Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10
-
Upload
muhammad-adri-wansah -
Category
Documents
-
view
103 -
download
17
description
Transcript of Skenario 1 Blok 19 Kelompok 10
Skenario 1 Blok 19
Seorang laki-laki berumur 28 tahun dirujuk ke RSMH palembang dari RSUD Sekayu sekitar jam 19.00 WIB karena tanpa sengaja meminum air di dalam botol akua berisi cairan cuka para, penderita mengerang kesakitan di dada dan kesulitan bicara.
Pada saat itu, penderita jatuh tertelungkup 2 meter dari rumah panggung nya dan kepala nya terbentur batu. Selama didalam mobil ambulan, penderita tampak kesakitan berat, gelisah, tidak bisa bicara dan kesulitan bernapas walaupun penderita telah diberikan oksigen. Sekitar jam 23.00 WIB, penderita sampai diruang emergency RSMH palembang dan diberikan kembali oksigen namun penderita mengalami kesulitan bernapas disertai kesadaran yang menurun.
Pada pemeriksaan fisik: temp aksila. 37,0 C, HR 122 x/m, TD 130/90 mmHg, RR 28 x/m dan SpO2 98%. Laki-laki tersebut mengalami disorientasi tempat dan waktu. Pada pemeriksaan pupil isokor diameter 3 mm, reflek cahaya +, dan tubuhnya banyak mengeluarkan keringat. Auskultasi dada : ronkhi (-), stridor inspirasi (+), ritme jantungnya takikardi reguler, abdomen dalam batas normal.
Kepala : Hematom pada regio frontal diameter 5 cm, GCS : 11 (A: 3, M: 5, V: 3), Eriteme
perioral mukosa mulut.Toraks :
Inspeksi : jejas (-), RR 28 reguler,retraksi suprastenal, bercak eritema pada dada. Perkusi : sonor, kiri = kanan. Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-).
Abdomen dalam batas normal
A. Klarifikasi Istilah
1. Cairan cuka para : Asam format (asam metanoat) yang juga dikenal asam semut merupakan cairan tak berwarna dengan bau yang merangsang. Biasanya digunakan untuk menggumpalkan lateks (getah karet).
2. Kesakitan di dada : Sensasi tidak menyenangkan atau nyeri di bagian dada.
3. Kesulitan bicara : Gangguan pengeluaran suara dari pita suara yang kemungkinan disebabkan adanya gangguan pada rima glotis (vocal chord).
4. Kesakitan berat : Sensasi yang tidak menyenangkan yang dirasakan dan terlihat sangat sakit.
5. Gelisah : Perasaan cemas atau takut.6. Disorientasi : Suatu keadaan yang dihasilkan karena kehilangan
kewaspadaan terhadap ruang, waktu dan personality.7. Pupil isokor : Diameter pupil yang sama besar8. Ronkhi : Suara napas tambahan yang dihasilkan karena udara
melewati brnkus yang menyempit dan biasanya terdengar dengan menggunakan stetoskop saat ekspirasi.
9. Stridor inspirasi : Suara napas bernada tinggi yang terdengar saat inspirasi disebabkan adanya obstruksi saluran napas atas.
10. Takikardi reguler : Peningkatan frekuensi jantung yang teratur11. Hematoma : Pengumpulan darah setempat, umumnya menggumpal
dalam organ, rongga atau jaringan, akibat pecahnya dinding pembuluh darah.
12. GCS : System numeric yang digunakan untuk mengukur kesadaran pasien setelah terjadi cedera kepala.
13.
Eritema : Kemerahan pada kulit yang dihasilkan oleh pembuluh kapiler
14. Eritema perioralmukosa mulut
: Kemerahan pada daerah sekitar mukosa mulut
15. Retraksi suprastenal : Tarikan dinding dada yang menandakan adanya peningkatan usaha nafas.
16. Bercak eritema pada dada
: Bercak kemerahan yang terlihat pada dada
B. Identifikasi Masalah
5. Laki-laki berumur 28 tahun dirujuk ke RSMH, karena terminum cairan cuka para dan mengerang kesakitan di dada dan kesulitan bicara.
6. Penderita jatuh tertelungkup 2 meter dari rumah panggung nya dan kepala nya terbentur batu.
7. Selama didalam mobil ambulan, penderita tampak kesakitan berat, gelisah, tidak bisa bicara dan kesulitan bernapas walaupun penderita telah diberikan oksigen.
8. Saat sampai diruang emergency RSMH palembang dan diberikan kembali oksigen namun penderita mengalami kesulitan bernapas disertai kesadaran yang menurun.
9. Pada pemeriksaan fisik didapat : HR 122 x/m, TD 130/90 mmHg, RR 28 x/m, disorientasi tempat dan waktu, tubuhnya banyak mengeluarkan keringat, Auskultasi dada stridor inspirasi (+), ritme jantungnya takikardi reguler.Kepala :
Hematom pada reg. Frontaldiameter 5 cm, GCS : 11 (A: 3, M: 5, V: 3), Eriteme perioral mukosa mulut.
Torak : Inspeksi : RR 28 reguler,retraksi suprastenal, bercak eritema pada dada.
