Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia

download Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia

of 18

Transcript of Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia

SOSIOLOGI PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA (Aplikasi Teori Tertib Realitas Sosial Max Weber dalam Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim) Oleh: Muhammad Zulkarnain ( Koord. Departemen Pendidikan dan Advokasi PC IPNU Kota Yogyakarta) AbstrakUntuk memahami secara benar apa yang diinginkan oleh seorang tokoh dalam semangat pemikiran pembaharuannya bisa dilihat dari konstruksi sosial-keagamaan yang dicanangkannya dalam sebuah konteks masyarakat tertentu. Max Weber adalah salah seorang sosiolog yang mengemukakan pentingnya tentang usaha menampilkan tertib realitas sosial. Dengan metodologi interpretatif (Verstehende Sociology) sebagai sebuah kritik tajam terhadap keragaman positivisme yang tidak mengindahkan batasan si pelaku tentang realitas, yaitu dengan mendesakkan sekehendak hatinya tafsiran dan kategori-kategori tentang realitas sosial itu. untuk menghindarkan dari subjektivitas bebas ini, pembacaan terhadap pemikiran Abdul Wahid Hasyim tentang pembaharuan pemikiran Islam Indonesia dianalisis berdasarkan langkah-langkah yang disyaratkan Weber. Dengan model ini pengungkapan terhadap ide-ide mendasar pemikirannya serta konstruksi sosial keagamaannya akan terungkap secara sistematis dan holistik sebagai bagian tak terpisahkan antara pemikiran dan aksentuasi Wahid Hasyim. Kata Kunci: Sosiologi, Max Weber, Pembaharuan pemikiran, Abdul Wahid Hasyim.

A. Sketsa Biografis Abdul Wahid Hasyim Abdul Wahid Hasyim adalah anak kelima dari pasangan K.H. Hasyim Asyari dan Nafiqah yang merupakan anak laki-laki pertama dari sepuluh bersaudara. Dia dilahirkan pada hari Jumat 1 Juni 1914, di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Nama aslinya adalah Abdul Wahid, tetapi ketika menginjak dewasa dia lebih suka menulis namanya dengan A. Wahid dan ditambah nama ayahnya dibelakangnya, sehingga menjadi Abdul Wahid

1|Page

Hasyim yang kemudian lebih dikenal dengan Wahid Hasyim.1 Wahid Hasyim datang dari keluarga yang sangat dihormati. Ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, seorang ulama kharismatik yang terkenal ahli dalam bidang hadits dan tafsir.2 Bagi kalangan santri di Jawa dan pulau-pulau lain, nama Hasyim Asyari sangat dikenal luas dan dihormati. Bukan saja karena dia adalah pendiri NU (organisasi Islam terbesar di Indonesia), beliau juga merupakan kyai pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ayah dari kyai wahid hasyim ini memiliki ilmu yang sangat mendalam sehingga pengaruh K.H. Hasyim Asyari makin meluas hal ini ditandai dengan begitu banyak santrinya, yang kemudian mendirikan pesantren setelah belajar dengan beliau.3 Hal ini tentu berpengaruh besar terhadap anaknya Wahid Hasyim, yang kelak menjadi pemangku pondok pesantren. Hal inilah yang menjadikan Abdul Wahid Hasyim kecil telah akrab dengan kultur kependidikan pesantren. Sebagai seorang putra ulama pengasuh pesantren, Abdul Wahid Hasyim mendapatkan pendidikan ke-Islaman sejak kanak-kanak dari lingkungan keluarganya dan pergaulannya dengan para santri ayahandanya. Beliau termasuk seorang yang jenius dan otodidak, terutama yang berhubungan dengan pengetahuan umum. Beliau tidak pernah belajar disekolah umum, tetapi pengetahuannya tidak kalah dengan anak-anak sebayanya yang mengenyam pendidikan umum. Abdul Wahid Hasyim pertama kali belajar kepada Ayahnya sendiri, juga kepada santri-santri senior dipondok pesantren Tebuireng. Sejak usia 5 tahun beliau mulai mengaji al-Quran dan pada usia tujuh tahun beliau sudah mengaji kitab Fathul Qarib (Syarah Kitab Matn alTaqrib), dan kitab Minhaj al-Qawim, serta mulai gemar mempelajari sastra1 Saiful Umam, K.H. Wahid Hasyim; Konsolidasi dan Pembelan Eksistensi dalam Menteri- Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), (Jakarta: PPIM, 1998), hlm. 99. 2 Hal ini bisa dijumpai dari karyanya Irsyad al-Syari yang merupakan kumpulan dari HaditsHadits Nabi yang dikumpulkan oleh K.H. Hasyim Asyari yang kemudian dikompilasikan berdasarkan pada tulisan-tulisan K.H. Hasyim Asyari oleh Kyai haji Ishomuddin Hadziq. Baca: Ishomuddin Hadziq (ed.), Irsyad al-Syari: Fi Jamii Mushannafat al-Syaikh Hasyim Asyari (Jombang: Pustaka Warisan Islam, Tt.) 3 Saiful Umam, K.H. Wahid Hasyim; Konsolidasi dan Pembelan Eksistensi dalam Menteri- Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik...hlm. 98.

