Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan...
Transcript of Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan...
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
Editor:Prof. Dr. Ali SumanProf. Dr. Wudianto
Drs. Bambang Sumiono, M.Si.
Kerja sama:
Balai Penelitian Perikanan Laut•Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan•Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan•Kementerian Kelautan dan Perikanan•
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
Editor:Prof. Dr. Ali SumanProf. Dr. WudiantoDrs. Bambang Sumiono, M.Si.
Copyright © 2011 Balai Penelitian Perikanan Laut
Pencetakan buku Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini dibiayai dari dana APBN Balai Penelitian Perikanan Laut TA. 2011
Korektor : Putri KomalasariDesainer Sampul & Penata Isi : Sani Etyarsah dan Ardhya Pratama
PT Penerbit IPB PressKampus IPB Taman Kencana Bogor
Cetakan Pertama: Desember 2011
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hak cipta dilindungi oleh undang-undangDilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
ISBN: 000-000-000-000-0
Kata Pengantar
Buku “Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini” merupakan hasil karya ilmiah para peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL), Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Atas selesainya buku ini dipanjatkan rasa syukur ke hadirat Allah Swt., yang telah memberi Berkah dan Kemudahan dalam proses penyusunannya.
Buku ini merupakan hasil penelitian para peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut dalam rangka mengkaji status pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Indonesia, terutama difokuskan di perairan Teluk Tomini. Buku ini sangat berguna sebagai bahan masukan bagi para pembuatan kebijakan untuk meningkatkan kualitas kebijakan pengelolaan yang ada. Dengan demikian, keputusan-keputusan pengelolaan yang dihasilkan akan dapat melindungi dan melestarikan sumber daya ikan bagi tujuan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Makalah yang dimuat dalam buku ini sudah dipresentasikan dalam acara Seminar Perikanan Pelagis Kecil di Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2011 dan Forum Teluk Tomini yang diadakan di Bogor pada tanggal 4—5 Oktober 2011, dan telah dilakukan evaluasi oleh para editor, untuk kemudian dilakukan perbaikan oleh penulis masing-masing. Atas usaha dan kerja keras dari para editor: Prof. Dr. Wudianto, Prof. Dr. Ali Suman, dan Drs. Bambang Sumiono, M.Si, serta para penulis dalam penyempurnaan makalah-makalah yang termuat dalam buku ini diucapkan terima kasih.
Kata Pengantar
iv
Sebagai suatu karya ilmiah, saya mengharapkan buku ini dapat dijadikan acuan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan. Semoga Allah Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya bagi kita semua serta semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan bangsa Indonesia.
Jakarta, Desember 2011
Kepala Balai,
Prof. Dr. Ali Suman
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................. iiiDaftar Isi ........................................................................................... vDaftar Tabel .................................................................................... viiDaftar Gambar ................................................................................. xi
Perkembangan Penelitian Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di IndonesiaOleh Suwarso dan Bambang Sadhotomo ............................................. 1
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan Oleh Suherman Banon Atmaja, Bambang Sadhotomo, dan M. Natsir 17
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknyauntuk Pengelolaan PerikananOleh Achmad Zamroni, Suwarso, dan Estu Nugroho.......................... 33
Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Jenis-jenis Ikan Pelagis Kecil di Perairan IndonesiaOleh Tuti Hariati, Wiwiet An Pralampita, dan M. Taufik ................ 51
Kasus Teluk Tomini
Produksi dan Ukuran Yellowfin Tuna di Teluk TominiOleh Siti Mardlijah dan Aisyah ........................................................ 65
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon kauderni) di Perairan Banggai KepulauanOleh Sri Turni Hartati, Prihatiningsih, dan Lilies Sadiyah ................ 77
Daftar Isi
vi
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk TominiOleh Asep Priatna dan Suwarso ...................................................... 103
Tren Indeks Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Teluk Tomini (WPP 716)Oleh Ali Suman, D. S. Effendi, dan Badrudin ................................. 121
Status Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Pengelolaannya Secara Berkelanjutan di Perairan Teluk TominiOleh Suwarso, Achmad Zamroni, dan M. Fauzi .............................. 131
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil Di Teluk TominiOleh M. Natsir, Suwarso, Khairul Amri, dan Asep Priatna .............. 149
Daftar Tabel
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknyauntuk Pengelolaan Perikanan
Oleh Achmad Zamroni, Suwarso, dan Estu Nugroho
Tabel 1. Distribusi frekuensi haplotipe dari beberapa contoh ikan kembung (Rastrelliger brachysoma) di pantai utara Jawa
berdasarkan mtDNA D-loop yang direstriksi oleh 4 jenis enzim renstriksi .........................................................38
Tabel 2. Keragaman genetik (diversitas haplotipe, h) sekuen mtDNA D-loop dari tujuh populasi ikan layang (Decapterus russelli)
hasil restriksi oleh tiga enzim restriksi (Afa I, Hin6 I, dan Taq I) .....................................................39
Tabel 3. Keragaman genetik mtDNA D-loop layang deles (Decapterus macrosoma) dari enam populasi berdasarkan hasil restriksi enzim AluI, TaqI, Hinc6I, AfaI, Hind III, dan Msp I ....................................................41
Tabel 4. Keragaman genetik (diversitas haplotype, h) sekuen mtDNA D-loop dari tujuh populasi ikan layang biru (Decapterus
macarellus) hasil restriksi oleh enzim restriksi Alu I, Hind III, Mbo I (Nde II), Rsa I, Taq I, dan Xba I ...............................43
Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Jenis-jenis Ikan Pelagis Kecil di Perairan Indonesia
Oleh Tuti Hariati, Wiwiet An Pralampita, dan M. Taufik
Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dan sekitarnya ..................................................53
Tabel 2. Dugaan parameter pertumbuhan(Loo, K, dan t0) ikan banyar Rastrelliger kanagurta dari perairan Laut Jawa melalui metode-metode iterasi dan Gulland dan Holt Plot ..................................................55
Tabel 3. Parameter pertumbuhan (Loo dan K) dan parameter kematian (Z,M, dan F) ikan pelagis kecil dari perairan Selat Malaka dan Barat Sumatera ...................56
Tabel 4. Parameter pertumbuhan dan parameter kematian tiga spesies ikan pelagis kecil dari perairan Laut Cina Selatan (LCS) ......................................................57
Tabel 5. Parameter pertumbuhan dan parameter kematian lima spesies ikan pelagis kecil dari perairan Indonesia Bagian Timur ........................................................... 58
Tabel 6. Masa pemijahan dan panjang pertama kali matang gonad ikan pelagis kecil dari beberapa perairan di Indonesia ...........58
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
Oleh Sri Turni Hartati, Prihatiningsih, dan Lilies Sadiyah
Tabel 1. Pilihan Model hasil Stepwise AIC. Model terbaik adalah model yang memiliki nilai AIC terkecil .....................90
Tabel 2. Hasil Analisis Deviasi dari model terbaik .............................90
Tabel 3. Jumlah telur/juvenil ikan banggai kardinal pada fase-fase reproduksi ......................................................94
Tabel 4. Hubungan panjang-berat ikan banggai kardinal ..................95
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
Oleh Asep Priatna dan Suwarso
Tabel 1. Seting parameter akustik pada waktu akuisisi data ..............107
Tabel 2. Hasil pengukuran terhadap sampel ikan malalugis (Decapterus macarellus) dari masing-masing trip pengamatan
109
Tabel 3. Distribusi nilai TS ikan pelagis kecil tiap strata kedalaman untuk masing-masing waktu pengamatan .........111
Tabel 4. Nilai estimasi biomassa ikan pelagis kecil menurut strata kedalaman .................................................116
Tren Indeks Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Teluk Tomini (WPP 716)
Oleh Ali Suman, D. S. Effendi, dan Badrudin
Tabel 1. Pembakuan (standardisasi) PFI alat tangkap Perikanan pelagis kecil di WPP 716 ...................................124
Tabel 2. Produksi, Upaya, dan CPUE Perikanan pelagis kecil di kawasan WPP 716 .....................................127
Status Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Pengelolaannya Secara Berkelanjutan di Perairan Teluk Tomini
Oleh Suwarso, Achmad Zamroni, dan M. Fauzi
Tabel 1. Jumlah unit pukat cincin dan hasil tangkapan di Teluk Tomini tahun 2009 .............................................136
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini
Oleh M. Natsir, Suwarso, Khairul Amri, dan Asep Priatna
Tabel 1 Tren laju tangkap (kg/hari) purse seine mini (pajeko) Gorontalo yang aktif di Teluk Tomini tahun 2004, 2006, dan 2010 ..............................................158
Daftar Gambar
Perkembangan Penelitian Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Indonesia
Oleh Suwarso dan Bambang Sadhotomo
Gambar 1. Hipotesis pola migrasi ikan layang (Decapterus russelli) oleh Hardenberg (1938) ....................................................3
Gambar 2. Hasil pengumpulan data melalui pengambilan contoh secara komprehensif terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang didaratkan di Pekalongan dan Juwana, 1991–1993 ....................................................6
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan Oleh Suherman Banon Atmaja, Bambang Sadhotomo, dan M. Natsir
Gambar 1. Rata-rata jumlah trip/kapal dalam kurun waktu 1986–2010 ............................................................20
Gambar 2. Ilustrasi lisensi berdasarkan daerah penangkapan ...............21
Gambar 3. Aktivitas kapal (trip) berdasarkan daerah penangkapan di Pelabuhan Muara Baru .................................................22
Gambar 4. Plot dari 3 kapal sampel berdasarkan data VMS yang menggambarkan daerah penangkapan pukat cincin (Data VMS dari Pusat Pemantauan Kapal Perikanan DitJen P2SDKP) .............................................23
Gambar 5. Ploting track dari data VMS dan estimasi trip dan tawur ...25
Daftar Tabel
xii
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknyauntuk Pengelolaan Perikanan
Oleh Achmad Zamroni, Suwarso, dan Estu Nugroho
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel ..............................................35
Gambar 2. Dendogram filogenetik dari 7 populasi ikan layang (D. russelli) hasil analisis RFLP dengan menggunakan 3 enzim restriksi .......................................39
Gambar 3. Dugaan unit stok dan sebarannya dari ikan layang biasa (Decapterus russelli) di perairan L. Jawa, Sel. Makassar, L. Flores dan L. Banda .....................................................40
Gambar 4. Dendrogram filogenetik antara 6 populasi layang deles (Decapterus macrosoma) di Indonesia berdasarkan jarak genetik Nei (D) ....................................41
Gambar 6. Dendrogram hubungan kekerabatan (filogeni) dari 7 populasi contoh ikan malalugis (Decapterus macarellus) di sekitar Sulawesi ............................................................44
Gambar 7. Struktuk genetika populasi dan hubungan kekerabatan ikan malalugis di perairan sekitar Pulau Sulawesi ..............45
Produksi dan Ukuran Yellowfin Tuna di Teluk TominiOleh Siti Mardlijah dan Aisyah
Gambar 1. Produksi yellowfin tuna yang didaratkan di Marisa, 2004–2010 ......................................................71
Gambar 2. Ukuran yellowfin tuna yang didaratkan di Marisa, tahun 2007, 2008, 2010, dan 2011 ..................................73
Gambar 3. Ukuran yellowfin tuna hasil tangkapan pukat cincin (A) dan hand line (B) yang didaratkan di Marisa, 2010 ....75
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
Oleh Sri Turni Hartati, Prihatiningsih, dan Lilies Sadiyah
Gambar 1. Penyebaran endemik ikan banggai kardinal (Vagelli 2005) .................................................................81
Gambar 2. Daerah penyebaran ikan banggai kardinal di Perairan Pulau Banggai .................................................82
Gambar 3. Kepadatan spasial ikan banggai kardinal di beberapa wilayah perairan di Banggai Kepulauan .......83
Gambar 4. Habitat ikan banggai kardinal di perairan Banggai Kepulauan .........................................84
Gambar 5. Tipe substrat pada habitat ikan banggai kardinal di Banggai Kepulauan .........................................85
Gambar 6. Kisaran nilai kedalaman, suhu, pH, oksigen terlarut, dan salinitas di perairan Banggai Kepulauan .....................86
Gambar 7. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan data frekuensi panjang ikan banggai kardinal ..........................91
Gambar 8. Mortalitas ikan banggai kardinal (Pterapogon kauderni) berdasarkan pada kurva panjang hasil tangkapan yang dikonversi .......................................92
Gambar 9. TKG ikan banggai kardinal pada setiap bulan pengamatan ..................................................93
Gambar 10. Komposisi makanan isi lambung ikan banggai kardinal ...95
Gambar 11. Bundre dan Cang sebagai alat tangkap ikan banggai ........96
Gambar 12. Data produksi ikan banggai kardinal di perairan Banggai Kepulauan .........................................98
Daftar Gambar
xiv
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
Oleh Asep Priatna dan Suwarso
Gambar 1. Trek akusisi akustik pada 3 periode waktu pengambilan data .................................................106
Gambar 2. Hubungan nilai TS terhadap ukuran dugaan (FL) ikan pelagis kecil ........................................109
Gambar 3. Persentase frekuensi distribusi ukuran ikan malalugis (Decapterus macarellus) hasil tangkapan nelayan pada bulan Mei, Juli, dan Desember ..............................110
Gambar 4. Persentase jumlah target tunggal berdasarkan nilai TS tiap strata kedalaman pada bulan Mei (A), Juli (B), dan Desember (C) .............................112
Gambar 5. Persentase jumlah target tunggal berdasarkan nilai TS untuk tiap kelompok ukuran pada bulan Mei (A), Juli (B), dan Desember (C) .............................113
Gambar 6. Persentase jumlah target ikan pelagis kecil tiap strata kedalaman yang sama pada musim yang berbeda untuk tiap kelompok ukuran ..........................................114
Gambar 7. Persentase rata-rata densitas tiap strata kedalaman untuk masing-masing waktu pengamatan .......................115
Gambar 8. Kepadatan stok SDI pelagis kecil dari permukaan sampai kedalaman 50 meter di Teluk Tomini ............................117
Gambar 9. Fluktuasi bulanan laju tangkap ikan pelagis kecil oleh armada purse seine mini yang berbasis di Gorontalo tahun 2010................................................118
Daftar Gambar
xv
Tren Indeks Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Teluk Tomini (WPP 716)
Oleh Ali Suman, D. S. Effendi, dan Badrudin
Gambar 1. Tren Produksi (Catch), Upaya (Effort) dan Hasil tangkapan per unit Upaya (CPUE), Perikanan pelagis kecil di WPP 716 ................................................128
Status Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Pengelolaannya Secara Berkelanjutan di Perairan Teluk Tomini
Oleh Suwarso, Achmad Zamroni, dan M. Fauzi
Gambar 1. Persentase tiap komoditas (A), pendaratan ikan pelagis kecil di wilayah provinsi (B) dan kabupaten (C), dan komposisi jenis ikan pelagis kecil y ang didaratkan (D) .........................................................133
Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan pelagis dan posisi rumpon (merah) yang dapat dicatat di perairan Teluk Tomini ...............................................135
Gambar 3. Fluktuasi musiman laju tangkap purse seine mini Gorontalo dan Bitung di perairan Teluk Tomini dan Laut Maluku 2010 ...................................................138
Gambar 4. Perubahan komposisi jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap pukat cincin mini di Teluk Tomini menurut daerah penangkapan ........................................139
Gambar 5. Variasi komposisi jenis hasil tangkapan ikan pelagis yang tertangkap purse seine mini di Teluk Tomini 2010 .........140
Gambar 6. Komposisi jenis ikan pelagis kecil hasil tangkapan pukat cincin Gorontalo berdasarkan bulan .....................140
Gambar 7. Hasil tangkapan ikan pelagis kecil dan malalugis di Gorontalo berdasarkan bulan .....................................141
Gambar 8. Laju tangkap ikan pelagis kecil di Gorontalo ..................141
Gambar 9. Komposisi jenis ikan pelagis kecil di Gorontalo berdasarkan daerah penangkapan....................................142
Gambar 10. Dendogram filogenetik dari 7 populasi ikan layang biru (Decapterus macarellus) hasil analisis RFLP dengan
menggunakan 6 enzim restriksi ............................................................143
Gambar 11. Perkembangan musiman nilai GSI (Gonado Somatic Index, dalam %) ikan Malalugis (Decapterus macarellus) betina di sekitar Sulawesi, 2009–2010 ..........144
Gambar 12. Persentase kumulatif dari sebaran frekuensi panjang ikan malalugis (Decapterus macarellus) yang didaratkan di Bitung tahun 2010 memperlihatkan ukuran rata-rata ikan yang tertangkap (L50 = 18,3 cm) .............................145
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk TominiOleh M. Natsir, Suwarso, Khairul Amri, dan Asep Priatna
Gambar 1. Fluktuasi SOI bulanan periode 2000–2010 ....................154
Gambar 2. Grafik fluktuasi suhu permukaan (atas) dan konsentrasi klorofil-a (bawah) ..................................155
Gambar 3. Hasil tangkapan purse seine mini (MPS, lokal: “pajeko”) harian yang mendarat di Gorontalo dan Bitung tahun 2010 ..................................................157
Gambar 4. Komposisi jenis hasil tangkapan ikan pelagis yang tertangkap purse seine mini di Teluk Tomini dan Laut Maluku, 2010 ..................................................158
Gambar 5. Tren laju tangkap (kg/hari) purse seine mini (pajeko) Gorontalo di Teluk Tomini ...........................................159
Gambar 6. Fluktuasi SOI bulanan periode 2000–2010 dan fluktuasi hasil tangkapan 2000–2010 .......................160
Perkembangan Penelitian Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Indonesia
Suwarso dan Bambang Sadhotomo
AbstrakSumber daya ikan pelagis kecil memiliki peran yang cukup penting
untuk pengembangan perikanan di Indonesia. Potensi produksi lestari sumber daya ikan ini mencapai 55% dari potensi produksi total perikanan laut di Indonesia. Penelitian perikanan pelagis di Indonesia telah lama dilakukan sejak tahun 1910 dan terus berlangsung sampai saat ini. Kegiatan penelitian pelagis kecil meliputi identifikasi stok, kelimpahan stok, pola migrasi, dinamika populasi, dan aspek perikanan lainnya. Penelitian dilaksanakan melalui kerja sama internasional, regional, dan tingkat nasional. Perkembangan penelitian dan kendala yang dihadapi berdasarkan kurun waktu disajikan dalam tulisan ini.
Kata Kunci: Penelitian, pelagis kecil, perairan Indonesia.
Pendahuluan Sumber daya ikan pelagis kecil merupakan sumber daya ikan cukup
penting di wilayah perairan Indonesia dan hampir menyebar di seluruh wilayah perairan, terutama perairan di dekat pantai. Berdasarkan hasil Kajian Stok Sumber daya Ikan tahun 2010 potensi produksi lestari maksimum ikan pelagis kecil di seluruh wilayah perairan Indonesia sebesar 3,6 juta ton atau sekitar 55% dari total potensi produksi sumber daya ikan. Beberapa jenis ikan pelagis kecil di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
2
tinggi antara lain kembung (Rastrelliger spp.), layang (Decapterus spp.), selar (Selar cromenophthalmus), sardine (Sardinella spp), siro (Amblygaster sirm).
Penelitian sumber daya perikanan (kajian stok) memiliki peran penting bagi pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di suatu wilayah perairan. Tujuan pengelolaan perikanan adalah sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tetap terjaga kelestariannya sehingga dapat memberikan kemakmuran nelayan dan masyarakat pada umumnya. Penelitian perikanan pada dasarnya telah berlangsung cukup lama sejalan dengan berkembang dan berubahnya perikanan, serta mengalami variasi dan modifikasi dalam proses pengumpulan data walaupun metodologi yang diterapkan dalam analisis bersifat standar kajian stok sumber daya ikan.
Tulisan ini membahas tentang perkembangan dalam kegiatan penelitian (kajian stok) sejak awal abad 19, khususnya pada perikanan pelagis kecil dan perikanan pada umumnya. Hasil review ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai evaluasi secara umum dan dapat digunakan sebagai tindak lanjut penelitian selanjutnya.
Perkembangan Penelitian Perikanan Pelagis Kecil
Penelitian kajian stok sumber daya ikan pelagis kecil mulai berkembang seiring dengan berkembangnya perikanan di Laut Jawa sekitar tahun 1970-an. Perkembangan tahunan kegiatan penelitian secara rinci disajikan pada Lampiran 1, 2 dan 3. Uraian perkembangan penelitian dibawah ini disusun menurut periode, berbasis pada perikanan pelagis kecil yang berlangsung di paparan Sunda dengan fokus di perairan Laut Jawa.
Perairan Laut Jawa sejak lama diketahui memiliki sumber daya perikanan yang bersifat strategis sebagai sumber mata pencaharian masyarakat nelayan di sekitarnya. Pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di perairan pantai Laut Jawa telah dilakukan sejak awal abad 19 seperti dilaporkan van Roosendaal (1910) dan van Kampen (1909; 1922) yang mengamati perikanan ‘layang’ di Laut Jawa dan Selat Madura. Pengamatan perubahan-perubahan secara musiman perairan Laut Jawa
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
3
juga dilaporkan oleh Berlage (1927a; 1927b); belakangan di-update secara lebih ilmiah oleh Wyrtki (1961). Penelitian selanjutnya ditujukan terhadap tingkat pre-recruit/larva (early life stage) dari jenis-jenis ikan dominan untuk memperoleh informasi tentang pemijahan ikan layang (Delsman 1926; 1939). Berdasarkan pola perubahan musiman perairan dan penelitian larva tersebut Delsman menyusun suatu spekulasi tentang pemijahan disertai dengan keterangan tentang jenis-jenis larva yang tersamati. Selanjutnya berdasarkan pengetahuan aspek ekologi tentang perubahan musiman perairan dan informasi tentang perikanan pantai ikan layang (Rosenberg pada tahun 30-an), Hardenberg (1938) menyusun suatu hipotesis tentang pola migrasi ikan layang yang keluar dan masuk ke perairan Laut Jawa. Hipotesis menyatakan terdapat stok ‘layang timur’ dan ‘layang barat’ yang masing-masing memasuki perairan Laut Jawa sesuai dengan perubahan musiman yang terjadi disajikan pada Gambar 1. Dugaan pola migrasi ikan layang tersebut setiap saat selalu menjadi topik menarik untuk didiskusikan, namun penelitian yang memberikan informasi ilmiah belum dilakukan. Penelitian yang bersifat penegasan dalam kerangka struktur genetik populasi sekaligus pendugaan unit stok (unit biologi) sebagai unit pengelolaan kemudian telah dirintis oleh Pelfish Project tahun 1995–1996.
Gambar 1. Hipotesis pola migrasi ikan layang (Decapterus russelli) oleh Hardenberg (1938)
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
4
Gambar 1. Hipotesis pola migrasi ikan layang (Decapterus russelli) oleh Hardenberg (1938) (lanjutan)
Penelitian Pengkajian Stok Sumber daya Ikan Periode 1970–1990
Kajian stok secara intensif sebenarnya telah dilakukan pada tahun 1970-an, sejalan dengan perkembangan perikanan yang cepat di perairan ini, Institusi penelitian yang kompeten terdorong untuk melakukan penilaian terkait dengan konsep manajemen yang rasional. Namun demikian, pertanyaan terkait dengan “potensi dan hasil maksimum yang lestari” menjadi masalah besar, padahal hal ini menjadi tujuan utama dari program penelitian perikanan di Indonesia (Badan Litbang Pertanian 1981). Selain itu, permasalahan “elegan” ini kurang didukung oleh informasi bioekologi dari spesies yang bersangkutan; sedangkan studi terkait yang dilaporkan waktu itu (Dwiponggo 1982; 1983; 1987; Sudjastani 1978) cenderung “naïf” karena pandangan yang berlebihan terhadap gambaran MSY. Studi tentang ukuran stok yang tersebar di Laut Jawa dilaporkan oleh Sudjastani (1978) berdasarkan official data. Studi biologi antara lain dilaporkan oleh Atmadja (1988), Sudjastani (1974), Dwiponggo (1982; 1983), dan Widodo (1988a; 1988b).
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
5
Penelitian Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Periode 1991–1996
Kajian stok boleh dikatakan seluruhnya berbasis pada pengambilan contoh secara komprehensif melalui proyek kerja sama penelitian antara Indonesia (Balai Penelitian Perikanan Laut) dan Perancis (ORSTOM) di bawah payung “Java Sea Pelagic Fishery Assessment Project” tahun 1991–1996. Kajian stok di era ini seolah-olah menjadi pijakan (milestone) bagi kajian stok selanjutnya. Sampling (pengambilan contoh) dilakukan secara komprehensif selama tahun 1991–1996, meliputi aspek biologi (perubahan komposisi ukuran dan kondisi visual kematangan gonad), dinamik dan eksploitasi (BIODYNEX), pendugaan stok melalui hidroakustik dan oseanografi, preliminary study tentang “aging” (enam spesies utama) serta studi khusus menyangkut struktur genetik populasi (dua jenis layang). Selama periode tersebut antara tahun 1991–1994 kajian difokuskan pada perikanan purse seine Jawa (purse seine besar/large purse seine dan PS sedang/medium purse seine), sedang antara 1995–1996 kajian difokuskan terhadap perikanan Purse seine mini (pencacahan lapangan dan pola migrasinya). Contoh data biologi yang diperoleh melalui sampling secara komprehensif ditampilkan pada Gambar 2.
Penerapan metode analisis standar dalam konteks perikanan “single-species” (year per recruit, cohort analysis, model Beverton & Holt, dan lain-lain.) telah dilakukan secara intensif terhadap stok ikan banyar (Nurhakim 1993; 1995), dua jenis utama ikan layang (Widodo 1991; 1993a; 1993b), dan kajian aspek bio-ekologi jenis-jenis utama (Sadhotomo 1998). Didukung oleh kajian-kajian lain seperti struktur genetik populasi (Decapterus spp.), studi akustik-oseanografi/iklim serta kajian terkait dinamika perikanan dan life-history, keseluruhan studi ditujukan untuk memberikan opsi-opsi kebijakan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Namun demikian, informasi tentang aspek life history secara utuh belum diketahui benar. Di mana lokasi spesifik pemijahan ikan, jumlah dan fluktuasinya (musiman tahunan) dari induk ikan (spawning biomass) belum diketahui secara tepat.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
6
Long
ueur
(cm
)
0
10
20
30
Long
ueur
(cm
)
0
10
20
30
jan fév mar avr mai juin juil août sep oct nov déc
décjan fév mar avr mai juin juil août sep oct nov
1995
1994
20 %
Decapterus macrosoma
0décjuin juil août sep oct nov jan fév mar avr mai juin juil
1994 1995
décjuin juil août sep oct nov jan fév mar avr mai juin juil19941993
Decapterus russellii
10
20
Long
ueur
(cm
)Lo
ngue
ur (c
m)
0
10
20
20 %
Gambar 2. Hasil pengumpulan data melalui pengambilan contoh secara komprehensif terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang didaratkan di Pekalongan dan Juwana, 1991–1993
Keterangan: Kiri: data length-frequency bulanan; Kanan: fluktuasi indeks gonad secara bulanan
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
7
D. macrosoma
0
5
10
15
20
jan1992
mar mai juill sep nov jan1993
mar mai juill sep nov
IGS
(%)
Decapterus russelli
0
2
4
6
8
10
12
jan1992
mar mai juill sep nov jan1993
mar mai juill sep nov
IGS
(%)
Gambar 2. Hasil pengumpulan data melalui pengambilan contoh secara komprehensif terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang didaratkan di Pekalongan dan Juwana, 1991–1993 (lanjutan)
Kegiatan Penelitian Perikanan Pelagis Kecil Periode 2001–2010
Penelitian yang bersifat rutin dilaksanakan setiap tahun melalui proyek APBN; lokasi sangat bervariasi seperti terlihat pada Lampiran 2. Dua dasar pertimbangan utama digunakan untuk kajian, yaitu berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) (2001–2005) dan aspek kepakaran (2006–2010). Pada dasarnya, kajian stok dilaksanakan dengan berpedoman pada kebutuhan pengelolaan yang telah ditetapkan, yaitu untuk memperoleh parameter, indikator dan informasi tentang status stok yang dieksploitasi (karakteristik biologi populasi, kelimpahan/densitas, biomassa, catch/
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
8
effort data) yang berguna bagi analisis selanjutnya untuk penyusunan opsi pengelolaan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Meskipun pijakan untuk penelitian sebenarnya telah tersedia, hasil kajian umumnya kurang optimal karena data yang diperoleh sangat terbatas. Kebutuhan serial data secara bulanan seperti ditunjukkan pada Gambar 2 sering tidak terpenuhi akibat waktu pengambilan contoh tidak tepat (kendala musim), sarana dan prasaran penelitian (kapal riset), lokasi sampling jauh dan aspek pendukung penelitian lainnya; tenaga enumerator yang ditunjuk sering kali juga kurang siap dalam melakukan sampling. Penerapan inovasi baru dalam teknik pengamatan laboratorium umumnya tidak/belum dilaksanakan sepenuhnya akibat pengetahuan yang terbatas maupun keterbatasan dana. Permasalahan rumit juga dihadapi pada saat pengumpulan data hasil tangkapan dan upaya di tempat-tempat pendaratan ikan yang umumnya tidak tersedia (terutama di luar Jawa) akibat kurang pahamnya pemangku wilayah tentang pentingnya monitoring. Kendala lain ditemukan dalam hal survei laut untuk studi akustik-oseanografi, yaitu tersedianya sarana kapal penelitian yang kurang memenuhi persyaratan. Ini semua merupakan tantangan yang harus dihadapi di samping tersedianya sumber daya peneliti yang handal dan harus dibentuk melalui pembinaan secara terus menerus.
Kerjasama PenelitianDi samping penelitian kajian stok seperti diuraikan di atas, kajian
spesifik terhadap sumber daya ikan pelagis kecil dilakukan melalui kerja sama penelitian antara Indonesia dengan Australia/CSIRO (studi life-history ikan terubuk/Tropical-shad, Tenualosa macrura, di sekitar Bengkalis, tahun 1996–1998), Indonesia dengan SEAFDEC (dinamika populasi ikan layang dan banyar di Laut China Selatan, tahun 2003–2005). Kajian terhadap sumber daya ikan lemuru di Selat Bali dilakukan secara terus menerus dalam upaya menentukan opsi pengelolaan yang paling tepat terkait perubahan dinamis sumber daya terhadap perubahan iklim yang terjadi.
Studi life-history ikan Terubuk merupakan kajian biologi dasar yang dilakukan secara komprehensif terhadap aspek reproduksi (preparasi histology gonad/ovary), umur dan pertumbuhan (aging otolith/sagittae), food & feeding habit, genetik, larva/telur dan pola migrasi ikan. Semua kegiatan
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
9
ini memberikan kontribusi penting bagi penelitian yang bersifat rutin melalui transfer metodologi dalam tehnik laboratorium, apalagi pijakan penelitian tersedia. Sementara itu, kerja sama riset dengan SEAFDEC yang bertujuan sustainable fishery dan berbasis length-based analyses dan aspek reproduksi (perubahan visual gonad maturity) telah dilaksanakan terutama terhadap 2 jenis ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) dan banyar (R. kanagurta) dalam proseknya sebagai shared stock di kawasan Asean. Meskipun dengan menggunakan metode standar, melalui kerja sama ini telah dapat meningkatkan kapasitas penelitian.
Prospek Penelitian Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan
Dalam hal monitoring dan pendataan perikanan, perkembangan perikanan dalam tahun-tahun terakhir nampaknya kurang mendapat perhatian. Akibat makin menipisnya stok ikan (Atmaja, 2005; Atmaja & Nugroho, 2005; Atmaja & Nurhakim, 2005), kemungkinan kegagalan recruitment akibat kerusakan habitat dan variabilitas interannual hasil tangkapan yang diperoleh semakin tidak menentu. Terjadinya transaksi jual-beli di laut (transhipment) yang masih banyak menimbulkan kekacauan dalam sistim landing dan berakibat pada biasnya hasil tangkapan (laju tangkap) dan produksi riil perikanan. Di beberapa tempat pendaratan, walau kondisi ikan contoh yang didaratkan masih segar tetapi kurang mewakili karena telah melalui penyortiran dalam jenis dan ukuran; kurang bagusnya sistim monitoring hasil tangkapan semakin menyulitkan dalam pendataan. Dari hal tersebut suatu rancangan penelitian perlu disusun guna mendapatkan data kajian stok yang memadai dan akurat, meliputi sistem monitoring, sampling prosedur, sesuai dengan substansi kajian (biologi, catch/effort data, dinamika perikanan, sampling di laut).
Secara substansial kajian-kajian biologi dasar terkait aspek life-history tetap merupakan kegiatan kajian yang menjanjikan untuk menghasilkan parameter/indikator yang bermanfaat bagi penentuan opsi-opsi yang tepat untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan. Sejalan dengan hal tersebut kajian lingkungan perairan (dinamika massa air, biologi perairan) sangat bermanfaat bagi keberadaan stok sumber daya ikan yang dieksploitasi.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
10
PenutupMeskipun penelitian stok sumber daya ikan telah lama dilakukan di
wilayah perairan Indonesia, ternyata masih ditemui beberapa kendala, antara lain keberlanjutan pengumpulan data dan sarana kapal penelitian yang kurang memadai. Mengingat luasnya wilayah perairan Indonesia, maka diperlukan strategi penelitian yang tepat khususnya dalam pengkajian stok sumber daya ikan.
Daftar PustakaArnaud S. 1996. Le chinchard, Decapterus macrosoma, poisson pélagique de
Mer de java, un exemple d’espèce marine génétiquement structurée. Mem. DEA. USTL-ENSAM. Montpellier. 21 p.
Atmaja SB. 1988. Estimation of growth and mortality of round scad (Decapterus macrosoma) in the Java Sea, Indonesia. In Venema, S.C., Christensen, J.M. and Pauly, D. (eds). Contribution to tropical fisheries biology. FAO, Fish.Rep. Vol. 389: 324–345.
Berlage HP. 1927a. The monsoon currents in the Java Sea and its entrance. Koninklijke Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia, Verhandelingen. Vol. 19: 1–28. Batavia: Javasche Boekhandel en Drukkerij.
Berlage HP. 1927b. East-monsoon forecasting in Java. Koninklijke Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia, Verhandelingen. Vol. 20: Batavia: Javasche Boekhandel en Drukkerij.
Delsman HC. 1926. Fish larvae and eggs in the Java Sea. 8. Dorosoma chacunda (H.B.). Treubia. Vol. VIII, Livr. 3–4.
Delsman HC. 1939. Preliminary plankton investigation in the Java sea. Treubia. Vol. 17: 139-181.
Dwiponggo A. 1982. Study on the fisheries resources potential and the level of exploitation in the waters of north Java. Mar. Fish. Res. Report. Vol. 23: 69–81.
Dwiponggo A. 1983. Marine fisheries resources in the Java Sea. Mar. Fish. Res. Report. Vol. 28: 13–33.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
11
Jong de JK. 1940. Preliminary investigation of the spawning habits of some fishes of the Java Sea. Treubia, Deel 17, Afl. 4: 307–330.
Kampen van PN. 1909. De hulpmiddelen der zee visscherij op Java en Madoera in gebruik (Batavia). Mededeelingen Dept. van Lanbouw nr 9.
Kampen van PN. 1922. Visscherij en vischteelt in Nederlandsch Indie. HD. Tjeenk Willink & Zoon. Harlem. 106 p.
Nurhakim S. 1993. Biologie et dynamique du “Banyar” Rastrelliger kanagurta (Téléoséen-Scombridae) dans la pêcherie des grand senneurs en mer de Java. Univ. Bretagne Occidentale, Brest. These doctorat. 106 p.
Nurhakim S. 1995. Population dynamics of ikan banyar (Rastrelliger kanagurta). In: Potier, M. and Nurhakim, S. (eds). Seminar on the Biology, Dynamics and Exploitations (BIODYNEX). Java Sea Pelagic Fishery Assessment Project.
Perrin C. 1998. Phylogénie de l’ADN mitochondrial, structure géographique et reconstruction de l’histoire évolutive des populations du complexes d’espèce Decapterus cf. russelli dans le sud-est asiatique. Mem. DEA. Univ. Mediterranee Aix-Marseille II. ORSTOM/lab. Génome et Populations, CNRS UPR 9060. 43p.
Veen PCH. 1953. Preliminary chart of the mean salinity of the Indonesian Archipelago and adjacent waters. Org. Sci. Res. Indonesia, Bull. 17. 46p.
Widodo J. 1988a. Population dynamics and management of “ikan layang”, scad mackerel, Decapterus spp. (Pisces: Carangidae) in the Java Sea. Ph.D thesis. University of Washington, Seattle. 150p.
Widodo J. 1988b. Population parameters of « ikan layang » Indian scad, Decapterus spp. (Pisces Carangidae) in the Java Sea. J. Mar. Fish. Res. Vol. 46: 11–44.
Widodo J. 1991. Maturity and spawning of shortfin scad (Decapterus macrosoma) (Carangaidae) of the Java Sea. Asian Fish. Sci. Vol. 4: 245-252.
Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of the South east Asian Waters. Naga Report. Vol. 2: 1–145. Ed. Vol. 53: 249–252.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
12
Lam
pira
n 1.
K
egia
tan
pene
litia
n pe
lagi
s kec
il pa
da ta
hun
1991
–200
0
TAH
UN
JUD
UL
LOK
ASI
WPP
KET
.SP
ESIE
SK
eter
anga
n19
91Ja
va S
ea P
elag
is Fi
sher
y As
sess
men
t Pro
ject
: BI
OD
YNEX
Jaw
a71
2O
RST
OM
PSPe
ngum
pula
n da
ta se
cara
kom
preh
ensif
m
enur
ut w
aktu
(bul
anan
) dan
subs
tans
i ris
et.
1992
1993
1994
Biol
ogi,
dina
mik
a po
p, ca
tch-e
ffort
, ak
ustik
-ose
anog
rafi,
gen
etik
a po
pula
si,
studi
aw
al u
mur
/Oto
lith.
1995
MPS
1996
Stud
i life
-hist
ory T
erub
ukBe
ngka
lis57
1C
SIRO
Teru
buk
Stud
i life
hist
ory s
ecar
a ko
mpr
ehen
sif.
Uku
ran,
pre
para
si hi
stolo
gi, u
mur
-per
-tu
mbu
han,
food
-feed
ing
habi
t, ge
netik
.19
97
1998
1999
2000
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
13
Lam
pira
n 2.
K
egia
tan
pene
litia
n pe
lagi
s kec
il pa
da ta
hun
2001
–200
5
TAH
UN
JUD
UL
LOK
ASI
WP
PK
ET.
SPES
IES
Ket
eran
gan
2001
Bioe
kolo
gi, s
truk
tur p
opul
asi,
dan
alok
asi p
enan
gkap
an S
DI p
elag
is ke
cil d
i per
aira
n
Pant
ai U
tara
Ja
Bar d
an S
. Su
nda
712
APBN
KEM
BUN
G
- SEL
AR
Coa
stal/n
eriti
c hab
itat.
Mig
rasi
min
i pur
se sei
ne. H
asil
tang
kapa
n da
n bi
olog
i.
2002
2003
Stat
us st
ok, d
ampa
k pe
nang
kapa
n da
n ek
obio
logi
SD
I pel
agis
keci
l, pe
lagi
s bes
ar, d
an d
emer
sal
Tel.
Tom
ini
715
APBN
Mal
alug
is,
Mad
idih
ang,
Ik
an K
aran
g
Biol
ogi,
dens
itas-
biom
assa
(aku
stik)
, pro
fil
habi
tat (
pela
gis)
, tre
n ha
sil ta
ngka
pan
Inde
k ke
limpa
han
ikan
pel
agis
keci
lSe
l. M
alak
a - B
arat
Su
mat
ra
APBN
Bany
ar,
Laya
ng
Has
il ta
ngka
pan,
kom
posis
i uku
ran,
dat
a ke
mat
anga
n.
Susta
inab
le P
elag
ic F
isher
ies i
n th
e So
uth
Chi
na S
ea: P
OPU
LAT
ION
D
YNAM
ICS
L. C
hina
Se
lata
n71
1SE
AF-
DEC
Laya
ng,
Bany
ar
Peng
umpu
lan
data
seca
ra k
ompr
ehen
sif
(bul
anan
). Le
ngth
-freq
, dat
a ke
mat
anga
n,
dan
hasil
tang
kapa
n.
2004
Stat
us st
ok, d
ampa
k pe
nang
kapa
n da
n ek
o-bi
olog
i SD
I pel
agis
keci
l, pe
lagi
s bes
ar, d
an d
emer
sal
T. T
omin
i71
5AP
BNM
alal
ugis,
M
adid
ihan
g,
Ikan
Kar
ang
Biol
ogi,
dens
itas-
biom
assa
(aku
stik)
, pro
fil
habi
tat (
pela
gis)
, tre
n ha
sil ta
ngka
pan.
Inde
k ke
limpa
han
ikan
pel
agis
keci
lSe
l. M
alak
a - B
arat
Su
mat
ra
571
- 71
2AP
BNBa
nyar
, La
yang
Has
il ta
ngka
pan,
kom
posis
i uku
ran,
dat
a ke
mat
anga
n.
Susta
inab
le P
elag
ic F
isher
ies i
n th
e So
uth
Chi
na S
ea: P
OPU
LAT
ION
D
YNAM
ICS
L. C
hina
Se
l.71
1SE
AF-
DEC
Laya
ng,
Bany
ar
Peng
umpu
lan
data
seca
ra k
ompr
ehen
sif
(bul
anan
). Le
ngth
-freq
, dat
a ke
mat
anga
n da
n ha
sil ta
ngka
pan.
2005
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
14
Lam
pira
n 3.
K
egia
tan
pene
litia
n pe
lagi
s kec
il pa
da ta
hun
2005
–201
1
TAH
UN
JUD
UL
LOK
ASI
WPP
KET
.SP
ECIE
SK
eter
anga
n
2005
Peru
baha
n up
aya,
has
il ta
ngka
pan
dan
biol
ogi p
opul
asi i
kan
pela
gis
keci
l di L
. Chi
na S
el.,
L. Ja
wa
dan
S. M
akas
ar
Jaw
a-LC
S -
Mak
assa
r71
1 - 7
12 -
713
APBN
Laya
ng, S
elar
, K
embu
ng (P
S - M
PS)
Kaj
ian
pasc
a co
llaps
per
ikan
an P
S.
Has
il ta
ngka
pan
dan
upay
a, b
iolo
gi.
2006
Peru
baha
n up
aya,
has
il ta
ngka
pan
dan
biol
ogi p
opul
asi i
kan
pela
gis
keci
l di L
. Chi
na S
el.,
L. Ja
wa
dan
S. M
akas
ar
Jaw
a-LC
S -
Mak
assa
r71
2 - 7
12 -
713
APBN
Laya
ng, S
elar
, K
embu
ng (P
S - M
PS)
Stud
i aw
al g
enet
ika
popu
lasi
(ikan
ke
mbu
ng, R
. bra
chys
oma)
.
2007
Sisti
m p
erik
anan
, kel
impa
han
dan
peni
laia
n bi
olog
i ika
n pe
lagi
s kec
il di
L. B
anda
Band
a71
4AP
BNM
alal
ugis,
Se
lar
Inde
ks k
elim
paha
n.
Kar
akte
ristik
per
ikan
an p
elag
is ke
cil d
an a
spek
bio
logi
spes
ies
utam
a di
L. A
rafu
raAr
afur
a71
8AP
BNTo
rani
Dist
ribus
i-kel
impa
han
ikan
(tra
wl),
bi
olog
i, pe
rikan
an T
oran
i.
2008
Stud
i hub
unga
n Fi
loge
netik
ikan
la
yang
(Dec
apte
rus s
pp.,
Fam
. C
aran
gida
e) d
i Ind
ones
ia
Jaw
a - M
akas
sar
- Flo
res -
Ban
da71
2 - 7
13 -
714
APBN
Laya
ng, D
eles
Taha
p I.
Stru
ktur
gen
etik
pop
ulas
i, ha
sil ta
ngka
pan,
bio
logi
.
Inde
ks k
elim
paha
n ik
an p
elag
is ke
cil
Sel.
Mal
aka
- Ba
rat S
umat
ra57
1 - 7
12AP
BNBa
nyar
, La
yang
Inde
ks k
elim
paha
n.
2009
Stud
i hub
unga
n Fi
loge
netik
ikan
la
yang
(Dec
apte
rus s
pp.,
Fam
. C
aran
gida
e) d
i Ind
ones
ia
Jaw
a - M
akas
sar
- Ban
da -
L C
S
- Ara
fura
711
- 712
- 71
3 - 7
18AP
BNLa
yang
, Del
esTa
hap
II. S
truk
tur g
enet
ik p
opul
asi,
hasil
tang
kapa
n, b
iolo
gi.
Dist
ribus
i-kel
impa
han
dan
biol
ogi
ikan
pel
agis
keci
lSe
l. M
alak
a -
Bara
t Sum
atra
571
- 712
APBN
Bany
ar,
Laya
ngIn
deks
kel
impa
han.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
15
TAH
UN
JUD
UL
LOK
ASI
WPP
KET
.SP
ECIE
SK
eter
anga
n
2010
Kaj
ian
struk
tur g
enet
ik p
opu-
lasi
dan
biol
ogi r
epro
duks
i ika
n M
alal
ugis
(D. M
acar
ellus
; Fam
. C
aran
gida
e) d
i Kaw
asan
Tim
ur
Indo
nesia
Tom
ini -
Tol
o -
Bone
- M
akas
-sa
r - M
aluk
u -
Flor
es -
Band
a
713
- 714
- 71
5AP
BNM
alal
ugis
Stru
ktur
gen
etik
pop
ulas
i, ha
sil
tang
kapa
n, a
spek
repr
oduk
si.
2011
Pene
litia
n po
tens
i, di
strib
usi-k
e-lim
paha
n da
n bi
olog
i ika
n pe
lagi
s ke
cil d
i WPP
-713
dan
WPP
-714
Mak
assa
r -
Flor
es -
Bone
- To
lo -
Band
a71
3 - 7
14AP
BNM
alal
ugis
Peru
baha
n str
ateg
i keg
iata
n ris
et
men
jadi
ber
basis
WPP
. Dist
ribus
i-ke
limpa
han,
has
il ta
ngka
pan,
bi
olog
i. St
rukt
ur g
enet
ik p
opul
asi
(lanj
utan
).
Lam
pira
n 3.
K
egia
tan
pene
litia
n pe
lagi
s kec
il pa
da ta
hun
2005
–201
1 (l
anju
tan)
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan
Suherman Banon Atmaja, Bambang Sadhotomo1, dan Moh. Natsir1
Abstrak Indikator meningkatnya sistem penangkapan pukat cincin di Laut
jawa antara lain adalah meningkatnya jumlah kapal (1980–1995), meningkatnya kemampuan tangkap, dan kapasitas penangkapan serta perluasan daerah penangkapan ke WPP yang berbeda. Data dan informasi VMS mengenai kapal-kapal penangkap dapat menunjang pengelolaan perikanan dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan. Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pengelolaan perikanan menyangkut kondisi sumber daya yang bersifat milik bersama, yang diperparah lagi dengan adanya degradasi lingkungan perairan pantai dan laut, kemiskinan nelayan, serta koeksistensi perikanan komersial dan skala kecil serta kebijakan yang kurang kondusif. Tinjauan mengenai pengelolaan dan teknik-teknik pengelolaan disajikan juga dalam makalah ini dari prospek dan tantangannya secara umum.
Kata kunci: Tantangan, kajian stok, pengelolaan perikanan.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
18
PendahuluanSemul, populasi ikan diyakini sebagai tidak terbatas, pada saat
nelayan masih menggunakan alat tangkap sederhana dan masih terjadi keseimbangan antara penangkapan dan perkembangan populasi ikan. Kemudian hari, perkembangan armada dan alat penangkapan yang semakin canggih mulai mengancam stok ikan dan keberlanjutan usaha perikanan.
Kompleksitas pengelolaan perikanan tersebut menimbulkan banyak kesulitan bagi manajer perikanan, karena adanya kesenjangan antara pengalaman nelayan dengan regulator dan penelitian, seperti pemahaman yang kurang tentang bagaimana ekosistem perikanan bekerja dan bagaimana spesies yang berbeda berinteraksi atau dipengaruhi oleh gangguan lain atau kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, seluruh ekosistem dan pengelolaan multispesies tidak mudah diterjemahkan ke dalam strategi pengelolaan perikanan. Sementara itu, kebanyakan kajian pengelolaan perikanan komersial masih didominasi oleh model populasi yang dikembangkan oleh Beverton dan Holt untuk pendugaan spesies tunggal sekitar 50 tahun yang lalu dan pertimbangan ekosistem melalui manipulasi dari pendekatan spesies tunggal (Beddington et al. 2007), masih terbatas melibatkan pemahaman dinamika perikanan atau nelayan. Dewasa ini, ilmu pengetahuan perikanan tidak boleh hanya terfokus pada dinamika populasi ikan, tetapi juga harus mengintegrasikan analisis dinamika perilaku nelayan dan armada perikanan.
Keberlanjutan perikanan pukat cincin pada saat ini terjadi karena adanya penyesuaian terhadap daerah penangkapan yang menjadi semakin luas. Tidak hanya di wilayah teritorial, tetapi sudah sampai ke wilayah perairan nusantara dan samudera.
Bahan dan MetodeMakalah ini adalah hasil analisis dari data perikanan Muara Baru
dan pemantauan kapal-kapal yang beroperasi dari Muara Baru. Data dan informasi mengenai VMS kapal-kapal penangkap diperoleh dari Ditjen PSDKP dan studi pustaka yang berkaitan dengan manajemen.
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan
19
Hasil dan PembahasanDampak Kelebihan Kapasitas Penangkapan
Perkembangan sistem penangkapan pada armada perikanan pukat cincin secara terus-menerus menyesuaikan aktivitasnya sejak tahun 1980 hingga saat ini. Peningkatan kemampuan tangkap dilakukan melalui perubahan masukan secara fisik yaitu perkembangan teknologi dan adaptasi taktik dan strategi pemanfaatannya. Laju eksploitasi pukat cincin meningkat pesat seiring dengan tingginya permintaan pasar lokal terhadap jenis ikan pelagis kecil di mana salah satu indikator peningkatan tersebut dapat digambarkan dengan bertambahnya jumlah kapal sejak tahun 1980 hingga tahun 1995 dan peningkatan kemampuan tangkap dan kapasitas penangkapan serta perluasan daerah penangkapan ke wilayah pengelolaan perikanan yang berbeda (Potier, 1998; Atmaja, 2008).
Dari kelebihan kapasitas penangkapan pada armada perikanan pukat cincin, beberapa hal yang cukup menarik dalam konteks pemahaman perikanan adalah sebagai berikut.
Suyasa (2007) menyimpulkan efisiensi produksi dan keuntungan •perikanan pelagis kecil yang berbasis di pantai utara Jawa relatif rendah.Mayoritas usaha penangkapan • purse seine telah mencapai tingkat efisiensi diatas 90% dengan nilai rata-rata efisiensi teknis sebesar 0,9579 efisiensi harga sebesar 6,0451 dan nilai efisiensi ekonomis sebesar 5,7907 yang artinya hampir mendekati efisien sehingga masih diperlukan adanya penambahan beberapa variabel input.ABK (pendega) Pukat Cincin hanya memperoleh pendapatan sebesar •Rp. 0,8 juta (sekitar 71% dari distribusi pendapatan ABK kurang dari Rp. 1 juta) (Sismadi, 2006) atau separuh dari pendapatan ABK cantrang.Rotasi Eksploitasi Setelah Penurunan Stok Ikan Pelagis Kecil di Laut •JawaPada tahun 2009, jumlah kapal aktif di Pekalongan hanya tersisa •sekitar 30% dibandingkan pada tahun 2005, dengan rata-rata jumlah trip per kapal juga semakin menurun sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
20
Adanya kesenjangan antara pengalaman nelayan dengan regulator •dan penelitian, seperti pemahaman yang kurang tentang bagaimana ekosistem perikanan bekerja dan bagaimana spesies yang berbeda berinteraksi atau dipengaruhi oleh gangguan lain atau kegiatan ekonomi.
0
2
4
6
8
10
1985 1990 1995 2000 2005 2010
T a h u n
Rat
a-ra
ta ju
mla
h tr
ip/k
apal
Gambar 1. Rata-rata jumlah trip/kapal dalam kurun waktu 1986–2010
Dari 12 trip dari dua kapal cantrang sampel di Juwana pada tahun 2009, rata rata pendapatan riil nakhoda sebesar 5 juta rupiah, motoris sebesar 3,5 juta rupiah, dan ABK (pendega) sebesar 1,5 juta rupiah. Sementara itu, pada kapal pukat cincin dengan rata rata 46,5 hari per trip, rata-rata pendapatan nahkoda dan motoris relatif sama dengan kapal cantrang, yaitu masing-masing sebesar 5,1 juta rupiah dan 1,6 juta rupiah, sedangkan ABK-nya hanya memperoleh pendapatan sebesar 0,8 juta rupiah (sekitar 71% dari distribusi pendapatan ABK kurang dari 1 juta rupiah) (Sismadi 2006) atau separuh dari pendapan ABK cantrang. Dengan demikian, waktu melaut pada perikanan cantrang lebih singkat (kurang dari satu bulan) namun pendapatan yang diperoleh ABK cantrang hampir dua kali lipat daripada ABK pukat cincin yang melaut hampir satu setengah bulan. Hal ini mendorong ABK pukat cincin, terutama di Tegal dan Juwana, lebih memilih menjadi ABK kapal cantrang.
Kasus bangkrutnya usaha penangkapan pada perikanan pukat cincin akibat penurunan keuntungan dan ditinggalkan oleh ABK adalah kelompok Margo. Kelompok ini adalah pelopor penggunaan alat bantu pengumpul ikan berupa lampu sorot (cahaya) di atas 20.000 watt dengan
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan
21
menggunakan kapasitas kapal yang berbobot > 100 GT dan kekuatan mesin > 300 PK. Faktor utama kesuksesan usaha perikanan kelompok Margo karena keberhasilan berkompetisi penggunaan lampu sorot dan ditunjang dengan kemampuan kapal untuk memperluas dan mencari daerah penangkapan baru (Atmaja dan Nugroho 2006).
Keberlanjutan penangkapan menjadi semakin luas, tidak terbatas di wilayah teritorial, tetapi sudah sampai ke wilayah perairan nusantara dan samudera. Berdasarkan dokumen perizinan (SIUP) dari 182 kapal pukat cincin tahun 2009, perikanan pukat cincin semi industri memiliki hak mengeksploitasi sumber daya ikan di beberapa wilayah pengelolaan perikanan (WPP 771, WPP 772, WPP 773, WPP 572, WPP 573 dan KTI terdiri dari WPP 715, WPP 716, dan WPP 718) (Gambar 2). Dengan adanya kapal yang memiliki izin lebih dari 2 daerah penangkapan, pendugaan stok yang selama ini berbasis WPP akan lebih sulit dilakukan. Hal ini menuntut pendataan yang lebih detail dalam penentuan data catch dan effort untuk masing-masing area WPP.
N = 182
0
25
50
75
100
125
150
L. Jawa L. Natuna S. Karimata S. Makasar L. Flores Sam. Hindia KTI
Jum
lah
Dae
rah
Pena
ngka
pan
Gambar 2. Ilustrasi lisensi berdasarkan daerah penangkapan
Sistem Monitoring Pendaratan IkanGambar 3 menunjukkan aktivitas trip kapal untuk perikanan pukat
cincin dan perikanan cumi-cumi berdasarkan daerah penangkapan yang di-monitoring di Pelabuhan Muara Baru. Hasil monitoring tersebut juga menunjukkan kompleksitas bagaimana menjelaskan hubungan catch dan effort dari masing-masing kapal armada. Sistem pendataan pendaratan
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
22
hasil tangkapan yang lebih baik akan sangat berguna dalam meningkatkan akurasi pendugaan stok berbasis data pendaratan dan berbasis WPP. Kemampuan sumber daya peneliti muda perlu ditingkatkan, baik dalam hal pengumpulan data, pemilahan data, serta analisis lanjutan dari data-data tersebut.
Tantangan dan Prospek dari Munculnya Sistem Monitoring Kapal (VMS)
Perikanan Pukat Cincin
Perikanan Cumi cumi
Gambar 3. Aktivitas kapal (trip) berdasarkan daerah penangkapan di Pelabuhan Muara Baru
Sistem Monitoring Kapal (VMS) yang memungkinkan pelacakan armada penangkapan ikan, dalam Pengelolaan Perikanan merupakan tantangan sekaligus prospek. Data dan informasi mengenai kegiatan kapal perikanan dari VMS dapat menunjang pengelolaan sumber daya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Peningkatan efisiensi dan
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan
23
efektifitas pengelolaan usaha perikanan dapat ditunjang dan dilakukan oleh perusahaan perikanan. Adanya VMS akan sangat menunjang dalam pemahaman mengenai pemanfaatan sumber daya ikan dari masing-masing armada perikanan, kemungkinan-kemungkinan prospek yang dapat digali dari data VMS antara lain sebagai berikut.
Mengidentifikasi perilaku trip penangkapan dan memperkirakan •upaya penangkapan dari VMS data (Gambar 4 dan 5).Kegiatan Penangkapan pukat cincin dari estimasi data VMS dan •validasi berdasarkan data Observer (Gambar 5).Rising factor• dalam estimasi stok.
Gambar 4. Plot dari 3 kapal sampel berdasarkan data VMS yang menggambarkan daerah penangkapan pukat cincin (Data VMS dari Pusat Pemantauan Kapal Perikanan DitJen P2SDKP)
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
24
Gambar 4. Plot dari 3 kapal sampel berdasarkan data VMS yang menggambarkan daerah penangkapan pukat cincin (Data VMS dari Pusat Pemantauan Kapal Perikanan DitJen P2SDKP) (lanjutan)
Kunci dari penggunaan data VMS untuk menunjang riset sumber daya adalah adanya kerjasama antara Balitbang KP, Ditjen Perikananan Tangkap dengan P2SDKP selaku operator dan regulator dari VMS. Penambahan jumlah kapal sampel untuk mendapatkan data hasil catch pada masing-masing kapal sangat diperlukan, hal ini diharapkan akan menunjang pemahaman mengenai effort efektif dan hasil tangkapan dari masing-masing kapal yang beroperasi. Salah satu cara yang sudah mulai diiniasi adalah penggunaan nahkoda kapal sebagai observer untuk melakukan pencatatan hasil tangkapan pada masing-masing posisi tawur. Adanya kombinasi ini akan memberikan gambaran mengenai effort dan catch sebenarnya yang ada di lapangan. Penggunaan data VMS dan catatan nelayan yang digunakan untuk mengevalusi aktivitas penangkapan (tawur) dan effort efektif dari kapal pukat cincin dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa estimasi tawur dari data VMS lebih besar dari aktivitas penangkapan yang sebenarnya, hal ini menunjukkan perlunya analisa lanjutan agar penggunaanya lebih bagus lagi.
Hasil pemantauan kapal perikanan (VMS, vessel monitoring surveillance) dari 3 kapal pukat cincin pada Gambar 4 memperlihatkan mereka melakukan aktivitas penangkapan ke beberapa WPP atau adanya kepanikan (chaotic nonlinear dynamics) (Atmaja 2009).
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan
25
Gambar 5. Ploting track dari data VMS dan estimasi trip dan tawur
Permasalahan Pengelolaan Sumber Daya IkanKondisi sumber daya pesisir dan laut yang bersifat milik bersama •(common property) dengan akses yang bersifat quasi open access.
Adanya degradasi lingkungan pesisir dan laut. •Kemiskinan dan kesejahteraan nelayan.•Ko-eksistensi perikanan komersial versus perikanan berskala kecil; •persaingan dalam pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir.Peraturan dan kebijakan yang kurang kondusif .•Secara alami, sebagian besar perikanan pelagis dan demersal di •perairan tropis merupakan multispesies, karena mereka melibatkan
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
26
penangkapan spesies campuran yang berbeda pada waktu yang sama. Hal ini dapat menyebabkan masalah dalam pengelolaan jika stok tertangkap bersama-sama memiliki kebutuhan konservasi yang berbeda.
Pengelolaan PerikananPerkembangan perikanan yang cenderung semakin mengarah pada
pemanfaatan yang tidak mengenal kesepakatan batas-batas wilayah pengelolaan maupun penggunaan teknologi yang tidak sejalan dengan konsep ramah lingkungan menyebabkan pengelolaan tangkap saat ini bukan lagi pada mencari pilihan, tetapi cenderung berada pada kondisi tidak ada pilihan. Dengan adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi tentang status stok sebagai dasar dalam pengelolalan perikanan dan sering tidak efektifnya implementasi pemikiran atau pun rekomendasi untuk mengurangi kapasitas penangkapan pada tingkat panenan lestari telah menyebabkan beberapa stok ikan berada pada kondisi yang tidak dapat pulih kembali.
Beberapa laporan terbaru menyatakan bahwa pengelolaan perikanan selama ini cenderung berkarakteristik kegagalan dibandingkan keberhasilan. Hal ini dipengaruhi oleh lemahnya sistem pengendalian dan pengawasan serta tingginya penguasaan terhadap akses sumber daya ikan yang telah menimbulkan operasi nelayan di bawah tekanan yang cenderung suka menentang indikator-indikator penurunan stok dan mendorong ke arah pemanfaatan berlebih baik ekonomi maupun biologi, hingga mencapai tahapan yang dapat dikategorikan sangat mengancam keberadaan dari beberapa spesies (Berkes et al. 2001 dan Cunningham 2005).
Sasaran pendekatan dan kebijakan pengelolaan perikanan di berbagai negara sudah mulai berubah, diawali dengan pendekatan memaksimalkan tangkapan tahunan dan ketenagakerjaan menuju ke konservasi dan pengelolaan berbasis pelayanan ekosistem. Konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko-manajemen masih terbatas pada pengelolaan kawasan konservasi dan habitat terumbu karang. Adanya kesenjangan dan perbedaan kepentingan dengan kawasan konservasi sebagai akibat kurangnya pemahaman kolektif terhadap tujuan pengelolaan, dan kerapkali menyebabkan aktivitas perikanan tangkap sebagai bagian dari kebutuhan
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan
27
ekonomis berbenturan dengan fungsi kawasan konservasi dalam jangka panjang. Pengendalian upaya penangkapan dan memahami dinamika perikanan, serta mengelola nelayan menjadi prioritas untuk pengelolaan sumber daya ikan, sedangkan konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko-manajemen ditempatkan sebagai pelengkap untuk menutupi kelemahan aspek legal wilayah pengelolaan perikanan atau sumber daya ikan.
Teknik-Teknik Pengelolaan Perikanan di IndonesiaSecara teoritis, terdapat dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber
daya perikanan di berbagai belahan dunia, yakni rezim akses terbuka (open access) dan akses terkendali (controlled access). Akses terbuka adalah suatu bentuk regulasi yang cenderung membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, di mana saja, berapa pun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Secara empiris, implikasi dalam jangka panjang terhadap regulasi ini akan menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal sebagai tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya perikanan maupun konflik antarnelayan. Sebaliknya, pengelolaan dengan system akses terkendali adalah regulasi terkendali yang dijabarkan berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota.
Kawasan perlindungan laut (Marine Protected Areas, MPA) muncul sebagai suatu instrumen yang populer untuk konservasi laut dan pengelolaan perikanan. Mengacu pada Resolusi 17.38 IUCN–World Conservation Union (1988) yang ditegaskan lagi dalam Resolusi 19.46 (1994), definisi MPA adalah perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya di bawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Tilmant 2000). Secara umum, diakuinya kawasan konservasi efektif dalam meningkatkan kekayaan spesies standding fish stocks (ikan demersal dan karang). Tetapi, bagi spesies ikan pelagis yang bersifat peruaya (migratory species), tidak cukup hanya dengan perlindungan dari kawasan konservasi, terutama ukurannya, jumlah, dan lokasi jauh lebih sempit daripada wilayah perikanan.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
28
Prospek dan Tantangan Secara UmumKondisi-kondisi eksistensi sebagaimana dijelaskan di atas
menunjukkan beberapa gambaran mengenai fenomena-fenomena yang terjadi saat ini pada perikanan khususnya perikanan pelagis kecil. Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan pendataan perikanan. Sistem pendataan yang kurang dapat mengakomodasi kebutuhan analisis berbasis cacth, effort, dan area WPP sangat menuntut adanya perbaikan-perbaikan dan terobosan dari sistem pendataan. Selain masalah pendataan catch dan effort, adanya klasifikasi kapal dan alat tangkap yang beragam pada masing-masing daerah juga akan sangat menyulitkan dalam hal penggolongan hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap dan pada gilirannya juga akan berkontribusi dalam bias pada analisis yang dilakukan.
Pada tataran lapangan, sering kali terdapat fenomena alam yang tidak mampu terdeteksi melalui pendataan yang dilakukan. Fenomena-fenomena tersebut dapat bersifat annual, interannual, maupun decennial, atau sering kali fenomena-fenomena tersebut dapat terdeteksi melalui pengetahuan-pengetahuan dari nelayan dan otoritas lokal akan tetapi data yang tercatat tidak cukup untuk melakukan analisis tersebut. Kemungkinan terakhir adalah fenomena-fenomena alam tersebut dapat terdeteksi, data yang tersedia cukup memadai untuk melakukan analisis, akan tetapi kemampuan kita tidak memungkinkan untuk melakukan analisis tersebut. Untuk mengatasi hal-hal tersebut dapat dilakukan pengamatan yang lebih jeli mengenai kondisi klimatis dan lingkungan serta hubungannya dengan sumber daya ikan secara periodik.
Secara paralel peningkatan sumber daya manusia di lembaga penelitian, penguasaan metode/ilmu dan teknologi yang lebih, pengetahuan dasar untuk memahami masalah secara berjenjang ke level peneliti sesuai jenjang fungsionalnya. Pada akhirnya, kemampuan peneliti dalam hal penelitian biologi yang lebih detail untuk menjawab tantangan, atau pun pemahaman mengenai general additive model, pemodelan berbasis panjang, dan pemodelan mengenai hubungan aspek lingkungan dengan sumber daya ikan dapat meningkat sehingga bisa melakukan penentuan model yang dapat mengamodasi fenomena yang terjadi.
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan
29
Adanya perkembangan teknologi dan informasi pada satu sisi akan menambah kompleksitas masalah yang dihadapi, akan tetapi pada sisi yang lain seiring dengan semakin majunya teknologi dan informasi akan semakin terbuka peluang-peluang analisis yang lebih baik dan lebih detail mengenai sumber daya ikan dan perikanan. Antisipasi kemampuan sumber daya peneliti terhadap kemajuan teknologi dan metode analisis mutlak harus dilakukan, selain peningkatan kemampuan mengenai analisis dan metode-metode dasar, peningkatan kemampuan penunjang seperti kemampuan komunikasi ilmiah secara efektif juga sangat perlu dilakukan agar pergaulan ilmiah baik itu secara regional maupun internasional dapat dilaksanakan.
Kesimpulan dan SaranDengan waktu melaut yang lebih singkat (kurang dari satu bulan),
pendapatan ABK cantrang hampir dua kali lipat dari pada ABK pukat cincin yang melalut hampir satu setengah bulan. Hal ini mendorong ABK pukat cincin, terutama di Tegal dan Juwana lebih memilih menjadi ABK kapal cantrang.
Pemilik kapal yang tidak mampu melakukan relokasi dan input perubahan secara fisik tersebut, serta mereka yang tidak memiliki solusi lain, terpaksa beroperasi menggunakan alat tangkap cantrang. Hal ini merupakan dellima bagi pemilik kapal, apabila mereka bertahan dengan alat tangkap pukat cincin mereka akan ditinggalkan oleh ABK, sebaliknya apabila menggunakan alat cantrang mereka melanggar peraturan.
Kompleksitas pengelolaan perikanan ini akan menimbulkan banyak kesulitan bagi manajer perikanan,karena adanya kesenjangan antara pengalaman nelayan dengan regulator dan penelitian, seperti pemahaman yang kurang tentang bagaimana ekosistemperikanan bekerja danbagaimana spesies yang berbedaberinteraksiatau dipengaruhi oleh gangguan lain atau kegiatanekonomi. Oleh karena itu, seluruh ekosistem dan pengelolaan multispesies tidak mudah diterjemahkan ke dalam strategi pengelolaan perikanan.
Berdasarkan konsep-konsep pengelolaan dari konvensional sampai berbasis masyarakat dan ko-manajemen menunjukan pengelolaan sumber
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
30
daya perikanan yang ada saat ini belum berjalan optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan bersama maupun pengelolaan sumber daya perikanan berbasis ekosistem berhadapan dengan suatu kondisi masalah klasik seperti tidak adanya alternatif lapangan kerja, tingkat pendidikan rendah, kemiskinan, dan penegakan hukum yang lemah.
Pengendalian upaya penangkapan dan memahami dinamika perikanan serta mengelola nelayan, menjadi prioritas untuk pengelolaan sumber daya ikan, sedangkan konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko-manajemen ditempatkan sebagai pelengkap untuk menutupi kelemahan wilayah pengelolaan perikanan/sumber daya ikan Republik Indonesia yang tertuang dalam UU 31 Tahun /2004 dan UU 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Daftar PustakaAtmaja SB. 2009. Dinamika perikanan pukat cincin sebagai indikator
perilaku antar wilayah pengelolaan perikanan. Seminar Hasil Pelak-sanaan Penelitian bagi Peneliti dan Perekayasa Sesuai Prioritas Na-sional Tahun 2009. Jakarta. 15–16 Desember 2009.
Atmaja SB, Nugroho D. 2006. Interaksi antara biomassa dengan upaya penangkapan: Studi kasus perikanan pukat cincin di Pekalongan dan Juwana. JPPI. Vol. 12 (1): 57–68.
Beddington JR, Agnew DJ, Clark CW. 2007. Current Problems in the management of marine fisheries. Science. Vol. 316: 13–17.
Berkes F, Mahon R, McConney P, Pollnack R, Pomeroy R. 2001. Manag-ing small-scale fisheries, alternative directions and methods. IDRC. www.idrc.ca. 320 pp
Cunningham S. 2005. Successful fisheries management, Issues, Case Stud-ies, and Perspectives. Science 22 June 2007. Vol. 316. no. 5832, pp. 1713 – 1716
Tilmant J. 2000. Coral reef protected areas: A guide for management. US Coral Reef Task Force. Departement of the Interior. Washington. 14p
Tantangan dalam Kajian Stok dan Pengelolaan Perikanan
31
Keterangan:
Sumber Utama Tulisan ini adalah
Respons Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat Cincin Semi Industri
(Suherman Banon Atmaja; Duto Nugroho dan M. Natsir) in prep JPPI
Analisis Upaya Efektif dari data VMS (Vessel Monitoring System) dan Produktivitas Pukat Cincin Semi Industri di Samudera Hindia1
(Suherman Banon Atmaja, Muhamad Natsir dan Adi Kuswoyo)in prep JPPI
1
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknya untuk Pengelolaan Perikanan
Achmad Zamroni, Suwarso, dan Estu Nugroho
Abstrak Penelitian mengenai struktur genetika populasi terhadap empat
spesies ikan pelagis kecil yang penting (Rastrelliger brachysoma, Decapterus russelli, D. macrosoma, dan D. macarellus) telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur genetika populasi keempat spesies ikan pelagis kecil tersebut yang diharapkan akan bermanfaat bagi pengelolaan perikanan dan kajian stok selanjutnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) terhadap genom DNA-mitochondria (mtDNA), dengan perangkat lunak yang digunakan dalam analisis data adalah TFPGA. Hasil penelitian terhadap spesies R. brachysoma menunjukkan bahwa stok ikan di pantai utara Jawa hingga Selat Madura merupakan stok ikan yang sama. Struktur genetika populasi D. russelli menunjukkan bahwa stok Jawa, Flores, dan Banda berbeda dengan stok dari Selat Makassar. Pada spesies D. Macrosoma, unit stok Laut Banda diduga terpisah dari unit stok di Laut Jawa-Selat Makassar-Laut Flores. Sedangkan untuk spesies D. macarellus, stok di Kuandang (Laut Sulawesi) berbeda dengan stok di Donggala, Gorontalo, Luwuk, Bitung, dan Maumere.
Kata kunci: Genetika populasi, RFLP, ikan pelagis kecil, Rastrelliger brachysoma, Decapterus russelli, Decapterus macrosoma, Decapterus macarellus.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
34
PendahuluanIkan pelagis kecil merupakan sumber daya ikan yang mempunyai nilai
ekonomis, memiliki daerah penyebaran yang luas dan umumnya memberi kontribusi utama pada produksi perikanan. Ikan pelagis kecil telah dieksploitasi secara intensif di berbagai perairan di Indonesia, bahkan di beberapa wilayah perairan terindikasi lebih-tangkap dibarengi penurunan secara drastis hasil tangkapan.
Dari hal tersebut, tindakan pengelolaan yang logis dan bertanggung jawab adalah keperluan mendesak, yaitu untuk tercapainya visi jangka panjang pengelolaan sehingga hasil tangkapan yang berkelanjutan (sustainable yield) dapat terjamin. Suatu konsep manajemen berbasis “stok” (stok yang dimaksud adalah unit biologi yang merupakan unit manajemen setara dengan subpopulasi) dipercaya merupakan konsep pengelolaan yang tepat. Untuk hal tersebut, deskripsi dari stok yang dieksploitasi harus dipahami seperti karakteristik life history-nya, dinamikanya, bagaimana stok berinteraksi di antara stok dan lingkungannya (Ferris dan Berg 1987). Konsep demikian akan terlaksana efektif bila tersedia data dan informasi tentang “unit stok” dengan difinisi yang jelas, distribusi beserta karakter biologinya. Salah satu metode yang diyakini dapat menjelaskan struktur genetik populasi dan penentuan “unit stok” ikan cukup akurat adalah melalui sifat polimorfisme pada genom DNA. Melalui metode ini dapat diperoleh informasi tentang struktur genetika dari populasi ikan, hubungan filogeni-filogeografik dan perubahan molekuler dalam genom (mutasi).
