STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA...
Transcript of STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA...
ICASEPS WORKING PAPER No. 66
STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH
Bambang Rahmanto Oktober 2004
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH
Bambang Rahmanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jalan Ahmad Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRAK
Peran komoditas tanaman obat akan semakin penting dalam memberikan kontribusi ekonomi di masa depan. Hal ini ditunjukkan dari permintaan produk tanaman obat yang semakin meningkat, yang diindikasikan oleh tingkat pertumbuhan industri jamu yang relatif tinggi. Komoditas tanaman obat meru-pakan salah satu komoditas unggulan dalam program penumbuhan SPAKU di Jawa Tengah, dipromosikan di Kabupaten Karanganyar berdasarkan pertimbangan lebih dekat ke konsentrasi pasar dan sekaligus mem-bantu peningkatan sumber pendapatan petani di wilayah marjinal. Dalam agribisnis tanaman obat, petani secara rata-rata belum mencapai keuntungan normal. Permasalahannya adalah: (1) produktivitas secara rata-rata rendah dan tingkat keragaman tinggi, karena faktor iklim dan penerapan teknologi, (2) kurang terse-dianya benih bermutu di pasaran, (3) kurangnya kemampuan petani memperoleh kesempatan meraih nilai tambah dengan melakukan penjualan dalam bentuk simplisia (rajangan kering), karena faktor persyaratan, diskriminasi harga, dan ketersediaan mesin perajang. Selama 2 tahun pendiriannya, KUBA belum mampu menunjukkan peran dan fungsinya sebagai badan usaha dan lembaga ekonomi rakyat dalam menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi petani. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa kondisi faktor internal KUBA relatif kurang baik. Dengan kondisi KUBA yang ada sekarang, diperlukan strategi pengembangan melalui pertumbuhan integrasi horisontal dengan melakukan: (1) perbaikan manajerial, (2) upaya terobosan untuk meningkatkan modal usaha dan penyediaan infrastruktur, dan (3) penggalangan kerjasama antar produsen di sentra-sentra produksi untuk memperkokoh jaringan informasi dan komunikasi serta memperkuat posisi tawar terhadap pihak pedagang pengumpul maupun perusahaan jamu. Peran pemerintah masih sangat diperlukan dalam pembinaan manajemen, fasilitasi modal usaha dan infrastruktur, serta pelayanan informasi pasar dan teknologi.
Kata Kunci: Agribisnis ; Tanaman obat.
PENDAHULUAN
Dalam rangka menciptakan usaha pertanian yang efisien telah muncul gagasan
tentang pembangunan pertanian spesifik lokasi, yang melahirkan konsep pengembangan
komoditas unggulan di wilayah tertentu. Pembangunan pertanian komoditas unggulan
tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan saja, tetapi
diperlukan pembenahan kelembagaan dan adanya peningkatan nilai tambah melalui
kegiatan agribisnis.
Dalam mewujudkan program pembangunan pertanian yang berorientasi pasar,
selain diperlukan pemberdayaan sumberdaya unggulan di masing-masing wilayah,
diperlukan pula suatu model kelembagaan perekonomian petani yang dapat
dikembangkan menjadi koperasi, yang tercermin dari program Sentra Pengembangan
Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU). Melalui SPAKU pemberdayaan komoditas
unggulan dikembangkan secara terpusat di suatu lokasi sentra produksi agar skala
2
produksi memungkinkan tumbuhnya berbagai usaha agribisnis, baik hulu maupun hilir.
Dengan skala usaha yang dikembangkan dimungkinkan terwujudnya efisiensi usaha dari
kegiatan usaha penyediaan sarana produksi, kegiatan usaha pertanian, pengolahan
hasil, dan pemasaran.
Komoditas tanaman obat merupakan salah satu komoditas unggulan dalam
program penumbuhan SPAKU di Jawa Tengah. Jenis tanaman obat yang dijadikan
komoditas unggulan adalah jahe, kunyit, dan kencur. Sasaran luas areal tanaman obat
sampai tahun 2002-2003 mencapai 500 hektar, sedangkan pada tahun 1996/1997 baru
mencapai 20 hektar (Tim IPB, 1997).
Peran komoditas tanaman obat dalam memberikan kontribusi ekonomi di sektor
pertanian akan semakin penting di masa depan. Hal ini disebabkan oleh semakin
meningkatnya permintaan terhadap komoditas tanaman obat, baik secara kuantitas
maupun ragam jenisnya. Meningkatnya secara signifikan permintaan terhadap berbagai
jenis produk komoditas tanaman obat disebabkan oleh kebutuhan dan penggunaan
tanam-an obat yang semakin meluas, baik dari kalangan masyarakat di dalam negeri
maupun internasional. Mereka semakin menyadari besarnya manfaat produk tanaman
obat di bidang farmasi, sebagai alternatif substitusi penggunaan obat-obatan dan
kosmetika secara kimiawi maupun manfaatnya sebagai bahan baku industri makanan
dan minuman.
Pemanfaatan domestik komoditas tanaman obat selain digunakan di bidang
farmasi, sebagian besar terserap untuk memenuhi kebutuhan industri jamu atau obat
tradisional, baik yang berskala perusahaan maupun industri rumah tangga. Selain itu,
sebagian juga terserap untuk usaha jamu gendong. Perkembangan industri obat
tradisional mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Menurut Suporaharjo dan
Hargono (1994), pertumbuhan industri jamu dari tahun 1981 - 1990 rata-rata mencapai
sekitar 17 persen per tahun, yaitu dari 165 menjadi 443 buah. Bahkan, menurut Ditjen
POM dalam Hartoyo et al, (1998) jumlah perusahaan jamu tersebut telah mencapai 700
buah yang mampu mengkonsumsi simplisia nabati tidak kurang dari 187 jenis tanaman
obat. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang mempunyai jumlah
industri jamu terbesar ketiga setelah Jawa Timur dan DKI Jakarta.
Dalam mewujudkan pengembangan komoditas tanaman obat melalui model
SPAKU, pemerintah telah memotivasi tumbuhnya kelembagaan ekonomi rakyat, antara
lain adalah Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) tanaman obat di Kabupaten
3
Karanganyar pada T.A 1996/1997. KUBA diharapkan menjadi cikal bakal pembentukan
Koperasi Agribisnis Komoditas Unggulan (KOPAKU) tanaman obat di wilayah itu.
Dalam kaitan tersebut, studi ini bertujuan untuk mempelajari model agribisnis dan
kinerja KUBA tanaman obat guna mengkaji kelemahan, masalah, peluang dan kelebihan
organisasi ini. Hasil studi diharapkan dapat memberikan masukan untuk menyusun
kebijaksanaan dalam rangka pembinaan dan penyempurnaan kelembagaan KUBA pada
khususnya dan kelembagaan sejenis pada umumnya.
