SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERIKANAN … · 2017-02-27 · Jenis Dan Sifat...
Transcript of SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERIKANAN … · 2017-02-27 · Jenis Dan Sifat...
SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERIKANAN
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERIZINAN (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Makassar No. 907/Pid.B/2015/PN.MKS)
DISUSUN OLEH :
MUH.FAIZAL AL-FITRAH
B 111 12 134
BAGIAN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
i
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERIKANAN
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERIZINAN
(Studi Kasus Putusan NO.907/Pid.B/2015/PN Mks)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana
Pada Bagian Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh
MUH FAIZAL AL FITRAH
B 111 12 134
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
ii
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi Mahasiswa :
Nama : MUH FAIZAL AL FITRAH
Nomor Pokok : B111 12 134
Bagian : HUKUM PIDANA
Judul : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK
PIDANA PERIKANAN DALAM HUBUNGANNYA
DENGAN PERIZINAN (Studi Kasus Putusan
Nomor 907/Pid.B/2015/PN.MKS)
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.
Makassar, April 2016
Pembimbing I
Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H
NIP. 1953 1124 1979 121 001
Pembimbing II
Dr. Abd. Asis, S.H., M.H. NIP. 1962 0618 1989 031 002
iv
v
ABSTRAK
MUH FAIZAL AL FITRAH (B111 12 134), TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERIZINAN (Studi Kasus Putusan Nomor 907/Pid.B/2015/PN Mks), dibimbing oleh Bapak SYUKRI AKUB sebagai Pembimbing I dan Bapak ABD ASIS sebagai Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pidana materiil terhadap tindak pidana perikanan dalam hubungannya dengan perizinan dalam putusan No. 907/Pid.B/2015/PN Mks dan untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara pidana No. 907/Pid.B/2015/PN Mks.
Penelitian ini dilaksanakan dalam Wilayah Kota Makassar Sulawesi Selatan yaitu pada Pengadilan Negeri Makassar. Penulis memperoleh data dengan menganalisis kasus putusan dan mengambil data dari kepustakaan relevan yaitu literatur, buku-buku serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah tersebut, serta mengambil data secara langsung dari sebuah putusan pengadilan yang berupa wawancara kepada hakim yang terkait dalam menangani kasus tindak pidana perikanan dalam hubungannya dengan perizinan.
Dari penelitian yang dilakukan penulis diperoleh kesimpulan bahwa (1) Berdasarkan putusan perkara No. 907/Pid.B/2015/PN Mks menyatakan bahwa terdakwa Saddang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perikanan sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 92 Undang-undang No.45 Tahun 2009 tentang perikanan , Pasal 93 ayat (1) Undang-undang No.45 Tahun 2009 tentang perikanan dan Pasal 98 Undang-undang No.45 Tahun 2009 tentang perikanan dan telah sesuai berdasarkan fakta-fakta hukum baik keterangan saksi maupun keterangan terdakwa. (2) Putusan hakim pada perkara pidana No.907/Pid.B/2015/PN MKS telah sesuai karena terdakwa telah mempunyai Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Persetujuan Berlayar (SPB) tetapi sudah habis masa berlakunya dan hal yang meringankan bahwa terdakwa belum pernah dihukum.
vi
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr. Wb
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini
dapat terselesaikan. Sekalipun, penulis menyadari bahwa di dalamnya
masih banyak kekurangan, karena keterbatasan penulis. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan berbagai masukan atau saran dari para
penguji untuk penyempurnaannya. Serta salam dan Shalawat kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan
sahabatnya yang suci.
Dalam masa studi sampai dengan hari ini dimana Penulis sudah
sampai pada tahapan akhir penyelesaian studi, begitu banyak halangan
dan rintangan yang telah Penulis lalui. Banyak cerita yang penulis alami,
salah satunya terkadang jenuh dengan rutinitas kampus, namun berkat
sebuah cita-cita dan dengan harapan yang orang tua dan keluarga titipkan
kepada penulis, akhirnya penulis dapat melalui semua itu dan tiba di hari
ini dengan impian bahwa akan mendapatkan gelar Sarjana Hukum di
belakang nama penulis.
Dibalik perjuangan penulis berkuliah, sampai dengan akan
mendapatkan gelar di belakang nama penulis, tidak pernah luput dari doa
yang dipanjatkan kedua orangtua penulis. Walau tidak sempat ayahanda
melihat penulis meraih gelar sarjana dikarenakan beberapa tahun yang
vii
lalu telah berpulang ke Rahmatullah, izinkan penulis haturkan ucapan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada ayahanda tercinta Alm. H.
Kusnedy Kuling yang sangat penulis rindukan kehadirannya saat ini,
penulis berharap ayahanda bisa tersenyum atas yang penulis dapatkan
hari ini dan penulis senantiasa berdoa agar ayahanda mendapatkan
tempat terbaik di sisi-Nya, Aamiin. Terimakasih pula untuk Ibunda tercinta
Hj. Muliati Lahang yang tidak pernah mengeluarkan kata lelah
membanting tulang sebagai seorang ibu tanpa ayah disisi, serta selalu
mendukung penulis agar dapat melanjutkan studi. Apapun yang penulis
dapatkan hari ini belum mampu membalas jasa-jasa mereka. Penulis
sadar bahwa hari ini adalah awal pembuktian penulis akan membalas
jasa-jasa orangtua dan mempersembahkan yang tebaik untuk beliau.
Sekali lagi terimakasih banyak atas cinta dan kasih sayang yang
diberikan.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak
kesulitan, akan tetapi kesulitan-kesulitan tersebut dapat dilalui berkat
banyaknya pihak yang membantu, oleh karena itu penulis ucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA Rektor Universitas
Hasanuddin Makassar, beserta staf dan jajarannya. .
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
viii
3. Bapak Prof. Dr. Syukri Akub, S.H., M.H. Pembimbing I dan Dr.
yang telah mengarahkan penulis dengan baik sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan.
4. Bapak Dr. Abd. Asis, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang
memberikan saran, bimbingan serta motivasi untuk menulis
sebaik mungkin, sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih baik.
5. Bapak Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H., Bapak H.M Imran Arief
S.H., M.S dan Bapak Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H., selaku Penguji
yang telah memberikan saran serta masukan-masukan selama
penyusunan skripsi penulis.
6. Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H. selaku Penasehat Akademik
penulis yang selalu membantu dalam program rencana studi.
7. Seluruh dosen, seluruh staf Bagian Hukum Pidana serta
segenap Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang telah memberikan ilmu, nasihat, melayani
urusan administrasi dan bantuan lainnya.
8. Seluruh staf Pengadilan Negeri Makassar yang membantu
penulis dalam masa penelitian.
9. Kepada teman-teman ayang’s, yakni Rama, Dian, Defika,
Yuzair, Yun, Mail, Dery, Ulay, Panji, Ayu, Tenri, Bela, Asti,
Haidir, Kiki, Rezky, Ade dan Trisna yang telah sangat berperan
dalam kehidupan penulis, terima kasih untuk selalu ada
memberikan semangat.
10. Kepada teman-teman Team Halte, terima kasih atas waktu yang
telah dilewati bersama, baik suka maupun duka, semoga sukses
ix
untuk kita semua. Tetap solid dan semangat meraih gelar
Sarjana Hukum.
11. Teman-teman Group, yakni Annisa Paramaswary, Fadhillah
Putri, Arda Ardiansyah dan Ardi, terimakasih, semoga
kebersamaan kita tidak akan pernah terputus.
12. Teman-teman Petitum 2012 yang telah berjuang bersama
melalui awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
13. Teman-teman KKN Gel. 90 Kab.Bantaeng Kec. Eremerasa
Desa Pa’bumbungan, yakni Ardi, Dewi Rahmatia, Asmawati dan
Harianti terimakasih kebersamaan yang diberikan, semoga
sukses untuk kita semua.
14. Sahabat-sahabatku Nanda, Nisa, Sheila, Rayhanah, Sadly,
Feny yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada
penulis dalam penulisan skripsi.
Penulis sadari bahwa dalam skripsi ini masih begitu banyak
kekurangan, olehnya itu dengan senang hati penulis harapkan kritik dan
saran yang membangun dari para penguji dan para pembaca yang
sempat membaca skripsi ini.
Wassalamualaikum Wr Wb.
Muh Faizal Al Fitrah
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ....................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana ................................................................................. 6
1. Pengertian Tindak Pidana ......................................................... 6
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ...................................................... 7
B. Tindak Pidana Di Bidang
Perikanan................................ ........................................................ 10
1. Pengertian Tindak Pidana Di Bidang Perikanan ........................ 10
2. Penggolongan Tindak Pidana Perikanan ................................... 11
xi
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Di Bidang Perikanan ..................... 27
4. Jenis Dan Sifat Hukuman Pidana Perikanan ............................. 32
a. Jenis Hukuman Pidana Perikanan........................................ 32
b. Sifat Hukuman Pidana Perikanan ......................................... 33
C. Perizinan Usaha Perikanan ............................................................. 34
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 44
A. Lokasi Penelitian ............................................................................. 44
B. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 44
C. Jenis Dan Sumber Data. ................................................................. 45
D. Teknik Analisis Data ....................................................................... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 46
A. Penerapan Hukum Pidana Materiil Terhadap Tindak
Pidana Perikanan Dalam Hubungannya Dengan
Perizinan Pada Perkara No.907/Pid.B/2015/PN Mks ...................... 46
1. Posisi Kasus .............................................................................. 46
2. Dakwaan Penuntut Umum ......................................................... 47
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ............................................... 52
4. Amar Putusan ............................................................................ 54
5. Analisis Penulis .......................................................................... 55
xii
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan
Sanksi Pidana Pada Perkara No.907/Pid.B/2015/PN
Mks.................................................................................................. 61
1. Pertimbangan Hakim ................................................................ 62
2. Putusan Hakim ......................................................................... 64
3. Analisis Penulis .......................................................................... 65
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 67
A. Kesimpulan ..................................................................................... 67
B. Saran .............................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
yang diapit antara dua benua yaitu benua Asia-Australia dan diapit antara
dua samudra Indonesia-Pasifik. Indonesia terdiri dari 17.508 pulau, garis
pantai sepanjang 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2
perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara.1
Potensi sumber daya ikan di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh
semua warga negara. Akan tetapi, pemanfaatan dan pengelolaannya
senantiasa harus rasional demi menjaga kelestarian, dan untuk itu, diatur
melalui perizinan usaha perikanan. Dengan perizinan dimaksudkan untuk
pengendalian sekaligus pembinaan usaha perikanan yang pada gilirannya
akan menciptakan iklim usaha kondusif dan berkelanjutan.2
Setiap tindakan yang melanggar ketentuan pidana, baik yang
dilakukan oleh pemegang izin, masyarakat, maupun aparatur pemerintah,
apabila memenuhi klasifikasi ketentuan pidana, tentu harus ditindak.
Pencegahan terjadinya pelanggaran dan kejahatan di bidang perizinan
kiranya tetap dilakukan secara sistemis dan terpadu dengan harapan
sistem tersebut dibuat untuk menghindarkan terjadinya kejahatan atau
pelanggaran.
