SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN BERBELASKASIH SEBAGAI … · 2018. 3. 26. · kepemimpinan religius pun...
Transcript of SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN BERBELASKASIH SEBAGAI … · 2018. 3. 26. · kepemimpinan religius pun...
SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN BERBELASKASIH
SEBAGAI DASAR KEPEMIMPINAN DALAM KARYA DAN PERUTUSAN
PARA PEMIMPIN KONGREGASI FRATER SANTA PERAWAN MARIA
BUNDA YANG BERBELASKASIH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh :
Donatus M.S. Naikofi NIM : 021124022
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Kongregasi Frater Santa Perawan Maria Bunda Yang Berbelaskasih,
konfraters komunitas Mgr. Zwijsen Yogyakarta,
papa, mama, kakek, nenek, kakak, adik, tanta, om
teman-teman angkatan, sahabat kenalan
dan semua yang telah berperan dalam hidupku
atas cinta dan perhatian yang menyapa dan meneguhkanku.
v
MOTTO
"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan;
jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu."
(Lukas 1: 38)
vi
vii
viii
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN BERBELASKASIH SEBAGAI DASAR KEPEMIMPINAN DALAM KARYA DAN PERUTUSAN PARA PEMIMPIN KONGREGASI FRATER SANTA PERAWAN MARIA BUNDA YANG BERBELASKASIH. Judul ini dipilih dengan tujuan memberikan sumbangan pemikiran kepada seluruh anggota khususnya para Pimpinan Kongregasi Frater CMM agar semakin mendalami dan menghayati Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih dalam menjalankan karya perutusan masing-masing.
Persoalan pokok yang dibicarakan dalam skripsi ini adalah Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih yang bagaimana yang dapat menjadi dasar kepemimpinan dalam karya dan perutusan para pemimpin dalam Kongregasi Frater CMM. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif-analitis. Penulis juga mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas yang diterbitkan kongregasi dan sumber-sumber lain yang relevan agar dapat memahami dan mendalami Spiritualitas Persaudaraan Belaskasih dan menjawab permasalahan tentang kepemimpinan dalam Kongregasi Frater CMM.
Dalam rangka menjawab permasalahan dan mewujudkan kepemimpinan berdasarkan Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih, penulis mengusulkan pendalaman Spiritualitas Kongregasi dengan menggunakan pendekatan katekese model Shared Christian Praxis. Pendekatan ini sangat efektif karena pusat dari katekese adalah pengalaman peserta. Pengalaman peserta ini akan dikonfrontasikan dengan tradisi dan visi kristiani untuk mencapai sebuah keterlibatan baru dalam mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah.
ix
ABSTRACT
This thesis is entitled the Spirituality of Merciful Brotherhood as the
foundation of Leadership in the work and the delegation of Brother Our Lady Mother of Mercy Congregation Leaders. This title was chosen with the purpose to contribute some thoughts to all members, especially the Leaders of CMM Congregation in order to enable them to deepen and full comprehend the Merciful Brotherhood Spirituality in their own delegation work.
The main problem in this thesis discusses what kind of Merciful Brotherhood Spirituality can serve as the foundation of leadership in their work and the delegation of the leaders in CMM Brother Congregation. The descriptive-analytic method is applied on this thesis. The writer also studies spirituality books published by the Congregation and other relevant sources in order to fully comprehend the Merciful Brotherhood Spirituality and answer the leadership problem in CMM Brother Congregation.
To answer this problem and to incarnate the leadership based on Spirituality of Merciful Brotherhood, the writer proposes the participants deepen the Spirituality of Congregation using Catecheses Shared Christian Praxis approaches. This approach is very effective because the participants experience becomes the center of these catecheses. The participants experience will be confronted to the tradition and Christian vision to achieve a new complicity in bringing the value of God Kingdom into reality.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur berlimpah kepada Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus karena
kasih dan penyertaan-Nya sejak awal penulisan hingga penyelesaian skripsi dengan
judul SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN BERBELASKASIH SEBAGAI
DASAR KEPEMIMPINAN DALAM KARYA DAN PERUTUSAN PARA
PEMIMPIN KONGREGASI FRATER SANTA PERAWAN MARIA BUNDA
YANG BERBELASKASIH. Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk
memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan kepada seluruh anggota
khususnya para Pimpinan Kongregasi Frater CMM agar semakin mendalami dan
menghayati Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih dalam menjalankan karya
perutusan masing-masing. Selain itu skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat peneguhan, bantuan
dan sumbangan baik moral maupun moril dari berbagai pihak demi penyelesaian
skripsi ini. Untuk itu dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang tulus kepada:
1. Dr. J. Darminta, SJ., selaku dosen pembimbing utama yang dengan sabar dan
penuh cinta memberikan perhatian, meluangkan waktu dan seluruh diri,
memberikan wawasan dan masukan sehingga penulis termotivasi dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
xi
2. P. Banyu Dewa HS, S.Ag., M.Si. selaku dosen penguji yang selalu mengajak
bekerjasama dan memberikan perhatian bagi penulis.
3. Drs. F.X. Heryatno W.W., SJ., M.Ed. selaku dosen wali dan penguji yang penuh
kesabaran mendampingi dan memotivasi penulis.
4. Para Staf Dosen Prodi IPPAK-JIL, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma, yang telah mendampingi dan membagikan
pengetahuan, pengalaman, pelayanan dan cinta kepada penulis selama menjalani
masa studi hingga selesai.
5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, serta seluruh karyawan
yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis.
6. Konfraters dan Kongregasi Frater CMM yang telah memberikan perhatian,
kepercayaan dan cinta kepada penulis untuk melaksanakan studi ini.
7. Sahabat-sahabat yang selalu memotivasi, memberikan bantuan dengan cinta dan
bersama-sama berjuang dalam suka maupun duka mencapai cita-cita yang
kuinginkan.
8. Papa, Mama, kakak, adik dan sanak keluarga yang memberikan peneguhan, cinta
dan perhatian yang tulus sehingga penulis dengan sabar mau menjalani tugas
studi ini walaupun harus melewati tantangan yang berat.
9. Semua pihak yang dengan caranya sendiri telah memberikan sumbangan yang
berharga selama penulis melaksanakan studi dan dalam penyelesaian skripsi ini.
xii
Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik dari
pembaca demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap, skripsi ini dapat bermanfaat,
memberikan ide dan sumbangan pemikiran tentang kepemimpinan berdasarkan
semangat Persaudaraan Berbelaskasih.
Yogyakarta, 31 Juli 2009
Penulis,
Donatus M.S. Naikofi
xiii
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. ii
PENGESAHAN ............................................................................................ iii
PERSEMBAHAN .......................................................................................... iv
MOTTO .......................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................................... vii
ABSTRAK .................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvi
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Penulisan Skripsi .................................................... 1
B. Rumusan Permasalahan ................................................................... 7
C. Tujuan Penulisan ............................................................................. 7
D. Manfaat Penulisan ........................................................................... 8
E. Metode Penulisan ............................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 8
BAB II. SEKILAS TENTANG KONGREGASI FRATER CMM ............... 11
A. Sejarah Berdirinya Kongregasi Frater CMM ................................. 11
1. Riwayat Hidup Pendiri ................................................................ 11
a. Menjadi Imam ......................................................................... 11
b. Menjadi Uskup ....................................................................... 12
2. Pendirian Kongregasi .................................................................. 14
a. Latar Belakang Pendirian Kongregasi .................................... 14
b. Tujuan Pendirian Kongregasi ................................................. 15
B. Spiritualitas Kongregasi Frater CMM .............................................. 16
xiv
1. Motto Pendiri “Mansuete et Fortiter” ........................................ 16
2. Religiusitas Mgr. Zwijsen .......................................................... 18
3. Pelindung Kongregasi ................................................................ 20
a. Bunda Maria .......................................................................... 20
b. Santo Vinsensius a Paulo ..................................................... 21
4. Spiritualitas “Persaudaraan Berbelaskasih” ............................... 23
a. Persaudaraan Berbelaskasih .................................................. 23
b. Sifat Radikal Karya Belaskasih ............................................ 25
c. Mengikuti Teladan Sang Belaskasih ..................................... 26
5. Hidup dalam perhimpunan ......................................................... 28
a. Komunitas ............................................................................. 28
b. Komunitas Tempat Sharing dan Menimba Kekuatan ............ 29
c. Komunitas sebagai Tempat Membangun Kerajaan Allah....... 30
d. Persaudaraan Seluas Dunia lewat Karya ............................... 30
BAB III. KEPEMIMPINAN RELIGIUS DALAM SUDUT PANDANG KRISTIANI ............................................................... 32
A. Kepemimpinan ................................................................................. 33
1. Pengertian Kepemimpinan .......................................................... 33
2. Fungsi Kepemimpinan ................................................................ 35
3. Prinsip-prinsip Kepemimpinan .................................................. 37
B. Kepemimpinan Religius .................................................................. 38
1. Menurut KHK ............................................................................. 38
2. Menurut Kitab Suci ..................................................................... 42
3. Karakteristik Kepemimpinan religius ........................................ 46
C. Kepemimpinan dalam Kongregasi Frater CMM ............................. 49
1. Kepemimpinan di tingkat Umum ................................................ 50
2. Kepemimpinan di tingkat Provinsi .............................................. 51
3. Kepemimpinan di tingkat Komunitas .......................................... 52
D. Situasi dan Tantangan Kepemimpinan Religius .............................. 53
1. Tantangan Modernisasi dan Teknologi ....................................... 53
xv
2. Tantangan Berkaitan dengan Pemimpin Religius Masa Kini ................................................................................... 54
3. Tantangan bagi Kongregasi ......................................................... 57
BAB IV. PENDALAMAN DAN PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN PERSAUDARAAN BERBELASKASIH YANG DIHARAPKAN DALAM KONGREGASI FRATER CMM MELALUI KATEKESE ..................................... 60
A. Kepemimpinan dan Sikap ................................................................ 61
1. Cinta kepada sesama ................................................................... 61
2. Memiliki Cita-cita ....................................................................... 62
3. Rendah Hati ................................................................................. 62
4. Setia pada Kebenaran .................................................................. 63
B. Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih
sebagai Dasar kepemimpinan ........................................................... 63
1. Tergerak untuk Berbelaskasih .................................................... 63
2. Yesus sebagai Teladan Belaskasih .............................................. 65
3. Membangun Kerajaan Allah ....................................................... 67
4. Menginspirasikan Lima Keutamaan St. Vinsensius a Paulo......... 68
a. Kepolosan Hati ....................................................................... 68
b. Kerendahan Hati ..................................................................... 70
c. Lemah Lembut ........................................................................ 71
d. Mati Raga ............................................................................... 73
e. Semangat Menyelamatkan Jiwa-jiwa ..................................... 75
5. Menimba Semangat Kesederhanaan Menurut Mgr. Zwijsen ...... 76
a. Kesederhanaan adalah Buah Kerendahan hati ........................ 78
b. Kehidupan Religius menuju Kesederhanaan .......................... 79
c. Bertindak tanpa Pamrih .......................................................... 81
d. Bukan Aku melainkan Kristus dalam Diriku ......................... 83
C. Katekese Shared Christian Praxis Sebagai Salah satu Upaya Memperdalam Penghayatan Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih Para Pemimpin ........................................................ 84
xvi
1. Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis Sebagai Model Berkatekese ................................................................................ 84
2. Komponen Shared Christian Praxis ............................................ 88
a. Praksis ..................................................................................... 88
b. Kristiani .................................................................................. 88
c. Shared ..................................................................................... 89
3. Langkah-langkah dalam Shared Christian Praxis ....................... 90
a. Langkah Pertama : Pengungkapan pengalaman faktual ........... 91
b. Langkah Kedua : Refleksi kritis terhadap pengalaman faktual ................................................................................. 91
c. Langkah Ketiga : Mengusahakan supaya tradisi dan Visi Kristiani lebih terjangkau .................................... 92
d. Langkah Keempat : Interpretasi dialektis antara praksis dan visi peserta dengan visi dan Tradisi Kristiani .............. 92
e. Langkah Kelima : Keterlibatan baru demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah ................................................... 93
4. Pemilihan Rekoleksi SCP sebagai Model Berkatekese ............. 94
a. Alasan Pemilihan Rekoleksi SCP sebagai Model Berkatekese ............................................................................. 94
b. Maksud dan Tujuan Program ................................................. 95
c. Pedoman Pelaksanaan Program .............................................. 95
d. Materi Pokok Rekoleksi .......................................................... 96
e. Matrik Program Rekoleksi dengan Model SCP ...................... 97
f. Contoh Persiapan Rekoleksi dengan Model SCP ................... 101
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 117
B. Saran .............................................................................................. 119
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 120
xvii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Singkatan-singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan
kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama
Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984, hal. 8).
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
KHK: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus
Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1965.
VC: Vita Consecrata, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang
Hidup Bakti Bagi Para Religius
C. Singkatan Lain
Art: Artikel
Bag: Bagian
CMM: Congregatio Matris Misericordiae
HP: Handphone
Indo: Indonesia
Kan: Kanon
Kap: Kapitel
Konst: Konstitusi
Lap: Laporan.
xviii
Mgr: Monseigneur
PA: Pembicaraan Akrab
Prov: Provinsi
SCP: Shared Christian Praxis
SJ : Serikat Jesus
St: Santo
SV: Surat St. Vinsensius
TV: Televisi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENULISAN SKRIPSI
Perkembangan zaman ini menghasilkan budaya-budaya besar yang
mewarnai perubahan dunia dan perkembangannya antara lain hedonisme,
materialisme, konsumerisme. Munculnya budaya ini mempengaruhi perkembangan
mental dan kepribadian manusia zaman ini. Pola hidup, pola berpikir, pola merasa
dan pola bertindak diatur berdasarkan kehendak tawaran-tawaran yang ada. Maka
tidak heran bahwa corak kehidupan religius manusia perlahan-lahan bergeser dan
sulit diterima oleh zaman sekarang. Humanisme manusia semakin berkembang,
sehingga hidup berimanpun cenderung humanistic, percaya pada psike manusia dan
dapat terjadi kurang memperhatikan rahmat bahkan lebih mudah mengerti dunia
batin manusia (Mardiprasetya: 2001: 11).
Perkembangan zaman dan modernisasi membawa perubahan dan kemajuan
yang pesat serta menghadapkan manusia pada tantangan-tantangan dan krisis dalam
berbagai bidang kehidupan diantaranya dalam kehidupan religius. Tahun-tahun
terakhir ini dunia mengalami krisis kepemimpinan sehingga para pemimpin
mendapat sorotan dari dunia dan masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa kualitas
kepemimpinan sangat merosot. Banyak pemimpin dihadapkan ke pengadilan karena
gaya kepemimpinannya tidak ditandai oleh kasih dan semangat roh. Praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela. Kepemimpinan yang
mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, kepemimpinan digunakan
sebagai kesempatan mengejar kedudukan, kekuasaan dan segala sesuatu yang
2
bersifat duniawi. Perkembangan politik dengan praktek yang menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan menumbuhkan tindakan yang menyalahgunakan
kekuasaan pemimpin. Nilai-nilai dasar cinta kasih, semangat kebersamaan,
persaudaraan dan nilai-nilai rohani tidak mendapat perhatian dan diabaikan oleh
para pemimpin.
Musakabe (2005: xii – xiv) menegaskan krisis kepemimpinan yang sedang
dialami umat manusia, termasuk bangsa Indonesia, disebabkan sirnanya roh
kepemimpinan sejati dari sebagian pemimpin. Pemimpin tanpa roh adalah
kepemimpinan yang hanya tinggal menunggu waktu kejatuhannya karena tidak
mempunyai dasar dan pegangan yang kuat. Posisi pemimpin tanpa roh adalah
kepemimpinan seperti halnya tubuh tanpa jiwa dan semangat. Tidak heran gaya
kepemimpinan religius pun perlahan-lahan bergeser dan sulit diterima. Para
pemimpin terbawa arus perkembangan sehingga azaz dan nilai-nilai dasar yang
menjadi tujuan utama hidup religius perlahan-lahan luntur bahkan hilang.
Kepemimpinan religius yang berpusat pada Allah menjadi nomor dua. Kepentingan
pribadi dan kelompoknya menjadi yang utama. Para pemimpin religius pun terjebak
dalam gaya kepemimpinan otoriter dan mempersulit anggota yang dipimpinnya.
Penegasan Musakabe ini memberikan gambaran bahwa betapa pentingnya
semangat dan roh dalam sebuah kepemimpinan. Para pemimpin harus memperbaiki
jati diri kepemimpinannya, membaharui diri dan kembali pada roh kepemimpinan
sejati. Karena dengannya kepemimpinan menjadi bermakna, bernilai dan
menghasilkan kemajuan bersama dalam suatu kelompok atau negara. Kepemimpin
hendaknya tidak hanya dilihat dari segi kedudukan dan kekuasaan untuk mengejar
hal-hal duniawi tetapi lebih pada usaha melayani dan menyelamatkan orang.
3
Dalam Kongregasi Frater Santa Perawan Maria Bunda yang Berbelaskasih
dijumpai keprihatinan-keprihatinan menyangkut kepemimpinan. Pemimpin yang
dimaksudkan di sini adalah Dewan Pimpinan Provinsi, Dewan Pimpinan
Komunitas, dan para frater yang menjadi pemimpin di instansi-instansi tertentu.
Penulis menemukan gaya kepemimpinan yang tidak menunjukkan penghayatan
Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih sebagai semangat dasar yang ditanamkan
pendiri misalnya menggunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, kurangnya
komunikasi pimpinan dengan anggota yang bermasalah sehingga tidak ada
penyelesaian yang damai, dan sikap mempersalahkan sesama frater tanpa melihat
dan memperhatikan permasalahan yang sebenarnya. Keprihatinan juga terjadi
berkaitan dengan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan yang diambil
sering tidak memuaskan, menimbulkan keresahan dan kekecewaan bahkan sakit
hati bagi pribadi frater tertentu.
Pendiri Kongregasi Frater Santa Perawan Maria Bunda yang Berbelaskasih
yakni Mgr. Zwijsen secara tegas mengatakan dalam konstitusi: “hendaknya setiap
frater menaruh kepercayaan yang besar kepada Allah, bersikap sederhana dan
berbelaskasih. Dengan sederhana hati kita mengarahkan diri kepada satu-satunya
tujuan yakni menjadi pengikut Yesus Kristus” (Konst. Bag. I. Art. 44.46). Mgr.
Zwijsen mewariskan semangat atau spiritualitas ini kepada para pengikutnya dan
para pemimpin kongregasi agar memiliki hidup yang ditandai oleh iman yang teguh
kepada Allah, bersikap sederhana, berbelaskasih dan mengarahkan diri menjadi
pengikut Yesus yang setia sehingga setiap frater tampil sebagai saudara satu sama
lain dalam semangat belaskasih. Menurut Martasudjita (2001: 42) seorang
pemimpin harus belajar dari Yesus, dan tokoh-tokoh seperti Abraham, Musa, Daud,
4
Petrus, Paulus dan tokoh lainnya. Sehingga pemimpin mempunyai wawasan yang
luas tentang kepemimpinan; bahwa menjadi pemimpin berarti menjadi gembala
yang mengenal dan menyerahkan diri untuk domba-dombanya; mempunyai relasi
personal dan mendalam; seorang pemimpin adalah seorang pelayan; rela
mengosongkan dan merendahkan diri, dan menyadari bahwa tugas yang
diterimanya adalah pinjaman dan pemberian dari Tuhan. Darminta (2004: 15)
menegaskan: pemimpin perlu mengembangkan diri sebagaimana ia
mengembangkan anggotanya. Maka seorang pemimpin hendaknya mampu
merasakan bimbingan Allah lewat para anggota kongregasi secara menyeluruh
karena ia mengamati gerak Roh Allah dalam pribadi maupun kelompok.
Fenomena lain yang penulis temukan berkaitan dengan arus modernisasi,
gaya hidup konsumeristis dan materialistis yang banyak membawa tantangan dan
permasalahan yang harus dihadapi para frater dalam Kongregasi Frater Santa
Perawan Maria Bunda yang Berbelaskasih. Kaum religius saat ini menghadapi
gelombang paham materialisme yang mengarah pada pemujaan uang, dan
mengarah pada sifat konsumtif dan hedonistis. Paham materialisme mewartakan
corak hidup yang mengagungkan materi, khususnya kekayaan dan hal duniawi.
Bahasa materialisme adalah ungkapan-ungkapan yang meyakinkan, menciptakan
daya imajinasi, dan kenikmatan; bila menggunakan itu dan ini saya akan lebih OK
dan hidup akan terasa lebih menyenangkan dan membahagiakan. Memiliki HP, TV
dan sarana yang mewah adalah kebahagiaan itu sendiri. Hidup para frater
menampilkan satu sisi hidup yang mudah tenggelam dalam tawaran-tawaran
kenikmatan yang ada. Cenderung untuk mencari kesenangan-kesenangan lewat
sarana-sarana mewah yang ada atau berusaha mencarinya.
5
Penghayatan terhadap Spiritualitas Kongregasi semakin menurun sebagai
akibat dari hadirnya kenikmatan-kenikmatan duniawi, sarana telekomunikasi
modern dan mewah. Manusia baik yang awam maupun yang religius tidak terlepas
dari dunia dan perkembangannya. Ketika perkembangan ini tidak diimbangi dengan
upaya mempertimbangkan dengan hati nurani hal-hal yang datang dalam hidup
manusia religius tersedot dalam perangkap budaya hedonisme. Penghayatan
Spiritualitas dan penghayatan ketiga kaul kebiaraan (kaul kamurnian, kemiskinan
dan ketaatan) yang dijanjikan dalam hidup membiara hanyalah sebuah slogan beku
yang tak berarti. Tidak jarang kaum religius jatuh dalam hal-hal yang membawa
kenikmatan dan kepuasan. Para pemimpin menjadi orang yang lupa diri, lupa pada
martabat pribadinya, lupa pada kaul-kaul yang harus dihayati, lupa nasehat Injil,
lupa pada Kharisma dan Spiritualitas Kongregasi.
Paus Yohanes Paulus II dalam naskah Apostolik Vita Consecrata 25 Maret
pada pesta Kabar Gembira kepada Bunda Maria : mengingatkan bahwa betapa besar
dan luhurnya anugerah panggilan hidup bakti. Hal hakiki yang paling penting dalam
hidup membiara adalah hidup dalam kasih Allah. Paus Yohanes Paulus II
mengharapkan kaum religius berusaha lebih setia dalam mengikuti Yesus dengan
menjalankan nilai-nilai kaul dalam hidup, karena hal itu menjadi kesaksian yang
sungguh hidup dan dapat mengalirkan rahmat dan pengharapan bagi banyak orang.
Penghayatan Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih dalam Kongregasi
Frater CMM dari waktu ke waktu perlu dipendalam secara terus-menerus agar para
pemimpin dan setiap anggota kongregasi mampu melaksanakan karya dan
perutusannya sesuai kehendak Allah. Oleh karena itu diperlukan latihan, dan
perjuangan untuk mencapai kematangan rohani, sehingga tidak mudah terjerumus
6
dalam perangkap situasi zaman modern, tetapi bersemangat kuat dan teguh berjalan
dalam gerakan belaskasih. Mgr. Zwijsen menegaskan bahwa Allah tetap setia
kepada kita; kita berani memulai lagi satu dengan yang lain, ikut membangun suatu
dunia yang terarah kepada Allah; dan dengan segenap hati kita menyerahkan hidup
kita kepada-Nya. Dengan demikian kita mengalami bahwa kita berada dalam tangan
dan pimpinan Allah yang setia dan mencintai kita (Konst. Bag. I. Art. 315 – 316).
Untuk itu peran dan kehadiran seorang pemimpin yang bersemangat
Persaudaraan Berbelaskasih sangat diharapkan untuk memberikan motivasi, dan
kesaksian hidup bagi setiap frater sehingga dapat hidup dan berkembang sesuai
dengan Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih. Mengenai kepemimpinan yang
berkaitan dengan dunia sekarang Darminta (2005: 50) menegaskan :
Mengingat besarnya tantangan dalam berbagai bidang antara lain bidang sosial, ekonomi, ilmu dan teknologi, dan khususnya budaya hidup manusia modern yang mengarah kepada pemenuhan rasa puas dan kenikmatan atau hedonisme, konsumerisme, serta budaya instant, sangat diharapkan seorang pemimpin yang transformatif yang mampu memotivasi dan mengadakan pembaruan atau perubahan hidup secara positif. Dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu mendampingi mereka agar dapat bersikap kritis, dan mampu mengembangkan keutamaan dalam hidupnya.
Atas keprihatinan-keprihatinan kepemimpinan yang ada dalam kongregasi
dan keyakinan bahwa dengan menghayati dan mendalami Spiritualitas
Persaudaraan Berbelaskasih para pemimpin dalam Kongregasi Frater CMM akan
dapat melaksanakan karya dan perutusan sesuai dengan kehendak Allah dan
karisma pendiri maka judul skripsi yang penulis ambil adalah: SPIRITUALITAS
PERSAUDARAAN BERBELASKASIH SEBAGAI DASAR
KEPEMIMPINAN DALAM KARYA DAN PERUTUSAN PARA PEMIMPIN
KONGREGASI FRATER SANTA PERAWAN MARIA BUNDA YANG
BERBELASKASIH.
7
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Dari latar belakang di atas, dirumuskan beberapa pokok permasalahan
sebagai berikut:
1. Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih yang bagaimana yang dapat dijadikan
dasar kepemimpinan dalam karya dan perutusan para pemimpin Kongregasi
CMM?
2. Gambaran atau profil pemimpin seperti apa yang diharapkan dalam Kongregasi
Frater CMM?
3. Bagaimanakah seharusnya Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih dihayati
oleh para pemimpin Kongregasi Frater CMM?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Membantu para pemimpin Kongregasi Frater CMM mewujudkan Spiritualitas
Persaudaraan Berbelaskasih dalam karya dan perutusannya.
2. Memotivasi para pembaca dan para Pemimpin Frater CMM untuk
mengusahakan pembaharuan diri ke arah yang lebih baik sesuai Spiritualitas
Kongregasi.
3. Memberikan gambaran tentang penghayatan Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih dalam karya dan perutusan sebagai Pemimpin Kongregasi.
4. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata I Program Studi Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan
Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
8
D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Memperkaya pemahaman penulis tentang Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih dan kepemimpinan.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca secara khusus para
Pemimpin dalam Kongregasi Frater CMM agar menjadikan Spiritualitas
Persaudaraan Berbelaskasih sebagai dasar dalam karya dan perutusannya.
3. Membangun kesadaran para pembaca dan khususnya para pemimpin
Kongregasi Frater CMM untuk menampilkan nilai-nilai Spiritualitas
Persaudaraan Berbelaskasih dalam karya dan perutusannya.
E. METODE PENULISAN
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif-
analitis. Penulis akan mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas yang
diterbitkan kongregasi yang sangat membantu penulis dalam memahami arti
Spiritualitas Persaudaraan Belaskasih dan mengangkatnya sebagai sebuah
sumbangan bagi Kongregasi Frater CMM terutama para pemimpin. Penulis juga
akan menggunakan buku dari sumber lain yang relevan dan dapat dijadikan acuan
dalam menggarap dan mendalami skripsi ini.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan skripsi ini adalah:
BAB I menguraikan beberapa hal tentang latar belakang penulisan skripsi,
rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan skripsi.
9
BAB II memberikan gambaran sekilas tentang Kongregasi Frater CMM.
Pada bagian pertama akan diuraikan tentang sejarah berdirinya Kongregasi Frater
CMM dan riwayat hidup Mgr. Zwijsen. Pada bagian kedua akan diuraikan
Spiritualitas Kongregasi Frater CMM yakni Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih yang diawali dengan uraian mengenai motto pendiri, religiusitas
pendiri, Bunda Maria serta Santo Vinsensius a Paulo sebagai pelindung Kongregasi.
Pada bagian selanjutnya akan diuraikan beberapa poin tentang kehidupan Frater
CMM yang dihayati dalam perhimpunan sebagai tempat membangun Kerajaan
Allah, dan Persaudaraan seluas dunia.
BAB III bagian pertama dan kedua menguraikan pemikiran-pemikiran
tentang Kepemimpinan Religius dalam Sudut Pandang Kristiani yang akan
ditegaskan dalam beberapa poin mengenai Kepemimpinan, Kepemimpinan Religius
menurut Kitab Hukum Kanonik, menurut Kitab Suci dan karakteristik
kepemimpinan. Dalam bagian ketiga dan empat diuraikan Kepemimpinan dalam
Kongregasi Frater CMM dan akan dijelaskan juga tentang Situasi dan Tantangan
Kepemimpinan Religius masa kini.
BAB IV bagian pertama memberikan gambaran tentang usulan
pendalaman dan pengembangan kepemimpinan yang diharapkan dalam Kongregasi
Frater CMM. Berkaitan dengan hal ini akan diuraikan poin-poin tentang
kepemimpinan dan sikap seorang pemimpin yakni cinta kepada sesama, memiliki
cita-cita, rendah hati dan setia pada kebenaran. Selanjutnya pada bagian kedua akan
diuraikan juga tentang Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih sebagai dasar
kepemimpinan yang akan diupayakan dalam Kongregasi Frater CMM yakni
kepemimpinan yang sesuai dengan teladan Yesus yakni untuk membangun
10
Kerajaan Allah, kepemimpinan yang menginspirasikan keutamaan-keutamaan
Santo Vinsensius dan kepemimpinan dengan kesederhanaan hati menurut Mgr.
Zwijsen Pendiri Kongregasi Frater CMM. Pada bagian terakhir bab ini akan
diuraikan Katekese Shared Christian Praxis Sebagai Salah satu Upaya
Memperdalam Penghayatan Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih Para
Pemimpin dalam Kongregasi Frater CMM.
BAB V menguraikan dua pokok yakni kesimpulan dan saran.