Dalam makalah ini dipresentasikan hasil kajian struktur genetika populasi dari empat spesies ikan pelagis kecil yang penting selama 5 tahun (2006–2010), yaitu ikan kembung (Rastrelliger brachysoma), layang biasa (Decapterus russelli), layang deles (D. macrosoma), dan malalugis (D. macarellus). Ikan kembung merupakan ikan pelagis yang hidup di habitat pantai, ikan layang biasa dan layang deles adalah jenis utama yang tersebar di perairan paparan Sunda bagian barat, sedangkan ikan malalugis adalah jenis ikan layang laut dalam (oseanik) yang dominan di kawasan timur Indonesia. Hasil kajian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pengelolaan perikanan dan kajian stok selanjutnya.
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknya untuk Pengelolaan Perikanan
35
Bahan dan MetodeArea studi, Waktu, dan Teknik Pengambilan Sampel
Spesies yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan kembung (Rastrelliger brachysoma), layang biasa (Decapterus russelli), layang deles (Decapterus macrosoma), dan layang biru/malalugis (Decapterus macarellus). Untuk spesies ikan kembung diperoleh dari 5 lokasi penangkapan di Laut Jawa, yaitu: perairan utara Jakarta, Eretan Wetan (Indramayu), Pekalongan, Rembang, dan Pasuruan (Selat Madura). Sampel ikan layang biasa berasal dari: Rembang, Balikpapan, Kendari, Maumere, Fakfak, Aceh Timur, dan Labuhan. Spesies ikan layang deles diperoleh dari: Maumere, Aceh, Tarakan, Rembang, Kendari, dan Donggala. Sedangkan sampel ikan layang biru berasal dari: Bitung, Kendari, Maumere, Donggala, Luwuk, Gorontalo, dan Kuandang (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel
Keterangan:
Banda Aceh1. Labuhan2. Jakarta3. Eretan Wetan4. Pekalongan5. Rembang6. Pasuruan7.
Balikpapan8. Tarakan9. Donggala10. Kendari11. Luwuk12. Gorontalo13. Kuandang14.
Bitung15. Maumere16. Fakfak17.
Ikan kembung
Ikan layang biasa
Ikan layang deles
Ikan malalugis
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
36
Sampel yang diambil untuk masing-masing spesies berupa jaringan ikan (daging dan sirip) dari hasil tangkapan nelayan skala kecil. Sampel jaringan diambil ±10 spesimen secara acak dari tiap-tiap lokasi penelitian, kecuali ikan layang biru yang diambil sebanyak 4–5 spesimen dari tiap lokasi penelitian. Sampel dari ikan banyar diambil selama bulan April 2005 sampai Mei 2006, sampel dari ikan layang biasa dan layang deles diambil selama tahun 2008–2009, sedangkan sampel dari ikan layang biru diambil pada tahun 2010. Sampel jaringan ikan disimpan dalam tabung mikro (micro tube) berukuran 1.500 µl dan diawet dengan ethanol 70% kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis lebih lanjut.
Analisis Sampel dan DataMetode analisis yang digunakan adalah RFLP (Restriction Fragment
Length Polymorphism) terhadap genom DNA-mitochondria (mtDNA) yang diperoleh melalui ekstraksi dan proses amplifikasi dengan menggunakan alat PCR (polymerase chain reaction) dan kemudian dilanjutkan proses restriksi dengan menggunakan enzim restriksi.
Ikan Kembung (Rastreliger brachysoma)
Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi sekuense mitokondria D-loop adalah primer 16A dan 16B. Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan mesin PCR (Polymerize Chain Reaction). Cycle PCR yang digunakan dalam amplifikasi adalah satu siklus denaturasi pada suhu 95°C selama 2 menit. Tiga puluh lima siklus penggandaan yang terdiri atas 95°C selama 1 menit, 45°C selama 1 menit, dan 72°C selama 2,5 menit. Selanjutnya satu siklus terakhir pada suhu 72°C selama 5 menit. Kemudian proses restriksi dengan menggunakan lima jenis enzym restriksi, yaitu Alu I, Hae III, Nde II, Taq I, dan Hind III.
Ikan Layang Biasa (Decapterus russelli) dan Layang Deles (Decapterus macrosoma)
Primer yang digunakan dalam amplifikasi (PCR) terdiri dari 2 macam, yaitu primer HN20 (5’ – GTG TTA TGC TTT AGT – TAA GC – 3’) dan primer LN20 ( 5’ – ACC ACT AGC ACC CAA AGC TA – 3’); sedang enzim restriksi (restriction endonuclease) yang dipakai antara lain: Afa I, Hae II, Mbo I (Nde II), Alu I, Hind III, Hin6 I, dan Taq I.
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknya untuk Pengelolaan Perikanan
37
Ikan Layang Biru/Malalugis/Momar (Decapterus macarellus)
Dalam amplifikasi digunakan 2 macam “primer”, yaitu primer forward dan reverse; sedang enzim restriksi yang dipakai 6 jenis, yaitu Mbo I, Alu I, Hind III, Taq I, Rsa I dan Xba I. Siklus PCR diatur seperti berikut: satu siklus denaturasi pada suhu 94oC selama 2 menit, 35 siklus penggandaan yang terdiri dari 94oC selama 1 menit, 48oC selama 1 menit dan 72oC selama 1 menit; selanjutnya satu siklus terakhir pada suhu 72oC selama 5 menit.
Hasil visualisasi akan diperoleh pola-pola restriksi DNA dari setiap enzim restriksi pada masing-masing sampel. Dari pola-pola tersebut dapat diduga ukuran fragmen dari marker mtDNA D-loop yang teramplifikasi, dan tipe-tipe haplotypenya. Selanjutnya ditentukan komposit haplotype beserta frekuensinya masing-masing pada setiap populasi contoh sebagai dasar untuk menghitung parameter genetik (diversitas haplotype “h”; jarak genetik “D”). Kekerabatan antarpopulasi diduga berdasarkan Nei’s Jarak Genetik. Analisis uji beda nyata untuk mengetahui perbedaan genetik di antara populasi contoh dilakukan dengan analisis moleculer varian (AMOVA) dan uji jarak berpasangan (F-st). Diversitas haplotype (diversitas gene) dihitung berdasarkan Nei dan Tajima (1981) untuk mengamati tingkat variasi genetik yang ada. Untuk analisis digunakan software TFPGA (Tools For Population Genetic Analyses) (Miller 1997).
Hasil dan PembahasanIkan Kembung (Rastrelliger brachysoma)
Amplifikasi PCR dari genom mt-DNA ikan menunjukkan bobot molekul untai DNA sebesar 650 bp. Dari lima enzim restriksi yang digunakan untuk memotong template mt-DNA, hanya satu enzim saja yang tidak menghasilkan situs pemotongan, yaitu enzim Hind III; sedangkan empat jenis enzim yang lain (Alu I, Hae III, Nde II, dan Taq I) mempunyai situs pemotongan, tetapi keempat enzim tersebut ternyata hanya mempunyai satu pola restriksi/pemotongan. Berdasarkan hasil tersebut, secara genotip tidak terlihat perbedaan yang nyata di antara kelima populasi ikan kembung yang diamati (Tabel 1). Dari hasil analisis ini diduga stok ikan kembung di pantai utara Jawa hingga Selat Madura merupakan stok ikan yang sama. Nilai diversitas genetik sangat rendah
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
38
(D=0; low genetic diversity), yang diduga terjadi akibat genetic introgression atau pencampuran genetik. Rendahnya diversitas genetik kemungkinan akibat tekanan penangkapan dan lingkungan secara terus-menerus.
Tabel 1. Distribusi frekuensi haplotipe dari beberapa contoh ikan kembung (Rastrelliger brachysoma) di pantai utara Jawa berdasarkan mtDNA D-loop yang direstriksi oleh 4 jenis enzim renstriksi
HaplotipeLokasi Pengambilan Sampel
Jakarta Indramayu Pekalongan Rembang PasuruanAAAAA 1 1 1 1 1
N - sampel 9 9 9 9 9N - haplotipe 1 1 1 1 1
Diversitas genetika 0 0 0 0 0
Ikan Layang Biasa (Decapterus russelli)Dari hasil analisis teridentifikasi tipe-tipe haplotype yaitu 2 jenis allele
(komposit haplotipe), yakni AA dan AB yang frekuensinya bervariasi pada tiap populasi, seperti disajikan pada Tabel 2. Diversitas genetik (diversitas haplotype, h) diperoleh nilai cukup rendah, hal ini juga ditemui pada 7 populasi contoh ikan layang (D. russelli) yang diteliti (Tabel 2), yaitu antara 0–0,1528 (rata-rata 0,0585). Keragaman genetik relatif lebih rendah (h=0) ditemukan pada populasi dari Balikpapan (Selat Makassar), Fak-fak, Aceh Timur dan Labuhan); sedang keragaman lebih tinggi terlihat pada populasi ikan berasal dari Rembang, Kendari dan Maumere.
Tingkat keragaman genetik yang relatif lebih rendah pada populasi layang di Selat Makassar, Aceh, Fakfak, dan Labuhan mengindikasikan suatu populasi yang memiliki ukuran (population size) lebih kecil dibandingkan dengan populasi Rembang, Kendari, dan Maumere, padahal tingkat eksploitasi oleh perikanan purse seine berasal dari Jawa di perairan ini cukup tinggi. Hubungan filogenetik dari ketujuh populasi contoh ikan layang (D. russelli) ditunjukkan pada dendrogram filogenetik seperti terlihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2 terlihat bahwa dari tujuh populasi contoh dapat dipisahkan menjadi 2 grup “populasi” (subpopulasi) yang berasal dari 2 garis keturunan mtDNA (2 clade mtDNA), yaitu: grup pertama (clade 1) terdiri dari populasi Kendari, Maumere dan Rembang; sedang grup kedua (clade 2) terdiri dari populasi Balikpapan, Fak-fak,
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknya untuk Pengelolaan Perikanan
39
Aceh Timur, dan Labuhan. Struktur genetika populasi ikan layang dapat digambarkan sebagai berikut, bahwa stok Jawa, Flores, dan Banda berbeda dengan stok dari Selat Makassar (Gambar 3). Namun demikian, pertimbangan lokasi yang saling berjauhan populasi Fak-fak, Aceh, dan Labuhan dipertimbangkan sebagai subpopulasi lain yang berbeda dengan populasi Balikpapan.
Tabel 2. Keragaman genetik (diversitas haplotipe, h) sekuen mtDNA D-loop dari tujuh populasi ikan layang (Decapterus russelli) hasil restriksi oleh tiga enzim restriksi (Afa I, Hin6 I, dan Taq I)
Komposit haplotipe (Allele)
Lokasi Pengambilan Sampel
Rembang Balikpapan Kendari Maumere Fak-fak Aceh Lbh
AA 0,9286 - 0,0833 0,0667 - - -
AB 0,0714 1,0 0,9167 0,9333 1,0 1,0 1,0
N-sampel 14 10 21 15 12 7 5
N-allele 2 1 2 2 1 1 1
Diversitas haplotipe
(h)
0,1327 0 0,1528 0,1244 0 0 0
Gambar 2. Dendogram filogenetik dari 7 populasi ikan layang (Decapterus russelli) hasil analisis RFLP dengan menggunakan 3 enzim restriksi
Keterangan: Populasi 1 – Rembang; 2 – Balikpapan; 3 – Kendari; 4 – Maumere; 5 – Fakfak; 6 – Aceh Timur; 7 – Labuhan
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
40
Gambar 3. Dugaan unit stok dan sebarannya dari ikan layang biasa (Decapterus russelli) di perairan L. Jawa, Sel. Makassar, L. Flores dan L. Banda
Ikan Layang Deles (Decapterus macrosoma)Secara umum, komposit haplotipe AAAAAA merupakan alel yang
lebih umum dan dominan dalam populasi contoh kecuali Kendari, sedang alel BBABAA dan BCABAA hanya ditemukan pada populasi Kendari. Keadaan ini mengindikasikan bahwa struktur populasi layang deles tersebut cenderung berasal dari sumber yang sama dari subspesies yang ada.
Seperti halnya jenis D. russelli, secara umum jenis layang deles (D. macrosoma) juga memiliki tingkat keragaman genetik rendah; diversitas haplotipe (h) berkisar antara 0–0,1975, rata-rata 0,0658 (Tabel 3). Keragaman terkecil ditemukan pada populasi Maumere, Tarakan, Donggala, Aceh Timur; sedang keragaaman tertinggi ditemukan pada populasi Rembang dan Kendari. Dalam hal ukuran populasi (population size), fenomena tersebut sebagai indikator bahwa populasi Maumere, Tarakan, Donggala, Aceh Timur, memiliki ukuran relatif lebih kecil dibanding populasi Kendari dan Rembang.
Didasarkan pada nilai jarak genetik yang diperoleh, dapat disusun dendrogram hubungan filogenetik dari keenam populasi layang deles seperti disajikan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat bahwa dari 6 populasi contoh tersebut ternyata terpisah ke dalam 2 grup populasi (subpopulasi): Grup pertama terdiri dari populasi Maumere, Aceh Timur,
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknya untuk Pengelolaan Perikanan
41
Tarakan, Donggala, dan Rembang; grup kedua terdiri dari populasi Kendari. Nilai jarak genetik pada ikan layang ini relatif setara dengan yang ditemukan pada king fish (Nugroho et al. 2001) dan greater amberjack (Nugroho et al. 2000).
Tabel 3. Keragaman genetik mtDNA D-loop layang deles (Decapterus macrosoma) dari enam populasi berdasarkan hasil restriksi enzim AluI, TaqI, Hinc6I, AfaI, Hind III, dan Msp I
Komposit haplotipe (Allele)
Lokasi Pengambilan Sampel
Maumere Aceh Timur Tarakan Rembang Kendari Donggala
1 : AAAAAA
2 : AAABAA
3 : BBABAA
4 : BCABAA
1
-
-
-
1
-
-
-
1
-
-
-
0,889
0,111
-
-
-
-
0,889
0,111
1
-
-
-N-sample
N-allele
9
1
9
1
10
1
9
2
9
2
5
1Haplotype Diver-sity (h) 0 0 0 0,1975 0,1975 0
Gambar 4. Dendrogram filogenetik antara 6 populasi layang deles (Decapterus macrosoma) di Indonesia berdasarkan jarak genetik Nei (D)
Keterangan: 1=Maumere, 2=Aceh Timur, 3=Tarakan, 4=Rembang 5=Kendari, 6=Donggala
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
42
Dari uraian tersebut di atas dapat digambarkan struktur populasi ikan layang deles beserta dugaan sebaran geografinya di area penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Subpopulasi (unit stok) Laut Banda (populasi contoh berasal dari Kendari dan Ambon) diduga terpisah dari subpopulasi lainnya yang tersebar di Laut Jawa-Selat Makassar-Laut Flores. Dari hasil ini diduga bahwa migrasi ikan pelagis kecil tidak begitu jauh dan pada perairan sekitar Selat Makassar bagian selatan terdapat barier. Adanya barier tersebut dapat menyebabkan populasi dari Laut Banda tidak dapat masuk/migrasi ke Laut Jawa dan Selat Makassar. Padahal hipotesis dari Hardenberg (1938) menyatakan bahwa stok/populasi ikan layang Laut Jawa berasal dari perairan Indonesia bagian timur (Laut Banda).
Gambar 5. Dugaan unit stok dan sebarannya dari ikan layang deles (Decapterus macrosoma) di perairan L. Jawa, Sel. Makas-sar, L. Flores dan L. Banda
Ikan Layang Biru/Malalugis/Momar (Decapterus macarellus)
Hasil analisis terhadap komposit haplotipe diperoleh enam tipe komposit haplotipe (Tabel 4). Jumlah tipe komposit haplotipe terendah terdapat pada populasi ikan dari Maumere, Kendari, Luwuk, dan Bitung (satu tipe), sedangkan jumlah tipe komposit haplotipe tertinggi terdapat pada populasi ikan dari Kuandang (tiga tipe). Berdasarkan komposisi haplotipe dari ikan layang biru dapat diketahui bahwa tipe komposit
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknya untuk Pengelolaan Perikanan
43
haplotipe No. 1 (AAAAAA) terdapat pada hampir semua populasi, kecuali pada populasi Kuandang. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi Kuandang berbeda dengan keenam populasi lainnya.
Nilai keragaman haplotipe (haplotype diversity) ikan layang biru yang diperoleh berkisar antara 0–0,2292, dengan nilai terendah (0) pada populasi ikan dari Maumere, Kendari, Luwuk, dan Bitung (Tabel 4). Tingkat keragaman haplotipe ikan layang biru ini lebih rendah jika dibandingkan dengan ikan laut lainnya yang umumnya berjumlah antara 6–17 dengan nilai keragaman 0,600–0,900 (Nugroho et al. 2001). Menurut Avise et al. (1989) dalam Tabata et al. (1997), keragaman haplotipe keseluruhan mtDNA untuk beberapa ikan berada dalam kisaran 0,473–0,998. Rendahnya nilai keragaman haplotipe pada ikan layang biru menunjukkan keragaman genetika yang rendah pula.
Tabel 4. Keragaman genetik (diversitas haplotype, h) sekuen mtDNA D-loop dari tujuh populasi ikan layang biru (Decapterus macarellus) hasil restriksi oleh enzim restriksi Alu I, Hind III, Mbo I (Nde II), Rsa I, Taq I, dan Xba I
NoKomposit Haplotipe
Frekuensi haplotype (%)
Kuandang Donggala MaumereKen-dari
Luwuk BitungGoron-
talo
1 AAAAAA 0,25 1 1 1 1 0,75
2 AAAABA 0,75
3 AAAAAB 0,25
4 BAABAC 0,25
5 BABCAC 0,5
6 BAABCC 0,25
N-alele 3 2 1 1 1 1 2
Haplotype Diversity 0,2292 0,0625 0 0 0 0 0,0625
Berdasarkan dendrogram hubungan kekerabatan, ketujuh populasi ikan layang biru dapat dipisahkan menjadi dua subpopulasi (unit stok) yang berasal dari dua garis keturunan mtDNA, yaitu grup pertama (clade 1) terdiri dari subpopulasi Bitung, Luwuk, Kendari, Maumere, Gorontalo, Donggala; sedangkan grup kedua (clade 2) terdiri dari subpopulasi Kuandang (Gambar 6). Dalam subpopulasi pertama terlihat
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
44
gejala eksistensi grup-grup khusus seperti grup Donggala dan Gorontalo. Meskipun belum jelas benar karena contoh masih terbatas, populasi Gorontalo terlihat sedikit berbeda dengan empat populasi lainnya (Bitung, Luwuk, Kendari, dan Maumere), tetapi masih mempunyai kekerabatan yang sangat dekat. Adanya sedikit perbedaan tersebut diduga mengarah pada munculnya populasi lokal perairan Teluk Tomini. Populasi di perairan Teluk Tomini yang bersifat lokal tersebut disebabkan dalam sejarah geologi Pulau Sulawesi di masa lampau (zaman Pleistosen) tidak pernah bersatu dengan daratan mana pun (Hall 2001), Pulau Sulawesi merupakan pulau yang berdiri sendiri dan bukan merupakan pecahan dari pulau lain, seperti Pulau Kalimantan dan Sumatera.
Gambar 6. Dendrogram hubungan kekerabatan (filogeni) dari 7 populasi contoh ikan malalugis (Decapterus macarellus) di sekitar Sulawesi
Diduga populasi dari Selat Makassar (Donggala) merupakan campuran dari populasi grup pertama dan kedua, sehingga memunculkan suatu populasi yang berbeda, akan tetapi kekerabatannya cenderung mendekati populasi grup Bitung, Luwuk, Kendari, Maumere, dan Gorontalo. Populasi Maumere, Kendari, Luwuk, dan Bitung berasal dari satu unit
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknya untuk Pengelolaan Perikanan
45
stok (mempunyai stok yang sama). Hal ini terjadi karena keempat populasi tersebut diduga merupakan jalur migrasi dari ikan layang biru.
Sesuai dengan kebiasaan pola migrasinya, berpedoman pada struktur populasi tersebut di atas, pola ruaya kemungkinan terjadi di bagian timur, selatan dan barat Sulawesi; sedangkan populasi bagian utara (Kuandang) merupakan populasi lain yang diduga berkaitan dengan populasi Laut Sulawesi dan Pasifik selatan yang juga merupakan unit stok terpisah. Dari keterangan hasil seperti yang telah disebutkan dapat dibuat suatu struktur genetika populasi dari ikan layang biru di perairan sekitar Pulau Sulawesi seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Struktuk genetika populasi dan hubungan kekerabatan ikan malalugis di perairan sekitar Pulau Sulawesi
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
46
Secara umum, diversitas genetika dari keempat spesies ikan pelagis kecil (ikan kembung, ikan layang biasa, ikan layang deles, dan layang biru) yang telah dianalisis menunjukkan tingkat diversitas yang rendah. Rendahnya diversitas genetika mengindikasikan bahwa sumber daya dari ikan pelagis kecil memiliki perubahan struktur genetika menjadi lebih seragam. Diduga ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan ini. Faktor pertama adalah bahwa ikan pelagis kecil merupakan ikan peruaya, hal ini dapat menyebabkan terjadinya silang dan percampuran genetika antar populasi, sehingga seiring berjalannya waktu, variasi/keberagaman ikan menjadi berkurang. Faktor yang kedua adalah adanya tekanan penangkapan/eksploitasi yang intensif.
Hal ini menegaskan pada kita pentingnya pengelolaan yang bijak dalam konteks kelestarian biodiversitas sumber daya melalui pengendalian upaya penangkapan yang benar. Selain itu, upaya penangkapan yang berlebihan dapat menyebabkan penyempitan habitat yang berdampak pada semakin rendahnya keragaman genetika. Menurut Wilson dan Clarke (1996), eksploitasi yang semakin meningkat dan tekanan terhadap lingkungan dapat menyebabkan penurunan kelimpahan stok dan rata-rata ukuran ikan; seleksi genetika yang merugikan terhadap fekunditas yang potensial; mengurangi rata-rata ukuran memijah; mengubah rasio jenis kelamin dan keseimbangan interspesifik; serta hilangnya diversitas genetika. Terutama pada unit-unit populasi yang mempunyai keragaman genetika sangat rendah (h=0). Didasarkan pada dugaan pemisahan unit stok terhadap spesies ikan yang telah diteliti, disarankan sebagai landasan bagi pengelolaan berbasis biologi sumber daya untuk kepentingan keberlanjutan hasil tangkapan sumber daya ikan pelagis kecil.
Analisis terhadap genetika populasi yang dimulai tahun 2006 sampai saat ini menunjukkan kualitas analisis yang semakin akurasi. Metode analisis yang digunakan adalah RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), walaupun tidak menutup kemungkinan metode RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dapat dilakukan, akan tetapi berdasarkan penelitian pendahuluan dan uji coba metode RFLP lebih cocok dan akuratif untuk ikan laut pelagis kecil daripada metode RAPD.
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknya untuk Pengelolaan Perikanan
47
Kesimpulan dan SaranKesimpulan
Struktur genetika populasi ikan kembung di perairan utara Jawa 1. hingga Selat Madura menunjukkan stok yang sama.Struktur genetika populasi ikan layang biasa menunjukkan bahwa stok 2. Jawa, Flores, dan Banda berbeda dengan stok dari Selat Makassar. Stok ikan layang deles3. Laut Banda diduga terpisah dari unit stok di Laut Jawa-Selat Makassar-Laut Flores. Untuk ikan layang biru,4. stok di Kuandang (Laut Sulawesi) berbeda dengan stok di Donggala, Gorontalo, Luwuk, Bitung dan Maumere.Nilai diversitas genetika dari keempat spesies ikan pelagis kecil (ikan 5. kembung, ikan layang biasa, ikan layang deles, dan layang biru) termasuk rendah.Metode yang digunakan dalam analisis genetika populasi untuk ikan 6. laut pelagis kecil lebih cocok dan lebih akuratif dengan menggunakan RFLP daripada RAPD.
SaranPenelitian lanjutan mengenai struktur genetika populasi ikan kembung 1. di perairan selain Laut Jawa (perairan utara Jawa).Penelitian lanjutan mengenai dugaan stok lokal yang terdapat pada 2. stok ikan malalugis di Teluk Tomini (Gorontalo).Membentuk kawasan konservasi terutama pada populasi yang 3. mempunyai keragaman genetika rendah.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
48
Daftar PustakaAllen GR. 2000. Indo-Pacific coral-reef fishes as indicators of conservation
hotspots. Proceedings 9th International Coral Reef Symposium, Bali, Indonesia 23–27 October 2000. Vol 2.
Arnaud S, Bonhomme F, Borsa P. 1999. Mitochondrial DNA analysis of the genetic relationships among population of scad mackerel (De-capterus macarellus, D. macrosoma, and D. russelli) in South-East Asia. Marine Biology 135: 699–707.
Avise JC, Bowen BW, T Lamb. 1989. DNA fingerprints from hypervari-able mitochondrial genotypes. Molecular Biology Evolution 6: 258–269.
Borsa P. 2003. Genetic structure of round scad mackerel Decapterus mac-rosoma (Carangidae) in the Indo-Malay archipelago. Marine Biology 142: 575–581.
Carvalho GR, Hauser L. 1995. Molecular genetics and the stock concept in fisheries. In: Molecular Genetics in Fisheries. Carvalho GR, Pitcher T. London: Chapman & Hall. 55–79.
Effenberger S, Suchentrunk F. 1999. RFLP analysis of the mitochondrial DNA of otters (Lutra lutra) from Europe-implication for conserva-tion of flagship spesies. Biological Conservation. 90: 229–234.
Gaylord B, SD Gaines. 2000. Temperature or transport? Range limits in marine species mediated solely by flow. American Naturalist 155: 769–789.
Gordon AL, Fine RA. 1996. Pathways of water between the Pacific and Indian oceans in the Indonesian seas. Nature. 379: 146–149.
Hall R. 2001. Cenozoic reconstructions of SE Asia and the SW Pacific: changing patterns of land and sea. In: Faunal and Floral Migrations and Evolution in SE Asia-Australia. Metcalf I, Smith J, Morwood M, Davidson I. (eds). Lisse: Swets and Zeitlinger Publishers.
Hariati T. 2005. Ikan layang biru (Decapterus macarellus), salah satu spe-sies ikan pelagis kecil di laut dalam Indonesia. Warta Penelitian Per-ikanan. Edisi Sumber daya dan Penangkapan. Vol. 11 (5): 15–18.
Kajian Struktur Genetika Populasi dan Prospeknya untuk Pengelolaan Perikanan
49
Hasanudin M. 1998. Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Oseana. Vol. XXIII. No. 2: 1 – 9.
Miller MP. 1997. Tools for Population Genetic Analysis (TFPGA). Version 1.3. Department of Biological Sciences. Flagstaff: Northern Arizona University.
Nei M. 1973. Analysis of gene diversity in subdivided populations. Pro-ceedings of the National Academy of Sciences, USA. Vol. 70: 3321–3323.
Nei M, Tajima F. 1981. DNA polymorphism detectable by restriction endonucleases. Genetics. 97: 145–163.
Nesbo CL, Rueness EK, Iversen SA, Skagen DW, Jakobsen KS. 2000. Phy-logeography and population history of Atlantic mackerel (Scomber scombrus L): a genealogical approach reveals genetic structuring among the eastern Atlantic stocks. Proceedings of the Royal Society of London Series B-Biological Sciences. Vol. 267: 281–292.
Nugroho E, DJ Ferrel, P Smith, Taniguchi N. 2001. Genetic divergence of Kingfish from Japan, Australia and New Zealand Inferred by mi-crosatellite DNA and mitochondrial DNA control region markers. Journal Fisheries Science. Vol. 67: 843–850.
Renno JF, Berrebi P, Boujard T, Guyomard R. 1990. Intraspecific genetic differentiation of Leporinus friderici (Anostomidae Pisces) in French Guiana and Brazil: A genetic approach to the refuge theory. J. Fish Biol. Vol. 36: 85–95.
Saunders NC, Kessler LG, Avise JC. 1986. Genetic variation and geo-graphic differentiation in mitochondrial DNA of the horseshoe crab, Limulus polyphemus. Genetics. Vol. 112: 613–627.
Shekelle M, Leksono SM. 2004. Strategi Konservasi di Pulau Sulawesi dengan Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies. Biota. Vol. IX (1): 1–10.
Suwarso D, Widodo J. 2000. Biology and fishery of malalugis biru, Mack-erel scad, Decapterus macarellus, in North Sulawesi waters of Indo-nesia. Proc. JSPS – DGHE International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area. Bogor-Indonesia. Pp. 552–557.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
50
Suwarso, Hariati T, Zamroni A, M Fauzi. 2009. Studi Hubungan Filoge-netik Ikan Layang (Decapterus spp., Fam. Carangidae) di Indone-sia. Laporan Penelitian Balai Riset Perikanan Laut.
Tabata KH, Kishioka M, Takagi A, Mizuta N, Taniguchi. 1997. Genet-ic diversity of five strains of red sea bream Pagrus major by RFLP analysis of the mtDNA D-Loop region. Journal Fisheries Science. 63(3):344–348.
Utter F, Aebersold P, Winas G. 1987. Interpreting genetic variation de-tected by electrophoresis. In: NRF Utter (ed.) Population genetics and Fishery management. Seattle: University of Washinton press.
Williams ST, Jara J, Gomez E, N Knowlton. 2002. The Marine Indo-West Pacific Break: Contrasting the Resolving Power of Mitochon-drial and Nuclea. Genes. Integr. Comp. Biol. Vol. 42: 941–952.
Wilson DS, Clarke AB. 1996. The shy and the bold. Natural History. Vol. 9/96, 26–28.
Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Jenis-jenis Ikan Pelagis Kecil di Perairan
Indonesia
Tuti Hariati, Wiwiet An Pralampita, dan M. Taufik
AbstrakDalam rangka menjaga kelestarian sumber daya ikan, diperlukan
pengelolaan yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah. Informasi ilmiah yang diperlukan terutama dinamika populasi stok ikan yang meliputi pertumbuhan, mortalitas, dan tingkat pemanfaatan serta reproduksi. Informasi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di daerah penangkapan ikan pelagis kecil seperti Laut Jawa, Selat Malaka, Barat Sumatera, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Selat Bali, Sulawesi Utara, Kendari, Maluku Utara, dan Ambon dalam periode tahun 1986–2010. Di perairan Laut Jawa, nilai-nilai Loo ikan pelagis kecil pada periode tahun 1991–1995 lebih tinggi dibandingkan dengan Loo pada tahun 1985. Sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Selat Malaka dan Barat Sumatera mengalami lebih tangkap. Khusus ikan banyar Rastrelliger kanagurta, terjadi gejala peningkatan nilai E dari tahun 1986, 1998, sampai dengan 2009. Pada periode 2003–2005, di perairan Laut Cina Selatan terjadi peningkatan nilai E menjadi 0,4–0,7. Nilai-nilai E ikan pelagis kecil dari perairan Indonesia bagian Timur sudah tinggi, terutama untuk ikan layang Decapterus macrosoma 0,8 dan D. russelli > 0,6 . Nilai Lm ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) dari perairan Selat Malaka (timur Sumatera Utara dan Aceh Timur) lebih rendah dibandingkan dengan di perairan lainnya; diduga karena penangkapan yang intensif.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
52
PendahuluanJenis ikan pelagis kecil merupakan sumber daya ikan dominan yang
terdapat di wilayah perairan Indonesia, diperkirakan mencapai 28% dari produksi total ikan laut tahun 2009 (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2010). Pemanfaatan sumber daya perikanan pelagis kecil di beberapa wilayah perairan Indonesia menunjukkan gejala kejenuhan seperti di perairan-perairan pantai timur wilayah Riau (Sujastani 1978), Selat Malaka (BOBP 1987), dan perairan Kalimantan Barat (Merta 1993) serta Laut Jawa (Nurhakim 1995). Terkait dengan hasil tersebut, untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan pelagis diperlukan pengelolaan yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah, sehingga opsi pengelolaan yang direkomendasikan tidak salah.
Informasi ilmiah yang diperlukan untuk dasar pengelolaan di antaranya adalah aspek biologi ikan, terutama dinamika populasi stok ikan yang meliputi struktur komunitas, biologi reproduksi, pertumbuhan, mortalitas, dan tingkat pemanfaatan. Data mengenai struktur komunitas, biologi reproduksi, dan pemijahan ikan pelagis kecil saat ini telah tersedia. Informasi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa wilayah perairan merupakan daerah penangkapan ikan pelagis kecil seperti Laut Jawa, Selat Malaka, Barat Sumatera, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Selat Bali, Sulawesi Utara, Kendari, Maluku Utara, dan Ambon dalam periode tahun 1986–2010.
Penangkapan ikan pelagis kecil telah mengalami perkembangan, semula menggunakan alat tangkap tradisional (payang, pukat pantai, dan bagan) tahun 1960-an, kemudian menjadi pukat cincin (1970 sampai sekarang). Dengan berkembangnya pukat cincin, sumber daya ikan pelagis kecil telah mengalami tekanan penangkapan yang cukup tinggi.
Sumber daya ikan pelagis kecil mempunyai nilai ekonomis penting bagi kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, ikan umpan, dan merupakan komoditas ekspor, sehingga kesinambungan produksinya perlu dipertahankan. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang dominan di perairan Indonesia di antaranya layang (Decapterus spp.), banyar (Rastrelliger kanagurta), selar bentong (Selar crumenophthalmus), siro (Ambligaster sirm), dan dua jenis ikan teri (Stolephorus heterolobus dan S. gracilis).
Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Jenis-Jenis Ikan Pelagis Kecil di Perairan Indonesia
53
Tulisan ini akan memberikan informasi hasil penelitian ikan pelagis kecil yang dapat digunakan sebagai bahan dasar kebijakan dalam pengelolaan sumber daya ikan tersebut di beberapa wilayah pengelolaan perairan Indonesia.
Hasil dan pembahasanDinamika Populasi Ikan Pelagis kecil Laut Jawa dan Sekitarnya
Dalam Tabel 1 disajikan nilai-nilai parameter pertumbuhan yang terdiri dari Loo (panjang asimptotik) dan K (konstanta pertumbuhan) 5 spesies ikan pelagis kecil utama yang tertangkap dari perairan Laut Jawa.
Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dan sekitarnya
Spesies Tahun data Loo K Sumber
Decapterus macrosoma 1985 20,6–26,5 0,7–1,3 Atmadja (1988); Dwiponggo et al. (1986); Widodo (1988)
D. macrosoma 1991–1995 29,2–30,5 0,6–0,9 Sadhotomo (2006)D. macrosoma* 2001 21,0 0,85 Hariati (2005)
D. russelli 1985 24,5–28,4 0,4–1,2 Dwiponggo et al. (1986, Widodo (1989)
D. russelli 1991–1995 27–29,3 0,5–1,0 Suwarso et al. (1995), Sadhotomo (2006)
Rastrelliger kanagurta 1985 25,0–27,0 0,6–1,7 Atmadja (1985) ; Nurhakim (1993)
R. kanagurta 1991–1995 29,3–30,0 0,7–1,0 Nurhakim (1995)
Ambligaster sirm 1985 22,5–25,8 0,9–1,2 Sadhotomo dan Atmadja (1985), Dwiponggo et al. (1986)
A. sirm 1991–1995 25,5–26,0 0,7–1,1 Suwarso et al. (1995)Selar crumenophthalmus
1985 24,6–27,2 0,5–1,3 Dwiponggo et al. (1986)
S.crumenophthalmus 1991–1995 26,5–29,0 0,8–1,2 Suwarso et al. (1995) * Selat Sunda
Pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai Loo dari kelima spesies ikan pelagis kecil yang dihasilkan selama periode periode 1991–1995 bernilai lebih tinggi daripada nilai Loo pada periode tahun 1985. Hal ini diduga karena
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
54
perbedaan daerah penangkapan pukat cincin di Laut Jawa. Dalam periode 1985, daerah penangkapan utama pukat cincin masih terletak di perairan dekat pantai (utara Tegal sampai Karimun Jawa), sedangkan pada periode tahun 1991–1995 sebaran frekuensi panjang ikan diperoleh dari daerah penangkapan di lepas pantai, terutama perairan Matasiri. Terjadinya pergeseran daerah penangkapan pukat cincin di Laut Jawa dilakukan karena kualitas sumber daya ikan pelagis kecil di perairan dekat pantai telah menurun dengan indikasi Loo pada tahun 1985 yang relatif kecil. Adapun di perairan lepas pantai Loo, kelima spesies pada periode tahun 1991–1995 selalu lebih tinggi (Tabel 1). Menurut Atmadja et al. (1986), terdapat fluktuasi kelimpahan ikan pelagis menurut musim (Barat, Peralihan 1, Timur, dan Peralihan 2) pada berbagai daerah penangkapan. Fluktuasi kelimpahan ini dimungkinkan sehubungan dengan perubahan musim, selain karena penggunaan ukuran kapal yang lebih besar diikuti dengan berubahnya daerah penangkapan. Pada setiap musim hasil tangkapan terbesar adalah dari sekitar perairan Masalembo dan Matasiri.