C. Analisis Masalah
1. Apa saja komposisi kimia cairan cuka para?Apa dampak dan gejala cairan cuka para kalau terminum atau terkenah kulit?
2. Mengapa penderita mengerang kesakitan di dada?Mengapa pederita kesulitan bicara?
3. Apa saja dampak penderita jatuh tertelungkup 2 meter dari rumah panggung nya dan kepala nya terbentur batu?
4. Mengapa penderita tampak kesakitan berat, gelisah, tidak bisa bicara dan kesulitan bernapas walaupun penderita telah diberikan oksigen?
5. Mengapa saat sampai di RS penderita mengalami kesulitan bernapas disertai kesadaran yang menurun walaupun telah diberi oksigen?
6. Bagaimana hubungan jarak, waktu 4 jam serta dampak terhadap kondisi penderita?
7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan mekanisme nya?8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan tambahan dan mekanisme nya?9. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan? Apa yang terjadi pada pasien
ini (DK)?10. Bagaimana tatalaksana lanjutan?11. Bagaimana prognosis, komplikasi, dan KDU?
D. Hipotesis
Laki-laki berumur 28 tahun mengalami intoksikasi zat korosif (cuka para) dan trauma kapitis.
E. Sintesis
1. Cuka ParaNama asam format berasal dari kata Latin formica yang berarti semut. Pada
awalnya, senyawa ini diisolasi melalui distilasi semut. Senyawa kimia turunan asam
format, misalnya kelompok garam dan ester, dinamakan format atau metanoat. Ion
format memiliki rumus kimia HCOO−.
Asam format (nama sistematis: asam metanoat) adalah asam gol. karboksilat yang
paling sederhana, dengan rumus kimia HCOOH atau CH2O2. Asam format secara
alami terdapat pada racun sengat lebah dan semut. Asam format juga merupakan
senyawa intermediet (senyawa antara) yang penting dalam banyak sintesis kimia.
Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan banyak serangga dari
ordo Hymenoptera, misalnya lebah dan semut. Asam format juga merupakan hasil
pembakaran yang signifikan dari bahan bakar alternatif, yaitu pembakaran metanol
(dan etanol yang tercampur air), jika dicampurkan dengan bensin.
Asam format, secara prinsip, digunakan sebagai pengawet dan agen antibakteri di
tempat penyimpanan makanan ternak (jerami) dengan cara disemprotkan.
Penggunaan lain asam ini meliputi :
- Proses pengubahan latex organic menjadi karet mentah
- Menyamak kulit sebagai bahan textile
- Insektisida (kutu Acarapis woodi & Varroa)
- Bahan bakar
- Kepentingan laboratorium (sumber CO, HPLC separation, hydrogen storage)
- Dll
Kandungan:Gugus asam dan gugus karboksilat. Berbeda dengan asam karboksilat yang lain, asam
format mempunyai sifat mereduksi. Hal ini karena di samping mengandung gugus
asam, senyawa ini masih mempunyai gugus aldehida.
Dampak cuka para pada tubuh:
Secara umum, zat asam ketika berkontak dengan sel akan menyebabkan necrosis
koagulatif dengan cara denaturasi protein, membentuk koagulum yang disebut
eschar. Pembentukan eschar ini memiliki fungsi protektif untuk menghalangi daya
tembus zat asam tsb.
Kesakitan di dada dan kesulitan bicaraPada kasus, seseorang terminum cuka para ( bahan korosif ). Cuka para ini akan
menimbulkan nyeri hebat dan seperti terbakar karena ia mengikis mukosa mulut.
Kemudian, cuka para mengenai faring, laring sehingga menimbulkan edema laring
yang menyebabkan fungsi fonasi terganggu sehingga ia kesulitan bicara. Selanjutnya,
cuka para akan dilanjutkan ke esophagus. Cuka para juga akan mengikis mukosa
esophagus yang menyebabkan nyeri hebat dan seperti terbakar ( sakit di dada ).
Kemudian, cuka para akan diteruskan ke abdomen.
2. Cedera kepala Biomekanika trauma kepala
Terjatuh menyebabkan trauma karena adanya perubahan kecepatan yang tiba-
tiba atau deselerasi. Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan kepada tubuh
manusia , maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor-
faktor fisik dari kekuatan tersebut dan jaringan tubuh. Beratnya trauma yang
terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk
menahan tubuh. Pada tempat benturan akan terjadi perbedaan pergerakan dari
jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Karakteristik
permukaan yang menghentikan gerak tubuh juga penting, permukaan yang
keras, menambah beratnya deselerasi dan akan menimbulka trauma yang lebih
berat.
Trauma juga bergantung pada elastisitas dan viskositas dari jaringan tubuh.
Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan sebelum
benturan . viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya
walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada ke
dua keadaan diatas, berat trauma yang terjadi , tergantung seberapa jauh gaya
yang ada, akan dapat melewati ketahanan jaringan. Karenanya berat ringannya
trauma akan ditentukan oleh :
kinematik dari deselerasi vertikal,
viskoelastsitas jaringan
karakteristik fisik dari permukaan benturan
posisi dari tubuh relatif terhadap permukaan benturan.