METODE PENELITIAN
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei di lokasi pengembangan
KUBA tanaman obat di Kecamatan Jumapolo, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa
Tengah pada bulan November – Desember 1999. Sumber data diperoleh dari petani
anggota dan non anggota KUBA sebanyak 25 responden yang dipilih secara acak,
pengurus KUBA dan informan kunci lainnya yang terdiri dari tokoh masyarakat, pembina
dan pejabat dari instansi terkait serta data sekunder sebagai pendukung dalam
memahami kondisi daerah penelitian dan identifikasi kondisi organisasi/manajemen
KUBA.
Metode Analisis
Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan model agribisnis yang berlaku
secara umum di lokasi contoh maupun yang dilaksanakan oleh organisasi KUBA guna
memberikan gambaran kinerja KUBA sebagai badan usaha dan sekaligus sebagai
lembaga ekonomi rakyat.
Analisis kelayakan finansial digunakan untuk melihat tingkat kemampuan usaha-
tani tanaman obat dalam memberikan profitabilitas, pendapatan dan nilai tambah
kepada petani produsen.
Analisis SWOT (Strengths-Weakneses-Opportunities-Threats) dipergunakan
untuk memformulasikan strategi pengembangan KUBA. Berdasarkan identifikasi peubah-
peubah internal (SW: Strengths-Weakneses) dan eksternal (OT: Opportunities-Threats)
dibuat tabel analisis internal faktor (IFAS: Internal Strategic Factors Analysis Summary)
dan tabel analisis eksternal faktor (EFAS: External Strategic Factors Analysis Summary)
dengan memberi bobot dan rating. Pemberian bobot didasarkan atas keunggulan-
4
keunggulan relatif terhadap faktor lainnya, sedangkan pemberian rating didasarkan atas
prediksi atau kemampuan KUBA untuk masa yang akan datang. Berbagai alternatif
strategi dapat dirumuskan berdasarkan model analisis SWOT Matrik.
Indikator faktor internal yang mempengaruhi kinerja organisasi KUBA diasumsi-
kan mencakup berbagai peubah (variable) yang terkait dengan aspek berikut: (1)
Manajemen; (2) Produksi: (3) Pemasaran; (4) Sumberdaya fisik; (5) Sumberdaya
manusia; dan (6) Sumberdaya finansial. Sedangkan Indikator faktor eksternal terdiri dari
peubah-peubah yang terkait dengan aspek berikut: (1) Kebijakan pemerintah; (2) Kondisi
pasar input/output; (3) Kondisi sosial/kemasyarakatan; (4) Kondisi perekonomian; (5)
Perkem-bangan sektor swasta; (6) Kondisi politik dan keamanan; dan (7) Cekaman
hama/penyakit dan perubahan cuaca.
Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan KUBA dilakukan evaluasi
dengan mengidentifikasi unsur-unsur mana yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari
aspek internal KUBA serta unsur-unsur mana yang menjadi peluang dan tantangan/
ancaman dari aspek eksternal KUBA. Selanjutnya dilakukan inventarisir terhadap unsur-
unsur kekuatan dan kelemahan maupun unsur-unsur peluang dan ancaman, masing-
masing dalam sebuah tabel analisis faktor internal dan tabel analisis faktor eksternal dan
memberikan nilai skor untuk setiap unsur. Nilai skor diperoleh dari hasil perkalian bobot
dan skala. Nilai bobot berkisar antara 0,0 (tidak penting) sampai 1,0 (paling penting),
sedangkan nilai skala berkisar antara 1 (sangat buruk) sampai 4 (sangat baik). Hasil total
nilai skor unsur kekuatan dan kelemahan pada faktor internal dan total nilai skor unsur
peluang dan ancaman pada faktor eksternal memberikan indikasi alternatif strategi
pengembangan KUBA dengan mengacu pada kriteria seperti tersaji pada diagram
berikut.
Total skor faktor internal Kuat Rata-rata Lemah 4,0 3,0 2,0 1,0
Kuat
3,0
I: Pertumbuhan Strategi konsentrasi
melalui integrasi vertikal
II: Pertumbuhan Strategi konsentrasi melalui
integrasi horizontal
III: Penciutan Strategi
turn around
Menengah
2,0
IV: Stabilitas Strategi stabilitas
V: Pertumbuhan/stabilitas Strategi integrasi horizontal/
stabilitas
VI: Penciutan Strategi divestasi
Rendah
1,0
VII: Pertumbuhan Strategi diversifikasi
konsentrik
VIII: Pertumbuhan Strategi diversifikasi
konglomerat
IX: Likuidasi Strategi likuidasi/ bangkrut
Sumber: Rangkuti (1999)
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Agribisnis Tanaman Obat
Menurut Tim IPB (1997), Kabupaten Karanganyar sebenarnya belum termasuk
sebagai daerah sentra produksi tanaman obat di Jawa Tengah. Terpilihnya kabupaten ini
sebagai daerah SPAKU tanaman obat terutama berkaitan dengan besarnya potensi
pasar yang dimiliki oleh kabupaten, yaitu:
(1) Adanya perusahaan jamu PT. Air Mancur sebagai perusahaan kemitraan dengan total kebutuhan simplisia (bahan kering rajangan) sekitar 400 - 500 ton dan bahan baku basah sekitar 3.000 - 3.500 ton per tahun.
(2) Adanya pasar jamu di Kecamatan Nguter - Sukoharjo dan koperasi pedagang jamu yang membutuhkan pasokan bahan baku basah sebesar 600 - 700 ton per tahun.
(3) Masyarakat setempat sudah tidak asing lagi dalam budidaya tanaman obat sebagai usaha sampingan, dan pernah menjadi juara II dalam lomba budidaya tanaman obat keluarga (TOGA) tingkat Provinsi pada tahun 1995.
Di antara kecamatan yang ada, Kecamatan Jumapolo termasuk sentra produksi
tanaman obat di Kabupaten Karanganyar, sehingga pada tahun 1996/1997 terpilih
sebagai daerah pilot proyek SPAKU tanaman obat di Jawa Tengah. Selain Kecamatan
Jumapolo, dua kecamatan lainnya, yaitu Kecamatan Ngargoyoso dan Jenawi masing-
masing memiliki potensi untuk dikembangkan tanaman jahe dan lengkuas. Pangsa
produksi jahe dan kunir kabupaten Karanganyar baru mencapai sekitar 2,1 - 2,3 persen
dari produksi jahe dan kencur di Jawa Tengah. Sedangkan pangsa produksi lengkuas
(laos) dan kunyit kurang dari 1 persen.
Pengadaan Sarana Produksi dan Modal Usahatani
Secara umum pengadaan benih tanaman obat dilakukan melalui tiga cara yaitu
dengan membeli di pasar atau membeli kepada petani lain dan pengadaan benih sendiri
dengan memanfaatkan hasil panen yang diseleksi untuk benih. Selain itu, secara
insidentil ada sebagian petani yang menerima bantuan benih dari pemerintah, seperti
petani peserta P2RT (Proyek Pertanian Rakyat Terpadu) dan petani peserta penelitian
On-Farm dari BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Ungaran. Dalam pengadaan
pupuk buatan dan pestisida tersedia dua sumber pelayanan saprodi yaitu di kios-kios
saprodi di pasar kecamatan atau di KUD yang melayani pembelian tunai atau melalui
KUT. Sedangkan pengadaan pupuk kandang pada umumnya diperoleh dari hasil kotoran
6
ternak yang diusahakan oleh petani sendiri atau membeli dari pedagang pengumpul atau
dari peternak (Gambar 1).
