STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA ANAK YANG … · terjadinya kelainan kromosom sehingga anak terlahir...
Transcript of STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA ANAK YANG … · terjadinya kelainan kromosom sehingga anak terlahir...
STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA ANAK YANG
MENDERITA SINDROM DOWN DI SEKOLAH LUAR BIASA
NEGERI 1 JAKARTA LEBAK BULUS JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
OLEH :
MAYANG SETYO MAGNAWIYAH
NIM : 108104000002
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Mayang Setyo Magnawiyah
Tempat Tanggal Lahir : Bogor, 28 Juli 1990
Agama : Islam
Alamat : Puri Teluk Jambe Blok C14 No. 32 RT 014/ RW
004 Kec. Teluk Jambe Timur Kel. Sirnabaya
Kota Karawang 41361
No. Telpon : (0267) 640221 / 081317044282
Riwayat Pendidikan : TK Nurul Huda Tahun 1995-1996
SD Negeri Sirnabaya Satu Tahun 1996-2002
SLTP Negeri 3 Karawang Tahun 2002-2005
SLTA Negeri 3 Karawang Tahun 2005-2008
Program S1 Keperawatan, Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 2013
Pengalaman Organisasi : Anggota Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Tahun
2000-2002
Bendahara Palang Merah Remaja (PMR) Tahun
2003-2004
Anggota OSIS SLTP Negeri 3 Karawang Tahun
2004-2005
Anggota OSIS SLTA Negeri 3 Karawang Tahun
2005-2006
Anggota Kader Penegak Disiplin (KPD) SLTA 3
Karawang Tahun 2006-2007
Anggota Badan Eksekutif Jurusan Bidang
Hubungan Masyarakat 2009-2010
vi
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi, Januari 2013
Mayang Setyo Magnawiyah, NIM: 108104000002
STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA ANAK YANG MENDERITA
SINDROM DOWN DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 JAKARTA
Xii? + 86 halaman + tabel + 3 bagan + 7 lampiran
Kata Kunci : Sindrom Down, Anak, Orang tua, Strategi Koping, Problem Focus
Coping, Emotional focus Coping
ABSTRAK
Sindrom down merupakan suatu kelainan genetik yang mengakibatkan
terjadinya kelainan kromosom sehingga anak terlahir cacat kongenital dengan
kelebihan kromosom 21 yang dinamakan trisonomy 21. Hal ini dapat
menyebabkan suatu stresor tersendiri yang dapat menimbulkan stress bila tidak
diatasi dengan baik, dan akan berdampak pada pola asuh orang tua terhadap anak,
maka orang tua memerlukan strategi koping untuk mengatasi masalah-masalah
yang dihadapinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi koping
orang tua pada anak yang menderita sindrom down di Sekolah Luar Biasa (SLB)
Negeri 1 Jakarta. Tujuan khusus mengidentifikasi stresor pada orang tua dengan
anak yang menderita sindrom down, mengidentifikasi jenis strategi koping
problem focus coping dan emotional focus coping yang digunakan orang tua.
Desain penelitian adalah deskriptif kualitatif. Populasi pada penelitian ini adalah
orang tua pada anak yang menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah di
SLB Negeri 1 Jakarta. Sampel diambil sebanyak 7 partisipan utama dan 2
partisipan pendukung dengan metode pengambilan sampel homogenus sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara open-ended interview dan catatan
lapangan. Validasi data dilakukan dengan triangulasi teknik dan sumber. Teknik
analisa data dilakukan dengan cara analisa tematik. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa stresor yang dihadapi orang tua terbagi menjadi dua, yaitu
stresor internal (gangguan pertumbuhan, perkembangan, harapan masa depan
anak, kurang pengetahuan) dan stresor eksternal (stigma masyarakat, penolakan
anggota keluarga, hambatan keuangan). Orang tua menggunakan kedua jenis
strategi koping problem focus coping dan emotional focus coping dengan cara
berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah. Peneliti menyarankan pembentukan
program edukasi kepada orang tua tentang sindrom down.
vii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM
ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLLAH
JAKARTA
Undergraduates Thesis, January 2013
Mayang Setyo Magnawiyah , NIM: 108104000002
PARENTS’ COPING STRATEGIES FOR DOWN SYNDROM CHILDREN
OF STATE EXTRAORDINARY SCHOOL 1 JAKARTA
xiii + 86 pages + tables + 3 charts + 7 attachment
Key Words: Down Syndrom, Children, Parents, Coping Strategies, Problem
Focused Coping, Emotional Focused Coping
ABSTRACT
Down Syndrome is a genetic disorder that effects on the abnormality of
chromosome so that children are born congenital of the excess of chromosomes
21 named trisonomy 21. It can cause stressor and becomes stress if it is not
handled properly and can cause toa the way parents educate their children.
Therefore, parents need coping strategy to handle problems that are being faced.
This research is aimed at identifying coping strategy of parents to their children
who suffer down syndrome at state extraordinary school 1 Jakarta. The main
purpose of thje research is to identify stressor of parents to their children suffer
down syndrom, identify types of coping strategy problem focus coping and
emotional focus coping that are used by parents. The method of the research is
qualitative descriptive and the unit analysis are parents and students with down
syndrome. Samples conducted are seven (7) main participants and five (5)
supporting participants by conducting homogenous sampling. Data collection
depicted by interviewing open-ended and field research. Data validation is done
by using triangulation of sources and techniques. Data analysis technique is done
by using thematic analysis. The research finds that stressor that is faced by parents
divided into 2: internal stressor (growth disorder, child development, child future
hope and less knowledge) and external stressor (stigma in community, family
rejection, and economical problem). In solving problems, parents use these two
types of coping strategy in a different way. The writer suggests parents establish
educational programs of down syndrome.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
S.W.T yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa
penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad S.A.W.
Penulis mengambil judul “STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA
ANAK YANG MENDERITA SINDROM DOWN DI SEKOLAH LUAR
BIASA NEGERI 1 JAKARTA”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat guna mencapai gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) pada jurusan Ilmu
Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penelitian dan penyusunan skripsi ini, peneliti mendapat bantuan,
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Penulis sampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada yang tercinta Ayahanda Dwijo Setiono dan
Ibunda Siti Husnah. Serta penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep. MKM selaku kepala program
studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
ix
3. Ibu Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku sekretaris program
studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Ibu Maulina Handayani, S.kep, M.Sc selaku dosen pembimbing I,
yang telah memberikan ilmu dan masukan kepada peneliti.
5. Ibu Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku dosen pembimbing
II, yang telah memberikan ilmu dan masukan kepada peneliti.
6. Bapak dan ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah
mengajarkan dan membimbing penulis, serta staf akademik Bapak
Azib Rosyidi S. Psi dan Ibu Syamsiayah.
7. Kakak yang tersayang (Reantina Setyo Oktahandini) serta kedua
adikku tercinta (Fatahillah Setyo Rizky dan Ikhsan Fadillah Setyo
Rizky) yang selalu memberikan dukungan dan doa serta yang menjadi
inspirasi penulis.
8. Om dan tante yang selalu mendukung dan menyemanggati selama
menjalankan program kuliah sarjana keperwatan.
9. Terima kasih buat sahabat-sahabatku Marina Ulfa, Wulan Ambarwati,
Dita Puspita, Khaerunissa, Ica solihatunnisa, Desy Ratnasari, Rosalina
Permata, serta teman-teman PSIK angkatan 2008 yang telah
memberikan masukan dan semangat kepada peneliti.
10. Seluruh teman-teman PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan
2008 yang selalu saya sayangi, memberikan kebersamaan dan
motivasi.
x
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari berbagai pihak.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penyusun khususnya.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Penulis
Mayang Setyo Magnawiyah
xi
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan Persetujuan ................................................................ i
Lembar Pengesahan ...................................................................................... ii
Lembar Pengesahan Sidang Skripsi ............................................................ iii
Lembar Pernyataan ...................................................................................... iv
Daftar Riwayat Hidup .................................................................................. v
Abstrak ........................................................................................................... vi
Abstract .......................................................................................................... vii
Kata Pengantar ............................................................................................ viii
Daftar Isi ...................................................................................................... xi
Daftar Tabel ................................................................................................... xv
Daftar Lampiran .......................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan masalah ......................................................................... 7
C. Pertanyaan penelitian .................................................................... 8
D. Tujuan penelitan ........................................................................... 8
xii
E. Manfaat penelitian ........................................................................ 9
F. Ruang lingkup penelitian .............................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dasar ................................................................................ 11
1. Sindrom down .......................................................................... 11
a. Definisi sindrom down ......................................................... 11
b. Angka kejadian .................................................................... 12
c. Penyebab sindrom down ...................................................... 12
d. Gambaran klinis ................................................................... 13
f. Diagnosis ............................................................................... 14
g. Penatalaksanaan ................................................................... 16
h. Prognosis .............................................................................. 16
B. Orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus ........... 17
C. Stres .............................................................................................. 18
D. Stresor .......................................................................................... 23
E. Koping dan strategi koping ............................................................ 27
F. Kerangka teori ................................................................................ 31
BAB III KERANGKA KONSEP dan DEFINISI ISTILAH
A. Kerangka konsentrasi ............................................................. 32
B. Definisi Istilah ........................................................................ 33
xiii
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian .................................................................... 34
B. Tempat dan waktu penelitian .................................................. 34
C. Instrument penelitian .............................................................. 34
D. Populasi .................................................................................. 35
E. Sampe l .................................................................................... 35
F. Teknik pengumpulan data ....................................................... 37
G. Validasi data ........................................................................... 41
H. Teknik analisa data ................................................................. 42
I. Etika penelitian ........................................................................ 44
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran umum wilayah penelitian ............................................ 47
1. Sejarah sekolah luar biasa Negeri 1 Jakarta ............................ 47
2. Visi dan Misi sekolah luar biasa Negeri 1 Jakarta .................. 48
B. Karakteristik Demografi Partisipan .............................................. 49
C. Analisa Data ................................................................................. 52
1. Stresor pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom
down ........................................................................................ 52
2. Strategi koping berpusat pada masalah
(problem focus coping) ........................................................... 64
3. Strategi koping berpusat pada emosi
(emotional focus coping) .......................................................... 73
xiv
BAB VI PEMBAHASAN
A. Interpretasi Penelitian dan Hasil Diskusi ..................................... 80
1. Stresor orang tua pada anak yang terdiagnosa sindrom
down ........................................................................................ 81
2. Strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom
down ........................................................................................ 85
1.1 Strategi koping yang berpusat pada masalah .................. 86
2.1 Strategi koping yang berpusat pada emosi ...................... 88
B. Keterbatasan Penelitian ................................................................ 91
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................... 92
B. Saran ............................................................................................. 94
DAFTAR PUSTAKA
xv
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
5.1 Lembar Pernyataan Persetujuan ....................................................... 49
5.2 Lembar Pengesahan .......................................................................... 50
5.3 Lembar Pengesahan Sidang Skripsi .................................................. 51
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
1. Surat Pemberitahuan
2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden
3. Data Demografi Informan
4. Pedoman Wawancara Mendalam (Indepth Interview Informan Kunci)
5. Pedoman Wawancara Partisipan Pendukung
6. Analisa Tematik Partisipan Utama
7. Analisis Tematik Partisipan Pendukung
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan anak berkebutuhan khusus di indonesia, bukan
merupakan permasalahan yang kecil. World Health Organization (WHO) dan
kementrian kesehatan (2010) memperkirakan bahwa, jumlah anak
berkebutuhan khusus berkisar antara 7-10 % dari total jumlah anak-anak di
indonesia usia 0-18 tahun. Data yang lebih terperinci hanya didapatkan pada
susenas BPS (2003) yaitu terdapat 361.860 anak usia sekolah berkebutuhan
khusus. Dari jumlah tersebut, sekitar 66.610 anak usia sekolah penyandang
cacat yang terdaftar disekolah Luar Biasa (SLB), sedangkan sisanya anak
penyandang cacat sebanyak 295.250 berada didalam masyarakat, dibawah
pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga yang pada umumnya
belum memperoleh akses pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan
fisik dan mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya
secara wajar yang memerlukan penanganan secara khusus, atau bisa disebut
juga sebagai anak penyandang cacat. Anak yang termasuk dalam kategori
penyandang cacat adalah anak dengan tunagrahita (mengalami retardasi
mental), tunanetra (mengalami hambatan penglihatan), tunarungu
(mengalami hambatan pendengaran), tunadaksa (mengalami cacat tubuh),
attention deficit and hyperactivity disorder (perilaku hiperaktif), autism,
sindrom down dan tunaganda (memiliki hambatan lebih dari satu), yang
2
2
masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan memerlukan
penanganan dan pelayanan yang berbeda (Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu sumber daya
manusia yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan aktif dalam
kehidupannya, anak berkebutuhan khusus perlu dikenali dan diidentifikasi
dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan
yang bersifat khusus, seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun
latihan-latihan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan
ketergantungan akibat kelainan yang diderita, serta menumbuhkan
kemandirian hidup dalam bermasyarakat (Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami atau
beresiko tinggi mengalami kondisi fisik, perkembangan, perilaku maupun
emosional kronis dan memerlukan layanan kesehatan serta layanan terkait
dalam jenis atau jumlah lebih dari yang dibutuhkan anak lain pada umumnya
(Wong, 2008). Salah satu kasus anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
menderita sindrom down dan salah satu penyebab sindrom down adalah suatu
kelainan genetika yang mengakibatkan terjadinya kelainan kromosom
sehingga anak terlahir dengan cacat congenital dengan kelebihan kromosom
21 yang dinamakan trisomi 21.
Sindrom down dapat ditemukan pada semua etnik penduduk, sekitar 1
diantara 700 bayi yang lahir hidup menderita kelainan ini, salah satu faktor
pemicu kejadian sindrom down yang diketahui adalah adanya hubungan yang
erat antara kejadian sindrom down dengan semakin lanjutnya usia ibu, yaitu
3
3
terjadi peningkatan insiden sebesar 1% bila usia ibu mencapai 40 tahun (Hull
& Jhonston, 2008).
Secara umum, penderita pada sindrom down mudah dikenali dengan
adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang agak
kecil, yaitu wajah khas dengan mata sipit yang membujur keatas, jarak antara
kedua mata berjauhan dengan tampak sela hidung yang rata dan datar (seperti
mongol), hidung kecil, mulut mengecil dengan lidah yang besar sehingga
cenderung dijulurkan keluar (macroglossia), gambaran telapak tangan tidak
normal yaitu terdapat satu garis besar melintang (simian crease). Masalah
intelegensi pada anak sindrom down bervariasi dari retardasi ringan sampai
sedang dengan nilai IQ berkisar dari 25-70 (Hull dan Jhonston, 2008).
Dengan gambaran klinis tersebut, anak dengan sindrom down
membutuhkan perhatian dan perawatan yang lebih khusus dari orang tua
dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya, serta orang tua harus dapat
melakukan pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh anak sindrom down
dengan keterbatasan fisik dan intelektual yang tidak dapat disembuhkan dan
hanya dapat dilakukan dengan terapi, perawatan khusus, serta program
pendidikan khusus untuk mencapai kelangsungan hidup secara optimal. Hal
ini akan menjadi suatu stresor tersendiri bagi keluarga khususnya pada orang
tua (Maramis, 2005). Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari
kondisi fisik, psikologis, maupun social dan juga muncul pada situasi kerja,
dirumah, maupun lingkungan luar lainnya (Patel, 1996 dalam Nasir &
Muhith, 2011).
4
4
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid, (2004) dalam Tiana dan
Andriany, (2010) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak
tunagrahita menunjukkan perasaan sedih, denial, depresi, marah dan
menerima keadaan anaknya. Orang tua merasa khawatir tentang masa depan
anak dan stigma yang melekat pada anak.
Pada anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan
intelektual dibawah rata-rata. Berdasarkan American Association on Mental
Retardation (AAMR) menjelaskan bahwa keterbelakangan mental
menunjukan adanya keterbatasan yang signifikan dalam berfungsi, baik
secara intelektual maupun perilaku adaptif yang terwujud melelu adaptif
konseptual , social maupun partikal (Hallan & Kauffman, 2006 dalam
Magunsong, 2009).
Dari penelitian ini menunjukan bahwa memiliki anak dengan
kebutuhan khusus merupakan suatu stessor tersendiri bagi orang tua dan
respon yang muncul pada orang tua tersebut harus diimbangi dengan strategi
koping yang tepat agar orang tua dapat mengatasi stressor sehingga tidak
menimbulkan stres.
Strategi koping adalah cara untuk mengatasi masalah-masalah dan
usaha-usaha untuk mengatasi stres (Sundberg dkk, 2007). Keluarga dan orang
tua pada kondisi tersebut sangat membutuhkan motivasi, dukungan social
ekonomi, teknik pertahanan, keterampilan dan kemampuan. Oleh karena itu,
dalam menghadapi kondisi seperti ini, memerlukan suatu strategi koping
yang efektif (Lazarus, 1984 dalam Rasmun 2009).
5
5
Menurut Lazarus dan Folkman,(1984 dalam Nasir & Muhith,2011)
ada dua strategi koping yang bisa dilakukan, yaitu problem focused coping
(koping yang berfokus pada masalah) dan emotional focused coping (koping
yang berfokus pada emosi) . Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi
stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan
lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan, sedangkan
emotional focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres dengan cara
mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak
yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh
tekanan.
Sebuah penelitian mengenai stres dan koping keluarga pada anak tunagrahita
di SLB C dan SLB C1 Widya Bhakti Semarang yang dilakukan oleh Tiana
dan Andriany (2010), menunjukan bahwa stressor keluarga dengan anak
tunagrahita adalah pengorbanan waktu kerja, finansial, penegakkan
kedisiplinan, stigma masyarakat, pertumbuhan anak terhambat dan
kekhawatiran masa depan anak. Penelitian ini juga menerangkan jenis koping
yang digunakan oleh orang tua pada anak tunagrahita yaitu problem focused
coping dan emotion focused coping. dalam penelitian ini juga menjelaskan
bagaimana keluarga memaknai stres dan koping yaitu dengan penerimaan,
tanggung jawab, pelajaran hidup, ujian, cobaan dan kesedihan.
