SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sangat menarik untuk...
Transcript of SKRIPSI - digilib.uns.ac.id... · Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sangat menarik untuk...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PANDANGAN DUNIA PENGARANG DALAM NOVEL
NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI:
Sebuah Pendekatan Strukturalisme Genetik
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratanguna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret
Disusun oleh
AGUS PRIYANTOC0205007
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPAUNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini kupersembahkan untuk
Ibu terhebat sebagai inspirasi saya,
Bapak, tlah ku buktikan ku mampu penuhi maumu.
Kakak-kakakku dan Mbak-Mbakku atas perhatiannya
Risma Hasnawaty, S.Ikom. atas semangat yang diberikan
Orang-orang baik di sekitarku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
Man Jadda Wajada
(Sayiddinah Ali bin Abu Thalib)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah s.w.t yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga sampai
saat ini penulis masih diberikan kesempatan untuk berkarya dan mengisi kehidupan ini.
Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Rasul, Muhammad
s.a.w, keluarga, dan para sahabatnya.
Alhamdulillah, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik setelah sempat
tertunda. Berbagai kendala dan rintangan mulai dari pelaksanaan penelitian sampai pada
penyusunan skripsi ini telah berhasil dilalui. Semua itu tentunya berkat dukungan,
bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D., Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melakukan penelitian ini.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas
Maret Surakarta, yang telah memberikan kepercayaan dan dukungan selama
penyusunan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum., pembimbing skripsi yang selalu memberikan
pemikiran, arahan dan perhatian penuh kepada penulis selama penelitian
berlangsung.
4. Drs. FX. Sawardi, M. Hum., pembimbing akademik yang selalu memberikan
semangat kepada penulis agar segera menyelesaikan kuliah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
5. Ahmad Fuadi, penulis Novel Negeri Lima Menara atas informasi yang diberikan
dan motivasi sehingga skripsi ini bisa selesai.
6. Ibu dan Ayah yang senantiasa mendoakan penulis sehingga skripsi ini bisa selesai.
7. Mahasiswa Sastra Indonesia khususnya angkatan 2005 yang telah memberikan
kebersamaan, keceriaan, dan pengalaman yang sangat berharga kepada penulis.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per
satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
ABSTRAK
Agus Priyanto. C0205007. 2012. Pandangan Dunia Pengarang Dalam NovelNegeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi: Sebuah Pendekatan Strukturalisme Genetik.Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas SebelasMaret Surakarta.
Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sangat menarik untuk dikajidengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik, karena mempunyai hubungan antaralingkungan sosial saat novel tersebut diciptakan dengan lingkungan sosial pengarang.Oleh karena itu, dari pengkajian novel ini dapat diketahui pandangan dunia pengarang.Pemilihan novel Negeri Lima Menara di samping berdasarkan faktor tersebut, jugadidasarkan pada belum pernah dilakukannya pengkajian novel ini menggunakan teoriStrukturalisme Genetik.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana struktur novelNegeri Lima Menara, (2) bagaimana lingkungan sosial pengarang, (3) bagaimanalingkungan sosial novel Negeri Lima Menara, (4) bagaimana pandangan duniapengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara. Berkaitan dengan masalahtersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur novel Negeri LimaMenara, lingkungan sosial pengarang, lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara,dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatanstrukturalisme genetik. Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah struktur novelNegeri Lima Menara, lingkungan sosial Ahmad Fuadi, lingkungan sosial novel NegeriLima Menara, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel NegeriLima Menara, Teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan menggunakan modeldialektik.
Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematikdan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang, dapat disimpulkan bahwa pandangandunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara Adalah pengarang inginmengungkapkan kepada pembaca bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidakhanya memberikan pendidikan formal, namun juga membekali santri-santrinya dengankarakter, disiplin, dan semangat serta etos yang baik dalam usaha meraih impian dan cita-cita. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarangpada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai denganlatar belakang lingkungan sosial pengarang.
Berdasarkan hasil analisis di atas, saran yang penulis sampaikan antara lainpenelitian novel Negeri Lima Menara dengan menggunakan teori Strukturalisme
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
Genetik ini hendaknya dapat bermanfaat bagi pembaca, teori Strukturalisme Genetik inidapat digunakan untuk mengkaji karya sastra lainnya, dan novel Negeri Lima Menarahendaknya dapat dikaji atau dikembangkan dengan menggunakan teori yang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN...................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................... v
HALAMAN MOTTO................................................................................... vi
KATA PENGANTAR.................................................................................. vii
ABSTRAK.................................................................................................... ix
DAFTAR ISI................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL......................................................................................... xiii
DAFTAR BAGAN........................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Pembatasan Masalah.................................................................. 7
C. Rumusan Masalah...................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian....................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian..................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan................................................................. 9
BAB II LANDASAN TEORI 10
A. Struktur Intrinsik Novel.............................................................. 10
1. Tokoh dan Penokohan................................................................ 10
2. Latar atau Setting........................................................................ 12
3. Alur atau Plot.............................................................................. 15
4. Tema........................................................................................... 16
B. Strukturalisme Genetik............................................................... 17
C. Pandangan Dunia Pengarang...................................................... 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................. 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
A. Metode Penelitian....................................................................... 32
B. Pendekatan.................................................................................. 32
C. Objek Penelitian......................................................................... 33
D. Sumber Data.............................................................................. 33
E. Metode Pengumpulan Data........................................................ 34
F. Metode Analisis......................................................................... 34
G. Prosedur Penelitian..................................................................... 36
BAB IV ANALISIS..................................................................................... 38
A. Struktur Intrinsik Novel Negeri Lima Menara................................. 39
1. Tokoh dan Penokohan................................................................ 39
2. Latar atau Setting........................................................................ 44
a. Latar Tempat.......................................................................... 46
b. Latar Sosial............................................................................ 48
c. Latar Waktu........................................................................... 49
3. Alur............................................................................................. 49
a. Tahap Penyituasian................................................................ 49
b. Tahap Pemunculan Konflik................................................... 52
c. Tahap Peningkatan Konflik................................................... 53
d. Tahap Klimaks....................................................................... 55
e. Tahap Penyelesaian................................................................ 57
4. Tema.......................................................................................... 58
B. Lingkungan Sosial Pengarang.......................................................... 62
C. Lingkungan Sosial Novel Negeri Lima Menara............................... 64
D. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Negeri Lima Menara.... 73
BAB V PENUTUP...................................................................................... 82
A. Kesimpulan....................................................................................... 82
B. Saran................................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 85LAMPIRAN 86
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Deskripsi Data Berkaitan dengan Penokohan................................. 39
Tabel 2. Deskripsi Data Berkaitan dengan Latar atau Setting....................... 44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan1. Komponen-komponen analisis data ............................................... 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
ABSTRAK
Agus Priyanto. C0205007. 2012. Pandangan Dunia Pengarang DalamNovel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi: Sebuah PendekatanStrukturalisme Genetik. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra danSeni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sangat menarik untukdikaji dengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik, karena mempunyaihubungan antara lingkungan sosial saat novel tersebut diciptakan denganlingkungan sosial pengarang. Oleh karena itu, dari pengkajian novel ini dapatdiketahui pandangan dunia pengarang. Pemilihan novel Negeri Lima Menara disamping berdasarkan faktor tersebut, juga didasarkan pada belum pernahdilakukannya pengkajian novel ini menggunakan teori Strukturalisme Genetik.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana strukturnovel Negeri Lima Menara, (2) bagaimana lingkungan sosial pengarang, (3)bagaimana lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara, (4) bagaimanapandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara.Berkaitan dengan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapstruktur novel Negeri Lima Menara, lingkungan sosial pengarang, lingkungansosial novel Negeri Lima Menara, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksidalam novel Negeri Lima Menara.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatanstrukturalisme genetik. Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah strukturnovel Negeri Lima Menara, lingkungan sosial Ahmad Fuadi, lingkungan sosialnovel Negeri Lima Menara, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksidalam novel Negeri Lima Menara, Teknik analisis data yang digunakan yaitudengan menggunakan model dialektik.
Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokohproblematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang, dapat disimpulkanbahwa pandangan dunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara Adalahpengarang ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa pesantren adalah lembagapendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan formal, namun juga membekalisantri-santrinya dengan karakter, disiplin, dan semangat serta etos yang baik dalamusaha meraih impian dan cita-cita. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai dengan latar belakang lingkungan sosialpengarang.
Berdasarkan hasil analisis di atas, saran yang penulis sampaikan antaralain penelitian novel Negeri Lima Menara dengan menggunakan teori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
Strukturalisme Genetik ini hendaknya dapat bermanfaat bagi pembaca, teoriStrukturalisme Genetik ini dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra lainnya,dan novel Negeri Lima Menara hendaknya dapat dikaji atau dikembangkandengan menggunakan teori yang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra muncul sebagai cermin kehidupan masyarakat yang mewakili
situasi dan keadaan sekitarnya. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu karya
yang mampu merefleksikan zamannya. Karya sastra dipandang sebagai refleksi
zaman yang mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu
melainkan anggota masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Di dalam karya
sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-
peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat
tokoh-tokoh cerita.
Sebagai bagian dari masyarakat, pengarang dianggap mampu memberikan
cerminan kepada pembaca dari pengalaman-pengalamannya dalam karya sastra.
Pengarang menuangkan segala imajinasi yang dimilikinya untuk menghasilkan
karya sastra. Dalam hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, Teeuw
menjelaskan bahwa karya sastra lahir dari peneladanan terhadap kenyataan, tetapi
sekaligus juga model kenyataan (Teeuw, 1988:228) . Lebih lanjut Goldmann
mengemukakan (dalam Teeuw, 1988:153) bahwa struktur kemaknaan itu
mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu,
tetapi sebagai wakil golongan masyarakatnya.
Pada umumnya karya sastra lahir dari situasi yang terjadi disekitar
pengarang. Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk
mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang
serta menggunakan media bahasa sebagai penyampainya. Karya sastra merupakan
fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya sastra lahir
dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang
secara mendalam melalui proses imajinasi (Aminuddin, 1990: 57).
Ditinjau dari segi pembacaannya karya sastra merupakan bayang-bayang
realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan refleksi berbagai permasalahan
dalam kehidupan. Jadi dapat disimpulkan bahwa karya sastra lahir dari latar
belakang dan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.
Ditinjau dari segi penciptanya, karya sastra merupakan pengalaman batin
penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi
budaya tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial
suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang
diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia
dalam berbagai kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal manusia,
kebudayaan serta zamannya (Zulfahnur, dkk 1996: 254).
Karya sastra juga dipandang sebagai refleksi zaman yang dapat
mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Karya
sastra diciptakan oleh pengarang sebagai individu yang berada dalam masyarakat
dan zaman tertentu. Pandangan dunia pengarang terbentuk atas hubungan antara
konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata dan latar sosial
budaya pengarang dengan novel yang dihasilkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh
karena itu, pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili
identitas kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya.
Pandangan inilah yang menentukan struktur karya sastra (Goldmann dalam
Endraswara, 2003:57).
Melalui karya sastra masyarakat pembaca sastra akan mengetahui
kehidupan sosial masyarakat pencipta karya sastra tersebut (Sumardjo, 1995: 99 –
100). Dengan demikian, karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan bertujuan
untuk menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita. Novel yang mampu
menggambarkan atau mencerminkan kehidupan yang nyata dalam sebuah
masyarakat tergolong sebagai novel yang baik, karena pada dasarnya, novel
adalah pengetahuan realita nonilmiah yang muncul dan terjadi dalam suatu
masyarakat (Wellek dan Warren, 1994:94).
Pada umumnya karya sastra lahir dari situasi yang terjadi disekitar
pengarang. Sastra merupakan gambaran masyarakat. Hal ini berarti bahwa
kejadian-kejadian atau problem kehidupan yang terjadi dalam masyarakat direkam
oleh pengarang dan didasarkan daya imajinasi dan kreasi masalah-masalah
tersebut dituangkan dalam karya sastra. Pengarang mengajak pembaca untuk
melihat, merasakan, dan menghayati makna pengalaman hidup seperti yang
dirasakan pengarang melalui karyanya.
Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama
membentuk sebuah totalitas itu di samping unsur formal bahasa masih banyak lagi
macamnya. Namun secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya itu sendiri. Unsur intrinsik dalam novel adalah unsur-unsur
yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar bebagai
unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Unsur-unsur
intrinsik yang membangun sebuah novel antara lain peristiwa, cerita, plot,
penokohan, tema, latar, sudut pandang, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain.
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada di luar tubuh karya sastra tetapi sangat
berpengaruh terhadap isi karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik yang membangun
sebuah novel misalnya kapan karya sastra itu dibuat, latar belakang kehidupan
pengarang, latar belakang sosial pengarang, dan sebagainya.
Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra, diciptakan pengarang untuk
mengungkapkan kehidupan manusia dalam waktu yang lama. Di dalam suatu
novel muncul peristiwa-peristiwa yang akan merubah jalan hidup para pelakunya.
Dalam novel pengarang menggambarkan perubahan perilaku, watak tokoh,
maupun alur cerita, serta sikap dalam menghadapi konflik kehidupan. Pengarang
sebagai warga masyarakat, dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Sebagai warga
masyarakat, ia tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah sosial,
budaya, politik, serta mengikuti isu-isu sezamannya. Keterlibatan sosial, sikap,
dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak hanya dari karya sastranya, tetapi
juga dari dokumen biografinya. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi
studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal
ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang
akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek
dan Warren,1994:112)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Dengan demikian penilaian yang akan diberikan terhadap karya sastra
jelas akan kurang lengkap tanpa sebelumnya memahami seluruh seluk-beluk dan
latar belakang sosial maupun latar belakang kebudayaan pengarangnya, karena
pemahaman terhadap latar belakang kehidupan pengarang akan mempermudah
atau dapat membantu memahami karya sastra.
Seperti novel yang akan dikaji oleh penulis, berjudul Negeri Lima Menara
yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, novel tersebut terinspirasi dari kisah nyata
pengarang semasa menempuh pendidikan. Negeri Lima Menara adalah novel
pertama karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2009.
Novel ini bercerita tentang kehidupan 6 (enam) santri dari 6 (enam) daerah yang
berbeda menuntut ilmu di Pondok Madani (PM) Ponorogo Jawa Timur yang jauh
dari rumah dan berhasil mewujudkan mimpi menggapai jendela dunia. Mereka
adalah: Alif Fikri Chaniago dari Maninjau, Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari
Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso Salahuddin
dari Gowa.
Mereka sekolah, belajar dan berasrama dari kelas 1 (satu) sampai kelas 6
(enam). Kian hari mereka semakin akrab dan memiliki kegemaran yang sama
yaitu duduk di bawah menara Pondok Madani. Dari kegemaran yang sama mereka
menyebut diri mereka sebagai Sahibul Menara.
Penulis mengambil novel ini sebagai objek penelitian karena adanya fakta
sosial tentang masalah-masalah dan latar belakang pengalaman yang pernah
dihadapi oleh pengarang menjadi sumber inspirasi penciptaan novel Negeri Lima
Menara. Selain daripada hal tersebut, latar belakang profesi pengarang turut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
mempengaruhi gaya penulisan novel ini yang sangat mengutamakan unsur otentik
dan keaslian dalam penggambaran setting/latar belakang cerita. Novel ini telah
mendapatkan penghargaan antara lain; Liputan6 Award Bidang Motivasi dan
Edukasi SCTV tahun 2011, Long List-Khatulistiwa Literary Award tahun 2010,
Anugerah Pembaca Indonesia sebagai Buku dan Penulis Terfavorit tahun 2010,
Buku Fiksi Terbaik tahun 2011 diperoleh dari Perpustakaan Nasional RI dan
Penulis Terbaik tahun 2011 dari IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) selain
pengahargaan tersebut, novel ini sudah difilmkan dan ditayangkan pada awal
Maret 2012 di seluruh Indonesia. Selain cukup menghibur, keunggulan novel ini
adalah menjadi National Best Seller yang sudah mencapai cetakan ke-9
(sembilan) pada November 2010 sejak pertama terbit pada bulan Juli 2009.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori strukturalisme
genetik sebagai alat bantu untuk memahami pengaruh dunia pengarang dalam
penciptaan novel Negeri Lima Menara. Analisis strukturalisme genetik dalam
karya sastra berguna untuk menganalisis kehidupan-kehidupan sosial, interaksi-
interaksi sosial tokoh-tokoh dalam novel Negeri Lima Menara. Penulis akan lebih
mendeskripsikan pandangan dunia pengarang terhadap cerita dan tokoh-tokoh
yang muncul dalam cerita novel Negeri Lima Menara. Untuk itu, pada penulisan
skripsi ini, penulis mengambil judul : ”Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel
Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi: Sebuah Pendekatan Strukturalisme
Genetik”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dimaksudkan agar penelitian menjadi jelas dan
terarah, sehingga mencapai sasaran yang diinginkan. Agar penelitian ini mencapai
sasaran yang tepat, penelitian ini membatasi masalahnya pada analisis
strukturalisme genetik. Analisis ini dikhususkan pada analisis tekstual guna
mengetahui pandangan dunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis sampaikan, maka dapat
penulis sertakan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah struktur intrinsik dalam novel Negeri Lima Menara ?
