Skripsi ghufron mustofa 072211022
Transcript of Skripsi ghufron mustofa 072211022
i
UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAAN
(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomor
Perkara: 425 /Pid.B/2010/PN Semarang)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi SyaratGuna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
GHUFRON MUSTOFANIM: 0 7 2 2 1 1 0 2 2
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
Drs. Rokhmadi, M.AgJl. Jatiluhur Ngesrep Banyumanik SemarangDrs. H. Nur Syamsudin, M.AgJl. Mandasia III No. 354 Krapyak Semarang.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Kepada Yth.
Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah
A.n. Sdr. Ghufron Mustofa IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim
naskah skripsi saudara :
Nama : Ghufron Mustofa
Nim : 072211022
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban
Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara
Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima diucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, 12 Juni 2012
ii
Drs. Rokhmadi, M.AgJl. Jatiluhur Ngesrep Banyumanik SemarangDrs. H. Nur Syamsudin, M.AgJl. Mandasia III No. 354 Krapyak Semarang.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Kepada Yth.
Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah
A.n. Sdr. Ghufron Mustofa IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim
naskah skripsi saudara :
Nama : Ghufron Mustofa
Nim : 072211022
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban
Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara
Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima diucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, 12 Juni 2012
ii
Drs. Rokhmadi, M.AgJl. Jatiluhur Ngesrep Banyumanik SemarangDrs. H. Nur Syamsudin, M.AgJl. Mandasia III No. 354 Krapyak Semarang.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Kepada Yth.
Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah
A.n. Sdr. Ghufron Mustofa IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim
naskah skripsi saudara :
Nama : Ghufron Mustofa
Nim : 072211022
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban
Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara
Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima diucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, 12 Juni 2012
iii
KEMENTRIAN AGAMAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
BERITA ACARA MUNAQOSAH
Nama : Ghufron Mustofa
Nim : 072211022
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban
Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan
Perkara Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)
Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji fakultas syariah institut agama islam
walisongo semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup,
pada tanggal : 20 Juni 2012.
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun
akademik 2011/2012.
Semarang, 20 Juni 2012
iii
KEMENTRIAN AGAMAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
BERITA ACARA MUNAQOSAH
Nama : Ghufron Mustofa
Nim : 072211022
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban
Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan
Perkara Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)
Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji fakultas syariah institut agama islam
walisongo semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup,
pada tanggal : 20 Juni 2012.
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun
akademik 2011/2012.
Semarang, 20 Juni 2012
iii
KEMENTRIAN AGAMAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
BERITA ACARA MUNAQOSAH
Nama : Ghufron Mustofa
Nim : 072211022
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul Skripsi : Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban
Pemerkosaan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan
Perkara Nomor: 425 /Pid.B/2010/PN. Semarang)
Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji fakultas syariah institut agama islam
walisongo semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup,
pada tanggal : 20 Juni 2012.
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun
akademik 2011/2012.
Semarang, 20 Juni 2012
iv
MOTTO
1
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil danberbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, danAllah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran danpermusuhan, Dia memberi pengajaran kepadamu agarkamu dapat mengambil pelajaran.”
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 415.
v
PERSEMBAHAN
Terucap syukur aku persembahkan kepada Allah SWT. Setelah menempuh
perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan hingga meneteskan air mata disaat
gundah dan gelisah aku persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang aku
cintai dan aku sayangi, aku persembahkan bagi mereka yang selalu menemani dikala
susah dan senang khusunya buat:
Bapak dan Ibu tercinta, yang telah memberikan kasih sayang dan sabar
memperjuangkan mulai dari kecil hingga dewasa ini demi memperoleh ilmu Allah.
(KH. Umar), yang tidak mengenal lelah dalam mendoakan cucu-cucunya setiap
waktu, sehingga terselesaikan skripsi ini.
Dosen Pembimbing Drs. Rokhmadi, Mag. dan Drs. H. Nur Syamsudin, Mag. yang
telah dengan sabar membimbing dan membantu menyelesaikan karya Ilmiah berupa
skripsi ini.
Adik-adik yang Tersayang “Hasan, Luluk, Hanif, Mahza, Mala, Farida, dan adik
yang Paling Kecil Hadaniyal Muttaqi”
Kakak-kakakku “Mbak Azizah, Mbak Eli, Mbak Puput, Mbak Naja”
Pakde, dan Bude, De Su’ud, De Dikin, De Is dan De Narti
Pak Lek, Bu Lek “ Lek Zanah, Lek Mad, LekKarim, Lek Sub, dan Lek Narko, Lek
Inzana, Lek Elvi, Lek Syifa.
Teman-teman seperjuangan semuanya, Senyum, Canda dan Tawa kalian semua tak
akan pernah terlupakan walau 1000 Pulau memisahkan kita. Q doakan semoga
dimasa mendatang kita bisa menjadi orang yang “BERMANFAAT dan SUKSES”
Semuanya Aku Ucapkan Terima Kasih Karena Sudah Memberikan Motivasi dan
Semangat Sehingga Karya Ilmiah Berupa Skripsi Ini Bisa Terselesaikan.!!!!!
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang
telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini tidak berisi
satupun pikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang menjadi bahan rujukan.
Semarang, 12 Juni 2012
Deklarator,
GHUFRON MUSTOFANIM. 0 7 2 1 1 1 0 2 2
vii
ABSTRAK
Sesuai dengan obyek studi yang diangkat, maka pembahasan dititik beratkanpada ganti rugi terhadap korban perkosaan, dalam hukum pidana Islam maupunhukum pidana Indonesia, terutama hukum pidana Islam yang diharapkan akan mampumemberikan suatu nuansa perlindungan hukum bagi korban perkosaan, yang sampaisekarang belum maksimal dikarenakan KUHP tidak mengatur ganti rugi untuk korbantindak pidana perkosaan, padahal korban perkosaan merupakan pihak yang sangatdirugikan baik secara fisik maupun psikis yang berkepanjangan, belum lagi merekamasih dituntut untuk menjadi saksi di persidangan dalam kasusnya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dalam kesempatan ini penulis mencoba menuangkannya dalamtugas akhir yang berbentuk skripsi dengan mengangkat beberapa permasalahan, yaituBagaimana upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korbanpemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PNSemarang menurut hukum pidana Positif dan hukum pidana Islam. Tujuan penulisdengan mengangkat permasalahan yang ada adalah untuk mengetahui perlindunganhukum dalam bentuk ganti rugi bagi korban perkosaan dalam Putusan PengadilanNegeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum pidana Positifdan hukum pidana Islam. Sedangkan untuk menemukan suatu solusi permasalahanyang ada penulis menggali data-data dari berbagai referensi kepustakaan yang relevandengan permasalahan kemudian dianalisa. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulismenggunakan metode analisa deskriptif analisis. Adapun hasil analisis/pembahasansecara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
Perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dalam putusan PN semarangNo.425 /Pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum positif seharusnya mengacu padaKUHPidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 dengan hukuman maksimal 12 tahundan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 81ayat (1) dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Karena dalam KUHP maupunUndang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tidak menyebutkanadanya ganti rugi bagi korban pemerkosaan maka korban diberikan hak untukmelakukan upaya-upaya hukum yang diatur secara prosedural dalam: pasal 98KUHAP dan Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi danKorban. Sedangkan para penegak hukum diharapkan untuk mampu melayani parakorban perkosaan melalui sosialisasi-sosialisasi.
Perlindungan hukum menurut hukum pidana Islam adalah berprinsip padakeadilan, kasetaraan (equality before the law) dan kemanusiaan. Dalam Hukum pidanaIslam perkosaan (al Wath bi al Ikrah) fiqih jinayat, pada umumya dikategorikansebagai jarimah hudud, perzinaan yang hukumnya berupa dera atau rajam, maupundikenakan qishas-diat (melukai), berupa ganti rugi yang dituntut oleh korban danditentukan oleh hakim. Oleh karena itu berkaitan dengan prospek hukum pidana Islamdapat diterapkan terhadap korban perkosaan, dalam hukum Pidana Islam pelaku selaindiancam dengan hukuman yang berat berupa had, Rajam dan diasingkan selama satutahun, pelaku juga dikenakan beban ganti rugi berupa mahar atau qishas-diyat(melukai) yang ditentukan oleh hakim.
Kata Kunci: Korban Perkosaan, Ganti Rugi, Perlindungan Hukum.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat salam selalu tercurah kehadirat Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa manusia pada perubahann dari zaman jahiliyah menuju zaman yang
beradap yang penuh dengan perubahan.
Penulis menyadari dalam penbyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa
dukungan semua pihak dengan berbagai bentuk. Sehingga dalam kesempatan ini,
penulis dengan sepenuhnya mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, selaku Rektor IAIN
Walisongo Semarang.
2. Yang terhormat Bapak DR. H. Imam Yahya, M.Ag, selaku dekan Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarag.
3. Bapak Drs. Mohammad Solek, M.Ag., selaku ketua jurusan (Kajur) Siyasah
Jinayah dan Bapak Rustam Dahar KAH, M.Ag., selaku sekretaris jurusan (Sekjur)
Siyasah Jinayah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, yang telah
memberikan izin kepada penyusun untuk mengkaji masalah yang penyusun ajukan
dalam bentuk skripsi ini.
4. Bapak Drs. Rokhmadi, M.Ag., selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Nur
Syamsudin, M.ag., selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu,
tenaga, serta pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada
penyusun dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dosen pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang
dengan tulus, ikhlas tanpa pamrih memberikan bekal keilmuan kepada penyusun
selama masa kuliah, serta anggota civitas Akademika Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
6. Bapak/Ibu dan seluruh karyawan perpustakaan IAIN Walisongo Semarang
maupun perpustakan fakkultas di lingkungan IAIN Walisongo Semarang. Serta
ix
lebih khusus perpustakaan Fakultas IAIN Walisongo, terimakasih atas pinjaman
buku-buku referensi..
7. Ayahanda (Mukari) dan Ibunda (Muslimah) tercinta, yang telah memberikan
kesempatan kepada ananda untuk belajar di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, serta do’a dan motifasi beliau dan kasih sayang-Nya.
8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Roudlotul Muta’alimin Boja Kendal, khususnya
kepada KH. Wa’id Wahib Salim Aziz beserta keluarga selaku pengasuh yang telah
memberikan ilmu, nasehat serta do’a agar sukses, sholeh, selamat dunia akhirat.
9. Rekan-rekan dan teman-temanku di Pon-Pes Roudlotul Muta’alimin ( kg daroji, kg
indris, pak amin, kg dayat, kg nasoha, kg tris, kg arif, eko, anas jahlul, toni, dll)
dan semua temen-temen yang berada di seluruh iain walisongo semarang
khususnya satu paket SjB angkaktan 2007 (Sesepuh Yi Faqih, Yanze, Tompel,
Ibad kadabra, Arif, Nasron, Tonying, Cukong, Kholisudin, Fajrin, Nita, Nunik,
kumaidah), Temen Alumni HI Hotel Islam (Tuwek, Menyun, Gendut, Nawir), Kos
Ringin sari serta kelompok RFC Ringin Sari Futsal Club (sesepuh Yi Muhajir,
Latif, Lutfi, Jenggot, Jiki, Jirin, Opat, Dahklan, Darsin, Doni dll), JVC (Jolinggo
Voly Club) dan BSC (Boja Sales Club).
Atas semua kebaikannya penyusun hannya mampu berdo’a semoga Allah
menerima sebagai amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik.
Penyusun juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semua itu
penyusun mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi sepurnanya skripsi
ini. Akhirnya penyusun berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penyusun
khususnya dan para pembaca umumnya. Amin-amin ya Robbal ‘Alamin.
Semarang, 27 April 2010Penulis
Ghufron MustofaNim : 072211022
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................... v
HALAMAN MOTTO ................................................................................ vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ........................................................... viii
DAFTAR ISI.............................................................................................. xiv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
D. Telaah Pustaka ......................................................................... 9
E. Metode Penelitian ..................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 17
BAB II : UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGANHUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAAN
A. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Positif................. 19
1. Pengertian Tindak Pidana Pemerkosaan dan Jenis-jenisnya . 19
2. Unsur-unsur Tindak pidana.................................................. 28
3. Ketentuan Ganti Rugi Dalam Hukum Pidana Positif ............ 32
B. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Pidana Islam...... 31
1. Definisi Jarimah .................................................................. 31
2. Pembagian Jarimah ............................................................. 33
3. Tindak Pidana Zina ............................................................. 42
xi
4. Zina Karena Dipaksa ........................................................... 51
5. Ganti Kerugian (Diyat)........................................................ 55
BAB III : PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
SEMARANG:NO.425/Pid.D/2010/PN SEMARANG
A. Profil Pengadilan Negeri Semarang .......................................... 60
B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Negeri Semarang ................. 62
C. Proses Penyelesaian Perkara No.425/Pid.B/2010/PN Semarang 65
BAB IV : ANALISIS UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUKPERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PEMERKOSAANTERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG :NO. 425/Pid.B/2010/PN SEMARANG
A. Analisis Tindak Pidana Pemerkosaan ....................................... 80
B. Analisis Ganti Rugi Terhadap Korban Pemerkosaan ................ 94
1. Analisis Terhadap Amar Putusan PN Semarang .................. 94
2. Implikasi Ganti Rugi .......................................................... 106
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 126
B. Saran-Saran............................................................................... 128
C. Penutup..................................................................................... 129
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah hukum pidana memang banyak dibicarakan baik dalam teori
maupun praktek bahkan ada usaha untuk memperbaharui KUHP sebagai
usaha pembaharuan hukum Nasional yang bertugas untuk mengatasi
kekurangan dan kelemahan yang ada dalam KUHP karena dianggap sudah
atau kurang sesuai dengan perubahan dan tuntutan perkembangan masyarakat
Indonesia pada umumnya.1
Pembaharuan hukum ini juga melibatkan hukum Islam (Fiqh) yang
secara umum diakui sebagai sumber selain dari hukum adat dan hukum barat,
karena ketiganya mempunyai kedudukan yang sama sebagai pembentukan
hukum nasional.2 Dalam hal ini hukum Islam sebagai sumber hukum telah
mengatur hak-hak yang harus dilindungi oleh setiap manusia agar
mendapatkan jaminan dalam hidupnya di antaranya hak-hak yang paling
utama yang dijamin oleh Islam adalah hak hidup, hak pemilikan, hak
memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan dan hak ilmu
pengetahuan.3
1 Ahmad Bahiej, dkk, Pemikiran Hukum Pidana Islam Kontemporer. (Yogyakarta: PokjaAkademik, 2006) hlm. 115.
2 Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1996),hlm. 135.
3 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996), hlm.5.
2
Keterangan mengenai hak-hak yang harus dilindungi diatas sesuai
dengan prinsip dasar Islam dengan mengutip ucapan Al-Ghazali dan Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah, Al-Ghazali dalam bukunya yang terkenal al-Mustasfha
min ‘Ilm al-Ushul mengatakan:4
“Tujuan agama adalah melindungi kepentingan (kemaslahatan) adalima hal: keyakinan, jiwa, akal, keturunan/kehormatan, dan hartabenda”
Dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90 sebagai berikut:5
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuatkebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dariperbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, Dia memberipengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Dan dalam Surat an-Nisa’ ayat 58 sebagai berikut:6
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepadayang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabilamenetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
4 KH. Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama danGender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 48.
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 415.
6 Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 128.
3
dengan adil, Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengarlagi Maha melihat.”
Ayat diatas menerangkan bahwa keadilan tidak hanya sebagai hak
tetapi sekaligus sebagai kewajiban, karena perlindungan hukum dalam konsep
hukum pidana Islam berprinsip pada keadilan, kasetaraan (Equality before the
law) dan kemanusiaan. Maka setiap perbuatan yang melanggar hukum harus
diberikan sanksi yang seadil-adilnya.
Prinsip Islam diatas sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur hak-hak asasi manusia pada
pasal 28 d ayat 1, berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dankepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapanhukum.”
Dan pasal 28 g ayat (1), berbunyi:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,kehormatan, maratabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya,serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutanuntuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Dari kedua Pasal diatas bisa dipahami bahwa Negara menjamin atas
perlindungan bagi setiap warga negaranya berupa perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya.
Terkait dengan perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan yang
kurang mendapatkan perhatian dan keadilan dari negara yang akhir-akhir ini
sering diberitakan diberbagai media masa seperti Koran, Majalah, Radio dan
Televise, dalam pemberitaan itu perempuan merupakan salah satu pihak yang
4
paling dirugikan, karena selain menderita luka fisik, mereka juga mengalami
keadaan traumatik yang mengganggu psikisnya.
Selain itu penderitaan perempuan (korban) tidak berhenti pada saat
kejahatan itu selesai melainkan mereka (korban) masih harus berusaha sendiri
untuk menyembuhkan lukanya dan juga masih menyediakan dana dan upaya
untuk berperan dalam proses peradilan pidana pada kasusnya. Di lain pihak
perhatian terhadap KUHP pada Hak Asasi Manusia lebih banyak mengarah
pada tersangka atau pelaku kejahatan dan penjatuhan pidana terhadap pelaku
terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek penjeraan bagi pelaku
maupun calon pelaku sedangkan korban kejahatan (perkosaan) tidak
mendapatkan perhatian yang memuaskan.
Padahal, didalam hukum positif seperti Negara Inggris, Belanda, dan
Prancis perhatian terhadap korban kejahatan dalam bentuk ganti rugi sudah
berlangsung cukup lama, pemberian ganti rugi tersebut biasa diberikan oleh
wakil dari pelaku atau biasa di sebut Vicarous Liability (pertanggung jawaban
pengganti) dimana pertanggungjawaban yang dibebankan kepada seorang atau
perbuatan pelaku.7 Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dalam pasal 7 mengenai
perlindungan hak saksi dan korban, pasal 7 tersebut berbunyi: 8
7 Lidya Suryani Widyanti, Sri Wurdani dan Heru Wibowo Sukaten, Mereka yangTerlupakan Para Korban Kejahatan Perkosaan,(Bulletin Penalaran Mahasiswa UGMVol.3,No.1Februari1997), hlm. 23. http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=98, di aksespada tanggal 20 Januari 2011.
8 Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
5
1. Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana.2. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur
dengan peraturan pemerintah.
Sedangkan dalam KUHP sendiri tidak ada sedikitpun aturan yang
mengatur tentang ketentuan ganti kerugian bagi korban kejahatan khususnya
korban pemerkosaan, khusus untuk tindak pidana pemerkosaan diatur dalam
Pasal 285 KUHP yang berbunyi:9
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasanmemaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluarperkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidanapenjara paling lama dua belas tahun”.
Isi Pasal 285 KUHP tersebut jelas menggambarkan bahwa korban
perkosaan belum mendapatkan perlindungan hukum terutama mengenai
kerugian yang dialami korban yang tidak bisa dikembalikan walaupun pelaku
dihukum, dalam hukum Islam ganti rugi kepada korban kejahatan adalah
hukuman denda kepada pelaku tindak pidana, hukuman ini dinamakan qishas
dan diyat (melukai), lebih jelasnya hukum qishas maupun diyat merupakan
hukuman yang tidak ditentukan batasanya, tidak ada batasan terendah dan
tertinggi tetapi menjadi hak perorangan antara korban dan walinya.10
9 Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 98.10 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hlm.74.
6
Bentuk perlindungan yang terkait dengan tindak pidana perkosaan
dalam Islam di kenal dengan konsep (al Wath bi al Ikrah) zina karena di
paksa,11 pada umumya dikategorikan sebagai jarimah hudud, untuk kejahatan
perkosaan ini, hanya orang yang melakukan pemaksaan saja yang di jatuhi
hukuman had, para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hukuman si
pemaksa itu bisa dijatuhkan baik untuk lelaki maupun untuk perempuan.12
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam skripsi ini, bahwa
perkosaan merupakan bentuk kekerasan primitif yang terdapat pada
masyarakat manapun,13 perkosaan adalah tindak kekerasan atau kejahatan
seksual yang berupa hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap
perempuan dengan kondisi sebagai berikut: mengancam si korban dan
perbuatan tersebut tanpa dikehendaki si korban. Menurut Adam Chazawi,
perkosaan adalah pemaksaan dan kekerasan yang sering berakibat trauma
yang berkepanjangan pada si korban,14 apalagi korbanya adalah anak yang
masih dibawah umur.
Apabila merujuk pada beberapa pengertian diatas maka tindak pidana
perkosaan merupakan tindak pidana yang didalamnya ada unsur pemaksaan
dari pelaku, baik pemaksaan itu disertai dengan pemukulan atau hanya
11 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban KekerasanSeksual, Advokasi ats Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 137.
12 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),hlm.125.
13 Eko Prasetyo, Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offest, 1997), hlm. 5.
14 Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2005), hlm. 63.
7
sekedar ancaman, dan orang yang dipaksa bisa disebut dengan korban yang
umumya adalah perempuan yang berhak mendapatkan perhatian serta
perlindungan hukum baik yang bersifat fisik maupun psikis.
Dibawah ini adalah satu contoh kasus dari sekian ribu kasus perkosaan
yang ada di Indonesia yang didalamnya ada unsur pemaksaan dengan
ancaman kekerasan, kasus tersebut sudah diputus oleh Pengadilan Negeri
Semarang dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425
/pid.B/2010/PN Semarang yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Aryono Bin
Parto Dikromo memaksa anak yaitu Nova Nurwanti Binti Susanto berusia 10
tahun untuk melakukan persetubuhan denganya secara berturut-turut sebanyak
3 (tiga) kali. Setelah sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Hakim
memutuskan menjatuhkan pidana kepada terdakwa Aryono bin Parto Dikromo
dengan dengan pidana penjara 7 tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah) apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan
kurungan selama 6 (enam) bulan.15
Dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti lebih detail
mengenai ganti rugi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban perkosaan
dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomer Perkara: No.425
/pid.B/2010/PN Semarang.
15 Isi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang.
8
B. Pokok Permasalahan
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka ada beberapa pokok
masalah yang bisa dikembangkan dan dicari pangkal penyelesaianya,
sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi
korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425
/pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum Positif?
2. Bagaimana upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi
korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425
/pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan Skripsi
Sesuai dengan pokok permasalahan di atas, maka setiap karya ilmiah
pasti ada dasar dan tujuan tertentu, sehingga terwujud tujuan yang di
harapkan.
1. Tujuan Penulisan Skripsi
Adapun tujuan penulisan Skripsi yang penulis harapkan dari
proposal ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan
hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor:
425 /pid.B/2010/PN Semarang menurut hukum positif.
b. Untuk mengetahui mengenai ketentuan upaya ganti rugi sebagai
bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan
9
Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN
Semarang menurut hukum Islam.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian yang penyusun harapkan dari
penyusunan proposal ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam
kajian hukum pidana Islam.
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat yang ingin memperdalam
tentang masalah hukum yang berkembang saat ini.
D. Telaah Pustaka
Mengetahui sejauh mana obyek penelitian dan kajian terhadap
masalah pemberian ganti rugi bagi korban pemerkosaan dalam konsep Islam,
peneliti telah melakukan pra penelitian (telaah) terhadap sejumlah literature,
hal ini di lakukan untuk memastikan apakah ada penelitian dengan tema dan
kajian yang sama, sehingga nanti tidak terjadi pengulangan (repitisi) yang
mirip dengan penelitian sebelumnya.