Arab, terutama syair-syair Arab dalam kitab Diwan al-Syuara (kumpulan penyair dan Syair-syairnya).4 Berdasarkan fakta sejarah Abdul Wahid Hasyim dikenal sebagai ulama pergerakan dan ulama pejuang, baik pra maupun pasca kemerdekaan. Beliau ikut membentuk Laskar Umat Islam untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, yakni barisan Hizbullah, Sabilillah dan Mujahidin (Barisan Kiyai). Dari perjalanannya di NU, kemudian MIAI, GAPI dan Masyumi5, mengantarkan Pimpinan majalah Suara Muslimin Indonesia dan pelopor berdirinya Badan Propaganda Islam ini menjadi tokoh terkenal. Walaupun usianya hanya 39 tahun, tetapi sejarah hidupnya panjang. Jasajasanya tetap dikenang orang, baik sebagai ulama, pembaharu, pemikir maupun sebagai pejuang. Oleh karena itulah pantas apabila Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden RI nomor 206/ tahun 1964, mengangkat K.H. Hasyim sebagai Pahlawan pergerakan Nasional.6 B. Sosiologi PembaharuanWahid Hasyim tentang Pemikiran Islam Indonesia Sampai saat ini belum ada suatu pola sosial budaya yang dapat dipandang sebagai bentuk permanen keindonesiaan, baik sebagai sistem nilai maupun pranata. Dengan demikian untuk pertumbuhan, perkembangan, pertumbuhan dan masa depan Indonesia sendiri, umat Islam sebagai mayoritas diharapkan memberikan kontribudi dan tanggung jawabnya sesuai dengan posisi dan jumlahnya.7 Dalam pada ini kesadaran sosiologis adalah bagian penting yang tidak bisa tidak untuk menjadi object matter dalam rangka menciptakan model yang sesuai atau khas Indonesia yang ditinjau secara sosiologis. Abdul4 Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm. 152. 5 Berdasarkan catatan sejarah Wahid hasyim adalah tokoh yang begitu aktif untuk tampil di front line dalam menyuarakan ide-idenya, hal ini ditunjukkannya dalam gerakan keagamaan Masyumi Hal ini menanadai sikai inklusif sang kiyai yang dikenal tradisionalis ini, namun defacto menunjukkan sikap terbuka pada organisasi-organisasi Islam lainnya. Lihat:Mas Mansur, Pembaharu Islam di Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 71. 6 Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara,...hlm. 158. 7 M. Syafii Anwar, Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 3, vol. IV. 1993

3|Page

Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh Islam Indonesia yang layak untuk menjadi objek penelitian dalam rangka melakukan framing (pembingkaian) pemikiran besarnya berdasar perspektif sosiologis. Sebagai seorang tradisionalis, Abdul Wahid Hasyim meskipun terikat dengan kultur tradisi yang merupakan representasi dari NU (Nahdlatul Ulama) memiliki pemikiran yang sangat khas dimana isu kolaborasi antara tradisi dan komederenan menjadi tema penting yang sering diangkatnya.8 Oleh karena itulah, pembacaan sosiologi pembaharuan pemikirannya dikemukakan disini melalui teori tertib sosial Weber, agar tidak terjadi justifikasi sepihak yang tidak adil. Dalam Sosiologi Moderen yang diusung oleh Webber, adalah penting mengemukakan tentang usaha menampilkan tertib realitas sosial seorang pelaku masyarakat beserta penafsiran subjektif si pelaku sendiri. dengan metodologi interpretatif (Verstehende Sociology) sebagai sebuah kritik tajam terhadap keragaman positivisme yang tidak mengindahkan batasan si pelaku tentang realitas yaitu dengan mendesakkan sekehendak hatinya tafsiran dan kategori-kategori tentang realitas sosial itu. Untuk menindaklanjuti model ini maka penulis perlu untuk melakukan beberapa hal terkait dengan menyusun runutan sebagai berikut, tentang Islam dan perubahan di Indonesia, Menyusun fakta-fakta yang sudah diketahui tentang tokoh yang akan merangsang perhatian sosiologis.9 Dalam pada ini, akan dapat diketahui sumbangan penting Abdul wahid Hasyim terkait gagasan-gagasan pembaharuannya terhadap persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh umat Islam,8 Sebagai tokoh tradisionalis akan dapat diketahui pemikirannya dalam ranah kultural yang ingin menciptakan sebuah tatanan moral terhadap perubahan perkembangan Islam Indonesia. Sebagai tokoh NU, sangat memungkinkan pemikiran Abdul Wahid Hasyim yang terpengaruh dari organisasi Islam tradisional yang berafiliasi aktif dengan negara dewasa ini. Inti dari tradisi tradisi keilmuan NU adalah perpautan organis antara tauhid, fiqh, tasawuf, secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan tersendiri antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan. Yang paling disukai dilingkungan NU adalah ungkapan berikut: Hidup didunia sangatlah penting, kalau dijadikan persiapan untuk kebahagian akhirat, dan akan kehilangan artinya jika tidak diperlakukan seperti itu. Perpautan dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan ini merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang dilingkungan NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan (blatant) yang timbul dari proses modernisasi. 9 Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta: Rajawali, 1992 ), hlm. xiii-xiv.

