STUDI EMPIRIS TENTANG INSTRUMEN MONETER PADA SISTEM DUAL BANKING DI INDONESIA PERIODE...
-
Upload
contoh-makalah-skripsi-dan-tesis -
Category
Documents
-
view
120 -
download
0
description
Transcript of STUDI EMPIRIS TENTANG INSTRUMEN MONETER PADA SISTEM DUAL BANKING DI INDONESIA PERIODE...
Pendahuluan
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Diantara kebijakan ekonomi yang paling penting di setiap negara
adalah kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal meliputi
anggaran negara, pajak dan neraca pembayaran yang biasanya ditangani
oleh kementrian keuangan. Sedangkan kebijakan moneter menjadi
tanggung jawab bank sentral atau otoritas moneter dan bertujuan untuk
memelihara stabilitas harga-harga, stabilitas nilai tukar mata uang negara
tersebut serta mengembangkan dan mengendalikan lembaga-lembaga
keuangan yang ada di suatu negara.
Dalam rangka mewujudkan sistem lembaga keuangan atau
perbankan yang sehat, bank sentral atau otoritas moneter menggunakan
suatu perangkat kebijakan moneter seperti pengendalian tingkat bunga,
pembatasan ekspansi kredit, penentuan rasio likuiditas atau cadangan
minimum (reserve requirement), penentuan bunga rediskonto, operasi
pasar terbuka, currency swap dan sebagainya.
Dengan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan islami dalam
tiga dasa warsa terakhir, maka bank sentral atau otoritas moneter di
berbagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim harus pula
memantau dan mengendalikan perkembangan lembaga-lembaga
1
Pendahuluan
keuangan baru ini. Untuk melaksanakan fungsi pemantauan dan
pengendalian itu maka otoritas moneter juga harus membangun
seperangkat kebijakan dan instrumen moneter yang sesuai dengan
prinsip-prinsip yang dianut oleh lembaga-lembaga keuangan dan
perbankan islami. Sebagian negara muslim melakukan konversi
mekanisme moneter dan perbankan yang ada ke dalam sistem islami,
seperti Iran dan Pakistan, dan sebagian negara muslim lainnya, seperti
Indonesia, mengakomodasian perkembangan tersebut melalui “dual
banking system”, dimana perbankan islami dapat beroperasi
berdampingan dengan perbankan konvensional1.
Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di Indonesia pada kurun
waktu 1997-1998 merupakan suatu pukulan yang sangat berat bagi
sistem perekonomian Indonesia. Dalam periode tersebut, banyak
lembaga-lembaga keuangan,termasuk perbankan, mengalami kesulitan
keuangan. Tingginya tingkat suku bunga telah mengakibatkan tingginya
biaya modal bagi sektor usaha yang pada akhirnya mengakibatkan
merosotnya kemampuan usaha sektor produksi. Sebagai akibatnya
kualitas aset perbankan turun secara drastis sementara sistem perbankan
diwajibkan untuk terus memberikan imbalan kepada depositor sesuai
dengan tingkat suku bunga pasar. Rendahnya kemampuan daya saing
usaha pada sektor produksi telah pula menyebabkan berkurangnya peran
sistem perbankan secara umum untuk menjalankan fungsinya sebagai
intermediator kegiatan investasi.
Pengalaman historis tersebut telah memberikan harapan kepada
masyarakat akan hadirnya sistem perbankan alternatif yang memenuhi
1 Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, Februari 2001)
2
Pendahuluan
selain memenuhi harapan masyarakat dalam aspek syariah juga dapat
memberikan manfaat yang luas dalam kegiatan perekonomian.
Setelah dikeluarkannya UU No.10 Tahun 1998 yang pada intinya
memberikan kewenangan dan pengawasan perbankan ke Bank Indonesia
dan sekaligus diperkenalkan landasan hukum bank syariah. Selanjutnya
dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 Bank Indonesia dapat
menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Setelah diberlakukannya UU tersebut perbankan nasional mulai
menerapkan sistem perbankan berganda atau dual banking system yang
menuntut pengawasan yang lebih baik untuk menghindari terjadinya
krisis perbankan ke dua. Dual banking system yaitu adanya sistem
perbankan konvensional dan syariah yang berlangsung dalam suatu
negara dalam penerapannya harus berlandaskan pada karakteristik dari
masing-masing sistem.
Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti kawasan Timur
Tengah dan Malaysia, perbankan syariah di Indonesia masih dalam tahap
pengembangan awal. Keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan
Indonesia, baru dikembangkan sejak tahun 1992, sejalan dengan
diberlakukannya Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
serta pendirian PT Bank Muamalat Indonesia [BMI] yang diikuti oleh
pendirian beberapa BPR syariah [BPRS]. Namun perkembangan bank
syariah dalam tahun-tahun berikutnya berjalan sangat lambat dikaitkan
dengan potensi pasar yang sangat besar bagi kegiatan usaha bank syariah
mengingat jumlah penduduk muslim di Indonesia yang dominan.
Walaupun perkembangan perbankan syariah dalam kancah nasional
masih kecil, tetapi telah menunjukkan perkembangan hampir dua kali
3
Pendahuluan
lebih besar dibandingkan pertumbuhan pada periode sebelum
diberlakukannya Undang-undang No.10 Tahun 1998. Peranan perbankan
syariah dalam mobilisasi dana dan penyaluran pembiayaan walaupun
masih kecil, namun mengalami peningkatan yaitu masing-masing dari
0.05% dan 0.08% pada tahun 1998 menjadi 0.07% dan 0.17% pada tahun
1999.
Peningkatan peran perbankan syariah dalam penyaluran
pembiayaan yang sedemikian rupa, disebabkan terutama adanya
peningkatan volume penyaluran pembiayaan dari Rp.445 milyar pada
tahun 1998 menjadi Rp. 472 milyar pada tahun 1999 dan pada saat yang
bersamaan penyaluran kredit oleh perbankan konvensional menurun dari
Rp. 545 trilyun menjadi Rp. 227 trilyun.
Total aset bank syariah terus mengalami peningkatan. Semula aset
bank syariah hanya mencapai Rp 1,71 triliun pada tahun 1998. Pada akhir
2002 angkanya telah mencapai Rp 4,04 triliun.Laporan Tahunan 2001
Bank Indonesia menyebutkan kenaikan aset itu menyebabkan persentase
aset bank syariah terhadap aset perbankan nasional pun ikut naik.
Tabel 1.1. Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank
Perbankan Syariah Total BankNominal Pangsa
Total Aset 4,63 0,42% 1100
Dana Pihak Ketiga 3,32 0,40% 833,4
Kredit 3,66 0,87% 420,52
LDR/FDR*) 110,22% 50,46%
NPL 3,96% 8,15%*) FDR = Financing extended/Deposit Fund
LDR = Credit extended/Deposit FundSumber : Statistik Perbankan Syariah, Maret 2003
Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia
4
Pendahuluan
Peningkatan juga terjadi pada dana yang dihimpun dan
pembiayaan yang disalurkan. Masing-masing menjadi sebesar Rp 3,3
triliun dan Rp 3,66 triliun untuk posisi pada Maret 2003.