Penelitian lain terkait strategi koping orang tua pada anak yang
memiliki anak dengan cacat mental (tuna grahita) yang dilakukan di Sekolah
Luar Biasa (SLB) Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) semarang, yang
dilakukan oleh Atikah (2008) ditemukan bahwa memiliki anak dengan
6
6
retardasi mental merupakan stressor tersendiri bagi orang tua, kondisi anak
yang berbeda dengan anak normal pada umumnya menjadi stressor tambahan
yang harus dihadapi orang tua dengan berbagai bentuk koping, koping yang
digunakan orang tua adalah koping yang berorientasi pada tugas (Task
Oriented) dan koping yang berorientasi pada pertahanan ego (Deffence
Mechanism).
Studi pendahuluan pada tanggal 19 maret 2012 di Sekolah Luar Biasa
(SLB) Negeri 1 Jakarta, mendapatkan bahwa respon yang ditunjukan pada
saat itu adalah orang tua kaget dan menunjukan perasaan putus asa, bahkan
sempat menyalahkan diri sendiri dan berfikir dosa apa yang telah mereka
lakukan hingga mendapatkan anak seperti ini (ibu tampak menangis),
ditambah pandangan orang lain tentang anaknya yang tidak normal. Orang
tua mencari berbagai macam dukungan dan saran, baik dari dokter rumah
sakit Fatmawati dan pemuka agama. Orang tua mendekatkan diri kepada
Tuhan dengan pasrah dan menerima bahwa anak adalah titipan Tuhan yang
harus dirawat dengan baik. Setiap respon keluarga yang mempunyai anak
dengan kebutuhan khusus berbeda-beda dan dipengaruhi oleh pengalaman.
Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta merupakan suatu sekolah yang
memberikan program pendidikan pada anak dengan kriteria khusus yang akan
menjadi suatu acuan sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di Jakarta
selatan. Maka peran sekolah tersebut sangat penting dalam melibatkan orang
tua untuk melakukan optimalisasi pengasuhan anak berkebutuhan khusus.
Dengan adanya beban yang dihadapi orang tua akan dapat
menimbulkan stress, Stres yang terjadi pada orang tua akan berdampak buruk
7
7
pada anaknya jika tidak menggunakan strategi koping yang tepat. Strategi
koping sangat bervariasi, mulai dari positif sampai negatif. Bila orang tua
menggunakan koping yang negatif, seperti avoidance (penyangkalan), self-
blame (menyalahkan diri sendiri) dan wishfull thinking (pasrah), hal ini akan
dapat menimbulkan suatu gangguan tingkah laku yang terjadi pada orang tua
dan akan berdampak pula pada pola asuh perawatan anak, seperti
penelantaran, depresi, dan isolasi sosial (Sunberg dkk, 2007)
Berdasarkan latar belakang dan studi pendahuluan tersebut, peneliti
tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai “Strategi Coping Orang Tua
pada Anak yang Menderita Sindrom Down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1
Jakarta”.
B. Rumusan masalah
Memiliki anak berkebutuhan khusus yang disertai dengan adanya
gangguan pertumbuhan dan perkembangan, seperti pada anak dengan
sindrom down merupakan suatu stressor tersendiri pada orang tua, maka
orang tua harus dapat melakukan pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh
anak sindrom down dengan keterbatasan fisik dan intelektual yang tidak
dapat disembuhkan dan hanya dapat dilakukan dengan terapi, perawatan
khusus, serta program pendidikan khusus untuk mencapai kelangsungan
hidup secara optimal. Hal ini akan menjadi suatu stresor tersendiri bagi
keluarga khususnya pada orang tua, sehingga orang tua memerlukan suatu
strategi koping yang tepat dalam menghadapinnya. Ketidaktepatan koping,
akan dapat berdampak pada pola asuh perawatan anak, seperti penelantaran,
depresi, dan isolasi sosial.
8
8
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih
dalam bagaimana strategi koping pada orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom down dalam menghadapi masalah dan meminimalkan suatu stesor
yang timbul terkait dengan kondisi anak tersebut. Strategi koping sangat
diperlukan dalam menghadapi suatu masalah agar dapat berespon positif
dalam pola asuh perawatan anak untuk meningkatkan kemandirian hidup
dalam bermasyarakat. Dengan adanya kondisi diatas maka peneliti tertarik
untuk mengambil judul “Strategi coping orang tua pada anak yang menderita
sindrom down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta”.
C. Pertanyaan Peneliti
1. Apa saja yang menjadi stresor orang tua pada anak yang terdiagnosa
sindrom down?
2. Jenis strategi coping apa yang digunakan oleh orang tua pada anak yang
menderita sindrom down ?.
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi coping
orang tua dengan anak yang menderita sindrom down.
2. Tujuan Khusus
a. Mengedintifikasi stresor pada orang tua dengan anak terdiagnosa
sindrom down.
b. Mengedintifikasi jenis strategi koping problem focused coping yang
digunakan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom down.
9
9
c. Mengedintifikasi jenis strategi koping Emotional focused coping
yang digunakan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom
down.
E. Manfaat penelitian
1. Bagi Profesi Ilmu Keperawatan
Hasil Penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan
pengetahuan dan informasi kesehatan pada keluarga terutama pada
anak dengan kebutuhan khusus sebagai upaya peningkatan pelayanan
kesehatan yang komperhensif.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan ilmu
pengetahuan serta keterampilan mahasiswa keperawatan terkait
dengan pemberian asuhan keperawatan dan sebagai ragam informasi
mengenai strategi koping orang tua pada anak dengan kebutuhan
khusus untuk yang dapat menjadi sumber referensi tambahan dalam
konsep keperawatan anak dengan keperawatan khusus.
3. Bagi Masyarakat
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana
untuk menambah informasi masyarakat dalam memberi dukungan
terhadap anak sindrom down dan orang tua. Serta membantu
memberikan motivasi pada keluarga agar dapat menggunakan koping
yang tepat dalam merawat anak dengan sindrom down.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
10
10
Hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran dan informasi
untuk melakukan pengembangan penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan koping orang tua dengan anak yang menderita
sindrom down.
F. Ruang lingkup penelitian
Penelitian ini merupakan metode desain penelitian kualitatif dengan
rumusan masalah deskriptif yang dapat memandu peneliti untuk
mengeksplorasi masalah yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan
mendalam tentang strategi coping orang tua pada anak yang menderita
sindrom down. Sampel pada penelitian ini adalah orang tua yang memiliki
anak dengan sindrom down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara
mendalam pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down yang
masih aktif bersekolah. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus
sampai September 2012.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini , teori dan konsep-konsep yang digunakan sebagai acuan
adalah : sindrom down, orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, stresor,
stres dan strategi koping. Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
11
11
anak yang menderita sindrom down dan strategi koping dari orang tua. Teori dan
konsep yang akan diuraikan sebagai berikut :
A. Konsep Dasar
1. Sindrom Down
a. Definisi
Sindrom down merupakan suatu kelainan genetic yang dapat terjadi
pada pria dan wanita, kelainan ini adalah hasil dari kelainan kromosom
yang tidak selalu diturunkan kepada keturunan berikutnya. Kelainan
kromosom yang sering ditemukan adalah kelebihan kromosom 21 yang
dinamakan trisomi 21 (Sudiono,2008).
Sindrom ini pertama kali diuraikan oleh Langdon Down pada tahun
1866, walaupun sudah lama dikenal, pada tahun 1969 ditemukan dan
dibuktikan adanya kelainan pada kromosom (Ilmu Kesehatan Anak,
1985).
Sindrom down adalah suatu gangguan pada seseorang yang dapat
dikenali dari fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang
terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebihan, dan
menyebabkan terjadinya interaksi dengan fungsi gen lainnya sehingga
menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan
terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat
(soetjiningsih, 1995).
b. Angka Kejadian
Angka kejadian sindrom down terjadi antara 1 per 600 sampai 1 per
700 kelahiran, lebih dari separuh bayi yang terdiagnosa sindrom down
12
12
dapat mengalami abortus spontan selama kehamilan dini. Di indonesia
ditemukan 1 dalam 600 kelahiran hidup, Sebagian besar kasus trisonomi
21 sebanyak 94% yang disebabkan oleh kromosom ekstra.
c. Penyebab Sindrom Down
Menurut Soetjiningsih (1995), Penyebab sindrom down adalah non-
disjunction yang menghasilkan kromosom ekstra (trisonomi 21) sebagai
penyebabnya, yaitu :
1. Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetik terhadap non-disjuctional.
Bukti yang mendukung teori ini, yaitu berdasarkan atas hasil
penelitian epidemologi yang menyatakan adanya peningkatan resiko
berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom down.
2. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab terjadinya non-disjunctional ,
sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down, pernah
mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjaadinya konsepsi.
3. Autoimun
Faktor lain penyebab terjadinya sindrom down adalah autoimun,
dimana autoimun ini karena adanya penyakit yang dikaitkan dengan
tiroid.
4. Umur ibu
Faktor usia sangat berpengaruh, apabila umur ibu diatas 35 tahun,
maka diperkirakan perubahan hormonal yang dapat menyebabkan
non-disjunction pada kromosom. Dengan adanya perubahan hormon,
13
13
maka akan terjadi perubahan pada endokrin, seperti meningkatnya
sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunya
konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor
hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing
Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon) hal ini yang akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya “non-disjunction”
5. Umur Ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom down, umur ayah juga
dilaporkan adanya pengaruh terhadap kejadian sindrom down yang
didasarkan atas penelitian sitogenik pada orang tua dari anak dengan
sindrom down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom
21 bersumber dari ayah, akan tetapi korelasinya tidak setinggi umur
ibu.
d. Gambaran klinis
Gambaran klinis anak dengan sindrom down, yaitu kepala terdapat
ciri yang khas seperti sutura sagitalis terpisah, brachicephalic , tulang
tengkorak mebulat dan berukuran kecil, bagian belakang kepala datar,
fontanela anterior membesar, Rambut tipis (variabel). wajah penderita
sindrom down lebih kearah bentuk bulat dengan brachicephalic serta
pangkal hidung lebar dan datar. Mata berbentuk almond dengan fisura
palpebra miring ke arah atas, ada bercak brushfield pada iris mata.
Hidung tampak kecil dan pesek . Telinga pendek dan terletak agak
rendah. Mulut terdapat palatum tinggi, melengkung sempit, tulang orbita
kecil, lidah menonjol keluar , mungkin terpisah dibagian bibir dan
14
14
memiliki alur dibagian permukaanya, mandibula hipoplastik, melengkung
kerah bawah (terutama terlihat ketika menangis), mulut terus terbuka.
Rambut terlihat jarang dan halus. Gigi terlambat tumbuh dengan
kesejajaran tidak normal umum terjadi, mikrodontia. Dada terdapat tulang
iga memendek dengan anomali pada iga kedua belas. Leher memiliki
kulit berlipat dan kendur, pendek dan besar. Abdomen membuncit, otot
kendur. Genitalia pria terdapat penis kecil dengan riptorkidisme, pada
wanita terdapat vulva bulat. Tangan besar dengan jari-jari tangan pendek
dan gemuk, jari kelingking melengkung, terdapat lipatan telapak tangan
melintang (simian crease). Kaki anak dengan sindrom down mempunyai
jarak yang lebar antara ibu jari kaki dengan jari telunjuk pada jari kaki.
Muskoloskeletal terdapat hiperfleksibelitas dan kelemahan otot (Wong,
2008).
e. Diagnosis
Sindrom down dapat didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis yang
khas serta ditunjang oleh pemeriksaan kromosom untuk melihat
abnormalitas genetik (Wong, 2008) .
Menurut Soetjeningsih (1995) dalam mendiagnosa anak sindrom
down diperlukan pemeriksaan radiologi pada kasus yang tidak khas,
pemeriksaan radiologi akan didapatkan “brachycephalic”, sutura dan
fontanela yang terlambat menutup. Selanjutnya dapat dilakukan
pemerikasaan kariotiping pada semua penderita sindrom down yang
bertujuan untuk mencari adanya translokasi kromosom. Jika ditemukan,
maka kedua ayah dan ibunya harus diperiksa, bila salah satu ayah atau
15
15
ibunya karier, maka keluarga lainnya juga perlu diperiksa, hal ini sangat
berguna untuk pencegahan, kemungkinan terulang pada orang tua karier
dengan kejadian sindrom down yang disebabkan translokasi kromosom
adalah 5-15%, sedangkan trisomi 1%. Diagnosis antenatal dengan
pemeriksaan cairan amnion atau vili korionik, dapat dilakukan secepatnya
pada kehamilan tiga bulan, dengan kultur jaringan dan kariotiping.
Diagnosis antenatal perlu pada ibu hamil yang berumur lebih dari 35
tahun, atau pada ibu yang sebelumnya pernah melahirkan anak dengan
sindrom down. Jika didapatkan bahwa janin yang dikandung menderita
sindrom down, maka dapat ditawarkan terminasi kehamilan kepada orang
tuanya.
Pemeriksaan sindrom down secara klinis pada bayi sering kali
meragukan, maka pemeriksaan dermatoglifik (sidik jari, telapak tangan
dan kaki), pada sindrom down menunjukan adanya gambaran yang khas.
Dermatoglifik ini merupakan cara yang sederhana, mudah dan cepat serta
mempunyai ketepatan yang cukup tinggi dalam mendiagnosis sindrom
Down (Winata ,1993 dalam Soetjiningsih, 1995)
f. Penatalaksanaan
Walaupun tidak ada obat untuk sindrom down sejumlah terapi telah
disarankan, seperti pembedahan untuk mengoreksi anomali kongenital
dan kemungkinan cacat fisik. Anak ini juga akan mendapatkan manfaat
dari perawatan medis yang teratur, anak dengan sindrom down
memerlukan penanganan secara multidisiplin. Selain penangan medis,
pendidikan anak juga perlu mendapat perhatian serta partisipasi dari
16
16
keluarga khususnya orang tua (Wong, 2008). Memberikan dukungan pada
orang tua dalam merawat anak sindrom down. Dengan memberikan
dukungan pada orang tua pada anak sindrom down, akan membentuk
suatu keinginan yang kuat dalam merawat anak dengan baik. Memberikan
informasi pada orang tua untuk melakukan intervensi dini pada anak
sindrom down dengan melakukan stimulasi sensori dini, latihan khusus
yang mencakup aktivitas motorik kasar dan halus, serta memberikan
petunjuk pedoman pada orang tua agar anak mampu berbahasa.
g. Prognosis
Harapan hidup untuk anak yang menderita sindrom Down telah
meningkat dalam beberapa tahun terakhir tetapi tetap lebih rendah
dibandingkan populasi umum. Lebih dari 80% bertahan sampai usia 30
tahun dan diatas 30 tahun. Seiring dengan prognosis yang semakin baik
untuk individu ini, penting untuk memenuhi kebutuhan perawatan,
kesehatan jangka panjang, sosial, dan waktu luang mereka (Carr 1994
dalam Wong, 2008).
B. Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
Orang tua teridiri dari ayah dan ibu. Tanggung jawab orang tua ialah
memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak, baik dari sudut organis yaitu makanan
dan kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan akan perkembangan intelektual
melalui pendidikan, kebutuhan akan rasa dikasihi, dimengerti, dan rasa aman
melalui perawatan, asuhan, serta kasih dan sayang (Gunarsa, 2004).
Syok dan pengingkaran dapat berlangsung dari beberapa hari sampai
beberapa bulan, dan akan dapat berlangsung lebih panjang, contohnya
17
17
pengingkarang yang mungkin ditunjukan pada saat diagnosis, meliputi
melakukan pemeriksaan lebih dari satu dokter, menghubungkan gejala
penyakit aktual dengan kondisi minor, menolak untuk mempercayai uji
diagnostik, menunda persetujuan terhadap terapi, bertingkah sangat gembira
dan optimis walaupun diagnosis telah terungkap, menolak untuk
memberitahu keadaannya dengan siapapun, mengingkari alasan masuk rumah
sakit.
Pada umumnya, mekanisme ini harus dihargai sebagai respon jangka
pendek yang memungkinkan individu memberi jarak pada diri sendiri dari
adanya dampak emosional orang tua dengan anak berkebutuhan khusus untuk
mendapatkan tujuan tertentu, yaitu perilaku pemecahan masalah. Pada
beberapa contoh, berbagai indikator pengingkaran sebenarnya dapat menjadi
prilaku adaptif. Dengan mencari pendapat dari profesi lain, menunjukan
bahwa orang tua tidak memperoleh jawaban dari pertanyaan yang ditanyakan,
sehingga orang tua mencari pendekatan yang berbeda untuk penatalaksanaan
agar dapat memenuhi kebutuhan anak dan keluarga secara baik.
Bagi setiap keluarga khususnya orang tua, penyesuaian setelah syok
terjadi secara bertahap dan biasanya ditandai dengan pengakuan terbuka
bahwa kondisi tersebut nyata. Pada tahapan penyesuaian, dapat disertai
beberapa respon yang merupakan suatu bagian dari adaptasi. Perasaan yang
paling universal adalah rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Sering
kali rasa bersalah berasal dari asumsi yang salah bahwa ketidakmampuan
orang tua dalam melakukan sesuatu yang benar selama kehamilan atau
kelahiran. Rasa bersalah juga dapat dihubungkan dengan keyakinan budaya
18
18
dan agama. Beberapa orang tua meyakinkan bahwa kondisi yang
menimpanya merupakan suatu hukuman dari beberapa tindakan jahat yang
pernah orang tua lakukan sebelumnya. Adapula orang tua yang melihat
kondisi anak yang berkebutuhan khusus sebagai suatu pengorbanan yang
dikirim tuhan untuk menguji kekuatan dan keyakinan agama mereka. Dengan
adanya suatu informasi, dukungan dan waktu yang tepat, sebagian besar
orang tua dapat menguasai rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri.
Kemampuan dalam menguasai perasaan bersalah dan menyalahkan diri
sendiri adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan penerimaan
orang tua terhadap anak (Wong, 2008).
C. Stres
Stres adalah suatu keadaan yang dinamis yang berlangsung setiap kali
manusia berinteraksi dengan lingkungan yang bertujuan memelihara
keseimbangan pertumbuhan, perkembangan dan perbuatan yang meliputi
pertukaran energi dan informasi atara individu dan lingkungan guna mengatur
stresor (Tomey & Alligoog,1998 dalam Asmadi,2008 ).
