SKRIPSI HUBUNGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT...
Transcript of SKRIPSI HUBUNGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT...
SKRIPSI
HUBUNGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)
DENGAN KEJADIAN PENYAKIT Tinea Pedis (KUTU
AIR) TERHADAP PEMULUNG DI TPA MRICAN
KABUPATEN PONOROGO
Oleh :
NGESTI PUTRI RAHAYU
NIM : 201503030
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2019
ii
SKRIPSI
HUBUNGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)
DENGAN KEJADIAN PENYAKIT Tinea Pedis (KUTU AIR)
TERHADAP PEMULUNG DI TPA MRICAN
KABUPATEN PONOROGO
Diajukan untuk memenuhi
Salah satu persyaratan dalam mencapai gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Oleh :
NGESTI PUTRI RAHAYU
NIM : 201503030
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2019
iii
iv
v
PERSEMBAHAN
Puji Syukur Alhamdulillah atas nikmat dan shalawat pada Nabi Muhammad
SAW. Teriring do’a dan dzikir penuh Khauf dan Roja’ kepada Allah SWT,
sebagai penuntut ilmu atas seruan-Nya dan atas segala Ridho-Nya yang telah
memberiku kekuatan dan senantiasa mengiringi dalam setiap langkahku. Proposal
skripsi ini saya persembahkan untuk :
1. Ayahanda tercinta dan Ibunda tersayang yang telah menorehkan segala kasih
sayangnya dengan penuh rasa ketulusan yang tidak kenal lelah dan batas
waktu, yang selalu mendukungku, memberiku motivasi dalam segala hal serta
memberikan kasih sayang yang teramat besar, juga selalu mengerti semua
keluh kesahku.
2. Ibu Avicena Sakufa Marsanti, S.KM.,M.Kes, yang saya sayangi selaku
dewan penguji yang selama delapan semester memberikan ilmu di bidang
kesehatan lingkungan.
3. Bapak Zaenal Abidin, S.KM.,M.Kes (Epid), yang saya sayangi selaku dosen
pembimbing yang senantiasa membimbing saya untuk menyusun skripsi ini.
4. Ibu Riska Ratnawati, S.KM., M.Kes, yang saya sayangi selaku dosen
pembimbing yang senantiasa dengan sabar membimbing saya mengerjakan
skripsi ini sampai selesai.
5. Segenap dosen yang telah mengajarkan saya selama delapan semester di
Kesehatan Masyarakat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima
kasih atas ilmu yang telah diberikan.
6. Teman-temanku yang sama-sama berjuang, memberi semangat dalam
terselesaikannya skripsi ini.
7. Semua pihak yang sudah membantu terselesaikannya skripsi ini terutama
Mba Rani dan tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
8. Almamaterku tercinta STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ngesti Putri Rahayu
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat dan Tanggal Lahir : Ponorogo, 5 Juni 1996
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sunan Kalijaga, Desa Kepuhrubuh, RT. 01
RW.01, Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo.
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan : 1. TK Muslimat Kepuhrubuh (2002)
2. SDN Kepuhrubuh (2003-2009)
3. SMP Negeri 1 Siman (2009-2012)
4. MAN 2 Ponorogo (2012-2015)
5. Tahun 2014 diterima di STIKES BHAKTI
HUSADA MULIA MADIUN jurusan S1
Kesehatan Masyarakat dengan Peminatan
Kesehatan Lingkungan.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan Kejadian
Penyakit Tinea Pedis (Kutu Air) terhadap Pemulung di TPA Mrican Kabupaten
Ponorogo”.Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan tugas akhir Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat STIKES
Bhakti Husada Mulia Madiun.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa dalam rangka kegiatan
penyusunan skripsi ini tidak akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan tanpa
adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan banyak bimbingan,
arahan, dan motivasi kepada penulis. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Zaenal Abidin, S.KM.,M.Kes (Epid), selaku Ketua STIKES Bhakti
Husada Mulia Madiun dan selaku Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
2. IbuAvicena Sakufa Marsanti, S.KM., M.Kes, selaku Ketua Program Studi
S1 Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun yang telah
memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat dan selaku dewan
penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
menguji skripsi yang telah dibuat oleh penulis.
3. Ibu Riska Ratnawati,S.KM., M.Kes, selaku pembimbing II yang telah
meluangkan banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Keluarga tercinta yang telah memberikan do’a, nasehat-nasehat dan
semangat yang tiada hentinya.
5. Sahabat-sahabat dan teman-teman Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat
angkatan 2015 atas kerja sama danmotivasinya yang selalu menyemangati
ix
disaat semangat penulis mulai goyah dan selalu menemani disaat suka dan
duka.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan
dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga diharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kita semua.
Madiun, Juli 2019
Ngesti Putri Rahayu
NIM. 201503030
x
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun 2019
ABSTRAK
Ngesti Putri Rahayu
HUBUNGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)
DENGAN KEJADIAN PENYAKIT Tinea Pedis (KUTU AIR)
TERHADAP PEMULUNG DI TPA MRICAN
KABUPATEN PONOROGO
75 hal + 8 tabel + 10 lampiran + 4 gambar
Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2015 yang menunjukkan bahwa
penyakit kulit dan jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10 penyakit
terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit se- Indonesia berdasarkan
jumlah kunjungan yaitu sebanyak 192.414 kunjungan, kunjungan kasus baru
122.076 kunjungan sedangkan kasus lama 70.338 kunjungan (Kemenkes RI,
2016).Prevalensi penyakit kulit di dunia dimana Tinea pedistermasuk didalamnya
menunjukkan angka 20-25% (WHO, 2013). Faktor penyebab terjadinya kutu air
adalah lingkungan dan kebiasaan sehari-hari yang buruk, virus, dan penggunaan
APD yang kurang baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian penyakit kutu air terhadap
pemulung.
Jenis penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan
pendekatan crossectional. Teknik sampling dalam penelitian adalah simple
random sampling. Data kemudian dianalisa dengan menggunakan uji chi-square.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemulung di TPA Mrican
Kabupaten Ponorogo dalam penggunaan alat pelindung diri sebagian besar buruk
(64,4%), sebagian besar pemulung sudah menggunakan APD tetapi masih sakit
(82,2%)dan ada hubungan penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian
penyakit kutu air (Tinea Pedis) terhadap pemulung di TPA Mrican Kabupaten
Ponorogo dengan p value= 0,017 (RP= 1,006-2,205).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diharapkan pemulung selalu menjaga
personal hygiene, mencuci kaos kaki dan sarung tangan setelah digunakan,
menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal pemulung serta mencuci kaki
dengan sabun sebelum dan sesudah memakai kaos kaki dan sepatu boots, lalu
dikeringkan dengan kain yang bersih.
Kata Kunci : Kejadian Kutu Air, Alat Pelindung Diri, Pemulung.
Kepustakaan = 34 ( 2003 – 2017 )
xi
PROGRAM STUDY OF PUBLIC HEALTH
STIKES BHAKTI HUSADAMULIAMADIUN 2019
ABSTRACT
Ngesti Putri Rahayu
RELATIONSHIP BETWEEN THE USE OF SELF PROTECTIVE
EQUIPMENT (SPE) AND THE EVENT OF TINEA PEDIS
(ATHLETE' S FOOT) ON THE SCAVENGERS IN TPA MRICAN
PONOROGO REGENCY.
75 pages + 8 tables + 10 appendixes + 4 pictures
According to Indonesia ' s health profile in 2015 which showed that skin
disease and subcutaneous tissue were ranked third out of 10 most diseases in
outpatients in hospitals throughout Indonesia. The prevalence of skin diseases in
the world where Tineapedis is included shows 20-25% (WHO, 2013). Factorsthat
cause Athlete' s foot are bad environment and daily habits, viruses, and poor use
of SPE. The purpose of this study is to determine the relationship between the use
of self protective equipment and the event of Athlete' s foot towards scavengers.
This type of research uses an observational analytic method with a
crossectional approach. The sampling technique in the study is simple random
sampling. Data is analyzed by using the chi-square test.
The results of this study indicate that the scavengers in TPA
MricanPonorogo Regency are mostly poor in the use self protective equipment
(64.4%), most of the scavengers have already used SPE but are still sick (82.2%)
and there is a connection between the use of self protective equipment and the
event of Athlete' sfoot disease (TineaPedis) towards scavengers in TPA Mrican,
Ponorogo Regency with p value = 0.017 (RP = 1.006-2.205).
Based on the results of the study , it is expected that scavengers always
maintain personal hygiene, wash socks and gloves after use, maintain the
cleanliness of the scavengers' living environment and wash their feet with soap
before and after wearing socks and boots, then dry with a clean cloth.
Keywords: Athlete' s Foot Event, Self ProtectiveEquipment, Scavengers.
Literature : 34 ( 2003 – 2017 )
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN .............................................................................................. i
SAMPUL DALAM ............................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iv
LEMBAR PERSEMBAHAN ............................................................................ v
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
ABSTRAK .......................................................................................................... x
ABSTRACT .......................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xvii
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................xviii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................. 6
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alat Pelindung Diri (APD) .......................................................... 8
2.1.1 Pengertian Alat Pelindung Diri ........................................ 8
2.1.2 Syarat-syarat APD ........................................................... 9
2.1.3 Jenis Alat Pelindung Diri ................................................. 10
2.1.4 Jenis APD Bagi Pemulung .............................................. 12
2.1.5 Alat Pelindung Diri yang Digunakan Pemulung ............. 15
2.2 Tinea Pedis .................................................................................. 17
2.2.1 Pengertian Tinea Pedis .................................................... 17
2.2.2 Epidemiologi .................................................................. 18
2.2.3 Patofisilogi ...................................................................... 18
2.2.4 Faktor Resiko Tinea Pedis .............................................. 21
2.3 Kerangka Teori ............................................................................ 26
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual .................................................................. 27
3.2 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 28
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian ......................................................................... 29
4.2 Populasi dan Sampel .................................................................... 29
4.2.1 Populasi ........................................................................... 29
xiii
4.2.2 Sampel ............................................................................. 30
4.3 Teknik Sampling ......................................................................... 32
4.4 Kerangka Kerja Penelitian ........................................................... 33
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ............... 34
4.5.1 Variabel Penelitian........................................................... 34
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ......................................... 34
4.6 Instrumen Penelitian .................................................................... 35
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 36
4.7.1 Lokasi Penelitian ............................................................. 36
4.7.2 Waktu Penelitian .............................................................. 36
4.8 Prosedur Pengumpulan Data ....................................................... 37
4.8.1 Cara Pengumpulan Data .................................................. 37
4.8.2 Jenis Data ......................................................................... 37
4.9 Teknik Analisis Data ................................................................... 37
4.10 Analisa Data ................................................................................ 39
4.11 Etika Penelitian ............................................................................ 40
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran dan Lokasi Penelitian ................................................. 42
5.1.1 Keadaan Geografis Desa Mrican .................................... 42
5.1.2 Kependudukan dan Luas Daerah/wilayah ....................... 43
5.2 Hasil Penelitian ............................................................................ 43
5.2.1 Hasil Analisa Univariat ................................................... 44
5.2.2 Hasil Analisis Bivariat ..................................................... 46
5.3 Pembahasan ................................................................................. 47
5.3.1 Gambaran Alat Pelindung Diri Pemulung di TPA
Mrican Kabupaten Ponorogo ........................................... 47
5.3.2 Gambaran Penyakit Tinea pedis (Kutu Air) terhadap
Pemulung di TPA Mrican Kabupaten Ponorogo ............. 48
5.3.3 Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
dengan Kejadian Penyakit Kutu Air (Tinea Pedis)
Terhadap Pemulung di TPA Mrican Kabupaten
Ponorogo .......................................................................... 50
5.4 Keterbatasan Penelitian ............................................................... 53
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 54
6.2 Saran 54
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 57
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 60
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel Halaman
Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel ................................................ 35
Tabel 4.2 Waktu Penelitian .................................................................... 36
Tabel 4.3 Coding .................................................................................... 38
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur ................................ 44
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin................... 44
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Alat Pelindung Diri .......... 45
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Penyakit Kutu Air ............ 45
Tabel 5.5 Tabulasi Silang Alat Pelindung Diri dengan Penyakit Kutu
Air........................................................................................... 46
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Gambar Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian ................................................. 26
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ........................................................ 27
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian ................................................. 33
Gambar5.1 Peta Desa Mrican ............................................................... 43
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Persetujuan Pengajuan Judul Skripsi ............................. 60
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik ........... 61
Lampiran 3 Balasan Surat Ijin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik .......................................................................................... 62
Lampiran 4 Lembar Observasi APD Pemulung ............................................. 63
Lampiran 5 Lembar Observasi Kutu Air pada Pemulung ............................... 64
Lampiran 6 Input Data .................................................................................... 65
Lampiran 7 Hasil Output SPSS ....................................................................... 66
Lampiran 8 Dokumentasi ................................................................................ 71
Lampiran 9 Kartu Bimbingan ......................................................................... 73
Lampiran 10 Lembar Perbaikan Skripsi ........................................................... 74
xvii
DAFTAR SINGKATAN
APD : Alat Pelindung Diri
DEPKES : Departemen Kesehatan
KEMENKES : Kementrian Kesehatan
TPA : Tempat Pembuangan Akhir
WHO : World Health Organization
SDM : Sumber Daya Manusia
xviii
DAFTAR ISTILAH
Aderen : Urat Nadi.