Pada kasus, korban jatuh dengan kepala membentur batu, artinya seluruh energi
transfer ditujukan pada suatu area yang kecil dan terfokus pada suatu titik dalam
(frontal) . Trauma tumpul kepala à kerusakan jaringan terjadi sewaktu energy/
kekuatan akibat trauma diteruskan ke otak à energy diserap oleh lapisan
pelindung otak yaitu rambut, kulit kepala, & tengkorak (kerusakan jaringan
pelindung otak, dasar tulang terlihat) à trauma hebat à penyerapan tidak cukup
untuk melindungi otak à sisa energy diteruskan ke otak
Klasifikasi trauma kapitis
1. Komosio serebri adalah keadaan dimana si penderita setelah mendapat
trauma kapitis mengalami kesadaran yang menurun sejenak (tidak lebih dari
10 menit). Kemudian si penderita dengan cepat siuman kembali tanpa
mengalami suatu kelainan neurologis. Gejala-gejala yang dapat dilihat
adalah :
a. Penderita tidak sadar sejenak (± 10 menit)
b. Wajahnya pucat
c. Kadang-kadang disertai muntah
d. Nadi agak lambat : 60-70/ menit
e. Tensi normal atau sedikit menurun
f. Suhu normal atau sedikit menurun
g. Setelah sadar kembali mungkin tampak ada amnesia retrogad
h. Tidak ada Post-Traumatic Amnesia (PTA)
2. Kontusio serebri (memar otak). Kontusio serebri adalah suatu keadaan yang
disebabkan oleh trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil
(perdarahan yang terjadi diantara bagian-bagian atau sela-sela jaringan) nyata
pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat
mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan
terputusnya kontinuitas jaringan maka disebut laserasio serebri.
3. Hematoma epidural. Hematoma epidural ialah perdarahan yang terjadi
diantara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3%
kasus trauma kapitis. Perdarahan ini terjadi akibar robeknya salah satu cabang
arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter, dan robeknya
arteria diploika. Gejala-gejala yang dapat dijumpai yaitu :
a. Adanya suatu “lucid interval” yang berarti bahwa diantara waktu terjadinya trauma
kapitis dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana kesadaran penderita
adalah baik.
b. Tensi yang semakin bertambah tinggi
c. Nadi yang semakin bertambah lambat
d. Sindrom weber, yaitu midriasis (pupil mengecil) di sisi ipsilateral dan hemiplegi di
sisi kontralateral dari garis fraktur.
e. Fundoskopi dapat memperlihatkan papil edema (setelah 6 jam kejadian).
f. Foto Roentgen : garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri meningea
media atau salah satu cabangnya.
4. Hematoma subdural Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi
diantara durameter dan arakhnoidea. Hematoma ini timbul karena adanya
sobekan pada “bridging veins”. Menurut saat timbulnya gejala-gejala klinis,
hematoma subdural dibagi atas 3 jenis :
a. Hematoma subdural akut Gejala-gejala timbul segera hingga berjam-jam
setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar
luas.
b. Hematoma subdural sub-akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.
c. Hematoma subdural kronik
Gejala-gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.
Kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang
baru, kapsula masih tipis atau belum terbentuk di daerah permukaan arakhnoidea.
Kapsula merekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak. Kapsula
ini mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi
durameter. Karena dindingnya yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume hematoma. Pembuluh darah ini dapat
pula pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma.
5. Hematoma intraserebral. Hematoma intraserebral terjadi bersama dengan kontusio
sehingga secara umum lebih buruk baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang
mengancam terjadianya herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema
lokal yang hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematoma epidural yang
dioperasi. Pada suatu hematoma intraserebral, seorang penderita yang setelah
mengalami trauma kapitis akan memperlihatkan gejala : hemiplegi, papiledem
(pembengkakan pada mata) serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat, dan artreiografi karotis dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri
perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media
yang tidak normal.
Patofisiologi
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturanà memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragià cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cederaà hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arteriaà peningkatan isi intrakranial,
àpeningkatan tekanan intrakranial (TIK). à menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensià penurunan kesadaran.
Penyebab Pasien Tampak Sakit Berat, Gelisah, Tidak Dapat Bicara, Sulit
Nafas
Tidak ada perbaikan walau sudah di berikan oksigen
Pada kasus terjadi :
a) Obstruksi airway
Hal ini dikarenakan terjadi striktura sel-sel faring (dan supraglottis) yang
mengalami luka bakar sehingga terbentuk obstruksi jalan napas.
Cuka para (zat korosif)
Tertelan ( Ingesti)
terjadi kerusakan saluran cerna
terjadi reaksi inflamasi
Kerusakan di mukosa bibir dan mulut
terdapat banyak ujung syaraf bebas
rasa nyeri hebat
tidak bisa bicara
dampak kesakitan hebat
edema orofaringeal & glotis
obstruksi saluran napas atas
kesulitan bernapas
Suplai O2 ke jaringan << gelisah
Obstruksi jalan napas ini akan mengakibatkan pemberian oksigen kurang
maksimal keran aliran oksigen terhambat.
b) Retensi CO2
Dalam mekanisme ventilasi, terjadi pergantian udara dimana oksigen masuk
kedalam aliran darah dan CO2 keluar ke atmosfer. Pada kasus penyempitan
jalan nafas, “jalan” keluar untuk ekspirasi mengeluarkan CO2 sudah sempit
ditambah lagi dengan penekanan oksigen dari resusitasi oksigen menyebabkan
retensi CO2. Retensi CO2 ini akan menghalangi proses pertukaran O2 dan
CO2 pada alveoli.
Saat sampai di RS penderita mengalami kesulitan bernapas disertai kesadaran
yang menurun walaupun telah diberi oksigen?
Di ruang emergensi, pasien mengalami penurunan kesadaran akibat supply O2
ke dalam tubuh sudah tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan O2 dalam tubuh.