Stres merupakan suatu hal yang menjadi bagian dari kehidupan
manusia, yang bersumber dari dalam diri individu, keluarga maupun dalam
komunitas dan masyarakat. Menurut Colman (2001 dalam Nasir & Muhith,
2011) stres dapat didefinisikan sebagai suatu stres psikologis dan fisik yang
merupakan ketegangan disebabkan oleh fisik, emosi, sosial, ekonomi,
pekerjaan, keadaan, peristiwa atau pengalaman yang sulit untuk mengelola
atau bertahan.
19
19
Stres adalah kondisi yang tidak menyenangkan dimana manusia
melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai beban atau diluar batas
kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dengan demikian,
stres dapat diartikan bahwa stres merupakan suatu sistem pertahanan tubuh,
dimana terjadi sesuatu yang mengganggu integritas diri, sehingga
mengakibatkan terganggunya ketentraman yang dimaknai sebagai suatu
tuntutan yang harus diselesaikan (Nasir & Muhith,2011).
Menurut Taylor (1991 dalam Nasir & Muhith,2011) Respon stres
dapat terlihat dalam berbagai aspek sebagai berikut :
a. Respon fisiologis
Respon fsiologis dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,
detak jantung, nadi, dan sistem pernafasan.
b. Respon kongnitif
Respon kongnitif dapat terlihat melalui terganggunya proses kongnitif
individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi,
pikiran berulang, dan pikirin tidak wajar.
c. Respon emosi
Respon emosi akan dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang
mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan
sebagainya.
d. Respon tingkah laku
Respon tingkah laku dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan
situasi yang menekan dan filght yaitu menghindari situasi yang menekan.
20
20
Hans selye (1946 dalam Nasir & Muhith, 2011) telah melakukan riset
terhadap dua respon fisiologis tubuh terhadap stres, yaitu Local Adaptation
Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS).
1) Local Adaptation Syndrome (LAS)
Local Adaptation Syndrome adalah suatu mekanisme tubuh dalam
mengatasi dan mengontrol efek fisik penyebab stres. Tubuh akan
menghasilkan banyak respon setempat terhadap stres. Respon setempat
ini termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka, akomodasi mata
terhadap cahaya dan sebagainya. Respon ini berjangka pendek, berikut ini
adalah karakteristik LAS :
a. Respon terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem.
b. Respon bersifat adaptif, maka diperlukan stresor untuk
menstimulasikannya.
c. Respon bersifat jangka pendek dan tidak terus-menerus.
d. Respon bersifat restoratif.
2) General Adaptation Syndrome (GAS)
General Adaptation Syndrome merupakan respon fisiologis dari
seluruh tubuh terhadap sters, disertai gejala-gejala tertentu yang muncul
melalui sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Reaksi General
Adaptation Syndrome (GAS) terjadi dalam tiga tahap, yaitu :
a. Fase alarm (waspada)
Fase alarm merupakan fase yang melibatkan pengarahan
mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi
stesor. Dalam fase ini,terjadi reaksi psikologis fight or flight dan
21
21
reaksi fisiologis. Pada fase ini tubuh mengaktifkan hormon yang dapat
membuat terjadinya peningkatan volume darah, yang pada akhirnya
menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya dilepas untuk
meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan guna menyiapkan
energy untuk keperluan adaptasi. Teraktivasinya epinefrin dan
norefineprin mengakibatkan denyut jantung meningkat dan terjadi
peningkatan aliran darah ke otot. Selain itu, juga terjadi peningkatan
ambilan O2 (oksigen) dan meningkatnya kewaspadaan mental. Dengan
aktivitas hormonal yang luas ini, individu melakukan persiapan untuk
melakuakan “respon melawan atau menghindar”. Respon ini
berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam. Bila stresor ini
masih menetap, maka individu akan masuk dalam fase resisteni.
b. Fase resistence (resistensi/melawan)
Dalam fase ini individu mencoba berbagai macam mekanisme
penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur
strategi. Tubuh akan berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis
sebelumnya pada keadaan normal, dan tubuh mencoba mengatasi
faktor-faktor penyebab stres. Bila teratasi, gejala stres akan menurun
dan tubuh akan kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung,
tekanan darah dan curah jantung. Hal ini terjadi karena individu
tersebut berupaya beradaptasi terhadap stresor, bila individu tersebut
berhasil maka tubuh akan memperbaiki sel-sel yang rusak , dan bila
gagal, maka individu tersebut akan masuk kedalam tahapan terakhir
dari general adaptation syndrome, yaitu fase kehabisan tenaga.
22
22
c. Fase exhaustion ( kelelahan)
Fase ini merupakan fase perpanjangan stres yang belum dapat
tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi yang dipakai dalam
penyesuain sudah terkuras dan akibatnya akan timbul gejala
penyesuain diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan
mental, penyakit arteri koroner dan sebagainya. Bila usaha untuk
melawan tidak dapat diusahakan lagi, maka kelelahan akan
mengakibatkan kematian. Pada tahap ini cadangan energi telah
menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu dalam menghadapi
stres. Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap
stresor inilah yang akan berdampak pada kematian.
Respon stres pada orang tua dengan anak sindrom down
berdasarkan penelitian Cuskelly, dkk (2007) merujuk pada respon
emosional dari orang tua untuk tuntutan peran pengasuhan, seperti
merasa terisolasi, terjebak, kewalahan dengan tanggung jawab
pengasuhan anak sindrom down.
D. Stresor
Stresor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang
mengakibatkan terjadinya respon stres. Stresor dapat berasal dari berbagai
sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul
pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial dan lingkungan luar
lainnya (Patel,1996 dalam Nasir & Muhith,2011). Secara garis besar, stresor
bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
23
23
1) Stresor mayor, yaitu berupa major live events yang meliputi peristiwa
kematian orang yang disayangi, masuk sekolah pertama kali dan
perpisahan.
2) Stesor minor, yaitu biasanya berawal dari stimulus tentan masalah hidup
sehari-hari, misalnya ketidakseimbagan emosional terhadap hal-hal
tertentu sehingga menyebabkan munculnya stress.
Taylor memandang stresor sebagai suatu kejadian yang dapat
berpotensi timbulnya stres, berikut ini merupakan beberapa karakteristik
kejadian yang berpotensi dan dinilai dapat memicu terjadinya stesor:
1. Kejadian negatif
2. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi
3. Kejadian “ambigu” (kejadian yang tidak jelas)
4. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas (overload) lebih
mudah mengalami stres daripada orang yang memiliki tugas
lebih sedikit.
Ada beberapa sumber stres yang berasal dari lingkungan, diantaranya
adalah lingkungan fisik, seperti: polusi udara, kebisingan, kesesakan,
lingkungan, serta kompetisi hidup yang tinggi (Howart dan Gilham,1981
dalam Nasir & Muhith,2011). Selain itu, sumber sters yang lain meliputi hal-
hal sebagai berikut :
1) Dalam diri individu
Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Pendorong dan penarik
konflik menghasilkan dua kecendurungan yang berkebalikan, yaitu
24
24
approach dan avoidance. Kecendrungan ini menghasilkan tipe dasar
konflik, yaitu sebagai berikut :
a. Approach-approach conflict
Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama
baik.
b. Avoidance-avoidance conflict
Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua
situasi yang tidak menyenangkan.
c. Approach-avoidance
Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak
menarik dalam satu tujuan atau situasi.
2) Dalam keluarga
Perilaku, kebutuhan dan kepribadian tiap anggota keluarga
yang berbeda-beda mempunyai pengaruh besar pada saat berinteraksi
dengan anggota keluarga lainnya, kadang menimbulkan suatu konflik
dalam keluarga dengan berbagai macam perilaku, kebutuhan dan
kepribadian. Konflik interpersonal dapat timbul sebagai akibat dari
masalah keuangan, tujuan yang bertolak belakang. Dari banyak stresor
dalam keluarga, ada tiga hal yang paling sering terjadi , yaitu sebagai
berikut :
a. Bertambahnya anggota keluarga dengan kelahiran anak yang dapat
menimbulkan stres yang berkaitan dengan masalah keuangan
(bertambahnya anak, bertambah pula biaya pengeluran), masalah
25
25
kesehatan, dan ketakutan bahwa hubungan antara suami istri dapat
terganggu.
b. Perceraian dapat menghsilkan banyak perubahan yang penuh dengan
stres untuk semua anggota keluarga karena mereka harus menghadapi
perubahan dalam status sosial, pindah rumah, dan perubahan kondisi
keuangan.
c. Anggota keluarga yang sakit, cacat, dan mati, yang pada umumnya
memerlukan adaptasi, kemampuan untuk mengatasi perasaan sedih
atau duka yang mendalam dan kesabaran.
3) Dalam komunitas dan masyarakat
Kontak dengan orang diluar keluarga merupakn banyak
sumber stres, misalnya pengalaman anak disekolah dan persaingan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka stresor atau hal-hal yang
menyebabkan terjadinya stres dapat berupa foktor-faktor fisiologis,
psikologis, dan lingkungan disekitar individu (baik fisik maupun social).
Stesor orang tua dengan anak sindrom down
Anak dengan sindrom down memiliki resiko lebih tinggi akan
masalah kesehatan dibandingkan dengan anak-anak normal.
Beberapa masalah yang erat kaitannya dengan anak sindrom
down, seperti: kelainan jantung, kepekaan terdadap infeksi pada
mata maupun kelainan pada bentuk otak. Cacat tambahan seperti
usus pendek, tidak beranus/dubur, lemah otot maupun kerusakan
syaraf yang menyebabkan anak mengalami retardasi mental.
Pada usia dewasa kemungkinan terserang penyakit Alzhimer
26
26
(kehilangan sebagian besar memori) lebih besar 25%
dibandingkan dewasa normal yang hanya 6%. Dengan adanya
resiko yang tinggi tehadap masalah kesehatan, maka diperlukan
biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pemerikasaan rutin
dan perawatan khusus, pendidikan khusus, serta terapi-terapi
dalam mengoptimalkan perkembangan anak (Jhonston dan Hull,
2008).
Berdasarkan sebuah penelitian Cram Hauser, dkk (2001)
dengan pengumpulan data longitudinal selama tujuh tahun (anak
usia 3 sampai 10 tahun) yang terkait dengan pengalaman
pengasuhan orang tua pada anak sindrom down, didapatkan
tuntutan dalam pola asuh perawatan anak dalam membesarkan
anak dengan sindrom down meningkat untuk kedua orang tua
yaitu ibu dan ayah, peningkatan ini lebih besar dialami oleh ibu
pada anak dengan sindrom down yang mengalami gangguan
motorik dan dengan keterlambatan perkembangan. Respon orang
tua yang sangat kritis pada akhirnya secara langsung akan
mempengaruhi reaksi anggota keluarga lain dan koping anak itu
sendiri.
E. Koping dan Strategi Koping
Koping merupakan suatu tindakan yang mengubah kongnitif secara
konstan dan usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau
eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki
individu. Koping yang efektif adalah koping yang membantu seseorang untuk
27
27
menoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan
yang tidak dapat dikuasainnya ( Lazarus dan Folkman,1984 dalam Nasir &
Muhith, 2011).
Setiap orang akan menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan
stess yang sedang di deritanya. Banyaknya sumber koping yang tersedia,
memungkinkan untuk setiap individu memilih satu bahkan lebih sumber
koping. Setiap individu dari semua umur dapat mengalami stres dan mencoba
mengatasinya, ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres
menimbulkan ketidaknyamanan, hal ini membuat seseorang menjadi
termotivasi untuk melakukan sesuatu demi mengurangi stres, usaha yang
dilakukan oleh individu tersebut merupakan bagian dari koping. Koping
adalah suatu proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan
yang diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources) yang
dinilai dalam suatu kejadian maupun keadaan yang penuh tekanan ( Nasir &
Muhith, 2011).
Menurut Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011)
dalam melakukan koping, ada dua strategi yang bisa dilakukan :
1. Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping).
problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara
mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan
sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. problem
focused coping ditunjukan dengan mengurangi demans dari
28
28
situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk
mengatasinnya. Seseorang akan cenderung menggunakan metode
problem focused coping apabila mereka percaya bahwa sumber
atau demans dari situasi dapat diubah. Strategi yang dipakai
dalam problem focus coping antara lain sebagai berikut :
a. Confrontative coping : usaha untuk mengubah suatu keadaan
yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat
kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.
b. Seeking social support : usaha untuk mendapatkan
kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang
lain.
c. Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan
yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap
dan analisis.
2. Emotional Focused Coping
Emotional focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres
dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh
suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
Emotional focused coping ditunjukan untuk mengontrol repon
emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat mengatur
respon emosionalnya melalui pendekatan perilaku dan kongnitif.
Strategi yang digunakan dalam emotional focused coping, yaitu
sebagai berikut :
29
29
a. Self-control
Usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi
yang menekan.
b. Distancing
Usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti
menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa
atau menciptakan pandangan –pandangan yang positif,
seperti menggangap masalah sebagai lelucon.
c. Positive reapparsial
Usaha mencari suatu makna positif dari permasalahan
dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga
melibatkan hal-hal yang bersifat religius.
d. Accepting responsibility
Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dari
permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya
untuk membuat semuannya menjadi lebih baik.
e. Escape/avoidance
Usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari
situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal
seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-
obatan.
30
30
individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping
dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut mereka dapat
dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotional
focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit
dikontrol. Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut
secara bersamaan, namun tidak semua strategi koping pasti digunakan oleh
individu (Taylor,1991 dalam Nasir dan Muhith, 2011).
31
31
F. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijabarkan sebelumnya,
penulis membuat skema kerangka teori yang merupakan gabungan dari teori
Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011), Wong (2008),
Jhonston dan Hull (2008).
Sumber : Gabungan Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011),
Wong (2008), Jhonston dan Hull (2008).
Strategi coping
Orang tua yang
memiliki anak
dengan sindrom
down
Problem focused coping
Emotional focus coping
Stresor :
Masalah kesehatan
Perawatan khusus
Biaya
Pendidikan khusus
terapi-terapi
Sumber koping :
- Ekonomi
- Keterampilan &
Kemampuan
- Teknik pertahanan
- Dukungan sosial
- motivasi
Adaptif / Maladaptif
32
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN DEFINISI ISTILAH
A. Kerangka konsep
Bab III ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka konsep,
pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
wawancara mendalam yang berkaitan dengan “strategi coping orang tua
pada anak yang menderita dwon sindrom”. Kerangka konseptual
dituangkan dalam skema sebagai berikut.
Bagan 3.1 kerangka konsep menurut Lazarus (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011)
Orang tua yang
memiliki anak
dengan sindrom
down
Strategi coping
Problem focused coping
Emotional focus coping
33
Definisi istilah
Komponen Definisi Metode Alat ukur Informan Hasil ukur
1. Stresor
faktor-faktor dalam kehidupan
manusia yang mengakibatkan
terjadinya respon stress
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
Orang tua
Stresor
2. Strategy
coping
Suatu usaha tingkah laku untuk
mengatasi tuntutan internal atau
eksternal yang dinilai membebani
atau melebihi sumber daya yang
dimiliki individu
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
Orang tua Strategi
koping
a. Problem
focused
coping
Strategi koping yang dilakukan
untuk mengatasi stres dengan cara
mengatur atau mengubah masalah
yang dihadapi dan lingkungan
sekitarnya yang menyebabkan
terjadinya stres.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
Orang tua
Problem
focused
coping
b. Emotional
focused
coping
Strategi koping yang mengatasi
stres dengan cara mengatur
respon emosional dalam rangka
menyesuaikan diri dengan
dampak yang akan ditimbulkan
oleh suatu kondisi atau situasi
yang dianggap penuh tekanan
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
Orang tua
Emotional
focused
coping
34
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan
rumusan masalah deskriptif yang dapat memandu peneliti untuk
mengeksplorasi masalah yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan
mendalam. Dengan menggunakan instrument pedoman wawancara
mendalam untuk mendapatkan informasi yang jelas, luas dan akurat .
Penelitian kualitatif memiliki sifat holistik (menyeluruh, tidak
dapat dipisah-pisahkan), meliputi aspek tempat (pleace), pelaku (actor)
dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono, 2011).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Sekolah Luar Biasa Negeri 1
Jakarta. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober sampai
November 2012.
C. Instrument Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara
in-dept interview (wawancara mendalam) dengan menggunakan pedoman
wawancara dan alat perekam suara. Alat perekam yang digunakan peneliti
yaitu berupa recorder digital handphone dengan pertimbangan durasi yang
lebih panjang kurang lebih 120 menit dan pemutaran hasil rekaman ulang
akan lebih mudah dibandingkan dengan tape recorder manual. Dengan
pertimbangan sebelumnya handphone tersebut menggunakan simcard yang
35
35
baru sehingga tidak mengganggu proses pengumpulan data. Bila
menggunakan tape recorder manual yang menggunakan kaset perekam,
peneliti mengalami kesulitan pada saat memutar ulang kaset sehingga pita
kaset tersebut mudah kusut dan menyulitkan proses penulisan laporan
hasil penelitian, maka peneliti menggunakan tape recorder digital berupa
handphone. Sebelum melakukan perekaman, peneliti meminta izin terlebih
dahulu untuk melakukan perekaman.
D. Populasi
Populasi adalah sebagai suatu wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek maupun subjek yang memnpunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya
(Sugioyono, 2011). Populasi pada penelitian ini adalah semua orang tua
siswa maupun siswi yang terdiagnosa sindrom down dan masih tercatat
aktif bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negri 1 Jakarta yang berjumlah
tujuh orang siswa.
E. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti
(Sugiyono, 2011). Sampel dalam penelitian ini adalah nara sumber atau
informan yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling
dengan cara pengambilan sampel sebelum pengumpulan data yaitu teknik
pengambilan sampel sumber data berdasarkan keanggotaan dalam
subkelompok dengan karakteristik yang sama atau tipe homogeneous
sampling (Creswell, 2008) yang akan dilakukan di SLB (sekolah luar
biasa) sesuai dengan karakteristik informan dengan jumlah sampel
36
36
sebanyak tujuh partisipan orang tua (bapak/Ibu ) dari lima siswa anak
sindrom down. Dari berbagai referensi penelitian kualitatif tidak
ditentukan batas minimal jumlah sampel sebagai informan yang akan
diteliti, apabila data yang diperoleh dari informan sudah mencapai saturasi
(data telah jenuh atau informan melakukan pengulanggan informasi
sehingga informan tidak lagi memberikan informasi yang baru) maka
jumlah sampel yang telah ditentukan sudah cukup. Sumber informasi atau
partisipan dalam penelitian ini yaitu :
1. Partisipan utama
Partisipan utama ini terdiri dari orang tua pada anak yang
menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah di SLB (sekolah
luar biasa) dengan jumlah lima orang, dengan kriteria :
a. Orang tua pada anak yang menderita sindrom down yang masih
aktif bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negri 1 jakarta.
b. Sehat jasmani dan rohani.
c. Bersedia diwawancarai.
