STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN … · perbedaan kandungan ayat tersbut adalah...
Transcript of STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN … · perbedaan kandungan ayat tersbut adalah...
STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN
TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th. I)
Penulis:
Ahmad Hazami
NIM. 106034001215
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1432 H. / 2011 M.
STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN
TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th. I)
Penulis:
Ahmad Hazami
NIM. 106034001215
Dibawah Bimbingan:
Dr. M. Suryadinata, MA
NIP. 19600908 198903 1 005
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1432 H. / 2011 M.
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Penafsiran Rasyîd Ridâ Dan
Tabatabâ’i Terhadap Surat Al-Mâidah Ayat 67” telah diujikan dalam sidang
Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 23 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana program strata satu ( S1 ) pada jurusan Tafsir-
Hadis.
Jakarta, 23 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua,
Dr. Bustamin, M.Si.
NIP. 19630703 199803 1 003
Sekretaris,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A
NIP. 19711003 199903 2 001
Penguji I,
Dr. Bustamin, M.Si.
NIP. 19630703 199803 1 003
Anggota,
Penguji II,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A
NIP. 19711003 199903 2 001
Pembimbing,
Dr. M. Suryadinata, MA
NIP. 19600908 198903 1 005
iv
ABSTRAKSI
Skripsi ini membahas tentang perbandingan atau komparasi terhadap
dua orang mufassir yaitu Muhammad Rasyîd Ridâ dengan kitab tafsirnya
Tafsir al-Manâr dan Muhammad Husain al-Tabataba’i dengan kitabnya Al-
Mîzân fî Tafsîr al-Qur’an mengenai tafsirannya tentang surat al-Mâidah ayat
67. Kedua mufassir tersebut mewakili golongan mazhab aqidahnya masing-
masing, Rasyîd Ridâ mewakili golongan Ahlu Sunnah sedangkan Tabataba’i
mewakili Syiah Itsnâ ‘Asyariyah. Perbedaan mazhab menjadi menarik dalam
meguraikan perbandingan penafsiran keduanya, sehingga keduanya banyak
mengemukakan argumen secara naqliyah juga ‘aqliyyah.
Perbedaan yang sangat signifikan adalah tentang sabab turun ayat 67
surat al-Mâidah ini, karena berawal dari perbedaan sebab turun ayat tersebut
maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat menjadi
perbedaan yang sangat besar antara Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i. Dintara
perbedaan kandungan ayat tersbut adalah tentang pesan penting dalam
penyampaian risalah (tablîgh al-risâlah), penundaan dalam penyampaian
risalah (wahyu), hal yang berkaitan tentang peristiwa turunnya ayat dan makna
‘ishmah Nabi dalam ayat tersebut. Peristiwa Ghadîr Khum dan tentang makna
wali dalam sebuah hadis yang berkaitan tentang sebab turunnya ayat, menjadi
pembahasn khusus oleh Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i dalam menjelaskan ayat
ini. Tentu saja kedua mufassir tersebut mempunyai pandangan tersendiri
mengenai makna wali dalam hadis yang terkenal dengan hadis Ghadîr Khum
tersebut.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT., yang dengan taufiq-Nya
penelitian berjudul “STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN
TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67” ini dapat selesai, demikian
juga, salawat serta salam semoga tercurahkan untuk baginda Rasulullah SAW beserta para
keluarga dan sahabatnya.
Sebagai karya tulis yang da‟ if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau
menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan
penulis di dalam melakukan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-
orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil. Atas
segala bantuan tersebut, penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada:
1. Segenap civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat (Rektor) dan Prof. Dr. Zainun Kamal, MA (Dekan
Fakultas Ushuluddin) beserta para jajarannya.
2. Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum,
MA (Sekjur Tafsir-Hadis).
3. Dr. M. Suryadinata, MA, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau untuk membantu, membimbing,
dan mengarahkan penulisan skripsi ini.
4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir-
Hadis, khususnya Ustâdz Rifqi Mukhtar (sekaligus sebagai guru ngaji kitab
Mukhtâshor Ihyâ ‘Ulumi al-Din) yang telah banyak berbagi ilmu kepada
vi
penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes ilmu
pengetahuan.
5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Iranian Corner yang telah memberikan
pelayanan dalam memberikan literatur kepada penulis dalam menyusun skripsi
ini.
6. Kedua orang tua penulis (Alm) Baba H. Ja’anih bin Ji’ih dan Ibu Hj. Aminah
yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran,
serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan.
7. Bang Ali, Ka Nunung, Ka Ida, Bang Aab, Pulloh, Ami minta maaf kalau sering
ngerepotin, manja dan ngga’ mau ngalah, doain agar Ami bisa memberikan
yang terbaik untuk orang tua dan keluarga. Yayah, Ka Winda, Bang Muslih,
Om Emi, Ka Ibah dan semua ponakan-ponakan kecilku, terima kasih untuk
support dan hiburannya. Saudara sekaligus sahabat sejati, Oppie el-Achyati.
8. Sahabat-sahabat penulis mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007
khususnya, Gus Enju S. Th. I, Irfan, Haikal, Tubi, Encin dan Umam, semoga
kita menjadi orang yang sukses dan mendapat keberkahan atas semua yang
diraih. Hidup JOMBLONDET. Harfa, Didit dan Aang, tetap semangat
kuliahnya.
9. Abang-abang pembimbing dunia organisasi dan diskusi, Fajar S. Th. I, Muslim
S. Fil. I, Iweng S. Th. I, Muammar S. Th. I, Kemal S. Fil. I, Amri, Naldhy,
Sella dan Fikri S. Th. I. Teman-teman seperjuangan: Iqbal, Ramfalak, H. Dika,
Bara, Fitroh, Jazuli, Anwar, dan lain-lain. Sahabat kecil penuh daya juang
tinggi: Topan, Djarwo, Fuad, Dani, Dwi, Dimas, Usep dan lain-lain.
vii
10. Rekan-rekan HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin Cabang Ciputat, BEM
Jurusan Tafsir Hadis, BEM Fakultas Ushuluddin, PARMA Ushuluddin, IRMA
Kemang dan Forum-forum diskusi keliling Jakarta Selatan-Ciputat.
11. Terakhir, untuk seluruh orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya,
dan bertukar pikiran dengan saya.
Jazâkumullah ahsan al-Jazâ, Âmîn…
Jakarta, 4 Juni 2011
Penulis
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
B be
T te
Ts te dan es
J Je
H h dengan garis bawah
Kh ka dan ha
D da
Dz De dan zet
R Er
Z Zet
S Es
Sy es dan ye
S es dengan garis bawah
D de dengan garis bawah
T te dengan garis bawah
Z zet dengan garis bawah
„ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh ge dan ha
1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
vii
F Ef
Q Ki
K Ka
L El
M Em
N En
W We
H Ha
„ Apostrof
Y Ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
______ a fathah
______ i kasrah
______ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ____ي
و__ __ au a dan u
viii
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا
î i dengan topi di atas ــي
û u dengan topi di atas ـــو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
ix
Contoh:
no Kata Arab Alih aksara
1 tarîqah
2 al-jâmî ah al-islâmiyyah
3 wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-
Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................ i
PENGESAHAN PEMBIMBING.................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................................. iii
ABSTRAKSI ................................................................................... iv
KATA PENGANTAR...................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI..................................................... viii
DAFTAR ISI.................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN.................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................. 13
C. Tujuan Peneltian.................................................. 14
D. Tinjauan Pustaka.................................................. 15
E. Metodologi Penelitian.......................................... 15
F. Sistematika Penulisan.......................................... 16
BAB II PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ TERHADAP
SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM
TAFSIR AL-MANÂR.............................................. 18
A. Riwayat Rasyîd Ridâ dan Tafsir Al-Manâr....... 18
a. Riwayat Hidup Rasyid Ridâ.......................... 18
b. Riwayat Tafsir Al-Manâr............................... 23
c. Metode dan Corak Tafsir Al-Manâr.............. 25
B. Penafsiran Rasyîd RidâTerhadap
Surat al-Mâidah Ayat 67...................................... 28
xi
BAB III PENAFSIRAN TABATABA’I TERHADAP
SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM
TAFSIR AL-MÎZÂN................................................ 37
A. Riwayat Tabataba’i dan Tafsir Al-Mizan............ 37
a. Riwayat Hidup Tabataba’i............................. 37
b. Riwayat Tafsir Al-Mîzân............................... 44
c. Metode dan Corak Tafsir Al-Mîzân............... 45
B. Penafsiran Tabataba’i Terhadap
Surat al-Mâidah Ayat 67...................................... 48
BAB IV ANALISA KOMPARATIF PENAFISRAN
RASYÎD RIDÂ DAN TABATABA’I TERHADAP
SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67............................ 56
A. Sebab Turun Surat al-Mâidah ayat 67................. 56
B. Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib.... 67
C. Perintah Tablîgh Risâlah..................................... 78
D. ‘Ishmah Nabi saw................................................ 83
BAB V PENUTUP................................................................. 87
A. Kesimpulan......................................................... 87
B. Saran-saran.......................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 91
LAMPIRAN...................................................................................... 93
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seorang muslim dalam seluruh sendi kehidupannya dibimbing dan
diatur oleh dua warisan peninggalan Rasulullah saw. yaitu al-Qur‟an dan al-
Sunnah atau hadis Nabi sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam khutbah al-
Wadâ’ :
“Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Rasulullah saw. berkhutbah kepada
manusia dalam haji wada‟ dan bersabda: “Wahai manusia,
sesungguhnya aku telah meninggalkan di antara kalian yang jika kalian
berpegang teguh padanya niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya,
yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”.1
Tentang keterjagaan dan kemurnian al-Qur‟an Allah swt. sudah
menjaminnya sebagaimana tercantum dalam al-Qur‟an surah Al-Hijr ayat 9:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
1 Abu Bakr Ahmad bin al Husain bin Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubrâ lil-Baihâqi, (Dar
el-Fikr Beirut, 1996) Juz 10, h. 114
2
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”
Dalam memahami al-Qur‟an membutuhkan penafsiran yang bisa
menjelaskan maksud ayat sehingga pesan Tuhan bisa dipahami dengan jelas,
dan untuk memahami kandungan ayat al-Qur‟an dengan benar perlu
mempelajari tafsir karena merupakan ilmu syariat yang paling agung dan tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan
tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia
membutuhkan petunjuk ilahi. Tanpa tafsir, seorang Muslim tidak dapat
menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung di
dalam al-Qur‟an.
Setidaknya ada tiga yang membuat dan menentukan tingginya
kedudukan tafsir. Pertama, bahwa bidang yang menjadi objek kajian tafsir
adalah kalam ilahi yang mulia yang merupakan sumber segala ilmu agama dan
keutamaan. Di dalamnya terhimpun berbagai aturan untuk kebaikan hidup
manusia. Kedua, tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh
dengan al-Qur‟an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati dunia dan
akhirat. Ketiga, dilihat dari kebutuhan pun sangat jelas bahwa kesempurnaan
mengenai bermacam-macam persooalan, baik agama maupun keduniaan,
memerlukan ilmu syariat dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama. Hal
itu sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Qur‟an yaitu tafsir.2
2M. Quraish Shihab, kata pengantar, Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir
Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002) hal, xiii
3
Upaya penafsiran al-Qur‟an sendiri telah berjalan sejak kitab suci masih
diturunkan kepada Rasulullah saw., yaitu oleh Rasul sendiri, orang pertama
yang menjelaskan maksud-maksud al-Qur‟an kepada umatnya. Kemudian
dilanjutkan oleh para Sahabat, kalangan ulama Tabi‟in, dan seterusnya secara
bersambung dari satu generasi ke generasi umat Islam berikutnya, hingga di
zaman modern ini. Sudah barang tentu, tafsir yang dihasilkan pada satu zaman
tidak terlepas dari masalah kultural dan intelektual serta kecenderungan
mufassirnya. Lagi pula zaman membutuhkan penafsiran yang berbeda pula,
selaras dan sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang
terjadi.
Di dalam perjalanan Islam sebagai suatu agama sejak semula sudah
dikatakan sebagai agama yang sejak kemunculannya dianggap mengandung
muatan-muatan politis. Hal ini disebabkan karena di dalam sejarah tercatat
sebuah kisah yang menggambarkan hal tersebut, para sejarawan (muarrikhûn)
banyak yang menuturkan kisah seorang bernama „Afîf al-Kindi, seorang
pedagang yang sempat pergi ke Mekkah pada saat musim haji kemudian di
sana ia bertemu dengan paman Nabi saw yaitu al-Abbas, dan pada saat itu ia
melihat seorang laki-laki yang sedang sholat menghadap kiblat (Ka‟bah), lalu
disusul dengan seorang pemuda dan perempuan yang turut shalat bersamanya.
Maka ia bertanya kepada al-Abbas: “Agama apakah ini?”. Al-Abbas
menjawab: “ini adalah Muhammad Ibnu Abdullah, putra saudara laki-lakiku,
4
dia (Muhammad) menganggap dirinya Rasulullah saw, berobsesi untuk
menggulingkan Persia dan Romawi.”3
Kisah tersebut sering menjadi bukti bahwa Islam datang sudah
mempunyai tendensi politis yaitu dalam hal ingin menggulingkan Persia dan
Romawi, di mana saat itu keduanya adalah sebagai kekuatan adikuasa di dunia.
Apabila hal itu dibenarkan maka wajar bila dalam Islam banyak terjadi faksi-
faksi (al-firaq) karena hal yang awalnya bersifat politis kemudian merembet
kepada persoalan keyakinan (aqidah).
Bangsa Arab yang mempunyai letak geografis di daerah gurun pasir,
mempengaruhi watak mereka yang seperti pasir yaitu sulit untuk bersatu.
Watak itu juga membuat mereka menjadi bangsa yang memilki fanatisme
tinggi sekaligus fatalisme mengakar dan tidak heran jika mereka saling
bermusuhan antar suku (kabilah) meskipun hanya mengenai urusan sepele.4
Maka pada saat itu Allah mengutus Rasulullah saw sebagai penyampai risalah
Islam untuk menekankan persaudaraan dan persatuan yaitu dengan
memperbaiki akhlak bangsa Arab, dan Rasulullah pun beusaha keras merubah
keadaan bangsa Arab agar hidup dalam persaudaraan dan persatuan.
Nabi saw dalam masa kenabian telah berusaha keras untuk mengikis
jiwa kesukuan dan meruntuhkan dinding pemisah yang memisah-misah mereka
atas dasar kesukuan, mereka harus disatukan dalam keimanan. Namun yang
pasti, tidaklah mudah mengubah mereka dalam kurun waktu 23 tahun menjadi
3 Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka
Cendekia Muda, 2008) h. 15
4 Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. h, 16
5
masyarakat yang ternaungi sistem Islami yang tidak lagi menganggap
perbedaan kesukuan kecuali sebagai tanda pengenal, dan menerima bahwa nilai
kemuliaan hanya ditentukan oleh ketakwaan.
Banyak bukti yang menunjukkan dalamnya watak kesukuan yang masih
ada saat itu, seperti pada kasus perselisihan antara seorang dari kalangan
Anshar dan seorang dari kalangan Muhajirin sepulang dari pertempuran bani
Mustahkiq yang hampir saja menimbulkan perkelahian, bukan hanya antara
mereka berdua namun juga melibatkan kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu Nabi
saw. cepat-cepat meredamnya dan bersabda, “Tinggalkan slogan itu!
Sesungguhnya ia adalah slogan jahiliah.” Kemudian dalam peristiwa
kambuhnya jiwa fanatisme lama antara suku „Aus dan Khazraj yang terwakili
oleh dua tokoh mereka, yaitu Sa‟ad bin Mu‟adz dari suku „Aus dan Sa‟ad bin
Ubadah dari suku Khazraj, „Aisyah mengatakan, “Sebelumnya ia adalah orang
saleh, namun ia terhanyut dalam fanatisme (Hammiyah), sehingga hampir-
hampir mereka berperang sementara Nabi saw berdiri diatas mimbar lalu beliau
menenangkan mereka hingga redalah emosi masing-masing pihak.5
Keadaan yang membuktikan masih adanya fanatisme kesukuan bukan
berarti apa yang telah beliau lakukan untuk mengikis dan menghilangkan
fanatisme gagal seluruhnya. Sesungguhnya beliau telah berhasil menumbuhkan
semangat persaudaraan dan persatuan antar suku, masih adanya perselisihan-
perselisihan kecil adalah hal wajar melihat watak bangsa Arab yang memang
keras.
5 Lihat, Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syiah, (Jakarta: Ilya, 2004) h. 86-87
6
Keadaan mulai berubah lagi setelah Rasulullah wafat, semangat
persaudaraan dan persatuan mulai mengalami kemunduran. Bahkan dalam
sejarah tercatat sebelum jenazah beliau di makamkan telah terjadi perseteruan
mengenai pengganti kepemimpinan (khalîfah) sebagai pemimpin Islam,
peristiwa itu terkenal dengan Saqîfah. Perseteruan debat yang berlangsung di
kediaman Saqîfah Bani Sa‟ad yang melibatkan golongan Anshor dan golongan
Muhajirin ini berakhir dengan terpilihnya Abû Bakar al-Siddîq sebagai
Khalîfah pertama. Respon atas terpilihnya Abû Bakar pun bermacam-macam,
ada sebagian yang membaiat secara langsung, ada juga yang menyatakan tidak
mau untuk membai‟at dan tidak sedikit pula yang menyatakan keluar dari
Islam (murtad). Keadaan ini juga semakin buruk ketika „Ali bin Abî Thâlib
juga tidak mau membai‟at Abû Bakar sebagai khalîfah.6
Fakta sejarah tersebut memberikan indikasi bahwa pascawafat Nabi
saw fanatisme muncul kepermukaan lagi dan sulit dibendung. Pada saat itu,
meskipun umat Islam masih bersatu dalam urusan aqidah dan syariat, namun
mereka mulai terkoyak-koyak dalam kehidupan politik.
Masalah kepemimpinan pascawafat Nabi saw ini adalah cikal bakal
friksi dan kontroversi yang berkepanjangan dalam batang tubuh umat Islam,
sebagian memandang bahwa persoalan kepemimpinan hanyalah isu historis
politis bukan persoalan teologis. Sebagian lain justru memandang bahwa
persolan kepemimpinan di samping bersifat historis, juga terkait isu teologis
yang terkait dengan keselamatan seorang manusia di dunia dan akhirat.
6 Lihat, Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. h, 17-19, O.
Hasyem, Saqifah: Awal Perselisihan Umat, Muhammad Baqir Shadr, Kemelut Kepemimpinan
Setelah Rasul, (Jakarta: As-Sajjad, 1990).
7
Ada satu pertanyaan mendasar mengenai masalah ini yaitu,
bagaimanakah sikap Nabi saw dalam hal kepemimpinan pascawafatnya nanti,
karena seorang yang memimpin pasca beliau harus menjalankan misi dakwah
yang telah beliau sampaikan?. Dari pertanyaan inilah muncul beberapa asumsi
jawaban atas sikap yang mungkin bisa diambil beliau sebelum wafat, yaitu:
1. Beliau bersikap pasif, yaitu acuh tak acuh.
2. Beliau menyerahkan pembentukan kepemimpinan kepada umat
melalui konsep syuro (musyawarah).
3. Beliau menunjuk pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan
penunjukkan Allah melaui Rasulnya.