Aseksual : Reproduksi yang tidak melibatkan meiosis
ploidi pengurangan atau vertilisasi.
Bakteri : Kelompok Organisme yang tidak memiliki
membran inti sel.
Degradasi : Kemunduran, Kemrosotan dan Penurunan.
Deskuamasi : Pelepasan elemen epitel.
Dermatofit : Infeksi jamur superfisial.
Dermatofitosis : Kurap
Epidermophyton floccosum : Jamur berfilamen yang menyebabkan infeksi kulit.
Epidermis : Lapisan Jaringan.
Ferritin : Protein intraseluler universal yang menyimpan zat
besi dan melepaskannya secara terkontrol.
Fregmentasi : Bentuk reproduksi aseksual atau kloning dimana
organisme memecah diri menjadi fragmen-
fragmen.
Globulin : Protein yang tidak dapat larut dalam air, tetapi larut
dalam garam.
Interdigitale : Spesies terisolasi yang paling umum.
Invasi : Peristiwa masuknya kuman atau serangan penyakit
ke dalam tubuh.
Inflamasi : Peradangan
Korprosis : Infeksi jamur yang bisa menimbulkan ruam
melingkar kemerahan atau keperakan pada kulit.
Lipase : Enzim yang menguraikan lemak menjadi alkohol
dan asam lemak.
Maserasi : Kondisi kulit yang rusak.
Mikroorganisme : Organisme yang berukuran sangat kecil.
Mikosis : Infeksi jamur yang bisa mengenai manusia dan
juga hewan.
Onikomiosis : Kelainan kuku akibat infeksi jamur.
Patogenik : Organisme yang dapat menyebabkan penyakit.
Protease : Enzim golongan hidrolase yang akan memecah
protein menjadi molekul yang lebih sederhana.
Penetrasi : Suatu penembusan atau penerobosan
Spora : Satu atau beberapa sel yang terbungkus oleh
lapisan pelindung.
Supervisial : Terletak di dekat permukaan.
Virus : Parasit mikroskopis yang menginfeksi sel
organisme biologis.
Virulensi : takaran kemampuan suatu mikroorganisme (virus)
untuk menimbulkan penyakit.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tinea pedis atau yang sering disebut dengan kutu air merupakan
dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari kaki dan telapak kaki.
Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari hari
banyak yang bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk. Selain
itu, sering juga di jumpai pada pekerja dengan kaki yang sering basah.
Penderita yang terinfeksi biasanya orang dewasa (Djuanda dalam Septiana,
2015).
Kulit dapat terinfeksi oleh mikroorganisme, bakteri, virus maupun
jamur. Tinea pedis merupakan infeksi dermatofit atau infeksi karena jamur
yang paling sering terjadi pada manusia, terjadi pada 70% orang dewasa.
Keseluruhan insidensi berhubungan dengan pekerjaan, sehingga sering
disebut dermatofitosis akibat kerja antara lain Tinea Pedis (Kumar et al,
2011). Prevalensi penyakit dermatofitosis di Asia mencapai 35,6% (Kumar
et al, 2011).
Tinea pedis atau yang disebut juga athlete’s foot adalah satu infeksi
jamur superfisial pada kulit kaki yang sering terjadi pada kasus
dermatofitosis umumnya saat ini (William et al., 2016). Kurangnya
kebersihan memegang peranan penting terhadap infeksi tinea pedis.
2
Keadaan gizi kurang akan menurunkan imunitas seseorang dan
mempermudah seseorang terjangkit tinea pedis (Napitupulu, et al., 2016).
Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap insiden dari
infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami
infeksi kutaneus dengan infeksi tinea korprosis merupakan tipe yang paling
dominan dan diikuti dengan tinea krusis, pedis dan onychomycosis
(Lakshmipathy, 2013). Penyakit kulit semakin banyak berkembang, hal ini
dibuktikan dari profil kesehatan Indonesia tahun 2015 yang menunjukkan
bahwa penyakit kulit dan jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari
10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit se- Indonesia
berdasarkan jumlah kunjungan yaitu sebanyak 192.414 kunjungan,
kunjungan kasus baru 122.076 kunjungan sedangkan kasus lama 70.338
kunjungan (Kemenkes RI, 2016). Prevalensi penyakit kulit di dunia dimana
Tinea pedistermasuk didalamnya menunjukkan angka 20-25% (WHO,
2013). Di berbagai negara angka kejadian bervariasi, di negara maju seperti
Italia sebesar 20,4% sesuai data Rumah Sakit Bari Policclinio tahun 2005-
2010 (Vena dkk, 2012). Di negara berkembang seperti di Garhwal
Himalayan India sebesar 18,92% (Kainthola dkk, 2014). Prevalensi Tinea
pedis di Propinsi Bali tahun 2016 sebesar 9,11%, sedangkan kasus Tinea
pedis di Dinas Kesehatan Kabupaten Bangli tahun 2016 sebanyak 1.032
kasus (Dinkes Bangli, 2017). Di Ponorogo khusunya di Puskesmas Setono
pada tahun 2018 di dapatkan penderita penyakit kulit karena jamur
sebanyak 26 yang berobat ke Puskesmas tersebut. Di Indonesia berdasarkan
3
data laporan di seluruh rumah sakit tahun 2010 menunjukkan angka 122,076
kasus baru untuk penyakit infeksi kulit dimana Tinea pedis termasuk
didalamnya (Kemenkes RI, 2011).
Kejadian penyakit kulit di Indonesia masih tergolong tinggi dan
menjadi permasalahan yang cukup berarti. Hal tersebut karena kurangnya
kesadaran dan ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar yang
menyebabkan penularan penyakit kulit sangat cepat. Berbagai penyakit kulit
dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti lingkungan dan kebiasaan
sehari-hari yang buruk, perubahan iklim, virus, bakteri, alergi, daya tahan
tubuh dan lain-lain (Pardiansyah, 2015).
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita dengan tiga penyebab utama
yaitu T. Rubrum, T.interdigitale dan Epidermophyton floccosum, dimana
T.rubrum adalah penyebab tinea pedis tersering. Dermatofita memiliki
beberapa enzim keratinolitik protease dan lipase yang berperan sebagai
faktor virulensi yang mempermudah aderen (pelekatan) dan invasi pada
kulit, rambut, kuku dan juga untuk menggunakan keratin sebagai sumber
nutrisi untuk bertahan hidup. Salah satu infeksi kulit tersebut adalah infeksi
kulit pada sela jari kaki dan telapak kaki yang disebabkan oleh jamur atau
yang lebih dikenal sebagai kutu air atau Tinea pedis atau ringworm of the
foot atau Athlete’s foot. Resiko dan dampak kesehatan yang paling umum
pada pemulung sampah adalah kemungkinan terjangkitnya penyakit, dimana
penyakit tersebut adalah penyakit kulit yang disebabkan beberapa jenis
jamur mikroorganisme patogen yang hidup dan berkembang biak dalam
4
sampah. Penyakit kulit akibat kerja pada pemulung merupakan salah satu
penyakit berbasis lingkungan. Penyakit ini timbul akibat dari beberapa
faktor seperti faktor lingkungan, karakteristik paparan, karakteristik agen
dan faktor-faktor individu seperti umur, jenis kelamin serta hygiene
perorangan.
Hygiene perorangan yang tidak memadai dapat mengakibatkan infeksi
jamur, infeksi bakteri, virus, parasit, gangguan kulit dan keluhan lainnya.
Infeksi tersebut mengenai sela jari kaki dan telapak kaki terutama yang
memakai kaos dan sepatu yang tertutup. Keadaan yang panas dan lembab
merangsang pertumbuhan jamur. Di Tpa Mrican masih banyak pemulung
yang tidak menggunakan alat pelindung diri yang lengkap dan sesuai. Rata-
rata pemulung tidak menggunakan sarung tangan dan hanya sebagian kecil
yang memakai sarung tangan kain dengan kondisi yang sudah tidak layak
dipakai seperti kotor, bolong-bolong. Hal tersebut dapat menyebabkan
timbulnya penyakit, salah satunya adalah penyakit kulit. Penyakit kulit
dapat terjadi karena tumpukan sampah yang ada merupakan tempat yang
baik bagi pertumbuhan jamur.
Berdasarkan observasi dengan para pemulung, sebagian banyak yang
mengalami gatal-gatal di tangan maupun kaki. Tetapi para pemulung
menganggap gatal-gatal tersebut hal yang wajar, mereka jarang
memeriksakan ke puskesmas. Alat pelindung diri harus dijaga
kebersihannya karena dapat juga menyebabkan timbulnya penyakit kulit.
5
Berdasarkan latar belakang diatas dan hasil studi pendahuluan dengan
mengambil 5 sampel responden pemulung sampah di TPA mrican,
diperoleh 3 responden dengan tidak menggunakan sarung tangan, kaos kaki
dan alas kaki atau sepatu menderita tinea pedis dan 2 responden
menggunakan sepatu, kaos kaki dan sarung tangan tidak menderita tinea
pedis. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui, apakah terdapat hubungan
penggunaan APD dengan kejadian Tinea pedis pada pekerja pemungut
sampah atau pemulung di TPA Mrican Kab.Ponorogo.