2. Partisipan pendukung
Partisipan ini terdiri dari 2 orang guru yang masih aktif mengajar
di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta yang memiliki siswa
dikelasnya menderita sindrom down. Partisipan tersebut merupakan
suatu sumber informasi yang akan membantu peneliti dalam
melakukan validasi data.
37
37
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data akan dilaksanakan pada bulan Oktober sampai
November 2012. Pengumpulan data dilakukan peneliti dengan open-
ended interview (wawancara terbuka atau tidak terstruktur), open-
ended interview akan memberikan informasi yang lebih dalam tentang
partisipan terhadap fenomena yang akan diteliti (Creswell, 2008).
Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang memberikan
kebebasan terhadap partisipan dalam memberikan jawaban, dimana
pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan pada partisipan, wawancara ini
dilakukan dengan face to face (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian ini,
wawancara dilengkapi alat perekam suara dan cacatan lapangan seperti
dalam melakukan penulisan Analisa Proses Interaksi (API) untuk
mengedentifikasi respon non verbal informan, seperti menanggis,
sedih, gembira dan sebagainya, serta mencatat semua percakapan. Data
yang dikumpulkan oleh peneliti sudah dianggap memadai apabila telah
sampai ketaraf “saturacy” (data telah jenuh, ditambah sampel tidak lagi
memberikan informasi yang baru atau jika partisipan sudah mulai
terjadi pengulangan informasi).
2. Tahap Pengumpulan Data
a. Tahap Persiapan Pengumpulan Data
Peneliti sebelumnya mengurus surat izin untuk melakukan
pengumpulan data, surat izin penelitian diberikan kepada kepala
38
38
sekolah dan kepada responden yang akan diteliti. Setelah
memperoleh izin dari kepala sekolah dan responden, selanjutnya
peneliti mulai melakukan observasi kesetiap kelas yang terdapat
siswa dengan anak sindrom down, kemudian peneliti mengadakan
pertemuan dengan partisipan utama dan partisipan pendukung
untuk menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian serta
kriteria yang dipilih sebagai partisipan dan memberikan informed
consent pada partisipan untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian
ini. Setelah partisipan memberikan pernyataan kesediaannya
dengan menandatangani lembar persetujuan, maka peneliti
melakukan proses pengambilan data dengan melakukan teknik
open-ended interview. Sebelum melakukan wawancara, peneliti
membina hubungan saling percaya dengan partisipan dengan
melakukan pendekatan awal, agar partisipan dapat lebih terbuka
memberikan informasi. Setelah responden mulai menunjukan sikap
terbuka dan saling percaya dengan peneliti, maka peneliti membuat
penawaran dengan partisipan terlebih dulu, waktu, tempat dan
durasi wawancara. Kemudian peneliti meminta izin kembali untuk
melakukan pertemuan selanjutnya setelah selesai pengambilan data
bila ada data yang kurang atau hilang.
b. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data
Pada tahap pelaksanaan pengumpulan data, data yang
dikumpulkan merupakan hasil dari perolehan informasi yang
diberikan oleh responden, kemudian informasi tersebut digunakan
39
39
peneliti sebagai data yang dibutuhkan dalam penulisan suatu
laporan penelitian dengan mengkategorikan informasi yang
diberikan responden sehingga hasil informasi tersebut menjadi
subtema dan tema. Wawancara pertama dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan secara garis-garis besar tentang strategi
koping orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down,
wawancara dilakukan dengan (face to face) untuk memperoleh
informasi secara jelas dan mendalam. Dengan face to face peneliti
memperoleh pandangan yang menyeluruh tentang strategi koping
serta mendapatkan pengalaman langsung terhadap fenomena yang
diteliti dan menemukan hal-hal yang tidak terungkap oleh
partisipan dalam wawancara sehingga akan menguatkan data yang
diperoleh. Bila dengan pertanyaan yang diberikan kurang dipahami
oleh partisipan, maka peneliti menggunakan pedoman wawancara
yang sudah dipersiapkan untuk menguraikan pertanyaan inti.
Dalam ini peneliti durasi wawancara berlangsung selama 20-60
menit, Sehingga informasi yang didapatkan dari partisipan lebih
dalam dan luas terhadap strategi koping yang digunakan oleh orang
tua yang menderita anak dengan sindrom down. Data yang
dikumpulkan peneliti merupakan data yang sudah jenuh dimana
data tersebut merupakan informasi yang diperoleh dari reponden
yang berlangsung secara terus menerus sampai tuntas hingga
jawaban yang diberikan sama.
40
40
Dengan metode wawancara ini peneliti tidak hanya
mendapatkan informasi secara lisan saja, akan tetap peneliti juga
akan mendapatkan nilai kebenaran yang dikatakan oleh responden,
membaca mimik muka partisipan, serta memberikan penjelasan
bila pertanyaan tidak dimengerti partisipan (Notoatmodjo, 2010).
Patton dan Molleong (2002 dalam Sugiyono, 2011)
menggolongkan enam jenis pertanyaan dalam wawancara, yaitu
pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman, pendapat,
perasaan, pengetahuan, indera dan berkaitan dengan latar belakang
atau demografi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis
pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman dan perasaan.
Selama proses wawancara berlangsung, peneliti membuat catatan
lapangan yang berupa hal-hal penting atau kata-kata kunci dan
gambaran ekspresi non-verbal partisipan serta hal-hal lain yang
dianggap penting untuk memperkaya data penelitian dan
menggunakan alat perekam.
c. Tahap Penutupan
Diakhir proses wawancara, peneliti melakukan terminasi
pada semua partisipan dengan melakukan validasi hasil wawancara
yang sudah dilakukan selama penelitian, setelah peneliti
menganalisa data dengan menggunakan analisa tematik sehingga
tergali subtema dan tema. Setelah peneliti mendapatkan tema dari
informasi tersebut peneliti kembali mendatangi responden untuk
memvalidasi atau mengecek ulang informasi yang diberikan
41
41
responden. Kemudian peneliti mengucapkan terimakasih serta
menyatakan penelitian telah selesai.
G. Validasi Data
Untuk menjaga validasi data, maka peneliti menggunakan metode
validitas internal dengan melakukan triangulasi. Triangulasi dalam
pengujian kredibilitas ini dapat diartikan sebagai pengecekan data dari
berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Triangulasi
meliputi (Sugiyono, 2011)
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data
dari sumber yang berupa informan berbeda-beda. Data yang telah
dianalisis akan menghasilkan suatu kesimpulan yang akurat.
2. Triagulasi Teknik
Triangulasi teknik dilakukan untuk menguji kreadibilitas
data yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber
yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data yang
diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi,
dokumentasi atau kuesioner. Bila dengan menggunakan teknik
tersebut mendapatkan hasil yang berbeda-beda, maka peneliti akan
melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data untuk
memastikan data mana yang dianggap benar, atau mungkin semua
benar karena sudut pandangnya berbeda-beda.
42
42
3. Triangulasi Waktu
Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data
yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat
nara sumber masih segar, sehingga partisipan belum mempunyai
banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga
lebih kreadibel. Pengujian kreadibilitas data dlakukan dengan cara
melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik
lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji
menghasilkan data yang berbeda maka dilakukan secara berulang-
ulang hingga mendapatkan kepastian data.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji validitas dengan
melakukan pengecekan triangulasi teknik dan triangulasi sumber untuk
mendapatkan hasil penelitian yang valid, realible dan objektif.
H. Teknik Analisis Data
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana strategi
koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down. Analisa data yang
akan digunakan dalam penelitian ini dengan metode fenomenologi yang
dikembangkan oleh Colaizzi (1978). Langkah-langkah analisis data
berdasarkan Colaizzi (1978) dalam Streubert (2003), meliputi:
1. Peneliti mencatat semua simbol yang didapatkan dari responden tentang
fenomena yang diteliti yaitu strategi koping orang tua pada anak yang
menderita sindrom down.
43
43
2. Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai
stresor dan membuat transkip. Data yang dianggap penting kemudian
dilakukan pengkodean data.
3. Mendengar ulang hasil wawancara dan membaca semua gambaran
partisipan secara berulang-ulang dari fenomena yang dialami partisipan
mengenai strategi koping yang dilakukan oleh orang tua pada anak yang
menderita sindrom down sampai diperoleh pemahaman yang benar
4. Membaca ulang catatan asli dan kutipan pertanyaan penting dengan
mengelompokkan kata kunci dari partisipan mengenai strategi koping.
5. Membaca ulang kembali data yang sudah didapatkan.
6. Tulis ulang kembali data yang ada, kemudian peneliti membentuk
pegertian dari kelompok tema dengan membuat sub-tema dan kategori.
7. Selanjutnya mengintegrasi hasil analisis ke dalam bentuk deskriptif
dengan mengambil tema dari kategori yang sudah dianalisa.
8. Peneliti membaca kembali data dalam pembentukan kategori data hasil
penelitian untuk dijadikan tema.
9. Membuat abstraksi dari tema yang sudah ditentukan ( Streubert dan
Carpenter, 2003)
44
44
Gambaran proses analisis data
Gambar 4.2 Teknik analisa data Colaizzi (1978)
Sumber: Streubert & Carpenter (2003).
I. Etika Penelitian
Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku
untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti,
pihak yang diteliti (partisipan) dan masyarakat yang akan memperoleh
hasil penelitian tersebut (Notoatmojo, 2010). Etika penelitian ini bertujuan
untuk menjaga privasi dan kerahasiaan informan, serta peneliti
memberikan kebebasan kepada partisipan untuk memberikan informasi
atau tidak memberikan informasi (tidak berpartisipasi). Sebelum
Menggabungkan data yang baru
diperoleh saat dilakukan validasi
Memiliki gambaran yang jelas
tentang fenomena yang diteliti
Mencatat data yang diperoleh
(hasil wawancara) Kembali ke responden untuk
klarifikasi data hasil penelitian
Mengintegrasikan hasil analisis ke
dalam bentuk deskriptif
Membaca transkrip secara
berulang-ulang
Merumuskan tema Mengelompokkan kata kunci
Membuat kategori-kategori
45
45
melakukan pengumpulan data, peneliti meminta izin kepada Kepala
Sekolah Luar Biasa Negri 1 Jakarta dengan menyerahkan surat
permohonan melakukan pengambilan data untuk proposal penelitian dan
penelitian.
Sesuai dengan kode etik, sebelum peneliti melakukan penelitian
untuk mendapatkan suatu informasi dari partisipan, maka peneliti
menggunakan pendekatan kepada partisipan dengan menjelaskan tentang
isi surat persetujuan menjadi partisipan yang berisi tetang jaminan
kerahasiaan identitas partisipan dan tujuan dari penelitian. Peneliti
selanjutnya meminta kesediaan partisipan untuk menandatangani lembar
persetujuan tersebut sebagai bukti kesediaan partisipan menjadi responden
peneliti. Seluruh informasi yang mencantumkan identitas partisipan hanya
digunakan sebagai pengolahan data dan bila sudah tidak digunakan maka
data akan dihilangkan. Dengan adanya inform concent dari partisipan
tersebut, artinya partisipan sudah mempunyai keterikatan dengan peneliti
untuk memberikan informasi yang diperlukan peneliti.
Peneliti dalam melakukan penelitian hendaknya memegang teguh
sikap ilmiah (scientific attitude) serta berpegang teguh pada etika
penelitian, meskipun mungkin penelitian yang dilakukan tidak akan
merugikan atau membahayakan bagi subjek penelitian. Secara garis besar,
dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat prinsip yang harus
dipegang teguh, yakni:
a. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
46
46
b. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for
privasi and confidentiality)
c. Keadilan dan inklusivitas/ keterbukaan (respect for justice an
inclusiveness)
d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing
harms and benefits)
47
47
BAB V
HASIL PENELITAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
1. Sejarah Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta
SLB Negeri A persiapan B-C adalah sekolah negeri pertama di
Jakarta didirikan oleh pemerintah dengan surat keputusan dari menteri
pendidikan dan kebudayaan No.2/SK/B/III tanggal 13 maret 1862,
yang terletak di jalan R.S. Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan. Sesuai
surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan RI (Republik
Indonesia) No.0384/0/1987 tanggal 1 Juli 1987, Sekolah Luar Biasa
(SLB) Negeri A persiapan B-C dipindahkan dari R.S. Fatmawati,
Cipete, Jakarta Selatan ke kompleks SLB A Pembina Tingkat
Nasional, Jl. Pertanian Raya, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan.
Berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No.1368/2007
SLB Negeri A persiapan B-C Jakarta menjadi SLB Negeri 1 Jakarta,
yang melayani satuan pendidikan TKLB (taman kanak-kanak luar
biasa), SDLB (sekolah dasar luar biasa), SMPLB (sekolah menengah
pertama luar biasa), dan SMALB (sekolah menengah atas luar biasa).
Sejak tahun 2006 SLB Negeri 1 Jakarta oleh direktorat pembina
sekolah luar biasa ditunjuk sebagai sentra pendidikan khusus dan
pendidikan layanan khusus untuk wilayak DKI Jakarta.
48
48
Data siswa SLB A persiapan B-C tahun 2010 untuk pendidikan
TKLB (taman kanak-kanak luar biasa) berjumlah 6 siswa, SDLB
(sekolah dasar luar biasa) 80 siswa, SMPLB (sekolah menengah
pertama luar biasa) 67 siswa, dan SMALB (sekolah menengah atas
luar biasa) 55. Dan peserta didik kursus keterampilan sebanyak 12
siswa. Jumlah total siswa SLB A persiapan B-C sebanyak 220 siswa.
Sumber tenaga kerja SLB A persiapan B-C tahun 2010 sebagai guru
dan pegawai berjumlah 57 orang, yaitu guru 47 orang, tata usaha 3
orang, tenaga kebersihan 4 orang, penjaga sekolah 2 orang, serta
pustakawan 1 orang.
2. Visi dan Misi Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakrta
a. Visi Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta
Terwujudnya pelayanan pendidikan bagi anak berke
butuhan khusus dan pendidikan layanan khusus menjadi manusia
yang beriman, bertaqwa, sehat, cerdas, terampil dan mandiri dalam
masyarakat insklusif.
b. Misi Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta
1. Mengurangi dampak gangguan melalui rehabilitasi,
terapi ringan, keterampilan, dan lain-lain.
2. Meningkatkan dan memperluas pengetahua,
wawasan, pengalaman dan sikap percaya diri
melalui kegiatan belajar dan mengajar.
49
49
3. Meningkatkan keterampilan dan memperluas
peluang kerja melalui program pilihan keterampilan
pada bengkel kerja PLB Jakarta.
B. Karakteristik Demografi Informan
Dalam penelitan ini informan dibagi menjadi dua yaitu informan
utama dan informan pendukung. Informan utama terdiri dari tujuh orang
tua pada anak yang menderia sindrom down dan informan pendukung
terdiri dari dua orang guru kelas yang didalam kelasnya terdapat siswa
atau siswi yang terdiagnosa sindrom down.
Peneliti melakukan wawancara mendalam pada orang tua dan guru
setelah menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dan informan tersebut
bersedia menjadi respoden dengan mengisi lembar informed consent.
Secara umum gambaran karakteristik informan yang berhasil
diwawancarai adalah sebagai berikut
a. Partisipan Utama
Tabel 5.1 karakteristik partisipan.
Keterangan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
Inisial Tn. A Ny. N Tn. D Tn. S Tn. Z Ny. M Ny. P
Usia 50
tahun
46
tahun
50
tahun
56
tahun
59
tahun
54
tahun
47
tahun
Jenis
kelamin
Laki-
laki
Perem-
puan
Laki-
laki
Laki-
laki
Laki-
laki
Perem-
puan
Perem-
puan
Anak yang
terdiagnosa
sindrom
3 dari 3
bersau-
dara
3 dari 3
bersau-
dara
2 dari 2
bersau-
dara
3 dari 3
bersau-
dara
4 dari 4
bersau-
dara
4 dari 4
bersau-
dara
1 dari 1
bersau-
dara
50
50
Tabel 5.2 Usia kehamilan responden
No Inisial Usia Kehamilan
1 Ny. N 35 tahun
2 Ny. Q 47 tahun
3 Ny. M 43 tahun
4 Ny. P 39 tahun
Diketahui :
a. Jumlah responden = 7 orang , (4 perempuan dan 3 laki-laki)
b. Usia ibu saat kehamilan > 35 tahun = 4 orang
Maka , 4/7 x 100 = 57,14 %
Usia responden pada saat kehamilan rata-rata > 35 tahun, pada kehamilan
usia ibu diatas 35 tahun maka ibu akan beresiko melahirkan anak dengan sindrom
down dan diperkirakan terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan non-
down anak
ke-
Pendidikan
terakhir
SD SLTP SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA
Pekerjaan Buruh Ibu
rumah
tangga
Karyaw
an
swasta
Pensiun Pegawa
i swasta
Ibu
rumah
tangga
Ibu
rumah
tangga
51
51
disjunction pada kromosom. Dengan adanya perubahan hormon, maka akan
terjadi perubahan pada endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen,
menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunya konsentrasi estradiol
sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam
kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon) hal ini
yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya “non-disjunction”.
b. Partisipan pendukung
Tabel 5.3 karakteristik partisipan
Keterangan Informan pendukung 1 Informan pendukung 2
Inisial Guru M Guru N
Usia 37 tahun 38 tahun
Jenis kelamin Perempuan Perempuan
Pendidikan terakhir S1 S1
Pekerjaan Guru Tetap kelas 1
SLB Negeri 1 Jakarta
Guru Tetap kelas 6 SLB
Negeri 1 Jakarta
52
52
C. Analisis Data
Setelah melakukan analisa data, peneliti mengidentifikasi 11 tema
sebagai hasil penelitian ini. Proses pemunculan tema ini dapat dilihat pada
lampiran, tema-tema tersebut dihasilkan berdasarkan tujuan peneliti.
