SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI ...
Transcript of SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI ...
SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI
DISONANSI KOGNITIF
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
Dwi Rizan Agustiawan
Wanadya Krishna Ayu
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2019
THE SOCIAL UNREST OF STUDENT ACTIVIST BASED ON COGNITIVE
DISSONANT THEORY
Dwi Rizan Agustiawan
Wanadya Krishna Ayu
ABSTRACT
This study aims to reveal the dynamics of social unrest felt by student activists using the
theory of cognitive dissonance. The subjects in this study were activists who were members
of an extra campus organization that had a high intensity in their involvement in protest
actions. The method used in this study is a qualitative research method with case study
approach. Based on the results of the research it can be seen the dynamics of social unrest of
student activists due to 1. Status and idealism of the organization; 2. Dissonant conditions in
self and social environment; 3. The organization determines the amount of cognitive
dissonance; 4. Collective behavior that arises as a result of cognitive dissonance.
Keywords: social unrest, student activists, cognitive dissonance
IDENTITAS PENULIS
Nama : Dwi Rizan Agustiawan
Alamat Kampus : Universitas Islam Indonesia, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial
Budaya, Program Studi Psikologi, Jalan Kaliurang KM 14,5
Yogyakarta
Alamat Rumah : Kantor Etnolab d.a. Klejo Saputra Jl Josari No. 0 RT 1/RW. 5
Dukuh Josari, Desa Sukoharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman, D.I.
Yogyakarta
No. HP : 083849502284
Alamat Email : [email protected]
A. PENGANTAR
Permasalahan-permasalahan seperti tingginya angka kemiskinan (BPS, 2017), banyaknya
pengangguran (Julianto, 2017; Miftakhul, 2017), proyek pembangunan yang mengakibatkan
kesenjangan sosial (Taher, 2017), permasalahan terkait dengan kebhinnekaan dan keagamaan
(Saputri, 2017; Pratama, 2016; Kresna, 2016) dan tingginya angka korupsi yang dilakukan oleh
pejabat pemerintahan (Tashandra, 2016; Siena, 2017; Hariyanto, 2017; Suharyo, 2014), menurut
Pappas & O‟Malley (2004) merupakan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sebuah
keresahan sosial di masyarakat.
Stevens & Tellings (2010) mendefinisikan keresahan dalam Bahasa Inggris dengan kata
restlessness, upset, unrest, dan frustration. Unrest dalam konteks sosial, telah banyak ditemukan
dalam berbagai penelitian dalam term social unrest. Social unrest menjadi objek kajian sosio-
antropologi yang menitik beratkan pada fenomena protes yang dilakukan oleh warga negara kepada
pemerintah yang berkuasa karena adanya ketidakpuasan terkait suatu hal tertentu (Archer, 2000).
Sehingga dalam kamus Oxford (2011) istilah unrest diartikan sebagai “political situation ini which
people are angry and likely to fight or protest”.
Definisi di atas juga sesuai dengan Weinberg & Bakker (2015) yang mengatakan bahwa
keresahan sosial berkaitan dengan protes, kerusuhan, dan pemogokan pekerja yang disebabkan oleh
berbagai hal seperti penghasilan rendah, kelangkaan sumber daya dan pemerintahan yang represif.
Sehingga, dapat dipahami bahwa keresahan sosial tersebut pada akhirnya memiliki kapasitas yang
lebih untuk dapat melahirkan sebuah konflik dalam konteks sosial.
Fenomena keresahan sosial seperti yang dikatakan oleh Weinberg & Bakker (2015) menjadi
sangat jelas jika melihat alasan berbagai aksi protes, kerusuhan dan demonstrasi yang dilakukan oleh
para aktivis dari berbagai kalangan yang akhir-akhir ini terjadi, seperti demonstrasi menuntut
kenaikan Upah Minimum Provinsi di DKI Jakarta (Rahayu, 2017), aksi menuntut penangkapan
tersangka korupsi e-KTP (Safari, 2017), aksi solidaritas untuk konflik politik dan agama di Palestina
(Rini, 2017), dan berbagai protes terkait dengan isu agraria di berbagai tempat seperti pembangunan
bandara internasional Kulon Progo (Idhom & Putsanra, 2017), pembangunan pabrik semen, Rembang
(Ratnasari, 2017) dan Aksi protes menuntut keadilan terkait konflik agraria yang terjadi di Teluk
Jambe, Karawang (Ashari, 2017).
Pada level psikologis, keresahan sosial tersebut dapat di lihat dalam konteks individual Maslow
(Riyono, 2015) yang mewakili aliran humanistik menyatakan bahwa sumber kekuatan dari perilaku
manusia adalah “needs”. “Needs” tersebut memiliki tingkatan-tingkatan yang membentuk sebuah
hierarki berjenjang, yang pemenuhannya terjadi secara bertahap. Maslow (2015) berargumentasi
bahwa manusia tidak pernah berhenti dari membutuhkan sesuatu. Seseorang tidak akan pernah puas
dalam arti sempurna, kecuali hanya dalam waktu yang singkat. Setelah itu manusia akan
membutuhkan sesuatu yang lain yang lebih tinggi nilainya.
Mengacu pada pendapat Maslow (Riyono, 2015) perasaan seseorang yang tidak pernah memiliki
kepuasan sempurna kecuali dalam waktu singkat adalah “force” yang membuat seseorang ingin
mencapai suatu tingkat yang lebih tinggi. Proses untuk mencapai tingkat lebih tinggi yang kemudian
menemui sebuah hambatan sehingga “needs” terhalang untuk terpenuhi, menurut asumsi penulis
adalah sumber keresahan dalam konteks individual.
Menurut hierarkinya kebutuhan fisik, seperti kebutuhan makanan, minuman, tempat berteduh,
seks, tidur, dan oksigen adalah merupakan kebutuhan paling dasar manusia (Riyono, 2015), sehingga
dalam tataran ini kemiskinan (BPS, 2017), kurangnya lapangan pekerjaan (Julianto, 2017; Miftakhul,
2017), dan perampasan tanah secara paksa (Idhom & Putsanra, 2017; Ratnasari, 2017; Ashari, 2017)
adalah hal-hal yang terkait dengan kebutuhan dasar tersebut, yaitu terkait dengan makanan, minuman,
tempat berteduh dan tidur. Sehingga, dapat dipahami bahwa akses individu yang dibatasi untuk
mendapatkan dan mempertahankan “needs”-nya tersebut pada akhirnya membuat individu bergerak.
Hal ini akan sedikit berbeda ketika mengacu pada teori disonansi kognitif yang menyatakan
bahwa secara psikologis seseorang akan tidak nyaman ketika terdapat perbedaan antara apa yang
sudah diketahui atau dipercayai seseorang, dan informasi baru yang didapatkan (McGregor, 2013;
Dechawatanapaisal & Siengthai, 2006). Situasi tersebut akan menyebabkan seseorang berada pada
kondisi disonan, yaitu ketika dua elemen dalam kognisinya (yaitu, terkait pengetahuan tentang diri
atau perilakunya, perasaan, keinginan, atau keinginan atau pengetahuannya tentang dunia) tidak
konsisten (McGregor, 2013).