Dari Gambar 1 tersebut tercermin pula bahwa modal usahatani untuk tanaman
obat selain berasal dari modal sendiri juga dapat diperoleh dari bantuan pemerintah
melalui KUT. Dengan adanya program penumbuhan SPAKU tanaman obat, sebagian
petani anggota KUBA memperoleh modal usaha dari P2RT, dan bagi petani peserta
penelitian on-farm memperoleh subsidi saprodi dari BPTP Ungaran.
Bantuan bibit dari P2RT masing-masing untuk jenis komoditas tanaman obat,
yaitu jahe, kencur, dan kunyit adalah sebesar 200 kg/ha. Bantuan bibit ini harus dikemba-
likan secara revolving sebesar 50 persen dari hasil panen (Tim IPB, 1997). Bantuan
pupuk kandang sebesar 20 ton/ha, sedangkan bantuan pupuk unorganik yang berupa
pupuk urea, SP-36, dan Kcl masing-masing sebesar 100; 100; dan 50 kg/ha. Bantuan
lainnya berupa biaya pengolahan sebesar Rp 40.000 per hektar. Selain bantuan sarana
produksi, petani anggota juga memperoleh ternak kambing sebanyak 40 ekor untuk 4
kelompok.
Swadaya
Petani lain
Kios Saprodi
Pedagang pengumpul
Petani peternak
BPTP
KUT
P2RT
Produksi sendiri
Seleksi hasil panen
Pedagang pasar
Bantuan pemerintah
Pupuk unorganik
& Pestisida
Pupuk organik
Benih
Swadaya
Swadaya
Bantuan pemerintah
Gambar 1. Pengadaan sarana produksi untuk komoditas tanaman obat
KUD
7
Sistem Produksi
A. Pola Tanam
Kecamatan Jumapolo terletak pada ketinggian 340 - 780 m dpl dengan luas
wilayah mencapai sekitar 5.562 hektar yang terdiri dari lahan sawah 33,4 persen, lahan
tegalan 28,5 persen, lahan pekarangan 36,0 persen dan penggunaan lainnya 2,1 persen
(BPP, 1999). Kondisi wilayahnya didominasi oleh lahan miring dengan topografi berbukit.
Wilayah ini termasuk daerah kering beriklim kering, dengan bulan basah selama 6 bulan
dan bulan kering 5 bulan dengan suhu udara harian rata-rata 300 C (Hartoyo et al, 1998).
Pada kondisi agroekosistem yang demikian, pola tanam yang ditemui menunjukkan
bahwa pola tumpangsari atau pertanaman campuran antara tanaman keras/tahunan,
tanaman pangan dan tanaman obat-obatan di lahan tegalan merupakan model yang
banyak diterapkan petani. Di lahan pekarangan, tanaman obat umumnya ditanam secara
monokultur di antara tanaman keras/tahunan, dan ditanam secara petakan dimana
masing-masing petak ditanami jenis tanaman obat yang berbeda. Lahan sawah
umumnya ditanami padi pada musim penghujan dan tanaman palawija pada musim
kemarau. Meskipun demikian, ada sebagian petani yang melakukan penanaman
tumpangsari tanaman obat dengan tanaman pangan (Tabel 1).
Tabel 1. Keragaan pola tanam di lahan pekarangan, tegal, dan sawah
Jenis lahan Pola tanam
1. Pekarangan Tanaman keras1) + (jahe/kencur/kunir/temulawak/ lengkuas/ bengle)
2. Tegal Sebagian ada tanaman keras1) + (kacang tanah/jagung/ubikayu)2) + (jahe/kencur/kunir)3) -/- Kacang tanah
3. Sawah Padi - Kacang tanah + jagung
Padi – Padi
Jahe + kacang tanah atau kencur + kacang tanah
Sumber : Data Primer Keterangan: 1) jenis tanaman keras = Kelapa, mangga, rambutan, durian, nangka, jambu mete, petai, jengkol, sengon, bambu. 2) Ubikayu ditanam disekeliling lahan 3) Biasanya tanaman obat ditumpangsari dengan kacang tanah
Kendala utama dalam budidaya tanaman obat adalah kekeringan dan masalah
busuk rimpang yang sering menyerang pada tanaman jahe, yang mengakibatkan
rendahnya produktivitas jahe. Masalah kekeringan berakibat pada penurunan daya
tumbuh tanaman. Hasil pengkajian BPTP Ungaran yang dilakukan pada tahun anggaran
1997/ 1998 menunjukkan bahwa persentase tumbuh tanaman jahe pada pola monokultur
maupun tumpangsari hanya berkisar antara 83,5 - 86,5 persen sebagai akibat terlambat
8
tanam dan pengaruh kemarau panjang (Hartoyo et al, 1999). Kehilangan hasil sebagai
akibat busuk rimpang pada tanaman jahe, berdasarkan laporan Hartoyo et al, (1999)
mencapai kisaran 2,5 - 31,25 persen. Kehilangan hasil pada jahe emprit relatif lebih kecil
dibandingkan dengan jahe gajah.
B. Produktivitas
Produktivitas tanaman obat berdasarkan pola tanam pada Tabel 1 cukup
bervariasi. Untuk tanaman jahe berkisar antara 0,6 – 5,6 ton/ha dengan rata-rata 3,1
ton/ha. Untuk tanaman kencur berkisar antara 0,7 – 5,7 ton/ha dengan rata-rata 3,2
ton/ha, dan kunir berkisar antara 2,15 – 4,25 ton/ha dengan rata-rata 3,2 ton/ha.
Komoditas kunir pada umumnya ditanam secara monokultur.
Hasil pengkajian BPTP Ungaran pada tahun anggaran 1996/1997 memberikan
gambaran bahwa potensi produktivitas kencur yang ditanam secara monokultur di
Kabupaten Karanganyar mencapai 9,03 ton/ha. Sedangkan yang ditanam secara
tumpangsari dengan kacang tanah atau jagung berkisar antara 4,46 - 8,97 ton/ha (Tabel
2). Jika dibandingkan dengan produktivitas kencur monokultur di Kabupaten Kudus,
tampak bahwa produktivitas kencur monokultur di Kabupaten Karanganyar lebih rendah.