Tabel 1.2. Komposisi Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah
(juta Rupiah)
DANA PIHAK KETIGA Jan-03 Feb-03 Mar-03
DEPOSIT FUND
Giro Wadiah Nilai (Amount)
325,944 321,18 411,082
Wadiah currency account Pangsa (Share)
10,47% 10,19% 12,37%
Tabungan Mudharabah Nilai (Amount)
947,795 982,511 1,018,925
Mudharabah saving account
Pangsa (Share)
30,45% 31,18% 30,66%
Deposito Mudharabah Nilai (Amount)
1,838,870 1,846,914 1,892,842
Mudharabah investment account
Pangsa (Share)
59,08% 58,62% 56,96%
Total 3,112,60 3,150,60 3,322,84
Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Maret 2003 Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia
Kondisi ini sejalan dengan peningkatan jumlah kantor bank syariah
dan sosialisasi yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat terhadap bank syariah. Sejalan dengan itu, jumlah kantor
cabang bank umum yang beroperasi dengan prinsip syariah meningkat ,
menjadi 153 kantor bank. Rinciannya adalah 47 kantor cabang Bank
Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, 31 kantor cabang syariah dari enam
bank umum konvensional. Yakni Bank IFI, Bank BNI, Bank Jabar, Bank BRI,
5
Pendahuluan
Bank Danamon dan Bank Bukopin. Serta tidak ketinggalan 85 Bank
Perkreditan Rakyat [BPR] Syariah [Tabel 3].
Tabel 1.3. Jaringan Kantor Perbankan Syariah
Kelompok Bank April 2003Groups of Banks KP/UUS KPO/KC KCP KK
Bank Umum Syariah 2 47 13 61Islamic Commercial Banks1. PT Bank Muamalat Indonesia 1 13 8 452. PT Bank Syariah Mandiri 1 34 5 16Unit Usaha Syariah 6 31 1 0Islamic Banking Unit1. PT Bank IFI 1 1 0 02. PT Bank Negara Indonesia 1 12 1 03. PT Bank Jabar 1 3 0 04. PT Bank Rakyat Indonesia 1 8 0 05. PT Bank Danamon 1 5 0 06. PT Bank Bukopin 1 2 0 0Bank Perkreditan Rakyat Syariah
85 0 0 0
Islamic Rural BanksTOTAL 93 78 14 61
Keterangan:- KP = Kantor Pusat- UUS = Unit Usaha Syariah- KPO = Kantor Pusat Operasional- KC = Kantor Cabang- KCP = Kantor Cabang Pembantu- KK = Kantor Kas
Dalam sistem perbankan syariah , nilai-nilai islami yang melandasi
operasi perbankan syariah merupakan hal yang membedakan dengan
sistem perbankan konvensional. Pengembangan ketentuan dan instrumen
bagi bank syariah tidak dapat dipersamakan dengan yang berlaku pada
bank konvensional. Adanya sebuah instrumen atau ketentuan yang
berlaku bagi bank konvensional tidak berarti Bank Indonesia harus selalu
menciptakan instrumen dan mengatur ketentuan yang sama bagi bank
syariah.
6
Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Maret 2003 Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia
Pendahuluan
Instrumen maupun ketentuan tersebut dapat saja diperlukan oleh
bank syariah dan sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, maka
hal tersebut harus diatur oleh bank sentral agar dapat berlaku bagi bank
syariah. Bila instrumen dan ketentuan tersebut tidak sesuai dengan
prinsip syariah, namun dibutuhkan bank syariah maka bank sentral harus
menciptakan instrumen dan mengatur ketentuan yang berbeda dengan
yang berlaku bagi bank konvensional.
Sejak adanya penilaian terhadap perbankan islam, terdapat
sejumlah kepustakaan teori yang telah diterbitkan untuk perkembangan
sistem moneter dan perbankan islam (Uzair,1955, Khan, 1985). Tetapi
tidak banyak penelitian secara empiris yang telah dibuat dalam
perencanaan stabilitas moneter pada sistem keuangan islam
(Khan,1980&1982, Ahmad & Khan,1990, Yousefi, 1996, Darrat, 1988),
dengan alasan tersebut maka penulis mencoba untuk menganalisis secara
empiris efektivitas dari instrumen moneter islam yang bebas bunga dalam
kasus dual banking system di Indonesia, dengan judul penelitian:
“Studi Empiris Tentang Instrumen Moneter Pada Sistem Dual
Banking di Indonesia Periode 1997.I – 2003.I”
1.2 Identifikasi Masalah
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menguji secara empiris
tentang perbandingan instrumen moneter bebas bunga dan instrumen
yang berbasiskan bunga, dalam kasus pada sistem dual banking sehingga
otoritas moneter dapat membuat kebijakan dan perencanaan dengan
tujuan utama kestabilan moneter menggunakan kedua instrumen
7
Pendahuluan
alternatif tersebut diatas. Untuk mencapai tujuan tersebut , penulis
mencoba mengidentifikasikan beberapa masalah , diantaranya:
1. Apakah Otoritas Moneter mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap
instrumen moneter bebas bunga M1Islamic dan M2Islamic dibandingkan
dengan instrumen moneter berbasiskan bunga M1 dan M2?
2. Apakah instrumen moneter bebas bunga M1Islamic dan M2Islamic)
mempunyai pengaruh yang lebih erat dalam memelihara stabilitas
harga atau inflasi dibandingkan dengan dengan instrumen berbasiskan
bunga M1 dan M2 ?
3. Apakah rasio likuiditas yang dapat dilihat dari hubungan antara
instrumen kredit dan instrumen likuid yang telah ditetapkan oleh
otoritas moneter dapat diterapkan sama antara instrumen keuangan
yang bebas bunga dan instrumen keuangan yang berbasiskan bunga?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan identifikasi masalah diatas maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui apakah otoritas moneter mempunyai kontrol
yang lebih besar terhadap instrumen moneter bebas bunga M1Islamic
dan M2Islamic dibandingkan dengan instrumen moneter berbasiskan
bunga M1 dan M2.
2. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang lebih erat
antara instrumen moneter yang bebas bunga M1Islamic dan M2Islamic
8
Pendahuluan
dalam memelihara stabilitas harga atau inflasi dibandingkan dengan
instrumen moneter berbasiskan bunga M1 dan M2.
3. Untuk mengetahui apakah rasio likuiditas yang dapat dilihat dari
hubungan antara instrumen kredit dan instrumen likuid yang telah
ditetapkan oleh otoritas moneter dapat diterapkan sama antara
instrumen keuangan yang bebas bunga dan instrumen keuangan yang
berbasiskan bunga?
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Bagi pembuat kebijakan, khususnya Bank Indonesia hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat
digunakan untuk lebih mendalami sistem dual banking dan
kebijakan moneter pendukungnya yang pada akhirnya dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu bahan dalam mengevaluasi
kebijakan yang telah diterapkan dan atau untuk merumuskan
kebijakan baru.
2. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah referensi untuk penelitian sejenisnya dikemudian hari,
serta dapat memacu motivasi kepada peneliti lainnya untuk
melakukan penelitian sejenis dengan menggunakan metode yang
lain.
1.5. Kerangka Pemikiran
1.5.1. Kebijakan Moneter
9
Pendahuluan
Kebijakan moneter merupakan suatu kebijakan yang ditempuh oleh
Otoritas Moneter untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, beberapa
bank sentral secara jelas menentukan tujuan dari kebijakan moneter
dalam bentuk stabilitas moneter atau bahkan lebih sempit lagi berupa
stabilitas harga2 .