Nilai parameter pertumbuhan (Loo dan K) D. macrosoma yang tertangkap di perairan Selat Sunda pada periode tahun 2001 lebih kecil dibandingkan dengan nilai-nilai Loo dan K di perairan Laut Jawa pada tahun 1991–1995 (Tabel 1). Kemungkinan karena perbedaan geografis dan kondisi ekologis dari kedua perairan tersebut (Atmadja et al. 1986; Anonim 2004) atau ada hubungannya dengan migrasi. Penelitian ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) dilakukan oleh Nurhakim (1995) dengan berbagai metode, di antaranya metode maksimum suksesif (untuk memisahkan puncak-puncak pada sebaran frekwensi panjang) dilanjutkan dengan metode Gulland dan Holt Plot dan metode iterasi untuk memperoleh Loo dan K. Dari kurva pertumbuhan, diperoleh dua kelompok umur ikan banyar yang masuk ke perairan Laut Jawa yang masing-masing disebut dengan kohor Agustus dan kohor Desember (Nurhakim 1995). Dugaan parameter pertumbuhan ikan banyar dari perairan Laut Jawa disajikan pada Tabel 2.
Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Jenis-Jenis Ikan Pelagis Kecil di Perairan Indonesia
55
Tabel 2. Dugaan parameter pertumbuhan(Loo, K, dan t0) ikan banyar Rastrelliger kanagurta dari perairan Laut Jawa melalui metode-metode iterasi dan Gulland dan Holt Plot
MetodeLoo K
t0 (tahun)cm Fl cm Tl Per tahun
ITERASI:Kohor Agustus 26,33 28,98 0,681 -0,32Kohor Desember 26,14 28,79 0,528 -0,57GULLAND DAN HOLT PLOT:Kohor Agustus 26,31 28,97 0,633Kohor Desember 26,11 28,68 0,759
Sumber: Nurhakim (1995)
Setelah dilakukan analisis dengan program ANALEN untuk memperoleh evolusi hasil tangkapan per rekrut terhadap tingkat eksploitasi saat ini dan kemungkinan perubahan upaya untuk beberapa ukuran mata jaring yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa (1) status pemanfaatan saat itu telah mendekati tahap yang optimal, di mana penambahan upaya dan pengecilan ukuran mata jaring akan berakibat pada pengurangan hasil tangkapan per rekrut; (2) tanpa informasi biologi dan dinamika populasi dari spesies-spesies lainnya dan berdasarkan pada status sumber daya ikan banyar saat itu, ukuran mata jaring tidak boleh diubah; (3) untuk informasi tentang umur yang lebih akurat, diperlukan studi yang lebih mendalam terkait dengan pertumbuhan (sklerochronologi daripada otolit, sisik, dan lainnya), (4) penggunaan model multi spesies dalam analisis dapat menambah keakuratan informasi untuk pengelolaan perikanan yang bersifat multispesies.
Selat Malaka dan Perairan Barat Sumatera
Nilai-nilai parameter populasi (pertumbuhan dan kematian) tiga jenis ikan pelagis kecil utama di Selat Malaka disajikan dalam Tabel 3. Panjang asimtotik (Loo) ikan banyar, R. kanagurta dari perairan Selat Malaka (Tabel 3) cenderung lebih besar dari yang tertangkap di Laut Jawa (Tabel 1), karena perairan Selat Malaka bagian utara merupakan perairan pantai dari laut dalam (Laut Andaman), sehingga ikan-ikan pelagis akan tumbuh lebih cepat karena faktor kesediaan makanan. Tiga spesies
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
56
utama di perairan Selat Malaka bagian utara yaitu Rastrelliger kanagurta, Decapterus macrosoma, dan D. macarellus (Tabel 3) adalah spesies yang bersifat oseanik.
Tabel 3. Parameter pertumbuhan (Loo dan K) dan parameter kematian (Z,M, dan F) ikan pelagis kecil dari perairan Selat Malaka dan Barat Sumatera
Spesies Perairan Loo K Z M F E Sumber
R. kanagurta Banda Aceh 28,7 0,8 3,89 1,53 2,26 0,58 Tampubolon (1988)R. kanagurta Banda Aceh 36,4 0,8 3,07 1,12 1,95 0,64 Hariati et al. (2001)
R. kanagurtaBanda Aceh
26,3 1,0 4,76 1,52 3,24 0,68Hariati dan Nugroho (2011)
D.macrosomaBanda Aceh
30,6 0,6 3,67 1,01 2,66 0,72Faizah dan Hariati (2011)
D.macarellusBanda Aceh
32,6 0,8 2,82 1,23 1,59 0,56Faizah dan Hariati (2011)
R. kanagurta Barat Sumatera 25,5 0,8 3,7 1,3 2,4 0,64 Hariati et al. (2000)
Ada indikasi tangkap lebih ikan pelagis kecil di perairan Selat Malaka, dilihat dari gejala bahwa angka kematian akibat penangkapan (F) dari ketiga spesies selalu lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian alami (M) seperti terlihat pada Tabel 3. Untuk ikan banyar (Rastrelliger kanagurta), lebih jelas terlihat dari peningkatan tingkat pemanfaatan (E) yang terus menerus dari tahun 1986 (Tampubolon 1988), ke tahun 1998 (Hariati et al. 2001) sampai dengan tahun 2009 (Hariati dan Nugroho 2011).
Laut Cina Selatan (LCS)
Perairan Laut Cina Selatan merupakan bagian dari paparan Sunda, sehingga spesies ikan pelagis kecil yang tertangkap di Laut Cina Selatan sama dengan spesies yang tertangkap di Laut Jawa. Nilai parameter pertumbuhan dan kematian beberapa jenis ikan pelagis kecil di perairan Laut Cina Selatan disajikan pada Tabel 4.
Dari Tabel 4 terlihat bahwa pada tahun 1997–1999, nilai kematian karena penangkapan (F) dari dua jenis ikan layang, yaitu D. russelli dan D. macrosoma masih lebih rendah dari nilai kematian alami (M), yang artinya upaya penangkapan masih relatif rendah. Pada periode tersebut nilai E baru 0,3–0,39 sehingga peluang pengembangan usaha perikanan pukat cincin
Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Jenis-Jenis Ikan Pelagis Kecil di Perairan Indonesia
57
masih dapat dilakukan. Selanjutnya terjadi penambahan upaya yang tinggi karena jumlah kapal pukat cincin yang berasal dari utara Jawa beroperasi di wilayah Laut Cina Selatan. Pada Tahun 2000 beroperasi pukat cincin yang berasal dari perairan Selat Malaka berjumlah sekitar 80 unit belum termasuk kapal-kapal asing dari luar negeri. Demikian juga armada pukat cincin mini yang berasal dari Indramayu terkadang beroperasi di Laut Cina Selatan.
Tabel 4. Parameter pertumbuhan dan parameter kematian tiga spesies ikan pelagis kecil dari perairan Laut Cina Selatan (LCS)
Species Tahun data Loo K Z M F E Sumber
D.russelli 1997– 1999 26,5 1,0 2,7 1,9 0,8 0,3 Atmadja (2004)
D.russelli 2003–20005
25,5–26,1 1,2 4,8–5,2 1,7 3,1–3,5 0,64–0,68 Hariati et al.
(2008)
D.macrosoma 1997– 1999 26,2 0,9 2,9 1,8 1,1 0,39 Atmadja (2004)
D.macrosoma 2003–3005 25,3–27,7 1,2 4,9–5,1 1,7 3,2–3,4 0,65–0,67 Hariati et al.
(2008)Ambligaster sirm 1997– 1999 26,0 0,8 2,9 1,6 1,2 0,42 Atmadja
(2004)Selar cru-menopthalmus 1997– 1999 26,2 0,9 3,8 1,7 2,1 0,55 Atmadja
(2004)
Perairan Wilayah Timur Indonesia
Beberapa jenis ikan pelagis kecil yang diusahakan di empat perairan di wilayah perairan timur Indonesia antara lain jenis-jenis ikan layang dan ikan teri (Tabel 5). Jenis-jenis ikan layang dan teri selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, juga digunakan sebagai umpan untuk perikanan tuna dan cakalang.
Tingkat pemanfaatan (E) ikan layang di wilayah Indonesia bagian Timur cukup tinggi (Tabel 5). Status pemanfaatan sumber daya ikan layang (D.russelli) di perairan Teluk Ambon dan Maluku Utara sudah berlebih dengan nilai E > 0,6, sedangkan untuk ikan malalugis (D. macarellus) dan ikan teri (Stolephorus heterolobus) baru mencapai 0,50. Tingkat pemanfaatan D. macrosoma di perairan Teluk Ambon sudah sangat tinggi mencapai 0.8 (Tabel 5) karena telah dimanfaatkan secara intensif.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
58
Tabel 5. Parameter pertumbuhan dan parameter kematian lima spesies ikan pelagis kecil dari perairan Indonesia Bagian Timur
Species Tahun Loo K Z M F E Sumber
Decapterus .russelli 1989–1991 29,0 0,7 2,7 1,0 1,7 0,62 Syahailatua
(2003)
D.russelli 2000–2001 27–30 0,5–0,6 2,8–2,9 1,0 1,8–1,9
0,64–0,66
Manik (2003)
D.macrosoma 1990–1991 35,0 0,7 4,9 0,9 4,0 0,81 Syahailatua (2003)
D.macrosoma 1996–1997 29,7 0,6 4,9 0,9 4,0 0,81 Syahailatua (2003)
D.macrosoma 2009–2010 33,8 0,87 2,94 1,29 1,65 0,56 Hariati et al. (2011)
D.macarellus 2009–2011 36,0 0,92 2,68 1,34 1,34 0,50 Hariati et al. (2011)
Stolephorus. heterolobus 1999–2000 12,0 0,84 4,08 2,04 1,99 0,49 Naamin
(2000)
S. gracilis 1999–2000 10,9 1,20 8,82 2,71 0,11 0,69 Naamin (2000)
Musim Pemijahan dan Ukuran Panjang Pertama Kali Matang Gonad
Untuk keperluan opsi pengelolaan perikanan pelagis, diperlukan informasi musim pemijahan dan ukuran ikan saat pertama kali matang gonad (Lm) Beberapa hasil penelitian yang mengenai informasi tersebut untuk ikan pelagis kecil di perairan Indonesia disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Masa pemijahan dan panjang pertama kali matang gonad ikan pelagis kecil dari beberapa perairan di Indonesia
Perairan Spesies Musim Pemi-jahan Lm (cm) Sumber
Laut Jawa (Utara Rem-bang)
Rastrelliger kanagurta
Selar-crumenophthalmus Sar-dinella gibbosa
20,4
16,1
14,6
Krissunari dan Hariati (1994)
Laut Jawa(Utara Rembang)
Decapterus russelli Rastrelliger kanagurta
18,97
20,37
Pralampita dan
Chodriyah (2010)
Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Jenis-Jenis Ikan Pelagis Kecil di Perairan Indonesia
59
Perairan Spesies Musim Pemi-jahan Lm (cm) Sumber
Laut Jawa Decapterus russelli
D.macrosoma
S. crumenophthalmus
R. kanagurta
Ambligaster sirm
April–Juni
Juli–Oktober April–Novem-ber
Maret–Juni
Februari–Juni
21,0
20,7
18,7
21,4
15,0
Atmaja et al. (1995)
Laut Jawa Rastrelliger kanagurta Agustus 18–23 Nurhakim (1993)Laut Jawa Decapterus russelli Juni–Agustus Suwarso & Hariati
(1988)
Selat Bali Sardinella lemuru Juli 17–18 Merta (1992)Laut Cina Selatan
Rastrelliger kanagurta
Decapterus russelli
D. macrosoma
Agustus–Februari
20,5
18,5
20,5
Suwarso et al. (2005)
Selat Malaka Decapterus russelli
D. macrosoma
D. macarellus
Rastrelliger kanagurta
Oktober
Mei dan Ok-tober,
Desember dan Maret
April-Oktober
16
18
20-22
17
Hariati et al. (2005)
Teluk Ambon Decapterus russelli
D. macrosoma
April-Juni
Agustus–Februari
16,2
15,5
Syahailatua (2003)
Sulawesi Utara Decapterus macarellus 22,8 Suwarso et al. (2000)
Tabel 6. Masa pemijahan dan panjang pertama kali matang gonad ikan pelagis kecil dari beberapa perairan di Indonesia (lanjutan)
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
60
Dari Tabel 6 terlihat masa pemijahan dan panjang pertama kali matang gonad (Lm) jenis-jenis ikan pelagis kecil di beberapa perairan di Indonesia pada periode tahun 1992-2010. Ikan layang memijah pada bulan April sampai bulan Agustus. Ikan layang pada umumnya memiliki 2 kali masa pemijahan per tahun dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan Maret/April (musim Peralihan 1) dan Agustus/September (musim Timur). Di Laut Jawa ikan layang deles (D. microsoma) memijah antara bulan Juli-Oktober dengan puncak pada bulan Agustus/September (Widodo 1988). Ikan banyar (R. kanagurta) melakukan dua kali masa pemijahan. Yang pertama berlangsung pada musim Barat (Oktober–Februari) dan kedua pada musim Timur (Juni–September), sedangkan ikan kembung (R. brachyosoma) memijah pada musim Barat (Desember–Februari).
Dari Tabel 6 juga terlihat bahwa nilai Lm ikan pelagis kecil khususnya untuk ikan layang (kecuali D. macarellus) dan ikan banyar di perairan Selat Malaka (timur Sumatera Utara dan Aceh Timur) pada tahun 2003 relatif rendah dibandingkan dengan nilai Lm di perairan Laut Cina Selatan pada tahun 2003–2005, dan di utara Jawa (utara Rembang ) pada tahun 2010. Maka nilai Lm ikan layang (Decapterus macrosoma dan D. russelli) dan ikan banyar di perairan Selat Malaka adalah rendah, diduga akibat tangkap lebih.
KesimpulanDari uraian informasi ilmiah yang diperlukan untuk dasar pengelolaan
pemanfaatan jenis-jenis ikan pelagis kecil di beberapa perairan di Indonesia, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Di perairan Laut Jawa terutama nilai-nilai Loo ikan pelagis kecil pada 1. periode tahun 1991–1995 lebih tinggi dibandingkan dengan Loo pada tahun 1985. Hal ini diduga karena telah terjadi pergeseran daerah penangkapan dari perairan pantai ke lepas pantai yang memiliki sumber daya ikan pelagis kecil yang lebih melimpah.Sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Selat Malaka dan Barat 2. Sumatera mengalami lebih tangkap. Khusus ikan banyar Rastrelliger kanagurta terjadi gejala peningkatan nilai E (tingkat pemanfaatan) dari tahun 1986 sampai dengan 2009.
Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Jenis-Jenis Ikan Pelagis Kecil di Perairan Indonesia
61
Pada periode 1997–1999 nilai E ikan layang (3. D. russelli dan D. macrosoma) di perairan Laut Cina Selatan masih sekitar 0,3–0,4. Kemudian dengan penambahan upaya armada pukat cincin dari luar wilayah perairan Laut Cina Selatan, pada tahun 2003–2005 untuk ikan layang nilai F >M sehingga terjadi peningkatan nilai E menjadi 0,4–0,7.Nilai-nilai E ikan pelagis kecil dari perairan Indonesia bagian Timur 4. tinngi terutama untuk Decapterus macrosoma mencapai 0,5–0,8 dan D. russelli >0,6 sedangkan d macarellus masih sekitar 0,5.Nilai-nilai Lm ikan layang (5. D. russelli dan D. macrosoma) dari perairan Selat Malaka (perairan timur Sumatera Utara dan perairan Aceh Timur) rendah, diduga karena penangkapan yang intensif.
Daftar PustakaAtmadja SB, Suwarso, Nurhakim S. 1986. Hasil tangkapan pukat cincin
menurut musim dan daerah penangkapan di Laut Jawa. Jurnal Pe-nelitian Perikanan Laut. No. 36: 57–66.
Atmadja SB, Sadhotomo B, Suwarso. 1995. Reproduction of the main small pelagic species. Biodynex. Biology, dynamics, exploitation of the small pelagic fishes in the Java Sea: 69–84.
Atmadja SB, Nugroho D. 2004. Karakteristik parameter populasi ikan siro (Amblygaster sirm, CLUPEIDAE) dan Model Terapan Bever-ton dan Holt di Laut Natuna dan sekitarnya. KL: Indonesia. Vol. 10 No. 4: 21–28.
Anonim. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia.Balai Riset Perika-nan Laut. PRPT-BRKP – DKP ; 116 hal.
Faizah R, Hariati T. 2011. Estimasi parameter populasi dua jenis ikan layang (Decapterus macrosoma dan D. macarellus) dari perairan utara Aceh. In press: 12 hal.
Hariati T, Suwarso, IGS Merta. 2001a. Pendugaan parameter populasi ikan layang (Decapterus russelli ). Pesisir dan Pantai Indonesia VI. P3O LIPI: 105–112.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
62
Hariati T, Suwarso, IGS Merta. 2001 b. Analisis frekuensi panjang ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) dari perairan pantai Aceh Selatan, Wilayah Barat Sumatera. Pesisir dan Pantai Indonesia VI. P3O LIPI: 207–216.
Hariati T. 2005a. Aspek perikanan pelagis kecil dan biologi ikan layang deles (Decapterus macrosoma ) di perairan Selat Sunda. Warta Peri-kanan Indonesia Edisi Sumber daya dan Penangkapan. Vol. 11 No.5: 18–22.
Hariati T, Taufik M, A Zamroni. 2005b. beberapa aspek reproduksi ikan layang (Decapterus russelli) dan ikan banyar (Rastrelliger kanagurta0 di perairan Selat Malaka Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan In-donesia. Vol. 11 No. 2:47-56.
Hariati T, Subagja W. 2008. Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang (Decapter-us russelli Dan Decapterus macrosoma) dari Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Laut Cina Selatan. Vol 14 No. 4: 393–402.
Hariati T, Chodriyah U, Fauzi M. 2011. Tingkat pemanfaatan ikan la-yang abu-abu (Decapterus macrosoma) dan layang biru (D. macarel-lus) dari perairan Kendari. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 17 No. 1
Hariati T, Nugroho D. 2011. Dugaan parameter populasi, pemanfaatan dan musim penangkapan ikan banyar (Rastrelliger kanagurta Cu-vier, 1816), di perairan Selat Malaka. In Press: 15 hal.
Krissunari D, Hariati T. 1994. Pendugaan Ukuran Pertama Matang Go-nad Beberapa Ikan Pelagis Kecil Di Perairan Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 85. Hal 48–53.
Manik N. 2003. Beberapa parameter populasi ikan layang (Decapterus rus-selli) di perairan Maluku Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indo-nesia. No.3: 21–36.
Merta IGS. 1992. Beberapa Parameter Biologi Ikan Lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853 Dari Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Pe-rikanan Laut. No. 67. Hal 1–10.
Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Jenis-Jenis Ikan Pelagis Kecil di Perairan Indonesia
63
Naamin N, Rijal M, Hariati T, Sriyati E, Mardlijah S. 2000. Penelitian Stock Assessment Bagi Pengelolaan Ikan Umpan Hidup Pada Peri-kanan Huhate (Pole & Line) Di Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan: 39–50.
Nurhakim S. 1993. Beberapa parameter populasi ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) di perairan Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No.81: 64–75.
Nurhakim S. 1995. Population dynamics of ikan banyar (Rastrelliger ka-nagurta). Biodynex. Biology, dynamics, exploitation of the small pelagic fishes in the Java Sea: 199–203.
Pralampita WA, Chodriyah U. 2010. Aspek biologi reproduksi ikan la-yang (Decapterus russelli) dan ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) yang didaratkan di Rembang, Jawa Tengah. BAWAL. Vol.3 No. 1 April 2010: 17–23.
Sadhotomo B. 2006. Population dynamics of the main pelagic species ex-ploited in the Java Sea. Biological parameter estimates. Indonesian Fisheries Research Journal. Vol. 12 No. 1: 37–63.
Suwarso, Hariati T. 1988. Pendugaan kematangan gonad dan musim pe-mijahan ikan layang (Decapterus russelli) di Laut Jawa. Jurnal Pen. Perikanan Laut. No. 46: 1–9.
Suwarso, Sadhotomo B, Atmadja SB. 1995. Growth parameters of the main small pelagic species. Biodynex. Biology, dynamics, exploita-tion of the small pelagic fishes in the Java Sea: 85-96.
Suwarso, Dharmadi, Widodo J. 2000. Biology And Fishery Of Malalugis Biru, Mackerel Scad. Decapterus macarellus, in North Sulawesi Wa-ters Of Indonesia The Proceeding of the JSPS-DGHE International Symposium on Fisheries Science in Tripocal Area. Bogor, August 21-25, 2000: 552–557.
Suwarso, Zamroni A, Wudianto. 2008. Biologi Reproduksi Dan Musim Pemijahan Ikan Pelagis Kecil Di Laut Cina Selatan. Jurnal Pene-litian Perikanan Indonesia. Vol. 14. No. 4. Desember 2008. Hal 379–391.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
64
Syahailatua A. 2003. Aspek biologi dan eksploitasi sumber daya perikanan layang Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma di Teluk Am-bon. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional: IKN 218-IKN 223.
Tampubolon G. 1988. Growth and mortality estimation of Indian ma-ckerel (Rastrelliger kanagurta). Contribution to Tropical Fisheries Biology. FAO Fisheries Report 389. Rome 1988: 372–384.
KASUS TELUK TOMINI
Produksi dan Ukuran Yellowfin Tuna di Teluk Tomini
Siti Mardlijah1 dan Aisyah2
AbstrakTeluk Tomini sangat baik bagi kehidupan berbagai biota laut termasuk
ikan tuna, karena adanya sirkulasi masa air yang terjadi di dalam teluk dan perairan di sekitar teluk. Yellowfin tuna merupakan komoditas ekspor utama di Teluk Tomini, sehingga mendorong terjadinya ekspoitasi yang cukup intensif. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran status perikanan yellowfin tuna di Teluk Tomini dilihat dari produksi dan ukuran yellowfin tuna yang tertangkap. Sampling dilakukan di Marisa. Sampling pengukuran panjang dilakukan mulai tahun 2007, 2008, 2010, dan 2011. Pencatatan data produksi dilakukan mulai tahun 2004–2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran yellowfin tuna yang tertangkap dari tahun ke tahun didominasi oleh ikan juvenil, produksi ikan tuna cukup fluktuatif dan terus terjadi penurunan, serta lokasi penangkapan semakin jauh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perikanan tuna di Teluk Tomini sudah mengarah pada overfishing.
Kata kunci: Yellowfin tuna, Teluk Tomini.
1 Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru2 Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
68
PendahuluanTuna merupakan sumber daya ikan oseanik yang utama di Samudera
Hindia, Samudera Pasifik, dan Samudera Atlantik. Dalam konteks perikanan nasional maupun global, tuna dikenal sebagai salah satu sumber daya perikanan yang penting, baik dalam perspektif ekonomi maupun konservasi.
Secara ekonomi, tuna merupakan sumber daya ekonomi bernilai tinggi dan merupakan komoditas unggulan untuk ekspor dari Teluk Tomini. Hal tersebut didasarkan pada permintaan pasar yang terus meningkat. Nilai ekonomis dari sumber daya perikanan tersebut telah mendorong eksploitasi yang semakin intensif, baik oleh perikanan skala kecil (nelayan setempat) maupun skala besar. Eksploitasi oleh perikanan skala besar dilakukan baik secara legal maupun ilegal (illegal, unreported, and unregulated/IUU fishing) oleh kapal-kapal asing. Peningkatan eksploitasi yang tidak terkendali sangat mungkin menyebabkan penurunan sediaan sumber daya, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dalam perspektif konservasi, sangat perlu dilakukan tindakan konservasi, mengingat status eksploitasi ikan tuna pada perairan Teluk Tomini sudah pada tingkat fully exploited (Komnas Kajiskan 2010). Indikasi tersebut dapat dilihat, diantaranya dari ikan juvenil tuna yang banyak tertangkap oleh hand line sebanyak 88,11% dan tertangkap oleh purse seine sebanyak 100% dari total tangkapan tuna (Mardlijah dan Rahmat 2008). Eksploitasi terhadap ikan-ikan juvenil secara terus-menerus tanpa diimbangi dengan upaya pengelolaan akan membahayakan keberlanjutan dari sumber daya ikan tersebut. Eksploitasi seperti ini tidak memberi kesempatan ikan untuk tumbuh dan berkembang biak, dan berdampak akhir overfishing recruitment (lebih tangkap ikan juvenil). Menurut Block dan Stevens (2001), konservasi tuna mengacu pada tindakan untuk mencegah penurunan stok dalam jangka panjang, mengembalikan jumlah populasi yang terus menurun, atau mengontrol aktivitas manusia dalam rangka mencapai pemanfaatan yang berkelanjutan dan keberadaan populasi yang terus menerus.
Beberapa alternatif pengelolaan yang sesuai pada perairan ini sangat dibutuhkan. Suatu sistem manajemen yang berbasis ekosistem
Produksi dan Ukuran Yellowfin Tuna di Teluk Tomini
69
merupakan keperluan yang mendesak untuk mencapai perikanan yang berkelanjutan. Dalam jangka pendek ditujukan untuk menghindari terjadi tangkap lebih, sedangkan untuk jangka panjang ditekankan pada perlindungan biodiversitas. Penerapan sisitem tersebut sangat penting dalam pengembangan perikanan tuna di masa mendatang.
Bahan dan MetodePengumpulan Data
Sampling dilakukan di tempat pengusaha fillet tuna di Marisa. Pengumpulan data produksi yellowfin tuna mulai dari tahun 2004–2010 yang dilakukan oleh pengusaha tuna yang ditunjuk sebagai enumerator. Pengumpulan data ukuran panjang dilakukan mulai dari tahun 2007, 2008, 2010, dan 2011. Sampel ikan madidihang merupakan hasil tangkapan hand line dan purse seine yang yang beroperasi di sekitar rumpon di perairan Teluk Tomini.
Analisis DataData produksi dibuat grafik tren produksi tahunan untuk mengetahui •fluktuasi produksi tahunan.Data ukuran panjang dibuat grafik distribusi ukuran panjang ikan •sehingga diketahui perubahan ukuran dari tahun ke tahun.
Hasil dan PembahasanTerdapat beberapa indikator untuk menentukan status perikanan
pada suatu perairan. Di antaranya adalah produksi tahunan, ukuran ikan yang tertangkap, dan lokasi penangkapan.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya sebenarnya sudah menunjukkan bahwa kondisi perikanan tuna di Teluk Tomini sudah mengkhawatirkan. Menurut Widodo dan Suwarso (2005), pola eksploitasi diduga belum memberikan dampak yang nyata pada karakter biologi ikan tuna (E = 0,29–0,560), namun sudah terlihat adanya tekanan penangkapan terhadap ikan-ikan muda (yuwana) yang sangat intensif. Berdasarkan data frekuensi
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
70
panjang yang dikumpulkan, ikan muda yang tertangkap sebanyak ± 54% dari seluruh hasil tangkapan ikan tuna. Ditambahkan oleh Nurhakim et al. (2007), perikanan pelagis besar di perairan Teluk Tomini telah mencapai tahap fully exploited. Mardlijah dan Rahmat (2008) menyatakan hasil tangkapan tuna didominasi oleh stadium juvenil, yaitu sebanyak 88,11% banyak tertangkap oleh hand line dan sebanyak 100% tertangkap oleh purse seine. Menurut Komnas Kajiskan (2010), bahwa status eksploitasi sumber daya ikan tuna pada perairan Teluk Tomini juga sudah berada pada tingkat fully exploited.
Hasil penelitian akan memperkuat hasil penelitian sebelumnya tentang kondisi perikanan tuna di Teluk Tomini, dilihat dari produksi tahunan, ukuran ikan tuna yang tertangkap dari tahun ke tahun, dan lokasi penangkapan. Dengan demikian kita dapat lebih bijaksana untuk memanfaatkan sumber daya ikan tuna dengan tetap memerhatikan kaidah-kaidah perlindungan untuk menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut. Monintja (2006) telah menguraikan beberapa indikator bilamana suatu perairan telah mengalami overfishing, yaitu: (1) menurunnya produksi atau produktivitas secara nyata; (2) ukuran ikan target yang tertangkap semakin kecil; (3) munculnya spesies nontarget dalam jumlah banyak; (4) tren data produksi bersifat ”erratic” atau fluktuatif, serta daerah penangkapan yang semakin jauh.
Produksi Data produksi dikumpulkan dalam rentang tahun 2004–2010 oleh
pengumpul/pengusaha fillet tuna. Pendataan dilakukan sejak perusahaan berdiri tahun 2004. Pada tahun 2004, produksi tuna hampir mencapai 60 ton/tahun, namun tahun 2005 menurun drastis sampai 30 ton/tahun. Pada tahun 2006, produksi meningkat lagi cukup signifikan menjadi 48 ton/tahun, dan terus meningkat sampai 2007 meskipun tidak signifikan. Pada tahun 2008, menurun kembali menjadi 20 ton/tahun dan terus menurun sampai 2010 (Gambar 1).
Produksi dan Ukuran Yellowfin Tuna di Teluk Tomini
71
Gambar 1. Produksi yellowfin tuna yang didaratkan di Marisa, 2004–2010
Dari Gambar 1 terlihat bahwa produksi ikan tuna cukup fluktuatif mulai dari tahun 2004–2007 diikuti dengan penurunan pada tahun berikutnya. Dari hasil wawancara dengan pengusaha setempat didapatkan informasi bahwa produksi tuna terus menurun hingga sekarang (2011). Banyak nelayan yang pergi melaut tetapi pulang tanpa hasil. Untuk dapat menangkap tuna, mereka harus memperjauh daerah penangkapan, yaitu di sekitar mulut teluk (berbatasan dengan Laut Maluku). Semula mereka dapat menangkap tuna di rumpon yang dapat ditempuh dengan perjalanan antara 2–4 jam, namun sekarang mereka harus menempuh perjalanan lebih dari 10 jam untuk dapat menangkap tuna. Kondisi yang demikian menyebabkan produksi tuna terus menurun karena nelayan belum mampu untuk menangkap di lokasi yang lebih jauh. Daerah penangkapan yang semakin jauh menimbulkan konsekuensi biaya operasional yang semakin mahal dan spesifikasi perahu juga harus disesuaikan untuk perjalanan jarak jauh.
Nelayan di Gorontalo pun mencari ikan hingga ke perairan Laut Maluku akibat penurunan tangkapan yellowfin tuna. Ikan tuna sirip kuning atau yellowfin tuna yang menjadi tangkapan utama nelayan mulai
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
72
sulit didapat di perairan Teluk Tomini. Diduga, faktor angin timur menjadi penyebab berpindahnya ikan tuna di perairan Teluk Tomini ke Laut Maluku. \Sementara itu, menurut petugas dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Provinsi Gorontalo, angin timur di sebagian besar wilayah di Indonesia umumnya terjadi sejak bulan Juni dan diperkirakan bertiup hingga September. Angin ini menjadi pertanda bakal dimulainya musim kemarau di Indonesia (Prasetyo dan Aziz 2011).
Ukuran IkanUkuran yellowfin tuna dari tahun ke tahun yang tertangkap di
Teluk Tomini di dominasi oleh ikan juvenil (berukuran kecil), baik yang tertangkap oleh pukat cincin maupun hand line (Gambar 2). Pada tahun 2007, ukuran terkecil ikan tuna yang tertangkap adalah 14 cm dengan 2 modus, yaitu pada 19 cm dan 34 cm. Pada tahun 2008, ukuran terkecil ikan tuna adalah 19 cm. Data tahun 2008 merupakan data survei 3 kali trip, namun data terlalu sedikit sehingga kurang mewakili ukuran ikan yang tertangkap pada tahun 2008. Pada tahun 2010, terlihat ada pergeseran ukuran ikan tuna terkecil yang tertangkap, yaitu 9 cm dengan modus pada ukuran 19 cm. Pendataan tahun 2010 dilakukan oleh enumerator. Pada tahun 2011 juga dilakukan pendataan oleh enumerator, tetapi baru berjalan 4 bulan, sehingga hasilnya belum terlihat signifikan. Untuk ikan tuna besar, jumlah tangkapannya sangat sedikit sehingga tidak tampak pada gambar.
Produksi dan Ukuran Yellowfin Tuna di Teluk Tomini
73
Gambar 2. Ukuran yellowfin tuna yang didaratkan di Marisa, tahun 2007, 2008, 2010, dan 2011
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
74
Gambar 2 menyatakan perubahan ukuran ikan tuna yang tertangkap belum terlihat secara signifikan. Perubahan ukuran dari tahun-tahun sebelumnya disebabkan karena rentan waktunya masih sedikit (4 tahun), jumlah sampel tidak sama pada tiap tahun, dan pendataan tidak penuh dalam satu tahun. Meskipun demikian, dapat dijelaskan bahwa selama 4 tahun pertama, stadia juvenil selalu mendominasi hasil tangkapan, sedangkan ikan tuna besar yang tertangkap kurang dari 15% dan kemungkinan akan terus berkurang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, ukuran juvenil tuna yang tertangkap oleh purse seine semakin kecil yaitu berukuran 9 cm yang tertangkap oleh purse seine.
Seluruh hasil tangkapan purse seine adalah ikan-ikan belum matang gonad, di mana yellowfin tuna di Teluk Tomini matang gonad pada ukuran 94,8 cm (Mardlijah dan Patria 2010). Sedangkan hasil tangkapan hand line terdiri dari ikan-ikan muda dan ikan-ikan matang gonad, tetapi didominasi oleh ikan-ikan muda, bahkan pada bulan September tertangkap ukuran yellowfin tuna terkecil yaitu 9–10 cm baik oleh hand line maupun purse seine (Gambar 3).
Banyaknya juvenil ikan yang tertangkap merupakan salah satu indikasi terjadinya overfishing. Diekert dan Rouyer (2011) menyebutkan bahwa juvenil ikan yang banyak tertangkap dapat menyebabkan recruitment overfishing, dikarenakan ikan-ikan juvenil belum sempat memijah tapi sudah ditangkap sehingga akan terjadi pengurangan stok ikan memijah (spawning stock). Untuk mengantisipasi kondisi tersebut dapat dilakukan beberapa hal diantaranya: pelarangan alat tangkap, dalam hal ini purse seine (hasil tangkapan 100% adalah juvenil tuna), pengaturan mata pancing, penutupan daerah penangkapan pada waktu-waktu tertentu terutama pada musim pemijahan.
Produksi dan Ukuran Yellowfin Tuna di Teluk Tomini
75
Juli 2010n=132
0
10
20
30
40
50
60
10 20 30 40 50 60 70 80 90
Fork Length (Cm)
Frek
uens
i (%
)
Ags 2010n=90
0
10
20
30
40
50
60
10 20 30 40 50 60 70 80 90
Fork Length (Cm)
Frek
uens
i (%
)
Okt 2010n=588
0
10
20
30
40
50
60
10 20 30 40 50 60 70 80 90
Fork Length (Cm)
Frek
uens
i (%
)
Sep 2010n=296
0
10
20
30
40
50
60
10 20 30 40 50 60 70 80 90
Fork Length (Cm)
Frek
uens
i (%
)
Apr 2010n=168
0
15
30
45
60
75
90
10 30 50 70 90 110 130 150 170 190
Fork Length (Cm)
Frek
uens
i (%
)
Juli 2010n=292
0
15
30
45
60
75
90
10 30 50 70 90 110 130 150 170 190
Fork Length (Cm)
Fre
kuen
si (
%)
Ags 2010n=519
0
15
30
45
60
75
90
10 30 50 70 90 110 130 150 170 190
Fork Length (Cm)
Frek
uens
i (%
)
Sep 2010n=368
0
15
30
45
60
75
90
10 30 50 70 90 110 130 150 170 190
Fork Length (Cm)
Frek
uens
i (%
)
Okt 2010n=341
0
15
30
45
60
75
90
10 30 50 70 90 110 130 150 170 190
Fork Length (Cm)
Frek
uens
i (%
)
A B
Gambar 3. Ukuran yellowfin tuna hasil tangkapan pukat cincin (A) dan hand line (B) yang didaratkan di Marisa, 2010
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
76
Kesimpulan Perikanan yellowfin tuna di Teluk Tomini sudah mengarah pada
overfishing. Hal ini dapat dilihat dari produksi tuna yang terus menurun, dominannya ikan juvenil dalam setiap tangkapan ikan, serta semakin jauhnya lokasi penangkapan ikan tuna.
Daftar PustakaBlock BA, Stevens ED. 2001. Tuna: Physiology, Ecology, and Evolution.
New York: Academic Press.