Tabel 2. Produksi kencur hasil pengkajian BPTP Ungaran di Kabupaten Karanganyar dan Kudus pada tahun anggaran 1996/1997
Kabupaten Kabupaten Kudus
Polatanam Karanganyar CI CP LI LP (t/ha) (t/ha) (t/ha) (t/ha) (t/ha)
Monokultur kencur 9,03 10,3 9,56 10,49 11,3
Kencur + Kacangtanah (2 baris) 4,46 - - - -
kencur + Kacangtanah (1baris) 6,17 - - - -
Kencur + Jagung 8,97 - - - -
Sumber: Hartoyo et al (1998) keterangan: - CI = Teknologi introduksi; varietas Cileungsi; CP = Teknologi petani, varietas Cileungsi LI = Teknologi introduksi; varietas lokal LP = Teknologi petani, varietas lokal
Tabel 3. Produksi jahe hasil pengkajian BPTP Ungaran di Kabupaten Karanganyar dan Boyolali pada tahun anggaran 1998/1999
Polatanam Produksi (ton/ha)
Kabupaten Karanganyar
Monokultur jahe emprit 5,50
Jahe emprit + Kacang tanah 4,00
9
Jahe emprit + Kacang tanah + Jagung 4,50
Jahe emprit + Kacang tanah + Jagung + Ubikayu 3,50
Kabupaten Boyolali
Monokultur jahe gajah 8,71
Jahe gajah + Kacang tanah (2 baris) 7,07
Jahe gajah + Kacang tanah (1 baris) 6,13
Monokultur jahe emprit 4,43
Jahe emprit+ Kacang tanah (2 baris) 4,97
Jahe emprit+ Kacang tanah (1 baris) 4,35
Sumber: Hartoyo et al (1999) Untuk komoditas jahe, hasil pengkajian BPTP Ungaran pada tahun anggaran
1997/1998 menunjukkan bahwa jahe emprit (berukuran kecil) yang ditanam secara
monokultur di Kabupaten Karanganyar mampu menghasilkan 5,50 ton/ha, relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan yang ditanam di Kabupaten Boyolali (4,43 ton/ha).
Sedangkan jahe yang ditanam secara tumpangsari menghasilkan produktivitas antara
3,5 - 4,5 ton/ha di Kabupaten karanganyar dan 4,35 - 4,97 ton/ha di kabupaten Boyolali
(Tabel 3). Dari Tabel 3 tersebut juga diperoleh informasi bahwa produktivitas jahe gajah
(berukuran besar) bisa mencapai 1,4 - 1,9 kali dari produktivitas jahe emprit.
Berdasarkan bentuk, ukuran dan warna rimpangnya dikenal 3 klon jahe, yaitu
jahe besar (jahe gajah atau jahe badak), jahe kecil atau jahe emprit dan jahe merah atau
jahe sunti. Karakteristik ketiga jenis jahe tersebut disajikan dalam Rostiana et al (1991).
Menurut Januwati (1991), rata-rata produksi rimpang segar jahe kecil berkisar 6-10
ton/ha, sedangkan jahe besar lebih bervariasi, yaitu berkisar 10-30 ton/ha. Menilik dari
tingkat produksi jahe tersebut, tercermin bahwa rata-rata produksi jahe monokultur hasil
penelitian BPTP Ungaran di Karanganyar dan Boyolali masih termasuk rendah.
Secara garis besar yang berpengaruh dalam budidaya jahe meliputi lingkungan
biotik maupun abiotik. Pengaruh lingkungan fisik, yaitu tanah dan iklim memegang
peranan penting (Januwati, 1991). Selain itu, penggunaan bibit yang bermutu baik sangat
mendukung keberhasilan usahatani tanaman obat pada umumnya dan tanaman jahe
pada khususnya. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan
tanaman obat adalah kurang tersedianya bibit tanaman obat yang berkualitas dalam
jumlah yang cukup (Mulyodihardjo, 1995). Kenyataannya, masih banyak petani yang
menggunakan bibit yang tidak diketahui asal usulnya, baik kesehatannya maupun
kualitasnya, karena mereka umumnya membeli di pasar. Yuhono dan Kemala (1991)
10
juga mengemukakan kemung-kinan penggunaan bibit yang belum cukup umur atau
penggunaan bibit secara semba-rangan tanpa seleksi ketat yang biasanya terjadi pada
saat harga sedang membaik.
C. Kelayakan Usahatani
Secara ekonomi, pengelolaan usahatani tanaman obat di lokasi contoh masih
belum mencapai tingkat keuntungan normal, bahkan mengalami kerugian. Dari Tabel 4
tampak bahwa apabila semua pengeluaran dihitung sebagai biaya korbanan yang dibayar
petani, maka biaya total usahatani mencapai Rp 13.147.545 per hektar, sedangkan
pendapatan yang diperoleh hanya mencapai Rp 12.578.000, sehingga petani mengalami
kerugian sebesar Rp 569.545 per hektar atau B/C rasio sebesar 0,96.
Tabel 4. Analisis usahatani per hektar polatanam tumpangsari tanaman obat dan tanaman pangan, Kecamatan Jumapolo, Karanganyar,1999
Komponen Satuan Volume Harga/ Nilai input-ouput volume Satuan (Rp/ha)
1. Biaya benih 3.075.200 - Benih: Jahe kg 1.200 900 1.080.000 Kencur kg 1.100 1.500 1.650.000 Kunir kg 780 340 265.200 Tanaman pangan - - - 80.000
2. Biaya pupuk 2.873.725 - Pupuk: Organik kg 11.300 65 734.500 Urea kg 635 1.015 644.525 SP-36 kg 490 1.630 798.700 KCl kg 290 2.400 696.000
3. Biaya Pestisida 157.250 4. Biaya tenaga kerja 5.181.250 - Dalam keluarga JOKP 3.200 1.250 4.000.000 - Luar Keluarga JOKP 945 1.250 1.181.250
5. Biaya lainnya 1.860.120 - Sewa lahan 1.000.000 - Bunga modal 860.120
I. Biaya - Biaya Tunai 6.552.925 - Biaya total 13.147.545
11
II. Penerimaan: 12.578.000 - Jahe kg 3.100 900 2.790.000 - Kencur kg 3.200 1.500 4.800.000 - Kumir kg 3.200 340 1.088.000 - Tanaman Pangan - - - 3.900.000
III. Keuntungan: atas biaya tunai 6.025.075 atas biaya total - 569.545
IV. B/C rasio: atas biaya tunai 1,92 atas biaya total 0,96
Sumber: Data primer
Kelayakan usahatani dapat dicapai apabila biaya yang dikeluarkan petani hanya
dihitung berdasarkan input yang dibeli secara tunai. Artinya, biaya input yang
diperhitungkan dalam analisis tidak mencakup input yang dihasilkan oleh rumahtangga
itu sendiri, seperti biaya tenaga kerja keluarga, sewa lahan, pupuk kandang, dan bunga
modal. Dengan model analisis seperti itu, biaya usahatani hanya mencapai Rp 6.552.925
perhektar (biaya tunai). Dengan pendapatan sebesar Rp 12.578.000, petani memperoleh
keuntungan atas biaya tunai sebesar Rp 6.025.075 per hektar atau B/C rasio sebesar
1,92.
