sosiologi-muba

6
©2003 Digitized by USU digital library 1 PERSEPSI DAN PERILAKU ADAPTIF MASYARAKAT PINGGIRAN MUBA SIMANIHURUK Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara "Rasa benci dan amarah subversi mendapat ladang subur hanya dimana informalitas tidak mampu berdiri dan formalitas merkantilis telah gagal. ...Obat yang sebenarnya bagi kekuasaan dan kemelaratan adalah mengakui hak milik dan hasil kerja mereka yang dikucilkan sekarang ini oleh sektor formal sehingga di mana ada pemberontakan di situ ada rasa turut memiliki dan tanggung jawab." (Hernando de Soto) 1. Latar Belakang Memahami masalah pembangunan, tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan social engineering. 1 Pertumbuhan ekonomi mengacu pada kemajuan suatu bangsa yang diidentifikasi melalui ukuran kenaikan GNP dan pendapatan per-kepala dengan sarana perbaikan tehnologi industri dan distribusi. Model pertumbuhan ekonomi ini adalah model dimana agreegate out put dihubungkan dengan investasi fisik dalam bentuk out put capital ratio dan sangat berorientasi pada tingkat GNP (Gross Notional Product). Dalam hal ini manfaat pembangunan dijanjikan akan meluas pada semua sektor dalam masyarakat melalui dalil yang lebih dikenal dengan "Tricle down effect dan spread" (tetesan ke bawah dan penyebaran). 2 Sedangkan social engineering menunjuk pada aspek sosial dari lembaga non ekonomi yang diarahkan secara terencana untuk menjaga dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Di mana keduanya bermuara pada konsep pembangunan yang merupakan konsep elit politik yang mengandung pengadaian bahwa baik pertumbuhan ekonomi maupun perubahan-perubahan lembaga sosial haruslah diarahkan secara politik untuk menjamin peningkatan kesejahteraan yang dapat dibenarkan oleh norma-norma tertentu. 3 Konsep pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang pernah dialami dan dibuktikan oleh negara-negara Eropa ,Barat dalam perkembangannya banyak dianut oleh negara-negara dunia ketiga. Melalui strategi industrialisasi dengan kebijaksanaan substitusi import, optimisme untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dicoba diwujudkan. Faktor modal atau investasi yang tidak dipunyai oleh negara dunia ketiga dipecahkan dengan mendatangkan investasi asing beserta tehnologinya. 4 Dengan bantuan modal asing tersebut, dipraktekkan strategi industrialisasi yang tentunya dipusatkan di kota-kota besar, dengan asumsi di kota-kota kecil 1 Peter L Berger, Piramida Korban Manusia, LP3ES, Jakarta, 1982, hal.32 2 Bambang Sunaryo, Alternatif Budaya Pembangunan, KOMPAS, 10 Pebruari 1984. 3 Ignas Kleden, Soedjatmoko : Sebuah Psikologi Pembebasan, dalam Etika Pembebasan, LP3ES, Jakarta, 1988, hal. xxvii 4 Ismid Hadad, Persoalan dan Perkembangan Pemikiran dalam Teori Pembangunan, Prisma, Jakarta, No. 1 Januari 1980 Tahun IX, hal. 26

description

sosiologi

Transcript of sosiologi-muba

  • 2003 Digitized by USU digital library 1

    PERSEPSI DAN PERILAKU ADAPTIF MASYARAKAT PINGGIRAN

    MUBA SIMANIHURUK

    Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Sumatera Utara

    "Rasa benci dan amarah subversi mendapat ladang subur hanya dimana informalitas tidak mampu berdiri dan formalitas merkantilis telah gagal. ...Obat yang sebenarnya bagi kekuasaan dan kemelaratan adalah mengakui hak milik dan hasil kerja mereka yang dikucilkan sekarang ini oleh sektor formal sehingga di mana ada pemberontakan di situ ada rasa turut memiliki dan tanggung jawab." (Hernando de Soto)

