Skenario 3 Nabila
-
Upload
nisrina-fariha -
Category
Documents
-
view
31 -
download
0
Transcript of Skenario 3 Nabila
NABILA (1102010197)
SKENARIO 3 BLOK EMERGENCY
STEVEN JOHNSON SYNDROME
Definisi
Suatu kumpulan gejala klinisi erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.
Sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura. (Djuanda)
Etiologi
InfeksiVirusJamurBakteriParasit
Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, VaksiniaKoksidiodomikosis, HistoplasmaStreptokokus, Staphylococcus haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonellaMalaria
Obat Salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik
Makanan CoklatFisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis
yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan gejala klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.
Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.
Antibiotik1. Sulfonamide: Cotrimoxazole (Bactrim, Cotrim)2. Betalactam: Penicillin, Cephalosporin, Quinolon
Antivirus1. Non-NRTI: Nevirapine
Antikonvulsan1. Carbamazepine (Tegretol)2. Phenytoin (Dilantin, Kutoin)3. Phenobarbital (Cibital)4. Valproic acid (Depakene)5. Lamotrigine (Lamictal)
Anti Inflamasi Non Steroid1. Golongan Oxicam: Meloxicam (Movi-cox), Piroxicam (Feldene)
Allopurinol (Zyloric) Kortikosteroid
Patofisiologi
Sindrom Stevens-Jhonson merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
a. Reaksi hipersensitif tipe III
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi
aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan
menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target- organ ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen
antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada
beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi
ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
b. Reaksi hipersensitif tipe IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen
yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu
antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat
lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
Manifestasi Klinis
Gejala prodromal berkisar antara 1 – 14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada,
muntah pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut
Kulit berupa eritema, papul, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak
dalam 1 – 14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama
(Hipersensitivitas Tipe IV)(Hipersensitivitas Tipe III)
Alergi Obat
Antigen antibodi aktivitas komplemen
Akumulasi Netrofil
Melepaskan Enzim
Kerusakan enzim & menyebabkan kerusakan jaringan
Limfosit T tersensitisasi
Pengaktifan sel T
Penghancuran sel-sel
Mata: konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka,
pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi
kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya
ocular cicatrical pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Diagnosis & Diagnosis Banding
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pf, dan pemeriksaan lab. Anamnesis dan pf ditujukan terhadap kelainan yang
dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata serta hubungannya dengan faktor penyebab.
Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam dan hasil biopsi
yang sesuai dengan SJS
Pemeriksaan lab ditujukan untuk mencari hubungan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum.
Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED)
- Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan
- Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi
- Hitung jenis: peningkatan eosinofil
b. Pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun)
- Kadar IgG dan IgM dapaat meninggi
- C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar
c. Biakan kuman serta resistensi dari darah dan tempat lesi
d. Pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
- Hasil biopsi menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel
rambut dan perubahan dermis
- Histopatologik: dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema
intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah
dermis superfisial.
- Imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin. Untuk mendapat hasil
pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang
berumur kurang dari 24 jam.
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan Steven Johnson Syndrome:
Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN)
SJS sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease)
Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena
Eritem Multiformis (EM) Steven Johnson Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis
Lesi Makula/papula dengan vesikel
ditengahnya
Pola sasaran tembak klasik,
bagian tengahnya cerah dan
EM dengan lebih banyak
keterlibatan membran mukosa
dan blistering
Lesi atipikal, bercak sirkuler
Keterlibatan membran
mukosa yang berat
Lesi atipikal-sekitar 50%
cincin sekitarnya gelap (lesi
target)
Bilateral dan simetris
EM minor-tanpa keterlibatan
mukosa, bula, ataupun gejala
sistemik
EM mayor-ada keterlibatan
mukosa, bula, dan gejala
sistemik, biasanya oleh karena
obat
Terdapat tanda Nikolsky
kemerahan dengan ungu gelap
ditengahnya
Demam tinggi
Lepasnya epidermal <10%
Terdapat tanda Nikolsky
tidak ada lesi target
Eritem menyebar kemudian
nekrosis dan lepasnya
epidermis >30%
Lokasi Membran mukosa (oral,
genital, konjungtival)
Ekstremitas dengan muka >
badan
