Sle
-
Upload
fitri-zahara -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
description
Transcript of Sle
DAFTAR ISI
Daftar Isi...................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................ 2
1.4 Metode Penulisan............................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi SLE...................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi SLE.............................................................................. 3
2.3 Etiologi SLE....................................................................................... 3
2.4 Faktor Risiko SLE.............................................................................. 4
2.5 Patofisiologi SLE................................................................................ 5
2.6 Manifestasi Klinik SLE...................................................................... 9
2.7 Diagnosis SLE.................................................................................... 18
2.8 Diagnosis Banding SLE...................................................................... 21
2.9 Penatalaksanaan SLE.......................................................................... 23
2.10 Komplikasi SLE................................................................................. 27
2.11 Prognosis SLE.................................................................................... 27
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................ 29
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat
beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari
total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di
RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan
mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem
imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10
tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%,
ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik
19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai
adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi
subkutaneus akut 6,7%.
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Angka
kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
umum.15,22 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas
penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa,
sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular
aterosklerosis. Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SLE sangat
1
beragam dan risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini
serta penatalaksanaan yang tepat.
1.2 Rumusan Masalah
Tulisan ini membahas tentang definisi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari
SLE.
1.3 Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan memahami tentang
SLE.
1.4 Metode Penulisan
Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai
literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik atau yang dikenal dengan SLE (Sistemic
Lupus Erythematosus) merupakan penyakit rematik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh.
2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Sebuah penelitian
epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9
(per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika;
2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-
Amerika. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.
Peyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-
40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria
berkisar antara 5,5-9 : 1.
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat
dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada
periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan,
sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan.
2.3 Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara factor - faktor genetik,
hormonal dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Sampai saat ini
penyebab SLE belum diketahui, diduga factor genetik, infeksi dan lingkungan ikut
berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan
3
untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan
reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody
ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan
penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan
normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam
melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan
tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang
sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh,
sehingga terjadi penyakit menahun.
2.4 Faktor Risiko
Faktor Risiko terjadinya SLE :
1) Faktor Genetik
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
daripada pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering
dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2) Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen
mengurangi resiko ini.
3) Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi
kurang efektif, Sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui
peredaran pebuluh darah.
4) Imunitas
Pada pasien SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ), terdapat
hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
5) Obat
4
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan
diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat
(Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang mungkin berhubungan dengan SLE adalah
kloropromazin, hidralasin, prokainamid, isoniazid, fenitoin, dan
penisilamin.
6) Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang - kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi.
7) Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
2.4 Patofisiologi
Seperti yang sudah disebutkan bahwa penyebab pasti SLE belum
diketahui. Terdapat hubungan yang kuat antara SLE dengan faktor genetik,
dimana resiko SLE meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor
predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh.
Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang
mengacaukan regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan SLE,
bisa dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous Sistemik :
Definite Ultraviolet B light
Probable Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1
rasio penderita menarche : menopause = 3:1
Possible Faktor diet : Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung
L-canavanine; Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated
fats
Faktor Infeksi : DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin,
5
lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu : Hidralazin; Prokainamid;
Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; DPenicillamine;
Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a ; Interferon-a
Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta
factor lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal.
Respon tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif
pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel
tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti
itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah
produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks. Subset patogen
autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang
ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.
Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan
berbagai keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan
beberapa antigen tubuh tidak dikenal (self antigen) contoh : nucleosomes, U1RP,
Ro/SS-A. Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag
dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada
reseptornya sehingga menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh.
6
Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang terbentuk oleh antigen
external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel, trombosit). Di sisi
lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks
yang merusak berbagai organ bila mengendap.
Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan
protein RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa
autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat
berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada
sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan
eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini
menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan
dengan komplemen yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada
receptor C3b pada eritrosit.
Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun
kompleks yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen , PMN dan berbagai
mediator inflamasi.2
Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah
ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat
meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.