Hasil Pengkajian BPTP ungaran pada pertanaman jahe monokultur dan
tumpangsari jahe + kacang tanah + jagung menghasilkan B/C rasio lebih besar dari
satu. Sebaliknya, pada pertanaman tumpangsari jahe + kacang tanah dan tumpangsari
jahe + kacang tanah + jagung + ubikayu menghasilkan B/C rasio kurang dari satu,
dimana petani mengalami kerugian masing-masing sekitar 9 dan 11 persen dari biaya
total. Untuk pertanaman kencur, baik yang monokultur maupun tumpangsari
menghasilkan B/C rasio lebih besar dari satu (Tabel 5). Kenyataan ini mengindikasikan
bahwa pengelolaan usahatani jahe memiliki risiko yang cukup besar dalam sistem
pertanaman tumpangsari yang dilakukan petani di Kabupaten Karanganyar.
Tabel 5. Imbangan biaya dan pendapatan (B/C rasio) usahatani komoditas kencur dan jahe dengan polatanam monokultur dan tumpangsari hasil pengkajian BPTP Ungaran di Kabupaten Karanganyar
Polatanam B/C Rasio
Biaya tunai Biaya total
Pengkajian BPTP terhadap komoditas kencur TA. 1996/1997
Monokultur kencur 1,86 1,48
Tumpangsari kencur + Kacang tanah (2 baris) 1,99 1,60
12
Tumpangsari kencur + Kacang tanah (1 baris) 1,70 1,33
Tumpangsari kencur + Jagung 1,46 1,46
Pengkajian BPTP terhadap komoditas jahe TA. 1997/1998
Monokultur jahe emprit 1,25 1,03
Tumpangsari jahe + Kacang tanah 1,10 0,91
Tumpangsari jahe+ Kacang tanah + jagung 1,46 1,20
Tumpangsari jahe+ Kacang tanah + Jagung + Ubikayu 1,08 0,89
Sumber:Hartoyo et al (1998; 1999)
Penjualan dalam bentuk simplisia, secara ekonomi (Tabel 6) juga
mengindikasikan belum dapat memberikan keuntungan yang layak bagi petani jika
penggunaan tenaga kerja diperhitungkan dalam analisis. Kerugian atas biaya total
apabila penjualan dilakukan dalam bentuk simplisia mencapai Rp 72.000 - Rp 202.000
per ton tergantung dari jenis komoditas tanaman obat yang dijual. Sementara itu, apabila
biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan dalam analisis, petani bisa memperoleh
keuntungan sekitar Rp 48.000 - Rp 178.000 per ton atau B/C rasio sekitar 1,13 - 1,16.
Tabel 6. Analisis marjin keuntungan penjualan simplisia jahe, kencur, dan kunir, 1999
Uraian Jahe Kencur Kunir (Rp/ton) (Rp/ton) (Rp/ton)
I. Biaya total 922.000 1.572.000 622.000
1. Bahan baku 1) 600.000 1.250.000 300.000
2. Tenaga kerja2) 250.000 250.000 250.000
3. Kemasan 29.000 29.000 29.000
4. Angkutan 43.000 43.000 43.000
II. Biaya di luar tenaga kerja 672.000 1.322.000 372.000
III. Penerimaan3) 800.000 1.500.000 420.000
IV. Pendapatan atas biaya total4) - 122.000 (0,87)
- 72.000 (0,95)
- 202.000 (0,67)
V. Pendapatan di luar biaya tenaga kerja4) 128.000 (1,19)
178.000 (1,13)
48.000 (1,13)
Sumber: Data Primer Keterangan: 1) Harga jahe segar Rp 600/kg; kencur Rp 1.250/kg, dan kunir Rp 300/kg 2) Kapasitas tenaga kerja 200 jam/ton; upah Rp 1.250/jam 3) Harga produk rajangan/simplisia: jahe Rp4.500, kencur Rp6.000, kunir Rp2.500/kg 4) angka dalam kurung adalah nilai koefisien B/C rasio
Hasil pengkajian alat perajang mesin putaran (RPM) rendah yang dilakukan
BPTP Ungaran terhadap alat perajang manual dari bantuan P2RT mengindikasikan
bahwa alat perajang mesin lebih efisien penggunaannya. Kapasitas rajangan kencur dari
13
alat perajang mesin mencapai sebesar 68,2 kg/jam, sedangkan alat perajang manual
hanya mencapai 4,08 kg/jam. Investasi alat perajang mesin tersebut sebesar Rp
2.500.00/unit, dimana dalam jangka waktu 5 tahun menghasilkan NPV18%/tahun sebesar
Rp 3.428.608, B/C rasio 1,36, dan IRR sebesar 69,76 persen (Hartoyo et al, 1998). Jika
dihitung besarnya biaya operasional antara alat perajang mesin dibandingkan dengan
perajang manual tampak bahwa penggunaan perajang mesin mampu menghemat
sebesar 52,37 persen (Tabel 7).
Tabel 7. Perbandingan marjin biaya operasional alat perajang manual dan alat perajang mesin berdasarkan hasil pengkajian BPTP ungaran untuk komoditas kencur, tahun 1996/1997
Uraian Alat perajang manual Alat perajang mesin
1. Kapasitas merajang (jam/ton) 245,1 14,67
2. Upah tenaga kerja (Rp/jam) 571,4 1.428,5
3. Biaya (Rp/ton) 140.057 66.699,60
- Tenaga kerja 140.057 41.914,29
- Bahan bakar - 5.134,50
- Pelumas - 440,10
- Perawatan mesin - 3.492,86
- Penyusutan alat - 15.717.86
Sumber: Hartoyo et al (1998). Diolah Keterangan: - Tenaga kerja = Perajang manual Rp 4.000/7 jam = Rp 571,4/jam, Perajang mesin 2 operator @ Rp 1.428,5/jam - Bahan bakar = 0,5 lt/jam @ Rp 700; Pelumas = 0,005 lt/jam @ Rp6.000 - Biaya perawatan = Rp238,09/jam; Biaya penyusutan alat = Rp1.071,42/jam
Pemasaran
Pemasaran hasil tanaman obat dari petani di Kecamatan Jumapolo tersalur ke
berbagai jalur pemasaran, yaitu: (1) Pedagang pengumpul yang datang ke petani atau
sebaliknya petani yang datang ke pedagang di pasar; (2) Ketua kelompok sebagai media
penyalur simplisia kepada perusahaan mitra; (3) Industri rumahtangga yang mengolah
jamu instan; dan (4) Pedagang jamu gendong yang biasanya adalah istri atau keluarga
sendiri (Gambar 2). Bentuk produk yang dijual oleh petani adalah rimpang segar.
14
Penjualan dilakukan secara berangsur. Penjualan kepada ketua kelompok
biasanya tidak dilakukan secara tunai, tetapi dibayar setelah perusahaan mitra
membayar kepada ketua kelompok, biasanya pembayaran tunda tersebut berlangsung
sekitar 4 - 5 hari.
Dengan adanya beberapa pilihan jalur pemasaran, petani dapat memperoleh
informasi harga dengan cara membandingkan harga penawaran dari masing-masing
jaringan (channel) yang ada. Hal ini menunjukkan adanya persaingan harga antar
jaringan pemasaran dalam memperoleh barang dagangan. Meskipun demikian, sebagian
besar petani berpendapat bahwa selisih harga antar pembeli tidak begitu besar.