Ketiga asumsi jawaban itu merupakan keharusan bagi Nabi saw untuk
mengambil sikap sebelum beliau wafat. Dari ketiganya ada dua yang menjadi
pembahasan khusus yaitu bahwa Nabi saw menyerahkan pembentukan
kepemimpinan kepada umat melaui konsep Syûrô, dan Nabi saw menunjuk
pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan penunjukkan Allah melaui
Rasulnya. Kedua asumsi itulah yang menjadi argumen dan doktrin kuat dalam
memahami konsep kepemimpinan dan siapa yang berhak menjadi pemimpin
pascawafat Nabi saw.
Didalam fakta sejarah seperti yang diuraikan sekilas di atas
menjelaskan bahwa yang menjadi pemimpin Islam pascawafat Nabi saw adalah
Abû Bakar al-Siddîq, beliau terpilih setelah beberapa Sahabat melakukan
musyawarah (syûrô). Hal ini yang memberikan asumsi bahwa Nabi saw
8
meyerahkan kepemimpinan kepada umat, karena umat telah pandai dan
mempunyai kemampuan untuk memilih seorang pemimpin yang layak.
Berbeda dengan yang berpendapat bahwa masalah kepemimpinan
pascawafat Nabi saw adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh Allah melalui
Rasulnya. Asumsi ini muncul karena ada nash-nash yang mengindikasikan
bahwa Nabi saw telah menunjuk seorang pemimpin untuk menggantikannya,
dan nash-nash tersebut menunjuk „Ali bin Abî Thâlib yang berhak menjadi
pemimpin pascawafat Nabi saw.
Salah satu nash yang dianggap menjadi argumen kuat bahwa Nabi saw
telah menunjuk seorang pemimpin setelah beliau wafat. Hadis ini dikenal
sebagai hadis Ghadîr Khum, sebuah hadis yang berisi tentang masalah
penunjukan pemimpin yang dilakukan oleh Nabi Muhammad untuk menjadi
pengganti beliau setelah wafat nanti. Sebuah hadis yang diyakini oleh mazhab
Syiah sebagai argumentasi kuat bahwa yang berhak memangku kepemimpinan
pasca Nabi saw adalah keponakannya yaitu „Ali bin Abî Thâlib. Syiah
meyakini benar bahwa „Ali bin Abî Thâlib ra adalah Imam kaum Muslim
sesudah Rasulullah saw. dan seharusnya menjadi khalîfah pertama sesudah
Rasul saw.7 Hal ini tentu saja berlainan dengan keyakinan mazhab Ahlus
Sunnah yang meyakini bahwa Abû Bakar bin Siddîq lah yang berhak menjadi
pemimpin saat itu.
Hadis tersebut adalah:
7 M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007) h. 122
9
Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu‟bah
dari Salamah bin Kuhail, ia berkata aku mendengar Abu al-Tufail
berkata dari Abî Sarîhah atau dari Zaid bin Arqom dari Nabi Saw.
Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali
adalah pemimpinnya juga.8
Hadis tersebut turun ketika beliau selesai melakukan Haji Wadâ’ di
hadapan kaum muslimin di suatu tempat yang bernama Ghadîr Khum, oleh
sebab itu hadis tersebut dikenal dengan sebutan hadis Ghadîr Khum.
Hadis ini turun bertepatan tanggal 18 Dzulhijjah, usai Nabi Muhammad
saw melaksanakan haji terakhirnya (haji wadâ’), Nabi Muhammad saw pergi
meninggalkan Mekkah menuju Madinah, di mana beliau dan kumpulan kaum
Muslimin sampai pada suatu tempat bernama Ghadîr Khum (saat ini dekat
Juhfah). Itulah tempat di mana orang-orang dari berbagai penjuru saling
menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil
jalan yang bereda-beda.9 Di sana Nabi saw menyampaikan khutbah-
khutbahnya di depan ratusan ribu kaum Muslimin, dalam khutbahnya beliau
membacakan ayat hampir 100 ayat al-Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali
mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari.10
Dan salah
satu bagian akhir dalam isi khutbanya adalah hadis Ghadîr Khum ini.
8 Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, Sunan at-
Tirmizy, no. 4077, (Software: al-Maktabah asy-Syamilah), h. 317
9 Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan Antologi Islam,
penj, Rofik Suhud dkk, (Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005), h. 288
10
Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 289
10
Mazhab Syiah berpendapat bahwa hadis Ghadîr Khum merupakan
wasiat Rasulullah saw yang menghendaki „Ali menjadi pemimpin dan Amîrul
Mukminîn sepeninggalnya.11
Mereka berkeyakinan masalah kepemimpinan
adalah masalah prinsip teologis dan suksesi kepemimpinan adalah merupakan
proses wasiat. Wasiat dalam doktrin Syiah sesungguhnya bukanlah pemilihan
atau pencalonan, melainkan pengangkatan yang dilakukan oleh Nabi suci
dengan mengumumkan seorang mukmin yang paling saleh sebagai pengganti
beliau dalam mendakwahkan pesan Islam.12
Di lain pihak berpendapat bahwa
tampuk kepemimpinan umat bukanlah suatu proses wasiat atau suatu yang
diwariskan. Pewarisan kepemimpinan adalah salah satu hal yang tidak dapat
dibenarkan dan diakui dalam Islam.13
Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji sebuah ayat al-Qur‟an yang
mempunyai keterkaitan dengan serangkaian perbedaan pendapat mengenai
kepemimpinan pasca wafat Nabi saw Ayat tersebut terdapat dalam surat al-
Mâidah ayat 67 yaitu:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 67)
11 Mustofa Al-Syak‟ah, Al-Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh A. M. Basalamah
dengan judul Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 134
12
Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Jakarta: Mizan, 1995) h. 64
13
Mustofa Al-Syak‟ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 135
11
Jika diperhatikan secara detail, di dalam ayat tersebut ada sebuah pesan
(risâlah) yang sangat penting yang harus disampaikan oleh Rasul dan jika
Rasul tidak menyampaikannya maka Rasul dikatakan belum menyampaikan
amanat yang seharusnya disampaikan, dan seharusnya pesan tersebut bukan
risalah yang telah Rasul pernah sampaikan lalu beliau sekedar mengulangnya
kembali sebagai bentuk pengingatan kepada umatnya. Jadi risalah tersebut
adalah sebuah risalah yang belum pernah disampaikan oleh Rasul dan sifatnya
sangat penting untuk disampaikan kepada umatnya.
Keterkaitan ayat tersebut dengan masalah kepemimpinan pasca wafat
Nabi adalah karena bagi Syiah ayat tersebut turun setelah Nabi saw melakukan
haji wadâ’ sehingga ayat tersebut turun dalam rentetan peristiwa Ghadîr
Khum. Bagi kalangan Syiah ayat tersebut mengindikasikan sebuah pesan
(risâlah) yang sangat penting agar kemudian disampaikan kepada umatnya dan
ayat ini juga ditunjukkan kepada „Ali as. Pesan yang harus disampaikan itu
adalah yang disebutkan dalam hadis Ghadîr Khum yaitu penunjukan sekaligus
pengangkatan „Ali sebagai wâli dan pemimpin pascawafat Rasulullah saw.14
Tabataba‟i berpendapat mengenai ayat ini bahwa secara lahiriah makna
ayat ini mengandung perintah pada Rasulullah saw untuk menyampaikan
sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt menjanjikan
kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia. Apabila diperhatikan dari
sisi letaknya ayat ini diapit tentang ayat-ayat yang mebicarakan Ahli Kitab
yakni al-Mâidah ayat 66 dan al-Mâidah ayat 67. Akan tetapi dapatlah
14 Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 288-289
12
dipastikan bahwa ayat ini tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan dengannya
dalam untaian kalimatnya, tiada lain ayat ini diturunkan sendiri, dan ketakutan
akan menyampaiknnya adalah bukan kepada Ahli Kitab yang karena takut mati
di jalan Allah, melainkan kekhawatiran Nabi saw kepada manusia untuk
menyampaikannya sehingga menunggu pada momen yang sesuai.15
Adapun sebab turunnya ayat ini memang terjadi perbedaan pendapat,
ada yang menyebutkan bahwa ayat ini turun saat permulaan Islam dan yang
lainnya berpendapat ayat ini turun setelah Nabi saw melakukan haji wada‟ di
Ghadîr Khum.16
Perbedaan pendapat inilah yang mungkin menjadi sebuah perbedaan
pemahaman antara Ahlu Sunnah dan Syiah, dimulai dari perbedaan sabab
trurunnya sampai kepada penafsiran ayat secara keseluruhan, dan bukan hanya
itu, perspektif sejarah menjadi penting dalam memahami ayat tersebut. Maka di
sini penulis ingin mengetahui lebih jauh perbedaan penafsiran ayat tersebut
antara mufassir Ahlu Sunnah dan Syiah. Dari Ahlu Sunnah penulis memilih
tafsir yang ditulis oleh Muhammad Rasyîd Ridâ yaitu Tafsîr al-Qur‟an al-
Hakîm atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Manâr, sedangkan dari Syiah
penulis memilih Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‟an yang ditulis oleh Muhammad
Husain al-Tabataba‟i.
15
lihat. Tabataba‟i, Tafsir Al-Mizan; Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, pen,
Syamsuri Rifa‟i, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991), h. 149-153
16
Lihat Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-
Manâr, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah) Jilid I, hal, 463
13
Alasan penulis memilih kedua tafsir tersebut selain dikarenakan
perbedaan mazhab mufassirnya17
juga dikarenakan kedua tafsir tersebut
termasuk dalam tafsir kontemporer sehingga pemikiran dan penafsirannya bisa
dimasukkan dalam konteks kekinian. kedua tafsir tersebut juga banyak
menggunakan argumen rasional setelah mengemukakan beberapa kesesuaian
(munâsabah) ayat, hadis dan juga pandangan mufassir-mufassir lainnya.
Dengan uraian di atas maka penulis mengambil judul penelitian ini
“STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN
TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam melakukan studi komparatif ini penulis membahas penafsiran
Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i yang terdapat dalam karyanya yaitu kitab Tafsîr al-
Qur‟ân al-Hakîm (Tafsir al-Manâr) dan al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‟ân dengan
merujuk kepada satu ayat yaitu surat al-Mâidah ayat 67 dan yang menjadi
fokus kajiannya adalah mengenai sebab turunnnya ayat dan pesan penting
dalam tablîgh al-risâlah dalam ayat tersebut.
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka perumusannya adalah:
1. Bagaimana penafsiran Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tentang surat Al-
Mâidah ayat 67 secara umum.
2. Bagaimana penjelasan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i secara khusus tentang
sebab turunnya ayat, keterkaitan ayat dengan peristiwa Ghadîr Khum,
17 Lihat Sayyid Muhammad Ali Iyâzi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum,
(Teheran: Wazarah al-Tsaqofah wa al-Irsyad al-Islam) hal, 664 dan 703
14
pesan penting dalam tablîgh al-Risâlah yang diperintahkan dalam surat al-
Mâidah ayat 67 dan makna ‘ishmah.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam skripsi ini penulis membagi tujuan penelitian ini pada
tujuan khusus dan tujuan umum:
a. Tujuan Khusus
Penelitian ini secara akademis bertujuan untuk memahami perbedaan
penafsiran antara Rasyid Ridha dan Thabathaba‟i dalam menafsirkan
ayat al-Qur‟an.
b. Tujuan Umum
a) Memberikan kontribusi wawasan dan memperkaya khazanah
intelektual seputar hadis kepada umat Islam khususnya kepada
penulis.
b) Mendorong umat Islam memahami al-Qur‟an dengan benar dan
tidak bertentangan dengan hadis serta kehidupan manusia.
c) Mengajak kepada umat Islam untuk bisa menyikapi dengan bijak
setiap perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi semangat
Ukhuwwah Islâmiyyah.
d) Untuk melengkapi sebagian dari persyaratan guna memperoleh
gelar akademik Sarjan Strata Satu (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin Universitas Syarif Hisayatullah Jakarta.
15
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini secara teoritis dapat memberikan
pemahaman tentang bagaimana suatu al-Qur‟an dan hadis dapat dipahami
dengan benar. Sehingga tidak terlalu kaku dengan pengamalan al-Qur‟an
dan hadis yang menjadi pedoman kita.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, penelitian tentang masalah
ini masih belum ada yang melakukannya. Peneliti hanya menemukan satu
skripsi yang hanya membahas tentang metode pendidikan dalam surat al-
Mâidah ayat 67 yang ditulis oleh Zulkarnaen Fadly (Pendidikan Agama
Islam/2009) dengan judul “Metode Pendidikan Islam dan Relevansinya dengan
Metode Dakwah: Kajian surat al-Nahl ayat 125, al-Mâidah ayat 67 dan surat
Ali „Imrân ayat 159”. Skripsi ini membahas metode pendidikan dan dakwah,
dan tidak ada analisa khusus mengenai ayat dalam surat al-Mâidah ayat 67.
Tentu saja penelitian tersebut berbeda dengan penulis yang menganalisa
secara khusus ayat tersebut dan melakukan komparasi penafsiran dari dua
mufassir.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian literatur
dan kepustakaan. Data utama adalah al-Qur‟an dan yang menjadi kitab
analisa utama adalah kitab Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm (Tafsir al-Manâr)
karya Muhammad Rasyîd Ridâ dan al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‟ân karya
16
Muhammad Husain al-Tabataba‟i, serta data sekunder dari buku-buku,
artikel dan lain-lainnya yang mempunyai kaitan dengan permasalahan
yang sedang diangkat.
2. Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis,
sebagai upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan
diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun
sekunder) kemudian menganalisisnya secara proporsional dan
komprehensif dengan pendekatan komparatif, sehingga akan tampak jelas
perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok
permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan yang valid.
3. Tehnik Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) terbitan CeQDA Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang merupakan suatu
rangkaian penulisan yang saling berhubungan, dengan uraian sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
17
Bab II berisi tentang riwayat hidup Rasyîd Ridâ, riwayat kitab Tafsir al-
Manâr, metode dan corak Tafsir al-Manâr dan kajian terhapad penafsiran
Rasyîd Ridâ tentang surat al-Mâidah ayat 67.
Bab III berisi tentang riwayat hidup Tabataba‟i, riwayat kitab Tafsir al-
Mîzân, metode dan corak Tafsir al-Mîzân dan kajian terhapad penafsiran
Tabataba‟i tentang surat al-M^aidah ayat 67.
Bab IV berisi tentang pokok kajian yaitu penafsiran mengenai kajian
inti yang dibahas yaitu membahas surat al-Mâidah ayat 67 secara global yang
kemudian memfokuskan pembahasan kepada permasalahan sabab turunnya
ayat, keterkaitan dengan peristiwa Ghadîr Khum, pesan penting dalam tablîgh
al-Risâlah yang diperintahkan Allah kepada Nabi saw., dan penjelasan tentang
makna ‘Ishmah dan kafir dalam ayat tersebut. Setelah itu melakukan analisa
perbandingan terhadap kedua penafsiran tersebut dan mengutip beberapa
pendapat para ulama tafsir mengenai hal tersebut.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari masalah-
masalah pokok dalam penelitian ini dan saran.
18
BAB II
PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH
AYAT 67 DALAM TAFSIR AL-MANÂR
A. Riwayat Rasyîd Ridâ dan Tafsir al-Manâr
a. Riwayat Hidup Rasyîd Ridâ
Qalamun adalah sebuah desa yang dekat dengan kota Tripoli,
Libanon. tempat kelahiran Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ pada tanggal
27 Jumadi al-Ûla 1282 H atau 18 Oktober 1865 M. Saat itu Libanon
merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki Utsmani.1 Menurut salah
satu riwayat bahwa Rasyîd Ridâ mempunyai silsilah dari Husain bin „Ali
bin Abî Tâlib, cucu Nabi saw., oleh karena itu beliau diberi gelar Sayyid.
Keluarga beliau dikenal dengan sebutan Syaikh merupakan keluarga yang
sangat taat dalam beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama.2
Beliau mengawali pendidikan di desanya dengan membaca al-
Qur‟an, menulis dan berhitung. berbeda dengan anak-anak lain yang
sebaya dengannya, beliau lebih senang menghabiskan waktunya untuk
belajar dan membaca buku dari pada bermain.3 Sejak kecil ia telah
memiliki kecerdasan yang tinggi dan keterkaitannya terhadap ilmu
pengetahuan.
1 A. Athaillah, Rasyîd Ridâ: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Erlangga,
2006), h. 26
2 Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 162
3 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet
III, h, 161
19
Setelah lancar membaca dan menulis, beliau kemudian masuk ke
madrasah Rusydiyyah, sekolah milik pemerintah Tripoli. Hanya dalam
waktu lima tahun beliau belajar nahwu dan sharaf dan ilmu agama lainnya
seperti aqidah dan ibadah, ilmu bumi dan matematika. Namun bahasa yang
dipakai di madrasah tersebut bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa
Turki. Hal itu tidak mengherankan karena madrasah tersebut milik
Pemerintah Turki Utsmani. Di samping itu tujuan madrasah milik
pemerintah tersebut adalah untuk mempersiapkan sumber daya manusia
yang akan menjadi pegawai pemerintah Turki Utsmani.4 Karena enggan
menjadi pegawai pemerintah kemudian beliau melanjutkan ke sekolah
Islam Negeri, dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, yang
didirikan dan dipimpin oleh seorang ulama besar Syam Syaikh Husain al-
Jisr, ide pembaharuan pada diri ridha sangat dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran gurunya Syaikh al-Jisr.
Rasyîd Ridâ juga seoarang pengikut tarekat, yaitu Tarekat al-
Naqsyabandiyah, berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, ia
menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara
beribadat dan pengkultusan seorang guru membuat seorang mempunyai
sikap statis dan pasif, sikap-sikap seperti itu jelas merugikan umat Islam.
Ide-ide pembahruan penting yang dibawa Rasyîd Ridâ adalah
dalam bidang agama, bidang pendidikan dan bidang politik. Dalam bidang
agama ia berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi
4 A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, h. 27
20
mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam secara murni seperti yang
dipraktekan pada masa Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya, melainkan
ajaran-ajaran yang sudah banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafât.
Selanjutnya ia menegaskan, jika umat Islam ingin maju, mereka harus
kembali berpegang kepada al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw. dan
tidak terikat dengan pendapat ulama-ulama terdahulu yang tidak lagi
sesuai dengan tuntutan hidup modern.5 selain banyak belajar, beliau juga
menekuni perkembangan dunia Islam melalui media masa al-Urwah al-
Wutsqâ yang sekaligus memberikan pengaruh besar pada perkembangan
jiwanya.6
Rasyîd Ridâ sangat ingin menemui al-Afghani tetapi keinginannya
tersebut tidak tercapai, karena al-Afghani lebih dahulu meninggal sebelum
Rasyîd Ridâ sempat menemuinya, dan yang hanya sempat beliau temui
adalah Muhammad Abduh yang ketika itu berada dalam pembuangan di
Beirut, dengan tekad untuk melepaskan umat Islam dari belenggu
keterbelakangan dan kebodohan.7
Di Mesir, Rasyîd Ridâ mengungkapkan keinginannya untuk
menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial,
budaya dan agama. Kemudian terbitlah majalah al-Manâr pada tahun
1898 M, dengan tujuan yang sama dengan al-‘Urwatul Al-Wutsqâ, yaitu
memajukan umat Islam dan menjernihkan agama Islam dari segala paham
5 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 163
6 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta:
Lentera Hati, cet II, 2007), h. 76
7 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 163
21
yang menyimpang. Dari tulisan-tulisan Rasyîd Ridâ yang diterbitkan Al-
Manâr mengenai catatan-catatan tafsir, beliau memberi saran kepada
gurunya untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan tafsiran yang relevan sesuai
dengan tuntutan zaman. dan kemudian dibukukanlah catatan-catatan
tersebut menjadi tafsir al-Manâr.8
Rasyîd Ridâ memiliki ide pembaharuan dalam bidang agama,
pendidikan dan politik serta mengajak kepada umat Islam agar kembali ke
zaman awal dengan aqidah murni bersandar kepada al-Qur‟an dan al-
Hadis.9 Agar terlepas dari keyakinan umat Islam yang berupa tahayul dan
bid‟ah, faham fatalisme dan paham-paham yang diajarkan oleh tarekat-
tarekat tasawuf. Di samping itu pula bagi beliau wahyu senantiasa
mendorong umat untuk menggunakan akal, oleh karena itu beliau juga
melarang sikap taqlid dan beliau pun menghargai akal manusia.