pemerintah dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Isu-isu sentral yang hendak dibangunnya akan terlihat jika penelitian dilakukan dalam bingkai sosiologis, yaitu dengan menafsirkan ulang ide-ide pemikiran Abdul Wahid Hasyim, berikut adalah beberapa pokok pemikirannya yang memungkinkan untuk dielaborasi lebih jauh berdasarkan Sosiologi Weber. Berikut adalah ide-ide pembaharuan Wahid Hasyim dalam proses pembentukan model Islam Indonesia yang diinginkannya, sebagai arti penting dari Islam as model for Reality, untuk menghilangkan kesan dangkal pemahaman Agama, dengan menggunakan runutan Sosiologi Agama Weber, penulis akan mengurai beberapa sosiologi pembaharuan Islam Indonesia ala Wahid Hasyim dengan beberapa analisis tentang Islam Indonesia dan respon terhap perubahan, ketokohan Wahid Hasyim dan gagasan-gasan Praksisnya. Dalam masalah ini, perlu dikemukakan Islam dan responnya terhadap pembaharuan yang menjadi prasyarat teori sosial Weber. 1. Islam Indonesia dan Respon terhadap Perubahan Menjadi penting untuk membahas Indonesia dengan karakter keislamannya yang khas yang tidak terlepas dari proses transmisi pengetahuan yang secara kronologis adalah berbeda Berdasarkan fakta sejarah keilmuan keislaman Indonesia yang muncul dari Timur Tengah dimulai dengan kedatangan Islam itu sendiri di Nusantara. Hal ini karena Islam bukan hanya sekedar praktik ritual semata, tetapi juga berisi sejumlah aturan dan sistim pengetahuannya sendiri. seperti diketahui Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang telah melewati berbagai fase sejarah di tempat asalnya. Dalam perjalanan historisnya sebelum masuk ke Indonesia, ajaran Islam telah mengalami proses kodifikasi, sistimatisasi, dan pembidangan.10 Dalam pada ini, ciri khas Islam Indonesia yang sangat terpengaruhi oleh kultur-kultur yang telah hadir pra Islam11, yang banyak10 Muhammad Munip, Transmisi Pengetahuan Timur tengah ke Indonesia: Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004 (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 46. 11 Tradisi Islam yang dibawa oleh orang Muslim yang pulang dari Mekkah dan Madinah dikombinasikan dengan unsur budaya setempat. Dengan demikian lahirlah suatu bentuk yang menarik. Hasil kombinasi tersebut tampak jelas terutama pada arsitektur bangunan Masjid. Secara sadar orang Muslim selalu harus mengkaji ulang keberadaan mereka dalam kerangka ajaran Islam.

5|Page

mempengaruhi mode Islam yang berkembang dengan karakternya sendiri sebagai Islam periferal. Kondisi seperti ini memaksa Islam harus hadir berakulturasi dengan konteks keindonesiaan12 sebagai indikasi logis atas Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai Islam itu bersifat universal, namun pelaksanaan dari ajaran itu sendiri menuntut pada pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural terhadap masyarakat Indonesia secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan politik dalam kerangka konsep negara bangsa (nation state). Kenyataan bahwa Indonesia merupakan suatu bangsa yang mempunyai heterogenitas tertinggi secara fisik (negara kepulauan), maupun dalam soal keragaman suku, bahasa daerah, adat isdiadat dan bahkan agama yang bukan saja merupakan sesuatu yang sudah given, tetapi juga harus diperhitungkan. Melihat kenyataan ini ia berijtihad dengan mengatakan bahwa setiap langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan.13 Sejalan dengan agenda mengindonesiakan Islam, umat Islam harus jeli dengan pertimbangan-pertimbangan modernisasi yang sedang berlangsung. Secara definitif modernisasi merupakan proses transformasi masyarakat dalam segala aspeknya. Dalam data empiris menunjukkan, bahwa semua negara baru terlibat dalam proses modernisasi dengan menetapkan rencanarencana pembangunannya yang menyentuh aspek pembangunan ekonomi, politik, sosial dan pendidikan, yang dianggap sebagai aspek-aspek dominan dalam modernisasi.14 Secara skematis, hubungan integratif antara Islam danAdat istiadat pra Islamsetempat tidaklah mudah untuk dihapuskan. Akbar S. Ahmed, Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terj. Nunding Ram dan H. Ramli Yakub (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm.118. 12 Islam in Indonesia was a very hybrid system that did not much resemble the purer straints found in the Middle East and was even different from that the nearby South Asia. Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in Twentieth Century Indonesia : A Critical Survey (Leiden: Brill, 2001), p. XIII. 13 M.Syafii Anwar, Sosiologi Pembaruan pemikiran Islam Nurcholish Madjid dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No.3, Vol. IV, Th. 1933, hlm. 49. 14 Menurut J. W. Schoorl dalam Muhammad Tholchah Hasan, Islam Dalam perspektif Sosio Kultural (Jakarta: lantabora Press, 2000), hlm. 22.