1. Stresor pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom
down
Stresor pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down
tergambar dalam lima tema, yaitu stresor internal, stresor eksternal,
respon kongnitif, respon emosi dan respon tingkah laku. Masing-
masing akan diuraikan dibawah ini
Tema 1 : Stresor internal
Stresor yang dialami oleh partisipan dalam tema ini, seperti
adanya gannguan pertumbuhan dan perkembangan anak, harapan
akan masa depan anak dan kurangnya pengetahuan orang tua
terhadap sindrom down. Seluruh partisipan mempunyai stresor
yang sama yang terjadi pada gangguan pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan sindrom down, seperti beberapa
kutipan yang sebagai berikut :
“saya kan orang awam, gak tau kelainan apa, saya
taunnya kelainan aja, sadar-sadarnya pas udah lima tahun
waktu terapi Rs.Famawati kalo ternyata anak saya down
sindrom. Masalahnya anak saya itu lambat jalannya,
bicaranya juga lambat….”(Tn. A)
53
53
“Masalahnya yaa..itu ngomongnya kurang jelas sampe
sekarang, saya binggung itu otaknya belum bisa tanggep
pelajaran,...” (Ny.N)
“Aduh.. susah mba, saya gag sampai hati, ini batin mba,
punya anak kaya gini ya banyaklah masalahnya (tampak
sedih), anak saya ini perkembangannya kurang cepat,
semuannya lambat, ngomongnya, yaa.. jalannya,...”(Tn.D)
“Saya punya anak ini kok perkembangannya gini terus,
lamban segala-galanya satu tahun lebih belum bisa jalan,
sering sakit-sakitan….”(Tn.S)
“Kok perkembangannya lambat, anak saya usia setahun
setengah aja gak bisa apa-apa, duduk gag bisa, apa-
apanya lambat….” (Tn.Z)
“rasanya dunia kaya mau kiamat waktu saya tahu anak
saya sindrom down, masalahnya ya itu mba, kok waktu
satu tahun lebih belum bisa jalan, sekarang aja
ngomongnya lamban,….”(Ny.M)
“Pokoknya tumbuhnya lambatlah, berat badannya,
perkembangannya, ya sedihlah itu (mata ibu tampak
berkaca-kaca)” (Ny.P)
Stresor yang dirasakan oleh partisipan pada anak dengan
sindrom down tidak hanya ditemukan dengan gangguan
54
54
pertumbuhan dan perkembangan, dua orang partisipan mengatakan
bahwa memiliki anak sindrom down, anak sering sakit-sakitan:
“……,anak saya kalo sakit itu suka sampe dirawat, mundar
mandir rumah sakit juga” (Tn.D)
“……,anak saya itu sering sakit-sakitan, masuk rumah
sakit sampe dirawat itu sering mba, sampe kritis dulu juga
pernah, udah sehat pulang kerumah, eh sakit lagi, masuk
kerumah sakit lagi”. (Ny.M)
Harapan akan masa depan anak juga menjadi suatu stresor
tersendiri bagi partisipan dalam merawat anak dengan sindrom
down, orang tua merasa khawatir terhadap masa depan anak
dimasa mendatang, seperti ungkapan beberapa partisipan berikut :
“….,dipikiran saya itu..nanti gimana kedepannya? Apalagi
kehidupannya nanti setelah tidak ada saya? (ibu
menanggis).”(Ny.N)
“…., yang bikin saya khawatir itu gimana nantinya?
Gimana kalo dia sudah gede? (mata tampak berkaca-
kaca)”(Tn.D)
“….,kedepannya bagaimana ini anak saya? (Tn.S)”.
“…., sekarang aja ngomongnya lambat.. gimana
nantinya?”(Ny.M)
55
55
Kurangnya pengetahuan terhadap informasi yang
didapatkan oleh partisipan juga ditemukan pada penelitian ini, 2
partisipan mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang sindrom
down, seperti ungkapan berikut :
“….,saya kan orang awam, gak tau kelainan apa, saya
taunya kelainan aja, sadar-sadar pas udah lima tahun
waktu terapi di Rs.Fatmawati”.(Tn.A)
“….,saya gak tau, saya taunya kelainan aja.. baru tau pas
lagi terapi dikasih tau dokternya”(Tn.Z)
Tema 2 : Stresor Eksternal
Stresor eksternal yang teridentifikasi meliputi Stigma
masyarakat : dipandang sebelah mata, dikucilkan, diejek, dan
dihina. Penolakan anggota keluarga dan hambatan keuangan.
Seperti ungkapan partisipan sebagai berikut ketika anaknya
dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat :
“Namanya anak kaya gini yaa mba.. saya sedih mba, anak
saya itu dipandang sebelah mata sama orang lain, kaya
gimana gitu liat anak saya (partisipan meneteskan air
mata)” (Tn.D)
“….(tampak sedih) ditambah lagi, naik angkutan umun aja
diliatin, rasanya sakit mba.” (Ny,M)
56
56
Bukan hanya dipandang sebelah mata saja, tapi terkadang
sebagian masyarakat juga menjauhi anak sindrom down tersebut,
beberapa ungkapan 2 partisipan berikut saat anaknya
dijauhi/dikucilkan :
“…., anak saya itu mau pegang adik kecil anak tetangga
sebelah malah dijauhin sama orang tuannya, saya sih..
engga apa-apa.. Cuma sakit hati aja sama orang-orang,
kok gitu banget.” (Tn.S)
“… ya itu.. anak saya kalo lagi pengen main sama anak
tetangga, eh malah pada ngejauh (mata tampak berkaca-
kaca)” (Ny.M)
Partisipan lain juga menggungkapkan saat anaknya diejek
oleh orang-orang dilingkungan sekitar :
“….,sering sekali anak saya diejek anak-anak seumuran
dia, makannya anak saya maunya main sama orang yang
sudah dewasa.”(Tn.A)
“….kalo ada anak saya pasti langsung diejek, ejekannya
seperti ini .. “ada…An.A… ada An.A… (partisipan tampak
sedih)”. (Ny.N)
“….,dilingkungan saya memang menerima, tapi tetap saja
ada temannya dirumah yang suka mengolok-olok anak
saya.”(Tn.Z)
57
57
“….,anak-anak suka mengolok-olok anak saya kaya gini …
(Partisipan meneteskan air mata) An.D bego.., An.D bego,
sedih juga.. Ya Allah..”(Ny.M)
Pada saat dihina, juga membuat partisipan semakin tambah
merasa terbebani dengan keadaan yang dialami olehnya, 2
partisipan mengungkapkan sebagai berikut:
“….,Anak saya pernah dihina (wajah tampak
murung)”(Tn.D)
“…., yang membuat saya merasa tambah sedih dan beban
itu karena ada orang yang menghina anak saya (mata
tampak berkaca-kaca)”.(Ny.P)
Penolakan dari anggota keluarga juga menjadi suatu stresor
tersendiri bagi orang tua saat merawat anak dengan sindrom down,
karena peran dalam keluarga sangat dibutuhkan dalam merawat
dan membangun kasih sayang terhadap anak. Seorang partisipan
mengemukakan alasan sang istri menolakan untuk merawat
anaknya:
“…..,belum lagi istri saya yang gag mau terima anak ini,
memang dari sebelum hamil dia tidak mau punya anak,
makannya waktu itu istri saya minum jamu biar haid, tapi
gagal haid, akhirnya anak ini lahir, dan istri saya tidak
mau merawat, jadi ya.. saya yang rawat” (Tn. Z)
58
58
Stresor lain juga diungkapkan oleh beberapa partisipan
terhadap hambatan keuangan yang menambah beban saat
melakukan terapi dan pengobatan :
“ ya,,terapinya itu mahal.., saya kerjanya juga apa
adanya”. (Tn. A)
“sudah terapi mahal, belum lagi kalau uang saya habis..
saya sedih mba, jadi anak saya engga terapi dulu, jadi
nunggu kalo ada rezekinya baru terapi lagi” (Tn.D)
“…,Kalo biayanya udah gag kehitung, ya…masalahnya
memang biayanya agak berat, waktu di Hembing itu
terapinya mahal sekitar 300rb-500rb, obatnya juga mahal-
mahal, terus kita kudu beli buku juga”. (Tn.S)
“….,biaya terapi juga mahal”(Tn.Z)
“…,untuk masalah biaya terapi, saya dulu bayar sendiri,
itu juga bikin saya binggung karna bapanya kan sudah
pensiun ya akhirnya sempet ngga terapi dulu, kalo punya
uang baru terapi lagi”(Ny.P).
Semua partisipan utama mendapatkan stresor internal dan
eksternal yang bervariasi. Orang tua tidak mengetahui apa itu
sindrom down, karena sindrom down bukan penyakit yang sering
didengar dikalangan masyarakat awam. Orang tua mengetahui
anaknya terdiagnosa sindrom down bermacam-macam, ada yang
59
59
mengetahuinya sesaat setelah lahir dan ada yang sudah berjalan
usia lima tahun baru tahu bahwa anaknya terdiagnosa sindrom
down. Ketika tahu dari dokter, dan dokter menjelaskan tentang
sindrom down, penyebab, pengobatan, serta perawatannya, maka
tergalilah tiga tema dari respon stresor tersebut, yaitu respon
kongnitif, respon emosi dan respon tingkah laku.
Tema 3 : Respon kongnitif
Tema ini muncul dari kategori binggung dan kepala saya
pusing (banyak pertanyaan dikepala saya). Respon stresor
binggung yang diungkapkan beberapa partisipan sebagai berikut :
“Dalam hati saya, ada apa ini, kenapa memangnya?
kelainan apaan? ..fisiknya normal… jadi saya masih
binggung dan ga..tau, dikasih tahunnya pas satu minggu
anak saya lahir, saya kan orang awam, ga.. tau kelainan
apa, saya taunnya kelainan aja, sadar-sadarnya pas udah
lima tahun waktu terapi Rs.Famawati kalo ternyata anak
saya down sindrom. Ya saya sedih, mau digimanain lagi
(mata tampak merah dan berkaca-kaca)” (Tn. A)
“Awalnya saya ga tau kalo anak saya sindrom down, dokter
waktu itu bilangnya anak saya akan terlambat
perkembangannya, saya binggung waktu itu”. (Ny.N)
60
60
Satu partisipan menggungkapkan pada saat mengetahui
anaknya terdiagnosa sindrom down banyak pertanyaan terdapat
dibenaknya hingga iya merasa pusing:
“Waktu saya tahu anak saya sindrom down, kepala saya
pusing, banyak sekali pertanyaan dikepala saya pada saat
itu “nanti anak saya biasa apa? Bagaimana nanti ? Sekolah
dmn? Ntar kedepannya bagaimana?”, itu pas usia anak
saya dua bulan, kata dokter bilangnya ada kelainan, beda
dari yang lain, saya kaget, pada saat hamil sehat-sehat
saja gak ada apa-apa, lahir normal tapi kecil banget
1600gr (mata tampak merah dana berkaca-kaca,
meneteskan air mata)”.(Tn.D)
Tema 4 : Respon emosi
Respon emosi yang teridentifikasi pada tema ini meliputi :
sedih, kecewa, malu dan marah. Seperti ungkapan beberapa
partisipan berikut :
“… ya, seedihlah.. mau digimanain lagi (mata tampak
merah dan berkaca-kaca)”(Tn.A)
“….sedihlah pada saat itu (mata tampak berkaca-kaca)”
(Tn. D)
61
61
“Saya ngomong sama ibu… ya kita terima ini anak kita
mau digimanain lagi, saya kecewa dan nangis-nangis
sambil doain dia..” (Tn. S)
“Gimana ya rasanya perasaan saya...(ibu tampak sedih)
karena dari sebelas anak dari ibu saya ya saya doang yang
punya anak kaya begini. pertama ya malu, ya jengkel,
pertama saya gag terima.. dosa apa saya ini, saya punya
anak kaya gini.. apa saya dikutuk, apa gimana (ibu
meneteskan air mata)” (Ny.M)
“Pada saat saya tahu, saya pasrah aja.. ini titipan, ya kita
terima, ngomong sama ibu ya kita terima ini anak kita mau
digimanain lagi, saya kecewa dan nangis-nangis sambil
doain dia..” (Tn. S)
“Waktu lahir saya langsung di kasih tahu, Ya Allah… saya
sempat kaget, sedih ya pasti, saya sudah dikasih seperti itu
mau diapain lagi” (Ny.P).
Tema 5 : Respon Tingkah laku
Tema ini terdiri dari satu sub-tema yaitu dampak dari
stresor yang muncul sebagai respon pasrah, kaget dan menangis.
Dua partisipan menggungkapkan pasrah terhadap keadaan yang
dialaminya :
62
62
“….,pada saat saya tahu, saya pasrah aja… inititipan, ya..
kita terima”.(Tn.S)
“saya sudah dikasih seperti ini mau diapain lagi, say
pasrah aja ..”(Ny.P)
Tiga partisipan lain merasa kaget saat mengetahui anaknya
terdiagnosa sindrom down, berikut ungkapannya :
“…itu awalnya saya kaget banget, engga tau harus
ngapain, kok bisa gitu anak saya seperti itu?”(Ny.N)
“saya kaget, pada saat hamil sehat-sehat saja gak ada apa-
apa”. (Tn.D)
“…Ya Allah…saya simpet kaget, kenapa begini?”(Ny.P)
Beberapa partisipan berespon dengan menaggis, sebagai
suatu bentuk dampak dari stresor yang dirasakannya :
“….,anak saya itu kecil banget pas lahir beratnya saja
hanya 1600gr (mata tampak merah dan meneteskan air
mata), kecil banget mba, saya adzanin aja saya gag kuat,
saya menaggis pada saat itu, sedihlah mba”.(Tn.D)
“saya kecewa pada saat itu,kenapa harus saya? Saya
menaggis sambil doa’in anak saya itu”(Tn.S)
Menurut pandangan dua partisipan pendukung, partisipan
pendukung tidak mengetahui dengan jelas respon orang tua pada
63
63
saat mengetahui anak mereka terdiagnosa down sindrom. Karena
mereka rata-rata datang menyekolahkan anaknya disekolah luar
biasa (SLB) mulai dari TK (taman kanak-kanak) dan SD (sekolah
dasar), adapula yang dulu TKnya pernah bersekolah disekolah
umum, Respon yang ditunjukan orang tua pada saat mengantarkan
anaknya bermacam-macam, seperti kutipan berikut :
“Alhamdulillah…karena dari awal sebelum masuk
kesekolahan ini, orang tua sudah tahu sedikit gambaran
tentang kondisi anaknya karenakan sebelum masuk sekolah
ini dites IQ dulu dan ada terapi psikologi untuk orang tua,
jadi responnya mereka sangat baik, tapi ada juga yang
malu ketika bertemu saya, lalu saya beri nasihat bahwa
anak ini anak special, tak perlu malu, besoknya ibu itu
sudah mulai terbuka dan mau bergabung dengan ibu-ibu
yang lain. mereka rata-rata meneriman keadaan anaknya.
Orang tua mensyukuri anugrah dari Allah, karena sudah
dapat informasi dari psikologi jadi orang tua menerima
ketika sudah mulai bersekolah”. (Ny.GN)
“Orang tua rata-rata mengantarkan anaknya seperti biasa,
karena pada awalnya kan sudah mendapatkan banyak
informasi dari psikologi komite sekolah tentang anaknya,
jadi pada saat masuk kelas, hanya mengantar saja dan
sikapnya pun biasa saja”(Ny.GM)
64
64
2. Strategi koping yang digunakan orang tua yang berpusat pada
masalah (problem focus coping)
Hasil penelitian didapatkan bahwa semua partisipan utama
menggunakan strategi koping berupa problem focus coping, yaitu
usaha untuk mengatasi stress dengan cara mengubah atau mengatur
masalah yang dihadapi. Koping ketujuh partisipan tergambar pada
tema ke-enam, yaitu confrontative coping (usaha langsung).