Menurutnya akal dapat dipakai untuk memahami ajaran mengenai
kehidupan masyarakat yang memiliki keadaan berubah-ubah.10
Dalam pemikiran-pemikiran Ridha yang telah dikemukakan tidak
jauh berbeda dengan pemikiran-pemikiran guru beliau Abduh dan Al-
Afghani. Muhammad Abduh dengan al-Urwah al-Wutsqâ mampu
mengubah kesufian jiwa Rasyîd Ridâ menjadi pemuda yang penuh
semangat.
8 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 162
9 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 162
10
Muhaimin, Pembaharuan Islam Refleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-tokoh
Muhamadiyah, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 2000), h. 18
22
Kalau semula usaha Rasyîd Ridâ hanya terbatas pada perbaikan
akidah dan syariat masyarakat, menjauhkan mereka dari kemewahan
duniawi dengan mempratekkan zuhûd, selanjutnya ia beralih pada usaha-
usaha membangkitkan semangat umat Islam untuk melaksanakan ajaran
islam secara utuh, serta membela dan membangun negara dengan ilmu
pengetahuan dan industri. Bahkan beliau bisa memahami ajaran Islam
dengan suatu jalan baru, yakni bahwa Islam bukan hanya agama ruhani-
ukhrowi semata, melainkan juga agama ruhani jasmani, ukhrowi dan
duniawi yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia
untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh.11
Perhatiannya yang sangat besar di bidang pendidikan adalah alasan
mengapa ia selalu menghimbau dan mendorong umat Islam untuk
menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan. Menurutnya umat Islam hanya akan maju apabila menguasai
bidang pendidikan.12
Keaktifan Rasyîd Ridâ di dunia politik menghantar ia menjadi
Presiden Kongres Suriah tahun 1920, delegasi Palestina – Suriah di
Jenewa tahun 1921, Komite Politik di Kairo tahun 1925 dan menghadiri
Konferensi Islam di Mekkah tahun 1926 dan di Yerussalem tahun 1931.
Ide-idenya yang penting adalah mengenai persaudaraan Islam (Ukhuwwah
al-Islâm). Ia melihat salah satu penyebab kemunduran umat Islam ialah
perpecahan yang terjadi di kalangan mereka, untuk itu ia menyeru umat
11 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan (Yogyakarta: LKIS, 2003),cet. I, h. 132
12
Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h. 163
23
Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral,
sistem pendidikan dan tunduk pada satus sitem hukum dalam satu
kekuasaan yang berbentuk Khilâfah. seperti pada masa al-Khulafâ al-
Râsyidîn.
Pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H atau tanggal 22 Agustus 1935
M, Muhammad Rasyîd Ridâ wafat disebabkan mengalami kecelakaan dan
geger otak.13
Beberapa karya Rasyîd Ridâ, diantaranya yaitu :14
1. Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi Muhkamât ad-Dadiriyah wa al-Rifâ’iyyah
2. Al-Azhar dan al-Manâr
3. Târikh al-Ustâdz al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh
4. Nidâ’ li al-Jinsi al-Latîf
5. Dzikra al-Maulid al-Nabawi
6. Risâlatu Hujjat al-Islâm al-Ghazali
7. Al-Sunnah wa al-Syi’ah
8. Al-Wahdah al-Islamiyyah
9. Haqîqatu al-Ribâ
10. Tafsîr Surat al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâs dan Al-Mu’awwidzatain
b. Riwayat Tafsir al-Manâr
Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm adalah nama Tafsir al-Mânar
merupakan penisbatan atas majalah yang diterbitkan oleh Rasyîd Ridâ.
Berjumlah dua belas jilid tafsir ini bertujuan untuk memberikan
13 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 82
14
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, h.79-80
24
pemahaman bagi umat Islam bahwa Kitâbullâh merupakan sumber ajaran
agama Islam membimbung manusia ke arah kebahagiaan dunia dan
akhirat.15
Tafsir al-Manâr pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang
tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghâni, Syaikh Muhammad
Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ. Tokoh pertama menanamkan
gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya, Syaikh
Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua ini gagasan itu dicerna, diterima
dan diolah kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-
Qur‟an.16
Tokoh ketiga yang kemudian menulis semua yang disampaikan
oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.
Ringkasan dan penjelasan itu kemudian dimuat secara berturut-
turut dalam majalah al-Manar, yang dipimpin dan dimilikinya itu dengan
judul “Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm” yang disadur dari kuliah Muhammad
abduh. Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surat al-
Fatihah sampai dengan surat an-Nisa ayat 125.
Kemudian Rasyîd Ridâ menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara
sendirian yang pada garis besarnya mengikuti metode dan ciri-ciri pokok
yang digunakan oleh gurunya sampai dengan surat Yusuf ayat 52.17
Oleh
karena itu tafsir al-Manâr yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar untuk
dinisbahkan kepada Rasyîd Ridâ, sebab disamping lebih banyak yang
15 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
(Beirut: Dar al-Ma‟rifah), jilid I, h. 4
16
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 84
17
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 84
25
ditulisnya, baik dari segi ayat maupun halamannya, juga karena dalam
penafsiran ayat-ayat surat al-Fâtihah, surat al-Baqarah, dan surat al-Nisâ
ditemui pula pendapat-pendapat Rasyîd Ridâ yang ditandai olehnya
dengan menulis kata “aqûlu” sebelum menguraikan pendapatnya sendiri.18
c. Metode dan Corak Tafsir Al-Manâr
Rasyîd Ridâ dalam Muqaddimah tafsirnya mengatakan:
Kitab ini merupakan satu-satunya kitab yang menghimpun riwayat-
riwayat yang shahih dan pandagan akal yang tegas, yang
menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullâh yang
berlaku terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Qur‟an
sebagai petunjuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat, serta
membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum muslim
dewasa ini yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta
membandingkan pula dengan keadaan para salaf (leluhur) yang
telah berpegang dengan tali hidayah itu. Tafsir ini disusun dengan
redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah
ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam tetapi
tidak diabailan oleh orang khusus (cendekiawan). Itulah cara yang
ditempuh oleh filosof Islam al-Ustâdz al-Imâm Syaikh Muhammad
Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.19
Apabila melihat penjelasan mengenai riwayat Tafsir Al-Manâr
maka sudah barang tentu metode dan corak Tafsir Al-Manâr yang ditulis
oleh Rasyîd Ridâ ini juga mengikuti metode dan corak yang digunakan
oleh gurunya Muhammad Abduh. Metode yang digunakan adalah analisis
ayat tahlîli20
dan corak penafsirannya adalah adabi ijtimâ’i21
(sastra
kemasyarakatan).22
18 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 85
19
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
(Beirut: Dar al-Ma‟rifah) Jilid. I, h. 1
20
Metode Tahlili, Berasal dari kata halala Yuhalilu, Tahlili yang berarti mengurai atau
menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur‟ ân dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang
26
Corak Penafsiran Al-Manâr berorientasi pada sosial, sastra dan
kemasyarakatan, suatu corak yang menitikberatkan penjelasan ayat al-
Qur‟an pada segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun
kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur‟an, yakni membawa petunjuk
dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
perkembangan dunia.23
Menurut Rasyîd Ridâ seperti yang diakuinya sendiri bahwa
terdapat beberapa perbedaan dirinya dengan gurunya Muhammad Abduh
dalam menulis al-Manâr. Dalam pernyataannya dia menjelaskan bahwa dia
menggunakan metode penafsiran yang berbeda dengan metode yang telah
digunakan gurunya. Metode tersebut adalah memperluas penjelasan
dengan hadis-hadis sahih, menahqiqan sementara kosa kata kalimat dan
masalah-masalah yang telah menimbulkan perbedaan pendapat di
terdapat dalam Al-Qur‟ ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟ i (parsial). Lihat M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟ ân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah „Ulum al-
Qurân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-1, h.172-192
21
Corak Adabi Ijtima‟ i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟ ân
berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan
menekankan tujuan yang pokok diturunkannya al-Qur‟ ân, lalu mengaplikasikannya pada tatanan
sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan
perkembangan masyarakat. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun,
(Kairo: Dar al-Kutub al-haditsah, 1986) Jilid. II, h. 574
22
Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub al-
haditsah, 1986) Jilid. III, h. 214
23
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 5
27
kalangan ulama juga memperbanyak ayat-ayat penguat yang dipetik
berbagai surat.24
Menurut Harun Nasution seperti yang dikutip oleh A. Athaillah
bahwa perbedaan tersebut antara lain terlihat pada masalah-masalah
teologi dan dalam menafsirkan ayat-ayat antropomorfisme Abduh lebih
liberal daripada Ridâ.25
Adapun M. Quraish Shihab mengklasifikasikan
perbedaan tersebut, yang diantaranya :26
1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan
hadits-hadits Nabi saw.
2. Keluasan Pembahasan tentang penafsiran ayat-dengan ayat yang lain.
3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, dengan tujuan
mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang
menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-
problem yang berkembang.
4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradât (kosakata), susunan
redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang
tersebut.
24 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid I, h. 16
25
A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, h. 5
26
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar,h. 85-86
28
B. Penafisran Rasyîd Ridâ tentang surat al-Mâidah ayat 67
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Mâidah/5 : 67)
Rasyîd Ridâ dalam menafsirkan ayat ini pada mulanya ingin
menegaskan bahwa seruan kata “Rasul” dalam ayat tersebut menunjukkan
bahwa ada dua tema besar yang dibahas dalam ayat tersebut yaitu seruan
kepada Ahli Kitab untuk masuk Islam dan tentang persoalan-persoalan
agama.27
penjelasan Rasyîd Ridâ ini seolah mengemukakan bahwa sebab
turunnya ayat ini pada awal kenabian karena menyangkut seruan kepada Ahli
Kitab untuk masuk Islam.
Rasyîd Ridâ pun juga menjelaskan dalam tafsirnya bahwa memang
terjadi perbedaan pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini.
Pendapat yang pertama mengatakan bahwa turunnya ayat ini terjadi pada masa
awal Islam sedangkan pendapat kedua megatakan bahwa ayat ini turun untuk
„Ali bin Abî Tâlib pada hari Ghadîr Khum.28
27 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 463
28
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsir al-Qur’an al-Karim Asy-Syahir bi Al-Tafsir Al-Manar,
jilid 6, h. 463
29
Dalam menafsirkan “ ربك زل إنيك ي Rasyîd Ridâ ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ
menyampaikan sebuah riwayat yang juga sekaligus menunjukkan sebab
turunya ayat ini yaitu pada awal permulaan Islam. Dia sepakat dengan
pendapat para ulama tafsir al-Ma’tsûr, apabila ayat ini tidak menyangkut
masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan
pengertian bahwa Allah berkata: “Sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan jika kamu bertanya apa yang harus
disampaikan maka jawablah “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak
dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran
Taurat, Injil, dan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu"... .”.29
Kemudian Rasyîd Ridâ meyebutkan hadis Ibn „Abbâs yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan Adh-Dhiyâ‟ yaitu :
“Rasulullah Saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang
paling menghawatirkan kamu? Nabi Saw menjawab: Aku berada di
Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan
manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah
Jibril dan menyampaikan ayat: “ ” ,
kemudian aku berdiri di „Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa
yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik
syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku
Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian
surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki,
wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan
mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari
agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad
jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus
mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo‟a untuk kaumnya dengan
kehancuran, maka Nabi Saw berdo‟a: “Ya Allah berilah petunjuk
kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar
mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah
29 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 467
30
pamannya Al-„Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan
menghalau mereka dari Nabi Saw.” 30
Rasyîd Ridâ secara panjang lebar membahas tentang pendapat Syiah
yang manyatakan bahwa ayat ini turun di Ghadîr Khum berkenaan dengan
pengangkatan Imam „Ali bin Abî Tâlib sebagai Khalîfah setelah Rasulullah
saw. Beliau mengutip pendapat al-Tsa‟labi dalam tafsirnya yang menyatakan
bahwa :
“Sungguh perkataan ini dari Nabi Saw tentang wilayah Ali yang
tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu samapai kepada
al-Harits bin Nu‟man al-Fahri, kemudian ia datang kepada Nabi Saw
karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi Saw berada di Abthah
lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal
itu. Dia berkata kepada Nabi Saw – dia adalah salah seorang sahabat
besar Nabi Saw – wahai Muhammad engkau telah menerima perintah
dari Allah untuk kami, agar kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan sesunguhnya engkau adalah Rasul Allah, maka kami
menerimanya – ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian
engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua
tangan anak pamanmu dan mengutamaknnya atas kami, lalu engau
berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah
pemimpinnya, maka apakah ini dari kamu atau dari Allah? Nabi saw
menjawab: Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, masalah ini
adalah perintah Allah. Lalu al-Harits berpaling dan pergi sambil
mengucapkan: “Ya Allah jika perintah ini benar –benar dari sisimu,
maka turunkan kepada kami hujan batu dari langit atau berikan kami
siksa yang pedih. (Q.S. al-Anfal: 32).” Maka sebelum ia sampai pada
tujuan perjalanannya, Allah menghujaninya dengan batu, maka jatuhlah
dia sebab keinginannya dan keluarlah batu itu dari duburnya. Lalu
Allah menurunkan ayat: “seorang peminta telah meminta kedatangan
azab yang menimpa untuk orang-orang kafir yang tiada seorang pun
dapat menolaknya. (Q.S. al-Ma‟arij: 1-2).”31
Akan tetapi menurut Rasyîd Ridâ riwayat ini maudhû’ dan surat al-
Ma‟ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan itu adalah perkataan
30 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 467
31
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
31
sebagian orang-orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah ini benar-benar
dari sisimu”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini terdapat dalam
surat al-Anfâl yang diturunkan sebelum perang Badar dan sebelum surat al-
Mâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu menjelaskan
bahwa al-Hârits adalah seorang muslim kemudian murtad. Ia belum dikenal di
kalangan para sahabat Nabi saw Adapun Abhtah adalah suatu tempat di
Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke Mekkah,
bahkan setelah Haji Wadâ’ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju ke
Madinah.32
Kemudian berkaitan dengan pendapat Syiah yang menjadikan sebuah
hadis “ فعهي يىنا ت يىنا ك ي ” sebagai dalil kepemimpinan „Ali bin Abî Tâlib
pasca wafat Nabi saw., Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut dalam tafsirnya.
Beliau mengakui hadis tersebut karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Musnadnya dari jalur al-Barra‟ dan Buraidah. Imâm Tirmîdzi,
Imâm Nasâ‟i dan Al-Diyâ‟ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin
Arqom, sebagian dari mereka menganggap hadis tersebut Hasan dan Adz-
Dzahabi menganggap hadis tersebut Shahîh.33
Rasyîd Ridâ juga menjelaskan pendapat Ahlu Sunnah yang mengakui
hadis tersebut, akan tetapi menurutnya hadis wilâyah tersebut bukan bermakna
Imâmah atau Khilâfah (kepemimpinan) melainkan mempunyai makna
“penolong dan yang mencintai” sebagaimana yang Allah katakan tentang
32 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
33
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
32
orang-orang mu‟min dan kafir “Sebagian mereka adalah penolong bagi yang
lainnya”.34
Menurut Rasyîd Ridâ perbedaan pendapat tentang masalah
kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah sebuah perdebatan yang memecah
belah kaum Muslim, menimbulkan permusuhan, kebencian dan selama
fanatisme mazhab lebih diutamakan maka tidak ada harapan untuk menemukan
kebenaran dalam menyikapi masalah perbedaan35
.
Di samping pendapatnya tentang adanya perbedaan antara mazhab Ahlu
Sunnah dan Syiah, Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa
sesungguhnya seandainya masalah Imâmah sudah dibuktikan dalam nash baik
al-Qur‟an ataupun hadis maka pastilah nash tersebut mutawâtir dan jelas, dan
seandainya „Ali menjadi pemimpin yang mengurus perkara kaum Muslimin
seharusnya pada hari wafat Nabi saw., dia berkhutbah menyampaikan nash –
penunjukan kepemimpinannya sebagai pengganti Nabi saw – dan
menjelaskannya dengan sebaik-baiknya kepada kaum Muslimin saat itu.
Merupakan kewajiban bagi „Ali untuk menyampaikannya kalau ia menganggap
masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah perkara yang ditentukan
oleh Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi dia tidak mengatakannya, bahkan tidak
seorangpun dari para keluarganya dan penolongnya yang menggunakan ayat
34 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 465
35
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 466
33
ini pada kejadian hari Tsaqifah ataupun kejadian hari musyâwarah setelah
wafatnya Umar.36
Lebih tegas Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja Nabi saw. ingin
memberikan dan menunjukkan nash tentang siapa yang menjadi khalîfah
setelahnya dalam perintah penyampaiannya tersebut maka seharusnya Nabi
saw. mengatakannya pada Haji Wadâ‟ dan meminta kepada seluruh manusia
saat itu untuk bersaksi maka mereka pun akan bersaksi dan Allah
menyaksikannya.
Rasyîd Ridâ ingin meyampaikan dalam penjelasannya bahwa tidak ada
keterkaitan masalah wasiat khilâfah dalam ayat ini dengan perkara Ahli Kitab
(ayat sebelum dan sesudahnya) karena ini tidak sesuai dengan balaghah al-
Qur‟an. Seandainya saja meninggalkan keterkaitan ayat ini dengan ayat
sebelum dan sesudahnya, lalu ayat ini berdiri dengan sendirinya, dan kalimat “
نى تفعم وإ ” yang menjadi jumlah syarat setelah kalimat perintah “ بهغ ”,
kalimat tentang „ishmah dan kalimat tentang peniadaan hidayah kepada orang-
orang kafir, maka tetap saja tidak sesuai dan tidak dapat diterima maksud dari
tugas penyampaian kepada manusia tersebut tentang kekuasaan Ali, karena
seharusnya makna yang terkandung dalam ayat ini sesuai dengan dzatnya
secara jelas bukan karena sebatas taklid.37
Selanjutnya dalam menjelaskan “ ا بهغت رسانت نى تفعم ف menurut ” وإ
Rasyîd Ridâ adalah “jika kamu tidak mengerjakan apa yang diperintahkan
36 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 466
37
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 466
34
kepadamu untuk menyampaikan dari apa yang diturunkan kepadamu
seluruhnya – seluruh umat – atau khusus kepada Ahli Kitab – yaitu dengan
menyembunyikannya bahkan menundanya karena takut dapat ancaman atau
gangguan berupa perkataan ataupun juga tindakan, maka baginya adalah belum
menyampaikan risalah dan belum mengerjakan sebab alasan diutusnya, dan
tugasnya adalah menyampaikan apa yang diturunkan Tuhan kepadanya.”38
Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapat para ulama yang diantaranya
berpendapat bahwa apabila tidak menyampaikan seluruh yang diturunkan
Tuhan kepadamu (Nabi saw) dengan menyembunyikan sebagiannya, maka
bagimu belum menyampaikan sama sekali, karena menyembunyikan sebagian
sama saja dengan menyembunyikan secara keseluruhan.39
Pendapat ini
mempunyai pengertian bahwa masalah wahyu adalah masalah keseluruhan dan
tidak terbagi-bagi.