M Khasbun dalam sekripsinya yang berjudul “Analisis Putusan
Pengadilan Negeri Kendal Nomor 187/Pid.B/2006/Pn.Kdl Tentang “Tindak
Pidana Pemerkosaan Yang Menyebabkan Kematian” dalam karyanya di
jelaskan bahwa Pengadilan Negeri Kendal telah memeriksa dan mengadili
kasus pemerkosaan dengan amar putusan selama 4 (empat) tahun penjara,
dikarenakan pemerkosaan yang menyebabkan kematian. Hukuman 4 (empat)
10
tahun penjara, menurut hukum Islam termasuk dalam jarimah ta’zir, akan
tetapi hukuman ta’zir belum sesuai karena si korban sampai meninggal dunia.
Untuk itu hukuman yang sesuai terhadap terdakwa termasuk jarimah qishas-
diyat yaitu pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-‘amd) dengan
hukumannya adalah diyat atau ganti rugi berupa seratus ekor unta/ dua ratus
ekor sapi yang diberikan kepada pihak si korban atau keluarganya dan
membayar kifarat yakni memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan
berturut-turut,16 skripsi ini hanya membahas tentang ganti rugi karena adanya
kematian pihak korban yang diperkosa, namun dalam skripsi ini tidak
membahas ganti rugi bagi korban pemerkosaan yang menderita luka fisik
maupun psikis yang berkepanjangan.
Subhan dalam skripsi yang berjudul “Studi Hukum Islam Terhadap
Kejahatan Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur, (Analisis
Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 647 Pid B 2005 Tentang
Kejahatan Kesusilaan.” Dalam skripsinya diterangkan bahwa pelaku tindak
pidana dihukum ringan yaitu dikembalikan kepada orang tuanya untuk dididik
dan dibina dibawah bimbingan dan pengawasan dari balai pemasyarakatan
kota semarang. Vonis yang dijatuhkan Majelis kepada pelaku perkosaan yang
masih dibawah umur tersebut masih kurang tepat karena tidak sebanding
dengan penderitaan yang dialami wanita korban perkosaan baik secara fisik
16 M. Khasbun, Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor 187/Pid.B/2006/Pn.KdlTentang Tindak Pidana Pemerkosaan Yang Menyebabkan Kematian, (Semarang: Skripsi FakultasSyari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo), 2010.
11
maupun psikologis yang berkepanjangan, seharusnya pelaku tidak
dikembalikan kepada orang tuanya walupun dia masih dibawah umur.17
Skripsi ini hampir sama dengan skripsi yang sedang dibahas dengan obyek
pemberatan hukuman bagi pelaku pemerkosaan, akan tetapi dalam skripsi ini
tidak membahas tentang hak-hak wanita korban perkosaan untuk mendapatkan
ganti kerugian baik secara fisik maupun psikis.
Dalam tesis karya Ira Idawati, S.H., yang berjudul “Perlindungan
hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan dalam peradilan pidana”
dijelaskan bahwa kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan
kesulitan dalam penyelesaianya baik pada tahap penyidikan, penuntutan,
maupun pada tahap penjatuhan pidana tahap penjatuhan putusan. Selain
kesulitan dalam batasan itu, juga kesulitan dalam pemubuktianya misalnya
perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran
orang lain. Walaupun sudah diproses sampai ke pengadilan tetapi kasus-kaus
itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ( KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (pasal 281
s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (pasal
285). Permasalahan yang dihadapi oleh korban tindak pidana perkosaan tidak
17 Subhan, Studi Hukum Islam Terhadap Kejahatan Perkosaan Yang Dilakukan Oleh AnakDibawah Umur, (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 647 Pid B 2005 TentangKejahatan Kesusilaan.” (Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam NegeriWalisongo), 2007.
12
hanya yang terjadi pada dirinya, namun juga terjadi dalam proses hukum
terhadap kasus yang menimpanya. Korban tindak pidana pemerkosaan bisa
menjadi korban ganda dalam proses persidangan dan juga bisa mendapat
perlakuan yang tidak adil dalam proses untuk mencari keadilan itu sendiri.
Dalam tesis ini menjelaskan tentang perlindungan bagi korban
permerkosaan pada saat proses peradilan itu berjalan yang dimana aparat
penegak hukum masih memperlakukan perempuan korban kekerasan
(perkosaan) sebagai obyek, bukan subyek yang harus didengarkan dan
dihormati hak-hak hukumnya dan sesudah proses persidangan itu selesai
korban berhak untuk mendapatkan restitusi dan kompensasi, konseling,
pelayanan/bantuan medis. Akan tatapi dalam skripsi ini penulis akan meneliti
tentang upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban
pemerkosaan menurut hukum Islam.18
E. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan jenisnya penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan (Library
18 Ira Dwiati, Perlindugan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan DalamPeradilan Pidana, (Semarang: Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UniversitasDiponegoro), 2007.
13
Research),19 yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber
sumber tertulis,20 dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti
buku, majalah, jurnal yang ada hubunganya dengan judul skripsi yaitu
upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban
perkosaan.
2. Sifat penelitian
Berdasarkan sifatnya penelitian ini bersifat diskriptif,21yaitu
memaparkan dan menjelaskan data yang berkaitan dengan pokok
pembahasan, kemudian menguraikan segala sesuatunya dengan cermat dan
terarah mengenai upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum
bagi korban pemerkosaan.
3. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek
dari mana data itu diperoleh,22 data yang penulis gunakan adalah data
Kualitatif, yaitu data yang tidak berbentuk angka,23 data tersebut ada 2
macam yaitu:
19 Library Research menurut Bambang Waluyo adalah metode tunggal yang dipergunakandalam penelitian hukum normatif.
20 Bambang Waluyo, S.H., Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,2002), hlm. 50.
21 Soeharso dan Ana Retnonongsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: WidyaKarya, 2005), hlm. 121.
22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 13, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 129.
23 Rianto Adi, Metodologi Pelitian Social Dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004, Cet. 1), hlm.56.
14
a. Data primer, yaitu penelusuran dan inventarisasi data yang bersumber
pada literarur yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti guna
mendapatkan konsep tentang persoalan yang akan dijadikan obyek
pelelitian,24 yaitu Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.425
/pid.B/2010/PN Semarang.
b. Data sekunder, yaitu data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data
dalam bentuk dokumen dan publikasi, misalnya buku-buku, surat-
surat, catatan harian, laporan, dan sebagainya,25 yang ada kaitanya
dengan tema yang sedang dibahas yakni ganti rugi sebagai bentuk
perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan.
4. Pengumpulan Data
Dan ini penulis menggunakan pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi
Metode ilmiah biasa diartikan sebagai pengamatan, pencatatan
dengan sistematik melalui fenomena-fenomena yang diselidiki,26yaitu
metode pengumpulan data dengan pengamatan dokumen yang ada
hubungannya dengan pokok pembahasan berupa arsip, peraturan
perundang-undangan, catatan buku-buku, surat-kabar atau majalah dan
lain sebagainya.
24 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset, Cet. 7, (Bandung: Mandar Maju, 1996),hlm. 33.
25 Rianto Adi, Op, Cit, hlm. 61.26 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid.2, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
UGM, 1998), hlm. 136.
15
b. Dokumentasi
Metode pengumpulan data melalui benda-benda tertulis yaitu
mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa; (Putusan
Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang),
perundang-undangan, catatan buku-buku, surat kabar atau majalah,
notulen, agenda, dan lain-lain yang dapat memberikan gambaran
fakta,27 metode dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data
yang diperlukan dari dokumen.
5. Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam upaya ganti rugi sebagai
bentuk perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan
Pengadilan Negeri Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang
menggunakan metode deskriptif analisis yaitu metode yang menjelaskan
suatu obyek permasalahan secara sistematis, memberikan analisa secara
cermat, kritis, luas dan mendalam terhadap obyek kajian,28 dengan cara
berfikir dengan metode sebagai berikut:
a. Metode Deduktif
Berfikir deduksi adalah proses pendekatan yang berangkat dari
kebenaran umum suatu fenomena (teori) mengenaralisasikan kebenaran
tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama
27 Suharsimi Arikunto, Op, Cit, hlm. 231.28 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 4, (Yogyakarta: Gajah Mada
University, 1993), hlm. 63.
16
dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi).29 Dengan kata lain
deduksi berarti faktor yang bersifat umum, kemudian diterapkan kepada
kenyataan yang bersifat khusus yaitu disimpulkan dalam pengertian
khusus.30 Metode ini digunakan pada bab II, III dan IV.
b. Metode Induktif
Berfikir induksi adalah metode berfikir berangkat dari faktor-faktor
yang bersifat khusus dan peristiwa-peristiwa konkrit, kemudian dari
faktor-faktor yang bersifat khusus dan peristiwa-peristiwa konkrit
tersebut ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat
umum,31 metode ini digunakan pada bab III dan IV.
c. Metode Content Analisis
Metode conten analisis adalah metode yang digunakan untuk
analisis data dan pengolahan data secara ilmiah tentang isi sebuah pesan
dari suatu komunikasi,32 metode ini digunakan pada bab IV.
Sedangkan metode analisis dengan pendekatan yang digunakan
untuk analisis data yaitu upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan
hukum bagi korban pemerkosaan dalam Putusan Pengadilan Negeri
Semarang: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang berdasarkan teori hukum
adalah dengan menggunakan metode pendekatan normatif, yaitu suatu
29 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Cet. 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.40.
30 Sutrisno Hadi, Op, Cit., hlm. 36.31 Ibid, hlm. 42.32 Noeng Muhadjir, Motode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm.
49.
17
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.33 Metode analisis dengan
pendekatan ini digunakan dalam bab IV.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan kemudahan terhadap pembahasan yang teliti,
penyusun akan mensistematika skripsi ini dengan membagi tema menjadi
beberapa bagian. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan beberapa katagori
dalam pembahasan sebagai berikut:
1. Bagian Muka
Bagian muka ini terdiri dari: halaman judul, halaman nota
Pembimbing, halaman nota pengesahan, halaman motto, halaman
persembahan, halaman deklarasi, halaman abstrak, halaman kata
pengantar, dan halaman daftar isi.
2. Bagian Isi, terdiri dari:
Bab I: Pendahuluan. bab ini meliputi: latar belakang masalah,
rumusan masalah, telaah pustaka, tujuan penulisan skripsi, metode
penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II: Upaya Ganti Rugi Sebagai Bentuk Perlindungan Bagi
Korban Pemerkosaan Dalam Hukum Positif dan Hukum Islam, A. Tindak
pidana pemerkosaan menurut hukum Positif, sub bab ini meliputi:
33 Johni Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normative, (Maltang: BayuMedia Publising, 2005), hlm. 57.
18
pengertian tindak pidana perkosaan dan jenis-jenisnya, pengertian korban
pemerkosaan dan jenis-jenisnya, ketentuan ganti rugi dalam hukum
Positif, B. Tindak pidana zina menurut hukum Islam, sub bab ini meliputi:
definisi jarimah, tindak pidana zina, zina karena dipaksa, ganti rugi
(diyat).
Bab III: Putusan Pengadilan Negeri Semarang Dengan Nomer
Perkara: No.425 /pid.B/2010/PN Semarang. bab ini, meliputi tentang
profil Pengadilan Negeri Semarang, tugas dan kewenangan Pengadilan
Negeri Semarang, proses penyelesaian perkara Nomor.425/pid.B/2010/PN
Semarang.
Bab IV: Analisis ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum
bagi korban perkosaan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Semarang
dengan nomer perkara: 425 /pid.B/2010/PN Semarang. bab ini, meliputi:
analisis tindak pidana pemerkosaan. Analisis ganti rugi terhadap korban
perkosaan dengan sub bab meliputi analisa terhadap amar putusan
Pengadilan Negeri No.425 /pid.B/2010/PN Semarang, implikasi ganti
rugi.
Bab V: Penutup. Merupakan bab terakhir yang berisi: kesimpulan,
saran-saran dan diakhiri dengan penutup.
3. Bagian Akhir
Bagian Akhir terdiri dari: Daftar pustaka, daftar riwayat
pendidikan penulis dan lampiran-lampiran.
19
BAB II
UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI KORBAN PEMERKOSAAN
A. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Positif
1. Pengertian Tindak Pidana Pemerkosaan Dan Jenis-Jenisnya
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti
mencuri, memaksa, merampas. Perkosaan adalah suatu usaha untuk
melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap
perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.
Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan di dalam pasal 285
KUHP disebutkan bahwa:1
"barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksaseorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancamkarena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun.Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanyadi luar perkawinan".
Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum
perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi, pada saat belum terjadi
penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan tetapi
masuk dalam kategori pencabulan,2 tindak pidana perkosaan yang diatur
dalam Pasal 285 KUHP itu ternyata hanya mempunyai unsur-unsur
1 Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm 89.2http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Pelaku%20Pemerkosaan%20Pantas%20Di
hukum%20Berat&&nomorurut_artikel=452/di akses tgl 6 Januari 2012.
20
obyektif, yaitu: unsur barang siapa, dengan kekerasan, dengan ancaman
akan memakai kekerasan, memaksa, seorang wanita, mengadakan hubungan
kelamin diluar perkawinan, dengan dirinya.3
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S
Poerwadarminta, pengertian perkosaan dilihat dari/ asal kata yang apat
diuraikan sebagai berikut:4
a. Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa
b. Memperkosa : 1) Menundukan dan sebagainya dengan kekerasan.
2) Melanggar (menyerang dsb) dengan kekerasan
c. Perkosaan : 1) Perbuatan memperkosa, penggagahan dengan paksaan
2) Pelanggaran dengan kekerasan.
Kata perkosaan sebagai terjemahan dari aslinya (Belanda)
“verkarchting” yakni perkosaan untuk bersetubuh, oleh karena itu menurut
beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285 KUHP ini adalah perkosaan
untuk bersetubuh. Apabila rumusan perkosaan ini dirinci terdiri dari unsur-
unsur sebagai berikut: 5
a. Perbuatanya : memaksa
b. Caranya : 1) dengan kekerasan
2) ancaman kekerasan
3 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-NormaKesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 108.
4 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN BalaiPustaka, 1984), hlm. 741.
5 Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007), hlm. 63.
21
c. Objek : seorang perempuan bukan istrinya
d. Bersetubuh dengan dia
Menurut Soetandyo Wingnjosoebroto bahwa “perkosaan” adalah
suatu usaha melampiaskan hawa nafsu seksual oleh seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan/ atau hukum
yang berlaku adalah melanggar hukum.6
Wirdjono Prodjodikoro, mengungkapkan bahwa perkosaan adalah:
Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya
untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat
melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.7
Nursyahbani Kantjasungkana, berpendapat bahwa perkosaan adalah
salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh
kerentanan posisi perempuan terhadap kepentingan laki-laki.8
Back’s Law Dictionary, yang dikutip oleh Topo Santoso, merumuskan
perkosaan atau rape sebagai berikut: 9
“Hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorangperempuan tanpa persetujuannya, persetubuhan secara melawanhukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-lakidilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya,tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadapseorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya,
6 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan,(Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset, 1997), hlm. 25.
7 Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:Eresco, 1986), hlm. 117.8 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,
Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 65.9 Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO, 1997), hlm. 17.
22
dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diatasi dengankekuatan dan ketakutan atau di bawah keadaan penghalang.”
Walaupun didalam rumusanya Pasal 285 KUHP tidak mensyaratkan
adanya unsur kesengajaan akan tetapi dicantumkan unsur “memaksa” maka
tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 285 KUHP itu
harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah diketahui dalam
Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja maka dengan
sendirinya kesengajaan itu harus dibuktikan oleh penuntut umum atau
hakim di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku
bahwa telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam pasal KUHP.10
Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang
ditujukan pada orang lain dengan menekankan kehendak orang lain itu agar
orang lain itu tadi menerima kehendak orang yang menekan atau dengan
kehendaknya sendiri. 11
Perbuatan memaksa menurut Pasal 285, yakni bersetubuh dengan dia,
atau bersedia di setubuhi, demikian juga memaksa pada Pasal 289 dalam hal
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, sementara itu untuk yang kedua
misalnya terdapat pada Pasal 368 (pemerasan), Pasal 369 (pengancaman)
dimana perbuatan memaksa ditujukan agar orang yang dipaksa melakukan
10 P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm. 109.11 Adam Chazawi, Lok, Cit.
23
perbuatan yang sama dengan kehendaknya, yakni menghapuskan piutang
dan membuat utang.12
Jenis-jenis pemerkosaan dapat digolongkan sebagai berikut: 13
1) Sadistic Rape
Yakni perkosaan pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam
bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati
kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya melainkan melalui
serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban;
2) Anger Rape
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi
sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah
yang tertahan. Tubuh korban disini seakan- akan merupakan obyek
terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-
frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya;
3) Domination Rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk
gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban, tujuannya
adalah penaklukan seksual pelaku menyakiti korban namun tetap
memiliki keinginan berhubungan seksual;
4) Seductive Rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang
12 Lok, Cit.13 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 103.
24
merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya
korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak
sampai sejauh persenggamaan, pelaku pada umumnya mempunyai
keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak
mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks;
5) Victim Precipitated Rape
Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan
korban sebagai pencetusnya;
6) Exploitation Rape
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan
hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil
keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang
bergantung padanya secara ekonomis dan social. Misalnya istri yang
diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa
oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau
mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.
Beberapa macam karakteristik umum tindak pidana perkosaan: 14
1) Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap perkosaan.
2) Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi
seksual semata-mata.
3) Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung
14 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban KekerasanSeksual, Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 48.
25
masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu.
4) Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
anger rape, power rape dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger
dan violation, control and domination, erotis.
5) Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami
pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing
dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional.
6) Korban perkosaan adalah partisipatif. Menurut Meier dan Miethe, 4-
19% tindak pidana perkosaan terjadi karena kelalaian (partisipasi)
korban.
7) Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.
Jenis-jenis perkosaan juga dapat dibedakan menjadi:15
1) Perkosaan yang pelakunya sudah dikenal korban
a) Perkosaan oleh suami atau mantan suami
Perkosaan juga dapat terjadi dalam suatu perkawinan, karena suami
maerasa berhak untuk memaksa istrinya berhubungan seks kapan
saja sesuai dengan keinginannya tanpa mempedulikan keinginan
sang istri. Bahkan tidak jarang terjadi banyak mantan suami yang
merasa masih berhak untuk memaksakan hubungan seks pada
mantan istrinya;
15 Ira Dwiati, Perlindugan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan DalamPeradilan Pidana, (Semarang: Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UniversitasDiponegoro, 2007), hlm. 41-42.
26
b) Perkosaan oleh teman kencan atau pacar
Teman kencan atau pacar bisa memaksa korban untuk
berhubungan seks dengan berbagai dalih karena ia sudah
menghabiskan uang untuk menyenangkan korban, karena mereka
pernah berhubungan seks sebelum itu, karena korban dianggap
sengaja memancing birahi, atau karena si pacar sudah berjanji akan
mengawini korban. Ajakan untuk berhubungan seks masih termasuk
wajar bila si perempuan masih punya kesempatan untuk menolak
dan penolakannya itu dihormati oleh pacarnya. Bujuk rayu pun
masih bisa dianggap normal bila kegagalan membujuk tidak diikuti
oleh tindakan pemaksaan tetapi kalau pacar perempuan itu sampai
memaksakan kehendaknya, itu sudah berarti suatu kasus perkosaan,
sekalipun oleh pacar sendiri, jika perempuan itu sudah menolak dan
berkata “tidak” tapi pacarnya neka melakukann yaitu berarti
perkosaan. Kasus perkosaan seperti ini sangat jarang didengar orang
lain karena korban malu dan takut dipersalahkan orang.
c) Perkosaan oleh atasan/majikan
Perkosaan terjadi antara lain bila seorang perempuan dipaksa
berhubungan seks oleh atasan atau majikannya dengan ancaman
akan di PHK bila menolak, atau dengan ancaman-ancaman lain
yang berkaitan dengan kekuasaan si atasan atau majikan.
d) Penganiayaan seksual terhadap anak-anak
27
Seorang anak perempuan atau anak laki-laki dapat diperkosa oleh
lelaki dewasa dan masalah ini sangat peka dan sulit karena anak-anak
yang menjadi korban tidak sepenuhnya paham akan apa yang
menimpa mereka, khususnya bila anak itu mempercayai pelaku.
Kalaupun si anak melapor kepada ibu, nenek atau anggota keluarga
yang lain, besar kemungkinan laporannya tidak digubris, tak
dipercaya, bahkan dituduh berbohong dan berkhayal, biasanya
mereka menyangkal kejadian itu hanya dengan alasan “tidak”
mungkin bapak/kakek/paman/dsb tega berbuat begitu”.
2) Perkosaan oleh orang tak dikenal16
Jenis perkosaan ini sangat menakutkan, namun lebih jarang terjadi
dari pada perkosaan dimana pelakunya dikenal oleh korban, jenis
perkosaan ini dapat dibedakan, yaitu:
a) Perkosaan beramai-ramai
Seorang perempuan bisa disergap dan diperkosa secara bergiliran
oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Ada kalanya terjadi
perkosaan oleh satu orang tidak dikenal kemudian orang-orang
lain yang menyaksikan kejadian tersebut ikut melakukannya.
Seringkali terjadi beberapa orang remaja memperkosa seorang gadis
dengan tujuan agar mereka dianggap “jantan” atau untuk
membuktikan “kelelakian” nya.
16 Ibid, hlm. 42.
28
b) Perkosaan di penjara
Di seluruh dunia banyak perempuan diperkosa oleh polisi atau
penjaga penjara setelah mereka ditahan atau divonis kurungan.
Bahkan perkosaan juga umum terjadi antar penghuni lembaga
pemasyarakatan laki-laki untuk menunjukkan bahwa si pemerkosa
lebih kuat dan berkuasa daripada korbannya.
c) Perkosaan dalam perang atau kerusuhan
Para serdadu yang sedang berada di tengah kancah pertempuran
sering memperkosa perempuan di wilayah yang mereka duduki,
untuk menakut-nakuti musuh atau untuk mempermalukan mereka.
Perkosaan beramai-ramai dan perkosaan yang sistematis (sengaja
dilakukan demi memenuhi tujuan politis atau taktis tertentu),
misalnya kejadian yang menimpa kaum perempuan Muslim Bosnia.
Tujuan perkosaan semacam ini adalah untuk unjuk kekuatan dan
kekuasaan di hadapan musuh.
2. Pengertian Korban Perkosaan dan Jenis-Jenisnya
Resolusi PBB No. 40/43 Tahun 1985 mendefinisikan korban sebagai
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/kerugian psikis
maupun ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.17Menurut
pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, korban adalah
17 Faqihudin, Perlindungan Terhadap Korban Pemerkosaan Anak Dibawah Umur,(Semarang: Makalah Viktimologi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo,2010), hlm. 2.
29
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.18 Menurut kamus
bahasa Umum Bahasa Indonesia, korban adalah orang yang menderita
kecelakaan karena perbuatan hawa nafsu sendiri atau orang lain.19
Didalam bukunya Arif Gosita diterangkan bahwa yang dimaksud
dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah maupun rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak
asasi yang menderita. Mereka disini dapat berarti: individu, atau kelompok
baik swasta maupun pemerintah. Selain itu korban juga diartikan bukan
hanya terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalaminya
secara langsung tetapi juga menyangkut orang secara tidak lansung seperti
keluarga korban yang menjadi tanggunganya.20
Khusus untuk korban perkosaan, derita yang dialaminya tidak dapat
dibandingkan dengan korban perampokan, pencurian, atau penjambretan.