7
Gambar 2.1 Patofisiologi SLE
Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :
Sel T :
-Lymphopenia
-Penurunan sel T supressor
-Peningkatan sel T helper
-Penurunan memori dan CD4
-Penurunan aktivasi sel T supressor
-Peningkatan aktivasi sel T helper
Sel B :
-Aktivasi sel B
-Peningkatan respon terhadap cytokine
Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas. Ada empat faktor
yang terkait dengan pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan,
kelainan sistem imun dan hormon.
8
2.4.1. Faktor Genetik
Faktor Genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang
mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons
imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2
dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase
awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti.
Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel
fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan
menimbulkan respon imun.
2.4.2. Faktor Hormonal
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan
sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES7. Autoantibodi pada lupus
kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain itu,
terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan
fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,
termasuk kulit dan ginjal.
2.4.3. Faktor Lingkungan
9
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-
immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi
terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu
amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi
pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan
apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius
terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,
sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
2.5 Manifestasi Klinis
Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga
kemunculan dan perjalanan penyakitnya bervariasi. SLE adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam
tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hepar, sendi,
eritrosit, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda.
Jika ditemukan trias berupa demam, nyeri sendi dan rash pada wanita
usia subur, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga
gejala ini merupakan manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada penderita
SLE.
10
Gambar 2.2. Manifestasi Klinis SLE
Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ.
Dalam selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa
autoantibodi spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat
keparahan SLE beragam mulai dari ringan dan intermediet sampai parah dan
fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif
tenang. Remisi permanen sempurna yaitu hilangnya gejala tanpa pengobatan
jarang terjadi.
Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan menjadi
manifestasi umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ targetnya.
Manifestasi SLE adalah sebagai berikut:
11
2.5.1 Manifestasi Umum
Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE. Demam pada
SLE dapat mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam pada penyakit ini
biasanya tidak disertai dengan menggigil. Penurunan berat badan juga dapat
terjadi akibat demam dan menurunnya nafsu makan. Gejala konstitusional lain
yang sering dijumpai pada penyakit SLE, yang timbul sebelum ataupun seiring
dengan aktivitas penyakitnya antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan
hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit
kepala.
2.5.2 Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering
dijumpai, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa mialgia, atralgia, atau artritis.
Kebanyakan pasien SLE memiliki poliarthritis intermitten, simetris, ditandai
dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada
tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi
hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran X-Ray sendi jarang ditemukan.
Beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri
bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis
iskemik tulang perlu dipertimbangkan, terutama jika tidak ada manifestasi SLE
aktif lainnya.
2.5.3 Manifestasi Kulit
Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus
erythematosus (DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus
(SCLE), atau lainnya. Lesi diskoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan
sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat
depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian dermal secara permanen rusak.
Lesi dapat memperburuk estetik, terutama pada wajah dan kulit kepala.
Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan
antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE, walaupun
setengahnya memiliki ANA yang positif. Namun, di antara individu dengan SLE,
12
sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat
fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah terutama pada pipi dan
sekitar hidung, juga dikenali sebagai “buterfly rash”, telinga, dagu, leher,
punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang
disertai dengan serangan penyakit sistemik.
SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi
sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif;
kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya termasuk
urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis atau lupus
profundus. Bercak dapat ringan atau berat, dan dapat menjadi manifestasi utama
penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE,
lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.
Gambar 2.3 Malar rash Gambar 2.4 Discoid rash
2.5.4 Manifestasi Renal
Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena
nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama
penyakit ini. Lupus nephritis diperkirakan terjadi pada sekitar 50% pasien SLE.
Pada kebanyakan pasien ini, lupus nephritis terjadi pada awal perjalanan penyakit
SLE. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE, urinalisis
sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari
lupus nephritis berdasarkan gambaran histologis.
13
Tabel 2.2 Klasifikasi nefritis lupus menurut International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003.
Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis
Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan
immunofluoresensi.
