SKRIPSI 2013 KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN SKIN PRICK...
Transcript of SKRIPSI 2013 KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN SKIN PRICK...
SKRIPSI 2013
KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN SKIN PRICK TEST
PADA PASIEN YANG BEROBAT DI POLIKLINIK THT
RSUP. DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
PERIODE JULI - DESEMBER 2012
OLEH :
Santi
C11108194
PEMBIMBING:
dr. Sri Asriyani, Sp. Rad
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………..………..... i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………..………... ii
HALAMAN PERSETUJUAN CETAK………………………………………..iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..iv
ABSTRAK……………………………………………………………………….v
DAFTAR ISI............................................................................................vii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………...viii
BAB I. PENDAHULUAN …………….……………………………..….1
I.1. Latar Belakang ……………………………………….……...1
I.2. Rumusan Masalah …………………………………………...3
I.3. Tujuan Penelitian ………………………….…………………4
I.4. Manfaat Penelitian……………………………………………4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………….…..……5
II.1. Pendahuluan………………………………………………....5
II.2 Tinjauan Umum Mengenai Sistem Imun……………….……5
II.3. Alergen………………………………………………………11
II.4. Uji Tusuk Kulit…………………………………………...…12
II.5. Penyakit Alergi……………………………………………...14
BAB III. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL....24
III.1. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti……………………24
III.2. Dasar Pola Pikir yang Diteliti………………………………25
III.3. Definisi Operasional Variabel yang Diteliti………………..25
BAB IV. METODE PENELITIAN ……….……………….…….………28
IV.1. Jenis Penelitian ………………….. …………………........28
IV.2. Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………........28
IV.3. Populasi dan Sampel……………………………………….28
IV.4. Metode Pengumpulan Data………………………………...29
IV.5. Etika Penelitian…………………………………………….29
BAB V. HASIL PENELITIAN………………………………………….31
BAB VI. PEMBAHASAN………………………………………………..40
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………...44
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Prick Test
Menurut Umur di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo
Periode Juli 2012 sampai Desember 2012………………………..32
Tabel 2 Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Jenis
Kelamin di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode Juli
2012 sampai Desember 2012……………………………………..32
Tabel 3 Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut
Pekerjaan di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode
Juli 2012 sampai Desember
2012………………….…………………………………….……..33
Tabel 4 Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut
Pendidikan di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode
Juli 2012 sampai Desember 2012...………………………………34
Tabel 5 Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Riwayat
Keluarga Menderita Alergi di Poli THT RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo Periode Juli 2012 sampai Desember
2012…………………………………………………………..….34
Tabel 6 Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Diagnosa
THT di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode Juli
2012 sampai Desember 2012……………………………………..35
Tabel 7 Distribusi Penderita Menurut Hasil Tes Positif terhadap Beberapa
Jenis Alergen Inhalan di Poli THT RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo Periode Juli 2012 sampai Desember
2012…………………………………………………………..….36
Tabel 8 Distribusi Penderita Menurut Hasil Tes Positif terhadap Beberapa
Jenis Alergen Ingestan di Poli THT RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo Periode Juli 2012 sampai Desember
2012………………………………………………………………37
SKRIPSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
April, 2013
Santi, C11108194
dr. Sri Asriyani, Sp. Rad
KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN SKIN PRICK TEST PADA
PASIEN YANG BEROBAT DI POLIKLINIK THT RSUP. DR. WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR PERIODE JULI - DESEMBER 2012
(xii + 45 halaman + lampiran)
ABSTRAK
Latar Belakang: Insiden penyakit alergi (asma, rhinitis alergi, dermatitis atopic)
semakin meningkat. Penelitian tentang prevalensi alergi telah banyak dilakukan di
berbagai negara dengan menggunakan kuesioner standard internasional
International Study Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Berdasarkan
hasil survey di Semarang dengan kuesioner ISAAC pada anak sekolah dasar usia
6-7 tahun didapatkan jumlah kasus alergi berturut-turut meliputi asma sebanyak
8,1%, rhinitis alergi sebanyak 11,5% dan eksim sebanyak 8,2%. Secara umum,
gejala rhinitis alergi dan reaktifitas tes kulit cenderung berkurang seiring dengan
meningkatnya usia. Alergi makanan dan anafilaksis lebih banyak pada anak-anak.
Beberapa anak dapat terjadi peningkatan reaksi alergi terhadap makanan tertentu,
atau sebaliknya reaksinya dapat menghilang seiring dengan waktu. Maka dari itu
focus penelitian ini meliputi karakteristik hasil pemeriksaan skin prick test pada
pasien yang berobat dengan diagnosa THT yang telah ditentukan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode studi epidemiologi deskriptif
dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medik Poli
THT Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Hasil: Penelitian menunjukkan bahwa dari 54 penderita yang melakukan tes
alergi skin prick test di poliklinik THT RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo,
sebanyak 36 orang penderita memiliki kriteria diagnosa THT yang ditentukan
yaitu rhinitis alergi, rinosinusitis kronik, dan polip hidung. Berdasarkan umur
penderita, sebanyak 21 penderita (58.3%) berusia antara 16-25 tahun. Berdasarkan
jenis kelamin, sebanyak 20 penderita (55.6%) adalah perempuan. Berikutnya
pegawai negeri sipil (25.0%) dan pelajar/mahasiswa (25.0%) adalah pekerjaan
terbanyak yang tercatat. Sebanyak 14 penderita dengan pendidikan strata 1,2,3
(38.9%) merupakan tingkat pendidikan terbanyak yang melakukan tes alergi,
diikuti 12 penderita (33.3%) dengan pendidikan tamat SMA/sederajat.
Berdasarkan riwayat keluarga yang menderita alergi hanya 5 penderita (13.9%)
yang memiliki riwayat keluarga. Berdasarkan diagnosa THT yang ditentukan, 27
penderita (75.0%) adalah rinosinusitis kronik, 8 penderita (22.2%) adalah rhinitis
alergi, dan 1 penderita (2.8%) adalah polip hidung. Alergen inhalan yang
terbanyak adalah tungau debu rumah (9.4%) diikuti oleh debu rumah (9.1%),
serpih kulit manusia (8.9%), dan kecoa (8.6%). Untuk allergen ingestan yang
terbanyak adalah kacang tanah (5.4%) dan kepiting (5.4%), diikuti oleh teh,
kacang mete, dan coklat (masing-masing 5.1%).
Kesimpulan: Penderita yang melakukan tes alergi paling banyak memiliki umur
dalam interval > 25 tahun, yakni sebanyak 58.3%. Jumlah penderita yang
melakukan tes alergi lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan daripada
laki-laki. Penderita yang melakukan tes alergi paling banyak memiliki pekerjaan
sebagai pegawai negeri sipil dan pelajar/mahasiswa sebanyak 50%. Penderita
yang melakukan tes alergi paling banyak memperoleh pendidikan hingga strata
1,2,3 sebanyak 38.9% dan tamat SMA/sederajat sebanyak 33.3%.Penderita yang
tidak memiliki riwayat keluarga menderita alergi sebanyak 36.1%. Diagnosa THT
terbanyak dari penderita adalah rinosinusitis kronik sebanyak 75.0%. Jenis
alergen inhalan yang paling banyak memberikan hasil tes alergi positif yaitu
tungau debu rumah sebanyak 9.4%, sedangkan alergen ingestan yang paling
banyak yaitu kacang tanah dan kepiting, masing-masing sebanyak 5.4%.
Kata Kunci: skin prick test, alergen, ingestan, inhalan, rinosinusitis kronik,
rhinitis alergi, polip hidung
Daftar Pustaka: 30 (2002-2012)
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai ggelar Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bibingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1) dr. Sri Asriyani, Sp. Rad, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi
ini;
2) Pihak RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo yang telah banyak membantu dalam
usaha memperoleh data yang saya perlukan;
3) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
4) Sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Makassar, April 2013
Penulis
Santi
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh
pajanan terhadap suatu antigen (alergen) tertentu yang menimbulkan reaksi
imunologik berbahaya pada pajanan berikutnya. 1,2
Sebanyak 300 juta penduduk di seluruh dunia diperkirakan menderita
asma. Prevalensi bervariasi di seluruh dunia dan diperkirakan prevalensi pada
anak-anak sekitar 3-38% dan orang dewasa sekitar 2-12%. International Study
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) adalah suatu program penelitian
epidemiologi yang didirikan sejak 1991 untuk mengevaluasi asma, eksim, dan
rhinitis alergi pada anak-anak di seluruh dunia. Studi ini terdiri dari tiga fase. Fase
pertama menggunakan kuesioner untuk memperoleh prevalensi dan tingkat
keparahan dari asma dan penyakit alergi lainnya pada populasi tertentu di seluruh
dunia. Hampir dari seluruh data ini dikumpulkan pada pertengahan tahun 1990.
Fase kedua ditujukan untuk memperoleh factor etiologi yang berkemungkinan
menyebabkan penyakit alergi berdasarkan keterangan yang diperoleh dari fase
pertama. Fase ketiga yaitu pengulangan fase pertama untuk melihat perubahan
prevalensi. 3,4
Insiden penyakit alergi (asma, rhinitis alergi, dermatitis atopic) semakin
meningkat. Penelitian tentang prevalensi alergi telah banyak dilakukan di berbagai
negara dengan menggunakan kuesioner standard internasional International Study
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Berdasarkan hasil survey di
Semarang dengan kuesioner ISAAC pada anak sekolah dasar usia 6-7 tahun
didapatkan jumlah kasus alergi berturut-turut meliputi asma sebanyak 8,1%,
rhinitis alergi sebanyak 11,5% dan eksim sebanyak 8,2%. 3-5
Para peneliti dari ISAAC menemukan variabilitas dalam prevalensi
rinokonjungtivitis alergi pada anak-anak dalam 56 negara. Hasilnya bervariasi
dari 1.4-39.7% dan meskipun pada negara yang berbeda, terjadi tren peningkatan
prevalensi rinokonjungtivitis alergi diantara fase pertama dan fase ketiga. Mirip
dengan penyakit alergi lainnya, prevalensi dermatitis atopi bervariasi tiap Negara.
Prevalensi bervariasi mulai dari 14% di RRC sampai 21.8% di Morocco, dan
prevalensi ini secara umum meningkat. Prevalensi asma juga mengalami
peningkatan. Data dari suatu studi di Inggris menunjukkan bahwa prevalensi dari
asma, rhinitis alergi, dan dermatitis atopi dalam keadaan stabil. Jumlah pasien
yang masuk ke rumah sakit karena anafilaksis meningkat 600% sejak decade yang
lalu di Inggris dan 400% karena alergi makanan. Pasien yang masuk dengan
urtikaria meningkat 100%, dan untuk angioedema meningkat 20%, dimana hal ini
dapat menunjukkan peningkatan prevalensi dari penyakit alergi. 3,4
Jumlah kematian akibat penyakit alergi kebanyakan disebabkan oleh
anafilaksis dan asma, meskipun kematian langsung akibat asma sangat jarang.
Pada tahun 1995, sebanyak 5579 orang meninggal akibat asma di Amerika
Serikat. Sejak tahun 1999, jumlah kematian akibat asma pada individu berusia 5-
34 tahun mulai berkurang. 3,4
Asma lebih sering didapatkan pada anak laki-laki pada decade pertama
kehidupan; setelah pubertas, prevalensinya lebih tinggi pada anak perempuan.