2. Bagaimanakah konteks sosial dalam novel Negeri Lima Menara ?
3. Bagaimanakah latar belakang kehidupan sosial pengarang novel Negeri
Lima Menara ?
4. Bagaimanakah pandangan dunia pengarang novel Negeri Lima Menara ?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Rumusan Masalah yang telah penulis sampaikan diatas, maka
adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Mengungkap struktur intrinsik novel Negeri Lima Menara.
2. Mengungkap konteks sosial yang terdapat dalam novel Negeri Lima
Menara.
3. Mengungkap latar belakang kehidupan sosial budaya pengarang novel
Negeri Lima Menara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
4. Mengungkap pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam novel
Negeri Lima Menara.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis
a. Menambah khasanah pengkajian sastra khususnya teori strukturalisme
genetik dan penggunaannya di dalam analisis sebuah karya sastra.
b. Memberikan kajian mengenai pandangan dunia pengarang lewat karyanya
sehingga dapat memberikan masukan yang berguna bagi pembaca untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang sering terjadi pada diri seseorang
maupun masalah yang muncul di masyarakat.
c. Memberikan sumbangan terhadap perkembangan penelitian sastra pada
khususnya, dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Membantu pembaca dalam memahami novel Negeri Lima Menara dari
sudut pandang dunia pengarang.
b. Menambah khazanah pengkajian sastra tentang strukturalisme genetik
khususnya mengkaji pandangan dunia pengarang lewat karyanya sehingga
dapat memberikan masukan yang berguna bagi pembaca untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang sering terjadi pada diri seseorang maupun
masalah yang muncul di masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bab I pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab II landasan teori terdiri dari struktur intrinsik novel, strukturalisme
genetik, dan pandangan dunia pengarang.
Bab III metodologi penelitian terdiri dari metode penelitian, pendekatan,
objek penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis.
Bab IV analisis berisi struktur novel, lingkungan sosial pengarang,
lingkungan sosial novel, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam
novel Negeri Lima Menara.
Bab V penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Pada bagian akhir laporan akan dilengkapi dengan daftar pustaka,
lampiran-lampiran, serta sinopsis novel Negeri Lima Menara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Struktur Intrinsik Novel
Menurut Fananie (2000: 83) unsur intrinsik adalah struktur formal karya
sastra yang dapat disebut sebagai elemen-elemen atau unsur-unsur yang
membentuk karya sastra. Unsur-unsur tersebut secara utuh membangun karya
sastra fiksi dari dalam, unsur-unsur intrinsik yang paling pokok terdiri dari; (1)
tokoh dan penokohan, (2) latar, (3) alur, dan (4) tema. Unsur intrinsik dalam novel
adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita.
1. Tokoh dan Penokohan
Menurut Sudjiman, penokohan merupakan penciptaan citra tokoh di dalam
karya sastra. Dalam kisah yang fiktif pengarang membentuk tokoh-tokoh yang
fiktif secara meyakinkan sehingga pembaca seolah-olah merasa berhadapan
dengan manusia yang sebenarnya (Sudjiman, 1984:42). Tokoh adalah pelaku
dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada beberapa tokoh namun pada
umumnya ada satu tokoh utama. Tokoh utama tersebut adalah tokoh yang sangat
penting dalam pengambilan peranan sebuah karya sastra.
Pegembangan penokohan meliputi dua aspek yaitu aspek penampilan dan
aspek watak atau karakter. Adapun jenis tokoh ada dua yaitu tokoh datar (flash
character) dan tokoh bulat (round character).
Tokoh datar adalah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi saja,
misalnya baik saja atau buruk saja. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
menunjukkan berbagai segi, misalnya segi kebaikan, keburukan, kelemahan, dan
sebagainya. Jadi, ada perkembangan yang terjadi pada tokoh tersebut.
Dari segi kejiwaan dikenal ada tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh
introvert adalah pribadi tokoh yang ditentukan oleh ketidaksadarannya.
Sedangkan tokoh ekstrovert adalah pribadi tokoh yang ditentukan oleh
kesadarannya.
Dalam karya sastra dikenal juga tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang disukai oleh pembaca atau penikmat sastra
karena sifat-sifatnya. Sedangkan tokoh ekstrovert adalah tokoh yang tidak disukai
oleh pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya.
Menurut Sayuti (1996: 47) ditinjau dari segi keterlibatannya dalam
keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Tokoh sentral atau tokoh utama
Tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam
peristiwa atau tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh sentral atau tokoh
utama dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu (1) tokoh itu yang paling terlibat
dengan makna atau tema, (2) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan
tokoh lain, dan (3) tokoh itu paling memerlukan waktu penceritaan.
b. Tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan)
Tokoh bawahan merupakan tokoh yang mengambil bagian kecil dalam
peristiwa suatu cerita atau tokoh yang sedikit diceritakan. Penokohan adalah
pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan
sebagainya (Suharianto 1982: 31).
Dalam penokohan, dikenal ada dua cara atau metode yang digunakan
pengarang untuk menggambarkan tokoh cerita (Sayuti 1996: 57-59) antara lain:
1. Metode diskursif atau metode analitik
Metode ini digunakan pengarang dengan menyebutkan secara langsung
masing-masing kualitas tokoh-tokohnya.
2. Metode dramatis atau metode tidak langsung
Metode ini digunakan pengarang dengan memberikan tokoh-tokohnya
untuk menyatakan diri mereka sendiri. Metode ini dapat dilakukan dari beberapa
teknik antara lain: (1) teknik pemberian nama, (2) teknik cakapan, (3) teknik
pikiran tokoh, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik lukisan persoalan tokoh, (6)
teknik perbuatan tokoh, (7) teknik pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap
tokoh lain, (8) teknik lukisan fisik, dan (9) teknik pelukisan latar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan dalam
karya sastra adalah cara pengarang menggambarkan tokoh yang dapat
menggerakkan cerita. Sedangkan tokoh-tokoh dalam cerita itu mempunyai watak
atau karakter yang menghidupkan ketokohannya.
2. Latar atau Setting
Latar atau setting adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu
karya sastra (Sudjiman, 1984:44).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Unsur latar dibedakan dalam beberapa indikator. Abrams (dalam Fananie,
2000:99) berpendapat, latar dibedakan menurut tiga indikator yang meliputi;
pertama, general locale (tempat secara umum); kedua historical time (waktu
historis); ketiga social circumstances (lingkungan sosial).
Senada dengan Abrams, Nurgiyantoro (2002:227) juga membedakan latar
menjadi tiga kategori :
a. Latar tempat, yaitu menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
b. Latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c. Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi.
Fungsi setting/latar menurut Rene Wellek dan Austin Warren (dalam
Wellek dan Warren 1994:290-291). adalah sebagai berikut
a. Latar adalah lingkungan, dan lingkungan terutama interior rumah dapat
dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari
tokohnya. Rumah seseorang adalah perhiasan bagi dirinya sendiri. Kalau
kita menggambarkan rumahnya berarti kita menggambarkan sang tokoh.
Latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana
adanya dan berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh, latar
menjadi metafor dari keadaan emosional dan spiritual tokoh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
b. Latar yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan mood: alur dan
penokohan didominasi oleh nada dan kesan tertentu disebut latar noveltik,
misalnya pada karya noveltik. Deskripsi naturalistik lebih bersifat
dokumentasi, dengan tujuan menciptakan ilusi.
c. Dalam drama, latar digambarkan secara verbal (seperti dalam drama
Shakespeare)atau ditunjukkan oleh petunjuk pementasan yang
menyangkut dekorasi dan peralatan panggung disebut latar realistis.
d. Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap
sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat
dikontrol oleh individu.
Latar tidak hanya menunjukkan di mana dan kapan cerita itu terjadi. Lebih
dari itu, latar juga harus sesuai dengan situasi sosial dan diagesis atau logika
ceritanya. Hal ini diungkapkan oleh Zainuddin Fananie dalam bukunya Telaah
Sastra. Fananie, (2000:99) berpendapat bahwa dalam telaah setting/latar sebuah
karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat. hanya sekedar tempat
terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa, dan situasi sosialnya, melainkan
juga dari konteks diagesis-nya kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak
para tokohnya sesuai dengan situasi pada saat karya tersebut diciptakan. Karena
itu, dari telaah yang dilakukan harus diketahui sejauh mana kewajaran, logika
peristiwa, perkembangan karakter pelaku sesuai dengan pandangan masyarakat
yang berlaku saat itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
3. Alur atau Plot
Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat
sehingga menjadi satu-kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Sebuah cerita
merupakan rangkaian peristiwa. Peristiwa yang dirangkaikan tersebut adalah
susunan peristiwa yang lebih kecil. Rangkaian kejadian itu tidak hanya disusun
berdasarkan komposisi cerita melainkan bergerak berdasarkan hubungan sebab
akibat.
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah
plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering pula disebut alur, yakni cara
pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan
hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat dan utuh
(Suharianto 1982: 28).
Menurut Zulfahnur, dkk (1996: 27), berdasarkan fungsinya alur dibagi
menjadi;
a. Alur utama
Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, dibentuk oleh peristiwa
pokok atau utama.
b. Alur bawahan (subplot)
Alur bawahan adalah alur yang berisi kejadian-kejadian kecil menunjang
peristiwa-peristiwa pokok, sehingga cerita tambahan tersebut berfungsi
sebagai ilustrasi alur utama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
4. Tema dan Amanat
Fananie mengemukakan pendapatnya bahwa tema adalah ide, gagasan,
pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra (2000:
84). Senada dengan pendapat tersebut, Nurgiyantoro juga mengatakan bahwa
tema adalah dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel/novel.
Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh
pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain,
cerita tentunya akan setia mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan
sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan berbagai unsur
intrinsik yang lain dapat mencerminkan gagasan dasar umum (baca: tema)
tersebut (2002:70).
Analisis terhadap tema diusahakan untuk memahami cerita secara terpadu.
Meskipun demikian, dalam sebuah karya sastra terkadang tidak hanya memuat
satu tema. Karena itu, curahan perhatian sering tertuju pada bagian-bagian itu.
Dengan kata lain, kemunculan motif yang berulang kali dapat dikatakan sebagai
pengenalan terhadap tema utama dan tema bawahan atau tema-tema minor
mempertegas tema mayor.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa tema adalah persoalan
yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Tema dapat dibedakan
menjadi dua yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor merupakan tema
yang sangat menonjol dan tema minor adalah tema yang tidak menonjol.
Amanat menurut Panuti Sudjiman (1984) adalah “gagasan yang mendasari
karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
pendengar. Di dalam karya sastra modern, amanat ini biasanya tersirat dan di
dalam karya sastra lama pada umumnya tersurat” (hal.5).
Tema dan amanat sangat erat kaitannya. Amanat merupakan pemecahan
persoalan yang terkandung dalam tema. Amanat juga merupakan pesan yang ingin
disampaikan pengarang dalam rangka menyelesaikan persoalan yang ada.
B. Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik (genetik structuralism) adalah cabang penelitian
sastra secara struktural yang tak murni. Strukturalisme genetik ini merupakan
penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya
(Endraswara 2003: 55).
Semula, peletak dasar strukturalisme genetik adalah Taine. Bagi dia, karya
sastra sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan
atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya
dilahirkan.
Strukturalisme genetik muncul sebagai reaksi atas Stukturalisme murni
yang mengabaikan latar belakang sejarah dan latar belakang sastra yang lain. Hal
ini diakui pertama kali oleh Juhl (Teeuw 1988: 173) bahwa penafsiran model
strukturalisme murni atau strukturalisme klasik kurang berhasil (Endraswara
2003: 55-56).
Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan ini mempunyai segi-segi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
bermanfaat dan berdaya guna tinggi, apabila para peneliti sendiri tidak melupakan
atau tetap memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di
samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya
bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan
faktor imajinasi (Endraswara 2003: 56).
Pendapat di atas sesuai dengan pendapat Endraswara (2003: 56) yang
menyatakan bahwa studi strukturalisme genetik memiliki dua kerangka besar.
Pertama hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu
karya sastra yang sama, dan kedua hubungan tersebut membentuk suatu jaringan
yang saling mengikat.
Strukturalisme genetik tidak begitu saja dari struktur dan pandangan dunia
pengarang. Pandangan dunia pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar
belakang kehidupan pengarang. Hal itulah yang memberikan kekuatan hasil
analisis novel dengan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra
secara singkatnya adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai
cermin kehidupan masyarakat. Pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat.
Jelaslah bahwa pendekatan sosiologi sastra terutama dengan metode
strukturalisme genetik sangat erat hubungannya dengan pengarang.
Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia
merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok
dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia
untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Fananie
2000: 117).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Strukturalisme genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang
berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu yang statis
dan lahir yang sendirinya melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategori
pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat
interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Oleh karena
itu pemahaman mengenai strukturalisme genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa
pertimbangan-pertimbangan faktor-faktor sosial yang melahirkannya, sebab faktor
itulah yang memberikan kepaduan pada struktur karya sastra itu (Goldmann
dalam Faruk 1999: 13).
Ada dua kelompok karya sastra menurut Goldmann (Iswanto dalam
Jabrohim (ed) 1994: 61), yaitu karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang utama
dan karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang kelas dua. Karya sastra yang
dihasilkan oleh pengarang utama adalah karya sastra yang strukturnya sebangun
dengan struktur kelompok atau kelas sosial tertentu. Sedangkan, karya sastra yang
dihasilkan oleh pengarang kelas dua adalah karya sastra yang isinya sekedar
reproduksi segi permukaan realitas dan kesadaran kolektif. Untuk penelitian sastra
yang mengungkapkan pendekatan strukturalisme genetik oleh Goldmann
disarankan menggunakan karya sastra ciptaan pengarang utama, karena sastra
yang dihasilkannya merupakan karya agung (master peace) yang di dalamnya
mempunyai tokoh problematik (problematic hero) atau mempunyai wira yang
memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (autthentic
value).
Menurut Goldmann (dalam Endraswara 2003: 57) karya sastra sebagai
struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat
ditanyakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang
menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui
pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Keterkaitan pandangan
dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann
merupakan hubungan genetik, karenanya disebut sebagai strukturalisme genetik.
Pada bagian lain, Goldmann mengemukakan bahwa pandangan dunia merupakan
perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan
sesamanya dengan alam semesta.
Sebagai sebuah analisis strukturalisme genetik didasarkan faktor
kesejarahan karena tanpa menghubungkan dengan fakta-fakta kesejarahan pada
suatu objek kolektif di mana suatu karya diciptakan, tidak seorang pun akan
mampu memahami secara komprehensif pandangan dunia atau hakikat dari yang
dipelajari (Goldmann dalam Fananie 2000: 120).
Pandangan dunia, yang bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya
sastra adalah abstraksi. Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret
dalam sastra. Oleh karena itu pandangan dunia ini suatu bentuk kesadaran kolektif
yang mewakili kelas sosialnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami
asalnya dan terjadinya (unsur genetik) dari latar belakang sosial tertentu.
Keterkaitan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut
bagi Goldmann merupakan hubungan genetik dan disebut strukturalisme genetik.
Dalam kaitannya ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya
(Endraswara 2003: 57).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Atas dasar hal-hal tersebut, Goldmann (dalam Endraswara 2003: 57)
memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu:
(1) penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan; (2)
karya sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang bernilai sastra yaitu karya
yang mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu
keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian
dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial. Secara sederhana,
kerja penelitian strukturalisme genetik dapat diformulasikan dalam tiga langkah
antara lain:
1. Penelitian bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun
dalam jalinan keseluruhan.
Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut
pandang yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari bagian unsur intrinsik
(kesatuan dan koherensi) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan
menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakat. Karya dipandang
sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkap aspek sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan
dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra. Untuk sampai
pada world view yang merupakan pandangan dunia pengarang memang bukan
perjalanan mudah. Karena itu, Goldman mengisyaratkan bahwa penelitian bukan
terletak pada analisis isi, melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita
itu kemudian dicari jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan pada
struktur dengan mengabaikan isi kebenarannya merupakan suatu permasalahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
tersendiri, karena hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang merupakan
tradisi sendiri (Laurenson dan Swingewood dalam Endraswara 2003: 57-58).