Class II: Mesangial Proliferative Lupus Nephritis
Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matriks mesangial
dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan
subendotel samar dapat terlihat dengan immunofluoresensi atau mikroskop elektron namun
tidak tampak dengan mikroskop biasa.
Class III: Focal Lupus Nephritis
Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau
ekstrakapiler terjadi pada <50%.
Class III (A) : Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis.
Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis.
Class III (C) : Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular-focal
sclerosing lupus nephritis.
Class IV: Diffuse Lupus Nephritis
Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau
ekstrakapiler yang melibatkan >50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan deposit imun
yang difus, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis
segmental difus (IV-S) jika >50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental
dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika >50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi
yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari
setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang
difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus.
Class IV-S (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative
Class IV-G (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative
Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental
proliferative dan lupus nephritis sclerosing
Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative
dan lupus nephritis sclerosing.
14
Class IV-S (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse
segmental sclerosing
Class IV-G (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse
global sclerosing
Class V: Membranous Lupus Nephritis
Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari
pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop elektron,
disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan
kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus
nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.
Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis
>90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual.
Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau di masa akan
datang. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya
biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam).
Sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi
hipertensi. Jika glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani,
kebanyakan pasien akan mengalami End Stage Renal Disease (ESRD) dalam 2
tahun diagnosis. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN
meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu
tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif.
Beberapa pasien SLE dengan proteinuria memiliki perubahan glomerulus
membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsi ginjal. Prognosisnya lebih
baik dari pada mereka dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan
keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang membutuhkan
penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk kebanyakan orang dengan lupus
nephritis, terjadi percepatan pada proses aterosklerosis sehingga untuk
mengendalikan tekanan darah, hiperlipidemia, dan hiperglikemia pada pasien ini.
2.5.5 Manifestasi Pulmoner
15
Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis
dengan atau tanpa efusi pleural. Pasien SLE dengan presentasi takipneu, batuk,
hemoptisis dan deman harus dicurigai adanya manifestasi di paru. Jika ringan
gejala ini dapat berespons dengan pemberian terapi nonsteroidal antiinflammatory
drugs (NSAIDs). Jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi glukokortikoid.
Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit
dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Semua kemungkinan ini
membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini, begitu pula
dengan perawatan suportif.
2.5.6 Manifestasi Kardiologis dan Vaskuler
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi.
Biasanya perikarditis ini berespon dengan terapi antiinflamasi dan jarang
mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah
miokarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endokardial
dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakannya pada katup mitral atau
aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau
imunosupressif dapat menyebabkan perbaikan lupus miokarditis atau
endokarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan
dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian
embolik. Pasien dengan SLE mengalami peningkatan risiko infark miokard,
biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan
diakibatkan oleh peradangan kronis atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada
organ.
Prevalensi dari transient ischemic attack, stroke, dan infark miokard
meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak
ekslusif, pada pasien SLE dengan antibodi terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya
antibodi antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian
thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan
aterosklerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal, baik
noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis, atau dengan embolisasi dari plak
arteri karotid atau dari vegetasi fibrinous dari Libman-Sack endokarditis.
16
Pemeriksaan yang tepat untuk aPL dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan
pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan, intensitas, durasi dari
terapi antiinflamasi dan antikoagulasi. Pada SLE, infark miokard merupakan
manifestasi utama pada aterosklerosis.
2.5.7 Manifestasi Hematologik
Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia,
biasanya normokromik normositik, menandakan adanya penyakit kronis.
Hemolisis dapat cepat dalam onset dan beratnya, sehingga membutuhkan terapi
glukokortikoid dosis tinggi, dan ini efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia
juga sering dan hampir selalu mengandung limfopenia, bukan granulositopenia.
Keadaan ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak
membutuhkan terapi. Trombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika
hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi, terapi
glukokortikoid dosis tinggi biasanya efektif.
