STONE BURDEN - UNUD

37

Transcript of STONE BURDEN - UNUD

Page 1: STONE BURDEN - UNUD
Page 2: STONE BURDEN - UNUD
Page 3: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Jurnal Bedah Nasional

Program Studi Ilmu Bedah FK Universitas Udayana dan IKABI cabang Bali ● ISSN: 2548-5962

DAFTAR ISI

Halaman

VALIDITAS RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT PADA APENDISITIS

KOMPLIKATA DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Dewi Prima Christian, I Gede Suwedagatha, Nyoman Golden, I Ketut Wiargitha

1-6

PENATALAKSANAAN BATU GINJAL DENGAN STONE BURDEN

LEBIH DARI DUA SENTIMETER DI RUMAH SAKIT PUSAT

ANGKATAN DARAT GATOT SUBROTO TAHUN 2011-2014

Octoveryal Aslim, Nugroho Budi Utomo, Nindra Prasidja, Robertus Bebet

Prasetyo

7-14

VALIDITAS NEW INJURY SEVERITY SCORE (NISS) DALAM

MENDETEKSI TERJADINYA KOAGULOPATI PADA PASIEN

MULTIPLE TRAUMA

I Komang Yose Antara, I Ketut Wiargitha, Tjokorda G.B. Mahadewa

15-19

FAKTOR RISIKO TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP DR.

WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

Made Agus Dwianthara Sueta, Warsinggih

20-26

EVALUASI URETEROSKOPI DENGAN LASER HOLMIUM:

YTTRIUM-ALUMINUM-GARNET UNTUK PENATALAKSANAAN

BATU URETER DI RUMAH SAKIT PERSEKUTUAN GEREJA

INDONESIA CIKINI TAHUN 2010-2012

Octoveryal Aslim, Pande Made Wisnu Tirtayasa, Adi Bachtiar Tambah, Frendy

Wihono, Winner, Egi Edward Manuputty, David Manuputty

27-33

Page 4: STONE BURDEN - UNUD

ORIGINAL ARTICLE

1 | Jurnal Bedah Nasional

VALIDITAS RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT PADA APENDISITIS

KOMPLIKATA DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Dewi Prima Christian1, I Gede Suwedagatha2, Nyoman Golden3, I Ketut Wiargitha2

1Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia.

Korespondensi: [email protected] 2Subbagian Bedah Trauma dan Bedah Akut, Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Indonesia. 3Subbagian Bedah Saraf, Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum

Pusat Sanglah, Denpasar, Indonesia.

ABSTRAK

Tujuan: untuk mengetahui validitas rasio neutrofil limfosit (RNL) pada apendisitis komplikata.

Metode: penelitian dilakukan secara observasional analitik dengan menggunakan desain studi kohort

dengan mengambil sampel penderita apendisitis akut yang menjalani apendisektomi di RSUP Sanglah

Denpasar, periode Oktober-Desember 2015. Data dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu RNL

dengan cut of point >5 dan RNL dengan cut of point ≤5 dan kemudian disesuaikan dengan temuan

pemeriksaan histopatologi anatomi sebagai standar baku emas, komplikata dan non-komplikata. Data

tersebut kemudian dianalisis dengan analisis statistik deskriptif, analisis kurva ROC, dan uji diagnostik.

Hasil: pada penelitian ini diperoleh 62 sampel, dengan median umur 23 tahun, 32 orang penderita laki-

laki, 30 orang penderita perempuan, 28 apendisitis non-komplikata, dan 34 apendisitis komplikata. Dari

area under curve ROC 0,6229 dengan 95% CI didapatkan cut of point RNL >5 pada apendisitis

komplikata, RNL ≤5 pada apendisitis non-komplikata. Uji diagnostik didapatkan nilai sensitivitas

85,3%, spesifisitas 39,3%, dan tingkat akurasi 64,5%. Simpulan: RNL merupakan tolak ukur sederhana

yang lebih baik untuk meramalkan apendisitis akut dibandingkan dengan penilaian Alvarado Score dan

USG abdomen serta valid untuk membedakan apendisitis komplikata dan non-komplikata melalui cut

of point RNL.

Kata kunci: apendisitis akut, apendisitis komplikata, apendisitis non-komplikata, rasio neutrofil

limfosit (RNL).

THE VALIDITY NEUTROPHIL LYMPHOCYTE RATIO OF COMPLICATED

APPENDICITIS IN SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR

Dewi Prima Christian1, I Gede Suwedagatha2, Nyoman Golden3, I Ketut Wiargitha2

1Genaral Surgery Training Programme, Faculty of Medicine, Udayana University, Sanglah General Hospital,

Denpasar, Indonesia. 2Trauma and Acute Care Surgery Division, Surgery Department, Faculty of Medicine Udayana University,

Sanglah General Hospital, Denpasar, Indonesia. 3Neurosurgery Division, Surgery Department, Faculty of Medicine Udayana University, Sanglah General

Hospital, Denpasar, Indonesia.

ABSTRACT

Objective: The purpose of this study is to know the validity neutrophil lymphocyte ratio (NLR) of

complicated appendicitis. Methods: A cohort study with observational analytic was performed on

patients whom diagnosed for acute appendicitis those undergoing appendectomy from October -

December 2015. The data were into two grouped according to cut of point NLR >5 and NLR ≤5. This

group was associated with postoperative histopathological examination as a gold standard, complicated

Page 5: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas Rasio Neutrofil Limfosit

2

and uncomplicated appendicitis. This study was analysed with descriptive analysis, ROC curve and

diagnostic test. Results: from total 62 sample, median age 23 years old, 32 males, 30 females, 28

uncomplicated appendicitis, 34 complicated appendicitis. The area under curve ROC 0.6229 with 95%

CI got the cut of point NLR were >5 associated with complicated appendicitis and NLR ≤5 assosiated

with uncomplicated appendicitis. The results were sensitivity 85.3%, spesificity 39.3%, and accuracy

rate 64.5%. Conclusion: Based on this study it can be concluded, that NLR is the better marker and

simple for diagnosis rather than Alvarado Score and USG, and valid to differentiate between

complicated and uncomplicated appendicitis through cut of point NLR.

Keywords: acute appendicitis, complicated appendicitis, uncomplicated appendicitis, neutrophil

lymphocyte ratio (NLR).

PENDAHULUAN

Apendisitis akut adalah peradangan dari

apendiks vermiformis dan merupakan kasus

pembedahan darurat nyeri perut akut sekitar

10% terbanyak, terjadi pada semua

golongan usia terutama usia 20-30 tahun

dengan angka insiden paling banyak

ditemukan pada laki-laki dibandingkan

dengan perempuan 1,4: 1.1 Di Amerika

Serikat angka insiden apendisitis akut

adalah 1 per 1000 orang. Risiko seseorang

terkena apendisitis akut sepanjang

hidupnya adalah sekitar 6-9%.2

Kasus apendisitis akut memerlukan

penanganan yang tepat serta penegakan

diagnosis yang cepat. Keterlambatan

diagnosis akan berdampak pada komplikasi

yang akan terjadi, seperti gangrenosa,

perforasi bahkan dapat terjadi peritonitis

generalisata. Morbiditas dan mortalitas

akan meningkat sesuai dengan peningkatan

komplikasi yang ditemukan.3 Apendisitis

komplikata dapat terjadi oleh karena

beberapa faktor baik dalam kecepatan

penegakan diagnosa atau keterlambatan

pasien akibat kurangnya pengetahuan.

Beberapa pasien yang menunjukkan gejala

dan tanda apendisitis yang tidak khas dapat

menyebabkan kesalahan dalam diagnosis

dan keterlambatan dalam hal

penanganannya. Beberapa pasien yang

datang dengan gejala dan tanda apendisitis

yang tidak khas akan dilakukan

pemeriksaan lanjutan seperti USG

abdomen yang akan memakan waktu lebih

lama dalam penegakan diagnosis serta

memerlukan biaya yang lebih mahal.

Pemeriksaan dengan USG memiliki

kelemahan, yakni masih bersifat subjektif

(operator dependent), tidak banyak

memberikan informasi yang akurat serta

tidak dapat membedakan apendisitis

komplikata dan non-komplikata.

Pemeriksaan lainnya yaitu menilai

Alvarado Score, namun sistem skoring ini

pun masih memiliki kelemahan yaitu

bersifat subyektif dan tidak bisa

membedakan apendisitis non-komplikata

dan komplikata.4

Salah satu pemeriksaan lainnya pada

pasien apendisitis adalah pemeriksaan

laboratorium dengan menilai leukosit dan

juga neutrofil. Pemeriksaan ini merupakan

tes yang sensitif untuk apendisitis tetapi

memiliki sensitivitas yang rendah untuk

diagnostik apendisitis dan belum bisa

dipakai untuk membedakan apendisitis

komplikata dan non-komplikata. Adapun

pemeriksaan lainnya yang terbukti

memiliki sensitivitas lebih tinggi untuk

mendiagnosis apendisitis yaitu menilai

angka neutrofil dan limfosit kemudian

dirasiokan. Hasil rasio neutrofil limfosit

Page 6: STONE BURDEN - UNUD

Dewi Prima Christian Jurnal Bedah Nasional

3

yang tinggi akan menunjukkan inflamasi

yang berat seperti apendisitis komplikata.5

Berdasarkan permasalahan di atas,

peneliti ingin meneliti lebih lanjut

mengenai validitas dari rasio neutrofil

limfosit pada apendisitis komplikata.

Keuntungan dari pemeriksaan ini yaitu

pemeriksaan bersifat obyektif, murah, cepat

dan tersedia di semua rumah sakit.

Penelitian ini belum pernah dilakukan

sebelumnya di RSUP Sanglah Denpasar

dan selama ini parameter pemeriksaan

lanjutan pada apendisitis akut di RSUP

Sanglah Denpasar hanya dengan

berdasarkan hasil labotarorium rutin,

Alvarado Score, dan USG abdomen.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian uji

diagnostik observasional analitik dengan

menggunakan desain studi kohort. Subyek

penelitian saat awal dipisahkan berdasarkan

cut of point neutrofil limfosit >5 dan ≤5

yang diadopsi dari penelitian Kahramanca.4

Penilaian neutrofil limfosit tersebut diambil

dari sampel darah penderita. Kemudian dari

hasil tersebut di observasi melalui operasi

apakah hasil tersebut merupakan

apendisitis komplikata atau non-

komplikata. Tempat penelitian adalah di

instalasi rawat darurat (IRD) bedah RSUP

Sanglah Denpasar Bali. Waktu penelitian

dilaksanakan pada bulan Oktober sampai

Desember tahun 2015. Adapun kriteria

inklusi adalah semua pasien apendisitis

akut yang datang ke IRD bedah RSUP

Sanglah Denpasar dari bulan Oktober

sampai Desember tahun 2015 dan

menjalani operasi. Kriteria eksklusi

diantaranya penderita menolak ikut serta

dalam penelitian, penderita dengan

komorbid diabetes melitus, infeksi kronis,

keganasan, dan imunokompromise, pasien

yang sudah mendapatkan terapi antibiotik

dan analgetik sebelumnya, dan pasien

dengan kehamilan.

HASIL

Telah dilakukan uji diagnostik rasio

neutrofil limfosit terhadap 62 sampel

penderita apendisitis akut dan telah

menjalani operasi apendisektomi selama

bulan Oktober hingga Desember 2015

dengan hasil histopatologi sebagai standar

baku emas.

Dari 62 penderita apendisitis akut

tersebut, berdasarkan umur didapatkan nilai

median 23 tahun dan interquartile range

(IQR) 15 tahun, yang mana umur minimal

yang didapatkan pada usia 14 tahun dan

maksimal pada usia 69 tahun.

Berdasarkan variabel jenis kelamin, dari

62 penderita tersebut didapatkan penderita

laki-laki lebih banyak dengan jumlah 32

penderita (51,6%) sedangkan pada

perempuan didapatkan 30 penderita

(48,4%).

Gambaran nilai rasio neutrofil limfosit

pada penderita apendisitis akut didapatkan

nilai median (IQR) 7,9% (5,4%), dimana

rasio neutrofil limfosit minimal yang

didapatkan pada nilai 2,0% dan maksimal

pada nilai 27,4%.

Berdasarkan diagnosis histopatologi

anatomi dari 62 sampel penderita tersebut

didapatkan 34 (54,84%) penderita dengan

hasil histopatologi apendisitis komplikata

dan 28 (45,16%) penderita dengan hasil

histopatologi apendisitis non-komplikata.

Berikut di bawah ini data analisa hasil

pemeriksaan tersebut berupa tabel 1.

Kurva ROC (receiver operating

characteristic) bertujuan untuk mengetahui

kemampuan dari rasio neutrofil limfosit

dalam mendiagnosis apendisitis komplikata

dengan hasil histopatologi anatomi sebagai

baku emas serta untuk mencari titik potong

terbaik dari rasio neutrofil limfosit untuk

Page 7: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas Rasio Neutrofil Limfosit

4

dinyatakan positif negatif. Dari 62

penderita, didapatkan area under curve

ROC 0,6229 dengan interval kepercayaan

(CI) 95% dan titik potong terbaik dari rasio

neutrofil limfosit pada apendisitis

komplikata adalah >5 (gambar 1).

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Subjek

dan Variabel Penelitian

Variabel n = 62

Umur

Median (IQR)

Min-Max

23 (15)

14-69

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

32 (51,6%)

30 (48,4%)

Rasio neutrofil / limfosit

Median (IQR)

Min-Max

7,9 (5,4%)

2,0-27,4

Diagnosis

Non-komplikata

Komplikata

28 (45,2%)

34 (54,8%)

Gambar 1. Kurva ROC kemampuan rasio

neutrofil limfosit dalam memprediksi

apendisitis komplikata dengan hasil

histopatologi anatomi sebagai baku emas

Pada uji validitas rasio neutrofil limfosit

pada apendisitis komplikata bertujuan

untuk mencari sensitivitas dan spesifisitas

serta akurasi dengan menggunakan tabel

2x2 seperti dibawah ini (tabel 2).