    1. Latar Belakang Memahami masalah pembangunan, tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan

    pertumbuhan ekonomi dan social engineering.1 Pertumbuhan ekonomi mengacu pada kemajuan suatu bangsa yang diidentifikasi melalui ukuran kenaikan GNP dan pendapatan per-kepala dengan sarana perbaikan tehnologi industri dan distribusi. Model pertumbuhan ekonomi ini adalah model dimana agreegate out put dihubungkan dengan investasi fisik dalam bentuk out put capital ratio dan sangat berorientasi pada tingkat GNP (Gross Notional Product). Dalam hal ini manfaat pembangunan dijanjikan akan meluas pada semua sektor dalam masyarakat melalui dalil yang lebih dikenal dengan "Tricle down effect dan spread" (tetesan ke bawah dan penyebaran).2

    Sedangkan social engineering menunjuk pada aspek sosial dari lembaga non ekonomi yang diarahkan secara terencana untuk menjaga dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Di mana keduanya bermuara pada konsep pembangunan yang merupakan konsep elit politik yang mengandung pengadaian bahwa baik pertumbuhan ekonomi maupun perubahan-perubahan lembaga sosial haruslah diarahkan secara politik untuk menjamin peningkatan kesejahteraan yang dapat dibenarkan oleh norma-norma tertentu.3

    Konsep pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang pernah dialami dan dibuktikan oleh negara-negara Eropa ,Barat dalam perkembangannya banyak dianut oleh negara-negara dunia ketiga. Melalui strategi industrialisasi dengan kebijaksanaan substitusi import, optimisme untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dicoba diwujudkan. Faktor modal atau investasi yang tidak dipunyai oleh negara dunia ketiga dipecahkan dengan mendatangkan investasi asing beserta tehnologinya.4

    Dengan bantuan modal asing tersebut, dipraktekkan strategi industrialisasi yang tentunya dipusatkan di kota-kota besar, dengan asumsi di kota-kota kecil

    1 Peter L Berger, Piramida Korban Manusia, LP3ES, Jakarta, 1982, hal.32 2 Bambang Sunaryo, Alternatif Budaya Pembangunan, KOMPAS, 10 Pebruari 1984. 3 Ignas Kleden, Soedjatmoko : Sebuah Psikologi Pembebasan, dalam Etika

    Pembebasan, LP3ES, Jakarta, 1988, hal. xxvii 4 Ismid Hadad, Persoalan dan Perkembangan Pemikiran dalam Teori Pembangunan,

    Prisma, Jakarta, No. 1 Januari 1980 Tahun IX, hal. 26

  • 2003 Digitized by USU digital library 2

    apalagi daerah pedesaan tidak tersedia prasarana fisik dan tenaga terdidik yang diperlukan bagi industri yang serba modern tersebut.5

    strategi yang memberikan peranan cukup besar terhadap perusahaan dan industri besar yang padat modal ini menekankan efesiensi dan produktivitas sebagai sarana mempercepat peningkatan laju ekonomi. Yang pada saatnya akan meningkatkan pendapatan nasional (GNP) dan sekaligus membagi secara merata "Kue Nasional" untuk dinikmati masyarakat (tricle down effect menjadi suatu kenyataan).6

    Sebagai negara yang ada dalam kategori dunia ketiga, Indonesia tidak terkecuali memakai konsep pertumbuhan ekonomi dan pembangunan untuk mewujudkan impiannya. Penciptaan kantong-kantong daerah industri di perkotaan (jaminan infrastruktur yang memadai, tenaga kerja yang melimpah, birokrasi yang mendukung dan sebagainya) semakin memperkuat asumsi bahwa kota merupakan pusat dari segala aktifitas ekonomi yang diharapkan akan mendqkung keberhasilan pertumbuhan ekonomi.

    Sebenarnya secara sederhana yang membeqakan kota dan desa adalah kepadatan relatif penduduknya, kompleksitas masyarakat dan kebudayaan masyarakat, serta perbedaan kedudukan dalam administrasi negara, yang dalam hal ini kota merupakan pusat dominasi (Benediet 1968, Mitchel1968, Buecher 1968, dan Uzel and Provencherh 1976).7

    Kebijakan pembangunan yang menempatkan sektor industri pada sisi yang lain harus didukung oleh penyediaan lahan, kebutuhan bahan baku, kebutuhan tenaga kerja, kebutuhan sarana infra struktur, kebutuhan kebijakan mikro, kebutuhan birokrasi dan lain sebagainya.

