Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word
-
Upload
david-jones -
Category
Presentations & Public Speaking
-
view
28 -
download
1
Transcript of Status ontologis (eksistensi) kejahatan on. word
Status Ontologis
(Eksistensi) Kejahatan
(Kritik Agustinus atas Ajaran Manikheisme
dan Pandangannya Mengenai Eksistensi
Kejahatan)
Dalam kehidupan di dunia ini manusia mengenal adanya
kebaikan dan kejahatan. Keduanya sering disebut sebagai nilai-
nilai moral yang berlaku secara universal. Perdebatan akan
nilai-nilai moral mulai muncul dewasa ini. Ada yang
menganggapnya sebagai nilai-nilai yang bersifat universal,
relatif, dan ada pula yang berpendapat bahwa nilai-nilai moral
tersebut hanyalah bentukan dari konsensus belaka. Perdebatan
tersebut merupakan perdebatan dalam tataran logika manusia.
Dalam sudut pandang agama, kebaikan dipandang sebagai ciri
khas sifat dari Allah. Maka dari itu segala sesuatu yang
dipandang memiliki nilai baik, merupakan manifestasi dari sifat
Allah tersebut.
Perdebatan akan nilai-nilai moral tersebut telah dimulai
sejak abad ke-4 SM. Dimana para filsuf Yunani telah mulai
memperbincangkannya dan mulai mencari prinsip-prinsip dasar
atas moralitas tersebut. Persoalan mengenai nilai-nilai moral itu
berlangsung hingga zaman kita sekarang. Dan mungkin akan
terus menjadi salah satu tema menarik yang diperdebatkan
sepanjang masa.
Tulisan ini menampilkan perdebatan akan nilai-nilai moral
tersebut yang terjadi pada abad ke-4, dimana Agustinus hidup
1
pada zaman itu. Isi tulisan ini hendak memaparkan perdebatan
nilai-nilai moral yang terjadi antara kaum Manikheisme dengan
Agustinus. Tekanan dari tulisan ini adalah sanggahan Agustinus
pada ajaran kaum Manikheisme tentang eksistensi kejahatan.
Dengan segala daya dan upayanya, Agustinus berusaha mencari
status dari adanya kejahatan.
Sistematika tulisan ini adalah pertama-tama penulis akan
memaparkan pergulatan batin Agustinus dalam usahanya
mencari status keberadaan dari kejahatan. Alasan penulis
menyertakan pergulatan batin Agustinus adalah bahwa proses
pencarian tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Agustinus
bahkan sampai pada titik kecemasan yang tidak membawa hasil.
Namun dari kecemasan itu, Agustinus justr mampu menemukan
jawab atas pencariannya itu. Setelah memaparkan pergulatan
batin Agustinus, penulis akan mulai memaparkan ajaran kaum
Manikheisme yang ditentang oleh Agustinus. Setelah itu penulis
baru akan memaparkan pemikiran atau pendapat Agustinus
secara pribadi mengenai status keberadaan kejahatan. Berikut
penulis akan mulai memaparkan pergulatan batin Agustinus
dalam mencari hakekat kejahatan.
Perguatan Batin Agustinus
Dalam Confessiones kitab VII pasal 3.4 mulai ditampakkan
pergulatan Agustinus akan eksistensi kejahatan. Perulatan itu
tampak jelas dalam wujud pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
Agustinus mengenai hakikat kejahatan. Berikut merupakan
kutipan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh
Agustinus:
“Akan tetapi, aku lalu berkata lagi, “Siapakah yang telah membuatku?
Bukankah Allahku yang tidak hanya baik, tetapi yang merupakan
kebaikan itu sendiri? Dari mana lalu di dalam diriku yang jahat dan
tidak kukehendaki yang baik? Apakah supaya ada alasan untuk
2
hukuman yang kutanggung dengan adilnya? Siapakah yang
menempatkannya dalam diriku dan menanam dalam diriku
persemaian kegetiran itu, sedangkan aku dibuat seutuhnya oleh
Allahku yang sangat manis? Seandainya iblislah pelakunya, dari mana
iblis itu? Jika dia pun, karena kemauan yang sesat, dari malaikat baik
menjadi iblis, dari manakah dalam dirinya pula kehendak jahat yang
kemudian membatnya iblis, sebab ia dijadikan malaikat seutuhnya
oleh Pencipta yang sangat baik itu?”1
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, nampaknya
mustahil bagi manusia untuk sampai pada jawaban yang
memuaskan tentang hakikat kejahatan. Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan menjadi misteri bagi
manusia yang sulit untuk dipecahkan. Hal itulah yang memang
dialami oleh Agustinus. Ia pun juga sampai pada tahap
kecemasan mencari jawab atas permasalahan tersebut. Pada
Confessiones kitab VII pasal 7.11, Agustinus dengan jelas
menyatakan kegelisahannya dalam usaha pencarian yang
tampaknya tak berujung itu:
“jadi, sementara semua pasal itu tersimpan dengan aman kuat tak
terguncangkan dalam batinku, aku mencari dengan gelisah dari mana
yang jahat itu. Betapa besar siksaan yang diderita hatiku yang sedang
melahirkan! Betapa keluhnya! Telinga-Mu ada, tetapi aku tak tahu.”2
Dari kutipan di atas dengan jelas menyatakan bahwa
Agustinus sampai pada titik batas pencariannya akan eksistensi
kejahatan yang tak kunjung usai. Ia pun tampaknya mulai
merasa lelah dan mulai putus asa. Dari titik ini, suatu lompatan
terjadi. Kecemasan tersebut ternyata membawa suatu pengaruh
yang menyelamatkan. Pandangannya mengenai kejahatan mulai
mendapat suatu titik cerah. Ia lalu mulai membaca tulisan-
tulisan para filsuf Neo-Platonis. Setelah membaca tulisan-tulisan
1 Agustinus: Pengakuan-pengakuan, (diterjemahkan dari buku Confessiones oleh Winarsih Arifin dan Dr. Th. Van den End), Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 183-184.