Ketika seseorang percaya bahwa pendidikan akan mampu mengentaskan seseorang dari
kemiskinan dan dapat mempermudah dirinya untuk dapat memperoleh pekerjaan, namun pada
kenyataannya ternyata jurang kemiskinan masih lebar (BPS, 2017) dan masih banyak sarjana yang
menganggur (Julianto, 2017; Miftakhul, 2017), kemudian ketika seseorang juga percaya bahwa
pemerintah memiliki kapasitas untuk mensejahterakan rakyatnya namun di suatu sisi yang sangat
berbeda dirinya mendapati bahwa persentase tertinggi tersangka korupsi adalah pemerintah
(Tashandra, 2016; Siena, 2017; Hariyanto, 2017; Suharyo, 2014), dan pemerintah juga ikut
berkontribusi pada perampasan paksa atas hak milik masyarakatnya (Idhom & Putsanra, 2017;
Ratnasari, 2017; Ashari, 2017), hal ini menurut Festinger (McGregor, 2013; Dechawatanapaisal &
Siengthai, 2006) akan menyebabkan seseorang mengalami disonansi. Disonansi, dalam hal ini
menurut penulis adalah keresahan yang terjadi pada level individu.
Festinger (McGregor, 2013; Dechawatanapaisal & Siengthai, 2006) kemudian menyatakan
bahwa secara umum sangat susah untuk mengubah kognisi seseorang, sehingga ketika terdapat
disonansi antara perilaku atau keyakinan awal yang sudah individu pegang dengan sebuah perilaku,
atau realitas sebenarnya dari suatu hal, seseorang akan lebih condong mengalami sebuah perubahan
perilaku tertentu untuk mengurangi disonansi. Berdasarkan atas pendapat ini dapat dipahami bahwa
beberapa aksi protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok aktivis di atas
(Rahayu, 2017; Safari, 2017; Rini, 2017; Idhom & Putsanra, 2017; Ratnasari, 2017; Ashari, 2017)
adalah merupakan bagian dari sebuah usaha untuk meminimalkan disonansi oleh masing-masing
individu yang terlibat.
Disonansi atau keresahan yang pada dasarnya terjadi pada level individu tersebut menjadi
kegelisahan yang dialami bersama dikarenakan pada dasarnya individu lebih senang berada dalam
keadaan seimbang, sehingga untuk mencapai keseimbangan tersebut individu akan mencari kondisi
yang stabil, di mana dalam kondisi ini hanya terdapat disonansi minimum untuk membuat kognisi
yang tidak konsisten, seperti membuat kecocokan bersama. Dari sinilah ikatan sosial terbentuk
(Dechawatanapaisal, & Siengthai 2006).
Kecocokan bersama atau dalam bahasa Hegel (Hardiman, 2010) dikatakan sebagai konsensus
merupakan sebuah usaha untuk mewujudkan kebutuhan universal manusia, di mana kebutuhan
universal tersebut dipahami sebagai kebutuhan yang terwujud karena kesadaran setiap individu bahwa
individu secara pribadi tidak mampu mewujudkan kebutuhan subjektifnya, sehingga hal tersebut
memungkinkan adanya pertukaran antar masing-masing individu untuk bersama-sama mewujudkan
kebutuhan partikular individu, artinya kebutuhan universal adalah kebutuhan yang lebih bersifat
umum. Pruitt & Rubin (2004) mengatakan bahwa kebutuhan universal meliputi kebutuhan rasa aman,
identitas, “restu sosial” (social approval), kebahagiaan, kejelasan tentang dunianya, dan beberapa
harkat kemanusiaan yang bersifat fisik.
Membentuk sebuah konsensus atau ikatan bersama dalam hal ini dapat dikatakan merupakan
usaha beberapa individu untuk mendapatkan “needs” yang bersifat partikular dengan membentuk
sebuah kelompok dan menyepakati sebuah kebutuhan universal dalam kelompok tersebut, terlebih
lagi dalam pandangan Pruitt & Rubin (2004) kebutuhan universal tersebut juga menempati posisi
hierarkis yang sesuai dengan pandangan Moslow (Riyono, 2015; Najih, 2019) terutama dalam
bahasan ini adalah kaitannya dengan beberapa harkat kemanusiaan yang berupa fisik.
Sesuai dengan asumsi di atas, “needs” yang bersifat partikular dan kemudian menemui sebuah
konsensus menjadi sebuah “needs” kelompok pada akhirnya menuntut sebuah pemenuhan dan dalam
hal ini berbagai bentuk protes dan demonstrasi (Rahayu, 2017; Safari, 201; Rini, 2017; Idhom &
Putsanra, 2017; Ratnasari, 2017; Ashari, 2017) dapat dikatakan sebagai usaha untuk memenuhi
“needs” yang sudah terfasilitasi secara komunal tersebut. Sehingga, dapat dipahami bahwa dari hal
inilah kemudian keresahan sosial terbentuk.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan stuidi kasus. Penentuan
Informan pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Sehingga, hal ini
memungkinkan peneliti untuk menentukan informan penelitian sesuai kriteria yang telah penulis
batasi. Berdasarkan metode tersebut pada akhirnya peneliti melibatkan 3 orang informan dalam
penelitian ini. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Cresswell (2012) bahwa dalam pendekatan
fenomenologi setidaknya dibutuhkan minimal 3 orang informan.
C. HASIL
1. Status dan Idealisme Organisasi
Menurut informan lahirnya organisasi ini didasari atas keresahan bersama karena minimnya
wadah organisasi pemuda nahdliyin di masa terjadinya konstalasi politik orde lama menuju orde baru.
Hal ini kontekstual dan sesuai dengan modul yang peneliti dapatkan dari pengurus organisasi,
organisasi ini pada mulanya merupakan organisasi sayap mahasiswa di bawah Nahdlatul Ulama‟
(NU). Sehingga, meskipun pada akhirnya organisasi ini menyatakan keluar dari NU namun nafas dan
gerakan yang diusung serta ideologi yang dibawa tidak pernah bertentangan dengan NU. Artinya
organisasi ini masih terikat secara kultur dengan Nahdlatul Ulama‟.
Organisasi ini merupakan organisasi kaderisasi yang bergerak di bidang sosial dan bertujuan
mencetak pemimpin dan penerus bangsa. Realitasnya sebagai organisasi kaderisasi menjadikan setiap
program dan kegiatan yang dilakukan di organisasi ini adalah merupakan bagian dari proses
kaderisasi untuk mentransformasikan ideologi, gerakan dan nafas organisasi. Khususnya berkaitan
dengan kewajibannya untuk membela masyarakat kecil, membumikan cita-cita islam, membentuk
kader cakap dan berbudi luhur.
semangat yang di bawa bagaimana untuk menerjemahkan atau membumikan cita-cita islam itu
sendiri, iya untuk membentuk kader cakap, yang berbudi luhur, yang macem-macem itu
(R2.W.B19-22)
Cita-cita islam yang dimaksud di atas adalah islam menurut idealisme organisasi ini yang
rahmatan lil „alamin, tidak kaku artinya tidak memandang suatu hal dengan kaca mata hitam putih,
halal haram atau hanya masalah surga neraka. Organisasi ini memandang bahwa setiap apapun yang
dilakukan sehar-hari di masyarakat adalah bentuk atau bagian dari islam itu sendiri.