Tema 6 : Confrontative coping (usaha langsung)
Hasil penelitian didapatkan bahwa orang tua melakukan
suatu bentuk usaha secara langsung ketika anaknya mulai
menunjukan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan,
dalam bentuk usaha secara langsung untuk mengatasi masalah
yang ada, dengan cara membawa anaknya kedokter atau langsung
terapi ke rumah sakit, ada juga yang diurut-urut dukun kampung,
serta mengikuti saran-saran kuno lainnya dan menempatkan anak
pada sekolah khusus. Hal ini merupakan suatu tindakan yang
dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi, berikut ini
adalah ungkapan partisipan yang menggunakan usaha langsung
dengan melakukan pengobatan medis :
65
65
”pokoknya pas saya tahu anak saya down sindrom, saya
langsung usaha kerumah sakit, untuk terapi, karena
jalannya lambat, bicaranya juga lambat” (Tn.A)
“…,ya saya juga terapi-terapi kerumah sakit, terapi jalan,
terapi bicara walupun sedikit-sedikit terus terapi biar bisa
bicara, ya pokoknya terapi jalan terus sampe akhirnya dia
bisa jalan sekarang”. (Ny.N)
“Pada saat itu saya disarankan terapi-terapi, saya ikutin
terus itu terapi-terapi.. seperti terapi bicara, jalan,
memegang suatu benda, gag lama terapi bisa jalan, terapi
iya tetep jalan, rutin kedokter, saya usahain kemana aja
terapi pokoknya harus berperan nanti anak supaya bisa
mandiri. Setelah terapi-terapi semakin bertahap terus ada
perubahan, kemana aja udah saya lakukan”. (Tn.D)
“Saya rutin kedokter, ikut terapi-terapi… terapi jalan,
terapi bicara, sampai sekarang masih terapi”.(Tn.S)
“….Langsung kedokter, terapi juga”.(Tn.Z)
“saya langsung kedokter, terapi juga…..”(Ny.M)
“Anak saya juga sering panas, batuk lalu langsung saya
bawa kedokter,semua terapi saya lakuin, dari terapi
wicara, terapi konsentrasi di fatmawati, terapi terus
berjalan sampai sekarang”(Ny. P)
66
66
Beberapa responden yang menggunakan pengobatan
alternatif dengan menggunakan jasa tukang urut ,mengungkapkan
sebagai berikut :
“….,karena jalannya lambat, bicaranya juga lambat, saya
juga bawa dia ketukang urut biar bisa jalan”(Tn.A)
“….,saya juga usahakan membawa dia ke orang pinter urut
sampe tujuh kali, gada perubahan, terus mencoba lagi
ketempat lain urutnya”.(Ny.N)
“…., setiap minggu rutin saya bawa ketukang urut”.(Tn.Z)
Dua partisipan lain mengungkapkan bahwa mereka juga
menggunakan jasa dukun kampung untuk menyebuhkan penyakit
anak yang dideritanya :
“saya bawa juga dia kedukun-dukun kampung, disuruh
potong ayam kampung, beli beras dipedaleman, ya.. saya
lakuin disruh ini.. disuru itu.. saya kerjain”. (Tn.A)
“….,obat kampung iya… yang diketokin centong iya..
itukan gag masuk akal yaa… secara logika tapi yang
penting saya usaha, dikasih saran kesana, kesini juga saya
langsung lakuin, saya usahain agar anak saya sekolah,
sebisa mungkin anak saya mandiri”(Ny.M)
. Tema 7 : Seeking social support (mencari dukungan sosial)
Peneliti mencoba mengkategorikan pencarian dukungan
sosial dengan cara mencari informasi baik dukungan internal,
67
67
ekternal dan dukungan spiritual. Beberapa partisipan utama lain
dalam penelitian ini cenderung mencari dukungan social untuk
mendapatkan suatu kenyamanan emosional dan bantuan informasi
dari orang lain. Orang tua cenderung mendapatkan kenyamanan
ketika sudah menceritakan masalah yang ada dan mendapatkan
dukungan yang diberikan seseorang sehingga dapat menenangkan
situasi yang membuatnya merasa sedih saat menghadapi masalah
atau stressor. Seperti ungkapkan partisipan sebagai pencarian
dukungan internal keluarga :
“Pada saat saya sedang ada masalah, saya cerita sama
orang terdekat saya yaitu suami saya, saya sering berdikusi
dengan suami saya tentang anak saya ini, pokoknya lebih
tenang kalo udah cerita sama suami”. (Ny.N)
Saya sering berbagi cerita dan masalah dengan keluarga,
keluarga mendukung, suami saya dan kakaknya juga
mendukung, suami dan keluarga sayang sekali dengan
dia”. (Ny.P)
Sementara satu partisipan mengungkapkan pencarian
dukungan ekstrenal didapatkan dari teman dengan berbagi cerita
untuk dapat menenangkan perasaan khawatir yang dirasakannya,
berikut ungkapan partisipan :
“…., dan saya disini sering berbagi cerita ibu-ibu yang
sama dengan saya diSLB (sekolah luar biasa) ini, banyak
68
68
masukan yang saya dapatkan, isi pembicaraan kita seperti
“gimana ya masa depan anak kita, gimana kalo kita sudah
gada” yaa.. kita saling menguatkan dan mendukung, usaha
ya usaha terus, kita sekolahin, kita doa’ain, kita latih juga
dirumah (Ny.N)
“…, saya sering berbagi cerita sama teman dirumah,
disekolah ini juga sering saya dan orang tua disini saling
dukung buat kemajuan anak kita, biar lebih mandiri, ya..
paling engga anak saya ini bisa sosialisasi. Kalo udah
cerita bikin hati saya jadi agak enteng gitu, soalnya mereka
juga ngerasain punya anak kaya gini .” (Ny.M)
Selain berbagi informasi dengan suami dan teman,
partisipan juga mengungkapkan bahwa partisipan juga mencari
informasi dan dukungan dari pihak sekolah, yaitu guru yang
mengajar dikelas berikut ungkapan partisipan :
“…, ya..saya sering menanyakan bagaimana
perkembangan anak saya disekolah, kadang saya mikir koq
gitu-gitu aja, padahal dirumah sudah saya ajarkan juga
kaya yang gurunya kasih buat PR (pekerjaan rumah),
akhirnya lama-lama saya sadar kalo anak kaya gini ya
emang begini, gurunya juga bilang, kalo anak kaya gini
cuma bisa dioptimalisasikan dibina dirinnya. Tapi saya
69
69
tetep sering nanya gimana perkembangan anak saya”
(Tn.A)
“…, karena ibunya tidak mau mengantarkan kesekolah dan
apa-apa saya, ya.. saya jadi suka nanya gimana
perkembangan An.I kalo dikelas, Alhamdulillah sih ada
kemajuan dikit-dikit. Ya.. kadang kakaknya juga ikut bantu
kalo belajar dirumah. Apa-apa saya nanya langsung sama
gurunya itu.”(Tn.Z)
Orang tua sangat berespon sekali untuk mengetahui
perkembangan anaknya dibidang akademik dan pengembangan diri
agar anaknya dapat hidup mandiri, orang tua mencari informasi
pada guru kelas merupakan suatu usaha orang tua dalam mencari
dukungan informasi untuk memberi ketenangan pada dirinya,
berikut beberapa ungkapan dari informan pendukung :
“iya, mereka sering menanyakan kepada saya, “bagaimana
perkembangan anak saya dikelas?” saya hanya menyampaikan
seperti ini… “saya sudah usaha untuk mengajarkan, karena
kemapuannya memang seperti itu, dirumah juga tolong
diajarkan, yang penting tujuan anak ibu disini bisa mandiri
saja, biar bisa pakai baju sendiri, makan sendiri. Orang
tuapun paham akan kemapuan anaknya dan harapannya tidak
terlalu muluk-muluk, mereka hanya berharap agar agar
anaknya bisa mandiri”. (Ny.GN)
70
70
“Pernah, rata-rata orang tuannya sering menanyakan seperti
ini “Bu, bagaimana si A? perkembangan saya anak
bagaimana kalo dikelas?, perkembangan kemajuan belajar,
keterampilan bantu dirinya , kadang2 kalo dikelas bagaimana
anak saya bu ? biasa nya tentang pelajaran juga yang mereka
tanyakan, saya bilang ibu pelan – pelan saja, misalnya meniru
tulisan dari saya (guru), akan sama seperti itu, kalo di lepas
tidak bisa, tapi harus dibimbing juga”. (Ny.GM)
Tema 8 : Planful problem solving (perencanaan pemecahan
masalah)
Perencanaan pemecahan masalah dalam sub-tema yang
didapatkan dari hasil wawancara adalah merawat anak dengan hati-
hati dalam menjaga kesehatannya jangan sampai sakit,
menyekolahkan anak di Sekolah Luar Biasa (SLB). Berikut adalah
ungkapan partisipan dalam merawat anak dengan hati-hati
sehingga anak tidak mudah sakit :
“karena ibunya engga mau urus, ya.. mau tidak mau
memang harus saya yang urus dan merawatnya. Saya
merawat anak saya dengan hati-hati, jangan sampe sakit,
saya jaga makanannya, kegiatannya, semuannya saya
71
71
perhatiin satu persatu, ya mudah-mudahan berhasil saya
merawatnya”.(Tn.Z)
Selain melakukan usaha merawat anak secara hati-hati,
partisipan juga melakukan usaha pemecahan masalah secara
bertahap dengan menyekolahkan anaknya di sekolah khusus untuk
anak-anak disability ini. Sebelumnya ada beberapa partisipan yang
memasukkan anaknya disekolah taman kana-kanak umum untuk
anak-anak yang normal, namun secara bertahap partisipan
menyadari akan keterbatasan anaknya dan memasukkan anaknya
disekolah luar biasa (SLB). Berikut ini ungkapan semua partisipan
:
“…,saya juga nyari-nyari sekolahan yang khusus kaya
anak saya ini, akhirnya dapet juga di SLB ini”.(Tn.A)
“Saya binggung waktu itu, karna taunya anak saya ini
Cuma terlambat aja, saya sempet sekolahkan An.A
disekolah umum, tapi akhirnya guru disekolah umum itu
bilang kalo anak saya tidak kuat kalo sekolahnya masih
diumum (ibu tampak sedih), harusnya disekolah khusus,
akhirnya saya anak saya sekolah disekolah luar biasa
(SLB) ini.”(Ny.N)
“Dulu anak saya pernah saya masukkan di TK (taman
kanak-kanak) normal dan akhirnya saya sadar karna sudah
beda kemampuannya akhinya saya sekolahkan di SLB
(sekolah luar biasa)” (Tn.D)
72
72
“Saya masukkan anak saya ke sekolah luar biasa, anak kita
gitu mau digimanaiin lagi, lalu saya lihat disekolahan ada
yg lebih parah, dari SLB (sekolah luar biasa) itu saya jadi
dapet ilmu, dan berfikir.. ternyata anak saya tidak terlalu
parah bahkan disana ada yang lebih parah dari anak
saya”.(Tn.S)
“….,pada saat milih sekolah ibunya malah daftarin ke
sekolah umum tapi kakaknya (anak saya yg ke-1) suruh
masuk SLB (sekolah luar biasa), saya sadar anak ini
kemampuannya kurang, makannya saya masukkan ke
SLB”.(Tn. Z)
“Saya sekolahkan juga anak saya diSLB” (Ny.M)
“saya cari sekolahan yang khusus untuk anak saya, ya..
akhirnya dapet diSLB ini, dulunya di TK normal” (Ny.P)
Tiga partisipan lain menggunakan usaha dengan membuat
SKTM (surat keterangan tidak mampu) agar mendapatkan biaya
pengobatan dan terapi secara gratis, berikut ungkapan beberapa
partisipan :
“biaya terapi itu dulu saya masih pusing, karena mahal
kalau mau terapi, terus akhirnya sekarang kita buat SKTM,
dan sekarang kalo mau berobat dan terapi untuk anak saya
bisa gratis.(Tn.A)
73
73
“saya juga membuat SKTM, supaya ada ringan biaya
terapinya. Dan ternyata sekarang sudah gratis, ya.. tinggal
biaya mondar-mandirnya itu” (Tn.S)
“….., suami saya kan sudah pension, jadi kalo lagi ngga
punya uang, anak saya gak terapi dulu, akhirnya saya pake
bantua SKTM, jadi bisa gratis sekarang”.(Ny.P)
3. Strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus
coping)
Hasil penelitian didapatkan bahwa orang tua menggunakan
usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur respon
emosional dalam rangka menyesuaikan diri terhadap apa yang
dihadapinya.
Tema 9 : Penerimaan dan tanggung jawab (Accepting
responsibility)
Tema ini terdiri dari sub tema yang terdiri dari menerima
keadaan dan beradaptasi pada keadaan. Menerima keadaan
meliputi menyadari, menerima keadaan, anak adalah bagian orang
tua yang harus dirawat dan dijaga, pasrah, takdir yang harus
dijalani dengan ikhlas, mencoba bersabar, yakin pada Allah anak
adalah titipan. Beradaptasi pada keadaan yaitu mencoba bersabar.
Beberapa partisipan utama melakukan usaha untuk
mengontrol emosinya dengan cara menyadari tanggung jawab
sebagai orang tua dan mencoba menerima keadaan yang terjadi
74
74
agar menjadi lebih baik lagi, berikut ini adalah ungkapan partisipan
dengan kategori menyadari :
“Awalnya saya tidak terima, dan agak iri kenapa harus
saya?, akhirnya lama-lama yaa..saya terima
saja,….”(Tn.A)
“Yang jelas saya sadar aja punya anak seperti ini, ya…
harus dirwat dengan baik (ibu meneteskan air mata)”
(Ny.P)
Berikut ini adalah ungkapan partisipan dalam menerima
keadaan bahwa anak adalah bagian dari dirinya :
“…., diakan anak saya, bagian saya, walaupun anak
seumuran dia itu udah pinter-pinter, ini belum bisa apa-
apa. Ya.. saya pikir ya sudah, saya ikhlas saja. Kadang
anak ini juga suka bikin emosi, kalo dipanggil itu kaya
orang engga peduli gitu, kalau dikasih tau susah, ya…
memang anak-anak seperti ini sama, saya ikutin aja, dia
bebas mau main kemana”. (Tn.A)
“Pertama saya ngga percaya, rasanya kaget, binggung,
gimana nanti anak saya kedepannya (partisipan tampak
sedih) tapi.. Allah kasih gini ya harus saya terima
(meneteskan air mata,dengan segera dihapusnya air
matanya)” (Tn.D)
75
75
“….., ya..kita terima saja, saya ngomong sama ibunya kita
mau gimanain lagi, kami menerimanya dengan
lapang”(Tn.S)
“…., saya terima apa adanya untuk merawat anak saya,
melatih kesabaran aja”. (Tn.Z)
“Begitu saya dikasih tau kalau anak saya ini down
sindrom, rasanya kaya mau kiamat, waktu itu saya belum
bisa menerima, saya tanya ke dokter “ anak saya idiot,
dok?” lalu dokternya jawab “Bukan bu, anak ibu lambat”.
bener dok anak saya idiot ? “bukan ibu.. bukan..”. kalo
anak begini saya jangan bermimpi punya impian, anak bisa
begini, begini, harus dengan sabar, saya jalani aja, saya
terima toh anak adalah titipan yang harus dijaga dan
disayang (partisipan menanggis)”(Ny.M).
Sementara satu patisipan menerima keadaan anaknya
dengan sikap yang pasrah, seperti ungkapan partisipan berikut :
“….,Tadinya kecewa, ya… kita kan orang beragama, ya
saya pasrah , perasaan sedih ya… pasti. kadang anak ini
juga suka emosi mulu, paling saya istigfar aja dan belajar
menerima dengan lapang”.saya pasrah aja, inikan titipan
Allah SWT , saya serahkan semua pada Allah, anak inikan
titipan, mau kaya gimana saya pasrah aja.(Tn.S)
Penerimaan dan tanggung jawab yang diungkapkan
partisipan dilakukan dengan cara beradaptasi pada suatu keadaan,
76
76
berikut ini ungkapan beberapa partisipan dengan cara memcoba
bersabar dalam mengontrol perasaannya :
“…, punya anak kaya gini bikin saya kadang emosi mba,
ya.. saat saya sedang emosi, saya mencoba bersabar
menghadapinnya”(Tn.A)
“…., punya anak seperti ini membuat saya mencoba
menjadi lebih sabar (ibu menangis hingga diam sejenak).
Yaa… saya sayang sekali, beda dengan sayang yang lain,
dia lebih pokoknya, segala-galanya lebihlah (ibu
menanggis) saya bersabar Saya mencoba untuk bersabar,
karena mempunyai anak ini membuat saya lebih harus
banyak sabar.” (Ny.N)
“…., pas saya tahu anak saya sindrom down rasanya ya…
berusaha sabar aja walaupun hati saya sedih, saya
berusaha sabar untuk menghadapi semuanya”.(Tn.S)
“…., kalo punya anak kaya begini saya jangan bermimpi
punya impian, anak bisa begini, begini harus dengan
sabar.” (Ny.M)
Begitupula yang disampaikan oleh guru sebagai partisipasn
pendukung tentang penerimaan orang tua terhadap anaknya yang
tampak dan terlihat disekolah, seperti ungkapan sebagai berikut :
77
77
“Diawal pertemuan dikumpulkan dulu untuk memberikan
informasi kepada orang tua tentang kondisi perkembangan
anaknya seperti apa, gambarannya proses akademiknya
bagaimana bila dilihat dari IQ, Alhamdulillah mereka
menerima dan tampak terlihat sayang sekali pada anaknya,
dan karena disisni rata-rata islam, mereka sudah
menerima lapang” (Ny.GN)
“Disini orang tua sudah dapat menerima anaknya, orang
tua juga rata-rata ingin anaknya bisa membaca dengan
baik, saya sering memberi anak-anak PR, orang tua
membimbingnya dirumah itu juga suatu bentuk kalo orang
tuanya menerima keadaan anaknya dengan cara
memperhatikan kegiatannya”(Ny.GM)
Tema 10 : Pengontrolan diri (self control)
Pada tema ini hasil penelitian didapatkan bahwa partisipan
mencoba untuk beradaptasi dengan masalah menggunakan
pengontrolan diri agar membuat keadaan yang dirasakannya
menjadi lebih nyaman dan beradaptasi dengan baik dengan cara
mengontrol dirinya seperti bersyukur, berdo’a dan yakin pada
Allah bahwa anak adalah titipan yang harus dijalani dengan ikhlas.
Berikut ini adalah ungkapan usaha yang dilakukan dengan cara
bersyukur dari dua partisipan :
“…., ya.. saya bersyukur punya anak ini, masih ada yang
lebih parah dari anak saya”.(Tn.S)
78
78
“Saya bersyukur punya anak kaya gini bisa melatih
kesabaran saya….”. (Ny.M)
Tiga partisipan lain mengungkapkan melakukkan
pengontrolan diri dengan cara berdo’a, berikut ungkapannya :
“Saya berdo’a setiap malam , saya bagun malam, solat dan
berdo’a terus untuk anak saya ini, setiap shalat saya doain
supaya bisa jaga dirinya kalo bukan saya siapa lagi, saya
berdo’a jam 2 atau jam 3 malam, (partisipan menangis dan
diam sejenak)…”(Ny.N)
“Saya berdo’a terus, yakin pada Allah SWT kalau ini
adalah titipan yang harus diterima dan dijaga” (Tn.D)
“….., saya terus berdo’a agar diberi kesabaran dan
ketenangan hati” (Ny.M)
Tidak hanya berdo’a dan bersyukur usaha yang
diungkapkan partisipan dalam mengontrol perasaan dirinya,
ungkapan lain juga diungkapkan oleh empat partisipan yang
mengontrol dirinya dengan meyakini bahwa anak adalah titipan
yang harus dijaga dengan ikhlas. Seperti ungkapan berikut :
“…., anak ini adalah takdir yang harus saya jalani (ibu
meneteskan air mata) dengan ikhlas saya rawat penuh
sayang” (Ny.N)
“… saya yakin, ini adalah anugrah dan titipan Allah yang
harus saya jaga.”(Tn.D)
79
79
“…., emang udah bagiannya. ya.. titipan Allah, amanah
untuk dijaga. Kalo ada orang suka dijauhin, diusir, saya
sedih liat anak saya digituin sama orang lain, sekali pernah
emosi.. lama-lama saya coba sabar, melatih kesabaran
aja” (Tn.S)
“… ya, ini adalah bagian dari saya.. takdir yang harus
saya jalani…”(Ny.M)
Tema 11 : Penilaian positif (Positive reapparsial)
Dua orang partisipan mencari arti postif dari keadaan yang
dialaminya, dengan mengambil pelajaran pada suatu keadaan atau
mengambil hikmah. Seperti ungkapan beberapa partisipan utama,
sebagai berikut :
“punya anak kaya gini paling berkesan dan paling enak
ada hikmah dibalik ini semua yang bisa saya ambil agar
lebih kuat”. (Ny.N)
“Banyak hikmahnya punya anak kaya gini, melatih
kesabaran saya dan istri, kalo untuk kebutuhannya kita
gentian”(Tn.S)
80
80
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Interpretasi Penelitian dan Hasil Diskusi
Peneliti telah mengidentifikasi 11 tema yang merupakan hasil dari
penelitian ini. Beberapa diantaranya memiliki sub-tema dengan kategori-
kategori makna tertentu. Tema-tema tersebut teridentifikasi berdasarkan
tujuan penelitian. Stresor orang tua dengan anak yang menderita sindrom
down dapat digambarkan dalam dua tema, yaitu : 1) stresor internal dan 2)
stresor eksternal. Pada saat pengambilan data, tergalilah respon terhadap
stresor sehingga menghasilkan tiga tema, yaitu : 3). Respon kongnitif, 4)
respon kehilangan 5) Respon tingkah laku. Strategi koping problem focus
coping tergambar pada tema ke-enam, tujuh dan delapan, yaitu usaha
langsung (confrontative coping), mencari dukungan sosial (seeking sosial
support) , perencanaan pemecahan masalah (planful problem solving).