Di Indonesia , dalam rangka menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter tersebut Bank Indonesia mempunyai wewenang ,
tercantum dalam pasal 10 Undang-undang No.23 tahun 1999:
1) a. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan
sasaran laju inflasi yang ditetapkannya;
b. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara
yang termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1) operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta
asing;
2) penetapan tingkat diskonto;
3) penetapan cadangan wajib minimum;
4) pengaturan kredit atau pembiayaan.
2) Cara-cara pengendalian moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat dilaksanakan juga berdasarkan prinsip syariah
3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Dalam perencanaan moneter, tujuan (objectives) dari kebijakan
moneter dari masing-masing negara berbeda-beda. Oleh karena itu,
dalam indikasi kuantitatifnyapun penetapan sasaran akhirnya juga
2 Makalah pada Seminar Pengajaran Ekonomi Moneter PAU Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 20 Februari 1993
10
Pendahuluan
berbeda sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, sasaran
akhir (ultimate target) suatu negara pada umumnya berupa besaran-
besaran tertentu, seperti misalnya tingkat inflasi yang wajar serta
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Mengingat bahwa sasaran moneter tersebut hanya dapat diketahui
dalam tenggang waktu (lag) yang lama, maka diperlukan indikator lain
yang lebih cepat dapat diperoleh namun yang mempunyai ikatan yang
erat dengan sasaran moneter tersebut, hubungan tersebut mengalami
banyak pergeseran terutama dengan adanya deregulasi baik di bidang
keuangan maupun di bidang-bidang lainnya.
Pada dasarnya, M1 juga dapat dipergunakan sebagai besaran
indikator. Namun, penggunaan M1 sebagai indikator memiliki beberapa
kelemahan. Dengan deregulasi timbul berbagai inovasi baru sehingga
batasan antara tabungan, giro dan deposito menjadi lebih kabur.
Disamping itu, menurut penelitian, terdapat gejala currency substitution,
yaitu mobilitas mata uang rupiah dengan valuta asing yang lebih tinggi .
Hal ini dapat juga dibuktikan secara empiris dimana M2 memiliki
hubungan yang lebih erat dengan pendapatan dibandingkan M1. Untuk
Indonesia, dengan didasari oleh perkembangan tersebut diatas, besaran
yang dipergunakan sebagai indikator adalah M2.
Dengan melihat hubungan yang ada antara besaran moneter yang
dipergunakan sebagai indikator tersebut diatas dengan besaran moneter
yang berada dalam kontrol Otoritas Moneter, maka sasaran antara
(intermediate target) yang dapat dipengaruhi oleh Otoritas Moneter
adalah uang primer atau Reserve Money. Dalam hal ini memang muncul
permasalahan yang penting, yaitu predictability dan controllability.
11
Pendahuluan
Predictability adalah seberapa stabil hubungan yang ada antara
indikator yang ada, yaitu M2, dengan uang primer tersebut. Hubungan
antara kedua besaran tersebut adalah money multiplier. Dalam
perkembangannya, money multiplier tersebut yang semula cukup stabil,
dengan adanya deregulasi kemudian mengalami pergeseran, Oleh karena
itu, perkembangan money multiplier tersebut harus selalu diamati untuk
dapat melihat hubungan yang lebih antara M2 dengan uang primer.
Controllability adalah seberapa jauh Otoritas Moneter dapat
mengendalikan besaran tersebut melalui penggunaan instrumen moneter
yang dimilikinya. Secara sepintas hal itu tampaknya mudah dilakukan
namun dalam kenyataannya terdapat komplikasi dalam pengendalian
besaran yang seharusnya berada dalam kontrol Otoritas Moneter. Dalam
hal ini, mobilitas dana dari dan ke luar negeri memberikan pengaruh yang
besar kepada pengendalian uang primer tersebut, demikian juga fluktuasi
yang terjadi pada suku bunga yang pada gilirannya mempengaruhi tingkat
diskonto dalam sistem cut-off rate sebagaimana saat ini diterapkan.
Bahkan jika sistem tersebut diubah menjadi stop-out rate.
Untuk menjaga stabilitas neraca pembayaran, terutama untuk
dapat mengurangi ataupun menghindari terjadinya spekulasi devisa, maka
diperlukan besaran lain yang berupa alat likuid bank-bank. Mengingat
bahwa alat likuid perbankan merupakan bagian dari uang primer, maka
melalui pengendalian pada alat likuid perbankan Bank Indonesia dapat
mempertahankan cadangan devisanya serta sekaligus mengendalikan
jumlah uang beredar M2 kearah jumlah yang dikehendaki.
Sasaran indikator maupun target yang ada dituangkan dalam suatu
perencanaan moneter yang umumnya disebutkan sebagai program
12
Pendahuluan
moneter. Melalui media tersebut, maka tingkat perkembangan besaran-
besaran moneter direncanakan agar dapat memenuhi sasaran-sasaran
yang dikehendaki. Dengan menggunakan media tersebut pula maka
berbagai perkembangan yang terjadi pada sasaran dan indikator yang ada
dapat dibandingkan dengan apa yang direncanakan.
Pencapaian sasaran serta target yang dijabarkan dalam program
moneter dilakukan melalui kebijkan moneter. Jika besaran terlalu tinggi
dengan yang diprogramkan, maka kebijakan moneter yang ditempuh
adalah kebijakan moneter yang ketat, yaitu melalui kontraksi jumlah uang
beredar. Sebaliknya jika perkembangan besaran moneter terlalu rendah,
maka diperlukan kebijkan moneter yang lebih ekspensif. Untuk
melaksanakan kedua hal tersebut, diperlukan instrumen kebijakan
moneter.
1.5.2 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter3
Pada penelitian ini mekanisme transmisi kebijakan moneter yang
digunakan sebagai kerangka pemikiran adalah mekanisme transmisi
melalui jalur kredit.
1.5.2.1. Jalur Kredit
Secara tradisional kebijakan moneter diyakini akan mempengaruhi
sektor riil melalui perubahan suku bunga jangka pendek, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi suku bunga jangka panjang, kemudian
cost of capital, dan akhirnya investasi. Dalam mekanisme ini peranan bank
ditekankan pada sisi kewajibannya (liabilities), dimana bank mampu
menciptakan likuiditas di perekonomian lewat kemampuannya menyerap
3 Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (2001) ; Review Penelitian
13
Pendahuluan
dana dari masyarakat. Namun seiring dengan berkembangnya
pemahaman akan peranan pasar keuangan yang tidak sempurna
(imperfect financial market) dalam perkembangan ekonomi dan siklus
bisnis, maka lahir pula teori-teori yang berusaha menjelaskan mekanisme
transmisi kebijakan moneter dengan penekanan pada imperfect financial
market ini. Teori-teori ini selanjutnya lazim disebut sebagai asymmetric
information based transmission mechanism atau credit channel yaitu
bank lending channel, yang menekankan efek kebijakan moneter
terhadap neraca bank, dan balance sheet channel, yang menekankan
efek kebijakan moneter terhadap neraca perusahaan dan yang kemudian
berlanjut ke akses perusahaan terhadap kredit bank.