Pemakaian alat pelindung diri (APD) sangat penting bagi para pekerja
dalam kegiatan sehari-hari untuk perlindungan diri (Anizar, 2012).
Pemakaian alat perlindungan diri mempunyai efek positif apabila dipakai
dengan benar dan negatif apabila tidak dipakai dengan benar. Efek negatif
dari pemakaian APD inilah kemungkinan menjadi faktor resiko terjadinya
infeksi jamur Tinea pedis. Tinea pedis sering menyerang orang yang bekerja
di tempat basah seperti pemungut sampah yang harus memakai sepatu
tertutup setiap hari. Pemakaian alat perlindungan (celana panjang, kaos kaki
dan sepatu tertutup menyebabkan terjadi kaki basah dan lembab pada
pemulung. Tempat yang lembab merupakan media yang sangat bagus bagi
pertumbuhan jamur. Dengan ini peniliti memberikan solusi tenaga kerja
diharapkan agar dapat lebih meningkatkan kesadaran agar lebih patuh dalam
penggunaan APD (sepatu boots) saar bekerja karena hal ini sangat berkaitan
dengan tinea pedis, untuk instansi kebersihan diharapkan lebih tegas dan
6
ketat dalam pengawasan untuk penggunaan APD serta memberikan fasilitas
APD yang menyeluruh pada pemulung.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti menyusun
rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu “ Hubungan penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD) dengan kejadian penyakit Tinea Pedis (Kutu Air)
terhadap pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Mrican,
Kab.Ponorogo “.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “Hubungan
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan kejadian penyakit
Tinea Pedis (Kutu Air) pada pemulung di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Mrican, Kab.Ponorogo“.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada
pemulung.
2. Mengidentifikasi kejadian penyakit tinea pedis (kutu air) pada
pemulung.
3. Menganalisis hubungan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
dengan kejadian penyakit tinea pedis (kutu air) terhadap
pemulung.
7
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia
Menambah bahan pustaka perpustakaan STIKES Bhakti Husada
Mulia Madiun tentang hubungan penggunaan Alat Pelindung Diri
(APD) dengan kejadian penyakit Tinea Pedis (Kutu Air) terhadap
pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Mrican, Kab.Ponorogo.
2. Bagi Pemulung
Sebagai informasi dan sumbangan pemikiran bagi pemulung untuk
memperhatikan personal higiene dan pemakaian APD yang lengkap dan
benar serta menambah pengetahuan para pemulung tentang resiko
terkena penyakit yang berhubungan dengan sampah khusunya kejadian
penyakit kulit.
3. Bagi peneliti lain
Penelitian ini dapat dijadikan suatu penelitian dasar untuk
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penggunaan Alat
Pelindung Diri dengan kejadian Tinea pedis khususnya pada pemulung
di TPA Mrican.
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alat Pelindung Diri (APD)
2.1.1 Pengertian Pelindung Diri (APD)
Menurut Tarwaka Alat Pelindung Diri (APD) adalah
seperangkat alat keselamatan yang digunakan pekerja untuk
melindungi seluruh atau bagian tubuhnya dari kemungkinan adanya
pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan
penyakit akibat kerja.
Menurut Budiono, Alat Pelindung Diri (APD) adalah
seperangkat alat yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi
sebagaian atau seluruh tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau
kecelakaan kerja. APD tidak secara sempurna dapat melindungi
tubuhnya, tetapi dapat mengurangi tingkat keparahan yang mungkin
terjadi. Pengendalian ini sebaiknya tetap dipadukan dan sebagai
pelengkap pengendalian teknis atau pengendalian administratif.
Sedangkan menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi nomor PER.08//MEN/VII/2010 tentang alat pelindung
diri, Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat
yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang
fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi
bahaya di tempat kerja. Pengusaha wajib menyediakan APD bagi
9
pekerja/buruh di tempat kerja. Penggunaan Alat Pelindung Diri
merupakan hak dari pegawai dan kewajiban bagi pihak manajemen
untuk menyediakannya. Keadaan pada lingkungan kerja yang
menggunakan energi merupakan salah satu penyebab terjadinya
potensi bahaya kecelakaan kerja di lingkungan kerja (Afandi &
Desrianty,2014).Oleh sebab itu penting bagi pegawai untuk
menggunakan APD untuk meminimalisir dampak atau bahkan
mencegah terjadinya kecelakaan kerja. (Konya, Akpiri & Orji, 2013)
mengungkapkan bahwa setiap tahun, ratusan orang terluka atau
terbunuh dalam industri, tambang dan tempat kerja lain dikarenakan
tidak digunakannya APD. Penggunaan APD dapat memiliki peran
yang penting dalam menjaga kesehatan dan kenyamanan dari pekerja
dalam jenis lingkungan kerja apapun.
2.1.2 Syarat-syarat APD
Adapun syarat-syarat APD menurut Tarwaka agar dapat dipakai
dan efektif dalam penggunaan dan pemeliharaan APD sebagai
berikut :
1. Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan
efektif pada pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi ditempat
kerja.
2. Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin,
nyaman dipakai dan tidak merupakan bahan tambahan bagi
pemakainya.
10
3. Bentuk cukup menarik, sehingga pekerja tidak malu
memakainya.
4. Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena
jenis bahayanya maupun kenyamanan dalam pemakaian.
5. Mudah untuk dipakai dan dilepas kembali.
6. Tidak menganggu penglihatan, pendengaran dan pernapasan
serta gangguan kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam
waktu yang cukup lama.
7. Tidak mengurangi persepsi sensori dalam menerima tanda-tanda
peringatan.
8. Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup
tersedia di pasaran.
9. Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.
10. Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai standart yang
ditetapkan.
2.1.3 Jenis Alat Pelindung Diri
1. Kaca Mata Pengaman (Safety Glasses). Berfungsi sebagai
pelindung mata ketika bekerja (misalnya memgelas).
2. Penutup telinga (EarPlug/EarMuff). Berfungsi sebagai
pelindung telinga pada saat bekerja di tempat yang bising.
3. Safety Helmet. Berfungsi sebagai pelindung kepala dari benda
yang bisa mengenai kepala secara langsung.
11
4. Tali keselamatan (Safety Belt). Berfungsi sebagai alat pengaman
ketika menggunakan alat transportasi ataupun peralatan lain
serupa (mobil, pesawat, alat berat).
5. Sepatu karet (sepatu boot). Berfungsi sebagai alat pengaman
saat bekerja di tempat yang becek ataupun berlumpur.
Kebanyakan dilapisi dengan metal untuk melindungi kaki dari
benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia.
6. Sepatu pelindung (safety shoes). Seperti sepatu biasa, dari bahan
kulit dilapisi metal dengan sol dan karet tebal dan kuat.
Berfungsi untuk mencegah kecelakaan fatal yang menimpa kaki
karena tertimpa benda tajam atau berat, benda panas, cairan
kimia.
7. Sarung tangan. Berfungsi alat pelindung tangan saat bekerja di
tempat atau situasi yang dapat mengakibatkan cidera tangan.
Bahan dan bentuk sarung tangan disesuaikan dengan fungsi
masing-masing pekerjaan.
8. Tali pengaman (Safety Harness). Berfungsi sebagai pengaman
saat bekerja di ketinggian.
9. Masker (Respirator). Berfungsi sebagai penyaring udara yang
dihirup saat bekerja di tempat dengan kualitas udara buruk
(misal berdebu, beracun).
12
10. Pelindung wajah (Face Shield). Berfungsi sebagai pelindung
wajah dari percikan benda asing saat bekerja (misal pengerjaan
menggerinda).
11. Jas hujan (Rain Coat). Berfungsi melindungi dari percikan air
saat bekerja (misal bekerja pada waktu hujan atau sedang
mencuci alat).
Pemulung sampah adalah seseorang yang memungut,
mengambil, mengumpulkan, dan mencari barang yang sudah tidak
terpakai untuk dijual kepada pengusaha yang akan mengolahnya
menjadi suatu barang komoditas atau diolah sendiri kemudian dijual
kembali, mereka adalah orang tua, muda dan anak-anak. Jumlah
anak-anak yang menjadi pemulung sampah terus meningkat. Hal ini
disebabkan karena kemiskinan orang tua sebagai buntut dari kondisi
orang tua yang tidak stabil. Anak-anak terpaksa mengikuti jejak
orang tuanya yang seharusnya waktunya digunakan untuk
mendapatkan pendidikan dibangku sekolah. Anak-anak menjadi
korban kemiskinan dan mewakili kemiskinan orang tuanya.
2.1.4 Jenis APD Bagi Pemulung
Alat pelindung kerja yang digunakan para pemulung sampah
antara lain :
1. Topi, untuk melindungi kepala dari cuaca panas, hujan, kotoran
dan benda keras.
2. Kacamata gelap, untuk melindungi mata dari cahaya matahari.
13
3. Masker, berupa penutup hidung dan mulut yang berguna untuk
melindungi saluran pernapasan dari debu, bahan kimia, dan
kuman penyakit.
4. Jaket atau baju lengan panjang, untuk melindungi kulit dari
sengatan matahari dan untuk menjaga kebersihan badan dari
sampah yang membawa kuman penyakit.
5. Sarung tangan, untuk perlindungan diri terhadap kontak
langsung dengan sampah dan barang tajam.
6. Sepatu laras, untuk melindungi kaki dari bahan-bahan tajam dan
dari parasit tanah (cacing).
Selain alat pelindung tubuh juga ada alat lain yang berguna
untuk mendukung pekerjaannya sebagai pemulung sampah, antara
lain :
1. Keranjang yang dipanggul di pundak yang berguna untuk
menampung barang hasil pulungnya.
2. Gancu, digunakan sebagai alat pengambil sampah untuk
mempermudah pemungutan sampah.
Penyakit gatal pada kulit dapat terjadi karena tumpukan sampah
yang merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan jamur. Selain
itu dalam bekerja pemulung tidak menggunakan alat pelindung diri
yang sesuai, seperti sarung tangan yang terbuat dari karet, dan sepatu
boot. Alat pelindung diri ini harus dijaga kebersihannya, hal ini
dapat menyebabkan timbulnya penyakit gatal pada kulit. Penyakit
14
gatal pada kulit ini timbul salah satunya karena fakor dari kebersihan
diri pemulung itu sendiri (Harahap, 1990).
Alat pelindung badan (baju pengaman, baju kerja) merupakan
salah satu jenis dari baju pengaman sebagai alat pelindung badan.
Alat ini berguna untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuh dari
percikan api, panas, dingin, cairan kimia dan oli. Bahan baju kerja
dapat terbuat dari kain drill, kulit, plastik atau kain yang dilapisi
alumunium. Beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan baju kerja adalah pemakainya harus fit, dan dalam
keadaan sehat. Sebaiknya tidak terlalu kencang dan kaku sehingga
tidak membatasi gerakan. Pada pemulung baju yang harus digunakan
adalah baju lengan panjang dengan ukuran dan kain yang pas ,tidak
dianjurkan menggunakan baju lengan pendek.
Jenis alat pelindung kaki seperti sepatu karet hak rendah. Alat
pelindung kaki dapat terbuat dari kulit yang dilapisi Asbes atau
Chrom. Sepatu keselamatan yang dilengkapi dengan baja diujungnya
dan sepatu karet anti listrik. Alat pelindung kaki (safety shoes)
berfungsi melindungi kaki dari benturan/tusukan/irisan/goresan
benda tajam, larutan bahan kimia, temperatur yang ekstrim baik
terlalu tinggi maupun rendah, kumparan kawat-kawat yang beraliran
listrik, dan lantai licin agar tidak jatuh (terpleset).