Korban semacam ini umumnya terbatas kehilangan harta benda, relative
tidak menderita batin dan tekanan social berkepanjangan. Namun sebaliknya
korban perkosaan, mereka kehilangan harga kehormatan, harga diri yang
tidak mungkin bisa diganti, dibeli atau disembuhkan sekalipun mencincang
18 Indonesia, Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,hlm. 3.
19 W.J.S. Poerwadarminta, Loc. Cit.20 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Persindo, 1983), hlm. 41.
30
pelaku hingga mati.21 Lebih-lebih korban perkosaan adalah anak-anak
dibawah umur, mereka akan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi,
sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi
perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan kaum laki-laki, mereka tidak
hanya membencinya, tapi juga takut menjalin relasi denganya.22
Perkembangan ilmu viktimologi mengajak masyarakat untuk lebih
memperhatikan posisi korban kejahatan juga memilah-milah jenis korban
kejahatan hingga kemudian munculah berbagai jenis korban, yaitu: 23
1) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya
penanggulangan kejahatan;
2) Latent Victims, yaitu mereka mempunyai sifat karakter tertentu sehingga
cenderung menjadi korban;
3) Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban;
4) Proacative victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu
sehingga cenderung menjadi korban;
5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang
dibuatnya;
Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai
berikut: 24
21 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 102.22 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm.79.23 Dikdik M. Arief, d a n Mansur Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan- Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hlm. 49.
31
1) Korban murni
a) Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pelaku
sebelum perkosaan.
b) Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku
sebelum perkosaan.
2) Korban Ganda
Adalah korban perkosaan selain mengalami penderitaan selama
diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosia,
misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya,
mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaaan pengadilan,
tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan,
dikusilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain.
3) Korban Semu
Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku, ia berlagak
diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu dari pelaku.
Khusus untuk korban kejahatan perkosaan, baik dari jenis korban
murni, korban ganda, dan korban semu, posisi wanita masih selalu berada
pada pihak yang dilematis karena kalau menuntut melalui jalur hukum,
mengundang konsekuensi selain sering berbelit-belit juga merasa malu
karena terpublikasikan, selain itu sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak
menyediakan pidana ganti kerugian bagi korban perkosaan, jadi posisi
24 Ira Dwiati, Op, Cit, hlm. 48.
32
wanita dalam hal ini wanita korban perkosaan tetap pada posisi tidak
diuntungkan sebagai korban kejahatan.25
3. Ketentuan Ganti Rugi Dalam Hukum Pidana Positif
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana namun
antara keduanya memiliki perbedaan, Dalam hukum pidana, ruang lingkup
pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian
ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibicarakan
dalam skripsi kali ini adalah ganti kerugian dalam hukum Pidana.
Ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti
kerugian dalam hukum pidana karena ganti kerugian dalam hukum perdata
(mengacu pada pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah
mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum
kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata
ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah
minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian
immaterial.
Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap
ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang
immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat
diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum
25 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 166.
33
dan karena perbuatan terdakwa.26 Pada umumnya ganti kerugian dalam
proses pidana berkenaan dengan penangkapan dan penahanan serta
tindakan-tindakan lainya yang bertentangan dengan hukum, yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum diatur dalam pasal 9 ayat 1 UU No. 14 tahun
1970, pasal ini menyediakan prosedur ganti rugi bagi mereka yang
ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili,27 selanjutnya diatur dalam Pasal 95
KUHAP Ayat 1 dan 2.28
Sedang ganti kerugian bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran
hukum pidana (victim of crime), biasanya dikategorikan sebagai masalah
Perdata29 padahal apabila mengacu pada hukum pidana materiil antara lain
ketentuan yang berkaitan dengan pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal
14 c KUHP. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa hakim dapat
menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang
26http://wawasanhukum.blogspot.com/2007/06/ganti-kerugian-dan-rehabilitasi.html, Ditulis oleh: Diah Lestari P dan Theodora YSP, diakses pada tangga l 2 April 2012.
27 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Siatem Peradilan Pidana, (Semarang:Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 183.
28 Pasal 95 ayat 1: tersangka terdakwa atau terpidana berhak menuntut, gati kerugian karenaditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan tindakan lain, tanpa alas an yangberdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yangditetapkan. Ayat 2: tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapanatau penahanan serta tindakan lain tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang atau karenakekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimna dimaksud dalam ayat 1 yangperkaranya diajukan ke pengadilan negri, diputus disidang pra peradilan sebagaimana dimaksusdalam pasal 77 ayat 3: tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan olehtersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadiliperkara yang bersagkutan. Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: SInar Grafika, 2007), hlm.237-238.
29 Djoko Prakoso, Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP, (Jakarta: Bina Akasara, 1988), hlm.106.
34
harus dipenuhi selama masa percobaan.30 Selanjutnya dalam undang-undang
No. 3 tahun 1971.31Adapun ketentuan ganti kerugian lainya dapat dijumpai
dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Nomor 76, terutama dalam
Pasal 1 ayat 10 c, Pasal 1 butir 22.32
Selanjutnya ketentuan ganti kerugian kepada korban kejahatan diatur
dalam pasal 98 KUHAP Ayat 1 dan 2,33 yang menyebutkan bahwa jika
suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara
pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain maka
hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Asas
penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi ini bercorak perdata,
merupakan hal baru dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, gugatan
ganti rugi perdata ini berupa:34
30 Syarat khusus tersebut berupa kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atausebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam waktu tertentu. Lihat: Prof. Dr.Muladi, S.H, Ibid, hlm. 183.
31 Terdapat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya samadengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Muladi, Ibid, hlm. 184.
32 Pasal 1 ayat 10 c: pra peradilan adalah wewenang pengadilan negri untuk memeriksa danmemutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang permintaan ganti kerugianatau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranyatidak diajukan ke pengadilan. Pasal 1 butir 22: ganti kerugian adalah hak seseorang untukmendapat pemenuhan atas tuntutanya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap,ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang ini atau karenakekeliruan mengenai orangnya atau huku yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Presiden Indonesia,Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana,(Jakarta: 1981).
33 Asmawi, M. Hanafi, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, (Jakarta: PradnyaParamita, 1992), hlm. 6.
34 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: SinarGrafika, 2000), hlm. 46.
35
1) Kerugian yang dialami korban sebagai akibat lansung dari tindak pidana
yang dilakukan terdakwa, misalnya kerugian yang timbul akibat
pelanggaran lalu lintas.
2) Jumlah besarnya ganti rugi yang dapat diminta hanya terbatas sebesar
kerugian materiil yang diderita korban (pasal 98).
3) Penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi yang bersifat
perdata dapat diajukan pihak korban sampai proses perkara pidana belum
memasuki taraf penuntut umum memajukan rekuisitur.
Terkait dengan penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi
maka perlu kiranya penulis catumkan ketentuan ganti kerugian berdasarkan
undang-undang diluar KUHAP yang terdapat dalam Pasal 1365
KUHPerdata sebagai berikut:35
“Jika seseorang telah melakukan suatu perbuatan melanggar hukumdan telah terbukti kesalahanya, maka terhadap dirinya dapat dilakukanpenututan mengganti kerugian.”
Maka Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melanggar
hukum, Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini menyatakan:36
“Bagi orang-orang Indonesia asli tetap berlaku Hukum Adat yang jugamengenal hakekat hukum, seperti yang tercantum dalam Pasal 1365BW itu, yaitu bahwa orang yang secara bersalah melakukan perbuatanmelanggar hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah wajibmemberi ganti kerugian.”
35 http://www.ziddu.com/download/2663135/KUHPerdata.pdf.html.36 Martiman Prodjodikoro, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982),
hlm. 18.
36
Sedangkan ganti kerugian berdasarkan konteks undang-undang
perlindungan saksi dan korban adalah penggantian kerugian yang diberikan
oleh pelaku kepada korban sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban
pelaku, pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban dalam Pasal 7 Ayat 1 dan 2 yaitu:37
(1)Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.b. Hak atas restitusi dang anti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana.(2)Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh
pengadilan.
Ganti rugi dalam konteks Undang-Undang No 13 tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 7 ayat 1 b tersebut adalah
penggantian kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban sebagai
salah satu bentuk pertanggung jawaban pelaku.37
Sementara ketentuan ganti kerugian dalam RUU tentang Hukum
Acara Pidana tahun 2010 Bagian Ketiga Putusan Pengadilan Tentang Ganti
KerugianTerhadap Korban Pasal 133:38
1) Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban yangmenderita kerugian materiel akibat tindak pidana yang dilakukanoleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana membayar ganti
37 Indonesia, Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi danKorban.
37 Komnas Perempuan, Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban, (Jakarta:[email protected], 2009), hlm. 38.
38 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Tahun 2010, hlm. 40.
37
kerugian kepada korban yang besaranya ditentukan dalamputusanya.
2) Apbila terpidana tidak membayar ganti kerugian sebagaimanadimaksud pada Ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelanguntuk membayar ganti kerugian kepada korban.
3) Apabila terdakwa berupaya menghindar untuk membayarkompensasi kepada korban, terpidana tidak berhak memdapatkanpengurangan masa pidana dan tidak mendaptkan pembebasanbersyarat.
4) Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat ditentukan syarat khususberupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti kerugian kepadakorban.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyitaan danpelelangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur denganPeraturan Pemerintah.
Ketentuan ganti rugi yang di uraikan diatas merupakan ketentuan
ganti kerugian kepada korban kejahatan menurut hukum positif, bahwa
korban kejahatan memang benar-benar harus diperhatikan hak-haknya.
Mengenai ganti kerugian korban pemerkosaan dan tata cara pembayaran
ganti rugi serta besaran biaya yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada
korban kejahatan maupun korban perkosaan akan dibahas pada bab
selanjutnya.
B. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Pidana Islam
1. Definisi Jarimah
Jarimah Menurut bahasa adalah (جرم) yang sinonimnya (كسب وقطلع)
artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus
untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang di benci oleh manusia.dari
pengertian disini dapat ditarik suatu definisi yang jelas, bahwa jarimah itu
adalah
38
عدل والطریق المستقیم ارتكا ب كل ما ھو مخالف للحق وال
Artinya: “melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenarankeadilan, dan jalan yang lurus (agama)”.
Dari keterangan ini jelaslah bahwa jarimah menurut bahasa adalah
melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik,
dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan
jalan yang lurus (agama).
Pengertian jarimah tersebut diatas adalah pengertian yang umum,
dimana jarimah itu disamakan dengan (الدنب) (dosa) dan (الخطیئة)
(kesalahan), karena pengertian kata-kata tersebut adalah pelanggaran
terhadap perintah dan larangan agama, baik pelanggaran tersebut
mengakibatkan hukuman duniawi maupun ukhrawi.39
Jarimah menurut istilah adalah seperti yang dikemukakan oleh Imam
Al Mawardi sebagai berikut:40
.الجرائم محظورات شرعیة زجرهللا تعالى عنھا بحد اوتعزیر
Artinya: “Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’,yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.”
2. Pembagian Jarimah
Dalam aturan hukum pidana Islam apabila ditinjau dari berat ringanya
sanksi hukuman maka perbuatan Jarimah dapat di kelompokkan menjadi
39 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: SinarGrafika, 2008), hlm. 9.
40 Ibid.
39
tiga golongan antara lain: jarimah hudud, jarimah qishash dan diyat, dan
jarimah ta’zir.
a. Jarimah Hudud
Hudud (bentuk jamak dari kata had yang artinya batas, rintangan,
halangan dan pagar).41
Pernyataan Abdul Qadir Audah sebagai berikut:42
ائم المعاقب علیھابحد ر حقا تعالى. والحد ھو العقو بة المقدرة.ج
Artinya: “Jarimah yang diancam padanya dengan hukuman had, dan hadadalah` hukuman yang telah ditentukan oleh Allah.”
Jarimah hudud ada tujuh, yaitu, zina, qadzaf, minuman keras,
mencuri, hirabah (pembegalan, perampokan, gangguan keamanan),
murtad, dan pemberontakan (al-Baghyu).43
b. Jarimah Qishas Diyat
Jarimah qishas diyat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qishas atau diyat, baik qishas maupun diyat keduanya adalah
hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaanya dengan
hukuman had adalah bahwa had merupakan hak allah (hak masyarakat),
sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individual), adapun
41 Lihat: Dalam al Qur’an, hudud atau hadd sering diartikan sebagai hukum atau ketetapanAllah SWT. misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 187, 229, dan 230 surah An Nisa’ ayat 13 dan14; surat At Taubah Ayat 97 dan 112; Surat al Mujadalah ayat 4; dan surat at Talaq ayat 1.Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeven, tt),hlm. 126
42 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri, al-Jina’y al-Islami, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1992),hlm.78.
43 Ibid, hlm. 79.
40
yang di maksud dengan hak manusia sebagaimana yang dikemukakan
oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut:
.فھو ما تعلق بھ نفع خا ص لواحد معین من النا س: حق العبد
"hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepadaseseorang."
Jarimah qishas dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu
pembunuhan dan penganiayaan, namun apabila diperluas maka ada Lima
macam, yaitu: pembunuhan sengaja )القتل العمد( , pembunuhan
menyerupai sengaja ) القتل شبھ العمد( , pembunuhan karena kesalahan القتل
) الخطاء ), penganiayaan sengaja (الجرح العمد), penganiayaan tidak
sengaja. (الجرح الخطاء).44
Pernyataan Abdul Qadir Audah:45
وكل من قصاص والدیة عقو , جرائم التي یعاقب علیھا بقصاص اودیة.بة مقدرة حقا لل افراد
Artinya: “Jarimah yang diancam kepadanya hukuman qishas atau diyatadalah hukuman yang telah ditentukan batasannya dan menjadihak perseorangan.”
Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 178
adalah sebagai berikut:46
44 Ahmad Wardi Muslich, Op, Cit, hlm.18-1945 Abdul Qadir Audah, Lok ,Cit.46 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 43.
41
بد الع و ر بالح ر في القتلى الح اص م القص لیك ع تب نوا ك آم ین یا أیھا الذوف ر ع ء فاتباع بالم یھ شي أخ ن في لھ م ع ن نثى فم نثى باأل األ بد و بالع
ذ ان س اء إلیھ بإح أد فلھ و لك د ذ تدى بع اع ن ة فم م ح ر و م بك ر ن م فیف تخ لك ألیم اب ذ )178: البقره(ع
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishasberkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdekadengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanitadengan wanita. Dan saudaranya hendaklah (yang memaafkan)mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yangdimaafkan) maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikianitu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu dan suatu rahmat.Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksayang sangat pedih.”
c. Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman
ta’zir, pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi
pelajaran, ta’zir juga diartikan ar-Rad wa al-Man’u, artinya menolak dan
mencegah akan tetapi menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan
oleh Imam Al Mawardi, pengertianya adalah sebagai berikut.47
.تعزیر تاء دیب على دنوب لم تشرع فیھا الحدودلوا
Artinya: “Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana)yang belum ditentukan hukumanya oleh syara”.
3. Tindak Pidana Zina
Di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Israa’ Ayat 32 sebagai berikut:48
47 Ahmad Wardi Muslich, Lok Cit.48 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 429.
42
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
Dari ayat diatas penulis ingin memaparkan permasalahan yang
berkaitan dengan zina agar lebih jelas dan tidak terjadi kebingungan dalam
memahami teks ayat tersebut. Dibawah ini adalah keterangan menegenai
pengertian zina.
Pengertian zina secara umum adalah persetubuhan pria dan wanita
tanpa ikatan perkawinan yang syah.49 Dalam pandangan Islam bila
perbuatan zina dibiarkan begitu saja tanpa tali pengekang maka anak yang
lahir dari hasil zina tidak akan dapat diketahui asal usul keturunanya.50
Untuk menghindari adanya perbuatan zina maka Islam menghapus
pergaulan bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebelum
menjatuhkan hukuman terhadap pezina, Islam menutup rapat-rapat pintu
dan kesempatan dari terlaksananya perzinaan51 dan bahkan mendekatinya
saja.52
Diterangkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 15 adalah sebagai
berikut:53
49 Abul A’la al Maududi, Kejamkah Hukum Islam, (Gema Insani Press, 2010), hlm. 38.50 Ibid, hlm. 43.51 Ibid, hlm. 45.52 Z Kasijan, Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina Dalam al Qur’an, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1982), hlm.13.53 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 118.
43
◌Artinya: “Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yangmenyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberipersaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalamrumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allahmemberi jalan lain kepadanya”.
Perbuatan keji menurut jumhur Mufassirin yang dimaksud perbuatan
keji ialah perbuatan zina, sedang menurut Pendapat yang lain ialah segala
perbuatan mesum seperti: zina, homo sex dan yang sejenisnya. Menurut
pendapat Muslim dan Mujahid yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah
musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur
Mufassirin jalan yang lain itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat an-Nuur.
Pengertian zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji,
zina dalam pengertian secara istilah adalah hubungan kelamin antara
seorang lelaki dan perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam
hubungan perkawinan.
Para Fuqoha’ (ahli hukum Islam) mengartikan zina, yaitu melakukan
hubungan seksual dalam arti memasukan zakar (kelamin pria) ke dalam
vagina yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar
44
syahwat.54 Pendapat para Fuqoha’ (ahli hukum Islam) itu dapat
dikualifikasikan sebagai berikut:55
1) Menurut Hanafiah
دار ل المراءة الحیة في حا لة اال ختیا ر في اسم للوطء الحرام في قبالعدل ممن التزم احكام االسالم العاري عن حقیقة الملك وعن شبھتھ
.االشتباه في موضع االشتباه في الملك والنكاح جمیعا
“Mewathi’ perempuan yang masih hidup melalui qubulnya tanpa terikatakad nikah atau bukan muliknya dan tidak ada syubhat baik dalammilik atau pernikahan, dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa diwilayah yang ditegakkan hukum Islam.”
2) Menurut Malikiah
.وطء مكلف مسلم فرج ادمي الملك لھ فیھ باتفاق تعمدا
“Seorang muslim mukallaf (kena taklif) me-wathi’ farji manusia yangbukan miliknya dengan sengaja, ketiadaan milik tersebut harusdisepakati oleh para imam.”
3) Menurut Syafi’iah
ایالج حشفة او قدرھا من الدكر المتصل االصل من االدمي بفرج .محرم لعینھ خال من الشبھة مشتھى
“Masuknya hasyafah (kepala penis) atau seukurnya yang tidak terputus(bukan penis sintetis) terhadap farji yang diharamkan, tiada syubhat,dan secara naluri memuaskan hawa nafsu (disenangi).”
4) Menurut Hanabilah
.الشبھة لھ وطءھاوطء امراة في قبلھا اودبرھا وطاء حرام
54 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 37.55 Jaih Mubarok, dan Enceng Arif Faisal, Kaidah Fiqh Jinayah, Asas-Asas hukum Pidana
Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004), hlm.117.
45
“Mewathi’ perempuan melalui qubulnya atau duburnya dengan wathi’haram dan tiada syubhat dalam me-wathi’nya.”
Dalam ilmu tafsir menyebutkan bahwa zina adalah perbuatan
hubungan sex antara laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama
lain tidak saling terikat oleh perkawinan.56
Islam sangat tegas mengatur hubungan sex antara laki-laki dan
perempuan seperti yang sudah di jelaskan dalam al-Qur’an Surat an-Nur
Ayat 3 adalah sebagai berikut:57
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuanyang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuanyang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzinaatau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atasoran-orang yang mukmin”.
Maksud ayat ini ialah bahwa Islam memerintahkan adanya kebersihan
tentang hubungan sex, bagi laki-laki dan perempuan, pada setiap waktu
sebelum perkawinan, selama dalam perkawinan maupun sesudah putusnya
hubungan perkawinan, mereka yang melakukan perbuatan terlarang itu
dikeluarkan dari lingkungan perkawinan laki-laki dan perempuan terhormat,
56 Abdul Yusuf Ali, Alqur'an Terjemah dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),hlm. 884.
57 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 543.
46
lebih jelasnya tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina,
demikian pula sebaliknya.58
Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’i dan Imam Hakim
semuanya telah mengetengahkan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh
Amr Ibnu Syu’aib yang ia terima dari ayahnya, yang telah menceritakan
bahwa seorang laki-laki yang dikenal dengan panggilan nama Marsyad; ia
adalah seorang kuli yang datang dari Al Anbar yang datang ke Mekkah.
Ketika itu ia datang ke Mekkah ia berkenalan dengan seorang wanita yang
di kenal dengan panggilan Inaq, maka Marsyad meminta izin kepada Nabi
SAW. untuk menikahinya akan tetapi Nabi SAW. tidak memberikan
jawaban sepatah katapun kepadanya sehingga turun surat an-Nur Ayat 3.59
Demikianlah pengertian zina menurut para ahli Fiqh yang diambil dari
al-Qur’an maupun Hadits, bahwa zina merupakan perbuatan yang dilarang
oleh agama dan merupakan perbuatan yang sangat keji dan buruk, bahkan
kita di anjurkan untuk tidak mendekatinya dan apabila kita mau
berhubungan sex kita diwajibkan untuk membuat ikatan perjanjian yaitu
hubungan pernikahan yang sah.
Mengenai hukuman bagi pelaku zina seperti yang diterangkan dalam
al-Qur’an surat an-Nur ayat 2 adalah sebagai berikut:60
58 Abdul Yusuf Ali, Op, Cit,, hlm. 884.59 Ibid, hlm. 885.60 Dep. Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahanya, ( Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci
Al Qur’an, 1985), hlm. 543.
47
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Makaderalah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, danjanganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman merekadisaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Pada permulaan Islam hukuman perzinaan bagi seorang wanita ialah
hukuman tahanan rumah sampai mati, hal ini bila perzinaanya itu ditetapkan
dengan keterangan empat orang saksi yang adil dari kaum laki-laki. Adapun
kaum laki-laki diberi hukuman caci maki, dipermalukan di muka khalayak
ramai, dan dipukul dengan sepatu, seperti yang sudah diterangkan dalam
surat an -Nisa’ ayat 15 bahwa Ibnu Katsir berkata bahwa menurut
keterangan Ibnu Abbas, hukuman itu telah berlaku sedemikian rupa, hingga
Allah menurunkan surat an -Nur ayat 2 yang menyatakan hukuman jilid atau
cambuk sebanyak 100 kali atau Hadits mengenai rajam (dilempar dengan
batu), sehingga surat an-Nisa’ayat 15 dinasakh (diubah hukumnya) dengan
surat an-Nur ayat 2.61
Syarat-syarat hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang
berzina adalah berakal waras, sudah cukup umur atau baligh, zina dilakukan
61 Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin S, Op, C it, hlm. 547-548.
48
bukan dalam keadaan terpaksa.62 Dilihat dari segi hukumanya, zina di bagi
menjadi dua yaitu: hukuman bagi zina gairu mukshon dan hukuman bagi
zina mukshon.
Zina ghairu mukshon adalah zina yang dilakukan antara laki-laki dan
perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk zina ghoiru mukhson
ada dua macam, yaitu:63
1) Didera seratus kali
2) Pengasingan selama satu tahun
Sedangkan syarat-syarat berlakunya had zina sebagaimana tersebut
pelaku zina, yaitu baligh dan melakukanya bukan karena terpaksa, dan atas
bukti kuat, seperti pengakuan sendiri atau saksi, yaitu empat orang laki-laki
yang adil. Bagi seorang hamba hukumanya hanya separuh dari hukuman
orang yang merdeka dan terhadap anak-anak hanya dikenakan hukuman
ta’zir.64
Adapun mengenai ditambahkanya hukuman seperti kurungan atau
diasingkan hanya bersifat ta’zir bukan keaslian sangsi hukuman. Artinya,
sekiranya hakim benar-benar mengetahui bahwa pezina laki-laki dan
perempuan mempunyai kepribadian buruk dan hubungan di antara keduanya
62 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Darul Fath, 2004), hlm. 319.63 Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2005), hlm. 29.64 H. Zainudin Ali, Op, Cit, hlm. 49.