respon

terhadap

modernitas

harus

saling

bersimbiosis, sebagai berikut:KEISLAMAN

KEINDONESIAAN

KEMODERENAN

PEMBANGUNAN SOSIO-RELIGIUS INKLUSIF

Islam sebagai agama rahmat bagi semesta. Ia mempunyai nilai-nilai universal yang menyangkut semua manusia. Ini juga menyangkut dari ciri agama samawi, karena semuanya memang berasal dari sumber yang sama. Dari segi kehidupan Islam mengatur hukum, masalah individu, ketentraan manusia lahir dan batin. Dari sudut antropologi Islam menyangkut semua bangsa dan masyarakat. Ini menandai universalitas agama Islam.15 Hal ini bersesuaian dengan Islam sebagai negara yang heterogen dengan mayoritas Muslim, kesadaran Islam terhadap modernitas merupakan hal yang tak terelakkan juga sebagai keharusan sejarah (historical necessity) yang menjadi beban psikologis pembangunan umat Islam Indonesia. 2. Gagasan Praksis Wahid Hasyim tentang pembaharuan Islam Indonesia a. Islam as Source of Wisdom15 Rifyal Kabah Wawasan Islam Keindonesiaan dalam konteks Islam Universal dalam Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia Akmal Nasery dan A. M. Saefuddin (ed.), (Bandung: 1996), hlm. 22.

7|Page

Kebijaksanaan yang kuat adalah berasal dari Agama, ajaran agama adalah sumber dari kebijaksanaan. Hal inilah yang hendak digagas oleh Wahid Hasyim mengenai peran nalar dalam beragama dan dalam kehidupan manusia di dunia.16 Lalu bagaimanakah contoh kebijaksanaan atau sikap bijaksana itu?. Dalam hal ini Wahid Hasyim mencontohkan salah satu ucapan Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi, bahwasannya manusia itu adalah bersaudara dengan sesama manusia , baik dia suka atau benci.17 Secara sosiologis, Abdul Wahid Hasyim menginginkan adanya relasi yang baik antar umat Islam di Indonesia yang notabene plural dengan perbedaan secara etnis, agama, ras. Ide-ide yang dikembangkan oleh Wahid Hasyim tidak terlepas dari model berfikirnya yang luas.18 Abdul Wahid Hasyim dengan model berfikir determinisme-historis19nya menghendaki adanya harmoni antar umat Islam Indonesia yang heterogen. Abdul Wahid Hasyim dan usaha untuk membentuk agama sebagai model untuk realitas, melazimkan untuk memahami agama tidak hanya dianggap sebagai doktrin keberagamaan suatu umat akan tetapi, harus pula dianggap sebagai sebuah sistem sosial (cultural system) sebagaimana didefinisikan oleh Geertz.20 Abdul Wahid Hasyim dengan gagasan Islam sebagai mode terhadap realitas16 Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953 (Yogyakarta: Garasi, 2009), hlm.94-97. 17 Dikutip dari Bakar, 1957: 689. Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 19141953....hlm.94-97. 18 Dalam perjalanan sejarah hidupnya Kyai Wahid Hasyim adalah tokoh yang kondang dengan pemikiran kependidikannya. Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan moderen, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Hal ini dapat diduga dari luasnya bacaannya. Wawasan ini diaplikasikannya dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Saiful Umam, K.H. Wahid Hasyim; Konsolidasi dan Pembelan Eksistensi dalam Menteri- Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.). (Jakarta: PPIM, 1998), hlm. 103. 19 Determinisme Historis (al-Jabr al-Tarikhi), hal ini memiliki arti bahwa kehidupan sosial dan tingkah laku perubahan manusia bukan hadir dengan sendirinya, ini terjadi akibat dari faktor sosial dan alam yang memengaruhinya, determinisme historis yang memengaruhi pemikiran Wahid Hasyim mengajarkan kepada manusia bagaimana cara memandang dan bagaimana semestinya seseorang melihat sebuah realitas. Suatu keteledoran jika seseorang memandang satu realitas yang berdiri sendiri dan terlepas dari alam sekitarnya, hal ini tergambar dalam pemikiran pendidikannya sebagai sebuah gagasan yang terorbit dari peristiwa-peristiwa sebagai hasil pada satu sisi, dan illah atau sebab pada sisi lainnya. Mardjoko Idris, Kebangkitan Intelektualisme di Mesir: Studi Biografi dan Pemikiran Thoha Husayn (Yogyakarta: Teras, 2008) p. 42-44. 20 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change (Oxford: Westview Press, 1991) , hlm. 8.