Lending channel
Menurut jalur ini , peranan bank dalam mekanisme transmisi
kebijakan moneter tidak hanya melalui sisi kewajiban bank, melainkan
juga dari sisi aset bank. Sebagai contoh dalam kondisi kontraksi moneter
maka reserve bank akan menurun. Selanjutnya dengan adanya ketentuan
reserve requirement, maka dana yang tersedia bagi bank untuk
dipinjamkan (bank loans) akan mengalami penurunan. Di banyak negara,
khususnya negara-negara berkembang, dimana ketergantungan terhadap
kredit bank masih sangat besar, menurunnya kemampuan bank untuk
memberikan pinjaman ini akan mempengaruhi investasi dan pada
akhirnya kegiatan perekonomian. Dengan demikian, eksistensi dari jalur
ini akan ditentukan oleh dua kondisi sebagai berikut:
a. Bank sentral memiliki kemampuan untuk mengendalikan
suplai bank loans
14
Pendahuluan
b. Untuk sebagian peminjam, kredit bank dan surat berharga
bersifat imperfect substitute
Untuk Indonesia, kondisi yang kedua diyakini dapat terpenuhi mengingat
masih terdapatnya fenomena asymmetric information yang menyebabkan
sebagian besar peminjam akan kesulitan untuk dapat menerbitkan surat-
surat berharga. Hal ini telah menimbulkan ketergantungan kepada
perbankan mengingat hanya perbankan yang dianggap dapat mengatasi
masalah asymmetric information tersebut. Sementara itu seperti
disebutkan oleh Bernanke dan Gertler (1995), kondisi pertama masih
memerlukan pembuktian secara empiris. Agar bank sentral dapat
sepenuhnya mengendalikan suplai dari bank loans, maka dibutuhkan
kondisi dimana dalam kondisi kontraksi moneter bank tidak dapat dengan
mudah mengeluarkan berbagai macam bentuk surat utang lain untuk
menggantikan simpanan pihak ketiga.
1.5.3 Konsep Uang
Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep
ekonomi konvensional. Menurut ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan
capital, uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept, sedangkan
capital bersifat stock concept. Menurut konsep dalam ekonomi Islam,
capital is private goods, sedangkan money is public goods. Uang yang
mengalir adalah public goods (flow concept), sedangkan yang mengendap
sebagai milik seseorang (stock concept) adalah milik pribadi (private
good)
15
Pendahuluan
Pemahaman terhadap konsep private good dan public good dapat
diperjelas dengan mencontohkan mobil sebagai private good (capital) dan
jalan tol sebagai public good (money). Dengan kata lain , jika dan hanya
jika uang diinvestasikan dalam proses produksi , kita akan mendapatkan
uang yang lebih banyak
Konsep uang Irving Fisher:
Persamaan kuantitas uang Fisher:
Keterangan: M = Jumlah uang
V = Tingkat perputaran uang
P = Tingkat harga barang
Selanjutnya, variabel T pada persamaan di atas dapat diganti dengan
Y karena nilai nominal dari total volume transaksi sulit diukur dan dengan
mengasumsikan bahwa nilai T proporsional terhadap Y. Sehingga
persamaan diatas menjadi :
Dalam teori kuantitas uang ini, Irving Fisher mengasumsikan bahwa
permintaan akan uang adalah murni merupakan fungsi dari pendapatan,
dan tingkat bunga tidak mempengaruhinya. Persamaan diatas
menunjukkan semakin cepat perputaran uang (V), semakin besar
pendapatan (income). Menegaskan juga bahwa uang adalah flow concept.
Konsep uang Marshall-Pigou:
Persamaan kuantitas uang Cambridge:
16
MV = PT
T = Jumlah barang yang diperdagangkan
M = kPY
MV = PY
Pendahuluan
Dimana k = 1/v dan proporsinya konstan. Secara sistematis
persamaan Cambridge di atas hampir sama dengan persamaan Fisher,
tapi kita tidak bisa mengatakan kelompok Cambridge sepaham dengan
Fisher bahwa dalam jangka pendek tingkat bunga tidak memiliki pengaruh
terhadap permintaan akan uang karena persamaan di atas filosofinya
sangat berbeda. Ekonom Cambridge menganggap bahwa dalam jangka
pendek, jumlah kekayaan, volume transaksi, dan pendapatan nasional
mempunyai hubungan yang proporsional-konstan satu sama lain. Ekonom
Cambridge mengasumsikan bahwa ceteris paribus, permintaan akan uang
adalah proporsional dengan tingkat pendapatan nasional.
Sebagai kesimpulan, baik Fisher maupun ekonom Cambridge
sependapat bahwa permintaan akan uang adalah proporsional terhadap
pendapatan. Namun, terdapat pula perbedaan pada keduanya. Kalau
pendekatan Fisher menekankan pada faktor-faktor teknologi dan
mengabaikan pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan akan uang.
Sedangkan pendekatan ekonom Cambridge menekankan pada adanya
individual choice dalam memelihara komposisi kekayaan yang dimiliki
karena uang juga difungsikan sebagai alat untuk menyimpan kekayaan
(store of wealth) - apakah akan disimpan dalam bentuk obligasi, saham,
atau uang kas, dan lain-lain. Selain itu, pendekatan ekonom Cambridge
juga tidak mengabaikan faktor tingkat bunga.
1.5.4 Teori Permintaan Uang
Pemikiran ekonom klasik dan monetaris tentang uang cukup
beragam . Irving Fisher, menyatakan bahwa permintaan akan uang
(money demand) adalah fungsi income, sedangkan interest tidak ada
17
Pendahuluan
hubungannya dengan permintaan akan uang. Para ekonom cambridge
menyatakan bahwa uang adalah medium of exchange dan store of value,
dan tidak meniadakan efek interest rates.
Menurut Marshall-Pigou, uang adalah stock concept sehingga
berfungsi sebagai salah satu cara menyimpan kekayaan. Dalam hal ini,
manusia memiliki pilihan individu untuk memelihara asetnya, apakah
dalam bentuk obligasi, saham, uang dan lain-lain. Dalam teori moneter
konvensional, konsep Marshall-Pigou dijabarkan oleh keynes. Ia
mengatakan bahwa pilihan individu untuk permintaan uang dipengaruhi
oleh tiga motif, yaitu:
1. Permintaan akan uang untuk transaksi ( money demand for
transaction)
2. Permintaan akan uang untuk berjaga-jaga (money demand for
precautionary)
3. Permintaan akan uang untuk spekulasi (money demand for
speculation)
Menurut Keynes, money demand for transactions dan money
demand for precautionary ditentukan oleh tingkat pendapatan, sedangkan
money demand for speculation ditentukan oleh tingkat suku bunga. Hal ini
dinotasikan sebagai berikut:
Mdtr = ( )
Mdpre = ( )
Mdsp = ( )
Sebenarnya ada beberapa kesalahan Keynes, yang salah satu
diantaranya diluruskan oleh pengikutnya, Boumol-Tobin, masing-masing
18
Pendahuluan
pada tahun 1953 dan 1956. Dari model yang dikembangkannya, secara
implisit Keynes mengatakan adanya perfect substitution antara uang
(money), obligasi (bonds), dan modal (capital). Ini sejalan dengan teori
ekonomi yang mengenal lima pasar, yaitu:
1. Pasar barang (consumer goods)
2. Pasar tenaga kerja (labor services)
3. Pasar barang-barang modal (Production (capital) goods)
4. Pasar obligasi (bonds)
5. Pasar Uang (Money)
Lima pasar ini akan berhadapan dengan:
1. Harga (prices)
2. Upah (wages)
3. Bunga (interest)
Variabel di atas menimbulkan persoalan karena 5 pasar yang akan
dipecahkan oleh 3 harga. Untuk memecahkan persoalan ini, Keynes
menggabungkan capital dan bonds menjadi non monetary asset sehingga
komposisi menjadi 4 pasar dengan 3 harga. Kekeliruan Keynes adalah
menggabungkan capital goods dan bonds menjadi satu dengan nama
baru, non monetary asset. Gabungan capital goods dan bonds diwakilkan
nilainya dengan interest. Jadi, secara implisit, capital goods dan bonds
dianggap perfect substitution.