1 http://pidana-bams.blogspot.co.id diakses pada tanggal 29 oktober 2015 pada pukul 21.35
2 H.Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal.295
2
Pada tahap inilah peran hukum, khususnya hukum pidana sangat
dibutuhkan untuk menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap
tindakan-tindakan yang dapat mengganggu stabilitas pengelolaan serta,
kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Fungsionalisasi hukum sebagai sarana pengelolaan sumber daya
perikanan, disamping sarana-sarana lainnya, juga memiliki kelebihan yang
tidak dimiliki sarana lainnya, yakni sifat mengikat dan/atau memaksa dari
hukum itu. Perumusan kaidah-kaidah kebijakan pengelolaan sumber daya
perikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta merta
menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektifitas hukum tersebut
akan sangat tergantung pada aspek operasionalnya. Disinilah peran
sanksi yang seringkali dinilai penting dan sangat menentukan untuk
tercapainya kepatuhan, terlebih lagi sanksi hukum pidana.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat
penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan
secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan,
sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang
mutlak diperlukan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia
(selanjutnya disingkat UU RI) Nomor 45 Tahun 2009 Tentang perubahan
UU RI Nomor 31 Tahun 2004 Tentang perikanan lebih memberikan
kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak
3
pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan
pemerikasaan di sidang pengadilan.
Pengelolaan sumber daya hayati Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
(selanjutnya disingkat ZEEI) tidak hanya terbatas dikelola oleh nelayan
Indonesia, tetapi nelayan asing pun dapat ikut memanfaatkannya sesuai
peraturan Internasional. Kapal perikanan berbendera asing yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEEI wajib menggunakan anak
buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% (tujuh
puluh persen) dari jumlah anak buah kapal. Dan untuk kapal berbendera
Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nahkoda dan
anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Pemanfaatan sumber daya perikanan pada dasarnya dapat
dilaksanakan oleh warga negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI),
baik perorangan maupun dalam bentuk badan hukum dan dapat dinikmati
secara merata, baik oleh produsen maupun konsumen. Walaupun sumber
daya perikanan dapat dimanfaatkan oleh semua orang, dalam
memanfaatkannya harus senantiasa menjaga kelestarian. Ini berarti
pengusahaan harus seimbang dengan daya dukungnya sehingga
diharapkan akan memberi manfaat secara teratur, terus menerus, dan
lestari. Salah satu cara diantaranya adalah dengan menjaga kelestarian
melalui pengendalian usaha perikanan, yaitu melalui perizinan usaha
perikanan.
4
Perizinan dimaksudkan untuk mengendalikan usaha dan berfungsi
menjaga kelestarian sumber daya ikan sekaligus membina usaha
perikanan itu sendiri. Pembinaan dan pengawasan mempunyai arti
penting dalam rangka mengembangkan usaha perikanan berkelanjutan.
Melalui upaya pembinaan dan pengawasan berkesinambungan pada
gilirannya akan menciptakan iklim usaha perikanan yang kondusif dan
sehat.3
Dalam penulisan ini, penulis merasa tertarik untuk membahas
mengenai tindak pidana perikanan. Berdasarkan uraian diatas maka
penulis tertarik mengangkatnya kedalam bentuk tugas akhir dengan judul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Perikanan Dalam
Hubungannya dengan Perizinan (Studi kasus putusan
No.907/Pid.B/2015/PN Mks)”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materiil dalam Tindak
Pidana perikanan dalam kaitannya dengan izin usaha perikanan ?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis Hakim dalam
penjatuhan sanksi pidana dalam perkara pidana
No.907/Pid.B/2015/PN Mks ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materiil terhadap
tindak pidana dalam putusan No.907/Pid.B/2015/PN M.
3 Ibid, hal 154
5
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan
putusan dalam perkara pidana No.907/Pid.B/2015/PN MKS.
D. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini yang dapat berguna antara lain :
1. Dapat bermanfaat dalam memberikan informasi perkembangan
ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana perikanan yang
pada khususnya berkaitan dengan Tindak Pidana Perikanan dalam
hubungannya dengan Perizinan Perikanan
2. Dapat bermanfaat dalam memberikan wawasan dan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan umumnya bagi Civitas akademika
mengenai penerapan hukum pidana bagi pelaku Tindak Pidana
Perikanan dalam hubungannya dengan Perizinan Perikanan
3. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi aparat penegak
hukum dalam memberikan penanganan yang lebih baik lagi
kedepannya pada kasus Tindak Pidana Perikanan dalam
hubungannya dengan Perizinan Perikanan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah istilah paling umum untuk istilah
strafbaar feit dalam bahasa Belanda. Terjemahan atas istilah strafbaar feit
ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah
misalnya tindak pidana, delik, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh
dihukum, perbuatan pidana, strafbaarfeit.4
Menurut Van Hamel strafbaarfeit adalah ”kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.”
Menurut Hazewinkel Suringa strafbarfeit adalah “Suatu perilaku
manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.”5
Menurut Pompe strafbarfeit adalah “Suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.6
Menurut Simons strafbaarfeit adalah “Suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”7
4 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 96-97. 5 P.A.F. Lamintang, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke-4, hlm. 182. 6 Ibid. 7 Ibid.
7
Selain apa yang dikemukakan oleh para ahli di Eropa, pengertian “strafbaar feit” dikemukakan juga oleh sarjana-sarjana Indonesia. Seperti pendapat yang dikemukakan Moeljatno bahwa “Suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”8
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa delik itu ada
perbuatan yang dilarang atau suatu perbuatan yang diancam dengan
hukuman kepada barang siapa yang melakukannya, mulai dari ancaman
yang serendah-rendahnya sampai kepada yang setinggi-tingginya sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukan.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka harus ada rumusan
dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan
perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan
tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau
sifat khas dari larangan sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari
perbuatan lain yang tidak dilarang.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah:9
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan)
2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld) 3. Melawan hukum (onrechtmatig) 4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand) 5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatooar
person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan subyektif dari
tindak pidana (strafbaar feit).10
8 Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana 1, Bagian 1;Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-5, hlm.72. 9 Sudarto , Hukum Pidana 1, hal 32
8
a. Unsur subyektif meliputi:
Perbuatan manusia, yatu perbuatan dalam arti luas, positif atau
negatif. Melanggar peraturan pidana, dalam artian bahwa sesuatu
akan di hukum apabila sudah ada peraturan pidana yang
sebelumnya telah mengatur perbuatan tersebut.
Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHPidana)
mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak
pidana yang telah dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana
unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan, atau
kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta orang
tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar
sebelumnya terhadap akibat perbuatannya.Unsur-unsur subyektif
dari suatu tindak pidana adalah:11
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) 2. Maksud atau voomemen pada suatu percobaan atau pogging
seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHPidana 3. Macam-macam maksud atau ogmerk seperti yang terdapat
misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHPidana.
5. Perasaan takut antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHPidana.
10 Ibid, hal 32 11 Ibid, hal 193
9
b. Unsur obyektif meliputi:
Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan dimana tindakan-
tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Jadi meskipun
perbuatan pelaku itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi
apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan
merupakan suatu tindak pidana.
Unsur Obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan
dimana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan12.
Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana itu adalah:13
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid. 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang
pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUH Pidana atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut pasal 398 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan bahwa strafbaar
feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Jonkers dan Utrecht
memandang rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap, yang
meliputi:
12 Ibid. 13 Ibid. Halaman 194
10
a. Diancam dengan pidana oleh hukum
b. Bertentangan dengan hukum
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah
d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
B. Tindak Pidana Di Bidang Perikanan
1. Pengertian Tindak Pidana Di Bidang Perikanan
Perikanan adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya ikan.14 Tindak pidana di bidang perikanan
merupakan tindak pidana diluar KUHPidana yang diatur menyimpang,
karena tindak pidananya dapat menimbulkan kerusakan dalam
pengelolaan perikanan Indonesia yang berakibat merugikan masyarakat,
bangsa, dan negara. Dengan hukuman pidananya tinggi dan berat
sebagai salah satu cara untuk dapat menanggulangi tindak pidana di
bidang perikanan. Banyak masyarakat menyalahgukan kegiatan
perikanan menjadi suatu keuntungan bagi diri mereka sendiri tanpa
memikirkan ekosistem laut, misalnya dengan menggunakan alat
penangkap ikan yang dilarang yang mengakibatkan ekosistem laut. Kini
tindak pidana perikanan menjadi sorotan masyarakat akibat maraknya
tindak pidana mengenai perikanan, contoh tindak pidana penangkapan
ikan dengan alat yang dilarang, pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal
tanpa mempunyai surat perizinan serta masih banyak lagi kasus yang
lainnya.
14 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 1
11
Tindak pidana di bidang perikanan menurut UU RI No. 45 tahun
2009 perubahan UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan (selanjutnya
disingkat UU RI tentang perikanan) yang termasuk delik kejahatan diatur
dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, dan
Pasal 94, serta Pasal 100A dan Pasal 100B, sedangkan yang termasuk
delik pelanggaran diatur dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95,
Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100 dan Pasal 100C.15
2. Penggolongan Tindak Pidana Perikanan
Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 84 sampai dengan
Pasal 104 UU RI tentang perikanan tersebut, maka tindak pidana
perikanan dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Pasal 84
(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
15 Ibid, hal 153
12
(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penangnggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).16
Kejahatan dalam pasal 84 tersebut selalu berhubungan dengan
ketentuan Pasal 8 Ayat (1) sampai dengan Ayat (4) UU RI tentang
perikanan sejalan dengan ayatnya masing-masing yang merupakan
peraturan larangan penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak atau cara lain untuk penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan yang dapat merugikan atau membahayakan sumber daya ikan
dan lingkungannya.
Kejahatan ini termasuk delik dolus, karena pelakunya baru dapat
dipidana apabila dilakukan dengan sengaja. Pelaku mengetahui bahwa
bahan kimia, biologis, dan bahan peledak dilarang untuk dilakukan tetapi
tetap dilakukan perbuatannya.Kejahatan tersebut juga termasuk delik
formil dimana pelakunya sudah dapat dipidana tanpa menunggu akibat
16 Ibid, hlm. 154.
13
perbuatannya muncul.Dikatakan demikian karena terdapat unsur “yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya”.17
2. Pasal 85
Setiap orang yang dengan sengaja memiliki,menguasai,membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).18
Tindak Pidana tersebut hanya dapat dilakukan di perairan wilayah
perikanan, dapat terjadi di laut, sungai, maupun danau di kapal
penangkap ikan.Jika kapalnya hanya sebagai pengangkut hasil tangkapan
ikan , bukan kapal penangkap ikan maka tidak dapat dikenai pidana.
Kejahatan ini juga tergolong ke dalam delik dolus, karena
perbuatannya harus dilakukan dengan sengaja, setiap orang dianggap
tahu tentang larangan tersebut, karena sejak Undang-Undang perikanan
diumumkan dalam lembaran negara Republik Indonesia dipandang sudah
mengetahui peraturannya.19
3. Tindak Pidana yang berkaitan dengan pencemaran/kerusakan sumber
daya ikan/lingkungannya.Dalam pengelolaan perikanan, karena selalu
berhubungan dengan air maka dapat dikatakan rawan terhadap
pencemaran atau kerusakan lingkungan, dan tindak pidana ini diatur
untuk menanggulagi adanya pencemaran tersebut agar para pengelola 17 Ibid, hlm. 156. 18 Supriadi dan Alimuddin, 2011, Hukum Perikanan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 451. 19 Ibid.