BAB II
SEKILAS TENTANG KONGREGASI FRATER CMM
A. Sejarah Berdirinya Kongregasi Frater CMM
1. Riwayat Hidup Pendiri
Pendiri Kongregasi Frater CMM lahir pada tanggal 28 Agustus 1794, di
kampung Kerkdriel dengan nama Joannes Zwijsen. Ia anak laki-laki sulung dari
bapak Petrus Zwijsen dari istrinya yang kedua, Wilhelmina van Herpen. Joannes
menerima komuni pertama pada usia 11 tahun dan mengikuti pendidikan di Sekolah
Latin di Uden, Helmond di biara Norbertin Prancis (Leirop, 1993: 17).
a. Menjadi Imam
Zwijsen melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi tahun 1813-1817.
Beberapa catatan dari arsip seminari menunjukan bahwa Joannes Zwijsen termasuk
pandai, suka bernyanyi dan mempunyai kesalehan yang sehat (sangat menghormati
Bunda Maria). Joannes Zwijsen juga seorang pengkhotbah yang baik, mempunyai
kemampuan mengarang sedang, peka akan sejarah terutama sejarah Gereja.
Joannes Zwijsen ditahbiskan menjadi diakon di Jerman tanggal 19 Januari
1817. Pada tanggal 20 Desember 1817 ditahbiskan menjadi imam. Joannes Zwijsen
menjadi pastor pembantu di Paroki ‘t-Heike di Tilburg. Selain membantu di Paroki,
Zwijsen juga terlibat dalam menyelesaikan masalah-masalah saat itu, dan mengajak
banyak orang ke Gereja. Pernah ia dipanggil seorang perampok yang sekarat untuk
mengembalikan selimut yang dicuri dari pastoran. Zwijsen menerimanya dan
menggantinya dengan selimut yang lebih baik. Tahun 1828-1832 Zwijsen pindah
dan menjadi pastor paroki di Best dan mengembangkan talentanya untuk organisasi
12
dengan mengadakan kunjungan ke seluruh umat, memperhatikan peningkatan mutu
pendidikan, liturgi paroki dan koor, menjalin relasi dengan Raja Willem II (Lie
Petronela, 1997: 5).
Tanggal 11 Mei 1832 Zwijsen diangkat menjadi pastor paroki St. Dionisius
‘t-Heike di Tilburg. Pada tahun-tahun inilah Zwijsen menemukan kemiskinan sosial
yang memprihatinkan antara lain: buruh anak di bawah usia 12 tahun, penduduk
yang mati kelaparan di daerah pinggiran, angka kematian balita yang sangat tinggi,
buruh bekerja 12 jam sehari, upah kerja seminggu maximum £ 4,5, perumahan
pengobatan dan pemeliharaan kesehatan yang sangat buruk dan hanya sedikit anak
berumur 6-12 tahun yang sekolah. Pengalaman ini menggerakkan Pastor Zwijsen
mengumpulkan tiga (3) putri untuk mengatur pendidikan bagi anak-anak wanita di
parokinya (Lie Petronela, 1997: 6). Awal yang sederhana ini akhirnya berkembang
pesat dan bertumbuh menjadi sebuah Kongregasi yakni Kongregasi Suster SCMM.
b. Menjadi Uskup
Zwijsen ditahbiskan menjadi uskup di Gerra pada tanggal 17 April 1842.
Ketika diangkat menjadi uskup Zwijsen mendapat dukungan dari Raja Willem II,
karena untuk diangkat menjadi uskup perlu persetujuan dari pemerintah yang
mayoritas beragama Protestan. Tahun 1847 Mgr. Zwijsen ditunjuk Roma untuk
mewakili Tahta Suci dalam urusan dengan pemerintah Belanda. Sebelas (11) tahun
sesudah ditahbiskan menjadi uskup, Mgr. Zwijsen diangkat menjadi Uskup Agung
pertama Utrecht yakni pada tahun 1853. Setelah pengangkatan itu banyak hal yang
dibuat Mgr. Zwijsen di antaranya: berhasil membangun wilayah keuskupan yang
luas, mengorganisir paroki-paroki dan menentukan batas-batasnya. Ia membantu
membuat peraturan-peraturan untuk dewan paroki, mendirikan seminari untuk
13
pendidikan calon Imam Projo, membentuk Dewan Keuskupan dan Dewan untuk
pemeliharaan orang-orang miskin (Lie Petronela, 1997: 6).
Kunjungan pertama Mgr. Zwijsen ke Roma untuk urusan Gereja dan
menghadiri pengumuman oleh Paus Pius IX tentang “Dogma St. Perawan Maria
Dikandung Tanpa Dosa” di depan Basilika St. Petrus tahun 1854. Di sebelah kiri
Basilika tertulis nama-nama uskup yang hadir saat itu, termasuk Mgr. Joannes
Zwijsen. Tahun 1862 Mgr. Zwijsen berkunjung ke Roma untuk mengurus
pengangkatan uskup pembantu atau penggantinya.
Sebagai seorang uskup Mgr. Zwijsen mengalami percobaan pembunuhan di
Gerra. Pada malam, tanggal 14-15 Juli 1863 seorang pembunuh masuk ke kamar,
menembaknya dan mencuri uang 5000 gulden. Mgr. Zwijsen mengalami luka pada
lengan, lambung sebelah kanan dan mengalami banyak pendarahan tetapi luka-
lukanya dapat sembuh dengan cepat. Selama proses penyembuhan Mgr. Zwijsen
pindah ke rumah induk Frater CMM di Tiburg dan penyambutannya menjadi suatu
manifestasi kehormatan baginya dan bagi Gereja Katolik. Rumah keuskupan yang
resmi dipindahkan ke ‘s-Hertogenbosch sampai sekarang (Leirop, 1993: 29.31).
Pada tahun 1865 Mgr. Zwijsen memimpin Konsili Provinsi Gereja di
Katedral St. Jan di ‘s-Hertogenbosch dan mengeluarkan dokumen “Acta et
Decreta” yang sangat berpengaruh besar dalam pembangunan dan perkembangan
Gereja Belanda. Mgr. Zwijsen dibebastugaskan sebagai Uskup Agung Utrecht pada
tahun 1868 dan digelari “Uskup Agung-Uskup. Pada tahun yang sama juga
dikeluarkan “Mandemen” atau dokumen penegasan para uskup tentang pendidikan
Katolik dengan memakai rumusan yang dibuat Mgr. Zwijsen.
14
Tahun 1877 adalah akhir hidup Mgr. Zwijsen. Tanggal 16 Agustus, untuk
pertama kalinya beliau tidak sanggup lagi mempersembahkan Ekaristi. Tanggal 27
Agustus Mgr. Zwijsen diantar ke rumah induk Frater CMM di Tilburg untuk
merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke 83 tepatnya tanggal 28 Agustus. Beliau
menerima sakramen Minyak Suci dua kali pada tanggal 10 dan 13 Oktober. Pada
tanggal 16 Oktober Mgr. Zwijsen menghembus nafas terakhir (Leirop, 1993: 35).
2. Pendirian Kongregasi
a. Latar Belakang Pendirian Kongregasi
Masalah sosial di Eropa memuncak pada abad 19, dengan pecahnya revolusi
industri. Gejala Proletarian (kaum buruh) dan Pauperisme (kemiskinan) dengan
kondisi kerja amat buruk menimpa kaum buruh, sungguh menimbulkan masalah
keadilan, perikemanusiaan dan martabat manusia dalam masyarakat. Terjadi
kemiskinan sosial yang memprihatinkan antara lain buruh anak-anak di bawah
umur 12 tahun, banyak orang mati kelaparan, tingginya angka kematian balita, dan
sedikit anak yang mendapat pendidikan (Lie Petronela, 1997: 1).
Dalam tahun 1832 Joannes Zwijsen menjadi pastor di Tilburg. Ia melihat
bahwa pada umumnya kaum muda kekurangan dalam banyak hal, terutama bidang
keagamaan. Joannes Zwijsen segera bertindak dengan mengumpulkan beberapa
wanita sebagai pembantunya. Ia membangun bagi mereka sebuah rumah, dan
kelompok itu mulai memberikan pelajaran agama dan pekerjaan tangan yang
berguna bagi anak-anak putri. Demikianlah awal dimulainya kongregasi SCMM
yang didirikan pastor Joannes Zwijsen sehingga pada tahun 1844 jumlah suster
terdiri dari 200 orang yang tersebar di 15 komunitas.
15
Setelah diangkat menjadi Uskup tahun 1842 Mgr. Zwijsen memikirkan
kemungkinan untuk mempergunakan pengaruhnya juga demi mengembangkan
pendidikkan para pemuda di parokinya. Kecemasan terhadap perkembangan dan
pendidikan kaum muda khususnya anak laki-laki ditambah dengan kesulitan para
suster SCMM dalam mendidik anak laki-laki yatim-piatu mendorong Mgr. Zwijsen
untuk mendirikan Kongregasi Frater Santa Perawan Maria Bunda yang
Berbelaskasih. Mgr. Zwijsen kemudian mengumpulkan tiga calon yaitu Petrus van
der Ven seorang tukang sepatu, Laurentius Klaassen seorang tukang tambang dan
Yohanes van Drunen seorang pembuat bir. Tanggal 25 Agustus 1844 para calon
diantar ke biara Trapis untuk pendidikan, bimbingan rohani dan menjalani masa
novisiat. Peristiwa ini menandai berdirinya Kongregasi Frater Santa Perawan Maria
Bunda Yang Berbelaskasih yang diakui secara resmi oleh Paus dengan nama latin
“Congregatio Fratrum Beatae Mariae Virginis, Matris Misericordiae” yang
disingkat menjadi CMM.
Mgr. Zwijsen merupakan seorang pendiri kongregasi dengan gaya tertentu.
Ia tidak berdiri pada awal gerakkan tertentu, melainkan merupakan suatu
perwujudan dalam gerakan yang sudah ada. Fr. Harrie van Geene dalam Seri
Kongregasi 4 (1998: 91) menegaskan bahwa:
Mgr. Zwijsen tidak saja mendirikan kongregasi suster dan frater secara gerejani tetapi sungguh mendirikannya secara spiritual. Ia adalah seorang uskup yang tidak saja penting dalam menata Gereja di Belanda tetapi juga penting sebagai pendiri gerakkan internasional berbelaskasih.
b. Tujuan Pendirian Kongregasi
Mengenai pendirian Kongregasi, Mgr. Zwijsen meletakkan suatu dasar
kharisma, visi dan misi yang bernuansa HAM (Hak Azasi Manusia). Diinspirasikan
16
oleh gambaran Allah sebagai Bapa Penyelamat yang Berbelaskasih, dan dalam
rangka mengikuti Yesus Kristus secara lebih dekat, Mgr. Zwijsen tergerak oleh
suatu rasa iba hati, kepedulian dan keprihatinan mendalam oleh keadaan umatnya
yang menyedihkan. Ditopang oleh iman dan kepribadian yang kuat, dengan penuh
semangat dan keberanian ia menjadi jalan dan sarana untuk meringankan kebutuhan
mereka (Lie Petronela, 1997: 10).
Keprihatinan terhadap kemiskinan, upah minimum, kesenjangan sosial dan
terlantarnya pendidikan anak-anak, membuat Mgr. Zwijsen tergerak membuka
suatu medan baru berbekal kepercayaannya akan Penyelenggaraan Ilahi (ia selalu
menyebut “Penyelenggaraan Kasih”) dan kekuatan penyertaan Roh Kudus. Dijiwai
semangat kesederhanaan Mgr. Zwijsen mendirikan Kongregasi SCMM dan CMM
dengan tujuan meningkatkan taraf hidup umatnya, mengangkat martabat
kemanusiaannya dan mewujudkan cita-cita luhur yakni belaskasih kepada orang
muda yang miskin, kecil dan terlantar. Mgr. Zwijsen berkeinginan seperti tercantum
dalam nama yang diberikannya pada lembaga itu, untuk memberikan tempat utama
pada “Belaskasih” dalam hidup dan karya para frater.
B. Spiritualitas Kongregasi Frater CMM
1. Motto Pendiri “Mansuete et Fortiter”
Ketika diangkat sebagai uskup pembantu. Mgr. Zwijsen memilih motto pada
lambang keuskupannya: “Mansuete et Fortiter” yang artinya: “kelembutan hati dan
kekuatan” (Lie Petronela, 1997: 5). Motto ini dipilih berdasarkan sifat dan karakter
Mgr. Zwijsen sendiri yang kuat dalam prinsip dan lembut. Mgr. Zwijsen adalah
seorang yang kuat, yang berani untuk menghadapi masalah, mengatur sesuatu
dengan jelas, berani bertindak dan menertibkan keadaaan (Leirop, 1993: 25).
17
Injil menggambarkan diri Yesus sebagai orang yang ‘lemah lembut dan
rendah hati’ (bdk. Mat 11: 29). Yesus mengajak semua orang yang letih lesu dan
berbeban berat datang kepada-Nya agar memperoleh kelegaan (Mat 11: 28). Untuk
tujuan ini Yesus menyatakan belaskasih-Nya dan dengan berani menyempurnakan
Hukum Taurat yang menjadi beban manusia. Bukan manusia untuk Hukum Taurat
tetapi Hukum Taurat untuk manusia (bdk. Mrk 2: 27). Ketika ahli taurat dan orang
Farisi akan merajam perempuan yang kedapatan berzinah, Yesus membelanya (bdk.
Yoh 8: 21).
Walaupun lemah lembut Yesus juga memiliki sikap tegas. Ketika orang
berjualan di Bait Allah, Ia mengusir mereka, menjungkirbalikan meja penukar uang
dan bangku para pedagang (bdk. Mat 21: 12-13). Dalam pengajaran-Nya, Yesus
tidak segan-segan mengecam orang Yahudi dan ahli Taurat. Sikap tegas Yesus yang
telah ditunjukkan sejak Ia berumur dua belas tahun menegaskan pilihan hidup-Nya
untuk mengutamakan Kerajaan Allah dari pada keluarga (bdk. Luk 2: 48-49).
“Mansuete et Fortiter” yang berarti ‘kelembutan dan ketegasan adalah sikap dasar
Yesus dalam mewartakan Kabar Keselamatan. Kedua sikap ini juga mendasari
langkah Mgr. Zwijsen dalam tugas penggembalaannya karena sangat efektif dalam
mewujudkan semangat belaskasih dan persaudaraan. Titik final semangat
kelembutan dan ketegasan adalah terciptanya Kerajaan Allah, mengabdi dan
membawa terang, mengucapkan kata yang menolong (Konst. Bag. I. Art. 8). Inilah
perutusan kongregasi yakni menciptakan dunia yang berperi kemanusiaan.
Moto “Mansuete et Fortiter” ini menjadi sikap dasar yang memberi
inspirasi bagi Mgr. Zwijsen dalam meletakkan spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih kepada para pengikutnya. Sikap inilah yang diharapkan Mgr. Zwijsen
18
dalam melayani kaum kecil karena dengan sikap ini martabat orang yang dilayani
dihargai. Menghargai martabat orang kecil dan miskin merupakan penghargaan
kepada Yesus. Mgr. Zwijsen menuntut banyak dari dirinya sendiri dan dari orang
lain. Ia mudah tergerak hati ketika melihat permasalahan dan penderitaan yang
dialami umatnya. Terhadap kaum kecil dan miskin ia lembut hati dan penuh
kerelaan untuk melaksanakan dan mengorganisasi sesuatu agar orang yang
menderita kesusahan dilayani terus menerus (Leirop, 1994: 25). Seperti yang
dihayati oleh St. Vinsensius, Mgr. Zwijsen juga menemukan Allah sungguh hadir
dalam diri orang yang miskin.
2. Religiusitas Mgr. Zwijsen
Riwayat kehidupan pendiri memperlihatkan kelahiran Kongregasi SCMM
dan Frater CMM merupakan jawaban atas kebutuhan zaman. Selain faktor historis
ini faktor transendental yang juga sangat menentukan yakni “kehendak Allah” yang
dihayati Mgr. Zwijsen. Menurut Lie Petronela (1997: 7-9) unsur-unsur kerohanian
Mgr. Zwijsen yang menunjang karya Roh di dalam kehidupannya sendiri dan
Kongregasi yang didirikan:
a. Iman akan Penyelenggaran Ilahi
Mgr. Zwijsen sering menyebut Penyelenggaraan Ilahi, “Penyelenggaraan
Kasih”. Tentang Penyelenggaraan Ilahi Mgr. Zwijsen menegaskan bahwa hal ini
sungguh ada dan yang menjaga segalanya; Gereja, Negara, masyarakat seluruhnya
dan terutama menjaga kalian yang telah membaktikan diri kepada Allah. Pernyataan
ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Kontitusi Frater CMM (Bag. I. Art. 45):
Kita hidup dalam keyakinan bahwa Allah memelihara kita hari demi hari; Ia
senantiasa setia kepada umat-Nya, dan mengingat umatnya penuh belaskasih. Mgr.
19
Zwijsen menegaskan bahwa Penyelenggaraan Ilahi seharusnya diandalkan oleh
setiap frater. Jika orang hidup dengan sepantasnya, ia tentu dapat mengandalkan
Penyelenggaraan Allah yang membantunya menjalankan tugas dan karya sebagai
frater. Kristus mengutus para rasul-Nya ke dunia untuk melaksanakan karya-karya-
Nya, dan dengan iktikad baik mereka menerima perutusan itu. Maka demikian
halnya semua frater harus diutus seperti para rasul dan rela menyerahkan diri dalam
penyelengaraan Allah untuk melaksanakan karya belaskasih.
b. Cinta akan Ekaristi
Ekaristi dihayati Mgr. Zwijsen sebagai puncak dan pusat seluruh kehidupan
Kristen karena membina dalam diri kita penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan. Ia
menegaskannya bahwa “dengan setia, bila mungkin setiap hari, kita turut serta
dalam Ekaristi. Dengan demikian kita memperingati cinta kasih Yesus yang tak
terbatas. Kita mengakui kehadiran-Nya yang penuh daya, yang menyertai setiap
pribadi kita” (Konst. Bag. I. Art. 17-18).
c. Devosi kepada Maria
Mgr. Zwijsen memiliki devosi yang kuat kepada Bunda Maria. Bunda Maria
dihayati sebagai Bunda yang penuh belaskasih. Umat di paroki dan keuskupannya
diajak untuk selalu berdoa dan berpuasa demi penghormatan kepada Bunda Maria.
Kecintaan dan kepercayaan yang mendalam kepada Bunda Maria Yang
Berbelaskasih menyapa hatinya untuk menamakan kedua kongregasi yang didirikan
dengan nama Kongregasi Maria Bunda Yang Berbelaskasih.
d. Cinta dan Kesetiaan kepada Paus
Bapa Suci sungguh dihormati sebagai wakil Kristus dan pemimpin tertinggi
Gereja. Hal ini terlihat dalam surat-surat pastoralnya, khususnya ketika Negara
20
kepausan runtuh pada tahun 1859. Dengan sepenuh hati Mgr. Zwijsen
mengusahakan bantuan material yang dapat diberikan, dan menghimbau Para
Dewan Paroki untuk memberikan sumbangan bagi kepausan. Bahkan tiga Frater
CMM terbaik diutus dan dibaktikannya sebagai tentara sukarela Kepausan.
3. Pelindung Kongregasi
a. Bunda Maria
Mgr. Zwijsen membaktikan Kongreasi Frater CMM kepada Bunda Maria
Yang Berbelaskasih yang dinyatakan dalam pemberian nama kongregasi. Mgr.
Zwijsen memilih Maria Bunda Yang Berbelaskasih sebagai pelindung dan suri
teladan bagi semua pengikutnya. Bagi Mgr. Zwijsen Maria adalah sosok hamba
yang hina yang mendapat belaskasihan Allah, pribadi yang menyerahkan diri secara
total kepada Allah dalam kepercayaan yang bersahaja. Dalam hal-hal ini Mgr.
Zwijsen menegaskan kepada para anggotanya untuk mempercayakan diri kepada
pemeliharaan keibuannya (Konst. Bag. I. Art. 58-61).
Teks injil Yohanes 19: 25-27 yang berbunyi :
“Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Kleopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.”
menjadi salah satu dasar Maria disebut sebagai ibu yang berbelaskasih oleh Mgr.
Zwijsen. Maria diakui sebagai ibu karena ia mendengarkan firman Allah sebagai
orang yang miskin di hadapan Allah. Maria adalah ibu semua orang yang mencintai
Yesus dan mengikuti Dia, sampai berdiri di bawah salib-Nya dan di bawah salib
semua orang yang menderita. Dalam hal inilah Maria hadir sebagai Bunda Yang
Berbelaskasih (Lierop: 1995). Menurut Mgr. Zwijsen para frater dapat menghormati
21
Maria Bunda Berbelaskasih dengan cara mencontohi sifat-sifat baiknya dan sering
berdoa kepadanya, secara pribadi maupun dalam liturgi. Sebagai bentuk
penghormatannya kepada Bunda Maria, Mgr. Zwijsen mengajak umat berdoa dan
berpuasa setiap hari Sabtu (Lie Petronela, 1997: 8).
Dalam kehidupan ini, manusia selalu mencari jalan keluar atas perpecahan
dan permasalahan karena manusia membutuhkan cinta kasih. Dengan mengamati
cara hidupnya, umat manusia ingin kembali kepada kepercayaan, pengharapan dan
cinta. Hal ini dapat dilakukan seperti yang dilakukan Bunda Maria dan bersamanya
menyanyikan magnificat agar memimpin paduan suara kita. Kita juga mendoakan
Salve Regina setiap hari karena kita membutuhkan pengantara di depan Yesus-
Saudara kita, serta berdoa kepada Bunda Maria agar membantu dan melindungi kita
di dunia ini (Seri Kongregasi 4: 31).
Mgr. Zwijsen menghayati Bunda Maria sebagai Bunda Yang Berbelaskasih,
yang mencintai manusia dan memperhatikan yang menderita khususnya yang
mengalami kemalangan. Ia selalu berkata: “Bersama Maria kita menelusuri jalan
iman kepercayaan, pengharapan dan cinta.” Mengakui Maria sebagai Bunda
Berbelaskasih berarti: sama seperti Bunda Maria, yang dipenuhi Roh Kudus,
mengalami cinta dan belaskasihan-Nya dan belajar mencintai Yesus. Dengan
pengalaman-pengalaman inilah kita berusaha untuk mengikuti Dia sampai kitapun
berada di bawah salib-Nya dan di bawah salib setiap orang yang menderita dan
membagikan belaskasih Allah yang berlimpah-limpah.
b. Santo Vinsensius a Paulo
Dalam Konstitusi Frater CMM bagian pertama artikel 208, ditegaskan
bahwa: “Mgr. Zwijsen menghendaki agar pengikutnya meneladani Vinsensius a
22
Paulo, yakni mengabdi Allah dalam sesama manusia yang menghantarnya pada
Allah.” Santo Vinsensius a Paulo adalah bapak kaum miskin. Mgr. Zwijsen sangat
mengagumi karya yang diinspirasikan oleh cinta yang berbelaskasih dari St.
Vinsensius a Paulo bagi kaum miskin dan yang malang pada abad 17 di Prancis.
Mgr. Zwijsen memperolah ilham dari Vinsensius yang menggerakkan
hatinya, menterjemahkan kharisma belaskasih Vinsensius dalam kedua kongregasi
yang didirikan. Ia menawarkan kepada para suster dan fraternya keutamaan-
keutamaan Vinsensius, dan berharap dapat melaksanakan banyak latihan-latihan
rohani. Menurut Vinsensius, sesama manusia hendaknya jangan dikasihani hanya
karena itu merupakan perintah, tetapi tergerak oleh keajaiban cinta kasih. Manusia
yang sadar bahwa ia diilhami oleh cinta kasih, berpandangan dan hidup bersumber
pada Allah. Karena itu tidak ada persaingan antara cinta kasih Ilahi dan cinta kasih
kepada sesama. Bukan dengan memusatkan perhatian semata-mata kepada Allah,
maka Ia dicintai, tetapi dengan berserah kepada cinta kasih tanpa pamrih yang
melampaui akal siapapun. Dengan keyakinan bahwa penyerahan itu merupakan
dasar ‘belaskasih’, maka Vinsensius sangat menghargai pergaulan akrab dan intim
dengan Allah (Hein & Jos, 1998: 21). Semangat inilah yang kemudian berkembang
dalam sanubari Mgr. Zwijsen untuk disalurkan kepada para pengikutnya dan
mendorong para frater sungguh percaya pada pemeliharaan penyelenggaraan Ilahi
dan dalam kesederhanaan hati. Ketika Mgr. Zwijsen mendirikan sekolah untuk
anak-anak miskin ia berkata: ”Di dalam anak-anak miskin, yang memerlukan
pendidikan agar bisa menjalankan hidup manusiawi secara utuh, Zwijsen mengenali
wajah Kristus. Melalui anak-anak Allah menyapanya secara langsung dan
menghadapkannya pada panggilan belaskasih” (Hein & Jos, 1998: 19).
23
4. Spiritualitas “Persaudaraan Berbelaskasih”.
a. Persaudaraan Berbelaskasih
Persaudaraan Berbelaskasih merupakan inti Spiritualitas Frater CMM,
berdasarkan pengalaman dan penghayatan iman Mgr. Joannes Zwijsen akan Allah
lewat Bunda Maria dan St. Vinsensius a Paulo. Kita Hidup dalam keyakinan bahwa
Allah memelihara kita hari demi hari, Ia senantiasa setia kepada umat-Nya dan
mengingat umat-Nya penuh belaskasih (Konst. Bag. I. Art. 45). Belaskasih adalah
pokok dalam penghayatan kehadiran Allah secara kristiani dalam hubungan dengan
kenyataan dan semua bentuk rupanya. Inilah proses melihat, mendengar,
menangkap, tergerak dan mulai bertindak agar menjadi orang-orang yang
berbelaskasih. Panggilan sebagai religius meminta setiap Frater CMM menanamkan
rasa tanggung jawab dan membangun sebuah dunia yang berbelaskasih.
Bagi Mgr. Joannes Zwijsen kata kunci Belaskasih terdapat dalam teks
Matius 25: 40 yang berbunyi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala
sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku.” Bentuk-bentuk karya belaskasih menurut
Matius adalah memberi makan yang lapar, memuaskan dahaga yang kehausan,
memberi pakaian kepada yang telanjang, memberi tumpangan kepada orang asing,
mengunjungi orang sakit, dan menjenguk orang di penjara.
Kisah orang Samaria yang murah hati dalam teks Injil Lukas 10: 25-37
adalah kisah yang sering dirujuk. Orang Samaria adalah teladan manusia yang
tergerak oleh belaskasihan. Saat orang lain melewati begitu saja orang yang
menderita, orang berbelaskasih memberi pertolongan. Dia melakukannya tanpa
pamrih, dengan cara yang melampaui segala harapan. Melampaui segala kewajaran
24
manusiawi, orang berbelaskasih itu hidup berdasarkan ‘Roh Allah’. Hal ini menjadi
titik dasar bagi Vinsensius dan merupakan inti Spiritualitas Kongregasi yang
menempatkan diri dalam tradisinya. Orang berbelaskasih menjadi satu dengan Roh
Allah karena Allah sendiri merupakan belaskasihnya (Hein & Jos, 1998: 31).
Belaskasih adalah sebuah gerakkan yang dimulai dari hati Allah, bersabda
menjadi daging dan darah dalam diri manusia melalui masa dan zaman. Semangat
Persaudaraan Berbelaskasih ditandai oleh perhatian penuh kasih sayang dan
kepedulian bagi setiap manusia, dan bagi setiap bentuk hidup yang meminta
perlindungan. Karya-karya belaskasih yang dianjurkan oleh St. Vinsensius a Paulo,
diterjermahkan kembali oleh Mgr. Zwijsen dan juga ke dalam keadaan budaya dan
sosial yang berbeda. Tentang belaskasih kita harus berpikir tentang kehidupan,
bukan menjatuhkan atau menghukum. Berbelaskasih berarti memberi perhatian
kepada setiap orang yang kita jumpai dan yang memerlukan sesuatu di bidang
apapun. Belaskasih merupakan janji untuk memberi diri, berbagi milik dan
keberadaan kita untuk solider dengan pergumulan dan penderitaan sesama. Hidup di
tengah rakyat miskin merupakan tindakan belaskasih.
Mgr. Joannes Zwijsen bermaksud agar setiap pengikutnya siap sedia dan
terbuka bagi karya belaskasih agar mempunyai mata dan hati untuk sesama yang
miskin, berkekurangan, menderita dan marginal. Dalam dunia ini terdapat
permintaan yang amat serius dalam hubungan dengan tugas perutusan kita sebagai
saudara Berbelaskasih. Hendaknya setiap frater sadar untuk ikut dalam gerakkan
Belaskasih; memberi diri dan melayani tanpa pamrih dan tanpa menonjolkan diri
demikian penegasan Mgr. Zwijsen. Lewat Vinsensius, Mgr. Zwijsen mencari
bentuk, cara hidup dan struktur persekutuan yang memberi kesempatan kepada
25
orang untuk mengalami panggilan belaskasih. Usaha untuk berbelaskasih harus
didukung oleh kesadaran akan belaskasih Allah yang tak terbatas di satu pihak dan
oleh kepekaan hati di pihak lain.
Vinsensius sangat terharu oleh penderitaan orang miskin dan orang cacat.
Bersama dengan santo Paulus ia mengeluh: Bagi semua orang aku telah menjadi
segala-galanya. Dalam renungannya tentang keteladanan Kristus ia melihat Kristus
didorong oleh keinginan kuat, sangat tersentuh oleh manusia yang menderita yang
ia temui dalam perjalanan-Nya:
Oleh karena Putra Allah tidak bisa memiliki rasa iba di tengah kemuliaan yang dimilikiNya kekal abadi di surga, maka Dia bersedia menjadi manusia dan Imam Agung kita untuk turut menderita dalam kesengsaraan kita. Agar kelak berkuasa di surga, kita sama seperti Dia harus ikut menderita dengan anggota-anggota tubuh-Nya di dunia (Hein & Jos, 1998: 29-30).
b. Sifat Radikal Karya Belaskasih
Belaskasih Allah yang terwujud dalam diri manusia adalah pekerjaan Allah
yang dimaksudkan terutama kepada manusia yang kurang mempunyai dasar untuk
mengenali dampaknya dalam kehidupannya. Allah bahkan memandang penuh kasih
mereka yang membenci dan menolak-Nya. Mgr. Zwijsen memberi contoh tentang
keadaan di mana belaskasih melumpuhkan logika. Bila melihat wajah Kristus di
dalam orang miskin, maka kita dibawa dalam gerakan yang tidak kita dipahami dan
sadari. Orang yang melihat kita terheran-heran mengenai sesuatu yang tidak bisa
dijelaskan. Menurut Mgr. Zwijsen salah satu aspek perilaku belaskasih adalah
bahwa karya-karya cinta kasih melampaui batas-batas manusiawi, tanpa
membedakan agama atau bangsa. Aspek lain adalah bahwa karya cinta kasih
terutama meraih mereka yang paling bersikap buruk terhadap dia, yang membenci
dia atau bahwa bermusuhan dengannya.
