 Tahun 1976
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat no. VI/MPR/1978
Resolusi Dewan Keamanan PBB 384 (1975) tanggal 22 Desember 1975
Vienna Convention of the Law of Treaty 1969
Undang Undang no.20 tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara
Undang Undang no. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
Undang Undang no. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Convention of the Law of the Sea yang diratifikasi dengan Undang Undang
no.17 tahun 1985 tentang Hukum Laut
C. Internet
Badan Perencanaan Nasional, 2007 (www.bappenas.go.id) Diakses pada
tanggal 13 agustus 2007
http://www.kbridili.org/bilateral.htm ) Diakses pada tanggal 22 agustus 2007
Republik Timor Leste dalam Peta, http://www.bakosurtanal.go.id,
Diakses pada tanggal 20september2007
73
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0504/09/nas12.html , Diakses pada
tanggal 21 september 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/07/opini/1011572.htm, Diakses
pada tanggal 21 desember 2007
Masalah perbatasan, http://www.kbridili.org/bilateral.htm, Diakses pada
tanggal 26 oktober 2007
Timor Leste dan sebaliknya, http://www.kapanlagi.com/h/0000136793.html,
Diakses pada tanggal 1 november 2007
Insiden Di Perbatasan Indonesia dan Timor Leste,
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/10/21/brk,2005102168349,i
d.h tml, diakses pada tanggal 22 oktober 2007
Http://detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/04/tgl/29/time/154
14 1/idnews/351208/idkanal/10, diakses pada tanggal 16 oktober
2007
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/08/13/Editor/edi01.htm diakses
pada 22 oktober 2007