Perbandingan anak laki-laki terhadap perempuan yang memiliki penyakit alergi
kurang lebih sekitar 1.8:1. Reaktifitas res kulit pada perempuan dapat berfluktuasi
selama siklus menstruasi, namun secara klinis tidak terlalu berpengaruh. 2-4
Secara umum, gejala rhinitis alergi dan reaktifitas tes kulit cenderung
berkurang seiring dengan meningkatnya usia. Alergi makanan dan anafilaksis
lebih banyak pada anak-anak. Beberapa anak dapat terjadi peningkatan reaksi
alergi terhadap makanan tertentu, atau sebaliknya reaksinya dapat menghilang
seiring dengan waktu. Meski demikian, anafilaksis akibat alergi makanan dan
penyebab lainnya masih merupakan ancaman pada orang dewasa. Beberapa alergi
makanan (misalnya kacang) dapat menetap sepanjang hidup. Asma pada masa
anak-anak lebih banyak pada anak laki-laki dan sering terjadi resolusi pada saat
dewasa. Namun pada anak perempuan cenderung menderita asma pada saat
remaja dan memiliki gejala yang lebih parah. 2-4
Prevalensi penyakit alergi di Amerika Serikat meningkat pada sekitar
tahun 1980-1990 pada daerah industry. Rhinitis alergi merupakan penyakit alergi
yang paling sering timbul, dan terdapat pada sekitar lebih dari 22% populasi.
Warga Amerika Serikat pada tahun 2010 yang menderita asma diperkirakan
sebanyak 25 juta penduduk. Pada anak-anak yang menderita asma sebanyak 90%
akibat alergi, dibandingkan dengan 50-70% orang dewasa. Dermatitis atopi di
Amerika Serikat juga mengalami peningkatan pada tahun 1980-1990. 2-4
Penelitian mengenai alergi di Indonesia khususnya di Makassar masih
sangat terbatas. Karena masih kurangnya data mengenai jenis-jenis alergen yang
umumnya diderita penderita yang alergik di bidang THT, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai hal tersebut. Selain itu, penulis juga sangat
tertarik untuk mengetahui karakteristik hasil pemeriksaan tes alergi (dalam hal ini
skin prick test) pada penderita alergi di bagian THT. Penelitian ini dapat memberi
tambahan informasi mengenai karakteristik hasil skin prick test pada pasien alergi
di bagian THT.
Dikarenakan luasnya wilayah Makassar dan keterbatasan tenaga, maka
ditentukan Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai sumber
pengambilan data dan penelitian. Pemilihan RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo juga
dikarenakan rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit umum pusat di wilayah
Sulawesi Selatan, dan khususnya pada bagian poliklinik THT terdapat subdivisi
Alergi-Imunologi yang merupakan tempat dilakukannya uji tusuk kulit pada
penderita THT.
Dari uraian diatas dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya, maka
penulis bermaksud mengangkat judul “Karakteristik Hasil Skin Prick Test Pada
Penderita yang Berobat di Poliklinik THT RSU Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo
Makassar Periode Juli-Desember 2012”.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan maka rumusan
masalah dari penelitian ini:
1. Bagaimanakah gambaran karakteristik hasil prick test penderita yang
berobat di Poli THT Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo
berdasarkan umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan penyakit
THT yang diderita?
2. Apakah jenis alergen terbanyak yang menyebabkan penyakit THT yang
terlihat dari hasil prick test penderita yang berobat di Poli THT Rumah
Sakit Umum Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo?
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum:
Mengetahui informasi mengenai karakteristik hasil prick test penderita
yang berobat di Poliklinik THT RSU Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo
periode Juli – Desember 2012.
I.3.2. Tujuan Khusus:
1. Untuk mengetahui distribusi hasil prick test pasien THT menurut umur.
2. Untuk mengetahui distribusi hasil prick test pasien THT menurut jenis
kelamin.
3. Untuk mengetahui distribusi hasil prick test pasien THT menurut
pekerjaan.
4. Untuk mengetahui distribusi hasil prick test pasien THT menurut
pendidikan.
5. Untuk mengetahui distribusi hasil prick test pasien THT menurut diagnosa
penyakit THT.
6. Untuk mengetahui jenis alergen terbanyak yang menyebabkan diagnose
penyakit THT yang tergambar dari hasil prick test.
I.4. Manfaat Penelitian
Dalam bidang ilmiah:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang
karakteristik hasil prick test pasien THT.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang jenis
alergen terbanyak yang pada bagian THT.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan informasi/bacaan,
acuan, dan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
Dalam bidang pelayanan masyarakat:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan berarti bagi
etiologi, diagnosa dini, dan penanganan alergi di rumah sakit.
Bagi peneliti sendiri:
Merupakan pengalaman yang berharga dalam memperluas wawasan dan
pengetahun tentang prick test.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pendahuluan
Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh
pajanan terhadap suatu antigen (alergen) tertentu yang menimbulkan reaksi
imunologik berbahaya pada pajanan berikutnya. Proses alergi meliputi dua
langkah yaitu langkah pertama dimulai dengan kepekaan, selama tahap awal dari
sensitisasi, menghasilkan sejumlah besar antibodi IgE terhadap allergen yang
dihirup, ditelan, atau zat yang disuntikkan. Sebagian sel B memori akan muncul
yang mampu menghasilkan lebih banyak antibody IgE spesifik jika terpapar
kembali dengan allergen yang sama di kemudian hari. Tahap kedua pembentukan
antibody IgE untuk menempel pada reseptor yang dimiliki oleh basofil atau sel
mast di mukosa permukaan kulit, saluran pencernaan, dan sistem pernafasan. 1-4, 6
Salah satu tes alergi yang sering dilakukan di klinik adalah uji tusuk atau
intradermal atau prick test. Pemeriksaan alergi ini merupakan pemeriksaan yang
dilakukan secara in vivo untuk mengetahui IgE pada kepekaan alergi terhadap
allergen yang menimbulkan reaksi cepat, misalnya inhalan, makanan, dan
penisilin. 2-4,7
II.2 Tinjauan Umum Mengenai Sistem Imun
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.
Gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap
infeksi disebut system imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul
terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. System imun
diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. 2,3,6
Mikroba dapat hidup ekstraselular, melepas enzim dan menggunakan
makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain
menginfeksi sel pejamu dan berkembang biak intraselular dengan menggunakan
sumber energy sel pejamu. Baik mikroba ekstraselular maupun intraselular dapat
menginfeksi subjek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga
yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu. 2,3,6
Pertahanan imun terdiri atas system imun alamiah atau nonspesifik
(natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Mekanisme
imunitas nonspesifik (sawar mekanis, fagosit, sel NK, dan system komplemen)
memberikan pertahanan terhadap infeksi. Imunitas spesifik (respon limfosit)
timbul lebih lambat. 2,3,6
Tabel 2.1. Perbedaan sifat-sifat system imun nonspesifik dan spesifik. 6
Nonspesifik Spesifik
Resistensi Tidak berubah oleh
infeksi
Membaik oleh infeksi
berulang (=memori)
Spesifitas Umumnya efektif
terhadap semua mikroba
Spesifik untuk mikroba
yang sudah mensensitasi
sebelumnya
Sel yang penting Fagosit
Sek NK
Sel mast
Eosinofil
Th, Tdth, Tc, Ts
Sel B
Molekul yang penting Lisozim
Komplemen
APP
Interferon
CRP
Kolektin
Molekul adhesi
Antibodi
Sitokin
Mediator
Molekul adhesi
II.2.1. Reaksi Hipersensitifitas
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya berfungsi
protektif, tetapi respon imun dapat menimbulkan akibat buruk dan penyakit yang
disebut penyakit hipersensitifitas. Komponen-komponen system imun yang
bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi
hipersensitifitas. Hipersensitifitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat
respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh.2,3,6
Jenis-jenis penyakit hipersensitifitas terdiri atas berbagai kelainan yang
heterogen. Penyakit hipersensitifitas dibagi menurut waktu terjadinya reaksi dan
mekanisme efektor yang menimbulkan kerusakan sel dan jaringan. 2,3,6
II.2.1.1 Reaksi hipersensitifitas menurut waktu
Reaksi hipersensitifitas dapat dibagi menurut waktu terjadinya reaksi yaitu
reaksi cepat, intermediate dan lambat. 2,3,6,8
1. Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam.
Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan
mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sitemik atau
anafilaksis local seperti pilek-bersin, asma, urtikaria, dan eksim. 2,3,6,8
2. Reaksi intermediate
Reaksi intermediate terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan
jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NKADCC. Reaksi intermediate
diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel neutrofil atau
sel NK. Dari segi mekanisme, tipe II terjadi bila antibody diikat antigen yang
merupakan bagian dari sel jaringan. Tipe III terjadi bila IgG terhadap self-antigen
larut membentuk kompleks imun yang mengendap di jaringan. 2,3,6,8
3. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan
antigen. Reaksi ini terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada DTH (delayed type
hypersensitivity) yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang
mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi
lambat adalah dermatitis kontak, reaksi Mycobacterium tuberculosis dan reaksi
penolakan tandur. 2,3,6,8
II.2.1.1 Reaksi hipersensitifitas menurut mekanisme
Reaksi hipersensitifitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963)
dbagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang
terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Pada tahun 1995 Janeway dan Travers merevisi
tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb. 2,3,6,9
Tabel 2.2. Klasifikasi penyakit imun menurut Gell dan Coombs asli yang
dimodifikasi Janeway dan Travers (1995) 6
Jenis hipersensitifitas Mekanisme imun patologik Mekanisme kerusakan
jaringan dan penyakit
Tipe I
Hipersensitifitas cepat
IgE Sel mast dan mediatornya
(amin vasoaktif, mediator
lipid, sitokin)
Tipe II
Reaksi melalui
antibody
IgM, IgG terhadap
permukaan sel atau matriks
antigen ekstraselular
Opsonisasi dan
fagositosis sel
Pengerahan leukosit
(neutrofil, makrofag) atas
pengaruh komplemen dan
FcR
Kelainan fungsi selular
(misalnya dalam sinyal
reseptor hormon)
Tipe III
Kompleks imun
Kompleks imun (antigen
dalam sirkulasi dan IgM
atau IgG)
Pengerahan dan aktifasi
leukosit atas pengaruh
komplemen dan Fc-R.
Tipe IV (melalui sel T)
Tipe IVa
1. CD4+ : DTH
1.Aktifasi makrofag,
Tipe IVb 2. CD8+ : CTL
inflamasi atas pengaruh
sitokin
2.Membunuh sel sasaran
direk, inflamasi atas
pengaruh sitokin
Reaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe I yang disebut juga reaksi
cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh
terpajan dengan allergen. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet
pada tahun 1906, diartikan sebagai “reaksi pejamu yang berubah” bila terpajan
dengan bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. Istilah ana berasal dari
kata Yunani yang berarti “jauh dari” dan phylaxis yang berarti “perlindungan”.
Istilah tersebut adalah sebaliknya dari profilaksis. 3,6,9,10
Pada reaksi tipe I allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan
respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma,
dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: 6,10
Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (FC€-R) pada permukaan sel mast
dan basofil.
Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul
yang menimbulkan reaksi.
Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktifitas
farmakologik.
Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th.