Penelitian sastra yang menggunakan pendekatan strukturalisme genetik
terlebih dahulu harus memulai langkah yaitu kajian unsur-unsur intrinsik. Dari
pengkajian unsur-unsur intrinsik ini akan dapat memunculkan tokoh problematik
dalam novel tersebut. Tokoh problematik yang terdapat dalam novel akan
memunculkan adanya pandangan dunia pengarang akan dimunculkan melalui
tokoh problematik (problematic hero). Tokoh problematik (problematik hero)
adalah tokoh yang mempunyai masalah yang berhadapan dengan kondisi sosial
yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih
(authentic value). Melalui tokoh problematik inilah pandangan dunia pengarang
akan terlihat dari pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada
tokoh problematik dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang
dihadapi.
2. Mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan
bagian dari komunitas tertentu.
Sosial budaya terdiri atas dua kata yaitu sosial dan budaya. Sosial berarti
berkenaan dengan masyarakat. Budaya adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan
karsa masyarakat. Budaya dapat dikaitkan sebagai warisan yang dipandang
sebagai karya yang tersusun secara teratur, terbiasa, dan sesuai dengan tata tertib.
Hasil budaya tersebut dapat berupa kemahiran teknik, pikiran, gagasan,
kebiasaan-kebiasaan tertentu atau hal-hal yang bersifat kebendaan. Kata
kebudayaan mengandung pengertian yang kompleks yang mencakup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, cara hidup, dan
lain-lain. kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat kebudayaan adalah hasil budi, daya kerja
akal manusia dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan
terbentuk karena adanya manusia, sedang manusia merupakan anggota
masyarakat. Simpulan yang diperoleh dari beberapa pengertian sosial budaya di
atas adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum,
adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia melalui akal
budinya sebagai makhluk sosial.
Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk karya sastra yang
diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999: 55) sekolah dan
latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa
yang dikerjakan oleh sastrawan.
Gejolak batin pengarang menjadi hal yang sangat urgen dalam peristiwa
munculnya karya sastra. Sebagai manusia pengarang berusaha mengaktualisasikan
dirinya, menaruh minat terhadap masalah-masalah manusia dan kemanusiaan,
hidup, dan kehidupan melalui karya sastra. Meskipun demikian, karya sastra
berbeda dengan rumusan sejarah. Dalam sebuah karya sastra, kehidupan yang
ditampilkan merupakan peramuan antara pengamatan dunia keseharian dan hasil
imajinasi. Jadi, kehidupan dalam sastra merupakan kehidupan yang telah diwarnai
oleh pandangan-pandangan pengarang.
Latar belakang sosial budaya pengarang dapat mempengaruhi penciptaan
karya-karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan keadaan sosial baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
secara individual (pengarang) maupun secara kolektif. Hal tersebut menyebabkan
secara sadar atau tidak sadar bahwa dalam menciptakan karya sastra baik sedikit
ataupun banyak dipengaruhi oleh pemikiran perasaan dan pengalaman hidupnya,
salah satunya yaitu bahwa latar belakang sosial budaya pengarang akan
mempengaruhi penciptaan karya sastra yang ditulisnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial
budaya pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Karena
pengarang merupakan bagian dari komunitas tertentu. Sehingga kehidupan sosial
budaya pengarang akan dapat mempengaruhi karya sastranya. Pengarang bukan
hanya penyalur dari suatu pandangan dunia kelompok masyarakat, tetapi juga
menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan
pikirannya tentang satu peristiwa. Secara singkat, kehidupan sosial budaya
pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan
dunia pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berintereaksi
dengan pandangan kelompok sosial masyarakat pengarang.
3. Mengkaji latar belakang sosial sejarah yang turut mengkondisikan karya
sastra saat diciptakan oleh pengarang.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh
karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
(Iswanto dalam Jabrohim (ed) 1994: 59).
Karya sastra yang besar menurut Goldman (dalam Fananie 2000: 165)
dianggap sebagai fakta sosial dari subjek tran-individual karena merupakan alam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin
dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat
historis.
Johnson (dalam Faruk 1999: 45-46) menyimpulkan bahwa novel
mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan
sosial. Dengan demikian, karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk
menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita.
Bonald (dalam Wellek dan Warren 1994: 110) mengemukakan hubungan
antara sastra erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra ada hubungan dengan
perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan
secara keseluruhan kehidupan zaman tertentu secara nyata dan menyeluruh.
Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat berpengaruh
terhadap proses penciptaan karya sastra, baik dari segi isi maupun bentuknya atau
strukturnya. Suatu masyarakat tertentu yang menghidupi pengarang dengan
sendirinya akan melahirkan suatu warna karya sastra tertentu pula (Iswanto dalam
Jabrohim (ed) 1994: 61).
Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem
kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalamnya. Karya sastra memberi
pengaruh pada masyarakat, bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai
karya sastra yang hidup pada suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri
merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang
diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya
sebagai realitas sosial (Semi 1989: 73).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Semi (1989: 53) menyatakan bahwa karya sastra merupakan suatu
fenomena sosial yang terkait dengan penulis, pembaca, dan kehidupan manusia.
Karya sastra sebagai fenomena sosial tidak hanya terletak pada segi penciptanya
saja, tetapi juga pada hakikat karya sastra itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan
bahwa reaksi sosial seorang penulis terhadap fenomena sosial yang dihadapinya
mendorong ia menulis karya sastra. Oleh karena itu, mempelajari karya sastra
berarti mempelajari kehidupan sosial. Hal itu bermakna bahwa kajian karya sastra
terkait dengan kajian manusia, kajian tentang kehidupan.
Untuk lebih jelasnya, dalam melakukan penelitian dengan menggunakan
metode strukturalisme genetik dapat kita ikuti langkah-langkah yang ditawarkan
oleh Laurensin dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman (Iswanto dalam
Jabrohim (ed) 1994: 62) sebagai berikut:
a. Peneliti sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti
strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga
terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
b. Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra
dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan
dengan struktur mental yang berhubungan dengan pandangan dunia
pengarang.
c. Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu
metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang
sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencapai premis general.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
C. Pandangan Dunia Pengarang
Pandangan dunia adalah istilah menyeluruh dari gagasan-gagasan,
aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-
sama anggota-anggota suatu kelornpok sosial tertentu dan yang
mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain (Goldmann
dalam Faruk, 1999: 16). Pandangan dunia merupakan produk interaksi antara
subjek kolektif dengan situasi sekitarnya sebab pandangan dunia tidak lahir
dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan
bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya
mentalitas yang lama.
Dalam salah satu esainya, “Genetic Structuralism in The Sociology of
Literature” Lucien Goldman (dalam Elizabeth & Burns 1973:118-119)
menjelaskan, ada tiga kemungkinan yang dilakukan seorang pengarang dalam
menghadapi realitas lingkungannya: (1) mencatat dan memaknai, (2) bersikap dan
bereaksi, serta (3) mengubah dan menciptakan realitas baru dalam karyanya.
Kesadaran yang nyata adalah kesadaran yang dimiliki oleh individu-
individu yang ada dalam masyarakat, kelompok sekerja, dan sebagainya ditambah
dengan kompleksnya mengenai makna dan arah dan aspirasi makna dan arah
keseluruhan dan aspirasi-aspirasi, perilaku-perilaku, dan emosi-emosi kolektifnya.
Sebaliknya, kesadaran yang mungkin adalah yang menyatakan suatu
kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang
koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan
alam semesta. (Goldmann dalam Faruk 1999: 16-17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Menurut Goldmann (dalam Endraswara, 2003: 57) karya sastra sebagai
struktur yang memiliki makna merupakan wakil pandangan dunia (vision du
monde) pengarang tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota
masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara
utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra
diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur rnasyarakat bisa mengakibatkan
penelitian sastra menjadi pincang.
Pandangan dunia yang bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra
yang agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi
objektif). Kemudian abstraksi itu akan mengalami bentuk konkret dalam karya
sastra. Oleh identitas kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas
sosialnya. Pandangan itulah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh
sebab itu karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya)
dan latar belakang sosial tertentu, yang bagi Goldmann merupakan hubungan
genetik. (Goldmann dalam Endaswara, 2003: 57)
Goldmann menyatakan bahwa pandangan dunia erat hubungannya dengan
unsur struktur karya sastra dan struktur masyarakat. Goldmann percaya adanya
homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya
merupakan produk dan aktivitas strukturasi yang sama. Akan tetapi, hubungan
antara keduanya tersebut tidak dipahami sebagai hubungan determinasi yang
Iangsung, melainkan dimediasi oleh apa yang disebutnya sebagai pandangan
dunia (Goldmann dalam Faruk, 1999: 15-16).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Goldman beranggapan bahwa manusia (individu) tidak mungkin
mempunyai pandangan dunianya (world view) sendiri (Junus 1986:25). Goldman
mencoba mendapatkan pandangan dunia pengarangnya. Penulis itu sendiri
bukanlah seorang individu yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari suatu
‘kelompok sosial’, sehingga pandangannya tadi adalah juga pandangan kelompok
sosial, transindividual subject (Junus 1988:16).
Proses panjang dan interaksi subjek kolektif dengan situasi sekitarnya
dapat disebabkan oleh kenyataan bahwa pandangan dunia itu merupakan
kesadaran yang tidak sernua orang dapat mernahaminya. Dalam hal ini, kesadaran
yang mungkin terjadi dibedakan dan kesadaran nyata (Goldmann dalam Faruk,
1999: 16).
Goldmann (dalam Faruk, 1999: 16) berpendapat bahwa pandangan dunia
tidak dapat terlahir secara tiba-tiba karena pandangan dunia merupakan produk
interaksi antara subjek kolektif dengan situasi sekitarnya. Transformasi mentalitas
yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya
mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama.
Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik
(problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan
dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi
merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu
kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu memperoleh bentuk konkret di
dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak
memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu. Hal-hal tersebut di atas
dimaksudkan untuk menjembatani fakta estetik. (Goldmann dalam Fananie,
2000:118). Adapun fakta estetik dibaginya menjadi dua tataran hubungan yang
meliputi:
a. Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan
alam ciptaan pengarang.
b. Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu seperti diksi, sintaksis,
dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang dipergunakan
pengarang dalam ciptaannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia
terbentuk atas dua aspek yaitu (1) hubungan antara konteks sosial dalam novel
dengan konteks sosial kehidupan nyata, (2) hubungan latar sosial budaya
pengarang dengan novel yang dihasilkannya.
Karya sastra yang besar menurut Goldmann (dalam Fananie, 2000:165)
dianggap sebagai fakta sosial dari subjek trans-individual karena merupakan alam
semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin
dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat
historis. Dengan demikian, karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk
menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita. Konteks sosial novel
merupakan karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil
imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.
Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat
tertentu (Iswanto dalam Jabrohim (ed) 1994:61).
Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk dan karya yang
diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999:55) sekolah dan
latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa
yang dikerjakan oleh sastrawan.
Pandangan dunia pengarang adalah keseluruhan gagasan, aspirasi dan
perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu
kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-
kelompok sosial yang lain yang diwakili pengarang sebagai bagian dari
masyarakat. Pandangan ini tidak mewakili pengarang sebagai individu tetapi
pengarang sebagai subjek kolektif yang memiliki pandangan menyeluruh tentang
dunia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang
bersifat deskriptif. Analisis deskriptif kualitatif adalah penelitian yng bermaksud
memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara
deskriptif dalam bentuk khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah (Moleong 2000: 6)
Hal ini berarti data yang dikumpulkan berupa kata-kata yang diproses
sebelum digunakan dan dianalisis tetap dengan kata-kata yang disusun ke dalam
teks yang diperluas. Laporan ini disertai dengan kutipan-kutipan data (Moloeng,
2000: 6).
Penelitian ini akan mendeskripsikan unsur-unsur pembangun Negeri Lima
Menara, dan pandangan dunia pengarang yang turut menginspirasi novel Negeri
Lima Menara.
B. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
strukturalisme genetik. Pendekatan strukturalisme genetik merupakan suatu
disiplin ilmu yang menaruh perhatian pada teks sastra dan latar belakang sosial
budaya serta subjek yang menghasilkannya (Sangidu, 2004: 29).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Penelitian struktural genetik adalah menganalisis unsur-unsur intrinsik
yang terdapat dalam novel dan unsur ekstrinsik yang ada di luar novel. Pengkajian
diawali dengan kajian unsur intrinsik sebagai data dasarnya. Selanjutnya
penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya.
(Endraswara, 2003: 56).
C. Objek Penelitian
1. Struktur intrinsik yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara.
2. Konteks sosial yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara.
3. Latar belakang kehidupan sosial pengarang novel Negeri Lima Menara.
4. Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima
Menara.
D. Sumber Data
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama
Indonesia di Jakarta, tahun 2010 setebal 422 halaman.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang berasal dari
buku-buku, artikel-artikel, dan rekaman wawancara acara televisi dengan
pengarang novel Negeri Lima Menara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
E. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui teknik-teknik berikut.
1. Teknik Pustaka
Teknik pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan menggunakan
sumber-sumber tertulis dan rekaman.
2. Teknik Simak Catat
Teknik simak catat adalah membaca, memahami, dan menafsirkan
sumber-sumber data dan dilanjutkan dengan mencatat data yang ditemukan.
F. Metode Analisis
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis Miles dan
Huberman. Analisis ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/
verifikasi.
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus
selama penelitian berlangsung. Selama pengumpulan data berlangsung terjadilah
tahapan reduksi selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema,
membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo). Reduksi data ini
berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan terakhir lengkap
tersusun. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-
kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Alur penting kedua yang dilakukan selanjutnya adalah menyajikan data.
Dengan melihat penyajian-penyajian kita akan dapat memahami apa yang sedang
terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasar atas pemahaman yang didapat dari
penyajian-penyajian tersebut. Penyajian data yang baik merupakan suatu cara
yang utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajian data ini merupakan
sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Alur ketiga adalah penarikan kesimpulan/ verifikasi. Dari pengumpulan
data, peneliti mencari arti dari benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola,
penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan
proposisi. Peneliti yang berkompeten akan menangani kesimpulan-kesimpulan itu
dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan,
mula-mula belum jelas namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan
mengakar dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung. Makna-makna dari data yang muncul dari data harus diuji
kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yang merupakan validitasnya.
Ketiga alur penelitian ini (reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan/ verifikasi) merupakan sesuatu yang jalin menjalin pada saat, sebelum
dan sesudah pengumpulan data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Bagan 1.
Komponen-komponen analisis data
Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data
Kesimpulan-kesimpulan: Penarikkan/Verifikasi
Sumber: Miles dan Huberman, 1992: 18
Dalam pandangan ini tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan
pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti
bergerak di antara empat sumbu kumparan itu sebelum pengumpulan data,
selanjutnya bergerak bolak-balik di antar kegiatan reduksi, penyajian dan
penarikan kesimpulan/ verifikasi selama sisa waktu penelitiannya.
G. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Membaca novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi secara
berulang-ulang dari awal sampai akhir cerita.
2. Mengkaji struktur novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
3. Mengkaji lingkungan sosial Ahmad Fuadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
4. Mengkaji lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara karya Ahmad
Fuadi.
5. Menghubungkan antara struktur novel Negeri Lima Menara, lingkungan
sosial Ahmad Fuadi, dan lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara.
Dari proses tersebut diperoleh pandangan dunia pengarang yang terefleksi
dalam novel Negeri Lima Menara melalui tokoh problematik yang ada
dalam novel tersebut.
6. Menarik simpulan dari permasalahan yang telah dikaji dalam novel Negeri
Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Kesimpulan tersebut dapat diketahui
dengan beberapa metode/cara yaitu;
a. Deduktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan dari data-data yang
bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus.
b. Induktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan dari data-data yang
bersifat khusus menuju kesimpulan yang bersifat umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
BAB IV
ANALISIS
Pada bab IV ini akan dijelaskan mengenai unsur-unsur intrinsik yang
terdapat dalam novel Negeri Lima Menara, yang nantinya dari pengkajian unsur-
unsur intrinsik ini akan ditemukan tokoh problematik yang terdapat dalam novel.
