STRATEGI KOMUNIKASI RELAWAN YAYASAN PEJUANG...
Transcript of STRATEGI KOMUNIKASI RELAWAN YAYASAN PEJUANG...
STRATEGI KOMUNIKASI RELAWAN
YAYASAN PEJUANG TANGGUH TB-RO (PETA)
DALAM PENDAMPINGAN PASIEN
TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT (TB-RO)
DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rayi Citra Purnama
NIM: 11140510000045
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PEYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2020 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Rayi Citra Purnama
NIM : 11140510000045
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul STRATEGI
KOMUNIKASI RELAWAN YAYASAN PEJUANG
TANGGUH TB-RO (PETA) DALAM PENDAMPINGAN
PASIEN TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT (TB-RO) DI
RSUP PERSAHABATAN JAKARTA adalah benar merupakan
karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam
penyusunannya. Kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini
telah saya cantumkan sumbernya dalam skripsi. Saya bersedia
melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau
keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Jakarta, 18 mei 2020
Rayi Citra Purnama
NIM 11140510000045
iii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
STRATEGI KOMUNIKASI RELAWAN
YAYASAN PEJUANG TANGGUH TB-RO (PETA)
DALAM PENDAMPINGAN PASIEN
TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT (TB-RO)
DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rayi Citra Purnama
NIM: 11140510000045
Pembimbing.
Syamsul Rijal, Ph.D
NIP. 197810082006041002
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020
iv
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi berjudul “STRATEGI KOMUNIKASI RELAWAN
YAYASAN PEJUANG TANGGUH TB-RO (PETA) DALAM
PENDAMPINGAN PASIEN TUBERKULOSIS RESISTEN
OBAT (TB-RO) DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA”
telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
Jakarta 18 Mei 2020
Sidang Munaqasyah
v
ABSTRAK
Rayi Citra Purnama
Strategi Komunikasi Relawan Yayasan Pejuang Tangguh
TB-RO (PETA) dalam Pendampingan Pasien Tuberkulosis
Resisten Obat (TB-RO) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Kegiatan komunikasi dilakukan dalam berbagai aspek
kehidupan, salah satunya digunakan dalam bidang kesehatan.
Salah satu contoh dari komunikasi kesehatan dapat dilihat pada
pendampingan pasien Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) di
RSUP Persahabatan Jakarta yang dilakukan oleh relawan dari
Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini
memiliki rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana strategi
komunikasi yang dilakukan oleh relawan Yayasan Pejuang
Tangguh TB-RO (PETA) dalam pendampingan pasien TB-RO di
RSUP Persahabatan Jakarta dan implementasinya? Adakah
faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam program
pendampingan tersebut?
Untuk menemukan strategi komunikasi yang dimaksud,
penelitian ini menggunakan teori Harold D. Laswell yang
menyatakan bahwa cara terbaik untuk menerangkan suatu
kegiatan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “Who Says
What In Which Channel To Whom With What Effect?”.
Sedangkan untuk analisis implementasi dari strategi komunikasi
tersebut sesuai dengan fase-fase dalam komunikasi terapeutik
yang di jelaskan oleh Firdaus J. Kunoli dan Achmad Herman,
antara lain fase orientasi, fase kerja, dan fase penyelesaian.
Hasil dari penelitian ini didapati beberapa faktor dalam
strategi komunikasi yang digunakan, antara lain mengenal
khalayak, pesan yang disampaikan, penggunaan media, efek yang
diharapkan, metode yang digunakan, dan implementasinya.
Hubungan kerjasama dengan berbagai lembaga dan tingkat
kepercayaan yang tinggi dari pasien menjadi faktor pendukung
dalam program ini. Sedangkan untuk faktor penghambatnya
adalah kurangnya jumlah relawan yang aktif, serta adanya
penolakan dari beberapa pasien TB-RO.
Kata kunci: Tuberkulosis Resisten Obat, Pendampingan
Pasien, Strategi, Komunikasi Terapeutik.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, puji dan syukur kita panjatkan
kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
kesehatan lahir dan batin, sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Strategi Komunikasi Relawan Yayasan
Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) dalam Pendampingan Pasien
Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) di RSUP Persahabatan
Jakarta”. Shalawat dan salam tidak lupa kita curahkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang senantiasa menjadi panutan
menuju jalan yang di ridhai Allah SWT.
Alhamdulillah dengan ridha dari Allah SWT, peneliti
dapat menciptakan karya tulis yang semoga dapat bermanfaat
sebagaimana mestinya. Tak ada gading yang tak retak, peneliti
memohon maaf apabila dalam karya tulis ini masih banyak
kekurangannya. Skripsi ini di tulis untuk memenuhi persyaratan
dalam memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada program
strata satu (S1).
Berkat segala dukungan berupa doa, motivasi, dan
bimbingan dari berbagai pihak, peneliti dapat melewati tantangan
dan rintangan dalam menulis skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua peneliti, mama Srimahwani dan bapak Ma’mun
dengan segala dukungan yang diberikan.
2. Suparto, M.Ed., Ph.D sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
vii
3. Dr. Siti Napsiyah, MSW sebagai Wakil Dekan Bidang
Akademik, Dr. Sihabudin Noor, MA sebagai Wakil
Dekan Bidang Administrasi dan Hukum, dan Drs. Cecep
Castrawijaya, MA sebagai Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
4. Dr. Armawati Arbi, M.Si sebagai Ketua Program Studi
Komunikasi dan Penyiaran Islam.
5. Dr. H. Edi Amin, MAA sebagai Sekretaris Program Studi
Komunikasi dan Penyiaran Islam.
6. Dr. A. Ilyas M.A. sebagai Dosen Pembimbing Akademik
yang telah memberikan nasihat dan arahan kepada seluruh
mahasiswa KPI A angkatan 2014.
7. Syamsul Rijal, Ph.D. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi
yang senantiasa telah memberikan waktunya untuk
membimbing dan mengarahkan peneliti dalam penulisan
skripsi.
8. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang telah memberikan berbagai ilmu
berharga kepada peneliti selama masa perkuliahan.
9. Seluruh karyawan Perpustakaan Utama serta
Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang memudahkan peneliti dalam
menemukan referensi untuk skripsi ini.
10. Dr. dr. Erlina Burhan, MSc., Sp.P(K) sebagai Ketua Pokja
DOTS dan TB-MDR RSUP Persahabatan Jakarta yang
telah memberikan izin kepada peneliti untuk
viii
mengumpulkan data yang diperlukan dalam kegiatan
pendampingan pasien TB-RO di RSUP Persahabatan
Jakarta.
11. Ibu Ully Ulwiyah, Kak Paran Sarimita Winarni, Bang
Binsar Manik, dan seluruh relawan Yayasan Pejuang
Tangguh TB-RO (PETA) Jakarta yang telah membantu
peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Seluruh pasien TB-RO di RSUP Persahabatan Jakarta
yang telah membantu peneliti dalam mengumpulkan data
untuk skripsi ini. Tetap semangat dan semoga lekas
sembuh.
13. Seluruh teman seperjuangan peneliti angkatan 2014 Ella
Istiqomah, Miftahul Jannah, Dzikri. Terima kasih atas
segala dukungan dan perhatian yang diberikan. Semoga
sukses di perjalanan kita selanjutnya.
14. Adik-adik angkatan Syarifah Zahidah, Niswah, Annisa.
Terima kasih atas motivasinya, semoga lancar dalam
perkuliahan dan penulisan skripsinya.
15. Dosen Pembimbing dan teman-teman KKN Doremi atas
segala dukungan dan motivasi yang diberikan kepada
peneliti. Semoga sukses semuanya.
16. Rani Purnama selaku kakak sulung peneliti, Rahayu
Purnama selaku kakak kedua, dan Rafif Cahya Purnama
selaku adik bungsu atas segala nasihat dan dukungannya
hingga peneliti dapat menempuh perjalanan sejauh ini.
ix
17. Tim Bawah Pohon yang menjadi inspirasi dan
memberikan pengalaman berharga bagi peneliti. Semoga
selalu diberi kesehatan lahir dan batin oleh Allah SWT.
18. Seluruh anggota Dewan Kerja Daerah Gerakan Pramuka
DKI Jakarta masa bakti 2013-2018 atas segala
dukungannya dan telah menjadi keluarga kedua bagi
peneliti.
19. Bunda Gatik, Mentor Rani, seluruh instruktur dan senior,
serta teman-teman anggota Saka Bahari di seluruh
Indonesia. Tetap semangat dalam berbakti kepada negeri.
20. Seluruh karyawan PT. HIJUP.com khususnya bagian
Customer Service yang telah memberikan kesempatan dan
pengalaman berharga kepada peneliti sebagai pekerja
paruh waktu.
21. Serta semua pihak yang yang telah membantu peneliti
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Demikian pengantar ini peneliti sampaikan. Semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca,
khususnya mahasiswa program studi Komunikasi dan Penyiaran
Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Peneliti juga memohon maaf apabila ada
kesalahan dalam penulisan kata atu kalimat pada skripsi ini.
Jakarta, 18 Mei 2020
Rayi Citra Purnama
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................... iv
ABSTRAK .................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................. x
DAFTAR TABEL ...................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................. 10
D. Kajian Terdahulu ........................................................ 11
E. Metodologi Penelitian ................................................ 16
F. Sistematika Penulisan ................................................ 21
BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................... 23
A. Strategi Komunikasi ................................................... 23
B. Relawan Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA)45
C. Program Pendampingan Pasien .................................. 46
D. Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) ........................ 48
xi
BAB III GAMBARAN UMUM................................................. 52
A. Sejarah Singkat Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO
(PETA) ............................................................................. 52
B. Visi dan Misi Yayasan PETA Jakarta ........................ 53
C. Struktur Organisasi Yayasan PETA Jakarta .............. 54
D. Program Kerja Yayasan PETA .................................. 54
BAB IV TEMUAN DATA DAN PEMBAHASAN .................. 67
A. Strategi Komunikasi Relawan Yayasan Pejuang
Tangguh TB-RO (PETA) Dalam Program Pendampingan
Pasien TB-RO di RSUP Persahabatan Jakarta dan
Implementasinya .............................................................. 67
B. Faktor Pendukung dan Penghambat Relawan Yayasan
Pejuang Tanggung TB-RO (PETA) Dalam Program
Pendampingan Pasien TB-RO di RSUP Persahabatan
Jakarta .............................................................................. 96
Tabel Temuan................................................................. 103
BAB V PENUTUP .................................................................... 106
A. Kesimpulan .............................................................. 106
B. Saran ......................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 113
LAMPIRAN .............................................................................. 117
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Model Komunikasi Shanon - Weaver ......................... 36
Tabel 2.2 Model Komunikasi SMCR ......................................... 37
Tabel 2.3 Speech Communication Model ................................... 38
Tabel 3.4 Struktur Organisasi PETA .......................................... 54
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Aplikasi Sembuh TB ............................................... 58
Gambar 3.2 Kunjungan Relawan ................................................ 59
Gambar 4.3 Unggahan Edukasi................................................... 76
Gambar 4.4 Pendampingan Pasien .............................................. 90
Gambar 4.5 Pemberian Informasi dan Edukasi........................... 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi menyentuh semua aspek kehidupan
bermasyarakat, atau sebaliknya semua aspek kehidupan
masyarakat menyentuh komunikasi. Orang melukiskan
komunikasi sebagai ubiquitous atau serba hadir. Artinya
komunikasi berada di manapun dan kapanpun juga.1 Salah
satunya adalah kegiatan komunikasi dalam bidang
kesehatan. Komunikasi kesehatan terjadi antara sesama
petugas kesehatan, maupun komunikasi antara petugas
kesehatan (dokter, perawat) dengan penerima layanan
kesehatan (pasien).
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian
suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk
memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku, baik secara lisan, maupun tak langsung melalui
media.2 Dalam hal ini komunikasi berperan penting dalam
hubungan antar manusia pada kegiatan dalam bidang
kesehatan. Contohnya seperti relawan sosial yang
bekerjasama dengan perawat untuk penyembuhan pasien
melalui pendekatan komunikasi.
1 Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2006) hal. 20-21 2 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008) hal. 5
2
Komunikasi kesehatan dipandang sebagai disiplin
ilmu komunikasi terapan yang digunakan untuk
memengaruhi secara positif perilaku kesehatan
masyarakat.3 Komunikasi kesehatan adalah studi yang
mempelajari bagaimana cara menggunakan strategi
komunikasi untuk menyebarluaskan informasi kesehatan
yang dapat mempengaruhi individu dan komunitas agar
mereka dapat membuat keputusan yang tepat terkait
dengan pengelolaan kesehatan.4
Dalam komunikasi kesehatan terdapat transfer
dengan seperangkat aturan. Seperti penggunaan bahasa
medis atau professional tertentu agar kedua belah pihak
saling mengerti, atau penggunaan bahasa tertentu untuk
dua kelompok sosial berbeda.5 Tidak hanya dalam hal
penyampaian informasi saja, namun juga untuk
mempengaruhi dan/atau memotivasi orang lain, dalam hal
ini adalah pasien, terkait dengan hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan dan faktor yang mempengaruhinya
dengan tujuan dapat merubah perilaku pasien dalam aspek
kesehatan kearah yang lebih baik.
3 Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff, Komunikasi, Edukasi dan
Kesehatan untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: UIN Press
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), hal. 47 4 Firdaus J, Kunoli dan Achmad Herman, Pengantar Komunikasi Kesehatan
Untuk Mahasiswa Institusi Kesehatan, (Jakarta: Penerbit In Media, 2013) hal.
46 5 Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff, Komunikasi, Edukasi dan
Kesehatan untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: UIN Press
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), hal. 22
3
Hal tersebut sejalan dengan firman Allah dalam surat An
nisa ayat 63:
م لل ا م ل ع ي ن ي لذ ا ك ئ ول وب ق ف ا أ ر ل ع أ ف ض م أ ف م ل ل وق م ه ظ وع م ه ن س ن ع م ف يق ه ل ب غااولا
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah
mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka
pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang
berbekas pada jiwa mereka.”
Kalimat “Katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka” memiliki makna
komunikasi yang dilakukan haruslah menyentuh hati
lawan bicara sehingga berbekas pada jiwanya dan dapat
mempengaruhi lawan bicara melalui kata-kata yang
disampaikan. Dalam konteks agama hal ini termasuk pada
Qaulan Balighan yang berarti perkataan yang sampai
pada tujuan.
Menurut H. Boner yang dikutip oleh Firdaus J.
Kunoli dan Achmad Herman dalam bukunya yang
berjudul Pengantar Komunikasi Kesehatan Untuk
Mahasiswa Institusi Kesehatan, interaksi adalah
hubungan antara dua atau lebih individu manusia dan
perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah,
4
dan memperbaiki perilaku individu lain atau sebaliknya.6
Dari pernyataan tersebut, hubungan antar manusia yang
dimaksud tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan
informasi, tetapi juga sebagai usaha untuk mempengaruhi
individu lain. Dalam hal ini petugas kesehatan yang
menggunakan kegiatan komunikasi dengan tujuan untuk
mempengaruhi pasien.
Onong Uchjana Effendy dalam bukunya yang
berjudul Dinamika Komunikasi, mengutip pernyataan dari
Wilbur Schramm yaitu the condition of success in
communication. Dalam pernyataan tersebut dijelaskan
bahwa pesan harus dirancangkan dan disampaikan
sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian
sasaran yang dimaksud, pesan harus menggunakan tanda-
tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara
komunikator dan komunikan sehingga sama-sama dapat
mengerti, pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi
pihak komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk
memperoleh kebutuhan itu, serta pesan harus
menyarankan suatu cara untuk memperoleh kebutuhan
tadi yang layak bagi situasi kelompok tempat komunikan
6 Firdaus J, Kunoli dan Achmad Herman, Pengantar Komunikasi Kesehatan
Untuk Mahasiswa Institusi Kesehatan, (Jakarta: Penerbit In Media, 2013) hal.
2.
5
berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan
tanggapan yang dikehendaki.7
Pada penelitian ini, peneliti mengambil kasus
penanganan pasien Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO)
dengan pendekatan komunikasi. Hal ini menjadi menarik
karena disamping masalah kesehatan fisik, pasien TB-RO
juga berpotensi memiliki masalah pada psikologisnya.
Jika kondisi psikologisnya memburuk, maka akan
berpotensi memperburuk kondisi fisiknya pula. Oleh
karena itu pendekatan komunikasi yang tepat, baik dari
petugas kesehatan maupun orang lain disekitarnya sangat
diperlukan dalam menjaga kondisi psikologis pasien.
Berdasarkan informasi yang dikutip dari laman
idntimes.com pada artikel yang berjudul Duh, Indonesia
Peringkat ke-3 TBC Tertinggi di Dunia!, Anung
Sugihantono selaku Dirjen Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa saat
ini Indonesia berada di peringkat ketiga setelah China dan
India dengan pasien tuberkulosis tertinggi di dunia.8 Hal
ini juga menjadi urgensi dalam penelitian ini, karena
dengan penanganan yang tepat baik secara medis dan
pendekatan komunikasi yang baik terhadap pasien,
diharapkan dapat meningkatkan angka kesembuhan pada
7 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), hal. 32-33. 8https://www.idntimes.com/news/indonesia/amp/indianamalia/indonesia-
peringkat-ke-3-tbc-tertinggi-di-dunia di akses pada tanggal 22 Agustus 2019
6
pasien tuberkulosis di Indonesia. Terutama dalam hal
menjaga kesehatan psikologis pasien melalui strategi
komunikasi yang tepat.
Seperti pernyataan Stewart yang dikutip oleh Dedi
Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff dalam bukunya yang
berjudul Komunikasi, Edukasi, dan Kesehatan untuk
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, komunikasi
berhubungan dengan kesehatan fisik. Orang yang terkucil
secara sosial cenderung lebih cepat mati. Kemampuan
komunikasi yang buruk mempunyai andil dalam penyakit
koroner. Kemungkinan kematian meningkat pada orang
yang ditinggalkan mati oleh pasangannya.9
Dari berita yang dikutip pada laman JawaPos.com
tanggal 2 Juni 2017, terdapat seorang pasien yang
ditemukan gantung diri di toilet ruang isolasi paru IGD
RSUP Persahabatan Jakarta. Dari berita tersebut
dijelaskan bahwa pasien yang bernama Yasir (39)
membunuh dirinya sendiri karena sudah tidak tahan
dengan penyakit yang dideritanya.10
Pasien tuberkulosis memang membutuhkan waktu
yang lama dalam proses pengobatannya, karena itu
9 Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff, Komunikasi, Edukasi dan
Kesehatan untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: UIN Press
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), hal. 49 10 https://www.jawapos.com/metro/metropolitan/02/06/2017/tak-kuat-
menahan-sakit-pasien-gantung-diri-di-rs-persahabatan/%3famp di akses pada
tanggal 22 Agustus 2019
7
kondisi psikologis sangat mempengaruhi pasien dalam
menjalani masa pengobatannya. Oleh karena itu
pendekatan komunikasi sangat penting dalam menjaga
kesehatan psikologis pasien. Dengan komunikasi yang
tepat, diharapkan hal tersebut tidak terulang pada pasien
lainnya
Dalam buku Pemberantasan dan Penanggulangan
Tuberkulosis karya Muhammad Nizar, menurut laporan
WHO setengah persen penduduk dunia terserang penyakit
tuberkulosis. Di Indonesia setidaknya ditemukan 539.000
kasus baru setiap tahunnya dengan kematian 101.000.
WHO memperkirakan angka kematian tuberkulosis secara
nasional tahun 1998 sebesar 68 per 100.000 penduduk
atau dengan asumsi kematiannya satu diantara empat
kasus tuberkulosis.11
Selain dapat berakibat kematian, ancaman lain dari
penyakit ini adalah resisten obat, biasa disebut dengan TB
Resisten Obat (TB RO) atau TB-Multi Drugs Resistance
(TB MDR). TB Resisten Obat adalah keadaan dimana
kuman M.tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh
dengan salah satu atau lebih obat anti TB (OAT). Pada
tahun 2013 WHO memperkirakan di Indonesia terdapat
6.800 kasus baru TB dengan Multi Drug Resistance (TB
MDR) setiap tahun. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru
11 Muhammad Nizar, Pemberantasan dan Penanggulangan Tuberkulosis,
(Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2011), hal. 1-2
8
dan 12% dari kasus TB pengobatan ulang merupakan
kasus TB MDR atau TB RO. Diperkirakan pula lebih dari
55% pasien belum terdiagnosis atau mendapat pengobatan
dengan baik dan benar.12
Lamanya pengobatan yang harus dijalani dan efek
samping dari pengobatan yang dirasakan setiap pasien,
serta stigma dari masyarakat di lingkungan sekitar ,seperti
dikucilkan atau dijauhi, seringkali memengaruhi kondisi
mental pasien. Untuk mencegah hal tersebut terjadi pada
pasien TB-RO, khususnya di Rumah Sakit Umum Pusat
Persahabatan atau biasa disingkat menjadi RSUP
Persahabatan, tersedia layanan bantuan berupa
pendampingan pasien dari Yayasan Pejuang Tangguh TB-
RO (PETA) selama masa pengobatan berlangsung.
Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA)
Jakarta adalah organisasi non-profit yang memiliki
relawan terdiri dari mantan pasien TB-RO yang saat ini
telah dinyatakan sembuh.13 Para relawan tersebut bertugas
memberikan pendampingan terhadap pasien TB-RO yang
sedang menjalani masa pengobatannya hingga pasien
dinyatakan sembuh. Relawan tersebut tersebar di
beberapa Rumah Sakit dan/atau Puskesmas wilayah DKI
Jakarta, salah satunya adalah RSUP Persahabatan yang
12 Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, InfoDATIN: Hari
Tuberkulosis Sedunia, (Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2015), Hal. 1 13 Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO Jakarta, Pamflet Sosialisasi Tuberkulosis
Resisten Obat, (Jakarta: Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO)
9
merupakan rumah sakit rujukan nasional di bidang
pelayanan kesehatan respirasi (pernapasan) di Indonesia.
Kegiatan utama yang dilakukan oleh Yayasan
Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) Jakarta antara lain,
kunjungan rumah sakit, kunjungan Puskesmas, dan
kunjungan rumah. Untuk wilayah DKI Jakarta terdapat 4
rumah sakit besar yang menangani pasien TB-RO yaitu
RSUP Persahabatan Jakarta, RSPI Sulianti Saroso, RS
Islam Cempaka Putih, dan RSUD Mampang Prapatan.14
Untuk mencapai tujuannya dalam mendampingi
dan memotivasi demi menjaga kesehatan psikologi
pasien, maka diperlukan strategi komunikasi yang tepat
sehingga kegiatan komunikasi dapat berjalan dengan
efektif dan menciptakan hubungan saling percaya dan
saling membutuhkan antara relawan dengan pasien. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam
tentang strategi komunikasi yang digunakan oleh Yayasan
PETA dalam menjalankan tugasnya sebagai pendamping
pasien TB RO di RSUP Persahabatan Jakarta.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah yang
telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini memiliki
batasan pada strategi komunikasi yang digunakan oleh
Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) dalam
14 Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO Jakarta, Pamflet Sosialisasi Tuberkulosis
Resisten Obat, (Jakarta: Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO)
10
memberikan pendampingan kepada pasien TB-RO di
RSUP Persahabatan Jakarta.
Berdasarkan batasan penelitian tersebut, berikut
penulis rumuskan permasalahan yang menjadi acuan
dalam penelitian ini:
a. Bagaimana implementasi dari strategi komunikasi
yang dilakukan oleh relawan Yayasan Pejuang
Tangguh TB-RO (PETA) dalam pendampingan pasien
TB-RO di RSUP Persahabatan Jakarta?
b. Adakah faktor-faktor pendukung dan penghambat
dalam pendampingan pasien TB-RO tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi
komunikasi yang diterapkan oleh relawan dari Yayasan
Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) dalam mendampingi
pasien TB-RO di RSUP Persahabatan Jakarta. Selain itu
penulis juga bertujuan untuk mengetahui evaluasinya
terhadap metode komunikasi yang digunakan tersebut.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Secara akademis, penelitian ini bermanfaat sebagai
pengetahuan mengenai strategi komunikasi yang
dilakukan selama proses pendampingan pasien oleh
yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) di RSUP
Persahabatan.