IgE diikat oleh sel mast/basofil melalui reseptor FC€. Apabila tubuh terpajan ulang
dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah
ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan atigen-IgE, sel mast/basofil
mengalami degranulasi dan melepas mediator yang preformed antara lain
histamine yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitifitas tipe I. 3,6,9,10
Sekitar 50-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang
masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lender hidung, paru dan konjungtiva,
tetapi hanya 10-20% masyarakat yang menderita rhinitis alergi dan sisanya 3-10%
yang menderita asma bronchial. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit,
segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast
akan menetap selama beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif
bila serum orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi yang normal.3,6,9
Reaksi yang terjadi dapat berupa eritem (kemerahan oleh karena dilatasi
vascular) dan bentol/edem (pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya
serum ke dalam jaringan). Puncak reaksi terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase
aktivasi terjadi perubahan dalam membrane sel mast akibat metilasi fosfolipid
yang diikuti oleh influx Ca2+
yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase
ini energy dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan
menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam
sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah, sedang
peningkatan cGMP memacu degranulasi. Penglepasan granul ini adalah fisiologik
dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi sel mast dapat pula
terjadi atas pengaruh anafilatoksin, C3a dan C5a. 3,6,10
Di samping histamine, mediator lain seperti prostaglandin (PG) dan
leukotrin yang dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat berperan pada fase
lambat reaksi tipe I tersebut. Fase lambat sering timbul setelah fase cepat hilang
yaitu antara 6-8 jam. PG dan leukotrin merupakan mediator yang harus dibentuk
terlebih dahulu dari metabolisme asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2.
Oleh karena itu mediator-mediator itu disebut newly generated. 3,6,9
Ikatan IgE pada permukaan sel mast dengan antigen mengawali jalur
sinyal multiple yang merangsang pelepasan granul-granuul sel mast (mengandung
amin-protease), sintesis metabolit asam arakidonat (prostaglandin, leukotrin), dan
sintesis berbagai sitokin. Mediator-mediator tersebut menimbulkan berbagai
reaksi hipersensitifitas tipe cepat. 3,6,9,10
Gambar 2.1. Fase cepat dan fase lambat reaksi hipersensitifitas Tipe I. 6
II.3. Alergen
Alergen
Alergen adalah suatu zat antigenic yang mampu menghasilkan reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (alergi) pada individu yang rentan menderita alergi.
Alergen secara umum dibagi berdasarkan jalur masuknya ke dalam tubuh dan
sumbernya. Contoh beberapa allergen yaitu aeroallergen (polen, spora jamur, bulu
binatang, feses kutu dan kecoa), makanan, serangga yang menyengat, obat-obatan,
dan latex. 2,6,11
Aeroalergen adalah protein atau glikoprotein airborne yang berasal dari
berbagai sumber, seperti pohon dan rumput yang memiliki serbuk sari, spora
jamur, bulu binatang (anjing, kucing, tikus), dan secret yang dikeluarkan kutu dan
kecoa. 2,6,11
Alergen yang berasal dari makanan hanya memerlukan sejumlah kecil
allergen untuk mengakibatkan reaksi alergi. Makanan yang paling sering
mengakibatkan alergi pada anak-anak adalah susu, telur, kacang, kedelai, dan
gandum. Respon terhadap alergi makanan ini pada umumnya terdapat pada anak
berusia dibawah 2 tahun, namun sering didapatkan menghilang pada saat dewasa.
Sebaliknya, pada orang dewasa makanan yang terbanyak mengakibatkan alergi
adalah kacang, ikan, dan kerang. 2,4,6
Alergi karet lateks sering didapat pada petugas kesehatan, pekerja industri
karet, dan pada individu yang sering mengalami prosedur bedah multiple. Gejala
yang timbul dari alergi lateks dapat timbul sebagai urtikaria kontak,
rinokonjungtivitis, asma, dan edema mukosa. 2,4,6
Obat penisilin merupakan obat yang telah dikenal dapat memberikan
reaksi alergi. Penisilin dihubungkan dengan insiden yang tinggi terhadap
terjadinya reaksi alergi dikarenakan reaktivitas kimia dari penisilin dan sisa
metabolitnya. Penisilin sering diberikan secara parenteral, dimana hal ini lebih
meningkatkan resiko terjadinya reaksi alergi. 2,4,6
Hipersensitivitas terhadap sengatan serangga dapat terjadi pada individu
non atopic maupun atopic. Individu tersebut tersensitisasi ketika racun dengan
kadar protein yang tinggi dimasukkan ke subkutan pada saat individu disengat.2,4,6
II.4. Uji Tusuk Kulit
II.4.1. Definisi
Skin prick test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis untuk
membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya
IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamine dan mediator lainnya
yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga timbul flare / kemerahan dan wheal / bentol pada kulit tersebut.
Dengan dilakukan uji tusuk kulit ini dapat ditentukan macam allergen pencetus,
sehingga di kemudian hari bisa menghindari paparan allergen pencetus
tersebut.4,6-7,11
II.4.2. Mekanisme Reaksi pada Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test)
Dibawah permukaan kulit terdapat sel mast, pada sel mast didapatkan
granula-granula yang berisi histamine. Sel mast ini juga memiliki reseptor yang
berikatan dengan IgE. Ketika lengan IgE ini mengenali allergen (misalnya house
dust, mite) maka sel mast teraktivasi untuk melepaskan granul-granulnya ke
jaringan setempat, maka timbulah reaksi alergi karena histamine berupa bentol
(wheal) dan kemerahan (flare). 4,6-7,11
II.4.3. Prosedur Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test)
Uji tusuk kulit seringkali dilakukan pada volar lengan bawah. Pertama-
tama dilakukan desinfeksi dengan alcohol pada area volar, dan tandai area yang
akan ditetesi dengan ekstrak allergen. Ekstrak allergen diteteskan satu tetes larutan
allergen (histamine / control positif) dan larutan control (buffer / control negative)
menggunakan jarum ukuran 26 ½ G atau 27G atau blood lancet. 7
Kemudian jarum ditusukkan dengan sudut kemiringan 45o menembus
lapisan epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan
perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah allergen memasuki kulit. Tes
dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang timbul. 7
II.4.4. Interpretasi Hasil Uji Tusuk Kulit
Besarnya wheal yang dapat dikatakan positif adalah 3 mm lebih besar
disbanding dengan control negative (Kartikawati H 2007). Tabel di bawah ini
adalah skor penilaian wheal. 7
Tabel 2.1 Skor Uji Tusuk Kulit 7
Skor Keterangan
0 Reaksi negative
1+ Diameter wheal 1 mm > dari control negative
2+ Diameter wheal 1-3 mm >dari control negatif
3+ Diameter wheal 3-5 mm > dari control negatif
4+ Diameter wheal 5 mm > dari control negatif
Sumber: Bosquet, J., et al., 2001.
II.5. Penyakit Alergi
Dari berbagai penyakit alergi yang ada, rhinitis alergi merupakan salah
satu dari penyakit alergi yang terdapat pada bagian THT. Maka dari itu akan
dibahas mengenai rhinitis alergi beserta komplikasinya. 2,3,11
Manifestasi klinis akibat alergi yang tampak pada penderita bagian THT
misalnya rinitis alergi. Tidak dapat dihindari kemungkinan bahwa penderita
datang ke rumah sakit tidak dengan rhinitis alergi namun sudah disertai dengan
komplikasinya seperti rinosinusitis kronik dan polip. Maka dari itu akan dibahas
mengenai tiga penyakit diatas.
II.5.1. Rinitis Alergi
II.5.1.1. Batasan
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gejala rhinitis yang timbul
setelah pajanan/paparan allergen yang menyebabkan inflamasi mukosa hidung
yang diperantarai oleh IgE, dengan gejala bersin-bersin paroksismal, pilek encer,
dan buntu hidung. 12-14
II.5.1.2. Etiologi
Alergen inhalan (debu rumah, debu kapuk, jamur, bulu hewan) maupun
alergi ingestan (buah, susu, telur, ikan laut, kacang-kacangan). 12-14
II.5.1.3. Patofisiologi
Gejala rhinitis alergi timbul karena paparan allergen hirupan pada mukosa
hidung yang menyebabkan inflamasi dan menimbulkan gejala bersin, gatal,
rinore, dan hidung buntu. Segera setelah mukosa terkena paparan allergen, terjadi
reaksi alergi fase cepat dalam beberapa menit dan berlangsung sampai beberapa
jam (immediate rhinitis symptoms). Pada sebagian penderita akan terjadi reaksi
fase lambat yang terjadi beberapa jam setelah fase cepat dan dapat berlangsung
hingga 24 jam. Pada fase ini akan terjadi pengerahan sel-sel radang seperti
limfosit, basofil, eosinofil, dan neutrofil ke mukosa hidung. Akumulasi sel radang
ini menyebabkan gejala hidung buntu yang merupakan gejala yang lebih dominan
pada fase lambat. Gejala ini dapat menetap jangka lama pada rhinitis yang
persisten (chronic ongoing rhinitis). 12-15
II.5.1.4 Klasifikasi Rinitis Alergi
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu: 15
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia
tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunya 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis
atau rinokonjungtivitis karena gejala klinik yang tampak adalah gejala
pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini
timbul intermitten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah allergen
inhalan, terutama pada orang dewasa, dan allergen ingestan. Allergen
inhalan utama adalah allergen dalam rumah dan allergen diluar rumah.
Allergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan
biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih
ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih
persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 15
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi: 15
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebi dari gangguan tersebut diatas.
II.5.1.5. Gejala klinis
Gejala klinis yang tampak adalah sebagai berikut: 12-16
- Serangan timbul bila terjadi konak dengan allergen penyebab.
- Didahului rasa gatal pada hidung, mata, atau kadang-kadang palatum
molle.
- Bersin-bersin paroksismal, pilek encer, dan buntu hidung.
- Gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang disertai sakit
kepala.
- Tidak ada tanda-tanda infeksi.
II.5.1.6. Diagnosis
Anamnesis yang lengkap dan cermat mengenai adanya paparan allergen,
riwayat alergi pada keluarga, adanya alergi di organ lain. 12-16
Pada rhinoskopi anterior tampak konka udema dan pucat, secret
seromusinus. Pada rhinitis alergi persisten, rongga hidung sempit, konka udema
hebat. 12-16
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain: 12-16
- Tes kulit prick test.
- Eosinofil secret hidung: positif bila >= 25%.
- Eosinofil darah: positif bila >= 400/mm3.
- Bila diperlukan dapat diperiksa:
o IgE total serum (RIST dan PRIST): positif bila > 200 IU.
o IgE spesifik (RAST).
- Endoskopi nasal: bila diperlukan dan tersedia sarana.
II.5.1.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding rhinitis alergi antara lain: 12-16
- Rinitis akut: ada keluhan panas badan, mukosa hiperemis, secret
mukopurulen
- Rhinitis medikamentosa (drug induced rhinitis): karena penggunaan tetes
hidung dalam jangka lama, reserpin, clonidine, metildopa, guanethidine,
chlorpromazine, dan phenotiazine yang lain.
- Rhinitis hormonal (hormonally induced rhinitis): pada penderita hamil,
hipertiroid, penggunaan pil KB.
- Rhinitis vasomotor.
II.5.1.8. Penyulit
Penyulit yang dapat terjadi pada pasien rhinitis alergi antara lain sinusitis
paranasal, polip hidung, maupun otitis media. 12-16
II.5.1.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang diberikan dapat berupa menghindari penyebab,
medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan meningkatkan kondisi tubuh: 12-16
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, seingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang
termasuk kelompok ini adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah
azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit
menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1
perifer dan tidak mempunyai efek anti-kolniergik, antiadrenergik dan efek
pada SSP minimal (non-sedasi). Antihistamin diabsorpsi secara oral
dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons
fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan
menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan
terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung
tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan bahkan kematian
mendadat (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh
untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon).
Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
allergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium
kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat
ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase
lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktifasi sel neutrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai
bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.
3. Operatif
Dilakukan apabila ada kelainan anatomi (deviasi septum nasi),
polip hidung, atau komplikasi lain yang memerlukan tindakan bedah.
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty
perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.
5. Meningkatkan kondisi tubuh dengan olahraga pagi, makanan yang baik,
istirahat yang cukup dan hindari stress.
II.5.2. Rinosinusitis Paranasal Kronik
Rinosinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasalis disertai mukosa
hidung. Rinosinusitis dapat mengakibatkan komplikasi menjadi sinusitis paranasal
kronik yang lebih sering dijumpai di klinik. 14, 17, 18
II.5.2.1. Batasan
Sinusitis paranasal kronik adalah proses keradangan dari mukosa sinus
paranasal yang kronis, yaitu lebih dari 3 bulan. 19-20
II.5.2.2. Patofisiologi
Sinusitis paranasal akut dapat menjadi kronik oleh berbagai factor yakni
factor alergi, factor gangguan pada komplek osteomeatal, yang mengganggu
potensi ostium. Terjadi perubahan mukosa sinus (penebalan, degenerasi polip,
kista, mukokel). Kuman penyebab bias merupakan campran kuman aerob dan
anaerob. Kuman dominan adalah Pseudomonas aeruginosa dan kuman anaerob.
Pada sinusitis maksila dentogen kuman anaerob sangat dominan. 19,21
II.5.2.3. Gejala klinis
Gejala utama adalah rinore yang kronik dengan secret mukopurulen.
Kadang-kadang terjadi sakit kepala. Gejala lain adalah buntu hidung, kadang
terjadi penurunan penciuman dan pengecapan. Dapat terjadi secret bercampur
darah dari hidung atau secret yang turun ke faring (post nasal drips). 17-20
II.5.2.4. Diagnosis
Untuk diagnosis diperlukan beberapa criteria berikut: 17-20
1. Anamnesis seperti di atas.
2. Pemeriksaan:
a. Rinoskopi anterior: didapatkan adanya secret mukopurulen yang
kadang bercampur darah, dapat terjadi polip, dapat terlihat deviasi
septum nasi.
b. Rinoskopi posterior: post nasal drips dengan secret mukopurulen,
kadang bercampur darah.
c. Transiluminasi: Pemeriksaan transluminasi menunjukkan sinus
yang terkena gelap (hanya untuk sinus maksila dan sinus frontal).
d. Evaluasi untuk adanya alergi.
3. Pemeriksaan penunjang:
- Foto polos sinus: penebalan mukosa, perselubungan, atau bentukan
polip/mukokel.
- Endoskopi nasal: melihat rongga hidung dan meatus medius lebih jelas.
Kondisi komplek osteomeatal dapat dievaluasi lebih cermat.
- CT Scan kadang-kadang diperlukan khususnya pada yang unilateral
untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan atau bila disiapkan untuk tindakan
pembedahan.
- Pemeriksaan gigi atas untuk mencari kemungkinan penyebab dari gigi
(dentogen).
II.5.2.5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dapat berupa keganasan, sinusitis karena jamur. 20,21
II.5.2.6. Penyulit
Penyulit yang dapat terjadi antara lain selulitis orbita, abses orbita,
osteomielitis, abses epidural/subdural, meningitis, abses otak, thrombosis sinus
kavernosus. 17-20
II.5.2.7. Penatalaksanaan
Terapi untuk sinusitis kronik terutama dengan menghilangkan factor
penyebab. Pemberian antibiotic yang sesuai untuk kuman penyebab seperti kuman
gram negative dan kuman anaerob dapat berguna. Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang
memerlukan operasi dengan indikasi tidak ada perbaikan setelah terapi yang
adekuat, sinusitis kronik yang disertai kista atau kelainan yang ireversibel (seperti
adanya polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur).
Tindakan ini telah menggantikan hamper semua jenis bedah sinus terdahulu
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal. BSEF juga berguna untuk mengembalikan fungsi drainase dan
ventilasi sinus. Tindakan lainnya yang dapat dilakukan adalah irigasi sinus
maksila dan bedah Caldwell-Luc (untuk sinusitis maksila). 17-20
II.5.3. Polip Hidung
II.5.3.1. Batasan
Polip hidung adalah pengertian morfologis (bentuk) yang berarti
penonjolan mukosa cavum nasi yang panjang dan bertangkai. Polip bukan
neoplasma, tetapi pseudo-tumor. 21,22
II.5.3.2. Patofisiologi
Penyebab pasti belum diketahui, yang masih dianggap sebagai factor
penyebab adalah alergi dan radang kronik yang berlangsung lama dan berulang-
ulang, menimbulkan hambatan aliran kembali cairan interstisial dan seterusnya
secara berturut-turut timbul edema, penonjolan mukosa, panjang dan bertangkai,
maka terbentuklah polip. Derajat kepadatan jaringan ikat dan pembuluh darah
menentukan derajat edema, sehingga menentukan timbulnya polip. Konka nasi
inferior dan septum nasi mengandung banyak jaringan ikat padat, karena itu polip
jarang ditemui pada organ-organ tersebut. Stroma mengandung jaringan ikat yang
teregang oleh cairan interstisial, mengandung banyak saluran limfe yang melebar,
tetapi sedikit pembuluh darah dan syaraf. Didapat tumpukan limfosit, sel plasma
dan eosinofil dalam jumlah yang bervariasi. 21-23
Polip hidung dibedakan menjadi dua, yaitu polip yang multiple dan soliter.
Polip yang mutipel lebih sering dijumpai, biasanya berasal dari sel-sel etmoid.
Polip yang soliter berasal dari sinus maksilaris, dan tumbuh kea rah koana (polip
koanal). 21-23
Polip lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada wanita, banyak pada
usia muda dan jarang pada anak-anak. 21
II.5.3.3. Gejala Klinis
Gejala klinis dapat berupa: 21-23
- Buntu hidung, bias parsial atau total tergantung besar atau banyaknya
polip.
- Gejala-gejala lain adalah akibat buntu hidung, misalnya: suara bindeng,
batuk, sakit kepala, hiposmia.
- Rinorea/pilek yang terus menerus, secret mucus. Pilek bertambah hebat
dan secret menjadi encer kalau penderita terserang rhinitis akut atau
serangan alergi.
- Semua gejala-gejala ini bertambah secara lambat tetapi progresif.
II.5.3.4. Diagnosis
Untuk diagnosis polip hidup diperlukan kriteria berikut: 21-23
1. Anamnesis yang cermat dan teliti.
2. Pemeriksaan fisik:
a. Inspeksi: dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama pada polip
yang berasal dari sel-sel etmoid.
b. Rinoskopi anterior: tampak secret mucus dan polip multiple atau
soliter. Polip kecil sering tak terlihat.
c. Rinoskopi posterior: kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal.
3. Pemeriksaan penunjang: endoskopi nasal untuk melihat kompleks
osteomeatal secara cermat, polip kecil dapat terlihat.
II.5.3.5. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk polip: 21-23
- Angiofibroma nasofaring juvenilis: tampak seperti polip koanal, tetapi
relative mudah berdarah.
- Inverted Cell Papilloma: tampak seperti polip multiple, tetapi biasanya
unilateral dan banyak pada orang usia lanjut.
- Meningokel: biasanya pada bayi atau anak-anak. Polip jarang dijumpai
pada anak-anak maupun bayi.
II.5.3.6. Penyulit
Penyulit atau komplikasi dari polip jarang terjadi; bila ada sebagai akibat
tertutupnya ostium sinus paranasal atau ostium tuba yakni polip dalam sinus
paranasal, sinusitis paranasal atau otitis media. 21-23
II.5.3.7. Penatalaksanaan
Terapi kausal untuk polip belum ada. Yang dilakukan adalah: 21-23
- Polip kecil: dapat diberikan terapi medikamentosa terlebih dahulu
(antibiotic, steroid oral atau intra nasal).
- Polip besar/multiple:
o Ekstraksi polip intranasal.
o Terapi dari sudut alergi apabila terdapat latar belakang alergi.
o Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF).
o Operasi Caldwell-Luc apabila polip mengisi sinus maksilaris.
o Semprot hidung steroid intranasal (momethasone, triamcinolone,
fluticasone, dan sebagainya) pasca bedah.
BAB III
KERANGKA KONSEP
III.1. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti
Berdasarkan argumentasi ilmiah yang telah kami susun pada tinjauan kepustakaan
terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan prick test
yaitu umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, diagnosa penyakit THT,
riwayat keluarga.
III.2. Dasar Pola Pikir yang Diteliti
Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan maka hubungan variabel tersebut
dapat dirumuskan secara skematis dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
III.3. Definisi Operasional Variabel yang Diteliti
1. Skin Prick Test
Prick Test adalah uji tusuk kulit yang dilakukan di poliklinik THT RSUP
Dr. Wahidin Sudirohusodo.
2. Umur penderita
Umur adalah lamanya penderita hidup sejak dilahirkan sampai umur
terakhir penderita saat pertama kali berobat yang tercatat pada rekam
medik penderita atau saat penelitian dilakukan.
Kriteria objektif kelompok umur ini antara lain:
0-15 tahun
16-25 tahun
> 25 tahun
Kategori yang Diteliti Objek Penelitian
Skin Prick
Test
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Diagnosa Penyakit THT
Riwayat keluarga
3. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah pembagian manusia sesuai dengan sifat biologis atau
anatomi tubuh manusia sesuai dengan yang tercantum dalam status atau
rekam medik penderita.
Kriteria objektifnya antara lain:
Laki-laki
Perempuan
4. Pekerjaan
Pekerjaan adalah aktifitas keseharian sesuai dengan yang tercantum dalam
rekam medik penderita.
Kriteria objektinya antara lain:
Pegawai negeri sipil
Pegawai swasta
Petani
Wiraswasta
Ibu rumah tangga
Pelajar/mahasiswa
Tidak ada pekerjaan
Tidak jelas, jika tidak ada keterangan yang jelas mengenai
pekerjaan penderita
5. Pendidikan
Pendidikan adalah tingkat pembelajaran formal terakhir yang dijalani oleh
pasien yang tercantum dalam rekam medik. Tingkat pendidikan
merupakan status kelas sosial seseorang yang didasarkan atas pengetahuan
yang dimiliki.
Kriteria objektifnya antara lain:
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP/sederajat
Tamat SMA/sederajat
Diploma
Strata 1,2,3
Tidak tertera/ tidak jelas
6. Diagnosa Penyakit THT
Diagnosa penyakit THT adalah diagnose penyakit yang diderita oleh
pasien sesuai dengan yang tercantum dalam status atau rekam medic
penderita.
Kriteria objektifnya antara lain:
Rinitis alergi
Rinosinusitis Paranasal Kronik
Polip Hidung
7. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga adalah adanya riwayat keluarga sebelumnya yang
menderita keluhan alergi sesuai dengan yang tercantum dalam rekam
medik penderita.