Pada saat kondisi harga rendah, petani tetap melakukan penjualan, tetapi
disesuaikan dengan kebutuhan, karena petani tidak melakukan panen secara sekaligus,
tetapi secara berangsur sedikit demi sedikit sampai habis sekitar 2,5 bulan. Dalam
pemasaran hasil panennya tersebut, petani menawarkan sedikitnya kepada 3 calon
pembeli. Selain mencari penawaran harga tertinggi, petani juga memperhatikan kejujuran
dari calon pembeli dalam hal penimbangan hasil.
Selain karena tradisi turun temurun, pengusahaan tanaman obat oleh petani
dilakukan karena dorongan harga dan pemanfaatan lahan, terutama pada lahan-lahan
yang telah banyak ternaungi tanaman keras. Oleh sebab itu, selain di pekarangan,
penanaman tanaman obat juga telah dilakukan di lahan tegalan yang telah banyak
ditanami tanaman keras, seperti mangga, durian, nangka, dan lain sebagainya. Apabila
Simplisia
Pedagang Pengumpul/ Pasar (25 -100%)
Agen/ Kios Jamu
Industri Rumahtangga Jamu Instan (5-50%)
Perusahaan jamu/ Obat tradisional
Petani Ketua Kelompok Tani
(50-100%)
Konsumen Rumahtangga
Pedagang Jamu Gendong (25-100%)
Rimpang segar
Gambar 2. Jalur pemasaran komoditas tanaman obat, Kabupaten Karanganyar, 1999
Sumber: Data Primer Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan porsi volume penjualan petani
15
tidak mengalami kendala keterbatasan tenaga kerja keluarga, modal usaha dan areal
lahan, pada umumnya petani melakukan peningkatan skala usaha jika kondisi harga
tanaman obat cukup menguntungkan, baik melalui sewa lahan maupun penanaman di
lahan tegalan.
Keragaan Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) Tanaman Obat
Latar Belakang Pembentukan
Program penumbuhan SPAKU tanaman obat di Karanganyar pada awalnya
dilakukan melalui kegiatan P2RT yang memberikan bantuan berupa sarana produksi,
sprayer dan ternak kambing kepada petani anggota dari kelompok-kelompok tani yang
ditumbuhkan guna memperlancar pembinaan dan penyaluran bantuan. Kegiatan P2RT
dilaksanakan sejak tahun anggaran 1996/1997 yang kemudian diikuti dengan
pembentukan KUBA pada tahun 1997. Jumlah kelompok yang tergabung dalam KUBA
sampai dengan saat survei dilakukan mencapai 19 kelompok tani dengan jumlah
anggota keselu-ruhan sebanyak 499 orang, dan tersebar di empat desa, yaitu Desa
Kwangsan, Bakalan, Jumapolo, dan Jumantoro.
Struktur Organisasi, Aturan Kelompok dan Sumber Permodalan
Struktur organisasi KUBA tanaman obat di Kabupaten Karanganyar terdiri dari
seorang ketua yang dibantu oleh sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi kepengurusan
KUBA. Aturan dan tata tertib KUBA disusun dan dituangkan dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Koperasi Kelompok Tani (KKT) Kusuma.
Sumber permodalan KUBA masih bertumpu pada kegiatan usaha simpan pinjam,
yang berasal dari iuran pokok dan simpanan wajib para anggota. Modal usahatani masih
bersumber pada bantuan sarana produksi dari P2RT dan pinjaman dari KUT. Koperasi
KUBA belum memanfaatkan sumber-sumber kredit lainnya dari pemerintah yang
disalurkan melalui berbagai jenis skim kredit bagi pengusaha kecil dan menengah.
Untuk meningkatkan kinerja dan memfungsikan keberadaan KUBA, selayaknya
organisasi tersebut diberdayakan dengan memberikan bantuan modal kerja, baik berupa
pinjaman lunak dalam bentuk tunai agar mampu memberikan pelayanan kepada anggota
dalam pengadaan saprodi yang lebih murah dibandingkan dengan harga di pasaran
maupun bantuan peralatan seperti alat perajang mesin agar mampu menampung hasil
panen dari para anggota dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga di
16
pasaran. Melalui insentif harga tersebut keberadaan KUBA akan semakin bermanfaat
bagi para anggota maupun petani lainnya yang mengusahakan tanaman obat.
Prasarana dan Sarana
Sarana dan prasarana pendukung kegiatan KUBA masih bersumber dari bantuan
P2RT yang terdiri dari sprayer dan alat perajang manual yang diberikan pada 4
kelompok tani masing-masing sebanyak 2 dan 5 buah per kelompok. Harga alat perajang
berkisar antara Rp 20.000-Rp 30.000. Bantuan sprayer dapat dimanfaatkan oleh
sebagian besar anggota, sedangkan alat perajang lebih banyak dimanfaatkan oleh ketua
kelompok untuk membuat simplisia yang kemudian disetor kepada mitra usaha, yaitu PT.
Jamu Air mancur.
Belum dimanfaatkannya alat perajang tersebut oleh sebagian besar petani
anggota disebabkan oleh berbagai faktor berikut (Hartoyo et al, 1999): (1) Secara
individu, petani mengalami kesulitan untuk memenuhi kuota, kontinyuitas dan kualitas
pasokan yang ditetapkan perusahaan obat tradisional; (2) Adanya sistem pembayaran
tunda oleh perusahaan obat tradisional yang mencapai 1 - 2 bulan; (3) Adanya ikatan
kerja antara perusahaan obat tradisional dengan pedagang pemasok yang menimbulkan
terjadinya diskriminasi harga. Kuota pasokan untuk jahe dan kunir masing-masing
sebesar 2 ton, sedang-kan untuk kencur tidak dibatasi.
P e m b i n a a n
Dalam koordinasi pelaksanaan SPAKU dibentuk tim teknis dan tim profesional.
Tim teknis dibentuk di tingkat Provinsi maupun di tingkat kabupaten. Pelaksana tim teknis
berasal dari berbagai instansi dinas terkait yang berhubungan dengan program SPAKU,
sedangkan tim pembina profesional antara lain terdiri dari BPTP Ungaran. Pembina di
tingkat kabupaten di lakukan oleh Forum Komunikasi Agribisnis (FKA) yang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah setempat, dan diketuai oleh Ketua
Bappeda tingkat II dengan beranggotakan Kepala-Kepala Dinas tingkat II lingkup
pertanian.
FKA belum berfungsi secara optimal karena masih mengalami berbagai
hambatan dan permasalahan yang menurut Badan Agribisnis (1998) disebabkan oleh
berbagai faktor berikut: (1) Belum adanya persamaan persepsi dalam pengembangan
agribisnis dari ang-gota FKA yang berasal dari berbagai instansi; (2) Belum tersedianya
17
perlengkapan sarana kerja maupun dukungan dana; (3) Semua anggota FKA memiliki
tanggungjawab rangkap, yaitu di lingkup instansinya sendiri dan sebagai anggota FKA,
sehingga peran dan fungsi-nya di FKA menjadi tambahan beban tugas; (4)
Operasionalisas kegiatan FKA masih terbatas karena belum tersedianya sarana
penunjang dari Pemerintah Daerah tingkat II.