Selain itu pemakaian kaus kaki dengan bahan yang tidak dapat
menyerap keringat dapat menambah kelembaban di sekitar kaki yang
15
cenderung mendukung jamur dapat tumbuh subur. Kondisi sosial
ekonomi sertakurangnya kebersihan pribadi juga memegang peranan
penting pada infeksijamur (insiden penyakit jamur pada sosial
ekonomi lebih rendah lebih seringterjadi daripada sosial ekonomi
yang lebih baik, hal ini terkait dengan status giziyang mempengaruhi
daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit). Kebersihanpribadi
(mencuci kaki setiap hari, menjaga kaki selalu kering) yang
kurangdiperhatikan turut mendukung tumbuhnya jamur.
Menurut Courtney (2005) dan Perdoski (2001) praktik memakai
sepatu tertutup dalam waktu yang lama dapat menjadi faktor risiko
terkena Tinea pedis. Praktik memakai sepatu tertutup dalam waktu
yang lama dapat menyebabkan kulit di sekitar kaki lembab karena
produksi keringat yang berlebih. Hal inilah yang mendukung jamur
tumbuh dengan subur. praktik kebersihan diri sebelum pemulung
memakai sepatu, misalnya mencuci kaki sebelum memakai kaus
kaki, mengelap kaki sebelum memakai kaus kaki dan lain
sebagainya. Pemakaian kaus kaki yang dipakai bekerja dengan bahan
yang dapatmenyerap keringat.
2.1.5 Alat Pelindung Diri yang Digunakan Pemulung
Pemulung adalah sebuah pekerjaan meskipun keberadaannya
kurang disenangi oleh sebagian besar masyarakat. Bekerja sebagai
pemulung memiliki resiko bahaya yang cukup besar, karena tempat
kerja yang sangat berbahaya dan tidak adanya perlindungan kerja
16
yang maksimal diberikan oleh pemerintah. Peralatan yang digunakan
jauh dari kata aman. Peralatan yang digunakan standar, diantaranya :
1. Topi atau tudung kepala, untuk melindungi kepala dari cuaca
panas, hujan, kotoran, sampah, maupun benda-benda tajam atau
keras.
2. Pakaian panjang (baju lengan panjang dan celana panjang),
untuk melindungi kulit dari sengatan matahari dan untuk
menjaga kebersihan badan dari sampah yang membawa kuman
penyakit.
3. Sarung tangan karet, untuk melindungi kulit bagian tangan
terhadap kelembaban air, bahan-bahan zat kimia, dan agar tidak
menyentuh sampah secara langsung sehingga terhindar dari
bakteri yang terdapat pada sampah.
4. Masker, untuk melindungi kulit wajah agar tidak terkontaminasi
bakteri pada sampah. Masker pada pemulung sebaiknya terbuat
dari nahan kain sehingga dapat menyerap keringat.
5. Sepatu boot, untuk melindungi kaki dari barang-barang tajam
dan dari parasit tanah. Sepatu boot yang cocok digunakan
pemulung dari bahan karet atau kulit.
17
2.2 Tinea Pedis
2.2.1 Pengertian Tinea Pedis
Tinea Pedis atau athlete’s foot atau jungle rot merupakan
dermatomikosis pada kaki. Tinea pedis paling sering terjadi di sela-
sela jari dan telapak kaki. Pada umumnya sering terjadi pada orang
yang berkeringat banyak dan memakai sepatu tertutup dan ketat.
Tinea pedis diakibatkan oleh Trichophyton rubrum, Trichopyton
interdigitale, dan epidermophyton floccosum. Gejala dan tanda dari
tinea pedis adalah ruam bersisik yang menyebabkan gatal,
menyengat dan terbakar. Infeksi pada daerah lain seperti tinea crusis
biasanya berasosiasi dengan tinea pedis. Tinea pedis adalah salah
satu infeksi kulit yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum
(Viegas et al, 2013;Wollf dan Johnson, 2012). Kulit dapat terinfeksi
oleh mikroorganisme, bakteri, virus maupun jamur. Tinea pedis
merupakan infeksi dermatofit atau infeksi karena jamur yang paling
sering terjadi pada manusia, terjadi 70% pada orang dewasa.
Penyebab yang paling sering ditemukan adalah Trichophyton
rubrum. Keseluruhan insidensi berhubungan dengan pekerjaan,
sehingga sering disebut dermatofitosis akibat kerja antara lain Tinea
pedis. Tinea pedis sering menyerang orang dewasa usia 20-50 tahun
yang bekerja di tempat basah seperti tukang cuci mobil dan motor,
petani, pemungut sampah atau orang yang setiap hari harus memakai
sepatu tertutup (Kumar et al, 2011).
18
2.2.2 Epidemiologi
Mikosis superfisial merupakan bentuk infeksi yang paling
sering pada manusia, diperkirakan telah menginfeksi 20-25%
populasi dunia, dan insidensi terus meningkat. Mikosis superfisial
disebabkan dermatofit, penyebarannya bervariasi tergantung pada
letak geografis, populasi, iklim, gaya hidup, migrasi, kondisi
ekonomi sosial, dan terapi. Tinea pedis lebih sering menginfeksi
laki-laki daripada perempuan, dan angka prevalensinya meningkat
sesuai dengan meningkatnya umur, dan jarang sekali ditemukan pada
anak-anak. Insidensi tinea pedis meningkat pada iklim yang lembab
dan hangat, karena meningkatkan pertumbuhan jamur. Angka
prevalensi meningkat pada pemakaian sepatu yang tertutup.
2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi tinea pedis merupakan infeksi dermatofita dengan
tiga penyebab utama yaitu T. rubrum, T.interdigitale, dan
Epidermophyton floccosum, dimana T. rubrum adalah penyebab
tinea pedis tersering Dermatofita memiliki beberapa enzim seperti
keratinolitik protease dan lipase yang berperan sebagai faktor
virulensi yang mempermudah aderen (pelekatan) dan invasi pada
kulit, rambut, kuku dan juga untuk menggunakan keratin sebagai
sumber nutrisi untuk bertahan hidup. Langkah awal pada infeksi
dermatofita adalah aderen atau pelekatan pada keratin yang diikuti
dengan invasi dan pertumbuhan elemen miselium. Pada tahap aderen
19
awal, dermatofita melakukan pelekatan dari artrokonidia (spora
aseksual yang dibentuk dari hifa terfragmentasi) terhadap permukaan
jaringan terkeratinisasi.
Beberapa jam setelah pelekatan berhasil terjadi, spora mulai
tumbuh dan mempersiapkan diri untuk tahapan berikutnya yaitu
invasi. Jamur dermatofita menginvasi permukaan keratin pada kulit
dengan menggunakan keratinase. Infeksi terbatas hanya pada lapisan
keratin. Trauma dan maserasi memfasilitasi penetrasi dari
dermatofita ke dalam kulit. Keberhasilan invasi dari elemen
dermatofita dapat terjadi melalui sekresi dari produk digestif spesifik
yang juga berperan sebagai nutrisi untuk jamur seperti protease,
lipase, dan ceramidase. Dinding sel dermatofit mengandung senyawa
yang disebut mannan yang dapat menghambat respon imun pada
tubuh penderita, dan mengurangi proliferasi keratinosit sehingga
akan menurunkan kecepatan pengelupasan. Setelah invasi keratin,
terjadi degradasi keratin dan pelepasan mediator proinflamasi yang
menyebabkan respon inflamasi pada berbagai tingkatan. Suhu dan
faktor serum seperti beta globulin dan ferritin memiliki efek
penghambat pertumbuhan pada dermatofita, namun patofisiologi dari
faktor tersebut masih belum dapat dipahami sepenuhnya.
Sebum juga merupakan penghambat pertumbuhan dermatofita,
hal ini menjelaskan kecenderungan infeksi dermatofit pada kaki
dimana tidak terdapat kelenjar sebasea di sana. Beberapa kondisi
20
menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi dermatofit
seperti orang dengan gangguan sistem imun, orang dengan kelainan
hiperhidrosis (keringat berlebih), dan pada penderita diabetes dan
dengan sirkulasi perifer yang buruk. Jamur superfisial harus
menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan keratin.
Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, persaingan dengan flora normal, asam lemak
fungistatik dan sphingosines yang diproduksi oleh keratinosit.
Setelah proses adheren, spora harus tumbuh dan menembus stratum
korneum dengan kecepatan lebih cepat daripada proses proses deskuamasi.
Proses penetrasi ini dilakukan melalui sekresi proteinase, lipase, dan
enzim musinolitik, yang juga memberikan nutrisi. Trauma dan maserasi
juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan baru muncul
setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk
kompetisi dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga
penghambatan pertumbuhan jamur oleh progesteron.
Di tingkat ini, derajat peradangan sangat tergantung pada
aktivasi sistem kekebalan tubuh. Keadaan basah dan hangat dalam sepatu
memainkan peran penting dalam pertumbuhan jamur. Selain itu
hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari merupakan
faktor predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-
80% dari seluruh penderita dengangangguan sirkulasi (arteri dan
vena) kronik akibat onikomikosis dan/atau tinea pedis.
21
Jamur penyebab ada di mana-mana dan sporanya tetap patogenik
selama berbulan-bulan dilingkungan sekitar manusia seperti sepatu,
kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi dan karpet.
2.2.4 Faktor Resiko Tinea Pedis
Tinea pedis yang mempunyai nama lain Athlete’s foot, ring
worm of the footatau kutu air. Beberapa faktor lain penyebab Tinea
pedis adalah pemakaian sepatu tertutup untuk waktu yang lama,
bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit karena
mekanis, dan paparan terhadap jamur. Selain itu pemakaian kaos
kaki dengan bahan yang tidak dapat menyerap keringat dapat
menambah kelembaban di sekitar kaki yang cenderung mendukung
jamur dapat tumbuh subur. Kondisi sosial ekonomi serta kurangnya
kebersihan pribadi juga memegang peranan penting pada infeksi
jamur (insiden penyakit jamur pada sosial ekonomi lebih rendah
lebih sering terjadi daripada sosial ekonomi yang lebih baik, hal ini
terkait denga status gizi yang mempengaruhii daya tahan tubuh
seseorang terhadap penyakit). Kebersihan pribadi (mencuci kaki
setiap hari, menjaga kaki selalu kering) yang kurang diperhatikan
turut mendukung tumbuhnya jamur. Menurut teori H.L Blum
1. Lingkungan
Lingkungan merupakan sekeliling tempat berorganisasi
beroprasi, termasuk udara, air, tanah, sumber daya alam, flora,
fauna, manusia, serta, hubungan diantaranya. Manusia memiliki
22
hubungan timbal balik dengan lingkungan, dalam hal ini menitik
beratkan pada interaksi-interaksi dengan memperkenalkan
lingkungan hidup sebagai satu sistem yang terdiri atas bagian-
bagian,diantara bagian tersebut terdapat interaksi atau hubungan
timbal balik yang membentuk satu jaringan, dan bagian-bagian
itu sendiri merupakan satu sistem.