Kriteria objektifnya antara lain:
Terdapat riwayat keluarga dengan alergi
Tidak terdapat riwayat keluarga dengan alergi
Tidak terdapat informasi/ tidak jelas
BAB IV
METODE PENELITIAN
IV.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi epidemiologi deskriptif
dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medik Poli
THT Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo. Penelitian deskriptif ini
bertujuan untuk memperoleh gambaran hasil tes uji tusuk kulit pada pasien yang
berobat di Poli THT Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo
berdasarkan umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, riwayat penyakit THT,
dan riwayat keluarga penderita yang berobat di Poli THT Rumah Sakit Umum
Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo. 24
IV.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di wilayah Poli THT Rumah Sakit Umum Pusat
Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar mulai tanggal 25 Februari – 9 Maret 2013.
Alasan pemilihan lokasi ini adalah:
Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo ini adalah rumah
sakit yang merupakan tempat yang mempunyai fasilitas untuk uji tusuk
kulit
Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo merupakan rumah
sakit pendidikan di daerah Makssar
Poli THT Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo
mempunyai dokumen medik yang memadai sehingga data-data penderita
dapat dicatat dengan baik.
IV.3. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Semua pasien yang pernah berobat dan melakukan tes alergi di Poli THT Rumah
Sakit Umum Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar pada periode Juli 2012-
Desember 2012.
2. Sampel
Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi.
a. Kriteria Inklusi:
Pasien yang melakukan tes alergi
b. Kriteria Eksklusi:
Pasien dengan data rekam medik tidak lengkap
Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan adalah cara total sampling.
Menurut Sugiyono (2007), total sampling adalah tehnik penentuan sampel bila
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.
IV.4. Metode Pengumpulan Data
IV.4.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak
pemerintah dan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Kemudian nomor
rekam medik dalam periode yang telah ditentukan dikumpulkan dibagian rekam
medik RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Setelah itu dilakukan
pengamatan dan pencatatan langsung ke dalam tabel yang telah disediakan
IV.4.2. Penyajian Data
Hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan
penjelasan.
IV.5. Etika Penelitian
Setiap subjek akan dijamin kerahasiaannya atas data yang diperoleh dari
rekam medik dengan tidak menuliskan nama pasien tapi hanya berupa
inisial.
Sebelum melakukan penelitian maka peneliti akan meminta izin pada
beberapa institusi terkait antara lain Sub Bagian Kesatuan Bangsa
Pemerintah Daerah Tk.I Sulsel, Kepala RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo,
Bagian Rekam Medik RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo, Poli THT RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Wahidin
Sudirohusodo dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari rekam
medik RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dan rekam medik Poli THT Subbagian
Alergi RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo.
Populasi penelitian adalah semua pasien yang pernah berobat dengan
diagnosa rinosinusitis kronik, rhinitis alergi dan polip hidung, dan telah dilakukan
tes alergi prick test di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar pada
periode Juli – Desember 2012. Populasi yang diperoleh sebanyak 54 pasien.
Sebanyak 54 orang pasien melakukan tes alergi di Poli THT RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo periode Juli-Desember 2012. Dari 54 pasien yang dilakukan tes
alergi, sebanyak 36 pasien memiliki diagnosa rinosinusitis kronik, rhinitis alergi
dan polip hidung.
Pengumpulan data berlangsung selama 2 pekan, yaitu tanggal 25 Februari
– 9 Maret 2013. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan
program computer Statistical Package for The Social Sciences (SPSS) for
Windows 16 (SPSS Inc) dan Microsoft Excel 2007. Hasil pengolahan data
disajikan dalam bentuk tabel dengan penjelasan sebagai berikut :
V.1. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Umur
Sebanyak 2 orang penderita yang melakukan tes alergi (5.6%) memiliki
umur dalam3 rentang 0-15 tahun. Sebanyak 13 orang (36.1%) memiliki umur
dalam rentang 16-25 tahun, dan 21 orang (58.3%) dalam rentang lebih dari 25
tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien yang melakukan tes alergi pada
Poliklinik THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo periode Juli-Desember 2012
terbanyak memiliki umur dalam rentang lebih dari 25 tahun, diikuti dengan
rentang umur 16-25 tahun, dan 0-15 tahun.
Tabel 1. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Prick Test Menurut
Umur di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode Juli 2012
sampai Desember 2012.
V.2. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Jenis
Kelamin
Terdapat sebanyak 16 orang pasien (44.4%) yang berjenis kelamin laki-laki
dan sebanyak 20 orang pasien (55.6%) yang berjenis kelamin perempuan.
Sehingga jumlah pasien perempuan yang melakukan tes alergi lebih banyak
dibandingkan jumlah pasien laki-laki yang melakukan tes alergi pada Poliklinik
THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo periode Juli-Desember 2012.
Tabel 2. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Jenis Kelamin
di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode Juli 2012
sampai Desember 2012.
V.3. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Pekerjaan
Pekerjaan terbanyak penderita yang melakukan tes alergi yakni sebagai
pelajar/mahasiswa pada 9 orang penderita (25.0%) dan sebagai pegawai negeri
sipil pada 9 orang penderita (25.0%). Pekerjaan penderita terbanyak berikutnya
yaitu wiraswasta pada sebanyak 7 orang penderita (19.4%) dan ibu rumah tangga
pada sebanyak 5 orang penderita (13.9%). Sebanyak 3 orang penderita (8.3%)
NO Interval umur Penderita yang Melakukan Tes Alergi
Jumlah Persentase (%)
1 0-15 tahun 2 5.6
2 16-25 tahun 13 36.1
3 > 25 tahun 21 58.3
Total 36 100.0
NO Jenis Kelamin Penderita yang Melakukan Tes Alergi
Jumlah Persentase (%)
1 Laki-laki 16 44.4
2 Perempuan 20 55.6
Total 36 100.0
tidak bekerja, 2 orang penderita (5.6%) sebagai pegawai swasta, dan sebanyak 1
orang pasien (2.8%) tidak jelas. Tidak ada pasien yang melakukan tes alergi yang
bekerja sebagai petani.
Tabel 3. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Pekerjaan di
Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode Juli 2012 sampai
Desember 2012.
V.4. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Pendidikan
Pendidikan terbanyak penderita yakni hingga strata 1,2,3 sebanyak 14
orang (38.9%). Berikutnya sebanyak 12 orang penderita (33.3%) memiliki
pendidikan hingga tamat SMA/sederajat. Sebanyak 5 orang penderita (13.9%)
tamat SMP/sederajat, 3 orang penderita tidak diketahui (8.3%), dan 2 orang
penderita (5.6%) diploma. Tidak ada pasien yang melakukan tes alergi yang tidak
bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD.
NO Jenis Pekerjaan Penderita yang Melakukan Tes Alergi
Jumlah Persentase (%)
1 Pegawai Negeri Sipil 9 25.0
2 Pegawai Swasta 2 5.6
3 Petani 0 0
4 Wiraswasta 7 19.4
5 Ibu Rumah Tangga 5 13.9
6 Pelajar/Mahasiswa 9 25.0
7 Tidak ada pekerjaan 3 8.3
8 Tidak jelas 1 2.8
Total 36 100.0
Tabel 4. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Pendidikan di
Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode Juli 2012 sampai
Desember 2012.
V.5. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Riwayat
Keluarga Menderita Alergi
Sebanyak 5 penderita (13.9%) memiliki riwayat keluarga yang menderita
alergi, dan 13 penderita (36.1%) tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita
alergi. Sedangkan sisanya yaitu 18 penderita (50.0%) tidak memiliki keterangan
lengkap / tidak jelas.
Tabel 5. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Riwayat
Keluarga Menderita Alergi di Poli THT RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo Periode Juli 2012 sampai Desember 2012.
NO Tingkat Pendidikan Penderita yang Melakukan Tes Alergi
Jumlah Persentase (%)
1 Tidak sekolah 0 0
2 Tidak tamat SD 0 0
3 Tamat SD 0 0
4 Tamat SMP/sederajat 5 13.9
5 Tamat SMA/sederajat 12 33.3
6 Diploma 2 5.6
7 Strata 1,2,3 14 38.9
8 Tidak tertera/tidak jelas 3 8.3
Total 36 100.0
NO Riwayat Keluarga Penderita yang Melakukan Tes Alergi
Jumlah Persentase (%)
1 Ada riwayat 5 13.9
2 Tidak ada riwayat 13 36.1
3 Tidak jelas 18 50.0
Total 36 100.0
V.6. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Diagnosa
THT
Sebanyak 27 orang pasien (75.0%) didiagnosa sebagai rinosinusitis kronik,
sebanyak 8 orang (22.2%) didiagnosa sebagai rinitis alergi, dan sebanyak 1 orang
(2.8%) didiagnosa sebagai polip hidung. Sehingga pasien yang melakukan tes
alergi pada Poliklinik THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo periode Juli-
Desember 2012 terbanyak didiagnosis sebagai rinosinusitis kronik, diikuti dengan
diagnosis rhinitis alergi, dan terakhir polip nasi.
Tabel 6. Distribusi Penderita yang Melakukan Tes Alergi Menurut Diagnosa THT
di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode Juli 2012
sampai Desember 2012.
V.7. Distribusi Penderita Menurut Hasil Tes Alergi terhadap Alergen
Inhalan dan Ingestan
Untuk alergen inhalan, dari total 36 penderita yang melakukan tes alergi
di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode Juli 2012 sampai Desember
2012, sebanyak 36 penderita melakukan tes terhadap alergen inhalan. Sebanyak
12 jenis alergen inhalan yang dimasukkan dalam tes alergi di Poli THT RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo. Alergen-alergen inhalan tersebut meliputi debu rumah,
tungau debu rumah, serpih kulit manusia, serbuk bunga rumput campuran, serbuk
bunga padi, serbuk bunga jagung, mixed fungi, kecoa, serpih kulit anjing, serpih
kulit kucing, serpih kulit kuda, dan bulu ayam.
Sedangkan untuk alergen ingestan, dari total 36 pasien yang melakukan tes
alergi di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode Juli 2012 sampai
Desember 2012, hanya sebanyak 35 penderita yang melakukan tes terhadap
NO Diagnosa THT Penderita yang Melakukan Tes Alergi
Jumlah Persentase (%)
1 Rinitis Alergi 8 22.2
2 Rinosinusitis Kronik 27 75.0
3 Polip Hidung 1 2.8
Total 36 100.0
alergen ingestan. Terdapat 1 orang penderita yang tidak melakukan tes terhadap
alergen ingestan dan hanya melakukan tes terhadap alergen inhalan. Sebanyak 21
jenis alergen ingestan yang dimasukkan dalam tes alergi di Poli THT RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo. Alergen-alergen ingestan tersebut meliputi bandeng,
udang, kakap, kepiting, kacang tanah, kacang mete, coklat, susu sapi, putih telur,
kuning telur, ayam, tongkol, cumi, kerang, kedele, kopi, teh, tomat, wortel, nanas,
dan gandum.
Hasil tes diperoleh dengan mengukur diameter eritema atau wheal yang
terbentuk sebagai hasil reaksi hipersensitifitas tubuh terhadap berbagai jenis
alergen. Diameter eritema atau wheal yang terbentuk diukur setelah selang waktu
10 menit dari pemaparan alergen dan pengukuran dilakukan pada setiap kotak
yang telah dinomori/diberikan kode sesuai jenis alergen yang diberikan. Diameter
0×0 menunjukkan hasil tes negatif, diameter 1×1 menunjukkan hasil tes alergi +1
(hipersensitifitas ringan), diameter 2×2 menunjukkan hasil tes +2 (hipersensitifitas
sedang), diameter 3×3 menunjukkan hasil tes +3 (hipersensitifitas kuat), dan
diameter 4×4 menunjukkan hasil tes +4 (hipersensitifitas sangat kuat).