14
perikanan selalu berhati-hati dalam melaksanakan aktivitas
pengelolaannya. Kejahatan tersebut di atur dalam Pasal 86 Ayat (1) UU
RI tentang Perikanan. Di dalam kejahatan ini, perbuatan yang dilarang
dilakukan ditetapkan dalam Pasal 12 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan,
yaitu:
setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.20 Dengan perbuatan yang tidak ditentukan spesifiknya, maka perbuatan
yang dilarang dalam Pasal 12 Ayat (1) tersebut sangat luas sekali,
ibarat pasal keranjang sampah semua perbuatan apa saja dapat
dimasukkan ke dalam pasal tersebut, kejahatannya tergolong ke dalam
delik dolus kemudian delik materil, karena perbuatan pelaku harus
diikuti dengan akibat yang timbul yaitu pencemaran/kerusakan sumber
daya ikan/lingkungannya.Jika akibatnya tidak muncul, maka pelaku
tidak dapat dihukum.21
Meskipun kejahatan tersebut tergolong sebagai tindak pidana di
bidang perikanan, namun karena berkaitan dengan
pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, tidak tertutup kemungkinan
pelakunya dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (selanjutnya
disingkat UU PPLH). Untuk dapat dituntut dengan UU RI PPLH tersebut,
20 Undang-undang No.45 Tahun 2009 tentang perikanan 21 Gatot Supramono, loc.cit.
15
maka perbuatan pelaku harus memenuhi unsur pencemaran lingkungan
hidup.
4. Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan. Pada
kejahatan perikanan ini, perbuatan yang dilakukan sangat luas,
berbeda dengan kejahatan yang dapat membahayakan sumber daya
ikan perbuatannya sudah ditetapkan bentuknya. Untuk kejahatan
perikanan ini telah diatur dalam Pasal 86 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat
(4), pada tindak pidana yang disebutkan dalam Ayat (2) perbuatannya
sangat luas, macam apa saja perbuatan asal dalam bentuk
pembudidayaan ikan sudah tercakup di dalamnya. Lain halnya dengan
ketentuan Ayat (3) dan Ayat (4) sudah ditentukan bentuknya yaitu
budidaya ikan dengan rekayasa genetika, dan budidaya ikan dengan
menggunakan obat-obatan.Mengenai larangan perbuatannya, masing-
masing ayat tersebut menunjuk ketentuan Pasal 12 Ayat (2), Ayat (3),
dan Ayat (4).
5. Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah.
Plasma nutfah adalah suatu substansi sebagai sumber sifat keturunan
yang terdapat dalam setiap kelompok organism. Plasma nutfah
merupakan substansi yang mengatur perilaku kehidupan secara turun-
temurun, sehingga populasinya mempunyai sifat yang membedakan
dari populasi yang lainnya.Perbedaan itu dapat dinyatakan dalam
ketahanan terhadap penyakit, bentuk fisik, daya adaptasi terhadap
lingkungannya, dan sebagainya. Oleh karena itu di bidang pengelolaan
16
perikanan plasma nutfah sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan dan
perkembangbiakan ikan agar memperoleh hasil yang lebih baik.
Sebagai bagian yang tergolong penting di bidang pengelolaan
perikanan, maka apabila plasma nutfah dirusak dapat mengakibatkan
kegagalan dalam pengelolaan perikanan dan penangkapan ikan
hasilnya kurang memuaskan. Untuk itu perusakan terhadap plasma
nutfah merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 87 UU RI
tentang Perikanan. Tindak pidana perusakan plasma nutfah dalam
Pasal 87 Ayat (1) merupakan delik dolus karena pelakunya melakukan
perbuatan secara sengaja, sedang ketentuan Ayat (2) nya sebagai delik
culpa karena rusaknya plasma nutfah disebabkan oleh kelalaian
pelakunya.22
6. Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang
merugikan masyarakat. Dalam melaksanakan pengelolaan perikanan
pada dasarnya wajib dilakukan dengan baik, agar hasilnya baik pula.
Pengelolaan perikanan dengan cara yang menyimpang, berakibat akan
merugikan masyarakat karena hasil penangkapan ikan kualitasnya
kurang/tidak dapat dikonsumsi. Sehubungan dengan hal itu terdapat
larangan yang diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan
yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memasukkan,
mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan
yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan,
22 Ibid, hlm. 161-162.
17
dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Terhadap larangan
tersebut apabila dilanggar maka perbuatannya merupakan Tindak
pidana yang diancam dengan hukuman pidana berdasarkan Pasal 88
UU RI tentang Perikanan. Ketentuan pidana tersebut, selain sebagai
delik dolus, juga sebagai delik materiil.
7. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengolahan ikan yang
kurang/tidak memenuhi syarat. Setiap orang yang melakukan
penanganan dan pengolahan ikan wajib memenuhi dan menerapkan
persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan
keamanan hasil perikanan. Ketentuan mengenai persyaratan tersebut
diatur dalam Pasal 20 Ayat (3) UU RI tentang perikanan dan sifatnya
imperatif. Apabila persyaratannya tidak dipenuhi, maka perbuatannya
sebagai tindak pidana dan pelakunya dapat dihukum berdasarkan
Pasal 89 UU RI tentang perikanan. Tindak pidana ini termasuk ke
dalam delik dolus, karena setiap orang yang berkecimpung dalam
pengolahan ikan dianggap mengetahui pengolahan ikan yang sehat
dan produknya layak dikonsumsi oleh maysrakat, Tindak Pidana ini
merupakan delik pelanggaran23.
8. Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan/pengeluaran
hasil perikanan dari/ke wilayah negara Republik Indonesia tanpa
dilengkapi sertifikat kesehatan. Setiap orang atau pengusaha yang
23 Ibid, hlm. 163-164.
18
akan mengekspor atau mengimpor produk hasil perikanan wajib
memiliki sertifikat kesehatan agar barang makan tersebut layak
dikonsumsi. Hal ini diatur dalam Pasal 21 UU RI tentang perikanan.
Ketidaklengkapan dalam melakukan kegiatan ekspor atau impor
dengan sertifikat kesehatan tersebut merupakan tindak pidana yang
diancam dengan Pasal 90 UU RI tentang Perikanan. Tindak pidana ini
termasuk delik dolus walaupun dalam rumusan delik di atas tidak
menyebutkan kata-kata dengan sengaja.
9. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang
membahayakan manusia dalam melaksanakan pengolahan ikan.
Mayoritas pengusaha di bidang perikanan memasarkan hasil olahannya
agar awet dan penampilannya menarik pembeli seringkali dibarengi
dengan kecurangan dalam melakukan pengolahannya dengan
menggunakan bahan-bahan yang seharusnya tidak digunakan untuk
pengolahan ikan, seperti formalin dan pewarna pakaian, bahan-bahan
tersebut tergolong dapat membahayakan kesehatan manusia.
Larangan penggunaan bahan-bahan tersebut kemudian di atur dalam
Pasal 23 Ayat (1) UU RI tentang perikanan. Larangan tersebut
kemudian diikuti dengan ketentuan pemidanaan dalam Pasal 91 UU RI
tentang perikanan. Tindak pidana ini termasuk ke dalam delik dolus dan
formil. Penuntutan perkaranya tidak usah menunggu adanya korban
berjatuhan, pada umumnya hakim atau penuntut umum memerlukan
19
keterangan saksi ahli untuk membuktikan bahan-bahan tersebut
membahayakan kesehatan atau tidak.
10. Tindak Pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan
tanpa Surat Izin Usaha Perikanan (selanjutnya disingkat SIUP). Pada
dasarnya perusahaan apapun bentuknya wajib memiliki izin usaha
sesuai dengan bidang usahanya. Untuk usaha perikanan, maka
perusahaan bersangkutan wajib memiliki izin usaha perikanan dan
dikenal dengan istilah SIUP. Adapun pejabat yang berwenang
menerbitkan SIUP adalah Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian KP,
Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-
masing.Kewajiban memiliki SIUP tersebut di atur dalam Pasal 26 Ayat
(1) UU RI tentang Perikanan. Agar perusahaan mentaati peraturan
tersebut, maka diatur sanksi pidananya, dan bagi yang melanggar
dikenai Pasal 92 UU RI tentang Perikanan. Ketentuan pidana tersebut
bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam
melaksanakan usaha perikanan. Tidak terjadi rebutan dalam
melakukan penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengelolaan
dan pemasaran ikan. Juga untuk mencegah pengelolaan perikanan liar
oleh orang yang tidak bertanggungjawab dan merugikan masyarakat
dan negara.24
11. Tindak Pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki Surat Izin
Penangkapan Ikan (selanjutnya disingkat SIPI). Di samping memiliki
24 Ibid, hlm. 165-166.
20
SIUP, sebuah perusahaan yang usahanya di bidang perikanan untuk
dapat melakukan penangkapan ikan diwajibkan memiliki SIPI. Memiliki
SIUP tapi tidak memiliki SIPI mengakibatkan perusahaan perikanan
tidak dapat menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan.SIPI
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SIUP. Sejalan dengan
hal tersebut maka telah diatur tentang kewajiban untuk memiliki SIPI
untuk menangkap ikan di tempat-tempat yang telah ditentukan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 UU RI tentang Perikanan.
SIPI pada prinsipnya dapat dimiliki oleh WNI atau WNA, dan SIPI
diberikan kepada orang, bukan kepada kapalnya.Jika WNI yang memiliki
SIPI maka operasi penangkap ikannya di dalam negeri maupun di laut
lepas, sedangkan untuk WNA wilayah operasinya di ZEEI. Pelanggaran
terhadap ketentuan SIPI tersebut merupakan tindak pidana yang diatur
dalam Pasal 93 UU RI tentang Perikanan. Tindak pidana ini tergolong ke
dalam delik dolus karena dilakukan secara sengaja, walaupun hal itu tidak
dicantumkan dengan tegas dalam rumusan deliknya.
12. Tindak pidana melakukan pengangkutan ikan tanpa memiliki Surat
Izin Kapal Pengangkut Ikan (selanjutnya disingkat SIKPI). Telah
diketahui bahwa SIPI merupakan izin yang diberikan kepada orang
yang melakukan penangkapan ikan. Sedangkan SIKPI sebagai izin
yang wajib dimiliki oleh kapal perikanan yang berupa kapal
pengangkut ikan. Ketentuan Pasal 28 Ayat (1) UU RI tentang
Perikanan mengatur, setiap orang yang memiliki, dan/atau
21
mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib
memiliki SIKPI. Ketentuan tersebut berlaku bagi kapal berbendera
Indonesia maupun berbendera asing yang mengangkut hasil
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
indonesia.Berhubung kepemilikan SIKPI merupakan suatu kewajiban,
maka terhadap pelanggarannya diatur pula sanksi pidananya yaitu
pada Pasal 94 UU RI tentang Perikanan.
Untuk mengecek apakah pelakunya memiliki SIKPI atau tidak,
Undang-Undang memerintahkan yang bersangkutan wajib membawa
SIKPI aslinya ketika sedang melakukan pelayaran mengangkut hasil
tangkapan. Meskipun telah mempunyai SIKPI tetapi sewaktu dalam
pelayaran lupa membawa SIKPI dan hanya membawa fotokopinya, atau
membawa SIKPI yang sudah berakhir masa berlakunya, tindak pidana
tersebut tetap dapat dikenakan kepada pelakunya dan dikategorikan
sebagai delik kejahatan.