Rasyîd Ridâ berpendapat bahwa untuk menjelaskan pengertian tentang
penyampaian ini seperti halnya dengan peristiwa yang disebutkan dalam surat
al-Ahzâb ayat 39 yaitu:
(yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka
takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun)
selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan.
38 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 468
39
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 468
35
Ayat tersebut penjelasan setelah cerita tentang peristiwa Zaid dan
Zainab yang bercerai kemudian Allah memerintahkan Nabi saw untuk
menikahi Zainab. Ini adalah peristiwa yang paling berat yang duturunkan
kepada nabi saw karena berkaitan tentang kepribadiannya yang mulia.40
Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa ada hikmah dalam perintah
penyampaian risalah ini, pertama, hikmah yang dinisbatkan kepada Rasul saw
bahwasanya perintah untuk tabligh adalah ketetapan Allah dan tidak ada
pilihan bagi Rasul saw untuk menyembunyikannya bahkan menundanya
berdasarkan ijtihad Rasul saw sendiri. Kedua, hikmah yang dinisbatkan
kepada manusia agar mengetahui hakikat kesuruhan dari nash, maka tidak
terjadi... apabila terjadi perselisihan dalam pendapat dan pemahaman.41
Selanjutnya dalam menafsirkan “ اناس ك ي يعص Rasyîd Ridâ ” وانه
mencantumkan sebuah riwayat dari mufassir al-ma’tsûr, Tirmidzi, Abu Syaikh,
al-Hâkim, Abu Na‟im, al-Baihaqi dan Tabrâni dari beberapa para sahabat
bahwa “Rasulullah saw. dijaga di Makkah sebelum turunnya ayat ini, dan
ketika turun ayat ini Rasulullah tidak dijaga lagi, dan Abû Tâlib adalah orang
yang pertama memperhatikan untuk menjaga Nabi saw. demikian juga Abbâs,
dan diriwayatkan pula dari Jâbir dan Ibn Abbâs bahwasanya Nabi saw. dijaga
dan pamannya Abû Talib selalu mengutus seorang lelaki dari bani Hasyîm
untuk menjaganya, sampai turun ayat ini, dan Nabi saw. berkata “wahai
pamanku, sesungguhnya Allah telah menjagaku dan tidak usah kau mengutus
40 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 469
41
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 469
36
seseorang (untuk menjagaku)”.42
Sehingga kemudian makna “اناس ك ي ” يعص
adalah “Allah menjagamu dari penyerangan mereka, dan maksud dari “اناس ”
di sini adalah orang-orang kafir.43
Penafsiran Rasyîd Ridâ tentang “اناس ” adalah orang-orang kafir, maka
beliau pun menafsirkan kalimat “ نا يهدي انقىو انكافري انه mempunyai ” إ
keterkaitan dengan penjelasan “اناس ” yaitu kalimat tersebut adalah sebuah
penegasan tentang ‘Ishmah Nabi saw dengan pengertian bahwa Allah tidak
memberi petunjuk kepada mereka yang menggangu Nabi saw dalam
menyampaikan risalah, mereka itu adalah orang-oarang kafir, dengan begitu
kalimat-kalimat Allah tegak dan sempurna maka nabi saw pun bisa
menyelasikan misi agamanya dengan sempurna.44
Demikianlah Rasyîd Ridâ dalam menafsirkan surat al-Mâidah ayat 67
ini, beliau sebelum menguraikan pendapatnya, beliau banyak mengulas terlebih
dahulu pendapat ulama tafsir juga rujukan dari kitab-kitab hadis. Sehingga apa
yang beliau tafsirkan sesuai dengan yang beliau inginkan dalam menafsirkan
al-Qur‟an, yaitu menjadikan terlebih dahulu hadis-hadis dan pendapat ulama
sebagai penjelasnya.
42 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 471
43
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 471
44
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 471-472
37
BAB III
PENAFSIRAN TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67
DALAM TAFSIR AL-MÎZÂN
A. Riwayat Tabataba’i dan Tafsir Al-Mîzân
a. Riwayat Hidup Tabataba’i
Sayyid Muhammad Husain Tabataba‟i yang lebih dikenal dengan
Tabataba‟i, seorang ulama terkemuka pada masanya. Dia adalah seorang
Iran asli (waktu itu masih bernama Persia). Dia dilahirkan tanggal 9
Dzulhijjah 1321 H/ / 1892 M, dalam satu keluarga keturunan Nabi
Muhammad saw. yang selama empat belas generasi menghasilkan ulama-
ulama terkemuka di Tabriz.
Tabataba‟i muda dibesarkan dalam keluarga ulama-ulama saleh
yang sangat dikenal kebijakan dan semangat keberagamannya. Ibunya
meninggal dunia ketika ia masih berumur lima tahun, dan kemudian
ayahnya menyusul ketika ia masih berumur sembilan tahun. Kemudian ia
beserta adiknya diserahkan kepada seorang pelayan laki-laki dan
perempuan oleh seorang wali yaitu orang yang mengurus harta
peninggalan ayahnya.1
Tabataba‟i adalah salah seorang ulama yang mempelajari filsafat
materialaisme dan komunisme, lalu mengkritik dan memberi jawaban
yang mendasar. Tabataba‟i juga mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh dari dua
1 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh
Konsep Islam Secara Mudah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet II, h. 15
38
Guru besar saat itu Mirza Muhammad Husain Na‟ini dan Syekh
Muhammad Husein Isfahâni. Dia sangat tekun mempelajari seluruh seluk
beluk matematika tradisional dari Sayyid Abul Qâsim Khawansari.
Tabataba‟i juga mempelajari filsafat Islam tradisional, al-Sifâ oleh
Ibnu Sina, Asfâr oleh Mulla Shadra dan Tamhid al-Qawaid oleh Ibnu
Turkah dan Sayyid Husain Badkuba‟i. Beliau juga murid dari Sayyid Abul
Hasan Jilwah dan Aqa‟ „Ali Mudarris Zanusi dari Teheran. Beliau telah
mencapai tingkat ilmu Ma‟rifah dan Kasyyaf. Beliau mempelajari ilmu ini
dari seorang guru besar Mirza „Ali al-Qâdhi.2 Kemudian Tabataba‟i
meninggal dunia di Aban pada tanggal 18 Muharram 1412 H / 1981 M.3
Tabataba‟i memperoleh pendidikan awal di tangan keluarganya.
Namun setelah ayahnya wafat, pendikan Tabataba‟i diserahkan kepada
guru privat yang sering datang ke rumah-rumah. Di bawah asuhan guru
privat ini, dia mempelajari bahasa persia dan dasar-dasar ilmu agama
selama enam tahun.
Setelah itu, mulai tahun 1911 M sampai 1917 M beliau
melanjutkan studi tradisionalnya tentang al-Qur‟an dan pelajaran agama di
kota Tabriz. selama tujuh tahun (1918-1925), Tabataba‟i mulai belajar
bahasa Arab, mengkaji ajaran agama dan teks-teks klasik agama Islam.
Pada tahun 1925, Tabataba‟i memasuki studi formal di Universitas
Syi‟ah Najaf. Di Najaf inlah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu naqliyah
2 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh
Konsep Islam Secara Mudah, h. 17
3 Sayyid Husein Nasr, “kata pengantar”, dalam Thabathaba‟i, Islam Syi’ah, (Bandung:
Mizan, 1990), h. 8
39
dan aqliyyah. karena peran dan pengaruh sangat penting dalam pendidikan
maka perlu disebutkan nama-nama beberapa gurunya. Beliau belajar Fiqh
dan Ushul Fiqh kepada Mirza Muhamad Husain Na‟ini dan Syeikh
Muhammad Husain Isfahani. Kepada mereka berdua, Tabataba‟i belajar
selama sepuluh tahun sehingga ia sangat menguasai bidang ini. bahkan
menjadi seorang mujtahid yang terkenal dan berpengaruh dalam bidang
sosial politik.
Pada waktu bersamaan Tabataba‟i juga mempelajari bidang
gramatika, sintaksis, retorika baik itu ushul fiqh, mantiq, filsafat serta
teologi. Sehingga kajian itu menutup kajian bacaannya dalam bidang
selain filsafat dan ilmu keruhanian.
Akan tetapi, hal itu bukan jalan hidupnya. Dia sangat tertarik
kepada ilmu ’aqliyah. Dia belajar dengan penuh ketekunan cabang ilmu ini
yang pada jantungnya terdapat filsafat Islam. Dia mulai mencari guru-guru
tertbaik dalam bidang ini, yaitu orang-orang yang telah melestarikan
kehidupan filsafat Islam di Iran. Dia mengkaji al-Syifâ karya Ibnu Sina,
Asfar karya Mulla Shad al-Din al-Syirazi, Tamhid al-Qawaid karya Ibnu
Turkah dan Tahdzib al-Akhlaq karya Ibnu Maskawaih. Literatur filsafat
tersebut dipelajarinya di bawah bimbingan seorang filosof terkemuka saat
itu, Sayyid Husain Badkuba‟i. Di samping itu, dia mengkaji matematika
tradisional dengan guru Sayyid Abu al-Qasim Khawansari.
Sebagai tambahan terhadap pelajaran formal atau disebut dengan
hushuli, Tabataba‟i juga mempelajari ilmu hudhûrî. Sebagai guru satu-
40
satunya dalam bidang ilmu hudhûrî adalah Mirza „Ali al-Qâdhi. Guru
inilah yang memperkenalkan kepada Tabataba‟i karya Ibnu „Arabi yang
berjudul Fushûsh al-Hikam.
Memperhatikan latar pendidikan diatas, segera tampak adanya
perpaduan ilmu naqliyyah dan ‘aqliyyah pada Tabataba‟i. Tidak salah bila
Hossein Nasr menyebutnya sebagai filosof, teolog dan sufi yang didalam
dirinya kerendahan hati seorang sufi dan kemampuan analisa intelektual
berpadu.
Setelah tamat studi di Universitas Najaf, minat intelektual
Tabataba‟i tetap menggebu, terutama ia sangat tertarik mempelajari ilmu
‘aqliyyah. Akan tetapi, karena kesulitan ekonomi, Tabataba‟i kembali ke
kota kelahirannya pada tahun 1935. Di Tabriz, dia tidak dapat terhindar
dari pemenuhan kebutuhan ekonomi untuk bertahan hidup. mata
pencahariannya selama di Tabriz adalah bertani. Kehidupan bertani
dijalaninya selama sepuluh tahun sebagai masa-masa yang kering dan jauh
dari kegiatan ilmiah dan pemikiran Tabataba‟i.4
Wajar setiap orang pernah mengalami masa-masa yang pahit dan
manis dalam kehidupannya. Ia sendiri telah mendapati jati dirinya dalam
berbagai keadaan dan berhadapan dengan segala maca pasang surut
kehidupan, terutama karena ia telah menghabiskan sebagian besar usianya
sebagai seorang anak yatim, atau seorang asing yang jauh dari sahabat dan
teman-temannya, apalagi sarana penghidupannya untuk keluar dari
4 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh
Konsep Islam Secara Mudah, h. 17
41
kesulitan-kesulitan lainnya. Akan tetapi, ia selalu merasakan bahwa sebuah
tangan ghaib (Allah) telah menyelamtkan dari segala bahaya besar dan
suatu pengaruh yang misterius telah membimbingnya melewati seribu
rintangan menuju tujuan hidupnya.
Kemudian Tabataba‟i melupakan akan segala sesuatu yang indah
dan buruk di dunia ini dan menganggap kejadian-kejadian yang manis dan
yang pahit tak ada bedanya. Beliau menghindari kontak ssosial dengan
siapa pun selain para ulama. Beliau juga mengurangi makan, tidur dan
mengabaikan sisa waktu dan sumber dayanya untuk keilmuan dan
penelitian. Beliau menghabiskan malam dengan belajar sampai fajar
(terutama di musim semi dan musim panas) dan ia selalu memeriksa lebih
dahulu mata pelajaran hari esok, serta melakukan latihan apa saja yang
diperlukan untuk menyelesaikan setiap masalah yang timbul. sehingga
ketika pelajaran di kelas dimulai ia telah memahami dengan baik masalah
yang akan dibahas oleh gurunya. Beliau tidak pernah mengajukan
persoalan atau kesalahan apapun ke hadapan gurunya.5
Bersamaan dengan masa-masa di Tabriz, pecahlah Perang Dunia II.
Perang Dunia ini membawa akibat buruk di Iran. Oleh karena itu,
Tabataba‟i pindah ke kota Qum pada tahun 1946, tepatnya desa Darakah,
sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat Teheran, di tempat inilah
Tabataba‟i menghabiskan musim panasnya, menyingkir dari panas. Di
5 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh
Konsep Islam Secara Mudah, h. 17
42
kota Qum ini, ia mulai aktif dalam aktivitas keilmuan sampai dengan
wafatnya.
Pada tahun 1324 H / 1945 M, ketika ia pindah ke kota Qum ia
menjadi pengajar di kota suci itu, sebagai seorang mujtahid, ia
menitikberatkan pada pegajaran Tafsir al-Qur‟an, Filsafat dan Tasawwuf.
Dengan ilmu yang luas dan penampilannya yang sangat sederhana,
membuatnya mempunyai daya tarik khusus bagi muridnya. Beliau
menjadikan ajaran Mulla Shadra sebagai kurikulum penting.
Aktivitas keilmuan Tabataba‟i, memberikan identifikasi bahwa dia
telah meberikan pengaruh besar bagi kehidupan intelektual di Iran. Beliau
telah mencoba meweujudkan suatu intelektual baru diantara kelompok-
kelompok yang berpendidikan modern. Kelompok elit baru tersebut akan
diperkenalkan dengan intelektualitas Islam seperti juga dengan dunia
modern. Banyak mahasiswanya yang berhasil tampil sebagai tokoh
intelektual gemilang. Sebagai seorang mufassir besar dan filosuf sekaligus
sufi, ia telah mencetak murid-muridnya menjadi ulama yang intelektual
seperti Mutahhari seorang Guru Besar di Universitas Teheran dan Sayyid
Jalâluddin Asytiyâni seorang Guru Besar di Universitas Masyhad.6
Meskipun tugas utamanya sebagai seorang pengajar dan
pembimbing di beberapa Universitas, Tabataba‟i masih menyibukkan diri
dengan menulis banyak buku dan artikel yang memperlihatkan
6 Tabataba‟i, Tafsir al-Mizan; Mengupas Ayat-Ayat Kepemimpinan, (Jakarta: CV.
Firdaus, 1991), h. I-II
43
kemampuan intelektual dan kedalaman pengetahuannya dalam bidang
keagamaan.
Adapun karya Tabataba‟i adalah sebagai berikut :
a. Berbentuk buku: 1). Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân. Karya Tabataba‟i ini
tergolong paling penting dan monumental terdiri dari dua puluh jilid.
2). Ushûl Falsafah wa Rawis Rialism, terdiri dari lima jilid. 3).
Hâsyiyah bar Asfâr , adalah anotasi dari karya Mulla Shadra yang
berjudul Asfâr. 4). Musâhabât ba Ustâdz Qurban, karya ini terdiri dari
dari dua jilid yang berdasarkan atas tanya jawab antara Thabathaba‟i
dan Henry Corbin. 5). „Ali wa Falsafah al-Ilâhiyât. 6). Syi’ah dar
Islâm. 7). Qur’an dar Islâm.
b. Berbentuk makalah: Risâlah dar Hukûmât Islâmi, Hâsyiyah Kifâyah,
Risâlah dar Qawwah wa Fi’il, Risâlah dar Itsbât Dzât, Risâlah dar
Shifât, Risâlah dar Af’âl, Risâlah dar Insân Qabl Al-Dunya, Risâlah
dar Nubuwwât, Risâlah dar Walayât, Risâlah dar Musytaqqât, Risâlah
dar Burhân, Risâlah dar Tahlîl, Risâlah dar Tarkîb dan Risâlah dar
Nubuwwât wa Manâmât.
Tabataba‟i juga seorang pengarang dan penulis berbagai artikel
yang hadir selama dua puluh tahun belakangan dalam jurnal-jurnal
Maktaba Tasyayyu’, Maktab Islâmi, Ma’ârif Islâm dan dalam koleksi-
koleksi seperti The Mulla Sadra Commermoration Volume dan
Marja’iyyât wa Ruhaniyât.
44
b. Riwayat Tafsir Al-Mîzân
Dalam Penafsirannya Tabataba‟i merujuk pada penafsiran masa
periode pertama yang menafsirkan ayat per ayat dengan dijelaskan ayat
lain yang berhubungan dengat ayat tersebut dan masa periode kedua yang
menafsirkan ayat dengan dijelaskan dari beberapa riwayat saja.
Thabathaba‟i mengambil nama al-Mîzân (dengan judul aslinya Al-
Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân), yang mempunyai makna timbangan yaitu suatu
yang digunakan untuk mengukur penafsiran pada masa itu. Oleh karena itu
beliau menggabungkan corak penafsiran pada masa periode awal dan
periode kedua untuk menjelaskan tafsir al-Qur‟an melalu penafsiran ayat
per ayat dengan dijelaskan oleh ayat lain yang berhubungan pada masa
periode pertama, serta diperjelas lagi oleh riwayat-riwayat pada masa
sebelumnya.7
Tabataba‟i melihat pada zaman sahabat Nabi saw, seperti Ibnu
Abbâs, Abdullah bin Umar, Ubay bin Ka‟ab dan para mufassir lainnya
pada masa periode pertama, penafsiran pada waktu itu tidak lebih
menjelaskan ayat-ayat sekaitan dengan sastra dan sebab-sebab turunnya,
dan sedikit menjelaskan ayat dengan ayat, demikian juga sedikit penafsiran
mereka yang menggunakan riwayat-riwayat dari Nabi Muhammad saw
tentang peristiwa sejarah atau realita-realita tertentu dari suatu peristiwa,
kebangkitan dan lainnya.
7 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, (Teheran: Dar al-
Kutub al-Islamiah, 1392 H), Jilid I, h. 10
45
Sedangkan pada masa periode kedua pun menggunakan metode
dan cara yang sama dalam penafsirannya oleh sebagian mufassir dari
kalangan Tabi‟in seperti Mujâhid, Qatadah, Ibnu Abî Lailî, al-Suddî, al-
Sya‟bi dan lainnya. Kemudian mereka merujuk kepada riwayat-riwayat itu
dalam menjelaskan peristiwa sejarah dan realita-realita ciptaan seperti
awal kejadian langit, bumi, lautan, Iran Saddad (kota kaum „Ad),
peristiwa-peristiwa para Nabi yang dianggap salah, penyimpangan
terhadap kitab-kitab suci dan hal-hal yang sejenisnya. sebagian penafsiran
itu diwariskan dari kelompok sahabat sehingga mewarnai bentuk-bentuk
penafsiran dan pengkajian di kalangan Tabi‟in.
