STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG
Transcript of STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG
STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG
RIBA DALAM TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR IBNU KATSIR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I.)
Oleh
Lilis Maulida
NIM: 100034019055
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA 1429 H./ 2008 M.
STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG
RIBA DALAM TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR IBNU KATSIR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I.)
Oleh
Lilis Maulida
NIM: 100034019055
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. H. Zaenal Arifin, MA. Drs. Zahruddin AR, M. M. Si.
NIP. 150 202 341
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1429 H./ 2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AYAT-AYAT
TENTANG RIBA DALAM TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR IBNU KATSIR
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 11 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I.) pada Program Studi Tafsir
Hadis.
Jakarta, 11 Juni 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap
Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M. Fils Dra. Joharotul Jamilah, M.
Si.
Anggota
Penguji I Penguji II
Drs. M. Anwar Syarifudin, MA Drs. Rifqi Mukhtar, MA
Anggota
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Zaenal Arifin, MA Drs. Zahrudin AR, M. Si NIP. 150 202 341
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT. atas hidayah dan
kemurahan-Nya yang dianugrahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas
Skripsi ini dengan baik, dan tak lupa juga shalawat serta salam disampaikan kepada
junjungan Nabi besar Muhammad saw. keluarganya, para sahabatnya, para pengikutnya
sampai akhir zaman.
Tujuan Penulisan Skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S. Th. I) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Jurusan Tafsir Hadis. Dalam
rangka itulah penulis membuat Skripsi dengan judul “Studi Komparatif Penafsiran
Ayat-Ayat Tentang Riba Dalam Tafsir al-Manar dan Tafsir Ibnu Katsir”.
Dalam menyelesaikan Skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang
dihadapi, dan dialami penulis, baik yang menyangkut pengaturan waktu, pengumpulan
bahan-bahan (data), maupun pembiayaan dan lain sebagainya. Namun berkat
kesungguhan hati dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak,
maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya, sehingga
Skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselenggaranya Skripsi ini, terutama
kepada Bapak Drs. H. Zaenal Arifin, MA. (pembimbing I), dan Bapak Drs. Zahruddin
AR, M. M. Si. (pembimbing II), yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan
yang sangat berarti bagi penulis. Selanjutnya ucapan terima kasih tak terhingga penulis
sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
2. Bapak Drs. Bustamin, M.B.A. selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan Bapak
Edwin Syarif, MA. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, para dosen Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, terutama dosen-dosen Ilmu Hadis dan Tafsir, serta para
Staf yang yang selalu membantu kelancaran terselesaikannya kuliah ini. Beserta
Tata Usaha Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
3. Pegawai perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, perpustakaan Utama,
dan perpustakaan Iman Jama’, yang telah membantu melengkapi literatur yang
diperlukan dalam penulisan Skripsi ini.
4. Ayahanda Ruhiyat Nur Hayat dan Ibunda Siti Salamah, atas kesabaran dan
keikhlasannya memberikan do’a, biaya dan motivasi kepada penulis, sehingga
dapat menyelesaikan Pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Kakaku Asep Maulana Yusuf, S.Th. I, yang selalu memberikan dukungan dan
bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini, tak kurang tulusnya
terima kasih pada Pamanda Cecep Suryana, S. Ag. serta Bibinda Irlaily Fatmi, S.
Ag., serta kepada adik-adikku – Neneng Maulani Uswatun Hasanah, Atep
Mauludin Nur Falah, Denden Syarief Hidayatullah, dan Lies Suryani – yang telah
memberikan dorongan dan semangatnya kepada penulis.
6. Khusunya kepada teman baikku Yayah Fajriyah, Siti Masyitoh, serta temanku
waktu KKN (Neneng Hasanah, Nurul Fitria, Idha Widiawati, Lulu Kholifah, Nur
Albar, Saeful Alam, Fian Muhammad Abduh), dan Anak-anak Tafsir Hadits (TH
– D) angkatan 2000, Titin Yulianti, Risma, Lilis Susanti, Hidayatullah, Ucup
Subahis, Eka Saefullah, Bambang Tti Atmojo, dll, yang tidak bisa namanya
disebutkan satu persatu. Mereka merupakan tempat me refresh dari segala bentuk
keluh kesah. Di sana pula, tempat kubercermin dan menyelami makna hidup ini.
7. Tak mungkin lupa, kenangan panjang dan penuh liku bersama The best Friend in
Sweet and Sweet. Semoga kebersamaan ini merupakan langkah untuk menjadi
awal yang baik menuju cita-cita. Semoga kita tidak salah mengartikan
kebersamaan ini. Saat inilah pertama kalinya terasa, terpikir dan teralami
perjalanan yang seakan tak bertepi.
8. Selanjutnya, semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis hanya
bisa mengucapkan terima kasih.
Akhirnya, dengan segala keterbatasan, Penulis hanya dapat mengembalikan
segala-Nya kepada Allah SWT. untuk membalas kebaikan mereka, semoga Skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya pecinta ilmu dan pembaca umumnya.
Amin.......!
Jakarta, 15 Juni 2008
Penulis
Lilis Maulida
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ...............................................................i
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...........................................................ii
PEDOMAN TRANSLITERASI .....................................................................................iii
KATA PENGANTAR .....................................................................................................iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...............................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...........................................................7
C. Metodologi Penelitian ...................................................................................8
D. Tujuan Penulisan .........................................................................................10
E. Sistematika Penulisan .................................................................................10
BAB II TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR IBNU KATSIR...................................12
1. A. Biografi Pengarang Tafsir al-Manar .....................................................12
1. Biografi Muhammad Abduh ...........................................................12
2. Biografi Muhammad Rasyid Ridha ................................................14
B. Metode dan Corak Penulisan Tafsir al-Manar........................................17
C. Karya-karya Penulis Tafsir al-Manar ....................................................23
2. A. Biografi Pengarang Tafsir Ibnu Katsir ...................................................27
B. Metode dan Corak Penulisan Tafsir Ibnu Katsir ....................................29
C. Karya-karya Penulis Tafsir Ibnu Katsir .................................................30
BAB III SEKILAS TENTANG RIBA ........................................................................33
A. Pengertian Riba .........................................................................................33
B. Pembagian Riba ........................................................................................35
C. Sejarah Riba ..............................................................................................39
BAB IV STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG
RIBA DALAM TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR IBNU KATSIR .......47
A. Penafsiran Ayat-ayat Riba dalam Tafsir al-Manar ....................................48
1. Penafsiran pada Surah Ali Imran ayat 130 .....................................48
2. Penafsiran pada Surah al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279 ...52
B. Penafsiran Ayat-ayat Riba dalam Tafsir Ibnu Katsir .................................58
1. Penafsiran pada Surah Ali Imran ayat 130 .....................................59
2. Penafsiran pada Surah al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279....59
C. Analisa Perbandingan Penafsiran Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid
Ridha dan Ibnu Katsir atas Ayat-ayat Tentang Riba .................................70
BAB V PENUTUP ......................................................................................................76
A. Kesimpulan ................................................................................................76
B. Kritik dan Saran .........................................................................................77
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................78
PEDOMAN TRANSLITERASI
Huruf Hijaiyah
l = ل s = س = ا
m = م sy = ش b = ب
n = ن sh = ص t = ت
w = و d = ض ts = ث
th = h = ط j = ج
= ء zh = ظ h = ح
y = ي ‘ = ع kh = خ
gh Vokal tunggal = غ d = د
(harakah)
f = a = ف dz = د
q = i = ق r = ر
k = u = ك z = ز
Bacaan Panjang (Mad) Vokal rangkap (diptong)
ay = ي a = ي
iy = ي i = ي
aw = و u = و
Kata sandang (ا ل) untuk kata syamsiyah dan qamariyah adalah al-
Contoh: القمر = al-Qamar
al-Syams = الشمس
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an memiliki berbagai macam keistimewaan, keistimewaan tersebut salah
satunya, yakni susunan bahasanya yang unik dan mempesonakan. Al-Qur’an al-Karim
juga merupakan sumber utama ajaran Islam berfungsi sebagai petunjuk ke jalan yang
sebaik-baiknya demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Nabi Muhammad saw. adalah orang yang pertama yang menguraikan maksud-
maksud al-Qur’an dan menjelaskan kepada umatnya wahyu-wahyu yang diturunkan
Allah kepadanya. Pada masa itu tak seorang pun dari sahabat Rasul yang berani
menafsirkan al-Qur’an, karena Rasul masih berada di tengah-tengah mereka. Rasul
memahami al-Qur’an secara global dan rinci. Dan adalah kewajibannya menjelaskan
kepada para sahabatnya. Atas dasar wewenang yang diberikan Allah untuk menafsirkan
al-Qur’an.1
Al-Qur’an juga mengandung beberapa ajaran, seperti akidah, ibadah, akhlak dan
mu’amalah. Mu’amalah adalah satu dimensi hubungan kehidupan manusia antar sesama,
termasuk dalam konteks hubungan ekonomi, seperti jual beli. Maka, di dalam Islam harta
sangat dijunjung tinggi, karena tanpa harta manusia tidak akan dapat bertahan hidup.
Oleh karena itu, Allah SWT. menyuruh manusia memperolehnya, memilikinya dan
1 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad ‘Abduh; Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 91.
memanfaatkannya bagi kehidupan manusia. Dan Allah SWT. melarang berbuat sesuatu
yang akan merusak dan meniadakan harta itu.2
Maka, tidaklah mengherankan jika dikatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang
lengkap dan berisi petunjuk yang komprehensif dalam seluruh aktifitas kehidupan
manusia termasuk ajaran-ajaran tentang tata cara beribadah, etika, transaksi, politik,
hukum, perang dan damai, sistem ekonomi, yang diwahyukan Allah sebagai anugerah
bagi semua manusia, khususnya sebagai petunjuk.3
Ketika Islam membicarakan materi atau harta, maka pandangan Islam adalah
sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat
menjelaskan semua kejadian-kejadian. Karena, disana kewajiban itu lebih dipentingkan
dari pada materi. Tetapi materi adalah menjadi jalan untuk merealisir sebagian
kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam
pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi, yang tidak bertentangan dengan
kemaslahatan umum, tanpa berbuat dhalim dan berlebih-lebihan.4
Bukti begitu pentingnya arti harta bagi manusia, Allah SWT. dalam salah satu
ayat al-Qur’an memerintahkan untuk mencarinya, seperti tertera dalam surat al-Jumu’ah
ayat 10.
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ االله
“Maka apabila shalat telah dilaksanakan, bertebaranlah di permukaan bumi, carilah karunia (kekayaan) Allah…” (QS. Al-Jumu’ah: 10).
2 Amir Syarifuddin , Garis-garis Besar Fiqh. (Jakarta, Prenada Media, 2003), h. 177. 3 Sayyid Quthb, Dasar-dasar Sistem Ekonomi Sosial dalam Kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj.
Muhammad Abbas Aula, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1994), h. ix. 4 Muhammad Mahmud Bably, Kedudukan Harta menurut Pandangan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1999), h. 5.
Sesuai dengan petunjuk ayat di atas, maka harta yang dapat dan boleh diperoleh
dan dimanfaatkan terikat kepada dua syarat: Pertama, harta itu adalah yang baik, baik
secara zat dan materinya, tidak merusak pada diri yang memakainya dan tidak merusak
kepada orang lain.5 Kedua, harta itu adalah yang halal, dalam arti diperoleh sesuai dengan
petunjuk Allah SWT. dan menghindari dari yang dilarangnya.6 Dua hal inilah yang
menjadi prinsip pokok dalam bermuamalah dengan harta yang ditetapkan Allah dalam al-
Qur’an.
Sebaliknya juga, Islam sangat menentang segala transaksi yang bertujuan merusak
dan merugikan orang lain dengan cara-cara yang bathil. Salah satunya ialah riba. Riba
yang secara sederhana didefinisikan dengan “bertambah dari asalnya” merupakan satu
transaksi yang dilarang oleh Allah. Karena itulah, dalam al-Qur’an dengan tegas
dikatakan tentang keharamannya, seperti tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 275:
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ االلهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Mereka berkata, sesungguhnya jual beli sama dengan riba. Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al- Baqarah: 275)
Mengapa riba haram? Karena ia tidak sesuai dengan prinsip Islam yang
menyuruh umatnya untuk menolong sesama umat untuk bersikap pamrih. Sebab,
5 Hal ini juga ditegaskan dalam salah satu ayat al-Qur’an yang artinya “Dan menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk….” (QS. Al-A’raf: 157). Dalam surat al-‘Adhiyat, harta benda itu disebut sebagai sesuatu yang baik dan pada surat al-Jumu’ah ayat 10 harta disebut sebagai keutamaan dari Tuhan. Sementara itu dalam beberapa ayat lainnya anjuran untuk memberi perhatian kepada harta ( Surat an-Nahl: 5-8). Atas alasan inilah, maka kemudian harta menjadi lima ajaran pokok (al-kulliyah A-khams) yang menjadi kebutuhan dasar (dharuriyah) dalam kehidupan manusia. Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung, Mizan, 1994), h. 169.
6 Al-Qur’an mengatakan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu secara bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka…” (QS. An-Nisa’: 29). Lihat Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh…h. 180-181.
tindakan riba secara tidak langsung memberikan kesenangan dan kerelaan kepada satu
pihak, sedangkan Islam menghendaki kesenangan dan kerelaan itu secara timbal balik.7
Islam juga menginginkan hidup ini dengan cara sosial dan berbudaya yang dilandaskan
kepada tatanan moral.
Jadi, cara-cara membelanjakan harta yang tidak sesuai dengan syara’ tidak dapat
dibenarkan adanya. Mekanisme yang dianjurkan itu adalah, diantaranya dengan prinsip
sukarela, menarik manfaat dan menghindarkan mudharat bagi kehidupan manusia,
memelihara nilai-nilai keadilan dan tolong-menolong. Sebaliknya, bila ada praktek yang
bertentangan dengan di atas, seperti mendapatkan harta yang mendatangkan mudharat
atau jauh dari prinsip keadilan seperti riba adalah dilarang.8
Dalam sejarahnya, tulis Quraish Shihab bahwa Thaif, tempat pemukiman suku
Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Mekkah, yang juga merupakan
daerah subur dan menjadi pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy telah
mengenal praktek-praktek riba. Bahkan sebagian tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti
‘Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi) dan Khalid bin Walid, dia telah mengenal riba
sampai turunnya larangan tersebut.9 Dan seperti dituturkan dalam banyak literatur
sejarah, betapa rusaknya tatanan sosial-ekonomi masyarakat saat itu, akibat praktek yang
salah satunya akibat riba ini. Maka, sebabnya menjadi sangat penting mengkaji
bagaimana riba sebenarnya dalam al-Qur’an, terutama sekali dalam tela’ah kajian
kontemporer.
7 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh…h. 212. 8 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman; Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan
Ekonomi, (Bandung: Mizan,1996), h. 201. 9 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 1998), h. 259.
Suatu fenomena yang cukup menarik untuk diteliti, walaupun para ulama sejak
dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar
mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk
mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan
apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun
menjadi haram, ataukah tidak sama? Bagaimana penerapan esensi riba pada praktek-
praktek bentuk baru dalam transaksi ekonomi yang sedang berlangsung saat ini? Dan
apakah dengan sesuatu yang menjadi kelebihan itu haram?
Bagaimanapun, di masa lampau, riba dengan segala sifat dan dampaknya sudah
dipahami, kendati dalam pengertiannya yang sederhana. Artinya, berbagai kegiatan
ekonomi sudah dapat dikategorikan sebagai riba atau tidak. Perkembangan ekonomilah
kelihatannya yang membentuk persepsi tertentu dalam masyarakat menyangkut penilaian
terhadap kegiatan ekonomi, sehingga kegiatan tertentu yang dewasa ini dipandang baik
bahkan dibutuhkan, dipandang terkutuk berdasarkan pandangan masa lampau karena
perbedaan persepsi.
Adapun alasan yang mendorong penulis untuk mengangkat kepermukaan tentang
masalah ini karena cakupan riba masih terus diperdebatkan, perdebatan itu terutama
terfokus pada soal apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan riba dalam al-Qur’an
dan bagaimana perekonomian kaum muslimin dilaksanakan di tengah-tengah sistem
perbankan modern yang antara lain mensyaratkan praktek bunga dalam sistem simpan
dan pinjam uang. bahkan dalam kehidupan sehari-haripun hingga kini sebagian besar
dalam kehidupan bermasyarakat masih banyaknya praktik riba dalam simpan dan pinjam
uang.
Untuk itulah, pada skripsi ini penulis mengambil perbandingan dengan memilih
tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha dan tafsir Ibnu
Katsir karya Ibnu Katsir, karena penulis ingin melihat bagaimana sosok Muhammad
Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha sebagai pelopor visi dan paradigma rasional10
menanggapi riba dalam konteks kemodernan ini? Dan bagaimana Muhammad Abduh,
dalam memahami al-Qur’an sebagai sumber pokok, tidak selamanya berpegang pada
dalalah (tunjukan) lahir nash. Untuk itu beliau berpatokan pada suatu kaidah yang
populer “Sesungguhnya yang perlu diperlukan dari suatu formula nash adalah tujuan
dan pengertiannya, bukan lafal dan tulisan yang tertera”.11 Serta dalam menafsirkan
ayat yaitu dengan mengutip hadits-hadits itu secara sekilas untuk mendukung
pendapatnya dalam penafsiran, dan merupakan simbol rasionalitas dalam bidang tafsir.
Sedangkan penulis mengambil Ibnu Katsir karena beliau adalah seorang tokoh
mufassir klasik yang konservatif. Dalam menyajikan riwayat-riwayat sangat bergantung
pada sumber-sumber lain. Beliau dalam menafsirkan ayat-ayat riba cenderung
menitikberatkan pada pengutipan hadits-hadits yang berkenaan dengan kasus yang
melatarbelakangi turunnya ayat riba, dengan sedikit komentar.
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, penulis terinspirasi pada
kedua tafsir tersebut, yang turut mengilhami dan melatar belakangi penelitian ini
dilakukan. Dikarenakan kedua tafsir tersebut, mempunyai corak penafsiran yang berbeda,
yang barangkali selama ini belum begitu terpublikasikan secara luas. Dengan diwujudkan
dalam sebuah judul: “Studi Komparatif Penafsiran Ayat-ayat Tentang Riba Dalam
10 Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qu’an Kontemporer (Bangil: al-Izzah, 1997), h. 105.
11 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 77.
Tafsir al-Manar dan Tafsir Ibnu Katsir”, dengan fokus pada penafsiran ayat-ayat riba
dalam al-Qur’an yang terdapat dalam dua kitab Tafsir tersebut. Diharapkan dari kajian
ini, kita bisa mengetahui secara utuh makna riba yang dimaksudkan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah
pada maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis akan membatasi
permasalahan dengan dititikberatkan pada penafsiran Muhammad Abduh, Muhammad
Rasyid Ridha dan Ibnu Katsir terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan riba dalam
kitab tafsirnya, yaitu Tafisr al-Manar dan Tafsir Ibnu Katsir, setelah itu penulis akan
membandingkan penafsiran ketiga mufassir tersebut..
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan
permasalahannya pada:
- Bagaimana penafsiran ayat-ayat tentang riba yang terdapat dalam tafsir al-Manar
dan tafsir Ibnu Katsir?
- Apa perbedaan dan persamaan dari ketiga penafsiran tersebut?
C. Metodologi Penelitian
Ada tiga aspek metodologi penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan
skripsi ini, yaitu:
1. Metode pengumpulan data
Penulisan skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian kepustakaan
(library research) yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan
dengan pokok masalah tentang riba yang penulis jadikan sumber penulisan, kemudian
sumber-sumber tersebut dibagi dua, yaitu: sumber primer dan sumber sekunder.
Adapun sumber primer yang penulis ambil dalam tulisan ini adalah:
1. Tafsir Al-Manar, Karya Rasyid Ridha, Mesir: Dar al-Manar, 1376 H.
2. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir, Karya
Ibnu Katsir, Kairo: 1342 H.
Di samping itu juga dibantu oleh referensi sekunder seperti artikel dan beberapa
kitab-kitab tafsir yang tentunya mudah dijangkau, juga beberapa buku, kamus,
ensiklopedi, majalah, artikel, tulisan, makalah, kitab dll. yang membahas masalah ini.
2. Metode Pembahasan
Adapun metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode
analisis-komparatif. Metode analisis-komparatif.12 yaitu suatu pendekatan dengan cara
mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas yaitu tentang
“Riba”. Kemudian data tersebut dideskripsikan, yaitu memaparkan penafsiran
Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha dan Ibnu Katsir yang bersumber dari data
primer dan sekunder, setelah itu dianalitis setiap pendapat untuk memperoleh kejelasan
masalah tentang “Riba”.
Kemudian bersifat komparatif yaitu antara tiga pendapat tadi dikomparasikan,
sehingga penulis dapat mengetahui persamaan dan perbedaannya. Perbandingan yang
12 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), Cet. Ke-4, h. 63.
akan dilakukan penulis mencakup metode, corak, serta penafsiran yang terdapat dalam
dua kitab tafsir tersebut tentang “Riba”. Dengan demikian, sifat-sifat hakiki dalam objek
penelitian dapat menjadi jelas. Justru perbandingan itu memaksa dengan tegas
menentukan persamaan dan perbedaan, sehimgga hakikat objek yang dipahami semakin
murni.13
3. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi,Tesis dan Disertasi), yang disusun oleh Tim UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta terbitan UIN Press Cet. 1. Jan-2007 M/ 1427 H.
D. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan permasalahan di atas, orientasi penelitian ini diarahkan pada
upaya memahami serta menganalisis kandungan ayat-ayat riba dalam kajian Tafsir al-
Manar dan Tafsir Ibnu Katsir. Dengan mengetahui pandangan dan pemikiran
Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar, dan Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir.
Jelasnya, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kandungan ayat-ayat riba pada surat Ali ‘Imran: 130, dan surat
al-Baqarah: 275, 276, 278, dan 279 yang terdapat dalam tafsir Al-Manar dan
Tafsir Ibnu Katsir.
13 Anton Baker dan Achmad Harris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1990), Cet. Ke-7, h. 51.
2. Mengetahui/ membandingkan penafsiran Muhammad Abduh, Muhammad
Rasyid Ridha dan dan Ibnu Katsir tentang riba.
3. Untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Sebagai karya tulis ilmiah, maka penulisan skripsi ini akan disusun secara
sistematis. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II SEKILAS TENTANG TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR IBNU
KATSIR
Pada bab ini akan dibahas tentang Tafsir al-Manar dan Tafsir Ibnu Katsir
yang meliputi pembahasan tentang: Biografi pengarang Tafsir Al-Manar dan
Tafsir Ibnu Katsir, metode dan corak penulisan tafsir, serta karya-karya
penulis.