Selain itu, trauma kapitis yang dialami pasien ini mungkin ini juga
menyebabkan kesadaran pasien menurun. Saat terjadi trauma kapitis à TIK
(tekanan intra kranial) akan meningkat dan akan menekan pusat kesadaran
(retikulofornatio) menyebabkan pasien akan kehilanghan kesarannya secara
perlahan.
3. Kompensasi Tubuh terhadap Trauma dalam Waktu 4 Jam
Sistem Kardiovaskuler
Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas
atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T, P dan
disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takhikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah
arteriol berkontraksi.
Aktivitas myokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya
stroke work dimana pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf
simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan
terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan
tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
Sistem Respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi
paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi.
Terjadinya pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang
menigkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi
apneu. Konsenterasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran
darah.
Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi,
jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga
terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan
karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan
asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian
terjadi peningkatan tingginya TIK. Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik.
Pada kontusio otak terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang
mengandung protein yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal
tidak didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh darah dan jaringan
sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya
TIK yang dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula
oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia
dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
Sistem Genito-Urinaria
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.
Keluaran Urin sedikit dan Meningkatnya konsentrasi elektrolit. Retensi Cairan
Pelepasan ADH Trauma . Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus
terhadap hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.
Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan
dan natrium. Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan
pasca trauma dapat timbul hiponatremia. Untuk itu, selama 3-4 hari tidak perlu dilakukan
pemberian hidrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari haluaran urin. Pemeberian cairan harus
hati – hati untuk mencegah TIK. Demikian pula sangatlah penting melakukan
pemeriksaan serum elektrolit. Hal ini untuk mengantisipasi agar tiadk terjadi kelainan
pada kardiovaskuler.
SistemPencernaan
Setelah 3 hari terdapat respon tubuh yang merangsangtrauma kepala ( aktivitas
hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung untuk terjadi
hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid
adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun
pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung
yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya
peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi
produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan
perdarah lambung.
Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cederaotak dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau
hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu,
pasien dapat mempunyai control vaolunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan
perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas
atau kontraktur. Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2
kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian
posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau “strip motorik “. Di sini kedua
bagian saraf itu bersinaps dengannkelompok neuron – neuron motorik bawah yang
berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot – otot tertentu. Masing – masing
dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan.
Sehingga ,pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini
cidera. Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot
dan penamilan postur abnormal, yang pada saatny dapat membuat komplikasi seperti
peningkatan saptisitas dan kontraktur
4. Interpretasi hasil pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai normal Interpretasi dan mekanisme
T: 37,00 C Normal : 36,5-37,5 Normal
HR:122x/m Normal : 60-100x/m Takikardi, kompensasi
berkurangnya suplai oksigen
TD : 130/90 mmHg Normal:120/80 mmHg Meningkat, kompensasi
kurangnya suplai darah ke
jaringan tubuh, Terjadi
vasokontriksi akibat kinerja
simpatis dan juga penambahan
CO akibat peningkatan
frekuensi kontraksi jantung
RR : 28 x/m Normal : 16-24 x/m Meningkat, kompensasi
kurangnya suplai oksigen
SpO2 : 98% Cara mengukur jumlah
oksigen yang ada didalam
tubuh adalah dengan
mengukur saturasi oksigen
di dalam darah, yaitu
sekitar 96 - 99%
- Normal ataupun
kemungkinan terjadi prosedur
Kesulitan bernafas yang masih
timbul akibat adanya rasa
nyeri yang ditimbulkan oleh
iritasi bahan korosif, dalam
hali ini cuka para, terhadap
saluran cerna dan nafas.
Pasien mengalami
disorientasi tempat dan
waktu
Sadar, kompos mentis Terjadi penurunan
kesadaran
Kemungkinan :
1. karena trauma kapitis
yang dialaminya perlu
pemeriksaan lebih
lanjut yakni CT scan.
2. penurunan O2 ke otak.
Pupil isokor Normal selebar 3mm Efek perangsangan saraf
simpatisàserabut radialis
irisàdilatasi
Reflek cahaya (+) (+) Normal
Tubuhnya banyak
mengeluarkan keringat
Perangsangan simpatis akibat
stress tubuh, gangguan
hemodinamik
Auskultasi dada :
Ronkhi (–)
Stridor Inspirasi (+)
Normal
Normal: tak ada
Tidak ada cairan dalam alveoli
Obstruksi saluran nafas atas
terutama mengganggu jalan
nafas akibat hipoksia seluler
dan aktivasi system simpatis
pada kerusakan jaringan,
dehidrasi sel dan jaringan serta
hipovolemia tanpa gangguan
struktur pada jantung
Ritme jantung Normal: tidak takikardi Kompensasi akibat kurangnya
takikardi reguler suplai darah ke jaringan tubuh
Abdomen dalam batas
normal
Normal Asam format (cuka para) tidak
sampai ke saluran GI karena
kemungkinan dimuntahkan
sebelum sampai lambung
Hematom pada regio frontal, diameter 5cm : akibat kerusakan pembuluh darah
setelah pembuluh darah SCALP dan tulang tengkorak saling bersinggungan
Tabel Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS).