Setelah pengkajian unsur-unsur intrinsik akan diteruskan dengan penjelasan
mengenai lingkungan sosial Ahmad Fuadi yang merupakan pengarang novel
Negeri Lima Menara. Penjelasan ini dilakukan supaya dapat diketahui apakah
lingkungan sosial Ahmad Fuadi dapat mempengaruhi dalam penulisan novel
Negeri Lima Menara. Penelitian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai
lingkungan sosial novel. Hal ini dilakukan supaya dapat diketahui mengenai isi
cerita yang terdapat dalam novel. Setelah dilakukan penjelasan-penjelasan di atas,
diteruskan dengan penjelasan mengenai pandangan dunia pengarang yang
terefleksi dalam novel Negeri Lima Menara. Hal ini dilakukan dengan cara
menghubung-hubungkan antara unsur intrinsik, lingkungan sosial Ahmad Fuadi,
dan lingkungan sosial novel Negeri Lima Menara. Dari proses menghubung-
hubungkan ini akan ditemukan tokoh problematik yang terdapat dalam novel.
Dengan adanya tokoh problematik ini, dapat dilihat pandangan dunia pengarang
yang terefleksi dalam novel, yaitu dengan melihat solusi-solusi apa yang
diberikan oleh pengarang pada waktu tokoh problematik mengalami suatu
masalah dan berusaha untuk lepas dari permasalahan yang sedang dihadapinya.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu per satu sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
A. Struktur Intrinsik Novel Negeri Lima Menara
1. Tokoh dan Penokohan
Penokohan dalam suatu cerita berkaitan dengan para pelaku beserta
perwatakannya. Penokohan dalam novel Negeri 5 Menara dapat dideskripsikan
sebagai berikut.
Tabel 1
Deskripsi Data Berkaitan dengan Penokohan
No Tokoh Data Sikap
(1) (2) (3) (4)
1 Alif Fikri a. “Tiga tahun aku ikuti perintahAmak belajar di madrasahsanawiyah, sekarang waktunya akumenjadi seperti orang umumnya,masuk jalur non agama—SMA.”(hal. 5)“Amak, kalau memang harussekolah agama, ambo ingin masukpondok saja di Jawa. Tidak mau diBukittinggi atau Padang.” (hal. 12)
b. “Tapi Amak, ambo tidak berbakatdengan ilmu agama. Ambo inginmenjadi insinyur dan ahliekonomi,” tangkisku sengit.“Menjadi pemimpin agama lebihmulia daripada jadi insinyur, Nak.”“Tapi aku tidak mau.” (hal. 9)
c. “Ya Allah, hamba datang mengadukepadaMu dengan hati rusuh danberharap.” (hal. 197)“Ya Allah telah aku sempurnakansemua usahaku dan doakukepadaMu. Sekarang semuanya akuserahkan kepadaMu. Aku tawakal
a. Berbakti padaorang tua
b. Berpendiriankuat
c. Religius
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
dan ikhlas.” (hal. 199)
d. “Setiap aku membaca suratnya, akuhampir selalu merasa iri mendengardia mendapatkan semua yang diamau.” (hal. 205)
e. “Tuhan, mungkinkah aku bisamenjejakkan kaki di benua hebat itukelak?” (hal. 208)“Akhirnya pertanyaan itu meledakjuga keluar: bagaimana kalau akukeluar dari PM, sekarang juga?Agar aku bisa mengejar mimpiseperti Randai.” (hal. 313)
d. Iri
e. Berangan-angan tinggi
2 Said a. “Ya akhi, ngopi dulu supaya tidakngantuk.” (hal. 198)
b. “Kita langsung ke Surabaya.” (hal.343)
a. Bersahabat
b. Tanggap
3 Atang a. “Said, ingat, jangan kita jadi jasusdua kali dalam dua bulam.” (hal.129)
b. “Aku punya ide. Jadi kawan-kawan,aku ingin kita membuat teater yangpanggungnya tidak terbatas dipanggung depan, tapi panggungnyajuga adalah tempat dudukpenonton.” (hal.340)
a. Patuh aturan
b. kreatif
4 Raja Lubis a. “Dari sepuluh orang bersaudara,aku sendirilah yang diberi amanatIbu dan Bapak untuk belajaragama.” (hal 44)
b. “Jangan. Kita coba dulu. Aku sajayang maju duluan.” (hal.124)
a. Berbaktikepada orangtua
b. pemberani
5 Baso a. “Baso adalah anak paling rajin diantara kami dan paling bersegerakalau disuruh ke masjid. Sejakmendeklarasikan niat untukmenghapal lebih dari enam ribuayat Al Quran di luar kepala, diabegitu disiplin menyediakan waktuuntuk membaca buku favoritnya:Al Quran butut yang dibawa dari
a. Rajin, disiplin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
kampung sendiri. Dia memberusul.” (hal. 92)
b. “Hanya hapalan …hanya hapalanQuran inilah yang bisa aku berikanuntuk membalas kebaikan mereka.”(hal. 362)
b. Berbakti padaorang tua
6 Dulmajid a. “Kawanku yang lain adalahDulmajid dari Madura… Dikemudian hari, aku menyadari diaorang paling jujur, paling keras,tapi juga paling setia kawan yangaku kenal.” (hal.46)
b. ”Siapa bilang kita tidak bisamenonton?”Lalu usulmu apa?” kata Atang“Kita dekati siapa yang berkuasa disini.” (hal. 179)
c. “Ingat kawan, motto kita: manjadda wajada. Ditambah doa darikalian dan prasangka baik kepadaTuhan, apa pun bisa terjadi.” (hal.180)
a. Jujur, keras,setia kawan
b. Optimis
c. tegar
7 Amak a. Itu baru anak Amak dan umat nabiMuhammad.” (hal. 138)
b. Ambo tidak mau ikut bersekongkoldalam ketidak-jujuran ini.” (hal.139)
c. “Pokoknya Amak tidak rela waangmasuk SMA.” (hal.9)
d. “Kalau itu memang maumu, kamilepas waang dengan berat hati.”(hal. 13)
a. Penyayang
b. Jujur
c. Keras hati
d. Bijaksana
8 Ayah a. “Kami sudah daftarkan namawaang untuk ikut ujian persamaandelapan bulan lagi. Karena itu, tidakada salahnya tetap bertahan di sini.Selesaikanlah apa yang sudahdimulai.” (hal.376)
a. Bijaksana
9 Kiai Rais a. “Niatkan menuntut ilmu hanyakarena Allah, lillahi taala.” (hal 50)
a. Bijaksana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
b. “Pasang niat kuat, berusaha kerasdan berdoa khusuk, lambat laun,apa yang kalian perjuangkan akanberhasil. Ini sunnatullah-hukumTuhan.” (hal. 136)
c. “Jangan berharap dunia yangberubah, tapi diri kitalah yang harusberubah.” (hal. 158)
b. Bijaksana
c. Motivator
10 Ustad Salman a. “Jadi pilihlah suasana hati kalian,dalam situasi paling kacausekalipun. Karena kalianlahmaster dan penguasa hati kalian.”(hal 108)
a. Motivator
11 Ustad Khalid a. “Saya pribadi telah memutuskanuntuk berwakaf kepada PM. Danbarang yang saya wakafkan adalahdiri saya sendiri.” (hal. 253)
a. Ikhlas dalamberamal
12 Ustad Torik a. “Kali ini saya maafkan karenahujan, lain kali, tidak adatoleransi.” (hal. 131)
b. “Itu bukan alasan. Menunggusampai pagi pun masih bisa.” (hal.351)
a. Bijaksana
b. Tegas
13 Tyson a. “1 menit atau 1 jam, terlambatadalah terlambat. Inipelanggaran.”
a. Tegas
14 Randai a. “Bagaimana rasanya jadi pasukanbersarung dan berkopiah? Apakahpekerjaan kamu setiap hari adalahshalat dan mengaji?” (hal. 101)
a. Sukamengejek
Tokoh utama dalam cerita ini adalah Alif Fikri. Alif Fikri adalah seorang
tokoh yang berusaha untuk patuh pada orang tua. Ia berusaha untuk mengikuti
keinginan kedua orang tuanya. Dengan tekad itu, ia mengikuti keinginan orang
tuanya untuk masuk Madrasah Sanawiyah, sekolah lanjutan agama setara SMP.
Hal itu terlihat dari jalan pikiran tokoh Alif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
“Tiga tahun aku ikuti perintah Amak belajar di madrasah tsanawiyah,sekarang waktunya aku menjadi seperti orang umumnya, masuk jalur nonagama—SMA.” (Negeri Lima Menara hal. 5)
Ia memiliki cita-cita yang tinggi ingin seperti Habibie tapi ibunya
menginginkan dia seperti Buya Hamka, seorang ulama besar dari Sumatera Barat.
Perbedaan pandangan inilah yang sempat menimbulkan perdebatan antara Alif
dan ibunya. Sikap Alif ini terlihat dari dialog antara dirinya dengan Amak.
“Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo inginmenjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangkisku sengit.
“Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.”
“Tapi aku tidak ingin…” (Negeri Lima Menara hal.9)
Tokoh lain dalam cerita ini adalah Said, Raja, Atang, Baso, dan Dulmajid.
Mereka terkenal dengan sebutan Sahibul Menara bersama tokoh Aku. Mereka
memiliki cita-cita yang tinggi seperti tokoh Aku. Mereka sering memimpikan
cita-cita mereka di bawah menara masjid.
Penggambaran watak kelima tokoh tersebut banyak diungkapkan melalui
tuturan langsung pengarang. Perhatikan bagaimana pengarang menggambarkan
watak tokoh Baso dan Dulmajid berikut ini.
“Kawanku yang lain adalah Dulmajid dari Madura… Di kemudian hari,aku menyadari dia orang paling jujur, paling keras, tapi juga paling setiakawan yang aku kenal.” (Negeri Lima Menara hal. 46)
“Baso adalah anak paling rajin di antara kami dan paling bersegera kalaudisuruh ke masjid. Sejak mendeklarasikan niat untuk menghapal lebih darienam ribu ayat Al Quran di luar kepala, dia begitu disiplin menyediakanwaktu untuk membaca buku favoritnya: Al Quran butut yang dibawa darikampung sendiri. Dia memberi usul.” (Negeri Lima Menara hal. 92)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Watak Amak terlihat dari pembicaraan dia dengan kepala sekolah dan
guru-guru menyikapi ide untuk membantu siswa dalam menghadapi ujian
nasional. Amak dengan tegas menolaknya. Hal itu terlihat dari dialog berikut ini.
”Ambo tidak mau ikut bersekongkol dalam ketidakjujuran ini.” (NegeriLima Menara hal. 139)
2. Latar
Latar/ setting berkaitan denga tempat, waktu, dan situasi sosial suatu
cerita. Latar dalam novel Negeri Lima Menara dapat dideskripsikan sebagai
berikut.
Tabel 2
Deskripsi Data Berkaitan dengan Latar / Setting
Indikator Data
(1) (2)
1. Latar Tempat a. “Kantorku berada di IndependenceAvenue, jalan yang selalu riuhdengan pejalan kaki dan lalu lintasmobil. Diapit dua tempat tujuanwisata terkenal di ibu kota AmerikaSerikat, The Capitol and The Mall,tempat berpusatnya aneka museumSmithsonian yang tidak bakal habisdijalani sebulan. Posisi kantorkuhanya sepelemparan batu dari TheCapitol, beberapa belas menit naikmobil ke kantor George Bush diGedung Putih, kantor Colin Powelldi Department of State, markas FBI,dan Pentagon. Lokasi impianbanyak wartawan.” (hal. 2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
b. “Aku tegak di atas panggung aulamadrasah negeri setingkat SMP.Sambil mengguncang-guncangtelapak tanganku, Pak Sikumbang,Kepala Sekolahku memberi selamatkarena nilai ujianku termasuksepuluh yang tertinggi di KabupatenAgam.” (hal. 5)
c. “Bapak, Ibu dan tamu pondok yangberbahagia. Selamat datang diPondok Madani. Hari ini saya akanmenemani Anda semua untukkeliling melihat berbagai sudutpondok seluas lima belas hektarini.” (hal. 30)
d. “Di bawah bayangan menara inikami lewatkan waktu untukbercerita tentang impian-impiankami, membahas pelajaran tadisiang, ditemani kacang sukro.Bagaikan menara, cita-cita kamitinggi menjulang. Kami inginsampai di puncak-puncak mimpikelak.”“Saking seringnya kami berkumpuldi kaki menara, kawan-kawan lainmenggelari kami dengan SahibulMenara, orang yang punya menara.”(hal. 94)
e. “Bunyi gemeretak terdengar setiapsepatuku melintas onggokan saljutipis yang menutupi
2. Latar Waktu a. “Washington DC, Desember 2003,jam 16.00” (hal. 1)
b. “Aku tegak di atas panggung aulamadrasah negeri setingkat SMP.”(hal. 5)
c. “London, Desember 2003.” (hal.400)
3. Latar Sosial a. “Belum pernah dalam hidupkumelihat orang belajar bersamadalam jumlah yang banyak di satutempat. Di PM, orang belajar disetiap sudut dan waktu. Kamisanggup membaca buku sambilberjalan, sambil bersepeda, sambil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
antri mandi, sambil antri makan,sambil makan bahkan sambilmengantuk. Animo belajar inisemakin menggila begitu masa ujiandatang. Kami mendesak dirimelampau limit normal untukmenemukan limit baru yang jauhlebih tinggi.”“Aku merasakan PM sengajamengajarkan candu. Candu iniditawarkan siang malam,sedemikian rupa sehingga semuamurid jatuh menyerah kepadanya.Kami telah ketagihan. Kami candubelajar. Dan imtihan atau ujianadalah pesta merayakan candu itu.”(hal. 200)
a. Latar Tempat
Cerita ini diawali dengan kisah ketika tokoh Alif berada di Washington
DC, Amerika Serikat. Ia adalah salah sorang warga negara Indonesia yang sedang
menjalankan tugas sebagai seorang wartawan VOA. Ia juga merupakan salah
seorang saksi terjadinya peristiwa 11 September 2001 yang meluluhlantahkan
gedung World Trade Centre, di Amerika Serikat.
“Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh denganpejalan kaki dan lalu lintas mobil. Diapit dua tempat tujuan wisata terkenaldi ibu kota Amerika Serikat, The Capitol and The Mall, tempatberpusatnya aneka museum Smithsonian yang tidak bakal habis dijalanisebulan. Posisi kantorku hanya sepelemparan batu dari The Capitol,beberapa belas menit naik mobil ke kantor George Bush di Gedung Putih,kantor Colin Powell di Department of State, markas FBI, dan Pentagon.Lokasi impian banyak wartawan.” (Negeri Lima Menara, hal. 2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Ranah Minang merupakan awal perjalanan tokoh Alif dalam meraih cita-
citanya. Di sinilah tempat masa-masa suka cita Alif di waktu kecil. Semasa SMP,
Alif bercita-cita ingin seperti Habibie. Ia ingin melanjutkan sekolah ke SMA dan
selanjutnya kuliah di ITB. Sayang, cita-citanya tidak sejalan dengan keinginan
ibunya. Dengan setengah hati, ia mengikuti keinginan ibunya untuk belajar di
pondok.
“Aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambilmengguncang-guncang telapak tanganku, Pak Sikumbang, KepalaSekolahku memberi selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yangtertinggi di Kabupaten Agam.” (Negeri Lima Menara, hal. 5)
Secara umum, latar dalam cerita ini sebagian besar mengisahkan
kehidupan Sahibul Menara di Pondok Madani, sebuah pesantren di Ponorogo
Jawa timur. Di pondok ini, para santri dididik untuk menjadi manusia-manusia
yang mandiri, kreatif, memiliki kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab
dan Inggris. Di sini para santri dibina dengan kedisiplinan yang sangat ketat.
Siapa yang melanggar akan mendapat sanksi yang setimpal tanpa pandang bulu.
Di sini pulalah para santri yang tergabung dalam Sahibul Menara yang terdiri atas
Alif, Said, Atang, Baso, Raja, dan Dulmajid mulai memiliki cita-cita masing-
masing. Di bawah menara masjid, mereka membayangkan dunia impian masing-
masing.
“Bapak, Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat dating di PondokMadani. Hari ini saya akan menemani Anda semua untuk keliling melihatberbagai sudut pondok seluas lima belas hektar ini.” (Negeri LimaMenara, hal. 30)
“Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk berceritatentang impian-impian kami, membahas pelajaran tadi siang, ditemani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kacang sukro. Bagaikan menara, cita-cita kami tinggi menjulang. Kamiingin sampai di puncak-puncak mimpi kelak.”
“Saking seringnya kami berkumpul di kaki menara, kawan-kawan lainmenggelari kami dengan Sahibul Menara, orang yang punya menara.”(Negeri Lima Menara, hal. 94)
London adalah tempat bertemu kembali para Sahibul Menara ketika
mereka telah berhasil meraih cita-cita mereka.
