Smong - researchmap.jp

3

Transcript of Smong - researchmap.jp

Page 1: Smong - researchmap.jp
Page 2: Smong - researchmap.jp

2

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Salam Redaksi

Unsyiah siap lahirkan alumni berwawasan Kebencanaan dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng

Tentang dan Kota Madani Dr. Khairul Munadi

Mewujudkan Masyarakat Tangguh Bencana Bersama Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan UnSyiah

Dr. Ir. M. Dirhamsyah, Dr. Nazly, dan Bukhari, MT

Pengetahuan Yang Menyelamatkan Rina Suryani Oktari, S.Kep., M.Si.

Masyarakat Tangguh Bencana Melalui Manajemen Pengetahuan Lokal

Alfi Rahman, M.Si

Antara Mengopi Dan Smong Dr. Ahmad Azan Bin Ridzuan

dan Rina Suryani Oktari, S.Kep., M.Si.

Mendidik Dokter Agar Memahami Bencana dr. Rosaria Indah, M.Sc.

Studi Komparatif Ritual Pasca-Bencana : Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D.

PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH BESAR

Dr. rer. nat. Muksin Umar, M.Si., M.Phil.

Tantangan Para Peneliti Ilmu Kebumian di Aceh dalam Memaknai Paradigma Ketangguhan Menghadapi Bencana Alam

Bambang Setiawan, M. Eng.Sc.

Mengapa Di Tanahku Sering Terjadi Tanah Longsor? Ibnu Rusydy, M.Sc.

mengenal sekilas Sistem Informasi Manajemen Risiko Bencana berbasis Internet

Ardiansyah, BSEE.,M.Sc. dan Dr. Nasaruddin, S.T.,M.Eng.

Belajar Tsunami dari Kawasan Indrapurwa di Aceh Besar

Dr. Eng. Syamsidik

D A F TA R I S I SMONG News Pembaca yang budiman, bencana gempabumi

dan tsunami yang hampir memasuki tahun ke 12 semestinya memperkuat pengetahuan dan kesadaran kita bahwa kita hidup di daerah dengan ancaman (hazard) bencana yang tinggi. Semuanya sepakat jika berdamai dengan bencana adalah pilihan yang tepat untuk menghadapi situasi tersebut. Berdamai dengan bencana bermakna bahwa kita harus mempersiapkan dan mengisi pengetahuan agar semakin berbuah pada keputusan dan tindakan yang sesuai dan tepat pada saat terjadi bencana. Mempersiapkan diri untuk menjadi garda terdepan pada setiap upaya dalam mewujudkan masyarakat tangguh bencana, bahkan harapan kita jauh ke depan yaitu menjadi model yang baik untuk memperkaya konsep pengurangan risiko bencana dunia.

Smong News Edisi kali ini hadir bertepatan dengan peringatan bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang jatuh pada bulan Oktober serta dalam rangka World Tsunami Awareness Day 5 Nopember lalu. Edisi ini mengedepankan beberapa konsep resiliensi (resilience) atau ketangguhan dalam perspektif bencana. Resiliensi telah menjadi bahasa yang merepresentasikan salah satu tujuan kita dalam menghadapi kemungkinan bencana dan menggambarkan bagaimana kita dapat pulih dengan cepat bahkan menata kehidupan dengan lebih baik. Memperkuat pengetahuan melalui pendidikan formal maupun nonformal diyakini sebagai salah satu cara yang efektif dalam melakukan sebuah perubahan menuju masyarakat yang memiliki sifat risiliensi pascabencana.

Pendidikan merupakan rangkain perjalanan pengetahuan dari data, informasi, know what, know how hingga berbuah keputusan dan aksi yang tepat, sesuai dan efektif yang di dalamnya terdapat pula unsur waktu, proses dan keberlanjutan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan pemahaman, upaya dan konsistensi demikian maka cita-cita dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh bencana (community resilience) akan semakin dapat diwujudkan. Semoga informasi pada Edisi kali ini dapat bermanfaat.

Selamat membaca.