Sesuai dengan buku dan beberapa literatur yang menjelaskan tentang organisasi ini dan sesuai
dengan pernyataan Informan C di atas, yang dalam hal ini menjadi informan ahli dalam penelitian ini.
Organisasi ini merupakan organisasi yang membawa ahlussunnah wal-jama‟ah an-nahdliyah sebagai
manhajul fikr atau landasan berfikir. Gerakan yang dilakukan adalah untuk meraih tujuan tersebut dan
dilakukan dengan tiga koridor utama gerakan mereka, yaitu hablun minallah (hubungan manusia
dengan Allah), hablun min an-nas (hubungan manusia dengan manusia) dan hablun min al-‟alam
(hubungan manusia dengan alam semesta).
Meskipun dalam gerakan dan tujuannya organisasi ini sangat kental dengan nafas islam, namun
dalam konteks melihat fenomena sosial organisasi ini menggunakan teori-teori Barat, khususnya teori
sosial kritis dari mazhab frankfurt. Bahkan dalam konteks nasional mazhab tersebut disepakati
sebagai pradigma atau cara pandang organisasi tersebut terhadap realitas sosial, kontekstual dengan
gerakannya yang bersifat populis. Paradigma ini dikenal dengan Paradigma Kritis Transformatif
(PKT).
2. Kondisi-Kondisi Disonan dalam Diri dan Lingkungan Sosial
Setiap individu yang mengikuti PMII hampir keseluruhan tidak mengetahui seluk beluk
organisasi ini sebelumnya tetapi sebagian dari mereka mengetahui bahwa organisasi ini memiliki
afiliasi yang kuat dengan organisasi nahdlatul „ulama‟ sehingga bahkan beberapa orang yang berasal
dari pesantren yang memiliki kedekatan dengan nahdlatul ulama‟ cenderung mendapatkan pesan dari
para kyainya untuk mengikuti organisasi ini atau juga karena senior mereka di pesantren yang
mengajak individu tersebut. Meskipun demikian ada juga yang mengikuti organisasi ini dengan
berbagai maksud yang datang dari dalam diri individu misalnya untuk mengolah softskill dalam public
speaking dan berorganisasi.
Ketika individu telah masuk PMII, maka inilah awal mula kondisi-kondisi disonan muncul dalam
diri individu dengan lingkungan sosialnya. Pada konteks ini, peneliti menemukan beberapa kondisi
disonan yang dialami para informan dalam proses penelitian yang peneliti lakukan, diantaranya adalah
disonansi berkaitan dengan organisasi, disonansi berkaitan dengan mahasiswa, dan disonansi
berkaitan dengan Negara.
a. Disonansi berkaitan dengan organisasi
Tidak dipungkiri bahwa setiap individu memiliki tujuannya tersendiri ketika mengikuti
sebuah organisasi, tidak beda ketika para informan memutuskan untuk mengikuti PMII. Misalnya
informan A yang memutuskan mengikuti PMII karena ingin mengolah softsklill dalam bidang
public speaking dan Informan B yang memiliki tujuan sangat sederhana untuk mengobati
kerinduan dengan pondok pesantrennya dahulu.
Beberapa tujuan individu di atas akhirnya juga menyebabkan adanya konsep ideal individu
yang berbeda-beda tenrkait dengan PMII. Konsep ideal dari masing-masing anggota tersebut
membuat dinamika organisasi menjadi beragam. Meskipun masing-masing individu memiliki
konsep ideal tersendiri mengenai organisasi tapi seluruh anggota memiliki tujuan yang ingin
dicapai bersama.
enggak kemudian kita membabi buta bahwa apa yang aku inginkan harus kamu lakukan yang
nggak seperti itu juga kecuali kalau PMII punyaku sendiri baru bisa kayak gitu kan PMII
punya banyak orang (R2.W.B438-442)
Tidak hanya itu, organisasi ini secara nasional juga memiliki tujuan bersama yang
ditransformasikan dalam bentuk gerakan-gerakan sesuai dengan masing-masing universitas.
Tidak jauh berbeda dengan di Universitas Islam Indonesia, karena organisasi ini adalah miliki
banyak orang dan memiliki tujuan yang besar, maka tidak jarang kepentingan atau ambisi pribadi
harus dibuang. Bahkan, meskipun individu sudah mencapai tujuan awal ketika mengikuti
organisasi ini, namun dirinya juga tetap harus ikut melakukan suksesi atas tujuan-tujuan
organisasi ini. Khususnya sebagai intelektual dan kader organisasi ini setiap individu harus
mampu mengedukasi, menyadarkan dan melakukan perubahan di masyarakat.
Membuang ambisi dan mengikuti sesuatu yang bukan menjadi tujuan pribadi tentu akan
menyebabkan adanya pertentangan dalam diri individu. Pada konteks ini pertentangan terjadi
yaitu pertentangan antara keinginan pribadi dengan keinginan organisasi. Meskipun pertentangan
tersebut terkadang membuat individu tertekan, namun individu mencoba untuk tetap nyaman
dalam menjalaninya.
Pertentangan lain yang seringkali terjadi dalam diri setiap individu ketika terdapat
perbedaan sudut pandang dalam melihat suatu fenomena yang akan dikritisi dan dilakukan
advokasi. Meskipun pada dasarnya setiap individu setuju bahwa fenomena tersebut merupakan
suatu hal yang bermasalah, namun dalam perumusan dan mencari titik temu akar permasalahan
itulah perdebatan itu terjadi. Dinamika seperti ini dipandang sebagai suatu hal yang sehat.
b. Disonansi berkaitan dengan mahasiswa
Para informan selain sebagai aktivis, mereka merupakan seorang mahasiswa yang memiliki
perspektif tersendiri tentang idealnya seorang mahasiswa. Konsep ideal yang telah mereka
bangun baik karena adanya pengaruh organisasi, maupun merupakan suatu hal yang telah
tertanam dalam dari mereka yang didapatkan dari orang tua atau lingkungan sosialnya, tidak
jarang juga bertentangan dengan realitas yang sebenarnya. Pertentangan antara yang ideal dan
yang terjadi sebenarnya adalah yang kemudian disebut sebagai kondisi disonan.
Kondisi disonan individu terkait dengan mahasiswa terjadi karena individu sebelumnya
telah terpapar pemahaman ideal tersendiri terkait dengan mahasiswa, bahwa status mahasiswa
bukanlah sebuah status yang sederhana karena mahasiswa seharusnya tidak hanya belajar teori
dan acuh dengan lingkungannya, sehingga mahasiswa dapat peka terhadap permasalahan yang
terjadi di sekitarnya.