BAB III PERIHAL RIBA
Pada bab ini akan dibahas pengertian tentang riba, pembagian riba, serta
sejarah riba.
BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT RIBA DALAM TAFSIR AL- MANAR
DAN TAFSIR IBNU KATSIR
Pada bab ini akan dibahas tentang bagaimana penafsiran Muhammad
Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha yang terdapat dalam Tafsir al-Manar
dan penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, tentang ayat-ayat riba,
yang meliputi penulisan ayat dan terjemah, penafsiran ayat-ayat riba dan
perbandingan penafsiran ayat-ayat riba dalam Tafsir al-Manar dan Tafsir
Ibnu Katsir.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini akan dimuat mengenai kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR IBNU KATSIR
1. A. Biografi Pengarang Tafsir al-Manar
1) Biografi Muhammad ‘Abduh (1849 M/ 1266 H – 1905 M/ 1323 H)
Muhammad ‘Abduh, yang nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah, dilahirkan di desa Mahallat al-Nashr, Kabupaten al Buhayrah, tahun 1849 M,
bertepatan dengan 1266 H, di Propinsi Gharbiyah, Mesir. Ayahnya, ‘Abduh bin Hasan
Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir, sudah membangun rumah
untuk keluarganya di desa pindahan baru tersebut, dan mempunyai silsilah keturunan
dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, yang bernama Jutaynah adalah seorang janda
yang berasal dari sebuah desa dekat Thantha, propinsi Gharbiyah, mempunyai silsilah
keturunan dengan pemimpin besar Islam, ‘Umar bin Khaththab, khalifah yang kedua..14
Selaku anak dari keluarga yang taat beragama, awalnya ‘Abduh diserahkan orang
tuanya belajar al-Qur’an, berkat otaknya yang cemerlang, dalam usia 12 tahun ia telah
menghafal al-Qur’an seluruhnya. Setelah belajar membaca dan menghafal al-Qur’an di
kampungnya, pada tahun 1862 dia dimasukkan ke sekolah agama di Thantha, tetapi
tampaknya kurang tertarik. Karena itu ia keluar dari sekolah tersebut dan baru kembali
belajar setelah dibujuk adik kakeknya. Pada tahun 1865 dia kembali ke Thantha, namun
tahun berikutnya dia meninggalkan Thantha dan studi di al-Azhar, Kairo. Di al-Azhar
perhatian ‘Abduh terpusat pada pelajaran tasawuf dan kehidupan sufi. Sekali lagi adik
14 Muhammad ‘Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Cet. Ke 10, h. vii.
kakeknya yang berhasil membujuknya meninggalkan pelajaran tasawuf dan praktek sufi
itu.15
Pada tahun 1872, saat usia 23 tahun, ‘Abduh berkenalan dengan Afghani, dan
darinya dia belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan kaca mata yang baru. Juga
oleh Afghani dia diperkenalkan kepada karya-karya banyak penulis Barat yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta kepada masalah-masalah politik dan sosial
yang tengah dihadapi baik oleh rakyat Mesir sendiri maupun umat Islam pada umumnya.
Kemudian ‘Abduh menjadi salah seorang pengikut Afghani yang paling setia. Pengaruh
Afghani-lah yang mendorong ‘Abduh untuk belajar ilmu jurnalistik yang terus
dipraktekkannya.16
Setelah selesai pendidikannya di al-Azhar dengan gelar kesarjanaan Alim, mula-
mula ia memberikan pelajaran privat. Kemudian pada tahun 1879 dia diangkat menjadi
pengajar di Dar al-‘ulum, tetapi pada tahun itu juga diberhentikan dengan alasan yang
tidak jelas, dan dia kembali ke kampungnya. Sementara itu Afghani juga diusir dari
Mesir. Pada tahun 1880, setelah terjadi pergantian pemerintahan di Mesir, ‘Abduh
diangkat untuk memimpin majalah resmi al-Waqa’i al-Mishriyah, yang di bawah
pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal. Atas tuduhan terlibat dalam
pemberontakan Urabi Pasha yang gagal, meskipun keterlibatan itu tidak jelas, setelah
pemberontakan itu dapat ditindas pada akhir tahun 1882 ‘Abduh diusir dari Mesir.17
Dari Mesir, semula ia pergi ke Beirut, Libanon, baru kemudian pada tahun 1884
menggabungkan diri dengan Afghani di Paris. Bersama Afghani dia membentuk
15 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), Edisi 5, h. 120.
16 Ibid., h. 121. 17 Muhammad ‘abduh, Risalah Tauhid, Cet. Ke 10, h. ix.
organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa, dan menerbitkan majalah yang senama dengan
organisasi itu, tetapi hanya berumur delapan bulan.18 Dari Paris dia pindah ke Tunisia
beberapa bulan sambil berpropaganda mengenai organisasi itu. Tetapi sejak awal tahun
1885 dia menetap di Beirut dan sempat ikut mengajar dalam suatu lembaga pendidikan
agama. Dalam periode itu ‘Abduh sempat menyalin satu-satunya buku karya tulis
Afghani yang cukup berarti, berisi sanggahan terhadap paham atheisme, dari bahasa
Persia ke bahasa Arab.
Pada tahun 1889 ‘Abduh diampuni dan diizinkan kembali ke Mesir, dan tidak
lama setelah pulang ke Kairo dia diangkat menjadi hakim pada Tribunaux Indigine
(Pengadilan untuk Pribumi), dan dua tahun kemudian diangkat sebagai penasehat pada
Cord d’ Appel (Mahkamah Banding). Pada tahun 1899 kepadanya dipercayakan
menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Mesir. ‘Abduh diangkat sebagai Mufti negara,
dan jabatan ini tetap didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1905.19
2. Biografi Muhammad Rasyid Ridha (1865 M/ 1282 H – 1935 M – 1354 H)
Rasyid Ridha dilahirkan pada 27 Jumadil Awwal 1282 H, atau 1865 M, di desa
Qalamun.20 Ibunya bernama Fatimah, seorang wanita yang taat menjalankan ajaran
agama. Ibunya wafat di Kairo pada tahun 1931 M, empat tahun sebelum Rasyid Ridha
wafat. Ayah Rasyid Ridha bernama Sayyid Ali Ridha al-Husaini al-Hasani, juga
dilahirkan di desa Qalamun. Ia adalah seorang syaikh dan imam di masjid Qalamun dan
18 Yvonne Haddad, “Muhammad ‘Abduh: Perintis Pembaruan Islam” dalam Ali Rahmena (Ed.),
Pioneers of Islamic Revival, Para Perintis Zaman Baru Islam (terj), (Bandung: Mizan, 1998), Cet. III, h. 38. 19 Munawir Sjadzali, Loc. Cit., 20 Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al-Imam al-Mujahid, (Mesir: Dar al-Mishriyah li att’lif
wa at-ta’amah, tth), h. 19.
penganut Tariqat Syadziliyah. Dengan demikian tidak diragukan sedikit pun bahwa
Rasyid Ridha berasal dari keluarga yang baik dan dari keturunan bangsa Arab. Dan tentu
ada pengaruh budaya Arab dan sentuhan sebagaimana kebiasaan pengikut tariqat tersebut
terhadap karakter pribadi dan pemikirannya.21
Pendidikan yang pertama Rasyid Ridha adalah al-Kuttab, yang terdapat di desa
Qalamun. Pada lembaga pendidikan ini ia belajar membaca al-Qur’an, Khat (ilmu yang
mempelajari tentang seni tulisan Arab) dan lain-lainnya.
Menurut Ahmad Syarbashi, Rasyid Ridha telah mulai menampakkan
keistimewaan-keistimewaan yang ada pada dirinya sewaktu belajar pada lembaga
pendidikan ini. Ia memiliki otak yang cerdas, kadang-kadang ia mampu menghafal ayat-
ayat al-Qur’an tanpa atau sebelum diajarkan oleh gurunya, seperti ayat-ayat al-Qur’an
yang terdapat pada surat al-Baqarah, al-Imran, al-Nisa, al-Maidah. Agaknya pernyataan
Ahmad Syarbashi ini tidak berlebihan.
Setelah menamatkan pelajaran di al-Kuttab pada tahun 1299 H atau 1882 M
Rasyid Ridah melanjutkan pelajarannya ke madrasah Rasyidiyah di kota Tripoli.
Sekolah ini merupakan sekolah tingkat dasar atau ibtida’iyah. Di Madrasah al-Rasyidiyah
ini Rasyid Ridha mempelajari beberapa mata pelajaran, seperti Nahwu, Sharaf, ilmu
Bumi, ilmu Hitung, bahasa Turki dan sebagainya, sesuai dengan kurikulum sekolah
tersebut. Tetapi, setelah belajar pada madrasah Rasyidiyah ini, perasaan Rasyid Ridha
mulai kurang senang, perasaannya ini timbul sebab sekolah ini ditujukan untuk mendidik
calon pegawai pemerintah Turki Usmani. Sedangkan ia tidak ingin menjadi pegawai atau
21 Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam,
(Jakarata: Rajawali Press, 1998), h. 82.
pun bekerja sebagai petugas pemerintah. Akhirnya, Rasyid Ridha keluar dari madrasah
Rasyidiyah ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ia hanya setahun belajar di
sekolah ini, dan ada pula yang berpendapat mengatakan lebih dari setahun.
Selanjutnya Rasyid Ridha pindah ke madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah di kota
Tripoli juga, sekolah ini tingkatannya lebih tinggi dari madrasah Rasyidiyah. Di sekolah
yang baru ini Rasyid Ridha menemui pengalaman baru, yang tidak ditemuinya di
madrasah Rasyidiyah. Di madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah ini pelajaran disampaikan
dengan bahasa Arab, kecuali mata pelajaran bahasa Arab, ilmu Syari’ah, ilmu Mantiq,
ilmu Pasti dan Filsafat.22
Di samping itu, menurut Ahmad Syarbashi, usaha Syaikh Husain al-Jasr (w.
1909) mendirikan madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah ini didorong oleh pandangannya
bahwa umat Islam tidak akan maju dan baik keadaannya jika menggabungkan antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti yang telah berkembang
melalui lembaga pendidikan Islam. Berdasarkan itu maka tidak keliru dikatakan bahwa
syaikh Husaein al-Jasr adalah merupakan seorang ulama yang memiliki pandangan maju
namun tetap idealis. Di samping syaikh Husain al-Jasr sebagai gurunya, ia juga belajar
pada guru-guru yang lain meski pengaruh mereka kepadanya tidak besar pengaruh syaikh
Husaein al-Jasr. Di antara guru-guru beliau adalah; Syeikh Mahmud Nasyabah seorang
ahli dalam bidang Hadis, Muhammad al-Qawijiy, ‘Abduh Ghani al-Rafi, yang
mengajarkannya kitab Nail al-Autar, Muhammad al-Husaini dan Muhammad Kamil al-
Rafi.23 Akan tetapi sangat disayangkan tujuan mulia syaikh Husaein al-Jasr mendirikan
22 Ahmad Syarbashi, Rasyid Ridha Sahib al-Manar, ‘Asruhu wa Hayatuhu wa Masadiru
Tsaqafatihi, (Kairo: Majlis ‘Ala li al-Syu’un al-Islamiyah, 1970), h. 121. 23 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 61.
sekolah tersebut mulanya untuk antisipasi meluasnya misi kristenisasi tersebut kurang
direspon oleh otoritas pemerintah kerajaan Usmani, yang berakhir dengan penutupan
madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah.
Tapi sungguh madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah sudah ditutup, agaknya
pengaruh syaikh Husaein al-Jasr sangat besar atas diri dan perkembangan pemikiran
Rashid Ridha, utama tentang ide-ide dan pandangan syaikh Husaein al-Jasr yang modern
dan maju tersebut. Walaupun Rasyid Ridha tidak menjadi murid madrasah al-Wataniyah
al-Islamiyah lagi, ia tetap berhubungan dangan gurunya syaikh Husaein al-Jasr ini.
Agaknya, berdasarkan itulah maka Harun Nasution; ‘’gurunya inilah yang menjadi
pembimbing baginya di masa muda’’.
B. Metode dan Corak Penulisan Tafsir al-Manar
Muhammad ‘Abduh berpandangan bahwa tujuan pokok penafsiran al-Qur’an
ialah, menekankan fungsi kehidayahan al-Qur’an untuk manusia, agar mereka benar-
benar dapat menjalani kehidupan ini di bawah bimbingan dan petunjuk al-Qur’an.
Sedangkan uraian dan pembahasan tafsir hanyalah merupakan jalan atau cara untuk
mencapai tujuan pokok tersebut.24
Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an berusaha untuk membersihkan
tafsir al-Qur’an dari polusi-polusi berupa berita-berita isra’iliyat, hadits-hadits maudlu’,
tinjauan-tinjauan ilmu nahwu, ilmu ma’ani dan bayan, perbincangan dan perdebatan ahli
ilmu kalam, pendekatan ulama ushul al-fiqh, penyimpulan hukum (istinbath) model
24 Muhammad ‘Amarah, al-A’mal al-Kamilah li alImam Muhammad ‘Abduh, op. cit., Jilid. Iv, h.
9. Lihat juga Rif’at Syauqi Nawawi, Rsionalitas Tafsir Muhammad ‘Abduh, op. cit., h. 99.
fuqaha yang taklid, model penakwilan kaum sufi, dan dari fanatisme kelompok, serta
penghamburan riwayat yang tak perlu.25
Muhammad ‘Abduh menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fatihah
sampai surah an-Nisa’ ayat 126. Kemudian Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan ayat-
ayat secara ‘sendirian’, yang pada garis besarnya mengikuti metode yang dipakai oleh
Muhammad ‘Abduh sampai dengan surah Yusuf ayat 52.
Tafsir ini bernama Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Tafsir ini lebih populer dengan
sebutan Tafsir al-Manar, karena kandungannya berasal dari majalah al-Manar, yang
pernah diterbitkan secara serial dan periodik. Majalah al-Manar itu telah menjadi sebuah
jurnal ilmiah Muhammad ‘Abduh yang terbit setiap bulan, sedangkan pimpinan
redaksinya adalah Muhammad Rasyid Ridha.26 Ceramah-ceramah Muhammad ‘Abduh
dalam bidang tafsir al-Qur’an dipublikasikan pertama kali dalam majalah al-Manar, yang
dikumpulkan menjadi sebuah kitab. Muhammad Rasyid Ridha selanjutnya memberikan
beberapa catatan dalam bentuk sastra dan mempublikasikannya dalam bentuk teks yang
mendapatkan persetujuan langsung dari Muhammad Abduh, setelah Rasyid Ridha
memperluas cakupannya dengan beberapa pembahasan atas beberapa tema-tema
tertentu.27
Muhammad ‘Abduh menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fatihah
sampai surah an-Nisa’ ayat 126. Kemudian Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan ayat-
ayat secara ‘sendirian’, yang pada garis besarnya mengikuti metode dan cirri-ciri pokok
25 Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Ustadz, op. cit., Jilid I, h. 7. 26 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir “Dari Aliran Klasik Hingga Modern” (Madzahib al-Tafsir al-
Islam), terj. M. Alaika Salamullah, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), h. 396. 27 Dalam kerangka inilah, kitab itu menjadi sebuah tafsir yang tersusun secara sistematis dan
sempurna penggarapannya. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Muhammad ‘Abduh, dan mendapat respon yang bagus di dunia Islam sehingga mengalami beberapa kali cetakan ulang. Lihat ibid., h. 397.
yang dipakai oleh Muhammad ‘Abduh sampai dengan surah Yusuf ayat 101. Namun,
yang dicetak dalam al-Manar hanya sampai dengan ayat 52.28
Dalam metodologi penafsiran, al-Farmawi membagi metode tafsir menjadi empat
metode,29 yaitu: 1). Metode tahlili, adalah satu metode tafsir yang Mufassirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf.30
Metode ini terperinci menjadi beberapa corak, yaitu: a). tafsir as-shufi, b). tafsir al-fiqih,
c). tafsir al-falsafi, d). tafsir al-‘ilmi, dan e). tafsir al-adab al-ijtima’i. 2). Metode ijmali
(global), dalam tafsirannya tidak memberikan rincian yang memadai. 3). Metode
muqaran (komparasi), yang dimaksud dengan metode komparasi adalah membandingkan
ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara
tentang masalah atau kasus yang berbeda, sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek
bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits
yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir
menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Mufasir yang menempuh metode ini, adalah
al-Khatib al-Iskafi dalam Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Ta’wil.31 4). Metode
maudhu’i. Menurut M. Quraish Shihab, metode tematik ini lahir akibat reaksi dari pesan
– konon Ali Ibn Abi Thalib berpesan, “Istanthiq al-Qur’an” (ajaklah al-Qur’an berbicara
atau biarkan ia menguraikan maksudnya) – tersebut. Di mana mufassir berusaha
28 Majalah al-Manar terbit pertama kali pada 22 Syawal 1315 H, bertepatan pada tanggal 17 Maret
1898, berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat dari berbagai negara. Lihat M. Quraish Shihab, Studi Kritis, op. cit., h. 64-65.
29 ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (Kairo: al-Hadharah al-Arabiyah, 1977), Cet. II, h. 23.
30 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 86.
31 Ibid., h. 118.
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan
persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan
menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.32
Menurut al-Farmawi, prosedur yang ditempuh dalam menulis dengan metode
maudhu’iy ada delapan, yakni: pertama, menetapkan masalah, kedua, menghimpun dan
menetapkan ayat-ayat yang menyangkutkan masalah tersebut, ketiga, menyusun urutan
ayat sesuai dengan masa turunnya, keempat, memahami munasabah ayat/ surah yang
dibahas, kelima, melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits tentang tema pembahasan,
keenam, menyusun kerangka yang sempurna, ketujuh, analisis, dan kedelapan,
menyimpulkan.33
Menurut M. Quraish Shihab dalam “Metode Penyusunan Tafsir yang berorientasi
pada Sastra, Budaya dan Kemasyarakatan”, bahwa penafsiran Muhammad ‘Abduh
terhadap al-Qur’an, bercorak al-adabial-ijtima’i, atau tafsir yang berorientasi pada sastra,
budaya dan kemasyarakatan. Menurutnya juga, yang dimaksud dengan tafsir bercorak al-
adabi al-ijtima’I ialah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada
segi ketelitian redaksi al-Qur’an, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut
dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari diturunkannya al-
Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian ayat-
ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia.34
32 Ibid., h. 87. 33 ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, op. cit., h. 52. 34 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad ‘Abduh, op. cit., h. 110. Pada
kesempatan lain, M. Quraish Shihab menyebutkan, bahwa tafsir bercorak sastra, budaya dan kemasyarakatan, yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang
Dengan demikian, corak tafsir Muhammad ‘Abduh mengandung ciri-ciri utama
sebagai berikut:35
1. Penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an,
2. Penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati,
3. Adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat.
Hal yang perlu dikemukakan disini adalah bahwa metode Muhammad ‘Abduh36 dalam menafsirkan al-Qur’an disandarkan pada sejumlah dasar pokok, yaitu:
1. Setiap surah dalam al-Qur’an merupakan kesatuan ayat yang terpadu,
2. Kandungan ajaran al-Qur’an berlaku umum untuk sepanjang zaman,
3. al-Qur’an merupakan sumber pertama (al-masdar al-awwal) dan utama bagi
syari’ah,
4. Perlunya memerangi sikap taklid umat Islam,
5. Pentingnya pendayagunaan metode akal dalam penalaran (al-nazhar) dan
penggunaan metode ilmiah (al-manhaj al-‘ilmi),
6. Bersandar pada otoritas akal dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
7. Tidak menjelaskan secara rinci persoalan-persoalan yang disinggung al-Qur’an
dengan mubham (hal-hal yang berkenaan dengan akidah dan hal-hal yang ghaib),
dikaitkan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau problema-problema mereka berdasarkan ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam rumusan bahasa yang mudah dimengerti serta indah didengar. Lihat, Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. ix.
35 Ibid. 36 M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, tidak berlebihan apabila metode tafsir Muhammad
‘Abduh disebut sebagai metode tafsir yang modern dibandingkan dengan metode Tafsir Analisis (al-Tahlili) yang lainnya, yakni al-tafsir bi al-matsur, al-tafsir bi al-ra’yi, al-tafsir bi al-shufi, al-tafsir al-falsafi, al-tafsir al-‘ilmi, dan al-tafsir al-fiqh. M. Quraish Shihab, Metode Penelitian Tafsir, makalah, IAIN Ujung Ujung Pandang, h. 2.
8. Bersikap sangat hati-hati terhadap tafsir bi al-matsur terdahulu dan dengan apa
yang disebut berita isra’iliyat,
9. Pentingnya tercipta keteraturan hidup masyarakat yang mengacu kepada
petunjuk-petunjuk kitab suci al-Qur’an.37
Menurut Muhammad ‘Abduh, seyogyanya seorang mufassir dalam menafsirkan
al-Qur’an harus memiliki lima kemampuan, yaitu pertama, memahami hakikat lafal-lafal
yang dipergunakan al-Qur’an, karena setiap lafal mempunyai makna yang berbeda pada
waktu dan tempat yang berbeda, kedua, menguasai ‘ilm al-asalib, yaitu ilmu yang
mengkaji tentang gaya bahasa Arab yang tinggi), ketiga, mengetahui sosiologi (hal-ihwal
manusia) dan ilmu sejarah (al-tarikh), keempat, mengetahui secara cermat bagaimana al-
Qur’an memberikan petunjuk kepada manusia, kelima, mengenal dengan baik sejarah
peri kehidupan Nabi dan para Sahabatnya.38
Muhammad ‘Abduh menjadikan tafsir sebagai dasar (asas) bagi pembaharuan
masyarakat dan sebagai media untuk membersihkan agama dari segala bentuk bid’ah dan
khurafat. Ia menempuh metode (manhaj) tersendiri, berbeda dari metode tafsir yang
ditempuh para ahli tafsir kalangan salaf al shalih. Perbedaan tersebut yang paling
menonjol adalah dari sisi latar belakang cultural dan intelektual yang berbeda-beda.