Lingkungan berpengaruh besar untuk timbulnya penyakit,
seperti pekerjaan dengan lingkungan basah, tempat-tempat
lembab atau panas, pemakaian alat-alat yang salah. Lingkungan
memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan
terjadinya proses penyakit salah satunya tempat pembuangan
akhir (TPA), adalah tempat untuk menimbun sampah dan
merupakan bentuk akhir pengelolaan sampah. Tempat
pembuangan akhir (TPA) adalah tempat untuk memproses dan
mengembalikan sampah ke media secara aman bagi manusia
dan lingkungan. TPA merupakan tempat dimana sampah
diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan
terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga penyediaan fasilitas
dan perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai
dengan baik.
2. Perilaku
Personal Hygiene berasal dari bahasa Yunani, dari kata
personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat.
23
Dengan demikian dapat diartikan bahwa kebersihan perorangan
atau suatu tindakan serta upaya untuk memelihara kebersihan
dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan, baik fisik maupun
psikisnya (Laily Isro’in dan Sulistyo Andarmono, 2012:2).
Salah satu hal yang menjadi penilaian adalah masalah
mencuci tangan. Kebiasaan mencuci tangan ini seharusnya dapat
mengurangi potensi penyebab dermatitis akibat jenis paparan
yang menempel setelah bekerja, namun pada kenyataannya
potensi untuk terkena dermatitis itu tetap ada. Kesalahan
seseorang atau pengetahuan seseorang yang kurang terhadap
kebersihan diri sendiri menjadi penyebabnya. Dampak fisik
yang sering terjadi adalah gangguan kulit, gangguan mukosa
dalam mulut, infeksi pada mata dan telinga, serta gangguan fisik
pada kuku. Kebersihan perorangan yaitu mencuci tangan, mandi
sebelum pulang kerja, pakaian bersih dan diganti setiap hari,
memakai alat pelindung diri yang masih bersih. Perlu
diperhatikan dalam usaha pemberatasan dermatitis akibat kerja.
Kebiasaan seorang pemulung masih kurang dalam
memperhatikan alat pelindung diri yang digunakan, karena alat
pelindung diri dianggap remeh ataupun tidak penting oleh para
pemulung. Terutama alat pelindung diri berupa sepatu yang
digunakan oleh pemulung. Ada beberapa pemulung yang tidak
24
menggunakan sepatu hanya menggunakan alas kaki berupa
sandal.
3. Genetik
Dalam melakukan diagnosis dapat dilakukan dengan
berbagai cara diantaranya dengan melihat sejarah dermatologi
termasuk riwayat keluarga, riwayat alergi dan riwayat penyakit
sebelumnya. Riwayat alergi, alergi merupakan suatu pemyakit
yang berupa perubahan reaksi tubuh yang berlebihan terhadap
suatu bahan tertentu di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi
alergi timbul segera dalam beberapa menit setelah ada
rangsangan alergen pada seseorang yang hipersensitif. Penyebab
alergi ditimbulkan oleh interaksi anatara faktor genetik dan
lingkungan.
4. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan
dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat
(Dimas, 2013). Dan menurut Depkes RI (2009) adalah setiap
upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama
dalam suatu organisasi untuk memelihara dan menigkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat. Pemulung di TPA Mrican jarang menggunakan
pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas, mereka lebih
25
memanfaatkan sarana yang berada di sekitar tempat tinggal
mereka.
26
2.3 Kerangka Teori
Kerangka Teori H.L Blum yang meliputi Lingkungan, Perilaku, Genetika dan Pelayanan Kesehatan.
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Teori H.L Blum
Tempat istirahat pemulung atau
basecamp pemulung yang lembab
Panas Lingkungan
Perilaku
Genetika
Pelayanan Kesehatan
Riwayat Alergi
Kurangnya kesadaran seseorang
Untuk berkunjung ke
pelayananKesehatan.
Ketersediaan dan keterjangkauan
sarana prasarana yankes dan SDM
yankes.
Kejadian Penyakit Kutu Air
Pemakaian APD yang tidak lengkap
Personal Hygiene
27
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah abstraksi dalam bentuk bagan agar mudah
dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan
antara variabel (baik variabel yang diteliti maupun tidak diteliti) (Nursalam,
2011).
Keterangan :
: Diteliti
: Berhubungan
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
Dari bagan kerangka konseptual diatas dijelaskan bahwa, variabel
bebas/ independen adalah Alat Pelindung Diri (APD), peneliti ingin meneliti
apakah penggunaan APD mempengaruhi terhadap kejadian penyakit Tinea
Pedis di TPA. Sedangkan variabel terikat/dependen adalah kejadian
penyakit Tinea Pedis pada pemulung di TPA Mrican.
Variabel Dependen
Kejadian Penyakit Tinea
Pedis (Kutu Air)
Variabel Independen
1. Alat Pelindung Diri
28
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesa adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang
telah dirumuskan dalam perencanaan penelitian (Notoatmodjo, 2012).
Adapun hipotesis dalam penelitian adalah :
Hipotesis Ha :
Ada hubungan antara penggunaan alat pelindung diri (APD) dengan
kejadian penyakit Tinea Pedis pada pemulung di TPA Mrican, Kabupaten
Ponorogo.
29
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian adalah perencanaan, pola dan strategi penelitian
sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian arau masalah. Desaian
penelitian merupakan prosedur perencanaan dimana peneliti dapat
menjawab pertanyaan penelitian secara valid, objektif, akurat dan hemat
ekonomis. Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang disusun
sedemikian rupa sehingga memberikan arah bagipeneliti untuk dapat
memperoleh jawaban terhadap pertanyaan atau masalah penelitian (Cholik,
2017).
Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode observasional
analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu jenis penelitian yang
dilakukan yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel
independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2013).
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah kelompok subjek yang menjadi populasi
penelitian (Cholik, 2017). Apabila seseorang ingin meneliti semua
elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya
merupakan penelitian populasi (Arikunto, 2010). Populasi pada
30
penelitian ini adalah pemulung yang ada di TPA Mrican Kabupatem
Ponorogo yang berjumlah 60 orang.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian atau sejumlah cuplikan tertentu yang
dapat diambil dari suatu populasi dan diteliti secara rinci (Sujarweni,
2015). Sampel merupakan bagian dari populasi terjangkau yang
memenuhi kriteria penelitian. Kriteria sampel dalam penelitian
meliputi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria ini diperlukan dalam
upaya mengendalikan variabel penelitian yang tidak diteliti tetapi
memiliki pengaruh terhadap variabel independen. Kriteria inklusi
merupakan karakteristik yang dimiliki oleh subjek penelitian yang
memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria eksklusi merupakan
karakteristik dari subjek penelitian yang tidak memenuhi syarat
sebagai sampel (Hidayat, 2009). Dengan kriteria sampel sebagai
berikut :
1. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang
tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012).
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pemulung yang tidak
terdaftar di daftar pemulung tetap TPA Mraican.
Sampel minimal yang digunakan sebanyak 45 responden
yang diperoleh dari penghitungan berikut menggunakan rumus
Slovin (Sevilla, Consuelo G. et. al, 2007)
31
n = 𝑁
1+𝑁(𝑑)2
Keterangan :
n : jumlah sampel
N : jumlah populasi
d : batas toleransi kesalahan (error tolerance)
Untuk menggunakan rumus ini, pertama ditentukan berapa
batas toleransi kesalahan. Batas toleransi kesalahan ini
dinyatakan dengan persentase. Semakin kecil toleransi
kesalahan, semakin akurat sampel menggambarkan populasi.
Misalnya, penelitian dengan batas kesalahan 5% berarti
memiliki tingkat akurasi 95%. Penelitian dengan batas
kesalahan 10% memiliki tingkat akurasi 90%. Dengan jumlah
populasi yang sama, semakin kecil toleransi kesalahan, semakin
besar jumlah sampel yang dibutuhkan.
n = 𝑁
1+𝑁(𝑑)2
n = 50
1+50 (0,05)2
n = 50
1+50 (0,0025)
n = 50
1+0,125
n = 50
1,125
32
n = 44,44
n = 45
Jadi jumlah minimal sampel adalah 45 responden.
4.3 Teknik Sampling
Sampling adalah salah satu bagian dari proses penelitian yang
mengumpulkan data dari target penelitian yang terbatas (Nursalam, 2013).
Menurut Notoatmodjo (2012), teknik sampling adalah cara atau teknik-
teknik tertentu dalam mengambil sampel penelitian sehingga sampel
tersebut sedapat mungkin mewakili populasinya.
Teknikpengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara
probability sampling atau simple random sampling. Hakikat dari
pengambilan sampel secara acak sederhana adalah bahwa setiap anggota
atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi
sebagai sampel (Notoatmodjo, 2018).
Cara merandom untuk menentukan sampel yaitu sebagai berikut :
1. Membuat daftar nama pemulung dan diberi nomor urut.
2. Membuat kertas undian yang diberi nama pemulung dan nomor urut.
3. Kertas tersebut digulung dan kemudian diundi sesuai dengan proporsi
masing-masing.
4. Besar sampel yang harus diambil melalui random sampling sejumlah 45
sampel.
33
4.4 Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja adalah suatu struktur konsepsual dasar yang digunakan
untuk memecahkan atau menangani suatu masalah kompleks (Nursalam,
2013). Adapun kerangka kerja pada penelitian ini sebagai berikut :
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian
Sampel
Pemulung di TPA yang memenuhi kriteria inklusi sejumlah 45 orang
Tehnik Sampling
simple random sampling
Instrumen Penelitian
Observasi
Pengumpulan Data
Observasi
Pengolahan data: editing, entry, coding dan tabulating
Analisa Data :
Chi Square
Hasil Penelitian
Kesimpulan
Populasi
Pemulung yang ada di TPA Mrican Kabupaten Ponorogo yang berjumlah 60 orang.
34
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
4.5.1 Variabel Penelitian
Variabel penelitian mengandung pengertian ukuran atau ciri-ciri
yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda
dengan yang dimiliki oleh kelompok lain (Notoatmodjo, 2012).
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu variabel
bebas dan variabel terikat.
1. Variabel Independen atau Variabel Bebas
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau
yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependen (Wiratna, 2014). Variabel independen dalam
penelitian ini adalah Alat Pelindung Diri (APD).
2. Variabel Dependen atau Variabel Terikat
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau akibat,
karena adanya variabel bebas (Wiratna, 2014). Dalam penelitian
ini variabel dependen adalah kejadian penyakit tinea pedis (kutu
air).
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah menjelaskan semua variabel dan
semua istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara optimal,
sehingga mempermudah pembaca, penguji dalam mengartikan
makna penelitian (Nursalam, 2013). Adapun definisi operasional
penelitian ini akan diuraikan dalam tabel berikut :
35
Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel
Variabel
Independen
Definisi
Operasional Parameter Alat ukur Skala Kriteria Skor
Alat
Pelindung
Diri
APD adalah
suatu alat yang
mempunyai
kemampuan
untuk
melindungi
pemulung dari
potensi bahaya
di TPA Mrican
berupa sepatu
dan kaos kaki.
1. Pemakaian sepatu boots.
2. Dikatakan
baik jika
memakai
perlengkapan
alat pelindung
diri.
3. Penggunaan
kaos kaki
dengan bahan
wool/nylon.
4. Dikatakan
baik jika
menggunakan
sepatu yang
anti air.