Mahasiswa yang memiliki akses lebih terhadap pendidikan seharusnya tidak menjadikan
ilmu yang dipelajarinya sebagai pendukung mahasiswa tersebut untuk menggurui dan menjadi
“sok pintar”. Mahasiswa diidealkan dapat menginternalisasikan ilmu yang mereka miliki ke
dalam perilaku dan ucapannya sehingga semakin mahasiswa memiliki banyak ilmu maka dirinya
semakin takut dengan Tuhan.
saya dari kecil diajarkan bahwa nggolek ilmu kui ora kanggo minteri wong liyo, tapi
bagaimana dirimu bisa memperbaiki perilaku dan ucapanmu atau bagaimana
menginternalisasikan ilmu itu kedalam perilakumu dan kebermanfaatan ilmu itu kalo dirimu
semakin hari semakin wedi karo sing nggawe urip (R2.W.B211-216)
Kondisi di atas pada kenyataannya jauh dari realitas yang sebenarnya. Menurut para informan
meskipun pada dasarnya saat ini mahasiswa lebih banyak medium untuk bergerak, mahasiswa
yang fokus ke akademis bisa mengikuti konferensi-konferensi dan untuk yang aktif di organisasi
bisa membuat wadah untuk mengakomodir tujuan-tujuannya. Namun kenyataannya tetap banyak
keluhan dari para pengajar dan mahasiswa-mahasiswa lain terkait mahasiswa saat ini.
Informan B mengatakan bahwa mahasiswa saat ini seolah terlena dengan status
mahasiswanya, sehingga hanya sibuk dengan rutinitas kampus, serta angkuh dengan ilmu dan
status yang dimilikinya. Bahkan saat ini mahasiswa yang dianggap pintar saat ini adalah
mahasiswa yang terlalu banyak bicara dan bisa mengkrtitisi apapun.
Hal ini menurut Informan A dan B disebabkan karena memang sistem universitas yang
mendukung mahasiswa menjadi demikian. Kampus menyibukkan mahasiswa dengan kegiatan
dan tugas, kebijakan 75% kehadiran, ancaman drop out bagi mahasiswa yang berpikir terlalu
kritis, keharusan lulus cepat dan tuntutan untuk mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
yang tinggi. Hal ini, tentu membuat mahasiswa sudah sangat sibuk dan panik dengan situasi yang
akan dialaminya ketika tidak mampu memenuhi standarisasi-standarisasi tersebut. Tidak heran
jika hal ini membuat mahasiswa hanya mementingkan diri sendiri dan lalai dengan lingkungan
sekitar.
Selain itu, Informan B juga menambahi bahwa realitas mahasiswa saat ini mereka terlalu
terlena dengan status mahasiswa yang dianggapnya sangat tinggi, seolah-seolah dengan menjadi
mahasiswa hidupnya sudah enak dan nyaman. Harus dijunjung tinggi dan dihormati dimanapun
mereka berada, imbasnya kepedulian sosial mereka tumpul. Bahkan sangat sederhana, mereka
tidak tidak menghargai lingkungan sekitar mereka. Alih-alih demikian, mahasiswa saat ini
bahkan sangat jarang berinteraksi dengan teman satu kos mereka. Komunikasi dianggap selesai
ketika sudah dilakukan via teknologi, meskipun itu adalah teman yang hanya beda kamar.
Artinya teknologi dalam hal ini juga membuat mahasiswa tersebut terlena sehingga membuat
mereka mengisolasi diri sendiri.
c. Disonansi berkaitan dengan Negara
Tidak hanya dalam kaitannya dengan organisasi dan kehidupan mahasiswa, disonansi yang
dialami oleh individu tersebut juga merambah pada pemahamannya terkait dengan negara.
Individu memiliki konsep ideal tentang peran dan fungsi negara yang tidak sesuai dengan
kanyataan yang terjadi sebenarnya. Kondisi disonan tersebut berkaitan dengan berbagai hal
seperti pendidikan, kesejahteraan hidup dan pemerintahan.
Informan A dalam hal ini menyampaikan kegelisahan terkait dengan sistem pendidikan yang
menurutnya tidak jelas. Sebagai individu yang berasal dari pedalaman Sumatera dirinya merasa
bahwa penyamarataan pendidikan, khususnya berkaitan dengan Ujian Nasional (UN) tidak
kontekstual dengan kondisi di kampungnya yang minim fasilitas dan kualitas, khususnya dari
tenaga pendidik yang tentunya berpengaruh pada anak didiknya.
Minimnya fasilitas tersebut tentunya akan berimbas ke dalam banyak hal misalnya yang
terpenting adalah berkaitan dengan keterjangkauan informasi dari atas ke bawah. Sehingga, hal
ini juga dipandang oleh informan B sebagai suatu yang tidak relevan ketika pergantian kurikulum
dilakukan hampir setiap pergantian periode pemerintahan. Alih-alih menjangkau kurikulum baru,
kurikulum yang lama dalam hal ini bahkan belum terjangkau oleh kampungnya.
Imbas yang lain adalah terbatasnya jangkaun informasi tersebut, membuat Informan A
menarik kesimpulan bahwa pendidikan layak itu bukan untuk orang miskin. Meskipun
disediakan banyak beasiswa, tapi keterbatasan fasilitas untuk mengakses informasi tersebut
membuat yang tertinggal tetap tertinggal. Bahkan, jika setiap orang diwajibkan untuk menjalani
pendidikan wajib sembilan tahun, namun nyatanya kualitas manusianya tetap sama saja dan
masih saja banyak pengangguran.
Kemudian berkaitan dengan kesejahteraan hidup dan pemerintahan, informan B
berkeyakinan bahwa seharusnya privatisasi perusahaan yang dilakukan oleh negara dapat
menyejahterakan masyarakat, mengentaskan kemiskinan dan kualitas hidup masyarakat
meningkat, namun kenyataannya privatisasi tersebut hanya menguntungkan negara dan pihak
asing. Terlebih lagi kenyataan bahwa banyak pejabat yang korup semakin membuat Informan
berkesimpulan bahwa hal ini memang sudah sejak awal pembentukan karakter dari para
pemimpin tersebut adalah suatu kesalahan.
3. Organisasi sebagai Penentu Besaran Disonansi
Derajat disonansi individu tergantung pada kepentingan atau nilai dari berbagai elemen seperti
pengetahuan, kepercayaan, dan sikap yang disonan (Cooper, 2007). Dalam konteks yang terjadi dalam
diri para informan hal ini pengetahuan, kepercayaan dan sikap disonan tersebut muncul karena
stimulasi yang terus menerus diberikan oleh organisasi kepada mereka melalui berbagai rangkaian
kegiatan dan program-program kerja kaderisasi organisasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Informan B yang mengatakan bahwa keresahan tidak terbentuk di awal, bahkan kebanyakan individu
sebelum masuk ke PMII tidak tahu menahu tentang PMII. Keresahan tersebut ditemukan selama
berproses di PMII karena hal tersebut pada dasarnya dikontruksi di PMII dengan diimbangi
pengetahuan-pengetahuan yang diberikan kepada kader.