“Bunyi gemeretak terdengar setiap sepatuku melintas onggokan salju tipisyang menutupi permukaan trotoar. Tidak lama kemudian aku sampai diTrafalgar Square, sebuah lapangan beton yang amat luas. Dua air mancurbesar memancarkan air tinggi ke udara dan mengirim tempias dinginnyake wajahku. Square ini dikelilingi museum berpilar tinggi, gedung opera,dan kantor-kantor berdinding kelabu, tepat di tengah-tengah kesibukanLondon.” (Negeri Lima Menara, hal. 400)
b. Latar Sosial
Latar sosial dalam novel ini menggambarkan bagaimana suasana
kehidupan di Pondok Madani. Para santri begitu giat belajar. Setiap waktu mereka
manfaatkan untuk belajar. Tidak ada waktu untuk berleha-leha.
“Belum pernah dalam hidupku melihat orang belajar bersama dalamjumlah yang banyak di satu tempat. Di PM, orang belajar di setiap sudutdan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambilbersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan, sambil makan bahkansambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggila begitu masa ujiandatang. Kami mendesak diri melampau limit normal untuk menemukanlimit baru yang jauh lebih tinggi.”
“Aku merasakan PM sengaja mengajarkan candu. Candu ini ditawarkansiang malam, sedemikian rupa sehingga semua murid jatuh menyerahkepadanya. Kami telah ketagihan. Kami candu belajar. Dan imtihan atauujian adalah pesta merayakan candu itu.” (Negeri Lima Menara, hal. 200)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
c. Latar Waktu
Peristiwa dalam novel Negeri Lima Menara terjadi antara tahun 2003
hingga tahun 1992 atau selama sebelas tahun. Hal ini dapat diketahui dari kutipan
sebagai berikut
“Washington DC, Desember 2003, jam 16.00. . . ” (Negeri Lima Menarahal. 1)
“London, Desember 2003.. . .” (Negeri Lima Menara ,hal. 400)
“... Dia tergesa gesa melepaskan sarung tangan kulitnya. “Khifa haluk yaakhi?”katanya sambil menggenggam tanganku keras. Kami laluberpelukan erat melepas kangen 11 tahun perpisahan. (Negeri LimaMenara, hal: 401-402)
3. Alur
a. Tahap Penyituasian (Situation)
Tahap Situasi merupakan tahap pertama penceritaan. Tahap ini berisi
pengenalan situasi-situasi, latar, dan tokoh-tokoh dalam cerita. Sebagai tahap
pembuka, penyituasian lebih berfungsi pemberi informasi awal.
Tahap ini dimulai ketika Alif Fikri, tokoh dalam novel ini bekerja di
Washinton DC Amerika Serikat, sebagai wartawan asal Indonesia. Ketika sedang
bekerja di kantor, ia mendapatkan e-mail dari sahabat lama yang merupakan salah
satu anggota Sahibul Menara yaitu menara keempat Atang kutipannya adalah
sebagai berikut;
Iseng saja, aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaannyadengan ujung telunjuk tangan kananku. Hawa dingin segera menjalariwajah dan lengan kananku dari balik kerai tipis di lantai empat itu, saljutampak turun menggumpal-gumpal seperti kapas yang dituang dari langit.Ketukan-ketukan halus terdengar setiap gumpal salju menyentuh kaca didepanku. Matahari sore menggantung condong ke barat membentuk piringputih susu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yanganggun putih gading, bergaya klasik dengan tonggak-tonggak besar.Kubah raksasanya yang berundak-undak semakin memutih ditaburi salju,bagai mengenakan kopiah haji. Di depan gedung ini, hamparan pohonamerican elm yang biasanya rimbun kini tinggal dahan-dahan tanpa daunyang dibalut serbuk es. Sudah 3 jam salju turun. Tanah bagai dilengkapipermadani putih. Jalan raya yang lebar-lebar mulai dipadati mobilkaryawan yang berangsur-angsur pulang. Berbaris seperti semut. Lampurem yang hidup-mati-hidup-mati memantul merah di salju. Sirine polisi –atau ambulans – sekali-sekali menggertak disertai bunyi klakson.
Udara hangat yang berbau agak hangus dan kering menderu-deru keluardari alat pemanas di ujung ruangan. Mesin ini menggeram-geram karenabekerja maksimal. Walau begitu badan setelan melayuku tetap menggigilmelawan suhu yang anjlok sejak beberapa jam lalu. Televisi di ujungruang kantor menayangkan Weather Channel yang mencatat suhu diluarminus 2 derajat celcius. Lebih dingin dari secawan es tebak di Pasar Ateh,Bukittinggi.
Aku suka dan benci dengan musim dingin. Benci karena harus membebatdiri dengan baju tebal yang besar. Yang lebih menyebalkan, kulit tropiskuberubah kering dan gatal di sana-sini. Tapi aku selalu terpesona melihatbangunan, pohon, taman dan kota diselimuti salju putih berkilat-kilat.Rasanya tenteram, ajaib dan aneh. Mungkin karena sangat berbeda denganalam kampungku di Danau Maninjau yang serba biru dan hijau. Setelahdipikir-pikir, aku siap gatal daripada melewatkan pesona winter timeseperti hari ini.
Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh denganpejalan kaki dan lalu lintas mobil. Diapit dua tempat tujuan wisata terkenaldi Ibukota Amerika Serikat, The Capitol and The Mall, tempat berpusatnyaaneka museum Smithsonian yang tidak bakal habis dijalani sebulan. Posisikantorku hanya sepelemparan batu dari di The Capitol, beberapa belasmenit naik mobil ke kantor George Bush di Gedung Putih, kantor ColinPowel di Departement of State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impianbanyak wartawan.
Walau dingin mencucuk tulang, hari ini aku lebih bersemangat dari biasa.Ini hari terakhirku masuk kantor sebelum terbang ke Eropa, untuk tugassekaligus urusan pribadi. Tugas liputan ke London untuk wawancaradengan Tonny Blair perdana menteri Inggris, dan misi pribadikumenghadiri undangan The World Inter-Faith Forum. Bukan sebagaipeliput , tapi sebagai salah satu panelis. Sebagai wartawan asal Indonesiayang berkantor di AS, kenyang meliput isu muslim Amerika , termasukserangan 11 September 2001.
Kamera, digital recorder dan tiket aku benamkan ke ransel NationalGeographic hijau pupus. Semua lengkap. Aku jangkau gantungan baju didinding cubicle-ku. Jaket hitam selutut aku kenakan dan syal cashmer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
cokelat tua, aku bebatkan di leher. Oke, semua beres. Tanganku segerabergerak melipat layar Apple Powerbook-ku yang berwarna perak.
Ping... bunyi halus dari messenger menghentikan tanganku. Layarberbahan titanium kembali aku kuakkan. Sebuah pesan pendek munculberkedip-kedip di ujung kanan monitor. Dari seorang bernama “Batutah”.Tapi aku tidak kenal seorang “Batutah” pun.
“maaf ini alif dari pm”
Jariku cepat menekan tuts
“betul ini siapa ya?”
Diam sejenak. Sebuah pesan baru muncul lagi.
“alif anggota pasukan sahibul menara?”
Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Jariku menari ligat di keyboard.
“benar ini siapa sih?” balasku mulai tidak sabar.
“menara keempat, ingat gak?”
Sekali lagi aku eja lambat-lambat... me-na-ra- ke-em-pat... tidak salahbaca. Jantungku seperti ditabuh cepat. Perutku terasa dingin. Sudah lamasekali.
Aku bergegas menghentak-hentakan jari. (Negeri Lima Menara hal. 1-3)
Alif teringat dengan masa lalunya, masa ketika ia lulus SMP dan ingin
melanjutkan ke SMA di Bukittinggi. Namun, impiannya kandas karena orang
tuanya lebih menginginkan Alif untuk melanjutkan pendidikannya di pesantren.
Alur cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh Aku sebagai seorang anak
SMP yang bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie. Tokoh Aku berkeinginan
untuk melanjutkan pendidikan ke SMA dan selanjutnya bisa kuliah di ITB.
“Nilaiku adalah tiket untuk mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi. Tigatahun aku ikuti perintah Amak belajar di madrasah tsanawiyah, sekarangwaktunya aku menjadi seperti orang umumnya, masuk jalur non agama—SMA. Aku bahkan sudah berjanji dengan Randai, kawan dekatku dimadrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke SMA. Alangkahbangganya kalau bisa bilang, saya anak SMA Bukittinggi.” (Negeri LimaMenara hal. 5)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
b. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumtance)
Tahap ini merupakan tahap awal pemunculan konflik dan konflik ini yang
akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahapan
berikutnya. Konflik mulai muncul ketika keinginan tokoh Alif itu tidak sejalan
dengan keinginan ibunya. Ibunya menginginkan tokoh Alif menjadi ulama besar
seperti Buya Hamka. Sementara tokoh Aku bercita-cita ingin menjadi insinyur
dan ahli ekonomi, seperti Habibie.
“Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karenauang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah.”
“Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo inginmenjadi insinyur dan ahli ekonomi.” Tangkis Alif.
“Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.” KataAmak.
“Tapi aku tidak ingin ... ”
“Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yangbesar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.”
“Tapi aku tidak mau.” Kata Alif. (Negeri Lima Menara hal. 8-9)
Takut disebut sebagai anak durhaka, dengan setengah hati tokoh Aku
mengikuti keinginan ibunya. Tokoh Aku selanjutnya melanjutkan pendidikan ke
Pondok Madani, sebuah pesantren yang berada di pelosok Jawa Timur.
Selanjutnya, pemunculan konflik terjadi saat Alif membaca surat dari
sahabat lamanya Randai.
“Aku baca suratnya sekali lagi. Senang mendapat surat dari kawan lamadan melihat kebahagiaannya masuk sekolah baru. Tapi aku juga iri dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
bercampur sedih. Rencana masuk SMA-nya juga rencanaku dulu. KetikaRandai senang dengan maprasnya, aku malah kalut dijewer dan menjadijasus. Dia bebas di luar jam sekolah, aku di sini didikte oleh bunyilonceng. Dia akan mengejar mimpinya menjadi insinyur yang membangunpesawat atau proyek seperti PLTA Maninjau. Sementara aku di sini,mungkin menjadi ustad dan guru ngaji.” ( Negeri Lima Menara, hal. 102-103)
Tokoh utama, Alif mulai mengalami kegalauan ketika semakin sering
membaca surat yang dikirimkan Randai, hal ini yang memunculkan konflik
dalam batin tokoh. Kegalauan tersebut seperti diceritakan dalam kutipan di bawah
ini;
“Bagaimana pun aku semakin menikmati pengalaman baru di PM, tetapsaja ada yang masih sering hilang timbul dan kerap mengganggupikiranku: kandasnya cita-cita masuk SMA. Surat-surat Randai yang terusdating dan bercerita tentang SMA-nya bagai meniup api dalam sekam.”(Negeri Lima Menara, hal.157)“Sementara potongan Koran Haluan yang dikirimnya berisi beritakemenangan Randai dalam lomba deklamasi antar SMA. Dia menyabetjuara dua dan menerima trofi dari Walikota Bukittinggi. Bibirkutersenyum. Seberat hawa panas menjalar di dadaku.”“Aku tidak tahu bagaimana sebaiknya. Setiap aku membaca suratnya, akuhampir selalu merasa iri mendengar dia mendapatkan semua yang diamau. Padahal ustadku jelas mengajarkan tidak boleh iri. Tapi kalau akutidak membaca suratnya, aku tahu aku sangat penasaran mengetahuikabarnya. Mungkin jauh di lubuk hatiku, aku selalu berharap bisamengungguli dia.” (Negeri Lima Menara, hal.205)
Selanjutnya dari konflik-konflik yang muncul tersebut berkembang
menjadi konflik dengan intensitas baik tokoh yang terlibat maupun besaran dari
konflik tersebut.
c. Tahap Peningkatan Konflik (Resing Action)
Konflik yang telah muncul pada tahap sebelumnya semakin
dikembangkan kadar intensitas pemunculannya. Setiap tokoh kejadian mampu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
menumbuhkan masalah-masalah baru yang muncul dari situasiorisinil yang
disajikan dalam cerita.
Selama di pondok, sebenarnya banyak hal yang dapat diraih oleh tokoh
Alif mulai dari kemampuan berbahasa Inggris dan Arab hingga kemampuan
dalam bidang jurnalsitik. Namun selama di pondok ini pula, Alif sering
mengalami konflik batin. Ia masih sering membayangkan cita-citanya dulu yang
ingin melanjutkan ke SMA. Apalagi ketika Randai, temannya dulu sering
mengirim surat dan menceritakan bagaimana suka hatinya masuk SMA.
“Dan sekam yang tidak pernah pudar dalam 3 tahun ini akhirnya meletik-letik dan menyala menjadi api. Ada iri yang meronta-ronta di dadaku.Semua yang didapat Randai adalah mimpiku juga. Mahasiswa ITB danbercita-cita jadi Habibie. Kini kawanku mendapatkan semuanya kontan.Sedangkan aku masih harus mengangsur 1 tahun lagi sebagai murid kelas6 di PM.”
“Batinku perang. Dari sepucuk surat, kegelisahan di pedalaman hati inimenjalar ke permukaan dan cepat mempengaruhi semesta pikiranku.”(Negeri Lima Menara , hal.311)
“Akhirnya pertanyaan itu meledak juga keluar: bagaimana kalau akukeluar dari PM, sekarang juga? Agar aku bisa mengejar mimpi sepertiRandai. Menjadi mahasiswa dan bukan di jalur pelajaran agama. Tapiartinya aku akan jadi orang yang kalah, karena pulang ketika perangbelum selesai.” (Negeri Lima Menara , hal.313)
Selanjutnya konflik batin semakin meruncing ketika Alif semakin sering
membaca surat yang dikirimkan oleh Randai.
“Akhirnya pertanyaan itu meledak juga keluar: bagaimana kalau akukeluar dari PM, sekarang juga? Agar aku bisa mengejar mimpi sepertiRandai. Menjadi mahasiswa dan bukan di jalur pelajaran agama. Tapiartinya aku akan jadi orang yang kalah, karena pulang ketika perangbelum selesai.” (Negeri Lima Menara, hal.313)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
d. Tahap Klimaks
Konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi diperlihatkan tokoh
dalam cerita mencapai intensitas puncak. Tahap ini merupakan pertemuan dari
kekuatan dan penentu yang saling bertentangan dan diimbangi dengan
menemukan jalan keluar, kemudian dilanjutkan oleh puncak peranan dari tokoh
yang melanjutkan cerita.
Klimaks dalam cerita ini adalah ketika tokoh Aku dihadapkan pada
pertentangan antara tetap di pondok atau keluar dari pondok. Surat-surat dari
Randai, temannya yang mengabarkan bahwa dia sudah bisa kuliah di ITB rupanya
telah berhasil mempengaruhi tokoh Aku untuk keluar dari pondok. Motivasi tokoh
Aku untuk keluar dari pondok adalah keinginannya untuk bisa kuliah di ITB pada
tahun itu juga. Lama ia berada dalam kebingungan antara menyelesaikan
pendidikan di pondok yang tinggal sebentar lagi atau keluar dari pondok untuk
meraih cita-citanya yang tertunda. Klimaks dalam Negeri Lima Menara dapat
ditemukan dalam kutipan berikut;
“Aku menarik napas panjang dan berat setelah membaca surat ini. Akubisa merasakan kalau Amak menulis surat ini dengan air mata. Akutergugah, tapi sekaligus bingung.”
“Semangatku masuk kelas tiba-tiba hilang. Dengan suara yang diserak-serakkan aku menghadap ke wali kelasku Ustad Mubarak untuk mintatashrih, surat sakit. Sesungguhnya tidak ada yang sakit dengan badanfisikku. Selama tiga hari aku hanya bergolek-golek saja di kamar.Tamarrad. Pura-pura sakit.”
“Begitu bel masuk kelas berdentang, tinggallah aku sendiri terbaringmalas di kamar. Sunyi. Sambil menatap langit-langit kamar yang dikapurputih, mereka-reka apa yang akan disampaikan Ayah. Posisiku semakinjelas, aku ingin keluar secepatnya, mengikuti ujian persamaan, dan segeramendaftar tes perguruan tinggi. Kalau Ayah memaksaku menyelesaikanPM, artinya aku tidak bisa kuliah tahun ini, dan harus sabar menunggu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
setahun lagi. Tapi aku tidak mau bersabar setahun lagi. Aku akantertinggal dua tahun dari Randai. Mungkin aku bisa memberontak kepadaAyah dan bilang bahwa anaknya juga punya keinginan sendiri.” ( NegeriLima Menara, hal. 372)
Dorongan untuk keluar dari pondok semakin memuncak ketika temannya,
Baso memutuskan untuk keluar dari Pondok Madani dengan alasan mau merawat
neneknya yang sedang sakit dan ingin menyelesaikan wasiat orang tuanya supaya
bisa tamat Al-Quran.