2 Ibid, hal. 191.
3
para filsuf Neo-Platonis, Agustinus mulai mendapatkan suatu
pencerahan/titik terang akan permasalahan yang sedang
dipecahkannya. Tulisan-tulisan para Neo-Platonis pun pada
akhirnya juga mempengaruhi gaya berfilsafatnya.
Argument Agustinus mengenai eksistensi kejahatan akan
dibahas setelah penulis memaparkan ajaran-ajaran dari kaum
Manikheisme. Guna mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang pemikiran Agustinus mengenai status
ontologis kejahatan, kita harus lebih dulu mengenal ajaran kaum
Manikheisme. Ajaran tentang status ontologis kejahatan kaum
Manikheisme menjadi titik tolak pemahaman barunya akan
status eksistensi kejahatan.
Aaran Kaum Manikheisme Mengenai Eksistensi
Kejahatan
Sebelum memasuki ajaran Manikheisme tentang
eksistensi kejahatan, penulis akan memperkenalkan terlebih
dahulu apa itu Manikheisme. Manikheisme adalah sebuah
agama. Agama Manikheis didirikan oleh Mani (216-277).
Manikheisme adalah agama kitab. Menurut ajaran itu, pada
awal mula ada dua zat atau kerajaan yang masing-masing terdiri
dari lima bagian. Yang satu adalah zat atau kerajaan terang,
yang baik. Dan yang bertentangan dengannya adalah zat atau
kerajaan kegelapan, yang jahat. Diceritakan terjadi peperangan
antara kedua kerajaan itu. Dalam peperangan ituunusr-unsur
terang (Allah) tercampur dengan zat kegelapan, artinya diserap
oleh materi, oleh kegelapan.
Peristiwa tersebut sebenarnya hendak menjelaskan
kenyataan dunia ini, dimana yang baik, tercampur oleh yang
jahat. Manusia menjadi medan laga pertempuran itu. Dan dalam
keadaan itu, manusia diwajibkan membantu pihak terang,
dengan cara membebaskan unsur-unsur terang yang tertawan
4
dalam dirinya. Usaha pembebasan itu dilakukan dengan
melakukan pertarakan diantaranya pantang makan daging,
menjauhi ketidakjujuran, sumpah dan juga kehidupan mewah.
Setelah mengenal apa itu Manikheisme, pada bagian berikutnya
penulis akan mulai memaparkan ajaran kaum Manikheisme
mengenai eksistensi kejahatan.
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, ajaran
Manikheisme mengenai eksisensi kejahatan berlandaskan pada
ajaran utamanya mengenai dua kerajaan (terang dan gelap)
yang membentuk realitas. Kerajaan terang dipimpin oleh Allah
yang baik, sedangkan kerajaan kegelapan dipimpin oleh Allah
yang jahat. Dengan demikian, Manikheisme menganggap bahwa
ada dua Allah yang membentuk realitas.
Bagi kaum Manikheisme kebaikan bersumber dari Allah
yang baik, sedangkan kejahatan bersumber dari Allah yang
jahat. Latar belakang pemikiran ini adalah pandangan kaum
Manikheisme yang begitu materialistis. Kejahatan dan kebaikan
dianggap sebagai suatu substansi. Substansi kebaikan dan
substansi kejahatan saling bertempur dalam diri manusia.
Manusia diwajibkan untuk membantu kerajaan terang dengan
cara membebaskan unsur-unsur terang yang tertawan dalam
dirinya. Demikianlah usaha kaum Manikheisme untuk
menjelaskan adanya kebaikan dan kejahatan yang ada dalam
dunia ini. Pada bagian berikutnya penulis akan mulai masuk
pada pemikiran Agustinus mengenai eksistensi kejahatan.
Pandangan Agustinus Mengenai Eksistensi
Kejahatan
Pandangan Agustinus mengenai eksistensi kejahatan,
dimulai dengan kritiknya atas ajaran kaum Manikheisme.