Tabel 2. Uji Validitas Rasio Neutrofil

Limfosit dan Hasil Histopatologi Sampel

Penderita Apendisitis Akut di RSUP

Sanglah Bulan Oktober-Desember Tahun

2015

RNL

Histopatologi

Total Apendisitis

Komplikata

Apendisitis

Non-

Komplikata

> 5 29 17 46

≤ 5 5 11 16

Total 34 28 62 Keterangan:

Sensitivitas29/(29+5)x100% = 85,3%

Spesifisitas11/(11+17)x100% = 39,3%

Accuracy Rate29+11/(29+17+5+11)x100% = 64,5%

Positive Predictive Value29/(29+17)x100% = 63%

Negative Predictive Value11/(5+11)x100% = 68,8%

DISKUSI

Pada hasil penelitian ini, ratio neutrofil

limfosit dapat dijadikan tolak ukur atau

parameter yang lebih baik, lebih cepat dan

lebih murah untuk mendiagnosis

apendisitis akut dibandingkan dengan

menggunakan parameter yang sebelumnya

seperti Alvarado Score dan USG abdomen.

Kelebihan rasio neutrofil limfosit ini juga

dapat membedakan apendisitis komplikata

dan non-komplikata. Kelemahan Alvarado

Score adalah bersifat subjektif dimana skor

yang dihasilkan akan tergantung dari

penilaian pemeriksa, tidak mudah

digunakan untuk menilai pada pasien

dengan gejala yang tidak khas, dan tidak

bisa membedakan apendisitis komplikata

dan non-komplikata. Sedangkan kelemahan

USG abdomen yaitu bersifat subjektif,

memiliki tingkat akurasi yang rendah, biaya

lebih mahal, penilaian tergantung operator,

dan tidak dapat membedakan apendisitis

komplikata atau non-komplikata.

Berdasarkan hasil uji diagnostik rasio

neutrofil limfosit pada apendisitis

komplikata di RSUP Sanglah Denpasar,

Page 8: STONE BURDEN - UNUD

Dewi Prima Christian Jurnal Bedah Nasional

5

didapatkan nilai sensitivitas sebesar 85,3%,

nilai spesifisitas 39,3%, dan tingkat akurasi

64,5%, artinya bahwa hasil ini memiliki

kemampuan mendeteksi dini diagnosis

apendisitis komplikata. Hasil pada

penelitian ini lebih tinggi dibandingkan

penelitian dari Kahramanca yang

mendapatkan hasil lebih rendah yaitu

sensitivitas 70,8%, spesifisitas 48,5% dan

tingkat akurasi 52%. Dari hasil yang

berbeda ini, peneliti memiliki beberapa

argumentasi mengapa penelitian ini

mendapatkan hasil yang lebih tinggi, yaitu

sampel yang dipilih adalah penderita yang

benar-benar menderita apendisitis akut

dengan tanda klinis yang jelas tanpa disertai

penyakit infeksi lainnya. Keluhan

terbanyak saat pasien datang adalah dengan

nyeri perut kanan bawah yang khas disertai

demam ≥380C dan muntah, tampak dari

laboratorium nilai neutrofil meningkat

tajam dan nilai limfosit menurun dan saat

dirasiokan nilainya tinggi sesuai dengan

gejala klinis apendisitis komplikata.

Terbukti pada hasil histopatologi anatomi

bahwa semua penderita benar terdiagnosa

paling banyak apendisitis komplikata

(54,8%) dan apendisitis non-komplikata

(45,2%). Berbeda dengan penelitian dari

Kahramanca, sampel yang diambil adalah

semua pasien yang telah menjalani operasi

apendisektomi dengan diagnosis yang

belum pasti penyakit tersebut murni

apendisitis akut. Berdasarkan data tersebut,

keluhan pasien yang datang paling banyak

dengan nyeri perut dan tidak semua

memiliki riwayat klinis yang khas

menunjukkan apendisitis.4

Pada penelitian ini menggunakan desain

studi kohort prospektif sehingga data yang

didapatkan dari sampel lebih akurat.

Berbeda dengan penelitian Kahramanca

yang menggunakan desain penelitian

retrospektif sehingga data yang didapatkan

kurang akurat karena sampel yang diambil

tidak ter-screening dengan baik saat awal.

Terbukti pada hasil histopatologi, banyak

pasien didapatkan dengan negative

apendisitis serta didapatkan penderita

ternyata disertai riwayat infeksi lain dalam

perjalanan perawatan paska operasi.

Peneliti menyimpulkan bahwa nilai

sensitivitas, spesifisitas dan tingkat akurasi

sangat dipengaruhi oleh cara pengambilan

sampel yang benar dan desain penelitian.

Pada hasil penelitian ini didapatkan nilai

cut of point rasio neutrofil limfosit pada

apendisitis komplikata adalah >5 dan non-

komplikata ≤5 berdasarkan kurva ROC

dengan nilai area under curve ROC 0,6229

dan 95% CI. Hasil ini termasuk tingkat

sedang untuk screening diagnosa

apendisitis komplikata dan non-komplikata

melalui cut of point. Namun hasil ini lebih

tinggi dibandingkan dengan penelitian

sebelumnya Kahramanca, mendapatkan

nilai area under curve ROC sebesar 0,609

dan 95% CI.

Peneliti menyadari bahwa pada hasil

penelitian ini masih terdapat beberapa

kelemahan dimana faktor-faktor risiko

yang mempengaruhi nilai rasio neutrofil

limfosit pada apendisitis komplikata tidak

diteliti lebih lanjut sehingga mempengaruhi

nilai validitas yang didapatkan pada

penelitian ini. Faktor-faktor risiko tersebut

berupa usia, batasan waktu pasien

menderita apendisitis hingga dilakukan

apendisektomi, batasan pengambilan

sampel darah yang berhubungan dengan

nilai neutrofil, dan follow up pasien setelah

dilakukan operasi. Faktor-faktor ini juga

berhubungan dengan tindakan approach

apendisektomi (insisi Gridiron/

laparatomi), risiko morbiditas, mortalitas

serta prognosis pasien apendisitis akut.

Parameter RNL pada apendisitis

komplikata akan lebih berguna apabila

Page 9: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas Rasio Neutrofil Limfosit

6

penelitian ini dilanjutkan sehingga

kedepannya prognosis pasien apendisitis

akan lebih baik.

SIMPULAN

Sensitifitas rasio neutrofil limfosit pada

apendisitis komplikata adalah 85,3%.

Spesifitas rasio neutrofil limfosit pada

apendisitis komplikata adalah 39,3%.

Akurasi rasio neutrofil limfosit pada

apendisitis komplikata adalah 64,5%. Nilai

prediksi positif rasio neutrofil limfosit pada

apendisitis komplikata adalah 63%. Nilai

prediksi negatif rasio neutrofil limfosit pada

apendisitis komplikata adalah 68,8%. Cut

of point rasio neutrofil limfosit pada

apendisitis komplikata adalah >5. Cut of

point rasio neutrofil limfosit pada

apendisitis non komplikata adalah ≤5.

Rasio neutrofil limfosit pada apendisitis

akut ini dapat digunakan sebagai tolak ukur

yang lebih baik untuk screening diagnosis

apendisitis komplikata dan non komplikata

dibandingkan dengan penilaian

berdasarkan Alvarado score ataupun USG

abdomen saja.

DAFTAR PUSTAKA

1. Froggatt P, Harmston C. Acute

Appendicitis. In: Cosse, C., editor.

Intestinal Surgery II. Oxford:

Elsevier;2011.p.372-6.

2. Humes DJ, Simpson J. Clinical

Presentation of Acute appendicitis:

Clinical Sign-Laboratory Finding-

Clinical Scores, Alvarado Score and

Derivate Scores. In: Keyzer C, Gevenois

PA, editors. Imaging of Acute

Appendicitis in Adults and Children.

United Kingdom: Springer;2011.p.13-

21.

3. Simpson J, Scholefield J. Acute

Appendicitis. In: Scholefield J, editor.

Emergency Surgery. United Kingdom:

Elsevier;2008.p.108-12.

4. Kahramanca S, Özgehan G, Şeker D, et

al. Neutrophil-To-Lymphocyte Ratio As

A Predictor Of Acute Appendicitis. Ulus

Travma Acil Cerrahi Derg. 2014;20:19-

22.

5. Nasution A. “ Hubungan Antara Jumlah

Leukosit Dengan Apendisitis Akut Dan

Apendisitis Perforasi” (tesis). Pontianak:

RSU Dokter Soedarso;2011.

Page 10: STONE BURDEN - UNUD

ORIGINAL ARTICLE

7 | Jurnal Bedah Nasional

PENATALAKSANAAN BATU GINJAL DENGAN STONE BURDEN LEBIH

DARI DUA SENTIMETER DI RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT

GATOT SUBROTO TAHUN 2011-2014

Octoveryal Aslim1, Nugroho Budi Utomo2, Nindra Prasidja2, Robertus Bebet Prasetyo2

1Departemen Urologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Pusat Cipto Mangunkusumo,

Jakarta. Korespondensi: [email protected] 2Divisi Urologi, Departemen Bedah, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta.

ABSTRAK

Tujuan: untuk mengetahui perbandingan lama operasi, lama perawatan paska operasi, jumlah

perdarahan, komplikasi, angka bebas batu, dan hubungan antara komponen tersebut pada operasi

percutaneous nephrolithotomy (PCNL) dan operasi terbuka baik, pyelolithotomy maupun extended

pyelolithotomy sebagai penatalaksanaan batu ginjal dengan stone burden lebih dari 2 cm. Metode:

pengumpulan data dilakukan secara retrospektif yang diambil dari rekam medis pasien batu ginjal yang

menjalani PCNL dan operasi terbuka di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto

sepanjang tahun 2011 hingga tahun 2014. Hasil: dari 116 pasien dengan usia antara 22-73 tahun,

mayoritas laki-laki, didapatkan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik pada lama operasi

(p=0,001), lama rawat paska operasi (p=0,011), dan komplikasi demam paska operasi (p=0,048), antara

PCNL dan operasi terbuka. Sedangkan untuk parameter angka bebas batu dan jumlah perdarahan, tidak

didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,245 dan p=0,154). Pada kelompok PCNL

dan operasi terbuka, terdapat hubungan yang bermakna pada lama operasi dengan stone burden

(p=0,004 dan p=0,02) maupun letak batu (p<0,001 dan p=0,011). PCNL memerlukan lama operasi dan

lama rawat paska operasi yang lebih singkat, serta komplikasi demam paska operasi yang lebih sedikit,

dibandingkan operasi terbuka. Namun demikian, untuk angka bebas batu dan jumlah perdarahan, tidak

berbeda bermakna pada kedua kelompok. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada lama

operasi dengan stone burden dan letak batu pada kedua kelompok. Simpulan: PCNL merupakan

prosedur minimal invasif yang efektif dan aman dalam tatalaksana batu ginjal lebih besar dari 2 cm

atau batu ginjal kompleks.

Kata kunci: percutaneous nephrolithotomy, pyelolithotomy, extended pyelolithotomy, batu pielum,

angka bebas batu.

TREATMENT OF KIDNEY STONE WITH STONE BURDEN MORE THAN

TWO CENTIMETERS IN GATOT SOEBROTO INDONESIA ARMY

CENTRAL HOSPITAL IN 2011-2014

Octoveryal Aslim1, Nugroho Budi Utomo2, Nindra Prasidja2, Robertus Bebet Prasetyo2

1Department of Urology, Faculty of Medicine Indonesia University/Cipto Mangunkusumo Central Hospital,

Jakarta. 2Urology Division, Department of Surgery, Gatot Soebroto Indonesia Army Central Hospital, Jakarta.

ABSTRACT

Objective: to determine the association between length of operation, post operative length of stay,

amount of bleeding, complication, stone free rate, and the association between these factors as in

patients who undergo percutaneous nephrolithotomy (PCNL) or open surgery for kidney stone with

stone burden more than 2 cm. Methods: the data was collected retrospectively from medical record of

Page 11: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Penatalaksanaan Batu Ginjal dengan

8

patients with kidney stones with stone burden >2cm who undergo PCNL or open surgery in Gatot

Soebroto Indonesia Army Central Hospital from 2011 until 2014. Results: one hundred sixteen patients

were included in this study with the range of age was 22-73 years old and the majority of patients were

man. Our study found statistically significant association between length of operation (p=0.001),

postoperative length of stay (p=0.011), and postoperative complication (p=0.048) between PCNL and

open surgery. However, no statistically significant association on stone free rate (p=0.245), amount of

bleeding (p=0.154) between the two groups. We also found that there was a statistically significant

association between lengths of operation with stone burden (p=0.004 and p=0.02) and stone location

(p<0.001 and p=0.011) in both of them. PCNL had shorter length of operation and postoperative length

of stay, fewer postoperative complication compared with open surgery. However, no difference

between PCNL and open surgery in stone free rate and amount of bleeding outcome. There was

statistically significant association between length of operation and stone burden in two groups of

patients. Conclusion: PCNL is effective and safely minimal invasive procedure to treat kidney stone

more than 2 cm or complex kidney stones.

Keywords: percutaneous nephrolithotomy, pyelolithotomy, extended pyelolithotomy, pyelum stone,

stone free rate.

PENDAHULUAN

Peningkatan prevalensi global batu

saluran kemih berhubungan dengan

membaiknya sistem pemeliharaan

kesehatan negara industri dan menurunnya

kesenjangan sosial dalam masyarakat

dunia.1 Prevalensi batu saluran kemih di

Amerika Serikat menjadi dua kali lipat

dibanding pada tahun 1960.2-5

Penyakit batu saluran kemih masih

merupakan penyakit dengan porsi terbesar

dari jumlah pasien urologi di Indonesia.