26
Karya-karya belaskasih pada Mgr. Zwijsen memperoleh sifat yang radikal.
Demikianlah ia menganjurkan para religiusnya untuk memberikan bantuan kepada
setiap orang yang memerlukan bantuan dengan hati yang riang, sekalipun dengan
mempertaruhkan nyawa sendiri. Kehadiran di dunia hendaknya ditandai oleh cinta
penuh belaskasih dan dalam memperhatikan sesama kita mengutamakan mereka
yang miskin dan yang membutuhkan pertolongan (Bag. I. Art. 50-51).
Sifat radikal tidak bersumber pada sikap negatif terhadap nyawa sendiri,
tetapi pada melupakan diri sendiri yang melekat pada panggilan belaskasih.
Belaskasih, satu-satunya pedoman bagi perilaku dan tidak memperhitungkan resiko.
Mgr. Zwijsen menegaskan hal ini dalam Konstitusi Frater CMM:
Dari pihak kita diminta cinta kasih yang radikal, yang tidak mengecualikan sorangpun, yang tidak mengadili seorangpun, yang percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu. Siap sedia untuk mengabdi setiap hari berarti: senantiasa bersedia menyangkal diri sendiri. Dengan senang hati kita mengingat sabda tentang belaskasih: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Konst. Bag. I. Art. 198-200).
Kesediaan merawat orang yang berpenyakit menular bagi Mgr. Zwijsen mempunyai
arti simbolik yang kuat sehingga ia mengundang suster dan fraternya di samping
ketiga kaul klasik kehidupan religius, juga mengucapkan kaul keempat, dengan
berjanji untuk merawat para penderita penyakit menular (Hein & Jos, 1998: 62).
Hal ini diwujudkan dalam kongregasi dengan pendirian balai pengobatan, poliklinik
di beberapa daerah terpencil bagi masyarakat yang miskin dan frater atau suster
yang berprofesi sebagai perawat.
c. Mengikuti Teladan Sang Belaskasih
Mgr. Zwijsen menegaskan: dengan sederhana hati kita mengarahkan diri
pada satu-satunya tujuan: menjadi pengikut Yesus Kristus (Konst. Bag. I. Art. 46).
27
Berbelaskasih adalah cara mengikuti teladan Yesus karena gaya hidup Yesus
sendirilah yang tampak dalam belaskasih. Injil menjadi kata yang hidup di dalam
belaskasih dari satu pihak, dan di lain pihak mengantar masuk dalam sekolah
belaskasih. Dalam Konstitusi Frater CMM hal ini ditegaskan demikian: Sabda dan
teladan Yesuslah yang mengarahkan segenap hidup kita (Bag. I. Art. 4).
Teladan Yesus sering sangat dekat, keibaan-Nya menjadi keibaan kita dalam
hidup sehari-hari. Dalam Injil kita dapat membaca: “Melihat orang banyak itu,
tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan
terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (Mat 9: 36). Yesus memanggil
banyak orang untuk menggembalakan domba-domba-Nya, yang lelah dan terlantar,
karena mereka sering menjadi korban serigala. Banyak anak, perempuan dan laki-
laki yang haus akan pengertian dan kasih, rakyat kecil yang tertekan oleh
ketidakadilan, orang miskin yang kurang diperhatikan, mereka yang menderita
frustrasi atau putus asa, tanpa seorangpun yang mempedulikan mereka. Dalam
panggilan-Nya Yesus ingin mengatakan: ‘Aku ingin meminjam hatimu, untuk
mengasihi orang dina yang kurang diperhatikan, menolong domba-domba-Ku yang
terlantar, memandang penuh kasih orang miskin yang kurang dikasihi dan berada
bersama manusia dina dan miskin yang dilupakan’ (Hein & Jos, 1998: 104).
Yesus memanggil banyak orang menjadi saksi akan Kasih-Nya yang penuh
belaskasih, agar Ia dapat mengasihi orang lewat hati kita, menolong orang lewat
tangan kita, memandang melalui mata kita. Dengan demikian banyak orang,
terutama yang miskin disembuhkan dan diselamatkan karena pengabdian kita.
Perumpamaan Orang Samaria yang murah hati menjadi pedoman dalam hidup
seorang suster dan frater demikian kata Mgr. Zwijsen. Bila anda melihat orang yang
28
menderita, anda bisa juga berbaliklah dan berkata: Aku tidak tahan melihat keadaan
seperti itu. Tetapi anda juga bisa tersentuh sehingga tergerak untuk menolong. Hati
tersentuh, bukan karena merasa kasihan, tetapi karena ia adalah sesamamu yang
berhak mendapat pertolonganmu.
Belaskasih dalam kongregasi tidak hanya didalami dengan meneladani
Yesus, tetapi juga dalam keterkaitan dengan Maria Bunda Berbelaskasih. Berdoa
kepadanya menunjukan betapa penting teladannya, dan ia dialami sebagai penopang
dalam pembentukan panggilan belaskasih. Mgr. Zwijsen dalam Konstitusi Frater
CMM meneguhkan: ‘Maria, hamba Tuhan menjadi suri teladan bagi kita. Dalam
perjalanan hidup kita memasrahkan diri, seperti Maria dalam kepercayaan yang
bersahaja kepada Allah yang menyertai kita’ (Bag. I. Art. 58-59).
5. Hidup dalam perhimpunan
a. Komunitas
Dalam surat Apostoliknya, Novo Millennio Ineunte (2001) pada awal
milenium baru, Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan pentingnya spiritualitas
persekutuan. Beliau menegaskan: “Untuk menjadikan Gereja sebagai rumah dan
sekolah.” Hal ini merupakan tantangan besar dalam milenium baru ini, jika mau
mengimani rencana Allah dan menjawab kerinduan dunia yang terdalam.
Dalam Vita Consecrata ditegaskan:
Para anggota hidup bakti pria maupun wanita diutus, untuk mewartakan nilai persaudaraan kristiani dan firman Allah yang dapat menimbulkan perubahan. Injil memungkinkan untuk memandang orang sebagai putra-putri Allah, dan mengilhami cinta kasih yang menyerahkan diri terhadap siapapun juga, khususnya yang paling hina di antara sesama (VC, art. 51).
Persekutuan Religius pertama-tama tidak hanya terdiri atas kegiatan yang
ditangani bersama, tetapi terdiri atas hidup bersama yang tekun dan saling
29
menghormati, berakar dalam cinta kasih Allah yang mendukung persekutuan. Para
religius hendaknya saling percaya, menjadi teman hidup dan seperjuangan bagi
sesama, menjadi saudara dan saudari (Seri Kongregasi, no. 2). Hidup bersaudara
memainkan peranan yang mendasar dalam perjalanan rohani para anggota hidup
bakti. Maka setiap anggota perlu menyanggupkan diri, memantapkan diri seturut
teladan umat kristen purba yang tekun menerima ajaran Para Rasul, dalam doa
bersama, dalam Perayaan Ekaristi dan berbagi apapun yang mereka miliki sesuai
dengan kodrat dan berkat yang dimiliki (bdk. Kis 2: 42-47).
b. Komunitas sebagai tempat sharing dan menimba kekuatan
Dalam mengusahakan dan melaksanakan pelayanan belaskasih komunitas
berperanan penting. Komunitas sebagai tempat dan suasana membangun kehidupan
penuh belaskasih menjadi dasar yang dapat mendukung kegiatan-kegiatan
karitatif. Pelayanan belaskasih hendaknya pertama-tama dilaksanakan di komunitas
sehingga dapat dibagikan kepada orang lain yang dilayani di luar komunitas.
Kehidupan komunitas memang bisa terjadi dalam suatu bangunan atau organisasi,
tetapi baik bangunan maupun organisasi bukan hal yang hakiki bagi komunitas.
Persekutuan hidup bersama yang berciri kekeluargaan merupakan salah satu
unsur dari komunitas. Hal yang hakiki dari komunitas Kristiani adalah hidup
bersama yang dijiwai kesediaan untuk saling mengakui dan mengampuni segala
kesalahan dalam nama Yesus. Komunitas Kristiani adalah persekutuan dari orang-
orang yang terus menghayati semangat pengampunan dan pembaharuan diri
berdasarkan iman pada Yesus, sehingga merupakan suatu keluarga rohani (Nouwen,
2007: 136). Di komunitas inilah belaskasih pertama-tama dihayati sebagai satu
keluarga rohani yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan saling
30
melayani dengan landasan semangat belaskasih. Dalam komunitas Kristiani, figur
Yesus Kristus menjadi panutan dan sentral. Komunitas Kristiani sesungguhnya
adalah Yesus Kristus sendiri yang dinyatakan dan dihayati di antara pengikut-Nya.
Dalam kenyataan demikian, komunitas menjadi tempat untuk saling meneguhkan,
saling melayani dan saling menimba kekuatan (Nouwen, 1986: 70). Penguatan dan
dukungan komunitas memberikan peneguhan identitas pelayanan. Tanpa dukungan
dan perasaan diutus pelayanan belaskasih tidak akan lama dan cepat luntur serta
menjadi hidup yang ditandai oleh kejengkelan dan kemarahan (Nouwen, 1987: 80).
c. Komunitas sebagai tempat membangun Kerajaan Allah
Para Frater CMM hidup dalam komunitas dan berusaha menghayati
semangat belaskasih dalam hidup sehari-hari. Komunitas harus mengalami
Kerajaan Allah lalu orang akan mendapatkan kekuatan dalam memberikan
pelayanan di luar komunitas (Konst. Bag. I. Art. 77). Jika komunitas kuat
menerapkan Spiritualitas Belaskasih, maka pelayanan belaskasih mendapatkan arti
dan makna bagi orang yang dilayani di luar komunitas. Komunitas menjadi tempat
utama merasakan Kerajaan Allah. Dengan demikian, komunitas dapat menjadi
terbuka dan siap menerima penderitaan dunia dan memberikan tanggapan dengan
sepenuh hati (Konst. Bag. I. Art. 92). Peranan komunitas dalam karya pelayanan
belaskasih adalah mendukung, memberikan semangat dan memberi ruang
kreatifitas terhadap pelayanan itu.
d. Persaudaraan seluas dunia lewat karya
Karya dan pelayanan belaskasih menempatkan manusia sebagai saudara.
Belaskasih memandang orang yang dilayani sebagai sahabat yang harus
diperhatikan, dihargai dan dihormati. Karya pelayanan para CMM beranekaragam
31
dengan memperkenalkan misi belaskasih dan persaudaraan bukan hanya dalam
lingkup komunitas melainkan di seluruh tempat di mana para frater berkarya.
Semangat belaskasih tentu didasarkan pada iman yang mendalam kepada Tuhan.
Semangat iman disaksikan dalam hidup dan dalam seluruh karya pelayanan kepada
sesama yang miskin dan membutuhkan pertolongan. Karya pelayanan tersebut
menjadi sarana bagi Zwijsen dan para fraternya untuk memberi kesaksian tentang
Allah yang berbelaskasih bagi semua orang (Lap. Kap. Prov. Indo. IV. 2008).
Pelayanan belaskasih dapat menghadirkan Kerajaan Allah di mana ada damai dan
sukacita bagi orang yang dilayani.
BAB III
KEPEMIMPINAN RELIGIUS
DALAM SUDUT PANDANG KRISTIANI
Setelah bab sebelumnya menguraikan pokok-pokok tentang sejarah
berdirinya Kongregasi CMM, Spiritualitas Kongregasi CMM, maka pada bab ini
penulis memaparkan kepemimpinan religius dari sudut pandang kristiani. Penulis
akan mengemukakan pendapat beberapa ahli mengenai pengertian, fungsi dan
prinsip-prinsip kepemimpinan pada bagian pertama. Pada bagian kedua penulis
menguraikan kepemimpinan dari sudut pandang kristiani menurut Kitab Hukum
Kanonik, menurut Kitab Suci dan karakteristik kepemimpinan menurut Romo
Darminta, SJ. Pada bagian ketiga penulis menguraikan kepemimpinan dalam
Kongregasi Frater CMM mulai dari tingkat Umum, Provinsi, dan komunitas.
Tantangan dalam kepemimpinan religius masa kini yang terbagi atas 3 mengenai
tantangan modernisasi, tantangan berkaitan pemimpin religius masa kini, dan
tantangan bagi kongregasi.
Pada pembahasan bab III ini, penulis mengambil bagian kedua sebagai
fokus perhatian yang menguraikan tentang kepemimpinan religius. Bagian ini
memberikan pandangan bagaimana seharusnya sosok seorang pemimpin yang
menghayati dan mengemban nilai-nilai dalam kepemimpinannya berdasarkan
karakteristik seorang pemimpin yang baik dan teladan tokoh-tokoh dalam Kitab
Suci dan Yesus sendiri sebagai teladan utama, sehingga bersama dengan
kepemimpinan yang telah dicetuskan Mgr. Zwijsen sebagai pendiri Frater CMM,
para pemimpin mampu menghadapi situasi dan tantangan kepemimpinan religius.
33
A. Kepemimpinan
1. ....................................................................................................... Pengerti
an Kepemimpinan
Pemimpin berarti orang yang memimpin, mengetuai, atau mengepalai
karena diserahi suatu tugas untuk menuntun, menunjukkan jalan, bagi orang-orang
yang dipimpinnya. Seorang pemimpin adalah orang yang ditunjuk menjadi
pemimpin dalam suatu tugas yang diserahkan kepadanya karena dianggap
mempunyai suatu kecakapan dalam mengarahkan dan mempengaruhi orang-orang
yang dipimpinnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 874).
Dalam bahasa Inggris pemimpin disebut leader dan akar katanya adalah to
lead. Dalam kata itu terkandung beberapa arti yang erat hubungannya: bergerak
lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu,
memelopori, mengarahkan pikiran pendapat, tindakan orang lain, membimbing,
menuntun, mengerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Oleh karena itu
pemimpin adalah orang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil
langkah pertama, berbuat paling dulu memelopori mengarahkan, pikiran-pendapat-
tindakan orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui
pengaruhnya. Tidak mengherankanlah bahwa pemimpin disebut dengan berbagai
nama: ulu, pemuka, pelopor, pengarah, pembimbing, penuntun, dan penggerak
(Mangunhardjana, 1976: 11). Kepemimpinan dalam pengertian umum menunjuk
pada proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi
pikiran, perasaan atau tingkahlaku orang lain melalui kontak pribadi antara
seseorang dengan orang lain secara tatap muka.
34
Menjadi seorang pemimpin berarti, seseorang mendapat kedudukan
tertinggi, kekuasaan, fasilitas hidup, dalam lingkungannya. Namun inti
kepemimpinan bukan pertama-tama terletak pada kedudukan yang ditempati. Inti
dari kepemimpinan adalah fungsi atau tugas. Dia ada demi sesuatu yang lain dan
bukan demi dirinya sendiri. Titik perhatiannya adalah tujuan dan cita-cita yang mau
dicapai. Tujuan dan cita-cita itu merupakan unsur yang pertama dan paling pokok
dalam kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi, mengajak,
mengumpulkan dan menggerakkan banyak orang untuk bersama-sama bekerja
mencapai tujuan dan cita-cita itu. Kalau pemimpin beserta seluruh orang yang ada
di bawah kepemimpinannya sudah yakin akan kebaikan tujuan dan cita-cita itu bagi
kehidupan bersama, mereka dapat membentuk suatu organisasi, untuk kegiatan para
anggota dengan membagi-bagi pekerjaan, tugas. Kesediaan pemimpin untuk ikut
serta bekerja dan berjuang bersama dengan mereka yang dipimpinnya menjadi bukti
dari ketulusan hatinya. Jadi seorang pemimpin adalah petugas yang bersedia bekerja
demi tujuan dan cita-cita bersama dengan berusaha mencapai tujuan dan cita-cita
bersama mereka yang dipimpinnya melalui suatu organisasi kerja yang teratur.
Sampai saat ini kepemimpinan masih merupakan topik yang hangat
dibicarakan. Terjadinya krisis di berbagai negara tidak lain karena pengaruh sedikit
orang yang berstatus pemimpin. Menjadi pemimpin tidak mesti mempunyai syarat
pendidikan yang tinggi, akan tetapi punya daya pengaruh, kerja keras, cerdas dan
memiliki visi yang jelas. Sukses dan berkembangnya suatu organisasi terletak pada
kemampuan pemimpin untuk melakukan integrasi secara bersama dengan seluruh
komponen yang ada dalam organisasi.
35
Menurut Robert J. Eaton, berkembang dan suksesnya suatu organisasi
merupakan hasil kerja bersama. Namun kendala terbesar yang dihadapi organisasi
dalam menghadapi era global adalah terbatasnya sumber daya manusia, dalam suatu
organisasi terkait dengan sosok manusia yang disebut sang pemimpin. Melihat
tantangan dari kegiatan organisasi yang semakin kompleks, maka seorang
pemimpin harus berani memilih diantara dua pilihan yakni: akan terus berkembang
atau memilih menutup kegiatannya. Dari dua opsi tersebut, orang pertama yang
harus bertanggung jawab adalah pemimpin organisasi (Bambang, 2005: 14-15).
2. ....................................................................................................... Fungsi
Kepemimpinan
Fungsi utama pemimpin terletak dalam jenis khusus dari perwakilan
kelompoknya. Seorang pemimpin harus mewakili kelompoknya melalui saluran-
saluran yang khusus direncanakan dan dibuat oleh kelompoknya sendiri. Mewakili
mengandung arti, bahwa si pemimpin mewakili fungsi administrasi secara
eksekutif. Fungsi pemimpin juga merupakan perantara dari orang-orang dalam
kelompoknya dengan orang-orang di luar kelompoknya (Effendy, 1975: 16-21).
Beberapa fungsi kepemimpinan menurut Effendy:
a. Pengembangan imaginasi.
Seorang pemimpin memiliki suatu visi yang dapat meneropong apa yang
akan terjadi dan mampu melihat kemungkinan yang akan terjadi. Imaginasi yang
dikembangkan erat hubungannya dengan kesadaran akan pelanggaran terhadap
lingkungan. Benak yang dipenuhi imaginasi mempunyai peranan penting dalam
perjumpaan dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul.
36
b. Pengembangan kesetiaan.
Fungsi kedua ini berarti; tanggung-jawab terhadap pengembangan kesetiaan
pada pemimpin dan pada organisasi. Pengembangan kesetiaan ini tidak saja hanya
di antara para anggota tetapi secara khusus di antara pemimpin dalam kelompok.
Seorang pemimpin harus mampu menciptakan rasa cinta, rasa hormat, kepercayaan
dan kepatuhan di hati para anggota.
c. Pemrakarsaan, penggiatan, dan pengawasan rencana.
Fungsi pemimpin di sini ialah memprakarsai dan mempertanggungjawabkan
kemajuan rencana bagi pengrealisasian suatu tujuan tertentu, dan mengarahkan
suatu kegiatan yang terencana dan selanjutnya melakukan kegiatan berikutnya.
Dalam lingkungan pengawasan terdapat analisa yang obyektif terhadap apa yang
akan dilakukan, siapa yang melakukannya, di mana dijalankan, dan kapan kegiatan
dilaksanakan. Semua ini untuk merealisasikan tujuan yang akan dicapai.
d. Pelaksanaan keputusan.
Fungsi keempat dari kepemimpinan ialah melaksanakan keputusan yang
bijaksana dan tepat. Suatu keputusan yang dianggap paling bijaksana bisa menjadi
beku sama sekali kalau waktu pelaksanaannya salah. Sebaliknya keputusan yang
kadarnya sedang saja bisa menimbulkan hasil yang menguntungkan bila
pelaksanaannya tepat. Sebuah organisasi akan beruntung apabila memiliki
pemimpin yang benar-benar berkemampuan dalam mengambil keputusan yang baik
dan tepat.
e. Pengawasan.
37
Suatu perintah yang jelas dan terang harus diikuti pengawasan yang
saksama. Jika terjadi kegagalan, pemimpin harus cepat mengadakan perubahan
yang memadai. Sebaliknya jika tujuannya praktis, dan rencananya memang baik.
Tujuan akan dapat mudah tercapai dan keuntungan akan dapat diperoleh.
f. Penganugerahan tanda penghargaan.
Pemimpin yang bijaksana tidak akan menganggap pekerjaannya selesai
sebelum ia mengucapkan terima kasih kepada anggota yang setia membantu
merealisasikan tujuan yang ingin dicapai. Fungsi dari penerimaan tanda jasa ini
ialah dalam rangka merealisasikan tujuan. Seorang pemimpin mempunyai tanggung
jawab yang besar bagi tercapainya tujuan, karena itu hendaknya diberi tanggung-
jawab yang layak.
3. ....................................................................................................... Prinsip-
prinsip Kepemimpinan
Riberu (1978: 10-12) mengemukakan beberapa prinsip kepemimpinan:
a. Pemimpin yang prinsipial.
Pemimpin yang prinsipial berarti: pemimpin yang selalu berpegang teguh
kepada satu prinsip, satu paham dasar, satu filsafat dasar yang dianutnya. Semua
yang sesuai dengan paham dasar tersebut akan diterimanya, dan menolak yang
bertentang dengan paham dasar tersebut. Jika paham dasar yang dianut pemimpin
merupakan paham yang dapat diterima akal sehat, maka pemimpin yang prinsipial
akan dikagumi anggota yang dipimpinnya dan bangga kepada pemimpinnya.
b. Pemimpin yang fleksibel.
38
Pemimpin yang fleksibel tahu bahwa ia harus menyesuaikan diri dan
mengambil suatu keputusan dengan mempertimbangkan keadaan, iklim, budaya
setempat, dan suasana batin bawahannya. Sebab itu pemimpin yang fleksibel selalu
berusaha mencapai sasaran dan tidak mengabaikan paham-paham dasar, sekaligus
memilih dengan cermat cara-cara yang paling sesuai untuk mencapai sasaran
tersebut dengan sebaik-baiknya.
c. Pemimpin plin-plan.
Pemimpin ini tidak mempunyai pendirian yang diyakini, tidak berpedoman
kepada pola kebijaksanaan yang jelas. Ia laksana bunglon yang cepat berubah dan
berbelok haluan sejauh angin meniupnya. Kepemimpinannya memberi kesan sangat
goyah, baik dalam pendirian maupun dalam langkah-langkah kebijaksanaan
konkret, sering bertindak gegabah, kurang perhitungan dan tidak konsisten.
d. Pemimpin macchiavelis.
Ciri pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang mengejar kuasa,
kedudukan dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Agar kekuasaannya tetap
berdiri tegak ia akan menghalalkan berbagai cara. Siapa saja yang dianggap
menghambat atau membahayakan, akan disingkirkan. Kepemimpinan macchiavelis
bisa sangat lihai dalam mempertahankan kekuasaannya. Akan tetapi wibawanya
tidak tertumpu pada penghargaan dan cinta masyarakat kepadanya, melainkan pada
rasa takut, rasa tertekan, rasa terjepit. Hal ini tidak sesuai dengan martabat manusia.
B. Kepemimpinan Religius
1. Menurut KHK
a. KHK 618
39
Dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja menegaskan :
Para pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayanan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugasnya hendaknya mereka peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya sebagai putra-putra Allah, serta mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peran-serta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara otoritas mereka sendiri untuk memutuskan dan memerintahkan apa saja yang harus dilaksanakan (Kan. 618).
Gereja mengingatkan para pemimpin religius akan tugas dan peranannya
dalam dunia dan dalam Kongregasi sebagai pelayan Gereja yang siap melaksanakan
tugas memimpin seluruh anggota sesuai dengan kehendak Allah. Memimpin sebuah
kongregasi mengandaikan memimpin umat Allah yang memiliki Kristus sebagai
Gembala, Guru, dan Roh yang akan memimpinnya menuju kebenaran. Seorang
pemimpin perlu memiliki sikap dan keterampilan kepemimpinan Kristus dan Roh
Kudus sehingga Kristus sendiri yang memimpin (Darminta, 2005: 11).
Yesus Kristus datang ke dunia untuk melaksanakan kehendak Bapa
demikian hendaknya para pemimpin religius menyerahkan hidup dan karya dalam
penyelenggaraan Ilahi karena kesadaran bahwa tugas yang diemban diterima dari
Allah sendiri sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian seutuhnya terhadap Gereja
dan kongregasi demi kemuliaan Allah. Hal ini ditegaskan oleh Sardi (2005: 96)
yang mengatakan bahwa: Kepemimpinan religius yang mengemban kuasa dari
Allah merupakan amanat yang suci dari Allah sehingga semua yang dilakukan
dalam kepemimpinan harus bermuara pada kesucian.
Pengalaman rohani diharapkan membawa setiap orang kepada kesadaran
diri guna menghayati hidup rohani sebagai manusia rohani. Dalam hal ini setiap
orang ditantang untuk mengenal diri secara terus menerus dan melatih diri untuk
40
hidup menurut rencana dan kehendak Allah (Darminta, 1993: 25). Pemimpin yang
melayani hendaknya memiliki kepekaan untuk melihat dan menemukan kehendak
Tuhan dalam memimpin anggotanya selaku putra-putra Allah. Hal ini hendaknya
menjadi bagian dari hidup pemimpin religius yang senantiasa mengarahkan hidup
dan memiliki kepekaan terhadap kehendak Allah yang berarti bahwa seorang
pemimpin memiliki kemampuan membaca tanda-tanda zaman dan dapat
mengartikannya dalam terang cahaya Allah (Sardi, 2005: 57).
Pemimpin hendaknya memiliki tekad memuaskan yang dipimpin dan
sungguh-sungguh rindu untuk melayani Tuhan. Dalam pikiran, perkataan dan
perbuatan semua dilakukan seperti untuk Tuhan tanpa mengabaikan kebutuhan
spiritual. Kesuksesan duniawi harus dilengkapi secara rohani. Kekayaan dan
kemakmuran adalah media untuk dapat memberi dan beramal lebih banyak. Apapun
yang dilakukan untuk melayani sesamanya dengan mengutamakan hubungan atau
relasi yang penuh kasih dan penghargaan, dan belajar bertumbuh dalam berbagai
aspek, baik pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dan sebagainya. Harmonisasi
diri dengan komitmen untuk melayani Tuhan dan sesama dapat dilakukan melalui
refleksi, doa, dan mendengarkan Firman Tuhan.
b. Kanon dalam KHK 619 menegaskan tugas pelayanan seorang pemimpin religius:
Para pemimpin hendaknya menunaikan tugas mereka dengan tekun dan bersama dengan anggota yang dipercayakan kepada dirinya berusaha membentuk komunitas persaudaraan dalam Kristus, di mana Allah dicari dan dicintai melebihi segala sesuatu. Hendaknya kerap kali memberi santapan rohani kepada para anggota dengan sabda Allah dan mengajak mereka merayakan ibadat suci. Hendaknya memberi teladan dalam membina keutamaan-keutamaan serta dalam menaati peraturan-peraturan dan tradisi tarekatnya sendiri; membantu secara layak dalam hal kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka, memperhatikan dan mengunjungi yang sakit, menegur yang rewel, menghibur yang kecil hati, sabar terhadap semuanya (KHK, no. 619).
41
Dalam hidup-Nya, Yesus telah memulai membentuk sekelompok murid
menjadi sebuah komunitas kenabian. Para murid diajak untuk hidup bersama secara
komunal dengan membangun sebuah komunitas pewarta Kerajaan Allah, dengan
ikut ambil bagian dalam iman, harapan dan cinta kasih Yesus sendiri (Darminta,
1995: 29).
Di dalam kongregasi religius beberapa orang dipercaya untuk mengemban
tugas dari Allah sebagai pemimpin. Tugas ini hendaknya dilaksanakan dengan
tekun dan sungguh-sungguh dan bersama para anggota membentuk komunitas
persaudaraan di mana Allah dicari dan dicintai. Pemimpin religius adalah tali
pemersatu hidup religius yang diharapkan membangun komunitas beriman yang
berpusat pada Kristus karena Ia adalah jalan kebenaran dan hidup (Sardi, 2005:
102). Komunitas merupakan anugerah Allah yang menghimpun kita menempuh
jalan persaudaraan Injili (Konst. Bag. I. Art. 78-79).
Gereja menganjurkan para pemimpin religius selalu berusaha menjadi figur
dan teladan kepada para anggota dalam menunaikan tugas, membina keutamaan-
keutamaan dan mentaati tradisi kongregasi dan inspirasi sang pendiri. Lewat tutur
kata, cara hidup, sikap dan perbuatan hendaknya menunjukan pelaksanaan
spiritualitas kongregasi sebagai dasar pijak, sehingga para anggota dapat
menjadikannya sebagai pola panut sebagaimana Yesus kepada para murid-Nya.
Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam diri yang menuntut suatu
transformasi hati dan perubahan karakter; kemudian bergerak ke luar untuk
melayani mereka yang dipimpinnya. Identifikasinya adalah: orientasi
kepemimpinannya adalah melayani kepentingan pengikut dan publik yang
dipimpinnya. Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari
42
kemampuannya untuk membangun orang-orang di sekitarnya, karena keberhasilan
sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam
organisasi tersebut. Jika sebuah organisasi mempunyai banyak anggota dan
pemimpin yang berkualitas, maka organisasi tersebut akan berkembang dan
menjadi kuat. Memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya.
Wujudnya adalah kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan
dari mereka yang dipimpinnya. Artinya seluruh perkataan, pikiran dan tindakannya
dapat dipertanggungjawabkan kepada setiap anggota organisasinya dan publik.