Oleh karena itu Tabataba‟i mengatakan bahwa setiap mufasir telah
memandang al-Qur‟an dari sudut pandang intelektual mereka masing-
masing dan mengetengahkan interpretasi berdasarkan keinginannya. Atas
dasar itulah dia mencoba mengangkat satu corak penafsiran bukan hanya
dari satu kandungan al-Qur‟an saja. Akan tetapi. ia menghubungkan satu
ayat ke ayat yang lainnya dan disandingkan dengan riwayat-riwayat baik
dari segi kisah maupun penjelasan yang berkaitan dengan ayat yang
ditafsirkannya.8
c. Metode dan Corak Tafsir al-Mîzân
Mengingat al-Qur‟an bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya
tidak pernah habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk oleh
zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode
8 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, Jilid I, h. 4
46
untuk menafsirkannya.9 Penulis menyimpulkan bahwa tafsir al-Mîzân
karya Tabataba‟i menggunakan metode Tahlîli.10
Metode Tahlîli yang diterapkan Tabataba‟i dalam menafsirkan al-
Qur‟an terlihat jelas. Tabataba‟i menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup
diantaranya pengertian kosa kata, sebab-sebab turunnya, konotasi
kalimatnya, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain serta kaitannya dengan
pendapat sahabat, tabi‟in dan ahli tafsir lainnya.
Corak penafsiran al-Mîzân menggunakan kajian-kajian falsafî,
ilmiah, tarikh, sosial dan akhlâqî, jika hal ini dibutuhkan dalam kajian
tafsir al-Mîzân. Berdasarkan metode itu, dalam tafsir al-Mîzânnya berkisar
pada:
1. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya,
Hidup, Pengetahuan, Kekuasaan, Pendengaran, Penglihatan, Kesan dan
lainnya.
2. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan Allah Swt
seperti penciptaan, perintah, kehendak, keinginan, penunjukkan,
9 Tabataba‟i, Tafsir al-Mizan; Mengupas Surat Al-Fatihah, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991),
Cet I, h. XII
10
Metode Tahlili, Berasal dari kata Hallala Yuhallilu, Tahlili yang berarti mengurai atau
menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur‟ ân dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang
terdapat dalam Al-Qur‟ ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟ i (parsial). Lihat M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟ ân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah Ulum al-Qurân
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-1, h.172-192
47
penyesatan, qadha’ dan qadar , pemaksaan dan penyerahan, ridha dan
murka, dan lainnya.
3. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perantara-perantara yang terjadi
antara Allah dan manusia, seperti hijab-hijab, lembaran, pena, Arasy,
Kursi, Baitul Ma‟mur, langit dan bumi, Malaikat, syaitan, jin dan
lainnya.
4. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia sebelum dunia
5. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia di dunia seperti pengenalan
terhadap bermacam-macam sejarah, pengenalan terhadap dirinya,
pengenalan terhadap dasar-dasar sosial, pengenalan terhadap Kenabian,
Risalah, wahyu, ilham, kitab, agama dan terhadap syari‟at. Dalam bab
ini pembahasan maqam-maqam para Nabi yang dapat diambil pelajaran
yakni kisah-kisah mereka yang telah dikisahkan.
6. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia sesudah dunia yakni Alam
Barzakh dan Hari Kebangkitan.
7. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan akhlak manusia. Bab ini berkaitan
dengan maqam-maqam para ‘Auliya dijalan ubudiyah yakni Islam,
Iman, Ihsan, Ikhlas dan lainnya.
Adapun ayat-ayat tentang hukum, Tabataba‟i dalam tafsir al-Mîzân
tidak menjelaskan secara rinci karena masalah ini merujuk kepada fiqh.
Sistematika Tafsir al-Mîzân didahului dengan muqaddimah, yang
kemudian Tabataba‟i mengelompokkan ayat secara berurutan sesuai
dengan surat dalam al-Qur‟an, kemudian ayat tersebut ditafsirkan melalui
48
pencarian makna dari lafazh tersebut yang kemudian ia tafsirkan dengan
menyandingkan riwayat-riwayat yang bersumber dari Ahlul Bait yang
kemudian dihubungkan dengan ayat yang berkaitan, juga menggunakan
metode kajian-kajian falsafi, ilmiah, tarikhi, sosial dan akhlâqi, jika hal ini
dibutuhkan dalam kajian tafsir al-Mîzân.
Tafsir al-Mizan terdiri dari 20 jilid yang mempunyai sistematika
yang sama, kecuali jilid pertama yang ditambah dengan muqaddimahnya.
Sedangkan jilid ke dua sampai ke dua puluh menggunakan sistematika
yang sama.
B. Penafsiran Tabataba’i Terhadap Surat Al-Mâidah Ayat 67
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-
Maidah/5 : 67)
Tabataba‟i dalam menafsirkan surat al-Mâidah ayat 67 ini secara
umum ingin menyampaikan bahwa ayat ini menjelaskan persoalan penting
yang harus disampaikan yaitu mengenai kedudukan „Ali bin Abî Tâlib
sebagai wali dan pengganti Nabi dalam urusan agama dan keduniaan.11
Oleh karena itu Tabataba‟i yang menggunakan metode Tahlîli dalam
11 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,Vol. 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 140
49
penulisan tafsirnya, membahas secara panjang lebar tentang ayat ini dari
mulai sebab turunnya sampai pada pembahasan secara detail ayat per ayat.
Menurut Tabataba‟i secara lahiriah ayat ini mengandung perintah
kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan sesuatu yang berbahaya dan
menakutkan, kemudian Allah swt. menjanjikan kepadanya pemeliharaan
dari gangguan manusia.12
Tabataba‟i menggambarkan bahwa ada
kekhawatiran Nabi saw dalam menyampaikan pesan sehingga Nabi
mendapat penekanan bahwa pesan itu harus disampaikan dan mendapat
jaminan bahwa Allah memelihara dari gangguan manusia.
Tabataba‟i juga menjelaskan tentang letak ayat ini yang diapit oleh
dua ayat yang membahas tentang keadaan Ahli Kitab, kehinaan dan
keburukan akibat perbuatan mereka, yakni banyak berbuat zalim terhadap
apa yang telah diharamkan oleh Allah dan mengingkari ayat-ayat-Nya.
kedua ayat tersebut adalah :
“Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum)
Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka
dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas
dan dari bawah kaki mereka. diantara mereka ada golongan yang
pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh
kebanyakan mereka.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 66)
12 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42
50
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama
sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil,
dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu".
Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari
Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada
kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati
terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68)
Tabataba‟i berpendapat bahwa jika diperhatikan secara teliti maka
dapat dipastikan dan tidak perlu diragukan bahwa ayat ini (surat al-Mâidah
ayat 67) tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (al-
Mâidah ayat 66 dan 68) dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai
hubungan dengannya dalam untaian kalimatnya.13
Alasan yang dikemukakan Tabataba‟i adalah karena apabila ayat
ini mempunyai hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya dalam satu
kesatuan yang saling berkaitan tentang perkara Ahli Kitab, maka
mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi yang terpenting adalah
menyampaikan perintah Allah tentang masalah Ahli Kitab dan
menjelaskan apa yang dimaksud “ ربك زل إنيك ي -dalam ayat ini (al “ يا أ
Maidah: 67) adalah “apa yang diperintahkan untuk disampaikan” yang
terkandung dalam ayat :
13 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43
51
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama
sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil,
dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu".
Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari
Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada
kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati
terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68)
Akan tetapi susunan dalam ayat 67 ini menolaknya, karena kalimat
“ اناس ك ي menunjukkan bahwa masalah yang harus ”وانهه يعص
disampaikan dalam ayat ini adalah masalah yang sangat penting dan
mengandung kekhawatiran pada jiwa Nabi saw atau agama Allah dari segi
keselamatan penyampaiannya, sedangkan sesungguhnya keadaan orang-
orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi saw tidak menunjukkan
sesuatu yang bahaya yang membolehkan nabi saw menunda penyampaian
perintah atau mengakhirkannya pada suatu momen.
Menurutnya ayat tentang Ahli Kitab tidak mengandung perintah
dan tantangan yang hebat dari perintah sebelumnya, Nabi saw. telah
diperintahkan menyampaikan sesuatu yang lebih berbahaya dari tantangan
orang-orang Yahudi, seperti penyampaian masalah Tauhid dan
penghancuran berhala-berhala di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dan
musyrikin Arab. Sehingga tantangan dan keangkuhan orang-orang Yahudi
dan Ahli Kitab tidak mengandung kekhawatiran dan bahaya untuk
52
menyampaikan perintah kepada mereka dan tanpa janji pemeliharaan
Allah dari gangguan mereka.14
Tabataba‟i sebelum menafsirkan “ ربك زل إنيك ي yakni tentang “ يا أ
apa yang diperintahkan kepada nabi saw., beliau menjelaskan adanya
bentuk kekhawatiran Nabi saw untuk menunda penyampaiannya pada
momen yang sesuai, seandainya Nabi saw tidak merasa khawatir dan tidak
menundanya maka tidak perlu ada penegasan kepada Nabi saw.
sebagaimana firmannya “ ”.
Menurut Tabataba‟i ayat-ayat yang turun pada awal kenabian tidak
ada penegasan seperti itu, maka jelas ayat ini bukan untuk Ahli Kitab
sebagaimana pernyataannya “Nabi saw tidak pernah menunda
penyampaian perintah sehubungan dengan Ahli Kitab walaupun beliau
menghadapai tantangan yang hebat dari orang-orang Yahudi mulai awal
hijrah ke Madinah hingga berkahir dalam peristiwa khaibar dan lainnya”.15
Lebih tegasnya Tabataba‟i menegaskan bahwa kekhawatiran Nabi
saw terhadap Yahudi dan Nasrani bukan karena takut mati di jalan Allah,
enggan mengorbankan jiwanya atau tidak mau menukar jiwanya dengan
sesuatu demi perintah Allah. Menurutnya hal seperti itu tidak mungkin
terjadi dalam sejarah dan realita kehidupan Rasulullah saw.16
Sepertinya
yang dimaksud kekhawatiran Nabi saw dalam menundanya menurut
Tabataba‟i adalah khawatir perpecahan ditubuh umat Islam sendiri.
14 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42-43
15
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42
16
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43
53
Pernyataan Tabataba‟i dalam tafsirnya tersebut sesungguhnya ingin
menegaskan bahwa ayat ini tidak ada hubungan dengan ayat sebelum dan
sesudahnya dan turunnya ayat ini juga bukan untuk awal permulaan Islam
yakni pada awal kenabian, sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak para
mufassir. Apabila ayat ini turun untuk awal kenabian dan kekhawatiran
Nabi saw karena takut mati di jalan Allah oleh ancaman Yahudi dan
Nasrani sehingga menunda penyampaian, maka bertolak belakang dengan
dengan ayat firman Allah dalam surat al-Ahzâb ayat 38-39.17
Hal ini dikarenakan apa yang dimaksud Tabataba‟i dalam “ زل يا أ
ربك diturunkan untuk masalah wilâyah „Ali bin Abî Tâlib. Allah ” إنيك ي
swt. memerintahkan menyampaikan masalah ini dan Nabi saw merasa
khawatir mereka menuduh beliau terlalu memperhatikan putra pamannya,
Rasulullah menunda penyampaian masalah ini dari saat ke saat sehingga
turunlah ayat ini yang mengharuskan penyampaian masalah ini, lalu Nabi
menyampaiakannya di Ghadîr Khum, pada waktu itulah nabi bersabda:
“Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka „Ali
pemimpinnya”. 18
Kemudian Tabataba‟i dalam menjelaskan makna “ رسانته ” yang
terkandung dalam kalimat “ ا بهغت رسانته نى تفعم ف adalah suatu risalah ” وإ
yang diamanatkan kepada Rasulullah yaitu pentingnya peranan hukum ini,
sehingga mempunyai kedudukan, apabila tidak disampaikan maka sama
halnya belum menyampaikan satupun risalah-risalah yang diembannya,
17 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43
18
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 48
54
yakni apabila tidak sampai pada manusia dan diperjelas kebenarannya
maka sama halnya belum menjelaskan satupun kebenaran dari bagian-
bagian agama.19
Dalam menjelaskan “ اناس ك ي Tabataba‟i menafsirkan ” وانهه يعص
bahwa ‘Ishmah para Nabi adalah Allah memelihara mereka dengan
sesuatu yang khusus bagi mereka yaitu kesucian jiwa, memberikan
pertolongan dengan mengokohkan pendirian mereka, kemudian
memberikan ketenangan, memelihara mereka dan memberikan taufiq.20
Akan tetapi menurut Tabataba‟i makna „Ishmah tersebut tidek
relevan dengan ayat ini “ اناس ك ي secara lahiriah ayat ini ,” وانهه يعص
merupakan ‘Ishmah dalam pengertian memelihara dan menjaga dari
kejahatan manusia yang diarahkan kepada jiwa Nabi saw, tujuan-tujuanya
yang Islami, keberhasilan penyampaian, keberuntugan usaha dan makana-
makna lain sesuai dengan kesuciannya.
Thabathaba‟i menegaskan bahwa menghubungkan ‘Ishmah dengan
manusia “اناس ” bukanlah pemeliharaan seperti penganiayaan fisik atau
membunuh meracuni, akan tetapi pemeliharaan dari kejahatan manusia
yang memutarbalikkan perkara kepada Nabi saw, yang hal ini dapat
meruntuhkan kejayaan ilmu-ilmu agama. Karena itu lah kata “ ” dalam
ayat ini menurutnya adalah gambaran sikap pribadi negatif dari orang-
orang beriman, munafik dan hatinya berpenyakit.21
19 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 49
20
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 50
21
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 51
55
Selanjutanya dalam menjelaskan “ انهه نا يهدي انقىو انكافري ” إ
Tabataba‟i memfokuskan pada pemaknaan “kafir”. Makna “kafir” yang
dimaksud dalam ayat ini adalah mereka sekelompok manusia yang
sifatnya telah disebutkan yaitu sikap pribadi negatif dari orang-orang
beriman, munafik dan hatinya berpenyakit. Sehingga maksud dari “ انهه نا إ
adalah Allah tidak memberi petunjuk/hidayah kepada ” يهدي انقىو انكافري
mereka dalam siasat dan tipu daya dan Dia memelihara Nabi saw. dari
sebab-sebab yang berlaku yaitu sikap-sikap negatif yang akan mereka
lakukan.22
Seperti dalam penafsiran-penafsiran ayat lainnya, Tabataba‟i untuk
menguatkan argumennya, secara khusus dia melakukan “kajian riwayat”.
Dan dalam ayat ini dia mengkaji riwayat sebab turunnya ayat ini dan
menyebutkan beberpa pandangan mufassir yang mendukung argumennya
juga mengkritik beberapa pandangan mufassir yang berbeda dengannya.
22 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 52
56
BAB IV
ANALISA KOMPARATIF PENAFISRAN RASYÎD RIDÂ DAN
TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67
A. Sebab Turun surat al-Mâidah ayat 67
Mengenai sebab turun ayat ini Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i mempunyai
perbedaan pendapat yang sangat luas. Rasyîd Ridâ dalam pembahasan awal
ayat ini sudah menjelaskan bahwa memang terjadi perbedaan pendapat oleh
para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini. Menurutnya terjadi perbedaan
pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini, pendapat yang
pertama mengatakan bahwa turunnya ayat ini terjadi pada masa awal Islam
sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ayat ini turun untuk „Ali bin
Abî Tâlib pada hari Ghadîr Khum.1
Akan tetapi Rasyîd Ridâ dalam penjelasannya lebih sependapat dengan
yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada permulaan Islam yaitu untuk Ahli
Kitab sebagaimana pendapat ulama tafsir al-Ma‟tsûr2. Beliau menyatakan
bahwa apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai
dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata:
“Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan
1 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
(Beirut: Dar al-Ma‟rifah), jilid 6, h. 463
2 Al-Ma‟tsûr yang dimaksud disini adalah metode tafsir bil ma‟tsur yaitu upaya
menjelaskan al-Qur‟an dengan mengutip penjelasan yang sudah ada. Jadi orang tidak
mengemukakan pendapat dia, tapi hanya mengutip pendapat yang ada. Misalnya menafsirkan ayat
al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟an, menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan sunah Nabi dan menafsirkan
ayat al-Qur‟an dengan ucapan sahabat. Lihat Jalaludin Rahmat, Belajar Mudah Ulum al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera, 2002), h. 223.
57
jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah:
"Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu
menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Qur‟an yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu"... .”.3
Rasyîd Ridâ mengambil riwayat dalam memperkuat argumennya yaitu
hadis Ibnu „Abbâs yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan A-Diyâ‟ yaitu:
“Rasulullah saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang
paling menghawatirkan kamu? Nabi saw menjawab: Aku berada di
Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan
manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah
Jibril dan menyampaikan ayat: “ ربك زل إنيك ي , ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ
kemudian aku berdiri di „Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa
yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik
syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku
Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian
surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki,
wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan
mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari
agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad
jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus
mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo‟a untuk kaumnya dengan
kehancuran, maka Nabi saw berdo‟a: “Ya Allah berilah petunjuk
kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar
mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah
pamannya Al-„Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan
menghalau mereka dari Nabi saw.” 4
Tabataba‟i jelas berbeda dalam menjelaskan sebab turunnya ayat ini,
dalam masalah ini beliau sangat panjang lebar membahasnya. Dan ini wajar
saja karena ayat ini juga sebagai dalil bagi mazhabnya yaitu Syiah untuk
menunjukkan bahwa ayat ini turun untuk „Ali bin Abî Tâlib. Pada awal
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 467
4 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 467
58
penjelasan ayat beliau telah menyatakan bahwa jika diperhatikan secara teliti
maka dapat dipastikan dan tidak perlu diragukan bahwa ayat ini (surat al-
Mâidah ayat 67) tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (al-
Mâidah ayat 66 dan 68) dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan
dengannya dalam untaian kalimatnya.5 Tabataba‟i ingin memastikan bahwa
ayat ini khusus dan sendiri.
Tabataba‟i beragumen bahwa apabila ayat ini mempunyai hubungan
dengan ayat sebelum dan sesudahnya dalam satu kesatuan yang saling
berkaitan tentang perkara Ahli Kitab, maka mempunyai kesimpulan bahwa
perintah Nabi saw. yang terpenting adalah menyampaikan perintah Allah
tentang masalah Ahli Kitab dan apa yang dimaksud “ ربك زل إنيك ي dalam “ يا أ
ayat ini (al-Mâidah: 67) adalah “apa yang diperintahkan untuk disampaikan”
yang terkandung dalam ayat :
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama
sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al
Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa
yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan
menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka;
Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir
itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68)
5 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 43
59
Dan dengan tegas beliau menyatakan bahwa dalam ayat 67 ini
menolaknya, karena kalimat “ اناس ك ي menunjukkan bahwa ”وانهه يعص
masalah yang harus disampaikan dalam ayat ini adalah masalah yang sangat
penting dan mengandung kekhawatiran pada jiwa Nabi saw. atau agama Allah
dari segi keselamatan penyampaiannya, sedangkan sesungguhnya keadaan
orang-orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi saw tidak menunjukkan
sesuatu yang bahaya yang membolehkan nabi saw menunda penyampaian
perintah atau mengakhirkannya pada suatu momen.