49
sangat intim maka hakim berhak menvonis mereka dengan di asingkan
keduanya ke luar daerah.65
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh HR. Muslim adalah
sebagai berikut:66
ى قد جعل هللا خذوا عن: م. قال رسول هللا ص: عن عبا دة بن الصامت قالالبكر بالبكر جلد مائة ونفى سنة والثیب بالثیب جلدمائة والرجم . لھن سبیال
)رواه مسلم(
Artinya: “dari Ubadah bin Ash-Shamid ia berkata: Rasulullah SAW.bersabda:“Ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesunggunyaAllah memberikan jalan keluar ( hukuman bagi mereka ( pezina ),jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasinganselama satu tahun, sedangkan duda dan janda hukumanya deraseratus kali dan rajam.”
Sanad Hadits diatas tersebut shahih, namun dibanyak riwayat yang
shahih juga dijelaskan bahwa hal demikian belum pernah dilakukan oleh
Rosulullah SAW. dan pada masa kehidupan para Khulafa’ Ar-Rasyidin
serta para Fuqoha’, tidak satu yang berfatwa dengan riwayat ini.67
65 Abul A’la al Maududi, Op, Cit, hlm. 74.66 Ahmad Wardi Muslih, Op, Cit, hlm. 28.67 Akan tetapi ada Jamaah meriwayatkan hadist yang berasal dari Abi Hurairah dan Zaid
bin Khalid Al Juhai Ra bahwa seorang laki-laki telah menghadap rasulullah Saw. dan berkatakepada beliau. “Wahai Rosulullah, anakku ini telah bekerja di tempat orang ini (sambil menunjukkepada salah seorang yang sama-sama menghadap beliau). Kemudian anakku berzina denganistrinya, aku sendiri telah memberikan budak wanita dan seratus ekor domba kepada dia sebagaitebusan. Tetapi aku menanyakan persoalan ini kepada orang yang mengerti. Lantas mereka berkatabahwa anakku akan dikenai sangsi hukuman dera seratus kali dan diasingkan selama setahunsedangkan si wanitanya akan dirajam. Oleh karena itu, wahai Rosulullah hukumilah dengankitabullah.”Kemudian Rosulullah menanggapinya. “Demi Zat yang jiwaku ada dalamgengamaNya, akan kuhukumi masalah kalian berdua dengan kitabullah.” Mengenai budak wanitadan seratus ekor domba akan dikembalikan padamu, sedangkan anakmu maka baginya hukumandera seratus kali, dan diasingkan selama setahun”. Kemudian Rosulullah berbalik dan berkatakepada salah seorang sahabatnya dari bani Aslam. Katanya, “Pergilah menemui isteri orang iniapabila dia mengakui perbuatanya maka rajamlah”. Si wanita mengakui perbuatanya itu makadirajamlah ia. Abul A’la al Maududi, Op, Cit, hlm. 75-76.
50
Zina mukhson adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami atau beristri). Hukuman
untuk pelaku zina mukhson ini ada dua macam, yaitu: 68
1) Rajam
Hukum rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan
batu dan sejenisnya. Para Ulama’ sepakat, bahwa hukuman yang
dikenakan atas diri pelaku zina mukhson (janda, duda, laki-laki yang
masih beristri atau perempuan yang masih bersuami) adalah wajib di
rajam sampai mati. Pendapat ini didasarkan atas Hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
آتى رجل من المسلمین رسول هللا صلى هللا : وعن ابى ھریرة أنھ قال. یارسول هللا انى زنیت: فقال. فناداه. علیھ وسلم وھو فى المسجد
یا رسول هللا انى زنیت : فقال لھ. فاعرض عنھ فتنحى تلقاء وجھھفلما شھد على نفسھ أربع , حتى ئنى ذلك علیھ أربع مرات. فاعرض عنھ
: أبك جنون قل: رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم فقالشھادات دعاء فقال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم . نعم: فھل احصنت قال: القال
)رواه مسلم(.اذھبوابھ فارجموه
Artinya: “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW.ketika beliau sedang berada di dalam masjid. Laki-laki itumemanggil-manggil Nabi seraya mengatakan: Hai Rasulullah,aku telah berbuat zina, tapi aku menyesal. Ucapan itudiulanginya sampai empat kali diulanginya itu, lalu beliaupunmemanggilnya, seraya bertanya “apakah engkau ini gila?”“tidak”, jawab laki-laki itu. Nabi bertanya lagi “apakah engkauini orang yang mukhson?”,“ya”, jawabnya. Kemudian Nabibersabda lagi “bawalah laki-laki ini dan langsung rajamolehmu sekalian.” (HR. Muslim).
68 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut Libanon: Darul Kutub Al-Alamiah, Juz II), hlm.160.
51
2) Dera seratus kali
Dera adalah hukuman kedua bagi pelaku zina mukhson. Para
Fuqoha’ berbeda pendapat apakah hukuman bagi mukhson adalah rajam
saja atau rajam dan dera. Mereka yang mewajibkan dera dan rajam
beralasan bahwa al-Qur’an telah menjadikan dera sebagai hukuman
utama zina.69
4. Zina Karena Dipaksa
Dalam hukum Islam tidak mengenal pemerkosaan akan tetapi zina
karena adanya paksaan entah pemaksaan itu dilakukan oleh laki-laki
maupun perempuan, zina semacam ini juga bisa disebut dengan tindak
pidana pemerkosaan dalam hukum positif Indonesia.
Pengertian ikrah (paksaan) menurut bahasa adalah membebankan
suatu pekerjaan kepada seseorang yang orang itu sendiri tidak ingin
melakukan pekerjaan itu. Dalam kamus istilah fiqh juga disebutkan, paksaan
berarti sesuatu perbuatan/sikap yang membuat seseorang tidak berdaya
menghadapi atau menghindari dari padanya.70
Muhammad Khudhari memberikan definisi paksaan sebagai berikut: 71
.اال كراه حمل اال نسان غیره على ما ال یرضاه قوال اوفعال
Artinya: “Paksaan adalah mendorong orang lain atas sesuatu yang tidakdiridainya baik berupa ucapan atau perbuatan”.
69 Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiybil Qonunil Wad’iy, (PT. Kharisma Ilmu, Juz. IV.), hlm. 182.
70 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm.137.71 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 177.
52
Sedangkan paksaan terbagi menjadi dua, yaitu paksaan absolute (ikrah
tam atau mulji’) dan paksaan relative (ikrah ghayr tam atau ghayr mulji’).72
Beberapa syarat pemaksaan (ikrah) antara lain: pelaku pemaksaan memiliki
kekuasaan untuk merealisasikan ancamanya. Sebaliknya pelaku obyek
pemaksaan (korban) tidak memiliki kemampuan untuk untuk menolaknya
disertai dengan dugaan kuat bahwa penolakan atasnya akan mengakibatkan
ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan, padahal ancaman tersebut
berupa hal-hal yang membahayakan, seperti membunuh, menghajar,
memukul, mengikat, dan memenjarakanya dalam tempo cukup lama atau
menhancurkan harta bendanya.73
Perempuan yang terpaksa berzina, yaitu perempuan yang diperkosa
dan sebagainya tidaklah menanggung dosanya karena dosanya hanya atas
yang memaksa saja.74 Para ulama’ telah sepakat bahwa tidak ada hukuman
had bagi wanita yang telah dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang
dilarang (zina).75 Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan dalam
72 Paksaan absolute adalah paksaan yang menghilangkan kerelaan dan pilihan karena adaancaman yang membahayakan jiwa seperti pemukulan dan pembunuhan. Sedangkan paksaanrelatif adalah paksaan yang menghilangkan kerelaan tetapi tidak sampai menghilangkan pilihankarena ancamannya tidak sampai menghilangkan jiwa seperti diikat atau dipenjarakan.JaihMubarok, Enceng Arif Faisal, Op, Cit, hlm. 87.
73 KH. Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama danGender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 161.
74 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Op, Cit, hlm. 555.75 Abdul Qodir Audah, Op, Cit, hlm. 165.
53
keadaan darurat. Alasanya adalah firman Allah SWT. dalam surat al-
Baqarah ayat 173 dan surat al-An’am ayat 119:76
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut(nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak(pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Dan dalam surat al-An’am ayat 119 adalah sebagai berikut:77
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yanghalal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, PadahalSesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yangdiharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamumemakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia)benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsumereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lahyang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”
76Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 42.
77Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 207.
54
Ayat-ayat sebagaimana dimaksud diatas menunjukan dasar hukum
mengenai suatu keterpaksaan melakukan atau memilih berbuat sesuatu yang
sebenarnya hukum dasarnya adalah diharamkan oleh Allah SWT. Namun
Allah memaafkan perbuatan itu, karena adanya kondisi sulit, terpaksa atau
tidak adanya pilihan lain yang lebih baik dan menyelamatkan dirnya.
Bahkan pembelaan diri terhadap ancaman perkosaan dengan
kemungkinan membunuh sekalipun, dalam prespektif Islam dapat
dibenarkan. Diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 194 sebagai
berikut:78
Artinya: “Barang siapa yang menyerang kam, maka seranglah seimbangdengan seranganya. Bertaqwalah, sesungguhnya Allah bersamaorang-orang yang bertaqwa.”
Atas dasar ayat tersebut diatas seluruh ahli fiqh sepakat, bahwa
perempuan yang diserang kehormatanya (diperkosa), wajib melakukan
pembelaan diri, sebisa mungkin, meskipun terpaksa harus membunuhnya
dan terhadap perempuan itu tidak dikenakan hukuman apa-apa. 79
Imam Bukhori juga telah meriwayatkan secara ta’liq, sedang yang lain
meriwayatkan dengan sanad tersambung (maushul), dari Syafiyyah binti
78 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. (Jakarta: Yayasan PeyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 47.
79 Husain Muhammad, Op,Cit, hlm, 163.
55
Abi Ubaid, bahwa salah seorang budak yang bekerja pada kantor gubernur
telah memperkosa seorang wanita peranakan dari Khoma untuk
melampiaskan syahwatnya kemudian Umar memvonis pemerkosa dengan
hukuman cambuk dan mengasingkanya dari kota. Tetapi beliau tidak
mencambuk budak wanita yang diperkosa, karena dipaksa.80
Karena dengan adanya fakta-fakta dari al-Qur’an diatas maka tidak ada
perselisihan pendapat dalam undang-undang hukum Islam mengenai sanksi
terhadap wanita-wanita yang di perkosa. Namun kemudian timbul khilafiah
terhadap laki-laki yang dipaksa berzina. Menurut pendapat yang marjuh
(lemah) didalam mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali dan Syi’ah
Zaidiyah, ia harus dikenai hukuman had. Alasan mereka adalah kalau yang
dipaksa itu wanita kemugkinanya besar sekali, karena wanita itu tugasnya
menyerahkan diri. Baru apabila alat kelaminya tidak menegang tetapi tetap
dipaksa maka seorang laki-laki yang dipaksa tetap tidak dikenakan hukuman
had.81
5. Ganti Kerugian (Diyat)
Diyat adalah hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan dan
penganiyaan menyerupai sengaja dan tidak sengaja (khata’). Meskipun
bersifat hukuman, namun harta yang diberikan kepada korban atau
keluarganya, bukan kepada perbendaharaan Negara. Dari segi ini diyat lebih
80 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm.138.81 Ahamd Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 21-22.
56
mirip dengan ganti kerugian, apalagi besarnya dapat berbeda-beda menurut
perbedaan sengaja atau tidaknya jarimah yang dilakukan oleh pelaku.82
Diyat wajib dibayarkan disebabkan sebuah tindak kejahatan dan
diberikan kepada si korban dan walinya,83diyat bisa juga disebut dengan
hukuman pengganti pertama dari hukuman kisas.84Diyat, baik sebagai
hukuman pokok maupun pengganti, jika dimutlakan berarti diyat yang
sempurna, yaitu seratus ekor unta. Adapun diyat yang kurang dari diyat
sempurna biasa disebut arsy (denda). 85
1. Tindak pidana yang wajib diyat sempurna ada lima jenis, yaitu: 86
a. Jenis yang pertama: anggota badan yang memiliki persamaan dalam
tubuh. Yang termasuk jenis ini adalah hidung, lidah, kemaluan, tulang
rusuk, saluran air seni, saluran buang air besar, kulit, rambut kepala,
dan jenggot.
b. Jenis yang kedua: anggota badan yang didalam tubuh ada dua, yaitu
dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, dua bibir, dua alis mata,
dua payu dara perempuan, dua buah pelir laki-laki, dua bibir (labia)
vagina, dua pantat dan dua tulang dagu.
82 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 155.83 Ahmad Al-Mursi Husai Jauhari, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 82.84 Sebagaimana hukumana tindak pidana penganiyaan, diat adalah hukuman pengganti
ketika ia menduduki posisi kisas. Ia merupakan tindak pidana penganiyaan disengaja. Diatmenjadi hukuman pokok jika tindak pidananya menyerupai disengaja, bukan disengaja murni.Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 66.
85 Ibid, hlm. 66.86 Ibid, hlm. 67.
57
c. Jenis ketiga: anggota badan yang dalam tubuh ada empat, yaitu kedua
kelopak mata yaitu tempat tumbuhnya bulu mata.
d. Jenis keempat: anggota badan yang didalam tubuh ada sepuluh, yaitu
jari-jari kedua tangan dan jari-jari kedua kaki.
e. Jika manfaat beberapa anggota badan hilang, juga wajib diyat
sempurna, menghilangkan manfaat akal, penglihatan, penciuman,
pendengaran, perasa, senggama, reproduksi, berjalan, kekuatan untuk
senggama.
2. Diyat (arsy) yang belum ditentukan atau kebijakan
Denda tidak ditentukan wajib dalam tindak pidana atas selain jiwa
dari tindak pidana yang tidak memiliki qishas dan tidak memiliki denda
yang ditentukan. Dalam istilah para fuqoha, denda yang tidak ditentukan
ini disebut hukumah atau hukumah al‘adl.
Arti hukumah menurut imam yang empat adalah menentukan nilai
korban sebagai hamba sebelum dilukai kemudian nilai tersebut diukur
sesudah luka dan setelah sembuh darinya. Setelah itu diketahui
prasentase kekuranganya lalu diyat diambil sesuai kekurangan
prosentase kekurangan tersebut. Diyat sejumlah itulah yang menjadi hak
korban. Akan tetapi, hukumah disyaratkan tidak mencapai denda luka
seperti yang sudah ditentukan. Contoh, jika luka belum mencapai
58
mudihah, misalnya, samhaq,87 hukumanya tidak boleh sama dengan luka
mudihah.88
Semua jenis pemukulan dan pencederaan (melukai) pasti ada ganti
ruginya berupa diyat sempurna atau denda (arsy), karena Allah telah
menjadikan sanksi sesuai dengan akibat tersebut, tanpa memperhatikan
apakah si pelaku kejahatan menyengajanya atau tidak. Apabila
pencederaan atau pemukulan menyebabkan kematian maka hal tersebut
sudah menjadi tindak pemukulan yang menyebabkan kematian, apabila
tindakan pemukulan menyebabkan gangguan berkepanjangan, maka hal
tersebut menjadi tindak pidana. Jika tindak pemukulan tersebut
menyebabkan penyakit atau ketidakmampuan untuk melakukan
pekerjaan layaknya manusia normal, maka hal ini menjadi pelanggaran
hukum sesuai dengan tingkat penyakit atau ketidakmampuan tersebut.
Yang dimaksud dengan pencederaan adalah segala perbuatan
memotong atau membelah anggota tubuh yang terjadi akibat
penggunaan alat atau benda tajam, termasuk menumbuk sampai hancur,
membuat luka lecet, menggigit, memecahkan, membakar, dan luka
dalam.
87 Mudihah (menampakan); pencederaan yang menampakan tulang hingga benar-benarterlihat keluar. Sedangkan simhaq (selaput tulang); pencederaan yang memotong daging danmemampakkan kulit, serta kulit halus antara daging dan tulang. Daging ini dinamakan simhaq.Dalam pencederaan ini terdapat kewajiban membayar empat ekor unta. Ahmad Al-Mursi HusaiJauhari, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.65.
88 Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Op, Cit, hlm. 86.
59
Tindak pemukulan adalah semua bekas yang ada di tubuh manusia
yang terjadi akibat penggunaan alat yang tidak dapat digunakan untuk
memotong. Pemukulan tidak dapat terjadi meski tidak meninggalkan
bekas yang terlihat, baik berupa darah atau mengalirnya darah termasuk
juga segala bentuk penabrakan menarik, menekan anggota tubuh, dan
mencekik.89
Sementara ganti rugi menurut yang diberikan kepada korban
perkosaan menurut pendapat para fuqoha’, yaitu: bisa ditemukan dalam
kitab fiqh Ala Madzahibul Arba’ah karangan Abdurrahman Al Jaziri,
Menurut Ulama’ mazhab Syafi’iah apabila ada seorang laki-laki memaksa
perempuan untuk melakukan zina maka wajib bagi perempuan itu
menerima mahar yang sesuai baik itu perempuan merdeka atau budak. 90
Imam Malik mengatakan wajib bagi lelaki untuk memberikan mas
kawin kepada perempuan yang diperkosanya. Diriwayatkan dari Malik
dari kitab al-Muwatha’ dari Syihab bahwa Abdul Malik bin Marwan telah
memberi keputusan atas kasus perempuan yang diperkosa (berbuat zina)
dengan mewajibkan lelaki yang memperkosanya untuk memberikan mas
kawin kepada perempuan itu.91
89 Ahmad Al-Mursi Husai Jauhari, Op, Cit, hlm. 62.90 Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitabul Ala Madzahibul Arba’ah, (Beirut: tt, Juz.II), hlm.73.91 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 340.
60
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG
NO.425/PID.B/2010/PN.SMG
A. Profil Pengadilan Negeri Semarang
Sejarah berdirinya Pengadilan Negeri Semarang menurut dokumen yang
tersimpan didalam Arsip Pengadilan Negeri Semarang adalah sebagai berikut:
Sebelum perang dunia II, di Semarang terdapat Raad va justitie yang
artinya sama dengan Pengadilan Tinggi sekarang, di mana gedungnya pada
saat itu ada di Tugu Muda sekarang, yang ditempati oleh kodam, disamping itu
terdapat pula Langerecht dan Landgeraad.
Landgerecht mengadili perkara-perkara novies, yaitu pelanggaran lalu
lintas, pelanggaran Peraturan Daerah (Perda). Sedangkan landgeraad
mengadili perkara-perkara berat, setelah perang selesai Landgerecht dan
Landgeraad kemudian menjadi menjadi Pengadilan Negeri yang berkedudukan
di jalan Raden Patah Semarang.1
Sebagai pimpinan Pengadilan Negeri Semarang adalah ketua, dimana
pimpinan tersebut dapat diketahui setelah tahun 1950 adalah sebagai berikut:
a. Soerjadi, SH.
b. Soebiono Tjitrowinoto, SH.
1 Dokumentasi Situasi Daerah Hukum Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri JawaTengah, Situasi Daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang, (Jakarta: Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia R.I Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata UsahaNegara, 2001), hlm. 48-49.
61
c. Worjanto, SH.
d. Poewoto Gandaesoebrata, SH.
e. Soekanto Poerwasaputro, SH.
f. Soekotjo, SH.
g. Soemadi Aloei, SH.
h. Hasan Ghasim Shahab, SH.
i. R. Padmo Soerasmo, SH.
j. Soegijo Soemarjo, SH.
k. Ohim Padmadisastra, SH.
l. R. Saragih, SH.
m. S.M. Binti, SH.
n. Monang Siringo Ringo, SH.
o. Soeharso, SH.
p. R. Soenarto, SH.
q. Suparno, SH.
r. Subardi, SH.
s. Mohamad saleh, SH.
t. HR. Soekandar, SH.
u. Abid Saleh Mendrofo, SH.
Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari
keadilan, dirasakan bahwa gedung Pengadilan Negeri Semarang yang terletak
di Jalan Raden Patah Semarang sudah tidak memenuhi syarat lagi, maka sejak
62
bulan Desember 1977 Pengadilan Negeri Semarang telah menempati gedung
yang baru yang terletak di jalan Siliwangi No.512 (Krapyak) Semarang yang
berdiri diatas tanah seluas 4.000 m2, dan dengan luas wilayah Hukum kurang
lebih 371,52 km2 yang terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan, yaitu
kecamatan : Gajah Mungkur, Mijen, Candisari, Tugu, Gunungpati, Ngalian,
Banyumanik, Tembalang, Gayamsari, Semarang Utara, Semarang Barat,
Pedurungan, Genuk, Semarang Selatan, Semarang Tengah, dan Kecamatan
Semarang Timur.
Sedangkan gedung yang lama untuk sementara dipergunakan untuk
menyimpan arsip, sambil menunggu selesainya ruang arsip di gedung yang
baru. Dan pada tahun 1992 ruang arsip di gedung baru telah selesai kemudian
secara bertahap berkas perkara yang sudah arsip dipindahkan ke ruang arsip
yang baru dan telah diadakan pembenahan dan penataan agar arsip lebih rapi
dan tertib sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan oleh Mahkamah
Agung RI, sehingga akan memudahkan pencariannya mengingat arsip adalah
dokumen Negara yang sangat penting.2
B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Negeri Semarang
Untuk diketahui bersama bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
di Indonesia dilaksanakan oleh Peradilan dalam lingkungan Peradilan umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
2 Ibid, hlm. 35-41
63
Pengadilan pada keempat peradilan tersebut memiliki cakupan dan batasan
kekuasaan masing-masing dalam menangani suatu permasalahan hukum.
Kewenangan pada masing-masing lingkungan terdiri atas kekuasaan
relatif (relative competentie) dan kekuasaan mutlak (absolute competentie).3
kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik
pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, artinya cakupan dan
batasan kekuasaan relatif pengadilan adalah meliputi daerah hukumnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kekuasaan absolute
berhubungan dengan daerah hukum suatu peradilan, artinya cakupan dan
batasan kekuasaan absolute masing-masing peradilan sudah ditentukan oleh
bidang yuridiksi yang dilimpahkan undang-undang.4
Kekuasaan relative yang di dimiliki oleh Pengadilan Negeri Semarang
meliputi daerah dengan wilayah hukum kota semarang. Sedangkan kekuasaan
absolute yang dimiliki Pengadilan Negeri Semarang adalah pengadilan yang
menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara perdata dan
perkara pidana bagi warga negara yang mencari keadilan dan haknya dirampas
kecuali undang-undang menentukan lain (UU No. 4 tahun 2004), kemudian
wewenang dari Pengadilan Negeri sendiri adalah meliputi perkara pidana
maupun perdata. Hal ini menambah tugas yang baru diemban oleh pengadilan
Negeri sebagai institusi pemerintahan.
3 Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.102.4 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2001), hlm. 101-102.
64
Pengadilan Negeri diperuntukan bagi semua pemeluk agama yang ada di
Indonesia. Karena masalahnya begitu kompleks, maka dalam peraturannya
terdapat bermacam-macam kitab undang-undang seperti kitab undang-undang
hukum acara pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara perdata, dan
lain-lain.
Yang menjadi landasan hukum keberadaan Pengadilan Negeri ini
tercantum dalam Undang–Undang No. 8 tahun 2004, yaitu:
a. Pasal 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Pengadilan umum adalah
dalam data pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
pada umumnya”.
b. Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Kekuasaan di
lingkungan atau pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan dengan pengadilan tinggi”.
c. Kekuasaan kehakiman di lingkungan pengadilan umum berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Kaitannya dengan tugas dan wewenang pengadilan negeri maka tidak
terlepas dari proses beracara dalam suatu persidangan, dimana dalam hukum
acara pidana dijelaskan mengenai aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa
yang harus dilakukan oleh penegak hukum dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya (tersangka, terdakwa, penasehat hukum, dan saksi).