Dalam upaya pembinaan terhadap Koperasi KUBA, pihak Badan Agribisnis
Deptan telah memfasilitasi seorang tenaga pendamping dengan tingkat pendidikan
sarjana perkoperasian untuk melakukan pembinaan pada KKT Kusuma. Dari informasi
tenaga pendamping ini diketahui bahwa kinerja dan manajemen KUBA masih perlu
ditingkatkan karena masih terbelit oleh permasalahan-permasalahan yang mendasar, di
antaranya: (1) Pengelolaan administrasi di tingkat kelompok tani maupun koperasi masih
perlu ditertibkan; (2) Kegiatan dari unit-unit usaha yang tercantum dalam anggaran dasar
belum terealisasi, kecuali unit simpan-pinjam; (3) Ada indikasi ketidakpercayaan anggota
kepada kepengurusan koperasi, sehingga hal ini dapat menjadi faktor penghambat
kemajuan organisasi.
Kinerja KUBA
Bertolak dari hasil temuan di lapangan sebagaimana telah diuraikan di muka,
tercermin bahwa KUBA tanaman obat yang telah berbadan hukum menjadi Koperasi
Kelompok Tani masih belum menunjukkan kinerja dan peran yang nyata dalam sistem
agribisnis tanaman obat. Fungsi pelayanan pengadaan sarana produksi, modal
usahatani maupun fungsi pelayanan pemasaran masih belum dilakukan oleh
kepengurusan KUBA.
Pengadaan sarana produksi dan modal usahatani masih dilakukan secara
individu atau kalau pun dilakukan secara kolektif dengan memanfaatkan pinjaman KUT,
peran kelompok-kelompok tani secara terpisah masih lebih menonjol. Demikian pula
dalam hal pemasaran hasil, belum ada upaya dari kepengurusan KUBA untuk
mengorganisir sistem pemasaran kolektif yang mampu memberikan insentif harga
kepada para anggotanya.
Pembinaan terhadap organisasi KUBA, selain harus mampu meningkatkan
keterampilan dan pengetahuan teknis anggotanya dalam pengelolaan usahatani
tanaman obat, juga harus mampu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan
pengurus KUBA dalam hal manajemen perkoperasian, meningkatkan kemampuan
18
memanfaatkan peluang-peluang usaha, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
dalam menggali dana untuk meningkatkan modal usaha koperasi dengan memanfaatkan
skim-skim kredit yang ada, dan yang terpenting dari pada itu adalah menciptakan
kepengurusan yang kreatif. Untuk mencapai hal itu diperlukan koordinasi dan konsentrasi
yang serius dari tim pembina. Sementara itu dalam melaksanakan fungsinya, tim
pembina sendiri masih terbelit oleh permasalahan dan hambatan.
Strategi Pengembangan KUBA
Hasil analisis matrik faktor eksternal-internal mengindikasikan bahwa dari faktor
eksternalnya kondisi KUBA berada pada posisi menengah atau rata-rata dengan nilai
skor mencapai sebesar 2.847 (Tabel 8). Tetapi, dari kondisi faktor internalnya relatif
kurang baik, dimana nilai skornya mendekatai posisi lemah, yaitu hanya mencapai nilai
sebesar 2,092 (Tabel 9). Pada kondisi yang demikian strategi pengembangan KUBA
perlu ditempuh dengan konsentrasi melalui pertumbuhan integrasi horizontal. Kondisi
faktor internal yang perlu mendapat perhatian adalah kualitas kepengurusan organisasi
KUBA, terutama menyangkut manajemen personal.
19
Tabel 8. Analisis faktor eksternal pada KUBA tanaman obat Kusuma, Kabupaten Karanganyar
Faktor Diskriminan Bobot Skala Skor
Peluang
1. Kondisi politik dan keamanan 0.047 3 0.141
2. Kependudukan 0.058 4 0.232
3. Perusahaan mitra 0.088 4 0.352
4. Kondisi konsumen 0.070 4 0.280
5. Keberadaan sumber modal luar 0.058 3 0.174
6. Segmen pasar terabaikan yang dapat dilayani 0.088 3 0.264
7. Adanya perkembangan teknologi 0.053 3 0.159
8. Peningkatan hubungan baik dengan konsumen/mitra 0.076 4 0.304
9. Peningkatan infra struktur perhubungan dan telekom. 0.070 3 0.210
10. Prioritas pengembangan pemerintah 0.053 3 0.159
Sub total 0.661 2.275
Ancaman
11. Kondisi ekonomi (krisis ekonomi) 0.058 2 0.116
12. Perusahaan pesaing 0.029 2 0.058
13. Pembinaan pasar oleh petugas 0.017 1 0.017
14. Perubahan regulasi yang meningkatkan daya saing 0.047 1 0.047
15. Peningkatan posisi tawar pembeli 0.053 2 0.106
16. Harga input 0.053 2 0.106
17. Serangan hama/penyakit 0.023 1 0.023
18. Pencabutan tarif/liberalisasi perdagangan 0.017 1 0.017
19. Perubahan cuaca 0.041 2 0.082
Sub total 0.339 0.572
Total 1.000 2.847
20
Tabel 9. Analisis faktor internal pada KUBA tanaman obat Kusuma, Kabupaten Karanganyar
Faktor Diskriminan Bobot Skala Skor
Kekuatan
1. Struktur organisasi 0.046 3 0.138
2. Kualitas produk 0.031 4 0.124
3. Diversifikasi produk 0.040 3 0.120
4. Ketersediaan bahan baku 0.028 3 0.084
5. Integrasi vertikal 0.037 3 0.111
6. Penguasaan pasar 0.043 4 0.172
7. Akses informasi pasar 0.040 4 0.160
8. Saluran Distribusi 0.040 3 0.120
9. Image, reputasi, kualitas 0.028 3 0.084
10. Efektivitas promosi 0.024 3 0.072
11. Pengalaman 0.031 4 0.124
12. Consistency & Barier to entry 0.028 3 0.084
Sub total 0.416 1.251
Kelemahan
13. Job Description 0.046 2 0.092
14. Kualitas kelengkapan pengurus 0.037 1 0.037
15. Kapasitas 0.043 2 0.086
16. Biaya produksi 0.031 2 0.062
17. Skala ekonomi 0.028 2 0.056
18. Harga jual 0.040 1 0.040
19. Pembentukan harga 0.028 1 0.028
20. Lahan usaha 0.046 1 0.046
21. Gudang 0.024 1 0.024
22. Bangunan Kantor 0.021 1 0.021
23. Peralatan 0.024 2 0.048
24. Personal manajement 0.031 2 0.062
25. Efektivitas sistem intensive 0.040 1 0.040
26. Spesialisasi keterampilan 0.024 2 0.048
27. Kemampuan peningkatan kapital jangka pendek 0.031 1 0.031
28. Kemampuan peningkatan kapital jangka panjang 0.031 1 0.031
29. Labor relation cost terhadap pesaing 0.028 2 0.056
30. Ability to reduce cost/efisiensi biaya 0.034 1 0.034
Sub total 0.584 0.842
Total 1.000 2.092
21
Upaya integrasi horisontal perlu ditempuh dengan banyak menggalang kerjasama
antar sesama produsen tanaman obat Terjalinnya kerjasama antar sesama produsen
tanaman obat selain dapat dimanfaatkan untuk memperkokoh jaringan informasi, baik
yang berkaitan dengan informasi pasar maupun informasi teknologi, juga memungkinkan
untuk terjalinnya kesepakatan-kesepakatan dalam penetapan kuota produksi antar
produ-sen guna menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi sebagai upaya
meningkatkan kekuatan dalam posisi tawar pada waktu penjualan produk kepada
perusahaan mitra.