Pemimpin yang melayani berarti pemimpin yang mau mendengar setiap kebutuhan,
impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya, dapat mengendalikan ego dan
kepentingan pribadinya melebihi kepentingan publik atau mereka yang
dipimpinnya. Seorang pemimpin sejati selalu dalam keadaan tenang, penuh
pengendalian diri dan tidak mudah emosi.
Sardi (2005: 104-105) menegaskan bahwa pemimpin bagai seorang ayah
atau ibu dalam keluarga yang membantu secara layak dalam hal kebutuhan-
kebutuhan pribadi keluarga mereka, memperhatikan dan mengunjungi yang sakit,
menegur yang rewel, menghibur yang kecil hati, sabar terhadap semuanya. Ia
senantiasa berusaha menyentuh hati dan menyemangati para anggota. Maka seorang
pemimpin hendaknya mencintai seperti Kristus sendiri yang mencintai dengan
lembut dan penuh kasih sayang. Hal ini menjadi pedoman bahwa hidup religius
sangat penting untuk mengejar kesempurnaan injili dalam pengabdian demi
Kerajaan Allah.
2. Menurut Kitab Suci
43
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi anggota kelompok atau
organisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Seorang pemimpin yang baik
diharapkan tahu tujuan yang mau dicapai bersama dan dapat menunjukan jalan
menuju tujuan. mempunyai banyak aspek. Dari perspektif alkitabiah kepemimpinan
dalam komunitas mulai dibicarakan pada zaman Musa yang dianggap sebagai
Pelayan dan Nabi yang kharismatis. Darminta (1993: 15-26) menguraikan
kepemimpinan berdasarkan inspirasi beberapa tokoh Kitab Suci diantaranya:
a. Musa
Musa adalah pemimpin yang membawa keluar bangsa Israel dari
perbudakan Mesir. Ia juga membela orang tertindas, membawa kemerdekaan dan
memberikan hukum Taurat sebagai dasar bagi Israel. Kepemimpinan Musa bersifat
karismatis berasal dari pengenalan dari bangsa yang dipimpin, dan terutama dengan
Allah yang diimani. Hal ini berlandaskan kepribadiannya yang prihatin terhadap
identitas bangsa Israel yang bermartabat dan berhak atas kemerdekaan. Maka Musa
mendasarkan kepemimpinan pada pergaulan, konsultasi dengan Allah dan akhirnya
hidupnya disebut Hamba Allah yang menjalankan banyak hal antara lain:
mengusahakan makanan dan minuman (Kel 16-17), menanggung beban,
ketidakdewasaan, kecemasan dan sunggut-sunggut bangsa (Ul 1: 10.12), selalu
berdoa dan menjadi pengantara Allah dan manusia (Kel 17: 11), menguatkan
bangsa bila mengalami goncangan, menyampaikan kehendak Tuhan, memberi visi
masa depan bangsanya (Kel 19: 3).
b. Daud
44
Daud merupakan pimpinan pilihan Allah yang masuk dalam penghayatan
berbangsa dengan segala kompleksitas hidup bernegara dengan landasan
kebangsaan tertentu yaitu sebagai umat Allah. Ia masuk dalam resiko kekuasaan
pada mekanisme organisasi bernegara dan bermasyarakat untuk mempertemukan
kuasa serta kepemimpinan dengan pelayanan bagi orang yang dipimpinnya. Dalam
kerapuhannya Daud dapat membawa dan memimpin bangsa Israel sebagai bangsa
yang bermartabat, disegani dengan kemakmuran dan kemajuan. Kebesaran Daud
terletak pada keberanian mengakui dosa dan kesalahan Tuhan dan rakyatnya yang
merendahkan dirinya tidak hanya sebagai raja tetapi juga martabatnnya sebagai
manusia. Daud merupakan gambaran pemimpin yang mau menyesali kesalahan-
kesalahan dalam menggunakan kekuasaan, yang sangat rawan di hati manusia.
c. Ezra-Nehemia
Mereka adalah tokoh pemimpin yang membangun bangsa dari puing-puing
kehancuran yang disebabkan oleh persaingan suku, persaingan berbagai kelompok
atau penguasa yang bersifat pribadi dan sebab utama dari kehancuran ini adalah
kemerosotan moral. Hal ini jelas dalam para nabi yang menyerukan suara Allah
serta suara orang tertindas karena ketidakadilan dan kesewenangan para penguasa.
Para nabi berusaha membela kedaulatan Allah dan kedaulatan orang miskin
agar dapat membangun kembali harga diri bangsa serta menyusun kekuatan moral
agar mendapatkan hidup yang layak. Hal ini juga menjadi tugas kepemimpinan
Ezra dan Nehemia yang mengajak rakyat kembali pada visi dan idealisme yang
diletakkan Musa untuk mulai membangun kesadaran religius baru, bahwa semua
45
adalah citra Allah yang bermartabat yang sama. Ezra dan Nehemia menjadi tokoh
pemimpin dan pembaharu yang merealisasikan fundamen baru dan berusaha
membebaskan orang dari pandangan statis sehingga setiap generasi mempunyai
panggilan untuk mencari dan menemukan jalan baru untuk hidup baik dalam iman
dan dalam kemanusiaan.
d. Yesus
Yesus senantiasa membiarkan orang yang percaya dan yang mengikut-Nya
mengambil sikap dan menimba inspirasi untuk hidup masing-masing. Yesus tidak
tampil sebagai pemimpin kemasyarakatan atau negara. Yesus menuntut rasa
percaya dari para pengikut-Nya akan diri-Nya dan misi yang diemban-Nya. Walau
demikian Yesus memberi petunjuk, bagaimana menghayati kepemimpinan, ketika
Ia berkata kepada para murid yang berebutan tempat terhormat (Mrk 10: 41-45).
Lebih lanjut Yesus memberikan petunjuk tentang sikap seorang pemimpin dengan
membasuh kaki murid-murid. Yesus berkata:
“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Guru dan Tuhanmu, maka kamu pun wajib saling membasuh kaki, sebab aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu perbuat sama seperti yang telah kuperbuat kepadamu; sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari tuannya, ataupun utusan dari pada dia yang mengutusnya, jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya” (Yoh 13: 12-27).
Penginjil Lukas merenungkan program kerja Yesus sebagai seorang
pemimpin dengan ungkapan Yesus:
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada para tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Luk 4: 18-19).
46
Yesus menunjukkan bahwa apapun kedudukan dan pangkatnya, sudah
sepatutnya seorang mengambil prakarsa dalam pengabdiannya kepada masyarakat.
Keselamatan diperuntukan bagi semua orang demikian halnya pengabdian
diberikan tanpa membeda-bedakan. Pengabdian dan perbuatan kepada orang yang
kecil, lemah merupakan batu ujian kemurnian iman karena Yesus menginginkan
dalam hukumnya bahwa semua orang mendapat perhatian dalam pengabdian kita.
Hal ini telah ditunjukkan Yesus dalam seluruh hidup-Nya untuk mengangkat
martabat manusia itu sendiri menjadi milik-Nya yang berharga (Luk 16: 22).
2. Karakteristik Kepemimpinan Religius
Dalam kepemimpinan pemimpin dituntut memiliki karakteristik tertentu.
Berkaitan dengan karakteristik kepemimpinan religius Darminta (2005: 28-34),
menguraikan beberapa hal penting antara lain:
a. Melindungi karisma pendiri
Pemimpin religius adalah orang yang secara khusus bertanggungjawab
terhadap perkembangan tarekat yang dipimpinnya. Setiap tarekat memiliki
kekhasan termasuk di dalamnya karisma pendiri. Tanggung jawab untuk
mengembangkan tarekat sangat penting. Tetapi perlu diingat bahwa perkembangan
dan perubahan yang selalu dicanangkan dan digalakkan tidak menyimpang dari
inspirasi pendiri. Karena Karisma pendirilah yang menjadi dasar dan semangat awal
terbentuknya suatu tarekat. Karisma pendiri adalah sumbu dan obor yang
diharapkan senantiasa bernyala memberi terang terhadap para pemimpin dan setiap
anggota tarekat. Maka setiap pemimpin religius diharapkan untuk menanamkam
semangat pendiri dalam karya dan diri setiap anggota tarekat. Hal ini menjadi
47
tantangan terus-menerus bagi seorang pemimpin religius terutama dalam
menerjemahkan dan menyesuaikanya dengan tuntutan zaman dan perkembangan
dunia modern.
b. Memajukan Kesatuan dan Persatuan
Tarekat religius hidup bersama dalam semangat persaudaraan yang
dibangun dalam kesadaran yang tinggi akan nilai pribadi, nilai perbedaan aspirasi
dan gerak-gerak batin yang hidup. Pemimpin hendaknya memperhatikan,
mendorong dan mengarahkan anggota demi membangun komunitas, menjadi daya
kekuatan untuk karya kerasulan yang semakin efektif.
c. Hormat terhadap pribadi
Dalam memimpin, pribadi setiap anggota perlu dihormati karena seorang
pemimpin tarekat bertanggung jawab memajukan kepribadian anggota dan
mendorong terlaksananya ketaatan. Hormat terhadap pribadi anggota harus
dimengerti secara benar dengan pemahaman bahwa hak-hak pribadi adalah suci.
Hormat terhadap pribadi juga berarti mengenal perasaaan, pikiran, menemukan dan
memperkembangkan kualitas positif yang ada pada orang lain.
d. Kasih dan Percaya
Pemimpin hendaknya mengembangkan dan menunjukan kasih Allah,
menaruh minat dan kepercayaan kepada anggota. Bila tidak ada kepercayaan
hubungan akan ditandai dengan ketakutan, ketegangan, saling curiga dan hubungan
ini membekukan relasi pribadi dan daya rasuli. Kepercayaan merupakan batu uji
apakah relasi pribadi antara pemimpin dan anggota sungguh otentik.
e. Menafsirkan tanda-tanda zaman
48
Dalam kehidupan dunia tidak hanya Roh Kudus yang bekerja. Roh jahat
yang bersumber pada kekuatan destruktif pun bekerja. Tanda-tanda zaman ini
sering membingungkan, bersifat mendua dan tidak jelas. Maka seorang pemimpin
perlu mengembangkan kemampuan pembedaan roh, penegasan rohani dan
mengenal sumber-sumber gerak roh dengan selalu mengarah pada Kristus, dengan
mata Kristus karena ini adalah salah satu ciri tugas pelayanan pemimpin dewasa ini.
f. Menyesuaikan unsur-unsur positif
Tahap berikut setelah penegasan rohani adalah bagaimana seorang
pemimpin menyesuaikan unsur-unsur positif baru. Tanda-tanda zaman juga
mengandung unsur-unsur positif, dan mengandung janji-janji serta undangan Tuhan
untuk hidup secara baru. Dialog, tanggung jawab bersama, subsidiaritas,
komunikasi antar pribadi memberi kesempatan kepada komunitas dan anggota
untuk memperoleh inspirasi serta cara baru dalam menghayati panggilan dan misi.
Pemimpin harus berusaha menerapkan dan mengintegrasikan semuanya dalam
kepemimpinan dan pemerintahannya dengan mempelajari perkembangan ilmu-ilmu
managemen modern, bagaimana membuat perencanaan dan menggunakan sumber
daya manusia secara tepat demi tercapainya misi. Managemen yang terbuka akan
mengurangi kemungkinan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang tersembunyi,
yang tidak disadari namun merugikan efektifitas kesaksian dan kerasulan.
g. Memberi inspirasi
Pemimpin yang berada di tengah-tengah situasi yang ditandai ketakutan,
keraguan dan ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kerapuhan yang sering
membawa sikap pesemis dan frustrasi perlu memberi inspirasi dan daya hidup yang
mengandaikan seorang pemimpin memiliki kepercayaan besar kepada Tuhan dan
49
komunitas. Hal ini menuntut sikap realistis dan diperlukan kekuatan adikodrati dan
kebesaran jiwa yang berasas pada Tuhan dan penyelenggaraan-Nya dalam
menegaskan nilai demi memperjuangkan nilai yang datang dari Tuhan. Untuk itu
seorang pemimpin harus memiliki iman yang kuat, sehingga dalam kesalahan
apapun ada keyakinan bahwa Allah akan mengubahnya dan mengarahkannya pada
kehendak-Nya. Iman memungkinkan seorang pemimpin menerima anugerah
kebesaran jiwa yang menjadikannya benar-benar siap menerima anggotanya dengan
segala keterbatasan yang biasanya tidak mereka terima. Seorang pemimpin
hendaknya berusaha memiliki intuisi dan keterbukaan kepada roh sehingga dapat
memiliki impian, keberanian, visi luas, realisme, keteguhan dengan terus menerus
berjuang melawan ketakutan, ketidakmenentuan, pandangan picik dan kemapanan.
h. Membaharui diri terus-menerus
Membaharui diri terus-menerus adalah tuntutan dasar menjadi seorang
pemimpin sejati masa kini. Gambaran seorang pemimpin pada masa sekarang ialah
orang yang sadar akan terjadinya perubahan terus-menerus dalam lingkungannya
dan menerima kenyataan.
C. Kepemimpinan dalam Kongregasi Frater CMM
Menurut Rogier, seorang ahli sejarah menyimpulkan bahwa Mgr. Zwijsen
adalah seorang pria sederhana yang pemikiran-pemikirannya tidak diambil dari
ketinggian awang-awang, melainkan dari perhatiannya yang real terhadap
kehidupan nyata di dunia ini, yang senantiasa dilihat dalam terang keilahian, dan
membicarakannya dengan semangat tiada yang gelap dan tersembunyi di dalamnya.
Lebih lanjut ia mangatakan bahwa Mgr. Zwijsen adalah seorang organisator yang
50
cakap menghadirkan semangat baru dalam karya kerasulan Gereja sehingga dalam
kepemimpinannya pelayanan cinta yang berbelaskasih kedua kongregasi yang
didirikan berkembang pesat dan menghasilkan restorasi menyeluruh dalam Gereja
dan struktur masyarakat Belanda zaman itu (Lie Petronela, 1997: 9).
Dalam motto Mansuete et Fortiter, terlihat jelas bahwa Mgr. Zwijsen adalah
seorang yang memiliki model kepemimpinan kelembutan dan ketegasan. Semangat
kelembutan dan ketegasan dirangkum dalam Konstitusi Frater CMM tentang
kepemimpinan di tingkat umum, tingkat provinsi dan tingkat komunitas. Struktur
dewan pimpinan yang ada di dalam kongregasi merupakan unsur mutlak dalam
membangun persekutuan (Konst. Bag. I. Art. 425). Segala bentuk pelaksanaan
kekuasaan dalam Kongregasi hendaknya didorong oleh semangat cinta kasih
kristiani. Mereka yang memimpin, mempunyai cukup waktu untuk menjalin
hubungan pribadi yang akrab, dan membaharui hidup. Dari para pemimpin kita
mengharapkan perlindungan martabat pribadi dan perlindungan terhadap semua
orang dan bertindak tegas penuh wibawa tanpa pandang bulu.
1. Kepemimpinan di Tingkat Umum
a. Dewan Pimpinan Umum
Dewan Pimpinan Umum terdiri atas Pemimpin Umum dan tiga atau lebih
anggota Dewan Pemimpin Umum dan jumlahnya ditentukan berdasarkan ketetapan
kapitel umum (Konst. Bag. I. Art. 132-137). Mereka bersama akan bekerja sama,
mengadakan rapat yang diketuai pemimpin umum memperhatikan kepentingan
kongregasi seluruhnya. Dalam hal ini Pemimpin Umum akan meminta nasehat dari
para anggota dewan dan sungguh memperhitungkan pendapat mereka. Dalam hal
51
sah tidaknya sebuah keputusan yang berkaitan dengan kongregasi, Pemimpin
Umum membutuhkan persetujuan mayoritas dari anggota Dewan Pimpinan Umum.
Selama masa jabatan Dewan Pimpinan Umum, paling sedikit diadakan dua
kali sidang yang diketuai Pemimpin Umum. Pemimpin dan anggota Dewan
Pimpinan berunding bersama dalam keterbukaan dan berusaha mencapai kebulatan
suara dalam proses mengambil keputusan (Konst. Bag. I. Art. 428).
Dalam melaksanakan tugasnya, para anggota Dewan Pimpinan Umum
memperhatikan (Konst. Bag II. Art. 157):
refleksi tentang pelbagai situasi dalam kongregasi, tuntutan-tuntutan Gereja
dan masyarakat terhadap kehidupan dan karya para frater
mempelajari masalah mengenai hidup religius, pembinaan, karya kerasulan
dan perkara-perkara kepemimpinan demi kepentingan kongregasi.
Para anggota Dewan Pimpinan diharapkan setia pada tugas yang
dipercayakan, dan yakin bahwa jabatannya sangat penting demi persatuan
kongregasi (Konst. Bag. II. Art. 164). Tugas Dewan Pimpinan Umum yang paling
penting adalah memberikan dorongan agar para anggota hidup sesuai dengan
Konstitusi dan menciptakan kondisi yang menguntungkan sehingga dalam diri
Pemimpin Umum terungkap secara istimewa bahwa kita merupakan kesatuan yang
dituntun dengan kebijaksanaan dan cinta kasih (Konst. Bag. I. Art. 441.444).
2. Kepemimpinan di Tingkat Provinsi
Dewan Pimpinan Provinsi terdiri dari Pemimpin Provinsi dan dua atau lebih
anggota Dewan Pimpinan Provinsi, yang bertanggung jawab untuk memajukan
kepentingan kongregasi dalam provinsi (Konst. Bag. II. Art. 190). Pemimpin
52
Provinsi dalam fungsinya memperhatikan kesejahteraan rohani dan jasmani para
frater, karya kerasulan dan pengolahan harta kekayaan provinsi (Konst. Bag. II. Art.
206). Dewan Pimpinan Provinsi bersidang untuk memberikan bimbingan dalam
kehidupan para frater.
Tugas seorang Pemimpin Provinsi sebagaimana diuraikan dalam Konstitusi
Frater CMM (Bag. II. Art. 208) menjelaskan :
a. Menyediakan pembinaan religius, intelektual dan profesional serta
memperhatikan pembinaan lanjut yang baik untuk para frater dalam provinsi.
b. Membuat susunan komunitas yang baik dan membicarakan perpindahan
dengan frater bersangkutan sebelum memindahkan frater ke komunitas lain.
c. Menyiapkan para novis dan yang berprofesi sementara dengan pembinaan dan
bimbingan yang baik.
d. Bekerja sama dengan Pemimpin Komunitas demi terpupuknya hidup
berkomunitas yang baik bagi para frater.
e. Memperhatikan kesejahteraan frater yang berusia lanjut dan sakit.
Konstitusi menggambarkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya sebagai
Pemimpin Provinsi para anggota dewan adalah rekan kerja yang berunding bersama
untuk pembagian tugas. Setiap anggota dilimpahi wewenang oleh pemimpin
provinsi untuk menunaikan tugas yang dipercayakan (Konst. Bag. II. Art. 215).
Pimpinan provinsi akan memelihara hubungan dengan semua komunitas dan
memberi kesempatan kepada frater-frater dengannya dan akan mewujudkan
perhatian kepada semua. Dalam kerja sama yang erat dengan para Pemimpin
Komunitas, Pemimpin Provinsi senantiasa mendorong para frater, agar hidup sesuai
dengan cita-cita yang digariskan Konstitusi (Konst. Bag. I. Art. 454-455).
53
3. Kepemimpinan di Tingkat Komunitas
Konstitusi CMM (Bag. II. Art. 242) mengatakan bahwa sebuah komunitas
dipimpin oleh Pemimpin Komunitas, seorang wakil dan satu atau lebih anggota
dewan yang dipilih. Pemimpin Komunitas bertugas mendorong para frater
menjalankan hidup berkomunitas yang religius sebaik mungkin dan mendukung
para frater dalam usaha itu. Pemimpin Komunitas juga berusaha memberi waktu
untuk semua frater, mendengarkan dan berusaha agar sehati sejiwa membaktikan
diri bagi kepentingan Gereja dan masyarakat (Konst. Bag. II. Art. 251-252).
Pemimpin Komunitas menjadi pemberi semangat dalam komunitas agar semua
frater hidup sesuai Konstitusi.
Dalam kehidupan komunitas sidang komunitas menjadi bagian yang sangat
penting. Sidang komunitas menentukan gaya hidup komunitas, dan semua frater
bertanggung jawab atas hidup komunitas yang religius. Sidang komunitas juga
mengungkapkan usaha bersama setiap frater membangun hidup yang didasari
penghayatan konstitusi, dan menyokong komunitas dalam melaksanakan kegiatan
kerasulan dan membantu komunitas menghayati milik kebersamaan secara tepat
(Konst. Bag. II. Art. 262-263).
D. Situasi dan tantangan kepemimpinan religius
1. Tantangan modernisasi dan teknologi
Perkembangan modernisasi dan teknologi yang sangat pesat menguatkan
otonomi manusia dan kekuatan manusia untuk menguasai hidup dan alam. Manusia
cenderung terbuka menerima hal baru dan lebih mengandalkan akal budinya untuk
menyelesaikan masalah hidup. Allah tidak diterima secara logis maupun iman
54
karena dengan kemampuan dan kemandirian semua dapat dicapainya. Kemajuan
teknologi dan media komunikasi membawa dampak positif tetapi di lain pihak
membawa dampak negatif; di antaranya komunikasi menjadi kurang mendalam dan
melahirkan mentalitas konsumtif. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani,
karena harga diri seseorang tidak diukur dengan uang atau milik. Kesederhanaan
lebih diutamakan dari pada hidup berlebihan dan konsumtif (Darminta, 1998: 29).
Sarana komunikasi yang canggih, menawarkan kenikmatan dan keindahan
yang menjanjikan. Hal ini mempengaruhi dan menodai keutuhan martabat pribadi
manusia sebagai citra Allah. Manusia cenderung mencari hal-hal instant dan
menghindari tantangan hidup. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa
tantangan di zaman ini adalah gaya hidup materialisme yang haus akan harta milik,
tanpa mengindahkan penderitaan rakyat kecil, dan tanpa kepedulian terhadap
keseimbangan sumber-sumber daya alam (VC, art. 89).
Darminta (1997: 17-18) menguraikan bahwa tantangan bagi kehidupan di
zaman sekarang adalah adanya gerakkan kehidupan yang menuntut perubahan di
segala bidang kehidupan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang
semakin intensif membuat manusia tidak peduli pada kualitas hidup yang harus
diperjuangkan, memperjual-belikan kebenaran demi kekuasaan dan harga diri. Oleh
karena itu nilai-nilai Kerajaan Allah perlu digali kembali agar dapat hidup dan
dijiwai oleh kebenaran, kedamaian, keadilan dan saling mengabdi satu sama lain.
2. Tantangan berkaitan dengan Pemimpin Religius Masa kini
Dalam Instruksi Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup
Apostolik tentang Keberanian Menghadapi Tantangan dikemukakan kesulitan-
kesulitan yang dijumpai dalam menghayati hidup bakti :
55
“Kesulitan-kesulitan yang dihadapi kaum hidup bakti masa kini mengambil banyak wajah .... Berkurangnya jumlah pada banyak terekat ....Ada waktu di mana tiada kepercayaan sama sekali. Mengingat krisis religius yang berkepanjangan yang dengan keras menyerang bagian-bagian dari masyarakat kita, kalangan hidup bakti, terutama masa kini ... karena dituntut oleh permintaan sosial baru dan tuntutan pemerintah, sekaligus godaan yang ditawarkan dengan efisiensi dan aktivisme, ada resiko menggelapkan aslinya Injil dan melemahkan motivasi spiritual. Mendahulukan proyek pribadi melebihi usaha komunitas dapat menggerogoti kasih persaudaraan” (Bag. II. Art. 11.12)
Dewasa ini banyak kaum muda menjadi calon anggota tarekat religius
tergolong sebagai generasi instan. Menurut Darminta (2003: 237) hal ini nampak
dalam sikap, perilaku dan gaya hidup yang tidak sabar, tidak memiliki daya tahan
yang kuat untuk merangkak dari bawah, dan menginginkan yang nikmat tanpa
bekerja keras, mengalami sakit dan pengorbanan. Orang muda memiliki banyak
keinginan dan harapan tetapi motivasi mewujudkannya sangat sedikit, cepat
menyerah dan putus asa ketika mengalami kesulitan dalam perjalanan hidup.
Menurut Darminta (2003: 238), dalam hidup membiara dewasa ini banyak
anggota religius tergolong dalam generasi penikmat. Mereka menggunakan banyak
waktu untuk menonton acara hiburan misalnya sinetron, film, dan acara hiburan
lainnya. Banyak waktu juga digunakan untuk bercanda, rekreasi, tidur.
Kecenderungan ini dapat membawa keceriaan, optimisme dan hidup yang penuh
gairah tetapi di lain pihak dapat menimbulkan ketidakcocokan terhadap hal-hal
yang menuntut kedisiplinan, keseriusan dan penyangkalan diri.
Pada zaman ini orang sering merasa tidak enak dengan istilah pemimpin.
Istilah ini mengingatkan orang akan pada gaya kepemimpinan yang menekankan
pemerintahan bahkan sangat bersifat “ otoriter “ bagi jiwa dan mentalitas orang
zaman sekarang. Selalu ada aksi-interaksi antara pribadi pemimpin, kepemimpinan
56
dan pemerintahan. Seorang pemimpin yang berlandaskan iman dan kerohanian
Gereja diharapkan setia kepada tugas pokok dan tak berubah, yaitu pembawa
otoritas Kristus (1Tim 3: 13; Kol 3: 17). Dia dituntut mampu menyesuaikan pola
serta gaya kepemimpinan dengan sistem nilai yang berlaku pada zaman sekarang
(Darminta 2005: 19-20).
Lukisan kenyataan di atas menjadi gambaran tantangan yang harus dihadapi
dan ditanggapi pemimpin religius masa kini dalam kehidupan membiara. Samosir
(2004: 14) menegaskan bahwa orang yang dipilih sebagai pemimpin adalah
pembawa otoritas Kristus yang datang untuk melayani bukan untuk dilayani (Mat
20: 28), karena Aku berada di antara kamu sebagai pelayan (Luk 22: 27). Otoritas
sebagai pelayan tidak hanya mewujudkan suatu relasi vertikal tetapi juga horisontal
yang memberi tempat pada nilai kesetaraan, partisipasi, demokrasi dan berbagi
tanggung jawab. Otoritas kepemimpinan bukan untuk menguasai orang lain tetapi
sebagai kekuatan bersama mengintegrasikan otoritas jabatannya dengan otoritas
setiap pribadi yang dipimpin. Untuk mencapai otoritas itu baik pemimpin maupun
anggota harus menghayati semangat kepemimpinan dalam Kristus yaitu
“pengosongan diri” dalam wujud pelayanan satu sama lain, sebagaimana ditulis St.
Paulus dalam surat kepada jemaat di Filipi 2: 4-8 sebagai berikut:
. . . dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Pemimpin zaman sekarang digambarkan sebagai pribadi yang memiliki
kemampuan untuk mengadakan penegasan, mampu menilai tanda-tanda zaman, dan
57
menyesuaikan diri dengan peran dan tugasnya. Seorang pemimpin haruslah bagai
seorang guru yang membawa nilai-nilai dan menjadi pemrakarsa perubahan masa
depan Gereja, dan hidup religius (Darminta, 2005: 19).
Tantangan kepemimpinan juga menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan
yang melanggar nilai-nilai injili dan karisma kongregasi dapat menjadi kesulitan
tersendiri bagi seorang pemimpin. Kekuasaan sering menyebabkan seorang
pemimpin bertindak sewenang-wenang sesuai keinginan hatinya tanpa
mempertimbangkan nilai dan maknanya dalam kehidupan bersama. Darminta
(1993: 32-33) menguraikan beberapa akibat negatif kekuasaan antara lain: 1)
konsentrasi kekuasaan hanya pada diri sendiri sehingga tidak menghargai
wewenang pada orang lain, 2) merasa memiliki hak istimewa untuk dihormati,
selalu benar, merasa tahu segalanya, 3) memiliki kekuatan untuk mempertahankan
dan mengabsahkan perbuatan apa saja demi wibawa, 4) semakin lama berkuasa
akan menjadi egoistik, lupa akan misi yang diterima dari lembaga, 5) kekuasaan
akan menjadi sasaran menumpuk kekayaan. Pada dasarnya kekuasaan dapat
menimbulkan kecendrungan memperjuangkan kepentingan diri dan melalaikan
pengabdian kepada sesama.
3. Tantangan bagi Kongregasi
Dalam kata sambutan membuka pertemuan pemimpin komunitas tanggal 7
Juli 2003, Provinsial Frater CMM mengutip bagian Konstitusi tentang Gereja dan
Dunia yang menegaskan:
Apabila manusia meneliti hatinya, maka ia melihat bahwa ia cenderung kepada yang jahat dan berkelimangan dalam berbagai kejahatan, yang tidak mungkin berasal dari Penciptanya yang baik. Sering manusia menolak untuk
58
mengakui Allah sebagai asal mulanya, maka ia juga merusak keterarahan yang wajar kepada tujuan akhir dan serentak merusak seluruh hubungan baik dengan dirinya sendiri, dengan orang lain maupun dengan semua makhluk (Konst. Ttg Gereja dan Dunia. Art. 13).
Hal ini menegaskan bahwa seorang pemimpin pun memiliki kecenderungan
pada dosa, lemah dan tidak berdaya. Ada sikap yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
religiusitas yang dapat menyusahkan dan menimbulkan ketidakadilan bagi diri
sendiri dan orang lain. Karena itu, pelaksanaan fungsi kepemimpinan tidaklah
dengan sendirinya merupakan bentuk konkret dalam karya belaskasih Yesus Kristus
dalam menyelamatkan semua orang. Santo Paulus mengatakan:
“Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita-oleh kasih karunia kamu diselamatkan dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus” (Ef 2: 3-7).
Jadi pelaksanaan fungsi kepemimpinan dalam komunitas merupakan
partisipasi dalam karya belaskasih Allah dalam Kristus untuk menyelamatkan
semua orang sejauh karya belaskasih itu memancar dan menjiwai keseluruhan
fungsi kepemimpinan. Dengan kata lain seorang pemimpin komunitas hendaknya
memperjuangkan dan memiliki kualitas rohani yang baik karena dengan seorang
pemimpin dapat menjalankan tugas dan fungsi kepemimpinannya secara baik.