Diekert F, Rouyer T. 2011. Managing growth-overfishing is more important than managing recruitment-overfishing. Work in progress. University of Oslo, Centre for Ecological and Evolutionary Synthesis (CEES), Dept. of Biology.
Komnas Kajiskan. 2010. Status Eksploitasi Sumber Daya Ikan di WPP RI. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.
Mardlijah S, Rahmat E. 2008. Eksploitasi juvenil tuna di periaran Teluk Tomini (in press).
Mardlijah S, Patria MP. 2010. Biologi reproduksi ikan madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di Teluk Tomini (in press).
Monintja DR. 2006. Perspektif Pengelolaan Perikanan Tangkap Laut Arafura. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nurhakim S, VPH Nikijuluw, D Nugroho, BI Prisantoso. 2007. WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan), status perikanan menurut wilayah pengelolaan, informasi dasar pemanfaatan berkelanjutan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Prasetyo A, Aziz NA. 2011. Perikanan. Bursa Pengetahuan Online.
Widodo JW, Suwarso. 2005. Teluk Tomini: Ekologi, Potensi Sumber Daya, Profil Perikanan dan Biologi Beberapa Jenis Ikan Ekonomis Penting. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut, Badan Riset Perikanan dan Kelautan, DKP.
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni)
di Perairan Banggai Kepulauan
Sri Turni Hartati, Prihatiningsih, dan Lilies Sadiyah
AbstrakIkan Banggai Kardinal merupakan ikan yang tergolong endemik dan
terancam punah menurut Daftar Merah IUCN 2007. Statusnya di habitat aslinya, yaitu perairan karang Banggai Kepulauan, telah diperdebatkan oleh dua kepentingan, yaitu kepentingan komunitas internasional dalam aspek konservasi dan kepentingan masyarakat lokal pada aspek ekonomi, karena bernilai tinggi pada dunia perdagangan ikan hias. Dinamika populasi ikan banggai kardinal yang berhubungan dengan informasi dan data populasi, biologi, lingkungan dan status pemanfaatannya perlu dikaji untuk menjawab tantangan internasional. Hasil penelitian Balai Riset Perikanan Laut menunjukkan bahwa penyebaran ikan banggai kardinal adalah dari perairan timur Pulau Peleng sampai perairan pulau-pulau kecil di sebelah timur Pulau Banggai, dengan kisaran kepadatan antara 7–1500 ekor/500m2. Analisa hubungan antara kelimpahan dengan kondisi habitat dan oseanografi dengan GLM (Generalised Linear Model), variabel yang paling berpengaruh terhadap kelimpahan BCF di area sampling adalah salinitas. Mikrohabitat seperti bulu babi, anemon, dan karang bercabang berfungsi sebagai tempat berlindung dari pemangsaan. Kemudahan untuk ditangkap karena gerakannya pasif dan habitatnya relatif dangkal, fekunditas rendah, tertangkap pada semua ukuran karena seluruh siklus
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
78
hidupnya menempati habitat yang sama, menyebabkan populasi ikan banggai kardinal mudah terdegradasi. Sebagian besar ikan banggai kardinal yang tertangkap belum melewati ukuran pertama kali matang gonad, Lc 3,75 < Lm 4,40; kondisi tersebut akan mengurangi tingkat recruitment. Laju eksploitasi ikan banggai kardinal adalah 0,57 yang mengindikasikan perlunya suatu upaya untuk mengurangi atau membatasi penangkapan atau meningkatkan recruitment. Berdasarkan pertimbangan biologi, disarankan bahwa ikan banggai kardinal yang boleh ditangkap minimal berukuran 4,8 cm, karena diharapkan pada ukuran tersebut ikan sudah pernah berreproduksi. Dengan pertimbangan bahwa semua fase siklus hidup ikan banggai kardinal menempati habitat yang sama, penetapan konservasi ekosistem sulit dilakukan. Disarankan untuk penetapan salah satu wilayah habitat ikan banggai kardinal sebagai daerah reservasi.
Kata kunci: Ikan banggai kardinal, endemik, populasi, habitat, biologi.
PendahuluanKontroversi dalam pemanfaatan biota laut yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi antara lain adalah cara penangkapan yang merusak lingkungan hidup, komoditas yang diusahakan justru tergolong endemik, adanya regulasi pemerintah tentang status perikanan tetapi tidak diindahkan, dan ada beberapa komoditas bernilai ekonomis tinggi yang kemudian masuk dalam daftar merah CITES (Convention on International Trade in Endangared Species - IUCN 2007). Hal ini membawa dilema dalam pengembangan perikanan di tingkat regional maupun nasional. Contoh yang menonjol dan menjadi perhatian dunia adalah berkenaan dengan ikan banggai kardinal (Pterapogon kauderni) dan napoleon (Cheilinus undulatus). Dengan adanya pertimbangan CITES, kebutuhan informasi dan data ikan banggai kardinal telah meningkat akhir-akhir ini. Data ini penting untuk memberikan kepastian atas kesenjangan kepentingan antara IUCN yang memberikan batasan status sebagai ikan yang dilindungi dengan masyarakat setempat yang tidak menghendaki adanya pemberian status tersebut.
Ikan banggai kardinal (BCF) memenuhi 6 di antara 8 ktiteria yang membuat suatu spesies mudah terancam punah, yaitu mempunyai nilai ekonomis, mudah ditangkap, perkembangbiakan lambat, eksploitasi
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
79
terjadi pada sebagian besar siklus hidupnya, serta penyebaran dan habitat yang terbatas (TNC 2004). Kapasitas penyebaran yang sangat terbatas (tidak adanya fase pelagis) membuat spesies ini mudah terancam oleh kepunahan lokal (Ndobe dan Moore 2005). BCF telah disebutkan sebagai spesies yang patut dilindungi bahkan ada usulan agar penangkapan dan perdagangan BCF dihentikan demi kelestarian spesies tersebut (Bruins et al. 2003).
Pemerintah daerah propinsi Sulawesi Tengah menyatakan penolakan atas usulan komunitas internasional yang memasukkan ikan banggai kardinal dalam daftar jenis biota laut yang dilindungi, namun sebaliknya Direktur Eksekutif Yayasan Pengembangan Masyarakat Babasal (Banggai, Balantak, dan Saluan) di Sulawesi Tengah menyatakan bahwa populasi ikan banggai kardinal terancam punah dalam waktu 8 tahun terakhir, akibat penangkapan yang dilakukan secara ilegal oleh masyarakat. Betulkah ikan banggai kardinal akan terancam punah? Informasi biologis dan ekologis untuk mengetahui dinamika populasi ikan banggai kardinal diperlukan untuk menjawab hal ini secara pasti, dan untuk kemudian perlu dibuatkan regulasinya.
Ikan banggai kardinal tidak terlalu berharga di mata warga banggai, sebaliknya sangat berharga bagi nelayan-nelayan daerah lain karena adanya pesanan yang tinggi dari eksportir. Harga ikan di tingkat pengumpul pada tahun 2010 relatif rendah, yaitu ketika dijual ke pedagang di Bali dan Manado hanya Rp5.000/ekor. Harga penjualan ikan di tingkat ekportir di Bali mencapai US$2,50. Di pusat pembenihan dan konservasinya, harga reguler ikan ini pada pet show room di luar negeri US$25.99 dan harga sale US$21.98 sampai US$42.99 (freshmarine.com 2008). Sementara itu, ikan banggai yang diketahui dari hasil penangkapan di alam ditolak oleh masyarakat luar negeri dan tidak laku untuk dijual.
Data dan informasi tentang ikan banggai kardinal yang tersedia sekarang belum cukup untuk menentukan statusnya dari berbagai sudut pandang. Seperti dinamika populasi, reproduksi, food habit, lingkungan, status perikanan tangkap, sosial ekonomi dan kelembagaan adalah lingkup penelitian dan kajian yang menarik untuk menanggulangi kontroversial tentang banggai kardinal.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
80
Tulisan ini menyajikan data dan informasi dari hasil penelitian Balai Riset Perikanan Laut pada tahun 2010, meliputi kelimpahan dan daerah sebaran spasial, kondisi habitat dan oseanografi, aspek biologi, dan perkembangan produksi ikan banggai kardinal. Data dan informasi tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi pengelolaan ikan banggai kardinal di perairan Banggai Kepulauan.
Bahan dan MetodeData dan informasi yang disajikan pada tulisan ini diperoleh dari hasil
penelitian Balai Riset Perikanan Laut Tahun 2010 yang sudah diolah dan dianalisis, meliputi:
Distribusi kelimpahan ikan banggai kardinal (BCF).•Kondisi habitat dan nilai-nilai parameter oseanografi.•Aspek biologi ikan meliputi sebaran ukuran panjang, pertumbuhan, •mortalitas, pendugaan ukuran pertama kali tertangkap, hubungan panjang berat, reproduksi, pendugaan pertama kali matang gonad, fekunditas, dan kebiasaan makan.Perkembangan produksi ikan banggai kardinal.•
Hasil dan PembahasanDistribusi Kelimpahan
Perairan Banggai Kepulauan adalah satu-satunya habitat ikan banggai kardinal yang ada di dunia. Isu endemik ikan banggai kardinal berasal dari informasi ilmuwan asing, setelah ikan ini dideskripsikan oleh Koumans (1933) dan kemudian disusul oleh Allen dan Steene (1995).
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
81
Gambar 1. Penyebaran endemik ikan banggai kardinal (Vagelli 2005)
Survei penyebaran ikan banggai kardinal mulai dilakukan pada tahun 1994, 1998, 2001, 2002, dan 2004. Menurut Vagelli (2005) dalam Anonim (2011), penyebarannya secara alami hanya terdapat di sebagian perairan Banggai Kepulauan dan beberapa pulau-pulau kecil lainnya ke arah timur; mencapai 159 lokasi pada lebih dari 50 pulau (Gambar 1).
Hasil penelitian di Pulau Banggai pada bulan Juni 2010 menunjukkan bahwa ikan banggai kardinal tersebar di 10 wilayah perairan, yaitu Desa Popisi, Bone Baru, Tinakin laut, Monsongan, Kapela, Bontosi di Pulau Lobobo, Kokundang di Pulau Tumbak, Toado di Pulau Meilis, Pulau Kombongan, dan Pulau Teropot. Kepadatan berkisar antara 147–1.500 ekor/500m2, relatif melimpah di perairan Desa Bone Baru, Tinakin Laut, dan Teropot yaitu berturut-turut 1.005 ekor/500m2, 1.205 ekor/500m2, dan 1.500 ekor/500m2.
Berdasarkan hasil penelitian bulan Agustus 2010 di perairan Pulau Peleng, dari 14 wilayah perairan yang diamati, di Desa Kambal, Bulagi, Komba-Komba, Luk Labibi, dan Ambelang tidak dijumpai adanya penyebaran ikan banggai kardinal. Sembilan wilayah lainnya merupakan daerah penyebaran ikan banggai kardinal, yaitu perairan Tolulos, Kindandal, Popidolon, Bajo, Boyomoute, Apal, Bobu, Boniton, dan Lobuton. Kelimpahan ikan banggai kardinal di perairan Pulau Peleng
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
82
relatif rendah, kepadatan berkisar 7 ekor/500 m2 (Desa Kindadal) dan 249 ekor/500 m2 (Desa Bobu). Salah satu penyebab rendahnya kehadiran ikan banggai kardinal adalah semakin berkurangnya populasi bulu babi (Diadema setosum) sebagai tempat berlindung dari pemangsa. Pengambilan bulu babi secara berlebihan banyak dilakukan oleh masyarakat baik untuk dikonsumsi maupun digunakan sebagai umpan. Sebagai lokasi pembudidayaan mutiara, Desa Bobu tertutup bagi aktivitas nelayan di sekitarnya, di antaranya penangkapan ikan banggai kardinal, sehingga kelimpahannya relatif tinggi dan secara tidak langsung bermanfaat sebagai lokasi reservasi. Penyebaran spasial ikan banggai kardinal di perairan Kabupaten Banggai Kepulauan disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Daerah penyebaran ikan banggai kardinal di Perairan Pulau
Banggai
Hasil penelitian tahun 2007 kepadatan ikan banggai kardinal dalam 100 m2 adalah terendah 4 ekor dan tertinggi 56 ekor. Dari 33 lokasi yang dijelajahi di perairan Kabupaten Banggai Kepulauan, hanya 6 lokasi yang dinyatakan positif ikan ini ditemukan (Saputra dan Edrus 2008). Pada Gambar 3 disajikan kepadatan populasi ikan banggai kardinal berdasarkan hasil sensus visual di beberapa wilayah perairan Banggai Kepulauan.
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
83
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
Kepa
datan(eko
r/50
0m2)
Daerah penelitian
Gambar 3. Kepadatan spasial ikan banggai kardinal di beberapa wilayah perairan di Banggai Kepulauan
Habitat dan Kondisi OseanografiBeberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa habitat ikan
banggai kardinal adalah perairan dangkal pada kedalaman kurang dari 1–5m, pada ekosistem terumbu karang berupa fringing reef, reef flat, dan padang lamun. Menurut Vagelli (2004), ikan banggai kardinal juga dapat ditemukan di kawasan mangrove. Ikan banggai kardinal cenderung hidup secara sedentary, tanpa berpindah jauh, hidup bersama dengan beberapa jenis mikrohabitat, sebagai tempat mencari perlindungan dari pemangsa. Jenis-jenis Mikrohabitat yang telah teridentifikasi antara lain bulu babi (Diadema sp.), karang bercabang dan submasif dari marga Acropora maupun non-Acropora, berbagai jenis anemone laut (termasuk marga Heteractis, Macrodactyla, dan Stichodactyla), karang lunak (terutama marga Nephthea), karang api (marga Millepora), dan karang jamur dari marga Heliofungia. Dalam keadaan terancam, ikan banggai kardinal berlindung di antara duri bulu babi, cabang karang, atau tentakel anemone laut. (Lunn dan Moreau 2004; Vagelli 2004; Ndobe dan Moore 2005; LP3L Talinti 2006; Ndobe dan Madinawati 2007).
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
84
Hasil pengamatan habitat ikan banggai kardinal dilakukan di beberapa wilayah perairan Pulau Banggai melalui RRA (rapid reef assesment) disajikan pada Gambar 4. Lingkungan biotik seperti bulu babi, anemon laut, sponge dan karang lunak (soft coral) dikelompokkan dalam other fauna. Kehadiran bulu babi jenis Diadema setosum relatif melimpah. Paparan lamun terdiri dari jenis Enhalus accoroides dan Thalassia hemprichii. Jenis-jenis karang batu yang teridentifikasi di antaranya adalah non-Acropora, seperti Porites lobata, Perites lutea dan Goniastrea sp (CM), Seriatoopora histrik, Montipora digitata, dan Montipora foliosa (CB), non-Acropora foliosa (CF), non-Acropora fungia sp. (CMR), Acropora florida (ACB), dan Acropora Formosa (ACB).
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Popisi
Bone
Bar
u
Tina
kin laut
Monso
ngan
Kape
la
Bont
osi
Tumba
k
Tero
pot
Kombo
ngan
Meilis
Abiotik
Other fauna
Lamun
Hard coral
Gambar 4. Habitat ikan banggai kardinal di perairan Banggai Kepulauan
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
85
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00
Matanga
Bone Baru
Popisi
Monsonga
Tinakin Laut
Minanga
Kombonga
Toropot
P. Tumbak
Bontosi
Pulau Banggai
Lumpur Pasir Halus Pasir Kasar
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00
Desa Bajo
Boyomoute
Apal
Popidolon
Komba komba 1
Komba komba 2
Tolulos
Kindandal
Ambelang
Bobu
Boniton
Lobuton
Pulau Peleng
Debu Pasir Halus Pasir Kasar
Gambar 5. Tipe substrat pada habitat ikan banggai kardinal di Banggai Kepulauan
Tipe substrat dasar perairan yang menggambarkan kondisi abiotik di Pulau Banggai umumnya berpasir kasar, pasir halus, dan berlumpur, di Pulau Peleng relatif lebih halus, terdiri dari debu, pasir halus, dan pasir kasar (Gambar 5).
Parameter oseanografi yang diukur antara lain kedalaman, suhu, pH, oksigen terlarut, salinitas disajikan pada Gambar 6.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
86
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
Kapela
BoneBaru
Popisi
Monsongan
TinakinLaut
P.Meilis
P.Kombongan
P.Toropot
P.Tumbak
Bontosi
Keda
laman
perairan
PulauBa
nggai
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Bajo
Boyomoute
Apal
Popidolon
Kombakomba
Tolulos
Kindandal
Ambelang
Bobu
Boniton
Lobuton
Keda
laman
perairan
PulauPe
leng
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
30.00
30.50
31.00
31.50
32.00
Kapela
BoneBaru
Popisi
Monsongan
TinakinLaut
P.Meilis
P.Kombongan
P.Toropot
P.Tumbak
Bontosi
Suhu
perairan
PulauBa
nggai
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
31.00
32.00
33.00
Bajo
Boyomoute
Apal
Popidolon
Kombakomba
Tolulos
Kindandal
Ambelang
Bobu
Boniton
Lobuton
Suhu
perairan
PulauPe
leng
G
amba
r 6. K
isara
n ni
lai k
edal
aman
, suh
u, p
H, o
ksig
en te
rlaru
t, da
n sa
linita
s di p
erai
ran
Bang
gai K
epul
auan
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
87
6.00
6.20
6.40
6.60
6.80
7.00
7.20
7.40
7.60
7.80
Kapela
BoneBaru
Popisi
Monsongan
TinakinLaut
P.Meilis
P.Kombongan
P.Toropot
P.Tumbak
Bontosi
pHpe
rairan
PulauBan
ggai
6.60
6.80
7.00
7.20
7.40
7.60
7.80
8.00
8.20
Bajo
Boyomoute
Apal
Popidolon
Kombakomba
Tolulos
Kindandal
Ambelang
Bobu
Boniton
Lobuton
pHpe
rairan
PulauPe
leng
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
Kapela
BoneBaru
Popisi
Monsongan
TinakinLaut
P.Meilis
P.Kombongan
P.Toropot
P.Tumbak
Bontosi
Oksigen
terlarut
perairan
PulauBa
nggai
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
Bajo
Boyomoute
Apal
Popidolon
Kombakomba
Tolulos
Kindandal
Ambelang
Bobu
Boniton
Lobuton
Oksigen
terlarut
perairan
PulauPe
leng
Gam
bar 6
. Kisa
ran
nila
i ked
alam
an, s
uhu,
pH
, oks
igen
terla
rut,
dan
salin
itas d
i per
aira
n Ba
ngga
i Kep
ulau
an
(lanj
utan
)
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
88
2829303132333435
Kapela
BoneBaru
Popisi
Monsongan
TinakinLaut
P.Meilis
P.Kombongan
P.Toropot
P.Tumbak
Bontosi
Salin
itas
perairan
PulauBa
nggai
0510152025303540
Bajo
Boyomoute
Apal
Popidolon
Kombakomba
Tolulos
Kindandal
Ambelang
Bobu
Boniton
Lobuton
Salin
itas
perairan
PulauPe
leng
Gam
bar 6
. Kisa
ran
nila
i ked
alam
an, s
uhu,
pH
, oks
igen
terla
rut,
dan
salin
itas d
i per
aira
n Ba
ngga
i Kep
ulau
an
(lanj
utan
)
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
89
Habitat ikan banggai kardinal berada pada perairan dangkal dengan kedalaman berkisar 0,6–3,4 m di Pulau Banggai dan berkisar 0,5–2,0 m di Pulau Peleng. Yayasan Alam Indonesia Lestari, 2009 menyatakan bahwa ikan banggai kardinal hidup pada kedalaman perairan antara 1,5–2,5 meter, pergerakannya cenderung pasif dan memiliki perilaku sedentary, hidup dengan mikrohabitat sebagai pelindung. Suhu perairan Pulau Banggai berkisar 29,13°C–31,75°C dan perairan P. Peleng 28,50°C–32,13°C. Derajat keasaman (pH) di perairan Pulau Banggai berkisar 6,56– 7,59 dan di Pulau Peleng berkisar 7,13–8,01. Oksigen terlarut di perairan Pulau Banggai berkisar 3,44–7,38 mg/l dengan rata-rata 5,82 mg/l, di perairan P. Peleng berkisar antara 5,10–8,19 mg/l dengan rata-rata 6,36 mg/l. Oksigen terlarut di perairan Banggai Kepulauan masih alami dan belum terganggu oleh aktivitas manusia baik dalam bentuk limbah domestik, perindustrian maupun transportasi. Salinitas di perairan Pulau Banggai pada umumnya tinggi, berkisar 30,0–34,0‰ dengan rata-rata 32,80‰. Berbeda dengan dengan P. Peleng yang kisarannya cukup lebar, antara 23,0–33,60 ‰ dengan rata-rata 29,65‰. Rendahnya salinitas di beberapa perairan Pulau Peleng karena terdapat banyak mata air tawar.
GLM telah digunakan untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap kepadatan BCF (ekor/m2) di area sampling (perairan Pulau Banggai). Model terbaik yang dihasilkan dari Stepwise AIC (yaitu memiliki nilai AIC terkecil) dapat dilihat pada Tabel 1 (persamaan pertama). Model tersebut menunjukkan bahwa dari keempat variabel (kedalaman, suhu, DO, dan salinitas), variabel yang paling berpengaruh terhadap kelimpahan BCF di perairan Pulau Banggai adalah salinitas (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan pada beberapa stasiun penelitian di Pulau Peleng yang menunjukkan bahwa kondisi salinitas yang rendah atau perairan payau memiliki kelimpahan ikan banggai kardinal yang sangat rendah, bahkan di beberapa wilayah perairan tidak ada kehadiran ikan banggai kardinal.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
90
Tabel 1. Pilihan Model hasil Stepwise AIC. Model terbaik adalah model yang memiliki nilai AIC terkecil
No. Model Options AIC
1 Log_Kepadatan ~ Kedalaman + poly(Suhu, 2) + DO + Salinitas 23,492 Model 1 + Sedimen 25,093 Model 1 + Habitat + Sedimen 26,474 Model 1 + Habitat + Keasaman + Sedimen 28,21
Tabel 2. Hasil Analisis Deviasi dari model terbaik
Df Deviance Resid. Df
Resid. Dev
F Pr(>F)
NULL 9 6,5871Kedalaman 1 0,1226 8 6,4645 0,3242 0,60poly(Suhu, 2) 2 1,9041 6 4,5604 2,5176 0,20DO 1 0,1992 5 4,3611 0,5269 0,51Salinitas 1 2,8485 4 1,5127 7,5324 0,05
Aspek BiologiSebaran Ukuran Panjang
Sebaran ukuran panjang ikan banggai kardinal SL berkisar 1,0–7,0 cm dengan rata-rata 3,4 cm, FL berkisar 1,2–7,9 cm dengan rata-rata 4,0 cm, dan TL berkisar 1,4–10,1 cm dengan rata-rata 5,0 cm. Modus berada pada panjang 3,0–5,0 cm. Data sebaran panjang ikan banggai kardinal pada setiap bulan dan dan setiap stasiun pengamatan menggambarkan kehadiran ukuran dari juvenil sampai induk. Dari data sebaran panjang tersebut ada indikasi bahwa pemijahan berlangsung sepanjang tahun dan setiap fase kehidupan ikan banggai kardinal menempati habitat yang sama, artinya habitat tersebut merupakan tempat pemijahan, daerah asuhan, dan daerah mencari makan. Kondisi ini meyebabkan ikan banggai kardinal dalam fase juvenil ikut tertangkap. Dengan kondisi demikian penetapan kawasan konservasi akan sulit dilakukan. Barangkali yang lebih tepat adalah memilih salah wilayah habitat sebagai daerah reservasi. Seperti kondisi yang ada di perairan Desa Bobu, Pulau Peleng, tanpa disengaja sudah terbentuk sebagai daerah reservasi.
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
91
Pertumbuhan
Berdasarkan data ukuran panjang ikan banggai kardinal yang tertangkap bulan April 2010 sampai Januari 2011 diperoleh nilai parameter pertumbuhan yaitu L∞ = 8,6 cm, K = 1,03 per tahun, dan t0 adalah -0,22 per tahun. Kurva fungsi pertumbuhan Von Bertalanffy (VBGF) ikan banggai kardinal disajikan pada Gambar 7. Panjang maksimum ikan banggai kardinal hasil pengamatan di lapangan 7,9 cm lebih kecil dibandingkan dengan panjang infinity 8,6 cm.
Gambar 7. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan data frekuensi panjang ikan banggai kardinal
Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa ada ikan berukuran lebih besar dari 7,9 cm yang tidak tertangkap. Panjang infinity (L∞) ikan banggai kardinal dari hasil penelitian, nilainya sama dengan yang diperoleh dari fise base online yaitu 8,6 cm, dan nilai koefesien pertumbuhan (K=1,03 per tahun) lebih tinggi, yaitu 0,94 per tahun (www.fishbase.org).
Mortalitas
Mortalitas total dapat diduga dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analisis kurva hasil tangkapan menggunakan data frekuensi panjang (Sparre dan Venema 1998).
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
92
Gambar 8. Mortalitas ikan banggai kardinal (Pterapogon kauderni) berdasarkan pada kurva panjang hasil tangkapan yang dikonversi
Mortalitas alami (M) ikan banggai kardinal adalah 2,62 per tahun, mortalitas karena penangkapan (F) = 3,54 per tahun, dengan demikian mortalitas total (Z) = 6,16 per tahun. (Gambar 8). Mortalitas alami hampir sama dengan dengan hasil penelitian Wijaya (2010) yaitu 2,56 per tahun. Laju eksploitasi (E) merupakan indeks yang menggambarkan tingkat pemanfaatan stok di suatu perairan. Laju eksploitasi ikan banggai kardinal adalah 0,57. Nilai E tersebut mengindikasikan perlu adanya suatu upaya untuk mengurangi atau membatasi penangkapan atau meningkatkan recruitment, misalnya dengan menetapkan kuota jumlah dan ukuran yang boleh ditangkap.
Pendugaan ukuran pertama kali tertangkap (Lc) dan matang gonad (Lm)
Berdasarkan hasil pengamatan, pendugaan ukuran panjang pertama kali tertangkap ikan banggai kardinal Lc50% adalah 3,75 cm dan pendugaan rata-rata panjang saat pertama matang gonad Lm adalah 4,40 cm. Hasil penelitian ini lebih kecil dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2010) yaitu 5,8 cm. Dari dimensi ukuran-ukuran tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ikan banggai kardinal yang tertangkap belum melewati ukuran pertama kali matang gonad, Lc < Lm. Jika kondisi
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
93
tersebut dibiarkan terus menerus, ikan banggai kardinal akan mengalami kepunahan atau recruitment over fishing. Untuk mempertahankan stok ikan banggai kardinal, ukuran pertama kali tertangkap harus lebih dari panjang cagak 4,40 cm.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan fase juvenil dari fase matang gonad kurang lebih membutuhkan waktu 1 bulan (Vagelli 1999) dan ukuran pertama kali matang gonad pada panjang 4,4 cm. Informasi tersebut dimasukkan ke dalam rumus Pauly (1983) dan diperoleh ukuran minimal untuk bisa ditangkap sebesar 4,8 cm (diduga berumur sekitar 7 bulan). Pada ukuran panjang 4,8 cm diprediksi ikan banggai kardinal sudah pernah berreproduksi.
Reproduksi
Pengamatan tingkat kematangan gonad ikan banggai kardinal dilakukan pada bulan Juni, Agustus, November 2010, dan bulan April dan Juni 2011. Hampir pada setiap bulan pengamatan ditemukan fase spent dan didominasi oleh TKG stadia IV, yang mengindikasikan bahwa pemijahan ikan banggai kardinal berlangsung sepanjang tahun. Indikasi ini diperkuat dengan data sebaran ukuran panjang pada setiap bulan, yaitu kehadiran ikan banggai kardinal dari ukuran juvenil sampai induk. Kondisi tingkat kematangan gonad pada setiap bulan pengamatan disajikan pada Gambar 9.
0
20
40
60
80
100
Juni 20
TK
G (%
)
010 Agustus2010
Nov
Bulan Pen
v 10 Apr 11 Jun
ngamatan
ni 2011
I
II
III
IV
Spentt
Gambar 9. TKG ikan banggai kardinal pada setiap bulan pengamatan
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
94
Fekunditas
Hasil pengamatan fekunditas pada waktu penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah telur/juvenil ikan banggai kardinalpada fase-fase reproduksi
Fase Rata-rata jumlah telur/juvenil (ind)
Diameter telur (μm)
TKG 2 - 474TKG 3 124 1,030TKG 4 93 3,027Spent (dalam mulut) 78 4,010Juvenil 60 0,7–1,0 cm
Ada perbedaan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian Vagelli dan Volpedo (2004) jumlah telur yang dihasilkan sekitar 40–60 butir. Menurut Marini (1996; 1999), jumlah larva yang berhasil dierami hingga terlepas sebagai juvenil jarang melebihi 20 ind. Dapat dikatakan bahwa jumlah telur ikan banggai kardinal dibandingkan dengan ikan laut lainnya dikategorikan memiliki tingkat fekunditas yang rendah, sehingga tidak dapat di eksploitasi secara berlebihan. Vagelli (2002) menyampaikan bahwa diameter telur rata-rata 3 mm, pada waktu larva 6 mm, pertama kali dikeluarkan dari mulut 8 mm, dan setelah umur 2 minggu menjadi 15 mm.
Hubungan Panjang Berat
Analisis hubungan panjang berat ikan banggai kardinal menunjukkan pola pertumbuhan yang bervariasi pada setiap bulannya. Pada bulan April dan Juni menunjukkan pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif, atau nilai b kurang dari 3, artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dari beratnya. Pola pertumbuhan pada bulan Agustus dan November bersifat mendekati issometrik, artinya pertambahan panjang hampir seimbang dengan pertambahan beratnya (Tabel 4).
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
95
Tabel 4. Hubungan panjang-berat ikan banggai kardinal
No Bulan Persamaan W=aLb RUji t
ntHit ttab(0.05)
1 April W = 0,05L2,587 0,927 1,6209 2,000 2292 Juni W = 0,015L2,809 0,901 0,4898 2,000 4733 Agustus W = 0,009L2,994 0,941 0,0299 2,000 3884 November W = 0,021L3,116 0,968 0,3822 2,000 297
Kebiasaan Makan
Hasil analisa isi lambung (diet content) ikan banggai kardinal disajikan pada Gambar 10. Komposisi makanan ikan banggai kardinal terdiri atas crustacea, fitoplankton, zooplankton, polychaeta, molusca, dan sisik ikan. Pengamatan yang dilakukan pada bulan Juni, Agustus, dan November menunjukkan bahwa crustacea dari jenis udang adalah makanan utamanya, dengan kehadiran antara 53%–74%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikan banggai kardinal tergolong karnivora. Vagelli (2002) juga menyampaikan bahwa ikan banggai kardinal tergolong karnivora dan mangsanya sangat beragam, meliputi berbagai jenis zooplankton dan zoobenthos serta ikan/invertebrata berukuran kecil.
0% 23%
3%74%
Juni 20010
Phytoplankton
Zooplankton
Polychaeta
Crustacea
1%
69%
0%
8%Ag
22%
0%
ustus 2010Phytopla
Zooplan
Polychae
Crustace
Moluska
Sisik ikan
ankton
kton
eta
ea
a
n
53%
21%
17
1%
%
November 20010
Phytoplankton
Zooplankton
Polychaeta
Crustacea
Moluska
Sisik ikan
Gambar 10. Komposisi makanan isi lambung ikan banggai kardinal
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
96
Perkembangan ProduksiPemanfaatan ikan banggai kardinal diperkirakan mulai pada tahun
1980-an, dengan masuknya penangkap/pedagang ikan hias terutama dari Bali, Jawa dan Sulawesi Utara ke perairan Pulau Tumbak. Menurut masyarakat di beberapa desa, antara lain di Tolokibit (Ndobe et al. 2005), perdagangan tersebut telah berlangsung sebelum “rediscovery” BCF oleh Allen pada tahun 1994. Desa yang pernah terlibat dalam penangkapan dan perdagangan ikan banggai kardinal sampai tahun 2001 berjumlah 12 (Lunn dan Moreau 2004).
Nelayan penangkap ikan banggai kardinal sebagian besar adalah masyarakat setempat yang umumnya berasal dari suku Bajo dan Banggai, sebagai mata pencaharian alternatif. Aktivitas penangkapan dilakukan atas permintaan dari kapal pembeli yang datang. Jenis ikan hias lainnya yang juga ditangkap adalah letter six dan angel, yaitu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan BCF ada 2 jenis, serok atau bundre dengan diameter rata-rata 50–60 cm, dan sejenis pukat/jaring berukuran kecil dengan sayap dan kantung yang dibentuk menyerupai corong yang disebut cang (Gambar 11). Pergerakan ikan banggai kardinal relatif lambat, sehingga penangkapan dapat dilakukan dengan mudah.
Gambar 11. Bundre dan Cang sebagai alat tangkap ikan banggai
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
97
Pola pemanfaatan ikan banggai kardinal pada saat ini cenderung menimbulkan penurunan tingkat populasi. Tidak adanya aturan penangkapan yang jelas menyebabkan nelayan tidak selalu melakukan penyortiran ukuran. Peraturan penangkapan menjadi tidak jelas, karena pengetahuan mengenai aspek biologi ikan banggai kardinal belum banyak diketahui atau diteliti secara komprehensif. Peraturan daerah tentang kuota ukuran yang boleh ditangkap antara 3–4,5 cm apakah sudah tepat? Demikian juga penangkapan induk jantan yang sedang mengerami telurnya akan mengurangi proses pemulihan populasi yang hilang.
Hasil tangkapan ikan banggai kardinal baru mulai tercatat tahun 1999, dan beberapa tahun di antaranya tidak tercatat. Produksi relatif tinggi pada kisaran tahun 1999–2007, dan tahun 2000 mencapai 1.400.000 ekor per tahun. Sampai tahun 2007, hasil tangkapan nelayan dapat memenuhi permintaan pasar sebanyak 10.000–15.000 ekor per minggu. Memasuki tahun 2008 kelihatannya terjadi penurunan populasi, nelayan mulai sulit untuk memenuhi permintaan pasar atau konsumen. Produksi menurun drastis, yaitu pada tahun 2008–2010 berturut-turut 236.373 ekor, 330.426 ekor, dan 231.911 ekor. Perkembangan produksi ikan banggai kardinal disajikan pada Gambar 12.
Peraturan daerah tentang BCF yang berlaku lainnya pada saat ini adalah kuota penangkapan sebanyak 15.000 ekor/bulan dan penetapan sentra produksi hanya melalui 3 desa: Bone Baru, Terpot, dan Bone-Bone. Apakah ini sudah tepat?
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
98
5,00
010,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
DaataProd
uksiBC
Ftahu
n2010
Gam
bar 1
2. D
ata
prod
uksi
ikan
ban
ggai
kar
dina
l di p
erai
ran
Bang
gai K
epul
auan
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
99
Kesimpulan 1. Penyebaran ikan banggai kardinal adalah dari perairan timur Pulau
Peleng sampai perairan pulau-pulau kecil di sebelah timur Pulau Banggai, dengan kisaran kepadatan antara 7 ekor/500m2 sampai dengan 1500 ekor/500m2.
2. Analisa hubungan antara kelimpahan dengan kondisi habitat dan oseanografi dengan GLM (Generalised Linear Model), variabel yang paling berpengaruh terhadap kepadatan BCF (ekor/m2) di area sampling adalah salinitas. Mikrohabitat seperti bulu babi, anemon, dan karang bercabang berfungsi sebagai tempat berlindung dari pemangsaan.
3. Kemudahan untuk ditangkap karena gerakannya pasif dan habitatnya relatif dangkal, fekunditas rendah, tertangkap pada semua ukuran karena seluruh siklus hidupnya menempati habitat yang sama, adalah beberapa hal yang menyebabkan populasi ikan banggai kardinal mudah terdegradasi.
4. Sebagian besar ikan banggai kardinal yang tertangkap belum melewati ukuran pertama kali matang gonad, Lc 3,75 < Lm 4,40, kondisi tersebut akan mengurangi tingkat recruitment.
5. Laju eksploitasi ikan banggai kardinal sebesar 0,57 mengindikasikan diperlukan adanya suatu upaya untuk mengurangi atau membatasi penangkapan sehingga recruitment meningkat.
Rekomendasi 1. Berdasarkan pertimbangan biologi, disarankan bahwa ikan banggai
kardinal yang boleh ditangkap minimal berukuran 4,8 cm, karena diharapkan pada ukuran tersebut ikan sudah pernah berreproduksi.
2. Dengan pertimbangan bahwa semua fase siklus hidup ikan banggai kardinal menempati habitat yang sama, penetapan daerah konservasi sulit dilakukan. Disarankan adalah penetapan salah satu wilayah habitat ikan banggai kardinal sebagai daerah reservasi.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
100
Daftar PustakaAllen GR, Steene RC. 1995. Notes on the ecology and behaviour of the
Indonesian cardinalfish (Apogonidae) Pterapogon kauderni Koumans. Rev. fr. Aquariol. 22(1–2): 7–10.