65
C. Proses Penyelesaian Perkara Nomor: 425/PID.B/2010/PN. Semarang
Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara
pidana dengan acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan dalam
perkara terdakwa
Nama lengkap : Aryono bin Parto Dikromo
Tempat lahir : Boyolali
Umur/tgl lahir : 56 tahun/ 27 Juli 1953
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jl. Batursari III Rt.01 Rw.09 Sawah Besar Gayam Sari
Kota Semarang
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan/Swasta
Pendidikan : SD
Terdakwa berada dalam tahanan:
1) Penyidik sejak 08 Pebruari 2010 sampai dengan tanggal 27 Pebruari 2010
2) Perpanjangan penuntut umum sejak tanggal 23 Pebruari 2010 sampai
dengan tanggal 08 April 2010
3) Penuntut umum sejak tanggal 06 Mei sampai dengan tanggal 25 Mei 2010.
4) Majelis Hakim sejak tanggal 15 Nopember 2006 sampai dengan tanggal 19
Mei 2010 s/d 25 Mei 2010
66
5) Perpanjangan wakil ketua Pengadilan Negeri Semarang sejak tanggal 30
Nopember 2006 sampai dengan tanggal 30 Desember 2006
6) Pengadilan Negeri tersebut
- Telah membaca penetapan Majelis Hakim No. 425/Pid.B/2010/PN
Semarang. tanggal 19 Mei 2010
- Telah membaca berkas perkara yang diajukan dipersidangan
- Telah mendengar keterangan saksi-saksi dipersidangan
- Telah mendengar keterangan terdakwa di persidangan
- Telah memperhatikan barang bukti yang diajukan di persidangan
- Telah mendengar tututan pidana dari jaksa Penuntut Umum.
1. Dakwaan Pertama Primair
Perbuatan itu dalakukan sejak bulan September 2009 sampai bulan
Pebruari 2010 bertempat dirumahnya terdakwa di Jl. Batusari III Rt. 01 Rw.
09 Sawah Besar Gayamsari, Kota Semarang. Perbuatan itu dilakukan
sebanyak 3 (tiga) kali oleh Aryono Bin Parto Dikromo.
Perbuatan yang pertama, dilakukan ketika rumah Aryono dalam
keadaan sepi karena sedang ditinggal mudik oleh anak dan istrinya di
Sumedang. Aryono dikenal baik oleh Nova Susan Nurwanti karena
hubungan ketetanggaan, pada saat itu Aryono memanggil Nova untuk
datang kerumahnya kemudian Nova pun datang kerumah Aryono, kemudian
Aryono menyuruh Nova untuk membelikan cabai di warung sambil Aryono
mengatakan kepada Susan nanti diberi uang jajan sebesar Rp 5000 sampai
67
Rp 9000. Setelah Nova membelikan cabai diwarung terus Aryono menyuruh
Nova mencuci piring, setelah itu Aryono menyuruh Nova untuk masuk ke
kamar tidur milik menantu Aryono, akan tetapi Nova tidak mau/
menolaknya. Selanjutnya terdakwa menarik tangan Nova dengan paksa dan
setelah sampai dikamar, korban dijatuhkan ke tempat tidur dan celana
panjang korban ditarik kebawah oleh Aryono sehingga celana Nova terbuka,
selanjutnya Nova melawan akan tetapi tidak berdaya hingga Nova pun
akhirnya menangis karena kamar ditutup maka tangisanya tidak ada yang
mendengar.
Selanjutnya Aryono membuka celana dalamnya dan kemudian penis
Aryono yang telah tegang digesek-gesekan di permukaan vagina Nova
selanjutnya dengan paksa Aryono memasukan penisnya dengan paksa ke
dalam vagina Nova dan karena korban merasa sakit akhirnya korban
mencakar muka Aryono dan menggigit tangan Aryono dan Nova berhasil
melarikan diri dan segera memakai celana. Ketika Nova hendak pergi /
melarikan diri Aryono mengancam agar tidak memberitahukan kepada
orang tuanya / orang lain apabila Nova memberitahukanya maka akan
dibunuh.
Perbuatan yang kedua, dilakukan pada bulan Desember modusnya
sama dengan perbuatan yang pertama yakni Nova disuruh untuk mencuci
piring dirumahnya selanjutnya Aryono melancarkan aksinya lagi.
68
Perbuatan yang ketiga, dilakukan pada bulan Pebruari 2010 modusnya
sama dengan perbuatan yang pertama dan yang kedua yakni Nova disuruh
untuk mencuci baju selanjut Aryono melancarkan aksinya lagi, akan tetapi
Nova berhasil melarikan diri. Akibat perbuatan Aryono, Nova merasakan
sakit pada alat kelaminya hal ini sesuai dengan Visum ET Repertum
No.16/VER/PPKPA/II/2010/Dokpol tanggal 07 Pebruari 2010 yang dibuat
dan ditandatangani oleh dokter Nanung Budi P, yang bekerja pada rumah
sakit Bayangkara Semarang.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam sesuai dengan
Pasal 81 Ayat (1) UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
jo Pasal 64 Ayat (10) KUHP.
2. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perkara: PDM-
137/SEMAR/Ep.2/04/2010 tanggal 9 Juni 2010
Selengkapnya sebagaimana yang dibacakan dan diserahkan dalam
persidangan tanggal 9 Juni 2010 yang pada pokoknya menuntut supaya
majelais hakim Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan
mengadili perkara ini memutuskan:
a. Membebaskan terdakwa ARYONO BIN PARTO DIKROMO karena
tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana datur dalam Pasal
81 Ayat (1) UU RI No.23 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Anak jo
Pasal 64 Ayat (1) KUHP seperti dakwaan pertama Primair
69
b. Menyatakan bahwa ARYONO BIN PARTO DIKROMO terbukti
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal (2)
UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64
Ayat (1) KUHP seperti dakwaan subsidair ARYONO BIN PARTO
DIKROMO dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dikurangi
masa tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan
denda Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) Subsider 6 (enam) bulan
kurungan
c. Menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 2500.-
(dua ribu lima ratus rupiah)
3. Barang Bukti
- 1 (satu) sprei warna merah
- 1 (satua) buah celana pendek dan celana dalam Terdakwa
- 1 (satu) buah celana dalam korban warna putih
- Visum ET Repertum No.16/VER/PPKPA/II/2010/Dokpol tanggal 07
Pebruari 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Nanung Budi
P, yang bekerja pada rumah sakit Bayangkara Semarang.
4. Saksi-Saksi
a. Saksi yang memberatkan dari Jaksa penuntut umum
1) Pujiwanti
Bahwa saksi adalah ibu kandung dari saksi korban (saksi Nova Susan
Nurwanti)
70
2) Nova Susan Nurwanti binti Budi Susanto
Bahwa saksi disetubuhi terdakwa pada bulan September 2009 sekitar
jam 11.00 wib, Bulan Desember 2009 jam 11.00 WIB dan bulan
Pebruari jam 11.00 wib dan dilakukan dikamar mbak Ana.
3) Juminten Binti Sali
Bahwa rumah saksi berdekatan dengan Nova yakni bersebelahan, dan
saksi tahu bermula pada pengakuan Nova pada tanggal 6 Pebruari
2010 sekitar jam 17.30 WIB. bahwa ia telah disetubuhi oleh Terdakwa
4) Nining Surati binti Kusuma
Bahwa saksi adalah anggota LSM KJ HAM yang mendampingi Nova
dan berkantor di jl. Panda Barat III No. 1 Semarang. Dan saksi
melakukan interogasi dirumah saksi Nova, dirumah Nova saksi
diterima oleh ibu kandung Nova karena Nova tidak mau dengan saksi.
5) Sumadi binti Ngadima
Bahwa saksi bertentangga dengan terdakwa dan rumah saksi dengan
terdakwa berjarak 50 meter.
b. Saksi yang meirngankan dari penasihat hukum Terdakwa
1) Soenarto
Bahwa saksi menjadi RW 09 kel sawah Besar sejak tanggal 1 Januari
2009, di RW 09 Kel. Sawah Besar.
2) Mat Takul Anam
71
Bahwa saksi menjadi Rt 01 Kel. Sawah Besar sejak tanggal 6 Januari
2010 dan saksi tinggal di Rt 01 Rw 09 Kel. Sawah Besar.
3) Umi Chotimah
Bahwa saksi sebagai isteri Rw 09 bertugas ikut serta dalam kegiatan
PKK dan membina ibu-ibu Rw 09 Kel. Sawah Besar Semarang.
4) Wiyono
5. Pertimbangan Hukumnya
Menimbang, bahwa dipersidangan telah diajukan dan doperlihatkan
barang bukti.
Bahwa dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa serta
dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan dalam
perkara ini, Majelis mendapatkan fakta-fakta.
Bahwa selamjutnya majelis akan mempertimbangkan apakah
perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari dakwaan penuntut
umum yang didakwakan kepadanya
Bahwa tedakwa oleh penuntut umum telah didakwa melakukan
pebuatan yang diatur dan diancam dalam dakwaan:
PERTAMA:
Primair: Pasal 81 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP; Subsidair: Pasal 81 (2) UU RI No.23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
72
Kedua: Pasal 82 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo
Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Ketiga: Pasal 287 Ayat (1) KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Oleh karena surat dakwaan disusun secara alternative maka majelis
akan mempertimbangkan dakwaan yang menurut majelis terbukti, yaitu
dakwaan Pertama.
Bahwa dakwaan pertama yaitu: Primair: Pasal 81 ayat (1) UU RI No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP;
Subsidair: Pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
a. Dakwaan Pertama Primair
Dakwaan pertama disusun secara subsidairitas maka Majelis akan
mempertimbangkan dakwaan pertama Subsidair. Untuk dakwaan pertama
Primair adalah sebagai berikut:
Pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo
Pasal 64 Ayat (1) KUHP, unsur-unsurnya adalah
- Setiap orang
- Dengan sengaja melakukan kekerasa atau ancaman kekerasan
- Memaksa anak melakukan perstubuhan denganya atau dengan orang lain
- Merupakan suatu perbuatan berlanjut
Berdasarkan dakwaan Primair diatas dbawah ini adalah penjelasan
dari unsur-unsur tersebut, yaitu:
73
1) Unsur “Setiap Orang”
Bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah siapa saja orang
perseorangan sebagai subyek hukum yang dapat mempertanggung jawabkan
perbuatanya
Bahwa dalam perkara ini telah diajukan kepersidangan seorang
terdakwa, yang atas pertanyaan Majelis mengaku bernama Aryono bin Parto
Dikromo yang ternyata sesuai dengan identitasnya yang tercantum dalam
surat dakwaan jaksa penuntut umum
Bahwa selama persidangan Majelis tidak menemukan kelainan dalam
diri Terdakwa sebagai manusia biasa, manusia normal yang sadar akan
perbuatanya, yang bersangkutan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan
dengan jelas.
2) Unsur “dengan sengaja melakukan kekerasa atau ancaman kekerasan”
Bahwa dari fakta dipersidangan Terdakwa dalam melakukan
perbuatanya tidak dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
akan tetapi dilakukan dengan memanggil saksi Nova dan menyuruhnya
membeli cabai, mencuci piring, dan mencuci baju, semuanya dijanjikan
akan diberi upah atau diberi uang sehinnga saksi Nova mau disuruh oleh
Terdakwa.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis berpendapat
bahwa unsur “dengan sengaja melakukan atas ancaman kekerasan” tidak
terbukti.
74
Oleh karena salah satu unsur tidak terpenuhi maka dakwaan pertama
primair tidak terbukti dan Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan
pertama primair tersebur.
Karena pertama primair tidak terbukti, maka Majelis akan
mempertimbangkan dakwaan pertama Subsidair
b. Dakwaan Pertama Subsidair
Pasal 81 (2) UU RI No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya adalah
- Setiap orang
- Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak
- Melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain
- Merupakan satu berbuatan berlanjut
Berdasarkan dakwaan Primair diatas dbawah ini adalah penjelasan dari
unsur-unsur tersebut, yaitu:
1) Unsur “setiap orang”
Bahwa dalam unsur “setiap” orang” dalam dakwaan pertama Primair
majelis telah mempertimbangkan unsur tersebut, dan unsur “setiap orang”
dalam dakwaan pertama Primair telah terpenuhi.
2) Unsur “dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak”.
75
Yang dimaksud dengan sengaja berarti menghendaki dan mengetahui
apa yang dilakukan, orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja
menghendaki apa yang dulakukan dan orang yang melakukan perbuatan
dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu ia mengetahui
atau menyadari perbuatan yang ia lakukan.
Bahwa menurut R. Susilo dalam penjelasan KUHP yang dimaksud
dengan tipu muslihat adalah suatu tipu yang yang demikian liciknya
sehingga orang yang berpikiran normal dapat tertipu, suatu tipu muslihat
sudah cukup asal cukup liciknya. Dan yang dimaksud dengan karangan
perkataan bohong adalah satu kata bohong tidak cukup disini harus dipakai
banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa sehingga
kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain,
sehingga keseluruhanya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar.
Sedangkan yang dimaksud dengan membujuk adalah melakukan pengaruh
dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang itu menurutinya berbuat
sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya tidak akan
berbuat demikian
Bahwa dari keterangan saksi-saksi dan terdakwa, pada saat itu
memanggil saksi Nova yang sedang bermain didekat rumah terdakwa
disuruh untuk memberikan cabai dan menyuruh mencuci piring dan
mencuci baju kemudian diberi uang Rp 5000,-,
76
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas majelis berpendapat unsur
kedua telah terpenuhi
3) Unsur “melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain”
Bahwa dari fakta persidangan pada awal bulan September 2009
terdakwa sedang sendirian dirumahnya di Jl, Batursari III Rt. 01 Rw. 09
Kel. Sawah Besar Kec. Gayam Sari Semarang, kemudian terdakwa
memanggil saksi Nova dimana saat itu rumah terdakwa dalam keadaan sepi,
kemudian terdakwa menyuruh saksi Nova untuk membeli cabai,menyuci
piring dan baju kemudian terdakwa menyruh masuk kamar namun Nova
menolak dan selanjutnya Nova ditarik tanganya setelah dikamar dijatuhkan
ditempat tidur dan celananya ditarik kebawah sehingga terbuka, saksi Nova
melawan dan menangis namun karena pintu tertutup suara tangisanya tidak
ada yang mendengarnya. Bahwa setelah kejadian tersebut saksi Nova selalu
terlihat melamu, ketakutan, gelisah dan menagis/trauma didepan rumah
saksi Juminten. Bahwa dari keterangan saksi Nova juga dibenarkan oleh
Terdakwa. Bahwa dipersidangan saksi Nova sangat ketakutan kalau ketemu
terdakwa bahkan tidak mau memasuki ruang siding kalau didampingi oleh
pendamping yang dalam hal ini adalah dari LSM PPT Sahabat Perempuan
Pedurungan sedang dengan yang lain saksi Nova tidak merasa takut, hanya
dengan (DE NO) nama panggilan terdakwa dikampungnya Nova merasa
takut, sehingga pada waktu saksi Nova memberikan keterangan di
persidangan tidak berani melihat terdakwa.
77
4) Unsur “merupakan suatu perbuatan berlanjut”
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dipersidangan perbuatan
terdakwa tersebut dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada sekitar bulan
September 2009, Desember 2009, dan pada sekitar bulan Pebruari 2010.
Bahwa oleh karena semua unsur dari dakwaan pertama Subsidair telah
terpenuhi, maka majelis berkesimpulan terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan seperti tersebut dalam
dakwaan pertama.
Bahwa oleh karena terdakwa terbukti melakukan perbuatan seperti
tersebut dalam dakwaan pertama Subsidair, maka terdakwa harus
dibebaskan dari dakwaan pertama Primair.
Bahwa sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa, terlebih dahulu
dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.:
a. Hal-hal yang memberatkan
1) Terdakwa tidak mengakui terus terang perbuatanya
2) Perbuatan terdakwa mengakibatkan korban menderita trauma
3) Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban yang masih anak
b. Hal-hal yang meringankan
1) Terdakwa belum pernah dihukum
6. Putusanya
Mengingat, ketentuan Pasal 81 Ayat (2) UU RI No.23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 Ayat (1), serta peraturan hukum
78
lainya yangbersangkutan dan telah Melewati beberapa proses persidangan,
dengan beberapa pertimbangan hukum, maka hakim memutuskan seadil-
adilnya bahwa:
1. Menyatakan terdakwa Aryono Bin Parto Dikromo tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti tersebut
dalam dakwaan primair.
2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan primair.
3. Menyatakan terdakwa Aryono bin Parto Dikromo telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja
melakukan tipu muslihat dan membujuk anak melakukan persetubuhan
denganya secara berlanjut”
4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Aryono bin Parto dikromo dengan
pidana penjara selama tujuh tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah) apabila denda tidak dibayar diganti dengan
hukuman kurungan selama (enam) bulan.
5. Menetapkan masa penahanan yang dijalani terdakwa berkuatan hukum
tetap, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
6. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan
7. Memerintahkan barang bukti berupa:
1 (satu) buah sprei warna merah
1 (satu) buah celana pendek dan 1(satu) buah selana dalam terdakwa
1 (satu) buah celana dalam korban warna putih
79
Dirampas untuk dimusnahkan.6
8. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2500,-
(dua ribu lima ratus)
Demikianlah isi dari Putusan Pengadilan Negeri Semarang:
No.425/Pid.B/2010/PN.Smg akan dianalisis dalam bab IV (empat).
6 Isi Putusan Perkara Pidana Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang.
80
BAB IV
ANALISIS UPAYA GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI KORBAN PERKOSAAN TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI SEMARANG: NO. 425 /PID.B/2010/PN
SEMARANG.
A. Analisis Tindak Pidana Pemerkosaan
Dalam hukum Positif tindak pidana perkosaan termasuk dalam tindak
pidana mengenai kesopanan dalam hal persetubuhan, tindak pidana ini tidak
masuk dalam jenis pelanggaran akan tetapi masuk pada jenis kejahatan.
Kejahatan yang dimaksudkan ini dimuat dalam 5 pasal, yakni 284 (perzinaan),
285 (perkosaan), 286 (bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya yang
dalam keadaan pingsan), 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum
berumur lima belas tahun yang bukan istrinya), dan pasal 288 (bersetubuh
dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan
menimbulkan luka atau kematian).1 Khusus untuk kejahatan perkosaan telah
dikenal dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam bab
XIV tentang kejahatan kesusilaan.2 Perkosaan sendiri diatur dalam Pasal 285
KUHP, yang berbunyi:3
1 Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2005), hlm. 56.
2 Ibid. hlm. 62-63.3 KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 98.
81
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksaseorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancamkarena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun”.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 291 Ayat (2) KUHP, jika pemerkosaan
tersebut mengakibatkan matinya perempuan itu, ancamanya menjadi lima belas
tahun penjara. Rumusan KUHP Pasal 285 dan 291 tersebut rencananya akan
diganti berdasarkan RUU KUHP yang merumuskanya pada Pasal 389 yang
bunyinya sebagai berikut:
Pertama, “Dipidana penjara paling lama 12 tahun dan paling rendah 3
tahun karena melakukan perkosaan”, adalah sebagai berikut:
1. Seorang pria melakukan persetubuhan dengan wanita bertentangan dengankehendak wanita tersebut
2. Seorang pria melakukan persetubuhan dengan wanita tanpa persetubuhanwanita tersebut
3. Seorang pria melakukan persetubuhan dengan wanita dengan persetujuanwanita tersebut tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untukdibunuh atau dilukai
4. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan wanita denganpersetujuan wanita tersebut karena wanita tersebut percaya bahwa ia adalahsuaminya yang sah atau ia adalah orang yang seharusnya di setubuhinya
5. Seorang laki-laki melakukan persetubuhan seorang wanita yang berusiadibawah 14 tahun dengan persetujuanya.
Kedua, dianggap juga telah melakukan tindak pidana perkosaan dengan
pidana paling lama 12 tahun dan paling rendah 3 tahun apabila dalam keadaan
yang tersebut dalam ayat (1) ke-1 sampai dengan ke-5 diatas:
1. Sorang laki-laki memasukan alat kelaminya ke dalam anus atau mulutseorang wanita
82
2. Barang siapa memasukan suatu benda yang bukan merupakan bagiantubuhnya kedalam vagina atau anus seorang wanita.4
Penjelasan Pasal 285 KUHP diatas bahwa suatu perbuatan dikatakan
terbukti secara sah melakukan kejahatan perkosaan seperti dalam pasal 285
KUHP apabila pelaku telah memenuhi syarat unsur-unsur sebagai berikut:5
1. Barang siapa
2. Dengan kekerasan
3. Dengan ancaman akan memakai kekerasan
4. Memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin diluar nikah
5. Dengan dirinya
Perbuatan memaksa menurut Pasal 285 KUHP, yakni bersetubuh dengan
dia, atau bersedia disetubuhi. Cara-cara memaksa disini hanya hanya terbatas
dengan dua cara, yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging
met geweld). Dua cara tersebut tidak diterangkan lansung dalam undang-
undang. Hanya mengenai kekerasan, ada pada Pasal 89 KUHP yang
merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan, yaitu “membuat orang
pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. R.
Susilo memberi arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau
kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. Menurut Satocid kekerasan
4 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta:Sinar Grafika,2008), hlm. 49-50.
5 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-NormaKesusilaan Dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 108.
83
adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakanya kekuatan badan yang
tidak ringan atau berat.6
Walaupun didalam rumusanya Pasal 285 KUHP tidak mensyaratkan
adanya unsur “kesengajaan” akan tetapi dicantumkan unsur “memaksa” maka
tindak pidana perkosaan seperti yang dicantumkan dalam pasal itu harus
dilakukan dengan “sengaja”. Karena seperti yang telah diketahui dalam pasal
itu harus dilakukan dengan sengaja maka dengan sendirinya kesengajaan itu
harus dibuktikan oleh penuntut umum atau hakim di sidang pengadilan yang
memeriksa dan mengadili perkara pelaku bahwa telah didakwa melanggar
larangan yang diatur dalam KUHP.7
Unsur “kesengajaan” itu sebenarnya ada dalam kasus yang sudah diputus
oleh Pengadilan Negeri Semarang: No. 425/Pid.B/2010/PN. Semarang dengan
terdakwa Aryono bin Parto Dikromo telah melakukan persetubuhan dengan
anak di bawah umur yaitu Nova Susan Nurwanti umur 10 tahun. Terdakwa
dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,- karena
melanggar Pasal 81 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP tantang perbuatan berlanjut.
Alasan hakim dalam memutus perkara tersebut adalah karena tidak
terbuktinya unsur-unsur yang ada dalam dakwaan pertama Primair tidak
terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair pertama
tersebut. Unsur yang tidak terpenuhi itu adalah “dengan sengaja melakukan
6 Adam Chazawi, Op, Cit, hlm. 64.7 P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm. 109.
84
kekerasan atau ancaman kekerasan”.8 Selanjutnya hakim mempertimbangkan
dakwaan pertama Subsidair yang memuat unsur sebagai berikut:9
1. Setiap orang
2. Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak
3. Melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain
4. Merupakan suatu perbuatan berlanjut
Dalam dakwaan pertama Primair maupun subsidair didalamnya terdapat
unsur sengaja melakukan pemaksaan untuk bersetubuh oleh pelaku kejahatan
dalam unsur “melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain”
unsur pemaksaan itu, ketika pelaku menyuruh korban membelikan cabai Rp
1.000,- kemudian terdakwa menyuruhnya masuk ke kamar namun korban
“menolak”, selanjutnya korban “ditarik” tanganya langsung dibawa kekamar,
setelah dikamar dijatuhkan ditempat tidur dan celananya ditarik kebawah
sehingga terbuka, korban berusaha “melawan” dan “menangis” namun karena
pintu tertutup suara tangisanya tidak terdengar keluar. Pada waktu itu pelaku
mengenakan celana dalam biru, dan korban “ditindih” dibawah akhirnya
kemaluan pelaku yang sudah tegang digesek gesekan dikemaluan korban terus
dimasukan dikemaluan korban.10
8 Isi Putusan Nomor: 425 /pid.B/2010/PN Semarang, hlm. 25.9 Ibid, hlm. 26.10 Ibid, hlm. 27.
85
Dalam kronologi kasus tersebut sangat jelas terlihat bahwa didalamnya
termuat adanya unsur paksaan dari pelaku, yaitu “ketika korban menolak,
korban ditarik, korban melawan, dan korban ditindih”. Jadi bisa dikatakan
perbuatan pelaku tersebut sudah memenuhi unsur dakwaan pertama primair
yang didalamnya memuat unsur seperti yang dimaksud dalam pasal 285
KUHP.