Selama kurun waktu 1997 hingga 2002

terdapat 2439 penderita batu ginjal di

Rumah Sakit Umum Pusat Cipto

mangunkusumo (RSCM) dengan jumlah

tindakan yang dilakukan sebanyak 3.165

tindakan. Prevalensi penyakit antara laki-

laki dan perempuan diperkirakan 3

berbanding 1, dengan puncak usia dekade

keempat dan kelima.6

Perkembangan teknologi di bidang

kedokteran telah mengubah pendekatan

intervensi bedah pada kasus batu ginjal

(khususnya batu ginjal dengan stone burden

>2cm), dari operasi terbuka menjadi

operasi endoskopi. Sebelumnya, Gil-

Vernet pada tahun 1965 mempelopori

teknik operasi terbuka extended

pyelolithotomy, yang kemudian menjadi

prosedur pilihan dalam tatalaksana batu

ginjal. Akses perkutan kedalam sistem

pelviokalises pertama kali diperkenalkan

pada tahun 1955 oleh Willard Goodwin,

lalu menjadi rutin dilakukan sejak awal

dekade 1980-an dan hingga kini menjadi

pilihan utama tatalaksana batu ginjal.7-10

Tujuan utama dari tatalaksana bedah

batu ginjal adalah mencapai angka bebas

batu maksimal dengan morbiditas yang

minimal dan tetap mempertahankan fungsi

ginjal.11 Prosedur atau pilihan tindakan

untuk batu ginjal antara lain extracorporeal

shockwave lithotripsy (ESWL),

ureterorenoscopy (URS) flexible,

percutaneous nephrolithotomy (PCNL),

dan tindakan operasi terbuka.11,12

Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui perbandingan lama operasi,

lama perawatan paska operasi, jumlah

perdarahan, komplikasi dan angka bebas

batu antara PCNL dan operasi terbuka pada

Page 12: STONE BURDEN - UNUD

Octoveryal Aslim Jurnal Bedah Nasional

9

batu ginjal yang memiliki stone burden >2

cm. Diharapkan penelitian ini dapat

menjadi salah satu sumber referensi bagi

pemilihan tindakan untuk operasi batu

ginjal dengan stone burden >2 cm.

METODE

Data diambil secara retrospektif dari

rekam medis pasien penderita batu ginjal di

RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta sejak

tahun 2011 hingga tahun 2014. Didapatkan

data 116 pasien, sebanyak 69 pasien

menjalani operasi PCNL dan 47 pasien

menjalani operasi terbuka.

Data yang dikumpulkan meliputi jenis

kelamin, usia, stone burden, letak batu,

lama operasi, lama rawat paska operasi,

jumlah perdarahan, komplikasi demam

paska operasi, transfusi paska operasi, dan

angka bebas batu.

Kriteria inklusi meliputi seluruh pasien

batu ginjal dengan stone burden lebih dari

2 cm, meliputi batu pielum, batu multipel

pielum dan kaliks, dan batu cetak ginjal.

Kriteria eksklusi adalah seluruh kasus yang

tidak termasuk kriteria inklusi dan pasien

dengan data yang tidak lengkap.

Data kemudian dianalisis dengan

menggunakan SPSS untuk Mac versi 20.0.

Analisis bivariat menggunakan uji hipotesis

Kolmogorov-Smirnov untuk data numerik,

dan uji Chi-Square, Fisher exact, Kruskal-

Wallis serta post hoc Mann-Whitney U

untuk data kategorik.

Definisi stone burden atau ukuran batu

adalah jumlah ukuran linier diameter

terpanjang.11,13 Batu cetak ginjal adalah

batu ginjal yang mengisi pielum hingga

satu atau lebih kaliks ginjal. Dimana ukuran

batu cetak diukur berdasarkan ukuran

diameter linier terpanjang.11,13 Angka bebas

batu adalah kondisi dimana tidak

ditemukan adanya batu sisa paska operasi.11

Batu sisa paska operasi dinilai dengan

menggunakan foto polos abdomen dan atau

USG. Pecutaneous nephrolithotomy

(PCNL) merupakan salah satu tindakan

minimal invasif di bidang urologi yang

bertujuan mengangkat batu ginjal dengan

menggunakan akses perkutan untuk

mencapai sistem pelviokalises.11

HASIL

Terdapat 116 pasien yang menjalani

operasi batu ginjal dengan stone burden

lebih dari 2 cm, dimana 47 pasien menjalani

operasi terbuka dan 69 pasien menjalani

PCNL. Profil pasien tersebut di atas,

dengan berbagai parameter dan analisisnya

secara statistik, dapat dilihat pada tabel 1.

Pada penelitian ini terdapat 116 pasien

dengan rentang usia antara 22 hingga 73

tahun dan jenis kelamin pria lebih banyak

dibanding wanita, yakni 68 pria dan 48

wanita.

Stone burden lebih besar pada pasien

PCNL. Lama operasi dan lama rawat paska

operasi juga lebih singkat pada pasien yang

menjalani PCNL, keduanya bermakna

secara statistik. Sebenarnya jumlah

perdarahan dan angka bebas batu juga lebih

baik pada PCNL, namun demikian

perbedaan keduanya tidak bermakna secara

statistik. Angka kejadian demam paska

operasi lebih banyak pada pasien operasi

terbuka.

Pada tabel 2, 3, 4, dan 5 ditampilkan

pengkajian hubungan antara stone burden

dengan perdarahan dan batu sisa. Dari hasil

di atas diperoleh bahwa tidak terdapat

hubungan bermakna antara parameter-

parameter tersebut baik pada kelompok

PCNL maupun pada kelompok operasi

terbuka (p>0,05).

Page 13: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Penatalaksanaan Batu Ginjal dengan

10

Tabel 1. Profil Pasien dan Perbandingan

tindakan PCNL dengan Operasi Terbuka

PCNL Operasi

terbuka p

Total Kasus 69 47

Jenis kelamin

Pria

Wanita

38

(55%)

31

(44,9%)

30

(63,8%)

17

(36,2%)

Median usia

(rentang)

52

(22-73)

50

(22-73) 0,362a

Lama operasi

(menit)

150

(100-210)

190

(120-300) <0,001a

Lama rawat

paska operasi

(hari)

5

(3-13)

6

(4-24)

0,011a

Perdarahan

(mL)

<100

100-200

>200

29 (42%)

29 (42%)

11 (15,9%)

23 (48,9%)

12 (25,5%)

12 (25,5%)

0,154b

Stone burden

<3 cm

3-5 cm

>5 cm

3 (4,3%)

19 (27,5%)

47 (68,1%)

0

5 (10,6%)

42 (89,4%)

0,007c

Letak batu

Batu Staghorn

Batu Multipel

Batu Pielum

34 (49,3%)

15 (21,7%)

20 (29,0%)

31 (66,0%)

7 (14,9%)

9 (19,1%)

0,206d

Batu sisa

Ya

Tidak

18 (26,1%)

51 (73,9%)

17 (36,2%)

30 (63,8%)

0,339b

Transfusi darah 9 (13%) 8 (17%) 0,743b

Demam paska

operasi

3 (4,3%) 8 (17%) 0,048d

aKolmogorov-Smirnov, bChi-Square, cMann-

Whitney U, dFischer-exact

Pada tabel 6 dan 7 ditampilkan

pengkajian hubungan antara stone burden

dengan lama operasi. Dari hasil diatas

diperoleh hubungan bermakna antara stone

burden dengan lama operasi pada

kelompok PCNL dan kelompok operasi

terbuka (p<0,05) terutama pada stone

burden 3-5 cm dan >5 cm.

Tabel 2. Analisis hubungan antara Stone

Burden terhadap Jumlah Perdarahan pada

PCNL

Stone

Burden

Perdarahan (ml)

p <100

n (%)

100-200

n (%)

>200

n (%)

< 3 cm 2 (66,7) 1 (33,3) 0 (0)

0,519* 3-5 cm 9 (47,4) 7 (36,8) 3 (15,8)

> 5 cm 18 (38,3) 21 (44,7) 8 (17,0)

Total 29 (42) 29 (42) 11 (15,9)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 3. Analisis hubungan antara Stone

Burden terhadap Jumlah Perdarahan pada

Operasi Terbuka

Stone

Burden

Perdarahan (ml)

p <100

n (%)

100-200

n (%)

>200

n (%)

< 3 cm 0 (0) 0 (0) 0 (0)

0,866* 3-5 cm 2 (40) 2 (40) 1 (20.0)

> 5 cm 21 (50) 10 (23,8) 11 (26.2)

Total 23 (48,9) 12 (25,5) 12 (25.5)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 4. Analisis hubungan antara Stone

Burden terhadap Batu Sisa pada PCNL

Stone

Burden

Batu Sisa p

Ya Tidak

< 3 cm 0 (0) 3 (100)

0,445* 3-5 cm 4 (21,1) 15 (78,9)

> 5 cm 14 (29,8) 33 (70,2)

Total 18 (26,1) 51 (73,9)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 5. Analisis hubungan antara Stone

Burden terhadap Batu Sisa pada Operasi

Terbuka

Stone

Burden

Batu Sisa p

Ya Tidak

< 3 cm 0 (0) 0 (0)

0,852* 3-5 cm 2 (40) 3 (60)

> 5 cm 15 (35,7) 27 (64,3)

Total 17 (36,2) 30 (63,8)

*Uji Kruskal-Wallis

Page 14: STONE BURDEN - UNUD

Octoveryal Aslim Jurnal Bedah Nasional

11

Tabel 6. Analisis hubungan antara Stone

Burden terhadap Lama Operasi pada PCNL

Stone

Burden n

Durasi Operasi

(median) menit p

< 3 cm 3 150 (120-150)

0,004* 3-5 cm 19 140 (100-210)

>5cm 47 150 (110-210)

*Uji Kruskal-Wallis. Uji post hoc Mann-

Whitney U: 3-5cm vs >5cm (p=0,002); <3cm

vs 3-5cm; <3cm vs >5cm (p>0,05). Data

disajikan dalam Median (Min-Max)

Tabel 7. Analisis hubungan antara Stone

Burden terhadap Lama Operasi pada

Operasi Terbuka

Stone

Burden n

Durasi Operasi

(median) menit p

3-5 cm 5 170 (120-190) 0,02*

>5cm 42 200 (150-300)

*Uji Kruskal-Wallis. Uji post hoc Mann-

Whitney U: 3-5cm vs >5cm (p=0,02). Data

disajikan dalam Median (Min-Max)

Tabel 8. Analisis hubungan antara Letak

Batu terhadap Jumlah Perdarahan pada

PCNL

Letak

Batu

Perdarahan (ml)

p <100

n (%)

100-200

n (%)

>200

n (%)

Staghorn 12 (35,3) 19 (55,9) 3 (8,8)

0,648* Multipel 6 (40) 5 (33,3) 4 (26,7)

Pielum 11 (55) 5 (25) 4 (20)

Total 29 (42) 29 (42) 11 (16)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 9. Analisis hubungan antara Letak

Batu terhadap Jumlah Perdarahan pada

Operasi Terbuka

Letak

Batu

Perdarahan (ml)

p <100

n (%)

100-200

n (%)

>200

n (%)

Staghorn 16 (51,6) 8 (25,8) 7 (22,6)

0,058* Multipel 1 (14,3) 2 (28,6) 4 (57,1)

Pielum 6 (66,7) 2 (22,2) 1 (11,1)

Total 23 (49) 12 (25,5) 12 (25,5)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 10. Analisis hubungan antara Letak

Batu terhadap Batu Sisa pada PCNL

Letak

Batu

Batu Sisa p

Ya Tidak

Staghorn 9 (26,5) 25 (73,5)

0,672* Multipel 5 (33,3) 10 (66,7)

Pielum 4 (20) 16 (80)

Total 18 (26,1) 51 (73,9)

*Uji Chi-Square

Tabel 11. Analisis hubungan antara Letak

Batu terhadap Batu Sisa pada Operasi

Terbuka

Letak

Batu

Batu Sisa p

Ya Tidak

Staghorn 15 (48,4) 16 (51,6)

0,056* Multipel 1 (14,3) 6 (85,7)

Pielum 1 (11,1) 8 (88,9)

Total 17 (36,2) 30 (63,8)

*Uji Kruskal-Wallis

Pada tabel 8, 9, 10, dan 11 ditampilkan

pengkajian hubungan antara letak batu

dengan perdarahan dan batu sisa. Dari hasil

di atas diperoleh bahwa tidak terdapat

hubungan bermakna antara parameter-

parameter tersebut baik pada kelompok

PCNL maupun pada kelompok operasi

terbuka (p>0,05).

Tabel 12. Analisis hubungan antara Letak

Batu terhadap Lama Operasi pada PCNL

Letak

Batu n

Durasi Operasi

(median) menit p

Staghorn 34 160 (100-210)

0,001* Multipel 15 150 (100-200)

Pielum 20 130 (100-190)

*Uji Kruskal-Wallis. Uji post hoc Mann

Whitney U: staghorn vs pielum (p<0,001);

staghorn vs multipel; pielum vs mutipel. Data

disajikan dalam Median (min-max)

Page 15: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Penatalaksanaan Batu Ginjal dengan

12

Tabel 13. Analisis hubungan antara Letak

Batu terhadap Lama Operasi pada Operasi

Terbuka

Letak

Batu n

Durasi Operasi

(median) menit p

Staghorn 31 200 (120-300)

0,038* Multipel 7 200 (150-280)

Pielum 9 180 (150-210)

*Uji Kruskal-Wallis. Uji post hoc Mann

Whitney U: staghorn vs pielum (p<0,011);

staghorn vs multipel; pielum vs mutipel. Data

disajikan dalam Median (min-max)

Pada tabel 12 dan 13 ditampilkan

pengkajian hubungan antara letak batu

dengan lama operasi. Dari hasil diatas

diperoleh hubungan bermakna antara letak

batu dengan lama operasi pada kelompok

PCNL dan kelompok operasi terbuka

(p<0,05) terutama pada batu staghorn dan

batu pielum.

DISKUSI

Pada penelitian ini, data diambil dari

prosedur PCNL dan operasi terbuka pada

batu dengan stone burden lebih dari 2 cm.

Hal ini sesuai dengan EAU (European

Association of Urology) guideline 2014.

Berdasarkan EAU guideline 2014, PCNL

merupakan lini pertama tindakan pada batu

ginjal berukuran lebih dari 20 mm. Pada

batu berukuran 10-20 mm di kaliks inferior,

PCNL merupakan pilihan apabila tidak

memenuhi persyaratan untuk dilakukan

ESWL, yakni sudut infundibulopelvis yang

tajam, tinggi kaliks lebih dari 10 mm, dan

lebar infundibulum kurang dari 5 mm.