Telapan tangan dan kaki
Keseluruhan dengan
keterlibatan muka dan badan
lebih banyak
Telapak kaki dan kaki
sebagian
Keseluruhan
Kuku juga bisa terlepas
Organ lain /
komplikasi
Ulkus kornea, keratitis, uveitis
anterior, stomatitis, vulvitis,
balanitis
Lesi di trakea, faring dan
laring
Komplikasi: jaringan parut,
eruptive nevomelanocytic nevi,
jaringan parut di kornea,
kebutaan, fimosis
Nekrosis tubuler dan gagal
ginjal akut, erosi epitel dari
trakea, bronkus dan saluran
pencernaan
Gejala
tambahan
Demam, lemas, lesu Prodormal 1-3 hari yang
mengawali erupsi dengan
adanya demam dan gejala-gejala
flu
Demam tinggi >38°C
Etiologi Obat-obatan (sulfonamide,
AINS, antikonvulsan,
penisilin, allopurinol)
Infeksi (herpes dan
mikoplasma)
Idiopatik 50%
50% terdapat hubungan
dengan obat-obatan
Terjadi hingga 1-3 minggu
setelah paparan obat dengan
onset cepat
80% karena obat-obatan
<5% oleh karena infeksi
virus, imunisasi
Patologi /
patofisiologi
Infiltrat PMN perivaskular,
edema dari dermis bagian atas
Sel sitotoksik menyerang sel
epidermis
Tidak ada infiltrat dermis
Nekrosis dan pelepasan
epidermis di atas membrana
basalis
Sama seperti SJS
Differential
diagnosis
EM minor-urtikaria, viral
exanthem
Demam scarlet, erupsi
fototoksik, GVHD, SSSS,
Demam scarlet, erupsi
fototoksik, GVHD, SSSS,
EM mayor- SSSS, pemphigus
vulgaris, pemphigoid bulosa
dermatitis eksfoliatif dermatitis eksfoliatif
Prognosis Lesi selama 2 minggu Mortalitas <5%
Pertumbuhan kembali
epidermis selama 3 minggu
Kematian pada 30% kasus
oleh karena kehilangan cairan,
infeksi sekunder
Tatalaksana
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yangdicurigai penyebab reaksi.Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan.Orangdengan SJS/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawatluka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkanspesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairandengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri,misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar,2004)
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN.Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertamamemberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat inimenekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi padaOdha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapiyang diberik an biasanya adalah :
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan
lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian s e l a m a 3 h a r i
0 , 2 - 0 , 5 m g / k g B B t i a p 6 j a m . P e n g g u n a a n s t e r o i d s i s t e m i k m a s i h kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,n a m u n a d a j u g a y a n g m e n g a n g g a p s t e r o i d m e n g u n t u n g k a n d a n m e n y e l a m a t k a n nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.Feniramin hidrogen maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-1 2 t a h u n 1 5 m g / d o s i s , d i b e r i k a n 3 k a l i / h a r i . S e d a n g k a n u n t u k Setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5 10mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase. T e r a p i i n f e k s i s e k u n d e r d e n g a n a n t i b i o t i k a y a n g j a r a n g m e n i m b u l k a n
a l e r g i , b e r s p e k t r u m l u a s , b e r s i f a t b a k t e r i s i d a l d a n t i d a k b e r s i f a t n e f r o t o k s i k , m i s a l n y a klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan : Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam,
untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata. Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan
konjungtiva Komplikasi
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi -Esophageal strictures
Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal,penile scarring , stenosis vagina Pulmonari – pneumonia Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder Infeksi sitemik, sepsis Kehilangan cairan tubuh, shock
Prognosis
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian
berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak
memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
SJS yang tepat (dengan kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh yang terlibat) memiliki tingkat kematian
sekitar 5%. Risiko kematian dapat diperkirakan menggunakan skala SCORTEN, yang membutuhkan sejumlah
indikator prognostik memperhitungkan. Hasil-hasil lainnya termasuk kerusakan organ / kegagalan, menggaruk
kornea dan kebutaan. Skala SCORTEN sendiri adalah skalayang mengukur tingkat keparahan penyakit.
Ada 7 skala SCORTEN, dalam 7 Skala SCORTEN tersebut faktor risiko independen untuk kematian tinggi
secara nilai sistematis untuk menentukan tingkat kematian untuk pasien tertentu.
Parameter SCORTEN Skor Individual SCORTEN (Jumlah skor
individual)
Prediksi tingkat
kematian (%)
Usia > 40 hari Ya = 1, Tidak = 0 0 – 1 3,2
Keganasan Ya = 1, Tidak = 0 2 12,1
Takikardi (> 120x/menit) Ya = 1, Tidak = 0 3 35,8
Keterlibatan luas permukaan
kulit >10%
Ya = 1, Tidak = 0 4 58,3
Serum urea >10mmol/l
(>28mg/dl)
Ya = 1, Tidak = 0 > 5 90
Serum glukosa >14mmol/l
(>252md/dl)
Ya = 1, Tidak = 0
Serum bicarbonate <20mmol/l
(<20mEq/l)
Ya = 1, Tidak = 0
Karena tingkat kematian yang tinggi maka pasien dengan SJS membutuhkan penanganan yang cepat, seperti
pengenalan tanda dan gejala untuk penegakkan diagnosa, identifikasi dan penghentian obat penyebab serta terapi
suportif.
OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS
Definisi
Sumbatan pada saluran napas atas (laring) yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu
Etiologi dan Manifestasi Klinis
Disebabkan oleh trauma, tumor, infeksi akut, kelainan kongenital hidung atau laring, difteri, paralysis satu atau kedua plika vokalis, pangkal lidah jatuh ke belakang pada penderita yang tidak sadar karena penyakit, cedera atau narkose maupun karena benda asing.
Obstruksi jalan napas bagian atas ditandai dengan sesak napas, stridor inspiratore, ortopne, pernapasan cuping hidung dan cekung didaerah jugularis-supraklavikula-interkostal. Pasien juga akan sianotik dan gelisah.
Kongenital
Atresia koane
Stenosis supraglotis dan infraglotis
Kista duktus tireoglosus
Kista bronkiegen yang besar
Laringokel yang besar
Tumor
Hemangioma
Higroma kistik
Papiloma laring rekuren
Limfoma
Tumor ganas tiroid
Karsinoma sel skuamosa laring, faring
atau oesofagus
Radang
Laringotrakeitis
Epiglotitis
Hipertrofi adenotonsiler
Angina ludwig
Abses parafaring atau retrofaring
Lain-lain
Benda asing
Edema angioneurotik
Traumatik
Ingesti kaustik
Patah tulang wajah dan mandibula
Cedera laringotrakeal
Intubasi lama: edema/stenosis
Dislokasi krikoaritenoid
Paralysis n. Laringeus rekurens
bilateral
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah:
Serak (disfoni) sampai afoni
Sesak napas (dispnea)
Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan interkostal.
Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat
Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
Muka pucat dan menjadi sianosis karena hipoksia
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui letak sumbatan, diantaranya adalah:
Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring. Laringoskop dapat dilakukan secara direk dan
indirek
Nasoendoskopi
X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian atas. Apabila sumbatan berupa benda
logam maka akan tampak gambaran radiolusen. Pada epiglotitis didapatkna gambaran thumb like
Foto polos sinus paranasal
CT-Scan kepala dan leher
Biopsi
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium:
1. Stadium I: adanya retraksi di suprasternal dan stridor. Pasien tampak tenang
2. Stadium II: retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam, ditambah lagi dengan timbulnya
retraksi di daerah epigastrium. Pasien mulai gelisah
3. Stadium III: retraksi selain di daerah suprasternal, epigastrium juga di infraklavikula dan di sela-sela iga, pasien
sangat gelisah dan dispnea
4. Stadium IV: retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis, jika keadaan
ini berlangsung terus maka penderita akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pada
keadaan ini penderita tampaknya tenang dan tertidur, akhirnya penderita meninggal karena asfiksia.
Tatalaksana
Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran napas atas diusahakan supaya jalan napas
lancar kembali.
Tindakan konservatif: pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika serta pemberian oksigen intermitten, yang
dilakukan pada obstruksi laring stadium I yang disebabkan oleh peradangan
Tindakan operatif/resusitasi: memasukkan pipa endotrakeal melalui mulut (instubasi orotrakea) atau melalui hidung
(intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma yang dilakukan pada obstruksi laring stadium II dan III, atau melakukan
krikotirotomi yang dilakukan pada obstruksi laring stadium IV.
Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu:
1. Intubasi
Dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulut atau hidung
Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (life saving procedure) dan dapat dilakukan tanpa atau
dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%
Indikasi intubasi endotrakea adalah:
o Untuk mengatasi obstruksi saluran napad bagian atas
o Membantu ventilasi
o Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial
o Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari lambung
Keuntungan intubasi, yaitu:
o Tidak cacat karena tidak ada jaringan parut
o Mudah dikerjakan
Kerugian intubasi, yaitu:
o Dapat terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran napas atas
o Tidak dapat digunakan dalam waktu lama
o Orang dewasa 1 minggu, anak-anak 7 – 10 hari
o Tidak enak dirasakan pasien
o Tidak bisa makan melalui mulut
o Tidak bisa bicara
Komplikasi yang dapat timbul yaitu: stenosis laring atau stenosis trakea
Teknik intubasi endoktrakea
o Posisi pasien tidur telentang, leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi
o Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri, dimasukkan melalui mulut sebelah
kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri. Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu
laringoskop diangkat ke atas, sehingga pita suara dapat terlihat
o Dengan tangan kanan, pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus melalui celah antara kedua pita
suara kedalam trakea
o Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik
o Jika menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur telentang itu pundaknya harus
diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal
o Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan dimasukkan mengikuti dinding
faring posterior dan epiglotis diangkat horizontal keatas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat
o Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah pita suara sampai di
trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan plester
2. Laringotomi (Krikotirotomi)
Laringotomi dilakukan dengan membuat lubang pada membran tirokrikoid (krikotirotomi)
Krikotirotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas. Bahayanya besar
tetapi mudah dikerjakan dan harus dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat\
Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah usia 12 tahun, demikian juga pada tumor laring
yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laringitis
Bila kanul dibiarkan terlalu lama maka akan timbul stenosis subglotik karena kanul yang letaknya tinggi akan
mengiritasi jaringan-jaringan di sekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya diganti
dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam
Teknik krikotirotomi:
o Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasi atlantooksipitalis
o Puncak tulang rawan tidroid mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangan kiri
o Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah sampai ditemukan kartilago
krikoid. Membran krikotiroid terletak diantara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan
anastetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit
o Jaringan dibawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah
o Setelah tepi bawah kartilago terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah
o Kemudian masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa plastik untuk sementara
3. Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan bedah dengan mengiris atau membuat lubang sehingga terjadi hubungan
langsung lumen trakea dengan dunia luar untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas
Indikasi trakeostomi adalah:
o Mengatasi obstruksi laring
o Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran pernapasan atas
o Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus
o Untuk memasang alat bantu pernapasan (respirator)
o Untuk mengambil benda asing di subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas bronkoskopi
Keuntungan trakeostomi yaitu:
o Dapat dipakai dalam waktu lama
o Trauma saluran napas tidak ada
o Penderita masih dapat berbicara sehingga kelumpuhan otot laring dapat dihindari
o Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah
o Penderita dapat makan seperti biasa
o Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus
o Jalan napas lancar, meringankan kerja paru
Kerugian trakeostomi:
o Tindakan lama
o Cacat dengan adanya jaringan sikatrik
Jenis irisan trakeostomi
o Irisan vertikal di garis median leher
o Irisan horizontal
Berdasarkan jenis trakeostomi:
o Trakeostomi letak tinggi, yaitu di cincin trakea 2 – 3
o Trakeostomi letak tengah, yaitu setinggi trakea 3 – 4
o Trakeostomi letak rendah, yaitu setinggi cincin trakea 4 – 5
Untuk perawatan trakeostomi, yang harus diperhatikan adalah:
o Kelembaban udara masuk
Dapat dilakukan dengan uap air basah hangat
Nebulizer
Kassa steril yang dibasahi diletakkan dipermukaan stoma
o Kebersihan dalam kanul
Jangan tersumbat oleh sekret, dianjurkan disuksion ½ - 1 jam pada 24 jam pertama dan tidak boleh
terlalu lama setiap suksion, biasanya 10 – 15 detik. Bila lama penderita bisa sesak atau hipoksia atau
cardiac arrest
Lakukanlah berkali-kali sampai bersih
o Anak: kanul dibersihkan setiap hari kemudian pasang kembali
Pengangkatan kanul dilakukan secepatnya, atau dengan indikasi berikut:
o Tutup lubang trakeostomi selama 3 menit, penderita sesak
o Dalam 25 jam tidak ada keluhan sesak bila lubang trakeostomi ditutup waktu tidur, makan dan bekerja
Komplikasi:
o Waktu operasi: perdarahan, lesi organ sekitarnya, apneu dan shock
o Pasca operasi: infeksi, sumbatan, kanul lepas, erosi ujung kanul atau desakan cuff pada pembuluh darah,
fistel trakeokutan, sumbatan subglotis dan trakea, disfagia, granulasi
Teknik trakeostomi:
o Penderita tidur telentang dengan kaki lebih rendah 30° untuk menurunkan tekanan vena di leher.
Punggung diberi ganjalan sehingga terjadi ekstensi. Leher harus lurus, tidak boleh laterofleksi atau rotasi
o Dilakukan disinfektan daerah operasi dengan betadin atau alkohol
o Anestesi lokal subkutan, prokain 2% atau silokain dicampur dengan epinefrin atau adrenalin 1/100.000.