Menurutnya ayat tentang Ahli Kitab tidak mengandung perintah dan
tantangan yang hebat dari perintah sebelumnya, Nabi saw telah diperintahkan
menyampaikan sesuatu yang lebih berbahaya dari tantangan orang-orang
Yahudi, seperti penyampaian masalah Tauhid dan penghancuran berhala-
berhala di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dan musyrikin Arab. Sehingga
tantangan dan keangkuhan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab tidak
mengandung kekhawatiran dan bahaya untuk menyampaikan perintah kepada
mereka dan tanpa janji pemeliharaan Allah dari gangguan mereka.6
Tabataba‟i dalam kajian riwayat di tafsirnya banyak menyebutkan
riwayat-riwayat tentang sebab turun ayat tersebut dan beliau juga mengkritik
pendapat yang berbeda dengannya. Beberapa kitab yang disebutkan
Thabathaba‟i dalam tafsirnya mengenai sebab turun ini bahwa untuk perkara
„Ali bin Abî Tâlib diantaranya dalam kitab Tafsir al-Ayyasy, kitab al-Bashâ‟ir,
tafsir al-Tsa‟labi, tafsir al-Burhân, Tafsir Majma‟ al-Bayân, kitab Nuzûl al-
6 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 42-43
60
Qur‟an oleh al-Hâfizh Abu Na‟im, kitab Fushûl al-Muhimmah oleh al-Maliki,
kitab al-Shimthin oleh al-Hamawaini dan juga tafsir al-Manar7. Dan
menurutnya semuanya itu juga berdasarkan dari jalur periwayatan yang
berbeda-beda.8 Bunyi redaksi riwayat tersebut antara lain adalah:
9
Dari Ibn Abî Hâtim, Ibn Mardawaih dan Ibn „Asâkir dari Sa‟id al-
Khudrî berkata ayat ini turun (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) kepada Rasulullah saw pada hari
Ghadîr Khum tentang „Ali bin Abi Tâlib.
Perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tentang sebab nuzul ayat
tersebut kesemuanya berdasarkan beberapa riwayat hadis. Akan tetapi menurut
pandangan pribadi Rasyîd Ridâ tidak ada keterkaitan masalah wasiat khilâfah
dalam ayat ini dengan perkara Ahli Kitab (ayat sebelum dan sesudahnya)
karena ini tidak sesuai dengan balaghah al-Qur‟an, dan seandainya saja
meninggalkan keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya, lalu
ayat ini berdiri dengan sendirinya, dan kalimat “ نى تفعم yang menjadi ” وإ
jumlah syarat setelah kalimat perintah “ بهغ ”, kalimat tentang „ishmah dan
kalimat tentang peniadaan hidayah kepada orang-orang kafir, maka tetap saja
7 Tabataba‟i dalam tafsirnya khususnya dalam kajian riwayat, banyak mengkritik
pendapat Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar. Tabataba‟i hidup setelah Rasyîd Ridâ wafat, maka
dalam penulisan tafsir al-Mîzân beliau telah banyak membaca tentang tafsir al-Manâr, sehingga
beliau mengkritik pendapat yang berbeda dengannya dalam Tafsir al-Manâr.
8 Lihat Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 53-61
9 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 58
61
tidak sesuai dan tidak dapat diterima maksud dari tugas penyampaian kepada
manusia tersebut tentang kekuasaan „Ali, karena seharusnya makna yang
terkandung dalam ayat ini sesuai dengan dzatnya secara jelas bukan karena
sebatas taklid.10
Pandangan Rasyîd Ridâ ini menampik pernyataan mazhab Syiah
termasuk Tabataba‟i yang menjadikan ayat ini berdiri dengan sendirinya –
tanpa ada keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya – dan ayat ini untuk
perkara wasiat kepada „Ali bin Abî Tâlib.
Apabila melihat perbedaan sebab turun yang dijelaskan di atas maka
terjadi perbedaan tempat sebab turun ayat tersebut. Rasyîd Ridâ yang
mengatakan bahwa ayat ini turun pada awal kenabian, mempunyai pengertian
bahwa ayat ini turun di Makkah, dengan kata lain ini adalah ayat Makkiyyah.
Berbeda dengan pendapat Tabataba‟i yang mengatakan bahwa ayat ini turun di
Ghadîr Khum untuk „Ali bin Abî Tâlib, yang berarti ayat ini turun di Madinah
atau dengan kata lain ayat ini adalah Madaniyyah.
Dalam kitab al-Durr al-Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti,
beliau menyebutkan beberapa riwayat tentang sabab turun ayat ini. Jalâluddin
al-Suyûti seolah mengakui bahwa memang banyak perbedaan dalam sabab
turunnya ayat ini berdasarkan berbagai periwayatannya,11
beberapa diantara
riwayat yang disebutkannya juga terdapat dalam tafsir Rasyîd Rida dan
10 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 466
11
Lihat Jalâluddin al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma‟tsûr, (Dar al-Kutub
Ilmiyyah, Beirut, 1990), jilid 2, hal, 528-530
62
Tabataba‟i yang dijadikan sebagai dalil bagi keduanya tentang sebab turun ayat
ini sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Riwayat-riwayat tentang sabab turun ayat ini diantaranya adalah:12
Dari Abû al-Syaikh dari al-Hasan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyampaikan risalah, lalu
aku merasa khawatir dan aku tahu bahwa manusia akan
mendustakanku; kemudian Allah memberi jaminan kepadaku untuk
menyampaikan risalah atau mengazabku, lalu Allah menurunkan “Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.
Dari Ibn Abî Hâtim, Ibn Mardawaih dan Ibn „Asâkir dari Sa‟id al-
Khudrî berkata ayat ini turun (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) kepada Rasulullah saw pada hari
Ghadîr Khum tentang „Ali bin Abi Tâlib.
12 Lihat Jalâluddin al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma‟tsûr, (Dar al-Kutub
Ilmiyyah, Beirut, 1990), jilid 2, hal, 528-530
63
Dari Ibn Mardawaih, al-Diyâ‟ dalam al-Mukhtâroh dari Ibn „Abbâs
berkata : “Rasulullah saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit,
yang paling menghawatirkan kamu? Nabi saw menjawab: Aku berada
di Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan
manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah
Jibril dan menyampaikan ayat: “ ربك زل إنيك ي , ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ
kemudian aku berdiri di „Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa
yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik
syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku
Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian
surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki,
wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan
mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari
agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad
jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus
mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo‟a untuk kaumnya dengan
kehancuran, maka Nabi saw berdo‟a: “Ya Allah berilah petunjuk
kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar
mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah
pamannya Al-„Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan
menghalau mereka dari Nabi saw.”
„Ubaid bin Humaid, al-Tirmidzi, Ibn Jarîr, Ibn al-Mundzir, Ibn Abî
Hâtim, Abû Syaikh, al-Hâkim, Abû Nu‟aim, al-Baihaqi keudanya
dalam kitab al-Dalâil dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari „Âisyah
berkata, " Nabi saw selalu berada dalam kawalan ketat, sehingga
64
turunlah ayat, (Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia)
kemudian beliau keluar menampakkan kepalanya dari dalam mesjid
Quba seraya berseru, 'Hai manusia! Pergilah kamu sekalian,
sesungguhnya Allah telah memelihara diriku.
Tabrani, Abû al-Syaikh dan Abu Naim meriwayatkan dalam kitab al-
Dalâil, Ibnu Mardawaih dan Ibnu „Asâkir meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, ia berkata: Nabi saw perlu pendamping untuk menjaganya,
maka diutuslah Abu Thalib untuk mendampinginya. Setiap hari tokoh-
tokoh dari Bani Hasyim menjaganya. Kemudian Nabi saw bersabda:
Wahai pamanku, Allah telah menjagaku sehingga aku tidak perlu lagi
pendamping untuk menjagaku.
Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari Jâbir bin „Abdullah, ia berkata:
Ketika Rasulullah saw berada dalam peperangan Bani Anmar, beliau
berhenti di Dzat Ar-Riqa‟. Ketika beliau sedang duduk di dekat sumur
dan menyelonjorkan kedua kakinya, Ghaurits bin Harits berkata: Aku
akan membunuh Muhammad. Kemudian para sahabatnya berkata
kepadanya: Bagaimana mungkin kamu bisa membunuhnya? Aku
berkata kepadanya: Berikan pedangmu padaku, jika ia memberikan
pedangnya kepadaku aku akan membunuhnya. Kemudian ia
mendatangi Rasulullah saw dan berkata: Wahai Muhammad, berikan
pedangmu padaku, aku ingin melihatnya. Rasulullah saw
memberikannya, dan ia gemetar tangannya. Kemudian Rasulullah saw
bersabda: “Kekuatan Allah berada di antara aku dan keinginanmu.”
Ketika itulah Allah menurunkan ayat “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”
65
Demikianlah diatas beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang
penulis kutip dalam kitab al-Durr al-Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti.
Sebenarnya riwayat yang terdapat dalam kitab tersebut masih banyak sesuai
dengan jalur periwayatannya, akan tetapi penulis melihat beberapa riwayat
tersebut mewakili dari perbedaan tentang riwayat-riwayat lainnya.
Penulis mengutip apa yang disampaikan M. Quraish Shihab tentang
ayat ini dalam tafsirnya Al-Misbâh. Di dalam tafsirnya beliau mengutip
pendapat Tâhir Ibn „Âsyûr yang menilai penempatan ayat ini di sini (di antara
ayat 66 dan 68) merupakan sesuatu yang musykil, karena surat al-Mâidah
merupakan salah satu surat terakhir yang turun, sedangkan ketika itu Rasul saw
telah menyampaikan seluruh ajaran agama yang turun hingga ketika itu,
Seandainya ayat ini turun pada awal masa kenabian, maka apa yang yang
diperintahkan di sini dapat dimengerti dan dipahami sebagai mengukuhkan
Nabi saw dan meringankan beban mental beliau. Tetapi, karena surat ini
merupakan salah satu surat terakhir yang turun, dan beliau sendiri telah
melaksanakan tugas penyampaian risalah, agamapun telah disempurnakan,
maka sebenarnya pada saat turunnya tidak ada lagi yang diperintahkan untuk
disampaikan. Karena itu hanya ada dua kemungkinan yang dapat dikemukakan
menyangkut penempatan ayat ini dalam surat ini dan sesudah uraian ayat-ayat
sebelumnya yaitu:13
13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.
3, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 150
66
1. Ayat ini turun untuk sebab tertentu, yang mengundang adanya ayat
yang mengukuhkan beliau agar menyampaikan sesuatu yang berat
untuk beliau sampaikan.
2. Ayat ini turun sebelum turunnya surat al-Maidah, dan ini didukung
oleh banyak riwayat.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Ibn „Âsyûr menolak
kemungkinan kedua, karena menurut Ibn „Âsyûr berarti ayat ini telah turun
bertahun-tahun dan dibaca tanpa ada tempatnya dan dengan demikian semua
riwayat yang menguraikan sebab turunnya ayat ini pada masa-masa sebelum
turunnya surat al-Mâidah kesemuanya tertolak. Pendapat Ibn „Âsyûr ini
kemudian dibahas oleh M. Qurais Shihab, menurut beliau sepanjang yang
diketahuinya, tidak mutlak satu ayat dalam satu surat otomatis turun pada tahun
yang sama dengan turunnya ayat-ayat yang lain.14
Kemudian M. Quraish Shihab memberikan dua contoh alasan, salah
satunya adalah tentang lima ayat surat Iqra‟, menurutnya merupakan wahyu
pertama yang diterima. Ayat keenam dan seterusnya turun jauh sesudah
turunnya kelima ayat pertama itu. Ini terbukti dari kandungan ayat-ayat itu
yang menguraikan pembakangan Abû Jahl dan upayanya melarang Nabi saw.
shalat, dan tentu saja hal itu baru terjadi setelah Nabi saw. secara terang-
terangan menyebarkan dakwah. Hal ini baru terjadi sekitar tiga tahun setelah
turunnya kelima ayat pertama itu.15
14 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.
3, h. 150
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.
3, h. 151
67
Penjelasan M. Quraish Shihab tersebut ingin menegaskan bahwa ada
hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Beliau sependapat dengan al-
Biqâ‟i, Fakhruddin al-Râzi, Sayyid Quthb dan pada prinsipnya juga sejalan
dengan Ibn „Âsyur, yang menjelaskan bahwa ayat ini tentang pemeliharaan
Nabi saw dari gangguan dan tipu daya orang-orang Yahudi dan Nasrani –
karena ayat-ayat yang mendahuluinya demikian juga sesdudahnya, berbicara
tentang mereka.16
Apabila Rasyîd Ridâ menolak pendapat mazhab Syiah – termasuk
pendapat Tabataba‟i – tentang sebab turunnya ayat ini untuk „Ali bin Abî Tâlib
dan ayat ini juga berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan ayat sebelum dan
sesudahnya, maka M. Quraish Shihab pun menolak pendapat tersebut.
Menurut M. Quraish Shihab apa yang dikemukakan oleh Tabataba‟i
masih timbul persoalan, selain alasan yang kurang jelas tentang mengapa ayat
ini tidak ada keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, di sisi lain juga
mengapa objek yang ingin disampaikan tidak disebut, kalau hal tersebut
sedemikian penting?.17
Penulis melihat apa yang dikemukakan oleh Rasyîd Ridâ – demikian
pula dengan M. Quraish Shihab – sebenarnya telah dijawab oleh Tabataba‟i
dalam tafsirnya. Menurut Tabataba‟i tentang objek yang disampaikan adalah
tentang „Ali bin Abî Tâlib, dan ini didukung oleh riwayat-riwayat tentang
sebab turun ayatnya. Objek yang dimaksud Tabataba‟i dan penganut mazhab
16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.
3, h. 152
17
Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Vol. 3 h. 151
68
Syiah tersebut adalah hadis wilâyah atau terkenal pula dengan hadis Ghadîr
Khum, yang berkenaan dengan pengangkatan „Ali bin Abî Tâlib sebagai
pemimpin pasca wafat Nabi saw. Untuk mengantar pada penjelasan ini, penulis
membahas dalam sub bab berikutnya, dan masih dalam bingkai komparatif
penafsiran Rasyîd Ridâ dengan Tabataba‟i.
B. Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali Bin Abî Tâlib
Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad saw. mengemukakan
niatnya untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Hal itu disampaikan
secara luas kepada kaum Muslimin pada saat itu. Bagi mereka yang ingin ikut
bersama Nabi Saw dianjurkan untuk terlebih dahulu berkumpul di Madinah.
Dengan demikian, berdatanglah kaum muslimin untuk pergi ke Mekkah
melaksanakan haji bersama Nabi Muhammad saw.
Dicatat dalam sejarah bahwa ada 90.000 orang yang ikut bersama Nabi
saw pada saat itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa yang ikut bersama
Nabi saw sekitar 114.000 orang.18
Setelah melaksanakan rukun haji, maka
Nabi saw bersama rombongan kaum muslimin pada saat itu meninggalkan
Mekkah menuju Madinah dan sampai di suatu tempat bernama Ghadîr Khum.
Ghadîr Khum adalah nama dari suatu tempat yang terletak tiga mil dari
Juhfa. Ghâdir Khum biasa juga disebut Wâdi Khum, yang merupakan tempat
yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. untuk berkhutbah tentang
18 Lihat Muhammad Haykal, Hayât Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan
judul Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979), h. 602
69
keutamaan „Ali bin Abî Tâlib, dalam perjalanan pulangnya menuju Madinah
setelah melaksanakan haji Wadâ‟.
Tempat tersebut sangat terkenal dalam sejarah Islam, karena Ghadir
Khum merupakan tempat persinggahan Nabi Muhammad Saw dengan
mayoritas sahabat. Itulah tempat orang-orang dari berbagai penjuru saling
menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil
jalan yang berbeda-beda.19
Di sana Nabi saw. menyampaikan khutbah-
khutbahnya di depan ratusan ribu kaum Muslimin, dalam khutbahnya beliau
membacakan ayat hampir 100 ayat al-Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali
mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari.20
Keterkaitan peristiwa Ghadîr Khum ini menyangkut tentang sebab
nuzul ayat yang telah dikemukan di atas. Rasyîd Ridâ dalam tafsirnya
membahas khusus tentang masalah ini dan hadis yang turun berkenaan
tentangnya. Yang dimaksud Rasyîd Ridâ di sini adalah hadis tentang wilâyah
„Ali bin Abî Tâlib atau yang dikenal sebagai hadis Ghadîr Khum, hadis
tersebut adalah :
Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu‟bah
dari Salamah bin Kuhail, ia berkata aku mendengar Abu al-Tufail
berkata dari Abî Sarîhah atau dari Zaid bin Arqom dari Nabi Saw.
19 Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan Antologi Islam,
penj, Rofik Suhud dkk, (Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005), h. 288
20
Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 289
70
Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali
adalah pemimpinnya juga.21
Dalam tafsirnya Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut, beliau mengakui
hadis tersebut karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dalam
Musnadnya dari jalur al-Barrâ‟ dan Buraidah. Imâm Tirmidzi, Imam Nasâ‟i
dan Al-Diyâ‟ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin Arqom, sebagian
dari mereka menganggap hadis tersebut Hasan dan Al-Dzahabi menganggap
hadis tersebut Sahîh.22
Rasyîd Ridâ berpendapat tentang makna maula / wilâyah dalam hadis
tersebut. Akan tetapi sebelum mengemukakan pendapatnya, beliau
menjelaskan pendapat Ahlu Sunnah yang menyatakan bahwa hadis wilâyah
tersebut bukan bermakna Imâmah atau Khilafah (kepemimpinan) melainkan
mempunyai makna “penolong dan yang mencintai” sebagaimana yang Allah
katakan tentang orang-orang mu‟min dan kafir “Sebagian mereka adalah
penolong bagi yang lainnya”.23
Kemudian Rasyîd Ridâ menyatakan pendapatnya sekaligus menguatkan
pendapat Ahlu Sunnah bahwa sesungguhnya seandainya masalah Imâmah
sudah dibuktikan dalam nash baik al-Qur‟an ataupun hadis maka pastilah nash
tersebut mutawâtir dan jelas. Seandainya Ali menjadi pemimpin yang
mengurus perkara kaum Muslimin seharusnya pada hari wafat Nabi saw dia
berkhutbah menyampaikan nash – penunjukan kepemimpinannya sebagai
21 Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, al-Jami‟ al-
Shahih (Sunan al-Tirmidzi), (Beirut: Dar alKutub „Ilmiyah, t.t), Juz v, h. 590
22
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
23
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 465
71
pengganti Nabi saw – dan menjelaskannya dengan sebaik-baiknya kepada
kaum Muslimin saat itu. Merupakan kewajiban bagi „Ali untuk
menyampaikannya kalau ia menganggap masalah kepemimpinan pasca wafat
Nabi saw adalah perkara yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya akan tetapi
dia tidak mengatakannya, bahkan tidak seorangpun dari para keluarganya dan
penolongnya yang menggunakan ayat ini pada kejadian hari Tsaqîfah ataupun
peristiwa hari musyâwarah setelah wafat Umar.24
Untuk menegaskannya lagi Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja
Nabi saw ingin memberikan dan menunjukkan nash tentang siapa yang
menjadi khalîfah setelahnya dalam perintah penyampaiannya tersebut maka
seharusnya Nabi saw mengatakannya pada Haji Wadâ‟ dan meminta kepada
seluruh manusia saat itu untuk bersaksi maka mereka pun akan bersaksi dan
Allah menyaksikannya. Pendapat Rasyîd Ridâ ini ingin membantah argumen
mazhab Syiah yang menjadikan pengertian wilâyah sebagai Imâmah atau
Khilâfah yang mempunyai pengertian sebagai pemimpin dan pemegang
kekuasaan yang harus diikuti.