Konstitusi Frater CMM menegaskan bahwa tugas seorang pemimpin
komunitas adalah mendorong para frater untuk menjalankan hidup berkomunitas
yang religius sebaik mungkin, mendukung usaha dan senantiasa bersedia memberi
waktu untuk mendengarkan semua frater, agar sehati sejiwa membaktikan diri demi
59
kepentingan gereja dan masyarakat (Konst. Bag. II. Art. 251-252). Dalam rumusan
ini dapat dilihat bahwa tujuan pelaksanaan fungsi kepemimpinan adalah
menjalankan hidup berkomunitas yang religius sebaik mungkin, sehati-sejiwa, dan
membaktikan diri bagi kepentingan gereja dan masyarakat. Tentang tata cara
pelaksanaan dikatakan: mendorong, mendukung, bersedia memberi waktu dan
mendengarkan. Dengan kata lain, tujuan maupun cara pelaksanaan fungsi
kepemimpinan berhubungan dengan karya belaskasih Yesus Kristus untuk
menyelamatkan semua orang. Hal ini ditegaskan pendiri frater CMM: Ia mengutus
kita untuk melaksanakan apa yang telah dilakukan Yesus, yaitu membawa terang,
mengucapkan kata yang menyelamatkan, dan mengulurkan tangan yang menolong
(Bag. I. Art. 10)
Hal-hal inilah yang menjadi tantangan bagi Kongregasi Frater CMM dalam
situasi zaman yang cenderung mengarahkan manusia menyeleweng dari fungsi dan
tugas yang sebenarnya. Di dalam tantangan tersirat sebuah sapaan bagi para
pemimpin untuk menemukan jalan yang tepat sehingga nilai-nilai kristiani,
semangat dan kharisma kongregasi dari Mgr. Zwijsen semakin lama semakin
terwujud dalam kehidupan kongregasi. Dengan demikian karya belaskasih yang
dirintis Yesus dan diwarisi Mgr. Zwijsen semakin dirasakan dan dialami oleh
sesama yang membutuhkan. Mgr. Zwijsen menegaskan:
Dengan demikian, kita dapat berkeyakinan, pada hari yang baik maupun malang, bahwa Allah tetap setia kepada kita; kita berani memulai lagi satu dengan yang lain; kita dapat ikut membangun suatu dunia yang terarah kepada Allah; dan dengan segenap hati kita menyerahkan hidup kita kepada-Nya. Dengan demikian, kita mengalami bahwa kita dalam tangan Allah, yang mencintai dan setia (Konst. Bag. I. Art. 315-316)
BAB IV
PENDALAMAN DAN PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN
PERSAUDARAAN BERBELASKASIH YANG DIHARAPKAN DALAM
KONGREGASI FRATER CMM MELALUI KATEKESE
Setelah penulis mengemukakan tentang kepemimpinan dalam pandangan
kristiani, kepemimpinan dalam Kongregasi Frater CMM, dan tantangan dalam
kepemimpinan religius pada bab III. Pada bab ini penulis akan menyampaikan
pendalaman kepemimpinan dan pengembangannya sehingga dapat mencapai
kepemimpinan yang diharapkan dalam Kongregasi Frater CMM sesuai dengan
Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih.
Bab ini memaparkan tiga pokok. Pokok pertama menguraikan kepemimpinan
dan sikap yang menggarisbawahi beberapa hal yang kiranya relevan dimiliki para
Pemimpin Kongregasi. Pokok kedua menguraikan inti Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih berdasarkan teladan Yesus, menginspirasi keutamaan St. Vinsensius
dan Mgr. Zwijsen. Penulis menilai pokok ini penting didalami demi pengembangan
penghayatan Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih dalam perutusan para
pemimpin. Pokok ketiga adalah usulan katekese sebagai usaha yang dapat
dilakukan untuk memperdalam penghayatan Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih sebagai landasan kepemimpinan dalam Kongregasi Frater CMM.
Secara konkret, usaha kegiatan pendalaman Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih bagi para Pemimpin Kongregasi Frater CMM dilaksanakan dalam
bentuk rekoleksi dengan model praksis atau yang lebih dikenal dengan nama SCP
(Shared Christian Praxis).
61
A. Kepemimpinan dan Sikap
Setiap manusia yang memiliki jabatan atau pekerjaan mempunyai kesukaran
atau kesulitan tertentu. Seorang pemimpin dalam jabatannya pun tidak dapat
melepaskan diri dari kesulitan dalam profesinya. Maka seorang pemimpin harus
siap untuk mengalami kekecewaan, kegagalan karena hal ini tidak bisa dihindari.
Agar dapat menghadapi kesulitan ini dengan bijak seorang pemimpin perlu
memiliki sikap dasar, mental dan sikap batin yang baik. Menurut Mangunhardjana
(1976: 51-54) sikap dasar dalam kepemimpinan itu meliputi :
1. Cinta Kepada Sesama
Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki cinta. Orang yang
memiliki cinta akan berusaha dengan gagasan, perkataan, dan perbuatan yang
dimiliki menjamin kesejahteraan bersama. Cinta kepada sesama merupakan dasar
dan wadah yang kuat untuk menerima tanggung jawab dalam diri seorang
pemimpin demi kebaikan sesama. Cinta seorang pemimpin akan mendorong dan
memberinya semangat untuk melakukan hal yang nyata bagi sesama. Lewat hal
inilah akan mengalir perhatian, rasa simpati, kesediaan bekerja dan berjuang bagi
orang lain tanpa kenal lelah. Karena cinta seorang pemimpin akan merasa
terpanggil untuk menyelesaikan sesuatu yang nyata dalam hidup dan meninggalkan
tonggak-tonggak jasa dalam langkahnya. Maka sangatlah penting bahwa cinta
kepada sesama menjadi sikap dasar yang selalu menjiwai dan mewarnai seluruh
hidup seorang pemimpin. Menurut Darminta (1997: 25) kekuatan belaskasih atau
cinta memberikan daya keberanian untuk menjadi saksi kebenaran, apapun
resikonya, dengan mengenakan belaskasih.
62
2. Memiliki cita-cita
Cita-cita yang tinggi harus menjadi bagian dalam hidup seorang pemimpin,
karena hal ini dapat menjadi semangat awal untuk mengobarkan semangat orang
yang dipimpinnya melakukan hal-hal yang nyata dalam kebersamaan. Pemimpin
yang besar adalah pemimpin yang bercita-cita dan berani berkorban demi orang
yang dipimpinnya. Cita-cita ini perlu dijaga kemurniannya karena banyak tantangan
yang dapat mengaburkan dan melunturkannya. Di antaranya silau akan kesuksesan,
mengejar harta kekayaan, gila kekuasaan yang melekat pada jabatannya, cita-cita
yang tinggi perlu dijaga agar tetap terarah untuk mencapai tujuan dan cita-cita
bersama demi kepentingan banyak orang.
3. Rendah Hati
Orang yang rendah hati adalah orang yang tampil apa adanya, bersikap
wajar, tidak sombong, tidak bersikap super, tidak minder, tidak ragu dan tidak
merasa kalah dengan orang lain. Sikap rendah hati lahir dari usaha mengenal dan
menerima diri apa adanya baik yang positif maupun yang negatif, kelebihan
maupun kekurangannya, keistimewaan dan cacatnya. Orang yang mengenal diri
tahu dengan baik betapa berharga diri dan sesamanya sehingga selalu merasa yakin
bahwa dirinya dapat menyumbangkan sesuatu kepada sesama dengan apa yang
dimiliki. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sikap rendah hati
karena dengan sikap ini ia dapat memimpin dengan tenang, dengan perhitungan
yang matang dan tidak takut akan mengecewakan orang lain. Hein dan Jos (1998:
25) menegaskan hal ini dengan mengutip kalimat Ken Blanchard dan Norman
Vincent Peale: “orang yang rendah hati bukanlah merasa dirinya rendah, melainkan
tidak terlalu memikirkan dirinya saja.”
63
4. Setia pada kebenaran
Setia pada kebenaran menandakan bahwa seseorang mencintai kebenaran
itu. Hal ini akan menggerakkannya untuk secara detail mencari fakta yang
sebenarnya dan tidak mudah tertipu. Ia akan berusaha semampunya untuk setia
kepada kebenaran, melakukan berdasarkan yang nyata, mengambil keputusan
berdasarkan fakta nyata; bukan berdasarkan bayangan atau khayalan, akan bertahan
pada fakta yang ada dan membuat konsekwensi berdasarkan fakta. Hal ini
dimaksudkan untuk menghasilkan keputusan yang jujur dalam perbuatan yang
lurus. Kesetiaan seorang pemimpin pada kebenaran akan menghindarkannya dari
perbuatan berdasarkan emosi, pendapat pribadi dan isue sehingga ia tidak akan ragu
bergerak maju walau banyak tantangan dan kesukaran yang harus dihadapi.
B. Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih sebagai dasar kepemimpinan
Pengalaman beberapa frater dan suster memungkinkan untuk melihat aspek-
aspek penting dalam pengalaman belaskasih masa kini. Yang mencolok ialah rasa
iba yang kuat, kesederhanaan yang meyakinkan, keterarahan pada teladan Yesus
Kristus yang Berbelaskasih serta Maria Bunda yang Berbelaskasih dan akhirnya
kecekatan untuk memberi wujud kepada gerakan belaskasih dalam aneka
kebudayaan dan dalam segala situasi yang berbeda.
1. Tergerak untuk Berbelaskasih
Dalam zamannya Mgr. Zwijsen berpikir dan secepatnya mengambil langkah
pelayanan konkret membantu mengatasi krisis hidup dan menolong penduduk yang
berada dalam situasi krisis baik dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan maupun
agama. Mgr Zwijsen berpikir lebih keras dan menemukan solusi yang tepat agar
64
penduduk Tilburg mendapat penghidupan yang layak. Semua ini dilakukan Mgr.
Zwijsen karena rasa yang ada di dalam hatinya menolong orang yang membutuhkan
pertolongan. Untuk mewujudkan hal ini Mgr Zwijsen memerlukan tenaga-tenaga
pelaksana dan caranya untuk memperoleh tenaga-tenaga itu (Leirop, 1995: 18).
Mgr. Zwijsen segera mengumpulkan beberapa wanita sebagai pembantunya
dan membangun bagi mereka sebuah rumah, memberikan pelajaran agama dan
latihan ketrampilan kepada mereka dengan harapan para wanita ini dapat
memberikannya juga kepada anak-anak buruh yang tidak mendapatkan pelajaran
agama Katolik. Mgr. Zwijsen mendirikan sekolah untuk anak-anak putri yang
hanya menerima pelajaran agama, pelajaran menjahit, pelajaran membaca, menulis
dan berhitung setelah mendapat izin pemerintah.
Mgr. Zwijsen melihat, tergerak dan membantu secara konkret masyarakat
yang hidup menderita karena situasi ekonomi, pendidikan dan agama yang amat
kurang. Dasar dari tindakan ini sebenarnya atas dasar belaskasih yang sudah lama
bergelora dalam hatinya. Panggilan belaskasih seperti yang dimaksudkan Joannes
Zwijsen, selalu dialami sebagai sesuatu yang baru. Dalam perhatian terhadap orang
miskin dan pertolongan konkret yang diberikan selalu membentuk kembali
panggilan belaskasih. Pengalaman keterbukaan dan keterkaitan merupakan inti
kehidupan belaskasih. Kehidupan religius pada intinya adalah menjadi manusia:
mengenali Allah di dalam manusia terutama yang miskin (Hein & Jos, 1998: 97).
Seorang pemimpin yang dipanggil mengikuti Yesus berdiri dengan
belaskasih di tengah kehidupan agar dengan demikian Kerajaan Allah dapat
bertumbuh. Mgr. Zwijsen mengatakan bahwa: Belaskasih berarti memperhatikan
65
manusia dengan kepekaan halus terhadap yang disingkirkan. Hal ini berarti sangat
mengasihi sesama, memahami seruan ‘tolonglah saya’ sebagai panggilan pribadi,
dan hidup dalam perhatian terhadap belaskasih. Bagi Mgr. Zwijsen belaskasih
merupakan kata tentang hati manusia yang mengarahkan hatinya terhadap orang
muda dan memberikan pertolongan belaskasih terhadap mereka sehingga belaskasih
merupakan gaya dari lapisan hidup yang lebih dalam (Hein & Jos, 1998: 98).
Model kepemimpinan berbelaskasih seperti inilah yang diharapkan dalam
Kongregasi Frater CMM seperti yang telah dirintis oleh pendiri Mgr. Zwijsen.
Seorang pemimpin yang mempunyai kasih selalu tergerak untuk melihat kenyataan
yang sedang terjadi, tergerak untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat
dilakukan dan kemudian mewujudkan semua itu dalam suatu tindakan belaskasih
terhadap orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
2. Yesus Sebagai Teladan Belaskasih
Sumber belaskasih adalah Allah sendiri yang menjelma dalam diri Yesus
Kristus yang melaksanakan karya karitatif-Nya demi keselamatan manusia.
Sebagaimana Yesus menjalin relasi intim dengan Bapa-Nya demikian manusia yang
mau berbelaskasih harus menimba kekuatan dan menjalin relasi intim dengan
Yesus. Tanpa relasi intim dengan-Nya pelayanan tidak mendapatkan landasan yang
kuat. Pelayanan belaskasih akan bermakna bila terjalin relasi yang baik dengan-
Nya. Manusia menggali belaskasih Yesus dan mengejawantahkannya dalam
tindakan karitatif di dunia ini (Hein & Jos, 1998: 103).
Mgr. Zwijsen sangat terinspirasi oleh Yesus yang berbelaskasih. Belaskasih
Yesus sungguh konkret untuk orang-orang yang kecil, miskin dan tertindas. Dalam
66
motto tahbisannya, Mansuete et fortiter, kelembutan dan ketegasan, demikianlah
belaskasih menjadi nyata dalam kelembutan dan ketegasan dalam menolong orang
lain. Mgr. Zwijzen menjadikan Yesus adalah teladan dan menimba dari sumber
hidup yang kemudian mengalir dalam seluruh hidupnya dan menunjukkan sikap
belaskasih konkret bagi orang pada zamannya dengan memperhatikan orang muda
yang miskin, tertindas dan tidak diperhatikan. Dia melihat kebutuhan akan iman
pada zamannya, maka pendidikan agama menjadi fokus perhatian yang besar (Hein
& Jos, 1998: 104-105).
Pelayanan konkret Yesus menjadi dasar bagi Zwijsen dalam meletakkan
pelayanannya yang aktual untuk orang pada zamannya. Pendiri mempunyai maksud
untuk mengentaskan situasi yang terjadi pada zamannya sesuai visi dan tujuan yang
akan dicapai (Darminta, 2003: 57). Yesus menjadi seorang inspirator utama dalam
semua pelayanan Mgr Zwijsen semasa hidupnya demi mengangkat nilai-nilai
kemanusiaan yang direndahkan karena struktur tertentu. Yesus menunjukkan bahwa
kebenaran yang diwartakan-Nya bukan sesuatu yang abstrak. Kebenaran itu nyata
dalam tindakan dan belaskasih terhadap keprihatinan orang-orang yang dijumpai.
Yesus menumbuhkan keyakinan bahwa pertolongan yang diberikan-Nya
merupakan tanda pembaruan hidup (Nouwen: 2007: 15) Mgr. Zwijsen melihat
kemiskinan untuk bertindak secara konkret dalam membaharui kehidupan menjadi
semakin baik.
Mgr. Zwijsen memberi kedudukan sentral kepada belaskasih. Mgr Zwijsen
menekankan hal tersebut agar pelayanan yang diberikan kepada orang miskin bukan
merupakan kesempatan untuk mencari kehormatan, keuntungan atau kepuasan diri.
67
Karya-karya belaskasih tidak merupakan luapan bentuk kehidupan religius,
melainkan inti hidup religius. Mgr Zwijsen memahami belaskasih sebagai inti
hidup dari seorang religius yang mau melayani dengan total (Hein & Jos, 1998: 18).
Bagi Mgr. Zwijsen, karya belaskasih bukan tanpa arti. Pelayanan yang diberikan
kepada orang yang membutuhkan mempunyai suatu motivasi yakni demi Allah,
artinya demi melaksanakan kehendak Allah. Karya-karya yang dikerjakan
menghantar orang pada pengenalan akan Allah sebagaimana dilakukan oleh Yesus
(Pembicaraan Akrab, 1864: 73-75). Jadi pelayanan yang didasarkan pada semangat
belaskasih mengambil bagian dalam pelayanan Yesus agar semua orang dilayani
dapat dihantar dan mengenal Allah.
3. Membangun Kerajaan Allah
Kehadiran Yesus dan seluruh karya-Nya merupakan tanda kehadiran
Kerajaan Allah. Yesus tidak pernah memberikan definisi yang jelas mengenai
Kerajaan Allah. Secara umum dapat dikatakan bahwa Kerajaan Allah berarti Allah
menyatakan diri sepenuhnya sebagai raja. Dengan demikian yang paling pokok
adalah dinamika tindakan Allah: Allah bertindak sebagai raja yang ideal. Allah
campur tangan dalam sejarah umat manusia (Suharyo, 1987: 80-81).
Kerajaan Allah hadir di dunia untuk menghantar manusia pada
keselamatan dan pembebasan. Allah bukan lagi Allah yang jauh, namun Allah yang
sangat dekat dengan kehidupan manusia. Hidup, karya dan pribadi Yesus adalah
tanda Kerajaan Allah itu telah nampak di dunia. Yesus menampakkan Kerajaan
Allah sebagai sebuah Kerajaan di mana cintakasih yang universal meraja, Allah
menjadi Bapa semua dan masing-masing orang. Untuk cita-cita itulah Allah
memberikan hidup-Nya. Kerajaan Allah anugerah rahmat dari Allah dengan penuh
68
kasih yang tidak terbatas untuk mencari manusia dan menawarkan keselamatan
akhir kepada manusia. Kerajaan Allah adalah anugerah yang datang dari Allah
dan orang hanya bisa terima dengan rasa kagum dan syukur. Allah datang kepada
manusia dengan kasih yang tak terbatas (Fuellenbach, 2000: 160).
4. Menginspirasikan Lima Keutamaan St. Vinsensius a Paul
Santo Vinsensius a Paul mencurahkan seluruh hidupnya untuk melayani
orang miskin, tertindas dan terlantar. Untuk maksud tersebut dia mendirikan dua
tarekat belaskasih, yakni: Kongregasi Misi (Lazaris) dan Kongregasi Putri Kasih.
Santo Vinsensius adalah seorang pribadi yang konsisten dan tegas. Dia sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai pribadi terutama orang-orang yang miskin.
Dalam hidupnya, Santo Vinsensius mencari bentuk, cara hidup dan struktur
persekutuan yang memberi ruang dan kesempatan kepada orang untuk mengalami
belaskasih Allah. Kepekaan Vinsensius terhadap orang yang miskin dan menderita
sedemikian rupa ditopang oleh sebuah Kristologi yang kuat (Hein & Jos, 1998: 29).
Rm. Paulus Suparmono, CM dalam Lokakarya Bina diri menjadi Formator
Vinsensian dalam Milenium III menguraikan bahwa St. Vinsensius dalam
menjalankan karya belaskasih memandang perlunya memperhatikan lima
keutamaan khas sebagai seorang misionaris antara lain: simplisitas (kepolosan hati),
rendah hati, kelembutan hati, mati raga dan semangat menyelamatkan jiwa-jiwa.
a. Kepolosan hati
Bagi St. Vinsensius kepolosan hati pertama-tama berbicara tentang
kebenaran; mengatakan apa adanya, tanpa menutupi atau menyembunyikan sesuatu.
Hal ini terungkap dalam sepucuk suratnya kepada Francois du Caoudray:
69
Aku tahu bahwa berkat kemurahan hati Anda, syukur kepada Allah, Anda memberi saya kebebasan penuh untuk berbicara kepada Anda dengan penuh kepercayaan tanpa sembunyi-sembunyi atau pura-pura; dan bagi saya rupanya sampai sekarang Anda telah mengetahui fakta itu dalam semua urusan saya dengan Anda. Oh Tuhan! Apakah saya celaka karena terpaksa melakukan atau mengatakan sesuatu dalam urusan saya dengan Anda yang bertentangan dengan simplisitas yang suci itu? Oh! Tuhan! Semoga Tuhan menjaga saya untuk melakukan hal demikian dalam hubungan dengan segala sesuatu! Keutamaan inilah yang paling saya cintai, karena saya sangat memperhatikan agar tindakan saya bertumpu pada keutamaan ini; dan jika saya berhak mengatakan demikian, maka boleh saya katakan bahwa berkat belaskasih Allah saya menjadi berkembang dalam keutamaan ini (SV. I. 284).
Dalam dunia zaman ini St. Vinsensius menginspirasikan bahwa kebenaran
merupakan dasar kepercayaan, dan dasar semua relasi manusia. Berbicara dan
memberikan kesaksian adalah nilai utama kristiani. Yesus adalah kebenaran (Yoh 4:
6). Orang yang bertindak dalam kebenaran datang ke dalam terang (Yoh 3: 21).
Setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Nya (Yoh 18: 37).
Simplisitas dari sudut pandang ini berarti bila mewartakan kebenaran dan keadilan
maka harus juga hidup berdasarkan penghayatan akan kebenaran dan keadilan
(Ponticelli, 1996: 20).
Kepolosan hati juga berarti mengarahkan segala sesuatu hanya karena cinta
kepada Allah dengan konsekwensinya menghindari penghargaan orang lain. Hal ini
juga berarti gaya hidup tanpa hiasan, hidup dengan peralatan yang sederhana, tidak
berlebihan dan menggunakan barang dengan kepolosan hati yang besar. St.
Vinsensius mewajibkan orang harus mempraktekan kepolosan hati dalam hidup
karena: Tuhan senang berkomunikasi dengan orang yang sederhana, dunia
mencintai orang yang sederhana, kepolosan hati membantu orang berhubungan
dengan orang yang sederhana, kepolosan hati menjadi Roh Kristus, orang yang
polos menjamin suatu agama sejati. Menurut St. Vinsensius cara-cara yang dapat
70
digunakan untuk mengembangkan kepolosan hati antara lain: berbicara secara
terbuka dengan siapa saja tanpa menyembunyikan sesuatu, mentaati peraturan
untuk menyenangkan Tuhan dan melaksanakan perintah tanpa harus bertanya
mengapa.
b. Kerendahan hati
St. Vinsensius mengartikan rendah hati sebagai mengakui bahwa semua hal
baik itu berasal dari Allah. Ia pernah menulis sebuah surat kepada Firmin yang
berbunyi: “Marilah kita tidak lagi berkata: Sayalah yang telah mengerjakan
kebaikan ini; karena semua hal yang baik harus dilakukan dalam nama Tuhan
Yesus Kristus (SV. VII. 98-99). Allah mencurahkan anugerah-Nya yang berlimpah
kepada orang yang rendah hati yang mengakui bahwa semua kebaikan yang
dilakukan oleh mereka berasal dari Allah” (SV. I. 182). Kita sepenuhnya tergantung
pada Tuhan. Hal ini ditegaskan dalam Kisah Para Rasul (17: 28): “Di dalam Dia
kita hidup dan bergerak serta memperoleh keberadaan kita.”
Maka patutlah dalam kerendahan hati kita juga berterima kasih kepada Allah
karena begitu banyak anugerah dari Allah. Dengan menyadari bahwa segala sesuatu
adalah pemberian maka orang yang rendah hati akan menerima hidup dengan penuh
terima kasih, menyerahkan keputusan kepada Tuhan dan memusatkan perhatian
pada apa saja yang baik dalam diri orang lain dan selalu bersyukur pada Tuhan.
Maria mengungkapkan hal ini dalam injil Lukas (1: 46-50):
“Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus. Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.”
71
Rendah hati adalah mengakui kerendahan diri dan kesalahan seiring dengan
sebuah keyakinan yang besar kepada Allah sehingga mampu menerima rahmat-Nya
setiap saat. Kerendahan hati merupakan sikap bebas yang sempurna sehingga selalu
ada dalam keyakinan terhadap pencipta tertinggi yang harus diikuti (SV. III. 279).
“Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh
kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus
Yesus” (Rom 3: 23-24). Rendah hati juga menyangkut pengosongan diri dengan
rela sebagai hamba yang berarti menghindari pujian dunia dan menghargai orang
lain lebih dari diri sendiri karena kerendahan hati adalah sebuah keutamaan
komunal.
St. Vinsensius mengemukakan sejumlah alasan untuk mempraktekkan
kerendahan hati antara lain: kerendahan hati adalah keutamaan khas Yesus, bunda
Maria dan para kudus: “Keutamaan ini adalah keutamaan Yesus Kristus, keutamaan
Bunda Kudus-Nya, keutamaan para kudus yang paling besar (SV. XI. 56-57),
rendah hati adalah asal semua kebaikan dan senjata mengalahkan kejahatan. Untuk
dapat bertekun diperlukan kerendahan hati karena dapat memancing datangnya
keutamaan-keutamaan lain dalam diri manusia, menjadi kesempurnaan injili,
menjadi sumber damai dan kesatuan. “Jika anda membangun diri Anda di dalam
kerendahan hati, Anda akan membuat tarekat menjadi sebuah surga dan umat akan
membicarakannya bahwa ada sekelompok orang yang paling bahagia di dunia ini”
(SV. X. 439).
c. Lemah lembut
Menurut St. Vinsensius lemah lembut hati adalah kemampuan
mengendalikan kemarahan. Kemarahan adalah suatu energi yang secara spontan
72
muncul dalam diri bila menangkap sesuatu yang jahat. Apabila kemarahan
ditangani dengan baik kerap menuntut pengungkapan. St. Vinsensius juga marah
terhadap komunitas-komunitas jika ia menemukan kejahatan-kejahatan tetapi ia
berusaha meramu kemarahannya dengan kelembutan hati. Kemarahan
menyebabkan St. Vinsensius kreatif dan berusaha mencontohi Yesus yang
seimbang dalam bersikap; lembut tetapi tegas. Lemah lembut membuat orang
bertekun menghadapi serangan dengan sikap berani mengampuni. Kita harus
memperlakukan dengan sopan bahkan mereka yang mencelakakan kita (SV. XII.
191).
Lemah lembut membuat kita tidak hanya memaafkan penghinaan dan ketidakadilan yang kita terima tetapi bahkan menyebabkan kita memperlakukan dengan santun mereka yang menghina kita, dengan kata-kata yang menyejukkan, dan biarpun mereka bertindak jauh sampai menyalahgunakan kita dan bahkan menampar muka kita, keutamaan ini membuat kita bertekun melakukan segala sesuatu demi Allah. Begitulah buah yang dihasilkan oleh keutamaan ini (SV. XII. 192).
Orang yang lemah lembut hatinya memperlakukan dengan sopan dan adil
mereka yang terjerat dalam kejahatan. Terkadang kita harus mengeluarkan energi
untuk melawan kejahatan demi menegakkan keadilan. Oleh karena itu kelembutan
dan keteguhan sangat diperlukan dalam membuat keputusan, tentang masa depan
komunitas. Perlu keberanian untuk bertindak dan pada saat yang sama harus
menunjukan kelembutan hati terhadap yang mempunyai kesulitan untuk
menyesuaikan diri. Para pemimpin religius akan mengalami bahwa beberapa orang
dari komunitas melihat segala sesuatu secara hitam, anggota yang lain abu-abu.
Beberapa akan mengenang masa lampau sebagai ukuran mengambil keputusan,
sementara yang lain hanya melihat masa depan yang belum terpetakan. Para
pemimpin tidak dapat memuaskan orang yang berbeda kepribadian. Mereka harus
73
membuat keputusan dengan berani dan memperlakukan dengan lemah lembut
mereka yang tidak menyetujuinya.
“Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah (2 Tim 1: 8)” “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat 1: 29).
Kelemahlembutan juga merupakan sebuah kemampuan dapat didekati,
ramah tamah, sikap santun dan berwajah tenang terhadap mereka yang mendekati.
Sikap ini mempunyai kualitas penting dalam diri pelayan. St. Vinsensius
mendorong agar menyadari bahwa umat akan lebih tertarik dengan keramahan
daripada argumentasi. Nasehat ini cocok dalam menerima koreksi agar yang
mendengar koreksi dapat mendengarkan kata-kata yang disampaikan dengan ramah.
St. Vinsensius mengungkapkan beberapa alasan harus mempraktekkan
kelemahlembutan antara lain: Tuhan kita bersikap lemah lembut selamanya
terhadap kita (SV. IV. 53), lemah lembut menyiapkan seorang berpaling kepada
Tuhan, dan seseorang harus lemah lembut agar dapat bertahan terhadap kekerasan
orang miskin. Tentang cara memperoleh kelemahlembutan St. Vinsensius
mengemukakan berberapa hal: sebelum membuat keputusan atau bertindak orang
yang marah harus menahan lidahnya, bersikap tenang (SV. XI. 67), berkata-kata
dengan ramah, menahan diri terhadap makian, celaan, (SV. IV. 53), dan selalu siap
meminta maaf (SV. IV. 121).
d. Mati Raga
Mati raga terdiri atas menolak sesuatu yang baik untuk mengerjakan sesuatu
yang lebih baik. Dalam arti ini mati raga adalah sesuatu ‘asketis fungsional”.
74
Dilakukan demi sesuatu atau seseorang. Kita merelakan sesuatu bukan karena hal
itu buruk tetapi karena kita menginginkan sesuatu yang lebih baik. Seorang
berselibat supaya ia ’menjadi bebas untuk Tuhan’ dan membaktikan diri secara
terarah melayani Kerajaan Allah, dan merelakan diri untuk suatu hidup doa. Dengan
pengertian ini tujuan sesungguhnya mati raga adalah memilih dan membangun diri
sejati seseorang (Tondowidjojo, 1990: 30).
Mati raga meliputi pengakuan atas sasaran dan menyalurkan energi untuk
mencapai sasaran itu. Untuk mencapai sebuah kemahiran dibutuhkan waktu,
latihan, kerja keras dan disiplin. Oleh karena itu seseorang perlu mengetahui apa
yang menjadi cita-citanya dan berdisiplin untuk mencapainya. Yesus berkata bahwa
tak seorangpun dapat menjadi pengikut-Nya kecuali menolak keluarga, istri, bapak,
ibu dan sanak keluarga (Mat 19: 29).