Itulah yang kami rasakan saat Baso Ruju’ ala dawam. Pulang untukselamanya. Duduk di bawah menara, kami lebih banyak diam dantermenung. Hanya helaan-helaan napas berat yang dikeluarkan lewatmulut yang terdengar. Aku merasa kami semua baru sadar betapa sakitnyakehilangan teman. Kami bagai rahang yang kehilangan sebuah gigigeraham. Rasanya Baso masih ada di sini, tapi dia tak ada. Hanya adasebuah sudut berlubang di bawah menara ini dan di pedalaman hati kami.(Negeri Lima Menara, hal. 368).
Klimaks juga terdapat pada cerita mengenai pendidikan yang didapatkan
tokoh utama akan berakhir setelah empat tahun belajar di Pondok Madani.
Selanjutnya semua siswa Pondok Madani akan menempuh ujian akhir yang akan
menentukan lulus tidaknya mereka. Untuk menghadapi ujian akhir tersebut,
mereka belajar dengan tekun, semua anggota Sahibul Menara juga belajar dengan
giat. Hal tersebut tercermin dalam kutipan di bawah ini;
Sejak malam itu, kami bolak balik membawa berbagai barang mulai bukusampai kasur ke rumah baru kami yang luas; aula. Gedung ini telahmemainkan peran penting dalam kehidupan kami. Mulai dari menjaditempat acara pekan perkenalan PM tiga tahun lalu, panggung lombapidato, saksi kekalahan Icuk Sugiarto, tempat kami menerima tamu-tamupenting sampai menjadi saksi sejarah kehebatan aksi panggung kami diClass Six Show. Kali ini, aula mendapat julukan baru; Kamp Konsentrasi.
Aku mendapat kelompok belajar dengan lima orang teman dari kelas lain.Kami diberi kavling tempat di sudut barat aula. Di kavling inilah kamiakan menghabiskan waktu sebulan kedepan. Buku-buku sampai kasurlipat kami boyong ke kavling yang ditandai dengan meja-meja belajaryang disusun membentuk segi empat. Lantai kosong ditengah segi empat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
itu menjadi ruang tidur kami. Setiap kelompok didampingi oleh seorangustad pembimbing yang selalu menyediakan waktu jika kami betanyatentang pelajaran apa saja yang belum kami mengerti. Dan ustad ini jugamemastikan kami hadir di kamp inidan memberikan motivasi kalaudiperlukan. Pembimbing kelompok kami ternyata Ustad Nawawi, sangtukang setrum. (Negeri Lima Menara, hal. :379-380)
e. Tahap Penyelesaian
Akhirnya, setelah mendapat dorongan dari ayahnya, tokoh Aku memilih
untuk menyelesaikan dulu sekolahnya di Pondok Madani.
”Aku tidak tahu apa yang membuat perlawananku runtuh dengan mudah.Apakah karena hatiku perang dan tidak ada pemenang yang sesungguhnyaantara tetap tinggal di PM atau keluar? Toh di tengah segala galau akujuga menemukan dunia yang menyenangkan di PM? Ataukah kekuatandiplomasi durian Ayah yang membuatku lemah? Atau pengorbanan beliaumelintas Sumatera dan Jawa, hanya untuk memastikan aku tetap tingggaldi PM. Atau karena mendengar akan ada ujian persamaan dalam 8 bulan?Atau semuanya? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, mulai detik itu, di mejakantin itu, di depan Ayah, aku berjanji: aku harus menamatkan PM.” (hal.376)
Akhir dari cerita ini adalah kebahagiaan yang diraih oleh para Sahibul
Menara, keenam tokoh dalam cerita ini yang telah dapat meraih cita-cita yang
dulu mereka angan-angankan.
“Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepasmembumbung tinggi. Aku melihat awan yang seperti benua Amerika,Raja bersikeras awan yang sama berbentuk Eropa, sementara Atang tidakyakin dengan kami berdua, dan sangat percaya bahwa awan itu berbentukbenua Afrika. Baso malah melihat semua ini dalam konteks Asia,sedangkan Said dan Dulmajid sangat nasionalis, awan itu berbentuk petanegara kesatuan Indonesia. Dulu kami tidak takut bermimpi, walausejujurnya juga tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hariini. Setelah kami mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengandoa, Tuhan mengirim benua impian ke pelukan masing-masing. Kunfayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
telah berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian kami.Jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhansungguh Maha Mendengar.” (hal. 405)
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat diketahui bahwa alur dalam novel
ini adalah campuran. Awal cerita dimulai ketika tokoh Aku berada di Washington
DC, Amerika Serikat sebagai seorang wartawan. Selanjutnya, cerita berbalik ke
masa kecil tokoh Aku, masa ketika tokoh Aku mulai memimpikan cita-citanya.
Alur cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh Aku sebagai seorang anak
SMP yang bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie. Tokoh Aku berkeinginan
untuk melanjutkan pendidikan ke SMA dan selanjutnya bisa kuliah di ITB.
Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam novel tersebut, yaitu
menceritakan masa sekarang kemudian kembali ke masa lalu dan kembali lagi ke
masa sekarang.
4. Tema
Dalam cerita ini, gagasan dasarnya adalah mengenai kesungguhan dalam
meraih cita-cita. Keenam tokoh dalam cerita ini, yaitu Alif Fikri, Radja, Baso,
Atang, Said, dan Dulmajid adalah para tokoh yang memiliki cita-cita tinggi. Alif
Fikri sebagai tokoh utama dalam cerita ini bercita-cita ingin menjadi seperti
Habibie. Berbagai hambatan dan rintangan ia jalani. Bermula ketika dia lulus dari
SMP, dia ingin melanjutkan pendidikannya ke SMA.
“Bagiku, tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untukmempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu nonagama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB, dan terus keJerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalahseperti profesi tersendiri.” (Negeri Lima Menara hal. 8)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Namun apa mau dikata, keinginannya tidak sejalan dengan kemauan
ibunya. Ibunya menginginkan dia seperti Buya Hamka, seorang ulama besar yang
terkenal. Dengan setengah hati, ia mengikuti kemauan ibunya. Ia melanjutkan
pendidikannya ke Pondok Madani, sebuah pondok yang terletak di pelosok Jawa
Timur. Walaupun awalnya dengan setengah hati, tapi pada akhirnya dia dapat
mengikuti pendidikan di pondok ini dengan senang hati. Di pondok ini, ia
terpesona dengan pepatah Arab man jadda wajada, siapa yang sungguh-sungguh
pasti akan berhasil. Di pondok ini pula ia menggantungkan cita-citanya.
“Aku sendiri sangat penasaran dengan negara yang bernama AmerikaSerikat itu. Katanya penuh orang Yahudi dan orang tidak beriman, tapikok bisa ada masjid dan muslim di sana. Suatu ketika, kalau Tuhanberkehendak, aku akan melihatnya langsung. Duh, Tuhan Yang MahaMendengar, aku yakin Engkau mendengar suara hatiku. Bolehkah aku kesana?” (Negeri Lima Menara, hal. 177)
“Kini di bawah menara PM, imajinasiku kembali melihat awan-awan inimenjelma menjadi peta dunia. Tepatnya menjadi daratan yang didatangiColumbus sekitar 500 tahun silam: Benua Amerika. Mungkin akuterpengaruh Ustad Salman yang bercerita panjang lebar bagaimana orangkulit putih Amerika sebagai sebuah tokoh remaja berhasil meloloskan diridari kekhilafan sejarah Eropa dan membuat dunia yang baru. Yang lebihbaik dari tokoh remaja asal mereka sendiri.” (Negeri Lima Menara, hal.207)
Di pondok ini pulalah, ia berkenalan dengan lima orang sahabatnya yang
kemudian mereka sebut sebagai Sahibul Menara. Ternyata mereka sama-sama
memiliki cita-cita yang tinggi. Di bawah menara Pondok Madani, mereka
memimpikan cita-cita mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
“Aku sama sekali tidak melihat Amerika. Malah menurutku lebih miripbenua Eropa. Tuh, kan…” tukas Raja. (Negeri Lima Menara, hal. 208)
“Atang dan Baso merasa awan-awan itu bergerumbul membentukkontinen Asia dan Afrika. Sejak membaca buku tentang peradaban Mesirdan Timur Tengah, keduanya tergila-gila kepada budaya wilayah ini.”(Negeri Lima Menara, hal. 209)
Sahibul Menara akhirnya dapat meraih cita-cita mereka yang tersebar di
lima negara dengan beragam benua.
”Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepasmembumbung tinggi. Aku melihat awan yang seperti benua Amerika, Rajabersikeras awan yang sama berbentuk Eropa, sementara Atang tidak yakindengan kami berdua, dan sangat percaya bahwa awan itu berbentuk benuaAfrika. Baso malah melihat semua ini dalam konteks Asia, sedangkan Saiddan Dulmajid sangat nasionalis, awan itu berbentuk peta negara kesatuanIndonesia. Dulu kami tidak takut bermimpi, walau sejujurnya juga tidaktahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah kamimengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhanmengirim benua impian ke pelukan masing-masing. Kun fayakun, makasemula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah berada dilima negara yang berbeda. Di lima menara impian kami. Jangan pernahmeremehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh MahaMendengar.” (Negeri Lima Menara, hal. 405)
Berdasarkan uraian di atas, tema novel Negeri Lima Menara berada pada
tingkat egoik dan sosial. Sejalan dengan pendapat Shipley (dalam Nurgiyantoro,
2002: 80) bahwa tema tingkat sosial bermakna tentang manusia sebagai makhluk
sosial, man as socious. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat yang
merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan lingkungan
alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
objek pencarian tema. Penulis mendeskripsikan interaksi antartokoh dengan
segala permasalahan dan konflik yang melingkupinya.
Tema yang mendasari novel Negeri Lima Menara berada pada dimensi
tingkat egoik dan tingkat sosial. Tema tingkat sosial menguraikan kehidupan
bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama
dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan
lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Alif dan Sahibul Menara
berinteraksi dalam kehidupan pesantren dengan segala masalah dan konflik yang
muncul. Hal tersebut menjadi dasar pencarian tema novel Negeri Lima Menara.
Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk
individu yang senantiasa ”menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Itulah
yang disebut dengan tema egoik. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu,
manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang
berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.
Tema tingkat egoik memposisikan manusia sebagai individu, man as
individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga
sebagai makhluk individu yang senantiasa ”menuntut” pengakuan atas hak
individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun
mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi
manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Tokoh Alif dan yang
lainnya harus menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah sosial yang
ditemukannya dalam kehidupan pesantren. Dalam usia yang relatif muda atau
dikategorikan remaja, Sahibul Menara mampu membentuk pola pikir, pola sikap,
dan pola tindak dengan kematangan psikologis berbasis Al-Quran dan As-Sunah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
B. Lingkungan Sosial Pengarang
Menjadi hebat dengan popularitas sebagai pengarang, bukanlah hal yang
secara tiba-tiba diperoleh Ahmad Fuadi, penulis novel best seller Negeri Lima
Menara dan juga sudah di filmkan. Tanpa disadari, dunia kepenulisan itu sudah
tertanam secara perlahan sejak kanak-kanak melalui kebiasaan ibunya.
Fuadi terlahir di Maninjau, 30 Desember 1972. Dari tiga orang bersaudara,
ia tertua laki-laki, sementara dua adiknya perempuan, tentulah Fuadi yang sangat
diharapkan ibunya masuk sekolah agama. Ibunya sangat ingin anak laki satu-
satunya itu menjadi seorang ustadz. Masa kecilnya, hingga usia 4 tahun, banyak
dihabiskan di Salingka Danau Maninjau. Setelah itu, ibunya pindah ke
Manggopoh karena diangkat menjadi guru di SD Manggopoh. Fuadi mengikuti
ibunya, sekolah disana hanya sampai kelas I SD. Kemudian ia berpindah beberapa
kali karena mengikuti ibunya yang juga pindah mengajar. Setelah SD I
Manggopoh, Fuadi masuk di SD Koto Baru, kemudian Maninjau Balai Akad,
sampai kelas 6. Belum sempat ujian akhir, ibunya pindah lagi ke Padang Lua,
iapun turut pindah, mengenyam bangku sekolah SD I Padang Lua. Tamat SD,
Fuadi melanjutkan ke MTs Padangpanjang.
Fuadi beruntung, meski berasal dari keluarga sederhana, dimana ibunya
Suhasni, adalah guru SD, ayahnya M.Faried Sulthani mengajar di Madrasah,
tetapi keluarga besar mereka sangat gemar membaca. Ayah dan ibunya terbiasa
memberi hadiah buku. Sementara kakeknya Buya Sutan Mansur memiliki
pesantren kecil dengan ruangan khusus berisi buku-buku. Fuadi diberi kebebasan
membaca buku di sana. Dalam perjalanannya , ia kemudian menyukai buku-buku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
karya Karl May, Enid Blyton, serta serial album ceita ternama. Semuanya
menanamkan banyak latar belakang cerita yang ia kembangkan hingga sekarang.
Ketika SD, setiap hari Fuadi kecil menyaksikan Amak (panggilan untuk
ibunya) menulis buku harian, lengkap dengan daftar belanjaan dan hutang
piutang. Melihat itu, ia berpikir, mungkin menarik juga kalau dilakukan. Makanya
kemudian ia mulai menulis diari, mengikuti kebiasaan sang Amak.
Ternyata ketika di perguruan tinggi, Hubungan Internasional Universitas
Pajajaran bandung, kegemaran itu terus berlanjut, bergabung dengan majalah
kampus, Saat yang bersamaan, ia juga harus menulis untuk biaya kuliah karena
ayahnya meninggal. Dalam semester dua kuliah, tahun 1993 itulah ia menulis
untuk mencari uang supaya bisa membiayai kuliah, membayar uang kos dan
membelanjai kebutuhan sehari-hari. Mulailah ia menulis opini di berbagai koran,
diantaranya Republika, Pikiran Rakyat, bahkan menulis di harian Singgalang.
Tamat kuliah, iapun bergabung dengan Tempo menjadi wartawan, tahun
1998. Sayangnya, tengah asyiknya menikmati dunia kewartawanan itu, hanya
setahun, Fuadi memperoleh beasiswa Fulbright ke Amerika untuk kuliah S2 di
School of Media and Publik Affairs, George Washington University. Iapun
mengambil cuti dari Tempo, tapi tetap bertugas sebagai koresponden di Amerika
selama 3 tahun. Dari sana ia tetap membuat reportase khusus dan melaporkan
sejumlah peristiwa penting untuk Tempo. Paling fenomenal adalah peristiwa 11
September 2001, runtuhnya gedung WTC dari Pentagon, White House dan
Capitol Hill .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Selama bertugas menjadi wartawan, Fuadi memang lebih terkonsentrasi
menulis liputan dan laporan. Ia sama sekali tak pernah menulis cerpen apalagi
novel. Namun pada 2007, muncul dalam dirinya sebuah kesadaran baru untuk
mengamalkan nasehat kiyainya di Gontor.
C. Lingkungan Sosial Novel Negeri Lima Menara
Latar sosial dalam novel Negeri Lima Menara ini lebih menggambarkan
tentang serentetan aturan yang ketat, lingkungan belajar yang kondusif, dan
keikhlasan yang selalu dipertontonkan di setiap sudut Pondok Madani. Para murid
bukan hanya mendapatkan materi secara kering, tetapi mendapatkan ruh, spirit
dalam berjuang mewujudkan cita-cita.
Secara tidak langsung kolaborasi latar ini mewujudkan suatu gambaran
yang indah tentang Pondok Madani yang selama ini digambarkan ekstrem dan
kuno, serta jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Pengarang memilih latar tersebut didasari kepentingan atas tema, alur, dan
penokohan. Latar atau setting pada karya sasta Novel Negeri Lima Menara ini
termasuk realitas objektif yaitu benar – benar dialami oleh pengarang dan
pembaca mengetahui latar tempatnya. Di samping itu dengan mengetahui latar,
pembaca mempunyai persepsi tentang peristiwa, walaupun pada akhirnya persepsi
itu akan dibuyarkan oleh tindakan tokoh.