2.5.8 Manifestasi Gastrointestinal
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari
suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh
peritonitis autoimun. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan
alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini
biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid
sistemik. Perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering
terjadi. Terapi immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan
untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari
terapi tambahan.
2.5.9 Manifestasi Sistem Saraf
Terdapat banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer
pada SLE. Pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif,
termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga
17
umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE,
jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang.
Kejang juga dapat disebabkan oleh lupus dan penanganannya seringkali
membutuhkan obat anti kejang dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi
manifestasi dominan pada SLE. Hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat
glukokortikoid. Psikosis biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian
glukokortikoid. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid
diturunkan atau dihentikan. Myelopati tidak jarang terjadi dan seringkali
menimbulkan kecacatan. Terapi immunosupresif harus segera dimulai dengan
glukokortikoid merupakan standar terapi.
2.5.10 Manifestasi Okuler
Sindrom Sicca atau Sindrom Sjögren dan konjungtivitis nonspesifik umum
terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan
vaskulitis retinal dan neuritis optik yang merupakan manifestasi berat. Kebutaan
dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Manifestasi okuler pada SLE
disebabkan oleh berbagai mekanisme. Antaranya adalah deposit kompleks imun,
vaskulitis dan trombosis. Antibodi anti fosfolipid dapat menyebabkan penyakit
vasooklusif pada retina. Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara
lain adalah pada:
a. Palpebra : Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi
kulit yang tak jarang mengenai pipi dan hidung.
b. Konjungtiva : Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis
nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan
penglihatan. Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang
mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa.
Reaksi ini dapat lokal atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat
menyebabkan pengerutan konjungtiva.
c. Sklera : Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler
yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan
bertambah berat. Dengan berkembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi
18
skleritis nekrotik yang melanjut dari tempat lesi semula ke segala jurusan
sampai dihentikan dengan pengobatan.
d. Uvea : Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia.
e. Retina : Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita.
Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses
peradangan. Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak
kedua setelah keratokonjungtivitis sicca. Penderita retinopati SLE memiliki
penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang
signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan yang aggresif
pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting.
2.7 Diagnosis
Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya
autoantibodi. Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun
dalam riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE dengan
spesifitas 95% dan sensitivitas 75% menurut Hahn et al, 2005.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
SLE adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, LED, urinalisis, ANA, antibodi anti
doublestranded-DNA, antibodi antifosfolipid, titer komplemen C3, C4, ureum dan
kreatinin darah, protein urin, serta pencitraan berupa foto rontgen toraks dan USG
ginjal. Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan ini harus ada.
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan kriteria American College of
Rheumatology (ACR) 1982 yang telah direvisi pada tahun 1997, yaitu jika paling
sedikit ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada.
Tabel 2.3 Kriteria diagnostik untuk SLE menurut American College of Rheumatology.
Gejala Penjelasan
Malar Rash
(Butterfly rash)
Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung
19
(wilayah malar)
Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai
dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut
atropi dapat terjadi.
Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat
menimbulkan bercak-bercak
Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat
ditemukan
Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi
perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi
Serositis Pleurits atau perikarditis yang ditemukan
melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura
Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atau ditemukan
corak seluler, tubuler atau campuran dalam
sedimen urin.
Gangguan neurologic Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas
Gangguan hematologic Anemia hemolisis dengan retikulositosis atau
leukopenia < 4000/mm3 atau limfopenia
<1500/mm3 atau thrombositopenia <100
000/mm3 tanpa pemberian obat-obatan yang
menyebabkan thrombositopenia.
Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-
phospholipid
Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa
jika diketahui tidak ada pemberian obat yang
dapat memicu ANA sebelumnya.
Pada beberapa pasien, gejala semakin berat dalam selang waktu tertentu.
Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien SLE selama
perjalanan penyakit. Pemeriksaan ANA berulang yang negatif menandakan
diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibodi lainnya ditemukan. Antibodi
20
IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibodi pada antigen Sm spesifik
untuk SLE mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis.
