Studi Kasus Terkait Pertanggungjawaban Pelaksanaan

3
Studi Kasus Terkait Pertanggungjawaban Pelaksanaan Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan, masih terjadi penyimpangan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan Bank Indonesia. Jumlahnya mencapai Rp 37,3 triliun atau 2,85 persen dari total realisasi anggaran dan aset yang diperiksa senilai Rp 1.312 triliun.Penyimpangan itu terjadi selama pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah (APBN/APBD) Januari-Juni 2004 dan periode dua tahun sebelumnya. Demikian diungkapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio B Joedono dalam Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Ketua DPR Akbar Tandjung, Rabu (22/9) di Jakarta. Satrio menyerahkan laporan Hasil Pemeriksaan Semester (Hapsem) I yang dilakukan BPK tahun 2004. Penyimpangan yang dimaksud BPK adalah ketidaktertiban dan ketidaktaatan melaksanakan ketentuan mengenai pengelolaan keuangan, juga ketidakhematan dan tidak efisien, termasuk tidak efektif dalam penggunaan anggaran. Satrio menyatakan, sejumlah temuan penyimpangan didapatkan tim pemeriksa BPK terhadap pengelolaan keuangan negara. Penyimpangan itu mulai dari pengelolaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 27,16 persen dari cakupan pemeriksaan dan penyimpangan belanja pembangunan di APBN sebesar 12,26 persen. Penyimpangan juga terjadi pada Proyek Peningkatan Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah tahun 2002 yang mencapai 41,89 persen dari cakupan pemeriksaan sebesar Rp 89,92 miliar. Penyimpangan ini dinilai yang tertinggi dalam persentase, katanya. Penyimpangan berikutnya di Proyek Bantuan dan Jaminan Sosial tahun 2002 sebesar Rp 156,07 miliar atau 15,89 persen dari cakupan pemeriksaan Rp 982,33 miliar. Adapun penyimpangan dengan persentase terendah, demikian Satrio, terjadi dalam pemeriksaan Proyek Pengembangan Istana Kepresidenan, yakni 0,00 persen dengan nilai nihil. Dikatakan Satrio, BPK juga telah melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan tahunan Bank Indonesia (BI) di tahun 2003. BPK memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Namun, dengan catatan antara lain mengenai pemberian fasilitas kepada mantan Dewan Gubernur BI pada tahun 2003, belum dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan BI, yaitu PBI Nomor 4/16/PDG/2002 tanggal 17 Desember 2002. Putra-putri anggota dewan Seusai penyampaian laporan tersebut di DPR, Satrio yang ditanya pers perihal kasus yang paling menonjol dari laporan BPK tersebut menyatakan penyimpangan dalam pelaksanaan belanja di kabupaten/kota sebesar 100 persen dari cakupan pemeriksaannya senilai Rp 1,64 miliar. Yang paling menonjol adalah penyimpangan dalam anggaran belanja kabupaten yang mencapai 100 persen. Lihat laporan BPK saja, katanya.

Transcript of Studi Kasus Terkait Pertanggungjawaban Pelaksanaan

Page 1: Studi Kasus Terkait Pertanggungjawaban Pelaksanaan

Studi Kasus Terkait Pertanggungjawaban Pelaksanaan

Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan, masih terjadi penyimpangan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan Bank Indonesia. Jumlahnya mencapai Rp 37,3 triliun atau 2,85 persen dari total realisasi anggaran dan aset yang diperiksa senilai Rp 1.312 triliun.Penyimpangan itu terjadi selama pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah (APBN/APBD) Januari-Juni 2004 dan periode dua tahun sebelumnya.

Demikian diungkapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio B Joedono dalam Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Ketua DPR Akbar Tandjung, Rabu (22/9) di Jakarta. Satrio menyerahkan laporan Hasil Pemeriksaan Semester (Hapsem) I yang dilakukan BPK tahun 2004.

Penyimpangan yang dimaksud BPK adalah ketidaktertiban dan ketidaktaatan melaksanakan ketentuan mengenai pengelolaan keuangan, juga ketidakhematan dan tidak efisien, termasuk tidak efektif dalam penggunaan anggaran.

Satrio menyatakan, sejumlah temuan penyimpangan didapatkan tim pemeriksa BPK terhadap pengelolaan keuangan negara. Penyimpangan itu mulai dari pengelolaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 27,16 persen dari cakupan pemeriksaan dan penyimpangan belanja pembangunan di APBN sebesar 12,26 persen. Penyimpangan juga terjadi pada Proyek Peningkatan Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah tahun 2002 yang mencapai 41,89 persen dari cakupan pemeriksaan sebesar Rp 89,92 miliar. Penyimpangan ini dinilai yang tertinggi dalam persentase, katanya.