11
2. Sedangkan praktisnya, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan evaluasi dan referensi mengenai
metode komunikasi yang tepat dalam menerapkan
pendampingan kepada pasien TB-RO di RSUP
Persahabatan Jakarta.
D. Kajian Terdahulu
Berikut adalah penelitian terdahulu yang relevan
dengan permasalahan yang akan diteliti.
1) Skripsi yang berjudul “Strategi Komunikasi Majelis
Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah dalam Mensosialisasikan “Akhlakul
Medsosiah” Warga Muhammadiyah”. Ditulis oleh
Aldinah Rosmi, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2018.
Hasil penelitiannya adalah MPI PP Muhammadiyah
menempuh strategi komunikasi untuk
mensosialisasikan gagasan “Akhlakul Medsosiah”
warga Muhammadiyah melalui empat langkah.
Adapun langkah-langkah strategi komunikasi yang
dilakukan MPI PP Muhammadiyah yaitu, pertama,
mengenal khalayak dengan cara mengidentifikasi
khalayak dari segi sikap dan kondisi kepribadian
khalayak. Kedua, menyusun pesan dengan menyajikan
gagasan “Akhlakul Medsosiah” warga
Muhammadiyah dengan tampilan grafis menarik dan
12
kekinian serta bahasa pesan yang lebih ringan. Ketiga,
menetapkan metode redundancy (repetition) dimana
MPI memengaruhi khalayak dengan cara mengulang
pesan kepada khalayak. Keempat, menggunakan
beberapa saluran media agar Akhlakul Medsosiah
dapat tersosialisasikan secara menyeluruh di semua
kalangan.
2) Skripsi yang berjudul “Strategi Komunikasi Rumah
Sakit Ibu dan Anak Citra Ananda Ciputat dalam
Mensosialisasikan Layanan Home Care”. Ditulis oleh
Alya Sukma Waty, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2018.
Hasil penelitiannya adalah Rumah Sakit Ibu dan Anak
Citra Ananda menggunakan strategi dari berbagai
macam aspek guna mendukung program pelayanan
jasa home care. Formulasi yang digunakan berupa
sumber daya manusia yang dilatih di bidang home
care. Sosialisasi yang digunakan lebih kepada pasien
rawat inap dan menjual jasa tenaga medis yang sudah
terlatih, serta memanfaatkan media pendukung berupa
media sosial instagram, website, dan sounding
pelayanan home care pada saat kegiatan seminar yang
diselenggarakan oleh Rumah Sakit Ibu dan Anak Citra
Ananda. Menurut peneliti strategi yang digunakan
dalam mensosialisasikan pelayanan home care sudah
13
cukup baik, meskipun belum maksimal dilihat dari
data pasien yang tidak stabil dan kurangnya
koordinasi antara pihak manajemen dengan karyawan
dalam menyusun tahap formulasi strategi tersebut.
3) Skripsi yang berjudul “Strategi Komunikasi Aksi
Cepat Tanggap (ACT) dalam Mensosialisasikan
Program Kapal Kemanusiaan Melalui Media Sosial”.
Ditulis oleh Khairunnisa Permata Sari, Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Komunikasi
dan Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Tahun 2017. Hasil penelitiannya adalah strategi
komunikasi yang dilakukan Aksi Cepat Tanggap
dalam mensosialisasikan program kapal kemanusiaan
melalui media sosial yang pertama yaitu, perumusan
strategi untuk mengetahui faktor internal dan eksternal
yang akan dihadapi dengan melibatkan para anggota
ACT, donatur serta masyarakat. Kedua, implementasi
dalam beberapa bentuk program yaitu dengan cara
menggunakan media konvensional seperti spanduk,
baliho, dan lain-lain. Selain itu juga memanfaatkan
media digital seperti, media massa online, website,
facebook, twitter, instagram, youtube, google ads, dan
e-commerce. Ketiga, evaluasi untuk melihat apa
perubahan minggu dari sebelumnya, apa yang akan
dikerjakan sebulan kedepannya, dan apa yang akan
dilakukan sepekan ini.
14
4) Skripsi yang berjudul “Pravelansi Risiko Tuberkulosis
Multi Drug Resistance (TB-MDR) di Kota Depok
Tahun 2010 – 2012”. Ditulis oleh Abdullah Shidqul
Azmi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Jurusan Pendidikan Dokter, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Tahun 2013. Hasil penelitiannya adalah
pravelansi risiko TB-MDR di kota Depok tahun 2010
– 2012 sebesar 36,1 %. Karakteristik subjek penelitian
berdasarkan jenis kelamin di dominasi oleh laki-laki
56,5%, dan perempuan sebesar 43,5% akan tetapi
tidak di dapatkan hubungan yang bermakna antara
jenis kelamin dnegan risiko TB-MDR. Selain itu tidak
di dapatkan hubungan yang bermakna pula antara usia
pasien dengan kondisi risiko TB-MDR. Distribusi
berdasarkan unit pelayanan menunjukkan bahwa
penderita TB lebih banyak berobat ke puskesmas
daripada ke rumah sakit. Serta di dapatkan hubungan
yang bermakna antara unit pelayanan dengan kondisi
risiko TB-MDR.
5) Jurnal yang berjudul “Multidrug Resistant
Tuberculosis (MDR-TB): Tinjauan Epidemiologi dan
Faktor Risiko Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis”.
Ditulis oleh P. Kusnanto dari Bagian Penyakit Dalam
Sub Bagian Gastrohepatologi, Vicky Eko dari Bagian
Telinga Hidung dan Tenggorokan-Kepala Leher,
15
Reviono, Helena Pakiding, Dyah Nurwidiasih dari
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Tahun 2014. Kesimpulan dari jurnal ini
adalah dari 114 pasien MDR-TB di Rumah Sakit Dr.
Moewardi diantaranya paling banyak mengalami efek
samping gangguan gastroinfestinal dengan rincian,
mual 79,8% dan muntah 78,9%.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian
pertama, kedua, dan ketiga adalah meneliti tentang
strategi komunikasi. Sedangkan perbedaan yang dimiliki
penelitian ini dengan tiga penelitian sebelumnya terletak
pada subjek penelitian. Dalam penelitian ini subjeknya
adalah Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA)
Jakarta.
Selain itu ketiga penelitian tersebut menganalisis
tentang strategi komunikasi yang digunakan oleh subjek
penelitian dalam mensosialisasikan program kegiatan
yang dimiliki masing-masing lembaga, sedangkan dalam
penelitian ini tidak hanya meneliti tentang strategi
komunikasi pada proses sosialisasi suatu program saja,
namun lebih menekankan pada implementasi dari strategi
komunikasi yang digunakan dan dampak yang
ditimbulkan dari program tersebut. Dalam hal ini program
yang dimaksud adalah pendampingan pasien tuberkulosis
resisten obat di RSUP Persahabatan Jakarta.
16
Persamaan penelitian ini dengan kajian yang
keempat dan kelima adalah memiliki objek yang sama
yaitu Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) karena
Tuberculosis – Multi Drug Resistance (TB-MDR) adalah
salah satu jenis TB-RO. Perbedaan dari penelitian ini
adalah pokok bahasan. Penelitian yang dilakukan oleh
Abdullah Shidqul Azmi membahas tentang pravelansi
risiko TB-MDR. Kemudian jurnal yang di tulis oleh P.
Kusnanto, Vicky Eko, Reviono, Helena Pakiding, dan
Dyah Nurwidiasih membahas tentang efek samping obat
yang di rasakan oleh pasien TB-MDR. Sedangkan
penelitian ini menganalisis tentang strategi komunikasi
dalam pendampingan pasien TB-RO.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode deskriptif. Dengan
pendekatan ini, peneliti memaparkan situasi atau
peristiwa dengan membuat pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan secara mendalam terhadap subjek
penelitian untuk mendapatkan informasi aktual,
mengidentifikasi masalah, membuat perbandingan,
17
dan menentukan langkah untuk menetapkan rencana
dan keputusan pada waktu yang akan datang.15
Paradigma yang digunakan dalam penelitian
ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma
konstruktivisme menyatakan bahwa individu
menginterpretasikan dan bereaksi menurut kategori
konseptual dari pikiran. Realitas tidak
menggambarkan diri individu namun harus disaring
melalui cara pandang orang terhadap realitas
tersebut.16
Jenis metode penelitian yang digunakan adalah
studi kasus. Studi kasus adalah suatu penelitian yang
dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam
terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala
tertentu.17
Untuk memahami lebih jauh tentang studi
kasus, dalam buku Teori - Teori Komunikasi: Teori
Komunikasi dalam Perspektif Penelitian Kualitatif
karya Zikri Fachrul Nurhadi, dengan lugas Feagin,
Orum & Sjoberg menyatakan bahwa studi kasus
merupakan penelitian yang melakukan analisis dari
15 Jalaludin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), hal. 24. 16 Elvinaro Ardianto dan Bambang Q Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 158. 17 Zikri Fachrul Nurhadi, Teori-teori Komunikasi: Teori Komunikasi dalam
Perspektif Penelitian Kualitatif, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), hal. 161.
18
berbagai sudut pandang (multi-perspectival analyses),
artinya bahwa peneliti tidak saja memperhatikan suara
dan perspektif dari aktor saja, tetapi juga kelompok
dari aktor-aktor yang relevan dan interaksi antara
mereka. Aspek ini merupakan titik yang menonjol dan
penting yang merupakan ciri-ciri yang dipunyai studi
kasus.18
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tidak hanya
mengumpulkan data dari relawan Yayasan PETA
yang dalam hal ini sebagai aktor utama. Namun
peneliti juga akan memperhatikan suara dan perspektif
dari pasien TB-RO yang masih aktif mendapatkan
pendampingan di RSUP Persahabatan Jakarta.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini merupakan relawan dari
Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) dan pasien
TB-RO yang masih aktif mendapatkan pendampingan
oleh relawan yang bersangkutan di RSUP
Persahabatan Jakarta. Sedangkan objek penelitiannya
adalah program pendampingan pasien TB-RO.
3. Tempat Penelitian
1. Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jalan
Persahabatan Raya No. 1, RT 16/RW 13, Pisangan
Timur, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur.
18 Zikri Fachrul Nurhadi, Teori-teori Komunikasi: Teori Komunikasi dalam
Perspektif Penelitian Kualitatif, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), hal.165-164.
19
2. Sekretariat Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO
(PETA), Jalan Rawamangun Muka Selatan No. 27
RT 08 / RW 27, Rawamangun, Jakarta Timur.
4. Waktu penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Agustus
2019 sampai dengan bulan Februari 2020
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini antara
lain akan dilakukan dengan tehnik sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi adalah suatu metode yang dilakukan
untuk memperoleh dan mengumpulkan data
dengan melakukan pengamatan dan pencatatan
langsung dilapangan secara sistematis terhadap
fenomena-fenomena yang muncul dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam
fenomena yang di selidiki.19 Dalam hal ini peneliti
akan melakukan pengamatan secara langsung pada
proses pendampingan pasien TB-RO di RSUP
Persahabatan Jakarta yang dilakukan oleh relawan
Yayasan PETA.
b. Wawancara
Wawancara adalah sebuah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya
19 Moh. Nazin, Metode Penelitian, (Bandung: Ghalia Indonesia, 2013), hal.
234.
20
jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan orang yang di wawancarai.20 Dalam hal ini
peneliti akan mengajukan beberapa pertanyaan
mendalam berkaitan dengan pendampingan pasien
TB-RO.
c. Dokumentasi
Menggunakan buku-buku komunikasi, arsip-arsip
yang dimiliki oleh Yayasan Pejuang Tangguh TB-
RO (PETA), dan mengambil foto kegiatan relawan
Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) dalam
memberikan pendampingan kepada pasien TB-
RO.
6. Tehnik Analisis Data
Peneliti menggunakan analisis deskriptif,
dimana peneliti menginterpretasikan data untuk
memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan
luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan.
Pembahasan hasil penelitian dilakukan dengan cara
meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori
yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh di
lapangan.21
20 Moh. Nazin, Metode Penelitian, (Bandung: Ghalia Indonesia, 2013), hal.
234. 21 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2010), hal. 244.
21
Peneliti akan menganalisis data yang berhasil
dikumpulkan dari observasi di lapangan mengenai
proses pendampingan pasien yang dilakukan oleh
relawan Yayasan PETA Jakarta, wawancara dengan
relawan yang bertugas dan pasien TB-RO yang
menerima pendampingan di RSUP Persahabatan
Jakarta, serta dokumentasi yang dilakukan pada proses
pengumpulan data.
Peneliti akan menganalisis data berdasarkan
tahapan analisa yang dikemukakan oleh Miles dan
Huberman, yaitu reduksi data (data reduction),
paparan data (data display), dan penarikan kesimpulan
(conclusion). Analisis data yang diperoleh dilakukan
secara bersamaan pada saat proses pengumpulan data
dan sesudah data berhasil terkumpul. Setelah proses
pengumpulan data dan analisis data telah selesai,
selanjutnya peneliti akan menarik kesimpulan hasil
dari analisis data yang ada.
F. Sistematika Penulisan
Berikut gambaran tentang hal-hal yang akan
dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu:
BAB I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
22
terdahulu, landasan teori dan kerangka penelitian,
metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Teoritis
Bab ini membahas mengenai kerangka teori yang
berkaitan dengan fokus penelitian yaitu strategi
komunikasi, konsep pendampingan pasien, dan pengertian
Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO).
BAB III Gambaran Umum
Bab ini berisi tentang sejarah berdirinya yayasan, visi,
misi, struktur organisasi, serta program kerja dari Yayasan
Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) Jakarta.
BAB IV Temuan Data dan Pembahasan
Bab ini berisi tahapan penelitian, hasil temuan penelitian
yang didalamnya berisi pembahasan atau diskusi
mengenai hasil penelitian yang diperoleh. Serta
keterkaitannya dengan teori yang sudah ada.
BAB V Penutup
Pada bab ini peneliti akan menyimpulkan hasil dari
penelitian yang telah dilakukan, disertai dengan saran-
saran dari hasil analisa peneliti.
23
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Strategi Komunikasi
a. Strategi
Kata strategi berasal dari bahasa Yunani klasik
yaitu “stratos” yang artinya tentara dan kata “agein” yang
berarti memimpin. Dengan demikian strategi yang
dimaksudkan adalah memimpin tentara. Lalu muncul kata
strategos yang artinya pemimpin tentara pada tingkat atas.
Jadi strategi adalah konsep militer yang bisa diartikan
sebagai seni perang para jenderal (The Art of General),
atau suatu rancangan yang terbaik untuk memenangkan
peperangan.22
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, strategi
diartikan sebagai ilmu seni menggunakan semua sumber
daya bangsa untuk melaksanakan kebijakan tertentu
dalam perang.23 Menurut Eddy Yunus dalam buku
Manajemen Strategis, strategi merupakan rencana
tindakan yang menjabarkan alokasi sumber daya dan
aktivitas lain untuk menanggapi lingkungan dan
membantu organisasi mencapai sasarannya.24
22 Hafied Cangara, Perencanaan dan Strategi Komunikasi edisi revisi, (Depok:
PT RajaGrafindo Persada, 2017), hal. 64 23 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 1092 24 Eddy Yunus, Manajemen Strategis, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2016),
hal. 164
24
Dalam buku Dinamika Komunikasi, Onong
Uchjana Effendy mengatakan bahwa strategi pada
hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan
manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan.
Namun untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak
berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan
arah saja, tetapi harus menunjukkan bagaimana taktik
operasionalnya.25
Sementara itu Morissan dalam bukunya yang
berjudul Pengantar Public Relations Strategi Menjadi
Humas Profesional, mengutip Stephen Robbins yang
menyatakan bahwa strategi sebagai penentuan tujuan
jangka panjang perusahaan dan memutuskan arah
tindakan serta mendapatkan sumber-sumber yang
diperlukan untuk mencapai tujuan.26
Menurut Rothwell yang di kutip oleh Eddy
Yunus27 dalam buku Manajemen Strategis, terdapat
beberapa langkah dalam perumusan strategi, yaitu:
A. Pembentukan Visi, Misi, dan Tujuan
Langkah ini mencakup pernyataan umum yang
berkaitan dengan misi, maksud, dan tujuan organisasi.
25 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), hal.29 26 Morissan, Pengantar Public Relations Strategi Menjadi Humas Profesional,
(Jakarta: Ramdina Prakasa, 2006), hal. 134 27 Eddy Yunus, Manajemen Strategis, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2016),
hal. 165-168
25
Perumusan visi, misi, dan tujuan merupakan tanggung
jawab kunci bagi manajerial pusat. Perumusan ini
dipengaruhi oleh nilai yang dibawakan manajer. Visi,
misi, dan tujuan suatu organisasi harus jelas dan
ringkas serta menunjukkan dasar tujuan suatu
organisasi dan apa yang ingin dicapai organisasi
tersebut.
B. Identifikasi Strategi Masa Lalu dan Sekarang
Sebelum memutuskan suatu strategi diperlukan
atau tidak, maka seorang manajer harus
mengidentifikasi berdasarkan strategi sebelumnya dan
pada saat ini. Apakah strategi di masa lalu telah
disusun dengan sebenarnya? Jika belum, maka hal ini
dapat di analisis dan di identifikasi apakah strategi
yang sebelumnya masih bisa di terapkan atau perlu di
perbaiki. Dengan melihat strategi sebelumnya, dapat
menunjukkan bagaimana kegiatan suatu organisasi
sebelumnya berlangsung beserta implementasinya.
C. Diagnosa Kinerja Masa Lalu dan Sekarang
Langkah ini diperlukan sebagai evaluasi
bagaimana strategi terdahulu bekerja dan menentukan
perubahan apa yang diperlukan sehingga laporan
sebuah organisasi perlu di kaji lebih dalam. Diagnosa
dapat diambil dari beberapa faktor yaitu, efektivitas
organisasi, proses organisasi, dan kinerja organisasi.
26
Langkah selanjutnya adalah menentukan strategi
untuk jangka panjang, menengah, dan jangka pendek
yang termasuk dalam tujuan dan misi organisasi.
D. Menetapkan Sasaran
Terdapat dua jenis sasaran yang diperlukan
seorang manajer, yaitu sasaran jangka panjang dan
sasaran jangka pendek. Secara umum sasaran jangka
panjang membahas rencana suatu organisasi untuk
beberapa tahun mendatang. Sasaran ini harus
mendukung dan tidak bertentangan dengan misi
organisasi.
Sasaran jangka pendek merupakan suatu
bagian turunan di dalam sasaran jangka panjang yang
mendukung jalannya sistem suatu organisasi. Seperti
sebuah evaluasi harus menghasilkan daftar prioritas
pada tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek
dapat diatur untuk membantu tujuan jangka panjang.
E. Analisis SWOT dan Perumusan Strategi
Dalam analisis SWOT di dalamnya mencakup
analisis kesempatan dan ancaman lingkungan
eksternal serta analisis kekuatan dan kelemahan
lingkungan internal. Kunci keberhasilan analisis
lingkungan bagi perumusan strategi terletak pada
27
kemajuan manajemen untuk mendeteksi perubahan
lingkungan eksternal beserta dampaknya.
Melalui aplikasi SWOT (analisis lingkungan
internal dan eksternal) diharapkan suatu organisasi
dapat mengambil kebijakan strategis yang sesuai
dengan masalah dan penanganan yang efektif di dalam
tubuh organisasi tersebut. Analisis SWOT membantu
manajer dalam membaca suatu fakta yang penting dan
relevan dalam analisis internal dan eksternal.Setelah
itu manajer dapat mrumuskan strategi yang tepat
dalam mengambil keputusan organisasi, menetralisir
kelebaman organisasi, dan selalu memperhitungkan
ancaman yang akan dihadapi.
F. Mengembangkan dan Evaluasi Alternatif Strategi
dan Memilih Strategi
Manajer yang sukses akan memilih strategi
yang memberikan organisasi mereka keunggulan
kompetitif yang paling menguntungkan. Selanjutnya
mereka akan mencoba untuk mempertahankan
keuntungan tersebut dari waktu ke waktu.28
b. Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian
informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada
28 Eddy Yunus, Manajemen Strategis, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2016),
hal. 165-168
28
pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara
keduanya.29 Komunikasi dapat dilakukan secara verbal
dengan bahasa yang dimengerti oleh komunikator maupun
komunikan, dan secara non-verbal melalui bahasa tubuh
maupun simbol-simbol tertentu.
Menurut Clevenger ; 1959, komunikasi merupakan
suatu terminologi yang merujuk pada pertukaran
informasi yang dinamis. Masing-masing pihak, baik
source maupun receiver terlibat dalam proses berbagi
informasi. Seperti pekerja sosial dengan seorang perawat
yang bekerjasama untuk penyembuhan seorang pasien.30
Dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi,
Suryanto menjelaskan bahwa terdapat tiga bentuk
komunikasi, yaitu:
1. Komunikasi Personal
a. Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapersonal merupakan
keterlibatan internal secara aktif dari individu
dalam pemrosesan simbolis dari pesan-pesan yang
diproduksi melalui proses pemikiran internal
individu. Dalam komunikasi intrapersonal,
29 Firdaus J, Kunoli dan Achmad Herman, Pengantar Komunikasi Kesehatan
Untuk Mahasiswa Institusi Kesehatan, (Jakarta: Penerbit In Media, 2013) hal.
17 30 Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff, Komunikasi, Edukasi dan
Kesehatan untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: UIN Press
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), hal. 22
29
seorang individu menjadi pengirim sekaligus
penerima pesan, memberikan umpan balik bagi
dirinya sendiri dalam proses internal yang
berkelanjutan. Pengetahuan mengenai diri pribadi
melalui proses-proses psikologis seperti persepsi
dan kesadaran (awareness) terjadi saat
berlangsungnya komunikasi intrapribadi oleh
komunikator.31
Dari penjelasan di atas, komunikasi
intrapersonal dapat di contohkan seperti, seseorang
yang sedang melamun, memikirkan tentang suatu
permasalahan yang terjadi pada dirinya, atau dapat
juga sedang memikirkan suatu rencana untuk
dilakukan pada hari itu ataupun hari berikutnya.
Umpan balik yang diberikan untuk dirinya sendiri
contohnya seperti persetujuan atau penolakan pada
rencana untuk kegiatan yang akan dilakukan oleh
dirinya sendiri.
b. Komunikasi Interpersonal
Suryanto dalam bukunya Pengantar Ilmu
Komunikasi, mengutip pernyataan dari Mulyana
yang menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal
diartikan sebagai komunikasi antara orang-orang
secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap
31 Suryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015),
hal. 102
30
pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung, baik secara verbal maupun nonverbal.
Selanjutnya ia menjelaskan bentuk khusus dari
komunikasi antarpribadi adalah komunikasi diadik
yang hanya melibatkan dua orang, seperti seorang
guru dengan siswa. Komunikasi demikian
menunjukkan pihak-pihak yang menerima pesan,
baik verbal maupun nonverbal secara simultan dan
spontan.32
2. Komunikasi Kelompok
Dan B. Curtis, James J. Floyd, dan Jerril L.