Novel ini diawali dengan latar sosial, yang membuat tokoh utama “Alif”
terpaksa menerima tawaran amaknya untuk masuk ke Pondok Madani, sebuah
pondok pesantren modern yang berada di pulau Jawa. Alif langsung dihadapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
oleh pilihan Amak-nya yang sejak dahulu memimpikan bahwa jika anaknya laki-
laki maka ia berniat akan menjadikan anaknya sebagai pemimpin agama.
“Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yanghebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti buya hamka yangsekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar,mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kataamak pelan-pelan (Negeri Lima Menara, hal:8)
Harapan Amak ini juga dapat dilihat dalam kutipan novel berikut,
Setiap orang selalu dipengauhi oleh lingkungan, baik bacaan, keadaansosial masyarakat, tokoh idola, dan teman. Kali ini mimpi ibunya adalahhal yang wajar karena mengingat daerah padang yang cukup kental denganagama. Apalagi didukung oleh tokoh idola masyarakat indonesia yangmenguasai hingga 6 bahasa asing dan mendapat gelar dari Universitas Al-Azhar tanpa mengikuti kelas reguler, ia adalah sang pembelajar yaitu BuyaHamka.( Negeri Lima Menara hal: 371)
Pembaca langsung dihadapkan dengan konflik batin antara Alif dan
amaknya dalam mewujudkan sebuah impian. Antara kepatuhan terhadap orang tua
atau bersikeras dalam mewujudkan impian. Hal ini tentu dapat terjadi dalam
kehidupan anak-anak lainnya. Di satu sisi, pendidikan modern menganjurkan agar
orang tua sebaiknya hanya menggiring anaknya untuk memaksimalkan potensi
mereka, yang akhirnya anaklah yang memutuskan ingin masuk ke jurusan apa ia
nanti. Akan tetapi, di satu sisi, seorang anak harus mendapatkan ridho dari Allah
dan orang tuanya agar selamat dan diberi kemudahan dalam meraih cita-citanya.
Suasana batin Alif ini digambarkan dalam kutipan dibawah ini,
“ bimbang dan ragu hilang timbul. Apakah perjalanan ini keputusan yangpaling tepat? Bagaimana kalau aku tidak betah di tempat asing?Bagaimana kalu pondok itu seperti penjara? Bagaimana kalau gambaranpondok madani dari Pak Etek Gindo itu salah? Pertanyaan demi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
pertanyaan bergumpal-gumpal menyumbat kepalaku.” (Negeri LimaMenara, hal:16-17)
Perasaan Alif ini adalah hal yang wajar untuk ukuran seusianya.
Digambarkan bahwa dari kecil ia sama sekali tidak pernah keluar dari kampung
bahkan bersalaman dengan orang selain orang padang pun belum pernah.
Latar sosial inilah menggiring alur cerita bergerak, dari Maninjau ke pulau
Jawa Timur tepatnya di Pondok Madani. Konflik yang selama ini terjadi antara
amak dan alif diselesaikan dengan bergeraknya alur cerita novel ini. Alur
merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab
akibat. Sebabnya berasal dari impian amak untuk menjadikan Alif sebagai
pemimpin agama dan akibatnya Alif sekarang tiba di Pondok Madani. Ini adalah
salah satu bukti bahwa latar sangat penting dan mampu mempengaruhi unsur-
unsur intinsik sebuah karya sastra. Terbukti dengan bergeraknya alur dari
maninjau ke Pondok Madani. Penulis sangat ahli menggiring alur ke luar dengan
mengawali latar sosial berupa konflik antar tokoh. Antara harapan dan cita-cita.
Setelah mengawali cerita dengan latar sosial, maka novel ini mulai
menggambarkan latar tempat, alam sekitar PM dengan sedikit kolaborasi yang
proporsional dengan latar waktu dan latar sosial.
“Jalan desa yang berdebu tiba-tiba melebar dan membentangkanpemandangan lapangan rumput hijau yang luas. Disekitarnya tampakpohon-pohon hijau yang luas. Disekitarnya tampak pohon-pohon hijaurindang dan pucuk-pucuk kelapa yang mencuat dan menari-nari dihembusangin. Di sebelah lapangan tampak sebuah komplek gedung bertingkatyang megah. Sebuah kubah besar bewarna gading mendominasi langit,didampingi sebuah menara yang tinggi menjulang. Di tengah kabut pagi,komplek ini seperti mengapung di udara” (Negeri Lima Menara, hal: 29)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Pondok Madani memiliki luas 15 hektar (Negeri Lima Menara, hal.:30)
Pondok Madani memiliki sistem pendidikan 24 jam. Tujuan pendidikannya untuk
menghasilkan manusia yang mandiri yang tangguh. Kegiatan pembelajaran
diadakan di kelas, lapangan, masjid, dan tempat lainnya. Lalu Burhan salah satu
tokoh dalam novel ini menunjukkan gedung utama, pertama Masjid Jami’ dua
tingkat yang berkapasitas empat ribu orang dan kedua aula serba guna, tempat
kegiatan penting berlangsung. Mulai dari pargelaran teater, musik, diskusi ilmiah,
ucapan selamat datang pada siswa baru dan penyambutan tamu kehormatan.
Latar tempat itulah yang akan berinteraksi dengan para tokoh sehingga
membentuk karakter tokoh. Pemaparan latar tempat ini menunjukkan betapa
modernnya sebuah pondok. Bahkan mengalahkan sekolah umum. Hal ini tentu
sangat menakjubkan. Dan ini bisa menjadi kelebihan Pondok Madani dibanding
dengan sekolah umum lainnya. Latar tempat berupa fasilitas yang lengkap inilah
salah satu pemicu berkembangnya kreativitas para santri. Bukan hanya latar
tempat yang mempengaruhi karakter para tokoh, akan tetapi latar sosiallah yang
berperan penting dalam pembentukan mental para tokoh.
Novel ini juga menggambarkan penerapan pendidikan yang holistik. Tidak
ada pemisahan antara teori dan praktek.
“Pendidikan Pondok Madani tidak membedakan agama dan non agama.Semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatansehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada di mana-mana,”jelas Burhan lancar. (Negeri Lima Menara, hal:35)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Novel ini secara tidak langsung menyinggung pola penerapan pendidikan
bangsa ini yang cendeung memisahkan antara pelajaran agama dan non agama.
Sehingga ada dikotomi yang cukup serius. Terbukti ketika guru biologi
mengajarkan sebuah teori hanya sedikit yang mengkaitkannya dengan kebesaran
Allah dan menjadikan Al-qur’an sebagai referensi. Sehingga wajar, jika cahaya
agama tidak merasuk ke dalam generasi muda saat ini. Karena sekolah-sekolah
bahkan universitas hanya membicarakan teori atau baru sebatas transfer
knowleadge. Bukan pemindahan budaya dan pemahaman tentang kesadaran
beragama.
Hari pertama masuk sekolah setiap murid di Pondok Madani hanya diberi
satu kalimat motivasi yang di ambil dari pepatah arab yaitu “man jadda wajada”
yang artinya barang siapa yang besungguh-sungguh maka ia akan
mendapatkannya.
“MAN JADDA WAJADA”
Teriak laki-laki muda bertubuh kurus itu lantang. Telunjuknya lurusterancung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat menerkam kami satu-persatu. (Negeri Lima Menara hal. : 40)
Pelajaran yang dapat dipetik adalah pendidikan harus memberikan ruh
kepada siswa agar mereka dapat melakukan akselerasi dalam menempuh
pendidikannya. Menanamkan motivasi dapat dijadikan sebagai salah satu cara
untuk mewujudkan impian. Di Pondok Madani, mereka tidak hanya diajarkan
dengan kata-kata belaka, tetapi mereka selalu dipertotonkan dengan aksi nyata
oleh para ustadz yang mengajar di sana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Latar sangat erat kaitannya dengan unsur fiksi yang lain dan bersifat
timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan mempengaruhi sifat-sifat
tokoh. Latar di dalam novel Negeri Lima Menara ini merupakan kolaborasi antara
latar waktu, latar sosial dan latar tempat karena para tokoh dominan berada di
lingkungan pondok pesantren. Latar tempat inilah yang kemudian menimbulkan
latar psikologis, yaitu berupa budaya disiplin, keseriusan dan kesungguhan inilah
yang membentuk karakter para tokoh. .
Kekuatan latar dalam sebuah peristiwa fiksi, juga dapat memperkuat
karakter tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang hidup dalam kultur Melayu, berbeda
ke-khasannya dengan budaya Minang, Batak, Jawa, dll.
“Pondok Madani diberkati oleh energi yang membuat kami sangatmenikmati belajar dan selalu ingin belajar berbagai macam ilmu.Lingkungannya membuat orang yang tidak belajar menjadi aneh. Belajarkeras adalah gaya hidup yang fun, hebat dan selalu dikagumi. Karena itucukup sulit menjadi pemalas di PM. (Negeri Lima Menara, hal:264)“
Kutipan latar sosial di atas adalah bukti, bahwa suatu latar mampu
menciptakan seseorang yang awalnya malas menjadi rajin, itu semua karena
hukum benar-benar di tegakkan. Mereka selalu dipertontonkan dengan keikhlasan,
keteladan, dan semangat dalam meraih cita-cita. Hal itu dapat kita lihat dalam
kutipan dibawah ini
“Belum pernah dalam hidupku melihat oang belajar bersama dalam jumlahyang banyak di suatu tempat. di PM orang belajar di setiap sudut danwaktu. Kami sanggup membaca sambil berjalan, sambil bersepeda, sambilantri mandi, sambil antri makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajarini semakin menggila begitu masa ujian datang. Kami mendesak dirimelampau limit normal untuk menemukan limit baru yang lebih tinggi.”(Negeri Lima Menara hal:200)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Ini adalah bukti bahwa latar sosial memainkan peranan yang sangat
penting dalam mempengaruhi unsur-unsur intrinsik yang lain. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa penulis sangat mahir dalam menceitakan dan mengatur
tata letak latar sehingga mampu membangkitkan semangat para tokoh. Jika ada
yang berbicara bahwa, tema novel ini adalah pendidikan. Ini dapat dibenarkan
karena latar yang ada di dalam novel ini adalah pondok pesantren, yang di
dalamnya terjadi kegiatan belajar mengajar.
Setelah mengamati secara mendalam ternyata Negeri Lima Menara
membicarakan tentang semangat tokoh, meraih impian dalam keterbatasan. Dalam
novel Negeri Lima Menara keterbatasan itu digambarkan.dalam kutipan novel
sebagai berikut
“PM memang tidak dalam jalur PLN karena terisolir darikeramaian......karena itu, kalau mau sahirul lail yang terang, perlu membelilampu semprong.”(Negeri Lima Menara, hal:198)
Novel Negeri Lima Menara. lebih banyak bercerita tentang latar sosial
Pondok Madani, berupa aturan yang sangat ketat, disiplin, dan konsep belajar
yang sedikit dipaksakan. Akhirnya mampu menciptakan tokoh yang kompeten di
bidangnya. Di satu sisi ini bukanlah kekurangan karena penulis saat ini
mempunyai cara pandang yang beda terhadap realitas yang ada. Saat ini, ada
kecendrungan bahwa santri kebingungan dalam mencari pilihan hidupnya,
sehingga banyak yang harus diarahkan orang tuanya. Dapat disimpulkan, Novel
ini sedikit menyiratkan bagaimana sikap yang harus diambil oleh seorang anak
ketika mendapatkan situasi dan kondisi seperti Alif. Pada akhirnya, novel ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
akhirnya dapat memberikan cara pandang yang luas kepada para pembaca,
menambah kazanah pengetahuan dalam bersikap.
Latar sosial ini juga menciptakan karakter tokoh yang tangguh dan berani
bermimpi, contoh: latar tempat yang terbatas membuat mereka terbiasa
mendengar berita dari VOA (Voice of America), artinya latar atau suasana belajar,
keadaan di dalam novel itu secara langsung mempengaruhi dan membentuk
karakter Alif misalnya suka bermimpi.
Jika kita berlanjut, untuk memahami amanat di dalam novel ini, pembaca
juga akan menemukan ternyata latar belakang seseorang yang notabene lulusan
lulusan pesantren ternyata mampu meraih mimpinya ke benua Amerika. Amanat
novel ini juga memecahkan persepsi masyarakat terhadap anak-anak yang sekolah
di lingkungan Pesantren. Latar tempat berupa pesantren berhubungan dengan
amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang bahwa pendidikan di pondok
bukanlah tempat yang dapat menghambat generasi muda dalam meraih mimpinya.
Latar dalam novel ini mampu menyampaikan amanat kepada pembaca
bahwa sebuah pesantren bukanlah sarang teroris, pesantren bukanlah tempat yang
memberikan doktrin-doktrin ilmu, tanpa membuat /membentuk anak untuk
berpikir kritis dan imajinatif. Hal itu dapat terlihat dalam
“pilihlah kegiatan berdasarkan minat dan bakatmu, sehingga bisamengerjakannya dengan penuh kesenangan dan hasil bagus.” (NegeriLima Menara, hal:161)
Pernyataan ini merupakan bukti bahwa pesantren memberikan kebebasan
kepada santrinya berkreasi. Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
sekolah di Pondok bukanlah suatu halangan untuk meraih cita-cita. Dan Pondok
Madani terbukti mampu menciptakan pribadi-pribadi yang tangguh. Lingkungan
ini hanya ada di pondok.
Kemandirian dan kreativitas adalah modal awal dalam menghadapi
tantangan zaman ke depan. Latar sosial di dalam Negeri Lima Menara mampu
memenuhi harapan itu semua. Latar sosial berupa aturan yang super ketat dan
disiplin ternyata terbukti mampu menciptakan keyakian pada setiap santri bahwa
hidup harus di hadapi dengan sungguh-sungguh.
Suasana disiplin itu dapat dilihat dari cerita pada surat yang Alif kirimkan
kepada ibunya yang diceritakan pada halaman 144 hingga 146, mulai dari pukul
04.00 – 22.00, mereka melakukan hal-hal yang positif walaupun awalnya suasana
ini menggusarkan perasaan para tokoh-tokoh di Pondok Madani
“Hei, nanti dulu, kalian tetap dihukum. Di PM tidak ada kesalahan yangberlangsung tanpa dapat ganjaran?” hardik si Tyson” (Negeri LimaMenara hal.:67).
Kedisplinan tercermin dari cerita Alif dan teman-temannya yang terlambat
menuju masjid dan mendapatkan hukuman walaupun baru dua hari mereka
menjadi siswa Pondok Madani.
“kalian sekarang di Madani, tidak ada istilah terlambat sedikit 1 menit,atau 1 jam, terlambat adalah terlambat ini pelanggaran”. (Negeri LimaMenara hal.:66).
Baru dua hari mereka berada di Pondok Madani, hukum langsung
diberlakukan. Artinya pendidikan di pondok tidak bertoleransi terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
kecenderungan, kelalaian santri. Sangat berbeda dengan pendidikan konvensional
di sekolah-sekolah umum yang serba memperbolehkan bahkan memarahi anak
murid.
Kondisi sosial inilah yang kemudian menciptakan karakter tokoh yang
pantang menyerah. Membentuk pribadi yang mandiri. Salah satu bukti yang
menunjukkan pendidikan di pondok adalah berdasarkan pernyataan Kiai Rais
“pilihlah kegiatan berdasarkan minat dan bakatmu, sehinggamengerjakannya dengan penuh kesenangan dan hasil bagus (Negeri LimaMenara hal:161,).
Ini menunjukkan latar sosial yang sangat toleran dan demokratis. Budaya
inilah yang menciptakan pribadi-pribadi yang berani untuk berkreativitas
bermimpi tidak ada paksaan ketika lulus harus menjadi ustadz. Yang tepatnya
harus dilakukan adalah menyebarkan kebaikan dan memanfaatkan ilmu untuk
kemasyarakatan orang banyak.
D. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Negeri Lima Menara
Dari pengkajian unsur intrinsik ini akan dapat menemukan tokoh
problematik dalam novel tersebut. Tokoh problematik yang terdapat dalam novel
akan memunculkan adanya pandangan dunia pengarang. Melalui tokoh
problematik inilah pandangan dunia pengarang akan terlihat dari pemberian
solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada tokoh problematik dalam
usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
Tokoh problematik dalam novel Negeri Lima Menara adalah tokoh yang
bernama Alif Fikri. Alif ditentukan sebagai tokoh problematik karena Alif
merupakan tokoh yang mempunyai masalah paling banyak dalam cerita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Melalui masalah-masalah inilah
pengarang memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapinya.
Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik
(problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan
dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi
merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu
kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu memperoleh bentuk konkret di
dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak
memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan
kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu. Hal-hal tersebut di atas
dimaksudkan untuk menjembatani fakta estetik. (Goldmann dalam Fananie,
2000:118). Adapun fakta estetik dibaginya menjadi dua tataran hubungan yang
meliputi:
a. Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan
alam ciptaan pengarang.
b. Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu seperti diksi, sintaksis,
dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang dipergunakan
pengarang dalam ciptaannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia
terbentuk atas dua aspek yaitu (1) hubungan antara konteks sosial dalam novel
dengan konteks sosial kehidupan nyata, (2) hubungan latar sosial budaya
pengarang dengan novel yang dihasilkannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Dalam kisah ini tokoh utama yaitu Alif Fikri, adalah seorang anak laki-
laki yang bercita-cita setelah lulus dari Madrasah Sanawiyah (setingkat SMP)
ingin melanjutkan sekolahnya ke SMA guna menggapai cita-cita menjadi seperti
Habibie. Keinginan tersebut terhalang oleh keinginan orang tua (dalam hal ini
diwakili Amak) yang menginginkan anaknya memiliki bekal agama yang kuat dan
ingin menyekolahkan Alif Fikri ke Pondok Pesantren Madani di Jawa.
Problematika tersebut digambarkan dalam kutipan berikut;
”Bagiku , tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untukmempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu nonagama.Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB, dan terus keJerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalahseperti profesi tersendiri.” (Negeri Lima Menara hal. 8)
“Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yanghebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti buya hamka yangsekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar,mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kataamak pelan-pelan (Negeri Lima Menara, hal:8)
Berdasarkan kutipan novel diatas, pengarang menciptakan problematika
dalam novel sesuai dengan apa yang pengarang alami sendiri, hal ini dibuktikan
dengan jawaban pengarang ketika ditanya oleh Andi F Noya dalam sebuah acara
bincang-bincang. Pengarang menerangkan alasannya masuk pondok pesantren
dan ihwal penulisan novel Negeri Lima Menara ini. Berikut ini adalah kutipan
hasil wawancara tersebut;
Andy F Noya : “Fuadi bisa cerita? Ini buku tentang apa sih?”
Ahmad Fuadi : “Ini adalah sebuah kenangan, bang. Bahwa saya ituawalnya masuk pesantren itu dipaksa sama ibu saya, kemudian setelahberjalan bertahun-tahun dan setelah tamat malah berpikir, betapaberuntungnya saya dikirim ke pesantren, sangat inspiratif, membuat sayapunya pegangan dalam hidup, dan saya pikir kalau ini hanya saya simpansendiri kayaknya mubadzir, kenapa tidak dituliskan? mudah-mudahanorang lain terinspirasi.” (Kick Andy, lampiran)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Hal ini menandakan bahwa cerita Negeri Lima Menara awalnya
berdasarkan atau terinspirasi dari pengalaman pengarang sendiri, pengalaman-
pengalaman pribadi tersebut diceritakan kembali dalam bentuk novel atau fiksi
yang sudah mengalami pengembangan dalam proses penciptaannya. Hal ini dapat
diketahui dari struktur sosial yang ada di dalam novel tersebut ternyata mirip
dengan struktur sosial asli yang dimiliki penulis atau pengarang Negeri Lima
Menara. Struktur tersebut salah satunya adalah lingkungan sosial pondok
pesantren dalam novel adalah gambaran lingkungan pondok pesantren modern
Gontor Ponorogo tempat di mana pengarang mengeyam pendidikannya. Selain
lingkungan, tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita tersebut juga terinspirasi dari
tokoh dalam kehidupan nyata pengarang, tokoh tersebut diwakili oleh Amak,
Sahibul Menara yaitu Baso, Dulmajid, Atang, Raja Said dan Alif. Beberapa
tokoh-tokoh tersebut sempat dihadirkan oleh Andy F Noya dalam acara Kick
Andy, hal ini membuktikan bahwa pengarang memiliki inspirasi berdasarkan
kenyataan yang penulis alami sendiri dalam penciptaan karyanya. Masing-masing
tokoh dalam cerita tersebut menceritakan kembali pengalaman mereka masuk
pondok pesantren.
Novel Negeri Lima Menara, merupakan cerminan dari masyarakat itu
sendiri. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam novel tersebut merupakan bagian
dari diri Alif Fikri yang tiada lain adalah si pengarang itu sendiri. Di samping itu,
penggambaran budaya lokal (Minang) sangat begitu kental dan detail dijelaskan.
Selanjutnya budaya pesantren yang merupakan bagian dari masa kecil tokoh aku
juga menjadi salah satu setting utama dalam menggambarkan dan memperkaya
ceritanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Dalam kisah, Alif Fikri yang pada mulanya bercita-cita ingin menjadi
seperti Habibie, terpaksa menuruti keinginan Amak/ibunya yaitu sekolah di
pesantren. Sikap untuk menuruti kehendak orang tua khususnya keinginan Ibu
merupakan sikap yang menggambarkan latar belakang budaya Minangkabau yang
merupakan latar belakang budaya penulis (Ahmad Fuadi). Hal tersebut dapat
diketahui dari biografi pengarang yang terlahir di Maninjau Sumatera Barat.
Pengaruh tersebut terlihat dari struktur cerita yang banyak menyebutkan tokoh
Amak inspirasi dibanding dengan tokoh Ayah. Hal ini disebut Matrelinial dimana
Ibu merupakan pemegang kuasa atas keputusan keluarga, hal ini berlaku di adat
istiadat Minangkabau, hal ini pulalah yang tergambar dari tokoh Alif Fikri yang
sangat patuh kepada orang tua khususnya keinginan Amak-nya. Hal ini dapat
diketahui dari kutipan sebagai berikut.
“Bagiku, tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untukmempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu nonagama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB, dan terus keJerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalahseperti profesi tersendiri.” (Negeri Lima Menara hal. 8)
“Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karenauang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah.”
“Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo inginmenjadi insinyur dan ahli ekonomi.” Tangkis Alif.
“Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.” KataAmak.
“Tapi aku tidak ingin ... ”
“Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yangbesar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.”
“Tapi aku tidak mau.” Kata Alif. (Negeri Lima Menara hal. 8-9)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Sementara itu, dalam biografi pengarang diceritakan pula kisah pengarang
yang terpaksa masuk pondok pesantren. Biografi tersebut diketahui dari narasi
yang dibacakan dalam acara kick Andy dan pengakuan pengarang sendiri, berikut
kutipannya;
NAR : “pada awalnya Ahmad Fuadi tidak mau sekolah di pesantren,terlebih lagi yang letaknya jauh dari tanah kelahirannya, namun dorongansang ibulah yang membuatnya masuk sekolah agama ini, makamerantaulah ia menuntut ilmu, dari Maninjau Sumatera, menuju PondokModern Gontor, Jawa Timur”.
AF : “awalnya itu saya masuk pesantren itu terpaksa, tapi lama-lamakemudian setelah lulus, saya merasa sangat banyak mendapat pelajaranhidup dan waktu lulus itulah saya bilang mudah-mudahan nanti adakesempatan saya menulis novel, bukan novel waktu itu malahan, bukutentang pesantren”. (Kick Andy, lampiran)
Selanjutnya, dalam Negeri Lima Menara banyak menceritakan unsur
pendidikan pesantren yang tidak banyak diketahui orang, hal ini merupakan misi
dari pengarang yang ingin mengangkat bahwa sekolah/mengenyam pendidikan
pesantren bukanlah sesuatu yang dianggap salah. Kegelisahan tersebut dituangkan
dalam kisah sukses meraih impian dari tokoh Alif Fikri yang mengenyam
pendidikan pesantren. Ahmad Fuadi sendiri sebagai penulis mengenyam
pendidikan di pesantren modern Gontor sejak 1988 hingga 1992, berbekal ijazah
pondok, Fuadi mendaftar kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas
Padjadjaran Bandung. Melalui serangkaian tes, akhirnya Fuadi berhasil masuk
perguruan tinggi. Bahkan berbekal kemampuan berbahasa, disiplin menulis,
membawa Fuadi melanglang berbagai negara dengan beasiswa yang dia dapatkan
hingga 8 (delapan) kali. Hal ini diutarakan dalam artikel dari majalah Nova
Ironinya, meski mengantongi restu bunda dan jago berbahasa asing,langkah Fuadi menuju bangku kuliah tidaklah mudah. “Saat itu, ijazahkami belum diakui pemerintah. Yang lebih masalah lagi, kurikulum kami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
sangat berbeda dengan SMU. Padahal, bahan-bahan ujian masukperguruan tinggi negeri (UMPTN), kan, berdasarkan kurikulum SMA.”
Meski masih ingin anaknya seperti ‘Buya’, sang Ibu akhirnya merestuianaknya itu masuk universitas umum selulus dari pesantren (1992).Dengan bekal yang dimilikinya, Fuadi memilih kuliah jurusan HubunganInternasional. “Dari Gontor saya sudah punya bekal bahasa asing yangaktif, Inggris dan Arab, juga cara berpikir yang sangat global. Soalnya diGontor teman-teman sekolah saya banyak yang dari luar negeri. DariAustralia, Thailand, Singapura, bahkan dari Amerika dan Afrika.”(lampiran 2, artikel Ahmad Fuadi Ingin Berbagi Mimpi 2 oleh AnastasiaSibarani)
Selanjutnya, dalam kutipan novel dijelaskan bagaimana gambaran umum
siswa yang membuat tokoh utama terkagum-kagum dengan sistem pendidikan di
pesantren. Hal ini yang ingin diungkapkan penulis, dalam menggambarkan
bagaimana suasana kehidupan di Pondok Madani. Para santri begitu giat belajar.
Setiap waktu mereka manfaatkan untuk belajar. Tidak ada waktu untuk berleha-
leha.
“Belum pernah dalam hidupku melihat orang belajar bersama dalamjumlah yang banyak di satu tempat. Di PM, orang belajar di setiap sudutdan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambilbersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan, sambil makan bahkansambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggila begitu masa ujiandatang. Kami mendesak diri melampau limit normal untuk menemukanlimit baru yang jauh lebih tinggi.”
“Aku merasakan PM sengaja mengajarkan candu. Candu ini ditawarkansiang malam, sedemikian rupa sehingga semua murid jatuh menyerahkepadanya. Kami telah ketagihan. Kami candu belajar. Dan imtihan atauujian adalah pesta merayakan candu itu.” (Negeri Lima Menara, hal. 200)
Sebagian besar masyarakat masih memandang bahwa menyekolahkan
anaknya di pesantren hanyalah jalan terakhir dan menciptakan pemuka-pemuka
agama. Hal ini yang coba dibenarkan oleh penulis, berdasarkan sebuah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
wawancara dalam sebuah blog, penulis menceritakan pandangannya terhadap
pendidikan di Indonesia,
Penanya : Bagaimana seorang Ahmad Fuadi melihat pendidikan diIndonesia?
Ahmad Fuadi : Menurut saya konten sudah beragam dengan bermacammutu. Tapi, kita mendeteksi antara sinkronisasi otak dan hati, makaakhirnya korupsi. Padahal seharusnya, pendidikan adalah pemberdayaankarakter manusia, manusia yang berdaya dan bermanfaat. Jadi, menurutsaya kita harus memperbaiki dari usia dini dan pembekalan karakter sejakawal. Untungnya, pembekalan karakter kini telah masuk dalam kurikulum.Itu yang menurut saya paling penting. (Lampiran 2, artikel Ahmad Fuadi:Man Jadda Wa Jadda & Kepercayaan Pada Tekad adalah Kunci Utama!)
“Pak Etek punya banyak teman di Mesir yang lulusan Pondok Madani diJawa Timur. Mereka pintar-pintar, bahasa Inggris dan bahasa Arabnyafasih. Di Madani itu mereka tinggal di asrama dan diajar disiplin untukbisa bahasa asing setiap hari. Kalau tertarik mungkin sekolah ke sana bisajadi pertimbangan…” (Negeri Lima Menara, hal. 12).
Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh
problematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa padangan dunia pengarang dalam novel
Negeri Lima Menara karya Adalah yaitu pengarang mempunyai kegelisahan
mengenai dunia pendidikan khususnya pesantren dan pengarang berusaha untuk
menolak pandangan bahwa pesantren hanya mencetak ustadz. Lebih dari itu
pengarang ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan formal, namun juga membekali
santri-santrinya dengan karakter, disiplin, dan semangat serta etos yang baik dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
usaha meraih cita-cita. Pesantren yang selama ini dikenal tertutup coba dijelaskan
oleh pengarang sebagai sebuah tempat belajar yang menyenangkan. Hal ini terlihat
dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh
problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai dengan latar
belakang lingkungan sosial pengarang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian pada bab IV dapat diambil simpulan bahwa novel
Negeri Lima Menara melukiskan pandangan yang dilematis mengenai kehidupan.
Pandangan dunia itu merupakan produk berbagai tingkatan hubungan konteks
sosial novel, latar belakang sosial pengarang, dan pandangan dunia pengarang itu
sendiri.
A. Kesimpulan
1. Stuktur novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi ini terdiri atas
tokoh dan penokohan yakni dengan tokoh utama Alif Fikri. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa struktur novel Negeri Lima Menara
terdiri atas tokoh dan penokohan, yakni dengan tokoh utama Alif Fikri.
Alif digambarkan sebagai tokoh yang religius, semangat tinggi serta
memiliki impian besar. Awal cerita dimulai ketika tokoh utama (Alif
Fikri) berada di Washington DC, Amerika Serikat sebagai seorang
wartawan. Selanjutnya, cerita berbalik ke masa kecil tokoh utama, masa
ketika tokoh utama mulai memimpikan cita-citanya. Alur cerita dimulai
dengan memperkenalkan tokoh utama sebagai seorang anak SMP yang
bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie. Tokoh utama berkeinginan
untuk melanjutkan pendidikan ke SMA dan selanjutnya bisa kuliah di
ITB. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam novel tersebut, yaitu
menceritakan masa sekarang kemudian kembali ke masa lalu dan kembali
lagi ke masa sekarang menandakan bahwa alur yang digunakan adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
alur campuran. Adapun tema dalam novel Negeri Lima Menara adalah
usaha keras meraih impian dengan bingkai pendidikan pesantren.
2. Dilihat dari lingkungan sosial pengarangnya, Ahmad Fuadi adalah novelis,
pekerja sosial dan mantan wartawan. Fuadi dilahirkan di di Maninjau,
Sumatera Barat, 30 Desember 1972, keluarganya adalah guru pengajar di
madrasah serta guru mengaji. Fuadi memulai pendidikan menengahnya di
KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan lulus pada tahun
1992. Masa kecil Fuadi sering berpindah sekolah karena mengikuti Ibunya
yang seorang guru. Fuadi memulai karir penulisannya sebagai wartawan
dan disamping itu dia juga sempat melanjutkan pendidikan ke berbagai
negara dengan beasiswa.
3. Dilihat dari lingkungan sosial novel, Latar sosial dalam novel Negeri Lima
Menara ini lebih menggambarkan tentang serentetan aturan yang ketat,
lingkungan belajar yang kondusif, dan keikhlasan yang selalu
dipertontonkan di setiap sudut Pondok Madani. Para murid bukan hanya
mendapatkan materi secara kering, tetapi mendapatkan ruh, spirit dalam
berjuang mewujudkan cita-cita. Secara tidak langsung kolaborasi latar ini
mewujudkan suatu gambaran yang indah tentang Pondok Madani yang
selama ini digambarkan ekstrem dan kuno, serta jauh dari perkembangan
ilmu pengetahuan.
4. Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Negeri Lima
Menara ini terlihat dari solusi yang diberikan oleh pengarang dari
permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik Berdasarkan analisis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik dan solusi-
solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang dalam novel Negeri
Lima Menara karya Adalah yaitu pengarang ingin mengungkapkan kepada
pembaca bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya
memberikan pendidikan formal, namun juga membekali santri-santrinya
dengan karakter, disiplin, dan semangat serta etos yang baik dalam usaha
meraih impian dan cita-cita. Pesantren yang selama ini dikenal tertutup coba
dijelaskan oleh pengarang sebagai sebuah tempat belajar yang
menyenangkan. Lebih dari itu pengarang mempunyai kegelisahan mengenai
dunia pendidikan khususnya pesantren dan pengarang berusaha untuk
menolak pandangan bahwa pesantren hanya mencetak ustadz. Hal ini terlihat
dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada
tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai
dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
B. Saran
1. Penelitian novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi dengan
menggunakan teori Strukturalisme Genetik ini hendaknya dapat
bermanfaat bagi pembaca.
2. Teori Strukturalisme Genetik ini dapat digunakan untuk mengkaji karya
sastra lainnya.
3. Novel Negeri Lima Menara hendaknya dapat dikaji atau dikembangkan
dengan menggunakan teori yang lain.