13. Tindak Pidana memalsukan SIUP,SIPI,dan SIKPI. Izin-izin yang
digunakan dalam bidang perikanan yaitu berupa SIUP, SIPI, dan
SIKPI merupakan komponen yang sangat penting dalam
keberlangsungan usaha di bidang perikanan.Pengurusan ketiga izin
tersebut wajib mengikuti prosedur dan memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan, sehingga untuk mengurus izin tersebut seorang
pengusaha selain membutuhkan waktu yang relatif lama, juga
22
mengeluarkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Hal inilah yang
menjadi hambatan bagi para pengusaha dibidang perikanan yang
memunculkan ruang untuk berbuat curang dengan melakukan
pemalsuan terhadap surat-surat izin tersebut. Olehnya itu ketentuan
mengenai pemalsuan surat-surat ini telah diatur dalam Pasal 94A UU
RI tentang Perikanan, Tindak Pidana tersebut ditujukan terhaap orang
yang memalsukan maupun yang menggunakan SIUP,SIPI, Dan SIKPI
palsu karena perbuatan-perbuatan itu dilarang oleh ketentuan Pasal
28A UU RI tentang Perikanan. Untuk dapat mengatakan SIUP, SIPI,
Dan SIKPI sebagai surat palsu, maka dapat mengacu pada Pasal 263
KUHPidana karena maksud dan tujuannya sama. Hanya bedanya
Pasal 94A UU RI tentang Perikanan tanpa mensyaratkan adanya
kerugian yang ditimbulkan dari perbuatannya, karena merupakan delik
formil.25
14. Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal
perikanan tanpa izin. Pengusaha perikanan tidak bebas untuk
mendapatkan kapal perikanan, karena pada prinsipnya, bentuk
kapalnya secara teknis sudah ditentukan oleh pemerintah.Tujuannya
adalah untuk keselamatan dalam pelayaran khususnya untuk
mengangkut ikan. Agar dapat diawasi pemerintah, prosedurnya telah
ditetapkan pada Pasal 35 Undang-Undang Perikanan, dan
persyaratan yang tercantum dalam Pasal tersebut merupakan
25 Ibid, hlm. 168-170.
23
kewajiban bagi seorang pengusaha perikanan, dan apabila tidak
memenuhi persyaratan tersebut, maka dapat dikenai sanksi pidana
berdasarkan Pasal 95 UU RI tentang Perikanan. Tindak pidana ini
merupakan delik pelanggaran dan sekaligus sebagai delik dolus dan
delik formil.
15. Tindak Pidana tidak melakukan pendaftaran kapal perikanan. Setiap
kapal perikanan milik orang Indonesia wajib didaftarkan terlebih
dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia Pasal 36 Ayat (1) UU RI
tentang Perikanan. Sebelum pendaftaran kapal yang bersangkutan
dilakukan, sudah harus berstatus sebagai kapal yang berkebangsaan
Indonesia. Kapal perikanan yang tidak didaftarkan tidak menjadi
masalah apabila tidak dioperasikan.Masalah baru muncul setelah
kapal perikanan digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan
ikan.Perbuatan itu merupakan Tindak Pidana berdasarkan Pasal 96
UU RI tentang Perikanan. Tindak Pidana tersebut selain sebagai delik
dolus, juga merupakan delik formil dan pelanggaran.
16. Tindak Pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan
asing. Kapal perikanan asing yang melakukan pengoperasian di
wilayah pengelolaan perikanan Indonesia mempunyai perlakuan
tersendiri mengenai ketentuan pidananya. Pada prinsipnya setiap
kapal perikanan berbendera asing tetap wajib memiliki SIPI dan
menggunakan alat penangkap ikan tertentu.Hal tersebut berdasarkan
yang tercantum dalam Pasal 38 UU RI tentang Perikanan,
24
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 38 tersebut diancam dengan
hukuman pidana berdasarkan Pasal 97 UU RI tentang Perikanan.
Diaturnya ketentuan pidana ini guna menanggulangi pencurian ikan di
laut yang dilakukan oleh pihak asing, dan mengenai pelakunya
hanyalah ditujukan kepada nakhoda kapal perikanan. Sedangkan
hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya hanya berupa
pidana denda saja. Kelemahan dari peraturan ini ialah orang yang
berada di atas kapal selain nakhoda tidak dapat dipidana. Kemudian
selain itu kejaksaan dalam hal ini sebagai eksekutor tidak memiliki
perangkat hukum untuk mengeksekusi denda tersebut, karena di
dalam hukum acara pidana hanya dikenal penyitaan terhadap barang-
barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana dan hanya
dapat dilakukan dalam tingkat penyidikan.
17. Tindak pidana tanpa memiliki surat persetujuan berlayar. Setiap
pelabuhan perikanan terdapat syahbandar, yaitu pejabat yang
memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan
pengawasan terhadap dipenuhinya peraturan perundang-undangan
untuk menjamin keselamatan dan keamanan kapal perikanan. Salah
satu tugasnya ialah memberikan surat persetujuan berlayar bagi
kapal-kapal perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan
ikan. Setiap kapal perikanan yang akan berlayar sesuai dengan Pasal
42 Ayat (3) UU RI tentang Perikanan wajib memiliki surat persetujuan
berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan.
25
Kapal perikanan yang ke luar dari pelabuhan dan kedapatan tidak
memiliki surat persetujuan berlayar, maka perbuatannya dianggap
sebagai tindak pidana dan nakhoda kapal yang bersangkutan dapat
dipidana berdasar Pasal 98 UU RI tentang Perikanan. Tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 98 tersebut dapat dilakukan dengan sengaja atau
karena kelalaiannya.
18. Tindak Pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah. Penelitian
tergolong salah satu hal yang penting dalam bidang perikanan. Dalam
melakukan penelitian di bidang pengelolaan perikanan dengan tujuan
pada umumnya untuk memperoleh terutama data-data dari lapangan
yang hasilnya untuk mengetahui keadaan-keadaan yang nyata dalam
pengelolaan perikanan. Penelitian ini dapat dilakukan oleh berbagai
elemen yang ada di masyarakat, seperti mahasiswa, lembaga
swadaya masyarakat, dan lain-lain.Tetapi, bagi orang asing, penelitian
di bidang perikanan ini tidak boleh dilakukan secara serta merta,
berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) UU RI tentang Perikanan terlebih
dahulu memiliki izin dari pemerintah. Setiap orang asing yang
melakukan penelitiam perikanan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia apabila tidak memiliki izin dari pemerintah maka
dapat dipidana sesuai dengan Pasal 99 UU RI tentang Perikanan,
Tindak Pidana ini tergolong delik pelanggaran, dan perbuatannya
dilakukan dengan sengaja.26
26 Ibid, hlm. 172-175.
26
19. Tindak Pidana melakukan usaha pengelolaan perikanan yang tidak
memenuhi ketentuan yang ditetapkan Undang-Undang Perikanan.
Seorang pengusaha di bidang perikanan, selain harus merampungkan
izin-izinnya, juga wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
Undang-Undang Perikanan. Ketentuan yang dimaksud telah diatur
dalam Pasal 7 Ayat (2) UU RI tentang Perikanan. Pelanggaran
terhadap ketentuan yang telah diatur dapat dipidana berdasarkan
Pasal 100 UU RI tentang Perikanan. Meskipun tindak pidana ini
termasuk delik pelanggaran, akan tetapi untuk dapat membuktikan
perbuatan pelanggaran tampaknya tidak sederhana, karena hakim
tidak paham tentang teknis perikanan antara lain seperti ukuran
penangkap ikan, penempatan alat bantu penangkap ikan, ukuran ikan
yang boleh ditangkap, dan lain-lain.Olehnya itu seringkali dibutuhkan
keterangan ahli untuk membuat terang perkaranya.
20. Tindak Pidana yang dilakukan oleh nelayan/pembudidaya ikan kecil.
Sejalan dengan asas equality before the law di bidang perikanan juga
diberlakukan hal tersebut.Pengusaha kecil dan pengusaha besar
mendapat perlakuan yang sama.Adapun yang disebut dengan
nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton
(GT). Sedangkan pembudidaya ikan kecil adalah orang yang mata
27
pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Apabila mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan Pasal 100 B:
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Pasal 9 Ayat (1), Pasal 12 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Pasal 14 Ayat (4), Pasal 16 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 Ayat (1), Pasal 26 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (3), Pasal 28 Ayat (1), Pasal 28 Ayat (3), Pasal 35 Ayat (1), Pasal 36 Ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 Ayat (3), dan Pasal 55 Ayat (1) yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/pembudidaya ikan kecil dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).27
21. Tindak Pidana melanggar kebijakan pengelolaan sumber daya ikan
yang dilakukan oleh nelayan/pembudidaya ikan kecil. Setiap orang
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan
wajib mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur, apabila
dilanggar, maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 100C dengan
pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
Sanksi pidana dalam pelanggaran ini tidak dikenal pidana penjara.28
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perikanan
Unsur-unsur tindak pidana perikanan yang ditentukan di dalam UU RI
No. 45 Tahun 2004 tentang Perikanan antara lain :29
27 Undang-Undang No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan 28 Ibid, hlm. 176-182. 29 Undang-Undang No.31 Tahun 2004
28
Kategori Pelanggaran
1. Pasal 87 (1). Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
(2). Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
2. Pasal 89 Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
3. Pasal 90 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
4. Pasal 95 Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).
5. Pasal 96 Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
6. Pasal 97
29
(1). Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
(2). Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing Yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
(3). Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
7. Pasal 98 Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah).
8. Pasal 99 Setiap orang asing Yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
9. Pasal 100 Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Kategori Kejahatan 1. Pasal 84
(1). Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan Yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
30
6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
(2). Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan Dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
(3). Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan Dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
(4). Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
2. Pasal 85 Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
3. Pasal 86
31
(1). Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2). Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3). Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(4). Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
4. Pasal 88 Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, megeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
5. Pasal 91 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
6. Pasal 92
32
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
7. Pasal 93 (1). Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas dengan tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2). Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000, 00 (dua puluh miliar rupiah).
8. Pasal 94 Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
4. Jenis dan Sifat Hukuman Pidana Perikanan
a. Jenis Hukuman Pidana
Dalam Pasal 10 KUHPidana dikenal ada dua jenis hukuman
pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok
merupakan hukuman yang wajib di jatuhkan hakim yang terdiri atas
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda.
Sedangkan pidana tambahan sifatnya tidak wajib dijatuhkan hakim,
33
yaitu berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang
tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Untuk jenis hukuman pidana di bidang perikanan hanya mengenal
pidana pokok, sedangkan pidana tambahan tidak diatur di dalam UU RI
tentang Perikanan. Mengenai pidana pokok yang dapat dijatuhkan
hakim dalam perkara perikanan berupa pidana pernjara dan pidana
denda. Meskipun UU RI tentang Perikanan tidak mengatur secara
khusus pidana tambahan, namun hakim perikanan tetap dapat
menjatuhkan pidana tambahan berdasarkan Pasal 10 KUHPidana
tersebut.
b. Sifat Hukuman Pidana
Hukuman pidana di bidang perikanan sebagian besar bersifat
kumulatif, baik ditujukan terhadap delik kejahatan maupun delik
pelanggaran. Dalam hukuman kumulatif pidana baddan (penjara)
dengan pidana denda diterapkan sekaligus. Disini tidak ada alasan bagi
hakim untuk tidak menjatuhkan kedua pidana tersebut, juga hakim tidak
dapat memilih salah satu hukuman untuk dijatuhkan, melainkan wajib
menjatuhkan pidana pokok kedua-duanya.