    Terbatasnya penyediaan lahan dipecahkan dengan kebijakan tata guna lahan dengan memanfaatkan daerah pinggiran (pusat kota telah menjadi daerah yang padat peruntukannya), yang dikondisikan searah dengan kebutuhan industri terhadapnya. Kebutuhan akan tenaga kerja dicukupi dengan perpindahan secara sukarela penduduk desa ke kota (disebabkan daya tarik kota sebagai tempat memperbaiki nasib), akibatnya adalah tidak terbendungnya proses migrasi sehingga cadangan tenaga kerja melimpah. Demikian juga dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya, yang intinya lebih memusatkan perhatian dan kepentingan dari industrialisasi.

    Di samping itu konskuensi dari pembangunan perkotaan yang konsisten dengan konsep pertumbuhan ekonomi dan industrralisasi ini, juga menimbulkan terjadinya diskriminasi sikap dan perlakuan terhadap masyarakat. Utamanya masyarakat yang berada pada strata bawah, dengan asumsi akan menjadi beban dalam perhitungan peningkatan angka pertumbuhan.

    Yang terjadi kemudian adalah terciptanya kantong-kantong kemiskinan di daerah perkotaan, dengan ciri khas perkampungan kumuh, organisasi kriminal, pelacuran, pedagang kaki lima, transportasi informal, pendudukan tanah-tanah negara dan lain sebagainya. Hal tersebut setidaknya menunjukkan adanya model-model adaptasi dan perlawanan masyarakat terhadap konsep pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang dipandang tidak memihak mereka.

    Kondisi ini juga dialami di Surabaya, terutama berkaitan dengan kebijakan pengembangan perkotaan. Ketidakmampuan masyarakat pinggiran (yang tidak

    5 Harry T Oshima, Old an New Strategies An Ekonomicts View, dikutip dari Ismid

    Hadad, Persoalan dan Perkembangan Pemikiran dalam Teori Pembangunan, Prisma, No. 1, Januari 1980 Tahun IX, hal. 26

    6 Ismid Hadad, Op. Cit., hal.27 7 Parsudi Suparlan, Gelandangan : Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam

    Gelandangan Pandangan Ilmuan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986, hal. 38

  • 2003 Digitized by USU digital library 3

    terfasilitasi oleh negara untuk mengembangkan akses ekonomi, sosial, budaya dan politiknya) menciptakan suatu bentuk kreativitas dalam mempertahankan tingkat survivalnya.

    Kreativitas tersebut pada saatnya akan melahirkan pola perilaku budaya yang baru sebagai bentuk penyesuaian diri, protes dan model perlawanan terhadap kondisi yang muncul, yang dianggap tidak menguntungkan mereka. Berdasarkan hal tersebut di atas, studi dan penelitian tentang kondisi, persepsi dan perilaku kreatif masyarakat pinggiran untuk menyesuaikan diri, prates dan sekaligus perlawanan terhadap perubahan-perubahan perlu untuk dilakukan.

    Secara khusus, masyarakat di suatu kawasan di pantai timur Surabaya dapat dijadikan contoh kasus yang terjadi di hampir setiap kota besar di Indonesia. Lebih spesifik lagi tentang tipologi geografi, perilaku ekonomi, budaya, serta prilaku politik masyarakat di kawasan tersebut mempunyai karakteristik yang dapat mewakili prilaku masyarakat pinggiran perkotaan lainnya.

    Secara geografis, dalam rencana tata ruang pengemangan kota Surabaya kawasan tersebut diperuntukkan bagi kawasan industri, sekaligus mengantisipasi industrialisasi pulau Madura yang menempatkan pantai timur sebagai kawasan penghubung. Karena kawasan tersebut merupakan daerah pantai, maKa perilaku ekonomi masyarakat kebanyakan adalah nelayan (penduduk asli). Melalui proses migrasi, secara perlahan-lahan kawasan ini dipenuhi oleh pendatang yang memanfaatkan tanah-tanah negara (melalui proses yang ilegal ?) sebagai tempat pemukiman. Sedang tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor industri dan sektor-sektor informal lainnya baik dengan sukarela maupun terpaksa menekuni sektor informal sebagai aktifitas ekonominya. Sedang prilaku sosial budaya dan politik lebih banyak merespon prilaku negara (pemerintah daerah) yang mencoba mengabaikan peran sosial mereka sebagai warga negara. Tentunya prilaku-perilaku tersebut didasarkan pada pemahaman dan persepsi mereka yang muncul berkaitan dengan realitas kehidupan yang dijalani.