Yang pertama, ketika korban “menolak, melawan” dan “ditarik, ditindih,
apabila merujuk pada The Encyclopedia American Internasional Edition,
volume 23, yang dikutip oleh Topo Santoso, dikatakan bahwa:
“Perkosaan (rape) dalam hukum adalah suatu perbuatan seksual yangbertentangan dengan hukum dimana terjadi persetubuhan tanpa adanyapersetujuan dari korban.”
Pengaturan dari unsur-unsurnya dan hukuman bagi perbuatan tersebut
diatur dalam peraturan dan hukum yang berbeda-beda dari tiap-tiap Negara.
Tetapi inti dari perbuatan tersebut adalah tidak adanya persetujuan atau
penolakan dari si korban.11
Back’s Law Dictionary, merumuskan perkosaan atau rape sebagai
berikut:
“Hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorangperempuan tanpa persetujuannya. Persetubuhan secara melawanhukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-lakidilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya.Tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadapseorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukanketika perlawanan perempuan tersebut diyatasi dengan kekuatan danketakutan, atau di bawah keadaan penghalang.”
11 Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO,1997), hlm. 16.
86
Dalam kamus tersebut dijelaskan bahwa: seorang laki-laki yang
melakukan “sexual intercourse” dengan seorang perempuan yang bukan
istrinya dinyatakan bersalah jika:
1. Dia memaksa perempuan itu untuk tunduk/menyerah dengan paksa atau
dengan ancaman akan segera dibunuh, dilukai berat, disakiti atau diculik,
akan dibebankan pada orang lain
2. Dia telah menghalangi kekuatan perempuan itu untuk menilai atau
mengontrol perbuatanya dengan memberikan obat-obatan, tanpa
pengetahuanya, racun atau bahan-bahan lain dengan tujuan untuk mencegah
perlawananya
3. Perempuan itu dalam keadaan tidak sadar
4. Perempuan itu dibawah usia 10 tahun12
Hal ini dapat dipahami dengan analogi sebagai berikut: “B seorang
remaja putri, dengan tiba-tiba digumuli seorang laki-laki bernama P sehingga
tubuh B dapat dirobohkan. Antara B dan P terjadi adu tenaga. Karena B
tenaganya kalah dengan maka P dapat menyetubuhinya. Pada contoh tersebut,
B tenaganya kalah sehingga tak berdaya. Dengan demikian, lebih tepat
menafsirkan “memaksa” sebagai suatu perbuatan yang demikian rupa sehingga
tak berdaya untuk menghindarinya.13
12 Topo Santoso, Ibid, hlm. 17.13 Leden Marpaung, Op, Cit, hlm. 52.
87
Adapun tanda-tanda atau bukti yang dapat menguatkan bahwa telah
terjadi perkosaan antara lain: robeknya selaput dara atau hymen dalam hal
wanitanya sebelum diperkosa masih dalam keadaan perawan bentuk robeknya
selaput dara (hymen) akan berbeda antara hubungan kelamin yang dilakukan
atas dasar suka sama suka dengan hubungan kelamin yang dilakukan dengan
paksa, umunya bentuk robekan hymen itu tidak beraturan bila hubungan
dilakukan secara paksa dan lebih tidak beraturan bila korban gigih melakukan
pembelaan atau perlawanan.14 Hal ini dikuatkan dengan adanya Visum ET
Repertum No.16/VER/PPKPA/II/2010/Dokpol tanggal 07 Pebruari 2010 yang
dibuat dan ditandatangani oleh dokter Nanung Budi P, yang bekerja pada
rumah sakit Bayangkara Semarang. Akibat perbuatan pelaku, korban
merasakan sakit pada alat kelaminya.
Selanjutnya dalam perkara nomor: 425/PID.B/2010/PN. Semarang, juga
termuat adanya unsur yang dimaksud dalam Pasal 287 KUHP yaitu bersetubuh
dengan wanita yang umurnya belum mencapai 15 tahun maka seharusnya
hakim juga mempertimbangkan unsur-unsur yang ada dalam Pasal 287 KUHP
tersebut.
Mengenai persetubuhan terhadap anak dibawah umur apabila mengacu
pada kepustakaan hukum pidana asing maka akan ditemukan jenis perkosaan
14 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban KekerasanSeksual, Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 113.
88
“forcible rape” dan “statutory rape”,15 aturan yang mirip juga dapat ditemukan
pada KUHP Austria Pasal 127.16 akan tetapi dalam hukum pidana Indonesia
“Statutory rape” tadi tidak dikualifikasikan sebagai perkosaan (tapi dalam
rancangan KUHP Nasional sudah dikualifikasikan sebagai perkosaan juga.
Menurut Topo Santoso, pengkualifikasian “statutory rape” kedalam
tindak pidana perkosaan akan lebih melindungi wanita remaja dari kejahatan
seksual. Lagi pula persetujuan yang diberikan wanita mungkin disebabkan
ketidaktahuan, kepolosan atau karena bujukan dan sebagainya. Saat ini sering
kita baca anak-anak menjadi korban perbuatan seksual baik lewat ancaman
maupun bujukan, bahkan anak-anak laki-laki pun juga menjadi korban
perbuatan sodomi (homoseksual).
Seorang wanita dewasa dapat setuju untuk bersetubuh, yang berarti
bahwa penolakanya untuk melakukan hal tersebut menjadi unsur kunci didalam
kasus perkosaan biasa. Sebaliknya seorang wanita dibawah usia, dalam banyak
hukum pidana dianggap tidak dapat memberikan persetujuan (secara hukum)
untuk bersetubuh. Istilah “statutory rape” merupakan istilah yang paling umum
untuk kejahatan semacam ini. Dengan perkataan lain, seorang anak wanita (a
15 Forcible Rape adalah segala upaya atau serangan untuk memperkosa perempuan dibawahumur secara paksa dan melawan kehendaknya. abcnews.go.com/blogs/politics/2011/12/fbi-to-change-definition-of-forcible-rape.html. Ditulis oleh: Virginia, Diakses pada tanggal 10 Mei 2012.Sedangkan Statutory Rape adalah hubungan seksual dengan seorang (gadis atau anak laki-laki)yang belum mencapai usia dewasa (bahkan berpartisipasi rela). www.artikata.com/arti-175512-statutory+rape.html. diakses Pada Tanggal 10 Mei 2012.
16 KUHP Austria pasal 127 dengan rumusan”dalam keadaan tidak dapat membela diri atautidak sadar, atau yang belum mencapai umur 14 tahun, juga dianggap sebagai perkosaan”. TopoSantoso, Lok, Cit.
89
female juvenile) dapat secara pribadi setuju untuk berhubungan sex, tetapi
hukum tidak mengakui kemampuan untuk “setuju” oleh karena itu, seorang
pria yang bersetubuh denganya dianggap “tanpa persetujuan si wanita” 17
Dalam hukum Islam sendiri perkosaan dikenal dengan konsep (ikrah)
persetubuhan karena adanya paksaan dari pelaku baik itu laki-laki maupun
perempuan umumnya dikategorikan dalam tindak pidana zina dan tergolong
dalam jarimah hudud yang hukumanya bagi pelaku zina mukhson adalah rajam
dan bagi pelaku zina ghairu mukhson adalah 100 kali dera dan diasingkan atau
diusir keluar daerah. Seperti yang sudah diterangkan dalam al-Qur’an maupun
hadits, dalam Q.S an-Nur ayat 2, Allah SWT berfirman:
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belaskasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, danhendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan olehsekumpulan orang-orang yang beriman”.
Penafsiran Ayat:
Bahwa Islam memerintahkan adanya kebersihan tentang hubungan sex,
bagi laki-laki dan perempuan, pada setiap waktu sebelum perkawinan, selama
dalam perkawinan maupun sesudah putusnya hubungan perkawinan. Mereka
17 Ibid, hlm. 21.
90
yang melakukan perbuatan terlarang itu dikeluarkan dari lingkungan
perkawinan laki-laki dan perempuan terhormat.18
Sedangkan dalam Kitab Tafsir Jalalain yang menjelaskan asbabun nuzul
ayat diatas bahwa ayat ini diturunkan tatkala orang-orang miskin dikalangan
sahabat Muhajirin berniat mengawini para pelacur orang musrik, karena
mereka orang kaya. Kaum muhajirin menyangka bahwa kekayaan yang
dimiliknya itu akan dapat menanggun nafkah mereka. Karena itu dikatakan
bahwa pengahraman ini khusus ditujukan kepada para sahabat Muhajirin yang
miskin tadi.19
Dan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR Muslim, adalah
sebagai berikut:
ا عنى قد جعل هللا لھن خذو: م. قال رسول هللا ص: عن عبا دة بن الصامت قالرواه (البكر بالبكر جلد مائة ونفى سنة والثیب بالثیب جلدمائة والرجم . سبیال)مسلم
Artinya: “dari Ubadah bin Ash-Shamid ia berkata: Rasulullah SAW.bersabda:“Ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesunggunyaAllah memberikan jalan keluar ( hukuman bagi mereka ( pezina ),jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasinganselama satu tahun, sedangkan duda dan janda hukumanya deraseratus kali dan rajam.”
Ayat al-Qur’an dan hadits diatas mengindikasikan bahwa perzinaan harus
dihilangkan dimuka bumi dan bagi seseorang yang melanggarnya sudah
disiapkan oleh Syara’ yaitu hukuman yang sangat berat.
18 Abdul Yusuf Ali, AlQur’an Dan Terjemahanya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm.884.
19 Imam Jalaludin Almahali dan Imam Jalaludi Asuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: SinarBaru, 1990), hlm. 1452.
91
Menurut Dr. Satria Efendi M. bahwa persoalan yang tampak dari
kejahatan perkosaan bukan sekedar zina saja, namun juga mengadung unsur
pemaksaan dari pelaku terhadap korbanya sementara zina dapat dilakukan suka
sama suka. Menarik untuk dicatat dalam bahasa Arab pun, istilah bagi
pemerkosaan bukanlah zina, tetapi li-hurmat an-nisa (perampasan kehormatan
wanita). Dan ini akan berimplikasi bukan hanya pada cara pembuktian, tetapi
juga pemberian hukuman bagi pelaku perkosaan.20
Mengenai kejahatan perkosaan itu sendiri menurut Abdul Salam Arief
bahwa hukum Islam mengkategorikan perkosaan sebagai zina yang dipaksakan
(al-wath bi al-ikrah) yang pelakunya bisa dikenakan hukuman yang sangat
berat berat yaitu had21 dan para ulama’ telah sepakat tidak ada hukuman had
bagi yang dipaksa.22 Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa paksaan tersebut bisa
berupa paksaan yang nyata (al-ikrah al-mulji), ancaman akan dibunuh, atau
kondisi yang membahayakan dirinya.23
Ikrah ini didefinisikan oleh sebagian fuqoha’ adalah sebagai berikut:
.انھ فعل یفعلھ اال نسان بغیره فیزول رضاه اویفسدا ختیارهب
Artinya: “Paksaan ialah perbuatan yang dilakukan manusia karena (paksaan)orang lain sehingga hilang keridloanya serta merusak pilihanya”24
20 Luthfi Asyaukanie, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer,(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, Cet.I), hlm. 41-42.
21 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 136.22 Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy
bil Qonunil Wad’iy, (PT. Kharisma Ilmu, Juz. IV.), hlm. 164.23 Jaih Mubarok, Enceng Arif Faisal, Kaidah Fiqh Jinayah, Asas-Asas hukum Pidana Islam
(Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004), hlm. 94.24 Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di
Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1982), hlm. 105.
92
Untuk memperjelas definisi Ikrah diatas bisa dilihat menurut pendapat
para ulama’ dalam kaidah fiqh jinayah berkenaan dengan menghilangkan
kemadharatan yaitu الضرورات المخظورات “kemadharatan membolehkan seseorang
melakukan hal-hal yang terlarang” kemadharatan atau keadaan darurat adalah
kekhawatiran akan adanya kerusakan jiwa atau sebagian anggota badan baik
secara keyakinan atau dugaan. Seperti kemadharatan yang ditimbulkan karena
adanya paksaan dari pelaku perkosaan yang dapat menghilangkan kerelaan dan
merusak pilihan dari korban.25
Kemudian mengenai sifat paksaan dalam tindak pidana, Islam sudah
mengaturnya dalam kaidah Fiqh tentang menghilangkan kemadharatan , yaitu:
Yang pertama, اال كرا ه یقتضى شیاء من العداب “Paksaan menuntut adanya
paksaan” Maksudnya bahwa suatu paksaan itu harus disertai dengan tindakan-
tindakan nyata seperti pemukulan, cekikan atau tendangan. Sedangkan menurut
ulama’ Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, paksaan tidak menuntut adanya
perbuatan nyata, melainkan sekedar ancaman.
Yang kedua, الوعید بمفراد اكراه “Ancaman semata-mata merupakan
paksaan”, kaidah ini mengandung bahwa ancaman semata sudah merupakan
paksaan, ia tidak memerlukan perbuatan nyata seperti pemukulan atau cekikan.
Hal ini disebabkan yang dimaksud paksaan tersebut adalah untuk menimbulkan
rasa takut kepada orang yang dipaksa.26 Kemudian mengenai hukuman had
25 Ibid, hlm, 86.26 Ibid, hlm, 88.
93
bagi pelaku yang memaksa zina sama halnya dengan ketentuan laki-laki
dewasa yang menyetubuhi perempuan yang masih kecil (belum dewasa).27
Jadi, menurut penulis bahwa vonis 7 tahun penjara dan denda Rp
60.000.000,- yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa pelaku perkosaan
dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No. 425/PID.B/2010/PN.
Semarang, menurut penulis masih kurang dapat melindungi kepentingan
korban mengingat korban yang masih dibawah umur dan akibat yang
ditimbulkan dari kejahatan itu, korban akan mengalami penderitaan yang lebih
berat lagi sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang
membayangi perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan kaum laki-laki,
\mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalani relasi denganya.28
Apabila hal ini ditinjau dari segi hukum Islam, jelas bahwa pelaku
diancam dengan hukuman yang sangat berat yaitu had dan korbanya tidak
dijatuhi hukuman sama sekali. Menurut penulis vonis yang dijatuhkan kepada
pelaku belumlah sebanding dengan penderitaan yang dialami korban,
seharusnya perlu juga dipertimbangkan mengenai kepentingan dan hak-hak
korban, lebih-lebih dapat mengupayakan adanya ganti rugi berupa kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi bagi para korban perkosaan yang mengalami
penderitaan secara fisik maupun psikologis. Upaya seperti itu akan lebih dapat
memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban maupun dapat memberikan
citra baik untuk penegakan hukum di Indonesia.
27 Ibid, hlm, 128.28 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 79.
94
B. Analisis Ganti Rugi Terhadap Korban Pemerkosaan
1. Analisis terhadap Amar Putusan PN Semarang
Kita semua sudah mengetahui bahwa asas persamaan didepan hukum
(equality before the law) merupakan salah satu ciri Negara hukum. Demikian
pula terhadap korban yang harus mendapat pelayanan hukum berupa
perlindungan hukum bukan hanya tersangka atau terdakwa saja yang
dilindungi hak-haknya, tetapi korban juga harus dilindungi. Kiranya wajar jika
ada keseimbangan (balance) perlindungan tersangka/terdakwa dengan
perlindungan korban. 29
Menurut Aliran Klasik (Deklasieke Schol) bahwa tujuan hukum pidana
adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa negara demi
memperjuangkan hukum pidana yang lebih adil, obyektif dengan penjatuhan
pidana yang lebih menghormati individu. Sedangkan menurut aliran modern
(kriminologis) bahwa tujuan hukum pidana adalah memperkembangkan
penyelidikan terhadap kejahatan dan penjahat, asal usul, cara pencegahan,
hukum pidana yang bermanfaat agar masyarakat terlindungi dari kejahatan.30
Dalam amar Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.
425/Pid.B/2010/PN. Smg. dengan terdakwa Aryono bin Parto Dikromo telah
melakukan persetubuhan dengan anak di bawah umur yaitu Nova Susan
Nurwanti umur 10 tahun. Setelah sidang di pengadilan Majelis memutuskan
29 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, (Jakarta: Sinar GrafikaOffset, 2011), hlm. 8.
30 Bambang Waluyo, Narapidana dan Proses Pemasyarakatan, (Jakarta: Sinar Grafika,1990), hlm. 19.
95
terdakwa dikenakan dengan dasar hukum Subsideir: Pasal 81 ayat (2) UU RI
No. 23 Tahun 200231 Tentang Perlindungan Anak jo pasal 64 ayat (1) KUHP32
tentang perbuatan berlanjut. Dengan isi putusanya terdakwa dijatuhi hukuman
7 tujuh tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,-
Dalam memutuskan perkara tersebut majelis menggunakan beberapa
pertimbangan hukum, yaitu:
1) Hal-hal yang memberatkan
a) Terdakwa tidak mengakui terus terang perbuatanya
b) Perbuatan terdakwa mengakibatkan korban menderita trauma
c) Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban yang masih anak
2) Hal-hal yang meringankan
a) Terdakwa belum pernah dihukum
Sebelum menganalisis putusan tersebut penulis akan menjabarkan
terlebih dahulu tentang alat bukti yang digunakan majelis hakim dalam
31 Bunyi Pasal 81 Ayat 1 dan 2: (1) Setiap yang dengan sengaja melakukan kekerasan atauancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain,dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahundan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,-(enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaiankebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain.Indonesia, Undang-Undang Perlindangan Anak (UU RI No.23 Th. 2002), (Jakarata: Sinar Grafika,2011, Cet. V), hlm. 29.
32 Bunyi Pasal 64 Ayat (1) KUHP: (1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubunganya sedemikian rupa sehingga harusdipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jikaberbeda-beda maka yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 26.
96
memutus perkara terebut. Alat bukti yang digunakan oleh hakim dalam
membuktikan perkara tersebut antara lain:
1) Keterangan saksi itu terdiri dari keterangan saksi yang meringankan dan
yang memberatkan, antara lain:
a) Keterangan saksi yang meringankan itu antara lain: Pujiwawanti, Nova
Susan Norwanti Binti Susanto, Juminten Binti Sali, Nining Surati Binti
Sukma dan Sumadi Bin Ngadiman.
b) Keterangan saksi yang memberatkan antara lain: Soenarto, Mat Takul
Anam, Umi Chotimah, Wiyono.
2) Barang bukti yang berupa: 1 (satu) buah sprei warna merah, 1 (satu) buah
celana pendek dan celana dalam terdakwa, 1 (satu) buah celana dalam
korban warna putih.
3) Keterangan terdakwa yang telah menyatakan bahwa telah melakukan
perbuatan perkosaan dengan Nova Susan Norwanti Binti Susanto.33
Dari alat-alat bukti yang digunakan majelis diatas sudah memenuhi
ketentuan Pasal 183 KUHAP yang bunyinya: 34
“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seorang kecualiapabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah iamemperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadidan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.
dari alat-alat bukti dan pertimbangan hukum diatas terbukti bahwa terdakwa
memang benar-benar bersalah dan melanggar hukum.
33 Isi Putusan Pengadilan Semarang Perkara Nomor: 425/Pid.B/2010/PN. Semarang.34 Indonesia, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 271.
97
Seperti yang diterangkan dalam Pasal 81 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa seorang yang melakukan pemaksaan
dan ancaman kekerasan untuk melakukan persetubuhan pidananya 15 (lima
belas) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah) dan (paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Dari pasal ini bisa diuraikan sebagai berikut:
1) Adanya unsur ancaman dan kekerasan untuk melakukan persetubuhan, ini
berarti unsur perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 81 UU Perlindungan
Anak sesuai dengan unsur perbuatan yang ada dalam Pasal 285 KUHP yaitu
kejahatan perkosaan yang diancam dengan pidana 12 tahun penjara.
2) Dipidana 15 (tahun) dan denda Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), ini
berarti hukuman yang di terapkan adalah pidana pokok yang mengacu pada
Pasal 64 ayat (1) KUHP35 tentang perbuatan berlanjut.
Akan tetapi apabila dicermati dari unsur-unsur yang ada dalam Undang-
Undang Pelindungan Anak Pasal 81 Ayat (2) sebenarnya sama dengan unsur
yang ada dalam Pasal 285 KUHP, yaitu disebutkanya unsur ancaman dan
kekerasan untuk melakukan persetubuhan, namun Pasal 285 KUHP tidak
menyebutkan pidana pokok berupa denda, jadi Pasal 81 Ayat (2) UU RI
tentang Perlindungan Anak masih lebih baik dari pada pasal 285 KUHP.
35 Pasal 64 ayat 1 KUHP “ Jika anatara beberapa perbuatan , meskipun masing-masingmerupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubunganya sedemikian rupa sehingga harusdipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jikaberbeda beda yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Ibid. hlm.22.
98
Walaupun Pasal 81 Ayat (2) tentang Perlindungan Anak telah mencantumkan
pidana pokok berupa denda akan tetapi belum sepenuhnya memberikan
perlindungan terhadap hak-hak korban perkosaan apalagi yang menjadi korban
adalah anak dibawah umur dan uang dari pembayaran denda itu masuk kas
Negara jadi yang diuntungkan dari penjatuhan pidana denda ini adalah negara
bukan korban.36
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang mengatur hak-hak asasi manusia pada pasal 28 d ayat 1, berbunyi: 37
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dankepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapanhukum.”
Dan pasal 28 g ayat (1), berbunyi:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,kehormatan, maratabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya,serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutanuntuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Dari kedua Pasal diatas bisa dipahami bahwa Negara menjamin atas
perlindungan bagi setiap warga negaranya berupa perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya.
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dijelaskan bahwa perlindungan didefinisikan sebagai segala
upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental,
kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social,
36 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 68.
37 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, Op, Cit, hlm. 34.
99
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan. Sedangkan perlindungan yang tertuang
dalam PP No.2 Tahun 2002 adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk
memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi ,
dari ancaman, gangguan teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang
diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan disidang pengadilan.38 Apabila merujuk pada kedua undang-
undang diatas maka sangat pantas bila terdakwa divonis hukuman yang lebih
berat dari yang sudah diputus oleh majelis hakim.
Untuk menjawab permasalahan hukuman bagi pelaku diatas yang
diterapkan oleh majelis hakim dalam Pengadilan Negeri Semarang: No.
425/Pid.B/2010/PN.Semarang maka perlu juga diterapkan teori hukuman
(straftheorien) dari aliran pemikiran kriminologis (aliran modern) yang terbagi
dalam 3 golongan besar, adalah sebagai berikutt:
1) Teori absolut atau teori pembalasan
Teori ini menjelaskan bahwa didalam kejahatan itu sendiri terletak
pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai,
hal ini merupakan tuntutan keadilan. Jadi, menurut teori ini pidana
dijatuhkan semata-semata karena orang telah melakukan suatu kejahatan
atau tindak pidana.