Winsor, seperti yang dikutip oleh Suryanto dalam
buku Pengantar Ilmu Komunikasi menyatakan bahwa
komunikasi kelompok terjadi ketika tiga orangf atau
lebih bertatap muka, biasanya di bawah pengarahan
seorang pemimpin untuk mencapai tujuan atau sasaran
bersama dan memengaruhi satu sama lain. Mereka
menjabarkan sifat-sifat komunikasi kelompok, yaitu:
1. Berkomunikasi melalui tatap muka,
2. Memiliki sedikit partisipan,
3. Bekerja di bawah arahan seorang pemimpin,
4. Membagi tujuan atau sasaran bersama,
32 Suryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015),
hal. 110
31
5. Anggota kelompok memiliki pengaruh satu sama
lain.33
3. Komunikasi Massa
Suryanto mengutip pernyataan dari Jalaludin
Rakhmat yang mendefinisikan komunikasi massa
sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada
sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan
anonym, melalui media cetak atau elektronis sehingga
pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan
sesaat.34
Saat ini komunikasi telah digunakan dalam
berbagai bidang kehidupan dalam masyarakat. Menurut
Suryanto saat ini terdapat delapan bidang komunikasi,
antara lain: komunikasi pembangunan, komunikasi
organisasi, komunikasi bisnis, psikologi komunikasi,
komunikasi antarbudaya, komunikasi sosial, komunikasi
persuasive, dan komunikasi kesehatan.
i. Komunikasi Pembangunan
Komunikasi pembangunan mencakup studi,
analisis, promosi, dan evaluasi teknologi komunikasi
untuk seluruh sektor pembangunan. Dalam arti sempit,
komunikasi pembangunan merupakan segala upaya
33 Suryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015),
hal. 136 34 Suryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015),
hal. 144
32
dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan
keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak
yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan
kepada masyarakat luas. Dengan tujuan agar
masyarakat memahami, menerima, dan berpartisipasi
dalam melaksanakan gagasan-gagasan yang
disampaikan.
ii. Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi pada umumnya
membahas struktur dan fungsi organisasi, hubungan
antarmanusia, komunikasi, dan proses
pengorganisasian serta budaya organisasi. Menurut
Sendjaja yang dikutip oleh Suryanto dalam buku
Pengantar Ilmu Komunikasi, komunikasi organisasi
diberi batasan sebagai arus pesan dalam suatu jaringan
yang sifatnya saling bergantung satu sama lain,
meliputi arus komunikasi vertikal dan horizontal.
iii. Komunikasi Bisnis
Komunikasi bisnis adalah pertukaran ide,
pendapat, informasi, dan perintah yang memiliki
tujuan tertentu yang disajikan secara personal atau
impersonal melalui simbol atau tanda. Komunikasi
bisnis juga merupakan proses pertukaran pesan atau
informasi untuk mencapai efektivitas dan efisiensi
produk kerja dalam struktur dan sistem organisasi.
33
iv. Psikologi Komunikasi
Muhibudin Wijaya Laksana mengutip
pernyataan dari Miller dalam bukunya Psikologi
Komunikasi Membangun Komunikasi yang Efektif,
menyatakan bahwa psikologi komunikasi adalah ilmu
yang berusaha menguraikan, meramaikan, dan
mengendalikan peristiwa mental dan perilaku dalam
komunikasi; psikologi komunikasi adalah ilmu yang
mempelajari komunikasi dari aspek psikologi;
psikologi komunikasi adalah ilmu yang meneliti
kesadaran dan pengalaman manusia.35
v. Komunikasi Antarbudaya
Tubbs dan Moss memberikan pernyataan yang
dikutip oleh Ahmad Sihabudin dalam bukunya
Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif
Multidimensi, bahwa komunikasi antarbudaya terjadi
bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya
dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu
budaya lain. Komunikasi anatarbudaya, komunikasi
antar orang-orang yang berbeda budaya 9baik dalam
arti ras, etnik, ataupun perbedaan sosioekonomi)36
vi. Komunikasi Sosial
35 Muhibudin Wijaya Laksana, Psikologi Komunikasi Membangun Komunikasi
yang Efektif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hal. 27. 36 Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi
cetakan kedua, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hal. 13.
34
Komunikasi sosial adalah salah satu bentuk
komunikasi yang lebih intensif, yaitu terjadi secara
langsung antara komunikator dan komunikan sehingga
komunikasi berlangsung dua arah dan lebih diarahkan
pada pencapaian suatu penyatuan integrasi sosial.
Komunikasi sosial merupakan proses sosialisasi
pencapaian nilai dan norma serta stabilitas sosial yang
akan diterapkan ke masyarakat.37
vii. Komunikasi Persuasif
Menurut beberapa pandangan para ahli,
persuasi itu adalah suatu teknik komunikasi yang
berfungsi membuat sasaran komunikasi menerima,
baik suatu pesan (message) atau mengubah sikap dan
atau perilakunya sesuai dengan pesan yang
diterimanya, dengan merasa bahwa perubahannya itu
atas kehendaknya sendiri. Dengan demikian sasaran
komunikasi merasa bahwa perubahan sikap atau
pendapat atau tingkah lakunya itu bukan karena
komunikasi yang dilancarkan kepadanya, melainkan:
Pertama, dimaksudkan untuk menembus
tembok keakuan yang secara instingitif
terdapat pada setiap orang. Tidak seorang pun
yang secara sukarela ingin di perintah atau di
gurui oleh orang lain.
37 Syukriadi Sambas, Sosiologi Komunikasi, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2015), hal. 80.
35
Kedua, karena setiap orang yang menerima
komunikasi dengan teknik persuasi merasa
bahwa ia mengubah sikap atau pendapat atau
tingkah lakunya itu atas kehendaknya sendiri.38
viii. Komunikasi Kesehatan
Komunikasi kesehatan merupakan ilmu baru
yang multidisipliner dengan disiplin utama ilmu
komunikasi. Dedi Fahrudin mengutip pernyataan dari
Notoatmojo, bahwa terdapat beberapa model
komunikasi yang relevan dengan komunikasi
kesehatan, yaitu:39
1. Model Shanon-weaver
Dalam model ini komunikasi sebagai
sistem dimana sumber informasi (source) memilih
informasi yang dirumuskan (encoding) menjadi
pesan (message) kemudian pesan ini dikirimkan
dengan isyarat atau tanda (signal) melalui saluran
kepada penerima (receiver). Kemudian penerima
menerjemahkan pesan tersebut dan
mengirimkannya ke tempat tujuan (destination).
38 Alex Sobur, Ensiklopedia Komunikasi P-Z, (Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2014), hal. 641 39 Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff, Komunikasi, Edukasi dan
Kesehatan untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: UIN Press
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), hal. 49-54
36
Tabel 2.1 Model Komunikasi Shanon - Weaver
Sumber: Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff,
Komunikasi, Edukasi dan Kesehatan untuk Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat (2015:50)
Model ini hanya mampu menyampaikan
pesan satu arah (one way event), sedangkan
realitasnya komunikasi yang terjadi antara
manusia berlangsung secara timbale balik dua arah
(two way event). Contohnya ketika proses
komunikasi antara dokter/perawat dengan pasien,
dimana dokter/perawat cenderung lebih aktif
sedangkan pasien biasanya dalam keadaan pasif
atau sebagai pendengar saja, namun tetap dalam
prosesnyua terjadi komunikasi yang timbal balik.
2. Model SMCR
Model ini menawarkan empat bentuk
dalam proses komunikasi, yaitu sumber pengirim
(source), pesan (message), saluran (channel),
penerima (receiver). Model ini melihat proses
komunikasi berlangsung berdasarkan sikap,
keterampilan, pengetahuan dan latar belakang
37
budaya yang berbeda dari sumber informasi
(source). Sementara itu pesan yang disampaikan
biasanya mengandung elemen-elemen tertentu,
seperti struktur, isi, dan kode-kode yang unik.
Pesan tersebut disalurkan melalui saluran
yang melibatkan pendengaran, penglihatan,
sentuhan bau dan rasa. Kemudian penerima
(receiver) menginterpretasikan pesan tersebut juga
berdasarkan keterampilan, sikap, pengetahuan, dan
latar belakang sosio-budaya yang berbeda,
sehingga sering terjadi salah interpretasi dalam
proses komunikasi.
Tabel 2.2 Model Komunikasi SMCR
Sumber: Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff,
Komunikasi, Edukasi dan Kesehatan untuk Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat (2015:52)
Model ini tidak mampu menjelaskan
betapa banyaknya faktor-faktor yang
memengaruhi efektifitas komunikasi antara
petugas kesehatan dengan pasien yang memiliki
latar belakang sosio-budaya yang berlainan.
Mekanisme umpan balik sangat diperlukan agar
proses komunikasi menjadi lebih dinamis dan
38
dapat mengindari miss-interpretasi kedua belah
pihak.
3. Speech Communication Model
Dalam buku Dedi fahrudin menjelaskan,
model ini pertamakali dikembangkan oleh Miller
(1972) yang melihat bahwa proses komunikasi
terdiri dari tiga variabel, yaitu pembicara
(speaker), pendengar (listener/receiver) dan
umpan balik (feedback). Dalam hal ini pembicara
menyampaikan pesan atau informasi berdasarkan
sikap tertentu, sedangkan pendengar
menginterpretasikan pesan tersebut berdasarkan
sikap yang berbeda. Kemudian pendengar
memberikan umpan balik positif maupun negative
kepada pembicara.
Tabel 2.3 Speech Communication Model
Sumber: Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff,
Komunikasi, Edukasi dan Kesehatan untuk Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat (2015:53)
39
Model ini tampak sangat sederhana (over
simplified) untuk menjelaskan proses komunikasi
yang kompleks dan rumit dalam realitasnya,
namun mudah dipahami untuk menjelaskan proses
komunikasi antar manusia.
c. Strategi Komunikasi
Strategi komunikasi merupakan paduan dari
perencanaan komunikasi (communication planning) dan
manajemen (management communication) untuk
mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut
strategi komunikasi harus dapat menunjukkan bagaimana
operasionalnya secara taktis harus dilakukan, dalam arti
pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu
tergantung dari situasi dan kondisi.40
Menurut Rogers, yang dikutip oleh Hafied
Cangara pada buku Perencanaan dan Strategi
Komunikasi, strategi komunikasi sebagai suatu rancangan
yang dibuat untuk mengubah tingkah laku manusia dalam
skala yang lebih besar melalui transfer ide-ide baru.41
Menurut Onong Suchjana Effendy, banyak teori
komunikasi yang sudah diketengahkan oleh para ahli,
tetapi untuk strategi komunikasi barangkali yang memadai
40 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), hal. 29. 41 Hafied Cangara, Perencanaan dan Strategi Komunikasi edisi revisi, (Depok:
PT RajaGrafindo Persada, 2017), hal. 64.
40
untuk dijadikan pendukung strategi komunikasi adalah
teori yang dikemukakan oleh Harold D. Laswell. Harold
D. Laswell menyatakan bahwa cara terbaik untuk
menerangkan suatu kegiatan komunikasi ialah menjawab
pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom
With What Effect?”. Untuk mantapnya strategi
komunikasi, maka segala sesuatunya dikaitkan dengan
komponen-komponen yang merupakan jawaban terhadap
pertanyaan dalam rumus Laswell tersebut.42
Who? (siapakah komunikatornya?), Says What?
(pesan apa yang dinyatakannya?), In Which Channel?
(media apa yang digunakan?), To Whom? (siapa
komunikannya?), With What Effect? (efek apa yang
diharapkan?). Rumus Laswell ini tampaknya sederhana
saja. Tetapi jika kita kaji lebih jauh pertanyaan “efek apa
yang diharapkan”, secara implisit mengandung pertanyaan
lain yang perlu dijawab dengan seksama. Antara lain,
When? (kapan dilaksanakan?), How? (bagaimana
melaksanakannya?), dan Why? (mengapa dilaksanakan
demikian?).43
Dari teori Harold D. Laswell tersebut dapat di
simpulkan beberapa faktor yang harus di perhatikan
dalam menyusun strategi komunikasi, antara lain:
42 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), hal. 29. 43 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), hal. 29-30.
41
1. Mengenal Khalayak – Who?
2. Pesan yang Disampaikan – Says What?
3. Penggunaan Media – In Which Channel?
4. Efek yang Diharapkan – With What Effect?
5. Metode yang Digunakan – When? How?
6. Implementasi – How? Why?
Untuk menganalisis implementasi dari strategi
komunikasi, penelitian ini mengacu pada teori komunikasi
terapeutik yang terdapat pada komunikasi kesehatan.
Menurut Stuart G.W yang di kutip oleh Dedi Fahrudin
dan Raihana Nadra Alkaff dalam bukunya yang berjudul
Komunikasi, Edukasi, dan Kesehatan untuk Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat, komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang ditujukan untuk mengubah perilaku
klien dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal.44
Firdaus J. Kunoli dan Achmad Herman
menjelaskan bahwa komunikasi terapeutik membantu
pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban
perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan
yang efektif untuk pasien, membantu memengaruhi orang
lain, lingkungan fisik, dan diri sendiri. Komunikasi
terapeutik bertujuan untuk memperjelas dan mengurangi
beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil
tindakan yang efektif untuk pasien, membantu
44 Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff, Komunikasi, Edukasi dan
Kesehatan untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: UIN Press
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), hal. 43
42
mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri
sendiri.45
Selain itu Sheila L. Videbeck juga menjelaskan
tujuan dari metode komunikasi terapeutik, antara lain:
a. Membangun hubungan perawat-klien.
b. Mengidentifikasi masalah klien yang paling
penting pada saat tersebut tepat pada waktunya
(tujuan yang berpusat pada klien).
c. Mengkaji persepsi klien tentang masalah saat klien
terbuka dalam menceritakan peristiwa tersebut.
Hal ini mencakup tindakan yang terperinci
(perilaku dan pesan) individu yang terlibat; pikiran
tentang situasi, orang lain, dan diri sendiri yang
berhubungan dengan situasi; dan perasaan tentang
situasi, orang lain, dan diri sendiri.
d. Mengenali kebutuhan mendasar klien.
e. Memandu klien dalam mengidentifikasi cara
pencapaian solusi yang memuaskan dan dapat
diterima secara sosial.46
Firdaus J. Kunoli dan Achmad Herman dalam
bukunya Pengantar Komunikasi Kesehatan Untuk
Mahasiswa Institusi Kesehatan menjelaskan fase-fase
45 Firdaus J, Kunoli dan Achmad Herman, Pengantar Komunikasi Kesehatan
Untuk Mahasiswa Institusi Kesehatan, (Jakarta: Penerbit In Media, 2013) hal.
58 46 Sheila L. Videback, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, (Jakarta: EGC, 2008) hal.
123
43
dalam komunikasi terapeutik.47 Fase-fase tersebut antara
lain:
A. Orientasi (Orientation)
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih
dangkal dan komunikasi yang terjadi bersifat
penggalian informasi antara perawat dan pasien.48
Petugas terkait melakukan orientasi terhadap pasien
terlebih dahulu sebelum melakukan tahap kerja
(working). Hal tersebut dilakukan untuk
mengidentifikasi masalah yang ada pada pasien, serta
menetapkan tujuan terkait komunikasi terapeutik yang
akan dilakukan.
B. Kerja (Working)
Pada fase ini perawat dituntut untuk bekerja
keras untuk memenuhi tujuan yang telah di tetapkan
pada fase orientasi. Bekerja sama dengan pasien untuk
berdiskusi tentang masalah-masalah yang merintangi
pencapaian tujuan. Fase ini terdiri dari dua kegiatan
pokok yaitu menyatukan proses komunikasi dengan
tindakan pelayanan dan membangun suasana yang
mendukung untuk proses perubahan.
47 Firdaus J, Kunoli dan Achmad Herman, Pengantar Komunikasi Kesehatan
Untuk Mahasiswa Institusi Kesehatan, (Jakarta: Penerbit In Media, 2013) hal.
67 - 68 48 Idib, hal. 67
44
C. Penyelesaian (Termination)
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk
memberikan penilaian atas tujuan yang telah di capai,
agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang saling
menguntungkan dan memuaskan. Kegiatan pada fase
ini adalah penilaian pencapaian tujuan dan perpisahan.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan
dengan menganalisis pendekatan komunikasi yang
dilakukan oleh relawan Yayasan Pejuang Tangguh TB-
RO (PETA) kepada pasien sesuai dengan enam faktor
penting sesuai dengan teori dari Harold D. Laswell. Mulai
dari perencanaan hingga bagaimana implementasi dari
pendekatan komunikasi tersebut.
Dan untuk analisis implementasi dari strategi
komunikasi yang dilakukan oleh relawan Yayasan
Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) kepada pasien sesuai
dengan fase-fase dalam teori komunikasi terapeutik yang
di jelaskan oleh Firdaus J. Kunoli dan Achmad Herman.
Antara lain fase orientasi, fase kerja, dan fase
penyelesaian untuk mengetahui sejauh mana efek yang
ditimbulkan dari pendampingan yang diterima oleh pasien
TB-RO di RSUP Persahabatan Jakarta.
45
B. Relawan Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA)
Relawan Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA)
memiliki nama lain Peer Educator. Sebelumnya perlu
diketahui bahwa untuk menjadi relawan Yayasan PETA
Jakarta harus memiliki riwayat penyakit TB-RO atau bisa
disebut sebagai mantan pasien TB-RO.
Alasannya adalah karena mantan pasien telah
memiliki pengetahuan dan pengalaman sendiri terkait
penyakit TB-RO sehingga dapat lebih mudah dalam
memberikan edukasi kepada pasien. Hal ini juga di jelaskan
oleh sekretaris Yayasan PETA Jakarta Paran Sarimita
Winarnim, beliau mengatakan:
“Dari 2012 kita punya aturan main kaya gitu, jadi
yang menjadi angoota PETA itu mantan pasien atau
pasien yang sudah pada level cukup aman untuk tidak
menularkan, kaya pasien yang sudah lepas suntik.
Karna kalo dibilang kalian ga pernah ngerti rasanya
pasien kalo kalian bukan pasien, kalian ga pernah
ngerti rasanya kalo belum mengalaminya. Coba kalo
misalkan orang gatau apa-apa terus pasien berkeluh
kesah soal efek samping obat, terus bisa jawab apa?
Pasti gabisa jawab apa-apa karna gapernah ngalamin.
Pasien pasti kaget dan takut pas ngerasain efek
samping obat tapi kalo mereka punya temen yang
46
sama, punya komunitas dimana bisa ngobrolin ini
semua, jadi mereka ga ada rasa takut lagi”49
C. Program Pendampingan Pasien
Pendampingan pasien bertujuan untuk membangun
mental yang kuat pada pasien, serta demi memotivasi pasien
untuk tetap semangat dalam menjalani masa pengobatan.
Beragam latar belakang dan kondisi psikologis setiap pasien
yang berbeda tentunya membutuhkan pendekatan komunikasi
yang berbeda pula. Untuk itu penting adanya pendekatan
komunikasi yang tepat terhadap pasien sehingga tujuan dari
pendampingan tersebut dapat tercapai sebagaimana yang
diharapkan.
Sesuai dengan komunikasi terapeutik yang dijelaskan
oleh Northouse, dikutip oleh Dedi Fahrudin dan Raihana
Nanda Alkaf pada bukunya yang berjudul Komunikasi,
Edukasi, dan Kesehatan untuk Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat, komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau
keterampilan perawat untuk membantu klien beradaptasi
terhadap stress, mengatasi gangguan psikologis, dan belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain.50
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi
interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian
49 Idib. 50 Dedi Fahrudin dan Raihana Nadra Alkaff, Komunikasi, Edukasi dan
Kesehatan untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: UIN Press
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), hal. 43
47
antar perawat dengan pasien. Adanya hubungan saling
membutuhkan antara perawat dan pasien, sehingga dapat
dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat
dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima
bantuan.51
Dalam hal ini komunikasi pribadi yang dimaksud
adalah hubungan antara penyuluh kesehatan, yaitu relawan
Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) Jakarta dengan
pasien TB RO di RSUP Persahabatan Jakarta. Dimana
relawan dari Yayasan PETA membantu pasien dengan
memberikan dukungan dan motivasi demi menjaga kondisi
kesehatan psikologis dari tiap pasien yang masih aktif
menjalani pengobatan TB-RO.
Dalam konteks agama, pendampingan pasien ini
termasuk dalam dakwah fardiyah melalui komunikasi
interpersonal. Dakwah fardiyah adalah konsentrasi dengan
dakwah atau berbicara dengan mad’u secara tatap muka atau
dengan sekelompok kecil dari manusia yang memiliki ciri-ciri
dan sifat-sifat khusus.52
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-
nya, hadits dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin
51 Firdaus J, Kunoli dan Achmad Herman, Pengantar Komunikasi Kesehatan
Untuk Mahasiswa Institusi Kesehatan, (Jakarta: Penerbit In Media, 2013) hal.
57. 52 Muhammad Ivan Alfian, Jurnal Dakwah Fardiyah, (Kudus: STAIN Kudus,
2015) hal. 4.
48
Tsa’labah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
من دل على خير فله مثل أجر فاعله
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan
maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang
yang mengerjakannya” (HR. Muslim)
Sabda Rasulullah tersebut adalah salah satu dalil
yang menjadi dasar dakwah fardiyah. Hadits tersebut
menunjukkan adanya tanggung jawab dalam mengemban
amanah dakwah islamiyah.53
D. Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO)
Penyakit Tuberkulosis masih menjadi masalah
kesehatan dunia dimana WHO melaporkan bahwa setengah
persen dari penduduk dunia terserang penyakit ini, sebagian
besar berada di negara berkembang sekitar 75%, diantaranya
Indonesia setiap tahun ditemukan 539.000 kasus baru TB
BTA positif dengan kematian 101.000. menurut catatan
Departemen Kesehatan tahun 2010 sepertiga penderita
tersebut ditemukan di RS dan sepertiga lagi di Puskesmas,
sisanya tidak terdeteksi dengan baik.54
Tuberkulosis Resisten Obat atau TB-RO memiliki
nama lain yaitu Tuberculosis - Multi Drug Resistance atau
53 Idib hal. 5. 54 Muhammad Nizar, Pemberantasan dan Penanggulangan Tuberkulosis,
(Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2011) Hal. 1
49
TB-MDR. Menurut Soepandi PZ yang di kutip oleh Abdullah
Shidqul Azmi dalam skripsi yang berjudul Prevalensi Risiko
Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR) di Kota
Depok Tahun 2010 – 2012, multi drug resistance (MDR)
adalah suatu kondisi dimana obat rifampisin dan isonazid
sudah tidak efektif dalam membunuh kuman Mtb dikarenakan
menyebar, pemberitahuan WHO menyatakan bahwa terdapat
440.000 kasus TB-MDR di dunia dengan angka kematian
sekitar 150.000. Laporan WHO memperkirakan bahwa pada
tahun 2010 kasus TB-MDR di Indonesia sebesar 8.900.55
Dalam bahasa awam, resisten obat berarti kebal
terhadap obat. Obat yang di maksud dalam hal ini adalah obat
anti TB (OAT). Selanjutnya Abdullah Shidqul Azmi dalam
skripsinya mengutip Syahrini H. dan Sjahrurachman A.
terkait penyebab dari resistensi atau kekebalan terhadap OAT,
beberapa hal penyebab terjadinya resistensi atau kekebalan
terhadap OAT antara lain:56
1. Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena
jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan
tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap
OAT yang digunakan, misalnya rifampisin atau INH.
55 Abdullah Shidqul Azmi, Skripsi Pravelansi Risiko Tuberkulosis Multi Drug
Resistance (TB-MDR) di Kota Depok Tahun 2010 – 2012, (Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah, 2013) hal. 1 56 Abdullah Shidqul Azmi, Skripsi Pravelansi Risiko Tuberkulosis Multi Drug
Resistance (TB-MDR) di Kota Depok Tahun 2010 – 2012, (Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah, 2013) hal. 8
50
2. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat di
tambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak
berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan”
(addition) satu macam obat hanya akan menambah
panjangnya daftar obat yang resisten.
3. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan
diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resistensi
obat. Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah
sakit, tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama,
penjara, dan keluarga pasien.
4. Penyediaan obat yang tidak regular, kadang-kadang
terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
5. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman
tuberkulosis yang mendapat pengobatan jangka pendek
dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak
OAT yang resisten. Hal ini menyebabkan seleksi mutasi
resisten karena penambahan obat yang tidak multiple dan
tidak efektif.
6. Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan
sehingga membosankan pasien, ditambah dengan efek
samping dari OAT.
7. Edukasi yang kurang baik, sehingga pasien tidak
mengetahui cara menggunakan OAT, sehingga pasien
meminum rifampisin setelah makan. Hal ini menyebabkan
penyerapan obat tidak maksimal.
51
8. HIV akan mempercepat terjadinya infeksi TB menjadi
sakit TB dan akan memperpanjang periode infeksius.57
Pasien yang mengidap penyakit TB – RO menjalani
pengobatan paling sedikit selama 9 bulan dan paling lama 20
bulan. Efek samping yang dapat muncul dari pengobatan
yang dijalani oleh pasien TB-RO antara lain reaksi kulit
alergi, mual muntah, neuropati perifer, anoreksia, nyeri
kepala, diare, vertigo, artralgia, gangguan tidur, gangguan
elektrolit, hipokalemi, depresi, perubahan perilaku, gastritis,
nyeri di tempat suntikan, metalic taste, kelainan fungsi hati,
kelainan fungsi ginjal, pendarahan lambung, gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan psikotik
(suicidal tendency), kejang, tendinitis, syok anafilaktik, reaksi
alergi toksik menyeluruh, dan hipotiroid.58
Diantara daftar efek samping obat yang berpotensi
dirasakan oleh pasien TB-RO tersebut, terdapat gangguan
psikologis yaitu, depresi, perubahan perilaku, dan suicidal
tendency. Hal inilah yang membuat pendekatan komunikasi
yang baik dapat berpengaruh dalam menjaga kesehatan
psikologis dari pasien TB-RO.