Lebih jauh dari itu bahkan menurut Informan B pada awalnya dalam mengikuti aksi demonstrasi
yang dilakukan orgnanisasi tersebut, bukan muncul atas dasar kesadaran pribadi. Informan B
mengikuti aksi demonstrasi karena kepentingan organisasi dan diajak oleh anggota lain dari organisasi
tersebut. Namun, pada akhirnya dirinya sadar bahwa mengikuti aksi tanpa tahu alasannya terkadang
menjadi rangsangan tersendiri bagi kader untuk menjadi terbuka dan sadar, dan hal ini sesuai dengan
yang dirinya alami karena setelah aksi yang tidak disadarinya tersebut pada aksi selanjutnya individu
sudah sadar dan mengerti mengapa dirinya harus bergerak.
sing penting melu ae tapi iya nggak apa-apa kadang kala yang penting melu itu juga membuat
kita terbuka dan bisa jadi sadar (R2.W.B479-481)
Tidak hanya dalam konteks demonstrasi. Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh organisasi adalah
upaya organisasi untuk membentuk pengetahuan, kepercayaan dan sikap yang sesuai dan diselaraskan
dengan idealisme dan tujuan organisasi. Kegiatan-kegitan tersebut antara lain adalah Pelatihan Kader
Dasar (PKD), diskusi rutin, pengabdian masyarakat melalui TPA, dan yasin tahlil di masjid kampus,
mengadakan jenjang kaderisasi lanjutan (PKM) dan melakukan pengembangan organisasi sebagai
sarana untuk melakukan menejemen sumberdaya, mewadahi minat bakat serta untuk melakukan
distribusi kader.
PKD merupakan jenjang kaderisasi awal yang harus ditempuh setiap individu yang akan masuk
di PMII. Pada pelatihan ini calon anggota dibekali dengan pemahaman-pemahaman dasar organisasi
seperti ideologi, nilai dasar, paradigma dan metode analisa sosial yang digunakan oleh organisasi.
Ketika calon anggota telah melewati jenjang kaderisasi awal tersebut, mereka telah berhak untuk
mengikuti segala macam kegiatan di organisasi. Kegiatan yang rutin dilakukan organisasi salah
satunya adalah diskusi, bahkan hal ini sudah menjadi budaya sehingga menjadi rutinitas keseharian
setiap anggota di dalam organisasi.
Diskusi ini berpengaruh sangat penting sebagai sarana ideologisasi dan melakukan transformasi
terkait pemahaman-pemahaman tertentu dalam realitas sosial. Persoalan-persoalan yang dibahas di
dalam diskusi tersebut adalah isu-isu yang meresahkan seperti dinamika kampus dan persoalan
ideologis berkaitan dengan islam, kondisi bangsa dan kenegaraan terutama berkaitan dengan ekonomi,
moralitas dan perdebatan tentang agama serta persoalan-persoalan lain yang meresahkan kehidupan.
Meskipun dalam konteks tertentu diskusi-diskusi tersebut melibatkan tema yang tidak mudah
bagi setiap anggota, misalnya berkaitan dengan teori-teori sosial-kritis. Namun, dalam tataran tertentu
secara tidak sadar telah terinternalisasi dengan teori-teori tersebut. Sehingga meskipun mereka tidak
faham secara teoritis terkait dengan teori-teori tersebut, namun seringkali mereka menggunakan sudut
pandang dari teori-teori tersebut di dalam memandang sebuah fenoma. Dalam tataran ini pengaruh
diskusi-diskusi yang dilakukan secara terus menerus tidak hanya berkaitan dengan pemahaman
teoritis tetapi juga dalam konteks kognitif dan afeksi setiap anggota.
Kemudian, berkaitan dengan persoalan kampus. Persoalan kampus dibahas di organisasi ini
karena kesadaran bahwa sebagai mahasiswa medan gerak utama kita adalah di kampus. Persoalan
kampus yang dibahas adalah berkaitan dengan antropologi kampus seperti tipologi mahasiswa saat
ini, kemudian kebijakan kampus dan sistem pendidikan kampus. Setelah persoalan tersebut telah
terpetakan yang dibahas kemudian adalah solusi yang akan dilakukan organisasi tersebut untuk
kampus.
Lebih jauh dari itu pada akhirnya organisasi memberikan perubahan signifikan dalam diri
individu. Perubahan yang disampaikan oleh para Informan di antara adalah individu dapat lebih
melakukan introspeksi diri dan toleran dengan berbagai macam golongan, organisasi juga
memberikan pengaruh secara intelektual karena kultur organisasi dalam hal ini selalu mengenalkan
dengan hal-hal yang baru dan memberikan ruang untuk melakukan diskusi dengan berbagai sudut
pandang untuk mencari akar permasalahan sebenarnya. Selain itu, organisasi ini membuat individu
nyaman karena masing-masing di dalamnya memiliki visi yang sama dan meresahkan persoalan yang
sama, organisasi juga mampu menjadi kendali dari modernitas, menjaga dari degradasi moral serta
hubungan vertikal dengan Tuhan
4. Perilaku Kolektif yang Muncul Akibat Disonansi.
Salah satu cara yang dilakukan para informan untuk menjadikan disonansi berada pada kondisi
minimum dan mancapai keseimbangan, salah satunya juga dengan membuat kecocokan bersama
(Dechawatanapaisal, & Siengthai 2006) melalui pembentukan forum diskusi kampus yang awalnya
bertujuan untuk mengumpulkan teman-teman yang memiliki kegelisahan bersama untuk berkeluh
kesah dan menuangkan keresahan masing-masing.
saya lebih enak ketika ingin suatu wadah yang itu mewadahi kita untuk menunangkan
keresahan-keresahan (R2.W.B282-284)
Selain itu forum diskusi tersebut juga terbentuk atas tujuan untuk membentuk kultur mahasiswa
agar tidak terlalu masa bodoh dengan lingkungan sekitar, dan membangun kesadaran sosial agar
mahasiswa tidak terlalu menganggap tinggi statusnya, sehingga membuat dirinya merasa harus
dihormati. Hal ini senada dengan Informan B yang juga melakukan gerakan penyadaran melalui
diskusi-diskusi, demonstrasi, pendampingan sosial dan literasi media.
Dalam konteks organisasi perilaku kolektif yang dilakukan adalah dengan melakukan dakwah
islamiyah. Hal ini dilakukan karena selain sebagai organisasi kaderisasi, organisasasi ini juga
merupakan bagian dari gerakan ideologis yang digunakan untuk melakukan perjuangan terhadap cita-
cita islam. Dakwah islamiyah dilakukan dan disampaikan dengan menyesuaikan kondisi hari ini dan
tidak memaksa (mis. ketika tidak seperti ini maka buka bagian dari kami). Hal ini dikarenakan secara
organisasi, PMII merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjamah orang-orang yang
belum faham islam di luar, tidak hanya di kampus, sehingga butuh kekuatan dan usaha yang besar
untuk melakukan itu.