Keberadaan beberapa autoantibodi pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya
tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko,
karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya
autoantibodi.
Pemeriksaan penunjang antibodi anti nuclear (ANA) merupakan uji
penyaring yang terbaik untuk menegakkan diagnosis SLE. ANA hampir selalu
positif pada lebih dari 95% pasien SLE dan pemeriksaan ANA harus selalu
dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai SLE. ANA tidak selalu spesifik
untuk SLE karena ANA dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti
skeloderma, artritis rematoid, atau drugs induced lupus erythematosus seperti
isoniazid. Antibodi yang lebih spesifik untuk SLE adalah antibodi anti ds-DNA
dan anti SM, walaupun sensitivitasnya pada SLE masing-masing adalah 75% (anti
ds-DNA) dan 25% (anti SM). Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan
positif 1/40, titer yang tinggi anti dsDNA (positif 949 iu/ml), C3a dan C4a yang
menurun, serta LED meningkat menandakan proses penyakit pada pasien ini
sedang aktif dan berat. Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat
proses penyakit yang sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi.
Hasil ANA positif palsu dapat dijumpai pada penyakit infeksi kronis, seperti
endokarditis bakterialis subakut, tuberkulosis, hepatitis dan malaria.
21
Gambar 2.5 Algoritme Diagnosis SLE.
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk SLE adalah sebagai berikut:
a. Rheumatoid arthritis
b. Scleroderma
c. Sjogren syndrome
d. Polymiositis
e. Acute pericarditis
f. Antiphospholipid syndrome
g. Infectious mononucleosis
22
2.9 Penatalaksanaan
a. Farmakologis
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat
keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada
setiap pasien.
a. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID)
NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan
antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan
arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti
kegunaannya. Dapat diberikan aspirin 500 mg per oral, 3 kali sehari. Keterbatasan
obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan
ulserasi. NSAID golongan baru, COX2 inhibitor dengan efek samping yang lebih
sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai
efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi
hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan dan meningitis aseptik.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis
SLE. Sediaan topical atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan
intraartikuler digunakan untuk arthritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral
untuk kelainan sistemik. Pemberian peroral dosisnya bervariasi antara 5 mg-30
mg prednisone atau metil prednisolon per hari, secara tunggal maupun dosis
terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis
dan serositis. Sering kali, kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria
atau imunomodulator dengan tujuan mendapatkan induksi yang cepat kemudian
dapat segera diturunkan dosisnya. Keterlibatan organ penting seperti nefritis,
cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan
prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari. Kortikosteriod parenteral juga dapat
digunakan dengan dosis sesuai ekuivalennya. Pada keadaan sangat berat yang
23
mengancam jiwa, bolus metilprednisolone 1000 mg dapat digunakan selama 3
hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang lama
antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi,
fragilitas kapiler, akne, hirtutism, percepatan osteoporosis, osteonekrosis, katarak,
glaucoma, diabetes mellitus, miopati, hipokalemia, menstruasi tidak teratur,
iritabilitas, insomnia dan psikosis. Oleh itu, setelah aktivitas penyakit terkontrol,
dosis kortikosteroid harus segera diturunkan. Prednisone dengan dosis 15 mg/hari
diberikan pada pagi hari tidak menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat
meminimalisasi beberapa efek samping. Untuk meminimalkan efek samping
osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D
50,000 unit 1-3 kali seminggu. Dalam mencegah osteoporosis dapat juga
diberikan calcitonin dan bisfosfonat.
c. Terapi Imunomodulator
1) Cyclophosphamide
Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ yang
berat, terutama lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid dan
cyclosphosphamide bolus intravena 0,5-1,0 g/mm2 lebih efektif disbanding hanya
kortikosteriod saja dalam pencegahan sequel ginjal, mempertahankan fungsi ginjal
dan menginduksi remisi ginjal. Menurut WHO dengan evidence base tingkat 4,
respon paling baik adalah pada lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi
nonrenal yang efektif dengan cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan
system saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan sampai
2,5-3,0 mg/kg dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >3500/mm3.