Tanggapan Agustinus atas ajaran kaum Manikheisme banyak
didasari oleh pandangan Kitab Suci. Agustinus menolak ajaran
5
kaum Manikheisme bahwa kejahatan hanyalah sebuah
substansi. Agustinus berpendapat bahwa: jika kejahatan
hanyalah sebuah substansi maka kejahatan itu pada hakikatnya
adalah baik. Argumen Agustinus ini bertitik tolak dari ajaran
Kitab Suci bahwa Allah merupakan pencipta dari segala
substansi yang ada. Pandangan Kitab Suci menyatakan bahwa
segala sesuatu yang ada adalah baik adanya. Dengan demikian,
jika yang jahat itu adalah sebuah substansi maka yang jahat itu
pada hakikatnya adalah baik adanya.
Mengenai masalah eksistensi kejahatan, Agustinus
menyatakan bahwa kejahatan sebenarnya tidak memiliki
eksistensi (tidak ada). Bagi Agustinus kejahatan hanyalah the
absence of the good that should be there. (ketiadaan kebaikan
yang seharusnya ada). Pandangan ini tentu juga berdasar atas
pandangan Kitab Suci, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada
adalah baik adanya. Dengan demikian yang ada hanyalah
kebaikan, karena eksistensi kebaikan berasal dari Allah sendiri
yang menciptakan segala sesuatu. Kejahatan tidak memiliki
dasar eksistensinya, dengan demikian kejahatan dinilai tidak
bereksistensi (tidak ada). Kejahatan hanyalah pengurangan
kebaikan yang bersumber dari kehendak bebas manusia.
Bagi Agustinus asal muasal kejahatan adalah adanya
kehendak bebas dalam diri manusia. Dengan adanya kehendak
bebas, manusia bisa menentukan sendiri arah hidupnya. Ingin
mengarahkan diri pada kebaikan (Allah) atau berpaling dari
Allah ke hal-hal yang bersifat duniawi. Bagi Agustinus, inilah
patokan atas baik dan buruk, yaitu Allah sendiri. Segala sesuatu
dikatakan baik jika semakin mendekati Allah, dan sebaliknya,
segala sesuatu dikatakan buruk jika semakin jauh dari Allah
yang menjadi sumber dari segala sesuatu.
6
Agustinus mengkategorikan kejahatan ke dalam dua
bagian, yaitu: kejahatan moral dan kejahatan fisik. Kejahatan
moral berkaitan erat dengan kehendak bebas manusia. Disebut
sebagai kejahatan karena manusia, dengan kebebasannya, lebih
memilih menjauhkan diri dari kehendak Allah dan cenderung
mengikatkan diri pada hal-hal duniawi.
Dalam artian yang lain, kejahatan moral adalah
ketidaktaatan kehendak bebas pada Natural Law (hukum
kodrat). Kehendak bebas pada dasarnya harus diatur oleh akal
budi manusia yang merupakan manifestasi dari hukum abadi
(hukum Tuhan). Hukum kodrat mendorong manusia untuk
melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan. Dengan
demikian kehendak bebas hendaknya diarahkan pada kebaikan
(Tuhan). Dengan adanya pengaturan akal budi atas kehendak
bebas, menjadikan manusia sebagai inividu yang lebih
bertanggung jawab atas kebebasannya.
Kejahatan fisik menurut Agustinus adalah ketiadaan
secara material dari sesuatu yang seharusnya ada pada suatu
benda atau individu. Sebagai contohnya adalah orang buta.
Kebutaan dianggap sebagai kejahatan, karena adanya
kekurangan dari sesuatu yang seharusnya ada, yaitu
penglihatan. Contoh lain adalah orang yang tidak memiliki
tangan (cacat). Keadaan fisiknya yang tidak punya tangan juga
dinilai sebagai kejahatan, karena adanya kekurangan dari
sesuatu yang seharusnya ada, yaitu tangan manusia. Kejahatan
fisik sebenarnya berhubungan erat dengan term harmoni.
Dimana segala sesuatu yang harmonis harus berada pada fungsi
dan perannya. Kejahatan fisik mengandaikan ketiadaan harmoni
dalam suatu benda atau individu yang memiliki kekurangan
(kejahatan fisik).
7
Dari dua bentuk kejahatan yang dikemukakan di atas
(kejahatan moral dan kejahatan fisik), yang dianggap Agustinus
sebagai murni jahat adalah kejahatan moral. Dianggap sebagai
kejahatan karena dilakukan secara aktif oleh manusia. Manusia
menggunakan kehendak bebasnya untuk menolak taat pada
kehendak Tuhan dan lebih suka memalingkan diri kepada hal-
hal yang lebih bersifat duniawi dan materialistis.
Kesimpulan
Evil doesn’t exist. (kejahatan itu tidak ada). Kejahatan
hanya dimaknai sebagai kekurangan dari kebaikan. Kejahatan
yang merupakan kekurangan dari kebaikan berasal dari
kehendak bebas manusia. Kejahatan diklasifikasikan menjadi
dua bagian yaitu kejahatan moral dan kejahatan fisik. Namun
demikian yang merupakan murni kejahatan adalah kejahatan
moral. Adanya kejahatan moral disebabkan kehendak bebas
yang tidak taat pada Natural Law (Hukum Kodrat).
David Jones Simanungkalit
8