Informan B menyatakan bahwa dalam konteks internal organisasipun gerakan penyadaran juga
dilakukan kepada para anggotanya. Tentunya dengan melakukan internalisasi nilai dan kepercayaan
organisasi ke dalam diri anggota tersebut untuk membentuk kesadaran anggota karena masing-masing
dari mereka sudah memiliki pengalaman yang lebih banyak sebelum masuk ke dalam PMII. Sehingga,
dapa disadari bahwa perubahan lebih mudah dilakukan terhadap individu yang memiliki latar
belakang yang sama.
semakin banyak kamu tau maka semakin banyak banyak masalah yang akan menghampirimu
(R1.W.B421-423)
Para informan dalam hal ini menyadari bahwa jika seseorang tidak paham akan suatu
permasalahan dirinya akan merasa nyaman tetapi ketika seseorang banyak tahu dirinya maka akan
banyak masalah yang justru menghampiri. Selain itu, individu akan merasa terbebani ketika tahu akar
permasalahan yang sebenarnya tetapi tidak memiliki solusi penyelesaiannya..
Selain itu, tentu jika melihat realitas di atas. Para informan sebagai seorang aktivis mahasiswa
yang merasakan dan melihat berbagai kesenjangan dalam konteks universitas, negara bahkan dalam
internal organisasinya, terkesan perlu meluangkan waktu, tenaga dan biaya yang besar untuk
mangakomodir dan melakukan sebuah gerakan tertentu untuk mengatasi segala keresahan mereka.
Namun, dalam konteks ini sebagai individu yang memiliki latar belakang pesantren dan dididik di
organisasi yang kental dengan tradisi pesantren, seluruh pengorbanan yang dilakukan para individu
tersebut mereka anggap sebagai rasa tunduk dan hormatnya kepada para kyai. Karena dalam konteks
ini organisasi PMII adalah organisasi yang memiliki afiliasi kultural yang harmonis denga Nahdlatul
„Ulama‟. Bahkan Informan C mengatakan bahwa sebagai aktivis mahasiswa, masyarakat adalah kyai
kita.
D. PEMBAHASAN
Sebelum melakukan pembahasan terkait dengan beberapa tema yang peneliti temukan pada hasil
analisis, peneliti akan merujuk kembali pada tujuan penelitian, yaitu memahami dinamika psikologis
terkait fenomena keresahan sosial yang dirasakan dan dialami oleh para aktivis mahasiswa. Pada hasil
penelitian dan analisis teoritik, peneliti melihat keterkaitan erat antara disonansi kognitif dengan
keresahan sosial, dan organisasi merupakan anteseden sekaligus penguat atas keresahan yang
dirasakan dan dialami individu.
Inkonsistensi logika dengan realitas adalah sebab utama individu mengalami disonansi secara
kognitif (McGregor, 2013; Dechawatanapaisal & Siengthai, 2006). Inkonsistensi terjadi karena
adanya kepercayaan terkait suatu fenomena yang telah dipegang sebelumnya, namun kepercayaan
tersebut terbentur pada realitas yang jauh berbeda dari yang dipercayainya. Pada konteks aktivis
mahasiswa kepercayaan, pengetahuan dan sikap (Cooper, 2007) mereka dibentuk di dalam
organisasinya. Sebagai organisasi ideologis, maka kepercayaan, pengetahuan dan sikap para
anggotanya dibentuk berdasarkan tema-tema ideologis berkaitan dengan negara, sosial-ekonomi,
kebudayaan dan pemerintahan.
Pemahaman ideal organisasi berkaitan dengan tema-tema di atas yang ditransfer terus menerus
kepada setiap anggotanya pada akhirnya membentuk standarisasi tersendiri dalam diri setiap inidividu
berkaitan dengan idealnya negara, sosial-ekonomi, kebudayaan dan pemerintahan. Sehingga dalam
konteks inilah individu pada akhirnya mengalami disonan secara kognitif ketika mendapati bahwa
negara, sosial-ekonomi, kebudayaan dan pemerintahan tidak sesuai dengan konsep idealnya
(Festinger, 1957). Inilah salah satu faktor terjadinya disonansi kognitif, yaitu inkonsistensi logika
(Festinger, 1957).
Selain itu, opini umum (Festinger, 1957) bahwa negara pasti akan menjamin kesejahteraan
rakyatnya. Namun, realitas yang dirasakan individu bahwa pendidikan tidak terjangkau untuk
masyarakat miskin dan banyaknya pengangguran, juga membentuk disonansi dalam kognisi individu.
Ditambah lagi pengalaman masa lalu individu yang telah membentuk pemahamannya terkait dengan
ilmu yang seharusnya mendekatkan diri kepada Tuhannya, namun ternyata untuk saat ini hal malah
berjalan jauh dari konsepsi pemahaman awal individu (Festinger, 1957).
Alasan-alasan individu dalam mengikuti organisasi, seperti ingin melatih softskill public
speaking dan mengobati kerinduan akan pondok pesantren adalah tumbuh dengan suka rela.
Sehingga, keikutsertaan mereka dalam setiap kegiatannya juga bersifat suka rela. Sedangkan
kesukarealaan ini menurut Cummings & Venkatesan (Soutar & Sweeney, 2013) adalah salah satu dari
tiga syarat munculnya disonansi. Dua lainnya adalah keputusan yang bersifat penting dan tidak dapat
dibatalkan.
Kedua syarat tersebut (Soutar & Sweeney, 2013) menjadi suatu hal yang benar-benar menjadi
realitas dalam diri individu. Organisasi yang bersifat ideologis mensyaratkan para anggotanya untuk
tidak mendua di dalam keikutsertaannya dalam organisasi, sehingga keputusan individu untuk
mengikuti organisasi adalah sangat penting karena hal tersebut mengikat dan tidak dapat dibatalkan.
Kemudian, terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan disonansi. Pertama, jumlah
kepercayaan yang disonan, dan kedua adalah seberapa penting masing-masing kepercayaan tersebut
melekat (Soutar & Sweeney, 2013). Diskusi-diskusi yang rutin dilakukan di organisasi dan pelatihan-
pelatihan yang berkaitan dengan penkajian realitas sosial yang terus menerus dilakukan di dalam
organisasi tentu akan memperbanyak kepercayaan yang disonan dalam diri setiap anggotanya. Karena
hal tersebut merupakan idealisme organisasi yang harus diinternalisasi oleh setiap anggotanya maka
melekatnya kepercayaan tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting. Kegagalan dalam
tranformasi nilai, otomatis adalah kegagalan kaderisasi dalam organisasi.