Bagi Boumol-Tobin, money demand for precautionary tidak saja
ditentukan oleh tingkat pendapatan, namun juga oleh tingkat suku bunga.
Secara matematis dirumuskan:
Mdtr = f ( )
Mdpre = f ( , )
19
Pendahuluan
Mdsp = f ( )
Baik Marshall-Pigou, Keynes, maupun Boumol-Tobin berbicara
tentang stock concept uang. Muncul kemudian teori Fisher. Setelah
ditinggalkan cukup lama, teori Fisher dianalisis oleh Milton Friedman. Teori
Fisher tidak lagi berbicara tentang nominal interest rate tetapi tentang
differential interest rate antara interest rate bonds, interest rate money,
expected inflation, dan lain-lain.
1.5.6 Bunga dalam Perspektif Ekonomi
Ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus diajukan dalam
membahas bunga dan pembiayaan usaha. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut meliputi : apakah pembayaran bunga atas uang pinjaman
merupakan hal yang wajar? Adilkah bila seseorang yang memberi
pinjaman atau kreditor menuntut pihak berutang (debitor) membayar
bunga atas utangnya? Sebaliknya, adilkah bila orang yang berutang
diminta membayar bunga sehingga ia harus mengembalikan uang lebih
banyak dari yang dipinjamnya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab lebih dahulu bila kita
hendak mengambil sikap yang objektif mengenai bunga. Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut menyelesaikan separo dari masalah
bunga. Bila terbukti bahwa bunga tidak dapat dibenarkan, baik oleh akal
maupun keadilan, mengapa masalah bunga masih menjadi perdebatan?
1.5.6.1 Pandangan Klasik dan Keynes Tentang Bunga4
4 M.A Manan, Ekonomi Islam, Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta, hal 166
20
Pendahuluan
Ahli ekonomi klasik seperti Marshal berpendapat bahwa suku bunga
dan tabungan saling berkaitan. Oleh karena suku bunga adalah salah satu
faktor terpenting yang mengatur volume tabungan, maka makin tinggi
suku bunga, makin besar pula imbalan menabung, dengan demikian
makin tinggi pula kecenderungan untuk menabung dan sebaliknya.
Analisis klasik itu ditolak oleh seorang ahli ekonomi kapitalis terkenal
yaitu Lord Keynes. Dia ragu-ragu terhadap kemanjuran suku bunga dalam
mempengaruhi volume tabungan. Dengan tegas dikemukakannya bahwa
sebenarnya volume tabungan tergantung pada volume investasi yang
dilakukan oleh masyarakat bisnis. Suku bunga yang tinggi cenderung
mengurangi volume investasi dari masyarakat bisnis.
Sebagai akibatnya timbulah pengaruh buruk terhadap perdagangan,
perniagaan, dan industri secara keseluruhan. Karena pukulan langsung
pada sistem ekonomi ini, keseluruhan pendapatan uang akan menyusut.
Tetapi kita dapat menyadari bahwa tabungan tergantung pada tingkat
pendapatan uang rakyat. Bila pendapatan per kapita rakyat menyusut,
secara otomatis volume tabungan pun berkurang.
Ada beberapa teori atau dalil-dalil lemah dalam pembenaran pengambilan
bunga, diantaranya5:
Teori Abstinence
Pelopor teori ini menegaskan bahwa ketika kreditor menahan diri
(abstinence), ia menangguhkan keinginnnya memanfaatkan uangnya
sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia
meminjamkan modal yang semestinya apat mendatangkan keuntungan
bagi dirinya sendiri. Jika peminjam menggunakan uang itu untuk
5 Muhammad Syafi’i Antonio (2001), Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik ,Gema Insani Press, Jakarta, hal 69
21
Pendahuluan
memenuhi keinginan pribadi, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang
yang dipinjamnya. Ini sama halnya ia membayar sewa terhadap sebuah
rumah, perabotan, maupun kendaraan.
Benarkah bunga merupakan imbalan karena menahan diri?
Kenyataannya,kreditor hanya akan meminjamkan uang yang tidak ia
gunakan sendiri. Kreditor hanya akan meminjamkan uang berlebih dari
yang ia perlukan. Dengan demikian, sebenarnya kreditor tidak menahan
diri atas apapun.
Bunga Sebagai Imbalan Sewa
Uang memiliki karakter yang berbeda dengan barang dan komoditas
lain, baik menyangkut daya tukar yang dimiliki, kepercayaan masyarakat
terhadapnya, maupun posisi hukumnya.
Sewa hanya dikenakan terhadap barang-barang seperti rumah,
perabotan, alat transportasi, dan sebagainya, yang bila digunakan akan
habis, rusak, dan kehilangan sebagian dari nilainya.
Biaya sewa layak dibayarkan terhadap barang yang susut, rusak,
dan memerlukan biaya perawatan. Adapun uang tidak dapat dimasukkan
ke dalam kategori tersebut. Karena itu, menuntut sewa uang tidak
beralasan.
Dalam disiplin ilmu ekonomi Barat, kita seringkali mendapatkan
rumus yang menempatkan posisi rent, wage, dan interest :
{(r) K; (w) L; (i) M }, dimana:
(r) K berarti rent untuk Kapital
(w) L berarti wage untuk Labour
(i) M berarti interest untuk Money
22
Pendahuluan
Rumus diatas menunjukkan bahwa padanan rent (sewa) adalah aset tetap
dan aset bergerak, sedangkan interest (bunga) padanannya uang.
Secara ilmu ekonomi konvensional sekalipun, amatlah keliru bila kita
menempatkan rent (sewa) untuk uang karena uang itu bukan aset tetap
seperti rumah atau aset bergerak seperti mobil yang dapat disewakan.
Oportunity Cost
Para pelopor pemikiran ini beranggapan bahwa dengan
meminjamkan uangnya berarti kreditor menunggu atau menahan diri
untuk tidak menggunakan modal sendiri guna memenuhi keinginan diri
sendiri. Hal itu serupa dengan memberikan waktu kepada peminjam.
Dengan waktu itulah yang berutang memiliki kesempatan untuk
menggunakan modal pinjamannya untuk memperoleh keuntungan.
Dengan demikian, waktu mempunyai harga yang meningkat seiring
dengan berjalannya waktu.
Hal itu dijadikan alasan para penganut teori ini untuk menganggap
bahwa kreditor berhak menikmati sebagian keuntungan pinjaman.