Sedangkan Tabataba‟i seperti dalam penjelasan mengenai sebab nuzul
ayat ini jelas mengatakan bahwa ayat ini turun dalam masalah wilâyah
(kepemimpinan) „Ali bin Abî Tâlib. Allah swt memerintahkan menyampaikan
masalah ini dan Nabi saw merasa khawatir mereka menuduh beliau
memperhatikan putera pamannya. Rasulullah menunda penyampaian masalah
ini dari saat ke saat sehingga turunlah ayat ini yang mengharuskan
24 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 466
72
penyampaian masalah ini, lalu Nabi saw menyampaikannya di Ghadîr Khum.
Pada waktu itulah Nabi bersabda :25
من كنت مولاه فعلي مولاه
Nabi Saw. Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya
maka Ali adalah pemimpinnya juga.
Dalam kajian riwayat yang ditulis oleh Tabataba‟i dalam tafsirnya
menjelaskan tentang sabab nuzul ayat 67 surat al-Mâidah maka kemudian
bersamaan pada saat itu turunnya sabda Nabi saw tersebut, menurutnya hadis
tersebut mutawatir, dikutip dari jalur-jalur Syiah dan Ahlu Sunnah lebih dari
100 jalur. Riwayat itu telah diriwayatkatkan oleh banyak sahabat Nabi saw.
antara lain: Al-Barra‟ bin „Azib, Zaid bin Arqam, Abu Ayyub Al-Anshari,
Umar bin Kahttab, Ali bin Abi Thalib, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-
Ghiffari, Amar bin Yasir, Busraidah, Sa‟ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin
Abbas, Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Abu Sa‟id Al-Khudri, Anas bin
Malik, Imran bin Al-Hashin, Ibnu Abi Aufa, S‟danah, dan istri Zaid bin
Arqam.26
Menurut Tabataba‟i adanya kepemimpinan perkara umat suatu hal yang
dibutuhkan dalam agama dan tidak perlu ditutup-tutupi. Nabi saw mengangkat
pemimpin-pemimpin pemerintahan untuk mengatur urusan ummat Islam di
daerah seperti Mekkah, Thaif, Yaman dan lainnya, dan beliau mengangkat
panglima dalam setiap peperangan dan pasukan yang dikirim ke seluruh
penjuru negeri. Apa bedanya antara masa hidup Nabi saw dan sesudah
25 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, h. 48
26
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3. h. 59
73
wafatnya, sehingga tidak membutuhkan masalah ini setelah beliau wafat,
sementara kebutuhan terhadap masalah ini sangat diperlukan dari zaman ke
zaman?.27
Pendapat Rasyîd Ridâ tentang pengertian maula dan juga tuntutannya
adanya keharusan nash khusus yang menjelaskan tentang kepemimpinan „Ali
bin Abî Tâlib dan bahkan seharusnya disampaikan juga oleh „Ali di hari
wafatnya Nabi Saw, sepertinya ditolak oleh Tabataba‟i dengan kembali kepada
kandungan ayat ini yaitu “ ربك زل إنيك ي bahwa apa yang ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ
harus disampaikan itu bersifat penting dan sebagai suatu dalil yang
mewajibkan menyampaikan sesuatu yang dijelaskan oleh ayat itu dan
ditegaskan kepada Rasulullah saw.
Menurut Tabataba‟i sesuatu yang diturunkan kepada Nabi saw dari
Tuhannya tidak dijelaskan dengan sebuah nama, tetapi diungkapkan dengan
suatu sifat, dan sesuatu yang diturunkan kepadanya menunjukkan
keagungannya dan menunjukkan bahwa masalah ini bukan buatan Rasulullah
saw., dan tidak ada alternatif lain untuk menyimpan dan menunda
penyampaiannya.28
Pernyataan Tabataba‟i tersebut mewakili pendapat mazhab Syiah
karena beliau adalah seorang Syiah. Menurut Syiah kata maula / wilâyah itu
diartikan sebagai yang memiliki keuasaan dan harus diikuti kepemimpinannya,
seperti yang terdapat dalam kata-kata yang sering dipergunakan orang, seperti
wali kota, wali murid, wali mempelai wanita dan lain-lain, yang semuanya
27 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3. h. 48-49
28
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, Juz 3, h. 49
74
menunjukkan arti “orang-orang yang memiliki kekuasaan atas orang-orang
tertentu.”29
Dengan begitu apa yang disampaikan oleh Tabataba‟i tentang
pentingnya penyampaian risalah dalam ayat ini adalah sebuah hadis wilâyah
„Ali bin Abî Tâlib tersebut, dan makna maula / wilâyah bukanlah makna
seperti yang dikatakan oleh Ahlu Sunnah. Karena apabila terminologi maula /
wilâyah seperti yang digunakan oleh Ahlu Sunnah, bukankah semua orang tahu
pada saat itu bahwa kedudukan Ali bin Abi Thalib dan peranannya bersama
Rasulullah saw dalam menjalankan misi dakwah?.
Dalam al-Qur‟an kata wali yang bentuk jamaknya awliya mempunyai
beberapa pengertian. Diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut:30
1. kata wali yang berarti pelindung. tedapat dalam QS. Al-A‟raf: 196,
QS. Al-Baqarah: 107 dan 257, QS. Ali „Imran: 68, QS. Al-
An‟Am:51 dan 70, QS. Al-Taubah: 74 dan 116, QS. Al-Kahfi: 26,
QS. Al-Jatsiyah: 19, QS. Al-Syura: 8-9, dan 44 yang berarti
pemimpin.
2. kata wali yang berarti penolong. Terdapat dalam QS. Al-Isra: 111,
QS. Al-Syura: 31, QS. Al-Baqarah: 120, dan QS Al-Sajadah: 4.
3. kata wali yang berarti kawan atau teman setia. Terdapat dalam QS.
Al-Nisa: 144 dan QS. Fusshilat: 34.
Kontroversi makna wali dalam hadis Ghadîr Khum tersebut yang
menimbulkan cikal bakal kontroversi tentang kepemimpinan pasca wafat Nabi
29 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., (Yogyakarta: Aynat
Publishing, 2010), h. 8
30
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 42
75
saw, karena dinterpretasikan berbeda oleh kalangan Mazhab Ahlu Sunnah dan
Syiah. Bila Ahlu Sunnah mengartikan kata tersebut sebagai pelindung,
penolong ataupun orang yang mencintai, maka Syiah mengartikan kata wali itu
sebagai pemimpin. Agaknya kedua pengertian tersebut mendapat pembenaran
dari al-Qur‟an, tergantung bagaimana bunyi redaksi yang di dalamnya termuat
kata wali itu.
Apabila kata tersebut dilihat dari segi historis pengucapannya (ketika
Nabi Muhammad saw mengumpulkan para sahabat di Ghadîr Khum dan
bersabda hadis tersebut), maka tampaknya ucapan Nabi saw tersebut
mengindikasikan bahwa wilâyah atau kedudukan sebagai pemimpin
pascawafat nabi saw adalah „Ali bin Abî Tâlib.31
Apa yang dikemukakan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i seperti yang
dijelaskan di atas, mereka mempunyai perbedaan yang sangat luas
pemahamannya tentang peristiwa Ghadîr Khum dan wilâyah „Ali bin Abî
Tâlib. Dalam kajian riwayat yang ditulis oleh Tabataba‟i dalam masalah ini,
ada hal yang menarik, yaitu beliau mengkritik pendapat Rasyîd Ridâ ketika
mengutip hadis berkenaan tentang „Ali bin Abî Tâlib dan sabab nuzul ayat ini
untuknya. Hadis tersebut adalah:
“Sungguh perkataan ini dari Nabi Saw tentang wilayah „Ali yang
tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu sampai kepada
al-Harits bin Nu‟man al-Fahri, kemudian ia datang kepada Nabi saw.
karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi saw. berada di Abthah
lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal
itu. Dia berkata kepada Nabi saw. – dia adalah salah seorang sahabat
besar Nabi saw. – wahai Muhammad engkau telah menerima perintah
dari Allah untuk kami, agar kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
31 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 147
76
Allah dan sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah, maka kami
menerimanya – ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian
engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua
tangan anak pamanmu dan mengutamaknnya atas kami, lalu engau
berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah
pemimpinnya, maka apakah ini dari kamu atau dari Allah? Nabi saw
menjawab: Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, masalah ini
adalah perintah Allah. Lalu al-Harits berpaling dan pergi sambil
mengucapkan: “Ya Allah jika perintah ini benar –benar dari sisimu,
maka turunkan kepada kami hujan batu dari langit atau berikan kami
siksa yang pedih. (Q.S. al-Anfâl: 32).” Maka sebelum ia sampai pada
pada tujuan perjalannannyam, Allah menghujaninya dengan batu, maka
jatuhlah dia sebab keinginannya dan keluarlah batu itu dari duburnya.
Lalu Allah menurunkan ayat: “seorang peminta telah meminta
kedatangan azab yang menimpa untuk orang-orang kafir yang tiada
seorang pun dapat menolaknya. (Q.S. al-Ma‟ârij: 1-2).”32
Setelah mengutip hadis tersebut, Rasyîd Ridâ menilai bahwa riwayat ini
maudhu‟ dan surat al-Ma‟ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan itu
adalah perkataan sebagian orang-orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah
ini benar-benar dari sisimu”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini
terdapat dalam surat al-Anfâl yang diturunkan sebelum perang Badar dan
sebelum surat al-Mâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu
menjelaskan bahwa al-Hârits adalah seorang muslim kemudian murtad. Ia
belum dikenal di kalangan para sahabat Nabi saw. Adapun Abhtah adalah suatu
tempat di Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke
Mekkah, bahkan setelah Haji Wadâ‟ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju
ke Madinah.33
32 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
33
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
77
Tabataba‟i mengkritik pendapat Rasyîd Ridâ tersebut yang menyatakan
bahwa hadis tersebut maudhû‟, surat al-Ma‟ârij adalah Makkiyyah, surat al-
Anfâl turun sebelum hijrah, Hârits bin Nu‟mân adalah seorang muslim
kemudian murtad dan dia tidak dikenal di kalangan para sahabat. Kritikan
Tabataba‟i tersebut sebagai berikut:
“Pernyataan al-manar bawa riwayat itu maudhu‟ dan surat Al-Ma‟arij
itu adalah surat Makkiyyah, ia menggunakan sebagian riwayat dari Ibn
Abbas dan Ibn Zubair sebagai dalil pendapatnya bahwa surat Al-
Ma‟arij turun di Makkah. Aduhai disayangkan! Apa yang
mengunggulkan riwayat ini terhadapat ayat itu. sementara semuanya
adalah ahad? Kami terima bahwa surat al-Ma‟arij adalah surat
Makkiyyah sebagaimana yang dikuatkan oleh kandungan sebagian
besar ayat-ayatnya, tetapi apa dalilnya bahwa seluruh ayat surat Al-
Ma‟arij itu Makkiyyah? Surat ini adalah surat makkiyyah, tapi khusus
dua ayat ini bukan Makkiyyah, sebagaimana surat Al-Maidah adalah
surat madaniyah yang turun pada akhir masa Nabi saw., dan yang di
dalamnya terdapat ayat yang dibahas (al-Maidah: 67). Ayat ini, oleh
beberapa mufassir dinyatakan turun di Makkah pada awal kenabian.
Jika boleh meletakkan ayat Makkiyyah al-Maidah: 67 ke dalam surat
Madaniyah (al-Maidah), maka boleh pula meletakkan ayat Madaniyah
(al-Ma‟arij: 1-2) kedalam surat Makkiyah (al-Ma‟ârij). Kemudian
tentang surat al-Anfal turun sebelum hijrah, dalam masalah ini
pengarang al-manar berpendapat tanpa hujjah untuk membedakannya,
tetapi bagi seorang mufassir yang mengenal sturktur kalimat, ia tidak
akan mendekati keraguan tentang firman Allah swt. surat al-Anfal: 32
dengan adanya makna kandungan makna pada kalimat: “
” di dalmnya terdapat “isim isyarah, dhamir munfashil dan
kata al-Haqq yang didahului oleh alif lam”, maka jelaslahbahwa
kalimat “ ” bukan yang dinisbatkan kepada berhala, yang keluar
dari mulut orang musyrik yang hatinya goncang dan menghina
kebenaran. Kalimat ini tiada lain adalah ucapan yang tunduk pada
maqam rububiyyah, dan memandang bahwa perkara-perkara yang benar
jelas dari sisi Allah, dan hukum-hukum syariat turun dari-Nya.
Kemudian ia menggantung setiap perkara kepada Allah swt, tanpa
mengetahui dalil yang pasti bahwa kebenaran itu hanya dari-Nya, ia
merasa berdosa sebab masalah itu, maka ia berdoa untuk dirinya dengan
doa yang tercela dan bosan hidup. Kemudian tentang Harits bin
Nu‟man, dalam hal ini perlu diketahui, apakah ada diantara para sahabat
Nabi saw yang menghafal nama-nama setiap orang yang melihat Nabi
78
saw dan beriman kepadanya, atau beriman kepadanya kemudian
murtad?.” 34
Kritikan Tabataba‟i sepertinya ingin mempertanyakan alasan kenapa
Rasyîd Ridâ mengutip riwayat tersebut dan seolah menunjukkan bahwa itu
dalil bagi orang Syiah tentang sabab nuzul al-Mâidah: 67 untuk nash wilâyah
„Ali bin Abî Tâlib. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak riwayat tersebut.
Tabataba‟i menegaskan bahwa riwayat tersebut ahad bukan mutawâtir. Dan
pernyataan Rasyîd Ridâ tentang hadis itu maudhû‟ tidak didasarkan pada
qorînah yang pasti.35
Adapun mengenai hadis Ghadîr Khum mempunyai redaksi yang
berbeda-beda, hadis tersebut terdapat dalam kitab al-Jâmi‟ al-Shahîh karya
Imâm al-Turmudzî,36
Sunan Ibnu Mâjah37
dan Musnad Ahmad bin Hanbal.38
Menurut HM. Attamimy dalam bukunya Ghadîr Khum, beliau setelah
melakukan takhrîj hadis tersebut menyatakan bahwa kualitas sanad hadis
tersebut shahih, hal ini memungkinkan karena periwayat tersebut semuanya
bersambung kepada nabi saw dan memiliki kepribadian yang tsiqoh, yaitu
suatu predikat yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya
periwayatan dengan kualitas hadis tersebut dapat dipercaya.39
Lebih tegas
Attamimy menegaskan bahwa setelah melakukan telaah matan hadis, seluruh
34 Lihat Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, Juz 3, h. 55-57
35
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, Juz. 3, h. 57
36
Lihat Abû „Îsa Muhammad bin Îsa ibn Saurah, al-Jâmi‟ al-Shahîh (Sunan al-
Turmudzi), (Beirut Dar al-Kutub Ilmiyah) h, 590
37
Lihat al-Hâfiz Abû „Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah,
Juz I (Semarang Toha Putra) h, 43
38
Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, juz V (Beirut: Maktab
Islami), h. 350, 356, 358, 361, 370 dan 439
39 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 138
79
hadis tentang Ghadîr Khum dikategorikan hadis yang berkualitas shahîh, baik
sanad maupun matannya. 40
C. Perintah Tablîgh Al-Risâlah
Perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tentang sabab nuzul ayat ini
berpengaruh pula terhadap penafsirannya terhadap ayat, seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa Rasyîd Ridâ menganggap bahwa ayat ini turun pada awal
kenabian sedangkan Tabataba‟i pada saat setelah Nabi saw melaksanakan haji
wadâ‟, maka target kepada siapa risalah tersebut disampaikan dan isi
risalahnya yang terkandung dalam ayat al-Mâidah: 67 ini mengalami
perbedaan juga.
Rasyîd Ridâ yang mengakui ayat ini turun pada awal kenabian,
menjadikan sasaran penyampaian risalah adalah Ahli Kitab sehingga apa yang
dibicarakan dalam ayat ini keseluruhan adalah seruan kepada Ahli Kitab untuk
masuk Islam dan tentang persoalan-persoalan agama.41
Dalam menafsirkan “ ربك زل إنيك ي beliau mengutip ” يا أيها انرسىل بهغ يا أ
sebuah riwayat yang juga sekaligus menunjukkan sebab turunnya ayat ini yaitu
pada awal permulaan Islam. Dia sepakat dengan pendapat para ulama tafsir al-
Ma‟tsûr, apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak
sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata:
“Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan
jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah:
"Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu
40 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 141
41
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 463
80
menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Quran yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu"... .”.42
Tentu saja penafsiran Rasyîd Ridâ ini berbeda dengan Tabataba‟i
seperti yang dikemukakan sebelumnya dalam masalah sabab nuzul ayat
tersebut. Akan tetapi yang menarik dalam analisa ini adalah perbedaan
keduanya dalam memahami diperbolehkan atau tidaknya bagi seorang Nabi
saw untuk menyembunyikan atau menunda dalam penyampaian risalah.
Rasyîd Ridâ ketika menafsirkan “ ا بهغت رسانته نى تفعم ف menurutnya ” وإ
adalah “jika kamu tidak mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu untuk
menyampaikan dari apa yang diturunkan kepadamu seluruhnya – seluruh umat
– atau khusus kepada Ahli Kitab – yaitu dengan menyembunyikannya bahkan
menundanya karena takut dapat ancaman atau gangguan berupa perkataan
ataupun juga tindakan, maka baginya adalah belum menyampaikan risalah dan
belum mengerjakan sebab alasan diutusnya, dan tugasnya adalah
menyampaikan apa yang diturunkan Tuhan kepadanya.”43
Penafsiran Rasyîd Ridâ tersebut jelas mengindikasikan bahwa tidak
diperbolehkan bagi seorang Nabi saw untuk menyembunyikan bahkan
menunda menyampaikan risalah sesuai dengan ijtihad atau kehendak Nabi saw
sendiri. Beliau sepakat dengan pendapat para ulama bahwa apabila tidak
menyampaikan seluruh yang diturunkan Tuhan kepadamu (Nabi saw.) dengan
menyembunyikan sebagiannya, maka bagimu belum menyampaikan sama
42 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 467
43
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 468
81
sekali, karena menyembunyikan sebagian sama saja dengan menyembunyikan
secara keseluruhan.44
Pendapat ini mempunyai pengertian bahwa masalah
wahyu adalah masalah keseluruhan dan tidak terbagi-bagi.
Menurut Rasyîd Ridâ ada hikmah yang harus dimengerti dengan jelas
dalam penyampaian risalah ini yaitu:
1. Hikmah yang dinisbatkan kepada Rasul saw. bahwasanya perintah
untuk tabligh adalah ketetapan Allah dan tidak ada pilihan bagi
Rasul saw untuk menyembunyikannya bahkan menundanya
berdasarkan ijtihâd Rasul saw sendiri.