Penyimpangan berikutnya di Proyek Bantuan dan Jaminan Sosial tahun 2002 sebesar Rp 156,07 miliar atau 15,89 persen dari cakupan pemeriksaan Rp 982,33 miliar. Adapun penyimpangan dengan persentase terendah, demikian Satrio, terjadi dalam pemeriksaan Proyek Pengembangan Istana Kepresidenan, yakni 0,00 persen dengan nilai nihil.

Dikatakan Satrio, BPK juga telah melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan tahunan Bank Indonesia (BI) di tahun 2003. BPK memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Namun, dengan catatan antara lain mengenai pemberian fasilitas kepada mantan Dewan Gubernur BI pada tahun 2003, belum dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan BI, yaitu PBI Nomor 4/16/PDG/2002 tanggal 17 Desember 2002.

Putra-putri anggota dewanSeusai penyampaian laporan tersebut di DPR, Satrio yang ditanya pers perihal kasus yang paling menonjol dari laporan BPK tersebut menyatakan penyimpangan dalam pelaksanaan belanja di kabupaten/kota sebesar 100 persen dari cakupan pemeriksaannya senilai Rp 1,64 miliar.

Yang paling menonjol adalah penyimpangan dalam anggaran belanja kabupaten yang mencapai 100 persen. Lihat laporan BPK saja, katanya.

Dari laporan Hapsem I BPK yang dibacakan Satrio dan dibagikan kepada pers, terungkap adanya pemberian bantuan pendidikan bagi 41 putra-putri dari total 45 putra-putri anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Laporan itu menyebutkan, masing-masing putra-putri anggota DPRD Temanggung mendapat bantuan dana Rp 1,64 juta per orang. Laporan yang juga dibacakan Satrio itu tidak merinci alasan dan tujuan dari pemberian bantuan.

Dilaporkan ke Jaksa AgungPada bagian lain, Satrio juga mengakui, dari sejumlah temuan pemeriksaan yang dilakukan BPK selama ini, terdapat dua kasus penyimpangan yang terindikasi adanya dugaan tindak pidana korupsi dan kolusi. Dua kasus itu sudah disampaikan ke Jaksa Agung untuk dapat ditindaklanjuti.

Page 2: Studi Kasus Terkait Pertanggungjawaban Pelaksanaan

Disebutkan, kasus pertama meliputi hasil pemeriksaan atas laporan keuangan daerah Provinsi Gorontalo pada tahun anggaran 2002 dan 2003, yang antara lain memuat dua temuan pemeriksaan atas laporan keuangan tahun 2003 senilai Rp 5,61 miliar. Ini sudah ditindaklanjuti ke Jaksa Agung degan surat Nomor 37/R/S/I-IV/08/2004 tanggal 19 Agustus lalu, ujarnya.

Kasus kedua sudah ditindaklanjuti dengan surat bernomor 38/R/S/I-VI/08/2004 tanggal 19 Agustus lalu. Isinya mengenai hasil pemeriksaan atas pelaksanaan APBD Kabupaten Deli Serdang tahun anggaran 2002 dan 2003, yang memuat 13 temuan sebesar Rp 36,30 miliar, katanya.

Mengenai harapannya terhadap presiden baru supaya dapat mengurangi penyimpangan keuangan di masa mendatang, Satrio menyatakan, presiden harus terus mengingatkan para menteri sebagai kepala kantor untuk bertanggung jawab atas segala penyimpangan keuangan di lingkungan kerjanya. Kalau ada penyimpangan, menteri atau kepala kantor harus bertanggung jawab, ujarnya.

Secara terpisah, Akbar Tandjung menyatakan, pimpinan DPR segera mengirim surat lagi ke Presiden Megawati Soekarnoputri supaya segera menetapkan ketua, wakil ketua, dan anggota BPK. Ini surat ketiga DPR untuk meminta Presiden segera menetapkan pimpinan BPK. Menurut Akbar, tidak ada alasan presiden menolak untuk menetapkan BPK. (har)

Sumber: http://m.antikorupsi.org/?q=node/1862

Analisis: Kasus mengenai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran ini memang tidak bisa jauh dari kasus korupsi atau pun kasus penyelewengan anggaran yang merupakan masalah yang masih belum bisa untuk dibasmi hingga ke akar-akarnya. Terkait dengan kasus diatas, mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 ayat 34 yang menyatakan:

(1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

(3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.

Maka kasus tersebut sudah seharusnya tidak diperpanjang lagi dan harus berpatokan pada Undang-Undang di atas dalam penyelesaiannya. Akan lebih baik apabila BPK dibantu PPATK dalam pmeriksaan anggaran negaran, seharusnya ada pembagian tugas, BPK sebagai pemeriksa Laporan Keuangan Pemerintah, sementara PPATK berperan sebagai penyelidik Transaksi Keuangan Negara sehingga kinerja kedua lembaga tersebut bisa optimal karena hanya terfokus pada satu tugas.