Jenis pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (eye opening / E) :
Spontan
Terhadap suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
4
3
2
1
Respon motorik terbaik (M) :
Ikut perintah
Melokalisir nyeri
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
Fleksi abnormal (dekortikasi)
Ekstensi abnormal (deserebrasi)
Tidak ada (flasid)
6
5
4
3
2
1
Respon verbal (V) :
Berorientasi baik
Berbicara mengacau (bingung)
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tidak ada
5
4
3
2
1
Eritema perioral dan mukosa mulut : akibat proses pelarutan atau denaaturasi
protein oleh asam format (cuka para) pada kulit dan mukosa sehingga terjadi
gangguan keseimbangan membran dan tekanan osmosis pada kulit menimbulkan
reaksi inflamasi eritema
Thoraks
o Jejas (-) : tidak ada trauma yang mengenai dada
oRR 28 x / menit : Meningkat, sebagai kompensasi kurangnya suplai oksigen`
oRetraksi suprasternal (+) : usaha bernafas yang kuat karena ada gangguan
inspirasi (restriksi)
oBercak eritema pada dada : akibat proses pelarutan atau denaturasi protein
oleh asam format (cuka para) pada kulit dan mukosa sehingga terjadi gangguan
keseimbangan membran dan tekanan osmosis pada kulit yang meimbulkan reaksi
inflamasi eritema
oPerkusi sonor kanan sama dengan kiri
oAuskultasi : vesikuler ronki (-)
Abdomen dalam batas normal
5. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
a. Waktu saat menelan à pukul 19.00.
b. Jumlah dan sifat bahan yang tertelan à cuka para (asam kuat).
c. Kecelakaan atau disengaja à “tertelan”.
d. Rute à per oral.
e. Keadaan saat pajanan (lokasi, lingkungan, intensitas).
f. Riwayat trauma lainnya (posisi, lokasi, jenis tabrakan, kecepatan dll)
à terjatuh 2 meter dan kepala terbentur batu à trauma kapitis.
b. Pemeriksaan fisik
a. Tanda vital. Pada kasus ; febris, takikardia, takipnea, hipertensi.
b. Sistem kardiopulmoner. Pada kasus ; (-) ronki, (+) stridor, takikardi,
ireguler.
c. Status neurologis. Pada kasus ; disorientasi tempat dan waktu, pupil
melebar tapi masih ada refleks cahaya, serta GCS.
d. Pemeriksaan khusus ; kepala, rongga mulut, faring dan laring. Pad
pemeriksaan rongga mulut, faring dan laring mungkin dapat
menunjukkan kemerahan mukosa yang jelas, daerah gundul atau
koagulum bahan kaustik. Pemeriksaan ini harus hati-hati untuk
menghindari muntah bahan penyebab kembali ke esophagus dan
faring yang tidak disengaja.
c. Pemeriksaan penunjang
a. CBC, elektrolit, ureum, kreatinin dan ABG à Membantu dalam
mendiagnosa terjadinya toksisitas sistemik, mengkoreksi
keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intracranial dan mendeteksi masalah ventilasi atau oksigenisasi.
b. Glukosa serum, kalau hipoglikemia berikan 50 ml D 50%.
c. EKG
d. Foto rontgen kepala dan thorax ; Menilai adanya fraktur dan mencari
tanda perforasi esofagogastrik, seperti udara bebas.
e. Analisis toksikologi ; Sampel yang dikirim adalah 50 ml urin,10 ml
serum,bahan muntahan dan feses.
f. CT scan kepala ; Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan
komplikasi jangka pendek.
g. Endoskopi
Untuk menentukan adanya dan seberapa luas luka bakar akibat larutan
yang tertelan pada esophagus
Endoskopi, indikasi endoskopi meliputi :
i. Anak kecil.
ii. Dewasa yang simtomatik
iii. Pasien dengan penurunan kesadaran dan status mental yang
abnormal.
iv. Pasien yang sengaja meminum zat kimia (usaha bunuh diri).
Namun oleh karena endoskopi dapat meningkatkan kerusakan
jaringan, maka endoskopi tidak boleh dilakukan pada :
a. Pasien yang dicurigai terdapat perforasi esfagus.
b. Perforasi gastrointestinal.
c. Edema jalan nafas yang signifikan à pada kasus ; tidak
boleh dilakukan endoskopi.
d. Status hemodinamik pasien yang tidak stabil.
h. Lumbal Pungsi ; untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS
harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma.
i. EEG ; dapat digunakan untuk mencari lesi pada otak.
6. Diagnosis Kerja
A. Intoksikasi bahan kaustik/korosif
Definisi
Merupakan penyebab kerusakan kaustik dan korosif pada jaringan tubuh
oleh reaksi kimia. pH kimia diukur dari seberapa mudahnya zat kimia tersebut
menyumbang proton (zat asam) atau menerima proton (zat basa) di dalam air.
Tingkat nilai pH ini dihubungkan dengan daya rusak zat kimia terhadap jaringan
tubuh. Zat kimia dengan pH dibawah 2 dianggap sebagai asam kuat, sedengkan
zat kimia dengan pH diatas 12 dianggap basa kuat.
Tingkat keparahan kerusakan jaringan oleh zat kimia dipengaruhi oleh :
1. Lama kontak
2. Jumlah dan bentuk zat kimia (padat atau cair)
3. Jenis zat kimia yang terkait (konsentrasi, pH, kemampuan menembus
jaringan, dll).
Etiologi
Ingesti bahan kimia yang bersifat korosif, seperti asam kuat atau basa kuat.
