Sosialisasi Program Melalui Kearifan Lokal

3

Click here to load reader

description

Kearifan lokal akhir-akhir ini kerap dilupakan di tengah derap langkah pembangunan. Kearifan lokal sepertinya menjadi sesuatu yang dikesankan kuno, kolot, ortodoks, tradisional atau bahkan kampungan. Padahal, sebagai “sesuatu” yang hidup di tengah masyarakat, kearifan lokal bisa diolah menjadi modal awal penggerak pembangunan di tengah masyarakat. Artinya, kearifan lokal bisa juga dijadikan sebagai akselerator pembangunan.

Transcript of Sosialisasi Program Melalui Kearifan Lokal

Page 1: Sosialisasi Program Melalui Kearifan Lokal

Sosialisasi Program Melalui Kearifan Lokal Wildan Hakim S.Sos., M.Si. Konsultan komunikasi di PNPM Mandiri Perkotaan, penulis buku, dan dosen di Universitas Mercu Buana Jakarta

Kearifan lokal akhir-akhir ini kerap dilupakan di tengah derap langkah

pembangunan. Kearifan lokal sepertinya menjadi sesuatu yang dikesankan kuno, kolot,

ortodoks, tradisional atau bahkan kampungan. Padahal, sebagai “sesuatu” yang hidup di

tengah masyarakat, kearifan lokal bisa diolah menjadi modal awal penggerak pembangunan

di tengah masyarakat. Artinya, kearifan lokal bisa juga dijadikan sebagai akselerator

pembangunan.

Gejala lupa akan kearifan lokal ini biasanya muncul ketika aktivitas pembangunan di

wilayah tertentu mengalami kendala. Kendala atau masalah itu sendiri muncul karena ada

bagian yang ditinggalkan, yakni kearifan lokal itu sendiri. Sudah saatnya manusia moderen

sadar bahwa kearifan lokal itu bukanlah sesuatu yang ditemukan dan dikembangkan oleh

para nenek moyang kita secara instan. Kearifan lokal ini dikembangkan dalam waktu lama

dan selaras dengan perkembangan masyarakat serta lingkungannnya. Karenanya, kearifan

lokal akan selalu berada di tengah masyarakat yang mengakui keberadaannya.

Dalam literatur ilmiah, kearifan lokal biasa disebut local genius atau kecerdasan

lokal. Sifatnya yang lokal menjadikan kearifan jenis ini begitu spesifik dengan karakteristik

yang mudah dikenali. Bentuk kearifan lokal bisa berupa pandangan hidup, ilmu

pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan. Wujud fisik dari kearifan lokal adalah

aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam

pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai

kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge.”

Seperti telah disinggung di atas, secara harfiah wujud kearifan lokal ini berupa

pemenuhan terhadap unsur-unsur kehidupan manusia yang meliputi: agama, ilmu

pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian.

Masyarakat yang menjaga kearifan lokalnya biasanya mempunyai pemahaman, program,

serta kegiatan, untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan

mereka dengan memperhatikan ekosistem (flora, fauna dan mineral) serta sumber daya

manusia yang terdapat pada warga mareka sendiri.

Page 2: Sosialisasi Program Melalui Kearifan Lokal

Namun, tak semua pihak memahami dengan baik keberadaan kearifan lokal yang

sudah menjadi sistem ini. Banyak pihak yang memiliki latar belakang ilmu pengetahuan

akademis dan telah memasuki kebudayaan yang lebih progresif kerap menilai kearifan lokal

sebagai budaya kehidupan masyarakat lokal sebagai sangat sederhana dan terkebelakang

atau tertinggal. Tidak mengherankan, jika birokrat serta pelaksana kebijakan kurang atau

bahkan tidak memperhitungkan kearifan lokal dalam program pembangunan yang

dilaksanakan di wilayah tertentu.

Padahal, sebagai sebuah sistem yang hidup di tengah masyarakat, kearifan lokal

bisa dan layak untuk dijadikan bagian dalam kegiatan pembangunan. Sebagai contohnya,

kearifan lokal bisa dijadikan sarana sosialiasi dan komunikasi antara pemerintah lokal

dengan masyarakat setempat. Bisa juga antara pihak yang ditunjuk melaksanakan program

dengan masyarakat di lokasi dampingan. Pelibatan masyarakat setempat berikut kearifan

lokal yang melekat di dalamnya merupakan bentuk penghargaan serta pengakuan terhadap

mereka sehingga diharapkan bisa menjadi stimulus untuk mempercepat pelaksanaan

pembangunan.