Sedangkan indikasi operasi terbuka pada

batu ginjal antara lain stone burden yang

kompleks, gagal ESWL, PCNL, atau RIRS

(retrograde intrarenal surgery), adanya

abnormalitas anatomi, obesitas, deformitas

skeletal, komorbiditas, bersamaan dengan

operasi terbuka lainnya, gagal ginjal,

pilihan pasien, dan batu pada ginjal ektopik,

yang mana ESWL dan akses perkutan sulit

dilakukan.11-13

Berdasarkan hasil studi Al-Kohlany et

al, PCNL dan operasi terbuka memiliki

angka bebas batu yang sedikit berbeda

yakni 49% dan 66% secara berurutan

terhadap batu cetak ginjal.14 Siavash

Falahatkar pada tahun 2009 pada

penilitiannya menyatakan angka bebas batu

pada PCNL dan operasi terbuka sebanyak

81,9% dan 91,6% secara berurutan.15

Namun pada penelitian ini ditemukan hasil

yang tidak berbeda bermakna terhadap

angka bebas batu pada kedua kelompok

tersebut, yakni PCNL 73,9% dan operasi

terbuka 63,8% (p>0,05). Dengan kata lain,

PCNL dapat menyaingi efektivitas operasi

terbuka dalam bersihan batu. Hal ini dapat

dipengaruhi beberapa faktor, meliputi stone

burden, letak maupun kompleksitas batu

pada pasien yang menjalani operasi terbuka

lebih kompleks daripada pasien PCNL.

Dalam hal komplikasi intraoperatif,

angka kejadian perdarahan tidak berbeda

bermakna antara kedua kelompok secara

keseluruhan, walaupun pada kelompok

operasi terbuka memiliki jumlah persentase

perdarahan lebih dari 200 mL yang lebih

besar daripada kelompok PCNL. Demikian

juga halnya dengan transfusi yang tidak

berbeda bermakna antara kedua kelompok.

Padahal, pada studi sebelumnya diperoleh

data bahwa insidensi komplikasi pada

PCNL lebih kecil daripada operasi terbuka

(p<0,05).14,15 Komplikasi yang dimaksud

antara lain perdarahan, termasuk yang

membutuhkan transfusi darah, cedera

pleura, cedera ureter, cedera kolon, demam

paska operasi, dan sepsis paska

operasi.14,15,17,18 Pada tindakan PCNL

maupun operasi terbuka di RSPAD Gatot

Soebroto tidak ditemukan adanya cedera

pleura, cedera ureter, maupun cedera kolon.

Page 16: STONE BURDEN - UNUD

Octoveryal Aslim Jurnal Bedah Nasional

13

Komplikasi yang terjadi pada penelitian

kami berupa demam paska operasi yang

memiliki perbedaan bermakna antara

PCNL dan operasi terbuka.

Pada penelitian ini PCNL memiliki

waktu operasi yang lebih singkat secara

bermakna daripada operasi terbuka. Hal ini

didukung oleh hasil studi yang

menunjukkan perbedaan serupa pada

PCNL dan operasi terbuka (127+30 dan

204+31 menit; p<0,05).14

Pada penelitian ini terbukti bahwa lama

rawat paska operasi PCNL lebih pendek

daripada operasi terbuka. Hasil yang

diperoleh secara bermakna ini didukung

oleh studi sebelumnya dengan lama rawat

PCNL lebih pendek daripada operasi

terbuka (6,4+4,2 dan 10+4,2 hari;

p<0,001).14

Baik kelompok PCNL maupun

kelompok operasi terbuka menunjukkan

tidak terdapat hubungan antara stone

burden dan letak batu terhadap perdarahan

maupun batu sisa. Terdapat hubungan yang

bermakna pada stone burden dan letak batu

terhadap lama operasi pada kedua

kelompok tersebut (p<0,05). Padahal

menurut literatur, stone burden dan

kompleksitas maupun letak batu

merupakan salah satu faktor utama penentu

komplikasi dan efektifitas tindakan operasi

batu ginjal.10,11,15-17

Secara keseluruhan, PCNL memiliki

kesamaan dengan operasi terbuka dalam hal

stone free rate dan risiko perdarahan.

Sedangkan dalam parameter lama rawat

paska operasi dan waktu operasi, PCNL

memiliki keunggulan daripada operasi

terbuka karena dengan waktu yang lebih

singkat, kemungkinan adanya infeksi dan

risiko komplikasi paska operasi lainnya

dapat lebih minimal.14-19

SIMPULAN

PCNL memerlukan lama operasi dan

lama rawat paska operasi yang lebih

singkat, serta komplikasi demam paska

operasi yang lebih sedikit, dibandingkan

operasi terbuka. Namun demikian, untuk

angka bebas batu dan jumlah perdarahan,

tidak berbeda bermakna pada kedua

kelompok. Terdapat hubungan yang

bermakna secara statistik pada lama operasi

dengan stone burden dan letak batu pada

kedua kelompok.

Sehingga dapat dikatakan bahwa PCNL

merupakan prosedur minimal invasif yang

efektif dan aman dalam tatalaksana batu

ginjal lebih besar dari 2 cm atau pada kasus

batu ginjal kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

1. Romero V, Akpinar H, Assimos DG.

Kidney Stones: A Global Picture of

Prevalence, Incidence, and Associated

Risk Factors. Rev Urol. 2010;12:e86-

96.

2. Curhan GC, Rimm EB, Willett WC, et

al. Regional Variation in

Nephrolithiasis Incidence and

Prevalence Among United States Men.

J Urol. 1994;151:838-41.

3. Stamatelou KK, Francis ME, Jones CA,

et al. Time Trends in Reported

Prevalence of Kidney Stones in the

United States: 1976-1994. Kidney Int.

2003;63:1817-23.

4. Soucie JM, Thun MJ, Coates RJ, et al.

Demographic and Geographic

Variability of Kidney Stones in the

United States. Kidney Int. 1994;46:893-

9.

5. Hiatt RA, Dales LG, Friedman GD, et

al. Frequency of Urolithiasis in a

Prepaid Medical Care Program. Am J

Epidemiol. 1982;115:255-65.

Page 17: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Penatalaksanaan Batu Ginjal dengan

14

6. Rahardjo D, Hamid R. Perkembangan

Penatalaksanaan Batu Ginjal di RSCM

tahun 1997-2002. J I Bedah Indones.

2004;32:58-63.

7. Ogg CS, Saxton HM, Cameron JS.

Percutaneous Needle Nephrostomy. Br

Med J 1969;4:657-60.

8. Fernström I, Johansson B. Percutaneous

Pyelolithotomy. A New Extraction

Technique. Scand J Urol Nephrol.

1976;10:257-9.

9. Badlani G, Eshghi M, Smith AD.

Percutaneous Surgery for Ureteropelvic

Junction Obstruction (endopyelotomy):

Technique and Early Results. J Urol.

1986;135:26-8.

10. Wolf JS. Percutaneous Approach to the

Upper Collecting System. Campbell

Walsh Urology 10th ed. Philadelphia:

WB Saunders Co; 2012.p.1324-56.

11. Matlaga BR, Lingeman JE. Surgical

Management of Upper Urinary Tract

Calculi. Campbell Walsh Urology 10th

ed. Philadelphia: WB Saunders Co;

2012.p.1357-410.

12. Turk C, Knoll T, Petrik A, et al.

Guidelines on Urolithiasis. European

Association of Urology Guidelines.

2014.

13. Preminger GM, Assimos DG,

Lingeman JE, et al. Chapter 1: AUA

Guideline on Management of Staghorn

Calculi: Diagnosis and Treatment

Recommendations. J Urol.

2005;173:1991-2000.

14. Al-Kohlany KM, Shokeir AA, Mosbah

A, et al. Treatment of Complete

Staghorn Stones: A Prospective

Randomized Comparison of Open

Surgery versus Percutaneous

Nephrolithotomy. J Urol.

2005;173:469-73.

15. Falahatkar S. Percutaneous

Nephrolithotomy Versus Open Surgery

for Patients with Renal Staghorn

Stones. Uro Today Int J. 2009;2.

16. Khalaf I, Salih E, El-Mallah E, et al.

The Outcome of Open Renal Stone

Surgery Calls for Limitation of its use:

A single Institution experience. African

J Urol. 2013;19:58-65.

17. Aghamir SM, Mojtahedzadeh M,

Meysamie A, et al. Comparison of

Stress Responses Between PCNL and

Open Nephrolithotomy. J Endourol.

2008;22:2495-500.

18. Taylor E, Miller J, Chi T, et al.

Complication associated with

percutaneous nephrolithotomy. Transl

Androl Urol. 2012;1:223-28.

19. Vicentini FC, Gomes CM, Danilovic A,

et al. Percutaneous nephrolithotomy:

current concepts. Indian J Urol.

2009;25:4-10.

Page 18: STONE BURDEN - UNUD

ORIGINAL ARTICLE

15 | Jurnal Bedah Nasional

VALIDITAS NEW INJURY SEVERITY SCORE (NISS) DALAM

MENDETEKSI TERJADINYA KOAGULOPATI PADA PASIEN MULTIPLE

TRAUMA

I Komang Yose Antara1, I Ketut Wiargitha

2, Tjokorda G.B. Mahadewa

3

1Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia.

Korespondensi: [email protected] 2Subbagian Bedah Trauma dan Bedah Akut, Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Indonesia. 3Subbagian Bedah Saraf, Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum

Pusat Sanglah, Denpasar, Indonesia.

ABSTRAK

Tujuan: untuk mencari validitas new injury severity score (NISS) dalam mendeteksi koagulopati

akut pada pasien multiple trauma. Metode: penelitian ini adalah uji diagnostik dengan rancangan

cross sectional, dilakukan untuk mencari validitas NISS dalam mendeteksi terjadinya koagulopati

akut pada 61 pasien multiple trauma dengan ISS >16. Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah

Denpasar sejak bulan Januari 2014 hingga November 2015. Data dianalisis dengan menggunakan

kurva ROC dan uji diagnostik tabel 2x2 sehingga didapatkan area under curve, cut off point,

sensitifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, rasio kemungkinan positif, dan

rasio kemungkinan negatif. Hasil: didapatkan cut off point NISS 41 dengan AUC 0,8851 (>0,7).

Sensitifitas dan spesifisitas NISS cukup baik dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada

pasien multiple trauma yaitu sebesar 79,2% dan 91,8% (CI 95%: 0,78-0,98). Hasil nilai prediksi

positif 86,4%, nilai prediksi negatif 87,2%, rasio kemungkinan positif 9,76 dan rasio kemungkinan

negatif 0,227 mendukung bahwa nilai diagnostik NISS cukup baik. Simpulan: validitas NISS cukup

baik dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada pasien multiple trauma.

Kata kunci: multiple trauma, koagulopati akut, NISS, ROC, uji diagnostik.

VALIDITY OF NEW INJURY SEVERITY SCORE (NISS) TO DETERMINE

COAGULOPATHY IN MULTIPLE TRAUMA PATIENTS

I Komang Yose Antara1, I Ketut Wiargitha

2, Tjokorda G.B. Mahadewa

3

1Genaral Surgery Training Programme, Faculty of Medicine, Udayana University, Sanglah General Hospital,

Denpasar, Indonesia. 2Trauma and Acute Care Surgery Division, Surgery Department, Faculty of Medicine Udayana University,

Sanglah General Hospital, Denpasar, Indonesia. 3Neurosurgery Division, Surgery Department, Faculty of Medicine Udayana University, Sanglah General

Hospital, Denpasar, Indonesia.

ABSTRACT

Objective: to find validity of new injury severity score (NISS) in detecting acute coagulopathy in

multiple trauma patients. Methods: this study is diagnostic test with cross sectional design to find

validity of NISS to determine coagulopathy of 61 multiple trauma patients with ISS >16. The study

was conducted in Sanglah Public Hospital since January 2014 until November 2015. The data were

processed with ROC curve and diagnostic test 2x2 table with the result area under curve, cut off point,

sensitifity, spesificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likehood ratio, and

negative likehood ratio. Results: cut off point NISS 41 with AUC 0.8851 (>0.7). NISS sensitifity

Page 19: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas New Injury Severity Score

16

79.2% and spesifisity 91.8% (CI 95%: 0.78-0.98) is good enough to determine acute coagulopathy in

multiple trauma patients. Positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio,

and negative likelihood ratio were 86.4%, 87.2%, 9.76, 0.227, respectively. This result showed that

the diagnostic test of NISS is good enough. Conclusion: validity of NISS is good enough to

determine acute coagulopathy in multiple trauma patients.

Keywords: multiple trauma, acute coagulopathy, NISS, ROC, diagnostic test.

PENDAHULUAN

Permasalahan pada multiple trauma

yang sering dihadapai saat ini adalah trias

kematian yaitu asidosis, hipotermia, dan

koagulopati. ACoTS (acute coagulopaty of

trauma shock) menyebabkan peningkatan

mortalitas empat kali lebih besar

dibandingkan bila koagulopati akut tidak

terjadi.1-5

Multiple trauma merupakan

pasien dengan injury severity score (ISS)

lebih dari 16 poin. ISS dan new injury

severity score (NISS) menunjukkan

beratnya trauma berdasarkan anatomi dan

secara tidak langsung menunjukkan

besarnya kerusakan jaringan yang terjadi

pada pasien. Kerusakan jaringan akan

menyebabkan rangsangan pada proses

koagulasi sehingga akan menyebabkan

terjadinya koagulopati konsumtif. Sebuah

penelitian menyebutkan bahwa pasien

trauma dengan ISS sekitar 40 poin dan

NISS sekitar 50 poin meninggal saat

datang.6 Semakin besar ISS dan NISS

semakin cepat pasien meninggal. Deteksi

awal komplikasi yang terjadi pada trauma

seperti ACoTS sangat penting untuk

mencegah meningkatnya mortalitas.6

Penelitian menunjukkan bahwa NISS

memiliki akurasi yang lebih tinggi

daripada ISS dalam menilai beratnya

trauma jaringan sebagai prediktor adanya

kegagalan multi organ pada post trauma.

Hal ini disebabkan karena perhitungan

skor pada ISS berdasarkan tiga bagian

tubuh yang mengalami trauma terberat.

Hal ini dapat menimbulkan underscoring

jika pada satu bagian tubuh terdapat lebih

dari satu organ yang mengalami trauma.7,8

Penelitian tentang validitas NISS untuk

mendeteksi adanya koagulopati akut pada

pasien trauma belum pernah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari

validitas NISS dalam mendeteksi

terjadinya koagulopati akut pada pasien

multiple trauma.