Menurut mereka, besar kecilnya keuntungan terkait langsung dengan
besar kecilnya waktu, padahal kreditor dianggap berhak mengenakan
harga sesuai dengan lamanya waktu pinjaman.
Pandangan ini, lagi-lagi, berbenturan dengan pertanyaan dasar.
Bagaimana kreditor dapat memastikan bahwa peminjam nyata-nyata
memperoleh keuntungan dan bukan kerugian atas investasi modal
pinjamannya? Dasar apa yang membuatnya beranggapan bahwa
23
Pendahuluan
peminjam akan memperoleh keuntungan secara tetap pula? Bagaimana
pula kreditor dapat meyakini bahwa peminjam akan selalu memperoleh
keuntungan setiap bulan atau setiap tahun sehingga ia dianggap akan
selalu mampu membayar harga tertentu secara pasti setiap bulan atau
setiap tahun?
Teori Kemutlakan Produktivitas Modal
Beberapa ahli ekonomi menekankan fungsi modal dalam produksi.
Menurut pandangan tersebut, modal adalah produktif dengan sendirinya.
Modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih
banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu. Modal dipandang
mempunyai daya untuk menghasilkan nilai tambah. Dengan demikian,
pemberi pinjaman layak untuk mendapatkan imbalan bunga.
Akan tetapi, benarkah modal selalu produktif? Kenyataannya , modal
menjadi produktif hanya apabila digunakan seseorang untuk bisnis yang
dapat mendatangkan keuntungan. Bila digunakan untuk tujuan konsumsi,
modal sama sekali tidak produktif. Bila digunakan untuk usaha produksi
pun, modal tak selalu menghasilkan nilai tambah.
Jika modal dianggap memiliki produkrivitas, sebenarnya
produktivitas tersebut bergantung pada berbagai faktor lain. Penanaman
modal yang dapat mendatangkan banyak keuntungan bergantung pada
bagian produksi, riset dan pengembangan, marketing, keuangan,
inventori, demikian juga kemampuan, visi serta pengalaman orang yang
menggunakannya. Belum lagi faktor kestabilan ekonomi, sosial, dan politik
suatu negara. Faktor-faktor tersebut merupakan syarat bagi penanaman
24
Pendahuluan
modal yang dapat mendatangkan keuntungan. Apabila persyaratan
tersebut tidak terpenuhi, keuntungan yang diharapkan dari penanaman
modal tersebut berubah menjadi kerugian.
Teori Nilai Uang Pada Masa Mendatang Lebih Rendah Dibanding
Masa Sekarang
Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya
mengutamakan kehendaknya sekarang dibanding kehendaknya di masa
depan. Kalangan inilah yang menjelaskan fenomena bunga dengan
rumusan yang dikenal dengan menurunnya nilai barang di waktu
mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini . Singkatnya,
mereka menganggap bunga sebagai agio atau selisih nilai yang diperoleh
dari barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan atau
penukaran barang di waktu yang akan datang. Boehm Bawerk, pendukung
utama pendapat ini, menyebut tiga alasan mengapa nilai barang di waktu
yang mendatang akan berkuran, yaitu sebagai berikut:
1. Keuntungan di masa yang akan datang diragukan
2. Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih
bernilai bagi manusia daripada kepuasan mereka pada waktu
yang akan datang.
3. Kenyataannya, barang-barang pada waktu kini lebih penting
dan berguna
Dengan demikian, modal yang dipinjamkan kepada seseorang pada
saat sekarang lebih bernilai dibanding uang yang akan dikembalikan
25
Pendahuluan
beberapa tahun kemudian. Bunga, menurut penganut paham ini,
merupakan nilai lebih yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan
agar nilai pembayarannya sama dengan nilai modal pinjaman semula.
Akan tetapi, paham ini pun bukan tanpa kelemahan. Benarkah
manusia menganggap kehendak masa sekarang lebih penting dan
berharga daripada keinginan pada masa depan? Jika demikian, mengapa
banyak orang tidak membelanjakan seluruh pendapatannya sekarang,
tetapi menyimpannya untuk keperluan pada masa yang akan datang.
Inflasi
Inflasi secara umum sering dipahami sebagai meningkatnya harga
barang secara keseluruhan. Dengan demikian, terjadi penurunan daya beli
uang atau decreasing purchasing power of money. Oleh karena itu,
menurut penganut paham ini, pengambil bunga sangatlah logis sebagai
kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan
Argumentasi tersebut memang sangat tepat seandainya dalam
dunia ekonomi yang terjadi hanyalah inflasi saja tanpa deflasi atau stabil
1.6. Metode Penelitan
1.6.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan hanya terbatas pada pengujian penciptaan
stabilitas moneter dalam kasus dual banking yang diterapkan di Indonesia.
Periode yang diteliti dalam jangka waktu 1997.I sampai 2003.1, alasan
dipilihnya periode tersebut adalah karena ketersediaan data, dan mulai
berkembangnya sistem keuangan bebas bunga di Indonesia.
26
Pendahuluan
Penelitian ini bersifat independen, artinya penelitian ini hanya untuk
proses pembelajaran dan bukan untuk mengarahkan pembaca memilih
sistem keuangan tertentu atau menyudutkannya.
1.6.2. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif.
Analisis deskriptif disusun berdasarkan data sekunder, jurnal, artikel, dan
hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan.
Sedangkan untuk analisis kuantitatif penulis menggunakan alat bantu
ekonometrika yaitu software Eviews 3.1 dan software Excell.
Beberapa kepustakaan [(Stock dan Watson (1988) , Harris (1995)]
menyatakan bahwa regresi yang diestimasi harus tidak memasukkan
variabel-variabel non-stationary untuk menghindari adanya masalah
spurious regression (R-squares yang tinggi dan Durbin-Watson statistik
yang rendah). Lebih lanjutnya, Engle dan Granger (1987)
mempertunjukkan bahwa menggunakan variabel-variabel yang stasioner
dalam persamaan regresi , dapat menyaring informasi yang berfrekuensi-
rendah jika beberapa atau semua variabel-variabel dalam model
terkointegrasi.
Dua variabel dikatakan terkointegrasi jika memiliki hubungan
(keseimbangan) jangka panjang. Menurut teori representasi Granger
(1986), setiap sistem dari variabel-variabel yang terkointegrasi dapat di
representasikan oleh error-correction model (ECM). Pada model asli yang
mengandung variabel-variabel stasioner, ECM menambah regressor lain;
lagged residuals (yang disebut error-corection (EC) term) yang diperoleh
dari hubungan kointegrasi. Koefisien dari EC term merefleksikan proses
27
Pendahuluan
dimana variabel tidak bebas (dependent) dalam persamaan ECM
menyesuaikan dalam jangka pendek terhadap posisi keseimbangan
jangka panjangnya.
Diskusi diatas, maka, menyarankan bahwa analisis secara empiris
terhadap identifikasi masalah pada penelitian ini , berdasarkan model
kointegrasi dan error-correction.
1.6.3 Model Ekonometrik
Sesuai dengan identifikasi masalah yang ada, penulis menggunakan
model yang sama yang dikembangkan oleh Ahmad Kaleem (2002) yang
juga merupakan pengembangan dari model oleh Ali F Darrat (1988).