Manifestasi Klinis
Tingkat keparahan akibat eksposur dengan asam/basa dinilai dari:
a. Durasi terpapar
b. Jumlah dan bentuk zat (cair atau padat)
c. Bentuk fisik dari substansi; konsentrasi pH, kemampuan mempenetrasi
jaringan, titralable reserve (jumlah jaringan untuk menetralisirkan agen)
Gejala-Gejala Keracunan
Gejala nonspesifik: Pusing, mual, muntah, gemetar, lemah badan,
pandangan berkunang-kunang, sukar tidur, nafsu makan berkurang, sukar
konsentrasi, dan sebagainya.
Gejala spesifik: Sesak nafas, muntah, sakit perut, diare, kejang-kejang, kram
perut, gangguan mental, kelumpuhan, gangguan penglihatan, air liur berlebihan,
nyeri otot, koma, pingsan, dan sebagainya.
Tanda dari obstruksi jalur napas (atas):
o Stridor
o Suara parau
o Disfonia atau afonia
o Tanda distress pernapasan :takipnea dan hiperpnea
o Retraksi suprasternal
o Batuk
Tanda dari obstruksi jalur napas (bawah, apabila teraspirasi):
o Ronki
o Edema paru
o Distress pernapasan
Tanda dan gejala kerusakan lain:
o Takikardia
o Eritema perioral dan mukosa mulut
o Oropharyngeal burns à lesi orofaringeal, edema, perforasi
o Udara subkutan
o Peritonitis akut – apabila terjadi perforasi
o Hematemesis
Neurologis:
Perubahan status mental ex: penurunan kesadaran, gelisah, cemas, disorientasi
Patofisiologi
Zat kimia menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanisme pengubahan :
1. Status ionisasi kimia sel
2. Struktur kimia sel
3. Merusak ikatan kovalen kimia sel
Pada lingkungan cair, ion hydrogen (H+) dari zat asam merupakan penyebab
utama dari mekanisme perusakan sel jaringan, sedangkan pada zat basa, ion
hidroksid (OH-).
Acid ingestion (meminum zat asam) menyebabkan kerusakan jaringan
dengan nekrosis koagulasi, dimana terjadi denaturasi dari protein di lapisan
superficial jaringan. Nekrosis ini kemudian akan membentuk koagulum yang
disebut eschar. Eschar ini bersifat protektif untuk lapisan dibawahnya.
Lapisan eschar akan terlepas dalam 3-4 hari setelah terminum zat kimia,
dan defect dari lepasnya eschar ini akan dipenuhi oleh sel-sel granulasi.
Kemudian perforasi akan terbentuk setelah 3 – 4 hari setelah lapisan eschar
terlepas.
Tidak seperti kasus terminum zat basa, gaster umumnya terkena pada
kasus terminum zat asam. Kerusakan usus halus terjadi pada 20% kasus. Dan
pada setiap kasus terminum zat asam, tidak diperbolehkan untuk mencetuskan
reflex muntah, karena dapat menyebabkan spasme pylorus dan antral.
B. Trauma Kapitis
Definisi
Ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi
cerebral sementara. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10%
kasus. Hampir separuh penderita yang mengalami cedera kepala meninggal.
Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :
Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera
setempat.
Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika
energi/ kekuatan diteruskan kepada otak.
Manifestasi Klinis
a. Cemas, gelisah
b. Penurunan kesadaran, GCS ↓
c. Tanda rangsangan simpatis: takikardi, takipneu, bradikardi
d. Tanda TIK ↑: pusing, sakit kepala, mual, muntah
e. Hematoma
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya.
Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system
GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Movement):
a. Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
Skor GCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10
menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan
pada pemeriksaan neurologis.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
Skor GCS 9-12
Ada pingsan lebih dari 10 menit
Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota
gerak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
Skor GCS <8
Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
Patofisiologi
Mekanisme cedera kepala:
Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala
yang diam. Contoh: akibat pukulan lemparan.
Deselerasi. Contoh: kepala membentur aspal.
Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan
integritas bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada
tengkorak.
Patogenesis
Hematom Epidural pada region frontal
Pasien Gelisah
Pe↓ kesadaran
Mempengaruhi pusat kesadaran (formasio retikularis)
Iskemia otak
↓ aliran darah otak
↑ TIK (Dekompensasi)
↓ CSF & Vena (Kompensasi)
Makin luas
Akumulasi darah di rongga epidural daerah frontal
Laserasi/rupture ar.meningeal media
Benturan keras pada kepala
Retraksi Suprasternal
Penggunaan otot2 bantu napas
Stridor (+)
Pe↑ kecepatan dan turbulensi aliran udara yg
melewati
Tidak bisa bicara
Inflamasi pada orofaring dan laring (berhubungan dengan vocal
cord)
Kesulitan bernapas
Obstruksi sal. napas atas
Edema pada orofaring dan laring
Pe↑ permeabilitas kapiler
Vasodilatasi arteriolar pada orofaring dan laring
Pe↓ aliran darah mendadak pada mukosa orofaring & laring
Luka Bakar kimia pada organ dan saluran yg terkena
Ingesti (tertelan)
Cuka para
(Asam formiat)
menggetarkan struktur plica vocalis &
arytenoepiglottic folds
Penatalaksanaan
A. Intoksikasi Bahan Kaustik/Korosif
Perawatan di tempat kejadian
Langsung caritahu agen yang terminum/ teringesti, volume dan
jumlah teringesti
Jangan rangsang muntah
(KONTROVERSIAL) Jumlah sedikit diluen, secepatnya berikan air
atau susu untuk mencegah menempelnya (adhering) partikel terhadap
mukosa esofagus. > 30 menit setelah kejadian jangan lagi dilakukan.