Suplemen ini diterbitkan oleh:UPT Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala

Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC)Pusat Unggulan IPTEK Perguruan Tinggi Mitigasi Bencana Tsunami

Kementerian Ristek dan Dikti

Pengarah : Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng

Dr. Hizir

Prof. Dr. Husni, SH., M.Hum

Dr.AlfiansyahYulianur,BC Dr. Nazamuddin, S.E., MA

Prof. Dr. Ir. Hasanuddin, M.S

Dr. Khairul Munadi

KoordinatorRedaksi :RinaSuryaniOktari,S.Kep.,M.Si.

Editor :AlfiRahman,M.Si.

Desain dan Tataletak : Mahruza Murdani, ST., MT

TimRedaksi :Dr.Eng.Syamsidik Dr. Ella Meilianda

Dr. Nazli Ismail

Intan Dewi Keumala, M.Si

IbnuRuasydy,M.Sc

Staf Pendukung : Razali Amna, S.Si

Wan Akmal, ST., M.Si

IkramullahZein,ST.,M.Sc. EkaOktavianus,M.Si.DesaindanFotoSampul:Mahruza Murdani, ST. MT.

Alamat Redaksi :

Ground Zero TDMRC Building, 3rd floorJl. Prof. Dr. Ibrahim Hasan, Gampong Pie, Kecamatan Meuraxa

Kota Banda Aceh, 23233

Telp : (0651) 8052009 Fax : (0651) 8052168

website: http://tdmrc.unsyiah.ac.id

email : [email protected]

3

4

5

67

8

910

11

12

13

14

15

PUSAT UNGGULAN IPTEK PERGURUAN TINGGI (PUI-PT)

Kementerian Riset, TeKnologi, dan Pendidikan Tinggi tahun 2016-2018

resilient City

Page 3: Smong - researchmap.jp

10

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Studi Komparatif Ritual Pasca-Bencana : Aceh dan Tohoku

Tidak terasa telah satu tahun sejak saya melakukan riset di Banda Aceh. Saya mengucapkan rasa terimakasih yang mendalam kepada masyarakat yang menyambut dengan hangat dalam setiap aktifitas riset yang saya lakukan di lapangan. Saya mulai menemukan banyak hal, bukan saja sesuatu perbedaan yang tajam namun juga menemukan banyak persamaan atas pertanyaan bagaimana sesungguhnya masyarakat bersikap dan merespon kejadian tsunami di Aceh, Indonesia (2004) dan Tohoku, Jepang (2011). Terlalu banyak hal yang mesti saya pahami dalam konteks lokal di Aceh termasuk sejarah konflik, budaya setempat, dan Islam. Saya sangat senang memiliki kesempatan untuk dapat berbagi atas apa yang saya temukan di lapangan sejauh ini. Yang jelas, artikel kali ini merupakan pengamatan personal, wawancara dan beberdasarkan studi literatur yang saya pelajari.

Saya telah melakukan investigasi lapangan dan mengamati berbagai cara pandang masyarakat serta bagaimana mereka memaknai bencana hingga peringatan tahunan kejadian bencana di Jepang. Riset saya bukan saja mencakup tentang bencana alam seperti bencana gempabumi besar Hanshin-Awaji (Kobe, 1995) dan Gempabumi besar Timur Jepang (Tohoku, 2011) namun juga bencana alam yang masuk dalam kategori man-made disaster seperti bencana Bom Atom di Horoshima dan Nagasaki (1945). Saya mempelajari bagaimana cara orang dalam memaknai dan merespon berbagai tragedi secara kolektif dari sudut pandang sosiologi agama. Pada sudut pandang ini, jika dilihat sekilas, pelaksanaan peringatan bencana di Aceh terlihat sangat berbeda dengan Jepang.

Terdapat hal yang kontras antara peringatan yang ada di Aceh dan di Jepang, sebagai contoh, peringatan bencana di Aceh,