Islam Indonesia moderen dengan pandangan penuh tentang kebijaksanaan (wisdom) yang sejatinya bersumber dari Agama. b. Islam Sebagai Agama Rasional Diskursus seputar modernisasi Islam yang mulai populer pada abad ke19 M.21 Ketika ajaran-ajaran Islam dituntut menampakkan kedinamisan dan kearifannya menghadapi peradaban dan tradisi baru sebagai implikasi perkembangan ilmu dan teknologi. Bagi Wahid Hasyim Islam bukanlah sekedar menghargai akal dan otak yang sehat, melainkan juga menganjurkan orang supaya menyelidiki, memikirkan dan mengupas segala ajaran Islam. hal itu dianjurkan Islam karena Islam memberikan ajaran-ajaran yang sehat, Islam tahu bahwa ajaran-ajarannya adalah tahan uji, karenanya tidak takut jika ajaran Islam diselidiki orang, apalagi ketakutan nanti kalau sudah diselidiki digunakan untuk menghancurkan Islam dari dalam.22 Keterbukaan Wahid Hasyim terhadap diskursus-diskursus moderen tentang Islam adalah bagian yang tak terelakkan dari pemikirannya. Kaitannya dengan ide bahwa Islam adalah Agama rasional yang Shalih li Kulli Makan wa al-Zaman. Usaha Wahid Hasyim dalam menciptakan model Islam yang rasional tidak lain adalah upayanya untuk melakukan reformasi terhdap kajian-kajian keislaman yang kreatif dan bukan hanya sebagai pengulangan sejarah (tahshil al-Hashil).23 Bukti konkret dari pendapatnya bahwa Islam sebagai Agama yang rasional, adalah inklusifitasnya terhadap ide-ide yang datang dari luar termasuk ide-ide Barat.24 Kesadaran Wahid21 Ulya, Anatomi Pemikiran Islam Modern: Telaah terhadap pemikiran Mukti Ali dalam Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 4, No. 1, Januari 2004 (Ponorogo: STAIN Ponorogo), hlm. 14. 22 Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953...hlm.94-96. 23 Hasan Hanafi, al-Turats wa al-Tajdid: Mawqifuna min al-Turats al-Qadim (Cairo: Muassasah al-Jamiiyyah li al-Dirasat wa al-Tawzi, 1992), hlm. 96-105. 24Indikasi dari penerimaannya terhadap ide-ide Barat adalah tentang pimpinan dalam Islam dengan membagi pemimpin Islam, menurutnya:Pertama, pemimpin politik Islam yang umumnya berpendidikan Barat tapi tidak memiliki pengetahuan Agama yang cukup. Kedua, pemimpin Agama Islam, yakni para ulaama yang pada umumnya tidak mempunya pengetahuanumum dan politik. Sebab itu, Wahid Hasyim mengharapkan perguruan Tinggi Agama Islam tersebut mampu melahirkan cendikiawan yang tidak hanya mendalam ilmu pengetahuan Agama dan Umum serta takwanya kepada Allah, tetapi juga memahami persoalan-persoalan politik. Dengan demikian tidak akan terjadi adanya ulama yang karena tidak sadar menundukan ilmu pengetahuan pada politik. Saiful Umam, K.H. Wahid Hasyim; Konsolidasi dan Pembelan Eksistensi dalam Menteri- Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik ...hlm. 94.

9|Page

Hasyim serta tesanya bahwa Islam sebagai Agama rasional sebagai sistem berfikir moderen25 yang merupakan responnya terhadap modernitas dalam konteks komederenan dan keindonesiaan. c. Meninggalkan Fanatisme Kaum Muslimin Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pengembangan force ajaran-ajaran atau daya Islam, dan kehilangan dalam psychological stricking dobrak psikologis

perjuangannya.26 Harus diakui bahwa daya dobrak yang diistilahkan oleh Nurcholish Madjid ini adalah bagian penting penghadapan Islam terhadap modernitas. Kebangkitan kembali Islam ini diwarnai dengan sikap sebagian umat Islam Indonesia yang akrab dengan kemapanan tanpa mau menerima gagasan lain yang datang atau dengan istilah lain hal ini disebut fanatisme. Ketertutupan sikap ini hanya akan melahirkan kemunduran umat. Secara sadar Abdul Wahid Hasyim berpendapat bahwa perjuangan umat Islam tidak akan berkembang secara baik jika sikap fanatisme yang menghinggapi umat Islam, khususnya kaum pergerakan Islam. hal ini tidak lain karena fanatisme memiliki pengertian kepercayaan membabi buta terhadap suatu ajaran dan menolak segala pendapat yang lain. Fanatisme ini harus dibedakan dengan pemaknaan teguh kepada pendirian. Penyakit fanatisme ini celakanya menghinggapi pergerakan kaum Muslimin. Penyakit ini akhirnya mengakibatkan perselisihan dari kaum pergerakan Islam yang terbagi menjadi dua, yaitu satu golongan yang teguh memegang pendiriannya. Kalangan ini sering dicap fanatik oleh kaum barat.27 Hal ini oleh Farid Esack dikategorikan sebagai pecinta yang terpelajar atau dengan kata lain ulama konfessional yaitu level interaksi pecinta (Ulama konfessional) yang ingin menjelaskan pada dunia, terkait dengan model pemahaman yang dipegang teguh olehnya serta menginginkan adanya penerimaan dan pengakuan secara25 Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis: Studi Kasus Pemikiran Moenawar Chalil (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 3. 26 M. Syafii Anwar, Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan...hlm. 51 27 Dikutip dari Bakar, 1957: 749-750, lihat: Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953....hlm.110