Kaum salaf menafsirkan al-Qur’an, justru ketika mereka menjadikan al-Qur’an sebagai
pegangan hidup (Way of life) mereka sedemikian rupa, sehingga tafsir al-Qur’an bagi
pendirian mereka merupakan suatu tujuan (ghayah), sedangkan Muhamad ‘Abduh
menafsirkan al-Qur’an itu justru pada waktu umat Islam tidak secara serius lagi
37 Penjelasan lebih lanjut, lihat ibid, h. 35-92. Lihat juga Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas
Tafsir Muhammad ‘Abduh, op. cit., h. 112. 38 Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Ustadz, op. cit., Jilid I, h. 21-24.
berhukum dengan hukum-hukum al-Qur’an. Tafsir bagi Muhammad ‘Abduh merupakan
alat (washilah) sebagai upaya perbaikan masyarakat Islam, dan bukan sebagai tujuan.39
Melihat fenomena tersebut, Muhammad ‘Abduh merupakan mufassir yang sangat
menggunakan rasio/ akal sebagai tolak ukur penafsirannya (bil Ra’yi).
C. Karya-karya Penulis Tafsir al-Manar
Dalam bidang tafsir, karya-karya ‘Abduh pada awalnya bukan berbentuk tulisan,
tetapi berasal dari ceramah-ceramahnya di beberapa tempat. Beberapa karya-karya tafsir
‘Abduh adalah:
1. Tafsir Juz ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan bagi guru
mengaji di Maroko pada tahun 1321 H, karena saran dari beberapa
anggota al-Jam’iyyah al-Khairiyah al-Islamiyyah, untuk memahamkan
para murid akan makna-makna yang mereka hafalkan dari surat-surat pada
Juz ‘Amma tersebut, serta untuk memperbaiki aktivitas dan akhlak
mereka. Dia mencurahkan tenaganya, sebagaimana yang ia kemukakan
sendiri, agar ungkapannya mudah dipahami, jauh dari perbedaan, serta
banyak pandangan mengenai I’rab. Agar dalam memahami, seorang
pembaca tidak lagi memerlukan apapun selain harus mengerti tentang
bagaimana ia membaca, atau bagi seorang pendengar, dengan niat yang
baik dan perasaan yang tulus.
39 Abd. Majid Abd Salam al-Muhtasib, Ittijahat at-Tafsir fi Asr al-Hadits, (Beirut: al-Kitab al-
Awwal, 1973), Cet. Ke-1, h. 124-125.
2. Tafsir surah al-‘Asr, tafsir ini berasal dari kuliahatau pengajian yang
disampaikan di hadapan ulama dan pemuka-pemuka masyarakat al-
jazair.40
3. Tafsir surah al-Nisa’/ 78-79, al-Hajj/ 52-54 dan surah al-Ahzab/ 37, karya
ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan negatif terhadap
Islam dan Nabinya.41
Tafsir al-Qur’an bermula dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nisa’ yang
disampaikannya di masjid al-Azhar Kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan
pertengahan Muharram 1323 H.42 Penafsiran surat al-Baqarah ini diambil dari tafsirnya
yang bernama al-Manar, di mana al-Manar adalah nama sebuah majalah di Mesir yang
terbit untuk pertama kali pada tanggal 22 Syawwal 1315 H, bertepatan dengan tanggal 15
Maret 1898 M.
Menurut Quraish Shihab, Tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar
untuk dinisbatkan kepada Rasyid Ridha, karena di samping lebih banyak yang ditulisnya,
juga dalam surat al-Fatihah, al-Baqarah dan al-Nisa’ banyak ditemui pendapatnya.
Karya-karya Muhammad Rasyid Ridha
Rasyid Ridha di samping sebagai seorang ulama dan pejuang, beliau juga seorang
pengarang dan wartawan yang mahir, ia menunjukkan di dalam hidupnya bahwa ‘’pena
lebih tajam daripada pedang’’. Buah penanya telah membangunkan umat Islam dari
40 Abd. Majid Abd. Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi ‘Asri al-Hadits, (Beirut: al-Kitab al-
Awal, 1973) cet. I, h. 105. 41 Muhammad Husein Az-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hilal, 1976), Cet. II,
h. 552-553. 42 Abd. Majid Abd. Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi ‘Ashri al-Hadits, h. 107-108.
tidurnya dan menyadarkan mereka dari kesesatan dan kesalahan. Karya tulisnya dengan
lantang memberikan perlawanan kepada dunia Barat yang dengan serakah ingin
menguasai dunia Islam. Kesemuanya memberikan kesadaran kepada umat Islam dalam
menemukan harga dirinya di tengah-tengah kehidupan dunia yang selalu berubah.
Diantara, karya-karya beliau adalah;
1) Al-Hikmah al-Syar’iyat f i Muhakamat al-Qadiriyat wa al-Rifa’iyat i ,
adalah merupakan karangan pertama, bagi Rasyid Ridha. Sedangkan kitab ini
membahas tentang bantahan tarhadap Abi al-Hady al-Shiyadi yang mengkritik
Syekh sufi yaitu Sayyid Abdul Kadir Jailani.
2) Tarikh Ustadz al-Imam, merupakan biografi lengkap, terdiri dari tiga jilid.
3) Dzikru Maulid al-Nabiy, berisi riwayat hidup Nabi Muhammad saw.
4) Al-Wihdah al-Islamiyyah, tentang persatuan umat Islam.
5) Syubhat al-Nasara wa Hujjat al-Islam, berisi tentang kebenaran akidah Islam dan
kelemahan akidah Kristen
6) Al-Khilafah wa al-Imamah al-Kubra, berisi tentang sistem kekhalifahan dalam
Islam.
7) Al-Nida ila Jins al-Latif, berisi tentang ajaran tauhid.
8) Al-Wahyu al-Muhammadiy, berisi tentang bukti-bukti kebenaran wahyu kepada
Nabi Muhammad saw. secara ilmiah, dan penolakan terhadap serangan-serangan
sarjana Barat terhadap Islam.
9) Tafsir al –Manar berisi tafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan tafsir ini merupakan karya
gurunya Muhammad ‘Abduh, yang kemudian dilanjutkan oleh Rasyid Ridha.
10) Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh berisi sejarah dan kiprah
Muhammad Abduh dalam memperjuangkan Islam.
11) Yusru al-Islam wa Usul al-Tasyri’ al-‘am, berisi tentang refleksi pemikiran-
pemikiran dalam hukum Islam.
12) Haqiqah al-Riba, berisi tentang riba dan kedudukannya dalam Islam.
13) Manasik al-Hajji Ahkamuhu wa Hikmatuhu, berisi tentang cara-cara ibadah haji
dan hukum-hukum dalam perspektif Islam.
14) Musawatu al-Rajul bi al-Mar’ah, berisi tentang kedudukan dan persamaan pria
dan wanita.
15) Al-Muhawarah al-Muslih wa al-Muqallid.
16) Al-Azhar, berisi tentang sejarah al-Azhar, perkembangan dan misinya serta
beberapa bantahan terhadap ulama al-Azhar yang menentang pendapat-
pendapatnya.
Di masa tua, meskipun kesehatannya sering terganggu, beliau tidak ingin tinggal
diam, bahkan senantiasa aktif. Akhirnya pada 23 Jumadil ‘Ula 1354 H bertepatan dengan
22 Agustus 1935 M beliau meninggal dunia.
2. A. Biografi Ibnu Katsir (700 H/ 1300 M – 774 H/ 1373 M)
Nama Ibnu Katsir adalah Isma’il bin Amr al-Quraisy bin Katsir al-Basri ad-
Dimasyqi ‘Imaduddin Abul Fida ‘al-Muhaddis Asy Syafi’i, ia dilahirkan di desa Mijdal
dalam wilayah Bushra (Bashrah), pada tahun 1300 M (700 H), dan beliau meninggal di
Damaskus pada bulan Sya’ban (774 H), atau pada bulan Februari (1373 M), sesudah
menempuh kehidupan panjang yang kaya dengan keilmuan, ia seorang ulama terkenal
dalam ilmu tafsir, hadis, sejarah dan juga fiqih.43 Ayahnya seorang ulama terkemuka
dimasanya, Syihab al-Din Abu Hafsh Amr Ibn Katsir Ibnu Dhaw Ibn Zara al-Quraisy,
pernah mendalami mazhab Hanafi, kendatipun menganut mazhab Syafi’i setelah menjadi
khatib di Bashra.44
Ayahnya meninggal pada waktu ia berusia 6 tahun. Oleh karena itu, sejak tahun
706 H atau 1306 M ia hidup bersama kakaknya di Damaskus. Di sanalah ia mulai belajar.
Guru pertamanya adalah Burhanuddin al-Fazari (660-729 H atau 1261- 1328 M) yang
menganut Mazhab Syafi’i. Tidak lama setelah itu, ia berada di bawah pengaruh Ibnu
Taimiyah (w. 728 H atau 1328 M). Untuk jangka waktu cukup panjang, ia hidup di
Suriah sebagai orang sederhana dan tidak popular. Popularitasnya di mulai ketika ia
terlibat dalam penelitian untuk menetapkan hukum terhadap seorang zindik yang didakwa
menganut paham hulul. Penelitian itu diprakarsai oleh Gubernur Suriah Altunbuga an-
Nasiri di akhir tahun 741 H atau 1341 M.
Sejak itu berbagai jabatan penting didudukinya sesuai dengan bidang keahlian
yang dimilikinya. Dalam bidang ilmu hadis, pada tahun 748 H atau 1348 M ia
menggantikan gurunya az-Zahabi (Muhammad bin Muhammad; 1248-1348) sebagai guru
di Turba Umm Salih (Lembaga Pendidikan), dan pada tahun 756 H atau 1355 M ia
diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis al-Asyrafiyah (Lembaga Pendidikan Hadis).
Dalam bidang hadis, ia belajar hadis dari ulama-ulama Hijaz dan mendapat ijazah
dari al-Wani serta mendapat asuhan dari ilmu hadis terkenal di Suriah, Jamaluddin al-
Mizzi (w. 742 H atau 1342 M).
43 Abdul Aziz Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), h. 156. 44 Ibnu Katsir, Al-Hidayah wa al Nihayah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid 14. h. 32.
Dalam bidang sejarah, peranan al-Hafizh al-Birzali (w. 379 H), sejarawan dari
kota Syam, cukup besar dalam mengupas peristiwa-peristiwa, Ibnu Katsir mendasarkan
pada kitab Tarikh karya gurunya tersebut. Berkat al-Birzali dan tarikhnya, Ibnu Katsir
menjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan
sejarah Islam.
Pada usia 11 tahun, ia menyelesaikan hapalan al-Qur’an, dilanjutkan dengan
memperdalam ilmu qiraat dan ilmu tafsir dari Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah (661-728
H), disamping kepada ulama lain, metode penafsiran Ibnu Taimiyah dijadikannya acuan
dalam penulisan tafsirnya.45 Ia sangat mencintai Ibnu Taimiyah, terlihat dari kesetiaannya
dan kegigihannya dalam mengikuti pandangan gurunya dalam masalah fiqh dan tafsir,
sampai-sampai ia mengidentikkan diri dengan gurunya dalam masalah talak tiga dengan
satu lafazh, meskipun ia dianiaya gara-gara itu. Dalam bidang tafsir, pada tahun 1366 ia
dingkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Bugha di Masjid Umayyah
Damaskus.
B. Metode dan Corak Tafsir Ibnu Katsir
Adapun tentang metode atau jalan yang ia tempuh dalam menafsirkan al-Qur’an,
diungkapkan dalam tafsirnya: “…Jika ada orang yang bertanya cara manakah yang paling
baik untuk menafsirkan al-Qur’an, maka jawabnya adalah bahwa cara yang terbaik dalam
hal ini adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Sesuatu yang mujmal pada suatu
tempat adakalanya diperinci atau diperjelas diayat lain, tetapi jika tidak mendapat
45 Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir: Membedah Khazanah Klasik,
(Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), Cet. Ke-I, h. 39-40.
pengertian dari ayat, maka kembalilah kepada sunnah Rasulullah saw. Sebab sunnah
Rasulullah saw. itulah yang mensyarahkan al-Qur’an dan menjelaskannya.46
Metode yang dipakai Ibnu Katsir menunjuk kepada metode tahliliy, suatu metode
tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan seluruh aspeknya.
Mufassir mengikuti susunan ayat selain mushaf, mengemukakan arti kosakata, penjelasan
arti arti global ayat, mengemukakan munasabah ayat dan membahas asbab al-nuzul,
disertai sunnah Rasul, pendapat sahabat, tabi’in dan pendapat penafsir itu sendiri, dan
sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lain-lainnya yang
dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an tersebut.47
Ibnu Katsir lebih condong kepada kategori tafsir al-matsur, yaitu penafsiran ayat
dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis Nabi, yang menjelaskan makna sebagian ayat
yang dirasa sulit atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in.
C. Karya-karya Ibnu Katsir
a) Karya-karyanya dalam bidang tafsir antara lain:
1. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir
yang diterbitkan pertama kalinya di Kairo pada tahun 1342 H atau 1923 M.
2. Fadahil al-Qur’an (Keutamaan al-Qur’an) yang berisi ringkasan sejarah al-
Qur’an. Di dalamnya benyak dipengaruhi kitab al-Siyasah al-Syari’ah karya
Ibnu Taimiyah.
b) Dalam bidang hadis antara lain:
46 Ibnu Katsir, Al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Daar al-Fikr, 1997), h. 10. 47 Abd al Hayy al-Farmawi, Metode Tafisr Maudhu’iy, terj. Suryana A Jamrah, (Jakarta: Rajawali
Press, 1994), h. 12.
1. Kitab Jami’al-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan),
sebanyak delapan jilid, yang berisi nama-nama para sahabat yang meriwayatkan
hadis-hadis yang terdapat dalam musnad Imam Hanbali;
2. al-Kutub as-Sittah (Kitab-Kitab Hadis yang Enam), suatu karya hadis;
3. at-Takmilah fi Ma’rifat as-Sigat wa ad-Dhu’afa wa al-Mujahal (pelengkap dalam
mengetahui rawi-rawi yang siqat/ dipercaya, lemah dan kurang dikenal), yang
berisi riwayat rawi-rawi hadis sebanyak lima jilid;
4. al-Mukhtasar (ringkasan), yang merupakan ringkasan dari muqaddimah Ibnu
Shalah (w. 642 H/ 1246 M); dan dikatakan bahwa ia juga menulis buku yang
berisi tafsiran terhadap hadis-hadis dari Shahih al-Bukhari dan karya hadis
lainnya;
5. Adillah at-Tanbih li ‘Ulum al-Hadis (buku tentang ilmu hadis) yang lebih dikenal
dengan nama al-Ba’is al-Hadis.
6. Ikhtisar ulum al-Hadits, suatu ringkasan mukaddimahIbnu al-Hajib dalam
masalah musthalah al-hadits.48
c) Dalam bidang sejarah di antaranya:
1. al-Bidayah wa al-Nihayah, merupakan rujukan terpenting bagi sejarawan49 yang
memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada tahun 768 H, sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua
bagian besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat
penciptaan sampai kenabian Muhammad saw. dan kedua, yaitu sejarah Islam
48 Muhammad Ali as-Sobuni, Pengantar Studi al-Qur’an, terj. Aminuddin, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 189.
49 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), Cet. Ke-5, h. 528.
mulai dari periode Nabi saw. di Makkah sampai pertengahan abad 8 H. Kejadian-
kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian.
2. al-Kawakib al-Darari, cuplikan dari al-Bidayah wa al-Nihayah
3. al-Fushul fi Sirat al-Rasul atau al-Sirah al-Nabawiyyah
d) Dalam bidang Fiqih di antaranya:
1. Kitab al-Jihad fi Thalaba al-Jihad, ditulis tahun 1368-1369 M untuk
menggerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai Libanon (Syiria)
dari serbuan Raja Franks dari Cyprus, karya ini banyak memperoleh inspirasi dari
kitab Ibnu Taimiyah al-Siyasah al-Syar’iyyah
2. Kitab Ahkam, kitab Fiqih yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis.50
50 Nurfaizin Marwan, Kajian Deskriptif Tafisr Ibnu Katsir, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), h.
42.
BAB II
TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR IBNU KATSIR
1. A. Biografi Pengarang Tafsir al-Manar
1) Biografi Muhammad ‘Abduh (1849 M/ 1266 H – 1905 M/ 1323 H)
Muhammad ‘Abduh, yang nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah, dilahirkan di desa Mahallat al-Nashr, Kabupaten al Buhayrah, tahun 1849 M,
bertepatan dengan 1266 H, di Propinsi Gharbiyah, Mesir. Ayahnya, ‘Abduh bin Hasan
Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir, sudah membangun rumah
untuk keluarganya di desa pindahan baru tersebut, dan mempunyai silsilah keturunan
dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, yang bernama Jutaynah adalah seorang janda
yang berasal dari sebuah desa dekat Thantha, propinsi Gharbiyah, mempunyai silsilah
keturunan dengan pemimpin besar Islam, ‘Umar bin Khaththab, khalifah yang kedua..51
Selaku anak dari keluarga yang taat beragama, awalnya ‘Abduh diserahkan orang
tuanya belajar al-Qur’an, berkat otaknya yang cemerlang, dalam usia 12 tahun ia telah
menghafal al-Qur’an seluruhnya. Setelah belajar membaca dan menghafal al-Qur’an di
kampungnya, pada tahun 1862 dia dimasukkan ke sekolah agama di Thantha, tetapi
tampaknya kurang tertarik. Karena itu ia keluar dari sekolah tersebut dan baru kembali
belajar setelah dibujuk adik kakeknya. Pada tahun 1865 dia kembali ke Thantha, namun
tahun berikutnya dia meninggalkan Thantha dan studi di al-Azhar, Kairo. Di al-Azhar
perhatian ‘Abduh terpusat pada pelajaran tasawuf dan kehidupan sufi. Sekali lagi adik
51 Muhammad ‘Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Cet. Ke 10, h. vii.
kakeknya yang berhasil membujuknya meninggalkan pelajaran tasawuf dan praktek sufi
itu.52
Pada tahun 1872, saat usia 23 tahun, ‘Abduh berkenalan dengan Afghani, dan
darinya dia belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan kaca mata yang baru. Juga
oleh Afghani dia diperkenalkan kepada karya-karya banyak penulis Barat yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta kepada masalah-masalah politik dan sosial
yang tengah dihadapi baik oleh rakyat Mesir sendiri maupun umat Islam pada umumnya.
Kemudian ‘Abduh menjadi salah seorang pengikut Afghani yang paling setia. Pengaruh
Afghani-lah yang mendorong ‘Abduh untuk belajar ilmu jurnalistik yang terus
dipraktekkannya.53
Setelah selesai pendidikannya di al-Azhar dengan gelar kesarjanaan Alim, mula-
mula ia memberikan pelajaran privat. Kemudian pada tahun 1879 dia diangkat menjadi
pengajar di Dar al-‘ulum, tetapi pada tahun itu juga diberhentikan dengan alasan yang
tidak jelas, dan dia kembali ke kampungnya. Sementara itu Afghani juga diusir dari
Mesir. Pada tahun 1880, setelah terjadi pergantian pemerintahan di Mesir, ‘Abduh
diangkat untuk memimpin majalah resmi al-Waqa’i al-Mishriyah, yang di bawah
pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal. Atas tuduhan terlibat dalam
pemberontakan Urabi Pasha yang gagal, meskipun keterlibatan itu tidak jelas, setelah
pemberontakan itu dapat ditindas pada akhir tahun 1882 ‘Abduh diusir dari Mesir.54
Dari Mesir, semula ia pergi ke Beirut, Libanon, baru kemudian pada tahun 1884
menggabungkan diri dengan Afghani di Paris. Bersama Afghani dia membentuk
52 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), Edisi 5, h. 120.
53 Ibid., h. 121. 54 Muhammad ‘abduh, Risalah Tauhid, Cet. Ke 10, h. ix.
organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa, dan menerbitkan majalah yang senama dengan
organisasi itu, tetapi hanya berumur delapan bulan.55 Dari Paris dia pindah ke Tunisia
beberapa bulan sambil berpropaganda mengenai organisasi itu. Tetapi sejak awal tahun
1885 dia menetap di Beirut dan sempat ikut mengajar dalam suatu lembaga pendidikan
agama. Dalam periode itu ‘Abduh sempat menyalin satu-satunya buku karya tulis
Afghani yang cukup berarti, berisi sanggahan terhadap paham atheisme, dari bahasa
Persia ke bahasa Arab.
Pada tahun 1889 ‘Abduh diampuni dan diizinkan kembali ke Mesir, dan tidak
lama setelah pulang ke Kairo dia diangkat menjadi hakim pada Tribunaux Indigine
(Pengadilan untuk Pribumi), dan dua tahun kemudian diangkat sebagai penasehat pada
Cord d’ Appel (Mahkamah Banding). Pada tahun 1899 kepadanya dipercayakan
menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Mesir. ‘Abduh diangkat sebagai Mufti negara,
dan jabatan ini tetap didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1905.56
2. Biografi Muhammad Rasyid Ridha (1865 M/ 1282 H – 1935 M – 1354 H)
Rasyid Ridha dilahirkan pada 27 Jumadil Awwal 1282 H, atau 1865 M, di desa
Qalamun.57 Ibunya bernama Fatimah, seorang wanita yang taat menjalankan ajaran
agama. Ibunya wafat di Kairo pada tahun 1931 M, empat tahun sebelum Rasyid Ridha
wafat. Ayah Rasyid Ridha bernama Sayyid Ali Ridha al-Husaini al-Hasani, juga
dilahirkan di desa Qalamun. Ia adalah seorang syaikh dan imam di masjid Qalamun dan
55 Yvonne Haddad, “Muhammad ‘Abduh: Perintis Pembaruan Islam” dalam Ali Rahmena (Ed.),
Pioneers of Islamic Revival, Para Perintis Zaman Baru Islam (terj), (Bandung: Mizan, 1998), Cet. III, h. 38. 56 Munawir Sjadzali, Loc. Cit., 57 Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al-Imam al-Mujahid, (Mesir: Dar al-Mishriyah li att’lif
wa at-ta’amah, tth), h. 19.
penganut Tariqat Syadziliyah. Dengan demikian tidak diragukan sedikit pun bahwa
Rasyid Ridha berasal dari keluarga yang baik dan dari keturunan bangsa Arab. Dan tentu
ada pengaruh budaya Arab dan sentuhan sebagaimana kebiasaan pengikut tariqat tersebut
terhadap karakter pribadi dan pemikirannya.58
Pendidikan yang pertama Rasyid Ridha adalah al-Kuttab, yang terdapat di desa
Qalamun. Pada lembaga pendidikan ini ia belajar membaca al-Qur’an, Khat (ilmu yang
mempelajari tentang seni tulisan Arab) dan lain-lainnya.