METODE

Penelitian uji diagnostik dengan

rancangan penelitian cross sectional

dilakukan pada Januari 2014 hingga

November 2015 dengan cara studi rekam

medis dan pemeriksaan langsung pada

pasien multiple trauma yang datang di

instalasi gawat darurat RSUP Sanglah

Denpasar. Subyek dipilih secara acak

sistematis, dihitung dengan rumus

perhitungan sampel menggunakan tabel

perhitungan besar sampel untuk penelitian

diagnostik dengan keluaran area under

curve (AUC). Nilai AUC INR

(international normalized ratio) pada

penelitian sebelumnya sebesar 0,82,9

sehingga diperlukan sebanyak 60 subyek.

Kriteria inklusi untuk penelitian ini

adalah pasien yang berumur ≥16 tahun

dengan multiple trauma yang memiliki ISS

>16 dan setuju untuk diikutkan dalam

penelitian. Kriteria eksklusi adalah pasien

menolak menjadi sampel penelitian. Pada

sampel akan dilakukan penghitungan NISS

Page 20: STONE BURDEN - UNUD

I Komang Yose Antara Jurnal Bedah Nasional

17

dan pengambilan sampel darah sebanyak

5ml untuk pemeriksaan kadar INR yang

merupakan baku emas dalam penelitian

ini. INR positif koagulopati jika nilainya

≥1,2. INR negatif koagulopati jika nilainya

<1,2.

Data yang diperoleh disajikan dalam

bentuk narasi dan tabel, dilakukan analisis

dengan kurva ROC untuk menentukan cut

of point dari NISS. Dari data yang

terkumpul akan dihitung sensitivitas,

spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP),

nilai prediksi negatif (NPN), rasio

kemungkinan positif (RK+), rasio

kemungkinan negative (RK-), serta post-

test probabilitynya.

HASIL

Selama rentang waktu Januari 2014

sampai Nopember 2015 didapatkan 61

pasien multiple trauma yang memenuhi

kriteria inklusi. Karakteristik sampel dapat

dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Gambaran karakteristik dan

variabel penelitian

Karakteristik Sampel (n = 61)

Umur (tahun)

Mean

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

35 + SD

41 (67,2%)

20 (32,8%)

ISS

Mean

NISS

Mean

INR

Mean

28 SD

34 + SD

1,14 + SD

Koagulopati

Ya

Tidak

24 (39,3%)

37 (60,7%)

Pada analisis kurva ROC didapatkan

area under ROC curve sebesar 0,8851

dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas

terbaik pada cut off point NISS 41. Dengan

demikian nilai NISS ≥41 dinyatakan

koagulopati dan NISS <41 tidak

koagulopati (gambar 1).

Gambar 1. Kurva ROC kemampuan NISS

dalam mendeteksi terjadinya koagulopati

akut pada pasien multiple trauma.

Dari 61 sampel, didapatkan 24 sampel

yang mengalami koagulapati akut

berdasarkan nilai INR dan 22 sampel

berdasarkan NISS. Sebanyak 37 sampel

yang tidak mengalami koagulopati akut

berdasarkan nilai INR dan 39 berdasarkan

NISS (tabel 2). Sensitifitas dan spesifisitas

NISS dalam mendeteksi terjadinya ACoTS

pada pasien multiple trauma sebesar 79,2%

dan 91,8% (CI 95%) dengan NPP 86,4%

(65,1-97,1%), NPN 87,2% (72,6-95,7%),

RKP 9,76 (3,24–29,4), dan RKN 0,227

(0,103-0,497).

Tabel 2. Hasil uji diagnostik NISS dalam

mendeteksi terjadinya koagulopati pada

pasien multiple trauma

INR

NISS

Koagulopati

Total Ya

(INR

≥1,2)

Tidak

(INR

<1,2)

Koagulopati

Ya (≥41)

19

3

22

Page 21: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas New Injury Severity Score

18

Tidak (<41)

5

34

39

Total 24 37 61

DISKUSI

Penelitian ini menemukan bahwa laki-

laki lebih banyak mengalami multiple

trauma dengan mean usia 35 tahun. Hal ini

sesuai data dari WHO (World Health

Organization) 2006 yang menyebutkan

bahwa multiple trauma lebih banyak

terjadi pada laki-laki yaitu 78,6% dengan

mean umur pasien 32,5 tahun. Hal ini

disebabkan karena mayoritas multiple

trauma terjadi pada laki-laki usia muda

yang disebabkan oleh kecelakaan lalu

lintas.10

Perbedaan nilai median ISS 27 dan

NISS 34 pada penelitian ini disebabkan

karena adanya underscoring pada ISS.

Pada ISS hanya diperhitungkan AIS dari

bagian tubuh tanpa memperhitungkan

organ sedangkan NISS memperhitungkan

AIS dari setiap organ yang mengalami

trauma.7 Sistem skoring trauma dengan

NISS memperkirakan besarnya kerusakan

jaringan secara anatomi. Kerusakan

jaringan pada trauma berhubungan erat

dengan inflamasi, konsumsi faktor-faktor

koagulasi, perdarahan, adanya syok,

hemodilusi, hipotermia dan asidosis.

Keseluruhan akibat dari kerusakan

jaringan ini berakhir pada komplikasi

koagulopati akut.11

Dengan demikian,

semakin besar nilai NISS, semakin besar

pula kemungkinan terjadinya koagulopati

akut.

Penelitian retrospektif yang dilakukan.

Maegele menyebutkan 34% pasien

mengalami koagulopati akut saat datang

akibat trauma tumpul. Hal ini

menunjukkan bahwa satu dari tiga pasien

trauma yang datang mengalami ACoTS.1,3,4

Hasil yang tidak berbeda jauh didapatkan

pada penelitian ini dimana didapatkan

39,3% pasien multiple trauma mengalami

koagulopati akut saat datang di instalasi

gawat darurat. Mortalitas pada pasien

multiple trauma dengan ACoTS pada

penelitian ini sebesar 33,3% (8 pasien).

Penelitian yang dilakukan Brohi pada

tahun 2007 didapatkan sebesar sebesar

62% sedangkan Maegele pada tahun 2007

sebesar 28%. Perbedaan ini kemungkinan

disebabkan karena jumlah sampel dan

lokasi yang diteliti berbeda pada setiap

penelitian.3,12

Pada analisis kurva ROC didapatkan cut

off point terbaik pada nilai NISS 41. Nilai

NISS ≥41 memberikan nilai sensitifitas

dan spesifisitas terbaik dalam mendeteksi

terjadinya koagulopati akut pada pasien

multiple trauma. Penelitian yang dilakukan

Maegele pada tahun 2007 hanya

menyebutkan mean ISS 24 dengan

persentase ACoTS pada trauma sebesar

34%.3,11

Penelitian ini lebih spesifik dan

lebih baik karena memberikan hasil uji

diagnostik NISS dalam mendeteksi

terjadinya koagulopati akut pada pasien

multiple trauma. Selain itu seperti yang

disebutkan pada penelitian-penelitian

sebelumnya bahwa NISS memiliki nilai

prediksi yang lebih baik daripada ISS.7

Pemeriksaan baku emas untuk

koagulopati akut pada pasien multiple

trauma dilakukan dengan pemeriksaan

laboratorium darah yaitu pemeriksaan

INR. Pada kondisi trauma, setiap

pemeriksaan laboratorium yang digunakan

untuk mengidentifikasi adanya koagulopati

akut membutuhkan waktu sedangkan

ketika hasil laboratorium keluar, pasien

mungkin sudah dalam keadaan ACoTS

yang irreversibel. Penelitian ini dapat

direkomendasikan sebagai alternatif dalam

mendeteksi terjadinya koagulopati akut

pada pasien multiple trauma.13

NISS

Page 22: STONE BURDEN - UNUD

I Komang Yose Antara Jurnal Bedah Nasional

19

sangat mudah dan dapat langsung dihitung

ketika diagnosis sudah ditegakkan.

Sensitifitas dan spesifisitas NISS dalam

mendeteksi terjadinya koagulopati akut

pada pasien multiple trauma sebesar 79,2%

dan 91,8% yang menunjukkan validitas

NISS cukup baik dalam mendeteksi

terjadinya koagulopati akut pada pasien

multiple trauma.

SIMPULAN

Hasil uji diagnostik validitas NISS

dalam mendeteksi terjadinya koagulopati

akut pada pasien multiple trauma

menunjukkan nilai validitas yang baik

dengan cut off point NISS 41.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anusha, C, Udupi B. Acute

coagulopathy of trauma: Mechanism,

monitoring, management. World

Journal Anesthesiology. 2014;3:111-8.

2. Hess JR, Brohi K, Dutton RP, et al.

The Coagulopathy of Trauma: A

Review of Mechanisms. J Trauma.

2008;65:748-54.

3. Maegele M, Lefering R, Yucel N.

Early coagulopathy in multiple injury:

an analysis from the German Trauma

Registry on 8724 patients. Injury.

2007;38:298-304.

4. Brohi K, Singh J, Heron M, Coats T.

Acute traumatic coagulopathy. J

Trauma. 2003;54:1127-30.

5. MacLeod JB, Lynn M, McKenney,

MG, et al. Early coagulopathy predicts

mortality in trauma. J Trauma.

2003;55:39-44.

6. Mica L, Rufibach K, Keel M, Trentz

O. The Risk of Early Mortality of

Polytrauma Patients Associated to ISS,

NISS, APACHE II Values and

Prothrombin. Journal of Trauma

Management and Outcomes. 2013;7.

7. Chawda MN, Hildebrand F, Pape HC,

Giannoudis PV. Predicting Outcome

After Multiple Trauma: Which Scoring

System?. The International Journal of

The Care of The Injured. 2004;35:347-

58.

8. Balogh Z, Offner PJ, Moore EE, Biffl

WL. NISS predicts post injury multiple

organ failure better than the ISS. J

Trauma. 2000;48:624-7.

9. Hagemo JS, Christian SC, Stanworth

SJ, et al. Detection of Acute Traumatic

Coagulopathy and Massive

Transfusion Requirements by Means

of Rotational Thromboelastometry: an

International Prospective Validation

Study. Crit Care. 2015;19:97.

10. Fiona EL, Omar B, Woodford M, et al.

Epidemiology of Polytrauma. In: Pape

H-C, Peitzman AB, Schwab CW, et al,

editors. Damage Control Management

in the Polytrauma Patient. New York:

Springer Science+Business Media.

2010.p.13-24.

11. Maegele M, Thomas P, Bertil B. Acute

Traumatic Coagulopathy in Severe

Injury: Incidence, Risk Stratification,

and Treatment Options. Dtsch Arztebl

Int. 2011;108:827-35.

12. Brohi K, Cohen MJ, Davenport RA.

Acute Coagulopathy of Trauma:

Mechanism, Identification and Effect.

Curr Opin Crit Care. 2007;13:680-5.

13. Thorsen K, Ringdal KG, Strand K, et

al. Clinical and cellular effects of

hypothermia, acidosis and

coagulopathy in major injury. Br J

Surg. 2011;98:894-907.

Page 23: STONE BURDEN - UNUD

ORIGINAL ARTICLE

Jurnal Bedah Nasional | 20

FAKTOR RISIKO TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP DR. WAHIDIN

SUDIROHUSODO MAKASSAR

Made Agus Dwianthara Sueta1, Warsinggih2

1Program Pendidikan Dokter Spesialis Konsultan Bedah Digestif, Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin/Rumah Sakit Umum Pusat Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Indonesia. Korespondensi:

[email protected] 2Divisi Bedah Digestif, Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/Rumah Sakit

Umum Pusat Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Indonesia.

ABSTRAK

Tujuan: untuk mengetahui apakah terdapat hubungan beberapa faktor seperti jenis kelamin, usia,

diabetes, obesitas, dan hiperlipidemia, sebagai penyebab munculnya batu empedu di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo. Metode: penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel secara retrospektif pada

pasien yang dirawat diruang bedah di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar bulan Januari

sampai dengan Desember 2013, sampel diambil secara konsekutif berurutan sebesar jumlah sampel

yang dibutuhkan. Hasil: sampel yang masuk kriteria inklusi dari penelitian ini sebanyak 196 orang.

Dari 196 orang 114 (58,5%) orang dengan batu empedu, 101 perempuan (51,5%) dan 95 laki-laki

(48,5%). Terdapat 86 (75,4%) penderita dengan batu empedu yang berusia di bawah 40 tahun dan 28

(24,6%) penderita berusia lebih dari 40 tahun. Berdasarkan jenis kelamin 26 (22,8%) penderita laki-

laki dengan batu empedu dan 88 (77,2%) perempuan dengan batu empedu. Penderita DM dengan batu

empedu sebanyak 103 (90,4%), pasien dengan obesitasyang menderita batu empedu sejumlah 97

(85,1%), 88 (77,2%) penderita dengan kadar trigliserida yang meningkat dengan batu empedu, dan 95

(83,3 %) pasien dengan kadar kolesterol yang meningkat mengalami batu empedu. Simpulan: jenis

kelamin perempuan, usia di bawah 40 tahun, penderita diabetes, obesitas dan hiperlipidemia merupakan

faktor risiko menimbulkan batu empadu.

Kata kunci: batu empedu, faktor risiko, diabetes melitus, obesitas, hiperlipidemia.

RISK FACTORS OF GALLSTONES AT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO

GENERAL HOSPITAL MAKASSAR

Made Agus Dwianthara Sueta1, Warsinggih2

1Digestive Surgery Consultant Training Programme, Surgery Department Faculty of Medicine Hassanudin

University/Wahidin Sudirohusodo General Hospital, Makassar, Indonesia. 2Digestive Surgery Division, Surgery Department Faculty of Medicine Hassanudin University/Wahidin

Sudirohusodo General Hospital, Makassar, Indonesia.

ABSTRACT

Objective: to know some factors such as gender, age, diabetes, obesity, and hyperlipidemia as a

caused the gallstones at Dr. Wahidin Sudirohusodo hospital. Methods: data were collected

retrospectively from patient that hospitalized at Dr. Wahidin Sudirohusodo hospital since January until

December 2013, samples were taken in consecutive sequence until the number of sample being met.

Results: samples were entering the inclusion criteria of this study were 196 people. Of 196 114 (58.5%)

of people with gallstones, 101 women (51.5%) and 95 men (48.5%). There were 86 (75.4%) patients

with gallstones were aged under 40 years and 28 (24.6 %) patients aged over 40 years. Related to gender,

26 (22.8%) of male patients with gallstones and 88 (77.2%) of women with gallstones. There are 103

(90.4%) patient with gallstone have diabetes mellitus, total 97 (85.1%) patients suffering gallstones

Page 24: STONE BURDEN - UNUD

Made Agus Dwianthara Sueta Jurnal Bedah Nasional

21

with obesity, 88 (77.2%) patients with triglyceride levels increased suffering gallstones, and 95 (83.3%)

patients with increasing levels of cholesterol suffering gallstones. Conclusion: female gender, age

under 40 years, diabetes, obesity, and hyperlipidemia is a risk factors caused gallstones.