universal dengan memaparkan keutamaan-keutamaan apa yang menjadi keyakinannya.28 Sedangkan, golongan yang kedua adalah golongan moderen yang menjadi makmum bagi orang Barat dengan fanatiknya pula. Golongan kedua ini fanatiknya bukan pada Islam, melainkan pada Barat.29 Sebagaimana dengan ide-idenya dapat difahami bahwa Abdul Wahid Hasyim ingin memosisikan dirinya secara moderat dengan tidak cenderung pada dua kutub ekstrim. Sikap moderatnya ini jika dilihat secara sosiologis bisa dipandang sebagai keteguhannya dalam bersikap tanpa mengidentitaskan diri hanya pada satu golongan saja, hal inilah yang nampaknya mewarnai pemikiran Abdul Wahid Hasyim yang telah memberikan keluwesan dalam berfikir dan jauh dari kesan ekstrim. Kolaborasi pemahaman keagamaan yang terbuka akan membuka jalan bagi tercapainya percepatan pembangunan Islam indonesia yang inklusif. Kesan Wahid Hasyim yang moderat, yang tidak dapt dilihat sebagai fundamentalis-tradisionalis atau bahkan liberalis. Dari pendapatnya tentang fanatisme yang terjadi pada sebagian umat Islam yang hal tersebut menurutnya berbeda dengan teguh pendirian, melainkan sebagai sebuah pembeoan secara membabi buta terhadap doktrin Agama. Sikap seperti ini menurutnya hanya akan stagnasi pemikiran umat Islam. Terkait dengan penolakannya terhadap fanatisme ini, Abdul Wahid Hasyim secara tersirat ingin menyampaikan gagasannya tentang cita-cita Islam Indonesia yang ideal yang terlepas dari keterikatan satu kelompok saja. Untuk mencapai cita-cita Islam sangat diperlukan pemahaman keagamaan yang holistik hal ini dikarenakan karakteristik Islam yang tidak monodimensional melainkan multidimensional.30 Secara adil bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Abdul Wahid Hasyim adalah sintesis antara doktrin dan ekspresi, antara ajaran dan amalan31 yang secara sadar merupakan28 Farid Esack, Samudera Al-Quran terj. Nuril Hidayah (Yogyakarta: Diva press), hlm. 1617. 29 Dikutip dari Bakar, 1957: 749-750, lihat: Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953 ... hlm.110 30 Ulya, Anatomi Pemikiran Islam Modern: Telaah terhadap pemikiran Mukti Ali dalam Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam... hlm. 19. 31 Hal ini dilakukan dalam rangka pencarian masa depan yang lebih baik, kesadaran ini dimiliki oleh Kyai Wahid Hasyim yang secara cerdas menyadari dan menyikapi, bagaimana seharusnya pendidikan Islam diterapkan. Najib Mahfuz, Hawl al-Ilm wa al-Amal (Cairo: Dar al-

11 | P a g e

hasil dari pembacaan terhadap realitas sosial keagamaannya yang matang tanpa terpaku pada satu kepengikutan saja dalam beragama. d. Toleransi (Tasamuh) Bangsa Indonesia seringkali disebut sebagai negeri dengan masyarakat yang majemuk (plural) disebabkan hampir semua agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu, Buddha) terwakili dikawasan ini.32 Seperti dicatat oleh Inam Esha bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa paling plural didunia. Kurang lebih 17.000 pulau baik besar ataupun kecil, berpenghuni ataupun tidak telah membentuk Indonesia, hingga dikenal sebagai negara kepualauan terbesar didunia, di samping itu tentu merupakan negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Indonesia, sebagaiman kita tahu bahwa kurang lebih 400 kelompok etnis, dengan bahasa mereka masing-masing.33 Kemajemukan ini, jika tidak didasarkan pada asas toleransi pada keragaman Indonesia ini tentu akan mengakibatkan disintegrasi34 besar-besaran secara internal yang akan mengancam keutuhan berbangsa. Dalam pidatonya yang berjudul Tugas Pemerintah dalam Agama merupakan bentuk pengenalan kementrian Agama kepada masyarakat karena tidak lain kementrian Agama adalah bagian dari pemerintahan. Maka tugas Agama harus memenuhi bahwa ajaran Agama adalah ajaran yang memberi pedoman orang baik didunia, dan melalui pemeluk agama pula pemerintah berhutang budi atas kemerdekaan Indonesia. wahid Hasyim mencontohkan bagaimana Islam sebagai agama mampu mengedepakan sikap tasammuh/ toleransi, demokrasi sehingga tercipta UUD 1945 dan pancasila, sebagai bentuk rasa nasionalisme, persaudaraan dan demokrasi. Untuk itulah sudah sewajarnya jika kementrian Agama yang merupakan kepanjangan pemerintah memberikan pelayanan terbaik kepada kerukunan antar umat beragama.Misriyyah, 1996), p.141. 32 Nurcholish Madjid, Islam ,Doktrin dan Peradaban: Sebuah telaah Kritis tentang Masalah keimanan, Kemanusiaan, dan kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm.177. 33 Muhammad Inam Esha, Rethingking kalam: Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), hlm.124. 34 Baca: Muhammad Inam Esha, Rethingking kalam: Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Kontemporer...hlm. 125.