Observasi Nominal Buruk =
<50% dari
total skor
jawaban
“Tidak”
Baik =
>50% dari
total skor
jawaban
“Ya”
0 =
Buruk
1 =
Baik
Penyakit
Kutu Air
(Tinea
Pedis)
Penyakit kutu
air merupakan
infrksi karena
jamur. Penyakit
kutu air sering
terjadi di sela-
sela jari kaki
dan telapak kaki
pada pemulung
di Tpa Mrican.
Biasanya terjadi
pada pemulung
yang
berkeringat
banyak dan
memakai sepatu
tertutup dan
ketat.
1. Penyakit kutu
air dengan
gejala ruam
bersisik yang
menyebabkan
gatal,
menyengat
dan terbakar. 2. Kulit tampak
kemerahan
dan gatal. 3. Lepuh pada
kaki bisa
berkerak atau
menjadi borok
Observasi Nominal Sakit jika
hasil
observasi
positif
Tidak sakit
jika hasil
observasi
negatif
0 =
Sakit
1 =
Tidak
sakit
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis
sehingga lebih mudah diolah (Arikunto, 2010).Dalam penelitian ini
pengumpulan data menggunakan lembar obsevasi. Lembar observasi untuk
36
mengetahui penggunaan APD pemulung dan penyakit kutu air yang terdapat
pada kaki pemulung.
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.7.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di TPA Mrican Kabupaten Ponorogo.
4.7.2 Waktu Penelitian
Tabel 4.2 Waktu Penelitian
KEGIATAN TANGGAL
ACC
1. Pengajuan Judul Skripsi 4 Februari 2019
2. Penyusunan dan bimbingan
proposal skripsi 26 Februari - 12 April 2019
3. Ujian seminar proposal 16 Mei 2019
4. Revisi proposal 20 Mei – 31 Mei 2019
5. Pengumpulan data dan
Penelitian 6 Juli – 20 Juli 2019
6. Penyusunan dan bimbingan
skripsi 22 Juli – 2 Agustus 2019
7. Ujian seminar skripsi 9 Agustus 2019
8. Revisi skripsi 10 Agustus - 24 Agustus 2019
37
4.8 Prosedur Pengumpulan Data
4.8.1 Cara Pengumpulan Data
1. Observasi
Adalah pengamatan dan pencatatan suatu obyek dengan
sistematika 5 fenomena yang diteliti. Observasi di lapangan
secara langsung melihat kejadian penyakit kutu air.
4.8.2 Jenis Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh dari survei ke lokasi TPA Mrican
Kabupaten Ponorogo dan wawancara langsung dengan
responden dengan menggunakan lembar kuesioner dan lembar
observasi.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Setono Kabupaten
Ponorogo, berupa laporan data kesakitan Puskesmas.
4.9 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah dan dianalisis
menggunakan komputer SPSS for windows, analisa penelitian menghasilkan
informasi yang benar paling tidak ada empat tahapan yaitu :
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa atau pengecekan kembali
data maupun kuesioner yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat
38
dilakukan pada tahap pengumpulan data, pengisian kuesioner, dan
setelah data terkumpul (Notoatmodjo, 2012).
2. Coding
Coding adalah kegiatan memberikan kode numerik (angka)
terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori, coding atau
mengkode data bertujuan untuk membedakan berdasarkan karakter
(Notoatmodjo,2012). Coding pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3 Coding
No Variabel Coding
1 Alat Pelindung Diri 0 = buruk
1 = baik
2 Penyakit Kutu Air 0 = sakit
1 = tidak sakit
3. Entry
Mengisi masing-masing jawaban dari responden dalam bentuk
“kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau
“software” komputer (Notoatmodjo, 2012).
4. Tabulating
Tabulating adalah mengelompokkan data setelah melalui editing
dan coding ke dalam suatu tabel tertentu menurut sifat-sifat yang
dimilikinya, sesuai dengan tujuan penelitian.
39
4.10 Analisa Data
1. Analisa Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi
frekuensi masing-masing variabel, baik variabel bebas (alat pelindung
diri), variabel terikat (kejadian penyakit tinea pedis atau kutu air).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square (x2) untuk
mengetahui hubungan yang signifikan antara masing-masing variabel
bebas dengan variabel terikat. Dasar pengambilan hipotesis penelitian
berdasarkan pada tingkat signifikan dengan derajat kepercayaan (α, <
0,05), hubungan dikatakan bermakna apabila nilai p < 0,05 (Sugiyono,
2011).
Variabel independen dan variabel dependen menggunakan uji
statistik Chi Square dengan derajat kepercayaan 95% (α, < 0,05).
Penelitian antara dua variabel dikatakan bermakna jika mempunyai nilai
p < 0,05. Pada studi cross sectional estimasi resiko relatif dinyatakan
dengan rasio prevalen (RP). Syarat pembacaan hasil output chi-square
dalam SPSS yaitu :
1. Jika nilai RP > 1, artinya ada hubungan dan variabel tersebut
menjadi faktor resiko.
2. Jika nilai RP < 1, artinya ada hubungan namun variabel tersebut
tidak menjadi faktor resiko.
40
3. Jika nilai RP = 1, artinya variabel bebas tersebut tidak menjadi
faktor resiko.
4. Derajat kepercayaan (Confident Interval 95%), batas kemaknaan α
= 0,05 (5%).
a. Jika CI melewati angka 1 artinya faktor yang diteliti bukan
faktor resiko atau tidak berhubungan.
b. Jika CI tidak melewati angka 1 artinya faktor yang diteliti
merupakan faktor resiko atau berhubungan.
Berdasarkan hasil penelitian untuk tabel 2x2 menyatakan bahwa
nilai expected count < 5 dengan jumlah sel 0 (.0%), maka nilai p-value
dilihat dari continuity correction. Data diambil berdasarkan kunjungan
dan pengamatan langsung.
4.11 Etika Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian khususnya jika yang menjadi subyek
penelitian adalah manusia, maka peneliti harus memahami hak dasar
manusia. Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga
penelitian yang akan dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi
kebebasan manusia (Hidayat, 2012). Etika yang harus diperhatikan antara
lain :
1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Sebelum lembar persetujuan diberikan pada subjek penelitian,
peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan
serta manfaat dilakukanya penelitian. Setelah diberikan penjelasan,
41
lembar persetujuan di berikan kepada subjek penelitian. Jika subjek
penelitian bersedia di teliti maka mereka harus menandatangani lembar
persetujuan. Peneliti juga tidak memaksa subjek penelitian untuk
menjadi responden apabila tidak mau untuk di teliti.
2. Tanpa Nama (Anonimaty)
Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden sehingga hanya
peneliti saja yang mengetahui hasil jawaban dari masing-masing
responden. Selanjutnya peneliti hanya memberikan kode berupa nomor
urut pada lembar koesioner yang urutannya hanya diketahui oleh
peneliti saja.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan informasi yang di berikan oleh responden di jamin
oleh peneliti. Penyajian atau pelaporan hasil riset hanya terbatas pada
kelompok data tertentu yang terkait dengan masalah penelitian.
42
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dipaparkan hasil penelitian yang berjudul “Hubungan
Penggunaan Alat Pelindung Diri dengan Kejadian Penyakit Kutu Air terhadap
Pemulung di TPA Mrican Kabupaten Magetan”. Pengumpulan data dilakukan
pada tanggal 4 Juli – 3 Agustus 2019. Dengan jumlah responden sebanyak 45
responden, sedangkan penyajian data dibagi menjadi dua yaitu data umum dan
data khusus. Data umum terdiri dari karakteristik responden meliputi nama, umur,
jenis kelamin, setelah data umum dipaparkan dilanjutkan dengan data khusus
yang didasarkan pada variabel yang diteliti, yaitu alat pelindung diri
5.1 Gambaran dan Lokasi Penelitian
5.1.1 Keadaan Geografis Desa Mrican
Desa Mrican Kecamatan Jenangan merupakan desa yang
terletak pada ketinggian 143 meter di atas permukaan laut.
Dengan batas desa sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : Desa Plalangan
b. Sebelah Timur : Desa Mrican
c. Sebalah Selatan : Desa Mangunsuman
d. Sebelah Barat : Desa Singosaren
43
Gambar 5.1 Peta Desa Mrican
Sumber: Profil Desa Mrican Kecamatan Jenangan, 2018
5.1.2 Kependudukan dan Luas Daerah/wilayah
Jumlah penduduk di Desa Mrican adalah 3.476 jiwa, laki-laki
1.752 dan perempuan 1.724. Mayoritas penduduk desa mrican
adalah petani. Luas daerah/wilayah
a. Sawah : 353,570 m2
b. Irigasi : 327,360 m2
c. Tadah Hujan : 26,210 m2
d. Tanah Kering : 129,690 m2
e. Tegalan/kebunan : 73,690 m2
5.2 Hasil Penelitian
Hasil penelitian terdiri dari data umum dan data khusus. Data umum
meliputinama, umur, jenis kelamin. Sedangkan data khusus meliputi
alatpelindungdiri.
44
5.2.1 Hasil Analisa Univariat
1. Data Umum
Data umum yang diidentifikasi dari pemulung di Tpa Mrican
Kabupaten Ponorogo adalah sebagai berikut :
1) Karakteristik berdasarkan Umur
Berdasarkan hasil penelitian karakteristik umur terhadap
pemulung di TPA Mrican Kabupaten Ponorogo dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur
No Umur Frekuensi Persen(%)
1
2
3
4
Dewasa Awal (26-35 tahun)
Dewasa Akhir (36-45 tahun)
Lansia Awal (46-55 tahun)
Lansia Akhir (56-65 tahun)
1
9
22
13
2,2
20,0
48,9
28,9
Jumlah 45 100,0
Sumber : Data Primer, 2019.
Dari tabel 5.1 terlihat sebagian besar pemulung di TPA
Mrican Kabupaten Ponorogo termasuk golongan lansia
awal (46-65 tahun) yaitu sebanyak 22 responden (48,9%).
2) Karakteristik berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian karakteristik jenis kelamin
pada pemulung di TPA Mrican Kabupaten Ponorogo dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi Persen(%)
1
2
Laki-laki
Perempuan
24
21
53,3
46,7
Jumlah 45 100,0
Sumber : Data Primer, 2019.
45
Dari tabel 5.2 terlihat sebagian besar pemulung di TPA
Mrican Kabupaten Ponorogo adalah laki-laki yaitu
sebanyak 24 responden (53,3%).
2. Data Khusus
Setelah mengetahui data umum dalam penelitian ini maka
berikut akan ditampilkan hasil penelitian yang terkait dengan
data khusus dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai
berikut :
1) Alat Pelindung Diri
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Alat Pelindung
Diri
No Alat Pelindung Diri Frekuensi Persen(%)
1
2
Buruk
Baik
29
16
64,4
35,6
Jumlah 45 100,0
Sumber : Data Primer, 2019.
Berdasarkan tabel 5.3 diatas menunjukkan bahwa sebagian
besar alat pelindung diri pemulung di Tpa Mrican
Kabupaten Ponorogo adalah buruk yaitu 29 responden
(64,4%).
2) Penyakit Kutu Air
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Penyakit Kutu
Air
No Penyakit Kutu Air Frekuensi Persen (%)
1
2
Sakit
Tidak Sakit
37
8
82,2
17,8
Jumlah 45 100,0
Sumber : Data Primer, 2019.