Keywords: gallstones, risk factors, diabetes mellitus, obesity, hyperlipidemia.

PENDAHULUAN

Batu empedu dengan berbagai

komplikasinya (kolesistitis, pankreatitis,

dan kolangitis) merupakan penyebab utama

morbiditas penyakit gastrointestinal yang

menyebabkan penderita dirawat di rumah

sakit.1

Insiden batu empedu yang meningkat

dapat dilihat pada kelompok risiko tinggi

yang disebut ”5 Fs”: female, fertile, fat, fair,

dan forty.2,3 Pembentukan batu empedu

dipengaruhi oleh beberapa faktor, insiden

terjadinya batu empedu semakin tinggi bila

faktor risiko semakin banyak. Faktor risiko

yang mempengaruhi terbentuknya batu

empedu antara lain, jenis kelamin, usia di

atas 40 tahun, hiperlipidemia, obesitas,

genetik, aktivitas fisik, kehamilan, diet

tinggi lemak, pengosongan lambung yang

memanjang, nutrisi parenteral yang lama,

dismotilitas dari kandung empedu, obat-

obatan antihiperlipidemia (klofibrat), dan

penyakit lain (pankreatitis, diabetes

melitus, sirosis hati, kanker kandung

empedu, dan fibrosis sistik).4,5

Batu empedu merupakan masalah

kesehatan yang penting di negara barat

sedangkan di Indonesia kejadian batu

empedu terus meningkat terutama pada usia

muda, dan baru mendapat perhatian secara

klinis, publikasi penelitian membahas

mengenai batu empedu masih terbatas.3

Oleh karena itulah diadakan penelitian

untuk mengetahui hubungan beberapa

faktor yang terkait dengan batu empedu.

Penelitian ini merupakan penelitian

pendahuluan dan hasilnya diharapkan dapat

menjadi dasar bagi penelitian-penelitian

sejenis selanjutnya.

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan

pengambilan sampel secara retrospektif

pada pasien yang dirawat diruang bedah di

Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo

Makassar bulan Januari sampai dengan

Desember 2013, sampel diambil secara

konsekutif berurutan sebesar jumlah

sampel yang dibutuhkan.

Dari catatan medis dilakukan pencatatan

data penderita yang meliputi identitas, jenis

kelamin, usia, body mass index (BMI),

hiperlipidemia, dan diabetes melitus (DM).

Data pasien yang kurang lengkap akan

dilengkapi melalui wawancara langsung ke

pasien baik melalui telepon maupun home

visite, bila data pasien masih tidak lengkap

maka akan dieksklusikan.

Definisi batu empedu adalah suatu

keadaan yang mana terdapatnya batu

empedu di dalam kandung empedu (vesika

felea) yang memiliki ukuran, bentuk, dan

komposisi yang bervariasi.6 Pada penelitian

ini penderita dengan batu empedu diketahui

dari hasil operasi ditemukan batu pada

kandung empedu. Usia pasien berdasarkan

pada kartu tanda penduduk (KTP) atau usia

yang tercantum pada rekam medik pasien.

Jenis kelamin berdasarkan KTP atau jenis

kelamin yang tertera pada rekam medik

pasien. Obesitas menurut WHO (World

Health Organization) tahun 2000 adalah

keadaan seseorang dengan BMI >25 kg/m2

pada usia dewasa. Hiperlipidemia adalah

Page 25: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Faktor Risiko Terjadinya Batu Empedu

22

meningkatnya konsentrasi bebagai lipid

dalam darah, yaitu trigliserida atau

kolesterol total dalam plasma atau

keduanya, dengan nilai trigliserida >2,1

mmol/L (1 mmol/L = 88,57 mg/dL), nilai

kolesterol total >6,5 mmol/L (1 mmol/L =

38,67 mg/dL). Kriteria DM menurut

PERKENI 2006 atau yang dianjurkan ADA

(American Diabetes Association).

HASIL

Pada tabel 1, sebanyak 196 orang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

pada penelitian ini. Dari 196 orang tersebut

sebanyak 114 (58,5%) orang dengan batu

empedu, 101 orang perempuan (51,5%) dan

95 orang laki-laki (48,5%). Usia termuda

pada penelitian ini 22 tahun dan usia tertua

58 tahun yang mana rata-rata usia 38,7

tahun dengan dengan standar deviasi 7,1.

Setelah dibagi menjadi dua

kelompok terdapat 86 (75,4%) dengan batu

empedu yang berusia di bawah 40 tahun

dan 28 (24,6%) berusia lebih dari 40 tahun.

Berdasarkan jenis kelamin terdapat 26

(22,8%) laki-laki dan sebanyak 88 (77,2%)

perempuan dengan batu empedu.

Penderita DM dengan batu empedu

didapatkan sebanyak 103 (90,4%),

Sebanyak 97 (85,1%) pasien dengan

obesitas yang menderita batu empedu, 88

(77,2%) penderita dengan kadar trigliserida

yang meningkat dengan batu empedu, dan

sebanyak 95 (83,3%) pasien dengan kadar

kolesterol yang meningkat dengan batu

empedu.

Dilihat dari hubungan antara umur

dengan kejadian batu empedu (tabel 2),

setelah dilakukan uji statistik didapatkan

hubungan yang bermakna (p=0,001) antara

umur kurang dari 40 tahun dengan kejadian

batu empedu yang mana nilai rasio

prevalensi 2,05. Ini berarti bahwa umur

kurang dari 40 tahun merupakan risiko

potensial untuk terjadinya batu empedu2

kali lebih besar dari orang yang berumur

diatas 40 tahun.

Tabel 1. Karakteristik Sampel (n=196)

Karakteristik Rerata ± SB

Umur (tahun) 38.71 ± 7,1

Jenis kelamin

Laki-laki, n (%)

Perempuan, n (%)

82 (41,8 %)

114 (58,2 %)

Diabetes melitus, n (%) 103 (90,4 %)

BMI (kg/m2) 25,34 ± 1,97

Trigliserida (mmol/L) 167,8 ± 39,1

Kholesterol (mmol/L) 257,3 ± 36,96

SB: simpangan baku

Tabel 2. Hubungan Umur dengan Batu

Empedu

Umur Batu Empedu

Total Ya Tidak

≤ 40 th 95 44 139

> 40 th 19 38 57

Total 114 82 196

Rasio prevalensi 2,05 dan p=0,008

Pada tabel 3 menunjukan hubungan

antara jenis kelamin dengan kejadian batu

empedu, pada uji statistik terdapat

hubungan yang bermakna (p=0,001) antara

jenis kelamin perempuan terhadap kejadian

batu empedu yang mana nilai rasio

prevalensi 3,38, ini berarti jenis kelamin

perempuan merupakan risiko potensial

untuk terjadinya batu empedu 3 kali lebih

besar dari pada laki-laki.

Pada penelitian ini, dengan uji statistik

didapatkan hubungan yang bermakna

(p=0,001) antara penderita DM dengan

kejadian batu empedu (tabel 4), yang mana

nilai rasio prevalensi 5,81. Hal ini

menunjukan bahwa penderita DM

merupakan risiko potensial untuk

Page 26: STONE BURDEN - UNUD

Made Agus Dwianthara Sueta Jurnal Bedah Nasional

23

terjadinya batu empedu 5 kali lebih besar

dari orang yang tidak menderita DM.

Tabel 3. Hubungan Jenis Kelamin dengan

Batu Empedu

Jenis

Kelamin

Batu Empedu Total

Ya Tidak

Perempuan 88 13 101

Laki-Laki 26 69 95

Total 114 82 196

Rasio prevalensi 3,38 dan p=0,001

Tabel 4. Hubungan Penderita DM dengan

Batu Empedu

DM Batu Empedu

Total Ya Tidak

Ya 103 18 121

Tidak 11 64 75

Total 114 50 169

Rasio prevalensi 5,81 dan p=0,001

Setelah dilakukan uji statistik

didapatkan hubungan yang bermakna

(p=0,001) pada tabel 5 antara penderita

dengan obesitas dengan kejadian batu

empedu dimana nilai rasio prevalensi 4,02.

Ini berarti obesitas merupakan risiko

potensial untuk terjadinya batu empedu 4

kali lebih besar dari orang yang tidak

obesitas.

Tabel 5. Hubungan Obesitas dengan Batu

Empedu

BMI Batu Empedu

Total Ya Tidak

Obesitas 97 18 115

Normal 17 64 81

Total 114 82 196

Rasio prevalensi 4,02 dan p=0,001

Pada uji statistik didapatkan hubungan

yang bermakna (p=0,001) antara kadar

trigliserida yang meningkat dengan

kejadian batu empedu (tabel 6), yang mana

nilai rasio prevalensi 2,14. Ini berarti

peningkatan kadar trigliserida merupakan

risiko potensial untuk terjadinya batu

empedu 2 kali lebih besar dari orang yang

kadar trigliseridanya normal

Tabel 6. Hubungan Kadar Trigliserida

dengan Batu Empedu

Trigliserida Batu Empedu

TOTAL Ya Tidak

Meningkat 88 32 120

Normal 26 50 76

TOTAL 114 82 196

Rasio prevalensi 2,14 dan p= 0,001

Pada penelitian ini, setelah uji statistik

didapatkan hubungan yang bermakna

(p=0,001) kenaikan kadar kolesterol

dengan kejadian batu empedu (tabel 7),

dimana nilai rasio prevalensi 2,05. Hal ini

berarti bahwa peningkatan kadar kolesterol

merupakan risiko potensial untuk

terjadinya batu empedu 2 kali lebih besar

dari orang yang kadar kolesterol normal

Tabel 7. Hubungan Kadar Kolesterol

dengan Batu Empedu

Kolesterol Batu Empedu

TOTAL Ya Tidak

Meningkat 95 44 139

Normal 19 38 57

TOTAL 114 82 196

Rasio prevalensi 2,05 dan p= 0,001

DISKUSI

Pada penelitian ini didapatkan hubungan

antara umur dengan kejadian batu empedu,

dimana umur kurang dari 40 tahun

memiliki hubungan bermakna dengan

kejadian batu empedu, hasil yang sama

dilaporkan pada penelitian di Taiwan

terjadi peningkatan penderita batu empedu

pada kelompok umur 20-39 tahun baik pada

Page 27: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Faktor Risiko Terjadinya Batu Empedu

24

pria ataupun wanita, keadaan ini

menunjukan adanya perubahan risiko tinggi

dari kelompok umur pada kejadian batu

empedu,7 sedangkan beberapa penelitian

lain di Jerman dan Amerika mendapatkan

umur lebih dari 40 tahun lebih bermakna

dengan kejadian batu empedu. Peningkatan

kejadian batu empedu pada usia kurang dari

40 tahun pada penelitian ini kemungkinan

disebabkan interaksi dari berapa faktor

yang lain yang mempengaruhi kejadian

batu empedu seperti wanita atau laki-laki

pada usia dibawah 40 tahun juga memiliki

penyakit penyerta DM, dengan obesitas dan

hiperlipidemia.

Pada kelompok jenis kelamin, insidensi

perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki

dan menunjukan hubungan jenis kelamin

perempuan dengan kejadian batu empedu

bermakna pada penelitian ini. Pengaruh

hormon pada wanita merupakan salah satu

faktor predisposisi meningkatnya jumlah

pasien wanita dibanding laki-laki. Estrogen

diduga berperan penting pada wanita

dengan kolelitiasis dimana estrogen dapat

menstimulasi reseptor lipoprotein hepar

dan meningkatkan pembentukan kolesterol

empedu serta meningkatkan diet

kolesterol,1 dalam penelitiannya

mengatakan penggunaan kontrasepsi

steroid yang mengandung estrogen dan

progesterone mempengaruhi pembentukan

batu empedu pada pasien wanita dengan

usia 20-44 tahun.

Pada penelitian ini DM memiliki

hubungan yang bermakna dengan kejadian

batu empedu, dimana DM merupakan

faktor yang paling berpengaruh untuk risiko

terjadinya batu empedu dibandingkan

dengan umur, jenis kelamin,

hiperlipidemia, dan obesitas. Hal serupa

didapatkan pada beberapa penelitian di

Amerika, Nigeria, India, dan Canada.8

Diabetes melitus telah terbukti berkaitan

erat dengan penyakit batu empedu dalam

analisis univariat faktor risiko individu

pada kedua jenis kelamin. Patogenesis

penyakit batu empedu dengan DM dapat

terjadi melalui mekanisme berikut, yaitu

cairan empedu orang dengan DM mudah

jenuh dengan kolesterol, volume kandung

empedu pada keadaan puasa lebih besar

pada pasien dengan DM, ejeksi fraksi

kandung empedu berkurang pada kasus

diabetes, serta terdapat faktor yang

memodifikasi nukleasi kristal dan sekresi

lendir dari kandung empedu yang dapat

membentuk batu empedu.8

Pada penelitian ini didapatkan hubungan

yang bermakna antara obesitas dengan

kejadian batu empedu dimana pasien

dengan obesitas memiliki kemungkinan 4

kali lebih banyak menderita batu empedu

daripada orang tanpa obesitas. Hasil

penelitian yang sama juga dilaporkan oleh

beberapa penelitian di Asia, Amerika, dan

Inggris, dimana terjadi peningkatan

prevalensi dari batu empedu pada orang

dengan obesitas,9,10 mengemukakan

terjadinya peningkatan kejadian batu

empedu pada orang yang obesitas

disebabkan oleh peningkatan kadar

kolesterol supersaturasi dan pada obesitas

terjadi gangguan metabolisme lemak dan

hormonal yang mengakibatkan penurunan

motilitas dari kandung empedu sehingga

meningkatkan terbentuknya batu empedu.