KESIMPULAN
Komoditas tanaman obat yang semakin meningkat permintaannya, baik di dalam
negeri maupun luar negeri perlu dikembangkan. SPAKU tanaman obat di promosikan di
Kabupaten Karanganyar karena lebih dekat ke konsentrasi pasar dan membantu pening-
katan sumber pendapatan petani. Namun demikian, hasil analisis usahatani masih
menun-jukkan kerugian bila semua komponen biaya termasuk faktor produksi yang tidak
dibeli (imputed cost) diperhitungkan dalam analisis. Usahatani menguntungkan bila
analisis hanya didasarkan pada biaya tunai saja.
Pemakaian sarana produksi yang kurang sesuai dengan kebutuhan tanaman
menjadi salah satu sebab produktivitas tanaman rendah. Senjang hasil antara hasil
petani dengan kapasitas pengujian mencapai 50 persen.
Kegiatan pasca panen dapat berupa pengolahan primer, yaitu membuat simplisia
kering yang diinginkan oleh mitra perusahaan jamu. Proses tersebut kebanyakan
dilakukan secara manual, karena alat perajang mesin yang jauh lebih efisien hanya ter-
sedia satu dan lebih banyak dimanaatkan ketua KUBA untuk penyediaan pasokan ke
perusahaan mitra. Kegiatan yang lain adalah pengolahan sekunder membuat jamu atau
minuman instan yang baru dipraktekkan oleh beberapa keluarga.
Pemasaran produk berupa rimpang/umbi basah ditujukan ke pedagang
pengumpul di pasar atau di rumah maupun kepada pedagang jamu gendong, sedangkan
bahan baku simplisia kering dipasok ke perusahaan jamu, yang kuota pasokannya belum
tercukupi. sebagian keluarga tani memasarkan produk sekundernya yang berupa jamu
atau minuman instan ke pengecer yang datang atau ke agen/kios jamu. Kendala yang
dirasakan sehingga belum terpenuhinya kuota ialah skala produksi masih kecil, kualitas
belum memenuhi baku mutu sesuai yang dipersyaratkan, dan keberlanjutan pasokan
22
tidak terjamin. Selain itu, ada kekecewaan petani dengan adanya sistem pembayaran
tunda dan adanya diskriminasi harga oleh pihak mitra terhadap pemasok pesaing.
KUBA tanaman obat didirikan tahun 1997 dan memperoleh akta pendirian
sebagai Koperasi Kelompok Tani (KKT) Kusuma pada tanggal 7 Desember 1998,
mengako-modasi 19 kelompok tani yang beranggotakan 499 orang. Dari aspek
agribisnis, peranan KUBA belum menunjukkan kinerja sesuai dengan fungsinya, karena
masih terbelit oleh berbagai permasalahan mendasar, yaitu: (1) Lemahnya pengelolaan
administrasi di tingkat kelompok maupun KUBA; (2) Belum ber-fungsinya kegiatan unit-
unit usaha KUBA, karena tidak tersedianya modal usaha dan kurangnya pengetahuan
dan ketrampilan SDM pengurus; (3) Pelaksanaan kepengu-rusan yang kurang
transparan, sehingga menimbulkan kecurigaan dan prasangka dari anggota; dan (4)
Kurang lancarnya pembinaan oleh aparat karena jalur FKA belum berfungsi. Hal ini
disebabkan oleh: (1) belum adanya persamaan persepsi, (2) Belum tersedianya
kelengkapan sarana kerja dan dana yang memadai, (3) Penunjukkan sebagai anggota
FKA dirasakan sebagai tambahan tugas dari tanggungjawab pokok, dan (4) Belum
tersedianya petunjuk pelaksanaan.
Dengan kondisi KUBA yang ada sekarang, diperlukan strategi pengembangan
melalui pertumbuhan integrasi horisontal dan penggalangan kerjasama antar produsen
untuk memperkokoh jaringan informasi dan komunikasi agar mampu meningkatkan
kualitas produk, memperluas deversivikasi produk, menentukan kesepakatan-kesepakan
dalam penetapan kuota produksi, dan memperkuat posisi tawar terhadap pihak
pedagang pengumpul maupun perusahaan jamu.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Agribisnis. 1998. Analisis kebutuhan kelompok usaha bersama agribisnis (KUBA) pada sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan (SPAKU) menurut Provinsi, kabupaten dan Kecamatan. Departemen Pertanian.
BPP. 1999. Programa penyuluhan pertanian. Balai Penyuluhan Pertanian Jumapolo Kabupaten Karanganyar.
Hartoyo, B., S. Basuki, H. Supadmo, Kendriyanto, Harwanto, Sularno, T. Prasetyo, M. Norma, dan T.R. Prastuti. 1998. Pengkajian teknologi usahatani tanaman obat di Jawa Tengah. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran.
Hartoyo, B., Harwanto, Kendriyanto, M. Norma, S. Basuki, Sularno, dan T.R. Prastuti. 1999. Pengkajian teknologi usahatani tanaman obat di Jawa Tengah. Laporan Hasil Pengkajian Tahun Anggaran 1998/1999. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran.
23
Januwati, M. 1991. Faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman jahe. Perkembangan penelitian Tanaman Jahe. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. VII, No 1, 1991. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Muljodihardjo, S. 1996. Kebijaksanaan pengembangan tanaman obat. Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rostiana, O., A. Abdullah, Taryono, dan Hadad, E.A. 1991. Jenis-jenis tanaman jahe. Perkembangan penelitian Tanaman Jahe. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. VII, No 1, 1991. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Suporahardjo dan Hargono. 1994. Industri obat tradisional di Indonesia. Pelestarian dan Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Tim IPB. 1997. Pemantapan konsep dasar sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan. Laporan Akhir. Kerjasama Biro Perencanaan Departemen Pertanian dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.
Yuhono, J.T., dan S Kemala. 1991. Keragaan sistem produksi dan pemasaran jahe di daerah sentra produksi dan pasar internasional. Perkembangan penelitian Tanaman Jahe. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. VII, No 1, 1991. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.