Perawatan intensif di UGD :
Diprioritaskan – jalur napas dan tanda vital, monitoring jantung
segera dan akses intravena.
Kontrol jalur napas
o Karena resiko yang sangat cepat dari edema jalur napas,
evakuasi segera jalur napas dan kondisi kesadaran. Persiapkan
segera alat intubasi endotrakeal dan krikotirotomi. Intubasi
orotrakeal atau intubasi dengan bantuan optik fiber lebih baik
daripada nasotrakeal untuk mencegah perforasi jaringan lunak
o Sebisanya, hindari induksi paralisis saat intubasi karena resiko
dari distorsi anatomi akibat perdarahan dan nekrosis.
o Krikotirotomi atau percutaneous needle cricothyrotomy
penting dilakukan bila didapat tanda friabilitas ekstrem
jaringan atau edema yang signifikan.
o Beri O2 yang adekuat.
Sirkulasi ; Infus D 5%, kalau perlu koloid/transfusi.
Eliminasi :
KL, emesis dan katarsis merupakan kontra indikasi.
Segera suruh minum air/ air susu sebanyak mungkin.
Medikamentosa
Kortikosteroid iv selama 4-7 hari, kemudian dosis
diturunkan 10-20 hari.
Antibiotika, misal ; penisilin 1 juta unit I.V. setiap 6 jam,
harus diberikan dini untuk mengatasi flora mulut gram
positif.
PPI – proton pump inhibitor – mencegah terpajannya
esofagus yang terluka terhadap asam lambung, yang dapat
menyebabkan striktura esofagus
Pantoprazole – terapi untuk GER dan esofagitis erosif.
Analgesik parenteral, monitor tanda sedasi dan depresi dari
respirasi
Nutrisi
o Diet/ obat oral ditunda sampai dilakukan pemeriksaan
laringoskopi indirek /esofagoskopi.
o Bila lesi ringan; diet oral segera dengan makanan cair, steroid-
antibiotika dipercepat penghentiannya.
o Bila lesi luas; perlu sonde lambung atau penderita dipuasakan
dan diberi nutrisi parenteral total atau konsul bedah untuk
pemasangan sonde lewat gastrostomi.
Rujuk pasien jika penatalaksanaan kegawatan telah dilakukan atau
keadaan pasien sudah stabil. Rujuk ke spesialis digestif.
Follow up
Pasien yang tidak sengaja tertelan agen penyebab yang asimtomatik
dan tidak menunjukkan gejala apapun, boleh dipulangkan 2-4 jam
setelah observasi, tak ada kelainan anatomi, pasien harus bisa
meminum cairan tanpa kesulitan, tak ada gangguan berbicara
NPO (nothing per mouth)
Esofagram setelah 3-4 minggu
B. Trauma Kapitis
Algoritma penatalaksanaan awal cedera otak sedang
a. Airway dan c-spine protection ; yakini bahwa jalan napas lancar dan
ventilasi adekuat. Jika diperlukan intubasi, gunakan jalur orotrakeal.
Leher harus terus diimobilisasi (dengan collar neck) sampai cedera leher
tersingkirkan secara klinis/radiologis.
b. Breathing ; oksigenisasi dan ventilasi adekuat à Pemberian O2 yang
adekuat.
c. Circulation ; hentikan perdarahan jika ada perdarahan aktif dengan
penekanan, kecuali bila PD bocor dapat dilihat dan diklem. Walaupun
demikian jangan klem PD wajah karena letaknya dekat saraf. Jika ada
muntah-muntah, berikan cairan RL 1500 cc.
d. Lakukan pemeriksaan neurologis.
a. Status kesadaran.
Definisi: penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu menuruti perintahGCS: 9-12Pemeriksaan awal
Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhanaCT scan kepala pada semua kasusDirawat untuk observasi
Setelah dirawat:Pemeriksaan neurologis periodic
Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akan dipulangkan
Bila kondisi memburuk
Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protocol cedera kepala berat
Bila kondisi membaik
Pulang bila memungkinkanControl di poliklinik
b. Pupil.
c. Gerakan mata.
d. Fungsi motorik wajah dan ekstremitas.
e. Refleks.
f. Perdarahan telinga dan hidung.
e. Periksa bagian-bagian lain di badan utuk mencari cedera yang
mengancam nyawa dan cegah hipotermi.
f. Monitor (adjunct), kalau keadaan pasien mulai stabil :
a. Tanda-tanda vital dan status neurologis à untuk mendeteksi
pemburukan dan menentukan terapi yang tepat.
b. Kateter ; monitoring cairan yang keluar.
c. Reevaluasi tiap 15 menit.
d. Segera lakukan foto rontgen (kepala & vertebra servikal) serta CT
scan kepala.
g. Medikamentosa
a. Kejang ; diazepam (valium) 10-15 mg I.V, 5 mg/menit, diikuti dg
fenitoin (Dilantin).
b. Keadaan yang cepat memburuk ; manitol 1-1,5 g/kg I.V, diberikan
untuk menurunka TIK.
c. Penggunaan steroid untuk menurunkan edema akibat trauma
masih kontroversial. Jika digunakan, beri Deksametason
(Decadron) 20 mg I.V di ikuti dengan 10 mg setiap 4 jam selama
24 jam.
d. Antimuntah ; metaklorforamid.
h. Rujuk pasien ke dokter bedah/syaraf untuk dilakukan tindakan
pembedahan (kraniektomi) atas indikasi.