Tabel 7. Distribusi Penderita Menurut Hasil Tes Positif terhadap Beberapa Jenis
Alergen Inhalan di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo
Periode Juli 2012 sampai Desember 2012.
NO Jenis Alergen Inhalan Penderita yang Melakukan Tes Alergi
Jumlah Persentase (%)
1 Tungau Debu Rumah 34 9.4
2 Debu Rumah 33 9.1
3 Serpih Kulit Manusia 32 8.9
4 Kecoa 31 8.6
5 Bulu Ayam 30 8.3
6 Serpih Kulit Anjing 30 8.3
7 Serpih Kulit Kucing 30 8.3
8 Serbuk Bunga Jagung 29 8.0
9 Mixed Fungi 29 8.0
10 Serpih Kulit Kuda 28 7.8
11 Serbuk Bunga Padi 28 7.8
12 Serbuk Bunga Campuran 27 7.5
Total 361 100.0
Pada tabel 7 terlihat distribusi penderita secara berurutan dari yang
tertinggi hingga terendah menurut hasil tes alergi positif terhadap beberapa jenis
alergen inhalan. Hasil tes positif mempunyai arti bahwa pasien memiliki
hipersensitifitas terhadap jenis alergen yang dicobakan sehingga alergen
diangggap tidak aman bagi penderita karena dapat memicu timbulnya penyakit
rinosinusitis. Hasil tes alergi positif terbanyak diperoleh pada jenis alergen
inhalan tungau debu rumah yaitu sebanyak 34 sampel (9.4%). Hasil tes alergi
positif terbanyak kedua diperoleh pada jenis alergen debu rumah sebanyak 33
sampel (9.1%). Sedangkan hasil tes alergi positif terbanyak ketiga diperoleh pada
jenis alergen serpih kulit manusia sebanyak 32 sampel (8.9%). Jenis alergen
inhalan kecoa memberikan hasil tes positif pada 31 sampel (8.6%). Alergen bulu
ayam, serpih kulit anjing dan serpih kulit kucing memberikan hasil tes positif
pada 30 sampel (8.3%). Alergen serbuk bunga jagung dan mixed fungi
memberikan hasil tes positif pada 29 sampel (8.0%). Alergen serpih kulit kuda
dan bunga padi memberikan hasil tes positif pada 28 sampel (7.8%). Alergen
inhalan yang memberikan hasil tes alergi positif paling sedikit yaitu serbuk bunga
campuran sebanyak 27 sampel (7.5%).
Tabel 8. Distribusi Penderita Menurut Hasil Tes Positif terhadap Beberapa Jenis
Alergen Ingestan di Poli THT RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo
Periode Juli 2012 sampai Desember 2012.
NO Jenis Alergen
Ingestan
Penderita yang Melakukan Tes Alergi
Jumlah Persentase (%)
1 Kacang Tanah 34 5.4
2 Kepiting 34 5.4
3 The 32 5.1
4 Kacang Mete 32 5.1
5 Coklat 32 5.1
6 Udang 31 4.9
7 Kedele 31 4.9
8 Cumi 31 4.9
9 Tomat 31 4.9
10 Putih Telur 30 4.8
11 Ayam 30 4.8
Lanjutan Tabel 8. Distribusi Penderita Menurut Hasil Tes Positif terhadap
Beberapa Jenis Alergen Ingestan di Poli THT RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo Periode Juli 2012 sampai Desember 2012.
NO Jenis Alergen
Ingestan
Penderita yang Melakukan Tes Alergi
Jumlah Persentase (%)
12 Kerang 30 4.8
13 Kuning Telur 29 4.6
14 Kakap 29 4.6
15 Wortel 29 4.6
16 Kopi 29 4.6
17 Tongkol 28 4.5
18 Gandum 28 4.5
19 Nanas 27 4.3
20 Susu Sapi 27 4.3
21 Bandeng 24 3.8
Total 628 100.0
Pada tabel 8 terlihat distribusi penderita menurut hasil tes alergi positif
terhadap beberapa jenis alergen ingestan. Hasil tes alergi positif mengandung
makna bahwa pasien memiliki hipersensitifitas terhadap jenis alergen yang
dicobakan sehingga alergen tidak diangggap aman bagi penderita dan dapat
memicu timbulnya alergi. Hasil tes alergi positif terbanyak diperoleh pada dua
jenis alergen ingestan yaitu kepiting dan kacang tanah. Keduanya memberikan
hasil tes alergi positif pada 34 sampel (5.4%). Selain kedua jenis alergen ingestan
tersebut, jenis alergen yang memberikan hasil tes positif terbanyak berikutnya
yaitu kacang mete, coklat, dan teh pada sebanyak 32 sampel (5.1%). Jenis alergen
ingestan udang, cumi, kedele, dan tomat memberikan hasil tes alergi positif
terbanyak berikutnya setelah kacang mete, coklat, dan teh yakni sebanyak masing-
masing 31 sampel (4.9%.) Jenis alergen putih telur, ayam, kerang memberikan
hasil tes alergi positif pada 30 sampel (4.8%). Terdapat 5 jenis alergen yaitu
kuning telur, kakap, kopi, dan wortel yang memberikan hasil tes positif pada
jumlah sampel yang sama yaitu 29 sampel (85.7%). Sebanyak 28 sampel (4.5%)
memberikan hasil tes positif pada alergen tongkol dan gandum. Susu sapi dan
nanas memberikan hasil tes alergi positif pada masing-masing sebanyak 27
sampel (4.3%). Jenis alergen yang memberikan hasil tes alergi positif paling
sedikit meliputi bandeng sebanyak 24 sampel (3.8%).
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai
karakteristik hasil tes alergi penderita rinosinusitis yang berobat di Poli THT RSU
Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo periode Juli-Desember 2012. Karakteristik yang
diteliti meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, diagnosis di Poli
THT RSU Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo yang mendasari pemeriksaan tes
alergi, riwayat keluarga yang menderita alergi, dan hasil tes alergi (jenis alergen).
Dari hasil penelitian diperoleh jumlah penderita yang berkunjung ke Poli
THT RSU Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo periode Juli-Desember 2012 sebanyak
54 penderita melakukan tes alergi. Dari 54 penderita tersebut, jumlah penderita
yang memenuhi kriteria objektif diagnosa THT yaitu rinosinusitis kronik, rhinitis
alergi, dan polip hidung sebanyak 36 orang.
Pada tabel 1 yang memperlihatkan distribusi penderita yang melakukan
tes alergi menurut umur terlihat bahwa jumlah penderita terbanyak diperoleh pada
rentang umur > 25 tahun (58.3%). Jumlah penderita terbanyak kedua diperoleh
pada rentang umur 16-25 tahun (36.1%), diikuti pada posisi ketiga yakni penderita
dalam rentang umur 0-15 tahun (5.6%). Secara umum, gejala alergi dan reaktifitas
tes kulit cenderung berkurang seiring dengan meningkatnya usia. Alergi makanan
dan anafilaksis lebih banyak pada anak-anak. Beberapa anak dapat terjadi
peningkatan reaksi alergi terhadap makanan tertentu, atau sebaliknya reaksinya
dapat menghilang seiring dengan waktu. Meski demikian, anafilaksis akibat alergi
makanan dan penyebab lainnya masih merupakan ancaman pada orang dewasa.
Beberapa alergi makanan (misalnya kacang) dapat menetap sepanjang hidup. Pada
suatu penelitian di Korea tahun 2009 oleh Park et al, didapatkan prevalensi
rhinitis alergi pada anak-anak mengalami peningkatan yang cepat sejak 5 tahun
yang lalu, yaitu dari 22% menjadi 29.2%. Hal ini kurang sesuai dengan hasil
penelitian yang didapatkan, yaitu dengan prevalensi terbanyak terutama pada
kelompok umur >25 tahun. 3, 25
Pada tabel 2 yang memperlihatkan distribusi penderita yang melakukan tes
alergi menurut jenis kelamin terlihat bahwa jumlah penderita berjenis kelamin
perempuan lebih banyak dibanding jumlah penderita yang berjenis kelamin laki-
laki. Menurut Miriam K et al, terdapat perbedaan prevalensi jenis kelamin yang
masih belum dapat dijelaskan. Sebagai contoh, penyakit asma lebih banyak
ditemukan pada laki-laki pada dekade pertama kehidupannya; setelah masa
pubertas, prevalensi tersebut berbalik menjadi lebih banyak ditemukan pada
perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dengan anak perempuan yang
memiliki penyakit atopi sebanyak kurang lebih 1.8:1. 3
Tabel 3 memperlihatkan distribusi penderita rinosinusitis yang melakukan
tes alergi menurut pekerjaan. Dari tabel dapat dilihat bahwa pekerjaan terbanyak
penderita yang melakukan tes alergi adalah sebagai pelajar/mahasiswa dan
sebagai pegawai negeri sipil. Tidak ada pasien yang melakukan tes alergi yang
berkerja sebagai petani. Hal ini mungkin disebabkan karena lokasi penelitian yang
bertempat di RSU Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo yang berlokasi di Kota
Makassar, sehingga tidak dijumpai pasien yang bekerja sebagai petani yang
bertempat tinggal jauh dari jangkauan RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo. Pada
penelitian yang dilakukan di Turki, ditemukan hubungan yang erat antara kejadian
atopi dengan status sosioekonomi yang cukup, status ekonomi yang lebih tinggi
dikaitkan dengan tempat tinggal berada di tengah kota, di apartemen, dan rumah
yang memiliki banyak kamar. Menurut juga banyak studi yang melaporkan
bahwa prevalensi penyakit atopi lebih tinggi pada anak-anak dengan status
sosioekonomi yang tinggi. Keadaan lingkungan tempat tinggal, kualitas
kebersihan rumah, juga dapat mempengaruhi munculnya penyakit atopi. Sebagai
contoh penghuni apartemen kemungkinan menetap di dalam ruangan dalam waktu
tertentu, paparan terhadap kecoa dan kutu dapat member efek terhadap
peningkatan insiden penyakit atopi. 26
Tabel 4 memperlihatkan distribusi penderita yang melakukan tes alergi
menurut pendidikan. Penderita yang melakukan tes alergi terbanyak memperoleh
pendidikan hingga tamat SMA/sederajat dan Strata 1,2,3. Tidak ada penderita
yang tidak bersekolah yang melakukan tes alergi. Sehubungan dengan faktor
pekerjaan yang dijelaskan di atas, tingkat pendidikan penderita dapat dihubungkan
dengan pekerjaannya. Makin tinggi tingkat pendidikan penderita, maka umumnya
makin luas pengetahuan yang dimiliki sehingga kesadaran dalam memelihara dan
melakukan upaya-upaya kesehatan juga semakin baik. Hal ini menandakan bahwa
kesadaran untuk melakukan tes alergi mungkin ada hubungannya dengan tingkat
pendidikan penderita.