57 Idib. 58 RSUP Persahabatan Jakarta, Formulir Efek Samping Obat, (Jakarta: Klinik
TB-MDR RSUP Persahabatan)
52
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Singkat Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO
(PETA)
Berdasarkan komunikasi pribadi dengan pengurus
Yayasan PETA melalui surat elektronik atau e-mail, berikut
adalah sejarah singkat berdirinya Yayasan PETA Jakarta.
Kelompok Pejuang Tangguh (PETA) adalah wadah
paguyuban pasien dan mantan pasien TB MDR yang berdiri
sejak tanggal 12 Mei 2012. Di inisiasikan dalam bentuk
pertemuan rutin selama tiga bulan sekali yang dihadiri oleh
kelompok pasien TB-RO di RSPU Persahabatan Jakarta. Pada
tanggal 15 Maret 2013 tercetuslah nama kelompok
paguyuban menjadi Pejuang Tangguh atau PETA, sehingga
tanggal tersebut dijadikan hari lahirnya PETA.
Pendirian kelompok PETA pada awalnya didukung
oleh dokter dan paramedis dari RSUP Persahabatan dan team
KNCV, kemudian berkembang dan mendapatkan dukungan
dari para pemangku kepentingan TB-RO di wilayah DKI
Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Tujuan
berdirinya kelompok PETA yaitu memberikan edukasi,
motivasi dan pendampingan kepada pasien TB-RO untuk
tetap berobat sampai sembuh.
Seiring dengan kebutuhan akan pendampingan dan
pengembangan program penanggulangan TB khususnya TB-
53
RO. Selanjutnya kelompok PETA di resmikan menjadi
Yayasan agar kegiatan lebih terorganisir, terarah dan terukur.
Pada tanggal 12 November 2014 paguyuban PETA
mendapatkan akte notaris dan berubah nama menjadi
Yayasan PETA Jakarta.
B. Visi dan Misi Yayasan PETA Jakarta
Sesuai dengan arsip milik Yayasan PETA Jakarta
yang peneliti peroleh melalui komunikasi pribadi dengan
pengurus yayasan melalui surat elektronik (e-mail). Berikut
penjabaran visi dan misi yang dimiliki oleh Yayasan PETA
Jakarta.
1. Visi Yayasan PETA Jakarta
Terwujudnya PETA sebagai yayasan yang lebih
professional dan sukses dalam berperan membantu
memberikan dukungan psikososial yang efektif dan
efisien bagi terduga dan pasien Tuberkulosis, khususnya
TB-RO di wilayah DKI Jakarta.
2. Misi Yayasan PETA Jakarta
a. Meningkatkan dukungan psikososial pasien
Tuberkulosis, khususnya Tuberkulosis resisten obat
(TB-RO),
b. Mencari inovasi-inovasi baru pada pengembangan
program Yayasan PETA,
c. Mengupayakan untuk memperoleh sumber dana yang
mencukupi bagi pelaksanaan program PETA,
54
d. Mengembangkan kemitraan PETA dengan organisasi
kemasyarakatan dan organisasi pemerintah lainnya.
C. Struktur Organisasi Yayasan PETA Jakarta
Dibawah ini adalah gambaran dari struktur organisasi
Yayasan PETA Jakarta saat ini. Sesuai dengan data yang
diperoleh oleh peneliti dari pengurus yayasan melalui surat
elektronik (e-mail).
Tabel 3.4 Struktur Organisasi PETA
D. Program Kerja Yayasan PETA
Selain sejarah singkat, visi dan misi, serta struktur
organisasi, peneliti juga memperoleh data mengenai program
kerja yang telah dan sedang dijalankan oleh Yayasan PETA
Jakarta melalui komunikasi pribadi dengan pengurus yayasan.
Program kerja tersebut antara lain:
55
1. Program Kemitraan
Program ini berkaitan dengan kerjasama Yayasan
PETA Jakarta bersama dengan institusi atau organisasi
lainnya. Program kemitraan ini bertujuan untuk
mendapatkan dukungan baik berupa materiil maupun non
materiil dari institusi atau organisasi lain demi menunjang
jalannya kegiatan dari Yayasan PETA Jakarta yang
berkaitan dengan pasien Tuberkulosis Resisten Obat (TB-
RO).
Kemitraan yang telah di jalin oleh Yayasan PETA
Jakarta antara lain, program sub award dengan organisasi
Koninklijke Nederlandse Centrale Vereniging tot
bestrijding der Tuberculose atau biasa disebut dengan
KNCV yang berkantor pusat di Den Haag, Belanda.
Kerjasama ini berlangsung sejak tahun 2017 hingga 2019.
KNCV adalah organisasi nirlaba internasional yang secara
khusus berfokus pada pengentasan tuberkulosis (TB) di
seluruh dunia dengan memperkuat sistem kesehatan
dalam penanggulangan TB di tingkat global dan lokal.
Organisasi ini merupakan wadah bagi para dokter,
peneliti, ahli pelatihan, perawat dan epidemiologis yang
fokus pada pengendalian TB.59
59 https://www.kncv.or.id/about-default.html di akses pada tanggal 25 Januari
2020.
56
Program sub award yang dimaksud adalah
dukungan berupa dana yang diberikan oleh KNCV per-
tahun kepada Yayasan PETA Jakarta untuk operasional
Yayasan dan berbagai kegiatan yang dilakukan. Termasuk
pendanaan untuk program pendampingan pasien TB-RO.
Namun kerjasama ini hanya berlangsung hingga tahun
2019 saja, saat ini Yayasan PETA Jakarta mendapatkan
dukungan dana dari Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama
atau LKNU untuk menjalankan kegiatannya.
Sebelumnya Yayasan PETA Jakarta juga aktif
dalam program Community Empowerment of People
Against Tuberculosis atau di singkat CEPAT. Program ini
adalah milik dari Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama
atau LKNU berupa pendampingan pasien TB yang juga
merupakan kegiatan dari Yayasan PETA Jakarta.
Kerjasama ini meliputi kegiatan Puskesmas Visit atau
kunjungan ke pusat kesehatan masyarakat atau Puskesmas
yang memiliki pasien TB di wilayah Jakarta Utara dan
Jakarta Pusat.
Kerjasama tersebut terjalin dari tahun 2015 hingga
tahun 2017. Meskipun saat ini kegiatan tersebut sudah
tidak dijalankan oleh Yayasan PETA Jakarta, namun
menurut penuturan dari pengurus Yayasan PETA Jakarta
saat ini LKNU masih aktif memberikan dukungan dana
terkait program pendampingan pasien yang dilakukan
oleh Yayasan PETA Jakarta.
57
Selanjutnya, Yayasan PETA Jakarta juga pernah
menjalin kemitraan bersama PT. Otsuka Indonesia dalam
program pengadaan aplikasi Sembuh TB. Sembuh TB
adalah sebuah aplikasi daring yang dapat di akses oleh
pengguna telepon pintar. Aplikasi ini dapat digunakan
sebagai pengingat minum obat dan jadwal pemeriksaan
bulanan oleh pasien tuberkulosis, pengingat tersebut
berupa alarm yang akan berdering sesuai dengan jadwal
minum obat yang dimasukkan oleh pasien. Selain itu
aplikasi ini juga menyediakan artikel edukasi seputar
penyakit tuberkulosis.60
Aplikasi ini diluncurkan pada tahun 2017 dan
dapat di unduh secara gratis melalui Play Store pada
telepon pintar yang dimiliki. Sayangnya aplikasi ini belum
banyak dikenal oleh pasien tuberkulosis, dilihat dari
jumlah unduhan di Play Store yang hanya menunjukan
angka 1k+ yang berarti kurang lebih hanya terdapat 1000
unduhan. Kerjasama ini juga telah berakhir dengan alasan
aplikasi tersebut sedang dalam proses pengkajian ulang,
sehingga relawan dari Yayasan PETA Jakarta saat ini
tidak menyebarluaskan kembali tentang keberadaan
aplikasi ini kepada pasien dampingannya.
60 Wawancara pribadi melalui surat elektronik dengan pengurus Yayasan
PETA Jakarta, 14 Januari 2020.
58
Gambar 3.1 Aplikasi Sembuh TB
Selain itu, Yayasan PETA Jakarta juga pernah
menjalin kerjasama dengan organisasi Aisyiyah dalam
program patient supports, rumah singgah, dan pemberian
makanan tambahan atau PMT bagi pasien TB-RO.
Kerjasama ini berlangsung hingga sekitar tahun 2016.
Program patient supports sendiri terdiri dari
pendampingan pasien yang dilakukan di Rumah Sakit,
serta home visit atau kunjungan ke rumah pasien.61
Home visit biasanya dilakukan apabila ada laporan
dari pihak rumah sakit bahwa ada pasien TB-RO yang
mangkir atau tidak hadir untuk minum obat dalam
beberapa waktu. Apabila terjadi masalah tersebut, maka
pihak yayasan akan melakukan home visit atau
berkunjung ke rumah pasien yang dimaksud dengan
tujuan untuk melakukan konfirmasi kepada yang
61 Wawancara pribadi melalui surat elektronik dengan pengurus Yayasan
PETA Jakarta, 14 Januari 2020.
59
bersangkutan dan berupaya untuk membujuk pasien agar
mau melanjutkan pengobatannya kembali hingga sembuh
di Rumah Sakit terkait.
Kemudian ada program rumah singgah, program
ini dijalankan dengan menyewa rumah di dekat RSUP
Persahabatan yang dapat digunakan oleh pasien TB-RO
yang memiliki tempat tinggal cukup jauh dari rumah
sakit. Sehingga pasien tidak perlu melakukan perjalanan
pulang-pergi dari rumah ke rumah sakit setiap hari, pasien
dapat tinggal di rumah singgah selama masa pengobatan
berlangsung tanpa harus mengeluarkan biaya apapun. Hal
ini dilakukan untuk meringankan beban pasien yang
sebelumnya harus melakukan perjalanan yang cukup jauh
ke rumah sakit untuk minum obat.
Gambar 3.2 Kunjungan Relawan
60
Selanjutnya ada program PMT atau pemberian
makanan tambahan. Program ini dilakukan dengan
memberikan makanan atau minuman tambahan yang
bernutrisi kepada pasien TB-RO. Salah satu efek samping
obat yang berpotensi dirasakan oleh pasien TB-RO adalah
anoreksia atau kehilangan nafsu makan. Apabila dibiarkan
maka akan mengganggu kadar nutrisi pada tubuh pasien,
sehingga asupan nutrisi yang baik sangat dibutuhkan.
Oleh karena itu program PMT ini dilaksanakan untuk
membantu pasien TB-RO dalam memenuhi kebutuhan
nutrisinya dengan memberikan makanan atau minuman
tambahan yang mengandung nutrisi, contohnya seperti
susu.
Meskipun saat ini ketiga program tersebut sudah
tidak bermitra dengan organisasi Aisyiyah, namun
program-program tersebut hingga saat ini masih berjalan
dengan bantuan dari LKNU untuk program patient
supports dan rumah singgah. Untuk program PMT sendiri,
pihak Yayasan PETA Jakarta mengandalkan donatur dari
lembaga maupun individu yang ingin membantu dalam
pemberian makanan atau minuman tambahan bernutrisi
untuk pasien TB-RO.
Selanjutnya Yayasan PETA Jakarta juga memiliki
MoU dengan rumah sakit rujukan TB-RO untuk
62
melakukan pendampingan pasien. Saat ini beberapa
rumah sakit yang telah bermitra dengan Yayasan PETA
Jakarta antara lain, RSUP Persahabatan Jakarta yang
berlokasi di Rawamangun, Jakarta Pusat, RSUD
Mampang, RSUD Kalideres, dan RSPI Sulianti Saroso
yang berlokasi di Sunter, Jakarta Utara.
2. Peningkatan Kapasitas Anggota PETA
Program kerja ini meliputi pelatihan peningkatan
keterampilan dan pengetahuan yang diikuti oleh seluruh
relawan Yayasan PETA Jakarta. Program ini bertujuan
untuk menambah atau meningkatkan kemampuan relawan
dalam melakukan pendampingan pasien TB-RO. Sebagai
mantan pasien TB-RO, pengalaman pribadi saja tentu
tidak cukup sebagai bekal para relawan. Relawan juga
harus di bekali dengan pengetahuan lebih dalam seputar
TB-RO maupun kemampuan dalam melakukan
pendekatan komunikasi dengan pasien terkait.
Hingga saat ini, pelatihan yang telah diadakan oleh
Yayasan PETA Jakarta antara lain,:
Pelatihan pembuatan proposal, pelatihan ini meliputi
tata cara pembuatan proposal kegiatan yang baik dan
benar. Sebagai organisasi non-profit, Yayasan PETA
Jakarta perlu dukungan dari donatur untuk dapat
menjalankan kegiatannya. Oleh karena itu pembuatan
63
proposal kegiatan dianggap penting untuk dikuasai
para relawan.
Pelatihan Public Speaking, sebagai pendamping
pasien tentunya relawan harus memiliki kemampuan
berkomunikasi yang baik sehingga dapat melakukan
pendekatan dengan benar kepada pasien TB-RO. Oleh
karena itu Yayasan PETA Jakarta menganggap materi
Public Speaking ini perlu untuk diberikan sebagai
bekal para relawan dalam melakukan pendampingan
di rumah sakit.
Pelatihan advokasi, pelatihan ini bertujuan agar
relawan dapat memiliki kemampuan dalam advokasi
dengan lembaga-lembaga terkait yang dibutuhkan.
Pelatihan menulis, pelatihan ini meliputi tata cara
menulis laporan hingga penggunaan tata bahasa yang
baik dalam penulisan sesuai dengan ejaan yang
disempurnakan atau EYD.
Pelatihan fasilitator, pelatihan ini bertujuan untuk
mengasah kemampuan para relawan sebagai fasilitator
yang berhubungan dengan pasien TB-RO.
Pengetahuan seputar STR (Short Term Regiment) atau
regimen jangka pendek. STR merupakan salah satu
metode pengobatan penyakit TB-RO dengan jangka
waktu lebih pendek dari pada pengobatan standar.
Pengobatan standar TB-RO sebelumnya dapat
memakan waktu 20 hingga 24 bulan. Dengan metode
64
STR ini, pasien hanya akan menjalani pengobatan
selama 9 hingga 12 bulan saja.62
3. Program KIE dan Dukungan Psikososial
KIE yang dimaksud adalah komunikasi, informasi,
dan edukasi. Ketiga unsur tersebut berkaitan dengan
dukungan psiko-sosial yang diberikan oleh para relawan
atau peer educator kepada pasien TB-RO.
Komunikasi yang dimaksud adalah metode yang
digunakan dalam melakukan pendekatan kepada pasien
TB-RO. Oleh karena itu setiap relawan harus memiliki
kemampuan komunikasi yang baik agar dapat
menjangkau pasien TB-RO. Kegiatan pendampingan ini
bukanlah kegiatan paksaan yang dilakukan oleh para
relawan, pasien berhak untuk menerima ataupun menolak
menjadi pasien dampingan.
Berdasarkan penuturan dari Sekretaris Yayasan
PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, terdapat pasien
yang tertutup sehingga sulit untuk membangun
komunikasi. Beliau menjelaskan:
“…dari sisi pasien ada yang sulit untuk terbuka,
butuh lebih lama untuk kita tau apa sih yang di
62 www.who.int/tb/Short_MDR_regimen_factsheet.pdf di akses pada tanggal 8
Januari 2020
65
butuhkan, belum lagi misalnya keluarganya yang
menutup diri…”63
Oleh karena itu, kemampuan komunikasi yang
baik sangat diperlukan untuk dimiliki setiap relawan agar
dapat memberikan pengertian kepada pasien terkait
program pendampingan yang diberikan. Selain itu dengan
komunikasi yang baik juga dapat menjalin hubungan yang
lebih dekat dengan pasien dampingan.
Selanjutnya ada informasi, para relawan tidak
hanya sekedar mendampingi pasien untuk minum obat di
rumah sakit. Selain dokter dan perawat yang bertugas,
relawan juga berperan sebagai salah satu sumber
informasi para pasien dampingannya. Informasi yang
dimaksud meliputi pengetahuan seputar TB-RO, efek
samping obat, hingga alur pelayanan rumah sakit.
Kemudian selain informasi juga ada edukasi,
kedua hal ini dapat berkaitan dalam program
pendampingan pasien yang dijalankan. Informasi yang
diberikan oleh relawan juga bertujuan untuk mengedukasi
pasien. Contohnya seperti informasi seputar TB-RO dan
efek samping obat yang berpotensi di rasakan oleh pasien.
Dengan ketiga unsur tersebut, komunikasi,
informasi, dan edukasi, diharapkan para relawan dapat
63 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran
Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
66
melakukan pendampingan kepada pasien TB-RO dengan
baik dan benar. Ketiganya sangat berkaitan dengan erat
demi memberikan dukungan psikososial kepada para
pasien TB-RO di rumah sakit terkait.
4. Program Dukungan Dana Operasional
Sebagai organisasi non-profit, Yayasan PETA
Jakarta mengandalkan dana operasional dari para donatur
yang berasal dari berbagai lembaga ataupun individu.
Dukungan dana ini digunakan untuk operasional yayasan
dan pengadaan kegiatan pendampingan pasien TB-RO.
Dana operasional yayasan ini meliputi kebutuhan
alat tulis kantor, sarana penunjang seperti komputer,
penyewaan rumah singgah untuk pasien TB-RO, biaya
listrik sekretariat, serta pengganti biaya perjalanan para
relawan dalam melakukan kegiatan pendampingan di
rumah sakit maupun home visit.
67
BAB IV
TEMUAN DATA DAN PEMBAHASAN
A. Strategi Komunikasi Relawan Yayasan Pejuang Tangguh
TB-RO (PETA) Dalam Program Pendampingan Pasien
TB-RO di RSUP Persahabatan Jakarta dan
Implementasinya
1. Strategi Komunikasi yang Digunakan Oleh Relawan
Yayasan PETA
A. Mengenal Khalayak
Hal pertama yang dilakukan dalam
menyusun strategi komunikasi adalah mengenal
khalayak. Dengan mengenal khalayak yang menjadi
target dalam kegiatan komunikasi yang akan
dilakukan, pihak yang berkepentingan bisa
mendapatkan gambaran awal tentang bagaimana
strategi yang diperlukan untuk menjangkau khalayak
tersebut.
Yayasan PETA sendiri menargetkan seluruh
pasien TB-RO di RSUP Persahabatan sebagai
khalayak. Hal pertama yang dilakukan adalah mencari
tahu latar belakang pasien yang akan didampingi, hal
ini di jelaskan oleh Paran Sarimita Winarni selaku
sekretaris Yayasan PETA Jakarta, beliau menjelaskan:
“Biasanya sih kita cari tau dulu pasien,
bagaimana karakternya, siapa keluarganya ya
68
secara keseluruhan tentang pasien ini, setelah
itu baru menentukan pendekatan apa atau
siapa yang lebih cocok mendekati pasien,
karna ngga semua pasien bisa nyaman, bisa
mudah untuk membuka diri sama semua
peer gitu, biasanya mereka punya peer
favorite-nya sendiri. Misalnya pasien yang
punya adat keras, atau sensitif, atau menutup
diri. Kita kan gabisa kasih ke orang yang
bisa bawel karna sekali lagi kita perhatikan
kenyamanan pasien, saat pasien udah
nyaman tanpa diminta pun mereka bisa cerita
apapun”64
Untuk mencari tahu latar belakang pasien, di
RSUP Persahabatan sendiri terdapat Manajer Kasus
atau MK. MK terdiri dari relawan Yayasan PETA
Jakarta dan anggota dari LKNU, serta POP TB
Indonesia. Dalam hal ini MK bertugas untuk mencari
tahu tentang latar belakang dan pengetahuan pasien
terkait penyakit TB-RO yang di derita, kemudian
memberikan penilaian awal terhadap pasien baru
terdiagnosa tersebut. Seperti yang di jelaskan oleh
sekretaris Yayasan PETA Jakarta, beliau menyatakan:
64 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
69
“…metode yang dipakai adalah kita punya
manajer kasus, itu program kerjasama
LKNU dengan POP TB Indonesia, MK
perannya adalah membantu penilaian awal
apakah pasien ini akan didampingi secara
maksimal atau minimal. Jadi di penilaian
awal itu ada pertanyaaan tetang pengetahuan
pasien tentang TB, obat, efek samping,
sosial-ekonomi, dan keluarga. Setelah itu
MK bisa menilai apakah pasien perlu
didampingi maksimal atau minimal”65
B. Pesan yang Disampaikan
Langkah selanjutnya adalah menentukan
pesan apa yang akan di sampaikan kepada khalayak.
Sesuai dengan tujuan dari program pendampingan
pasien itu sendiri yaitu, untuk mendampingi,
memberikan motivasi, dan edukasi kepada setiap
pasien TB-RO selama masa pengobatan, maka pesan
yang disampaikan pun harus mencakup ketiga unsur
tersebut. Seperti penuturan dari Paran Sarimita
Winarni selaku sekretaris Yayasan PETA, beliau
menjelaskan:
“Biasanya kita kasih semangat, karna kita
kan memang dasarnya edukasi, motivasi dan
65 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
70
dampingan. Kita motivasi temen-temen
untuk minum obat apapun yang terjadi. Tapi
kita juga ga pernah lupa setiap ada yang
mengganggu pasien seperti efek samping
tapi takut buat ngomong sama orang, ya
udah ngomong aja sama kita. Kita bisa bantu
pasien ketika efek samping yang bikin takut
pasien tapi malu ngomong ke dokter atau
perawat, kita bisa fasilitasi antara pasien dan
petugas. Biasanya kita mendorong
keluarganya juga supaya tetap mau kasih
support pasien, gimana juga PETA itu orang
lain dan keluarga lebih penting, jadi mereka
harus punya support penuh dari keluarga.
Apabila ada keluhan yang dirasa cukup
berat, gausah kompromi langsung konsultasi
ke dokter atau IGD”66
Dari pernyataan tersebut, dapat di simpulkan
bahwa motivasi dan edukasi seputar penyakit TB-RO
adalah pesan yang dimiliki oleh relawan Yayasan
PETA untuk disampaikan kepada setiap pasien TB-
RO yang menjadi dampingan dari masing-masing
relawan yang bertugas. Hal ini juga di dukung oleh
pernyataan dari Binsar Manik selaku relawan yang
66 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
71
bertugas di RSUP Persahabatan Jakarta, beliau
menyatakan:
“Ya kita ngobrol lah, mendekatkan diri,
cerita bahwa kita kan mantan pasien kita
paham situasi yang dialami karna kita sudah
mengalami dulu, jadi tidak hanya penyakit
saja tapi banyak hal yang dihadapi karna itu
kita pendekatan dari hati ke hati, kita respect
apa yang dialami hingga dia semakin
terbuka. Ngga hanya sekedar memberikan
info tentang TBC, Dengan kita memahami
apa yang di alami, dia merasa itu bebannya
itu bisa terjawab. Kita memahami kira kira
jawaban apa yang bisa kita beri selama
pengobatan, solusi apa yang bisa kita berikan
sehingga dia merasa tenang menjalani
pengobatan…”67
Relawan Yayasan PETA dalam hal ini tidak
hanya berfokus pada memberikan motivasi dan
edukasi kepada pasien perihal penyakit TB-RO yang
di derita, namun juga mendorong pihak keluarga
pasien untuk selalu memberikan dukungan yang
dibutuhkan oleh pasien itu sendiri. Dengan adanya
kerjasama antara relawan dan pihak keluarga dalam
67 Wawancara Pribadi dengan relawan Yayasan PETA Jakarta, Binsar Manik, 2 Oktober 2019
72
memberikan dukungan, diharapkan dapat lebih
menjaga kondisi psikologis pasien selama masa
pengobatan berlangsung.