Jika cita-cita kita adalah mengikuti Yesus, maka keterikatan pada segala
sesuatu harus diubah dalam cahaya cita-cita itu. Berdasarkan pemahaman di atas
dikemukakan beberapa bentuk mati raga sesuai dengan zaman ini antara lain: siap
menjawab kebutuhan komunitas dalam perutusan dengan bakat-bakat yang dimiliki,
siap menghadapi tugas yang kadang tidak menyenangkan, senantiasa setia dan
bertanggungjawab pada pekerjaan yang dihadapi dengan kedisiplinan, bangun pagi
untuk memuji Tuhan, meneguhkan saudara-saudara dalam doa bersama (St.
Vinsensius sangat menekankan pentingnya hidup doa yang disiplin dalam
komunitas), berbagi milik dengan orang lain dan mengusahakan hidup yang
sederhana, berdisiplin dalam makan, minum dan menghindari kegelisahan dan
keluhan, bersikap kritis dalam menggunakan media terutama dalam dunia modern
ini, menahan diri untuk kritik yang memecah belah (suatu norma yang sehat
75
menurut St. Vinsensius), bersikap seimbang bagi mereka yang tidak menyenangkan
dan yang menarik bagi kita.
Sikap-sikap ini merupakan bantuan yang besar dalam hidup bersama bahwa
kita bersaudara dalam Tuhan. Kita dapat dekat dengan orang lain tetapi sangat
penting untuk tidak mengesampingkan orang dari kelompok kita dan persahabatan
kita tetap terbuka bagi orang lain untuk masuk. Maka sangatlah penting mengenal
apa yang menjadi nilai utama dalam kerasulan, doa, komunitas, studi karena hal-hal
yang kadang tak menyenangkan mengakibatkan pengalaman yang tak terduga dan
membahagiakan (Tondowidjojo, 1987: 79).
St. Vinsensius mengemukakan beberapa alasan pelaksanaan mati raga antara
lain: Yesus hanya melaksanakan kehendak Bapa dan dengan tekun bermati raga,
mati raga membantu kita dalam berdoa, mati raga adalah pelunas dosa-dosa, banyak
orang kehilangan panggilan karena gagal menerima mati raga, kemajuan dalam
hidup rohani tergantung pada usaha bermati raga. St. Vinsensius mengatakan:
Mati raga adalah sarana lain, yang akan membantumu dalam perjalanan doa. Doa dan mati raga ibarat dua suster yang dipersatukan demikian erat sehingga yang seorang tidak pernah dapat ditemukan tanpa yang lain. Jika anda ingin menjadi pendoa, seperti yang seharusnya, belajarlah mati raga (SV. IX. 427).
e. Semangat menyelamatkan jiwa-jiwa
St. Vinsensius mengatakan: Jika Cinta akan Allah adalah api, maka
semangat untuk menyelamatkan jiwa-jiwa adalah nyala api itu. Jika cinta itu
matahari, maka semangat menyelamatkan jiwa-jiwa adalah berkas cahaya-Nya (SV.
XII. 307-308). Semangat menyelamatkan jiwa-jiwa adalah cinta yang berapi-api.
Semangat menyelamatkan jiwa-jiwa terdiri atas kemauan untuk pergi kemanapun
untuk menyebarkan kerajaan Kristus, kemauan untuk mati demi Kristus, kemauan
76
bekerja keras demi keselamatan sesama. Semangat ini meliputi cinta yang efektif
manusia yang mendalam terhadap Tuhan dan umat-Nya serta pengorbanan dan
kerja keras yang efektif. Semangat menyelamatkan jiwa-jiwa adalah sebuah cinta
yang setia dan bertekun. St. Vinsensius berkata: “Cinta itu senantiasa menemukan
jalan untuk mewujudkan diri secara tak terbatas” (SV. XI. 146). Semangat ini
kreatif dalam menemukan cara-cara mencintai Tuhan dan cinta kepada orang
miskin, menyesuaikan diri sambil mencari jalan baru mengembangkan diri secara
profesional khususnya melalui bina lanjut.
Dalam sebuah penelitian, tercacat bahwa salah satu faktor yang menghalangi
kaum muda masuk dalam hidup religius adalah kurangnya dorongan keberanian
dari para religius dan keluarga. Orang merasa tidak perlu menunjukan bahwa ada
kekurangan tenaga panenan. Untuk itu diperlukan semangat menyelamatkan jiwa-
jiwa yang terungkap dalam gerakan berbicara secara langsung kepada kaum muda
agar mereka juga dapat berpikir untuk menjadi biarawan atau biarawati. Yesus tidak
pernah ragu memanggil murid-murid-Nya, maka kita pun hendaknya berusaha
untuk menggalang berbagai aksi panggilan dan stimulus bagi kaum muda. Dalam
pengertian ini terlaksana juga semangat menyelamatkan jiwa-jiwa.
5. Menimba Semangat Kesederhanaan menurut Mgr. Zwijsen
Menurut Mgr. Joannes Zwijsen kesederhanaan mengandung dua arti yaitu
kesederhanaan duniawi dan kesederhanaan Kristiani atau kesederhanaan Religius.
Dalam hidup sehari-hari kesederhanaan duniawi kadang diartikan secara negatif.
Orang yang berusaha hidup sederhana dianggap sebagai orang yang kurang berakal,
atau orang yang secara lahiriah tidak punya apa-apa. Pada zaman Mgr. Joannes
Zwijsen pengertian ini sering ditemuinya dalam hidup sehari-hari. Bertolak dari
77
pengalaman ini, Mgr. Joannes Zwijsen lebih mengarahkan perhatiannya pada
pengertian kesederhanaan secara religius dan mengatakan: “Kami tidak berbicara
tentang kesederhanaan secara duniawi, melainkan akan membahas kesederhanaan
Kristen atau kesederhanaan Religius. Mungkin banyak di antara kalian belum
memahami dengan baik inti kesederhanaan religius itu” (PA. 139).
Kesederhanaan berhubungan dengan suatu semangat spiritualitas.
Spiritualitas menyangkut suatu kenyataan yang tidak begitu kongkret dan biasa
tetapi sangat riil. Artinya bukan suatu kenyataan yang dangkal dari keberadaan
yang materil dan manusiawi melulu, melainkan makna yang sebenarnya dari
keberadaan kita. Kenyataan yang dimaksudkan adalah kesadaran bahwa manusia
tidak hidup di dunia ini sebagai seorang diri saja.
Dalam iman dan spiritualitas, kita menyadari bahwa kehidupan kita diterima
dari tangan Allah. Maka kita hanya dapat memahami diri kita sendiri, kalau kita
berada dalam tangan Allah. Mgr. Zwijsen ingin menolong kita untuk sungguh-
sungguh memahami makna spiritual kesederhanaan. Kesederhanaan religius
menyangkut suatu sikap spiritual yaitu suatu cara memandang segala sesuatu.
Dalam kehidupan religius, kemiskinan, kerendahan hati dan ketaatan semuanya
mempunyai arti yang kongkret. Berdasarkan arti itu seorang religius harus
memperlihatkan tingkahlaku tertentu yang telah ditetapkan dengan jelas, dan
mereka harus mengatur kehidupan mereka secara tertentu. Misalnya kebajikan
bertingkahlaku sopan dan bersikap rendah hati. Fenelon salah seorang penulis
tentang spiritualitas yang mengilhami Mgr Zwijsen, pernah menguraikan
kesederhanaan sebagai berikut: “Semua orang yang sopan merasanya dan
mengaguminya dan tentu menyadari jika mereka melanggarnya. Mereka melihatnya
78
di dalam orang lain dan telah tahu secara intuitif kapan perlu melakukan kebajikan
itu. Tetapi pasti sulit bagi mereka untuk menjelaskan dengan persis apa sebenarnya
kebajikan itu” (PA. 143). Jadi wajarlah kalau kita bertanya apa sebetulnya makna
kesederhanaan itu. Dalam konfrensinya. Mgr. Zwijsen senantiasa menjelaskan
hakekat kesederhanaan secara konkret. Kesederhanaan menurut Mgr. Zwijsen oleh
Huls dan Hein (1995: 18-26) dijelaskan dalam beberapa poin penting antara lain:
a. Kesederhanaan adalah buah kerendahan hati
Mgr. Zwijsen menegaskan bahwa kesederhanaan adalah kebajikan yang
indah dan benar-benar disebut buah kerendahan hati (PA. 139). Orang yang
berusaha untuk bersikap rendah hati dengan mudah juga menjadi sederhana (PA.
145). Kerendahan hati berarti bahwa seorang bersikap realis dan berani memandang
diri secara jujur yang mengarahkan kita menyadari asal usul keberadaan kita
sebagai bukti kasih Allah yang tak bersyarat. Bagi Mgr. Zwijsen kerendahan hati
adalah dasar semua kebajikan karena membuka inti kesadaran bahwa seluruh
hakikat kehidupan kita tergantung kepada Allah. Kasih-Nya yang kreatif
menciptakan dalam diri kita keterbukaan untuk menerima Allah dan bertumbuh
sampai kepenuhan hakikat sebagai ciptaan yang secitra dengan Allah. Kerendahan
hati tidak mengecilkan manusia tetapi menghubungkannya dengan keluhuran sejati
dari hakikatnya yaitu kebenaran. Mgr. Zwijsen menegaskan:
Jadi untuk hari depanmu, kamu tidak mempunyai alasan apapun untuk bersikap sombong, melainkan alasan untuk menyadari kesia-siaanmu dan mengakui bahwa keselamatanmu hanya dapat diharapkan dari Allah saja (PA. 131).
Hal ini melukiskan bahwa kerendahan hati menempatkan manusia dalam
hubungan yang tepat dengan dirinya sendiri dan Penciptanya. Kerendahan hati
79
mengarahkan manusia ke martabatnya yang terdalam, kerena dengan demikian
diinsyafkan bahwa ia dikasihi Allah tanpa syarat. Menginsafi kesia-siaan kita,
pertama-tama menginsafi bahwa kehidupan manusia berasal dari Allah. Manusia
diciptakan Allah, kehidupannya tetap dipertahankan Allah dan kasih Allah yang
kreatif diletakkan dalam hakikat manusia dan menyentuh hidup manusia.
Dalam kerendahan hati manusia memandang kasih yang kreatif yang
melaluinya Allah menghubungi manusia. Manusia menerima diri dari kasih Allah
yang menghidupi dan memanggilnya untuk hidup. Segala keberadaannya dan
miliknya merupakan karunia Allah melulu. Maka kesederhanaan adalah jawaban
manusia yang membiarkan Allah mengasihinya. Semakin manusia membuka diri
terhadap cinta kasih Allah, Allah akan semakin mengasihinya. Inilah yang disebut
jalan kesederhanaan. Manusia sungguh mengarahkan diri, dan mempercayakan diri
hanya kepada cinta kasih Allah dan membiarkan diri dirubah oleh kasih-Nya (Hein
& Jos, 1995: 25-26).
b. Kehidupan religius menuju Kesederhanaan
Mgr. Zwijsen memakai kebajikan-kebajikan untuk mengambarkan
kehidupan religius sebagai cara hidup yang melawan arus yang biasa. Dalam
kehidupan religius sikap yang sama sekali tanpa pamrih, yang merupakan ciri khas
Allah, menggantikan logika manusiawi melulu. Kehidupan religius mendobrak
hubungan-hubungan sosial dan kemasyarakatan yang normal. Kontras antara cinta
kasih manusiawi dan cinta kasih Ilahi tidak berdasarkan pandangan yang negatif
tentang manusia tetapi kontras itu menciptakan ruang yang perlu agar manusia
dapat berkembang ke arah Allah. Maksud struktur-struktur dan bentuk-bentuk
kehidupan religius ialah suatu proses spiritual di mana manusia dirubah dalam
80
belaskasih Allah. Artinya melalui proses itu kehidupan, pikiran, tindakan dan cinta
kasih manusia lama-kelamaan menjadi sesuai dengan cara Allah berpikir, bertindak
dan mengasihi kita. Dalam dunia di mana manusia merasa lemah dan terancam, ia
pasti mencari suatu pegangan untuk menjamin kelanjutan hidupnya. Inilah suatu
reaksi yang wajar dalam dunia yang tidak dapat memberi perlindungan dan
kepastian kepadanya. Secara spontan reaksi yang wajar itu mengarahkan diri untuk
menentang orang lain, yang dilihat sebagai ancaman terhadap kepribadian dan
keamanannya sendiri (Hein & Jos, 1995: 29-30).
Kehidupan religius tidak menentang harta benda duniawi, karena tidak
mempunyai sifat jahat melainkan menentang sikap orang yang berusaha
mengamankan dan menjamin kehidupannya sendiri. Dengan mudah orang
melampaui batas dan mencoba merebut sesuatu yang merupakan anugerah. Mgr.
Zwijsen ingin menahan dorongan yang wajar itu dengan mengemukakan
‘ketidakterikatan’ sebagai nilai dasar dari kehidupan religius. Ketidakterikatan tidak
berarti memutuskan hubungan tetapi menyangkut mutu dari suatu hubungan. Yang
dimaksudkan dengan Mgr. Zwijsen ialah sikap di mana manusia tidak
mereduksikan orang atau hal lain kepada ukuran dirinya.
Orang yang ‘tidak terikat’ keluar dari keterbatasan diri sendiri, sehingga
orang atau hal yang lain dapat menemuinya dari ‘seberang’ eksistensinya sendiri.
Ketidakterikatan tidak berarti memilih antara milik atau tiada milik, karena secara
batiniah mungkin kita merasa tidak terikat pada hal-hal yang kita miliki, dan secara
batiniah mungkin kita terikat pada hal-hal yang dalam prakteknya telah dilepaskan.
Keterikatan bathin hanya mungkin jika kita membiarkan diri dibimbing oleh cinta
kasih dan makin lama makin ditarik dari arah pandangan pribadi ke arah lain.
81
Dilihat dari sudut pandang kita sendiri, keterikatan adalah suatu cara penyiksaan
diri yang tak berguna (Hein & Jos, 1995: 31).
Dari sudut pandang orang lain yang kita temui, keterikatan memberi
keluasan di mana orang lain dapat menyatakan diri kepada kita. Karena sikap kita
yang mencengkam tidak menghalangi lagi, maka orang lain tidak lagi direduksikan
sampai menjadi sebagian dari diri kita atau merupakan jawaban atas kebutuhan kita.
Panggilan untuk hidup dalam keterikatan bukan suatu pengingkaran diri kita,
melainkan menuju sikap yang positif yang memungkinkan menemui orang lain
dalam keterbukaan. Ketika kita menyadari harkat yang terdalam dari seseorang, kita
tidak segan mengorbankan apapun untuk dapat menemuinya.
Dengan menyadari bahwa hanya ketidakterikatan menghidupkan cinta kasih;
kita akan mengasihi kehidupan religius sebagai tempat kelahiran Allah sebab
melalui ketidakterikatan, kita menjadi orang yang reseptif, tanpa mencari pegangan
dalam dunia yang sebenarnya tidak aman. Dengan demikian kita bersedia menemui
orang lain sebagai anugerah Allah yang karena itu patut dikasihi. Jika seorang
religius memandang orang lain secara demikian, yaitu memandang dari perspektif
pandangan cinta kasih Allah yang kreatif, ia menjadi orang yang kreatif , menjadi
orang yang kontemplatif dan Allah lahir di dalam orang itu (Hein & Jos, 1995: 32).
c. Bertindak tanpa pamrih
Mgr. Zwijsen tidak mengajukan cinta kasih sederhana sebagai cita-cita
kesempurnaan tetapi menempatkannya ke dalam perspektif cinta kasih ilahi untuk
seorang suster SCMM dan seorang frater CMM. Kesederhanaan menyingkap tiap
maksud yang tersembunyi, menyadarkan kita akan ambiguitas, memurnikan
motivasi, mengantar kita ke dalam pelajaran cinta kasih. Bagi Mgr. Zwijsen cerita
82
Kitab Suci Marta dan Maria memiliki makna penting bagi kehidupan praktis
kongregasi terutama dalam menghayati kesederhanan. Anggota dapat berkembang
dalam kesederhanaan melalui proses pemurnian motivasi panggilan. Hal ini dapat
terjadi jika seseorang mulai bertindak tanpa pamri (Hein & Jos, 1995: 56). Dalam
Pembicaraan Akrabnya Mgr. Zwijsen menyerukan:
Ada bermacam-macam bentuk pamri. Misalnya seorang suster sangat khusyuk mengucapkan doa tertentu atau melakukan salah satu latihan rohani dengan semangat besar dan rajin. Hal ini akan sangat memuaskan hatinya dan itulah pamri (PA. 140).
Dalam cerita penginjil Lukas, Marta dalam kebaikannya terlalu melihat
Kristus dalam perspektif manusia dan lupa melihat Yesus dalam perspektif cinta
kasih Ilahi yang tanpa pamrih. Bagi Mgr. Zwijsen dalam penerapan praktis pusat
perhatian bergeser. Mgr. Zwijsen tidak melarang seorang puas dengan perbuatannya
tetapi ia sangat menekankan motivasi perbuatan baik itu. Jika demi kepuasan
pribadi hal itu belum merupakan sebuah bentuk kesederhanaan yang tanpa pamrih.
Bagi Mgr. Zwijsen cinta kasih manusia bertumbuh menjadi dewasa jika
cinta kasih dilaksanakan tanpa cinta diri; cinta yang mengambil alih rupa cinta
kasih Allah menjadi bentuk pamrih yang total. Orang demikian akan melihat
dengan mata Allah, bertindak dari perspektif Allah dan dibawa dalam gerakkan
mencintai dengan cinta kasih Allah yang murni dan tak bersyarat. Allahlah yang
membangkitkan cinta kasih dalam diri manusia dan melenyapkan cinta diri. Untuk
itu seorang yang sederhana adalah orang yang merelakan diri secara utuh kepada
Suara yang mengundangnya kepada kehidupan, membiarkan diri digerakkan cinta
kasih Ilahi dan tidak berpegang pada jalannya sendiri (Hein & Jos, 1995: 57).
83
Mgr. Zwijsen melihat panggilan dalam kongregasi yang didirikan untuk
kehidupan religius. Para suster dan frater dipanggil untuk membawa manusia
kepada Allah yaitu menghubungkan setiap orang yang dijumpai dengan
panggilannya sendiri dan menyalurkan pengalaman kasih Allah yang tanpa syarat
secara konkret dan sederhana. Dalam cinta kasih setiap orang harus diundang
masuk dalam gerakkan cinta kasih Allah dan menyatakan cara Allah mengasihi dan
menarik orang ikut dalam dinamika cinta kasih Allah.
d. Bukan Aku melainkan Kristus dalam diriku
Dalam penutupan sebuah konfrensi Mgr. Zwijsen mengutip Surat St. Paulus
kepada jemaat di Galatia: “Aku hidup tetapi bukan aku sendiri yang hidup,
melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2: 20). Ia ingin memperlihatkan
bahwa pada akhirnya kesederhanaan merupakan penyerahan total kepada Kristus.
Kepada para pengikutnya Mgr. Zwijsen mengatakan:
Jika anda, melatih kesederhanaan secara demikian yaitu berusaha dengan sebaik-baiknya untuk memperolehnya, maka anda dapat juga berkata bersama St. Paulus: “Aku hidup tetapi bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”. Dalam segala hal sang Rasul tidak mencari diri sendiri; ia tidak mencari lain daripada kemuliaan Allah, dan semua itu berdasarkan cinta kasih yang murni kepada Kristus. Sebab itu ia dapat berkata benar: bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku; dan hal itu dapat juga anda katakan jika anda sungguh-sungguh sederhana, setidak-tidaknya berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menjadi sederhana. Harapan dan doa anda ialah agar anda semua memperoleh kesederhanaan religius, dan untuk itu terimalah restu saya (PA. 144).
Dalam perspektif kebajikan ini, nyatalah bahwa kesederhanaan memerlukan
hubungan yang hidup dengan Kristus. Hanya Kristuslah yang dapat mengaruniakan
kesederhanaan cinta kasih yang tanpa syarat. Cinta kasih dalam Kristus ingin
memperindah orang lain dan membiarkannya berkembang sampai menjadi pribadi
84
yang sungguh-sungguh ada. Dalam kemesraan cinta yang sebenarnya, cinta tidak
untuk memiliki seseorang tetapi mencari kebenaran. Dengan melatih kesederhanaan
kita belajar mengikuti jalan cinta kasih secara benar (Hein & Jos, 1995: 79).
Paulus melukiskan momen itu tidak hanya sebagai penyerahan manusia
kepada Allah secara total, melainkan sebagai kehidupan Kristus dalam manusia
(Gal 2: 20). Dalam pertemuan ini cinta kasih tanpa syarat yang datang dari Allah,
menjadi prinsip yang menentukan. Cinta membawa keluar manusia dari dirinya dan
membuatnya sama sekali tenggelam dalam Yang Lain. Allah memenuhi manusia
dan membuatnya mati untuk dirinya sendiri dalam cinta kasih itu, supaya Allah
sendiri dapat mulai hidup dalam manusia. Cinta kasih itu sungguh terarah pada
orang lain yang tak tergambar, suatu wajah yang nampak dalam pandangan Allah
penuh ‘cinta kasih sederhana’ atau cinta yang berbelaskasih.
C. Katekese Shared Christian Praxis Sebagai Upaya Memperdalam
Penghayatan Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih Para Pemimpin
1. Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model Berkatekese
SCP bermula dari ‘kebutuhan’ untuk menemukan sebuah pendekatan
katekese yang handal dan efektif dengan dasar teologis yang kuat, menggunakan
model pendidikan yang ‘progresif’, dan memiliki keprihatinan pelayanan pastoral
yang aktual. Model ini menekankan proses berkatekese yang bersifat dialogis-
partisipatif agar mendorong peserta, berdasarkan konfrontasi antara “tradisi” dan
“visi” hidup mereka dengan “Tradisi” dan Visi” kristiani, agar secara pribadi
maupun bersama, mampu mengadakan penegasan dan mengambil keputusan demi
terwujudnya nilai-nilai kerajaan Allah dalam hidup manusia (Heryatno, 1997: 1).
85
Praksis peserta menjadi kekuatan dan titik tolak, orientasi dan tujuan SCP
itu sendiri. Komponen utama SCP ini mengacu pada tindakan manusia yang
mempunyai tujuan untuk tercapainya suatu transformasi kehidupan yang di
dalamnya terkandung proses kesatuan dialektis antara praktek dan teori yaitu
kreativitas, antara kesadaran historis dan refleksi kritis yaitu keterlibatan baru.
Praksis sendiri mempunyai tiga komponen yang berkaitan erat antara lain:
‘aktivitas’ yang meliputi kegiatan mental, fisik, tindakan personal dan sosial yang
merupakan tempat perwujudan diri manusia sebagai subyek; ‘refleksi’ terhadap
tindakan personal, sosial, praksis pribadi, tradisi dan visi kristiani; ‘’kreatifitas’
merupakan perpaduan aktivitas dan kreatif yang menggarisbawahi sifat transenden
manusia, menekankan dinamika praksis masa depan yang berkembang dan
melahirkan praksis kehidupan baru (Heryatno, 1997: 2).
SCP memiliki kekhasan yakni peserta menjadi pusat katekese. Peserta
sungguh menjadi subyek katekese itu sendiri. Di dalam proses pelaksanaanya peran
keberadaan peserta sebagai subyek, pergulatan, keprihatinan, dan harapan hidup
peserta mendapat tempat pokok (Heryatno, 1997: i). Dari langkah-langkah dalam
SCP dapat terlihat jelas kekhasan ini. Langkah pertama SCP menjadikan
pengalaman peserta sebagai titik tolak di mana pengalaman peserta diungkapkan
dengan kreatifitas masing-masing sehingga peserta makin menyadari dan
menemukan nilai dari pengalamannya. Jadi secara utuh dapat dikatakan bahwa
seluruh diri peserta disentuh dalam model SCP menyangkut: pemahaman,
pemikiran, imajinasi, abstraksi, menyangkut gerakan hati, relasi, perasaan, doa,
aksi, tindakan, pelayanan, perwujudan. Dengan kemampuan pemahaman,
pemikiran, imajinasi, abstraksi yang dimiliki, peserta didorong untuk
86
mengungkapkan dan menilai pengalaman faktual (aspek kognitif). Peserta memiliki
kebebasan dan keterbukaan untuk mempertimbangkan, mengambil keputusan untuk
mengaktualisasikan tradisi dan visi kristiani dan mengkronfrontasikan tradisi dan
visi mereka dengan tradisi dan visi kristiani (aspek kognitif dan afektif). Dalam
proses selanjutnya peserta diajak mengambil keputusan secara pribadi dan bersama
dalam keterlibatan di tengah masyarakat (aspek psikomotor).
SCP adalah suatu pendekatan berkatekese yang bersifat komprehensif.
Dapat dikatakan komprehensif karena memiliki dasar teologis yang kuat, mampu
memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan dan memiliki keprihatinan pastoral
yang jelas. SCP ini mau menggambarkan peran SCP dalam menjawab dan melayani
kepentingan peserta. Pada akhirnya, sebagai sarana SCP bukanlah yang utama.
Penghayatan iman pesertalah yang menjadi pusat katekese (Heryatno, 1997: i).
Kesadaran baru dan keputusan peserta untuk meningkatkan keterlibatan
hidupnya dalam membangun masyarakat dan kehidupannya dipahami sebagai
tanggapan atas perwahyuan Allah. Ini merupakan cara persatuan yang lebih dekat
dengan hidup Allah sendiri. Keterlibatan bersama yang berlandaskan pengalaman
iman dalam masyarakat menjadi sarana utama untuk mengenal kehendak ilahi
untuk mengalami kehadiran-Nya. Hal ini mengandaikan bahwa sikap dan semangat
hidup Yesus juga menjadi teladan hidup peserta juga sehingga dapat mencapai
hakikat sejati sebagai murid-Nya dan kebenaran yang membebaskan (Yoh 8: 31-
32). Dengan demikian perwujudan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam kehidupan
pribadi, masyarakat dan Gereja terus menerus diperjuangkan (Heryatno, 1997: 36).
Perwujudan nilai-nilai kerajaan Allah dapat diwujudkan dengan jalan metanoia:
pertobatan pribadi dan sosial yang terus menerus (Heryatno, 1997: 49).
87
Berdasarkan pokok-pokok di atas penulis tertarik memilih SCP sebagai
model berkatekese dalam skripsi ini. Bagi penulis model SCP dapat memberikan
sumbangan yang berarti bagi upaya pendalaman dan pengembangan kepemimpinan
sesuai spiritualitas persaudaraan berbelaskasih dalam kongregasi frater CMM.
Penulis berharap bahwa model ini dapat memberikan masukan dan membantu para
pemimpin untuk sampai pada pendalaman dan pembaharuan sehingga spiritualitas
persaudaraan berbelaskasih sungguh mewarnai pola kepemimpinan dalam
kongregasi frater CMM untuk menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam
karya-karya perutusan.
Dalam model SCP pengalaman konkret peserta menjadi titik tolak utama.
Penulis berharap bahwa dengan model ini para pemimpin juga dapat merefleksikan
pengalaman kepemimpinannya dan mengkonfrontasikannya dengan tradisi dan visi
kristiani sehingga dapat menemukan keterlibatan baru dalam perwujudan nilai-nilai
Kerajaan Allah. Dengan pengukapan pengalaman faktual dapat memunculkan
kesadaran baru dalam diri para pemimpin sehingga hadir sebagai pendamping yang
menolong, memberdayakan para anggota tanpa pamrih dan dengan cinta yang
berbelaskasih. Kesadaran baru ini dapat juga menggerakkan para pemimpin menuju
kedewasaan iman dan kepenuhan hidup dalam Kristus.
Secara terperinci Heryatno (2005: 6) menguraikan kepenuhan hidup dalam
Kristus dengan tiga hal antara lain, pertama, visi Allah artinya memandang realitas
hidup berdasarkan pandangan Allah dalam cinta kasih dan solider dengan sesama.
Hidup menurut visi Allah mengandaikan bahwa para pemimpin masuk dalam
lingkup Allah sehingga visi dan misi Allahlah yang terlaksana dalam
kepemimpinannya. Kedua, keutamaan Kristus mengartikan bahwa pemimpin selalu
88
mengarahkan hidupnya sebagai alter Kristus (Kristus yang lain). Dalam
kepemimpinannya, sikap, cara dan semangat hidup Kristus sungguh tercermin
dalam ketulusan, kemurahan hatinya untuk melayani Allah secara total.
2. Komponen Shared Christian Praxis
a. Praksis
Komponen praksis mengacu pada tindakan manusia yang mempunyai tujuan
untuk tercapainya suatu transformasi kehidupan yang di dalamnya terkandung
proses kesatuan dialektis antara praktek dan teori yaitu kreativitas, antara kesadaran
historis dan refleksi kritis yaitu keterlibatan baru. Praksis sendiri mempunyai tiga
komponen yang berkaitan. Komponen-komponen itu antara lain adalah aktivitas,
refleksi dan kreativitas. Aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran,
tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang semuanya
merupakan medan untuk perwujudan diri manusia sebagai subyek. Komponen
refleksi menunjuk pada refleksi kritis terhadap tindakan historis personal dan
sosial, terhadap praksis pribadi dan kehidupan masyarakat, serta terhadap tradisi
dan visi kristiani sepanjang sejarah yang membuka peluang bagi masyarakat untuk
berjumpa dengan kekayaan refleksi iman kristiani. Akhirnya kreativitas merupakan
perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang menggarisbawahi “sifat transenden”
manusia yang menekankan dinamika praksis masa depan yang terus berkembang
sehingga melahirkan praksis baru (Heryatno, 1997: 2).
b. Kristiani
Dalam komponen kristiani ini ditekankan dua pokok penting, yakni Tradisi
dan visi kristiani. Tradisi kristiani merupakan realitas iman jemaat kristiani yang
89
sungguh dihidupi dan merupakan tanggapan manusia terhadap pewahyuan diri
Allah di tengah kehidupan manusia yang juga perlu ditanggapi sebagai perjumpaan
antara rahmat Allah dalam Kristus. Tradisi meliputi pengajaran Gereja, Kitab Suci,
spiritualitas, refleksi teologis, sakramen, liturgi, seni dan nyanyian rohani,
kepemimpinan dan kehidupan jemaat dll. Sedangkan visi kristiani menggarisbawahi
janji yang terkandung di dalam tradisi, tanggungjawab dan pengutusan orang
kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan mereka.