Monitoring jumlah leukosit dievaluasi setiap 2 minggu.
Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi. Rambut
rontok kadang kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat dihentikan.
Leukopenia yang bersifat dose dependent biasanya timbul 8-12 hari setelah
pengobatan. Perlu dilakukan penyesuaian dosis dengan jumlah leukosit. Juga
terdapat resiko terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus terutama herpes zoster.
24
Efek samping pada gonad dapat menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan
azoospermia.
Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide yang dapat
menyebabkan iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan terjadinya sistitis
hemoragik, fibrosis dan karsinoma sel skuamosa transitional pada penggunaan
jangka panjang. Pada pemberian cyclophosphamide bolus intravena diberikan
hidrasi yang adekuat dan Mesna sebagai pengikat acrolein dengan dosis 20% dari
total dosis cyclophosphamide. Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika
urinaria juga perlu dilakukan.
2) Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat
dan mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle, obat ini
digunakan sebagai alternative cyclophosphamide untuk pengobatan lupus nefritis
atau sebagai steroid sparing agent untuk manofestasi nonrenal. Azathioprine
diindikasikan untuk miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian dimulai
dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval waktu 8-12
minggu menjadi 2,5-3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3
dan neutrofil > 1000/mm3.
Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan efek
samping gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan eksresinya di
ginjal, fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodic. Penyesuaian dosis
diperlukan pada gangguan fungsi hati dan ginjal. Azathioprine juga sering
dihubungkan dengan hipersensifitas dengan manifestasi demam, rash di kulit dan
peningkatan serum tranaminase. Keluhan biasanya bersifat reversible dan
menghilang setelah obat dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya keganasan,
seperti limfoma non Hodgkin pernah dilaporkan pada penderita SLE yang
mendapat azathioprine
3) Leflunomide
Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan
pada pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat pada pasien SLE
yang mulai ketergantungan steroid. Pemberiannya dimulai dengan loading dose
100 mg/hari untuk 3 hari, kemudian diikuti dengan dosis 20 mg/hari.
25
4) Methotrexate
Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat
dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis
purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 15-20 mg secara oral satu kali seminggu.
Methotrexate terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek
samping methotrexate antara lain adalah peningkatan serum transaminase,
keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer.
5) Cyclosporine
Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk
sindroma nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya
dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinuria,
sitopenia, parameter imunologi seperti C3, C4 dan anti-ds DNA serta aktivitas
penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hyperplasia
gingival, hipertrichosis dan peningkatan serum kreatinin.
d. Terapi Hormon
Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk
mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE.
Dehydroepiandrosterone (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan
dan sedang. Danazole, sejenis sintetik kortikosteroid dengan dosis 400-1200
mg/hari bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia autoimmune terutama
trombositopenia dan anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti (Estrogen
Replacement Therapy) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause.
e. Terapi Lain
Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator dengan
mekanisme kerja yang luas, meliputi blockade reseptor Fc, regulasi komplemen
dan sel T. Tidak seperti immunosuppressant, IVIgG tidak mempunyai efek
meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Dengan dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5
hari berturut-turut terjadi perbaikan trombositopenia, arthritis, nefritis, demam,
manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah
26
demam, mialgia, sakit kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika.
Kontraindikasinya adalah penderita SLE yang disertai defisiensi IgA.
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya
sendiri atau komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE
sendiri yang paling sering terjadi adalah infeksi sekunder karena system immune
penderita yang immunocompromised. Selain itu, sering juga terjadi komplikasi
penyakit aterosklerosis akibat peningkatan antiphospholidip antibody.
Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat
terapi imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis
dan infark miokard prematur.