Dalam hal ini Wahid Hasyim menilai umat beragama di Indonesia harus memiliki semangat keagamaan sangat tinggi hingga ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama: ada pula yang semangat keagamaannya lemah yaitu jarang melakukan pola peribadatan atas kepercayaannya; dan ada pula yang mengalami ketakutan akan keberadaannya karena ia adalah penganut agama yang minoritas. Kondisi ini membuat mereka meminta perhatian yang berbeda-beda pula pada kementrian agama.35 Hubungan antara negara dan agama merupakan masalah fundamental dalam sistem kenegaraan moderen . hampir setiap negara muslim terlibat dalam pergumulan intens dalam mecari formulasi yang tepat bagi situasi dan kondisi masing-masing negara dan syariah didunia Islam kontemporer. Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di Dunia, tidak ketinggalan ikut menyumbangkan ijtihadnya sendiri dalam mencari mozaik hubungan ini. Di Indonesia, pola hubungan antara negara dan syariah mengalami pasang surut: dari diplomasi halus sampai hal-hal yang anarkis. Salah satu faktor pembeda utama , jika dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, adalah karena Indonesia terletak dipinggiran Dunia Islam. hal ini seharusnya menjadi pelajaran umat Islam untuk berbudaya toleran dikarenakan Islam dan masih merupakan Pendatang baru ketika gagasan negara moderen diperkenalkan.36Dalam tradisi islam Indonesia sifat kegotong royongan merupakan ciri khas orang-orang Indonesia.37 Secara sosiologis hal ini harus dipandang sebagai usaha Abdul Wahid untuk menciptakan harmoni antara Islam dan tradisi yang berkembang pra Islam dalam konteks Indonesia yang merupakan Islam diluar perbatasan atau dengan istilah lain disebut Islam periferal.38 Dengan apa yang telah35 Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953...hlm.111. 36 Yudian Wahyudi, Islam: Percikan Sejarah, Filsafat, Politik, Hukum dan Pendidikan (Yogyakarta: Nawesea Press, 2010), hlm. 67. 37 Rifyal Kabah Wawasan Islam Keindonesiaan dalam konteks Islam Universal dalam Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia Akmal Nasery dan A. M. Saefuddin (ed.), (Bandung: 1996), hlm. 29. 38 Islam pinggiran atau periphery Islam adalah Islam yang berada pada wilayah pinggiran baik secara geografis maupun pelopornya. Baca: Yudian Wahyudi, Dinamika Politik Kembali Kepada Al-Quran dan Sunnah di Mesir, Maroko dan Indonesia (Yogyakarta: Nawesea Press, 2010), hlm. 24.

13 | P a g e

dilakukannnya dalam hal kompromi antara tradisi pra Islam Indonesia dengan Islam sebagai pendatang, abdul Wahid Hasyim telah menjawab teka-teki, meminjam istilah Braudeldialogue of the deal antara sejarah dan teori sosial.39 Masih dalam kerangka sosiologis, usaha Abdul Wahid Hasyim ini tanpa disadari memberikan spirit kepada umat Islam Indonesia agar bersikap toleran terhadap persilangan antar agama, kebudayaan, dan lain-lain yang merupakan keniscayaan sejarah. Hal ini merupakan salah satu dari inti ajaran Islam tentang kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah ammah), dan keadilan,40 yang dalam kaidah ushul Fiqh bersifat universal, melintasi ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan). Kesadaran Abdul Wahid Hasyim tentang Indonesia yang unik dan plural dibawah satu identitas41 haruslah adanya kesadaran bahwa sebuah identitas dibentuk oleh unsur-unsur yang kompleks yang mengharuskan adanya toleransi antar persilangan kelompok-kelompok. Jika toleransi diindahkan tanpa melihat keragaman yang dimiliki oleh Indonesia hal ini akan mengancam integrasi antar kelompok di Indonesia yang merupakan unsur-unsur pembentuk identitas kebangsaan Indonesia. C. Kesimpulan Pemikiran keislaman dan keindonesiaan yang digagas oleh Abdul Wahid Hasyim secara sosiologis menginginkan pembentukan pola sosialkeagamaan yang permanan khas Indonesia sebagai sebuah sistem nilai maupun pranata. Hal ini dimaksudakan untuk melakukan percepatan pertumbuhan dan perkembangan umat Islam Indonesia yang mayoritas untuk berperan besar terhadap agenda bangsa ini tanpa mengabaikan kaum minoritas sehingga ide toleransi menurutnya adalah sebuah keharusan. Dalam kesadaran berbangsa dan bernegara (nation-state), Abdul Wahid39 Fernand Braudel, History and Sociology dalam Fernand Braudel (ed.), On History (Chicago: 1980), hlm. 64-82. dan Peter Burke, History and social theory. Cambridge: Polity Press, 2007. 40 Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Jakarta: KataKita, 2009), hlm. 215. 41 Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.75.