46
Berdasarkan tabel 5.4 diatas menunjukkan bahwa sebagian
besar pemulung di Tpa Mrican Kabupaten Ponorogo sakit
kutu air yaitu 37 responden (82,2%).
5.2.2 Hasil Analisa Bivariat
Pada analisis bivariat, variabel independen (alat pelindung diri)
dihubungakan dengan variabel dependen (kejadian penyakit kutu air)
yang diuji dengan Uji Chi Square. Dari hasil uji silang antara
variabel independen dengan variabel dependen akan ditunjukkan
sebagai berikut :
1. Hubungan Alat Pelindung Diri Dengan Penyakit Kutu Air
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil dari
tabulasi silang tentang hubungan alat pelindung diri dengan
penyakit kutu air, sebagai berikut :
Tabel 5.5 Tabulasi Silang Alat Pelindung Diri dengan Penyakit
Kutu Air
Alat
Pelindung
Diri
Kejadian Penyakit
Kutu Air
Total p-
Value
RP (95%CI)
Sakit Tidak
Sakit
N % N % N %
Buruk
Baik
27
10
93,1
62,5
2
6
6,9
37,5
29
16
100
100
0,017
1,490
(1,006-2,205)
Total 37 82,2 8 17,8 45 100
Sumber : Data Primer 2019.
Berdasarkan tabel 5.5 di atas, responden dengan kejadian
penyakit kutu air lebih banyak pada penggunaan alat pelindung
diri buruk (93,1%) di bandingkan dengan penggunaan alat
pelindung diri baik (62,5%). Hasil analisis bivariat diatas
47
didapat variabel alat pelindung diri memiliki p-value 0,017 (p <
0,05) yang artinya ada hubungan penggunaan alat pelindung diri
dengan kejadian penyakit kutu air dengan nilai RP 1,490 yang
artinya responden dengan penggunaan alat pelindung diri buruk
mempunyai resiko 1,4 kali lebih besar menderita penyakit kutu
air dibandingkan responden yang memakai alat pelindung diri
baik.
5.3 Pembahasan
5.3.1 Gambaran Alat Pelindung Diri (APD) Pemulung di TPA Mrican
Kabupaten Ponorogo.
Kondisi APD yang digunakan pemulung di TPA Mrican masih
sangat kurang baik dan tidak memperhatikan dampak yang
ditimbulkan akibat APD yang buruk. Pemakaian APD yang tidak
sesuai dengan fungsi atau kaidah dari APD sesuai Permenakertrans
No.8 Tahun 2010 tentang alat pelindung diri, bahwa APD yang
buruk atau yang bekas berisiko tinggi mengandung bakteri atau
kuman yang dapat membahayakan kesehatan tangan dan kulit dan
dapat berdampak pada gangguan kesehatan misalnya gangguan kulit.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Saftarina dkk
dalam Robby (2015) yang berjudul hubungan pemakaian alat
pelindung diri dan personal hygiene terhadap kejadian dermatitis
kontak akibat kerja di TPA Bakung, diketahui bahwa penggunaan
48
APD yang rendah merupakan faktor resiko untuk timbulnya penyakit
dermatitis kontak akibat kerja.
Pemakaian APD sepatu sangat penting karena tidak hanya
bertujuan menghindarkan pemulung dari luka atau cidera karena
benda tajam, namun juga menjaga kebersihan dan kontak antara kulit
bagian kaki dengan berbagai macam bakteri dan parasit yang ada di
sampah. Sebagian besar pemulung juga tidak memperhitungkan jenis
sepatu yang digunakan menurut mereka yang penting selalu
menggunakan sepatu entah itu sepatu yang baik atau buruk dan
sudah cukup untuk menghindarkan dari benda tajam atau kontak
langsung dengan sampah. Banyak juga pemulung yang memakai
kaos kaki yang berlapis dan dalam kondisi yang kotor.
5.3.2 Gambaran Penyakit Tinea pedis ( Kutu Air ) terhadap Pemulung
di TPA Mrican Kabupaten Ponorogo.
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofit atau infeksi karena
jamur yang paling sering terjadi pada manusia dan menyerang pada
sela jari kaki dan telapak kaki.
Pemulung yang mengalami gangguan kulit Tinea Pedis yaitu
gangguan kulit pada bagian kaki yang disebabkan oleh jamur.Pada
pemulung di TPA Mrican sebagian pemulung sudah mengalami
penyakit tinea pedis, dikarenakan dalam penggunaan alat pelindung
diri yang kurang baik serta kurangnya dalam menjaga kebersihan diri
pemulung. Pemulung kurang memperhatikan akan kebersihan dan
49
pentingnya memelihara alat pelindung diri yang baik supaya tidak
menyebabkan atau menimbulkan penyakit kulit.
Menurut Courtney (2005) praktik memakai sepatu tertutup
dalam waktu yang lama dapat menjadi faktor resiko terkena Tinea
Pedis. Praktik memakai sepatu tertutup dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan kulit di sekitar kaki lembab karena produksi
keringat yang berlebih. Hal inilah yang mendukung jamur tumbuh
dengan subur.
Hal ini didukung ketika peneliti melakukan observasi di
lapangan.Hasil dari pernyataan di dapatkan bahwa sebagian besar
dari responden dalam penggunaan APD masih buruk. Pemakaian
sepatu boots yang masih kurang baik seperti hanya memakai sepatu
kain biasa yang bisa menyebabkan kelembaban dalam kaki,
penggunaan kaos kaki yang lembab, karena tidak dibersihkan
setelah dipakai, serta sarung tangan yang kotor kurang perawatan
tidak cuci setelah beberapa kali pakai juga bisa menjadi faktor resiko
terjadinya Tinea pedis. Selain itu juga bisa dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain kebersihan diri dan imunitas perorangan.
Alat pelindung diri baik yaitu APD yang lengkap serta dengan
kondisi yang baik tidak lusuh maupun rusak dan sesuai standart alat
pelindung diri. Penggunaan APD ( sepatu boots) dengan waktu
seharian dari pagi sampai sore hari bisa menyebabkan kelembaban
pada kaki, jika personal hygiene pemulung tidak baik atau kurang
50
memperhatikan kebersihan dirinya maka bisa menyebabkan penyakit
kutu air.
5.3.3 Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan
Kejadian Penyakit Kutu Air (Tinea Pedis) Terhadap Pemulung
di TPA Mrican Kabupaten Ponorogo.
Pada hasil Chi-Square menunjukkan bahwa hasil P Value Sig
0,017< 0,05 berarti ada hubungan penggunaan alat pelindung diri
dengan kejadian penyakit kutu air terhadap pemulung di TPA Mrican
Kabupaten Ponorogo.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh M.
Haidzar Fathin (2016) bahwa ada hubungan yang bermakna antara
pemakaian sepatu boots dengan angka kejadian Tinea pedis. Pemakaian
sepatu tertutup dengan waktu yang lama dan sering serta bertambahnya
kelembaban karena keringat, sarung tangan yang kotor dan lembab
merupakan faktor resiko terjadinya Tinea pedis. Mengingat pentingnya
kulit sebagai pelindung organ-organ tubuh didalamnya, maka kebersihan
kulit perlu dijaga kesehatannya. Kebersihan kulit merupakan mekanisme
utama untuk mengurangi kontak dan transmisi terjadinya infeksi, salah
satunya infeksi jamur.
Dari komponen penggunaan APD buruk 27 responden yang
menderita penyakit kutu air, 93,1% merupakan responden menggunakan
APD yang buruk, APD yang sudah tidak layak di pakai namun tetap
51
dipakai serta kurangnya menjaga kebersihan diri pemulung. Penggunaan
APD baik diketahui 10 responden yang menderita penyakit kutu air
62,5% merupakan responden yang selalu memakai APD lengkap dan
baik. Dapat diketahui bahwa dari kepatuhan responden memakai APD
sudah baik namun hasil observasi diketahui bahwa sebagian besar
pemulung memakai APD yang kondisinya sudah tidak baik dan
pemulung tidak memperhatikan APD yang dipakai apa masih layak
pakai atau tidak.
Diketahui penggunaan APD buruk 2 responden dan tidak
menderita sakit kutu air 6,9% merupakan responden yang selalu
menjaga kebersihan dirinya, selalu mencuci dan membersihkan kaki
serta tangan sebelum bekerja ataupun sesudah bekerja walaupun kondisi
APD yang ia gunakan kurang baik. Penggunaan APD baik 6 responden
dengan tidak menderita kutu air 37,5% merupakan responden yang
selalu memperhatikan akan kebersihan dirinya serta memperhatihan
kebersihan APD yang digunakan, jika sudah tidak layak pakai atau
sudah rusak ia selalu meggantinya dengan yang baru jadi tidak sampai
lusuh dan menimbulkan gangguan penyakit kulit.
Pemakaian APD sepatu yang dilakukan oleh pemulung akan
sangat bermanfaat karena banyaknya tumpukan sampah dari berbagai
jenis akan berisiko tinggi menyebabkan cidera atau gangguan kesehatan.
Namun dari hasil cross tabulation diketahui sebagian responden sudah
menggunakan APD tetapi masih mengalami gangguan kulit. Hal ini
52
bertolak belakang dari manfaat penggunaan APD sepatu, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebagian responden tidak menerima manfaat secara
penuh dari pemakaian APD saat bekerja. Pemakaian APD sepatu sangat
penting karena tidak hanya bertujuan menghindarkan pemulung dari
luka atau cidera karena benda tajam, namun juga menjaga kebersihan
dan kontak antara kulit bagian kaki dengan berbagai macam bakteri dan
parasit yang ada di sampah. Sebagian besar pemulung juga tidak
memperhitungkan jenis sepatu yang digunakan menurut mereka yang
penting selalu menggunakan sepatu entah itu sepatu yang baik atau
buruk dan sudah cukup untuk menghindarkan dari benda tajam atau
kontak langsung dengan sampah. Banyak juga pemulung yang memakai
kaos kaki yang berlapis dan dalam kondisi yang kotor.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap
penggunaan alat pelindung diri menjadi faktor resiko kejadian penyakit
kutu air di TPA Mrican Kabupaten Ponorogo. Kelembaban pada kulit
bisa menyebabkan penyakit kutu air, terutama pada pemulung yang
kurang memperhatikan kebersihan dirinya terutama pada kebersihan
kaki. Ada sebagian pemulung selalu memperhatikan dan kebiasaan
dalam menjaga kebersihan dirinya atau personal hygiene. Dalam
penggunaan APD perlu juga diperhatikan kebersihan masing-masing
APD terutama pada kelembaban kaki yang bisa menyebabkan penyakit
kutu air. Kebersihan kaos kaki atau alas kaki, harus selalu menggantinya
dengan yang baik dan mencucinya.
53
5.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memilikiketerbatasan yang mungkin dapat mempengaruhi
hasil penelitian, yaitu sebagai berikut :
1. Pada saat penelitian dengan observasi, terdapat responden yang tidak
mengakui atau memperlihatkan penyakit kutu air yang di derita
pemulung serta kebersihan dirinya yang kurang baik. Menggunakan
sepatu dengan bahan kain dengan kondisi lembab dan kotor. Sehingga
dapat menyebabkan pada bias penelitian tersebut masuk dalam bias
informasi. Dalam mengatasi bias tersebut untuk melakukan upaya
pemeriksaan penyakit kutu air oleh petugas kesehatan dan secara
berkala, agar informasi yang di dapatkan lebih akurat.