Anonim. 2011. Draf Rencana Pengelolaan Perikanan: Ikan Banggai Kardinal. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan.
Bruins EBA, Moreau MA, Lunn KE, Vagelli A, Hatt H. 2003. 10 Years after rediscovering the Banggai Cardinalfish. Musée Océanographique, Monaco. Bulletin de l’Institut Océanographique 2004, Vol. 77, no1446, pp. 71-81IUCN (2007). IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org
Koumans FP. 1933. On a new genus and species of Apogonidae. Zoologische Mededeelingen (Leiden). Vol 16 (1–2): 78, Pl. 1.
Lunn KE, Moreau AM. 2004. Unmonitored trade in Marine Ornamental Fishes: the Case of Indonesia’s Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni). Coral Reefs 2004. Vol 23: 344–341.
LP3L Talinti 2006. Pendataan Habitat, Populasi dan Pemanfaatan Ikan Hias di Pulau Banggai, Sulawesi Tengah sebagai Dasar Perencanaan Pemanfaatan Bekelanjutan Secara Ekologis dan Ekonomis. Laporan Akhir pada Progam Mitra Bahari (RC Sulawesi Tengah), Palu, Indonesia.
Marini FC. 1996. My notes and Observations on Raising and Breeding the Banggai Cardinal fish. Volume 4 Issue 4. The Journal of MaquaCultute. http://www.breeders-registry.gen.ca.us.
Marini FC. 1999. Captive care and breeding of the Banggai cardinal fish Pterapogon kauderni. http://www.reefs.org/.
Ndobe S, Moore A. 2005. Pterapogon kauderni, Banggai Cardinalfish: Beberapa Aspek Biologi, Ekologi dan Pemanfaatan Spesies Endemik di Sulawesi Tengah yang Potensil untuk Dibudidayakan. Presented at the Seminar Nasional Perbenihan 2005 in Palu, Indonesia.
Status Pemanfaatan Ikan Banggai Kardinal (Pterapogon Kauderni) di Perairan Banggai Kepulauan
101
Ndobe S, Moore A, Supu A. 2005. The Indonesian Ornamental Fish Trade: Case Studies and Options for Improving Livelihoods while Promoting Sustainability, Banggai Case Study Final Report to NACA. Yayasan Palu Hijau, Palu, Indonesia.
Ndobe S, Madinawati. 2007. Pengkajian Ontogenetic Shift pada ikan hias endemik Banggai Cardinalfish Pterapogon kauderni di Desa Tinakin Laut, Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah Penelitian Dosen Muda DIKTI, Universitas Tadulako.
Pauly D. 1983. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. 729: 54 pp.
Saputro GB, Edrus IN. 2008. Sumber daya Ikan Karang Perairan Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol 14(1): 79–121.
Sparre P, Venema SC. 1998. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376 p.
TNC. 2004. Spesies yang Mudah Terancam. Dalam Kursus singkat tentang Perencanaan dan pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut di Indonesia. The Nature Conservancy, Denpasar, Indonesia. CD Vagelli A. 2002. Notes on the biology, geographic distribution, and conservation status of the Banggai Cardinalfish, Pterapogon kauderniKoumans 1933, with comments on captive breeding tchniques. Aquarium Science November 2002. 84–88.
Vagelli A. 2004. Ontogenetic Shift in Habitat Preference by Pterapogon kauderni, a Shallow Water Coral reef Apogonid with Direct Development. Copeia 2004. Vol 2: 364–369.
Vagelli A. 1999. The Reproductive biology and early ontogeny of the mouthbreeding Banggai Cardinalfish, Pterapogon kauderni (Perciformes, Apogonidae). Environmental Biology of Fishes. Vol 56:79–92.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
102
Vagelli A, Volpedo AV. 2004. Reproductive Ecology of Pterapogon kauderni, an endemic apogonid from Indonesia with direct development. Environmental Biology of Fishes. Vol 70: 235–245.
Wijaya I. 2010. Analisis Pemanfaatan Ikan Banggai Cardinal (Pterapogon kauderni, Koumans 1933) di Pulau Banggai-Sulawesi Tengah [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
Asep Priatna1 dan Suwarso1
AbstrakPotensi sumber daya ikan pelagis di Teluk Tomini cukup melimpah
dan dimanfaatkan terutama oleh nelayan tradisional. Potensi produksi ikan pelagis sebagian besar (80%) di antaranya berupa ikan pelagis kecil, di mana ikan malalugis merupakan kontribusi paling besar dalam hasil tangkapan ikan pelagis kecil (63 sampai 85%) oleh pukat cincin. Penelitian ini bertujuan untuk menduga stok sumber daya ikan pelagis kecil dengan metode hidroakustik. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010 berupa survei eksplorasi dengan tiga kali, yaitu bulan Mei (musim peralihan-1), Juli (musim timur), dan Desember (musim barat) 2010. Akuisisi data akustik menggunakan echosounder Simrad EY60 dengan frekuensi 120 kHz.
Hasil penelitian menunjukkan biomassa sumber daya ikan pelagis kecil pada bulan Mei (musim peralihan-1), Juli (musim timur), dan bulan Desember (musim barat) adalah 64.937 ton, 2.789 ton, dan 4.349 ton. Kepadatan stok berturut-turut sebesar 1,10 ton/km2, 0,05 ton/km2 dan 0,08 ton/km2. Nilai-nilai tersebut merupakan stok sumber daya ikan pelagis kecil pada ukuran antara 15–30 cm FL yang terdistribusi mulai dari permukaan sampai kedalaman 50 meter dengan cakupan area sekitar 59.000 km2. Pada musim peralihan-1, ikan pelagis kecil dengan ukuran
1 Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut. Jln. Muarabaru Ujung. Jakarta-14430
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
104
15–50 cm FL terdistribusi merata mulai dari permukaan sampai 50 meter. Sementara itu, pada musim barat dan timur kolom perairan didominasi oleh ikan dengan ukuran yang lebih kecil. Perbandingan jumlah antara ikan dengan ukuran 15–22,5 cm FL dan 22,5–30 cm FL adalah 2:1 pada musim timur, dan 9:1 pada musim barat.
Kata kunci: metode akustik, biomassa, ikan pelagis kecil, Teluk Tomini.
PendahuluanPerkembangan pembangunan perikanan yang cenderung bergerak
semakin cepat membutuhkan informasi mengenai sumber daya dan lingkungan yang senantiasa terbaru. Hal ini penting mengingat upaya pengelolaan sumber daya perikanan (SDI), lingkungan serta pemanfaatannya memerlukan bukti-bukti ilmiah dan bersifat kekinian. Dengan acuan informasi yang pasti dan terbaru diharapkan dapat disusun pola pengelolaan dan pemanfaatan yang mampu menjamin keberlanjutan usaha, sumber daya dan lingkungan itu sendiri. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, maka informasi sumber daya dan lingkungan perikanan harus senantiasa diperbaharui secara periodik melalui riset dan kajian secara ilmiah (Anonim 2005).
Teluk Tomini merupakan perairan yang spesifik di antara Propinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Potensi SDI cukup melimpah dan dimanfaatkan terutama oleh nelayan tradisional dari ketiga wilayah tersebut. Dalam kesatuan WPP-RI 715 Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau, mempunyai potensi sumber daya pelagis diperkirakan 486.000 ton/tahun atau kira-kira 83% dari rata-rata total produksi tahun 1997 sampai tahun 2002; dari jumlah itu sebagian besar di antaranya (80%) berupa ikan pelagis kecil (Anonim 2001). Ikan malalugis memberi kontribusi paling besar dalam hasil tangkapan ikan pelagis kecil (63 sampai 85%) oleh pukat cincin; sedangkan yellowfin tuna dan cakalang merupakan target penangkapan nelayan pancing (Anonim 2005). Ikan pelagis tersebar hampir di seluruh kawasan perairan, daerah pukat cincin, pancing tuna, dan huhate pada umumnya bersamaan, yaitu disekitar rumpon yang juga tersebar luas di seluruh perairan (Fayakun et al. 2005). Hasil tangkapan ikan pelagis kecil berfluktuasi secara musiman, komposisi jenis juga berubah menurut musim dan lokasi; puncak musim ikan pelagis kecil berlangsung pada
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
105
musim peralihan antara musim barat ke musim timur dan pada musim timur.
Luas perairan Teluk Tomini yang diperkirakan sebesar 59.500 km2 mempunyai dugaan produksi sumber daya perikanan pelagis kecil pada tahun 1997 sebesar 139,8 ribu ton sedangkan tingkat pemanfaatannya berdasarkan survei akustik masih rendah (Anonim 1998). Berdasarkan survei hidroakustik pada bulan Agustus 2003 di Teluk Tomini, nilai dugaan biomassa ikan pelagis kecil pada selang ukuran antara -60 hingga -42 dB (10–79 cm FL) pada kedalaman 0–25, 25–50, 50–100 dan 100–150 meter berturut-turut 67.348, 88.504, 8.309, dan 40.534 ton. Nilai kepadatan stok berturut-turut sebesar 1,14; 1,50; 0,14; dan 0,69 ton/km2. Nilai-nilai tersebut merupakan hasil akuisisi akustik pada perairan seluas 17.220 mil2 atau sekitar 59.000 km2 (Natsir et al. 2005).
Eksploitasi secara intensif oleh perikanan tradisional (purse seine mini, pancing tuna, huhate, dan pancing prawe) menghasilkan produksi ikan sekitar 87.500 ton per tahun, yang terdiri atas ikan pelagis kecil 42%, pelagis besar 35%, dan demersal 18%. Teknologi penangkapan purse seine secara efektif menjangkau sampai kedalaman 80 m, sedangkan pancing tuna sampai kedalaman 150 m (Widodo 2004). Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat juga didapati kondisi alat penangkapan (jaring) yang semakin dalam penggunaannya, terutama jaring untuk menangkap ikan pelagis kecil. Pada saat ini, kedalaman perairan untuk operasi jaring mencapai 100 m, sedangkan beberapa tahun yang lalu kedalaman jaring umumnya hanya mencapai 50 m namun sudah mendapatkan hasil tangkapan yang memadai.
Jika eksploitasi semakin intensif, cepat atau lambat akan dapat memengaruhi sediaan sumber daya. Dalam upaya mengantisipasi perkembangan perikanan, perlu dilakukan pengkajian stok untuk mendapatkan parameter dan indikator yang terkait dengan aspek perikanan. Salah satu metode langsung yang dapat dipergunakan dan telah banyak dilakukan untuk pengkajian stok ikan adalah hidroakustik. Identifikasi jenis ikan serta verifikasi terhadap echo dari target yang terdeteksi sangat diperlukan dalam estimasi stok ikan dengan metode akustik. Verifikasi echo terhadap ikan target di perairan tropis menggunakan ukuran ikan target dominan yang terdapat di perairan tersebut, mengingat sumber daya ikan di perairan tropis yang bersifat multispecies dan berinteraksi satu sama lain,
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
106
sehingga sangat sulit untuk memisahkan masing-masing jenis ikan tersebut (Anonim 2007). Di Teluk Tomini, ikan malalugis (Decapterus macarellus) tersebar hampir di seluruh perairan dan menjadi target penangkapan nelayan pukat cincin. Kelimpahannya diduga semakin tinggi di bagian sebelah timur sekitar mulut teluk. Selain itu, ikan malalugis tertangkap sepanjang tahun (Hariati et al. 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang nilai dugaan stok ikan pelagis kecil di wilayah perairan Teluk Tomini. Data kuantitatif yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi terkini dari kondisi sumber daya ikan tersebut.
Bahan dan MetodePengumpulan Data
Survei eksplorasi yang dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu bulan Mei, Juli, dan Desember 2010. Masing-masing waktu pengamatan dapat diasumsikan dapat mewakili periode musim, yaitu musim peralihan-1, musim timur, dan musim barat. Oleh karena itu, analisa dan pembahasan didasarkan pada masing-masing waktu pengamatan tersebut. Alur pelayaran pengambilan data akustik dapat dilihat pada Gambar 1.
120° 121° 122° 123° 124° 125°Bujur Timur
-1.5°
-1°
-0.5°
0°
0.5°
1°
1.5°
Lint
ang
Moutong Ongka Tinombo
Donggulu
Toboli Parigi Laiga
Tambu Tambarana
POSO Toliba
Ampana
Marisa Papayato Tilamuta GORONTALO
Malibagu
Luwuk
Bitung MANADO
Pagimana
Una-una
Pp. Tagihan
P. Peleng
PP. SulaSULAWESI
60 nmi
MeiJuniDesember
Gambar 1. Trek akusisi akustik pada 3 periode waktu pengambilan data
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
107
Akuisisi data akustik dilakukan terus-menerus pada siang dan malam hari selama periode pelayaran dengan kecepatan kapal berkisar antara 6–7 knot, menggunakan Scientific Echosounder SIMRAD EY60 dengan frekuensi 120 KHz. Pengintegrasian hasil deteksi akustik dilakukan oleh EY60 dengan menggunakan metode echo-integrasi menurut Mac Lennan (1992). Pengaturan parameter akustik pada waktu akuisisi data dari ketiga trip disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Seting parameter akustik pada waktu akuisisi data
Menu Parameter value
Operation menupulse durationtransmit power
0,512 ms50 watt
Transceiver menu
transducer depthabsorption coef.2-way beam anglesv transducer gaints transducer gain angle sensitivity3 db beamwidth alongship offset athw.ship offset
1,5 m38,52 dB/km–21,00 dB27,00 dB27,00 dB23,007,00 deg0,00 deg0,00 deg
TS detection menu
min. value min. echo length max. echo length max. gain comp. max. phase dev.
–50 dB0,81,86,0 dB8,0
Pengolahan dan Analisis DataAnalisis untuk nilai densitas absolut ikan pelagis (individu/luas
area) hanya dilakukan sampai kedalaman 50 meter karena dianggap sudah dapat mencakup sebagian besar distribusi ikan pelagis kecil, selain karena keterbatasan daya jangkau pancaran transducer yang digunakan pada waktu penelitian. Untuk melihat komposisi SDI tiap kedalaman, dilakukan pembagian dua strata, yaitu 0–25 m dan 25–50 meter. Data akustik diolah dengan menggunakan aplikasi SONAR ver.4.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
108
Elementary Distance Sampling Unit (EDSU) adalah 1 nmi. Hasil ekstraksi berupa nilai area backscattering coeficient (sA, m2/nmi2) dan distribusi nilai target strength (TS) ikan tunggal dalam satuan decibel (dB) sebagai indeks refleksi ukuran ikan tunggal.
Konversi nilai TS menjadi ukuran panjang (L) diperoleh dari TS = 20 log L + A, A adalah nilai TS untuk 1 cm panjang ikan (normalized TS). Untuk ikan pelagis kecil digunakan persamaan TS = 20 log L – 73,97 (Hannachi et al. 2004).
Untuk menghitung nilai biomassa ikan, digunakan persamaan (MacLennan dan Simmonds 1992) ρA = sA/σbs adalah densitas ikan (individu/area). Estimasi jumlah ikan adalah N/A = sA/σbs. Nilai biomassa (B) = N x W.
σ• bs = back scattering cross section = 3,2 10-4 m2 (MacLennan et al. 2002)ρ• A = densitas area (individu/m2)A = luas area (m• 2)N = jumlah ikan (ekor)•W = rata-rata bobot 1 ekor ikan target (malalugis)•B = biomassa •Pada kajian ini, distribusi ukuran SDI pelagis kecil yang dianalisis
adalah pada ukuran tangkapan nelayan atau ukuran ikan yang sudah bernilai ekonomis, verifikasi data akustik berdasarkan ukuran ikan sampel yaitu ikan malalugis pada kisaran 50–44 dB (15–30 cm FL). Untuk mengetahui distribusi komposisi ukuran ikan berdasarkan nilai akustik TS ikan, distribusi nilai TS dibagi dalam dua kelas ukuran, yaitu 50–47 dB (15–22,5 cm FL) dan 47–44 dB (22,5–30 cm FL).
Hasil dan PembahasanKomposisi Ukuran Ikan Pelagis Kecil
Konversi nilai TS terhadap ukuran panjang dugaan (panjang cagak; Fork length) untuk mendapatkan sebaran komposisi ukuran ikan yang sebenarnya atau yang terdapat di alam sebagai populasi ikan pelagis dijelaskan pada Gambar 2.
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
109
Gambar 2. Hubungan nilai TS terhadap ukuran dugaan (FL) ikan pelagis kecil
Hasil pengukuran panjang (fork length) contoh ikan malalugis (D. macarellus) sebagai verifikasi data akustik disajikan pada Tabel 2. Rata-rata ukuran ikan malalugis pada bulan Desember (musim barat) lebih panjang dari pada bulan Mei (musim peralihan-1) dan Juli (musim timur), sementara rata-rata ukuran ikan pada bulan Mei masih lebih panjang daripada bulan Juli meskipun perbedaannya tidak signifikan.
Tabel 2. Hasil pengukuran terhadap sampel ikan malalugis (D. macarellus) dari masing-masing trip pengamatan
min maks rata-rata sd nMei 17,6 25,7 22,9 1,7 105Juli 19,5 25,2 22,6 1,3 63Desember 19,0 29,7 24,6 2,1 94
Distribusi ukuran panjang dari sampel ikan yang diukur untuk masing-masing periode waktu pengamatan disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil pengukuran sampel ikan malalugis, diperoleh modus ukuran panjang ikan malalugis pada bulan Mei, Juli, dan Desember berturut-turut adalah pada selang panjang 23–24 cm, 21–23 cm, dan 23–24 cm, sementara rata-rata bobot ikan malalugis berturut-turut diperoleh 149, 146, dan 208 gram.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
110
Gambar 3. Persentase frekuensi distribusi ukuran ikan malalugis (D. macarellus) hasil tangkapan nelayan pada bulan Mei, Juli, dan Desember
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
111
Distribusi Ikan Pelagis Kecil Berdasarkan Ukuran Panjang Berdasarkan hasil akuisisi data akustik, diperoleh sebaran nilai TS
pada berbagai ukuran tiap strata kedalaman. Nilai TS yang didapatkan tersebut merupakan sampel dari ukuran ikan yang diharapkan dapat mewakili populasi dari SDI di Teluk Tomini. Untuk ikan pelagis kecil, kisaran nilai TS (TS threshold) yang digunakan adalah -50 sampai -44 dB atau setara dengan 15–30 cm fork length. Kisaran tersebut adalah ukuran ikan pelagis kecil yang ditangkap oleh nelayan setempat (umumnya mini purse seine atau pajeko) yang merupakan ukuran yang bernilai ekonomis. Komposisi nilai TS tiap strata kedalaman untuk masing-masing waktu pengamatan disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Distribusi nilai TS ikan pelagis kecil tiap strata kedalaman untuk masing-masing waktu pengamatan
Strata (m)
Nilai Target Strength (dB)
Mei Juli Desember
-50 s/d -47 -47 s/d -44 -50 s/d -47 -47 s/d -44 -50 s/d -47 -47 s/d -440–25 1341 1321 264 166 333 19725–50 6871 5453 319 94 3744 407
Hasil tiga kali pengamatan pada musim peralihan-1, timur, dan barat menunjukkan bahwa kelompok ikan pelagis kecil pada kedalaman 0–50 m umumnya didominasi oleh ukuran antara -50 sampai -47 dB (15–22,5 cm FL). Pada bulan Mei, perbedaan komposisi jumlah ikan pelagis kecil antara ukuran 15–22,5 cm FL dengan 22,5–30 cm FL tidak begitu signifikan. Pada musim peralihan-1, distribusi ukuran ikan pelagis kecil pada ukuran 15–22,5 cm FL mempunyai persentase jumlah yang tidak berbeda jauh dengan kelompok ukuran 22,5–30 cm FL. Dengan kata lain, komposisi ukuran hampir terdistribusi merata dari permukaan sampai kedalaman 50 m. Diduga, hal inilah yang menyebabkan nilai kepadatan dan biomassa ikan pelagis kecil pada bulan Mei jauh lebih tinggi dibandingkan denan bulan lainnya dari ketiga trip yang dilaksanakan. Dominasi ikan pelagis kecil pada kelompok ukuran antara -50 sampai -47 dB (15–22,5 cm FL) terdapat pada musim timur dan barat. Gambar 4 merupakan jumlah target ikan pelagis kecil berdasarkan nilai TS untuk masing-masing strata kedalaman dari ketiga waktu pengamatan.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
112
A
B
C
Gambar 4. Persentase jumlah target tunggal berdasarkan nilai TS tiap strata kedalaman pada bulan Mei (A), Juli (B), dan Desember (C)
Pada musim peralihan-1, hampir 80% dari semua kelompok ukuran ikan berada pada strata 25–50 m. Pada musim timur, kelompok ukuran -50 sampai -47 dB (15–22,5 cm) terdistribusi hampir merata pada tiap strata kedalaman, sementara ikan dengan ukuran yang lebih besar terdistribusi pada lapisan permukaan 0–25 m. Kondisi sebaran ukuran ikan pelagis
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
113
kecil pada musim barat cenderung sama dengan musim peralihan-1. Jumlah target ikan pelagis kecil untuk masing-masing kelompok ukuran disajikan pada Gambar 5.
A
C
B
Gambar 5. Persentase jumlah target tunggal berdasarkan nilai TS untuk tiap kelompok ukuran pada bulan Mei (A), Juli (B), dan Desember (C)
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
114
Hasil dari ketiga musim pengamatan menunjukkan bahwa masing-masing kelompok ukuran ikan memiliki pola sebaran yang sama. Penyebaran dari kedua kelompok ukuran ikan menunjukkan bahwa jumlah terbanyak terdapat pada bulan Mei, kemudian jumlahnya menurun drastis pada bulan Juli dan Desember. Perbedaan jumlah target TS yang diperoleh pada bulan Juli dan Desember tidak terlalu signifikan. Gambar 6 merupakan komposisi ikan pelagis kecil berdasarkan kelompok ukuran tiap strata kedalaman yang sama pada musim yang berbeda.
Kisaaran nilai TS ikan pada masing--masing bulan ppengamatan
Gambar 6. Persentase jumlah target ikan pelagis kecil tiap strata kedalaman yang sama pada musim yang berbeda untuk tiap kelompok ukuran
Estimasi Biomassa dan Kepadatan StokNilai rata-rata densitas absolut ikan pelagis kecil untuk kedalaman
0–25 m pada bulan Mei, Juli, dan Desember berturut-turut adalah sebesar 2.578, 206, dan 322 ekor/km2, sementara untuk kedalaman 25–50 m densitasnya berturut-turut sebesar 4.781, 118, dan 32 ekor/km2. Berdasarkan total densitas yang diperoleh, kepadatan SDI pelagis kecil yang paling besar terdapat pada bulan Mei (musim peralihan-1) dan terjadi penurunan yang drastis pada bulan Juli (musim timur) dan Desember (musim barat).
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
115
Berdasarkan masing-masing waktu pengamatan, densitas pada musim peralihan-1 di kedalaman 25–50 m hampir dua kali lebih besar dari pada kedalaman 0–25 m. Keadaan terbalik terjadi pada musim timur, dengan catatan nilai densitasnya jauh lebih rendah dibanding musim peralihan-1. Pada musim barat, densitas ikan pada kedalaman permukaan 0–25 m jauh lebih besar dibanding kedalaman 25–50 m. Komposisi densitas berdasarkan kedalaman untuk masing-masing waktu pengamatan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Persentase rata-rata densitas tiap strata kedalaman untuk masing-masing waktu pengamatan
Biomassa Ikan Pelagis KecilBiomassa SDI pelagis kecil merupakan nilai estimasi dari kombinasi
antara parameter-parameter akustik dan juga hasil tangkapan nelayan setempat. Data sampel dari akuisisi data akustik dari ketiga waktu pengamatan diharapkan dapat mewakili populasi dari SDI pelagis kecil di perairan Teluk Tomini. Estimasi biomassa SDI pelagis kecil yang diperoleh mewakili luas perairan Teluk Tomini yaitu 17.220 mil2 atau sekitar 59.000 km2.
Berdasarkan pencatatan secara harian hasil tangkapan purse seine mini (pajeko), ikan malalugis (D. macarellus) merupakan jenis paling dominan, yaitu sekitar 58% dari rata-rata total hasil tangkapan. Ukuran parameter
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
116
populasi ikan pelagis kecil seperti panjang dan bobot ikan diasumsikan dapat diwakili oleh ukuran sampel ikan malalugis (ukuran -50 sampai -44 dB atau setara 15–30 cm fork length), sehingga hasil perhitungan merupakan estimasi biomassa ikan pelagis kecil pada kolom permukaan sampai kedalaman 50 m, pada ukuran tangkapan nelayan atau ukuran yang bernilai ekonomis. Estimasi nilai biomassa SDI pelagis kecil disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai estimasi biomassa ikan pelagis kecil menurut strata kedalaman
Strata (m)Biomassa (ton)
Mei Juli Desember0–25 22.762 1.775 3.95325–50 42.211 1.014 395Jumlah 64.937 2.789 4.349
Pada bulan Mei (musim peralihan-1), nilai biomassa ikan pelagis kecil pada lapisan kedalaman 25–50 m hampir dua kali lebih besar dari lapisan diatasnya (0–25 m). Kondisi sebaliknya terjadi pada bulan Juli dan Desember, yaitu biomassa pada lapisan permukaan lebih besar daripada strata 25–50 m, terutama pada bulan Desember, ketika 90% dari total biomassa terdapat di kedalaman 0–25 m.
Gambar 8 merupakan nilai estimasi kepadatan stok SDI pelagis kecil sampai kedalaman 50 meter dari masing-masing musim pengamatan. Nilai total kepadatan stok ikan pada bulan Mei, Juli, dan Desember diperoleh sebesar 1,10; 0,05; dan 0,08 ton/km2. Kepadatan stok SDI pelagis kecil pada musim peralihan diperkirakan 18 kali lebih besar dari pada musim timur dan barat.
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
117
Gambar 8. Kepadatan stok SDI pelagis kecil dari permukaan sampai kedalaman 50 meter di Teluk Tomini
Kepadatan ikan pelagis kecil pada bulan Mei jauh lebih tinggi daripada bulan Juli. Hal ini terkait dengan sumber makanan ikan pelagis kecil seperti malalugis sebagai pemakan plankton. Pada ikan malalugis, kontribusi plankton kira-kira 81% yang terdiri dari Diatom 53% dan zooplankton (Dinoflagellata dan Copepoda) 28% (Suwarso et al. 2005).
Berdasarkan hasil sampling plankton pada penelitian ini, diperoleh nilai rata-rata kelimpahan plankton (fitoplankton dan zooplankton) bulan Mei yaitu 10.339 sel/m3 dan 1986 ind/m3, sementara pada bulan Juli diperoleh 4878 sel/m3 dan 1.118 ind/m3. Data ini menunjukkan bahwa rata-rata kelimpahan plankton bulan Mei sekitar dua kali lebih besar dibandingkan dengan bulan Juli. Copepoda yang mendominasi perairan menandakan bahwa jenis ini adalah komponen utama zooplankton predominan; indikasi bahwa perairan ini cukup potensial untuk mendukung kehidupan SDI pelagis.
Pada bulan Desember, nilai kepadatan ikan pelagis kecil rendah di semua area teluk dan strata kedalaman. Hal ini diduga karena pada bulan ini sudah melewati puncak musim penangkapan yang ke-2, yaitu pada bulan Oktober. Di perairan Teluk Tomini, ikan malalugis tertangkap sepanjang tahun. Peningkatan hasil tangkapan mulai terjadi pada bulan Juli (musim timur) dan mencapai puncaknya sekitar bulan Oktober sampai November, sementara pada bulan Desember hingga Januari hasil
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
118
tangkapan rendah (Hariati et al. 2005). Hasil pengamatan akustik pada bulan Desember menunjukkan bahwa target yang terdeteksi merupakan target tunggal atau tidak membentuk kelompok ikan (schooling).
Fluktuasi kelimpahan SDI pelagis kecil secara spasial dan musiman tersebut dapat diperkuat oleh hasil monitoring terhadap hasil tangkapan di perairan Teluk Tomini. Kondisi biomassa terefleksikan dengan jelas pada fluktuasi musiman dari laju tangkap (indek kelimpahan) ikan pelagis kecil dari hasil tangkapan pajeko. Puncak musim tangkapan ikan pelagis yang pertama (lebih kecil) terjadi sekitar bulan Mei (musim peralihan-1), puncak kedua (lebih tinggi) sekitar bulan Oktober. Pada musim timur (Juni-Agustus) laju tangkap rendah, setelah mencapai puncak pada bulan Oktober laju tangkap turun drastis pada bulan November (Gambar 9). Rendahnya laju tangkapan pada bulan November diduga berlanjut sampai bulan Desember (musim barat) dikarenakan biomassa SDI yang rendah.
Gambar 9. Fluktuasi bulanan laju tangkap ikan pelagis kecil oleh armada purse seine mini yang berbasis di Gorontalo tahun 2010
Kesimpulan1. Hasil pengamatan dengan metode hidroakustik diperoleh nilai
estimasi biomassa sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Teluk Tomini pada bulan Mei (musim peralihan-1), Juli (musim timur), dan bulan Desember (musim barat) adalah 64.937, 2.789, dan 4.349 ton,
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
119
dengan kepadatan stok berturut-turut sebesar 1,10; 0,05; dan 0,08 ton/km2. Nilai-nilai tersebut merupakan stok SDI pelagis kecil pada ukuran 15–30 cm yang terdistribusi mulai dari permukaan sampai kedalaman 50 meter dengan cakupan area sekitar 59.000 km2.
2. Pada musim peralihan-1, ikan pelagis kecil pada ukuran 15–50 cm terdistribusi merata mulai dari permukaan sampai 50 meter. Sementara pada musim barat dan timur, kolom perairan didominasi oleh ikan dengan ukuran yang lebih kecil. Perbandingan jumlah antara ikan dengan ukuran 15–22,5 cm dan 22,5–30 cm adalah 2:1 pada musim timur, dan 9:1 pada musim barat.
3. Teknologi hidroakustik dapat memberikan informasi ketersediaa stok sumber daya ikan yang merupakan salah satu komponen penting dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan. Aplikasi teknolgi akustik khususnya dalam pendugaan stok ikan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan memerlukan informasi serta data dukung dari aspek perikanan itu sendiri untuk memperoleh hasil penelitian dengan bias yang sekecil mungkin.
Daftar PustakaAnonim. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan
Indonesia. Jakarta: Komisi Pengkajian Stok Sumber daya Ikan Laut.
Anonim. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. DKP. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI.
Anonim. 2005. Teluk Tomini: Ekologi, Potensi Sumber Daya, Profil Perikanan dan Biologi Beberapa Jenis Ikan Ekonomis Penting. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut.
Anonimous. 2007. Report of The 1st Asian Fisheries Acoustics Society (AFAS). 6-8 Desember 2007. Dalian, China. 17-21p.
Fayakun S, Erfind N, Suwarso. 2005. Profil perikanan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.11 No.6 Tahun 2005.
Hannachi MS, Ben Abdallah L, Marrakchi O. 2004. Acoustic identification of small-pelagic fish species: target strength analysis and school descriptor classification. MedSudMed Technical Documents. No.5.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
120
Hariati T, Suwarso, Zamroni A. 2005. Perikanan pelagis kecil di Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.11 No.6 Tahun 2005.
Mac Lennan DN. 1992. Acoustical measurement of fish abundance. J Acoust. Soc. Am. (62): 1-15p.
Mac Lennan DN, Simmonds EJ. 1992. Fisheries Acoustic. London: Chapman and Hall.
Natsir M, Wudianto, Sadhotomo B. 2005. Pendugaan biomassa ikan pelagis di perairan Teluk Tomini dengan metode akustik bim terbagi (split beam acoustic system). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.11 No.6 Tahun 2005.
Suwarso, Zamroni A, R Setiawan. 2005. Kebiasaan makan beberapa jenis ikan pelagis di perairan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.11 No.6 Tahun 2005.
Widodo J. 2004. Current status of Tomini Bay Fisheries and their management. In Report of the Workshop on Development of a Management Plan for Tomini Bay Fisheries, Indonesia Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Tren Indeks Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil
di Perairan Teluk Tomini (WPP 716)
Ali Suman1, D.S. Effendi2, dan Badrudin3
AbstrakSalah satu indikator bagi status pemanfaatan sumber daya ikan adalah
CPUE (catch per unit effort atau hasil tangkapan per satuan upaya) yang merupakan ukuran dari kelimpahan relatif, sedangkan tingkat produksi dapat merupakan indikator kinerja ekonomi. Diperolehnya gambaran tentang tren CPUE dari suatu perikanan dapat merupakan salah satu indikator tentang “sehat” -nya suatu perikanan. Melalui analisis tren data statistik hasil tangkapan dan upaya serta aplikasi Model Produksi Surplus, status pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di WPP 716 dapat diidentifikasi. Dari tren indeks kelimpahan stok sumber daya ikan pelagis kecil di WPP 716 berdasarkan atas data statistik Perikanan periode 2005–2010, dapat diduga bahwa status pemanfaatannya dapat dipisahkan dalam dua tahap, yaitu antara 2005–2008 dan 2008–2010. Pada periode 2005–2008, tren produksi dan CPUE naik bersamaan dengan menurunnya tren upaya. Sebaliknya, pada periode 2008–2010, tren produksi, CPUE, dan upaya mengikuti pola umum perikanan yang dieksploitasi. Keadaan tersebut tampak pada tren produksi yang mendatar, bersamaan dengan naiknya tren upaya dan menurunnya tren CPUE. Dari kondisi tersebut
1 Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan2 Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap3 Anggota KOMNASKAJISKAN
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
122
dapat diduga bahwa sebenarnya tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di WPP 716 sudah berada pada tingkat “fully exploited”.
Kata Kunci: Indeks kelimpahan stok-ikan pelagis kecil, Teluk Tomini, WPP 716
PendahuluanSumber daya ikan pelagis adalah jenis-jenis ikan yang sebagian besar
dari siklus hidupnya berada di permukaan atau dekat permukaan perairan, dengan karakteristik: membentuk gerombolan yang cukup besar, beruaya (migrasi) yang cukup jauh dengan gerak/aktivitas yang cepat. Sumber daya ikan pelagis kecil yang paling umum antara lain adalah; layang, kembung, selar, tembang, lemuru, teri, dan ikan terbang dan lebih bersifat neritik.
Salah satu indikator bagi status pemanfaatan sumber daya ikan adalah CPUE (catch per unit effort atau hasil tangkapan per-satuan upaya) yang merupakan ukuran dari kelimpahan relatif, sedangkan tingkat produksi dapat merupakan indikator kinerja ekonomi. Diperolehnya gambaran tentang tren CPUE dari suatu perikanan dapat merupakan salah satu indikator tentang “sehat”-nya suatu perikanan (Anonim 1999; Badrudin 1987). Tren CPUE yang naik akan merupakan gambaran bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan dapat dikatakan masih pada tahapan berkembang. Tren CPUE yang mendatar merupakan gambaran bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan sudah mendekati kejenuhan upaya, sedangkan tren CPUE yang menurun merupakan indikasi bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan apabila terus dibiarkan akan mengarah kepada suatu keadaan yang disebut “overfished’ dan seterusnya akan mengarah kepada “depleted”. Sebenarnya sumber daya ikan tidak akan pernah benar-benar mengalami “depleted” karena sebelum mencapai keadaan tersebut Perikanan tersebut akan mengalami “collapse”, di mana hasil tangkapan yang diperoleh sama sekali tidak ekonomis (uneconomics). Analisis data “catch” dan “effort” akan mengarah kepada teridentifikasinya suatu titik “maximum sustainable yield”, yaitu hasil tangkapan yang berlanjut (Larkin 1977).
Pengembangan yang berlanjut (sustainable development) didefinisikan sebagai “pengembangan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya dalam memenuhi
Tren Indeks Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Teluk Tomini (WPP 716)
123
kebutuhannya” (Anonim 1999). Dari definisi tersebut tersirat bahwa keberlanjutan kegiatan untuk menyejahterakan manusia tergantung kepada pemeliharaan fungsi-fungsi lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kontribusi terhadap kesejahteraan manusia. Hal ini mengacu kepada kapasitas proses alamiah dan komponen-komponennya untuk memberikan barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu, mempertahankan keberlanjutan perikanan merupakan suatu keharusan bagi sebagian besar negara-negara di mana sektor perikanan dapat merupakan salah satu sumber pendapatan negara.