    2. Perumusan Masalah

    Dari uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi masyarakat pinggiran terhadap pembangunan dan

    pengembangan kawasan perkotaan ? 2. Bagaimana perilaku adaptif masyarakat pinggiran yang muncul untuk

    mempertahankan tingkat survivalnya terhadap pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan ?

    3. Apakah dampak persepsi dan perilaku adaptif masyarakat pinggiran tersebut terhadap tingkat partisipasinya dalam pembangunan ?

    3. Studi Masyarakat Pinggiran dan Sektor Informal

    Masyarakat pinggiran adalah identik dengan kemiskinan. Kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan. Dimana di dalamnya terkandung proses sosialisasi corak kebudayaan dari generasi yang tua ke generasi berikutnya, inilah yang oleh Oscar Lewis disebut sebagai budaya kemiskinan (Oscar Lewis 1959).8 Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Latin (Meksiko) ini, ia berpendapat bahwa kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistik, dan berciri

    8 Oscar Lewis, Kebudayaan Kemiskinan, dikutip dari Parsudi Suparlan, Kemiskinan di

    Perkotaan, Yayasan Obor, Jakarta, 1993

  • 2003 Digitized by USU digital library 4

    kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan akan perbaikan nasibnya.

    Kerana kebudayaan kemiskinan tersebut terjadi akibat sosialisasi sikap dan perilaku, maka ia bersifat lestari. Upaya untuk memerangi kemiskinan pada saatnya adalah dengan jalan mengubah kebudayaan anak miskin. Adapun kebudayaan kemiskinan akan tumbuh pada kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri: (1) sistem ekonomi uang, buruh, upahan dan sistem produksi untuk keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol dari pada sistem unilateral, dan yang terakhir; (6) kuatnya seperangkat nilai-pilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal, dan sikap hemat serta adanya anggapan hahwa rendahnya tatus ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau pada dasarnya memang sudah rendah kedudukannya.

    Lain Oscar Lewis lain .pula Hernando de Soto (1989), penelitian yang memilih lokasi di Peru ini disamping membahas kemiskinan, ia juga secara spesifik membahas tentang sektor informal di perkotaan. Baginya kemiskinan muncul dari akibat tidak adanya kebebasan masyarakat untuk mengembangkan akses ekonominya. Ketidakbebasan ini terjadi akibat campur tangan negara yang cenderung menganggap bahwa sektor formallah yang dapat mengatasi keterbelakangan ekonomi. Dalam tingkat operasional, campur tangan tersebut dilakukan melalui perngkat-perangkat hukum. Menurut Hernando de Soto, untuk memecahkan masalah kemiskinan adalah dengan memberi kebebasan masyarakat untuk mengembangkan akses ekonominya melalui sektor informal dan menghilangkan perangkat-perangkat hukum yang menghalangi perkembangannya, sekaligus mengakui hak milik dan hasil kerja masyarakat.9

    Lebih lanjut dalam penelitiannya, ia menggambarkan secara terinci mengenai sektor informal yang meliputi tiga bidang, yaitu perumahan, perdagangan dan transportasi. Di mana sektor perumahan, perdagangan dan transportasi yang dibangun melalui informalitas, menunjukkan kemajuan dan peningkatan kondisi ekonomi masyarakat.

    Dalam konteks Indonesia, studi dan penelitian tentang masyarakat pinggiran di perkotaan dan sektor informal telah banyak dilakukan oleh para ahli. Tercatat nama-nama, seperti Hans-Dieter Evers, Parsudi Suparlan, Hasan Poerbo, Tian Bahtiar dan lernbaga-lembaga swadaya masyarakat (LP3ES, PLPIIS, YIIS dsb) serta masih banyak nama yang perlu disebutkan.