Contoh nyata penerapan kearifan lokal dalam sebuah program bisa merujuk pada

praktik yang dilakukan oleh Pemerintah Sumatera Utara. Dalam salah satu program

ketahanan pangannya, Pemprov Sumut menginginkan agar konsumsi beras masyarakat

Sumut bisa dikurangi. Caranya dengan mengkonsumsi jenis makanan lain yakni ubi. Dalam

masyarakat Batak, ada istilah “manggadong” yang berarti memakan ubi atau ketela secara

bersama-sama dengan anggota keluarga lainnya. Budaya manggadong mengajarkan etnis

Batak untuk mengonsumsi ketela sebagai makanan pembuka sebelum menikmati nasi.

Dengan menikmati ketela terlebih dulu, masyarakat Batak tidak perlu mengonsumsi nasi

terlalu banyak karena perutnya telah terisi dengan makanan tersebut.

Interpretasi lain menyebutkan bahwa manggadong merupakan bentuk kearifan

lokal masyarakat Batak khususnya Tapanuli untuk menghemat konsumsi beras pada saat

masa sulit. Bertolak dari pemikiran itulah, Pemprov Sumut melalui Badan Ketahanan Pangan

(BKP) serta USU akan mengkampanyekan “manggadong” ini ke tengah masyarakat. Pada

tahap awal, kampanye dilakukan dengan himbauan agar ubi atau ketela dijadikan sebagai

makanan pembuka di semua acara yang digelar pemerintah, swasta, atau masyarakat.

Upaya untuk mengkampanyekan manggadong ini rupanya mendapat respon

positif. Menjadikan ubi sebagai makanan pembuka sebelum nasi itu layak didukung karena

Page 3: Sosialisasi Program Melalui Kearifan Lokal

ketersediaan beras di Sumut mulai mengawatirkan. Terlebih dengan terjadinya anomali

cuaca dan banyaknya alih fungsi lahan di Sumut yang menyebabkan jumlah produksi beras

sangat fluktuatif, bahkan terkesan menurun secara bertahap.

Meski pasokan beras cenderung turun, ironisnya tingkat konsumsi masyarakat

Sumut terhadap beras cenderung meningkat dan mencapai 139 kg per kapita per tahun.

Padahal, beberapa tahun sebelumnya, konsumsi beras masyarakat Sumut hanya sekitar 125

kg per kapita per tahun.

Mengacu pada kondisi tersebut, langkah Pemprov Sumut mengajak masyarakat

untuk melakukan diversifikasi pangan dinilai sudah tepat. Jika tidak ada diversifikasi pangan,

dikhawatirkan upaya menciptakan ketahanan pangan di Sumut sulit dilakukan dan dapat

berujung pada terciptanya masyarakat yang lapar.

Selain mengkampanyekan “manggadong” secara berkelanjutan, seluruh SKPD

Pemprov Sumut, khususnya BKP kini juga berusaha memastikan agar produksi ubi selalu

tersedia di pasar. Untuk itulah, berbagai kebutuhan untuk mendorong produksi ubi, mulai

dari pupuk, bibit hingga penyuluhan dalam bercocok tanamnya harus diutamakan agar

makanan pengganti nasi itu selalu mudah didapatkan masyarakat. Langkah itu harus

ditempuh agar jangan sampai saat masyarakat berminat melakukan “manggadong,” justru

kesulitan mendapatkan ubi.

Apa yang telah dilakukan oleh Pemprov Sumut merupakan contoh nyata bahwa

kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang kita bisa disinergikan dengan arus

pembangunan. Di belahan wilayah nusantara lainnya masih banyak kearifan lokal yang bisa

digali dan dimanfaatkan untuk mendukung gerak pembangunan. Forum pertemuan rembug

warga, pertemuan para tokoh adat, hingga pertemuan komunitas adat terpencil bisa

dijadikan sarana untuk mensosialisasikan kebijakan pembangunan. Melalui forum-forum

tersebut, pelaku pembangunan juga bisa menyerap langsung aspirasi warga yang berbasis

kearifan lokalnya. Untuk itulah, kearifan lokal jangan sampai ditinggalkan. Keberadaannya

harus selalu diperhitungkan dalam berbagai aktivitas pembangunan yang bersentuhan

langsung dengan masyarakat.