Pada tabel 5 yang memperlihatkan distribusi penderita yang melakukan tes
alergi menurut adanya riwayat keluarga yang menderita alergi menunjukkan lebih
banyak penderita yang tidak memiliki riwayat keluarga dibandingkan penderita
yang memiliki riwayat keluarga yang alergi. Pada penelitian di Sanliurfa, terdapat
hubungan antara adanya penyakit atopi dan orang tua yang menderita alergi. Hal
ini dapat disebabkan karena tingginya pernikahan antar keluarga dekat di negara
ini. 26
Berikutnya pada tabel 6 memperlihatkan distribusi penderita yang
melakukan tes alergi menurut diagnose THT. Diagnosis THT yang paling banyak
dilakukan tes alergi adalah rinosinusitis kronik (75.0%), diikuti oleh rhinitis alergi
(22.2%) dan polip hidung (2.8%). Rinitis alergi adalah sebagai gejala rhinitis yang
timbul segera setelah pajanan/paparan allergen yang menyebabkan inflamasi
mukosa hidung. Etiologi dari rhinitis alergi dapat berupa paparan dari allergen
inhalan maupun allergen ingestan. Rinosinusitis kronik adalah proses keradangan
dari mukosa sinus paranasal yang kronis, yaitu lebih dari 3 bulan. Polip hidung
adalah penonjolan mukosa cavum nasi yang panjang dan bertangkai. Berbagai
faktor etiologi dan predisposisi dari rinosinusitis kronik dan polip hidung salah
satunya adalah rhinitis alergi. Inflamasi kronik yang diakibatkan rhinitis alergi
yang berulang dapat mengakibatkan perubahan mukosa hidung maupun
penyumbatan ostium sinus. Tiga jenis penyakit ini merupakan penyakit tersering
dalam bagian THT yang timbul terutama akibat adanya alergi. 12,19,20
Tabel 7 memperlihatkan distribusi penderita menurut hasil tes alergi
positif terhadap alergen inhalan. Alergen inhalan terbanyak yang memberi hasil
tes positif berturut-turut yaitu tungau debu rumah, debu rumah, dan kecoa.
Penelitian di Korea oleh HS Park dkk menunjukkan bahwa allergen dalam rumah
yang paling banyak adalah dua jenis tungau debu rumah, yaitu Dermatophagoides
farinae dan D. pteronyssinus. Serbuk sari pohon, serbuk rumput, kutu laba-laba
merupakan allergen luar rumah yang banyak ditemukan. Berikutnya penelitian
yang dilakukan Bunnag dkk di Thailand juga menunjukkan allergen penyebab
terbanyak adalah tungau debu rumah (64.7%) diikuti oleh debu rumah (64%),
rumput Bermuda (52.3%), dan kecoa (49.8%). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian ini yaitu allergen inhalan terbanyak disebabkan oleh tungau debu
rumah. Alergen inhalan tersebut umumnya dapat memicu reaksi hipersensitifitas
dalam berbagai tingkatan pada tubuh penderita alergi sehingga merupakan jenis
alergen yang paling banyak dapat memicu timbul dan kambuhnya penyakit alergi
pada penderita. 25,27
Pada Tabel 8 yang memperlihatkan distribusi penderita menurut hasil tes
alergi positif terhadap alergen ingestan telihat bahwa alergen ingestan terbanyak
yang memberi hasil tes positif berturut-turut yaitu kacang tanah dan kepiting.
Berdasarkan artikel oleh Nguyen-Luu dkk, alergi terhadap kacang tanah adalah
suatu kondisi potensial yang fatal yang mempengaruhi 1.2-1.8% anak-anak di
Amerika Utara dan Inggris, dan telah merupakan 55% dari penyebab kematian
akibat alergi makanan di Amerika Serikat. Suatu artikel yang ditulis oleh Al-
Muhsen dkk mengatakan bahwa ada 8 macam makanan yang dapat menyebabkan
alergi makanan; beberapa diantaranya adalah kacang tanah, ikan-ikanan, kerang,
susu sapi, telur, kedele, gandum, kacang-kacangan yang berasal dari pohon
(walnut, hazelnut, almond, kacang mete, pecan, pistachio). Berbagai sumber
protein yang berasal makanan laut (kepiting, udang, cumi, kerang) serta kacang-
kacangan umumnya dapat memicu reaksi hipersensitifitas dalam berbagai
tingkatan pada tubuh penderita rinosinusitis sehingga merupakan jenis alergen
yang paling banyak dapat memicu penyakit rinosinusitis pada penderita. 3,28-30
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
VII.1. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian mengenai karakteristik hasil tes alergi
penderita rinosinusitis yang berobat di Poli THT RSU Pusat Dr.Wahidin
Sudirohusodo periode Juli-Desember 2012 diperoleh 36 penderita dari total 54
penderita yang melakukan pemeriksaan tes alergi dengan kriteria diagnosa THT
tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Penderita yang melakukan tes alergi paling banyak memiliki umur dalam
interval > 25 tahun, yakni sebanyak 58.3%.
2. Penderita yang melakukan tes alergi lebih banyak yang berjenis kelamin
perempuan daripada laki-laki.
3. Penderita yang melakukan tes alergi paling banyak memiliki pekerjaan
sebagai pegawai negeri sipil dan pelajar/mahasiswa sebanyak 50%.
4. Penderita yang melakukan tes alergi paling banyak memperoleh
pendidikan hingga strata 1,2,3 sebanyak 38.9% dan tamat SMA/sederajat
sebanyak 33.3%.
5. Penderita yang melakukan tes alergi paling banyak tidak memiliki riwayat
keluarga menderita alergi sebanyak 36.1%.
6. Penderita yang melakukan tes alergi paling banyak didiagnosa sebagai
rinosinusitis kronik sebanyak 75.0%.
7. Jenis alergen inhalan yang paling banyak memberikan hasil tes alergi
positif yaitu tungau debu rumah sebanyak 9.4%. Jenis alergen ingestan
yang paling banyak memberikan hasil tes alergi positif yaitu kacang tanah
dan kepiting, masing-masing sebanyak 5.4%.
VII.2. Saran
1. Perlu kiranya dokter-dokter di bagian THT untuk melakukan upaya
sosialisasi yang lebih terhadap pasien untuk melakukan tes alergi
mengingat pentingnya faktor alergi dalam menentukan perjalanan penyakit
dan prognosis penderita.
2. Perlu kiranya panduan atau persepsi yang sama antara dokter-dokter di
Poli THT RSU Pusat Dr.Wahidin Sudirohusodo mengenai penegakan
diagnosis sebelum dilakukan tes alergi.
3. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang
lebih mendalam mengenai karakteristik hasil tes alergi pada penderita
rawat jalan poli THT dengan metode tes lain selain tes cukit kulit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartanto, Huriawati et al. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta:
EGC; 2002. p. 60.
2. Wills-Karp, Marsha. Immunological Mechanisms of Allergic Disease.
Dalam: Paul, William E. Fundamental Immunology Sixth Edition. USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. P. 1375-420.
3. Anand, Miriam K. 2012. Immediate Hypersensitivity Reaction, [on line].
Dari : http://emedicine.medscape.com/article/136217-overview. [10
Februari 2013]
4. Pawankar, Ruby, GW Canonica, ST Holagate, RF Lockey. WAO White
Book on Allergy 2011-2012: Executive Summary. 2012, [on line]. Dari:
http://www.worldallergy.org/publications/wao_white_book.pdf. [18
Februari 2013]
5. Nency, Y.M. Prevalensi dan Faktor Resiko Alergi pada Anak Usia 6-7
Tahun di Semarang. Karya Tulis Strata Dua, Universitas Diponegoro,
Semarang. 2005.
6. Baratawidjaja, Karnen G. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2006. P. 19-20.
7. Kartikawati, H. Tes Cukit (Skin Prick Test) pada Diagnosis Penyakit
Alergi. Semarang: Bagian IK THT-KL FK UNDIP/SMF THT-KL Rumah
Sakit dr. Karyadi; 2007.
8. Robbins and Cotran. Pathologic Basis of Disease Eighth Edition. China:
Saunders Elsevier; 2004. P. 197-208.
9. Abdul K Abbas. Basic Immunology Second Edition. China: Saunders
Elsevier; 2004. P. 193-208.
10. Widowati, Retno. Pengetahuan Dasar Imunologi. Dalam: Djaunda, Adhi,
M Hamzah, S. Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. P. 43-5.
11. NCBI. 2001, Allergy and Hypersensitivity. [on line], Dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK10756/. [10 Februari 2013]
12. Sheikh, Javed. 2012. Allergic Rhinitis, [on line]. Dari:
http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview. [10 Februari
2013]
13. Soemantri, Roestiniadi D, Mulyarjo, DR Pawarti. Rinitis Alergi. Dalam:
Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Edisi III. 2005. Surabaya: RSU Dokter Sutomo.
14. Nguyen, Quoc A, AD Meyers. Allergic Rhinitis in Otolaryngology and
Facial Plastic Surgery. 2012. [on line]. Dari:
http://emedicine.medscape.com/article/834281-overview. [18 Februari
2013]
15. Irawati, Nina, E Kasakeyan dan N Rusmono. Rinitis Alergi. Dalam:
Soepardi, Efiety A, N Iskandar, J Bashiruddin, RD Restuti. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. P. 128-33.
16. Shah, Saurabh B dan IA Emanuel. Nonallergic & Allergic Rhinitis.
Dalam: Lalwani, Anil K. Current Diagnosis & Treatment in
Otolaryngology – Head & Neck Surgery. USA: The McGraw-Hill
Companies,Inc.; 2004. P. 278-84.
17. Brook, Itzhak. Chronic Sinusitis. 2012, [on line]. Dari:
http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview. [11 Februari
2013]
18. Siswantoro, DR Pawarti, B Soerarso. Sinusitis Paranasal Kronik. Dalam:
Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Edisi III. 2005. Surabaya: RSU Dokter Sutomo.
19. Mangunkusumo, Endang dan D Soetjipto. Sinusitis. Dalam: Soepardi,
Efiety A, N Iskandar, J Bashiruddin, RD Restuti. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. P. 150-4.
20. Salamone, Frank N dan TA Tami. Acute & Chronic Sinusitis. Dalam:
Lalwani, Anil K. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology –
Head & Neck Surgery. USA: The McGraw-Hill Companies,Inc.; 2004. P.
285-92.
21. Siswantoro, DR Pawarti, B Soerarso. Polip Hidung. Dalam: Pedoman
Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok
Edisi III. 2005. Surabaya: RSU Dokter Sutomo.
22. McClay, John E, GC Isaacson.. Nasal Polyps. 2012, [on line]. Dari:
http://emedicine.medscape.com/article/994274-overview. [18 Februari
2013]
23. Mangunkusumo, Endang dan RS Wardani. Polip Hidung. Dalam:
Soepardi, Efiety A, N Iskandar, J Bashiruddin, RD Restuti. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. P. 123-5.