Yang perlu diperhatikan dalam jangka panjang adalah adanya pola perubahan daya tangkap (catchability). Dalam praktik, daya tangkap suatu kapal/alat tangkap tentunya jauh dari konstan jika perikanan tersebut dilihat secara rinci. Hasil tangkapan per haul walaupun dilakukan oleh kapal/alat tangkap yang sama pada lokasi yang sama dan pada waktu yang sama/hampir sama bisa sangat berbeda. Secara alamiah, variasi akan selalu terjadi. Untungnya, variasi tersebut hanya berpengaruh kecil terhadap pengkajian stok. Dampak yang menonjol terhadap hasil pengkajian stok tergantung kepada pola perubahan catchability, yang dapat dikalsifikasikan sebagai berikut:
Perubahan siklus waktu (menurut hari, musim, iklim, dan •sebagainya).Tren sejalan dengan berjalannya waktu.•Perubahan yang terkait dengan kelimpahan stok.•Perubahan yang terkait dengan jumlah penangkapan.•Variasi yang bersifat acak (• Random variations).Tulisan ini mencoba menganalisis hasil tangkapan per satuan upaya
(catch per unit effort atau CPUE) yang merupakan salah satu indeks kelimpahan stok (stock abundance index).
Bahan dan MetodeTerkait dengan ketersediaan data “catch and effort statistics”, data yang
dianalisis baru meliputi data runtun waktu antara 2005–2010. Analisis data tersebut terbatas pada sumber daya ikan pelagis kecil dan sejumlah
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
124
alat tangkap yang digunakan di kawasan Perairan Teluk Tomini, Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716, dengan daya tangkap yang berbeda. Untuk aplikasi model produksi surplus, terlebih dahulu dilakukan standardisasi upaya (standardization of fishing gears), melalui estimasi fishing power index (FPI), yang dalam hal ini adalah unit pajeko dengan FPI = 1,0. Penghitungan FPI hanya dilakukan pada data tahun 2009. Sebagaimana diketahui, untuk aplikasi Model Surplus Produksi, kemampuan daya tangkap yang dapat di interpretasikan sebagai FPI adalah “constant” atau “constant catchability” (Pitcher dan Hart 1982; Sparre dan Venema 1992).
Total upaya tahunan (calculated annual fishing effort unit) diperoleh melalui penjumlahan dari hasil perkalian antara jumlah alat tangkap pada tahun tertentu dengan PFI-nya, yang disajikan dalam bentuk “equivalent” dengan alat tangkap yang dibakukan, yaitu pajeko.
Tabel 1. Pembakuan (standardisasi) PFI alat tangkap Perikanan pelagis kecil di WPP 716
No. Jenis Alat Produksi (2009)
Jumlah Alat (2009)
Produksi per Alat
FPI
1 Payang 7.204 253 28,47 0,202 Pukat cincin/pajeko 91.722 658 139,39 1,003 Gill net hanyut 19.388 3.744 5,18 0,044 Jr. Lingkar 8.746 2.119 4,13 0,035 Bagan rakit 23.364 1.029 22,71 0,166 Bagan tancap 1.244 150 8,29 0,067 Serok 1.362 400 3,41 0,028 Jr. Lain 445 90 4,94 0,04
Hasil dan PembahasanIdentifikasi Unit stok
Dari aspek taksonomi, sumber daya ikan di WPP 716 jenis ikan sangat beragam, sehingga untuk pengelolaan dalam rangka pemanfaatan yang optimal dan berlanjut akan memerlukan sejumlah kegiatan pengkajian terkait dengan “life history” dan dinamika populasi dari sumber daya ikan
Tren Indeks Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Teluk Tomini (WPP 716)
125
secara rinci. Kemampuan untuk mengidentifikasi jenis ikan merupakan langkah awal dalam pengkajian sumber daya dan akan menentukan langkah selanjutnya (Fischer dan Whitehead 1974; Gloefelt Tarp dan Kailola 1985; Munro 1967). Jika langkah awal tersebut tidak akurat, tingkat akurasi pada tahapan selanjutnya akan menyimpang dan mengarah kepada hasil yang “underestimated” atau “overestimated”, yang selanjutnya akan memengaruhi langkah pengelolaan dan pemanfaatan yang optimal.
Karena sangat luasnya daerah penangkapan dan beragamnya skala ekonomi di satu pihak sedangkan hasil penelitian relatif sangat sedikit, implementasi kegiatan penelitian perlu mempertimbangkan batas-batas unit stok, seperti adanya “barrier” geografis dan parameter populasi seperti laju pertumbuhan dan laju mortalitas. Selain pendugaan parameter populasi yang hanya dapat dilakukan setelah terkumpulnya data dan informasi yang relative panjang, dari distribusi kegiatan penangkapan dan adanya batas geografis akan mengarah kepada identifikasi suatu unit stok. Jika tidak, maka harus disusun suatu asumsi bahwa data yang dianalisis berasal dari satu unit stok, yaitu “Indo-Malay archipelago” (Borsa 2003; Rohfritsch dan Borsa 2005)
Di alam terdapat sejumlah besar jenis ikan yang berbeda satu sama lain. Perilaku makan suatu jenis ikan di suatu perairan dapat mengakibatkan pertumbuhan yang sangat cepat sedangkan di kawasan lainnya mungkin tidak begitu cepat. Kegiatan penangkapan tidak menyebar secara merata, sehingga beberapa jenis ikan akan menjadi sasaran yang mudah untuk ditangkap dibandingkan dengan ikan lainnya. Pada suatu perairan yang relatif sempit bisa terjadi suatu percampuran yang cepat sehingga setelah beberapa periode perbedaan-perbedaan yang ada pada sejumlah individu ikan seperti perilaku makan, daya tahan terhadap intensitas penangkapan, dan perbedaan lain di dalam kawasan perairan tersebut dapat diabaikan. Sebaliknya, pada suatu perairan yang lebih luas, di mana perbedaan antarkondisi rata-rata dari berbagai sektor perairan tersebut cukup signifikan sehingga dapat menyebabkan adanya perbedaan genetik dalam satu spesies, tentu tidak begitu saja dapat diabaikan. Pemilihan suatu unit stok akan tergantung kepada beberapa kepentingan sehingga dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang homogen dan unit-unit yang independen. Perbedaan yang terlalu besar dari suatu unit stok mungkin tidak perlu dihiraukan, hanya saja perlu diperhitungkan jika ada interaksi antarjenis sehingga dapat menyebabkan analisis datanya menjadi rumit (Gulland
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
126
1983). Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk keperluan analisis pengkajian stok di mana hasilnya akan digunakan untuk dasar pengambilan kebijakan, pilihan definisi atas suatu unit stok dapat dianggap sebagai masalah operasional terhadap model yang akan digunakan, menjawab pertanyaan, dan ketersediaan informasi yang rinci. Singkatnya, sekelompok ikan dapat dianggap sebagai satu unit stok sedapat mungkin perbedaan-perbedaan dalam kelompok dan dengan kelompok lain dapat diabaikan tapi tidak membuat suatu kesimpulan di luar kenyataan yang ada sehingga tidak dapat diterima.
Suatu stok yang ideal adalah suatu kelompok ikan yang mempunyai satu “spawning ground”, di mana ikan yang dewasa akan kembali dari tahun pertama ke tahun berikutnya. Satu unit stok dapat terdiri dari satu unit taksonomi–satu spesies atau subspesies. Misalnya, tuna sirip biru (SBT, southern bluefin) menyebar mulai dari kawasan perairan subtropis dan lautan “temperate” dari Selandia Baru sampai bagian selatan Afrika, sebagaimana terlihat dari hasil tagging (Gulland 1983). Jenis SBT ini dapat diperlakukan sebagai satu unit stok. Untuk pengkajian stok, sekelompok ikan dapat dianggap sebagai satu unit stok tidak harus terdiri dari satu spesies. Ikan-ikan yang berbeda, seperti ikan demersal di perairan tropis, tentunya mempunyai karakteristik pertumbuhan, kematian alamiah, dan kematian penangkapan yang berbeda. Jika perbedaan tersebut tidaklah besar, pengkajian tiap spesies secara terpisah akan menjadi tidak praktis. Oleh karena itu, memperlakukan populasi ikan dasar sebagai satu unit sumber daya dapat memberikan hasil yang “reliable” yang memang hanya melalui pendekatan itulah yang dapat dilakukan.
Produksi, Upaya, dan CPUE Perikanan pelagis kecil di WPP 716
Berdasarkan data pada Tabel 2 tampak bahwa produksi ikan pelagis kecil terrendah terjadi pada tahun 2006 dan yang tertinggi terjadi pada tahun 2010. Rendahnya produksi tersebut tidak terkait langsung dengan rendahnya upaya (effort), karena ternyata bahwa produksi tertinggi sebesar 151.792 ton yang terjadi pada tahun 2010 merupakan hasil dari upaya sebesar 10.407 unit pajeko, sedangkan unit pajeko yang tertinggi tercatat pada tahun 2005. Dari fenomena tersebut tampak bahwa diduga terjadi perubahan/peningkatan daya tangkap (catchability) dari unit pajeko, di
Tren Indeks Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Teluk Tomini (WPP 716)
127
mana perubahan tersebut diduga terkait dengan adanya perkembangan masuknya alat tangkap “purse seine mini”, dengan daya tangkap yang makin efisien.
Tren Produksi, Upaya, dan CPUE Perikanan pelagis kecil di WPP 716
Hasil tangkapan per satuan upaya (catch per unit effort, CPUE) adalah salah satu indikator bagi status sumber daya ikan yang merupakan ukuran dari kelimpahan relatif, sedangkan tingkat produksi dapat merupakan indikator kinerja ekonomi. Diperolehnya gambaran tentang tren CPUE dari suatu perikanan dapat merupakan salah satu indikator tentang “sehat”-nya suatu perikanan. Tren CPUE yang naik akan merupakan gambaran bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan dapat dikatakan masih pada tahapan berkembang.
Tabel 2. Produksi, Upaya, dan CPUE Perikanan pelagis kecil di kawasan WPP 716
Tahun Produksi (ton) Effort* CPUE (ton/unit/tahun)
2005 129.196 12.963 9,972006 127.783 11.509 11,102007 135.470 9.589 14,132008 151.378 8.668 17,462009 150.025 9.307 16,122010 151.792 10.407 14,59
*) Setara unit pajeko
Tren CPUE yang mendatar merupakan gambaran bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan sudah mendekati kejenuhan upaya, sedangkan tren CPUE yang menurun merupakan indikasi bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan akan mengarah kepada suatu keadaan yang disebut “overfishing” dan bahkan mengarah kepada tahapan “overfished” apabila terus dibiarkan. Dari plot catch, effort, dan CPUE tahun 2005–2010 tampak bahwa dinamika perikanan demersal di WPP 716 (Teluk Tomini) tidak mengikuti pola umum perikanan yang dieksploitasi, di mana antara tahun 2005–2008 menunjukkan tren yang naik, sedangan pada dua tahun berikutnya relatif mendatar. Demikian juga halnya dengan tren
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
128
CPUE yang mirip dengan tren produksi, kecuali pada dua tahun terakhir yang menujukkan tren yang cenderung menurun (Gambar 1). Berbeda dengan tren produksi dan CPUE yang cenderung meningkat pada tiga tahun pertama dan menurun pada dua tahun terakhir, tren upaya (effort) menunjukkan penurunan pada empat tahun pertama dan meningkat pada dua tahun terakhir. Dari fenomena tersebut dapat diduga bahwa perkembangan perikanan pelagis kecil di WPP 716 tidak mengikuti pola umum perikanan yang dieksploitasi.
Gambar 1. Tren Produksi (Catch), Upaya (Effort) dan Hasil tangkapan per unit Upaya (CPUE), Perikanan pelagis kecil di WPP 716
Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Pelagis KecilMengingat bahwa data statistik perikanan yang digunakan adalah data
statistik yang disusun berdasarkan pendekatan pendaratan ikan, di mana hasil tangkapan yang didaratkan di suatu pelabuhan perikanan itulah yang dicatat. Pencatatan data hasil tangkapan dilakukan bukan berdasarkan di mana ikan tersebut ditangkap, sehingga semua perhitungan didasarkan atas asumsi bahwa ikan yang tercatat dalam statistik pada tiap propinsi yang ada di sekeliling Teluk Tomini adalah ikan yang ditangkap di Teluk Tomini. Dengan demikian, penentuan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil berdasarkan atas data statistik tersebut ada sedikit ketidakpastian (uncertainty). Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di WPP 716 kemudian hanya didasarkan atas gambaran tentang “tren-tren”, baik dari tren produksi, tren upaya, maupun tren produksi per satuan upaya (CPUE).
Tren Indeks Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Teluk Tomini (WPP 716)
129
Berdasarkan atas data pada Tabel 2, tren ketiga parameter “model produksi surplus” tersebut disajikan dalam Gambar 1.
Untuk selanjutnya perlu dilakukan kajian “bioekonomi” yang mengarah pada identifikasi tingkat MEY (Maximum Economic Yield). Melalui kajian MEY, nilai minimum CPUE dapat diidentifikasi. Pada tingkat CPUE minimum berapa usaha perikanan tersebut masih menguntungkan. Perikanan adalah usaha yang seharusnya menguntungkan baik secara biologi maupun ekonomi. Dengan pengelolaan berbasis MEY, diharapkan perikanan tersebut “biologically sustainable” dan “economically profitable”. Oleh karena itu, ke depan harus ada kajian perikanan secara ekonomi atau kajian “bioekonomi” secara lebih rinci.
Dari tren indeks kelimpahan stok sumber daya ikan pelagis kecil di WPP 716 berdasarkan data statistik Perikanan periode 2005–2010 dapat diduga bahwa status pemanfaatannya dapat dipisahkan dalam dua tahap, yaitu antara 2005–2008 dan 2008–2010. Pada periode 2005–2008, tren produksi dan CPUE naik, bersamaan dengan menurunnya tren upaya. Sebaliknya, pada periode 2008–2010, tren produksi, CPUE, dan Upaya mengikuti pola umum perikanan yang dieksploitasi. Keadaan tersebut tampak pada tren produksi yang mendatar, bersamaan dengan naiknya tren upaya, sedangkan tren CPUE menurun. Dari kondisi tersebut dapat diduga bahwa sebenarnya tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di WPP 716 sudah berada pada tingkat “fully exploited”.
KesimpulanDari uraian terdahulu dapat dikemukakan kesimpulan berikut:
CPUE merupakan suatu besaran yang dapat dijadikan indikator bagi •pengembangan yang berkelanjutan dari suatu perikanan.Diperolehnya gambaran tentang tren CPUE dari suatu perikanan dapat •merupakan salah satu indikator tentang ”sehat”-nya suatu perikanan. Melalui analisis tren data statistik hasil tangkapan dan upaya serta aplikasi Model Produksi Surplus, status pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di WPP 716 dapat diidentifikasi. Dari tren indeks kelimpahan stok sumber daya ikan pelagis kecil di •WPP 716 berdasarkan atas data statistik Perikanan periode 2005–
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
130
2010 dapat diduga bahwa sebenarnya tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di WPP 716 sudah berada pada tingkat “fully exploited”.
Daftar PustakaAnonim. 1999. Indicators for sustainable development of marine capture
fisheries. FAO Tech. Guidelines for Responsible Fisheries No. 8. FAO. Rome. 68p.
Badrudin. 1987. The recovery of demersal fish stock and the stock parameters of the splendid pony fish, Leiognathus splendens, in the north coast of Central Java, Indonesia. M.Sc. Dissertation. School of Animal Biology.University College of North Wales. Bangor. UK. 57 p.
Borsa P. 2003. Genetic structure of round scad mackerel Decapterus macrosoma, Carangidae) in the Indo-Malay archipelago. Marine Biology, 142: 575-581.
Fischer W, Whitehead PJP (eds). 1974. FAO spesies identification sheets for fishery purposes. Eastern Indian Ocean and Western Central Pacific. FAO-UN. Rome.
Gloerfelt-Tarp T, Kailola P. 1985. Trawled fish of the southern Indonesia and northern Auatralia. ADAB-GTZ-DGF Indonesia.
Gulland JA. 1983. Fish stock assessment. In: A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. 223 p.
Larkin PA. 1977. An epitaph for the concept of maximum sustainable yield. Trans. Amer. Fish. Soc. 106(1): 1–11.
Munro ISR. 1967. The fishes of New Guinea. Port Moreby: Departmen of Agriculture, Stock and Fisheries, New Guinea.
Pitcher TJ, Hart PJB. 1982. Fisheries Ecology. London: Croom Helm.
Rohfritsch A, Borsa P. 2005. Genetic structure of Indian scad mackerel Decapterus russelli: Pleistocene vicariance and secondary contact in the Central Indo-West Pacific Seas. Heredity (2005) 95: 315–326.
Sparre P, Venema SC. 1992. Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1. Manual. FAO Fish. Tech. Paper. 306/1.
Status Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Pengelolaannya Secara Berkelanjutan
di Perairan Teluk Tomini
Suwarso, Achmad Zamroni, dan Mohammad Fauzi
AbstrakKajian stok sumber daya ikan pelagis kecil dan saran pengelolaannya
didasarkan pada hasil riset selama tiga periode, yaitu periode 2002–2004, periode 2006, dan 2009–2010. Secara umum, perikanan bersifat skala kecil dengan menggunakan alat purse seine mini, ukuran kapal antara 7–15 GT. Secara spasial, makin ke arah timur kelimpahan ikan semakin tinggi seiring dengan dominasi jenis malalugis (Decapterus macarellus) yang semakin besar. Secara spesifik tidak terlihat perubahan (peningkatan) hasil tangkapan per unit upaya (CPUE), secara global terlihat kecenderungan penurunan kelimpahan (CPUE) akibat peningkatan upaya. Kenyataan adanya jumlah upaya (jumlah unit purse seine) saat ini (465 unit) menunjukkan melebihi upaya optimum yang diduga (450 unit) mengindikasikan perlunya kehati-hatian dalam penambahan upaya penangkapan selanjutnya, walaupun perairan Teluk Tomini memiliki keuntungan ekologis yang dapat mendukung eksistensi sumber daya ikan.
Kata kunci: Ikan pelagis kecil, pengelolaan, Teluk Tomini.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
132
PendahuluanTeluk Tomini adalah teluk paling besar di Indonesia, luasnya sekitar
59.500 km2, secara administratif mencakup tiga wilayah provinsi dan 11 kabupaten/kota. Aliran massa air di perairan Teluk Tomini dipengaruhi oleh Laut Maluku; terjadi pengadukan massa air di dalam teluk tersebut. Perairan Teluk Tomini merupakan perairan yang relatif subur. Salah satu penyebabnya adalah terdapat beberapa lokasi yang merupakan pusat upwelling. Di tengah-tengah Teluk ini terdapat rangkaian 56 pulau yang dikenal dengan Kepulauan Togean yang membentang hingga 90 kilometer. Enam pulau di antaranya termasuk kategori besar, yaitu Pulau Una-Una, Batulada, Togean dan Talatakoh, Waleakodi, dan Waleabahi. Selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang indah. Pulau-pulau kecil tersebut menjadi kawasan wisata yang mengelilingi enam pulau besar. Teluk ini terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya. Selain karena terumbu karangnya yang indah, berbagai jenis ikan juga hidup di sini. Aset sumber daya pesisir dan laut Teluk Tomini berupa terumbu karang yang merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle) dan Taman Nasional Laut Kepulauan Togean dikenal sebagai “the Heart of Coral Triangle”. Oleh karena itu, perairan Teluk Tomini diduga merupakan daerah asuhan ikan.
Teluk Tomini memiliki sumber daya ikan yang cukup besar; dalam kesatuan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Teluk Tomini-Laut Maluku-Laut Seram, sebagian besar (83%) potensinya berupa ikan pelagis (486 ribu ton per tahun), sebagian besar berupa ikan pelagis kecil (Anonim 2001). Data statistik pendaratan tahun 2009 menunjukkan kontribusi ikan pelagis kecil di Teluk Tomini sekitar 42% (38.710 ton), pelagis besar 33% (30.610 ton), dan sisanya ikan karang dan biota laut lainnya (Gambar 1). Dari jumlah tersebut, pendaratan ikan pelagis kecil paling banyak di wilayah Sulawesi Utara (46%), sedangkan di Sulawesi Tengah dan Gorontalo masing-masing adalah 42% dan 12% (Gambar 1). Kategori ikan layang memberikan kontribusi paling besar, sekitar 58%, disusul oleh kembung/banyar (16%), teri (12%), kelompok selar (8%), tembang (4%), dan siro/lemuru (2%). Jenis layang yang potensial berupa malalugis (Decapterus macarellus) yang terutama diekspor untuk ikan umpan pada perikanan tuna, bahan baku industri ikan kaleng, bumbu masak (karabusi), serta untuk konsumsi lokal.
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
133
Demersal
21%La
33%
8%3%
15%
16
P
PelagisBesar33%
Ik.ainnya4%
2%1% 4% 22
35
2%4%3%
6%
PelagisKecil42%
2%2%
5%
BBMMMBBKBPBPPTo
Goronto
12%
Bol Mong SelatanBol Mong TimurMinahasa TenggaraMinahasaMinahasa UtaraBitungBone BolangoKota GorontaloBoalemo
ohuwatoBanggai
osoarigi Moutongojo Una-una
tal
Sulteng42%
Pelag
Kembung
16%
Selar8%
Tembang4%
Lemuru
2%Japuh
0%
Sulut46%
gis Kecil
Lay58
rh
Teri12%
yang8%
Gambar 1. Persentase tiap komoditas (A), pendaratan ikan pelagis kecil di wilayah provinsi (B) dan kabupaten (C), dan komposisi jenis ikan pelagis kecil yang didaratkan (D)
Meskipun eksploitasi dirasa semakin intensif oleh nelayan tradisional (small scale fishery) maupun perusahan perikanan, nyatanya sistem monitoring untuk keperluan pengelolaan perikanan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Produksi yang tidak dilaporkan (unreported) adalah kondisi umum yang terjadi akibat sistem pendataan yang kurang memadai yang mengakibatkan hilangnya produksi perikanan (lost production) sehingga menurunkan nilai produksi riil. Indikasi perubahan-perubahan pada teknik penangkapan memberikanan indikasi kondisi sumber daya yang semakin tidak menentu. Suatu sistem manajemen yang tepat berbasis ekologi merupakan keperluan yang mendesak untuk tercapainya tujuan menghindari tangkap lebih dengan hasil tangkapan yang optimal dan berkelanjutan (sustainable fishery) serta perlindungan biodiversitas. Pengaturan ini sangat penting bagi masa depan perikanan sekaligus lingkungan Teluk Tomini mengingat sumber daya ikan di wilayah ini bersifat open acces.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
134
Laporan ini menguraikan tentang status dan kondisi SDI ikan pelagis kecil dan bertujuan memberikan data dan informasi yang dapat bermanfaat bagi penentuan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan yang tepat dan rasional. Hasil kajian ditujukan terutama bagi para pengambil keputusan di wilayah sekitar yang secara langsung mengeksploitasi sumber daya, para pengusaha perikanan (swasta) yang berkepentingan, termasuk nelayan di sekitar Teluk Tomini. Secara keseluruhan, hasil riset juga diharapkan dapat berguna bagi kajian stok selanjutnya.
Bahan dan MetodeKajian didasarkan pada hasil riset kajian stok tahun 2003–2004 dan
2006, serta dilengkapi dengan hasil perbaruan data pada tahun 2009–2010, terutama dalam hal hasil tangkapan per unit upaya dan pengambilan contoh biologi di lokasi contoh. Data statistik perikanan provinsi juga dimanfaatkan untuk melihat kecenderungan perikanan dalam skala lebih luas.
Hasil dan PembahasanKeragaan perikananPerikanan pukat cincin
Di Teluk Tomini, ikan pelagis kecil pada dasarnya dijumpai hampir di setiap wilayah perairan, namun terbatasnya data observasi lapangan di perairan ini menyulitkan penggambaran sebaran yang sebenarnya. Pada umumnya, penangkapan dilakukan di sekitar rumpon/rakit yang ditanam di berbagai lokasi penangkapan. Gambar 2 memperlihatkan lokasi-lokasi rumpon yang dapat dicatat pada survei laut tahun 2003–2004, yang sekaligus merupakan lokasi penangkapan ikan pelagis kecil, terutama ikan malalugis (Decapterus macarellus) sebagai jenis ikan target. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan pukat cincin mini (pajeko) dan payang. Di lokasi yang sama, nelayan pancing ulur (handline) juga menangkap ikan pelagis besar seperti madidihang/yellow-fin tuna (Thunnus albacares), baik ikan ukuran besar maupun kecil (baby tuna). Selain malalugis, jenis dominan lain yang tertangkap pukat cincin adalah selar/oci (S. crumenophthalmus,
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
135
Selaroides leptolepis), banyar/solisi (R. kanagurta), sardin (Amblygaster sirm dan Sardinella spp.), dan beberapa jenis ikan pelagis besar seperti tongkol dan cakalang.
120° 121° 122° 123° 124° 125° 126°Bujur
-1°
0°
1°
2°
Lint
ang
Una-una
Pp. Tagihan
P. Peleng
PP. Sula
SULAWESI
Moutong Ongka Tinombo
Donggulu
Toboli Parigi Laiga
Tambu Tambarana
POSO Toliba
Ampana
Marisa Papayato Tilamuta GORONTALO
Malibagu
Luwuk
Bitung MANADO
Pagimana
KEP. TOGIAN
Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan pelagis dan posisi rumpon (merah) yang dapat dicatat di perairan Teluk Tomini
Tempat pendaratan utama terdapat di sepanjang pantainya, berdekatan dengan lokasi penangkapan, seperti di Bualemo (Banggai), Pagimana, Ampana, Poso, Parigi, Marisa, Gorontalo, dan beberapa tempat di Sulawesi Utara. Pada tahun-tahun terakhir, perkembangan perikanan lebih tampak pada armada pukat cincin Gorontalo yang memiliki ukuran kapal lebih besar (7–20 GT) sehingga dapat menjangkau lokasi penangkapan lebih jauh hingga di perairan utara Bualemo (Banggai) dan keluar teluk.
Total hasil tangkapan pukat cincin dari Teluk Tomini pada 2009 diperkirakan sekitar 39 ribu ton atau kira-kira 30% dari seluruh pendaratan ikan laut; tersebar di 14 kabupaten/kota, paling banyak didaratkan di Bitung (15%) dan Gorontalo Kota (4%). Jumlah unit kapal pukat cincin seluruhnya yang tercatat sekitar 465 unit. Pendaratan selengkapnya hasil tangkapan pukat cincin menurut kabupaten/kota terlihat pada Tabel 1.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
136
Tabel 1. Jumlah unit pukat cincin dan hasil tangkapan di Teluk Tomini tahun 2009
Provinsi Kab./Kota Unit PS Ton Ton/unit/th.
Sulawesi Tengah
Parigi Moutong 38 440 11.6Poso 10 431 43.1Tojo Una-una 14 827 59.1Banggai 14 1,194 85.3
Gorontalo
Bone Bolango 21 2,511 119.6Kota Gorontalo 56 4,875 87.1Boalemo 5 674 134.8Pohuwato 6 749 124.8
Sulawesi Utara
Bol-Mong Selatan 52 976 18.8Bol-Mong Timur 56 1,320 23.6Minahasa Tenggara 79 2,777 35.2Minahasa 44 2,235 51.4Minahasa Utara 26 812 30.8Bitung 44 19,177 439.8
Jumlah 465 38,998
Dugaan Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumber DayaBerdasarkan survei akustik (musim timur 2003), biomassa ikan
pelagis di Teluk Tomini (luas 17.220 mil2 atau lebih dari 59.000 km2 dan dalam kolom air permukaan sampai kedalaman 150 m) diduga sebanyak 303.624 ton. Biomassa tersebar menurut kedalaman, semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman); biomassa terbanyak terdapat di kedalaman 100–150 m (119.587 ton), sedangkan terkecil terdapat di kedalaman 50–100 m (12.017 ton). Dari total biomassa tersebut, ikan pelagis kecil lebih dominan (67%) atau sekitar 204.695 ton. Dengan asumsi bahwa sumber daya yang dapat dieksploitasi oleh pukat cincin hanya sampai kedalaman 100 m (kedalaman operasional jaring maksimal hanya 80 m), maka biomassa yang tersedia sebanyak 164.161 ton dan potensi lestari sekitar 82.081 ton.
Dalam kondisi tersebut, jumlah unit penangkapan pukat cincin yang aktif di Teluk Tomini tercatat sebanyak 419 unit. Jumlah ini berasal dari wilayah Gorontalo, Parigi-Moutong, Poso, Bol-Mong, sebagian Banggai
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
137
(Bunta, Pagimana, Bualemo), serta sebagian armada Bitung (kira-kira separuh dari seluruh armada yang tercatat). Berdasarkan kondisi perikanan saat itu (unit alat tangkap standar: purse seine mini ukuran 7–15 GT, kekuatan mesin 70–120 pK, rata-rata laju tangkap sebesar 760 kg/trip, dan kisaran 617–952 kg/trip/hari), ditaksir total produksi pukat cincin di perairan Teluk Tomini adalah sebesar 74.442 ton/tahun. Statistik perikanan wilayah melaporkan bahwa total landing ikan pelagis kecil hanya sebesar 37.500 ton (2004); angka ini underestimate karena terdapat data yang unreported. Bila biomassa ikan pelagis kecil sebesar 164.161 ton, potensi lestari sekitar 82.081 ton/tahun dan estimasi produksi 74.442 ton/tahun, tingkat pemanfaatan telah mencapai 90%. Oleh karena itu, dengan jumlah unit alat yang eksis sebanyak 419 unit dan potensi lestari 82.081 ton/tahun, diperoleh produktivitas/unit alat/tahun sebesar 182.400 kg. Dengan demikian, f-optimum diperkirakan sekitar 450 unit; terdapat peluang penambahan jumlah alat sekitar 30 unit pukat cincin ukuran <30 GT.
Namun demikian, kenyataan menunjukkan jumlah unit pukat cincin mini saat ini (2009) tercatat sekitar 465 unit, yang telah melampaui dugaan nilai tersebut. Perubahan kapasitas penangkapan juga terlihat pada ukuran kapal (semakin besar mencapai >20GT, konsentrasi fishing ground lebih jauh, sedangkan hasil tangkapan per unit upaya relatif tidak berubah), serta perubahan dalam dimensi jaring (kedalaman jaring mencapai 120 meter depth, penggunaan mata jaring, makin kecil sekitar ¼ inch di Bitung).
Indek Kelimpahan (Laju Tangkap, Kg/Trip) dan Musim
Laju tangkap (catch per unit effort; dalam kg/hari) dapat dianggap sebagai “indeks kelimpahan” ikan, yang menunjukkan banyaknya jumlah ikan di suatu lokasi pada waktu tertentu. Berdasarkan pencatatan secara harian terhadap hasil tangkapan pukat cincin mini (PCM) atau ‘pajeko’ yang mendarat di Gorontalo dan Bitung tahun 2010, secara umum sumber daya ikan pelagis termasuk malalugis tertangkap sepanjang tahun. Laju tangkap pajeko Gorontalo lebih besar daripada pajeko Bitung, masing-masing sekitar 1770 kg/hari dan 635 kg/hari (Gambar 3). Daerah penangkapan kedua perikanan berbeda; PCM Gorontalo di perairan Teluk Tomini dari selatan Gorontalo ke arah selatan hingga perairan utara Bualemo (Sulawesi Tengah), sedangkan PCM Bitung umumnya di perairan Laut Maluku di sekitar Bitung. Pola fluktuasi musiman masing-masing hampir sama, yaitu
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
138
dengan dua puncak tangkapan; sekitar bulan Mei (musim Peralihan 1) dan Oktober (musim Peralihan 2). Akan tetapi, modusnya berbeda; di Teluk Tomini puncak laju tangkap pada musim peralihan 2 lebih besar (2531 kg/hari), sedangkan di Laut Maluku puncak laju tangkap pada sekitar bulan Mei yang lebih besar (996 kg/hari). Pada kurun 2003–2006, rata-rata laju tangkap (dalam kg/trip) kapal Gorontalo lebih besar (sekitar 952 kg/trip) dibandingkan dengan kapal Ampana (735 kg/trip), Parigi (731 kg/trip), dan Poso (629 kg/trip). Armada Gorontalo umumnya beroprasi lebih lama (3–7 hari), sedangkan kapal lainnya umumnya hanya 1 hari (one day fishing); dan umumnya mereka menangkap di sekitar Kep. Togean dan sebelah utara Banggai (Sulawesi Tengah). Kapal Gorontalo ini memiliki ukuran lebih besar (10–15 GT); rata-rata hasil tangkapan malalugis menunjukkan 626 kg/trip pada 1997, 411 kg/trip pada 1998, 616 kg/trip pada 2002, dan sekitar 670 kg/trip pada 2003–2004.
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov
Laju
Tan
gkap
(kg/
hari)
L. MalukuTel. Tomini
Gambar 3. Fluktuasi musiman laju tangkap purse seine mini Gorontalo dan Bitung di perairan Teluk Tomini dan Laut Maluku 2010
Komposisi Jenis
Berdasarkan pencatatan secara harian, hasil tangkapan pukat cincin mini (pajeko) Gorontalo dan Bitung, ikan malalugis (Decapterus macarellus) merupakan jenis paling dominan di kedua wilayah perairan tetapi dengan tingkat dominasi berbeda; di Teluk Tomini dominasi malalugis sekitar 58%. Jenis dominan lain berupa ikan tongkol (Auxis thazard), cakalang
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
139
(Katsuwonus pelamis) dan tuna madidihang/yellow-fin tuna (Thunnus albacares) yang masih muda (juvenil). Ikan-ikan muda yang tertangkap di Teluk Tomini relatif lebih banyak.
Variasi komposisi jenis terlihat berdasarkan musim dan lokasi penangkapan (Gambar 4). Gambar 4 menunjukkan dominasi jenis malalugis terlihat dari arah barat ke timur, jenis selar makin dominan dari arah sebaliknya, sedangkan jenis ikan banyar lebih banyak di sekitar Poso. Kenyataan ini kemungkinan terkait dengan makin berlimpahnya ikan (laju tangkap makin besar) ke arah timur. Pada pengambilan contoh melalui survei laut, terdapat perbedaan komposisi jenis hasil tangkapan pukat cincin mini di perairan utara Bualemo (Banggai; lokasi penangkapan utama oleh PCM Gorontalo) seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Pada bulan April, dominasi malalugis sekitar 42%, sedangkan pada bulan Juli sebanyak 67%. Makin mendekati puncak kelimpahan (musim peralihan 2), dominasi malalugis diduga semakin bertambah. Ikan malalugis lebih dominan pada bulan Oktober sampai Maret dan bulan Mei sampai Agustus (Gambar 6). Gambar 7 menunjukkan grafik tentang musim ikan dan musim paceklik ikan tahun 2010 dan 2011. Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa musim ikan dan musim paceklik ikan antara tahun 2010 dengan 2011 agak berbeda.
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Parigi Poso Ampana Goronntalo
Lain2TongCakaBabySelarBanyMala
2gkolalangy Tunaryaralugis
Gambar 4. Perubahan komposisi jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap pukat cincin mini di Teluk Tomini menurut daerah penangkapan
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
140
K
Banyar1%
Tongkol8%
IkanRotan
2%
Selar Kuning
35%
BUALEMO: la
Malalugis
52%
LayanPasi2%
BabyTuna0%
ut I (Apr) ngr
ya
Layang2%
Bentong7%
g
Tongkol24%
Tuna (baby)
0%
BUALEMO
Malalugs
67%
Lainnya0%
O: laut II (Juni)
gi
)
Gambar 5. Variasi komposisi jenis hasil tangkapan ikan pelagis yang tertangkap purse seine mini di Teluk Tomini 2010
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Deho
Cakalang
Kodi2
Selar
Malalugis
Gambar 6. Komposisi jenis ikan pelagis kecil hasil tangkapan pukat cincin Gorontalo berdasarkan bulan
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
141
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul
2010 2011
CPUE
(kg/
hari)
Total
Malalugis
Gambar 7. Hasil tangkapan ikan pelagis kecil dan malalugis di Gorontalo berdasarkan bulan
Dari sepuluh lokasi daerah penangkapan di Provinsi Gorontalo, intensitas penangkapan dan laju tangkap (kg/trip/hari) paling tinggi di utara Banggai (Bualemo) (Gambar 8). Spesies yang dominan tertangkap adalah ikan malalugis, yaitu sebesar 59% (Gambar 9).
0
20
40
60
80
100
120
140
160
0
500
1000
1500
2000
2500
Boale
mo
Dolo
ng
Goro
ntalo
Kayu
Bul
an
Molib
agu
Pagu
yam
an
Poat
Talu
daa
Tel. T
omin
i
Tilam
uta
Trip
CPUE
(kg/
hari)
Trip CPUE
Gambar 8. Laju tangkap ikan pelagis kecil di Gorontalo
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
142
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Boale
mo
Dolo
ng
Goro
ntalo
Kayu
Bul
an
Molib
agu
Pagu
yam
an
Poat
Talu
daa
Tel. T
omin
i
Tilam
uta
Deho
Cakalang
Kodi2
Selar
Malalugis
Gambar 9. Komposisi jenis ikan pelagis kecil di Gorontalo berdasarkan daerah penangkapan
Biologi Sumber DayaStruktur Populasi dan Hubungan Filogenetik
Dari studi genetika populasi (analisis mtDNA dengan metode RFLP) jenis malalugis di sekitar Sulawesi, diduga stok yang tersebar di Teluk Tomini memiliki hubungan filogenetik lebih dekat dengan unit stok yang tersebar di Bitung-Kendari-Luwuk-Maumere (Zamroni dan Suwarso 2010) (Gambar 10), sehingga sangat mungkin merupakan bagian dari unit stok tersebut. Tentang kemungkinan stok Teluk Tomini merupakan unit stok lokal masih perlu kajian lebih lanjut.