    Hans-Dieter Evers (1980) dalam studinya tentang Produksi Subsistensi dan "Masa Apung" di Jakarta mensinyalir terbentuknya kelas baru, yaitu golongan yang kuat ekonominya dan golongan yang lemah ekonominya. Golongan yang lemah ekonominya ini merupakan sebagian besar jumlah populasinya, yang disebut sebagai "masa apung". Berbeda dengan golongan yang kuat ekonominya, masa apung hidup dalam ketidakstabilan. Yang ditandai dengan taraf kehidupan ekonomi yang hanya terbatas sampai pada tingkat subsistensi, yaitu dari tangan ke mulut.10

    Selanjutnya ia menambahkan, bahwa masa apung Jakarta bukanlah tanpa tatanan atau homogen. Mobilitas mereka untuk mengatasi ketidakpastian akan kondisi masa depan, pendidikan formal dan pendapatan yang rendah, dilakukan

    9 Hernando de Soto, Masih Ada Jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia

    Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, 1991. 10 Hans-Dieter Evers, Produksi Subsistensi dan Masa Apung di Jakarta, Prisma,

    Jakarta, No. 6, Juni 1980.

  • 2003 Digitized by USU digital library 5

    dengan kemampuannya dalam mengorganisasi kelompok-kelompok kecil serta mempertahankan kekerabatan dan hubungan-hubungan lainnya dengan daerah-daerah asal.

    Sedangkan tentang pemukiman liar dan gelandangan (Studi di Jakarta dan Purwokerto), menurut Parsudi Suparlan (1986) merupakan konsekuensi logis yang muncul akibat gangunan dan pengembangan perkotaan. Timbulnya gelandangan di perkotaan terjadi karena adanya tekanan-tekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan yang lebih baik di kota.11

    Lebih lanjut dalam studinya ia membagi kondisi kehidupan dalam dua hal yaitu perumahan (sulitnya gelandangan mendapatkan perumahan, sehingga mereka memanfaatkan tanah-tanah liar sebagai pemukiman dengan mendirikan gubuk-gubuk), serta mata pencaharian (aktivitas ekonomi dilakukan dengan mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual kembali).12

    Sementara Tian Bahtiar dan Ayi Bunyamin dalam penelitiannya tentang sektor informal di Jakarta Utara, desa Sukamanah (1990), menemukan adanya bentuk dominasi sistem interaksi sosial yang bersifat vertikal antar perilaku unit usaha di perkotaan. Namun demikian, ragkaian sektor unit informal memperlihatkan suatu bentuk mata rantai yang fungsional dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing. Yang patut disayangkan adalah adanya suatu kondisi di mana kepentingan sektor formal (dengan kekuatan modal dan peluang lebih besar yang diberikan pemerintah) semakin mendesak kepentingan sektor informal.13

    4. Kerangka Teori

    Proses mempersepsi manusia yang sekaligus mendorong adanya suatu sikap atau tindakan dilakukan melalui beberapa proses. Proses itu dimulai dari diperolehnya stimulan dalam bentuk informasi, karena keterbatasan kemampuan mengidentifikasi secara keseluruhan, manusia cenderung melakukan upaya menggolongkan obyek atau disebut "ketergolongan obyek : (Miller 1956). Yaitu kecenderungan untuk menganggap obyek tertentu secara bersama-sama. Yang kemudian dilakukan upaya generalisasi obyek dan upaya melakukan pengukuran yang berkaitan dengan sebab-akibat atau kausalitas. Di mana mengatakan suatu keadaan akan melahirkan keadaan lain (Heider 1946 dan 1965).

    Keadaan mempersepsi yang terbentuk dalam proses tersebut akan terus-menerus dipengaruhi arus informasi baru dari lingkungannya, yang di dalamnya menyangkut proses penginderaan yang perifeer terhadap sekitarnya. Selanjutnya melahirkan suatu bentuk yang holistik dan dalam konstansi tinggi, yang berlaku juga pada tempat dan obyek lain (Osgood 1953).

    Sedang menurut Merleau-Ponty (1945), persepsi adalah latar belakang dari mana terpancar semua aktifitas dan selalu diandaikan oleh aktifitas-aktifitas tersebut. Menurutnya persepsi tidak hanya-berupa pengandaian saja, melainkan juga jalan menuju kebenaran, yang lahir dari empirisme dan rasionalisme (realitas).