24. Budiarto, Eko. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012. P. 28-30.
25. Park, Hae Sim, GS Choi, JS Cho, dan YY Kim. Epidemiology and Current
Status of Allergic Rhinitis, Asthma, and Associated Allergic Diseases in
Korea: ARIA Asia-Pacific Workshop Report, [on line]. Dari:
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1
9&ved=0CHQQFjAIOAo&url=http%3A%2F%2Fapjai.digitaljournals.org
%2Findex.php%2Fapjai%2Farticle%2Fdownload%2F34%2F45&ei=tgdS
UeXVBM7LrQe2n4GICg&usg=AFQjCNE_AvKuGREtLPoyL0Jxq9cBa
CrUeQ&bvm=bv.44342787,d.bmk&cad=rjt. [23 Maret 2013]
26. Zeyrek, CD, F Zeyrek, E Sevinc, dan E Demir. Prevalence of Asthma and
Allergic Diseases in Sanliurfa, Turkey, and the Relation to Environmental
and Socioeconomic Factors: Is the Hygiene Hypothesis Enough?, [on
line]. Dari: http://www.jiaci.org/issues/vol16issue05/4.pdf. [23 Maret
2013]
27. Bunnag, C, P Jareoncharsri, P. Tantilipikorn, P. Vichyanond dan R.
Pawankar. Epidemiology and Current Status of Allergic Rhinitis and
Asthma in Thailand - ARIA Asia-Pacific Workshop Report, [on line]. Dari:
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3
0&ved=0CGwQFjAJOBQ&url=http%3A%2F%2Fapjai.digitaljournals.org
%2Findex.php%2Fapjai%2Farticle%2Fdownload%2F41%2F56&ei=jSdS
UdTiGcfqrQfs7oCIAw&usg=AFQjCNGegKSawqFRPPu3VgAwSc-
CPaqUUA&bvm=bv.44342787,d.bmk&cad=rjt. [23 Maret 2013]
28. Nguyen-Luu NU, Ben-Shoshan M, Alizadehfar R, Joseph L, Harada L,
Allen M, St-Pierre Y, Clarke A. Inadvertent exposures in children with
peanut allergy, [on line]. Dari:
http://www.medicine.mcgill.ca/epidemiology/joseph/publications/Medical
/nha2012.pdf. [23 Maret 2013]
29. Sicherer SH, dan HA Sampson. Food Allergy, [on line]. Dari:
http://gastro.ucsd.edu/fellowship/Documents/FoodAllergy-SichereandSam
pson.pdf. [23 Maret 2013]
30. Al-Muhsen S, AE Clarke, dan RS Kagan. Peanut Allergy: an overview,
[on line]. Dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC154188/pdf/20030513s000
31p1279.pdf. [23 Maret 2013]
LAMPIRAN
UMUR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0-15 tahun 2 5.6 5.6 5.6
16-25 tahun 13 36.1 36.1 41.7
> 25 tahun 21 58.3 58.3 100.0
Total 36 100.0 100.0
JENIS_KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-laki 16 44.4 44.4 44.4
Perempuan 20 55.6 55.6 100.0
Total 36 100.0 100.0
DIAGNOSIS_THT
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Rinitis Alergi 8 22.2 22.2 22.2
Rinosinusitis Kronik 27 75.0 75.0 97.2
Polip Hidung 1 2.8 2.8 100.0
Total 36 100.0 100.0
Statistics
UMUR JENIS_KELAMIN DIAGNOSIS_THT PEKERJAAN PENDIDIKAN
RIWAYAT_KELU
ARGA_ALERGI
N Valid 36 36 36 36 36 36
Missing 0 0 0 0 0 0
PEKERJAAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid PNS 9 25.0 25.0 25.0
Pegawai Swasta 2 5.6 5.6 30.6
Wiraswasta 7 19.4 19.4 50.0
Ibu Rumah Tangga 5 13.9 13.9 63.9
Pelajar/Mahasiswa 9 25.0 25.0 88.9
Tidak ada pekerjaan 3 8.3 8.3 97.2
Tidak jelas 1 2.8 2.8 100.0
Total 36 100.0 100.0
PENDIDIKAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tamat SMP/sederajat 5 13.9 13.9 13.9
Tamat SMA/sederajat 12 33.3 33.3 47.2
Diploma 2 5.6 5.6 52.8
Strata 1,2,3 14 38.9 38.9 91.7
Tidak tertera/tidak jelas 3 8.3 8.3 100.0
Total 36 100.0 100.0
RIWAYAT_KELUARGA_ALERGI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ada 5 13.9 13.9 13.9
Tidak ada 12 33.3 33.3 47.2
Tidak jelas 19 52.8 52.8 100.0
Total 36 100.0 100.0
Statistics
DEBU_RUMAH
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 3 8.3 8.3 8.3
1X1 cm 12 33.3 33.3 41.7
2x2 cm 12 33.3 33.3 75.0
3x3 cm 8 22.2 22.2 97.2
4x4 cm 1 2.8 2.8 100.0
Total 36 100.0 100.0
TUNGAU_DR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 2 5.6 5.6 5.6
1x1 cm 8 22.2 22.2 27.8
2x2 cm 2 5.6 5.6 33.3
3x3 cm 18 50.0 50.0 83.3
4x4 cm 6 16.7 16.7 100.0
Total 36 100.0 100.0
SERPIH_KULIT_MANUSIA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 4 11.1 11.1 11.1
1x1 cm 11 30.6 30.6 41.7
2x2 cm 5 13.9 13.9 55.6
3x3 cm 14 38.9 38.9 94.4
4x4 cm 2 5.6 5.6 100.0
Total 36 100.0 100.0
SERBUK_BUNGA_RUMPUT
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 7 19.4 19.4 19.4
1x1 15 41.7 41.7 61.1
2x2 7 19.4 19.4 80.6
3x3 7 19.4 19.4 100.0
Total 36 100.0 100.0
SERBUK_BUNGA_PADI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 8 22.2 22.2 22.2
1x1 11 30.6 30.6 52.8
2x2 9 25.0 25.0 77.8
3x3 8 22.2 22.2 100.0
Total 36 100.0 100.0
SERBUK_BUNGA_JAGUNG
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 7 19.4 19.4 19.4
1x1 13 36.1 36.1 55.6
2x2 9 25.0 25.0 80.6
3x3 7 19.4 19.4 100.0
Total 36 100.0 100.0
MIXED_FUNGI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 7 19.4 19.4 19.4
1x1 12 33.3 33.3 52.8
2x2 9 25.0 25.0 77.8
3x3 7 19.4 19.4 97.2
4x4 1 2.8 2.8 100.0
Total 36 100.0 100.0
KECOA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 5 13.9 13.9 13.9
1x1 10 27.8 27.8 41.7
2x2 7 19.4 19.4 61.1
3x3 13 36.1 36.1 97.2
4x4 1 2.8 2.8 100.0
Total 36 100.0 100.0
SERPIH_KULIT_ANJING
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 6 16.7 16.7 16.7
1x1 10 27.8 27.8 44.4
2x2 3 8.3 8.3 52.8
3x3 14 38.9 38.9 91.7
4x4 3 8.3 8.3 100.0
Total 36 100.0 100.0
SERPIH_KULIT_KUCING
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 6 16.7 16.7 16.7
1x1 20 55.6 55.6 72.2
2x2 7 19.4 19.4 91.7
3x3 2 5.6 5.6 97.2
4x4 1 2.8 2.8 100.0
Total 36 100.0 100.0
SERPIH_KULIT_KUDA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 8 22.2 22.2 22.2
1x1 22 61.1 61.1 83.3
2x2 6 16.7 16.7 100.0
SERPIH_KULIT_KUDA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 8 22.2 22.2 22.2
1x1 22 61.1 61.1 83.3
2x2 6 16.7 16.7 100.0
Total 36 100.0 100.0
BULU_AYAM
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 6 16.7 16.7 16.7
1x1 26 72.2 72.2 88.9
2x2 4 11.1 11.1 100.0
Total 36 100.0 100.0
BANDENG
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0X0 11 31.4 31.4 31.4
1X1 19 54.3 54.3 85.7
2X2 4 11.4 11.4 97.1
3X3 1 2.9 2.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
UDANG
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0X0 4 11.4 11.4 11.4
1X1 14 40.0 40.0 51.4
2X2 6 17.1 17.1 68.6
3X3 10 28.6 28.6 97.1
4X4 1 2.9 2.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
KAKAP
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0X0 6 17.1 17.1 17.1
1X1 21 60.0 60.0 77.1
2X2 6 17.1 17.1 94.3
3X3 2 5.7 5.7 100.0
Total 35 100.0 100.0
KEPITING
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0X0 1 2.9 2.9 2.9
1X1 14 40.0 40.0 42.9
2X2 5 14.3 14.3 57.1
3X3 14 40.0 40.0 97.1
4X4 1 2.9 2.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
KACANG_TANAH
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0X0 1 2.9 2.9 2.9
1X1 17 48.6 48.6 51.4
2X2 13 37.1 37.1 88.6
3X3 4 11.4 11.4 100.0
Total 35 100.0 100.0
KACANG_METE
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 3 8.6 8.6 8.6
1x1 20 57.1 57.1 65.7
2x2 7 20.0 20.0 85.7
3x3 5 14.3 14.3 100.0
Total 35 100.0 100.0
COKLAT
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 3 8.6 8.6 8.6
1x1 20 57.1 57.1 65.7
2x2 7 20.0 20.0 85.7
3x3 4 11.4 11.4 97.1
4x4 1 2.9 2.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
SUSU_SAPI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 8 22.9 22.9 22.9
1x1 22 62.9 62.9 85.7
2x2 5 14.3 14.3 100.0
Total 35 100.0 100.0
PUTIH_TELUR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 5 14.3 14.3 14.3
1x1 27 77.1 77.1 91.4
2x2 3 8.6 8.6 100.0
Total 35 100.0 100.0
KUNING_TELUR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 6 17.1 17.1 17.1
1x1 24 68.6 68.6 85.7
2x2 5 14.3 14.3 100.0
Total 35 100.0 100.0
AYAM
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 5 14.3 14.3 14.3
1x1 25 71.4 71.4 85.7
2x2 4 11.4 11.4 97.1
11 1 2.9 2.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
TONGKOL
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 7 20.0 20.0 20.0
1x1 17 48.6 48.6 68.6
2x2 7 20.0 20.0 88.6
3x3 4 11.4 11.4 100.0
Total 35 100.0 100.0
CUMI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 4 11.4 11.4 11.4
1x1 12 34.3 34.3 45.7
2x2 13 37.1 37.1 82.9
3x3 6 17.1 17.1 100.0
Total 35 100.0 100.0
KERANG
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 5 14.3 14.3 14.3
1x1 20 57.1 57.1 71.4
2x2 9 25.7 25.7 97.1
3x3 1 2.9 2.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
KEDELE
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 4 11.4 11.4 11.4
1x1 17 48.6 48.6 60.0
2x2 10 28.6 28.6 88.6
3x3 4 11.4 11.4 100.0
Total 35 100.0 100.0
KOPI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 6 17.1 17.1 17.1
1x1 17 48.6 48.6 65.7
2x2 8 22.9 22.9 88.6
3x3 4 11.4 11.4 100.0
Total 35 100.0 100.0
TEH
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 3 8.6 8.6 8.6
1x1 16 45.7 45.7 54.3
2x2 12 34.3 34.3 88.6
3x3 4 11.4 11.4 100.0
Total 35 100.0 100.0
TOMAT
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 4 11.4 11.4 11.4
1x1 20 57.1 57.1 68.6
2x2 10 28.6 28.6 97.1
3x3 1 2.9 2.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
WORTEL
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 6 17.1 17.1 17.1
1x1 20 57.1 57.1 74.3
2x2 7 20.0 20.0 94.3
3x3 2 5.7 5.7 100.0
Total 35 100.0 100.0
NANAS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 8 22.9 22.9 22.9
1x1 22 62.9 62.9 85.7
2x2 4 11.4 11.4 97.1
3x3 1 2.9 2.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
GANDUM
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0x0 7 20.0 20.0 20.0
1x1 22 62.9 62.9 82.9
2x2 6 17.1 17.1 100.0
Total 35 100.0 100.0