– Faktor-faktor yang dapat dijadikan pegangan (indikasi) untuk
merujuk pasien adalah kriteria fisiologis (tingkat kesadaran), pola
perlukaan kepala (luas luka), biomekanika trauma serta beberapa
hal berikut :
– Keadaan klinis :
• Trauma kapitis
• GCS < 14 atau turun tajam
• tanda lateralisasi
i. Penatalaksanaan tergantung beratnya gejala
a. CKR :
• Perawatan selama 3-5 hari
• Mobilisasi bertahap
• Terapi simptomatik
• Observasi tanda vital
b. CKS :
• Perawatan selama 7-10 hari
• Anti cerebral edem
• Anti perdarahan
• Simptomatik
• Neurotropik
• Operasi jika ada komplikasi
c. CKB :
• Seperti pada CKS
• Antibiotik dosis tinggi
• Konsultasi bedah saraf
Penatalaksanaan pada Kasus
1. Prioritas : jalur nafas, tanda vital, monitor jantung dan akses iv.
2. Penatalaksanaan dilakukan secara simultan (bersamaan).
3. Airway : Bebaskan jalan nafas dari obstruksi dan lindungi vertebra
servikalisnnya.
- Trauma kapitis à Proteksi c-spine dg immobilisasi kepala
menggunakan collar neck sampai cedera leher tersingkirkan
secara klinis/radiologis.
- Edema jalan nafas à intubasi endotrakeal melalui orotrakeal
(karena khawatir ada trauma servikal). Tapi, jika tidak
memungkinkan (edema laring signifikan) lakukan krikotirotomi.
4. Breathing : oksigenisasi dan ventilasi yang adekuat.
- Pemberian O2.
5. Circulation :
- Akses iv (sudah terpasang sejak transportasi).
- Cek gula serum, kalau hipoglikemia, infus D5%.
- Namun penggunaan Dekstrose, harus hati-hati pada pasien yang
mengalami peningkatan tekanan intrakranial. Jika ada gejala
peningkatan TIK, seperti ; mual muntah, nyeri kepala hebat, ganti
cairan dg RL 1500 cc.
- Jika ditempat yang terbentur ada perdarahan aktif, hentikan
dengan penekanan (perban).
6. Eliminasi/Dekontaminasi :
- Kontraindikasi : KL, emesis dan katarsis à agar esofagus tidak
terpapar lagi oleh bahan korosif.
- Minum air/air susu yang banyak.
7. Exposure :
- Periksa bagian tubuh lain untuk mencari cedera yang mengancam
nyawa dan cegah hipotermi. Cedera lain, misal ; luka bakar di
tubuh akibat percikan cuka para atau trauma di bagian tertentu
akibat terjatuh dari ketinggian 2 meter.
8. Monitor :
- Tanda vital.
- Pemeriksaan neurologis.
i. Status kesadaran (GCS)
ii. Pupil.
iii. Gerakan mata.
iv. Fungsi motorik wajah dan ekstremitas.
v. Refleks.
vi. Perdarahan telinga dan hidung.
- Kateter urin.
9. Rujuk pasien jika tahapan di atas telah dilakukan/pasien dalam keadaan
stabil. Sebaiknya rujuk dilakukan secepat mungkin untuk melakukan
dekontaminasi intoksikasi dan menatalaksana trauma kapitisnya. Rujuk
ke spesialis digestif, bedah dan neurologis.
Prognosis
Dubia.
Tergantung dari derajat kerusakan jaringan, lama waktu terpajan dan sifat fisik dari agen
(termasuk pH, volume, dan konsentrasi; kemampuan penetrasi jaringan, dan titration
reserve (jumlah jaringan yang dibutuhkan untuk menetralisir agen).
Komplikasi
Edema jalan napas atau obstruksi
Striktur esofagus
Perforasi dari gastroesofagus
Komplikasi sekundernya termasuk : mediastinitis, perikarditis, pleuritis,
pembentukan fistula trakeoesofagal, pembentukan fistula esofagal-aortic, dan
peritonitis
Perforasi dapat terjadi 4 hari setelah terpapar zat asam.
Obstruksi dari saluran gaster setelah 3-4 minggu terpajan
Hemorhagik pada regio gastrointestinal secara akut
Perdarahan dari traktus gastrointestinal
Resiko jangka panjang, squamous cell carcinoma, ca esofagus 1-4% kasus.
KDU
Kompetensi dokter umum untuk trauma kepala dan keracunan adalah 3B, yaitu mampu
membuat diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik dan tambahan, dapat memutuskan dan
memberikan terapi awal, serta merujuk ke spesialis yang relevan pada kasus gawat
darurat.
Daftar Pustaka
American Chollage of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Advance Trauma Life
Support for Doctors.
Bresler, Michael Jay dan George L. Sternbach. 2007. Manual Kedokteran Darurat.
Jakarta : EGC
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC.
Djoko, Widayat dan Djoko Widodo. Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 Edisi IV. Jakarta: FKUI
Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna. 2010. Kedaruratan Medik. Jakarta Barat :
Binarupa Aksara