Dari penjelasan di atas, pesan yang dimiliki
oleh relawan Yayasan PETA terdiri dari 2 hal, yaitu
pesan untuk pasien TB-RO, dan pesan untuk keluarga
dari pasien tersebut. Pesan untuk pasien TB-RO berisi
tentang informasi seputar penyakit yang di deritanya,
serta motivasi untuk minum obat secara rutin selama
masa pengobatan. Sedangkan pesan untuk keluarga
pasien adalah memberikan edukasi seputar penyakit
TB-RO, serta mendorong pihak keluarga untuk selalu
memberikan dukungan kepada pasien agar dapat
menyelesaikan masa pengobatannya dengan baik.
C. Efek yang Diharapkan
Dalam program pendampingan pasien tentu
ada harapan yang di inginkan oleh relawan Yayasan
PETA terkait keberadaan para relawan untuk pasien
TB-RO di RSUP Persabatan Jakarta. Hal ini di
kemukakan oleh Sekretaris Yayasan PETA, Paran
Sarimita Winarni, beliau mengungkapkan:
“Kita pengen pasien sembuh, kita mau
pasien yang kita dampingi tapi bukan berati
bergantung pada kita. Kita ingin mereka
mandiri mereka tau gimana caranya
73
mengatasi hal-hal yang awalnya mereka
gatau dan sekarang mereka tau. Kita pengen
keluarganya juga ngga lepas tangan. Oh udah
didampingi oleh PETA ya yaudah. Ngga
gitu, kita ingin keluarga ikut mendampingi
pasien.”68
Berdasarkan ungkapan dari Paran Sarimita
Winarni, Yayasan PETA berharap keberadaan mereka
dapat membantu pasien TB-RO dalam menjalani masa
pengobatannya. Namun di samping itu dengan segala
informasi dan edukasi yang di berikan, pihak Yayasan
juga berharap agar pasien dapat mandiri dalam
menjalani masa pengobatannya.
Hal ini juga berlaku bagi keluarga pasien,
relawan Yayasan PETA berharap keluarga dapat
senantiasa turut mendampingi pasien selama masa
pengobatan berlangsung. Sehingga tidak hanya
bergantung pada relawan yang mendampingi di
Rumah Sakit. Karena di samping edukasi dan motivasi
yang di berikan oleh relawan, pasien juga
membutuhkan dukungan dari pihak keluarga.
Pernyataan tersebut di dukung oleh salah satu pasien
berinisial DA yang menyatakan:
68 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
74
“…istilah kata pertama Tuhan kita, kedua
keluarga, ketiga ya PETA. Kalo ga ada
keluarga pun, kan banyak temen-temen kita
ya mba yang pada ditinggalin keluarga,
ditinggalin suami, ya itu harus. Bisa
mengkondisikan badan kita. Ya gitu deh
obat.”69
D. Penggunaan Media
Dari berbagai program kerja yang pernah di
jalankan oleh Yayasan PETA Jakarta seperti yang
telah di jelaskan pada bab sebelumnya, salah satu
program tersebut adalah program pengadaan aplikasi
Sembuh TB yang bekerja sama dengan PT. Otsuka
Indonesia. Aplikasi ini dapat di akses melalui telepon
pintar yang berguna untuk mengingatkan pasien
terkait jadwal minum obat dan jadwal konsultasi
dokter dengan fasilitas alarm. Selain itu aplikasi ini
juga menyediakan berbagai informasi berupa video
edukasi seputar penyakit Tuberkulosis.
Sayangnya kerja sama yang di jalin antara
kedua belah pihak sudah berakhir, dan aplikasi ini
tidak di gunakan lagi oleh Yayasan PETA Jakarta
dengan alasan saat ini aplikasi tersebut dalam proses
pengkajian ulang oleh pihak perusahaan terkait.
69 Wawancara Pribadi dengan Pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta berinisal DA, 8 Januari 2020
75
Namun aplikasi tersebut masih dapat di temukan dan
di unduh melalui Play Store di telepon pintar. Peneliti
juga telah mencoba untuk menggunakan aplikasi
tersebut dan ternyata masih berfungsi dengan baik.
Media kedua yang digunakan oleh Yayasan
PETA Jakarta adalah buku saku. Menurut penuturan
dari Paran Sarimita Winarni selaku sekretaris Yayasan
PETA Jakarta, sebelumnya relawan pernah
menggunakan buku saku dalam melakukan
pendampingan. Beliau menjelaskan:
“Biasanya sih kita pake buku saku pasien,
disitu ada semua hal dasar yang perlu
diketahui pasien termasuk efek samping obat
dan gimana mengatasinya. Cuma karna
belakangan ini lagi habis jadi sekarang ini
kita tanpa alat bantu. Tapi kalo nanti itu udah
di cetak ulang ya kita pake itu lagi. Kita
kehabisan buku saku, satu pendamping
biasanya kalo melakukan pendampingan
mereka selalu bawa, tapi sekarang belum ada
lagi”.70
Saat ini satu-satunya media yang digunakan
oleh Yayasan PETA Jakarta adalah media sosial
70 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
76
Instagram. Yayasan PETA Jakarta memiliki akun
instagram @peta.tb.ro yang di kelola sejak tahun
2015. Hal ini diketahui dari unggahan pertama pada
akun Instagram tersebut, yakni pada tanggal 1
November 2015. Saat ini akun Instagram Yayasan
PETA Jakarta memiliki 616 pengikut dengan jumlah
unggahan yang terdiri dari foto dan video sebanyak
82 unggahan.
Gambar 4.3 Unggahan Edukasi
Sumber: Akun Instagram @peta.tb.ro
Melalui akun instagramnya, Yayasan PETA
Jakarta membagikan berbagai momen kegiatan para
relawan bersama pasien TB-RO. Selain itu terdapat
pula unggahan yang mengandung edukasi seputar
penyakit TB-RO, contohnya seperti memberikan
informasi terkait mitos dan fakta seputar penyakit TB-
RO yang beredar di masyarakat.
77
E. Metode yang Digunakan
Yayasan PETA Jakarta saat ini memiliki 2
metode yang digunakan dalam program
pendampingan pasien TB-RO, yaitu pendampingan
minimal dan pendampingan maksimal. Hal ini di
jelaskan oleh Paran Sarimita Winarni selaku sekretaris
Yayasan PETA Jakarta, beliau menjelaskan:
“…Pasien punya karakter yang beda, jadi cara
kita berkomunikasi dengan pasien juga gabisa
disamain. Kita harus liat karakter pasien dulu
seperti apa. Kriteria maksimal atau minimal.
Kalo maksimal kita harus intens jagainnya
bener-bener, kalo minimal kita gaperlu setiap
hari nanyain kabarnya, jadi bisa lebih ngga
terlalu intens untuk pendampingan minimal,
biasanya yang minimal mereka sebelum dapet
pendampingan latar belakangnya bagus, kaya
dukungan sosialnya bagus, keluarganya bagus,
psikologisnya bagus jadi kita cuma nambahin
aja sih.”71
Pendampingan minimal adalah pendampingan
yang di berikan oleh relawan Yayasan PETA Jakarta
dengan intensitas minimum. Artinya pasien yang
bersangkutan tidak membutuhkan pengawasan lebih
71 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
78
dari pihak relawan. Pasien TB-RO dengan
pendampingan minimal memiliki latar belakang
sebagai berikut:
Memiliki dukungan penuh dari keluarga,
Tidak menerima stigma dari lingkungan sekitar,
Tidak mengalami gangguan psikologis yang berat,
Tidak ada riwayat mangkir pengobatan.
Dalam pendampingan minimal ini pihak
relawan tetap memberikan informasi dan atau edukasi
yang dibutuhkan pasien serta keluarga yang
bersangkutan terkait penyakit TB-RO. Hanya saja
intensitas pendampingan lebih longgar di banding
dengan pasien yang menerima pendampingan
maksimal. Hal tersebut dilakukan karena pasien dirasa
cukup mendapatkan dukungan dari keluarga dan
lingkungannya, serta kondisi psikologis pasien masih
cukup baik sehingga relawan dapat lebih fokus dengan
pasien yang membutuhkan pendampingan maksimal.
Pendampingan maksimal adalah
pendampingan yang di berikan oleh relawan Yayasan
PETA Jakarta dengan intensitas yang tinggi atau
maksimum. Berikut adalah latar belakang pasien yang
menerima pendampingan maksimal,:
Kurangnya dukungan dari keluarga,
79
Pasien mendapatkan stigma dari lingkungan
sekitarnya,
Pasien mengalami gangguan psikologis yang
cukup berat,
Adanya riwayat mangkir pengobatan.
Dalam pendampingan maksimal, relawan lebih
banyak memberikan perhatian serta pengawasan
kepada pasien terkait. Terlebih jika pasien memiliki
riwayat mangkir pengobatan sebelumnya. Riwayat
mangkir pengobatan yang dimaksud adalah pasien
sempat berhenti pengobatan dengan sengaja dalam
beberapa waktu sebelum dinyatakan sembuh. Salah
satu contohnya adalah pasien yang berinisial KC yang
berbagi pengalamannya saat mangkir dari masa
pengobatan, beliau bercerita:
“Halusinasi tinggi bu. Contohnya saya bu ya,
kan saya dari rusun ke Pulo Gadung naik
angkot bu itu saya liat orang perasaan orang itu
mau lompat, saya pegang tu dari dalem keluar,
saya pegang tu orang megang saya, bapak
ngapain mau lompat katanya, ini saya mau
nolongin ini, ga ada orang pak, tapi perasaan
saya ada orang bu.
Udah begitu saya abis minum di Soka melihat
ruang Soka itu kan ruang rawat bu, di timpa
80
lagi saya hawa takut. Kabur lah saya dari situ,
terus saya mangkir. Di jemput lagi ama orang
PETA, di jemput lagi ama dokter ada pihak
terkait di rusun ama ibu-ibu kelurahan ke
rumah. Namanya orang sakit gimana sih bu
takut saya tuh. Nah pas 2019 karna ini pak
Darman mengajak saya untuk kembali kemari,
kalo misalkan ada apa-apa coba konsultasi ke
dokter dan kamu juga akan di dampingi sama
orang PETA…”72
Pasien yang memiliki riwayat mangkir
mendapatkan pendampingan maksimal agar tidak
mengulanginya kembali selama masa pengobatan
berlangsung. Pendampingan maksimal juga berguna
untuk memberikan dukungan berupa motivasi bagi
pasien yang kurang mendapatkan dukungan dari
keluarga dalam menjalani masa pengobatannya, serta
menjaga kondisi psikologis pasien yang memiliki
gangguan cukup berat, seperti halusinasi tinggi dan
atau depresi, agar tidak bertambah buruk melalui
pendekatan komunikasi yang diberikan relawan.
Metode yang digunakan oleh relawan Yayasan
PETA sejalan dengan metode komunikasi terapeutik
yang dikenal dalam bidang komunikasi kesehatan.
72 Wawancara Pribadi dengan Pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta berinisial KC, 27 Januari 2020
81
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan untuk kesembuhan pasien.73
Firdaus J. Kunoli dan Achmad Herman
menjelaskan bahwa komunikasi terapeutik membantu
pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban
perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan
yang efektif untuk pasien, membantu memengaruhi
orang lain, lingkungan fisik, dan diri sendiri.74
Selain itu Sheila L. Videbeck juga
menjelaskan tujuan dari metode komunikasi
terapeutik, antara lain:
a. Membangun hubungan terapeutik perawat-klien.
b. Mengidentifikasi masalah klien yang paling
penting pada saat tersebut tepat pada waktunya
(tujuan yang berpusat pada klien).
c. Mengkaji persepsi klien tentang masalah saat klien
terbuka dalam menceritakan peristiwa tersebut.
Hal ini mencakup tindakan yang terperinci
(perilaku dan pesan) individu yang terlibat; pikiran
tentang situasi, orang lain, dan diri sendiri yang
73 Firdaus J, Kunoli dan Achmad Herman, Pengantar Komunikasi Kesehatan Untuk Mahasiswa Institusi Kesehatan, (Jakarta: Penerbit IN MEDIA, 2013) hal. 57 74 Idib. Hal. 58
82
berhubungan dengan situasi; dan perasaan tentang
situasi, orang lain, dan diri sendiri.
d. Mengenali kebutuhan mendasar klien.
e. Memandu klien dalam mengidentifikasi cara
pencapaian solusi yang memuaskan dan dapat
diterima secara sosial.75
Dalam metode komunikasi terapeutik terdapat
beberapa komponen yang di jelaskan oleh Sheila L.
Videbeck, yang pertama adalah kerahasiaan.
Kerahasiaan berarti menghormati hak klien untuk
menjaga rahasia setiap informasi tentang kesehatan
fisik dan jiwanya serta perawatan terkait.76 Hal ini
juga dilakukan oleh Yayasan PETA Jakarta, setiap
pasien TB-RO dapat menerima maupun menolak
untuk di dampingi oleh relawan. Dari hal tersebut kita
dapat melihat bahwa pasien tidak di wajibkan untuk
menceritakan hal-hal yang di anggapnya sebagai
rahasia kepada pihak relawan. Dan pihak relawan pun
menghormati keputusan pasien dengan tidak
memaksakan untuk menggali informasi tersebut.
Kedua adalah keterbukaan diri yang berarti
membuka informasi pribadi tentang diri sendiri
kepada klien, misalnya informasi biografi dan ide,
75 Sheila L. Videback, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, (Jakarta: EGC, 2008) hal. 123 76 Idib hal. 125
83
pikiran, serta perasaan pribadi. Keterbukaan diri dapat
digunakan untuk memberi dukungan, mendidik klien,
menunjukkan bahwa kecemasan klien adalah normal,
bahkan memfasilitasi penyembuhan emosional.
Dengan keterbukaan diri juga dapat membantu pasien
merasa lebih nyaman dan berkeinginan lebih besar
untuk berbagi pikiran dan perasaan.77 Hal tersebut
dilakukan oleh relawan Yayasan PETA pada saat
pendekatan dengan pasien TB-RO.
Yang ketiga adalah privasi dan menghormati
batasan. Individu merasa lebih nyaman jika zona jarak
lebih dekat ketika berkomunikasi dengan seseorang
yang mereka kenal daripada dengan orang asing.
Ketika perawat harus memasuki zona personal, ia
harus selalu meminta izin klien.78 Sama seperti hal
sebelumnya pada komponen menjaga kerahasiaan, hal
ini juga yang dilakukan oleh Yayasan PETA Jakarta,
dimana pasien TB-RO berhak menerima ataupun
menolak untuk di dampingi oleh relawan selama masa
pengobatannya. Pasien juga dapat bercerita ataupun
tidak bercerita kepada relawan terkait hal-hal yang di
anggap sensitif bagi pasien.
Komponen keempat adalah sentuhan. Saat
keintiman meningkat, kebutuhan akan jarak menurun.
77 Idib, hal 126 78 Idib, hal 126-127
84
Menyentuh klien dapat memberi rasa nyaman dan
suportif bila hal tersebut diinginkan dan diizinkan.
Perawat harus mengobservasi klien untuk melihat
isyarat yang menunjukkan apakah sentuhan
diinginkan atau diindikasi. Misalnya, memegang
tangan seorang ibu yang menangis terisak dan
anaknya sakit merupakan tindakan yang tepat dan
terapeutik, tetapi jika ibu menarik tangannya berarti
menunjukkan kepada perawat bahwa ibu merasa tidak
nyaman.79 Hal tersebut juga dilakukan oleh relawan
selama mendampingi pasien TB-RO sambil
memberikan dukungan dan motivasi.
Kemudian komponen yang kelima adalah
mendengar aktif dan observasi aktif. Mendengar aktif
berarti menghentikan aktifitas pikiran internal lain dan
secara eksklusif berkonsentrasi pada apa yang klien
katakan. Sedangkan observasi aktif berarti
mengobservasi tindakan non-verbal pembicara ketika
ia berkomunikasi. Mendengar aktif dan observasi aktif
dapat membantu perawat dalam:
Mengenali isu yang klien identifikasi sebagai topik
penting pada waktu itu
Mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan
topik spesifik
79 Idib, hal. 127
85
Mendorong pasien melanjutkan persepsinya
tentang suatu isu
Mengidentifikasi isyarat atau sinyal dalam isi dan
proses pesan sehingga perawat dapat melanjutkan
pengumpulan data
Memahami persepsi klien tentang isu dan
mendengarkan cerita klien sebelum membuat
kesimpulan
Menginterpretasi dan merespon terhadap pesan
dengan cara yang objektif.80
Mendengar dan observasi dengan aktif juga
merupakan salah satu langkah yang penting untuk
dilakukan oleh relawan Yayasan PETA dalam
mendampingi pasien TB-RO. Setelah membangun
hubungan yang dekat dengan pasien, sebagai relawan
yang memberikan dukungan dan motivasi, tentu pihak
pasien akan menceritakan keluh kesahnya terkait
penyakit TB-RO. Pada saat itulah mendengar dan
observasi aktif di terapkan oleh relawan.
2. Implementasi Strategi Komunikasi yang Digunakan
Oleh Relawan Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO
(PETA) Dalam Pendampingan Pasien TB-RO
Setelah strategi komunikasi telah tersusun,
selanjutnya adalah implementasi di lapangan. Peneliti
80 Idib, hal. 128 - 129
86
akan menjelaskan proses jalannya program pendampingan
pasien TB-RO di RSUP Persahabatan oleh relawan
Yayasan PETA dalam beberapa fase. Fase ini sesuai
dengan yang di jelaskan oleh Firdaus J. Kunoli dan
Achmad Herman sebelumnya pada bahasan fase-fase
dalam komunikasi terapeutik. Fase-fase tersebut antara
lain:
A. Orientasi (Orientation)
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, di
RSUP Persahabatan Jakarta terdapat manajer kasus
(MK) yang merupakan program dari LKNU dan POP
TB. MK Pada tahap awal MK akan melakukan
identifikasi terhadap pasien baru terkait latar belakang
dan sejauh mana pengetahuan pasien tentang penyakit
TB-RO yang di deritanya. Paran Sarimita Winarni
selaku sekretaris Yayasan PETA Jakarta menuturkan:
“Kalo sekarang kan sudah ada MK. Mereka
melakukan penilaian jadi mereka yang akan
menunjukkan kita, mengenalkan kita ke pasien.
Setelah itu ngobrol, mengedukasi, motivasi. Ya itu
tadi, pasien itu berbeda-beda, kalo baru biasanya kita
semangatin dan mereka belum banyak pertanyaan
karna mereka belum ngalamin apa-apa, biasanya yang
lebih ngobrol banyak pasien yang udah satu bulan
87
keatas yang uda ngerasain efek samping yang gaenak
dan mulai punya masalah kompleks sih kaya gitu”
Selanjutnya Paran juga menuturkan terkait
perbedaan MK dengan Yayasan PETA Jakarta. Beliau
mengatakan:
“...MK itu beberapa memang anggota PETA
tapi beberapa lagi bukan anggota PETA. Direkrut dari
bebas, tidak harus dari mantan pasien. Karna ini
program LKNU jadi yang menentukan pihak sana”81
Setelah MK telah mendapatkan latar belakang
pasien, langkah selanjutnya adalah memutuskan
apakah pasien akan menerima pendampingan minimal
atau pendampingan maksimal. Hasil dari identifikasi
tersebut selanjutnya di berikan kepada Yayasan PETA
Jakarta yang akan memilih relawan sesuai dengan
kriteria pasien.
“Misalnya pasien yang punya adat keras, atau
sensitif, atau menutup diri. Kita kan ga bisa kasih ke
orang yang bisa bawel karna sekali lagi kita
perhatikan kenyamanan pasien, saat pasien udah
81 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
88
nyaman tanpa diminta pun mereka bisa cerita
apapun”82
B. Kerja (Working)
Pendampingan pasien TB-RO di awali dengan
pendekatan oleh relawan yang bertugas. Pendekatan
ini berguna untuk mengetahui pasien secara langsung
terkait latar belakangnya serta masalah yang di hadapi
setelah melalui orientasi oleh MK. Hal tersebut sesuai
dengan keterbukaan diri dalam komponen metode
komunikasi terapeutik yang telah di jelaskan
sebelumnya. Binsar manik selaku relawan
menjelaskan bagaimana ia melakukan pendekatan
kepada pasien TB-RO, beliau menuturkan:
“…Dari sini kita bisa lihat bahwa masalah
pasien itu bukan hanya soal penyakitnya tapi
banyak hal lain yang dihadapi terkait masalah
keluarga, apakah itu pribadi, apakah masalah
perkerjaan, apakah masalah lingkungan semua
berperan dan dia harus memikirkan itu, harus
kita gali, kita coba pendekatan dari hati ke hati.
Itu aja sih yang penting kita pahami. Karna ga
semua pasien tuh bisa terbuka, ada memang
orang yang berpendidikan, ada orang yang
memang pengusaha dengan pola pikir yang
82 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
89
berbeda, ada memang kelas menengah, ada
kelas bawah yang kalo ngomong blak-blakan,
ada orang yang diam berarti menyimpan
banyak misteri kan . Tentu sebagai
pendamping kita harus berusaha minimal
mendapatkan masalah itu”83
Setelah hubungan antara relawan dan pasien
sudah dekat, maka yang selanjutnya dilakukan oleh
para relawan adalah memberikan edukasi dan motivasi
kepada pasien. Hal ini tidak hanya dilakukan secara
langsung pada saat menemani pasien minum obat di
rumah sakit, melainkan juga melalui telepon atau
obrolan di media sosial dengan pasien terkait seperti
yang dijelaskan oleh salah satu pasien yang berinisial
SD,:
“Jadi tiap saya kontrol ketemu disini kan di
rumah sakit, saya kan ambil obat di PKM nih
di Puskesmas deket rumah saya. Kadang
sewaktu-waktu dia kerumah mantau saya,
diliat keadaannya, udah minum obat atau
engga. Ga setiap hari, ga sering juga. Ketemu,
telpon, chat gitu sih”84
83 Wawancara Pribadi dengan Relawan Yayasan PETA Jakarta, Binsar Manik, 2 Oktober 2019 84 Wawancara Pribadi dengan pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta berinisal SD, 8 Januari 2020
90
Gambar 4.4 Pendampingan Pasien
Hal utama yang di perhatikan oleh relawan
adalah kondisi psikologis pasien. Relawan hadir untuk
membantu menjaga kondisi psikologis pasien agar
tetap stabil melalui komunikasi berupa dukungan dan
motivasi yang diberikan. Karena seperti yang telah di
jelaskan sebelumnya, salah satu efek samping dari
obat TB-RO adalah gangguan psikologis yang
berpotensi dirasakan oleh pasien. Gangguan tersebut
dapat berupa depresi, perubahan perilaku, halusinasi,
dan atau suicidal tendency. Pasien berinisal DA
menceritakan perihal gangguan psikologis yang di
alaminya, beliau menjelaskan:
“Psikomatis tau ga? psikomatis masalah
kejiwaan yang hebat, takut mati, kita ga takut
setan kita takut mati. Seakan-akan kematian
ada di depan kita. Saya punya FB saya non-
aktifkan saya gasuka kalo liat postingan kaya
kata-kata kenapa anda masih dihidupkan?
91
karna anda banyak dosa, kata-kata jangan
terlalu capek kalo capek entar dia meninggal
besok. Sampe suami saya omelin, saya larang
karna saya takut besok suami saya mati. Saya
omelin terus suami saya. Sampe sekarang tuh
saya kaya bukan saya. Kaya ngomong tadi
bener terus entar sore kok bisa ya saya
ngomong kaya gitu? Puncaknya kemarin saya
berantem sama kakak ipar saya, kakak ipar
saya pergi dari rumah ibu saya seakan-akan dia
diusir sama saya. Padahal ini mulut ga bisa
dikondisikan, apalagi kalo uda dateng mens ya
itu hormon kan naik. Badan saya udah stress,
otak ga boleh terlalu berat mikirnya. Keluarga
saya udah minta maaf, kenapa sih kemaren
pada cerita sama saya padahal saya ga boleh
punya pikiran loh. Saya belom bisa sosmed,
saya gabisa. Emang semua pasien beda-beda
ya yang hebat itu saya, kalo ga ada bang Naga,
bang Binsar saya gatau jadi apa, mereka inian
saya”85
85 Wawancara Pribadi dengan Pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta berinisial DA, 8 Januari 2020
92
Gambar 4.5 Pemberian Informasi dan Edukasi
Dengan riwayat penyakit TB-RO yang pernah
di derita sebelumnya, relawan Yayasan PETA Jakarta
dengan mudah mendapatkan kepercayaan dari para
pasien TB-RO yang di dampingi. Hal tersebut di
buktikan dengan adanya pasien yang lebih menyukai
konsultasi dengan relawan di banding dengan dokter
yang bertugas, seperti yang dijelaskan oleh pasien
berinisial DA yang lebih memilih relawan PETA
sebagai pihak pertama untuk berkonsultasi, beliau
menjelaskan alasannya sebagai berikut:
“…Dokter juga manusia ya ada rasa lelahnya.