Menurut Ahmad Syarbashi, Rasyid Ridha telah mulai menampakkan
keistimewaan-keistimewaan yang ada pada dirinya sewaktu belajar pada lembaga
pendidikan ini. Ia memiliki otak yang cerdas, kadang-kadang ia mampu menghafal ayat-
ayat al-Qur’an tanpa atau sebelum diajarkan oleh gurunya, seperti ayat-ayat al-Qur’an
yang terdapat pada surat al-Baqarah, al-Imran, al-Nisa, al-Maidah. Agaknya pernyataan
Ahmad Syarbashi ini tidak berlebihan.
Setelah menamatkan pelajaran di al-Kuttab pada tahun 1299 H atau 1882 M
Rasyid Ridah melanjutkan pelajarannya ke madrasah Rasyidiyah di kota Tripoli.
Sekolah ini merupakan sekolah tingkat dasar atau ibtida’iyah. Di Madrasah al-Rasyidiyah
ini Rasyid Ridha mempelajari beberapa mata pelajaran, seperti Nahwu, Sharaf, ilmu
Bumi, ilmu Hitung, bahasa Turki dan sebagainya, sesuai dengan kurikulum sekolah
tersebut. Tetapi, setelah belajar pada madrasah Rasyidiyah ini, perasaan Rasyid Ridha
mulai kurang senang, perasaannya ini timbul sebab sekolah ini ditujukan untuk mendidik
calon pegawai pemerintah Turki Usmani. Sedangkan ia tidak ingin menjadi pegawai atau
58 Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam,
(Jakarata: Rajawali Press, 1998), h. 82.
pun bekerja sebagai petugas pemerintah. Akhirnya, Rasyid Ridha keluar dari madrasah
Rasyidiyah ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ia hanya setahun belajar di
sekolah ini, dan ada pula yang berpendapat mengatakan lebih dari setahun.
Selanjutnya Rasyid Ridha pindah ke madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah di kota
Tripoli juga, sekolah ini tingkatannya lebih tinggi dari madrasah Rasyidiyah. Di sekolah
yang baru ini Rasyid Ridha menemui pengalaman baru, yang tidak ditemuinya di
madrasah Rasyidiyah. Di madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah ini pelajaran disampaikan
dengan bahasa Arab, kecuali mata pelajaran bahasa Arab, ilmu Syari’ah, ilmu Mantiq,
ilmu Pasti dan Filsafat.59
Di samping itu, menurut Ahmad Syarbashi, usaha Syaikh Husain al-Jasr (w.
1909) mendirikan madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah ini didorong oleh pandangannya
bahwa umat Islam tidak akan maju dan baik keadaannya jika menggabungkan antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti yang telah berkembang
melalui lembaga pendidikan Islam. Berdasarkan itu maka tidak keliru dikatakan bahwa
syaikh Husaein al-Jasr adalah merupakan seorang ulama yang memiliki pandangan maju
namun tetap idealis. Di samping syaikh Husain al-Jasr sebagai gurunya, ia juga belajar
pada guru-guru yang lain meski pengaruh mereka kepadanya tidak besar pengaruh syaikh
Husaein al-Jasr. Di antara guru-guru beliau adalah; Syeikh Mahmud Nasyabah seorang
ahli dalam bidang Hadis, Muhammad al-Qawijiy, ‘Abduh Ghani al-Rafi, yang
mengajarkannya kitab Nail al-Autar, Muhammad al-Husaini dan Muhammad Kamil al-
Rafi.60 Akan tetapi sangat disayangkan tujuan mulia syaikh Husaein al-Jasr mendirikan
59 Ahmad Syarbashi, Rasyid Ridha Sahib al-Manar, ‘Asruhu wa Hayatuhu wa Masadiru
Tsaqafatihi, (Kairo: Majlis ‘Ala li al-Syu’un al-Islamiyah, 1970), h. 121. 60 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 61.
sekolah tersebut mulanya untuk antisipasi meluasnya misi kristenisasi tersebut kurang
direspon oleh otoritas pemerintah kerajaan Usmani, yang berakhir dengan penutupan
madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah.
Tapi sungguh madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah sudah ditutup, agaknya
pengaruh syaikh Husaein al-Jasr sangat besar atas diri dan perkembangan pemikiran
Rashid Ridha, utama tentang ide-ide dan pandangan syaikh Husaein al-Jasr yang modern
dan maju tersebut. Walaupun Rasyid Ridha tidak menjadi murid madrasah al-Wataniyah
al-Islamiyah lagi, ia tetap berhubungan dangan gurunya syaikh Husaein al-Jasr ini.
Agaknya, berdasarkan itulah maka Harun Nasution; ‘’gurunya inilah yang menjadi
pembimbing baginya di masa muda’’.
B. Metode dan Corak Penulisan Tafsir al-Manar
Muhammad ‘Abduh berpandangan bahwa tujuan pokok penafsiran al-Qur’an
ialah, menekankan fungsi kehidayahan al-Qur’an untuk manusia, agar mereka benar-
benar dapat menjalani kehidupan ini di bawah bimbingan dan petunjuk al-Qur’an.
Sedangkan uraian dan pembahasan tafsir hanyalah merupakan jalan atau cara untuk
mencapai tujuan pokok tersebut.61
Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an berusaha untuk membersihkan
tafsir al-Qur’an dari polusi-polusi berupa berita-berita isra’iliyat, hadits-hadits maudlu’,
tinjauan-tinjauan ilmu nahwu, ilmu ma’ani dan bayan, perbincangan dan perdebatan ahli
ilmu kalam, pendekatan ulama ushul al-fiqh, penyimpulan hukum (istinbath) model
61 Muhammad ‘Amarah, al-A’mal al-Kamilah li alImam Muhammad ‘Abduh, op. cit., Jilid. Iv, h.
9. Lihat juga Rif’at Syauqi Nawawi, Rsionalitas Tafsir Muhammad ‘Abduh, op. cit., h. 99.
fuqaha yang taklid, model penakwilan kaum sufi, dan dari fanatisme kelompok, serta
penghamburan riwayat yang tak perlu.62
Muhammad ‘Abduh menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fatihah
sampai surah an-Nisa’ ayat 126. Kemudian Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan ayat-
ayat secara ‘sendirian’, yang pada garis besarnya mengikuti metode yang dipakai oleh
Muhammad ‘Abduh sampai dengan surah Yusuf ayat 52.
Tafsir ini bernama Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Tafsir ini lebih populer dengan
sebutan Tafsir al-Manar, karena kandungannya berasal dari majalah al-Manar, yang
pernah diterbitkan secara serial dan periodik. Majalah al-Manar itu telah menjadi sebuah
jurnal ilmiah Muhammad ‘Abduh yang terbit setiap bulan, sedangkan pimpinan
redaksinya adalah Muhammad Rasyid Ridha.63 Ceramah-ceramah Muhammad ‘Abduh
dalam bidang tafsir al-Qur’an dipublikasikan pertama kali dalam majalah al-Manar, yang
dikumpulkan menjadi sebuah kitab. Muhammad Rasyid Ridha selanjutnya memberikan
beberapa catatan dalam bentuk sastra dan mempublikasikannya dalam bentuk teks yang
mendapatkan persetujuan langsung dari Muhammad Abduh, setelah Rasyid Ridha
memperluas cakupannya dengan beberapa pembahasan atas beberapa tema-tema
tertentu.64
Muhammad ‘Abduh menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fatihah
sampai surah an-Nisa’ ayat 126. Kemudian Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan ayat-
ayat secara ‘sendirian’, yang pada garis besarnya mengikuti metode dan cirri-ciri pokok
62 Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Ustadz, op. cit., Jilid I, h. 7. 63 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir “Dari Aliran Klasik Hingga Modern” (Madzahib al-Tafsir al-
Islam), terj. M. Alaika Salamullah, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), h. 396. 64 Dalam kerangka inilah, kitab itu menjadi sebuah tafsir yang tersusun secara sistematis dan
sempurna penggarapannya. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Muhammad ‘Abduh, dan mendapat respon yang bagus di dunia Islam sehingga mengalami beberapa kali cetakan ulang. Lihat ibid., h. 397.
yang dipakai oleh Muhammad ‘Abduh sampai dengan surah Yusuf ayat 101. Namun,
yang dicetak dalam al-Manar hanya sampai dengan ayat 52.65
Dalam metodologi penafsiran, al-Farmawi membagi metode tafsir menjadi empat
metode,66 yaitu: 1). Metode tahlili, adalah satu metode tafsir yang Mufassirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf.67
Metode ini terperinci menjadi beberapa corak, yaitu: a). tafsir as-shufi, b). tafsir al-fiqih,
c). tafsir al-falsafi, d). tafsir al-‘ilmi, dan e). tafsir al-adab al-ijtima’i. 2). Metode ijmali
(global), dalam tafsirannya tidak memberikan rincian yang memadai. 3). Metode
muqaran (komparasi), yang dimaksud dengan metode komparasi adalah membandingkan
ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara
tentang masalah atau kasus yang berbeda, sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek
bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits
yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir
menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Mufasir yang menempuh metode ini, adalah
al-Khatib al-Iskafi dalam Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Ta’wil.68 4). Metode
maudhu’i. Menurut M. Quraish Shihab, metode tematik ini lahir akibat reaksi dari pesan
– konon Ali Ibn Abi Thalib berpesan, “Istanthiq al-Qur’an” (ajaklah al-Qur’an berbicara
atau biarkan ia menguraikan maksudnya) – tersebut. Di mana mufassir berusaha
65 Majalah al-Manar terbit pertama kali pada 22 Syawal 1315 H, bertepatan pada tanggal 17 Maret
1898, berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat dari berbagai negara. Lihat M. Quraish Shihab, Studi Kritis, op. cit., h. 64-65.
66 ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (Kairo: al-Hadharah al-Arabiyah, 1977), Cet. II, h. 23.
67 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 86.
68 Ibid., h. 118.
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan
persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan
menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.69
Menurut al-Farmawi, prosedur yang ditempuh dalam menulis dengan metode
maudhu’iy ada delapan, yakni: pertama, menetapkan masalah, kedua, menghimpun dan
menetapkan ayat-ayat yang menyangkutkan masalah tersebut, ketiga, menyusun urutan
ayat sesuai dengan masa turunnya, keempat, memahami munasabah ayat/ surah yang
dibahas, kelima, melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits tentang tema pembahasan,
keenam, menyusun kerangka yang sempurna, ketujuh, analisis, dan kedelapan,
menyimpulkan.70
Menurut M. Quraish Shihab dalam “Metode Penyusunan Tafsir yang berorientasi
pada Sastra, Budaya dan Kemasyarakatan”, bahwa penafsiran Muhammad ‘Abduh
terhadap al-Qur’an, bercorak al-adabial-ijtima’i, atau tafsir yang berorientasi pada sastra,
budaya dan kemasyarakatan. Menurutnya juga, yang dimaksud dengan tafsir bercorak al-
adabi al-ijtima’I ialah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada
segi ketelitian redaksi al-Qur’an, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut
dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari diturunkannya al-
Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian ayat-
ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia.71
69 Ibid., h. 87. 70 ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, op. cit., h. 52. 71 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad ‘Abduh, op. cit., h. 110. Pada
kesempatan lain, M. Quraish Shihab menyebutkan, bahwa tafsir bercorak sastra, budaya dan kemasyarakatan, yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang
Dengan demikian, corak tafsir Muhammad ‘Abduh mengandung ciri-ciri utama
sebagai berikut:72
4. Penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an,
5. Penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati,
6. Adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat.
Hal yang perlu dikemukakan disini adalah bahwa metode Muhammad ‘Abduh73 dalam menafsirkan al-Qur’an disandarkan pada sejumlah dasar pokok, yaitu:
10. Setiap surah dalam al-Qur’an merupakan kesatuan ayat yang terpadu,
11. Kandungan ajaran al-Qur’an berlaku umum untuk sepanjang zaman,
12. al-Qur’an merupakan sumber pertama (al-masdar al-awwal) dan utama bagi
syari’ah,
13. Perlunya memerangi sikap taklid umat Islam,
14. Pentingnya pendayagunaan metode akal dalam penalaran (al-nazhar) dan
penggunaan metode ilmiah (al-manhaj al-‘ilmi),
15. Bersandar pada otoritas akal dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
16. Tidak menjelaskan secara rinci persoalan-persoalan yang disinggung al-Qur’an
dengan mubham (hal-hal yang berkenaan dengan akidah dan hal-hal yang ghaib),
dikaitkan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau problema-problema mereka berdasarkan ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam rumusan bahasa yang mudah dimengerti serta indah didengar. Lihat, Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. ix.
72 Ibid. 73 M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, tidak berlebihan apabila metode tafsir Muhammad
‘Abduh disebut sebagai metode tafsir yang modern dibandingkan dengan metode Tafsir Analisis (al-Tahlili) yang lainnya, yakni al-tafsir bi al-matsur, al-tafsir bi al-ra’yi, al-tafsir bi al-shufi, al-tafsir al-falsafi, al-tafsir al-‘ilmi, dan al-tafsir al-fiqh. M. Quraish Shihab, Metode Penelitian Tafsir, makalah, IAIN Ujung Ujung Pandang, h. 2.
17. Bersikap sangat hati-hati terhadap tafsir bi al-matsur terdahulu dan dengan apa
yang disebut berita isra’iliyat,
18. Pentingnya tercipta keteraturan hidup masyarakat yang mengacu kepada
petunjuk-petunjuk kitab suci al-Qur’an.74
Menurut Muhammad ‘Abduh, seyogyanya seorang mufassir dalam menafsirkan
al-Qur’an harus memiliki lima kemampuan, yaitu pertama, memahami hakikat lafal-lafal
yang dipergunakan al-Qur’an, karena setiap lafal mempunyai makna yang berbeda pada
waktu dan tempat yang berbeda, kedua, menguasai ‘ilm al-asalib, yaitu ilmu yang
mengkaji tentang gaya bahasa Arab yang tinggi), ketiga, mengetahui sosiologi (hal-ihwal
manusia) dan ilmu sejarah (al-tarikh), keempat, mengetahui secara cermat bagaimana al-
Qur’an memberikan petunjuk kepada manusia, kelima, mengenal dengan baik sejarah
peri kehidupan Nabi dan para Sahabatnya.75
Muhammad ‘Abduh menjadikan tafsir sebagai dasar (asas) bagi pembaharuan
masyarakat dan sebagai media untuk membersihkan agama dari segala bentuk bid’ah dan
khurafat. Ia menempuh metode (manhaj) tersendiri, berbeda dari metode tafsir yang
ditempuh para ahli tafsir kalangan salaf al shalih. Perbedaan tersebut yang paling
menonjol adalah dari sisi latar belakang cultural dan intelektual yang berbeda-beda.
Kaum salaf menafsirkan al-Qur’an, justru ketika mereka menjadikan al-Qur’an sebagai
pegangan hidup (Way of life) mereka sedemikian rupa, sehingga tafsir al-Qur’an bagi
pendirian mereka merupakan suatu tujuan (ghayah), sedangkan Muhamad ‘Abduh
menafsirkan al-Qur’an itu justru pada waktu umat Islam tidak secara serius lagi
74 Penjelasan lebih lanjut, lihat ibid, h. 35-92. Lihat juga Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas
Tafsir Muhammad ‘Abduh, op. cit., h. 112. 75 Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Ustadz, op. cit., Jilid I, h. 21-24.
berhukum dengan hukum-hukum al-Qur’an. Tafsir bagi Muhammad ‘Abduh merupakan
alat (washilah) sebagai upaya perbaikan masyarakat Islam, dan bukan sebagai tujuan.76
Melihat fenomena tersebut, Muhammad ‘Abduh merupakan mufassir yang sangat
menggunakan rasio/ akal sebagai tolak ukur penafsirannya (bil Ra’yi).
C. Karya-karya Penulis Tafsir al-Manar
Dalam bidang tafsir, karya-karya ‘Abduh pada awalnya bukan berbentuk tulisan,
tetapi berasal dari ceramah-ceramahnya di beberapa tempat. Beberapa karya-karya tafsir
‘Abduh adalah:
4. Tafsir Juz ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan bagi guru
mengaji di Maroko pada tahun 1321 H, karena saran dari beberapa
anggota al-Jam’iyyah al-Khairiyah al-Islamiyyah, untuk memahamkan
para murid akan makna-makna yang mereka hafalkan dari surat-surat pada
Juz ‘Amma tersebut, serta untuk memperbaiki aktivitas dan akhlak
mereka. Dia mencurahkan tenaganya, sebagaimana yang ia kemukakan
sendiri, agar ungkapannya mudah dipahami, jauh dari perbedaan, serta
banyak pandangan mengenai I’rab. Agar dalam memahami, seorang
pembaca tidak lagi memerlukan apapun selain harus mengerti tentang
bagaimana ia membaca, atau bagi seorang pendengar, dengan niat yang
baik dan perasaan yang tulus.
76 Abd. Majid Abd Salam al-Muhtasib, Ittijahat at-Tafsir fi Asr al-Hadits, (Beirut: al-Kitab al-
Awwal, 1973), Cet. Ke-1, h. 124-125.
5. Tafsir surah al-‘Asr, tafsir ini berasal dari kuliahatau pengajian yang
disampaikan di hadapan ulama dan pemuka-pemuka masyarakat al-
jazair.77
6. Tafsir surah al-Nisa’/ 78-79, al-Hajj/ 52-54 dan surah al-Ahzab/ 37, karya
ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan negatif terhadap
Islam dan Nabinya.78
Tafsir al-Qur’an bermula dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nisa’ yang
disampaikannya di masjid al-Azhar Kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan
pertengahan Muharram 1323 H.79 Penafsiran surat al-Baqarah ini diambil dari tafsirnya
yang bernama al-Manar, di mana al-Manar adalah nama sebuah majalah di Mesir yang
terbit untuk pertama kali pada tanggal 22 Syawwal 1315 H, bertepatan dengan tanggal 15
Maret 1898 M.
Menurut Quraish Shihab, Tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar
untuk dinisbatkan kepada Rasyid Ridha, karena di samping lebih banyak yang ditulisnya,
juga dalam surat al-Fatihah, al-Baqarah dan al-Nisa’ banyak ditemui pendapatnya.
Karya-karya Muhammad Rasyid Ridha
Rasyid Ridha di samping sebagai seorang ulama dan pejuang, beliau juga seorang
pengarang dan wartawan yang mahir, ia menunjukkan di dalam hidupnya bahwa ‘’pena
lebih tajam daripada pedang’’. Buah penanya telah membangunkan umat Islam dari
77 Abd. Majid Abd. Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi ‘Asri al-Hadits, (Beirut: al-Kitab al-
Awal, 1973) cet. I, h. 105. 78 Muhammad Husein Az-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hilal, 1976), Cet. II,
h. 552-553. 79 Abd. Majid Abd. Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi ‘Ashri al-Hadits, h. 107-108.
tidurnya dan menyadarkan mereka dari kesesatan dan kesalahan. Karya tulisnya dengan
lantang memberikan perlawanan kepada dunia Barat yang dengan serakah ingin
menguasai dunia Islam. Kesemuanya memberikan kesadaran kepada umat Islam dalam
menemukan harga dirinya di tengah-tengah kehidupan dunia yang selalu berubah.
Diantara, karya-karya beliau adalah;
1) Al-Hikmah al-Syar’iyat f i Muhakamat al-Qadiriyat wa al-Rifa’iyat i ,
adalah merupakan karangan pertama, bagi Rasyid Ridha. Sedangkan kitab ini
membahas tentang bantahan tarhadap Abi al-Hady al-Shiyadi yang mengkritik
Syekh sufi yaitu Sayyid Abdul Kadir Jailani.
2) Tarikh Ustadz al-Imam, merupakan biografi lengkap, terdiri dari tiga jilid.
3) Dzikru Maulid al-Nabiy, berisi riwayat hidup Nabi Muhammad saw.
4) Al-Wihdah al-Islamiyyah, tentang persatuan umat Islam.
5) Syubhat al-Nasara wa Hujjat al-Islam, berisi tentang kebenaran akidah Islam dan
kelemahan akidah Kristen
6) Al-Khilafah wa al-Imamah al-Kubra, berisi tentang sistem kekhalifahan dalam
Islam.
7) Al-Nida ila Jins al-Latif, berisi tentang ajaran tauhid.
8) Al-Wahyu al-Muhammadiy, berisi tentang bukti-bukti kebenaran wahyu kepada
Nabi Muhammad saw. secara ilmiah, dan penolakan terhadap serangan-serangan
sarjana Barat terhadap Islam.
9) Tafsir al –Manar berisi tafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan tafsir ini merupakan karya
gurunya Muhammad ‘Abduh, yang kemudian dilanjutkan oleh Rasyid Ridha.
10) Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh berisi sejarah dan kiprah
Muhammad Abduh dalam memperjuangkan Islam.
11) Yusru al-Islam wa Usul al-Tasyri’ al-‘am, berisi tentang refleksi pemikiran-
pemikiran dalam hukum Islam.
12) Haqiqah al-Riba, berisi tentang riba dan kedudukannya dalam Islam.
13) Manasik al-Hajji Ahkamuhu wa Hikmatuhu, berisi tentang cara-cara ibadah haji
dan hukum-hukum dalam perspektif Islam.
14) Musawatu al-Rajul bi al-Mar’ah, berisi tentang kedudukan dan persamaan pria
dan wanita.
15) Al-Muhawarah al-Muslih wa al-Muqallid.
16) Al-Azhar, berisi tentang sejarah al-Azhar, perkembangan dan misinya serta
beberapa bantahan terhadap ulama al-Azhar yang menentang pendapat-
pendapatnya.
Di masa tua, meskipun kesehatannya sering terganggu, beliau tidak ingin tinggal
diam, bahkan senantiasa aktif. Akhirnya pada 23 Jumadil ‘Ula 1354 H bertepatan dengan
22 Agustus 1935 M beliau meninggal dunia.
2. A. Biografi Ibnu Katsir (700 H/ 1300 M – 774 H/ 1373 M)
Nama Ibnu Katsir adalah Isma’il bin Amr al-Quraisy bin Katsir al-Basri ad-
Dimasyqi ‘Imaduddin Abul Fida ‘al-Muhaddis Asy Syafi’i, ia dilahirkan di desa Mijdal
dalam wilayah Bushra (Bashrah), pada tahun 1300 M (700 H), dan beliau meninggal di
Damaskus pada bulan Sya’ban (774 H), atau pada bulan Februari (1373 M), sesudah
menempuh kehidupan panjang yang kaya dengan keilmuan, ia seorang ulama terkenal
dalam ilmu tafsir, hadis, sejarah dan juga fiqih.80 Ayahnya seorang ulama terkemuka
dimasanya, Syihab al-Din Abu Hafsh Amr Ibn Katsir Ibnu Dhaw Ibn Zara al-Quraisy,
pernah mendalami mazhab Hanafi, kendatipun menganut mazhab Syafi’i setelah menjadi
khatib di Bashra.81
Ayahnya meninggal pada waktu ia berusia 6 tahun. Oleh karena itu, sejak tahun
706 H atau 1306 M ia hidup bersama kakaknya di Damaskus. Di sanalah ia mulai belajar.
Guru pertamanya adalah Burhanuddin al-Fazari (660-729 H atau 1261- 1328 M) yang
menganut Mazhab Syafi’i. Tidak lama setelah itu, ia berada di bawah pengaruh Ibnu
Taimiyah (w. 728 H atau 1328 M). Untuk jangka waktu cukup panjang, ia hidup di
Suriah sebagai orang sederhana dan tidak popular. Popularitasnya di mulai ketika ia
terlibat dalam penelitian untuk menetapkan hukum terhadap seorang zindik yang didakwa
menganut paham hulul. Penelitian itu diprakarsai oleh Gubernur Suriah Altunbuga an-
Nasiri di akhir tahun 741 H atau 1341 M.