Timbulnya batu empedu disebabkan oleh

peningkatan sekresi kolesterol empedu

peningkatan ini disebabkan oleh

meningkatnya aktivitas reduktase

HMGCoA.11

Pada penelitian ini menemukan adanya

korelasi antara hiperlipidemia dengan

kejadian batu empedu, hal yang sama

didapatkan pada penelitian di China selama

1 tahun dari bulan Januari-Desember 2007,

melibatkan 3573 sampel yang memenuhi

kriteria inklusi dimana 384 pasien dengan

batu, dari 384 tersebut sebanyak 142 orang

(37%) dengan hiperlipidemia.12 Penelitian

Henry di Jerman dengan jumlah sampel

Page 28: STONE BURDEN - UNUD

Made Agus Dwianthara Sueta Jurnal Bedah Nasional

25

4000 orang, 900 orang yang memenuhi

kriteria inklusi, 154 (17,4%) dengan

hiperlipidemia menunjukan hasil yang

bemakna hubungan hiperlipidemia.13

Terdapat beberapa teori yang dipengaruhi

oleh faktor genetik dan atau lingkungan.

Proses pertama dalam pembentukan batu

empedu adalah sekresi empedu jenuh

dengan kolesterol oleh hati. Langkah kedua

dalam pembentukan batu empedu adalah

kristalisasi. Pengendapan kristal kolesterol

memulai pembentukan batu empedu.

Ketika empedu pada kandung empedu

menjadi jenuh dengan kolesterol, maka

terjadi nukleasi, flokulasi, dan

pengendapan kristal kolesterol, keadaan ini

menyebabkan inisiasi pembentukan batu

empedu. Terdapatnya promotor kristalisasi

yang berlebihan dan kekurangan relatif dari

inhibitor kristalisasi juga penting dalam

inisiasi dan pembentukan nukleasi kristal

batu empedu. Promotor dan inhibitor

sebagian besar berupa protein seperti

glikoprotein lender.1

Hampir semua pasien dengan

hipertrigliseridemia memiliki cairan

empedu jenuh yang tinggi pada kandung

empedunya meskipun pasien tersebut

kurus, hal ini mungkin merupakan salah

satu penyebab meningkatnya kejadian batu

empedu pada pasien dengan

hipertrigliserida.1 Meskipun pada penelitian

ini didapatkan hubungan yang bermakna

antara umur kurang dari 40 tahun, jenis

kelamin perempuan, obesitas, DM, dan

hiperlipidemia, dengan kejadian batu

empedu, tetapi masih terdapat beberapa

kelemahan pada penelitian ini terutama

dalam jumlah sampel. Jumlah sampel yang

ikut dalam penelitian ini masih kecil,

sehingga masih memungkinkan adanya

interaksi antara beberapa faktor risiko

untuk terjadinya batu empedu, dan untuk

menentukan hubungan faktor risiko yang

lebih bermakna diperlukan penelitian

kohort.

SIMPULAN

Jenis kelamin perempuan, usia dibawah

40 tahun, penderita diabetes, obesitas, dan

hiperlipidemia merupakan faktor risiko

menimbulkan batu empedu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hung S-C, Liao K-F, Lai S-W, et al.

Risk factors associated with

symptomatic cholelithiasis in Taiwan: a

population-based study. BMC

Gastroenterol. 2011;11:111.

2. Sjamsuhidayat R, de Jong W.

Kolelitiasis. In: Sjamsuhidayat R, de

Jong W, editors. Buku Ajar IlmuBedah.

2nd. Ed. Jakarta: EGC; 2005.p.767-73.

3. Lesmana L. Batu Empedu. In: Sudoyo

AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editors.

Buku Ajar Penyakit Dalam. 4th.Ed.

Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia;

2006.p.380-384.

4. Maryan LF, Chiang W. Cholelithiasis.

(serial online) 2010 Mar.-Apr. [cited

2010 Jun. 08]. Available from:

http://www.emedicine.com/emerg/Gast

rointestinal/topic97.htm.

5. Mayo Clinic Staff. Gallstones. (serial

online) 2008 Mei.-Jun. [cited 2008 Oct.

05]. Available from:

http://www.mayoclinic.org/diseases-

conditions/gallstones/basics/risk-

factors/con-20020461.

6. Dorland WAN. Cholelithiasis. In:

Dorlan WAN, editor. Kamus

Kedokteran Dorlan. 29th.Ed. Jakarta:

EGC; 2009.p.200-201.

7. Park YH, Park SJ, Jang JY. Changing

Patterns of Gallstone Disease in Korea.

World J Surg. 2004;28:206-10.

8. Saxena R, Sharma S, Dubey DC.

Gallbladder Disorder in Type 2

Diabetes Mellitus Cases. J. Hum. Ecol.

2005;18:169-71.

Page 29: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Faktor Risiko Terjadinya Batu Empedu

26

9. Xiao OS. BMI, Physical Activity and

Risk of Gallstone Disease in Chinese

Women. Annals of Epidemiology.

2004;14:604-5.

10. Yekeler E, Akyol Y. Cholelithiasis. N

Engl J Med. 2004;351:2318.

11. Shaffer AE. Epidemiology and Risk

Factors for Gallstone Disease: Has the

Paradigm Changed in the 21st Century.

Gastroenterology. 2005;2:132-40.

12. Huang J, Chang C-H, Wang J-L.

Nationwide Epidemiological Study of

Severe Gallstone Disease in Taiwan.

BMC Gastroenterology. 2009;9:63.

13. Henry V. Independent Risk Factors for

Gallstone Formation in a Region with

High Cholelithiasis Prevalence.

Digestion. 2009;71:97-105.

Page 30: STONE BURDEN - UNUD

ORIGINAL ARTICLE

27 | Jurnal Bedah Nasional

EVALUASI URETEROSKOPI DENGAN LASER HOLMIUM: YTTRIUM-

ALUMINUM-GARNET UNTUK PENATALAKSANAAN BATU URETER DI

RUMAH SAKIT PERSEKUTUAN GEREJA INDONESIA CIKINI TAHUN

2010-2012

Octoveryal Aslim1, Pande Made Wisnu Tirtayasa

1, Adi Bachtiar Tambah

2, Frendy Wihono

2,

Winner2, Egi Edward Manuputty

2, David Manuputty

2

1Pendidikan Dokter Spesialis Urologi, Departemen Urologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah

Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. Korespondensi: [email protected] 2Divisi Urologi, Departemen Bedah Rumah Sakit Persekutuan Gereja Indonesia, Cikini, Jakarta.

ABSTRAK

Tujuan: untuk mengetahui efektivitas ureterorenoscopy (URS) menggunakan laser Holmium:

Yttrium-Aluminum-Garnet (Ho: YAG) untuk pengelolaan batu ureter di Rumah Sakit Persekutuan

Gereja Indonesia (PGI) Cikini sepanjang tahun 2010 hingga 2012. Metode: data dikumpulkan

retrospektif dari catatan medis pasien di Rumah Sakit PGI Cikini dari 1 Januari 2010 sampai

31 Desember 2012 yang menjalani URS dengan Ho: YAG lithotripter laser untuk mengobati penyakit

batu saluran kemih. Kriteria inklusi pada semua pasien dengan batu saluran kemih dilakukan URS

menggunakan laser Ho: YAG. Hasil: sebanyak 205 penyakit batu ureter dari 182 pasien yang

mendapat pengobatan URS dengan Ho: YAG laser litotriptor di Rumah Sakit PGI Cikini, terdiri dari

143 laki-laki dan 39 wanita dengan rata-rata umur 45,69 tahun (19-76). Terdiri dari 115 batu ureter

kanan dan 90 kiri, dengan 128 batu ureter proksimal dan 77 distal. Komorbititas yang paling sering

muncul adalah hydronephrosis sejumlah 169 (88,5%) dan 155 (75,6%) komorbiditas dari kasus

lainya. Komplikasi post operatif ditemukan pada 11 pasien (5,8%). Rata-rata waktu operasi 55,19

menit dan rata-rata lama rawat inap pasien paska operasi adalah 3,31 hari. Angka bebas batu secara

keseluruhan adalah 88,3%. Dimana angka bebas batu pada ureter proksimal adalah 85,9%, sedangkan

ureter distal 89,6%, dengan angka bebas batu secara keseluruhan yaitu 88,3%. Simpulan: URS

memakai laser Ho: YAG merupakan prosedur yang aman dan efektif untuk pasien dengan batu ureter

terlepas dari lokasi batu pada ureter.

Kata kunci: batu ureter, ureteroskopi, laser Ho: YAG, hydronephrosis.

EVALUATION OF URETEROSCOPY WITH A HOLMIUM: YTTRIUM-

ALUMINUM-GARNET LASER FOR THE MANAGEMENT OF URETERAL

STONES IN CIKINI COMMUNION OF CHURCHES IN INDONESIA

HOSPITAL IN 2010-2012

Octoveryal Aslim1, Pande Made Wisnu Tirtayasa

1, Adi Bachtiar Tambah

2, Frendy Wihono

2,

Winner2, Egi Edward Manuputty

2, David Manuputty

2

1Urology Training Programme, Department of Urology, Faculty of Medicine Indonesia University,

Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta. 2Urology Division, Department of Surgery, Persekutuan Gereja Indonesia Hospital Cikini, Jakarta.

ABSTRACT

Objective: to investigate the efficacy of ureterorenoscopy (URS) using a Holmium: Yttrium-

Aluminum-Garnet (Ho: YAG) laser for the management of ureteral stone in Cikini Communion of

Churches in Indonesia (CCI) Hospital. Methods: data were collected retrospectively from patient’s

Page 31: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Evaluasi Ureteroskopi dengan Laser

28

medical records in Cikini CCI Hospital from 1 January 2010 till 31 December 2012 who underwent

URS with a Ho: YAG laser lithotriptor to treat ureteral stone diseases. The inclusion criteria were all

patients with ureteral stone treated by URS using a Ho: YAG laser. Results: as many as 205 ureteral

stone diseases from 182 patients were treated by URS with a Ho: YAG laser lithotriptor in Cikini CCI

Hospital, they comprised of 143 men and 39 women with the mean age of 45.69 years (19 to 76).

There were 115 right and 90 left ureteral stones, with 128 proximal versus 77 distal ureteral stones.

The most common comorbidity was hydronephrosis up to 169 (88.5%) and 155 (75.6%) other

comorbidities from all other causes. Post operation complications were found in 11 patients (5.8%).

Mean operation time was 55.19 minutes and mean post operation hospital stay was 3.31 days. The

stone free rates for proximal and distal ureteral stones were 85.9% and 89.6% respectively (p=0.340),

with the overall stone free rates was 88.3%. Conclusion: URS with a Ho: YAG laser is a safe and

effective procedure for the management of ureteral stone with high stone free rates irrespective of

stone location.

Keywords: ureteral stone, ureteroscopy, Ho: YAG laser, hydronephrosis.

PENDAHULUAN

Tujuan dari tindakan operasi pada

pasien penderita batu ureter adalah untuk

membebaskan obstruksi ginjal dan

mencapai kondisi bebas batu dengan

morbiditas minimal. Terdapat berbagai

tatalaksana dalam mengatasi batu ureter,

antara lain extracorporeal shock wave

lithotripsy (ESWL), ureterorenoscopy

(URS) retrograd, litotripsi perkutan secara

antegrad, dan ureterolithotomi

konvensional maupun laparaskopi.1

Tatalaksana optimal bergantung pada

beberapa faktor, termasuk ukuran batu,

komposisi batu, kondisi klinis pasien,

peralatan yang tersedia dan kemampuan

operator.2 Kemajuan dalam desain

ureteroscope, metode baru dalam

fragmentasi batu intracorporeal, teknik

laparaskopi dan perkembangan ESWL

telah merubah modalitas tatalaksana batu

ureter.2,3

Kemajuan dalam URS telah

mengoptimalkan fragmentasi dan angka

bebas batu serta menurunkan morbiditas.

Oleh karena itu URS litotripsi menjadi

pilihan yang sangat baik.4

Terdapat empat

metode litotripsi intrakorporal antara lain,

elektrohidrolik, laser, ultrasonik, dan

balistik. Pada awal tahun 1990, metode

litotripsi memakai laser Holmium:

Yttrium-Aluminum-Gamet (Ho: YAG)

ureterolitotripsi diperkenalkan dalam

praktek urologi dan terbukti memberikan

hasil baik terhadap jaringan lunak dan batu

saluran kemih.1,5

Adanya laser Ho: YAG

telah meningkatkan angka bebas batu dan

menurunkan resiko komplikasi sehingga

menjadi prosedur pilihan untuk batu ureter

yang impacted.1

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengevaluasi peranan ureteroskopi

memakai litotriptor laser Ho: YAG sebagai

tatalaksana pasien dengan batu ureter di

Rumah Sakit Persekutuan Gereja

Indonesia (PGI) Cikini sepanjang tahun

2010 hingga 2012.

METODE

Data dikumpulkan secara retrospektif

dari rekam medis pasien yang menjalani

prosedur URS memakai Ho: YAG laser

untuk mengatasi batu ureter di Rumah

Sakit PGI Cikini dari 1 Januari 2010

sampai dengan 31 Desember 2012.

Kriteria inklusi meliputi semua pasien

Page 32: STONE BURDEN - UNUD

Octoveryal Aslim Jurnal Bedah Nasional

29

yang ditatalaksana dengan URS memakai

Ho: YAG laser.

Data yang dikumpulkan dari rekam

medis termasuk jenis kelamin, usia, sisi

ureter, lokasi batu ureter, komorbiditas

klinis, operasi simultan lainnya, lama

operasi, lama perawatan post operasi, lama

JJ stent dipertahankan, dan angka bebas

batu.

Terminologi ureter proksimal mengacu

pada bagian ureter proksimal hingga ke

pelvic brim, dan ureter distal dimulai dari

pelvic brim hingga kandung kemih.

Definisi bebas batu adalah tidak

terdapat batu sisa baik yang retropulsi saat

operasi maupun dari pemeriksaan rontgen

polos abdomen maupun ultrasonografi

ginjal paska operasi.

HASIL

Terdapat 182 pasien dengan batu ureter

yang menjalani URS dengan Ho: YAG

laser pada tabel 1.