2. Hikmah yang dinisbatkan kepada manusia agar mengetahui hakikat
keseluruhan dari nash, maka tidak terjadi perselisihan dalam
pendapat dan pemahaman.45
Penjelasan Rasyîd Ridâ ini berbeda dengan Tabataba‟i. Dari awal
penafsirannya tentang ayat ini, beliau sudah menjelaskan bahwa secara lahiriah
ayat ini mengandung perintah kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan
sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt menjanjikan
kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia.46
Tabataba‟i menggambarkan bahwa ada kekhawatiran Nabi saw dalam
menyampaikan pesan sehingga Nabi saw mendapat penekanan bahwa pesan itu
harus disampaikan dan mendapat jaminan bahwa Allah memelihara dari
gangguan manusia. Beliau menjelaskan adanya bentuk kekhawatiran Nabi saw
44 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 468
45
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 469
46
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 42
82
untuk menunda penyampaiannya pada momen yang sesuai, seandainya Nabi
saw. tidak merasa khawatir dan tidak menundanya maka tidak perlu ada
penegasan kepada Nabi saw. sebagaimana firman-Nya “ ا بهغت نى تفعم ف وإ
.” رسانته47
Dalam tafsirnya Tabataba‟i menjelaskan alasannnya bahwa ayat ini
mengungkapkan tentang hukum yang didalamnya mengandung kekhususan
bagi Nabi saw dengan suatu keistimewaan kehidupan, yang keistimewaan ini
juga diinginkan oleh yang lain. Masalah inilah yang harus disampaikan oleh
Nabi saw, sementara masalah ini diinginkan juga oleh manusia. Karena itulah
Nabi saw merasa khawatir untuk menyampaikan dan menjelaskannya. Maka
Allah mempertegas agar beliau segera menyampaikannya, menjanjikan
kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia, dan berjanji tidak akan
meberi petunjuk kepada mereka yang melakukan tipu daya.48
Penjelasan Tabataba‟i di atas mengindikasikan bahwa
diperbolehkannya berijtihad bagi Nabi saw untuk menunda penyampaian
risalah. Perintah untuk menyampaikan risalah dari Allah dalam ayat ini ini
adalah bentuk peringatan bagi rasul saw untuk menyampaikannya dan saat itu
adalah momen yang tepat yakni pada peristiwa Ghadîr Khum.
Ijtihad yang dilakukan oleh Nabi saw. dalam menunda penyampaian
dikarenakan beliau mempunyai firasat yang sangat buruk. Bukan khawatir
karena faktor ancaman dari Ahli Kitab, Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dari
tubuh umat Islam sendiri. Oleh karena itu Nabi saw. tidak ada alternatif lain
47 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 43
48
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 48
83
untuk menyimpan atau menundanya. Menurut Tabataba‟i dengan dasar ini,
masalah itu menjelaskan kepada manusia, mengisyaratkan bahwa Nabi saw.
benar dalam firasatnya tentang mereka dan kekhwatirannya terhadap mereka,
dan mengisyaratkan bahwa ia harus menjelaskan melalui lisan dan
keterangannya.49
Demikianlah nampak jelas perbedaan antara Rasyid Ridâ dan
Tabataba‟i dalam menafsirkan perintah tablîgh (menyampaikan) risalah dan
ancaman kepada Rasulullah saw apabila tidak menyampaikannya.
D. ‘Ishmah Nabi saw
Setelah mengungkapakan perbedaan yang sangat luas antara Rasyîd
Ridâ dan Tabataba‟i dalam pembahasan sebelumnya, maka kemudian berlanjut
dalam penafsiran mereka tentang „Ishmah dalam kalimat “ اناس ك ي ”وانهه يعص
dan Kâfir dalam kalimat “ انهه نا يهدي انقىو انكافري .” إ
Nampak penafsiran dan penjelasan sebelumnya membuat penafsiran
kedua kalimat ini sebagai pendukung dengan argumen sebelumnya. Rasyîd
Ridâ dalam menjelaskan “ اناس ك ي mencantumkan sebuah riwayat ” وانهه يعص
dari mufasir al-ma‟tsûr, Tirmidzi, Abu Syaikh, al-Hakim, Abu Na‟im, al-
Baihaqi dan Thabrani dari beberapa para sahabat bahwa “Rasulullah saw dijaga
di Mekkah sebelum turun ayat ini, dan ketika turun ayat ini Rasulullah tidak
dijaga lagi, dan Abû Tâlib adalah orang yang pertama memperhatikan untuk
menjaga Nabi saw demikian juga Abbas.
49 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 49
84
Diriwayatkan pula dari Jabir dan Ibn Abbâs bahwasanya Nabi saw
dijaga dan pamannya Abû Talib selalu mengutus seorang lelaki dari bani
Hasyim untuk menjaganya, sampai turun ayat ini, dan Nabi saw berkata “wahai
pamanku, sesungguhnya Allah telah menjagaku dan tidak usah kau mengutus
seseorang (untuk menjagaku)”.50
Sehingga kemudian makna “اناس ك ي ” يعص
adalah “Allah menjagamu dari penyerangan mereka, dan maksud dari “اناس ”
di sini adalah orang-orang kafir.51
Penafsiran Rasyîd Ridâ ini sekali lagi mempertegas bahwa sebab
turunnya ayat ini adalah untuk Ahli Kitab, sehingga jaminan dari Allah adalah
“penjagaan” dari Ahli Kitab yang ingin mengintimidasi Nabi saw berupa
perkataan maupun tindakan, yang dapat mengganggu proses dakwah Nabi saw.
Karena itu Rasyîd Ridâ penafsirannya tentang “ اناس ” adalah orang-
orang “kafir”, sehingga beliau pun menafsirkan kalimat “ انهه نا يهدي انقىو إ
yaitu kalimat ” اناس“ mempunyai keterkaitan dengan penjelasan ” انكافري
tersebut adalah sebuah penegasan tentang „Ishmah Nabi saw. Dengan
pengertian bahwa Allah swt tidak memberi petunjuk kepada mereka yang
menggangu Nabi saw dalam menyampaikan risalah, mereka itu adalah orang-
oarang kafir, dengan begitu kalimat-kalimat Allah tegak dan sempurna maka
nabi saw. pun bisa menyelasikan misi agamanya dengan sempurna.52
50 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 471
51
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 471
52
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 471-472
85
Apabila yang dimaksudkan Rasyîd Ridâ adalah bentuk penjagaan dari
Allah dari gangguan orang-orang kafir, maka Tabataba‟i jelas berbeda
sebagaimana penafsiran kalimat-kalimat sebelumnya dalam ayat ini. Tabataba‟i
berpendapat bahwa secara lahiriah ayat ini merupakan „Ishmah dalam
pengertian memelihara dan menjaga dari kejahatan manusia yang diarahkan
kepada jiwa Nabi saw, tujuan-tujuanya yang islami, keberhasilan penyampaian,
keberuntugan usaha dan makana-makna lain sesuai dengan kesuciannya.53
Pendapat Tabataba‟i ini menguatkan apa yang sudah dijelaskannya
tentang perintah penyampaian risalah, bentuk kekhwatiran Nabi saw adalah
bukan dari Ahlu Kitab ataupun kafir. Akan tetapi dalam batang tubuh umat
Islam sendiri. Oleh karena itu menghubungkan „Ishmah dengan manusia “الناس
” disni menurutnya bukanlah pemeliharaan seperti penganiayaan fisik atau
membunuh dan meracuni, akan tetapi pemeliharaan dari kejahatan manusia
yang memutarbalikan perkara kepada Nabi saw, yang hal ini dapat
meruntuhkan kejayaan ilmu-ilmu agama. Lebih tepatnya kata “ اناس ” dalam
ayat ini menurutnya adalah gambaran sikap pribadi negatif dari orang-orang
beriman, munafik dan hatinya berpenyakit.54
Dan pendapat Tabataba‟i tentang makna “kafir” yang dimaksud dalam
ayat ini adalah mereka sekelompok manusia yang sifatnya telah disebutkan
yaitu sikap pribadi negatif dari orang-orang beriman, munafik dan hatinya
berpenyakit. Sehingga maksud dari “ انهه نا يهدي انقىو انكافري adalah Allah ” إ
tidak memberi petunjuk/hidayah kepada mereka dalam siasat dan tipu daya dan
53 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 51
54
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 51
86
Dia memelihara Nabi saw. dari sebab-sebab yang berlaku yaitu sikap-sikap
negatif yang akan mereka lakukan.55
Dalam perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tersebut ada
persamaannya, yaitu keduanya tidak memahami „Ishmah di sini sebagai bentuk
pemeliharaan atau keterjagaan dari Allah dengan sesuatu yang khusus bagi
Nabi saw. yaitu kesucian jiwa. Akan tetapi Allah menjaga dan memelihara dari
bentuk gangguan orang-orang kafir – ataupun yang tergolong sifat orang-orang
kafir (menurut Tabataba‟i) – dalam menyampaikan risalah.
Demikianalah dari keseluruhan analisa komparatif penafsiran antara
Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i. Banyak perbedaan mendasar dari keduanya.
Terutama dalam masalah sebab turun surat al-Mâidah ini, sehinnga
menimbulkan perbedaan dalam penafsiran kandungan ayat tersebut.
55 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 52
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis membuat analisa dan menguraikan pembahasan dari
bab ke bab, mengenai penafsiran surat al-Mâidah ayat 67 menurut Rasyîd Ridâ
dalam tafsirnya al-Manâr dan Tabataba’i dalam al-Mîzân, maka penulis
menilai terdapat perbedaan yang signifakan dalam menafsirkan ayat tersebut.
Penulis menilai apa yang ditafsirkan oleh keduanya berlandaskan
kepada background keyakinan mazhabnya masing-masing. Rasyîd Ridâ yang
bermazhab Ahlu Sunnah mencoba mempertahankan argumennya, begitu pula
dengan Tabataba’i yang bermazhabkan Syiah Itsna ‘Asyariyah, dan sengaja
penulis memilih kedua mufassir tersebut berdasarkan mazhab keduanya yang
berbeda. Sehingga menghasilkan perbedaan ataupun persamaan yang mungkin
didapat dalam memahami ayat tersebut.
Dalam penafsiran ayat ini, ada banyak perbedaan yang didapat oleh
kedua mufassir tersebut. menurut analisa penulis, pangkal penyebab perbedaan
keseluruhan dalam memahami ayat tersebut adalah tentang sebab turunnya
ayat. Kedua muafassir banyak mengutip dan menggunakan riwayat tentang
sebab turunnya ayat ini, yang kemudian diikuti oleh argumen pemikirannya.
Rasyîd Ridâ menyatakan bahwa ayat ini turun untuk awal kenabian.
Sedangakan Tabataba’i menyatakan ayat ini turun setelah Nabi saw,
88
melaksanakan haji wadâ di suatu tempat yang disebut Ghadîr Khum dan ayat
ini untuk ‘Ali bin Abî Tâlib.
Perbedaan mengenai sebab turun ayat ini berimbas kepada perbedaan
penafisran tentang perintah Tablîgh Risâlah dan makna ‘Ishmah Nabi saw
dalam ayat tersebut. Keterkaitan peristiwa Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali bin
Abî Tâlib dalam penafsiran ayat ini juga berawal dari perbedaan sebab turun
ayat, Rasyîd Ridâ secara khusus membahasnya bertujuan mempertegas
penolakan terhadap pendapat mazhab Syi’ah yang mendukung sebab turun ayat
ini dalam peristiwa Ghadîr Khum dan untuk ‘Ali bin Abî Tâlib.
Sebenarnya yang disayangkan oleh penulis adalah banyak riwayat yang
berbeda mengenai sabab turunnya ayat tersebut. Dalam kitab al-Durr al-
Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti, beliau menyebutkan beberapa
riwayat tentang sabab turun ayat ini. Jalâluddin al-Suyûti seolah mengakui
bahwa memang banyak perbedaan dalam sabab turunnya ayat ini berdasarkan
berbagai periwayatannya, dalam kitabnya tersebut beliau mengutip dari nama-
nama besar dan masyhûr seperti Ibnu Abî Hâtim, al-Turmudzî, al-Baihaqî,
Ibnu Mardawaih, ‘Abd bin Humaid, al-Tabrânî, Abû Nua’im, Ibnu Jarîr
Ahmad bin Ja’dah dan lain-lain.1
Adapun tentang hadis Ghadîr Khum dan tentang makna wali yang
dibahas dalam kedua tafsir tersebut, penulis menilai bahwa hadis tersebut
shahih dan mutawâtir secara sanad dan matannya mengikuti apa yang sudah
dilakukan penelitiannya oleh HM. Attamimy dalam tesisnya yang kemudian
1 Lihat Jalâluddin al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, (Dar al-Kutub
Ilmiyyah, Beirut, 1990), jilid 2, hal, 528-530
89
dijadikan sebuah buku.2 Akan tetapi memang terjadi perbedaan dalam
pemaknaan wali dalam hadis tersebut.
Menarik dalam menganalisa kedua penafsiran ini adalah penggunaan
argumen rasioanal dan filosofi dalam memahami ayat. Argumen rasional dan
filosofi keduanya lah yang membuat perbedaan dalam riwayat sebab turunnya
dan kandungan ayat ini menjadi melebar luas akan tetapi jelas.
B. Saran-saran
1. Dalam al-Qur‟ an mengandung 114 surat. Maka, jangan hanya terfokus
pada satu surat saja.
2. Dalam Al-Qur‟ ân terdapat banyak ayat-ayat mengenai persoalan agama
dan kisah. Tujuan utama dari kisah yang terdapat di dalamnya adalah agar
manusia dapat mengambil pelajaran, karena kisah-kisah tersebut sarat
dengan petunjuk.
3. Kepada peneliti yang tertarik untuk membahas tentang ayat ini, agar bisa
membahas lebih lengkap dan dalam lagi, karena dalam penelitian ini
masih banyak kekurangan dan kelemahan.
4. Perbedaan muncul disebabkan oleh perbedaan interpretasi teks yang
seharusnya disikapi penuh toleransi. Oleh karena itu bagi yang mempunyai
sudut pandang lain dalam penelitian ini, dianjurkan untuk melakukan
penelitian yang sama dengan mengemukakan argumentasi secara
akademik.
2 Lihat HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., (Yogyakarta:
Aynat Publishing, 2010)
90
5. Penelitian terhadap tokoh Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i sudah banyak
dilakukan, namun masih banyak ruang untuk dikaji dan diteliti. Oleh
karena itu, peneliti sarankan supaya pengkaji tafsir al-Qur‟ ân semakin
mengembangkan kajiannya untuk menambah khasanah keilmuan Islam
dan menjadikan al-Qur‟ ân semakin praktis dan mudah dipahami bagi
para pembacanya.
6. Penulis berharap ada yang meneliti tentang sebab turunnya ayat ini
berdasarkan kajian riwayat mengacu pada ‘ulum al-Hadis. karena dengan
itu bisa diketahui dengan jelas riwayat yang shahih, bukan sekedar kutipan
dalam kitab-kitab tafsir ataupun sejarah.
91
DAFTAR PUSTAKA
A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, Jakarta:
Erlangga, 2006
al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin al Husain bin Ali, Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi,
Beirut: Dar el-Fikr, 1996
Abidin, Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syiah, Jakarta: Ilya, 2004
al-Dzahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo: Dar al-Kutub
al-haditsah, Jilid III, 1968
al-Suyûti, Jalâluddin, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, Beirut: Dar al-
Kutub Ilmiyyah, Juz II, 1990
Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan oleh Rofiq
Suhud dkk dengan judul Antologi Islam, Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005
Haykal, Muhammad, Hayât Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan
judul Sejarah Hidup Muhammad Jakarta: Pustaka Jaya, 1979
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., Yogyakarta:
Aynat Publishing, 2010
Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta: LKIS, 2003
Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran:
Wazarah al-Tsaqofah wa al-Irsyad al-Islam
Mufradi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997
Muhaimin, Pembaharuan Islam Refleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-
tokoh Muhamadiyah, Cirebon: Pustaka Dinamika, 2000
Ridho, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahiir bi Tafsir al-
Manar, Beirut: Dar al-Ma’rifah,
Ridwan, Kufrawi (ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet.
ke III, 1994
al- Syak’ah, Mustofa, Al-Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh A. M.
Basalamah dengan judul Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani
Press, 1994
92
Shadr, Muhammad Baqir, Kemelut Kepemimpinan Setelah Rasul, Jakarta: As-
Sajjad, 1990
Shihab, M. Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jakarta:
Lentera Hati, 2007
________________, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Vol. 3, Jakarta: Lentera Hati, 2007
________________, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar
Jakarta: Lentera Hati, cet II, 2007
Siradj, Said Aqil, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis, Jakarta:
Pustaka Cendekia Muda, 2008
Syariati, Ali, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Jakarta: Mizan, 1995
Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an, Teheran:
Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1392 H
________________, Tafsir Al-Mizan; Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, pen.
Syamsuri Rifa’i, Jakarta: CV. Firdaus, 1991
________________, Tafsir al-Mizan; Mengupas Surat Al-Fatihah, pen. Syamsuri
Rifa’i, Jakarta: CV. Firdaus, 1991
________________, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam
Secara Mudah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
93
Lampiran
KLASIFIKASI RIWAYAT SEBAB TURUN SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67
No
Riwayat
Rasyîd Rida
(Tafsir al-Manâr)
Tabatabâ’i
(Tafsir al-Mizân)
Disebutkan Alasan Disebutkan Alasan
1.
Rasyîd Ridâ dalam
penjelasannya lebih
sependapat dengan
yang mengatakan
bahwa ayat ini turun
pada permulaan
Islam yaitu untuk
Ahli Kitab
sebagaimana
pendapat ulama
tafsir al-Ma’tsûr.
Beliau menyatakan
bahwa apabila ayat
ini tidak menyangkut
masalah Ahli Kitab
maka tidak sesuai
dengan ayat
setelahnya, yaitu
dengan pengertian
bahwa Allah
berkata:
“Sampaikanlah apa
yang diturunkan
kepadamu tentang
perkara Ahli Kitab
dan jika kamu
bertanya apa yang
harus disampaikan
maka jawablah
“Katakanlah: "Hai
ahli Kitab, kamu
tidak dipandang
beragama sedikitpun
hingga kamu
menegakkan ajaran-
Tabataba’i
menyebutkan
riwayat ini, tetapi
beliau
menolaknya
karena
menurutnya ayat
ini tidak berkaitan
dengan kisah
tersebut. Beliau
hanya membahas
apa yang
disebutkan oleh
Rasyid Rida
dalam tafsirnya.
94
.
ajaran Taurat, Injil,
dan al-Qur’an yang
diturunkan
kepadamu dari
Tuhanmu"... .”
2.
Rasyid rida
mendukung
argumennya dengan
menyebutkan apa
yang sudah
disampaikan oleh
para ahli tafsir yang
mengutip riwayat
secara turun-
menurun.
Tabataba’i
menolak riwayat
ini dengan alasan
riwayat ini turun
dipertengahan
waktu Nabi Saw
tinggal di
Makkah, maka
hal ini tidak
relevan dengan
makna ayat ini.
3.
-
Salah satu riwayat
yang digunakan
Tabataba’i
sebagai dalil kuat
tentang sebab
turun ayat ini, dan
juga diriwayatkan
95
juga dalam kitab
Nuzul al-Qur’an
oleh al-Hafizh
Abu Naim
bersanad pada Ali
bin Amir dari
Abu al-hajjaf dari
al-A’masy dari
Athiyah.
4.
-
Tabataba’i
menolak riwayat
ini karena tidak
relevan dengan
ayat.
5.
-
Menurut
Tabataba’i
riwayat ini
tertolak, riwayat
ini di Makkah
padahal secara
lahiriah ayat ini
96
turun di Madinah.