Sejak itu berbagai jabatan penting didudukinya sesuai dengan bidang keahlian
yang dimilikinya. Dalam bidang ilmu hadis, pada tahun 748 H atau 1348 M ia
menggantikan gurunya az-Zahabi (Muhammad bin Muhammad; 1248-1348) sebagai guru
di Turba Umm Salih (Lembaga Pendidikan), dan pada tahun 756 H atau 1355 M ia
diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis al-Asyrafiyah (Lembaga Pendidikan Hadis).
Dalam bidang hadis, ia belajar hadis dari ulama-ulama Hijaz dan mendapat ijazah
dari al-Wani serta mendapat asuhan dari ilmu hadis terkenal di Suriah, Jamaluddin al-
Mizzi (w. 742 H atau 1342 M).
80 Abdul Aziz Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), h. 156. 81 Ibnu Katsir, Al-Hidayah wa al Nihayah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid 14. h. 32.
Dalam bidang sejarah, peranan al-Hafizh al-Birzali (w. 379 H), sejarawan dari
kota Syam, cukup besar dalam mengupas peristiwa-peristiwa, Ibnu Katsir mendasarkan
pada kitab Tarikh karya gurunya tersebut. Berkat al-Birzali dan tarikhnya, Ibnu Katsir
menjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan
sejarah Islam.
Pada usia 11 tahun, ia menyelesaikan hapalan al-Qur’an, dilanjutkan dengan
memperdalam ilmu qiraat dan ilmu tafsir dari Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah (661-728
H), disamping kepada ulama lain, metode penafsiran Ibnu Taimiyah dijadikannya acuan
dalam penulisan tafsirnya.82 Ia sangat mencintai Ibnu Taimiyah, terlihat dari kesetiaannya
dan kegigihannya dalam mengikuti pandangan gurunya dalam masalah fiqh dan tafsir,
sampai-sampai ia mengidentikkan diri dengan gurunya dalam masalah talak tiga dengan
satu lafazh, meskipun ia dianiaya gara-gara itu. Dalam bidang tafsir, pada tahun 1366 ia
dingkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Bugha di Masjid Umayyah
Damaskus.
B. Metode dan Corak Tafsir Ibnu Katsir
Adapun tentang metode atau jalan yang ia tempuh dalam menafsirkan al-Qur’an,
diungkapkan dalam tafsirnya: “…Jika ada orang yang bertanya cara manakah yang paling
baik untuk menafsirkan al-Qur’an, maka jawabnya adalah bahwa cara yang terbaik dalam
hal ini adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Sesuatu yang mujmal pada suatu
tempat adakalanya diperinci atau diperjelas diayat lain, tetapi jika tidak mendapat
82 Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir: Membedah Khazanah Klasik,
(Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), Cet. Ke-I, h. 39-40.
pengertian dari ayat, maka kembalilah kepada sunnah Rasulullah saw. Sebab sunnah
Rasulullah saw. itulah yang mensyarahkan al-Qur’an dan menjelaskannya.83
Metode yang dipakai Ibnu Katsir menunjuk kepada metode tahliliy, suatu metode
tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan seluruh aspeknya.
Mufassir mengikuti susunan ayat selain mushaf, mengemukakan arti kosakata, penjelasan
arti arti global ayat, mengemukakan munasabah ayat dan membahas asbab al-nuzul,
disertai sunnah Rasul, pendapat sahabat, tabi’in dan pendapat penafsir itu sendiri, dan
sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lain-lainnya yang
dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an tersebut.84
Ibnu Katsir lebih condong kepada kategori tafsir al-matsur, yaitu penafsiran ayat
dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis Nabi, yang menjelaskan makna sebagian ayat
yang dirasa sulit atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in.
C. Karya-karya Ibnu Katsir
a) Karya-karyanya dalam bidang tafsir antara lain:
1. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir
yang diterbitkan pertama kalinya di Kairo pada tahun 1342 H atau 1923 M.
2. Fadahil al-Qur’an (Keutamaan al-Qur’an) yang berisi ringkasan sejarah al-
Qur’an. Di dalamnya benyak dipengaruhi kitab al-Siyasah al-Syari’ah karya
Ibnu Taimiyah.
b) Dalam bidang hadis antara lain:
83 Ibnu Katsir, Al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Daar al-Fikr, 1997), h. 10. 84 Abd al Hayy al-Farmawi, Metode Tafisr Maudhu’iy, terj. Suryana A Jamrah, (Jakarta: Rajawali
Press, 1994), h. 12.
7. Kitab Jami’al-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan),
sebanyak delapan jilid, yang berisi nama-nama para sahabat yang meriwayatkan
hadis-hadis yang terdapat dalam musnad Imam Hanbali;
8. al-Kutub as-Sittah (Kitab-Kitab Hadis yang Enam), suatu karya hadis;
9. at-Takmilah fi Ma’rifat as-Sigat wa ad-Dhu’afa wa al-Mujahal (pelengkap dalam
mengetahui rawi-rawi yang siqat/ dipercaya, lemah dan kurang dikenal), yang
berisi riwayat rawi-rawi hadis sebanyak lima jilid;
10. al-Mukhtasar (ringkasan), yang merupakan ringkasan dari muqaddimah Ibnu
Shalah (w. 642 H/ 1246 M); dan dikatakan bahwa ia juga menulis buku yang
berisi tafsiran terhadap hadis-hadis dari Shahih al-Bukhari dan karya hadis
lainnya;
11. Adillah at-Tanbih li ‘Ulum al-Hadis (buku tentang ilmu hadis) yang lebih dikenal
dengan nama al-Ba’is al-Hadis.
12. Ikhtisar ulum al-Hadits, suatu ringkasan mukaddimahIbnu al-Hajib dalam
masalah musthalah al-hadits.85
c) Dalam bidang sejarah di antaranya:
4. al-Bidayah wa al-Nihayah, merupakan rujukan terpenting bagi sejarawan86 yang
memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada tahun 768 H, sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua
bagian besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat
penciptaan sampai kenabian Muhammad saw. dan kedua, yaitu sejarah Islam
85 Muhammad Ali as-Sobuni, Pengantar Studi al-Qur’an, terj. Aminuddin, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 189.
86 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), Cet. Ke-5, h. 528.
mulai dari periode Nabi saw. di Makkah sampai pertengahan abad 8 H. Kejadian-
kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian.
5. al-Kawakib al-Darari, cuplikan dari al-Bidayah wa al-Nihayah
6. al-Fushul fi Sirat al-Rasul atau al-Sirah al-Nabawiyyah
d) Dalam bidang Fiqih di antaranya:
3. Kitab al-Jihad fi Thalaba al-Jihad, ditulis tahun 1368-1369 M untuk
menggerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai Libanon (Syiria)
dari serbuan Raja Franks dari Cyprus, karya ini banyak memperoleh inspirasi dari
kitab Ibnu Taimiyah al-Siyasah al-Syar’iyyah
4. Kitab Ahkam, kitab Fiqih yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis.87
87 Nurfaizin Marwan, Kajian Deskriptif Tafisr Ibnu Katsir, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), h.
42.
BAB III
SEKILAS TENTANG RIBA
A. Pengertian Riba
,”di dalam bahasa Indonesia berarti “bertambah رباء– يربو –ربا
“tumbuh”.88
Di dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang berakar dari susunan huruf
ر, ب , ا yang mempunyai arti yang berbeda tetapi menggambarkan arti dasar yang
sama yaitu “lebih” dan akan digambarkan oleh tiga buah kata sebagai contoh.
adalah kata yang diambil dari surat ar-Ra’d ayat 17, yang artinya رابيا
“mengapung”, menggambarkan arti dasar yaitu “lebih tingginya sesuatu di atas
permukaan air”.
adalah kata yang diambil dari surat al-Haqqah ayat 10, yang artinya keras رابيه
(siksaan), menggambarkan arti dasar yaitu “yang lebih keras” (siksaan).
adalah kata yang diambil dari surat an-Nahl ayat 92, yang artinya “lebih اربي
banyak”.89
.”secara etimologi artinya”tambahan”, “tumbuh” atau “membesar الرب
88 Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1972), h. 137. 89 Muh. Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbangkan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1996), Cet. ke-1, h. 38.
Adapun hukum riba, ulama’ sepakat mengharamkannya sesuai dengan penjelasan
al-Qur’an. Berikut ini salah satu dalil keharaman riba, dalam surat al-Baqarah ayat 275.
الَّذِينَ يَأْآُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ آَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ االلهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى االلهِ وَمَنْ فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya”.(QS. Al-Baqarah: 275).
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam
atau yang bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.90
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْآُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن
تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَتَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ االلهَ آَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali perniagaan yang terjadi dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (an-Nisa’: 29)
90 Muhammad Syafi’i Antonio, Islamic Banking Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), h. 37.
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat diatas, Ibnu al-Arabi al-
Maliki dalam Ahkam al-Qur’an menjelaskan, “pengertian riba secara bahasa adalah
tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan
yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
syariah”, yakni transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan
tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa atau bagi hasil proyek.91
B. Pembagian Riba
Para Fuqaha membagi riba menjadi dua, yaitu riba fadl (riba jual beli) dan riba
nasi’ah (riba hutang/ pinjam-meminjam).92 Riba Fadl adalah tambahan pada salah satu
dari dua alat tukar (barang) yang satu jenis. Riba Nasi’ah disebut juga riba Jahiliyah
adalah riba yang disebabkan oleh adanya penundaan (hutang) dan kelebihan yang terjadi
pada harta riba.93 sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ibnu Hajar membaginya menjadi
tiga, yaitu riba fadl, riba nasi’ah dan riba yad.94 Namun pada substansinya, riba yad
masuk dalam kategori riba fadl. Perbedaannya, jika pada riba nasi’ah ketika terjadi akad,
91 Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Dalam
proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapatkan keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Namun, dalam transaksi simpan-meminjam dana secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil suatu tambahan tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam, kecuali faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Lihat ibid., h. 38.
92 Para ahli hukum Islam (fuqaha), secara sederhana membagi riba kepada dua macam, pertama, riba dalam pinjaman (riba nasi’ah), yaitu berupa tambahan (bunga dalam pinjaman, sebagai imbalan penangguhan waktu). Kedua, riba dalam jual beli/ buyu’i (riba fadhl), yaitu riba yang didasarkan pada tukar menukar barang yang sejenis. Lihat Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, op. cit.
93 “Riba dan Bunga Bank”, data diakses tanggal 25 Mei 2006 di www. syari’ahonline. com. 94 Di kalangan Jumhur Ulama Fiqih, riba yad ini termasuk riba nasi’ah. Perbedaan riba yad
dengan riba nasi’ah dalam mazhab Syafi’I adalah, pada riba nasi’ah ketika terjadi akad, benda yang diakadkan sudah ada dan dapat diserah terimakan, sedangkan pada riba yad, benda yang diakadkan belum ada ketika terjadi akad. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), J. IV, h. 674.
benda yang diakadkan sudah ada dan dapat diserahterimakan, sedangkan pada riba yad
benda yang diakadkan belum ada ketika terjadi akad.95 Seperti halnya Ibn Hajar al-
Haitsami mengatakan bahwa, riba itu terdiri atas tiga jenis: riba fadl, riba yaad, dan riba
nasi’ah.96
‘Al-Thabari mengatakan, ada dua jenis riba, yakni pertama, riba jual beli,
menurutnya riba ini termasuk riba yang dibolehkan, karena ada tambahan pada jual beli,
yang tambahannya tidak bertambah, baik kalau dibayar dengan segera ataupun tidak
(fadhl). Dan kedua, riba dengan penundaan pengembalian hutang disertai dengan
sejumlah tambahan, menurutnya, riba ini termasuk riba yang diharamkan (riba yang
berlipat ganda, adh’afan mudha’afah, dalam surah Ali ‘Imran: 130), karena mengandung
tambahan serta adanya penundaan waktu (nasi’ah).97
Pendapat ini juga sama dengan yang dikemukakan Muhammad Rasyid Ridha, Ia
mengatakan: “Bahwa sesuatu yang diharamkan itu, adakalanya haram karena asalnya
memang haram, seperti riba nasi’ah, dan adakalanya haram karena bisa mengantarkan
pada keharaman (sadd ad-dzari’ah), seperti riba fadl. Beliau berpandangan, bahwa
sesuatu yang diharamkan, karena asalnya memang haram, tidak dibolehkan kecuali kalau
ada keterdesakan (dharurat), seperti makan bangkai, daging babi dan minum minuman
keras. Sedangkan yang diharamkan, karena sadd ad-dzari’ah, bisa dimubahkan karena
95 Lihat Wahbah al-Zuahili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), Juz IV. h.
674. Juga Muhammad Syafi’i Antonio, Islamic Banking Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, h. 37. 96 Lihat dalam Muhammad Syafi’I Antonio, Islamic Banking Bank Syari’ah, op. cit., h. 42. 97 Untuk menguatkan pendapatnya, al-Thabari mengutip sebuah hadits, yang salah satunya
diriwayatkan Mujahid, bahwa “riba adh’afan mudha’afah adalah riba Jahiliyyah.” Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), Juz. IV, h. 90.
adanya kebutuhan dan kepentingan mendesak. Karenanya, dia berpandangan, bahwa
adanya kebutuhan saja bisa mengantarkan pada kebolehan jenis riba fadl ini”.98
Namun, pendapat ini ditolak oleh sebagian ulama’ karena dilihat dari lafadznya,
baik “ البيع “ atau “ الربا “ sama-sama menggunakan “al at-Ta’rif” (alif lam pengenal),
sehingga mempunyai arti secara umum. Dengan demikian, dalam prakteknya segala jual
beli dihalalkan oleh Allah, dan segala riba juga diharamkan dalam berbagai bentuknya.99
Rasyid Ridha memandang bahwa riba nasi’ah mengandung kedzaliman, karena
sifatnya yang berlipat ganda. Ini juga persis yang dikatakan gurunya, Muhammad Abduh,
yang mengatakan, “…..Riba adalah istilah tentang penyerahan banyak dirham atau yang
sejenis, yang pengambilannya dengan berlipat ganda pada kesempatan lain…..”. Ridha
menambahkan, tambahan itu diberikan tidak didasarkan atas dasar suka sama suka, tetapi
atas dasar keterpaksaan.100
Menurut ulama’ fiqh, pembicaraan tentang riba nasi’ah ada dalam al-Qur’an.
Hampir seluruh ayat-ayat riba dalam al-Qur’an, seperti surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran
menunjuk kepada pengertian riba nasi’ah ini. Hal ini sesuai dengan praktek yang berlaku
pada zaman jahiliah, ketika ayat-ayat tersebut turun.101
Sedangkan riba fadl keterangannya terdapat dalam hadis Rasul, yang berbunyi:
98 Muhammad Rasyid Ridha, Tafisr al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), (Mesir, Dar al-Manar,
1376 H), Jilid IV, h. 125. 99 M. Ahmad ad-Da’ur, Riba dan Bunga Bank (Bogor, Al-Azhar Press, 2004), h. 54. 100 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim…..h. 108. 101 Abdur Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah (Beirut, Dar al-Turats al-‘Arabi),
Jilid II, h. 246. Secara sederhana, ulama fiqh mendefinisikan riba nasi’ah sebagai berikut: Ulama’ Hanafi mengatakan bahwa riba nasi’ah menunjuk atas tambahan benda yang dihutangkan, yang tidak sejenis, tapi dapat ditakar dan ditimbang atau yang tidak dapat ditakar dan ditimbang tapi sejenis. Imam Syafi’I berpendapat, riba nasi’ah adalah penjanjian hutang untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan pada waktu pelunasan hutang. Jadi inti riba nasi’ah ialah setiap tambahan pokok atas hutang dari jumlah pokoknya. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh…..h. 675.
عن ابي سعيد الخدري قال قل رسول االله صلي االله عليه وسلم ينهي
عن بيع الدهب باالدهب والفضه بالفضه والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر
بالتمر والمله بالمله الا سواء بسواء عينا بعين فمن زاد فقد اربي
Abu Sa’id al-Khudri, katanya, Rasulullah bersabda dengan melarang jual beli (tukar
menukar) emas dengan emas, tepung dengan tepung, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali sama dan seimbang.
Barang siapa menambah, ia telah melakukan riba”.(HR. Muslim)102
Hadis inilah yang kemudian menjadi dalil atas adanya riba fadl. Imam Ibnu
Rusyd memberikan penafsiran atas hadis di atas dengan mengatakan bahwa maksud
hadis tersebut ialah melarang setiap kelebihan atau penambahan barang sejenis dalam
tukar menukar barang tersebut.103
Muhammad ‘Abduh mengambil pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab
I’lamu al-Muwaqi’in, bahwa riba itu ada dua macam, yaitu: jali (jelas) dan khafi (kabur).
Riba jali jelas diharamkan, karena adanya bahaya yang besar yang ada didalamnya.
Mengenai riba khafi yang juga diharamkan, karena bisa mengantarkan pada praktek riba
jali. Jadi, diharamkannya yang pertama, itulah yang sebenarnya menjadi tujuan,
sedangkan diharamkannya yang kedua karena menjadi prasarana (yang mengantarkan ke
sana).104
102 Hadis ini diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab shahihnya bab Al-Masaqah, no. 2971. 103 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (Dar al-Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah), Jilid II, h. 97. 104 Riba jali adalah riba nasi’ah. Itulah yang pernah mereka praktekkan pada masa Jahiliyyah.
Lihat Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer (Bangil: al-Izzah, 1997), h. 183.
C. Sejarah Riba
Riba memiliki sejarah yang sangat panjang dan prakteknya sudah dimulai
semenjak bangsa Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-
Islaman. Dalam sejarahnya, hampir semua agama Samawi mengharamkan riba, karena
dianggapnya tidak terdapat kemaslahatan sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat.
Dan dalam prakteknya, kaum Yahudi merupakan umat yang gemar melakukan riba.
Bahkan, hingga kini pun di AS, praktek pembungaan uang masih dilakukan oleh kaum
etnis Yahudi, baik dilembaga perbankan atau koperasi.105
Pada jaman pra-Islam, dikalangan bangsa Arab tidak dikenal bentuk pemerintahan
kerajaan seperti Romawi, Persia dll. Dikalangan bangsa ini hanya ada kelompok orang
yang bergabung dalam bentuk klen (qaum) atau suku (qabilah).
Keterlibatan seseorang kepada klen/ suku amat penting bagi kelangsungan hidup
mereka, karena di dalam klen/ suku terdapat solidaritas antar anggota klen/ suku ada yang
dibunuh, maka seluruh anggotanya mempunyai tanggung jawab untuk menuntut balas.
Namun sifat materialistis orang-orang Arab masih lebih berpengaruh ketimbang
rasa solidaritas antar anggota klen/ suku. Seandainya rasa solidaritas antar anggota tinggi,
maka seharusnya tidak ada perbedaan sosial yang mencolok diantara anggotanya, namun
kenyataannya ada struktur miskin dan kaya didalamnya.
Jadi, di kalangan masyarakat Arab solidaritas tidak bersifat absolut, akan tetapi
bergantung kepada kesadaran anggotanya di dalam keadaan yang memungkinkan.
105 M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba” Ulumul Qur’an Vol II no. 9 (Jakarta:
LSAF, 1991), h. 45.
Di dalam dunia dagang lahir sikap mengutamakan kepentingan pribadi di atas
kepentingan masyarakat. Mencari keuntungan menjadi tujuan utama, dengan menempuh
segala macam cara.
Kecintaan masyarakat Arab atas materi dan rasa tidak peduli kepada masyarakat
miskin terlukis di dalam surat al-Takasur, surat al-Ma’un, surat al-Humazah dll.
Salah satu cara untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa
menghiraukan orang lain dan dianggap praktik yang batil adalah praktik riba.106
Dalam Kitab Lecvicitus (Imamat) kitab agama Yahudi pasal 23 ayat 19
disebutkan larangan terhadap riba, yang bunyi teksnya sebagai berikut:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”.107
Namun larangan riba dalam agama Yahudi, menurut Rasyid Ridha hanya untuk
kalangan diri sendiri. Hal ini didasarkan atas Syifr Awwalin (Kitab Perjanjian Lama) yang
disebutkan, “….Apabila saudaramu membutuhkan sesuatu, sedangkan ia tidak mampu
meminta pertolongan, maka jangan kamu ambil darinya harta riba dan keuntungan, tapi
takutlah pada Tuhanmu supaya saudaramu dapat hidup bersama….”.
Di katakan dalam Kitab Perjanjian Lama:
“Janganlah menghubungi saudaramu dengan menggunakan system riba atau riba apapun yang menggunakan bentuk pertanggungan dengan riba, tetapi untuk orang lain, hutangilah dengan menggunakan sistem riba, akan tetapi jangan kamu lakukan terhadap saudaramu”.108
106 Muh. Zuhri, op. cit., h. 25-46. Lihat juga Muhammad Syafi’I Antonio, op. cit., h. 59. 107 Muhammad Syafi’i Antonio, Islamic Banking Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek....,h. 66. 108 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim.......h. 62.
Dalam sejarah agama Kristen, selama satu millennium, riba adalah praktek
terlarang dalam pandangan teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang. Tapi,
memang praktek riba tersebut sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa
melakukan kompromi, dengan hanya melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap
bisnis pembungaan uang.
Dalam kitab Lukas 6: 34-35 (Kitab agama Nasrani) terdapat ayat juga yang
esensinya melarang praktek riba.