Visi kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan
Allah menunjuk proses sejarah kehidupan umat kristiani yang berkesinambungan,
bersifat dinamis dan mengandung penilaian, penegasan, pilihan dan keputusan.
Tradisi dan visi kristiani diharapkan dapat menumbuhkan rasa memiliki dan
kesatuan sebagai jemaat beriman sekaligus meneguhkan identitas peserta.
Walaupun keduanya bersifat praksis, historis dan dinamis, tetapi agar nilainya
semakin terjangkau dan relevan untuk kehidupan peserta zaman ini, keduanya perlu
diinterpretasikan berdasarkan kepentingan, nilai dan budaya setempat yang faktual
dan keduanya perlu juga dijadikan sarana dialog (Heryatno, 1997: 3).
c. Shared
“Shared” menunjuk pada komunikasi timbal balik, sikap partisipasi aktif dan
kritis dari semua peserta, terbuka terhadap diri pribadi, kehadiran sesama dan untuk
rahmat Tuhan. “Shared” juga menekankan proses katekese yang menggarisbawahi
aspek dialog, kebersamaan, keterlibatan dan solidaritas. Dalam “Shared” semua
peserta diharapkan terbuka, mendengarkan dengan hati, dan berkomunikasi dengan
kebebasan hati. Terdapat hubungan dialektis antara pengalaman hidup nyata peserta
dengan tradisi dan visi kristiani. Beberapa unsur yang ada dalam proses
90
kebersamaan tersebut meliputi kemitraan, keterlibatan aktif, dan dialog. Unsur
kebersamaan menggarisbawahi relasi antar subyek; pendamping dan peserta.
Hubungan yang dialektis tidak bersifat manipulatif. Dalam proses ini, baik peserta
atau pendamping mempunyai peranan yang penting dan keduanya dapat menjadi
narasumber. Unsur keterlibatan dalam kebersamaan berarti proses berbagi yang
mengundang dan memberi ruang bagi setiap pribadi dapat mengekspresikan,
merefleksikan, mengalami, mengambil makna bagi diri sendiri dan membuat
keputusan atas hidup mereka sendiri. Dengan kesadaran yang kritis-reflektif dan di
dalam suasana dialogis peserta didorong agar membuat penegasan dan penilaian,
serta mengambil keputusan yang mendorongnya mewujudkan sebuah keterlibatan
baru demi Kerajaan Allah.
Aspek lain dari “shared” adalah penafsiran dialektis antara praksis dan
visi/tradisi kristiani. Dalam hal ini peserta diundang mengintepretasi secara kritis
pengalaman personal dan berdasar refleksinya peserta didorong untuk
mengkonfrontasikannya dengan tradisi dan visi kristiani. Dalam menginterpretasi
tradisi dan visi kristiani, peserta menggunakan pemahaman kritis dan imajinasi
yang kreatif. Sehingga peserta sendiri meneguhkan pokok-pokok kristiani yang
mendasar, dan menemukan nilai-nilai kristiani yang mendasar, mempertanyakan
pemahaman yang tidak relevan, dan mendorong mereka menemukan nilai-nilai baru
yang cocok dengan konteks serta layak untuk diwujudkan.
3. Langkah-langkah dalam Shared Christian Praxis
SCP memiliki lima langkah berurutan dan dapat dimengerti sebagai suatu
proses yang berkesinambungan. Dalam proses rekoleksi penulis akan menggunakan
pendekatan SCP dengan menggunakan kelima langkahnya.
91
a. Langkah pertama: Pengungkapan pengalaman faktual
Dalam langkah ini peserta diajak mengungkapkan pengalaman mereka
bertolak dari melalui kisah cerita, puisi, nyanyian, drama, simbol, lambang dan
dengan berbagai cara sesuai kreatifitas peserta. Pengungkapan pengalaman ini,
dapat berisi perasaan, sikap dan kepercayaan, penjelasan nilai, keyakinan akan
sesuatu yang melatar belakangi sehingga peserta semakin sadar dan bersikap kritis
terhadap pengalaman hidupnya sendiri dan juga pengalaman orang lain. Dengan
pengungkapan pengalaman ini diharapkan dapat melahirkan tema-tema dasar yang
akan direfleksikan secara kritis pada langkah berikutnya.
b. Langkah kedua: Refleksi kritis terhadap pengalaman faktual
Langkah kedua ini adalah langkah pendalaman pengalaman konkret yang
membantu peserta lebih aktif, kreatif dan kritis dalam memahami dan mengolah
keterlibatan hidup mereka sendiri dan masyarakatnya. Lewat refleksi kritis ini
peserta diajak menggunakan sarana analisa sosial dan kultural yang menekankan
sejarah hidup peserta dan pranata-pranata sosial yang saling membentuk dan
mempengaruhi cara hidup peserta. Tujuan langkah ini adalah memperdalam refleksi
dan mengantar peserta pada kesadaran kritis akan keterlibatan mereka. Motivasi,
sumber historis (pengenangan), kepentingan dan konsekuensi yang disadari dan
hendak diwujudkan (imajinasi). Secara kritis dan kreatif mereka diundang
menggunakan kemampuan pemahaman, pengenangan dan imajinasi untuk menilai
pengalaman konkret yang mereka alami. Melalui refleksi kritis para pemimpin
diharapkan menemukan makna dari pengalaman hidupnya, memperdalam serta
memiliki visi hidup baru yang jelas yang dapat dikonfrontasikan dengan
pengalaman iman Gereja sepanjang sejarah (tradisi) dan visi kristiani.
92
c. Langkah ketiga : Mengusahakan supaya tradisi dan visi kristiani lebih
terjangkau
Inti dari langkah ini adalah mengusahakan supaya tradisi dan visi kristiani
menjadi lebih terjangkau, lebih dekat dan relevan bagi para pemimpin yang hidup
pada zaman sekarang dengan segala permasalahannya. Pada langkah ini
pendamping menjadi pembuka jalan, mampu membuatkan peta, menghilangkan
segala macam hambatan sehingga semua peserta dapat memiliki peluang yang
sebesar-besarnya untuk memperoleh akses ke dalam kekayaan tradisi dan visi
kristiani.
Tradisi adalah iman kristiani yang sungguh dihidupi dan diperkembangkan
oleh jemaat beriman di dalam sejarah hidupnya. Tradisi tidak hanya terbatas pada
pengajaran Gereja tetapi juga berkaitan dengan Kitab Suci, spiritualitas, devosi,
kebiasaan hidup beriman, aneka kesenian Gereja, liturgi, kepemimpinan, dll.
Sedangkan visi merefleksikan harapan dan janji, mandat dan tanggungjawab yang
muncul dari tradisi suci yang bertujuan mendorong dan meneguhkan iman peserta
dalam keterlibatan untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Dalam hal ini tradisi dan
visi kristiani perlu diinterpretasikan agar makin terjangkau dan relevan dalam hidup
peserta. Untuk itu pendamping dapat menggunakan bentuk interpretasi yang
bersifat meneguhkan kembali (hermeneutics of retrieval), entah yang
mempertanyakan secara kritis (hermeneutics of suspicion), atau yang berupa
keterlibatan secara kreatif (hermeneutics of creative commitment).
d. Langkah keempat : Interpretasi dialektis antara praksis dan visi peserta dengan
visi dan tradisi kristiani
93
Langkah keempat mengajak para peserta supaya dapat meneguhkan,
mempertanyakan dan memperkembangkan pokok-pokok penting yang berupa sikap
dasar, visi hidup dan nilai yang telah diambil oleh peserta pada langkah pertama
dan kedua. Pada langkah ini pokok-pokok penting tersebut dikonfrontasikan dengan
hasil interpretasi dari tradisi dan visi kristiani pada langkah ketiga. Dengan
demikian diharapkan peserta dapat meneguhkan sikapnya yang sudah positif,
mempertanyakan praksisnya yang masih negatif, dan yang lebih penting peserta
diharapkan dapat secara aktif dan kreatif menemukan kesadaran atau sikap-sikap
baru yang menghantar mereka untuk mengambil keputusan baru yang nantinya
sungguh hendak diwujudkan. Dengan kesadaran baru itu peserta diharapkan akan
lebih bersemangat di dalam menghidupi panggilan mereka sebagai pendidik
kristiani.
Interpretasi yang dialektis ini dapat memampukan peserta
menginternalisasikan dan mensosialisasikan nilai tradisi dan visi kristiani menjadi
bagian hidup mereka sendiri. Hidup dan praksis faktual peserta diintegrasikan ke
dalam tradisi kristiani dan sebaliknya peserta mempersonalisasikan tradisi dan visi
kristiani menjadi miliknya. Selain itu yang menjadi pokok penting dalam langkah
ini adalah wujud dari kesadaran iman yang baru dapat memperkaya tradisi dam visi
kristiani sehingga peserta menjadi lebih aktif, dewasa dan misioner.
e. Langkah kelima: Keterlibatan baru demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah
Keterlibatan iman adalah keprihatinan utama model SCP. Tujuan langkah
ini adalah mendorong peserta sampai pada keputusan konkret untuk menghidupi
iman kristiani pada konteks hidup yang telah direfleksikan secara kritis, dinilai
secara kreatif dan bertanggungjawab. Harapan dari proses rekoleksi ini adalah
94
perubahan hidup terutama spiritualitas para pemimpin dan mendorong mereka
sampai pada keputusan konkret untuk menghayati dan menghidupi panggilannya
sebagai pemimpin. Keputusan konkret sebagai puncak dan buah dari refleksi
mereka bersama ini dapat berisi kesadaran baru, sikap dan niat-niat yang mengalir
dari sumber hidup, yakni Yesus sendiri. Arah dari keputusan yang telah diambil
adalah demi terwujudnya nilai-nilai kerajaan Allah. Hidup baru yang hendak
diwujudkan ini kelak menjadi bahan refleksi dan titik berpijak dalam rekoleksi.
4. Pemilihan Rekoleksi SCP sebagai Model Berkatekese
a. Alasan Pemilihan Rekoleksi SCP sebagai Model Berkatekese
Penulis memilih bentuk rekoleksi dengan model SCP sebagai salah satu
bentuk kegiatan yang efektif untuk memperdalam semangat para pemimpin dalam
kongregasi frater CMM. Berdasarkan asal kata rekoleksi yakni dari kata collection
(Latin) yang berarti mengumpulkan kembali dan berdasar pada titik tolak model
SCP yakni pengalaman peserta, penulis meyakini bahwa model rekoleksi SCP
cukup memadai untuk diterapkan sebagai bentuk pendalaman spiritualitas bagi para
pimpinan kongregasi frater CMM. Penulis menilai rekoleksi model SCP dapat
menjawab keprihatinan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini.
Bentuk rekoleksi model SCP dipilih karena penulis memandang bentuk ini
sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan para Pimpinan Kongregasi dalam
memperdalam spiritualitas kepemimpinan yang berbelaskasih. Di samping itu
rekoleksi model SCP menjauhkan kesan saling menggurui karena pesertalah yang
menjadi subyek. Pengalaman para pemimpinlah yang utama dan yang menjadi
bahan olah. Pengalaman ini dikontradiksikan dengan visi dan tradisi kristiani untuk
menemukan keterlibatan baru dalam hidupnya terutama menjadi pemimpin yang
95
sungguh-sungguh memiliki Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih di dalam
seluruh hidupnya sesuai Kharisma Pendiri Frater CMM.
b. Maksud dan Tujuan Program
Maksud dari program penyelenggaraan rekoleksi SCP adalah menjawab
permasalahan dalam skripsi ini dan membangun semangat bagi para pemimpin
untuk menghayati panggilannya sebagai pemimpin sesuai dengan nilai-nilai dan
tradisi kristiani. Dengan rekoleksi SCP ini penulis mengharapkan adanya kesadaran
dari para pemimpin untuk menggali kembali nilai-nilai dan Kharisma Kongregasi
yang merupakan semangat dasar yang perlu dikembangkan secara khusus dalam
kongregasi. Penulis sangat mengharapkan bahwa dengan kegiatan ini, terbangun
semangat untuk menghayati Spiritualitas Berbelaskasih dalam menjalankan
kepemimpinannya. Tujuan yang mau dicapai dalam program pendalaman
Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih ini adalah bersama pendamping, peserta
sungguh menyadari dan menemukan keberadaan dirinya sedalam-dalamnya sebagai
utusan Allah sehingga mampu memberikan diri secara total dalam memimpin para
anggota kongregasi dan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah dan
karisma Kongregasi.
c. Pedoman Pelaksanaan Program
Program rekoleksi dengan model SCP bagi para pemimpin dalam
Kongregasi Frater CMM adalah salah satu usaha yang dilakukan untuk
memperdalam semangat kepemimpinan sesuai Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih. Program ini dilaksanakan dalam 3 pertemuan selama tahun 2010
dengan pemahaman bahwa pendalaman spiritualitas ini merupakan sebuah proses
96
yang berlangsung terus menerus dan menyangkut hal yang sangat penting dalam
kongregasi. Maka sangat ditekankan unsur intensitas dan kesinambungan antar
pertemuan menjadi harapan dari pendalaman Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih ini.
Penulis memandang baik jika proses rekoleksi dan pendalaman pengalaman
dalam kelompok-kelompok kecil. Dasar pemikirannya adalah peserta akan lebih
banyak mengungkapkan pengalaman dalam suasana lebih personal, akrab dan
rileks. Kekhasan rekoleksi ini ada pada tema umum yakni Spiritualitas
Persaudaraan Berbelaskasih. Program ini akan berjalan dengan baik bila didukung
oleh suasana fisik dan emosional yang baik sehingga membantu menciptakan
suasana hening dan membantu peserta masuk dalam refleksi dan pengolahan
pengalaman. Dalam proses persiapan sampai dengan pelaksanaan, diharapkan
terbangun kebersamaan dan suasana yang kondusif antara peserta dan pemandu.
Sehingga dalam kebersamaan terjalin persaudaraan satu dengan yang lain, rasa
saling percaya, hormat dan saling menghargai di antara peserta dan pemandu.
d. Materi Pokok Rekoleksi
Tema Umum : Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih sebagai Dasar
Kepemimpinan dalam Kongregasi Frater CMM
Tujuan : Pendamping dan peserta semakin mendalami dan
mengembangkan Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih
dalam karya dan perutusan yang diwujudkan dalam
kepemimpinan yang penuh dengan cinta dan berbelaskasih.
Sub Tema I : Mendalami Karisma Pendiri
97
Tujuan : Agar pendamping dan peserta dapat mewujudkan dan
menghidupi karisma pendiri dalam karya dan perutusan
kongregasi dengan jalan belaskasih
Judul 1 : Menghayati semangat “Mansuete et Fortiter” demi
terwujudnya Kepemimpinan yang Berbelaskasih
Tujuan : Pendamping dan peserta belajar mengenal secara mendalam
motto dan semangat pendiri sehingga semakin dihayati dalam
menjalankan kepemimpinan di Kongregasi Frater CMM
Sub Tema II : Mempelajari model kepemimpinan Yesus
Tujuan : Pendamping dan peserta mempelajari model kepemimpinan
Yesus dan mengaktualisasikannya dalam hidup setiap hari.
Judul 2 : Yesus adalah teladan kepemimpinan Berbelaskasih
Tujuan : Pendamping dan peserta semakin mengenal dan menghayati
model kepemimpinan yang Yesus hayati dalam menjalankan
tugas dan perutusan-Nya yakni model belaskasih
Sub Tema III : Memperdalam Spiritualitas Kongregasi dan membaharui diri
Tujuan : Pendamping dan peserta mendalami Spiritualitas Kongregasi
dan terus menerus membaharui diri dalam hidup.
Judul 3 : Pembaharuan diri menuju Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih
Tujuan : Agar pendamping dan peserta senantiasa berusaha
membaharui diri terus-menerus sehingga memiliki semangat
Persaudaraan Berbelaskasih dalam menjalankan
kepemimpinan dalam kongregasi
e. Matrik Program Rekoleksi dengan model SCP
999888
MATRIK PROGRAM REKOLEKSI DENGAN MODEL SCP BAGI PARA PEMIMPIN DALAM KONGREGASI FRATER CMM
2009 Tema Umum : Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih sebagai Dasar Kepemimpinan dalam Kongregasi Frater CMM Tujuan : Pendamping bersama para pemimpin dalam Kongregasi frater CMM semakin mendalami dan mengembangkan Spiritualitas
persaudaraan berbelaskasih dalam karya dan perutusan yang diwujudkan dalam kepemimpinan yang penuh dengan cinta yang berbelaskasih.
No Sub
Tema
Tujuan Judul Pertemuan Tujuan Uraian
Materi Metode Sarana Sumber Bahan
I Menda-lami Kharis-ma Pendiri
Agar pendamping dan peserta dapat mewujudkan dan menghidupi karisma pendiri dalam karya dan perutusan kongregasi dengan jalan belaskasih
Menghayati semangat “Mansuete et Fortiter” demi terwujudnya Kepemimpinan yang berbelaskasih
Pendamping dan peserta belajar dan mengenal secara mendalam motto dan semangat pendiri Kongregasi sehingga semakin dihayati dalam menjalankan kepemimpinan dalam kongregasi frater CMM
- Orang Samaria yang murah hati
- Motto Mgr. Zwijsen
- Dialog - Tanya jawab - Presentasi - Renungan - Nonton film - Diskusi film - Refleksi pribadi- Menyanyi - Hening - Sharing
- Teks acara - Teks ibadat - Daftar klp - White board - Spidol - LCD proyektor - Lap top - VCD “Pater Damian” - CD instrumen - Pertanyaan
penuntun - Madah Bakti - Kitab Suci
--- Hein & Jos : 1998
- Lie Petronela: 1998)
- Leirop : 1995 - Darminta :
2005 - Konstitusi
Frater CMM - MB 301, 312,
308, - Lukas 10 : 25
– 37 - Pengalaman
peserta dan pendamping
999999
No Sub Tema
Tujuan Judul Pertemuan Tujuan Uraian
Materi Metode Sarana Sumber Bahan
II Mempelajari model kepemimpinan Yesus
Pendamping dan peserta berusaha untuk mempelajari model kepemimpinan Yesus dan mengaktualisasikannya dalam hidup setiap hari.
Yesus adalah teladan kepemimpinan Berbelaskasih
Pendamping dan peserta semakin mengenal dan menghayati model kepemimpinan yang Yesus hayati dalam menjalankan tugas dan perutusan-Nya
- Pembasuhan Kaki Murid-murid Oleh Yesus
- Gaya Kepemimpinan Yesus
- Dialog - Tanya jawab - Presentasi - Renungan - Nonton film - Diskusi film - Refleksi
pribadi - Menyanyi - Hening - Menyanyi - Renungan - Sharing
- Teks acara - Teks ibadat - Daftar klp - White board - Spidol - LCD proyektor - Lap top - VCD “Uskup Romero” - CD instrumen - Pertanyaan
penuntun - Madah Bakti - Kitab Suci
--- Sardi : 2005 --- Darminta :
2005 --- Darminta :
1993 --- Ziarah Batin :
2004 --- Konstitusi
Frater CMM --- MB. 448 --- Pengalaman
Pendamping dan peserta
--- Yoh 13 : 1 – 20
111000000
No Sub Tema
Tujuan Judul Pertemuan Tujuan Uraian
Materi Metode Sarana Sumber Bahan
III Memperdalam Spiritualitas Kongregasi dan membaharui diri
Pendamping dan peserta mendalami Spiritualitas Kongregasi dan terus menerus membaharui diri dalam hidup
Pembaharuan diri menuju Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih
Agar pendamping dan peserta senantiasa berusaha membaharui diri terus-menerus sehingga memiliki semangat Persaudaraan Berbelaskasih dalam menjalankan kepemimpinan dalam kongregasi
- Perumpamaan tentang Anak yang hilang
- Pemimpin yang terus membaharui diri
-
- Dialog - Tanya jawab - Presentasi - Renungan - Nonton film - Diskusi film - Refleksi
pribadi - Menyanyi - Hening - Sharing
- Teks acara - Teks ibadat - Daftar klp - White board - Spidol - LCD proyektor - Lap top - VCD “Karol” - CD Instrumen - Pertanyaan
penuntun - Madah Bakti - Kitab Suci
- Darminta : 2005
- Sardi : 2005 - Konstitusi
Frater CMM - Lukas 15 : 11
– 32 - Pengalaman
peserta dan pendamping
101
f. Contoh Persiapan rekoleksi dengan model SCP
REKOLEKSI PENDALAMAN SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN
BERBELASKASIH BAGI PARA PEMIMPIN DALAM KONGREGASI
FRATER CMM
1) IDENTITAS
Pelaksana : Donatus Naikofi
No. Mhs : 021124022
Tema : Yesus adalah Teladan Kepemimpinan Berbelaskasih
Tujuan : Pendamping dan peserta semakin mengenal dan menghayati
model kepemimpinan yang Yesus hayati dan menjalankan tugas
perutusan-Nya
Peserta : Para Pemimpin dalam Kongregasi Frater CMM
Tempat : Rumah Retret Panti Semadi Tomohon
Hari/tanggal : Jumat-Sabtu, 10 – 11 Oktober 2009
Metode : Sharing, dialog, diskusi, informasi, tanya jawab, renungan,
refleksi pribadi, diskusi film, menyanyi, ibadat dan hening.
Sarana : Teks lagu, sketsa gambar renungan dari program power point,
LCD proyektor, laptop, VCD film “Uskup Romero”, white
board, spidol, CD instrumen, tape recorder, daftar acara, daftar
nama pembagian kelompok.
Sumber Bahan : Darminta, SJ. 1993. Mengabdi dalam Kepemimpinan.
Yogyakarta: Kanisius
LBI dan Dianne Bergant, CSA (Ed.). 2002. Tafsir Alkitab
Perjanjian Baru. Yogyakarta : Kanisius.
102
Sardi. M. Profil Kepemimpinan dalam Lembaga Hidup Bakti,
Perantau, XXVIII, No. 3, Mei-Juni 2005
Ziarah Batin. Renungan dan Catatan Harian. Jakarta: Obor.
2) SUSUNAN ACARA REKOLEKSI
a) Hari Sabtu, 10 Oktober 2009
19.15 – 19.30 : Pembukaan Rekoleksi
19.30 – 20.15 : Nonton Film “Uskup Romero”
20.15 – 22.00 : Penerapan Langkah I – II SCP
22.00 - : Istirahat
b) Hari Minggu, 11 Oktober 2009
05.00 - : Bangun Pagi
05.00 – 06.00 : Olahraga bersama dan MCK
06.00 – 07.00 : Doa Pagi dan Meditasi
07.00 – 07.30 : Sarapan
07.45 – 08.30 : Informasi dan Permainan dan lagu
08.30 – 09.45 : Langkah III SCP
09.45 – 10.15 : Snack
10.15 – 11.30 : Langkah IV-V SCP
11.30 – 12.30 : Perayaan Ekaristi Penutupan
Rekoleksi
12.30 – Selesai : Makan Siang
3) PEMIKIRAN DASAR
103
Perkembangan zaman dan modernisasi membawa perubahan dan kemajuan
yang pesat sekaligus menjadi tantangan karena mendatangkan budaya-budaya yang
cukup mempengaruhi kehidupan manusia yakni budaya hedonisme, konsumerisme
dan materialisme. Budaya-budaya ini juga berpengaruh negatif terhadap
kepemimpinan dalam seluruh segi kehidupan manusia. Akhir-akhir ini para
pemimpin mendapat sorotan akibat maraknya praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Kepentingan pribadi dan golongannya menjadi yang utama
sehingga banyak cara dilegalkan dengan menyalahgunakan kekuasaan
kepemimpinan untuk mencapai tujuan pribadi. Para pemimpin kurang
memperhatikan dan menanamkan nilai-nilai cinta kasih, semangat kebersamaan,
dan persaudaraan dalam kepemimpinannya. Mereka terbawa arus perkembangan
sehingga azaz dan nilai-nilai dasar yang menjadi tujuan utama hidup religius mulai
luntur dan hilang.
Para pemimpin religius pun masuk dalam gaya kepemimpinan otoriter untuk
mengejar kekuasaan, kedudukan dan kekayaan. Gaya kepemimpinan dalam
Kongregasi Frater CMM pun sering tidak menunjukan penghayatan Spiritualitas
Persaudaraan Berbelaskasih sebagai semangat dasar yang ditanamkan pendiri.
Misalnya menggunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, kurangnya
komunikasi dengan anggota yang bermasalah sehingga tidak ada penyelesaian yang
damai, dan sikap mempersalahkan sesama frater tanpa melihat dan memperhatikan
permasalahan yang sebenarnya. Sehingga keputusan dan kebijakan yang diambil
sering tidak memuaskan, menimbulkan kekecewaan bahkan sakit hati bagi pribadi
frater tertentu.
104
Gejala ini memperlihatkan perlunya pembaharuan dan pendalaman kembali
terhadap nilai-nilai kepemimpinan. Para pemimpin harus kembali kepada jati diri
kepemimpinannya yakni melayani dan kembali pada roh kepemimpinan sejati.
Karena dengannya kepemimpinan menjadi bermakna, bernilai dan menghasilkan
kemajuan bersama dalam suatu kelompok atau tarekat religius. Kepemimpin
hendaknya tidak hanya dilihat dari segi kedudukan dan kekuasaan untuk mengejar
hal-hal duniawi tetapi lebih pada usaha melayani dan menyelamatkan orang.
Yesus Kristus adalah tokoh dan teladan dalam kepemimpinan. Hal ini
ditunjukkan selama hidup-Nya, dalam karya dan pewartaan-Nya. Untuk tetap
menjaga keutuhan, cita-cita dan semangat hidup religius maka para pemimpin
religius perlu menimba semangat kepemimpinan yang benar berdasarkan teladan
Yesus sendiri Sang Guru Sejati. Yesus menghayati kepemimpinan yang penuh
dengan cinta yang berbelaskasih. Ia rela mengosongkan diri dan menyerahkan
seluruh hidup-Nya untuk keselamatan umat manusia. Tak henti-hentinya, Ia
mendorong dan mengajak orang bergabung dalam Kerajaan Bapa-Nya. Ia selalu
tergerak untuk memberikan pelayanan total kepada orang kecil, miskin, dan
tertindas. Secara khusus Yesus juga mengajari, melatih dan mendidik para murid
agar memiliki cara hidup seperti yang Ia lakukan. Peristiwa pembasuhan kaki para
murid pada Perjamuan Malam Terakhir (Yohanes 13: 1-20) menggambarkan suatu
model kepemimpinan yang ditunjukkan Yesus bagi murid-murid. Yesus
menunjukkan model kepemimpinan yang saling melayani dengan cinta dan
belaskasih.
105
Dalam Kongregasi Frater CMM, Mgr. Zwijsen telah menunjukkan bahwa
Yesus adalah inspirator utama dalam semua pelayanan dan kepemimpinannya.
Yesus menunjukkan bahwa kebenaran yang diwartakan-Nya bukan sesuatu yang
abstrak. Kebenaran itu nyata dalam tindakan dan belaskasih terhadap keprihatinan
orang-orang yang dijumpai. Yesus menumbuhkan keyakinan bahwa pertolongan
yang diberikan-Nya merupakan tanda pembaruan hidup (Nouwen: 2007).
Mgr. Zwijsen memberi kedudukan sentral kepada belaskasih dan
menekankan hal tersebut agar pelayanan yang dilakukan bukan merupakan
kesempatan untuk mencari kehormatan, keuntungan atau kepuasan diri. Mgr
Zwijsen memahami belaskasih sebagai inti hidup dari seorang religius yang mau
melayani dengan total (Hein & Jos, 1998: 18). Bagi Mgr. Zwijsen, karya belaskasih
diberikan kepada orang yang membutuhkan dan mempunyai suatu motivasi yakni
demi Allah, artinya demi melaksanakan kehendak Allah. Karya-karya yang
dikerjakan menghantar orang pada pengenalan akan Allah sebagaimana dilakukan
oleh Yesus. Jadi pelayanan yang didasarkan pada semangat belaskasih mengambil
bagian dalam pelayanan Yesus agar semua orang dihantar dalam rangkulan Allah.
4) PENGEMBANGAN LANGKAH-LANGKAH SCP
a) Pembukaan
Pengantar Tema
Konfrater yang terkasih, selamat datang, senang sekali kita dapat berjumpa
dan bertemu di tempat ini. “Yesus adalah teladan Kepemimpinan Berbelaskasih”
akan menjadi tema rekoleksi kita hari ini dan besok. Yesus adalah utusan yang
disiapkan Allah untuk melakukan karya-karya belaskasih tanpa menonjolkan diri,
106
tanpa mengejar kekuasaan dengan kesederhanaan dan kerendahan hati. Banyak
orang, sakit, kecil, miskin dan tertindas merasa tersapa, tersentuh dan mengalami
kehadiran Allah karena kehadiran yang sederhana dan penuh cinta ini. Hal ini
haruslah menjadi teladan yang patut kita ikuti karena Dia adalah pemimpin dan kita
juga adalah murid dan pengikut-Nya. Kita berharap bahwa dalam kesempatan ini
dapat belajar dari Sang Pemimpin Sejati ini.