38 Ditulis oleh Prakoso, www.prasko.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html,diakses Pada Tanggal 03 Mei 2012.
100
2) Teori relative atau teori tujuan
Menurut teori ini diterangkan bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus
diikuti dengan suatu tindak pidana. Untuk itu tidaklah cukup dengan adanya
suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula manfaat pidana bagi
masyarakat maupun bagi terpidana itu.
3) Teori gabungan
Aliran ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif yang
dapat memberikan hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada tujuan
pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan
secara terpadu.39
Dari tiga golongan teori diatas, bisa disimpulkan bahwa hukum pidana
Indonesia bertujuan untuk melindungi korban dari suatu tindak kejahatan
seperti kejahatan perkosaan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap
pihak yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman
yang dijatuhkan kepada pelaku, merupakan salah satu hak yang dituntut oleh
pihak korban.40 Apabila kita menganut pada teori gabungan yang dianut oleh
aliran pemikiran modern (kriminologis) ini maka tuntutan pemberatan
hukuman seperti hukuman mati terhadap pemerkosa dan penanganan secara
manusiawi terhadap korban perkosaan, terutama anak-anak dibawah umur
wajib mendapatkan prioritas baik secara yuridis maupun sosiologis seperti
pemberian (kompensasi, ganti rugi dan rehabilitasi dan perlakuan sosial
39 Niniek Suparni, Op, Cit, hlm. 16-19.40 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 154.
101
terhadap harkat kewanitaan) merupakan hukuman yang paling tepat untuk
terdakwa pelaku kejahatan perkosaan ini.41
Terkait dengan permasalahan ganti rugi bagi korban perkosaan
tampaknya bukan menjadi hal yang baru lagi, di beberapa Negara seperti
Inggris (1964), Belanda, Selandia Baru (1964), dan Negara-negara lainya,
korban bisa mendapat ganti rugi. Di Australia dimulai dari Negara bagian
News South Wales, dan diikuti oleh Negara bagian Queensland, South
Australia dan Western Australia (1970) melalui Criminal Injuries
Compentation, dari Negara bagian Tasmania (1970) korban telah mendapat
restitusi dan kompensasi. Begitu pula di Canada melalui Compensation Injuries
(1967) dan di Jepang lewat Criminal Indemnity. Bahkan dibeberapa Negara
bagian Amerika sudah dipakai sebagai pertimbangan penjatuhan pidana bagi
pelaku.
Permasalahan yang menjadi pertanyaan bagi setiap pencari keadilan
adalah bagaimanakah jika jaksa dalam kasus tersebut tidak mengajukan
banding, apakah hak korban dalam situasi seperti ini bisa mengajukan banding.
Menurut topo santoso “perlu diperjuangkan perlindungan terhadap korban
perkosaan, baik dalam pertimbangan penjatuhan pidana, ganti rugi, bahkan
perlu suatu perlindungan khusus, misalnya perpindahan sekolah bagi
perempuan dibawah umur, tempat tinggal, atau pekerjaan baru untuk “proses
penyembuhan” kehidupanya. Meskipun tampaknya untuk situasi Indonesia
41 Ibid, hlm. 19.
102
memang masih agak berat untuk merealisasikannya, tapi hal itu menjadi
kewajiban pemerintah”.42
Dalam hukum pidana Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai
pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan (umum maupun khusus)
dan juga perbaikan. Dan dalam kenyataanya pula sangat melindungi
masyarakat dari tindakan jahat masyarakat seperti pelanggaran hukum (fungsi
perlindungan).
Didalam hukum pidana Islam (Islamic penal system) dikenal tiga jenis
hukuman (punishment), yaitu had, qishas, ta’zir. Karena dalam skripsi ini
membahas tentang perkosaan yang termasuk dalam tindak pidana zina yang
hukumanya adalah had maka tujuan dari hukuman ini adalah pembalasan,
pencegahan dan perbaikan.
Pertama, tujuan pembalasan yaitu kerasnya hukuman, dan larangan setiap
bentuk mediasi berkenaan dengan hal ini, dengan perkataan lain, wajib
dijalankan jika kejahatan ini terbukti. Menurut Muhammad Qutb, kerasnya
hukuman itu didasarkan pada pertimbangan psikologis, dengan maksud untuk
memerangi kecenderungan para penjahat dalam melanggar hukum, Islam
menentukan hukuman keras yang menggambarkan perhatian terhadap akibat-
akibat kejahatan.
Kedua, dikenalnya tujuan pencegahan dalam system hukum pidana Islam
adalah lebih dalam dan lebih tegas disbanding system-sistem lain. Disini
42 Topo Santoso, Op, Cit, hlm. 43.
103
pencegahan dikenal sebagai justifikasi utama untuk penghukuman khususnya
untuk hukuman had, Mawardi mendefinisikan hudud sebagai “hukuman-
hukuman pencegahan yang ditetapkan tuhan untuk mencegah manusia dari
melakukan apa yang Ia larang dan dari melalaikan apa yang Ia perintahkan”.
Ketiga, tujuan perbaikan, menurut Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa
hukuman had ialah bernilai baik dengan perbaikan (reformative), pembalasan
(retributive) maupun pencegahan (deference).43
Menurut A. Djazuli dalam fiqh Jinayat bahwa hukuman itu diterapkan
untuk memperbaiki individu, menjaga keseimbangan masyarakat dan tertib
sosial, jadi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tidak semata-
mata bertujuan membuat jera, membalas dan mendidik pelaku agar menyadari
kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya serta mau bertaubat, tetapi juga
bermanfaat bagi masyarakat, khususnya korban kejahatan, yang merupakan
anggota masyarakat dan hukuman yang dijatuhkan bukan hanya untuk
kepentingan prifat namun juga untuk kepentingan publik.
Berkaitan dengan masalah perkosaan, jenis hukuman yang bisa
dikenakan dan dieksekusi kepada pelaku adalah dapat berpijak pada had yang
dijatuhkan semasa Rosulullah (dalam kasus perkosaan terhadap wanita yang
akan menjalankan sholat malam), yakni merajam pelakunya.
Memang dalam kasus itu tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai
pengertian rajam yang dilakukan kepada pelaku perkosaan, namun tetap dapat
43 Ibid, hlm. 51-52.
104
di interprestasikan bahwa rajam yang diterapkan itu tidak berbeda dengan jenis
rajam yang diterapkan dalam kasus perzinaan mukhson, meskipun demikian
jika dikaitkan dengan jenis kasusnya yang termasuk perzinaan dengan paksaan,
maka hukuman rajam (melempar dengan batu kepada pelakunya sampai
meninggal dunia) cukup pantas diterapkan.
Model eksekusi yang memiliki bobot yang cukup tinggi dalam dalam
kaitanya dengan mencegah maraknya kejahatan itu diterapkan secara
bermacam-macam oleh kalangan penegak hukum seperti halnya had yang
berkaitan dengan kejahatan perzinaan misalnya soal pengasingan diganti
dengan pemenjaraan, sedangkan perajaman difokuskan pada hukuman mati
dengan cara ditembak, disuntik, diestrum pakai listrik, dipenggal kepalanya
maupun yang lainya.
Sebagai contoh, kerajaan Saudi Arabia, pada bulan Nopember 1977
melaksanakan pidana mati atas pelaku zina, yaitu terhadap Putri Misha dan
Muslih Al-Shaer, Terhadap putri Misha ditembakkan ketubuhnya tiga kali
tembakan dengan pistol dari jarak dekat, dan terhadap Muslih dilakukan
potong leher dengan pedang oleh seorang algojo dalam posisi berjongkok
dengan kepala tegak agak kedepan.
Apabila ditinjau dari kepentinganya kepada korban kejahatan, seperti
korban kejahatan perkosaan, maka model hukuman mati seperti cara ditembak,
diestrum, dan dipancung, rasanya sudah memenuhi kepentingan korban. Pihak
korban sudah dipenuhi dan dijembatani hak-hak asasinya secara yuridis, yakni
105
menghukum pelaku yang telah menjatuhkan dan melecehkan martabat
kewanitaanya.44
Dalam hal hukuman, Satria Effendi, berpendapat bahwa hukuman
perkosaan pun berbeda dengan perzinaan yang dilakukan suka sama suka. Jika
sanksi zina adalah had (dera atau rajam), untuk perkosaan sanksinya adalah
had disertai hukuman tambahan (ta’zir) yang ditentukan majelis hakim dengan
cara pembuktian dan sanksi diyatas.45
Menurut penulis vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri
Semarang dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang: No.
425/Pid.B/2010/PN. Smg. seharusnya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada
terdakwa pelaku perkosaan lebih berat lagi seperti hukuman had dalam hukum
Islam dan hukuman pidana pokok berupa denda bisa diganti dengan hukuman
tambahan berupa ganti kerugian karena hukuman denda berupa uang
kebanyakan masuk pada Negara bukan kepada korban. Apabila dibenturkan
dengan konsep diyat dalam hukum Islam, hal ini jelas sangat bertentangan
karena diyat/denda dalam hukum Islam diberikan oleh pelaku kepada korban
bukan kepada Negara, jadi dalam Perkara: No. 425/PID.B/2010/PN Smg.
korban perkosaan belum mendapatkan perhatian dan perlindungan oleh
penegak hukum terutama menyangkut hak-hak dan kepentingan korban.
44 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 146.45 Luthfi Asyaukanie, Op, Cit, hlm. 41-42.
106
2. Implikasi Ganti Rugi
Dalam rangka konsep pengaturan terhadap korban kejahatan khususnya
korban perkosaan, maka pertama-tama yang diperhatikan adalah kerugian yang
diderita si korban, ternyata essensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat
material atau penderitaan fisik saja melainkan juga yang bersifat psikologis, hal
ini dalam bentuk trauma kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan
ketertiban umum. Sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga,
sinisme, depresi, kesepian, dan pelbagai perilaku penghindaran yang lain.46
Apa lagi korban dari kejahatan perkosaan dalam hal ini yang menjadi korban
adalah anak yang masih dibawah umur, umunya mereka akan mengalami
penderitaan yang lebih berat lagi, sebab kekerasan yang dialaminya akan
menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan
kaum laki-laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalin
relasi denganya.47
Menurut Arif Gosita bahwa anak wajib dilindungi agar mereka tidak
menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, Organisasi swasta
maupun pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung.48
Upaya ganti rugi kepada mereka yang menjadi korban perkosaan
merupakan suatu langkah untuk melindungi hak-hak bagi mereka wanita
46 Muladi, Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: PenerbitAlumni, 1992), hlm. 79.
47 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 79.48 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam System Peradilan Anak Di
Indonesisa, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 2.
107
korban perkosaan karena perlindungan terhadap korban tindak pidana dapat
diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum
atas penderitaan/kerugian orang yang telah dialami korban tindak pidana.49
Berkaitan dengan ganti rugi sebagai bentuk perlindungan terhadap
korban kejahatan maka ada beberapa peraturan perundang-undangan yang bisa
diterapkan berkenaan dengan hak-hak umum yang dimiliki oleh korban dan
keluarganya apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan
sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa korban berhak
untuk memperoleh ganti kerugian atas penederitaan yang dialaminya.
Pemberian ganti kerugian itu dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainya,
seperti Negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah
ganti kerugian korban kejahatan.50
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah
menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses
keadilan khususnya dalam proses peradilan, yaitu:
1. Compassion, respect and recognition;2. Receive information and explanation about the progress of the case;3. Provide information;4. Providing proper assistance;5. Protection of privacy and physical safety;6. Restitution and compensation;
49 http://realitamasakini.wordpress.com. Rahmat Illahi Besri, Perlindungan KorbanPerkosaan, diakses pada tanggal 5 Mei 2012.
50 Dikdik M. Arief Mansur, dan Elisatris Gultom, Op Cit, hlm. 54-55.
108
7. To access to the mechanism of justice system.
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai mulai
dari bantuan keuangan hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum,
tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena
melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penggulangan kejahatan
dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara
lain:51
1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam
terhadap pelaku (tindakan pembalasan)
2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya
tindak pidana
3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya
kejahatan kepada pihak yang berwenang
4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada
pelaku
5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa
dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya
6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam
upaya penanggulangan kejahatan
51 Ibid, hlm. 54-55.
109
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak
menjadi korban lagi.
Dari hak-hak korban diatas maka upaya memberikan perlindungan
berupa ganti rugi kepada korban perkosaan menjadi sesuatu yang harus
dilakukan apalagi jika melihat perlindungan yang diberikan oleh hukum dalam
ketentuan Pasal 14 c ayat (1) KUHP telah memberikan perlindungan terhadap
korban kejahatan, pasal tersebut berbunyi:
“Pada perintah yang tersebut dalam pasal 14a kecuali dalam haldijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum,bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana,hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidanaitu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu,semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintahitu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut ketentuan pasal 14c ayat (1), majelis dapat menjatuhkan pidana
dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna
mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban.52
Kaitanya dengan upaya ganti rugi sebagai bentuk perlindungan kepada
korban kejahatan khususnya korban kejahatan perkosaan. Maka dalam rangka
pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan tersebut, secara mendasar
dikenal dengan dua model pengaturan yakni: (1) model hak-hak prosedural
(The Procedural Rights Model) dan (2) model pelayanan (The services Model).
Yang pertama, Model Prosedural (The Procedural Rights Model) ini
penekanan diberikan pada kemungkinanya si korban untuk memainkan peranan
52 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang:Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 184.
110
aktif didalam proses criminal atau didalam jalanya proses peradilan. Dalam hal
ini si korban diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau
untukmembantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar disetiap
tingakatan siding pengadilan dimana kepentinganya terkait didalamnya. 53
Dengan menggunakan model procedural ini perlindungan diberikan oleh
undang-undang bertujuan agar korban lebih berperan aktif dalam proses pidana
maka jalan yang bisa ditempuh menggunakan model ini adalah mengacu pada
Pasal 98 KUHAP dan Undang-Undang N0 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981)
dalam pasal 77 diatur tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa
dan memutus ganti rugi dan rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, Kemudian Pasal 98
KUHAP diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti dan
ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan.54 Dalam hal ini
korban bisa menuntut ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku,55 Pasal 98
KUHAP ini tidak saja memperhatikan hak dari pelaku tindak pidana, tetapi
juga hak dari orang yang menderita kerugian “materiil” yang disebabkan
dilakukanya suatu tidak pidana.56 Hal ini dikuatkan dalam konsep rancangan
KUHP Baru tahun 1987/1988 dalam pasal 64 ayat 4 ke 4 konsep), yang antara
53 Muladi, dan Barda Nawawi Arif, Op, Cit, hlm. 79-80.54 Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 88.55 Asmawi, M. Hanafi, Ganti Rugi Dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1992), hlm. 6.56 Djoko Prakoso, Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP, (Jakarta: Bina Akasara, 1988), hlm.
109.
111
lain menyatakan pencantuman pemenuhan ganti kerugian sebagai pidana
tambahan.57
Penggabungan perkara ganti rugi ini merupakan hal baru dalam praktek
penegakan hukum di Indonesia, KUHAP memberikan prosedur hukum bagi
“korban” tindak pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata
terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang
berlangsung,58tanpa menunggu putusan perkara pidananya terlebih dahulu.
Selanjutnya mengenai syarat-syarat untuk melakukan penggabungan tersebut.
diatur dalam pasal 98 ayat (2), yakni selambat-lambatnya sebelum penuntut
umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir,
permintaan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan, dalam
hal penuntut umum tidak hadir maka pengertian tidak hadirnya penuntut umum
dalam perkara pidana ini karena perkara tersebut diputus dengan acara
pemeriksaan cepat.
Adapun hukum acara untuk melakukan tuntutan ganti kerugian ini
berlaku Hukum Acara Perdata, sebagaimana diatur dalam HIR (Pasal 101
KUHAP). Sebagaimana kesimpulan dari Pasal 98 diatas maka ketentuan
tersebut mensyaratkan:
57 Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 89. Pidana Tambahan dalam rancanganundang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1991 ini terdiri dari: (1) pencabutan hak-haktertentu, (2) perampasan barang-barang tertentu dan tagihan, (3) pembayaran ganti rugi, (4)pemenuhan kewajiban adat. Niniek Suparni, Op, Cit, hlm. 33.
58 M. Yahya Harahap, Op, Cit, hlm. 46.
112
a. Adanya permintaan dari yang dirugikan
b. Benar-benar ada kerugian yang diakibatkan dari perbuatan/tindakan
terdakwa
c. Permintaan tuntutan ganti kerugian ini selambat-lambatnya sebelum hakim
menjatuhkan putusan.
Setelah syarat-syarat ini terpenuhi maka Pasal 99 KUHAP mewajibkan
Pengadilan Negeri menimbang tentang kewenanganya untuk mengadili
gugatan tersebut, yakni tentang kebenaran gugatan dan tentang hukum
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, putusan
mengenai ganti rugi dengan sendirinya akan memperoleh kekuatan hukum
tetap, apabila putusan pidananya memperoleh kekuatan hukum yang tetap pula.
Kemudian dalam Pasal 100 KUHAP menjelaskan: (1) apabila terjadi
penggabungan antara perkara perdata dan pidana, maka penggabungan itu
dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan pada tingkat banding. (2)
apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.59
Dari keseluruhan aplikasi yang diberikan oleh hukum yaitu KUHAP
menunjukan bahwa penggabungan gugatan tersebut pada perkara pidananya
bertujuan agar gugatan itu dapat diperiksa dan diputus sekaligus dengan
perkara pidananya, sehingga dengan demikian dalam prosedur untuk
beracarapun tidak dilakukan sendiri akan tetapi dari prosedur yang diberikan
59 Djoko Prakoso, Op, Cit, hlm. 110-111.
113
oleh hukum dalam Pasal 98 KUHAP tersebut dalam praktiknya kurang efektif
diterapkan,60 mengingat masih banyaknya kelemahan-kelemahan dalam
ketentuan mengenai syarat-syarat yang di tetapkan, yakni tidak disebutkanya
kerugian yang bersifat “immateriil” yang tidak dapat dimintakan lewat
prosedur ini.61
Selanjutnya model prosedural diberikan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebelum
membahas bentuk perlindungan secara prosedural yang diberikan oleh undang-
undang PSK ini terlebih dahulu kita lihat dalam konvensi PBB, yakni
Convention Against Transnasional Organized Crime, Assembly Resolution
55/25, annex I, entered into force on 29 September 2003 (Konfensi PBB
melawan kejahatan transnasional terorganisasi, Resolusi Majelis Nomor 55/25,
lampiran berlaku 29 September 2003). Dalam Pasal 24 antara lain disebutkan
agar Negara anggota melakukan upaya-upaya pantas memberikan perlindungan
yang efektif terhadap pembalasan atau intimidasi bagi saksi dan korban.
Penjabaran HAM berkaitan dengan perlindungan korban dan saksi
tertuang dalam beberapa undang-undang, salah satu undang-undang tersebut
seperti yang ada dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, disebutkan bahwa perlindungan saksi dan
korban berdasarkan pada62 penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa
60 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, Op, Cit, hlm. 4.61 Djoko Prakoso, Op, Cit, hlm. 113.62 Bambang Waluyo, Op, Cit, hlm. 36.
114
aman, keadilan, tidak diskriminatif, kepastian hukum.63 Berdasarkan Undang-
Undang PSK pasal 5 ini bahwa setiap saksi dan korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan sedang, atau telah diberikanya
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan
d. Mendapatkan penerjemah
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kaus
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. Mendapat identitas baru
j. Mendapatkan kediaman baru
k. Mendapatkan nasehat hukum
l. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batasan waktu
perlindungan berakhir.
Hak-hak khusus saksi dan korban yang diberikan oleh undang-undang
PSK dalam Pasal 5 diatas dilakukan diluar pengadilan dan dalam proses
peradilan jika yang bersangkutan menjadi saksi. Mengenai Hak yang diberikan
63KomnasPerempuan, Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban, (Jakarta:[email protected], 2009), hlm. 70.
115
dalam proses peradilan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok waktu
yaitu: hak yang harus diberikan pada proses peradilan, hak selama proses
peradilan dan hak selama berakhirnya proses peradilan.64 Pemberian hak-hak
tersebut secara selektif dan prosedural diberikan melalui LPSK (Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban).65 Namun dalam Pasal 5 ini hak-hak yang
dimaksudkan hanya pada kasus-kasus tertentu seperti: “tindak pidana korupsi,
tindak pidana narkotika/psikotropika, terorisme, dan tindak pidana yang
mengakibatkan posisi korban dihadapkan pada situasi yang membahayakan
jiwanya.66
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menegaskan
bahwa tujuan perlindungan adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi
dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan
pidana. Jika asas tujuan perlindungan dilaksanakan secara baik, bukan saja
korban dan saksi yang mendapat perlindungan tetapi lebih luas lagi tentu saja
masyarakat, bangsa, dan negara terlindungi kemudian negara akan dianggap
telah melaksanakan kewajibanya melindungi warganya dengan baik. Hal ini
merupakan salah satu tujuan Negara yang termaktub dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:
“…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
64 Komnas Perempuan, Ibid, hlm. 38.65 Bambang Waluyo, Op, Cit, hlm. 41.66 Ibid, hlm. 41.
116
Bukan hanya itu saja, perlindungan di atas merupakan bagian politik
hukum pidana yang selama ini terlihat lebih banyak memihak ke
tersangka/terdakwa.67
Selanjutnya bentuk perlindungan yang ditandai dengan pemberian
kompensasi bagi korban dalam kasus pelanggaran HAM berat bisa dilihat
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:68
1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:a) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.b) Hak atas restitusi dan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana.2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
Maksud pemberian ganti rugi dalam konteks Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 7 b adalah penggantian kerugian
yang diberikan oleh pelaku kepada korban sebagai salah satu bentuk
pertanggung jawaban pelaku tindak pidana. Sementara Pasal 7a Negara hanya
akan bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi bagi korban dalam
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tidak untuk kasus lainya.69
Dari ketentuan Pasal 7a diatas dapat disimpulkan bahwa yang berhak
mengajukan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi adalah “seorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan kerugian ekonomi yang diakibatkan
67 Ibid, hlm. 38-39.68 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia, No. 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.69 Komnas Perempuan, Op, Cit, hlm. 38.
117
oleh suatu tindak pidana”, yang dalam ketentuan ini dikhususkan pada korban
pelanggaran HAM berat dan tindak pidana.70
Menurut Arif Gosita diterangkan bahwa yang dimaksud dengan korban
adalah mereka yang menderita jasmaniah maupun rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita.71
Khusus untuk wanita korban perkosaan, derita yang dialaminya tidak
dapat dibandingkan dengan korban perampokan, pencurian, atau penjambretan,
korban semacam ini umumnya terbatas kehilangan harta benda, relative tidak
menderita batin dan tekanan social berkepanjangan namun sebaliknya korban
perkosaan, mereka kehilangan harga kehormatan, harga diri yang tidak
mungkin bisa diganti, dibeli atau disembuhkan sekalipun mencincang pelaku
hingga mati.72 Lebih-lebih korban perkosaan anak-anak dibawah umur, mereka
akan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi, sebab kekerasan yang
dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya, kalau
bertemu dengan kaum laki-laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga
takut menjalin relasi denganya.73
70 Pasal 1 angka 2 jo Pasal 7 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006.71 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Persindo, 1983), hlm. 41.72 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset, 1997), hlm. 102.73 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 79.