Ya mungkin dengan banyaknya pasien dengan
keluhan yang sama mungkin dia lelah, jadi
lebih ke PETA. Aku solusinya ke PETA bukan
ke dokter. Dokter ujung-ujungnya boleh tes ini
bu obat ini, bu obat ini gitu aja, sedangkan
efek kita kan setiap bulannya beda-beda ada
93
aja gangguan. Kadang PETA juga nyaranin
konsul aja ke dokter di kasih rujukan ke
psikologis, ntar ujung-ujungnya begitu, kecuali
berhubungan dengan jantung ya, asem urat,
liver gitu baru kita ngeluhnya ke dokter,
masalah medis ya ke dokter ngeluhnya. Tapi
kalo psikologis halusinasi apa mendingan ke
PETA, dokter ga ada solusi, karna apa? PETA
itu kan ex TB jadi mereka paham apa yang
saya alami, karna dia pernah ngalamin”
Dari pernyataan tersebut dapat di simpulkan
bahwa hubungan antara pasien dan relawan disini
telah terbangun kepercayaan. Pasien merasa relawan
lebih memahami mereka karena pernah menjadi
seorang pasien TB-RO juga sebelumnya. Dalam kata
lain adanya perasaan senasib sepenanggungan.
Sebagai seorang mantan pasien TB-RO, artinya
seorang relawan telah berhasil melalui masa
pengobatan dengan berbagai efek samping yang juga
dirasakan oleh pasien saat ini. Hal itu juga yang
menjadi salah satu alasan mengapa pasien TB-RO
lebih menyukai konsultasi bersama relawan di
bandingkan dengan dokter terkait.
94
C. Penyelesaian (Termination)
Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah
penyelesaian (termination). Seperti penjelasan
sebelumnya, tahap ini adalah penilaian pencapaian
tujuan. Dengan kata lain tahap penyelesaian adalah
kegiatan evaluasi terhadap proses pendampingan yang
telah berjalan. Sesuai dengan program kerja dari
Yayasan PETA Jakarta salah satunya adalah rapat
rutin yang di adakan satu kali setiap bulannya. Paran
Sarimita Winarni selaku sekretaris Yayasan PETA
Jakarta menjelaskan:
“Biasanya kita akan membahas kegiatan pada
rapat bulanan PETA, dari situ kita bisa melihat
jelas pendampingan kita gimana, masalah yang
dihadapai apa, jadi apabila ada suatu masalah
yang dihadapi seorang peer tentang pasien,
kita bisa sama-sama cari jalan keluar gimana
caranya bisa bantu pasien ini”86
Pernyataan tersebut di dukung oleh salah satu
relawan yang bernama Binsar Manik, beliau
mengatakan:
“Dari hasil semua pendampingan kita rapat
bulanan ya. kita melaporkan
86 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
95
pendampingannya, berapa orang yang
mangkir, berapa orang yang mati, berapa orang
yang sembuh kita bisa melihat keeefektifan
kita dalam pendampingan. Bisa lihat
perkembangannya, kalo ada yang tidak mau
didampingi ya alasannya apa, masalahnya apa,
kita evaluasi dan follow up kembali. Menggali
masalah pasien kan tidak semua anggota
memahami tentang itu, kembali kepada
personal masing-masing. Karna tidak instan
untuk mempelajari ini”87
Dari kegiatan evaluasi tersebut apabila ada
masalah yang di hadapi oleh relawan terkait dengan
pasien dampingannya, maka akan di bahas demi
menemukan solusi bersama. Dalam hal pendampingan
juga relawan saling membantu, sehingga pasien bisa
saja memiliki beberapa relawan yang
mendampinginya selama masa pengobatan, tidak
hanya satu relawan saja. Seperti pernyataan dari salah
satu pasien TB-RO di RSUP Persahabatan Jakarta
yang berinisal KC, beliau menuturkan:
87 Wawancara Pribadi dengan relawan Yayasan PETA Jakarta, Binsar Manik, 2 Oktober 2019
96
“Sama pak Darman aja, kadang bang Naga.
Saya udah bilang sih tolong bantu saya
sepenuhnya”88
Hal tersebut juga di dukung oleh pernyataan
dari pasien lainnya yang berinisial DA, beliau
mengatakan:
“…keluhan yang paling aku takutin gitu ke
bang Naga. Kalo masalah psikologis, masalah
tentang penyakit yang lebih detail lagi, bang
Binsar sih yg lebih paham banget gitu ya”89
B. Faktor Pendukung dan Penghambat Relawan Yayasan
Pejuang Tanggung TB-RO (PETA) Dalam Program
Pendampingan Pasien TB-RO di RSUP Persahabatan
Jakarta
a. Faktor Pendukung
Dalam hal ini Paran Sarimita Winarni selaku
sekretaris Yayasan PETA Jakarta menjelaskan bahwa
Yayasan PETA saat ini memiliki hubungan kerja sama
dengan lembaga pemerintah dan organisasi lainnya yang
memiliki kepentingan yang sama terkait penanganan TB-
RO di DKI Jakarta. Hal tersebut merupakan pendukung
88 Wawancara Pribadi dengan pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta berinisial KC, 27 Januari 2020 89 Wawancara Pribadi dengan pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta berinisial DA, 8 Januari 2020
97
utama dalam program pendampingan pasien yang
dilakukan. Beliau menuturkan:
“Kalo pendukung, alhamdulillah kita saat ini udah
di akui oleh Kemenkes, udah sering di ajak
kerjasama sama petugas Suku Dinas, Dinas
Provinsi juga sudah, sekarang kita udah pegang 42
Puskesmas di Jakarta, belum lagi organisasi lain
diluar PETA jadi sekarang kita sudah diakui
keberadaannya. Karna kalo ngga ada dukungan
dari pemangku jabatan atau yang punya wilayah,
ya kita bisa apa? kalo kita udah punya dukungan
jadi kita bisa lebih mudah dalam melakukan
kegiatan”90
Selain itu Yayasan PETA juga memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi dari pasien TB-RO yang
menerima pendampingan. Tingkat kepercayaan ini
menjadi salah satu pendukung yang membuat program
pendampingan pasien terus berjalan seiring waktu.
Keberadaan relawan dari Yayasan PETA sudah di anggap
penting oleh para pasien TB-RO yang menjadi
dampingannya selama mengikuti masa pengobatan di
RSUP Persahabatan Jakarta. Hal ini sesuai dengan
penuturan pasien TB-RO di RSUP Persahabatan Jakarta
yang berinisial SD, beliau mengatakan:
90 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran
Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
98
“Perlu banget kalo saya, karna satu mungkin dari
efek ini banyak orang yang bilang ini-itu lah,
banyak rasa yang pasien alami. Jadi saya ga suka
kalo dikit-dikit ke dokter saya ga suka ya, karna
saya dari dulu pengennya tenang minum obat
fokus, yang penting selesai”91
Selain SD, terdapat juga pasien lainnya yang
mendukung pernyataan bahwa keberadaan relawan dari
Yayasan PETA sangat di butuhkan. Pasien tersebut
berinisial DA, beliau menyatakan:
“Karna saya butuh, udah gitu kan saya liat
kayanya dia komunitas ya, saya tanya lagi ini
PETA bentuk apa? ternyata kan mereka ex dari TB
ini kan ya jadi saya pikir kan lebih paham karna
dia udah mengalami terus lebih paham, yaudah
saya lebih deket gitu, lebih intens. Mungkin kalo
ga ada PETA saya juga ga tau jadinya seperti apa.
Karna kita kalut sendiri, emang kita harus deket
sama yang di Atas itu yang utama, tapi biar
gimana pun kita gabisa lepas dari PETA”92
91 Wawancara Pribadi dengan Pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta
berinisial SD, 8 Januari 2020 92 Wawancara Pribadi dengan Pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta
berinisial DA, 8 Januari 2020
99
b. Faktor Penghambat
1. Kurangnya Sumber Daya Manusia
Saat ini Yayasan PETA Jakarta memiliki 35
orang relawan yang terdaftar di seluruh wilayah DKI
Jakarta. Hal ini tidak sepadan dengan jumlah pasien
TB-RO yang berjumlah ratusan orang. Akibatnya para
relawan cukup kuwalahan dalam mendampingi pasien
TB-RO yang aktif dalam masa pengobatan. Hal
tersebut dikatakan langsung oleh Sekretaris Yayasan
PETA Jakarta, Paran Sarimita Winarni, beliau
mengatakan:
“…kita juga masih kurang SDM. Misalkan
pasien ada 500-600 orang sedangkan kita cuma
35 orang jadi kan ga seimbang.”93
2. Penolakan dari Pasien TB-RO
Berdasarkan penuturan dari salah satu relawan
yang bernama Binsar Manik, terdapat beberapa pasien
yang menolak untuk di dampingi dengan alasan takut
bahwa statusnya sebagai pasien TB-RO diketahui oleh
banyak orang.
“Beberapa tidak mau pendampingan dengan
alasan mereka gamau statusnya diketahui
93 Wawancara Pribadi dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran
Sarimita Winarni, 26 Desember 2019
100
orang, jadi dia tidak mau statusnya diketahui
orang lain ataupun siapa gitu karna berkaitan
mungkin dia orang berkarir atau orang ternama
yang tidak mau publik tau, dengan cara kita
pendekatan mungkin dia berpikir kita bakal
open status nantinya jadi dia memutuskan
untuk tidak bersedia didampingi”94
Selain itu Binsar Manik juga menjelaskan
bahwa terdapat beberapa pasien yang meninggalkan
pengobatan medis di Rumah Sakit secara sengaja.
Beliau menjelaskan:
“…terkendala masalah ekonomi kita gabisa
membangun komunikasi yang baik selama
masalah itu ngga cerita. Karna berkeluarga
punya anak punya istri sementara kepala
keluarganya harus menghadapi sakit begini,
lalu penyakit ini kan terbentur dia harus kerja,
dia harus mencukupi kebutuhannya. Ketika
kebutuhan ini tidak dia dapatkan maka akan
berbenturan dengan pengobatan jadi
kemungkinan dia mangkir atau DO karna
kembali bekerja. Jadi dia tidak merasa
keberadaan kita membantu padahal edukasi,
motivasi sudah kita berikan.
94 Wawancara Pribadi secara langsung dengan relawan Yayasan PETA Jakarta,
Binsar Manik, 2 Oktober 2019
101
Pasien menganggap masih bisa pake yang lain
atau pake alternatif, maaf ya, jadi selain
pengobatan medis eh pasien ini masih ada
pengobatan lain. Itu jadi hambatan juga kita
menjalani pendampingan. Cuma kan dari sisi
pemerintah sisi medis yang kita bawa, pasien
ini dari sisi pengetahuannya sendiri bahwa dia
bilang pengobatan ini ga harus dari rumah
sakit, ga harus dari pemerintah dari
pengobatan lain juga bisa. Masih menganggap
bahwa penyakit ini penyakit keturunan,
penyakit di guna guna orang jadi mereka
gaperlu berobat lah orang penyakit kerturunan,
jadi gausah kerumah sakit pake obat yang ada
aja lah. Ini juga akan jadi hambatan bagi
kita”.95
Apabila terjadi penolakan dari pihak pasien
dalam program pendampingan, maka pihak relawan
pun tidak dapat berbuat banyak. Relawan hanya dapat
mengawasi dari jauh seperti yang di jelaskan oleh
Binsar Manik yang mengatakan:
“Solusinya kita hanya jarak jauh dan kita
kemudian menyerahkan memberi info kepada
layanan kesehatan bahwa pasien ini tidak
95 Wawancara Pribadi secara langsung dengan relawan Yayasan PETA Jakarta,
Binsar Manik, 2 Oktober 2019
102
bersedia untuk didampingi. Sehingga memang
keaktifan layanan kesehatan terus
memonitoring keadaan pasien. Jika terjadi
kendala, kalo misalnya dia putus berobat atau
kendala yang lain, ya kita di konfirmasikan.
Karna secara verbal kan kita tidak bisa
bertemu dengan dia jadi kita hanya jarak jauh
namanya, jadi tetap kita pantau itu. Namanya
pendampingan jarak jauh, jarak deket juga ada.
Pendampingan jarak deket kita ketemu face to
face”.96
96 Wawancara Pribadi secara langsung dengan relawan Yayasan PETA Jakarta,
Binsar Manik, 2 Oktober 2019
103
Tabel Temuan
Strategi Komunikasi Relawan
Yayasan PETA Dalam Pendampingan Pasien TB-RO
Di RSUP Persahabatan Jakarta
Temuan Dakwah
Fardiyah
Komunikasi
Antarpribadi
1. Strategi
komunikasi
relawan
Yayasan PETA
dalam
mendampingi
pasien TB-RO
di RSUP
Persahabatan
Jakarta
2. Pendukung
program
pendampingan
pasien TB-RO
di RSUP
Persahabatan
Jakarta
Relawan
melakukan
dakwah fardiyah
kepada pasien
TB-RO di RSUP
Persahabatan
Jakarta
Relawan
menerapkan
dakwah fardiyah
yang
mengandung
informasi dan
edukasi seputar
TB-RO, serta
motivasi kepada
pasien TB-RO.
Relawan menerapkan
metode komunikasi
terapeutik sebagai
pendekatan
komunikasi
antarpribadi kepada
pasien TB-RO di
RSUP Persahabatan
Jakarta. Komunikasi
terapeutik dilakukan
dalam 3 fase, yaitu
fase orientasi, fase
kerja, dan fase
penyelesaian.
Melalui komunikasi
antarpribadi, relawan
Yayasan PETA
berhasil mendapatkan
tingkat kepercayaan
yang tinggi dari
pasien TB-RO. Hal ini
menjadi pendukung
program
pendampingan terus
berlanjut.
104
3. Penghambat
program
pendampingan
pasien TB-RO
di RSUP
Persahabatan
Jakarta
Adanya
penolakan dari
beberapa pasien
TB-RO terkait
dakwah fardiyah
yang dilakukan
oleh relawan
Yayasan PETA.
Penolakan
tersebut didasari
oleh berbagai
alasan, yakni
pasien merasa
malu terhadap
penyakit yang
dideritanya, dan
adanya pasien
yang mangkir
pengobatan
sehingga tidak
terjangkau oleh
relawan.
Alasan pasien
menolak adalah pasien
tidak ingin statusnya
sebagai pasien TB-RO
diketahui oleh banyak
orang karena malu.
Alasan lainnya adalah
beberapa pasien
mangkir pengobatan
karena tidak kuat
dengan efek samping
dari obat yang di
konsumsi di Rumah
Sakit.
Ada pula pasien yang
berhenti pengobatan
karena memiliki
masalah ekonomi
sehingga pasien harus
kembali bekerja
walaupun belum
dinyatakan sembuh.
Selain itu terdapat
pasien yang berhenti
pengobatan karena
mengikuti pengobatan
alternatif di luar
Rumah Sakit.
105
Temuan Dakwah
Profesional
Komunikasi
Organisasi
4. Pendukung
program
pendampingan
pasien TB-RO
di RSUP
Persahabatan
Jakarta
5. Penghambat
program
pendampingan
pasien TB-RO
di RSUP
Persahabatan
Jakarta.
Relawan
melakukan
dakwah
profesional
dengan berbagai
organisasi yang
memiliki
kepentingan yang
sama terkait
penanganan TB-
RO di wilayah
DKI Jakarta.
Kurangnya kader
relawan yang
dimiliki Yayasan
PETA.
Dengan komunikasi
organisasi, relawan
Yayasan PETA
membangun
hubungan kerja sama
dengan lembaga
pemerintah dan
organisasi lainnya
demi kelangsungan
program
pendampingan pasien
TB-RO. Organisasi
tersebut contohnya
adalah Dinas
Kesehatan DKI
Jakarta, Lembaga
Kesehatan Nahdlatul
Ulama (LKNU), dan
pihak Rumah Sakit
yang menjadi tempat
dilaksanakannya
program ini.
Saat ini Yayasan
PETA hanya memiliki
35 orang relawan,
akibatnya relawan
cukup kuwalahan
dalam menghadapi
pasien TB-RO yang
berjumlah ratusan.
106
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai hasil temuan di lapangan terkait
penelitian tentang strategi komunikasi relawan Yayasan
PETA dalam pendampingan pasien TB-RO di RSUP
Persahabatan Jakarta, dengan ini peneliti memberi
kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat lima tahap dalam penyusunan strategi
komunikasi pada program pendampingan pasien TB-RO
di RSUP Persahabatan Jakarta yang dilakukan oleh
relawan Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA),
antara lain:
a) Mengenal Khalayak
Untuk mencari tahu latar belakang pasien, di
RSUP Persahabatan sendiri terdapat Manajer Kasus
atau MK. MK terdiri dari relawan Yayasan PETA
Jakarta dan anggota dari LKNU, serta POP TB
Indonesia. Dalam hal ini MK bertugas untuk mencari
tahu tentang latar belakang dan pengetahuan pasien
terkait penyakit TB-RO yang di derita, kemudian
memberikan penilaian awal terhadap pasien baru
terdiagnosa tersebut.
107
b) Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dimiliki oleh relawan Yayasan
PETA terdiri dari 2 hal, yaitu pesan untuk pasien TB-
RO, dan pesan untuk keluarga dari pasien terkait.
Pesan untuk pasien TB-RO berisi tentang informasi
dan atau edukasi seputar penyakit yang di deritanya,
serta motivasi untuk minum obat secara rutin selama
masa pengobatan.
Sedangkan pesan untuk keluarga pasien adalah
memberikan informasi dan atau edukasi seputar
penyakit TB-RO, serta mendorong pihak keluarga
untuk selalu memberikan dukungan kepada pasien
agar dapat menyelesaikan masa pengobatannya
dengan baik.
c) Efek yang Diharapkan
Relawan Yayasan PETA berharap keberadaan
mereka dapat membantu pasien TB-RO dalam
menjalani masa pengobatannya. Namun di samping
itu dengan segala informasi dan edukasi yang di
berikan, pihak Yayasan juga berharap agar pasien
dapat mandiri dalam menjalani masa pengobatannya.
Hal ini juga berlaku bagi keluarga pasien,
pihak relawan berharap keluarga dapat senantiasa
turut mendampingi pasien selama masa pengobatan
108
berlangsung. Sehingga tidak hanya bergantung pada
relawan yang mendampingi di Rumah Sakit. Karena
di samping edukasi dan motivasi yang di berikan oleh
relawan, pasien juga membutuhkan dukungan dari
pihak keluarga.
d) Penggunaan Media
Saat ini satu-satunya media yang digunakan
oleh Yayasan PETA adalah media sosial Instagram.
Yayasan PETA Jakarta memiliki akun instagram
@peta.tb.ro yang di kelola sejak tahun 2015.
e) Metode yang Digunakan
Relawan PETA saat ini memiliki 2 metode
yang digunakan yaitu, pendampingan minimal dan
pendampingan maksimal. Pasien TB-RO dengan
pendampingan minimal memiliki latar belakang antara
lain, memiliki dukungan penuh dari keluarga, tidak
menerima stigma dari lingkungan sekitar, tidak
mengalami gangguan psikologis yang berat, tidak ada
riwayat mangkir pengobatan.
Sedangkan latar belakang pasien yang
menerima pendampingan maksimal antara lain,
kurangnya dukungan dari keluarga, pasien
mendapatkan stigma dari lingkungan sekitarnya,
109
pasien mengalami gangguan psikologis yang cukup
berat, adanya riwayat mangkir pengobatan.
2. Implementasi dari strategi komunikasi yang telah disusun
tersebut di jelaskan dalam tiga tahap sesuai dengan fase-
fase dalam metode komunikasi terapeutik, antara lain:
a) Orientasi (Orientation)
Di RSUP Persahabatan Jakarta terdapat
manajer kasus (MK) yang merupakan program dari
LKNU dan POP TB. MK Pada tahap awal MK akan
melakukan identifikasi terhadap pasien baru terkait
latar belakang dan sejauh mana pengetahuan pasien
tentang penyakit TB-RO yang di deritanya.
Setelah MK telah mendapatkan latar belakang
pasien, langkah selanjutnya adalah memutuskan
apakah pasien akan menerima pendampingan minimal
atau pendampingan maksimal. Hasil dari identifikasi
tersebut selanjutnya di berikan kepada Yayasan PETA
yang akan memilih relawan sesuai dengan kriteria
pasien.
b) Kerja (Working)
Pendampingan pasien TB-RO di awali dengan
pendekatan oleh relawan yang bertugas. Setelah
hubungan antara relawan dan pasien sudah dekat,
maka yang selanjutnya dilakukan oleh para relawan
110
adalah memberikan edukasi dan motivasi kepada
pasien. Hal ini tidak hanya dilakukan secara langsung
pada saat menemani pasien minum obat di rumah
sakit, melainkan juga melalui telepon atau obrolan di
media sosial.
c) Penyelesaian (Termination)
Tahap penyelesaian adalah kegiatan evaluasi
terhadap proses pendampingan yang telah berjalan.
Sesuai dengan program kerja dari Yayasan PETA
Jakarta salah satunya adalah rapat rutin yang di
adakan satu kali setiap bulannya.
3. Faktor pendukung dan penghambat relawan Yayasan
Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) dalam program
pendampingan pasien TB-RO di RSUP Persahabatan
Jakarta, antara lain:
a) Faktor Pendukung
Yayasan PETA Jakarta saat ini memiliki
hubungan kerja sama dengan lembaga pemerintah dan
organisasi lainnya yang memiliki kepentingan yang
sama terkait penanganan TB-RO di DKI Jakarta.
Contohnya seperti kerja sama dengan Dinas
Kesehatan DKI Jakarta, Lembaga Kesehatan
Nahdlatul Ulama (LKNU), dan para donatur yang
berasal dari perseorangan.
111
Selain itu relawan Yayasan PETA juga
memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari pasien
TB-RO yang menerima pendampingan. Keberadaan
relawan PETA sudah di anggap penting oleh para
pasien TB-RO yang menjadi dampingannya.
b) Faktor Penghambat
1.Kurangnya Sumber Daya Manusia
Saat ini Yayasan PETA Jakarta hanya
memiliki 35 orang relawan yang terdaftar di
seluruh wilayah DKI Jakarta. Akibatnya para
relawan cukup kuwalahan dalam mendampingi
pasien TB-RO yang aktif dalam masa pengobatan.
2.Penolakan dari Pasien TB-RO
Dalam hal ini terdapat beberapa pasien
yang menolak untuk di dampingi dengan alasan
takut bahwa statusnya sebagai pasien TB-RO
diketahui oleh banyak orang. Selain itu terdapat
beberapa pasien yang meninggalkan pengobatan
medis di Rumah Sakit secara sengaja.
112
B. Saran
Berikut saran yang ingin peneliti sampaikan kepada
relawan Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO (PETA) sebagai
masukan untuk program pendampingan pasien TB-RO di
RSUP Persahabatan Jakarta agar dapat lebih baik lagi. Saran
tersebut antara lain:
1. Relawan Yayasan PETA memerlukan edukasi tambahan
terkait pendekatan komunikasi yang digunakan dalam
pendampingan pasien TB-RO. Meskipun telah memenuhi
komponen-komponen pada metode komunikasi
terapeutik, namun saat peneliti bertanya perihal
komunikasi terapeutik itu sendiri, pihak relawan masih
belum memahami adanya metode tersebut.
2. Perlunya peningkatan kuantitas relawan. Mengingat saat
ini jumlah relawan yang bertugas tidak seimbang dengan
jumlah pasien TB-RO yang aktif pengobatan di RSUP
Persahabatan Jakarta.