Hukuman yang berupa pidana penjara yang tinggi dan pidana
denda yang berat terhadap pelaku pidana perikanan dengan tujuan
agar menimbulkan efek jera. Pelaku yang terbukti bersalah selain wajib
menjalani pidana penjara bertahun-tahun, juga wajib membayar denda
kepada negara yang nilainya tidak sedikit.
34
C. Perizinan Usaha Perikanan
Untuk pemanfaatan sumber daya ikan yang berkesinambungan dan
lestari, perlu pengendalian agar tidak melampaui potensi yang tersedia.
Pengendalian merupakan tindakan pencegahan (preventif), antara lain,
dengan cara menetapkan tingkat pemanfaatan melalui suatu bentuk
perizinan. Apabila ditenggarai ada usaha perikanan yang tidak memiliki
izin, bisa saja diartikan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan sudah
berada diluar pengendalian. Bagi nelayan, petani ikan kecil, dan
perorangan lainnya yang usaha perikanannya hanya sebagai mata
pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tidak ada
kewajiban mempunyai izin usaha. Namun, demi kepentingan
pengumpulan data serta pembinaan usaha dan pengelolaan sumber daya
ikan, mereka mempunyai kewajiban wajib daftar atau perlu ada
pencatatan usahanya.
Pada Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa:30
Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan dibidang penangkapan atau pembudidayaan ikan di laut atau di perairan lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan. Pungutan perikanan tersebut dikenakan karena mereka telah
memperoleh manfaat di laut atau di perairan lainnya di dalam wilayah
perikanan Indonesia. Sedangkan usaha budi daya ikan yang dilakukan di
atas tanah yang menjadi hak tertentu, tidak dikenakan pungutan
30 H.Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal.170
35
perikanan (misalnya, tambak/kolam). Kemudian, pada ayat (2)
disebutkan:31
Nelayan dan petani ikan kecil yang melakukan penangkapan atau pembudidayaan ikan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak dikenakan pungutan perikanan. Perusahaan perikanan yang melakukan usaha perikanan di wilayah
RI wajib memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP), berlaku selama perusahaan
melakukan usahanya. Dalam IUP tersebut dicantumkan koordinat daerah
penangkapan ikan (fishing ground), jumlah dan ukuran kapal perikanan,
serta jenis alat tangkap yang di gunakan. Sedangkan IUP untuk
pembudidayaan ikan dicantumkan luas lahan/perairan dan lokasinya.
Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan usaha
penangkapan ikan wajib dilengkapi dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI)
yang mencantumkan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dan jenis
alat tangkap yang digunakan. SPI berlaku selama 3 tahun dan setelah
berakhir masa berlakunya diberikan perpanjangan 3 tahun sepanjang
kapal masih dipergunakan oleh perusahaan perikanan yang
bersangkutan.
Gubernur KDH tingkat 1 atau pejabat yang ditunjuknya mempunyai
kewenangan memberi IUP dan SPI pada tataran tertentu (Pasal 10) yang
tata caranya diatur lebih lanjut oleh menteri. Di luar keewenangan
Gubernur KDH tingkat 1 tersebut, seperti pemberian IUP, PPKA, SPI, dan
SIPI menjadi kewenangan menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
31 Ibid, hal.171
36
Izin Usaha Perikanan (IUP) dapat dicabut oleh pemberi izin, seperti
dalam Pasal 15 ayat (1) apabila perusahaan perikanan:32
a. Melakukan perluasan usaha tanpa persetujuan;
b. Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 (tiga) kali berturut-turut
atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar;
c. Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam IUP;
d. Memindahtangankan IUP-nya tanpa persetujuan tertulis pemberi izin;
e. Selama 1 (satu) tahun berturut-turut sejak IUP dikeluarkan tidak
melaksanakan kegiatan usahanya.
Surat Penangkapan Ikan (SPI) dapat dicabut oleh pemberi izin,
seperti dalam Pasal 15 ayat (2) apabila perusahaan perikanan:33
a. Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam IUP dan atau
SPI;
b. Menggunakan kapal perikanan di luar kegiatan penangkapan ikan;
c. Tidak lagi menggunakan kapal perikanan yang dilengkapi dengan SPI
tersebut;
d. IUP yang dimiliki oleh perusahaan perikanan dicabut oleh pemberi izin.
Deregulasi dan debirokratisasi perizinan usaha perikanan
dimaksudkan guna mendorong percepatan pertumbuhan usaha
perikanan. Akan tetapi, pada sisi lain pemerintah tetap konsekuen
mengamankan kelestarian melalui perizinan dan pengawasan yang lebih
32 Ibid, hal.173 33 Ibid.
37
intensif dengan mengeluarkan berbagai peraturan ataupun kebijakan yang
terkait.
Peraturan tentang perizinan usaha perikanan tidak sebatas usaha
perikanan tangkap, tetapi termasuk usaha budi daya perikanan serta
berbagai peraturan tentang pengelolaan mutu hasil perikanan sebagai
upaya menciptakan kondisi pengolahan hasil perikanan yang dikehendaki
konsumen domestik dan mancanegara, seperti PP 15/1990, PP 45/1993,
Permen KP Nomor Per. 17/Men/2006, Permen KP Nomor Per.
05/Men/2008, Permen KP Nomor Per. 12/Men/2009 berkaitan dengan
usaha perikanan tangkap, serta Kepmen KP Nomor Kep. 02/Men/2004,
dan Permen KP Nomor Per.12/Men/2007 untuk usaha perikanan budi
daya.
Kemajuan teknologi juga menjadi suatu dampak terhadap wilayah
laut saat ini, karena adanya teknologi yang canggih orang tidak perlu lagi
memakai umpan dari ikan kecil, tetapi telah ada suatu teknologi yang
terbuat dari karet yang menyerupai ikan yang di pasang di kail tersebut.
Masalah ini perlu diatur dengan baik, agar jangan sampai dijadikan celah
untuk ,elakukan penangkapan ikan tanpa izin.
Dalam Pasal 92 UU No. 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa setiap
orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang perikanan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang
tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) sebagaimana dimaksud
38
dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah). Begitu pula sebaliknya yang perlu diatur menyangkut
mengenai kapal penangkap ikan yang melakukan operasi di wilayah
perairan Indonesia yang mempunyai bobot tertentu untuk memiliki izin
penangkapan ikan. 34
Setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan
wajib memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP) seperti:
a. Surat Izin Penangkapan Ikan
Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) berlaku dalam jangka waktu satu
tahun, apabila telah habis masa waktunya dan perusahaan perikanan
masih akan melanjutkan usahanya, wajib mengajukan permohonan izin
baru dalam kurun waktu 30 hari sebelum masa berlakunya habis.
Surat izin Penangkapan Ikan (SIPI) asli harus senantiasa berada
diatas kapal, dilarang dipindahtangankan atau dipergunakan kapal lain,
dan wajib memasang tanda pengenal daerah penangkapan yang
ditetapkan.
Kapal perikanan yang telah memperoleh SIPI dilarang melakukan
penangkapan ikan dengan peledak, racun, aliran listrik, atau bahan/alat
lain yang berbahaya atau melanggar ketentuan yang ditetapkan dalam
SIPI serta membawa penumpang/muatan yang tidak sesuai dengan
ketetapan dalam SIPI pada waktu memasuki, selama berada, atau pada
34 Supriadi & Alimuddin, Hukum Perikanan di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, Hal.461
39
waktu akan meninggalkan ZEEI, atau dalam pelayaran menuju dan dari
pelabuhan tempat melapor. SIPI tidak berlaku lagi apabila sudah habis
masa berlakunya atau dicabut karena melanggar ketentuan yang
ditetapkan, telah rusak sehingga tidak bisa dibaca secara jelas, atau
pernah hilang.35
Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dapat dicabut oleh pemberi surat
izin penangkapan ikan (SIPI) apabila orang atau badan hukum yang
bersangkutan :36
a. Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam surat izin
usaha perikanan (SIUP) dan/atau surat izin penangkapan ikan (SIPI);
b. Menggunakan kapal perikanan di luar kegiatan penangkapan ikan;
c. Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha (dua) kali berturut-turut
atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar;
d. Menggunakan dokumen palsu;
e. Menyampaikan data yang berbeda dengan fakta di lapangan;
f. SIUP yang dimiliki perusahaan perikanan tersebut dicabut oleh
pemberi SIUP;
g. Terbukti memindahtangankan atau memperjualbelikan SIPI;
h. Membawa ikan dari daerah penangkapan langsung ke luar negeri
tanpa melalui pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI;
i. Selama 1 (satu) tahun sejak SIPI dikeluarkan tidak melakukan
kegiatan penangkapan ikan; atau
35 H.Djoko Tribawono, Op.Cit, Hal.165 36 Supriadi & Alimuddin, Op.Cit, Hal.445
40
j. Membawa ikan ke luar negeri tanpa dilengkapi dokumen yang sah;
k. Tidak melakukan perpanjangan SIPI.
b. Surat Izin Usaha Perikanan
Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan melakukan
kegiatan usaha di bidang penangkapan ikan di WPPRI wajib memiliki
SIUP atau alokasi penangkapan ikan penanaman modal (APIPM) dan
wajib melengkapi dengan SIPI untuk setiap kapal yang digunakan.
Kewajiban memiliki SIUP dikecualikan bagi nelayan yang menggunakan
kapal perikanan yang tidak bermotor atau bermotor luar atau bermotor
dalam tidak lebih dari 5 GT. Sedangkan setiap orang atau badan hukum
Indonesia yang akan melakukan usaha di bidang
penangkapan/pengangkutan ikan di laut lepas wajib memiliki SIUP atau
APIPM. Yang menggunakan kapal penangkap ikan di laut lepas wajib
melengkapinya dengan SIPI bagi setiap kapal yang digunakan. Kemudian,
untuk kapal penangkapan ikan di laut lepas wajib dilengkapi SIKPI.