Hasyim menyadari benar akan pentingnya heterogenitas Indonesia. untuk bisa memenuhi harapan ini Abdul Wahid Hasyim membingkai keislaman dan keindonesiaan dengan penghadapan terhadap realitas atau tatanan hidup moderen yang terhubung dengan perbedaan zaman dan tempat. Hal ini menurutnya merupakan pemahaman yang benar terhadap keluasan ajaranajaran Islam, tidak mengherankan jika gagasan tentang Islam sebagai sumber kebijaksanaan, Islam sebagai agama rasional, ajakan untuk meninggalkan fanatisme, dan toleransi disuarakannya. Dari gagasan-gagasan yang disuarakkan oleh Wahid Hasyim, secara sadar telah berefek domino kepada, harmoni Islam Indonesia yang dibingkai dalam kemoderenan. Hal ini merupakan bagian menarik dari pemikiran pembaharuan Islam Indonesia Abdul Wahid Hasyim yang merupkan pembacaan holistik terhadap keadaan sosial, keluwesan dan inklusifitas pemikiran yang berelasi dengan aksen.

Daftar Pustaka Ahmed, Akbar S. Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terj. Nunding Ram dan H. Ramli Yakub. Jakarta: Erlangga, 1990. Anwar, M. Syafii Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan. No. 3, vol. IV. 1993. Azra, Azyumardi dan Umam, Saiful (ed.). Menteri- Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik. Jakarta: PPIM, 1998. Burke, Peter. History and Social Theory. Cambridge: Polity Press, 2007. Esack, Farid. Samudera Al-Quran terj. Nuril Hidayah. Yogyakarta: Diva Press, 2007.

15 | P a g e

Esha, Muhammad Inam . Rethingking kalam: Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Kontemporer. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006 Ghazali, Moqsith. Argumen Pluralisme Agama. Jakarta: KataKita, 2009 Hadziq,Ishomuddin (ed.), Irsyad al-Syari: Fi Jamii Mushannafat al-Syaikh Hasyim Asyari. Jombang: Pustaka Warisan Islam, Tt. Hanafi, Hasan. al-Turats wa al-Tajdid: Mawqifuna min al-Turats al-Qadim. Cairo: Muassasah al-Jamiiyyah li al-Dirasat wa al-Tawzi, 1992 Hasan, Muhammad Tholchah. Islam Dalam perspektif Sosio Kultural. Jakarta: Lantabora Press, 2000 Idris, Mardjoko. Kebangkitan Intelektualisme di Mesir: Studi Biografi dan Pemikiran Thoha Husayn. Yogyakarta: Teras, 2008. Madjid, Nurcholish. Islam ,Doktrin dan Peradaban: Sebuah telaah Kritis tentang Masalah keimanan, Kemanusiaan, dan kemoderenan. Jakarta: Paramadina, 2005. Mahfuz, Najib. Hawl al-Ilm wa al-Amal. Cairo: Dar al-Mishriyyah, 1996. Mansur, Mas.Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1982. Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Representasi dan Ideologi.

Munip, Muhammad. Transmisi Pengetahuan Timur tengah ke Indonesia: Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008. Nasery, Akmal. dan Saefuddin, A. M. (ed.). Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: 1996. Rifai, Mohammad. Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953. Yogyakarta: Garasi, 2009 Saleh, Fauzan. Modern Trends in Islamic Theological Discourse in Twentieth Century Indonesia : A Critical Survey. Leiden: Brill, 2001.

Suprapto, Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009. Thoha, Hamim. Paham Keagamaan Kaum Reformis: Studi Kasus Pemikiran Moenawar Chalil. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Tibi, Bassam. Islam and the Cultural Accomodation of Social Change. Oxford: Westview Press, 1991.. Turner, Bryan S. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber. Jakarta: Rajawali, 1992. Ulya, Anatomi Pemikiran Islam Modern: Telaah terhadap pemikiran Mukti Ali dalam Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 4, No. 1, Januari. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2004. Wahyudi, Yudian. Dinamika Politik Kembali Kepada Al-Quran dan Sunnah di Mesir, Maroko dan Indonesia. Yogyakarta: Nawesea Press, 2010. ______. Islam: Percikan Sejarah, Filsafat, Politik, Hukum dan Pendidikan. Yogyakarta: Nawesea Press, 2010.

17 | P a g e