3. Adanya alat bantu berupa buku saku yang sebelumnya di
miliki oleh relawan untuk melakukan proses
pendampingan pasien sebenarnya sangat berguna sebagai
panduan untuk relawan tersebut. Peneliti menyarankan
agar pengadaan buku saku dapat segera dilaksanakan oleh
pihak Yayasan PETA Jakarta untuk mempermudah
jalannya program pendampingan pasien TB-RO yang
dilakukan.
113
DAFTAR PUSTAKA
Alkaff, Raihana Nadra. Fahrudin, Dedi. 2015. Komunikasi,
Edukasi dan Kesehatan untuk Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat. Jakarta. UIN Press Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Anees, Bambang Q. Ardianto, Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu
Komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Arifin, Anwar. 2006. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta. Rajagrafindo Persada.
Azmi, Abdullah Shidqul. 2013. Skripsi Pravelansi Risiko
Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR) di Kota
Depok Tahun 2010 – 2012. Jakarta. Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
Cangara, Hafied. 2017. Perencanaan dan Strategi Komunikasi
edisi revisi. Depok. PT RajaGrafindo Persada.
Herman, Achmad. Kunoli, Firdaus J. 2013. Pengantar
Komunikasi Kesehatan Untuk Mahasiswa Institusi
Kesehatan. Jakarta. Penerbit In Media.
Laksana, Muhibudin Wijaya. 2015. Psikologi Komunikasi
Membangun Komunikasi yang Efektif. Bandung. CV
Pustaka Setia.
114
Morissan. 2006. Pengantar Public Relations Strategi Menjadi
Humas Profesional. Jakarta. Ramdina Prakasa.
Nurhadi, Zikri Fachrul. 2015. Teori-teori Komunikasi: Teori
Komunikasi dalam Perspektif Penelitian Kualitatif.
Bogor. Ghalia Indonesia.
Nazin, Moh. 2013. Metode Penelitian. Bandung. Ghalia
Indonesia.
Nizar, Muhammad. 2011. Pemberantasan dan Penanggulangan
Tuberkulosis. Yogyakarta. Gosyen Publishing.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI. 2005. Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Jakarta. Balai
Pustaka.
Rahmat, Jalaludin. 2007. Metode Penelitian Komunikasi.
Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Sambas, Syukriadi. 2015. Sosiologi Komunikasi. Bandung. CV
Pustaka Setia.
Sihabudin, Ahmad. 2013. Komunikasi Antarbudaya Satu
Perspektif Multidimensi cetakan kedua. Jakarta. PT Bumi
Aksara.
Sobur, Alex. 2014. Ensiklopedia Komunikasi P-Z. Bandung.
Simbiosa Rekatama Media.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
115
Suryanto. 2015. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung. CV
Pustaka Setia.
Videback, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta.
EGC, 2008.
Yunus, Eddy. 2016. Manajemen Strategis. Yogyakarta. CV Andi
Offset.
Jurnal :
Alfian, Muhammad Ivan. 2015. Dakwah Fardiyah. Kudus.
STAIN Kudus.
Situs Internet
https://www.idntimes.com/news/indonesia/amp/indianamalia/ind
onesia-peringkat-ke-3-tbc-tertinggi-di-dunia di akses pada
tanggal 22 Agustus 2019.
https://www.jawapos.com/metro/metropolitan/02/06/2017/tak-
kuat-menahan-sakit-pasien-gantung-diri-di-rs-
persahabatan/%3famp di akses pada tanggal 22 Agustus
2019.
https://www.kncv.or.id/about-default.html di akses pada tanggal
25 Januari 2020.
116
www.who.int/tb/Short_MDR_regimen_factsheet.pdf di akses
pada tanggal 8 Januari 2020.
Sumber Tambahan
Formulir Efek Samping Obat, Klinik TB-MDR RSUP
Persahabatan Jakarta.
InfoDATIN: Hari Tuberkulosis Sedunia, Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2015.
Pamflet Sosialisasi Tuberkulosis Resisten Obat, Yayasan Pejuang
Tangguh TB-RO Jakarta.
117
118
119
120
Transkrip Wawancara 1
Nama : Binsar Manik
Jabatan : Relawan Yayasan PETA Jakarta
Tempat : Sekretariat Yayasan PETA Jakarta
Tanggal : 2 Oktober 2019
Pukul : 11.08 WIB
Keterangan : Wawancara tentang proses pendampingan pasien.
1. Bagaimana cara pendekatan kepada pasien?
“Yang pertama kita harus memahami ya situasi, keadaan,
perasaan pasien. Karena kan pasien banyak hal yang dihadapi
belum lagi dari sisi penyakitnya, benturan dari keluarga,
seorang pekerja apakah berbenturan. Misalnya Dia
terdiagnosa TBC lalu kemudian dia berasumsi dia butuh
informasi, memang benar dia butuh info tapi terlepas dari itu
kita harus memahami pasien, tidak hanya edukasi tentang TB
tapi juga memotivasi”.
2. Cara mengetahui situasi dan kondisi pasien itu gimana?
“Ya kita ngobrol lah, mendekatkan diri, cerita bahwa kita kan
mantan pasien kita paham situasi yang dialami karna kita
sudah mengalami dulu, jadi tidak hanya penyakit saja tapi
121
banyak hal yang dihadapi karna itu kita pendekatan dari hati
ke hati, kita respect apa yang dialami hingga dia semakin
terbuka. Ngga hanya sekedar memberikan info tentang TBC,
Dengan kita memahami apa yang di alami, dia merasa itu
bebannya itu bisa terjawab. Kita memahami kira kira jawaban
apa yang bisa kita beri selama pengobatan, solusi apa yang
bisa kita berikan sehingga dia merasa tenang menjalani
pengobatan. Misalnya dia terbentur masalah pekerjaan
gimana dia harus pengobatan 2 tahun dengan efek yang berat
ya kan, kira-kira solusinya apa. Kita minta, maunya dia
seperti apa, dia mau fokus berobat tapi kalo saya harus putus
pekerjaan gimana? Karena kan masalah yang tidak sedikit
pasien mengalami, karna apa? karna setiap pasien kan butuh
ekonomi, kebutuhan, kita punya solusi apa. Kita gali
dalamnya, dan kemudian kita harus mendapatkan solusinya
seperti apa. apabila tidak ada solusi berati pendekatan kita
gagal, bukan gagal tapi tidak maksimal ya kan. Kira kira apa
solusinya, apakah misalnya kalo kita bantu mendekatkan
dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk berkordinasi ke
pekerjaan dia jadi dia tidak ada PHK, atau mungkin dari
Kementrian Kesehatan atau Dinas Kesehatan lainnya
memberikan pendekatan ke perusahaan dia agar dia mendapat
dispensasi dari pekerjaan.
Dari sini kita bisa lihat bahwa masalah pasien itu bukan hanya
soal penyakitnya tapi banyak hal lain yang dihadapi terkait
masalah keluarga, apakah itu pribadi, apakah masalah
122
perkerjaan, apakah masalah lingkungan semua berperan dan
dia harus memikirkan itu, harus kita gali, kita coba
pendekatan dari hati ke hati. Itu aja sih yang penting kita
pahami. Karna ga semua pasien tuh bisa terbuka, ada memang
orang yang berpendidikan, ada orang yang memang
pengusaha dengan pola pikir yang berbeda, ada memang
kelas menengah, ada kelas bawah yang kalo ngomong blak-
blakan, ada orang yang diam berarti menyimpan banyak
misteri kan . Tentu sebagai pendamping kita harus berusaha
minimal mendapatkan masalah itu”.
3. Sejauh ini ada ngga pasien yang tidak mau
pendampingan?
“Beberapa tidak mau pendampingan dengan alasan mereka
gamau statusnya diketahui orang, jadi dia tidak mau statusnya
diketahui orang lain ataupun siapa gitu karna berkaitan
mungkin dia orang berkarir atau orang ternama yang tidak
mau publik tau, dengan cara kita pendekatan mungkin dia
berpikir kita bakal open status nantinya jadi dia memutuskan
untuk tidak bersedia didampingi”.
4. Solusinya gimana tuh kalo terjadi seperti itu?
“Solusinya kita hanya jarak jauh dan kita kemudian
menyerahkan memberi info kepada layanan kesehatan bahwa
pasien ini tidak bersedia untuk didampingi. Sehingga memang
keaktifan layanan kesehatan terus memonitoring keadaan
pasien. Jika terjadi kendala, kalo misalnya dia putus berobat
123
atau kendala yang lain, ya kita di konfirmasikan. Karna secara
verbal kan kita tidak bisa bertemu dengan dia jadi kita hanya
jarak jauh namanya, jadi tetap kita pantau itu. Namanya
pendampingan jarak jauh, jarak deket juga ada.
Pendampingan jarak deket kita ketemu face to face”.
5. Hambatan lainnya yang dialami ada apa lagi?
“Yang tadi memang tidak mau didampingi, terkendala
masalah ekonomi kita gabisa membangun komunikasi yang
baik selama masalah itu ngga cerita. Karna berkeluarga punya
anak punya istri sementara kepala keluarganya harus
menghadapi sakit begini, lalu penyakit ini kan terbentur dia
harus kerja, dia harus mencukupi kebutuhannya. Ketika
kebutuhan ini tidak dia dapatkan maka akan berbenturan
dengan pengobatan jadi kemungkinan dia mangkir atau DO
karna kembali bekerja. Jadi dia tidak merasa keberadaan kita
membantu padahal edukasi, motivasi sudah kita berikan.
Pasien menganggap masih bisa pake yang lain atau pake
alternatif maaf ya, jadi selain pengobatan medis eh pasien ini
masih ada pengobatan lain. Itu jadi hambatan juga kita
menjalani pendampingan. Cuma kan dari sisi pemerintah sisi
medis yang kita bawa, pasien ini dari sisi pengetahuannya
sendiri bahwa dia bilang pengobatan ini ga harus dari rumah
sakit, ga harus dari pemerintah dari pengobatan lain juga bisa.
Masih menganggap bahwa penyakit ini penyakit keturunan,
penyakit di guna guna orang jadi mereka gaperlu berobat lah
124
orang penyakit kerturunan, jadi gausah kerumah sakit pake
obat yang ada aja lah. Ini juga akan jadi hambatan bagi kita”.
6. Bagaimana soal fasilitas untuk melakukan
pendampingan?
“Fasilitas hanya sebatas bagaimana pendampingan misalnya
kaya pemahaman tentang komunikasi, tapi berkaitan dengan
memahami situasi. Saya gatau juga yang lain mau belajar atau
ngga karna kembali pada personalnya. Bagaimana melakukan
edukasi motivasi”.
7. Dari program yang udah dijalankan pasti kan ada
evaluasi ya, nah cara yayasan ini untuk evaluasinya itu
gimana?
“Dari hasil semua pendampingan kita rapat bulanan ya. Kita
melaporkan pendampingannya, berapa orang yang mangkir,
berapa orang yang mati, berapa orang yang sembuh kita bisa
melihat keeefektifan kita dalam pendampingan. Bisa lihat
perkembangannya, kalo ada yang tidak mau didampingi ya
alasannya apa, masalahnya apa, kita evaluasi dan follow up
kembali. Menggali masalah pasien kan tidak semua anggota
memahami tentang itu, kembali kepada personal masing-
masing. Karna tidak instan untuk mempelajari ini”.
8. Apakah ada pengawasan kepada relawan di rumah sakit?
“Kita ngga selalu mengawasi, ya dari rapat bulanan itulah kita
menggali masalah mereka dalam pendampingan itu apa.
125
Memang semuanya panjang gabisa instan tapi selama mereka
mau belajar untuk yang terbaik buat pasien, bagi yayasan,
pasti nanti ada perubahan”.
9. Butuh waktu berapa lama untuk relawan bisa terjun
langsung?
“Kita ada pelatihan untuk anggota baru, prosesanya ngga
terlalu lama sih kembali lagi pada mental mereka siap ngga ke
lapanagan, biasanya prosesnya 1-2 bulan mereka udah
nyaman. Pelatihan cuma sekali untuk memantapkan mereka
pada pendampingan, kita memberikan materi tentang
pendampingan, edukasi dan motivasi”.
126
Transkrip Wawancara 2
Nama : Paran Sarimita Winarni
Jabatan : Sekretaris Yayasan PETA Jakarta
Tempat : RSUP Persahabatan Jakarta
Tanggal : 26 Desember 2019
Pukul : 15.30 WIB
Keterangan : Wawancara mendalam tentang program
pendampingan pasien.
1. Kak Paran sudah berapa lama bergabung dengan PETA?
“Sejak tahun 2014 sampe sekarang sudah sekitar 5 tahun”.
2. Untuk menjadi relawan PETA itu apakah ada pelatihan
khususnya?
“Iya, kita ada namanya pelatihan untuk peer educator, karena
pelatihan ini sangat penting supaya yang mau jadi
pendamping pasien itu tau apa yang harus mereka lakukan
dan bagaimana caranya”.
3. Pelatihannya itu berapa lama?
“Pelatihan khsususnya sih, pelatihan trainingnya sendiri sih
selama 3-4 hari, karena kita ada kaya belajar tentang
komunikasi efektif belajar juga tentang gimana
127
menyampaikan ke pasien. Kebanyakan sih cara
berkomunikasi aja sih ke pasien dan keluarga”.
4. Jadi dalam satu kali pelatihan bisa langsung terjun ya?
“Setelah pelatihan biasanya ditaro dulu sama yang sudah jadi
anggota sebelumnya jadi mereka bisa liat bagaimana caranya
pendampingan yang dilakukan oleh PETA sebelum mereka
yang baru-baru ini terjun”.
5. Saat ini apakah ada sasaran jangka pendek dan jangka
panjang yang dimiliki?
“Kalo target PETA sendiri ya kita sih pengennya bisa meraih
atau bisa menjangkau pasien yang ada di wilayah Jakarta
untuk pendampingan, hanya saja kan sekarang ini kan masih
terbentur dengan jumlah SDM. 35 orang untuk menangani 1
jakarta, dimana Jakarta itu banyak banget pasien TB-MDR
bisa ribuan. Jadi jangka pendeknya sih bisa meraih bisa
melakukan pendampingan maksimal sebanyak mungkin
untuk pasien TB-RO. Kalo jangka panjangnya ya hasil dari
pandampingan ini ya goal-nya adalah kita ingin pasien yang
kita dampingi sembuh”.
6. Dalam pendampingan pasien pasti kan ada strateginya,
strategi apa yang dipake?
“Biasanya sih kita cari tau dulu pasien, bagaimana
karakternya, siapa keluarganya ya secara keseluruhan tentang
pasien ini, setelah itu baru menentukan pendekatan apa atau
128
siapa yang lebih cocok mendekati pasien, karna ngga semua
pasien bisa nyaman, bisa mudah untuk membuka diri sama
semua peer gitu, biasanya mereka punya peer favorite-nya
sendiri”.
7. Contohnya?
“Misalnya pasien yang punya adat keras, atau sensitif, atau
menutup diri. Kita kan gabisa kasih ke orang yang bisa bawel
karna sekali lagi kita perhatikan kenyamanan pasien, saat
pasien udah nyaman tanpa diminta pun mereka bisa cerita
apapun”.
8. Kemudian selama ini apakah ada evaluasi tentang
pendampingan yang udah berjalan?
“Biasanya kita akan membahas kegiatan pada rapat bulanan
PETA, dari situ kita bisa melihat jelas pendampingan kita
gimana, masalah yang dihadapai apa, jadi apabila ada suatu
masalah yang dihadapi seorang peer tentang pasien, kita bisa
sama-sama cari jalan keluar gimana caranya bisa bantu pasien
ini”.
9. Setiap pasien itu punya strategi yang beda atau sama aja?
“Strategi beda-beda karna kan pasien punya karakter yang
beda, jadi cara kita berkomunikasi dengan pasien juga gabisa
disamain. Kita harus liat karakter pasien dulu seperti apa.
Kriteria maksimal atau minimal. Kalo maksimal kita harus
intens jagainnya bener-bener, kalo minimal kita gaperlu setiap
129
hari nanyain kabarnya, jadi bisa lebih ngga terlalu intens
untuk pendampingan minimal, biasanya yang minimal
mereka sebelum dapet pendampingan latar belakangnya
bagus, kaya dukungan sosialnya bagus, keluarganya bagus,
psikologisnya bagus jadi kita cuma nambahin aja sih”.
10. Apa yang membuat pasien harus di dampingi maksimal?
“Biasanya mereka yang kurangnya pendampingan, sendirian
berobatnya, tidak dapat dukungan dari keluarga, ada
kecenderungan untuk disuatu hari bisa mangkir. Yang kaya
gini harus didampingi secara maksimal hingga selesai
pengobatannya”.
11. Menurut kaka strategi yang ada sudah cukup atau perlu
perubahan lagi?
“Sebenernya udah cukup baik, memang ada beberapa hal
yang ingin kita tambahkan dari sisi mental health-nya kan
kita belum terlalu mumpuni ya. Berharapnya sih
pendampingan PETA bisa makin bagus, bisa semakin
membantu pasien, dengan menambahkan sisi mental health
dan lainnya gitu”.
12. Pernah ngga sih minta evaluasi dari pasien?
“Pernah tapi belum maksimal, karna agak susah minta
penilaian kepada pasien. Kalo kita yang nanya, pasien kan
jadi ngerasa gaenak ya buat ngomong terbuka kalo orang
PETA sendiri yang tanya. Enaknya sih lebih baik ada orang
130
luar yang nanya jadi lebih objektif, pasiennya juga jawabnya
bisa fair enough seberapa sih pentingnya PETA untuk
pasien”.
13. Pesan apa yang disampaikan pada pasien?
“Biasanya kita kasih semangat, karna kita kan memang
dasarnya edukasi, motivasi dan dampingan. Kita motivasi
temen-temen untuk minum obat apapun yang terjadi. Tapi
kita juga gapernah lupa setiap ada yang mengganggu pasien
seperti efek samping tapi takut buat ngomong sama orang, ya
udah ngomong aja sama kita. Kita bisa bantu pasien ketika
efek samping yang bikin takut pasien tapi malu ngomong ke
dokter atau perawat, kita bisa fasilitasi antara pasien dan
petugas. Biasanya kita mendorong keluarganya juga supaya
tetap mau kasih support pasien, gimana juga PETA itu orang
lain dan keluarga lebih penting, jadi mereka harus punya
support penuh dari keluarga. Apabila ada keluhan yang dirasa
cukup berat, gausah kompromi langsung konsultasi ke dokter
atau IGD”.
14. Metode apa yang digunakan untuk menjalankan
strateginya?
“Misalnya kita menentukan pasien perlu didampingi
maksimal atau minimal, metode yang dipakai adalah kita
punya manajer kasus, itu program kerjasama LKNU dengan
POP TB Indonesia, MK perannya adalah membantu penilaian
awal apakah pasien ini akan didampingi secara maksimal atau
131
minimal. Jadi di penilaian awal itu ada pertanyaaan tetang
pengetahuan pasien tentang TB, obat, efek samping, sosial-
ekonomi, dan keluarga. Setelah itu MK bisa menilai apakah
pasien perlu didampingi maksimal atau minimal”.
15. Adakah media yang digunakan untuk pendampingan?
“Biasanya sih kita pake buku saku pasien, disitu ada semua
hal dasar yang perlu diketahui pasien termasuk efek samping
obat dan gimana mengatasinya. Cuma karna belakangan ini
lagi habis jadi sekarang ini kita tanpa alat bantu. Tapi kalo
nanti itu udah di cetak ulang ya kita pake itu lagi. Kita
kehabisan buku saku, satu pendamping biasanya kalo
melakukan pendampingan mereka selalu bawa, tapi sekarang
belum ada lagi”.
16. Efek apa yang diharapkan?
“Kita pengen pasien sembuh, kita mau pasien yang kita
dampingi tapi bukan berati bergantung pada kita. Kita ingin
mereka mandiri mereka tau gimana caranya mengatasi hal-hal
yang awalnya mereka gatau dan sekarang mereka tau. Kita
pengen keluarganya juga ngga lepas tangan. Oh udah
didampingi oleh PETA ya yaudah. Ngga gitu, kita ingin
keluarga ikut mendampingi pasien”.
17. Kapan aja pendampingan dilakukan?
“Setiap saat sih, kalo dulu kita seminggu bisa senin sampe
jumat di Poli dan Soka (gedung perawatan pasien TB-RO di
132
RSUP Persahabatan). Kalo sekarang kita pakai kerjasama
dengan LKNU jadi ngga setiap hari sih paling sebulan
beberapa kali aja tapi pendampingan peta juga sebetulnya
tidak terpatok pada datang terus ketemu pasien, banyak juga
kalo pendamping ga bisa hadir ketemu, biasanya mereka
chat, telpon atau sekedar tanya kabar gimana, atau
monitoringnya juga bisa lewat pertugas tanya pasien saya
gimana. Sistemnya ngga terikat dengan harus melulu datang
tapi juga bisa via telepon atau chat”.
18. Gimana proses pendampingannya sendiri?
“Kalo sekarang kan sudah ada MK. Mereka melakukan
penilaian jadi mereka yang akan menunjukkan kita,
mengenalkan kita ke pasien. Setelah itu ngobrol,
mengedukasi, motivasi. Ya itu tadi, pasien itu berbeda-beda,
kalo baru biasanya kita semangatin dan mereka belum banyak
pertanyaan karna mereka belum ngalamin apa-apa, biasanya
yang lebih ngobrol banyak pasien yang udah satu bulan
keatas yang uda ngerasain efek samping yang gaenak dan
mulai punya masalah kompleks sih kaya gitu”.
19. Apakah MK itu bagian dari PETA atau terpisah?
“Ngga, PETA kan uda ada sebelum MK. Sekarang ini MK
membantu temen-temen peer untuk lebih mudah bertemu
dengan pasien, karna MK juga membagi pasien dimana dia
tinggal. Ketika ada pasien yang domisilinya di puskemsa A
akan dikenalkan dengan peer yang didaerah situ. MK itu
133
beberapa memang anggota PETA tapi beberapa lagi bukan
anggota PETA. Direkrut dari bebas, tidak harus dari mantan
pasien. Karna ini program LKNU jadi yang menentukan
pihak sana”.
20. Jadi MK itu dibawah LKNU ya?
“Iya betul”.
21. Kalo mau jadi relawan peta apakah harus mantan pasien
TB?
“Dari 2012 kita punya aturan main kaya gitu, jadi yang
menjadi angoota PETA itu mantan pasien atau pasien yang
sudah pada level cukup aman untuk tidak menularkan, kaya
pasien yang sudah lepas suntik. Karna kalo dibilang kalian
gapernah ngerti rasanya pasien kalo kalian bukan pasien,
kalian gapernah ngerti rasanya kalo belum mengalaminya.
Coba kalo misalkan orang gatau apa-apa terus pasien
berkeluh kesah soal efek samping obat, terus bisa jawab apa?
Pasti gabisa jawab apa-apa karna gapernah ngalamin. Pasien
pasti kaget dan takut pas ngerasain efek samping obat tapi
kalo mereka punya temen yang sama, punya komunitas
dimana bisa ngobrolin ini semua, jadi mereka ga ada rasa
takut lagi”.
22. Apa sih faktor penghambat dan pendukung selama ini?
“Penghambat ya, dari sisi pasien ada yang sulit untuk terbuka,
butuh lebih lama untuk kita tau apa sih yang di butuhkan,
134
belum lagi misalnya keluarganya yang menutup diri, mungkin
lebih ke tantangan sih sebenernya, kita juga masih kurang
SDM. Misalkan pasien ada 500-600 orang sedangkan kita
cuma 35 orang jadi kan ga seimbang.
Kalo pendukung, Alhamdulillah kita saat ini udah diakui oleh
Kemenkes, uda sering diajak kerjasama sama petugas Suku
Dinas, Dinas Provinsi juga sudah, skrg kita udah pegang 42
Puskesmas di Jakarta, belum lagi organisasi lain diluar PETA
jadi sekarang kita sudah diakui keberadaannya. Karna kalo
ngga ada dukungan dari pemangku jabatan atau yang punya
wilayah, ya kita bisa apa? kalo kita udah punya dukungan jadi
kita bisa lebih mudah dalam melakukan kegiatan”.
135
Transkrip Wawancara 3
Inisial : SD
Usia : 25 tahun
Jabatan : Pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta
Tempat : RSUP Persahabatan Jakarta
Tanggal : 8 Januari 2020
Pukul : 11.04 WIB
Keterangan : Wawancara pasien yang menerima
pendampingan minimal.