“ Dan jika kamu meminjamkan sesuatu kepada orang lain, karena kamu berharap akan meminta sesuatu dari padanya, apakan jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihanilah musuhmu dan berbuat baiklah kepada mereka dan pinjamkan dengan tidakmengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat”.109
Di kalangan gereja, dalam pemikiran teologi sesudah masa Thomas Aquinas ada
upaya untuk menghindari praktek riba, yaitu dengan cara seseorang bisa meminjamkan
modal mereka kepada orang lain untuk diputarkan, misalnya untuk berdagang atau
memproduksi barang, dengan perjanjian bahwa si pemilik modal akan mendapat bagian
laba, tetapi juga ikut menanggung jika kerugian terjadi. Inilah yang kemudian dikenal
dengan prinsip profit and sharing.110 Cara ini dianggap tidak sebagai memungut riba.
Dawam Rahardjo dengan mengutip mufassir Muhammad Assad dalam The
Message of the Qur’an mengatakan, bahwa setelah dibebaskan oleh Nabi Musa dari
belenggu perbudakan Fir’aun, bangsa Yahudi memperoleh berbagai kenikmatan hidup.
109 Muhammad Syafi’i Antonio, Islamic Banking Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek....h. 66. 110 M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci ......h. 602.
Tapi sesudah itu, terutama setelah masa Nabi Isa, bangsa Yahudi mengalami berbagai
malapetaka dan kesengsaraan. Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka
menjalankan praktek riba dan memakan harta manusia secara bathil. Padahal pekerjaan
itu, seperti dikatakan al-Qur’an telah dilarang dalam kitab mereka sendiri, yaitu Kitab
Taurat dan Zabur yang kini dikenal dengan Kitab Perjanjian Lama, seperti yang salah
satunya dijelaskan di atas.111
Larangan riba sebenarnya bukan sekedar hanya buat orang Yahudi. Para filusuf
Yunani kuno dan Romawi kuno juga telah mengembangkan teori yang mendasari
pelarangan riba. Uang, kata Aristoteles adalah medium yang digunakan untuk pertukaran.
Karena itu, uang tidak bisa “beranak”. Barang siapa yang meminta bayaran dari
meminjamkan uang, maka tindakannya itu, oleh Aristoteles, dinilai sebagai bertentangan
dengan hukum alam. Plato (427-347 SM) adalah tokoh yang juga mengecam
pembungaan uang.
Di Athena, pada zaman pemerintahan solon, bunga memang tidak dilarang, tetapi
tingkat suku bunganya dibatasi, antara lain dengan tujuan untuk melindungi penduduk
yang bekerja di sector pertanian. Tetapi pada tahun 342 SM, telah diumumkan lex
genucia yang melarang pengambilan bunga uang berapa pun juga tingkatnya.
Membungakan uang sama saja dengan melakukan tindak kejahatan.112
111 M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’an: Riba” Ulumul ......h. 46. 112 Namun, dalam prakteknya larangan riba ada pengecualiannya juga, yaitu dalam pemberian
uang muka untuk perdagangan laut. Pada masa Kaisar Justinian, tinggi bunga diatur hingga 6 % saja untuk pinjaman umumnya, 8 % untuk kerajinan dan perdagangan, 4 % untuk bangsawan tinggi. Sungguhpun demikian, hukum tersebut berlaku dengan berbagai tekanan dari para filusuf dan teolog Kristen yang menentang riba. Tapi, karena pengecualian inilah, peluang melakukan riba timbul. Dalam imperium Roma, para bangsawan mendapat penghasilannya dari riba. Lihat M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci.......h. 599.
Pada mulanya di Eropa, orang-orang Yahudi merupakan bangsa yang maju dalam
perdagangan. Karena itu kemudian, hal tersebut menimbulkan kecemburuan dikalangan
pribumi, sehingga mereka pun mendesak orang-orang Yahudi (sebagai pendatang) agar
minggir dari arena perdagangan, Ketika itu, tepatnya pada abad ke-11, orang-orang
Yahudi mulai mengubah profesi mereka sebagai pembunga uang, dan ini mencapai
puncaknya pada abad ke-14.
Penghapusan terhadap larangan riba, secara undang-undang di Barat baru
dilakukan di Inggris pada tahun 1854, Belanda tahun 1857, dan pada waktu yang sama,
sebagian besar negara-negara bagian di AS mempertahankan undang-undang anti riba
tersebut.113
Namun begitu, tidak berarti undang-undang tersebut tanpa perlawanan. Pada abad
ke-16 dan ke-17, ahli hukum Eropa melancarkan perjuangan untuk mengurangi
berlakunya undang-undang anti riba. Salah satu tokohnya adalah Calvin dan ahli hukum
Perancis, Dumoulin.114
Pada zaman feodal, di mana pemilik tanah memegang posisi dominan dalam
menentukan moral, “bekerja” dengan membungakan uang sebagai pekerjaan yang
rendah. Sebab, umumnya orang yang meminjam uang untuk digunakan keperluan
konsumtif, dapat memudahkan orang tersebut terjerat kepada hutang yang tidak dapat
113 Riba dalam bahasa Inggris disebut usury atau woeker. Oleh orang-orang Belanda disebut lintah
darat bagi yang suka menjalankan pembungaan uang, woekeraar. Dan bunga bank disebut interest dalam bahasa Inggris dan rente dalam bahasa Belanda. Bunga, dalam konteks Eropa saat itu ialah bunga yang terlalu tinggi persentasenya. Dari sini kemudian, dengan mengutip pendapat Syafruddin Prawiranegara, Dawam mengatakan bahwa bunga bunga bank tidak sama dengan riba. Bunga bank yang disebut juga rente adalah tingkat bunga yang wajar dan boleh dipungut berdasarkan undang-undang. Sedangkan riba adalah woekwr adalah suatu tingkat suku bunga yang mengandung unsur pemerasan. Lihat M. Dawam Rahardjo, Riba, Ulumul Qur’an......h. 44.
114 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci ......h. 608.
dibayar, bahkan bisa jatuh menjadi budak karena hutang. Karena itu, sistem riba dinilai
bisa melemahkan sistem pertahanan masyarakat feodal.
Pada masa Jahiliyah, masa pra-Islam, praktek riba lebih disebabkan, karena suku
Arab digantungkan kehidupannya kepada berdagang. Di samping, memang mayoritas
orang Arab sangat suka harta alias materialis ditambah dengan sikapnya yang sangat
individualis. Karena itu, yang dipikirkan hanya, bagaimana ia bisa mendapat keuntungan
sebanyak-banyaknya. Di sinilah, praktek riba terjadi dan menemukan momentumnya.115
Dari mana orang-orang Arab mengenal praktek riba? Mereka mengenalnya dari
orang-orang Yahudi yang banyak tinggal di Madinah. Mareka ini (kaum Yahudi) adalah
pelarian dari Palestina setelah Raja Titus mengusirnya pada abad 71 Masehi.116
Sebagaimana diketahui, praktek riba saat itu ialah dengan cara perjanjian dalam pinjam
meminjam untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati dengan memberikan
tambahan atas pokok pinjaman. Dalam prakteknya, tambahan atas pokok pinjaman
ditentukan oleh si pemberi pinjaman (debitur).
Apabila dalam waktu yang disepakati, si peminjam tidak dapat membayar
hutangnya bersama tambahannya, maka ia akan diberi tenggang waktu kembali dengan
tambahan sebesar pokok sebagaimana tambahan pertama. Dengan demikian uang yang
harus dibayar peminjam menjadi berlipat ganda. Karena itu, dalam prakteknya, riba
dengan model demikian mengandung unsur penganiayaan, dan peminjam yang biasanya
orang-orang miskin menjadi tambah miskin. Atas alasan inilah, al-Qur’an sangat
115 Muhammad Syafi’i Antonio, Islamic Banking Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, h. 59. 116 Syabirin Harahap, Bunga Uang dan Riba Dalam Hukum Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1993), Cet. ke-2, h. 48.
mengutuk praktek riba.117 Riba Jahiliyah ini sudah tentu menyulitkan bagi si peminjam.
Pada praktek riba ini ada unsur penganiayaannya dan si peminjam yang biasanya kaum
miskin menjadi semakin miskin.
Dalam sejarahnya, praktek riba juga dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi,
seperti ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abbas bin Abdul al-Mutallib, Khalid bin Walid, dll. Namun
kemudian mereka menghentikan praktek tersebut ketika ada larangan dari Rasulullah.
117 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994),
Cet. ke-2, h. 78.
BAB IV
STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG RIBA DALAM
TAFSIR AL-MANAR DAN TAFSIR IBNU KATSIR
Al-Qur’an membicarakan masalah riba dalam empat surah al-Qur’an, yaitu al-
Baqarah, Ali ‘Imran, an-Nisa’ dan ar-Rum. Jika dilihat dari segi urutan turunnya ayat-
ayat tentang riba, maka yang pertama kali turun adalah surah ar-Rum yang turun di
Makkah. Sedangkan ayat terakhir tentang riba adalah ayat-ayat dalam surah al-Baqarah.
Bahkan ayat ini dinilai sebagai ayat hukum terakhir atau ayat terakhir yang diterima oleh
Rasulullah Saw.118
Tahap-tahap pembicaraan al-Qur’an tentang riba sama dengan tahapan
pembicaraan tentang khamr. Pada tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur
negatif di dalamnya (ar-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang
keharamannya (an-Nisa: 160-161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit,
dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali Imran: 130), dan pada tahap terakhir,
(al-Baqarah: 275-279). Dengan turunnya ayat ini, khususnya ayat 278, diharamkan secara
total dalam berbagai bentuknya.119 Namun, pada bab ini penulis hanya akan membahas
118 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 550. 119 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 260. Lihat juga Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1969), Jilid. III, h. 59. Lihat juga. Khioruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad ‘Abduh. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 43.
ayat-ayat riba dalam surah Ali Imran: 130, al-Baqarah: 275, 276, 278, dan 279, yang
terdapat dalam Tafsir al-Manar dan Tafsir Ibnu Katsir. Pada skripsi ini, penulis tidak
membahas surat ar-Rum ayat 39, karena dalam tafsir al-Qur’an al-Hakim atau yang lebih
masyhur (populer) dengan tafsir al-Manar, dalam penulisannya, kitab ini telah diterbitkan
dalam 12 jilid, tetapi penafsirannya hanya sampai surah Yusuf ayat 101, karena
penulisnya wafat, dan semasa hidupnya, baik Muhammad ‘Abduh maupun Muhammad
Rasyid Ridha belum sempat membahas ayat ini. Muhammad ‘Abduh menyampaikan
kuliah tafsirnya di al-Azhar dari surah al-Fatihah sampai dengan surah an-Nisa ayat 129,
kemudian penafsirannya itu dilanjutkan oleh muridnya, yakni Muhammad Rasyid Ridha
dengan mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan gurunya sampai dengan
surah Yusuf ayat 101. Jadi, surat ar-Rum tidak ada dalam tafsir al-Manar.
Penulis juga tidak membahas surat an-Nisa ayat 160-161, karena ayat ini hanya
mengandung kecaman terhadap orang-orang Yahudi yang mempraktekkan riba, dan tidak
menerangkan larangan mempraktekkan riba.
A. Penafsiran ayat-ayat riba dalam tafsir Al- Manar
1. Penafsiran pada Surah Ali Imran ayat 130
أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْآُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا االلهَ لَعَلَّكُمْ يَا
}130{تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. 3:130)
Ayat ini adalah ayat yang pertama turun dalam mengharamkan riba. Sedangkan,
surah al-Baqarah yang menerangkan riba, turun setelah ayat ini. Bahkan merupakan ayat
terakhir yang turun dari ayat-ayat hukum riba. Muhammad Rasyid Ridha, mengatakan
bahwa konteks surat Ali Imran ayat 130 diatas berbicara tentang kondisi riba pada masa
jahiliyah, yang sudah lama di kenal.120
Kata الاضعاف adalah jama’ dari lafadz ضعف (dengan kasrah dhad) dan
lipat ganda sesuatu (pelipatgandaan yang berkali-kali). Jika dilipatgandakan, ini termasuk
lafadz-lafadz yang disandarkan, artinya yang menghendaki eksistensi lain dari jenisnya.
Pada ayat di atas Muhammad ‘Abduh menafsirkan bahwa, jika dikatakan lipat
ganda yang digandakan dalam tambahan/ bunga saja (yaitu riba), maka patutlah apa yang
telah dikatakan oleh seorang mufassir (al-Jalal) dalam deskripsi masalah yang
mengakhirkan tempo hutang dan tambahan dalam harta, dan inilah yang dikenal di masa
Jahiliyyah. Dan bisa juga lipat ganda itu dinisbatkan pada harta pokok (jumlah pinjaman),
dan inilah yang terjadi sekarang.
Muhammad ‘Abduh melihat orang-orang di Mesir yang berhutang dengan riba,
sebanyak 3% setiap hari. Lihatlah, berapa banyak lipat ganda dalam setahun? Ia berkata,
“yang dilipat gandakan” setelah menyebut lipat ganda, seakan-akan aqad itu menjadi
permulaan atas lipat ganda, kemudian diikuti “yang dilipat gandakan”. Setelah itu,
dengan mengakhirkan tempo dan tambahan harta.121
120 Rasyid Ridha melandaskan penafsirannya kepada pendapat yang dikemukakan Ibnu Jarir al-
Thabari tentang maksud ayat di atas. 121 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), (Mesir: Dar al-
Manar, 1376 H), Jilid. IV, h. 131.
Agaknya Muhammad ‘Abduh bersikap tidak simpati terhadap perbankan.
Dikarenakan betapa sulitnya pihak peminjam menanggung kewajiban pengembaliannya.
Beliau melihat , haramnya riba tidak terlepas dari penumpukkan harta dan uang yang
menghambat sirkulasi perdagangan. Uang dinilai memiliki dua fungsi pokok, sebagai
standar harga barang dan memudahkan orang mengadakan pertukaran barang-barang.122
Muhammad Rasyid Ridha melihat, kedzaliman yang terkandung dalam riba
Jahiliyyah adalah sifatnya yang berlipat ganda. Agaknya beliau terpengaruh dengan
pandangan gurunya, Muhammad ‘Abduh, yang mengatakan,”Adapun riba adalah istilah
tentang penyerahan banyak dirham atau yang sejenis, yang pengambilannya dengan lipat
ganda. Muhammad Rasyid Ridha, mengatakan bahwa kedzaliman yang terkandung
dalam riba Jahiliyah adalah sifatnya yang berlipat ganda, tambahan itu diberikan tidak
didasarkan atas rasa suka rela, tetapi atas dasar keterpaksaan.123
Namun, para ulama menekankan pembahasan surah Ali ‘Imran ini pada kata
adh’afan mudha’afah. Dari bahasan tersebut, kemudian memunculkan dua kelompok
besar, pertama, ulama yang memegang, bahwa penyebutan kata tersebut hanya
merupakan informasi tentang perilaku orang Arab pra-Islam,124 dan tidak menjadi syarat
122 Ibid., Jilid III, h. 109. 123 Ibid., h. 108. 124 Seperti al-Thabari (beliau membaginya menjadi dua jenis riba, riba jual beli (diperbolehkan,
karena tambahannya tidak bertambah, baik kalau dibayar dengan segera ataupun tidak (fadhl), al-Qurtubi (menurutnya, di samping memberitahukan tentang perilaku orang Arab pra-Islam, juga menunjukkan betapa kejinya perbuatan riba nasi’ah tersebut), al-Shaukani (bahwa, semua bentuk riba, baik sedikit maupun banyak, hukumnya haram), Muhammad ‘Ali ash-Shobuni (bahwa, praktek riba yang dilakukan pra-Islam adalah adh’afan mudha’afah. Namun, pengharaman riba bukan karena unsure itu, tetapi lebih karena adanya unsure penganiayaan (dhulm), Sayyid Quthb (Islam adalah agama yang mengatur dalam bentuk yang asasi. Maka, keharaman riba tidak mengharamkan yang satu dan menghalalkan yang lain). Lihat Khoiruddin Nasution, Riba & Poligami “Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad ‘Abduh”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 48-56.
keharaman riba. Kedua, sebaliknya, menjadikan lipat ganda sebagai syarat haramnya
riba.125
Penulis sepakat dengan pendapat M. Quraish Shihab dalam menyikapi hal
tersebut, bahwa sekalipun teks adh’afan mudha’afah merupakan syarat,126 namun pada
akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah firman Allah falakum
ru’usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu), bahwa segala bentuk penambahan atau
kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan al-Qur’an. Dan ini berarti
bahwa kata adh’afan mudha’afah bukan syarat tetapi penjelasan tentang riba yang sudah
lumrah mereka praktekkan. Namun perlu digarisbawahi bahwa penambahan atau
kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa
turunnya al-Qur’an dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat al-Baqarah: 279, yaitu
latazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).127
Di lihat dari munasabah ayat, dalam surah Ali ‘Imran ini disebut secara eksplisit
pelarangan praktek riba. Menurut Muhammad ‘Abduh, sebelum al-Qur’an menyebutkan
larangan riba pada surah Ali ‘Imran ayat 130, al-Qur’an berbicara tentang pertolongan
Allah kepada orang Mukmin dalam Perang Badar (Ali ‘Imran, 121-127). “Kekalahan”
dalam Perang Uhud berkaitan dengan ketamakan orang Islam akan ghanimah dan
keakraban mereka dengan orang-orang Yahudi, yang dikenal pemakan riba, seperti
125 Seperti Muhammad Rasyid Ridha dan Mushthafa al-Maraghi, yang menjadikan lipat ganda sebagai syarat pengharaman riba. Lihat ibid.
126 Adapun menyangkut taqyid, Abd al-Rahman bin Nasir al-Sa’di berkata, “Taqyid yang terdapat dalam al-Qur’an tidak selalu menjadi dasar untuk menetapkan hukum, contohnya, dalam surah an-Nisa’; 23, raba’ibukum diberi qayyid dengan allati fi hujurikum. Padahal, tanpa diberi qayyid, hukumnya juga tidak boleh dinikah oleh ayah tiri tersebut. Seperti juga dalam surah al-Isra’; 31, tanpa disebut khasyyata imlaq (takut melarat), membunuh anak hukumnya tetap dilarang oleh Tuhan. Lihat pada Abd al-Rahman bin Nasir al-Sa’di, al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur’an, (Riyad: al-Ma’arif, 1980), h. 92-94. Berdasarkan alasan tersebut, maka qayyid – ad’afan muda’afah – atas al-riba pada Ali ‘Imran; 130, tidak menjadi syarat bahwa untuk haramnya riba harus berlipat ganda.
127 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, op. cit., h. 266.
disebut dalam surah an-Nisa’ ayat 160-161. Agar pertolongan Tuhan tetap menyertai
orang Mukmin, maka tamak harta dan akrab dengan tukang riba, harus disingkirkan.128
Kemudian al-Qur’an juga menyebutkan kekuasaan-Nya atas langit dan bumi, dan
kekuasaan-Nya mengampuni serta mengadzab manusia (Ali ‘Imran; 129), agaknya
penyebutan ini merupakan peringatan, agar seruan pada kalimat berikutnya dipatuhi,
dengan kesadaran bahwa seruan itu dari Allah Yang Maha Kuasa. Sesudah menyebut
larangan riba, al-Qur’an menyuruh taat kepada Allah dan Rasul-Nya, seraya memohon
ampunan kepada-Nya (Ali ‘Imran; 131-133) dan al-Qur’an menyebutkan bahwa orang
yang menafkahkan hartanya (di waktu lapang ataupun sempit), menahan amarah,
memaafkan orang, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan (Ali ‘Imran;
134).129
2. Penafsiran pada Surah al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279
إِلاَّ آَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ الَّذِينَ يَأْآُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ االلهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ
إِلَى االلهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
يَمْحَقُ االلهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَااللهُ لاَ يُحِبُّ } 275{النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
بَا إِن يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا االلهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّ} 276{آُلَّ آَفَّارٍ أَثِيمٍ
128 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), loc. cit., Jilid IV, h.
122. 129 M. Zuhri, Riba dalam al-Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 82-83.
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ االلهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ } 278{آُنتُم مُّؤْمِنِينَ
}279{فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orangyang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:275) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS. 2:276) Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. 2:278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. 2:279)
Pada Surah al-Baqarah ayat 275: ( الَّذِينَ يَأْآُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ آَمَا
Yang dimaksud dengan ‘makan’ dari ayat (يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
diatas adalah mengambil untuk mendayagunakan. Adapun berdirinya orang yang makan
harta riba adalah sama dengan berdirinya orang yang terkena gangguan (tekanan)
syaitan. Ibnu Atiyah berpendapat, tentang maksud dari perumpamaan pada rentenir
dengan gangguan jiwa sewaktu di dunia atau dikatakan sebagai orang gila. Muhammad
Rasyid Ridha berkata, pendapat ini tergesa-gesa, akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat
tentang apa yang dimaksud dengan ‘berdiri’, adalah ‘bangun dari kubur’, ketika
bangkit.130 Secara lahiriyah, yang dikatakan Ibnu Atiyah, bahwa mereka (orang-orang
yang makan harta riba) adalah orang-orang yang tertipu dan diperbudak oleh harta.
Mereka terfokus pada pengumpulan dan menjadikan harta sebagai tujuan hidup.
( الُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَاذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَ ) Makan harta riba adalah penyebab dari
penghalalan mereka, menjadikan riba sama dengan jual beli. Mengapa demikian? Karena
jual beli itu pertukaran dua barang, sedangkan riba itu adalah tambahan dari hutang yang
diakhirkan jatuh tempo pengembaliannya.
وَأَحَلَّ االلهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا )
Allah menghalalkan keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan, pembelian (سَلَفَ
dan penjualan. Allah mengharamkan riba, artinya mengharamkan harta dari
pengembalian hutang yang diakhirkan waktunya. Telah jelas ungkapan Ibn Jarir, kami
telah menerangkan keadaan mereka bahwa di hari kiamat akan tertimpa keadaan buruk
dan keterasingan, serta kejelek-jelekan mereka dalam mendustakan agama. Mereka
mengatakan, jual beli yang dihalalkan Allah pada hamba-Nya adalah sama dengan riba.
Dengan demikian, sesungguhnya orang-orang yang makan harta riba tergolong orang-
orang Jahiliyyah.131
Muhammad Rasyid Ridha mengatakan, bahwasanya ayat tersebut disampaikan
pada mereka mengenai riba itu haram dan jawaban mereka terhadap pemaparan
(penceritaan) Allah adalah tidak ada ketentuan pasti di dalamnya dari ayat tersebut.