Model ekonometrik 1
Seperti diargumentasikan oleh Havrilesky dan Boorman, (1980), Batten
dan Thornton (1983), McCallum (1989) setiap besaran (aggregate)
moneter akan berguna untuk tujuan kebijakan hanya jika memenuhi dua
prasyarat:
1. Besaran (aggregate) moneter tersebut secara efektif harus
berada dibawah kontrol Otoritas Moneter (bank sentral)
2. Adanya hubungan yang kuat antara besaran (aggregate)
moneter tersebut dengan tujuan utama dari Otoritas Moneter
(salah satunya adalah stabilitas harga atau inflasi)
Jika tidak terdapat hubungan seperti tersebut diatas, maka besaran
(aggregate) moneter tersebut tidak mempunyai kegunaan untuk
kebijakan, sebaliknya, besaran (aggregate) moneter yang terhubung kuat
28
Pendahuluan
dengan tujuan utama dari Otoritas Moneter tidak bermanfaat jika tidak
dapat dikontrol.
Untuk mengetahui apakah otoritas moneter mempunyai kontrol yang lebih
besar terhadap instrumen moneter bebas bunga dibandingkan dengan
instrumen moneter berbasiskan bunga.
(GM1) t = a0 + a1(GMB)t + ut (1)
(GM1(isl)) t = b0 + b1(GMB (isl))t + ut (2)
(GM2)t = a0 + a1(GMB)t + ut (3)
(GM2 (isl)) t = b0 + b1(GMB(isl))t +ut (4)
Model ekonometrik 2
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang lebih erat antara
instrumen moneter yang bebas bunga dalam memelihara stabilitas tingkat
harga atau inflasi dibandingkan dengan instrumen moneter berbasiskan
bunga.
GPt = a0 + a1(GM1)t + a2(GM1)t-1 + a3(GM1)t-2+ a4(GM1)t-3 + ut (5)
GPt = b0 + b1(GM2)t + b2(GM2)t-1 + b3(GM2)t-2 + b4(GM2)t-3 + ut (6)
GPt = a0 + a1(GM1(isl))t+a2(GM(isl))t-1+a3(GM1(isl))t-2+a4(GM1(isl))t-3+ut (7)
GPt = b0 + b1(GM2(isl))t+b2(GM2(isl))t-1+b3(GM2(isl))t-2+b4(GM2(isl))t-3+ut (8)
Model ekonometrik 3
Teori ketersediaan kredit menganjurkan bahwa rasio likuiditas
dapat digunakan sebagai instrumen moneter untuk mengontrol
pertumbuhan kredit. Menurut pandangan ini, investasi swasta merespon
terhadap setiap perubahan dalam ketersediaan kredit, setiap peningkatan
dalam rasio likuiditas dapat menurunkan penawaran kredit sehingga
mengurangi permintaan agregat.
29
Pendahuluan
Seperti dijelaskan oleh Karim dan Abdullah (1995), kebanyakan dari
instrumen pembiayaan syariah (Islamic) adalah instrumen pembiayaan
Murabaha6 dan hampir semua penjualan melalui instrumen ini ditujukan
untuk sektor swasta dimana mengandung 100% resiko, seperti tertuang
dalam perjanjian Basel, karena itu persentase yang sama untuk liquidity
requirements seperti disarankan oleh perjanjian Basel tidak dapat
dipersamakan untuk instrumen keuangan bebas bunga (Islamic)
Untuk mengetahui apakah rasio likuiditas yang ditetapkan oleh Otoritas
Moneter dapat dipersamakan antara instrumen keuangan islam yang
bebas bunga dan instrumen keuangan yang berbasiskan bunga.
(GCREDIT) t = a0 + a1(GLIQUID)t + ut (9)
(GCREDIT (ISL)) t = b0 + b1(GLIQUID (ISL))t + ut (10)
1.6.4 Spesifikasi Data dan Variabel
Data dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
M1 adalah uang kertas dan logam (currency) + simpanan dalam
bentuk rekening koran (demand deposit)
M2 adalah M1 + tabungan + deposito berjangka (time deposit)
pada bank-bank umum
M1 Islamic (Isl) adalah uang kertas dan logam (currency) +
simpanan dalam bentuk rekening koran (demand deposit) pada bank-
bank yang menerapkan sistem bebas bunga
M2 Islamic (Isl) adalah M1 + tabungan + deposito berjangka (time
deposit) pada bank-bank umum yang menerapkan sistem bebas bunga
6 Murabaha, yaitu kontrak jual beli dimana barang yang diperjualbelikan tersebut diserahkan segera, sedang harga (baik pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama) atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara sekaligus (Lump Sum Deferred Payment) . Dalam prakteknya, bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli dengan kewajiban membayar secara tangguh dan sekaligus
30
Pendahuluan
MB (monetary base) adalah uang kertas dan logam (currency) +
deposit cadangan (reserves) bank-bank umum pada bank sentral
MB Islamic (Isl) adalah uang kertas dan logam (currency) + deposit
cadangan (reserves) bank-bank umum yang menerapkan sistem bebas
bunga pada bank sentral
GM1 adalah pertumbuhan M1
GM2 adalah pertumbuhan M2
GM1 Islamic (Isl) adalah pertumbuhan M1 (Isl)
GM2 Islamic (Isl) adalah pertumbuhan M2 (Isl)
GMB adalah pertumbuhan MB
GMB (Isl) adalah pertumbuhan MB (Isl)
CPI adalah Indeks Harga Konsumen (IHK)
GCREDIT adalah pertumbuhan kredit berbasiskan bunga
GCREDIT Islamic (Isl) adalah pertumbuhan kredit pada perbankan
bebas bunga
GLIQUD adalah pertumbuhan aset likuid perbankan yang berada di
bank sentral
GLIQUID Islamic (Isl) adalah pertumbuhan aset likuid perbankan
bebas bunga yang berada di bank sentral.
1.6.5 Pengujian Statistik
Untuk melihat validitas model yang digunakan serta akurasi hasil
estimasi model, maka dilakukan beberapa pengujian statistik, antara lain:
1.6.5.1. Uji Akar-akar Unit (Unit Root )
31
Pendahuluan
Di dalam penelitian ini akan digunakan uji akar unit melalui uji Augmented
Dickey-Fuller (ADF-Test) untuk mengetahui apakah data time series yang
digunakan memiliki masalah akar unit atau data tidak stasioner. Jika suatu
data time series tidak stasioner pada order nol, I(0), maka stasionaritas
data tersebut bisa dicari melalui berbagai order sehingga diperoleh tingkat
stasionaritas pada order ke-n (first difference atau I(1), atau second
difference atau I(2), dan seterusnya).
(ADF test)
H0 : ρ = 0 (terdapat unit roots, variabel Y tidak stasioner)
H1 : ρ # 0 (tidak terdapat unit roots, variabel Y stasioner)
1.6.5.2. Uji Kointegrasi
Uji ini dikembangkan berdasarkan adanya persepsi model data
yang tidak stasioner, apabila data tidak stasioner masih dapat terjadi
kointegrasi jangka panjang bila kombinasinya juga linear sejalan dengan
berjalannya waktu. Tujuan pokok dari uji ini adalah untuk melihat
hubungan keterkaitan jangka panjang antara tiap variabel yang di uji.