118
Sebagai contoh dari kasus perkosaan pelanggaran HAM berat yaitu pada
kasus Adrei Chikatilo (57 tahun) yang dikenal dengan “Jagal Rostov” (Rostov
Ripper) yaitu seorang yang melakukan perkosaan selama 52 kali dan diikuti
dengan kejahatan pembunuhan selama 12 tahun di Selat Rusia, Ukraina dan
Usbekistan Ia dijatuhi hukuman mati.
Kemudian kasus pelanggaran HAM berat tersebut bisa dilihat dalam
kasus komunitas etnis Albania Kosovo”dari kota ke kota dari desa ke desa,
pasukan Serbia terus melancarkan pemburuan terhadap wanita muda untuk
diperkosa. Pemerkosaan secara sitematis dan besar-besaran itu dilakukan
ketika para serdadu Serbia itu melakukan penjarahan, pengosongan, dan
pembakaran terhadap etnis Albania Kosovo, ribuan wanita berjuang mati-
matian untuk bisa meloloskan diri dari sergapan serdadu-serdadu gila itu. ”74
Terkait dengan tindak pidana perkosaan yang perlu juga diperhatikan
adalah bahwa kejahatan perkosaan ini sudah termasuk dalam kategori
pelanggaran HAM yang cukup serius karena kejahatan ini jelas-jelas
merupakan bentuk perilaku primitive yang menonjolkan nafsu, dendam dan
superioritas, yakni siapa yang kuat yang berhak mengorbankan orang lain oleh
hakim.75
Nursyahbani Kantjasungkana mengemukakan “masalah perkosaan tidak
dapat lagi dipandang sebagai masalah individu belaka, tetapi merupakan
problem social yang terkait dengan masalah hak asasi manusia, khususnya
74 Ibid, hlm. 16-17.75 Ibid, hlm. 62.
119
berkaitan terhadap segala bentuk penyiksaan dan pengabaian martabat
manusia”76
Menurut anggota LPSK Penanggungjawab Bidang Bantuan, Kompensasi
dan Restitusi, Lili Pintauli Siregar, “bahwa LPSK memiliki kewajiban dalam
memberikan perlindungan dan bantuan terhadap korban perkosaaan, mulai dari
perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis”.77
Korban tindak pidana perkosaan ini bisa mendapatkan hak-haknya
seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban, karena mereka juga mengalami penderitaan
yang sama seperti korban-korban tindak pidana dan korban pelanggaran HAM
berat bahkan derita yang dialami lebih berat dari pada derita yang dialami oleh
korban dari tindak pidana lain maupun korban dari pelanggaran HAM berat.
Tata cara memperoleh perlindungan bagi korban perkosaan yang
dimaksud dalam pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban bisa
diajukan kepada LPSK adalah sebagai berikut:
1. Mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK
2. LPSK memeriksa permohonan dan paling lambat 7 (tujuh) hari harus ada
keputusan tertulis
76 Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Op, Cit, hlm. 178.77 Ditulis oleh: LPSK: http://www.suarapembaruan.com/home/lpsk-banyak-korban-
perkosaan-tak-tahu hak-haknya/11553 di Akses Pada tgl 6 Februari 2012.
120
3. Apabila LPSK menerima permohonan, maka korban menandatangani
pernyataan kesediaan untuk mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan
korban yang memuat:
a. Kesediaan korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan
b. Kesediaan korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan
keselamatanya
c. Kesediaan korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan
orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam
perlindungan LPSK
d. Kewajiban korban untuk ridak memberitahukan kepada siapa pun
mengenai keberadaanya dibawah perlindungan LPSK
e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK
4. Tata cara pemberian bantuan
a. Bantuan diberikan atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan
ataupun orang yang mewakili kepada LPSK
b. LPSK menetukan kelayakan diberikanya bantuan kepada korban serta
jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan
c. Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan harus diberitahukan
sesara tertulis kepada yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya permintaan.
Kemudian tata cara memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
korban pelanggaran HAM berat dan bagi korban tindak pidana seperti yang
121
dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
maka mekanisme pemberian ganti rugi dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan
rehabiliasi ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2008
diatur melalui pasal 2 sampai dengan Pasal 19, yang diajukan melalui LPSK.78
Karena model prosedural ini dianggap kurang bisa memenuhi
kepentingan korban dari golongan yang tidak mampu, hal ini dibuktikan
dengan keenggananya mereka mengajukan tuntutan ganti rugi79 maka
diharapkan para penegak hukum untuk lebih bisa memperhatikan dan melayani
kepentingan korban, khususnya kepada korban tindak pidana yang tidak
mampu secara fisik, mental, sosial, maupun ekonomi.
Yang kedua, yakni model pelayanan (services model), penekanan
diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan
korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk
pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam
rangka penangananya perkara, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana
yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum
pidana dijatuhkan. Pendekatan ini sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam
kerangka kegiatan polisi dan penegak hukum yang lain.80 Model pelayanan
model ini diharapkan mampu memenuhi kepentingan korban dari golongan
78 Bambang Waluyo, Op, Cit, hlm. 100-103.79 Keengganan menuntut ganti rugi tersebut mempunyai beberapa sebab yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut: (1) Tidak ingin mempersuli diri dengan mengadakan tuntutanganti rugi, (2) hasil jerih payah menuntut ganti rugi ini tidak seimbang dengan kerugian yangdiderita, (3) Peristiwa tidak boleh diketahui oleh orang banyak. Arif Gosita, Op, Cit, hlm. 122.
80 Muladi, Op, Cit. hlm. 178.
122
yang tidak mampu secara mental, sosial maupun ekonomi. Model pelayanan
tersebut antara lain:81
1. Para hakim diharapkan agar tidak segan membuat putusan dalam bentuk
pidana tambahan berupa ganti rugi, sehingga hakim dalam menjatuhkan
pidana ganti rugi tidak lagi menunggu korban mengajukan pengganbungan
perkara pidana, tetapi langsug menjatuhkan bersama pidana pokok.
2. Para jaksa, penuntut umum sebaiknya juga menuntut ganti kerugian untuk
kepentingan para pihak korban.
3. Para pengacara supaya memberikan bantuan hukum, mendampingi pihak
korban yang tidak mampu untuk memperjuangkan pemenuhan kepentingan
korban tindak pidana sebagai hak yang bersangkutan.
4. Para golongan intelektual, para pemimpin agar bersedia mempengaruhi
para pembuat kebijakan untuk memikirkan nasib para korban tindak pidana.
Sedangkan perlindungan terhadap korban dalam konsep hukum pidana
Islam adalah berprinsip pada keadilan, kasetaraan (equality before the law) dan
kemanusiaan sedangkan perlindungan hukum bagi korban perkosaan mengacu
pada perlindungan terhadap jiwa (Hifd Al-Nafs) yang didalamnya terdapat hak
kehidupan, kedamaian dan ketenangan yang harus dilindungi dari tindakan
penganiyaan.82 Namun persoaalan yang tersisa adalah apakah korban
perkosaan bisa mendapatkan ganti rugi berupa diyat seperti korban dalam
hukuman qishas, maka menurut kesepakatan ulama’ bahwa hukuman bagi
81 Arif Gosita, Ibid, hlm. 124.82 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 90.
123
pelaku perkosaan dengan kekerasan dikenakan hukuman ganda. Pertama,
hukuman atas perzinahan, yaitu cambukan 100 kali atau dirajam dihadapan
halayak, Kedua, hukuman atas penganiyaan (jika ia melukai atau menganiaya
anggota tubuh korbanya) hukuman yang dikenakan yaitu qishas, dibalas
dengan hukuman yang sebanding dengan perbuatanya, Ketiga, apabila terbatas
pada ancaman, hukumanya adalah ta’zir, dalam hal ini keputusan hakimlah
yang menentukanya.83
Berdasarkan ketentuan diatas maka apabila perkosaan dilakukan dengan
penganiayaan dan melukai anggota tubuh korbanya, maka korban bisa
mendapatkan hukuman pengganti yaitu diyat yang kurang dari sempurna yang
biasa disebut dengan arsy,84 misalnya luka damiyah (luka yang mengeluarkan
darah) maka wajib membayar diyat satu unta, pada luka badi’ah (luka yang
memotong daging) wajib dua unta, dan luka mutalahimah (luka yang membuat
daging keluar) wajib diyat tiga unta.85
Selanjutnya jika perkosaan itu mengakibatkan luka yang belum
ditentukan oleh syara’ seperti luka lecet pada vagina akibat dari perkosaan
maka korban dengan luka semacam ini bisa medapatkan ganti rugi berupa diyat
83 Husain Mahmud, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,(Yogyakarta: LKiS, 2001, Cet.I), hlm. 161.
84 Arsy ada dua macam : arsy yang ditentukan dan yang belum ditentukan. Arsy yang sudahditentukan adalah arsy yang kadarnya ditetapkan oleh Allah. Seperti arsy tangan dan kaki. Adapunarsy yang belum ditentukan adalah arsy yang tidak ada nasnya dan ketentuanya diserahkan kepadahakim. Ini yang disebut arsy hukumah (kebijakan). Abdul Qodir Audah, Op, Cit, hlm. 66.
85 Abdul Qodir Audah. Ibid, hlm. 82.
124
namun keputusan mengenai besarnya ganti rugi tersebut ditentukan oleh hakim
melalui konsep hukumah al-‘adl.86
Menurut ulama’ mazhab Syafi’iah , mereka berpendapat bahwa apabila
ada seorang laki-laki memaksa perempuan untuk melakukan zina maka wajib
bagi perempuan itu menerima mahar87 yang sesuai baik itu perempuan
merdeka atau budak,88 hukuman pidana dengan cara membebani ganti kerugian
secara ekonomi itu ditentukan oleh hakim.89
Ketentuan diatas dikuatkan dengan pendapat Imam Al-Baji, ia
berpendapat bahwa hukuman had dan membayar mahar merupakan dua
kewajiban untuk pemerkosa. Hukuman had ini terkait dengan hak Allah
sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak mahkluk,90 menurut
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Atha’ dan Az-Zuhri berpendapat bahwa wajib
diberikan kepada perempuan yang dipaksa itu mahar mistilnya.91
86 Arti hukumah menurut imam yang empat adalah menentukan nilai korban sebagai hambasebelum dilukai kemudian nilai tersebut diukur sesudah luka dan setelah sembuh darinya. Ibid,hlm. 86.
87 Dalam kitab Bidayatul Mujtahid dijelaskan bahwa ulama’ yang berpendapat maharsebagai ganti vagina maka wajib bagi pelaku pemerkosa untuk memberikan mahar kepadaperempuan yang diperkosa. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), hlm. 102.
88 Abdur Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’ah, Juz V, (Darut Taqwa, 2003),hlm. 73.
89 Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Op, Cit, hlm. 62.90 http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/pandangan-alkitab-vs-islam-terhadap.html,
oleh:EkandariSulistyaningsih, diakses pada tanggal 10 April 2012.91 Mahar mitsil itu ditafsirkan oleh kalangan ahli hukum Islam sebagai kompensasi ganti
kerugian secara material ekonomi yang dibebankan kepada pelaku. Abdul Wahid, dan MuhammadIrfan, Op, Cit, hlm. 62.
125
Jadi menurut penulis sudah seharusnya korban kejahatan khususnya
korban perkosaan untuk mendapatkan perlindungan berupa pemberian hak-
haknya sebagai korban diantara hak itu adalah adanya ganti kerugian berupa
kompensai, restitusi dan rehabilitasi yang diberikan oleh pelaku terhadap
korban mengingat dampak yang ditimbulkan akibat perkosaan itu sangat
banyak mulai dari dampak fisik, sosial, maupun psikologis. Oleh karena itu
berkaitan dengan prospek hukum pidana Islam dapat diterapkan terhadap
korban perkosaan, dalam hukum pidana Islam pelaku selain diancam dengan
hukuman yang berat berupa had, diasingkan selama satu tahun dan rajam,
pelaku juga dikenakan beban ganti rugi berupa mahar kepada korban perkosaan
atau qishas-diyat (melukai) yang ditentukan oleh hakim.
126
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis uraikan tentang permasalahan demi permasalahan yang
ada kaitanya dengan judul skripsi melalui pembahasan dari bab pertama
sampai bab terakhir penulis dapat menyimpulkan beberapa hal diantaranya.
1. Menurut Hukum Positif
Putusan pengadilan Negeri Semarang dengan Perkara Nomor:
425/Pid.B/2010/PN. Semarang yang berupa kejahatan kesusilaan yaitu
memaksa melakukan persetubuhan dengan wanita yang masih dibawah
umur dengan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 60.000.000,- dalam
Pasal 81 (2) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal
64 Ayat (1), masih kurang obyektif, karena kejahatan yang dilakukan
sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana perkosaan seperti yang
dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak
yaitu berupa ”dengan sengaja atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita dibawah umur mengadakan hubungan kelamin”, unsur tersebut
sesuai dengan Pasal 285 KUHP tentang kejahatan perkosaan. Seharusnya
Vonis yang dapat dijatuhkan kepada pelaku sesuai dengan Pasal 285
KUHP yaitu 12 tahun penjara atau Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan anak yaitu 15 tahun penjara dengan menambahkan kepada
127
pelaku ganti kerugian berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi,
mengingat korban yang masih berusia 10 tahun dan akibat yang
ditimbulkan dari kejahatan perkosaan tersebut, korban mengalami
penderitaan baik fisik maupun psikis yang berkepanjangan bahkan putus
sekolah karena menanggung malu.
Adapun bentuk perlindungan kepada korban tindak pidana
perkosaan yang dapat diberikan oleh hukum Positif berupa Ganti kerugian
kepada korban perkosaan ada 2 (dua) yakni, Pertama, melalui prosedur
yang sudah ditentukan yaitu berdasarkan Pasal 98 KUHAP melalui azas
penggabungan perkara gugatan ganti rugi dan berdasarkan Undang-
Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban melalui
LPSK, Kedua, upaya pelayanan oleh Negara dalam hal ini diwakili oleh
aparat penegak hukum khususnya hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa pemberian ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku
perkosaan, pemberian ganti rugi semacam ini sebagai wujud dan bentuk
perlindungan hukum yang paling nyata terhadap korban perkosaan.
2. Menurut Hukum Pidana Islam
Sedangkan dalam hukum pidana Islam tindak pidana perkosaan
termasuk dalam jarimah zina dan tidak mengenal usia apabila kejahatan
yang dilakukan itu sudah memenuhi syarat-syarat berupa ancaman dan
paksaan maka tindakan pelaku tersebut sudah tergolong dalam tindak
pidana zina karena paksaan (al Wath bi al Ikrah), sedangkan perlindungan
128
yang diberikan kepada korban perkosaan menurut hukum pidana Islam
yakni pelaku perkosaan dapat dijatuhi hukuman berat berupa hukuman
had yaitu didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun bagi pezina
ghoiru mukhson atau dirajam dilempari dengan batu hingga meninggal
bagi pezina mukhson sedangkan korban dari zina yang dipaksakan
(perkosaan) tidak dihukum sama sekali, bahkan korban wajib diberikan
ganti rugi berupa mahar dan apabila perkosaan itu dilakukan dengan
penganiayaan maka korban berhak mendapatkan diyat, Sedangkan
besarnya ganti rugi tersebut ditentukan oleh hakim melalui konsep
hukumah al’adl.
B. Saran-Saran
Dengan berakhirnya pembahasan ini dari awal hingga akhir maka
penulis mempunyai saran kepada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
dalam pembahasan ini:
1. Negara dalam hal ini yang membuat undang-undang agar meninjau
kembali dan menyempurnakan peraturan-peraturan yang tidak
memungkinkan dan menjamin pemenuhan hak-hak dan kepentingan para
korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perkosaan agar lebih
memperhatikan korban bukan hanya pelaku saja.
2. Aparat penegak hukum untuk lebih aktif dalam mensosialisasikan kepada
korban tindak pidana mengenai gugatan ganti yang sudah diatur dalam
Pasal 98 KUHAP dan rugi dan bantuan ganti rugi berupa kompensai,
129
restitusi dan rehabilitasi yang diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dan diharapkan agar aparat
penegak hukum memberikan pelayanan kepada korban yang mengalami
kesulitan ekonomi, mental, maupun sosial.
3. Apabila dari semua hal ini dijalankan dengan baik maka korban kejahatan
pada umumnya akan sangat dilindungi hak-haknya.
C. Penutup
Demikianlah pembahas karya ilmiah berupa skripsi ini penulis berharap
kerja keras dalam penyusunan sekripsi ini mendapatkan respon dari pembaca
baik itu saran maupun kritik demi kesempurnaan penelitian ilmiah berupa
skripsi ini. Semoga penelitian ini bisa berguna bagi perkembangan penegakan
hukum di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Almahali, Imam Jalaludin, dan Imam Jalaludin Asuyuti, Tafsir Jalalain,
(Bandung: Sinar Baru, 1990).
Asyaukanie, Luthfi, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh
Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah,1998, Cet I).
Asshidiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa,
1996).
Asmawi, dan M. Hanafi, Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1992).
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Cet. 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2000).
Adi, Rianto, Metodologi Pelitian Social dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004,
Cet.I).
Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri, al-Jina’y al-Islami, (Beirut: Muasasah al-Risalah,
1992).
Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’I al-
Islamiy bil Qonunil Wad’iy), (PT. Kharisma Ilmu, Juz. IV)
Al Maududi, Abul A’la, Kejamkah Hukum Islam, (Gema Insani Press, 2010).
Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
Ali, Abdul Yusuf, Al-Qur'an Terjemah dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994).
.
Al-Jaziri, Abdur Rahman, Kitabul Ala Madzahibul Arba’ah, (Beirut: Lebanon, tt,
Juz.II),
Bahiej, Ahmad, dkk, Pemikiran Hukum Pidana Islam Kontemporer. (Yogyakarta:
Pokja Akademik, 2006).
Chazawi, Adam, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Yayasan
Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeven, tt).
Dokumentasi Situasi Daerah Hukum Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri
Jawa Tengah, Situasi Daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang,
(Jakarta: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara,
2001).
Dwiati, Ira, Perlindugan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan
Dalam Peradilan Pidana, (Semarang: Tesis Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).
Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Persindo, 1983).
Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam System Peradilan
Anak Di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010).
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
UGM, 1998, Jilid.2).
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2000).
Harahap. M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2001).
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1996).
Ibrahim, Johni, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normative, (Malang:
Bayu Media Publising, 2005).
Jauhari, Ahmad Al-Mursi Husai, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009).
Kasijan, Z, Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina Dalam al-Qur’an,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982).
Khasbun, M, Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor
187/Pid.B/2006/Pn.Kdl Tentang Tindak Pidana Pemerkosaan Yang
Menyebabkan Kematian, (Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo).
Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset, (Bandung: Mandar Maju, 1996,
Cet.VI).
Lidya Suryani Widyanti, Sri Wurdani dan Heru Wibowo Sukaten, Mereka yang
Terlupakan Para Korban Kejahatan Perkosaan, (Bulletin Penalaran
Mahasiswa,UGM,Vol.3,No.1Februari1997).http://ilib.ugm.ac.id/jurnal/d
ownload.php?dataId=98, di akses pada tanggal 20 Januari 2011.
Lamintang, P.A.F, Delik-Delik Khusus Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-
Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar
Maju, 1990).
Muhammad, Husain, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001).
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004).
Mubarok, Jaih, Enceng Arif Faisal, Kaidah Fiqh Jinayah, Asas-Asas hukum
Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004).
Muhadjir, Noeng, Motode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1996).
Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Kutub Al-Alamiah, tt. Juz II).
Muhammad, Husain, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001).
M. Arief, Dikdik, dan Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan-Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. Radja Grafindo
Persada, 2007).
Marpaung, Leden, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Muladi, Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung:
Penerbit Alumni, 1992).
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang:
Universitas Diponegoro, 1997).
Mustofa, Ghufron, Perlindungan Terhadap Korban Pemerkosaan Anak Dibawah
Umur, (Semarang: Makalah Viktimologi Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo, 2010).
Muslih, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2005).
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada
University, 1993, Cet.4).
Prasetyo, Eko, dan Suparman Marzuki, Perempuan dalam Wacana Perkosaan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1997).
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1984).
Prodjodikoro, Wirdjono, Tindak -Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:
Eresco, 1986).
Prodjodikoro, Martiman, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982).
Prakoso, Djoko, Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP, (Jakarta: Bina Akasara,
1988).
Perempuan, Komnas, Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban, (Jakarta:
[email protected], 2009), hlm. 70.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006).
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Darul Fath, 2004).
Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan
Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
2003).
Santoso, Topo, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO, 1997).
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), hlm. 102.
Soeharso, dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang:
Widya Karya, 2005, Cet.XIII).
S. Praja, Juhaya dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di
Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1982), hlm. 105.
Subhan, Studi Hukum Islam Terhadap Kejahatan Perkosaan Yang Dilakukan
Oleh Anak Dibawah Umur, (Analisis Putusan Pengadilan Negeri
Semarang Nomor 647 Pid B 2005 Tentang Kejahatan Kesusilaan.”
(Semarang: Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri
Walisongo).
Waluyo, Bambang, Narapidana dan Proses Pemasyarakatan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1990).
Waluyo, Bambang, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2011).
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002).
Wahid, Abdul, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, Advokasi ats Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2001).
Refrensi Lain
Isi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Perkara Nomor: 425 /pid.B/2010/PN
Semarang.
KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Tahun 2010.
Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang: Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana, (Jakarta: 1981).
Undang - Undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 Th. 2002), (Jakarata: Sinar
Grafika, 2011, Cet. V).
Perlindungan Saksi Dan Korban, (Undang-Undang Republik Indonesia, No 13,
Tahun 2006).
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Pelaku%20Pemerkosaan%20Panta
s%20Dihukum%20Berat&&nomorurut_artikel=452/di akses tgl 6
Januari 2012.
http://wawasanhukum.blogspot.com/2007/06/ganti-kerugian-dan-rehabilitasi.html,
di Tulis Oleh: Diah Lestari P dan Theodora YSP, di Akses Pada Tangga l
2 April 2012.
http://www.ziddu.com/download/2663135/KUHPerdata.pdf.html.
www.abcnews.go.com/blogs/politics/2011/12/fbi-to-change-definition-of-
forcible-rape.html. Ditulis Oleh: Virginia, Diakses Pada Tanggal 10 Mei
2012.
www.artikata.com/arti-175512-statutory+rape.html. Diakses Pada Tanggal 10 Mei
2012.
www.prasko.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html, Di Tulis Oleh
Prakoso, Diakses Pada Tanggal 03 Mei 2012.
http://realitamasakini.wordpress.com. Rahmat Illahi Besri, Perlindungan Korban
Perkosaan, Diakses Pada Tanggal 5 Mei 2012.
http://www.suarapembaruan.com/home/lpsk-banyak-korban-perkosaan-tak-tahu
hak-haknya/11553. Ditulis Oleh: LPSK, Diakses Pada Tanggal 6 Februari
2012.
http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/pandangan-alkitab-vs-islam-
terhadap.html, oleh: Ekandari Sulistyaningsih, Diakses Pada Tanggal 10
April 2012.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : GHUFRON MUSTOFA
Tempat/Tanggal Lahir : Kendal, 03 Mei 1987
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Ds. Jolinggo RT. 03/ RW. 03, Kel Getas,
Kec. Singorojo, Kab. Demak, Prov. Jawa Tengah
Riwayat Pendidikan Formal :
1. SD N Negeri Getas : Tahun lulus 1999
2. Mts NU Al Ma’arif 02 Boja : Tahun lulus 2002
3. MA NU Al Ma’arif 04 Boja : Tahun lulus 2005
Riwayat Pendidikan Nonformal :
1. Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allimin Boja Kendal
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya,
untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 12 Juni 2012Penulis,
GHUFRON MUSTOFANIM. 072211022