kelompok anak yatim mendapatkan perhatian khusus dengan memberikan mereka berbagai hadiah, dimana hal ini tidak terlihat pada peringatan bencana di Jepang. Namun demikian perwakilan kelompok yang menjadi korban bencana tetap diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato di depan publik Jepang, selama kegiatan seremoni peringatan bencana. Selanjutnya, budaya makan dan minum seperti Kenduri biasanya sangat dihindari dalam peringatan bencana di Jepang. Meskipun makanan dan minuman tidak diberikan kepada peserta yang hadir, namun mereka dibekali kalungan bunga dan juga botol yang berisi air sebagai penghormatan terhadap spirit korban, salah satunya direpresentasikan pula dalam bentuk Obelisk putih yang diletakkan di tengah panggung (lihat gambar). Di antara perbedaan ini, yang paling menonjol adalah bagaimana merasakan kehadiran (dan ketidakhadiran) agama. Budaya Islam sedikit tidaknya, telah mengilhami dalam berbagai peringatan publik di Aceh, sementara itu ritual keagamaan tidak ada didalam peringatan bencana di Jepang. Keadaan di Jepang ini dipengaruhi oleh konteks politik setelah perang dunia II, menjadi hal yang lumrah jika tidak terlihat tokoh agama, dan kegiatan ritual. Kegiatan peringatan kejadian bencana seperti mengheningkan cipta atau ungkapan dengan bunga merupakan hal yang umum dalam peringatan bencana di Jepang. Di antara kesamaan dalam membadingkan bagaimana peringatan bencana di Aceh dan Jepang yaitu keduanya memaknai jika peringatan ini sebagai hari mengenang kejadian bencana itu sendiri serta para pimpinan politik

menyampaikan pidato mereka.Namun demikian, saya menemukan

pula hal yang tidak biasa dalam menarasikan bencana dari berbagai tempat yang terdampak tsunami. Dari sisi naratif saya menemukan bahwa selama peringatan dan juga dari berbagi kisah yang terdapat di dalam buku diantaranya adalah memaknai bencana sebagai adanya “tangan Tuhan” yang telah menetapkan terjadinya bencana tersebut. Manusia memiliki kemampuan untuk dapat mengambil hikmah bahwa Allah menurunkan bencana bukan untuk hal yang sia-sia. Pemahaman bahwa Allah telah “menulis” memperlihatkan bahwa tsunami merupakan cobaan agar kita menjadi muslim yang lebih baik.

Sebaliknya, di Jepang, membicarakan makna dibalik sebuah penderitaan (sering diasumsikan sebagai “theodicies’ dalam sosiologi) merupakan hal yang dianggap tabu. Masyarakat didorong untuk fokus pada apa yang sepatutnya mereka lakukan bagi para korban daripada mendiskusikan hal yang bersifat permukaan. Namun bukan berarti pula tidak ada upaya untuk memberikan makna pada penderitaan. Kebanyakan para pembicara pada acara peringatan bencana tersebut, menyampaikan bagaimana membangun kembali kota dan jangan sampai terjadi tragedi yang sama. Mereka berjanji melakukan perbaikan dan pencegahan sebagai semangat dalam mengenang para korban, jika pengorbanan mereka tidak akan sia-sia. Hal ini merupakan ungkapan yang bersifat tidak langsung (hal yang “tidak secara langsung” sebagai pernyataan bahwa penderitaan itu sendiri adalah “hadiah”) sehingga pertanyaan terkait dengan penderitaan dapat terjawab.

Bagi saya, menjadi sangat menarik menemukan perbedaan dan persamaan ini. Saya melihat pertanyaan dan pernyataan yang sama antara keduanya dalam mendefenisikan bencana yaitu bagaimana selayaknya kita bersikap. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan bahwa meningkatnya rasa penderitaan setelah bencana yaitu berupa pertanyaan “mengapa hal ini terjadi dan menimpa saya?”. Meskipun hal ini dapat dimaknai dalam theodicy Islam secara langsung pada satu sisi, namun hingga menjadi sesuatu yang tidak langsung pada sisi yang lain. Kedua sisi ini merupakan pendekatan yang disadari sebagai upaya untuk menyikapi pernyataan “mengapa?”; terlihat berbeda, terutama pada konteks sejarah-budaya yang melekat pada masing-masing masyarakat. Saya akan melanjutkan riset ini untuk dapat mengkonfirmasi hipotesa ini, apakah didukung dengan data-data yang empiris, dan tentu saja berharap dapat memberikan kontribusi untuk mendorong saling kepemahaman antara Aceh dan Tohoku pada aspek-aspek yang berbeda dan dalam memaknai keduanya memaknai situasi yang sulit setelah bencana. (***)

Yu Fukuda, Ph.D.Research Fellow, Japan Society for the Promotion of Science

e-mail: [email protected]

Peringatan ke-5 Tsunami Tohoku 2011 di Minamisanriku-chou. Jepang.