Selanjutnya terlepas dari hal di atas, pendidikan yang tidak merata (Tufekci & Freelon, 2014),
negara yang tidak mampu mensejahterakan rakyatnya (Bohlken & Sergenti, 2010) dan fenomena
gerakan keagamaan yang kaku (Pappas & O‟Malley, 2004) seperti halnya yang dirasakan oleh para
individu di atas, adalah faktor-faktor timbulnya keresahan sosial berkaitan dengan negara (ideologi),
sosial-ekonomi, dan kebudayaan (Pappas & O‟Malley, 2014). Sedangkan, hal ini kontekstual dengan
sebab disonansi yang dialami individu.
Meskipun dalam tataran teoritis disonansi kognitif dan keresahan sosial memiliki kemiripan.
Namun, disonansi kognitif adalah suatu kesadaran pada level kognitif yang dialami pada konteks
individual (Jones, 2012). Sedangkan, keresahan sosial adalah suatu gejala yang dialami bersama, dan
lebih bersifat untuk menyatakan sebuah sikap dari sebuah fenomena meresahkan. Artinya keresahan
sosial tidak hanya bersifat kognitif namun pada tataran afektif, seperti aksi demonstrasi, protes dan
pemogokan kerja (Weinberg & Bakker, 2015).
Antara disonansi kognitif dengan keresahan sosial pada akhirnya berkaitan. Hal ini kontekstual
dengan hasil penelitian ini, bahwa individu yang mengalami kondisi disonan pada akhirnya akan
mencari kondisi stabil (Dechawatanapaisal, & Siengthai 2006) dengan menyatu bersama individu lain
yang juga mengalami kesamaan nasib (Dessales, 2011). Pada konteks yang terjadi pada para aktivis
mahasiswa tersebut berkumpulnya mereka yang sama-sama memiliki disonansi atas permasalahan
sosial adalah melakukan diskusi untuk melakukan penyadaran kepada individu lain, melakukan
pelatihan-pelatihan dan melakukan aksi demonstrasi.
Hal ini sedikit berbeda dengan yang dikatakan Dechawatanapaisal dan Siengthai (2006) bahwa
individu cenderung menginginkan kondisi yang stabil, tetapi dalam konteks penelitian ini ditemukan
bahwa para individu justru mengakumulasi keadaan disonan menjadi sebuah kelompok yang
melakukan transformasi keadaan disonan tersebut kepada individu lain yang belum memahami
keadaan tersebut. Dan ini dikatakan sebagai gerakan penyadaran. Maka akumulasi individu yang
disonan tersebut pada akhirnya menimbulkan sebuah keresahan sosial.
Terdapat tiga cara untuk menghilangkan disonansi, pertama dengan mengurangi kadar
kepentingan terhadap kepercayaan yang disonan. Kedua, menambahkan keyakinan konsonan yang
lebih besar daripada kepercayaan yang disonan, atau ketiga dengan mengubah kepercayaan yang
disonan sehingga tidak lagi inkonsisten (Festinger, 1957; Cooper, 2007). Kontekstual dengan
penelitian ini individu juga mencoba untuk merubah kondisi disonan dengan menyelaraskan atau
menambah keyakinan konsonan melalui diskusi, aksi demonstrasi dan gerakan-gerakan penyadaran
lainnya. Tentu dalam konteks ini realitas yang konsonan dengan idealitas merupakan tujuan bagi
setiap individu dan dalam konteks ini juga tujuan dari organisasi.
Upaya untuk menemukan individu-individu yang memiliki nasib dan keresahan yang sama,
melakukan demontrasi dengan skala besar, serta internalisasi nilai kepada para angota di organisasi
adalah merupakan sebuah gerakan komunal. Dalam konteks ini, gerakan ini adalah upaya untuk
meminimalisir keresahan dalam diri individu. Hal ini sesuai dengan penemuan Cooper & Stone
(Jones, 2012) bahwa anggota kelompok juga memainkan peranan yang sangat penting dalam
mengurangi disonansi terkait pengalaman setiap individu. Sementara itu, diskusi-diskusi yang
dimaksudkan untuk mengumpulkan orang yang memiliki kesamaan perspektif dalam hal ini menurut
Festinger (1957) adalah bentuk dari komunikasi persuasif yang di suatu sisi dapat mengurangi
disonansi, ketika komunikasi tersebut efektif.
Gambar 1. Dinamika keresahan sosial aktivis mahasiswa
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa keresahan sosial aktivis mahasiswa timbul karena adanya akumulasi disonansi
kognitif pada level individual yang mencoba untuk mencapai kondisi stabil melalui pembentukan
kelompok yang memiliki kondisi yang sama.
Besaran disonansi dipengaruhi oleh realitas organsiasi yang memberikan transformasi
pemahaman berkaitan dengan ideologi, idealitas dan tujuan organsiasi serta arak gerak organisasi.
Sehingga individu memiliki standarisasi tersendiri dalam memandang suatu persoalan melalui
perspektif yang didapatkannya dari organsasi. Kegagalan inidivu dalam menemukan hubungan
relevan yang konsonan dengan idealitas akhir membuat individu mengalami disonansi secara kognitif.
Kondisi yang disonan tersebut tentu tidaklah nyaman, sehingga individu ingin mencapai suatu
stabilitas dalam kognisinya. Upaya untuk mencapai stabilitas tersebut adalah melalui komunikasi
persuasi dan mengakomodir keresahan dalam suatu kelompok yang memiliki keresahan sama.
Kemudian, upaya untuk mencapai stabilitas melalui kelompok sosial tersebut dilakukan dengan cara
bersama-sama melakukan gerakan penyadaran terhadap orang lain melalui diskusi dan aksi
demonstrasi. Alih-alih disonansi dalam diri individu tersebut hilang, malah yang terjadi adalah
disonansi tersebut terakumulasi secara sosial, sebagai sebuah keresahan.
Meskipun demikian, upaya untuk memelihara keresahan tersebut pada akhirnya menjadi suatu
hal yang memang seharusnya terjadi dalam organisasi yang diikuti oleh para individu. Karena hal
tersebut adalah sarana untuk membangun idealisme kelompok, dan dalam skala luas berguna untuk
mencapai keadaan stabil. Sehingga ideologi, negara, pendidikan dan sosial-ekonomi yang kacau dan
menjadikan individu mengalami disonan secara menyeluruh dapat dicapai relevansi konsonannya.
F. SARAN
Peneliti memetakan beberapa saran yang kiranya dapat dijadikan sebagai bahan kontemplasi
berkaitan dengan dinamika keresahan sosial aktivis mahasiswa. Poin-poin yang dituliskan pada
bagian ini ditujukan kepada berbagai pihak, seperti para akademisi dan peneliti lainnya, para aktivis,
serta khalayak dan pemegang kebijakan.
1. Saran untuk organisasi-organisasi aktivis mahasiswa adalah mengupayakan terus menerus
tersedianya solusi bagi keresahan sosial yang dialami oleh para anggotanya.
2. Pada proses pembentukan keresahan sosial dalam diri individu cenderung dipengaruhi oleh
organisasi dan hal tersebut menjadi suatu paradoks tersendiri yang memperlihatkan sisi negatif
dan sekaligus positif. Realitas ini menjadi salah satu topik yang menurut peneliti dapat
direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya.
3. Salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah hanya melibatkan satu kelompok aktivis
organisasi yang tergabung dalam organisasi yang sama, sehingga saran untuk penelitian
selanjutnya agar dapat menelaah kembali dinamika keresahan sosial aktivis mahasiswa di
kelompok yang lebih heterogen.
4. Keresahan sosial sebagai sebuah konsep dan teori belum sama sekali ditawarkan dalam kajian
psikologi. Konsep tersebut masih menjadi lahan keilmuan antropologi. Padahal jika ditelaah
lebih lanjut fenomena tersebut sangat berkaitan dengan kondisi-kondisi psikologis individu
secasa sosial, sehingga hal tersebut menjadi patut untuk ditelaah lebih lanjut sebagai salah satu
sub kajian dari psikologi sosial, khususnya psikologi politik.
G. DAFTAR PUSTAKA
Archer, J. E. (2000). Social unrest and popular protest in England 1780–1840. New York: Cambridge
University Press.
Badan Pusat Statistik. (2017). Statistik Indonesia 2017. Jakarta, DKI: Badan Pusat Statistik. Diakses
dari https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Indonesia-2017.pdf
Cooper, J. (2007). Cognitive dissonance. London: Sage Publications, Ltd.
Creswell, J., W. (2012), Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif dan
mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dechawatanapaisal, D., & Siengthai, S. (2006). The impact of cognitive dissonance on learning work
behavior, Journal of Workplace Learning, 18(1), 42-54.
Dessales, J. E. (2011). Sharing cognitive dissonance as a way to reach social harmony, Social Science
Information, 50(1), 116–127.
Festinger, l. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford: stanford university press.
Hardiman, F. B. (Ed.). (2010). Ruang publik: Melacak “partisipasi demokratis” dari polis sampai
cyberspace.Yogyakarta: Kanisius.
Hariyanto, I. (2017, Agustus 30). ICW: Dalam 6 Bulan, 226 Kasus Korupsi Rugikan Negara Rp 1,83
T. Detik News Online. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3621894/icw-dalam-6-
bulan-226-kasus-korupsi-rugikan-negara-rp-183-t
Idhom, A. M., & Putsanra, D. P. (2017, Desember 06). Aksi Gebug Aparat Saat Pengosongan Paksa
Lahan Bandara Kulon Progo. Tirto.id. Diakses dari https://tirto.id/aksi-gebuk-aparat-saat-
pengosongan-paksa-lahan-bandara-kulon-progo-cBfl
Jones, E. H. (2012). Cognitive dissonance theory, The Ensyclopedia of Human Behaviour, 1, 543-549.
Julianto, P. A. (2017, Juni 11). Agustus 2017, Jumlah Pengangguran Naik Menjadi 7,04 Juta Orang.
Kompas Online. Diakses dari
http://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/06/153940126/agustus-2017-jumlah-
pengangguran-naik-menjadi-704-juta-orang
Kresna, M. (2016, November 16). Ahok Ditetapkan Tersangka Penistaan Agama. Tirto.id. Diakses
dari https://tirto.id/ahok-ditetapkan-tersangka-penistaan-agama-b44C
McGregor, R. M. (2013). Cognitive dissonance and political attitudes: The case of Canada, The Social
Science Journal, 50, 168-176.
Miftakhul, F. S. (2017 Januari 30). Sarjana Menganggur Semakin Banyak. Jawa Pos Online. Diakses
dari https://www.jawapos.com/read/2017/01/30/105943/sarjana-menganggur-semakin-banyak
Najih, M. (2019). Dinamika Place Identity dan Partisipasi Kewarganegaraan di Warung Kopi
Tradisional. Tesis Tidak Dipublikasikan. Program Magister Psikologi, Fakultas Psikologi,
Universitas Gadjah Mada.
Pappas, T. S., & O‟Malley, E. O. (2014). Civil compliance and “political luddism”: explaining
variance in social unrest during crisis in ireland and greece. American Behavioral Scientist,
58, 1592–1613.
Pruitt, D. G., & Jeffrey, Z. J. (2011). Teori konflik sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Putra, I. R. (2017, November 23). Terus naik, utang luar negeri Indonesia tembus Rp 4.636 triliun di
September 2017. Merdeka Online. Diakses dari https://www.merdeka.com/uang/terus-naik-
utang-luar-negeri-indonesia-tembus-rp-4636-triliun-di-september-2017.html
Rahayu, C. M. (2017, Oktober 18). Pengajuan UMP Diterima, Demo Buruh di Balai Kota Bubar.
Detik News Online. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3689171/pengajuan-ump-
diterima-demo-buruh-di-balai-kota-bubar
Ratnasari, Y. (2017, Februari 11). Tenda Perjuangan Warga Tolak Semen Rembang Dibakar. Tirto.id.
Diakses dari https://tirto.id/tenda-perjuangan-warga-tolak-semen-rembang-dibakar-ciP9
Riyono, B. (2011). Motivasi dalam perspektif psikologi islam. Jakarta: Asosiasi Psikologi Islami
Indonesia.
Safari. (2017, Juni 13). Demo di Depan KPK: Tangkap Koruptor e-KTP. Harian Terbit Online.
Diakses dari http://nasional.harianterbit.com/nasional/2017/06/13/82745/25/25/Demo-di-
Depan-KPK-Tangkap-Koruptor-e-KTP
Saputri, M. (2017, Mei 24). Kasus Penistaan Agama Menjerat Pengusaha di Karawang. Tirto.id.
Diakses dari https://tirto.id/kasus-penistaan-agama-menjerat-pengusaha-di-karawang-cpiZ
Siena, I. (2017, Februari 19). ICW: 482 Kasus korupsi rugikan negara Rp 1,4 T di 2016. Merdeka
News Online. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/icw-482-kasus-korupsi-
rugikan-negara-rp-14-t-di-2016.html
Soutar, G. N., & Sweeney, J. L. (2003). Are there cognitive dissonance segments?, Australian Journal
Of Management, 28(3), 227-249.
Stevens, A. M., & Tellings, A. E. (2010). A comprehensive Indonesian-English dictionary. Athens:
Ohio University Press.
Taher, A. P. (2017, Maret 17). Kementerian BPN Ajak Polri Atasi Banyaknya Konflik Agraria.
Tirto.id. Diakses dari https://tirto.id/kementerian-bpn-ajak-polri-atasi-banyaknya-konflik-
agraria-ckYA
Tashandra, N. (2016, Februari 24). ICW: Sepanjang Tahun 2015, Anggaran Negara 134 Kali
Dikorupsi. Kompas Online. Diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/02/24/17044021/ICW.Sepanjang.Tahun.2015.Anggara
n.Negara.134.Kali.Dikorupsi.
Tufekci, Z., & Freelon, D. (2013). Introduction to the Special Issue on New Media and Social Unrest.
American Behavioral Scientist, 57, 843–847.
Weinberg, J., & Bakker, R. (2015). Let them eat cake: food prices, domestic policy and social unrest.
Conflict Management and Peace Science, 32, 309–32