Untuk memperoleh SIUP wajib mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal (Perikanan Budi Daya) dengan melampirkan
persyaratan yang ditetapkan, yakni:37
a. Rencana usaha;
b. NPWP;
c. Fotokopi akta pendirian perusahaan berbadan hukum/koperasi;
d. Surat keterangan domisili perusahaan/koperasi;
37 H.Djoko Tribawono, Op.cit, Hal.278
41
e. Fotokopi KTP penanggung jawab perusahaan/koperasi disertai pas
foto berwarna penanggung jawab sebanyak 4 lembar ukuran 4x6 cm;
f. Rekomedasi lokasi pembudidayaan ikan dari pemerintah daerah
provinsi atau kabupaten/kota; dan
g. Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dapat dicabut oleh pemberi surat
izin usaha perikanan (SIUP) apabila orang atau badan hukum yang
bersangkutan:
a. Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam Surat Izin
Usaha Perikanan (SIUP);
b. Tidak melakukan perubahan data tanpa persetujuan tertulis dari
pemberi SIUP;
c. Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 2 (dua) kali berturut-
turut atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar;
d. Menggunakan dokumen palsu;
e. Menyampaikan data yang berbeda dengan fakta di lapangan;
f. Tidak merealisasikan rencana usahanya dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun terhitung sejak diterbitkannya SIUP; atau
g. Terbukti memindahtangankan atau memperjualbelikan SIUP.
c. Surat Izin Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPPII)
Surat Izin Kapal Penangkap dan Pengangkut Ikan Indonesia
(SIKPPII), yaitu surat yang harus dimiliki setiap kapal perikanan
42
berbendera Indonesia dalam satuan armada penangkapan ikan untuk
melakukan kegiatan penangkapan dan pengangkutan ikan yang
digunakan oleh perusahaan perikanan.38
Permohonan SIKPPII diajukan kepada Direktur Jenderal Perikanan
menggunakan formulir yang telah di tentukan. Masa berlaku SIKPPII juga
beragam, bergantung jenis ikan yang akan ditangkap, yaitu untuk jenis
ikan pelagis besar selama 3 tahun, sedangkan jenis pelagis kecil 2 tahun.
Ini bisa diperpanjang untuk jangka waktu yang sama apabila memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan dan memberikan laporan kegiatan
penangkapan dan pengangkutan.39
d. Surat izin Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPII)
Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPII), yaitu surat izin
yang harus dimiliki setiap kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia
untuk melakukan kegiatan pengangkutan ikan yang digunakan oleh
perusahaan perikanan.40 Sebelum melakukan usaha pengangkutan ikan,
perusahaan perikanan yang telah memiliki IUP masih diwajibkan untuk
memiliki SIKPII bagi setiap kapal yang dipergunakan. SIKPII berlaku
selama jangka waktu 1 tahun.
SIKPII bagi kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang
dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan berlaku sesuai
dengan jangka waktu SIPI armada penangkapnya, dan dapat
38 Ibid, Hal.234 39 Ibid, hal.238 40 Ibid, hal.234
43
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama berdasarkan permohonan
perpanjangan.
Untuk memperoleh SIKPII wajib mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal (Perikanan Budi Daya) dengan melampirkan:41
a. Fotokopi SIUP atau surat persetujuan penanaman modal/izin usaha;
b. Rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan;
c. Surat perjanjian kerja sama pengangkutan antara pengelola kapal
pengangkut ikan dan pembudi daya ikan, dikecualikan yang
digunakan untuk operasi pembudidayaan ikan milik sendiri; dan
d. Fotokopi KTP penanggung jawab perusahaan atau pemilik kapal.
e. Surat Persetujuan Berlayar (Selanjutnya disingkat SPB)
Surat Persetujuan Berlayar (SPB), yaitu surat persetujuan berlayar
kapal perikanan yang wajib dimiliki oleh nahkoda kapal yang dikeluarkan
oleh syahbandar perikanan.42
41 Ibid, hal.279 42 Ibid, hal.187
44
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan berkaitan
dengan permasalahan dan pembahasan penulisan proposal ini, maka
penulis melakukan penelitian dengan memilih lokasi di Makassar.
Pengumpulan data dan informasi akan dilaksanakan di
Pengadilan Negeri Makassar. Lokasi penelitian dipilih dengan
pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri Makassar merupakan tempat
diputus perkara No. 907/Pid.b/2015/PN.MKS yang merupakan objek
sasaran kasus yang diangkat oleh penulis.
B. Pengumpulan Data
Dalam rangka pengumpulan data primer dan data sekunder, maka
penulis menggunakan dua jenis pengumpulan data sebagai berikut :
1. Wawancara, yakni penulis mengadakan tanya jawab dengan pihak-
pihak yang terkait langsung dengan masalah yang dibahas seperti
hakim dan jaksa yang menangani kasus tersebut. Dalam
pengumpulan data diperlukan pedoman wawancara yang disusun
secara sistematik dan disesuaikan dengan data yang diperlukan
sebagai bahan analisis.
2. Studi Dokumentasi, yakni penulis mengambil data dengan
mengamati dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang diberikan oleh
pihak yang terkait dengan hal ini Pengadilan Negeri Makassar.
45
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Data primer, yaitu data yang di peroleh secara langsung dari
lapangan penelitian yang bersumber dari responden yang berkaitan
dengan penelitian melalui wawancara.
2. Data sekunder, yaitu data yang di peroleh dan bersumber dari
penelaahan studi kepustakaan berupa literatur-literatur, karya
ilmiah (hasil penelitian), peraturan perundang-undangan, majalah,
surat kabar, dokumentasi dan berbagai instansi yang terkait juga
bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
D. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian ini disusun dan
dianalisis secara kualitatif, kemudian selanjutnya data tersebut
diuraikan secara deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat
dipahami secara jelas dan terarah untuk menjawab permasalahan yang
penulis teliti.
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum pidana Materiil terhadap tindak pidana
Perikanan dalam hubungannya dengan izin usaha perikanan
dalam Putusan No.907/Pid.B/2015/PN MKS.
Pada sub bab ini penulis akan memaparkan dan menganalisis
hukum pidana materil dalam penanganan tindak pidana perikanan.
Untuk memahami penerapan hukum terhadap hal tersebut, maka
penulis dalam hal ini bersandar pada putusan No.907/Pid.B/2015/PN
MKS.
1. Posisi Kasus
Bahwa pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2015 sekitar jam 11.00
Wita, bertempat di wilayah Perairan Makassar ± 2 Mil sebelah Timur
Pulau Lanjukang Kota Makassar pada Posisi 04º57’00”S -
119º06’00”T Makassar.
Pada saat terdakwa berada diatas Kapal KMN. NURWANDA
sedang mengawasi ABK yang sedang melakukan penangkapan ikan
dengan menggunakan alat tangkap jaring jenis cantrang, kemudian
datang polisi melakukan pemeriksaan terhadap KMN. NURWANDA
GT 6. Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan diatas KMN.
NURWANDA, Nahkoda kapal yaitu terdakwa SADDANG menunjukkan
dokumen KMN.NURWANDA ditemukan Surat Izin Usaha Perikanan
47
(SIUP) habis masa berlakunya pada tanggal 07 Mei 2015, Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) habis masa berlakunya pada tanggal 07 Mei
2015 dan Surat Persetujuan Berlayar kapal Perikanan (SPB) habis
masa berlakunya, dan ditemukan jaring ikan jenis cantrang yang
sudah mendapatkan hasil tangkapan ikan jenis campuran sebanyak ±
5 (lima) kilogram.
Bahwa syarat yang harus dipenuhi dalam usaha penangkapan
ikan adalah :
1. Harus memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) 2. Harus memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) 3. Harus memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SPB) Bahwa perbuatan terdakwa sebagai pemilik dan Nahkoda
KMN.NURWANDA pada saat tertangkap menunjukkan SIUP tetapi
sudah habis masa berlakunya, terdakwa juga menunjukkan SIPI tetapi
sudah habis masa berlakunya dianggap tidak berlaku lagi dan tidak
ada kebijakan/kemudahan untuk hal tersebut dan juga pada saat itu
terdakwa menunjukkan SPB tetapi telah habis masa berlakunya.
2. Dakwaan Penuntut Umum
Pertama :
Bahwa ia terdakwa SADDANG Bin H. KULLING pada hari
Selasa tanggal 12 Mei 2015 sekitar jam 11.00 Wita atau setidak-
tidaknya pada waktu lain yang masih termasuk dalam bulan Mei 2015,
bertempat di wilayah Perairan Makassar ± 2 Mil sebelah Timur Pulau
Lanjukang Kota Makassar pada posisi 04º57’00”S - 119º06’00”T
48
Makassar, atau setidak-tidaknya pada tempat-tempat lain dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar, terdakwa yang dengan
sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan,
pengangkutan, pengolahan dan pemasaran ikan yang tidak memiliki
SIUP sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1), dengan
menggunakan KMN.NURWANDA, perbuatan dilakukan terdakwa
dengan cara sebagai berikut :
Bahwa pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2015 sekitar jam 11.00
Wita, pada saat terdakwa diatas kapal sedang mengawasi ABK yang
sedang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat
tangkap jaring jenis cantrang, kemudian datang Polisi melakukan
pemeriksaan terhadap KMN.NURWANDA GT 6. Bahwa setelah
dilakukan pemeriksaan diatas KMN.NURWANDA, Nahkoda kapal
yaitu terdakwa SADDANG menujukkan dokumen KMN.NURWANDA
ditemukan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) habis masa berlakunya
pada tanggal 07 Mei 2015, Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) habis
masa berlakunya pada tanggal 07 Mei 2015 dan Surat Persetujuan
Berlayar kapal Perikanan (SPB) habis masa berlakunya, dan
ditemukan jaring ikan jenis cantrang yang sudah mendapatkan hasil
tangkapan ikan jenis campuran sebanyak ± 5 (lima) kilogram. Bahwa
syarat yang harus dipenuhi dalam usaha penangkapan ikan adalah
harus memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)
49
Bahwa perbuatan terdakwa sebagai pemilik dan Nahkoda
KMN.NURWANDA pada saat tertangkap menunjukkan SIUP tetapi
sudah habis masa berlakunya dianggap tidak berlaku lagi dan tidak
ada kebijakan/kemudahan untuk hal tersebut.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 92 Undang –Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun
2004 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang
Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.
DAN
Kedua :
Bahwa ia terdakwa SADDANG Bin H. KULLING pada hari
Selasa tanggal 12 Mei 2015 sekitar jam 11.00 Wita atau setidak-
tidaknya pada waktu lain yang masih termasuk dalam bulan Mei 2015,
bertempat di wilayah Perairan Makassar ± 2 Mil sebelah Timur Pulau
Lanjukang Kota Makassar pada posisi 04º57’00”S - 119º06’00”T
Makassar, atau setidak-tidaknya pada tempat-tempat lain dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar, yang memiliki dan/atau
mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia
melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia dan/atau di Laut Lepas, yang tidak
memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), dengan
menggunakan KMN.NURWANDA, perbuatan dilakukan terdakwa
dengan cara sebagai berikut :
50
Bahwa pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2015 sekitar jam 11.00
Wita, pada saat terdakwa diatas kapal sedang mengawasi ABK yang
sedang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat
tangkap jaring jenis cantrang, kemudian datang Polisi melakukan
pemeriksaan terhadap KMN.NURWANDA GT 6. Bahwa setelah
dilakukan pemeriksaan diatas KMN.NURWANDA, Nahkoda kapal
yaitu terdakwa SADDANG menujukkan dokumen KMN.NURWANDA
ditemukan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) habis masa berlakunya
pada tanggal 07 Mei 2015, Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) habis
masa berlakunya pada tanggal 07 Mei 2015 dan Surat Persetujuan
Berlayar kapal Perikanan (SPB) habis masa berlakunya, dan
ditemukan jaring ikan jenis cantrang yang sudah mendapatkan hasil
tangkapan ikan jenis campuran sebanyak ± 5 (lima) kilogram. Bahwa
syarat yang harus dipenuhi dalam usaha penangkapan ikan adalah
harus memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)
Bahwa perbuatan terdakwa sebagai pemilik dan Nahkoda
KMN.NURWANDA pada saat tertangkap menunjukkan SIPI tetapi
sudah habis masa berlakunya dianggap tidak berlaku lagi dan tidak
ada kebijakan/kemudahan untuk hal tersebut.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 93 ayat (1) Undang –Undang Republik Indonesia No. 31
Tahun 2004 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-
undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.