Lagu Pembuka : Datanglah Roh Maha Kudus MB. 448
Doa Pembuka
Allah Bapa yang baik, kami bersyukur atas waktu dan kesempatan yang boleh
kami alami malam ini sampai besok. Engkau memperkenankan kami memperdalam
penghayatan kami tentang Kepemimpinan Yesus yang penuh belaskasih. Hadirlah
bersama kami dan kuatkanlah kami dengan Roh Kudus-Mu agar kami mampu
menggali pengalaman kami dalam melayani orang yang kami pimpin sesuai teladan
Yesus. Bantulah kami agar dapat menemukan makna di setiap pengalaman yang
kami temukan dan yang kami perdalam bersama rekan-rekan kami. Doa ini kami
haturkan kepada-Mu demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin
b) Langkah I-II : Pengungkapan Pengalaman Faktual dan Refleksi Kritis
Terhadap Praksis Faktual
Pengantar
Konfraters yang terkasih, saat ini kita akan merefleksikan pengalaman kita
sebagai pemimpin dengan tuntunan sebuah Film berjudul “Uskup Romero”. Uskup
Romero ini adalah seorang pemimpin umat Katolik di salah satu negara Amerika
Selatan yakni Elsalvador. Krisis multi dimensi yang dialami negaranya yang
107
mengakibatkan penindasan dan penderitaan terhadap rakyat menggerakkan hati
nuraninya untuk memberikan bantuan dan pertolongan semampunya. Hal ini
dilakukan karena tugas perutusannya sebagai penyalur belaskasih Tuhan. Walaupun
nyawa menjadi taruhannya, ia tetap berjuang membantu rakyat agar mereka
memperoleh pembebasan. Sejauh mana perjuangan Mgr. Romero?
Pendamping bersama peserta menyaksikan film “Uskup Romero”.
Konfrater terkasih, marilah kita merefleksikan pengabdian kita bertolak dari
pengalaman Mgr. Romero, seorang Uskup dari Elsalvador. Saya mohon konfrater
menyaksikan dengan seksama semua pemeran yang terlibat di dalamnya, ucapan-
ucapan yang dilontarkan oleh sosok-sosok dalam film tersebut, setting peristiwanya,
dan pergulatan yang terjadi. Semoga kita sekalian dapat belajar banyak dari tokoh
tersebut. Selamat menyaksikan.
Pendamping menceritakan secara ringkas isi film
Konfrater terkasih, film tadi mengisahkan kekacauan yang terjadi di negara
Elsalvador. Para pejabat pemerintahan berusaha mengejar kekuasaan sebesar-
besarnya. Kekuasaan itu dicapai dengan menggunakan kekerasan dan kekuatan
tentara pemerintah. Rakyat yang ingin mengikuti pemilu ditahan, ditembak dan
mobilnya dihancurkan. Banyak orang yang berjuang demi menegakkan keadilan
diculik dan tidak sedikit yang dibunuh. Bahkan pada saat Perayaan Ekaristipun
umat dibubarkan dengan kekuatan senjata. Keluarga-keluarga kehilangan sanak
saudara, tempat tinggal dan mengalami penderitaan hebat. Mgr. Romero diangkat
menjadi uskup ketika rakyat Elsalvador mengalami penderitaan akibat penindasan
dari pemerintah yang berkuasa. Melihat penderitaan ini Mgr. Romero mulai
bergerak dan terus memberikan peneguhan kepada rakyat yang dalam hal ini adalah
108
umat katolik. Bersama beberapa pastor dan awam, Mgr. Romero mendampingi
umat dan memberikan pelayanan jasmani dan rohani yang secukupnya.
Dalam kotbah-kotbahnya yang berapi-api di gereja maupun lewat radio,
Mgr. Romero dengan tegas menentang dan mengecam para pejabat pemerintah
yang menjadi dalang penderitaan rakyat. Beberapa kali ia berkunjung untuk
mengadakan pembicaraan dengan para pejabat berkuasa untuk mengadakan
perbaikan dalam kepemimpinan agar rakyat tidak mengalami penderitaan ini. Usaha
dan kerja keras Mgr. Romero demi rakyat terus dilakukan dengan menyampaikan
permasalahan ini dalam sidang para uskup. Mgr. Romero ditentang keras oleh para
uskup lain karena perjuangannya yang tak kenal takut menentang pemerintah.
Kemudian Mgr. Romero diculik dan dipenjarakan. Walau demikian rekan-rekannya
pastor dan awam tetap berjuang dan Mgr. Romero tetap berjuang setelah
dikeluarkan dari penjara. Perjuangan Mgr. Romero berpuncak pada saat ia
merayakan Ekaristi. Ia ditembak mati oleh orang yang dibayar pemerintah. Atas
perjuangan Mgr. Romero kehidupan rakyat Elsalvador berangsur membaik dan
Mgr. Romero tetap dikenang sebagai pemimpin tegas yang melaksanakan tugas
perutusannya dengan penuh cinta seperti yang dilakukan Yesus Pemimpin Sejati.
Pendalaman Film “Uskup Romero”
Manakah kisah atau peristiwa dari film ini yang berkesan bagi anda?
Apa penyebab utama, terjadinya krisis di Elsalvador?
Bagaimana realitas kepemimpinan religius saat ini?
Bagaimana profil seorang pemimpin religius yang anda harapkan?
Pendamping memberikan peneguhan
109
Konfrater terkasih, banyak peristiwa menarik yang kita temukan dalam film
tadi. Ketika Mgr. Romero menjemput umat yang dihadang tentara, ketika ia beradu
argumen mempertahankan gereja yang akan direbut tentara berkuasa, pengalaman
ketika ia diculik, dan pada saat ia ditembak di gereja dan banyak peristiwa lain.
Kiranya kita sepakat bahwa kekuasaan dan jabatan dari para pemimpin yang dalam
film tadi membuat mereka buta terhadap kemanusiaan dan nilai-nilai kehidupan,
sehingga penindasan terhadap rakyat merupakan hal yang sah bagi mereka.
Kekuasaan, kedudukan dan kenikmatan hidup membuat mereka menjalankan
kepemimpinan sesuai keinginan pribadi tanpa memperhatikan sesamanya.
Dalam kepemimpinan religius sering juga ditemukan pemimpin yang
otoriter, mengejar popularitas, mengambil keputusan semaunya tanpa
mendengarkan anggotanya. Nilai-nilai kristiani dan kharisma kongregasi
tersembunyi dalam topeng kepemimpinanya. Tentunya kita mempunyai harapan
bahwa kita akan menjadi lebih baik sebagai seorang pemimpin sekarang dan pada
waktu-waktu yang akan datang. Menjadi pemimpin yang memiliki pribadi yang
mencinta, memiliki semangat pendiri, dan memimpin berdasarkan teladan Yesus
yakni dalam belaskasih.
c) Langkah III : Mengusahakan Supaya tradisi dan visi kristiani terjangkau.
Pendamping membagikan teks Kitab Suci Yohanes 13 : 1-20 dan meminta
beberapa peserta membacakannya.
Pendamping mengajak peserta membaca dan merenungkan isi Injil secara
pribadi dan kemudian mengajak peserta bernyanyi lagu “Bahasa Cinta”.
BAHASA CINTA
110
*Andaikan aku lakukan yang luhur mulia
Jika tanpa kasih cinta hampa tak berguna
Reff:
Ajarilah kami bahasa cintaMu
Agar kami dekat padaMu ya Tuhanku
Ajarilah kami bahasa cintaMu
Agar kami dekat padaMu
*Andaikan aku pahami bahasa semua Hanyalah bahasa cinta kunci tiap hati. Reff *Cinta itu lemah lembut sabar sederhana Cinta itu murah hati rela menderita. Reff
Pendamping memberikan beberapa pertanyaan pendalaman
Manakah ayat yang berkesan bagi anda?
Apa yang menggerakkan Yesus melakukan pembasuhan kaki para murid?
Apa makna yang dapat kita petik dari peristiwa ini?
Interpretasi Kitab Suci
Konfrater yang terkasih, Perjamuan Malam Terakhir mengingatkan kita
akan saat-saat penderitaan dan kematian Kristus dan Dialah yang menjadi “tuan
rumah” melayani para murid pada perjamuan itu. Yesus menyisakan satu kenangan
terindah yang penuh refleksi dalam hidup para murid sebelum mengakhiri tugas-
Nya di dunia dengan makan bersama dan membasuh kaki para murid-Nya. Yesus
ingin menunjukan bahwa betapa besar kasihnya kepada para murid dan mereka
adalah saudara dan sahabat-Nya walau harus menanggalkan jubah sekalipun (ay 4).
Yesus memperlakukan para murid secara manusia dengan mengajari, mendidik dan
membimbing mereka dalam jalan yang benar dan penuh cinta kasih. Hal ini tampak
dalam kata-kata Yesus: “Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya
demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya” (ay 1).
111
Pada Malam Perjamuan Terakhir, Yesus Sang Imam Sejati menunjukan
teladan-Nya dalam sebuah pelayanan yang total sebagai seorang Guru dengan
membasuh kaki murid-Nya. Yesus menampilkan diri sebagai seorang pemimpin
yang mau melayani tanpa pamri dan menonjolkan jabatan dan kuasa-Nya. Ia adalah
pelayan dan pemimpin yang siap melayani bahkan membasuh dan membersihkan
kaki para murid sekalipun. Cinta-Nya yang penuh belaskasihan adalah yang utama
dalam hidup-Nya, bukan kedudukan dan pangkat (Darminta, 1993: 26).
Peristiwa pembasuhan ini merupakan contoh pendidikan kepemimpinan bagi
para murid dan kita agar menjadi pemimpin yang melayani dengan penuh kasih,
rendah hati, dan mengutamakan kepentingan banyak orang. Yesus mengajak para
pengikut-Nya untuk meneladani apa yang telah Ia lakukan dengan mengatakan:
“Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka
kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu
teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat
kepadamu (ay 14-15).
Menjadi pemimpin, baik sebagai Pemimpin Umum dan anggota Pimpinan
Umum, Provinsial dan anggota Dewan Provinsi, Pemimpin Novis-Postulan,
Pemimpin Komunitas, Kepala Sekolah, Ketua Yayasan dan pemimpin lainnya
adalah anugerah Tuhan. Hal ini berarti pemimpin adalah utusan Allah yang siap
melaksanakan kehendak Allah dalam kerendahan hati dan cinta kasih. Ia senantiasa
siap berkomunikasi, menjadi teladan hidup doa, melibatkan semua anggota dalam
keputusan dan pelaksanaan keputusan sehingga pusat perhatian adalah
kesejahteraan bersama (Darminta, 1993: 36). Kepemimpinan Yesus pun
berdasarkan amanat untuk datangnya Kerajaan Allah, dan bentuk ketaatan total
112
kepada Bapa-Nya untuk membawa manusia kepada keselamatan Melalui ajaran-
Nya Yesus menyingkapkan kehendak Bapa (Sardi, 2005: 219).
Seorang pemimpin sejati adalah orang yang memberikan teladan baik dalam
melaksanakan hukum kasih. Yesus menunjukan teladan sempurna bahwa menjadi
seorang pemimpin berarti menjadi teladan dalam pelayanan, dalam penghayatan
Spiritualitas Kongregasi dan dalam penghayatan nilai-nilai Kristiani. Dengan
Pembasuhan kaki para murid, Yesus mengajarkan kesiapsediaan untuk melayani
siapapun dan mengabdi demi kebahagiaan sesamanya.
Untuk itu dituntut ketulusan hati, kejujuran, dan kebijaksanaan dari para
pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya di zaman ini. Segala hal yang
menghalangi pelaksanaan kepemimpinan berdasarkan cinta kasih sedapat mungkin
dihindari misalnya kekuasaan, harga diri, kesombongan, harta kekayaan,
mementingkan diri sendiri, dll.
Sebuah tarekat religius bagaikan sebuah komunitas beriman yang diundang
Yesus untuk membangun sebuah persaudaraan universal yang saling melayani.
Pemimpin maupun anggota adalah saudara satu sama lain yang saling menghargai,
saling menghormati, saling mencintai dan saling meneguhkan sehingga baik
anggota maupun pimpinan merasa tegar dan kuat menjalankan perutusannya dan
memberikan kesaksian tentang cinta yang penuh belaskasih yang terwujud dalam
diri Yesus Kristus. Kita berharap dalam kongregasi kita setiap frater dapat
bertumbuh dalam penghayatan Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih, dewasa
dalam iman, harap dan kasih. Dengan demikian kita masing-masing memiliki harta
kekayaan yang tak ternilai dari Allah untuk bersama-sama membangun Kerajaan-
113
Nya dan bersama orang lain menuju masa depan yang lebih baik (Konst. Bag. I.
Art. 187).
d) Langkah IV-V : Interpretasi dialektis antara tradisi dan visi kristiani dengan
tradisi dan visi peserta dalam keterlibatan baru demi
terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.
Pendamping mengajak peserta bernyanyi lagu “Tiap Langkahku”.
“Tiap Langkahku”.
Tiap langkahku diatur oleh Tuhan
Dan tangan kasihNya memimpinku
Di tengah badai dunia menakutkan
Hatiku tetap tenang teduh
Reff: Tiap langkahku kutahu yg Tuhan pimpin
Ke tempat tinggi kudihantarNya
Hingga sekali nanti aku tiba
Di rumah Bapa surga yang baka
Di waktu imanku mulai goyah
Dan bila jalanku hampir sesat
Kupandang Tuhanku penebus dosa
Kuteguh sebab Dia dekat
Pengantar
Konfraters yang terkasih, Yesus telah membuka jalan bagi kita bagaimana
menjadi pemimpin yang baik. Pada langkah sebelumnya kita bersama merenungkan
pengalaman Yesus mengajari kita menjadi pemimpin sejati. Kita adalah pengikut
Yesus maka yang harus kita lakukan adalah meneladani yang telah dilakukan Yesus
114
sendiri. Bagaimana usaha kita untuk meneladani Yesus sebagai pemimpin yang
berbelaskasih?
Pendamping memberikan beberapa pertanyaan pendalaman.
Sejauhmana usaha anda menghayati teladan Yesus sebagai seorang
pemimpin yang berbelaskasih?
Manakah sikap, tindakan, cara hidupmu yang mau diteguhkan Yesus?
Apa wujudnyata yang mau anda lakukan sebagai bentuk usaha meneladani
Yesus sebagai pemimpin berbelaskasih?
Bagaimana anda mewujudkan niat-niat itu secara konkret?
Pendamping memberikan peneguhan
Konfraters yang terkasih dalam Yesus, sejak kemarin kita bersama
menyediakan waktu untuk hadir di tempat ini. Kita menyediakan diri untuk terbuka
dan berbagi bersama tentang pengalaman kepemimpinan kita yang berbeda-beda.
Proses demi proses, langkah demi langkah kita lalui dengan berbagi satu sama lain.
Kita mencari, mengolah semua pengalaman kita secara pribadi maupun bersama
dengan tema “Yesus adalah teladan kepemimpinan Berbelaskasih”.
Penginjil Yohanes menyodorkan refleksinya tentang Yesus dalam peristiwa
Perjamuan Malam Terakhir. Yesus adalah tokoh sederhana yang penuh dengan
cinta kasih memberikan teladan bagi kita bagaimana menjadi seorang pemimpin
yang berbelaskasih. Berbelaskasih juga adalah inti spiritualitas kita yang diwariskan
pendiri kita Mgr. Zwijsen. Semangat Yesus yang telah dihayati Mgr. Zwijsen
patutlah menjadi bagian dari kehidupan kita juga sebagai pemimpin, sehingga
115
kitapun seperti Yesus dan Mgr. Zwijsen melayani dengan semangat kerendahan
hati, penuh cinta, rela mengosong dan memberi diri seutuhnya bagi Allah, dan
memberikan kesaksian hidup sesuai teladan Yesus sendiri.
Pada saat ini, kita juga bersyukur karena kita diberi kesempatan berahmat ini
untuk menggali, mengolah dan menemukan sebuah pengalaman baru dalam
menjalankan kepemimpinan kita masing-masing sesuai teladan Yesus. Kita telah
diutus maka dalam menjalankan kepemimpinan ini kita tidak sendirian tetapi Allah
akan tetap menyertai kita dalam suka maupun dalam duka. Hendaklah Yesus
menjadi teladan hidup bagi kita dalam berbelaskasih sehingga kita dapat
mengaktualkan kemampuan dan talenta kita secara benar, baik dan sesuai
kehendak-Nya sehingga kitapun seperti Yesus menjadi Pemimpin yang
Berbelaskasih.
e) Penutup
Evaluasi
Pendamping menginformasikan maksud dari evaluasi kegiatan rekoleksi.
Pendamping memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengevaluasi
kegiatan. Isi evaluasi meliputi proses, tempat, isi, manfaat dan usulan.
Kata Penutup
Pendamping menyampaikan kata penutup yang berisi :
Ucapan terima kasih atas waktu, kesediaan peserta dan keterbukaan dalam
seluruh proses rekoleksi.
116
Ucapan terima kasih kepada peserta atas kerjasamanya sehingga rekoleksi
ini dapat berjalan dengan baik. Semoga rekoleksi ini membuat kita
semakin bangga menjadi pemimpin yang berbelaskasih.
Permintaan maaf atas segala kekurangan selama rekoleksi.
Doa Penutup
Allah Bapa yang berbelaskasih, kami bersyukur karena Engkau
menganugerahkan seorang pemimpin sejati yakni Yesus Putra-Mu. Ia telah
menunjukan kesaksian yang hidup sebagai seorang pemimpin yang penuh kasih.
Kami mohon turunkanlah rahmat itu dalam diri kami, sehingga kamipun seperti
Yesus mampu menjadi pemimpin yang mengutamakan nilai-nilai Kerajaan Allah.
Anugerahkanlah kerendahan hati serta keberanian meneladani Yesus, melayani
tanpa pamri dan tanpa menonjolkan diri, mencintai tanpa membedakan, dan hidup
seutuhnya hanya demi Persaudaran Berbelaskasih. Demi Kristus Tuhan kami.
Amin.
Nyanyian Kongregasi “Persaudaraan Berbelaskasih”.
BAB V
PENUTUP
Pada bab terakhir ini, penulis menyampaikan dua pokok uraian. Pertama,
kesimpulan yang berisi beberapa poin yang menjadi inti dari penulisan. Pokok
kedua adalah saran. Pada bagian saran, penulis menghaturkan beberapa saran yang
dapat memberikan sumbangan bagi proses pendalaman Spiritualitas Persaudaraan
Berbelaskasih bagi para pemimpin dalam Kongregasi Frater Santa Perawan Maria
Bunda Yang Berbelaskasih.
A. Kesimpulan
Kepemimpinan religius pada hakikatnya menjalankan fungsi pengabdian
dan pelayanan yang hendaknya dilandasi cinta kepada Tuhan dan manusia terutama
kepada anggota yang dipimpinnya. Mgr. Zwijsen menginspirasi semangat Santo
Vinsensius a Paul (pelindung karya kongregasi Frater CMM dan Suster SCMM)
dan ingin belaskasih Allah diwujudkan dalam pelayanan dan pertolongan kepada
yang susah, menderita, dan miskin.
Semangat inilah yang Zwijsen wariskan hingga kini agar menjiwai karya
dan perutusan Suster SCMM dan Frater CMM dalam menjawab tantangan zaman.
Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih inilah yang hendaknya menjiwai dan
mendasari perutusan para pemimpin Kongregasi Frater CMM dalam menjalankan
kepemimpinannya, agar para anggota dan semua orang yang dilayani merasa
diperhatikan, dicintai, berkembang ke arah yang lebih baik dan mempunyai harapan
menatap masa depan yang cerah.
118
Bagi Mgr. Zwijsen dalam kelembutan (mansuete) dan ketegasan (fortiter)
terwujud Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih. Kelembutan merupakan cara,
agar orang yang dilayani merasa tersapa, tersentuh dan bangkit. Sedangkan
ketegasan merupakan cara, agar orang yang dilayani merasa termotivasi menjadi
lebih baik lebih dan menghargai tindakan.
Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih yang dihayati Mgr. Zwijsen,
memiliki dasar yang kuat dalam seluruh hidup dan karya Yesus. Pemberian diri
Yesus mengamalkan karya belaskasih merupakan kepenuhan belaskasih. Kematian
Yesus di salib dan kebangkitan-Nya memberikan pemahaman tentang Allah yang
solider, dan berbelaskasih. Maka, menjadi berbelaskasih berarti siap menjadi hamba
seperti Yesus. Mgr. Zwijsen menegaskan bahwa kesediaan seorang frater mengabdi
sesama mendapat suri teladan dalam diri Hamba Tuhan yakni Yesus. Dia dalah
figur pemimpin yang patut diteladani dalam menyalurkan pelayanan belaskasih
kepada sesama. Maka pelaksanaan otoritas kepemimpinan seorang Frater CMM
hendaknya bersumber dan bersama Kristus karena semua itu diterima dari-Nya.
Bagi penulis upaya memperdalam kepemimpinan yang berdasarkan
Spiritualitas Persaudaraaan Berbelaskasih melalui katekese model SCP cukup
efektif karena bertumpu pada praksis dan pengalaman peserta, multifungsi dan
bersifat komprehensif. Bagi penulis karakteristik SCP seperti ini sangat membantu
pendalaman Spiritualitas Persaudaraan Berbelaskasih bagi para pemimpin
Kongregasi Frater CMM sehingga menjadi sosok yang bersaudara, memiliki cinta
yang berbelaskasih, mampu mendengarkan orang lain, mengambil keputusan
berdasarkan pertimbangan yang matang dan membahagiakan pihak lain.
119
B. Saran
Untuk meningkatkan penghayatan Kepemimpinan berdasarkan Spiritualitas
Persaudaraan Berbelaskasih dan sesuai karisma pendiri, penulis ingin memberikan
beberapa saran kepada para pimpinan dan seluruh Frater CMM, sebagai berikut:
1. Menggunakan jabatan secara benar sesuai dengan nilai-nilai kebenaran.
2. Mengadakan dialog persaudaraan dengan anggota yang bermasalah agar
mencapai jalan keluar dan penyelesaian yang tepat dan mendamaikan.
3. Bersikap terbuka dan penuh cinta menerima sesama anggota yang bermasalah
dan bukannya mempermasalahkan.
4. Berusaha membuat keputusan dan kebijakan dengan pertimbangan yang matang.
5. Menciptakan relasi pribadi yang khusus dengan Allah dalam doa, agar dapat
mendengarkan suara Tuhan sebagai pemberi rahmat dalam tugas perutusan
sehingga dapat melaksanakan kepemimpinan dalam tuntunan dan bimbingan
Allah sendiri sebagaimana diteladankan Yesus Sang Putra.
6. Selalu berusaha membaharui diri secara terus menerus, rela menerima saran, dan
kritikan demi perubahan ke arah yang lebih baik.
7. Meluangkan waktu menambah wawasan dan pengetahuan dengan membaca
buku, mengikuti kursus, seminar dan pelatihan yang berkaitan dengan
kepemimpinan. Menyediakan waktu yang cukup untuk mendalami Konstitusi
baik secara pribadi maupun dalam retret atau rekoleksi tentang spiritualitas
Kongregasi.
8. Membangun dialog multi arah antar pimpinan dan anggota yang dipimpin,
menciptakan relasi yang sehat, bersikap sederhana, rendah hati dan menjadi
teladan dalam penghayatan spiritualitas kongregasi dan nilai-nilai kristiani.
120
DAFTAR PUSTAKA
Bambang, Darmi, MM (2005). Kepemimpinan, Manajemen. Yogyakarta: Amara Books
Brigitte, OSU. (1998). Kristus Pemimpin Kita. Jakarta. Dale, D. Robert. (1992). Pelayanan sebagai Pemimpin. Malang: Gandum Mas. Darminta, J. SJ. (1993). Mengabdi dalam Kepemimpinan. Yogyakarta: Kanisius. _________. (1997). Sabda Di Bukit: Konstitusi Hidup Kerajaan Allah. Yogyakarta:
Kanisius. _________. (2003a). Mencitrakan Hidup Religius. Yogyakarta: Kanisius. _________. (2003b). Akar Dan Sayap : Praksis Pendidikan Nilai. Girisonta:
PUSPITA. _________. (2005). Kepemimpinan Religius dalam Peziarahan Hidup. Yogyakarta:
Kanisius. _________. (2006). Dewasa Sempurna dalam Kristus. Yogyakarta: Kanisius. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta. Balai Pustaka. Dewan Pimpinan Provinsi Frater CMM Indonesia. (2003). (Laporan) Pertemuan
Para Pemimpin Komunitas Frater CMM Provinsi Indonesia. Yogyakarta.
Dewan Pimpinan Provinsi Frater CMM Indonesia. (2008). (Laporan) Kapitel Provinsi Indonesia IV. Yogyakarta.
Dewan Pimpinan Umum Frater CMM. (1997). Seri Kongregasi, Dengan Memperhatikan 1996 – 2002. Tilburg: Gasthuisring.
_________. (1998). Seri Kongregasi, Membina Saudara Belaskasih. Tilburg: Gasthuisring.
_________. (2000). Seri Kongregasi, Yesus yang Berbelaskasih Saudara kita. Tilburg: Gasthuisring.
_________. (2001). Seri Kongregasi, Maria Bunda Yang Berbelaskasih. Tilburg: Gasthuisring.
_________. (2002). Seri Kongregasi, Memberi Kesaksian Mengenai Persaudaran. Tilburg: Gasthuisring.
_________. (2003). Berpadu di Jalan Belaskasih. Tilburg: Gasthuisring. _________. (2004). Hidup dalam Perhimpunan. Tilburg: Gasthuisring. Effendy, Onong. U., M.A. (1977). Kepemimpinan dan Komunikasi. Bandung:
Alumni Offset. Fuellenbach, John. (2000). Kerajaan Allah: Pesan Inti Ajaran Yesus Bagi Dunia
Modern, Ende: Penerbit Nusa Indah.
121
Groome, H. Thomas. (1997) Shared Christian Praxis: Suatu Model Berkatekese (F.X. Heryatno Wono Wulung, Penyadur). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat (Buku asli diterbitkan 1991).
Hein & Jos Huls. (1995). Segala Sesuatu hanya Berdasarkan Cinta Kasih. Nijmegen: Brandsma Institut.
_________. (1998). Inti Hidup, Belaskasih Religius Bagi Panggilan Hidup Joannes Zwijsen. Nijmegen: Vakhof Pers.
Heuken, A. (1991). Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Konstitusi Frater Santa Perawan Maria Bunda yang Berbelaskasih. (1990).
Belanda: Tilburg. Konfrensi Wali Gereja Indonesia. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta.
Obor _________. (2001). Novo Millennio Ineunte: (Pada Awal Milenium Baru). Jakarta _________. (2005). Bertolak Segar Dalam Kristus: Komitmen Hidup Bakti yang
Diperbaharui di Milenium ketiga. Jakarta _________. (2006). Kitab Hukum Kanonik. Bogor: Grafika Mardi Yuana. Lie, Petronela. (1997). Biografi Pendiri SCMM dan CMM. Dewan Provinsi SCMM. Lierop, van Pieter. (1993). Album Sejarah Kongregasi Frater CMM. Manado: Yafa _________. (1994). Spiritualitas St. Vinsensius A Paulo. Manado: Yafa _________. (1995a). Joannes Zwijsen Uskup dan Pendiri Kongregasi, Manado:
Yafa. _________. (1995b). Dibimbing Oleh St. Vinsensius a Paulo Dalam Semangat
Belaskasih. Tomohon. Komisi Spiritualitas CMM Indonesia. _________. (1996). Maria Suri Teladan Kita. Manado: Yafa Zwijsen, Joannes. (1864). Gemeenzame Gesprekken: Pembicaraan-Pembicaraan
Akrab 1863-1864, (terjemahan).Tilburg. Mangunhardjana, A.M., SJ. (1976). Kepemimpinan. Yogyakarta: Kanisius. Mar’at. (1982). Pemimpin dan Kepemimpinan. Bandung: Ghalia Indonesia. Mardiprasetya. (2001). Tugas Pembinaan Demi Mutu Hidup Bakti Jilid 1.
Yogyakarta: Kanisius. Maria. A.D. (2008). Oscar Romero dan Dorothy Day. Yogyakarta: Kanisius. Musakabe. H. (2005). Roh Kepemimpinan Sejati. Sebuah Pencarian jati diri. Citra
Insan Pembaru: Jakarta Nouwen, Henry J.M. (1986). Pelayanan Yang Kreatif, Yogyakarta: Kanisius. _________. (1987). Sehati Seperasaan: Sebuah Permenungan Tentang Hidup
Kristen, Yogyakarta: Kanisius _________. (2007). Peacework: Mengakarkan Budaya Damai, Yogyakarta:
Kanisius. Ponticelli. S. CM. (1996). Dalam Bimbingan Santo Vinsensius I. (Surat-surat Santo
Vinsensius). Malang: Dioma
122
_________. (2003). Dalam Bimbingan Santo Vinsensius II. (Surat-surat Santo Vinsensius). Malang: Dioma
Pujo Bernard. (2007). Vinsensius de Paul Sang Pelopor. Medan: Bina Media. Purnomo, Aloys Budi, Jalan-Jalan Toleransi demi Kasih dan Keadilan,
Yogyakarta: Kanisius, 2002 hal., 17 Riberu, J. (1978). Dasar-dasar Kepemimpinan Pegangan Praktis bagi Pemimpin
Masyarakat. Jakarta: Luceat. Samosir, B. Kepemimpinan Horisontal. Majalah Rohani. 2004. No. 10, tahun ke 51 Sardi. M. Profil Kepemimpinan dalam Lembaga hidup Bakti, Perantau, XXVIII,
No. 3, Mei-Juni 2005 Soenarja, A. SJ. (1984). Kepemimpinan Biara dari Hari ke Hari. Yogyakarta:
Kanisius. Suharyo, I, Berbahagialah Orang Yang Miskin di Hadapan Allah Karena
Merekalah Yang Empunya Kerajaan Surga (Mat.5:3) dalam Kemiskinan dan Pembebasan (bunga rampai) (editor), 1987. J.B. Banawiratma, Yogyakarta: Kanisius.
Suparmono, Paul. (1999). Berorientasi dalam Dunia Spiritualitas Vinsensius. Lokakarya Bina Diri Menjadi Formator Vinsensian Dalam Milenium IIII.
Tondowidjojo, John, CM. (1987). St. Vinsensius de Paul. Pengikut Pembawa Kabar Gembira Kepada Kaum Miskin. Surabaya: Bina Tama
_________. (1990). Menyimak Keutamaan St. Vinsensius. Malang: Dioma. Tracy Brian. (2003). Sukses Memimpin. Jakarta: Delapratasa