Sedangkan strategi koping emotional focus coping tergambar dalam tiga
tema, yaitu penerimaan dan tanggung jawab (accepting responsibility)
teredintifikasi pada tema ke-sembilan, tema ke-sepuluh yaitu pengontrolan
diri (self control), serta penilaian positif (positif reapparsial) terdapat pada
tema ke-sebelas. Selanjutnya peneliti akan membahas masing-masing tema
yang teridentifikasi berdasarkan tujuan penelitian.
81
81
1. Stresor orang tua pada anak yang terdiagnosa sindrom down
Tema 1: Stresor Internal
Down sindrom merupakan suatu gangguan kelainan kromosom
yang menyebabkan terjadinya interaksi dengan fungsi gen lainnya
sehingga menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang
memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan
susunan saraf pusat (Soetjiningsih, 1995). Dalam penelitian ini,
seluruh partisipan yang memiliki anak down sindrom di Sekolah Luar
Biasa Negeri 1 Jakarta mendapatkan stresor yang sama, stresor yang
didapatkan oleh partisipan terjadi pada saat orang tua mengetahui
informasi tentang kondisi anak yang terdiagnosa sindrom down.
Dengan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang
dialami oleh anaknya tersebut, merupakan suatu stresor bagi keluarga
khususnya orang tua. Masalah lain juga diungkapkan oleh partisipan
yang dianggap sebagai suatu stresor tambahan dalam merawat anak
dengan sindrom down seperti, kekhawatiran akan masa depan anak,
dan kurangnya pengetahuan tentang sindrom down sendiri. Stersor
yang dialami orang tua dengan anak sindrom down dialami juga oleh
keluarga dengan anak yang menderita tunagrahita, dalam penelitian
stress dan koping pada anak tunagrahita yang dilakukan Triana dan
Andriany (2010) di Semarang mengkategorikan masalah pertumbuhan
anak, kecemasan orang tua, sebagai kendala yang dihadapi dengan
tema masalah (stresor) keluarga.
82
82
Hal ini sesuai dengan teori Howart dan Gilham (1981) dalam
Nasir & Muhith (2011) menyatakan bahwa sumber stress terjadi
meliputi diri individu, keluarga, dan dalam komunitas atau masyarakat.
Hasil analisa tematik yang didapatkan oleh peneliti dalam tema ini
sumber stress terjadi dalam keluarga, bertambahnya anggota keluarga
dengan masalah kesehatan akan menimbulkan stresor tersendiri bagi
orang tua.
Tema 2 : Stresor eksternal
Tema ini meliputi stigma masyarakat, penolakan anggota keluarga
dan hambatan keuangan. Stigma masyarakat terdiri dari pandangan
sebelah mata, dijauhi/dikucilkan, ejekan, dan dihina. Sedangkan
penolakan anggota keluarga yang diungkapkan partisipan yaitu adanya
penolakan kehadiran anak dari istrinya tersebut. Dan hambatan
keuangan terjadi pada saat menjalani terapi rutin dengan biaya yang
mahal.
Berdasarkan sumber stresor yang diungkapkan oleh semua
partisipan tersebut merupakan asal dari penyebab stres. Stres
merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dimana manusia
melihat adanya tuntutan dalam situasi sebagai beban diluar batas
kemampuan mereka atau memaknai sebagai suatu tuntutan yang harus
diselesaikan. Selain stigma masyarakat yang berada dilingkungan luar,
penolakan dari anggota keluarga juga merupakan suatu stresor yang
akan berdampak pula pada pola asuh terhadap anak, serta biaya terapi
yang cukup mahal juga diungkapkan oleh partisipan sebegai suatu
83
83
masalah yang harus dihadapi. Hal ini sesuai dengan teori Patel (1996)
dalam Nasir & Muhith (2011) stresor dapat berasal dari berbagai
sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga dari
lingkungan lainnya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian terkait
tentang stress dan koping keluarga pada anak menderita tunagrahita
yang dilakukan oleh Triana dan Andriany (2010) di Semarang,
mendapatkan pengorbanan waktu, finansial, penegakan kedisiplinan
dan stigma masyarakat sebagai salah suatu masalah yang dihadapi
keluarga.
Respon Stresor
Pada penelitian ini teridentifikasi suatu respon stresor yang
diungkapkan oleh partisipan. Dengan adanya stresor yang dialami oleh
partisipan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan seperti adanya
tuntutan dalam situasi sebagai suatu beban yang harus dihadapi,
sehingga dapat menimbulkan stress yang dapat dilihat dari respon
terhadap stresor.
Tema 3 : Respon Kongnitif
Dalam tema ini terdiri dari dua sub-tema yaitu pikaran kacau dan
menurun daya konsentrasi yang diungkapkan partisipan pada saat
mengetahui anak terdiagnosa down sindrom yaitu binggung, dan
kepala terasa pusing karena banyak pertanyaan yang ada dikepalanya
pada saat terdiagnosa sindrom down. Hal ini sesuai dengan teori
Taylor (1991) dalam Nasir & Muhith (2011) yang menyatakan bahwa
84
84
respon stress yang terlihat dari respon kongnitif dapat tampak melalui
terganggunya proses kongnitif individu, seperti pikiran menjadi kacau,
menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang-ulang dan pikiran
tidak wajar.
Tema 4 : Respon Kehilangan
Pada tema ini respon kehilangan partisipan yang teridentifikasi
peneliti didapatkan bahwa partisipan merasa kecewa, marah dan malu
ketika partisipan mengetahui bahwa anaknya terdiganosa sindrom
down. Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa mengapa harus
dirinya yang menadapatkan anak dengan sindrom down, mengapa
tidak yang lain? , partsipan tersebut merasa kecewa dan marah. Hal ini
sesuai dengan teori tahapan berduka menurut Kubler-Ross, ketika klien
berduka akibat kehilangan sesuatu yang diharapkannya maka akan
terbentuk lima tahapan, yaitu tahapan penyangkalan, kemarahan,
tawar-menawar , depresi dan penerimaan.
Tema 5 : Respon tingkah laku
Pada tema ini respon tingkah laku yang teridentifikasi adanya
respon kaget, pasrah , sedih dan menanggis. Hal ini sesuai dengan teori
yang mengungkapkan bahwa bertambahnya anggota keluarga yang
mempunyai masalah kesehatan seperti hadirnya seorang anak dengan
sindrom down merupakan suatu pemicu yang menyebabkan terjadinya
respon stres yang dapat menimbulkan suatu reaksi emosional yang
berdampak pada pola perilaku, seperti rasa takut, rasa cemas, malu,
marah, kaget dan menanggis (Nasir&Muhith, 2011).
85
85
2. Strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom
down
Hasil penelitian didapatkan bahwa semua partisipan mempunyai
masalah yang sama, yaitu menghadapi kondisi anak yang tidak dapat
diobati dan hanya bisa dilakukan dengan terapi rutin agar pertumbuhan
dan perkembangannya optimal sesuai dengan kondisi anak tersebut
serta ditambah dengan adanya stesor lain seperti, biaya, pandangan
masyarakat terhadap dirinya serta kekhawatiran akan masa depan anak.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984) dalam Nasir & Muhith, (2011)
penggunaan koping ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu srategi
koping yang berfokus pada masalah (problem focus coping) dan
strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping).
Jenis strategi koping yang berpusat pada masalah (problem focus
coping) yang dapat digunakan bermacam-macam, yaitu berupa usaha
langsung (confontative coping), penggunaan dukungan sosial (seeking
social support) , perencanaan pemecahan masalah (planful problem
solving). Dan Jenis strategi koping yang berpusat pada emosi
(emotional focus coping) juga bermacam-macam, jenis strategi koping
ini yang dapat digunakan yaitu dalam bentuk pengaturan diri (self
control), penghindaran (distancing), penilaian positif (positive
reapparsial), penerimaan tanggung jawab (accepting responsibility),
lari dari situasi kearah negative (escape/avoidance).
Hasil wawancara didapatkan bahwa semua partisipan
menggunakan strategi koping gabungan, yaitu strategi koping yang
86
86
berpusat pada masalah (problem focus coping) dan strategi koping
yang berpusat pada emosi (emotional focus coping).
2.1 Strategi koping yang berpusat pada masalah (problem focus
coping)
Jenis strategi koping yang berpusat pada masalah (problem focus
coping) digunakan pada saat pertama kali partisipan mengetahui
anaknya terdiagnosa sindrom down. Dalam penelitian ini didapatkan 3
tema dalam penggunaan strategi koping yang berpusat pada masalah
(problem focus coping), yaitu tema ke-enam usaha langsung
(confontative coping), tema ke-tujuh seeking social support (mencari
dukungan sosial) , dan tema ke-delapan planful problem solving
(perencanaan pemecahan masalah).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Asyiah (2008) disemarang
tentang strategi koping orang tua yang memiliki anak dengan cacat
mental, koping yang digunakan orang tua adalah koping yang
berorientasi pada tugas (Task Oriented) berupa tetap memberikan hak
anak dengan memberikan pengobatan baik medis maupun non-medis,
memberikan pendidikan dan menyekolahkan anak, serta kasih sayang
yang menjadi kebutuhan anak. Penelitian lain yang dilakukan Triana
dan Andriany (2010) di Semarang tentang sters dan koping keluarga
pada anak tunagrahita, didapatkan penggunaan koping dalam bentuk
problem focused coping berupa mencari dukungan sosial keluarga
87
87
internal, mencari dukungan sosial keluarga eksternal, mencari
pengobatan alternatif dan bersikap agak keras.
Tema 6 : usaha langsung (confontative coping)
Dalam tema ini seluruh partisipan cenderung menggunakan usaha
langsung (confrontative coping) hal ini terlihat dimana orang tua akan
membawa anaknya langsung kedokter untuk melakukan pengobatan
medis dengan cara mengikuti terapi rutin untuk anak dan melakukan
pengobatan alternative. Hal ini sesuai dengan teori Lazarus dan
Folkman (1984) mendefinisikan confrontative coping sebagai suatu
usaha untuk mengubah suatu kondisi yang dianggap menekan dengan
cara yang agresif atau cepat tanggap.
Tema 7 : dukungan sosial (seeking sosial support)
Mempunyai anak dengan sindrom down merupakan suatu stresor
tersendiri bagi keluarga khususnya orang tua, dimana orang tua
membutuhkan dukungan untuk menghadapi masalah-masalah yang
terjadi pada dirinya. Dalam tema ini peneliti mengidentifikasi
pencarian dukungan sosial (seeking sosial support) terbagi menjadi
tiga sub-tema yaitu mencari dukungan internal keluarga, dukungan
eksternal dan dukungan spiritual. Enam partisipan mengungkapkan
bahwa dengan adanya stresor internal dan eksternal, maka orang tua
merasa tidak kuat untuk menanggung masalahnya sendiri, sehingga
orang tua mencari dukungan social baik dari dokter, guru ngaji
maupun dari teman dekatnya. Hal ini sesuai dengan teori Lazarus dan
Folkman (1984) yang menyatakan bahwa seeking sosial support
88
88
adalah suatu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan
bantuan informasi dari orang lain.
Tema 8 : perencanaan pemecahan masalah (planful problem
solving)
Dalam tema ini, peneliti mengidentifikasi uasaha yang dilakukan
oelah partisipan dalam menghadapi stresor yang terjadi pada dirinya
dengan melakukan perencanaan pemecahan masalah. Satu partisipan
mengungkapkan menggunakan jenis strategi koping bentuk
perencanaan pemecahan masalah (planful problem solving) dengan
cara merawat anak secara hati-hati, serta tujuh partisipan
menggunakannya strategi pemecahan masalah dengan cara
menyekolahkan anak diSLB (sekolah luar biasa) dan tiga partisipan
lain melakukan usaha dengan perencanaan membuat SKTM (surat
keterangan tidak mampu) agar dapat digunakan sebagai sarana
pengobatan gratis. Hal ini sejalan dengan teori Lazarus dan Folkman
(1984) yang menyatakan bahwa planful problem solving yaitu suatu
usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara
hati-hati dan bertahap.
2.2 Strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping)
Penggunaan jenis strategi koping yang berpusat pada emosi
(emotional focus coping) digunakan juga pada pertama kali orang tua
mengetahui anak terdiagnosa down sindrom dan ketika kondisi
lingkungan yang tidak mendukung, dimana sebagian masyarakat
89
89
memandang dirinya dengan sebelah mata. Dalam hal ini, peneliti
mengidentifikasi tiga tema dalam penggunaan jenis koping emotional
focus coping, yaitu tema ke-sembilan penerimaan dan tanggung jawab
(accepting responsibility), tema ke-sepuluh yaitu pengontrolan diri
(self contol) dan tema ke-sebelas yaitu penilaian positif (positive
reapparsial) dengan mengambil pelajaran yang dialaminya. Penelitian
terkait tentang strategi koping juga digunakan orang tua dalam bentuk
emotional focused coping dengan cara sabar, menyesuaikan diri,
berdoa dan menagis (Triana dan Andriany, 2010). Dan dalam
penelitian Asiyah (2008) mengemukkan koping yang digunakan oleh
orang tua yaitu koping yang berorientasi pada pertahanan ego
(Deffence Mechanisme) dengan cara regresi : menangis, represi : sabar,
rasionalisasi : menjelaskan alasan agar diterima oleh masyarakat.
Tema 9 : penerimaan dan tanggung jawab (accepting
responsibility)
Seluruh partisipan berespon kearah penerimaan dan tanggung
jawab, dan tidak ada partisipan yang mengindar dari masalah. Peneliti
mengidentifikasi pada tema ini bahwa usaha yang dilakukan partisipan
dalam menghadapi stresor dengan cara berusaha untuk menyadari
keadaan yang terjadi pada dirinya, menerima keadaan, pasrah dan
sadar bahwa anak adalah bagian dari dirinya sebagai suatu tanggung
jawab yang harus dijalani. Hal ini sejalan dengan teori Lazarus dan
Folkman (1984) bahwa Accepting responsibility merupakan usaha
90
90
untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dari permasalahan yang
dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat keadaan
menjadi lebih baik.
Tema 10 : pengontrolan diri (self-control)
Hasil penelitian didapatkan bahwa partisipan mengendalikan
emosinya cenderung menggunakan strategi koping dalam bentuk self
control. Dalam tema ini partisipan mengungkapkan bahwa usaha yang
dilakukan oleh partisipan dengan cara berdo’a, bersabar, bersyukur dan
yakin bahwa anak adalah titipan yang harus disyukuri dan dijaga
bagaimanapun keadaannya. Usaha yang dilakukan partisipan dalam
rangka menata dan mengontrol emosi yang dirasakannya saat
menghadapi stresor yang muncul. Hal ini sesuai dengan teori Lazarus
dan Folkman (1984) yang mendefinisikan self control sebagai suatu
bentuk usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang
menekan.
Tema 11 : penilaian positif (positif reapparsial)
Dalam tema ini peneliti mengidentifikasi penggunaan strategi
koping dengan cara melakukan penilaian positif terhadap masalah
yang dihadapinya dengan mengubah pola fikir bahwa dibalik
permasalahan, akan ada hikmah yang dapat diambil dari setiap
kejadian yang dialami. Hal ini sesuai dengan teori Lazarus dan
Folkman (1984) yang menyatakan bahwa penggunaan positif
reapparsial dilakukan untuk mencari makna positif dari permasalahan
yang dihadapinya (Nasir dan Muhith, 2011).
91
91
B. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan yang peneliti temukan dalam proses penelitian
tentang strategi koping orang tua pada anak yang menderita down sindrom
antara lain :
1. Pada saat pengambilan data, tidak semua partisipan dapat
diwawancarai di rumah. Dikarenakan kesibukan beberapa
partisipan saat di rumah, sehingga ada beberapa partisipan
diwawancarai disekolah.
2. Pada saat proses wawancara berlangsung lingkungan yang
kurang kondusif sedikit mengganggu privasi sehingga
menyulitkan proses penggalian perasaan beberapa partisipan.
3. Pada saat proses pengambilan data, peneliti mengalami
kesulitan pada saat proses pencatatan lapangan dan
dokumentasi wawanacara, karena peneliti juga harus focus
terhadap partisipan dan memperhatikan setiap respon yang
ditampilkan partisipan.
4. Alat yang digunakan pada saat merekam menggunakan tape
recorder dengan menyimpan data pada kaset pita, sehingga
menyulitkan peneliti untuk memutar ulang dengan mudah
dikarenakan kaset yang mudah putus, sehingga peneliti
mengganti alat perekam dengan menggunakan tape recorder
digital.
92
92
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian ini medapatkan tiga buah tema yaitu stresor yang
dihadapi orang tua, jenis strategi koping problem focus coping yang
digunakan oleh orang tua dan jenis strategi koping emotional focus coping
yang digunakan orang tua.
1. Stresor yang diungkapkan oleh partisipan terbagi menjadi dua
tema, yaitu stresor internal dan stresor eksternal. Stresor
internal yang dialami partisipan yaitu adalah terkait gangguan
pertumbuhan dan perkembangan anak, harapan akan masa
depan anak serta kurangnya pengetahuan partisipan tentang
sindrom dwon. Sedangkan stresor eksternal yang juga dihadapi
oleh partisipan yaitu stigma masyarakat terhadap dirinya,
penolakan kehadiran anak dalam keluarga dan hambatan
keuangan.