Langkah pertama; estimasi tiap parameter dari persamaan regresi dengan
menggunakan model ordinary least square (OLS), misalnya:
Langkah kedua; uji stasioner terhadap nilai residual dari hasil estimasi
diatas lalu estimasi kembali,
Setelah estimasi kembali, t-hitung diperoleh maka hasilnya dibandingkan
dengan t-tabel (Uji t). Jika nilai t hitung lebih besar dari t tabel, maka
variabel bersifat stasioner.
32
U = U +t t - 1 tv
U U + U t t - 1 1 t - 2
^
0
U = U +t t - 1 tv
U U + U t t - 1 1 t - 2
^
0
Pendahuluan
Langkah terakhir yang dilakukan dalam uji ini adalah melakukan regresi,
proses ini dilakukan untuk melihat signifikansi hubungan antar variabel
pada tingkat kepercayaan tertentu.
Pengujian derajat kointegrasi dilakukan dengan metode Engle Granger
(1987). Hipotesis ini didasarkan oleh hasil regresi pada error terms
berikut ini :
Ut = Ut-1 + vt
Hipotesis untuk pengujian ini adalah :
H0 : = 0 (variabel-variabel dalam model tidak terkointegrasi)
H1 : 0 (variabel-variabel dalam model terkointegrasi)
1.6.5.3. Pengujian dengan Error Correction Model (ECM)
Selain untuk mengetahui hubungan jangka panjang dengan
pendekatan kointegrasi, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
pengaruh perubahan berbagai variabel independen terhadap perubahan
variabel dependennya dalam jangka pendek (dari satu triwulan ke triwulan
berikutnya). Model ini digunakan untuk mengetahui bagaimana
ketidakseimbangan jangka pendek yang digambarkan dengan variabel
fisrt difference-nya dikoreksi atau disesuaikan untuk mencapai
keseimbangan jangka panjangnya yang digambarkan dengan variabel
error correction term.
Dapat diuraikan dalam persamaan berikut :
ΔYt = β0 + β1 ΔXt1 + β2 ΔXt 2 + ... + βn ΔXn + ECT t-1 + Ut
ΔYt = First difference dari variabel tidak bebas
33
Pendahuluan
ΔX1,2,..n = First difference dari variabel bebas
ECT t-1 = Koreksi kesalahan
1.6.5.4. Uji Koefisien Determinasi
Digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan dari model yang
dipakai. Koefisien determinasi (R2) yaitu angka yang menunjukkan
besarnya kemampuan varians atau penyebaran dari variabel-variabel
bebas yang menerangkan variabel tidak bebas atau angka yang
menunjukkan seberapa besar variasi variabel tak bebas ditentukan oleh
variasi variabel bebasnya. Besarnya nilai R2 adalah 0 < R2 < 1, dimana
semakin mendekati 1 (satu) berarti model tersebut dikatakan baik karena
semakin dekat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tak
bebasnya. Dengan kata lain bila nilai R2 semakin mendekati 1 berarti
variasi variabel tak bebas hampir sepenuhnya dipengaruhi variabel tak
bebas yang ada dalam model.
1.6.5.5. Uji t-statistik
Pengujian t-statistik digunakan untuk menguji pengaruh parsial dari
variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya. Pengujian ini dilakukan
dengan hipotesis:
H0 : variabel bebas tidak mempengaruhi variabel tidak bebasnya
H1 : variabel bebas mempengaruhi variabel tidak bebasnya
Dengan menguji dua arah dalam tingkat signifikansi = α, dan derajat
kebebasan (degree of freedom, df) = n - k (n = jumlah observasi dan k =
jumlah variabel yang digunakan),
Kriteria penerimaan hipotesis pada uji t-statistik adalah:
34
Pendahuluan
H0 tidak ditolak jika –(t-tabel) < t-stat < (t-tabel).
H0 ditolak jika –(t-stat) <-(t-tabel) atau t-stat > t-tabel
1.6.5.6 Uji F-statistik
Pengujian F-statistik digunakan untuk menguji signifikansi dari
semua variabel bebas sebagai suatu kesatuan, atau mengukur pengaruh
variabel bebas secara bersama-sama. Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : semua variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh
terhadap variabel bebasnya.
H1 : semua variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap
variabel bebasnya.
Apabila nilai F hitung ≤ F tabel berarti H0 tidak ditolak, sehingga
variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap
variabel tidak bebasnya.
Apabila nilai F hitung > F tabel berarti H0 ditolak, sehingga variabel
bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel tidak
bebasnya.
1.6.5.7 Pengujian Otokorelasi
Otokorelasi atau korelasi serial adalah suatu keadaan di mana
kesalahan pengganggu dalam periode tertentu, katakan єt berkorelasi
dengan kesalahan pengganggu dari periode lainnya katakan єs. Jadi
kesalahan pengganggu tidak bebas, satu sama lain berkorelasi, saling
berhubungan.
35
Pendahuluan
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya otokorelasi, antara
lain:
1. Kelembaman (Inertia).
2. Terjadi bias dalam spesifikasi karena beberapa variabel penting
tak tercakup.
3. Terjadi bias dalam spesifikasi karena bentuk fungsi yang
dipergunakan tidak tepat.
4. Fenomena sarang labah-labah (Cobweb Phenomena).
5. Beda kala (Time lags).
6. Adanya manipulasi data (Manipulation of data).
Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya otokoralasi adalah uji
Durbin-Watson. Secara spesifik, untuk uji Durbin-Watson, terdapat lima
himpunan daerah untuk nilai d, yaitu:
Daerah Daerah Tidak Daerah Daerah kritis ketidak- menolak ketidak- kritis pastian H0 pastian
(inconclusive) (inconclusive)
Tolak Tidak ada Tolak H0 otokorelasi H0
0 dL dU 2 (4 – dU) (4 - dL)
36
Pendahuluan
Jika d lebih kecil daripada dL atau lebih besar daripada (4 – dL),
maka hipotesis nol ditolak, dengan pilihan pada alternatif yang
berarti terdapat otokorelasi
Jika d terletak antara dU dan (4 – dU), maka hipotesis nol diterima,
yang berarti tidak ada otokorelasi.
Namun, jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4 – dU) dan (4 – dL),
maka uji Durbin-Watson tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti
(inconclusive). Untuk nilai-nilai ini, tidak dapat (pada suatu tingkat
signifikansi tertentu) disimpulkan adanya otokorelasi di antara faktor-
faktor gangguan.
Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji Durbin-Watson adalah :
H0 : tidak terdapat otokorelasi positif
H1 : tidak terdapat otokorelasi negatif
1.6.6 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah melalui data
sekunder dengan jenis data time series. Sumber data yang diperlukan
dalam penelitian ini berasal dari :
Statistik Perbankan Syariah, Biro Perbankan Syariah- Bank Indonesia
Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia- Bank Indonesia
Homepage Bank Indonesia, www.bi.go.id
International Financial Statistic-IMF
Referensi studi kepustakaan melalui jurnal, artikel, makalah, dan
bahan-bahan lain yang diperoleh dari perpustakaan UNPAD,
perpustakaan UNPAR, perpustakaan Bank Indonesia Jakarta dan
37
Pendahuluan
Bandung, internet, serta sumber-sumber lain yang berhubungan
dengan penelitian ini.
38