51
DAN
Ketiga :
Bahwa ia terdakwa SADDANG Bin H. KULLING pada hari
Selasa tanggal 12 Mei 2015 sekitar jam 11.00 Wita atau setidak-
tidaknya pada waktu lain yang masih termasuk dalam bulan Mei 2015,
bertempat di wilayah Perairan Makassar ± 2 Mil sebelah Timur Pulau
Lanjukang Kota Makassar pada posisi 04º57’00”S - 119º06’00”T
Makassar, atau setidak-tidaknya pada tempat-tempat lain dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar, Nahkoda kapal
perikanan yang tidak memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SPB)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 98, dengan menggunakan
KMN.NURWANDA, perbuatan dilakukan terdakwa dengan cara
sebagai berikut :
Bahwa pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2015 sekitar jam 11.00
Wita, pada saat terdakwa diatas kapal sedang mengawasi ABK yang
sedang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat
tangkap jaring jenis cantrang, kemudian datang Polisi melakukan
pemeriksaan terhadap KMN.NURWANDA GT 6. Bahwa setelah
dilakukan pemeriksaan diatas KMN.NURWANDA, Nahkoda kapal
yaitu terdakwa SADDANG menujukkan dokumen KMN.NURWANDA
ditemukan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) habis masa berlakunya
pada tanggal 07 Mei 2015, Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) habis
masa berlakunya pada tanggal 07 Mei 2015 dan Surat Persetujuan
52
Berlayar kapal Perikanan (SPB) habis masa berlakunya, dan
ditemukan jaring ikan jenis cantrang yang sudah mendapatkan hasil
tangkapan ikan jenis campuran sebanyak ± 5 (lima) kilogram. Bahwa
syarat yang harus dipenuhi dalam usaha penangkapan ikan adalah
harus memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SPB)
Bahwa perbuatan terdakwa sebagai pemilik dan Nahkoda
KMN.NURWANDA pada saat tertangkap menunjukkan SPB tetapi
sudah habis masa berlakunya dianggap tidak berlaku lagi dan tidak
ada kebijakan/kemudahan untuk hal tersebut.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 98 Undang –Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun
2004 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang
Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.
3. Tuntutan Penuntut Umum
Penuntut Umum mengajukan Tuntutan yang pada pokoknya
permohonan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar agar
menjatuhkan putusan :
1. Menyatakan terdakwa SADDANG Bin H. KULLING, bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU.No.31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU.No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan DAN Pasal 93 ayat (1) UU.No.31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU.No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan DAN Pasal 98 UU.No.31 Tahun 2004 sebagimana diubah dan ditambah dengan UU.No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa SADDANG Bin KULLING oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) Bulan dikurangi selama terdakwa ditahan. Denda sebesar
53
Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), Subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
3. Menyatakan barang bukti berupa : - 1 (satu) buah Kapal KMN.NURWANDA, - 1 (satu) buah jaring (cantrang) - Dokumen kapal berupa :
1) Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) Nomor : 523.5 / 329 / IV / 2014, dari Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan. Pemerintah kota Makassar, tanggal 29 April 2014 (yang sudah habis masa berlakunya sampai dengan 07 Mei 2015).
2) Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan. Pemerintah kota Makassar, tanggal 29 April 2014 (yang sudah habis masa berlakunya sampai dengan 07 Mei 2015)
3) Surat Persetujuan Berlayar (SPB) No.06.14 / V / 0 / 2014 (yang sudah habis masa berlakunya sampai dengan tanggal 06 Mei 2014)
Semuanya Dirampas Untuk Negara
- Dokumen Kapal berupa : 1. Surat keterangan kecakapan Nomor : PK.684/ 08 / 02
/syb-Bje-08. 2. Surat Keterangan Domisili Nomor : 474.4/ 66 / KGS / VI /
2008.a.n SADDANG. 3. Surat Keterangan Nomor : 552.21089 / DISHUB / X / 2013
tanggal 03 Oktober 2013. 4. Pas Kecil tanggal 03 Februari 2014. 5. Daftar anak buah Kapal KMN.NURWANDA tanggal 06
Mei 2014. 6. Surat pernyataan Nahkoda tentang pemberangkatan
kapal perikanan tanggal 06 Mei 2014. 7. Surat Laik Operasi (SLO) Kapal Perikanan Tanggal 06
Mei 2014. 8. Kementerian kelautan dan perikanan direktorat jenderal
pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan tanggal 06 Mei 2014.
9. Surat tanda pengenal nelayan Andon Nomor : 523.5/ 330 / IV / 2014, tanggal 24 April 2014.
Kesemuanya dikembalikan kepada yang berhak.
4. Menetapkan agar para terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).
54
4. Amar Putusan
Adapun Amar Putusan dalam Kasus No.
907/Pid.B/2015/PN.Mks adalah sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa SADDANG Bin H. KULLING telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan tanpa memiliki SIUP, melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tanpa memiliki SIPI, Berlayar tanpa memiliki izin dari syahbandar.”
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut diatas dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan, denda Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), subsidair 1 (satu) bulan kurungan;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
- 1 (satu) buah Kapal KMN.NURWANDA, - 1 (satu) buah jaring (cantrang) - Dokumen kapal berupa :
1. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) Nomor : 523.5 / 329 / IV / 2014, dari Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan. Pemerintah kota Makassar, tanggal 29 April 2014 (yang sudah habis masa berlakunya sampai dengan 07 Mei 2015).
2. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan. Pemerintah kota Makassar, tanggal 29 April 2014 (yang sudah habis masa berlakunya sampai dengan 07 Mei 2015)
3. Surat Persetujuan Berlayar (SPB) No.06.14 / V / 0 / 2014 (yang sudah habis masa berlakunya sampai dengan tanggal 06 Mei 2014)
Semuanya Dirampas Untuk Negara
- Dokumen Kapal berupa : 1. Surat keterangan kecakapan Nomor : PK.684/ 08 / 02
/syb-Bje-08. 2. Surat Keterangan Domisili Nomor : 474.4/ 66 / KGS / VI /
2008.a.n SADDANG. 3. Surat Keterangan Nomor : 552.21089 / DISHUB / X / 2013
tanggal 03 Oktober 2013. 4. Pas Kecil tanggal 03 Februari 2014. 5. Daftar anak buah Kapal KMN.NURWANDA tanggal 06
Mei 2014.
55
6. Surat pernyataan Nahkoda tentang pemberangkatan kapal perikanan tanggal 06 Mei 2014.
7. Surat Laik Operasi (SLO) Kapal Perikanan Tanggal 06 Mei 2014.
8. Kementerian kelautan dan perikanan direktorat jenderal pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan tanggal 06 Mei 2014.
9. Surat tanda pengenal nelayan Andon Nomor : 523.5/ 330 / IV / 2014, tanggal 24 April 2014.
4. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
5. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; 6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah).
5. Analisis Penulis
Pertama-tama akan ditinjau atau dilihat dari dakwaan penuntut
umum. Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana
karena berdasarkan hal yang dimuat dalam dakwaan, hakim akan
memeriksa perkara tersebut. Untuk dapat diajukan ke pengadilan,
suatu surat dakwaan harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan.
Bentuk surat dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut
Umum pada kasus ini yaitu dakwaan kumulatif. Menurut pendapat
penulis, surat dakwaan yang digunakan Jaksa Penuntut Umum telah
sesuai, karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan tanpa
memiliki SIUP, melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia tanpa memiliki SIPI, Berlayar tanpa
memiliki izin dari syahbandar.”
56
Berikut akan diuraikan syarat formil dan materiil yang
terkandung dalam surat dakwaan diatas, yaitu :
a. Syarat formil
Syarat formil terkait dengan identitas terdakwa, dalam hal ini
terdakwa dalam kasus tindak pidana perikanan, yaitu :
Nama Lengkap : Saddang Bin H. Kulling
Tempat Lahir : Pondang-pondang
Umur/Tanggal Lahir : 25 tahun/ 1990
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Pulau Pondang-pondang Kabupaten
Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Nahkoda KMN NURWANDA
Pendidikan : SD (Tidak Tamat)
b. Syarat materiil
Syarat materril berkaitan erat dengan penerapan hukum
materiil terhadap suatu perkara. Untuk mengetahui kesesuaian antara
tindak pidana yang terjadi dengan pasal yang didakwakan oleh
penuntut umum, maka Penulis akan menguraikan unsur-unsur pasal
dalam dakwaan yang dinyatakan terbukti dipersidangan dan telah
diputus oleh Majelis Hakim yaitu dakwaan pertama yang melanggar
ketentuan Pasal 92 Undang-undang No.31 tahun 2004 sebagaimana
57
diubah dan ditambah dengan Undang-undang No.45 tahun 2009
tentang Perikanan.
Menurut pendapat penulis, penerapan sanksi pidana materiil
yang diterapkan oleh Jaksa Penuntut Umum sudah tepat karena
penulis berpendapat bahwa unsur Tindak Pidana Perikanan
semuanya terbukti, berikut akan penulis uraikan unsur-unsur tersebut :
1. Unsur setiap orang :
Bahwa pengertian “setiap orang” disini adalah siapa saja orang
atau subyek hukum yang melakukan perbuatan pidana dan dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Bahwa SADDANG Bin H.KULLING yang dihadapkan di
persidangan ini dengan berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, barang
bukti dan keterangan terdakwa sendiri yang membenarkan
identitasnya dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka
terdakwa yang diajukan dalam perkara ini adalah SADDANG Bin
H.KULLING sebagai manusia yang dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka unsur “setiap orang”
telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
2. Unsur Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
58
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan
yang tidak memiliki SIUP.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan
persidangan bahwa terdakwa dalam melakukan kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dilengkapi dengan Surat
Izin untuk menangkap ikan yang masih berlaku karena Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) adalah izin tertulis yang harus dimiliki
setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP).
Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka unsur ini telah terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Dakwaan kedua yang melanggar ketentuan Pasal 93 ayat (1)
Undang-undang No.31 tahun 2004 sebagaimana diubah dan
ditambah dengan Undang-undang No.45 tahun 2009 tentang
Perikanan.
1. Unsur Setiap Orang
Bahwa pengertian “setiap orang” disini adalah siapa saja orang
atau subyek hukum yang melakukan perbuatan pidana dan dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Bahwa SADDANG Bin H.KULLING yang dihadapkan di
persidangan ini dengan berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, barang
59
bukti dan keterangan terdakwa sendiri yang membenarkan
identitasnya dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka
terdakwa yang diajukan dalam perkara ini adalah SADDANG Bin
H.KULLING sebagai manusia yang dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka unsur “setiap orang”
telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
2. Unsur Memiliki kapal penangkap ikan berbendara Indonesia,
Melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
RI, Tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan yang
diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan didukung pula oleh
keterangan terdakwa sendiri, maka diperoleh fakta bahwa benar
terdakwa dalam melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan alat angkut berupa 1 (satu) buah jaring cantrang
yang pemiliknya adalah terdakwa sendiri, terdakwa secara nyata
telah melakukan kegiatan untuk memperoleh ikan di Perairan
Makassar ± 2 Mil sebelah Timur Pulau Lanjukang Kota Makassar
pada posisi 04º57’00”S - 119º06’00”T Makassar dengan
menggunakan Kapal KMN.NURWANDA yang tidak dilengkapi
Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) adalah izin tertulis yang harus
dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan.