2. Respon stress yang tergali pada penelitian ini terbagi menjadi
tiga tema dalam tiga respon, yaitu respon kongnitif, respon
kehilangan dan respon tingkah laku. Respon kongnitif berupa
pikiran kacau dan menurun daya konsentrasi, respon
kehilangan berupa perasaan kecewa, marah dan pasrah.
93
93
Sedangkan respon tingkah laku terjadi karena toleransi
terhadap beban berupa kaget, sedih dan menanggis.
3. Jenis strategi koping yang berpusat pada masalah (problem
focus coping) yang digunakan partisipan terbagi menjadi tiga
tema yaitu bentuk usaha langsung (confrontative focus coping)
yang digunakan dengan cara langsung membawa kedokter ,
melakukan terapi-terapi, dan mencoba pengobatan sesuai
dengan keyakinannya. Dalam bentuk dukungan social (seeking
social support) yang digunakan informan dengan cara mencari
informasi dari dokter tentang perkembangan anak kedepannya,
guru, keluarga dan teman. Dan dalam bentuk perencanaan
pemecahan masalah (Planful problem solving) informan
menggunakannya dalam bentuk berfokus pada kondisi anak
berikutnya dan merawat agar kondisi anaknya tetap baik.
4. Strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus
coping) yang digunakan partisipan teridentifikasi menjadi tiga
tema, yaitu bentuk pengaturan diri (self-contol) dengan cara
bersabar, berserah diri kepada Allah dan menerima apa
adanya.. sedangkan bentuk penilaian positif (Positive
reapparsial) partisipan mengambil hikmah atas apa yang
terjadi pada dirinya agar dapat lebih bersabar dan tetap
bersyukur. Dalam bentuk penerimaan tanggung jawab
(Accepting responsibility) partisipan menerima dan memahami
kondisi anaknya dan merawatnya dengan baik.
94
94
B. Saran
1. Bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Jakarta
a. Diharapkan dari pihak guru mengadakan pertemuan untuk orang
tua dan guru, sebagai suatu sarana bertukar informasi dan berdikusi
dalam mengatasi masalah yang dihadapi orang tua dalam merawat
dan mendidik anak .
b. Diharapkan adanya suatu program edukasi kepada orang tua
tentang pengenalan lebih dalam mengenai down sindrom agar oang
tua mendapatkan pemahaman yang lebih banyak lagi.
c. Mengadakan suatu kelompok atau perkumpulan khusus orang tua
yang memiliki anak down sindrom di Sekolah Luar Biasa Negeri 1
Jakarta agar dapat saling berbagi perasaan yang dialami sehingga
dapat meminimalisir stresor yang dihadapi oleh orang tua.
2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan dan Ilmu Keperawatan
a. Dapat mengembangkan suatu program keperawatan tentang
disabilitas khususnya program konselor mengenai penggunaan
strategi koping terhadap penderita down sindrom.
b. Diharapkan bagi ilmu keperawatan mengadakan program kelas
parenting khusus pada orang tua yang mempunyai anak dengan
down sindrom sebagai suatu support educator mengenai
permasalahan yang akan dihadapi orang tua.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Diharapkan peneliti menggunakan teman untuk membantu proses
dokumentasi pada saat pengambilan data.
95
95
b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap strategi coping
pada orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down yang
baru terdiagnosa.
c. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap peran keluarga
selain orang tua dalam pembentukan karakter anak down sindrom.
d. Mengkombinasi penelitian selanjutnya terhadap usia ibu pada saat
kehamilan > 35 tahun dengan angka kejadian kelahiran anak
dengan sindrom down.
96
96
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Noer Atikah. Studi Fenomenologi : Strategi Koping Orang Tua
Yang Memiliki Anak Dengan Cacat Mental (Tuna Grahita) di
Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Pembinaan Anak Cacat
(YPAC). Semarang : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Diponegoro. 2008
Council, Safesty Nasional. Managemen Stres. Jakarta: EGC. 2003
Creswell, Jhon W. Education Research “planning, counducting and
evaluating quantitative and qualitative research. Amerika :
Pearson International Edition. 2008
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan
Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB). Jakarta Bakti
: Husada. 2010
Hull David, Derek I Johnston. Dasar-dasar pediatri, Ed.3. Jakarta:
EGC. 2008
Ikatan Sindroma Down Indonesia : jumlah data anak sindrom down di
Indonesia, http://www.isdijakarta.org/about2.html diakses pada
tanggal 18 desember 2011 pukul 12.00.
Meilia, Diah. Jurnal “Strategi Dalam Mengatasi Stres Pada Ibu
Dengan Anak Down Syndrome”
http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/5655836696_abs.pdf
diakses pada bulan april 2012. 2010
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosadakarya. 2010
Nasir dan Muhith. Dasar-dasar Keperawatan Jiwa : Pengantar dan
Teori, Jakarta: Salemba Medika. 2011
Noor,Megah.. Jurnal “Stress dan Koping Keluarga dengan Anak
Tunagrahita di SLB C dan SLB C1 Widya Bhakti Semarang.
2010
Norman, D. Sundberg dkk. Psikologi Klinis “Perkembangan Teori,
prakti, dan penelitian. edisi keempat Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2007
97
97
Notoatmodjo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta. 2010
Nursalam & Dian, Ninuk. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika. 2007
Putera, Nusa. Penelitian Kualitatif : Proses dan Aplikasi. Jakarta Barat :
Indeks. 2011
Rasmun. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi
Dengan Keluarga, Jakarta : Sagung Seto. 2009
Saryono dan Mekar, Dwi Anggraeni. Metodologi Penelitian Kualitatif
dalam bidang Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika. 2010
Soetjiningsih.. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC. 1995
Streubert, Helen J dkk. Qualitatative Research in Nursing Advancing The
Humanistic Imperative. Philandelpia : Lippincott Wiliams and
Wilkins : 2003
Sudiono, Janti. Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial.
Jakarta: EGC. 2008
Supartini, Yupi. Buku ajar konsep keperawatan anak. Jakarta: EGC. 2004
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi
(Mixed Method). Bandung : Alfabeta. 2011
Videbeek, Sheila I. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta :EGC. 2008
Wong, Donna L. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta:
EGC. 2003
Wong,Donna L. Buku ajar keperawatan pediatric. edisi 6. Jakarta:
EGC. 2008
98
98
Lampiran 1
Kepada Yth, Ciputat, Oktober 2012
Bapak/Ibu
Di,
Tempat
Bapak/Ibu yang saya hormati.
Sehubungan dengan tugas akhir dalam penyelesaian studi untuk
mendapatkan gelar sarjana, saya sebagai peneliti :
Nama : Mayang Setyo Magnawiyah
NIM : 108104000002
Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Contact : 081317044282 / 08561488384
Mohon kiranya Bapak/Ibu dapat menjadi partisipan dalam penelitian saya
dengan judul penelitian Strategi Koping Orang Tua pada Anak yang
Menderita Sindrom Down. Sebagai partisipan informasi yang Bapak/Ibu berikan
sangat berharga dalam penelitian ini. Jika ada yang ingin ditanyakan berkaitan
dengan penelitian ini Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti.
Atas perhatian Bapak/Ibu peneliti ucapkan terima kasih.
Ciputat, Oktober 2011
Hormat saya
(Peneliti)
99
99
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth :
Di
Tempat
Dengan Hormat,
Saya mahasiswi S1 Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta,
Nama : Mayang Setyo Magnawiyah
NIM : 108104000002
Bermaksud akan melaksanakan penelitian tentang “Strategi Koping Orang
Tua pada Anak yang Menderita Sindrom Down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1
jakarta” sebagai tugas akhir studi untuk mendapatkan gelar sarjana.
Sebagai responden, informasi yang Bapak/Ibu berikan sangat bermanfaat
dalam penelitian ini. Adapun segala informasi yang Bapak/Ibu berikan akan
dijamin kerahasiaannya dan seluruh informasi yang mencantumkan identitas
subyek penelitian hanya akan digunakan untuk pengolahan data dan bila sudah
tidak digunakan maka data akan dihilangkan. Apabila Bapak/Ibu setuju untuk
menjadi responden dalam penelitian ini dimohon untuk menandatangani kolom
yang telah disediakan. Atas kesediaan dan kerjasamanya saya ucapkan terima
kasih.
Jakarta, Oktober 2012
Responden
…….………………
100
100
Lampiran 3
Data Demografi Informan
Informan ke-1 (P1)
A. Subyek penelitian (orang tua)
1. Inisial : Tn.A
2. Usia : 50 Tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Pendidikan terakhir : SD
5. Pekerjaan : Buruh
6. Jumlah anak : 3 Anak
B. Anak Sindrom Down
1. Inisial : An. I
2. Usia anak : 11 Tahun
3. Anak ke- saudara : 3 dari 3 bersaudara
4. Jenis kelamin : Laki-laki
Informan ke-2 (P2)
A. Subyek penelitian (orang tua)
1. Inisial : Ny. N
2. Usia : 46 Tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Pendidikan terakhir : SLTP
5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6. Jumlah anak : 3 Anak
B. Anak Sindrom Down
1. Inisial : An. I
2. Usia anak : 11 Tahun
3. Anak ke- saudara : 3 dari 3 bersaudara
4. Jenis kelamin : Laki-laki
Informan ke-3 (P3)
101
101
A. Subyek penelitian (orang tua)
1. Inisial : Tn. D
2. Usia : 50 Tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Pendidikan terakhir : SLTA
5. Pekerjaan : Butuh
6. Jumlah anak : 2 Anak
B. Anak Sindrom Down
1. Inisial : An. P
2. Usia anak : 10 Tahun
3. Anak ke- saudara : 2 dari 2 bersaudara
4. Jenis kelamin : Laki-laki
Informan ke-4 (P4)
A. Subyek penelitian (orang tua)
1. Inisial : Tn. S
2. Usia : 56 Tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Pendidikan terakhir : SLTA
5. Pekerjaan : Pensiun
6. Jumlah anak : 3 Anak
B. Anak Sindrom Down
1. Inisial : An. D
2. Usia anak : 11 Tahun
3. Anak ke- saudara : 3 dari 3 bersaudara
4. Jenis kelamin : Laki-laki
102
102
Informan ke-5 (P5)
A. Subyek penelitian (orang tua)
1. Inisial : Tn.Z
2. Usia : 59 Tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Pendidikan terakhir : SLTA
5. Pekerjaan : Pegawai Swasta
6. Jumlah anak : 4 Anak
B. Anak Sindrom Down
1. Inisial : An. Q
2. Usia anak : 12 Tahun
3. Anak ke- saudara : 4 dari 4 bersaudara
4. Jenis kelamin : Laki-laki
Informan ke-6 (P6)
A. Subyek penelitian (orang tua)
1. Inisial : Ny. M
2. Usia : 54 Tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Pendidikan terakhir : SLTA
5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6. Jumlah anak : 4 Anak
B. Anak Sindrom Down
1. Inisial : An. D
2. Usia anak : 11 Tahun
3. Anak ke- saudara : 4 dari 4 bersaudara
4. Jenis kelamin : Laki-laki
103
103
Informan ke-7 (P7)
A. Subyek penelitian (orang tua)
1. Inisial : Ny. P
2. Usia : 74 Tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Pendidikan terakhir : SLTA
5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6. Jumlah anak : 1 Anak
B. Anak Sindrom Down
1. Inisial : An. R
2. Usia anak : 8 Tahun
3. Anak ke- saudara : 1 dari 1 bersaudara
4. Jenis kelamin : Perempuan
104
104
Lampiran 4
Pedoman Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Informan kunci
I. Petunjuk umum
a. Tahap persiapan
b. Tahap perkenalan
c. Jelaskan tujuan dan manfaat wawancara mendalam
d. Ucapkan terima kasih kepada informan atas kesedian dan waktu
yang telah diluangkan untuk pelaksanaan wawancara.
II. Petunjuk wawancara mendalam
a. Wawancara dilakukan oleh seorang pewawancara
b. Informan bebas menyampaikan pengalaman dan perasaan yang
dirasakannya.
c. Semua pengalaman dan perasaan yang disampaikan oleh informan
akan dijamin kerahasiaanya
d. Wawancara ini akan direkam pada tape recorder untuk membantu
dalam penulisan.
III. Pelaksanaan wawancara
A. Perkenalan
a. Identitas informan
105
105
Nama (Inisial) :
Umur :
Jenis kelamin :
Pekerjaan :
Pendidikan terakhir :
B. Wawancara
1. Stresor pada saat anak lahir dan terdiagnosa sindrom down
a. Masalah-masalah apa saja yang muncul setelah anak
lahir dan diketahui terdiagnosa sindrom down ?
b. Bagaimana penilaian dan sikap ibu atau bapak terhadap
situasi yang terjadi pada anak anda?
2. Strategi coping
a. Usaha apa yang ibu lakukan ketika mengetahui anak
anda terdiagnosa sindrom down?
2.1 Problem focus coping
a. Bagaimana usaha ibu untuk mengatasi masalah-
masalah yang muncul pada anak?
2.2 Emotional focus coping
a. Bagaimana usaha ibu untuk menjaga atau
mengontrol perasaaan ibu dalam menghadapi
masalah-masalah yang muncul pada anak?
106
106
Lampiran 5
PEDOMAN WAWANCARA
Partisipan Pendukung
1. Sudah berapa lama anda mengajar disini, dari kelas berapa ?
2. Bagaimana sikap orang tua saat mengantar anaknya ke kelas?
3. Pernahkah orang tua murid mencari informasi tentang perkembangan anak
disekolah ?
4. Bagaimana penerimaan orang tua terhadap kondisi perkembangan anak?
5. Pernahkah orang tua menyatakan kepada anda tentang harapan yang tinggi
untuk anaknya?
107
107
Lampiran 6
ANALISIS TEMATIK PARTISIPAN UTAMA
Stresor
Kategori
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Subtema
Tema
Lambat jalan dan
Lambat bicara
√ √ √ √ √ √ √ Gangguan
Pertumbuhan
dan
perkembangan
anak
Harapan akan
masa depan
anak
Stresor
Internal
Sering sakit-sakitan √ √
Harapan masa
depan anak
√ √ √ √
Tidak tahu tentang
sindrom down
√ √ Kurang
pengetahuan
Dipandang sebelah
mata
√ √
Stigma
Masyarakat
Stresor
Eksternal
Dijauhi /dikucilkan √ √
Ejekan √ √ √ √
Dihina √ √
Istri kurang terima
kehadiran anak
√ Penolakan
Biaya terapi mahal √ √ √ √ √ Hambatan
keuangan
Kategori
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Subtema
Tema
Binggung
√ √ Pikiran kacau
Menurun daya
konsentrasi
Respon
kongnitif
Kepala saya pusing
(banyak pertanyaan
dikepala saya)
√
Kecewa √ Bentuk marah Respon
Kehilangan
Respon
Malu √
Marah √
Pasrah √ √ Toleransi
terhadap beban Kaget √ √ √
Menanggis √ √
108
108
Respon stresor yang tergali
Problem focus coping
Sedih √ √ √ √ tingkah laku
Kategori
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Subtema
Tema
Langsung kerumah
sakit / rutin ke
dokter
√ √ √ √ √ √ √ Pengobatan
Medis
Usaha
langsung
(confrontative
coping)
Mencari
Dukungan
Sosial
(seeking
sosial
support)
Perencanaan
pemecahan
masalah
(planful
problem
solving)
Terapi rutin (terapi
jalan & bicara)
√ √ √ √ √ √ √
Pergi ketukang urut
√ √ √ Pengobatan
Alternatif
Pergi kedukun
kampung
√
√
Berbagi cerita
dengan suami
Berbagi cerita
dengan teman
Berbagi cerita
dengan Guru
√
√
√
√
√
√ Dukungan
internal
keluarga
Dukungan
ekternal
Dukungan
spiritual Berbagi dengan
guru ngaji
√ √ √
Merawat dengan
hati-hati jangan
sampai sakit
√ Merawat
secara
bertahap
Memberikan
pendidikan
formal
Menyekolahkan
anak di SLB
(sekolah luar biasa)
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ Upaya
109
109
Emotional focus coping
Membuat SKTM
(surat keterangan
tidak mampu)
mendapatkan
pengobatan
gratis
Kategori
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Subtema
Tema
Menyadari √ √
Menerima
keadaan
Beradaptasi
pada keadaan
Penerimaan
dan tanggung
jawab
(accepting
responsibility)
Pengontrolan
diri (self
control)
Penilaian
positif (positif
reapparsial)
Menerima keadaan √ √ √ √ √
Pasrah √
Takdir yang harus
dijalani dengan
Ikhlas
√ √ √
Mencoba bersabar
√ √ √ √ √
Yakin pada Allah
anak adalah titipan
√ √ √
Berdo’a
√ √ √ Pengontrolan
diri secara
spiritual Bersyukur
√ √
Mengambil hikmah √ √ Mengambil
pelajaran pada
suatu keadaan
110
110
Lampiran 7
ANALISIS TEMATIK PARTISIPAN PENDUKUNG
Strategi Koping
Problem focus coping
Kategori
P1
P2
Subtema
Tema
Orang tua sudah
mendapatkan informasi
dari comite sekolah dan
gambaran tentang kondisi
anak
√ √ Dukungan internal
sekolah
Dukungan
Pengobatan medis
Mendapatkan
dukungan sosial
(seking sosial
support)
Orang tua sudah
mendapatkan terapi
psikologi .
√ √
Respon yang ditunjukan
orang tua sangat baik.
√ Penerimaan dan
tanggung jawab
Dampak koping
keluarga
Kategori
P1
P2
Subtema
Tema
Sering menanyakan
perkembangan anak
dikelas
√ √ Rasa ingin tahu Bentuk pencarian
informasi
Menyakan tentang
pelajaran dikelas
√
Menanyakan
keterampilan bantu diri
anaknya
√ √
111
111
Emotional Focus Coping
Kategori
P1
P2
Subtema
Tema
Rata-rata orang tua sudah
menerima keadaan
anaknya
√ √ Dampak Koping
positif
Dampak koping yang
digunakan oleh orang
tua.
Orang tua tampak
memperhatikan kegiatan
anaknya
√ √
Orang tua terlihat sayang
sekali
√