Anestesi lokal atau infiltrasi ini tetap diberikan meskipun trakeostomu dilakukan secara anestesi umum
o Dilakukan insisi
o Insisi vertikal: dimulai dari batas bawah krikoid sampai fossa suprasternum, insisi ini lebih mudah dan
alir sekret lebih mudah
o Insisi horizontal: dilakukan setinggi pertengahan krikoid dan fossa sternum, membentang antara kedua
tepi depan dan medial m. sternokleidomastoid, panjang irisan 4 – 5 cm
Irisan mulai dari kulit, subkutis, platisma sampai fasia colli superfisial secara tumpul. Bila tampak ismus,
maka ismus disisikan ke atas atau ke bawah. Bila mengalami kesukaran dan tidak memungkinkan, potong
saja
o Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian disuntikkan anestesi lokal
kedalam trakea sehingga timbul batuk pada waktu memasang kanul
o Stoma dibuat pada cincin ttrakea 2 – 3 bagian depan, setelah dipastikan trakea dengan menusukkan jarum
suntuk dan letakkan benang kapas tersebut. Kemudian kanul dimasukkan dengan bantuan dilator
o Kanul difiksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya jahitan longgar agar udara ekspirasi
tidak masuk ke jaringan dibawah kulit
4. Perasat Heimlich (Heimlich Maneuver)
Perasat Heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total atau benda
asing berukuran besar yang terletak di hipofaring
Prinsip mekanisme perasat heimlich adalah dengan memberi tekanan pada paru. Dilibatkan paru sebagai
sebuah botol plastik berisi udara yang tertutup oleh sumbatan. Dengan memencet botol plastik itu, sumbatan
akan terlempar keluar
Perasat heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan juga pada anak
Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung, ruptur hati dan fraktur iga
Teknik perasat heimlich:
o Penolong berdiri dibelakang pasien sambil memeluk badannya
o Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, kedua tangan diletakkan pada perut bagian
atas
o Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut kearah dalam dan ke arah atas dengan hentakan
beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4 -5 kali benda asing akan terlempar keluar. Pada anak,
penekanan cukup dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan
o Pada pasien yang tidak sadar atau berbaring, dapat dilakukan dengan cara penolong berlutut dengan
kedua kaki pada kedua sisi pasien. Kepalan tangan diletakkan dibawah tangan kiri di daerah epigastrium
o Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam paru akan mendorong
benda asing keluar
PERBEDAAN GAMBARAN KLINIS EM MINOR, SJS, TEN, SSSS & PV
EM MINOR SJS TEN SSSS PV
Etiologi VHS
akut
Obat Obat Eksotoksin Autoantibodi
Perjalanan
penyakit Akut Akut Akut Akut Akut
Prodormal Tidak ada /
ringan
Ada Ada, nyeri kulit Ada, demam ↑ Tidak ada
Erupsi
Simetris,
diseminata
Simetris,
konfluen
Morbiliformis,
eritem luas,
Eritem,
diseminata
Bula superfisial
seluruh tubuh
konfluen
Predileksi Akral Akral, wajah Wajah,
punggung
Wajah, leher,
ketiak, lipat paha
Rongga mulut,
atau kulit kepala
Lesi kulit
Lesi target Lesi target, lepuh Makula, eritem,
pelepasan
epidermis
Makula, eritem,
pelepasan
epidermis
Bula kendur,
krusta
Mukosa Bebas / sedikit Jelas, 2 / lebih Jelas, 2 / lebih Bebas / jarang Jelas
Histopatologi
Keratinosit
nekrotik
setempat, edema,
infiltrat PMN di
dermis
Keratinosit
nekrotik
setempat, edema,
infiltrat PMN di
dermis tak jelas
Keratinosit
nekrotik
setempat, edema,
infiltrat PMN di
dermis tak ada /
sedikit
Lepuh intra
epidermal, celah
di stratum
granulosum, tak
ada nekrosis sel
Bula intra
epidermal
suprabasal, sel
akntolitik,
perusakan
desmosom &
tonofilamen
Gejala
konstitusi
Tidak ada /
ringan
Ada / berat Ada / berat Ada / berat Ada / berat
Organ dalam Tidak terkena Kadang-kadang Sering Kadang-kadang tidak
Lama 1 – 3 minggu 2 – 4 minggu 3 – 6 minggu 10 – 14 hari 4 – 6 minggu
Komplikasi
Tidak ada Jarang
(septikemi,
pneumoni,
perdarahan GIT,
gagal ginjal,
jantung)
Sering Jarang, selulits,
pneumoni,
septikemi
Sepsis, kaheksia
Mortalitas 0% 5 – 5% 5 – 50% 1 – 10% 50%
Penyembuhan Tanpa parut Mungkin Dapat terjadi Tanpa parut Hipo, hiper parut
(-)