54
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Pada bab ini akan dibahas kesimpulan dan saran dari hasil penelitian
hubungan penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian penyakit kutu air
di TPA Mrican Kabupaten Ponorogo sebagai berikut :
1. Penggunaan alat pelindung diri sebagian besar buruk (64,4%).
2. Sebagian besar pemulung sudah menggunakan APD tetapi masih sakit
Tinea pedis (kutu air ) (82,2%).
3. Ada hubungan penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian penyakit
kutu air (Tinea Pedis) terhadap pemulung di TPA Mrican Kabupaten
Ponorogo p valueSig. 0,017, RP( 95% CI = 1,490 (1,006 - 2,205 ).
6.2 Saran
6.2.1 Bagi Pemulung
Perlu memperhatikan kebersihan diri atau personal hygiene
pemulung, memperhatikan cara pemakaian dan pemeliharaan alat
pelindung diri untuk menghindari kejadian penyakit Tinea pedis.
Dengan cara :
1. Pemulung di biasakan selalu mencuci kaki dan tangan sebelum
maupun sesudah bekerja untuk menghindari penyakit kulit dan
selalu memperhatikan kebersihan dirinya.
55
2. Harus selalu menggunakan sepatu boots.
3. Membersihkan dan mencuci kaos kaki, sarung tangan setelah
digunakan.
4. Pemulung harus memperhatikan dan selalu membersihkan
lingkungan tempat tinggal pemulung, karena lingkungan yang
buruk juga akan menyebabkan faktor resiko penyakit.
5. Mencuci kaki dengan sabun sebelum dan sesudah memakai kaos
kaki dan sepatu boots, lalu dikeringkan dengan kain yang bersih.
6.2.2 Bagi Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ponorogo
Mengoptimalkan kunjungan petugas dinas lingkungan hidup
bekerja sama dengan dinas kesehatan untuk melakukan inspeksi dan
sosialisasi tentang penggunaan alat pelindung diri yang baik dan
benar serta memberikan wawasan tentang penyakit yang ditimbulkan
oleh alat pelindung diri supaya pemulung berfikir dan sadar
pentingnya menggunakan alat pelindug diri yang lengkap supaya
selalu memperhatikan kebersihan dirinya.
6.2.3 Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
Meningkatkan ketersediaan sumber bacaan atau literatur tentang
penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian penyakit kutu air
(Tinea pedis)terhadap pemulung.
56
6.2.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini belum sempurna karena keterbatasan
peneliti, diharapkan peneliti lain mampu mengembangkan penelitian
lain mengenai personal hygiene pemulung ataupun masalah yang ada
pada pemulung di TPA supaya dapat dikembangkan penelitian di
masa yang akan datang.
57
DAFTAR PUSTAKA
A.M. Sugeng Budiono, dkk. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan
Kerja. Semarang: Universitas Diponegoro
Andarmoyo, Sulistyo. 2012. Keperawatan Keluarga Konsep Teori, Proses dan
Praktik Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Anizar. 2012. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Budimulja, Unandar. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.
Courtney, M.R. 2005. Tinea Pedis. Diakses dari http//:www.emidicine.com, pada
30 Januari 2017.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pelayanan Antenatal di Tingkat
Pelayanan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI, Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Dimas.2013. Definisi pelayanan kesehatan (online).
http://definisimu.blogspot.co.id/2012/08/definisipelayanan-
kesehatan.html(diakses pada tanggal 10 maret 2019 jam 13.00).
Dinkes Bangli. 2017. Laporan SP2TP Dinas Kesehatan Kabupaten Bangli Tahun
2016. Bangli: Dinas Kesehatan Kabupaten Bangli.
Djuanda, A. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Hidayat AA. 2012.Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat, A. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan TekhnikAnalisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.
Isro’in, Laily dan Sulistyo Andarmono. 2012. Personal Hygiene. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Johnson, B. 2012. Educational Research 4th Ed: Quantitative, qualitative, and
mix-methods approaches. California: SAGE Publication.
58
Kemenkes R.I., 2011. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. http://www.kemenkes.go.id
[diakses 10 Mei 2017].
Kumar,V., R. Tilak, P. Prakash, C. Nigam, dan R Gupta. 2011. Tinea Pedis-an
update. Asian Journal of Medical Sciences 2: 134-138.
Kurniawati, R,D. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Tinea
pedis pada pemulung di TPA Jatibarang Semarang. Thesis. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Laily Isro’in dan Sulistyo Andarmoyo. 2012. Personal Hygiene. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Maharani, Ayu. 2015. Penyakit Kulit. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Mustikawati I. S, Budiman F, & Rahmawati. 2012. Hubungan Perilaku
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan Keluhan Gangguan Kulit di
TPA Kedaung Wetan Tangerang. Forum Ilmiah Volume 9 Nomor 3,
September 2012.
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. 2011. Konsep dan penerapan keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. 2011. Proses dan dokumentasi praktek. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam.2013.Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis:
Jakarta: Salemba Medika.
Perdoksi. 2001. Dermatofitosis Superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 3-5,
40-45.
Sevilla, Consuelo G. et.al 2007. “ Research Methods”. Rex Printing Company.
QuezonCity.
Sjuhada. AB. Kaki Perlu Perawatan Khusus.www.geocities.com.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Afabeta.
Sujarweni,V. Wiratna. 2014. Metode Penelitian: Lengkap, Praktis, dan Mudah
dipahami. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Sujarweni. 2015. SPSS untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
59
Tarwaka.2012. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Manajemen dan Implementasi
K3 di Tempat Kerja. Surakarta: Harapan Pers.
Viegas, et al. 2013. Composicao mineral e sintomas visuasis de deficiencias de
nutrientes em plantas de pimento-longa (Paper hispidinervum C. DC). ACT.
AMAZONA. 43 (1) : 43-50.
WHO (World Health Organization). 2013. Neglected Tropical Diseases.
http://www/who.int/neglected_disease/disease/ [Diakses 10 Mei 2017].
60
Lampiran 1
Lembar Perserutujuan Pengajuan Judul Skripsi
61
Lampiran 2
Surat Ijin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
62
Lampiran 3
Balasan Surat Ijin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
63
Lampiran 4
LEMBAR OBSERVASI PENELITIAN
ALAT PELINDUNG DIRI PEMULUNG
NO :.................
Nama Responden :..................................
Jenis Kelamin :..................................
Umur : .................................
No. Komponen Penilaian Ya Tidak
1. Memakai Kaos Kaki
2. Kaos kaki yang digunakan berbahan woll
3. Sepatu boots yang digunakan sudah sesuai dengan ukuran
pemulung
4. APD yang pemulung gunakan sudah menutupi semua
bagian tubuh mulai dari kepala hingga kaki
5. Penggunaan APD sepatu pemulung yang pemulung
gunakan sudah sesuai kondisi di lapangan
6. Alas kaki/ sepatu yang digunakan berbahan anti air
7. Pemulung selalu menggunakan sepatu saat memungut
sampah
8. APD yang pemulung sudah lengkap
9. Kaos kaki yang basah/lembab bisa menyebabkan kutu air
10. Pemulung menggunakan sarung tangan
64
Lampiran 5
LEMBAR OBSERVASI PENELITIAN
PENYAKIT KUTU AIR PADA PEMULUNG
NO :.................
Nama Responden :..................................
Jenis Kelamin :..................................
Umur : .................................
No. Komponen Penilaian Ya Tidak
1. Kulit ruam bersisik
2. Berwarna putih, menempel di sela jari kaki
3. Lepuh pada kaki bisa berkerak atau menjadi borok
4. Kulit kaki atau telapak kaki retak, mengelupas sering
terdapat pada sela-sela antar jari kaki atau lipatan jari kaki
5. Kemerahan pada kulit
65
Lampiran 6
Input Data
No Umur Jenis Kelamin Alat Pelindung
Diri Kutu Air
1 2 0 1 0
2 2 0 0 0
3 2 0 0 0
4 2 0 1 0
5 2 1 0 0
6 2 1 1 1
7 2 0 0 0
8 2 0 1 1
9 1 1 0 0
10 1 0 1 1
11 0 0 0 0
12 1 0 1 0
13 2 0 0 0
14 2 0 1 0
15 3 1 0 0
16 2 1 0 0
17 1 1 0 0
18 3 1 1 0
19 2 1 0 1
20 1 0 0 0
21 2 1 0 0
22 3 0 1 0
23 1 1 0 1
24 3 0 1 0
25 3 1 0 0
26 3 0 0 0
27 3 1 0 0
28 2 1 1 1
29 3 0 0 0
30 1 0 1 1
31 1 0 1 1
32 2 0 0 1
33 2 0 0 1
34 2 1 1 1
35 3 1 0 1
36 1 1 0 1
37 2 0 0 1
66
No Umur Jenis Kelamin Alat Pelindung
Diri Kutu Air
38 2 0 1 0
39 3 0 0 1
40 3 1 0 1
41 3 1 0 1
42 2 0 0 1
43 2 1 0 1
44 2 1 0 1
45 3 1 1 0
67
Lampiran 7
Hasil Output SPSS
HASIL ANALISIS UNIVARIAT
1. Umur
Umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 26-35 tahun 1 2.2 2.2 2.2
36-45 tahun 9 20.0 20.0 22.2
46-55 tahun 22 48.9 48.9 71.1
55-65 tahun 13 28.9 28.9 100.0
Total 45 100.0 100.0
2. Jenis Kelamin
Sex
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid laki-laki 24 53.3 53.3 53.3
perempuan 21 46.7 46.7 100.0
Total 45 100.0 100.0
68
3. Alat Pelindung Diri
APD
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid buruk 29 64.4 64.4 64.4
Baik 16 35.6 35.6 100.0
Total 45 100.0 100.0
4. Kutu Air
KA
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid sakit 37 82.2 82.2 82.2
tidak sakit 8 17.8 17.8 100.0
Total 45 100.0 100.0
69
HASIL ANALISIS BIVARIAT
1. Hubungan penggunaan alat pelindung diri dengan penyakit kutu air
APD * KA Crosstabulation
KA
Total sakit tidak sakit
APD buruk Count 27 2 29
% within APD 93.1% 6.9% 100.0%
baik Count 10 6 16
% within APD 62.5% 37.5% 100.0%
Total Count 37 8 45
% within APD 82.2% 17.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.607a 1 .010
Continuity Correctionb 4.679 1 .031
Likelihood Ratio 6.395 1 .011
Fisher's Exact Test .017 .017
Linear-by-Linear Association 6.460 1 .011
N of Valid Casesb 45
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,84.
b. Computed only for a 2x2 table
70
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for APD (buruk /
baik) 8.100 1.398 46.944
For cohort KA = sakit 1.490 1.006 2.205
For cohort KA = tidak sakit .184 .042 .807
N of Valid Cases 45
71
Lampiran 8
DOKUMENTASI
Gambar 1 observasi kepada pemulung tentang APD dan kutu air
Gambar 2 observasi kepada pemulung tentang perlengkapan APD
Gambar 3 observasi kepada pemulung tentang perlengkapan APD
72
Gambar 4 observasi kepada pemulung tentang perlengkapan APD
Gambar 5 observasi penyakit kutu air di sela jari kaki pemulung
73
Lampiran 9
Kartu Bimbingan
74
Lampiran 10
Lembar Perbaikan Skripsi
75