Tabel 1. Data Demografi Pasien

Total kasus 205

Total pasien 182

Jenis kelamin

pria / wanita 143 / 39

Rerata usia (range) 45,69 (19-76) tahun

Sisi ureter

kanan / kiri 115 / 90

Lokasi

proksimal /

distal 128 / 77

Keseluruhan pasien terdiri dari 143 pria

dan 39 wanita, usia rerata adalah 45,69

(19-76) tahun. Empat belas dari 182 pasien

menderita batu ureter bilateral dan

sembilan pasien menderita batu ureter

proksimal bersamaan dengan batu ureter

distal pada sisi yang sama, sehingga total

kasus menjadi 205 prosedur URS. Kasus

terdiri dari 115 batu ureter kanan dan 90

batu ureter kiri, dengan 128 batu ureter

proksimal, dan 77 batu ureter distal.

Komorbiditas pasien, operasi simultan,

komplikasi, lama operasi, lama perawatan

post operasi, lama JJ stent dipertahankan,

dan kondisi bebas batu tampak pada tabel

2.

Tabel 2. Komorbiditas pasien, operasi

simultan, komplikasi, lama operasi, dan

lama perawatan

Hidronefrosis / kasus 169 (82,4%)

Komorbiditas / kasus 155 (75,6%)

Operasi simultan 33 (16,1%)

Komplikasi 11 (5,4%)

Rerata lama operasi

(range) menit

55,19

(15-235)

Lama perawatan

post operation

(range) hari

3,31

(0-22)

Lama JJ stent

dipertahankan

(range) hari

43,33

(2-167)

Kondisi bebas batu

-Keseluruhan 181 (88,29%)

-Batu ureter

proksimal

(n=128)

110 (85,9%)

-Batu ureter distal

(n=77) 69 (89,6%)

Komorbiditas terbanyak adalah

Hidronefrosis, yaitu 169 (82,4%) dari 205

kasus, terdapat 155 (75,6%) kelainan

penyerta pada keseluruhan kasus. Kelainan

penyerta lainnya meliputi hidroureter

ipsilateral (102 pasien), batu ginjal

kontralateral (12 pasien), batu ginjal

ipsilateral (20 pasien), stenosis ureter

kontralateral (3 pasien), stenosis ureter

ipsilateral (7 pasien), batu cetak ginjal

kontralateral (3 pasien), kingking ureter

ipsilateral (4 pasien), kinking ureter

Page 33: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Evaluasi Ureteroskopi dengan Laser

30

konralateral (1 pasien), batu kandung

kemih (2 pasien), dan pembesaran prostat

jinak (1 pasien).

Operasi simultan lain dilakukan pada 33

pasien (16,1%), operasi-operasi tersebut

adalah extended pielolitotomi kontralateral

dan insersi JJ stent (3 pasien), ESWL pada

batu ginjal ipsilateral (14 pasien), URS

lasertripsi kontralateral (10 pasien), insersi

JJ stent kontralateral (3 pasien), lasertripsi

batu kandung kemih (2 pasien), dan laser

prostatektomi (1 pasien).

Terdapat 11 pasien yang mengalami

demam setelah operasi (5,4%) yang diobati

dengan antibiotik intravena Kami

melakukan insersi JJ stent pada tiap kasus

yang dipertahankan rerata selama 33,2

hari. Tidak terdapat konversi open selama

tindakan.

Pada tabel 3, angka bebas batu secara

keseluruhan adalah 88,29%, yang mana

angka bebas batu pada ureter proksimal

adalah 85,9%, sedangkan ureter distal

89,6%. Kami melakukan tindakan ESWL

untuk tatalaksana batu sisa.

Table 3. Analisis angka bebas batu

Lokasi

batu di

ureter

Bebas batu

p Yes No

Proksimal

(n=128)

110

(85,9%)

18

(14,0%) 0,340*

Distal

(n=77)

69

(89,6%)

8

(10,4%)

*Uji Chi-Square

DISKUSI

Laser Holmium: YAG telah

menunjukkan hasil yang sangat baik dalam

penatalaksanaan endoskopi pada batu

ureter dengan kisaran angka bebas batu

antara 80% dan 100%.1,2,6-11

Penelitian

kami menunjukkan angka bebas batu

secara keseluruhan adalah 88,3%.

Kelebihan dari laser Ho: YAG

dibandingkan dengan perangkat litotriptor

lainnya terletak pada kecilnya ukuran

instrument dan kemampuan fragmentasi

yang sangat baik terhadap batu terlepas

dari komposisinya.1

Panjang gelombang

laser sebesar 2.100 nm yang diserap air

dihantarkan pada jaringan dan permukaan

batu akan menghasilkan kemampuan

memotong dan ablasi jaringan yang sangat

baik. Laser Ho: YAG dapat

menghancurkan batu menjadi fragmen

yang lebih halus dibandingkan dengan alat

litotriptor lainnya, sehingga sesuai untuk

batu ureter yang besar tanpa memerlukan

penggunaan basket maupun forceps.12

Disintegrasi total dapat mengurangi keluar

masuknya alat melalui muara ureter

sehingga dapat mengurangi lama operasi.

Laser Ho: YAG merupakan litotriptor

ideal untuk batu ureter yang besar.

Penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa ukuran batu tidak mempengaruhi

angka bebas batu pada batu ureter.1,2,13

Menurut Seitz et al, komorbiditas

terbanyak pada batu ureter adalah

hidronefrosis mencapai 85,3%.1 Pada

penelitian kami menemukan 82,4%

mengalami hidronefrosis dari keseluruhan

kasus. Penelitian sebelumnya melaporkan

komplikasi post operasi berkisar antara

1,3% sampai 7 %.1 Dalam penelitian kami

ditemukan 5,4% kasus mengalami

komplikasi post operasi setelah menjalani

URS dengan laser Ho: YAG.

Pasien yang mengalami batu ureter

yang impacted, dinding ureter dapat

mengalami inflamasi yang disertai edema,

fibrosis interstisial, dan hipertrofi urotelial

pada stone bed.1

Hal-hal tersebut dapat

menghambat disintergrasi batu dan

meningkatkan resiko kerusakan dinding

ureter karena reaksi inflamasi batu yang

akan menyebabkan iskemi. Disintegrasi

Page 34: STONE BURDEN - UNUD

Octoveryal Aslim Jurnal Bedah Nasional

31

batu ureter yang impacted dapat dilakukan

memakai laser Ho: YAG sebagai

litotriptor.

Perkembangan instrument dan teknik

URS telah menurunkan insidensi

komplikasi. Avulsi ureter komplit adalah

salah satu komplikasi yang paling serius

saat melakukan URS, hal ini hampir selalu

membutuhkan konversi menjadi operasi

terbuka. Stoller dan Wolf’s melakukan

review pada 33 penelitian sepanjang 1984

hingga 1992 dan mendapatkan 17 (0,3%)

kejadian dalam 5.117 pasien.14

Intususepsi

ureter merupakan komplikasi yang jarang

terjadi, hal ini terjadi invaginasi mukosa

ureter akibat traksi lumen ureter yang

mengalami kerusakan sirkumferensial

parsial. Perforasi ureter adalah komplikasi

dari URS yang paling sering dilaporkan.

Secara keseluruhan kejadian perforasi

ureter telah mengalami penurunan seiring

waktu, hal ini disebabkan karena ukuran

ureteroscope yang semakin ramping dan

peningkatan batas keamanan laser dan

perangkat litotripsi pneumatik

dibandingseri electrohydraulic lithotripsy

sebelumnya.2

Untuk menghindari perforasi ureter,

penting untuk selalu secara visual

mengidentifikasi ujung laser dan sinar

penanda selama disintegrasi, terutama bila

terdapat kesulitan akses menuju batu. Jarak

antara ujung laser dan mukosa saluran

kemih harus >1 mm untuk menghindari

perforasi ureter.1,15

Pada tulisan

sebelumnya dikatakan bahwa thermal

injury pada kedalaman 0,5 dan 1mm dapat

mengurangi resiko perforasi ureter dan

kemunginan stenosis.5

Abrasi mukosa

dapat terjadi karena gesekan mekanis

terhadap epitel transisional ureter selama

tindakan URS, mengakibatkan mukosa

berdarah maupun edema sehingga

visualisasi dan manuver menjadi sulit.

Francesca et al. melaporkan 24% insiden

cedera ureter pada 248 prosedur URS

ukuran besar (9,5 atau 11,5 Fr) sedangkan

pada instrument yang lebih kecil (6-7,5 Fr)

hanya 6% pada 49 prosedur.14

Banyak

penelitian telah membuktikan efikasi dan

keamanan dari Ho: YAG pada pasien

resiko tinggi, seperti pasien anak-anak,

wanita hamil ataupun pasien koagulopati

dengan urolitiasis.16-19

Penelitian sebelumnya melaporkan

rerata lama operasi pada batu kurang dari

100mm dan lebih dari 10mm adalah 34,6

dan 48,2 menit.10

Penelitian kami

menunjukkan rerata lama operasi adalah

55,2 menit tanpa membedakan ukuran

batu.

Komplikasi jangka panjang paska

operasi yang paling sering adalah stenosis

ureter. Hal ini dapat disebabkan oleh

trauma ureter dari instrumentasi batu yang

impacted. Penggunaan ureteroskop ukuran

besar (9,5-12,5 Fr) juga dapat

menyebabkan stenosis karena trauma

mukosa ureter. Angka kejadian stenosis

telah mengalami penurunan seiring dengan

ukuran ureteroskop yang semakin ramping

dan teknik ureteroskopi yang semakin

baik.

Beberapa instrumen tambahan telah

tersedia untuk meningkatkan keberhasilan

dari URS litotripsi. Kegagalan URS

litotripsi pada batu ureter proksimal sering

disebabkan oleh migrasi batu ke dalam

pelvis renalis dan kalises. Perangkat

Basket diproduksi dari material yang

sangat fleksibel (nitinol) dengan ukuran

cukup kecil untuk mengurangi impedansi

aliran irrigant melalui working channel

URS sehingga meningkatkan visualisasi.

Ho: YAG laser juga sangat meningkatkan

efektivitas litotripsi intracorporal.2

Berbagai perangkat telah dikembangkan

Page 35: STONE BURDEN - UNUD

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Evaluasi Ureteroskopi dengan Laser

32

untuk mencegah migrasi batu selama

litotripsi, seperti stone cone.2,20

Pada penelitian kami, semua kasus

paska litotripsi dilakukan insersi JJ stent

untuk mencegah obstruksi karena edema

mukosa ureter paska tindakan.

SIMPULAN

URS memakai laser Ho: YAG

merupakan prosedur yang aman dan

efektif untuk pasien dengan batu ureter

terlepas dari lokasi batu pada ureter.

DAFTAR PUSTAKA

1. Seitz C, Tanovic E, Kikic Z, et al.

Impact of stone size, location,

composition, impaction, and

hydronephrosis on the efficacy of

holmium: YAG-laser

ureterolithotripsy. Eur Urol.

2007;52:1751-9.

2. Kijvikai K, Haleblian GE, Preminger

GM, et al. Shock wave lithotripsy or

ureteroscopy for the management of

proximal ureteral calculi: an old

discussion revisited. J Urol.

2007;178:1157-63.

3. Anagnostou T, Tolley D. Management

of ureteric stones. Eur Urol.

2004;45:714-21.

4. Bierkens AF, Hendrikx AJM, de la

Rosette JJMCH, et al. Treatment of

mid- and lower ureteric calculi:

extracorporeal shock-wave lithotripsy

vs laser ureteroscopy. A comparison of

costs, morbidity, and effectiveness. Br

J Urol. 1998;81:31-5.

5. Johnson DE, Cromeens DM, Price RE.

Use of the Ho: YAG in urology.

Lasers Surg Med. 1992;12:353-63.

6. Salem HK. A prospective randomized

study comparing shock wave

lithotripsy and semirigid ureteroscopy

for the management of proximal

ureteral calculi. Urology.

2009;74:1216-22.

7. Teichman JM, Rao RD, Rogenes VJ, et

al. Ureterorenoscopic management of

ureteral calculi: electrohydraulic versus

holmium: YAG lithotripsy. J Urol.

1997;158:1357-61.

8. Grasso M. Experience with the

holmium laser as an endoscopic

lithotrite. Urology. 1996;48:199-206.

9. Sofer M, Watterson JD, Wollin TA, et

al. Ho: YAG lithotripsy for upper

urinary tract calculi in 598 patients. J

Urol. 2002;167:31-4.

10. Lam JS, Greene TD, Gupta M.

Treatment of proximal ureteral calculi:

holmium: YAG laser ureterolithotripsy

versus extracorporeal shock wave

lithotripsy. J Urol. 2002;167:92.

11. Mediana E, Manuputty EE, Manuputty

D. Impact of stone size, stone location,

hydronephrosis, and ureteral stenosis

on the efficacy of holmium: YAG laser

ureterolithotripsy. Unpublished article

2011.

12. Teichman JM, Vassar GJ, Bishoff JT,

et al. Holmium: YAG lithotripsy yields

smaller fragments than lithoclast,

pulsed dye laser or electrohydraulic

lithotripsy. J Urol. 1998;159:17-23.

13. Chen CS. Holmium: YAG lasertripsy

with semirigid ureterorenoscope for

upper-ureteral stones >2 cm. J

Endourol. 2005;19:780-4.

14. Johnson DB, Pearle MS. Complication

of ureteroscopy. Urol Clin N Am.

2004:31:157-71.

15. Teichman JM, Vassar GJ, Glickman

RD, et al. Holmium: YAG lithotripsy:

Photodermal mechanism converts uric

acid to cyanide. J Urol. 1998;160:320-

4.

Page 36: STONE BURDEN - UNUD

Octoveryal Aslim Jurnal Bedah Nasional

33

16. Minevich E, Sheldon CA. The role of

ureterolithotripsy in pediatric urology.

Curr Opin Urol. 2006;16:295-8.

17. Wollin TA, Teichman JM, Rogenes

VJ, et al. Holmium: YAG lithotripsy in

children. J Urol. 1999;162:1717-20.

18. Watterson JD, Girvan AR, Beiko DT,

et al. Ureterolithotripsy and holmium:

YAG laser lithotripsy: an emerging

definitive management strategy for

symptomatic ureteral calculi in

pregnancy. Urology. 2002;60:383-7.

19. Matsuoka K, Iida S, Inoue M, et al.

Endoscopic lithotripsy with the

holmium: YAG laser. Lasers Surg

Med. 1999;25:389-95.

20. Desai MR, Patel SB, Desai MM, et al.

The Dretler stone cone: a device to

prevent ureteral stone migration-the

initial clinical experience. J Urol.

2002;167:1985-8.

Page 37: STONE BURDEN - UNUD