    Dalam proses berikutnya, mempersepsi juga merupakan kendali dalam proses tindakan dan perilaku, salah satunya adalah proses penyesuaian diri. Di mana proses tersebut diawali dari sekelompok organisme melakukan adaptasi perilaku. Yaitu proses penyesuaian perilaku sekelompok organisme terhadap kondisi tertentu, yang kemudian diikuti oleh kelompok organisme lain setelah mereka mengerti dan

    11 Parsudi Suparlan, Gelandangan : Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam

    Gelandangan : Pandangan Ilmuan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986. 12 Parsudi Suparlan, Gelandangan : Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam

    Gelandangan Pandangan Ilmuan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986. 13 Tian Bahtiar dan Ayi Bunyamin.

  • 2003 Digitized by USU digital library 6

    memahami manfaatnya (proses belajar). Selanjutnya mereka memilih atau melakukan seperangkat perilaku tertentu untuk mengadaptasi terhadap lingkungannya, yang di dalamnya terkandung tata nilai, tingkatan organisasi sosial dan tehnologi tertentu yang digunakan dalam mengadaptasi perubahan yang terjadi, atau disebut juga sebagai strategi adaptif (Beneet, 1976; Moran, 1979; Vayda, 1980).

    Konsep adaptasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang menempatkan manusia sebagai pelaku yang berupaya mencapai tujuan-tujuannya atau kebutuhan-kebutuhannya, untuk menghadapi lingkungan dan kondisi sosial yang berubah-ubah agar tetap bertahan (survive). Sedang dalam proses adaptasi atau untuk mencapai tujuan dan kebutuhan secara individuil atau kelompok, ia dapat memobilisasi dan memanfaatkan sumber-sumber sosial, material, tehnologi serta pengetahuan kebudayaan yang dimiliki. Cara-cara yang dipilih biasanya mengadakan hubungan-hubungan sosial baik dengan pihak-pihak yang berada di dalam maupun di luar komunitas (Bennet, 1976; 847-851)

    Sedang bila perilaku manusia dalam komunitasnya (masyarakat) dipandang sebagai suatu sistem, maka masyarakat akan eksis dan survive apabila berada dalam suatu keseimbangan. Di mana diterminasi nilai budaya akan lahir melalui hasil konsensus semua anggota masyarakat, selalu mempunyai tujuan-tujuan yang hendak dicapai.

    Di mana sistem nilai tersebut bersumber pada pola budaya yang terdiri atas sistem kepercayaan, sistem simbolik dan standar orientasi yang sama, yang memungkinkan hubungan sosial, interaksi sosial dan proses sosial berjalan lancar. Proses sosial yang telah diformat sedemikian rupa oleh sistem budaya dan sistem kepercayaan yang ada, menjadikan setiap orang mengerti bagaimana hubungan dengan orang lain. Setiap anggota masyarakat berusaha mengintregasikan diri dengan sistem nilai yang ada melalui proses sosialisasi dan institusionalisasi tersebut. Kesamaan sikap dan ide dalam merespon orang lain dalam proses sosial itulah yang oleh WI Thomas disebut sebagai "mammon definition of the situation".

    Pemolaan perilaku oleh kaedah sosial hasil konsensus bersama tersebut mempunyai kekuatan memaksa dan memang disadari oleh semua anggota masyarakat. Dalam keadaan seperti itu, sistem nilai tersebut bersifat fungsional dan mempunyai kekuatan integratif (Talcot Parson 1971).

    Dalam kritik yang dilontarkan oleh teori konflik, kondisi yang digambarkan di atas tidak terbukti dalam realitas. Integrasi masyarakat bukan (saja) disebabkan adanya kekuatan sistem nilai hasil konsensus bersama, tetapi juga oleh adanya dominasi kelompok lain. Sebab hubungan sosial selalu diternukan dua proses yang ambivalen, assosiati dan dissosiatif. Assosiatif menunjuk pada kecenderungan integratif, dan dissosiatif menunjuk pada disintegratif.

    Konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya mencukupi, di mana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka. Dengan demikian konflik adalah sesuatu yang fungsional bukan susuatu yang disfungsional, ia selalu ada dalam proses interaksi dan perubahan sosial (Lewis A. ).

    MUBA SIMANIHURUK