60
Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka unsur telah terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Dakwaan ketiga yang melanggar ketentuan Pasal 98 Undang-
undang No.31 tahun 2004 sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-undang No.45 tahun 2009 tentang Perikanan.
1. Unsur Setiap Orang
Bahwa pengertian “setiap orang” disini adalah siapa saja orang
atau subyek hukum yang melakukan perbuatan pidana dan dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Bahwa SADDANG Bin H.KULLING yang dihadapkan di
persidangan ini dengan berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, barang
bukti dan keterangan terdakwa sendiri yang membenarkan
identitasnya dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka
terdakwa yang diajukan dalam perkara ini adalah SADDANG Bin
H.KULLING sebagai manusia yang dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka unsur “setiap orang”
telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
2. Unsur Nahkoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat
persetujuan berlayar.
Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan yang
diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan didukung pula oleh
61
keterangan terdakwa sendiri, makan diperoleh fakta bahwa benar
terdakwa berlayar menggunakan KMN.NURWANDA tanpa memilik
Surat Persetujuan Berlayar.
Berdasarkan fakta tersebut, maka unsur “Nahkoda Kapal
perikanan yang tidak memiliki Surat Persetujuan Berlayar’ telah
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Perikanan dalam Putusan No.
907/Pid.B/2015/PN.Mks.
Putusan Hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek
penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Putusan
Hakim berguna bagi terdakwa untuk mendapatkan kepastian hukum
tentang statusnya. Dalam menjatuhkan putusan, keputusan Hakim
harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak
akan berhenti dengan pertimbangan hukum semata-mata, melainkan
persoalan keadilan biasanya dihubungkan dengan kepentingan
individu para pencari keadilan, dan itu berarti keadilan menurut hukum
sering diartikan dengan sebuah kemenangan dan kekalahan oleh
pencari keadilan.
Berikut ini Penulis akan menguraikan mengenai pertimbangan
hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar No.
907/Pid.B/2015/PN.Mks, yaitu sebagai berikut :
62
1. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan ke persidangan oleh
Jaksa Penuntut Umum dengan surat dakwaan tertanggal 11 Juni
2015 melanggar Pasal 98 Undang-undang No.31 tahun 2004
sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang No.45
tahun 2009 tentang Perikanan.
Menimbang, bahwa untuk membuktikan kebenaran dari surat
dakwaannya tersebut, dipersidangan telah didengar keterangan
saksi dibawah sumpah yaitu 1. PUTU HARIYANTO, 2. DODI
CHANDRA, 3. RA’JA Bin H.KULLING, 4. Dg.NIALO Bin Dg.MUIN,
5. SYAMSUDDIN NUR, S.Pi
Menimbang, bahwa selanjutnya Terdakwa SADDANG Bin
H.KULLING dipersidangan memberikan keterangan yang pada
pokoknya sebagaimana dalam berita acara dipersidangan.
Menimbang, bahwa berdasarkan saksi-saksi barang bukti,
keterangan terdakwa dihubungkan satu sama lain diperoleh fakta
fakta sebagai berikut :
- Bahwa benar terdakwa telah melakukan tindak pidana :
1. Melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan
ikan tanpa memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).
2. Melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia tanpa memiliki Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI).
63
3. Berlayar tanpa memiliki izin dari Syahbandar.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut Terdakwa
dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana seperti yang
didakwakan kepadanya melanggar Pasal 98 Undang-undang No.31
tahun 2004 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-
undang No.45 tahun 2009 tentang Perikanan.
Menimbang, bahwa karena terdakwa dinyatakan terbukti
bersalah dan di jatuhi pidana, maka terdakwa harus pula dibebani
untuk membayar biaya perkara yang jumlahnya seperti dalam amar
putusan dibawah ini;
Menimbang, bahwa sebelum dijatuhkan pidana terhadap
terdakwa maka perlu di pertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan.
Hal yang memberatkan :
1. Perbuatan Terdakwa melanggar Perundang-undangan.
Hal yang meringankan :
1. Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya;
2. Terdakwa belum pernah dihukum.
Mengingat Pasal-pasal dari ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dan ketentuan-ketetuan lain yang berhubungan
dengan perkara ini, terutama Pasal 98 Undang-undang No.31
tahun 2004 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-
undang No.45 tahun 2009 tentang Perikanan.
64
2. Putusan Hakim
1. Menyatakan terdakwa SADDANG Bin H. KULLING telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan tanpa memiliki SIUP, melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tanpa memiliki SIPI, Berlayar tanpa memiliki izin dari syahbandar.”
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut diatas dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan, denda Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), subsidair 1 (satu) bulan kurungan;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
- 1 (satu) buah Kapal KMN.NURWANDA, - 1 (satu) buah jaring (cantrang) - Dokumen kapal berupa :
1. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) Nomor : 523.5 / 329 / IV / 2014, dari Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan. Pemerintah kota Makassar, tanggal 29 April 2014 (yang sudah habis masa berlakunya sampai dengan 07 Mei 2015).
2. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan. Pemerintah kota Makassar, tanggal 29 April 2014 (yang sudah habis masa berlakunya sampai dengan 07 Mei 2015)
3. Surat Persetujuan Berlayar (SPB) No.06.14 / V / 0 / 2014 (yang sudah habis masa berlakunya sampai dengan tanggal 06 Mei 2014)
Semuanya Dirampas Untuk Negara
- Dokumen Kapal berupa : 1. Surat keterangan kecakapan Nomor : PK.684/ 08 / 02 /syb-Bje-
08. 2. Surat Keterangan Domisili Nomor : 474.4/ 66 / KGS / VI /
2008.a.n SADDANG. 3. Surat Keterangan Nomor : 552.21089 / DISHUB / X / 2013
tanggal 03 Oktober 2013. 4. Pas Kecil tanggal 03 Februari 2014. 5. Daftar anak buah Kapal KMN.NURWANDA tanggal 06 Mei 2014. 6. Surat pernyataan Nahkoda tentang pemberangkatan kapal
perikanan tanggal 06 Mei 2014. 7. Surat Laik Operasi (SLO) Kapal Perikanan Tanggal 06 Mei 2014. 8. Kementerian kelautan dan perikanan direktorat jenderal
pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan tanggal 06 Mei 2014.
65
9. Surat tanda pengenal nelayan Andon Nomor : 523.5/ 330 / IV / 2014, tanggal 24 April 2014.
4. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
5. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; 6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah). 3. Analisis Penulis
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Hakim dituntut untuk
mempunyai keyakinan dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan
alat-alat bukti yang sah serta menciptakan hukum sendiri yang
berdasarkan keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan pancasila
sebagai sumber dari segala hukum.
Pengambilan putusan oleh hakim dilakukan setelah seluruh tahap
pembuktian selesai dan para pihak telah mengajukan kesimpulannya
masing-masing. Sebelum memutus perkara tersebut, majelis hakim akan
melakukan musyawarah majelis untuk mendiskusikan dan menyimpulkan
perkara tersebut.43
Dalam kasus yang penulis bahas kali ini, letak lokasi penulis
melakukan penelitian adalah di Kota Makassar, lebih tepatnya di
Pengadilan Negeri Makassar. Penulis melakukan proses wawancara
dengan salah satu hakim yakni Bapak Bonar Harianja, SH, MH. Penulis
diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai kasus yang penulis
angkat sebagai bahan penelitian skripsi. Sehubungan dengan rumusan
43 M. Natsir Asnawi, Hermenetika Putusan Hakim, (Yogyakarta,2014) hal.15
66
masalah kedua yang diangkat oleh penulis adalah mengenai
pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan perkara pidana
no. 907/Pid.B/2015/PN Mks.
Hakim menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa dengan pidana
penjara selama 4 (empat) bulan dan denda sebesar Rp.200.000.000,-(dua
ratus juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan, sedangkan Tuntutan
Pidana dari Penuntut Umum adalah pidana penjara selama 8 (delapan)
bulan dan denda sebesar Rp.200.000.000,-(dua ratus juta rupiah)
subsidair 1 (satu) bulan kurungan. Adapula menurut Pasal 98 Undang-
undang No.31 tahun 2004 sebagaimana diubah dan ditambah dengan
Undang-undang No.45 tahun 2009 tentang Perikanan diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak sebanyak
Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Penulis sependapat dengan
penjatuhan putusan pidana penjara hanya selama 4 (empat) bulan,
karena dalam kasus ini terdakwa telah mempunyai Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP), Surat izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Persetujuan
Berlayar (SPB) tetapi sudah habis masa berlakunya dan hal yang
meringankan bahwa terdakwa belum pernah dihukum.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian sehingga penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal yang menyangkut dari pembahasan skripsi ini , yaitu:
1. Penerapan hukum pidana pidana materiil oleh Penuntut Umum
pada perkara pidana No.907/Pid.B/2015/PN MKS. Penulis
berpendapat penerapan pasal-pasal yang didakwakan kepada
terdakwa sudah tepat. Penuntut Umum menggunakan surat
dakwaan Kumulatif karena terdakwa melakukan beberapa tindak
pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri
sendiri dan harus dibuktikan satu demi satu.
2. Pertimbangan hukum hakim pada perkara pidana perikanan ini
telah sesuai karena terdakwa telah mempunyai Surat Izin Usaha
Perikanan , Surat izin Penangkapan Ikan , Surat Persetujuan
Berlayar tetapi sudah habis masa berlakunya dan hal yang
meringankan bahwa terdakwa belum pernah dihukum.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Kinerja dari aparat penegak hukum baik dari pihak kepolisian,
pihak kejaksaan maupun dari pihak hakim lebih ditingkatkan
sehingga dapat memberikan cerminan kepada masyarakat bahwa
68
kinerja aparat hukum lebih baik dari yang sebelumnya sehingga
dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada aparat
penegak hukum.
2. Diharapkan para hakim dalam menjatuhkan putusan perlu
mempertimbangkan dengan seksama faktor-faktor yang
meringankan maupun yang memberatkan dalam dakwaan.
69
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan ke-5
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana,. Jakarta:Rineka Cipta, Cetakan kedua
Andi Zainal Abidin, 2010, Hukum Pidana 1, Jakarta:Sinar Grafika, Cetakan Ketiga
Frans Maramis, 2013, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-2
Gatot Supramono, 2011, Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana Di Bidang Perikanan, Jakarta:Rineka Cipta, Cetakan Pertama
H.Djoko Tribawono, 2013, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, Cetakan kedua
H.Supriadi & Alimuddin, 2011, Hukum Perikanan di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, Cetakan pertama.
P.A.F. Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, Cetakan keempat
Ramlan, 2015, Konsep Hukum Tata Kelola Perikanan, Malang:Setara Press
Teguh Prasetyo, 2014, Hukum Pidana, Jakarta:Rajawali Pers, Edisi Pertama Cetakan kelima
Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.