130 Dan Allah menjadikan mereka bangkit dari kubur seperti orang gila, sebagai tanda bagi rentenir pada hari Kiamat. Semua itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, bahkan Imam Thabrani meriwayatkan dari Hadits marfu’ dari Auf bin Malik, ketahuilah kamu pada dosa-dosa yang tidak dapat diampuni, yaitu dengki dan riba. Lihat Ibid., h. 94.
131 ibid., h. 96.
Karena pemaparan tentang perilaku dan keadaan, berasal dari pembicaraan masyarakat
Arab yang secara hakiki, akan memberikan ketetapan atas keyakinan orang-orang Arab
terhadap keharaman riba, atau mungkin ayat ini dijadikan dan ditujukan secara khusus
pada orang-orang Yahudi.132
Muhammad Rasyid Ridha, mengatakan bahwa tambahan dalam riba dan jual beli
tidaklah sama, baik secara praktis, bahaya dan manfaatnya. Baginya, Allah tidak akan
mengharamkan sesuatu kecuali mengandung bahaya, dan tidak menghalalkan sesuatu
kecuali yang memberikan manfaat.133
Dan dalam hal riba ini, menurutnya Allah sudah sangat adil, sebab Tuhan tidak
akan memberikan siksa bagi orang yang telah makan riba sebelum adanya pengharaman
dan nasihat dari-Nya, sehingga makan riba yang telah berlalu adalah keringanan. Akan
tetapi, Allah memberikan janji buruk kepada orang yang makan harta setelah adanya
larangan.134
Pada surah al-Baqarah ayat 276: (ِيَمْحَقُ االلهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَات), Allah
menghapus riba dengan menghilangkan dan menghancurkan barokahnya. Dalam hadits
Ibn Mas’ud, menurut Ahmad, Ibn Majah, dan Hakim dan diriwayatkan Ibnu Jarir dalam
tafsirnya, bahwa ”Harta riba walaupun banyak, maka berakibat menjadi sedikit”.
Dhahhak berpendapat, penghapusan barokah tersebut, terjadi di akhirat, dengan
membatalkan manfaat harta itu darinya, sehingga tidak tersisa sedikitpun baginya.
132 Kekhususan itu disebabkan, riba telah diharamkan atas orang-orang Yahudi di dalam syari’at
mereka, bahkan disebutkan didalamnya, mereka adalah makhluk terhebat dalam ‘rente’ yang selalu menghalalkan. Hanya saja, diharamkan atas kami (orang-orang Yahudi) makan harta saudara kami Isra’illiyyin (orang-orang Isra’il). Lihat Ibid., h. 97.
133 Ibid., 134 Ibid., h. 98.
Muhammad Abduh berpendapat, maksud dari penghapusan harta riba, bukanlah
penghapusan tambahan dalam harta, karena hal ini melawan penyaksian dan pemberitaan.
Tetapi, yang dimaksud keterangan di atas hanyalah permusuhan dari manusia dan
tertimpa musibah keragu-raguan dalam dirinya.135
Adapun permusuhan manusia merupakan tantangan orang-orang yang
membutuhkan, serta kemarahan orang-orang yang kekurangan, dan kadangkala
permusuhan itu disandarkan pada kerusakan, marabahaya, dan penganiayaan hak orang
lain atas harta, jiwa dan hasil alam mereka. Dan diantara mereka juga dalam kesulitan
dan kekhawatiran, sehingga menjadikan mereka orang-orang yang hancur.
Bahwa maksud dari ‘Allah tidak suka’ adalah (وَااللهُ لاَ يُحِبُّ آُلَّ آَفَّارٍ أَثِيمٍ)
Allah tidak rela. Maksud dari ‘orang kafir’ adalah orang-orang yang menghalalkan riba,
dan orang-orang berdosa adalah orang-orang yang tetap dalam dosa. Muhammad Rasyid
Ridha berpendapat, bahwa sesungguhnya kecintaan Allah terhadap hamba-Nya adalah
kehendak-Nya.136
Surat al-Baqarah ayat 278 ( َيَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا االلهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِن
Allah memerintahkan untuk meninggalkan apa yang tersisa dari riba pada orang (الرِّبَا
yang mendapat tambahan harta dari orang-orang yang hutang.
Muhammad ‘Abduh berkata, apabila iman kalian sempurna (إِن آُنتُم مُّؤْمِنِينَ)
135 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), op. cit., Jilid III, h.
100. 136 Kecintaan itu diketahui dengan perbuatan seorang hamba untuk menyempurnakan hukum
Allah, dalam kebaikan ibadah-Nya. Sedangkan, hilangnya kecintaan Allah, dapat diketahui dengan sebaliknya. Lihat Ibid.,
terhadap semua yang datang dari Nabi Muhammad Saw. termasuk didalamnya hukum-
hukum, maka tinggalkanlah sisa riba. Muhammad Rasyid Ridha berpendapat, orang yang
belum meninggalkan sisa-sisa riba, setelah muncul larangan Allah dan janji buruk-Nya,
maka ia tidak tergolong orang-orang yang beriman dengan sempurna. Walaupun, mereka
telah menetapkan dengan lisannya, namun Allah tidak menghitung keimanannya, kecuali
apabila hati, perbuatan dan perkataannya adalah benar.137
Pada QS. al-Baqarah ayat 279: Allah berfirman ( ٍفَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْب
adalah satu bentuk dan satu makna dengan فَأْذَنُوا Kata 138(مِّنَ االلهِ وَرَسُولِهِ فاعلموا ,
yaitu menurut qira’at jumhur. Dalam riwayat Ibn ‘Abbas, kata فَأْذَنُوا menurut Hamzah,
yang bermakna ‘pemberitahuan’, maksudnya beritahu dirimu sekalian, agama, sebagian
di antara kamu atau orang-orang Muslim, sesungguhnya telah berpegang melawan Allah
dan Rasul-Nya dengan keluar syari’at, tidak tunduk pada hukum.139 Muhammad ‘Abduh
menafsirkan, perang Allah tehadap mereka yaitu dengan marah dan murka-Nya. Adapun
perang Rasulullah kepada mereka adalah perlawanan mereka dengan perbuatan pada
zaman Rasul dan pernyataan mereka sebagai musuhnya.140
137 Apa yang telah kami katakan dalam “kekal dalam neraka”, bagi orang yang kembali pada riba
setelah pengharamannya. Lihat Ibid., h. 102. 138 Apakah kalian tidak meninggalkan apa yang tersisa dari riba, sebagaimana yang telah
diperintahkan, maka ketahuilah, bahwasanya kalian berperang dengan Allah dan Rasul-Nya, karena kalian mengingkari ajaran yang di bawa Rasulullah.
139 Seolah-olah dari ayat ini, Allah berfirman, “Apabila tidak tunduk terhadap perintah, berarti keluar dari syari’at, maka hal ini memberitahukan pada orang Islam bahwa mereka berperang dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.
140 Beliau juga mengatakan, apabila kita tidak bisa melihat pengambil riba pada masa lalu, maka kita bisa melihat pada masa sekarang. Lihat ibid.,
Kembali kepada Allah dari riba, dengan alasan patuh dan tunduk atas (وَإِن تُبْتُمْ)
perintah-Nya. (َفَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُون) Janganlah berbuat dzalim terhadap
orang-orang yang berhutang dengan mengambil tambahan. (َوَلاَ تُظْلَمُون) Janganlah
kamu mengurangi sedikitpun, tetapi kamu ambil dalam keadaan penuh.
Riwayat Ibn Jarir dari Sadda, bahwa kedua ayat ini turun pada ‘Abbas bin Abd al-
Muthalib, paman Nabi, dan seorang laki-laki dari Bani Mughirah, di mana keduanya
kerjasama riba pada Anas dari Tsaqif dari Bani ‘Amr (Banu ‘Amr bin ‘Umair), ketika
Islam datang (dan diharamkannya riba), keduanya masih memiliki sisa harta banyak
dalam riba, dan Allah menurunkan ayat ini.141
Ibn Juraij mengatakan, Bani Tsaqif telah melakukan perdamaian (minta maaf)
dengan Rasulullah, bahwa harta mereka yang dari riba, atas manusia dan harta riba yang
ada pada mereka harus ditinggalkan. Setelah Fath Makkah, (Nabi mengangkat ‘Itab bin
Usaid sebagai penguasa Makkah) dan Banu ‘Amr bin ‘Umair bin ‘Auf, mengambil harta
riba dari Bani Mughirah, yang diperjanjikan di masa Jahiliyyah. Pada saat Islam datang,
harta Bani ‘Amr berada di Bani Mughirah, kemudian Bani ‘Amr mengambil hartanya,
tapi Bani Mughirah menolak untuk memberikan pada mereka, kemudian mereka
mengangkat permasalahan ini pada ‘Itab bin Usaid, maka ‘Itab pun menulis surat kepada
Rasulullah, kemudian turunlah ayat ini, selanjutnya Rasulullah membalas surat ‘Itab,
beliau bersabda, “Apakah mereka, (Bani ‘Amr) merelakannya? Biarkanlah, jika tidak,
beritahukan kepada mereka, bahwa mereka telah perang melawan Allah dan Rasul-Nya”.
141 Ibid., h. 103. Namun, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni dalam Tafsir Ayat al-Ahkam, menyatakan, “’Abbas dan Khalid bin al-Walid adalah dua orang yang bekerjasama di zaman Jahiliyyah, dengan memberikan pinjaman secara riba kepada beberapa orang suku Tsaqif.
Ini diriwayatkan Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibn Mundih dari Thoriq dari Ibn
Solih.142
B. Penafsiran ayat-ayat Riba dalam Tafsir Ibnu Katsir
1. Penafsiran pada surah ali-Imran: 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْآُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا االلهَ
}130{لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. 3:130)
Pada ayat di atas Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah SWT. melarang hamba-
hamba-Nya yang beriman melakukan praktik riba dan memakannya dengan berlipat
ganda, sebagaimana yang mereka lakukan pada masa Jahiliyah, dimana berlaku
kebiasaan, hutang harus dilunasi tepat pada waktunya atau ditunda dengan disertai bunga
yang makin lama makin berlipat ganda bilangan yang sedikit menjadi besar dan banyak
berlipat-lipat. Mereka berkata, “Jika utang sudah jatuh tempo, maka ada dua
kemungkinan: dibayar atau dibungakan. Jika dibayar, maka selesai urusannya. Jika tidak
dibayar, maka dikenakan bunga yang kemudian ditambahkan kepada pinjaman pokok.”
Demikianlah yang mereka lakukan sepanjang tahun. Maka pinjaman yang sedikit dapat
142 Ayat ini menunjukkan bahwa riba adalah haram, karena ada unsur kedzaliman. Tapi, sebagian
fuqaha mengatakan, tidak ada kedzaliman didalamnya tapi ada manfaat bagi yang mengambil dan yang memberi. Lihat ibid..
bertambah besar berlipat-lipat. Allah memerintah hamba-hamba-Nya bertaqwa agar
supaya beruntung, baik di dunia maupun di akhirat.143
2. Penafsiran pada surah al-Baqarah: 275, 276, 278, dan 279
الَّذِينَ يَأْآُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ آَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ االلهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن
بِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى االلهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّ
يَمْحَقُ االلهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَااللهُ } 275{أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
وا اتَّقُوا االلهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُ} 276{لاَ يُحِبُّ آُلَّ آَفَّارٍ أَثِيمٍ
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ االلهِ وَرَسُولِهِ } 278{الرِّبَا إِن آُنتُم مُّؤْمِنِينَ
}279{وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orangyang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:275) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS. 2:276)
143 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beiut : Daar al-Fikr, 1923), Juz. I, h. 495.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. 2:278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. 2:279)
Pada surat al-Baqarah ayat 275, Allah SWT. memulai dengan menceritakan
masalah orang-orang yang memakan riba dari harta kekayaan orang lain dengan cara
yang tidak dibenarkan, serta berbagai macam syubhat. Lalu Allah SWT. mengibaratkan
tentang keadaan mereka pada hari keluar dan bangkitnya mereka dari kuburan mereka
menuju kepada kebangkitan dan pengumpulan mereka. Allah SWT. berfirman: َالَّذِين
-Orang“ يَأْآُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ آَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Artinya, mereka tidak
dapat berdiri dari kuburan mereka pada hari kiamat kelak kecuali seperti berdirinya orang
gila pada saat mengamuk dan kerasukan syaitan. Yaitu mereka berdiri dengan posisi yang
tidak sewajarnya.
Ibnu Abbas mengatakan, “Pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat
kelak dalam keadaan gila yang tercekik.”144
Dan dalam menafsirkan peristiwa tersebut dikatakan bahwa ia itulah pemakan
riba. Dan dalam firman Allah SWT. berikutnya: ( ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
144 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beiut : Daar al-Fikr, 1923), Juz. I, h. 401.
Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka“ (وَأَحَلَّ االلهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”145 Maksudnya, mereka membolehkan
riba dimaksudkan untuk menentang hukum-hukum Allah Ta’ala yang terdapat dalam
syari’at-Nya. Yang demikian itu bukan karena tindakan mereka mengqiyaskan riba
dengan jual beli, tetapi karena orang-orang musyrik tidak pernah mengakui penetapan
jual beli yang telah ditetapkan Allah SWT. di dalam al-Qur’an. Seandainya hal itu
termasuk masalah qiyas, niscaya mereka akan mengatakan, (إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا)
“Sesungguhnya riba itu sama seperti jual beli.” Tetapi dalam hal ini mereka mengatakan,
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” Artinya, ia menyerupainya, lalu
mengapa Dia mengharamkan yang ini dan menghalalkan yang itu?
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan“ (وَأَحَلَّ االلهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا)
mengharamkan riba.”146 Hal itu ada kemungkinan merupakan bagian dari kesempurnaan
kalam sebagai penolakan terhadap mereka atau terhadap apa yang mereka katakan,
padahal mereka mengetahui pembedaan yang dilakukan Allah SWT. antara keduanya
secara hukum. Dia Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. Tidak ada yang dapat menolak
ketetapan-Nya dan Allah tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah Ia
kerjakan, justru merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dia-lah yang
Mahamengetahui berbagai hakikat dan kemaslahatan persoalan. Apa yang bermanfaat
145 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beiut : Daar al-Fikr, 1923), Juz. I, h. 402. 146 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beiut : Daar al-Fikr, 1923), Juz. I, h. 402.
bagi hamba-hamba-Nya, maka Dia akan membolehkannya bagi mereka, dan apa yang
membahayakan bagi mereka, maka Dia pun akan melarangnya bagi mereka. Kasih
sayang-Nya kepada mereka lebih besar daripada sayangnya seorang ibu kepada anak
bayinya. Oleh karena itu, Dia berfirman: ( فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا
ى االلهِسَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَ ) “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Rabb-Nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan), dan urusannya terserah kepada
Allah.” Maksudnya, barangsiapa yang telah sampai kepadanya, maka baginya hasil
muamalah terdahulu. Yang demikian itu didasarkan pada firman-Nya yang berikut ini:
Allah memaafkan apa yang telah berlalu.” (QS. Al-Maidah: 95)“ (عَفَا االلهُ عَمَّا سَلَفَ)
Rasulullah saw. tidak menyuruh mereka mengembalikan kelebihan yang mereka
peroleh pada masa Jahiliyyah, tetapi Allah SWT. telah memaafkan mereka atas apa yang
telah berlalu.
Pada surat Al-Baqarah ayat 276, Allah memberitahukan bahwa Dia
menghapuskan riba, baik menghilangkannya secara keseluruhan dari tangan pelakunya
maupun mengharamkan keberkahan hartanya, sehingga ia tidak dapat mengambil
manfaat darinya, bahkan Dia melenyapkannya hasil riba itu di dunia dan memberikan
hukuman kelak pada hari kiamat.147 Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT. berikut
ini: ُوَيَجْعَلَ الْخَبِيثَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَيَرْآُمَهُ جَمِيعًا فَيَجْعَلَهُ فِي جَهَنَّمَ أُوْلَئِكَ هُم
,Dan Dia menjadikan yang buruk itu sebagiannya atas sebagian yang lain“ الْخَاسِرُونَ
147 Ibid.,
lalu semuanya Dia tumpukkan dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam.” (QS.
Al-Anfal: 37).148
Dalam kitab al-Musnad,Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi
Muhammad saw. beliau pernah bersabda:
ما احد اآثر من الربا الا آان عاقبه امره الى قل
“Sesungguhnya riba, meskipun pada awalnya banyak, namun akhirnya ia
menjadi sedikit”.(HR. Ahmad)149
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Yang demikian itu dari sisi
muamalah, dan itu jelas bertentangan dengan tujuan mengambil riba.
“Pada suatu hari ketika Umar bin Al-Khathab ra. keluar dari masjid melihat ada
makanan dijemur, lalu ia bertanya: “Apakah makanan ini?” Dijawab; “Itu baru
didatangkan.” Maka Umar berdoa; “Semoga Allah memberkahi makanan ini dan orang
yang mendatangkannya.” Tiba-tiba diberitahukan bahwa makanan itu adalah timbunan,
maka ia bertanya; “Siapakah yang menimbun?; Dijawab; “Farrukh bekas budaknya
Usman, dan Fulan bekas budaknya Umar. ”Maka langsung kedua orang itu dipanggil dan
ditanya; “Mengapakah kalian menimbun makanan kaum muslimin?”150 Jawab keduanya;
“Ya Amirul Mukminin kami membeli dengan harta sendiri dan menjual sesuka kami.”
Lalu Umar berkata; “Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda;
ربه االله بالافلاس او بحدام ضمن احتكر على المسلمين طعامهم
148 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 404. 149 Sunan Ibnu Majah, bab. at-Tagliidon fir-riba ,no bab. 58, Juz. 5, hal. 146. 150 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 405.
“Siapa yang menimbun makanan kaum muslimin, maka Allah akan menyiksanya
dengan paili atau penyakit kusta.151
Maka berkata Farrukh; “Aku berjanji kepada Allah dan kepadamu tidak akan menimbun makanan lagi untuk selamanya, adapun bekas budak Umar itu maka tetapia berkata; “Aku bebas membeli dan menjual dengan hartaku sendiri. (R. Ahmad) Abu yahya berkata; “Kemudian aku melihat maula Umar itu terkena penyakit kusta.” (Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Inilah dari segi muamalah, dan itu bertentangan dari tujuan mengambil riba
(supaya banyak). Firman Allah SWT. (ِوَيُرْبِي الصَّدَقَات)”Dan Allah menyuburkan
sedekah.” Kata itu dibaca dengan memberikan dhammah pada huruf “ ي “, Kata
“ ,“ رباه يربيه “,tersebut berasal dari kata ”يُرْبِي“ yang berarti “ ربا الشيء يربو
memperbanyak dan mengembangbiakkan. Ada juga yang membacanya, “ يُرْبِي “dengan
memberikan dhammah pada huruf “ ي “ dan disertai dengan tasydid pada “ ب “, yang
berasal dari kata “ 152“ التربيه
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia menceritakan, Rasulullah
saw. pernah bersabda:
عدل تمره من آسب طيب ولا يقبل االله الا الطيب فان االله يتقبلها من تصدق ب
بيمينه ثم يربيها لصاحبها آما يربى احدآم فلوه حتى يكون مثل الجبل
151 Sunan Ibnu Majah, bab. al-Hakroti wal-jalbi, no. bab. 6, no. hadis. 2238, Juz. 6, hal. 467. 152 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 405.
“Siapa yang sedekah sebesar biji kurma dari hasil yang halal, dan Allah tidak akan menerima kecuali yang halal, maka Allah akan menerimanya dengan kanan-Nya, kemudian memeliharanya untuk orang yang sedekah itu seperti seorang yang memlihara anak untanya sehingga besar bagaikan gunung.” (HR. Bukhari).153
Dan hal yang sama juga diriwayatkan Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan Nasa’i.
Sebagaimana firman Allah; (ِيَمْحَقُ االلهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَات)
Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:
ان العبد ادا تصدق من طيب يقبلها االله منه فياخدها بيمينه ويربيها آما يربى
كون تربو فى يد الله حتى تفباللقمه صدق تيلاحدآم مهره او فصيله وان الرجل
تصدقوامثل احد ف
Seorang hamba jika sedekah dari hartanya yang halal, Allah menerimanya dengan kanan-Nya dan dipeliharanya sebagaimana seseorang memelihara anak kuda atau anak untanya, dan seorang yang bersedekah sesuap maka tumbuh di tangan Allah sehingga menjadi sebesar gunung Uhud, karena itu bersedekahlah kalian. (HR. Ahmad).154
Aisyah ra. berkata; Rasulullah saw. bersabda;
ان االله ليربى لاحدآم التمره واللقمه آما يربى احدآم فلوه او فصيله حتى
يكون مثل احد
153 Shahih Bukhari, Juz. 5, no. bab. 8, no. hadis. 1410, hal. 365. 154 Ibid., h. 406.
Sesungguhnya Allah memelihara untuk kalian sebiji kurma atau sesuap
sebagaimana kalian memelihara anak kuda atau anak untanya sehingga menjadi
sebesar bukit Uhud. (HR. Ahmad).155
Firman Allah SWT. berikutnya, (ٍوَااللهُ لاَ يُحِبُّ آُلَّ آَفَّارٍ أَثِيم) “Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”
Maksudnya, Dia tidak menyukai orang yang hatinya senantiasa ingkar, yang selalu
berbuat dosa baik berupa ucapan maupun perbuatan.156
Pada QS. al-Baqarah ayat 278: Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah SWT.
berfirman seraya memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa kepada-Nya
sekaligus melarang mereka mengerjakan hal-hal yang dapat mendekatkan kepada
kemurkaan-Nya dan menjauhkan dari keridhaan-Nya, di mana Dia berfirman, ( يَآأَيُّهَا
“.Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah“ (الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا االلهَ
Maksudnya, takutlah kalian kepada-Nya dan berhati-hatilah, karena Dia senantiasa
mengawasi segala sesuatu yang kalian perbuat.157
( مِنَ الرِّبَاوَذَرُوا مَابَقِيَ ) “Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).”
Artinya, tinggalkanlah harta kalian yang merupakan kelebihan dari pokok yang harus
dibayar orang lain, setelah datangnya peringatan ini.
155 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 405. 156 Ibid., h. 406. 157 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 406.
Jika kalian orang-orang yang beriman, “Yaitu, beriman“ (إِن آُنتُم مُّؤْمِنِينَ)
kepada syariat Allah SWT. yang telah ditetapkan-Nya kepada kalian, berupa penghalalan
jual beli, pengharaman riba, dan lain sebagainya.
Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij, Muqatil bin Hayan, dan as-Suddi menyebutkan
bahwa redaksi ayat ini diturunkan berkenaan dengan Bani ‘Amr bin Umair dari suku
Tsaqif, dan Bani Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara mereka telah terjadi riba pada
masa jahiliyah. Setelah Islam datang dan mereka memeluk-nya, Tsaqif meminta untuk
mengambil harta riba itu dari mereka. Kemudian mereka pun bermusyawarah, dan Bani
Mughirah pun berkata, “Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam dan
menggantikannya dengan usaha yang disyariatkan. Kemudian Utab bin Usaid, pemimpin
Makkah, menulis surat membahas mengenai hal itu dan mengirimkannya kepada
Rasulullah saw. Maka turunlah ayat tersebut. Lalu Rasulullah saw. membalas surat Utab
dengan surat yang berisi:
فَإِن} 278{يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا االلهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن آُنتُم مُّؤْمِنِينَ
لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ االلهِ وَرَسُولِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Maka mereka pun mengatakan, “Kami bertaubat kepada Allah SWT. dan kami
tinggalkan sisa riba yang belum kami pungut.” Dan mereka semua pun akhirnya
meninggalkannya.158
Yang demikian itu merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat tegas
bagi orang yang masih terus menerus mempraktekkan riba setelah adanya peringatan
tersebut.
Pada QS. al-Baqarah ayat 279: Ibnu Katsir mengutip pendapat pendapat Ibnu
Juraij yang menceritakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwasanya ayat, ( فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا
Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan“ (فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ االلهِ وَرَسُولِهِ
riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.”Maksudnya
ialah, yakinilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.
Sedangkan menurut Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, mengenai firman
Allah SWT, ( مْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ االلهِ وَرَسُولِهِفَإِن لَّ ) “Jika kalian tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangi kalian. “Maksudnya, barangsiapa yang masih tetap melakukan praktek
riba dan tidak melepaskan diri darinya, maka kewajiban bagi imam kaum muslimin
untuk memintanya bertaubat, jika ia melepaskan diri darinya, maka keselamatan baginya,
dan jika menolak, maka ia harus dipenggal lehernya.159
Setelah itu Allah SWT berfirman:
158 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 406-407. 159 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 407.
( فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَوَإِن تُبْتُمْ ) “Dan jika kalian bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak menganiaya
dan tidak (pula) dianiaya. “Maksudnya, dengan mengambil kelebihan itu, kalian tidak
berbuat zhalim. (َوَلاَ تُظْلَمُون) “Dan tidak pula dianiaya.” Maksudnya, karena pokok
harta kalian dikembalikan tanpa tambahan atau pengurangan (yaitu: memperoleh kembali
pokok harta).160
Apabila seseorang telah menerima uang yang dipinjamkannya atau si peminjam
telah mengembalikan uang yang dipinjamnya pada waktunya, maka baik si pemberi
pinjaman maupun si penerima tidak saling menzalimi. Sekalipun tidak dinyatakan secara
tegas, Ibnu Katsir berpendapat bahwa hukum pada surat al-Baqarah ayat 278 dan 279
menghapus hukum pada surat Ali ‘imran ayat 130.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan, Imam Syafi’i memberitahukan kami, dari
Sulaiman bin Amr, dari ayahnya, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah
saw. bersabda:
وع فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولا ضالا ان آل ربا من ربا الجاهليه مو
مونظلت
“Ketahuilah, sesungguhnya setiap riba dari riba Jahiliyah itu sudah dihapuskan.
Maka bagi kalian pokok harta (modal) kalian, kalian tidak menganiaya dan tidak
pula dianiaya.”161
160 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Beirut: Daar al-Fikr, 1923), Juz. 1, h. 407. 161 Ibid., h. 407.
C. Analisa Perbandingan Penafsiran Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid
Ridha dan Ibnu Katsir atas Ayat-ayat tentang Riba
Al-Qur’an adalah kumpulan ayat. Ayat pada hakekatnya adalah tanda dan simbol
yang tampak. Namun, simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang lain yang
tidak tersurat, tetapi tersirat dan hubungan antara keduanya terjalin sedemikian rupa,
sehingga bila tanda dan simbol itu dipahami oleh pikiran, maka makna yang tersirat Insya
Allah akan dipahami pula oleh jiwa seseorang.
Setelah mengamati penafsiran tentang riba oleh kedua mufassir, yakni
Muhammad Abduh dan Ibnu Katsir yang terdapat dalam QS. Ali ‘Imran ayat 130, Al-
Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279, penulis mencoba menganalisa permasalahan
tersebut dengan membandingkan ketiga penafsir yang pada akhirnya membuat satu
kesimpulan, apakah ada persamaan atau perbedaan antara ketiga penafsir tersebut? Setiap
mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an mempunyai perbedaan dengan tujuan
memperkaya khasanah pengetahuan kita dalam memahami pesan-pesan yang ada dalam
al-Qur’an, walaupun tidak jarang perbedaan ini menimbulkan perpecahan akibat
perbedaan yang ditimbulkan. Apabila ada, maka dalam mengkomparatifkan kedua tokoh
itu, penulis menggabungkannya dalam konteks persamaan dan perbedaannya.162
Muhammad Abduh dan Ibnu Katsir sama-sama menjelaskan bahwa yang di
maksud riba pada surat Ali Imran ayat 130, adalah riba yang berlipat ganda. Ayat ini
melarang orang-orang yang beriman mempraktikkan riba dengan berlipat ganda,
sebagaimana yang mereka lakukan pada masa Jahiliyyah, dan memerintahkan mereka
untuk bertakwa kepada Allah SWT. ayat ini merupakan informasi tentang praktek yang
162 Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an” (Bandung: Mizan, 2001), Cet. Ke-22, h. 16.
dilakukan orang-orang Jahiliyah (Arab Pra-Islam). Dengan kata lain, ungkapan ini hanya
mengungkapkan tentang betapa banyak jumlah orang Arab Pra-Islam yang melakukan
praktik riba semacam ini (riba nasi’ah), dan tidak menjadi syarat keharaman riba.
Pada surah al-Baqarah ayat 275, Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa
ayat ini diturunkan untuk mengharamkan riba yang sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah,
yang biasa dilakukan oleh orang Yahudi dan Musyrik. Dalam ayat ini, baik Muhammad
Rasyid Ridha maupun Ibnu Katsir sama-sama menafsirkan bahwa orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Artinya mereka tidak dapat berdiri dari
kuburan mereka pada hari kiamat kelak kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat
mengamuk dan kerasukan syaitan. Yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak
sewajarnya. Keduanya sama-sama melandaskan penafsirannya kepada pendapat yang
dikemukakan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa, “Pemakan riba akan dibangkitkan
pada hari kiamat kelak dalam keadaan gila yang tercekik.” Jadi, yang dimaksud ‘berdiri’,
adalah ‘bangun dari kubur’, ketika bangkit. Ibnu Katsir mengatakan bahwa, keadaan
mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba’, padahal Allah SWT. telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Maksudnya, mereka membolehkan riba dimaksudkan untuk
menentang hukum-hukum Allah SWT. yang terdapat dalam syariat-Nya. Muhammad
Rasyid Ridha ketika memberi penjelasan terhadap ayat ini, ia mengatakan bahwa
tambahan dalam riba dan jual beli tidaklah sama, baik secara praktis, bahaya dan
manfaatnya. Baginya, Allah SWT. tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali
mengandung bahaya, dan tidak menghalalkan sesuatu kecuali yang memberikan manfaat.
Dan dalam hal riba ini, Allah sudah sangat adil, sebab Tuhan tidak akan memberikan
siksa bagi orang yang telah makan riba sebelum adanya pengharaman dan nasihat dari-
nya, sehingga makan riba yang telah berlalu adalah keringanan. Akan tetapi, Allah
memberikan janji buruk kepada orang yang makan harta riba setelah adanya larangan.
Dalam surat al-Baqarah ayat 276, Muhammad Abduh berpendapat, bahwa
maksud dari penghapusan harta riba, bukanlah penghapusan tambahan dalam harta,
karena hal ini melawan penyaksian dan pemberitaan. Tetapi, yang dimaksud keterangan
di atas hanyalah permusuhan dari manusia dan tertimpa musibah keragu-raguan dalam
dirinya. Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah SWT. menghapuskan riba,
baik menghilangkannya secara keseluruhan dari tangan pelakunya maupun
mengharamkan keberkahan hartanya, sehingga ia tidak dapat mengambil manfaat
darinya, bahkan Dia melenyapkan hasil riba itu di dunia dan memberikan hukuman kelak
pada hari kiamat. keduanya sama-sama mengutip pendapatnya Ibnu Mas’ud yang
mengatakan bahwa ‘sesungguhnya riba, meskipun pada awalnya banyak, namun
akhirnya ia menjadi sedikit’.
Pada surat al-Baqarah ayat 278, Muhammad Abduh menafsirkan bahwa apabila
iman kalian sempurna terhadap semua yang datang dari Nabi Muhammad saw. termasuk
didalamnya hukum-hukum, maka tinggalkanlah sisa riba. Sedangkan Ibnu Katsir
menafsirkan bahwa jika kalian orang-orang yang beriman, yaitu beriman kepada syariat
Allah yang telah ditetapkan-Nya kepada kalian, berupa penghalalan jual beli,
pengharaman riba, dsb. Maka tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), artinya
tinggalkanlah harta kalian yang merupakan kelebihan dari pokok yang harus dibayar
orang lain setelah datangnya peringatan ini. Ayat ini merupakan peringatan keras dan
ancaman yang sangat tegas bagi orang yang masih terus menerus mempraktekkan riba
setelah adanya peringatan tersebut.
Pada surat al-Baqarah ayat 279, Muhammad Abduh menafsirkan bahwa perang
Allah terhadap mereka yaitu dengan marah dan murka-Nya. Adapun perang Rasulullah
kepada mereka adalah perlawanan mereka dengan perbuatan pada zaman Rasul dan
pernyataan mereka sebagai musuhnya. Belaiu juga mengatakan, apabila kita tidak bisa
melihat pengambil riba pada masa lalu, maka kita bisa melihat pada masa sekarang.
Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkan bahwa barangsiapa yang masih tetap melakukan
praktek riba dan tidak melepaskan diri darinya, maka kewajiban bagi imam kaum
muslimin untuk memintanya bertaubat, jika ia mau melepaskan diri darinya, maka
keselamatan baginya, dan jika menolak, maka ia harus dipenggal lehernya. Apabila
seseorang telah menerima uang yang dipinjamkannya atau sipeminjam telah
mengembalikan uang yang dipinjamnya pada waktunya, maka baik si pemberi pinjaman
maupun si penerima tidak saling menzalimi.
Diantara persamaan yang lain, yaitu:
1. Pada kajian ayat-ayat riba, dalam tafsir al-Manar dan tafsir Ibnu Katsir sama-sama
tidak menjelaskan pemahaman lafadz-lafadz, munasabah ayat dan kosa kata, seperti
ism, fi’il, dst. Muhammad Rasyid Ridha dan Ibnu Katsir juga sama-sama tidak
menjelaskan asbabun nuzul ayat, Muhammad Rasyid Ridha hanya mengungkapkan
asbabunnuzul ayat pada surat al-Baqarah ayat 278 dan 279, dan Ibnu Katsir pun
hanya mengungkapkan asbabunnuzul ayat pada surat al-Baqarah ayat 278, sedangkan
pada ayat-ayat lainnya tidak. Padahal kajian asbabun nuzul ayat memiliki arti yang
sangat penting dalam memahami ayat al-Qur’an, sehingga dapat diketahui kondisi
sosial sewaktu ayat itu diturunkan. Seharusnya, dengan latar belakang ilmuwan
sosial, hal demikian dijadikan alat analisis untuk menunjang penafsirannya. Fazlur
Rahman mengungkapkan bahwa dengan memperhatikan aspek kesejarahannya,
penafsiran al-Qur’an akan terlihat lebih elastis dan fleksibel dengan tuntutan zaman.
2. Baik Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha Ibnu Katsir, sama-sama memiliki
kontribusi yang cukup gemilang dikalangan insan akademik dalam bentuk buku dan
karya-karya yang dihasilkannya.
Dan perbedaan lainnya, yaitu:
1. Dilihat dari negaranya jelas berbeda Muhammad Abduh seorang mufassir yang berasal
dari Mesir, Muhammad Rasyid Ridha dari Libanon, dan Ibnu Katsir dari Bashrah.
2. Dalam kajian ayat riba, baik Muhammad Abduh maupun Muhammad Rasyid Ridha
tidak di tunjang dengan penjelasan hadits-hadits Nabi, atau pun riwayat- riwayat lain,
sedangkan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat riba cenderung menitikberatkan
pada pengutipan hadits-hadits yang berkenaan dengan kasus yang melatarbelakangi
turunnya ayat riba, dengan sedikit komentar, dan dalam menyajikan riwayat-riwayat
sangat bergantung pada sumber–sumber lain.
3. Dilihat dari corak penafsiran tafsir al-Manar dan Ibnu Katsir terdapat perbedaan,
yaitu penafsiran Muhammad Rasyid Ridha terhadap al-Qur’an, bercorak al-adabial-
ijtima’i,atau tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya dan kemasyarakatan.
Muhammad Abduh merupakan mufasir yang sangat menggunakan rasio/ akal sebagai
tolak ukur penafsirannya (bil Ra’yi). Sedangkan Ibnu Katsir, dalam menafsirkan ayat
menggunakan metode tahliliy, suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan seluruh aspeknya. Ibnu Katsir lebih condong
kepada kategori tafsir bil matsur, yaitu penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat
dengan hadits Nabi, yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit atau
penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in.
Jadi perbedaan yang mencolok dalam tafsir Muhammad Abduh maupun Ibnu
Katsir yaitu dilihat dari segi kebahasaan. Hal ini disebabkan dari latar belakang
kehidupan yang berbeda. Muhammad Abduh berpandangan bahwa tujuan pokok
penafsiran al-Qur’an ialah, menekankan fungsi kehidayahan al-Qur’an untuk manusia,
agar mereka benar-benar dapat menjalani kehidupan ini di bawah bimbingan dan
petunjuk al-Qur’an. Sedangkan uraian dan pembahasan tafsir hanyalah merupakan jalan
atau cara untuk mencapai tujuan pokok tersebut.163
Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an berusaha untuk membersihkan
tafsir al-Qur’an dari polusi-polusi berupa berita-berita isra’illiyat, hadits-hadits maudlu’,
tinjauan-tinjauan ilmu nahwu, ilmu ma’ani dan bayan, perbincangan dan perdebatan ahli-
ahli ilmu kalam, pendekatan ulama ushul al-fiqh, penyimpulan hukum (istinbath) model
fuqaha yang taklid, model penakwilan kaum sufi, dan dari fanatisme kelompok, serta
penghamburan riwayat yang tak perlu.164
163 Muhammad ‘Amarah, al-A’mal al-Kamilah li al Imam Muhammad Abduh, op. cit., Jilid. IV, h.
9. Lihat juga Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, op. cit., h. 99. 164 Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, (Mesir: Dar
al-Iman, 1367 H), Jilid I, h. 7.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis membuat beberapa analisa terhadap penafsiran Muhammad
Abduh dan Ibnu Katsir pada al-Qur’an surat Ali Imran ayat 130, al-Baqarah ayat 275,
276, 278, dan 279 dalam bab IV, maka penulis menyimpulkan bahwa:
Muhammad ‘Abduh dan Ibnu Katsir sama-sama menafsirkan bahwa yang di
maksud riba pada surat Ali Imran ayat 130, adalah riba yang berlipat ganda. Pada surat
al-Baqarah ayat 275, baik Muhammad Rasyid Ridha maupun Ibnu Katsir sama-sama
melandaskan penafsirannya kepada pendapat yang dikemukakan Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa, “Pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam
keadaan gila yang tercekik.” Jadi, yang dimaksud ‘berdiri’, adalah ‘bangun dari kubur’,
ketika bangkit. Dalam surat al-Baqarah ayat 276, menerangkan bahwa Muhammad
‘Abduh berpendapat, bahwa maksud dari penghapusan harta riba, bukanlah penghapusan
tambahan dalam harta, karena hal ini melawan penyaksian dan pemberitaan. Sedangkan
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah SWT. menghapuskan riba, baik menghilangkannya
secara keseluruhan dari tangan pelakunya maupun mengharamkan keberkahan hartanya,
sehingga ia tidak dapat mengambil manfaat darinya, keduanya sama- sama mengutip
pendapatnya Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa ‘sesungguhnya riba, meskipun pada
awalnya banyak, akhirnya ia menjadi sedikit’. Pada surat al-Baqarah ayat 278,
Muhammad ‘Abduh menafsirkan bahwa apabila iman kalian sempurna terhadap semua
yang datang dari Nabi Muhammad saw. termasuk didalamnya hukum-hukum, maka
tinggalkanlah sisa riba. Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkan bahwa jika kalian orang-
orang yang beriman, yaitu beriman kepada syariat Allah yang telah ditetapkan-Nya
kepada kalian, berupa penghalalan jual beli, pengharaman riba, dsb. Maka tinggalkanlah
sisa riba (yang belum dipungut). Pada surat al-Baqarah ayat 279, Muhammad ‘Abduh
menafsirkan bahwa perang Allah terhadap mereka yaitu dengan marah dan murka-Nya.
Adapun perang Rasulullah kepada mereka adalah perlawanan mereka dengan perbuatan
pada zaman Rasul dan pernyataan mereka sebagai musuhnya. Sedangkan Ibnu Katsir
menafsirkan bahwa apabila seseorang telah menerima uang yang dipinjamkannya atau
sipeminjam telah mengembalikan uang yang dipinjamnya pada waktunya, maka baik si
pemberi pinjaman maupun si penerima tidak saling menzalimi.
B. Kritik dan Saran
Ketika melihat metode dan corak penafsiran Muhammad ‘Abduh, maka penulis
menilai bahwa, corak yang ‘Abduh gunakan dalam menafsirkan al-Qur’an tidak sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat satu dengan yang lainnya. Begitu juga Ibnu
Katsir, dalam menafsirkan ayat-ayat riba, ide dan konsep yang tersirat dalam
periwayatan, yang diketemukan hanyalah gambaran riba di masa lampau, tanpa ada
asosiasi dengan persoalan kontemporer.
Karena konteks riba berhubungan dengan orang-orang miskin dan lemah sebagai
obyek, maka riba sangat bertentangan dengan Islam. Dan jelas sekali riba membuat
orang tambah miskin, sebabnya orang miskin harus ditolong dan dibantu, bukan diperas.
Bukan hanya menambah pahala di sisi Tuhan, tapi juga kemiskinan yang menimpa umat
Islam, juga global saat ini bisa dientaskan secara perlahan. Dari sini, riba harus dijadikan
musuh bersama agar hilang dari masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abduh, Syeikh Muhammad. Tafsir Juz ‘Amma Muhammad ‘Abduh (Tafsir al-Qur’an al-
Karim Juz ‘Amma). Penerjemah. Muhammad Bagir, Bandung: Mizan, 1998
______Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet ke. 10
Bably, Muhammad Mahmud. Kedudukan Harta menurut Pandangan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia, 1999
Basyir, Ahmad Azhar. Refleksi Atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum,
Politik dan Ekonomi. Bandung: Mizan, 2004
Dahlan, Abdul Azis, et al,. Ensiklopedi Hukum Islam. Cet ke-1. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996.
Fachruddin, Fuad Mohd, Dr. Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi.
Bandung: al-Ma’arif, 1985
Farmawi, ‘Abd al-Hayy, Dr., al. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy. Cet. ke-2. Kairo:
al-Hadharah al-Arabiyah, 1997.
Haddan, Yvonne. Muhammad Abduh:”Perintis Pembaharuan Islam” dalam Ali
Rahmena (ed), Pioneers of Islamic Revival, Para Perintis Zaman Baru Islam
(terj). Bandung: Mizan, 1998.
Halawi, Muhammad Abdul Aziz. Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab; Ensiklopedia
Berbagai Persoalan Fiqih. Surabaya: Risalah Gusti, 2003
Harahap, Syabirin. Bunga Uang dan Riba Dalam Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-
Husna, 1993, Cet ke-2.
Jaziri, Abd Rahman, al-. Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Jilid. II. Beirut: Dar al-
Turas al-‘Arabi.
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut, Daar al-Fikr, 1923
______. al-Hidayah wa al-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr.
Maraghi, Ahmad Mushthafa, al-. Tafsir al-Maraghi, Juz. I. Mesir: Mushthafa al-Bably al-
Halabi, 1969.
Maswan, Nur Faizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir: Membedah Khazanah Klasik.
Yogyakarta: Menara Kudus, 2002.
Masyhur, H. Kahar, Drs. Beberapa Pendapat Mengenai Riba. Jakarta: Kalam Mulia,
1992
Muslehuddin, Muhammad. Sistem Perbankan Dalam Islam. Jakarta: P.T, Rineka Cipta,
1994, Cet ke-2.
Muwasili, Al-Imam al-Hammam Syaikh al-Islam Abi Ya’la, Ahmad bin Ali bin al-
Masyni bin Musnad Abi Ya’la al-Muwasili. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah,
1998, Jilid II.
Nasution, Harun, Prof. Dr. Muhammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah.
Jakarta: UI Press, 1987.
Nasution, Khoiruddin. Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh. Yogyakarta: Pustaka Hidayah, 1966.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad ‘Abduh: Kajian Masalah Akidah
dan Ibadat. Jakarta: Paramadina, 2002
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, Cet. ke-4.
Rahardjo, M. Dawam. “Ensiklopedi al-Qur’an: Riba” Ulumul Qur’an Vol II no. 9.
Jakarta: LSAF, 1991.
______“Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep kunci”.
Jakarta: Paramadina, 2002, Cet ke-2.
Razi, Fakhruddin, al-. Mafatihul Ghaib (Tafsir al-Kabir), Juz III. Tuhran: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Mesir: Dar al-Manar, 1376 H.
______. Tarikh Ustadz al-Imam al-Syaikh Muammad ‘Abduh. Jilid. III, Cet ke-2. Mesir:
Dar al-Iman, 1367 H.
Rusyd, Ibn. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Jilid. II. Dar al-Ihya’ al-
Kutub al-‘Arabiyyah.
Sa’di, Abd al-Rahman bin Nasir, al-. al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. Riyad: al-
Ma’arif, 1980
Shihab, Muhammad Quraish, Dr. Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.
______. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
______. Metode Penelitian Tafsir. Makalah, IAIN Ujung Pandang.
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, al-. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz. IV.
Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986.
Yafie, Ali. Mengagas Fiqh Sosial. Bandung: Mizan, 1994.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1972.
Zuhaili, Wahbah, al-, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, J. IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1985
Zuhri, Muhammad, Dr. Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan. Jakarta:
Rajawali Press, 1996.