2.11 Prognosis
Prognosis dari perjalanan penyakit SLE bervariasi. Sebelum steroid
ditemukan, 52% penderita meninggal dalam 2 tahun dan sisanya bertahan sampai
11 tahun. Pada tahun 1977, 91% penderita dilaporkan hidup hingga 5 tahun.
Sekarang, 75% penderita mampu hidup hingga 15 tahun dan lebih dari 90%
dilaporkan hidup hingga 10 tahun. Prognosis penderita tergantung dari organ-
organ yang terkena. Keterlibatan organ ginjal dan sistem saraf pusat memberikan
prognosis yang buruk. 84% penderita tanpa kelainan pada ginjal mampu
bertahan hidup hingga 15 tahun dibandingkan dengan penderita yang
mengalami kelainan (57%). Penderita yang mengalami remisi spontan sebanyak
35% dapat hidup hingga 20 tahun. Prognosis yang lebih baik pada penderita
tidak hanya karena pemberian kortikosteroid, tetapi juga karena adanya
penegakan diagnosis yang dini.
Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan
ginjal yang parah, bronchopneumonia, atau peritonitis spontan yang
merupakan komplikasi dari lupus nephritis yang dapat diterapi dengan
kortiosteroid. Selain itu, dapat juga terjadi karena vaskulitis pada sistem saraf
pusat yang muncul dengan kejang, psikosis dan paralisis pada penderita.
Penderita yang meninggal awal, biasanya terjadi pada fase aktif dari lupus
27
erythematosus disertai kelainan pada organ ginjal, menerima dosis tinggi dari
steroid, serta mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit infeksi. Sedang
pada penderita yang meninggal belakangan mempunyai angka insiden yang
tinggi karena atherosclerotic heart disease dan infarct myocardial. Walaupun
penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan, namun prognosisnya lebih
buruk pada penderita laki-laki.
28
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat
beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.
Manifestasi klinis yang muncul pada penderita SLE bervariasi, tergantung
organ yang diserang oleh antibodi. Jika ditemukan trias berupa demam, nyeri
sendi dan rash pada wanita usia subur, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya
SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan manifestasi klinis yang paling sering
terjadi pada penderita SLE. Selain itu, manifestasi yang dapat muncul yaitu
manifestasi di muskuloskeletal, kulit, renal, pulmoner, kardio, vaskular, sistem
saraf, hematologi, gastrointestinal dan okuler.
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan kriteria American College of
Rheumatology (ACR) 1982 yang telah direvisi pada tahun 1997, yaitu jika paling
sedikit ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada, yaitu butterfly rash, discoid rash,
fotosensitivitas, ulkus oral, arthritis, serositis, gangguan ginjal, gangguan
neurologic, gangguan hematologic, gangguan imunologi, dan antibodi
antinuklear.
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat
keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada
setiap pasien.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. 2011
2. Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana N. Lupus Eritematosus
Sistemik. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Pusblishing; 2009.
P.2565-2577.
3. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus
page. J Clin Pathol; 481-490.
4. Weening JJ et al, “The Classification of Glomerulonephritis in Systemic
Lupus Erythematosus Revisited” Journal of the American Society of
Nephrology 2004, Vol.15, pp. 241–250
5. Gill J et al, “Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus” American
Family Physian 2003, Vol.68:11, pp.2179-2186
6. Manifestasi Klinis SLE. Dikutip dari: http://www.Lupus-
Support.Org.Uk/Nurse/CONT.Htm pada tanggal 19 Maret 2015.
7. Zorab, A. R, Straus H, Dondrea L. C, Arturo C, Mordic R, Tanaka S, et
all. (2005-2006). Lens and Cataract. Chapter 5 Pathology page 45-69.
Section 11. American Academy of Oftalmology : San Francisco.
8. Khalillulah SA. 2010. Patologi dan Penatalaksanaan pada Katarak senilis.
9. Khurana AK, editor. Comprehensive Ophthalmology. In: Diseases of the
lens. 4th Edition. New Delhi: New Age International; 2007