1. Kapan awal terdiagnosa TB-RO?
“Pertama kali saya ngerasain gejala dulu ya dari bulan april
2018, dari situ saya belom tau kalo itu gejala TB akhirnya
saya coba berobat sana-sini sampe akhirnya ketemu RS
Persahabatan dinyatakan TB-RO. Itu kalo ngga salah tanggal
6 agustus 2018, dapet pengobatan yang 20 bulan. Sekarang
udah berjalan 18 bulan”.
2. Kapan awal pertama kali di dampingi sama PETA?
“Ya itu udah masuk ke pengobatan awal sudah didampingi
PETA sampe saat ini”.
136
3. Bisa cerita sedikit awalnya gimana bisa di dampingi sama
PETA?
“Jadi awalnya saya kan gatau ya pasien disini kan awam ya.
Jadi saya bingung harus kemana dulu, akhirnya ada PETA
nyamperin saya dia bilang mba ada yang bisa saya bantu,
terusnya diarahin sama PETA. Semakin lama semakin
tertarik, kenapa dia peduli sekali sama saya, dia bilang kita
akan dampingi pasien sampe sembuh. Gimana caranya dia
bisa menghabiskan obat. Seiring waktu berjalan, oh iya
ternyata ada efek-efek yang saya rasain. Kaya ga percaya diri
gitu, saya gatau itu obat atau apa gatau. Rasanya tuh mual,
muntah, halusinasi luar biasa sih, dari situ saya mulai ga
kendali tuh akhirnya saya semakin butuh sama PETA. Ya
sejauh ini sampe sekarang ya masih butuh mereka”.
4. Apakah ada satu orang relawan yang khusus dampingi
mba Sarina?
“Oh iya ada satu orang, namanya bang Naga”.
5. Selama ini hanya di dampingi sama bang Naga aja?
“Iya dia aja”.
6. Kapan pendampingan dilakukan? setiap hari atau
gimana?
“Jadi tiap saya kontrol ketemu disini kan di rumah sakit, saya
kan ambil obat di PKM nih di Puskesmas deket rumah saya.
137
Kadang sewaktu-waktu dia kerumah mantau saya, diliat
keadaannya, udah minum obat atau ngga. Ga setiap hari, ga
sering juga. Ketemu, telpon, chat gitu sih”.
7. Kenapa mba Sarina bersedia didampingi oleh PETA?
“Karna saya butuh, ya itu yang saya bilang tadi efek obatnya
yang saya gabisa kendali jadi saya butuh arahan dari dia”.
8. Jadi kalo ada keluhan konsul pertama ke PETA? Ngga
langsung ke dokter?
“Iya ke PETA, belom ke dokter karna yang saya rasain masih
stabil aja gitu. Jadi pertama ke PETA dulu”.
9. Pesan apa yang sudah disampaikan oleh relawan kepada
mba Sarina?
“Tentunya sih semangat ya buat tetep minum obatnya.
Gausah merasa kamu orang yang paling hancur atau apa,
fokus aja ke obat lebih ke motivasi gitu”.
10. Ada Gangguan psikologis yang dirasakan ngga selama
ini?
“Sejauh ini ada ya kaya efek-efek, kaya halusinasi ada sih
tapi ya itu sih semua dibawa biasa aja, tetep ngobrol ga usah
dirasain sampe dalem banget ya karna bakalan ngaruh juga ke
kitanya jadi ga usah dipikirin”.
11. Hal itu sudah dikonsul ke dokter atau ke relawan aja?
138
“Konsultasikan ke relawan aja sih selama ini”.
12. Adakah solusi yang diberikan relawannya?
“Ya itu gapapa kata dia itu cuma efek obat. Saya tau dosisnya
juga makanya oh yaudah gapapa kalo belom ampe gimana-
gimana”.
13. Apa sih efek yang dirasakan dengan keberadaan PETA
selama ini?
“Bantu banget ya, dia itu keluarga buat saya. Dia peduli sama
kita, dia juga mantan makanya dia tau, mantan penyakit ini ya
makanya dia tau, dia bisa ngerasain. Jadi saya ngebuka hati
banget gitu lah kaya keluarga”.
14. Menurut mba Sarina pendampingan yang dilakukan
PETA sebenernya perlu ngga sih?
“Perlu banget kalo saya, karna satu mungkin dari efek ini
banyak orang yang bilang ini itulah, banyak rasa yang pasien
alami. Jadi saya gasuka kalo dikit-dikit ke dokter saya gasuka
ya, karna saya dari dulu pengennya tenang minum obat fokus,
yang penting selesai”.
15. Adakah kritik dan saran yang ingin disampaikan mba
Sarina untuk PETA?
“Oh ada untuk PETA, saya minta PETA terus ada ya di
samping para pasien seperti saya, TB-RO, mereka tuh butuh
PETA. Jadi tetep solid, tetep panjang lah untuk relawan kaya
139
gini-gini. Sejauh ini mereka baik-baik aja sama saya sih.
Kaya keluarga ngebantu banget”.
16. Ngebantu bangetnya dari segi apa?
“Segi…kadang motivasi, kadang juga soal obat misalnya
kaya asem urat gitu disuruhnya beli obat ini-itu, jadi ngasih
solusi gitu”.
17. Apa harapan kedepannya buat PETA?
“Sejauh ini dia udah baik, udah bagus banget ya. Saya cuma
berharap mereka itu ada terus sampe pasien TB-RO ini ngga
ada. Selalu ada karena mereka ini butuh PETA. Jd saya
berharap itu terus ada aja”.
18. Adakah dukungan lain yang mba Sarina dapatkan selain
dari PETA?
“Oh banyak, keluarga dukung, temen-temen dukung, jadi ga
ada alasan saya untuk ga semangat. Jadi saya jalanin aja
sekarang dengan baik”.
19. Pernah ngga sih dapet stigma dari lingkungan sekitar
karena sakit TB-RO?
“Sejauh ini saya gapernah dapet stigma, mungkin ada orang
lain tapi kalo saya gapernah”.
140
Transkrip Wawancara 4
Inisial : DA
Usia : 38 tahun
Jabatan : Pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta
Tempat : RSUP Persahabatan Jakarta
Tanggal : 8 Januari 2020
Pukul : 11.31 WIB
Keterangan : Wawancara pasien yang menerima
pendampingan maksimal.
1. Kapan awal terdiagnosa TB-RO?
“2 Agustus 2018”
2. Langsung di RSUP Persahabatan atau gimana?
“Iya langsung. Dari bulan Agustus berarti udah 18 bulan”
3. Kapan pertama kali di dampingi oleh PETA?
“Dari bulan kedua”
4. Kalo awal proses pendekatan dengan PETA dulu gimana?
“Pertama kan saya liat dia kan pake kostum tapi saya ga
berani deketin. Dia yang deketin, katanya gimana? lagi proses
141
apa? gitu kan. Kemaren sih pertama-tama dalam proses THT,
jantung dari awal situ sih”.
5. Dari situ udah mulai deket ya?
“Iya”.
6. Selama ini apa ada pendamping khususnya dari PETA?
“Biasanya bang Naga ya, terkakhir bang Binsar”.
7. Kapan aja tuh di dampinginya?
“Kalo akhir-kahir ini kalo aku ada keluhan aja ya, keluhan
yang paling aku takutin gitu ke bang Naga. Kalo masalah
psikologis, masalah tentang penyakit yang lebih detail lagi,
bang Binsar sih yg lebih paham banget gitu ya”.
8. Awalnya kenapa ibu bersedia di dampingi oleh PETA?
“Karna saya butuh, udah gitu kan saya liat kayanya dia
komunitas ya, saya tanya lagi ini PETA bentuk apa? ternyata
kan mereka ex dari tb ini kan ya jadi saya pikir kan lebih
paham karna dia udah mengalami terus lebih paham, yaudah
saya lebih deket gitu, lebih intens. Mungkin kalo ga ada
PETA saya juga gatau jadinya seperti apa. Karna kita kalut
sendiri, emang kita harus deket sama yang Diatas itu yang
utama, tapi biar gimana pun kita gabisa lepas dari PETA”.
9. Apa yang biasanya diberikan oleh PETA?
142
“Ya masalah dari di kasih solusi minum ini, minum ini, dari
psikologis. Saya kan di hantem banget ya dari psikologis, ya
di kasih wejangan lah istilah kata emang sistemnya gitu, jadi
sekarang kita jangan terlalu, kalo obat ngga ngenakin badan
kita ayo dong keluar-keluar, jangan semakin di rasa ayo
keluar ngobrol, sedangkan obat ini efeknya luar biasa dari
setahun pertama saya dihantem dengan fisik ya, kesininya
saya dihantem dengan psikologis”.
10. Apa yg dirasakan ibu dari segi psikologis?
“Psikomatis tau ga? psikomatis masalah kejiwaan yang hebat,
takut mati, kita ga takut setan kita takut mati. Seakan-akan
kematian ada di depan kita. Saya punya fb saya non-aktifkan
saya gasuka kalo liat postingan kaya kata-kata kenapa anda
masih dihidupkan? karna anda banyak dosa, kata-kata jangan
terlalu capek kalo capek ntar dia meninggal besok. Sampe
suami saya omelin, saya larang karna saya takut besok suami
saya mati. Saya omelin terus suami saya. Sampe sekarang tuh
saya kaya bukan saya. Kaya ngomong tadi bener terus ntar
sore kok bisa ya saya ngomong kaya gitu?. Puncaknya
kemarin saya berantem sama kakak ipar saya, kakak ipar saya
pergi dari rumah ibu saya seakan-akan dia diusir sama saya.
Padahal ini mulut ga bisa dikondisikan, apalagi kalo uda
dateng mens ya itu hormon kan naik. Badan saya udah stress,
otak gaboleh terlalu berat mikirnya. Keluarga saya udah
minta maaf, kenapa sih kemaren pada cerita sama saya
padahal saya gaboleh punya pikiran loh. Saya belom bisa
143
sosmed, saya saya gabisa. Emang semua pasien beda-beda ya
yang hebat itu saya, kalo ga ada bang Naga, bang Binsar saya
gatau jadi apa, mereka inian saya”.
11. Gangguan ini apakah udah di konsultasikan?
“Depresi kan ya jatohnya, depresi saya waktu itu uda ke
psikolog, kata temen saya ngapain percuma ke psikolog kalo
ke situ jatohnya nanti kita makin di push hal-hal negatif,
kamu mau mau jadi seperti orang itu, kamu mau ini-itu, jadi
kan kita jadi mikir lagi mba. Emang sih psikolog ngasih
solusi, cuma kita kan mikir lagi jadinya. Tapi kan pikiran kita
ga boleh berat”.
12. Jadi lebih konsultasinya ke PETA aja atau ke dokter?
“Ke PETA aja, paling sharing aja ke temen tuh, temen
seperjuangan kita mba tinggal dua, dua aja, yang lain udah
pada DO, mungkin ada yang meninggal. Soalnya penyakit ini
mereka pada malu. Kalo kita mah terserah lah mau di bilang
kita gila, kita gimana yang penting obat udah masuk. Kita
terima konsekuensi obatnya itu apapun itu kita terima. Bukan
masalah fisik, psikologis yang di hantem, tau ngawang ga
mba? seakan kita ga punya pikiran, kaya badan eeeh ga
nampak, ke bumi ga nampak jadi pikiran mandek ga bisa
berpikir”.
144
13. Solusi apa yang diberikan sama PETA?
“Kalo aku jadi harus pinter-pinternya pasien sih mba ya, kalo
PETA kan nikmatin aja nanti ada prosesnya. Kalo aku, kalo
ngawang itu dateng, aku lebih baik menyendiri sambil
berdzikir, menyendiri tapi ga berdzikir parah lagi dihantem
kita. Kadang lagi ngobrol enak-enak ya mba tiba-tiba otak nih
mandek gabisa mikir, jadi mendingan gue kabur daripada uda
gajelas ini obrolan, gatau apa yang di obrolin aku mendingan
menyingkir gamau ikut gabung. Sekarang lagi masa
menikmati, oh gue masih bisa nafas, masih bisa makan gitu
aja mikirnya. Sampe anak pun sunat aku ga ada respect,
maksudnye ibu kan sedih ya ngeliat anak sunat apa gimana,
selametan. Aku mah ngga, anakku minum obat, aku ga bisa
liat obat lain selain obat aku. Yang ngurusin anakku ya
suamiku. Aku ga ada respect, aku ga nangis seakan-akan air
mata udah abis”.
14. Menurut ibu pendampingan ini perlu ga sih?
“Perlu banget, karena aku liat temen-temen sini kok bisa kuat
sih? kok bisa ada sampe sekarang? gitu aku bilang karna aku
di dampingi ini, karena mereka pada salah kaprah jadinya, oh
begitu ya efek obat? begitu ya? dari awal pun saya di
dampingi PETA, tapi sekarang saya jadi ga malu bertanya,
tolong dong ini kenapa ya, banyak kok mba pasien yang
gabung sama PETA. Karna mereka pikir mungkin nambah
beban omongan ya. Kalo aku sih ngga aku butuh, butuh
145
banget PETA, istilah kata pertama Tuhan kita, kedua
keluarga, ketiga ya PETA. Kalo ga ada keluarga pun, kan
banyak temen-temen kita ya mba yang pada ditinggalin
keluarga, ditinggalin suami, ya itu harus. Bisa
mengkondisikan badan kita. Ya gitu deh obat”.
15. Ada kritik dan saran ngga yang mau ibu sampaikan buat
PETA?
“Udah bagus ya pendampingannya, agar edukasinya lebih aja
gitu. Edukasi tentang TB-nya sendiri dan selama ini kan
mereka mau sih mendengarkan kita. Kaya bang Binsar
dengan teorinya apa gitu ya, kalo bang Naga kan ayo mba itu
efek obat, efek obat gue juga dulu begitu. Mereka juga kaya
motivator gitu, kaya bang Binsar kan lebih kaya ngomongin
kehidupan kita kedepannya, lebih dewasa lah, kalo bang Naga
kan lu-gue lu-gue kaya temen aja gitu. Bagus banget PETA,
kalo ga ada PETA kita gatau. Sayangnya di Jakarta ada
PETA, aku di Cileungsi ga ada pendampingan sama sekali.
Sebenarnya ada kata bang Binsar, cuma dia ga masuk ke
daerah aku karna pasien cuma ada dua dan puskesmas kan
hanya tau ini obat pasien ya udah. Sebenarnya apa? pasien
bukan hanya obat tapi psikologi yang dibutuhkan”.
16. Harapan ibu kedepannya untuk pendampingan ini
gimana?
“Harapannya apa ya, ya lebih bagus aja gitu, sering di adakan
seminar-seminar tentang penyakit TB, banyak pasien yang ga
146
paham. Apalagi dia nganterin anaknya, dia kan orang tua ya
ga paham, kita pasien kan bodo amat yang penting minum
obat. Sebenernya tuh edukasi pendamping tuh lebih penting.
Ya pasien kan hanya minum obat. Sama kita nih penderita di
adakan seminar biar kita lebih tau, aku juga lebih tau TB-nya
baru setahun kemudian, oh ternyata begini-begini. Dulu kan
taunya TB ya TB diobatin selesai, ternyata prosesnya ga
begitu”.
17. Menurut ibu lebih mudah konsultasi ke PETA atau ke
dokter?
“PETA”.
18. Alasannya?
“Ke dokter ya, dokter juga manusia ya ada rasa lelahnya. Ya
mungkin dengan banyaknya pasien dengan keluhan yang
sama mungkin dia lelah, jadi lebih ke PETA. Aku solusinya
ke PETA bukan ke dokter. Dokter ujung-ujungnya boleh tes
ini bu obat ini, bu obat ini gitu aja, sedangkan efek kita kan
setiap bulannya beda-beda ada aja gangguan. Kadang PETA
juga nyaranin konsul aja ke dokter di kasih rujukan ke
psikologis, ntar ujung-ujungnya begitu, kecuali berhubungan
dengan jantung ya, asem urat, liver gitu baru kita ngeluhnya
ke dokter, masalah medis ya ke dokter ngeluhnya. Tapi kalo
psikologis halusinasi apa mendingan ke PETA, dokter ga ada
solusi, karna apa? PETA itu kan ex TB jadi mereka paham
apa yang saya alami, karna dia pernah ngalamin”.
147
Transkrip Wawancara 5
Inisial : KC
Usia : 40 tahun
Jabatan : Pasien TB-RO RSUP Persahabatan Jakarta
Tempat : RSUP Persahabatan Jakarta
Tanggal : 27 Januari 2020
Pukul : 12.07 WIB
Keterangan : Wawancara pasien yang menerima
pendampingan maksimal dengan riwayat mangkir
pengobatan.
1. Kapan bapak pertama kali terdiagnosa TB-RO?
“Tahun 2016 itu bu sesudah gitu karna kita belom tau reaksi
obat ini, belom memahami makanya 2016 saya sempet
mangkir”.
2. Bulan apa itu pak kalo boleh tau?
“Kalo bulan saya kurang inget bu”.
3. Oh baik, berapa lama bapak mangkirnya?
“Saya mangkir dari 2016, 2019 ini saya baru kembali lagi”.
148
4. Sebelumnya ada penjemputan dari rumah sakit atau
gimana pak?
“Ada bu ada, banyak orang-orang PETA yang kesono. Saya
tinggal di rusun, bang Darman mengajak saya sama bang
Jovan, bang Jovan yang di Sulianti Saroso sekarang ini, dia
orang PETA juga. Dari cara bicara dia, cara merangkul dia
bersama pasien, saya sempet ini juga bu sempet apa saya mau
kembali lagi ke MDR ini cuma saya gamau di persulit. Saya
gamau ngurus di persulit. Kedua saya minta tolong bantu saya
sepenuhnya saya bilang. Bu suster ini kan walaupun dia galak
dia baik orangnya, baik dan pengertian”.
5. Sebelumnya alasan mangkir kenapa pak?
“Halusinasi tinggi bu”.
6. Contohnya?
“Contohnya saya bu ya, kan saya dari rusun ke Pulo Gadung
naik angkot bu itu saya liat orang perasaan orang itu mau
lompat, saya pegang tu dari dalem keluar, saya pegang tu
orang megang saya, bapak ngapain mau lompat katanya, ini
saya mau nolongin ini, ga ada orang pak, tapi perasaan saya
ada orang bu.
Udah begitu saya abis minum di Soka melihat ruang Soka itu
kan ruang rawat bu, di timpa lagi saya hawa takut. Kabur lah
saya dari situ, terus saya mangkir. Di jemput lagi ama orang
PETA, di jemput lagi ama dokter ada pihak terkait di rusun
149
ama ibu-ibu kelurahan ke rumah. Namanya orang sakit
gimana sih bu takut saya tuh. Nah pas 2019 karna ini pak
darman mengajak saya untuk kembali kemari, kalo misalkan
ada apa-apa coba konsultasi ke dokter dan kamu juga akan di
dampingi sama orang PETA. Selama ini disini bahkan obat
2019 ini lebih berat bu daripada 2016 yang lalu yang saya
rasa. Contohnya kulit saya nih item, dulu saya ga begini bu
nih poto saya ada nih. Semenjak mulai minum obat ini bu,
disini juga pada tau semua saya dulu putih. Saya pikir gini
orang PETA ama saya salutnya gitu dah, saya kemari untuk
berobat, kalo obat saya gamau pernah mikirin bu karna apa,
intinya penyakit semua ada di pikiran bu, kan begitu.
Keduanya intinya percuma kita berobat rutin minum teratur
kalo segi makanan minuman kita ga jaga bu. Ketiga ini yg
penting kita disini kita harus dibawa enjoy bu, pikirannya
yang indah gitu, jangan stress apalagi emosi”.
7. Pertama kali bapak di dekati PETA itu kapan pak?
“Dari saya di MDR ini. Orang PETA ya emang
Alhamdulillah bu dia orang baik-baik semua, perhatian
terutama pak Darman, bang Syarif, bang Naga, Pak edi
semuanya baik semua lah bagus”.
8. Biasanya yang disampaikan sama PETA apa aja pak?
“Yang positif aja bu, maksudnya jangan minum sendiri atau
bagaimana. Kalo ada apa-apa konsul dengan orang PETA
atau sama dokter ya kan. Jangan seperti kemarin gitu”.
150
9. Sekarang ini bapak sudah berapa lama pengobatan?
“Saya udah 7 bulan bu”.
10. Selain dukungan PETA, dari keluarga bagaimana pak?
“Alhamdulillah bu adek-adek dukung semua, cuma di obat
doang nih. Kita juga begini Alhamdulillah bu, cuma pak
darman tau kok saya bagaimana”.
11. Menurut bapak perlu ngga sih pendampingan ini?
“Kalo buat saya perlu sih, misalnya kalo kita lagi perlu buat
iniin surat kan dia kan bisa menyampaikan gitu bu. Istilahnya
kita juga bisa sharing gitu dengan PETA”.
12. Ada kritik dan saran ngga yang mau bapak sampaikan
buat PETA?
“Saya rasa sih ga perlu lah, udah bagus sih. Cara
penyampaiannya bagus orang PETA dan juga cara
memperhatikan pasien juga bagus”.
13. Selama ini bapak di dampingi sama pak Darman aja atau
ada yang lain?
“Sama pak Darman aja, kadang bang Naga. Saya udah bilang
sih tolong bantu saya sepenuhnya”.
151
14. Kapan aja tuh di dampinginya pak?
“Di rumah sakit doang, karna kalo di rumah kita seger bu di
bawa enjoy aja bu. Karna obat ini kalo kita stress salah bu,
keras bener-bener obat ini. Makanya bang naga ini, apalagi
pak syarif pasien paling eror nih, kita butuh tempat yang
suasananya yang enak, karna kita belom minum obat ngeliat
orang pada minum obat, pada muntah, pengaruhnya besar bu.
Apalagi bu kalo saya bilang terus terang banyak masalah bu,
masalah keluarga, yang tau pak Darman, ama bu Ema, mak
Odi ama keluarga saya. Karna yang saya liat ini maap bu ya,
kelebihan obat ini yang baru-baru ini orang baru sebulan,
setengah bulan, orang uda pada ngegeletak bu saking kenceng
obat ini. Karna saya bilang begini bu kalo kita ngomong kan
terlalu banyak ama pasien kan kurang bagus, krna saya juga
kan pasien bu.
Obat ini keras, kita minum harus sabar entar pelan, kalo sudah
normal, sudah enakan baru kita minum obat, udah gitu kalo
minum obat saya ga kaya yang lain bu glek, glek, glek, emang
itu bagus cuma balik lagi ke pribadi. Saya minum dua, tiga,
dua yang penting habis, pelan- pelan tapi pasti bu. Saya udah
pikiran ponakan udah pada besar nikah, adik uda pada rumah
tangga. Saya sebagai abangnya kapan saya mau nikah kan
begitu bu, jadi saya sadar dengan sendirinya saya mau kesini,
udah gitu yang ngedukung saya pak Darman dan bu Yuni
saya hargai sebagai orang tua saya pribadi karna perhatian
dan dukungannya saya terima kasih banyak”.
152
15. Kenapa bapak mau di dampingi sama PETA?
“Buat saya pribadi bu, saya perlu dia, dia siap ya gitu”.
16. Ada interaksi lain ngga selain di rumah sakit? Kaya lewat
telepon gitu?
“Dua-duanya”.
17. Biasanya apa aja yang di tanyain sama PETA?
“Kadang itu masalah surat, ambil darah gitu. Kan sekarang
banyak pasien baru jadi kita perlu konsultasi ama dia gitu.
Cuma saya bilang mereka tuh bagus, selama dia ama saya
masih perhatian saya jaga ama saya ini bu”.
153
DOKUMENTASI
Foto bersama Ketua Yayasan PETA Jakarta, Ully Ulwiyah dan
Relawan, Binsar Manik
Wawancara dengan relawan Yayasan PETA Jakarta, Binsar
Manik
154
Wawancara dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran
Sarimita Winarni
Foto bersama dengan Sekretaris Yayasan PETA Jakarta, Paran
Sarimita Winarni
155
Suasana kegiatan pendampingan pasien TB-RO
oleh relawan Yayasan PETA Jakarta
di RSUP Persahabatan Jakarta.
156
Foto bersama salah satu pasien TB-RO di RSUP Persahabatan
Jakarta
Wawancara dengan pasien TB-RO di RSUP Persahabatan Jakarta