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
143
Gambar 10. Dendogram filogenetik dari 7 populasi ikan layang biru (D.macarellus) hasil analisis RFLP dengan menggunakan 6 enzim restriksi Keterangan: Populasi 1 – Bitung; 2 – Kendari; 3 – Maumere; 4 – Donggala;
5 – Luwuk; 6 – Gorontalo; 7 – Kuandang
Parameter Populasi
Analisis data frekuensi panjang ikan malalugis (D. macarellus) tahun 2003–2004 menghasilkan parameter seperti yang akan dipaparkan berikut. Tingkat eksploitasi (E = F/Z) kira-kira ± 0,5 dengan F adalah laju kematian akibat penangkapan dan Z adalah laju kematian total. Nilai E tersebut mengindikasikan bahwa eksploitasi belum memberikan dampak yang nyata pada karakter populasi. Namun demikian, tekanan penangkapan terhadap ikan-ikan muda diduga cukup tinggi yang dapat mengakibatkan penurunan stok. Selain itu, terdapatnya juvenil tuna, cakalang, dan tongkol dalam hasil tangkapan pukat cincin perlu menjadi perhatian. Parameter populasi ikan Malalugis (D. macarellus) di Teluk Tomini tahun 2003–2004 adalah sebagai berikut: L∞ = 33,5–34,5; K = 1,0–1,1 (per tahun); Z = 2,36–2,45 (per tahun); F = 0,8–1,26; E = 0,48–0,53; Lc = 8,34–8,45; Lm = 26,75. Sedangkan berdasarkan data yang terkumpul tahun 2010 di Bitung diperoleh nilai L∞ antara 32,8–33,5 dengan K antara 0,65–1,6;
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
144
Analisis terhadap nilai-nilai GSI (Gonado Somatic Index) ikan malalugis tahun 2009–2010 terhadap “unit stok” tersebut (populasi contoh berasal dari ikan yang didaratkan di Bitung) menunjukkan perkembangan gonad berlangsung sejak bulan Maret (Gambar 11); musim pemijahan diduga berlangsung dua kali, yaitu setelah musim timur dan sekitar musim barat. Ukuran reproduktif berkisar antara 21–26 cm, ukuran pertama kali matang gonad sekitar 25,3 cm (Suwarso et al. 2010).
GSI(%
)
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
Ma
GSI(%
)
r Apr May Jun Jul Aug SSep Oct Nov Dec
A
B
C
D
A
B
C
D
Gambar 11. Perkembangan musiman nilai GSI (Gonado Somatic Index, dalam %) ikan Malalugis (D. macarellus) betina di sekitar Sulawesi, 2009–2010Keterangan: STOK A: Laut Maluku (Bitung), Laut Banda bagian Barat
(Kendari), Banggai Kepulauan/Teluk Tolo (Luwuk) dan Laut Flores (Maumere); STOK B: Teluk Tomini (Bualemo); STOK C: Sel. Makassar (Donggala, Balikpapan, Paotere); STOK D: Laut Sulawesi (Toli-toli).
Berdasarkan kurva logistik sebaran frekuensinya (persen frekuensi kumulatif), pada posisi 50% diperoleh rata-rata ukuran yang tertangkap jaring pukat cincin mini di perairan sekitar Bitung, Lc (L50) = 18,3 cm (Gambar 12). Nilai ini jauh lebih rendah dari nilai Lm yang diperoleh tersebut, yaitu L50 (18,3) < Lm (25,32). Hal ini menunjukkan perlunya kehati-hatian terhadap penangkapan yang cenderung menangkap sebanyak-banyaknya termasuk ikan-ikan mudanya.
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
145
0
25
50
75
100
0 5 10 15 20 25 30 35
%
Fork length (cm)
Gambar 12. Persentase kumulatif dari sebaran frekuensi panjang ikan malalugis (D. macarellus) yang didaratkan di Bitung tahun 2010 memperlihatkan ukuran rata-rata ikan yang tertangkap (L50 = 18,3 cm)
Ikan-ikan ukuran kecil yang merupakan ukuran recruitment pada perikanan ini diperoleh sekitar 7–13 cm (modus sekitar 9,5 cm). Secara keseluruhan (data bulan Maret sampai Desember 2010) jumlah kelompok ini kurang dari 10%, tetapi pada bulan-bulan tertentu (Maret dan September) jumlahnya sangat dominan mencapai lebih dari 40%. Dari hasil observasi lapangan menunjukkan terdapat beberapa ukuran mata jaring yang digunakan nelayan Bitung, yaitu ukuran ¼, ½, ¾, dan 1 inci. Penggunaan ukuran mata jaring yang kecil ini diduga mengakibatkan hasil tangkapan ikan-ikan ukuran kecil cukup dominan sehingga mempengaruhi rendahnya nilai L50 dibanding Lm.
Dugaan Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil
Biomassa ikan pelagis di Teluk Tomini pada tahun 2003–2004 dengan kedalaman kolom air 0–150 m diduga sebesar 303.624 ton, dan 67% dari nilai tersebut adalah biomassa ikan pelagis kecil, yaitu sebesar
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
146
204.495 ton. Untuk kedalaman 0–100 m, dugaan nilai biomassa ikan pelagis kecil sebesar 164.161 ton dengan potensi lestari sebesar 82.081 ton. Alat tangkap standar yang digunakan pada tahun tersebut adalah pukat cincin yang berukuran 7–15 GT dengan kekuatan mesin 70–120 PK. Laju tangkap rata-rata pukat cincin tersebut sebesar 760 kg/trip (dengan kisaran 617–952 kg/trip). Jumlah armada pukat cincin di Teluk Tomini tahun 2003–2004 adalah sekitar 419 unit, sehingga estimasi total produksinya adalah sekitar 74.442 ton/tahun. Dari nilai-nilai tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil tahun 2003–2004 di teluk tomini telah mencapai 90%. Produktivitas/unit alat/tahun adalah 182.400 kg dengan F-optimum adalah 450 unit, sehingga pada tahun tersebut terdapat peluang penambahan jumlah armada alat tangkap sekitar 31 unit pukat cincin dengan ukuran <30 GT. Pada tahun 2009 jumlah armada pukat cincin mengalami peningkatan menjadi 465 unit. Jadi, selama lima tahun jumlah armada pukat cincin tersebut telah melampaui nilai dugaan. Menurut statistik pendaratan nilai produksi ikan pelagis kecil pada tahun 2004 sebesar 37.500 ton, sedangkan nilai produksi pada tahun 2009 meningkat menjadi 38.700 ton. Nilai produksi tahun 2009 tersebut masih di bawah nilai estimasi (underestimate), hal ini disebabkan pencatatan di pendaratan ikan yang belum baik sehingga banyak produksi yang tidak tercatat. Di samping itu, saat ini terdapat perubahan-perubahan aktivitas penangkapan pada armada pukat cincin. Perubahan tersebut antara lain sebagai berikut.
Dalam kapasitas penangkapan, terjadi peningkatan ukuran armada •kapal menjadi >20 GT.Daerah penangkapan (• fishing ground) menjadi lebih jauh.Perubahan dalam dimensi jaring, kedalaman jaring mencapai 120 m •(Parigi), sedangkan ukuran mata jaring semakin mengecil. Sebagai contoh, ukuran mata jaring di Bitung adalah ¼, ½, ¾, dan 1 inci.
Kesimpulan dan SaranKesimpulan1. Aktivitas penangkapan PS-mini (pajeko) lebih terkonsentrasi di
perairan mulut teluk bagian selatan (Bualemo, Banggai, dan timur
Pendugaan Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Metode Akustik di Teluk Tomini
147
Togean). Intensitas dan laju tangkap (CPUE kg/hari) tertinggi adalah di Bualemo.
2. Jenis malalugis (D. macarellus) tetap merupakan kontributor paling besar (59%) dan menentukan hasil tangkapan untuk perairan Teluk Tomini bagian timur; sedangkan di bagian barat, ikan selar dan banyar lebih banyak.
3. Dalam konteks unit stok, “Bitung-Bualemo-Luwuk-Kendari” penurunan GSI pada musim timur dan musim barat menjadi tanda musim pemijahan ikan malalugis. Lm = 25,3.
4. Berdasarkan pengambilan contoh ikan di Bitung dan Gorontalo/Bualemo (L~ = 33,5; K1 = 10), ukuran rata-rata ikan yang tertangkap (L50) lebih rendah dari nilai ukuran pertama kali matang (Lm). Hal ini adalah akibat dari cukup banyaknya ikan-ikan muda (Lr = 7 cm) yang dieksploitasi (pada musim timur), terutama di perairan sekitar Bitung. Selain perairan utara Bualemo, perairan sekitar bitung diduga menjadi daerah asuhan bagi anak-anak ikan malalugis.
5. Tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil diduga telah mencapai 90% pada tahun 2003–2004 dengan jumlah PS sebanyak 419 unit; padahal f-optimum= 450 unit. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah PS telah mencapai 465 unit. Meskipun tanda-tanda overexploitation belum begitu signifikan, perlu adanya kehati-hatian dalam penambahan upaya penangkapan.
6. Terlihat beberapa perubahan aktivitas penangkapan: konsentrasi daerah penangkapan, kapasitas penangkapan, dan jaring yang digunakan.
Saran1. Kajian life history ikan malalugis (jenis utama) secara lengkap sehingga
parameter biologi untuk masukan pengelolaan.2. Pengaturan penangkapan (mata jaring, rumpon).3. Terkait IUU-fishing dan pengelolaan yang bersifat berkelanjutan,
format baru diperlukan untuk monitoring hasil tangkapan dan upaya penangkapan.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
148
Daftar PustakaSuwarso, Herlisman, Nasir M, Amri K, Hariati T, Awwaludin, Taufik M,
Zamrony A, Priatna A, Satria F, Nurdin E, Rustam R. 2005. Teluk Tomini: Ekologi, Potensi Sumber Daya, dan Biologi beberapa jenis ikan ekonomis penting. Balai Riset Perikanan Laut. Buku Ilmiah. 114pp.
Suwarso, Herlisman, Wudianto. 2005. Karakteristik fisik massa air perairan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. XI(6): 17–31.
Suwarso, Zamroni A, Setiawan R. 2005. Kebiasaan makan beberapa jenis ikan pelagis di perairan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. XI(6): 109–113.
Awwaludin, Suwarso, Setiawan R. 2005. Distribusi kelimpahan dan struktur komunitas plankton pada musim timur di perairan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. XI(6): 33–56.
Amri K, Suwarso, Herlisman. 2005. Dugaan upwelling berdasarkan analisis komparatif Citra sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-A di Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan ndonesia. XI(6): 57–71.
Taufik M, Suwarso, Nurwiyanto. 2005. Distribusi kelimpahan Ichthyoplankton di Teluk Tomini dan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. XI(6): 73–83.
Suwarso, Sadhotomo B, Wudianto. 2007. Perkembangan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini. Bawal, Widya Riset Perikanan Tangkap. I(6): 231–242.
Awwaluddin, R Rustam, Suwarso. 2007. Perikanan Demersal di sekitar Kep. Togean, Teluk Tomini. Bawal, Widya Riset Perikanan Tangkap. I(4): 145–153.
Amri K, Suwarso. 2007. Penampakan dinamika SPL dan Klorofil-a Teluk Tomini pada musim timur dari analisis citra satelit dan data insitu. Jurnal Kelautan Nasional. II(3): 122–137.
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi
dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini
Mohamad Natsir1, Suwarso1, Khairul Amri2, dan Asep Priatna1
Abstrak Penelitian tentang hubungan perubahan lingkungan oseanografi
dan sumber daya ikan pelagis di Teluk Tomini didasarkan pada data laju tangkap (kg/hari) sebagai indeks kelimpahan. Faktor fisik dan biologi perairan juga diamati sebagai indeks kesuburan perairan dan kelimpahan ikan pelagis. Data laju tangkap didasarkan pada pengambilan contoh hasil tangkapan ikan pelagis pada perikanan purse seine mini yang berbasis di Gorontalo. Hasil menunjukkan bahwa secara spasial (ruang), kelimpahan dan densitas ikan pelagis lebih terkonsentrasi di area sebagai pusat upwelling yang berlokasi di perairan sekitar Bualemo di utara Luwuk (Banggai). Secara temporal (musiman), puncak kelimpahan ikan (laju tangkap) berlangsung dua kali, puncak 1 pada musim peralihan 1. Setelah periode itu, kelimpahan turun dan makin rendah pada musim barat. Data penunjang untuk memberikan gambaran mengenai variabilitas lingkungan adalah indeks yang menjelaskan fenomena ENSO (SOI) dan tulisan mengenai indikator upwelling yang terjadi di Teluk Tomini. Dari hasil kombinasi antara variabilitas cuaca, lingkungan perairan, dan indeks kelimpahan didapatkan gambaran bahwa fluktuasi kelimpahan ikan
1 Peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru2 Peneliti Pusat Penelitian Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
150
pelagis berkaitan dengan fluktuasi musiman cuaca serta dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan perairan (oseanografi) seperti upwelling. Hasil tangkapan tinggi terjadi pada saat La Niña sedangkan hasil tangkapan rendah terjadi pada saat El Niño, hubungan antara upwelling dan hasil tangkapan memiliki jeda waktu sekitar 1–2 bulan. Dalam skala tahunan (sekitar 6 tahun), kelimpahan (laju tangkap) ikan pelagis menunjukkan kecenderungan semakin tinggi pada tahun 2010, tetapi disertai dengan kecenderungan pergeseran daerah penangkapan ke lokasi yang lebih jauh mendekati area pusat upwelling di utara Bualemo.
Kata Kunci: Upwelling, mini purse seine, ENSO.
PendahuluanTeluk Tomini adalah salah satu teluk terbesar di Indonesia dengan
luas sekitar 59.500 km2. Perairan yang secara administratif mencakup beberapa wilayah provinsi dan kabupaten/kota ini memiliki sumber daya ikan yang cukup besar. Dalam kesatuan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Teluk Tomini-Laut Maluku-Laut Seram, potensi sumber daya ikan pelagis diperkirakan sebesar 486 ribu ton per tahun atau sekitar 83%, di mana sebagian besar (80%) di antaranya berupa ikan pelagis kecil (Anonim 2001). Di pihak lain, potensi sumber daya ikan demersal (sebagian besar berupa ikan karang) diperkirakan sebesar 96 ribu ton per tahun atau sekitar 16%.
Perairan Teluk Tomini adalah laut dalam (oseanik) dengan kedalaman rata-rata >1.500 m, berbentuk sebagai corong yang terbuka ke arah timur dan berhubungan langsung dengan Laut Maluku, Teluk Tolo, dan Laut Sulawesi. Kondisi geografis demikian memberi konsekuensi terjadinya sirkulasi massa air di antara perairan di dalam teluk dengan perairan di sekitarnya.
Kajian oseanografi tentang karakter fisik massa air teluk pada habitat pelagis yang didasarkan pada hasil pengukuran secara in situ pada musim timur 2003, serta pada habitat karang yang didasarkan pada hasil pengukuran secara in situ pada musim barat 2004 diuraikan dalam makalah ini. Hasil kajian diharapkan dapat memberi keterangan tentang dinamika sumber daya ikan, sifat biologi, migrasi, agregasi, pemijahan, dan tingkah laku lainnya dari gerombolan ikan serta tingkatan-tingkatan
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini
151
tropik (tropic level) pendukungnya yang secara keseluruhan merupakan informasi penting bagi pengelolaan perikanan. Di samping itu, hasil kajian juga dapat bermanfaat bagi studi fisheries oceanography selanjutnya (Laevastu dan Hela 1970).
Perubahan iklim akan berdampak langsung terhadap kenaikan muka air laut, perubahan suhu permukaan laut, penurunan tingkat pH, perubahan curah hujan yang berdampak pada perikanan estuari, dan perubahan sirkulasi laut. Perubahan tersebut akan berdampak pada habitat dan distribusi spesies (Brander 2007). Perubahan suhu permukaan laut akan berdampak fenomena iklim seperti ENSO, karena basis kedua fenomena tersebut adalah suhu permukaan laut.
Kondisi teluk sebagai perairan laut dalam (kedalaman rata-rata >1.500 m) yang bersifat oseanik memberi konsekuensi terjadinya sirkulasi massa air antara perairan di dalam teluk dengan perairan di sekitarnya, yang berdampak pada terjadinya pertukaran nutriea sehingga menjadikan perairan ini habitat yang baik bagi berbagai biota laut. Teluk Tomini terkenal sebagai daerah asuhan bagi juvenil ikan tuna (yellowfin tuna).
Penelitian Burhanuddin et al. (2004) menyebutkan bahwa di perairan Teluk Tomini ditemukan indikasi adanya daerah upwelling yang ditandai dengan perubahan suhu yang terjadi di sekitar Teluk Tomini, Kepulauan Togean, dan selatan Gorontalo yang intensitasnya semakin menguat; indikasi upwelling juga diduga terjadi di sepanjang pantai Manado dan Bitung. Hasil simulasi model hidrodinamika 3 D Ningsih et al. (2003) memperlihatkan sebaran perubahan SPL di perairan Teluk Tomini pada bulan Agustus (musim timur) berkisar lebih dari 1°C hingga 3°C. Dikatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut yang besar di perairan Teluk Tomini tersebut merupakan indikasi terjadinya fenomena upwelling.
Setiap spesies memiliki toleransi yang berbeda terhadap suhu. Kebanyakan ikan mempunyai rentang toleransi suhu yang sempit yang berhubungan dengan matabolisme dan ketersedian makanan. Sebagai contoh, ikan sardin bermigrasi musiman antara perairan bagian selatan California sebagai daerah asuhan ke bagian selatan British Columbia sebagai daerah makanan. Migrasi tersebut disebabkan oleh variasi iklim. Beberapa jenis ikan memiliki kolom renang (swimming layer) yang lebih dalam saat massa air di permukaan menghangat (Anonim 2006).
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
152
Syamsudin (1992) menjelaskan ketersedian ikan berhubungan dengan proses dinamika di suatu daerah. Sebagai contoh, pada proses konvergensi (pertemuan arus yang berbeda) di mana wilayah bertekanan rendah dikelilingi oleh tekanan tinggi yang menimbulkan arus yang berputar dan menyebabkan konsentrasi fitoplankton meningkat. Demikian juga proses berpisahnya arus (divergensi), menyebabkan zat hara yang kaya nutriea di kedalaman naik ke permukaan dan mengundang fitoplankton.
Menurut Tomascik et al. (1997) dalam Afdal dan Riyono (2003), suhu memengaruhi proses fotosintetis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh suhu secara langsung adalah mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintetis, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam mengubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat memengaruhi distribusi fitoplankton. Secara umum, laju fotosintetis fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, namun akan menurun secara drastis setelah mencapai suhu tertentu.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai varibilitas lingkungan osenografi perairan di teluk tomini, dalam hal ini khususnya ENSO, dan indikasi upwelling serta kelimpahan sumber daya ikan dan perikanan Teluk Tomini yang diindikasikan dari hasil tangkapan harian.
Bahan dan MetodeObservasi perikanan di Teluk Tomini dilakukan melalui survei darat
(land-based survey) untuk mendapatkan gambaran mengenai perikanan yang ada di Teluk Tomini. Data hasil tangkapan armada mini purse seine dikumpulkan melalui pengumpulan data perikanan komersial di basis-basis pendaratan ikan.
ENSO yang diindikasi oleh SOI ialah indeks standar yang diperoleh dari selisih nilai tekanan permukaan laut antara Tahiti dan Darwin. Periode awal periode nilai SOI negatif akan diikuti oleh massa air yang menghangat melintasi timur Pasifik bagian tropis; kondisi tersebut identik dengan periode El Niño. Kondisi sebaliknya, jika SOI bernilai positif, massa air dingin akan melintasi timur P4asifik bagian tropis; kondisi tersebut identik dengan periode La Niña.
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini
153
Pengamatan terhadap potensi munculnya indikator upwelling dilakukan meliputi seluruh perairan Teluk Tomini mulai bagian barat (ujung teluk) hingga perairan di sekitar mulut teluk di bagian timur, serta perairan Laut Maluku dan Teluk Tolo yang berhubungan langsung dengan massa air Teluk Tomini. Rentang waktu pengamatan citra satelit meliputi tahun pengamatan 2002–2004.
Untuk mengetahui pola sebaran suhu permukaan laut (SPL), data yang digunakan adalah citra SPL hasil analisa digital dan visual dari sensor thermal satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration- Advanced Very High Resolution Radiometer). Untuk mengetahui pola sebaran dan konsentrasi klorofil-a yang menggambarkan kesuburan perairan (produktifitas primer), digunakan data dari sensor visible Satelit Aqua MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer). Data oseanografi hasil pengukuran lapangan yang digunakan sebagai analisa pembanding adalah data hasil pengukuran in-situ suhu, salinitas, dan kelimpahan plankton (fitoplankton) memakili dua musim, yakni musim musim timur (2003) dan musim barat (2004).
Hasil dan PembahasanKondisi Parameter Variabilitas Iklim
Fenomena iklim yang digunakan untuk mengambarkan pengaruhnya terhadap perikanan lemuru di Selat Bali ialah ENSO (dengan indikator SOI). Gambar 1 menunjukkan bahwa selama periode 2000–2010 paling tidak terjadi tiga kali periode La Niña di atas normal (2000, 2008, dan 2010), di mana SOI bernilai positif. Sedangkan periode 2002–2005 dan 2009 terjadi fenomena El Niño di atas normal. Kishore et al. (2007) menjelaskan ada korelasi positif antara ENSO dengan curah hujan; pada periode El Niño curah hujan rendah, sedangkan pada periode La Niña curah hujan tinggi.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
154
40
30
20
10
0
10
20
30
40
Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct Jan
Apr
July
Oct
Tahun 2000 2010
Gambar 1. Fluktuasi SOI bulanan periode 2000–2010
Proses Upwelling dan Faktor Fisik yang MemengaruhinyaFenomena upwelling biasanya dicirikan oleh penurunan suhu yang
tajam disertai lonjakan kandungan nutriea di sekitar daerah upwelling (Mann dan Lazier 1991; Arinardi et al. 1997; Wyrtki 1961). Kondisi suhu rendah disertai oleh salinitas lebih tinggi dari massa air yang terumbal ke permukaan yang kaya nutriea.
Data citra satelit menunjukkan terjadinya penurunan suhu permukaan yang diikuti oleh peningkatan konsentrasi klorofil-a pada bulan Juli–Agustus/musim timur (Gambar 2). Parameter suhu (penurunan yang tajam) merupakan indikator umum yang dipakai mencirikan fenomena upwelling, sedang klorofil-a merupakan properti dari fitoplankton yang melakukan fotosintesis dan merespon lonjakan kandungan nutriea di area sekitar upwelling.
Berdasarkan hal tersebut, diduga pada musim timur terjadi penaikan massa air dari bawah yang disertai naiknya nutriea ke permukaan (upwelling). Intensitas peristiwa tersebut terutama terjadi di daerah mulut teluk bagian selatan. Konsentrasi nutrieat atau unsur hara yang tinggi dicirikan oleh lonjakan kandungan klorofil-a sebagai indikator kesuburan. Pada citra satelit MODIS dicirikan dengan warna kuning-merah yang menandakan konsentrasi klorofil-a tinggi. Menurut Awwalludin et al. (2005) dan Wiadnyana (1998), pola distribusi plankton (fitoplankton dan zooplankton) pada musim timur terkonsentrasi di sekitar daerah upwelling
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini
155
di mulut teluk. Demikian pula icthyoplankton yang merupakan komunitas dasar dalam sistem perairan terkonsentrasi di sekitar mulut teluk.
Pada musim timur, suhu permukaan rendah (27,5°C) terjadi di luar teluk (Laut Maluku), sedangkan di sekitar mulut teluk sebesar 28,0°C. Dari pengukuran in situ pada bulan Juli–Agustus 2003, suhu permukaan di area sekitar mulut teluk lebih rendah berkisar antara 26,2°C–27,0°C, salinitas permukaan cenderung lebih tinggi dan berkisar antara 34,0‰–34,5‰ (Suwarso et al. 2005. Citra satelit MODIS memperlihatkan terjadinya peningkatan kandungan klorofil-a cukup tinggi di luar teluk (0,6–0,8 mg/m3) dan di mulut teluk (0,8–1,25 mg/m3). Hasil penelitian Hendiarti (2004) menggunakan citra satelit di zona upwelling perairan Selatan Jawa menunjukkan pada musim upwelling (musim timur) SPL menjadi lebih rendah < 28°C (27°C–28°C) yang diikuti oleh naiknya kandungan klorofil-a sebesar 0,8–2,0 mg/m3.
Fluktuasi Bulanan Konsentrasi Klorofil_a Juni 2003-Agustus 2004
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Juni
Juli
Ags
t
Sep
t
Okt
Nov
Des Jan
Feb
Mar
t
Apr
il
Mei
Juni
Juli
Agu
stus
2003 2004
mg/
m3 Dalam Teluk
Mulut Teluk
Luar Teluk/Timur
Pola Fluktuasi Sebaran SPL Bulanan Teluk Tomini
26
27
28
29
30
31
32
J F M A M J J A S O N D J F M A M
SPL
(o C
)
DalamMulut
Timur/Luar Teluk
Fluktuasi Bulanan Konsentrasi Klorofil_a Juni 2003-Agustus 2004
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Juni
Juli
Ags
t
Sep
t
Okt
Nov
Des Jan
Feb
Mar
t
Apr
il
Mei
Juni
Juli
Agu
stus
2003 2004
mg/
m3 Dalam Teluk
Mulut Teluk
Luar Teluk/Timur
Fluktuasi Bulanan Konsentrasi Klorofil_a Juni 2003-Agustus 2004
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Juni
Juli
Ags
t
Sep
t
Okt
Nov
Des Jan
Feb
Mar
t
Apr
il
Mei
Juni
Juli
Agu
stus
2003 2004
mg/
m3 Dalam Teluk
Mulut Teluk
Luar Teluk/Timur
Pola Fluktuasi Sebaran SPL Bulanan Teluk Tomini
26
27
28
29
30
31
32
J F M A M J J A S O N D J F M A M
SPL
(o C
)
DalamMulut
Timur/Luar Teluk
Gambar 2. Grafik fluktuasi suhu permukaan (atas) dan konsentrasi klorofil-a (bawah)
Keterangan: Lingkaran putus menunjukkan indikator umum terjadinya upwelling
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
156
Dari data citra satelit terlihat telah terjadi penurunan suhu permukaan yang diikuti oleh peningkatan konsentrasi klorofil-a pada bulan Juli–Agustus/musim timur (Gambar 2). Parameter suhu (penurunan yang tajam) merupakan indikator umum yang dipakai mencirikan fenomena tersebut, sedangkan klorofil-a merupakan properti dari fitoplankton yang melakukan fotosintesis dan merespon lonjakan kandungan nutriea di area sekitar upwelling. Berdasarkan hal tersebut, diduga pada musim timur terjadi penaikan massa air bawah yang disertai nutriea ke permukaan (upwelling); intensitasnya terutama terjadi di daerah mulut teluk bagian selatan di sekitar daerah Bualemo.
Fluktuasi KelimpahanHasil pengamatan pendaratan hasil tangkapan berupa laju tangkap
(catch per unit of effort; dalam kg/hari) dapat dianggap sebagai ‘indeks kelimpahan’ ikan, yang menunjukkan seberapa banyak jumlah ikan di suatu lokasi pada waktu tertentu. Berdasarkan pencatatan secara harian terhadap hasil tangkapan purse seine mini (MPS) atau ‘pajeko’ yang mendarat di Gorontalo dan Bitung tahun 2010, secara umum sumber daya ikan pelagis, termasuk malalugis, tertangkap sepanjang tahun; laju tangkap pajeko Gorontalo lebih besar dibanding pajeko Bitung, masing-masing sekitar 1770 kg/hari dan 635 kg/hari (Gambar 3). Daerah penangkapan kedua perikanan berbeda, MPS Gorontalo di perairan Teluk Tomini dari selatan Gorontalo ke arah selatan hingga perairan utara Bualemo (Sulawesi Tengah); sedang MPS Bitung umumnya di perairan Laut Maluku di sekitar Bitung. Pola fluktuasi musiman hampir sama masing-masing dengan dua puncak tangkapan, sekitar bulan Mei (musim Peralihan 1) dan Oktober (musim Peralihan 2), tetapi modusnya berbeda, di Teluk Tomini puncak laju tangkap pada musim peralihan 2 lebih besar (2531 kg/hari), sedang di Laut Maluku puncak laju tangkap pada sekitar bulan Mei yang lebih besar (996 kg/hari).
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini
157
1,233
794
493
996
569394 488 434
574
316
1,393
1,942
1,629
1,0001,175
2,016
2,531
1,450
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov
Laju
Tan
gkap
(kg/
hari)
L. Maluku
Tel. Tomini
Gambar 3. Hasil tangkapan purse seine mini (MPS, lokal: “pajeko”) harian yang mendarat di Gorontalo dan Bitung tahun 2010
Komposisi JenisBerdasarkan pencatatan secara harian hasil tangkapan purse seine mini
(pajeko) Gorontalo dan Bitung, ikan malalugis (Decapterus macarellus) merupakan jenis paling dominan di kedua wilayah perairan tetapi dengan tingkat dominasi berbeda; di Teluk Tomini dominasi malalugis sekitar 58% sedang di Laut Maluku mencapai 85% (Gambar 4). Jenis dominan lain berupa ikan tongkol (Auxis thazard), cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tuna madidihang/yellow-fin tuna (Thunnus albacares) yang masih muda (juvenil). Ikan-ikan muda yang tertangkap di Teluk Tomini relatif lebih banyak.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
158
Se8
Tongkol12%
BabyTuna1%
BaCaka
21
elar8%
abyalang1%
Telukk Tomini
Malalugis58%
Selar5%
Tongkol6%
Kembung0%
Sard3%
din%
L. Mal Cumi20%
C
luku
Malalugis85%
BabyTuna0%
BabyCakalang
1%
Gambar 4. Komposisi jenis hasil tangkapan ikan pelagis yang tertangkap purse seine mini di Teluk Tomini dan Laut Maluku, 2010
Tren Laju TangkapBerdasarkan perolehan data laju tangkap dari kapal-kapal pajeko
Gorontalo selama 2004–2010, terlihat kecenderungan kenaikan rata-rata laju tangkap dari sekitar 1 ton/hari pada tahun 2004 menjadi 1,8 ton/hari pada 2010 ini (lihat Tabel 1 dan Gambar 5). Armada pajeko Gorontalo biasanya beroperasi di sekitar teluk Gorontalo ke arah selatan hingga perairan utara Bualemo (Banggai, Sulawesi Tengah). Kenaikan laju tangkap tersebut sejalan dengan indikasi terjadinya pergeseran intensitas penangkapan ke arah perairan Bualemo di utara Luwuk yang terlihat dari semakin padatnya konsentrasi rumpon di lokasi ini. Antara tahun 2004–2006 (2 tahun), relatif tidak terjadi perubahan laju tangkap (Suwarso et al. 2006).
Tabel 1 Tren laju tangkap (kg/hari) purse seine mini (pajeko) Gorontalo yang aktif di Teluk Tomini tahun 2004, 2006, dan 2010
Th. Min Mean Max StdDev. N2004 200 997 10,000 1,073 1812006 300 1,031 3,000 669 752010 50 1,767 12,400 1,629 201Total 50 1,341 12,400 1,354 457
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini
159
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov
Laju
Tan
gkap
(kg/
hari)
200420062010
Gambar 5. Tren laju tangkap (kg/hari) purse seine mini (pajeko) Gorontalo di Teluk Tomini
Hubungan Variabilitas Iklim dan Oseanografi dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis
Hasil analisis antara kondisi ENSO dengan hasil tangkapan ikan pelagis menunjukkan adanya keterkaitan antara nilai SOI dengan hasil tangkapan. Hasil tangkapan rendah di bawah nilai rata-rata (garis merah putus-putus) tercatat pada saat terjadi El Niño, sedangkan hasil tangkapan tinggi di Teluk Tomini didapatkan pada saat terjadinya fenomena La Niña (Gambar 6).
Dari hasil penelitian ini terlihat kejadian upwelling di perairan Teluk Tomini pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, yang ditandai dengan meningkatnya kesuburan perairan berupa pengayaan klorofil dan turunnya suhu permukaan, memiliki kaitan yang erat terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan pelagis. Ini terbukti pada saat sama pola laju tangkapan ikan pelagis bulanan di Teluk Tomini terlihat meningkat tajam pada bulan Agustus sampai dengan Oktober. Dari sini terlihat bahwa adanya jeda antara terjadinya upwelling dengan peningkatan laju tangkapan ikan pelagis yang didaratkan oleh nelayan, time delay-nya sekitar 2 bulan. Peningkatan hasil tangkapan ikan ini muncul dengan jeda waktu (time lag) sekitar 1–2 bulan setelah terjadinya upwelling.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
160
40302010010203040
JanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOct
Tahu
n20
0020
10
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
JanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOctJanAprJulyOct
HasilTangkapa
nTahu
n20
0020
10
Gam
bar 6
. Flu
ktua
si SO
I bul
anan
per
iode
200
0–20
10 d
an fl
uktu
asi h
asil
tang
kapa
n 20
00–2
010
Hubungan Variabilitas Cuaca dan Lingkungan Oseanografi dan Kelimpahan Sumber Daya Ikan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Tomini
161
Pendataan yang lebih baik dan analisis yang lebih dalam akan memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai hunbungan variabilitas iklim dan variabilitas oseanografi dengan hasil tangkapan ikan pelagis di teluk Tomini.
KesimpulanHasil analisis antara kondisi ENSO dengan hasil tangkapan ikan
pelagis menunjukkan adanya keterkaitan antara nilai SOI dengan hasil tangkapan. Hasil tangkapan tinggi terjadi pada saat La Niña, sedangkan hasil tangkapan rendah terjadi pada saat El Niño. Dari hasil penelitian mengenai indikasi upwelling di Teluk Tomini terlihat bahwa indikasi upwelling di terjadi pada sekitar bulan juni, juli, dan agustus, ditandai dengan meningkatnya tingkat kesuburan perairan berupa klorofil dan turunnya suhu permukaan pada saat yang bersamaan (indikasi bahwa massa air yang dingin berasal dari perairan yang lebih dalam). Pola laju tangkapan ikan pelagis bulanan di Teluk Tomini terlihat meningkat pada bulan Agustus sampai dengan Oktober, hal ini menunjukkan adanya jeda antara terjadinya upwelling dengan peningkatan laju tangkapan ikan pelagis yang didaratkan oleh nelayan.
Daftar PustakaAmri K, Suwarso, dan Herlisman. 2005. Dugaan Upwelling berdasarkan
analisa komparatif Citra sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a di perairan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.11. No.6. BRKP.DKP. 57–71p.
Anonimous. 1999. Report of a workshop on the fishery and the management of Bali sardinella (sardinella lemuru) in Bali strait, Denpasar, Bali, Indonesia, 6–8 April 1999. FAO, Rome.
-----------. 2006. FMEL Climate and Marine Fisheries: Climate Variability & Marine Fisheries. http://pfeg.noaa.gov/research/climatemarine/cmffish/ cmffishery.html. Diunduh tanggal [16 Maret 2011].
Arinardi OH et al. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI.
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini
162
Awwaluddin, Suwarso, Setiawan R. 2005. Distribusi-kelimpahan dan Struktur komunitas plankton pada musim timur di perairan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap (PRPT), Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Vol.11. No.6. 33–56p.
Brander KM. 2007. Global fish production and climate change. Proceedings of the National Academy of Sciences 2007.
Burhanuddin, Supangat A, Wagey T (Eds.). 2004. Profil Sumber Daya Kelautan Teluk Tomini. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Mann KH, Lazier JRN. 1991. Dynamics of Marine Ecosystem: Biological-Physical Interactions in the Ocean. Boston: Blackwell Scientific Publication.
Ningsih NS, Berlianty D, Latief H, Frida. 2003. Peningkatan Informasi Peta Fishing Ground Melalui Integrasi dan Kalibrasi/Validasi Model 3D Hidrodinamika. Laporan Intrerim. PS Oseanografi – ITB dan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Suwarso, Herlisman, dan Wudianto. 2005. Karakteristik fisik massa air perairan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.11. No.6. BRKP.DKP. 17–31p.
Syamsudin F. 2004. Mencari Lokasi “Upwelling”. Artikel ilmiah Harian Kompas Senin, 02 Februari 2004.
Wiadnyana NN. 1998. Distribusi dan Variasi Pigmen Fitoplankton di Teluk Tomini, Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Kelautan LIPI-UNHAS ke-1: 248–259.
Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. The University of California, Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California. Naga Rep. Vol 2: 1–195.